sastra yahudi arab

Tampilkan postingan dengan label sastra yahudi arab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sastra yahudi arab. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

sastra yahudi arab




Artikel ini membahas sosok ilmuwan bernama lengkap Abu ‘Imran Musa ibn Maimun 

ibn Abdullah al-Yahudi al-Isra>i>li> al-Qurthubî al-Andalusî (dikenal dengan nama Musa 

ibn Maimun atau Moses Maimonides). Semasa hidup, ia menjalankan berbagai profesi, 

seperti rabi, ilmuwan, dan dokter, karena memang memiliki kepakaran di bidang-

bidang itu. Meskipun demikian, di dalam artikel ini, penulis hanya akan memfokuskan 

pembahasan terhadap sosoknya sebagai ilmuwan dan karya-karya yang ia ciptakan. 

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karya-karya Ibn Maimûn menunjukkan nuansa 

kental pengaruh Arab-Islam. Salah satu buktinya adalah penggunaan bahasa Arab, 

bukan bahasa Ibrani, dalam sebagian besar karyanya. Hal itulah yang membuatnya 

dikategorikan sebagai tokoh-ulama Muslim. Sementara karya-karyanya dimasukkan ke 

dalam khazanah sastra Yahudi-Arab. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadinya 

dialog damai Islam-Yahudi, sikap toleransi tinggi, dan kondisi saling memengaruhi 

dalam bidang keilmuan. Hal itulah yang memungkinkan terwariskannya karya-karya 

intelektual nan luar biasa kaya. 

Abu ‘Imran Musa ibn Maimun ibn Abdullah al-Yahudi al-Israili al-Qurthubi al-Andalusi 

(dikenal dengan nama Musa ibn Maimun atau Moses Maimonides) merupakan rabi (pendeta 

Yahudi) yang berpengaruh dan bersinar terang dalam sejarah pemikiran zaman pertengahan (al-

‘ushu>r al-wustha> atau medieval age), khususnya dalam khazanah kesusatraan Yahudi. Betapa 

tidak, ia mewariskan begitu banyak karya dalam pelbagai macam disiplin ilmu, seperti filsafat, 

teologi, tafsir, yurisprudensi (fikih), astronomi, astrologi, farmasi, dan pengobatan , Karya-karya tersebut menjadi rujukan utama dalam kajian keilmuan Yahudi (Studia 

Judaeca/al-Dira>sa>t al-Yahu>diyyah) selama berabad-abad lamanya, dari generasi ke generasi, 

bahkan hingga saat ini. Karena kebesaran reputasi keagamaan dan keilmuannya, Ibn Maimun pun 

beroleh apresiasi tinggi. Beberapa di antaranya adalah al-Mujaddid al-Yahu>di> (Pembaharu Agama 

Yahudi), Musa al-Tsa>ni> (Nabi Musa Kedua), al-Failasu>f al-Mustani>r (Filsuf Pencerah), al-Thabi>b 

al-A’zham (Dokter Agung), dan al-Nasar al-Kabi>r (Elang Besar) bahkan berani menyatakan kedudukan Musa 

ibn Maimun dalam sejarah pemikiran agama Yahudi dapat disejajarkan dengan kedudukan al-

Imam Abu Hamid al-Ghazzali dalam sejarah pemikiran agama Islam. Al-Ghazzali ditahbiskan 

sebagai hujjah dan mujaddid dalam agama Islam, demikian pula halnya dengan Ibn Maimun untuk 

Yahudi 

Seperti diungkapkan di atas, Ibn Maimun melahirkan banyak sekali karya yang kemudian 

menjadi rujukan utama dan terpenting dalam literatur agama Yahudi. Akan tetapi, uniknya, 

hampir seluruh pemikiran yang dituangkan ke dalam karya-karya tersebut lahir dalam bayang-

bayang dan pengaruh kuat tradisi Arab-Islam (al-tsaqa>fah al-Isla>miyyah). Ibn Maimun menulis 

karya menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Ibrani yang merupakan bahasa utama sekaligus 

disucikan oleh penganut agama Yahudi. Tak heran jika kemudian karya-karya Ibn Maimun 

dimasukkan ke dalam kategori karya sastra Arab-Islam ataupun sastra Yahudi-Arab (al-Adab al-

'Arabi al-Yahu>di atau Judeo-Arabic Literature).  

Nuansa tradisi Arab-Islam dalam pemikiran dan karya-karya Ibn Maimun terasa begitu 

kental. Hal itu membuat Musthafa ‘Abd al-Raziq (w. 1947 M), salah seorang pemikir Islam 

modern, menyatakan bahwa Ibn Maimun merupakan seorang ulama Muslim. Pernyataan itu 

termaktub di dalam pengantar Kitab Dala>lah al-Ha>’iri>n karya Ibn Maimûn. Hal senada ditegaskan 

oleh Husain Atay, penyunting kitab tersebut. Ia membuat amsal pendapat al-Syahrastani (w. 

1153), di dalam al-Milal wa al-Nihal, yang mengategorikan Hunain ibn Ishaq (w. 810 M) sebagai 

filsuf Muslim meski, dalam kenyataannya, Hunain merupakan seorang filsuf dan penerjemah 

Kristen pada zaman Abbasiyyah. Menurut Husain Atay, jika demikian halnya, Ibn Maimûn --

seorang filsuf Yahudi dari Andalus—juga dapat disebut sebagai seorang filsuf Muslim. 

 

Biografi Musa ibn Maimun 

Musa ibn Maimûn dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1130 M di Kota Kordoba, salah satu 

pusat keilmuan dan kebudayaan paling cemerlang dalam peradaban Arab-Islam di Andalusia (kini 

Spanyol). Tanggal dan tempat kelahiran ini disebutkan oleh cucu Ibn Maimûn, yaitu Dawud ibn 

Abraham (David ibn Avraham Maimonides) dalam ta’li>q (komentar)-nya atas Kitab Syarh 

Mishna>h al-Taura>h karangan Ibn Maimun ,Hari kelahiran Ibn Maimun 

bertepatan dengan hari raya Yom Pesakh (Paskah Yahudi), salah satu hari raya besar agama 

Yahudi. Oleh karena itu jugalah ia diberi nama ‚Musa‛ oleh keluarganya untuk mengenang Nabi 

Musa dan peristiwa Yom Pesakh. Pada peristiwa itu, Nabi Musa dan para pengikutnya (Bani 

Israel) pergi meninggalkan tanah Mesir --untuk menghindari kejaran Raja Firaun-- menuju tanah 

yang dijanjikan oleh Tuhan Yahweh.   

Keluarga Ibn Maimun terhitung sebagai keluarga aristokrat Yahudi-Kordoba yang 

terhormat. Sang ayah, Maimun ibn Yusuf, merupakan seorang pemuka agama Yahudi sekaligus 

dokter terkemuka di Kordoba. Sementara sang kakek, Yusuf ibn ‘Uwaida, merupakan seorang guru 

Sejak kecil, Ibn Maimun beroleh pendidikan dengan kualitas terbaik. Ia berkesempatan 

mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu Arab-Islam (sebagai tradisi tanah 

airnya) maupun ilmu-ilmu Yahudi (sebagai tradisi agama keluarganya). Tak heran, pada usia yang 

masih sangat belia, Ibn Maimun telah mengenal berbagai macam literatur Arab-Islam ataupun 

Yahudi, baik di bidang keagamaan maupun kesusastraan 

Sosok sang ayah, Maimun ibn Yusuf, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkan 

perjalanan karier intelektualnya pada kemudian hari. Sebelum belajar ilmu pengetahuan di 

sekolah-sekolah di luar rumah, Ibn Maimun terlebih dahulu menyerap pelbagai macam ilmu 

pengetahuan di dalam rumah dari sosok ayahnya yang memang memiliki wawasan luas. 

Ibn Maimun memiliki ketertarikan khusus terhadap dunia susastra, filsafat, teologi, dan 

kedokteran. Ia belajar di Madrasah Yahudiyyah, sebuah madrasah terkemuka bagi anak-anak 

Yahudi di bilangan Kordoba. Di sana, diajarkan teologi, sastra, dan filsafat dengan kualitas baik 

dan mumpuni. Madrasah tersebut didirikan oleh Rabi Musa ibn Akhnukh atas promotor al-Wazi>r 

Hasday ibn Sabruth, seorang cendikiawan Yahudi sekaligus dokter yang menjadi perdana menteri 

Khalifah al-Hakam III. Selain madrasah itu, terdapat madrasah Yahudi lainnya di kawasan 

Lusyanah (Lucena). Filsuf Muslim Abû Walîd Muhammad ibn Rusyd (Averroes) juga tercatat 

pernah mengajar di madrasah tersebut pada tahun-tahun terakhir hidupnya ,Ibn Maimûn sendiri disebut-sebut sebagai ‚murid tak langsung‛ Ibn Ruysd. 

Ibn Maimun banyak mempelajari, menelaah, dan mengkaji karya-karya susastra Arab yang 

berkembang di Andalus, baik yang ditulis oleh sastrawan Muslim-Andalus maupun sastrawan 

Yahudi-Andalus. Ia juga melahap buku-buku filsafat, baik filsafat Arab-Islam yang sedang 

berkembang pesat di wilayah Timur-Islam (Baghdad) maupun filsafat Yunani yang telah 

diterjemahkan ke dalam bahasa Arab 

Ibn Maimun menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Kordoba (Shahlan, 2006: 63). 

Pada saat itu, tradisi kesusastraan dan keilmuan sedang berkembang pesat di berbagai kota Arab-

Islam Andalus, termasuk di Kota Kordoba yang merupakan ibu kota peradaban Arab-Islam 

Andalusia. Kordoba merupakan pusat sekaligus ibu kota Dinasti Umayyah yang memerintah 

Andalus selama kurang lebih tiga abad (756-1031 M). Di Kordoba dan Madinah Zahra (ibu kota 

Dinasti Umayyah lainnya), terdapat berbagai universitas yang menjalankan berbagai macam 

aktivitas keilmuan di berbagai bidang, mulai dari agama, sastra, seni, humaniora, hingga sains. 

Setelah Dinasti Umayyah runtuh hatta wilayah-wilayah Andalusia menjadi kerajaan-kerajaan kecil 

(Mulûk al-Thawâif), keberadaan dan peran Kordoba sebagai sentral kebudayaan dan keilmuan 

Arab-Islam di Andalusia tetap dipertahankan 

Iklim toleransi juga sangat kuat dan dijaga oleh setiap penguasa Muslim di Andalus. Umat 

Islam, Kristen, dan Yahudi mendapatkan hak hidup yang sama. Pada periode tahun 711- 1085 

Masehi, para pemeluk agama Islam, Yahudi, dan Kristen hidup dalam kerukunan di serata 

Andalusia, nama yang disematkan kepada penduduk Muslim Spanyol. Sebuah kondisi yang sama 

sekali tak terpikirkan akan berlaku di kota-kota Eropa lain, seperti London atau Paris. Kondisi 

toleransi itu bahkan memiliki nama tersendiri, yakni convívencía yang secara harfiah dapat 

diterjemahkan sebagai ’hidup dalam kebersamaan’ atau ’meniscayakan toleransi’. Di Andalusia, 

orang Yahudi tidak hanya merasa nyaman dalam menjalankan ajaran agama, tetapi sekaligus 

menemukan rumah yang aman setelah bertahun-tahun mengalami penganiayaan di bawah 

kekuasaan Kristen. Mereka menyebut Andalusia sebagai ‚Sefarad‛, nama yang mereka sematkan 

kepada Semenanjung Iberia. Beberapa ahli menggambarkan periode 711-1085 merupakan ‛Zaman 

Keemasan Yahudi‛ (Considine, 2014). Bahkan, beberapa penguasa Muslim menjadikan banyak 

penganut Kristen dan Yahudi sebagai menteri, sastrawan, dokter, juru tulis, dan bendahara 

pemerintahan. Orang-orang Kristen dan Yahudi juga dapat belajar kepada sarjana-sarjana Muslim 

di akademi-akademi keilmuan yang tersebar di kota-kota Andalusia, utamanya di Kordoba (Al-

Khalidi, 1999, Pasal VI, 1; Lam’i, 2004). Di Kota Kordoba juga, tradisi keilmuan dan seni Ibrani-

Yahudi berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini menjadi babak baru dalam sejarah 

pemikiran umat Yahudi. Pasalnya, sebelum berasimilasi dengan peradaban Arab-Islam, tradisi 

pemikiran Ibrani-Yahudi --terutama dalam bidang teologi, filsafat, sastra, gramatika, astronomi, 

dan kedokteran—bisa dikatakan tidak dapat berkembang.  

Wolfenson (1923: 4) menyatakan, tradisi keilmuan Yahudi mencapai tahap kematangan di 

tengah peradaban Arab-Islam Andalusia, tepatnya di kota Kordoba. Di kota tersebut, ilmu 

gramatika Ibrani (al-nahw al-‘ibri) untuk kali pertama lahir atas pengaruh ilmu gramatika Arab (al-

nahw al-‘arabi). Uniknya, karya-karya gramatika bahasa Ibrani ditulis dalam bahasa Arab. Di 

antara para ahli gramatika Ibrani itu, terdapat nama Manahim ibn Sarruq, ilmuwan yang pertama 

kali menyusun kamus bahasa Ibrani-Arab. Ada juga sosok Dunash ibn Labrath, penyair yang 

menciptakan ilmu syair Ibrani (‘ilm al-‘arudh al-‘ibri) dengan mengikuti pola ilmu syair Arab (al-

‘arudh al-‘arabi). Ibn Labrath menciptakan beberapa rumus bahr dan qawa>fi dalam ilmu syair 

Ibrani tersebut. Seorang ahli gramatika Ibrani lainnya, Abu Zakariya Yahya ibn Dawud ibn Hayyuj 

al-Nahwi al-Qurthubi, menyusun kitab-kitab gramatika dan morfologi bahasa Ibrani. Beberapa di 

antaranya berjudul Kita>b al-Af’a>l Dzawa>t Huru>f al-Layyin, Kita>b al-‘Af’a>l Dzawa>t al-

Mutsallatsain, dan Kita>b al-Tanqi>th fi> al-Nahw al-‘Ibri>. Selain itu, terdapat pula nama ilmuwan 

lainnya, yakni Abu al-Walid Marwan ibn al-Janah, yang menulis Kita>b al-Tanqi>h dan Kita>b al-

Luma’. Ibn Maimûn hidup di tengah tradisi keilmuan dan budaya toleransi yang gilang-gemilang 

ini. Ia pun menyerap berbagai macam pengetahuan yang tengah berkembang di Kordoba dan 

Granada. Di dua kota itu, ia belajar, berbaur, dan berpadu dengan ahli ilmu dan sastra. 

Akan tetapi, kondisi berubah ketika Dunia Islam di Laut Tengah (the Islamic Mediterranean 

world) dikuasai oleh Dinasti Muwaḥḥidun (Almohads) sejak tahun 1148 Masehi. Kehadiran dinasti 

yang mengusung faham revolusioner dan fanatik itu membuat para pemeluk Yahudi, termasuk 

keluarga Ibn Maimun, hidup dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Betapa tidak, dinasti itu 

memberikan dua pilihan kepada para pemeluk Yahudi: memeluk Islam atau meninggalkan kota. 

Walakin, keluarga Ibn Maimun memilih jalan lain. Di hadapan umum, mereka bertingkah laku 

selayaknya Muslim (Bokser, 1998). Ibn Maimun yang kala itu belum genap berusia 14 tahun 

terpaksa mengikut keluarganya pindah dari Kordoba ke Almeria, sebuah kawasan pesisir yang 

hangat di Andalusia selatan. 

Di kota baru itu, ketekunan Ibn Maimun dalam menimba ilmu terus berlanjut. Ia terus 

membaca karya-karya ulama Muslim dan Yahudi, baik dalam bidang teologi, sastra, filsafat, 

astronomi, maupun kedokteran. Dua belas tahun kemudian, keluarga Ibn Maimun kembali pindah 

ke Kota Fas di kawasan al-Maghrib al-Aqsha (kini Maroko). Jika Kordoba adalah jantung 

peradaban dan ilmu pengetahuan di kawasan semenanjung Iberia (Andalusia), maka Fas adalah 

jantung kebudayaan dan ilmu pengetahuan di kawasan al-Maghrib al-Aqsha. Di Kota Fas, terdapat 

banyak pusat keilmuan dalam berbagai bidang. Sebenarnya, Kota Faz merupakan bagian dari 

wilayah kekuasaan Dinasti Muwaḥḥidun. Akan tetapi,  keluarga Ibn Maimun menganggap kota itu 

‚lebih menjanjikan‛ daripada Kordoba ataupun Almeria. Soalnya, di Kota Faz, keluarga mereka 

menjadi orang asing sehingga kecil kemungkinan penyamaran mereka akan dapat dengan mudah 

terdeteksi Lagi pula, di kota tua itu, terdapat komunitas umat Yahudi terbesar di 

kawasan al-Maghrib al-Aqsha>, lengkap dengan sinagog dan sekolah-sekolahnya 

Di Kota Fas, Ibn Maimun bertemu dan belajar kepada seorang ulama besar Yahudi yang 

bernama Yahuda al-Kahin. Abu al-Hasan Ali ibn Abi Zara’ al-Fasi, sejarawan asal Kota Fas yang 

bertemu dengan Ibn Maimun di kota itu, (sebagaimana dikutip oleh Wolfenson, 1923: 7), 

mengatakan bahwa Ibn Maimun juga aktif menjalin kontak keilmuan dengan para ulama Muslim 

di kota tersebut. Di Kota Fas juga Ibn Maimun menulis beberapa risalah dalam bahasa Arab 

tentang logika, astronomi, teologi, dan etika agama Yahudi.  

Pada tahun 1165, keluarga Ibn Maimun terpaksa kembali pindah. Mereka memutuskan 

mengambil langkah itu setelah peristiwa penangkapan terhadap Rabbi Yudah bin Shoshan, salah 

seorang guru Ibn Maimun. Ia dinyatakan bersalah karena memeluk Yahudi hatta dieksekusi. 

Keluarga Ibn Maimun memilih bermastautin di Kota Acre, Palestina. Namun, mereka hanya 

bertahan selama enam bulan di sana. Pasalnya, Kota Acre sedang dilanda depresi ekonomi 

sehingga sulit bagi keluarga Ibn Maimun untuk menemukan sumber penghidupan ,

Apalagi, kalakian, tengah berkecamuk perang salib antara pasukan Muslim dengan pasukan 

Kristen-Latin (Eropa Barat). Pihak Kristen-Latin menguasai wilayah Levantina (Syam), termasuk 

di dalamnya kota-kota di Palestina.  

Selanjutnya, keluarga Ibn Maimun memilih berpindah ke Alexandria lalu Fustat (bagian dari 

Kairo), Mesir. Saat itu, Mesir sedang mengalami masa peralihan kekuasaan, dari Dinasti 

Fathimiyyah ke Dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang 

legendaris. Keberadaan Ibn Maimun di Mesir menjadi babak baru dalam kehidupannya. Mesir 

menawarkan iklim toleransi yang sangat tinggi bagi keluarga Ibn Maimun dan bagi umat non-

Islam lainnya. Mereka dapat hidup secara damai dan bebas di tanah peradaban kuno itu. Di Kairo, 

jantung peradaban Arab-Islam sekaligus ibu kota pemerintahan Islam di Mesir, keluarga Ibn 

Maimun tinggal di kawasan Mahallah al-Mashishah yang merupakan kawasan para aristokrat. Di 

kawasan tersebut, terdapat wilayah tinggal khusus untuk umat Yahudi, dikenal dengan Ha>rah al-

Yahu>d. Pada masa-masa awal keberadaan Ibn Maimun di Kairo, ia dan adiknya menjalankan 

profesi sebagai dokter dan juga pedagang perhiasan, logam, dan batu mulia (Wolfenson, 1923: 8). 

Di Kairo, Ibn Maimun juga mengajar di salah satu madrasah keagamaan Yahudi. Majelis 

pengajiannya selalu ramai oleh para pelajar agama Yahudi. Ibn Maimun mengajar pokok-pokok 

ajaran agama Yahudi, teologi, eksakta, astronomi, filsafat, dan kedokteran. Salah satu murid 

terdekat Ibn Maimun adalah Abu al-Hajjaj Yusuf ibn Yahya ibn Ishaq al-Sabti al-Maghribi yang di 

kemudian hari menjadi salah satu ilmuwan besar Yahudi.  

Reputasi Ibn Maimun yang kian menanjak sebagai seorang ilmuwan besar Yahudi 

mengantarkannya didaulat sebagai kepala umat Yahudi (rais al-tha>ifah al-yahu>diyyah) di Mesir. 

Pengaruh sosok Ibn Maimun juga sampai kepada umat Yahudi di Levantina (Syâm) dan al-

Maghrib al-Aqsha>. Sejak pendaulatan itu, Ibn Maimun mulai menggalakkan proyek reformasi dan 

pembaharuan dalam pemikiran keagamaan Yahudi. Ia pun mendirikan madrasah keagamaan 

Yahudi dan juga sinagog yang membawa namanya, yaitu Ma’bad Musa ibn Maymun (Sinagog 

Musa ibn Maimun). Ibn Maimun juga menulis beberapa karya monumentalnya yang kemudian 

menjadi rujukan utama keagamaan Yahudi pada zamannya dan zaman setelahnya. Karena 

kebesarannya itu juga, Ibn Maimun dijuluki sebagai Musa al-Tsa>ni> atau Nabi Musa Kedua. Selain 

dikenal sebagai tokoh utama keagamaan Yahudi di Mesir, Ibn Maimun juga dikenal sebagai 

seorang dokter yang andal. Ia mengarang beberapa karya penting di bidang kedokteran, 

mengajarkan ilmu kesehatan, dan membuka klinik yang memberikan pengobatan secara cuma-

cuma kepada masyarakat yang sakit, utamanya masyarakat Yahudi.  

Kebesaran sosok Ibn Maimun sebagai seorang ulama Yahudi, dan utamanya sebagai seorang 

dokter handal, sampai juga ke kalangan dalam Kesultanan Mesir. Al-Qa>dhi> al-Fa>dhil ‘Abd al-

Rahim ibn ‘Ali al-Baisa>ni>, al-wazi>r al-a’zham (menteri agung atau perdana menteri) Kesultanan 

Ayyubiyyah, memanggil Ibn Maimun ke istana kesultanan. Ibn Maimun didaulat sebagai dokter 

istana, lalu dokter khusus Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan juga anaknya, al-Malik al-Afdhal 

Nuruddin Abu al-Hasan Ali ibn Shalahuddin ,Seorang penyair istana 

kesultanan, al-Sa’id ibn Sana al-Mulk Hibbatullah, memberikan pujian terhadap Ibn Maimun 

tentang reputasinya sebagai seorang dokter istana yang mahir. Hibbatullah, sebagaimana dikutip 

Wolfenson (1923: 9) menulis: 

 ‚Aku menelaah ilmu kedokteran Galen yang mengobati tubuh manusia. Lalu aku melihat 

ilmu kedokteran Ibn Maimun yang jauh melampaui Galen, karena mengobati tubuh dan akal 

manusia sekaligus. Ibn Maimun adalah dokter terbesar di zamannya. Ia mengobati tubuh 

yang sakit dengan kedokteran, dan ia juga mebobati akal yang sakit dengan ilmu 

pengetahuan‛. 

Ibn Maimun menikah pada usia 50 tahun dengan putri seorang tokoh Yahudi Mesir lainnya, 

yaitu Abu al-Ma’ali al-Israili. Sang istri bekerja sebagai juru tulis bagi ibu suri kesultanan. Dari 

pernikahan itu, Ibn Maimun dikaruniai seorang anak yang diberi nama Abraham ibn Musa ibn 

Maimun. Kemudian hari, Abraham juga dikenal sebagai sosok ilmuwan besar Yahudi, penerus 

kebesaran sosok sang ayah.  Ibn Maimun meninggal dunia pada 13 Desember 1204 M, pada usia 74 

tahun. Ribuan umat Yahudi, Kristen, dan juga Muslim ramai melayat jenazah Ibn Maimun di 

sinagognya di Kairo. Umat Yahudi di beberapa belahan negeri lainnya, semisal di Palestina-

Levantina, Irak, Afrika Utara dan al-Maghrib al-Aqsha, serta Perancis selatan juga ikut berkabung 

atas kematian Ibn Maimun. Jenazah Ibn Maimun dikebumikan di kompleks makam sinagognya di 

Kairo, lalu dipindahkan ke kompleks pemakanan para pembesar agama Yahudi di Tiberias, 

Palestina 

  

Warisan Intelektual Ibn Maimûn 

Ibn Maimun merupakan sosok ilmuwan Yahudi yang produktif karena menghasilkan begitu 

banyak karya intelektual. Karya-karya Ibn Maimun menjadi warisan intelektual yang sangat kaya 

sekaligus menjadi rujukan utama bagi umat Yahudi pada zamannya dan juga generasi setelahnya 

secara turun temurun hingga saat ini. Karier kepenulisan Ibn Maimûn dimulai semenjak ia berada 

di Kota Kordoba, di tanah kelahiran sekaligus masa kecilnya. Di sana, Ibn Maimun menulis 

beberapa risalah kecil tentang keyahudian dan juga penafsiran sederhana atas kitab suci Taurat 

korpus Babilonia. Ibn Maimun juga menulis sebuah risalah tentang logika (Risa>lah fi> al-Manthiq) 

yang ditujukan kepada para rabi Yahudi. Dalam risalah itu, Ibn Maimûn menyerukan perihal 

pentingnya menggunakan logika dan filsafat sebagai piranti memahami postulat-postulat 

keagamaan Yahudi. 

Karir kepenulisan Ibn Maimun terus menanjak setelah ia berpindah ke Kota Fas dan 

mencapai fase puncak dan kematangan setelah ia berada di Kota Kairo. Di kota seribu satu menara 

itu, karya-karya utama Ibn Maimûn lahir. Salah satu karya utamanya adalah Kita>b al-Sira>j yang 

merupakan tafsiran ilmiah pertama atas kitab suci umat Yahudi (Taurat). Dalam Kitâb al-Sira>j, 

Ibn Maimun menafsirkan kandungan Taurat secara jelas, gamblang, dan terperinci. Karyanya yang 

lain, Kita>b al-Fara>idh dan Syarh al-Mishna>h, menjelaskan hukum-hukum yurisprudensi (fikih) 

Yahudi secara lebih tertata dan terperinci, mengikuti pola kitab-kitab fikih dalam mazhab-mazhab 

fikih agama Islam 

Karya terpenting Ibn Maimun lainnya adalah Dala>lah al-Hairin. Karya tersebut merupakan 

karya teologi (‘ilm al-kala>m) dan filsafat Yahudi pertama dan terbesar. Dalam Dala>lah, Ibn 

Maimun mengkaji permasalahan-permasalahan teologis dan filosofis Yahudi secara ilmiah dan 

rasional, mengemukakan berbagai macam argumen rasional dan ilmiah tentang teologi Yahudi, 

sekaligus menegaskan kesesuaian (al-taufi>q) antara filsafat dengan ajaran agama Yahudi. Kitab 

Dala>lah al-Ha>iri>n terbagi ke dalam tiga bahagian. Di bagian pertama, Ibn Maimûn mengupas 

tuntas perihal masalah-masalah ketuhanan, seperti tentang dzat tuhan, cara memahami dan 

mengetahui-Nya, serta definisi keesaan-Nya. Di bagian kedua, ia beranjak pada masalah 

astronomi, malaikat, serta problematika hukum kekekalan alam. Sementara di bagian ketiga, ia 

mengupas perihal kenabian, hari akhir dan kebangkitan setelah mati, penafsiran terhadap sebagian 

lafaz kitab suci yang sulit dimengerti (abstrak), serta pembahasan atas fenomena kerusakan dalam 

hidup (Wolfenson, ibid).  

Ibn Maimun juga dikenal sebagai dokter agung. Ia didaulat menjadi dokter khusus Sultan 

Shalahuddin al-Ayyubi dan juga perdana menterinya, al-Qa>dhi> al-Fa>dhil. Dalam bidang 

farmakologi dan medikologi, Ibn Maimun menulis al-Amtsa>l al-Thibbiyyah yang merupakan 

ringkasan teori-teori kedokteran Galen, Hypocrates, al-Razi, dan Ibnu Sina. Karya kedokteran 

terbesar Ibn Maimu>n lainnya adalah Fushu>l al-Qurthubi>, juga dikenal dengan Fushu>l Musa, yang 

merupakan salah satu ensiklopedi terlengkap dalam ilmu kedokteran. Di dalamnya, Ibn Maimun 

membahas berbagai macam penyakit, mulai dari penyakit luar dan dalam, ciri-ciri penyakit dan 

pembagiannya, penyebab berbagai macam penyakit dan cara penyembuhannya, unsur-unsur 

kedokteran, langkah-langkah pengobatan dan syarat-syarat menjadi seorang dokter, penyakit 

wanita dan anak, cara menjaga kesehatan dengan ramuan dan olah raga, hingga kajian terhadap 

ilmu obat-obatan dan racun (Wolfenson, 1923: 14). Selain itu, ia juga menulis Kita>b al-

Mukhtashar yang merupakan intisari dan ringkasan atas teori-teori ilmu kesehatan Galen. Ibn 

Maimûn juga menulis Fushu>l Abqaru>th yang merupakan tinjauan dan ulasan atas teori-teori 

kedokteran Hypocrates.  

Ibn Maimun juga mengarang beberapa karya kedokteran yang secara khusus didedikasikan 

kepada para sultan Dinasti Ayyubiyyah dan juga para perdana menteri. Ibn Maimun menulis 

Maqa>lah fi> Tada>bir al-Shihhah yang merupakan panduan pengobatan dan kesehatan yang 

diperuntukkan bagi anak Sultan Shalahuddin, al-Malik Ali. Karya medikal lainnya adalah al-

Risa>lah al-Fa>dhiliyyah yang mengkaji toksikologi (ilmu racun) dan dipersembahkan untuk Perdana 

Menteri Sultan Shalahuddin, al-Qa>dhi> al-Fa>dhil. Dalam dua karya yang disebutkan terakhir, Ibn 

Maimûn mengungkapkan pandangan-pandagan kedokterannya berdasarkan observasi, eksperimen, 

dan pengalamannya sendiri, dengan diperkuat oleh pandangan-pandangan kedokteran terdahulu, 

baik dari Yunani maupun Arab-Islam (Wolfenson, ibid). 

Ibn Maimun juga menulis karya seksologi yang diperuntukkan bagi gubernur wilayah Hema 

di Suriah. Ia menulis Maqa>lah fi> al-Jima>’ yang mengkaji berbagai permasalahan terkait dengan 

seks, utamanya ramuan-ramuan yang dapat meningkatkan vitalitas seksual dan juga ritual-ritual 

yang dapat menambah kenikmatan aktivitas seksual. Uniknya, hampir semua karya Ibn Maimun 

ditulis dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Ibrani yang merupakan bahasa suci agama Yahudi. 

Hal inilah yang kemudian menjadikan karya-karya Ibn Maimun dimasukkan ke dalam kategori 

karya sastra Arab-Islam dan juga sastra Yahudi-Arab (al-Adab al-'Arabi al-Yahu>di atau Judeo-

Arabic Literature). 

 

Sastra Yahudi-Arab 

Sastra Yahudi-Arab (Judeo-Arabic Literature atau al-Adab al-‘Arabi al-Yahudi) berarti 

karya sastra yang ditulis oleh orang Yahudi yang hidup di negeri Arab-Muslim, khususnya pada 

zaman pertengahan (al-'ashr al-wasi>th atau medieval age) atau pada masa kekhalifahan 

Abbasiyyah-Baghdad, Daulah Andalus-Kordoba, dan dinasti-dinasti Fathimiyyah-Ayyubiyyah-

Mamluk di Mesir dan Levantina (Syam) (Halkin, 2008: 1; al-Sulaiman, 2006: 1). Masa 

kebangkitan dan kemajuan sastra Yudeo-Arab sendiri terjadi di Andalus, merentang sepanjang 

abad ke-10 sampai dengan abad ke-14 M. Di bumi Andalus, lahir ratusan karya sastra Yahudi-Arab 

dalam berbagai bidang. Karya-karya sastra tersebut bertema keyahudian, mulai dari akidah, 

syariah, tafsir dan ilmu-ilmu taurat, filsafat, tasawuf, etika, sejarah, tata bahasa atau gramatika, 

kisah-kisah, maqa>ma>t, hingga puisi. Bahkan, teori gramatika bahasa Ibrani dan puisi Ibrani juga 

lahir di Andalus dalam bingkai susastra Yudeo-Arab tersebut. Uniknya, hampir semua karya 

Yudeo-Arab ditulis dalam bahasa Arab, baik dengan huruf Arab ataupun huruf Ibrani. Hanya 

sebagian kecil di antaranya yang ditulis dalam bahasa Ibrani 

Pengaruh pemikiran Arab-Islam tampak sangat jelas dalam karya-karya sastra Yudeo-Arab 

di semua lingkup kajiannya, mulai dari akidah, syariah, tafsir, filsafat, tasawuf, etika, sastra, 

medical, puisi hingga gramatika. Sastra Yudeo-Arab bisa dikatakan sebagai pantulan citra 

(in'ika>sa>t) tradisi Arab-Islam dalam tradisi Ibrani-Yahudi, sekaligus sebagai titik singgung 

(nuqthah al-iltiqa>) antara sastra Arab dengan sastra Ibrani ). Keniscayaan akan keterpengaruhan tradisi Yahudi zaman pertengahan oleh 

tradisi Islam disebabkan adanya hubungan ('ila>qah) yang sangat erat dan persinggungan (ihtika>k) 

yang tak terpisahkan antara kedua belah pihak pada masa itu. Orang-orang Yahudi menjadi ra'a>ya> 


(warga) di negeri-negeri Islam waktu itu, baik pada masa kekhalifahan Abbasiyyah (yang berpusat 

di Baghdad), Daulah Andalusiyyah (yang berpusat di Kordoba), maupun dinasti-dinasti 

Fathimiyyah-Ayyubiyyah-Mamluk (yang berpusat di Kairo). Terkait dengan potret kehidupan 

Yahudi di dunia Muslim pada masa pertengahan, terdapat beberapa kajian yang memberikan 

banyak informasi berharga dan kaya terkait dengan hal itu, 

Warga Yahudi memiliki hak yang sama dengan warga Muslim. Mereka belajar pada sarjana-

sarjana muslim di institusi-institusi keilmuan di negeri-negeri tersebut. Sebagian dari mereka 

bahkan ada yang menduduki posisi strategis, seperti menteri, penasihat sultan, dokter kerajaan, 

dan sebagainya (Shahlan: 37-61; Halkin, 2008: 1; al-Sulaiman, 2006: 1). Pada masa itu pula, 

peradaban Islam sedang mencapai masa keemasaan dan kegemilangannya. Dunia keilmuan 

berkembang secara pesat. Tak hanya menyambung dan melanjutkan tradisi keilmuan dunia yang 

telah dibangun oleh bangsa-bangsa besar sebelumnya, semisal Mesir Kuno, Persia, Yunani-

Romawi, Suryani, dan India, tetapi juga meretas, mengembangkan, dan menciptakan tradisi serta 

teori keilmuan yang baru (Syaban, 2007: 222; Bint al-Shati, 1994: 4). Tradisi keilmuan yang 

berkembang pesat bukan hanya dalam bidang keagamaan, semisal akidah, kalam, fikih, ushul fikih, 

tafsir, hadits, dan tasawuf, tetapi juga dalam bidang humaniora dan sains-terapan secara umum, 

mulai dari bahasa, susastra, filsafat, musik, sejarah, sosiologi, antropologi, tata negara, astronomi, 

teknik (handasah), fisika, biologi, kimia, dan sebagainya. Ribuan sarjana Muslim kenamaan pun 

lahir sebagai pakar di masing-masing bidang keilmuan. 

Ilmu-ilmu itu pun dipelajari, diserap, diadopsi dan dikembangkan lebih jauh oleh orang-orang 

Yahudi untuk diterapkan ke dalam tradisi mereka. Mereka belajar dan mengangsu ilmu dari 

sarjana-sarjana Muslim di institusi-institusi keilmuan Arab-Islam. Dari rahim institusi-institusi itu 

jualah, pada gilirannya, terlahir ratusan sarjana Yahudi dalam berbagai bidang, utamanya teologi, 

syariat, filsafat, tasawuf, kedokteran, dan susastra. Beberapa di antara sarjana Yahudi itu adalah 

Sa’idia al-Fayyumi, Manahim ibn Saruq, Dunash ibn Labrath, Hasday ibn Syabruth, Ibn Hayyuj, 

Ibn Janah al-Qurthubi, Dawud al-Fasi, Yahudza ibn Quraisy, Ishaq ibn Barun, Musa ibn 'Azra, 

Natanil al-Fayyumi, Ishaq al-Qarqasani, Bahya ibn Baquda, Yahudzaâ al-Lawi, Isma'il ibn an-

Naghrilah, Musa ibn Maimun, Ibn Kamunah, Sulaiman ibn Jarbiul, Tadrus Abu al-'Afiyah, Ibrahim 

ibn 'Azra, dan Ibrahim Maimuni (Shahlan: 41-52; Halkin, 2008: 1; al-Sulaiman, 2006: 1). Para 

sarjana Yahudi itu juga melahirkan karya-karya yang kaya dalam berbagai macam latar belakang 

disiplin keilmuan. Meskipun demikian, mereka menuliskan hampir semua karya mereka dalam 

bahasa Arab. Tidaklah mengherankan jika para pembaca dan pengkaji karya-karya yang ditulis 

oleh tokoh-tokoh tersebut akan merasakan pengaruh tradisi Arab-Islam yang sangat kental di 

dalamnya. Bukan hanya karena karya-karya tersebut kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab, 

melainkan juga karena pemikiran-pemikiran dalam karya-karya tersebut sarat muatan, salinan, dan 

pengaruh tradisi pemikiran-pemikiran Arab-Islam. 

 

Pelajaran Berharga dari Kehidupan Ibn Maimûn 

Seperti dikemukakan di bagian sebelumnya, Ibn Maimun menjalani masa 30 tahun awal 

kehidupannya secara tidak menyenangkan. Karena tekanan penguasa, khususnya pada masa 

Dinasti Muwaḥḥidun, ia dan keluarga terpaksa hidup secara berpindah-pindah dari satu kota ke 

kota lain. Ia baru dapat mengenyam kehidupan yang nyaman dan damai ketika berada di Mesir, di 

bawah pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Meskipun demikian kondisinya, Ibn Maimûn berhasil 

mengembangkan diri secara intelektual berkat ‚bantuan‛ para ilmuwan Muslim. 

Sejak usia dini, Ibn Maimun telah menaruh minat terhadap teori-teori filsafat Yunani kuno, 

terutama yang berasal dari Aristoteles dan Plato. Ternyata, ia menemukan kenyataan bahwa teori 

kedua filsuf tersebut telah diinterpretasikan dengan sangat baik oleh para ilmuwan Muslim. Oleh 

karena itu, Ibn Maimun merasa perlu menguasai bahasa Arab untuk mendalami teori-teori filsafat 

Yunani kuno hingga menjadikan berbagai pengetahuan itu sebagai bahan untuk menafsirkan ulang 

Arabi : Journal of Arabic Studies 

Vol. 3 No. 1 | 19-22 

Copyright © 2018 | ARABI | p-ISSN 2548-6616 | e-ISSN 2548-6624 

ajaran Yahudi. Bukti nyata mengenai hal itu adalah kehadiran Mishneh Torah, buku tentang 

halaqa (hukum Yahudi), terdiri atas 14 jilid, yang disusun Ibn Maimun selama berdomisili di Kota 

Faz (Maroko). Buku tersebut merupakan salah satu karya monumental yang sekaligus 

menahbiskan Ibn Maimun sebagai pemikir kerabian terkemuka pada zamannya. Salah satu kunci di 

dalam buku itu adalah pendapat Ibn Maimun bahwa tiap-tiap bagian dari hukum Yahudi 

menyuguhkan tujuan rasional. Pendapat ini, menurut Considine (2014), tidak mungkin hadir tanpa 

pengaruh filsafat Yunani atau setidaknya hasil terjemahan dan interpretasi kaum Muslim terhadap 

teori-teori Aristoteles dan Plato. 

Kalangan Muslim pemikir dan bahasa Arab mengantarkan Ibn Maimun untuk memahami 

filsafat Yunani kuno. Hal itu sekaligus menciptakan keniscayaan bagi dirinya untuk menempuh 

pembelajaran secara lintas budaya. Pada fase berikutnya, Ibn Maimun mampu menerjemahkan dan 

memahami berbagai pengetahuan Muslim dan Yunani untuk kemudian dimasukkan ke dalam 

ajaran Yahudi. Hal itu sekaligus menandai salah satu transmisi gagasan terbesar yang pernah ada 

di dunia. Oleh karena itu, menurut Considine (2014), sebenarnya Ibnu Maimun berutang banyak 

kepada filsafat Neo-Plato yang berakar di kalangan Muslim Spanyol. Pasalnya, ia meminjam ide-

ide terbaik dari dua peradaban besar, yakni Yunani kuno dan Muslim Spanyol, untuk menciptakan 

pemahaman baru tentang Kitab Suci Yahudi yang dinilai cocok dengan konsep rasionalisme 

‛modern‛. Ibn Maimun mengakui itu. Salah satu buktinya terdapat di dalam surat pada tahun 1199 

yang ia kirimkan kepada rabi Samuel bin Tarron, sejawat Yahudi-nya di Prancis, kalakian, yang 

sedang menerjemahkan karya-karya Ibn Maimun ke dalam bahasa Ibrani. Ibn Maimûn 

menyatakan: 

‛Berhati-hatilah dalam mempelajari karya-karya Aristoteles hanya dengan bantuan para 

komentator...karya Aristoteles sudah cukup...Untuk mendalami logikanya, hanya perlu 

mempelajari karya-karya Al-Farabi. Kualitas semua tulisannya sangat bagus...‛ (Considine, 

2014).  

Seperti dikatakan di bagian terdahulu, salah satu karya Ibn Maimun yang juga layak 

diperhitungkan adalah Dala>lah al-Ha>iri>n, ditulis dalam bahasa Arab, dan rampung pada tahun 

1190. Belakangan, karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Guide of the 

Perplexed (Penulis mendapatkan edisi kedua buku itu yang dipublikasikan pada tahun 1904 hingga 

dicetak ulang pada tahun 1910, 1919, 1925, 1928, 1936, 1942, 1947, dan 1951). Di dalam buku itu, 

Ibn Maimun menyatakan pendapat bahwa kualitas jiwa hanya akan dapat meningkat melalui 

pengetahuan. Ia pun menyebutkan bahwa pencapaian tertinggi seorang manusia adalah 

kesempurnaan intelektualitas. Walakin, kesempurnaan intelektualitas tidak mungkin dapat diraih 

tanpa belajar. berpendapat bahwa semua kejahatan besar yang 

ditimbulkan oleh manusia terhadap manusia lain –baik itu dilatarbelakangi oleh niat-niat tertentu, 

keinginan, pendapat, maupun prinsip-prinsip agama—berasal dari ketidaktahuan lantaran 

ketiadaan kebijaksanaan. Ibarat seorang buta yang selalu tersandung karena tidak dapat melihat 

dan ketiadaan bimbingan sehingga mencederai sekaligus membahayakan dirinya dan orang lain. 

Jika memiliki kebijaksanaan, manusia tidak akan mencederai diri sendiri ataupun orang lain. 

Hal itu lantaran pengetahuan tentang kebenaran akan menghilangkan kebencian dan 

pertengkaran serta mencegah terjadinya perilaku saling merusak.  

Dengan demikian, menurut Ibn Maimun, semua orang membutuhkan pengetahuan agar 

memiliki kebijaksanaan. Lagi pun, orang-orang yang berasal dari lingkungan budaya berbeda 

hanya dapat mengatasi perpecahan dan konflik melalui pendidikan. Untuk mencapai kondisi 

tersebut, Ibn Maimun mendorong semua orang untuk menemukan pengetahuan di luar tradisi 

agama mereka sendiri. Soalnya, menurut dia, tiap-tiap agama menawarkan kebijaksanaan 

Dalam takaran tertentu, tulisan-tulisan Ibn Maimun tentang filsafat dipengaruhi oleh 

sufisme dalam Islam. Bahkan, dalam bidang ini, ia pun secara terang-terangan mengaku merujuk 

kepada pemikiran al-Ghazali, teolog filsuf Muslim berpengaruh pada abad ke-11 dan ke-12, yang 

mendorong umat Islam untuk menjauh dari Islam ortodoks ke Sufisme. Al-Ghazali mengklaim 

bahwa ‛cahaya‛ dan ‛kebenaran‛ memiliki hubungan dalam melihat ‛cahaya kebenaran‛ seperti 

melihat serangan kilat secara tiba-tiba yang, menurut dia, akan membantu menerangi dan 

memperluas pikiran manusia. Kalangan sufi menyebut iluminasi itu sebagai awqat. Sufisme pun 

mengajarkan kepada Ibn Maimun bahwa literalisme bukanlah satu-satunya jalan untuk memahami 

tuhan. Tulisannya mendorong kaum Yahudi untuk mengikuti kecerdasan dan meninggalkan 

interpretasi para literalis terhadap Kitab Suci Yahudi. Meskipun demikian, Ibn Maimun sama 

sekali tidak menyarankan pemeluk Yahudi untuk meninggalkan tradisi. Ia mengkritik ayat-ayat 

suci dengan ‛memecahkan‛ makna-makna yang tersembunyi. Dalam hal ini, Ibn Maimun 

menemukan kembali makna esoteris (batin) ajaran Yahudi yang kemudian ia hadiahkan kepada 

generasi baru Yahudi. 

Ibnu Maimun juga merujuk kepada kalangan sufi untuk menemukan keseimbangan jiwa. 

Agar jiwa tumbuh secara spiritual, kaum sufi percaya bahwa manusia harus terlebih dahulu sehat 

secara fisik, pikiran, dan roh. Ia meminjam keyakinan tersebut dan membagi jiwa menjadi dua 

jenis: jiwa yang diliputi kemarahan dan membawa roh yang berat versus jiwa yang memiliki watak 

datar dan yang ringan di hati. Menurut Ibn Maimun, jiwa yang ‚tidak pernah dikondisikan untuk 

mengejar nafsu‛ tidak akan sehat jika memiliki ‚keinginan tak terbatas‛. Apalagi, Kitab Suci 

Yahudi (Koheles 5: 9) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki jiwa yang tamak ‛tidak akan 

terpuaskan oleh semua kekayaan dunia‛. Ternyata, buah pikiran tersebut bercermin pada Jalal al-

Din al-Rumi, sufi penyair yang kemudian menulis pada abad ke-13 bahwa mereka yang tahu ‛nilai 

setiap artikel barang dagangan...tidak tahu nilai jiwa [mereka] sendiri, itu semua kebodohan‛. Ibn 

Maimun dan Rumi mendorong semua manusia untuk bergerak melampaui materialisme. Mereka 

menginginkan agar semua manusia hidup dengan murah hati dan penuh kasih sayang 

Konsep Ibn Maimun terhadap pengetahuan dan kesediaannya untuk menggabungkan 

berbagai ide dari budaya lain ke dalam filsafatnya berfungsi sebagai pengingat penting dan alat 

yang sangat berguna dalam membangun jembatan pemahaman antarbudaya. Alih-alih berfokus 

pada perbedaan budaya, ia berupaya untuk menemukan wilayah-wilayah yang sama. Tak heran jika 

kemudian jalan kehidupan Ibn Maimun merupakan teladan, terutama bagi orang-orang yang hidup 

dalam masyarakat beragam agar dapat bekerja sama untuk membangun komunitas yang lebih kuat. 

Menurut Considine (2014), warisan Ibn Maimun sekaligus mengingatkan kita kepada pepatah 

masyhur Yahudi tentang tikkun olam, ‚untuk menyembuhkan dunia yang retak‛. Dalam mencari 

kebijaksaan di luar tradisi budayanya sendiri, Ibn Maimun menunjukkan bagaimana kita dapat 

membangun kesamaan melalui proses pencampuran. Kehidupannya merupakan bukti bahwa orang-

orang dari berbagai latar belakang dapat memecahkan dinding yang membagi masyarakat pada 

perbedaan-perbedaan. 

 

Simpulan 

Uraian-uraian di atas merupakan gambaran singkat dari sosok Musa ibn Maimun beserta 

karya-karya yang dilahirkan olehnya sepanjang masa hidupnya, sekaligus keterpengaruhannya oleh 

tradisi Arab-Islam. Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibn Maimun merupakan 

tokoh besar dalam sejarah agama Yahudi. Ibn Maimun merupakan ahli dalam berbagai ilmu, 

terutama ilmu kalam, fikih, filsafat, logika, farmasi, dan kedokteran. Ia juga melahirkan banyak 

karya dalam bidang-bidang tersebut dan kemudian menjadi rujukan utama kajian agama Yahudi 

dari masa ke masa, bahkan hingga saat ini. Uniknya, meski keberadaannya sebagai tokoh besar 

agama Yahudi dan karya-karyanya menjadi rujukan utama agama tersebut, Ibn Maimun 

dikategorikan sebagai tokoh-ulama Muslim dan karya-karyanya termasuk ke dalam khazanah 

sastra Yahudi-Arab. 

Kesimpulan di atas merefleksikan bahwa meskipun antara Yahudi dan Islam merupakan dua 

agama yang berbeda, juga bangsa-bahasa Arab dan Yahudi-Ibrani merupakan bahasa-bangsa yang 

juga berbeda, hal tersebut tidak menjadikan perbedaan sebagai sumber perselisihan dan 

permasalahan. Justru, dari uraian sejarah di atas tersebut, bisa didapatkan potret dialog antaragama 

dan antarperadaban yang luar biasa, juga potret saling keterpengaruhan antara dua tradisi Arab-

Yahudi, sekaligus potret nilai toleransi dan keilmuan yang demikian tinggi. Potret-potret 

perbedaan, tetapi saling berdialog tersebut, pada akhirnya melahirkan warisan intelektual dan 

kebudayaan yang luar biasa kaya.[]