islam 4

Tampilkan postingan dengan label islam 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 4. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

islam 4



 mikian pula, besarnya negara yang dikonsepkan menu­

rut Islam, juga tidak jelas ukurannya. Nabi meninggalkan Madi­

nah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi 

kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah im­

perium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. 

Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam 

berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis), 

juga tidak jelas; negara­bangsa (nation-state), ataukah negara­

kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.

Dalam hal ini, Islam menjadi seperti komunisme: manakah 

yang didahulukan, antara sosialisasi sebuah negara­bangsa yang 

berideologi satu sebagai negara induk, ataukah menunggu sam­

pai seluruh dunia di­Islam­kan, baru dipikirkan bentuk negara 

dan ideologinya? Menyikapi analogi negara Komunis, manakah 

yang didahulukan antara pendapat Joseph Stalin4 ataukah Leon 

Trotsky?5 Sudah tentu perdebatan ini jangan seperti yang dilaku­

kan Stalin hingga membunuh Trotsky di Meksiko.

Hal ini menjadi sangat penting, karena mengemukan ga­

gasan Negara Islam tanpa ada kejelasan konseptualnya, berarti 

membiarkan gagasan ini  tercabik­tercabik karena perbe­

daan pandangan para pemimpin Islam sendiri. Misalnya keme­

4 Joseph Stalin (1879 ­1953) adalah salah satu pemimpin terkemuka Uni 

Soviet pada masa perang sipil di negara itu dan Perang Dunia II, disamping 

Vladimir Lenin (1870 ­1924) yang digantikannya kemudian. 

5 Leon Trotsky (1879–1940) adalah musuh politik Stalin karena ber­

beda pandangan soal masa depan Uni Soviet dan kebijakan ekonomi negara 

itu. Setelah mengantikan kedudukan Lenin, Stalin menjadi diktator dan me­

nindas kaum buruh serta petani secara kejam. Trotsky melawan Stalin dan dia 

dideportasikan, kemudian harus hidup di Meksiko, dan akhirnya dibunuh oleh 

seorang intel Soviet.

nEGaRa Islam, adakaH konsEPnya?


g 84 h

lut di Iran, antara para “pemimpin moderat” seperti Presiden 

Khatami dengan para Mullah konservatif seperti Khamenei, saat 

ini. Satu­satunya hal yang mereka sepakati bersama adalah nama 

“Islam” itu sendiri. Mungkin, mereka juga berselisih paham ten­

tang “jenis” Islam yang akan diterapkan dalam negara ini , 

haruskah Islam Syi’ah atau sesuatu yang lebih “universal”? Ka­

lau harus mengikuti paham Syi’ah itu, bukankah gagasan Negara 

Islam lalu menjadi milik kelompok minoritas belaka? Bukankah 

syi’isme hanya menjadi pandangan satu dari delapan orang mus­

lim di dunia saja? 

eg

Jelaslah dengan demikian, gagasan Negara Islam adalah 

sesuatu yang tidak konseptual, dan tidak diikuti oleh mayoritas 

kaum muslimin. Ia pun hanya dipikirkan oleh sejumlah orang 

pemimpin, yang terlalu memandang Islam dari sudut insti­

tusionalnya belaka. Belum lagi kalau dibicarakan lebih lanjut, 

dalam arti bagaimana halnya dengan mereka yang menolak ga­

gasan ini , adakah mereka masih layak disebut kaum mus­

limin atau bukan? Padahal yanga menolak justru adalah mayori­

tas penganut agama ini ?

Kalau diteruskan dengan sebuah pertanyaan lain, akan 

menjadi berantakanlah gagasan ini : dengan cara apa dia 

akan diwujudkan? Dengan cara teror atau dengan “menghukum” 

kaum non­muslim? Bagaimana halnya dengan para pemikir mus­

limin yang mempertahankan hak mereka, seperti yang dijalani 

penulis? Layakkah penulis disebut kaum teroris, padahal ia sa­

ngat menentang penggunaan kekerasan untuk mencapai sebuah 

tujuan. Lalu, mengapakah penulis juga harus bertanggungjawab 

atas perbuatan kelompok minoritas yang menjadi teroris itu? h

g 85 h

Penulis menerima sebuah permintaan dari teman­teman 

MILF (Moro Islamic Liberation Front)1, untuk menghen­

tikan penyerbuan tentara Philipina atas kamp­kamp mere­

ka di Philipina Selatan. Padahal, mereka sudah menandatangani 

Perjanjian Tripoli (Lybia) pada 2001, yang berisikan ketentuan 

memperjuangkan otonomi daerah itu bagi kaum muslimin, mela­

lui negosiasi dan perundingan. Ini berarti mereka telah mening­

galkan perjuangan bersenjata, guna memungkinkan perundingan 

damai. Namun, MNLF (Moro National Liberation Front),2 yang 

dipimpin oleh Nur Misuari, menurut tentara Philipina kembali 

pada perjuangan bersenjata dengan cara bergerilya, untuk mem­

perjuangkan sebuah Negara Islam (NI).

Ternyata, kemudian Nur Misuari dikejar­kejar, dan dengan 

menggunakan perahu memasuki kawasan Malaysia di Sarawak. 

Di tempat itu ia ditangkap oleh pihak keamanan Malaysia, lalu 

diterbangkan ke Kuala Lumpur, dan selanjutnya diekstradisikan 

ke Manila. Kini ia meringkuk di tahanan, dan menjalani proses 

pengadilan Philipina. Sekarang, pihak MILF meminta pertolong­

an penulis agar tentara Philipina tidak menyerbu kamp­kamp 

1 Perjanjian antara pemerintah Manila dengan pemimpin MNLF (Moro 

National Liberation Front) Nur Misuari dinilai tidak satupun mencakup penye­

lesaian prinsipil bagi rakyat Moro, maka Salamat Hasyim keluar dari MNLF 

dan membentuk MILF (Moro Islamic Liberation Front) tahun 1984 dengan tu­

juan berdirinya negara Islam di selatan Filipina.

2 Kesepakatan umat Islam Mindanao untuk mendirikan Moro Nation­

al Liberation Front (MNLF) pada tanggal 18 Maret 1968 merupakan langkah 

politik untuk merespon situasi yang kurang menguntungkan bagi perkembang­

an umat Islam di Filipina pada umumnya. Ini setidaknya diperlihatkan pada 

peristiwa Jabidah (Jabidah Massacre) yang telah menewaskan generasi muda 

Muslim yang sebelumnya dilatih secara rahasia oleh militer Filipina namun  ke­

mudian dibunuh secara biadab di sebuah pulau di teluk Manila.

Islam dan Perjuangan 

negara Islam


g 86 h

MILF yang dianggap juga akan memberontak, seperti halnya 

MNLF. Penulis menjawab, tidak dapat melakukan hal itu, karena 

tidak akan didengar oleh tentara Philipina; sedangkan Presiden 

Gloria Macapagal Arroyo saja tidak didengar oleh tentara Phili­

pina. Apalagi orang luar yang melakukan hal itu.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tentara Phili­

pina, atau oknum­oknum dalam kepemimpinan formalnya, cen­

derung untuk melanggar kebijakan pemerintah untuk berunding. 

Hal ini patut disayangkan, namun  demikianlah kenyataan yang 

ada dan sikap seperti itu juga dijalankan oleh oknum­oknum mi­

literistik dalam lingkungan tentara Thailand dan Indonesia. Di 

Thailand, mereka cenderung mencurigai orang­orang Islam di 

selatan, timur dan utara negeri itu. Diabaikan kenyataan, bahwa 

komunitas kaum muslimin kini sudah mencapai antara 20­25% 

dari total penduduk negeri itu. Demikian juga Indonesia, ada 

sikap menolak berunding dengan pihak GAM dan pihak Hasan 

Tiro untuk merumuskan batasan­batasan otonomi khusus di 

Aceh, dengan menembak mati orang­orang GAM yang diang­

gap sebagai pengacau keamanan yang harus ditumpas dengan 

kekerasan bersenjata oleh aparat keamanan.

Akibat kekerasan di kawan­kawasan itu, unsur­unsur yang 

tadinya menolak separatisme, mau tak mau akhirnya menjadi 

kaum separatis. Sedangkan pihak moderat (kaum yang tidak 

keras), akhirnya dikalahkan oleh kelompok­kelompok garis keras 

(kaum ekstrimis atau fundamentalis kalangan kaum mudanya). 

Kaum moderat itu digambarkan oleh saingan­saingan mereka 

sebagai yang berhati lemah dan tunduk pada pemerintah. Selan­

jutnya keadaan akan dikuasai oleh mereka yang berhaluan keras, 

hingga menimbulkan kesan seolah­olah seluruh kaum muslimin 

di kawasan­kawasan itu benar­benar telah menjadi kaum sepa­

ratis secara keseluruhan.

Dengan demikian, terjadi eskalasi antara perlawanan mere­

ka dan pembalasan bersenjata oleh aparat pemerintah, yang 

belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Di Aceh, misalnya, 

proyek DOM (Daerah Operasi Militer) berjalan bertahun­ta­

hun tanpa ada penyelesaian, dan akhirnya dunia internasional 

menyalahkan negara kita sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia 

(HAM). Kalau Belanda saja tidak dapat menyelesaikan penye­

lenggaraan pemerintahan pendudukan/kolonial selama lebih da­

ri 350 tahun, apakah kita juga akan bermusuhan dengan rakyat 

g 87 h

sendiri di kawasan Aceh untuk masa yang sama?

Karenanya, jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah 

pertentangan pemerintah dan kaum beragama di Philipina, Thai­

land dan Aceh, sebaiknya dilakukan secara berunding, agar tidak 

menjadi semakin berlarut­larut. Perundingan seperti itu meng­

haruskan adanya kesediaan oknum­oknum militer untuk men­

dengarkan dan menghormati pendapat pemerintah, dan bukan 

sebaliknya.

eg

Dengan demikian, penyelesaian yang diharapkan bukanlah 

penyelesaian militer, melainkan penyelesaian politis. Kenyataan 

yang demikian sederhana, memang tampak seperti mengalah 

kepada mereka yang berhaluan keras (kaum ekstrimis atau fun­

damentalis). Namun, yang kita utamakan bukanlah mereka, tapi 

rakyat banyak yang menginginkan otonomi khusus melalui pe­

rundingan damai. Dalam kenyataannya, tidak sedemikian benar 

yang terjadi, karena toh pada akhirnya kaum ekstrimis itu akan 

diserap oleh masyarakat yang memang berjiwa moderat. Hal ini­

lah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan masalah Tengku 

Daud Beureueh3 di Aceh, yang dikenal sebagai pemimpin pem­

berontakan Darul Islam di tahun­tahun 50­an dengan penyele­

saian secara politis. Demikian pula, diselesaikannya pemberon­

takan PRRI Permesta secara politis setelah penyerbuan oleh TNI 

ke kawasan Sumatera Barat dan Tomohon di Sulawesi Utara.

Kalau penyelesaian politis ini tidak dilakukan, maka rak­

yat kebanyakan akan dimanipulir oleh kaum muda yang ber­

garis keras. Mereka tinggal menunjuk kepada kenyataan adanya 

represi dan penembakan oleh tentara atas penduduk yang tidak 

bersalah, yang nantinya akan membuat perlawanan rakyat men­

jadi semakin nyata. Kalau ini terjadi, oknum­oknum militer itu 

akan menyerahkan persoalan kepada pemerintah yang dengan 

susah payah harus mengulang kembali dari awal perundingan 

dengan mereka yang menginginkan otonomi khusus bagi ka­

3 Tengku Muhammad Daud Beureueh (w. 1987) adalah salah seorang 

pahlawan kemerdekaan Indonesia dan Gubernur pertama Propinsi Aceh. 

Tapi karena kecewa dengan pemerintah pusat dan Soekarno, dia mendukung 

proklamasi NII (Negara Islam Indonesia) dan PRRI yang memberontak kepada 

kepemimpinan pusat RI. Ia lalu terkenal dengan pemimpin pemberontak.

Islam dan PERjuanGan nEGaRa Islam


g 88 h

wasan yang bersangkutan, dalam jumlah orang yang lebih se­

dikit dari semula.

Karena itu, jelas bagi pihak militer yang ingin mengguna­

kan kekerasan di Philipina Selatan, Thailand Selatan maupun di 

Aceh, hendaknya segera menghentikan langkah­langkah mereka 

itu. Biarkan pemerintah mencari penyelesaian damai melalui 

perundingan dengan kaum moderat yang masih berjumlah be­

sar. Kalau terlambat, perundingan itu akan menjadi lebih su­

lit, dan hasilnya tidak dapat dipastikan. Demikian pula, dalam 

proses yang terjadi wibawa pemerintah masih akan tetap besar 

kalau penyelesaian dicapai melalui perundingan sekarang. Dan 

sebaliknya, wibawa itu tentu semakin berkurang, kalau eskalasi 

pertentangan bersenjata tetap berjalan. Benarkah para jenderal 

itu berpikir hanya untuk kepentingan bangsa dan bukannya ke­

pentingan sendiri? h

g 89 h

Selama beberapa tahun terakhir ini, ada suara­suara untuk 

menjadikan Islam sebagai ideologi negara, yaitu sebagai 

pengganti Pancasila. Menurut pandangan penulis, hal itu 

terjadi akibat terjadi penyempitan pandangan mengenai Panca­

sila itu sendiri, yaitu pengertian Pancasila hanya menurut mere­

ka yang berkuasa. Ini berarti pemahaman Pancasila melalui satu 

jurusan belaka, yaitu jurusan melestarikan kekuasan. Pandangan 

lain yang menyatakan Pancasila harus dipahami lebih longgar, di­

larang sama sekali. Dengan demikian, sebenarnya yang terjadi 

bukanlah pertentangan mengenai Pancasila itu sendiri, melain­

kan soal pengertian Pancasila ini .

Menurut pandangan kekuasaan, penafsiran yang benar ten­

tang Pancasila adalah apa yang disepakati pemerintah, bukannya 

kritik terhadap pendekatan yang terasa monolit bagi rakyat itu. 

Karena dalam pandangan mereka penafsiran pemerintah hanya­

lah satu dari penafsiran yang ada. Untuk menetapkan mana 

yang benar, Mahkamah Agung (MA) harus mengemukakan pe­

nafsiran legal berdasarkan Undang­undang (UU) yang ada. Jadi, 

penafsiran yang tidak sejalan dengan pemerintah, belum tentu 

salah. Penafsiran legal­lah yang dijadikan ukuran, bukan penaf­

siran pemerintah.

saat  yang dianggap benar hanyalah penafsiran kekuasa­

an dan MA takut membuat penafsiran legal yang mengikat, maka 

masyarakat tidak memiliki pilihan lain, kecuali mencarikan alter­

natif bagi Pancasila yang telah dikebiri itu. Muncullah Islam 

sebagai alternatif penafsiran, bukannya alternatif ideologis. Na­

mun, karena kurangnya kecanggihan, maka Islam dikemukakan 

negara Berideologi satu, 

Bukan dua


g 90 h

sebagai alternatif ideologis bagi Pancasila, bukannya terbatas 

pada masalah penafsiran saja. Dalam bahasa teori hukum Islam 

(ushûl fiqh), hal itu dinamai penyebutan yang mutlak umum, de­

ngan maksud yang mutlak khusus (yuthlaqu al-‘âm wa yurâdu 

bihi al-khâsh).1

Hal itu perlu dinyatakan di sini, karena akhir­akhir ini 

muncul anggapan, bahwa sesuatu yang berdasarkan Islam sa­

ngat berbahaya bagi negara kita. Ini antara lain dikemukakan 

Lee Kuan Yew, Menteri Senior Republik Singapura, yang me­

nyatakan bahwa dalam satu dua generasi lagi Indonesia akan di­

perintah oleh teroris yang menggunakan Islam. Ini tentu dapat 

dibaca sebagai undangan bagi Amerika Serikat, untuk mendu­

duki Indonesia dan membagi­baginya ke dalam beberapa nega­

ra. Tentu saja, penulis boleh beranggapan bahwa hal itu dikemu­

kakan karena Lee Kuan Yew takut dengan Indonesia yang kuat 

dan besar serta tidak dapat “disogok”. Itu akan sangat berbahaya 

bagi Singapura, karena itu Indonesia harus dibagi­bagi ke dalam 

beberapa republik.

Namun, asumsi di balik pernyataan “Islam akan tumbuh di 

negeri ini sebagai alternatif Pancasila,” adalah sesuatu yang ba­

nyak dipakai orang. Karena itu, kita harus memahami Islam pada 

fungsi sebagai penafsir, dengan demikian ia tidak dapat menjadi 

ideologi negara yang plural dan majemuk ini. Dalam hal ini, Is­

lam memiliki fungsi yang sama dengan nasionalisme, sosialisme 

dan pandangan­pandangan lain di dunia ini. Inilah yang meru­

pakan pembedaan antara Pancasila sebagai ideologi negara yang 

berwatak pluralistik, dari berbagai ideologi masyarakat yang ber­

kembang di negeri ini, seperti Islam, nasionalisme, sosialisme, 

dan lain­lain.

Jelaslah, dengan uraian di atas, bahwa penghadapan Is­

lam kepada Pancasila adalah sesuatu yang tidak dapat dibenar­

kan, karena menghadapkan sesuatu yang bersifat umum kepada 

pandangan yang bersifat khusus. Kalau itu diteruskan, berarti 

rasionalitas telah ditinggalkan, dan hanya emosi yang mengen­

dalikan pandangan hidup kita. Tentu kita lebih mementingkan 

sesuatu yang rasional, bila dibandingkan dengan sesuatu yang 

emosional.

1 Dalam tradisi keilmuan pesantren istilah semacam ini termasuk kate­

gori “majaz mursal”.

g 91 h

Sebagai bangsa, tentu kita hanya mempunyai sebuah ideo­

logi negara, namun  dengan penafsiran kemasyarakatan yang ber­

beda­beda. Dengan demikian, yang diberlakukan secara formal 

adalah penafsiran legal yang dilakukan oleh MA. Inilah yang ha­

rus kita bangun ke depan, dan untuk itu diperlukan keberanian 

moral untuk berhadapan dengan negara, atau dengan kata lain 

menghadapi sistem kekuasaan. Kalau ini dilupakan, sudah tentu 

kita tidak tahu apa yang menjadi tugas kita di masa depan.

Pembedaan antara ideologi di satu sisi dan penafsiran atas­

nya, menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi kehidupan 

kita di masa depan. Beberapa minggu sebelum dilengserkan da­

ri jabatan Presiden, penulis mengusulkan pada sebuah sidang 

kabinet agar dibuat ketentuan bahwa keputusan bertentangan 

atau tidaknya seluruh peraturan daerah (perda) berdasarkan 

Syari’ah Islâmiyah yang dibuat DPRD di semua tingkatan di In­

donesia dengan Undang­Undang Dasar (UUD), harus dilakukan 

secara legal oleh MA. Inilah mengapa sebabnya MA harus kuat 

dan berani, serta berkedudukan sama tinggi dengan badan legis­

latif maupun eksekutif.

Di sinilah keseimbangan antara badan­badan yudikatif, 

legislatif dan eksekutif harus benar­benar dijaga, sebagai sebuah 

hal yang mendasar bagi kehidupan kita. UUD adalah instrumen 

satu­satunya yang mempersatukan kita sebagai bangsa, karena 

itu penafsiran atasnya secara legal, adalah sesuatu yang sangat 

penting bagi kita. Kita berideologi negara yang satu, bukannya 

dua. Tapi mempunyai penafsiran legal atasnya, yang dapat ber­

variasi dalam bentuk dan isi, walaupun hanya satu pihak yang 

dapat melakukannya, yaitu MA. Karena itulah, keanggotaannya 

harus diputuskan bersama oleh pihak eksekutif dan legislatif.

Dengan pemaparan di atas, menjadi jelas bahwa ideologi 

negara kita hanyalah satu, yaitu Pancasila. Pendekatan lain, ya­

itu menjadikan Islam sebagai ideologi negara adalah sesuatu 

yang salah. h

nEGaRa bERIdEoloGI satu bukan dua

g 92 h

Dalam dua sumber tekstual kitab suci al-Qurân menge­

nai keadilan, tampak terlihat dengan jelas bagaimana 

keadilan dapat ditegakkan, baik dari masalah prinsip 

hingga prosedurnya. Dari sudut prinsip, kitab suci al-Qurân me­

nyatakan; “Wahai orang­orang yang beriman, tegakkan keadilan 

dan jadilah saksi­saksi bagi Allah, walaupun mengenai diri ka­

lian sendiri (yâ ayyuha al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi 

al-qisthi syuhadâ’a li Allâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al­Nisa 

[4]:135). Dari ayat ini tampak jelas bahwa, rasa keadilan menjadi 

titik sentral dalam Islam.

Sedangkan dari sudut prosedur, kitab suci al-Qurân menya-

takan; “Jika kalian saling berhutang, maka hendaknya kalian gu­

nakan tanda­tanda tertulis (idzâ tadâyantum bidainin ilâ ajalin 

musammâ faktubûhu)” (QS al­Baqarah [2]:282). Dalam hal ini, 

rasa keadilan harus ditegakkan dengan bukti tertulis, sehingga 

tidak dapat dipungkiri oleh orang. Prosedur ini juga dijalankan 

dalam masyarakat berteknologi maju, sehingga kesan yang ada 

selama ini menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sangat 

tertinggal dapat dihilangkan.

Demikian pula, seorang hakim tidak dapat lepas dari tun­

tutan keadilan ini, seperti yang dikemukakan oleh sebuah ha­

dits; “idraul hudud bi as-subuhat” yang memberikan pesan jika 

seorang hakim ragu­ragu tentang kesalahan seorang terdakwa, 

maka ia tidak boleh menjatuhkan hukuman mati, sebab dita­

kutkan si hakim berbuat kesalahan.” Jadi, aspek­aspek keadilan 

dalam Islam bersifat menyeluruh, meliputi prinsip, prosedur 

dan pelaksanaannya.

eg

Islam, negara dan 

Rasa keadilan

g 93 h

Apa yang dikemukakan di atas, adalah aspek­aspek ke­

adilan dalam masalah mikro. Dalam banyak hal, keadilan mik­

ro itu seluruhnya tergantung dari bangunan makro sistem ke­

masyarakatan yang ditegakkan. Banyak ungkapan dari sum­

ber­sumber tertulis dalam Islam yang memungkinkan adanya 

penafsiran makro yang berdasarkan prinsip keadilan bagi umat 

manusia. Ungkapan dalam hadits; “Tangan yang memberi lebih 

baik daripada tangan yang menerima (al-yadu al-‘ulyâ khairun 

min al-yadi al-suflâ),” jelas menunjukkan adanya keharusan 

dipeliharanya keadilan dalam hubungan antara negara kreditor 

kepada debitor. Sayangnya, hal ini justru tidak terdapat dalam 

tata ekonomi modern kita di seluruh dunia saat ini.

Pengertian makro, juga tampak dalam keharusan bagi 

para pemimpin negara/masyarakat untuk menunaikan tugas 

membawa kesejahteraan. Adagium fiqh menyatakan; “Langkah 

dan kebijakan pemimpin atas rakyat yang dipimpin terkait lang­

sung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-

imâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Artinya, ke­

sejahteraan masyarakat tidak akan dapat tercapai, jika pemim­

pinnya tidak mewujudkan keadilan seluruh warga masyarakat, 

melainkan hanya untuk sebagian saja.

Ini sangat penting untuk diperhatikan karena kebanyakan 

di negeri­negeri muslim, seorang penguasa selalu menikmati 

kekayaan berlimpah, sementara banyak kaum miskin di sekeli­

lingnya. Kehidupan kaum miskin seperti terombang­ambing di 

tengah banyaknya produk­produk yang dihasilkan  oleh para pe­

milik modal yang berjumlah sangat kecil. Ketimpangan situasi 

seperti itu terjadi dalam kehidupan modern –secara internasio­

nal dewasa ini.  Dengan situasi yang tidak adil seperti itu, jelas 

bahwa Islam tidak menyetujui kapitalisme klasik yang didasar­

kan pada prinsip persaingan bebas (laises faire) dalam pergaulan 

internasional saat ini.

eg

Karena itu, orientasi pembangunan negara untuk kepen­

tingan warga masyarakat/rakyat kebanyakan, harus lebih di­

utamakan, dan bukannya pengembangan sumber daya manusia 

yang tinggi maupun penguasaan teknis yang memadai bagi mo­

dernisasi. Dengan kata lain, bukan modernitas yang lebih dikejar 

Islam, nEGaRa dan Rasa kEadIlan


g 94 h

melainkan terpenuhinya rasa keadilan dalam kehidupan berma­

syarakat yang harus diutamakan. Kehidupan modern yang pe­

nuh kenikmatan bagi sekelompok orang bukanlah sesuatu yang 

dituju Islam, melainkan kesejahteraan bagi seluruh penduduk. 

Prinsip ini sangat menentukan bagi keberlangsungan hidup se­

buah negara.

Di sinilah kemampuan kita untuk menemukan sebuah sis­

tem yang menjamin kepentingan rakyat kebanyakan, diatas ke­

pentingan, dalam batas waktu tertentu, kelompok industrialis 

pemilik modal. Dalam pengertian ini, asas keseimbangan diper­

lukan agar kesejahteraan orang kebanyakan benar­benar diper­

hatikan, tanpa mengekang kelompok industrialis maupun pemi­

lik modal untuk berkembang. 

Sebenarnya telah banyak percobaan untuk menemukan 

sistem yang demikian itu, namun semuanya gagal apabila hanya 

mengandalkan kepada ideologi­ideologi yang ada yaitu sistem 

kapitalisme, sosialisme maupun komunisme. Seringkali, korek­

si­koreksi dilakukan dengan mencampuradukkan beberapa 

ideologi di dalam sebuah wawasan yang sangat umum. Seperti 

modifikasi atas ideologi kapitalisme menjadi folks kapitalismus 

(kapitalisme rakyat), yang mencoba mengoreksi kapitalisme kla­

sik yang hanya mementingkan persaingan bebas, dengan tidak 

menganggap penting arti rakyat kebanyakan.

 Folks kapitalismus mengambil semangat egalitarian dari 

sosialisme, ini berbeda dari birokrasi komunisme yang banyak 

mengadopsi dari kapitalisme klasik, paling tidak mengenai cara­

cara berkompetisi. Islam­pun juga pernah harus melakukan hal 

yang sama yaitu dengan berani mengambil cara­cara dari ideo­

logi­ideologi lain. Puluhan tahun yang lalu, ada gagasan tentang 

“Sosialisme Islam”1, yang walaupun gagal berkembang namun 

tetap saja harus dihargai sebagai upaya dinamisasi agama terse­

but. Begitu juga dengan pengertian­pengertian dasar yang kita 

terus mengalami perubahan. Dahulu, pengangguran berarti ti­

adanya pekerjaan bagi seorang warga negara, sekarang orang 

yang bekerja tapi di bawah 35 jam perminggu sudah dinamai 

penganggur.

Dengan arti perubahan ini , maka pemahaman kita 

1 H. Agus Salim dan HOS Tjokroaminoto adalah tokoh Islam yang meru­

muskan ide ini pada wal masa pergerakan Indonesia.  

g 95 h

mengenai hubungan antara negara dan warganya juga bersifat di­

namis. Jika negara mampu mewujudkan kemakmuran warganya 

pada taraf tertentu, maka hal itu sudah dianggap menunaikan 

kewajiban menciptakan kesejahteraan, karena negara mampu 

melindungi para warganya dengan menjamin taraf kehidupan 

pada titik tertentu, misalnya, melalui asuransi sosial. Ini berarti 

penciptaan kemakmuran dan keadilan, yang kedua­duanya dija­

dikan tujuan UUD 1945 sudah ditunaikan dengan baik, meski 

ada sejumlah warga negara yang berkerja di bawah 35 jam. Nah, 

kalau ini berhasil diwujudkan oleh sebuah masyarakat Islam, 

berarti pula Islam telah berhasil mensejahterakan warga negara 

tanpa menjadi sebuah sistem formal. Sangat kompleks memang, 

tapi cukup berharga untuk direnungkan, bukan? h

Islam, nEGaRa dan Rasa kEadIlan

g 96 h

Sebenarnya, terdapat hubungan sangat erat antara kepe­

mimpinan dan konsep negara dalam pandangan Islam. 

Penulis pernah mengemukakan sebuah sumber tertulis 

(dalil naqli) dalam pandangan Islam. Adagium itu adalah “Tiada 

Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, 

dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi 

Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi 

Tha’ah). Di sini tampak jelas, arti seorang pemimpin bagi Islam, 

ia adalah pejabat yang bertanggung jawab tentang penegakan 

perintah­perintah Islam dan pencegah larangan­larangan­Nya 

(amar ma’rûf nahi munkar). Karenanya, pemimpin dilengkapi 

dengan kekuasaan efektif, yang jelas kekuasaan efektif inilah 

yang oleh Munas Ulama tahun 1957 di Medan, dinyatakan seba­

gai “wewenang kekuasaan efektif “ (syaukah).

Karena itulah, Munas ini  mengatakan bahwa Presi­

den Republik Indonesia adalah “penguasa pemerintahan untuk 

sementara, dengan kekuasaan efektif (walîyyu al-amri li dha-

rûri bi al-syaukah).” Maksud dari kata “untuk sementara”, ka­

rena ia adalah pengganti Imam yang dalam hal ini Kepala Peme­

rintahan. Namun wewenang yang dimilikinya sebagai pengganti 

Imam tidak berdasarkan sumber tertulis (dalil naqli), melainkan 

karena pertimbangan rasional (dalil aqli), yang tidak mengu­

rangi keabsahan kekuasaan itu sendiri. Kemudian kata “semen­

tara”, artinya sebelum datangnya hari kiamat. Keputusan Munas 

di atas, dinyatakan berlaku bagi semua Presiden Republik Indo­

nesia, namun oleh mereka yang “dibius” oleh konsep Negara Is­

lam, dinyatakan hanya berlaku untuk Kepresidenan Bung Karno 

saja.

negara dan kepemimpinan 

dalam Islam

g 97 h

Karena itu diandaikan, di dalam bukan negara Islam  tidak 

ada konsep Islam tentang kepemimpinan, dan dengan demikian 

konsep itu tidak memiliki keabsahan dalam pandangan Islam. 

Ternyata setelah berjalan puluhan tahun lamanya, kini kita me­

ngetahui kenyataan sebenarnya, yaitu bahwa kelangkaan konsep 

Islam tentang negara, tidak berarti agama ini  tidak memi­

liki pandangan tentang kepemimpinan. Pandangan ini melihat 

kepemimpinan menurut Islam berlaku untuk kepemimpinan 

negara (kepemimpinan formal) maupun kepemimpinan dalam 

masyarakat (kepemimpinan non­formal). Dalam tulisan ini akan 

ditinjau orientasi minimalnya, karena hal­hal lain diserahkan 

kepada akal kita untuk merumuskannya.

eg

Dalam pandangan Islam: “orientasi seorang pemimpinan 

terkait langsung dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin”. 

Ini berarti, Islam tidak membeda­bedakan antara kepemimpinan 

negara dengan kepemimpinan masyarakat, juga mengenai ben­

tuk dan batas waktunya. Serta tidak memikirkan format kenega­

raan atau kemasyarakatan yang melatarbelakangi kepemimpin­

an itu, apakah itu imperium dunia, republik negara bangsa atau 

negara kota. Maka dari itu, sia­sia juga jika kita kaitkan langsung 

kepemimpinan di “Negara Islam” yang ada dengan proses demo­

kratisasi. Karenanya, kita lihat sekarang ini kepemimpinan da­

lam “Negara Islam”ada yang bersifat otoriter atau demokratis, de­

ngan sistem pemerintahan Raja atau Amir, kepemimpinan ulama 

maupun kepemimpinan para sesepuh masyarakat (community 

leaders). Selama kepemimpinan itu mendatangkan kesejahtera­

an langsung pada masyarakat, selama itu pula kepemimpinan 

yang ada memiliki legitimasi dalam pandangan umat Islam. 

Namun di sinilah kita sering terjebak, yaitu dalam anggap­

an kesejahteraan di atas hanya menyangkut kenyataan­kenyata­

an lahiriah dan angka statistik belaka, seperti kepemilikan ben­

da, usia hidup rata­rata dan sebagainya. Sering dilupakan, masa­

lah kesejahteraan juga menyangkut kemerdekaan berbicara dan 

berpendapat, kedaulatan hukum dan persamaan perlakuan bagi 

semua warga negara di hadapan undang­undang. Hal­hal itu 

nantinya akan menyangkut kebebasan berorganisasi, kebebasan 

rakyat dalam menentukan bentuk negara yang mereka ingini dan 

nEGaRa dan kEPEmImPInan dalam Islam


g 98 h

beberapa aspek kehidupan agar tercipta rasa keadilan. 

Proses peralihan (transisi) kepemimpinan dunia, negara 

dan masyarakat seperti kita lihat dewasa ini, masih menimbul­

kan keresahan. Keresahan ini seperti yang menghinggapi negara 

dengan mayoritas warganya yang beragama Islam, akibat dari ga­

galnya upaya­upaya terorisme dengan mengatasnamakan Islam 

yang terjadi di mana­mana. Seharusnya, para pakar masyarakat 

muslim di seluruh dunia, harus mensosialisasikan pengenalan 

dan identifikasi sebab-sebab utama munculnya terorisme itu. 

Dan bukannya diselesaikan dengan penyerangan dan pengebom­

an seperti yang terjadi di Afghanistan dan Irak. Pengeboman itu 

sendiri secara tidak jujur dikemukakan Presiden Amerika Serikat 

(AS) Geogre W. Bush Jr. sebagai upaya menurunkan diktaktor 

Saddam Husein dari jabatan kepresidenan di Irak. Padahal, per­

timbangan­pertimbangan geopolitik internasional yang mem­

buat Amerika mengambil tindakan terhadap Irak. Yaitu, karena 

Saudi Arabia telah “menyimpang” dari politik luar negeri AS, pa­

dahal ia adalah penghasil minyak bumi (BBM) nomor satu di du­

nia, maka harus dicarikan kekuatan pengimbang terhadapnya. 

Pilihan itu jatuh kepada Irak, karena ia adalah penghasil minyak 

bumi kedua terbesar saat ini. Karena Irak di bawah kepresiden­

an Saddam tidak akan mungkin mengikuti politik luar negeri 

AS maka ia harus diganti secepatnya. Kalau Saddam dianggap 

sebagai “kekuatan jahat” (evil force), mengapakah hal itu tidak 

dikenakan atas para pemimpin Saudi Arabia? Negara yang telah 

menghukum mati sekitar dua ribu orang yang dianggap “kaum 

oposan”? Standar moral ganda (double morality) seperti ini­

lah yang digunakan para pemimpin seperti Bush saat ini, yang 

membuat istilah “politik” dicitrakan sangat buruk. Padahal oleh 

mendiang Presiden AS John F. Kennedy, politik  sebagai “karya 

termulya”, karena menyangkut kesejahteraan (lahir dan batin) 

rakyat. 

eg

Kembali pada kepemimpinan Islam. Dalam Islam kepemim­

pinan haruslah berorientasi kepada pencapaian kesejahteraan 

orang banyak. Sebuah adagium terkenal dari hukum Islam adalah 

“kebijakan dan tindakan seorang pemimpin haruslah terkait 

langsung kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf 

g 99 h

al-imâm ‘alâ al-ra’iyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jelaslah 

dengan demikian kepemimpinan yang tidak berorientasi kepada 

hal itu, melainkan hanya sibuk dengan mengurusi kelangsungan 

kekuasaan saja, bertentangan dengan pandangan Islam. Kare­

nanya, dalam menilai kepemimpinan dalam sebuah gerakan, se­

lalu diutamakan pembicaraan mengenai kesejahteraan itu, yang 

dalam bahasa Arab dinamakan al-mashlahah al-âmmah (secara 

harfiyah, dalam bahasa Indonesia berarti: kepentingan umum).

Selain itu, Islam tidak mempunyai konsep yang pasti (baku) 

tentang bagaimana sang pemimpin ditetapkan. Kepemimpinan 

sebuah organisasi Islam, ada yang ditetapkan melalui pemilih­

an dalam kongres atau muktamar, namun  masih tampak betapa 

kuatnya faktor keturunan dalam hal ini, seperti dialami penulis 

sendiri. Baiknya sistem ini, jika orang itu membentuk kehidup­

annya sesuai dengan konsep kemaslahatan umat. Buruknya, jika 

pemimpin berdasarkan garis keturunan itu tidak memahami tu­

gas dan kewajibannya, melainkan hanya asyik dengan kekuasa­

an dan kemudahan­kemudahan yang diperolehnya, maka akan 

menjadi lemahlah kepemimpinan ini . Apalagi jika kepe­

mimpinan itu di tangan seorang penakut, yaitu pemimpin yang 

takut kepada tekanan­tekanan dari luar dirinya. Memang kede­

ngarannya mudah mengembangkan kepemimpinan dalam ke­

hidupan, namun  sebenarnya sulit juga, bukan? h

nEGaRa dan kEPEmImPInan dalam Islam

g 100 h

Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi 

NU (Nahdlatul Ulama) terhadap gagasan Negara Islam 

(NI), yang dikembangkan oleh beberapa partai politik 

yang menggunakan nama ini ?1 Pertanyaan ini sangat me­

narik untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang 

tepat atasnya. Ini berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan 

keadaan bernegara yang kita jalani sekarang ini dipersoalkan 

orang. Dengan kata lain, pendapat NU sekarang bukan hanya 

menjadi masalah intern organisasi yang didirikan tahun 1926 itu 

saja, melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum 

bangsa kita. Dengan berupaya menjawab pertanyaan ini , 

penulis ingin menjadi bagian dari proses berpikir bangsa ini yang 

sangat luas. Sebuah keinginan yang pantas­pantas saja dimiliki 

seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI. 

1 Historisitas kemunculan Darul Islam sebagai sebuah gerakan politik di 

Indonesia tidak terlepas dari konstalasi sosio­politik di Indonesia sekitar tahun 

1949­1962. Dengan menggunakan legitimasi agama (Islam), DI dengan didu­

kung tentara­tentara yang dikenal dengan sebutan TII/ Tentara Islam Indone­

sia dapat dikatakan sebagai gerakan yang mengarah pada upaya menggantikan 

sistem politik Republik Indonesia yang mendasarkan ideologinya pada Pan­

casila dengan Negara Islam. Islam politik yang dikedepankan DI secara tidak 

langsung menggambarkan proses relasi antara Islam dan politik yang integral. 

Artinya, Islam dihadapan DI dipandang mengamanatkan pembentukan Negara 

Islam. Berdasarkan pandangan itu,  pada 7 Agustus 1949 M (12 Syawal 1368 H), 

Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo memproklamirkan berdirinya Negara Islam 

Indonesia atau al­Daulah al­Islamiyah di sebuah desa bernama Gunung Cupu, 

Tasikmalaya Jawa Barat.

 (1)

g 101 h

Dalam sebuah tesis Magister –yang dibuatnya beberapa 

tahun yang lalu, Pendeta Einar Martahan Sitompul2, yang di ke­

mudian hari menjadi Sekretaris Jenderal Gereja Huria Kristen 

Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar NU ta­

hun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab se­

buah pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi ini  dinamai 

bahts al-masâ’il (pembahasan masalah)3. Salah sebuah masalah 

yang diajukan kepada muktamar ini  berbunyi: wajibkah 

bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan 

Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal 

diperintah orang­orang non­muslim? Muktamar yang dihadiri 

oleh ribuan orang ulama itu, menjawab bahwa wajib hukumnya 

secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama, karena 

kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. 

Sebab kedua, karena dahulu di kawasan ini  telah ada Kera­

jaan Islam. Jawaban kedua itu, diambilkan dari karya hukum 

agama di masa lampau, berjudul “Bughyah al-Mustarsyidîn”.4

Jawabaan di atas seolah memperkuat pandangan Ibn 

Taimiyyah, beberapa abad yang lalu. Dalam pendapat pemikir 

ini, hukum agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpin­

an berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang berarti pengakuan 

akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar 

di muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat 

menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan 

2  Sitompul, Einar Martahan, NU dan Pancasila : Sejarah dan Peranan 

NU dalam Perjuangan Umat Islam di Indonesia dalam rangka Penerimaan 

Pancasila sebagai Satu-satunya Asas, (Jakarta: Sinar Harapan 1989). Buku ini 

diberi Kata Pengantar oleh KH. Abdurrahman Wahid. 

3 Forum ilmiah yang beranggotakan para ulama berkeahlian khusus 

yang bertugas membahas masalah­masalah waqi’iyyah (aktual) dengan men­

dasarkan pada al-kutub al-mu’tabarah. Forum ini juga banyak dijumpai di 

pesantren­pesantren dengan beranggotakan santri­santri senior sebagai ajang 

penguasaan terhadap referensi­referensi klasik.

4 Nama lengkap kitab ini adalah “Bughyatul Mustarsyidin Fi Talhis Fa-

tawa Ba’dli al-A’immah al-Muta’akhirin” yang disusun oleh As­Sayid Abdur­

rahman bin Muhammad bin Husain bin Umar yang dikenal dengan sebutan 

Ba’alawy. Kitab ini dicetak bersama dengan dua kitab yaitu Itsmidul Ainain dan 

Ghayah Talkhis al-Murad. Keberadaan Kitab Bughyatul Mustarsyidin yang di 

pesantren cukup disebut dengan Bughyah ini sangatlah berarti dalam diskur­

sus pesantren, karena hampir dipastikan kitab ini selalu muncul dalam kajian­

kajian permasalahan aktual meski sebenarnya kitab ini merupakan kompilasi 

dari fatwa­fatwa para ulama Hadramaut, Yaman.

 (1)


g 102 h

berbilang yang khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, 

telah diperkirakan oleh kitab suci al-Qurân dengan firman Allah; 

“Sesungguhnya Aku telah menciptakan kalian dari jenis laki­laki 

dan perempuan dan Ku­jadikan kalian berbangsa­bangsa dan 

bersuku­suku bangsa, agar kamu sekalian saling mengenal (innâ 

khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban 

wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS al­Hujurat [49]:13). Firman Allah 

ini juga yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di ka­

langan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan 

diantara mereka, seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah 

kalian (erat­erat) kepada tali Allah secara keseluruhan, dan ja­

nganlah terbelah­belah/saling bertentangan (wa’tashimû bi ha-

bli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS ali­Imran [3]:103).

eg

Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 

itu, NU dapat menerima kenyataan tentang kedudukan negara 

Hindia Belanda (Indonesia) dalam pandangan Islam. Menurut 

pendapat organisasi ini  tidak perlu NI didirikan. Dalam hal 

ini, diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidak-

nya didirikan sebuah NI.

Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, 

seperti pendapat kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan 

dan Mauritania. Pendapat kedua, seperti dianut oleh NU dan 

banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu ada NI. Ini dise­

babkan oleh heterogenitas sangat tinggi di antara  warga negara 

Indonesia, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tang­

gungjawab masyarakat, dan bukannya negara. Pandangan NU 

ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak memiliki ajaran for­

mal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai 

tanggungjawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan Syari’ah 

Islam.

Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam ben­

tuk firman Allah; “Hari ini telah Ku-sempurnakan agama ka­

lian, Ku­sempurnakan bagi kalian (pemberian) nikmat­Ku dan 

Ku­relakan Islam “sebagai” agama (al-yauma akmaltu lakum 

dînakum wa atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al-

Islâma dînan)” (QS al­Maidah [5]:3). Jelaslah dengan demikian, 

Islam tidak harus mendirikan negara agama, melainkan ia berbi­

g 103 h

cara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak 

memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep 

tentang negara. Demikian pula, firman Allah; “Masuklah kalian 

ke dalam Islam (kedamaian) secara keseluruhan (udkhulû fî al-

silmi kâffah)” (QS al­Baqarah (2): 208). Ini berarti kewajiban 

bagi kita untuk menegakkan ajaran­ajaran kehidupan yang tidak 

terhingga, sedangkan yang disempurnakan adalah prinsip­prin­

sip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai dengan tempat dan 

waktu manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsip­prinsip 

ini . Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk sege­

nap waktu dan tempat (al-Islâm shalihun likulli zamânin wa 

makânin).

Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan 

Kitab Suci; “Orang yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (se-

suai dengan) apa yang diturunkan Allah , maka orang itu (terma­

suk) orang yang kafir –atau dalam variasi lain dinyatakan orang 

yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam yahkum 

bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS al­Maidah 

[5]:44).5 Namun bagi penulis, tidak ada alasan untuk melihat ke­

harusan mendirikan NI, karena hukum Islam tidak bergantung 

pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat member­

lakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga ti­

dak karena undang­undang negara, melainkan karena itu diperin­

tahkan oleh syari’at Islam. Sebuah masyarakat yang secara moral 

berpegang kepada Islam dan dengan sendirinya melaksanakan 

syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah negara 

agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah 

Nabi Muhammad Saw wafat. 

5 Pandangan fundamentalisme ini didasarkan pada beberapa ayat al­

Quran yang memerintahkan tentang pemberian putusan. Sebagaimana difir­

mankan Allah  dalam Q.S. al­Maidah, (5): 44, 45 dan 47. Ayat­ayat itu dengan 

tegas memberikan penilain yang negatif, terutama kepada mereka yang tidak 

melaksanakan perintah. Tak hanya itu, golongan yang mendapat celaan Allah  

itu pun dikategorikan kafir, zalim dan fasik. Kaum fundamentalis memahami 

ketiga ayat itu secara atomistik. Atomisme yang mereka lakukan tidak hanya 

mengisolasi ayat dari konteksnya, tapi juga memahami frasa terakhir dari ayat­

ayat itu dari frasa­frasa sebelumnya. Padahal, konteks ketiga ayat itu sebenar­

nya menyebutkan bahwa subyek yang dikritik sehingga menjadi kafir, zalim 

dan fasik adalah kaum Yahudi dan Kristen yang tidak memutuskan perkara 

berdasarkan apa atau hukum yang diturunkan Allah . Dengan demikian, pi­

hak yang mendapat kritik sebagaimana terkandung dalam ayat­ayat itu bukan 

umat Islam pengikut Nabi Muhammad.           

 (1)


Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuang­

kan  Indonesia menjadi NII, Negara Islam Indonesia. Kemaje­

mukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan bangsa kita, 

membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan 

negara, yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan ini­

lah yang sering dikacaukan oleh orang yang tidak mau mengerti 

bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi kaum muslimin, 

tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaran­ajar­

an Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama 

secara formal ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup di­

lahirkan dalam bentuk masyarakat saja? Orang “berakal sehat” 

tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan NI, kalau hal 

itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip 

persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur ke­

hidupan mereka.

Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, ten­

tang kebolehan Imam berbilang yang berarti tidak adanya keha­

rusan mendirikan NI. Lalu mengapakah fatwa­fatwa beliau ti­

dak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU itu? Karena, 

pandangan beliau dirujuk oleh wangsa yang berkuasa di Saudi 

Arabia bersama­sama dengan ajaran­ajaran Madzhab Hambali 

(disebutkan juga dalam bahasa Inggris Hambalite School), yang 

secara de facto melarang orang bermadzhab lain. Kenyataan 

ini tentu saja membuat orang­orang NU bersikap reaktif ter­

hadap madzhab ini . Tentu saja hal itu secara resmi tidak 

dilakukan, karena sikap Saudi Arabia terhadap madzhab­madz­

hab non­Hambali juga tidak bersifat formal. Dengan kata lain, 

pertentangan pendapat antara “pandangan kaum Wahabi” yang 

secara de facto demikian keras terhadap madzhab­madzhab lain 

itu, melahirkan reaksi yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah con­

toh dari sikap keras yang menimbulkan sikap yang sama dari “pi­

hak seberang”.

Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau me­

ngalah itu membuat gagasan membentuk NI di negara kita (men­

jadi NII), sebagai sebuah utopia yang terdengar sangat indah, 

namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau pi­

hak non­muslim ataupun pihak kaum muslimin nominal (kaum 

abangan), berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam 

itu. Jadi gagasan yang semula tampak indah itu, pada akhirnya 

akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam sikap para warga 

negara Indonesia, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara 

bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan 

sejarah. Kalaupun toh dipaksakan –sekali lagi­ untuk mewujud­

kan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanya­

lah serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi 

di negara kita tahun­tahun 50­an. Apakah deretan pemberontak­

an bersenjata seperti itu, yang ingin kita saksikan kembali dalam 

sejarah modern bangsa kita. h

saat  berada di Makassar pada minggu ke tiga bulan Feb­

ruari 2003, penulis di wawancarai oleh TVRI di studio 

televisi kawasan ini , yang direlay oleh studio­stu­

dio TVRI seluruh Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara 

itu dengan menyatakan, menyadari sepenuhnya bahwa masih 

cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara Islam 

(NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar1 yang dinyatakan 

meninggal dalam paruh kedua tahun 60­an ternyata masih be­

sar. Karenanya, penulis menyatakan dalam wawancara ini , 

pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan tentang 

pembentukan NI di Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, 

bahwa ia menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi 

ia juga tidak memusuhi orang­orang yang berpikiran seperti itu.

Dalam dialog interaktif yang terjadi setelah itu, penulis di­

hujani pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada 

yang menyatakan, penulis adalah diktator karena tidak menyetu­

jui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab, bahwa saya meng­

anggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka 

di muka umum tentang gagasan ini , itu sudah berarti saya 

bukan diktator. Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak ada­

nya dialog dan orang menerima saja sebuah gagasan dan tidak 

boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka. Dari dialog 

1 Kahar Muzakkar (1921­1965) adalah pemimpin pemberontak DII/TII di 

Sulawesi Selatan. Namanya menjadi inspirasi bagi gerakan tuntutan penerapan 

Syariat Islam yang diusung Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPPSI) 

Sulawesi Selatan yang dipimpin anaknya Aziz Kahar.

interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus 

dipikirkan, seperti pengaruhnya bagi berbagai kawasan dunia 

Islam lainnya dan juga kadar pengetahuan agama Islam yang 

rendah.

Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, diga­

bungkan dengan rasa kekhawatiran sangat besar lembaga/in­

stitusi ke­Islam­an melihat tantangan modernisasi, membuat 

mereka melihat bahaya di mana­mana terhadap Islam. Proses 

pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu menekankan pada 

aspek kelembagaan/institusional Islam belaka, dapat dinama­

kan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum mus­

limin. Pihak­pihak lain yang non­muslim juga mengalami pen­

dangkalan seperti itu, dan juga memberikan responsi yang salah 

terhadap tantangan keadaan. Kalau kita melihat pada budaya/

kultur kaum muslimin dimana­mana, sebenarnya kekhawatiran 

demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan 

mereka. Cara hidup, membaca al-Qurân dan Hadist, main reba­

na, tahlil, berbagai bentuk “seni Islam” dan lain­lainnya, justru 

mampu menumbuhkan rasa percaya diri yang besar, dalam diri 

kaum muslimin.

Salah seorang penanya dalam dialog interaktif itu mengu­

tip al-Qurân “Barang siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan 

apa yang di turunkan Allah, mereka adalah orang yang kafir 

(wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa’ulâika hum al-kâ-

firûn)” (QS al­Maidah [5]:44). Lalu bagaimana mungkin kita 

menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawab penulis, karena ada 

masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita 

agar melaksanakan hukum Allah. Jika negara yang melakukan 

itu, maka dapat saja lembaga bikinan manusia ini ditinggalkan. 

Jadi, untuk memelihara pluralitas bangsa, tidak ada kewajiban 

mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya 

gagasan mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenar­

nya jadi pandangan Islam dalam soal wajib tidaknya gagasan 

mendirikan NI.

Netralitas ini sangat penting untuk dijunjung tinggi, kare­

na hanya dengan demikian sebuah Negara Kesatuan Republik 

Indonesia dapat didirikan. Dengan berdirinya NII, maka pihak 

minoritas ­baik minoritas agama maupun minoritas lain­lain­

nya­, tidak mau berada dalam negara ini dan menjadi bagian dari 

negara ini . Dengan demikian, yang dinamakan Republik 


Indonesia tidak dapat diwujudkan, karena ketidaksediaan terse­

but. Akhirnya, Indonesia akan tidak terwujud sebagai kesatuan, 

karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan Selatan dari 

Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Suma­

tra Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan 

Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, 

Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan sebagian Maluku dan lain­

lainnya, berada di luar susunan kenegaraan NKRI, karena ber­

dasarkan agama mayoritas penduduknya itu.

Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam 

dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk 

menghilangkan Piagam Jakarta2 dari Pembukaan Undang­Un­

dang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah sebuah 

sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputus­

an itu diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad, yang dikeluar­

kan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang 

sangat mendasar, dengan menyatakan bahwa mempertahankan 

wilayah Republik Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum 

muslimin. Dengan rangkaian kegiatan seperti itu, termasuk 

mendirikan Markas Besar Oelama Djawa–Timoer (MBODT) di 

Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari 

kegiatan bermacam­macam untuk mempertahankan Repub­

lik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI. Diteruskan 

dengan perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda 

di tahun­tahun berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan 

pesantren­pesantren yang mereka pimpin, selamatlah negara 

kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri, hingga ter­

capainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 ­ 1950.

eg

2 Tujuh kata Piagam Jakarta yang dibuang oleh sidang PPKI itu adalah 

“Negara berdasar KeAllah an Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan 

Syari’ah Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.”

3  Resolusi Jihad digagas oleh KH. Hasyim Asy’ari yang saat  itu menja­

bat sebagai Rais Akbar Nahdlatul Oelama. Hal ini dimaksudkan untuk melaku­

kan perlawanan semesta kepada penjajah Belanda yang dibackingi antara lain 

oleh tentara Inggris. Resolusi Jihad dikeluarkan pada 22 Oktober 1945. Reso­

lusi Jihad inilah yang memberikan dorongan dan inspirasi bagi Bung Tomo 

sebagai pemimpin perjuangan untuk melakukan perlawanan semesta kepada 

penjajah di Surabaya. Itu pula yang kemudian melahirkan Peristiwa 10 Novem­

ber 1945 sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya dikenal sebagai Kota Pahlawan.

Perkembangan sejarah setelah itu menunjukkan bahwa 

agama Islam tidak berkurang perannya dalam kehidupan bang­

sa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan Re­

publik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam De­

wan Konstituante di tahun 1956­1959. Demikian juga beberapa 

kali pemberontakan bersenjata terhadap NKRI dapat digagalkan 

seperti DI­TII dan APRA (Bandung 1950). Ini tidak berarti Islam 

dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari kip­

rah yang dilakukan oleh Al­Azhar di Kairo. 

Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah 

memiliki jumlah terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bang­

sa­bangsa lain, Indonesia justru memiliki jumlah yang sangat 

besar kaum “muslimin statistik” atau lebih dikenal dengan sebut­

an “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang 

taat beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan 

minoritas. Karena itu, alangkah tidak bijaksananya sikap ingin 

memaksakan NI atas diri mereka.

Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang di 

sebutkan di atas? Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegak­

kan hukum agama maka masyarakatlah yang berkewajiban. Da­

lam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang telah 

berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (re­inter­

prensi) atas hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan 

terhadap celana dan dasi, karena itu adalah pakaian orang­orang 

non­muslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang siapa me­

nyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka (man ta-

syâbbaha bi qaumin fahuwa min hum).”4 namun  sekarang, tidak 

ada lagi persoalan tentang hal itu karena esensi Islam tidak ter­

letak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak yang 

dilaksanakan.

Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai 

gerakan Islam dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 

4  Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud dari 

Ibnu Umar dan juga Imam Ahmad dalam musnadnya. Sedangkan Tirmidzi 

dalam bab al-Isti’dzan meriwayatkan dengan redaksi “Laisa minna man ta-

syabbaha bighairina wala tasyabbahu bil yahud wala bi an-nashara (Bukan 

termasuk golonganku orang yang menyerupai sebuah komunitas selain kami, 

janganlah kalian berlaku seperti Yahudi dan Nasrani).” Di akhir hadis ini Imam 

Tirmidzi memberikan komentar pendek tentang nilai hadis ini yang sebenar­

nya dlaif. 



g 110 h

(PPKI) memutuskan untuk menghilangkan Piagam Jakarta dari 

UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan jauh, dapat meli­

hat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaran­ajaran 

agama mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demiki­

an, mereka menghidupi baik agama maupun negara. Sikap inilah 

yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul Ulama (NU), sehing­

ga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita. h

g 111 h

Pada suatu pagi selepas olahraga jalan­jalan, penulis di­

minta oleh sejumlah orang untuk memberikan apa yang 

mereka namakan “petuah”. Saat itu, ada Kyai Aminullah 

Muchtar dari Bekasi, sejumlah aktifis NU dan PKB dan sekelom­

pok pengikut aliran kepercayaan dari Samosir. Dalam kesem­

patan itu, penulis mengemukakan pentingnya memahami arti 

yang benar tentang Islam. Karena ditafsirkan secara tidak benar, 

maka Islam tampil sebagai ajakan untuk menggunakan kekeras­

an/terorisme dan tidak memperhatikan suara­suara moderat. 

Padahal, justru Islam­lah pembawa pesan­pesan persaudaraan 

abadi antara umat manusia, bila ditafsirkan secara benar.

Pada kesempatan itu, penulis mengajak terlebih dahulu 

memahami fungsi Islam bagi kehidupan manusia. Kata al-Qurân, 

Nabi Muhammad Saw diutus tidak lain untuk membawakan 

amanat persaudaraan dalam kehidupan (wa mâ arsalnâka illâ 

rahmatan lil ‘âlamîn) (QS al­Anbiya [21]:107), dengan kata “rah­

mah” diambilkan dari pengertian “rahim” ibu, dengan demikian 

manusia semuanya bersaudara. Kata “’alamîn” di sini berarti 

manusia, bukannya berarti semua makhluk yang ada. Jadi tugas 

kenabian yang utama adalah membawakan persaudaraan yang 

diperlukan guna memelihara keuAllah  manusia dan jauhnya tin­

dak kekerasan dari kehidupan. Bahkan dikemukakan penulis, 

kaum muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan hanya 

kalau aqidah mereka terancam, atau mereka diusir dari tempat 

tinggalnya (idzâ ukhriju min diyârihim).

Kemudian, penulis menyebutkan disertasi doktor dari 

Charles Torrey yang diajukan kepada Universitas Heidelberg 

di Jerman tahun 1880. Dalam disertasi itu, Torrey mengemu­

Islam: Perjuangan Etis 

ataukah Ideologis

kakan bahwa kitab suci al-Qurân menggunakan istilah-istilah 

paling duniawi, seperti kata “rugi”, “untung” dan “panen”, untuk 

menyatakan hal­hal yang paling dalam dari keyakinan manusia. 

Umpamanya saja, ungkapan “ia di akhirat menjadi orang­orang 

yang merugi (perniagaannya) (wa huwa fi al-âkhirati min al-

khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Begitu juga ayat lain, “men­

ghutangi Allah dengan hutang yang baik (yuqridhullâha qard-

han hasanan)” (QS al­Baqarah [2]:245), serta ayat “barang siapa 

menginginkan panen di akhirat, akan Ku­tambahi panenannya 

(man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati nazid lahû fi hartsihi)” (QS 

al-Syûra [42]:20).

Dalam uraian selanjutnya, penulis mengemukakan penger­

tian negara dari kata “daulah”, yang tidak dikenal oleh al-Qur’an. 

Dalam hal ini, kata ini  mempunyai arti lain, yaitu “berputar” 

atau “beredar”, yaitu dalam ayat “agar harta yang terkumpul itu 

tidak berputar/beredar antara orang­orang kaya saja di lingkung­

an anda semua (kailâ yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’i min-

kum)” (QS al­Hasyr (59):7). Ini menunjukkan yang dianggap 

oleh al­Quran adalah sistem ekonomi dari sebuah negara, bukan 

bentuk dari sebuah negara itu sendiri. Jadi, pembuktian tekstual 

ini menunjukkan Islam tidak memandang penting bentuk nega­

ra. Atau, dengan kata lain, Islam tidak mementingkan konsep 

negara itu sendiri.

Dapat disimpulkan dari uraian di atas, Islam lebih meng­

utamakan fungsi negara dari pada bentuknya. Dalam hal ini, ben­

tuk kepemimpinan dalam sejarah Islam senantiasa mengalami 

perubahan. Bermula dari sistem prasetia (bai’at) dari suku­suku 

kepada Sayyidina Abu Bakar, melalui pergantian pemimpin de­

ngan penunjukkan dari beliau kepada Sayyidina Umar, diterus­

kan dengan sistem para pemilih (ahl al-halli wa al-aqdi) baik 

langsung maupun tidak, diteruskan dengan sistem kerajaan atau 

keturunan di satu sisi dan kepala negara atau kepala pemerin­

tahan dipilih oleh lembaga perwakilan, serta memimpin melalui 

coup d’etat di sementara negara, semuanya menunjukkan tiada­

nya konsep pergantian pemimpin negara secara jelas dalam pan­

dangan Islam. 

Demikian juga, Islam tidak menentukan besarnya negara 

g 113 h

yang akan dibentuk. Di zaman Nabi Saw, negara meliputi satu 

wilayah kecil saja –yaitu kota Madinah dan sekitarnya, diterus­

kan dengan imperium dunia di masa para khalifah dan kemu­

dian Dinasti Umaiyyah dan Abbasyiah. Setelah itu, berdirilah 

kerajaan­kerajaan lokal dari Dinasti Murabbitîn1 di barat Afrika 

hingga Mataram di Pulau Jawa. Kini, kita kenal dua model; mo­

del negara­bangsa (nation state) dan negara kota (city state). 

Keadaan menjadi lebih sulit, karena negara kota menyebut diri­

nya negara­bangsa, seperti Kuwait dan Qatar.

eg

Dengan tidak jelasnya konsep Islam tentang pergantian 

pemimpin negara dan bentuk negara seperti diterangkan di atas, 

boleh dikatakan bahwa Islam tidak mengenal konsep negara. 

Dalam hal ini, yang dipentingkan adalah masyarakat (mujtama’ 

atau society), dan ini diperkuat oleh penggunaan kata umat 

(ummah) dalam pengertian ini. Sidney Jones2 mengupas peru­

1 Kerajaan Murabbitin didirikan 1056 M di Morroco oleh Dinasti Berber 

dari Sahara. Pada masa Dinasti Moor, kekuasaan kerajaan ini meluas dari Mau­

ritania, Gibraltar, Aljazair, Senegal dan Mali, hingga ke daratan Eropa yaitu 

Spanyol dan Portugal.

2 Sidney Jones adalah Direktur International Crisis Group (ICG) yang 

banyak melakukan riset di Indonesia terutama tentang tumbuhnya gerakan 

Islam radikal meski terkadang risetnya terkesan generalisasi terhadap kasus­

kasus gerakan­gerakan Islam di Indonesia. Tidak banyak yang mengetahui 

sepak terjang wanita yang lahir 31 Mei 1952 pada era Orde Baru. Sebab, Sidney 

Jones baru dikenal oleh publik Indonesia pada tahun 2002 melalui artikelnya 

yang berjudul “Al-Qaidah in Southeast Asia: The Case of the “Ngruki Network” 

in Indonesia.” Sebelumnya, wanita ini memang pernah sangat akrab dengan 

Indonesia saat  menjadi aktivis LSM terkemuka seperti Ford Foundation 

(1977­1984), Amnesty International (1984­1988), Direktur Divisi Asia Human 

Rights Watch (1989­2002). Sekitar 20 tahun lebih, Sidney mengenal Indone­

sia. Sebagai peneliti yang banyak “asam garam” dengan Orde Baru, Sidney telah 

mampu merekam apa saja yang terjadi selama 20 tahun yang terkait dengan 

berbagai isu seputar Tapol, Pelanggaran HAM, dan isu­isu lain yang meru­

pakan “makanan” kelompok LSM. Sedang International Crisis Group (ICG) 

merupakan sebuah organisasi non­profit yang melakukan riset lapangan dan 

advokasi tingkat tinggi untuk mencegah dan menyelesaikan konflik berbahaya. 

Organisasi ini bersifat multinasional dan independen dengan mempekerjakan 

lebih dari 90 staff di beberapa perwakilan di hampir 30 negara dengan kantor 

pusat di Belgia serta kantor­kantor advokasi tersebar di Washington DC, New 

York, Moscow dan Paris serta kantor urusan media di London.

Islam: PERjuanGan EtIs ataukaH IdEoloGIs?


g 114 h

bahan arti kata "umat Islam" dalam berbagai masa di Indonesia, 

yang diterbitkan di jurnal Indonesia Universitas Cornell di Itha­

ca, New York, beberapa tahun lalu. Semuanya menunjuk pada 

pengertian masyarakat itu, baik seluruh bangsa maupun hanya 

para pengikut gerakan­gerakan Islam di sini belaka.

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan adanya pan­

dangan tentang negara dalam Islam, harus diartikan ada pan­

dangan agama ini  tentang masyarakat. Ini semua, akan 

membawa konsekuensi tiadanya hubungan antara Islam sebagai 

ideologi politik dan negara. Dengan kata lain, Islam mengenal 

ideologi sebagai pegangan hidup masyarakat, minimal berlaku 

untuk para warga gerakan­gerakan Islam saja. Jadi negara dapat 

saja didirikan tanpa ideologi Islam, untuk menyantuni hak­hak 

semua warga negara di hadapan Undang­Undang Dasar (UUD), 

baik mereka muslim maupun non­muslim.

Tanpa menyadari hal ini, kita secara emosional akan meng­

ajukan tuntutan akan adanya sebuah ideologi Islam dalam kehi­

dupan bernegara. Ini berarti, warga negara non­muslim akan 

menjadi warga negara kelas dua, baik secara hukum maupun 

dalam kenyatan praktis. Padahal Republik Indonesia tanpa meng­

ICG pada saat ini mengoperasikan tiga belas kantor cabang (Amman, 

Belgrade, Bogota, Cairo, Freetown, Islamabad, Jakarta, Kathmandu, Nairobi, 

Osh, Pristina, Sarajevo dan Tbilisi)  dengan para analis yang bekerja di lebih 

dari 30 negara dan daerah krisis di empat benua. Di Afrika, negara­negara 

ini  meliputi Burundi, Rwanda, Republik Demokratik Congo, Sierra Leo­

ne-Liberia-Guinea, Ethiopia, Eritrea, Somalia, Sudan, Uganda dan Zimbabwe; 

di Asia, Indonesia, Myanmar, Kyrgyzstan, Tajikistan, Turkmenistan, Uzbeki­

stan, Pakistan, Afghanistan dan Kashmir; di Eropa, Albania, Bosnia, Georgia, 

Kosovo, Macedonia, Montenegro, dan Serbia; di Timur Tengah, seluruh bagian 

Afrika Utara sampai ke Iran; dan di Amerika Latin, Colombia.  

ICG mendapatkan dukungan dana dari pemerintah, yayasan amal, 

perusahaan dan donor individual.  Negara­negara yang pada saat ini turut me­

nyediakan dana antara lain: Australia, Austria, Canada, Denmark, Finlandia, 

Perancis, Jerman, Irlandia, Jepang, Luxemburg, Belanda, Norwegia, Swedia, 

Swiss, Republik Rakyat Cina (Taiwan), Turki, Inggris dan Amerika Serikat. 

Sumbangan dari yayasan dan donor swasta meliputi Atlantic Philanthropies, 

Carnegie Corporation of New York, Ford Foundation, Bill & Melinda Gates 

Foundation, William & Flora Hewlett Foundation, Henry Luce Foundation, 

John D. & Catherine T. Mac Arthur Foundation, John Merck Fund, Charles 

Stewart Mott Foundation, Open Society Institute, Ploughshares Fund, Sigrid 

Rausing Trust, Sasakawa Peace Foundation, Sarlo Foundation of the Jewish 

Community Endowment Fund, the United States Institute of Peace dan The 

Fundacao Oriente.

g 115 h

gunakan ideologi agama secara konstitusional dalam hidupnya, 

berhasil menghilangkan kesenjangan itu. Dengan demikian, ter­

jadilah proses alami kaum muslimin memperjuangkan 'ideologi 

masyarakat' yang mereka ingini melalui penegakkan etika Islam, 

bukannya ideologi Islam. Bukankah ini lebih rasional? h

Islam: PERjuanGan EtIs ataukaH IdEoloGIs?

g 116 h

Judul diatas diilhami oleh jargon populer: “Sebaik­baik per­

soalan adalah yang berada di tengah (khairu al-umûr aus-

âthuha).” Ia juga bisa mencerminkan pandangan agama 

Buddha tentang “jalan tengah” yang dicari dan diwujudkan oleh 

penganut agama ini . Walaupun demikian, judul itu dimak­

sudkan untuk mengupas sebuah buku karya tokoh Syi’ah terke-

muka Dr. Musa al-Asy’ari, “Menggagas Revolusi Kebudayaan 

Tanpa Kekerasan” –dalam sebuah diskusi di kampus Universitas 

Darul Ulum Jombang, beberapa waktu lalu. Katakanlah sebagai 

sebuah resensi, yang juga semacam analisa terhadap kecende­

rungan umum mengambil “jalan tengah” yang dimiliki bangsa 

kita, dan mempengaruhi kehidupan di negeri ini.

Dalam kenyataan hidup sehari­hari, sikap mencari jalan 

tengah ini, akhirnya berujung pada sikap mencari jalan sendiri 

di tengah tawaran penyelesaian berbagai persoalan yang masuk 

ke kawasan ini. Namun, sebelum menyimpulkan hal itu, terlebih 

dahulu penulis ingin melihat buku itu dari kacamata sejarah ja­

lan hidup banyak peradaban dunia. Kalau kita tidak pahami ma­

salah ini  dari sudut ini, kita akan mudah menggangap “ja­

lan tengah” sebagai sesuatu yang khas dari bangsa kita, padahal 

dalam kenyataannya tidaklah demikian.

Bahwa bangsa kita cenderung untuk mencari sesuatu yang 

“independen” dari bangsa­bangsa lain, merupakan sebuah kenya­

taan yang tidak terbantahkan. Mr. Muhammad Yamin, umpama­

nya menggangap kerajaan Majapahit memiliki angkatan laut 

yang kuat dan menguasai kawasan antara Pulau Madagaskar di 

lautan Hindia/Samudra Indonesia di Barat dan Pulau Tahiti di 

tengah-tengah Lautan Pasifik, dengan benderanya yang terkenal 

Merah Putih. Padahal, angkatan laut kerajaan Majapahit hanya­

lah fatsal (pengikut) belaka dari Angkatan Laut Tiongkok yang 

menguasai kawasan perairan ini  selama berabad­abad. 

Yang terbaik Berada di tengah

g 117 h

Kita tentu tidak senang dengan klaim sejarah ini  karena 

mengartikan kita lemah di hadapan Tiongkok. namun  kenyataan 

sejarah berbunyi lain, Australia, misalnya, yang menjadi domini­

on Inggris, secara hukum dan tata negara, memiliki indenpen­

densi sendiri terlepas dari negara induk.

eg

Penulis melihat, bahwa sejarah dunia penuh dengan pe­

nyimpangan­penyimpangan. seperti itu Umpamanya saja, seper­

ti ditunjukkan oleh Oswald Spengler dalam “Die Untergang 

des Abendlandes” (The Decline of The West).  Dalam buku itu 

digambarkan, ternyata kejayaan peradaban Barat dalam abad 

ke 20 ini mulai mengalami kerunAllah  (Untergang). Filosof 

Spanyol kenamaan, Ortega Y Gasset, juga menunjuk kepada tan­

tangan dari massa rakyat kebanyakan dalam peradaban modern 

ini terhadap karya­karya dan produk kaum elit, seperti tertuang 

dalam bukunya yang sangat terkenal “Rebellion of the Masses” 

(Pemberontakan Rakyat Kebanyakan).

Kemudian itu semua, disederhanakan oleh Arnold Jacob 

Toynbee dalam karya momentumnya yang terdiri dari 2 jilid, A 

Study of History. Toynbee mengemukakan sebuah mekanisme 

sejarah dalam peradaban manusia, yaitu tantangan (challenges) 

dan jawaban (responses). Kalau tantangan terlalu berat, seperti 

tantangan alam di kawasan Kutub Utara, seperti yang dialami 

bangsa Eskimo, maka manusia tidak dapat memberikan jawaban 

memadai, jadi hanya mampu bertahan hidup saja. Sebaliknya, 

kalau tantangan dapat diatasi dengan kreatifitas, seperti tantang-

an banjir sungai yang merusak untuk beberapa bulan dan kemu­

dian membawa kemakmuran melalui kesuburan tanah untuk 

masa selanjutnya, maka akan melahirkan peradaban tepi sungai 

yang sangat besar, seperti di tepian Nil, Tigris, Euphrat, Gangga, 

Huang Ho, Yang Tse Kiang, Musi dan Brantas. Lahirnya pusat­

pusat peradaban dunia di tepian sungai­sungai itu, merupakan 

bukti kesejahteraan yang tidak terbantah.

Jan Romein, seorang sejarawan Belanda, penulis buku 

Aera Eropa ia menggambarkan adanya PKU I (Pola Kemanusia­

an Umum pertama, Eerste Algemeene Menselijk Patron). PKU I 

itu, menurut karya Romein ini  memperlihatkan diri dalam 

tradisionalisme yang dianut oleh peradaban dunia dan kerajaan­

yanG tERbaIk ada dI tEnGaH

kerajaan besar waktu itu, berupa masyarakat agraris, birokrasi 

kuat di bawah kekuasaan raja, yang moralitasnya sama di mana­

mana. Pada abad ke­6 sebelum masehi, terjadi krisis moral be­

sar­besaran yang disusul dengan munculnya nama­nama Lao Tze 

dan Konghucu di China, Budha Gautama di India, Zarathustra di 

Persia dan Akhnaton di Mesir. Para moralis hebat ini mengem­

balikan dunia kepada tradisionalismenya, dengan memperkuat 

“keseimbangan”. Sebaliknya, para filosof Yunani Kuno, mem­

buat penyimpangan pertama terhadap PKU I itu, dengan menge­

mukakan rasionalitas sebagai ukuran perbuatan manusia yang 

terbaik. Penyimpangan­penyimpangan PKU I ini diikuti oleh pe­

nyimpangan­penyimpangan lain oleh Eropa seperti kedaulatan 

hukum Romawi (Lex Romanum) pengorganisasian kinerja, Re-

naissance (Abad Kebangkitan), Abad Pencerahan (Aufklarung), 

Abad Industri dan Abad Ideologi. Dengan adanya penyimpangan 

itu, Eropa memaksa dunia untuk menemukan PKU II (Tweede 

Algemeene Menselijk Patron), yang belum kita kenal bentuk fi­

nalnya.

Nah, kita menolak teokrasi (negara agama) dan sekular­

isme, dengan mengajukan alternatif ketiga berupa Pancasila. 

Kompromi politik yang dikembangkan kemudian (dan sampai 

sekarang belum juga berhasil) sebagai ideologi bangsa, menolak 

dominasi agama maupun kekuasaan anti agama dalam kehidup­

an bernegara. Karena sekularisme dipandang sebagai penolakan 

kepada agama ­dan bukannya sebagai pemisahan agama dari 

negara, maka kita merasakan perlunya mempercayai Pancasila 

yang menggabungkan Sila Pertama (Kepercayaan terhadap Tu­

han Yang Maha Esa), dan sila­sila lain yang oleh banyak penulis 

dianggap sebagai penolakan atas agama.

Buku yang ditinjau penulis ini, sebenarnya adalah upaya 

dari jenis yang berupaya menyatukan “kebenaran agama” dan il­

mu pengetahuan sekuler (dirumuskan sebagai kemerdekaan ber­

pikir oleh pengarangnya). Jelas yang dituju adalah sebuah sin­

tesa baru yang terbaik bagi kita, dari dua hal yang saling berten­

tangan. Apakah ini merupakan sesuatu yang berharga, ataukah 

hanya berujung kepada sebuah masyarakat (dan negara) “yang 

bukan­bukan”? h

Tulisan­tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak 

Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebut Islam sebagai 

agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali 

tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri­nege­

ri muslim­lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, 

termasuk di Indonesia. Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, 

berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal namun sama sekali 

tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaan demikian, klaim 

Islam sebagai agama pelind