islam 10

Tampilkan postingan dengan label islam 10. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 10. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

islam 10



  hal ini tidak diingat, maka tentu saja mereka akan lambat­

laun berhadapan dengan “kaum awam” ini . Para teroris pe­

ledak bom di Bali pada akhirnya berhadapan dengan Undang­un­

dang Anti­Terorisme, yang merupakan produk mayoritas kaum 

muslimin awam di negeri ini. Dari semula, NU bersikap tidak 

menyetujui tindak terorisme.

eg

Dalam Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, ada perta­

nyaan dalam “baths al-masâ’il”; wajibkah kaum muslimin di 

kawasan Hindia Belanda mempertahankan kawasan itu, sedang­

kan mereka diperintah oleh kaum non­muslimin (para kolonialis 

Belanda)? Jawab Muktamar; wajib, karena kawasan itu dahulu­

nya memiliki kerajaan­kerajaan Islam, dan kini kaum muslimin 

dapat menerapkan ajaran­ajaran agama ini  dengan bebas. 

Diktum pertama (mengenai kerajaan­kerajaan Islam di kawasan 

ini) diambilkan dari sebuah teks kuno, Bughyah al-Mustarsyi-

dîn, sedangkan diktum kedua hasil pemikiran (reinterpretasi) 

para ulama Indonesia sendiri, namun  sebenarnya pernah diung­

kapkan sarjana muslim kenamaan Ibn Taimiyyah, yang di nege­

ri ini kemudian dikenal karena menjadi subjek disertasi doktor 

nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 308 h

Nurcholish Madjid.1

Keputusan Muktamar NU sepuluh tahun sebelum prokla­

masi kemerdekaan itu, meratakan jalan bagi pencabutan Piagam 

Jakarta dari Pembukaan UUD 1945 oleh para wakil organisasi­

organisasi Islam di negeri kita, seperti Muhammadiyah dan NU. 

Kalau pemimpin dari gerakan­gerakan Islam tidak mewajibkan, 

berarti negara yang didirikan itu tidaklah harus menjadi negara 

Islam. Kalau demikian, Islam tidak didekati secara kelembagaan 

atau institusional, melainkan dari sudut budaya. Selama “buda­

ya” Islam masih ada di negeri ini, maka Islam tidak mengalami 

kekalahan dan tidak harus “dipertahankan” dengan tindak keke­

rasan, seperti terorisme.

Islam memiliki cara hidupnya sendiri, yang tidak perlu di­

pertahankan dengan kekerasan, karena cukup dikembangkan 

dalam bentuk budaya. Dan inilah yang terjadi, seperti adanya 

MTQ, penerbitan­penerbitan Islam yang berjumlah sangat ba­

nyak, dan berbagai manifestasi ke­Islaman lain. Bahkan seka­

rang, wajah “kesenian Islam” sudah menonjol demikian rupa 

sehingga layar televisi pun menampung sekian banyak dari 

berbagai wajah seni Islam yang kita miliki. Karena itu, Islam 

tidak perlu dipertahankan dari ancaman siapa pun karena ia 

memiliki dinamika tersendiri. Sebagai responsi atas “tekanan­

tekanan” modernisasi, terutama dari “proses pem­Barat­an” 

yang terjadi, kaum muslimin di negeri ini dapat mengambil atau 

menolak pilihan­pilihan mereka sendiri dari proses ini , 

mana yang mereka anut dan mana yang mereka buang. Karena 

itu, hasilnya juga akan berbeda­beda dari satu orang ke orang 

lain dan dari satu kelompok ke kelompok lain. Penerimaan be­

ragam atas proses itu akan membuat variasi sangat tinggi dari 

responsi ini , yang sesuai dengan firman Allah: “dan Ku-ja­

1 Prof. Dr. H. Nurcholish Madjid (populer dipanggil Cak Nur; 1939–

2005) adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan budayawan Indonesia. 

Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai terpandang di Mojoanyar, Jombang, 

Jawa Timur. Pendiri dan Pemimpin Paramadina. Setelah melewati pendidikan 

di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, Cak Nur menempuh studi 

kesarjanaan IAIN Jakarta (1961­1968), tokoh HMI ini menjalani studi dokto­

ralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978­1984), dengan disertasi 

tentang filsafat dan kalam Ibnu Taimiyah. Cak Nur meninggal dunia pada 29 

Agustus 2005 akibat penyakit hati yang dideritanya. Beliau dimakamkan di Ta­

man Makam Pahlawan Kalibata meskipun merupakan warga sipil karena di­

anggap telah banyak berjasa kepada negara.

g 309 h

dikan kalian berbangsa­bangsa dan bersuku­suku bangsa untuk 

dapat saling mengenal (wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li 

ta’ârafû)” (QS al Hujurât [49]:13). Ayat itu jelas memerintahkan 

adanya ke-bhinekaan dan melarang eksklusifisme dari kalangan 

kaum muslimin manapun.

Sebenarnya di antara “kalangan teroris” itu, terdapat juga 

mereka yang melakukan tindak kekerasan atas perintah­pesanan 

dari mereka yang tadinya memegang kekuasaan. Karena mereka 

masih ingin berkuasa, mereka menggunakan orang­orang itu 

atas nama Islam, untuk menghalangi proses­proses munculnya 

rakyat ke jenjang kekuasaan. Dengan demikian, kalangan­ka­

langan itu memiliki tujuan menghadang proses demokratisasi 

dan untuk itu sebuah kelompok kaum muslimin digunakan un­

tuk membela kepentingan orang­orang ini  atas nama Is­

lam. Sungguh sayang jika maksud itu berhasil dilakukan. Rasa­

rasanya, NU berkewajiban menggagalkan rencana ini , dan 

karenanya bersikap konsisten untuk menolak tindak kekerasan 

dalam memperjuangkan “kepentingan Islam”. 

Islam tidak perlu dibela sebagaimana juga halnya Allah. 

Kedua­duanya dapat mempertahankan diri terhadap gangguan 

siapa pun. Inilah yang dimaksudkan firman Allah; “Hari ini Ku-

sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku­sempurnakan 

bagi kalian (pemberian) nikmat­Ku, dan Ku­relakan bagi kalian 

Islam sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa 

atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radlîtû lakum al-Islâma dînan)” 

(QS al­Maidah [5]:3), menunjuk dengan tepat mengapa Islam 

tidak perlu dipertahankan dengan tindakan apa pun, kecuali 

dengan melaksanakan cara hidup Islam itu sendiri. Sangat indah 

untuk diucapkan, namun sulit dilaksanakan, bukan? h

nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam

g 310 h

Peledakan bom di Denpasar, semakin hari semakin ba­

nyak mendapat sorotan. Salah satu hal terpenting, adalah 

mengetahui siapa yang melakukan, dan mengapa mereka 

melakukannya. Dikatakan “mereka”, karena jelas sekali peris­

tiwa seperti itu tidak akan mungkin dilakukan oleh seorang diri 

belaka, sehingga digunakan kata ini  untuk menunjuk para 

pelakunya. Sayangnya, hingga hari ini belum dapat disebutkan 

siapa­siapa pelaku sebenarnya. Jangan­jangan, hasil pemeriksa­

an tidak akan diumumkan secara jujur, karena menyangkut peja­

bat yang berada dalam sistem kekuasaan. Bukankah banyak hal 

di Indonesia selama ini tidak pernah dibongkar sampai tuntas, 

melainkan ditutup­tutupi dari mata masyarakat?.

Banyak pihak ditunjuk oleh orang yang berbeda­beda seba­

gai para pelaku kejadian itu, sesuai dengan kepentingan masing­

masing. Juga karena adanya hal­hal yang dapat ditunjuk sebagai 

persambungan dari peristiwa pemboman yang pernah terjadi. 

Begitu juga, demikian banyak konspirasi/komplotan yang dapat 

ditunjuk sebagai biang keladi, sehingga hal yang sebenarnya ter­

jadi menjadi tertutup olehnya. Penulis khawatir, jangan­jangan 

peristiwa yang sebenarnya, justru malah dikaburkan oleh sekian 

banyak gambaran adanya konspirasi/komplotan yang terjadi di 

Bali ini .

Bom di Bali dan Islam

g 311 h

Yang tampak jelas hanyalah beberapa hal saja. Pertama, 

peledakan bom itu terjadi di Pulau Dewata Bali. Kedua, bahwa 

korbannya adalah orang­orang Australia, yang berjumlah sa­

ngat besar dan menerbitkan amarah dunia internasional. Masih 

menjadi pertanyaan lagi, mungkinkah pemerintah kita sendiri 

dapat dan bersedia melakukan pelacakan atas kejadian ini  

dengan tuntas? Mungkin pertanyaan ini terdengar agak sinis, 

ta pi bukankah demikian banyak peristiwa yang telah terjadi di 

negeri kita tanpa ada pemeriksaan sampai tuntas, hingga kita pa­

tut bertanya­tanya, benarkah pemerintah kita nanti akan mena­

ngani segala sesuatunya secara serius? Buktinya, penulis telah 

memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri —sewaktu menjabat 

sebagai Presiden, untuk melakukan penangkapan­penangkapan. 

Namun, mereka tidak melaksanakan perintah ini , bahkan 

sampai hari inipun pihak Mahkamah Agung (MA) belum mau 

menjawab pertanyaan penulis, apakah terjadi tindakan insub­

ordinatif oleh kedua pejabat ini , dengan menolak menger­

jakannya? Kalau MA saja tidak memiliki keberanian untuk mem­

berikan jawaban terhadap keadaan yang demikian jelas tadi, dan 

pihak ekskutif­pemerintah dan legislatif­juga tidak mau mem­

pertanyakan hal itu, bukankah hal sejelas itu menunjukkan ada­

nya kebuntuan pemerintahan? Bukankah kebuntuan itu juga 

yang dapat menghentikan pemerintah untuk mencari tahu siapa 

saja yang menjadi para pelaku peledakan bom di Denpasar itu?

eg

Terjadilah simpang­siur pendapat karenanya. Ada yang 

mengatakan pelakunya adalah pihak luar negeri, dalam hal ini 

adalah orang­orang Amerika Serikat (AS). Di pihak lain, ada yang 

beranggapan bahwa hanya pihak dalam negeri saja yang terlibat 

dalam kejadian ini. Ada yang berpendapat lagi, bahwa pihak luar 

negeri bekerjasama dengan unsur­unsur yang ada di dalam nege­

ri sendiri yang menjadi para pelaku. Demikian juga terjadi perbe­

daan yang cukup tajam antara mereka yang berpendapat adakah 

jaringan Islam ekstrim/garis keras terlibat dalam kejadian ini .

Jika jalan pikiran ini terus diikuti, tentu timbul pertanyaan 

siapa saja atau organisasi mana yang membiarkan diri terlibat 

dalam kejadian ini ? Laskar Jihad­kah, yang merupakan ca­

bang dari organisasi dengan nama serupa di Saudi Arabia. Lalu, 

bom dI balI dan Islam

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 312 h

mengapakah mereka “buru­buru” membubarkan diri begitu 

terjadi peristiwa di Bali ini ? Adakah hubungan antara ke­

jadian ini  di satu pihak, dengan masa depan organisasi itu? 

Bukankah bubarnya organisasi itu di Saudi Arabia dan Indone­

sia —pada waktu yang hampir bersamaan, justru menunjukkan 

adanya jaringan (networking) dalam tubuh sebagian gerakan 

Islam di dalam dan luar negeri? Bukankah ini menunjukkan ada­

nya jaringan internasional di kalangan mereka, yang oleh pihak 

lain dianggap sebagai bukti hadirnya jaringan internasional un­

tuk mempromosikan versi mereka tentang hubungan gerakan 

Islam dan non­Islam secara keseluruhan?

Demikian kacaunya perkembangan yang terjadi, hingga 

ada pihak yang menganggap Abu Bakar Ba’asyir —seorang Kyai 

pesantren dari Solo, sebagai salah seorang pelaku, sedangkan 

yang lain menganggap ia tidak terkait sama sekali dengan peris­

tiwa itu. Lalu, mengapakah ia sampai pingsan di rumah sakit, 

begitu mengetahui dirinya akan diekstradisi ke AS? Ini lagi­lagi 

menunjukkan ketidakjelasan yang kita hadapi. Hanya penelitian 

yang mendalam dan kejujuranlah yang dapat mengungkapkan 

hal ini secara terbuka kepada masyarakat. Rasanya, kalau tidak 

ada tim khusus untuk melakukan hal itu, kita tetap tidak akan 

tahu mengenai latar belakang maupun hal­hal lain dalam peris­

tiwa itu.

eg

Dapat digambarkan di sini, betapa marahnya pihak­pihak 

internasional maupun domestik terhadap hal itu. Penulis yang 

menggunakan rasio dengan tenang, dalam hal ini tidak dapat 

mengemukakan secara menyeluruh dengan jujur apa yang ada 

dalam pikirannya tentang kemungkinan siapa yang memerin­

tahkan para pelaku sebenarnya yang melaksanakan pemboman 

ini . Mengapa? Karena benak penulis penuh dengan nama 

orang­orang yang mungkin melakukan hal itu, dan juga nama 

orang­orang yang “patut diduga” (untuk meminjam istilah pe­

langgaran konstitusi yang dilakukan para pemimpin partai poli­

tik di DPR/MPR,  dengan menggelar Sidang Istimewa beberapa 

waktu yang lalu) terlibat dalam kasus ini.

Sementara, hal yang paling memilukan hati adalah nama 

Islam dibawa­bawa dalam hal ini. Seolah­olah kaum muslimin 

g 313 h

seluruhnya turut serta melakukan hal ini , apalagi apa yang 

terjadi di Pulau Dewata itu mayoritas penduduknya non­muslim. 

Demikian juga korban orang asing —yang keseluruhannya be­

ragama non­muslim. Padahal kita tahu kalaupun ada orang yang 

beragama Islam terlibat dalam kasus ini, motif mereka bukanlah 

faktor agama, melainkan uang, jabatan ataupun pengaruh. Kalau 

orang yang benar­benar cinta terhadap Islam, mereka akan tahu 

bahwa agama ini  melarang tindak kekerasan, dan hanya 

mengijinkannya untuk mempertahankan diri jika mereka diusir 

dari rumah mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). Kalaupun ada 

seorang muslim melakukan tindakan seperti itu guna membela 

Islam dari “ancaman pihak lain” itu berarti ada penafsiran salah 

yang dilakukan dalam memahami agama ini .

Demikianlah, Islam dan Indonesia menjadi korban dari 

perbuatan yang tidak bertujuan mulia, jika alasan pribadi seper­

ti, perebutan kekuasaan satu sama lain dengan korban rakyat 

biasa dan para wisatawan mancanegara yang tak mengerti apa­

apa, dipakai dalam hal ini. Semua dugaan dan rekonstruksi 

bermacam­macam di awal tulisan ini, akan menjadi terang jika 

pemerintah membentuk tim independen yang diisi oleh orang­

orang Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi 

Massa (Ormas). namun , bukankah itu justru dianggap sebagai 

sikap tidak percaya terhadap pemerintah, walaupun sebenarnya 

kecurigaan seperti itu tidak pernah ada. Tragis, bukan? h

bom dI balI dan Islam

g 314 h

Beberapa waktu yang lalu, penulis diwawancarai oleh 

wartawan dari Televisi SBS (Special Broadcasting Sys-

tem) dari Melbourne, Australia di lapangan terbang Ceng­

kareng, sekitar jam 5.30 Wib. Ada tiga buah pertanyaan men­

dasar yang diajukan pada penulis. Pertanyaan pertama berkisar 

pada masalah mengapa penulis menganggap Abu Bakar Ba’asyir1 

sebagai teroris? Penulis menjawab, bahwa laporan intelijen dari 

lima negara menyebutkan hal ini . Termasuk di dalamnya 

intelijen Malaysia dan Amerika Serikat, yang sejak dahulu tidak 

pernah ada kecocokan antara keduanya. Selain itu penulis me­

ngacu Hadits Nabi Saw menyatakan: “Kalau suatu masalah ti­

dak diserahkan pada ahlinya, tunggulah datangnya kiamat (idzâ 

wushida al ‘amru ilâ ghairi ahlihî fa intadziri al-sâ’ah).” Jadi, 

sikap penulis itu sudah benar menurut ketentuan agama, dan ka­

lau terbukti ada masalah lain akan diperiksa di kemudian hari.

1 Abu Bakar Ba’asyir (atau Abubakar Bashir) alias Abdus Somad (lahir 

di Jombang pada 17 Agustus 1938) adalah seorang ustadz keturunan Arab asal 

Indonesia. Ia juga dituding sebagai kepala spiritual Jemaah Islamiyah (JI), se­

buah grup separatis militan Islam. Berbagai badan intelijen menuduh Ba’asyir 

mempunyai hubungan dengan al­Qaeda. Ba’asyir membantah dia menjalin 

hubungan dengan JI atau terorisme. Hingga saat ini, ia merupakan pemimpin 

Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang bermarkas di Jogjakarta.

Benarkah mereka terlibat terorisme?

g 315 h

Beberapa hari sebelum itu, budayawan Emha Ainun Na­

djib2 menyatakan dalam salah satu wawancara di Radio Rama­

ko, bahwa keterangan mengenai keterlibatan Abu Bakar Ba’asyir 

dalam terorisme, didasarkan pada pengakuan Umar Farouq3 

pada pihak Amerika Serikat (AS). Menurut Emha, pengakuan 

Umar Farouq tidak dapat diterima kebenarannya, karena ia ber­

asal dari Ambon. Umar Farouq, demikian Emha menyimpulkan, 

adalah lawan Abu Bakar Ba’asyir. Seolah-olah Emha mengikuti 

pendapat Al­Isfarayini bahwa pendapat seseorang tentang mu­

suh atau lawannya tidak dapat diterima (la yuqbalu qaulu mujta-

hid ‘an-khashmihi). Benarkah pendapat Emha ini? Penulis meng­

usulkan dalam sebuah konperensi pers sehari setelah itu, agar 

dibuat komisi independen yang terdiri dari para ahli hukum dan 

wakil­wakil masyarakat, untuk meneliti mana yang benar: peng­

akuan CIA (Central lntelligence Agency) ataukah Emha?

Sedangkan pendapat Wakil Presiden Hamzah Haz agar 

Umar Farouq dibawa ke negeri ini untuk ditanyai, tidak sesuai 

dengan kenyataan. CIA tidak akan mau mengirimkannya ke 

negeri ini, karena khawatir jika tidak dilakukan penyelidikan 

dengan benar. Sedangkan kalau dia diadili di sini (Indonesia), 

kemungkinan mafia peradilan akan membebaskannya dari tu-

duhan ini . Bukankah segala hal dapat dibeli di negeri ini? 

Demikian burukkah citra kita di dunia internasional, hingga ha­

rapan seorang tokoh —seperti seorang Wakil Presiden Repub­

lik Indonesia (RI)— disepelekan oleh pihak luar negeri? Tentu 

saja kita tidak akan marah melihat kenyataan ini, karena hal itu 

adalah kesalahan kita sendiri sebagai bangsa, yakni dengan mem­

2 Emha Ainun Nadjib (Jombang, 27 Mei 1953), adalah seorang tokoh 

intelektual Islam di Indonesia yang telah banyak menyusun buku esai dan 

puisinya. Pendidikan formalnya hanya berakhir di semester 1 Fakultas Eko­

nomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Budayawan yang satu ini pernah lima 

tahun hidup menggelandang di Malioboro Yogya antara 1970­1975 saat  bela­

jar sastra kepada guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi 

yang hidupnya misterius dan sangat mempengaruhi perjalanan Emha. Dalam 

karir internasionalnya, ia pernah mengikuti lokakarya teater di Filipina (1980), 

International Writing Program di Universitas Iowa, AS (1984), Festival Penyair 

Internasional di Rotterdam (1984) dan Festival Horizonte III di Berlin Barat, 

Jerman (1985) serta moment internasional lainnya. 

3 Umar Farouq adalah tokoh jaringan teroris internasional Al Qaeda 

untuk Asia Tenggara. Farouq ditangkap di Bogor 5 Juli 2002 dan ditahan di 

penjara Bagram Afghanistan. Namun sejak Juli 2005, ia berhasil kabur dari 

penjara super ketat milik Amerika Serikat itu. 

bEnaRkaH mEREka tERlIbat tERoRIsmE?

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 316 h

biarkan semua hal itu tanpa koreksi.

Lain halnya dengan Robert Gelbard, mantan Duta Besar 

Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia. Ia menyatakan kepada 

pers Australia, bahwa ia kecewa karena telah memberitahukan 

kepada pemerintah RI, ada gerakan­gerakan yang mencurigakan 

di Indonesia. namun  tidak ada upaya sungguh­sungguh yang 

memperhatikan hal ini, dan menangkal kemungkinan terjadinya 

terorisme di negeri ini. Penulis sendiri sebagai Presiden pada 

waktu itu, tidak pernah mendapat peringatan seperti itu secara 

langsung dari Gelbard. Ini berarti ada pihak pemerintahan yang 

menutupi keterangan itu dari pengetahuan penulis.

Hal ini tidak mengherankan dan penulis menyatakan pada 

TV SBS, pada waktu itu —baik Panglima Tentara Nasional Indo­

nesia (TNI) Jenderal Widodo AS maupun Kepala Kepolisian Re­

publik Indonesia (Kapoiri) Jenderal Polisi S. Bimantoro tidak 

mau melaksanakan perintah Presiden. saat  lengser dari kursi 

kepresidenan, penulis menanyakan kepada Mahkamah Agung 

(MA), adakah tindakan kedua orang itu merupakan insubordi-

nasi? Sampai hari inipun, MA tidak pernah menjawab pertanya­

an penulis, yang berarti juga bahwa lembaga itu telah melanggar 

hukum dan undang­undang dasar.

Keterangan Gelbard pada pers Australia ini , menun­

jukkan bahwa dalam tubuh TNI, Polri maupun aparat pemerin­

tahan kita memang terdapat perbedaan pendapat yang tajam. 

Ada pihak yang mencoba menutup­nutupi informasi hingga 

pemerintahan tidak berjalan secara obyektif. Herankah kita, jika 

akhirnya kebijakan pemerintah menjadi sulit dirumuskan? Apa­

lagi kalau Presidennya tidak mau aktif menyusun kebijakannya 

sendiri, melainkan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada 

aparat di bawahnya. Ditambah Presiden berbeda paham dengan 

Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Repub­

lik Indonesia (MPR­RI) dan sebagainya.

Juga, tidak ada kejelasan mengenai sikap yang diambil 

Megawati Soekarnoputri dalam pemerintahannya. Umpama­

nya, mengenai orientasi pejabat di bawahnya. Ia mengangkat 

Bambang Kesowo, seorang etatis (paham serba negara). Dan 

kombinasinya adalah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai 

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI­P) sebelum bulan puasa 

telah memutuskan harus terkumpul uang sebanyak lima trilyun 

rupiah untuk menghadapi Pemilihan Umum 2004 mendatang. 

g 317 h

Dari manakah akan diperoleh dana sejumlah itu? Apakah dari 

BUMN (Badan Usaha Milik Negara)? namun , Megawati juga me­

ngangkat Dorodjatun Kuntjorojakti dan Budiono sebagai Men­

teri Koordinator (Menko) Ekuin dan Menteri Keuangan, —kedua­

nya orang teknokrat yang percaya pada privatisasi/swastanisasi. 

Lalu, kemanakah orientasi ekonomi yang diikuti Megawati? Ti­

dak pernah jelas sampai sekarang, karena ia berdiam diri saja 

tentang pilihan yang diambilnya. Ironis memang!

Penulis tertarik pada ucapan Habib Husein Al­Habsyi4 dari 

Pasuruan, yang menyatakan peristiwa ledakan bom atas Candi 

Borobudur adalah rekayasa Ali Murtopo yang kemudian di dak­

wakan pada dia sebagai pelakunya. saat  TV SBS menanyakan 

hal itu penulis langsung menjawab, Habib ini  adalah pem­

bohong. Mengapa? Karena ia sudah dijatuhi hukuman seumur 

hidup oleh Pengadilan Negeri, dan ia pun di penjara di Lowok 

Waru, Malang. Walaupun melalui seorang perwira tinggi TNI, 

penulis berhasil membebaskan dia dari penjara, tapi apa yang 

didapatkan penulis? Ternyata ia menyatakan di mana­mana bah­

wa penulis tersangkut dengan kasus Bruneigate dan Bulogate, 

di samping hal­hal lain. Itu semua adalah isapan jempol belaka, 

karena sampai hari ini baik melalui pembentukan Pansus DPR 

ataupun jalan lain, penulis tidak pernah terbukti melakukan hal­

hal yang dituduhkan. Bukankah dengan demikian ia menjadi 

pembohong?

Kalau seseorang berbohong tentang sesuatu hal, dapatkah 

keterangannya bisa dipercaya? Karenanya, kita harus hati­hati 

menerima keterangan orang ini , bahwa ada rekayasa Ali 

Murtopo yang membuat Habib ini  mendapatkan hukuman 

seumur hidup. Ini tidak berarti, bahwa penulis pembela Ali Mur­

topo. namun  kita harus berhati­hati dalam menerima keterang­

an orang tentang diri pejabat berbintang tiga (Letjen TNI) itu. 

Hanya dengan sikap obyektif seperti itulah kita dapat memperta­

4  Pada tahun 2000­an Habib Husein Al Habsy mengaku sebagai Presi­

den Al­Ikhwan Al­Muslimun Indonesia. Habib yang berasal dari Malang, Jawa 

Timur, itu, dalam sebuah laporan media dicoret keanggotannya dari perkumpu­

lan Habib Indonesia. Habib Husein, dinilai pengurus perkumpulan itu di Ma­

lang seringkali mencampurbaurkan persoalan agama dan politik. Pernyataan 

pencoretan keanggotaan itu diungkapkan tiga pengurus Habaib Indonesia, ma­

sing­masing Habib Umar, Habib Abdullah Abdurachman Malahesa dan Habib 

Al­Jufri di kantor Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Kota Malang, Jumat.

bEnaRkaH mEREka tERlIbat tERoRIsmE?

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 318 h

hankan integritas pribadi di masa­masa sulit ini. Sebab jika tidak 

kita akan kehilangan obyektifitas atau takut mengemukakannya 

dengan banyak orang tidak akan percaya lagi pada kita.

Itulah kira­kira reaksi/jawaban penulis atas deretan per­

tanyaan yang dikemukakan oleh wartawan TV SBS. Mudah­

mudahan dengan demikian, publik internasional akan mengeta­

hui keadaan sebenarnya di negeri kita, yang terkait dengan hal­

hal yang ditanyakan kepada penulis di lapangan terbang Juanda, 

Surabaya ini dan jawabannya disiarkan malam harinya di Austra­

lia. Namun, tentu akan ada yang bertanya, bijaksanakah hal ini? 

Jawaban penulis terhadap pertanyaan ini  adalah kejujuran 

merupakan kunci pemecahan masalah yang kita hadapi sebagai 

bangsa dewasa ini. Dengan kejujuran inilah kita akan mengatasi 

krisis multidimensional. Ukuran kejujuran inilah yang akan me­

nentukan kualitas kita sebagai bangsa. Kedengarannya sederha­

na tapi sulit dilaksanakan, bukan? h

g 319 h

Laporan dari berbagai pihak, baik intelejen maupun bukan, 

menunjukkan bahwa Abu Bakar Ba’asyir termasuk pimpin-

an Jama’ah Islamiah (JI) di kawasan Asia Tenggara. De­

wan Keamanan (DK) Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) telah 

memasukkan JI (Al-Jama’ah Al-Islamiyah)1 ini  ke dalam 

daftar organisasi terorisme intemasional sebagai perkumpulan 

ke­88. namun  kesimpulan ini  disanggah oleh berbagai ka­

langan, termasuk para pengamat yang menulis sebuah analisis 

tentang keputusan DK­PBB itu. Manakah yang benar antara 

kedua pandangan ini ? Kita perlu berhati­hati, walaupun 

pihak Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Ke­

polisian Negara telah mencapai kesimpulan dan mendukung 

Resolusi DK PBB itu. 

Sekali lagi, manakah yang benar antara kedua pandangan 

ini ? saat  dibacakan laporan dari berbagai pihak —dian­

taranya intelejen dari lima negara, yang menyebutkan bahwa 

Abu Bakar Ba’asyir sebagai teroris, penulis dengan sederhana 

1 Organisasi ini seringkali disandingkan dengan jaringan radikalisme 

internasional yang bernama Al-Qa’idah. Karena secara ideologis kedua organ­

isasi ini merupakan “buah” dari “pohon rindang” pemahaman skripturalistik 

verbalis terhadap teks­teks keagamaan yang dipaksakan untuk melegitimasi 

“violence action” dengan menyeru jihad menebar teror (syann al-gharah) atas 

nama “Allah ” dan atas nama “Agenda Rasul”. Sebagai sebuah organisasi gerak­

an yang tidak dibatasi oleh wilayah teritorial sebuah negara, JI nampaknya 

sudah sangat siap dan rapi dengan sebuah pedoman bertitelkan PUPJI (Pedo­

man Umum Perjuangan Al-Jama’ah Al-Islamiyyah) yang memuat tujuan, tar­

get, dan strategi untuk proyek “Khilafah Establishing” (pembangunan kembali 

khilafah global) sebagai program besarnya.  

Benarkah Ba’asyir teroris?

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 320 h

menerima laporan ini . Penulis pun menganggap Abu Bakar 

Ba’asyir dan kelompok Islam garis keras lainnya sebagai teroris, 

yang dalam sebuah konperensi pers pernah penulis sebut seba­

gai teroris domestik, karena kelakuan mereka yang membawa 

senjata tajam di tempat umum membuat orang lain ketakutan. 

Walaupun ada laporan banyak pihak bahwa Wakil Presiden 

Hamzah Haz mengundang makan siang Ja’far Umar Thalib2 

dan kawan­kawan ke Istana Wapres, dan mereka mengaku bu­

kan teroris. Dari jawaban mereka itu, Hamzah Haz menyatakan 

kepada dua orang Senator Amerika Serikat bahwa di Indonesia 

tidak ada ada teroris. Dan, sehari kemudian terjadilah ledakan 

bom di Bali itu. 

Penulis menyebutkan dalam sebuah kolomnya, bahwa 

Hamzah Haz mencampur­adukan antara Wakil Presiden Repub­

lik Indonesia, sebagai sebuah jabatan pemerintahan, dengan 

fungsinya sebagai Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan 

(PPP). Undangan makan siang kepada orang­orang yang disang­

ka sebagai teroris oleh masyarakat, ke Kantor Wakil Presiden RI, 

seharusnya dilakukannya di luar kantor pemerintahan dan dalam 

kedudukan sebagai Ketua Umum PPP. Karenanya, kita lalu jadi 

serba salah, mempercayai atau tidak keterangan Hamzah Haz 

itu. Keinginannya untuk memperoleh dukungan dari gerakan­

gerakan Islam radikal dalam pemilu yang akan datang, tampak 

sekali dalam tindakan itu, yang jelas sangat kita sayangkan.

eg

Kembali kepada tuduhan Abu Bakar Ba’asyir adalah tero­

ris, kita tetap tidak tahu. Dalam rapat para penanggungjawab 

keamanan di kota Solo hari Minggu malam (27 Oktober 2002), 

diambil keputusan membawa orang itu dari Rumah Sakit PKU 

Muhammadiyah Solo, ke Jakarta. Tentu ini adalah untuk peme­

riksaan/klarifikasi atas persangkaan bahwa ia adalah seorang 

2 Ja’far Umar Thalib adalah seorang tokoh keturunan Arab­Madura 

yang lahir di Malang pada tanggal 29 Desember 1961. Ia adalah pendiri Laskar 

Jihad. Banyak yang menganggap dia teroris namun  banyak pula yang mengang­

gapnya seorang pahlawan pembela kebenaran. Mantan wapres Hamzah Haz 

adalah salah seorang pengagum Ja’far Umar Thalib. Beliau pernah menjenguk 

Ja’far saat  mendekam di sel pada awal tahun 2002 dan mengunjungi pondok 

pesantren milik Ja’far pada masa kampanye Pilpres 2004.

g 321 h

teroris. Kita tidak tahu, apakah pendapat para dokter yang mera­

watnya di rumah sakit ini  selama sembilan hari. Sedangkan 

para pendukungnya, baik dari Pondok Pesantren al­Mukmin, 

Ngruki di kawasan Solo dan lain­lainnya, meminta agar ia diijin­

kan beristirahat di pondok pesantren ini  untuk dua sampai 

tiga hari.

Warga masyarakat seperti kita, tidak mengetahui secara 

lebih mendalam hal­hal yang bersangkutan dengan tokoh terse­

but. Sedangkan selama ini pihak keamanan seringkali menunjuk­

kan sikap berat sebelah dan melanggar asas praduga tak bersalah 

(pressumption of innocent) dalam langkah­langkah mereka, 

karenanya kita juga tidak merasa pas betul untuk percaya begitu 

saja kepada keterangan pihak keamanan. Menurut hemat penu­

lis, sebenarnya harus ada sebuah komisi independen dari ma­

syarakat guna memastikan hal ini. Namun, apa boleh buat kita 

harus percaya kepada aparat keamanan dengan harapan semoga 

hal itu diberikan dengan jujur dan apa adanya.

Kita mengharapkan adanya kata pasti dalam kasus ini, 

yang hanya dapat diperoleh kalau ada kejujuran. Sementara itu, 

langkah­langkah memerangi terorisme domestik maupun inter­

nasional, harus tetap dilanjutkan. Dengan demikian, kredibilitas 

kita dapat segara dipulihkan walaupun kata “segera” bagi pihak­

pihak yang berbeda, memiliki arti yang berlainan. Keputusan 

kelompok yang dipimpin oleh Menko Kesra Jusuf Kalla yang 

telah menganggap ringan akibat pemboman di Bali atas arus 

datangnya para wisatawan ke pulau ini , tampak gegabah 

alias terlalu optimis. Sikap inilah yang penulis harapkan tidak 

dilakukan oleh pihak keamanan dalam memeriksa keterlibatan 

Abu Bakar Ba’asyir dalam tindakan-tindakan terorisme.

eg

Alasan satu­satunya bagi kaum muslimin untuk melaku­

kan tindakan kekerasan adalah, “jika mereka di usir dari tempat 

tinggal mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim),” sehingga tidak 

ada alasan lain untuk melakukan tindak terorisme terhadap para 

turis asing, yang justru datang untuk membawakan usaha per­

dagangan bagi masyarakat yang didatangi. Kalaupun mereka 

melakukan pelanggaran atas ketentuan­ketentuan syariah Is­

lamiyah, merekapun tidak terkena sanksi pidana Islam, karena 

BenArkAh BA’ASyir terOriS?

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 322 h

mereka bukan orang yang terkena (mukallaf) hukum Islam. Ini 

adalah ketentuan Islam, dan berlaku hanya bagi kaum muslimin 

saja, dan tidak berlaku bagi orang­orang beragama lain. 

Karena itulah, penulis menjadi pengikut Mahatma Gandhi,3 

walaupun penulis adalah seorang Muslim. Mengapa? Bukankah 

tidak layak bagi seorang Muslim untuk menjadi pengikut siapa 

pun selain Nabi Muhammad Saw? Jawabannya sederhana saja, 

yaitu untuk memudahkan penulis sendiri. Memang penolakan 

terhadap kekerasan, telah ada dalam ajaran Islam kalau kita sung­

guh­sungguh menggalinya. Prinsip yang dikemukakan penulis di 

atas, jelas merupakan penolakan Islam terhadap tindak kekeras­

an. Tapi dengan melakukan identifikasi terhadap ajaran Gandhi, 

penulis langsung menjadi teman seiring pula bagi ratusan juta 

pengikut Gandhi, yang tersebar di seluruh dunia. Inilah maksud 

penulis dengan menjadi pengikut Gandhi, bukannya karena pe­

nulis menganggap ia memiliki ajaran lebih baik dari pada ajaran 

Islam, tapi penulis hanya ingin melakukan kerja sama dengan 

ratusan juta pengikutnya, sehingga penulis dalam memperjuang­

kan cita­cita Islam dibantu oleh orang­orang lain. 

Kuncinya, bagaimana memperjuangkan cita­cita Islam, 

dengan mencari persamaan dengan paham­paham lain di dunia 

tanpa menentang dan berbeda dari cita­cita Islam sendiri. Prin­

sip ini yang harus dipahami oleh para pejuang Islam, jika ingin 

beriringan dengan perjuangan­perjuangan yang lain. Yang harus 

ditakuti adalah ketakutan itu sendiri, kata Franklin D. Roosevelt. 

Karena itu para pejuang Islam tidak boleh takut beriringan dan 

bergandengan tangan dengan pejuang lain. Sederhana saja, bu­

kan? h

3 Nama lengkapnya adalah Mohandas Karamchand Gandhi (1869­ 

1948) yang sering dikenal dengan Mahatma Gandhi (bahasa Sansekerta: “jiwa 

agung”) adalah seorang pemimpin spiritual dan politikus dari India. Gandhi 

adalah salah seorang yang paling penting yang terlibat dalam pergerakan un­

tuk kemerdekaan India. Prinsip Gandhi, satyagraha, sering diterjemahkan se­

bagai “jalan yang benar” atau “jalan menuju kebenaran”, telah menginspirasi 

berbagai generasi aktivis­aktivis demokrasi dan anti­rasisme seperti Martin 

Luther King, Jr. dan Nelson Mandela. Gandhi sering mengatakan kalau nilai­

nilai ajarannya sangat sederhana, yang berdasarkan kepercayaan Hindu tradi­

sional: kebenaran (satya), non­kekerasan (ahimsa) dan  tidak tergantung pada 

siapa pun (swadesi).

g 323 h

Pada saat tulisan ini dibuat, terjadi perbedaan pendapat 

tajam mengenai pelaku kasus peledakan bom di Bali. 

Adakah itu ulah Abu Bakar Ba’asyir atau tidak. Yang ter­

libat perbedaan ini adalah para pejabat pemerintah melawan 

“orang luar” seperti Emha Ainun Nadjib dan Dr. Adnan Buyung 

Nasution, SH.1 Pemerintah beralasan penangkapan Abu Bakar 

Ba’asyir, adalah usaha mencari bukti hukum, adakah orang itu 

terlibat dengan peledakan bom ini  atau tidak? Karena itu­

lah, Abu Bakar Ba’asyir diambil dari Rumah Sakit PKU di Solo, 

dan dipindahkan ke Rumah Sakit Polri di Kramat Jati, Jakarta. 

Diharapkan dengan demikian, penyelidikan dapat segera dimu­

lai oleh aparat kepolisian, dengan harapan persoalannya akan 

segera diketahui dan orang itu akan dibawa ke pengadilan kalau 

ada bukti ia bersalah.

Di Australia, hari minggu 20 Oktober 2002 menjadi hari 

berduka. Gereja­gereja dan tempat­tempat beribadah lainnya 

melakukan kebaktian duka bagi para korban peledakan bom 

di Bali itu. Semenjak Perang Dunia II lebih dari 50 tahun yang 

lalu, jumlah orang Australia yang meninggal dunia akibat tin­

dak kekerasan belum pernah sebesar itu, karena itu dapat di­

mengerti kemarahan orang­orang Australia yang menuntut 

segera dibuktikannya para pelaku peledakan bom di Bali terse­

but. Dapat dimengerti, walaupun juga harus disesalkan tindakan 

1 Adnan Buyung Nasution, lahir di Jakarta 20 Juli 1934 adalah man­

tan Jaksa yang menjadi advokat handal. Pernah menjadi anggota DPR/MPR 

tapi direcall. Ia membentuk Lembaga Bantuan Hukum Jakarta yang kemudian 

menjadi YLBHI dan dikenal sebagai lokomotif demokrasi.

sikap yang Benar dalam kasus Bali

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 324 h

pengerusakan masjid oleh sementara orang yang marah di benua 

Kangguru itu. Juga dapat dimengerti pengiriman para penyelidik 

Australia dan Amerika Serikat untuk mengetahui para pelaku ka­

sus itu, karena hilangnya kepercayaan, apakah benar pemerintah 

Indonesia akan menyelidiki secara tuntas kasus ini .

Kecenderungan menyalahkan Abu Bakar Ba’asyir dan ka-

wan­kawannya dari “gerakan Islam garis keras”, dilawan oleh 

sementara kalangan dalam negeri sendiri. Emha Ainun Nad­

jib menyatakan di Radio Ramako, Jakarta, bahwa Abu Bakar 

Ba’asyir tidak akan melakukan hal itu. Walaupun ia menyesalkan 

sikap Abu Bakar Ba’asyir yang tidak kooperatif dengan siapapun 

dalam hal ini. namun , Abu Bakar Ba’asyir telah siap menerima 

akibat sikap non­kooperatifnya. Menurut Emha Ainun Nadjib, 

Ba’asyir termasuk menjadi “martir-syahid” bagi agama Islam. 

Dr. Adnan Buyung Nasution SH menyatakan di media massa, 

adanya anggapan dari luar negeri, bahwa Abu Bakar Ba’asyir 

menjadi aktor intelektual kejadian pengeboman ini , karena 

itu ia bersedia menjadi pembela tokoh ini . Benarkah sikap 

itu? Tidak, kalau ia berpendapat Abu Bakar Ba’asyir tidak ber-

salah. Proses pengadilanlah yang akan membuktikan hal itu be­

nar atau tidaknya. Bukan karena tokoh seperti dirinya, dan juga 

bukan karena hakim yang kita belum tahu termasuk mafia peng-

adilan atau tidak.

Karena kita mudah menjadi partisan, lalu dalam perbe­

daan pendapat yang terjadi kita jadi mudah memihak kepada 

pendirian yang kita anut. Juga dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir 

ini, yang jika disarikan berbunyi: “Benarkah ia terlibat dengan 

kejadian peledakan bom di Bali itu?” “Tidakkah ia menjadi kor­

ban baru konspirasi asing/komplotan untuk memburukkan nama 

Indonesia dan Islam?” Inilah yang harus diperiksa dengan teliti, 

dan sebuah jawaban yang salah akan berakibat buruk bagi In­

donesia, maupun pihak­pihak asing itu. Kejadian ini mengingat­

kan kita pada sikap Senator Robert A. Taft2 dari negeri bagian 

Ohio, Amerika Serikat. Ia dalam tahun 1948 mengajukan kritik 

atas pengadilan terhadap diri para pemimpin Nazi di Jerman, 

dan menghukum mati mereka di tiang gantungan. Menurut Taft, 

tindakan itu melanggar Undang­undang Dasar Amerika Serikat. 

2 Senator dari Partai Republik ini bernama lengkap Robert Alphonso 

Taft, anak dari Presiden AS ke­27 William H. Taft.

g 325 h

Dan untuk sikapnya membela kebenaran itu, ia kehilangan pen­

calonan untuk menjadi Presiden Amerika Serikat. 

Dalam kasus pengeboman di Bali itu, sikap Emha Ainun 

Nadjib dan Dr. Adnan Buyung Nasution SH itu jelas menimbul­

kan keberpihakan kepada Abu Bakar Ba’asyir. Dari situ muncul 

penilaian, sikap mereka itu memiliki landasan empirik dan se­

mangat orang-orang asing yang menggangap Ba’asyir terlibat 

dalam kasus ini, tidak memiliki landasan empirik. Tentu saja kita 

tidak boleh gegabah menyimpulkan demikian, karena kita adalah 

negara besar dan memiliki Undang­Undang Dasar (UUD), yang 

dalam pembukaan UUD disebutkan untuk mendirikan negara 

yang adil dan makmur. Kalau kita menyimpang dari hal itu, ber­

arti kita tidak setia kepada UUD itu, yang kita buat sendiri dan 

seharusnya kita pertahankan habis­habisan.

namun , sikap sama tengah seperti ini, memang tidak popu­

ler. Lebih mudah untuk mengikuti salah satu dari dua pendapat 

ini : “Abu Bakar Ba’asyir memang terlibat dengan kasus 

pengeboman di atas, atau sebaliknya, ia tidak bersalah sama 

sekali.” Sikap tidak populer ini jarang diambil orang, karena me­

nampilkan pendapat pertama maupun pendapat kedua, namun  

harus kita ambil, kalau kita cinta kepada undang­undang sendiri. 

Penilaian dini, baik yang pro dan kontra, mengenai keterlibatan 

Abu Bakar Ba’asyir dalam kasus peledakan bom di Denpasar itu, 

sama artinya dengan mengkhianati UUD kita sendiri. Karena­

nya, mau tidak mau kita harus mengambil tindakan berdasarkan 

hukum yang tuntas tentang hal itu. Sikap lain kita tidak terima, 

karena kita sudah terlalu lama menderita akibat penyimpangan­

penyimpangan serius atas UUD kita sendiri.

Emha Ainun Nadjib, dalam wawancara Radio Ramako, me­

nyatakan bahwa Umar Farouq yang kini ditahan CIA di Amerika 

Serikat adalah pria kelahiran Ambon dan dengan demikian se­

orang warga negara asli Indonesia. Dengan demikian, pengakuan 

bahwa Abu Bakar Ba’asyir adalah bagian dari jaringan internasio-

nal Al­Qaeda, tidak dapat diterima. Ini tentu saja bertentangan 

dengan versi pihak Amerika Serikat yang menyatakan bahwa 

Umar Farouq adalah pria Kuwait yang beroperasi dan kawin lagi 

di Tanah Air kita. Salah seorang anak buahnya adalah Abu Bakar 

Ba’asyir. Manakah di antara dua versi itu yang dapat diterima? 

Tentu saja hanya kenyataan empirik mengenai Umar Farouq itu 

yang dapat dibenarkan. Berarti, harus ada orang dari pihak ke­

sIkaP yanG bEnaR dalam kasus balI

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 326 h

tiga untuk memberikan kesaksian tentang mana yang benar dari 

kedua versi di atas.

Karena itu, penulis mengusulkan agar dibentuk sebuah ko­

misi independen yang harus meneliti kenyataan empirik menge­

nai Umar Farouq itu. Orang Ambon, bagaimanapun juga tentu 

berbeda dari orang kelahiran Kuwait, sehingga dengan pertemu­

an langsung, antara satu­dua orang anggota komisi independen 

itu dengan Umar Farouq, akan memungkinkan mereka mene­

tapkan adakah pria ini  memang orang Ambon atau orang 

Kuwait. Kalau ia ternyata orang kelahiran Ambon berarti peng­

akuannya akan Abu Bakar Ba’asyir seorang teroris internasional 

otomatis gugur, dan ia haruslah dihukum karena menuduh de­

ngan cara fitnah, seorang warga negara Indonesia bernama Abu 

Bakar Ba’asyir. Kalau yang terjadi justru sebaliknya, pengakuan 

Umar Farouq mempunyai nilai yang sangat tinggi, dan peme­

riksaan lebih mendalam harus dilanjutkan, atau klaim bahwa 

Ba’asyir tidak berdosa harus diragukan.

Demikianlah, usul jalan tengah dari penulis melalui tu­

lisan ini, yang sangat berbeda dari apa yang dikemukakan Emha 

Ainun Nadjib, Dr. Adnan Buyung Nasution dan Wakil Presiden 

Hamzah Haz. Mereka melihat masalahnya dari sudut pro dan 

kontra sehingga mereka lupa akan perlunya verifikasi empirik, 

yaitu dengan membentuk sebuah komisi independen. Usul pem­

bentukan komisi ini  semata­mata didasarkan pada obyek­

tifitas sikap dan pandangan, sehingga memiliki kredibilitas yang 

cukup tinggi. Obyektifitas ini sangat diperlukan untuk menilai 

sikap dan pandangan kita dalam menentukan secara hukum for­

mal, mana yang benar antara dua versi yang bertentangan menge­

nai sebuah kejadian. h

g 327 h

Pepatah di atas sudah sangat terkenal dalam bahasa kita, 

karena demikian banyak ia dilakukan dalam praktek ke­

hidupan. Maksudnya adalah, kita sama­sama mempunyai 

rambut, namun  pemikiran tetap berbeda. Jadi dalam ajaran Is­

lam, satu ke lain orangpun terdapat pluralitas/kemajemukan 

pendapat, ini diterima sebagai prinsip pengaturan hidup berma­

syarakat: “Perbedaan para pemimpin adalah rahmat bagi umat 

(ikhtilâf al-a‘immah rahmat al-ummah).” Prinsip ini sangat di­

pegang teguh dalam kehidupan kaum muslimin, sehingga  perbe­

daan pandangan dilihat sebagai sesuatu yang wajar­wajar saja. 

Kaum muslimin hanya dapat dipersatukan dalam masalah­ma­

salah dasar belaka, seperti keharusan adanya keadilan dan seba­

gainya.

Keluarga penulis sendiri merupakan contoh yang tepat akan 

pluralitas pandangan. Penulis sendiri menjadi Ketua Umum De­

wan Syura DPP PKB, adik penulis menjadi ketua umum organi­

sasi kaum ibu Al­Hidayah (yang oleh sementara orang dianggap 

mendukung Partai Golkar), dan adik penulis mengikuti sebuah 

partai politik sempalan (serta sekarang menjadi Wakil Ketua Tan­

fidziyah PBNU). Tiga orang yang lain tidak mau memasuki parpol 

ataupun organisasi non­profesional. Ada semacam kesepakatan 

antara penulis dan adik­adiknya, kami berenam tidak akan mem­

bicarakan aspirasi, partai politik atau organisasi apapun. Dengan 

demikian terhindarlah kami dari perdebatan pendapat, yang bia­

sanya berjalan cukup tajam.

eg

kepala sama Berbulu, 

Pendapat Berlain-lain

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 328 h

Habib Rizieq, pendiri dan pemimpin Front Pembela Islam 

(FPI)1 ditangkap oleh Polda Metro Jaya. Dalam pandangannya, 

proses penangkapan itu tidak berjalan sesuai prosedur yang di­

tetapkan oleh undang­undang, karenanya menjadi cacat hukum 

dan ilegal. saat  protesnya itu tidak didengarkan oleh aparat 

keamanan, ia pun meminta para pengacaranya untuk mengaju­

kan gugatan kepada pengadilan. Karena gugatannya itu, maka 

Polda Metro Jaya segera mengirimkan utusan untuk berunding. 

Hasil perundingan itu seperti tersirat dalam pemberitaan media 

massa, akhirnya membuahkan sebuah cara penyelesaian yang 

unik: Rizieq mencabut tuntutannya dari pengadilan, namun  oleh 

pihak kepolisian ia diberi status yang lebih ringan yaitu dirubah 

dari tahanan Polda Metro Jaya menjadi tahanan rumah (house 

arrest). 

Kejadian itu menunjukan sesuatu yang sangat menarik, 

yaitu bahwa Habib Rizieq masih menggangap kepolisian sebagai 

penyelenggara keamanan dan pemeriksa hukum dalam negeri 

yang memiliki wewenang memeriksa dirinya. Ini berarti, ia ma­

sih mengakui sistem hukum yang berlaku di negeri kita, dengan 

demikian ia mengakui wujud negara yang ada, yang oleh semen­

tara kalangan disebut sebagai Negara Kesatuan Republik Indo­

nesia. Jadi, apapun yang ia lakukan, masih dalam kerangka yang 

ditetapkan oleh Undang­undang Dasar 1945. Dengan demikian, 

ia tidak menyimpang dari pengakuan akan adanya negara In­

donesia, juga kepada sistem hukumnya. Berarti, ia tetap berada 

dalam kerangka legal yang ada, dan dilindungi oleh kerangka 

ini .

Dengan demikian, Habib Rizieq melindungi dirinya se­

cara legal, betapa jauhnya sekalipun pandangan yang dianut­

nya dari pandangan lembaga kenegaraan dan lembaga hukum 

yang ada. Dengan demikian, ia menjaga dirinya dari tindakan 

1  FPI (Front Pembela Islam) berkembang subur sejak masa pemerintah­

an Presiden Habibie. Pada 6 November 2002, Habib Rizieq selaku pimpinan 

FPI membekukan kegiatan FPI di seluruh Indonesia untuk waktu yang tidak 

ditentukan. namun , menjelang invasi Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak 

pada Maret 2003, FPI kembali muncul dan melakukan pendaftaran mujahidin 

untuk membantu Irak melawan agresornya. Hingga saat ini, organsiasi yang 

memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Islam (LPI), masih 

sering melakukan aksi-aksinya dalam rangka ‘membela Islam’. Sejak tanggal 17 

Agustus 1998, organisasi ini dipimpin oleh Habib Muhammad Rizieq Syihab.

g 329 h

apapun yang tidak sesuai dengan Undang­undang Dasar 1945. 

Boleh jadi ia melanggar hukum, namun  justru hukum itulah yang 

melindunginya dari tindakan apapun oleh negara atas dirinya. 

Secara teoritis ia terlindung dari tindakan yang tidak berdasar­

kan hukum, siapapun yang melakukannya. Dengan kata lain, 

ia memiliki hak asasinya sebagai manusia, yang sekaligus diper­

olehnya dari kedudukan sebagai warga negara sebuah bangsa 

yang berdaulat.

Prinsip inilah yang paling penting untuk dipegang oleh se­

seorang dalam negara ini, yang katanya memiliki kedaulatan hu­

kum. Pasal­pasal dalam undang­undang dasar­lah yang memberi­

kan perlindungan hukum ini , yang membedakannya dari 

subyek politik. Sebagai seorang penduduk biasa, Habib Rizieq 

memperoleh perlindungan politik dari tindakan apapun,  walau­

pun secara politik pula ia sering menganggu hak­hak warga nega­

ra yang lain, seperti saat  ia memerintahkan sweeping. Tindak­

an untuk mengatasi hal itu adalah tindakan hukum, yang dapat 

dikenakan atas dirinya. Namun, ia juga memperoleh perlindung­

an hukum, untuk tidak terkena tindakan hukum lebih jauh dari 

itu. Prinsip inilah yang melindungi sekaligus mengekang lang­

kah­langkahnya, agar tidak melanggar hukum dan merugikan 

orang lain. Namun, perlindungan hukum itu juga mencegahnya 

dari tindakan politik yang tentu merugikan dirinya. Dengan kata 

lain ia harus bergerak dalam koridor hukum yang berlaku di 

negeri ini.

eg

Lain halnya dengan Abu Bakar Ba’asyir, yang sejauh ini me-

nolak memberikan keterangan kepada pihak kepolisian, terlepas 

dari kenyataan pihak kepolisian “mengambilnya” dari Rumah 

Sakit PKU Muhammadiyah di Solo dengan prosedur yang salah 

dan tidak memenuhi ketentuan hukum. Namun, pe nolakannya 

untuk memberikan keterangan hukum, menempatkan tokoh 

ini dalam kedudukan yang tidak sama dengan Habib Rizieq. Ini 

tentu akan membawakan konsekuensi­konsekuensinya sendiri. 

Dengan demikian menjadi nyata, dua orang yang dalam status 

hukum berkedudukan sama, ternyata dapat mengalami per­

lakuan yang sangat berbeda satu dari yang lain. Benarlah kata 

pepatah di atas, “kepala orang sama­sama berbulu pendapat ber­

kEPala sama bERbulu PEndaPat laIn-laIn

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 330 h

lain lain” artinya sama­sama memiliki rambut, tapi pemikiran 

dapat berbeda.

Dengan menolak memberikan keterangan hukum, untuk 

kepentingan pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Abu 

Bakar Ba’asyir menempatkan diri di luar wewenang hukum. De-

ngan demikian, ia menjadi orang yang tidak menganggap negara 

dan hukum memiliki wujud/eksistensi. Dan sudah tentu juga ia 

tidak dapat bersikap terus demikian, karena negara harus meng­

hadirkan adanya dua buah eksistensi yang berlainan: wujud ne­

gara di satu sisi, dan keadilan atas tokoh ini  di sisi lain. 

Negara memiliki hak hukum untuk menganggapnya sebagai pem­

berontak yang melanggar Undang­Undang Dasar, dan dengan 

demikian dapat memilih salah satu dari dua alternatif berikut: 

mengusir atau menghukum mati tokoh ini . Ini adalah kon­

sekuensi logis dan legal dari tindakan yang dilakukannya sendiri 

dan Islam­pun dapat membenarkan hal ini .

Ketegasan pihak pemerintah diperlukan, dalam hal ini un­

tuk mencegah anarkhi hukum. Ini juga pernah terjadi di masa 

pemerintahan Bung Karno dan Panglima Besar Soedirman2 seba­

gai panglima angkatan perangnya, yang memerintahkan Sekar­

madji Kartosuwiryo3 untuk mendirikan DI/TII (Darul Islam/

Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. Dasar perintah itu ada­

lah ketentuan Perjanjian Renville, bahwa TNI harus ditarik dari 

kawasan ini  ke Jawa Tengah. Untuk menghindarkan vacu-

um di kawasan itu, yang akan dimanfaatkan oleh pasukan­pasu­

kan Belanda, maka dibentuklah DI/TII, sudah tentu perintah itu 

diketahui oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara. 

Namun, Sekarmadji Kartosuwiryo terus menggunakan 

DI/TII untuk membunuh rakyat, melakukan pembakaran dan 

merampok setelah kemerdekaan tercapai dan penyerahan kedau­

latan berlangsung. Pemberontakan dan pemerintah menumpas 

pemberontakan itu berakhir tahun 1962. Di saat itu, Presiden 

Soekarno yang juga menjadi kepala pemerintahan, memerin­

2 Jendral Soedirman (1916­1950) adalah seorang pahlawan Indonesia 

yang berjuang pada masa upaya kemerdekaan Republik Indonesia. Beliau di­

makamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta

3 Nama lengkapnya adalah Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Tokoh 

yang telah memaklumatkan berdirinya Negara Islam Indonesia 7 Agustus 1949 

dan membuat gerakan Darul Islam (DI) merupakan aktor yang paling bertang­

gung jawab dalam peristiwa memanasnya Jawa Barat dari tahun 1948­1962. 

g 331 h

tahkan Sekarmadji Kartosuwiryo diadili oleh Mahkamah Militer 

yang kemudian menjatuhkan hukuman mati, atas diri tokoh dan 

teman dekat Bung Karno itu. Bung Karno tidak memberikan gra­

si/pengampunan kepadanya, karena Kartosuwiryo telah meme­

rintahkan pembunuhan rakyat dan perampokan. Bung Karno 

bahkan memerintahkan pelaksanaan hukum mati atas diri tokoh 

itu, dan menghilangkan jejak penguburannya di Kepulauan Seri­

bu. Persoalannya tidak rumit kalau kita memiliki keberanian, 

bukan? h

kEPala sama bERbulu PEndaPat laIn-laIn

g 332 h

Dr. Djohan Effendi menulis dalam sebuah harian nasio­

nal, bahwa baik Abdullah Sungkar maupun Abu Bakar 

Ba’asyir dilaporkan sebagai pendiri gerakan Jama’ah Is-

lamiyah, baik di Malaysia maupun Singapura. Organisasi inilah 

yang oleh intelijen Amerika Serikat (AS) maupun Australia, di­

anggap sebagai gerakan teroris internasional. Bahkan, oleh pihak 

intelijen Malaysia dan Singapura, organisasi itu dilaporkan telah 

merencanakan tindak kekerasan di kedua negara ini . Pers 

internasional menyebutkan, baik Sungkar maupun Ba’asyir, seba-

gai pemimpin spiritual organisasi ini . Benarkah organisasi 

itu merupakan persambungan gerakan teroris Al­Qaeda1 seperti 

yang disangkakan AS, yang berpangkalan di Afghanistan di masa 

pra­pemboman atas AS? Sejarahlah yang akan menjawab perta­

nyaan itu, setelah pemeriksaan teliti selama bertahun­tahun.

Tulisan Dr. Djohan Effendi itu segera dijawab dalam hari­

an yang sama, oleh Fauzan Al­Anshori, Ketua Departemen Data 

dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia (MII), beberapa hari 

1 Al­Qaeda adalah sebuah organisasi yang semakin dikenal pasca serang­

an 11 September 2001. CIA menuduh al­Qaeda sebagai otak dibalik serangan 

terhadap WTC dan Pentagon. Al­Qaeda sebenarnya adalah nama file untuk 

menunjukkan daftar anggota­anggota Mujahidin yang berjihad menentang 

penjajahan Rusia di Afghanistan, di dalamnya Osama bin Laden dikenal seba­

gai pimpinannya. Ia adalah anak didik CIA untuk proyek menentang Rusia di 

Afghanistan. namun  kini, senjata telah makan tuan, Osama bin Laden pula yang 

membenci Amerika Serikat. Ini terjadi, oleh karena al­Qaeda telah menyeret 

konflik “trading oil pipelines” ke wilayah paling suci yang bernama “Agama” 

dengan menegaskan fatwa “Killing Americans civilian and military any where 

and any time”, sebagai sebuah kewajiban setiap muslim dengan level “fardlu 

ain”. 

tak Cukup dengan Penamaan

g 333 h

kemudian. Namun, jawaban itu tidak menyangkal keterangan 

Dr. Djohan Effendi akan kebenaran ungkapan, maupun penye­

butan oleh pers internasional bahwa Abdullah Sungkar dan Abu 

Bakar Ba’asyir sebagai pemimpin spiritual Jamaah Islamiyah. 

Yang dilakukan Fauzan Al­Anshori dalam jawaban tertulis itu, 

hanya ‘mengungkit’ penamaan Dr. Djohan Effendi selaku salah 

seorang yang disebutnya sebagai pemikir kaum Muslim neo­

modernis. Kelompok terakhir ini disebut­sebut dalam disertasi 

Greg Barton2 dari Deakin University, Australia, sebagai pihak 

yang meneliti dan menggunakan warisan budaya Islam lama un­

tuk menafsirkan secara kontemporer tempat Islam dalam kebu­

dayaan modern.

Greg Barton menyebutkan, Dr. Djohan Effendi, Dr. Nur­

cholish Madjid, almarhum Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan 

diri penulis sendiri, sebagai pemuka pendekatan neo­modernis 

itu. Orang boleh saja suka atau tidak suka terhadap kelompok 

pemikir ini , bahkan juga dapat menerima atau menolaknya 

sebagai cara berpikir yang absah dalam Islam. namun  faktanya, 

pemikiran dan kelompok pemikir seperti itu memang ada dalam 

dunia Islam, jadi tidak dapat ditolak secara empirik. Demikian 

pula, reaksi atasnya adalah sesuatu yang wajar­wajar saja, seper­

ti yang diperlihatkan oleh tokoh gerakan Majelis Mujahidin yang 

membuat jawaban tertulis atas pendapat Dr. Djohan Effendi itu.

eg

Lagi­lagi terbukti adanya pendapat yang berbeda dalam ge­

rakan Islam mengenai sesuatu. Tidakkah ini menunjukkan perbe­

daan antara mereka di saat­saat yang sangat menentukan seperti 

di masa kini, sebagai sesuatu dianggap penting.? Jawabannya, 

persoalan itu tergantung dari sikap kaum muslimin sendiri. Seba­

gaimana kita ketahui, kaum muslimin dapat dibagi dua, dalam 

pendekatan mereka kepada perubahan­perubahan sosial yang 

terjadi. Di satu pihak, ada kaum muslimin yang merasakan tidak 

ada keharusan bergabung dalam gerakan­gerakan Islam terse­

2 Disertasi itu berjudul “The Emergence of Neo-Modernism; a Progres-

sive, Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia: A Textual study Ex-

amining the writings of Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib 

and Abdurrahman Wahid 1968-1980”

tak cukuP dEnGan PEnamaan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 334 h

but. Di lain pihak, ada pengikut gerakan­gerakan Islam modernis 

dan tradisional, dan di samping mereka yang mengikuti strategi 

budaya atau strategi ideologis. Inilah yang senantiasa harus di­

ingat, kalau kita berbicara tentang Islam Indonesia saat ini.

Seringkali, orang berbicara tentang Islam tanpa memper­

hatikan kenyataan ini , terjadilah klaim yang sangat berani, 

bahwa orang yang mengemukakan pendapat ini  berbicara 

atas nama Islam secara keseluruhan. Padahal, ia sebenarnya ha­

nya berbicara atas nama kelompok atau pemikirannya sendiri 

yang dalam bahasa teori hukum Islam (ushûl fiqh) disebutkan 

sebagai langkah menyebutkan hal­hal umum, dan dimaksudkan 

untuk hal­hal khusus (ithlâqu al-‘âm wa yurâdu bihi al-khâs). 

Di sini, terjadi perpindahan dari seorang pengamat yang seha­

rusnya bersikap obyektif, menjadi seorang aktivis perjuangan 

yang sering bersikap subyektif.

Selama kaum muslimin belum dapat menghilangkan klaim­

klaim ini  di atas, selalu akan terjadi kerancuan berpikir, apa­

lagi kalau hal itu disampaikan melalui media massa. Pantaslah ka­

lau kaum muslimin pada umumnya dibuat kebingungan, mung­

kin termasuk oleh penulis sendiri. Ini karena posisi penulis, yang 

sering dikacaukan (dan juga mengacaukan) antara peranan seba­

gai pengamat atau berperan sebagai aktivis perjuangan gerakan 

Islam. Lima belas tahun penulis menjadi Ketua Umum Pengurus 

Besar Nahdlatul Ulama (PB NU), dan sekarang pun masih men­

jadi Mustasyar (penasehat­nya). Warga Nahdlatul Ulama (NU) 

saja sering kebingungan akan hal itu, apalagi orang lain.

eg

Menggunakan pendekatan ilmiah atau tidak subyektif ada­

lah persyaratan mutlak bagi sebuah pandangan/pendapat yang 

baik. Emosi tidak boleh digunakan, walaupun kita berada dalam 

keadaan sesulit apapun dan  terjepit/tersudut. Argumentasi yang 

baik harus kering dari emosi untuk mencapai obyektivitas yang 

dimaksudkan. Kalau ini tidak diperhatikan, maka pendapat itu 

dianggap sebagai sesuatu yang memalukan dan tidak diterima 

sebagai sesuatu yang rasional oleh publik. Salah­salah, pandang­

an atau pendapat subyektif dan penuh emosi seperti itu akan 

ditertawakan oleh masyarakat, dianggap sebagai lelucon yang 

tidak lucu.

g 335 h

Demikian pula, sanggahan saudara Fauzan atas keterang­

an Dr. Djohan Effendi itu, yang hanya berisi “tudingan“ bahwa 

Dr. Djohan Effendi adalah anggota kelompok kaum neo­mo­

dernis Islam di negeri kita. Kalau Dr. Djohan Effendi menggu­

nakan rekaman atas keterangan Abdullah Sungkar dan Abu 

Bakar Ba’asyir, mengenai peranan mereka dalam pembentukan 

Jamaah Islamiyah, sehingga berani mengambil kesimpulan yang 

dikemukakannya, sanggahan saudara Fauzan justru tidaklah 

demikian. Yang dilakukan, hanyalah ‘penamaan’ terhadap Dr. 

Djohan Effendi sebagai anggota kelompok neo­modernis Islam 

di negeri kita. Tentu orang bertanya, manakah obyektivitas sang­

gahan ini ? Ternyata, yang dilakukan hanyalah penamaan 

belaka, tanpa memberikan argumentasi apa­apa. Tidakkah lang­

kah ini justru akan ditertawakan? Tentu saja hal itu akan dilaku­

kan penulis, jika tidak menyangkut sesuatu yang sangat penting 

bagi kita bangsa Indonesia, seperti tragedi terorisme.

Dari kritikan di atas, menjadi jelas bahwa sanggahan ter­

sebut sangat memalukan, karena tidak disertai argumentasi apa­

pun. Bahwa keterlibatan Dr. Djohan Effendi dalam kelompok 

neo­modernis Islam di Tanah Air kita adalah informasi yang 

benar. Dr. Djohan Effendi, dan juga penulis, tidak perlu merasa 

malu dengan penamaan itu. Selama kita menghormati dan ber­

sikap benar terhadap sebuah fakta, selama itu pula kita tidak 

perlu merasa malu atau takut kepada siapapun. Sedangkan sang­

gahan terhadap sikap itu, kalau hendak dibantah atau ditolak, 

hendaknya berdasarkan argumentasi yang kuat dan rasional. Bu­

kannya dengan penamaan belaka bahwa si fulan anggota kelom­

pok ini atau warga kalangan itu. h

tak cukuP dEnGan PEnamaan

g 336 h

Dalam keterangannya yang dimuat Far Eastern Economic 

Review (FEER) edisi 12 Desember 2002, Menteri Senior 

Singapura Lee Kuan Yew, menyatakan dia bertanya ke­

pada orang­orang Muslim gerakan radikal dari Asia Tenggara. 

Pertanyaannya, apa sebab mereka mengubah citra moderat kaum 

Muslimin di Asia Tenggara menjadi radikalisme berlebihan? Bagi 

penulis, pendapat Lee Kuan Yew tidak dapat diperhitungkan da­

lam pandangannya mengenai Islam di Indonesia. Karena itu dia 

mengajukan pertanyaan yang salah, seperti yang diajukannya 

kepada gerakan Islam radikal: Mengapakah Anda membuat cit­

ra Islam di Asia Tenggara menjadi begitu buruk dengan mele­

dakkan bom? Sedangkan tadinya citra agama Islam di kawasan 

ini begitu moderat? Mengapa penulis menganggap pertanyaan 

itu salah, dan karena itu menilainya naif? Bukankah ini sebuah 

“tuduhan berat” terhadap seorang pengamat sekaliber Lee yang 

kawakan menguasai dunia perpolitikan di Singapura?

Tentu saja penulis mempunyai dasar yang cukup bagi “tu­

duhannya” itu. Pertama, karena hal itu di kemukakan oleh tokoh 

ini , dengan sendirinya didengarkan oleh banyak pihak, ter­

utama pengambil keputusan di Barat. Karena itu, kalau memang 

benar pernyataan Lee Kuan Yew itu salah atau naif, maka harus 

segera dikoreksi. Koreksi itu harus segera dilakukan sebelum 

pernyataan itu disimpulkan sebagai “kebenaran” oleh para peng­

ambil keputusan di Barat. Demikian juga sebelum “kebenaran” 

ini  dipakai sebagai landasan berpikir oleh para pengamat 

di seluruh dunia.

memandang masalah dengan Jernih

(menilik Pernyataan lee kuan Yew) 

g 337 h

Walhasil, pendapat dari seorang tokoh seperti pimpinan 

Singapura itu haruslah kita bedah dan koreksi bilamana perlu. 

Kegagalan melakukan hal ini amat sangat merugikan bagi per­

kembangan Islam di seluruh dunia. Karenanya tulisan ini dibuat 

sebagai referensi atas ucapannya ini .

Kedua, agama Islam selama ini telah menjadi korban dari 

sekian banyak anggapan. Karenanya diperlukan “keberanian mo­

ral” untuk memulai koreksi atas kesalahan demi kesalahan yang 

telah terjadi, guna menghindari terulangnya hal itu di masa de­

pan. Bukankah tidak ada yang lebih baik untuk “memulai” deret­

an responsi, selain menerangkan masalah sebenarnya dari per­

nyataan Lee Kuan Yew itu? Melalui sebuah responsi yang sehat, 

yaitu dengan mempertanyakan dasar­dasar apa yang digunakan 

Lee Kuan Yew untuk menyusun pernyataannya itu.  Begitu juga 

tinjauan “dari dalam” Islam sendiri, adalah sesuatu yang sangat 

penting guna “membaca” kebenaran sebuah pernyataan “orang 

luar.” Tulisan ini justru dikemukakan dengan tujuan memper­

oleh pandangan yang tepat tentang gerakan radikal Islam di 

negeri kita.

Dalam mengajukan pernyataan di atas, Lee Kuan Yew tam­

pak mempersamakan kekuatan gerakan Islam radikal dengan 

gerakan Islam moderat di kawasan Asia Tenggara. Ini adalah 

kesalahpandangan di kalangan “para pengamat.” namun , bagai­

manapun juga Lee Kuan Yew harus disanggah, jika ia tidak me­

ngemukakan kebenaran. Kenyataannya, gerakan Islam radikal 

itu tidaklah besar, namun  sanggup melakukan kekerasan. Hal itu 

terjadi karena “kesalahan” prinsipil yang dilakukan pemerintah/

eksekutif di negeri kita. Hal ini juga terjadi karena kebanyakan 

pengamat menganggap berbagai gerakan Islam radikal sebagai 

sesuatu yang besar. Padahal sebenarnya, muslim yang “terlibat” 

gerakan radikal itu, tidaklah banyak. Katakanlah, mereka hanya 

berjumlah 50.000­an orang, namun jumlah itu tidak ada artinya 

di hadapan 200 juta umat Muslim yang moderat. Hanya saja, “ke­

lompok” moderat ini tidak mempunyai dukungan materiil yang 

kuat dan minimnya skill/kecakapan, lain halnya dengan gerakan 

Islam radikal. Selain itu, gerakan Islam moderat belum memiliki 

kohesi organisatoris, yang diperlukannya untuk maju ke depan. 

Jika dibiarkan, ketakutan berlebihan peradaban “Islam” 

yang merasa dikalahkan oleh peradaban “Barat”, akan menjadi 

semakin besar. Padahal kalau dilihat secara budaya, persoalan­

mEmandanG masalaH dEnGan jERnIH

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 338 h

nya akan jauh berlainan dari pandangan ini . Kalaupun “Is­

lam” dikalahkan “Barat”, itu mungkin hanya mencakup teknologi, 

jaring an perdagangan dan komunikasi. Namun di bidang­bidang 

peradaban kultural lainnya, secara relatif sangat kuat kedudukan­

nya. Karenanya, kita tidak usah merasa “kalah” oleh keadaan itu. 

Kita tidak perlu “membuktikan” kehebatan kita melalui penggu­

naan kekerasan (termasuk terorisme), yang berakibat kematian 

orang­orang yang tidak bersalah.

Salah satu tanda pendangkalan agama yang terjadi di ka­

langan gerakan radikal Islam adalah upaya memandang hal­hal 

yang berbau kelembagaan/institusional sebagai satu­satunya 

ukuran “keberhasilan” kaum muslimin. Padahal kultur Islam 

lainnya, seperti, rebana, sufisme dan sebagainya, cukup menon-

jol, bahkan dengan kultur itu kaum muslimin berhasil menolak 

pengaruh “Barat.” 

Lihat saja siaran televisi, yang semakin lama, semakin me­

nunjukkan warna Islam. Di sini kita melihat, tampak kebangki­

tan kultural Islam dalam perpaduan yang lama dan yang baru, 

seperti artis yang sudah tidak malu lagi mejeng membawakan 

acara keagamaan pada bulan Ramadhan. Jadi, kebesaran Islam 

tidak ditentukan oleh pakaian jubah yang dikenakan, atau jeng­

got, sorban dan cadar yang dikenakan, yang menutup seluruh 

badan dan wajah perempuan. Seorang perempuan yang meng­

gunakan kerudung “biasa” sama Islamnya dengan yang menggu­

nakan cadar. Karena itu, pandangan yang membedakan antara 

mereka, adalah pandangan yang tidak mengenal kaum muslimin 

dan hakikat Islam.

Dalam perdebatan dengan Samuel Huntington,1 tentang 

teori perbenturan budaya (clash of civilization), penulis me­

nyatakan, bahwa dalam teori perbenturan budaya Islam dan 

Barat itu, Huntington hanya melihat pohon, tanpa mengenal 

hutannya. Memang ada pohon dalam jumlah kecil yang berbe­

da dari yang lainnya, namun  keseluruhan hutannya justru mem­

perlihatkan pohon yang sama dengan jumlahnya lebih besar. 

1 Samuel Huntington adalah professor di Harvard University. Tahun 

1993 dia menulis di sebuah Jurnal di AS, Foreign Affairs dengan judul ‘The 

Clash of Civilizations’, h. 22-50. Tulisan ini kemudian menjadi perdebatan ba-

nyak kalangan tentang kemungkinan benturan antara Islam dan Barat. Setelah 

terjadi “tragedi 11 September” teori ‘benturan peradaban’ ini  kembali di­

perbincangkan seolah menemukan titik pembenaran. 

g 339 h

Maksudnya, puluhan ribu kaum Muslimin, tiap tahun belajar di 

Barat dalam berbagai bidang, tentu saja kalau ada yang radikal di 

antara mereka jumlahnya sangat kecil, dan tidak dapat dijadikan 

ukuran bahwa mereka mewakili Islam. Arus belajar “ke Barat” 

sangat besar, sehingga pertentangan Islam melawan Barat, tidak 

usah dikhawatirkan, apalagi dijadikan momok.

Karena itu, ungkapan Lee Kuan Yew yang memandang ge­

rakan Islam radikal secara berlebih­lebihan, sebagai representasi 

umat Islam ini , jelas tidak berada pada tempat sebenarnya. 

Inilah yang harus diubah, yaitu penggunaan kelompok Islam ra­

dikal sebagai ukuran bagi Islam dan kaum Muslimin yang mayo­

ritas justru bersikap moderat dalam hampir semua hal.  Untuk 

perubahan itu, kita harus bersabar sedikit, untuk menunggu 

hasil pemilihan umum yang akan datang, yang menurut penulis 

akan menunjukkan keunggulan yang sangat besar dari gerakan 

moderat dalam Islam. Penulis dapat mengatakan hal ini, karena 

dalam sehari dapat melakukan tiga sampai empat kali komuni­

kasi langsung dengan rakyat di seluruh pelosok tanah air. Ini 

karena penulis dan partai politik yang dipimpinnya, tidak dapat 

bersandar pada media massa domestik yang masih “lintang pu­

kang” keadaannya.

Juga harus ada faktor lain yang harus diperhitungkan, ya­

itu peranan pemerintah/eksekutif. Kalau pihak itu takut kepada 

gerakan Islam radikal, seperti yang terjadi dewasa ini di Indo­

nesia, maka gerakan ini  akan menjadi berani dan melang­

gar undang­undang. Karena itu diperlukan keberanian bersikap 

tegas (kalau perlu bertindak keras), terhadap unsur­unsur garis 

keras yang mengacaukan keamanan. 

Penulis tidak setuju dengan RUU Antiterorisme, namun  di­

perlukan juga keberanian secara fisik berhadapan dengan para 

pelaku kekerasan itu. Hal­hal inilah yang harus dimengerti oleh 

orang­orang seperti Lee Kuan Yew. Sederhana dalam konsep, 

tapi sulit dilaksanakan bukan? h

mEmandanG masalaH dEnGan jERnIH

g 340 h

Pertemuan itu diadakan di sebuah kuil/gereja milik sebuah 

agama baru di Jepang, pecahan dari agama Buddha. Dari 

pihak penulis, hadir Konsul Jenderal Republik Indonesia 

(Konjen Rl) untuk daerah Kansai, Hupudio Supaidi. Dari pihak 

Jepang datang berpuluh­puluh agamawan dari berbagai agama, 

termasuk tokoh­tokoh Kristen Protestan­Katolik serta seorang 

peserta wanita dari Partai Komunis Jepang. Ia juga termasuk 

seorang legislator lokal yang menjadi anggota dewan kota (town 

consellor) dari Sakai, yang berpenduduk sekitar 800 ribu jiwa. 

Sakai adalah kota satelit di Osaka, Jepang, yang sekarang sedang 

berusaha menjadi sebuah provinsi/prefectures sendiri, lepas 

dari Osaka. 

Dalam pertemuan itu, penulis juga ditemani oleh Mr. Hi­

toshi Kato, seorang politisi lokal yang mengundang penulis ke 

Sakai dan sang keponakan Hisanori Kato1, seorang ahli tentang 

negara kita dan dapat berbahasa Indonesia. Ia bekerja di Ma­

nila dan kembali ke Sakai hanya untuk menemani penulis. Hi­

toshi Kato datang ke Indonesia pada bulan Juli lalu, dan men­

coba melakukan kerjasama dengan Universitas Indonesia (UI) 

1 Hisanori adalah peraih PhD dari Universitas Sydney Australia. Ba­

nyak karyanya tentang Indonesia, salah satunya adalah sebuah buku berjudul: 

Agama Dan Peradaban: Islam Dan Terciptanya Masyarakat Demokratis 

Yang Beradab Di Indonesia (Dian Rakyat, 2002).

kekurangan Informasi

g 341 h

dan Universitas Nasional (Unas) di Jakarta dengan Universitas 

Hagoromo yang memiliki mahasiswa 2000 orang, padahal baru 

didirikan beberapa bulan yang lalu di Sakai. Akibat pemberitaan 

media massa di Jepang tentang peledakan bom di Bali, ia mem­

punyai persepsi yang ‘salah’ tentang Islam dan kaum Muslimin, 

sebagai kaum penjarah dan teroris. Padahal ia menyadari, ratus­

an ribu warga daerah Kansai, di mana Osaka dan Sakai terletak, 

memandang Bali sebagai tujuan pariwisata yang harus didatangi 

berkali­kali. 

Ternyata, kesan mereka itu salah sama sekali, begitu ia 

sampai di Jakarta, ia bertemu dengan orang­orang yang ramah, 

dan banyak di antaranya dapat dijadikan kawan. Ia bertemu pe­

nulis, dan meminta keterangan tentang Islam dan kaum Mus­

limin. Tentu saja, penulis menyatakan tindakan para teroris itu 

—kalau benar dilakukan oleh gerakan Islam— adalah sebuah pe­

nyimpangan kecil dari mayoritas gerakan Islam, yang terutama 

banyak dikuasai oleh Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadi­

yah. Jadi tidak benar, anggapan bahwa mayoritas kaum Muslim­

in di negeri ini menyetujui peledakan bom di Bali yang dilakukan 

oleh gerakan Islam. Karena tindakan itu akan dianggap diskrimi­

natif oleh pemeluk­pemeluk agama Hindu, yang justru karena 

penduduk Bali mayoritas beragama Hindu. Jelas gerakan Islam 

tidak menyetujuinya, dan ini jelas bertentangan dengan agama 

Islam yang memberikan perlindungan dan menjamin keselamat­

an terhadap kaum minoritas. 

Pelurusan pandangan itu, membuat Hitoshi Kato meng­

anggap perlu mengundang penulis ke Sakai. la ingin agar penulis 

menjelaskan sendiri kepada penduduk Jepang di Sakai, bahwa 

apa yang digambarkan tentang Islam oleh media massa Jepang 

selama ini adalah sesuatu yang salah, bertentangan dengan ke­

nyataan sebenarnya. Tentu saja, penulis menyambut baik ajakan 

itu, dan menyediakan waktu untuk itu pada minggu pertama bu­

lan November 2002. Berbagai acara digelar, termasuk kunjungan 

kepada Walikota Sakai dan pertemuan di Tokyo dengan Ambas-

sador Noburo Matsunaga dan Pendeta Niwano, keduanya teman 

penulis yang akrab sejak beberapa tahun yang lalu. Sayang seka­

li, penulis tidak bertemu dengan Daisaku Ikeda, pendiri gerakan 

Buddhis Soka Gakkai, yang memiliki sebuah Universitas —tem­

pat penulis menerima gelar Doctor Honoris Causa dalam bidang 

humaniora pada bulan Apri