islam 8

Tampilkan postingan dengan label islam 8. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 8. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

islam 8


 


PR/MPR kita dewasa ini. 

Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi 

sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sistem 

pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat mem­

prihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak 

nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mahbub Junai­

di: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk, 

seolah­olah sebuah kenyataan yang hidup. Runtuhnya kekuasaan 

Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobudur) dan kerajaan 

Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan) 

—misalnya, akhirnya runtuh karena keduanya hanya sekadar 

berkuasa namun  tidak memimpin. Kekuasaan wangsa Syailendra 

dianggap tidak ada oleh kaum Hindu­Budha yang membangun 

candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di 

bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa terse­

but. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama Hindu­

Budha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi 

karena ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan 

tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid 

Jamaluddin Husaini dalam abad ke­15 Masehi.

Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah 

yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat ini , 

g 233 h

jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada 

amanat ini . Kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan 

sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD 

1945, yaitu dengan rumusan ”masyarakat adil dan makmur”, jelas 

menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Per­

nah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National 

Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan ini ? 

Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai 

apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemak­

muran pun sudah tidak lagi kita lakukan.

Kehidupan kita yang kering­kerontang ini sekarang hanya 

dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bu­

kannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekua­

saan disamakan dengan kepemimpinan, dan kekuasaan tidak 

lagi mengindahkan aspek moral/etika­nya dalam kehidupan kita 

sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolah­olah tidak 

memiliki kepemimpinan, karena kita sudah kehilangan aspek 

moral dan etika ini . Kepemimpinan kita saat ini, sebagai 

bangsa, hanya dipenuhi oleh basa­basi (etiket) yang tidak mem­

berikan jaminan apa­apa kepada kita sebagai bangsa.

Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita, 

memiliki sebuah adagium yang sangat penting: ”Kebijakan dan 

tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah 

terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf al-

imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûtun bi al-maslahah) jelas menun­

juk  kewajiban sang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya. 

Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan 

sungguh­sungguh, kalau dilihat kelalaian para penguasa kita 

dewasa ini? Tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang men­

jawab sekarang, karena dalam kenyataan hal ini tidak dipikirkan 

secara sungguh­sungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada 

usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, mini­

mal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah 

bangsa ini sedang terseok­seok.

Umar bin Khattab pernah mengeluarkan sebuah statemen 

populer: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa 

kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan 

(La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala 

imarata illa bi tha’ah),” jelas sekali menunjuk pada pentingnya 

arti kepemimpinan dan sang pemimpin. Dengan demikian, kepe­

bERkuasa dan HaRus mEmImPIn

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 234 h

mimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa. 

saat  para pemimpin kita bertikai mengenai kapan waktu yang 

tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah 

waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa be­

lum waktunya, namun  semuanya mengetahui bahwa proklamasi 

harus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan. 

saat  para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal 

itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan 

yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan ke­

harusan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila 

proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat, 

bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini, 

memerlukan jawaban serba­bagai dari para penguasa pemerin­

tahan kita; dari menciptakan sistem politik baru yang mengacu 

kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan per­

lakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undang­

undang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat. 

Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, me­

lainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada 

sebuah kenyataan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki ke­

beranian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran un­

tuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan 

sendiri ataupun kelompok. Karena kepemimpinan formal yang 

seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak 

memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja. h

g 235 h

Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nah­

dlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan 

sampai tahun 60-an, KH. M. Hasyim Asy’ari menuliskan 

fatwa: bahwa kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga ber­

bunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat da­

lam hukum Islam. Dasar dari pendapatnya itu adalah kelangkaan 

hadits Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis 

(dalil naqli) dalam hal ini. 

Dalam penerbitan bulan berikutnya, pendapat ini  di­

sanggah oleh wakil beliau, Kyai Faqih dari Maskumambang, Gre­

sik, yang menyatakan bahwa kentongan harus diperkenankan, 

karena bisa dianalogikan atau di­qiyas-kan kepada beduk seba­

gai alat pemanggil shalat. Karena beduk diperkenankan, atas ada­

nya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadits Nabi Muhammad 

SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat ini  pada 

zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan. 

Segera setelah uraian Kyai Faqih Maskumambang itu 

muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama 

se­Jombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di 

pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ia pun lalu memerintahkan 

kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah 

itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu 

dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta 

hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Mesjid Tebu Ireng, Jom­

bang kentongan itu tidak digunakan selama­lamanya. Pandangan 

tata krama dan 

‘ummatan Wâhidatan

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 236 h

beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendirian 

Kyai Faqih dari Maskumambang ini , dan bagaimana sikap 

itu didasarkan pada “kebenaran” yang beliau kenal. 

Dalam bulan Maulid/Rabi’ul Awal berikutnya, KH. M. 

Hasyim Asy’ari diundang berceramah di Pesantren Maskumam-

bang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumam­

bang menemui para ketua/pemimpin ta’mir mesjid dan surau 

yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau: 

selama KH. M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten 

ini , semua kentongan yang ada harus diturunkan dari 

tempat bergantungnya alat itu. Sikap ini diambil beliau karena 

penghormatan beliau terhadap Kyai Hasyim Asy’ari, yang bagai-

manapun adalah atasan beliau dalam berorganisasi. Meyakini 

sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati 

pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi 

kedua tokoh ini .  

Sikap saling menghargai satu sama lain, antara kedua to­

koh ini  yaitu antara Rois ‘Am dan Wakil Rois ‘Am PBNU 

waktu itu, menunjukkan tata krama yang sangat tinggi di antara 

dua orang ulama yang berbeda pendapat, tapi menghargai satu 

sama lain. Inilah yang justru tidak kita lihat saat ini, terlebih­le­

bih di antara pemimpin gerakan Islam dewasa ini, yang tampak 

mencuat justru sikap saling menyalahkan, sehingga tidak ter­

dapat kesatuan pendapat antar mereka. Yang menonjol adalah 

perbeda an pendapat, bukan persamaan antara mereka. Penulis 

tidak tahu, haruskah kenyataan itu disayangkan ataukah justru 

dibiarkan? 

Mungkin ini adalah sisa­sisa dari sebuah nostalgia yang 

ada mengenai “keagungan” masa lampau belaka. Tapi bukankah 

seseorang berhak merasa seperti itu? Bukankah kitab suci al­

Qur’ân menyatakan, “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian 

(dalam bentuk) lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian ber­

bangsa­bangsa dan bersuku­suku bangsa agar saling mengenal. 

Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Al­

lah adalah yang paling bertaqwa (innâ khalaqnâ kum min dza-

karin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû 

innâ akramakum ‘inda Allâhi atqâkum)” (QS al­Hujurat [49]:13) 

Ayat ini jelas membenarkan perbedaan pendapat di antara kaum 

muslimin. 

Namun Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya itu: 

g 237 h

“Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan 

dan janganlah bercerai­berai/terpecah belah (wa’ tashimû bi ha-

bli allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). Ayat 

ini menunjukkan kepada kita, bahwa yang dilarang bukannya 

perbedaan pandangan melainkan bersikap terpecah­belah satu 

dari yang lain. Hal ini diperkuat oleh sebuah ayat lain: “Bekerja­

samalah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketakwaan 

(ta’âwanû ‘alâ al-birri wa al-taqwâ)” (QS al­Maidah [5]:2) yang 

jelas­jelas mengharuskan kita melakukan koordinasi berbagai 

kegiatan. namun , kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan 

oleh kepemimpinan tunggal dalam berbagai gerakan Islam.

Masalahnya sekarang adalah langkanya kepemimpinan 

seperti itu. Para pimpinan gerakan Islam saling bertengkar, mini­

mal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian? Kare­

na para pemimpin itu hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan 

jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seha­

rusnya, mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan agama 

Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan 

kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masing­masing akan 

terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam 

kerangka kepentingan seluruh bangsa.

Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Keikhlasan 

yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masing­ma­

sing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah 

justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai 

gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan ke­

pada keputusan sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan 

perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus, 

yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap 

“mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu. 

Tanpa kedua hal itu, sia­sialah upaya “menyatukan” umat Islam 

dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.

Dalam hal ini, penulis lagi­lagi teringat kepada sebuah 

adagium yang sering dinyatakan berbagai kalangan Islam: “Ti­

ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpi­

nan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La islama 

illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa 

bi tha’ah). Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok 

kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta 

diterima sebagai pemimpin. Namun sikap mereka yang meman­

tata kRama dan ‘ummatan WaHIdatan

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 238 h

dang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan terse­

but, sedangkan kelompok­kelompok lain tidaklah memiliki kepe­

mimpinan kohesif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai 

gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki 

kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kem­

bali “kesatuan” umat (ummatan wahidatan). Mudah diucapkan, 

tapi sulit diwujudkan bukan? h

g 239 h

Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu 

lapangan terbang Cengkareng, jam 05.30 WIB pagi. Sam­

bil menunggu saat penerbangan pertama ke Yogyakarta, 

penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang 

penceramah agama sedang menjawab pertanyaan­pertanyaan 

yang diajukan para pemirsa melalui telepon, saat  dihadap­

kan pada masalah­masalah hukum Islam (fiqh) tentang saat 

menjalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa menanyakan; 

apakah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat di­

masukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau 

tidak.

Dalam menjawab pertanyaan ini , sang penceramah 

melakukan pembedaan, antara hal­hal yang merusak syarat­sya­

rat ibadah haji, merusak kewajiban­kewajiban haji dan merusak 

ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan akibat hu­

kum­hukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa dipela­

jari dari kitab­kitab agama di pesantren, dijelaskan di layar tele­

visi itu oleh sang penceramah. Ini tentu karena sang penanya 

diandaikan tidak tahu masalahnya, karena mereka hanya berko­

munikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu menunjuk­

kan perhatian sang pemirsa ini  pada segi­segi ibadah, keti­

ka menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai 

oleh pandangan tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan 

yang menyenangkan, menjengkelkan atau yang tidak berguna 

sama sekali.

agama di televisi dan 

dalam kehidupan

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 240 h

Sudah tentu seorang jama’ah haji memiliki wewenang ber­

tanya tentang sesuatu hal yang oleh jama’ah lain dianggap soal 

kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar 

untuk melakukan perjalanan ini , bahkan mungkin saja ia 

sampai menabung uang seumur hidup untuk itu. Karenanya, ia 

berhak bertanya apa saja, karena perjalanan ini  merupakan 

sebuah obsesi dalam hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sa­

ngat inherent dalam hidup sang penanya, dan sangat menyedih­

kan bahwa Departemen Agama Republik Indonesia (Depag­RI) 

yang menjadi penyelenggara ibadah haji ini  tidak pernah 

mengumpulkan dan menjawab pertanyaan­pertanyaan seperti 

itu dalam sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para 

calon jama’ah haji. Maka terpaksalah mereka bertanya melalui 

TV karena tidak ada saluran lain.

saat  memasuki lapangan terbang itu, penulis juga ber­

jumpa dengan Jajang C. Noer dan Debra Yatim, keduanya ak­

tivis perempuan –yang juga sama­sama akan menuju Yogyakar­

ta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum perem-

puan di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film ini  akan 

disertai dialog antara para pemirsa dan kedua aktifis ini . 

Dan dapat diperkirakan, mereka akan berbeda mengenai tema 

makro yaitu tentang perjuangan menegakkan hak­hak wanita 

di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar, bahkan kalau itu tidak 

dibicarakan, justru kita bertanya­tanya dalam hati, kedua orang 

aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk 

memutar film itu dapat dilakukan oleh para petugas setempat. 

Tentu saja merupakan hal yang wajar pula, jika orang lain meng­

anggap pembicaraan mereka itu sesuatu yang bersifat setengah 

makro, karena membahas kepentingan kurang lebih separuh 

warga masyarakat, yaitu kaum perempuan. Pembahasan baru di­

anggap makro saat  menyangkut pembedaan masyarakat oleh 

negara, karena mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak 

menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai 

pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib 

perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayak­

nya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga 

milyar jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, da­

lam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender 

sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat 

besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula. 

g 241 h

Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat.

Karena itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mik­

ro. Ditambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah laki­laki 

dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, dengan 

sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi ma­

salah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di ling­

kungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa, 

selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/

gender adalah masalah struktural, namun  tetap saja masalah itu 

diperlakukan dalam dunia LSM internasional dan domestik se­

bagai masalah non­struktural. Ini memang menyakitkan, tapi 

dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah me­

ratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak 

perlu diperlakukan secara emosional.

Paham ketiga yaitu, tidak pernah mempersoalkan struktur 

masyarakat, dan menganggap semua struktur masyarakat yang 

ada dalam sejarah sebagai sesuatu yang benar. Masalah pokok 

yang dihadapi umat manusia, menurut pandangan ini, adalah 

bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran yang dalam 

ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi, 

menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakan 

hukum dan perumusan kebijakan serta pelaksanaan di bidang 

ekonomi, terlepas dari jenis dan watak struktur itu sendiri. Ini­

lah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan non­struk­

tural, juga dikenal dengan pandangan developmentalist.

Dalam pandangan ini, Islam atau agama­agama lain dapat 

berperan memerangi materialisme dan sebagainya, tanpa mem­

pengaruhi struktur masyarakat. Masalah yang dihadapi terkait 

sepenuhnya dengan keahlian dan pengorganisasian sumber daya 

manusia yang dimiliki. 

Pandangan non­struktural ini, antara lain diikuti oleh para 

teknokrat kita, yang selama ini menentukan kebijakan pemba­

ngunan yang kita ikuti sebagai bangsa. Dan ternyata para tek­

nokrat ini  telah menemui kegagalan, karena keadilan dan 

kemakmuran ternyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati 

hanyalah sejumlah konglomerat belaka. Karenanya, pembahasan 

mengenai hubungan antara agama dan ideologi negara, sebaik­

nya dibatasi pada pandangan­pandangan agama yang ada me­

ngenai struktur sosial yang adil bagi seluruh warga masyarakat, 

dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pendekatan struktural 

aGama dI tV dan dalam kEHIduPan

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 242 h

ini diperlukan, karena memang semua agama menghendaki ma­

syarakat yang adil, menuju pencapaian kemakmuran. “Baldatun 

tayyibatun wa rabbun ghafûr (QS Saba’ [34]:15) (negara yang 

baik dan Allah  yang Maha Pengampun)” adalah semboyan upa­

ya kaum muslimin dalam menciptakan masyarakat yang demi­

kian itu, sesuai dengan ajaran Islam sendiri. Karenanya, mem­

bahas hubungan antara Islam dengan negara, dengan membahas 

struktur masyarakat yang hendak didirikan, adalah sesuatu yang 

secara inherent menyangkut keadilan, dan dengan demikian 

merupakan struktur masyarakat yang benar. h

g 243 h

Beberapa tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan 

datang pada penulis di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul 

Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Bhutto ma­

sih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim 

itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk 

membacakan surah Al­Fatihah bagi keselamatan Bangsa Pakis­

tan. Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Bhutto yang 

berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah 

bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang 

perempuan”? Penulis menjawab bahwa hadits ini  disabda­

kan pada Abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Ini berarti diperlu­

kan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?

Pada tempat dan waktu Rasulullah masih hidup itu, kon­

sep kepemimpinan bersifat perorangan ­di mana seorang kepala 

suku harus melakukan hal­hal berikut: memimpin peperangan 

melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang 

pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari 

kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam 

persoalan antar para keluarga yang berbeda­beda kepentingan 

dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi mem­

buat dan sekaligus melaksanakan hukum.

Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemim­

pin, baik ia presiden maupun perdana menteri sebuah negara, 

konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/diinstitusional­

arabisasi, 

samakah dengan Islamisasi?

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 244 h

isasikan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Bhutto tidak boleh 

mengambil keputusan sendiri, melainkan melalui sidang kabi­

net yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet 

juga tidak boleh menyimpang dari Undang­undang (UU) yang 

dibuat oleh parlemen yang mayoritas beranggotakan laki­laki. 

Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang 

membentuk Mahkamah Agung (MA), yang anggotanya juga laki­

laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi 

menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah 

dilembagakan/ di­institusionalisasi­kan. “Anda memang benar,” 

demikian kata orang alim Pakistan itu, “namun  tolong tetap ba­

cakan surah Al­Fatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.

eg

Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah 

berkembang menjadi Islamisasi ­dengan segala konsekuensinya. 

Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum 

muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam 

bahasa ini , simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke 

dalam kehidupan bangsa­bangsa muslim, sehingga secara tidak 

terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi.1 Sebagai contoh, 

nama­nama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Is­

lam Negeri (IAIN) juga di­Arabkan; kata syarî’ah untuk hukum 

Islam, adab untuk sastra Arab, ushûluddin untuk studi gerakan­

gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan 

fakultas keputrian dinamakan kulliyyat al-banât. Seolah­olah 

tidak terasa ke­Islaman­nya kalau tidak menggunakan kata­kata 

1 Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda, meski bermula pada 

pemahaman teks-teks keislaman, al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian, ke­

tika mendekati teks­teks ini  senantiasa meniscayakan adanya korelasi 

dan hubungan erat dengan kondisi historis dan sosial yang ada di sekitarnya. 

Dalam konteks ini pula lah, sebuah hadis harus dipahami secara cermat dalam 

kapasitas apakah Muhammad sebagai salah satu orang Arab dengan segala 

setting kulturalnya, atau apakah Muhammad sebagai Rasul yang membawa 

pesan­pesan KeAllah an. Pemetaan ini sangatlah penting, sehingga Imam 

Ghazali, seorang pengarang prolific, telah sejak dini melakukan pemisahan an­

tara sabda Nabi yang bersifat budaya kultural dan pesan Nabi sebagai advise 

keagamaan yang harus diikuti dan bersifat mengikat. Ghazali adalah ulama 

yang pertama kali berani membuat garis demarkasi antara mana yang “Arabis” 

dan mana yang “Islamis”  

g 245 h

bahasa Arab ini .

Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Uni­

versitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula na­

ma­nama berbagai pondok pesantren.2 Kebiasaan masa lampau 

untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan mengguna­

kan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren 

(PP) Lirboyo di Kediri, Tebu Ireng di Jombang dan Krapyak di 

Yogyakarta, seolah­olah kurang Islami, kalau tidak mengguna­

kan nama­nama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP Al­

Munawwir di Yogya ­misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.

Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu. 

Kalau dahulu orang awam menggunakan kata “Minggu” untuk 

hari ke tujuh dalam almanak, sekarang orang tidak puas kalau 

tidak menggunakan kata “Ahad”. Padahal kata Minggu, sebenar­

nya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti 

hari Allah . Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang­

orang Portugis —kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari 

itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagama­

an, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum 

muslimin menggunakan hari tutup kantor ini  sebagai pusat 

kegiatan kolektif dalam ber­Allah ?

eg

Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai 

persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang jus­

tru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan 

mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa 

Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa ku­

rang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam meng­

2 Pondok pesantren disebut juga sebagai lembaga pendidikan tertua 

yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pu­

sat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata 

pesantren atau santri berasal dari Bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”. 

Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shastri 

dari akar kata shastra yang berarti “buku­buku suci”, “buku­buku agama”, atau 

buku­buku tentang ilmpu pengetahuan”. Di luar Jawa lembaga pendidikan ini 

disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), dayah (Aceh), 

dan pondok (daerah lain). Kekhususan pesantren dibanding dengan lembaga­

lembaga pendidikan lainnya adalah para santri atau murid tinggal bersama 

dengan Kyai atau guru mereka dalam suatu komplek tertentu yang mandiri. 

aRabIsasI, samakaH dEnGan IslamI?

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 246 h

hadapi “kemajuan Barat”. Seolah­olah Islam akan kalah dari per­

adaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan kata­kata ber­

bahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat 

dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin seka­

rang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari 

agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali 

ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw. 

Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis 

agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli,  menjadi 

superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari 

terorisme yang kita tolak yang menggunakan nama Islam?

Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Is­

lam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala 

macam penafsiran berdasarkan ilmu­ilmu agama (religious sub-

ject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan 

pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan dalam waktu 

yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic puritan-

ism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah 

tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan se­

lama berabad­abad. Memang ada ekses buruk dari pengalaman 

perkembangan pemikiran itu, namun  jawabnya bukanlah berben­

tuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran 

membersihkan Islam dari ekses­ekses yang keliru ini .

Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, se­

perti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang 

dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum 

Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi se­

menjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang 

kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theo-

logy),3 merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji 

oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “per­

bedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat 

(ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).” Adagium ini  

bermula dari ketentuan kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian 

3 Sistem teologi semacam ini disebut juga dengan rumusan berteologi 

yang mempunyai visi sosial dan kemanusiaan. Adalah Farid Essack, seorang 

pemikir Islam berkebangsaan Afrika Selatan melalui karyanya, Qur’an, Libera-

tion, and Pluralism (Oxford: Oneworld Oxford, 1997) ingin menunjukkan bah­

wa ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an adalah ajaran 

yang membebaskan. 

g 247 h

berbangsa­bangsa dan bersuku­suku bangsa agar kalian saling 

mengenal (Wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” 

(QS al­Hujurat(49):13). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah 

pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam 

Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama 

Islam. h

aRabIsasI, samakaH dEnGan IslamI?

g 248 h

Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah 

di Ciputat menjelaskan dalam dialog dengan para maha­

siswa di layar TVRI tanggal 26 Nopember 2002, tentang 

penyebaran Islam di Nusantara. Ia mengemukakan bahwa Islam 

disebarkan sejak berabad­abad yang lalu, di seluruh Nusantara 

dengan berbagai karya para ulama kita dalam pengajian­penga­

jian. Di antara nama­nama yang disebutkan, terdapat nama 

Syekh Arsyad Banjari (1710­1812)1 dari Martapura, Kalimantan 

Selatan, ia dikirim oleh salah seorang sultan yang berkuasa di 

kawasan ini  untuk belajar belasan tahun lamanya di Mek­

kah. Namun, ia kembali ke Tanah Air dalam abad ke­18 M, dan 

dikuburkan di Kelampayan, Martapura. Walaupun TVRI hanya 

1  Syekh Muhammad Arsyad al­Banjari merupakan salah seorang ulama 

yang lahir di Lok Gabang, Martapura, 15 Safar 1122/ 19 Maret 1710 dan sangat 

berpengaruh serta memegang peranan penting dalam sejarah dan perkembang­

an Islam, khususnya di Kalimantan. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang 

gigih mempertahankan dan mengembangkan paham ahlusunnah waljama’ah 

dengan teologi ‘Asy’ariyah dan fikih Mazhab Syafi’i. Semasa hidupnya, beliau 

pernah menjabat sebagai mufti (penasehat di bidang agama) pada Kesultan­

an Banjar dan penulis kitab­kitab agama yang cukup produktif. Karya Arsyad 

dalam bidang fiqih yang cukup terkenal adalah Sabîl al-Muhtadîn li Tafaqquh 

fî Amr al-Dîn yang merupakan syarah dari kitab karya Nûr al-Dîn al-Raniri (w. 

1068 H/1658 M), berjudul Shirât al-Mustaqîm. Kitab fikih bermazhab Syafi’i 

dan yang ditulis berbahasa Melayu (Jawi) tulisan Arab ini  dijadikan 

sebagai buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia, 

Malaysia, dan Thailand.   

Penyesuaian ataukah

Pembaharuan terbatas

g 249 h

menampilkan gambar istana sultan di Martapura, namun sebe­

narnya saat ini ada pesantren di Kelampayan yang memiliki 

santri (pelajar) berjumlah belasan ribu orang.

Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutkan betapa besar jasa 

para ulama yang mengaji di Mekkah dan dan kembali ke tanah 

air, dalam dua hal: penyebaran agama Islam di kawasan masing­

masing, dan penerapan ajaran agama Islam secara lebih murni. 

Pengawasan seorang pakar atas jalannya sejarah di bumi Nusan­

tara ini haruslah dihargai, dan temuan­temuannya itu haruslah 

diteruskan oleh para peneliti sejarah Nusantara. Hanya dengan 

demikian, kita akan dapat mencapai mutu kesejarahan yang 

tinggi, karena didasarkan pada hasil­hasil kajian ilmiah yang 

benar. Tentu saja, hasil­hasil kajian ini juga harus disiarkan  me­

lalui media khalayak kepada orang awam dengan bahasa yang 

mereka mengerti.

Apa yang dilakukan Prof. Dr. Azyumardi ini patut dihar­

gai, karena dengan demikian ia telah menyajikan fakta­fakta 

sejarah kepada khalayak ramai. Ini bukanlah sesuatu yang kecil 

artinya, karena justru dengan cara demikianlah dapat dilakukan 

pendidikan masyarakat mengenai masa lampau negeri dan bang­

sa kita. Ini bahkan lebih besar jasanya daripada penyampaian 

hal­hal normatif yang sekarang mendominasi penyiaran kita. 

Karenanya, dibutuhkan lebih banyak orang­orang seperti Prof. 

Dr. Azra  ini, yang pandai menghubungkan dunia ilmiah dengan 

masyarakat awam kita. Katakanlah dalam bahasa kuis televisi: 

“seratus untuk Pak Azra.”

eg

Namun, tak ada gading yang tak retak, kalau meminjam 

ungkapan terkenal berikut: “manusia adalah tempat kesalahan 

dan kelalaian (al insân mahallu al khatha’ wa al-nisyân).” Ada 

sedikit  kesalahan dalam penyampaian beliau akan sejarah masa 

lampau kita. Beliau menyatakan, bahwa banyak penyimpangan 

yang disebabkan oleh adat dan budaya kita dari masa sebelum 

itu, kemudian oleh ulama kita disesuaikan dengan hukum­hu­

kum agama (fiqh) yang formal. Disimpulkan dari situ, bahwa 

mereka para ulama melakukan pemurnian Islam. Dan pemur­

nian itu sebenarnya adalah upaya untuk memelihara keabsahan 

ajaran­ajaran agama Islam di negeri kita.

PEnyEsuaIan ataukaH PEmbaHaRuan tERbatas?

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 250 h

Dalam hal ini, apa yang diuraikan secara umum oleh Prof. 

Dr. Azra itu, berlaku untuk para ulama umumnya di kawasan ini 

pada masa lampau. Juga dengan percontohan mereka, seperti 

terlihat dalam pelaksanaan akhlak dan penerapan ibadah, me­

reka para ulama itu telah merintis “ketaatan” agama yang luar 

biasa pada bangsa kita, yang masih terpelihara sampai hari ini di 

hadapan “pembaratan” (westernisasi) yang dianggap sebagai mo­

dernisasi. Proses seperti ini, yang berjalan sangat lambat selama 

berabad­abad lamanya, sangat ditentukan oleh percontohan yang 

diberikan elite kepada masyarakat kita. Inilah sebenarnya yang 

harus kita ingat, karena kuatnya kecenderungan elite politik kita 

dewasa ini hanya untuk mengejar keuntungan pribadi/golongan, 

di atas kepentingan bangsa secara keseluruhan.

eg

Hal yang dilupakan Prof. Dr. Azra, adalah menyebutkan 

juga fungsi lain yang dilakukan oleh Syekh Arsyad al­Banjari 

degan karyanya Sabîl al-Muhtadîn, yang sekarang ini juga men­

jadi nama Masjid Raya/Agung di Kota Banjarmasin. Apa yang 

dilupakan Dr. Azra, adalah bahwa dalam karya ini  Syekh 

Arsyad juga melakukan sebuah pembaharuan terbatas atas hu­

kum­hukum agama (fiqh). Dalam karyanya itu, beliau menyam­

paikan hukum agama Perpantangan. Hukum agama ini jelas 

memperbaharui hukum agama pembagian waris (farâidh) seca­

ra umum. Kalau biasanya dalam hukum agama itu disebutkan, 

ahli waris lelaki menerima bagian dua kali lipat ahli waris perem­

puan. Beliau beranggapan lain halnya dengan adat Banjar yang 

berlaku di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan 

dewasa ini.

Dalam karyanya itu, beliau menganggap untuk masyara­

kat bersungai besar, seperti di Kalimantan Selatan, harus diingat 

adanya sebuah ketentuan lain. Yaitu, rejeki di kawasan itu ada­

lah hasil kerjasama antara suami dan istri. saat  sang suami 

masuk hutan mencari damar, rotan, kayu dan sebagainya, maka 

istri menjaga jangan sampai perahu yang ditumpangi itu tidak 

terbawa arus air, di samping kewajiban lain seperti menanak 

nasi dan sebagainya. Dengan demikian, hasil­hasil hutan yang 

dibawa pulang adalah hasil karya dua orang, dan ini tercermin 

dalam pembagian harta waris. Menurut adat Perpantangan itu, 

g 251 h

harta waris dibagi dahulu menjadi dua. Dengan paroh partama 

diserahkan kepada pasangan yang masih hidup, jika suami atau 

istri meninggal dunia dan hanya paroh kedua itu yang dibagikan 

secara hukum waris Islam.

Dengan demikian, Syekh Arsyad melestarikan hukum aga­

ma Islam (fiqh) dengan cara melakukan pembaharuan terbatas. 

Namun, pada saat yang bersamaan, beliau juga melakukan pe­

nyebaran agama Islam dan memberikan contoh yang baik bagi 

masyarakatnya. Inilah jasa yang sangat besar yang kita kenang 

dari hidup beliau, sekembalinya ke tanah air di kawasan Nusan­

tara ini. Hanya dengan inisiatif yang beliau ambil itu, dapat kita 

simpulkan dua hal yang sangat penting: pertama, kemampuan 

melakukan pembaharuan terbatas, kedua berjasa mendidik ma­

syarakat dalam perjuangan hidup selama puluhan tahun lama­

nya. Jasa dalam dua bidang ini sudah pantas membuat beliau 

memperoleh gelar, sebagai penghargaan atas jasa­jasa beliau 

yang sangat besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa, di masa 

kini maupun masa depan.

Jasa Syekh Arsyad di bidang pembaharuan terbatas ini, 

dapat disamakan dengan jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma2 

dalam dinasti para penguasa Mataram. Dengan menetapkan 

bahwa tahun Saka, harus dimulai pada bulan Syura, dan bulan­

nya berjumlah tigapuluh hari. Hal yang sama juga dilakukannya 

atas hukum perkawinan­perceraian­rujuk yang berlaku hingga 

2 Sultan Agung adalah Raja ketiga Kerajaan Mataram yang memerintah 

tahun 1613­1645 dan berhasil membawa kerajaannya ke puncak kejayaan de­

ngan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Pangeran Jat­

miko dengan panggilan Raden Mas Rangsang. Pada tahun 1641, ia menerima 

pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar 

selengkapnya Sultan Agung Anyakrakusumo Senopati Ing Alogo Ngabdurrah­

man (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima 

perang dan pemangku amanah Allah  Yang Maha Kasih). Peninggalan Sultan 

Agung yang paling legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender 

Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang 

dikenal di pulau Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebih terkenal 

dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bu­

lan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung 

mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta men­

jadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Salah satu ciri kalender ini  

adalah penggunaan sistem bulan (hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka, 

seperti Muharram menjadi Suro, Safar menjadi Sapar, Rajab menjadi Rejeb, 

dan seterusnya.     

PEnyEsuaIan ataukaH PEmbaHaRuan tERbatas?

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 252 h

saat ini, yang diambilnya dari hukum agama Islam formal (fiqh). 

Dengan demikian “pembaharuan terbatas” yang dilakukan kedua 

tokoh ini  berjalan tanpa kekerasan, seperti yang diajarkan 

oleh agama Islam. Bukan dengan menggunakan kekerasan, apala­

gi terorisme seperti yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum 

muslimin yang tidak terdidik secara baik di negeri kita saat ini. h

g 253 h

Di akhir November tahun lalu, penulis diundang oleh se­

buah lembaga yang dipimpin Dr. Chandra Muzaffar1 

untuk turut dalam sebuah diskusi di Malaysia. Karena 

tempat dan tanggal diskusi itu dirubah, penulis tidak dapat turut 

serta dalam pembahasan­pembahasan yang dilakukan. Penulis 

hanya mengirimkan sebuah makalah tertulis kepada lembaga 

itu, untuk dibahas dalam kesempatan ini . Mudah­mudah­

an dengan langkah itu penulis dapat turut serta dalam memba­

has masalah yang diperbincangkan, yaitu peranan agama dalam 

mencari pemahaman yang benar tentang globalisasi. Kalau hal 

itu tercapai, berarti penulis telah mengambil bagian dalam pem­

bahasan mengenai satu sisi globalisasi.

Memang, pembahasan mengenai globalisasi selalu sangat 

menarik, bukankah hal itu menyangkut seluruh sisi kehidupan 

umat manusia? Sisi kolektif kehidupan manusia, seperti perda­

gangan dan sistem keuangan, maupun sisi individual (pribadi) 

seseorang ­seperti selera kita akan sesuatu, sangat ditentukan 

oleh pengertian kita akan globalisasi. Pengertian tertentu yang 

diambil itu, dengan sendirinya mengakibatkan sikap tertentu 

pula akan globalisasi. Pembahasan istilah ini  akan sangat 

menarik, karena relevansinya dengan kehidupan umat manusia. 

Inilah yang mendorong penulis untuk mengirimkan ringkasan 

sumbangan pemikiran bagi jalannya pembahasan mengenai pe­

1 Chandra Muzaffar adalah cendekiawan terkemuka Malaysia dan dike­

nal sebagai aktivis HAM. Pernah menjadi anggota eksekutif Asian Commission 

on Human Rights dan dinominasikan sebagai pengawas HAM (1988). Buku 

yang pernah ditulis antara lain Human Rights and the New World Order, (Pen­

ang: Just, 1993).

Pentingnya sebuah arti

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 254 h

ranan agama dan globalisasi yang berlangsung di Malaysia itu. 

Persoalannya terletak pada cara bagaimana kita memaha­

mi arti kata globalisasi ini . Sebuah pemahaman yang salah 

akan mengakibatkan pandangan yang salah pula, dan ini beraki­

bat pada pengambilan sikap yang tidak benar. Dengan demikian 

sikap kita, dan juga sikap agama­agama yang ada, harus diuji 

kebenarannya melalui pengertian yang benar pula, dan memiliki 

obyektifitas yang diperlukan. Dengan demikian, jelaslah bahwa 

pengertian yang benar tentang kata ini  sangat diperlukan, 

kalau kita ingin memperoleh kesimpulan yang jelas dan benar.

eg

Dalam pengertian yang umum dipakai, kata globalisasi sa­

ngat dipahami sebagai dominasi usaha­usaha besar dan raksasa 

atas tata niaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti. 

Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat 

secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. De­

retan penjualan “makanan siap­telan” (fast food) menjadi saksi 

akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar, 

bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup un­

tuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi ini . Pengertian 

lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas 

sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang seka-

rang menentukan sekali tata hubungan antara negara­negara 

yang ada. Karenanya, pembahasan arti kata globalisasi itu men­

jadi sangat penting dan akan menentukan masa depan umat ma­

nusia. Karena itulah kita juga harus turut berbicara, kalau tidak 

ingin nantinya arti itu ditentukan oleh pihak lain yang disebut­

kan di atas. 

Dalam hal ini, penulis menganggap arti kata globalisasi ini 

harus dipahami secara lebih serius, karena kalau kita lengah dan 

tidak memberikan perhatian, justru akan menjadi mangsa tata 

niaga internasional yang berlaku di seluruh dunia saat ini. Maka­

nya, dari dulu penulis telah berkali­kali menyampaikan hal ini 

kepada masyarakat melalui pidato, ceramah, prasaran maupun 

artikel seperti ini. 

Sikap penulis ini hampir­hampir tidak pernah mendapat­

kan responsi­responsi yang kreatif. Walaupun penulis juga menge­

tahui banyak artikel ditulis untuk jurnal­jurnal ilmiah tentang 

g 255 h

hal ini, namun hampir seluruh karya­karya itu tidak mencapai 

pembaca kebanyakan dan dengan demikian masyarakat tidak 

turut pula dalam pembahasan mengenai arti kata globalisasi itu. 

Dengan demikian, pemahaman sepihak yang bersifat materialis­

tik atas kata itu tetap saja menjadi dominan. Penulis juga tahu 

bahwa dengan tulisan ini pun, masyarakat tetap saja banyak 

yang tidak mengetahui adanya bermacam­macam pengertian 

dari kata ini , karena mungkin terlalu kecilnya upaya untuk 

mengajukan pengertian lain, dari apa yang dimengerti masyara­

kat pada waktu ini. Namun, tulisan seperti itu harus dikemuka­

kan guna menunjang sebuah keputusan politik yang nanti akan 

diambil pada waktunya.

eg

Dengan kata lain penulis memiliki keyakinan, bahwa peru­

bahan sebuah pengertian akan terjadi, jika ada pihak yang nan­

tinya mengambil kebijakan sesuai dengan kebuAllah  ini . 

Ini akan terjadi jika ada pemerintahan yang benar­benar memi­

kirkan kepentingan rakyat kebanyakan, dalam perimbangan ke­

kuatan antara berbagai pemikiran di dunia ini. Jika nantinya ada 

pemerintahan yang benar­benar tidak rela akan adanya ketim­

pangan kekuatan luar biasa, antara negara­negara berteknologi 

maju dengan negara­negara yang sedang berkembang, tentu 

akan ada tindakan­tindakan untuk melakukan koreksi terhadap 

ketimpangan ini . Upaya korektif itulah yang akan menim­

bulkan pengertian yang benar atas kata globalisasi itu.

Islam mengajarkan perlunya dijaga keseimbangan antara 

hal­hal yang mengatur kehidupan manusia, mengapa? Karena 

hanya dengan keseimbangan itulah keadilan dapat dijaga dan 

akan berlangsung baik dalam kehidupan individual maupun 

kolektif kita. Sangat banyak kata “i’dilû” (berlakulah yang adil) 

dimuat dalam kitab suci al-Qur’ân, maka mau tidak mau pemikir-

an tentang masyarakat harus bertumpu pada kebijakan ini . 

Kata “al-qisthu” (keadilan) juga demikian banyak terdapat dalam 

pemikiran Islam, seperti “Wahai orang­orang beriman, tegak­

kan keadilan dan jadilah saksi bagi Allah  kalian, walau akan 

merugikan (sebagian dari kalangan) kalian sendiri (yâ ayyuha 

al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li al-

lâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS al­Nisa [4]:135).

PEntInGnya sEbuaH aRtI

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 256 h

Jadi, jelaslah bahwa upaya menegakkan pengertian yang 

benar atas kata “globalisasi” sangat terkait dengan penegakan 

keseimbangan antara berbagai kekuatan di dunia ini, yang juga 

berkaitan dengan pemikiran akan keadilan dalam pandangan 

Islam. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan po­

puler “Sebaik­baik perkara/persoalan, adalah yang (terletak) 

di tengah­tengah” (khairu al ‘umur ausâthuhâ). Jelaslah dari 

hadits tadi, Islam sangat terkait dari sudut pemikiran keseim­

bangan antar­negara. Dengan kata lain, Islam sebenarnya tidak 

merelakan ketimpangan yang terjadi pada saat ini. h

g 257 h

Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan In­

donesia (LIPI) mengadakan penelitian tentang 14 sistem 

budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya daerah Aceh 

hingga Nusa Tenggata Timur (NTT) diteliti, termasuk sistem bu­

daya Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem buda­

ya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerah­daerah 

pusat keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem 

budaya Jawa II adalah Jawa pinggiran, terutama di Jawa Timur. 

Budaya pesantren, dalam hal ini, termasuk sistem budaya Jawa 

II.

Hasil yang sangat menarik dari penelitian ini , yang 

dipimpin Dr. Mochtar Buchori, adalah pentingnya menerapkan 

sistem­sistem ini  di saat sistem modern belum dapat dite­

rapkan. Sistem budaya Ngada di Flores Timur, umpamanya, 

adalah substitusi bagi sistem hukum nasional kita di daerah itu, 

saat  belum berdiri lembaga pengadilan di sana. Kode etik Siri 

dalam masyarakat Bugis, yang berintikan pembelaan terhadap 

kehormatan diri, tidaklah lekang pada masa ini. Beberapa kejadi­

an penggunaan badik untuk mempertahankan diri, di berbagai 

daerah di kalangan orang Bugis, jelas menunjukkan adanya pene­

rapan nilai­nilai yang berlaku dalam sistem budaya daerah Bugis 

itu. 

Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sis­

tem budaya daerah kita di tengah­tengah arus modernisasi yang 

datang tanpa dapat dicegah. Karenanya, sikap yang tepat adalah 

sistem Budaya daerah kita dan 

modernisasi

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 258 h

bagaimana memanfaatkan sistem budaya daerah di suatu tem­

pat dalam satu periode, dengan dua tujuan: menunggu mapan­

nya masyarakat dalam menghadapi  modernisasi, dan mengelo­

la arus perubahan untuk tidak datang secara tiba­tiba. Dengan 

cara demikian, kita dapat mengurangi akibat­akibat modernisasi 

menjadi sekecil mungkin.

eg

Clifford Geertz1 dari Universitas Princeton, menganggap 

kyai/ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural bro-

ker). Dia menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai 

melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya. 

Nilai­nilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka 

agar tidak menanggalkan budaya lama —kyai bagaikan dam/

waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar. 

Namun pengaruh budaya luar yang datang ke suatu daerah, 

bagaikan permukaan air yang naik oleh adanya bendungan itu. 

Masyarakat dilindungi dari pengaruh­pengaruh negatif, dan di­

biarkan mengambil pengaruh­pengaruh luar yang positif. 

Hiroko Horikoshi dalam disertasinya2 berhasil membukti­

kan bahwa Kyai mengambil peranan sendiri untuk merumus­

kan gerak pembangunan di tempat mereka berada. Ini berarti, 

menurut Horikoshi reaksi pesantren terhadap modernisasi tidak­

lah sama dari satu ke lain tempat. Dengan demikian, tidak akan 

ada sebuah jawaban umum yang berlaku bagi semua pesantren 

terhadap tantangan proses modernisasi. Dengan kata lain, Hori­

koshi menolak pendapat Geertz di atas.

Menurut Horikoshi, masing­masing pesantren dan Kyai 

akan mencari jawaban­jawaban sendiri —dan, dengan demikian 

tidak ada jawaban umum yang berlaku bagi semua dalam hal 

ini. Pendapat Geertz di atas, dengan sendirinya, terbantahkan 

1  Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang sangat terkenal dalam 

studi keindonesiaan. Melalui penelitiannya di Mojokuto, yang kemudian terbit 

bukunya Religion of Java. Dia membagi stratifikasi sosial­religius masyarakat 

Jawa dalam tiga kelompok, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Meski mendapat 

banyak kritik dan koreksi, namun hingga sekarang teori ini masih mewarnai 

studi sosial­religius di Indonesia.

2  Disertasi Hiroko Horikoshi berjudul Kiai dan Perubahan Sosial, (Ja­

karta: P3M, 1987).

g 259 h

oleh temuan­temuan yang dilakukan Horikoshi terhadap reaksi 

Kyai Yusuf Thojiri dari Pesantren Cipari, Garut, atas tantangan 

modernisasi. Pesantren yang dipimpin oleh besan mendiang 

KH. Anwar Musaddad itu, tentu memberikan reaksi lain terha­

dap proses modernisasi. Pesantren yang sekarang dipimpin oleh 

Ustadzah Aminah Anwar Musaddad itu, sekarang justru tertarik 

pada upaya mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang 

bergerak di bidang garment dan pelestarian lingkungan alam 

melalui penghutanan kembali.

eg

Jelaslah dengan demikian, bahwa bermacam cara dapat 

digunakan untuk mengenal berbagai reaksi terhadap proses mo­

dernisasi. Ada reaksi yang menggunakan warisan sistem budaya 

daerah, tapi ada pula yang merumuskan reaksi mereka dalam 

bentuk tradisi yang tidak tersistemkan. Ada pula reaksi yang 

bersifat temporer, tapi ada pula yang bersifat permanen. Ada 

yang berpola umum, tapi ada pula yang menggunakan cara­cara 

khusus dalam memberikan reaksi. 

Kesemuannya itu dapat disimpulkan, keengganan meneri­

ma bulat­bulat apa yang dirumuskan “orang lain” untuk diri kita 

sendiri. Proses pribumisasi (nativisasi) berlangsung dalam ben­

tuk bermacam­macam, pada saat tingkat penalaran dan keteram­

pilan berjalan, melalui berbagai sistem pendidikan. Dengan de­

mikian, proses pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) 

di Indonesia berjalan dalam dua arah yang berbeda. Di satu pi­

hak, kita menerima pengalihan teknologi dan keterampilan dari 

bangsa­bangsa lain, melalui sistem pendidikan formal —maka, 

lahirlah tenaga­tenaga profesional untuk mengelolanya. Di pi­

hak lain, pendidikan informal kita justru menolak pendekatan 

menelan bulat­bulat apa yang datang dari luar. 

Dengan demikian, tidaklah heran jika ada dua macam 

jalur komunikasi dalam kehidupan bangsa kita. Di satu sisi, kita 

menggunakan jalur komunikasi modern, yang bersandar pada 

sistem pendapat formal dan media massa. Media massa pun, 

yang dahulu sangat takut pada kekuasaan pemerintah, kini jus­

tru tunduk terhadap kekuasaan uang; dengan kemampuan yang 

belum berkembang menjadi proses yang efektif. Di sisi lain, di­

gunakan jalur lain, yaitu komunikasi langsung dengan massa 

sIstEm budaya daERaH kIta dan modERnIsasI

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 260 h

kongregasi jama’ah masjid/surau, gereja, pengajian-pengajian 

khalayak/majelis ta’lim, kelenteng/vihara, merupakan saluran 

wahana langsung ini . Apalagi, jika seseorang atau kelom­

pok mampu menggunakan kedua jalur komunikasi itu, tentu 

akan menjadikan sistem politik kita sekarang dan di masa depan 

menjadi sangat transparan, akan menjadi lahan menarik untuk 

dapat dipelajari dan diamati dengan seksama. h

g 261 h

Sebagaimana diketahui “Tombo Ati” adalah nama sebuah 

sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyidina Ali, yang oleh KH. 

Bisri Mustofa dari Rembang (ayah KH. A. Mustofa Bisri) 

diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan ju­

dul ini . Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya 

dilakukan oleh seorang muslim yang ingin mendekatkan diri ke­

pada Allah Swt. Kelima hal itu dianggap sebagai obat (tombo) 

bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara teratur ke­

lima hal yang disebutkan dalam sajak ini , dijanjikan orang 

itu akan menjadi Muslim “yang baik”. Dianggap demikian karena 

ia melaksanakan amalan agama secara tuntas. Sajak ini sangat 

populer di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di ling­

kungan pesantren. 

Karenanya sangatlah penting untuk mengamati, adakah sa­

jak itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional? 

Kalau ia tetap dilestarikan, maka hal itu menunjukkan kemam­

puan Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian 

mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah ke­

lompok melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”. 

Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dahsyat yang 

menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses 

modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pem­

baratan). Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan 

memiliki isi kongkret lokal (Jawa), justru membuat pertarungan 

budaya itu lebih menarik untuk diamati.  

Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga 

masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali ti­

“tombo ati” Berbentuk Jazz?

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 262 h

dak terduga. Terlihat dalam sajak ini  yang berisi “perintah 

agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan mema­

hami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat dengan 

para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah 

hal­hal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola 

hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya men­

jadi “orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh 

kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum 

Muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup 

mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang 

untuk menantangnya. 

eg

Dalam sebuah perhelatan perkawinan di Kota Solo, penulis 

mengalami sendiri hal itu. saat  sebuah kelompok band menam­

pilkan permainan lagu Tombo Ati itu secara “modern”. Penulis 

sangat tercengang. Pertama, oleh kenyataan sebuah produk sas­

tra yang sangat kuno (walaupun berupa terjemahan) dapat disaji­

kan dalam irama yang tidak terduga sama sekali. Mungkin irama 

jazz itu bercampur dengan langgam Jawa, namun ia tetap saja 

sebuah iringan jazz. Mungkin tidak semodern permainan Sadao 

Watanabe1, namun bentuk jazz dari Tombo Ati itu tetap tampak 

dalam sajian sekitar 5 menit itu. 

Di sini kita sampai kepada sebuah kenyataan, munculnya 

berbagai bentuk dan sajian tradisional dengan mempertahan­

kan “hakikat keaslian” di hadapan tantangan modernitas. Tidak 

hanya penampilan alat­alat musiknya saja, melainkan dalam 

perubahan fungsi dari sajak itu sendiri. Kalau semula sajak itu 

dimaksudkan sebagai pesan moral sangat ideal bagi kaum Mus­

limin, namun dalam pagelaran ini  berubah peran menjadi 

sebuah hiburan. 

Tentu saja kita tidak dapat menyamakan pagelaran musik 

yang menggemakan Tombo Ati dengan Debus dari Banten, yang 

memperagakan manusia tidak berdarah saat  ditusuk benda ta­

jam. Kita tidak menyadari, sebenarnya untuk melakukan pertun­

jukan Debus itu, seseorang yang belasan tahun “tirakat” harus­

1 Sadao Watanabe adalah legenda musik jazz dari Jepang. Ia mahir me­

mainkan alto saxophone dan sopranino saxophone.

g 263 h

lah menahan diri dari kebiasaan­kebiasaan memakan sejumlah 

makanan dan membatasi kebiasaan yang dijalankan dalam ke­

hidupan sehari­hari. Dengan demikian untuk menjalankan per­

tunjukan itu terdapat keyakinan agama dan latihan­latihan mere­

duksi kebiasaan sehari­hari.

Penampilan sajak Tombo Ati dalam sajian jazz adalah se­

suatu yang sangat menarik untuk diamati. Jelas dari penampilan 

Tombo Ati itu terjadi sebuah proses yang oleh para pengamat 

perkembangan masyarakat disebut sebagai perjumpaan (en-

counter) antara peradaban tradisional dengan peradaban mo­

dern. Dilanjutkan dengan “proses tawar menawar” (trade off) 

yang sering terasa aneh, karena menampilkan sesuatu yang tidak 

tradisional maupun modern. Kemampuan melakukan tawar­me­

nawar seperti itulah, yang sekarang dihadapi kebudayaan kita. 

Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi bukannya dihar­

dik atau disesali (seperti terlihat dari sementara reaksi berlebih­

an atas pagelaran “ngebor” dari Inul). 

eg

Perjumpaan antara yang tradisional dan yang modern itu 

dimungkinkan oleh kerangka komersial yang bernama pariwi­

sata. Namun dalam tradisionalisme ada juga mengandung watak­

watak yang tidak komersial, dan harus didorong untuk maju. 

Perjumpaan juga terjadi antar agama. Contohnya, keti­

ka agama Buddha dibawa oleh Dinasti Syailendra ke pulau 

Jawa dan bertemu dengan agama Hindu yang sudah terlebih 

dahulu datang, hasilnya adalah agama Hindu­Buddha (Bhai-

rawa).  Agama Islam yang masuk ke Indonesia juga mengalami 

hal yang sama. Perjumpaan antara ajaran formal Islam dengan 

budaya Aceh misalnya melahirkan “seni kaum Sufi” seperti tari 

Seudati, yang dengan indahnya digambarkan oleh James Siegel 

dalam Rope of God.2 Berbeda dari model Minangkabau yang 

mengalami perbenturan dahsyat bidang hukum agama, antara 

hukum formal Islam dan ketentuan­ketentuan adat. Hasilnya 

adalah ketidakpastian sikap yang ditutup­tutupi oleh ungkapan 

2 James Siegel adalah Professor of Anthropology dan Asian Studies, 

di Cornell University. Rope of God adalah buku yang diterbitkan Universitas 

Machigan tahun 2000 yang menceritakan tentang budaya masyarakat Aceh. 

“tombo atI” bERbEntuk jazz

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 264 h

“Adat Basandi Sara’ dan Sara’ Basandi Kitabullah .”3 Di Gua 

(Sumatera Selatan) yang terjadi adalah lain lagi, yaitu ketentuan 

Islam jalan terus, sedangkan hal­hal tradisional pra­Islam juga 

dilakukan. Di pulau Jawa yang terjadi adalah hubungan yang 

dinamai oleh seorang akademisi sebagai “hubungan multi­kera­

tonik.” Dalam hubungan ini kaum santri mengembangkan pola 

kehidupan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh “adat pra Islam” 

yang datang dari keraton. 

Perkembangan keadaan seperti itu, mengharuskan kita 

menyadari bahwa setiap agama di samping ajaran­ajaran for­

mal yang dimilikinya, juga mempunyai proses saling mengam­

bil dengan aspek­aspek lain dari kehidupan budaya. Dari situ­

lah, kita harus menerima adanya perkembangan empirik yang 

sering dinamakan studi kawasan mengenai Islam. Penulis meli­

hat perlunya studi kawasan itu untuk setidak­tidaknya kawasan­

kawasan Islam berikut: Islam dalam masyarakat Afrika­Utara 

dan negara­negara Arab, kawasan Islam di Afrika Hitam, Islam 

dalam masyarakat Turki­Persia­Afganistan, Islam di masyarakat 

Asia Selatan, Islam di masyarakat Asia Tenggara dan masyara­

kat minoritas Islam yang berindustri maju. Kedengarannya mu­

dah membuat studi kawasan (area-studies) Islam, tapi hal itu 

sebenarnya sulit dilaksanakan. h

3 Konsepsi ini terlahir dari proses akomodasi Islam awal dalam tradisi 

lokal di Minangkabau yang menempatkan Tarekat di daerah ini sebagai faktor 

yang berpengaruh terhadap formasi sosial. Formasi sosial di daerah ini mem­

buktikan adanya penerimaan lokal secara bertahap atas Islam—sebuah proses 

yang tak hanya secara geografis berlangsung dari rantau menuju darek, namun 

juga menjadikan pergumulan Islam lebih bermakna internal Minangkabau. 

Konsep ini  muncul saat  Syekh Burhanuddin (pernah berguru kepada 

Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh) masih hidup dan merupakan hasil “Per­

janjian Marapalam” tahun 1668. (lihat: Rusydi Ramli, Hikayat Fakih Saghir 

‘Ulamiah Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo: Suatu Studi 

“Sejarah Pemikiran Islam” dari Teks Tokoh Gerakan Padri Awal Abad XX 

(Padang: IAIN Imam Bonjol, 1989). 

g 265 h

Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh 

mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu 

unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala 

yu’la alahi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka 

menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan ke­

jayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban­peradaban 

lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara 

doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan 

Islam terhadap “keunggulan” teknis peradaban­peradaban lain. 

Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendah­

an peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan 

dan memandang peradaban lain lebih rendah. 

Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap oto­

riter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap 

orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemundur­

an peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam 

cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan 

keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat 

kekerasan sebagai satu­satunya cara “mempertahankan Islam”. 

Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Is­

lam. 

Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bah­

wa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya 

jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim). 

Selain alasan ini  itu tidak diperkenankan menggunakan 

kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pan­

dangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, me­

reka salah memahami Islam, saat  memaahami bahwa kaum 

muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum 

dicari: keunggulan Budaya

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 266 h

lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan 

ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri 

(kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 

54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca 

oleh Rasul­Nya. 

eg

Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap 

rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan un­

tuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari 

pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi ber­

sabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ 

walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmu­ilmu ka­

jian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan terse­

but? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke 

mana­mana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapa­

pun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat 

di mana­mana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah 

hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirin­

tis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa 

juga menghasilkan hal­hal yang berguna bagi kehidupan kita se­

hari­hari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki 

kitab suci al-Qur’ân dan Hadits. 

Lalu adakah “kelebihan teknis” orang­orang lain atas kaum 

muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam? 

Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepa­

da agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan 

sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Is­

lam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhi­

rat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira 

al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-âkhirati 

min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat 

diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan 

seorang non­muslim, namun  di dalam kehidupan sehari­hari kita 

tidak boleh memandang rendah kerja siapapun. 

Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan 

dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kuali­

tas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu 

tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara 

g 267 h

teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari 

setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama 

dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manu­

sia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut 

keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. Peng­Islaman per­

buatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis” 

semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi 

yang berbeda satu dari yang lain. 

eg

Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keung­

gulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada 

kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan me­

ngembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak, 

kaum muslimin harus mengusahakan agar supaya Islam ­sebagai 

agama langit yang terakhir­ tidak tertinggal, minimal secara teo­

ritik. namun  di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk meli­

hat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya 

sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk 

mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggu­

nakan kekerasan berlipat­lipat kalau memang secara budaya 

kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum 

muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan 

teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan 

budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan poli­

tik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat 

muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kema­

juan, teknologi dan ilmu pengetahuan. 

Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang 

lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan bu­

daya mereka mendorong munculnya hal­hal baru yang bersifat 

“teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel 

Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civi-

lizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai 

perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus di­

hindari. 

eg

dIcaRI: kEunGGulan budaya

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 268 h

Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shim-

bun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di 

dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi 

dengan Profesor Huntington, bersama­sama dengan Chan Heng 

Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian Asia­Tenggara di Singa­

pura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan 

Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo 

itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru berten­

tangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan 

Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari 

seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di nege­

ri­negeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu 

kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari bu­

daya Barat.1

Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar 

menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka 

kembangkan dari negeri­negeri Barat untuk kepentingan kemanu­

siaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya 

nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang 

mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap ber­

orientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan 

misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu 

harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang meru­

pakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa 

depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh du­

nia, termasuk di negeri­negeri muslim. h

1 Teori “benturan peradaban” (clash of civilizations) Samuel P. Hunting­

ton terdapat dalam bukunya Clash of Civilizations and The Remaking of World 

Order. Pada dasarnya Huntington membenarkan bahwa Islam adalah anca­

man bagi dunia. Pemikiran Huntington ini seakan menjadi “wahyu” tentang 

terjadinya “perang suci” antara Islam dan Barat. Dalam melihat peradaban Is­

lam, tentunya jangan dilihat perbedaan pohon yang warna­warni itu, coba lihat 

hutannya (dari atas), maka akan terlihat bahwa semua sama: hijau ”.  

g 269 h

Minggu keempat bulan Desember 2002, penulis atas 

undangan Susuhunan Pakubuwono XII1 dari Solo, me­

lancong ke Kuala Lumpur untuk dua malam. Penulis 

memperoleh undangan itu, karena Sri Susuhunan juga diundang 

oleh sejumlah petinggi Malaysia guna merayakan ulang tahun­

nya yang ke­80. Ini menunjukkan, bahwa pengaruh Keraton 

Solo Hadiningrat masih kuat hingga ke Negeri Jiran, seperti Ma­

laysia. Sudah tentu pengaruh ini  bersifat budaya/kultural 

saja, karena pengaruh politisnya sudah diambil alih pemerintah 

negeri kita. Inilah yang harus disadari, karena kalau yang di­

inginkan adalah pengaruh politik tentu akan kecewa.

Kunjungan ini  penulis lakukan tanpa memberitahu­

kan pihak Pemerintah Malaysia, terutama Kantor Perdana Mente­

ri Mahathir Muhammad, karena protokoler kunjungan ini  

tentu akan diambil alih oleh pihak pemerintah federal, yang ka­

lau di Malaysia disebut kerajaan. Pihak protokol akan membuat 

susah teman­teman Malaysia yang ingin menjumpai penulis dan 

akan membuat penulis tidak merdeka. Tentu, ini juga merupa­

kan pertanda bah wa kunjungan itu tidak mempunyai arti politis 

1 Susuhunan Pakubuwono XII memiliki nama lengkap Raden Mas Suryo 

Guritno yang lahir pada 14 April 1925. Beliau dikukuhkan sebagai raja Jawa 

pada tanggal 12 Juli 1945. Di pundaknyalah tertumpu tugas kepemimpinan 

Jawa, yang terhimpit di antara dua zaman, yaitu pergeseran (transformasi) dari 

nilai tradisional ke alam modern dan perubahan dari iklim budaya feodal ke 

zaman budaya demokrasi.

keraton dan Perjalanan Budayanya

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 270 h

apapun. Dengan demikian, penulis juga merasa tidak perlu mem­

beritahukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala 

Lumpur atas kunjungan ini . Karena penulis tidak ingin di­

ganggu siapapun dalam melakukan kunjungan ini .

Pada hari kedua, penulis melakukan perjalanan selama tu­

juh jam (pulang­pergi) untuk melakukan ziarah ke makam Hang 

Tuah, di Tanjung Kling, negara bagian Malaka. Di tempat itu, 

kepada penulis dibacakan serangkaia