islam 1
B ahwa “Allah tidak perlu dibela”, itu sudah dinyata
kan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam
suatu tulisannya yang kemudian menjadi judul
salah satu buku kumpulan karangannya yang diterbitkan bebe
rapa tahun lalu. Tapi, bagaimana dengan umatNya atau manu
sia pada umumnya?
“Merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela” saat
mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam
seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya
dan agama. Konsekuensi dari pembelaan, adalah kritik, dan ter
kadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang
toleransi. “Pembelaan”, itulah kata kunci dalam esaiesai kumpul
an tulisan Abdurrahman Wahid kali ini. Maka, bisa dikatakan,
esaiesai ini berangkat dari perspektif korban, dalam hampir se
mua kasus yang dibahas.
Wahid tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, et
nis, warna kulit, posisi sosial, agama apapun untuk melakukan
nya. Bahkan, Wahid tidak ragu untuk mengorbankan image sen
diri—sesuatu yang seringkali menjadi barang mahal bagi mereka
yang merasa sebagai politisi terkemuka— untuk membela korban
yang memang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh bahwa
seolah Wahid sedang mencari muka saat harus mengorbankan
dirinya sendiri. Munculnya tuduhan sebagai ketua ketoprak, kle
nik, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen Zionis
Yahudi dan sebagainya, tidak akan menjadi beban bagi dirinya
saat harus membela korban
Bahkan jika dia sendiri yang jadi korban, tidak akan ragu
juga untuk memperjuangkannya, seperti kasus diskriminasi
yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam pe
milihan presiden 2004. Hanya untuk tidak meloloskan dia men
jadi calon presiden, KPU merekayasa sebuah aturan yang aneh
bin diskriminatif dengan melanggar UUD 45 dan perundangan
undangan yang ada, yang di masa depan yang panjang, mung
kin baru akan terasa bahwa hal itu akan menjadi problem besar
bangsa Indonesia untuk menegakkan demokrasi dan kedaulatan
hukum. Meskipun ia selama ini selalu menjadi pembela orang
lain, ia tidak ambil pusing –saat dirinya menjadi korban, tak
ada yang membantu atau membelanya.
Wahid dalam esaiesainya ini melakukan pembelaan mulai
dari Inul Daratista yang dikeroyok oleh para seniman terkemu
ka di Jakarta dengan alasan agama, Ulil Abshar Abdalla aktivis
Islam Liberal yang divonis hukuman mati juga dengan alasan
agama Islam oleh para ulama terkemuka, sampai ancaman un
tuk menutup pesantren AlMukmin di Ngruki, Solo oleh polisi,
meskipun ia tetap mengkritik pandangan Abu Bakar Ba'asyir
dan pengikutnya.
Wahid juga melakukan pembelaan terhadap rakyat Irak dan
Saddam Hussein dalam berhadapan dengan kejahatann Presiden
Amerika Serikat George W. Bush Jr., rakyat Palestina yang terus
menerus menjadi bulanbulanan Israel, serta rakyat tertindas di
negaranegara berkembang atas dominasi kapitalis dunia dalam
globalisasi. Dan tentu saja, rakyat kecil yang menjadi korban ke
bijakan pemerintah sendiri. Mereka adalah rakyat Aceh yang ter
paksa memilih bergabung dengan GAM, sebagian rakyat Papua
yang terpaksa bergabung dengan OPM, serta rakyat Ambon yang
menjadi korban rekayasa kekerasan. Begitu juga pemeluk agama
minoritas, selalu menjadi subjek pembelaannya.
Satu hal yang dihindari Wahid yang memproklamirkan
diri sebagai pengikut setia Mahatma Gandhi adalah kekerasan,
termasuk yang dilakukan dari pihak korban. Hanya kalau orang
Islam diusir dari rumahnya yang sah dengan semenamena, kata
Wahid menurut hukum Islam, mereka baru boleh melakukan ke
kerasan.
Di samping itu, Wahid juga menghindari satu sudut pan
dang saja dalam melihat banyak hal, termasuk agama. Judul
utama buku ini memperlihatkan bahwa pluralitas diutamakan
termasuk dalam melihat Islam: “Islamku, Islam Anda, Islam
Kita”. Tak ada satu Islam, Islam adalah multi wajah, wajah ma
nusiawi.
Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan ber
sandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Wahid,
termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah
globalisasi ini: untuk perdamaian abadi dan saling menghormati
antar bangsa dan antar manusia.
P ada mulanya adalah sebuah pertemuan. Tepatnya
pertemuan antara saya dan KH Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) tanggal 11 Oktober 2001 di rumahnya, di ka
wasan Ciganjur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Waktu itu saya
menemuinya untuk keperluan wawancara dalam rangka penulis
an disertasi yang sedang saya tulis pada Departement of Indo
nesian Studies, University of Melbourne, Australia. Hari masih
pagi, kirakira pukul 8 saat saya datang ke rumah Gus Dur.
Tapi sepagi itu deretan orang yang antri untuk bertemu Gus Dur
sudah cukup panjang. Gus Dur baru selesai mandi pagi saat
saya datang. Segera saja Mas Munib, ajudan Gus Dur memberi
tahukan bahwa saya sudah datang. Begitu diberitahu saya sudah
datang, Gus Dur segera bertanya “Mana Mas Syafi’i?.” Segera saya
pun menghampiri dan menyalaminya. “Wawancaranya di mobil
saja, ya Mas ...sambil jalanjalan ...,” ujarnya dengan rileks.
Tentu saja saya agak sedikit terkejut dengan tawaran man
tan presiden RI keempat ini, meskipun senang juga karena Gus
Dur bersedia meluangkan waktunya di tengah kesibukannya
melayani ummat. Bagi seorang mantan wartawan seperti saya,
tak ada masalah di mana pun tempat wawancara. Yang penting
adalah kesediaan narasumber untuk diwawancara. Namun yang
sedikit agak merisaukan saya justru pergi ke luar naik mobil de
ngan Gus Dur itu. Saya khawatir, orangorang yang ingin berte
mu dan sudah cukup lama menunggu itu akan kecewa karena
mereka mengira Gus Dur akan pergi, sementara mereka sudah
cukup lama menunggu. “Tapi bagaimana dengan orangorang
yang sudah cukup lama menunggu itu. Nanti mereka kecewa ka
rena mengira Gus Dur akan pergi. Wawancara di sini juga nggak
apaapa,” kata saya. “Ah, ndak ada masalah. Mereka kan bisa me
nunggu, Munib sudah memberi tahu mereka, dan mereka mak
lum. Lagi pula Anda kan datang dari Australia dan waktu Anda
di sini tidak banyak,” kata Gus Dur. Akhirnya saya pun tak dapat
menolak ajakannya. Bersama sopirnya, kami berdua berkeliling
naik mobil, berputarputar di kawasan Ciganjur dan Pasar Minggu.
Selama hampir satu jam sopir membawa kami berputar
putar di kawasan ini , sementara saya sibuk merekam dan
mencatat hasil wawancara. Kadangkadang kami berdua tertawa
tergelakgelak, terutama kalau Gus Dur membuat joke-joke yang
segar tentang berbagai soal politik mutakhir. Gus Dur menjawab
semua pertanyaan yang saya ajukan, disertai dengan argumen
argumen yang kaya wawasan, bahkan dengan banyak kutipan
ayat-ayat suci al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menjadi landasan
jawabannya. saat sopir menghentikan mobil di rumah Gus
Dur, wawancara pun belum selesai dan dilanjutkan kembali di
rumah. Tapi saya segera membatasi diri untuk tidak berlama
lama lagi karena mempertimbangkan banyaknya orang yang su
dah antri. Sewaktu hendak pulang, Gus Dur berkata: “Mas, saya
ingin mempercayakan kepada sampeyan untuk mengedit dan
memberi pengantar untuk kumpulan artikel saya. Ini kumpul
an artikel saya era pasca lengser. Anda kan wartawan, jadi bisa
mengguntinggunting kumpulan tulisan itu.”
Sejenak saya tertegun dengan permintaan dan ungkapan
Gus Dur itu. Bagaimana pun saya merasa surprise dengan apa
yang diungkapkan Gus Dur. Bukan apaapa, di satu sisi saya me
rasa mendapat kehormatan dengan kepercayaan itu. Tapi di sisi
lain, saya merasa bahwa tugas mengedit dan memberi pengan
tar untuk buku kumpulan tulisan Gus Dur juga bukan pekerjaan
sederhana. Masalahnya bukan saja karena waktu saya yang ter
batas, tapi juga karena saya merasa bukan tokoh yang pas untuk
mengedit dan memberi pengantar untuk tokoh sekaliber Gus
Dur. Meskipun sebagai mantan wartawan mungkin saya banyak
memperoleh informasi tentang sepak terjang seorang Gus Dur,
baik sebagai tokoh nasional maupun news maker, namun itu ti
dak berarti saya paham dengan apa yang dilakukan. Apalagi per
nyataan dan tindakan Gus Dur terkadang nyleneh dan kontrover
sial, bahkan tidak jarang menimbulkan polemik dan perdebatan
antara mereka yang setuju dan tidak. Jangankan saya yang ber
latar belakang Muhammadiyah, bahkan di kalangan Nahdlatul
Ulama (NU) sendiri pun, pikiran dan sepak terjang Gus Dur tak
selamanya bisa dipahami kalangan nahdliyin.
Terus terang pada awalnya saya khawatir, janganjangan
editing dan kata pengantar yang akan saya lakukan nanti jus
tru tidak berhasil memotret jalan pikiran yang sebenarnya atau
otentisitas dari latar belakang ucapan dan tindakannya. Apalagi
bagi sebagian besar warga nahdliyin, Gus Dur adalah figur yang
dihormati, betapapun nyleneh dan kontroversialnya ucapan
dan tindakannya. Bukan saja karena ia adalah cucu pendiri NU
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, tapi juga karena Gus Dur
adalah ulamaintelektual NU terkemuka dan berwawasan kosmo
politan. Seorang tokoh yang berhasil membawa NU menembus
dan membebaskan batasbatas orientasi, visi, dan wawasan tra
disionalisme NU untuk masuk ke wacana modern, liberal, dan
kosmopolitan sambil tetap menjaga kelestarian tradisi klasik Is
lam. Melalui Gus Dur, NU sebagai organisasi Islam tradisional
yang telah “mendunia” dan diperhitungkan dunia luar.1
Namun demikian, sebagai orang Muhammadiyah dan juga
mantan wartawan, saya barangkali termasuk orang yang percaya
bahwa Gus Dur adalah Gus Dur. Ia memang dilahirkan oleh seja
rah sebagai tokoh terkemuka, namun ia bukan seorang wali atau
figur yang can do no wrong. Ia tetap manusia biasa yang pu
nya kekuatan dan kelemahan, dan tentu saja ia bisa salah dalam
berfikir atau bertindak. Sekalipun kita mungkin tidak setuju ter-
hadap gagasan dan sepak terjangnya, namun kita tetap harus fair
untuk menilai kontribusinya dalam pemikiran politik Islam di
Indonesia. Bagi saya, Gus Dur bersamasama dengan intekletual
Muslim lainnya telah memberikan kontribusi yang penting bagi
perkembangan pemikiran politik Islam di Indonesia.2
Karena itu saat dia menawari untuk mengedit dan mem
beri kata pengantar kumpulan tulisannya untuk dijadikan buku,
secara spontan saya menerimanya. Pada saat itu saya cuma ber
keyakinan bahwa kepercayaan dari seorang Gus Dur kepada
saya tentu dengan pertimbangan tersendiri. Menariknya, saat
tawaran Gus Dur itu saya diskusikan dengan temanteman, mere
ka dengan segera menganjurkan agar tawaran itu saya terima.
Salah satu di antara sahabat saya yang memberikan dorongan
agar saya mengerjakan pekerjaan editing dan memberi kata pen
gantar untuk kumpulan tulisan ini adalah Dr. Haidar Bagir, MA
intelektual muda Muslim alumnus Universitas Harvard, yang
juga Direktur Penerbit Mizan. “Dengan mengedit dan memberi
kan kata pengantar yang kritis terhadap kumpulan tulisan Gus
Dur, Anda bisa berperan untuk menjadi semacam “perantara”
bagi simbiose intelektual di antara kalangan NU dan Muhamma
diyah,” ujar Haidar.
Ucapan Haidar itu mengingatkan saya pada Dr. Greg
Barton, sahabat lama saya yang juga menjadi dosen di Deakin
University, Australia. Dalam bukunya, Barton menyebut saya
yang waktu itu menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Mingguan
Berita Ummat, sebagai orang yang berusaha menjembatani hu
bungan Gus Dur dengan tokohtokoh modernis Muslim, teruta
ma Amien Rais. Greg Barton mungkin sedikit berlebihan saat
menyebutkan peran saya sebagai perantara untuk menjembatani
hubungan Gus Dur dengan tokohtokoh Islam modernis, wa
laupun saya bisa memahami apa yang dia maksud.3 Yang jelas
saya merasa dekat dengan siapa saja, baik dengan tokohtokoh
Muhammadiyah maupun NU dan sejumlah cendekiawan Mus
lim lainnya. Karena sebagai wartawan, saya merasa nyaman dan
akrab dengan berbagai tokoh dari kedua ormas terbesar di Indo
nesia itu, seperti Gus Dur, Mas Amien Rais, Bang Syafi’i Ma’arif,
Gus Mus (KH Mustafa Bisri), Dr. Fahmi Saefuddin, M. Dawam
Rahardjo, Kang Muslim Abdurrahman, dan lainlain. Tentu saya
juga merasa akrab dengan Cak Nur, Bang Hussein Umar, dan
tokohtokoh cendekiawan lintas agama. Lepas dari perbedaan
pendapat dan visi mereka dalam pergumulan ide dan percaturan
politik, saya merasa merasa berhutang budi secara intelektual
kepada mereka semua.
Adalah sejarahwan Prof. Dr. Taufik Abdullah yang juga
memberikan dorongan positif kepada saya untuk mengedit dan
memberikan kata pengantar buku Gus Dur ini. “Itu suatu kehor
matan. Anda tak perlu ragu untuk untuk melakukannya. Saya sen
diri merasa dekat dengan Gus Dur, sekalipun tidak semua piki
ran dan tindakan politiknya saya setujui. Tapi kita harus jujur,
jernih, dan bijak dalam menilai pikiran dan tindakan seseorang,”
ujarnya saat kami bertemu di National University of Singapore,
tahun 2004 yang lalu.
Dengan dorongan para sahabat dan para senior itulah, sun
tingan dan kata pengantar untuk kumpulan tulisan ini saya ker
jakan.
Memperkuat Substansi Islam
Judul buku ini, Islamku, Islam Anda, Islam Kita diambil
dari salah satu artikel yang ditulis Gus Dur. Ia dipilih karena
dapat menggambarkan pengembaraan intelektual Gus Dur dari
masa ke masa. Sebuah pengembaraan intelektual yang bukan
saja tidak linear, namun juga berproses. Itu terlihat misalnya
dalam pengakuan Gus Dur sendiri, yang melihat Islam sebagai
agama yang tengah mengalami perubahanperubahan besar.
Diakui oleh Gus Dur bahwa di masa mudanya, di tahuntahun
1950an, ia mengikuti jalan pikiran Ikhwanul Muslimun, sebuah
kelompok Islam “garis keras” yang pengaruhnya juga sampai ke
Jombang, Jawa Timur. Bahkan Gus Dur juga ikut aktif dalam
gerakan Ikhwanul Muslimun di kota kelahirannya itu. Lalu pada
tahun 1960an, Gus Dur tertarik untuk mendalami nasional
isme dan sosialisme Arab di Mesir dan Irak, tepatnya saat ia
menjadi mahasiswa di Universitas AlAzhar, Kairo dan Univer
sitas Baghdad, Irak. Pengalaman menimba ilmu di kedua negara
ini tentu berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran
nya. Namun setelah kembali ke Indonesia di tahun 1970an, Gus
Dur melihat perkembangan dan dinamika baru Islam yang ber
beda dengan di Timur Tengah. Ia melihat realitas bahwa Islam
sebagai jalan hidup (syari’at) bisa belajar dan saling mengam
bil berbagai ideologi nonagama, bahkan juga pandangan dari
agamaagama lain.
Selanjutnya Gus Dur mengatakan, pengembaraan intelek
tual itu menghasilkan dua hal sekaligus: pengalaman pribadinya
tidak akan pernah dirasakan atau dialami oleh orang lain, semen
tara mungkin saja pengalaman Gus Dur punya kesamaan dengan
orang lain yang punya pengembaraan sendiri. Persoalan apakah
pengembaraan Gus Dur itu berakhir pada ekletisme yang ber
watak kosmopolitan, sementara pengembaraan orang lain ber
akibat sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi Gus Dur. Sebab
pengalaman pribadi seseorang tidak akan pernah sama dengan
orang lain. Orang justru harus bangga dengan pikiranpikiran
nya sendiri yang berbeda dengan orang lain.
Berangkat dengan pandangan semacam itu, Gus Dur me
nyimpulkan bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah
g xvi h
Islam yang khas, yang diistilahkan sebagai “Islamku”. namun Gus
Dur menyatakan, “Islamku” atau “Islamnya Gus Dur” perlu di
lihat sebagai rentetan pengalaman pribadi yang perlu diketahui
oleh orang lain, namun tidak dapat dipaksakan kepada orang lain.
Sementara yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih merupa
kan apresiasi dan refleksi Gus Dur terhadap tradisionalisme atau
ritual keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks
ini, Gus Dur memberikan apresiasi terhadap kepercayaan dan
tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang dianut oleh komuni
tas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurut Gus Dur,
“kebenaran” semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan
dari pengalaman. Keberagamaan semacam itu diformulasikan
oleh Gus Dur sebagai “Islam Anda” yang juga perlu dihargai. Ada
pun perumusan tentang “Islam Kita” lebih merupakan derivasi
dari keprihatinan seseorang terhadap masa depan Islam yang
didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Visi ten
tang “Islam Kita” menyangkut konsep integratif yang mencakup
“Islamku” dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Musli
min seluruhnya. Dalam konteks ini, Gus Dur menyadari adanya
kesulitan dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu karena pengalam
an yang membentuk “Islamku” berbeda bentuknya dari “Islam
Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri dalam mencari
formulasi atas “Islam Kita”. namun persoalan mendasar dalam
konteks “Islam Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan
sementara kelompok orang untuk memaksakan konsep “Islam
Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan kata lain, mereka
ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sen
diri. Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurut Gus
Dur bertentangan dengan semangat demokrasi.
Dari uraian yang secara agak panjang dipaparkan di sini,
menjadi jelas kiranya bahwa perjalanan intelektual seorang
Abdurrahman Wahid lebih merupakan “proses menjadi” (process
of becoming), daripada “proses adanya” (process of being). Yang
menarik dan hampir jarang diketahui adalah, bahwa seorang Gus
Dur yang kita kenal sebagai pemikir liberal itu, di masa mudanya
juga tertarik pada pemikiran Ikhwanul Muslimin yang umumnya
sangat konsen dengan ideologisasi Islam. namun setelah melalui
pendidikan dan pengalaman pribadi, akhirnya mengantarkan
nya menjadi cendekiawan Muslim liberal, yang secara sadar
menolak konsepsi atau gerakan yang mengusung tematema
g xvii h
yang berorientasi pada ideologisasi Islam. Penjelasan ini cukup
penting karena ia bisa menjadi semacam perspektif bahwa pen
didikan, bacaan, dan pengalaman seseorang bisa merubah pan
dangan hidup dan pemikirannya. Namun demikian, yang perlu
dicatat adalah bahwa seseorang tidak seharusnya memonopoli
atau memaksakan penafsirannya kepada orang.
Benang merah yang sangat penting dari pemikiran Gus
Dur adalah penolakannya terhadap formalisasi, ideologisasi,
dan syari’atisasi Islam. Sebaliknya, Gus Dur melihat bahwa keja-
yaan Islam justru terletak pada kemampuan agama ini untuk
berkembang secara kultural. Dengan kata lain, Gus Dur lebih
memberikan apresiasi kepada upaya kulturalisasi (culturaliza-
tion). Itu terlihat dengan jelas, misalnya, dari serial tulisannya
yang berjudul “Islam: Ideologis Ataukah Kultural”. Ketidak
setujuan Gus Dur terhadap formalisasi Islam itu terlihat, misal
nya terhadap tafsiran ayat Al Qur’an yang berbunyi “udhkuluu
fi al silmi kaffah”, yang seringkali ditafsirkan secara literal oleh
para pendukung Islam formalis. Jika kelompok Islam formalis
yang menafsirkan kata “al silmi” dengan kata “Islami”, Gus Dur
menafsirkan kata ini dengan “perdamaian”. Menurut Gus
Dur, konsekuensi dari kedua penafsiran itu punya implikasi luas.
Mereka yang terbiasa dengan formalisasi, akan terikat kepada
upayaupaya untuk mewujudkan “sistem Islami” secara funda
mental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat. Akibatnya,
pemahaman seperti ini akan menjadikan warga negara nonMus
lim menjadi warga negara kelas dua. Bagi Gus Dur, untuk men
jadi Muslim yang baik, seorang Muslim kiranya perlu menerima
prinsipprinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam
secara utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan,
menegakkan profesionalisme, dan bersikap sabar saat mengha
dapi cobaan dan ujian. Konsekuensinya, mewujudkan sistem
Islami atau formalisasi tidaklah menjadi syarat bagi seseorang
untuk diberi predikat sebagai muslim yang taat.
Masih dalam konteks formalisasi, Gus Dur juga menolak
ideologisasi Islam. Bagi Gus Dur, ideologisasi Islam tidak sesuai
dengan perkembangan Islam di Indonesia, yang dikenal dengan
“negerinya kaum Muslim moderat”. Islam di Indonesia, menurut
Gus Dur, muncul dalam keseharian kultural yang tidak berbaju
ideologis. Di sisi lain, Gus Dur melihat bahwa ideologisasi Islam
mudah mendorong umat Islam kepada upayaupaya politis yang
g xviii h
mengarah pada penafsiran tekstual dan radikal terhadap teks
teks keagamaan. Implikasi paling nyata dari ideologisasi Islam
adalah upayaupaya sejumlah kalangan untuk menjadi kan Islam
sebagai ideologi alternatif terhadap Pancasila, serta keinginan
sejumlah kelompok untuk memperjuangkan kembalinya Piagam
Jakarta. Juga langkahlangkah sejumlah pemerintah daerah dan
DPRD yang mengeluarkan peraturan daerah berdasarkan “Syari
’at Islam”. Menurut Gus Dur, upaya-upaya untuk “meng-Islam-
kan” dasar negara dan “men-syari’atkan” peraturan-peraturan
daerah itu bukan saja ahistoris, namun juga bertentangan dengan
UndangUndang Dasar 1945. Mengutip pendapat mantan Ha
kim Agung Mesir, Al-Ashmawi, upaya syari’atisasi semacam itu
menurut ilmu fiqh termasuk dalam tahsil al-hasil (melakukan
hal yang tidak perlu karena sudah dilakukan).
Penolakan Gus Dur terhadap formalisasi, ideologisasi, dan
syari’atisasi itu mendorongnya untuk tidak menyetujui gagasan
tentang negara Islam. Seperti sudah sering dinyatakannya, Gus
Dur secara tegas menolak gagasan negara Islam. Sikapnya ini
didasari dengan pandangan bahwa Islam sebagai jalan hidup
(syari’at) tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Gus
Dur mengklaim, sepanjang hidupnya ia telah mencari dengan sia
sia makhluk yang bernama negara Islam itu. “Sampai hari ini be
lum juga saya temukan. Sehingga saya sampai pada kesimpulan
bahwa Islam memang tidak memiliki konsep tentang bagaimana
negara dibuat dan dipertahankan”. Dasar yang dipakai oleh Gus
Dur ada dua. Pertama, bahwa Islam tidak mengenal pandangan
yang jelas dan pasti tentang pergantian kepemimpinan. Itu ter
bukti saat Nabi Muhammad wafat dan digantikan oleh Abu
Bakar. Pemilihan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah di
lakukan melalui bai’at oleh para kepala suku dan wakilwakil ke
lompok ummat yang ada pada waktu itu. Sedangkan Abu bakar
sebelum wafat menyatakan kepada kaum Muslimin, hendaknya
Umar bin Khattab yang diangkat mengantikan posisinya. Ini ber
arti, sistem yang dipakai adalah penunjukkan. Sementara Umar
menjelang wafatnya meminta agar penggantinya ditunjuk me
lalui sebuah dewan ahli yang terdiri dari tujuh orang. Lalu dipilih
lah Utsman bin Affan untuk menggantikan Umar. Selanjutnya,
Utsman digantikan Ali bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan
juga telah menyiapkan anak cucunya untuk menggantikan Ali.
Sistem ini kelak menjadi acuan untuk menjadikan kerajaan atau
g xix h
marga yang menurunkan caloncalon raja dan sultan dalam se
jarah Islam.
Kedua, besarnya negara yang diidealisasikan oleh Islam,
juga tak jelas ukurannya. Nabi Muhammad meninggalkan Madi
nah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan kaum
Muslimin. Tidak ada kejelasan, misalnya, negara Islam yang di
idealkan bersifat mendunia dalam konteks negarabangsa (na-
tion-state), ataukah hanya negarakota (city-state).
Dari paparan ini di atas, cukup jelas kiranya ke arah
mana alur pemikiran politik Gus Dur. Dalam konteks ini, sebagai
warga Muhammadiyah yang mengamati perkembangan pemikiran
politiknya, pada tahun 1995 lewat buku Pemikiran dan Aksi Is-
lam Indonesia, saya mengelompokan pemikirannya ke dalam
tipologi pemikiran substantifinklusif.4 Jika dalam aksi atau tin
dakan politiknya, mungkin saya bisa punya persepsi lain, dalam
hal pemikiran politik saya tetap berpendapat bahwa pemikiran
politik Gus Dur sampai sekarang tetap tidak berubah. Untuk
itu, ada baiknya jika terlebih dahulu kita memahami paradigma
pemikiran politik Islam yang berkembang di dunia kaum Mus
limin. Paradigma itu adalah (1) substantifinklusif, dan (2) legal
eksklusif.
Dalam paradigma pemikiran politik Islam yang substantif
inklusif, secara umum ditandai dengan keyakinan bahwa Islam
sebagai agama tidak merumuskan konsepkonsep teoritis yang
berhubungan dengan politik. Adapun ciriciri yang menonjol pa
da pemikiran substantifinklusif ada empat. Pertama, adanya
kepercayaan yang tinggi bahwa Al Qur’an sebagai kitab suci ber-
isikan aspekaspek etik dan pedoman moral untuk kehidupan
manusia, namun tidak menyediakan detildetil pembahasan ter
hadap setiap obyek permasalahan kehidupan. Argumen utama
dari pendukung paradigma ini adalah, bahwa tak ada satu pun
dari ayat Al Qur’an yang menekankan bahwa ummat Islam harus
mendirikan negara Islam. Mereka berpendapat bahwa Al Qur’an
memang memuat kandungan etika dan panduan moral untuk
memimpin masyarakat politik, termasuk bagaimana menegak
kan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lainlain.5
Kedua, pendukung paradigma substantifinklusif meya
kini bahwa missi utama Nabi Muhammad bukanlah untuk mem
bangun kerajaan atau negara. namun seperti halnya para nabi
lainnya, yakni mendakwahkan nilainilai Islam dan kebajikan.
g xx h
Dengan demikian missi Nabi Muhammad tidak perlu diartikan
sebagai langkah untuk membangun negara atau sistem peme
rintahan tertentu. Meminjam ungkapan pemikir Mesir Husain
Fawzi alNajjar, concern utama Nabi Muhammad saat menye
barkan Islam adalah lebih tertuju pada upaya untuk mempersa
tukan para pemeluk Islam (al- wihda al-ijtimai) daripada mem
bangun sebuah negara atau sistem pemerintahan.6 Kenyataan
kemudian terbukti bahwa sesudah Nabi Muhammad wafat, di
perlukan waktu beberapa hari untuk melakukan musyawarah
dan memutuskan siapa penggantinya, yang kemudian terpilih
Abu Bakar. Sementara pergantian kepemimpinan para sahabat
Nabi Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali semuanya melalui sis
tem dan mekanisme yang berbeda.
Ketiga, para proponen paradigma substantifinklusif ber
pendapat bahwa syari’at tidak dibatasi atau terikat oleh negara.
Demikian pula syari’at tidak berkaitan dengan gagasan-gagasan
spesifik yang berkaitan dengan pemerintahan atau sistem poli
tik. Karena Islam dipandang sematamata sebagai agama dan
bukannya sebuah sistem yang berkaitan dengan tertib negara,
syari’at seharusnya tidak diletakkan ke dalam domain negara,
namun tetap diletakkan dalam kerangka sistem keimanan Islam.
Menurut Al Ashmawi, mantan hakim agung Mesir yang juga
dikenal sebagai pemikir progressif Islam terkemuka, bahkan Al
Qur’an sendiri menetapkan bahwa syari’at adalah sumber dari
orientasi etika Islam dan tidak berhubungan dengan ajaran yang
berkaitan dengan bentuk-bentuk negara. Syari’at adalah sebuah
jalan dan gerak langkah yang selalu dinamis dan membawa ma
nusia pada tujuantujuan yang benar dan orientasiorientasi etis
yang mulia.7
Keempat, refleksi para pendukung paradigma substantif-
inklusif dalam bidang politik pada dasarnya adalah melakukan
upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik
yang menekankan manifestasi substansial dari nilai–nilai Islam
(Islamic injuctions) dalam aktivitas politik. Bukan saja dalam pe
nampilan, namun juga dalam format pemikiran dan kelembagaan
politik mereka. Dalam konteks Indonesia, paradigma ini cende
rung untuk mengetengahkan eksistensi dan artikulasi nilai–nilai
Islam yang intrinsik, dalam rangka mengembangkan wajah kultu
ral Islam dalam masyarakat Indonesia modern. Proses kulturali
sasi telah melahirkan kompetisi di antara berbagai kekuatan kul
g xxi h
tural, dan Islam hanyalah satu diantara kekuatan kultural yang
bersaing itu. Agar supaya Islam dapat memenangkan persaingan
itu, proses Islamisasi haruslah mengambil bentuk kulturalisasi
dan bukannya politisasi.8
Sementara itu, paradigma legaleksklusif mempunyai ciri
ciri umum sebagai berikut. Pertama, paradigma legaleksklusif
dalam pemikiran politik Islam meyakini bahwa Islam bukan
hanya agama, namun juga sebuah sistem hukum yang lengkap,
sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna yang
mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan ummat
manusia. Para pendukung paradigma legaleksklusif sepenuhnya
yakin bahwa Islam adalah totalitas integratif dari “tiga d”: din
(agama), daulah (negara), dan dunya (dunia). Konsekuensinya,
seperti dikemukakan oleh Nazih Ayubi, paradigma ini didisain
untuk mengaplikasikan semua aspek kehidupan, mulai dari
soal remeh temeh masalah keluarga hingga menjangkau semua
permasalahan ekonomi, sosial, politik, dan sebagainya.
Kedua, dalam realitas politik, pendukung paradigma legal
eksklusif mewajibkan kepada kaum Muslimin untuk mendirikan
negara Islam. Paradigma ini menghendaki agar ummat Islam
selalu menjadikan kehidupan Nabi Muhammad dan para saha
batnya (khulafa ar rasyidun) dalam mengatur tatanan kemasya
rakatan, dijadikan sebagai referensi utama dan modal untuk
mewujudkan “negara Islam yang ideal”, dan menganjurkan peno
lakan sistemik terhadap konsepkonsep politik Barat. Akibatnya,
paradigma ini mendorong ummat Islam untuk memperkuat iden
titas dan ideologi mereka sebagai “alternatif” terhadap sistem
sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Ketiga, para pendukung paradigma ini meyakini bahwa
syari’at harus menjadi fundamen dan jiwa dari agama, negara,
dan dunia ini . Syari’at dengan demikian diinterpretasikan
sebagai Hukum Allah (Divine Law), dan harus dijadikan seba
gai dasar dari negara dan konstitusinya, serta diformalisasikan
ke dalam seluruh proses pemerintahan, dan menjadi pedoman
bagi perilaku politik penguasa. Selanjutnya, paradigma ini juga
menegasikan adanya kedaulatan rakyat, namun lebih yakin terha
dap kedaulatan Allah , yang implementasinya harus didukung
oleh syari’at. Konsekuensinya, paradigma ini menerapkan visi
dan missi yang menegaskan dan mewajibkan setiap Muslim un
tuk menegakkan syari’at, apa pun yang akan terjadi, sebagai al
g xxii h
ternatif terhadap sistemsistem dunia yang berlaku.
Keempat, dalam konteks politik paradigma legaleksklusif
menunjukkan perhatian terhadap suatu orientasi yang cende
rung menopang bentukbentuk masyarakat politik Islam yang
dibayangkan (imagined Islam polity); seperti mewujudkan suatu
“sistem politik Islam,” munculnya partai Islam, ekspresi simbo
lis dan idiomidiom politik, kemasyarakatan, budaya Islam, serta
eksperimentasi ketatanegaraan Islam. Dalam konteks Indonesia,
pendukung paradigma legaleksklusif sangat menekankan ideo
logis atau politisasi yang mengarah pada simbolisme keagamaan
secara formal.
Dengan memahami kedua paradigma pemikiran politik Is
lam ini di atas, kita akan bisa memahami alasan Gus Dur
menolak formalisasi, ideologisasi, dan syari’atisasi Islam ini
di atas. Jelas kiranya bahwa sebagai pemikir Islam substantif
inklusif, kritikkritiknya banyak diarahkan kepada pada pendu
kung paradigma legaleksklusif, yang banyak dianut oleh kelom
pok Islam radikal, fundamentalis, maupun kelompokkelompok
revivalis lainnya. Mengenai hal ini, cukup menarik kiranya pan
dangan John L.Esposito, guru besar kajian agama dan hubungan
internasional dari Georgetown University, Washington, tentang
Gus Dur. Berikut pandangan Esposito tentang Gus Dur yang saya
kutip agak panjang dari naskah aslinya, sebagai berikut:
“Wahid believes that contemporary Muslims are at critical cross
road. Two choices or paths confront them: to pursue a tradi
tional, static legalformalistic Islam or to reclaim and refashion a
more dynamic cosmopolitan, universal, pluralistic worldview. In
contrast to many “fundamentalists” today, he rejects the nation
that Islam should form the basis for the nation-state’s political
or legal system, a nation he characterizes as a Middle Eastern
tradition, alien to Indonesia. Indonesian Muslims should apply
a moderate, tolerant brand of Islam to their daily lives in a so
ciety where “a Muslim and a nonMuslim are the same”, a state in
which religion and politics are separate. Rejecting legalformal
ism or fundamentalism as an aberration and a major obstacle to
Islamic reform and to Islam’s response to global change, Wahid
has spent his life promoting the development of a multifaceted
Muslim identity and a dynamic Islamic tradition capable of re
sponding to the realities of modern life. Its cornerstones are free
will and the right of all Muslims, both laity and religious scholars
(ulama) to “perpetual reinterpretation” (ijtihad) of the Quran
g xxiii h
and tradition of the Prophet in light of “ever changing human
stations.”9
Pandangan Esposito itu layak untuk dipertimbangkan,
karena ia muncul dari kajian akademis seorang pakar terkemuka
yang dikenal punya perspektif empatik terhadap kajian Islam.
Tapi setajam apa pun kritik yang dilontarkan terhadap ke
lompok ini , Gus Dur tetap menghargai perbedaan pendapat.
Hanya saja, saat sebagain dari kelompok itu menggunakan ke
kerasan untuk mencapai tujuannya, ia nampak tidak mau kom
promi. Ia memang anti kekerasan.
HAM dan Perlunya Pembaruan Fiqh
Dalam melihat hubungan antara Islam dan hak asasi manu
sia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemim
pin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang
paling demokratis dan amat menghargai hak asasi manusia.
Ironisnya, kenyataan yang ada justru berbeda dari klaim mereka.
Di negerinegeri Muslim pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia justru banyak terjadi. Jadi apa yang mereka klaim itu ti
dak sesuai dengan kenyataan. namun , pemikiran yang tergolong
berani tentang hak asasi manusia justru disuarakan oleh Gus Dur
tentang ketidak sesuaian pandangan fiqh/ hukum Islam dengan
deklarasi universal hak asasi manusia. Jika deklarasi HAM me
ngakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam seba
liknya memberikan ancaman hukuman yang keras terhadap me
reka yang berpindah agama atau murtad. Menurut hukum Islam
yang sampai sekarang masih dianut oleh sebagian besar kaum
Muslimin, orang yang murtad dapat dihukum mati. Lalu apa
kata Gus Dur? “Kalau ketentuan fiqh seperti ini diberlakukan di
negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang
berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965 harus
lah dihukum mati,” tandasnya.
Pendapat Gus Dur di atas cukup tajam dan berani. Namun
sayangnya Gus Dur kurang memberikan elaborasi yang lebih
subtil tentang ketentuan fiqh yang dikritiknya itu. Padahal se
andainya ia memberikan elaborasi lebih dalam tentang soal itu,
kritiknya mungkin akan lebih mengena. Dalam konteks ini, saya
teringat Ibrahim Moosa, seorang pemikir Islam progresif asal
Afrika Selatan. Menurut Moosa, hukum Islam klasik memang
g xxiv h
melarang orang Islam pindah agama ke agama lain. Ketentuan
ini merupakan pelanggaran terhadap pasal 18 deklarasi hak asasi
manusia (HAM) universal yang menghendaki adanya suatu kebe
basan berpikir, berbuat dan beragama, termasuk di dalamnya
hak untuk mengubah agama dan kepercayaan. Padahal, keten
tuan hukum Islam, perpindahan agama adalah murtad (riddah)
dan menurut mayoritas madzhab orang yang murtad itu dian
cam dengan sanksi hukuman mati.10
Namun menurut Moosa, pandangan seperti ini berasal dari
kesepakatan ulama masa pertengahan yang menganggap murtad
sebagai perlawanan terhadap agama dan hukumannya telah dite
tapkan dalam hukum. Sementara para pemikir Islam progresif,
termasuk Moosa tentunya, berpendapat bahwa murtad tidak be
rarti perlawanan terhadap agama dan sebagai sesuatu yang dapat
diberi sanksi. Selanjutnya Moosa berpendapat, ketentuan ten
tang murtad ini tidaklah bersumber pada Al Qur’an, namun
dari Hadits. Namun Moosa berpendapat bahwa Hadits ini
dapat diragukan kesahihannya karena kemungkinan terjadi ke
salahan transmisi atau pemahaman. Pada akhirnya, Moosa me
nyimpulkan, semangat ajaran Al Qur’an memberikan kebebasan
yang luas bagi seseorang untuk memilih kepercayaannya.11
Contoh lain yang dikemukakan oleh Gus Dur adalah soal
perbudakan (slavery) yang banyak menghiasi Al Qur’an dan
Hadits. Sekarang, perbudakan tidak akui bangsa Muslim mana
pun, sehingga ia lenyap dari perbendaharaan pemikiran kaum
Muslimin. Karena itu Gus Dur berpendapat, ummat Islam mau
tak mau harus melakukan ijtihad untuk merubah ketentuan fiqh
yang sudah berabad-abad diikuti itu. Dengan berpijak pada fir-
man Allah dalam ayat suci Al Qur’an yang menyatakan, “Kullu
man ’alayha fâ nin. Wa yabqâ wajhu rabbika” (Tiada yang tetap
dalam kehidupan kecuali wajah Allah ), Gus Dur lalu merujuk
pada ketentuan ushul fiqh yang berbunyi, al-hukmu yadûru
ma’a ‘illatihi wujûdan wa ‘adaman (hukum agama sepenuhnya
tergantung kepada sebabsebabnya, baik ada ataupun tidak ada
nya hukum itu sendiri). Apa yang dilakukan Gus Dur sebenarnya
adalah sebuah usaha untuk memberikan substansiasi bagi fiqh
itu sendiri, dengan tetap berpijak pada fundamen yang telah di
gariskan oleh tujuan yang termaktub dalam nilai-nilai syari’at
(maqâshid al-syarî’ah).
Apresiasi Gus Dur terhadap hak asasi manusia ternyata
g xxv h
bukan dalam konsep saja, namun juga implementasinya dalam
praktek, termasuk di Indonesia. Itu sebabnya Gus Dur juga me
nyuarakan pembelaan terhadap sejumlah kasus tertentu yang
menyangkut hak asasi manusia seperti hakhak kaum minori
tas, penghormatan terhadap nonMuslim, hingga kasuskasus
yang dipandangnya sebagai “ketidakadilan” sejumlah kelompok
kaum Muslimin terhadap saudara sesama Muslim lainnya. Ia,
misalnya, tanpa ragu membela Ulil AbsharAbdala, intelektual
muda NU yang juga tokoh muda “Islam liberal”. Seperti dike
tahui, sejumlah ulama atau aktifis Islam tertentu yang menilai
pemikiran Ulil telah sesat dan keluar dari Islam, dan karena itu
layak dihukum mati. Yang menarik, sejumlah ulama dan tokoh
NU sendiri juga ada yang menilai pemikiran Ulil telah sesat. Me
nanggapi adanya kecaman terhadap Ulil itu, Gus Dur berprinsip
bahwa perbedaan pendapat harus dihargai dan tidak seharusnya
melahirkan ancaman atau kekerasan. Oleh karena itu ia meng
kritik keras mereka yang dengan gampang melayangkan tuduh
antuduhan berat kepada Ulil, dan mengatakan bahwa fatwa hu
kuman mati itu sama sekali tidak berdasar.
Demikian pula dalam kasus Inul Daratista. Perempuan
lugu dan sederhana ini dicerca keras oleh sebagian tokoh agama,
majelis ulama dan seniman karena “goyang ngebor”nya yang diang
gap melanggar batasbatas kesusilaan umum. Seperti biasa, para
tokoh agama dan ulama itu menggunakan justifikasi fatwa-fatwa
keagamaan untuk melarang Inul tampil di depan publik. Semen
tara itu, seorang seniman besar semacam H. Rhoma Irama, atas
nama menjaga kesucian seni dan “moralitas” seniman juga ikut
menggempur Inul. Walaupun Inul membela diri dengan menga
takan bahwa “goyang ngebor” nya adalah bagian dari kreativitas
dan improvisasi seni dan usaha untuk mencari sesuap nasi, para
ulama, tokoh Islam, dan H. Rhoma Irama tetap tidak bisa me
nerima alasannya. Atas nama agama dan moralitas seni, mere
ka menghangatkan opini publik yang menista si “Ratu Ngebor”,
Inul Daratista. Begitu gencarnya kecaman dan cercaan terhadap
perempuan lugu anggota Fatayat NU yang pintar mengaji ini,
sehingga hampirhampir saja Inul putus asa dan menyerah.
Dan kalau saja Inul menyerah, dapat diduga karirnya sebagai pe
nyanyi akan tamat. Itu berarti, ia akan kehilangan nafkah yang
menjadi tulang punggung kehidupan keluarganya. Di tengah
kontroversi itu, Gus Dur tampil melindungi dari gempuran ke
g xxvi h
caman dan panasnya opini publik yang menekan Inul. Pem
belaan Gus Dur di dasarkan pada melindungi hak asasi “wong
cilik” bernama Inul dari hegemoni elit keagamaan dan klaim atas
moralitas kesenian yang agak represif. Sementara banyak tokoh
agama yang tidak hirau terhadap soal atau bahkan mengambil
sikap diam, Gus Dur tampil dengan pandangan yang melawan
arus demi membela hak asasi Inul.
Dari pandangan dan impressinya terhadap hak asasi manu
sia itu, jelas Gus Dur sebagai tokoh Islam punya paradigma sen
diri dalam memahami dan mengaktualisasikan nilainilai hak
asasi manusia.
Antara Demam Syari’at dan Kapitalisasi
Dalam konteks ekonomipolitik, implikasi dari penolakan
Gus Dur terhadap ideologisasi, formalisasi, dan politisasi Islam
sebagai syari’at (jalan atau petunjuk ummat manusia) terlihat
dari ketidak setujuannya terhadap gagasan ekonomi Islam. Menu
rut Gus Dur, gagasan ekonomi Islam terlalu memfokuskan pada
aspekaspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya
dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai
nilai ini di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam, menu
rut Gus Dur, lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar
bunga bank, asuransi, dan sejenisnya. Bagi Gus Dur, prinsip “eko
nomi Islam” adalah pendekatan parsial yang memanfaatkan kata
Islam sebagai predikat atau simbol saja. Padahal yang terpenting
bukanlah nama atau simbol itu sendiri, namun substansinya. Un
tuk itu, tanpa ragu Gus Dur tanpa ragu mendukung “ekonomi
kerakyatan” baik dalam konsepsi maupun aplikasinya. Dukung
annya terhadap ekonomi kerakyatan didasarkan pada tiga per
timbangan. Pertama, dalam konsepsi Islam, orientasi ekonomi
haruslah memperjuangkan nasib rakyat kecil serta kesejahtera
an rakyat banyak, yang dalam teori ushul fiqh dinamakan al
maslahah al ammah. Kedua, mekanisme yang digunakan untuk
mencapai kesejahteraan itu tidaklah ditentukan format dan ben
tuknya. Oleh karena itu, acuan dan praktek perdagangan bebas
dan efisiensi yang dibawakan oleh sistem kapitalisme tidaklah
bertentangan dengan Islam, karena Islam sendiri mengajarkan
fastabiqu al khairat (berlomba dalam kebaikan). Bahkan dalam
persaingan dan perlombaan yang sehat, akan dihasilkan kreatifi-
tas dan efisiensi yang justru menjadi inti dari praktek ekonomi
g xxvii h
yang sehat pula. Dalam bahasa Gus Dur, ummat Islam “bisa mene
rima pelaksanaan prinsipprinsip Islam dalam orientasi dan me
kanisme ekonomi kapitalistik tanpa harus memeluk kapitalisme
itu sendiri”. Yang ditentang oleh Islam adalah orientasi kapita
listik yang hanya mengutamakan pengusaha besar dan pemilik
modal. Sebab dalam Islam yang terpenting justru kesejahteraan
rakyat secara keseluruhan.
Dalam konteks ini di atas, ia tidak setuju dengan pan
dangan yang menggeneralisasi bahwa setiap bunga bank sebagai
riba. Mengutip pendapat Yusuf Qardhawi, jika bunga bank dipu
ngut dari upaya nonproduktif, maka ia dapat dikatakan riba.
namun jika bunga bank ini merupakan bagian dari sebuah
upaya produktif, maka ia bukan riba, namun merupakan bagian
dari ongkos produksi saja. Selanjutnya, Gus Dur juga mengkritik
kecenderungan yang ia namakan sebagai “demam syari’at” yang
kini banyak dilakukan oleh bankbank swasta di mana pemilik
sahamnya sebagian adalah nonMuslim. Menurut Gus Dur, ke
cenderungan seperti itu karena kurangnya pengetahuan mereka
tentang hukum Islam. Jelas bahwa Gus Dur tidak setuju dengan
langkah-langkah yang mengarah pada formalisasi syari’at Islam
seperti itu.
Namun lepas dari ketidak setujuan Gus Dur kepada “de
mam syari’at” bank-bank swasta, perkembangan bank-bank yang
memanfaatkan jasa syari’at itu menurut laporan sejumlah me
dia massa nasional ternyata cukup bagus. Bahkan permodalan,
likuiditas, dan kinerja bank-bank syari’at disebutkan mengalami
kenaikan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir
ini. Untuk itu, tentu saja masih diperlukan data dan penelitian
yang valid. Yakni penelitian yang memverifikasi apakah demam
syari’at yang melanda bank-bank konvensional itu, bagian dari
peningkatan kesadaran masyarakat terhadap implementasi syari
’at, ataukah justru hal itu semacam bentuk “kapitalisasi syari’at”
yang lebih didasarkan pada motifmotif ekonomi yang tunduk
pada kepentingan pasar.
Islam Radikal dan Pendangkalan Agama
Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan te
rorisme, sikap Gus Dur sangat jelas: mengecam keras dan mengu
tuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radi
kal. Menurut Gus Dur, satusatunya alasan penggunaan kekerasan
g xxviii h
yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslimin diusir
dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun
masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Misalnya diperdebat
kan, bolehkah kaum membunuh orang lain jika jiwanya sendiri
tidak terancam. Tidak tanggungtanggung, kecaman Gus Dur di
alamatkan kepada kelompokkelompok Islam “garis keras” yang
beberapa waktu lalu sering unjuk rasa dengan membawa pedang,
celurit, atau bahan peledak lain hingga mereka yang melakukan
sweeping terhadap warga asing (terutama AS) dan kafekafe
minuman di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.12
Menurut Gus Dur, lahirnya kelompokkelompok Islam
garis keras atau radikal ini tidak bisa dipisahkan dari dua
sebab. Pertama, para penganut Islam garis keras ini meng
alami semacam kekecewaan dan alienasi karena “keterting
galan” ummat Islam terhadap kemajuan Barat dan penetrasi
budayanya dengan segala eksesnya. Karena ketidakmampuan
mereka untuk mengimbangi dampak materialistik budaya Barat,
akhirnya mereka menggunakan kekerasan untuk menghalangi
ofensif materialistik dan penetrasi Barat. Kedua, kemunculan
kelompokkelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari
karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam
sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi
karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam gerakan
gerakan Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari
mereka yang belatar belakang pendidikan ilmuilmu eksakta dan
ekonomi. Latar belakang seperti itu menyebabkan fikiran mere-
ka penuh dengan hitunganhitungan matematik dan ekonomis
yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara
mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi ke
agamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau
tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayatayat suci Al
Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan.
namun pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam le
mah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada,
kaidahkaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap
teksteks yang ada.13
Pandangan Gus Dur ini di atas, sebenarnya tertuju
kepada kelompokkelompok yang dalam sosiologi agama bisa dika
tegorikan sebagai neofundamentalisme. Ini mengingatkan saya
pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur ter
g xxix h
hadap kebangkitan neofundamentalis Islam. Rahman menilai,
keberadaan neofundamentalisme Islam di berbagai negeri Mus
lim, sebenarnya bukanlah memberikan alternatif atau tawaran
yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neo
fundamentalisme sebenarnya mengidap penyakit yang cukup
berbahaya, yakni mendorong ke arah pemiskinan intelektual
karena pandanganpandangan literal dan tekstual yang tidak
memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah keIslaman
klasik yang kaya dengan alternatif pemikiran. Selain itu, Rahman
menilai kelompok neofundamentalis umumnya memiliki pema
haman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak
bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional
Islam.14 Bagaimana pun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rah
man itu layak untuk dipertimbangkan.
Pribumisasi, Bukan Arabisasi
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah sosial
budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur
terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderung
an semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap
aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu ter
lihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan
katakata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenar
nya sudah lazim dikenal. Gus Dur menunjuk penyebutan Fakul
tas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga
ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad”
untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolah
olah kalau tidak menggunakan katakata berbahasa Arab terse
but, akan menjadi “tidak Islami” atau keIslaman seseorang akan
berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur,
merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri saat mengha
dapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satusatunya
adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Ara
bisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal
Arabisasi bukanlah Islamisasi.
Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah
diungkapkan pada tahun 1980an, yakni saat ia mengungkap
kan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar
wahyu Allah dipahami dengan mempertimbangkan faktor–fak
tor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan
g xxx h
nya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya
dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsi
liasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar
budaya lokal itu tidak hilang. Di sini pribumisasi dilihat sebagai
kebuAllah , bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi an
tara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan
sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal,
karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islam
nya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau
sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan
kebuAllah kebuAllah lokal di dalam merumuskan hukumhu
kum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya
meninggalkan norma demi budaya, namun agar normanorma itu
menampung kebuAllah –kebuAllah dari budaya dengan mem
pergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman
nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan
qâidah fiqh. Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan
teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal
yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologis
nya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.15
Mencari Perdamaian
Masalah terakhir yang dibahas Gus Dur dalam kumpulan
tulisan ini adalah Islam dan hubungannya dengan pedamaian
dan masalahmasalah internasional. Dalam kumpulan tulisan ini
nampak jelas sikap Gus Dur terhadap perdamaian dunia men
dorong upayaupaya ke arah perwujudan perdamaian di dunia.
Tanpa ragu Gus Dur mengecam invasi AS ke Irak yang kemu
dian berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein. Peperang
an yang tidak seimbang itu memang berhasil menumbangkan
rezim diktator Saddam Hussein. Bahkan dalam perkembangan
nya kemudian, militer AS berhasil menangkap hiduphidup Sad
dam Hussein. Ini mungkin tidak menjadi prediksi Gus Dur ke
tika ia menurunkan kolomkolomnya di media massa, dan juga
perhitungan para pengamat, bahwa Saddam akhirnya tertang
kap dalam keadaan yang penuh dengan ironi. namun masalahnya
tidak akan berhenti di sana. Gus Dur pernah memperkirakan,
masalahmasalah baru akan terus bermunculan, seiring dengan
kondisi obyektif yang ada di Irak pasca pendudukan AS dan ten
tara sekutu di negeri Seribu Satu Malam itu. Dan ternyata apa
g xxxi h
yang terjadi di Irak sekarang adalah sebuah drama peperangan,
pendudukan, dan perlawanan yang sepertinya tak berujung.
Ada beberapa hal lain tentang masalah internasional yang
disorot oleh Gus Dur, seperti kritiknya terhadap mantan Perdana
Menteri (kini Menteri Senior) Singapura Lee Kuan Yew yang dini
lainya terlalu provokatif dan mencampuri urusan dalam negeri
Indonesia. Lee juga dikritik oleh Gus Dur karena pandangan
nya yang stereotipe dan agak misleading terhadap Islam Sunni
di Indonesia. Namun Gus Dur sadar pandangan Lee yang salah
terhadap Islam di Indonesia itu karena kurangnya pengetahuan
mantan PM Singapura itu tentang dinamika dan perkembangan
Islam di Indonesia.
Memang ada masalah internasional lain yang dibahas oleh
Gus Dur, namun dalam kumpulan tulisannya kali ini ia lebih me
nyorot perlunya upayaupaya untuk mengembangkan dunia
yang damai dan jika mungkin jauh dari peperangan dan kekeras
an. Ia memang concern dengan perdamaian dunia, dan percaya
bahwa agama maupun tokohtokohnya bisa berperan aktif dalam
mengusahakan perdamaian dunia. namun , seperti sebuah judul
tulisannya dalam buku ini, “Dicari Perdamaian, Perang Yang
Didapat”. Ada nada getir dalam tulisannya itu. Dan seperti hal
nya Gus Dur, kita juga tidak tahu akan seperti apa masa depan
sejarah dunia di abad ke 21 jika perang menjadi alternatif yang
gampang dicetuskan, ketimbang usahausaha kolektif untuk me
wujudkan perdamaian.
Sebuah Bingkai Pemikiran
Bagi mereka yang mengikuti secara intens pemikiran poli
tik Gus Dur, buku ini memang belum bisa memetakan bingkai
pemikirannya dengan utuh. Bisa jadi karena cakupan persoalan
yang dibahas cukup luas dan beragam, sehingga agak sulit untuk
menganalisis secara terstruktur dan lebih memfokus. Demikian
pula bagi pembaca yang ingin mendapatkan pembahasan yang
tuntas, apalagi dengan mengidealisasikan penggunaan disiplin
akademis yang ketat, jelas tidak atau belum mendapatkannya
di sini. Sebab buku ini adalah kumpulan kolom dan artikel yang
dibatasi oleh aktualitas peristiwa, waktu penulisan, dan keter
sediaan halaman media tempat Gus Dur menuliskan gagasan
gagasannya. Mudahmudahan dengan penerbitan kumpulan
tulisan ini akan memudahkan Anda memahami konstruk dan
g xxxii h
prisma pemikiran Gus Dur yang luas itu, sekalipun itu ditulis me
lalui kolomkolom lepas di berbagai media.
Akhirnya dengan terus terang saya nyatakan bahwa sekali
pun buku ini memuat pemikiran penting dan visioner, tentu ti
dak terlepas dari kekurangan. Lazimnya sebagai sebuah kumpul
an tulisan, ada sejumlah repetisi atau pengulangan baik dalam
ide maupun penyajian di sanasini. Pengulangan itu dimungkin
kan terjadi karena meskipun tema pokok atau topik yang diulas
berbeda judulnya, substansi dan missi yang disampaikan ke
mungkinan menggunakan referensi yang sama. Sementara itu,
produktivitas Gus Dur sebagai penulis prolifik ternyata sangat
mencengangkan. Menurut penuturannya, dalam satu minggu
ia menulis antara dua atau tiga kali, bahkan terkadang hingga
empat kali, di media yang berbeda, baik nasional maupun lo
kal. Padahal kita tahu, meskipun sudah tidak menjabat sebagai
presiden, kesibukan tokoh yang satu ini tidaklah berkurang. Ia
masih sering melakukan perjalanan ke luar negeri atau berbagai
kota dan pelosok tanah air, baik untuk memenuhi undanganun
dangan seminar atau pertemuan internasional, maupun untuk
menjadi penceramah dalam pengajian atau melakukan kegiatan
sosialpolitiknya sebagai Ketua Dewan Syura PKB (Partai Ke
bangkitan Bangsa).
Toh sesibuk apa pun, Gus Dur tetap meluangkan waktunya
untuk menulis artikel. Sebuah kegiatan yang tidak mudah dila
kukan banyak oleh orang. Sebagai intelektual dan sekaligus pe
mimpin serta poli tisi, Gus Dur sangat menyadari pengaruh dari
ideide dan gagasan yang dituangkannya dalam bentuk tulisan.
Hal lain yang tak boleh dikesampingkan adalah leverage atau pe
ngaruh Gus Dur di mata warga nahdliyyin dan publik Indonesia
lainnya.
Bagaimana pun, paling tidak menurut saya selaku penyun
ting, tulisantulisan Gus Dur tetap enak dibaca dan gampang
dicerna. Mudahmudahan ini bukanlah sebuah apologia karena
ketidak sempurnaaan saya selaku penyunting. Wallahu alam bi
al sawab.
12 Tindakan sweeping terhadap warga asing terutama dilakukan oleh FPI
(Front Pembela Islam). Sementara itu, penting untuk dicatat sejak Soeharto
tumbang di Indonesia hingga sekarang muncul kelompokkelompok Islam
“garis keras” semacam Lasykar Jihad, Majelis Mujahiddin Indonesia (MMI),
Ikhwanul Muslimin, Hammas, Lasykar Jundullah, dan sebagainya. Lasykar Ji
had resmi membubarkan diri tahun 2002. Hingga sekarang yang nampak masih
aktif dan terorganisir adalah FPI dan MMI. Buku yang mengulas hal ini adalah
Khamami Zada, Islam Radikal: Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras
di Indonesia, Jakarta:
Dalam kitab suci al-Qur’ân disebutkan: “masuklah kalian
ke dalam Islam (kedamaian) secara penuh (udkhulû fi al-
silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208)1. Di sinilah ter
letak perbedaan pendapat sangat fundamental di antara kaum
muslimin. Kalau kata “al-silmi” diterjemahkan menjadi kata Is
lam, dengan sendirinya harus ada sebuah entitas Islam formal,
dengan keharusan menciptakan sistem yang Islami. Sedangkan
mereka yang menterjemahkan kata ini dengan kata sifat
kedamaian, menunjuk pada sebuah entitas universal, yang tidak
perlu dijabarkan oleh sebuah sistem tertentu, termasuk sistem
Islami.
Bagi mereka yang terbiasa dengan formalisasi, tentu di
gunakan penterjemahan kata al-silmi itu dengan kata Islami,
dan dengan demikian mereka terikat kepada sebuah sistem yang
dianggap mewakili keseluruhan perwujudan ajaran Islam dalam
Bermula dari ayat inilah muncul istilah yang sebenarnya masuk dalam
kategori al-aktha’ asy-sya’iah (kesalahankesalahan yang populer) yaitu idiom
“Islam Kaffah” yang hanya dikenal dalam komunitas muslim Indonesia yang
tidak begitu akrab dengan kaidahkaidah gramatikal Arab. Istilah “Islam Kaf-
fah” tidak hanya merupakan tinda kan subversif gramatikal namun juga pemak
saan istilah yang kebablasan. Kalangan fundamentalis sering merujuk “Islam
Kaffah” ini sebagai doktrin teologis. Doktrin ini di tangan mereka mengalami
pergeseran, yakni ke arah ideologisasi dengan mendasarkan pada ayat ini. Idiom
“Islam Kaffah” ini sangat sulit difahami sebagai sebuah bentuk kalimat ‘sifat
dan mausuf (yang disifati), belum lagi diajukan pertanyaan apakah kata ‘Kaf-
fah’ dalam ayat ini sebagai keterangan dari kata ganti yang ada dalam
“udkhulu” yaitu dlamir “antum” atau keterangan dari “assilmi”.
adakah sistem Islami?
g 4 h
kehidupan sebagai sesuatu yang biasa dan lumrah. Hal ini mem
bawakan implikasi adanya keperluan akan sebuah sistem yang
dapat mewakili keseluruhan aspirasi kaum muslimin. Karena
itu, dapat dimengerti mengapa ada yang menganggap penting
perwujudan “partai politik Islam” dalam kehidupan berpolitik.
Tentu saja, demokrasi mengajarkan kita untuk menghormati ek
sistensi parpolparpol Islam, namun ini tidak berarti keharusan
untuk mengikuti mereka.
Di lain pihak kita juga harus menghormati hak mereka yang
justru mempertanyakan kehadiran sistem Islami ini , yang
secara otomatis akan membuat mereka yang tidak beragama
Islam sebagai warga dunia yang kalah dari kaum muslimin. Ini
juga berarti, bahwa dalam kerangka kenegaraan sebuah bangsa,
sebuah sistem Islami otomatis membuat warga negara nonmus
lim berada di bawah kedudukan warga negara beragama Islam,
alias menjadi warga negara kelas dua. Ini patut dipersoalkan,
karena juga akan berdampak pada kaum muslimin yang tidak
menjalankan ajaran Islam secara penuh. Kaum muslimin seperti
ini, –sering disebut muslim nominal atau abangan–, tentu akan
dinilai kurang Islami jika dibandingkan dengan mereka yang
menjadi anggota/warga partai/organisasi yang menjalankan ajar
an Islam secara penuh, yang juga sering dikenal dengan nama
“kaum santri”.
Apabila terdapat pendapat tentang perlunya sebuah sistem
Islami, mengapa lalu ada ketentuanketentuan nonorganisatoris
yang harus diterapkan di antara kaum muslimin oleh kitab suci
al-Qur’ân? Sebuah ayat menyatakan adanya lima syarat untuk
dianggap sebagai “muslim yang baik”, sebagaimana disebutkan
dalam ayat-ayat di kitab suci al-Qur’ân, yaitu menerima prin
sipprinsip keimanan, menjalankan ajaran (rukun) Islam secara
utuh, menolong mereka yang memerlukan pertolongan (sanak
saudara, anak yatim, kaum miskin dan sebagainya) menegakkan
profesionalisme dan bersikap sabar saat menghadapi cobaan
dan kesusahan.
Kesetiaan kepada profesi itu, digambarkan oleh kitab suci
al-Qur’ân dengan istilah, “mereka yang memenuhi janji yang
mereka berikan” (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû) (QS al
Baqarah [2]: 177). Adakah janji yang lebih nilainya daripada janji
kepada profesi masingmasing, yang disampaikan saat mem
bacakan janji prasetia pada waktu menerima sebuah jabatan?
Kalau kelima syarat di atas dilaksanakan oleh seorang mus
lim, tanpa menerima adanya sebuah sistem Islami, dengan sen
dirinya ti dak diperlukan lagi sebuah kerangka sistemik menurut
ajaran Islam. Dengan demikian, mewujudkan sebuah sistem Is
lami tidak termasuk syarat bagi seseorang untuk dianggap “mus
lim yang taat”. Ini menjadi titik sengketa yang sangat penting,
karena di banyak tempat telah tumbuh paham yang tidak me
mentingkan arti sistem.
Maka saat NU (Nahdlatul Ulama) menyatakan deklarasi
berdirinya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa), tanpa menyebut
kan bahwa partai ini adalah partai Islam, penulis dihujani
kritik tajam sela ma berbulanbulan dari mereka yang meng
inginkan partai ini dinyatakan sebagai partai Islam. Ini
dilakukan oleh mereka yang tidak menyadari, bahwa NU sejak
semula telah menerima kehadiran upaya berbedabeda dalam
sebuah negara atau kehidupan sebuah bangsa dan tidak mau
terjebak dalam tasyis an-nushush al-muqaddasah (politisasi ter
hadap teks keagamaan).
Dalam Muktamar NU tahun 1935 di Banjarmasin, mukta
mar harus menjawab sebuah pertanyaan: wajibkah bagi kaum
muslimin mempertahankan kawasan yang waktu itu bernama
Hindia Belanda (sekarang Indonesia) yang diperintah oleh
orangorang nonmuslim (para kolonialis Belanda)? Jawab
muktamar saat itu; wajib. Karena di kawasan ini , yang di
kemudian hari bernama Indonesia, ajaran Islam dapat diprak
tekkan dalam kehidupan seharihari oleh warga bangsa secara
bebas, dan dahulu ada kerajaankerajaan Islam di kawasan itu.
Dengan demikian, tidak harus dibuat sistem Islam, dan dihargai
perbedaan cara dan pendapat di antara kaum muslimin di ka
wasan ini .
Diktum Muktamar NU di Banjarmasin ini , memung
kinkan dukungan pimpinan NU kepada mendiang Presiden
Soekarno dan Hatta untuk memimpin bangsa ini. Demikian
pula, pembentukan badanbadan formal Islam bukanlah satu
adakaH sIstEm IslamI?
satunya medium bagi perjuangan Islam untuk menerapkan ajar
an di bumi nusantara. NU yang resminya sebagai organisasi ke
masyarakatan Islam dan bukannya lembaga politik, dapat saja
menyalurkan aspirasinya tentang pelaksanaan ajaran Islam di
kawasan ini melalui Golkar (Golongan Karya) yang bukan
sebagai organisasi Islam resmi. Perbedaan jalan perjuangan an
tara yang menganut paham lembaga Islam sebagai sistem di satu
pihak, dan mereka yang tidak ingin melaksanakan perjuangan
melalui jalurjalur resmi Islam, dihargai dan diterima oleh para
pendukung Ibn Taimiyyah2 beberapa abad yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan adagium yang dikenal Islam; “Ti
ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpin
an, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa
bi Jama’ah wala Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa
Bi Tha’ah)3. Bukankah ini sudah menunjukkan adanya sebuah
Ibn Taimiyyah, nama lengkapnya adalah Taqî alDîn Ahmad Ibn Taimi
yah (w. 728 H/1328 M), adalah salah seorang intelektual Islam dari Syiria yang
menuntut dibukanya kembali pintu ijitihad. Ibnu Taimiyah juga menjadi salah
seorang pelopor pemurnian Islam dan berpengaruh sangat luas, terutama di
daratan Arab. Pemikiranpemikirannya menjadi inspirasi antara lain bagi
gerakan Wahabiyah di Arab Saudi abad XVIII dan para pemikir pembaharu di
seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Karya Ibnu Taimiyah yang berpengaruh
antara lain, al-Radd ‘alâ al-Manthiqiyyîn (Bantahan terhadap Ahli Logika) dan
al-Kasyf ‘an Manâhij al-Adillah (Penyingkapan berbagai Metode Pembuktian).
Pemikirian Ibnu Taimiyyah ini banyak ditelanjangi dalam studi pesantren le
wat karya AnNabhany yang berjudul Syawahidul Haqq yang sama sekali tidak
memberikan celah lolosnya pemikiranpemikiran Ibnu Taimiyyah. Hanya saja
ada yang dilupakan oleh komunitas pesantren bahwa nama Ibnu Taimiyyah ini
banyak mewarnai pemikiranpemikiran murid terkasihnya yang bernama Ibnu
Katsir yang dikenal sebagai tokoh tafsir bil ma’tsur yang menjadi referensi wa
jib dan populer di pesantren. Disamping itu itu lewat karya spesifiknya yang
berjudul “Iqtidlo’us Shirat al-Mustaqim Fie Mukhalafati Ahl al-Jahim”, Ibnu
Taimiyyah termasuk dalam barisan ulama yang “menghalalkan” ritual tahlil
dan hadiah bacaan al-Qur’an kepada orang-orang yang sudah meninggal dan
yang paling populer adalah dia juga penganjur tarawih 20 raka’at.
Statemen Umar bin Khattab yang sangat terkenal ini sering muncul
sebagai landasan berfikir tentang keharusan adanya Daulah Islamiyyah untuk
menuju Khilafah Islamiyyah dan juga sebagai dalil pijakan tentang formalisa
si syari’ah. Jika ditelusuri dalam studi penelitian dan kritik hadis, perkataan
Umar bin Khattab di atas diinformasikan hanya melewati satu jalur trasmiter
(sanad) yang ditulis oleh adDarimi, yaitu melalui jalur AdDari. Hadis ini
berasal dari Yazid bin Harun dari Baqiyyah dari Sufyan bin Rustam dari Abdur
rahman bin Maisarah dan dari rawi yang mendengar langsung statemen Umar
yaitu Tamim AdDari. Hanya jalur inilah yang membuat kita tahu dan mengerti
sistem, maka jawabannya bahwa tidak ada sesuatu dalam ung
kapan ini yang menunjukkan secara spesifik adanya se
buah sistem Islami. Dengan demikian, setiap sistem diakui kebe
narannya oleh ungkapan ini , asal ia memperjuangkan ber
lakunya ajaran Islam dalam kehidupan sebuah bangsa/negara.
Karena itu penulis berpendapat, dalam pandangan Islam
tidak diwajibkan adanya sebuah sistem Islam, ini berarti tidak
ada keharusan untuk mendirikan sebuah negara Islam. Ini pen
ting untuk diingat, karena sampai sekarang pun masih ada pi
hakpihak yang ingin memasukkan Piagam Jakarta ke dalam
UUD (UndangUndang Dasar) kita. Dengan klaim mendirikan
negara untuk kepentingan Islam jelas bertentangan dengan de
mokrasi. Karena paham itu berintikan kedaulatan hukum di satu
pihak dan perlakuan sama pada semua warga negara di hadapan
UndangUndang (UU) di pihak lain. e
bahwa Umar bin Khattab pernah mengeluarkan statemen yang sekarang dibuat
sebagai landasan politisideologis ini. Bahkan jika ditelusuri dari perspektif
edisi original versionnya, nampak sekali bahwa Umar tidak bermaksud un
tuk menjadikan ini sebagai wacana politik, akan namun lebih pada jaring peng-
aman sosial. Umar melakukan tindakan seperti ini berkaitan dengan adanya
fenomena kecemburuan sosial dalam proyek pembuatan rumahrumah saat
Umar menjadi khalifah. Kondisi saat itu menunjukkan adanya kecenderungan
merusak tatanan sosial kemasyarakatan “Arab mini”. Statemen lengkap Umar
adalah sebagai berikut:
An Tamim Ad-Dariy qala: Tathawala an-nas fil al-bina fi zamani
Umar, faqala Umar: Ya ma’syara al-uraib, al-ardla al-ardla, fainnahu la
Islama illa bi Jama’ah, wala Jama’ata illa bi Imarah wala Imarata Illa bi
tha’ah, faman sawwadahu qaumuhu ala al-fiqh kana hayatan lahu wa la-
hum, wa man sawwadahu qaumuhu ala ghayri fiqhin kana halakan lahu wa
lahum.
Artinya: Dari Tamim adDari, dia berkata: Pada masa Umar, orang
orang bermegahmegah dan sombong dalam membangun rumah. Kemudian
Umar berkata: Wahai komunitas Arab kecil. Lihatlah tanah itu, lihatlah tanah
itu, sesungguhnya tidak ada Islam kecuali dengan komunitas dan tidak ada ko
munitas kecuali dengan kepemimpinan dan tidak ada imarah kecuali dengan
taat. Barang siapa oleh komunitasnya dipercaya untuk memimpin mereka de
ngan berdasarkan pemahaman yang benar, maka hal itu akan menjadi kehidup
an bagi dirinya dan komunitasnya, dan barang siapa dipercaya komunitasnya
untuk menjadi pemimpin mereka dengan tidak berdasar pada pemahaman
yang benar, maka itu akan menjadi kerusakan untuk dirinya dan komunitasnya.
adakaH sIstEm IslamI?
Para santri yakin bahwa kekuasaan menjatuhkan azab dan
memberikan pahala atas sebuah perbuatan, berada di
tangan Allah Swt. Dalam hal ini, berlaku sebuah adagium
yang didasarkan atas kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw.
Adagium itu berbunyi: “memberikan pengampunan dan menu
runkan siksa kepada siapapun adalah otoritas Allah (yaghfiru li-
man yasya’ wa yu ‘adzibu man yasyâ).” Dalam hal ini, kendali
atas keadaan sepenuhnya berada di tangan Allah Swt.
Dalam konteks ini pula, sebuah pengertian baru haruslah
dipertimbangkan: sampai di manakah peranan negara dalam
menjatuhkan hukuman, sebagai salah satu bentuk siksaan. Dapat
kah negara atas nama Allah memberikan hukuman sebagai bagi
an dari siksa di dunia? Sudahkah manusia terbebas dari siksa
neraka, jikalau ia telah menjalani hukuman negara? Kalau be
lum, berarti ada penggandaan (dubbleleren) antara negara seba
gai wakil Allah dan kekuasaan Allah sendiri untuk menetapkan
hukuman. Bukankah justru hal ini bertentangan dengan hadits
Nabi Saw: “Idra’ul hudud bi as-syubuhat. (Jangan berlakukan
hukum hadd saat permasalahan tidak jelas).” Dari hadis ini
dapat difahami, bahwa hendaknya hakim jangan menjatuhkan
hukuman mati jika ia raguragu, benarkah si terdakwa nyatanya
ta bersalah? Jelas dari hadits itu pula memberikan pengertian
bahwa kekuasaan negara ada batasnya, sedangkan kekuasaan
Allah tidak dapat dibatasi.
Islam:
Pengertian sebuah Penafsiran
Dari pengertian yang sangat sederhana ini, kita sudah
dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak dapat sebuah
negara disebut sebagai negara Islam, tanpa harus memperkosa
halhal yang menjadi kewajiban negara secara wajar. Jadi, dalam
masalah azab dan pahala pun kita langsung terkait dengan per
tanyaan adakah