Jumat, 19 Januari 2024
warga Jawa sebelum menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu, masih dalam taraf animistis dan
dinamistis. Kejawen adalah ajaran spiritual asli leluhur tanah Jawa, yang belum terkena pengaruh budaya luar yang
diturunkan dari generasi ke generasi yang sudah ada sejak dahulu sebelum agam hindu, budha dan Islam masuk ke
Indonesia. Ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran kebatinan. Syekh Siti Jenar memicu kontroversi karena
sebagai tokoh penyebar ajaran “wihdatul wujud”. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah perbandingan
antara ajaran Kejawen dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
dan menganalisis persamaan dan perbedaan antara ajaran Kejawen dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Penelitian ini
menggunakan metode penelitian sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah antropologi religi
dengan teori fungsional dan simbolisme. Hasil dari penelitian ini adalah mengetahui perbandingan antara ajaran
Kejawen dengan ajaran Syekh Siti Jenar dalam memandang Tuhan, manusia dan alam.
Manunggaling Kawula Gusti
tetap lestari, hal ini mengindikasikan bahwa
kepercayaan warga terhadap tradisi masih melekat
kuat Dengan masuknya agama
Hindu, Budha, dan Islam ke Bumi Nusantara dan atau ke
tanah Jawa maka yang terjadi adalah percampuran antara
adat istiadat tradisi setempat dengan budaya luar yang
mengikuti agama yang masuk ini , hal ini semakin
melengkapi kebudayaan Jawa yang sudah ada termasuk
dalam sisi spiritual yaitu lebih memperkokoh keimanan
dan ketaqwaan serta keyakinan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bahwa Tuhan itu Ada dan hanya Satu
Metode yang diterapkan oleh penyebar Islam
khususnya yang berada di tanah Jawa adalah metode
tasawuf. Syekh Siti Jenar merupakan tokoh terkenal
dikalangan umat Islam Indonesia, khususnya dikalangan
orang Jawa. Kehadiran Syekh Siti Jenar dalam sejarah
Islam memicu kontroversi karena sebagai tokoh
penyebar ajaran “wihdatul wujud”, dalam konsepsi
wihdatul wujud dinyatakan bahwa yang maujud atau
segala yang ada ini hanyalah “satu” dan “tunggal” yang
tidak dapat dibagi dan atau di duakan. Dengan prinsip itu
tidak ada yang maujud dan ada, kecuali Allah belaka,
sehingga segala yang tampak ada dalam alam semesta ini
hanyalah gambaran dan penampakan semata-mata dari
yang ada itu, yakni Allah. Hampir selalu membangkitkan
perbedaan pandangan yang tajam, khususnya berkaitan
dengan gagasan ke-Tuhan-an, hari akhirat, surga-neraka,
makna kematian dan kehidupan serta fungsi syari’ah
Ajaran Kejawen sampai sekarang menjadi
kepercayaan leluhur warga Jawa yang tidak bisa
ditinggalkan karena sudah menjadi kebudayaan asli
warga Jawa, sama halnya dengan ajaran makrifat
yang diterapkan oleh Syekh Siti Jenar, baik yang
berdampak positif maupun negatif. Penulis tertarik ingin
meneliti ajaran Kejawen maupun ajaran Syekh Siti Jenar
karena penulis mengetahui ajaran leluhur warga
Jawa ini tidak banyak diketahui dan dipahami oleh
warga Jawa. Penulis berusaha menguraikan tentang
persamaan dan perbedaan antara ajaran Kejawen dengan
ajaran Syekh Siti Jenar dalam memandang Tuhan,
manusia, dan alam.
Permasalahan yang dibahas dalam artikel ini
adalah 1) Bagaimanakah pokok ajaran Kejawen, 2)
Bagaimanakah pokok ajaran Syekh Siti Jenar, 3) Apakah
persamaan dan perbedaan antara ajaran Kejawen dengan
ajaran Syekh Siti Jenar. Sedangkan tujuan penulis adalah
1) Mendeskripsikan pokok ajaran Kejawen, 2)
Mendeskripsikan pokok ajaran Syekh Siti Jenar, 3)
Menganalisis persamaan dan perbedaan ajaran Kejawen
dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Hasil penelitian ini
diharapkan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat
diantaranya 1) Bagi mahasiswa calon guru sejarah, dapat
menambah wawasan pengetahuan sejarah serta memenuhi
salah satu kompetensi guru terutama kompetensi
penguasaan materi, 2) Bagi almamter FKIP Universitas
Jember, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan
sebagai wujud nyata dalam rangka pelaksanaan Tri
Dharma Perguruan Tinggi yaitu dharma penelitian serta
dapat menambah khasanah kepustakaan Universitas
Jember; 3) Dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi
kajian-kajian dalam bidang kesejarahan.
Metode yang digunakan penulis adalah metode penelitian
sejarah yang terdiri dari proses heuristik, kritik,
interpretasi, dan historiografi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan antropologi religi dan teori
yang digunakan adalah fungsional dan simbolisme.
Antropologi religi adalah antropologi yang mempelajari
tentang kepercayaan manusia terhadap sesuatu kekuatan
gaib yang dianggap lebih dari padanya ,Pendekatan antropologi religi dapat diketahui
mengenai kepercayaan masayarakat Jawa tentang suatu
ajaran hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia, serta hubungan manusia
dengan alam yang dianggap sudah menjadi pola hidup
warga Jawa sampai saat ini, suatu ajaran tentang
ajaran Kejawen maupun ajaran Syekh Siti Jenar. Teori
simbolisme memandang kebudayaan pada dasarnya terdiri
atas gagasan-gagasan, simbol-simbol, dan nilai-nilai
sebagai hasil karya dari tindakan manusia. Simbol
memiliki kaitan erat dengan kebudayaan manusia.
Sikap dan perilaku manusia merupakan sesuatu yang
dipelajari. Ego manusia tidak pernah tercipta dengan dan
oleh dirinya sendiri .
1. Tuhan dalam Pandangan Ajaran Kejawen
Orang Jawa sering menyebut Ingsun sebagai
representasi Tuhan. Ingsun juga disebut Sang Alip.
Ingsun berarti aku, namun dalam agama Jawa yang
dimaksud adalah Tuhan. Agama Jawa senantiasa
mengajak warganya untuk menghayati Ingsun sampai ke
dasar hati. Jika orang Jawa mampu menghayati Ingsun,
menandai orang itu sudah paham jati dirinya. Jati diri ini
tidak lain merupakan identitas diri yang amat berharga.
Ingsun dan Tuhan sering disejajarkan. Orang Jawa
menganggap Ingsun itu sebagai aku (ego). Oleh karena itu
dalam diri ada pancaran Tuhan, sering ada pandangan
Ingsun sama dengan Tuhan. Manungso iku bisa
kadunungan dating pangeran, nanging aja darbe pangira
yen manungsa mau bisa diarani pangeran yang artinya
manusia itu dapat memiliki zat Tuhan, namun jangan
beranggapan bahwa dengan demikian manusia itu dapat
disebut Tuhan .
Dalam ajaran kejawen hendaknya selalu
menjalani kehidupan dengan mengikuti aturan-aturan
hidup (tata paugeraning urip) karena tata peugeraning
urip itu juga termasuk dan meliputi dengan etika. Tata
cara dari laku lahir dan laku batin yang oleh orang Jawa
sering disebut dengan tata urip, tata krama dan tata laku.
Tata urip berarti bahwa selagi kita hidup sebagai manusia
yang berasal dan akan kembali kepada Tuhan hendaknya
memperhatikan dan akan kembali kepada Tuhan
hendaknya memperhatikan dan melaksanakan semua
rambu-rambu aturan kehidupan dengan baik agar supaya
tetap dapat selamat sejahtera dari awal perjalanan hidup
sehingga akhir hayat atau dalam ungkapan Jawa
dinyatakan dengan urip sepisan mati sepisan. Tata laku
berarti bahwa dalam menjalani hidup atau kehidupan
supaya dapat berlangsung baik, ada keseimbangan antara
laku lahir dan laku batin, maka kita harus dapat
merencanakan dan dapat mengatur hidup atau kehidupan
beserta iramanya agar apapun yang kita cita-citakan dapat
tercapai dengan baik sesuai dengan aturan dan kehendak
Tuhan. Orang Jawa memahami laku dengan nilai-nilai
Kejawen, disertai semedi dan tirakat. Sedangkan tata
krama berarti etika kehidupan atau sopan santun yang
dalam Bahasa Jawa disebut dengan unggah-unggah,
dengan unggah-unggah ini adalah merupakan salah satu
dari tindakan memanusiakan manusia yang merupakan
salah satu bagian dari hamemayu bayuning bawana. Tata
paugeraning urip maksudnya mengatur manusia sebagai
makhluk sosial yang tidak bisa hidup dan berdiri sendiri,
hendaknya dapat menempatkan diri sesuai etika moral
seperti menghormati atau menghargai orang lain terutama
orang yang lebih tua baik dari cara atau sikap maupun
cara berbicara dan lain-lain. Dengan melaksanakan tata
peugeraning urip maka akan terbentuk suatu warga
yang menghargai satu sama lain dan mencegah adanya
ketersinggungan satu sama lain yang tidak perlu terjadi
sehingga tidak perlu ada rasa sakit hati di antara sesama
sehingga dengan demikian dapat tercapai suatu kondisi
warga yang guyuban dan rukun .
Manunggaling Kawula Gusti falsafah ini
termasuk falsafah dalam kehidupan orang Jawa. Manusia
harus mendekatkan dirinya kepada Tuhan, manusia dan
Tuhan haruslah jumbuh. Manunggaling Kawula Gusti
akan menciptakan ketenangan batin dan pada akhirnya
ditemukan sebuah keharmonisan antara manusia dengan
Tuhan. Tujuan hidup manusia adalah bersatu dengan
Tuhan. Persatuan yang dianggap lebih sempurna di dalam
hidup manusia adalah ketika manusia menghadapi ajal.
Manunggaling merupakan suatu perwujudan sikap
menembah. Menembah adalah menghubungkan diri
secara sadar, mendekat, menyatu dan manunggal dengan
Tuhan. Konsep ini berarti bahwa Tuhan bersemayam
dalam diri manusia. Menurut pandangan Kejawen, pada
hakekatnya, manusia sangat dekat dengan Tuhan.
Manunggaling Kawula Gusti merupakan suatu
pengalaman dan bukan suatu ajaran. Pengalaman ini bisa
terjadi secara subyektif atau dalam bentuk kolektif. Hal ini
dapat diperoleh melalui jalan laku konsentrasi,
pengendalian diri, pemudharan (kebebasan batin dari
dunia indrawi), menguasai ngelmu sejati dan tahu hakikat
hidup. Manunggalng Kawula Gusti juga merupakan
konsep mendekatkan diri dengan Tuhan agar setiap
manusia memiliki keharmonisan hidup
2. Manusia dalam Pandangan Ajaran Kejawen
Memayu hayuning bawana berarti watak dan
perbuatan yang senantiasa mewujudkan dunia selamat,
sejahteran dan bahagia, memayu hayunng bawana berarti
juga bagaimana manusia menjaga perdamaian dunia.
Memayu hayuning bawana tidak lepas dari aspek
kewajiban luhur dan sikap hidup manusia Jawa. Hakekat
hidup tidak akan lepas dari upaya berbuat baik terhadap
sesama. Sikap semacam ini, tergolong perilaku yang
terpuji karena mampu menghiasi dan memperindah
dunia. Ketentraman dan kedamaian adalah dasar
kemuliaan hidup warga Jawa. Dunia sekitar manusia
adalah ciptaan Tuhan yang patut dihiasi dengan perbuatan
baik. Usaha ini dilandasi dengan semangat memberantas
angkara murka serta melebur atau menghapus nafsu-nafsu
rendah manusia. Selain itu dperlukan juga usaha
menolong sesama tanpa pamrih. Selain itu, sikap memayu
hayuning bawana mencerminkan kepekaan manusia Jawa
dalam menghadapi lingkungan hidupnya. Kepekaan hati
yang bersih ini akan menjadi modal penyeimbang batin.
Jika memayu hayuning bawana sudah menjadi pedoman
hidup, maka sikap dengki, jail akal hilang dengan
sendirinya. Seluruh makhluk adalah suatu komponen
hidup yang harus dijaga dan diselamatkan agar tercipta
hidup harmonis .
Ada dua bahaya yang mengancam hidup
manusia, yaitu nafsu (hawa nepsu) dan pamrih. Oleh
sebab itu manusia harus mengontrol nafsunya dan
melepaskan pamrihnya. Nafsu adalah perasaan kasar
karena menggagalkan kontrol diri manusia dan
membelenggunya secara buta kepada dunia. Nafsu-nafsu
memperlemah manusia karena memboroskan kekuatan-
kekuatan batin tanpa guna. Nafsu yang membahayakan
disebut malima, yaitu lima nafsu yang mulai dengan m
(ma) : madat, madon, minum, mangan, main. Untuk
mengontrol nafsu-nafsu adalah berguna untuk melakukan
sekedar laku tapa sedikit mengurangi makan dan tidur,
menguasai diri di bidang seksual, dan lain sebagainya.
Tapa lahiriah bisa memperkuat kehendak dalam usaha
untuk mempertahankan keseimbangan batin dan agar
berlakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan sosial.
Bahaya kedua yang harus diperhatikan orang
adalah pamrih. Bertindak karena pamrih berarti hanya
mengusahakan kepentingan dirinya sendiri dan tidak
memperhatikan kepentingan orang lain (warga ).
Pamrih jelas memperlemah manusia dari dalam, dan
barang siapa yang mengejar pamrih-nya, memutlakkan
keakuannya sendiri, mengisolasikan dirinya sekaligus
memotong diri dari sumber kekuatan batin. Pamrih
terutama terlihat dalam tiga nafsu, yaitu senantiasa ingin
menjadi orang yang pertama (nepsu menange dewe),
menganggap diri selalu betul (nepsu benere dhewe) dan
hanya memperhatikan kebutuhan dirinya sendiri (nepsu
butuhe dhewe). Sikap-sikap lain yang tercela adalah
kebiasaan untuk menarik keuntungan sendiri dari setiap
situasi tanpa memperhatikan orang lain (ngaji mumpung)
atau untuk mengira bahwa karena jasa-jasa tertentu kita
memiliki lebih banyak hak dari yang lainnya (dumeh)
3. Alam dalam Pandangan Ajaran Kejawen
Hidup ini menurut pandangan Jawa sangat
singkat, prasasat mung mampir ngombe ibarat hanya
singgah untuk minum sangat tepat untuk menggambarkan
betapa singkatnya waktu yang harus dijalani manusia
dalam hidupnya. Oleh karena hanya sebentar, maka waktu
yang tidak lama tadi harus digunakan dengan sebaik-
baiknya agar bila roh kita lepas dari raganya tidak keliru
“tempat hinggapnya” kelak. Tempat hinggap tadi
ditentukan oleh amal dan perbuatan kita selama hidup di
dunia. Kalau kita selalu berbuat sesuai dengan yang
diridhoi Tuhan tentulah kita akan selamat. Konsep
sangkan paraning dumadi dalam artian metaphisis (alam
gaib) dapat dijelaskan melalui asal usul pembentukan
kata. Sangkaning Dumadi, yang berarti asal menjelmanya
atau lahirnya Jiwa atau Sukma manusia yang disebut
“Pancer” adalah dari alam gaib, lahir hidup ke alam
dunia, dengan jalan atau proses: pakaian empat anasir
alam: Udara-Air-Api-Tanah, yang rohnya menjadi empat
saudara jiwa yang lahir menjadi manusia ke dunia,
melalui perantara laki-laki atau bapa dan perempuan atau
ibu yang bersifat positif dan negatif. Itulah sebabnya
dikalangan leluhur orang Jawa sejak jaman purba
memiliki pengetahuan/ilmu tentang “Sadulur Papat
Lima Pancer” .
Sangkan Paraning Dumadi adalah pandangan
hidup Kejawen yang membicarakan asal usul dan tujuan
segala sesuatu yang ada di dunia. Pengertian hakiki
sangkan dan paran sebenarnya sama dengan pola
kehidupan Kejawen. Menurut pandangan kejawen,
manusia dan segala yang ada di alam semesta berasal dari
Tuhan dan kelak akan kembali kepadaNya, urip iku saka
pangeran, bali marang pangeran .
Jalan kita pada dasarnya telah ditentukan oleh Tuhan dan
manusia tinggal menjalani saja dengan penuh kepasrahan
dan keikhlasan yang dalam istilah Jawa disebut dengan
sumarah-sumeleh kepada Tuhan, namun sebagai kodrat
manusia hidup maka tetap harus berusaha dan tidak pasif
tetapi harus selalu aktif terkendali .
Hidup di dunia, yang alam pemikiran Jawa
disebut alam madya (alam tengah), di ibaratkan hanya
sebagai mampir ngombe, singgah sebentar untuk minum.
Pendirian semacam ini adalah konsekuensi logis dari
keyakinan yang lebih mendasar, yaitu bahwa manusia
(dan semua makhluk ciptaan Tuhan) itu terdiri dari dua
dimensi utama, yaitu dimensi jasmani dan dimensi rohani.
Jasmani atau raga adalah bersifat sementara. Ia bisa lahir,
tumbuh, berkembang dan musnah. Roh adalah abadi. Ia
selalu dan tetap ada dalam alam keabadian, yang dalam
keyakinan Jawa terdiri dari alam purwa (sebelum “lahir”
ke alam madya), alam madya atau madyapada, yaitu
dunia kita sekarang ini dan alam wasana (setelah
kematian raga). Dibanding dengan alam keabadian yang
tidak mengenal awal dan akhir, maka hidup di dunia ini
memang amat sangat singkat. Itulah sebabnya orang Jawa
mengibaratkannya hanya sebagai persinggahan sementra
untuk minum. Apa yang dilakukan manusia dalam
persinggahan singkat di dunia yang fana ini menentukan
nasib dan arah perjalanan selanjutnya .
1. Tuhan dalam Pandangan Ajaran Syekh Siti Jenar
Konsep Manunggaling Kawula Gusti (kesatuan
manusia dengan Tuhan), artinya cita hidup yang harus di
capai oleh manusia adalah mendapatkan penghayatan
kesatuan dengan Tuhannya. Hidup manusia katitipan atau
mengandung rahsa Dzat yang Agung. Berarti Dzat Tuhan
bersemayam dalam hidup manusia. Rupa manusia
kawimbuhan atau mengandung warna Dzat Tuhan yang
bersifat elok. Nama manusia diakui sebagai sebutan
Tuhan, dan tingkah laku manusia mencerminkan
perbuatan Tuhan. Jadi dalam kesatuan antara manusia
dengan Tuhan, diajarkan bahwa kehidupan dan tingkah
laku manusia merupakan pencerminan kehidupan dan
perbuatan Tuhan. Kehidupan manusia yang dalam
keadaan manunggal, merupakan pencerminan Tuhan di
atas dunia .
Menurut ajaran Syekh Siti Jenar, Allah
hanyalah nama. Karena Sang Khaliq disebut dengan
istilah sesuai dengan tradisi. Sehingga, menurut Syekh
Siti Jenar jika seseorang menyebut nama dalam berdzikir,
maka manusia itu dianggap musyrik karena menyembah
nama (istilah), bukan menyembah keberadaan Sang
Khaliq (Fajar tanpa tahun: 25). Pemahaman ini
terpengaruh oleh konsep tasawuf para ulama terdahulu.
Dalam teori kesufian, nama Allah memang dijumpai
dalam Al Quran. Tuhan disebut Allah. Pada mulanya
nama Allah digunakan untuk menyebut sesuatu yang
dianggap sebagai sumber asal usul segala yang ada. Istilah
Allah sebenarnya berasal dari kata aliha yang artinya
sesuatu yang membingungkan, mengagumkan, memikat
hati, dan mempesona. Dalam kesadaran setiap manusia
ada sesuatu yang dianggap sebagai wujud darinya segala
yang ada ini berasal. Wujud yang dirinya tidak diketahui
dan tak terjangkau manusia, suatu misteri yang
memicu rasa kehebatan dan keingin tahuan yang tak
pernah ada habis-habisnya .
2. Manusia dalam Pandangan Ajaran Syekh Siti Jenar
Ajaran Syekh Siti Jenar merupakan ajaran
kebatinan. Suatu ajaran yang menekankan aspek kejiwaan
daripada aspek lahiriah yang kasat mata. Intinya ialah
konsep tujuan hidup. Sesorang tidak harus menunggu
sampai mati atau sampai kiamat untuk mendapatkan
surga. Surga bisa kita jumpai didunia ini. Surga terletak
di dalam jiwa manusia. Jika jiwa telah bersih dari
gangguan hawa nafsu dan dapat menyatu dengan Gusti
Allah, maka di dunia ini akan merasakan sesuatu
kenikmatan surga. Misalnya menolong orang yang lemah,
lalu hati menjadi ikhlas dan puas inilah yang disebut
surga. Sedangkan neraka, jika hawa nafsu telah
menguasai diri seseorang, jiwanya meronta dan merasa
bersalah, maka menjadi tersiksa. Siksaan yang dirasakan
gelisah pikirannya inilah yang dinamakan neraka.
Tujuannya hanya satu, agar menghindari budi buruk dan
terdorong untuk membersihkan jiwa dalam menempuh
jalan menuju Tuhan. Badan adalah sesuatu yang lahiriah,
sedangkan yang utama jiwa atau roh, karena jiwa bisa
berhubungan dengan Allah. Bahkan menyatu dengan
Dzatnya. Tubuh terdiri dari sumsum, daging, urat, darah
dan tulang. Semua itu bisa rusak bisa tua bisa mati, lalu
hancur menjadi tanah. Jadi, jiwalah yang paling penting.
Jika tampilan jiwa seperti Tuhan, maka surga akan
didapatkannya. Manusia terdiri dari dua unsur, yaitu jiwa
dan raga. Raga membelenggu dan menyulitkan jiwa, Raga
memiliki sifat alam semesta, yang semula baru
kemudian rusak. Sedangkan jiwa tidak karena jiwa
merupakan penjelmaan Dzat Tuhan. Raga adalah barang
pinjaman yang suatu saat akan diminta oleh pemiliknya.
Syekh Siti Jenar mengajarkan ilmu melepaskan Jiwa,
artinya bahwa kematian adalah titik awal kehidupan yang
sebenarnya. Jika seseorang raganya mati, maka jiwanya
menjadi merdeka, sebab raga berhubungan dengan alam
semesta, sedangkan jiwa berkaitan dengan dzat Tuhan.
Kehidupan yang sejati itu tidak dapat dirasakn oleh raga
karena telah membusuk menjadi tanah. Tapi dirasakan
oleh jiwa .
3. Alam dalam Pandangan ajaran Syekh Siti Jenar
Dalam pandangan Syekh Siti Jenar dunia itu
alam kematian, tetapi sesungguhnya dunia itu juga
merupakan kebun akhirat. Dunia merupakan salah satu
petunjuk, karena dunia paling dekat di antara dua tempat.
Dua tempat itu ialah, tempat seseorang hendak pergi dan
batas tujuan seseorang, artinya dunia itu hanyalah
perjalanan yang harus ditempuh untuk mencapai satu
tujuan. Oleh karena itu sangat perlu untuk
mempersiapkan perbekalan dalam menempuh perjalanan
itu. Tubuh ini adalah kendaraan yang dapat
mengantarkan dalam menempuh alam kematian. Agar
tubuh mampu menempuh perjalanan dengan baik, maka
perlu adanya pengawalan. Pengawalan terhadap diri
(tubuh) ada dua macam, yaitu secara lahiriah dan secara
batiniah. Secara lahiriah itu mencakup yang sifatnya
tampak seperti gerakan-gerakan. Secara batiniah itu
mencakup yang sifatnya tidak tampak, misalnya
bagaimana tentara (pengawal) mencegah kemarahan,
nafsu syahwat, dan iri dengki dan sebagainya
Menurut ajaran Syekh Siti Jenar, tanda
kehidupan itu adalah berdasarkan dalil ‘hidup itu tidak
mempan kematian, abadi selama-lamanya, maka
kehidupan sesungguhnya dapat dicapai apabila sudah
mampu menyatukan diri bersama Dzat Allah. Atas dasar
itulah Syekh Siti Jenar mengatakan bahwa alam dunia ini
disebut alam kematian, bukan kehidupan , Syekh Siti Jenar selalu mengatakan kepada
para santrinya bahwa kehidupan duniawi adalah
kematian. Kehidupan yang sesungguhnya adalah jika
seorang telah menemui kematian. Hidup yang sebenarnya
adalah sesudah kematian, jadi manusia yang ada di dunia
ini tak lebih dari bangkai-bangkai yang berjalan. Syekh
Siti Jenar mengajarkan untuk tidak mencintai dunia ini
dan tidak terpesona dengan keindahannya. Carilah
kesenangan hati karena demi kehidupan yang mendatang,
kehidupan setelah mati .
1. Persamaan antara ajaran Kejawen dengan ajaran
Syekh Siti Jenar dalam memandang Tuhan,
Manusia, dan Alam
Ajaran Kejawen dan Syekh Siti Jenar
Tuhan
Tujuan hidup manusia adalah menyatu
dengan Tuhan. Menuju kesempurnaan
sejati “manunggaling kawula gusti”.
Manusia
Ajaran budi pekerti menuntun manusia
untuk menyatu dengan Tuhan,
menyingkirkan nafsu dan sikap pamrih.
Alam
perjalanan hidup manusia di dunia dengan
memilih dan menentukan lelakon nasibnya
sendiri-sendiri
2. Perbedaan antara ajaran Kejawen dengan ajaran
Syekh Siti Jenar dalam memandang Tuhan,
Manusia, dan Alam
Ajaran Kejawen Syekh Siti Jenar
Tuhan Orang Jawa
menganggap Ingsun itu
sebagai aku (ego). Oleh
karena itu dalam diri
ada pancaran Tuhan,
sering ada pandangan
Ingsun sama dengan
Tuhan. Manusia itu
dapat memiliki zat
Tuhan, namun jangan
beranggapan bahwa
dengan demikian
manusia itu dapat
disebut Tuhan.
Sesungguhnya di saat
Syekh Siti Jenar
menganggap dirinya
adalah Tuhan, bukan
berarti Syekh Siti
Jenar menjelma
menjadi Tuhan.
Ketika Syekh Siti
Jenar mengaku
sebagai Tuhan, maka
Syekh Siti Jenar
meniadakan pribadi
dirinya sendiri.
Manusia Ada dua bahaya yang
mengancam hidup
Ajaran Syekh Siti
Jenar merupakan
manusia, yaitu nafsu
(hawa nepsu) dan
pamrih. Oleh sebab itu
manusia harus
mengontrol nafsunya
dan melepaskan
pamrihnya.
ajaran kebatinan.
Suatu ajaran yang
menekankan aspek
kejiwaan daripada
aspek lahiriah yang
kasat mata.
Alam Hidup di dunia,
menurut alam
pemikiran Jawa
disebut alam madya
(alam tengah), di
ibaratkan hanya
sebagai mampir
ngombe, singgah
sebentar untuk
minum. Dalam
keyakinan Jawa
terdiri dari alam
purwa (sebelum
“lahir” ke alam
madya), alam madya
atau madyapada,
yaitu dunia kita
sekarang ini dan
alam wasana (setelah
kematian raga).
Dibanding dengan
alam keabadian yang
tidak mengenal awal
dan akhir, maka
hidup di dunia ini
memang amat sangat
singkat
Manusia di dunia ini
berada dalam alam
kematian, sebab
manusia mengalami
banyak neraka,
kesengsaraan,
kepanasan dan
kedinginan serta
kesedihan. Tidak
demikian halnya jika
manusia hidup dalam
alam yang nyata
sesudah manusia
mengalami kematian
dan kelepasan.
Perbandingan ajaran Kejawen dengan ajaran
Syekh Siti Jenar meliputi ajaran dalam memandang
Tuhan, manusia, dan alam. Ajaran dalam memandang
Tuhan menjelaskan mengenai kesempurnaan hidup sejati
untuk menyatu dengan Tuhan dalam inti ajaran Kejawen
dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Pada ajaran Kejawen,
Tuhan disebut ingsun (aku) tetapi tidak boleh
beranggapan Tuhan itu adalah aku dan pada ajaran Syekh
Siti Jenar, menganggap dirinya adalah Tuhan “Tuhan
adalah aku”. inti dari ajaran Kejawen dan ajaran Syekh
Siti Jenar menjelaskan tentang kesempurnaan hidup sejati
dengan konsep manunggaling kawula gusti. Ajaran
tentang manusia dalam pandangan Kejawen dan Syekh
Siti Jenar ialah manusia hidup di dunia mengontrol hawa
nafsu dengan selalu berbuat baik, yang bermoral dan
beretika. Pada ajaran Syekh Siti Jenar tentang manusia,
manusia berusaha menyingkirkan hawa nafsu dengan
menekankan aspek kejiwaan, ketika jiwa sudah bersih
maka jiwa akan menyatu dengan Tuhan. Ajaran Kejawen
dengan Syekh Siti Jenar dalam memandang Alam ialah
kehidupan seperti roda yang berputar dan manusia
memilih kehidupan dengan menentukan nasibnya sendiri-
sendiri. Ajaran syekh siti jenar menganggap bahwa hidup
di dunia ini adalah alam kematian sedangkan alam
kehidupan yang sebenarnya adalah ketika sudah menyatu
dengan dzat Tuhan yaitu setelah jiwa dan raga ini di
ambil olehNya.