sastra yahudi arab
Artikel ini membahas sosok ilmuwan bernama lengkap Abu ‘Imran Musa ibn Maimun
ibn Abdullah al-Yahudi al-Isra>i>li> al-Qurthubî al-Andalusî (dikenal dengan nama Musa
ibn Maimun atau Moses Maimonides). Semasa hidup, ia menjalankan berbagai profesi,
seperti rabi, ilmuwan, dan dokter, karena memang memiliki kepakaran di bidang-
bidang itu. Meskipun demikian, di dalam artikel ini, penulis hanya akan memfokuskan
pembahasan terhadap sosoknya sebagai ilmuwan dan karya-karya yang ia ciptakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karya-karya Ibn Maimûn menunjukkan nuansa
kental pengaruh Arab-Islam. Salah satu buktinya adalah penggunaan bahasa Arab,
bukan bahasa Ibrani, dalam sebagian besar karyanya. Hal itulah yang membuatnya
dikategorikan sebagai tokoh-ulama Muslim. Sementara karya-karyanya dimasukkan ke
dalam khazanah sastra Yahudi-Arab. Hasil penelitian juga menunjukkan terjadinya
dialog damai Islam-Yahudi, sikap toleransi tinggi, dan kondisi saling memengaruhi
dalam bidang keilmuan. Hal itulah yang memungkinkan terwariskannya karya-karya
intelektual nan luar biasa kaya.
Abu ‘Imran Musa ibn Maimun ibn Abdullah al-Yahudi al-Israili al-Qurthubi al-Andalusi
(dikenal dengan nama Musa ibn Maimun atau Moses Maimonides) merupakan rabi (pendeta
Yahudi) yang berpengaruh dan bersinar terang dalam sejarah pemikiran zaman pertengahan (al-
‘ushu>r al-wustha> atau medieval age), khususnya dalam khazanah kesusatraan Yahudi. Betapa
tidak, ia mewariskan begitu banyak karya dalam pelbagai macam disiplin ilmu, seperti filsafat,
teologi, tafsir, yurisprudensi (fikih), astronomi, astrologi, farmasi, dan pengobatan , Karya-karya tersebut menjadi rujukan utama dalam kajian keilmuan Yahudi (Studia
Judaeca/al-Dira>sa>t al-Yahu>diyyah) selama berabad-abad lamanya, dari generasi ke generasi,
bahkan hingga saat ini. Karena kebesaran reputasi keagamaan dan keilmuannya, Ibn Maimun pun
beroleh apresiasi tinggi. Beberapa di antaranya adalah al-Mujaddid al-Yahu>di> (Pembaharu Agama
Yahudi), Musa al-Tsa>ni> (Nabi Musa Kedua), al-Failasu>f al-Mustani>r (Filsuf Pencerah), al-Thabi>b
al-A’zham (Dokter Agung), dan al-Nasar al-Kabi>r (Elang Besar) bahkan berani menyatakan kedudukan Musa
ibn Maimun dalam sejarah pemikiran agama Yahudi dapat disejajarkan dengan kedudukan al-
Imam Abu Hamid al-Ghazzali dalam sejarah pemikiran agama Islam. Al-Ghazzali ditahbiskan
sebagai hujjah dan mujaddid dalam agama Islam, demikian pula halnya dengan Ibn Maimun untuk
Yahudi
Seperti diungkapkan di atas, Ibn Maimun melahirkan banyak sekali karya yang kemudian
menjadi rujukan utama dan terpenting dalam literatur agama Yahudi. Akan tetapi, uniknya,
hampir seluruh pemikiran yang dituangkan ke dalam karya-karya tersebut lahir dalam bayang-
bayang dan pengaruh kuat tradisi Arab-Islam (al-tsaqa>fah al-Isla>miyyah). Ibn Maimun menulis
karya menggunakan bahasa Arab, bukan bahasa Ibrani yang merupakan bahasa utama sekaligus
disucikan oleh penganut agama Yahudi. Tak heran jika kemudian karya-karya Ibn Maimun
dimasukkan ke dalam kategori karya sastra Arab-Islam ataupun sastra Yahudi-Arab (al-Adab al-
'Arabi al-Yahu>di atau Judeo-Arabic Literature).
Nuansa tradisi Arab-Islam dalam pemikiran dan karya-karya Ibn Maimun terasa begitu
kental. Hal itu membuat Musthafa ‘Abd al-Raziq (w. 1947 M), salah seorang pemikir Islam
modern, menyatakan bahwa Ibn Maimun merupakan seorang ulama Muslim. Pernyataan itu
termaktub di dalam pengantar Kitab Dala>lah al-Ha>’iri>n karya Ibn Maimûn. Hal senada ditegaskan
oleh Husain Atay, penyunting kitab tersebut. Ia membuat amsal pendapat al-Syahrastani (w.
1153), di dalam al-Milal wa al-Nihal, yang mengategorikan Hunain ibn Ishaq (w. 810 M) sebagai
filsuf Muslim meski, dalam kenyataannya, Hunain merupakan seorang filsuf dan penerjemah
Kristen pada zaman Abbasiyyah. Menurut Husain Atay, jika demikian halnya, Ibn Maimûn --
seorang filsuf Yahudi dari Andalus—juga dapat disebut sebagai seorang filsuf Muslim.
Biografi Musa ibn Maimun
Musa ibn Maimûn dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1130 M di Kota Kordoba, salah satu
pusat keilmuan dan kebudayaan paling cemerlang dalam peradaban Arab-Islam di Andalusia (kini
Spanyol). Tanggal dan tempat kelahiran ini disebutkan oleh cucu Ibn Maimûn, yaitu Dawud ibn
Abraham (David ibn Avraham Maimonides) dalam ta’li>q (komentar)-nya atas Kitab Syarh
Mishna>h al-Taura>h karangan Ibn Maimun ,Hari kelahiran Ibn Maimun
bertepatan dengan hari raya Yom Pesakh (Paskah Yahudi), salah satu hari raya besar agama
Yahudi. Oleh karena itu jugalah ia diberi nama ‚Musa‛ oleh keluarganya untuk mengenang Nabi
Musa dan peristiwa Yom Pesakh. Pada peristiwa itu, Nabi Musa dan para pengikutnya (Bani
Israel) pergi meninggalkan tanah Mesir --untuk menghindari kejaran Raja Firaun-- menuju tanah
yang dijanjikan oleh Tuhan Yahweh.
Keluarga Ibn Maimun terhitung sebagai keluarga aristokrat Yahudi-Kordoba yang
terhormat. Sang ayah, Maimun ibn Yusuf, merupakan seorang pemuka agama Yahudi sekaligus
dokter terkemuka di Kordoba. Sementara sang kakek, Yusuf ibn ‘Uwaida, merupakan seorang guru
Sejak kecil, Ibn Maimun beroleh pendidikan dengan kualitas terbaik. Ia berkesempatan
mempelajari berbagai macam ilmu pengetahuan, baik ilmu-ilmu Arab-Islam (sebagai tradisi tanah
airnya) maupun ilmu-ilmu Yahudi (sebagai tradisi agama keluarganya). Tak heran, pada usia yang
masih sangat belia, Ibn Maimun telah mengenal berbagai macam literatur Arab-Islam ataupun
Yahudi, baik di bidang keagamaan maupun kesusastraan
Sosok sang ayah, Maimun ibn Yusuf, memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengarahkan
perjalanan karier intelektualnya pada kemudian hari. Sebelum belajar ilmu pengetahuan di
sekolah-sekolah di luar rumah, Ibn Maimun terlebih dahulu menyerap pelbagai macam ilmu
pengetahuan di dalam rumah dari sosok ayahnya yang memang memiliki wawasan luas.
Ibn Maimun memiliki ketertarikan khusus terhadap dunia susastra, filsafat, teologi, dan
kedokteran. Ia belajar di Madrasah Yahudiyyah, sebuah madrasah terkemuka bagi anak-anak
Yahudi di bilangan Kordoba. Di sana, diajarkan teologi, sastra, dan filsafat dengan kualitas baik
dan mumpuni. Madrasah tersebut didirikan oleh Rabi Musa ibn Akhnukh atas promotor al-Wazi>r
Hasday ibn Sabruth, seorang cendikiawan Yahudi sekaligus dokter yang menjadi perdana menteri
Khalifah al-Hakam III. Selain madrasah itu, terdapat madrasah Yahudi lainnya di kawasan
Lusyanah (Lucena). Filsuf Muslim Abû Walîd Muhammad ibn Rusyd (Averroes) juga tercatat
pernah mengajar di madrasah tersebut pada tahun-tahun terakhir hidupnya ,Ibn Maimûn sendiri disebut-sebut sebagai ‚murid tak langsung‛ Ibn Ruysd.
Ibn Maimun banyak mempelajari, menelaah, dan mengkaji karya-karya susastra Arab yang
berkembang di Andalus, baik yang ditulis oleh sastrawan Muslim-Andalus maupun sastrawan
Yahudi-Andalus. Ia juga melahap buku-buku filsafat, baik filsafat Arab-Islam yang sedang
berkembang pesat di wilayah Timur-Islam (Baghdad) maupun filsafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
Ibn Maimun menghabiskan sebagian besar masa kecilnya di Kordoba (Shahlan, 2006: 63).
Pada saat itu, tradisi kesusastraan dan keilmuan sedang berkembang pesat di berbagai kota Arab-
Islam Andalus, termasuk di Kota Kordoba yang merupakan ibu kota peradaban Arab-Islam
Andalusia. Kordoba merupakan pusat sekaligus ibu kota Dinasti Umayyah yang memerintah
Andalus selama kurang lebih tiga abad (756-1031 M). Di Kordoba dan Madinah Zahra (ibu kota
Dinasti Umayyah lainnya), terdapat berbagai universitas yang menjalankan berbagai macam
aktivitas keilmuan di berbagai bidang, mulai dari agama, sastra, seni, humaniora, hingga sains.
Setelah Dinasti Umayyah runtuh hatta wilayah-wilayah Andalusia menjadi kerajaan-kerajaan kecil
(Mulûk al-Thawâif), keberadaan dan peran Kordoba sebagai sentral kebudayaan dan keilmuan
Arab-Islam di Andalusia tetap dipertahankan
Iklim toleransi juga sangat kuat dan dijaga oleh setiap penguasa Muslim di Andalus. Umat
Islam, Kristen, dan Yahudi mendapatkan hak hidup yang sama. Pada periode tahun 711- 1085
Masehi, para pemeluk agama Islam, Yahudi, dan Kristen hidup dalam kerukunan di serata
Andalusia, nama yang disematkan kepada penduduk Muslim Spanyol. Sebuah kondisi yang sama
sekali tak terpikirkan akan berlaku di kota-kota Eropa lain, seperti London atau Paris. Kondisi
toleransi itu bahkan memiliki nama tersendiri, yakni convívencía yang secara harfiah dapat
diterjemahkan sebagai ’hidup dalam kebersamaan’ atau ’meniscayakan toleransi’. Di Andalusia,
orang Yahudi tidak hanya merasa nyaman dalam menjalankan ajaran agama, tetapi sekaligus
menemukan rumah yang aman setelah bertahun-tahun mengalami penganiayaan di bawah
kekuasaan Kristen. Mereka menyebut Andalusia sebagai ‚Sefarad‛, nama yang mereka sematkan
kepada Semenanjung Iberia. Beberapa ahli menggambarkan periode 711-1085 merupakan ‛Zaman
Keemasan Yahudi‛ (Considine, 2014). Bahkan, beberapa penguasa Muslim menjadikan banyak
penganut Kristen dan Yahudi sebagai menteri, sastrawan, dokter, juru tulis, dan bendahara
pemerintahan. Orang-orang Kristen dan Yahudi juga dapat belajar kepada sarjana-sarjana Muslim
di akademi-akademi keilmuan yang tersebar di kota-kota Andalusia, utamanya di Kordoba (Al-
Khalidi, 1999, Pasal VI, 1; Lam’i, 2004). Di Kota Kordoba juga, tradisi keilmuan dan seni Ibrani-
Yahudi berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan ini menjadi babak baru dalam sejarah
pemikiran umat Yahudi. Pasalnya, sebelum berasimilasi dengan peradaban Arab-Islam, tradisi
pemikiran Ibrani-Yahudi --terutama dalam bidang teologi, filsafat, sastra, gramatika, astronomi,
dan kedokteran—bisa dikatakan tidak dapat berkembang.
Wolfenson (1923: 4) menyatakan, tradisi keilmuan Yahudi mencapai tahap kematangan di
tengah peradaban Arab-Islam Andalusia, tepatnya di kota Kordoba. Di kota tersebut, ilmu
gramatika Ibrani (al-nahw al-‘ibri) untuk kali pertama lahir atas pengaruh ilmu gramatika Arab (al-
nahw al-‘arabi). Uniknya, karya-karya gramatika bahasa Ibrani ditulis dalam bahasa Arab. Di
antara para ahli gramatika Ibrani itu, terdapat nama Manahim ibn Sarruq, ilmuwan yang pertama
kali menyusun kamus bahasa Ibrani-Arab. Ada juga sosok Dunash ibn Labrath, penyair yang
menciptakan ilmu syair Ibrani (‘ilm al-‘arudh al-‘ibri) dengan mengikuti pola ilmu syair Arab (al-
‘arudh al-‘arabi). Ibn Labrath menciptakan beberapa rumus bahr dan qawa>fi dalam ilmu syair
Ibrani tersebut. Seorang ahli gramatika Ibrani lainnya, Abu Zakariya Yahya ibn Dawud ibn Hayyuj
al-Nahwi al-Qurthubi, menyusun kitab-kitab gramatika dan morfologi bahasa Ibrani. Beberapa di
antaranya berjudul Kita>b al-Af’a>l Dzawa>t Huru>f al-Layyin, Kita>b al-‘Af’a>l Dzawa>t al-
Mutsallatsain, dan Kita>b al-Tanqi>th fi> al-Nahw al-‘Ibri>. Selain itu, terdapat pula nama ilmuwan
lainnya, yakni Abu al-Walid Marwan ibn al-Janah, yang menulis Kita>b al-Tanqi>h dan Kita>b al-
Luma’. Ibn Maimûn hidup di tengah tradisi keilmuan dan budaya toleransi yang gilang-gemilang
ini. Ia pun menyerap berbagai macam pengetahuan yang tengah berkembang di Kordoba dan
Granada. Di dua kota itu, ia belajar, berbaur, dan berpadu dengan ahli ilmu dan sastra.
Akan tetapi, kondisi berubah ketika Dunia Islam di Laut Tengah (the Islamic Mediterranean
world) dikuasai oleh Dinasti Muwaḥḥidun (Almohads) sejak tahun 1148 Masehi. Kehadiran dinasti
yang mengusung faham revolusioner dan fanatik itu membuat para pemeluk Yahudi, termasuk
keluarga Ibn Maimun, hidup dalam kondisi yang sangat tidak nyaman. Betapa tidak, dinasti itu
memberikan dua pilihan kepada para pemeluk Yahudi: memeluk Islam atau meninggalkan kota.
Walakin, keluarga Ibn Maimun memilih jalan lain. Di hadapan umum, mereka bertingkah laku
selayaknya Muslim (Bokser, 1998). Ibn Maimun yang kala itu belum genap berusia 14 tahun
terpaksa mengikut keluarganya pindah dari Kordoba ke Almeria, sebuah kawasan pesisir yang
hangat di Andalusia selatan.
Di kota baru itu, ketekunan Ibn Maimun dalam menimba ilmu terus berlanjut. Ia terus
membaca karya-karya ulama Muslim dan Yahudi, baik dalam bidang teologi, sastra, filsafat,
astronomi, maupun kedokteran. Dua belas tahun kemudian, keluarga Ibn Maimun kembali pindah
ke Kota Fas di kawasan al-Maghrib al-Aqsha (kini Maroko). Jika Kordoba adalah jantung
peradaban dan ilmu pengetahuan di kawasan semenanjung Iberia (Andalusia), maka Fas adalah
jantung kebudayaan dan ilmu pengetahuan di kawasan al-Maghrib al-Aqsha. Di Kota Fas, terdapat
banyak pusat keilmuan dalam berbagai bidang. Sebenarnya, Kota Faz merupakan bagian dari
wilayah kekuasaan Dinasti Muwaḥḥidun. Akan tetapi, keluarga Ibn Maimun menganggap kota itu
‚lebih menjanjikan‛ daripada Kordoba ataupun Almeria. Soalnya, di Kota Faz, keluarga mereka
menjadi orang asing sehingga kecil kemungkinan penyamaran mereka akan dapat dengan mudah
terdeteksi Lagi pula, di kota tua itu, terdapat komunitas umat Yahudi terbesar di
kawasan al-Maghrib al-Aqsha>, lengkap dengan sinagog dan sekolah-sekolahnya
Di Kota Fas, Ibn Maimun bertemu dan belajar kepada seorang ulama besar Yahudi yang
bernama Yahuda al-Kahin. Abu al-Hasan Ali ibn Abi Zara’ al-Fasi, sejarawan asal Kota Fas yang
bertemu dengan Ibn Maimun di kota itu, (sebagaimana dikutip oleh Wolfenson, 1923: 7),
mengatakan bahwa Ibn Maimun juga aktif menjalin kontak keilmuan dengan para ulama Muslim
di kota tersebut. Di Kota Fas juga Ibn Maimun menulis beberapa risalah dalam bahasa Arab
tentang logika, astronomi, teologi, dan etika agama Yahudi.
Pada tahun 1165, keluarga Ibn Maimun terpaksa kembali pindah. Mereka memutuskan
mengambil langkah itu setelah peristiwa penangkapan terhadap Rabbi Yudah bin Shoshan, salah
seorang guru Ibn Maimun. Ia dinyatakan bersalah karena memeluk Yahudi hatta dieksekusi.
Keluarga Ibn Maimun memilih bermastautin di Kota Acre, Palestina. Namun, mereka hanya
bertahan selama enam bulan di sana. Pasalnya, Kota Acre sedang dilanda depresi ekonomi
sehingga sulit bagi keluarga Ibn Maimun untuk menemukan sumber penghidupan ,
Apalagi, kalakian, tengah berkecamuk perang salib antara pasukan Muslim dengan pasukan
Kristen-Latin (Eropa Barat). Pihak Kristen-Latin menguasai wilayah Levantina (Syam), termasuk
di dalamnya kota-kota di Palestina.
Selanjutnya, keluarga Ibn Maimun memilih berpindah ke Alexandria lalu Fustat (bagian dari
Kairo), Mesir. Saat itu, Mesir sedang mengalami masa peralihan kekuasaan, dari Dinasti
Fathimiyyah ke Dinasti Ayyubiyyah yang didirikan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang
legendaris. Keberadaan Ibn Maimun di Mesir menjadi babak baru dalam kehidupannya. Mesir
menawarkan iklim toleransi yang sangat tinggi bagi keluarga Ibn Maimun dan bagi umat non-
Islam lainnya. Mereka dapat hidup secara damai dan bebas di tanah peradaban kuno itu. Di Kairo,
jantung peradaban Arab-Islam sekaligus ibu kota pemerintahan Islam di Mesir, keluarga Ibn
Maimun tinggal di kawasan Mahallah al-Mashishah yang merupakan kawasan para aristokrat. Di
kawasan tersebut, terdapat wilayah tinggal khusus untuk umat Yahudi, dikenal dengan Ha>rah al-
Yahu>d. Pada masa-masa awal keberadaan Ibn Maimun di Kairo, ia dan adiknya menjalankan
profesi sebagai dokter dan juga pedagang perhiasan, logam, dan batu mulia (Wolfenson, 1923: 8).
Di Kairo, Ibn Maimun juga mengajar di salah satu madrasah keagamaan Yahudi. Majelis
pengajiannya selalu ramai oleh para pelajar agama Yahudi. Ibn Maimun mengajar pokok-pokok
ajaran agama Yahudi, teologi, eksakta, astronomi, filsafat, dan kedokteran. Salah satu murid
terdekat Ibn Maimun adalah Abu al-Hajjaj Yusuf ibn Yahya ibn Ishaq al-Sabti al-Maghribi yang di
kemudian hari menjadi salah satu ilmuwan besar Yahudi.
Reputasi Ibn Maimun yang kian menanjak sebagai seorang ilmuwan besar Yahudi
mengantarkannya didaulat sebagai kepala umat Yahudi (rais al-tha>ifah al-yahu>diyyah) di Mesir.
Pengaruh sosok Ibn Maimun juga sampai kepada umat Yahudi di Levantina (Syâm) dan al-
Maghrib al-Aqsha>. Sejak pendaulatan itu, Ibn Maimun mulai menggalakkan proyek reformasi dan
pembaharuan dalam pemikiran keagamaan Yahudi. Ia pun mendirikan madrasah keagamaan
Yahudi dan juga sinagog yang membawa namanya, yaitu Ma’bad Musa ibn Maymun (Sinagog
Musa ibn Maimun). Ibn Maimun juga menulis beberapa karya monumentalnya yang kemudian
menjadi rujukan utama keagamaan Yahudi pada zamannya dan zaman setelahnya. Karena
kebesarannya itu juga, Ibn Maimun dijuluki sebagai Musa al-Tsa>ni> atau Nabi Musa Kedua. Selain
dikenal sebagai tokoh utama keagamaan Yahudi di Mesir, Ibn Maimun juga dikenal sebagai
seorang dokter yang andal. Ia mengarang beberapa karya penting di bidang kedokteran,
mengajarkan ilmu kesehatan, dan membuka klinik yang memberikan pengobatan secara cuma-
cuma kepada masyarakat yang sakit, utamanya masyarakat Yahudi.
Kebesaran sosok Ibn Maimun sebagai seorang ulama Yahudi, dan utamanya sebagai seorang
dokter handal, sampai juga ke kalangan dalam Kesultanan Mesir. Al-Qa>dhi> al-Fa>dhil ‘Abd al-
Rahim ibn ‘Ali al-Baisa>ni>, al-wazi>r al-a’zham (menteri agung atau perdana menteri) Kesultanan
Ayyubiyyah, memanggil Ibn Maimun ke istana kesultanan. Ibn Maimun didaulat sebagai dokter
istana, lalu dokter khusus Sultan Shalahuddin al-Ayyubi dan juga anaknya, al-Malik al-Afdhal
Nuruddin Abu al-Hasan Ali ibn Shalahuddin ,Seorang penyair istana
kesultanan, al-Sa’id ibn Sana al-Mulk Hibbatullah, memberikan pujian terhadap Ibn Maimun
tentang reputasinya sebagai seorang dokter istana yang mahir. Hibbatullah, sebagaimana dikutip
Wolfenson (1923: 9) menulis:
‚Aku menelaah ilmu kedokteran Galen yang mengobati tubuh manusia. Lalu aku melihat
ilmu kedokteran Ibn Maimun yang jauh melampaui Galen, karena mengobati tubuh dan akal
manusia sekaligus. Ibn Maimun adalah dokter terbesar di zamannya. Ia mengobati tubuh
yang sakit dengan kedokteran, dan ia juga mebobati akal yang sakit dengan ilmu
pengetahuan‛.
Ibn Maimun menikah pada usia 50 tahun dengan putri seorang tokoh Yahudi Mesir lainnya,
yaitu Abu al-Ma’ali al-Israili. Sang istri bekerja sebagai juru tulis bagi ibu suri kesultanan. Dari
pernikahan itu, Ibn Maimun dikaruniai seorang anak yang diberi nama Abraham ibn Musa ibn
Maimun. Kemudian hari, Abraham juga dikenal sebagai sosok ilmuwan besar Yahudi, penerus
kebesaran sosok sang ayah. Ibn Maimun meninggal dunia pada 13 Desember 1204 M, pada usia 74
tahun. Ribuan umat Yahudi, Kristen, dan juga Muslim ramai melayat jenazah Ibn Maimun di
sinagognya di Kairo. Umat Yahudi di beberapa belahan negeri lainnya, semisal di Palestina-
Levantina, Irak, Afrika Utara dan al-Maghrib al-Aqsha, serta Perancis selatan juga ikut berkabung
atas kematian Ibn Maimun. Jenazah Ibn Maimun dikebumikan di kompleks makam sinagognya di
Kairo, lalu dipindahkan ke kompleks pemakanan para pembesar agama Yahudi di Tiberias,
Palestina
Warisan Intelektual Ibn Maimûn
Ibn Maimun merupakan sosok ilmuwan Yahudi yang produktif karena menghasilkan begitu
banyak karya intelektual. Karya-karya Ibn Maimun menjadi warisan intelektual yang sangat kaya
sekaligus menjadi rujukan utama bagi umat Yahudi pada zamannya dan juga generasi setelahnya
secara turun temurun hingga saat ini. Karier kepenulisan Ibn Maimûn dimulai semenjak ia berada
di Kota Kordoba, di tanah kelahiran sekaligus masa kecilnya. Di sana, Ibn Maimun menulis
beberapa risalah kecil tentang keyahudian dan juga penafsiran sederhana atas kitab suci Taurat
korpus Babilonia. Ibn Maimun juga menulis sebuah risalah tentang logika (Risa>lah fi> al-Manthiq)
yang ditujukan kepada para rabi Yahudi. Dalam risalah itu, Ibn Maimûn menyerukan perihal
pentingnya menggunakan logika dan filsafat sebagai piranti memahami postulat-postulat
keagamaan Yahudi.
Karir kepenulisan Ibn Maimun terus menanjak setelah ia berpindah ke Kota Fas dan
mencapai fase puncak dan kematangan setelah ia berada di Kota Kairo. Di kota seribu satu menara
itu, karya-karya utama Ibn Maimûn lahir. Salah satu karya utamanya adalah Kita>b al-Sira>j yang
merupakan tafsiran ilmiah pertama atas kitab suci umat Yahudi (Taurat). Dalam Kitâb al-Sira>j,
Ibn Maimun menafsirkan kandungan Taurat secara jelas, gamblang, dan terperinci. Karyanya yang
lain, Kita>b al-Fara>idh dan Syarh al-Mishna>h, menjelaskan hukum-hukum yurisprudensi (fikih)
Yahudi secara lebih tertata dan terperinci, mengikuti pola kitab-kitab fikih dalam mazhab-mazhab
fikih agama Islam
Karya terpenting Ibn Maimun lainnya adalah Dala>lah al-Hairin. Karya tersebut merupakan
karya teologi (‘ilm al-kala>m) dan filsafat Yahudi pertama dan terbesar. Dalam Dala>lah, Ibn
Maimun mengkaji permasalahan-permasalahan teologis dan filosofis Yahudi secara ilmiah dan
rasional, mengemukakan berbagai macam argumen rasional dan ilmiah tentang teologi Yahudi,
sekaligus menegaskan kesesuaian (al-taufi>q) antara filsafat dengan ajaran agama Yahudi. Kitab
Dala>lah al-Ha>iri>n terbagi ke dalam tiga bahagian. Di bagian pertama, Ibn Maimûn mengupas
tuntas perihal masalah-masalah ketuhanan, seperti tentang dzat tuhan, cara memahami dan
mengetahui-Nya, serta definisi keesaan-Nya. Di bagian kedua, ia beranjak pada masalah
astronomi, malaikat, serta problematika hukum kekekalan alam. Sementara di bagian ketiga, ia
mengupas perihal kenabian, hari akhir dan kebangkitan setelah mati, penafsiran terhadap sebagian
lafaz kitab suci yang sulit dimengerti (abstrak), serta pembahasan atas fenomena kerusakan dalam
hidup (Wolfenson, ibid).
Ibn Maimun juga dikenal sebagai dokter agung. Ia didaulat menjadi dokter khusus Sultan
Shalahuddin al-Ayyubi dan juga perdana menterinya, al-Qa>dhi> al-Fa>dhil. Dalam bidang
farmakologi dan medikologi, Ibn Maimun menulis al-Amtsa>l al-Thibbiyyah yang merupakan
ringkasan teori-teori kedokteran Galen, Hypocrates, al-Razi, dan Ibnu Sina. Karya kedokteran
terbesar Ibn Maimu>n lainnya adalah Fushu>l al-Qurthubi>, juga dikenal dengan Fushu>l Musa, yang
merupakan salah satu ensiklopedi terlengkap dalam ilmu kedokteran. Di dalamnya, Ibn Maimun
membahas berbagai macam penyakit, mulai dari penyakit luar dan dalam, ciri-ciri penyakit dan
pembagiannya, penyebab berbagai macam penyakit dan cara penyembuhannya, unsur-unsur
kedokteran, langkah-langkah pengobatan dan syarat-syarat menjadi seorang dokter, penyakit
wanita dan anak, cara menjaga kesehatan dengan ramuan dan olah raga, hingga kajian terhadap
ilmu obat-obatan dan racun (Wolfenson, 1923: 14). Selain itu, ia juga menulis Kita>b al-
Mukhtashar yang merupakan intisari dan ringkasan atas teori-teori ilmu kesehatan Galen. Ibn
Maimûn juga menulis Fushu>l Abqaru>th yang merupakan tinjauan dan ulasan atas teori-teori
kedokteran Hypocrates.
Ibn Maimun juga mengarang beberapa karya kedokteran yang secara khusus didedikasikan
kepada para sultan Dinasti Ayyubiyyah dan juga para perdana menteri. Ibn Maimun menulis
Maqa>lah fi> Tada>bir al-Shihhah yang merupakan panduan pengobatan dan kesehatan yang
diperuntukkan bagi anak Sultan Shalahuddin, al-Malik Ali. Karya medikal lainnya adalah al-
Risa>lah al-Fa>dhiliyyah yang mengkaji toksikologi (ilmu racun) dan dipersembahkan untuk Perdana
Menteri Sultan Shalahuddin, al-Qa>dhi> al-Fa>dhil. Dalam dua karya yang disebutkan terakhir, Ibn
Maimûn mengungkapkan pandangan-pandagan kedokterannya berdasarkan observasi, eksperimen,
dan pengalamannya sendiri, dengan diperkuat oleh pandangan-pandangan kedokteran terdahulu,
baik dari Yunani maupun Arab-Islam (Wolfenson, ibid).
Ibn Maimun juga menulis karya seksologi yang diperuntukkan bagi gubernur wilayah Hema
di Suriah. Ia menulis Maqa>lah fi> al-Jima>’ yang mengkaji berbagai permasalahan terkait dengan
seks, utamanya ramuan-ramuan yang dapat meningkatkan vitalitas seksual dan juga ritual-ritual
yang dapat menambah kenikmatan aktivitas seksual. Uniknya, hampir semua karya Ibn Maimun
ditulis dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Ibrani yang merupakan bahasa suci agama Yahudi.
Hal inilah yang kemudian menjadikan karya-karya Ibn Maimun dimasukkan ke dalam kategori
karya sastra Arab-Islam dan juga sastra Yahudi-Arab (al-Adab al-'Arabi al-Yahu>di atau Judeo-
Arabic Literature).
Sastra Yahudi-Arab
Sastra Yahudi-Arab (Judeo-Arabic Literature atau al-Adab al-‘Arabi al-Yahudi) berarti
karya sastra yang ditulis oleh orang Yahudi yang hidup di negeri Arab-Muslim, khususnya pada
zaman pertengahan (al-'ashr al-wasi>th atau medieval age) atau pada masa kekhalifahan
Abbasiyyah-Baghdad, Daulah Andalus-Kordoba, dan dinasti-dinasti Fathimiyyah-Ayyubiyyah-
Mamluk di Mesir dan Levantina (Syam) (Halkin, 2008: 1; al-Sulaiman, 2006: 1). Masa
kebangkitan dan kemajuan sastra Yudeo-Arab sendiri terjadi di Andalus, merentang sepanjang
abad ke-10 sampai dengan abad ke-14 M. Di bumi Andalus, lahir ratusan karya sastra Yahudi-Arab
dalam berbagai bidang. Karya-karya sastra tersebut bertema keyahudian, mulai dari akidah,
syariah, tafsir dan ilmu-ilmu taurat, filsafat, tasawuf, etika, sejarah, tata bahasa atau gramatika,
kisah-kisah, maqa>ma>t, hingga puisi. Bahkan, teori gramatika bahasa Ibrani dan puisi Ibrani juga
lahir di Andalus dalam bingkai susastra Yudeo-Arab tersebut. Uniknya, hampir semua karya
Yudeo-Arab ditulis dalam bahasa Arab, baik dengan huruf Arab ataupun huruf Ibrani. Hanya
sebagian kecil di antaranya yang ditulis dalam bahasa Ibrani
Pengaruh pemikiran Arab-Islam tampak sangat jelas dalam karya-karya sastra Yudeo-Arab
di semua lingkup kajiannya, mulai dari akidah, syariah, tafsir, filsafat, tasawuf, etika, sastra,
medical, puisi hingga gramatika. Sastra Yudeo-Arab bisa dikatakan sebagai pantulan citra
(in'ika>sa>t) tradisi Arab-Islam dalam tradisi Ibrani-Yahudi, sekaligus sebagai titik singgung
(nuqthah al-iltiqa>) antara sastra Arab dengan sastra Ibrani ). Keniscayaan akan keterpengaruhan tradisi Yahudi zaman pertengahan oleh
tradisi Islam disebabkan adanya hubungan ('ila>qah) yang sangat erat dan persinggungan (ihtika>k)
yang tak terpisahkan antara kedua belah pihak pada masa itu. Orang-orang Yahudi menjadi ra'a>ya>
(warga) di negeri-negeri Islam waktu itu, baik pada masa kekhalifahan Abbasiyyah (yang berpusat
di Baghdad), Daulah Andalusiyyah (yang berpusat di Kordoba), maupun dinasti-dinasti
Fathimiyyah-Ayyubiyyah-Mamluk (yang berpusat di Kairo). Terkait dengan potret kehidupan
Yahudi di dunia Muslim pada masa pertengahan, terdapat beberapa kajian yang memberikan
banyak informasi berharga dan kaya terkait dengan hal itu,
Warga Yahudi memiliki hak yang sama dengan warga Muslim. Mereka belajar pada sarjana-
sarjana muslim di institusi-institusi keilmuan di negeri-negeri tersebut. Sebagian dari mereka
bahkan ada yang menduduki posisi strategis, seperti menteri, penasihat sultan, dokter kerajaan,
dan sebagainya (Shahlan: 37-61; Halkin, 2008: 1; al-Sulaiman, 2006: 1). Pada masa itu pula,
peradaban Islam sedang mencapai masa keemasaan dan kegemilangannya. Dunia keilmuan
berkembang secara pesat. Tak hanya menyambung dan melanjutkan tradisi keilmuan dunia yang
telah dibangun oleh bangsa-bangsa besar sebelumnya, semisal Mesir Kuno, Persia, Yunani-
Romawi, Suryani, dan India, tetapi juga meretas, mengembangkan, dan menciptakan tradisi serta
teori keilmuan yang baru (Syaban, 2007: 222; Bint al-Shati, 1994: 4). Tradisi keilmuan yang
berkembang pesat bukan hanya dalam bidang keagamaan, semisal akidah, kalam, fikih, ushul fikih,
tafsir, hadits, dan tasawuf, tetapi juga dalam bidang humaniora dan sains-terapan secara umum,
mulai dari bahasa, susastra, filsafat, musik, sejarah, sosiologi, antropologi, tata negara, astronomi,
teknik (handasah), fisika, biologi, kimia, dan sebagainya. Ribuan sarjana Muslim kenamaan pun
lahir sebagai pakar di masing-masing bidang keilmuan.
Ilmu-ilmu itu pun dipelajari, diserap, diadopsi dan dikembangkan lebih jauh oleh orang-orang
Yahudi untuk diterapkan ke dalam tradisi mereka. Mereka belajar dan mengangsu ilmu dari
sarjana-sarjana Muslim di institusi-institusi keilmuan Arab-Islam. Dari rahim institusi-institusi itu
jualah, pada gilirannya, terlahir ratusan sarjana Yahudi dalam berbagai bidang, utamanya teologi,
syariat, filsafat, tasawuf, kedokteran, dan susastra. Beberapa di antara sarjana Yahudi itu adalah
Sa’idia al-Fayyumi, Manahim ibn Saruq, Dunash ibn Labrath, Hasday ibn Syabruth, Ibn Hayyuj,
Ibn Janah al-Qurthubi, Dawud al-Fasi, Yahudza ibn Quraisy, Ishaq ibn Barun, Musa ibn 'Azra,
Natanil al-Fayyumi, Ishaq al-Qarqasani, Bahya ibn Baquda, Yahudzaâ al-Lawi, Isma'il ibn an-
Naghrilah, Musa ibn Maimun, Ibn Kamunah, Sulaiman ibn Jarbiul, Tadrus Abu al-'Afiyah, Ibrahim
ibn 'Azra, dan Ibrahim Maimuni (Shahlan: 41-52; Halkin, 2008: 1; al-Sulaiman, 2006: 1). Para
sarjana Yahudi itu juga melahirkan karya-karya yang kaya dalam berbagai macam latar belakang
disiplin keilmuan. Meskipun demikian, mereka menuliskan hampir semua karya mereka dalam
bahasa Arab. Tidaklah mengherankan jika para pembaca dan pengkaji karya-karya yang ditulis
oleh tokoh-tokoh tersebut akan merasakan pengaruh tradisi Arab-Islam yang sangat kental di
dalamnya. Bukan hanya karena karya-karya tersebut kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab,
melainkan juga karena pemikiran-pemikiran dalam karya-karya tersebut sarat muatan, salinan, dan
pengaruh tradisi pemikiran-pemikiran Arab-Islam.
Pelajaran Berharga dari Kehidupan Ibn Maimûn
Seperti dikemukakan di bagian sebelumnya, Ibn Maimun menjalani masa 30 tahun awal
kehidupannya secara tidak menyenangkan. Karena tekanan penguasa, khususnya pada masa
Dinasti Muwaḥḥidun, ia dan keluarga terpaksa hidup secara berpindah-pindah dari satu kota ke
kota lain. Ia baru dapat mengenyam kehidupan yang nyaman dan damai ketika berada di Mesir, di
bawah pemerintahan Dinasti Ayyubiyah. Meskipun demikian kondisinya, Ibn Maimûn berhasil
mengembangkan diri secara intelektual berkat ‚bantuan‛ para ilmuwan Muslim.
Sejak usia dini, Ibn Maimun telah menaruh minat terhadap teori-teori filsafat Yunani kuno,
terutama yang berasal dari Aristoteles dan Plato. Ternyata, ia menemukan kenyataan bahwa teori
kedua filsuf tersebut telah diinterpretasikan dengan sangat baik oleh para ilmuwan Muslim. Oleh
karena itu, Ibn Maimun merasa perlu menguasai bahasa Arab untuk mendalami teori-teori filsafat
Yunani kuno hingga menjadikan berbagai pengetahuan itu sebagai bahan untuk menafsirkan ulang
Arabi : Journal of Arabic Studies
Vol. 3 No. 1 | 19-22
Copyright © 2018 | ARABI | p-ISSN 2548-6616 | e-ISSN 2548-6624
ajaran Yahudi. Bukti nyata mengenai hal itu adalah kehadiran Mishneh Torah, buku tentang
halaqa (hukum Yahudi), terdiri atas 14 jilid, yang disusun Ibn Maimun selama berdomisili di Kota
Faz (Maroko). Buku tersebut merupakan salah satu karya monumental yang sekaligus
menahbiskan Ibn Maimun sebagai pemikir kerabian terkemuka pada zamannya. Salah satu kunci di
dalam buku itu adalah pendapat Ibn Maimun bahwa tiap-tiap bagian dari hukum Yahudi
menyuguhkan tujuan rasional. Pendapat ini, menurut Considine (2014), tidak mungkin hadir tanpa
pengaruh filsafat Yunani atau setidaknya hasil terjemahan dan interpretasi kaum Muslim terhadap
teori-teori Aristoteles dan Plato.
Kalangan Muslim pemikir dan bahasa Arab mengantarkan Ibn Maimun untuk memahami
filsafat Yunani kuno. Hal itu sekaligus menciptakan keniscayaan bagi dirinya untuk menempuh
pembelajaran secara lintas budaya. Pada fase berikutnya, Ibn Maimun mampu menerjemahkan dan
memahami berbagai pengetahuan Muslim dan Yunani untuk kemudian dimasukkan ke dalam
ajaran Yahudi. Hal itu sekaligus menandai salah satu transmisi gagasan terbesar yang pernah ada
di dunia. Oleh karena itu, menurut Considine (2014), sebenarnya Ibnu Maimun berutang banyak
kepada filsafat Neo-Plato yang berakar di kalangan Muslim Spanyol. Pasalnya, ia meminjam ide-
ide terbaik dari dua peradaban besar, yakni Yunani kuno dan Muslim Spanyol, untuk menciptakan
pemahaman baru tentang Kitab Suci Yahudi yang dinilai cocok dengan konsep rasionalisme
‛modern‛. Ibn Maimun mengakui itu. Salah satu buktinya terdapat di dalam surat pada tahun 1199
yang ia kirimkan kepada rabi Samuel bin Tarron, sejawat Yahudi-nya di Prancis, kalakian, yang
sedang menerjemahkan karya-karya Ibn Maimun ke dalam bahasa Ibrani. Ibn Maimûn
menyatakan:
‛Berhati-hatilah dalam mempelajari karya-karya Aristoteles hanya dengan bantuan para
komentator...karya Aristoteles sudah cukup...Untuk mendalami logikanya, hanya perlu
mempelajari karya-karya Al-Farabi. Kualitas semua tulisannya sangat bagus...‛ (Considine,
2014).
Seperti dikatakan di bagian terdahulu, salah satu karya Ibn Maimun yang juga layak
diperhitungkan adalah Dala>lah al-Ha>iri>n, ditulis dalam bahasa Arab, dan rampung pada tahun
1190. Belakangan, karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Guide of the
Perplexed (Penulis mendapatkan edisi kedua buku itu yang dipublikasikan pada tahun 1904 hingga
dicetak ulang pada tahun 1910, 1919, 1925, 1928, 1936, 1942, 1947, dan 1951). Di dalam buku itu,
Ibn Maimun menyatakan pendapat bahwa kualitas jiwa hanya akan dapat meningkat melalui
pengetahuan. Ia pun menyebutkan bahwa pencapaian tertinggi seorang manusia adalah
kesempurnaan intelektualitas. Walakin, kesempurnaan intelektualitas tidak mungkin dapat diraih
tanpa belajar. berpendapat bahwa semua kejahatan besar yang
ditimbulkan oleh manusia terhadap manusia lain –baik itu dilatarbelakangi oleh niat-niat tertentu,
keinginan, pendapat, maupun prinsip-prinsip agama—berasal dari ketidaktahuan lantaran
ketiadaan kebijaksanaan. Ibarat seorang buta yang selalu tersandung karena tidak dapat melihat
dan ketiadaan bimbingan sehingga mencederai sekaligus membahayakan dirinya dan orang lain.
Jika memiliki kebijaksanaan, manusia tidak akan mencederai diri sendiri ataupun orang lain.
Hal itu lantaran pengetahuan tentang kebenaran akan menghilangkan kebencian dan
pertengkaran serta mencegah terjadinya perilaku saling merusak.
Dengan demikian, menurut Ibn Maimun, semua orang membutuhkan pengetahuan agar
memiliki kebijaksanaan. Lagi pun, orang-orang yang berasal dari lingkungan budaya berbeda
hanya dapat mengatasi perpecahan dan konflik melalui pendidikan. Untuk mencapai kondisi
tersebut, Ibn Maimun mendorong semua orang untuk menemukan pengetahuan di luar tradisi
agama mereka sendiri. Soalnya, menurut dia, tiap-tiap agama menawarkan kebijaksanaan
Dalam takaran tertentu, tulisan-tulisan Ibn Maimun tentang filsafat dipengaruhi oleh
sufisme dalam Islam. Bahkan, dalam bidang ini, ia pun secara terang-terangan mengaku merujuk
kepada pemikiran al-Ghazali, teolog filsuf Muslim berpengaruh pada abad ke-11 dan ke-12, yang
mendorong umat Islam untuk menjauh dari Islam ortodoks ke Sufisme. Al-Ghazali mengklaim
bahwa ‛cahaya‛ dan ‛kebenaran‛ memiliki hubungan dalam melihat ‛cahaya kebenaran‛ seperti
melihat serangan kilat secara tiba-tiba yang, menurut dia, akan membantu menerangi dan
memperluas pikiran manusia. Kalangan sufi menyebut iluminasi itu sebagai awqat. Sufisme pun
mengajarkan kepada Ibn Maimun bahwa literalisme bukanlah satu-satunya jalan untuk memahami
tuhan. Tulisannya mendorong kaum Yahudi untuk mengikuti kecerdasan dan meninggalkan
interpretasi para literalis terhadap Kitab Suci Yahudi. Meskipun demikian, Ibn Maimun sama
sekali tidak menyarankan pemeluk Yahudi untuk meninggalkan tradisi. Ia mengkritik ayat-ayat
suci dengan ‛memecahkan‛ makna-makna yang tersembunyi. Dalam hal ini, Ibn Maimun
menemukan kembali makna esoteris (batin) ajaran Yahudi yang kemudian ia hadiahkan kepada
generasi baru Yahudi.
Ibnu Maimun juga merujuk kepada kalangan sufi untuk menemukan keseimbangan jiwa.
Agar jiwa tumbuh secara spiritual, kaum sufi percaya bahwa manusia harus terlebih dahulu sehat
secara fisik, pikiran, dan roh. Ia meminjam keyakinan tersebut dan membagi jiwa menjadi dua
jenis: jiwa yang diliputi kemarahan dan membawa roh yang berat versus jiwa yang memiliki watak
datar dan yang ringan di hati. Menurut Ibn Maimun, jiwa yang ‚tidak pernah dikondisikan untuk
mengejar nafsu‛ tidak akan sehat jika memiliki ‚keinginan tak terbatas‛. Apalagi, Kitab Suci
Yahudi (Koheles 5: 9) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki jiwa yang tamak ‛tidak akan
terpuaskan oleh semua kekayaan dunia‛. Ternyata, buah pikiran tersebut bercermin pada Jalal al-
Din al-Rumi, sufi penyair yang kemudian menulis pada abad ke-13 bahwa mereka yang tahu ‛nilai
setiap artikel barang dagangan...tidak tahu nilai jiwa [mereka] sendiri, itu semua kebodohan‛. Ibn
Maimun dan Rumi mendorong semua manusia untuk bergerak melampaui materialisme. Mereka
menginginkan agar semua manusia hidup dengan murah hati dan penuh kasih sayang
Konsep Ibn Maimun terhadap pengetahuan dan kesediaannya untuk menggabungkan
berbagai ide dari budaya lain ke dalam filsafatnya berfungsi sebagai pengingat penting dan alat
yang sangat berguna dalam membangun jembatan pemahaman antarbudaya. Alih-alih berfokus
pada perbedaan budaya, ia berupaya untuk menemukan wilayah-wilayah yang sama. Tak heran jika
kemudian jalan kehidupan Ibn Maimun merupakan teladan, terutama bagi orang-orang yang hidup
dalam masyarakat beragam agar dapat bekerja sama untuk membangun komunitas yang lebih kuat.
Menurut Considine (2014), warisan Ibn Maimun sekaligus mengingatkan kita kepada pepatah
masyhur Yahudi tentang tikkun olam, ‚untuk menyembuhkan dunia yang retak‛. Dalam mencari
kebijaksaan di luar tradisi budayanya sendiri, Ibn Maimun menunjukkan bagaimana kita dapat
membangun kesamaan melalui proses pencampuran. Kehidupannya merupakan bukti bahwa orang-
orang dari berbagai latar belakang dapat memecahkan dinding yang membagi masyarakat pada
perbedaan-perbedaan.
Simpulan
Uraian-uraian di atas merupakan gambaran singkat dari sosok Musa ibn Maimun beserta
karya-karya yang dilahirkan olehnya sepanjang masa hidupnya, sekaligus keterpengaruhannya oleh
tradisi Arab-Islam. Dari uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Ibn Maimun merupakan
tokoh besar dalam sejarah agama Yahudi. Ibn Maimun merupakan ahli dalam berbagai ilmu,
terutama ilmu kalam, fikih, filsafat, logika, farmasi, dan kedokteran. Ia juga melahirkan banyak
karya dalam bidang-bidang tersebut dan kemudian menjadi rujukan utama kajian agama Yahudi
dari masa ke masa, bahkan hingga saat ini. Uniknya, meski keberadaannya sebagai tokoh besar
agama Yahudi dan karya-karyanya menjadi rujukan utama agama tersebut, Ibn Maimun
dikategorikan sebagai tokoh-ulama Muslim dan karya-karyanya termasuk ke dalam khazanah
sastra Yahudi-Arab.
Kesimpulan di atas merefleksikan bahwa meskipun antara Yahudi dan Islam merupakan dua
agama yang berbeda, juga bangsa-bahasa Arab dan Yahudi-Ibrani merupakan bahasa-bangsa yang
juga berbeda, hal tersebut tidak menjadikan perbedaan sebagai sumber perselisihan dan
permasalahan. Justru, dari uraian sejarah di atas tersebut, bisa didapatkan potret dialog antaragama
dan antarperadaban yang luar biasa, juga potret saling keterpengaruhan antara dua tradisi Arab-
Yahudi, sekaligus potret nilai toleransi dan keilmuan yang demikian tinggi. Potret-potret
perbedaan, tetapi saling berdialog tersebut, pada akhirnya melahirkan warisan intelektual dan
kebudayaan yang luar biasa kaya.[]