kematian 1

Tampilkan postingan dengan label kematian 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kematian 1. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

kematian 1


 


































Latar Belakang : Angka Kematian Maternal (AKM) di Indonesia masih cukup tinggi, 

yaitu sekitar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002 /2003). AKM merupakan 

indikator status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu saat hamil dan 

melahirkan. McCarthy dan Maine mengemukakan 3 faktor yang mempengaruhi kematian 

maternal yaitu determinan dekat, determinan antara dan determinan jauh. Kabupaten 

Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki masalah  

kematian maternal cukup tinggi, sehingga diperlukan studi untuk mengetahui faktor – 

faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal di Kabupaten Cilacap. 

Tujuan : riset  dilakukan untuk mengetahui faktor – faktor risiko yang 

mempengaruhi kematian maternal, yang terdiri dari determinan dekat, determinan antara 

dan determinan jauh. 

Metode : Jenis riset  yaitu  observasional dengan studi masalah  kontrol, dilengkapi 

dengan kajian kualitatif mengenai kejadian kematian maternal serta usaha  penurunan 

angka kematian maternal di kabupaten Cilacap. Jumlah sampel 52 masalah  dan 52 kontrol. 

analisa  data dilakukan secara univariat, bivariat dengan chi square test, multivariat 

dengan metode regresi logistik ganda. Kajian kualitatif dilakukan dengan metode indepth 

interview dan dilakukan analisa  secara deskriptif, disajikan dalam bentuk narasi. 

Hasil : Hasil riset  menunjukkan bahwa faktor risiko yang mempengaruhi kematian 

maternal Berdasar  analisa  multivariat yaitu  komplikasi kehamilan (OR = 147,1; 

95% CI : 2,4 – 1938,3; p = 0,002), komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI : 1,8 – 

1827,7; p = 0,027), komplikasi nifas (OR = 84,9; 95% CI : 1,8 – 3011,4; p = 0,034), 

riwayat penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4; p = 0,002), riwayat KB (OR = 

33,1; 95% CI : 13,0 – 2361,6; p = 0,038), dan keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI 

: 2,5 – 488,1; p = 0,003). Probabilitas ibu untuk mengalami kematian maternal dengan 

memiliki faktor – faktor risiko ini  di atas yaitu  99%. Hasil kajian kualitatif 

menunjukkan bahwa kematian maternal dipengaruhi berbagai faktor seperti 

keterlambatan rujukan, terutama keterlambatan pertama, rendahnya tingkat pendidikan 

ibu, rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan belum dapat dilaksanakannya Gerakan 

Sayang Ibu (GSI) secara optimal di seluruh wilayah kecamatan sebagai usaha  pemerintah 

dalam menurunkan kematian maternal.      

Saran : perlu pengenalan dini tanda – tanda komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan 

nifas, persiapan rujukan, perencanaan kehamilan, pelaksanaan GSI secara optimal. 

Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International 

Classification of Diseases (ICD – 10) yaitu  kematian wanita yang terjadi pada saat 

kehamilan atau dalam 42 hari sesudah  berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama 

dan lokasi kehamilan, dipicu  oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau 

yang diperberat oleh kehamilan ini , atau penanganannya, akan namun  bukan 

kematian yang dipicu  oleh kecelakaan atau kebetulan.

Angka kematian maternal dan angka kematian bayi merupakan ukuran bagi 

kemajuan kesehatan suatu negara, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan 

ibu dan anak. Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status 

kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan melahirkan.

Angka Kematian Ibu, Angka Kematian Anak termasuk Angka Kematian Bayi dan Angka 

Harapan Hidup waktu lahir telah ditetapkan sebagai indikator – indikator derajat 

kesehatan dalam Indonesia Sehat 2010.4) Kematian maternal merupakan masalah 

kompleks yang tidak hanya memberi  pengaruh pada para wanita saja, akan namun  juga 

mempengaruhi keluarga bahkan masyarakat sekitar. Kematian maternal akan 

meningkatkan risiko terjadinya kematian bayi. Kematian wanita pada usia reproduktif 

juga akan memicu kerugian ekonomi yang signifikan dan dapat memicu  

kemunduran perkembangan masyarakat, sebab  wanita merupakan pilar utama dalam 

keluarga yang berperan penting dalam mendidik anak – anak, memberi  perawatan 

kesehatan dalam keluarga dan membantu perekonomian keluarga.

Setiap tahun diperkirakan 529.000 wanita di dunia meninggal sebagai akibat 

komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan, sehingga diperkirakan ada  

angka kematian maternal sebesar 400 per 100.000 kelahiran hidup (estimasi kematian 

maternal dari WHO/ UNICEF/ UNFPA tahun 2000).) Hal ini memiliki arti bahwa satu 

orang wanita di belahan dunia akan meninggal setiap menitnya. Kematian maternal 98% 

terjadi di negara berkembang dan sebenarnya sebagian besar kematian ini dapat 

dicegah.) Angka kematian maternal di negara – negara maju berkisar antara 20 per 

100.000 kelahiran hidup (KH), sedangkan di negara – negara berkembang angka ini 

hampir 20 kali lebih tinggi yaitu berkisar antara 440 per 100.000 KH.2) Di wilayah Asia 

Tenggara diperkirakan ada  240.000 kematian maternal setiap tahunnya, sehingga 

diperoleh angka kematian maternal sebesar 210 per 100.000 KH.) 

Indonesia sebagai negara berkembang, masih memiliki angka kematian maternal 

yang cukup tinggi. Berdasar  hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 

1992 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia 425 per 100.000 KH dan menurun menjadi 

373 per 100.000 KH pada SKRT tahun 1995.8) Sedangkan pada SKRT yang dilakukan 

pada tahun 2001, angka kematian maternal kembali mengalami peningkatan yaitu sebesar 

396 per 100.000 KH dan dari SDKI 2002 / 2003 angka kematian maternal menjadi 

sebesar 307 per 100.000 KH. Hal ini menunjukkan bahwa angka kematian maternal di 

Indonesia cenderung stagnan. Angka kematian maternal di Indonesia bila dibandingkan 

dengan angka kematian maternal di seluruh dunia tampak hampir sama dan akan tampak 

jauh berbeda bila dibandingkan dengan negara – negara maju atau bahkan dengan negara 

– negara di Asia Tenggara.

Angka kematian maternal di Jawa Tengah menurut hasil Survei Kesehatan Daerah 

(SKD) tahun 2005 menunjukkan angka sebesar 252 per 100.000 KH.) Bila 

dibandingkan dengan angka kematian maternal di Jawa Tengah tahun 2004 yaitu sebesar 

155,2 per 100.000 KH, maka hal ini menunjukkan adanya kenaikan angka kematian 

maternal.8) 

 Hampir dua pertiga kematian maternal dipicu  oleh pemicu  langsung yaitu 

perdarahan (25%), infeksi / sepsis (15%), eklamsia (12%), abortus yang tidak aman 

(13%), partus macet (8%), dan pemicu  langsung lain seperti kehamilan ektopik, 

embolisme, dan hal – hal yang berkaitan dengan masalah anestesi (8%). Sedangkan 

sepertiga lainnya dipicu  oleh pemicu  tidak langsung yaitu keadaan yang 

dipicu  oleh penyakit atau komplikasi lain yang sudah ada sebelum kehamilan atau 

persalinan dan memberat dengan adanya kehamilan atau persalinan, seperti ada nya 

penyakit jantung, hipertensi, diabetes, hepatitis, anemia, malaria atau AIDS (19%). 

McCarthy dan Maine (1992) mengemukakan adanya 3 faktor yang berpengaruh 

terhadap proses terjadinya kematian maternal. Proses yang paling dekat terhadap kejadian 

kematian maternal, disebut sebagai determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan 

komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas (komplikasi 

obstetri). Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu 

status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku perawatan 

kesehatan / pemakaian  pelayanan kesehatan dan faktor – faktor lain yang tidak diketahui 

atau tidak terduga. Di lain pihak, ada  juga determinan jauh yang akan mempengaruhi 

kejadian kematian maternal melalui pengaruhnya terhadap determinan antara, yang 

meliputi faktor sosio – kultural dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga 

dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.

Hasil beberapa riset  yang berhubungan dengan faktor risiko kematian 

maternal di Indonesia maupun di negara lain menunjukkan bahwa kematian maternal 

dipengaruhi oleh faktor – faktor yang berhubungan dengan faktor ibu, faktor status 

reproduksi, faktor yang berhubungan dengan komplikasi obstetrik, faktor yang 

berhubungan dengan pelayanan kesehatan, faktor sosial ekonomi dan faktor sosial 

budaya.

Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia tahun 2001 

menunjukkan bahwa 89,5% kematian maternal di Indonesia terjadi akibat komplikasi 

kehamilan, persalinan dan masa nifas dan 10,5% terjadi sebab  penyakit yang 

memperburuk kondisi ibu.   Hasil SKRT tahun 2001 juga menunjukkan bahwa proporsi 

kematian maternal tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lebih dari 34 tahun dan 

melahirkan lebih dari tiga kali (18,4%).   masalah  kematian maternal terutama terjadi akibat 

komplikasi perdarahan (34,3%), keracunan kehamilan (23,7%) dan infeksi pada masa 

nifas (10,5%). masalah  perdarahan yang paling banyak yaitu  perdarahan post partum 

(18,4%). masalah  kematian sebab  penyakit yang memperburuk kesehatan ibu hamil, 

terbanyak yaitu  penyakit infeksi (5,6%).    

Berbagai usaha  telah dilakukan untuk menekan angka kematian maternal. WHO 

pada tahun 1999 memprakarsai program Making Pregnancy Safer (MPS), untuk 

mendukung negara – negara anggota dalam usaha untuk menurunkan angka kematian dan 

kesakitan maternal akibat komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas. MPS merupakan 

komponen dari prakarsa Safe Motherhood yang dicanangkan pada tahun 1987 oleh WHO 

untuk menurunkan kematian maternal, namun demikian angka kematian maternal di 

dunia masih tinggi.7,2   Berbagai konferensi dunia yang diselenggarakan untuk membahas 

tentang kematian maternal telah banyak dilakukan dengan tujuan untuk merumuskan 

strategi menurunkan kematian maternal, mulai dari konferensi tentang kematian ibu di 

Nairobi, Kenya tahun 1987, World Summit for Children di New York tahun 1990, The 

International Conference on Population and Development (ICPD) pada tahun 1994 

sampai dengan yang terakhir The Millenium Summit in 2000, dimana semua anggota PBB 

berkomitmen dengan Millenium Development Goals untuk menurunkan tiga perempat 

angka kematian maternal pada tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa masalah 

kematian maternal merupakan permasalahan masyarakat global yang menjadi prioritas 

utama.5,7) usaha  penurunan angka kematian maternal di Indonesia telah banyak 

dilakukan. Kebijakan Departemen Kesehatan RI dalam usaha  Safe Motherhood 

dinyatakan sebagai empat pilar Safe Motherhood, yaitu pelayanan Keluarga Berencana, 

pelayanan antenatal, persalinan yang bersih dan aman, dan pelayanan obstetri esensial. 

Departemen Kesehatan mengusaha kan agar setiap persalinan ditolong atau minimal 

didampingi oleh bidan dan pelayanan obstetri sedekat mungkin kepada semua ibu 

hamil.30,31,32) Target yang ingin dicapai dengan adanya program Safe Motherhood yang 

dicanangkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1988 yaitu  penurunan angka 

kematian maternal menjadi 225 per 100.000 KH pada tahun 2000. Selanjutnya dengan 

dicanangkannya Gerakan Nasional Kehamilan yang Aman (Making Pregnancy Safer) 

pada tahun 2000 maka target penurunan angka kematian maternal pada tahun 2010 

yaitu  125 per 100.000 KH, dan pada tahun 2015 diharapkan angka kematian maternal 

telah mencapai 80 per 100.000 KH. Dalam perkembangannya, penurunan angka 

kematian maternal yang dicapai tidak seperti yang diharapkan.) 

usaha  menurunkan angka kematian maternal di propinsi Jawa Tengah telah 

dilakukan, antara lain dengan penempatan bidan di desa sebagai bentuk kebijaksanaan 

pemerintah dalam meningkatkan status kesehatan ibu, terutama untuk mempercepat 

penurunan angka kematian ibu, dikembangkannya sistem Pemantauan Wilayah Setempat 

Kesehatan Ibu dan Anak (PWS – KIA), serta dilakukannya kerjasama lintas sektoral 

antara lain dengan pelaksanaan Gerakan Sayang Ibu (GSI) dan Gerakan Reproduksi 

Keluarga Sejahtera (GRKS).

Data pada profil kesehatan di Jawa Tengah tahun 2005, menunjukkan bahwa 

Kabupaten Cilacap memiliki jumlah masalah  kematian maternal yang tinggi di antara 

kabupaten lainnya di Jawa Tengah. Kematian maternal di Kabupaten Cilacap menurut 

data pada profil kesehatan Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan angka sebesar 35 masalah  

kematian maternal (angka kematian maternal 147 per 100.000 KH)8) Sedangkan menurut 

hasil pencatatan dan pelaporan program Kesehatan Ibu dan Anak di Kabupaten Cilacap 

didapatkan data masalah  kematian maternal dan angka kematian maternal dalam tabel 

sebagai berikut :  

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dari tahun 2000 sampai dengan awal tahun 

2007, selalu ada  masalah  kematian maternal di kabupaten Cilacap, sehingga studi 

mengenai faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal di Kabupaten 

Cilacap perlu dilakukan, dilengkapi juga dengan kajian kualitatif dengan metode 

wawancara mendalam (indepth interview) pada masalah  – masalah  kematian maternal, untuk 

mengetahui urutan kejadian (kronologi) terjadinya kematian maternal serta wawancara 

terhadap pihak rumah sakit, dinas kesehatan dan bidan desa mengenai usaha  pelayanan 

kesehatan maternal yang dilakukan dalam rangka menurunkan angka kematian maternal 

di kabupaten Cilacap.  

 

Berdasar  latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan berbagai masalah 

sebagai berikut: 

1. Angka kematian maternal di dunia masih tinggi, yaitu 400 per 100.000 KH, sehingga 

setiap tahun diperkirakan ada  529.000 wanita yang meninggal sebagai akibat 

komplikasi yang timbul dari kehamilan dan persalinan, dan 98% dari kematian ini 

terjadi di negara berkembang. 

2. Kematian maternal merupakan masalah yang penting untuk mendapat perhatian 

sebab  kematian ini tidak hanya mempengaruhi wanita saja, akan namun  juga 

memberi  pengaruh bagi keluarga dan masyarakat, oleh sebab  wanita merupakan 

pilar utama dalam keluarga yang berperan penting dalam mendidik anak – anak, 

memberi  perawatan kesehatan dalam keluarga, dan membantu perekonomian 

keluarga. Angka kematian maternal merupakan indikator yang mencerminkan status 

kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu pada waktu hamil dan melahirkan. 

3. Angka kematian maternal di Indonesia menurut SDKI 2002 / 2003 menunjukkan 

angka sebesar 307 per 100.000 KH. Angka ini bila dibandingkan dengan angka 

kematian maternal pada tahun – tahun sebelumnya cenderung berjalan stagnan. 

4. Berbagai usaha  telah dilakukan untuk menurunkan angka kematian maternal, baik di 

tingkat dunia maupun yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia, namun angka 

kematian maternal masih tinggi.   

5. Data pada profil kesehatan Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan bahwa jumlah 

masalah  kematian maternal di Kabupaten Cilacap selama tahun 2005 yaitu sebanyak 35 

masalah  kematian maternal. Sedangkan dari hasil pencatatan dan pelaporan program 

kesehatan ibu dan anak di Kabupaten Cilacap ada  data bahwa dari tahun 2000 

sampai dengan tahun 2007, kematian maternal selalu ada dengan angka kematian 

maternal yang masih cukup tinggi. 

6. Studi mengenai faktor – faktor risiko kematian maternal dengan dilengkapi kajian 

kualitatif  belum pernah dilakukan di Kabupaten Cilacap. Studi ini penting dilakukan 

sebab  masalah kematian maternal merupakan masalah kesehatan masyarakat yang 

memberi  pengaruh tidak hanya bagi keluarga dan masyarakat, akan namun  juga 

merupakan indikator bagi kemajuan kesehatan di suatu daerah. 

Beberapa hal yang membedakan riset  ini dengan riset  – riset  

sebelumnya yaitu  : 

1. riset  mengenai faktor – faktor risiko kematian maternal di wilayah Kabupaten 

Cilacap dengan dilengkapi kajiaan kualitatif dengan metode wawancara mendalam 

(indepth interview) pada masalah  – masalah  kematian maternal dan wawancara pada pihak 

rumah sakit, dinas kesehatan kabupaten Cilacap serta bidan desa mengenai usaha  

pelayanan kesehatan maternal di kabupaten Cilacap belum pernah dilakukan. 

2. Variabel independen yang diduga berpengaruh terhadap kematian maternal dalam 

riset  ini lebih banyak. Variabel yang berbeda dengan riset  terdahulu yaitu 

riwayat penyakit ibu, riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya, riwayat 

persalinan sebelumnya, status gizi ibu saat hamil, pemanfaatan fasilitas kesehatan saat 

terjadi komplikasi, riwayat KB, tempat persalinan, status pekerjaan ibu, jumlah 

pendapatan keluarga dan wilayah tempat tinggal. 

3. riset  ini menggunakan desain riset  masalah  kontrol, dengan masalah  dan kontrol 

yang diperoleh dari masyarakat (community base) dan dilengkapi dengan kajian secara 

kualitatif dengan metode wawancara mendalam (indepth interview).  

 Batasan Kematian maternal 

Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International 

Classification of Diseases (ICD – 10) yaitu  kematian wanita yang terjadi pada saat 

kehamilan, atau dalam 42 hari sesudah  berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama 

dan lokasi kehamilan, dipicu  oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau 

yang diperberat oleh kehamilan ini  atau penanganannya, namun  bukan kematian yang 

dipicu  oleh kecelakaan atau kebetulan.)   

Batasan 42 hari ini dapat berubah, sebab  seperti telah diketahui bahwa dengan 

adanya prosedur – prosedur dan teknologi baru maka terjadinya kematian dapat 

diperlama dan ditunda, sehingga ICD – 10 juga memasukkan suatu kategori baru yang 

disebut kematian maternal lambat (late maternal death) yaitu kematian wanita akibat 

pemicu  obstetrik langsung atau tidak langsung yang terjadi lebih dari 42 hari namun  

kurang dari satu tahun sesudah  berakhirnya kehamilan.1,2)  

Kematian – kematian yang terjadi akibat kecelakaan atau kebetulan tidak 

dimasukkan ke dalam kematian maternal. Meskipun demikian, dalam praktiknya, 

perbedaan antara kematian yang terjadi sebab  kebetulan dan kematian sebab  sebab 

tidak langsung sulit dilakukan. Untuk memudahkan identifikasi kematian maternal pada 

keadaan – keadaan dimana sebab – sebab yang dihubungkan dengan kematian ini  

tidak adekuat, maka ICD – 10 memperkenalkan kategori baru yang disebut pregnancy – 

related death (kematian yang dihubungkan dengan kehamilan) yaitu kematian wanita 

selama hamil atau dalam 42 hari sesudah  berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari 

pemicu  kematian. 

Kematian maternal dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu: 

1. Kematian obstetri langsung (direct obstetric death) yaitu kematian yang timbul 

sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, yang dipicu  oleh 

tindakan, kelalaian, ketidaktepatan penanganan, atau dari rangkaian peristiwa yang 

timbul dari keadaan – keadaan ini  di atas. Komplikasi – komplikasi ini  

meliputi perdarahan, baik perdarahan antepartum maupun postpartum, preeklamsia / 

eklamsia, infeksi, persalinan macet dan kematian pada kehamilan muda.

2. Kematian obstetri tidak langsung (indirect obstetric death) yaitu kematian yang 

diakibatkan oleh penyakit yang sudah diderita sebelum kehamilan atau persalinan 

atau penyakit yang timbul selama kehamilan yang tidak berkaitan dengan pemicu  

obstetri langsung, akan namun  diperburuk oleh pengaruh fisiologik akibat kehamilan, 

sehingga keadaan penderita menjadi semakin buruk. Kematian obstetri tidak langsung 

ini dipicu  misalnya oleh sebab  hipertensi, penyakit jantung, diabetes, hepatitis, 

anemia, malaria, tuberkulosis, HIV / AIDS, dan lain – lain.

  Epidemiologi Kematian Maternal 

Menurut WHO, setiap tahun kurang lebih ada  210 juta wanita hamil di 

seluruh dunia. Lebih dari 20 juta wanita mengalami kesakitan akibat dari kehamilannya, 

beberapa diantaranya bersifat menetap. Kehidupan 8 juta wanita di seluruh dunia menjadi 

terancam dan setiap tahun diperkirakan ada  529.000 wanita meninggal sebagai 

akibat komplikasi yang timbul sebab  kehamilan dan persalinan, dimana sebagian besar 

dari kematian ini sebenarnya dapat dicegah.1,6) Angka kematian maternal di seluruh dunia 

diperkirakan sebesar 400 per 100.000 KH dan 98% terjadi di negara – negara 

berkembang.) Kematian maternal ini hampir 95% terjadi di Afrika (251.000 

kematian maternal) dan Asia (253.000 kematian maternal) dan hanya 4% (22.000 

kematian maternal) terjadi di Amerika Latin dan Karibia, serta kurang dari 1% (2500 

kematian maternal) terjadi di negara – negara yang lebih maju.2,6) Angka kematian 

maternal tertinggi di Afrika (830 kematian maternal per 100.000 KH), diikuti oleh Asia 

(330), Oceania (240), Amerika Latin dan Karibia (190).  

 Angka kematian maternal di negara maju telah dapat diturunkan sejak tahun 1940 

– an.1) Angka kematian maternal di negara – negara maju menurut estimasi WHO tahun 

2000 yaitu 20 per 100.000 KH.) Penurunan angka kematian maternal yang signifikan di 

negara – negara maju berkaitan dengan adanya kemajuan di bidang perawatan kesehatan 

maternal, termasuk di dalamnya yaitu  kemajuan dalam pengendalian sepsis, tersedianya 

transfusi darah, antibiotika, akses terhadap tindakan seksio sesaria dan tindakan aborsi 

yang aman.37,38) Angka kematian maternal di negara berkembang 20 kali lebih tinggi 

yaitu 440 per 100.000 KH dan di beberapa tempat dapat mencapai 1000 per 100.000 

KH.2) Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan ada  240.000 kematian maternal setiap 

tahunnya, sehingga diperoleh angka kematian maternal sebesar 210 per 100.000 KH.) 

Angka kematian maternal ini merupakan ukuran yang mencerminkan risiko obstetrik 

yang dihadapi oleh seorang wanita setiap kali wanita ini  menjadi hamil. Risiko ini 

semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah kehamilan yang dialami.

Tingginya angka kematian maternal di negara berkembang sebagian besar berkaitan 

dengan masalah politik dan sosial, khususnya masalah kemiskinan dan status wanita.

Sebagian besar kematian maternal terjadi di rumah, yang jauh dari jangkauan fasilitas 

kesehatan.3   Menurut data SKRT 2001, proporsi kematian maternal terhadap kematian 

usia reproduksi (15 – 49 tahun) di pedesaan hampir tiga kali lebih besar dibandingkan  di 

perkotaan.   

Angka kematian maternal di Indonesia masih cukup tinggi. Menurut hasil SKRT 

tahun 1992 angka kematian ibu (AKI) di Indonesia 425 per 100.000 KH dan menurun 

menjadi 373 per 100.000 KH pada SKRT tahun 1995, sedangkan pada SKRT yang 

dilakukan pada tahun 2001, angka kematian maternal kembali mengalami peningkatan 

menjadi sebesar 396 per 100.000 KH.8) Dari SDKI 2002 / 2003 angka kematian maternal 

menunjukkan angka sebesar 307 per 100.000 KH. Bila dibandingkan dengan negara – 

negara anggota Asean seperti Brunei Darussalam (angka kematian maternal menurut 

estimasi WHO tahun 2000 : 37 per 100.000 KH dan Malaysia : 41 per 100.000 KH) maka 

angka kematian maternal di Indonesia masih sangat tinggi.

Menurut WHO, kurang lebih 80% kematian maternal merupakan akibat langsung 

dari komplikasi langsung selama kehamilan, persalinan dan masa nifas dan 20% 

kematian maternal terjadi akibat pemicu  tidak langsung.1,7) Perdarahan, terutama 

perdarahan post partum, dengan onset yang tiba – tiba dan tidak dapat diprediksi 

sebelumnya, akan membahayakan nyawa ibu, terutama bila ibu ini  menderita 

anemia. Pada umumnya, 25% kematian maternal terjadi akibat perdarahan hebat, 

sebagian besar terjadi saat post partum. Sepsis / infeksi memberi  kontribusi 15% 

terhadap kematian maternal, yang pada umumnya merupakan akibat dari rendahnya 

higiene saat proses persalinan atau akibat penyakit menular seksual yang tidak diobati 

sebelumnya. Infeksi dapat dicegah secara efektif dengan melakukan asuhan persalinan 

yang bersih dan deteksi serta manajemen penyakit menular selama kehamilan. Perawatan 

postpartum secara sistematik akan menjamin deteksi penyakit infeksi secara cepat dan 

dapat memberi  manajemen antibiotika secara tepat. Hipertensi selama kehamilan, 

khususnya eklamsia memberi  kontribusi 12% terhadap kematian maternal. Kematian 

ini dapat dicegah dengan melakukan monitoring selama kehamilan dan dengan 

pemberian terapi antikonvulsan, seperti magnesium sulfat. Abortus tidak aman (unsafe 

abortion) memberi  kontribusi 13% terhadap kematian maternal, hal ini berkaitan 

dengan komplikasi yang ditimbulkan, berupa sepsis, perdarahan, perlukaan uterus dan 

keracunan obat – obatan. Di beberapa belahan dunia, sepertiga atau lebih kematian 

maternal berhubungan dengan abortus tidak aman. Kematian ini dapat dicegah bila  

para ibu memiliki akses terhadap informasi dan pelayanan keluarga berencana, dan 

bila  abortus tidak dilarang secara hukum, maka abortus dapat dilakukan dengan 

pemberian pelayanan abortus secara aman. Partus lama atau partus macet memicu  

kurang lebih 8% kematian maternal. Keadaan ini sering merupakan akibat dari 

disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat melewati pelvis ibu) atau akibat 

letak abnormal (bila janin tidak dalam posisi yang benar untuk dapat melalui jalan lahir 

ibu).1,4,7) pemicu  tidak langsung dari kematian maternal memberi  kontribusi sebesar 

20% terhadap kematian maternal. pemicu  tidak langsung dari kematian maternal ini 

terjadi akibat penyakit ibu yang telah diderita sebelumnya atau diperberat dengan 

keadaan kehamilan atau penanganannya. Contoh pemicu  kematian maternal tidak 

langsung yaitu  anemia, infeksi hepatitis, malaria, tuberkulosis, penyakit jantung dan 

infeksi HIV/AIDS.) 

pemicu  langsung kematian ibu di Indonesia, seperti halnya dengan negara lain 

yaitu  perdarahan, infeksi dan eklamsia.) Ke dalam perdarahan dan infeksi 

sebagai pemicu  kematian, tercakup pula kematian akibat abortus terinfeksi dan partus 

lama. Hanya sekitar 5% kematian ibu dipicu  oleh penyakit yang memburuk akibat 

kehamilan, misalnya penyakit jantung dan infeksi kronis.30)  

Keadaan ibu pra – hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya. pemicu  

tidak langsung kematian maternal ini antara lain yaitu  anemia, kurang energi kronis 

(KEK) dan keadaan “4 terlalu” (terlalu muda / tua, terlalu sering dan terlalu banyak).

Depkes RI membagi faktor – faktor yang mempengaruhi kematian maternal 

sebagai berikut :  

1. Faktor medik  

a. Faktor empat terlalu, yaitu : 

- Usia ibu pada waktu hamil terlalu muda (kurang dari 20 tahun) 

- Usia ibu pada waktu hamil terlalu tua (lebih dari 35 tahun) 

- Jumlah anak terlalu banyak (lebih dari 4 orang) 

- Jarak antar kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2 tahun)  

b. Komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang merupakan pemicu  langsung 

kematian maternal, yaitu : 

- Perdarahan pervaginam, khususnya pada kehamilan trimester ketiga, persalinan 

dan pasca persalinan. 

- Infeksi. 

- Keracunan kehamilan. 

- Komplikasi akibat partus lama. 

- Trauma persalinan. 

c. Beberapa keadaan dan gangguan yang memperburuk derajat kesehatan ibu selama 

hamil, antara lain : 

- Kekurangan gizi dan anemia. 

- Bekerja (fisik) berat selama kehamilan. 

2. Faktor non medik 

Faktor non medik yang berkaitan dengan ibu, dan menghambat usaha  penurunan 

kesakitan dan kematian maternal yaitu  : 

- Kurangnya kesadaran ibu untuk mendapatkan pelayanan antenatal. 

- Terbatasnya pengetahuan ibu tentang bahaya kehamilan risiko tinggi. 

- Ketidak – berdayaan sebagian besar ibu hamil di pedesaan dalam pengambilan 

keputusan untuk dirujuk. 

- Ketidakmampuan sebagian ibu hamil untuk membayar biaya transport dan 

perawatan di rumah sakit.  

3. Faktor pelayanan kesehatan 

Faktor pelayanan kesehatan yang belum mendukung usaha  penurunan kesakitan 

dan kematian maternal antara lain berkaitan dengan cakupan pelayanan KIA, yaitu : 

- Belum mantapnya jangkauan pelayanan KIA dan penanganan kelompok berisiko. 

- Masih rendahnya (kurang lebih 30%) cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga 

kesehatan. 

- Masih seringnya (70 – 80%) pertolongan persalinan yang dilakukan di rumah, 

oleh dukun bayi yang tidak mengetahui tanda – tanda bahaya. 

Berbagai aspek manajemen yang belum menunjang antara lain yaitu  : 

- Belum semua kabupaten memberi  prioritas yang memadai untuk program KIA 

- Kurangnya komunikasi dan koordinasi antara Dinkes Kabupaten, Rumah Sakit 

Kabupaten dan Puskesmas dalam usaha  kesehatan ibu. 

- Belum mantapnya mekanisme rujukan dari Puskesmas ke Rumah Sakit 

Kabupaten atau sebaliknya. 

Berbagai keadaan yang berkaitan dengan ketrampilan pemberi pelayanan KIA 

juga masih merupakan faktor penghambat, antara lain : 

- Belum diterapkannya prosedur tetap penanganan masalah  gawat darurat kebidanan 

secara konsisten. 

- Kurangnya pengalaman bidan di desa yang baru ditempatkan di Puskesmas dan 

bidan praktik swasta untuk ikut aktif dalam jaringan sistem rujukan saat ini. 

- Terbatasnya ketrampilan dokter puskesmas dalam menangani kegawatdaruratan 

kebidanan. 

- Kurangnya usaha  alih teknologi tepat (yang sesuai dengan permasalahan 

setempat) dari dokter spesialis RS Kabupaten kepada dokter / bidan Puskesmas.

Semakin banyak ditemukan faktor risiko pada seorang ibu hamil, maka semakin 

tinggi risiko kehamilannya. Tingginya angka kematian maternal di Indonesia sebagian 

besar dipicu  oleh timbulnya penyulit persalinan yang tidak dapat segera dirujuk ke 

fasilitas pelayanan yang lebih mampu. Faktor waktu dan transportasi merupakan hal yang 

sangat menentukan dalam merujuk masalah  risiko tinggi.40

adanya 3 faktor yang berpengaruh 

terhadap proses terjadinya kematian maternal. Proses yang paling dekat terhadap kejadian 

kematian maternal (determinan dekat) yaitu kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam 

kehamilan, persalinan dan masa nifas (komplikasi obstetri). Determinan dekat secara 

langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu status kesehatan ibu, status 

reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku perawatan kesehatan / pemakaian  

pelayanan kesehatan dan faktor – faktor lain yang tidak diketahui atau tidak terduga. Di 

lain pihak, ada  juga determinan jauh yang akan mempengaruhi kejadian kematian 

maternal melalui pengaruhnya terhadap determinan antara, yang meliputi faktor sosio – 

kultural dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat, status 

keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.) 

 Faktor – Faktor Risiko yang Mempengaruhi Kematian Maternal 

Faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, yang 

dikelompokkan Berdasar  kerangka dari McCarthy dan Maine (1992) yaitu  sebagai 

berikut : 

1. Determinan dekat 

Proses yang paling dekat terhadap kejadian kematian maternal yaitu  kehamilan 

itu sendiri dan komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas.) Wanita yang 

hamil memiliki risiko untuk mengalami komplikasi, baik komplikasi kehamilan maupun 

persalinan, sedangkan wanita yang tidak hamil tidak memiliki risiko ini .

a. Komplikasi kehamilan 

Komplikasi kehamilan merupakan pemicu  langsung kematian maternal. 

Komplikasi kehamilan yang sering terjadi yaitu perdarahan, preeklamsia / eklamsia, dan 

infeksi.

- Perdarahan 

Sebab – sebab perdarahan yang berperan penting dalam memicu  kematian 

maternal selama kehamilan yaitu  perdarahan, baik yang terjadi pada usia kehamilan 

muda / trimester pertama, yaitu perdarahan sebab  abortus (termasuk di dalamnya 

yaitu  abortus provokatus sebab  kehamilan yang tidak diinginkan) dan perdarahan 

sebab  kehamilan ektopik terganggu (KET), maupun perdarahan yang terjadi pada 

kehamilan lanjut akibat perdarahan antepartum. pemicu  perdarahan antepartum 

pada umumnya yaitu  plasenta previa dan solusio plasenta.

a. Perdarahan sebab  abortus   

Abortus yaitu  keadaan dimana terjadi berakhirnya kehamilan sebelum janin 

dapat hidup di luar kandungan, atau keluarnya janin dengan berat kurang dari 500 

gram atau usia kehamilan kurang dari 20 minggu  Abortus spontan 

diperkirakan terjadi pada 15% dari keseluruhan kehamilan, dan masalah  – masalah  

kematian yang ada dipicu  oleh usaha  – usaha  mengakhiri kehamilan secara 

paksa. Pada negara – negara tertentu, abortus mempunyai kontribusi sekitar 50% dari 

keseluruhan kematian ibu yang berkaitan dengan kehamilan dan dari hasil laporan 

WHO, angka kematian maternal sebab  abortus di seluruh dunia yaitu  15%.1,7,47) 

Menurut perkiraan WHO, ada  20 juta masalah  abortus tak aman / berisiko (unsafe 

abortion) di seluruh dunia pertahun. Setiap tahun terjadi 70.000 kematian maternal 

akibat abortus berisiko, dan satu dari 8 kematian yang berkaitan dengan kehamilan, 

diakibatkan oleh abortus berisiko. Hampir 90% abortus berisiko terjadi di negara 

berkembang. Kematian maternal akibat abortus berisiko di negara berkembang 15 

kali lebih banyak dari negara industri. Abortus berisiko sulit untuk dilacak dan data 

yang pasti tentang abortus ini sangat sulit diperoleh.) Komplikasi dari aborsi yang 

tidak aman bertanggung jawab terhadap 13% proporsi kematian maternal.

Komplikasi yang berbahaya pada abortus ialah perdarahan, perforasi uterus, infeksi, 

syok hemoragik dan syok septik.) Komplikasi fatal juga dapat terjadi akibat 

bendungan sistem pembuluh darah oleh bekuan darah, gelembung udara atau cairan, 

gangguan mekanisme pembekuan darah yang berat (koagulasi intravaskuler 

diseminata) dan keracunan obat – obat abortif yang menimbulkan gagal ginjal.

Perdarahan pada abortus dapat dipicu  oleh abortus yang tidak lengkap atau 

cedera pada organ panggul atau usus.) Perdarahan yang berat atau perdarahan yang 

bersifat persisten selama terjadinya abortus atau yang mengikuti kejadian abortus 

dapat mengancam jiwa ibu. Semakin bertambah usia kehamilan, semakin besar 

kemungkinan terjadinya kehilangan darah yang berat.) Kematian maternal akibat 

perdarahan sebab  abortus pada umumnya diakibatkan oleh tidak tersedianya darah 

atau fasilitas transfusi di rumah sakit.

Insidensi abortus dipengaruhi oleh usia ibu dan sejumlah faktor yang terkait 

dengan kehamilan, termasuk riwayat jumlah persalinan normal sebelumnya, jumlah 

abortus spontan yang terjadi sebelumnya, apakah pernah terjadi lahir mati (stillbirth). 

Selain itu, risiko ini dipengaruhi juga oleh ada atau tidaknya fasilitas kesehatan yang 

mampu memberi  pelayanan maternal yang memadai, kemiskinan, 

keterbelakangan dan sikap kurang peduli, sehingga dapat menambah angka kejadian 

abortus (abortus tidak aman). Komplikasi medis dari ibu juga dapat mempengaruhi 

angka abortus spontan.

b. Perdarahan sebab  kehamilan ektopik terganggu  

Kehamilan ektopik merupakan kehamilan yang terjadi dan tumbuh di luar 

endometrium cavum uteri. Pada kehamilan ektopik, sel telur yang telah dibuahi 

tertanam, tumbuh dan berkembang di luar uterus. Lebih dari 95% implantasi hasil 

konsepsi pada kehamilan ektopik terjadi pada tuba fallopii.

Kehamilan ektopik merupakan pemicu  perdarahan berat yang penting. 

Kehamilan ektopik ini sebagian berkaitan dengan semakin tingginya insidensi 

salpingitis / penyakit menular seksual yang menginfeksi tuba, peningkatan induksi 

ovulasi, peningkatan pemakaian  metode kontrasepsi yang mencegah kehamilan 

intrauterin akan namun  tidak mencegah kehamilan ekstrauterin, kegagalan sterilisasi 

tuba, induksi aborsi yang diikuti dengan infeksi, meningkatnya usia ibu, dan operasi 

pelvis sebelumnya, termasuk salpingotomi sebab  kehamilan ektopik pada kehamilan 

sebelumnya.

Kehamilan ektopik merupakan pemicu  penting dari kesakitan dan kematian 

maternal, sebab  tempat tumbuh janin yang abnormal ini mudah memicu 

gangguan berupa ruptur tuba, sebab  janin semakin membesar di tempat yang tidak 

memadai (biasanya terjadi pada kehamilan 6 – 10 minggu). Hal ini akan 

memicu perdarahan yang terkumpul dalam rongga perut dan menimbulkan 

rasa nyeri setempat atau menyeluruh yang berat, disertai pingsan dan syok. Tanpa 

pengobatan, kehamilan ektopik dapat menjadi fatal hanya dalam waktu beberapa jam, 

sehingga mengancam kehidupan ibu.) Menurut CDC 1995, kehamilan ektopik 

terganggu merupakan pemicu  utama kematian yang berhubungan dengan 

kehamilan pada trimester pertama dan merupakan 9 - 10% pemicu  kematian 

maternal akibat komplikasi kehamilan.

c. Perdarahan antepartum  

 Perdarahan antepartum yaitu  perdarahan pervaginam yang terjadi pada 

kehamilan antara 28 minggu sampai sebelum bayi lahir.) Perdarahan antepartum 

merupakan komplikasi kehamilan dengan frekuensi sekitar 5 – 10%.) Perdarahan 

antepartum merupakan keadaan gawat darurat kebidanan yang dapat memicu 

kematian pada ibu maupun janin dalam waktu singkat.

pemicu  perdarahan antepartum yang berbahaya pada umumnya bersumber pada 

kelainan plasenta, yaitu plasenta previa dan solusio plasenta, sedangkan perdarahan 

antepartum yang tidak bersumber pada kelainan plasenta, misalnya perdarahan akibat 

kelainan pada serviks uteri dan vagina (trauma, erosio porsionis uteri, polipus servisis 

uteri, varises vulva) pada umumnya tidak seberapa berbahaya, sebab  kehilangan 

darah yang terjadi relatif sedikit dan tidak membahayakan nyawa ibu dan janin, 

kecuali perdarahan akibat karsinoma invasif cervisis uteri.

Pada setiap perdarahan antepartum, pertama kali harus dicurigai bahwa 

pemicu nya yaitu  plasenta previa sampai kemudian ternyata dugaan itu salah.

Plasenta previa yaitu  keadaan dimana plasenta terletak abnormal yaitu pada segmen 

bawah uterus, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri 

internum. Keadaan ini memicu perdarahan pervaginam pada kehamilan 28 

minggu atau lebih, sebab  segmen bawah uterus telah terbentuk, dan dengan 

bertambah tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan lebih melebar dan serviks 

mulai membuka. Pelebaran segmen bawah uterus dan pembukaan serviks akan 

memicu  terlepasnya sebagian plasenta dari dinding uterus, sehingga 

memicu perdarahan. Perdarahan ini tidak dapat dihindarkan sebab  

ketidakmampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan 

perdarahan. Perdarahan yang terjadi tanpa alasan dan tanpa rasa nyeri merupakan 

gejala utama dan pertama dari plasenta previa. Perdarahan yang terjadi pertama kali 

pada umumnya sangat ringan dan segera berhenti, yang disusul dengan perdarahan 

berikutnya, dan biasanya terjadi semakin berat. Darah berwarna merah segar, 

berlainan dengan perdarahan pada solusio plasenta yang berwarna kehitaman. Makin 

rendah letak plasenta, makin dini perdarahan terjadi.) Insidensi plasenta 

previa meningkat dengan semakin bertambahnya usia ibu, paritas yang tinggi, abortus 

yang diinduksi, dan riwayat seksio sesaria pada kehamilan sebelumnya.)  

Kematian maternal terjadi akibat perdarahan dan syok hipovolemik, dan juga 

akibat trauma operatif, infeksi atau akibat embolisme.) Ketersediaan darah sebagai 

obat untuk mengatasi perdarahan yang belum selalu ada atau cukup tersedia di rumah 

sakit, kurangnya kesadaran akan bahaya perdarahan atau sukarnya pengangkutan 

cepat ke rumah sakit memicu keterlambatan pertolongan penderita, sehingga 

penanggulangan menjadi tidak berhasil.) Angka kematian maternal dapat diturunkan 

menjadi kurang dari 1% dengan melaksanakan manajemen persalinan yang baik, 

antara lain dengan segera mengirim penderita ke rumah sakit yang memiliki fasilitas 

transfusi darah dan fasilitas operasi.) 

   Solusio plasenta merupakan keadaan terlepasnya plasenta dari tempat insersinya 

yang normal, diantara usia kehamilan 28 minggu sampai sebelum janin 

lahir.) Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau pembuluh 

darah uterus yang akan membentuk hematoma, sehingga plasenta terdesak dan 

akhirnya terlepas. Pada umumnya perdarahan akan berlangsung terus – menerus, oleh 

sebab  otot uterus yang telah meregang oleh kehamilan tidak mampu untuk lebih 

berkontraksi untuk menghentikan perdarahan.)  

Perdarahan antepartum dan intrapartum tidak dapat dicegah, kecuali dengan 

menyelesaikan persalinan dengan segera. Akibat solusio plasenta, juga dapat terjadi 

perdarahan post partum sebab  kontraksi uterus yang tidak adekuat untuk 

menghentikan perdarahan pada kala III.) Perfusi ginjal akan terganggu sebab  

terjadi syok hipovolemia, penyempitan pembuluh darah ginjal akibat perdarahan yang 

banyak dan sebab  terjadinya kelainan pembekuan darah.)  

Etiologi pasti dari solusio plasenta belum diketahui dengan pasti. Insidensi solusio 

plasenta meningkat sesuai dengan pertambahan usia ibu, multiparitas, riwayat solusio 

plasenta pada kehamilan sebelumnya, penyakit hipertensi menahun, preeklamsia, 

trauma eksternal, distensi uterus misal pada kehamilan multipel atau hidramnion,  

mioma uteri, dan tali pusat pendek.) Angka kematian maternal akibat solusio 

plasenta bervariasi antara 0,5% - 5%. Sebagian besar ibu meninggal akibat 

perdarahan, baik perdarahan segera atau tertunda atau akibat gagal jantung dan gagal 

ginjal.)       

- Preeklamsia / eklamsia 

Kehamilan dapat memicu  terjadinya hipertensi pada wanita yang sebelum 

kehamilannya memiliki tekanan darah normal (normotensi) atau dapat memperberat 

keadaan hipertensi yang sebelumnya telah ada.) Hipertensi pada kehamilan 

merupakan keadaan pada masa kehamilan yang ditandai dengan terjadinya kenaikan 

tekanan darah lebih dari 140 / 90 mmHg atau kenaikan tekanan darah sistolik lebih 

dari 30 mmHg dan atau diastolik lebih dari 15 mmHg. Hipertensi pada kehamilan 

yang sering dijumpai yaitu  preeklamsia dan eklamsia.) Preeklamsia berat 

dan khususnya eklamsia merupakan keadaan gawat sebab  dapat memicu 

kematian ibu dan janin. Preeklamsia ringan dapat mudah berubah menjadi 

preeklamsia berat, dan preeklamsia berat mudah menjadi eklamsia dengan timbulnya 

kejang.44) Tanda khas preeklamsia yaitu  tekanan darah yang tinggi, ditemukannya 

protein dalam urin dan pembengkakan jaringan (edema) selama trimester kedua 

kehamilan. Pada beberapa masalah , keadaan tetap ringan sepanjang kehamilan, akan 

namun  pada masalah  yang lain, dengan meningkatnya tekanan darah dan jumlah protein 

urin, keadaan dapat menjadi berat. Terjadi nyeri kepala, muntah, gangguan 

penglihatan, dan kemudian anuria. Pada stadium akhir dan paling berat terjadi 

eklamsia, pasien akan mengalami kejang. Jika preeklamsia / eklamsia tidak ditangani 

secara cepat, akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian maternal sebab  

kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak.)  

Faktor predisposisi preeklamsia dan eklamsia yaitu  nullipara, usia ibu kurang 

dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, status ekonomi kurang, kehamilan kembar, 

diabetes melitus, hipertensi kronis dan penyakit ginjal sebelumnya.)  

Kematian maternal akibat hipertensi pada kehamilan sering terjadi (merupakan 

12% dari seluruh pemicu  kematian maternal) dan membentuk satu dari tiga trias 

pemicu  utama kematian maternal, yaitu perdarahan dan infeksi.) Menurut 

perkiraan, di seluruh dunia kurang lebih 50.000 wanita meninggal setiap tahun akibat 

preeklamsia.l) Menurut Depkes RI tahun 2004, kematian maternal akibat hipertensi 

pada kehamilan sebesar 14,5% - 24%.) 

- Infeksi pada kehamilan 

Infeksi pada kehamilan yaitu  infeksi jalan lahir pada masa kehamilan, baik pada 

kehamilan muda maupun tua. Infeksi dapat terjadi oleh sebab langsung yang 

berkaitan dengan kehamilan, atau akibat infeksi lain di sekitar jalan lahir. Infeksi pada 

kehamilan muda yaitu  infeksi jalan lahir yang terjadi pada kehamilan kurang dari 20 

– 22 minggu. pemicu  yang paling sering terjadi yaitu  abortus yang terinfeksi.) 

Infeksi jalan lahir pada kehamilan tua yaitu  infeksi yang terjadi pada kehamilan 

trimester II dan III. Infeksi jalan lahir ini dapat terjadi akibat ketuban pecah sebelum 

waktunya, infeksi saluran kencing, misalnya sistitis, nefritis atau akibat penyakit 

sistemik, seperti malaria, demam tifoid, hepatitis, dan lain – lain.44)  Infeksi jalan lahir 

dapat juga terjadi selama persalinan (intrapartum) atau sesudah persalinan 

(postpartum). Keadaan ini berbahaya sebab  dapat memicu sepsis, yang 

mungkin memicu  kematian ibu. Sepsis memicu  kematian maternal 

sebesar 15%.)  

Pada abortus yang tidak lengkap (abortus inkomplitus), dimana sebagian hasil 

konsepsi masih tertinggal dalam uterus, dan pada abortus buatan yang dilakukan 

tanpa memperhatikan asepsis dan antisepsis, sering memicu komplikasi 

berupa infeksi (abortus infeksiosus).) Jika infeksi tidak diatasi, dapat terjadi 

infeksi yang menyeluruh (terjadi penyebaran kuman atau toksin ke dalam peredaran 

darah atau peritoneum) sehingga menimbulkan abortus septik. Pada abortus septik, 

virulensi bakteri tinggi, dan infeksi menyebar ke miometrium, tuba, parametrium, dan 

peritoneum. bila  infeksi menyebar lebih jauh, dapat terjadi peritonitis umum atau 

sepsis, pasien dapat mengalami syok septik.) Kematian maternal akibat abortus 

septik sangat tinggi di negara – negara berkembang, dimana tidak ada  akses 

terhadap abortus yang diinduksi dan hal ini  merupakan hal yang ilegal.5   Risiko 

kematian maternal akibat abortus septik meningkat pada wanita – wanita yang tidak 

menikah, wanita usia muda, dan pada mereka yang melakukan prosedur aborsi yang 

tidak secara langsung mengeluarkan hasil konsepsi dari dalam uterus.5    

 Infeksi pada kehamilan trimester II dan III dapat memicu korioamnionitis. 

Korioamnionitis merupakan komplikasi serius yang dapat mengancam jiwa ibu dan 

janinnya.44) Mikroorganisme pemicu  pada umumnya yaitu  streptococcus B dan D 

dan bakteri anaerob. Tanda dari infeksi ini yaitu  cairan amnion kotor dan berbau 

busuk, demam, lekositosis, uterus melunak, dan takikardi.) 

b. Komplikasi persalinan dan nifas 

Komplikasi yang timbul pada persalinan dan masa nifas merupakan pemicu  

langsung kematian maternal. Komplikasi yang terjadi menjelang persalinan, saat dan 

sesudah  persalinan terutama yaitu  perdarahan, partus macet atau partus lama dan 

infeksi akibat trauma pada persalinan.) 

- Perdarahan    

 Perdarahan, terutama perdarahan postpartum memberi  kontribusi 25% pada 

kematian maternal, khususnya bila ibu menderita anemia akibat keadaan kurang gizi 

atau adanya infeksi malaria.1,7) Insidensi perdarahan postpartum berkisar antara 5 – 

8%.46) Perdarahan ini berlangsung tiba – tiba dan kehilangan darah dapat dengan 

cepat menjadi kematian pada keadaan dimana tidak ada  perawatan awal untuk 

mengendalikan perdarahan, baik berupa obat, tindakan pemijatan uterus untuk 

merangsang kontraksi, dan transfusi darah bila diperlukan.1) Perdarahan postpartum 

yaitu  perdarahan yang terjadi sesudah  anak lahir dan jumlahnya melebihi 500 ml. 

Perdarahan dapat terjadi sebelum, saat atau sesudah  plasenta keluar. Hal – hal yang 

memicu  perdarahan postpartum yaitu  atonia uteri, perlukaan jalan lahir, 

terlepasnya sebagian plasenta dari uterus, tertinggalnya sebagian dari plasenta, dan 

kadang – kadang perdarahan juga dipicu  oleh kelainan proses pembekuan darah 

akibat hipofibrinogenemia yang terjadi akibat solusio plasenta, retensi janin mati 

dalam uterus dan emboli air ketuban.)  

- Partus Lama 

Partus lama dapat membahayakan jiwa janin dan ibu. Partus lama yaitu  

persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam sejak in partu.) Partus lama ataupun 

partus macet memicu  8% kematian maternal. Keadaan ini sering dipicu  

oleh disproporsi sefalopelvik (bila kepala janin tidak dapat melewati rongga pelvis) 

atau pada letak tak normal (bila terjadi kesalahan letak janin untuk melewati jalan 

lahir).1) Disproporsi lebih sering terjadi bila ada  keadaan endemis kurang gizi, 

terutama pada populasi yang masih menganut pantangan dan tradisi yang mengatur 

soal makanan pada para gadis dan wanita dewasa. Keadaan ini diperburuk lagi bila 

gadis – gadis menikah muda dan diharapkan untuk segera memiliki anak, sedangkan 

pertumbuhan mereka belum optimal.)  

 Pada keadaan disproporsi sefalopelvik, persalinan yang dipaksakan dapat 

memicu ruptura uteri. Ruptura uteri merupakan keadaan dimana terjadi 

robekan pada uterus sebab  sebab tertentu.) Ruptura uteri memicu  kematian 

maternal sebesar 10 – 40%.) Robekasn uterus akan memicu  rasa nyeri yang 

hebat disertai nyeri tekan, diikuti dengan perdarahan hebat dari pembuluh darah 

uterus yang robek dan kematian dapat timbul dalam 24 jam sebagai akibat perdarahan 

dan syok, atau akibat infeksi yang timbul kemudian.) 

- Infeksi Nifas 

Infeksi nifas merupakan keadaan yang mencakup semua peradangan yang 

dipicu  oleh masuknya kuman - kuman ke dalam alat genital pada waktu 

persalinan dan nifas.) Kuman pemicu  infeksi dapat masuk ke dalam saluran 

genital dengan berbagai cara, misal melalui tangan penolong persalinan yang tidak 

bersih atau pemakaian  instrumen yang kotor. Mula – mula infeksi terbatas pada 

uterus, dimana ada  rasa nyeri dan nyeri tekan pada perut bagian bawah, dengan 

cairan vagina yang berbau busuk. Demam, nyeri perut yang bertambah, muntah, nyeri 

kepala dan kehilangan nafsu makan menandakan terjadinya penyebaran infeksi ke 

tempat lain. Selanjutnya dapat terjadi abses di tuba fallopii, panggul dan diafragma 

bagian bawah. Pada masalah  yang berat, infeksi dapat menyebar ke dalam aliran darah 

(septikemia), menimbulkan abses dalam otak, otot dan ginjal. Jika infeksi tidak 

dikendalikan, selanjutnya dapat terjadi gangguan mental dan koma.48) Infeksi nifas 

memicu  morbiditas dan mortalitas bagi ibu pasca persalinan.30) Kematian terjadi 

sebab  berbagai komplikasi, termasuk syok, gagal ginjal, gagal hati, dan anemia.) Di 

negara – negara sedang berkembang, dengan pelayanan kebidanan yang masih jauh 

dari sempurna, peranan infeksi nifas masih besar.) Insidensi infeksi nifas berkisar 

antara 2 – 8% dari seluruh wanita hamil dan memberi  kontribusi sebesar 8% 

terhadap kejadian kematian maternal setiap tahunnya.) Beberapa faktor predisposisi 

infeksi nifas yaitu  keadaan kurang gizi, anemia, higiene persalinan yang buruk, 

kelelahan ibu, sosial ekonomi rendah, proses persalinan yang bermasalah, seperti 

partus lama / macet, korioamnionitis, persalinan traumatik, manipulasi yang 

berlebihan dan kurang baiknya proses pencegahan infeksi.) 

2. Determinan antara  

 a. Status kesehatan ibu 

Status kesehatan ibu yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal 

meliputi status gizi, anemia, penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada 

kehamilan dan persalinan sebelumnya.) 

Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil pengukuran terhadap lingkar lengan 

atas (LILA). Pengukuran LILA bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu hamil 

termasuk kategori kurang energi kronis (KEK) atau tidak. Ibu dengan status gizi 

buruk memiliki risiko untuk terjadinya perdarahan dan infeksi pada masa nifas.) 

Keadaan kurang gizi sebelum dan selama kehamilan memberi  kontribusi terhadap 

rendahnya kesehatan maternal, masalah dalam persalinan dan masalah pada bayi yang 

dilahirkan.1) Stunting yang dialami selama masa kanak – kanak, yang merupakan 

hasil dari keadaan kurang gizi berat akan memaparkan seorang wanita terhadap risiko 

partus macet yang berkaitan dengan adanya disproporsi sefalopelvik.1,22) Berdasar  

data Susenas tahun 2000 dan sensus penduduk tahun 2000, prevalensi ibu yang 

menderita KEK (LILA ibu < 23,5 cm) yaitu  25%. Risiko KEK pada ibu hamil lebih 

banyak ditemukan di pedesaan (40%) dibandingkan  di perkotaan (26%) dan lebih banyak 

dijumpai pada kelompok usia ibu di bawah 20 tahun (68%).

Anemia merupakan masalah penting yang harus diperhatikan selama kehamilan. 

Menurut WHO, seorang ibu hamil dikatakan menderita anemia jika kadar 

hemoglobin (Hb) kurang dari 11g/dl. Anemia dapat dipicu  oleh berbagai sebab, 

yang dapat saling berkaitan, yaitu intake yang kurang adekuat, infestasi parasit, 

malaria, defisiensi zat besi, asam folat dan vitamin A.1) Menurut WHO, 40% 

kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan. 

Anemia defisiensi besi merupakan 95% pemicu  anemia selama kehamilan.

Kurang lebih 50% dari seluruh ibu hamil di seluruh dunia menderita anemia.1) Wanita 

yang menderita anemia berat akan lebih rentan terhadap infeksi selama kehamilan 

dan persalinan, akan meningkatkan risiko kematian akibat perdarahan dan akan 

memiliki risiko terjadinya komplikasi operatif bila dibutuhkan persalinan dengan 

seksio sesaria.1) Anemia ibu hamil di Indonesia masih merupakan masalah nasional 

sebab  anemia mencerminkan nilai kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat dan 

pengaruhnya sangat besar terhadap kualitas sumber daya manusia. Dari Studi Follow 

Up Ibu Hamil, SKRT 2001 ditemukan prevalensi ibu hamil dengan kadar Hb rendah 

(< 11,0 gram/ dl, WHO 2000) sebesar 40,1% dan diantaranya 0,3% memiliki kadar 

Hb < 7,0 gram/ dl. Anemia lebih banyak ditemukan pada ibu hamil di pedesaan 

(42%) dibandingkan  di perkotaan (38%)   Menurut Soejoenoes (198   anemia 

memberi  risiko relatif 15,3 kali untuk terjadinya kematian maternal bila 

dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak menderita anemia.10) 

Pola penyakit yang memicu kematian secara umum di Indonesia telah 

mengalami perubahan, akibat adanya transisi epidemiologik. Penyakit degeneratif 

lebih sering terjadi, sementara penyakit infeksi dan parasit juga masih memegang 

peranan. Penyakit tuberkulosis masih mendominasi, dan penyakit ini memberi  

kontribusi kematian sebesar 8,6% (SKRT 1986) dan 9,8% (SKRT 1992). Kehamilan 

dengan penyakit tuberkulosis masih tinggi, akan namun  memiliki prognosis baik bila 

diobati secara dini.

Penyakit jantung merupakan pemicu  nonobstetrik penting yang memicu  

kematian maternal, dan terjadi pada 0,4 – 4% kehamilan. Angka kematian maternal 

bervariasi dari 0,4% pada pasien – pasien dengan klasifikasi New York Heart 

Association (NYHA) I dan II dan 6,8% atau lebih pada pasien dengan NYHA III dan 

IV. Keadaan ini dipicu  oleh adanya peningkatan beban hemodinamik selama 

kehamilan dan persalinan, yang akan memperberat gejala dan mempercepat 

terjadinya komplikasi pada wanita yang sebelumnya telah menderita penyakit 

jantung, Prognosis bagi wanita hamil dengan penyakit jantung tergantung dari 

beratnya penyakit, usia penderita dan penyulit – penyulit lain yang tidak berasal dari 

jantung.

pemicu  kematian maternal tidak langsung lain yang penting meliputi malaria, 

hepatitis, HIV / AIDS, diabetes melitus, bronkopneumonia.1) 

Riwayat obstetri yang buruk seperti persalinan dengan tindakan, perdarahan, 

partus lama, bekas seksio sesaria akan mempengaruhi kematian maternal.3) 15% 

persalinan yang terjadi di negara berkembang merupakan persalinan dengan tindakan, 

dalam hal ini seksio sesaria paling sering dilakukan.48) Semua persalinan dengan 

tindakan memiliki risiko, baik terhadap ibu maupun bayinya. Sebagian risiko timbul 

akibat sifat dari tindakan yang dilakukan, sebagian sebab  prosedur lain yang 

menyertai, seperti anestesi dan transfusi darah, dan sebagian lagi akibat komplikasi 

kehamilan, yang memaksa dilakukannya tindakan. Disamping itu, dapat pula timbul 

komplikasi, termasuk perdarahan dan infeksi yang berat.) 

b. Status reproduksi 

Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian maternal 

yaitu  usia ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan ibu.  

Usia di bawah 20 tahun dan di atas 35 tahun merupakan usia berisiko untuk hamil 

dan melahirkan.) The Fifth Annual State of the World’s Mothers Report, yang 

dipublikasikan oleh The International Charity Save The Children, melaporkan bahwa 

setiap tahun, 13 juta bayi dilahirkan oleh wanita yang berusia < 20 tahun, dan 90% 

kelahiran ini terjadi negara berkembang. Para wanita ini memiliki risiko kematian 

maternal akibat kehamilan dan kelahiran dua sampai lima kali lebih tinggi bila 

dibandingkan wanita yang lebih tua.3,66) Risiko paling besar ada  pada ibu berusia 

≤ 14 tahun. riset  di Bangladesh menunjukkan bahwa risiko kematian maternal 

lima kali lebih tinggi pada ibu berusia 10 – 14 tahun dibandingkan  ibu berusia 20 – 24 

tahun, sedangkan riset  yang dilakukan di Nigeria menyebutkan bahwa wanita 

usia 15 tahun memiliki risiko kematian maternal 7 kali lebih besar dibandingkan 

dengan wanita yang berusia 20 – 24 tahun.) Komplikasi yang sering timbul pada 

kehamilan di usia muda yaitu  anemia, partus prematur, partus macet.

Kekurangan akses ke pelayanan kesehatan untuk mendapatkan perawatan kehamilan 

dan persalinan merupakan pemicu  yang penting bagi terjadinya kematian maternal 

di usia muda. Keadaan ini diperburuk oleh kemiskinan dan kebuta – hurufan, 

ketidaksetaraan kedudukan antara pria dan wanita, pernikahan usia muda dan 

kehamilan yang tidak diinginkan.

Kehamilan di atas usia 35 tahun memicu  wanita terpapar pada komplikasi 

medik dan obstetrik, seperti risiko terjadinya hipertensi kehamilan, diabetes, penyakit 

kardiovaskuler, penyakit ginjal dan gangguan fungsi paru. Kejadian perdarahan pada 

usia kehamilan lanjut meningkat pada wanita yang hamil di usia > 35 tahun, dengan 

peningkatan insidensi perdarahan akibat solusio plasenta dan plasenta previa.  

Persalinan dengan seksio sesaria pada kehamilan di usia lebih dari 35 tahun juga 

meningkat, hal ini terjadi akibat banyak faktor, seperti hipertensi kehamilan, diabetes, 

persalinan prematur dan pemicu  kelainan pada plasenta.46)  riset  yang 

dilakukan di Amerika Serikat menyatakan bahwa kematian maternal akan meningkat 

4 kali lipat pada ibu yang hamil pada usia 35 – 39 tahun bila dibanding wanita yang 

hamil pada usia 20 – 24 tahun. Usia kehamilan yang paling aman untuk melahirkan 

yaitu  usia 20 – 30 tahun.

Paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian 

maternal. Paritas ≤ 1 (belum pernah melahirkan / baru melahirkan pertama kali) dan 

paritas > 4 memiliki angka kematian maternal lebih tinggi.3) Paritas ≤ 1 dan usia muda 

berisiko sebab  ibu belum siap secara medis maupun secara mental, sedangkan paritas 

di atas 4 dan usia tua, secara fisik ibu mengalami kemunduran untuk menjalani 

kehamilan. Akan namun , pada kehamilan kedua atau ketigapun jika kehamilannya 

terjadi pada keadaan yang tidak diharapkan (gagal KB, ekonomi tidak baik, interval 

terlalu pendek), dapat meningkatkan risiko kematian maternal.4) Menurut hasil SKRT 

2001, proporsi kematian maternal tertinggi ada  pada ibu yang berusia > 34 tahun 

dan paritas > 4 (18,4%).    

 Jarak antar kehamilan yang terlalu dekat (kurang dari 2 tahun) dapat 

meningkatkan risiko untuk terjadinya kematian maternal.4,41) Persalinan dengan 

interval kurang dari 24 bulan (terlalu sering) secara nasional sebesar 15%, dan 

merupakan kelompok risiko tinggi untuk perdarahan postpartum, kesakitan dan 

kematian ibu.4) Jarak antar kehamilan yang disarankan pada umumnya yaitu  paling 

sedikit dua tahun, untuk memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan 

ekstra pada masa kehamilan dan laktasi. riset  yang dilakukan di tiga rumah sakit 

di Bangkok pada tahun 1973 sampai 1977 memperlihatkan bahwa wanita dengan 

interval kehamilan kurang dari dua tahun memiliki risiko dua setengah kali lebih 

besar untuk meninggal dibandingkan dengan wanita yang memiliki jarak kehamilan 

lebih lama.48)   

Status perkawinan yang mendukung terjadinya kematian maternal yaitu  status 

tidak menikah. Status ini merupakan indikator dari suatu kehamilan yang tidak 

diharapkan atau direncanakan. Wanita dengan status perkawinan tidak menikah pada 

umumnya cenderung kurang memperhatikan kesehatan diri dan janinnya selama 

kehamilan dengan tidak melakukan pemeriksaan antenatal, yang memicu tidak 

terdeteksinya kelainan yang dapat memicu terjadinya komplikasi.) riset  

yang dilakukan di Jerman menemukan bahwa status wanita tidak menikah memiliki 

risiko 2,6 kali untuk terjadinya kematian maternal bila dibandingkan dengan wanita 

yang menikah. 

c. Akses terhadap pelayanan kesehatan 

Hal ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat pelayanan kesehatan, 

dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis / sulit dicapai oleh para ibu 

memicu  berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan kesehatan, jenis dan 

kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap informasi.) Akses 

terhadap tempat pelayanan kesehatan dapat dilihat dari beberapa faktor, seperti lokasi 

dimana ibu dapat memperoleh pelayanan kontrasepsi, pemeriksaan antenatal, 

pelayanan kesehatan primer atau pelayanan kesehatan rujukan yang tersedia di 

masyarakat. 

  Pada umumnya kematian maternal di negara – negara berkembang, berkaitan 

dengan setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models).

Keterlambatan yang pertama yaitu  keterlambatan dalam mengambil keputusan 

untuk mencari peraw