asal usul hadist 2

Tampilkan postingan dengan label asal usul hadist 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label asal usul hadist 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

asal usul hadist 2



 rya-karya rijlJ.1 yang dipakai untuk menilai kelebihan 


dan kelemahan para periwayat hadis. Konsep kl1.dzib dibahas secara luas dan 


demikian balnya persoalan mengenai warisan sahabat Abu Hurayrah dalam literatur hadis, ta 'dtl sahabat secara koleklif: dan teori common link disertai 


dengan beberapa contoh. 28 


Juynboll, dalam buku tersebut, mendekati studi hadis dari segi sejm-ah 


periwayatannya Upayanya, sebagaimana diterangkan dalam sub judul buku itu, 


adalah untuk memberikan penanggalan pada hadis, menelusmi tempat 


perkembangannya dan mengidentifikasi orang-orang yang bertanggungjawab atas 


penyebarannya. Perin diketahui bahwa buku ini menekankan studi hadis pada 


aspek isndd, dan bukan pada matan hadis, yang sekaligus merupakan ciri dari 


studi Juynboll. 


KaryaJuynboll, Studies on the Origins, yang diterbitkan oleh Variorum ini 


mencakup sebelas artikel tentang hadis yang telah dipublikasikan antara tahun 


1971 hingga 1994. Seluruhnya dipublikasikan dalam JlUllal kecuali satu artikel, 


dalam sebuah Festschrift (buku peringatan). Artikel-artikel tersebut dihimpun dan 


disusun secara kronologis sehingga secara otomatis dapat mengungkapkan 


perkembangan pemikiran dan ketertarikannya pada bebagai persoalan mengenai 


jalur-jalur periwayatan, 29 termasuk perhatiannya pada common link (periwayat 


yang menjadi titik temu bagi para periwayat lainnya). 


Artikel pertama, "The Had1t in the Discussion on Birth Control", berasal 


dari makalah yang disampaikan di depan peserta kongres keempat dari The Union Europeenne des Arabisants et lslamisants in Coimbra/Lisbon, pada bulan 


September 1968. Ide makalah tersebut muncul ketika Juynboll berdiam di Mesir 


untuk mengumpulkan data-data dalam rangka penelitian disertasinya. Saat itu, ia 


yang tertarik dengan isu-isu hadis kontemporer menyaksikan pemerintah Mesir 


menggunakan hadis nabi demi tujuan-tujuan propaganda, yaitu untuk 


mempromosikan kontrol kelahiran. Terutama ketika ia melihat sebuah hadis, 


dengan h1.U11f neon besar di papen lebar di ptmcak sebuah bangunan di Jalan 


Qashr al-'Aynt, yang memperingatkan masyarakat agar membatasi kelahiran 


anak. 


Pada artikel kedua, "AJ!mad Muhammad Shftkir (1892-1958) and His 


Edition oflbn Hanbal's Musnruf', terlihat bahwa Juynboll masih sangat tertarik 


dengan studi hadis periode modem Dalam tulisan ini, Ia mengkaji Musnad 


Abmad b. Hanbal, edisi Ahmad Muhammad SyAkir (w. 1958). Di sini, ia terpaksa 


menggali berbagai koleksi hadis klasik. Sebagai akibatnya, artikel ini dapat 


dipandang sebagai jembatan yang diseberangi oleh Juynboll dari studi hadis 


modem ke studi koleksi hadis klasik serta syar!1-syar!1 dan naskah-naskah hadis 


abad pertengahan. 30 


Setelah itu, ia ingin menerjemahkan pengantar Muslim b. al-Hajjij 


terhadap Kttab Shaf!tl!nya disertai dengan anotasi, sebagaimana tampak pada 


artikel ketiga, "Muslim Introduction to His Sha!ff!l. Translated and Annotated with 


an Excursus on the Chronology of·Pitna and Bid'a". Makalah ini menunjukkan 


upaya pertama Juynboll untuk mengidentifikasi pribadi-pribadi dalam isnad dan keheranannnya pada sejumlah besar kamus periwayat hadis mulai muncul dan 


semakin bertambah selama beberapa tahun kemudian. Terjemahan ini ditambah 


dengan dua kajian mengenai kronologi konsep sunnah dan bid'ah yang dianggap 


krusial tmtuk memahami bagaimana hadis itu mulai muncul. Selain itu, ia juga 


menerbitkao tulisan tentang fitnah di JurnalArabica, 1973. 


Ketika membuka Kamus Fairuzabadi dan membaca bahwa l:J.inn8. 'i.YJln itu 


berpihak kepada para ahli hadis (l?'lUfladdit&Un), Juynboll terdorong meneliti para 


periwayat hadis awa1 yang terkait deogan aktivitas menyemir rambut dan janggut 


Persoalan ini terdapat dalam makalah keempat, "Dyeing the Hair and Beard in 


Early Islam". Di sini, ia juga memperkeoalkan fenomena common link, yang 


memainkan peranan penting dalam studi analisis isndd berikutnya seperti terlihat 


dalam artikel keenam hingga kesebelas yang telah dielaborasi pertama kali, dalam 


Muslim Tradition, bah V. 31 


Tulisan kelima, "Some New Ideas on the Development of Sunna as 


Technical Tenn in Early Islam", sebenamya berasal dari kontribusi Juynboll 


terhadap Festschrijf atas MJ. Kister yang diilhami oleh lemmata tertentu ketika ia 


menulis Dictionary of the Middles Ages, untuk mengetahui hadis, sunnah dan 


kelompok sunni. Di tengah penelitian, Juynboll pertama kali menemukan 


pengamatan yang kontradiktif; yakni hadis dan sunnah, yang selama satu 


setengah abad pertama masih berupa konsep tentang norma-norma yang 


ditetapkan oleh masyarakat Islam awal, tidak mesti berjalan seiring. 


Dengan menyadari bahwa menemukan alur isndd seseo1'8118 dalam berbagai koleksi badis bukanlah pekerja.an yang mudah, Juynboll menulis 


sejumlah esai mengenai metode analisis isndd yang dikembangkannya selama 


beberapa tahun untuk menelusuri badis tertentu dalam koleksi-koleksi badis dan 


pada gilirannya mencari periwayat yang diansgap sebagai originator (pencetus) 


dan bertanggung jawab ates penyebaran hadis tersebut. Di sini, ia mulai 


memperkenalkan karya YOsufb. 'Abd al-Rabmin al-Mizzi (w. 74211341), Tulfat 


a1-Asyrl1f bi Ma'rifat al-Athrllf SebBBai jawaban atas ketertarikannya kepada 


posisi perempuan dalam Islam, Juynboll, dengan menggunakan metode analisis 


isn&:l tersebut dan sejumlah hadis yang merendahkan perempuan, menulis artikel 


tentang badis untuk menelusuri dan menemukan orang-orang yang dianggap 


melecehkan perempuan yang dijumpai dalam literatur hadis dan jenis sastra Arab 


lainnya Uraian semacam ini terdapat dalam artikel keenam, "Some lsn&J￾Analytical Methods Illustrated on the Basis of Several Women Demeaning 


Sayings :from Hadith Literature,,. 32 


Berdasarlcan sebuah artikel mengenai mu 'ammarO.n, orang-orang yang 


diberikan umur panjang oleh Tuhan, dalam Islam, Juynboll menulis artikel 


ketujuh, '"The Role of Mu 'ammarO.n in the Development of the Jsn/1.d". Karena 


studi ini memerlukan survei mengenai dasar-dasa- analisis isnlld, maka ia juga 


memberikan kerangka yang sama dengan kerangka pada artikel nomor enam. 


Model analisis isn&:l ini juga dikemukakan pada tulisan kedelapan, "Some Notes 


on Islam's First Fuqahd · Distilled :from Early Hadtth Literature,,, untuk 


membahas gaya hadis yang paling klasik yang tidak disandarkan kepada nabi saw., tetapi kepada otoritas belakangan. Untuk mendukung pengamatan dan 


ga,gasan Schacht, ia mengemukakan argumen baru dengan cara meneliti berbagai 


aturan yuridis dan ritual yang disandarkan kepada para ahli hukum Islam yang 


paling awal. Selain itu, makalah ini juga mencoba menggambarkan bagaimana 


menilai bahan-bahan itu untuk memperoleh data-data yang menyinari masyarakat 


muslim pada beberapa dekade pertama. 


Tulisannya di El 2 tentang Nlfi ', budak Ibnu 'Umar, yang diperluas dan 


diterbitkan dalam Jurnal Der Islam merupakan sumber artikel kesembilao. "Nati', 


the Mawltl oflbn 'Umar, and His Position in Muslim Hadtth Literatm-e". Dari 


artikel tersebut, ia dapat memperoleh gambaran mengenai tidak dapat 


dipertahankannya peranan NAfi' dalam perkembangan aturan-aturan hukum dan 


ritual orang-orang Madinah. Setelah menganalisa ribuan hadis yang terdapat 


dalam koleksi kanonik dengan jalur-jalur isndd di mana Ntii' muncul sebagai 


otoritas tertuakedua setelah Ibnu Umar, terlihat bahwa orang yang bertanggung 


jawab etas penyebaran badis-hadis yang didukung oleh NA.ti' adalah MAiik b. 


Anas, dan bukan NA.ti'. 33 


Sementara artikel kesepeluh, "On the Origin of the Poetry in Muslim 


Tradition Literature", adalah kajian yang secara khusus ditulis tmtuk Ewald 


Wegner Festschrlft. Juynboll mencoba memilih syair-syair Arab yang tersebar di 


berbagai koleksi hadis sebagai satu jenis badis di mana JuynbolJ ingin menjawab 


tiga persoalan mendasar mengenai kronologi, somber, dan kepengarangan hadis. 


Dalam pendahuluan tulisan tersebut, ia memilih sebuah pendekatan baru secara keselw-uhan. Syair clan hadis-hadis yang berhubungan dengan syair yang terdapat 


dalam beberapa koleksi hadis diba,gi dalam beberapa rubrik dan dikaji secara 


kronologis. Hanya dua syair yang terdapat dalam koleksi yang disandarkan 


kepada nabi sendiri muncul sebagai buatan ahli hadis Basrah yang meninggal 


pada setu setengah abed setelah nabi saw. 


Makalah terakhir dalam kumpulan buku ini, "Early Islamic Society as 


Reflected in Its Use of Jsn8.ds'', ditulis lima belas tahun yang lalu oleh Juynboll. 


Namun karena pencetakannya tertunda berulang kali, maka Juynboll memutuskan 


untuk menulis ulang sebagian besar makalah tersebut dan memperbaharuinya 


dengan beberapa tambahan tentang masalah terkait yang telah disampaikan di 


beberapa seminar, yang pada akhimya diterbitkan di u Museon. Tujuan makalah 


ini adalah menyajikan survei historiografis tentang hadis nabi clan akhbdr historis 


sertamasing-masing tipe isn&J yang menopang keduanya 34 


Seisin tiga buku tersebut, Juynboll juga memiliki sejumlah karya di biclang 


hadis dalam bentuk artikel, seperti: 


1. "'lbe Date of the Great Fitmi'35 


2. "On the Origins of Arabic Prose: Reflections on Autheoticity,,36 


3. "Shu'bah b. al-Hajj~ (d. 1601776) and His Position Among the Traditionists 


ofBasra'J4. "An Excursus on the Ahl as-Sunna in Connection with Van Ess, Theologie 


und Gesellschaft. vol, IV'38 


Dalam The Encyclopedia of Islam New Edition, Juynboll juga 


menyumbangkan beberapa tulisan mengenai berbagai persoalan hadis, istilah￾istilah teknis dan tokoh-tokoh hadis, seperti: "Kl10bar al-Wftbid'', "al-Mizii", 


"Mu'ammar" "Mu'an'ad' "Mu-1


--'' ''Mursal" ''Mushannaf' "Muslim b al- ' , 111\DI, ' , • 


Hadidiidi" "Musnad" "Mustamli" ''NAfi"' ''Raf'" "al-Rimahunnuii" "Ridiil" - :JI :JI :J ' ' ' ' ' ' :JI ' 


"Sabtlf', "Sililf', "al-Sha'bi", "Ahmad Mul!ammad Shikir', "Shu'ba b. al￾HadjdjAdj", "Sunan" dan "Sunna". 39 


Sementara karya Juynboll dalam bidang lain, seperti studi Quran, fikih, 


dan historiografi, adalah sebagai berikut: 


1. "Review ofQuranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation 


by John Wansbrough"40 


2. "Review of the Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic 


Salvation History"41 


3. "Some Thought on Early Muslim HistoriographySampai sejauh ini, menurut J. Koren dan Y.D. Nevo, studi Baral mengenai 


sejarah Islam awal, agema, dan kedudukan Quran sebagai kitab suci telah 


berkembang ke arah dua pendekatan yang berbeda. Pendekatan pertama yang 


disebutnya sebagai pendekatan tradisional meneliti sumber-sumber Islam den 


mengujinya dengan cara-cara yang sesuai dengan berbagai asumsi dan tradisi 


kesarjanaan muslim. Sedangkan pendekatan kedua, yakni pendekatan revisionis, 


walaupun keduanya tidak menyukai istilah tersebut, mengkaji sumber-sumber 


Islam dengam metode laitik sumber (source-critical. methods) serta menganggap 


sumber-sumber non-Arab dan bahan-bahan lain seperti temuan-temuan arkeologi, 


epigrafi, dan numismatik yang secara umum tidak dikaji oleh aliran tradisional 


sebagai bukti sejarah. 44 


Yang tennasuk aliran revisionis adalah karya-karya yang menawarkan 


uraian-uraian yang bertentangan tentang penaldukan Arab dan kemunculan Islam, 


tetapi mereka sama-sama memakai seperangkat asumsi metodologis yang ditolak 


oleh aliran tradisional. Mereka cenderung menarik kesimpulan yang mengingkari 


validitas uraian-uraian historis yang didasarkan pada berbagai fakta dari sumber-suntber Islam. Sementara kelompok tradisional selain tidak mengakui kesimpulan 


mereka, juga menolak validitas metode kritik sumber. Oleh sebab itu, aliran 


revisionis dan tradisional adalah dua kerangka metodologi yang tidak pernah 


bertemu satu sama lain, karena yang pertama menggolongkan yang berikutnya 


sebagai studi agama dan literatur, bukan studi sejarah. Hal ini tentu saja sulit 


diterima oleh aliran tradisional. 45 


Dalam kaitan ini, studi hadis yang termasuk ke dalam studi sejarah Islam 


awal tentunya tidak perlu dikecualikan dari sudut pandang tersebut. Ignaz 


Goldziher dan Joseph Schacht adalah dua pengkaji hadis yang dapat diketegorikan 


sebagai wakil dari paradigma revisionis, sementara Fuat Sezgin, Nabia Abbott, 


dan M.M. Azami sebagai wakil aliran tradisional. 


Tidak berlebihan jika Charles J. Adams mengatakan bahwa studi hadis 


dapat diuktu" dari istilah-istilah yang terdapat dalam karya para tokoh tersebut 46 


Menurutnya, sudah saatnya dilakukan kajian berdasarkan sinaran teori-teori 


mereka untuk mengklarifikasi berbagai persoalan hadis. Tujuan para pengkaji 


hadis ini memang tidak sama dan ketertarikannya pun berbeda-beda pula. Tetapi, 


karena ketertarikan yang berbeda-beda itulah yang membingungkan pengkaji hadis sehingga memerlukan seseorang yang mampu menilai capaian-capaian masa 


lampau dan memberikan arah baru dalam studi hadis.47 


Tentu saja bukanlah suatu upaya yang ringan untuk melakukan misi ini, 


lebih lebih jika ingin mencari jalan tengah. Ditambab lasi, dua pendekatan 


tersebut berpijak pada asumsi dan metode yang berbeda, sehingga terjadi benturan 


paradigma (clash of paradigms) antara orang-orang yang menyajikan hadis 


sebagai otentik dan orang-orang yang menganggapnya sebagai bukti bagi 


perkembangan Islam belakangan. 48 Meski demikian, tidak berarti keduanya 


mustahil didamaikan seperti dikatakan Coulson. 49 Sebalilmya, adanya benturan itu 


justru merupakan aktivitas positif sehingga diharapkan akan muncul sebuab 


sintesa baru50 


yang lebih dapat diterima oleh semua pihak. 


Dalam konteks itulah, perlu kiranya pikiran Juynboll diletakkan, apakah ia 


menganut aliran revisionis? Atau termasuk kelompok tradisional? Atau mencoba mencari jalan tengah (middle ground) di antara keduanya? Namun, sebelum 


menentukan letak ide-ide Juynboll di belantara pemikiran hadis modem di Beret, 


seseorang harus mengetahui terlebih dahulu pandangan para pemikir yang 


mewakili dua kecenderungan besar itu. 


Ignaz Goldziher, salah seorang wakil dari kelompok revisionis, dalam 


bukunya Muhammedanische Studien, menyatakan keraguannya atas kesejarahan 


dan kesahihan hadis. Setelah mengkaji berbagai hadis yang terdapat koleksi 


kanonik, ia lebih cenderung kepada "sceptical caution rather than optimistic 


trust" (sikap hati-hati yang skeptis daripada kepercayaau yang optimis). 


Ooldziher, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, selanjutnya menyimpulkan 


babwa seba.gian besar ha.dis merupakau akibat dari perl<embangan Islam secara 


religius, historis, dan sosial selama dua abad pertama. Hadis-hadis itu tidak dapat 


dianggap seba,gai dokumen sejarah pertumbuhan Islam, tetapi lebih sebasai 


refleksi dari berbagai kecenderungan yang muncul di dalam masyarakat Islam 


selama tabap-tahap perkembangannya yang lebih dewasa 51 


Paling tidak, ada beberapa hal yang menyebabkan Goldziher meragukan 


kesahihan hadis. Pertama, koleksi hadis belakangan tidak menyebutkan sumber 


tertulisnya dan memakai istilah-istilah isn&J yang lebih mengimplilcasikan 


periwayatan lisan daripada periwayatan tertulis. Kedua, adanya hadis-hadis yang kontradiktif satu sama lain. 52 Ketiga, perkembangan ha.dis secara masal 


sebagaimana terdapat dalam koleksi hadis belakangan tidak terbukti dalam 


koleksi ha.dis yang lebih awal. Keempat, kenyataan bahwa para sahabat kecil lebih 


banyak mengetahui nabi saw, yakni mereka meriwayatkan lebih banyak ha.dis, 


daripada pm-a sahabat besar. Semua ini menjadi bukti bagi Ooldziher bahwa telah 


terjadi pemalsuan hadis dalam skala besar. 53 Seperti yang terungkap dalam kata￾katanyasenduiberikutini: 


Every stream and counter-stream of thought in Islam have found its 


expression in the form of a badtth, and there is no difference in this respect 


between the various contrasting opinions in whatever fields. What we 


learnt about political parties hold true too for differences regarding 


religious law, dogmatic points of difference etc. Every ray or hawd, 


every sunna and bid'a has sought and found expression in the form of a 


badtth. 


Dengan demikian, kata Goldziher, tidak hanya hukum dan adat kebiasaan, 


tetapi juga doldrin politik dan teologi pun mengambil bentuk dalam badis. Apa 


saja yang dihasilkan Islam sendiri atau dipinjam dari unsur luar diberi tempat 


dalam badis. Bahkan beberapa bagian baik dari Perjanjian Lama maupun 


Perjanjian Barn, kata-kata. dari rabi, kutipan dari Injil-Injil apolai, doktrin para 


filosofYunani, dan pepatah-petitih Persia dan India ditampilkan kembali sebagai 


sabda-sabda nabi. 55 


Gerakan pemalsuan hadis ini menimbulkan reaksi para ahli hadis untuk 


membuat kriteria penilaian agar dapat dipilah-pilah antara hadis sahib dan hadis 


palsu. Metode kritik hadis ini mengandung kelemahan, tidak hanya karena 


penekanannya kepadai.sn&i semata tanpa meneliti matan hadis, tetapi juga karena 


baru lahir sekitar tahun 150 H. Di samping itu, meskipun sudah dilakukan 


pengujian, tetapi pemalsuan hadis tetap berjalan terns dengan cara memanipulasi 


isn&i seem-a lebih halus. Misalnya, hadis yang berakhir pada seorang sahabat atau 


tabiin (mursal dan mauqfl.j) seringkali diperluas menjadi badis nabi (marfll ') 


dengan melekatkan nama-nama periwayat hingga akhir isn&i, atau memasukkan 


seorang mu 'ammarO.n, orang yang berumur panjang, untuk menghubungkan isn&i 


yang terputus kepada nabi saw. 


Pemalsuan hadis yang tak terbendung ini, walaupun telah diciptakan 


metode kritik hadis untuk menyeleksinya, menyebabkan Goldziher meragukan 


kesahihan hadis. Meski demikian, karena yakin bahwa para sahabat bisa saja 


memelihara perkataan dan perbuatan nabi saw. setelah meninggal dan kemudian disimpan dalam beberapa shaflifah yang diwariskan kepada generasi berikutnya,56 


maka ia percaya bahwa fenomena hadis berasal dari zaman I.slam awal. Oleb 


sebab itu, ia lebih suka memakai kata-kata yang menggambarkan skeptisisme 


secara mnum, seperti "maturer stages of its development" atau "first two 


centuries of Islam". 


Joseph Scbach~ wakil kedua dari aliran revisionis, lebih tegas dalam 


menilai kedudukan hadis daripa.da pendahulunya, Goldziher. Pemikiran Schacht 


mengenai hadis terkait erat dengan kajian utamanya mengenai asal-usul hukum 


Islam dan peranan al-Syifi'i dalam pemembangannya Al-Sytii'i dipandang 


sebagai orang yang bertanggung jawab atas kemenangan hadis nabi sebagai 


sumber hukum I.slam. 57 Schacht mengkaji hadis berangkat dari persoalan hukum 


karena beberapa alasan. Sumber-sumber hukum dalam I.slam, Schacht 


memberikan alasan, tidak hanya lebih tua dan lebih kaya daripada sumber-sumber 


lain seperti sejarab, tetapi juga karena penilaian orang terhadap persoalan hukum 


cenderung terdistorsi oleh ide-ide prakonsepsi.Hukum Islam dalam pengertian istilah teknis, menurut Schacht, belum 


labir pa.da abad pertama hijrah. 59 Nabi Muhammad saw. tidak memiliki alasan 


yang cukup untuk mengganti hukum adat yang sudah ada. Otoritas nabi, di 


Madinah saat itu, tidak dalam masalah hukum, tetapi dalam masalah agama dan 


politik. Para Kholafl' al-R.Asyidftn (632-661 M) setelah wafatnya nabi a.dalah 


pemimpin-pemimpin politik masyarakat Islam yang tidak mengambil hukum dari 


somber yang lebib tinggi, tetapi dari diri mereka sendiri sebagai pembuat hokum 


masyarakat. 60 


Akan tetapi, para khalifah Bani Umaiyah telah melakukan langkah 


penting dengan mengangkat para hakim (qlldh1s). Pemiliban para hakim kemudian 


ditujukan kepa.da orang-orang spesialis. KeJompok ini akhimya berkembang clan. 


semakin kuat. Pa.da dekade pertama abad kedua, mereka berkembang menjadi 


aliran fikih klasik (the ancient school of law) yang mempunyai persamaan dalam 


teori hokum yang esensial. Titik pusat ide dari teori itu a.dalah perkara-perkara 


yang sudah memasyarakat, yang disebut Schacht sebagai the li~ing tradition of the 


school, yang diketengahkan oleh para wakil resmi mereka. Perkara-perkara 


tersebut, pada gilirannya, melahirkan praktek ideal atau sunnahIde kontinuitas yang inheren dalam konsep sunnah, praktik ideal, clan 


perhmya diciptakan alasan teoretis seba,gai alat pembenaran menjadikan the living 


tradition diproyeksikan ke belakang dan dikaitkan dengan sejumlah tokoh masa 


lampau. Orang-orang Kufah, misalnya, seringkali mengkaitkan teori-teori hukum 


mereka kepada Ibrahim al-Nakha't dan hal ini diikuti pula oleh orang-orang 


Madinah. Proses pengembalian pendapat kepada tokoh-tokoh di masa lampau ini 


kemudian berlanjut kepada tokoh-tokoh yang lebih klasik di kalangan sahabat, 


seperti Ibnu Mas'ftd, clan akhimya kepadanabi sendiri.62 


Dalam konteks semacam itu, para ahli hadis muncul sebagai gerakan 


oposisi terhadap berl>agai aliran fikih klasik. Ide utama mereka adalah bahwa 


hadis-hadis formal yang berasal dari nabi hams mampu menggantikan perkara￾perkara yang sudah memasyarakat. Oleh karena itu, mereka membuat statemen￾statemen yang mendetail yang diklaim seba,gai laporan dari para saksi, baik yang 


mendengar atau yang melihat perkataan atau perl>uatan nabi yang kemudian 


diriwayatakan secara lisan disertai dengan i snli.d muttashi l dan terpercaya. 63 Pada 


pertengahan abad kedua hijrah, hadis-hadis nabi ini mengganggu dan 


mempengaruhi "living traditiotf'.64 Pada gilirannya, pertarungan ini berakbir 


dengan kemenangan kelompok al-Syifi 'i dan para ahli hadis serta kekalahan 


aliran fikih klasik. Sejak itu, otoritas sunnah nabi berdiri tegakDengan demikian, baik aliran fikih ldasik maupun ahli hadis sama-sama 


memalsukan hadis. Oleh sebab itu, isndd merupakan bagian yang sewenang￾wenang terhadap hadis. lsndd pa.da awalnya sangat sederhana lalu diperbaiki 


sedemikian rupa sehingga. mencapai kesempurnaan dalam koleksi hadis ldasik 


pa.da separuh kedua abad ketiga hijrah. 66 Perbaikan Jsndd secara bertahap juga 


paralel deogan perkembangan tnatan hadis. Dengan kata lain, perkembangan 


isndd ke beJakang sama dengan proyeksi doktrin-doktrin ke belakang kepada 


otoritas yang lebih tinggi. Inilah yang kemudian disebut teori backwa.rd projection 


yang diringkas dalam kata-katanya sendiri, "the most peifect and complete isndd 


are the latest'. 


Sejaub ini, telah diuraikan ide-ide Goldziher dan Schacht tentang 


kesejarahan hadis. Sedikit perbedaan dalam merekonstruksi sejarah hadis antara 


keduanya perlu dijelaskan. Jika Goldziher mengakui bahwa sumber hadis adalah 


nabi dan generasi awal Islam, tetapi kemudian mengalami kesulitan membedakan 


hadis otentik dan badis palsu karena adanya gerakan pemalsuan secara besar￾besaran, maka Schacht memandang bahwa sumber hadis adalah tabiin yang 


kemudian dikembangkan ke belakang kepada sahabat dan akhimya kepada nabi 


saw.68 Meski demikian keduanya sama-sama tidak mempercayai otentisitas isndd. lsntld, menurut Ooldziher dan Schacht, adalah basil dari perkembangan pemikiran 


generasi Islam awal. Tentu saja, kesimpulan semacam ini tidak mengherankan 


karena keduanya berangkat dari pendekatan historis dengan metode kritik sumber. 


Pendapat Ooldziher dan Schacht ini tentu saja membangkitkan kritik dari 


kalangan pengkaji hadis tradisional, sebagaimana terdapat dalam karya-karya 


Sezgin, Abbott dan Azami. Fuat Sezgin dalam Geschichte der Arabischen 


Schrijftums, Volume 1, yang mendasarlcan penelitiannya atas sejumlah naskah 


serta menganalisa bentuk-bentuk yang dipakai oleh para periwayat hadis, 


berargumen bahwa proses pencatatan hadis telah dimulai sejak masa hidup nabi 


saw. dan terns berlanjut dengan isnlld muttashil hingga munculnya koleksi hadis 


· yang besar-besar pada abad ketiga/keenam. 69 Dengan demikian, proses penulisan 


hadis telah dipraktekkan jauh lebih awal daripada yang dipahami oleh 


Goldziher. 70 


Ia menilai bahwa Ooldziher salah memahami beberapa kata kunci yang 


terkait dengan periwayatan hadis. Walaupun di sisi lain, ia mengakui bahwa 


Goldziher tidak memiliki seluruh somber yang bisa didapatkan belakangan ini 


dan sebagai konsekwensinya ia tidak bisa dipersalahkan secra membabi buta. 


Menurut Sezgin, ada delapan cara yang digunakan para periwayat dalam 


menerima atau menyampaikan hadis, yaitu samd ', qi rd 'ah, ijltzah, muntlwalah, penulisan demi kepentingan periwayatan dengan lisan, tetapi harus dipahami 


sebagai usaha untuk mempraktekkan prosedur periwayatan kittlbah dan 


muk8.tabah. Hal ini didukung dengan pemyataan al-Zului yang terkait dengan 


penulisan "ilmti' sebagai jawaban basi pemerintah Umayyah. Al-Zului 


mengatakan,"kunnd nakrahu kitdb al-ilmt lJ.attll akrahanll 'alayhi hll'ul8. 'i al-


'umara fara 'ayn/l anUl namna 'ahu all.adan min al-musltmfn. Jlka Goldziher 


memahami Jritdb al- ~Jm sebagai proses pemalsuan, maka Sezgin menafsirkannya 


sebagai praktek prosedw- periwayatan muk/ltabah, yang didukung oleh al-Nawaw'i 


dan AbO Nu'aym bahwa para khalifah Umayyah memaksa al-Zuhri bukan untuk 


menulis hadis, tetapi untuk mempraktekkan periwayatan muk/ltabah. 74 


Inilah perbedaan mencolok antara ide Goldziher dan Sezgin. Dalam 


merekonstruksi dan mendaftar berbagai naskah, Sezgin hanya mendasarkannya 


pada penisbatan yang terdapat di dalam isn&l. Ia betul-betul tidak mempersoalkan 


otentisitas isn&l yang dikemukakan oleh para kolektor hadis belakangan. 


Sebaliknya, ia menganggapnya sebagai laporan periwayatan yang dapat dipercaya 


(a reliable record of that transmission). Tidak berlebihan jika Herbert Berg 


memandang argumen Sezgin tidak hanya sangat konsisten, tetapi juga sangat 


sirkuler. Padahal, dalam pandangan paradigma revisionis, otentisitas isn&l itulah 


yang menjadi problem studi. Dengan tegas, Sezgin menyatakan, "untuk 


mengukuhkan swnber-sumber pertama literatur Islam, pertama-tama orang barns 


membuang asumsi lama yang mengatakan, isn&l pada awalnya diperkenalkan pada abad kedua dan ketiga hijrah clan bahwa nama-nama para periwayat yang 


terdapat dalam isnlid telah dipalsukan. 75 


Nabia Abbott, seorang Islamolog terkemuka, juga mendukung pendapat 


Sezgin. Abbott menyatakan bahwa praktek penulisan hadis sudah berlangsung 


"sejak awal" dan ''berkesinambungan". Yang dimaksud dengan kata-kata "Sejak 


awal" adalah bahwa para sahabat nabi sendiri telah menyimpan catatan-catatan 


hadis, sementara kata ''berkesinambungan" dimaksudkan bahwa seb8Bian besar 


hadis diriwayatkan secara tertulis, selain dengan lisan, hingga hadis-hadis itu 


dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik Periwayatan hadis secara tertulis inilah 


yang menurutnya dapat dijadikan sebagai jaminan bagi kesahihannya. 76 


Abbott berpendapat bahwa kegiatan tulis menulis bukan tidak umum di 


kalangan orang-orang Arab dan bahkan di masa pra Islam. Lebih jauh dikatakan, 


laporan-laporan mengenai Nabi Muhammad saw. telah ditulis semenjak masa 


hidup nabi. Kenyataan bahwa tidak ada naskah yang survive dari periode ini 


disebabkan oleh sikap 'Umar I, khalifah pertama (w. 23/644). Karena belum 


dikenalnya Quran oleh masyarakat di berbagai daerah penaklukan di luar Arab, 


khalifah mengkhawatirkan perkembangan Islam akan mengalami nasib yang 


sama seperti dalam agama Y ahudi clan khususnya, agama Kristen, yakni adanya 


teks suci selain Qura.n yang menyaingi, jika tidak mendistorsi atau mengubah Quran. Oleh sebab itu, ia menghancurkan naskah-naskah hadis yang ditemukan 


dan menghukum orang-orang yang memilikinya Para sahabat lalu menghindari 


untuk meriwayatkan hadis, baik secara tertulis maupun lisan karena takut kepada 


Umar. Hanya sedikit sahabat yang tetap menc• menghimpun dan 


meriwayatakan hadis yang kemudian menjadi dasar bagi koleksi hadis 


belakangan, seperti 'Abd Allah b. 'Amr b. •Ash (w. 65/684), Abf1 Hurayrah 


(58/678), Ibnu 'Abbas (w. 67-8/686-8), dan Anas b. MAiik (w. 94/712). 


Dengan wafatnya 'Umar dan penyebaran Musbgaf'UtsmAnt, kekhawatiran 


tersebut menjadi hilang. Hadis kemudian mengalami perkembangan yang sangat 


berarti pada separuh kedua abad pertama. Para sahabat yang dulunya berpihak 


kepada 'Umar dan enggan meriwayatkan badis mulai mencatat dan memelihara 


"pengetahuan mereka''. Selanjutnya, hadis diajarkan di berbagai pusat Islam, 


terutama di Madinah dan Mekkah, tidak hanya oleh para ahli hukum dan para 


hakim, tetapi juga oleh para guru, pengkhotbah dan tukang cerita (qushshdshl 


storytellers).n 


Para khalifah Umayyah seperti Mu'Awiyah (w. 60/680), Marwin (w. 


65/684)), dan 'Abd al-MAlik (w. 86/705), misalnya, juga turut aktif dalam 


kegiatan periwayatan hadis. Abbott mempercayai laporan yang menyebutkan 


bahwa Umar II memerintahkan Ibnu Hazm (w. 120/738) dan al-.ZUbri untuk 


menghimpun hadis dan sunnah. Al-Zuhri juga diperintah untuk memeriksa hadis￾hadis dari berbagai daerah Islam. Menurut asumsi Abbott, al-Zubri mampu menyelesaikan tugas tersebut dan kemudian mendistribusikan naskah-naskah 


hadis ke berbagai daerah. Namun karena rentannya naskah di berbagai daerah dan 


wafatnya Umar Il, naskah-naksah ini tidak mendapat perhatian. 78 


Di samping itu, Abbottjuga menjelaskan bahwa perkembangan hadis pada 


abad kedua dan ketiga bukan karena perkembangan ataupun pemalsuan matan 


ha.dis, tetapi karena perkembangan jalur i sntJ.d yang berlipat ganda, seperti yang 


terdapat dalam pernyataannya berikut ini: 


... that the tradition of Muhammad as transmitted by his Companions and 


their Successors were, as a rule, scrupulously scrutinized at each step of 


transmission, and that the so called phenomenal growth of tradition in the 


second and the third centuries of Islam was not primarily growth of 


content, so far as the hadith of Muhammad and the hadith of the 


Companions are concerned, but represents largely the progressive increase 


in parallel and multiple chains of transmission. 79 


Sebagai contoh, seorang sahabat meriwayatkan satu ha.dis kepada dua 


orang tabiin dan dua orang ini meriwayatkan ha.dis yang sama kepada dua orang 


periwayat ha.dis pada generasi berikutnya. Jika rangkaian periwayatan ini terus 


berlanjut hingga generasi (thabaqli.h) keempat dan kedelapan yang mewakili 


generasi al-Zuhri dan Ibnu Hanbal, maka pada generasi keempat jumlah isntJ.d 


mencapai angka 16 dan pada generasi kedelapan jumlah itu berlipat ganda hingga 


256 jalur. Oleh karen itu, dengan menerapkan deret ukur (geometric progression) 


secara matematis, Abbott menyimpulkan: 


... Using geometric progression, we find that one to two thousand 


Companions and senior Successors transmitting two to five traditions each 


would bring us well within the range of the total number of traditions 


credited to the exhaustive collections of the third century. Once it is realized that the isnll.d did, indeed, initiate a chain reaction that resulted in 


an explosive increase in the number of traditions, the huge numbers that 


are credited to lbn Hanbal, Muslim and BukhAri seem so fantastic after 


all.80 


Argumen-argumen Sezgin dan Abbott ini kemudian diadopsi oleh 


M.M.Azami untuk mempertahankan kesahihan hadis. Dalam dua karyanya, 


Studies in Early Hadith Literature dan On Schacht& Origins of Muhammadan 


Jurisprudence, ia mengoreksi pandangan-pandangan para pengkaji ha.dis di Barat, 


terutama pandangan Schacht Meskipun fokus kajiannya berbeda dengan Sezgin 


dan Abbott, tetapi pendekatannya tetap sejalan dengan keduanya. Dalam buku 


tersebut, ia kembali menegaskan bahwa hadis yang terdapat dalam koleksi hadis 


klasik dapat dipercaya kesahihannya dan tidak ada alasan untuk menolak sistem 


isnll.d karena, menurutnya, sistem isnll.d adalah sistem yang reliable (dapat 


dipercaya). 


Jika orang membaca bagian pertama buku Studies in Early Hadith 


Literature, maka tampak baginya bahwa dalam bah-bah tersebut M.M. Azami 


menyibukkan diri dengan mengkaji aktivitas penulisan sejak periode pra Islam 


hingga berbagai tulisan para sahabat dan tabiin. Hal ini di maksudkan bahwa 


sebenamya sudah ada akitivitas tulis menulis secara intensif pada masa hid up nabi 


saw. Kegiatan ini terns berlanjut pada masa rejim Umayyah. Dengan ini, Azami 


ingin menegaskan bahwa hadis sebenamya telah ditulis, bahkan pada masa hidup 


nabi saw. Ia selanjutnya memberikan daftar ratusan sahabat, tabiin, dan para 


ulama hadis dari tahun 150 H, yang menurutnya telah mencatat hadis, bersama 


dengan nama-nama murid mereka yang menerima ha.dis dari mereka dalam bentuk tulisan. Hal ini berarti bahwa sudah ada tradisi tulis menulis sejak awal 


dan berlcesinambungan yang dapat menjamin kesahihan hadis.81 


Di samping itu, Azami ingin mempertahankan reliabilitas isndd. 


Menmutnya, sejak masa hidup nabi saw., para sahabat secara umum terbiasa 


meriwayatkan hadis nabi kepada orang yang tidak mendengar atau mendatangi 


majlis nabi saw. Ketika mereka meriwayatkan hadis, secara alami mereka 


mengatakan, "Nabi saw. mengatakan demikian", atau "Nabi saw. berbuat 


demikian°. Dan secara alami pula babwa penerima informasi dari seorang sahabat 


yang ingin meriwayatkannya kepada orang ketiga, tentu menyebutkan sumber 


informasi beserta kandungannya secara lengkap. Cara inilah yang kemudian 


melahirkan apa yang disebut sistem isndd yang masih berbentuk sangat sederl.tana 


saat itu. 


Setelah terjadi fitnah, perang antara 'Ali dan Mu'lwiyah (36 H), bukan 


terbunuhnya Walid b. Yazid (126) seperti dikatakan Schacht, orang-orang mulai 


mempertanyakan isndd. Dengan demikian, kata Azami, isndd telah dipakai 


sebelum fitnah, tetapi dalam penerapannya belum begitu sempuma. Mereka 


terlcadang menggunakannya dan di saat lain mereka melalaikannya. Namun 


setelah terjadi fitnah, mereka lebih berhati-hati dan mulai menyelidiki dan 


mengkritik sumber informasi. Dan pada akhir abad pertama, isndd mengalami 


kesempurnaan dalam perkembangannya. 820leh karena itu, pendapat Schacht bahwa isnl1d merupakan bagian sewenang-wenang dalam hadis tidak bisa 


dipertahankan. 


Lebih jauh dikatakan, teori backward projection tidak cukup meyakinkan. 


Adalah sangat sulit, Azami berargumen, untuk membayangkan adanya pemalsuan 


hadis yang dilakukan oleh sejumlah periwayat hadis yang tinggal di tempat yang 


berbeda-beda dan saling berjauhan. Jika benar terjadi, mengapa mereka dalam 


memalsu isnl1d tidak memilih tokoh yang lebih tersohor daripada memilih tokoh 


yang memiliki daya ingat yang lemah? Hal ini, kataAzami, tidalc logis.83 


Di samping itu, Azami juga mengkritik ide Schacht mengenai adanya 


perbaikan dalam isnlld, otoritas tambahan, dan isnlld keluarga sebagai palsu. la 


mengakui bahwa terdapat isnl1d yang cacat ataupun lemah dalam materi ha.dis, 


tetapi ia menolak pemahaman bahwa isnl1d-isnl1d itu menunjukkan gejala yang 


signifikan dalam perkembangan ha.dis. Tentang otoritas tambahan (additional 


authorities) Azami, sebagai tanggapan terhadap Schacht yang memakai argumen 


e silentio, mengatakan bahwa jalur periwayatan lain dari sebuah ha.dis belum 


dihimpun hingga mesa yang relatif belakangan tidak berarti bahwa jalur-jalur 


yang lain itu tidalc ada pada saat hadis ghartb itu dihimpun. Bisa saja saat itu, 


mengungkapkan sebuah hadis dianggap cukup dan tidak ada gunanya untuk 


diulang. Sementara tentang isnlld keluarga, Azami mengatakan, tidak semua isnlld 


keluarga itu sahib dan tidak semua isn&J keluarga itu palsu. Dari bukti-bukti yang 


diajukannya, kata Azami, tidak ada alasan untuk menolak sistem i snlld. Secara keselwuhan, setelah mengkaji contoh-contoh schacht dengan 


berulang kali merujuk kepada sumber-sumber asli, Azami menunjukkan beberapa 


kelemahan Schacht sebagai berikut: tidak konsisten, baik dalam teori maupun 


dalam penggunaaan sumber material, asumsi yang tak berdasar, metode 


penelitian yang tidak ilmiah, berbagai kesalahan terhadap falda, pengabaian 


terhadap realitas politik dan geografis saat itu, salah menafsirkan makna teks yang 


dikutip dan salah memahami metode pengutipan para ulama masa awal.85 


Terlepas apakah orang setuju dengan Azami atau tidak, bahwa ide-ide 


Azami mengenai penulisan hadis, reliabilitas isntld, dan kritiknya yang tajam 


terhadap teori-teori Schacht tentunya tidak mengherankan bagi orang yang sudah 


memahami posisi Azami sebagai pendukung dan pengembang ide-ide Sezgin dan 


Abbott. 


Dalam konteks pemikiran para pengkaji badis moderen di Baral tersebut, 


sejumlah penulis berbeda-beda dalam memposisikan pikiran Juynboll. Ada yang 


menilai Juynboll sebagai pelanjut Goldziber dan Schacht, tetapi ada juga yang 


menempatkannya pada posisi tengah antara Sezgin dan Abbott, di satu sisi, dan 


Goldzhiher dan Schacht, di sisi lain. 


Michael Cook, meskipun secara implisit, menganggap Juynboll sebagai 


pengikut Schacht (Schachtian ). Hal ini dapat dilihat ketika Cook membahas ide￾ide Schacht dan pengikutnya Ia merujuk, selain kepada karya-kmya Schacht, juga kepada tulisan-tulisan Juynboll. Menurutnya, salah satu doldrin dari Schacht dan 


pengikutnya adalah bahwa keberadaan common link dapat dijadikan sebagai bukti 


untuk mengetahui asal-usul dan sumber ha.dis. Dan, perlu diketahui bahwa 


Juynboll adalah pengembang teori tersebut86 dan dalam beberapa hal ia mampu 


memberikan contoh yang lebih spektakuer daripada Schacht sendiri. 


Senada dengan Cook, Wael B. Hallaq cenderung memasukkan Juynboll ke 


dalam kelompok revisionis yang sama-sama berpandangan bahwa dalam sejarah 


Islam, badis nabi pada perlcembangannya telah dipalsukan dan secara bertahap 


dikembalikan kepada nabi saw. walaupun Juynboll mengembalikan somber hadis 


seperempat abad lebih awal daripada Schacht, yakni sekitar tahun 60 hingga 70 


Hijrah .g, 


Berbeda dengan dua penulis tersebut, David Powers setelah membicarakan 


ide-ide Schacht mengenai sejarah dan perlcembangan hukum Islam dan kritik dari 


aliran tradisional terhadapnya, menyatakan bahwa Juynboll mencoba mengambil 


posisi tengah antara orang-orang yang mempercayai otentisitas hadis dan orang￾orang yang meragukannya Pendapat ini didasarkan pada pemyataan Juynboll 


bahwa meskipun ia mengakui, hadis yang berisi laporan-lapocan yang diatributkan 


kepada nabi saw. mendekati gambaran tentang perkataan dan perbuatan nabi saw. 


secara aktual, tetapi para ilmuwan hadis belum pemah mengembangkan satu 


metode yang memungkinkan untuk menunjukkan kesejarahan penyandaran ha.dis secara tepat. Juga berdasarkan pernyataan Juynboll yang tidak mengingkari jika 


para pengikut nabi mungkin saja telah membicarakannya pada tahun 40-an dan 


50-an H setelah nabi meninggal, tetapi kriteria periwayatan informasi mengenai 


nabi yang formal dan memenuhi standar baru dikembangkan pada tahun 670 dan 


700M88 


Sejalan dengan David Powers, Helbert Berg meletakkan pikiran Juynboll 


di dalam "the search for middle ground" (pencarian jalan tengah). Ha ini 


disebabkan karena Juynboll, di satu sisi, eoggan menerima implikasi total dari 


keraguan Goldziher dan Schacht yang membuatnyajatuh ke dalam ketidakpastian, 


tetapi di sisi lain, iajuga menolalc posisi naif dari Sezgio, Abbott, dan Azami serta 


menganggap bahwa penggunaan penyandaran sedemaoa seperti dalam isn8.d 


secarahistoris tidak dapat dipertahankan lagi.89 


Petbedaan penilaian para penulis terhadap pikiran Juynboll tampaknya 


berangkat dari sudut pandang yang betbeda Ada yang menyorotinya dari segi 


paradigma yang dipakai oleh Juynboll dalam studi ha.dis, dao adajuga yang lebih 


memperllatikan hasil temuannya yang sedikit banyak menjembatani gap yang 


sedemikian lebar di antara dua mainstream itu. 


Juynboll sebenamya tidak hanya dipengaruhi oleh pikiran-pikiran 


Goldziher dan Schacht, tetapi juga oleb pikiran para sarjana muslim moderen, 


seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Mahmud Abu Rayyah, dan kawan￾kawannya yang lain. Tetapi pada pertengahan tahun 60-an ketika ia menulis, The Authenticity, ia sadar bahwa ia tidak berada dalam posisi menentang para sarjana 


muslim, tidak pula ia menempatkan diri dalam pertarungan sengit antara studi 


hadis di Timur dan Barat. Karena itu, ia tidak memihak salah satu dari keduanya 


dan berusaha menahan diri untuk tidak terjatuh ke dalam salah satu dari dua 


pandangan tersebut 90 


Pada awalnya, ia berpikir bahwa pandangan para sarjana Timur dan Barat 


mengenai asal-usul ha.dis tampaknya sulit didamaikan dan diselaraskan satu sama 


lain. Namun, pada tahun 1976, ketika ia mulai mengkaji peranan para qlldht 


dalam penyebaran hadis, ide-ide prakonsepsi semacam itu mulai berubah. Ia yakin 


bahwa ada posisi yang dapat diambil di antara pandangan yang diwakili oleh 


sarjana muslim dan Barat. Sejak itulah, ia meneliti hadis secara independen tanpa 


dipengaruhi pikiran siapa pun dengan cara kembali kepada sumber-sumber paling 


awal yang memberinya bukti-bukti yang memadai untuk mempertahankan posisi 


di antara dua kutub ektrem, sebagaimana terdapat dalam kata-katanya sendiri 


berikut ini: 


Then, in 1976, I embarked on an examination of the role early muslim 


qtldts were supposed to have played in the spreadin,g of traditions. My pre￾conceived ideas about the outcome of my investigation were shattered It 


taught me that there was, after all, a conceivable position that could be 


taken between the two points of view represented respectively by Muslim 


and western scholarship. But since that time I no longer wanted to expose 


my self to the influences of either side, and I turned to the earliest sources 


and did my research without constantly comparing my findin~ with those 


of either Oriental or western scholars until after it was all over. Meski demikian, dalam kenyataannya, Juynboll mengakui dirinya lebih 


sejalan den,gan Goldziher dan Schacht, dan tidak dengan Sezgin, Abbott, dan 


Azami. Ia mengaku kagum terhadap karya Schacht, The Origins, tidak hanya 


karena ia memakai dua teori Schacht: teori backward projection dan common link» 


tetapi juga karena cross-reference buku tersebut yang ta.le terhitung yang 


membuatnya berat untuk dibaca dan model penulisaonya yang menjengkelkan 


banyak pembaca di kalangan Barat dan muslim 92 Di samping itu, ia juga 


memposiskan diri sebagai pengembang teori common link, yang dianggapanya 


sebagai teori yang brilian dan belum mendapatkan perhatian serta elaborasi yang 


selayaknya, meskipun oleh Schacht sendiri.93 


Sementara terhadap Sezgin dan Abbott, Azami, ia mengkritiknya secara 


tajam, seperti terungkap dalam pernyataannya di bawah ini: 


Something will always struck me in the work Sezgin, Azami, and also in 


that of Abbott - to which I shall tum in a moment - is that they do not 


seem to realized that, even if a manuscript or a papyrus is unearthed with 


an allegedly ancient text, this text could very easily have been forged by an 


authority given in its isntld. Jsndd fabrication occmTed, as eveiy body is 


bound to agree, on just as vast a scale as matn fabrication. And internal 


evidence gleaned from isndd should always be suspect because of this 


wide-scale forgeiy, exactly as each matn should be schrutinized as to 


historical feasibility and never be accepted on the basis of solely isna.d 


criteria.94 


Juynboll juga mengkritik karya Sezgin dan Abbott secara khusus. 


Menggali dan mendaftar materi hadis, sebegaimana dilakukan Sezgin, adalah 


sesuatu yang berbeda dengan menentukan kesahihannya,· kata Juynboll. Yang dimaksudkan Juynboll dengan menentukan kesahihan adalah jelas. Apakah materi 


ha.dis yang disandarkan kepada otoritas awal tertentu dalam kenyataannya berasal 


dari mereka atau dari otoritas belakangan yang, karena alasan-alasan tertentu, 


ingin muncul lebih tua. Karena itu, ia memproyeksikannya ke belakang secara 


artifisial kepada figur yang lebih tua den lebih membangkitkan rasa hormat 


orang lain. Dengan model pendekatan semacam itu, Sezgin begitu s~a 


menghadirkan materi hadis seolah-olah tidak meragukan kesahihannya 95 


Kritik Juynboll terhadap Abbott kelihatannya lebih rinci daripada kritiknya 


terhadap Sezgin. Secara keseluruhan, kata Juynboll, pandangan Abbott tentang 


kesejarahan literatur ha.dis terlalu romantis. Hal ini disebabkan karena: 


1. Abbott terlalu percaya kepada informasi yang terdapat dalam isnlld clan dalam 


buku-buku tentang isnlld mengenai tiga.thabaqah tertua 


2.Abbott terlalu percaya kepada informasi yang diberikan oleh berbagai sumber 


tentang sikap 'Umar dalam periwayatan hadis sebagaimana iajuga. memiliki ide￾ide yang terlalu rinci dan terlalu tegas mengenai peranan al-Zuhri. 


3. Pembelaan Abbott atas kesejarahan sha}J_ifah keluarga tidak meyakinkan. 


4. Abbott membuat daftar banyak tokoh yang menunjukkan sebagian besar hadis 


yang dianggap telah diriwayatkan oleh para periwayat terteritu tanpa pandang bulu 


clan memberikan kepercayaan yang berlebihan sehingga dapat mengarah kepada 


miskonsepsi yang cukup serius. Pengakuan Juynboll bahwa ia berada di posisi tengah antara pikiran Timur 


dan Barat dianggap sebagai titik lemah oleh R Talmon. Menurut Talmon, asumsi 


dasar metode kritik sumber yang diterapkan Juynboll mensyaratkan bahwa ketika 


otentisitas deskripsi yang terdapat dalam teks hadis belum terbukti secara pasti, 


maka jurang yang terdapat dalam diskripsi itu harus diakui dan secara konsisten 


dipertimbangkan dalam setiap langkahnya untuk merekonstruksi gambaran 


sejarah yang lengkap. Dengan kata lain, tidak ada posisi tengah dalam studi kritik 


sejarah. Karena itu, Talmon lebih cenderung kepada kesimpulan Cook yang 


mengaku tidak mampu memecahkan persoalan otentisitas hadis karena tidak 


adanya kriteria obyektif Kesimpulan seperti itu dianggapnya lebih tegas daripada 


kesimpulan Juynboll97• 


Adalah tepat jika disimpulkan bahwa dari segi paradigma yang dipakai, 


Juynboll adalah pengikut Schacht dan dengan demikian tergolong aliran 


revisionis, tetapi jika diamati basil temuannya mengenai asal-usul dan otentisitas 


hadis, maka tidak dapat diingkari bahwa ia berada di tengah-tengah perdebatan 


sengit antara pendekatan "revisionis", di satu sisi, dan pendekatan "tradisional", 


di sisi lain. 


Hasil temuannya yang dapat dijadikan indikasi ke arah _tersebut, misalnya, 


tentang interpretasi fitnah sebagai awal kelahiran isndd dan tentang awd 'il. Jika 


Schacht berpendapat bahwa fitnah dalam perkataan Ibnu Sirin mengenai awal 


mula kelahiran isndd adalah fitnah terbunuhnya khalifah Bani Umaiyyah, Walid 


b. Yaz'id pada tahun 126/744 dan Azami menganggap ide Schacht ini sebagai penafsiran sewenang-wenang seraya menyatakan bahwa fitnah tersebut adalah 


peperangan Ali dan Mu'awiyah (39 H),98 maka Juynboll mengambil jalan tengah, 


dengan menyatakan bahwa fitnah itu adalah fitnah Ibnu Zubayr (63-73 H), yang 


merupakan permulaan bagi kelahiran isndd.99 


Di samping itu, berdasarkan awd 'il, setelah Nabi Muhammad saw. 


meninggal, para qushshds merupakan kelompok pertama yang bercerita tentang 


nabi saw. Jsnlld tentu saja belum ditempelkan pada laporan-laporan propetik ini. 


Dikatakan bahwa Sya'b1 (w. 103-110/721-728) adalah orang pertama yang 


mempertanyakan otoritas dalam bentuk isnad kepada seseorang dan Syu'bah bin 


al-HajjAj (w. 160/777) adalah orang pertama yang memeriksa dan menguji 


kebenaran isnlld. Dengan demikian kritik hadis secara sistematis barn berawal 


sekitar tahun 130/74 7. 100 


Dari sini, ia mencoba menggambarkan kronologi perk:embangan hadis. Ia 


mengakui bahwa orang-orang muslim mungkin saja mulai mencatat hal-hal yang 


terkait dengan nabi semasa hidupnya, tetapi hal itu tidak dalam skala yang cukup 


siginifikan. Bukti-bukti yang terdapat dalam awd 11 dan koleksi hadis 


menunjukkan bahwa proses periwayatan hadis yang terukur berk:embang begitu 


terlambat. Dengan te gas, ia mengatakan: 


The awd 'il evidence collected here converges, I think, on one conclusion, 


that is that the earliest origins of standardized hadith cannot be traced back Temuan-temuan semacam ini dapat dijadikan sebagai bukti oleb para 


penulis, seperti David Powers dan Herbert Berg, untuk meletakkan pikiran 


Juynboll di posisi tengab antara klaim aliran tradisional dan revisionis, walaupun 


dari sudut metodologi yang dipakai, seperti dikaji pada bah JI, ia lebih tepat 


dikatakan sebagai Schachtian (pengikut Schacht). sebagaimana dikatakan oleb 


Cook. G.HA Juynboll telah menggunakan teori common link untuk menyelidiki 


asal-usul dan sejarah awa1 periwayatan ha.dis selama dua puluh tahun terakhir ini. 


Teori ini berpijak pada asumsi dasar bahwa semalcin banyalc jab.Jr periwayaten 


yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju kepadanya atau yang 


meninggalkannya, semalcin besar seorang periwayat dan jalur periwayatannya 


memiliki klaim kesejarahan. Dengan kata lain, jalur periwayatan yang dapat 


dipercaya sebagai jalur historis adalab jalur yang bercabang ke lebih dari satu 


jalur. Sementara jalur yang berkembang ke satu jalur saja, yakni single strand, 


tidak dapat dipercaya kesejarahannya Namun basil riset ini menunjukkan bahwa 


asumsi ini tampaknya kurang meyakinkan. 


Secara praktis, asumsi tersebut diterapkan Juynboll melalui metode 


analisis isndd yang terdiri atas beberapa langkah berikut ini: 1) menentukan ha.dis 


yang diteliti 2) menelusmi hadis di berbagai sumber aslinya 3) menghimpun 


seluruh isnlld hadis 4) merekonstruksi seb.uuh jalur isntld dalam sebuah bundeJ 


isntld dan 5) mendeteksi seorang periwayat yang menduduki posisi common link. 


Juynboll mengembangkan teori common link setelab mengetahui babwa metode 


laitik ha.dis yang ditawarkan oleh mu

b_additsfln masih kontroversial karena 


memiliki beberapa keJemahan yang cukup mendasar dan tidak mampu 


memberikan kepastian mengenai sejarah periwayatan ha.dis. 


Dalam kenyataannya, teori common link dengan metode analisis isnddnya 


berbeda dengan metode kritik hadis di kalangan ahli hadis karena keduanya berpijak pada premis-premis yang berbeda secara total. Akibatnya, teori tersebut 


benar-benar membawa implikasi dan konsekwensi yang berbeda pula yang 


mengejutkan ahli hadis pada khususnya dan umat Islam pada umumnya. Di antara 


implikasi dan konsekwensi dari teori Juynboll tersebut adalah: pertama., materi 


hadis yang terdapat dalam berbagai koleksi hadis tidak bersumber dari nabi saw. 


atau sahabat, tetapi berasal dari generasi tabiin kecil dan generasi tabiit tabiin. 


Kedua., metode kritik hadis memiliki banyak kelemahan yang menimbulkan 


kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadis 


kepada nabi saw. Oleh sebab itu, metode kritik hadis tersebut tidak hanya 


memerlukan revisi, tetapi juga seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan metode 


itu harus dirombak. Ketiga., teori mutawdtir lofih1 dalam hadis sebenarnya tida.k 


pemah terjadi dan tidak dapat diterapkan sedangkan tawtitur ma 'nawt hanya 


terjadi pada sejumlah hadis yang terbatas dan dengan la.iteria yang tidak baku dan 


tidak tersusun dengan jelas. Keempat, Syu'bah b. al-HajjAj terlibat dalam 


pemalsuan berbaga.i ha.dis, seperti ha.dis anti-kddzib, yakni hadis man kadzaba. 


Syu'bah juga terlibat dalam penyebaran berbagai hadis lainnya., seperti hadis 


sam 'an wa tha 'atan, hadis man sanna sunnatan l!asanatan, hadis-hadis fadhll 'il 


dan hadis-hadis eskatologis. Kelima., historisitas isnlld keluarga, seperti isn&I 


Malik-Ntii' - Ibnu 'Umar diragukan karena dua hal: kesejarahan tokoh Ntii' 


dan hubungan glU1J-murid antara MAiik dan NA:fi '. 


Berbagai implikasi yang ditimbulkan oleh teori common link Juynboll 


memberikan indikasi yang sangat kuat bahwa ide-ide Juynboll tentang sejarah 


awal periwayatan hadis lebih dekat clan lebih sejalan dengan Goldziher dan Schacht, dua orang pendahulunya yang merupakan wakil utama dari kelompok 


revisionis. Dalam banyak hal, baik teori maupun basil temuannya tidak lebih dari 


syarb. dan perluasan atas ide-ide Goldziher dan Schacht Sebaliknya, pendapatnya 


tentang hal tersebut berbeda dengan pendapat Abbott, Sezgin dan Azami dari 


aliran tradisional. Meskipun demikian kita tidak dapat mengingkari bahwa dalam 


beberapa hal, temuan Juynboll tentang asal-ususl hadis tampaknya berada di 


posisi tengah antara kelompok tradisional dan revisionis. 


Verifikasi teori common link berdasarkan hadis tentang syahadat dan 


rukun Islam membuktikan bahwa seorang periwayat yang menduduki posisi 


common link dalam sebuah bundel isndd berasal dari generasi yang beragam. Ada 


yang termasuk generasi sahabat kecil seperti Ibnu 'Umar (w. 74 H); ada yang 


berasal dari generasi tabiin, seperti Abft Zur'ah (w. kira-kira awal abad II H) dan 


Abft Suhayl b. Mfilik (w. setelah 140 H); dan ada pula yang tergolong generasi 


tabiit tabiin, seperti Kahmas b. al-Hasan (w. 149). Tidak ada seorang periwayat 


dari generasi sahabat besar yang menjadi common link bagi beberapa blllldel i snli.d 


. hadis di atas. Tidak dapat diingkari bahwa generasi tabiin lebih sering berperan 


sebagai common link daripada generasi sahabat kecil atan generasi tabiit tabiin. 


Hal ini adalah wajar karena selain relatif sedikitnya jumlah sahabat keciJ yang 


meriwayatkan hadis, juga karena pada masa sahabat kecil hadis baru disebarkan 


secara publik 1 


Akibatnya, belum banyak periwayat hadis dari kalangan sahabat kecil 


yang menyebarkan hadis ke banyak murid. Sementara pada masa tabiin, kebutuhan akan hadis semakin dirasakan oleh masyarakat Islam saat itu; jumlah 


tabiin yang meriwayatkan hadis juga relatif lebih banyak daripada jumlah sahabat 


kecil; dan sudah banyak pula para tabiin yang mengajarkan hadis secara publik 


dan sebagai akibatnya mereka memiliki lebih banyak murid. Inilah yang 


mengakibatkan para tabiin lebih sering menempati posisi common link daripada 


para sahabat kecil. 


Perlcembangan isndd sebuah OOdis tampaknya tidak sama satu sama lain. 


Kadang-kadang sebuah isndd telah berkembang sejak masa sahabat kecil, tetapi 


ada juga yang baru bercabang di masa tabiin atau tabiit tabiin Hal ini sekaligus 


menunjukkan bahwa perkembangan isnfl.d tidak berjalan secara seragam, tetapi 


bervariasi. Beberapa bundel isn&J di atas memberikan indikasi bahwa isnlld 


berkembang dari separuh kedua aba.d pertama hingga. separuh kedua abad kedua 


Inilah periode di mana isnlld berkembang dan bercabang dari jalur tunggal ke 


banyak jalur belakangan. Masa peralihan antara periode periwayatan secara 


individual ke periode perlwayatan secara publik pada perkembangannya menjadi 


titik tolak bagi perkembangan awal isn&J dari jalur tunggal (single strand) ke 


beberapa cabang atau jalur di masa belakangan. 


Dengan demikian, studi ini menunjukkan bahwa common link a.dalah 


orang pertama yang menyebarkan hadis dengan kata-katanya sendiri secara 


publik, tetapi maknanya tetap memiliki kesinambungan den88Jl masa yang lebih 


tuadaripadadirinyasendiri. Kahmas b. al-Hasan (w.149) tidak mungkin dianggap 


sebagai pemalsu hadis karena versi yang dilaporkannya menunjukkan persamaan 


substansi dengan versi-versi yang lebih tua, yakni versi AbO Zur'ah (w. kira-kira 6awal abad II H) dan versi Abf.t Suhayl (w.140). Dua orang periwayat terakhir ini 


juga tidak mungkin dinyatakan seba,gai pemalsu hadis karena laporannya 


menunjukkan persamaan substansi dengan laporan yang berasal dari swnber yang 


lebih t~ yakni Ibnu 'Umar (w. 74 H). 


Oleh karena itu, pendapat Juynboll yang mengatakan bahwa common link 


adalah seorang pemalsu (fabricator) atau pencetus (originator) hadis adalah keliru 


dan tidak berdasar. Selain itu, jalur tunggal (single strand) tidak selamanya 


merupakan jalur yang dipalsukan dan tidak memiliki klaim kesejarahan sama 


sekali. Oleh karena itu, untuk menduduki posisi common link seorang periwayat 


hadis tidak harus didukung oleh dua orang periwayat yang sama-sama memainkan 


peranan sebagai partial common link, tetapi dapat juga didukung hanya oleh 


beberapa jalur tunggal yang dapat dipercaya Dengan demikian, membuang jalur 


tunggal hanya ataB dasar bahwa ia adalah jalur tunggal adalah tidak tepat. Untuk 


memastikan apakah sebuahjalur tunggal dapat dianggap sebagaijalur historis atau 


tidak, seseorang seharusnya meneliti jarak antara masa hidup seorang murid 


dengan masa hidup gurunya dan selanjutnya mencari bukti-bukti tentang 


kemungkinan perjumpaannya 2 


Interpretasi yang sama juga dapat diterapkan pada jalur penyelam (diving 


strand). Jalur penyelam adalah jalur lain dari seorang kolektor hadis yang tidak 


bertemu dengan jalur kolektor lainnya Menyatakan bahwa jalur penyelam adalah 


palsu hanya karena ia merupakan jalur tunggal juga tidak dapat dibenarkan. Menolak sebuah jalur isndd barns didasarkan pada bukti-bukti yang lebih kuat. 


Dan sampai sekarang tidak ada bukti yang lebih kuat daripada kembali kepada 


sumber-sumber biografi para periwayat, baik karya-karya di bidang al-Jarfl. wa al￾Ta 'dfl maupun buku-buku sejarah. Adanya jalur-jalur isndd yang berupa jalur 


tunggal atan jalur penyelam yang dipalsukan seharusnya tidak mendorong seorang 


peneliti hadis untuk menyimpulkan bahwa semuajalur tunggal danjalur penyelam 


adalah palsu dan bahwa jalur tunggal dan jalur penyelam yang otentik tidak dapat 


dipisahkan dari jalur tunggal dan jalur penyelam yang palsu. 


Yang lebih penting lagi, sebuah matan ha.dis seringkali lebih tua daripada 


common linknya sendiri. Analisis ates ha.dis tentang syahadat dan rukun Islam 


memberikan bukti kepada kita bahwa substansi matan ha.dis yang disebarkan oleh 


. beberapa orang common link tersebut ternyata bersumber dari anggota keluarga 


'Umar b. al-KbatbthAb, yakni 'Umar dan anak laki-lakinya, Ibnu 'Umar, dan Abft 


Hurayrah. 


Analisis matan atas berbagai varian seringkali memberikan bukti yang 


lebih tepat daripada analisis isndd. Sayangnya, Juynboll tidak mengembangkan 


analisis matan secara lebih memadai, sementara ia sendiri mengkritik bahwa 


metode kritik ha.dis di kalangan mub_additstn banya menekankan studi isn&i, 


tetapi tidak memperhatikan studi matan. Untuk mengidentifikasi seorang 


periwayat yang menduduki posisi common link, seorang pengkaji ha.dis tidak 


dapat bersandar pada basil analisis isndd semata, tetapi sebarusnya memperbaiki 


dan menyempwnakannya dengan menggunakan analisis perbandingan matan. 


Pada akhimya, analisis atas blUldel isnad hadis tentang sybadat dan rukun Islam menunjukkan bahwa perlcembangan awal badis nabi saw. tidak seperti yang 


digambarkan oleh Juynboll, tetapi lebih sesuei dengan diagram 28 di bawah ini: 


~ ~ I 


Common link Sahabat 


Nahisaw. 


Diagram28 


~ commr• link 


(Ttiin) 


Sahabat 


Dengan demikian, sebenarnya sejak awal badis telah diajarkan oleh Nabi 


Muhammad saw. kepada sejumlah sahabat. Hanya saja, karena adanya beberapa 


larangan dan hambatan dalam kegiatan periwayatan hadis pada masa awa1 Islam, 


kegiatan periwayatan hadis kemudian lebih banyak bersifat pribadi daripada 


bersifat publik. Inilah yang mengakibatkan sebuah badis diriwayatkan oleh jalur￾jalur tunggal yang merentang dari common link ke nabi saw. dan barn bercabang 


setelah periwayat yang menempati posisi common link. 


Dari beberapa bukti tersebut, adalah tepat jika disimpulkan bahwa teori 


common link yang dikembangkan oleh Juynboll dapat diterima validitasnya 


sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadis. Teori tersebut paling 


tidak dapat memberikanjawaban yang lebih akurat dan memadai mengenai kapan, 


di mana dan oleh siapa sebuah badis disebarkan secara publik. Meskipun 


demikian, beberapa interpretasi Juynboll atas fenomena common link. jalur 


tunggal (single strand), dan jalur penyelam (diving strand) tampaknya tidak 


meyakinkan dan patut dipertanyakan serta direvisi karena mengandung banyak menyel8111 yang mtawarlam dal8111 etudi iDi tBmpalmYll belbeda deog&D 


iolefPl""'B8i Juyoboll clan sangal berbeda dengall ~i Michael Cook dan 


Nonnan Calder· ~ ............ itu lebih dekal dengall l<Bsi•'"' Harald 


Motzki dan David S. Powers.