islam 1

Tampilkan postingan dengan label islam 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 1. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

islam 1





B ahwa “Allah  tidak perlu dibela”, itu sudah dinyata­

kan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam 

suatu tulisannya yang kemudian menjadi judul 

salah satu buku kumpulan karangannya yang diterbitkan bebe­

rapa tahun lalu. Tapi, bagaimana dengan umat­Nya atau manu­

sia pada umumnya? 

“Merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela” saat  

mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam 

seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya 

dan agama. Konsekuensi dari pembelaan, adalah kritik, dan ter­

kadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang 

toleransi. “Pembelaan”, itulah kata kunci dalam esai­esai kumpul­

an tulisan Abdurrahman Wahid kali ini. Maka, bisa dikatakan, 

esai­esai ini berangkat dari perspektif korban, dalam hampir se­

mua kasus yang dibahas.

Wahid tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, et­

nis, warna kulit, posisi sosial, agama apapun untuk melakukan­

nya. Bahkan, Wahid tidak ragu untuk mengorbankan image sen­

diri—sesuatu yang seringkali menjadi barang mahal bagi mereka 

yang merasa sebagai politisi terkemuka— untuk membela korban 

yang memang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh bahwa 

seolah Wahid sedang mencari muka saat  harus mengorbankan 

dirinya sendiri. Munculnya tuduhan sebagai ketua ketoprak, kle­

nik, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen Zionis 

Yahudi dan sebagainya, tidak akan menjadi beban bagi dirinya 

saat  harus membela korban


Bahkan jika dia sendiri yang jadi korban, tidak akan ragu 

juga untuk memperjuangkannya, seperti kasus diskriminasi 

yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam pe­

milihan presiden 2004. Hanya untuk tidak meloloskan dia men­

jadi calon presiden, KPU merekayasa sebuah aturan yang aneh 

bin diskriminatif dengan melanggar UUD 45 dan perundangan­

undangan yang ada, yang di masa depan yang panjang, mung­

kin baru akan terasa bahwa hal itu akan menjadi problem besar 

bangsa Indonesia untuk menegakkan demokrasi dan kedaulatan 

hukum. Meskipun ia selama ini selalu menjadi pembela orang 

lain, ia tidak ambil pusing –saat  dirinya menjadi korban, tak 

ada yang membantu atau membelanya.

Wahid dalam esai­esainya ini melakukan pembelaan mulai 

dari Inul Daratista yang dikeroyok oleh para seniman terkemu­

ka di Jakarta dengan alasan agama, Ulil Abshar Abdalla aktivis 

Islam Liberal yang divonis hukuman mati juga dengan alasan 

agama Islam oleh para ulama terkemuka, sampai ancaman un­

tuk menutup pesantren Al­Mukmin di Ngruki, Solo oleh polisi, 

meskipun ia tetap mengkritik pandangan Abu Bakar Ba'asyir 

dan pengikutnya. 

Wahid juga melakukan pembelaan terhadap rakyat Irak dan 

Saddam Hussein dalam berhadapan dengan kejahatann Presiden 

Amerika Serikat George W. Bush Jr., rakyat Palestina yang terus 

menerus menjadi bulan­bulanan Israel, serta rakyat tertindas di 

negara­negara berkembang atas dominasi kapitalis dunia dalam 

globalisasi. Dan tentu saja, rakyat kecil yang menjadi korban ke­

bijakan pemerintah sendiri. Mereka adalah rakyat Aceh yang ter­

paksa memilih bergabung dengan GAM, sebagian rakyat Papua 

yang terpaksa bergabung dengan OPM, serta rakyat Ambon yang 

menjadi korban rekayasa kekerasan. Begitu juga pemeluk agama 

minoritas, selalu menjadi subjek pembelaannya.

Satu hal yang dihindari Wahid ­yang memproklamirkan 

diri sebagai pengikut setia Mahatma Gandhi­ adalah kekerasan, 

termasuk yang dilakukan dari pihak korban. Hanya kalau orang 

Islam diusir dari rumahnya yang sah dengan semena­mena, kata 

Wahid menurut hukum Islam, mereka baru boleh melakukan ke­

kerasan. 

Di samping itu, Wahid juga menghindari satu sudut pan­

dang saja dalam melihat banyak hal, termasuk agama. Judul 

utama buku ini memperlihatkan bahwa pluralitas diutamakan 

termasuk dalam melihat Islam: “Islamku, Islam Anda, Islam 

Kita”. Tak ada satu Islam, Islam adalah multi wajah, wajah ma­

nusiawi. 

Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan ber­

sandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Wahid, 

termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah 

globalisasi ini: untuk perdamaian abadi dan saling menghormati 

antar bangsa dan antar manusia. 


P ada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya 

 pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid 

(Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di ka­

wasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya 

menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulis­

an disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indo­

nesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih 

pagi, kira­kira pukul 8 saat  saya datang ke rumah Gus Dur. 

Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur 

sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi saat  

saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberi­

tahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah 

datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya 

pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil 

saja, ya Mas ...sambil jalan­jalan ...,” ujarnya dengan rileks. 

Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran man­

tan presiden RI ke­empat ini, meskipun senang juga karena Gus 

Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya 

melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya, 

tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting 

adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang 

sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil de­

ngan Gus Dur itu. Saya khawatir, orang­orang yang ingin berte­

mu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena 

mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah 

cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orang­orang 

yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa ka­

rena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak 

apa­apa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa me­

nunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka mak­

lum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda 

di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Akhirnya saya pun tak dapat 

menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling 

naik mobil, berputar­putar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu. 

Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputar­

putar di kawasan ini , sementara saya sibuk merekam dan 

mencatat hasil wawancara. Kadang­kadang kami berdua tertawa 

tergelak­gelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang 

segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab 

semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumen­

argumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan 

ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan 

jawabannya. saat  sopir menghentikan mobil di rumah Gus 

Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di 

rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlama­

lama lagi karena mempertimbangkan banyaknya orang yang su­

dah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya 

ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan 

memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpul­

an artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa 

menggunting­gunting kumpulan tulisan itu.” 

Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan 

Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa 

yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apa­apa, di satu sisi saya me­

rasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi 

lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengan­

tar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan 

sederhana. Masalahnya bukan saja karena waktu saya yang ter­

batas, tapi juga karena saya merasa bukan tokoh yang pas untuk 

mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus 

Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak 

memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur, 

baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, namun  itu ti­

dak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi per­

nyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontrover­


sial, bahkan tidak jarang menimbulkan polemik dan perdebatan 

antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang ber­

latar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul 

Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak 

selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin. 

Terus terang pada awalnya saya khawatir, jangan­jangan 

editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti jus­

tru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau 

otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi 

bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang 

dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan 

dan tindakannya. Bukan saja karena ia adalah cucu pendiri NU 

Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur 

adalah ulama­intelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmo­

politan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus 

dan membebaskan batas­batas orientasi, visi, dan wawasan tra­

disionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan 

kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Is­

lam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional 

yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.1 

Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga 

mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya 

bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh seja­

rah sebagai tokoh terkemuka, namun  ia bukan seorang wali atau 

figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang pu­

nya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam 

berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju ter-

hadap gagasan dan sepak terjangnya, namun  kita tetap harus fair 

untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di 

Indonesia. Bagi saya, Gus Dur bersama­sama dengan intekletual 

Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi 

perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia.2 

Karena itu saat  dia menawari untuk mengedit dan mem­

beri kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku, 

secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma ber­

keyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada 

saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, saat  

tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan teman­teman, mere­

ka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima. 

Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan 

agar saya mengerjakan pekerjaan editing dan memberi kata pen­

gantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA 

intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang 

juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberi­

kan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus 

Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara” 

bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhamma­

diyah,” ujar Haidar. 

Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg 

Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin 

University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya 

yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan 

Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hu­

bungan Gus Dur dengan tokoh­tokoh modernis Muslim, teruta­

ma Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan saat  

menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani 

hubungan Gus Dur dengan tokoh­tokoh Islam modernis, wa­

laupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3 Yang jelas 

saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokoh­tokoh 

Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Mus­

lim lainnya. Karena sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan 

akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indo­

nesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif, 

Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam 

Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lain­lain. Tentu saya 

juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan 

tokoh­tokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan 

pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan 

politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual 

kepada mereka semua. 

Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga 

memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan 

memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehor­

matan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sen­

diri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua piki­

ran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur, 

jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,” 

ujarnya saat  kami bertemu di National University of Singapore, 

tahun 2004 yang lalu. 

Dengan dorongan para sahabat dan para senior itulah, sun­


tingan dan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini saya ker­

jakan. 

Memperkuat Substansi Islam

Judul buku ini, Islamku, Islam Anda, Islam Kita diambil 

dari salah satu artikel yang ditulis Gus Dur. Ia dipilih karena 

dapat menggambarkan pengembaraan intelektual Gus Dur dari 

masa ke masa. Sebuah pengembaraan intelektual yang bukan 

saja tidak linear, namun  juga berproses. Itu terlihat misalnya 

dalam pengakuan Gus Dur sendiri, yang melihat Islam sebagai 

agama yang tengah mengalami perubahan­perubahan besar. 

Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahun­tahun 

1950­an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah 

kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke 

Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam 

gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada 

tahun 1960­an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasional­

isme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya saat  ia 

menjadi mahasiswa di Universitas Al­Azhar, Kairo dan Univer­

sitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua negara 

ini  tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran­

nya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970­an, Gus 

Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang ber­

beda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam 

sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengam­

bil berbagai ideologi non­agama, bahkan juga pandangan dari 

agama­agama lain. 

Selanjutnya Gus Dur mengatakan, pengembaraan intelek­

tual itu menghasilkan dua hal sekaligus: pengalaman pribadinya 

tidak akan pernah dirasakan atau dialami oleh orang lain, semen­

tara mungkin saja pengalaman Gus Dur punya kesamaan dengan 

orang lain yang punya pengembaraan sendiri. Persoalan apakah 

pengembaraan Gus Dur itu berakhir pada ekletisme yang ber­

watak kosmopolitan, sementara pengembaraan orang lain ber­

akibat sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi Gus Dur. Sebab 

pengalaman pribadi seseorang tidak akan pernah sama dengan 

orang lain. Orang justru harus bangga dengan pikiran­pikiran­

nya sendiri yang berbeda dengan orang lain. 

Berangkat dengan pandangan semacam itu, Gus Dur me­

nyimpulkan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah 

g xvi h


Islam yang khas, yang diistilahkan sebagai “Islamku”. namun  Gus 

Dur menyatakan, “Islamku” atau “Islamnya Gus Dur” perlu di­

lihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui 

oleh orang lain, namun  tidak dapat dipaksakan kepada orang lain. 

Sementara yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih merupa­

kan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau 

ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks 

ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan 

tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komuni­

tas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurut Gus Dur, 

“kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan 

dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu diformulasikan 

oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Ada­

pun perumusan tentang “Islam Kita” lebih merupakan derivasi 

dari keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang 

didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi ten­

tang “Islam Kita” menyangkut konsep integratif yang mencakup 

“Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Musli­

min seluruhnya. Dalam konteks ini, Gus Dur menyadari adanya 

kesulitan dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu karena pengalam­

an yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam 

Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mencari 

formulasi atas “Islam Kita”. namun  persoalan mendasar dalam 

konteks “Islam Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan 

sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep “Islam 

Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka 

ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sen­

diri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus 

Dur bertentangan dengan semangat demokrasi. 

Dari uraian yang secara agak panjang dipaparkan di sini, 

menjadi jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual seorang 

Abdurrahman Wahid lebih merupakan “proses menjadi” (process 

of becoming), daripada “proses adanya” (process of being). Yang 

menarik dan hampir jarang diketahui adalah, bahwa seorang Gus 

Dur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya 

juga tertarik pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang umumnya 

sangat konsen dengan ideologisasi Islam. namun  setelah melalui 

pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkan­

nya menjadi cendekiawan Muslim liberal, yang secara sadar 

menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tema­tema 

g xvii h


yang berorientasi pada ideologisasi Islam. Penjelasan ini cukup 

penting karena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pen­

didikan, bacaan, dan pengalaman seseorang bisa merubah pan­

dangan hidup dan pemikirannya. Namun demikian, yang perlu 

dicatat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli 

atau memaksakan penafsirannya kepada orang. 

Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus 

Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi, 

dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa keja-

yaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk 

berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih 

memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturaliza-

tion). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya 

yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural”. Ketidak 

setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misal­

nya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu 

fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh 

para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis 

yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur 

menafsirkan kata ini  dengan “perdamaian”. Menurut Gus 

Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas. 

Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada 

upaya­upaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara funda­

mental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya, 

pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara non­Mus­

lim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk men­

jadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima 

prinsip­prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam 

secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan, 

menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar saat  mengha­

dapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem 

Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang 

untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.

Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak 

ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai 

dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan 

“negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut 

Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju 

ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam 

mudah mendorong umat Islam kepada upaya­upaya politis yang 

g xviii h


mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks­

teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam 

adalah upaya­upaya sejumlah kalangan untuk menjadi kan Islam 

sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan 

sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam 

Jakarta. Juga langkah­langkah sejumlah pemerintah daerah dan 

DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari­

’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islam-

kan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan 

daerah itu bukan saja a­historis, namun  juga bertentangan dengan 

Undang­Undang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Ha­

kim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu 

menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan 

hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan). 

Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan 

syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan 

tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus 

Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini 

didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup 

(syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus 

Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia­

sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini be­

lum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan 

bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana 

negara dibuat dan dipertahankan”. Dasar yang dipakai oleh Gus 

Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan 

yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu ter­

bukti saat  Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu 

Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah di­

lakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakil­wakil ke­

lompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar 

sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya 

Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posisinya. Ini ber­

arti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara Umar 

menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk me­

lalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilih­

lah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya, 

Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan 

juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali. 

Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau 

g xix h


marga yang menurunkan calon­calon raja dan sultan dalam se­

jarah Islam. 

Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam, 

juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madi­

nah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum 

Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang di­

idealkan bersifat mendunia dalam konteks negara­bangsa (na-

tion-state), ataukah hanya negara­kota (city-state). 

Dari paparan ini  di atas, cukup jelas kiranya ke arah 

mana alur pemikiran politik Gus Dur. Dalam konteks ini, sebagai 

warga Muhammadiyah yang mengamati perkembangan pemikiran 

politiknya, pada tahun 1995 lewat buku Pemikiran dan Aksi Is-

lam Indonesia, saya mengelompokan pemikirannya ke dalam 

tipologi pemikiran substantif­inklusif.4 Jika dalam aksi atau tin­

dakan politiknya, mungkin saya bisa punya persepsi lain, dalam 

hal pemikiran politik saya tetap berpendapat bahwa pemikiran 

politik Gus Dur sampai sekarang tetap tidak berubah. Untuk 

itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami paradigma 

pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum Mus­

limin. Paradigma itu adalah (1) substantif­inklusif, dan (2) legal­

eksklusif. 

Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif­

inklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam 

sebagai agama tidak merumuskan konsep­konsep teoritis yang 

berhubungan dengan politik. Adapun ciri­ciri yang menonjol pa­

da pemikiran substantif­inklusif ada empat. Pertama, adanya 

kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci ber-

isikan aspek­aspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan 

manusia, namun  tidak menyediakan detil­detil pembahasan ter­

hadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama 

dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun 

dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus 

mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an 

memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk 

memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegak­

kan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain­lain.5 

Kedua, pendukung paradigma substantif­inklusif meya­

kini bahwa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk mem­

bangun kerajaan atau negara. namun  seperti halnya para nabi 

lainnya, yakni mendakwahkan nilai­nilai Islam dan kebajikan. 

g xx h


Dengan demikian missi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan 

sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem peme­

rintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain 

Fawzi al­Najjar, concern utama Nabi Muhammad saat  menye­

barkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersa­

tukan para pemeluk Islam (al- wihda al-ijtimai) daripada mem­

bangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.6 Kenyataan 

kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, di­

perlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah 

dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih 

Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat 

Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sis­

tem dan mekanisme yang berbeda. 

Ketiga, para proponen paradigma substantif­inklusif ber­

pendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara. 

Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan 

spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem poli­

tik. Karena Islam dipandang semata­mata sebagai agama dan 

bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara, 

syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara, 

namun  tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam. 

Menurut Al Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga 

dikenal sebagai pemikir progressif Islam terkemuka, bahkan Al 

Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari 

orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang 

berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah 

jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa ma­

nusia pada tujuan­tujuan yang benar dan orientasi­orientasi etis 

yang mulia.7 

Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-

inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan 

upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik 

yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam 

(Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam pe­

nampilan, namun  juga dalam format pemikiran dan kelembagaan 

politik mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cende­

rung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai 

Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultu­

ral Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturali­

sasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kul­

g xxi h


tural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang 

bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan 

itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi 

dan bukannya politisasi.8 

Sementara itu, paradigma legal­eksklusif mempunyai ciri­

ciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legal­eksklusif 

dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan 

hanya agama, namun  juga sebuah sistem hukum yang lengkap, 

sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang 

mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat 

manusia. Para pendukung paradigma legal­eksklusif sepenuhnya 

yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din 

(agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya, 

seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain 

untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari 

soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua 

permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya. 

Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legal­

eksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan 

negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar ummat Islam 

selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para saha­

batnya (khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasya­

rakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk 

mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan peno­

lakan sistemik terhadap konsep­konsep politik Barat. Akibatnya, 

paradigma ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat iden­

titas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistem­

sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam. 

Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa 

syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara, 

dan dunia ini . Syari’at dengan demikian diinterpretasikan 

sebagai Hukum Allah  (Divine Law), dan harus dijadikan seba­

gai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan 

ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman 

bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga 

menegasikan adanya kedaulatan rakyat, namun  lebih yakin terha­

dap kedaulatan Allah , yang implementasinya harus didukung 

oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi 

dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim un­

tuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai al­

g xxii h


ternatif terhadap sistem­sistem dunia yang berlaku. 

Keempat, dalam konteks politik paradigma legal­eksklusif 

menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cende­

rung menopang bentuk­bentuk masyarakat politik Islam yang 

dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu 

“sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbo­

lis dan idiom­idiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta 

eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia, 

pendukung paradigma legal­eksklusif sangat menekankan ideo­

logis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan 

secara formal. 

Dengan memahami kedua paradigma pemikiran politik Is­

lam ini  di atas, kita akan bisa memahami alasan Gus Dur 

menolak formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam ini  

di atas. Jelas kiranya bahwa sebagai pemikir Islam substantif­

inklusif, kritik­kritiknya banyak diarahkan kepada pada pendu­

kung paradigma legal­eksklusif, yang banyak dianut oleh kelom­

pok Islam radikal, fundamentalis, maupun kelompok­kelompok 

revivalis lainnya. Mengenai hal ini, cukup menarik kiranya pan­

dangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan 

internasional dari Georgetown University, Washington, tentang 

Gus Dur. Berikut pandangan Esposito tentang Gus Dur yang saya 

kutip agak panjang dari naskah aslinya, sebagai berikut:

“Wahid believes that contemporary Muslims are at critical cross­

road. Two choices or paths confront them: to pursue a tradi­

tional, static legal­formalistic Islam or to reclaim and refashion a 

more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In 

contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation 

that Islam should form the basis for the nation-state’s political 

or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern 

tradition, alien to Indonesia. Indonesian Muslims should apply 

a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a so­

ciety where “a Muslim and a non­Muslim are the same”, a state in 

which religion and politics are separate. Rejecting legal­formal­

ism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to 

Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid 

has spent his life promoting the development of a multifaceted 

Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of re­

sponding to the realities of modern life. Its cornerstones are free 

will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars 

(ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran 

g xxiii h


and tradition of the Prophet in light of “ever changing human 

stations.”9

 

Pandangan Esposito itu layak untuk dipertimbangkan, 

karena ia muncul dari kajian akademis seorang pakar terkemuka 

yang dikenal punya perspektif empatik terhadap kajian Islam.

Tapi setajam apa pun kritik yang dilontarkan terhadap ke­

lompok ini , Gus Dur tetap menghargai perbedaan pendapat. 

Hanya saja, saat  sebagain dari kelompok itu menggunakan ke­

kerasan untuk mencapai tujuannya, ia nampak tidak mau kom­

promi. Ia memang anti kekerasan. 

HAM dan Perlunya Pembaruan Fiqh

Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manu­

sia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemim­

pin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang 

paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia. 

Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka. 

Di negeri­negeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi 

manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu ti­

dak sesuai dengan kenyataan. namun , pemikiran yang tergolong 

berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur 

tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan 

deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM me­

ngakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam seba­

liknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap me­

reka yang berpindah agama atau murtad. Menurut hukum Islam 

yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum 

Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa 

kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di 

negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang 

berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 harus­

lah dihukum mati,” tandasnya. 

Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun 

sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih 

subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal se­

andainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu, 

kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, saya 

teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal 

Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memang 

g xxiv h


melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan 

ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi 

manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebe­

basan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya 

hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, keten­

tuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah) 

dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu dian­

cam dengan sanksi hukuman mati.10

Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari 

kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad 

sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah dite­

tapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif, 

termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak be­

rarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat 

diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan ten­

tang murtad ini  tidaklah bersumber pada Al Qur’an, namun  

dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits ini  

dapat diragukan kesahihannya karena kemungkinan terjadi ke­

salahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa me­

nyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan 

yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.11

Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal 

perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan 

Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim mana­

pun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum 

Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau 

tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh 

yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada fir-

man Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu 

man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap 

dalam kehidupan kecuali wajah Allah ), Gus Dur lalu merujuk 

pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru 

ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya 

tergantung kepada sebab­sebabnya, baik ada ataupun tidak ada­

nya hukum itu sendiri). Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya 

adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh 

itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah di­

gariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at 

(maqâshid al-syarî’ah).

Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata 

g xxv h


bukan dalam konsep saja, namun  juga implementasinya dalam 

praktek, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya Gus Dur juga me­

nyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang 

menyangkut hak asasi manusia seperti hak­hak kaum minori­

tas, penghormatan terhadap non­Muslim, hingga kasus­kasus 

yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok 

kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia, 

misalnya, tanpa ragu membela Ulil Abshar­Abdala, intelektual 

muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti dike­

tahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai 

pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu 

layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh 

NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Me­

nanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip 

bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya 

melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia meng­

kritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduh­

an­tuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hu­

kuman mati itu sama sekali tidak berdasar. 

Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan 

lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama, 

majelis ulama dan seniman karena “goyang ngebor”nya yang diang­

gap melanggar batas­batas kesusilaan umum. Seperti biasa, para 

tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa 

keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Semen­

tara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas 

nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut 

menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan menga­

takan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas 

dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para 

ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa me­

nerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mere­

ka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”, 

Inul Daratista. Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap 

perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini, 

sehingga hampir­hampir saja Inul putus asa dan menyerah. 

Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai pe­

nyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang 

menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya. Di tengah 

kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran ke­

g xxvi h


caman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pem­

belaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong 

cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas 

moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh 

agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil 

sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan 

arus demi membela hak asasi Inul. 

Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manu­

sia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sen­

diri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilai­nilai hak 

asasi manusia. 

Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi 

Dalam konteks ekonomi­politik, implikasi dari penolakan 

Gus Dur terhadap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam 

sebagai syari’at (jalan atau petunjuk ummat manusia) terlihat 

dari ketidak setujuannya terhadap gagasan ekonomi Islam. Menu­

rut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada 

aspek­aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya 

dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai­

nilai ini  di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menu­

rut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar 

bunga bank, asuransi, dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, prinsip “eko­

nomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata 

Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpenting 

bukanlah nama atau simbol itu sendiri, namun  substansinya. Un­

tuk itu, tanpa ragu Gus Dur tanpa ragu mendukung “ekonomi 

kerakyatan” baik dalam konsepsi maupun aplikasinya. Dukung­

annya terhadap ekonomi kerakyatan didasarkan pada tiga per­

timbangan. Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi 

haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahtera­

an rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al 

maslahah al ammah. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk 

mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan ben­

tuknya. Oleh karena itu, acuan dan praktek perdagangan bebas 

dan efisiensi yang dibawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah 

bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan 

fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam 

persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifi-

tas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi 

g xxvii h


yang sehat pula. Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa mene­

rima pelaksanaan prinsip­prinsip Islam dalam orientasi dan me­

kanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme 

itu sendiri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi kapita­

listik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik 

modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru kesejahteraan 

rakyat secara keseluruhan. 

Dalam konteks ini  di atas, ia tidak setuju dengan pan­

dangan yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai 

riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank dipu­

ngut dari upaya non­produktif, maka ia dapat dikatakan riba. 

namun  jika bunga bank ini  merupakan bagian dari sebuah 

upaya produktif, maka ia bukan riba, namun  merupakan bagian 

dari ongkos produksi saja. Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik 

kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang 

kini banyak dilakukan oleh bank­bank swasta di mana pemilik 

sahamnya sebagian adalah non­Muslim. Menurut Gus Dur, ke­

cenderungan seperti itu karena kurangnya pengetahuan mereka 

tentang hukum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan 

langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam 

seperti itu. 

Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “de­

mam syari’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang 

memanfaatkan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah me­

dia massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan, 

likuiditas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami 

kenaikan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir 

ini. Untuk itu, tentu saja masih diperlukan data dan penelitian 

yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam 

syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari 

peningkatan kesadaran masyarakat terhadap implementasi syari­

’at, ataukah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari’at” 

yang lebih didasarkan pada motif­motif ekonomi yang tunduk 

pada kepentingan pasar. 

Islam Radikal dan Pendangkalan Agama 

Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan te­

rorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengu­

tuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radi­

kal. Menurut Gus Dur, satu­satunya alasan penggunaan kekerasan 

g xxviii h


yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir 

dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun 

masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebat­

kan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri 

tidak terancam. Tidak tanggung­tanggung, kecaman Gus Dur di­

alamatkan kepada kelompok­kelompok Islam “garis keras” yang 

beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang, 

celurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan 

sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafe­kafe 

minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.12 

Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok­kelompok Islam 

garis keras atau radikal ini  tidak bisa dipisahkan dari dua 

sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras ini  meng­

alami semacam kekecewaan dan alienasi karena “keterting­

galan” ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi 

budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan 

mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat, 

akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi 

ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan 

kelompok­kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari 

karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam 

sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi 

karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan­

gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari 

mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu­ilmu eksakta dan 

ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mere-

ka penuh dengan hitungan­hitungan matematik dan ekonomis 

yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara 

mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi ke­

agamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau 

tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat­ayat suci Al 

Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. 

namun  pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam le­

mah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, 

kaidah­kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap 

teks­teks yang ada.13 

Pandangan Gus Dur ini  di atas, sebenarnya tertuju 

kepada kelompok­kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dika­

tegorikan sebagai neo­fundamentalisme. Ini mengingatkan saya 

pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur ter­

g xxix h


hadap kebangkitan neo­fundamentalis Islam. Rahman menilai, 

keberadaan neo­fundamentalisme Islam di berbagai negeri Mus­

lim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran 

yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neo­

fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup 

berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual 

karena pandangan­pandangan literal dan tekstual yang tidak 

memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke­Islaman 

klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman 

menilai kelompok neo­fundamentalis umumnya memiliki pema­

haman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak 

bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional 

Islam.14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rah­

man itu layak untuk dipertimbangkan.

Pribumisasi, Bukan Arabisasi 

Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial 

budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur 

terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderung­

an semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap 

aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu ter­

lihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan 

kata­kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenar­

nya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutan Fakul­

tas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga 

ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad” 

untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolah­

olah kalau tidak menggunakan kata­kata berbahasa Arab terse­

but, akan menjadi “tidak Islami” atau ke­Islaman seseorang akan 

berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, 

merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri saat  mengha­

dapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu­satunya 

adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Ara­

bisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal 

Arabisasi bukanlah Islamisasi. 

Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah 

diungkapkan pada tahun 1980­an, yakni saat  ia mengungkap­

kan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar 

wahyu Allah  dipahami dengan mempertimbangkan faktor–fak­

tor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan­

g xxx h


nya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya 

dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsi­

liasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar 

budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai 

kebuAllah , bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi an­

tara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan 

sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, 

karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islam­

nya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau 

sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan 

kebuAllah ­kebuAllah  lokal di dalam merumuskan hukum­hu­

kum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya 

meninggalkan norma demi budaya, namun  agar norma­norma itu 

menampung kebuAllah –kebuAllah  dari budaya dengan mem­

pergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman 

nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan 

qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan 

teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal 

yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologis­

nya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.15

Mencari Perdamaian

Masalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan 

tulisan ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian 

dan masalah­masalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini 

nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia men­

dorong upaya­upaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia. 

Tanpa ragu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemu­

dian berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperang­

an yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan 

rezim diktator Saddam Hussein. Bahkan dalam perkembangan­

nya kemudian, militer AS berhasil menangkap hidup­hidup Sad­

dam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ke­

tika ia menurunkan kolom­kolomnya di media massa, dan juga 

perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertang­

kap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. namun  masalahnya 

tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan, 

masalah­masalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan 

kondisi obyektif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan ten­

tara sekutu di negeri Seribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa 

g xxxi h


yang terjadi di Irak sekarang adalah sebuah drama peperangan, 

pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung. 

Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang 

disorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana 

Menteri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dini­

lainya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri 

Indonesia. Lee juga dikritik oleh Gus Dur karena pandangan­

nya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni 

di Indonesia. Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah 

terhadap Islam di Indonesia itu karena kurangnya pengetahuan 

mantan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan 

Islam di Indonesia. 

Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh 

Gus Dur, namun  dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih me­

nyorot perlunya upaya­upaya untuk mengembangkan dunia 

yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan kekeras­

an. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan percaya 

bahwa agama maupun tokoh­tokohnya bisa berperan aktif dalam 

mengusahakan perdamaian dunia. namun , seperti sebuah judul 

tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang 

Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seperti hal­

nya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan 

sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang 

gampang dicetuskan, ketimbang usaha­usaha kolektif untuk me­

wujudkan perdamaian. 

Sebuah Bingkai Pemikiran 

Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran poli­

tik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai 

pemikirannya dengan utuh. Bisa jadi karena cakupan persoalan 

yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk 

menganalisis secara terstruktur dan lebih memfokus. Demikian 

pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang 

tuntas, apalagi dengan mengidealisasikan penggunaan disiplin 

akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya 

di sini. Sebab buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel yang 

dibatasi oleh aktualitas peristiwa, waktu penulisan, dan keter­

sediaan halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasan­

gagasannya. Mudah­mudahan dengan penerbitan kumpulan 

tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan 

g xxxii h


prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis me­

lalui kolom­kolom lepas di berbagai media.

Akhirnya dengan terus terang saya nyatakan bahwa sekali­

pun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu ti­

dak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kumpul­

an tulisan, ada sejumlah repetisi atau pengulangan baik dalam 

ide maupun penyajian di sana­sini. Pengulangan itu dimungkin­

kan terjadi karena meskipun tema pokok atau topik yang diulas 

berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan ke­

mungkinan menggunakan referensi yang sama. Sementara itu, 

produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat 

mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu 

ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga 

empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lo­

kal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai 

presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah berkurang. Ia 

masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai 

kota dan pelosok tanah air, baik untuk memenuhi undangan­un­

dangan seminar atau pertemuan internasional, maupun untuk 

menjadi penceramah dalam pengajian atau melakukan kegiatan 

sosial­politiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Ke­

bangkitan Bangsa). 

Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya 

untuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dila­

kukan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pe­

mimpin serta poli tisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari 

ide­ide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan. 

Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pe­

ngaruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik Indonesia 

lainnya. 

Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku penyun­

ting, tulisan­tulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang 

dicerna. Mudah­mudahan ini bukanlah sebuah apologia karena 

ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi 

al sawab. 


12 Tindakan sweeping terhadap warga asing terutama dilakukan oleh FPI 

(Front Pembela Islam). Sementara itu, penting untuk dicatat sejak Soeharto 

tumbang di Indonesia hingga sekarang muncul kelompok­kelompok Islam 

“garis keras” semacam Lasykar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI), 

Ikhwanul Muslimin, Hammas, Lasykar Jundullah, dan sebagainya. Lasykar Ji­

had resmi membubarkan diri tahun 2002. Hingga sekarang yang nampak masih 

aktif dan terorganisir adalah FPI dan MMI. Buku yang mengulas hal ini adalah 

Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras 

di Indonesia, Jakarta: 




Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian 

ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi al-

silmi kâffah)” (QS al­Baqarah [2]:208)1. Di sinilah ter­

letak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum 

muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Is­

lam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal, 

dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan 

mereka yang menterjemahkan kata ini  dengan kata sifat 

kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak 

perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem 

Islami.

Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu di­

gunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami, 

dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang 

dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam 

 Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam 

kategori al-aktha’ asy-sya’iah (kesalahan­kesalahan yang populer) yaitu idiom 

“Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang 

tidak begitu akrab dengan kaidah­kaidah gramatikal Arab. Istilah “Islam Kaf-

fah” tidak hanya merupakan tinda kan subversif gramatikal namun  juga pemak­

saan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk “Islam 

Kaffah” ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami 

pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom 

“Islam Kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat 

dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaf-

fah’ dalam ayat ini  sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam 

“udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “as­silmi”. 

adakah sistem Islami?


g 4 h

kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini mem­

bawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang 

dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena 

itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting 

perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik. 

Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati ek­

sistensi parpol­parpol Islam, namun  ini tidak berarti keharusan 

untuk mengikuti mereka.

Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang 

justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami ini , yang 

secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama 

Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini 

juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa, 

sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara non­mus­

lim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam, 

alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan, 

karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak 

menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti 

ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan 

dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang 

menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajar­

an Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama 

“kaum santri”.

Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem 

Islami, mengapa lalu ada ketentuan­ketentuan non­organisatoris 

yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci 

al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk 

dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan 

dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prin­

sip­prinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara 

utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak 

saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan 

profesionalisme dan bersikap sabar saat  menghadapi cobaan 

dan kesusahan. 

Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci 

al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang 

mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al­

Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji 

kepada profesi masing­masing, yang disampaikan saat  mem­

bacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?

Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang mus­

lim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sen­

dirinya ti dak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut 

ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Is­

lami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “mus­

lim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting, 

karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak me­

mentingkan arti sistem. 

Maka saat  NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi 

berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebut­

kan bahwa partai ini  adalah partai Islam, penulis dihujani 

kritik tajam sela ma berbulan­bulan dari mereka yang meng­

inginkan partai ini  dinyatakan sebagai partai Islam. Ini 

dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak 

semula telah menerima kehadiran upaya berbeda­beda dalam 

sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau 

terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi ter­

hadap teks keagamaan).

Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, mukta­

mar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum 

muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama 

Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh 

orang­orang non­muslim (para kolonialis Belanda)? Jawab 

muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan ini , yang di 

kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat diprak­

tekkan dalam kehidupan sehari­hari oleh warga bangsa secara 

bebas, dan dahulu ada kerajaan­kerajaan Islam di kawasan itu. 

Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai 

perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di ka­

wasan ini .

Diktum Muktamar NU di Banjarmasin ini , memung­

kinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden 

Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian 

pula, pembentukan badan­badan formal Islam bukanlah satu­

adakaH sIstEm IslamI?



satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajar­

an di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi ke­

masyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja 

menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di 

kawasan ini  melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan 

sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan an­

tara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu 

pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan 

melalui jalur­jalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para 

pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.

Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Ti­

ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpin­

an, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa 

bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa 

Bi Tha’ah)3. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah 

 Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqî al­Dîn Ahmad Ibn Taimi­

yah (w. 728 H/1328 M), adalah salah seorang intelektual Islam dari Syiria yang 

menuntut dibukanya kembali pintu ijitihad. Ibnu Taimiyah juga menjadi salah 

seorang pelopor pemurnian Islam dan berpengaruh sangat luas, terutama di 

daratan Arab. Pemikiran­pemikirannya menjadi inspirasi antara lain bagi 

gerakan Wahabiyah di Arab Saudi abad XVIII dan para pemikir pembaharu di 

seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karya Ibnu Taimiyah yang berpengaruh 

antara lain, al-Radd ‘alâ al-Manthiqiyyîn (Bantahan terhadap Ahli Logika) dan 

al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah (Penyingkapan berbagai Metode Pembuktian). 

Pemikirian Ibnu Taimiyyah ini banyak ditelanjangi dalam studi pesantren le­

wat karya An­Nabhany yang berjudul Syawahidul Haqq yang sama sekali tidak 

memberikan celah lolosnya pemikiran­pemikiran Ibnu Taimiyyah. Hanya saja 

ada yang dilupakan oleh komunitas pesantren bahwa nama Ibnu Taimiyyah ini 

banyak mewarnai pemikiran­pemikiran murid terkasihnya yang bernama Ibnu 

Katsir yang dikenal sebagai tokoh tafsir bil ma’tsur yang menjadi referensi wa­

jib dan populer di pesantren. Disamping itu itu lewat karya spesifiknya yang 

berjudul “Iqtidlo’us Shirat al-Mustaqim Fie Mukhalafati Ahl al-Jahim”, Ibnu 

Taimiyyah termasuk dalam barisan ulama yang “menghalalkan” ritual tahlil 

dan hadiah bacaan al-Qur’an kepada orang-orang yang sudah meninggal dan 

yang paling populer adalah dia juga penganjur tarawih 20 raka’at. 

 Statemen Umar bin Khattab yang sangat terkenal ini sering muncul 

sebagai landasan berfikir tentang keharusan adanya Daulah Islamiyyah untuk 

menuju Khilafah Islamiyyah dan juga sebagai dalil pijakan tentang formalisa­

si syari’ah. Jika ditelusuri dalam studi penelitian dan kritik hadis, perkataan 

Umar bin Khattab di atas diinformasikan hanya melewati satu jalur trasmiter 

(sanad) yang ditulis oleh ad­Darimi, yaitu melalui jalur Ad­Dari. Hadis ini  

berasal dari Yazid bin Harun dari Baqiyyah dari Sufyan bin Rustam dari Abdur­

rahman bin Maisarah dan dari rawi yang mendengar langsung statemen Umar 

yaitu Tamim Ad­Dari. Hanya jalur inilah yang membuat kita tahu dan mengerti 

sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ung­

kapan ini  yang menunjukkan secara spesifik adanya se­

buah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebe­

narannya oleh ungkapan ini , asal ia memperjuangkan ber­

lakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.

Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam 

tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak 

ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini pen­

ting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pi­

hak­pihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam 

UUD (Undang­Undang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan 

negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan de­

mokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu 

pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan 

Undang­Undang (UU) di pihak lain. e

bahwa Umar bin Khattab pernah mengeluarkan statemen yang sekarang dibuat 

sebagai landasan politis­ideologis ini. Bahkan jika ditelusuri dari perspektif 

edisi original version­nya, nampak sekali bahwa Umar tidak bermaksud un­

tuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan namun  lebih pada jaring peng-

aman sosial. Umar melakukan tindakan seperti ini berkaitan dengan adanya 

fenomena kecemburuan sosial dalam proyek pembuatan rumah­rumah saat  

Umar menjadi khalifah. Kondisi saat itu menunjukkan adanya kecenderungan 

merusak tatanan sosial kemasyarakatan “Arab mini”. Statemen lengkap Umar 

adalah sebagai berikut:

An Tamim Ad-Dariy qala: Tathawala an-nas fil al-bina fi zamani 

Umar, faqala Umar: Ya ma’syara al-uraib, al-ardla al-ardla, fainnahu la 

Islama illa bi Jama’ah, wala Jama’ata illa bi Imarah wala Imarata Illa bi 

tha’ah, faman sawwadahu qaumuhu ala al-fiqh kana hayatan lahu wa la-

hum, wa man sawwadahu qaumuhu ala ghayri fiqhin kana halakan lahu wa 

lahum. 

Artinya: Dari Tamim ad­Dari, dia berkata: Pada masa Umar, orang­

orang bermegah­megah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian 

Umar berkata: Wahai komunitas Arab kecil. Lihatlah tanah itu, lihatlah tanah 

itu, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan komunitas dan tidak ada ko­

munitas kecuali dengan kepemimpinan dan tidak ada imarah kecuali dengan 

taat. Barang siapa oleh komunitasnya dipercaya untuk memimpin mereka de­

ngan berdasarkan pemahaman yang benar, maka hal itu akan menjadi kehidup­

an bagi dirinya dan komunitasnya, dan barang siapa dipercaya komunitasnya 

untuk menjadi pemimpin mereka dengan tidak berdasar pada pemahaman 

yang benar, maka itu akan menjadi kerusakan untuk dirinya dan komunitasnya.

adakaH sIstEm IslamI?


Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan 

memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di 

tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium 

yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. 

Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menu­

runkan siksa kepada siapapun adalah otoritas Allah (yaghfiru li-

man yasya’ wa yu ‘adzibu man yasyâ).” Dalam hal ini, kendali 

atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.

Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah 

dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam 

menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapat­

kah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagi­

an dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa 

neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau be­

lum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara seba­

gai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan 

hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits 

Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan 

hukum hadd saat  permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini 

dapat difahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan 

hukuman mati jika ia ragu­ragu, benarkah si terdakwa nyata­nya­

ta bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian 

bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan 

Allah tidak dapat dibatasi.

Islam: 

Pengertian sebuah Penafsiran


Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah 

dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah 

negara disebut sebagai negara Islam, tanpa harus memperkosa 

hal­hal yang menjadi kewajiban negara secara wajar. Jadi, dalam 

masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan per­

tanyaan adakah