islam 12

Tampilkan postingan dengan label islam 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 12. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

islam 12



 , seti­

dak­tidaknya dari kaca mata negara­negara yang memerdeka­

kan diri dari penjajahan. Namun anehnya, perang Arab­Israel 

dalam tahun 1948, hanya oleh orang­orang Israel saja dianggap 

sebagai perang kemerdekaan. Karena orang­orang Israel meli­

1 Adolf Hitler (1889­1945) adalah Konselir Jerman dari 1933 sampai me­

ninggalnya 1945 karena bunuh diri di bunkernya di Berlin. Ia juga pemimpin 

Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional (Nationalsozialistiche Deutsche Arbeit­

er Partei—NSDAP) yang dikenal dengan Partai Nazi. Pada periode PD I hingga 

PD II, tentara Jerman di bawah komando Hitler menguasai Eropa. Kebijakan 

rasis­nya telah membunuh sekitar 11 juta jiwa di Eropa, termasuk enam juta di 

antaranya kaum Yahudi, yang kemudian dikenal sejarah sebagai Holocaust.

2 Jenderal Hideki Tojo (1884 ­ 1948) adalah Perdana Menetri Jepang ke 

40, 1941­1944. Sebelumnya ia menjadi tentara yang terlibat langsung pada PD 

I dan PD II. Selama PD II ia memimpin Jepang untuk terlibat dalam Perang 

Pasifik. namun  setelah serangkaian kekalahan tentara Jepang dalam perang 

ini , ia dipaksa mundur dan akhirnya menjauh dari pemerintahan.

dapatkah kita Hindarkan 

Perang dunia ke tiga?

hat gerakan­gerakan Hagana, yang dipimpin Menachem Begin4 

sebagai upaya mencapai kemerdekaan, sedangkan sejarah dunia 

tidak mau mencatatnya demikian. 

Setelah terorisme berkembang, baik dalam bentuk “gerak­

an pembebasan” yang berdasarkan marxisme­leninisme, seperti 

di Kuba dan beberapa negara Amerika Latin, maupun yang berda­

sarkan ideologi keagamaan tertentu, seperti Pan­Islamisme dari 

al-Afghani hingga Abu al-A’la al-Maududi5 di Pakistan, semua­

nya menunjuk kepada sebuah upaya bersenjata untuk merebut 

kekuasaan dan memaksakan visi masing­masing atas bangsa 

yang sebenarnya tidak mengikuti pikiran mereka. 

Berbeda dari sejarah berbagai gerakan Islam berwajah ideo­

logis, di Turki gerakan di bawah pimpinan Nejmetin Erbakan 

kemudian “terpaksa” mengadopsi pikiran­pikiran sekuler dalam 

partai politiknya, Partai Keadilan dan Pembangunan, dan baru­

baru ini memenangkan 2/3 lebih kursi parlemen negeri itu. De­

ngan kata lain, ketidakpuasan bangsa Turki atas pendekatan poli­

tis anti­agama dan pendekatan teknokratis dalam pembangunan 

3 Hagana adalah cikal bakal organisasi tentara Israel. Didirikan tahun 

1920 di daratan Palestina. Ditujukan sebagai gerakan bawah tanah kaum Ya­

hudi untuk mempertahankan diri. Gerakan ini tersebar di berbagai kota dan 

kelompok di negara itu. Setelah didirikannya Negara Israel, gerakan Hagana 

menjelma menjadi pasukan pertahanan Negara Israel. 

4 Menachem Wolfovitch Begin (1913 – 1992) adalah pemimpin Partai Li­

kud dan bekas Perdana Menteri Israel 1977. Pria kelahiran Polandia ini adalah 

penandatangan perdamaian Israel dan Mesir yang menghebohkan yang kemu­

dian berujung pada berdirinya negara Israel. Dan di lain pihak menyebabkan 

Presiden Anwar Sadat di tembak mati oleh mereka yang menentangnya. Berkat 

perjanjian perdamaian itu, Begin bersama Presiden Mesir Anwar Sadat mem­

peroleh Hadian Nobel Perdamaian tahun 1978.

5 Abu al-A’la al-Maududi (1903- 1979) dikenal sebagai pendiri Jama’at-

i­Islami, sebuah organisasi Islam berpengaruh di Pakistan, pada tanggal 21 

Agustus 1941 dan kemudian menjadi pemimpin spiritualnya. Pada tahun 1924, 

Maududi melibatkan diri dalam gerakan Khilafa—yang juga bercorak nasio­

nalis—dan didukung baik oleh Muslim League maupun Partai Kongres. Pada 

tahun itu juga Maududi menerjemahkan sejumlah buku dari bahasa Inggris 

ke bahasa Urdu untuk menyokong gerakan nasionalisme India. Sampai pada 

tahun 1925­an, Maududi pun menggunakan pakaian bergaya Barat. Namun 

perkembangan yang berbalik ke arah fundamentalisme bermula pada tahun 

1927, saat  ia menerbitkan risalah kecil yang kemudian menjadi terkenal, ber­

judul al-Jihad fi al-Islam. Penulisan risalah ini dilatarbelakangi oleh kerusuh­

an­kerusan besar antara kaum Hindu dan Islam yang menyebabkan jatuhnya 

ribuan korban.

?

oleh partai–partai politik yang berkuasa, akhirnya membawakan 

sesuatu yang baru: Islam membawa akhlak agama yang dirindu­

kan, namun  tidak menciptakan negara­agama yang penuh dengan 

segala macam keruwetan. 

Seperti persoalan di Turki ini juga, yang melatarbelakangi 

tumbuhnya afilitas berbagai agama dunia kepada sejumlah par­

tai politik tertentu. Soka Gakkai, sebagai organisasi Buddha ter­

besar di dunia, berada di belakang Partai Komeito, (partai ber­

sih), yang sekarang menjadi partner junior dalam peme  rintahan 

Jepang; begitu juga RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangh), se­

bagai organisasi Hindu terbesar di India, berada di belakang BJP 

(Barathiya Janata Party) yang dipimpin Perdana Menteri Atal 

Behari Vajpayee. Sementara itu, di Iran, Jam’iya al-Taqrib bain 

al-Madzahib (asosiasi pendekatan antar madzhab) pimpinan 

Ayatullah Wa’iz Zadeh mendukung tokoh moderat Mohammad 

Al­Khatami —yang kini menjadì Presiden Iran. Semuanya itu 

menunjukkan bangkitnya kembali paham keagamaan “non­le­

galis dan non­ideologis” di negara­negara itu.

Dari sudut sosiologis, munculnya elit baru yang sepenuh­

nya menggunakan acuan­acuan Barat yang positivistik dan tekno­

kratik, yang didahului oleh sejarah moral yang panjang dari 

“bangsa­bangsa Barat”, telah membawa ketegangan­ketegangan 

baru dalam hubungan antar kelompok di negara­negara sedang 

berkembang. Baik di dalam negeri masing­masing, maupun di ka­

langan anak­anak mereka yang belajar di “negeri­negeri Barat”, 

segera muncul semacam kesadaran harus melakukan sesuatu 

untuk melaksanakan —dalam beberapa hal tertentu memaksa­

kan— moralitas baru dalam kehidupan masyarakat yang mereka 

kenal. Kesadaran seperti itu, dikombinasikan dengan sedikitnya 

pengenalan mereka akan sejarah Islam yang panjang —yang se­

nantiasa bersandar pada proses reinterpretasi ajaran agama—, 

akhirnya menumbuhkan “kebuAllah ” akan tindak kekerasan, 

yang menjadi pangkal bagi munculnya terorisme dalam kalang­

an gerakan­gerakan Islam.

Dangkalnya pengetahuan agama para teroris itu, karena 

tidak mengenal proses penafsiran kembali ajaran Islam, juga di­

perparah dengan langkanya pengenalan akan kondisi berbagai 

masyarakat Muslim. Tradisi Asia Tenggara yang menganggap 

LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) sebagai partner pemerin­

tah dalam pembangunan, jelas tidak terdapat di Timur Tengah, 

di mana para rektor dan ketua gerakan palang merah, juga ha­

rus ditunjuk oleh Presiden, Raja atau Amir. Mereka yang ti­

dak setuju dengan peranan pemerintah yang demikian besar, 

dengan sendirinya harus bergerak di bawah tanah untuk tidak 

melawan pemerintah. Karena itu pula mereka harus meniadakan 

perlawanan politis kepada pemerintah sendiri, namun melawan 

“materialisme Barat” dengan tindak­tindak kekerasan. Barulah 

setelah mereka mencapai kecanggihan finansial dan militer ter-

tentu, mereka lalu membantu “orang­orang dangkal” di berbagai 

bilangan dunia, termasuk di negara­negara Asia Tenggara yang 

tadinya tidak mengenal terorisme terorganisir seperti itu. Yang 

dalam abad­abad yang lalu, adalah gerakan spontan yang tidak 

berumur panjang dalam “pembelaan terhadap Islam”, yang ber­

sifat mesianistik.

Hal yang bersifat antropologis yang menandai muncul­

nya berbagai usaha teroris di kalangan kaum Muslimin, adalah 

hilangnya pembedaan antara institusi dan kultur. Gerakan­

gerakan Islam tradisional tetap menekankan diri pada upaya­

upaya kultural, —seperti pendidikan agama, pengelolaan harta 

benda­benda kaum Muslimin (wakaf), pemunculan berbagai 

manifestasi kultural, seperti ziarah ke makam­makam suci dan 

penggunaan simbol­simbol agama seperti shalawat dan kegiat­

an seremonial kaum sufi dan reformulasi peranan perempuan 

dalam kehidupan masyarakat, dengan tidak memberikan tem­

pat kepada upaya­upaya institusionalisasi yang dibawakan oleh 

“kaum pembaharu” itu.

Dilihat dari berbagainya sudut pandang Muslim Sunni tra­

disional dan manifestasi tindakan kaum Muslimin di seluruh du­

nia, jelas tidak dapat digunakan pendekatan “berlatar belakang 

terorisme” belaka. Ada berbagai reaksi antara bermacam­macam 

masyarakat Islam, sehingga tidak dapat dicari pola umum tung­

gal dalam hal ini. Umpamanya saja, pandangan terhadap upaya 

demokratisasi dengan tumpuan pada kedaulatan hukum dan 

persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka undang­

undang, bagi beberapa kaum Muslimin Sunni tradisional tidak 

dianggap sebagai langkah menuju “pem­Barat­an”. Oleh karena 

itu, tidak setiap tindakan menyimpang dari demokrasi liberal 

?

harus dianggap sebagai sikap anti­Barat, melainkan pertanda 

sebuah pencarian antara sesama “gerakan Islam”. Jelas upaya 

mereka itu tidak menggunakan kekerasan seperti beberapa par­

tai­partai Islam di Indonesia, PAS di semenanjung Malaysia dan 

berbagai wilayah kaum Muslimin yang lain. Karenanya, kita ha­

rus bersikap hati­hati dalam hal ini, dan tidak menganggap se­

tiap upaya non­liberal sebagai musuh dari lingkungan anti­demo­

krasi.    

Namun tidak semua keinginan berbagai gerakan Islam ha­

rus diwujudkan dalam kehidupan bernegara, karena sifatnya yang 

khusus bagi masyarakat Islam saja. Contohnya, adalah penghor­

matan sangat tinggi kepada para ulama —dalam masyarakat Is­

lam, mereka adalah penentu pendapat umum masyarakat. Selain 

itu perlu dicari formulasi peranan para birokrat dan pengusaha 

kaya dalam masyarakat Muslim yang semakin lama semakin 

canggih. Kegagalan menemukan rumusan yang baik dalam hal 

ini, akan membuat masyarakat Muslim di mana­mana menjadi 

korban kepentingan kelompok birokrat maupun pengusaha kaya 

yang ada, sementara kelompok muslim itu tidak mengenal waris­

an tradisi yang ada, dalam bentuk penafsiran kembali ajaran­ajar­

an Islam sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Dengan sendi­

rinya penafsiran mereka hanya bertujuan mencapai kebuAllah  

jangka pendek mereka sendiri akan sangat dominan. 

Apa yang diperbuat mantan Presiden Soeharto dari Indone­

sia antara akhir 1989 hingga pertengahan 1999, dapat digunakan 

sebagai contoh dalam hal ini. Soeharto, yang tidak memiliki pe­

ngetahuan mendalam akan sejarah Islam, menganggap penguat­

an institusional bagi kaum Muslimin di negaranya, sebagai cara 

terbaik untuk memperoleh dukungan masyarakat Muslimin di 

Indonesia bagi pemerintahannya, yang semula didukung oleh 

ABRI/birokrasi/Golongaan Karya sebagai “partai pemerintah”. 

Ia menambahkan unsur keempat untuk menopang pemerintah­

annya yang semakin melemah, dalam bentuk dukungan kongkrit 

kepada kaum Muslim modernis, khususnya kepada Ikatan Cen­

dikiawan Muslim Indonesia (ICMI)6. Ia melupakan NU sebagai 

6  Organisasi ini didirikan pada tanggal 7 Desember 1990, pada sebuah 

simposium yang menghimpun sekitar lima ratus cendekiawan muslim Indone­

sia bertema “Membangun Masyarakat Indonesia Abad XXI” di Malang Jawa 

Timur. Ketua Umum ICMI untuk pertama kalinya (1991­1995) adalah Prof. Dr. 

Ing. B.J. Habibie.

kelompok Muslim Sunni tradisional yang sibuk dengan mani­

festasi kultural Islam, dan melupakan kebuAllah  institusional 

golongan itu. Sebagai seorang Muslim dari lingkungan perwira 

yang dididik secara Barat, Soeharto mengabaikan aspek­aspek 

kultural dan memusatkan diri pada penguatan institusional kaum 

Muslimin modernis itu. Sebagai akibat, ia terasing dari dua ke­

lompok masyarakat luas yang sangat berpengaruh: kaum Muslim 

Sunni tradisional (yang diwakili NU) dan mereka yang terdidik 

oleh “sistem Barat” dan tidak mementingkan gerakan­gerakan 

Islam lagi, seperti kaum profesional, pengusaha, intelektual dan 

mahasiswa. Akibat lainnya, Soeharto tidak kuat menghadapai 

tekanan demokratisasi, apalagi saat  para politisi “mencuri” 

isu demokratisiasi dan reformasi di Indonesia, maka Soeharto 

tidak memiliki pilihan selain lengser. Ini menunjukkan, betapa 

salahnya menganggap Soeharto sebagai wakil golongan Islam. 

Dia hanyalah seorang pemimpin yang mencoba memanfaatkan 

sekian banyak institusi keagamaan bagi kepentingan memeli­

hara kekuasaan, namun ia gagal dalam hal ini.

Demikianlah salah satu contoh dari “manipulasi” kekuatan 

gerakan­gerakan Islam. Setelah “manipulasi” itu tidak lagi dini­

lai sebagai satu­satunya kebuAllah  menjaga kepentingan bangsa 

—sebagaimana dirasakan para ulama di Indonesia—, maka upa­

ya menegakkan demokrasi dan memperluas otonomi daerah di 

negeri itu, dianggap sebagai “memenuhi kebuAllah  kaum Mus­

limin” di negeri itu. Inilah yang membuat mengapa PKB (Par­

tai Kebangkitan Bangsa) memiliki prospek sangat cerah sebagai 

pemenang mayoritas tunggal dalam pemilu Indonesia tahun de­

pan. Ini tampak jelas bagi orang yang mengikuti dan mengamati 

komunikasi langsung antara PKB dan seluruh masyarakat bang­

sa Indonesia. Kalangan Kristen, kelompok­kelompok minoritas 

etnis (seperti kaum Tionghoa) yang mencapai 15% seluruh bang­

sa, kaum profesional­intelektual­mahasiswa mendukung partai 

itu, karena melalui dukungan itu mereka mengharapkan bentuk­

bentuk demokratisasi akan terwujud di negeri khatulistiwa ini. 

Dengan melakukan fungsionalisasi Islam, disamping mempelo­

pori proses demokratisasi, PKB berhasil menetralisir dampak­

dampak negatif di dalam negeri dari terorisme kaum Muslimin 

radikal. 

Hasil dari upaya ini tidak akan lama lagi, jika negeri ini men­

jalankan dua hal. Pertama, haruslah dikembangkan pendapat 

yang mencoba melakukan identifikasi upaya-upaya redefinisi 

fungsi­fungsi Islam dalam kehidupan masyarakat, dengan ber­

bagai tindakan demokratisasi. Dan kedua, adalah penegakkan 

demokrasi di negeri berpenduduk puluhan juta manusia yang 

menginginkan kehidupan demokratis bagi bangsa ini , yang 

berintikan penegakan kedaulatan hukum.

Dari uraian­uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan, untuk 

memerangi terorisme yang dilakukan oleh golongan­golongan 

Muslimin radikal di Indonesia, dengan ujung peledakan bom di 

Bali, diperlukan langkah­langkah berikut.

Pertama, kemampuan membedakan secara tajam antara 

kelompok kultural dan kelompok institusional, di antara berba­

gai kelompok–kelompok kaum Muslimin di negeri itu. Kedua, 

dilakukan pengenalan mendalam dan penyebaran konsep­kon­

sep memajukan warga masyarakat Muslim di negeri itu, dari 

kemiskinan yang masih melatarbelakangi prosentasi sangat be­

sar dari penduduk secara keseluruhan. Ketiga, mengoptimalkan 

kembali kemampuan bangsa Indonesia menekan pertumbuhan 

penduduk, ­hingga pertengahan 1995 pertumbuhan penduduk 

hanya 1,6% tiap tahun, berarti penambahan penduduk seki­

tar 3,5 juta jiwa, tapi sejak beberapa tahun terakhir ini kembali 

menjadi 3,5%­. Pemerintah yang sekarang ini berkuasa, tidak 

mampu menekan kenaikan absolut jumlah warga negara yang 

justru dirugikan oleh program­program pembangunan yang ti­

dak memiliki wawasan kependudukan. Keempat, sikap arogan 

mereka yang merasa “berjuang secara fisik untuk Islam”, harus-

lah diatasi paling tidak oleh pemerintah. Tindakan menghukum 

mereka itu haruslah diusahakan, karena sebenarnya bertujuan 

menghilangkan sikap arogan yang selalu merasa benar dan me­

nganggap pihak­pihak lain salah. Karenannya tindakan kepala 

team Polri yang menangkap mereka yang disangka melakukan 

terorisme dengan meledakkan bom di Bali (Imam Samudra, 

Amrozy dan sejumlah temannya yang lain) dengan memasukkan 

I Made Pastika dan Edy Darnadi ke dalam team ini , jelas 

merupakan upaya pemerintah Indonesia untuk memberlakukan 

keinginan menghukum itu. 

Terserah kepada bukti­bukti legal yang diperoleh, memiliki

kekuatan untuk itu atau tidak, namun jelas itu merupakan lang­

kah pertama untuk menindak terorisme yang berbaju agama. Di 

sini berlaku apa yang dikatakan oleh mantan Ketua Mahkamah 

Agung Mesir, Al­Asymawi, bahwa selama tiap tindakan hukum 

di bidang pidana memiliki unsur hukuman dan cegahan (punish-

ment and deterrence), selama itu pula ia dapat disamakan de­

ngan hukum pidana kanonik yang terdapat dalam hukum Islam 

(fiqh). Dengan demikian, salah satu keberatan para teroris yang 

diadili itu, melalui para pengacara mereka, bahwa mereka tidak 

dapat dikenakan tindakan legal berdasarkan “Hukum Barat”, 

seperti hukum Pidana Indonesia saat ini yang dikodifikasikan 

dalam KUHAP (Kitab Undang­undang Hukum Acara Pidana), 

tertolak dengan sendirinya.

Di samping upaya hukum itu, diperlukan pengamatan ke­

tat dari pihak intelijen, guna menangkal upaya­upaya teroris­

tik, sebelum hal itu terjadi. Ini sangat diperlukan karena letak 

geografis Indonesia yang sangat memudahkan langkah-langkah 

mempersiapkan terorisme internasional di dalam negeri, de­

ngan bantuan keuangan dan latihan­latihan dari luar kawasan 

Asia Tenggara. Jumlah pulau Indonesia sebanyak 17.000 buah, 

dengan 4.000 buah diantaranya tanpa penghuni, adalah sesuatu 

yang sangat mudah bagi gerakan­gerakan teroris internasional 

untuk menciptakan kondisi matang bagi terorisme. Apa yang di­

lakukan gerakan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, merupakan buk­

ti adanya watak internasionalistik dari tindakan­tindakan teror 

yang dilakukan di kawasan Asia Tenggara. Jika gerakan ini  

punya kaitan dengan MILF (Moro Islamic Liberation Front) atau 

MNLF (Moro National Liberation Front), jelas adanya watak in­

ternasional dari gerakan ini  merujuk kepada penanganan 

lebih menyeluruh dari pihak internasional di bawah koordinasi 

Pemerintah Filipina. 

Kegagalan menciptakan mekanisme yang diperlukan un­

tuk menangani terorisme itu, akan membawa konsekuensi­kon­

sekuensinya sendiri, seperti perkembangan di Australia dan Je­

pang serta reaksi­reaksi balik dari “negeri­negeri sosialistik” di 

kawasan pasifik selatan. Belum lagi kalau dilihat kemungkinan 

bersambungnya gerakan ini  dengan terorisme “bertopeng” 

agama Islam yang berkembang secara domestik di Indonesia. 

Tindakan­tindakan hukumlah yang akan membuktikan, apakah 

yang terjadi di Indonesia juga merupakan sesuatu yang berwatak 


internasional. Memang ada oknum­oknum dari berbagai gerak­

an Islam di Indonesia yang tampak memiliki hubungan dengan 

MILF dan MNLF di Filipina Selatan, namun  masih terlalu dini un­

tuk melihatnya sebagai jaringan terorisme internasional.

Hal kelima yang harus dilakukan, adalah memberikan infor­

masi yang benar tentang jalannya sejarah Islam kepada generasi 

muda kaum Muslimin sendiri. Kepada mereka tidak jemu­jemu­

nya harus diberikan keterangan, bahwa dalam perkembangan­

nya, Islam mendasarkan diri kepada proses penafsiran kembali, 

dan tidak merujuk kepada perlawanan keras (apalagi fisik) kepa-

da proses modernisasi. Sabda Nabi Muhammad Saw, umpama­

nya, “Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di muka 

umat-umat lain pada hari kiamat”, seharusnya maksud sabda 

itu bersifat kualitatif, bukannya kuantitatif seperti yang banyak 

diartikan oleh mayoritas kaum Muslimin sekarang. Karenanya 

tidak ada alasan untuk menolak gagasan keluarga berencana se­

lama tidak menghilangkan wewenang reproduktif yang ada di 

tangan Allah  atas umat manusia, dengan melaksanakan kontra­

sepsi yang tidak bertentangan dengan syari’ah. 

Di samping itu diperlukan pula pengembangan pemikiran 

kaum muda bangsa ini, dengan memaparkan bahwa kawasan 

Timur Tengah tidak memiliki tradisi LSM yang kuat, sehingga 

kritik­kritik terhadap pemerintahan mereka harus dilaksanakan 

di bawah tanah, maka kritik­kritik terbuka itu diarahkan bu­

kan kepada pemerintah sendiri, melainkan kepada “cara hidup 

Barat”. Inilah yang kemudian masuk ke dalam pola pemikiran 

Samuel Huntington dengan teori perbenturan budayanya (Clash 

of Civilization) yang terkenal itu. Huntington lupa bahwa tiap 

tahun, puluhan kalau tidak ratusan ribu pemuda Muslim belajar 

“teknologi Barat”, yang berarti juga terjadinya akomodasi buda­

ya antara Islam dan Barat. 

Proses saling belajar seperti itu, jika tidak dijelaskan de­

ngan baik, justru akan membuat para pemuda Muslim cende­

rung menganggap Barat sebagai musuh, dan dengan demikian 

membuat mereka menggunakan kekerasan melawan apa yang 

mereka anggap sebagai “musuh” itu. Perbedaan persepsi dari 

proses besar itu, justru digunakan oleh tokoh­tokoh Islam yang 

melihat “bahaya” dari perjumpaan akomodatif antara Islam dan 

Barat itu. Apalagi, jika di dunia Barat sendiri lahir kelompok­ke­

lompok yang “benci” kepada peradaban Barat itu sendiri, seperti 

Louis Farrakhan7 di Amerika Serikat.

Dalam hal ini, studi kawasan Islam (Islamic Area Studies) 

sangat diperlukan, karena dengan demikian akan nampak per­

bedaan cara hidup kaum Muslimin dari sebuah kawasan ke ka­

wasan lain dengan jelas. Penulis pernah mengemukakan kepada 

Universitas PBB di Tokyo dalam tahun­tahun 80­an, dunia Is­

lam sebaiknya dibagi menjadi enam buah studi kawasan: masya­

rakat­masyarakat Muslim di kawasan Afrika hitam, kawasan 

Afrika utara dan dunia Arab, kawasan budaya Turki­Persia­Af­

ghan, kawasan Asia Selatan (Bangladesh, Nepal, Pakistan, India 

dan Srilangka), kawasan Asia Tenggara dan kawasan minoritas 

Muslim di negeri­negeri berteknologi maju. Sekarang ini kita 

cenderung melakukan studi kawasan nasional, padahal yang 

diperlukan adalah studi kawasan regional. Ini saja sudah menun­

jukkan betapa jauhnya jarak antara kerja intelijen dengan kerja 

dunia akademik. Herankah kita jika lalu para politisi banyak me­

lakukan kesalahan dalam mengambil keputusan? Ini tentu ber­

imbas pada sikap bersama kita terhadap tindakan­tindakan para 

teroris. h

7 Lahir dengan nama Louis Eugene Walcott pada 11 Mei 1933 di kawasan 

Bronx, New York. Louis menjadi pemimpin  the Nation of Islam sebuah komu­

nitas muslim terbesar di Amerika Serikat.

?

Sewaktu penulis berkunjung ke Boston, kota pelajar di Ameri­

ka Serikat (AS), bulan September 2002, penulis diminta 

memberikan ceramah bagi sejumlah mahasiswa asing di 

Kennedy School of Government Universitas Harvard. Penulis di­

minta para mahasiswa ini  melalui anak penulis Zannuba 

Arifah Chafsoh1 yang belajar di situ untuk program setahun lama­

nya. Saat itu minggu sore hari, penulis diminta berbicara menge­

nai situasi global saat ini, bagaimana responsi gerakan­gerakan 

dan negara­negara Muslim di dunia atas perkembangan terse­

but, dan apa akibatnya bagi Indonesia.

Sungguh sebuah tema yang besar —yang tentunya tidak 

akan dapat dikemukakan hanya dalam waktu dua jam saja, dan 

itupun termasuk dengan tanya jawabnya sekalian. Demikian pu­

la, melihat komposisi mahasiswanya yang datang dari berbagai 

negara, kiranya tidak memungkinkan untuk mengupas satu­per­

satu tema di atas. Sebab, bagi mahasiswa­mahasiswa Amerika 

Latin —misalnya, tentu tidak tahu persoalan Asia Tenggara. Dan 

begitupun mahasiswa non­Muslim tentu juga tidak mengerti 

masalah­masalah yang dihadapi kaum Muslimin. Karena itu, 

1  Putri kedua Abdurrahman Wahid yang lahir di Jombang, Jawa Timur, 

29 Oktober 1974 ini adalah Direktur Wahid Institute.  Sebelum terjun di kan­

cah politik, sarjana Desain dan Komunikasi Visual dari Universitas Trisakti dan 

Master dari Kennedy School of Government, Harvard University ini, pernah 

menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald 

dan The Age antara tahun 1997 dan 1999. Peraih penghargaan Australia’s Pre­

mier Journalistic Award ­ The Walkleys ini, sekarang dipercaya sebagai staf 

khusus kepresidenan, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, dalam bidang 

komunikasi politik.

 Haruskah ada kesepakatan?


penulis harus memilih masalah paling utama yang sedang ak­

tual dibicarakan di mana­mana, yaitu rencana penyerangan dan 

pem­boman AS atas Irak. Dari hal itulah baru dikemukakan hal­

hal mendasar yang menyangkut ketiga tema di atas. 

Penulis beranggapan, penyerangan dan pemboman AS 

atas Irak dapat dipastikan akan mencapai hasil yang diharapkan. 

Mungkin, mengenai masalah produksi dan penyediaan bahan 

bakar minyak bumi yang melimpah­ruah dapat diubah melalui 

penyerangan ini , atau Saddam Husein digulingkan dari pe­

merintahannya. namun  bahwa Irak akan menjadi negara penurut 

bagi AS, rasanya jauh dari kenyataan. Para pemimpin oposisi 

Irak yang menentang Saddam Husein dan baru­baru ini berkum­

pul di Gedung Putih—setelah memegang tampuk pemerintahan 

dukungan AS, belum tentu nantinya akan mengikuti kehendak 

negara Paman Sam itu. Untuk dapat bertahan, mereka harus pan­

dai­pandai menampung perasaan rakyat Irak yang benci terha­

dap campur tangan asing, dalam hal ini adalah AS. Ini semua, 

merupakan sebuah aspek saja yang harus diperhitungkan dalam 

melihat permasalahan di atas.

Sekali lagi, menjadi nyatalah bagi kita bahwa kekuatan saja 

belum tentu dapat mengubah perasaan orang banyak. Ada residu 

perasaan tidak senang, apabila kekuatan dan kekuasaan diguna­

kan secara berlebihan. Dalam jangka panjang, hanya kerugian 

bagi semua pihak saja yang terjadi akibat pertimbangan­pertim­

bangan geopolitik yang digunakan AS saat ini. Karenanya, kita 

harus berhati­hati dengan berbagai pertimbangan ini , apa­

lagi kalau tindakan yang diambil sangat dipengaruhi oleh emosi 

para pengambil keputusan. 

Tampaknya, Presiden AS George W. Bush Jr., merencana­

kan serangan dan pemboman atas Irak itu dengan pertimbang­

an mencari popularitas, karena ketidakmampuan memecahkan 

krisis ekonomi AS yang sedang terjadi. namun  bahayanya, kalau 

serangan dan pemboman besar­besaran itu tidak menghasilkan 

sikap Irak untuk mengikuti kehendak AS ­katakanlah di bidang 

minyak bumi, ditambah dengan jumlah besar penduduk sipil 

yang menjadi korban serta banyaknya serdadu AS yang gugur 

atau menderita luka­luka di kawasan ini , bisa jadi pendapat 

HaRuskaH ada kEsEPakatan?

umum di AS dapat berbalik menyalahkan presiden ini . Dan 

kemungkinan untuk itu tampaknya cukup besar, karena Saddam 

Husein menarik pasukan­pasukannya ke kawasan perkotaan, 

yang berati akan jatuh lebih banyak korban, apalagi kalau ia ber­

hasil menggerakkan perlawanan gerilya kota terhadap serangan 

AS. 

Serangan dan pemboman itu akan menimbulkan kemarah­

an luar biasa bagi kaum Muslimin di seluruh dunia terhadap 

Pemerintah AS sendiri. Karena ketidakberdayaan menghentikan 

serangan dan pemboman itu, dengan sendirinya peradaban yang 

melahirkannya yaitu peradaban Barat, ditolak sebagai mitra 

peradaban Islam ke arah kemajuan. Dengan demikian, keme­

lut psikologis yang menghinggapi diri kaum Muslimin di selu­

ruh dunia, akan semakin menjadi­jadi, minimal bagi para warga 

gerakan­gerakan Islam. Sikap keras sebagian mereka, dengan 

sendirinya semakin sulit untuk dilerai, dan perlawanan gila­gila­

an seperti bom bunuh diri di Israel­Palestina akan semakin ba­

nyak. Kalaupun tidak bertambah jumlahnya, reaksi psikologis 

yang menghinggapi para warga gerakan­gerakan Islam itu akan 

menjadi keras dan bertambah kompleks. Apalagi ditambah de­

ngan sikap Perdana Menteri Ariel Sharon2 dan Kepala Staf Ang­

katan Bersenjata Israel Jenderal Allon yang semakin keras ter­

hadap kaum pejuang Palestina, maka rasa tidak berdaya itu akan 

berubah secara kualitatif dan kuantitatif menjadi kebencian se­

makin besar terhadap “peradaban Barat”.

Bagi Indonesia, atau lebih tepatnya bagi gerakan­gerakan 

Islam moderat di negeri ini, tantangan yang dihadapi juga akan se­

makin besar. Di tengah­tengah sikap moderat kebanyakan kaum 

Muslimin di negeri ini, terdapat kelompok­kelompok “Muslim 

garis keras” yang tentu saja akan merasakan tekanan­tekanan 

psikologis yang dirasakan kaum Muslimin di seluruh dunia seba­

gai akibat dari serangan dan pemboman AS atas Irak itu. Rasa 

2 Perdana Menteri Israel dari Partai Likud sejak 7 Maret 2001. Pada 21 

November 2005, Sharon keluar dari Likud dan membentuk partai baru ber­

nama Kadima. Namun karena stroke yang mengakibatkan pendaharan otak, 

Sharon harus digantikan wakil PM, Ehud Olmert pada 11 April 2006.

tidak berdaya itu tentu akan membawa akibat­akibatnya sendiri 

yang serius bagi keadaan umat manusia dewasa ini, yaitu mem­

buat lebih tipis keinginan mencari langkah­langkah akomodatif 

antara peradaban Islam dan peradaban­peradaban lain. 

Rasa tidak berdaya itu, tentu lebih terasa di kalangan kaum 

muda dan kaum miskin perkotaan (urban poor), suatu hal yang 

sama sekali tidak dilihat oleh Presiden George Bush Jr., yang 

sudah dapat diperkirakan sebelumnya, dari kualitas pertimbang­

an­pertimbangan geopolitis yang digunakan olehnya. Di sinilah 

sebenarnya terletak pangkal masalah yang dihadapi umat manu­

sia dewasa ini. 

Di satu pihak, negara­negara yang berindustri maju, sering 

disebut sebagai negara­negara makmur (affluent countries), 

tidak penah menyadari parahnya keadaan di negara­negara 

berkembang dan lebarnya kesenjangan antara kaum kaya dan 

miskin di kawasan ini . Memang, meski peperangan terha­

dap terorisme internasional dan penegakan demokrasi telah dila­

kukan, namun  AS bukanlah contoh yang baik tentang bagaimana 

upaya menegakkan demokrasi dan menghilangkan kesenjangan 

kaya­miskin serta pembelaan terhadap negara­negara berkem­

bang yang lemah. Bahkan, AS sendiri lebih sering dianggap seba­

gai pendukung para penguasa lalim di seluruh dunia. Kalau demi­

kian, berhakkah dia berbicara tentang moral dan etika? Padahal 

perjuangan melawan terorisme internasional dan domestik, ha­

ruslah didasarkan pada acuan moral dan etika. Karena, banyak 

yang mempertanyakan hak AS untuk memberantas terorisme 

internasional, yang membunuh sangat banyak penduduk sipil 

yang dibom dan diserang dengan sebuah keputusan yang bersi­

fat unilateral.

Dengan dasar etis dan moral yang masih dipertanyakan, 

herankah kita jika banyak kaum muslimin lalu mempertanyakan 

sendi­sendi peradaban yang tidak seimbang antara yang terjadi 

dengan yang dibawakan AS sebagai negara adikuasa dan negara­

negara berteknologi maju? Karena tidak memiliki pengetahuan 

agama yang cukup, herankah jika mereka melihat sikap moderat 

mayoritas kaum muslimin, sebagai langkah menyerah bulat pada 

peradaban sekuler yang melahirkan arogansi sikap itu? Sikap 

Presiden Bush itu membebani kaum muslimin moderat dengan 

tugas yang tidak ringan, yaitu mengatasi sikap utopis di kalangan 

kaum “muslimin garis keras”. Adilkah yang demikian itu? h

HaRuskaH ada kEsEPakatan?

saat  penulis memberikan ceramah di KSG (Kennedy 

School of Government) bagi sejumlah orang mahasiswa 

Universitas Harvard, akhir September 2002 ini, ada per­

tanyaan dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Singapura: 

mengapakah penulis memusuhi Singapura? Penulis menjawab, 

bahwa ia memang menolak arogansi sementara para pemimpin 

Singapura, yang sok tahu tentang perkembangan Islam di Tanah 

Air kita. Bahkan dua orang pejabat tinggi Singapura menyatakan 

bahwa “Muslim garis keras” akan memerintah Indonesia dalam 

waktu 50 tahun lagi. Penulis menyatakan melalui jawaban tu­

lisan —ia menjawab melalui beberapa buah media massa Indone­

sia yang masih mau memuat pernyataannya, bahwa kita tidak 

perlu mendengarkan pendapat kedua orang pemimpin Singapu­

ra tentang Islam di negeri ini, karena mereka tidak tahu apa­apa 

tentang agama ini .

Jawaban penulis ini, menunjuk pada sebuah perkembang­

an penting di negeri kita. Karena sebelumnya, para pemimpin 

kita di masa lampau menerima suapan dari sejumlah tokoh Singa­

pura, lalu mereka berada pada posisi bergantung pada ekonomi 

Singapura. Karena itu, timbulah arogansi di kalangan sementara 

tokoh negeri itu. Dari arogansi ini, lalu timbul sikap mementing­

kan pihak yang tidak penting, dan memberikan penilaian yang 

terlalu tinggi terhadap mereka. Termasuk dalam sikap ini, pan­

dangan sangat merendahkan terhadap kaum Sunni tradisional 

seperti yang ada di lingkungan Nahdlatul Ulama. Selain itu, kare­

na penulis tidak mau menggunakan kekerasan untuk memperta­


g 397 h

hankan jabatan negara, sebagai presiden yang berfungsi menjadi 

kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, sikap itu diang­

gap mereka sebagai kelemahan. Mereka tidak percaya, bahwa 

demokrasi melalui pemilihan umum akan memberikan penilai­

annya sendiri. Apalagi karena memang para tokoh Singapura itu 

tidak percaya pada demokrasi dan memperlakukannya secara 

manipulatif.

Begitulah pandangan seorang tokoh Singapura yang diang­

gap sudah mendunia, padahal postulat­postulat yang diguna­

kannya hanya berasal dari kalangan elit belaka. Tokoh ini , 

tidak pernah menyadari bahwa dunia baru sedang menggeliat, 

bangun dari tidurnya selama berabad­abad. Dunia baru itu me­

ngembangkan postulat­postulat dan premis­premisnya sendiri, 

yang harus ditangkap dengan jitu, agar tidak terjadi hal­hal yang 

merugikan semua pihak. Termasuk di dalamnya, kaum Musli­

min moderat yang sanggup mempertahankan keyakinan agama 

mereka, sambil menyerap hal­hal baik dari kemajuan pengeta­

huan dan teknologi modern.

Jelaslah dari uraian di atas, penulis tetap menganggap pen­

ting kemajuan pengetahuan dan teknologi Singapura, namun 

penulis tetap beranggapan bahwa Singapura juga memiliki keter­

batasannya sendiri. Ini berarti, sikap arogan dari sejumlah tokoh 

mereka terhadap Indonesia dan Islam harus dihilangkan, jika di­

inginkan tetap ada hubungan baik antara kedua negara. Penulis 

sendiri sangat menghargai kemampuan bangsa Singapura untuk 

maju dengan cepat, walaupun terkadang dicapai atas kerugian 

bangsa­bangsa lain di sekitarnya. Jadi harus dicari bagaimana 

mempertahankan kemajuan yang dicapai, sambil menghargai 

dengan sungguh­sungguh upaya bangsa­bangsa sekitar untuk 

maju dengan cara mereka sendiri.

Sikap memandang rendah bangsa dan negara lain —betapa 

canggihnya sekalipun ia dibungkus—, tetap akan tampak dalam 

jangka panjang. Inilah yang membuat orang­orang seperti penu­

lis berbeda pandangan dari tokoh­tokoh arogan Singapura itu. 

Walaupun penulis berbeda pandangan dari tokoh­tokoh ini , 

namun ia tidak memusuhi bangsa Singapura. Sebagai penganut 

paham non­hegemonik hubungan internasional, penulis sangat 

menghargai bangsa Singapura. namun  ini tidak berarti penulis 

menganggap Singapura patut menjadi contoh bangsa dan negara 

kita. Tentu saja persoalan­persoalan yang dihadapi negara­kota 



(city state) —yang sangat kecil seperti Singapura—, tidak sama 

dengan masalah­masalah yang dihadapi negara­bangsa (nation 

state) seperti Indonesia, yang memiliki lebih dari 200 juta pendu­

duk dan memiliki wilayah ribuan kilometer. 

Dengan sendirinya, para pemimpin negara kita harus me­

miliki wawasan dan kebijakan (policy) sendiri, yang akan me­

lahirkan kebijaksanaan (wisdom) dalam menangani berbagai 

masalah dalam menghadapi bermacam­macam sikap, termasuk 

arogansi tokoh­tokoh negara lain sekecil Singapura itu.

Penulis teringat ungkapan CEO (Chief Excutive Officer), 

pejabat ekskutif tertinggi General Motors, beberapa puluh ta­

hun yang lalu, yaitu Charlie “Engine” Wilson, bahwa apa yang 

baik bagi perusahaan ini , juga baik bagi Amerika Serikat, 

tidak berlaku dalam hubungan internasional antara Indonesia 

dan Singapura. Jelaslah dengan demikian, apa yang baik bagi 

Singapura, belum tentu baik bagi Indonesia. Sekarang saja, ke­

tika komplek serba ada seperti ITC di Mangga Dua sudah ber­

fungsi, Singapura sudah kewalahan menarik para pembeli kita. 

Demikian juga, hotel­hotel mereka yang dahulu memanfaatkan 

konsumen dari negara kita, sekarang juga dibuat pusing oleh su­

litnya menarik para pembeli bangsa kita.

Bangsa Singapura harus menyadari, pola hubungan berke­

tergantungan antara negara mereka dengan Indonesia­Ma­

laysia­Thailand­Brunei Darussalam, adalah pola hubungan ti­

dak normal, yang pada suatu saat  akan kontraproduktif dan 

merugikan Singapura sendiri. Ini berarti, sikap arogan terhadap 

bangsa­bangsa dan negara­negara sekitar, haruslah diakhiri. 

Hubungan baru harus segera dibuat atas dasar saling penghor­

matan dan kesadaran masa depan bersama yang akan penuh rin­

tangan. Sekarang saja, tekanan kegiatan ekonomi ASEAN sudah 

berpindah dari kawasan selatan ke kawasan utara persekutuan 

ini . Proyek Delta Mekong yang melibatkan Thailand­Kam­

bodia­Vietnam­Laos dan Myanmar merupakan titik baru eko­

nomi regional, walaupun proyek jalan raya, pelayaran maupun 

penerbangan BIMP­EAGA1 (Filipina–Brunei–Malaysia­Indone­

1 Brunei Darussalam Indonesia Malaysia the Philippines­East Asean 

Growth Area (BIMP­EAGA) adalah kerjasama ekonomi untuk membangun 

kawasan Brunei Darussalam, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya 

(Indonesia), Sabah, Sarawak, Labuan (Malaysia), Mindanao dan Pahlawan, 

Filipina (Filipina).

Asia dan kawasan pengembangan ASEAN Timur) masih tersen­

dat­sendat.

Kesadaran bersama ini mengambil bentuk bermacam­ma­

cam. Indonesia, umpamanya, lebih mementingkan pelabuhan 

samudera. Sementara upaya mengatasi kebakaran hutan yang 

mengganggu negara­negara tetangga, adalah antara lain dengan 

mempertimbangkan usulan Ir. Erna Witoelar agar kelompok­

kelompok masyarakat memiliki dan mengelola daerah­daerah 

pinggiran hutan, agar mereka turut bertanggungjawab dalam 

memelihara kelebatan hutan, karena ditakutkan akan merembet 

ke kawasan yang mereka miliki. Juga, kelestarian sumber­sum­

ber alam, seperti batu­bara, minyak bumi, gas alam serta barang 

tambang lainnya, akan membawa perubahan besar­besaran da­

lam mengelola ekonomi di masa depan. Di sini yang dipenting­

kan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup rakyat keba­

nyakan, agar mereka turut bertangungjawab atas kelestarian 

sumber­sumber alam ini . 

Ini semua berarti, Indonesia akan membuka diri terhadap 

masuknya investasi asing. Kalau ini yang selalu diingat, hubungan 

Indonesia dengan negara­negara tetangganya, atas dasar prinsip 

saling menghormati, akan menjadi lancar dan mendorong sta­

bilitas kawasan. Dan, hal itu berarti harus ada penyeimbangan 

kepentingan nasional masing­masing negara, di satu sisi dan ke­

pentingan bersama bagi kawasan yang memiliki kolektifitasnya 

sendiri, di sisi lain. h


Seorang yang dekat dengan Perdana Menteri Thaksin Shi­

nawatra (dibaca, Cinawat) mengatakan pada penulis ten­

tang ketidakmengertian orang­orang Thai tentang tidak 

terlaksananya dua buah masalah pokok yang telah disepakati an­

tara Muangthai dan Indonesia. Yang pernah dicapai antara Per­

dana Menteri Thaksin dengan penulis, dalam kapasitas sebagai 

Presiden Republik Indonesia. Tanpa pelaksanaan kedua hal itu, 

yang terjadi adalah keraguan dari pihak Muangthai, benarkah 

orang Indonesia serius dalam melaksanakan hal­hal yang telah 

disepakati? Jika dapat berjalan dengan lancar, maka sekaligus 

akan merupakan terobosan.

Kedua hal itu adalah kesepakatan untuk memproses mi­

nyak mentah Indonesia di berbagai kilang minyak Muangthai, 

tujuannya untuk mengurangi ketergantungan Indonesia kepada 

kilang­kilang minyak Singapura. Tampaknya, para pejabat Per­

tamina tidak mau bersusah payah dalam hal ini, karena hanya 

bersedia bersandar pada keinginan pemerintah Singapura saja. 

Dalam pembicaraan itu penulis menyatakan bahwa mungkin pi­

hak pemilik kilang di Singapura telah memberikan sesuatu seba­

gai sogokan kepada para pejabat Indonesia.

Hal kedua adalah menciptakan keseimbangan perdagang­

an (balance trade account) dalam perdagangan antara Indone­

sia­Muangthai. Dasar dari pemikiran itu, adalah apa yang diala­

mi oleh negara­negara Eropa setelah Perang Dunia II. Waktu itu, 

Indonesia-muangthai: sebuah 

kemungkinan memperluas kerjasama

negara­negara Eropa tidak memiliki jumlah uang yang besar, se­

hingga mereka tidak menggunakan uang sama sekali dalam per­

dagangan antar negara di Benua Eropa. Jika hampir tutup buku, 

mereka cukup membandingkan neraca pembayaran antara dua 

negara. Dari situ akan tampak, berapa tanggungan sebuah nega­

ra pada negara yang lain sebagai hasil penyeimbangan. Hanya 

jumlah berlebih itulah yang harus dibayar dalam valuta asing 

oleh sebuah negara dalam sistem penyeimbangan itu. Hal ini di­

lakukan, oleh negara­negara yang kekurangan valuta asing.

Bagi negara­negara berkembang, yang selalu kekurangan 

devisa, sebaiknya menerapkan cara ini di antara mereka. Dengan 

demikian, keseimbangan neraca perdagangan dapat dipelihara, 

tanpa menghilangkan kewajiban menyelesaikan jumlah­jumlah 

selisih antara mereka dalam neraca pembayaran. Hanya dengan 

cara inilah dapat dilakukan kerjasama untuk melawan kekuasaan 

negara­negara maju, seperti Amerika Serikat. Namun, keinginan 

mulia Muangthai justru tidak ditindaklanjuti oleh pemerintah 

Indonesia sekarang, yang sedang mengalami krisis multidimen­

sional. Ini adalah hal yang sangat mengherankan Muangthai 

sendiri.

Penulis menyatakan, tidak usah heran dengan sikap terse­

but. Karena Indonesia sangat tergantung kepada mitranya dari 

negara­negara berteknologi maju, dan kurang memperhatikan 

sesama negara melarat. Ini tentu disebabkan oleh kecenderungan 

para penguasa negara untuk mencari keuntungan bagi diri sendi­

ri, baru setelah itu memikirkan kepentingan negara. Mentalitas 

inilah yang diketahui para pengusaha negara­negara berteknolo­

gi maju, hingga upeti tertentu dapat dibayarkan untuk kepenting­

an kalangan pejabat di negeri ini.

Keheranan teman­teman di Muangthai itu segera terjawab 

karena sebab­sebab tadi. Nyata benar, sikap para penyelengga­

ra pemerintahan, dapat menimbulkan dampak­dampak negatif 

bagi pertumbuhan ekonomi negeri ini. Karenanya, patutlah per­

timbangan Paul Krugman, seorang maha guru ekonomi dari MIT 

(Massachusset Institute of Technology) bahwa selama birokrasi 

pemerintah di Indonesia berjumlah terlalu besar dan belum ber­

sih betul dari korupsi, selama itu pula jangan diharapkan untuk 

IndonEsIa-muanGtHaI: sEbuaH kEmunGkInan


bisa sukses saat  keluar dari IMF (International Monetary 

Fund). Selama kebersihan birokrasi pemerintah tidak diperhati­

kan, maka jangan diharapkan akan tumbuh sikap yang meman­

dang perlu memelihara kepentingan orang banyak.

Jelas dari uraian di atas, hubungan sehat dalam perdagang­

an antar negara sangat tergantung pada kesehatan birokrasinya. 

Sikap inilah yang tidak pernah mendapatkan perhatian serius 

kita dalam peyelenggaraan kemitraan dengan sesama negara ber­

kembang, baik dalam lingkungan ASEAN maupun di luarnya.

Karena itu, kita tidak perlu heran dengan pertanyaan orang­

orang Muangthai yang menanyakan keseriusan untuk bermitra 

antara sesama Negara ASEAN, maupun antara sesama negara 

berkembang. Dan jangan heran dengan keluhan para pengamat 

luar dan dalam negeri, karena sebenarnya kita juga tahu akibat 

yang ditimbulkan penyelenggara pemerintahan, bersumber dari 

pemahaman mereka atas situasi yang dipengaruhi oleh kepen­

tingan pribadi masing­masing.

Dengan menelaah apa yang terjadi dalam proses pengam­

bilan keputusan tadi, tentu saja keinginan penulis untuk mewu­

judkan sebuah prinsip bekerjasama antara sesama negara ber­

kembang seringkali diabaikan, seperti halnya bagaimana kita 

menyambut sebuah investasi yang akan menguntungkan dae­

rah. Keinginan penulis untuk mewujudkan segala sesuatu yang 

produktif, antara para pejabat Muangthai dengan pejabat Indo­

nesia ternyata masih harus ditunda lagi, hingga entah kapan ter­

wujudnya. Jadi tidak heranlah jika kepentingan negara­negara 

berteknologi maju lebih diutamakan oleh para penyelenggara 

pemerintahan kita saat ini. h

Pada pertengahan Juni 2002, penulis pergi ke Bangkok, 

Thailand. Di kota ini , penulis menghadiri pembentuk­

an sebuah lembaga pertimbangan bagi Perserikatan Bang­

sa­Bangsa (PBB), bernama World Council for Religious Leaders 

(Dewan Dunia Pemimpin­pemimpin Agama). Dalam anggaran 

dasar lembaga pertimbangan itu, dikemukakan bahwa lembaga 

itu mengacu kepada perdamaian dunia tanpa kekerasan, dan 

harus berbicara mengenai cara­cara mencapai perjuangan perda­

maian dunia sebagai kenyataan yang paling diperlukan di dunia 

ini. Lembaga ini adalah hasil dari Konferensi Dunia untuk Aga­

ma dan Perdamaian (World Conference on Religion and Peace-

WCRP)1, yang dibuka oleh Presiden Amerika Serikat (AS) saat 

itu, Bill Clinton, tahun 2001. Penulis sendiri dan Presiden Khata­

mi dari Iran, saat  itu, tidak dapat datang karena kesibukan ma­

sing­masing di dalam negeri. Namun, ia diwakili oleh Ayatullah 

Taskhiri dan Diwan al-Taqrib Baina al-Madzâhib (Dewan Pen­

dekatan Antar Sekte). Dihadiri oleh para agamawan dari berba­

gai agama, pembentukan lembaga ini  merupakan sebuah 

kejadian penting, karena para agamawan itu mewakili para aga­

mawan se­dunia untuk memberikan pertimbangan bagi Perseri­

katan Bangsa­Bangsa (PBB). 

Walaupun fungsi badan ini hanyalah memberikan pertim­

bangan belaka, yang dapat dipakai atau dibuang oleh organisasi 

tingkat dunia itu, namun pertimbangan yang diberikan memiliki 

bobot tersendiri. Karenanya, lembaga baru ini tidak dapat begitu 

1 Lembaga yang beranggotakan tokoh­tokoh agama internasional ini 

bermarkas di New York, Amerika Serikat. Lembaga  ini membangun dialog an­

tar agama menuju perdamaian. Abdurrahman Wahid pernah terpilih sebagai 

Presiden WCRP tahun 1994­1998.

Pembentukan sebuah Forum 

di Bangkok


saja diabaikan, sebab ia merupakan langkah baru untuk memper­

kuat badan tingkat dunia seperti PBB.

Dalam pidato pembukaan, penulis mengemukakan tiga hal 

yang harus menjadi kerangka lembaga baru ini . Pertama, 

harus disadari bahwa pertimbangan yang diberikan akan me­

miliki spiritualitasnya sendiri, di tengah­tengah orientasi PBB 

sendiri yang bersandarkan filsafat materialisme dalam segenap 

teori pembangunan yang sekuler yang jauh dari ukuran­ukuran 

keagamaan. Kedua, pertimbangan yang diberikan memiliki latar 

belakang dinamika masing­masing agama yang penuh dengan 

perubahan, yang berarti ia adalah hasil dan sebuah proses yang 

belum selesai. Ketiga, proses yang menghasilkan pertimbangan­

pertimbangan itu harus dilihat dari sudut pandang dialog antar 

agama, bukannya konfrontasi antara agama dan materialisme. 

Mengenai hal pertama, sudah jelas bahwa acuan materia­

listik sekarang merupakan bahan pertimbangan satu­satunya 

bagi organisasi tingkat dunia ini . Dasar­dasar pertimbang­

an geopolitik yang benar­benar materialistik dalam orientasi, 

merupakan satu­satunya nafas dalam mengambil keputusan. 

Ini tejadi, karena lembaga tertinggi dunia itu meneruskan pro­

ses pengambilan keputusan­keputusan yang hampir seluruhnya 

didasarkan pada pemikiran materialistik masing­masing negara. 

Akibatnya, terjadilah perbenturan kepentingan, antara negara­

negara besar yang menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. 

Dalam lingkup pikiran materialistik yang dominan, pertim­

bangan­pertimbangan spiritual yang dibawakan oleh berbagai 

agama tentu dirasa tidak diperlukan bagi PBB. namun , kemacet­

an­kemacetan dalam pengambilan keputusan yang diakibatkan 

oleh sederetan pertentangan yang ada kini, membuat setiap per­

timbangan keagamaan menjadi kebuAllah  tersendiri yang dapat 

membawa pemecahan, melalui pendekatan spiritual yang holis­

tik. Di sinilah nantinya akan terasa adanya keperluan memben­

tuk dewan baru itu.

Pertimbangan­pertimbangan spiritual itu hanya pencermi­

nan belaka dan dinamika yang terjadi di masing­masing agama. 

Aspek­aspek tradisionalisme dan pembaharuan dalam masing­

masing agama terjadi dalam skala yang sangat luas, dan meru­

pakan proses yang memberikan bekas mendalam atas perilaku 

perorangan maupun kelompok dalam masing­masing agama. Ini 

berarti, lembaga baru itu harus memperhitungkan aspek­aspek 

tradisional yang dipelihara dan langkah­langkah pembaharuan 

yang diambil oleh tiap agama. Dari pengalaman ini  baru 

dapat diperoleh pertimbangan yang matang untuk dibawa kepa­

da lembaga tertinggi dunia ini . Hanya dengan cara inilah, 

sebuah pertimbangan akan memiliki kematangan spiritual yang 

diperlukan, guna menghadapi dasar­dasar materialistik dari 

keputusan yang diambil oleh masing­masing negara. 

Sedangkan aspek ketiga yang dikemukakan penulis, yaitu 

watak saling melengkapi dan tidak konfrontatif antara berbagai 

peradaban dunia, merupakan sebuah alasan yang diperlukan di 

masa­masa yang akan datang. Hal itu telah melatarbelakangi 

keputusan­keputusan bersama berbagai cabang dan anak ca­

bang dari lembaga tertinggi dunia itu. Forum UNESCO, Komi­

sariat Tinggi PBB untuk HAM, Konferensi Lingkungan Hidup di 

Rio de Janeiro beberapa tahun lalu dan kegiatan­kegiatan seje­

nis, seluruh produk­produknya saling melengkapi dan bukannya 

menggunakan pendekatan persaingan antar berbagai perada­

ban. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa PBB memiliki dua 

jenis produk saat ini yang harus dipahami.

Kemacetan dalam pengambilan keputusan, baik kegagalan 

dalam memutuskan maupun kegagalan dalam melaksanakan 

keputusan, tampak jelas sekali akibat perbedaan kepentingan 

negara­negara besar. Karenanya, dibutuhkan pelestarian dunia 

dan isinya, berdasarkan pada sikap yang mengacu kepada kepen­

tingan bersama semua negara di masa depan. Dari sinilah PBB 

dapat menyampaikan keputusan­keputusan yang membuatnya 

menjadi badan tertinggi dunia yang diperlukan di masa depan, 

dan bukannya lembaga yang terpaku pada kemacetan­kemacetan 

di masa kini belaka. h

PEmbEntukan sEbuaH FoRum dI banGkok