islam 2

Tampilkan postingan dengan label islam 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

islam 2


 


negara agama atau tidak? Jawaban yang salah 

akan berakibat pada konsep yang salah pula dalam hubungan 

antara agama dan negara. Hal inilah yang memerlukan pere­

nungan mendalam dari kita dalam menanggapi pendapat bahwa 

diperlukan sebuah negara Islam, kalau memang diinginkan ber­

diri negara teokratis itu, bagi bangsa kita yang majemuk.

Memang benar, diperlukan pemikiran yang mendalam 

tentang konsepsi yang jelas dalam hubungan antara negara dan 

agama, jika diinginkan keselamatan kita sebagai bangsa yang 

majemuk terpelihara di kawasan ini. Kalau belum apa­apa kita 

sudah menyuarakan adanya negara Islam, tanpa adanya kon­

sepsi yang jelas tentang hal itu sendiri, berarti telah dilakukan 

sebuah perbuatan yang gegabah dan sembrono. Bukankah sikap 

demikian justru harus dijauhi oleh kaum muslimin dalam  men­

cari hubungan antara agama dan negara? Apalagi jika ditemukan 

motif­motif lain dalam mendirikan sebuah negara agama, seper­

ti adanya keinginan untuk berkuasa sendiri bagi partai­partai 

politik Islam, yang melihat bentuk Negara Kesatuan Republik 

Indonesia (NKRI) sebagai “kekalahan” dalam pertarungan poli­

tik di tingkat nasional.

Dengan demikian gagasaan federalisme, yang menganggap 

gagasan NKRI bertentangan dengan keinginan berbagai propinsi 

untuk lebih independen dari pemerintah pusat, dapat dinilai 

sebagai aspirasi­aspirasi separatis. Sebenarnya propinsi hanya 

menghendaki pengambilan keputusan tentang penerimaan dan 

pengeluaran uang harus lebih banyak dilakukan di daerah dari 

pada di pusat. Jadi dengan demikian, yang diingini adalah fungsi 

federal dari pemerintahan, bukannya separatisme Indonesia un­

tuk menjadi 7 (tujuh) negara atau republik federatif. Kalau ada 

orang­orang yang menghendaki Indonesia dalam bentuk federa­

tif menjadi tujuh republik, maka pendapat itu adalah merupakan 

suara minoritas yang sangat kecil, yang tidak perlu mendapatkan 

Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan



perhatian besar.

Cara yang terbaik untuk mengetahui benar tidaknya bahwa 

yang menghendaki bentuk RI sebagai republik federatif, –yang 

bertentangan dengan gagasan Negara Kesatuan Republik Indo­

nesia (NKRI), adalah suara minoritas yang demikian kecil, dapat 

diketahui melalui pemilihan umum. Dan jika hal itu dilakukan 

dengan pengawasan internasional, maka akan menghasilkan 

mayoritas suara bagi partai­partai politik yang hanya mengingin­

kan perampingan kekuasaan pemerintah pusat, dalam hal penun­

jukkan kepala daerah oleh DPRD setempat maupun penetapan 

anggaran penerimaan dan belanja yang berpusat pada daerah, 

dan bukannya pada pemerintah pusat.

eg

Karena ketidakmampuan memahami hal ini, maka para 

eksponen konsep negara federal sebenarnya harus menjelaskan 

bahwa gagasan mereka tidak berarti menjadikan RI terkeping­

keping menjadi sekian negara yang masing­masing berdaulat. 

Bahkan negara unitaris seperti Jepang dan Perancis­pun mem­

berikan kedaulatan penuh kepada propinsi/negara bagian untuk 

melaksanakan pemilihan kepala daerah dan menetapkan Ang­

garan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) masing­masing. Bah­

kan kepolisiannya pun ditetapkan dan diatur oleh pemerintah 

daerah setempat. Jadi, independensi daerah dari pusat tidaklah 

berarti hilangnya kesatuan negara —yang berarti, watak negara 

kesatuan dapat saja menampung aspirasi­aspirasi federal. Sing­

katnya, negara federal bukanlah negara federatif.

Langkanya penjelasan seperti ini telah menerbitkan ke­

salahpahaman sangat besar antara partai­partai politik yang 

mempertahankan NKRI dan menentang negara federal di satu 

pihak, dan eksponen gagasan negara federal yang mencurigai 

NKRI. Kedua­duanya memiliki baik legitimasi maupun kepen­

tingan masing­masing tentang konsep negara yang dikehendaki. 

Sangatlah tragis untuk melihat kecurigaan yang satu terhadap 

yang lain dalam hal ini, dan lebih­lebih untuk menyifati gagasan 

NKRI sebagai gagasan nasionalistik, dan gagasan negara federal 

sebagai sebuah pandangan Islam. Jadi, satu sama lain saling me­

nyalahkan, padahal kedua­duanya saling menyepakati perlunya 

sebuah negara yang satu, dengan watak federal dalam artian in­

g 11 h

dependensi seperti yang dimaksudkan diatas.

Dari sinilah kita menjadi tahu, bangsa kita telah kekehilang­

an komunikasi dan sosialisasi me ngenai kedua hal di atas. Kita 

lalu curiga antara satu terhadap yang lain. Kecurigaan itu telah 

menjadikan kehidupan politik kita sebagai bangsa menjadi sa­

ngat labil. Tidak stabilnya sistem politik itu menjadi  penyebab 

dari krisis multi­dimensional yang kita alami sekarang ini. Jadi, 

bukankah ketidakmampuan komunikasi dan sosialisasi politik 

ini  dapat dinilai sebagai azab dari Allah bagi bangsa kita? 

h

Islam: PEnGERtIan sEbuaH PEnaFsIRan

g 12 h

Para penganjur “negara Islam” selalu menggunakan dua 

firman Allah Swt dalam kitab suci al-Qur’ân sebagai lan­

dasan bagi pemikiran mereka. Di satu pihak, mereka se­

lalu mengemukakan bahwa kitab suci ini  menyatakan; 

“Masukilah Islam/kedamaian secara keseluruhan (udkhulû fî al-

silmi kâffah)” (QS. al­Baqarah [2]: 208), yang jelas­jelas harus 

ditafsirkan dengan mengambil Islam tidaklah boleh sepotong­

potong belaka. Padahal, Islam juga menolak atas sikap meng­

khususkan sekelompok manusia dari kelompok­kelompok lain. 

Dalam hal ini, mereka dapat dinyatakan “terkena” firman Allah  

dalam kitab suci ini ; “Tiap kelompok sangat bangga dengan 

apa yang dimilikinya (kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS 

al-Mu’minûn [23]:53) dengan mementingkan “milik sendiri” itu, 

mereka melupakan firman lain: “Dan tiadalah Ku-utus Engkau 

Ya Muhammad, kecuali sebagai pembawa persaudaraan bagi 

umat manusia (wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lî al-‘âlamîn)” 

(QS al-Anbiyâ [21]:107). Ini adalah prinsip yang mulia, namun 

sedikit sekali yang diperhatikan kaum muslimin. 

Firman Allah  berikut juga sering dijadikan landasan bagi 

gagasan negara Islam; “Hari ini telah Ku­sempurnakan bagi ka­

lian agama kalian, Ku­tuntaskan bagi kalian pemberian nikmat­

Ku dan Ku­relakan bagi kalian Islam sebagai agama (al yauma 

akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum ni’matî wa ra-

dhîtu lakum al-Islâma dîinan)” (QS al­Maidah [5]:3) Firman Tu­

han itu diandaikan menunjuk Islam sebagai sebuah sistem hidup 

yang sempurna yang hanya dapat terwujud dalam sebuah sistem 

kenegaraan yang “berbau agama”. Diandaikan, tanpa negara, Is­

Islam: 

Pokok dan Rincian

g 13 h

lam tidak dapat diwujudkan dengan sempurna. Sebuah andaian 

yang justru harus kita bicarakan secara tuntas dalam tulisan ini. 

Kalau hal ini tidak kita lakukan, maka dasar bagi sebuah negara 

Islam akan goyah selamanya dan gagasan bernegara seperti itu 

akan kehilangan kredibilitas.

Dengan demikian, permasalahannya menjadi jelas bagi 

kita semua. Benarkah asumsi dasar, bahwa Islam adalah sebuah 

sistem hidup yang sempurna, dan harus diwujudkan dalam se­

buah bentuk kenegaraan tertentu? Jika jawabannya positif, kita 

harus mendirikan negara Islam sebagai “perintah agama” yang 

tidak dapat ditawar­tawar lagi. Pengingkaran terhadap perin­

tah semacam itu, berarti pembangkangan yang harus dihukum 

dan ditindak. Sedangkan kelalaian untuk melaksanakannya 

merupakan pengingkaran terhadap kewajiban agama. Ini adalah 

konsekuensi logis yang harus ditanggung oleh kaum muslimin, 

di manapun mereka berada. Ini termasuk dalam perintah “dan 

berjihadlah kalian dengan harta benda kalian dan diri/jiwa ka­

lian (wa jâhidû bi amwâlikum wa anfusikum)” (QS at­Taubah 

[9]:41).

eg

Tentu saja, kedua firman “sistemik” di atas, tidak berdiri 

sendiri, sebagaimana dipahami oleh penganut paham negara 

Islam ini  –yang tentunya, berhak melakukan hal itu sepe­

nuhnya. Terserah pada publik untuk mengartikan kedua “pe­

rintah sistemik” Allah  itu secara berdiri sendiri atau justru seba­

liknya. Jika cara pendekatan negara Islam lebih mengutamakan 

kesendirian penggunaan kedua “perintah sistemik” itu, maka 

timbul pertanyaan; di manakah terletak kesempurnaan Islam? 

Karenanya, kedua “perintah sistemik” ini  dalam pandang­

an penulis artikel ini haruslah dipahami bersama­sama “perin­

tah sistemik” lain. Hanya dengan cara demikianlah dapat dicapai 

pengertian yang benar­benar rasional dan utuh. Cara yang per­

tama, jelas hanya “mau menangnya sendiri”, berdasarkan emosi 

dan sama sekali tidak rasional.

“Perintah­perintah sistemik” lain yang dapat digunakan da­

lam hal ini berjumlah sangat banyak. Penulis hanya mengguna­

kan dua buah saja dalam tulisan ini. Perintah “tidak ada paksaan 

dalam beragama, karena telah jelas mana yang lurus dan mana 

Islam: Pokok dan RIncIan


g 14 h

yang palsu (lâ ikrâha fî al-dîn, qad tabayyana al-rusydu min 

al-ghayyi)” (QS al­Baqarah [2]:256). Perintah dalam bentuk 

pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan lain dalam kitab suci 

“Bagi kalian agama kalian dan bagi­ku agama­ku (lakum dînu-

kum wa liyadîn)” (QS al-Kafirun [109]:6). Jelas, kitab suci al-

Qur’ân tidak menyatakan lembaga tertentu menjadi “penjamin” 

kelebihan agama Islam atas agama lain, melainkan “diserahkan” 

kepada akal sehat manusia untuk “mencapai kebenaran”.

Dengan demikian, “kesempurnaan sistem” Islam sebagai 

agama, tidak didasarkan pada kekuatan atau wewenang lembaga 

tertentu, melainkan pada kemampuan akal manusia untuk mela­

kukan perbandingan sendiri­sendiri. Dalam pandangan penulis, 

kesadaran pluralistik seperti inilah yang harus kita pelihara dan 

bukannya lembaga tertentu seperti negara yang harus kita san­

dari. Bukankah ini sesuai dengan pernyataan Allah  –sebagai­

mana yang disebutkan di atas, tentang diutusnya Nabi kita 

Muhammad Saw, untuk membawakan persaudaraan di antara 

sesama manusia? Pengertian berangkai yang penulis ajukan ini, 

tentulah terkait sepenuhnya dengan pernyataan Allah : “Ba­

rang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, tiada diteri­

ma (amal)­nya dan ia akan termasuk di akhirat “kelak” sebagai 

orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâma dînan fa 

lan yuqbala minhu wa hua fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS 

Ali Imran [3]:85). Pernyataan ini menunjukkan hak tiap orang 

untuk merasa benar, walaupun Islam meyakini kebenarannya 

sendiri.

Prinsip ini seperti dalam pernyataan Konsili Vatikan II 

(1962­1965)1 di bawah Paus Yohannes XXIII; “Kami para Uskup 

yang berkumpul di Vatikan menghormati hak tiap orang untuk 

1 Konsili Vatikan II adalah sebuah pertemuan (konsili) besar para Kar­

dinal (pemimpin tertinggi gereja Katolik di suatu negara)) se­dunia untuk 

membahas persoalan­persolan penting dalam gereja Katolik atas undangan 

Sri Paus Yohanes Paulus XXIII di kota Vatikan 1962­1965. Kompilasi lengkap 

pembicaraan dan keputusan Konsili Vatikan II telah diterbitkan oleh Departe­

men Dokumentasi dan Penerangan KWI (Konferensi Wali Gereja) Pusat ta­

hun 1993 (edisi revisi). Ungkapan yang paling terkenal dari Konsili vatikan II 

adalah keselamatan tidak hanya ada di Gereja Katolik Roma, dan implikasinya 

harus memberikan penghormatan kepada kepercayaan dan agama lain. Dan 

statemen ini merupakan pembaharuan dari cara pandang gereja Katolik sebe­

lum Konsili Vatikan II yang memandang keselamatan hanya ada pada Gereja 

Katolik Roma.

g 15 h

mencapai kebenaran abadi, walaupun tetap meyakini hal itu ada 

dalam Gereja Katolik Roma.”  Sekarang, gereja ini  meru­

pakan lembaga yang tidak berfungsi penuh sebagai negara, wa­

laupun secara protokoler memang demikian. Ini adalah proses 

menuju perubahan signifikan dalam peran yang diambil Vati­

kan –dari sebuah negara penuh, menjadi sebuah negara­proto­

koler. Tentu saja, ini adalah sebuah proses sejarah yang sangat 

menarik, walaupun dalam perubahan ini tetap ada Bapak Suci 

Sri Paus, yang oleh kaum Katolik dianggap tidak “terbantahkan 

(infallible)”2 sebagai pemberi tafsir dan fatwa tunggal, yang tak 

dikenal oleh Islam.

eg

Dengan melihat kepada “kenyataan” ini , jelaslah 

bahwa ketiadaan negara tidak berarti kaum muslimin “harus” 

hidup secara individual (perorangan), melainkan mereka harus 

membuat komunitas masing­masing, dan merumuskan “kewa­

jiban­kewajiban kolektif agama” yang mereka anut. Dengan kata 

lain, ber amar ma’ruf nahi munkar (memerintahkan kewajiban 

agama dan mencegah larangannya) dilakukan secara persuasif 

oleh tiap warga masyarakat beragama Islam, yang merasa memi­

liki kemampuan. 

Dengan demikian, terjadi keseimbangan antara hak­hak 

dan kewajiban­kewajiban perorangan (individual) dan secara 

bersama (kolektif). Dalam kehidupan masyarakat Islam “kenyata­

an” seperti ini harus terus­menerus kita sadari dalam sebuah ke­

hidupan bersama. Dengan cara ini, kita akan dapat memahami 

ucapan Umar bin Khattab saat  menjabat khalifah bertujuan 

sebagai jaring pengaman sosial “Tiada Islam tanpa komunitas, 

tiada komunitas tanpa kepemimpinan dan tiada kepemimpinan 

tanpa ketaatan (La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi 

imarah wala imarata illa bi tha’ah).”

Di sinilah, letak kegunaan membagi perspektif pernyataan 

dan perintah agama, yang disampaikan kepada kita melalui kitab 

suci al-Qur’ân maupun ucapan Nabi Muhammad Saw, dalam ar-

2 Dalam keyakinan teologi Islam Syi’ah juga dikenal adanya kemak-

suman imam dua belas sebagai orang yang paling berhak meneruskan kepe­

mimpinan Rasulullah SAW.

Islam: Pokok dan RIncIan


g 16 h

tian perorangan dan bermasyarakat (individual ataupun kolek­

tif). Perkembangan sejarah telah menunjukkan tidak ada sistem 

tunggal maupun menetap dalam Islam. Umpamanya saja, tidak 

ada cara untuk menetapkan pergantian pemimpin. Dari Abu 

Bakar ke Umar bin Khattab ke Utsman bin Affan ke Ali bin Abi 

Thalib ke para Raja setelah mereka, kemudian para Presiden 

hingga para Amir di masa kini, semuanya menjadi saksi bagi ke­

langkaaan adanya suksesi dalam Islam, walaupun harus ada suk­

sesi sebagai tuntutan sejarah, tanpa disebut caranya. 

Begitu juga, ukuran “masyarakat Islam” tidak pernah sama. 

Nabi Muhammad Saw dan Abu Bakar memimpin Madinah se­

bagai komunitas, Umar memimpin imperium Islam dari Persia 

di timur hingga Gibraltar di barat, negara­bangsa (nation-state) 

di bawah imperialisme hingga kini, dan negara kota (city-state) 

di kawasan­kawasan teluk saat ini, semuanya memiliki legitimi­

tas yang sama dalam pandangan Islam. 

Tak adanya kesamaan dalam kedua hal di atas, yang juga di­

ikuti oleh keragaman yang sangat tinggi dalam kalangan masya­

rakat­masyarakat Islam, membuat sebuah konsep negara Islam 

tidak dapat dibangun. Pilihannya, kita harus membangun ma­

syarakat­masyarakat Islam –yang beraneka ragam. Ini berarti, 

perlunya “kajian kawasan” (area studies) –sebagaimana pernah 

penulis kemukakan kepada Universitas Perserikatan Bangsa­

Bangsa (PBB) (United Nation University) di Tokyo dalam ta­

hun­tahun 1980­an, di bawah Rektor Dr. Soedjatmoko.3 Mudah 

mengatakannya, sulit membuat pusat­pusat kajian seperti itu, 

bukan? h

3 Dr. Soedjatmoko adalah salah seorang intelektual Indonesia yang 

mendunia. Terkenal dengan gagasan dimensi manusia dalam pembangunan 

di masa Orde Baru. Karena gagasannya itu dia diangkat menjadi Rektor Uni­

versitas Persarikatan Bangsa­Bangsa (PBB) pada 1980 yang bermarkas di Tok­

yo, Jepang. Soedjatmoko meninggal pada 1989 dalam usia 67 tahun.

g 17 h

Islam dan deskripsinya

Djamil Suherman1 menulis beberapa cerita pendek ten­

tang dunia pesantren dengan tokoh utamanya Ummi 

Kulsum. Dijelaskannya, bagaimana di pesantren orang 

berbudaya tersendiri yang lepas dari budaya umum, yang ada di 

pedesaan kita. Termasuk di dalamnya penggambaran para san­

tri yang mencintai buah hati mereka, tanpa boleh berhubungan 

sama sekali. Penggambaran itu oleh para kritikus sastra, seperti 

H.B. Jassin,2 sebagai deskripsi terbaik tentang dunia pesantren. 

Dengan demikian, apa yang dituliskan Djamil Suherman menen­

tukan pandangan kita tentang para penghuni pondok pesantren 

dan jaringan­jaringan mereka, dengan sistem nilai yang tak ka­

lah dahsyatnya dari sistem nilai yang ada dalam cerita­cerita si­

lat/kungfu karya Chin Yung3, yang diterjemahkan dalam bahasa 

1 Djamil Suherman, seniman dan penulis puisi angkatan 1950­an yang 

terkenal dan menaruh perhatian besar terhadap pesantren serta terhadap per­

juangan dan kepahlawanan kaum muda. Beberapa karyanya dibukukan dalam 

bentuk kumpulan puisi dan cerita­cerita pendek.

2 Hans Bague (HB) Jassin (1917­2000) itulah nama aslinya. Sastrawan 

dan kritikus sastra yang lebih dikenal Paus Sastrawan dan Wali Sastra Indo­

nesia ini adalah dokumenter sastra terbaik yang dimiliki Indonesia hingga 

sekarang. Lembaganya, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin di Taman Is­

mail Marzuki menyimpan ribuan karya­karya sastra Indonesia. Gigihnya mem­

bela kebebasan berkarya membuat dia pernah divonis penjara karena menolak 

mengungkap penulis cerpen “Panji Kusmin” yang dianggap menghina agama 

sehingga diseret ke pengadilan dan sampai sekarang belum terungkap siapa 

penulis cerpen ini . 

3 Nama asli novelis silat kelahiran Haining, China 6 Pebruari 1924 ini 

adalah Zha Liangyong. Beberapa karyanya yang sangat populer di Indonesia 

adalah trilogi Sia Tiaw Enghiong, Sin Tiaw Hiaplu, dan To Liong To.


g 18 h

kita secara terpisah oleh O.K.T stsu Boe Beng Tjoe4, kedua ba­

hasa itu mencapai dua puluh lima judul (per judul 20 jilid).

Sebaliknya “Robohnya Surau Kami”, karya A.A. Navis5, 

menggambarkan realita kegundahan hati para pengikut tradi­

sionalisme agama di Ranah Minang, karena tidak menemukan 

pemecahan rasional atas krisis multi­dimensional yang dihadapi 

lembaga pondok pesantren di kawasan ini . Nada lebih 

mementingkan pembaharuan dalam karya A.A. Navis ini tam­

pak jelas, dan sesuai dengan kenyataan adanya krisis keagama­

an yang mendalam di Sumatera Barat. Deskripsi situasi itu oleh 

A.A. Navis, jelas menunjukkan dinamika lain dari dunianya 

Djamil Suherman yang terasa sangat romantis. Perbandingan ke­

dua karya itu saja, sudah menunjukkan pentingnya arti sebuah 

deskripsi dalam memaparkan situasi kehidupan yang tengah 

digumuli.

Maka, jelaslah dari perbandingan di atas, bahwa deskripsi 

kehidupan beragama di sebuah masyarakat pada suatu waktu, 

sangatlah penting artinya bagi para pengamat. Romantisme pon­

dok pesantren, dan kemurungan para pencari jawaban atas krisis 

yang berlarut­larut, menunjukkan dengan jelas besarnya perbe­

daan dalam kehidupan beragama yang dijalani oleh dua buah 

masyarakat yang berbeda. Menjadi kewajiban kitalah untuk sang­

gup mencari benang merah yang menghubungkan keduanya.

Dalam film “The Singer, Not The Song”, dari tahun 50 

atau 60­an, John Mills6 yang menjadi Pendeta Keogh berusaha 

4 Oey Kim Tiang atau OKT alias Boe Beng Tjoe alias Aulia (1903­1995). 

Pria kelahiran Tangerang ini sejak sekitar tahun 1950­an telah menerjemahkan 

lebih dari 100 judul cerita silat ke dalam bahasa Indonesia.

5 Ali Akbar Navis, demikian nama lengkapnya, adalah salah satu sas­

trawan besar Indonesia. Mulai memperkenalkan karya­karya fiksinya kepada 

publik pada awal tahun 1950­an dan langsung terkenal karena ciri khas kri­

tik sosialnya yang tajam dan terkenal satiris. Dilahirkan di Padangpanjang, 

Sumatera Barat, tahun 1924 Navis sampai sekarang memilih tetap tinggal di 

daerahnya sambil mengajar dan terus menulis. Karya­karyanya terus mengalir 

di media massa lokal maupun nasional. Novelnya yang paling terkenal juga sa­

ngat kritis terhadap keadaan keberagamaan yang terbit sekitar 1956 berjudul 

Robohnya Surau Kami. 

6 Sir John Mills (1908 ­ 2005), adalah seorang sineas terkenal asal Ing­

gris. Dia mengabdikan hidupnya untuk film selama 70 tahun. Pernah mengem­

bara di Hollywood, AS, namun  kemudian kembali ke Inggris untuk menjadi 

penulis skenario, aktor, dan mempromosikan anak­anaknya menjadi aktor 

dalam berbagai film. Dua anak perempuannya menjadi aktris terkenal di Ing­

g 19 h

melakukan konversi kepada agama Kristen atas diri Dirk Bogar­

de7 yang bermain sebagai Ancleto, si bandit yang piawai. Akhir­

nya, saat  Bogarde dikepung oleh aparat negara dan tertembak, 

di saat itulah si pendeta yang ikut ditembus peluru merangkak 

mendekatinya. Di saat menjelang kematian mereka, Bogarde 

yang telah memeluk agama Kristen, melihat Pendeta Mills yang 

mengorbankan jiwanya untuk mengkonversikannya. Ia menjadi 

Kristen sungguh­sungguh karena pengorbanan Pendeta Mills 

dan bukan karena "kebenaran" yang dibawakan dan dikhotbah­

kan pendeta ini .

Jelas dari gambaran di atas, bagi seorang Bogarde yang 

sudah muak dengan “kebenaran ajaran agama”, yang lebih ber­

pengaruh atas perilakunya adalah pengorbanan dari “pembawa 

kebenaran” itu sendiri. Dengan kata lain, setiap orang melihat 

segala sesuatu dari sudut pandangan tertentu yang terkadang 

kita anggap tidak penting. Permasalahannya bagi kita adalah pi­

lihan­pilihan pandangan itu sendiri, yang sangat ditentukan oleh 

deskripsi yang dikemukakan. Jika ini kita abaikan, berarti kita 

melihat agama sebagai sesuatu yang tidak hidup, melainkan kita 

hanya melihat sisi universal dan ideal dari agama ini .

Dalam kenyataan sehari­hari kita melihat pentingnya arti 

deskripsi yang diberikan atas sebuah “kebenaran agama”.  Aki­

bat dari melupakan hal ini, kita lalu melakukan idealisasi univer­

sal atas ajaran agama, bukannya melihat agama sebagai sebuah 

proses yang dijalani secara berbeda­beda oleh orang­orang yang 

berlainan, dan dengan sendirinya membawa pemahaman yang 

tidak sama pula. Pendekatan idealisasi universal di atas memang 

sangat penting, namun  juga sama pentingnya untuk melihat bagai­

mana pengertian orang tentang sebuah agama dibangun dari ke­

nyataan­kenyataaan empirik dalam kehidupan kita.

Kedua pendapat di atas, yaitu pendekatan empirik di satu 

gris. Pernah mendapatkan Oscar dalam salah satu filmnya. Film dengan judul 

The Singer Not the Song adalah salah satu karya diujung ketenarannya tahun 

1961. Setelah itu memang masih memproduksi berbagai film namun  tidak lagi 

setenar sebelumnya.

7 Sir Dirk Bogarde (1921­1999). Aktor kelahiran Inggris keturunan Be­

landa ini bernama asli Derek Van den Bogaerde. Akhir tahun 1930 Dirk ber­

gabung dalam Kesatuan Intelejen Foto Udara Angkatan Darat Inggris. Dia per­

nah ditugaskan di Jerman, India, Malaysia dan Jawa. Dirk menulis ‘A Gentle 

Occupation’,  buku semi biografi–fiksi yang menceritakan pengalamannya ber­

tugas di Jawa.

Islam dan dEskRIPsInya


g 20 h

pihak dan pendekatan idealisme­universal di pihak lain, penting 

untuk sama­sama kita hayati dan kita pikirkan lebih jauh. Kepin­

cangan untuk melihat sebuah agama dari pendekatan formal dan 

universal, akan menghasilkan sudut pandang ideal tanpa mema­

hami hakikat agama itu sendiri. Sebaliknya, jika hanya menekan­

kan diri pada aspek empirik belaka sama saja artinya dengan me­

misahkan kehidupan dunia dari kehidupan akhirat.

Dewasa ini, kehidupan dua organisasi keagamaan Is­

lam terbesar di negeri kita, yaitu NU dan Muhammadiyah se­

olah terpaku dalam pandangan universal yang idealistik, yaitu 

bagaimana sumber­sumber tekstual (adillah naqliyyah) mem­

bentuk hukum agama/fiqh secara ideal; dan dari situ dibangun 

sebuah kerangka universal tentang “kehidupan menurut ajaran 

Islam”. Terkadang sudut pandang ini tidak bersinggungan de­

ngan kepentingan sebenarnya di masyarakat. Umpamanya saja, 

mengenai perjudian dan hiburan malam. Yang lebih dipenting­

kan adalah melarang keduanya, tanpa menghilangkan sebab­se­

bab utama yang mendukungnya. Bagaimana judi akan terbasmi 

kalau ketidakpastian hukum masih merajalela? Bukankah yang 

kaya dan berpunya akan selalu memenangkan perkara hukum? 

Dengan ketidakpastian itu, herankah kita kalau ada orang ber­

judi untuk mencari kekayaan dengan cepat?

Nah, di sinilah terletak arti penting deskripsi tentang Is­

lam. Dari manakah ia harus dilihat? Dari kenyataan hidup orang 

Islam (berarti deskripsi empirik), ataukah dari sudut ajaran for­

mal (berarti pendekatan ideal­formalistik) yang bersifat univer­

sal? Tergantung dari kemampuan kita menjawab hal ini dengan 

baik. Dari situ "nasib" sejumlah kajian Islam di berbagai lembaga 

penelitian dewasa ini diuji. h

g 21 h

Dalam sejarah umat manusia, selalu terdapat kesenjang­

an antara teori dan praktek. Terkadang kesenjangan itu 

sangatlah besar, dan kadang kecil. Apa yang oleh pa­

ham komunisme dirumuskan dengan kata “rakyat”, dalam teo­

ri dimaksudkan untuk membela kepentingan orang kecil; tapi 

dalam praktek justru yang banyak dibela adalah kepentingan 

kaum aparatchik. Itupun berlaku dalam orientasi paham terse­

but, yang lebih banyak membela kepentingan penguasa daripada 

kepentingan rakyat kebanyakan. Karena itu, kita harus berhati­

hati dalam merumuskan orientasi paham ke­Islaman, agar tidak 

mengalami nasib seperti paham komunisme.

Orientasi paham ke­Islaman sebenarnya adalah kepenting­

an orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Lihat saja 

kata “maslahah ‘ammah”,1 yang berarti kesejahteraan umum. 

Inilah seharusnya yang menjadi objek dari segala macam tindak­

an yang diambil pemerintah. Kata kesejahteraan umum dan/atau 

kemaslahatan umum itu tampak nyata dalam keseluruhan umat 

Islam. Yang langsung tampak, umpamanya, adalah kata kunci da­

lam adagium fiqh: “tindakan/kebijakan seorang pemimpin atas 

rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuh­

1 Teori tentang maslahah telah dirangkum dan dibahas secara kompre­

hensif oleh Izzuddin Ibn Abdissalam dalam karyanya Qawa’idul Ahkam Fie 

Masalih Al-Anam.

Islam dan Formalisme ajarannya


g 22 h

an/kesejahteraan mereka (tasharruf al-imâm ‘ala al-ra’iyyah 

manûthun bi al-mashlahah).”2

Adapun yang tidak langsung mengenai kebuAllah  orang 

banyak dapat dilihat dalam adagium lain: “menghindarkan keru­

sakan/kerugian diutamakan atas upaya membawakan keuntung­

an/kebaikan (dar’u al-mafâsid muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâ-

lih).”3 Artinya, menghindari hal­hal yang merusak umat lebih 

diutamakan atas upaya membawakan kebaikan bagi mereka. De­

ngan demikian, menghindari kerusakan dianggap lebih berarti 

daripada mendatangkan kebaikan. Adagium inilah yang diguna­

kan Dr. Amien Rais untuk meyakinkan penulis untuk menerima 

pencalonan sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga tahun lalu. 

Karena Amien yakin bangsa ini waktu itu belum dapat meneri­

ma seorang wanita (Megawati)4 sebagai Presiden negara, hingga 

dikhawatirkan akan ada perang saudara jika hal itu terjadi.

eg

Nah, pengaturan melalui kesejahteraan/keselamatan/ke­

uAllah  sesuatu, secara langsung atau tidak langsung, menjadi 

pegangan gerakan­gerakan Islam di negeri kita semenjak dahu­

lu. Contoh terbaik dalam hal ini adalah gugurnya Piagam Jakarta 

(The Jakarta Charter) dari Undang­Undang Dasar (UUD) kita. 

Para pemimpin berbagai gerakan Islam pada saat itu, tanggal 18 

Agustus 1945, setuju membuang Piagam Jakarta ini  dari 

UUD ‘45, agar bangsa kita yang heterogen dalam asal­usul mere­

ka itu dapat bergabung ke dalam pangkuan Republik Indonesia. 

2 Kaidah ini sangat populer dalam “turas qadim/literatur klasik” 

pesantren mulai dari Al-Asybah wa an-Naza’ir karya Jalaluddin As-Suyuti dan 

juga judul kitab yang sama karya Ibnu Nujaim al­Hanafi sampai dengan lite­

ratur karya Ulama kelahiran Padang Indonesia yang sangat masyhur di Saudi 

Arabia, Syeikh Yasin al­Fadany Al­Makky yang berjudul “Al-Fawa’id al-Janiy-

yah ala Syarh Al-Mawahib Al-Saniyyah Ala al-Fara’id al-Bahiyyah” 

3 Adagium ini merupakan salah satu dari lima adagium pokok dalam 

diskursus kaidah fiqih yaitu al-umur bimaqashidiha, al-yaqin la yuzalu bi as-

syak, al-dlarar yuzalu, al-masyaqqat tajlibu at-taisir dan dar’u al-mafâsid 

muqaddam ‘alâ jalbi al-mashâlih

4 Megawati Soekarno Putri, begitu nama lengkapnya, adalah putri per­

tama presiden Republik Indoensia Soekarno yang kemudian menjadi presiden 

ke­5 RI.

g 23 h

Pendapat yang dipegang oleh Ki Bagus Hadikusumo dan KHA 

Kahar Mudzakir dari Muhammadiyah, Abi Kusno Cokrosuyoso 

dari Sarekat Islam, A. Rahman Baswedan dari Partai Arab Indo­

nesia (PAI), A. Subardjo dari Masyumi, H. Agus Salim dan A. 

Wahid Hasjim dari Nahdlatul Ulama (NU),5 itu jelas menonjol­

kan semangat persatuan Indonesia pada tingkat paling tinggi. 

Bahwa para ulama fiqh (Hukum Islam) tidak menolak tindakan 

itu, menunjukkan dengan jelas bahwa keuAllah  dan kesejah­

teraan umat dinilai begitu tinggi oleh berbagai gerakan Islam.

Dengan demikian, tertolaklah anggapan bahwa Islam ha­

nya bersandar pada formalitas belaka. Secara kultural, masuknya 

beberapa unsur budaya lokal ke dalam budaya Islam, atau seba­

liknya, merupakan bukti kuat akan hal ini. Tari Seudati yang di­

gambarkan dengan indahnya oleh James Siegel6 dalam The Rope 

of God, sebagai kesenian daerah Aceh yang bernapaskan praktek­

praktek kaum sufi itu. Demikian pula, diciptakannya tembang 

Ilir-ilir oleh Sunan Ampel, menunjukkan bagaimana terjadi sa­

ling pengaruh­mempengaruhi yang sangat halus antara budaya 

daerah kita dan budaya agama yang dibawakan oleh Islam.

Demikian pula manifestasi budaya santri dalam tradisi 

Tabot8 di Sumatera Barat dan Bengkulu. Dengan mudahnya 

wahana ekspresi keagamaan kaum Syi’ah itu menjadi budaya 

daerah setempat di hadapan tindakan­tindakan “budaya Sunni” 

5 Mereka semua adalah anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia) yang mewakili berbagai kelompok masyarakat dan berbagai kelom­

pok Islam yang bertugas merumuskan UUD 1945 seperti yang kita kenal seka­

rang. Kini UUD 1945 itu telah diamandemen beberapa pasalnya setelah tum­

bangnya Orde Baru, kecuali Preambule atau Pembukaan tidak diperkenankan 

untuk diubah. 

6 James Siegel adalah Profesor Antropologi dan Kajian Asia di  Uni­

versitas Cornell Amerika Serikat. ‘The Rope of God’ bukunya yang mengulas 

tentang sejarah Aceh diterbitkan pertama kali tahun 1969. Pada tahun 2000, 

buku ini  diperbaharui dengan memasukkan dua bab sejarah kontemporer 

Aceh.   

7 Salah seorang wali dari Wali Songo yaitu Sunan Ampel (versi lain me­

nyebut Sunan Kalijaga) menciptakan tembang ini sebagai sarana syi’ar Islam. 

Tembang berbahasa Jawa ini juga diyakini sarat dengan nilai tasawuf.  

8 Tradisi Tabot diadaptasi dari upacara Assyura, hari berkabung bagi 

kaum muslim Syi’ah atas gugurnya Husain bin ‘Alî bin Abi Thalib, cucu Rasu­

lullah Saw dari puteri Beliau Fâthimah al-Zahra. Husain gugur dalam perang 

tak seimbang antara 40 pengikut beliau dengan ribuan pasukan tentara ‘Ubai­

dillah bin Zaid di Padang Karbala Iraq, pada 10 Muharam 61 H (681 M).

Islam dan FoRmalIsmE ajaRannya


g 24 h

dalam beberapa abad terakhir. Penggunaan “budaya adat” seba­

gai wahana ekspresi dari yang sebelumnya dikenal sebagai bu­

daya agama, menunjukkan betapa besar dinamika budaya yang 

terjadi.

eg

Nah, hal ini yang menjadi tantangan kita dewasa ini. Ayat 

kitab suci al­Qur'an “Dan dalam diri utusan Allah  benar­benar 

telah ada contoh yang sempurna bagi orang yang mengharapkan 

kerelaan Allah, kebahagiaan akhirat dan senantiasa ingat akan 

tanda­tanda kebesaran Allah (laqad kâna lakum fî rasûlillâhi 

uswatun hasanatun li man kâna yarju Allâha wa al-yauma 

al âkhira wa dzakara Allâha katsîra)” (QS al-Ahzâb [33]:21). 

Dalam  kasu makro ayat itu dapat juga digunakan sebagai peng­

ingat bagi kita akan pentingnya melestarikan lingkungan alam.

Hal­hal seperti ini seharusnya menjadi tekanan bagi gerak­

an­gerakan Islam dalam membangun bangsa. Bukan malah me­

mentingkan formalisasi ajaran­ajaran agama ini  dalam 

kehidupan bernegara, yang tidak menjadi kebuAllah  utama 

masyarakat. Jika penampilan dari agama Islam terwujud tanpa 

formalisasi dalam kehidupan bernegara, maka agama ini  

menjadi sumber inspirasi bagi gerakan­gerakan Islam dalam ke­

hidupan bernegara, seperti di negara ini.

Dasar perjuangan seperti inilah yang sebenarnya meng­

ilhami juga lahirnya partai­partai CDU (Christian Democratic 

Union, Uni Demokratik Kristen)9, di Jerman dan sejumlah nega­

ra lain. Inti dari pandangan seperti itu, terletak pada kesadaran 

bahwa agama harus lebih berfungsi nyata dalam kehidupan, dari­

pada membuat dirinya menjadi wahana formalisasi agama yang 

bersangkutan dalam kehidupan bernegara. Esensi inilah yang 

telah dijalankan dengan sangat baik oleh berbagai gerakan Islam 

di negara ini semenjak beberapa puluh tahun yang lalu. h

9 Dalam anggaran dasarnya partai ini mengklaim sebagai partai yang 

diinspirasi oleh nilai­nilai etika sosial gereja kekristenan dan nilai­nilai tradisi 

liberal pencerahan Eropa. Dilahirkan pada tahun 1945 CDU berangkat dari 

partai lokal sebelum partai yang bersifat nasional terbentuk. 

g 25 h

Islam: 

Pribadi dan masyarakat

Sejarah perkembangan Islam di manapun juga, senantiasa 

memperlihatkan jalinan antara dua hal, yaitu sistem indi­

vidu (perorangan) dan sisi kemasyarakatan (sosial). Kedua 

hal itu harus dimengerti benar, kalau kita menginginkan penge­

tahuan mendalam akan agama ini . Kalau hal ini telah di­

laksanakan, maka akan kita lihat beberapa kemungkinan untuk 

pengembangan lebih jauh. Tentu saja ada yang menyanggah 

pendirian ini , dengan dalih Islam telah sempurna, dan ti­

dak memerlukan pengembangan. Pendapat ini  perlu diuji 

kebenarannya, agar kita memperoleh gambaran lengkap tentang 

apa yang seyogyanya dilakukan atau tidak dilakukan. Dengan 

kata lain, sebenarnya kita saat ini memerlukan skala prioritas 

yang lebih jelas, dalam menatap masa depan.

Memang kitab suci al-Qurân tidak pernah secara jelas 

membagi kedua masalah itu (individu dan sosial) dalam kan­

dungannya. Seluruhnya bersandar pada kemampuan kita me­

mahami kitab suci ini , mana yang merupakan perintah 

(khittah) untuk perorangan, dan mana yang untuk masyarakat. 

Seluruhnya bergantung atas penafsiran kita. Umpamanya saja 

firman Allah Swt yang menyatakan: “Dan Ku-jadikan kalian ber-

bangsa­bangsa dan bersuku­suku bangsa agar saling mengenal 

(wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâila lita’ârafû)” (QS al-Hujurât 

[49]:13). Jelas di situ, yang dimaksudkan umat manusia secara 

keseluruhan, dan yang dikehendaki adalah kenyataan yang tidak 


g 26 h

tertulis: persaudaraan antara sesama manusia.

Dalam kitab suci al-Qurân terdapat sebuah ayat yang sa-

ngat penting yang berbunyi: “kawinilah apa yang baik bagi ka­

lian, daripada wanita­wanita, dua, tiga atau empat orang wanita 

(namun ) jika kalian takut tidak dapat (bersikap) adil, maka hanya 

seorang (istri) saja (fankihû mâ thâba lakum min an-nisa matsnâ 

wa tsulâtsâ wa rubâ’a wa in khiftum an lâ ta’dilû fa wâhidah)” 

(QS al­Nisa [4]:3).1 Jelas ini merupakan perkenan, bukan perin­

tah. Karena itu, ia bersifat perorangan karena tidak dapat dilaku­

kan generalisasi, itupun harus dirangkaikan dengan kenyataan, 

siapakah yang menentukan poligami itu adil? Kalau pihak lelaki, 

berapa orang perempuan pun akan tetap dirasa "adil". Sedan­

gkan bagi perempuan, masalah keadilan itu bersangkut paut 

dengan rasa keadilan secara "normal", tentu lebih banyak kaum 

perempuan yang merasakan poligami itu tidak adil.

eg

Dengan kemampuan memilih dan membedakan mana 

yang bersifat individual, dari hal yang bersifat kemasyarakat­

an (kolektif) jelas peranan menggunakan akal dan pikiran kita 

menjadi sangat besar. Dalam khasanah pemikiran ini, salah 

satu adagium “harta warisan“ yang dipakai NU sebagai patokan 

adalah: “memelihara apa yang baik dari masa lampau, dan meng­

gunakan hanya yang lebih baik yang ada dalam hal yang baru 

(al-muhâfadzatu’ala al-qadîmi al sâlih wa al akhdzu bi al jadîd 

al-ashlah).”2

1 Ayat ini sering dimunculkan “terpotong” sehingga difahami secara par­

sial dengan tanpa melibatkan pesan keAllah an sebelum ayat ini. Jika difahami 

secara lengkap dengan melibatkan setting yang ada di sekitarnya (ma haula 

an-nushus/ around the texts), ayat ini sebenarnya merupakan penghormatan 

yang tinggi terhadap martabat perempuan. Sebelum ayat ini diturunkan,  lelaki 

Arab memiliki budaya mengawini wanita dalam jumlah yang tak terbatas. Ke­

mudian dirubah oleh ayat Allah itu dengan grafik menurun yaitu dari seratus, 

lima puluh, lima belas, sepuluh hingga menjadi empat istri. Belum lagi jika di­

gelar diskursus tentang “in” (jika) dalam ayat ini yang sangat berbeda dengan 

frame “idza” dimana “in” akan menunjuk sesuatu yang sulit bahkan mustahil 

terjadi.

2 Jargon ini tidak diketahui secara pasti siapa “al-muassis al-awwal” 

­nya, karena dalam tradisi keilmuan klasik tidak pernah muncul jargon indah 

ini. Sebenarnya adagium ini akan lebih indah lagi jika ada penambahan “al-ijad 

g 27 h

Terkadang, sebuah kewajiban agama memiliki dua sisi itu, 

yaitu sisi individual dan sisi kolektif sekaligus, yang menjadi­

kan kita sering lupa bahwa perintah agama dapat saja memiliki 

kedua dimensi ini . Umpamanya saja, kewajiban berpuasa, 

yang semula diperintahkan sebagai sesuatu yang bersifat indi­

vidual, perintah Allah Swt: “Diperintahkan kepada kalian untuk 

berpuasa, seperti juga diwajibkan atas kaum­kaum sebelum ka­

lian (kutiba ’alaikum al-shiyâm kamâ kutiba ’ala ladzîna min 

qablikum)” (QS al­Baqarah [2]:183). Perintah yang sepintas 

lalu bersifat individual ini pada akhirnya berlaku bagi seluruh 

kaum muslimin, sebagai kewajiban semua orang Islam. Dengan 

demikian, kita harus mampu mencari yang kolektif dari sumber­

sumber tertulis (dalil naqli).

Dalam perintah Nabi yang tertulis saja, yang membawakan 

sebuah kecenderungan baru, terkadang kita sulit untuk mem­

bedakan atau menetapkan, mana yang berwatak kolektif dan 

mana yang individual. Sebagai contoh, dapat dikemukakan ada­

nya adagium: “Carilah ilmu dari buaian hingga ke liang kubur 

(uthlub al-ilma min al-mahdi ila al-lahdi).” Memang hal itu ada­

lah kerja terpuji, namun  tidak jelas dalam ungkapan ini, apakah 

kewajiban yang timbul itu berlaku untuk perorangan seorang 

muslim ataukah bagi sekelompok kolektif kaum muslimin? Jika 

diartikan sebagai kewajiban kolektif, bagaimanakah halnya de­

ngan mereka yang tidak bersekolah? Benarkah mereka termasuk 

orang­orang bersalah? 

Kejelasannya tidak dapat dicapai dengan ungkapan harfi-

yah (literalis), karena tidak akan tercapai kesepakatan kaum 

muslimin tentang “kewajiban” bersekolah. Tapi apakah tanpa 

kesepakatan itu, lalu orang tidak berhak mendapat pendidikan? 

Dalam keadaan tiadanya kesepakatan tentang suatu hal, maka 

seseorang dapat mengikuti pendapat wajib bersekolah, sama hal­

nya   seperti orang yang mengikuti pendapat tidak wajib berseko­

lah. Apakah sesuatu itu merupakan kewajiban universal ataukah 

kewajiban fakultatif? Dapat dikemukakan sebagai contoh menge­

nai hal ini, yaitu adanya ungkapan populer “mencintai tanah air 

bil jadid al-ashlah/ menciptakan sesuatu yang baru dan tidak hanya sebagai 

“konsumen” barang baru. Sebenarnya kebanyakan komunitas muslim masih 

terhenti pada “al-muhafadlatu ala al-qadim al-salih/ menjaga warisan­waris­

an yang lama” dengan bernaung dibawah label “as-salaf as-salih” tanpa berani 

melangkah progresif dalam memahami peta nazariyatul makrifah/epistemology. 

Islam: PRIbadI dan masyaRakat


g 28 h

adalah sebagian (pertanda) dari keimanan (hubbu al-wathan 

min al-îmân).”3 Tidak jelas apa wujud “kewajiban” mencintai 

tanah air yang menjadi tanda keimanan seseorang itu? Apakah 

ini berarti kewajiban memasuki milisi untuk mempertahankan 

tanah air, atau bukan? Untuk itu, diperlukan penjelasan dengan 

menggunakan akal, sehingga sumber tertulis (dalil naqli) mau­

pun keterangan rasional (dalil aqli) dapat digunakan bersa­

maan.

Terkadang, sebuah ucapan yang secara harfiyah tidak me-

nunjukan suatu arti khusus, dapat saja secara rasional diberi arti 

sendiri oleh kaum muslimin. Contohnya, adalah ucapan Nabi 

Muhammad Saw: “Tuntutlah ilmu pengetahuan hingga ke (ta­

nah) Tiongkok (uthlub al-ilma walau bi al-shîn).”4 Ungkapan ter­

sebut hanya menunjuk kepada perintah menuntut pengetahuan 

hingga ke tanah Cina, namun para ahli hadis memberikan arti 

lain lagi. Menurut mereka, yang dimaksudkan oleh ungkapan 

Nabi Muhammad Saw ini  jelas­jelas menunjukan, kewajib­

an mempelajari ilmu pengetahuan non­agama juga. Bukankah di 

tanah Tiongkok waktu itu belum ada masyarakat muslim sama 

sekali? Bukankah ini secara teoritik, pemberian kedudukan yang 

sama di mata agama, antara pengetahuan agama (Islamic stu-

dies) dan pengetahuan non­agama? Perumusan sikap oleh para 

ahli agama Islam ini , yaitu kewajiban menuntut disiplin 

ilmu non­agama, memberikan kedudukan yang sama diantara 

keduanya. 

Di lihat dari berbagai pengertian, seperti diterangkan di 

atas, jelaslah bahwa ribuan sumber tertulis (dalil naqli), baik 

berupa ayat­ayat kitab suci al­Quran maupun ucapan Nabi Mu­

hammad Saw, akan memiliki peluang­peluang yang sama bagi 

pendapat­pendapat yang saling berbeda, antara universalitas se­

3 Statemen ini sering dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah 

pesan kenabian (Hadis), padahal berdasarkan penelitian hadis tidak pernah 

ada sumber hadis­hadis yang muktabar baik al-kutub al-tis’ah (Kitab hadis 

sembilan: Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmizi, Abu Dawud, Ibnu Majah, Musnad 

Ahmad, Muwatta’ dan Sunan Ad-Darimy) atau pun di luar kitab-kitab ini  

yang melansir pesan kenabian ini. Menganggap statemen ini sebagai sebuah 

hadis merupakan sebuah kesalahan metodologis yang tidak bisa dibenarkan 

oleh rambu­rambu ulumul hadis.

4 Hadis dlaif ini diriwayatkan oleh Al­Uqaili dalam Al-Dlu’afa, Baihaqi 

dalam Sya’bu al-Iman dan Ibnu ‘Ady dalam Al-Kami. Lihat Jalaludin Suyuti, 

Al-Jami’ Al-Saghir, I:44.

g 29 h

buah pandangan atau partikularitasnya di antara kaum muslimin 

sendiri. Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa per­

bedaan pendapat justru sangat dihargai oleh Islam, karena yang 

tidak diperbolehkan bukannya perbedaan pandangan, melain­

kan pertentangan dan perpecahan. Kitab suci kita menyatakan: 

“Berpeganglah kalian kepada tali Allah secara menyeluruh, dan 

janganlah terpecah­belah/saling bertentangan (wa’ tashimû bi 

habli Allâh jamî’an walâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). 

Ini menunjukkan lebih jelas, bahwa perbedaan pendapat 

itu penting, namun  pertentangan dan keterpecah­belahan adalah 

sebuah malapetaka. Dengan demikian, nampak bahwa perbe­

daan, yang menjadi inti sikap dan pandangan perorangan harus 

dibedakan dari pertentangan dan keterpecah­belahan dari se­

buah totalitas masyarakat. Mudah untuk mengikuti ayat kitab 

suci ini , bukan? h

Islam: PRIbadI dan masyaRakat

g 30 h

Charles Torrey menyatakan dalam disertasinya1, kitab suci 

al-Qurân sangat menarik bila dibandingkan dengan kitab 

suci agama lain. Kenapa ia menyatakan demikian? Karena, 

seperti dikatakannya, kitab suci ini  menggunakan peristilah­

an profesional untuk menyatakan hal­hal yang paling dalam dari 

lubuk hati manusia. Dengan demikian, al-Qurân memberikan 

penghormatan yang sangat tinggi kepada profesi yang kita anut. 

“Barang siapa mengikuti selain Islam sebagai agama maka amal 

perbuatannya tidak akan diterima (menurut Islam) dan di akhirat 

kelak ia akan merugi (wa man yabtaghi ghaira al-Islâmi dînan 

falan yuqbala minhu wahuwa fî al-âkhirati min al-khâsirîn)” 

(QS ali­Imran [3]: 85). Bukankah istilah merugi merupakan isti­

lah profesional dalam dunia perdagangan. Walaupun dalam ayat 

ini, kata merugi dimaskudkan untuk menunjuk hal yang paling 

dalam di hati manusia, yaitu tidak memperoleh pahala?

Istilah­istilah lain dari dunia profesi lain juga dipakai 

dalam pengertian yang sama oleh kitab suci al-Qurân. "Barang 

siapa memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang 

baik, maka ia akan melipat­gandakan imbalannya (man dzal-

ladzi yuqridhullâh qardhan hasanan fayudhâ’ifahu lahu)” (QS 

al­Baqarah (2): 245). Kata pinjaman di sini, jelas menunjuk ke­

1 Disertasi ini  berjudul The Commercial –Theological Terms in the 

Koran terbit di Lieden 1892.

Islam: 

sebuah ajaran kemasyarakatan

g 31 h

pada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit se­

perti di bumi. 

saat  Allah Swt berfirman: “Barang siapa menginginkan 

panenan di akhirat kelak, akan Ku­tambahi panenannya (man 

kâna yurîdu harts al-âkhirati nazid lahu fi hartsihi)” (QS al­Syu­

ra [42]:20). Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akhi­

rat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilah­istilah 

perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan 

memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghar­

gaan yang sangat tinggi atas profesi­profesi manusia.

Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan: “Orang-

orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan 

prasetia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âhadû)” (QS al­Baqa­

rah [2]:177). Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti 

itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ke­

tika mengucapkan prasetia? 

eg

Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelas­

lah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada 

profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum mus­

limin dari beberapa abad silam, karena memberikan perhatian 

terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakan­kebijakan 

dan tindakan­tindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu 

besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsa­

bangsa muslim.

Sebagai akibat, perhatian atas masalah­masalah profesio­

nal ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke 

arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsa­

bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat be­

sar kepada masalah­masalah profesionalisme. Dengan sendiri­

nya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai 

penerapan ajaran­ajaran ini , menjadi tidak bersambung 

satu sama lain. 

Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam 

pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para 

pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral 

untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak 

lain adalah sebuah pendekatan profesional.

Islam: sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan


g 32 h

Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân: “Jika 

kalian disapa dengan sapaan yang baik, maka sapalah dengan 

ungkapan yang lebih baik lagi (wa idzâ huyyîtum bitahiyya-

tin fa hayyû bi ahsana minhâ)” (QS al­Nisa [4]:86). Jika ayat 

ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi 

seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau ba­

rang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu 

produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian  baik yang di­

ucapkan. 

eg

Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pema­

haman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu ja-

nganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan 

sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pema­

haman sejarah masa lampau.

Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaima­

na mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk 

kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. 

Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Is­

lam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepenting­

an orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan 

(kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka 

politik akan menjadi panglima bagi gerakan­gerakan Islam dan 

terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan.

Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam 

kitab suci al-Qurân: “Apa yang diberikan Allah kepada utusan-

Nya sebagai pungutan fai’ dari kaum non­Muslim (sekitar Madi­

nah), hanya bagi Allah, utusan­Nya, sanak keluarga terdekat, 

anak­anak yatim, kaum miskin dan pejalan kaki untuk menun­

tut ilmu dan beribadat, agar supaya harta yang terkumpul tidak 

hanya beredar di kalangan kaum kaya saja di lingkungan kalian 

(mâ afâ ‘a Allâhu alâ rasûlihi min ahli al-Qurâ fa lillâhi wa li 

ar-rasûlihi wa lidzî al-qurbâ wa al-yatâmâ wa al-masâkîni wa 

ibni al-sabîl, kaila yakûna dûlatan baina al-aghniyâ’ minkum)” 

(QS al­Hasyr [59]:7). Ayai itu menjadi bukti bahwa Islam lebih 

mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan men­

derita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk 

negara yang diinginkan?

g 33 h

Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelas­

lah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan mak­

mur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diuta­

makan kitab suci ini  daripada masalah bentuk negara. 

Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum musli­

min, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan 

antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidak­

mampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab ke­

melut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini. h

Islam: sEbuaH ajaRan kEmasyaRakatan

g 34 h

Pada tahun­tahun 50­an dan 60­an, di Mesir terjadi perde­

batan sengit tentang bahasa dan sastra Arab, antara para 

eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr. 

Thaha Husein,1 salah seorang tuna netra yang pernah menjabat 

menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, 

menganggap bahasa dan sastra Arab harus mengalami moderni­

sasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahan­

perubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa 

dan sastra Arab yang digunakan secara klise oleh sajak­sajak puja 

(al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dzibâ’iyyah 

dan al-barzanji2 sebagai dekadensi bahasa yang justru akan 

memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan. 

Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thaha Husein, lahirlah pa­

ra pembaharu sastra dan bahasa Arab yang kita kenal sekarang 

ini.

1 Dr. Thaha Husein (1889­1973) adalah seorang penulis terkenal dari 

Mesir. Thaha Husain, meskipun kehilangan penglihatan sejak kecil, namun 

dengan kecerdasan yang tinggi, ia berhasil menyelesaikan pendidikannya di 

Universitas Mesir, sebelum kemudian meraih gelar Doktor di Universitas Sor­

bonne, Perancis. Thaha Husein seorang ahli bahasa dan pernah menjabat ber­

bagai posisi penting di pemerintahan Mesir. Bukunya yang terkenal berjudul 

“Sejarah Sastra Arab” dan “Al-Ayyam”. 

2 Al­Barzanji adalah karya sastra yang berisi puji­pujian terhadap Nabi 

Muhammad SAW yang sudah barang tentu memuat kisah­kisah kehidupan Be­

liau. Sebenarnya ini bermula dari sebuah karya berjudul Iqdul Jawahir yang 

disusun oleh Syeikh Ja’far al-Barzanji bin Husein bin Abdul Karim yang lahir di 

Madinah 1690 dan meninggal di Madinah juga tahun 1766. Nama Al­Barzanji 

diambilkan dari asal usul beliau dari daerah Barzanj di Kurdistan.

Islam: 

agama Populer ataukah Elitis?

g 35 h

Nama­nama terkenal seperti Syauqi Dhaif3 dan Suhair 

al­Qalamawi4 muncul sebagai bintang­bintang gemerlap dalam 

perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra Arab. 

Sejak masa itu, munculah madzhab baru bahasa Arab, yang dira­

sakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan 

sosial. Bahasa dan sastra Arab dari masa lampau, yang lebih ber­

bau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa 

dan sastra Arab masa pra­Islam (‘asr al-jâhiliyah).

Dalam pandangan ini, produk­produk dekaden harus di­

kesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi 

bahasa dan sastra Arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham 

serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan de­

ngan tumbuhnya nasionalisme Arab (al-qawmiyyah al-arabiy-

yah), yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para 

pemikir Arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawa­

kan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya ke­

cenderungan baru ini . Karena sifatnya yang intelektual, 

pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan, 

halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di nege­

ri­negeri Arab selama dua puluh lima tahun.

eg

Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga 

berkembang. Persamaannya dengan pandangan anti­tradisional­

isme bahasa dan sastra Arab di kalangan bangsa­bangsa Mesir, 

yaitu pandangan elitisme kaum cendekiawan ini tidak menyen­

tuh pikiran­pikiran rakyat awam di negeri ini. Perbedaanya, 

agama dengan tradisionalismenya tidak dipersalahkan meng­

hambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan poli­

tik organisasi tradisional agama, seperti NU (Nahdlatul Ulama). 

Tradisionalisme agama yang dibawa NU justru menyatu dengan 

kaum nasionalis, karena kedua­duanya harus berhadapan de­

ngan modernisme non­ideologis yang datang dari Barat, dalam 

3 Dr. Syauqi Dhaif adalah juga penulis Mesir sezaman dan juga menjadi 

salah satu pembela pembaharuan Dr. Thaha Husein dalam sastra dan bahasa 

Arab. Tulisannya tertuang dalam karya 3 jilid “Tarikh al-Adab al-Araby”.

4 Suhair al­Qalamawi (1911­1997), juga penyair terkenal di Mesir yang 

menjadi pembela Thaha Husein dari serangan­serangan mereka yang tidak 

setuju dengan pembaharuannya.

Islam: aGama PoPulER ataukaH ElItIs?


g 36 h

berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragma­

tisme yang dibawa oleh para teknokrat, yang dipermukaan ber­

arti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimi­

liki orang­orang Barat.

Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme 

agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika 

yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme 

agama, digabungkan dengan semangat nasionalisme yang meng­

agungkan kejayaan masa lampau. Kedua paham itu menampil­

kan tradisionalismenya sendiri: anti­Barat, anti penuhnya rasio­

nalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. 

Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat 

melihat kedangkalan dua paham ini .

Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalis­

me agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa 

ini. Musik Arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, 

pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajak­sajak Arab tra­

disional, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik 

kita dewasa ini. Hal ini karena, pembaharuan bahasa dan sastra 

nasional, yang dirintis Sutan Takdir Alisyahbana tidak sampai 

menyentuh akar tradisionalisme agama itu. Sebagai akibatnya 

kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra na­

sional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan —pada 

saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama. 

eg

Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai ke­

pada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan 

beragama kita semata­semata berwatak tradisional dan adakah 

penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme 

agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipi­

kirkan jawabannya secara mendalam, karena selama ini percam­

puran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradi­

sionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik 

belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme 

agama tidak menyukai ideologisasi­agama dalam kehidupan ber­

negara, seperti terbukti dari penolakan NU atas Piagam Jakarta. 

Kehidupan beragama kita, yang menjadi salah satu penyum­

bang kebudayaan dalam kebudayaan nasional kita, bagaimana­

g 37 h

pun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan 

A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasio­

nalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya se­

suatu yang harus ditakuti. Ini bukan berarti memandang rendah 

tradisionalisme agama, karena elemen­elemen positif dari tra­

disionalisme itu sendiri harus kita teruskan. namun  unsur­unsur 

irrasional yang akan menghambat fungsionalisasi tradisional­

isme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai­nilai rasional yang 

akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu. Seperti 

halnya dengan kontra­reformasi yang dijalani oleh gereja Kato­

lik Roma, yang dijalankan untuk menjamin kelangsungan hidup 

tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi —

misalnya, dan musik hard rock serta rap di sisi lain, sama­sama 

rasionalnya dalam penyampaian pesan­pesan gerejawi melalui 

misa dan sebagainya.

Jadi revitalisasi tradisionalisme memang agama sangat di­

perlukan, dalam bentuk memasukkan unsur­unsur rasional ke 

dalamnya, hingga modernisme agama itu sendiri dapat dirasa­

kan sebagai kebuAllah , baik di kalangan elitis yang diwakili para 

cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradi­

sionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang di­

hadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang 

berjumlah lebih dari 170 juta jiwa.

Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan mo­

dernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, 

dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara 

praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu? 

h

Islam: aGama PoPulER ataukaH ElItIs?

g 38 h

Pada pertengahan bulan Mei 2002, penulis menyampaikan 

penilaiannya atas diri KH. A. Mutamakkin dalam sebuah 

seminar yang berlangsung di IAIN (UIN, red) Syarif Hi­

dayatullah, Ciputat. Pendapat itu dikemukakan dalam seminar 

untuk menyambut terbitnya sebuah buku1 tentang diri beliau, 

yang memang benar­benar merupakan karya berbobot ilmiah 

dan melihat peranan beliau dari berbagai sudut pandang. Baik 

dari aspek epistemologis, kesejarahan maupun aspek sosiologis. 

Karya ini  memerlukan sebuah penanganan serius yang ha­

rus diteruskan oleh para peneliti lainnya.

Dalam seminar itu, penulis mengemukakan sebuah sudut 

pandang yang sama sekali baru dalam menilai dan memahami 

tokoh KH. A. Mutamakkin yang wafat pada abad ke 18 Masehi 

dan dimakamkan di desa Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. 

Diantara keturunannya yang masih aktif dalam kehidupan masya­

rakat adalah Rois ‘Am NU (Nahdlatul Ulama), KH. A. M. Sahal 

Mahfudz dan diri penulis sendiri. Salah satu sesepuh keluarga dan 

keturunan beliau, dengan pengaruh sangat besar semasa hidup 

nyaadalah KH. Abdullah Salam yang meninggal dunia tahun lalu 

(2001) dan dimakamkan di desa ini . Sebagai penghafal al­

Qur’ân  beliau memimpin sebuah pesantren di desa ini  dan 

mengembangkan asketisme yang sangat mengagumkan, dalam 

bahasa pesantren  dikenal dengan istilah akhlakul karimah.

1 Buku ini  ditulis oleh Zainul Milal Bizawie, Perlawanan Kultural 

Agama Rakyat: Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Muta-

makkin dalam Pergumulan Islam dan Tradisi, (Yogyakarta: Samha, 2002).

Islam: 

apakah Bentuk Perlawanannya?

g 39 h

Dalam menilik riwayat KH. A. Mutamakin itu penulis juga 

menggunakan Serat Cebolek yang diterbitkan Keraton Amang­

kurat IV dan Pakubuwono II di Surakarta, yang dibahas oleh 

disertasi  Dr. Soebardi2; juga ceritera ketoprak dan ceritera­ceri­

tera lain, di samping berbagai tulisan kaum pesantren tentang 

beliau dan  terutama tulisan­tulisan beliau sendiri. Yang tidak 

sempat penulis gunakan, adalah tulisan Dr. Kuntowidjoyo dari 

Universitas Gadjah Mada (UGM) tentang KH. Rifa’i, Batang, 

yang menggunakan referensi Serat Cebolek dan sebuah buku 

tentang beliau yang diterbitkan oleh LKiS, di Yogyakarta, tulisan 

Dr. Abdul Djamil,3 Rektor IAIN Walisongo di Semarang.  

eg

Penulis berpendapat, KH. A. Mutamakin telah memelopori 

sebuah pendekatan baru dalam hubungan antara Islam dan ke­

kuasaan negara pada abad ke 18 Masehi. Ini memerlukan pene­

litian mendalam, agar kita menemukan strategi perjuangan Is­

lam yang tepat di negeri ini.

Perjuangan umat Islam dalam abad ke 18 Masehi itu, pada 

intinya ada yang berupa sikap pro/menunjang pemerintah, dan 

sikap menentangnya. Kaum syari’ah/ fiqh (hukum Islam) pada 

umumnya bersikap mendukung kekuasaan, mungkin atas dasar 

adagium yang terkenal: “Enam puluh tahun dalam pemerin­

tahan penguasa yang bobrok, masih lebih baik daripada anar­

ki semalam (sittuna sanatan min imâmin fâjirin ashlahu min 

lailatin bila sulthan).”4 Sikap ini merupakan sebuah kenyataan 

tidak adanya kontrol atas jalannya pemerintahan, semuanya ter­

gantung pada kehendak sang penguasa. Para pelanggar hukum, 

termasuk pelanggar fiqh/hukum Islam terkena sanksi atau tidak 

secara legal seluruhnya tergantung sang penguasa. Kaum fiqh itu 

2 Lihat S. Soebardi, The Book of Cebolek, (The Hague: Martijnus Nijhoff, 

1975). 

3 Buku ini  berjudul, Perlawanan Kiai Desa, Pemikiran dan Gerak-

an Islam KH. Ahmad Rifa’i Kalisalak, (Yogyakarta: LKIS, 2001). 

4 Ibnu Taimiyyah; as-Siyasah al-Syar’iyyah Fi Islah Ar-Ra’iy wa 

Ar-Ra’iyah, hal.218. Ibnu Taimiyyah dalam karyanya yang lain bahkan me­

nyatakan bahwa “Allah  mendukung pemerintahan yang adil meskipun kafir, 

dan tidak mendukung pemerintahan yang dhalim meskipun mukmin”. Lihat 

Ibnu Taimiyah; al-Hisbah fi al-Islam, Riyadh, Mansyurat al­Muassasah al­

Sa’diyah, 1980, hal, 17.

Islam: aPakaH bEntuk PERlaWanannya?


g 40 h

menetapkan KH. A. Mutamakin telah melanggar syari’ah karena 

memasang lukisan binatang secara utuh, dan sering menonton 

wayang dengan lakon Bima Suci/Dewa Ruci. Oleh sebab itu ia 

harus dihukum. namun  hukuman itu terserah pada sultan seba­

gai penguasa.

Sebaliknya, para pemimpin tarekat dan tassawuf bersi­

kap menentang penguasa. Perbedaan sikap ini menjadi pemicu 

pemberontakan di beberapa tempat dalam abad ini . Dalam 

pandangan kaum tarekat, penguasa dianggap menyimpang dari 

kebenaran formal agama, karena itu haruslah dilawan secara 

terbuka. Sikap ini, sebenarnya sama­sama bersifat politis, bila 

dibandingkan dengan sikap KH. A. Mutamakkin di atas. Hanya 

saja, jika yang satu menentang maka yang lain mendukung. Sikap 

politis inilah yang membuat penguasa waktu itu banyak meng­

hukum mati dan menyiksa para pemimpin gerakan tarekat. Ceri­

ta ulama yang mati dibakar atas perintah sultan adalah sesuatu 

yang memilukan di waktu itu.

eg

Di sini, KH. A. Mutamakin memperkenalkan pendekatan 

yang lain sama sekali. Ia mengutamakan pandangan alternatif 

terhadap kelaliman penguasa, namun tidak memberikan perla­

wanan secara terbuka. Dengan demikian, ia lebih mengutamakan 

sikap memberikan contoh bagaimana seharusnya seorang pe­

mimpin wajib bertindak dan menampilkan para ulama sebagai 

kekuatan alternatif kultural di hadapan sang penguasa. Pendekat­

an inilah yang di kemudian hari dikenal dengan pendekatan kul­

tural yang memicu perlawanan rakyat, tanpa melawan sang pe­

nguasa. Sikap ini dikecam dengan keras oleh pendekatan politis 

yang menunjang penguasa dan yang menentangnya.

Pendekatan kultural ini, tidak pernah jelas­jelas menen­

tang penguasa, tapi ia juga tidak pernah menunjang penguasa. 

Di masa itu, kaum syari’ah memberikan dukungan kepada pe-

nguasa sedangkan pihak tarekat bersikap menentang. KH. A. 

Mutamakin mengembangkan sikap kultural  di atas, yakni  pilih­

an alternatif  yang bersifat kultural. Di masa Orde Baru, keadaan 

menjadi terbalik: pihak tarekat justru menjadi penunjang dan 

mendukung kekuasaan, seperti terjadi pada pemimpin­pemim­

pin tarekat pada masa itu. Sedangkan kaum syari’at, seperti yang 

g 41 h

tergabung dalam kalangan NU dalam PPP (Partai Persatuan 

Pembangunan)  masa itu menampilkan perlawanan kultural ter­

hadap kekuasaan.

Sekarang, pertanyaan pokok adalah, haruskah perlawanan 

kultural itu dikembangkan terus di masa depan? Atau justru di­

matikan? Dan dengan demikian perjuangan seterusnya menjadi 

perlawanan politis saja. Jawabannya menurut penulis adalah se­

suatu yang sangat komplek: bagi organisasi non­politis, seperti 

NU, pendekatan yang harus diambil adalah pendekatan kultural 

yang lebih didasarkan pada alternatif­alternatif yang menguta­

makan kebersihan perilaku di bidang pemerintahan. Sedangkan 

bagi organisasi­organisasi politik, seperti PKB (Partai Kebangkit­

an Bangsa), tekanan harus diletakkan pada penciptaan sistem po­

litik yang bersih, meliputi ketiga bidang eksekutif­legislatif­yudi­

katif. Hanya dengan kombinasi kedua pendekatan kultural dan 

politis itu dapat ditegakkan proses demokratisasi di negeri kita. 

Sebagaimana diketahui, demokratisasi hanya dapat tegak kalau 

dapat diupayakan berlakunya kedaulatan hukum dan adanya per­

lakuan yang sama bagi semua warga negara di muka Undang­

Undang. 

Bukankah dengan demikian, menjadi relevan bagi kita di 

saat ini, mengembangkan pendekatan kultural yang dahulu di­

rintis KH. A. Mutamakin? h

Islam: aPakaH bEntuk PERlaWanannya?

g 42 h

Dalam acara NU (Nahdlatul Ulama)/PKB (Partai Kebang­

kitan Bangsa) dan beberapa pesantren di Kalimantan Se­

latan, serta orasi budaya dalam Konferensi Besar Ikatan 

Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) di Samarinda, penulis 

melihat sebuah fenomena yang sangat menarik. Di tiap tempat, 

penulis selalu disuguhi pagelaran qasidah shalawat badar, bah­

kan di acara lainnya justru orang­orang non­muslim  yang mem­

bawakannya. Ini berarti, sajak Arab ciptaan KH. Ali Mansyur 

dari Tuban, di Banyuwangi tahun 1962 itu, telah menjadi kha­

zanah budaya nasional, minimal budaya NU/PKB. Terlepas dari 

penyerahan Bintang NU kepada keluarga almarhum pencipta sa­

jak ini  di Muktamar Krapyak, Yogyakarta tahun 1989, fak­

ta lainnya adalah penyebaran sajak yang ditembangkan dalam 

birama (bahr) tradisional ini , tampak jelas telah dianggap 

sebagai fenomena budaya nasional tanpa disadari.

Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara budaya 

dan agama. Sama eratnya dengan penyampaian lagu­puja dalam 

qasidah dzibâ’iyah, yang dibawakan jutaan anak­anak muda NU 

setiap minggu. Ini menunjukkan bahwa penyebaran agama Is­

lam di negeri ini, antara lain lewat budaya, disampaikan secara 

damai, tidak melalui jalan peperangan. Memang harus diakui, 

kekuatan yang dimiliki kaum muslimin, melalui kekuasaan atau 

tidak, telah turut mendukung penyebaran agama secara damai 

itu. 

Islam: 

Ideologis Ataukah Kultural? (01)

g 43 h

Namun, tidak selamanya penyebaran agama secara damai 

itu terkait dengan kekuasaan, seperti terlihat pada berbagai akti­

fitas yang dulu menyertai aliran Syi’ah di negeri kita, beberapa 

abad yang lalu. Secara budaya, apa yang tadinya dianggap seba­

gai tindakan penyebaran agama, sekarang diterima sebagai adat 

di berbagai daerah. Perayaan Tabot, di Bengkulu umpamanya, 

dapat dikemukakan sebagai salah satu contoh. Adat yang satu 

ini, menampilkan diusungnya tabot (peti mati/ keranda cucu) 

Nabi Saw, Sayyidina Husein, yang justru menjadi tanda bagi ke­

setiaan orang pada ajaran ahl al-bait (keluarga Rasulullah) yang 

menjadi titik sentral ajaran Syi’ah. Bahwa Tabot telah menjadi 

manifestasi budaya Indonesia, menunjukkan perkembangan se­

jarah yang sangat penting. 

eg

Hal yang sama juga kita temui dalam penggunaan nama­

nama di Gedung DPR/MPR­RI kita. Gedung yang megah itu di­

haruskan menggunakan nama­nama dalam bahasa Sansekerta, 

seperti Graha Nusantara dan sebagainya. Sedangkan nama DPR/

MPR sebagai institusi produk Undang­Undang Dasar (UUD), 

lebih mencerminkan dialog yang umu dipakai antara para pe­

mimpin Indonesia sebelum kemerdekaan, yang menggunakan 

pengaruh bahasa Arab. Lihatlah kata­kata yang dipakai, seper­

ti Dewan Perwakilan Rakyat. Ketiga kata itu, baik kata dewan, 

wakil maupun rakyat, sebelum mengalami konjugasi dalam ba­

hasa kita adalah kata­kata yang berasal dari bahasa Arab. Begitu 

juga dengan pemilihan umum, kata “umum” digunakan untuk 

hal­hal yang menyangkut publik, jelas berasal dari “sono”.

Namun, perkembangan bahasa yang semula diambil dari 

kata­kata Arab dan kemudian dari kata­kata Sansekerta, menun­

jukkan kemampuan beradaptasi yang dimiliki oleh bangsa kita. 

Kalau itu kita kaitkan dengan bidang­bidang lain, akan lebih be­

sar kemelut pengertian yang diakibatkan oleh pemakaian sehari­

hari. Ambil saja kata hukum, yang berasal dari kata al-hukm 

dalam bahasa Arab. Kata ini semula digunakan untuk menunjuk 

hukum agama Islam (fiqh). Namun karena perluasan pemakai­

annya yang meliputi produk­produk yang dihasilkannya, akhir­

nya kata itu melingkupi makna baru, yang memiliki arti yang 

berbeda dari asal usulnya. Al-hukm yang semula berarti aturan 

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (01)


g 44 h

dan undang­undang agama (canonical law), berkembang men­

jadi hukum –yang berarti undang­undang dan peraturan negara. 

Perubahan pengertian ini, disebabkan sebagian oleh perubahan 

arti kata law atau recht, yang diambilkan dari bahasa­bahasa 

Eropa modern.

Belum lagi kalau diingat terjadinya bahasa­semu (meta 

language) dalam bahasa nasional kita, seperti disinyalir oleh 

Dr. Toety Herati Nurhadi: diamankan berarti ditangkap, har­

ga disesuaikan berarti dinaikkan, dan sebagainya. Akibat dari 

penggunaan bahasa semu ini, masyarakat terkotak­kotak dan 

timbulah isolasi antar golongan di dalamnya. Akibat lanjutan­

nya, muncul jalan pintas berupa budaya kekerasan (culture of 

violence) —terutama dalam bentuk munculnya penggunaan pre­

man, yang terjadi  dalam kehidupan kita sebagai bangsa. 

eg

Jelaslah dengan demikian, hal pertama yang harus dilaku­

kan adalah pembakuan arti yang kita gunakan sehari­hari. Tan­

pa pembakuan ini, kita akan tetap rancu dalam pemikiran dan 

kacau dalam pengertian. Akibatnya, kita sebagai bangsa tidak 

tahu kemana orientasi kehidupan harus diarahkan. Hal ini tam­

pak antara lain, adanya pernyataan seorang anggota fraksi PDI­P 

DPR­RI bahwa ia bukanlah wakil rakyat, melainkan wakil partai. 

Ini berarti, kerancuan telah menelusup dalam tubuh kita sebagai 

bangsa, juga menunjukkan cara berpikir yang carut marut yang 

kita alami saat ini. Demokrasi kita, yang semula berarti peng­

utamaan kepentingan rakyat banyak, diubah dengan tidak terasa 

kepada pemenuhan kebuAllah  golongan dan ambisi pribadi. 

Dengan demikian, kebuAllah  menyamakan pandangan 

tentang demokrasi yang ingin ki