islam 4
mikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menu
rut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madi
nah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi
kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah im
perium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara.
Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam
berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis),
juga tidak jelas; negarabangsa (nation-state), ataukah negara
kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.
Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah
yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negarabangsa yang
berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sam
pai seluruh dunia diIslamkan, baru dipikirkan bentuk negara
dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah
yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin4 ataukah Leon
Trotsky?5 Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilaku
kan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.
Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan ga
gasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti
membiarkan gagasan ini tercabiktercabik karena perbe
daan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya keme
4 Joseph Stalin (1879 1953) adalah salah satu pemimpin terkemuka Uni
Soviet pada masa perang sipil di negara itu dan Perang Dunia II, disamping
Vladimir Lenin (1870 1924) yang digantikannya kemudian.
5 Leon Trotsky (1879–1940) adalah musuh politik Stalin karena ber
beda pandangan soal masa depan Uni Soviet dan kebijakan ekonomi negara
itu. Setelah mengantikan kedudukan Lenin, Stalin menjadi diktator dan me
nindas kaum buruh serta petani secara kejam. Trotsky melawan Stalin dan dia
dideportasikan, kemudian harus hidup di Meksiko, dan akhirnya dibunuh oleh
seorang intel Soviet.
nEGaRa Islam, adakaH konsEPnya?
g 84 h
lut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden
Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat
ini. Satusatunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama
“Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham ten
tang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara ini ,
haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Ka
lau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara
Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah
syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang mus
lim di dunia saja?
eg
Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah
sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas
kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang
pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut insti
tusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut,
dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak ga
gasan ini , adakah mereka masih layak disebut kaum mus
limin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayori
tas penganut agama ini ?
Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan
menjadi berantakanlah gagasan ini : dengan cara apa dia
akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum”
kaum nonmuslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir mus
limin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani
penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sa
ngat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah
tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab
atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu? h
g 85 h
Penulis menerima sebuah permintaan dari temanteman
MILF (Moro Islamic Liberation Front)1, untuk menghen
tikan penyerbuan tentara Philipina atas kampkamp mere
ka di Philipina Selatan. Padahal, mereka sudah menandatangani
Perjanjian Tripoli (Lybia) pada 2001, yang berisikan ketentuan
memperjuangkan otonomi daerah itu bagi kaum muslimin, mela
lui negosiasi dan perundingan. Ini berarti mereka telah mening
galkan perjuangan bersenjata, guna memungkinkan perundingan
damai. Namun, MNLF (Moro National Liberation Front),2 yang
dipimpin oleh Nur Misuari, menurut tentara Philipina kembali
pada perjuangan bersenjata dengan cara bergerilya, untuk mem
perjuangkan sebuah Negara Islam (NI).
Ternyata, kemudian Nur Misuari dikejarkejar, dan dengan
menggunakan perahu memasuki kawasan Malaysia di Sarawak.
Di tempat itu ia ditangkap oleh pihak keamanan Malaysia, lalu
diterbangkan ke Kuala Lumpur, dan selanjutnya diekstradisikan
ke Manila. Kini ia meringkuk di tahanan, dan menjalani proses
pengadilan Philipina. Sekarang, pihak MILF meminta pertolong
an penulis agar tentara Philipina tidak menyerbu kampkamp
1 Perjanjian antara pemerintah Manila dengan pemimpin MNLF (Moro
National Liberation Front) Nur Misuari dinilai tidak satupun mencakup penye
lesaian prinsipil bagi rakyat Moro, maka Salamat Hasyim keluar dari MNLF
dan membentuk MILF (Moro Islamic Liberation Front) tahun 1984 dengan tu
juan berdirinya negara Islam di selatan Filipina.
2 Kesepakatan umat Islam Mindanao untuk mendirikan Moro Nation
al Liberation Front (MNLF) pada tanggal 18 Maret 1968 merupakan langkah
politik untuk merespon situasi yang kurang menguntungkan bagi perkembang
an umat Islam di Filipina pada umumnya. Ini setidaknya diperlihatkan pada
peristiwa Jabidah (Jabidah Massacre) yang telah menewaskan generasi muda
Muslim yang sebelumnya dilatih secara rahasia oleh militer Filipina namun ke
mudian dibunuh secara biadab di sebuah pulau di teluk Manila.
Islam dan Perjuangan
negara Islam
g 86 h
MILF yang dianggap juga akan memberontak, seperti halnya
MNLF. Penulis menjawab, tidak dapat melakukan hal itu, karena
tidak akan didengar oleh tentara Philipina; sedangkan Presiden
Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Phili
pina. Apalagi orang luar yang melakukan hal itu.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Phili
pina, atau oknumoknum dalam kepemimpinan formalnya, cen
derung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding.
Hal ini patut disayangkan, namun demikianlah kenyataan yang
ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknumoknum mi
literistik dalam lingkungan tentara Thailand dan Indonesia. Di
Thailand, mereka cenderung mencurigai orangorang Islam di
selatan, timur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa
komunitas kaum muslimin kini sudah mencapai antara 2025%
dari total penduduk negeri itu. Demikian juga Indonesia, ada
sikap menolak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan
Tiro untuk merumuskan batasanbatasan otonomi khusus di
Aceh, dengan menembak mati orangorang GAM yang diang
gap sebagai pengacau keamanan yang harus ditumpas dengan
kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan.
Akibat kekerasan di kawankawasan itu, unsurunsur yang
tadinya menolak separatisme, mau tak mau akhirnya menjadi
kaum separatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang tidak
keras), akhirnya dikalahkan oleh kelompokkelompok garis keras
(kaum ekstrimis atau fundamentalis kalangan kaum mudanya).
Kaum moderat itu digambarkan oleh saingansaingan mereka
sebagai yang berhati lemah dan tunduk pada pemerintah. Selan
jutnya keadaan akan dikuasai oleh mereka yang berhaluan keras,
hingga menimbulkan kesan seolaholah seluruh kaum muslimin
di kawasankawasan itu benarbenar telah menjadi kaum sepa
ratis secara keseluruhan.
Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mere
ka dan pembalasan bersenjata oleh aparat pemerintah, yang
belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Di Aceh, misalnya,
proyek DOM (Daerah Operasi Militer) berjalan bertahunta
hun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional
menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia
(HAM). Kalau Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penye
lenggaraan pemerintahan pendudukan/kolonial selama lebih da
ri 350 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan rakyat
g 87 h
sendiri di kawasan Aceh untuk masa yang sama?
Karenanya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah
pertentangan pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thai
land dan Aceh, sebaiknya dilakukan secara berunding, agar tidak
menjadi semakin berlarutlarut. Perundingan seperti itu meng
haruskan adanya kesediaan oknumoknum militer untuk men
dengarkan dan menghormati pendapat pemerintah, dan bukan
sebaliknya.
eg
Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah
penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Kenyataan
yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah
kepada mereka yang berhaluan keras (kaum ekstrimis atau fun
damentalis). Namun, yang kita utamakan bukanlah mereka, tapi
rakyat banyak yang menginginkan otonomi khusus melalui pe
rundingan damai. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar
yang terjadi, karena toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan
diserap oleh masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal ini
lah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan masalah Tengku
Daud Beureueh3 di Aceh, yang dikenal sebagai pemimpin pem
berontakan Darul Islam di tahuntahun 50an dengan penyele
saian secara politis. Demikian pula, diselesaikannya pemberon
takan PRRI Permesta secara politis setelah penyerbuan oleh TNI
ke kawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi Utara.
Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rak
yat kebanyakan akan dimanipulir oleh kaum muda yang ber
garis keras. Mereka tinggal menunjuk kepada kenyataan adanya
represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang tidak
bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan rakyat men
jadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknumoknum militer itu
akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang dengan
susah payah harus mengulang kembali dari awal perundingan
dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi ka
3 Tengku Muhammad Daud Beureueh (w. 1987) adalah salah seorang
pahlawan kemerdekaan Indonesia dan Gubernur pertama Propinsi Aceh.
Tapi karena kecewa dengan pemerintah pusat dan Soekarno, dia mendukung
proklamasi NII (Negara Islam Indonesia) dan PRRI yang memberontak kepada
kepemimpinan pusat RI. Ia lalu terkenal dengan pemimpin pemberontak.
Islam dan PERjuanGan nEGaRa Islam
g 88 h
wasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih se
dikit dari semula.
Karena itu, jelas bagi pihak militer yang ingin mengguna
kan kekerasan di Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun di
Aceh, hendaknya segera menghentikan langkahlangkah mereka
itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui
perundingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah be
sar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih su
lit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam
proses yang terjadi wibawa pemerintah masih akan tetap besar
kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan
sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi
pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para jenderal
itu berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan bukannya ke
pentingan sendiri? h
g 89 h
Selama beberapa tahun terakhir ini, ada suarasuara untuk
menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai
pengganti Pancasila. Menurut pandangan penulis, hal itu
terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Panca
sila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mere
ka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu
jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan
lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, di
larang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi
bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melain
kan soal pengertian Pancasila ini .
Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar ten
tang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya
kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu.
Karena dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanya
lah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana
yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan pe
nafsiran legal berdasarkan Undangundang (UU) yang ada. Jadi,
penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu
salah. Penafsiran legallah yang dijadikan ukuran, bukan penaf
siran pemerintah.
saat yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasa
an dan MA takut membuat penafsiran legal yang mengikat, maka
masyarakat tidak memiliki pilihan lain, kecuali mencarikan alter
natif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu. Muncullah Islam
sebagai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis. Na
mun, karena kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemukakan
negara Berideologi satu,
Bukan dua
g 90 h
sebagai alternatif ideologis bagi Pancasila, bukannya terbatas
pada masalah penafsiran saja. Dalam bahasa teori hukum Islam
(ushûl fiqh), hal itu dinamai penyebutan yang mutlak umum, de
ngan maksud yang mutlak khusus (yuthlaqu al-‘âm wa yurâdu
bihi al-khâsh).1
Hal itu perlu dinyatakan di sini, karena akhirakhir ini
muncul anggapan, bahwa sesuatu yang berdasarkan Islam sa
ngat berbahaya bagi negara kita. Ini antara lain dikemukakan
Lee Kuan Yew, Menteri Senior Republik Singapura, yang me
nyatakan bahwa dalam satu dua generasi lagi Indonesia akan di
perintah oleh teroris yang menggunakan Islam. Ini tentu dapat
dibaca sebagai undangan bagi Amerika Serikat, untuk mendu
duki Indonesia dan membagibaginya ke dalam beberapa nega
ra. Tentu saja, penulis boleh beranggapan bahwa hal itu dikemu
kakan karena Lee Kuan Yew takut dengan Indonesia yang kuat
dan besar serta tidak dapat “disogok”. Itu akan sangat berbahaya
bagi Singapura, karena itu Indonesia harus dibagibagi ke dalam
beberapa republik.
Namun, asumsi di balik pernyataan “Islam akan tumbuh di
negeri ini sebagai alternatif Pancasila,” adalah sesuatu yang ba
nyak dipakai orang. Karena itu, kita harus memahami Islam pada
fungsi sebagai penafsir, dengan demikian ia tidak dapat menjadi
ideologi negara yang plural dan majemuk ini. Dalam hal ini, Is
lam memiliki fungsi yang sama dengan nasionalisme, sosialisme
dan pandanganpandangan lain di dunia ini. Inilah yang meru
pakan pembedaan antara Pancasila sebagai ideologi negara yang
berwatak pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang ber
kembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme, sosialisme,
dan lainlain.
Jelaslah, dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Is
lam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenar
kan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada
pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti
rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengen
dalikan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan
sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang
emosional.
1 Dalam tradisi keilmuan pesantren istilah semacam ini termasuk kate
gori “majaz mursal”.
g 91 h
Sebagai bangsa, tentu kita hanya mempunyai sebuah ideo
logi negara, namun dengan penafsiran kemasyarakatan yang ber
bedabeda. Dengan demikian, yang diberlakukan secara formal
adalah penafsiran legal yang dilakukan oleh MA. Inilah yang ha
rus kita bangun ke depan, dan untuk itu diperlukan keberanian
moral untuk berhadapan dengan negara, atau dengan kata lain
menghadapi sistem kekuasaan. Kalau ini dilupakan, sudah tentu
kita tidak tahu apa yang menjadi tugas kita di masa depan.
Pembedaan antara ideologi di satu sisi dan penafsiran atas
nya, menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan
kita di masa depan. Beberapa minggu sebelum dilengserkan da
ri jabatan Presiden, penulis mengusulkan pada sebuah sidang
kabinet agar dibuat ketentuan bahwa keputusan bertentangan
atau tidaknya seluruh peraturan daerah (perda) berdasarkan
Syari’ah Islâmiyah yang dibuat DPRD di semua tingkatan di In
donesia dengan UndangUndang Dasar (UUD), harus dilakukan
secara legal oleh MA. Inilah mengapa sebabnya MA harus kuat
dan berani, serta berkedudukan sama tinggi dengan badan legis
latif maupun eksekutif.
Di sinilah keseimbangan antara badanbadan yudikatif,
legislatif dan eksekutif harus benarbenar dijaga, sebagai sebuah
hal yang mendasar bagi kehidupan kita. UUD adalah instrumen
satusatunya yang mempersatukan kita sebagai bangsa, karena
itu penafsiran atasnya secara legal, adalah sesuatu yang sangat
penting bagi kita. Kita berideologi negara yang satu, bukannya
dua. Tapi mempunyai penafsiran legal atasnya, yang dapat ber
variasi dalam bentuk dan isi, walaupun hanya satu pihak yang
dapat melakukannya, yaitu MA. Karena itulah, keanggotaannya
harus diputuskan bersama oleh pihak eksekutif dan legislatif.
Dengan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa ideologi
negara kita hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, ya
itu menjadikan Islam sebagai ideologi negara adalah sesuatu
yang salah. h
nEGaRa bERIdEoloGI satu bukan dua
g 92 h
Dalam dua sumber tekstual kitab suci al-Qurân menge
nai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana
keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip
hingga prosedurnya. Dari sudut prinsip, kitab suci al-Qurân me
nyatakan; “Wahai orangorang yang beriman, tegakkan keadilan
dan jadilah saksisaksi bagi Allah, walaupun mengenai diri ka
lian sendiri (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi
al-qisthi syuhadâ’a li Allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS alNisa
[4]:135). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi
titik sentral dalam Islam.
Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci al-Qurân menya-
takan; “Jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gu
nakan tandatanda tertulis (idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalin
musammâ faktubûhu)” (QS alBaqarah [2]:282). Dalam hal ini,
rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga
tidak dapat dipungkiri oleh orang. Prosedur ini juga dijalankan
dalam masyarakat berteknologi maju, sehingga kesan yang ada
selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat
tertinggal dapat dihilangkan.
Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tun
tutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah ha
dits; “idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jika
seorang hakim raguragu tentang kesalahan seorang terdakwa,
maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab dita
kutkan si hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspekaspek keadilan
dalam Islam bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur
dan pelaksanaannya.
eg
Islam, negara dan
Rasa keadilan
g 93 h
Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspekaspek ke
adilan dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mik
ro itu seluruhnya tergantung dari bangunan makro sistem ke
masyarakatan yang ditegakkan. Banyak ungkapan dari sum
bersumber tertulis dalam Islam yang memungkinkan adanya
penafsiran makro yang berdasarkan prinsip keadilan bagi umat
manusia. Ungkapan dalam hadits; “Tangan yang memberi lebih
baik daripada tangan yang menerima (al-yadu al-‘ulyâ khairun
min al-yadi al-suflâ),” jelas menunjukkan adanya keharusan
dipeliharanya keadilan dalam hubungan antara negara kreditor
kepada debitor. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam
tata ekonomi modern kita di seluruh dunia saat ini.
Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi
para pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas
membawa kesejahteraan. Adagium fiqh menyatakan; “Langkah
dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait lang
sung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-
imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Artinya, ke
sejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai, jika pemim
pinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat,
melainkan hanya untuk sebagian saja.
Ini sangat penting untuk diperhatikan karena kebanyakan
di negerinegeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati
kekayaan berlimpah, sementara banyak kaum miskin di sekeli
lingnya. Kehidupan kaum miskin seperti terombangambing di
tengah banyaknya produkproduk yang dihasilkan oleh para pe
milik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi
seperti itu terjadi dalam kehidupan modern –secara internasio
nal dewasa ini. Dengan situasi yang tidak adil seperti itu, jelas
bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasar
kan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan
internasional saat ini.
eg
Karena itu, orientasi pembangunan negara untuk kepen
tingan warga masyarakat/rakyat kebanyakan, harus lebih di
utamakan, dan bukannya pengembangan sumber daya manusia
yang tinggi maupun penguasaan teknis yang memadai bagi mo
dernisasi. Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih dikejar
Islam, nEGaRa dan Rasa kEadIlan
g 94 h
melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan berma
syarakat yang harus diutamakan. Kehidupan modern yang pe
nuh kenikmatan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang
dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk.
Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup se
buah negara.
Di sinilah kemampuan kita untuk menemukan sebuah sis
tem yang menjamin kepentingan rakyat kebanyakan, diatas ke
pentingan, dalam batas waktu tertentu, kelompok industrialis
pemilik modal. Dalam pengertian ini, asas keseimbangan diper
lukan agar kesejahteraan orang kebanyakan benarbenar diper
hatikan, tanpa mengekang kelompok industrialis maupun pemi
lik modal untuk berkembang.
Sebenarnya telah banyak percobaan untuk menemukan
sistem yang demikian itu, namun semuanya gagal apabila hanya
mengandalkan kepada ideologiideologi yang ada yaitu sistem
kapitalisme, sosialisme maupun komunisme. Seringkali, korek
sikoreksi dilakukan dengan mencampuradukkan beberapa
ideologi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Seperti
modifikasi atas ideologi kapitalisme menjadi folks kapitalismus
(kapitalisme rakyat), yang mencoba mengoreksi kapitalisme kla
sik yang hanya mementingkan persaingan bebas, dengan tidak
menganggap penting arti rakyat kebanyakan.
Folks kapitalismus mengambil semangat egalitarian dari
sosialisme, ini berbeda dari birokrasi komunisme yang banyak
mengadopsi dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai cara
cara berkompetisi. Islampun juga pernah harus melakukan hal
yang sama yaitu dengan berani mengambil caracara dari ideo
logiideologi lain. Puluhan tahun yang lalu, ada gagasan tentang
“Sosialisme Islam”1, yang walaupun gagal berkembang namun
tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi agama terse
but. Begitu juga dengan pengertianpengertian dasar yang kita
terus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti ti
adanya pekerjaan bagi seorang warga negara, sekarang orang
yang bekerja tapi di bawah 35 jam perminggu sudah dinamai
penganggur.
Dengan arti perubahan ini , maka pemahaman kita
1 H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto adalah tokoh Islam yang meru
muskan ide ini pada wal masa pergerakan Indonesia.
g 95 h
mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat di
namis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya
pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan
kewajiban menciptakan kesejahteraan, karena negara mampu
melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan
pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial. Ini berarti
penciptaan kemakmuran dan keadilan, yang keduaduanya dija
dikan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski
ada sejumlah warga negara yang berkerja di bawah 35 jam. Nah,
kalau ini berhasil diwujudkan oleh sebuah masyarakat Islam,
berarti pula Islam telah berhasil mensejahterakan warga negara
tanpa menjadi sebuah sistem formal. Sangat kompleks memang,
tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan? h
Islam, nEGaRa dan Rasa kEadIlan
g 96 h
Sebenarnya, terdapat hubungan sangat erat antara kepe
mimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam.
Penulis pernah mengemukakan sebuah sumber tertulis
(dalil naqli) dalam pandangan Islam. Adagium itu adalah “Tiada
Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan,
dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi
Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi
Tha’ah). Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam,
ia adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakan
perintahperintah Islam dan pencegah laranganlaranganNya
(amar ma’rûf nahi munkar). Karenanya, pemimpin dilengkapi
dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah
yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan, dinyatakan seba
gai “wewenang kekuasaan efektif “ (syaukah).
Karena itulah, Munas ini mengatakan bahwa Presi
den Republik Indonesia adalah “penguasa pemerintahan untuk
sementara, dengan kekuasaan efektif (walîyyu al-amri li dha-
rûri bi al-syaukah).” Maksud dari kata “untuk sementara”, ka
rena ia adalah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala Peme
rintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai pengganti
Imam tidak berdasarkan sumber tertulis (dalil naqli), melainkan
karena pertimbangan rasional (dalil aqli), yang tidak mengu
rangi keabsahan kekuasaan itu sendiri. Kemudian kata “semen
tara”, artinya sebelum datangnya hari kiamat. Keputusan Munas
di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik Indo
nesia, namun oleh mereka yang “dibius” oleh konsep Negara Is
lam, dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno
saja.
negara dan kepemimpinan
dalam Islam
g 97 h
Karena itu diandaikan, di dalam bukan negara Islam tidak
ada konsep Islam tentang kepemimpinan, dan dengan demikian
konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan Islam.
Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lamanya, kini kita me
ngetahui kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep
Islam tentang negara, tidak berarti agama ini tidak memi
liki pandangan tentang kepemimpinan. Pandangan ini melihat
kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan
negara (kepemimpinan formal) maupun kepemimpinan dalam
masyarakat (kepemimpinan nonformal). Dalam tulisan ini akan
ditinjau orientasi minimalnya, karena halhal lain diserahkan
kepada akal kita untuk merumuskannya.
eg
Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan
terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”.
Ini berarti, Islam tidak membedabedakan antara kepemimpinan
negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai ben
tuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenega
raan atau kemasyarakatan yang melatarbelakangi kepemimpin
an itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau
negara kota. Maka dari itu, siasia juga jika kita kaitkan langsung
kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demo
kratisasi. Karenanya, kita lihat sekarang ini kepemimpinan da
lam “Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, de
ngan sistem pemerintahan Raja atau Amir, kepemimpinan ulama
maupun kepemimpinan para sesepuh masyarakat (community
leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahtera
an langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan
yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam.
Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggap
an kesejahteraan di atas hanya menyangkut kenyataankenyata
an lahiriah dan angka statistik belaka, seperti kepemilikan ben
da, usia hidup ratarata dan sebagainya. Sering dilupakan, masa
lah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan
berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi
semua warga negara di hadapan undangundang. Halhal itu
nantinya akan menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan
rakyat dalam menentukan bentuk negara yang mereka ingini dan
nEGaRa dan kEPEmImPInan dalam Islam
g 98 h
beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa keadilan.
Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara
dan masyarakat seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbul
kan keresahan. Keresahan ini seperti yang menghinggapi negara
dengan mayoritas warganya yang beragama Islam, akibat dari ga
galnya upayaupaya terorisme dengan mengatasnamakan Islam
yang terjadi di manamana. Seharusnya, para pakar masyarakat
muslim di seluruh dunia, harus mensosialisasikan pengenalan
dan identifikasi sebab-sebab utama munculnya terorisme itu.
Dan bukannya diselesaikan dengan penyerangan dan pengebom
an seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak. Pengeboman itu
sendiri secara tidak jujur dikemukakan Presiden Amerika Serikat
(AS) Geogre W. Bush Jr. sebagai upaya menurunkan diktaktor
Saddam Husein dari jabatan kepresidenan di Irak. Padahal, per
timbanganpertimbangan geopolitik internasional yang mem
buat Amerika mengambil tindakan terhadap Irak. Yaitu, karena
Saudi Arabia telah “menyimpang” dari politik luar negeri AS, pa
dahal ia adalah penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di du
nia, maka harus dicarikan kekuatan pengimbang terhadapnya.
Pilihan itu jatuh kepada Irak, karena ia adalah penghasil minyak
bumi kedua terbesar saat ini. Karena Irak di bawah kepresiden
an Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri
AS maka ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap
sebagai “kekuatan jahat” (evil force), mengapakah hal itu tidak
dikenakan atas para pemimpin Saudi Arabia? Negara yang telah
menghukum mati sekitar dua ribu orang yang dianggap “kaum
oposan”? Standar moral ganda (double morality) seperti ini
lah yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang
membuat istilah “politik” dicitrakan sangat buruk. Padahal oleh
mendiang Presiden AS John F. Kennedy, politik sebagai “karya
termulya”, karena menyangkut kesejahteraan (lahir dan batin)
rakyat.
eg
Kembali pada kepemimpinan Islam. Dalam Islam kepemim
pinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan
orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah
“kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait
langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf
g 99 h
al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jelaslah
dengan demikian kepemimpinan yang tidak berorientasi kepada
hal itu, melainkan hanya sibuk dengan mengurusi kelangsungan
kekuasaan saja, bertentangan dengan pandangan Islam. Kare
nanya, dalam menilai kepemimpinan dalam sebuah gerakan, se
lalu diutamakan pembicaraan mengenai kesejahteraan itu, yang
dalam bahasa Arab dinamakan al-mashlahah al-âmmah (secara
harfiyah, dalam bahasa Indonesia berarti: kepentingan umum).
Selain itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku)
tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan
sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilih
an dalam kongres atau muktamar, namun masih tampak betapa
kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis
sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidup
annya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika
pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tu
gas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasa
an dan kemudahankemudahan yang diperolehnya, maka akan
menjadi lemahlah kepemimpinan ini . Apalagi jika kepe
mimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang
takut kepada tekanantekanan dari luar dirinya. Memang kede
ngarannya mudah mengembangkan kepemimpinan dalam ke
hidupan, namun sebenarnya sulit juga, bukan? h
nEGaRa dan kEPEmImPInan dalam Islam
g 100 h
Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi
NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam
(NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik
yang menggunakan nama ini ?1 Pertanyaan ini sangat me
narik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang
tepat atasnya. Ini berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan
keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan
orang. Dengan kata lain, pendapat NU sekarang bukan hanya
menjadi masalah intern organisasi yang didirikan tahun 1926 itu
saja, melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum
bangsa kita. Dengan berupaya menjawab pertanyaan ini ,
penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir bangsa ini yang
sangat luas. Sebuah keinginan yang pantaspantas saja dimiliki
seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI.
1 Historisitas kemunculan Darul Islam sebagai sebuah gerakan politik di
Indonesia tidak terlepas dari konstalasi sosiopolitik di Indonesia sekitar tahun
19491962. Dengan menggunakan legitimasi agama (Islam), DI dengan didu
kung tentaratentara yang dikenal dengan sebutan TII/ Tentara Islam Indone
sia dapat dikatakan sebagai gerakan yang mengarah pada upaya menggantikan
sistem politik Republik Indonesia yang mendasarkan ideologinya pada Pan
casila dengan Negara Islam. Islam politik yang dikedepankan DI secara tidak
langsung menggambarkan proses relasi antara Islam dan politik yang integral.
Artinya, Islam dihadapan DI dipandang mengamanatkan pembentukan Negara
Islam. Berdasarkan pandangan itu, pada 7 Agustus 1949 M (12 Syawal 1368 H),
Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam
Indonesia atau alDaulah alIslamiyah di sebuah desa bernama Gunung Cupu,
Tasikmalaya Jawa Barat.
(1)
g 101 h
Dalam sebuah tesis Magister –yang dibuatnya beberapa
tahun yang lalu, Pendeta Einar Martahan Sitompul2, yang di ke
mudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU ta
hun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab se
buah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi ini dinamai
bahts al-masâ’il (pembahasan masalah)3. Salah sebuah masalah
yang diajukan kepada muktamar ini berbunyi: wajibkah
bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan
Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal
diperintah orangorang nonmuslim? Muktamar yang dihadiri
oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya
secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena
kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam.
Sebab kedua, karena dahulu di kawasan ini telah ada Kera
jaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum
agama di masa lampau, berjudul “Bughyah al-Mustarsyidîn”.4
Jawabaan di atas seolah memperkuat pandangan Ibn
Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir
ini, hukum agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpin
an berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti pengakuan
akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar
di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat
menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan
2 Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila : Sejarah dan Peranan
NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka Penerimaan
Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta: Sinar Harapan 1989). Buku ini
diberi Kata Pengantar oleh KH. Abdurrahman Wahid.
3 Forum ilmiah yang beranggotakan para ulama berkeahlian khusus
yang bertugas membahas masalahmasalah waqi’iyyah (aktual) dengan men
dasarkan pada al-kutub al-mu’tabarah. Forum ini juga banyak dijumpai di
pesantrenpesantren dengan beranggotakan santrisantri senior sebagai ajang
penguasaan terhadap referensireferensi klasik.
4 Nama lengkap kitab ini adalah “Bughyatul Mustarsyidin Fi Talhis Fa-
tawa Ba’dli al-A’immah al-Muta’akhirin” yang disusun oleh AsSayid Abdur
rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar yang dikenal dengan sebutan
Ba’alawy. Kitab ini dicetak bersama dengan dua kitab yaitu Itsmidul Ainain dan
Ghayah Talkhis al-Murad. Keberadaan Kitab Bughyatul Mustarsyidin yang di
pesantren cukup disebut dengan Bughyah ini sangatlah berarti dalam diskur
sus pesantren, karena hampir dipastikan kitab ini selalu muncul dalam kajian
kajian permasalahan aktual meski sebenarnya kitab ini merupakan kompilasi
dari fatwafatwa para ulama Hadramaut, Yaman.
(1)
g 102 h
berbilang yang khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan,
telah diperkirakan oleh kitab suci al-Qurân dengan firman Allah;
“Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis lakilaki
dan perempuan dan Kujadikan kalian berbangsabangsa dan
bersukusuku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal (innâ
khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban
wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS alHujurat [49]:13). Firman Allah
ini juga yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di ka
langan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan
diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah
kalian (eraterat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan ja
nganlah terbelahbelah/saling bertentangan (wa’tashimû bi ha-
bli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS aliImran [3]:103).
eg
Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935
itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara
Hindia Belanda (Indonesia) dalam pandangan Islam. Menurut
pendapat organisasi ini tidak perlu NI didirikan. Dalam hal
ini, diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidak-
nya didirikan sebuah NI.
Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada,
seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan
dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan
banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini dise
babkan oleh heterogenitas sangat tinggi di antara warga negara
Indonesia, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tang
gungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU
ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran for
mal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai
tanggungjawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan Syari’ah
Islam.
Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam ben
tuk firman Allah; “Hari ini telah Ku-sempurnakan agama ka
lian, Kusempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmatKu dan
Kurelakan Islam “sebagai” agama (al-yauma akmaltu lakum
dînakum wa atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-
Islâma dînan)” (QS alMaidah [5]:3). Jelaslah dengan demikian,
Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbi
g 103 h
cara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak
memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep
tentang negara. Demikian pula, firman Allah; “Masuklah kalian
ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan (udkhulû fî al-
silmi kâffah)” (QS alBaqarah (2): 208). Ini berarti kewajiban
bagi kita untuk menegakkan ajaranajaran kehidupan yang tidak
terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsipprin
sip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan
waktu manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsipprinsip
ini . Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk sege
nap waktu dan tempat (al-Islâm shalihun likulli zamânin wa
makânin).
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan
Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (se-
suai dengan) apa yang diturunkan Allah , maka orang itu (terma
suk) orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang
yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yahkum
bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS alMaidah
[5]:44).5 Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat ke
harusan mendirikan NI, karena hukum Islam tidak bergantung
pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat member
lakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga ti
dak karena undangundang negara, melainkan karena itu diperin
tahkan oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral
berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan
syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara
agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah
Nabi Muhammad Saw wafat.
5 Pandangan fundamentalisme ini didasarkan pada beberapa ayat al
Quran yang memerintahkan tentang pemberian putusan. Sebagaimana difir
mankan Allah dalam Q.S. alMaidah, (5): 44, 45 dan 47. Ayatayat itu dengan
tegas memberikan penilain yang negatif, terutama kepada mereka yang tidak
melaksanakan perintah. Tak hanya itu, golongan yang mendapat celaan Allah
itu pun dikategorikan kafir, zalim dan fasik. Kaum fundamentalis memahami
ketiga ayat itu secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya
mengisolasi ayat dari konteksnya, tapi juga memahami frasa terakhir dari ayat
ayat itu dari frasafrasa sebelumnya. Padahal, konteks ketiga ayat itu sebenar
nya menyebutkan bahwa subyek yang dikritik sehingga menjadi kafir, zalim
dan fasik adalah kaum Yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara
berdasarkan apa atau hukum yang diturunkan Allah . Dengan demikian, pi
hak yang mendapat kritik sebagaimana terkandung dalam ayatayat itu bukan
umat Islam pengikut Nabi Muhammad.
(1)
Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuang
kan Indonesia menjadi NII, Negara Islam Indonesia. Kemaje
mukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita,
membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan
negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan ini
lah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti
bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin,
tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaranajar
an Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama
secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup di
lahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang “berakal sehat”
tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau hal
itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip
persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur ke
hidupan mereka.
Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, ten
tang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keha
rusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwafatwa beliau ti
dak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU itu? Karena,
pandangan beliau dirujuk oleh wangsa yang berkuasa di Saudi
Arabia bersamasama dengan ajaranajaran Madzhab Hambali
(disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang
secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan
ini tentu saja membuat orangorang NU bersikap reaktif ter
hadap madzhab ini . Tentu saja hal itu secara resmi tidak
dilakukan, karena sikap Saudi Arabia terhadap madzhabmadz
hab nonHambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain,
pertentangan pendapat antara “pandangan kaum Wahabi” yang
secara de facto demikian keras terhadap madzhabmadzhab lain
itu, melahirkan reaksi yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah con
toh dari sikap keras yang menimbulkan sikap yang sama dari “pi
hak seberang”.
Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau me
ngalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (men
jadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah,
namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pi
hak nonmuslim ataupun pihak kaum muslimin nominal (kaum
abangan), berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam
itu. Jadi gagasan yang semula tampak indah itu, pada akhirnya
akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga
negara Indonesia, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara
bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan
sejarah. Kalaupun toh dipaksakan –sekali lagi untuk mewujud
kan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanya
lah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi
di negara kita tahuntahun 50an. Apakah deretan pemberontak
an bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam
sejarah modern bangsa kita. h
saat berada di Makassar pada minggu ke tiga bulan Feb
ruari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio
televisi kawasan ini , yang direlay oleh studiostu
dio TVRI seluruh Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara
itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih
cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam
(NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar1 yang dinyatakan
meninggal dalam paruh kedua tahun 60an ternyata masih be
sar. Karenanya, penulis menyatakan dalam wawancara ini ,
pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang
pembentukan NI di Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan,
bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi
ia juga tidak memusuhi orangorang yang berpikiran seperti itu.
Dalam dialog interaktif yang terjadi setelah itu, penulis di
hujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada
yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak menyetu
jui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya meng
anggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka
di muka umum tentang gagasan ini , itu sudah berarti saya
bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak ada
nya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak
boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog
1 Kahar Muzakkar (19211965) adalah pemimpin pemberontak DII/TII di
Sulawesi Selatan. Namanya menjadi inspirasi bagi gerakan tuntutan penerapan
Syariat Islam yang diusung Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI)
Sulawesi Selatan yang dipimpin anaknya Aziz Kahar.
interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus
dipikirkan, seperti pengaruhnya bagi berbagai kawasan dunia
Islam lainnya dan juga kadar pengetahuan agama Islam yang
rendah.
Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, diga
bungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar lembaga/in
stitusi keIslaman melihat tantangan modernisasi, membuat
mereka melihat bahaya di manamana terhadap Islam. Proses
pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu menekankan pada
aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinama
kan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum mus
limin. Pihakpihak lain yang nonmuslim juga mengalami pen
dangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah
terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/
kultur kaum muslimin dimanamana, sebenarnya kekhawatiran
demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan
mereka. Cara hidup, membaca al-Qurân dan Hadist, main reba
na, tahlil, berbagai bentuk “seni Islam” dan lainlainnya, justru
mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri
kaum muslimin.
Salah seorang penanya dalam dialog interaktif itu mengu
tip al-Qurân “Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan
apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir
(wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa’ulâika hum al-kâ-
firûn)” (QS alMaidah [5]:44). Lalu bagaimana mungkin kita
menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawab penulis, karena ada
masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita
agar melaksanakan hukum Allah. Jika negara yang melakukan
itu, maka dapat saja lembaga bikinan manusia ini ditinggalkan.
Jadi, untuk memelihara pluralitas bangsa, tidak ada kewajiban
mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya
gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenar
nya jadi pandangan Islam dalam soal wajib tidaknya gagasan
mendirikan NI.
Netralitas ini sangat penting untuk dijunjung tinggi, kare
na hanya dengan demikian sebuah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dapat didirikan. Dengan berdirinya NII, maka pihak
minoritas baik minoritas agama maupun minoritas lainlain
nya, tidak mau berada dalam negara ini dan menjadi bagian dari
negara ini . Dengan demikian, yang dinamakan Republik
Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena ketidaksediaan terse
but. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan,
karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari
Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Suma
tra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan
Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku dan lain
lainnya, berada di luar susunan kenegaraan NKRI, karena ber
dasarkan agama mayoritas penduduknya itu.
Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk
menghilangkan Piagam Jakarta2 dari Pembukaan UndangUn
dang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah
sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputus
an itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad, yang dikeluar
kan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang
sangat mendasar, dengan menyatakan bahwa mempertahankan
wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum
muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk
mendirikan Markas Besar Oelama Djawa–Timoer (MBODT) di
Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari
kegiatan bermacammacam untuk mempertahankan Repub
lik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan
dengan perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda
di tahuntahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan
pesantrenpesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara
kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga ter
capainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 1950.
eg
2 Tujuh kata Piagam Jakarta yang dibuang oleh sidang PPKI itu adalah
“Negara berdasar KeAllah an Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan
Syari’ah Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.”
3 Resolusi Jihad digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari yang saat itu menja
bat sebagai Rais Akbar Nahdlatul Oelama. Hal ini dimaksudkan untuk melaku
kan perlawanan semesta kepada penjajah Belanda yang dibackingi antara lain
oleh tentara Inggris. Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Reso
lusi Jihad inilah yang memberikan dorongan dan inspirasi bagi Bung Tomo
sebagai pemimpin perjuangan untuk melakukan perlawanan semesta kepada
penjajah di Surabaya. Itu pula yang kemudian melahirkan Peristiwa 10 Novem
ber 1945 sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan.
Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa
agama Islam tidak berkurang perannya dalam kehidupan bang
sa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Re
publik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam De
wan Konstituante di tahun 19561959. Demikian juga beberapa
kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan
seperti DITII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam
dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kip
rah yang dilakukan oleh AlAzhar di Kairo.
Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah
memiliki jumlah terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bang
sabangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat
besar kaum “muslimin statistik” atau lebih dikenal dengan sebut
an “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang
taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan
minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin
memaksakan NI atas diri mereka.
Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang di
sebutkan di atas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegak
kan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Da
lam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah
berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (reinter
prensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan
terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orangorang
nonmuslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa me
nyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka (man ta-
syâbbaha bi qaumin fahuwa min hum).”4 namun sekarang, tidak
ada lagi persoalan tentang hal itu karena esensi Islam tidak ter
letak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang
dilaksanakan.
Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai
gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
4 Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud dari
Ibnu Umar dan juga Imam Ahmad dalam musnadnya. Sedangkan Tirmidzi
dalam bab al-Isti’dzan meriwayatkan dengan redaksi “Laisa minna man ta-
syabbaha bighairina wala tasyabbahu bil yahud wala bi an-nashara (Bukan
termasuk golonganku orang yang menyerupai sebuah komunitas selain kami,
janganlah kalian berlaku seperti Yahudi dan Nasrani).” Di akhir hadis ini Imam
Tirmidzi memberikan komentar pendek tentang nilai hadis ini yang sebenar
nya dlaif.
g 110 h
(PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari
UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat meli
hat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaranajaran
agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demiki
an, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah
yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehing
ga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. h
g 111 h
Pada suatu pagi selepas olahraga jalanjalan, penulis di
minta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang
mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah
Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelom
pok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesem
patan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti
yang benar tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar,
maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekeras
an/terorisme dan tidak memperhatikan suarasuara moderat.
Padahal, justru Islamlah pembawa pesanpesan persaudaraan
abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.
Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu
memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân,
Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan
amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ
rahmatan lil ‘âlamîn) (QS alAnbiya [21]:107), dengan kata “rah
mah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian
manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti
manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas
kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang
diperlukan guna memelihara keuAllah manusia dan jauhnya tin
dak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis,
kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya
kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat
tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).
Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari
Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg
di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemu
Islam: Perjuangan Etis
ataukah Ideologis
kakan bahwa kitab suci al-Qurân menggunakan istilah-istilah
paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk
menyatakan halhal yang paling dalam dari keyakinan manusia.
Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orangorang
yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fi al-âkhirati min al-
khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “men
ghutangi Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qard-
han hasanan)” (QS alBaqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa
menginginkan panen di akhirat, akan Kutambahi panenannya
(man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS
al-Syûra [42]:20).
Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan penger
tian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an.
Dalam hal ini, kata ini mempunyai arti lain, yaitu “berputar”
atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu
tidak berputar/beredar antara orangorang kaya saja di lingkung
an anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i min-
kum)” (QS alHasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap
oleh alQuran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan
bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual
ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk nega
ra. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep
negara itu sendiri.
Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih meng
utamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, ben
tuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami
perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari sukusuku
kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin de
ngan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diterus
kan dengan sistem para pemilih (ahl al-halli wa al-aqdi) baik
langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau
keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerin
tahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui
coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiada
nya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pan
dangan Islam.
Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara
g 113 h
yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu
wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diterus
kan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemu
dian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah
kerajaankerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn1 di barat Afrika
hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; mo
del negarabangsa (nation state) dan negara kota (city state).
Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut diri
nya negarabangsa, seperti Kuwait dan Qatar.
eg
Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian
pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas,
boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara.
Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’
atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat
(ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones2 mengupas peru
1 Kerajaan Murabbitin didirikan 1056 M di Morroco oleh Dinasti Berber
dari Sahara. Pada masa Dinasti Moor, kekuasaan kerajaan ini meluas dari Mau
ritania, Gibraltar, Aljazair, Senegal dan Mali, hingga ke daratan Eropa yaitu
Spanyol dan Portugal.
2 Sidney Jones adalah Direktur International Crisis Group (ICG) yang
banyak melakukan riset di Indonesia terutama tentang tumbuhnya gerakan
Islam radikal meski terkadang risetnya terkesan generalisasi terhadap kasus
kasus gerakangerakan Islam di Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui
sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney
Jones baru dikenal oleh publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya
yang berjudul “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network”
in Indonesia.” Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan
Indonesia saat menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation
(19771984), Amnesty International (19841988), Direktur Divisi Asia Human
Rights Watch (19892002). Sekitar 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indone
sia. Sebagai peneliti yang banyak “asam garam” dengan Orde Baru, Sidney telah
mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan
berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isuisu lain yang meru
pakan “makanan” kelompok LSM. Sedang International Crisis Group (ICG)
merupakan sebuah organisasi nonprofit yang melakukan riset lapangan dan
advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya.
Organisasi ini bersifat multinasional dan independen dengan mempekerjakan
lebih dari 90 staff di beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor
pusat di Belgia serta kantorkantor advokasi tersebar di Washington DC, New
York, Moscow dan Paris serta kantor urusan media di London.
Islam: PERjuanGan EtIs ataukaH IdEoloGIs?
g 114 h
bahan arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di Indonesia,
yang diterbitkan di jurnal Indonesia Universitas Cornell di Itha
ca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada
pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya
para pengikut gerakangerakan Islam di sini belaka.
Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pan
dangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pan
dangan agama ini tentang masyarakat. Ini semua, akan
membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai
ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal
ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku
untuk para warga gerakangerakan Islam saja. Jadi negara dapat
saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hakhak
semua warga negara di hadapan UndangUndang Dasar (UUD),
baik mereka muslim maupun nonmuslim.
Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan meng
ajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehi
dupan bernegara. Ini berarti, warga negara nonmuslim akan
menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun
dalam kenyatan praktis. Padahal Republik Indonesia tanpa meng
ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman,
Belgrade, Bogota, Cairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi,
Osh, Pristina, Sarajevo dan Tbilisi) dengan para analis yang bekerja di lebih
dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negaranegara
ini meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Congo, Sierra Leo
ne-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe;
di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbeki
stan, Pakistan, Afghanistan dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia,
Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian
Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Colombia.
ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal,
perusahaan dan donor individual. Negaranegara yang pada saat ini turut me
nyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Canada, Denmark, Finlandia,
Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia,
Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat.
Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic Philanthropies,
Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates
Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation,
John D. & Catherine T. Mac Arthur Foundation, John Merck Fund, Charles
Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Sigrid
Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish
Community Endowment Fund, the United States Institute of Peace dan The
Fundacao Oriente.
g 115 h
gunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya,
berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, ter
jadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan 'ideologi
masyarakat' yang mereka ingini melalui penegakkan etika Islam,
bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional? h
Islam: PERjuanGan EtIs ataukaH IdEoloGIs?
g 116 h
Judul diatas diilhami oleh jargon populer: “Sebaikbaik per
soalan adalah yang berada di tengah (khairu al-umûr aus-
âthuha).” Ia juga bisa mencerminkan pandangan agama
Buddha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh
penganut agama ini . Walaupun demikian, judul itu dimak
sudkan untuk mengupas sebuah buku karya tokoh Syi’ah terke-
muka Dr. Musa al-Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan
Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas
Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu. Katakanlah sebagai
sebuah resensi, yang juga semacam analisa terhadap kecende
rungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa
kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.
Dalam kenyataan hidup seharihari, sikap mencari jalan
tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri
di tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk
ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih
dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah ja
lan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami ma
salah ini dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “ja
lan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal
dalam kenyataannya tidaklah demikian.
Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang
“independen” dari bangsabangsa lain, merupakan sebuah kenya
taan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpama
nya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut
yang kuat dan menguasai kawasan antara Pulau Madagaskar di
lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan Pulau Tahiti di
tengah-tengah Lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal
Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan Majapahit hanya
lah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang
menguasai kawasan perairan ini selama berabadabad.
Yang terbaik Berada di tengah
g 117 h
Kita tentu tidak senang dengan klaim sejarah ini karena
mengartikan kita lemah di hadapan Tiongkok. namun kenyataan
sejarah berbunyi lain, Australia, misalnya, yang menjadi domini
on Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpen
densi sendiri terlepas dari negara induk.
eg
Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan pe
nyimpanganpenyimpangan. seperti itu Umpamanya saja, seper
ti ditunjukkan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang
des Abendlandes” (The Decline of The West). Dalam buku itu
digambarkan, ternyata kejayaan peradaban Barat dalam abad
ke 20 ini mulai mengalami kerunAllah (Untergang). Filosof
Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, juga menunjuk kepada tan
tangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern
ini terhadap karyakarya dan produk kaum elit, seperti tertuang
dalam bukunya yang sangat terkenal “Rebellion of the Masses”
(Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).
Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob
Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, A
Study of History. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme
sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges)
dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti
tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami
bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban
memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya,
kalau tantangan dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantang-
an banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemu
dian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk
masa selanjutnya, maka akan melahirkan peradaban tepi sungai
yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Euphrat, Gangga,
Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahirnya pusat
pusat peradaban dunia di tepian sungaisungai itu, merupakan
bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.
Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, penulis buku
Aera Eropa ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusia
an Umum pertama, Eerste Algemeene Menselijk Patron). PKU I
itu, menurut karya Romein ini memperlihatkan diri dalam
tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan
yanG tERbaIk ada dI tEnGaH
kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi
kuat di bawah kekuasaan raja, yang moralitasnya sama di mana
mana. Pada abad ke6 sebelum masehi, terjadi krisis moral be
sarbesaran yang disusul dengan munculnya namanama Lao Tze
dan Konghucu di China, Budha Gautama di India, Zarathustra di
Persia dan Akhnaton di Mesir. Para moralis hebat ini mengem
balikan dunia kepada tradisionalismenya, dengan memperkuat
“keseimbangan”. Sebaliknya, para filosof Yunani Kuno, mem
buat penyimpangan pertama terhadap PKU I itu, dengan menge
mukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang
terbaik. Penyimpanganpenyimpangan PKU I ini diikuti oleh pe
nyimpanganpenyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan
hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Re-
naissance (Abad Kebangkitan), Abad Pencerahan (Aufklarung),
Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan
itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede
Algemeene Menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk fi
nalnya.
Nah, kita menolak teokrasi (negara agama) dan sekular
isme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila.
Kompromi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai
sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak
dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidup
an bernegara. Karena sekularisme dipandang sebagai penolakan
kepada agama dan bukannya sebagai pemisahan agama dari
negara, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila
yang menggabungkan Sila Pertama (Kepercayaan terhadap Tu
han Yang Maha Esa), dan silasila lain yang oleh banyak penulis
dianggap sebagai penolakan atas agama.
Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya
dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran agama” dan il
mu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan ber
pikir oleh pengarangnya). Jelas yang dituju adalah sebuah sin
tesa baru yang terbaik bagi kita, dari dua hal yang saling berten
tangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah
hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “yang
bukanbukan”? h
Tulisantulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak
Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai
agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali
tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negerinege
ri muslimlah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM,
termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini,
berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali
tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim
Islam sebagai agama pelind