islam 8
PR/MPR kita dewasa ini.
Masalahnya adalah persoalan klasik yang harus kita hadapi
sekarang ini. Kepercayaaan (trust) masyarakat kepada sistem
pemerintahan kita dewasa ini menjadi sesuatu yang sangat mem
prihatinkan. KKN, terutama dalam bentuk korupsi, kini tampak
nyata sudah tak terkendali lagi. Benarlah kata alm. Mahbub Junai
di: bahwa nanti kita harus membayar pajak karena mengantuk,
seolaholah sebuah kenyataan yang hidup. Runtuhnya kekuasaan
Wangsa Syailendra (pembangun candi Borobudur) dan kerajaan
Majapahit (untuk membiayai perang dan perluasan kawasan)
—misalnya, akhirnya runtuh karena keduanya hanya sekadar
berkuasa namun tidak memimpin. Kekuasaan wangsa Syailendra
dianggap tidak ada oleh kaum HinduBudha yang membangun
candi Prambanan yang di kemudian hari hijrah ke Kediri di
bawah Darmawangsa dan mengingkari kekuasaan wangsa terse
but. Kekuasaan Majapahit, yang semula memeluk agama Hindu
Budha/Bhairawa, akhirnya juga hilang tanpa dapat ditolong lagi
karena ketidakmampuan mempertahankan keadaan di hadapan
tantangan kaum muslimin, terutama di bawah pimpinan Sayyid
Jamaluddin Husaini dalam abad ke15 Masehi.
Dengan mengacu kepada ketidakmampuan pemerintah
yang ada untuk memelihara kepercayaan (trust) rakyat ini ,
g 233 h
jelas bagi kita adanya kewajiban besar untuk berpegang kepada
amanat ini . Kepentingan rakyat, yang dirumuskan dengan
sangat baik oleh para pendiri negeri ini, melalui pembukaan UUD
1945, yaitu dengan rumusan ”masyarakat adil dan makmur”, jelas
menunjuk pada keharusan mencapai kesejahteraan bangsa. Per
nah diperdebatkan, apakah peningkatan PNB (Produk National
Bruto), dapat dinilai sebagai upaya mencapai keadaan ini ?
Sekarang jangankan berusaha ke arah itu, berdebat mengenai
apa yang dimaksud dengan kesejahteraan, keadilan dan kemak
muran pun sudah tidak lagi kita lakukan.
Kehidupan kita yang keringkerontang ini sekarang hanya
dipenuhi oleh kegiatan untuk mempertahankan kekuasaan, bu
kannya untuk mencapai kepemimpinan yang diharapkan. Kekua
saan disamakan dengan kepemimpinan, dan kekuasaan tidak
lagi mengindahkan aspek moral/etikanya dalam kehidupan kita
sebagai bangsa. Pantaslah jika kita sekarang seolaholah tidak
memiliki kepemimpinan, karena kita sudah kehilangan aspek
moral dan etika ini . Kepemimpinan kita saat ini, sebagai
bangsa, hanya dipenuhi oleh basabasi (etiket) yang tidak mem
berikan jaminan apaapa kepada kita sebagai bangsa.
Agama Islam, yang dipeluk oleh mayoritas bangsa kita,
memiliki sebuah adagium yang sangat penting: ”Kebijakan dan
tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang dipimpin, haruslah
terkait langsung dengan kesejahteraan mereka” (Tasharruf al-
imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûtun bi al-maslahah) jelas menun
juk kewajiban sang pemimpin kepada rakyat yang dipimpinnya.
Benarkah kita saat ini memperjuangkan kesejahteraan dengan
sungguhsungguh, kalau dilihat kelalaian para penguasa kita
dewasa ini? Tentu saja pertanyaan ini tidak akan ada yang men
jawab sekarang, karena dalam kenyataan hal ini tidak dipikirkan
secara sungguhsungguh oleh para penguasa kita. Tidak ada
usaha untuk mengkaji kembali sistem pemerintahan kita, mini
mal mengenai orientasinya, hingga tidak heranlah jika langkah
bangsa ini sedang terseokseok.
Umar bin Khattab pernah mengeluarkan sebuah statemen
populer: “Tiada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa
kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan
(La islama illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala
imarata illa bi tha’ah),” jelas sekali menunjuk pada pentingnya
arti kepemimpinan dan sang pemimpin. Dengan demikian, kepe
bERkuasa dan HaRus mEmImPIn
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 234 h
mimpinan mempunyai arti yang sangat besar bagi sebuah bangsa.
saat para pemimpin kita bertikai mengenai kapan waktu yang
tepat bagi proklamasi kemerdekaan, ada yang merasakan sudah
waktunya hal itu dilaksanakan, dan ada pula yang merasa be
lum waktunya, namun semuanya mengetahui bahwa proklamasi
harus dilakukan, hanya soal waktu saja yang dipersengketakan.
saat para pemuda menculik Soekarno ke Rengasdengklok, hal
itu menunjukkan bahwa mereka memiliki jiwa kepemimpinan
yang diperlukan, sedangkan Soekarno tidak mempersoalkan ke
harusan proklamasi itu sendiri. Ia hanya mempersoalkan bila
proklamasi itu harus dilakukan. Dan akhirnya, semua sepakat,
bahwa hal itu harus dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bahwa krisis multidimensi yang kita hadapi sekarang ini,
memerlukan jawaban serbabagai dari para penguasa pemerin
tahan kita; dari menciptakan sistem politik baru yang mengacu
kepada etika dan moral, melalui kedaulatan hukum dan per
lakuan yang sama bagi semua warga negara di depan undang
undang, hingga pengembangan orientasi ekonomi yang tepat.
Pengamatan Syahrir bahwa kita tidak memiliki pemimpin, me
lainkan hanya seorang penguasa belaka, tentu didasarkan pada
sebuah kenyataan, bahwa seorang pemimpin harus memiliki ke
beranian moral, kemauan politik (political will) dan kejujuran un
tuk mengutamakan kepentingan rakyat, bukannya kepentingan
sendiri ataupun kelompok. Karena kepemimpinan formal yang
seperti itu belum ada, pantaslah bila ada anggapan, kita tidak
memiliki pimpinan saat ini, melainkan hanya penguasa saja. h
g 235 h
Dalam terbitan perdana sebuah jurnal ilmiah bulanan Nah
dlatul Ulama, yang diterbitkan pada 1928 dan bertahan
sampai tahun 60-an, KH. M. Hasyim Asy’ari menuliskan
fatwa: bahwa kentongan (alat dari kayu yang dipukul hingga ber
bunyi nyaring) tidak diperkenankan untuk memanggil shalat da
lam hukum Islam. Dasar dari pendapatnya itu adalah kelangkaan
hadits Nabi; biasanya disebut sebagai tidak adanya teks tertulis
(dalil naqli) dalam hal ini.
Dalam penerbitan bulan berikutnya, pendapat ini di
sanggah oleh wakil beliau, Kyai Faqih dari Maskumambang, Gre
sik, yang menyatakan bahwa kentongan harus diperkenankan,
karena bisa dianalogikan atau diqiyas-kan kepada beduk seba
gai alat pemanggil shalat. Karena beduk diperkenankan, atas ada
nya sumber tertulis (dalil naqli) berupa hadits Nabi Muhammad
SAW mengenai adanya atau dipergunakannya alat ini pada
zaman Nabi, maka kentongan pun harus diperkenankan.
Segera setelah uraian Kyai Faqih Maskumambang itu
muncul, KH. M. Hasyim Asy’ari segera memanggil para ulama
seJombang dan para santri senior beliau untuk berkumpul di
pesantren Tebu Ireng, Jombang. Ia pun lalu memerintahkan
kedua artikel itu untuk dibacakan kepada para hadirin. Setelah
itu, beliau menyatakan mereka dapat menggunakan salah satu
dari kedua alat pemanggil itu dengan bebas. Yang beliau minta
hanyalah satu hal, yaitu hendaknya di Mesjid Tebu Ireng, Jom
bang kentongan itu tidak digunakan selamalamanya. Pandangan
tata krama dan
‘ummatan Wâhidatan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 236 h
beliau itu mencerminkan sikap sangat menghormati pendirian
Kyai Faqih dari Maskumambang ini , dan bagaimana sikap
itu didasarkan pada “kebenaran” yang beliau kenal.
Dalam bulan Maulid/Rabi’ul Awal berikutnya, KH. M.
Hasyim Asy’ari diundang berceramah di Pesantren Maskumam-
bang. Tiga hari sebelumnya, para utusan Kyai Faqih Maskumam
bang menemui para ketua/pemimpin ta’mir mesjid dan surau
yang ada di kabupaten Gresik dengan membawa pesan beliau:
selama KH. M. Hasyim Asy’ari berada di kawasan kabupaten
ini , semua kentongan yang ada harus diturunkan dari
tempat bergantungnya alat itu. Sikap ini diambil beliau karena
penghormatan beliau terhadap Kyai Hasyim Asy’ari, yang bagai-
manapun adalah atasan beliau dalam berorganisasi. Meyakini
sebuah kebenaran, tidak berarti hilangnya sikap menghormati
pandangan orang lain, sebuah sikap tanda kematangan pribadi
kedua tokoh ini .
Sikap saling menghargai satu sama lain, antara kedua to
koh ini yaitu antara Rois ‘Am dan Wakil Rois ‘Am PBNU
waktu itu, menunjukkan tata krama yang sangat tinggi di antara
dua orang ulama yang berbeda pendapat, tapi menghargai satu
sama lain. Inilah yang justru tidak kita lihat saat ini, terlebihle
bih di antara pemimpin gerakan Islam dewasa ini, yang tampak
mencuat justru sikap saling menyalahkan, sehingga tidak ter
dapat kesatuan pendapat antar mereka. Yang menonjol adalah
perbeda an pendapat, bukan persamaan antara mereka. Penulis
tidak tahu, haruskah kenyataan itu disayangkan ataukah justru
dibiarkan?
Mungkin ini adalah sisasisa dari sebuah nostalgia yang
ada mengenai “keagungan” masa lampau belaka. Tapi bukankah
seseorang berhak merasa seperti itu? Bukankah kitab suci al
Qur’ân menyatakan, “Sesungguhnya telah Kuciptakan kalian
(dalam bentuk) lelaki dan perempuan dan Kujadikan kalian ber
bangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian di hadapan Al
lah adalah yang paling bertaqwa (innâ khalaqnâ kum min dza-
karin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû
innâ akramakum ‘inda Allâhi atqâkum)” (QS alHujurat [49]:13)
Ayat ini jelas membenarkan perbedaan pendapat di antara kaum
muslimin.
Namun Allah juga berfirman dalam kitab suci-Nya itu:
g 237 h
“Dan berpeganglah kalian kepada tali Allah (secara) keseluruhan
dan janganlah berceraiberai/terpecah belah (wa’ tashimû bi ha-
bli allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Imran [3]:103). Ayat
ini menunjukkan kepada kita, bahwa yang dilarang bukannya
perbedaan pandangan melainkan bersikap terpecahbelah satu
dari yang lain. Hal ini diperkuat oleh sebuah ayat lain: “Bekerja
samalah kalian dalam (bekerja untuk) kebaikan dan ketakwaan
(ta’âwanû ‘alâ al-birri wa al-taqwâ)” (QS alMaidah [5]:2) yang
jelasjelas mengharuskan kita melakukan koordinasi berbagai
kegiatan. namun , kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan
oleh kepemimpinan tunggal dalam berbagai gerakan Islam.
Masalahnya sekarang adalah langkanya kepemimpinan
seperti itu. Para pimpinan gerakan Islam saling bertengkar, mini
mal hanya bersatu dalam ucapan. Mengapakah demikian? Kare
na para pemimpin itu hanya mengejar ambisi pribadi belaka, dan
jarang berpikir mengenai umat Islam secara keseluruhan. Seha
rusnya, mereka berpikir tentang bagaimana melestarikan agama
Islam sebagai budaya, melalui upaya melayani dan mewujudkan
kepentingan seluruh bangsa. Ambisi politik masingmasing akan
terwujud jika ada pengendalian diri, dan jika diletakkan dalam
kerangka kepentingan seluruh bangsa.
Dalam ajaran Islam dikenal istilah “ikhlas”. Keikhlasan
yang dimaksudkan adalah peleburan ambisi pribadi masingma
sing ke dalam pelayanan kepentingan seluruh bangsa. Di sinilah
justru harus ada kesepakatan antara para pemimpin berbagai
gerakan atau organisasi Islam yang ada, dan ketundukkan ke
pada keputusan sang pemimpin dirumuskan. Untuk melakukan
perumusan seperti itu, diperlakukan dua persyaratan sekaligus,
yaitu kejujuran sikap dan ucapan, yang disertai dengan sikap
“mengalah” kepada kepentingan berbagai gerakan organisasi itu.
Tanpa kedua hal itu, siasialah upaya “menyatukan” umat Islam
dalam sebuah kerangka perjuangan yang diperlukan.
Dalam hal ini, penulis lagilagi teringat kepada sebuah
adagium yang sering dinyatakan berbagai kalangan Islam: “Ti
ada Islam tanpa kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpi
nan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketundukan” (La islama
illa bi jama’ah wala jama’ata illa bi imarah wala imarata illa
bi tha’ah). Adagiumnya memang benar, walaupun sekelompok
kecil pernah mengajukan klaim kepemimpinan itu dan minta
diterima sebagai pemimpin. Namun sikap mereka yang meman
tata kRama dan ‘ummatan WaHIdatan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 238 h
dang rendah kelompok lain, justru menggagalkan niatan terse
but, sedangkan kelompokkelompok lain tidaklah memiliki kepe
mimpinan kohesif seperti itu. Herankah kita, jika wajah berbagai
gerakan Islam di Tanah Air kita saat ini tampak tidak memiliki
kepemimpinan yang jelas? Di sinilah kita perlu membangun kem
bali “kesatuan” umat (ummatan wahidatan). Mudah diucapkan,
tapi sulit diwujudkan bukan? h
g 239 h
Pada suatu hari yang cerah, penulis memasuki ruang tunggu
lapangan terbang Cengkareng, jam 05.30 WIB pagi. Sam
bil menunggu saat penerbangan pertama ke Yogyakarta,
penulis mendengarkan siaran TV di ruang tunggu itu. Seorang
penceramah agama sedang menjawab pertanyaanpertanyaan
yang diajukan para pemirsa melalui telepon, saat dihadap
kan pada masalahmasalah hukum Islam (fiqh) tentang saat
menjalankan ibadah haji. Salah seorang pemirsa menanyakan;
apakah sebuah tindakan yang dilakukan jama’ah haji dapat di
masukkan dalam kategori perbuatan yang merusak ihram atau
tidak.
Dalam menjawab pertanyaan ini , sang penceramah
melakukan pembedaan, antara halhal yang merusak syaratsya
rat ibadah haji, merusak kewajibankewajiban haji dan merusak
ihram itu sendiri. Hal elementer seperti ini –dengan akibat hu
kumhukum agama (canon law) sendiri pula yang biasa dipela
jari dari kitabkitab agama di pesantren, dijelaskan di layar tele
visi itu oleh sang penceramah. Ini tentu karena sang penanya
diandaikan tidak tahu masalahnya, karena mereka hanya berko
munikasi melalui telepon. Sekaligus, pertanyaan itu menunjuk
kan perhatian sang pemirsa ini pada segisegi ibadah, keti
ka menunaikan perjalanan ibadah haji. Mungkin itu juga disertai
oleh pandangan tertentu mengenai perjalanan haji: peribadatan
yang menyenangkan, menjengkelkan atau yang tidak berguna
sama sekali.
agama di televisi dan
dalam kehidupan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 240 h
Sudah tentu seorang jama’ah haji memiliki wewenang ber
tanya tentang sesuatu hal yang oleh jama’ah lain dianggap soal
kecil. Bukankah ia telah mengeluarkan biaya yang sangat besar
untuk melakukan perjalanan ini , bahkan mungkin saja ia
sampai menabung uang seumur hidup untuk itu. Karenanya, ia
berhak bertanya apa saja, karena perjalanan ini merupakan
sebuah obsesi dalam hidupnya. “Hak” ini adalah sesuatu yang sa
ngat inherent dalam hidup sang penanya, dan sangat menyedih
kan bahwa Departemen Agama Republik Indonesia (DepagRI)
yang menjadi penyelenggara ibadah haji ini tidak pernah
mengumpulkan dan menjawab pertanyaanpertanyaan seperti
itu dalam sebuah buku yang dapat dijadikan pegangan bagi para
calon jama’ah haji. Maka terpaksalah mereka bertanya melalui
TV karena tidak ada saluran lain.
saat memasuki lapangan terbang itu, penulis juga ber
jumpa dengan Jajang C. Noer dan Debra Yatim, keduanya ak
tivis perempuan –yang juga samasama akan menuju Yogyakar
ta, untuk menayangkan film tentang perjuangan kaum perem-
puan di negeri kita. Tentu saja pertunjukkan film ini akan
disertai dialog antara para pemirsa dan kedua aktifis ini .
Dan dapat diperkirakan, mereka akan berbeda mengenai tema
makro yaitu tentang perjuangan menegakkan hakhak wanita
di negeri kita. Ini adalah hal yang wajar, bahkan kalau itu tidak
dibicarakan, justru kita bertanyatanya dalam hati, kedua orang
aktifis itu untuk apa datang ke Yogyakarta? Kalau hanya untuk
memutar film itu dapat dilakukan oleh para petugas setempat.
Tentu saja merupakan hal yang wajar pula, jika orang lain meng
anggap pembicaraan mereka itu sesuatu yang bersifat setengah
makro, karena membahas kepentingan kurang lebih separuh
warga masyarakat, yaitu kaum perempuan. Pembahasan baru di
anggap makro saat menyangkut pembedaan masyarakat oleh
negara, karena mereka berpendapat bahwa bahasan yang tidak
menyangkut struktur masyarakat, belumlah dianggap sebagai
pembahasan yang serius. Bahwa pembahasan mengenai nasib
perempuan, termasuk apakah poligami (beristri banyak) selayak
nya dilarang atau tidak, juga menyangkut posisi dan harkat tiga
milyar jiwa lebih kaum perempuan di seluruh dunia saat ini, da
lam pandangan ini tidak otomatis menjadikan masalah gender
sebagai masalah makro. Memang ini adalah masalah yang sangat
besar dan menyangkut jumlah manusia yang sangat besar pula.
g 241 h
Tapi, ia tidak terkait dengan masalah struktur masyarakat.
Karena itu pula ia tetap diperlakukan sebagai masalah mik
ro. Ditambah dengan ketidakpedulian mayoritas jumlah lakilaki
dan perempuan yang tidak memperhatikan masalah ini, dengan
sendirinya masalah gender ini tidak berkembang menjadi ma
salah struktural. Memang para aktifis di berbagai bidang di ling
kungan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dari jenis hawa,
selalu meneriakkan dengan lantang bahwa masalah perempuan/
gender adalah masalah struktural, namun tetap saja masalah itu
diperlakukan dalam dunia LSM internasional dan domestik se
bagai masalah nonstruktural. Ini memang menyakitkan, tapi
dalam kenyataan hal ini memang terjadi, dan kita tidak usah me
ratapinya. Perjuangan memang masih panjang, dan hal itu tidak
perlu diperlakukan secara emosional.
Paham ketiga yaitu, tidak pernah mempersoalkan struktur
masyarakat, dan menganggap semua struktur masyarakat yang
ada dalam sejarah sebagai sesuatu yang benar. Masalah pokok
yang dihadapi umat manusia, menurut pandangan ini, adalah
bagaimana menegakkan keadilan dan kemakmuran yang dalam
ajaran agama Islam disebut dengan istilah kesejahteraan. Jadi,
menurut pandangan ini, masalah utamanya adalah penegakan
hukum dan perumusan kebijakan serta pelaksanaan di bidang
ekonomi, terlepas dari jenis dan watak struktur itu sendiri. Ini
lah pandangan yang sering disebut sebagai pandangan nonstruk
tural, juga dikenal dengan pandangan developmentalist.
Dalam pandangan ini, Islam atau agamaagama lain dapat
berperan memerangi materialisme dan sebagainya, tanpa mem
pengaruhi struktur masyarakat. Masalah yang dihadapi terkait
sepenuhnya dengan keahlian dan pengorganisasian sumber daya
manusia yang dimiliki.
Pandangan nonstruktural ini, antara lain diikuti oleh para
teknokrat kita, yang selama ini menentukan kebijakan pemba
ngunan yang kita ikuti sebagai bangsa. Dan ternyata para tek
nokrat ini telah menemui kegagalan, karena keadilan dan
kemakmuran ternyata tidak kunjung tercapai, yang menikmati
hanyalah sejumlah konglomerat belaka. Karenanya, pembahasan
mengenai hubungan antara agama dan ideologi negara, sebaik
nya dibatasi pada pandanganpandangan agama yang ada me
ngenai struktur sosial yang adil bagi seluruh warga masyarakat,
dan menuju pada kemakmuran bangsa. Pendekatan struktural
aGama dI tV dan dalam kEHIduPan
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 242 h
ini diperlukan, karena memang semua agama menghendaki ma
syarakat yang adil, menuju pencapaian kemakmuran. “Baldatun
tayyibatun wa rabbun ghafûr (QS Saba’ [34]:15) (negara yang
baik dan Allah yang Maha Pengampun)” adalah semboyan upa
ya kaum muslimin dalam menciptakan masyarakat yang demi
kian itu, sesuai dengan ajaran Islam sendiri. Karenanya, mem
bahas hubungan antara Islam dengan negara, dengan membahas
struktur masyarakat yang hendak didirikan, adalah sesuatu yang
secara inherent menyangkut keadilan, dan dengan demikian
merupakan struktur masyarakat yang benar. h
g 243 h
Beberapa tahun yang lampau, seorang ulama dari Pakistan
datang pada penulis di Kantor Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) Jakarta. Pada saat itu, Benazir Bhutto ma
sih menjabat Perdana Menteri Pakistan. Permintaan orang alim
itu adalah agar penulis memerintahkan semua warga NU untuk
membacakan surah AlFatihah bagi keselamatan Bangsa Pakis
tan. Mengapa? Karena mereka dipimpin Benazir Bhutto yang
berjenis kelamin perempuan. Bukankah Rasulullah SAW telah
bersabda “celakalah sebuah kaum jika dipimpin oleh seorang
perempuan”? Penulis menjawab bahwa hadits ini disabda
kan pada Abad VIII Masehi di Jazirah Arab. Ini berarti diperlu
kan sebuah penafsiran baru yang berlaku untuk masa kini?
Pada tempat dan waktu Rasulullah masih hidup itu, kon
sep kepemimpinan bersifat perorangan di mana seorang kepala
suku harus melakukan halhal berikut: memimpin peperangan
melawan suku lain, membagi air melalui irigasi di daerah padang
pasir yang demikian panas, memimpin karavan perdagangan dari
kawasan satu ke kawasan lain dan mendamaikan segala macam
persoalan antar para keluarga yang berbedabeda kepentingan
dalam sebuah suku, yang berarti juga dia harus berfungsi mem
buat dan sekaligus melaksanakan hukum.
Sekarang keadaannya sudah lain, dengan menjadi pemim
pin, baik ia presiden maupun perdana menteri sebuah negara,
konsep kepemimpinan kini telah dilembagakan/diinstitusional
arabisasi,
samakah dengan Islamisasi?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 244 h
isasikan. Dalam konteks ini, Perdana Menteri Bhutto tidak boleh
mengambil keputusan sendiri, melainkan melalui sidang kabi
net yang mayoritas para menterinya adalah kaum lelaki. Kabinet
juga tidak boleh menyimpang dari Undangundang (UU) yang
dibuat oleh parlemen yang mayoritas beranggotakan lakilaki.
Untuk mengawal mereka, diangkatlah para Hakim Agung yang
membentuk Mahkamah Agung (MA), yang anggotanya juga laki
laki. Karenanya, kepemimpinan di tangan perempuan tidak lagi
menjadi masalah, karena konsep kepemimpinan itu sendiri telah
dilembagakan/ diinstitusionalisasikan. “Anda memang benar,”
demikian kata orang alim Pakistan itu, “namun tolong tetap ba
cakan surah AlFatihah untuk keselamatan bangsa Pakistan”.
eg
Kisah di atas, dapat dijadikan contoh betapa Arabisasi telah
berkembang menjadi Islamisasi dengan segala konsekuensinya.
Hal ini pula yang membuat banyak aspek dari kehidupan kaum
muslimin yang dinyatakan dalam simbolisme Arab. Atau dalam
bahasa ini , simbolisasi itu bahkan sudah begitu merasuk ke
dalam kehidupan bangsabangsa muslim, sehingga secara tidak
terasa Arabisasi disamakan dengan Islamisasi.1 Sebagai contoh,
namanama beberapa fakultas di lingkungan Institut Agama Is
lam Negeri (IAIN) juga diArabkan; kata syarî’ah untuk hukum
Islam, adab untuk sastra Arab, ushûluddin untuk studi gerakan
gerakan Islam dan tarbiyah untuk pendidikan agama. Bahkan
fakultas keputrian dinamakan kulliyyat al-banât. Seolaholah
tidak terasa keIslamannya kalau tidak menggunakan katakata
1 Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda, meski bermula pada
pemahaman teks-teks keislaman, al-Qur’an dan Hadis. Namun demikian, ke
tika mendekati teksteks ini senantiasa meniscayakan adanya korelasi
dan hubungan erat dengan kondisi historis dan sosial yang ada di sekitarnya.
Dalam konteks ini pula lah, sebuah hadis harus dipahami secara cermat dalam
kapasitas apakah Muhammad sebagai salah satu orang Arab dengan segala
setting kulturalnya, atau apakah Muhammad sebagai Rasul yang membawa
pesanpesan KeAllah an. Pemetaan ini sangatlah penting, sehingga Imam
Ghazali, seorang pengarang prolific, telah sejak dini melakukan pemisahan an
tara sabda Nabi yang bersifat budaya kultural dan pesan Nabi sebagai advise
keagamaan yang harus diikuti dan bersifat mengikat. Ghazali adalah ulama
yang pertama kali berani membuat garis demarkasi antara mana yang “Arabis”
dan mana yang “Islamis”
g 245 h
bahasa Arab ini .
Kalau di IAIN saja, yang sekarang juga disebut UIN (Uni
versitas Islam Negeri) sudah demikian keadaannya, apa pula na
manama berbagai pondok pesantren.2 Kebiasaan masa lampau
untuk menunjuk kepada pondok pesantren dengan mengguna
kan nama sebuah kawasan/tempat, seperti Pondok Pesantren
(PP) Lirboyo di Kediri, Tebu Ireng di Jombang dan Krapyak di
Yogyakarta, seolaholah kurang Islami, kalau tidak mengguna
kan namanama berbahasa Arab. Maka, dipakailah nama PP Al
Munawwir di Yogya misalnya, sebagai pengganti PP Krapyak.
Demikian juga, sebutan nama untuk hari dalam seminggu.
Kalau dahulu orang awam menggunakan kata “Minggu” untuk
hari ke tujuh dalam almanak, sekarang orang tidak puas kalau
tidak menggunakan kata “Ahad”. Padahal kata Minggu, sebenar
nya berasal dari bahasa Portugis, “jour dominggo”, yang berarti
hari Allah . Mengapa demikian? Karena pada hari itu orang
orang Portugis —kulit putih pergi ke Gereja. Sedang pada hari
itu, kini kaum muslimin banyak mengadakan kegiatan keagama
an, seperti pengajian. Bukankah dengan demikian, justru kaum
muslimin menggunakan hari tutup kantor ini sebagai pusat
kegiatan kolektif dalam berAllah ?
eg
Dengan melihat kenyataan di atas, penulis mempunyai
persangkaan bahwa kaum muslimin di Indonesia, sekarang jus
tru sedang asyik bagaimana mewujudkan berbagai keagamaan
mereka dengan bentuk dan nama yang diambilkan dari Bahasa
Arab. Formalisasi ini, tidak lain adalah kompensasi dari rasa ku
rang percaya diri terhadap kemampuan bertahan dalam meng
2 Pondok pesantren disebut juga sebagai lembaga pendidikan tertua
yang telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pu
sat dakwah, dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Kata
pesantren atau santri berasal dari Bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”.
Sumber lain menyebutkan bahwa kata itu berasal dari bahasa India shastri
dari akar kata shastra yang berarti “bukubuku suci”, “bukubuku agama”, atau
bukubuku tentang ilmpu pengetahuan”. Di luar Jawa lembaga pendidikan ini
disebut dengan nama lain, seperti surau (di Sumatera Barat), dayah (Aceh),
dan pondok (daerah lain). Kekhususan pesantren dibanding dengan lembaga
lembaga pendidikan lainnya adalah para santri atau murid tinggal bersama
dengan Kyai atau guru mereka dalam suatu komplek tertentu yang mandiri.
aRabIsasI, samakaH dEnGan IslamI?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 246 h
hadapi “kemajuan Barat”. Seolaholah Islam akan kalah dari per
adaban Barat yang sekuler, jika tidak digunakan katakata ber
bahasa Arab. Tentu saja rasa kurang percaya diri ini juga dapat
dilihat dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin seka
rang di seluruh dunia. Mereka yang tidak pernah mempelajari
agama dan ajaran Islam dengan mendalam, langsung kembali
ke “akar” Islam, yaitu kitab suci al-Qur’ân dan Hadits Nabi Saw.
Dengan demikian, penafsiran mereka atas kedua sumber tertulis
agama Islam yang dikenal dengan sebutan dalil naqli, menjadi
superficial dan “sangat keras” sekali. Bukankah ini sumber dari
terorisme yang kita tolak yang menggunakan nama Islam?
Dari “rujukan langsung” pada kedua sumber pertama Is
lam itu, juga mengakibatkan sikap sempit yang menolak segala
macam penafsiran berdasarkan ilmuilmu agama (religious sub-
ject). Padahal penafsiran baru itu adalah hasil pengalaman dan
pemikiran kaum muslimin dari berbagai kawasan dalam waktu
yang sangat panjang. Para “Pemurni Islam” (Islamic puritan-
ism) seperti itu, juga membuat tudingan salah alamat ke arah
tradisi Islam yang sudah berkembang di berbagai kawasan se
lama berabadabad. Memang ada ekses buruk dari pengalaman
perkembangan pemikiran itu, namun jawabnya bukanlah berben
tuk puritanisme yang berlebihan, melainkan dalam kesadaran
membersihkan Islam dari eksesekses yang keliru ini .
Agama lainpun pernah atau sedang mengalami hal ini, se
perti yang dijalani kaum Katholik dewasa ini. Reformasi yang
dibawakan oleh berbagai macam kaum Protestan, bagi kaum
Katholik dijawab dengan berbagai langkah kontrareformasi se
menjak seabad lebih yang lalu. Pengalaman mereka itu yang
kemudian berujung pada teologi pembebasan (liberation theo-
logy),3 merupakan perkembangan menarik yang harus dikaji
oleh kaum muslimin. Ini adalah pelaksanaan dari adagium “per
bedaan pendapat dari para pemimpin, adalah rahmat bagi umat
(ikhtilâf al-a’immah rahmat al-ummah).” Adagium ini
bermula dari ketentuan kitab suci al-Qur’ân: “Ku-jadikan kalian
3 Sistem teologi semacam ini disebut juga dengan rumusan berteologi
yang mempunyai visi sosial dan kemanusiaan. Adalah Farid Essack, seorang
pemikir Islam berkebangsaan Afrika Selatan melalui karyanya, Qur’an, Libera-
tion, and Pluralism (Oxford: Oneworld Oxford, 1997) ingin menunjukkan bah
wa ajaran-ajaran Islam sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an adalah ajaran
yang membebaskan.
g 247 h
berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa agar kalian saling
mengenal (Wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)”
(QS alHujurat(49):13). Makanya, cara terbaik bagi kedua belah
pihak, baik kaum tradisionalis maupun kaum pembaharu dalam
Islam, adalah mengakui pluralitas yang dibawakan oleh agama
Islam. h
aRabIsasI, samakaH dEnGan IslamI?
g 248 h
Prof. Dr. Azyumardi Azra, Rektor UIN Syarif Hidayatullah
di Ciputat menjelaskan dalam dialog dengan para maha
siswa di layar TVRI tanggal 26 Nopember 2002, tentang
penyebaran Islam di Nusantara. Ia mengemukakan bahwa Islam
disebarkan sejak berabadabad yang lalu, di seluruh Nusantara
dengan berbagai karya para ulama kita dalam pengajianpenga
jian. Di antara namanama yang disebutkan, terdapat nama
Syekh Arsyad Banjari (17101812)1 dari Martapura, Kalimantan
Selatan, ia dikirim oleh salah seorang sultan yang berkuasa di
kawasan ini untuk belajar belasan tahun lamanya di Mek
kah. Namun, ia kembali ke Tanah Air dalam abad ke18 M, dan
dikuburkan di Kelampayan, Martapura. Walaupun TVRI hanya
1 Syekh Muhammad Arsyad alBanjari merupakan salah seorang ulama
yang lahir di Lok Gabang, Martapura, 15 Safar 1122/ 19 Maret 1710 dan sangat
berpengaruh serta memegang peranan penting dalam sejarah dan perkembang
an Islam, khususnya di Kalimantan. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang
gigih mempertahankan dan mengembangkan paham ahlusunnah waljama’ah
dengan teologi ‘Asy’ariyah dan fikih Mazhab Syafi’i. Semasa hidupnya, beliau
pernah menjabat sebagai mufti (penasehat di bidang agama) pada Kesultan
an Banjar dan penulis kitabkitab agama yang cukup produktif. Karya Arsyad
dalam bidang fiqih yang cukup terkenal adalah Sabîl al-Muhtadîn li Tafaqquh
fî Amr al-Dîn yang merupakan syarah dari kitab karya Nûr al-Dîn al-Raniri (w.
1068 H/1658 M), berjudul Shirât al-Mustaqîm. Kitab fikih bermazhab Syafi’i
dan yang ditulis berbahasa Melayu (Jawi) tulisan Arab ini dijadikan
sebagai buku pegangan dan bahan pelajaran di beberapa daerah di Indonesia,
Malaysia, dan Thailand.
Penyesuaian ataukah
Pembaharuan terbatas
g 249 h
menampilkan gambar istana sultan di Martapura, namun sebe
narnya saat ini ada pesantren di Kelampayan yang memiliki
santri (pelajar) berjumlah belasan ribu orang.
Prof. Dr. Azyumardi Azra menyebutkan betapa besar jasa
para ulama yang mengaji di Mekkah dan dan kembali ke tanah
air, dalam dua hal: penyebaran agama Islam di kawasan masing
masing, dan penerapan ajaran agama Islam secara lebih murni.
Pengawasan seorang pakar atas jalannya sejarah di bumi Nusan
tara ini haruslah dihargai, dan temuantemuannya itu haruslah
diteruskan oleh para peneliti sejarah Nusantara. Hanya dengan
demikian, kita akan dapat mencapai mutu kesejarahan yang
tinggi, karena didasarkan pada hasilhasil kajian ilmiah yang
benar. Tentu saja, hasilhasil kajian ini juga harus disiarkan me
lalui media khalayak kepada orang awam dengan bahasa yang
mereka mengerti.
Apa yang dilakukan Prof. Dr. Azyumardi ini patut dihar
gai, karena dengan demikian ia telah menyajikan faktafakta
sejarah kepada khalayak ramai. Ini bukanlah sesuatu yang kecil
artinya, karena justru dengan cara demikianlah dapat dilakukan
pendidikan masyarakat mengenai masa lampau negeri dan bang
sa kita. Ini bahkan lebih besar jasanya daripada penyampaian
halhal normatif yang sekarang mendominasi penyiaran kita.
Karenanya, dibutuhkan lebih banyak orangorang seperti Prof.
Dr. Azra ini, yang pandai menghubungkan dunia ilmiah dengan
masyarakat awam kita. Katakanlah dalam bahasa kuis televisi:
“seratus untuk Pak Azra.”
eg
Namun, tak ada gading yang tak retak, kalau meminjam
ungkapan terkenal berikut: “manusia adalah tempat kesalahan
dan kelalaian (al insân mahallu al khatha’ wa al-nisyân).” Ada
sedikit kesalahan dalam penyampaian beliau akan sejarah masa
lampau kita. Beliau menyatakan, bahwa banyak penyimpangan
yang disebabkan oleh adat dan budaya kita dari masa sebelum
itu, kemudian oleh ulama kita disesuaikan dengan hukumhu
kum agama (fiqh) yang formal. Disimpulkan dari situ, bahwa
mereka para ulama melakukan pemurnian Islam. Dan pemur
nian itu sebenarnya adalah upaya untuk memelihara keabsahan
ajaranajaran agama Islam di negeri kita.
PEnyEsuaIan ataukaH PEmbaHaRuan tERbatas?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 250 h
Dalam hal ini, apa yang diuraikan secara umum oleh Prof.
Dr. Azra itu, berlaku untuk para ulama umumnya di kawasan ini
pada masa lampau. Juga dengan percontohan mereka, seperti
terlihat dalam pelaksanaan akhlak dan penerapan ibadah, me
reka para ulama itu telah merintis “ketaatan” agama yang luar
biasa pada bangsa kita, yang masih terpelihara sampai hari ini di
hadapan “pembaratan” (westernisasi) yang dianggap sebagai mo
dernisasi. Proses seperti ini, yang berjalan sangat lambat selama
berabadabad lamanya, sangat ditentukan oleh percontohan yang
diberikan elite kepada masyarakat kita. Inilah sebenarnya yang
harus kita ingat, karena kuatnya kecenderungan elite politik kita
dewasa ini hanya untuk mengejar keuntungan pribadi/golongan,
di atas kepentingan bangsa secara keseluruhan.
eg
Hal yang dilupakan Prof. Dr. Azra, adalah menyebutkan
juga fungsi lain yang dilakukan oleh Syekh Arsyad alBanjari
degan karyanya Sabîl al-Muhtadîn, yang sekarang ini juga men
jadi nama Masjid Raya/Agung di Kota Banjarmasin. Apa yang
dilupakan Dr. Azra, adalah bahwa dalam karya ini Syekh
Arsyad juga melakukan sebuah pembaharuan terbatas atas hu
kumhukum agama (fiqh). Dalam karyanya itu, beliau menyam
paikan hukum agama Perpantangan. Hukum agama ini jelas
memperbaharui hukum agama pembagian waris (farâidh) seca
ra umum. Kalau biasanya dalam hukum agama itu disebutkan,
ahli waris lelaki menerima bagian dua kali lipat ahli waris perem
puan. Beliau beranggapan lain halnya dengan adat Banjar yang
berlaku di daerah Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
dewasa ini.
Dalam karyanya itu, beliau menganggap untuk masyara
kat bersungai besar, seperti di Kalimantan Selatan, harus diingat
adanya sebuah ketentuan lain. Yaitu, rejeki di kawasan itu ada
lah hasil kerjasama antara suami dan istri. saat sang suami
masuk hutan mencari damar, rotan, kayu dan sebagainya, maka
istri menjaga jangan sampai perahu yang ditumpangi itu tidak
terbawa arus air, di samping kewajiban lain seperti menanak
nasi dan sebagainya. Dengan demikian, hasilhasil hutan yang
dibawa pulang adalah hasil karya dua orang, dan ini tercermin
dalam pembagian harta waris. Menurut adat Perpantangan itu,
g 251 h
harta waris dibagi dahulu menjadi dua. Dengan paroh partama
diserahkan kepada pasangan yang masih hidup, jika suami atau
istri meninggal dunia dan hanya paroh kedua itu yang dibagikan
secara hukum waris Islam.
Dengan demikian, Syekh Arsyad melestarikan hukum aga
ma Islam (fiqh) dengan cara melakukan pembaharuan terbatas.
Namun, pada saat yang bersamaan, beliau juga melakukan pe
nyebaran agama Islam dan memberikan contoh yang baik bagi
masyarakatnya. Inilah jasa yang sangat besar yang kita kenang
dari hidup beliau, sekembalinya ke tanah air di kawasan Nusan
tara ini. Hanya dengan inisiatif yang beliau ambil itu, dapat kita
simpulkan dua hal yang sangat penting: pertama, kemampuan
melakukan pembaharuan terbatas, kedua berjasa mendidik ma
syarakat dalam perjuangan hidup selama puluhan tahun lama
nya. Jasa dalam dua bidang ini sudah pantas membuat beliau
memperoleh gelar, sebagai penghargaan atas jasajasa beliau
yang sangat besar bagi kehidupan kita sebagai bangsa, di masa
kini maupun masa depan.
Jasa Syekh Arsyad di bidang pembaharuan terbatas ini,
dapat disamakan dengan jasa Sultan Agung Hanyakrakusuma2
dalam dinasti para penguasa Mataram. Dengan menetapkan
bahwa tahun Saka, harus dimulai pada bulan Syura, dan bulan
nya berjumlah tigapuluh hari. Hal yang sama juga dilakukannya
atas hukum perkawinanperceraianrujuk yang berlaku hingga
2 Sultan Agung adalah Raja ketiga Kerajaan Mataram yang memerintah
tahun 16131645 dan berhasil membawa kerajaannya ke puncak kejayaan de
ngan pusat pemerintahan di Yogyakarta. Nama kecilnya adalah Pangeran Jat
miko dengan panggilan Raden Mas Rangsang. Pada tahun 1641, ia menerima
pengakuan dari Mekah sebagai seorang Sultan, kemudian mengambil gelar
selengkapnya Sultan Agung Anyakrakusumo Senopati Ing Alogo Ngabdurrah
man (secara harfiah berarti raja yang agung, pangeran yang sakti, panglima
perang dan pemangku amanah Allah Yang Maha Kasih). Peninggalan Sultan
Agung yang paling legendaris adalah usaha pembaharuannya dalam kalender
Jawa. Sebagaimana diketahui, sebelum masuk pengaruh Islam, kalender yang
dikenal di pulau Jawa didasarkan pada sistem matahari yang lebih terkenal
dengan kalender Saka. Sementara Islam memakai kalender dengan sistem bu
lan (Qamariyah) yang juga disebut sebagai kalender Hijriyah. Sultan Agung
mencoba menyelaraskan kedua sistem itu dengan menyatukannya serta men
jadikannya sebagai kalender resmi Mataram. Salah satu ciri kalender ini
adalah penggunaan sistem bulan (hijriyah) dengan menggunakan tahun Saka,
seperti Muharram menjadi Suro, Safar menjadi Sapar, Rajab menjadi Rejeb,
dan seterusnya.
PEnyEsuaIan ataukaH PEmbaHaRuan tERbatas?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 252 h
saat ini, yang diambilnya dari hukum agama Islam formal (fiqh).
Dengan demikian “pembaharuan terbatas” yang dilakukan kedua
tokoh ini berjalan tanpa kekerasan, seperti yang diajarkan
oleh agama Islam. Bukan dengan menggunakan kekerasan, apala
gi terorisme seperti yang dilakukan sebagian sangat kecil kaum
muslimin yang tidak terdidik secara baik di negeri kita saat ini. h
g 253 h
Di akhir November tahun lalu, penulis diundang oleh se
buah lembaga yang dipimpin Dr. Chandra Muzaffar1
untuk turut dalam sebuah diskusi di Malaysia. Karena
tempat dan tanggal diskusi itu dirubah, penulis tidak dapat turut
serta dalam pembahasanpembahasan yang dilakukan. Penulis
hanya mengirimkan sebuah makalah tertulis kepada lembaga
itu, untuk dibahas dalam kesempatan ini . Mudahmudah
an dengan langkah itu penulis dapat turut serta dalam memba
has masalah yang diperbincangkan, yaitu peranan agama dalam
mencari pemahaman yang benar tentang globalisasi. Kalau hal
itu tercapai, berarti penulis telah mengambil bagian dalam pem
bahasan mengenai satu sisi globalisasi.
Memang, pembahasan mengenai globalisasi selalu sangat
menarik, bukankah hal itu menyangkut seluruh sisi kehidupan
umat manusia? Sisi kolektif kehidupan manusia, seperti perda
gangan dan sistem keuangan, maupun sisi individual (pribadi)
seseorang seperti selera kita akan sesuatu, sangat ditentukan
oleh pengertian kita akan globalisasi. Pengertian tertentu yang
diambil itu, dengan sendirinya mengakibatkan sikap tertentu
pula akan globalisasi. Pembahasan istilah ini akan sangat
menarik, karena relevansinya dengan kehidupan umat manusia.
Inilah yang mendorong penulis untuk mengirimkan ringkasan
sumbangan pemikiran bagi jalannya pembahasan mengenai pe
1 Chandra Muzaffar adalah cendekiawan terkemuka Malaysia dan dike
nal sebagai aktivis HAM. Pernah menjadi anggota eksekutif Asian Commission
on Human Rights dan dinominasikan sebagai pengawas HAM (1988). Buku
yang pernah ditulis antara lain Human Rights and the New World Order, (Pen
ang: Just, 1993).
Pentingnya sebuah arti
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 254 h
ranan agama dan globalisasi yang berlangsung di Malaysia itu.
Persoalannya terletak pada cara bagaimana kita memaha
mi arti kata globalisasi ini . Sebuah pemahaman yang salah
akan mengakibatkan pandangan yang salah pula, dan ini beraki
bat pada pengambilan sikap yang tidak benar. Dengan demikian
sikap kita, dan juga sikap agamaagama yang ada, harus diuji
kebenarannya melalui pengertian yang benar pula, dan memiliki
obyektifitas yang diperlukan. Dengan demikian, jelaslah bahwa
pengertian yang benar tentang kata ini sangat diperlukan,
kalau kita ingin memperoleh kesimpulan yang jelas dan benar.
eg
Dalam pengertian yang umum dipakai, kata globalisasi sa
ngat dipahami sebagai dominasi usahausaha besar dan raksasa
atas tata niaga dan sistem keuangan internasional yang kita ikuti.
Ia juga dipahami sebagai pembentukan selera warga masyarakat
secara global/mendunia yang juga turut kita nikmati saat ini. De
retan penjualan “makanan siaptelan” (fast food) menjadi saksi
akan pemaknaan seperti itu. Selera kita ditentukan oleh pasar,
bukannya menentukan pasar. Dari fakta ini saja sudah cukup un
tuk menjadi bukti akan kuatnya dominasi ini . Pengertian
lain globalisasi adalah dominasi komersial dan pengawasan atas
sistem finansial dalam hubungan antar-negara, inilah yang seka-
rang menentukan sekali tata hubungan antara negaranegara
yang ada. Karenanya, pembahasan arti kata globalisasi itu men
jadi sangat penting dan akan menentukan masa depan umat ma
nusia. Karena itulah kita juga harus turut berbicara, kalau tidak
ingin nantinya arti itu ditentukan oleh pihak lain yang disebut
kan di atas.
Dalam hal ini, penulis menganggap arti kata globalisasi ini
harus dipahami secara lebih serius, karena kalau kita lengah dan
tidak memberikan perhatian, justru akan menjadi mangsa tata
niaga internasional yang berlaku di seluruh dunia saat ini. Maka
nya, dari dulu penulis telah berkalikali menyampaikan hal ini
kepada masyarakat melalui pidato, ceramah, prasaran maupun
artikel seperti ini.
Sikap penulis ini hampirhampir tidak pernah mendapat
kan responsiresponsi yang kreatif. Walaupun penulis juga menge
tahui banyak artikel ditulis untuk jurnaljurnal ilmiah tentang
g 255 h
hal ini, namun hampir seluruh karyakarya itu tidak mencapai
pembaca kebanyakan dan dengan demikian masyarakat tidak
turut pula dalam pembahasan mengenai arti kata globalisasi itu.
Dengan demikian, pemahaman sepihak yang bersifat materialis
tik atas kata itu tetap saja menjadi dominan. Penulis juga tahu
bahwa dengan tulisan ini pun, masyarakat tetap saja banyak
yang tidak mengetahui adanya bermacammacam pengertian
dari kata ini , karena mungkin terlalu kecilnya upaya untuk
mengajukan pengertian lain, dari apa yang dimengerti masyara
kat pada waktu ini. Namun, tulisan seperti itu harus dikemuka
kan guna menunjang sebuah keputusan politik yang nanti akan
diambil pada waktunya.
eg
Dengan kata lain penulis memiliki keyakinan, bahwa peru
bahan sebuah pengertian akan terjadi, jika ada pihak yang nan
tinya mengambil kebijakan sesuai dengan kebuAllah ini .
Ini akan terjadi jika ada pemerintahan yang benarbenar memi
kirkan kepentingan rakyat kebanyakan, dalam perimbangan ke
kuatan antara berbagai pemikiran di dunia ini. Jika nantinya ada
pemerintahan yang benarbenar tidak rela akan adanya ketim
pangan kekuatan luar biasa, antara negaranegara berteknologi
maju dengan negaranegara yang sedang berkembang, tentu
akan ada tindakantindakan untuk melakukan koreksi terhadap
ketimpangan ini . Upaya korektif itulah yang akan menim
bulkan pengertian yang benar atas kata globalisasi itu.
Islam mengajarkan perlunya dijaga keseimbangan antara
halhal yang mengatur kehidupan manusia, mengapa? Karena
hanya dengan keseimbangan itulah keadilan dapat dijaga dan
akan berlangsung baik dalam kehidupan individual maupun
kolektif kita. Sangat banyak kata “i’dilû” (berlakulah yang adil)
dimuat dalam kitab suci al-Qur’ân, maka mau tidak mau pemikir-
an tentang masyarakat harus bertumpu pada kebijakan ini .
Kata “al-qisthu” (keadilan) juga demikian banyak terdapat dalam
pemikiran Islam, seperti “Wahai orangorang beriman, tegak
kan keadilan dan jadilah saksi bagi Allah kalian, walau akan
merugikan (sebagian dari kalangan) kalian sendiri (yâ ayyuha
al-ladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-qisthi syuhadâ’a li al-
lâhi walau ‘alâ anfusikum)” (QS alNisa [4]:135).
PEntInGnya sEbuaH aRtI
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 256 h
Jadi, jelaslah bahwa upaya menegakkan pengertian yang
benar atas kata “globalisasi” sangat terkait dengan penegakan
keseimbangan antara berbagai kekuatan di dunia ini, yang juga
berkaitan dengan pemikiran akan keadilan dalam pandangan
Islam. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan ungkapan po
puler “Sebaikbaik perkara/persoalan, adalah yang (terletak)
di tengahtengah” (khairu al ‘umur ausâthuhâ). Jelaslah dari
hadits tadi, Islam sangat terkait dari sudut pemikiran keseim
bangan antarnegara. Dengan kata lain, Islam sebenarnya tidak
merelakan ketimpangan yang terjadi pada saat ini. h
g 257 h
Beberapa belas tahun lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan In
donesia (LIPI) mengadakan penelitian tentang 14 sistem
budaya daerah di negeri kita. Sistem budaya daerah Aceh
hingga Nusa Tenggata Timur (NTT) diteliti, termasuk sistem bu
daya Jawa I dan Jawa II. Yang dimaksudkan dengan sistem buda
ya Jawa I adalah sistem budaya Jawa yang ada di daerahdaerah
pusat keraton, seperti Yogyakarta dan Solo. Sebaliknya, sistem
budaya Jawa II adalah Jawa pinggiran, terutama di Jawa Timur.
Budaya pesantren, dalam hal ini, termasuk sistem budaya Jawa
II.
Hasil yang sangat menarik dari penelitian ini , yang
dipimpin Dr. Mochtar Buchori, adalah pentingnya menerapkan
sistemsistem ini di saat sistem modern belum dapat dite
rapkan. Sistem budaya Ngada di Flores Timur, umpamanya,
adalah substitusi bagi sistem hukum nasional kita di daerah itu,
saat belum berdiri lembaga pengadilan di sana. Kode etik Siri
dalam masyarakat Bugis, yang berintikan pembelaan terhadap
kehormatan diri, tidaklah lekang pada masa ini. Beberapa kejadi
an penggunaan badik untuk mempertahankan diri, di berbagai
daerah di kalangan orang Bugis, jelas menunjukkan adanya pene
rapan nilainilai yang berlaku dalam sistem budaya daerah Bugis
itu.
Penelitian menunjukkan, terdapat kemampuan hidup sis
tem budaya daerah kita di tengahtengah arus modernisasi yang
datang tanpa dapat dicegah. Karenanya, sikap yang tepat adalah
sistem Budaya daerah kita dan
modernisasi
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 258 h
bagaimana memanfaatkan sistem budaya daerah di suatu tem
pat dalam satu periode, dengan dua tujuan: menunggu mapan
nya masyarakat dalam menghadapi modernisasi, dan mengelo
la arus perubahan untuk tidak datang secara tibatiba. Dengan
cara demikian, kita dapat mengurangi akibatakibat modernisasi
menjadi sekecil mungkin.
eg
Clifford Geertz1 dari Universitas Princeton, menganggap
kyai/ulama’ pesantren sebagai “makelar budaya” (cultural bro-
ker). Dia menyimpulkan demikian, karena melihat para kyai
melakukan fungsi screening bagi budaya di luar masyarakatnya.
Nilainilai baru yang dianggap merugikan, disaring oleh mereka
agar tidak menanggalkan budaya lama —kyai bagaikan dam/
waduk yang menyimpan air untuk menghidupi daerah sekitar.
Namun pengaruh budaya luar yang datang ke suatu daerah,
bagaikan permukaan air yang naik oleh adanya bendungan itu.
Masyarakat dilindungi dari pengaruhpengaruh negatif, dan di
biarkan mengambil pengaruhpengaruh luar yang positif.
Hiroko Horikoshi dalam disertasinya2 berhasil membukti
kan bahwa Kyai mengambil peranan sendiri untuk merumus
kan gerak pembangunan di tempat mereka berada. Ini berarti,
menurut Horikoshi reaksi pesantren terhadap modernisasi tidak
lah sama dari satu ke lain tempat. Dengan demikian, tidak akan
ada sebuah jawaban umum yang berlaku bagi semua pesantren
terhadap tantangan proses modernisasi. Dengan kata lain, Hori
koshi menolak pendapat Geertz di atas.
Menurut Horikoshi, masingmasing pesantren dan Kyai
akan mencari jawabanjawaban sendiri —dan, dengan demikian
tidak ada jawaban umum yang berlaku bagi semua dalam hal
ini. Pendapat Geertz di atas, dengan sendirinya, terbantahkan
1 Clifford Geertz adalah seorang antropolog yang sangat terkenal dalam
studi keindonesiaan. Melalui penelitiannya di Mojokuto, yang kemudian terbit
bukunya Religion of Java. Dia membagi stratifikasi sosialreligius masyarakat
Jawa dalam tiga kelompok, yaitu priyayi, santri, dan abangan. Meski mendapat
banyak kritik dan koreksi, namun hingga sekarang teori ini masih mewarnai
studi sosialreligius di Indonesia.
2 Disertasi Hiroko Horikoshi berjudul Kiai dan Perubahan Sosial, (Ja
karta: P3M, 1987).
g 259 h
oleh temuantemuan yang dilakukan Horikoshi terhadap reaksi
Kyai Yusuf Thojiri dari Pesantren Cipari, Garut, atas tantangan
modernisasi. Pesantren yang dipimpin oleh besan mendiang
KH. Anwar Musaddad itu, tentu memberikan reaksi lain terha
dap proses modernisasi. Pesantren yang sekarang dipimpin oleh
Ustadzah Aminah Anwar Musaddad itu, sekarang justru tertarik
pada upaya mendukung Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang
bergerak di bidang garment dan pelestarian lingkungan alam
melalui penghutanan kembali.
eg
Jelaslah dengan demikian, bahwa bermacam cara dapat
digunakan untuk mengenal berbagai reaksi terhadap proses mo
dernisasi. Ada reaksi yang menggunakan warisan sistem budaya
daerah, tapi ada pula yang merumuskan reaksi mereka dalam
bentuk tradisi yang tidak tersistemkan. Ada pula reaksi yang
bersifat temporer, tapi ada pula yang bersifat permanen. Ada
yang berpola umum, tapi ada pula yang menggunakan caracara
khusus dalam memberikan reaksi.
Kesemuannya itu dapat disimpulkan, keengganan meneri
ma bulatbulat apa yang dirumuskan “orang lain” untuk diri kita
sendiri. Proses pribumisasi (nativisasi) berlangsung dalam ben
tuk bermacammacam, pada saat tingkat penalaran dan keteram
pilan berjalan, melalui berbagai sistem pendidikan. Dengan de
mikian, proses pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM)
di Indonesia berjalan dalam dua arah yang berbeda. Di satu pi
hak, kita menerima pengalihan teknologi dan keterampilan dari
bangsabangsa lain, melalui sistem pendidikan formal —maka,
lahirlah tenagatenaga profesional untuk mengelolanya. Di pi
hak lain, pendidikan informal kita justru menolak pendekatan
menelan bulatbulat apa yang datang dari luar.
Dengan demikian, tidaklah heran jika ada dua macam
jalur komunikasi dalam kehidupan bangsa kita. Di satu sisi, kita
menggunakan jalur komunikasi modern, yang bersandar pada
sistem pendapat formal dan media massa. Media massa pun,
yang dahulu sangat takut pada kekuasaan pemerintah, kini jus
tru tunduk terhadap kekuasaan uang; dengan kemampuan yang
belum berkembang menjadi proses yang efektif. Di sisi lain, di
gunakan jalur lain, yaitu komunikasi langsung dengan massa
sIstEm budaya daERaH kIta dan modERnIsasI
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 260 h
kongregasi jama’ah masjid/surau, gereja, pengajian-pengajian
khalayak/majelis ta’lim, kelenteng/vihara, merupakan saluran
wahana langsung ini . Apalagi, jika seseorang atau kelom
pok mampu menggunakan kedua jalur komunikasi itu, tentu
akan menjadikan sistem politik kita sekarang dan di masa depan
menjadi sangat transparan, akan menjadi lahan menarik untuk
dapat dipelajari dan diamati dengan seksama. h
g 261 h
Sebagaimana diketahui “Tombo Ati” adalah nama sebuah
sajak berbahasa Arab ciptaan Sayyidina Ali, yang oleh KH.
Bisri Mustofa dari Rembang (ayah KH. A. Mustofa Bisri)
diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan menggunakan ju
dul ini . Dalam sajak itu, disebutkan 5 hal yang seharusnya
dilakukan oleh seorang muslim yang ingin mendekatkan diri ke
pada Allah Swt. Kelima hal itu dianggap sebagai obat (tombo)
bagi seorang Muslim. Dengan melaksanakan secara teratur ke
lima hal yang disebutkan dalam sajak ini , dijanjikan orang
itu akan menjadi Muslim “yang baik”. Dianggap demikian karena
ia melaksanakan amalan agama secara tuntas. Sajak ini sangat
populer di kalangan para santri di Pulau Jawa, terutama di ling
kungan pesantren.
Karenanya sangatlah penting untuk mengamati, adakah sa
jak itu tetap digemari oleh kaum Muslimin Sunni tradisional?
Kalau ia tetap dilestarikan, maka hal itu menunjukkan kemam
puan Muslimin Sunni tradisional menjaga budaya kesantrian
mereka di alam serba modern ini. Jadi kemampuan sebuah ke
lompok melestarikan sebuah sajak bukanlah “peristiwa lumrah”.
Peristiwa itu justru menyentuh sebuah pergulatan dahsyat yang
menyangkut budaya kelompok Sunni tradisional melawan proses
modernisasi, yang dalam hal ini berbentuk westernisasi (pem
baratan). Bahwa sajak itu, dalam bentuk sangat tradisional dan
memiliki isi kongkret lokal (Jawa), justru membuat pertarungan
budaya itu lebih menarik untuk diamati.
Sebuah proses maha besar yang meliputi jutaan jiwa warga
masyarakat, sedang terjadi dalam bentuk yang sama sekali ti
“tombo ati” Berbentuk Jazz?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 262 h
dak terduga. Terlihat dalam sajak ini yang berisi “perintah
agama” untuk berdzikir tengah malam, mengerti dan mema
hami isi kandungan kitab suci al-Qur’ân, bergaul erat dengan
para ulama dan berpuasa untuk menjaga hawa nafsu, adalah
halhal utama dalam asketisme (khalwah) yang merupakan pola
hidup ideal bagi seorang Muslim, yang menempa dirinya men
jadi “orang baik dan layak” (shaleh). Jika anjuran itu diikuti oleh
kaum Muslim dalam jumlah besar, tentu saja keseluruhan kaum
Muslimin akan memperoleh “kebaikan” tertentu dalam hidup
mereka. Gambaran itu sangat ideal, namun modernisasi datang
untuk menantangnya.
eg
Dalam sebuah perhelatan perkawinan di Kota Solo, penulis
mengalami sendiri hal itu. saat sebuah kelompok band menam
pilkan permainan lagu Tombo Ati itu secara “modern”. Penulis
sangat tercengang. Pertama, oleh kenyataan sebuah produk sas
tra yang sangat kuno (walaupun berupa terjemahan) dapat disaji
kan dalam irama yang tidak terduga sama sekali. Mungkin irama
jazz itu bercampur dengan langgam Jawa, namun ia tetap saja
sebuah iringan jazz. Mungkin tidak semodern permainan Sadao
Watanabe1, namun bentuk jazz dari Tombo Ati itu tetap tampak
dalam sajian sekitar 5 menit itu.
Di sini kita sampai kepada sebuah kenyataan, munculnya
berbagai bentuk dan sajian tradisional dengan mempertahan
kan “hakikat keaslian” di hadapan tantangan modernitas. Tidak
hanya penampilan alatalat musiknya saja, melainkan dalam
perubahan fungsi dari sajak itu sendiri. Kalau semula sajak itu
dimaksudkan sebagai pesan moral sangat ideal bagi kaum Mus
limin, namun dalam pagelaran ini berubah peran menjadi
sebuah hiburan.
Tentu saja kita tidak dapat menyamakan pagelaran musik
yang menggemakan Tombo Ati dengan Debus dari Banten, yang
memperagakan manusia tidak berdarah saat ditusuk benda ta
jam. Kita tidak menyadari, sebenarnya untuk melakukan pertun
jukan Debus itu, seseorang yang belasan tahun “tirakat” harus
1 Sadao Watanabe adalah legenda musik jazz dari Jepang. Ia mahir me
mainkan alto saxophone dan sopranino saxophone.
g 263 h
lah menahan diri dari kebiasaankebiasaan memakan sejumlah
makanan dan membatasi kebiasaan yang dijalankan dalam ke
hidupan seharihari. Dengan demikian untuk menjalankan per
tunjukan itu terdapat keyakinan agama dan latihanlatihan mere
duksi kebiasaan seharihari.
Penampilan sajak Tombo Ati dalam sajian jazz adalah se
suatu yang sangat menarik untuk diamati. Jelas dari penampilan
Tombo Ati itu terjadi sebuah proses yang oleh para pengamat
perkembangan masyarakat disebut sebagai perjumpaan (en-
counter) antara peradaban tradisional dengan peradaban mo
dern. Dilanjutkan dengan “proses tawar menawar” (trade off)
yang sering terasa aneh, karena menampilkan sesuatu yang tidak
tradisional maupun modern. Kemampuan melakukan tawarme
nawar seperti itulah, yang sekarang dihadapi kebudayaan kita.
Ini adalah kenyataan hidup yang harus dihadapi bukannya dihar
dik atau disesali (seperti terlihat dari sementara reaksi berlebih
an atas pagelaran “ngebor” dari Inul).
eg
Perjumpaan antara yang tradisional dan yang modern itu
dimungkinkan oleh kerangka komersial yang bernama pariwi
sata. Namun dalam tradisionalisme ada juga mengandung watak
watak yang tidak komersial, dan harus didorong untuk maju.
Perjumpaan juga terjadi antar agama. Contohnya, keti
ka agama Buddha dibawa oleh Dinasti Syailendra ke pulau
Jawa dan bertemu dengan agama Hindu yang sudah terlebih
dahulu datang, hasilnya adalah agama HinduBuddha (Bhai-
rawa). Agama Islam yang masuk ke Indonesia juga mengalami
hal yang sama. Perjumpaan antara ajaran formal Islam dengan
budaya Aceh misalnya melahirkan “seni kaum Sufi” seperti tari
Seudati, yang dengan indahnya digambarkan oleh James Siegel
dalam Rope of God.2 Berbeda dari model Minangkabau yang
mengalami perbenturan dahsyat bidang hukum agama, antara
hukum formal Islam dan ketentuanketentuan adat. Hasilnya
adalah ketidakpastian sikap yang ditutuptutupi oleh ungkapan
2 James Siegel adalah Professor of Anthropology dan Asian Studies,
di Cornell University. Rope of God adalah buku yang diterbitkan Universitas
Machigan tahun 2000 yang menceritakan tentang budaya masyarakat Aceh.
“tombo atI” bERbEntuk jazz
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 264 h
“Adat Basandi Sara’ dan Sara’ Basandi Kitabullah .”3 Di Gua
(Sumatera Selatan) yang terjadi adalah lain lagi, yaitu ketentuan
Islam jalan terus, sedangkan halhal tradisional praIslam juga
dilakukan. Di pulau Jawa yang terjadi adalah hubungan yang
dinamai oleh seorang akademisi sebagai “hubungan multikera
tonik.” Dalam hubungan ini kaum santri mengembangkan pola
kehidupan sendiri yang tidak dipengaruhi oleh “adat pra Islam”
yang datang dari keraton.
Perkembangan keadaan seperti itu, mengharuskan kita
menyadari bahwa setiap agama di samping ajaranajaran for
mal yang dimilikinya, juga mempunyai proses saling mengam
bil dengan aspekaspek lain dari kehidupan budaya. Dari situ
lah, kita harus menerima adanya perkembangan empirik yang
sering dinamakan studi kawasan mengenai Islam. Penulis meli
hat perlunya studi kawasan itu untuk setidaktidaknya kawasan
kawasan Islam berikut: Islam dalam masyarakat AfrikaUtara
dan negaranegara Arab, kawasan Islam di Afrika Hitam, Islam
dalam masyarakat TurkiPersiaAfganistan, Islam di masyarakat
Asia Selatan, Islam di masyarakat Asia Tenggara dan masyara
kat minoritas Islam yang berindustri maju. Kedengarannya mu
dah membuat studi kawasan (area-studies) Islam, tapi hal itu
sebenarnya sulit dilaksanakan. h
3 Konsepsi ini terlahir dari proses akomodasi Islam awal dalam tradisi
lokal di Minangkabau yang menempatkan Tarekat di daerah ini sebagai faktor
yang berpengaruh terhadap formasi sosial. Formasi sosial di daerah ini mem
buktikan adanya penerimaan lokal secara bertahap atas Islam—sebuah proses
yang tak hanya secara geografis berlangsung dari rantau menuju darek, namun
juga menjadikan pergumulan Islam lebih bermakna internal Minangkabau.
Konsep ini muncul saat Syekh Burhanuddin (pernah berguru kepada
Syekh Abdurrauf Singkel di Aceh) masih hidup dan merupakan hasil “Per
janjian Marapalam” tahun 1668. (lihat: Rusydi Ramli, Hikayat Fakih Saghir
‘Ulamiah Tuanku Samiang Syekh Jalaluddin Ahmad Koto Tuo: Suatu Studi
“Sejarah Pemikiran Islam” dari Teks Tokoh Gerakan Padri Awal Abad XX
(Padang: IAIN Imam Bonjol, 1989).
g 265 h
Ada sebuah prinsip yang selalu dikumandangkan oleh
mereka yang meneriakan kebesaran Islam: “Islam itu
unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala
yu’la alahi).” Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka
menolak apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan ke
jayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradabanperadaban
lain dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara
doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk pemujaan
Islam terhadap “keunggulan” teknis peradabanperadaban lain.
Dari sinilah lahir semacam klaim kebesaran Islam dan kerendah
an peradaban lain, karena memandang Islam secara berlebihan
dan memandang peradaban lain lebih rendah.
Dari “keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap oto
riter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap
orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas kemundur
an peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam
cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan
keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang melihat
kekerasan sebagai satusatunya cara “mempertahankan Islam”.
Dan lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Is
lam.
Mereka tidak mengenal ketentuan hukum Islam/fiqh bah
wa orang Islam diperkenankan menggunakan kekerasan hanya
jika diusir dari kediaman mereka (idzâ ukhrijû min diyârihim).
Selain alasan ini itu tidak diperkenankan menggunakan
kekerasan terhadap siapapun, walau atas dasar keunggulan pan
dangan Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, me
reka salah memahami Islam, saat memaahami bahwa kaum
muslimin diperkenankan menggunakan kekerasan atas kaum
dicari: keunggulan Budaya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 266 h
lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân dengan
ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri
(kullu hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]:
54). Kalau sikap itu dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca
oleh RasulNya.
eg
Jelaslah sikap Islam dalam hal ini, yaitu tidak mengangap
rendah peradaban orang lain. Bahkan Islam mengajukan un
tuk mencari keunggulan dari orang lain sebagai bagian dari
pengembangannya. Untuk mencapai keunggulan itu Nabi ber
sabda “carilah ilmu hingga ke tanah Tiongkok (utlubû al-ilmâ
walau bî al-shîn).” Bukankah hingga saat ini pun ilmuilmu ka
jian keagamaan Islam telah berkembang luas di kawasan terse
but? Dengan demikian, Nabi mengharuskan kita mencarinya ke
manamana. Ini berarti kita tidak boleh apriori terhadap siapa
pun, karena ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang terdapat
di manamana. Bahkan teknologi maju yang kita gunakan adalah
hasil ikutan (spend off) dari teknologi ruang angkasa yang dirin
tis dan dibuat di bumi ini. Dengan demikian, teknologi antariksa
juga menghasilkan halhal yang berguna bagi kehidupan kita se
harihari. Pengertian “longgar” seperi inilah yang dikehendaki
kitab suci al-Qur’ân dan Hadits.
Lalu adakah “kelebihan teknis” orangorang lain atas kaum
muslimin yang dapat dianggap sebagai “kekalahan” umat Islam?
Tidak, karena amal perbuatan kaum muslimin yang ikhlas kepa
da agama mereka memiliki sebuah nilai lebih. Hal itu dinyatakan
sendiri oleh Al-Qur’an: “Dan orang yang menjadikan selain Is
lam sebagai agama, tak akan diterima amal perbuatannya di akhi
rat. Dan ia adalah orang yang merugi (wa man yabtaghi ghaira
al-Islâmi dînan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-âkhirati
min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85). Dari kitab suci ini dapat
diartikan bahwa Allah tidak akan menerima amal perbuatan
seorang nonmuslim, namun di dalam kehidupan seharihari kita
tidak boleh memandang rendah kerja siapapun.
Sebenarnya pengertian kata “diterima di akhirat” berkaitan
dengan keyakinan agama dan dengan demikian memiliki kuali
tas tersendiri. Sedangkan pada tataran duniawi perbuatan itu
tidak tersangkut dengan keyakinan agama, melainkan “secara
g 267 h
teknis” membawa manfaat bagi manusia lain. Jadi manfaat dari
setiap perbuatan dilepaskan oleh Islam dari keyakinan agama
dan sesuatu yang secara teknis memiliki kegunaan bagi manu
sia diakui oleh Islam. Namun, dimensi “penerimaan” dari sudut
keyakinan agama memiliki nilainya sendiri. PengIslaman per
buatan kita justru tidak tergantung dari nilai “perbuatan teknis”
semata, karena antara dunia dan akhirat memiliki dua dimensi
yang berbeda satu dari yang lain.
eg
Dengan demikian, jelas peradaban Islam memiliki keung
gulan budaya dari sudut penglihatan Islam sendiri, karena ada
kaitannya dengan keyakinan keagamaan. Kita diharuskan me
ngembangkan dua sikap hidup yang berlainan. Di satu pihak,
kaum muslimin harus mengusahakan agar supaya Islam sebagai
agama langit yang terakhir tidak tertinggal, minimal secara teo
ritik. namun di pihak lain kaum muslimin diingatkan untuk meli
hat juga dimensi keyakinan agama dalam menilai hasil budaya
sendiri. Ini juga berarti Islam menolak tindak kekerasan untuk
mengejar ketertinggalan “teknis” tadi. Walaupun kita menggu
nakan kekerasan berlipatlipat kalau memang secara budaya
kita tidak memiliki pendorong ke arah kemajuan, maka kaum
muslimin akan tetap tertinggal di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi. Dengan demikian keunggulan atau ketertinggalan
budaya Islam tidak terkait dengan penguasaan “kekuatan poli
tik”, melainkan dari kemampuan budaya sebuah masyarakat
muslim untuk memelihara kekuatan pendorong ke arah kema
juan, teknologi dan ilmu pengetahuan.
Kita tidak perlu berkecil hati melihat “kelebihan” orang
lain, karena hal itu hanya akibat belaka dari kemampuan bu
daya mereka mendorong munculnya halhal baru yang bersifat
“teknis”. Di sinilah letak pentingnya dari apa yang oleh Samuel
Huntington disebut sebagai “perbenturan budaya (clash of civi-
lizations)”. Perbenturan ini secara positif harus dilihat sebagai
perlombaan antar budaya, jadi bukanlah sesuatu yang harus di
hindari.
eg
dIcaRI: kEunGGulan budaya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 268 h
Beberapa tahun lalu penulis diminta oleh Yomiuri Shim-
bun, harian berbahasa Jepang terbitan Tokyo dan terbesar di
dunia dengan oplah 11 juta lembar tiap hari, untuk berdiskusi
dengan Profesor Huntington, bersamasama dengan Chan Heng
Chee (dulu Direktur Lembaga Kajian AsiaTenggara di Singa
pura dan sekarang Dubes negeri itu untuk Amerika Serikat) dan
Profesor Aoki dari Universitas Osaka. Dalam diskusi di Tokyo
itu, penulis menyatakan kenyataan yang terjadi justru berten
tangan dengan teori “perbenturan budaya” yang dikemukakan
Huntington. Justru sebaliknya ratusan ribu warga muslimin dari
seluruh dunia belajar ilmu pengetahuan dan teknologi di nege
rinegeri Barat tiap tahunnya, yang berarti di kedua bidang itu
kaum muslim saat ini tengah mengadopsi (mengambil) dari bu
daya Barat.1
Nah, keyakinan agama Islam mengarahkan mereka agar
menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang mereka
kembangkan dari negerinegeri Barat untuk kepentingan kemanu
siaan, bukannya untuk kepentingan diri sendiri. Pada waktunya
nanti, sikap ini akan melahirkan kelebihan budaya Islam yang
mungkin tidak dimiliki orang lain: “kebudayaan yang tetap ber
orientasi melestarikan perikemanusiaan, dan tetap melanjutkan
misi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”. Kalau perlu
harus kita tambahkan pelestarian akhlak yang sekarang meru
pakan kesulitan terbesar yang dihadapi umat manusia di masa
depan, seperti terbukti dengan penyebaran AIDS di seluruh du
nia, termasuk di negerinegeri muslim. h
1 Teori “benturan peradaban” (clash of civilizations) Samuel P. Hunting
ton terdapat dalam bukunya Clash of Civilizations and The Remaking of World
Order. Pada dasarnya Huntington membenarkan bahwa Islam adalah anca
man bagi dunia. Pemikiran Huntington ini seakan menjadi “wahyu” tentang
terjadinya “perang suci” antara Islam dan Barat. Dalam melihat peradaban Is
lam, tentunya jangan dilihat perbedaan pohon yang warnawarni itu, coba lihat
hutannya (dari atas), maka akan terlihat bahwa semua sama: hijau ”.
g 269 h
Minggu keempat bulan Desember 2002, penulis atas
undangan Susuhunan Pakubuwono XII1 dari Solo, me
lancong ke Kuala Lumpur untuk dua malam. Penulis
memperoleh undangan itu, karena Sri Susuhunan juga diundang
oleh sejumlah petinggi Malaysia guna merayakan ulang tahun
nya yang ke80. Ini menunjukkan, bahwa pengaruh Keraton
Solo Hadiningrat masih kuat hingga ke Negeri Jiran, seperti Ma
laysia. Sudah tentu pengaruh ini bersifat budaya/kultural
saja, karena pengaruh politisnya sudah diambil alih pemerintah
negeri kita. Inilah yang harus disadari, karena kalau yang di
inginkan adalah pengaruh politik tentu akan kecewa.
Kunjungan ini penulis lakukan tanpa memberitahu
kan pihak Pemerintah Malaysia, terutama Kantor Perdana Mente
ri Mahathir Muhammad, karena protokoler kunjungan ini
tentu akan diambil alih oleh pihak pemerintah federal, yang ka
lau di Malaysia disebut kerajaan. Pihak protokol akan membuat
susah temanteman Malaysia yang ingin menjumpai penulis dan
akan membuat penulis tidak merdeka. Tentu, ini juga merupa
kan pertanda bah wa kunjungan itu tidak mempunyai arti politis
1 Susuhunan Pakubuwono XII memiliki nama lengkap Raden Mas Suryo
Guritno yang lahir pada 14 April 1925. Beliau dikukuhkan sebagai raja Jawa
pada tanggal 12 Juli 1945. Di pundaknyalah tertumpu tugas kepemimpinan
Jawa, yang terhimpit di antara dua zaman, yaitu pergeseran (transformasi) dari
nilai tradisional ke alam modern dan perubahan dari iklim budaya feodal ke
zaman budaya demokrasi.
keraton dan Perjalanan Budayanya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 270 h
apapun. Dengan demikian, penulis juga merasa tidak perlu mem
beritahukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala
Lumpur atas kunjungan ini . Karena penulis tidak ingin di
ganggu siapapun dalam melakukan kunjungan ini .
Pada hari kedua, penulis melakukan perjalanan selama tu
juh jam (pulangpergi) untuk melakukan ziarah ke makam Hang
Tuah, di Tanjung Kling, negara bagian Malaka. Di tempat itu,
kepada penulis dibacakan serangkaia