islam 2
negara agama atau tidak? Jawaban yang salah
akan berakibat pada konsep yang salah pula dalam hubungan
antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan pere
nungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa
diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan ber
diri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.
Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam
tentang konsepsi yang jelas dalam hubungan antara negara dan
agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang
majemuk terpelihara di kawasan ini. Kalau belum apaapa kita
sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya kon
sepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti telah dilakukan
sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah sikap
demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam men
cari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika ditemukan
motifmotif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seper
ti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri bagi partaipartai
politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam pertarungan poli
tik di tingkat nasional.
Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap
gagasan NKRI bertentangan dengan keinginan berbagai propinsi
untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai
sebagai aspirasiaspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya
menghendaki pengambilan keputusan tentang penerimaan dan
pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di daerah dari
pada di pusat. Jadi dengan demikian, yang diingini adalah fungsi
federal dari pemerintahan, bukannya separatisme Indonesia un
tuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik federatif. Kalau ada
orangorang yang menghendaki Indonesia dalam bentuk federa
tif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu adalah merupakan
suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu mendapatkan
Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan
perhatian besar.
Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa
yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, –yang
bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indo
nesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat
diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan
dengan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan
mayoritas suara bagi partaipartai politik yang hanya mengingin
kan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penun
jukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun penetapan
anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah,
dan bukannya pada pemerintah pusat.
eg
Karena ketidakmampuan memahami hal ini, maka para
eksponen konsep negara federal sebenarnya harus menjelaskan
bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI terkeping
keping menjadi sekian negara yang masingmasing berdaulat.
Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Perancispun mem
berikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk
melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Ang
garan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masingmasing. Bah
kan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pemerintah
daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidaklah
berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara
kesatuan dapat saja menampung aspirasiaspirasi federal. Sing
katnya, negara federal bukanlah negara federatif.
Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan ke
salahpahaman sangat besar antara partaipartai politik yang
mempertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu
pihak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai
NKRI. Keduaduanya memiliki baik legitimasi maupun kepen
tingan masingmasing tentang konsep negara yang dikehendaki.
Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap
yang lain dalam hal ini, dan lebihlebih untuk menyifati gagasan
NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal
sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling me
nyalahkan, padahal keduaduanya saling menyepakati perlunya
sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian in
g 11 h
dependensi seperti yang dimaksudkan diatas.
Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kekehilang
an komunikasi dan sosialisasi me ngenai kedua hal di atas. Kita
lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah
menjadikan kehidupan politik kita sebagai bangsa menjadi sa
ngat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi penyebab
dari krisis multidimensional yang kita alami sekarang ini. Jadi,
bukankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik
ini dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita?
h
Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan
g 12 h
Para penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua
firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai lan
dasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka se
lalu mengemukakan bahwa kitab suci ini menyatakan;
“Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî al-
silmi kâffah)” (QS. alBaqarah [2]: 208), yang jelasjelas harus
ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong
potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap meng
khususkan sekelompok manusia dari kelompokkelompok lain.
Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Allah
dalam kitab suci ini ; “Tiap kelompok sangat bangga dengan
apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS
al-Mu’minûn [23]:53) dengan mementingkan “milik sendiri” itu,
mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau
Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi
umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al-‘âlamîn)”
(QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun
sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin.
Firman Allah berikut juga sering dijadikan landasan bagi
gagasan negara Islam; “Hari ini telah Kusempurnakan bagi ka
lian agama kalian, Kutuntaskan bagi kalian pemberian nikmat
Ku dan Kurelakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma
akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa ra-
dhîtu lakum al-Islâma dîinan)” (QS alMaidah [5]:3) Firman Tu
han itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup
yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem
kenegaraan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara, Is
Islam:
Pokok dan Rincian
g 13 h
lam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian
yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini.
Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara
Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu
akan kehilangan kredibilitas.
Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi
kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah
sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam se
buah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita
harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang
tidak dapat ditawartawar lagi. Pengingkaran terhadap perin
tah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum
dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya
merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah
konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin,
di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan
berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa ka
lian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS atTaubah
[9]:41).
eg
Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri
sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara
Islam ini –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepe
nuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “pe
rintah sistemik” Allah itu secara berdiri sendiri atau justru seba
liknya. Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan
kesendirian penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka
timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam?
Karenanya, kedua “perintah sistemik” ini dalam pandang
an penulis artikel ini haruslah dipahami bersamasama “perin
tah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai
pengertian yang benarbenar rasional dan utuh. Cara yang per
tama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi
dan sama sekali tidak rasional.
“Perintahperintah sistemik” lain yang dapat digunakan da
lam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya mengguna
kan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan
dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana
Islam: Pokok dan RIncIan
g 14 h
yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min
al-ghayyi)” (QS alBaqarah [2]:256). Perintah dalam bentuk
pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci
“Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku (lakum dînu-
kum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci al-
Qur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin”
kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan”
kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.
Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai
agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga
tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk mela
kukan perbandingan sendirisendiri. Dalam pandangan penulis,
kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan
bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita san
dari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Allah –sebagai
mana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita
Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara
sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini,
tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Allah : “Ba
rang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diteri
ma (amal)nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai
orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan fa
lan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS
Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang
untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya
sendiri.
Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II
(19621965)1 di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup
yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk
1 Konsili Vatikan II adalah sebuah pertemuan (konsili) besar para Kar
dinal (pemimpin tertinggi gereja Katolik di suatu negara)) sedunia untuk
membahas persoalanpersolan penting dalam gereja Katolik atas undangan
Sri Paus Yohanes Paulus XXIII di kota Vatikan 19621965. Kompilasi lengkap
pembicaraan dan keputusan Konsili Vatikan II telah diterbitkan oleh Departe
men Dokumentasi dan Penerangan KWI (Konferensi Wali Gereja) Pusat ta
hun 1993 (edisi revisi). Ungkapan yang paling terkenal dari Konsili vatikan II
adalah keselamatan tidak hanya ada di Gereja Katolik Roma, dan implikasinya
harus memberikan penghormatan kepada kepercayaan dan agama lain. Dan
statemen ini merupakan pembaharuan dari cara pandang gereja Katolik sebe
lum Konsili Vatikan II yang memandang keselamatan hanya ada pada Gereja
Katolik Roma.
g 15 h
mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada
dalam Gereja Katolik Roma.” Sekarang, gereja ini meru
pakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, wa
laupun secara protokoler memang demikian. Ini adalah proses
menuju perubahan signifikan dalam peran yang diambil Vati
kan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negaraproto
koler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat
menarik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci
Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “terbantahkan
(infallible)”2 sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak
dikenal oleh Islam.
eg
Dengan melihat kepada “kenyataan” ini , jelaslah
bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus”
hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus
membuat komunitas masingmasing, dan merumuskan “kewa
jibankewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata
lain, ber amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kewajiban
agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif
oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memi
liki kemampuan.
Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hakhak
dan kewajibankewajiban perorangan (individual) dan secara
bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyata
an” seperti ini harus terusmenerus kita sadari dalam sebuah ke
hidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami
ucapan Umar bin Khattab saat menjabat khalifah bertujuan
sebagai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas,
tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan
tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi
imarah wala imarata illa bi tha’ah).”
Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan
dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab
suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam ar-
2 Dalam keyakinan teologi Islam Syi’ah juga dikenal adanya kemak-
suman imam dua belas sebagai orang yang paling berhak meneruskan kepe
mimpinan Rasulullah SAW.
Islam: Pokok dan RIncIan
g 16 h
tian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolek
tif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem
tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak
ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu
Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi
Thalib ke para Raja setelah mereka, kemudian para Presiden
hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi ke
langkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suk
sesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya.
Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama.
Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah se
bagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia
di timur hingga Gibraltar di barat, negarabangsa (nation-state)
di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state)
di kawasankawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimi
tas yang sama dalam pandangan Islam.
Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga di
ikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masya
rakatmasyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam
tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun ma
syarakatmasyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti,
perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah
penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan Bangsa
Bangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam ta
huntahun 1980an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko.3 Mudah
mengatakannya, sulit membuat pusatpusat kajian seperti itu,
bukan? h
3 Dr. Soedjatmoko adalah salah seorang intelektual Indonesia yang
mendunia. Terkenal dengan gagasan dimensi manusia dalam pembangunan
di masa Orde Baru. Karena gagasannya itu dia diangkat menjadi Rektor Uni
versitas Persarikatan BangsaBangsa (PBB) pada 1980 yang bermarkas di Tok
yo, Jepang. Soedjatmoko meninggal pada 1989 dalam usia 67 tahun.
g 17 h
Islam dan deskripsinya
Djamil Suherman1 menulis beberapa cerita pendek ten
tang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi
Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang
berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di
pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para san
tri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan
sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti
H.B. Jassin,2 sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren.
Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menen
tukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren
dan jaringanjaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak ka
lah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam ceritacerita si
lat/kungfu karya Chin Yung3, yang diterjemahkan dalam bahasa
1 Djamil Suherman, seniman dan penulis puisi angkatan 1950an yang
terkenal dan menaruh perhatian besar terhadap pesantren serta terhadap per
juangan dan kepahlawanan kaum muda. Beberapa karyanya dibukukan dalam
bentuk kumpulan puisi dan ceritacerita pendek.
2 Hans Bague (HB) Jassin (19172000) itulah nama aslinya. Sastrawan
dan kritikus sastra yang lebih dikenal Paus Sastrawan dan Wali Sastra Indo
nesia ini adalah dokumenter sastra terbaik yang dimiliki Indonesia hingga
sekarang. Lembaganya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Is
mail Marzuki menyimpan ribuan karyakarya sastra Indonesia. Gigihnya mem
bela kebebasan berkarya membuat dia pernah divonis penjara karena menolak
mengungkap penulis cerpen “Panji Kusmin” yang dianggap menghina agama
sehingga diseret ke pengadilan dan sampai sekarang belum terungkap siapa
penulis cerpen ini .
3 Nama asli novelis silat kelahiran Haining, China 6 Pebruari 1924 ini
adalah Zha Liangyong. Beberapa karyanya yang sangat populer di Indonesia
adalah trilogi Sia Tiaw Enghiong, Sin Tiaw Hiaplu, dan To Liong To.
g 18 h
kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe4, kedua ba
hasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).
Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis5,
menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradi
sionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan
pemecahan rasional atas krisis multidimensional yang dihadapi
lembaga pondok pesantren di kawasan ini . Nada lebih
mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tam
pak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagama
an yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh
A.A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya
Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan ke
dua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah
deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah
digumuli.
Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi
kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu,
sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pon
dok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis
yang berlarutlarut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbe
daan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah
masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sang
gup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.
Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50
atau 60an, John Mills6 yang menjadi Pendeta Keogh berusaha
4 Oey Kim Tiang atau OKT alias Boe Beng Tjoe alias Aulia (19031995).
Pria kelahiran Tangerang ini sejak sekitar tahun 1950an telah menerjemahkan
lebih dari 100 judul cerita silat ke dalam bahasa Indonesia.
5 Ali Akbar Navis, demikian nama lengkapnya, adalah salah satu sas
trawan besar Indonesia. Mulai memperkenalkan karyakarya fiksinya kepada
publik pada awal tahun 1950an dan langsung terkenal karena ciri khas kri
tik sosialnya yang tajam dan terkenal satiris. Dilahirkan di Padangpanjang,
Sumatera Barat, tahun 1924 Navis sampai sekarang memilih tetap tinggal di
daerahnya sambil mengajar dan terus menulis. Karyakaryanya terus mengalir
di media massa lokal maupun nasional. Novelnya yang paling terkenal juga sa
ngat kritis terhadap keadaan keberagamaan yang terbit sekitar 1956 berjudul
Robohnya Surau Kami.
6 Sir John Mills (1908 2005), adalah seorang sineas terkenal asal Ing
gris. Dia mengabdikan hidupnya untuk film selama 70 tahun. Pernah mengem
bara di Hollywood, AS, namun kemudian kembali ke Inggris untuk menjadi
penulis skenario, aktor, dan mempromosikan anakanaknya menjadi aktor
dalam berbagai film. Dua anak perempuannya menjadi aktris terkenal di Ing
g 19 h
melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogar
de7 yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhir
nya, saat Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak,
di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak
mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde
yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang
mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi
Kristen sungguhsungguh karena pengorbanan Pendeta Mills
dan bukan karena "kebenaran" yang dibawakan dan dikhotbah
kan pendeta ini .
Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang
sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih ber
pengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa
kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat
segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang
kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pi
lihanpilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh
deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita
melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita
hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama ini .
Dalam kenyataan seharihari kita melihat pentingnya arti
deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”. Aki
bat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi univer
sal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah
proses yang dijalani secara berbedabeda oleh orangorang yang
berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang
tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang
sangat penting, namun juga sama pentingnya untuk melihat bagai
mana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari ke
nyataankenyataaan empirik dalam kehidupan kita.
Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu
gris. Pernah mendapatkan Oscar dalam salah satu filmnya. Film dengan judul
The Singer Not the Song adalah salah satu karya diujung ketenarannya tahun
1961. Setelah itu memang masih memproduksi berbagai film namun tidak lagi
setenar sebelumnya.
7 Sir Dirk Bogarde (19211999). Aktor kelahiran Inggris keturunan Be
landa ini bernama asli Derek Van den Bogaerde. Akhir tahun 1930 Dirk ber
gabung dalam Kesatuan Intelejen Foto Udara Angkatan Darat Inggris. Dia per
nah ditugaskan di Jerman, India, Malaysia dan Jawa. Dirk menulis ‘A Gentle
Occupation’, buku semi biografi–fiksi yang menceritakan pengalamannya ber
tugas di Jawa.
Islam dan dEskRIPsInya
g 20 h
pihak dan pendekatan idealismeuniversal di pihak lain, penting
untuk samasama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepin
cangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan
universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa mema
hami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekan
kan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan me
misahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat.
Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Is
lam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah se
olah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu
bagaimana sumbersumber tekstual (adillah naqliyyah) mem
bentuk hukum agama/fiqh secara ideal; dan dari situ dibangun
sebuah kerangka universal tentang “kehidupan menurut ajaran
Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan de
ngan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja,
mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipenting
kan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebabse
bab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi
kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang
kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum?
Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang ber
judi untuk mencari kekayaan dengan cepat?
Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Is
lam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang
Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran for
mal (berarti pendekatan idealformalistik) yang bersifat univer
sal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan
baik. Dari situ "nasib" sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga
penelitian dewasa ini diuji. h
g 21 h
Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjang
an antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu
sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh pa
ham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teo
ri dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi
dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan
kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham terse
but, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada
kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhati
hati dalam merumuskan orientasi paham keIslaman, agar tidak
mengalami nasib seperti paham komunisme.
Orientasi paham keIslaman sebenarnya adalah kepenting
an orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja
kata “maslahah ‘ammah”,1 yang berarti kesejahteraan umum.
Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindak
an yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau
kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat
Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci da
lam adagium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas
rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuh
1 Teori tentang maslahah telah dirangkum dan dibahas secara kompre
hensif oleh Izzuddin Ibn Abdissalam dalam karyanya Qawa’idul Ahkam Fie
Masalih Al-Anam.
Islam dan Formalisme ajarannya
g 22 h
an/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah
manûthun bi al-mashlahah).”2
Adapun yang tidak langsung mengenai kebuAllah orang
banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan keru
sakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntung
an/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâ-
lih).”3 Artinya, menghindari halhal yang merusak umat lebih
diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. De
ngan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti
daripada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang diguna
kan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima
pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu.
Karena Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat meneri
ma seorang wanita (Megawati)4 sebagai Presiden negara, hingga
dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.
eg
Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/ke
uAllah sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi
pegangan gerakangerakan Islam di negeri kita semenjak dahu
lu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta
(The Jakarta Charter) dari UndangUndang Dasar (UUD) kita.
Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18
Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta ini dari
UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asalusul mere
ka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia.
2 Kaidah ini sangat populer dalam “turas qadim/literatur klasik”
pesantren mulai dari Al-Asybah wa an-Naza’ir karya Jalaluddin As-Suyuti dan
juga judul kitab yang sama karya Ibnu Nujaim alHanafi sampai dengan lite
ratur karya Ulama kelahiran Padang Indonesia yang sangat masyhur di Saudi
Arabia, Syeikh Yasin alFadany AlMakky yang berjudul “Al-Fawa’id al-Janiy-
yah ala Syarh Al-Mawahib Al-Saniyyah Ala al-Fara’id al-Bahiyyah”
3 Adagium ini merupakan salah satu dari lima adagium pokok dalam
diskursus kaidah fiqih yaitu al-umur bimaqashidiha, al-yaqin la yuzalu bi as-
syak, al-dlarar yuzalu, al-masyaqqat tajlibu at-taisir dan dar’u al-mafâsid
muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih
4 Megawati Soekarno Putri, begitu nama lengkapnya, adalah putri per
tama presiden Republik Indoensia Soekarno yang kemudian menjadi presiden
ke5 RI.
g 23 h
Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA
Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso
dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indo
nesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A.
Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),5 itu jelas menonjol
kan semangat persatuan Indonesia pada tingkat paling tinggi.
Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan
itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keuAllah dan kesejah
teraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.
Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam ha
nya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya
beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau seba
liknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang di
gambarkan dengan indahnya oleh James Siegel6 dalam The Rope
of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktek
praktek kaum sufi itu. Demikian pula, diciptakannya tembang
Ilir-ilir oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi sa
ling pengaruhmempengaruhi yang sangat halus antara budaya
daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.
Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi
Tabot8 di Sumatera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya
wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya
daerah setempat di hadapan tindakantindakan “budaya Sunni”
5 Mereka semua adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia) yang mewakili berbagai kelompok masyarakat dan berbagai kelom
pok Islam yang bertugas merumuskan UUD 1945 seperti yang kita kenal seka
rang. Kini UUD 1945 itu telah diamandemen beberapa pasalnya setelah tum
bangnya Orde Baru, kecuali Preambule atau Pembukaan tidak diperkenankan
untuk diubah.
6 James Siegel adalah Profesor Antropologi dan Kajian Asia di Uni
versitas Cornell Amerika Serikat. ‘The Rope of God’ bukunya yang mengulas
tentang sejarah Aceh diterbitkan pertama kali tahun 1969. Pada tahun 2000,
buku ini diperbaharui dengan memasukkan dua bab sejarah kontemporer
Aceh.
7 Salah seorang wali dari Wali Songo yaitu Sunan Ampel (versi lain me
nyebut Sunan Kalijaga) menciptakan tembang ini sebagai sarana syi’ar Islam.
Tembang berbahasa Jawa ini juga diyakini sarat dengan nilai tasawuf.
8 Tradisi Tabot diadaptasi dari upacara Assyura, hari berkabung bagi
kaum muslim Syi’ah atas gugurnya Husain bin ‘Alî bin Abi Thalib, cucu Rasu
lullah Saw dari puteri Beliau Fâthimah al-Zahra. Husain gugur dalam perang
tak seimbang antara 40 pengikut beliau dengan ribuan pasukan tentara ‘Ubai
dillah bin Zaid di Padang Karbala Iraq, pada 10 Muharam 61 H (681 M).
Islam dan FoRmalIsmE ajaRannya
g 24 h
dalam beberapa abad terakhir. Penggunaan “budaya adat” seba
gai wahana ekspresi dari yang sebelumnya dikenal sebagai bu
daya agama, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang
terjadi.
eg
Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat
kitab suci alQur'an “Dan dalam diri utusan Allah benarbenar
telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan
kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan
tandatanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi
uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma
al âkhira wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21).
Dalam kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai peng
ingat bagi kita akan pentingnya melestarikan lingkungan alam.
Halhal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerak
angerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah me
mentingkan formalisasi ajaranajaran agama ini dalam
kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebuAllah utama
masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa
formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama ini
menjadi sumber inspirasi bagi gerakangerakan Islam dalam ke
hidupan bernegara, seperti di negara ini.
Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya meng
ilhami juga lahirnya partaipartai CDU (Christian Democratic
Union, Uni Demokratik Kristen)9, di Jerman dan sejumlah nega
ra lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran
bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, dari
pada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang
bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang
telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam
di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. h
9 Dalam anggaran dasarnya partai ini mengklaim sebagai partai yang
diinspirasi oleh nilainilai etika sosial gereja kekristenan dan nilainilai tradisi
liberal pencerahan Eropa. Dilahirkan pada tahun 1945 CDU berangkat dari
partai lokal sebelum partai yang bersifat nasional terbentuk.
g 25 h
Islam:
Pribadi dan masyarakat
Sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa
memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem indi
vidu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua
hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan penge
tahuan mendalam akan agama ini . Kalau hal ini telah di
laksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk
pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah
pendirian ini , dengan dalih Islam telah sempurna, dan ti
dak memerlukan pengembangan. Pendapat ini perlu diuji
kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang
apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan
kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas
yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.
Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas
membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kan
dungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita me
mahami kitab suci ini , mana yang merupakan perintah
(khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat.
Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja
firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian ber-
bangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar saling mengenal
(wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât
[49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara
keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak
g 26 h
tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.
Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sa-
ngat penting yang berbunyi: “kawinilah apa yang baik bagi ka
lian, daripada wanitawanita, dua, tiga atau empat orang wanita
(namun ) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya
seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ
wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâhidah)”
(QS alNisa [4]:3).1 Jelas ini merupakan perkenan, bukan perin
tah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilaku
kan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan,
siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki,
berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa "adil". Sedan
gkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut
dengan rasa keadilan secara "normal", tentu lebih banyak kaum
perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.
eg
Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana
yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakat
an (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita
menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah
satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan
adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan meng
gunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru
(al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd
al-ashlah).”2
1 Ayat ini sering dimunculkan “terpotong” sehingga difahami secara par
sial dengan tanpa melibatkan pesan keAllah an sebelum ayat ini. Jika difahami
secara lengkap dengan melibatkan setting yang ada di sekitarnya (ma haula
an-nushus/ around the texts), ayat ini sebenarnya merupakan penghormatan
yang tinggi terhadap martabat perempuan. Sebelum ayat ini diturunkan, lelaki
Arab memiliki budaya mengawini wanita dalam jumlah yang tak terbatas. Ke
mudian dirubah oleh ayat Allah itu dengan grafik menurun yaitu dari seratus,
lima puluh, lima belas, sepuluh hingga menjadi empat istri. Belum lagi jika di
gelar diskursus tentang “in” (jika) dalam ayat ini yang sangat berbeda dengan
frame “idza” dimana “in” akan menunjuk sesuatu yang sulit bahkan mustahil
terjadi.
2 Jargon ini tidak diketahui secara pasti siapa “al-muassis al-awwal”
nya, karena dalam tradisi keilmuan klasik tidak pernah muncul jargon indah
ini. Sebenarnya adagium ini akan lebih indah lagi jika ada penambahan “al-ijad
g 27 h
Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu,
yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadi
kan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki
kedua dimensi ini . Umpamanya saja, kewajiban berpuasa,
yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat indi
vidual, perintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk
berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaumkaum sebelum ka
lian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min
qablikum)” (QS alBaqarah [2]:183). Perintah yang sepintas
lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh
kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan
demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumber
sumber tertulis (dalil naqli).
Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan
sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk mem
bedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan
mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan ada
nya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur
(uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu ada
lah kerja terpuji, namun tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah
kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang
muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika
diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya de
ngan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk
orangorang bersalah?
Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfi-
yah (literalis), karena tidak akan tercapai kesepakatan kaum
muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa
kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan?
Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka
seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama hal
nya seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib berseko
lah. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah
kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh menge
nai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer “mencintai tanah air
bil jadid al-ashlah/ menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya sebagai
“konsumen” barang baru. Sebenarnya kebanyakan komunitas muslim masih
terhenti pada “al-muhafadlatu ala al-qadim al-salih/ menjaga warisanwaris
an yang lama” dengan bernaung dibawah label “as-salaf as-salih” tanpa berani
melangkah progresif dalam memahami peta nazariyatul makrifah/epistemology.
Islam: PRIbadI dan masyaRakat
g 28 h
adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbu al-wathan
min al-îmân).”3 Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai
tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah
ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan
tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan
menggunakan akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) mau
pun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersa
maan.
Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak me-
nunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti
sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi
Muhammad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (ta
nah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”4 Ungkapan ter
sebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan
hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti
lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan
Nabi Muhammad Saw ini jelasjelas menunjukan, kewajib
an mempelajari ilmu pengetahuan nonagama juga. Bukankah di
tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama
sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang
sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic stu-
dies) dan pengetahuan nonagama? Perumusan sikap oleh para
ahli agama Islam ini , yaitu kewajiban menuntut disiplin
ilmu nonagama, memberikan kedudukan yang sama diantara
keduanya.
Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di
atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik
berupa ayatayat kitab suci alQuran maupun ucapan Nabi Mu
hammad Saw, akan memiliki peluangpeluang yang sama bagi
pendapatpendapat yang saling berbeda, antara universalitas se
3 Statemen ini sering dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah
pesan kenabian (Hadis), padahal berdasarkan penelitian hadis tidak pernah
ada sumber hadishadis yang muktabar baik al-kutub al-tis’ah (Kitab hadis
sembilan: Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Musnad
Ahmad, Muwatta’ dan Sunan Ad-Darimy) atau pun di luar kitab-kitab ini
yang melansir pesan kenabian ini. Menganggap statemen ini sebagai sebuah
hadis merupakan sebuah kesalahan metodologis yang tidak bisa dibenarkan
oleh ramburambu ulumul hadis.
4 Hadis dlaif ini diriwayatkan oleh AlUqaili dalam Al-Dlu’afa, Baihaqi
dalam Sya’bu al-Iman dan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kami. Lihat Jalaludin Suyuti,
Al-Jami’ Al-Saghir, I:44.
g 29 h
buah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin
sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa per
bedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang
tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melain
kan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan:
“Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan
janganlah terpecahbelah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi
habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103).
Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat
itu penting, namun pertentangan dan keterpecahbelahan adalah
sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbe
daan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus
dibedakan dari pertentangan dan keterpecahbelahan dari se
buah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab
suci ini , bukan? h
Islam: PRIbadI dan masyaRakat
g 30 h
Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya1, kitab suci
al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab
suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena,
seperti dikatakannya, kitab suci ini menggunakan peristilah
an profesional untuk menyatakan halhal yang paling dalam dari
lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân memberikan
penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut.
“Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal
perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat
kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan
falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)”
(QS aliImran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan isti
lah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat
ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling
dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?
Istilahistilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai
dalam pengertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. "Barang
siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang
baik, maka ia akan melipatgandakan imbalannya (man dzal-
ladzi yuqridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS
alBaqarah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk ke
1 Disertasi ini berjudul The Commercial –Theological Terms in the
Koran terbit di Lieden 1892.
Islam:
sebuah ajaran kemasyarakatan
g 31 h
pada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit se
perti di bumi.
saat Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan
panenan di akhirat kelak, akan Kutambahi panenannya (man
kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS alSyu
ra [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhi
rat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilahistilah
perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan
memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghar
gaan yang sangat tinggi atas profesiprofesi manusia.
Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orang-
orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan
prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS alBaqa
rah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti
itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ke
tika mengucapkan prasetia?
eg
Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelas
lah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada
profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum mus
limin dari beberapa abad silam, karena memberikan perhatian
terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakankebijakan
dan tindakantindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu
besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsa
bangsa muslim.
Sebagai akibat, perhatian atas masalahmasalah profesio
nal ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke
arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsa
bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat be
sar kepada masalahmasalah profesionalisme. Dengan sendiri
nya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai
penerapan ajaranajaran ini , menjadi tidak bersambung
satu sama lain.
Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam
pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para
pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral
untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak
lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Islam: sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan
g 32 h
Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika
kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan
ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyya-
tin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS alNisa [4]:86). Jika ayat
ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi
seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau ba
rang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu
produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian baik yang di
ucapkan.
eg
Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pema
haman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu ja-
nganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan
sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pema
haman sejarah masa lampau.
Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaima
na mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk
kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata.
Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Is
lam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepenting
an orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan
(kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka
politik akan menjadi panglima bagi gerakangerakan Islam dan
terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.
Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam
kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusan-
Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum nonMuslim (sekitar Madi
nah), hanya bagi Allah, utusanNya, sanak keluarga terdekat,
anakanak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menun
tut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak
hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian
(mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li
ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa
ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)”
(QS alHasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih
mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan men
derita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk
negara yang diinginkan?
g 33 h
Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelas
lah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan mak
mur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diuta
makan kitab suci ini daripada masalah bentuk negara.
Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum musli
min, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan
antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidak
mampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab ke
melut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini. h
Islam: sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan
g 34 h
Pada tahuntahun 50an dan 60an, di Mesir terjadi perde
batan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para
eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr.
Thaha Husein,1 salah seorang tuna netra yang pernah menjabat
menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi,
menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami moderni
sasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahan
perubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa
dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajaksajak puja
(al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah
dan al-barzanji2 sebagai dekadensi bahasa yang justru akan
memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan.
Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah pa
ra pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang
ini.
1 Dr. Thaha Husein (18891973) adalah seorang penulis terkenal dari
Mesir. Thaha Husain, meskipun kehilangan penglihatan sejak kecil, namun
dengan kecerdasan yang tinggi, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di
Universitas Mesir, sebelum kemudian meraih gelar Doktor di Universitas Sor
bonne, Perancis. Thaha Husein seorang ahli bahasa dan pernah menjabat ber
bagai posisi penting di pemerintahan Mesir. Bukunya yang terkenal berjudul
“Sejarah Sastra Arab” dan “Al-Ayyam”.
2 AlBarzanji adalah karya sastra yang berisi pujipujian terhadap Nabi
Muhammad SAW yang sudah barang tentu memuat kisahkisah kehidupan Be
liau. Sebenarnya ini bermula dari sebuah karya berjudul Iqdul Jawahir yang
disusun oleh Syeikh Ja’far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim yang lahir di
Madinah 1690 dan meninggal di Madinah juga tahun 1766. Nama AlBarzanji
diambilkan dari asal usul beliau dari daerah Barzanj di Kurdistan.
Islam:
agama Populer ataukah Elitis?
g 35 h
Namanama terkenal seperti Syauqi Dhaif3 dan Suhair
alQalamawi4 muncul sebagai bintangbintang gemerlap dalam
perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab.
Sejak masa itu, munculah madzhab baru bahasa Arab, yang dira
sakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan
sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih ber
bau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa
dan sastra Arab masa praIslam (‘asr al-jâhiliyah).
Dalam pandangan ini, produkproduk dekaden harus di
kesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi
bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham
serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan de
ngan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiy-
yah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para
pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawa
kan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya ke
cenderungan baru ini . Karena sifatnya yang intelektual,
pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan,
halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di nege
rinegeri Arab selama dua puluh lima tahun.
eg
Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga
berkembang. Persamaannya dengan pandangan antitradisional
isme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsabangsa Mesir,
yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyen
tuh pikiranpikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaanya,
agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan meng
hambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan poli
tik organisasi tradisional agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama).
Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan
kaum nasionalis, karena keduaduanya harus berhadapan de
ngan modernisme nonideologis yang datang dari Barat, dalam
3 Dr. Syauqi Dhaif adalah juga penulis Mesir sezaman dan juga menjadi
salah satu pembela pembaharuan Dr. Thaha Husein dalam sastra dan bahasa
Arab. Tulisannya tertuang dalam karya 3 jilid “Tarikh al-Adab al-Araby”.
4 Suhair alQalamawi (19111997), juga penyair terkenal di Mesir yang
menjadi pembela Thaha Husein dari seranganserangan mereka yang tidak
setuju dengan pembaharuannya.
Islam: aGama PoPulER ataukaH ElItIs?
g 36 h
berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragma
tisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan ber
arti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimi
liki orangorang Barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme
agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika
yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme
agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang meng
agungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampil
kan tradisionalismenya sendiri: antiBarat, anti penuhnya rasio
nalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau.
Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat
melihat kedangkalan dua paham ini .
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalis
me agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa
ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr,
pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajaksajak Arab tra
disional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik
kita dewasa ini. Hal ini karena, pembaharuan bahasa dan sastra
nasional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai
menyentuh akar tradisionalisme agama itu. Sebagai akibatnya
kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra na
sional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada
saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama.
eg
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai ke
pada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan
beragama kita sematasemata berwatak tradisional dan adakah
penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme
agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipi
kirkan jawabannya secara mendalam, karena selama ini percam
puran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradi
sionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik
belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme
agama tidak menyukai ideologisasiagama dalam kehidupan ber
negara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta.
Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyum
bang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagaimana
g 37 h
pun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan
A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasio
nalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya se
suatu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti memandang rendah
tradisionalisme agama, karena elemenelemen positif dari tra
disionalisme itu sendiri harus kita teruskan. namun unsurunsur
irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisional
isme itu sendiri haruslah diganti dengan nilainilai rasional yang
akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti
halnya dengan kontrareformasi yang dijalani oleh gereja Kato
lik Roma, yang dijalankan untuk menjamin kelangsungan hidup
tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi —
misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, samasama
rasionalnya dalam penyampaian pesanpesan gerejawi melalui
misa dan sebagainya.
Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat di
perlukan, dalam bentuk memasukkan unsurunsur rasional ke
dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasa
kan sebagai kebuAllah , baik di kalangan elitis yang diwakili para
cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradi
sionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang di
hadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang
berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.
Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan mo
dernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional,
dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara
praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu?
h
Islam: aGama PoPulER ataukaH ElItIs?
g 38 h
Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan
penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah
seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hi
dayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar
untuk menyambut terbitnya sebuah buku1 tentang diri beliau,
yang memang benarbenar merupakan karya berbobot ilmiah
dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik
dari aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis.
Karya ini memerlukan sebuah penanganan serius yang ha
rus diteruskan oleh para peneliti lainnya.
Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut
pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami
tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi
dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah.
Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masya
rakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal
Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan
keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup
nyaadalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu
(2001) dan dimakamkan di desa ini . Sebagai penghafal al
Qur’ân beliau memimpin sebuah pesantren di desa ini dan
mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam
bahasa pesantren dikenal dengan istilah akhlakul karimah.
1 Buku ini ditulis oleh Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural
Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Muta-
makkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002).
Islam:
apakah Bentuk Perlawanannya?
g 39 h
Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga
menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amang
kurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh
disertasi Dr. Soebardi2; juga ceritera ketoprak dan ceriteraceri
tera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang
beliau dan terutama tulisantulisan beliau sendiri. Yang tidak
sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari
Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang,
yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku
tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan
Dr. Abdul Djamil,3 Rektor IAIN Walisongo di Semarang.
eg
Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori
sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan ke
kuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan pene
litian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Is
lam yang tepat di negeri ini.
Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada
intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan
sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) pada
umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar
adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerin
tahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anar
ki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min
lailatin bila sulthan).”4 Sikap ini merupakan sebuah kenyataan
tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya ter
gantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum,
termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak
secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu
2 Lihat S. Soebardi, The Book of Cebolek, (The Hague: Martijnus Nijhoff,
1975).
3 Buku ini berjudul, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerak-
an Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, (Yogyakarta: LKIS, 2001).
4 Ibnu Taimiyyah; as-Siyasah al-Syar’iyyah Fi Islah Ar-Ra’iy wa
Ar-Ra’iyah, hal.218. Ibnu Taimiyyah dalam karyanya yang lain bahkan me
nyatakan bahwa “Allah mendukung pemerintahan yang adil meskipun kafir,
dan tidak mendukung pemerintahan yang dhalim meskipun mukmin”. Lihat
Ibnu Taimiyah; al-Hisbah fi al-Islam, Riyadh, Mansyurat alMuassasah al
Sa’diyah, 1980, hal, 17.
Islam: aPakaH bEntuk PERlaWanannya?
g 40 h
menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena
memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton
wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia
harus dihukum. namun hukuman itu terserah pada sultan seba
gai penguasa.
Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersi
kap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu
pemberontakan di beberapa tempat dalam abad ini . Dalam
pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari
kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara
terbuka. Sikap ini, sebenarnya samasama bersifat politis, bila
dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya
saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap
politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak meng
hukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Ceri
ta ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu
yang memilukan di waktu itu.
eg
Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan
yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif
terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perla
wanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan
sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pe
mimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai
kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekat
an inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kul
tural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang pe
nguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis
yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.
Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelasjelas menen
tang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa.
Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada pe-
nguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A.
Mutamakin mengembangkan sikap kultural di atas, yakni pilih
an alternatif yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan
menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan
mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpinpemim
pin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang
g 41 h
tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan
Pembangunan) masa itu menampilkan perlawanan kultural ter
hadap kekuasaan.
Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan
kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru di
matikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi
perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah se
suatu yang sangat komplek: bagi organisasi nonpolitis, seperti
NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural
yang lebih didasarkan pada alternatifalternatif yang menguta
makan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan
bagi organisasiorganisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkit
an Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem po
litik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutiflegislatifyudi
katif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan
politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita.
Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau
dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya per
lakuan yang sama bagi semua warga negara di muka Undang
Undang.
Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di
saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu di
rintis KH. A. Mutamakin? h
Islam: aPakaH bEntuk PERlaWanannya?
g 42 h
Dalam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebang
kitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Se
latan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan
Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis
melihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat,
penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bah
kan di acara lainnya justru orangorang nonmuslim yang mem
bawakannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur
dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi kha
zanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari
penyerahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sa
jak ini di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fak
ta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam
birama (bahr) tradisional ini , tampak jelas telah dianggap
sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.
Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya
dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagupuja dalam
qasidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anakanak muda NU
setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Is
lam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara
damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui,
kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau
tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai
itu.
Islam:
Ideologis Ataukah Kultural? (01)
g 43 h
Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai
itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai akti
fitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa
abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap seba
gai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat
di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpamanya,
dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu
ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu)
Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru menjadi tanda bagi ke
setiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang
menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah menjadi
manifestasi budaya Indonesia, menunjukkan perkembangan se
jarah yang sangat penting.
eg
Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan nama
nama di Gedung DPR/MPRRI kita. Gedung yang megah itu di
haruskan menggunakan namanama dalam bahasa Sansekerta,
seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/
MPR sebagai institusi produk UndangUndang Dasar (UUD),
lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pe
mimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan
pengaruh bahasa Arab. Lihatlah katakata yang dipakai, seper
ti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga kata itu, baik kata dewan,
wakil maupun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam ba
hasa kita adalah katakata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu
juga dengan pemilihan umum, kata “umum” digunakan untuk
halhal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.
Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari
katakata Arab dan kemudian dari katakata Sansekerta, menun
jukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita.
Kalau itu kita kaitkan dengan bidangbidang lain, akan lebih be
sar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari
hari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm
dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk
hukum agama Islam (fiqh). Namun karena perluasan pemakai
annya yang meliputi produkproduk yang dihasilkannya, akhir
nya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang
berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (01)
g 44 h
dan undangundang agama (canonical law), berkembang men
jadi hukum –yang berarti undangundang dan peraturan negara.
Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan
arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasabahasa
Eropa modern.
Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasasemu (meta
language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh
Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, har
ga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari
penggunaan bahasa semu ini, masyarakat terkotakkotak dan
timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutan
nya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of
violence) —terutama dalam bentuk munculnya penggunaan pre
man, yang terjadi dalam kehidupan kita sebagai bangsa.
eg
Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilaku
kan adalah pembakuan arti yang kita gunakan seharihari. Tan
pa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan
kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak
tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tam
pak antara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDIP
DPRRI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai.
Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai
bangsa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang
kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti peng
utamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa
kepada pemenuhan kebuAllah golongan dan ambisi pribadi.
Dengan demikian, kebuAllah menyamakan pandangan
tentang demokrasi yang ingin ki