islam 12
, seti
daktidaknya dari kaca mata negaranegara yang memerdeka
kan diri dari penjajahan. Namun anehnya, perang ArabIsrael
dalam tahun 1948, hanya oleh orangorang Israel saja dianggap
sebagai perang kemerdekaan. Karena orangorang Israel meli
1 Adolf Hitler (18891945) adalah Konselir Jerman dari 1933 sampai me
ninggalnya 1945 karena bunuh diri di bunkernya di Berlin. Ia juga pemimpin
Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional (Nationalsozialistiche Deutsche Arbeit
er Partei—NSDAP) yang dikenal dengan Partai Nazi. Pada periode PD I hingga
PD II, tentara Jerman di bawah komando Hitler menguasai Eropa. Kebijakan
rasisnya telah membunuh sekitar 11 juta jiwa di Eropa, termasuk enam juta di
antaranya kaum Yahudi, yang kemudian dikenal sejarah sebagai Holocaust.
2 Jenderal Hideki Tojo (1884 1948) adalah Perdana Menetri Jepang ke
40, 19411944. Sebelumnya ia menjadi tentara yang terlibat langsung pada PD
I dan PD II. Selama PD II ia memimpin Jepang untuk terlibat dalam Perang
Pasifik. namun setelah serangkaian kekalahan tentara Jepang dalam perang
ini , ia dipaksa mundur dan akhirnya menjauh dari pemerintahan.
dapatkah kita Hindarkan
Perang dunia ke tiga?
hat gerakangerakan Hagana, yang dipimpin Menachem Begin4
sebagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia
tidak mau mencatatnya demikian.
Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerak
an pembebasan” yang berdasarkan marxismeleninisme, seperti
di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berda
sarkan ideologi keagamaan tertentu, seperti PanIslamisme dari
al-Afghani hingga Abu al-A’la al-Maududi5 di Pakistan, semua
nya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk merebut
kekuasaan dan memaksakan visi masingmasing atas bangsa
yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka.
Berbeda dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideo
logis, di Turki gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erbakan
kemudian “terpaksa” mengadopsi pikiranpikiran sekuler dalam
partai politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan baru
baru ini memenangkan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. De
ngan kata lain, ketidakpuasan bangsa Turki atas pendekatan poli
tis antiagama dan pendekatan teknokratis dalam pembangunan
3 Hagana adalah cikal bakal organisasi tentara Israel. Didirikan tahun
1920 di daratan Palestina. Ditujukan sebagai gerakan bawah tanah kaum Ya
hudi untuk mempertahankan diri. Gerakan ini tersebar di berbagai kota dan
kelompok di negara itu. Setelah didirikannya Negara Israel, gerakan Hagana
menjelma menjadi pasukan pertahanan Negara Israel.
4 Menachem Wolfovitch Begin (1913 – 1992) adalah pemimpin Partai Li
kud dan bekas Perdana Menteri Israel 1977. Pria kelahiran Polandia ini adalah
penandatangan perdamaian Israel dan Mesir yang menghebohkan yang kemu
dian berujung pada berdirinya negara Israel. Dan di lain pihak menyebabkan
Presiden Anwar Sadat di tembak mati oleh mereka yang menentangnya. Berkat
perjanjian perdamaian itu, Begin bersama Presiden Mesir Anwar Sadat mem
peroleh Hadian Nobel Perdamaian tahun 1978.
5 Abu al-A’la al-Maududi (1903- 1979) dikenal sebagai pendiri Jama’at-
iIslami, sebuah organisasi Islam berpengaruh di Pakistan, pada tanggal 21
Agustus 1941 dan kemudian menjadi pemimpin spiritualnya. Pada tahun 1924,
Maududi melibatkan diri dalam gerakan Khilafa—yang juga bercorak nasio
nalis—dan didukung baik oleh Muslim League maupun Partai Kongres. Pada
tahun itu juga Maududi menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Inggris
ke bahasa Urdu untuk menyokong gerakan nasionalisme India. Sampai pada
tahun 1925an, Maududi pun menggunakan pakaian bergaya Barat. Namun
perkembangan yang berbalik ke arah fundamentalisme bermula pada tahun
1927, saat ia menerbitkan risalah kecil yang kemudian menjadi terkenal, ber
judul al-Jihad fi al-Islam. Penulisan risalah ini dilatarbelakangi oleh kerusuh
ankerusan besar antara kaum Hindu dan Islam yang menyebabkan jatuhnya
ribuan korban.
?
oleh partai–partai politik yang berkuasa, akhirnya membawakan
sesuatu yang baru: Islam membawa akhlak agama yang dirindu
kan, namun tidak menciptakan negaraagama yang penuh dengan
segala macam keruwetan.
Seperti persoalan di Turki ini juga, yang melatarbelakangi
tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia kepada sejumlah par
tai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organisasi Buddha ter
besar di dunia, berada di belakang Partai Komeito, (partai ber
sih), yang sekarang menjadi partner junior dalam peme rintahan
Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), se
bagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di belakang BJP
(Barathiya Janata Party) yang dipimpin Perdana Menteri Atal
Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain
al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madzhab) pimpinan
Ayatullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh moderat Mohammad
AlKhatami —yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu
menunjukkan bangkitnya kembali paham keagamaan “nonle
galis dan nonideologis” di negaranegara itu.
Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuh
nya menggunakan acuanacuan Barat yang positivistik dan tekno
kratik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari
“bangsabangsa Barat”, telah membawa keteganganketegangan
baru dalam hubungan antar kelompok di negaranegara sedang
berkembang. Baik di dalam negeri masingmasing, maupun di ka
langan anakanak mereka yang belajar di “negerinegeri Barat”,
segera muncul semacam kesadaran harus melakukan sesuatu
untuk melaksanakan —dalam beberapa hal tertentu memaksa
kan— moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang mereka
kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedikitnya
pengenalan mereka akan sejarah Islam yang panjang —yang se
nantiasa bersandar pada proses reinterpretasi ajaran agama—,
akhirnya menumbuhkan “kebuAllah ” akan tindak kekerasan,
yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalang
an gerakangerakan Islam.
Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, karena
tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga di
perparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai
masyarakat Muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap
LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerin
tah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah,
di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga ha
rus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang ti
dak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar,
dengan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak
melawan pemerintah. Karena itu pula mereka harus meniadakan
perlawanan politis kepada pemerintah sendiri, namun melawan
“materialisme Barat” dengan tindaktindak kekerasan. Barulah
setelah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer ter-
tentu, mereka lalu membantu “orangorang dangkal” di berbagai
bilangan dunia, termasuk di negaranegara Asia Tenggara yang
tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang
dalam abadabad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak
berumur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam”, yang ber
sifat mesianistik.
Hal yang bersifat antropologis yang menandai muncul
nya berbagai usaha teroris di kalangan kaum Muslimin, adalah
hilangnya pembedaan antara institusi dan kultur. Gerakan
gerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upaya
upaya kultural, —seperti pendidikan agama, pengelolaan harta
bendabenda kaum Muslimin (wakaf), pemunculan berbagai
manifestasi kultural, seperti ziarah ke makammakam suci dan
penggunaan simbolsimbol agama seperti shalawat dan kegiat
an seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan
dalam kehidupan masyarakat, dengan tidak memberikan tem
pat kepada upayaupaya institusionalisasi yang dibawakan oleh
“kaum pembaharu” itu.
Dilihat dari berbagainya sudut pandang Muslim Sunni tra
disional dan manifestasi tindakan kaum Muslimin di seluruh du
nia, jelas tidak dapat digunakan pendekatan “berlatar belakang
terorisme” belaka. Ada berbagai reaksi antara bermacammacam
masyarakat Islam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tung
gal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya
demokratisasi dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan
persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undang
undang, bagi beberapa kaum Muslimin Sunni tradisional tidak
dianggap sebagai langkah menuju “pemBaratan”. Oleh karena
itu, tidak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal
?
harus dianggap sebagai sikap antiBarat, melainkan pertanda
sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”. Jelas upaya
mereka itu tidak menggunakan kekerasan seperti beberapa par
taipartai Islam di Indonesia, PAS di semenanjung Malaysia dan
berbagai wilayah kaum Muslimin yang lain. Karenanya, kita ha
rus bersikap hatihati dalam hal ini, dan tidak menganggap se
tiap upaya nonliberal sebagai musuh dari lingkungan antidemo
krasi.
Namun tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam ha
rus diwujudkan dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang
khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghor
matan sangat tinggi kepada para ulama —dalam masyarakat Is
lam, mereka adalah penentu pendapat umum masyarakat. Selain
itu perlu dicari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha
kaya dalam masyarakat Muslim yang semakin lama semakin
canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal
ini, akan membuat masyarakat Muslim di manamana menjadi
korban kepentingan kelompok birokrat maupun pengusaha kaya
yang ada, sementara kelompok muslim itu tidak mengenal waris
an tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kembali ajaranajar
an Islam sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Dengan sendi
rinya penafsiran mereka hanya bertujuan mencapai kebuAllah
jangka pendek mereka sendiri akan sangat dominan.
Apa yang diperbuat mantan Presiden Soeharto dari Indone
sia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat digunakan
sebagai contoh dalam hal ini. Soeharto, yang tidak memiliki pe
ngetahuan mendalam akan sejarah Islam, menganggap penguat
an institusional bagi kaum Muslimin di negaranya, sebagai cara
terbaik untuk memperoleh dukungan masyarakat Muslimin di
Indonesia bagi pemerintahannya, yang semula didukung oleh
ABRI/birokrasi/Golongaan Karya sebagai “partai pemerintah”.
Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintah
annya yang semakin melemah, dalam bentuk dukungan kongkrit
kepada kaum Muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cen
dikiawan Muslim Indonesia (ICMI)6. Ia melupakan NU sebagai
6 Organisasi ini didirikan pada tanggal 7 Desember 1990, pada sebuah
simposium yang menghimpun sekitar lima ratus cendekiawan muslim Indone
sia bertema “Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI” di Malang Jawa
Timur. Ketua Umum ICMI untuk pertama kalinya (19911995) adalah Prof. Dr.
Ing. B.J. Habibie.
kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan mani
festasi kultural Islam, dan melupakan kebuAllah institusional
golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira
yang dididik secara Barat, Soeharto mengabaikan aspekaspek
kultural dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum
Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia terasing dari dua ke
lompok masyarakat luas yang sangat berpengaruh: kaum Muslim
Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik
oleh “sistem Barat” dan tidak mementingkan gerakangerakan
Islam lagi, seperti kaum profesional, pengusaha, intelektual dan
mahasiswa. Akibat lainnya, Soeharto tidak kuat menghadapai
tekanan demokratisasi, apalagi saat para politisi “mencuri”
isu demokratisiasi dan reformasi di Indonesia, maka Soeharto
tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menunjukkan, betapa
salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil golongan Islam.
Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan
sekian banyak institusi keagamaan bagi kepentingan memeli
hara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.
Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan
gerakangerakan Islam. Setelah “manipulasi” itu tidak lagi dini
lai sebagai satusatunya kebuAllah menjaga kepentingan bangsa
—sebagaimana dirasakan para ulama di Indonesia—, maka upa
ya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di
negeri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebuAllah kaum Mus
limin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Par
tai Kebangkitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai
pemenang mayoritas tunggal dalam pemilu Indonesia tahun de
pan. Ini tampak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati
komunikasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bang
sa Indonesia. Kalangan Kristen, kelompokkelompok minoritas
etnis (seperti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bang
sa, kaum profesionalintelektualmahasiswa mendukung partai
itu, karena melalui dukungan itu mereka mengharapkan bentuk
bentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatulistiwa ini.
Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, disamping mempelo
pori proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampak
dampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin
radikal.
Hasil dari upaya ini tidak akan lama lagi, jika negeri ini men
jalankan dua hal. Pertama, haruslah dikembangkan pendapat
yang mencoba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi
fungsifungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan ber
bagai tindakan demokratisasi. Dan kedua, adalah penegakkan
demokrasi di negeri berpenduduk puluhan juta manusia yang
menginginkan kehidupan demokratis bagi bangsa ini , yang
berintikan penegakan kedaulatan hukum.
Dari uraianuraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk
memerangi terorisme yang dilakukan oleh golongangolongan
Muslimin radikal di Indonesia, dengan ujung peledakan bom di
Bali, diperlukan langkahlangkah berikut.
Pertama, kemampuan membedakan secara tajam antara
kelompok kultural dan kelompok institusional, di antara berba
gai kelompok–kelompok kaum Muslimin di negeri itu. Kedua,
dilakukan pengenalan mendalam dan penyebaran konsepkon
sep memajukan warga masyarakat Muslim di negeri itu, dari
kemiskinan yang masih melatarbelakangi prosentasi sangat be
sar dari penduduk secara keseluruhan. Ketiga, mengoptimalkan
kembali kemampuan bangsa Indonesia menekan pertumbuhan
penduduk, hingga pertengahan 1995 pertumbuhan penduduk
hanya 1,6% tiap tahun, berarti penambahan penduduk seki
tar 3,5 juta jiwa, tapi sejak beberapa tahun terakhir ini kembali
menjadi 3,5%. Pemerintah yang sekarang ini berkuasa, tidak
mampu menekan kenaikan absolut jumlah warga negara yang
justru dirugikan oleh programprogram pembangunan yang ti
dak memiliki wawasan kependudukan. Keempat, sikap arogan
mereka yang merasa “berjuang secara fisik untuk Islam”, harus-
lah diatasi paling tidak oleh pemerintah. Tindakan menghukum
mereka itu haruslah diusahakan, karena sebenarnya bertujuan
menghilangkan sikap arogan yang selalu merasa benar dan me
nganggap pihakpihak lain salah. Karenannya tindakan kepala
team Polri yang menangkap mereka yang disangka melakukan
terorisme dengan meledakkan bom di Bali (Imam Samudra,
Amrozy dan sejumlah temannya yang lain) dengan memasukkan
I Made Pastika dan Edy Darnadi ke dalam team ini , jelas
merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memberlakukan
keinginan menghukum itu.
Terserah kepada buktibukti legal yang diperoleh, memiliki
kekuatan untuk itu atau tidak, namun jelas itu merupakan lang
kah pertama untuk menindak terorisme yang berbaju agama. Di
sini berlaku apa yang dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah
Agung Mesir, AlAsymawi, bahwa selama tiap tindakan hukum
di bidang pidana memiliki unsur hukuman dan cegahan (punish-
ment and deterrence), selama itu pula ia dapat disamakan de
ngan hukum pidana kanonik yang terdapat dalam hukum Islam
(fiqh). Dengan demikian, salah satu keberatan para teroris yang
diadili itu, melalui para pengacara mereka, bahwa mereka tidak
dapat dikenakan tindakan legal berdasarkan “Hukum Barat”,
seperti hukum Pidana Indonesia saat ini yang dikodifikasikan
dalam KUHAP (Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana),
tertolak dengan sendirinya.
Di samping upaya hukum itu, diperlukan pengamatan ke
tat dari pihak intelijen, guna menangkal upayaupaya teroris
tik, sebelum hal itu terjadi. Ini sangat diperlukan karena letak
geografis Indonesia yang sangat memudahkan langkah-langkah
mempersiapkan terorisme internasional di dalam negeri, de
ngan bantuan keuangan dan latihanlatihan dari luar kawasan
Asia Tenggara. Jumlah pulau Indonesia sebanyak 17.000 buah,
dengan 4.000 buah diantaranya tanpa penghuni, adalah sesuatu
yang sangat mudah bagi gerakangerakan teroris internasional
untuk menciptakan kondisi matang bagi terorisme. Apa yang di
lakukan gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, merupakan buk
ti adanya watak internasionalistik dari tindakantindakan teror
yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara. Jika gerakan ini
punya kaitan dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) atau
MNLF (Moro National Liberation Front), jelas adanya watak in
ternasional dari gerakan ini merujuk kepada penanganan
lebih menyeluruh dari pihak internasional di bawah koordinasi
Pemerintah Filipina.
Kegagalan menciptakan mekanisme yang diperlukan un
tuk menangani terorisme itu, akan membawa konsekuensikon
sekuensinya sendiri, seperti perkembangan di Australia dan Je
pang serta reaksireaksi balik dari “negerinegeri sosialistik” di
kawasan pasifik selatan. Belum lagi kalau dilihat kemungkinan
bersambungnya gerakan ini dengan terorisme “bertopeng”
agama Islam yang berkembang secara domestik di Indonesia.
Tindakantindakan hukumlah yang akan membuktikan, apakah
yang terjadi di Indonesia juga merupakan sesuatu yang berwatak
internasional. Memang ada oknumoknum dari berbagai gerak
an Islam di Indonesia yang tampak memiliki hubungan dengan
MILF dan MNLF di Filipina Selatan, namun masih terlalu dini un
tuk melihatnya sebagai jaringan terorisme internasional.
Hal kelima yang harus dilakukan, adalah memberikan infor
masi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada generasi
muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemujemu
nya harus diberikan keterangan, bahwa dalam perkembangan
nya, Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali,
dan tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) kepa-
da proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpama
nya, “Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di muka
umat-umat lain pada hari kiamat”, seharusnya maksud sabda
itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti yang banyak
diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. Karenanya
tidak ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana se
lama tidak menghilangkan wewenang reproduktif yang ada di
tangan Allah atas umat manusia, dengan melaksanakan kontra
sepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah.
Di samping itu diperlukan pula pengembangan pemikiran
kaum muda bangsa ini, dengan memaparkan bahwa kawasan
Timur Tengah tidak memiliki tradisi LSM yang kuat, sehingga
kritikkritik terhadap pemerintahan mereka harus dilaksanakan
di bawah tanah, maka kritikkritik terbuka itu diarahkan bu
kan kepada pemerintah sendiri, melainkan kepada “cara hidup
Barat”. Inilah yang kemudian masuk ke dalam pola pemikiran
Samuel Huntington dengan teori perbenturan budayanya (Clash
of Civilization) yang terkenal itu. Huntington lupa bahwa tiap
tahun, puluhan kalau tidak ratusan ribu pemuda Muslim belajar
“teknologi Barat”, yang berarti juga terjadinya akomodasi buda
ya antara Islam dan Barat.
Proses saling belajar seperti itu, jika tidak dijelaskan de
ngan baik, justru akan membuat para pemuda Muslim cende
rung menganggap Barat sebagai musuh, dan dengan demikian
membuat mereka menggunakan kekerasan melawan apa yang
mereka anggap sebagai “musuh” itu. Perbedaan persepsi dari
proses besar itu, justru digunakan oleh tokohtokoh Islam yang
melihat “bahaya” dari perjumpaan akomodatif antara Islam dan
Barat itu. Apalagi, jika di dunia Barat sendiri lahir kelompokke
lompok yang “benci” kepada peradaban Barat itu sendiri, seperti
Louis Farrakhan7 di Amerika Serikat.
Dalam hal ini, studi kawasan Islam (Islamic Area Studies)
sangat diperlukan, karena dengan demikian akan nampak per
bedaan cara hidup kaum Muslimin dari sebuah kawasan ke ka
wasan lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepada
Universitas PBB di Tokyo dalam tahuntahun 80an, dunia Is
lam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masya
rakatmasyarakat Muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan
Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya TurkiPersiaAf
ghan, kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India
dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan minoritas
Muslim di negerinegeri berteknologi maju. Sekarang ini kita
cenderung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang
diperlukan adalah studi kawasan regional. Ini saja sudah menun
jukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen dengan kerja
dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak me
lakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu ber
imbas pada sikap bersama kita terhadap tindakantindakan para
teroris. h
7 Lahir dengan nama Louis Eugene Walcott pada 11 Mei 1933 di kawasan
Bronx, New York. Louis menjadi pemimpin the Nation of Islam sebuah komu
nitas muslim terbesar di Amerika Serikat.
?
Sewaktu penulis berkunjung ke Boston, kota pelajar di Ameri
ka Serikat (AS), bulan September 2002, penulis diminta
memberikan ceramah bagi sejumlah mahasiswa asing di
Kennedy School of Government Universitas Harvard. Penulis di
minta para mahasiswa ini melalui anak penulis Zannuba
Arifah Chafsoh1 yang belajar di situ untuk program setahun lama
nya. Saat itu minggu sore hari, penulis diminta berbicara menge
nai situasi global saat ini, bagaimana responsi gerakangerakan
dan negaranegara Muslim di dunia atas perkembangan terse
but, dan apa akibatnya bagi Indonesia.
Sungguh sebuah tema yang besar —yang tentunya tidak
akan dapat dikemukakan hanya dalam waktu dua jam saja, dan
itupun termasuk dengan tanya jawabnya sekalian. Demikian pu
la, melihat komposisi mahasiswanya yang datang dari berbagai
negara, kiranya tidak memungkinkan untuk mengupas satuper
satu tema di atas. Sebab, bagi mahasiswamahasiswa Amerika
Latin —misalnya, tentu tidak tahu persoalan Asia Tenggara. Dan
begitupun mahasiswa nonMuslim tentu juga tidak mengerti
masalahmasalah yang dihadapi kaum Muslimin. Karena itu,
1 Putri kedua Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang, Jawa Timur,
29 Oktober 1974 ini adalah Direktur Wahid Institute. Sebelum terjun di kan
cah politik, sarjana Desain dan Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti dan
Master dari Kennedy School of Government, Harvard University ini, pernah
menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald
dan The Age antara tahun 1997 dan 1999. Peraih penghargaan Australia’s Pre
mier Journalistic Award The Walkleys ini, sekarang dipercaya sebagai staf
khusus kepresidenan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dalam bidang
komunikasi politik.
Haruskah ada kesepakatan?
penulis harus memilih masalah paling utama yang sedang ak
tual dibicarakan di manamana, yaitu rencana penyerangan dan
pemboman AS atas Irak. Dari hal itulah baru dikemukakan hal
hal mendasar yang menyangkut ketiga tema di atas.
Penulis beranggapan, penyerangan dan pemboman AS
atas Irak dapat dipastikan akan mencapai hasil yang diharapkan.
Mungkin, mengenai masalah produksi dan penyediaan bahan
bakar minyak bumi yang melimpahruah dapat diubah melalui
penyerangan ini , atau Saddam Husein digulingkan dari pe
merintahannya. namun bahwa Irak akan menjadi negara penurut
bagi AS, rasanya jauh dari kenyataan. Para pemimpin oposisi
Irak yang menentang Saddam Husein dan barubaru ini berkum
pul di Gedung Putih—setelah memegang tampuk pemerintahan
dukungan AS, belum tentu nantinya akan mengikuti kehendak
negara Paman Sam itu. Untuk dapat bertahan, mereka harus pan
daipandai menampung perasaan rakyat Irak yang benci terha
dap campur tangan asing, dalam hal ini adalah AS. Ini semua,
merupakan sebuah aspek saja yang harus diperhitungkan dalam
melihat permasalahan di atas.
Sekali lagi, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kekuatan saja
belum tentu dapat mengubah perasaan orang banyak. Ada residu
perasaan tidak senang, apabila kekuatan dan kekuasaan diguna
kan secara berlebihan. Dalam jangka panjang, hanya kerugian
bagi semua pihak saja yang terjadi akibat pertimbanganpertim
bangan geopolitik yang digunakan AS saat ini. Karenanya, kita
harus berhatihati dengan berbagai pertimbangan ini , apa
lagi kalau tindakan yang diambil sangat dipengaruhi oleh emosi
para pengambil keputusan.
Tampaknya, Presiden AS George W. Bush Jr., merencana
kan serangan dan pemboman atas Irak itu dengan pertimbang
an mencari popularitas, karena ketidakmampuan memecahkan
krisis ekonomi AS yang sedang terjadi. namun bahayanya, kalau
serangan dan pemboman besarbesaran itu tidak menghasilkan
sikap Irak untuk mengikuti kehendak AS katakanlah di bidang
minyak bumi, ditambah dengan jumlah besar penduduk sipil
yang menjadi korban serta banyaknya serdadu AS yang gugur
atau menderita lukaluka di kawasan ini , bisa jadi pendapat
HaRuskaH ada kEsEPakatan?
umum di AS dapat berbalik menyalahkan presiden ini . Dan
kemungkinan untuk itu tampaknya cukup besar, karena Saddam
Husein menarik pasukanpasukannya ke kawasan perkotaan,
yang berati akan jatuh lebih banyak korban, apalagi kalau ia ber
hasil menggerakkan perlawanan gerilya kota terhadap serangan
AS.
Serangan dan pemboman itu akan menimbulkan kemarah
an luar biasa bagi kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap
Pemerintah AS sendiri. Karena ketidakberdayaan menghentikan
serangan dan pemboman itu, dengan sendirinya peradaban yang
melahirkannya yaitu peradaban Barat, ditolak sebagai mitra
peradaban Islam ke arah kemajuan. Dengan demikian, keme
lut psikologis yang menghinggapi diri kaum Muslimin di selu
ruh dunia, akan semakin menjadijadi, minimal bagi para warga
gerakangerakan Islam. Sikap keras sebagian mereka, dengan
sendirinya semakin sulit untuk dilerai, dan perlawanan gilagila
an seperti bom bunuh diri di IsraelPalestina akan semakin ba
nyak. Kalaupun tidak bertambah jumlahnya, reaksi psikologis
yang menghinggapi para warga gerakangerakan Islam itu akan
menjadi keras dan bertambah kompleks. Apalagi ditambah de
ngan sikap Perdana Menteri Ariel Sharon2 dan Kepala Staf Ang
katan Bersenjata Israel Jenderal Allon yang semakin keras ter
hadap kaum pejuang Palestina, maka rasa tidak berdaya itu akan
berubah secara kualitatif dan kuantitatif menjadi kebencian se
makin besar terhadap “peradaban Barat”.
Bagi Indonesia, atau lebih tepatnya bagi gerakangerakan
Islam moderat di negeri ini, tantangan yang dihadapi juga akan se
makin besar. Di tengahtengah sikap moderat kebanyakan kaum
Muslimin di negeri ini, terdapat kelompokkelompok “Muslim
garis keras” yang tentu saja akan merasakan tekanantekanan
psikologis yang dirasakan kaum Muslimin di seluruh dunia seba
gai akibat dari serangan dan pemboman AS atas Irak itu. Rasa
2 Perdana Menteri Israel dari Partai Likud sejak 7 Maret 2001. Pada 21
November 2005, Sharon keluar dari Likud dan membentuk partai baru ber
nama Kadima. Namun karena stroke yang mengakibatkan pendaharan otak,
Sharon harus digantikan wakil PM, Ehud Olmert pada 11 April 2006.
tidak berdaya itu tentu akan membawa akibatakibatnya sendiri
yang serius bagi keadaan umat manusia dewasa ini, yaitu mem
buat lebih tipis keinginan mencari langkahlangkah akomodatif
antara peradaban Islam dan peradabanperadaban lain.
Rasa tidak berdaya itu, tentu lebih terasa di kalangan kaum
muda dan kaum miskin perkotaan (urban poor), suatu hal yang
sama sekali tidak dilihat oleh Presiden George Bush Jr., yang
sudah dapat diperkirakan sebelumnya, dari kualitas pertimbang
anpertimbangan geopolitis yang digunakan olehnya. Di sinilah
sebenarnya terletak pangkal masalah yang dihadapi umat manu
sia dewasa ini.
Di satu pihak, negaranegara yang berindustri maju, sering
disebut sebagai negaranegara makmur (affluent countries),
tidak penah menyadari parahnya keadaan di negaranegara
berkembang dan lebarnya kesenjangan antara kaum kaya dan
miskin di kawasan ini . Memang, meski peperangan terha
dap terorisme internasional dan penegakan demokrasi telah dila
kukan, namun AS bukanlah contoh yang baik tentang bagaimana
upaya menegakkan demokrasi dan menghilangkan kesenjangan
kayamiskin serta pembelaan terhadap negaranegara berkem
bang yang lemah. Bahkan, AS sendiri lebih sering dianggap seba
gai pendukung para penguasa lalim di seluruh dunia. Kalau demi
kian, berhakkah dia berbicara tentang moral dan etika? Padahal
perjuangan melawan terorisme internasional dan domestik, ha
ruslah didasarkan pada acuan moral dan etika. Karena, banyak
yang mempertanyakan hak AS untuk memberantas terorisme
internasional, yang membunuh sangat banyak penduduk sipil
yang dibom dan diserang dengan sebuah keputusan yang bersi
fat unilateral.
Dengan dasar etis dan moral yang masih dipertanyakan,
herankah kita jika banyak kaum muslimin lalu mempertanyakan
sendisendi peradaban yang tidak seimbang antara yang terjadi
dengan yang dibawakan AS sebagai negara adikuasa dan negara
negara berteknologi maju? Karena tidak memiliki pengetahuan
agama yang cukup, herankah jika mereka melihat sikap moderat
mayoritas kaum muslimin, sebagai langkah menyerah bulat pada
peradaban sekuler yang melahirkan arogansi sikap itu? Sikap
Presiden Bush itu membebani kaum muslimin moderat dengan
tugas yang tidak ringan, yaitu mengatasi sikap utopis di kalangan
kaum “muslimin garis keras”. Adilkah yang demikian itu? h
HaRuskaH ada kEsEPakatan?
saat penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy
School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa
Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada per
tanyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura:
mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab,
bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin
Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah
Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan
bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah Indonesia dalam
waktu 50 tahun lagi. Penulis menyatakan melalui jawaban tu
lisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indone
sia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak
perlu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapu
ra tentang Islam di negeri ini, karena mereka tidak tahu apaapa
tentang agama ini .
Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembang
an penting di negeri kita. Karena sebelumnya, para pemimpin
kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singa
pura, lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi
Singapura. Karena itu, timbulah arogansi di kalangan sementara
tokoh negeri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementing
kan pihak yang tidak penting, dan memberikan penilaian yang
terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini, pan
dangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisional
seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama. Selain itu, kare
na penulis tidak mau menggunakan kekerasan untuk memperta
g 397 h
hankan jabatan negara, sebagai presiden yang berfungsi menjadi
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sikap itu diang
gap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak percaya, bahwa
demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan penilai
annya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu
tidak percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara
manipulatif.
Begitulah pandangan seorang tokoh Singapura yang diang
gap sudah mendunia, padahal postulatpostulat yang diguna
kannya hanya berasal dari kalangan elit belaka. Tokoh ini ,
tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang menggeliat,
bangun dari tidurnya selama berabadabad. Dunia baru itu me
ngembangkan postulatpostulat dan premispremisnya sendiri,
yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi halhal yang
merugikan semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Musli
min moderat yang sanggup mempertahankan keyakinan agama
mereka, sambil menyerap halhal baik dari kemajuan pengeta
huan dan teknologi modern.
Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap pen
ting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun
penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keter
batasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh
mereka terhadap Indonesia dan Islam harus dihilangkan, jika di
inginkan tetap ada hubungan baik antara kedua negara. Penulis
sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk
maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian
bangsabangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana
mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai
dengan sungguhsungguh upaya bangsabangsa sekitar untuk
maju dengan cara mereka sendiri.
Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa
canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam
jangka panjang. Inilah yang membuat orangorang seperti penu
lis berbeda pandangan dari tokohtokoh arogan Singapura itu.
Walaupun penulis berbeda pandangan dari tokohtokoh ini ,
namun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut
paham nonhegemonik hubungan internasional, penulis sangat
menghargai bangsa Singapura. namun ini tidak berarti penulis
menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara
kita. Tentu saja persoalanpersoalan yang dihadapi negarakota
(city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama
dengan masalahmasalah yang dihadapi negarabangsa (nation
state) seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 200 juta pendu
duk dan memiliki wilayah ribuan kilometer.
Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus me
miliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan me
lahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai
masalah dalam menghadapi bermacammacam sikap, termasuk
arogansi tokohtokoh negara lain sekecil Singapura itu.
Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer),
pejabat ekskutif tertinggi General Motors, beberapa puluh ta
hun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang
baik bagi perusahaan ini , juga baik bagi Amerika Serikat,
tidak berlaku dalam hubungan internasional antara Indonesia
dan Singapura. Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi
Singapura, belum tentu baik bagi Indonesia. Sekarang saja, ke
tika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah ber
fungsi, Singapura sudah kewalahan menarik para pembeli kita.
Demikian juga, hotelhotel mereka yang dahulu memanfaatkan
konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh su
litnya menarik para pembeli bangsa kita.
Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berke
tergantungan antara negara mereka dengan IndonesiaMa
laysiaThailandBrunei Darussalam, adalah pola hubungan ti
dak normal, yang pada suatu saat akan kontraproduktif dan
merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap
bangsabangsa dan negaranegara sekitar, haruslah diakhiri.
Hubungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghor
matan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rin
tangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah
berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan
ini . Proyek Delta Mekong yang melibatkan ThailandKam
bodiaVietnamLaos dan Myanmar merupakan titik baru eko
nomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun
penerbangan BIMPEAGA1 (Filipina–Brunei–MalaysiaIndone
1 Brunei Darussalam Indonesia Malaysia the PhilippinesEast Asean
Growth Area (BIMPEAGA) adalah kerjasama ekonomi untuk membangun
kawasan Brunei Darussalam, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya
(Indonesia), Sabah, Sarawak, Labuan (Malaysia), Mindanao dan Pahlawan,
Filipina (Filipina).
Asia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersen
datsendat.
Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacamma
cam. Indonesia, umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan
samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang
mengganggu negaranegara tetangga, adalah antara lain dengan
mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompok
kelompok masyarakat memiliki dan mengelola daerahdaerah
pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam
memelihara kelebatan hutan, karena ditakutkan akan merembet
ke kawasan yang mereka miliki. Juga, kelestarian sumbersum
ber alam, seperti batubara, minyak bumi, gas alam serta barang
tambang lainnya, akan membawa perubahan besarbesaran da
lam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipenting
kan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat keba
nyakan, agar mereka turut bertangungjawab atas kelestarian
sumbersumber alam ini .
Ini semua berarti, Indonesia akan membuka diri terhadap
masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan
Indonesia dengan negaranegara tetangganya, atas dasar prinsip
saling menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong sta
bilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada penyeimbangan
kepentingan nasional masingmasing negara, di satu sisi dan ke
pentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya
sendiri, di sisi lain. h
Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shi
nawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis ten
tang ketidakmengertian orangorang Thai tentang tidak
terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati an
tara Muangthai dan Indonesia. Yang pernah dicapai antara Per
dana Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai
Presiden Republik Indonesia. Tanpa pelaksanaan kedua hal itu,
yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah
orang Indonesia serius dalam melaksanakan halhal yang telah
disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus
akan merupakan terobosan.
Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses mi
nyak mentah Indonesia di berbagai kilang minyak Muangthai,
tujuannya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia kepada
kilangkilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Per
tamina tidak mau bersusah payah dalam hal ini, karena hanya
bersedia bersandar pada keinginan pemerintah Singapura saja.
Dalam pembicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pi
hak pemilik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu seba
gai sogokan kepada para pejabat Indonesia.
Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagang
an (balance trade account) dalam perdagangan antara Indone
siaMuangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang diala
mi oleh negaranegara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu,
Indonesia-muangthai: sebuah
kemungkinan memperluas kerjasama
negaranegara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, se
hingga mereka tidak menggunakan uang sama sekali dalam per
dagangan antar negara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku,
mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua
negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah nega
ra pada negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya
jumlah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing
oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini di
lakukan, oleh negaranegara yang kekurangan valuta asing.
Bagi negaranegara berkembang, yang selalu kekurangan
devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan
demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara,
tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlahjumlah
selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan
cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan
negaranegara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan
mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah
Indonesia sekarang, yang sedang mengalami krisis multidimen
sional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai
sendiri.
Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap terse
but. Karena Indonesia sangat tergantung kepada mitranya dari
negaranegara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan
sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan
para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendi
ri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas
inilah yang diketahui para pengusaha negaranegara berteknolo
gi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepenting
an kalangan pejabat di negeri ini.
Keheranan temanteman di Muangthai itu segera terjawab
karena sebabsebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelengga
ra pemerintahan, dapat menimbulkan dampakdampak negatif
bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Karenanya, patutlah per
timbangan Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT
(Massachusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi
pemerintah di Indonesia berjumlah terlalu besar dan belum ber
sih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk
IndonEsIa-muanGtHaI: sEbuaH kEmunGkInan
bisa sukses saat keluar dari IMF (International Monetary
Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhati
kan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang meman
dang perlu memelihara kepentingan orang banyak.
Jelas dari uraian di atas, hubungan sehat dalam perdagang
an antar negara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya.
Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius
kita dalam peyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara ber
kembang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.
Karena itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orang
orang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra
antara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara
berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat
luar dan dalam negeri, karena sebenarnya kita juga tahu akibat
yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari
pemahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepen
tingan pribadi masingmasing.
Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengam
bilan keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewu
judkan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara ber
kembang seringkali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita
menyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan dae
rah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang
produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indo
nesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan ter
wujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negaranegara
berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara
pemerintahan kita saat ini. h
Pada pertengahan Juni 2002, penulis pergi ke Bangkok,
Thailand. Di kota ini , penulis menghadiri pembentuk
an sebuah lembaga pertimbangan bagi Perserikatan Bang
saBangsa (PBB), bernama World Council for Religious Leaders
(Dewan Dunia Pemimpinpemimpin Agama). Dalam anggaran
dasar lembaga pertimbangan itu, dikemukakan bahwa lembaga
itu mengacu kepada perdamaian dunia tanpa kekerasan, dan
harus berbicara mengenai caracara mencapai perjuangan perda
maian dunia sebagai kenyataan yang paling diperlukan di dunia
ini. Lembaga ini adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk Aga
ma dan Perdamaian (World Conference on Religion and Peace-
WCRP)1, yang dibuka oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat
itu, Bill Clinton, tahun 2001. Penulis sendiri dan Presiden Khata
mi dari Iran, saat itu, tidak dapat datang karena kesibukan ma
singmasing di dalam negeri. Namun, ia diwakili oleh Ayatullah
Taskhiri dan Diwan al-Taqrib Baina al-Madzâhib (Dewan Pen
dekatan Antar Sekte). Dihadiri oleh para agamawan dari berba
gai agama, pembentukan lembaga ini merupakan sebuah
kejadian penting, karena para agamawan itu mewakili para aga
mawan sedunia untuk memberikan pertimbangan bagi Perseri
katan BangsaBangsa (PBB).
Walaupun fungsi badan ini hanyalah memberikan pertim
bangan belaka, yang dapat dipakai atau dibuang oleh organisasi
tingkat dunia itu, namun pertimbangan yang diberikan memiliki
bobot tersendiri. Karenanya, lembaga baru ini tidak dapat begitu
1 Lembaga yang beranggotakan tokohtokoh agama internasional ini
bermarkas di New York, Amerika Serikat. Lembaga ini membangun dialog an
tar agama menuju perdamaian. Abdurrahman Wahid pernah terpilih sebagai
Presiden WCRP tahun 19941998.
Pembentukan sebuah Forum
di Bangkok
saja diabaikan, sebab ia merupakan langkah baru untuk memper
kuat badan tingkat dunia seperti PBB.
Dalam pidato pembukaan, penulis mengemukakan tiga hal
yang harus menjadi kerangka lembaga baru ini . Pertama,
harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan akan me
miliki spiritualitasnya sendiri, di tengahtengah orientasi PBB
sendiri yang bersandarkan filsafat materialisme dalam segenap
teori pembangunan yang sekuler yang jauh dari ukuranukuran
keagamaan. Kedua, pertimbangan yang diberikan memiliki latar
belakang dinamika masingmasing agama yang penuh dengan
perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses yang
belum selesai. Ketiga, proses yang menghasilkan pertimbangan
pertimbangan itu harus dilihat dari sudut pandang dialog antar
agama, bukannya konfrontasi antara agama dan materialisme.
Mengenai hal pertama, sudah jelas bahwa acuan materia
listik sekarang merupakan bahan pertimbangan satusatunya
bagi organisasi tingkat dunia ini . Dasardasar pertimbang
an geopolitik yang benarbenar materialistik dalam orientasi,
merupakan satusatunya nafas dalam mengambil keputusan.
Ini tejadi, karena lembaga tertinggi dunia itu meneruskan pro
ses pengambilan keputusankeputusan yang hampir seluruhnya
didasarkan pada pemikiran materialistik masingmasing negara.
Akibatnya, terjadilah perbenturan kepentingan, antara negara
negara besar yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB.
Dalam lingkup pikiran materialistik yang dominan, pertim
banganpertimbangan spiritual yang dibawakan oleh berbagai
agama tentu dirasa tidak diperlukan bagi PBB. namun , kemacet
ankemacetan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan
oleh sederetan pertentangan yang ada kini, membuat setiap per
timbangan keagamaan menjadi kebuAllah tersendiri yang dapat
membawa pemecahan, melalui pendekatan spiritual yang holis
tik. Di sinilah nantinya akan terasa adanya keperluan memben
tuk dewan baru itu.
Pertimbanganpertimbangan spiritual itu hanya pencermi
nan belaka dan dinamika yang terjadi di masingmasing agama.
Aspekaspek tradisionalisme dan pembaharuan dalam masing
masing agama terjadi dalam skala yang sangat luas, dan meru
pakan proses yang memberikan bekas mendalam atas perilaku
perorangan maupun kelompok dalam masingmasing agama. Ini
berarti, lembaga baru itu harus memperhitungkan aspekaspek
tradisional yang dipelihara dan langkahlangkah pembaharuan
yang diambil oleh tiap agama. Dari pengalaman ini baru
dapat diperoleh pertimbangan yang matang untuk dibawa kepa
da lembaga tertinggi dunia ini . Hanya dengan cara inilah,
sebuah pertimbangan akan memiliki kematangan spiritual yang
diperlukan, guna menghadapi dasardasar materialistik dari
keputusan yang diambil oleh masingmasing negara.
Sedangkan aspek ketiga yang dikemukakan penulis, yaitu
watak saling melengkapi dan tidak konfrontatif antara berbagai
peradaban dunia, merupakan sebuah alasan yang diperlukan di
masamasa yang akan datang. Hal itu telah melatarbelakangi
keputusankeputusan bersama berbagai cabang dan anak ca
bang dari lembaga tertinggi dunia itu. Forum UNESCO, Komi
sariat Tinggi PBB untuk HAM, Konferensi Lingkungan Hidup di
Rio de Janeiro beberapa tahun lalu dan kegiatankegiatan seje
nis, seluruh produkproduknya saling melengkapi dan bukannya
menggunakan pendekatan persaingan antar berbagai perada
ban. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PBB memiliki dua
jenis produk saat ini yang harus dipahami.
Kemacetan dalam pengambilan keputusan, baik kegagalan
dalam memutuskan maupun kegagalan dalam melaksanakan
keputusan, tampak jelas sekali akibat perbedaan kepentingan
negaranegara besar. Karenanya, dibutuhkan pelestarian dunia
dan isinya, berdasarkan pada sikap yang mengacu kepada kepen
tingan bersama semua negara di masa depan. Dari sinilah PBB
dapat menyampaikan keputusankeputusan yang membuatnya
menjadi badan tertinggi dunia yang diperlukan di masa depan,
dan bukannya lembaga yang terpaku pada kemacetankemacetan
di masa kini belaka. h
PEmbEntukan sEbuaH FoRum dI banGkok