ilmu tarekat mistik 1
Sebaliknya tidak mu-
dah mencari bahan sejarah tiap-tiap tarekat untuk dikumpulkan dan
diperbandingkan dalam sebuah kitab, sebab jarang tokoh-tokoh tare
kat itu membukukan dan mengemukakan sejarah perkembangan tare-
katnya masing-masing, apalagi sejarah hidupnya sendiri, kekeramatan
dan kewaliannya, sebab takut ria dan takabur. Bahan-bahan yang ber-
taburan di sana-sini dari kitab-kitab penting dalam bahasa Arab dikum
pulkan oleh Sdr. H . Abubakar Aceh dalam "Pengantar Ilmu Tarekat"
ini yaitu mukaddimah dan perkenalan.
Makin sehari makin bertambah bacaan dalam ilmu tasawwuf dan
tarekat, dan makin lama orang makin insyaf, bahwa tasawwuf dan ta
rekat itu bukan sesuatu yang diadakan di luar Islam, namun usaha pe
laksanaan dibandingkan peraturan-peraturan syari'at Islam yang sah. Ber-
tahun-tahun saya perjuangkan kebenaran ini dengan gerakan Kadiriy-
yah Naksyabandiyah, yang saya pimpin dan saya asuh, sebab saya
yakin, bahwa syari'at itu tidak sempurna jika tidak dilakukan menurut
jalan, thuruq atau tarekat, yang ditunjukkan. Bukankah dalam Qur'an
disebui : " J ika mereka itu lurus berjalan di atas jalan yang benar (ber-
thariqat), niscaya Kami akan curahkan kepadanya titisan air yang ber-
faedah bagi kehidupannya, dan supaya Kami menguji mereka tentang
hal yang demikian. Barang siapa yang berpaling dibandingkan pengajaran
Allah niscaya mereka dimasukkan ke dalam jurang siksaan yang pedih"
(Qur'an, S. Jin, 16 — 17).
Lebih jauh-saya persilahkan pembaca menelaah kitab-kitab saya
mengenai Pembelaan Tharikat, terutama tarekat Kadiriyah Naksyaban-
diyah. Dalam kitab Pengantar Sdr. H . Abubakar banyak ada pi-
kiran-pikiran saya, dan saya perkenankan dipetik dan digunakannya.
Mengapa dalam kitab ini saya tulis khusus mengenai tarekat? Tare
kat yaitu bahagian terpenting dibandingkan pelaksanaan tasawwuf.
Mempelajari tasawwuf dengan tidak mengetahui dan melakukan tare
kat yaitu suatu usaha yang hampa. Dalam ajaran tasawwuf di-
terangkan, bahwa syari'at itu hanya peraturan belaka, tarekatlah yang
yaitu perbuatan untuk melaksanakan syari'at itu, apabila syari'at
dan tarekat ini sudah dapat dikuasai, maka lahirlah hakekat yang tidak
lain dibandingkan perbaikan keadaan atau ahwal, sedang tujuan yang ter-
akhir ialah ma'rifat yaitu mengenai dan mencintai Allah dengan se-
baik-baiknya.
Terutama di negeri kita ini pada waktu yang akhir sangat banyak
kaum terpelajar mencemoohkan tarekat, sebagaimana mereka men-
cemoohkan tasawwuf umumnya, seakan-akan suatu pekerjaan yang
dibuat-buat dan tersia-sia dalam kehidupan Islam. Apakah mereka su
dah kenal tarekat atau tasawwuf itu dari dekat ?
Saya akan mengemukakan di sini, betapa besar perhatian ahli-ahli
pikir Eropah terhadap tasawwuf, termasuk tarekat, sebab mereka me-
lihat dalam didikan batin ini tersembunyi kekuatan umat Islam yang
tidak terhingga, yang yaitu urat nadi dan jiwa bagi Islam sewak-
tu-waktu ia dalam keadaan mundur dan lemah.
Tidak ada kejadian yang lebih sakit dan lebih banyak menumpah-
kan air mata dibandingkan kehancuran Bagdad yang berturut-turut oleh
Jengis Khan dan Hulagu Khan diratakan dengan bumi. Seluruh kebu-
dayaan Islam, yang sudah dibangunkan berabad-abad, hancur lebur.
Bukan saja gedung-gedung besar yang megah, istana-istana yang penuh
dengan ahli-ahli pikir, pengarang, penterjemah dan kitab-kitab yang ber-
harga, hancur menjadi abu, namun juga seluruh manusia laki-laki, pe-
rempuan dan anak-anak-boleh dikatakan musnah di bawah tapak kaki
kuda bangsa Mongol yang kejam itu. Ibn Asir meratapi kejadian itu
dalam kitab sejarahnya, yang tiap lembar bacaan sampai sekarang da
pat membangkitkan ketakutan dan menegakkan bulu roma. Perampok-
an, penyembelihan, pembunuhan habis-habisan yang tak ada taranya.
Manusia sampai kepada perempuan dan kanak-kanak yang tidak ber-
dosa menjadi permainan tentera Mongol yang bersifat kebinatangan
itu, diinjak dengan tapak kaki kuda, dipermainkan pada ujung tom-
baknya, dibedah dan dibelek perutnya dengan alasan mencari permata
yang ditelan, dijadikan umpan peluru dan tameng senjata musuh M o
ngol dalam peperangan yang berikut. Tidak ada manusia yang tinggal,
tidak ada gedung-gedung yang dapat berbicara lagi, tidak ada sebuah
kitab pun ketinggalan dari pembakaran unggunan api. Seluruhnya mus-
nah. Tak ada seorang pun menyangka, bahwa kerajaan Islam dapat
bangkit kembali.
Pengarang-pengarang, seperti Ibn Battutah, yang seabad kemudian
mengunjungi Bukhara, Samarkand, Balkh dan kota-kota sekitarnya,
tidak dapat menulis apa-apa lagi dalam bukunya, sebab semuanya su
dah yaitu onggokan batu dan kecantikan serta kemegahan yang
sudah lenyap.
Kerajaan Khawarizm yang megah hancur lebur, dan rajanya de
ngan ibu dan isterinya, serta anak-anaknya dan kekayaannya jatuh ke
dalam tangan musuh atau mati terkubur dalam pelariannya di pulau
Kaspiah, beberapa saat sesudah ia mengangkat anaknya Jalaluddin se-
bagai penggantinya.
Bagdad pun menderita nasib yang sama. Persangkaan baik sebagai
seorang Islam memang digunakan oleh khalifah. Ia mengirimkan utus-
annya kepada kerajaaan Kristen yang sama-sama menyembah Allah
Yang Esa. namun Biskop Winchester memberi jawaban kepada utusan
Islam itu : "Biarkan anjing-anjing ini berkelahi satu sama lain dan ter-
potong-potong oleh tangannya sendiri, agar di atas kerunAllah itu da
pat berdiri dengan megah gereja Katholik, dengan satu pimpinan dan
penggembalaan" (Prof. Dr. R. van Brakel Buys, "Jalaluddin Rumi"
Amsterdam, 1952).
Inilah kata-kata yang dapat menggambarkan perasaan pemerintah
Kristen. dibandingkan membantu orang Islam yang sama menyembah satu
Allah , mereka mencari hubungan dengan musuh untuk menghancur-
kan Islam (hal. 189).
Lalu bekerja samalah kota Mongol Qaraqorum dan Eropah Barat,
yang mengakibatkan Khan Mongol dapat dikatolikkan oleh Willem van
Rubruck. namun Jengis Khan mati dalam tahun 1227, dan cucunya Hu-
lagu Khan naik menjadi raja dalam tahun 1253, dengan tenteranya yang
berlipat ganda lebih kuat dan kekejamannnya lebih dari neneknya. Da
lam salah satu pertemuan dengan pembesar-pembesarnya diputuskan,
bahwa tujuan yang pertama dibandingkan serangannya ialah menghancur-
kan Bagdad dengan Khalifahnya, dan dengan demikian menghancur-
kan seluruh Islam di muka bumi ini sampai kepada bibit-bibitnya.
Hulagu mengirimkan dalam September 1257 ultimatum kepada
Khalifah Al-Musta'sim (1242 — 1258), dan oleh sebab jawabannya
kurang memuaskan, lalu diserbulah kota Bagdad dan dihancurkannya.
Belum ada suatu bagian sejarah manusia yang demikian menyeramkan
bulu roma, sebagaimana yang terjadi dengan penyerbuan Hulagu ke
Bagdad itu. Jeritan anak-anak dan wanita yang tidak berdosa menye
ramkan bulu roma, di samping sorak-sorai kawanan perampok dan pe-
rampas yang tidak mengenai prikemanusiaan. Mayat manusia berham-
buran di jalan dan di-lorong-lorong, bercampur-aduk dengan bangkai-
bangkai binatang dan runAllah apa yang ada dalam kota Bagdad itu.
Bagdad menjadi rata dengan bumi : Lebih dibandingkan itu perlam-
bang Islam hancur, pusat keindahan dan ilmu pengetahuan musnah da
lam api dan darah. Berabad-abad lamanya umat Islam dengan sabar
dan penuh pengorbanan mengumpulkan kekayaan jasmani dan rohani,
namun semua kemewahan, semua naskah-naskah ilmu pengetahuan yang
berharga, barang-barang berharga dan kesenian yang tidak ada tara
dan nilainya, dalam beberapa hari musnah sama sekali. Dengan ini
orang hendak meyakinkan, bahwa Islam itu sudah dibasmi sampai ke
pada akar-akarnya, dan dengan tindakan ini juga diyakini, bahwa Islam
tidak akan bangkit kembali. Ratusan ribu jilid buku dilemparkan orang
ke dalam api dan tidak terhitung jumlahnya ulama-ulama dan cerdik
pandai dibunuh secara kejam, jika ada yang selamat beberapa orang
sudah hampir-hampir tidak berupa manusia lagi. Hulagu berdiri mene-
puk dada dengan congkaknya di atas 800.000 mayat kaum muslimin
yang terpelajar, bahkan tidak terbilang banyak manusia yang disembe-
lih dan tengkoraknya dijadikan menara dan tugu kemegahan. Dalam
tahun 1265 Hulagu mati di Maraga dekat danau Umiyah, sebagai mu
suh Islam yang terbesar.
Apakah dengan demikian Islam sudah musnah dan tidak bangkit
kembali? Khan Ghazan mengeluarkan kepalanya dari celah-celah ke-
runAllah itu, melihat ke kanan dan ke kiri dan akhirnya bangkit ber-
diri kembali dengan keyakinan Islam. Ia mulai dengan membalas den-
dam kepada Kristen dan Yahudi yang berkhianat. Dan kémudian ia
menyiarkan kembali ajaran Islam dan memperdengarkan azan di atas
menara kembali bertalu-talu. Sembahyang lima waktu sudah'mulai ra-
mai pula dikerjakan orang, dan pengajian di sana-sini dihidupkan de
ngan tidak ada sesuatu perintah dan paksaan. Rencana manusia gagal.
Rencana Allah berjalan kembali. Kitab-kitab dapat dibasmikan oleh
manusia, tetap iman dalam dada orang yang berAllah tidak mudah di-
kikis dikeluarkan.
Di mana letak sumber kekuatan itu? Dalam kitab-kitab yang tidak
terbilang jumlahnya? Dalam mesjid-mesjid yang penuh dikunjungi
orang? Dalam sekolah-sekolah yang membicarakan masalah secara i l -
miyah? Atau dalam ibadat-ibadat yang yaitu latihan bathin se-
hari-hari ?
Orang Barat mencari sumber ini dan sebahagian mendapati, bahwa
sumber kekuatan Islam itu tidak terletak dalam kekuatan luar. Siapa
yang berpendapat demikian, pasti ia keliru katanya Ia tersembunyi di
dalam lubuk Islam yang dalam, terpilin dengan urat nadinya, dan urat
nadinya itu ialah Tasawwuf dan ajaran Sufi, dalam berbagai bentuk
dan corak ("Wie zo denkt, is echter blind gebleven voor de verborgen
ader, die de rotsbodem van de Islam doortrekt. Die ader is de Moham
medaanse mystiek, meer bekend onder de naam van het Soefisme",
kata Brakell Buys dalam komentarnya terhadap kehidupan dan karya
Rumi).
Lalu pikiran orang Barat diarahkan kepada menyelidiki ilmu Ta
sawwuf dan Sufi, sebab mereka tahu masyarakat Islam sesudah han
cur Bagdad bangkit kembali dengan ajaran Sufi yang disiarkan secara
diam-diam.
Memang Qur'an menjadi sumber pokok, memang Sunnah meru
pakan penjelasan yang penting. namun Tasawwuf yaitu urat nadi dari-
pada pelaksanaan ajaran-ajaran itu. Sesudah hancur Bagdad, ulama-
ulama tidak pütus asa untuk menghidupkan kembali kaum Muslimin
sebagai suatu bangsa yang kuat. Abu Slaiman Ad-Darami (mgl. 850),
yang hidup dekat Damaskus mempelajari ma'rifatullah dan memper-
bandingkannya dengan gnesis dari Hellenisme dan Christendom. M a ' -
ruf Al-Karakhi , yang kuburannya ada dekat Tigris, menyatakan
bahwa alam ini tidak ada yang ada hanya Allah. Ajaran Sufi dengan
mudah hidup di Mesir, dalam masa pemerintahan raja-raja Fatimyah
Al -Hak im, dan hidup pula cerita-cerita mengenai Nabi Isa yang menga-
gumkan. Ahmad Al-Hawari dari Syria sepaham dengan beberapa pen-
dapat agama lain, bahwa kekuatan yang terbesar terletak dalam cinta
terhadap Allah . Zun Nun Al -Mis r i (mgl. 860) berpendapat, bahwa ti
dak ada sesuatu pun yang dapat terlaksana kecuali dengan kehendak
Allah . Abu Yazid Al-Bistami (mgl. 875), menyiarkan di sana-sini di
Persi, bahwa manusia itu mengenai dirinya sebagai hak apabila ia telah
meiepaskan selubung kebenaran. Ajaran-ajaran ini dituangkan kembali
dalam bentuk filsafat oleh Ibn Al-Arabi (1165 — 1240), yang dapat me-
resapkan ajaran Sufi itu dengan sajak-sajak dan susunan kalimat-kali-
mat yang indah. Penyair-penyair ini hampir semua berdarah Persi, ber-
darah Arab bercampur Persi, yang ingin melihat "Bagdad" hidup dan
bangkit kembali. Kita kenal dua orang di antara putera Persi yang ter
besar, Fariduddin Attar dan Jalaluddin Rumi, yang memukul canang
di sana-sini dalam syair-syairnya dan gubahan kata yang indah tentang
badai dan taufan yang pernah menenggelamkan Bagdad, menanam ke-
yakinan dan membangkitkan kembali manusia-manusia Islam yang ba-
dannya telah remuk redam diinjak tapak kaki kuda Hulagu, agar bang
kit bergerak sebagai pahlawan-pahlawan Allah di atas muka bumi ini.
Orang Barat mencari kekuatan ini, menyalin dan menulis kitab-
kitab besar untuk menggugah bangsanya melihat kepada titik kekuatan
Islam. Ada berapa orangkah pemuda Islam Indonesia yang sudah mem-
baca karangan-karangan pujangga Barat itu, seperti Donaldson, Mc
Donald, Snouck Hurgronje, Goldziher, Nicholson, O'leary, Wensinck,
Massignon dan lain-lain, dan berapakah pula dari anak-anak kita yang
mempelajari kehidupan tokoh-tokoh Sufi dalam Islam dari pihak
orang-orang Islam sendiri seperti Ghazali, Al-Harawi, Al-Qusyairi, M u -
hasibi, Ibn Al-Jauzi, dan yang terakhir, seperti Zaki Mubarak, A l -
'Bahy, dan lain-lain. Sangat sayang, jika kesempatan ini kita berikan
kepada orang E r o p a h , yang mempelajari pusat kekuatan ki ta , sedang
ki ta sendiri t idak mengetahui apa-apa tentang d i r i ki ta i tu .
Ini lah sebabnya saya menulis beberapa kitab mengenai tasawwuf.
K i t ab yang pertama terbit bernama Pengantar Sejarah Sufi dan Tasaw
wuf, berisi uraian-uraian yang sederhana sebagai pendahuluan dan per-
kenalan dengan i l m u batin yang melaut i n i . Sekarang saya susul karya
itu dengan kitab kedua, yang saya beri bernama Pengantar Ilmu Tare
kat, yang di da lamnya saya kemukakan uraian yang lebih mendalam
tentang apa yang d inamakan oleh orang Sufi syari 'at dan tarekat, de
ngan perkataan mana mereka ingin menjelaskan, bahwa Q u r ' a n dan
Sunnah N a b i i tu , yang yaitu syari 'at , baru berbuah, j i k a ia d i lak-
sanakan d i bawah p impinan guru yang piawai , mursyid yang bijaksana
da lam tarekat, sebab kedua-dua bahagian ini tidak dapat dipisah-
pisahkan. J i k a pengetahuan u m u m tidak dapat dipelajari dengan kitab-
kitab saja namun hendaklah dengan p impinan dan penjelasan guru-guru
yang ah l i , apalagi pengetahuan agama yang pel ik-pel ik , yang kadang-
kadang mengatasi cara berf ikir manusia .
J i k a umur saya d ipanjangkan T u h a n , insya A l l a h , kitab ini akan
segera pula saya sambung dengan suatu uraian tasawwuf yang lengkap
mengenai Hakikat dan Ma'rifat, yang tidak dapat d ipahami atau sukar
d i i ku t i , j i k a kedua buah kitab saya ini belum dibaca oleh mereka yang '
baru mengenai tasawwuf. M e m a n g sebagaimana ajaran Sufi da lam me-
nempuh i l m u tasawwuf itu pelajar dibahagi atas dua tingkat, pertama
murid, yang dalam perjalanan kembal i kepada T u h a n hanya melihat
yang Iahir dan tidak kelihatan apa yang tersembunyi da lam hakekat i tu ,
kedua murad. yang dalam menempuh suluknya kepada T u h a n , hanya
melihat hakekat da lam sesuatu kebenaran, tidak kelihatan lagi apa yang
biasa yaitu alam lahir i n i . Saya ingin bersama saudara-saudara
memasuki uraian yang ketiga i tu , yang saya beri bernama Wasiyat Ibn
Arabi, untuk menyelami secara mendalam alam p ik i r an Suf i , yang oleh
orang Barat d inamakan urat nadi kekuatan Is lam. D a l a m uraian yang
ketiga ini sudah terpi l ih menjadi satu tasawwuf dan filsafat, dan oleh
sebab itu hanya dapat ki ta pelajari bersama sesudah kedua j i l i d urai
an yang saya hidangkan ini ki ta pahami .
Kemudian tidak terhingga terima kasih saya kepada mereka yang
telah menyumbangkan p ik i rannya dalam usaha menyelesaikan kitab
ini ,
Orang Sufi melihat kerusuhan dalam dunia ini disebabkan oleh
dua keadaan, pertama sebab manusia itu tidak percaya adanya Allah ,
kedua sebab manusia itu terlalu mencintai dirinya sendiri. Sebab yang
pertama mengakibatkan tidak mengenai Allah , yang mengakibatkan
pula tidak takut dan tidak patuh kepada perintah-perintah dan larang-
an Allah , yang yaitu peraturan-peraturan untuk mengadakan
perdamaian antara manusia satu sama lain di atas muka bumi ini . Se
bab yang kedua mengakibatkan timbul beberapa keadaan, seperti men
cintai harta benda dan kekayaan, mencintai makan minum yang lezat
yang berlimpah-limpah, mencintai anak isteri yang berlebih-lebihan,
mencintai rumah tangga yang besar dan megah, mencintai kedudukan
yang tinggi dan berpengaruh, mencintai nama yang harum dan mas-
yhur, yang akhirnya membawa kepada kecintaan yang sangat kepada
dunia dan ingin hidup kekal di atas permukaan bumi.
Baik keadaan tidak mengindahkan peraturan-peraturan Allah
mengenai pergaulan antara manusia dengan manusia maupun akibat-
akibat mencintai diri sendiri yang berlebih-lebihan itu, maka timbullah
pertentangan-pertentangan kepentingan antara manusia dengan manu
sia dan antara golongan dengan golongan, yang merusakkan persauda-
raan serta perdamaian dalam pergaulan. Masing-masing manusia itu
bekerja untuk dirinya sendiri dan untuk golongannya sendiri, dengan
tidak memperdulikan kepentingan orang atau golongan lain, yang se-
benarnya harus hidup bersama-sama, secara gotong-royong, secara adil
dan secara makmur bersama. Maka terjadilah pula rebutan hidup me-
wah dan rebutan rezeki serta kekayaan yang tidak ada batasnya. Apa-
bila perbuatan ini sampai ke puncaknya, tidak dapat disingkirkan ada-
nya perkelahian antara manusia dengan manusia, atau adanya pepe-
rangan antara golongan dengan golongan. Maka lenyaplah keamanan
dan perdamaian di atas muka bumi itu, disebabkan kekufuran terhadap
Allah dan keserakahan terhadap kepada diri sendiri.
Bagaimana usaha melenyapkan pertentangan itu ?
Tentu saja ada bermacam-macam cara untuk menyelesaikan per
tentangan tersebut, menurut keyakinan dan kepercayaan masing-masing
manusia itu. Ada yang mendasarkan kepada keyakinan politik, ada
yang mencari penyelesaian dalam perbaikan sosial, bahkan ada yang
ingin menyelesaikan dengan jalan ekonomi, atau penyusunan kekuatan
dan peraturan.
Orang-orang agama, terutama golongan Sufi, mengatakan, bahwa
penyelesaian untuk memperbaiki keadaan itu tidak dapat dengan sem-
purna dicari dalam kehidupan lahir, sebab kepaAllah kehidupan lahir
itu hanya yaitu gambaran atau akibat dari kehidupan manusia,
yang digerakkan oleh tiga pokok, yaitu hawa nafsu, akal dan kegiatan,
syahwat, 'aqal dan ghadhab. Jika ketiga perkara ini seimbang kekuat-
annya, maka hidup manusia itu menjadi normal, namun jika salah satu
dibandingkan nya melebihi yang lain, maka menjadilah hidup manusia itu
abnormal. Dengan lain perkataan perdamaian itu yaitu perseimbang-
an, j ika perseimbangan itu tidak terdapat, maka terjadilah pertentang
an kepentingan antara pribadi seorang manusia dengan manusia lain.
Jika yang terbanyak mempengaruhi manusia itu akalnya, maka
masyarakatnya itu menjadi suatu masyarakat yang baik, namun jika
yang terbanyak mempengaruhi manusia itu syahwatnya atau ghadhab-
nya, maka masyarakat manusia itu akan menjadi suatu masyarakat
yang penuh dengan kekacauan dan pertentangan belaka.
Orang Sufi memikirkan suatu cara tersendiri sebagai usaha meie-
nyapkan pertentangan kepentingan itu. Mereka berpendapat bahwa ke
tiga pokok penggerak hidup rohani manusia itu sebenarnya berasal dari
yang satu jua, yaitu hawa nafsu atau syahwat. Hawa nafsu dan syahwat
inilah yang acapkali menggiatkan kehidupan manusia, namun yang acap-
kali juga menumbuhkan dua sebab kerusuhan dunia, yaitu kekufuran
terhadap Allah dan cinta diri yang berlebih-lebihan. Oleh sebab itu
ajaran Sufi ingin mematikan syahwat itu atau menguranginya sampai
kepada minimum kekuatannya, sebab mereka berkeyakinan, bahwa
syahwat itulah yang sebenarnya menyebabkan keinginan menimbulkan
kekayaan, mencari makanan dan minuman yang sedap, memburu na-
ma, kedudukan, pangkat dan kekuasaan pada manusia, yang akhirnya
menyebabkan adanya perbuatan dan perkelahian di atas muka bumi.
Dengan keyakinannya orang Sufi ingin mengajarkan manusia mem-
biasakan tahan lapar, memakai pakaian yang buruk, mengurangi cinta
kepada harta benda, isteri dan anak, meiepaskan hasrat memburu na-
ma, kedudukan kemuliaan, pangkat dan sebab-sebab yang lain, yang
membuat manusia itu mencintai dunia terlalu banyak untuk kepenting
an dirinya sendiri. Dan dengan ajarannya pula orang Sufi ingin mengisi
jiwa manusia yang sudah dibersihkan itu dengan sifat-sifat yang baik,
yang dapat memajukan serta menyuburkan persaudaraan dan perda
maian di antara manusia. Maka lahirlah terhadap perbaikan manusia
di dunia, dua istilah Sufi, yaitu takhalli, mengosongkan jiwa manusia
dibandingkan sifat-sifat yang tercela, yang digerakkan oleh hawa nafsu, dan
tahalli, mengisi kembali jiwa manusia yang sudah bersih itu dengan
sifat-sifat yang terpuji, yang terutama digerakkan oleh akal dan ilmu-
nya, sehingga dengan demikian terciptalah manusia baru yang indah
dan sempurna, jamal dan kamal, untuk masyarakat damai, yang penuh
dengan rasa persaudaraan dan cinta-mencintai.
namun perbaikan ini baru lahir, apabila dasar keyakinan terhadap
Allah sudah kuat dalam diri manusia, sebab hanya keyakinan terha
dap Allah itulah yang dapat menentang hawa nafsu atau syahwat ma
nusia dengan sebenar-benarnya. Apabila kepercayaan kepada Allah itu
sudah tebal, lahirlah cinta, lahirlah tha'at dan patuh, lahirlah takut,
yang dapat mengontrol dan mengawasi segala amal perbuatan, lahirlah
kecintaan terhadap sesama manusia, sebab Allah sebagai pengawas
seluruh kehidupan dan gerak-geriknya, selalu teringat dan nyata dengan
jelas, tajalli, dalam zihin dan kehidupan jiwanya. Tak dapat tidak ma
nusia yang semacam itu akan melakukan segala amal ibadatnya dengan
ikhlas, berbuat baik terhadap sesama manusia dengan ikhlas, bergaul
dengan ikhlas, bekerja dengan ikhlas, berderma dengan ikhlas, mela-
yani masyarakat dan negara dengan ikhlas, mencintai anak isterinya
dengan ikhlas, pendeknya seluruh hidupnya ditunjukkan kepada ke-
ikhlasan dan kerelaan Allah semata-mata. Akhirnya manusia itu akan
menjadi manusia yang tidak thama', manusia yang tidak serakah dan
mengutamakan dirinya sendiri, namun akan menjadi manusia yang wa-
ra', manusia yang ikhlas dalam ibadat dan damai dalam- perbuatan.
Itulah tujuan Sufi dalam pendidikan budipekerti manusia, akan
membawa manusia itu kepada hidup wara', tidak kepada hidup thama'.
Diceriterakan bahwa A l i bin A b i Thalib, kemenakan Nabi Muham-
mad dan Khalifah yang IV, pada suatu hari sebagai kepala pemerintah-
an Islam datang mengunjungi mesjid besar Basrah. Banyak diusirnya
orang-orang yang berceritera tidak karuan di dalam mesjid itu, sebab
dianggapnya berdongeng dalam mesjid itu perbuatan bid'ah. namun
tiba-tiba ia berdiri dekat satu golongan yang sedang mendengar dengan
penuh perhatian kepada ceritera seorang anak muda, yang bernama
Hasan. Lalu ia berkata kepada anak itu : " J ika kamu dapat menjawab
kedua soal ini, aku akan membiarkan engkau berbicara kepada kum-
pulan orang-orang itu, namun j ika engkau tidak memberikan jawaban
yang benar, aku akan mengeluarkan engkau dari dalam mesjid ini seba
gai mengeluarkan teman-temanmu yang la in" . Maka kata anak itu :
"Bertanyalah, ya Amirul Mu 'min in ! " Lalu berkata A l i : "Coba cerite-
rakan kepadaku, apakah yang akan menyelamatkan agama atau per-
aturan, dan apakah yang dapat merusakkannya?" Maka anak itu pun
menjawab : "Yang dapat menyelamatkannya itu yaitu wara', dan
yang membinasakannya yaitu thama' " . A l i bin Ab i Thalib berkata :
"Benar sungguh katamu itu. Orang yang semacam engkau layak ber
bicara terhadap orang banyak!"
Anak itu tidak lain dibandingkan Hasan Basri, salah seorang tokoh Sufi
yang terkemuka, salah seorang yang sejak kecil sudah mengupas penya-
kit-penyakit jiwa manusia dan cara memperbaikinya.
Seorang demi seorang tokoh Sufi itu timbul sejak abad kedua dan
ketiga Hijrah, dan akhirnya yaitu suatu gerakan yang mendapat
perhatian masyarakat Islam. Bermacam-macam cara mereka bekerja,
berfikir dan mengeluarkan ucapan-ucapannya, namun bersatu dalam tu-
juannya, yaitu meresapkan rasa keAllah an dan menciptakan manusia
yang ikhlas. Memang ada di antara aliran Sufi yang terlalu namun tidak
kurang pula ada yang ingin menyesuaikan dirinya dengan ajaran dan
perbuatan Nabi serta sahabat-sahabatnya, yang mereka anggap sumber
teladan bagi manusia, yang ingin melihat suatu pergaulan masyarakat
yang gilang-gemilang, yang pernah diciptakan oleh Islam pada hari-hari
permulaannya.
Tentang perkataan Sufi, Dr. Zaki Mubarak dalam kitabnya mem-
bentangkan panjang lebar sejarah dan asal perkataan itu yang saya ang-
gap tidak seluruhnya penting untuk dimasukkan ke dalam risalah yang
sederhana ini . D i antaranya ia berkata, bahwa perkataan itu mungkin
berasal dari sufah yang sudah dikenal sebelum Islam sebagai gelar dari
seorang anak Arab yang salih yang selalu mengasingkan diri dekat K a ' -
bah guna mendekati Allah nya, bernama Khaus bin Murr, mungkin
berasal dari perkataan sufah yang dipergunakan untuk nama surat ija-
zah orang naik haji, mungkin juga berasal dari perkataan safa yang ber-
arti bersih dan suci, mungkin berasal dari sophia, perkataan Yunani
yang berarti hikmah atau filsafat, mungkin berasal dari suffah, nama
suatu ruang dekat Mesjid Madinah tempat Nabi memberikan pengajar-
an-pengajarannya kepada sahabat-sahabatnya, seperti Abu Zar dan
lain-lain, dan mungkin pula dari suf yang berarti bulu kambing yang
biasanya menjadi bahan pakaian orang-orang Sufi yang berasal dari
Syria.
Pengertian yang terakhir ini banyak disebut dalam kehidupan
orang-orang Sufi Masehi dan Yahudi, yang menurut ceritera menjadi
kebiasaan mereka memakai pakaian yang berasal dari kulit dan bulu
domba itu. Bahwa kebiasaan memakai pakaian bulu domba itu berasal
dibandingkan kehidupan bathin orang-orang Nasrani diakui oleh banyak
pengarang-pengarang baru dalam kalangan Islam, di antaranya berasal
dibandingkan sebuah ceritera dari Ibn Qutaibah, yang berbunyi demikian :
"Diceriterakan orang kepada saya, bahwa pada suatu hari Isa a.s. ke-
luar menemui sahabat-sahabatnya. Ia memakai selembar jubah yang
terbuat dibandingkan bulu domba, bercelana pendek, bercukur rambut dan
janggutnya, menangis tersedu-sedu, dengan warna mukanya yang pucat
sebab kelaparan, bibirnya yang kering sebab dahaga, berbulu dada,
lengan dan betis yang lebat, sambil berkata : "Assalamu'alaikum,
wahai Bani Israil! A k u ini didatangkan untuk mendudukkan dunia pa
da tempatnya. A k u tidak angkuh dan sombong. Apakah engkau tahu,
di mana rumahku?" Maka sahabat-sahabat itu pun bertanya : " D i
mana rumahmu, ya Ruhullah?" Isa menjawab : "Rumahku semua
mesjid dan tempat ibadat. Minumanku air, lauk paukku lapar, kenda-
raanku kaki sendiri, lampuku pada malam hari ialah bulan, selimu
pada musim sejuk ialah cahaya matahari, makananku tumbuh-tumb
an bumi, buah-buahanku, lalapan apa yang dihasilkan bumi, pakai
ku bulu domba atau suf, perlambangku takut, temanku bercengkera
orang-orang yang menderita kusta dan miskin, aku bangun pagi-r.
tidak memiliki apa-apa, menjelang sore tidak memiliki apa-a
namun tubuhku sehat, jiwaku segar, aku merasa diriku seorang k
raya, apa adakah orang yang lebih kaya dan beruntung dibandingkan i
i n i?"
"At-Tasawwuful Islami fil Adab wal A k h l a q " (Mesir, 1937).
Ceritera ini menerangkan bahwa memakai suf atau bulu don
menjadi kebiasaan orang-orang suci Kristen sejak dari Isa a.s. Mem;
Ibn Sirin menceriterakan, bahwa Nabi Isa memakai pakaian bulu dc
ba, sedang Nabi Muhammad menyukai yang ditenun dari kapas.
Kemudian banyak orang-orang Sufi yang beragama Islam me
ambil kebiasaan memakai baju bulu domba itu, yang sebenarnya 1
asal dari kehidupan rohani orang Kristen. Maka menjadilah seak
akan pakaian bulu domba itu perlambang dibandingkan orang Sufi, sehi
ga kehidupan dan ajaran-ajarannya dinamakan tasawwuf. Paka
yang mula-mula menunjukkan kesederhanaan pemakaiannya, lai
lama menjadi pakaian yang diadatkan dalam kehidupan Sufi, koi
untuk mencegah ria dan menunjukkan kezuhudan pemakaianr
Orang-orang Sufi memakai pakaian itu atau kalau tidak didapatn
menggantikannya dengan pakaian lain yang bertambal, sebab koi
ingin meniru Nabi yang diceriterakan pernah memakai pakaian y;
bertambal.
Dengan demikian terjadilah pembicaraan yang berpanjang-panj;
tentang memakai suf ini . Safi'i menceriterakan bahwa suf itu ada
pakaian khusus buat orang Sufi, dipakai orang sejak dari ulama-ula
Salaf, untuk menghilangkan takabur dan ria, mendekatkan diri kep;
kesederhanaan, tawadhu' dan zuhud, bahwa suf itu yaitu pakaian t
bi-Nabi, bahwa suf itu pernah dipakai oleh Nabi Muhammad tatkak
menaiki keledainya. Bahkan dikemukakan, bahwa Nabi Muhamn
pernah menceriterakan : "Tatkala Nabi Musa pada suatu hari berbic
dengan Allah , ia memakai jubah suf, celana suf dan selendang su
Dan diceriterakan, tatkala Hasan Basri menemui orang-orang Si
artinya orang yang pakai baju bulu domba, namun beberapa Hadis dari
Nabi Muhammad yang konon menganjurkan memakai baju suf agar
dapat menghilangkan takabur, memasuki alam malakut. Begitu juga di-
hubungkan pakaian suf ini dengan pakaian wali-wali dan orang-orang
salih. Ibrahim bin Adham pernah menyesali dirinya dalam suatu peker-
jaan berburu sebagai anak raja dan memakai baju suf. Umar bin Khat-
tab menceriterakan bahwa Nabi memakai baju suf.
Sebaliknya banyak ulama-ulama juga yang tidak melihat tanda
khusu' atau merendah diri dalam pakaian bulu domba itu. Junaid per
nah menceriterakan bahwa kadang-kadang ada orang Sufi, artinya
orang yang pakai baju bulu domba, namun bathinnya rusak. Oleh kare
na itu pernah Ma' ruf Al-Karakhi tatkala menemui Abu Hasan bin Ba-
syar yang memakai baju jubah suf, berkata : "Sufikah hatimu atau
dirimu yang lahir".
Maka banyaklah ulama-ulama zahir dari golongan Islam yang
mengecam pakaian ini , di antaranya ada yang melihat bahwa pakaian
itu bid'ah. Sufian Sauri pernah menegur seorang berbaju demikian de
ngan perkataan : "Pakaianmu ini bid 'ah". Baik Jahid maupun penga-
rang-pengarang Risalah Ikhwanus Safa menerangkan bahwa sebenar-
nya pakaian suf atau bulu domba itu yaitu pakaian-pakaian rahib
Kristen pada waktu mereka melakukan ibadat atau upacara agamanya.
Bagaimanapun juga sejarah perkataan ini, akhirnya ia menjadi
nama bagi golongan yang mementingkan kebersihan hidup bathin, baik
bagi orang-orangnya yang dinamakan orang-orang Sufi, maupun bagi
nama ilmunya yang disebut Tasawwuf.
2. P E N D I D I K A N S U F I .
Orang Sufi memiliki pandangan tersendiri dalam menentukan
buruk baik. Terutama dalam menentukan sifat-sifat yang baik dan
sifat-sifat yang buruk bagi jiwa seseorang, orang-orang Sufi meletak-
kan pengertian yang sangat berlainan dengan mereka, yang melihat per
baikan akhlak manusia dari sudut kemajuan dunia. Memang hal ini su
dah kita singgung, bahwa tujuan Sufi mengenai pendidikan manusia
terutama diletakkan dalam menanam rasa kebencian kepada kedunia-
an, yang dianggapnya yaitu sumber kecelakaan dan kekacauan
bagi kehidupan perdamaian manusia , dan oleh sebab i tu da lam meng-
ajarkan akhlak kepada manusia i tu d i tekankan, meiepaskan d i r i dar i
pada keserakahan dunia . L a p a r umpamanya bagi orang Sufi mempu
nyai ni la i tertinggi da lam pendidikan rohani , sebab kekenyangan bagi-
nya menyebabkan manusia melupakan Allah , dan men imbu lkan atau
menguatkan hawa nafsu untuk ber lomba- lomba mencari kekayaan du-
n iawi . D a l a m pada itu bagi mereka yang ingin maju d i atas permukaan
bumi menganggap kekenyangan itu bukanlah sesuatu yang tercela, bah-
kan dapat menambah nafsu dan kegiatan bekerja untuk membangun
usaha-usaha yang menghendaki tenaga f ik i ran dan badan manusia .
Perbedaan da lam pandangan baik buruk in i melah i rkan ajaran
akhlak , yang kadang-kadang berbeda dengan anggapan k i ta . Juna id
A l - B a g h d a d i , salah satu t okoh Suf i yang terbesar, pada waktu mene-
rangkan tujuan Su f i , mengatakan : " K a m i t idak mengambi l tasawwuf
in i dar ipada f ik i ran dan pendapat orang, namun k a m i amb i l dar i mena-
han lapar dan meninggalkan kecintaan kepada dunia , meninggalkan ke
biasaan k a m i sehari-hari , mengikut i segala yang diper in tahkan, dan
meninggalkan segala yang d i l a r a n g " . M a k a terjadilah bagi orang Sufi
suatu pendidikan ethika atau budi pekerti , yang tersusun dari tiga
dasar : pertama mengosongkan d i r i dari sifat-sifat keduniaan, yang de
ngan istilah Sufi d inamakan takhliyah, terbagi atas dua usaha, yaitu
menjauhkan d i r i dari segala ma'siat lahir dan dari segala ma'siat ba-
thin; kedua mengisi kembal i atau menghiasi pula j i w a manusia i tu de
ngan sifat-sifat yang terpuji , yang mereka namakan tahliyah, yang ter
bagi atas dua usaha pula yaitu tha'at lahir dan tha'at secara bathin da
lam menjalankan semua perintah A l l a h . K e m u d i a n yang ketiga ia lah
tajalli, meresapkan rasa keAllah an.
Oleh orang Sufi da lam pelajarannya d idahu lukan menjauhkan d i r i
dar ipada ma's iyat , lebih dahulu dar ipada mengerjakan segala ketha'at-
an, sebab usaha menjauhkan d i r i pada ma'siat i tu atau meninggalkan
segala larangan T u h a n lebih sukar dar ipada mengerjakan keta 'atan
atau amal kebaj ikan. G h a z a l i menerangkan, bahwa da lam agama itu
ada dua dasar pendid ikan , pertama meninggalkan segala pekerjaan
yang terlarang, kedua mengerjakan segala pekerjaan kebaj ikan yang
diper intahkan. U n t u k mentha 'at i segala perintah mengerjakan kebajik
an atau amal ibadat i tu , tiap orang sanggup sekedar kuasanya, namun
meninggalkan syahwat atau hawa nafsu tidakiah dapat dikerjakan oleh
sembarang orang, kecuali orang-orang yang benar, orang-orang yang
telah memindahkan jiwanya dari suasana kejahatan kepada suasana
gemar berbuat kebajikan.
Di antara pekerjaan-pekerjaan ma'siat lahir yang harus dijauhkan
ialah segala kejahatan, yang dapat dikerjakan oleh anggota-anggota
badan, seperti oleh'mulut, oleh kedua belah kaki, oleh kedua mata,
kedua telinga dan sebagainya, sebab semua anggota-anggota badan
manusia itu akan bertanggung jawab kepada Allah terhadap perbuat-
annya. Terutama ditentukan kejahatan yang dikerjakan oleh tujuh
macam anggota badan, yaitu mata, telinga, lidah, perut, kemaluan,
tangan dan kaki, yang konon sebab itulah maka Allah pun menjadi-
kan tujuh macam neraka, untuk tempat penyiksaan mereka yang mela-
kukan kejahatan dengan salah satu dibandingkan tujuh anggota itu.
Itulah sebabnya mata itu harus digunakan melihat hal-hal yang
tidak haram, telinga untuk mendengar bacaan Qur'an dan Hadis Nabi,
tidak untuk mendengar segala sesuatu yang diharamkan atau dicela,
seperti umpatan dan fitnahan, lidah untuk mengucapkan zikir dan is-
tighfar, membaca Qur'an dan sebagainya, tidak untuk menghasut dan
berdusta, yang semuanya membawa kepada neraka, selanjutnya menja-
ga agar perut itu diisi dengan barang-barang yang halal, tidak dengan
yang haram, kemaluan atau faraj itu dikendalikan daripaca kejahatan
zina, tangan dari perbuatan yang terlarang, misalnya membunuh atau
memukul orang, mencuri atau memegang sesuatu yang haram, begitu
juga kaki hanya digunakan untuk pergi mengerjakan ibadat, tidak un
tuk dibawa berjalan mengerjakan segala yang terlarang.
Demikianlah orang Sufi mendidik manusia itu menggunakan ang-
gotanya untuk berbuat baik terhadap Allah dan manusia, tidak untuk
berbuat jahat, sebab pada asalnya segala anggota manusia itu dijadi-
kan Allah sebagai nikmat dan amanat bagi manusia. Maka oleh kare
na itu Ghazali berpendapat, menggunakan nikmat dan amanat Allah
itu untuk berbuat dosa dan ma'siat yaitu kejahatan yang terbesar dan
kedurhakaan yang tidak ada bandingannya terhadap Allah . Bahkan,
demikian kata Ghazali selanjutnya, menjadi kewajibanlah bagi manusia
memelihara dan mengambil faedah untuk kebajikan yang sebesar-besar-
nya dibandingkan nikmat dan amanat yang diberikan Allah itu. Tiap-tiap
kamu yaitu pengawas, dan tiap-tiap pengawas diminta pertanggungan
jawab terhadap pengawasannya, demikian kata sebuah Hadis Nabi.
Kita tidak akan berpanjang kalam tentang ma'siat lahir ini, yang
biasanya diuraikan juga dalam Syari'at secara lebar panjang dengan se
gala akibat-akibatnya dan hukuman-hukuman agama terhadap ma'siat
lahir itu. Kitab-kitab Fiqh penuh dengan uraian-uraian mengenai hu-
kuman kufur, syirik, murtad, dusta, munafik, zalim, pembunuhan,
meninggalkan ibadat yang wajib, berkhianat, mencela sesama manusia,
berzina, mengerjakan liwath, memberi malu kepada orang, menentang
penguasa, mencüri, merampok, melanggar perjanjian, tidak membayar
zakat, memakan harta anak yatim, memakan riba, meminum minuman
keras, berjudi, memakan makanan yang haram, berlaku zalim, berlaku
fasik, dan lain-lain sebagainya, yang tidak saja diancam dengan dosa,
namun juga diawasi dan dihukum oleh penguasa-penguasa yang ditugas-
kan untuk keselamatan masyarakat manusia.
Lebih penting dibandingkan itu ialah pembicaraan tentang menjauhkan
diri dari ma'siat bathin, yang oleh orang sufi dijadikan mata pendidik
an terhadap pengikut-pengikutnya. Usaha dalam lingkungan takhliyah
bathiniyah ini segera diadakan terhadap murid-murid tarekat, sesudah
mereka melakukan taubat, yang dinyatakan di hadapan gurunya. Mem-
bersihkan diri dibandingkan sifat-sifat yang tercela oleh orang Sufi dianggap
perlu, sebab yaitu najis kiasan, najasah ma'nawiyah, yang kare
na adanya najis-najis demikian itu pada jiwa seseorang, tidak memung-
kinkan manusia itu mendekati Allah nya, sebagaimana kalau manusia
itu memiliki najis zat, najasah suriyah, tidak memungkinkan dia
mendekati atau melakukan ibadat-ibadat yang telah diperintahkan Tu
han. Maka haruslah tiap orang Sufi membersihkan jiwanya dari sifat-
sifat yang tercela itu, dan memakai atau menghiasi dirinya dengan sifat-
sifat yang terpuji.
Sekarang datang pertanyaan, apakah hal atau sifat manusia itu
dapat diubah dengan pengajaran dan latihan membiasakannya, teruta
ma sifat atau tabi'at yang telah menjadi pembawaan bagi manusia dan
menjadi kebiasaannya bertahun-tahun ?
Mari kita mendengar, bagaimana cara berfikir Ghazali, yang dapat
kita anggap mewakili dunia Sufi, menghadapi persoalan ini. Dr. Zaki
Mubarak dalam kitabnya "Al-Akhlaq indal Ghazali" (Mesir, 1924)
mencatat beberapa buah fikiran Ghazali tentang akhlak, sebagai ber-
ikut.
Ghazali menamakan akhlak itu dengan bermacam-macam sebutan,
sekali dinamakannya Thariqul Akhirah jalan ke akherat, sekali dinama-
kannya Ilmu Sifatil Qalb, ilmu mengenai sifat hati, pada kali yang lain
diberi bernama Asraru Mu'amalatid Din, rahasia amal-amalan agama,
dan pada lain kesempatan dinamakannya Akhlaqul Abrar yang kese-
muanya menjadi nama-nama dari karangannya yang terkenal. namun
yang terlengkap ia membicarakan ethika Sufi ini ialah dalam kitabnya,
yang terbesar dan masyhur, bernama Ihya Ulumud Din, yang artinya
menghidupkan ilmu agama. Akhlak baginya berarti mengubah bentuk
jiwa dan mengembalikannya dibandingkan hal dan sifat-sifat yang buruk
kepada hal dan sifat yang baik, dari sifat-sifat yang tercela kepada
sifat-sifat yang terpuji oleh agama Islam, sebagaimana yang telah men
jadi perangai ulama-ulama, syuhada', Saddiqin dan Nabi-Nabi. Semen-
tara dalam ethika Islam biasa, misalnya dalam karangan Ibn Maska-
waih, kita baca banyak pikiran-pikiran Aristoteles dan Galeneus digu
nakan untuk menguatkan alasan, dalam karangan-karangan Ghazali
banyak sekali kita bertemu dengan ucapan-ucapan Ibn Adham, Tustari,
Muhasibi, terutama Abu Thalib Al -Ma l ik i (mgl. 386 M ) , pengarang
Qutul Qulub, dan Ibn Hawazan Al-Qusyairi (mgl. 465 H) pengarang
Risalah Qusyairiyah, kedua pengarang dari kitab-kitab Sufiyah yang
sangat mempengaruhi cara berpikir Ghazali, begitu juga perkataan Na
bi Isa, Musa, dan Daud serta Nabi-Nabi yang l?in.
Dalam kitab AI-Misan, Ghazali mengemukakan bahwa akhlak
yang baik itu dapat mengadakan perimbangan antara tiga kekuatan
yang ada dalam diri manusia, yaitu kekuatan berfikir, kekuatan
hawa nafsu dan kekuatan amarah. Dikemukakannya juga, bahwa
akhlak yang baik itu acapkali berarti menentang apa yang digemari
oleh manusia, sesuai dengan ayat Qur'an, yang berbunyi : "Terkadang-
kadang apa yang engkau benei itu menjadi kebaikan bagimu, dan apa
yang engkau sukai itu menjadikan kejahatan bagimu" (Qur'an II :
216). Selanjutnya Ghazali menerangkan, bahwa berakhlak yang baik
itu artinya menghilangkan semua adat-adat kebiasaan yang tercela dan
sudah diperincikan oleh agama Islam, serta menjauhkan diri dibandingkan -
nya sebagaimana menjauhkan diri dibandingkan tiap najis dan kekotoran,
kemudian membiasakan adat kebiasaan yang baik, menggemarinya,
melakukannya dan mencintainya. Dalam kitab Ihya, Ghazali mengurai-
kan bahwa akhlak itu ialah kebiasaan jiwa yang tetap yang ada da
lam diri manusia, yang dengan mudah dan tidak perlu berfikir menum-
' uhkan perbuatan-perbuatan dan tingkah laku manusia. Maka apabila
tingkah laku itu indah dan terpuji menurut akal, dinamakanlah akhlak
yang baik. Apabila yang lahir itu perbuatan tingkah laku yang keji,
maka dinamakanlah akhlak yang buruk. Jadi menurut pendapat Gha
zali jiwa manusia itu tak dapat tidak akan mengeluarkan dua macam
golongan sifat, pertama golongan sifat yang terpuji dan kedua golong
an sifat yang tercela. Ghazali menetapkan, bahwa tingkah laku sese-
orang itu yaitu lukisan bathinnya, yang disebabkan oleh thabi'atnya,
yang pada awal mulanya tidak yaitu perbuatan baik atau buruk,
tidak yaitu kekuasaan baik atau buruk dan tidak yaitu per-
bedaan baik atau buruk, namun agamalah dan akal fikiran manusialah
yang mengukurnya baik dan buruk itu.
Pada pendapat Ghazali kepribadian manusia itu pada dasarnya
dapat menerima segala sesuatu pembentukan, namun lebih condong ke
pada kebajikan dibandingkan kepada kejahatan. Jika kemudian diri manu
sia itu membiasakan yang jahat, maka menjadi jahatlah kelakuannya,
apabila ia membiasakan diri kepada kebajikan, maka menjadi baiklah
perikelakuannya. Jika seorang manusia membiasakan diri sejak kecil
makan tanah, maka tanahlah yang akan menjadi makanannya yang
enak, namun Allah menunjukkan makanan baginya yang lebih enak
dan minuman yang lebih sedap, jika ia membiasakan dirinya kepada
pertunjük itu, maka akan berpindahlah kelezatan seleranya.
Selanjutnya Ghazali berpendapat, bahwa memang ada manusia itu
yang dilahirkan sudah berakhlak dan berbudi pekerti baik, sehingga ia
tidak memerlukan lagi pengajaran dan pendidikan, seperti Isa, Yahya,
dan Nabi-Nabi yang lain. Begitu juga kadang-kadang ada anak
yang sejak lahir sudah petah dan lancar lidahnya berbicara, dengan ti
dak usah diajar dan dilatih lebih dahulu. namun sebaliknya banyak ma
nusia yang tidak demikian kelahirannya. Dan oleh sebab itu akhlak itu
harus diajarkan kepadanya, takhalluq, yaitu melatih jiwanya kepada
pekerjaan-pekerjaan dan tingkah laku yang dikehendaki. Jika seorang
menghendaki, agar ia menjadi pemurah, maka ia harus membiasakan
dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pemurah itu,
hingga sifat murah tangan itu, menjadi thabe'at baginya.
Ghazali termasuk orang yang berkeyakinan bahwa jiwa itu dapat
diiatih, dikuasai, diubah kepada memiliki akhlak yang mulia dan ter
puji, dan melihat ada hubungan yang erat antara anggota badan dan
perbuatan dengan jiwa atau hati manusia. Tiap sifat tumbuh dari hati
manusia dan memancarkan akibat hubungannya dengan jiwa atau hati
manusia itu. Seseorangnya kepada anggoianya, sebaliknya tiap gerak-
gerik anggota ada yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus me-
maksa tangannya membiasakan menulis huruf bagus itu. Apabila ke
biasaan ini sudah lama, paksaan itu lambat laun tidak perlu lagi, kare
na digerakkan dengan sendirinya oleh jiwa dan hatinya.
Ghazali mengambil kesimpulan, bahwa mendidik budi pekerti se-
seorang itu sangat mungkin, dan menghilargkan sifat-sifat yang tercela
pada diri seseorang bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Kaïau tidak
demikian. Nabi tidak akan berpesan : "Perbaikilah akhlak atau kelaku-
anmu". Ucapan ini menunjukkan kemungkinan dalam memperbaiki
kebiasaan-kebiasaan yang buruk dari manusia itu. Kalau tidak, apa
pula gunanya ada perintah disuruh memberi nasehat yang baik, penga-
jaran yang baik, dan perintah kewajiban amiir ma'ruf nahi munkar se
sama manusia? Sebagaimana binatang liar dapat dijinakkan, begitu
juga manusia yang jahat dapat dijadikan mai usia yang baik dan lemah
lembut budi pekertinya.
Dengan pengertian, thabe'at manusia itu dapat diubah, Ghazali
lalu membagi manusia itu empat bahagian :
Pertama manusia yang bodoh, yang tidak dapat membedakan an
tara yang benar dan yang salah, antara yang indah dengan yang buruk.
Manusia ini termasuk golongan orang yang mudah sekali diubah tha
be'at atau perangainya. Ia hanya membuluhkan seorang guru yang
akan memberikan dia pertunjuk dan pimp nan, yang harus ditha'ati-
nya.
Kedua manusia yang mengetahui akan keburukan sesuatu yang
buruk, namun tidak membiasakan dirinya mengerjakan yang baik bah-
kan yang buruk itu dikerjakannya sebab menuruti hawa nafsunya.
Mengubah thabe'at atau perangai manusia macam ini lebih sukar dari
golongan pertama, sebab dasar kesukararnya telah berganda. Untuk
memperbaikinya, haruslah menghilangkan lebih dahulu kebiasaannya
kepada kejahatan dan kemudian membiasakan dirinya kepada kebalik-
annya.
Ketiga manusia yang telah memiliki keyakinan, bahwa yang bu-
tuk itu baik dan indah buruk baginya. Manusia yang seperti ini menu
rut Ghazali tidak dapat diperbaiki, kecuali sebahagian kecil, sebab se-
bab-sebab kerusakan budi pekertinya itu telah menyesatkan dan ber-
ganda-ganda.
Keempat manusia yang telah berkeyakinan mengerjakan sesuatu
kejahatan, serta melihat kelebihan dan kebanggaannya dalam melaku
kan kejahatan itu. Ghazali berpendapat, bahwa memperbaiki golongan
ini sama dengan menjinakkan macan atau memutihkan yang hitam.
Sebagai tindakan yang pertama untuk memperbaiki diri, haruslah
seorang manusia melihat kepada kekurangan-kekurangan dirinya, ha
ruslah diinsafkan kepada kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Un
tuk mengenai kekurangan diri itu, Ghazali menunjukkan beberapa ja
lan :
Pertama manusia yang hendak memperbaiki dirinya itu memper-
gauli seorang guru yang dapat melihat kekurangan-kekurangannya, da
pat menerangkan apa kesalahan-kesalahannya, kemudian diturutinya
nasihat orang itu dan bersungguh-sungguh mengadakan perubahan.
Kedua mencari seorang teman yang benar, yang dapat mengawasi
dia dan mengiringinya, melihat kelakuannya dan perbuatannya serta
menegor dia mengenai tiap-tiap akhlaknya yang buruk dan perbuatan
nya yang keji, dengan terus terang membuka kesalahan-kesalahan lahir
dan bathinnya.
Ketiga mendengar dan memperhatikan kekurangan-kekurangan
dirinya dari lidah dan perkataan musuh-musuhnya, sebab musuh itu
menyebut secara terus terang apa-apa yang jahat padanya, bahkan ka-
dang-kadang kritik-kritik itu lebih berfaedah dibandingkan ucapan-ucapan
seorang teman yang suka menjilat dan menyembunyikan kekurangan-
kekurangannya itu.
Keempat bahwa ia banyak mempergauli manusia dan mengawasi
sifat-sifat yang tercela pada mereka, serta mengambil pelajaran untuk
memperbaiki dirinya sendiri.
Ghazali membentangkan dalam kitab-kitabnya sifat-sifat yang ter-,
cela di samping sifat-sifat yang terpuji sebagai obatnya serta usaha-
usaha yang harus dilakukan oleh mereka, yang ingin hendak memper-
baikinya dirinya itu. Pembicaraan tentang perbaikan sifat-sifat ini , kita
tempat dalam bahagian lain yang munasabah.
3. TOKOH-TOKOH SUFI .
Pandangan yang berlain-lainan dalam menempuh cara-cara per
baikan akhlak itu melahirkan tokoh-tokoh filsafat yang ternama dalam
dunia tasawwuf.
Tokoh-tokoh Sufi itu banyak sekali. Sebenarnya tidak dapat di-
hitung dan ditunjukkan, mana ulama-ulama yang menjadi atau diang-
gap tokoh Sufi itu. Besar atau kecil, masyhur atau kurang dikenal
orang sesuatu tokoh Sufi, bergantung sangat kepada banyak atau sedi-
kit pengaruhnya, banyak atau sedikit pengikutnya, luas atau tidak luas
tersiar tarekatnya. Kebanyakan yang mengumumkan kemasyhuran
tokoh-tokoh Sufi itu ialah murid-muridnya atau mereka yang sefaham
dengan dia dalam sesuatu pendirian Sufi.
Ada dua macam tokoh Sufi itu. Ada yang merdeka sebagai se
orang ulama yang berdiri sendiri, tidak memiliki sesuatu tarekat
yang tertentu, yang mengikat murid-muridnya serta membawa mereka
kepada sesuatu jurusan pendidikan Sufi. Tokoh-tokoh Sufi semacam
ini hanya dikenal orang dibandingkan ucapan-ucapannya, (syatah), yang
dianggap istimewa dalam melahirkan sesuatu pendirian dalam lapangan
ilmu tasawwuf. Biasanya ucapan-ucapan itu dijadikan orang pegangan,
dan disisipkan orang di sana-sini dalam kitab-kitab Sufi, seperti Al-
Hallaj, Zun Nun, d l l .
Lain dibandingkan itu ada tokoh-tokoh Sufi yang terikat dengan se
suatu jalan pengajaran atau tarekat yang tertentu, yang diikuti dan di-
siarkan oleh murid-muridnya ke sana-sini. Meskipun tarekat itu kemu
dian ada yang berubah sedikit-sedikit, namun pokok-pokoknya masih
yaitu pokok-pokok yang mula-mula diletakkan oleh ulama-ulama
Sufi yang pertama-tama membangun tarekat itu. Tokoh-tokoh Sufi
yang macam ini ialah mereka yang mendirikan tarekat-tarekat, misal-
nya Abdul Qadir dengan tarekat Qadiriyah, Syazili dengan tarekat,
Syaziliyah, dan seterusnya seperti tarekat Rifa'iyah, Ahmadiyah, Dasu-
qiyah, Akbariyah, Maulawiyah, Kubrawiyah, Khalawatiyah, Naksya-
bandiyah, Sammaniyah, Syattariyah, Alawiyah, Idrusiyah, Tijaniyah,
Sanusiyah dan lain-lain.
Maka oleh sebab itu terjadilah istilah Syaikhut Tha'ifah dan Syai-
khut Thariqah.
Wali dalam makam dan ahwalnya.
Melihat kepada makam dan ahwalnya, kesucian dan kemurnian
hidupnya, orang-orang Sufi memberikan gelaran yang bermacam-
macam kepada tokoh-tokoh Sufi itu.
Pertama yang dianggap berhak disebut quthubul ghaus al-fardul
jami' atau quthubul aqthab, yang terdiri hanya dari seorang pada tiap-
tiap zaman, dengan pembantunya sebanyak tiga ratus orang, dikenal
dengan sepuluh amal, empat yang lahir, yaitu banyak ibadat, sungguh-
sungguh zuhud, meninggalkan kehendak atau iradah, dan kuat dalam
mujahadah, serta enam yang bathin, yaitu taubah, inabah, muhasabah,
tafakur, i'tisam dan banyak riyadah.
Kedua yang diberikan gelar nujaba', yang bilangannya ada yang
menetapkan empat puluh, dan ada yang menetapkan tujuh puluh. Ker-
janya ialah meringankan beban makhluk serta membela keadilan dalam
masyarakat manusia. Mereka dikenal kepada delapan macam amalnya,
empat yang lahir dan empat yang batin, yang lahir yaitu suka memberi
fatwa, hidup tawadhu' memiliki adab yang baik, dan banyak ibadat,
sedang yang batin ialah bahwa mereka itu sabar, rela, bersyukur kepa
da Allah , haya'. bermalu, memiliki akhlak dan budi pekerti yang
halus serta arif bijaksana.
Ketiga ada tokoh-tokoh Sufi yang digelarkan abdal, yang hanya
terdiri dari tujuh orang laki-laki, yang memiliki kedudukan fadhal,
kamal, istiqamah, i'tidal, 'erlepas dibandingkan waham dan khayal, mem
punyai amal-amal lahir dan bathin, empat yang lahir yaitu samat, ber-
diam diri, sahar, suka mengurangi tidur, ju', suka menahan lapar,
'uzlah, suka bertapa mengasingkan diri dari pergaulan, begitu juga em
pat yang batin, yaitu tajarrud, suka bersunyi diri, tarid, suka berpisah
dari orang banyak, jama', ingin dekat dengan Allah , dan tauhid, ingin
bersatu dengan Allah .
Keempat, tokoh-tokoh Sufi itu ada yang dinamakan autau, yang
dikatakan ada empat orang, berkedudukan pada empat penjuru mata
angin dunia ini, yaitu timur, barat, utara dan selatan. Empat amal un
tuk mengenai mereka itu adalah, yang lahir yaitu banyak puasa, ba
nyak ibadat malam, banyak imtisai, dan banyak istighfar dalam me-
ngurangi tidur, yang batin yaitu tawakkul, siap bertawakkal kepada
Allah , tafwidh, menolak segala yang bersifat keduniaan, siqqah, jujur
dan sangat boleh dipercayai, dan taslim, menyerah diri seluruhnya ke
pada Allah . Dikatakan bahwa seorang di antara mereka itu menjadi
kutub, yang dijaga oleh dua orang, seorang di sebelah kanannya dan
seorang di sebelah kirinya, yang disebut namanya dengan amaman.
Amaman yang di sebelah kanan dapat melihat ke dalam alam malakut
yang bersifat rohaniah, sedang amaman yang di sebelah kiri hanya me
lihat ke dalam alam hayawaniyah. Empat amal untuk mengenai mere
ka, ialah, yang lahir yaitu zuhud. wara', suka amar ma'ruf dan nahi
mungkar, yang batin yaitu sidiq, benar ikhlas, tulus haya' bermalu dan
muraqabah, merasa selalu diawasi Allah .
Selanjutnya ada yang disebut ghaus, tidak lain dibandingkan gelaran
yang diberikan kepada seorang qutub yang terbesar, yang mulia, yang
dihajatkan oleh orang Sufi untuk dimintakan berkah dan do'anya, se
perti yang pernah terjadi dengan Uwais Al-Qarni yang pernah diwasiat-
kan oleh Rasulullah kepada Umar bin Khattab dan A l i bin Thalib, agar
mereka mencari dia sepeninggalnya dan memintakan do'a serta ber-
kahnya.
Begitulah ada yang digelarkan pula 'alim rabbani, waliyullah,
arifin, muqarrabin, salihin, inuhaqqiqin, dl l . sebagaimana yang sudah
kita katakan di atas menurut pandangan Sufi terhadap maqam dan
ahwal kesufian dan kesalihan serta kemurnian mereka.
A l i Al-Qurasyi menerangkan, bahwa ia pernah melihat empat
orang tokoh Sufi yang meskipun sudah wafat terus menerus beramal
dalam quburnya seperti ketika mereka masih hidup, yaitu Syeikh Ab-
dulqadir, Syeikh Ma'ruf Al-Karakhi, Syeikh Aqil Al-Munji dan Syeikh
Hayat bin Qais Al-Harrani. Menurut Kamsyakhanuwi selain dibandingkan
itu termasuk wali-wali yang terbesar sesudah abad ketiga Hijrah, ialah :
Syeikh Junaid Al-Baghdadi, Abu Yazid Al-Bisthami, Imam Syibli,
Syamsuddin AI-Bara/i. Daud At-Tha'i, Ibrahim bin Adham, Abul
Hars, As-Sirri, As-Saqathi, Imamul Haramain, Abu Madyan, Abdus
Salam, Abul Abbas, As-Samanuwi, Sahal, Al-Hars, Ibrahim Al-Kha-
was, Ibn Atha'illah, Al-Hallaj, Asy-Syibani, Abu Bakar Ad-Daqqad,
Ar-Razi, Asy-Sya'rani, Al-Qusyairi, Muhammad Al-Khaffaf, Abul
Fadhal, Yusuf Al-Hamdani, Ruknuddin, Ridhaddin, Fakhruddin, Za-
hiduddin, Badruddin, Sadruddin, Nizamuddin, Saifuddin, Syamsud-
din, Ar-Ramli, Al-Qadhi Zakariya, Al-Barzanji, Al-Auza'i, Abul Laith,
Syeikhul Islam Al-Karmani, Qasthalani, As-Sujuthi, Al-Khatib, Ad-
Daylumi, AI-Baihaqi, As-Sakaki, As-Subki, Al-Munawi, Al-Jarjani,
dan banyak sekali yang lain katanya sampai beribu-ribu banyaknya,
yang tidak ada yang mengetahuinya melainkan Allah jua, yang pernah
berfirman : "Tidak ada yang mengetahui banyak wali-wali dalam per-
lindunganKu melainkan A k u sendiri jua . "
Demikian beberapa nama tokoh-tokoh Sufi yang disebut dengan
sangat sederhana, sehingga sukar bagi kita mengetahui siapakah yang
dimaksud dengan sebenarnya dan bagaimana riwayat hidupnya serta
perjuangannya dalam dunia Sufi. Memang sudah menjadi kebiasaan
bagi orang Sufi menyebutkan nama teman-temannya atau menyebutkan
nama dirinya sendiri dengan cara yang sederhana, sebab mereka tidak
ingin membangga-banggakan dirinya itu disebabkan takut ria dan teka-
bur. Lain dibandingkan itu ada alasan lain, sebab banyak di antara tokoh-
tokoh besar yang berkeyakinan wihdatul wujud itu dihukum mati atau
dikafirkan,'sehingga orang semasa dengan mereka takut menulis seja
rah hidupnya.
namun meskipun demikian hampir tiap orang Sufi mengetahui ke-
istimewaan tokoh-tokohnya satu persatu. Orang Sufi kenal akan Mu
hammad Baha'uddin yang digelarkan dengan Syakh Naksyabandi,
sebab keistimewaannya dalam memberikan gambaran pengertian ha
kekat dan mencurahkan uraiannya dalam ajaran yang disebut bahrul
wihdah dan fana, dalam meresapkan rasa tenggelam ke dalam kefanaan
Allah itu. Begitu juga tiap orang Sufi kenal akan Syeikh Abdul Qadir
Al Jailani dalam keistimewaannya menyampaikan permintaan dan ke-
hendak orang (quwatut tasarruf wal imdad), orang Sufi kenal akan Ali
Abul Hasan Asy-Syazili dalam keistimewaannya mengenai pengetahuan
dan ilham (ulum wal waridat), orang Sufi kenal akan Ahmad Rifa'i
dalam tindakan-tindakannya di luar adat kebiasaan manusia (khirqul
adah wal futuwah), orang Sufi kenal akan Sayyid Ahmad Al-Badawi
mengenai sifatnya belas kasihan dan gerak-geriknya yang lemah-lembut
serta halus (attarahhum wat ta'athuf), orang Sufi kenal akan Ibrahim
Ad-Dasuqi sebab bermurah tangan dan keramat (as-sakha'wal kara-
mah), orang kenal akan Muhammad Jalaluddin Ar-Rumi sebab ilmu
kecintaan dan keasyikan terhadap Allah (al-muhibbah wal isyiq),
orang kenal akan Suhrawardi sebab pelajarannya mengenai kelenyap-
an dan keleburan manusia ke dalam cahaya kebaqaan Allah nya (al-
ghayabah wal mahwu), orang kenal akan Syekh Khidr Yahya sebab
riyadah dan latihan zikirnya (ar-riyadhah wal awahiyah), dan begitu
juga orang Sufi, terutama penganut tarekat Naksyabandiyah, sangat
kenal akan Najmudin Al-Kubra, yang khas mendalam mengenai ajar-
annya tentang memperoleh ilmu secara ilham dan meresapkannya ke
dalam darah daging (al-wajad waijazabat).
Sebagaimana orang-orang Sufi kenal kepada mereka itu, begitu
juga orang-orang Sufi kenal akan Abu Yazid Al-Bisthami dengan pela-
jaran ittihadnya, Farabi dengan ittisalnya, dan AI-HalIaj dengan hulul-
nya atau dengan wihdatul adyan-nya.
Pengetahuan orang-orang Sufi tentang kepribadiannya wali-wali
itu tidak sedikit, namun sampai kepada keadaan yang sekecil-kecilnya
mereka mengetahui dengan jelas dan menyampaikan itu melalui mulut
ke mulut kepada teman-teman sekeyakinannya. Dengan demikian kita
dengar, bagaimana Syamsuddin Al-Hanafi berceritera, bahwa ia telah
diperlihatkan Allah perbedaan maqam Abdul Qadir Al-Jailani dengan
maqam Abul Hasan As-Syazili. Katanya : "Maqam kedudukan Abul
Hasan Asy-Syazilli dalam dunia Sufi lebih tinggi dibandingkan maqam A b
dul Qadir Al-Jailani. Yang demikian itu ketahuan, bahwa Syeikh Abdul
Qadir Jailani ditanya orang pada suatu hari, siapa gurunya. Abdul Qa
dir menjawab : "Adapun di masa yang telah sudah, guruku itu ialah
Muhammad Ad-Dibasi. Adapun sekarang aku menghirup kelimpahan
ilmu dari dua lautan, satu dari lautan Nubuwah Muhammad dan satu
lagi dari lautan Futuwah A l i bin Ab i Thal ib" . Dalam pada itu tatkala
ditanya Abul Hasan Asy-Syazili, siapa gurunya, ia menjawab : " A d a
pun di masa yang lampau guruku itu ialah Syeikh Abdussalam bin Ha-
syisy. Adapun sekarang ini aku menghirup ilmu pengetahuan dari sepu-
luh lautan, lima lautan di langit dan lima lautan di bumi. Dari lima
lautan di langit aku beroleh ilmu dari Jibrail, Mika i l , Israfil, Izrail, dan
Ruh suci. Dari lima lautan di bumi aku beroleh ilmu dari Abu Bakar,
Umar, Usman, A l i dan Nabi Muhammad saw." Abul Abbas Al-Mars i
berkata, bahwa telah diperlihatkan dalam alam malakut Allah , kedu
dukan Abu Madyan, yang bergantung pada tiang Arasy. Katanya :
" A k u bertanya kepadanya apakah kelebihan ilmumu dan maqammu
dibandingkan wali yang lain?" Maka jawabnya : "Adapun ilmuku terdiri
dari tujuh puluh satu ilmu, maqamku keempat khalifah Nabi, dan me-
lampaui kepada Abdal yang tujuh orang i tu" . Maka aku bertanya ke
padanya : " A p a katamu tentang Syazili?" Maka jawabnya : "Ia lebih
dibandingkan ku sebanyak empat puluh ilmu, dia itu ialah lautan yang tidak
bertepi dan terduga".
Dengan alasan demikian Al-Hanafi mengambil keputusan, bahwa
kedudukan Asy-Syazili lebih tinggi dibandingkan kedudukan Al-Jailani.
Dalam pada itu banyak pula ahli-ahli hakikat yang mempertahan-
kan, bahwa maqam Abdul Qadir Al-Jailani lebih tinggi dibandingkan ma
qam kedudukan As-Syazili. Demikianlah orang-orang Sufi memperhati-
kan sangat akan kepribadian wali-walinya itu, dan memberi nilai ke-
dudukannya sesuai dengan keluasan ilmunya dan kehalusan budi peker-
tinya.
Saya sendiri mendapat kesan, bahwa sementara ahli-ahli fiqh se-
rang-menyerang, kadang-kadang sampai kafir-mengkafirkan antara
satu sama lain, dalam dunia Sufi orang berlomba-lomba puji-memuji
sesama ulama-ulamanya.
Sebagaimana mereka berbeda dalam keahlian sesuatu bahagian
ilmu Sufi, begitu juga orang-orang atau tokoh-tokoh Sufi itu berbeda
dalam menempuh jalan, thanqah. atau dalam melakukan riyadhah.
suluk, untuk mencapai tujuan terakhir dibandingkan ajaran dan latihan Su-
finya, yaitu mencari hubungan dengan Allah nya.
Sukar memisahkan tokoh-tokoh Sufi dari faham Wihdatul Wujud,
sebab hampir semua tokoh-tokoh Sufi dalam tujuannya terakhir dari
pelajaran dan latihannya itu ialah menemui dan mempersatukan diri
dengan Allah nya. Mencintai Allah menurut ajaran Sufi tidak lain
dibandingkan bersatu antara khalik dan makhluk, dengan lain perkataan
lenyap dan lebur segala yang makhluk itu dalam keabadian zat Allah
nya. Ke arah tujuan ini tokoh-tokoh Sufi menempuh bermacam-macam
jalan, yang dapat membawa mereka pada akhirnya bersatu dengan Tu
hannya, baik dalam keadaan ittihad atau hului, yang bersamaan de
ngan ajaran Nirvana dari agama Persi dan Hindu, maupun dalam ke
adaan ittisal, berhubungan dalam ilmu dan ilham.
Di antara mereka ada yang menempuh jalan melalui latihan jiwa,
dari jiwa yang paling rendah, yang dinamakan nafsul amarah, ke ting-
kat nafsul lauwamah, ke tingkat nafsul muthmainnah, ke tingkat nafsul
mulhamah. ke tingkat nafsul radiyah, ke tingkat nafsul mardhiyah, dan
kemudian ke tingkat nafsul kamaliyah. Dalam pada itu ada pula yang
menempuh jalan didikan tiga tingkat, yang dalam ilmu tasawwuf di
namakan takhalli, thahalli, dan tajalli, yang masing-masing berarti
mengosongkan diri dari sifat-sifat yang tercela, kemudian mengisi de
ngan sifat-sifat yang terpuji, yang sesudah itu barulah beroleh kenyata-
an Allah nya. Ada pula yang menempuh jalan zikir, senantiasa meng-
ucapkan dan senantiasa mengingat Allah nya, yang biasa dinamakan
maqamatuz zikir, yang terdiri dari maqam ihsan, meningkat kepada
maqam ahdiyah, meningkat kepada maqam ilmiyah, meningkat pula
kepada maqam fa'iliyah, meningkat pula kepada maqam malakiyah,
meningkat pula kepada maqam hayaiiyah, dan akhirnya ke maqam
mahbubiyah, yang dapat membawa seseorang kepada maqam yang
kesepuluh, yaitu maqam muraqabatu tauhid syuhudi, dalam keadaan
mana seseorang dapat melihat Allah nya dengan mata hatinya ('ainul
basirah). Yang demikian ini didasarkan atas pertanyaan A l i bin A b i
Thalib kepada Rasulullah : "Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya
mencapai Allah ?", yang dijawab oleh Nabi : "Tidak lain dibandingkan
zikir kepada Allah ". Atau didasarkan kepada sebuah Hadis Qudzi,
yang berbunyi : " A k u selalu duduk dengan orang yang zikir kepada-
k u " . Lalu ada yang membagi zikir itu atas bermacam-macam cara,
Naksyabandi umpamanya mengutamakan sebutan lafad AUah daiam
hati yang tidak berbunyi ke luar, SyabiSiyah misalnya mengutamakan
zikir Nafi dan isbat lafadh la ilaha illallah, yang kesemuanya ucapan
zikir itu dilakukan demikian rupa, sehingga mengalir ke seluruh bagian
tubuh seperti aliran darah.
Ghazali membuka jalan yang dinamakan muhlikat dan munjiat,
dengan menunjukkan sifat-sifat yang membahayakan bagi jiwa manu
sia, yang harus dijauhkannya, dan sifat-sifat yang dapat membawa ma-
nusia itu kepada kebahagiaan, yang harus d iamalkannya . L a l u ia mem-
berikan pula suatu latihan bertingkat, yang d inamakannya murabathah
dan mukasyafah, yang terdiri dari musyarathah, muraqabah, muhasa-
bah, muaqabah, mujahadah dan mu'atabah, suatu latihan j i w a yang
diperbandingkan dengan perdagangan, membuat syarat-syarat penye-
rahan moda l , yang harus di i r ingi dengan pengawasan, kemudian per-
hitungan laba rugi , kemudian menyesali dir i ka lau tidak beroleh laba,
dan bersungguh-sungguh berusaha untuk menyelamatkan modal i tu
agar dapat meningkat kepada munazarah dan mukasyafah, da lam ke
adaan terang benderang. Sebagaimana tokoh Sufi yang la in Ghaza l i
pun membawa pengikutnya kepada liqa', bertemu dengan Allah nya ,
j i k a tidak di dunia di hari akhirat nanti .
L a i n dar ipada itu ada pula j a lan , suluk, ke arah i tu dengan terus
menerus berf iki r , tafakkur, la lu mendapat i l m u bertingkat, dari ilmu
mukasabah, kepada tingkat i l m u mukasyafah, kepada ilmu mu'amalah
dan akh i rnya kepada ilmu laduniyah, yang 'angsung dari T u h a n . Bah-
kan ada yang dengan j a lan , yang d inamakan martabatut thariqah, yaitu
yang terdiri atas empat macam tingkat, pertama taubat (macam-macam
pula , seperti taubat kafir, taubat fasik, taubat mu'min, taubat khawas
dan taubat khawasul khawas), kedua istiqamah, yang terdiri dari mela
kukan tha'at dan menjauhkan ma'siat , ketiga tahzib, yang terdiri dari
beberapa r iyadhah, seperti samat, d i am d i r i , 'uzlah, menjauhkan dir i
dari pergaulan manusia , saum, berpuasa, sahar, mengurangi t idur, dan
keempat ialah taqrib, yang berarti mendekatkan d i r i kepada T u h a n ,
dengan masuk khalawat dan terus menerus z i k i r , yang kalau diker jakan
dengan segala petunjuk-petunjuknya konon akan membawa seseorang
pada akh i rnya kepada maqam nihayah, fana dalam baqanya T u h a n ,
hi lang lenyap dalam kehadirannya T u h a n (Fana'uhu 'ala baqaihi, wa
ghayabatuhu'ala hudhurihi). D a l a m keadaan in i menurut Naksyabandi
menjadi sempurnalah orang itu (summa akmala) L i h . " J a m i ' u l U s u l
fi l A u l i y a " (Mesir , 1331 H.).
ILMU LAHIR DAN ILMU BA TIN
1. M U H A M M A D DAN HIDUP SUFI.
Kita sama mengetahui, bahwa agama itu lahir pada waktu manusia
merasa dirinya lemah, dan mencari kekuatan yang dapat menolongnya,
suatu kekuatan yang dapat mengatasi semua kekuatan-kekuatan lain
yang sudah mengalahkan dan melemahkan manusia yang pada mula
pertamanya binatang buas itu. Agama itu sebenarnya sudah yaitu
tasawwuf, sebahagian besar dibandingkan isi agama tidak lain dibandingkan di-
dikan, yang ditujukan untuk memperbaiki jiwa manusia.
Demikian juga halnya dengan agama Islam. Ia diturunkan sebagai
wahyu kepada Muhammad, tatkala ia merasa lemah terhadap manusia-
manusia yang kejam sekitarnya. Wahyu-wahyu yang diturunkan kepa
da Nabi Muhammad dalam gua Hi ra ' , sejak dibandingkan perintah memba-
ca sampai kepada perintah sujud dan bertakarrub, tidak lain isinya dari
pada ajaran didikan rohani, baik kepada Nabi kita sendiri maupun ke
pada mereka yang insyaf dan iman untuk dibawa bersama dalam mem-
basmi kezaliman dan kebuasan kafir-kafir Quraisy.
Maka sebagai dibandingkan hidup kerohanian ini kita lihat Nabi M u
hammad menjadi seorang kuat, kuat dalam mempercayai adanya Tu
han yang satu dan tunggal, kuat dalam menderita kesukaran dan azab
yang dilancarkan kepadanya oleh musuh-musuhnya, kuat dalam mena-
han lapar dan dahaga, kuat dalam kekurangan pakaian dan alat keper-
luan hidup yang lain, dan terutama kuat dalam menguasai dirinya men
jadi seorang yang paling mulia dalam tindakan dan ucapan-ucapannya,
dalam sabar, dalam keberanian, dalam segala sifat-sifat yang terpuji.
Dengan tuntunan jiwa itu Nabi Muhammad sebenarnya merupa-
pakan seorang Sufi. yang hidup zahid, hidup sederhana dan menderita,
hidup yang tidak serakah kepada kekayaan dan keserangan duniawi.
Kita dengar ceritera-ceritera yang mcna'jubkan pada dirinya, baik keti
ka ia mengerjakan ibadat, maupun dalam kehidupan dan pergaulan
sehari-hari. Kita dengar, bahwa ia puasa dengan tidak makan sahur dan
berbuka, sebab tidak ada sesuatu barang makanan pun di rumahnya,
yang dapat disediakan isterinya, sedang kepada pengikut-pengikutnya
yang belum setingkat dengan dia kesufiannya, ia menasehatkan supaya
mereka sunat segera berbuka dan sunat menta'khirkan sahur. Tatkala
sahabat bertanya, mengapa Nabi sendiri kadang-kadang tidak berbuka
dan tidak sahur, ia menjawab, bahwa ia Nabi, yang selalu diberi Allah
makan dan minum baik dalam jaga atau tidurnya.
Memang Nabi selalu menderita kekurangan makanan di rumah
nya. Ia hanya makan sekedar untuk hidup, baginya hidup itu bukanlah
untuk makan. Katanya : "Kami im' suatu golongan yang tidak makan
kalau tidak lapar, dan apabila kami makan, kami jaga jangan sampai
kekenyangan".
Sebagaimana dengan Nabi, begitu juga dengan keluarganya. Pada
suatu kali Nabi merasa lapar, dan pulang bertanya kepada isterinya
Aisyah kalau-kalau ia memiliki sesuatu yang boleh dimakan. Tatkala
Aisyah menjawab, bahwa tidak ada sepotong roti atau sebutir gandum
pun di rumah, Nabi menjawab dengan senyum : "Kalau begitu aku
puasa". Pernah kejadian sampai beberapa kali Nabi berbuat demikian
itu, yang menunjukkan tidak saja dia namun juga keluarganya hidup
miskin serumah tangga. Waktunya jangan terbuang, hari-hari itu dipa-
kainya untuk berpuasa, beribadat, dan dalam ibadat itu ia menyembah
Allah nya dan mengadu nasibnya dengan segala penderitaan. Apakah
itu bukan hidup Sufi ?
Bahkan hari-hari puasa itu diisi dengan sembahyang, dengan zikir,
istighfar, dan do'a, yang dikerjakan sepanjang malam harinya dengan
tidak tidur, bahkan kadang-kadang sampai pagi hari, yang olehnya di
namakan ibadat malam yang tidak ternilai pahalanya. Bacaan dalam
sembahyangnya diperpanjang, ruku' diperpanjang dan sujud diperpan-
jang, sebab pada waktu dalam ibadat itu ia seakan-akan fana di ha-
dapan Allah nya. namun kalau ia ketahui bahwa di belakangnya ada
orang ma'mum mengikutinya, dengan tiba-tiba dipercepatkannya sem-
hahyangnya itu dan diringkaskannya bacaan-bacaannya, sebab ia tahu
bahwa mereka yang di belakangnya itu belum setingkat dengan dia ke-
ta'atan dan kesufiannya.
Demikian banyak ia beribadat, sehingga pada suatu hari ia terletak
keletihan di atas sepotong tikar daun korma, yang memberi bekas pada
pipinya. Tatkala Ibn Mas'ud datang melihat, ia terharu dan menetes-
kan air mata, sebab seorang yang telah memiiiki hampir seluruh Jazi-
rah Arab, demikian penderitaan dalam kehidupannya. Ia bertanya,
apakah ia tidak baik mencarikan sebuah bantal untuk tempat meletak-
kan kepala Nabi yang mulia itu, Nabi melihat kepadanya sambil ber
kata : "Tidak ada hajatku untuk itu. Aku laksana seorang musyafir di
tengah-tengah padang pasir yang luas dalam panas terik yang bukan
kepalang, aku menemui sebuah pohon yang rindang. Oleh sebab aku
letih aku rebahkan diriku sesa'at untuk istirahat dengan niat kemudian
aku akan berjalan pula kembali menyampaikan tujuanku menemui Tu-
hanku". Apakah ini bukan hidup Sufi dari Nabi Muhammad