ilmu tarekat mistik 12

Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 12. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 12. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

ilmu tarekat mistik 12



  kitab-kitab mengenai dirinya, ialah 

Sayyid bin Abdurakhman bin Muhammad bin A k i l As-Saqqaf, sebab  

padanya ia mendapat ijazah atau khirqah Sufi. Memang As-Saqqaf ini 

yaitu seorang tokoh sufi yang terkenal dalam mazhab Mulamatiyah. 

Selanjutnya disebut orang sebagai gurunya ialah Sayyid Abubakar bin 

Abdurakhman bin Syihabuddin dan guru sufi yang terkenal Abdur-

rakhman bin Syeikh Aid id . namun  gurunya yang terpenting, menurut 

keterangan yang saya peroleh, ialah Sayyid Umar bin Abdurakhman 

Al-Attas, seorang dibandingkan  tokoh tarekat yang terkenal, yang diang­

gap luar biasa dalam ilmu hakekat. Al-Haddad sendiri menyebut nama 

tokoh tarekat ini dengan penuh hormat sebagai gurunya, dan mene­

rangkan bahwa dairpadanyalah ia beroleh ajaran tarekat zikir yang 

sempurna serta beroleh khirqah terakhir. 

Oleh sebab  saya sangka bahwa tarekat Al-Haddad itu banyak di-

pengaruhi oleh tarekat dan ajaran tasawwuf Al-Attas ini, baiklah saya 

ceriterakan agak panjang sedikit sejarah hidup gurunya itu. Sebenarnya 

mengenai Al-Attas orang beroleh uraian yang panjang lebar dalam se­

buah kitab yang bernama "Al-Qirthas fi Manaqib Al-Attas", karangan 

Imam A l i bin Hasan Al-Attas, seorang tokoh tasawwuf yang terkenal 

juga dan kuburnya ada di Hadramaut. Karangan ini belum pernah 

dicetak, hanya ditulis dengan tangan, dan disalin oleh mereka yang ber­

kepentingan, sehingga tersiar luas juga di Indonesia. Saya melihat M a ­

naqib ini pada Sayyid A l i bin Husain Al-Attas di Jakarta, yang berke-

murahan hati memberikan kepada saya mencatat beberapa hal menge­

nai diri guru yang terpenting dari Al-Haddad yang akan kita tulis seja­

rah hidup dan ratibnya itu. 

Sayyid Umar bin Abdurakhman bin A k i l Al-Attas memiliki  hu­

bungan keturunan sampai kepada Imam Ja'far Sadiq, Imam A l i Zainal 

Abidin, dan dengan demikian yaitu  anak cucu dibandingkan  Fatimah, 

366 

putri Nabi. Ia dilahirkan dalam sebuah desa di Hadramaut, yang ber­

nama Al-Issak, dalam 1072 H . Al-Attas ini hanya belajar pada seorang 

gurunya saja, bernama Sayyid Husain Ibn A b i Bakar bin Salim. 

Diceriterakan bahwa Al-Attas ini pada waktu kecilnya kena se-

rangan penyakit cacar dan dengan demikian buta kedua belah matanya, 

yaitu tatkala ia berumur 4 tahun. Kebutaannya itu tidak menghambat 

kemajuan pendidikannya. Ia dalam waktu yang sangat singkat sudah 

menghafal Al-Qur 'an seluruhnya, begitu juga pelajaran-pelajaran yang 

disampaikan oleh gurunya ditangkap di luar kepala seluruhnya. Keluar-

biasaan ini tidak saja menimbulkan cinta kasih sayang gurunya kepada­

nya, namun  juga membuat gurunya sangat menghormatinya. Gurunya 

tidak pernah bangkit berdiri untuk seseorang yang datang menemuinya, 

kecuali terhadap Al-Attas itu, sambil mengucapkan selalu : "Marha-

ban". 

Nüai kebesarannya Al-Attas itu tidak terletak dalam karangan-

karangannya, namun  dalam kesalihannya dan amalnya, terutama murid-

muridnya yang diajarkan dalam keadaan tidak melihat itu. Katanya, 

bahwa murid-muridnya itulah karangannya. 

Banyak orang menceriterakan tentang keanehan dan kekeramat-

annya. D i antaranya Abu Turab, seorang pengarang yang terkenal, 

yang menceriterakan, bahwa pada suatu hari ia haus dan ingin minum 

seteguk air. Orang melihat ia menepuk tanah, dan konon '.erpancarlah 

air dari dalam tanah itu. Konon pula tepukan yang pertama di atas ta­

nah itu mengeluarkan sebuah bejana, yang tidak terpermanai indahnya, 

terbuat dibandingkan  kaca putih bersih. Abbul Abas Ar-Riqqi menerang­

kan, bahwa bejana itu sampai sekarang masih tersimpan di Makkah. 

Keanehan yang lain diceriterakan orang, bahwa ia kedatangan tamu 

dan tidak memiliki  lauk-pauk untuk memberi makannya. Tiba-tiba 

seorang membawakan dia daging, dan ia lalu memotong-motong daging 

itu dengan sebuah pisau, yang dengan tiba-tiba dikeluarkan dari saku 

bajunya, sedang orang ketahui, bahwa sebelumnya saku bajunya itu 

kosong adanya. Keanehan yang lain berbunyi, bahwa gurunya pernah 

memerintahkan dia pergi ke sebuah desa yang penuh dengan orang ja­

hat, terletak di Do'an dan di Wadi Oman. Ia lakukan perintah itu dan 

ia sampaikan ajaran-ajarannya di sana selama 40 tahun lamanya, se­

hingga seluruh penduduk desa itu menjadi orang baik-baik semuanya. 

367 

Abdullah bin Umar Ba Ubaid menerangkan, bahwa Sayyid Umar 

ini yaitu seorang wali, yang tidak dapat disaingi pengetahuannya. 

Ia seorang qutub dalam zamannya, sesudah gurunya Abubakar bin Salim 

yang disebutkan di atas. Orang menyebutkan juga dia seorang ahli kasyaf. 

Tarekat dan ratibnya termasyhur, dan tak dapat tidak mempenga­

ruhi tarekat dan ratib muridnya Al-Haddad. Ratib Al-Attas ini sangat 

luas dan disebutkan kupasan atau syarahnya dalam bahagian yang ke­

dua dari kitab yang kita sebutkan di atas "Al-Qirthas fi Manaqibi Al-

Attas". Pengarangnya memberi uraian yang panjang lebar tentang tare-

katnya dan ratibnya dengan mengemukakan hadits-hadits Nabi yang 

saheh dan ayat-ayat Qur'an yang langsung ada hubungannya. Sayang 

kitab ini sampai sekarang tidak dicetak, sehingga kita tidak dapat 

mempelajarinya secara perbandingan. Dan oleh sebab  itu juga saya 

berpendapat, bahwa tarekat Al-Attas itu tidak tersiar luas di Indonesia, 

meskipun Al-Qirthas dalam bentuk manuskrip ada pada beberapa 

orang yang tertentu. 

Kita sudah sebutkan, bahwa ia tidak meninggalkan karangan-

karangannya, namun  murid-muridnya yang banyak itu menyampaikan 

ajarannya itu dari mulut ke mulut dan menyebut dalam kitab-kitab ka­

rangan mereka. 

Di antara murid-muridnya ialah Sayyid Isa bin Muhammad A l -

Habasyi di Khanfar, Hadramaut, Syeikh A l i bin Abdul Ilah Baras, di 

Quraibah, Do'an, Hadramaut, d l l . , semuanya tokoh-tokoh terkenal 

dalam tasawwuf. 

namun  sebagaimana kita katakan salah seorang yang sangat terke­

muka dan dicintai di antara murid-muridnya ialah Sayyid Abdullah bin 

Alawi bin Muhammad Al-Haddad, pencipta Ratib Haddad, yang se­

dang kita bicarakan itu. Al-Haddad ini kemudian menjadi tokoh besar 

dalam tarekat dan seorang pengarang yang ternama. Juga ia seorang 

yang tidak dapat melihat, meskipun otaknya tajam dan ilmunya sangat 

luas, mengajar di sana-sini, dan mengarang, yang disalin orang dari­

pada ucapan-ucapannya yang berharga itu. Penyakit ini diperolehnya 

sejak kecil, meskipun demikian tidak mengganggu jalan pendidikannya 

dan jalan pengajarannya. l a terkenal sebagai seorang abid. Tiap hari ia 

keliling kota Tarim untuk bersembahyang sunat dalam tiap-tiap mesjid. 

Dalam kitab Masyra'ul Rawi disebutkan, bahwa ia seorang yang 

368 

melimpah-limpah ilmunya, ahli yang mempertemukan hakekat dan sya-

re'at, sejak kecil ia telah menghafal Al-Qur 'an 30 juz, seorang yang 

bersungguh-sungguh dalam membersihkan dirinya dan mengumpulkan 

ilmu pengetahuannya dari ulama-ulama terkenal yang semasa dengan 

dia, seorang mujaddid yang terkenal ijtihad-ijtihadnya dalam persoalan 

ibadah, seorang yang bersungguh-sungguh menghidupkan ilmu dalam 

amal, dan oleh sebab  itu dikenal orang di Timur dan di Barat. Terha­

dap pendidikannya, sejarah Masyara'ul Rawi menerangkan, bahwa ia 

seorang yang banyak melahirkan murid-murid yang salih, yang tersiar 

kemudian ke seluruh pojok bumi dari zaman ke zaman. Diceriterakan 

juga, bahwa ia pernah mengunjungi Mekkah dan Madinah dalam tahun 

1080 H , dan salah seorang gurunya di Mekkah ialah Sayyid Muham­

mad bin Alawi As-Saqqaf Ba Alawi . 

Oleh sebab  pada penutup ratibnya selalu disebut-sebut Ba Alawi 

yang dianjurkannya menghadiahkan bacaan Fatihah, ada baiknya ka­

lau kita mengetahui serba sedikit tentang Ba Alawi ini, yang tarekat 

juga tak dapat tidak mempengaruhi Ratib Haddad. Dalam juz ke II 

dibandingkan  kitab "Masyara'ul Rawi fi Manaqibi Sadat Ba Alawi", ka­

rangan seorang arifin Muhammad bin Abubakar Asy-Syill i , dapat kita 

baca bahwa mungkin yang dimaksudkannya itu ialah Muhammad bin 

A l i bin Muhammad, pencipta tarekat Ba Alawi ini , yang tarekatnya 

juga tak dapat tidak mempengaruhi Ratib Haddad, yang keturunannya 

sambung-menyambung sampai kepada Imam Ja'far Syadig, anak Imam 

Al-Baqir, anak Imam A l i Zainal Abidin, anak Imam Husein bin A l i 

A b i Thalib. Nama Zainal Abidin sangat terkenal dalam dunia tasawwuf 

dan tarekat umum, serba sedikit sudah saya ceriterakan dalam kitab 

saya "Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf" dan saya bicarakan juga 

tentang do'anya yang terkenal dengan nama Sajadiyah. Do'a-do'anya 

itu sekarang sudah dikumpulkan dalam sebuah kitab yang bernama 

"As-Sahifah Al-Kamilah As-Sajadiyah" (Nejef, 1321 H.) , yang saya 

terima dari seorang alim Al-Ja ' far i , melalui Asad Shahab di Jakarta. 

Muhammad bin A b i bin Muhammad Syahid Marba, yang kita bi­

carakan ini , dilahirkan di Tarim dalam tahun 574 H , di mana ia hidup 

dan mempelajari segala cabang ilmu pengetahuan Islam, pada guru-

gurunya yang ternama, seperti Ba Ubaid, Ba Isa, Ba Marwan, namun  ta­

sawwuf dan ilmu hakekat dipelajarinya dari Imam Salim bin Sasri, M u ­

hammad bin A l i Al-Qarib dan pamannya Syeikh Alawi bin Muham-

369 

mad. Syahid Marba dan Syeikh Sofyan dari Yaman Bin Ab i l Hib , Ibn 

Jadid. 

Kembali kita menceriterakan tentang Al-Haddad, bahwa ia selain 

dibandingkan  ahli tarekat dan hakekat juga boleh dianggap seorang penga-

,ang yang utama, meskipun ia sejak kecil menderita alat penglihatan-

nya. Di antara kitab-kitabnya yang terpenting dan banyak tersiar dalam 

pasar buku ialah An-Nasa'ih An-Diniyah, sebuah kitab dicetak di Indo­

nesia, di antaranya oleh Salim Nabhan di Surabaya dan Al-Ma 'a r i f di 

Bandung, pada pinggirnya tercatat kitab yang penting mengenai tare-

katnya, bernama "Sabilul Azkar". Selanjutnya kitabnya bernama 

"Ad-Da'watul Ittihaful Sa'il, risalah Al-Mu'awanah, Al-Fusulul Ilmi-

yah, Risalatul Murid, Rasalatul Muzakarah, dan yang terpenting juga 

ialah Kitabul Majmu', yang terdiri atas 4 bahagian berisi wasiat dan 

massalah-massalah hikam yang terpenting, dan pada akhirnya ditutup 

dengan kumpulan sajak-sajak yang indah, yang dinamakan Durrul 

Mart/urn Banyak orang berpendapat, bahwa nilai sajak-sajaknya itu 

sangat tinggi. Orang berkata, bahwa ilmu Sayyid Abdullah Al-Haddad 

tidak tersimpan dalam karangannya, namun  tersimpan dalam kepribadi-

an, dan ihwalnya, tersimpan dalam Sya'ir dan sajaknya. 

Perlu kita catat di sini, bahwa seorang muridnya yang bernama 

Syeikh Ahmad Al-Sawi, pernah mengarang sebuah kitab mengenai seja­

rah hidup gurunya Al-Haddad itu, bernama "Tasbitul Fuad", dalam 

jilid yang besar, namun  sayang tidak dicetak, sampai sekarang tersimpan 

dalam salah satu perpustakaan di Hadramaut. 

Sayyid Abdullah Al-Haddad, Sahib Ratib ini, menurut sejarah me­

ninggal pada malam Selasa tanggal 7 Zulkaedah th. 1132 H , dalam usia 

lebih kurang 89 th. Empat puluh hari sebelum ia meninggal di kala sa-

kitnya pada akhir bulan Ramadhan, ia sudah menjelaskan kejadian-

kejadian yang akan datang pada dirinya. 

Saya belum tutup bahagian Al-Haddad dalam karangan ini, sebe­

lum saya menceriterakan sedikit tentang keluarganya Asy-Syili , M u ­

hammad bin Abu Bakar, Asy-Syili yaitu pengarang Masyra'ul Rawi 

ini di atas. Lahir dï Tarim tahun 980 H , yaitu juga seorang yang 

alim dan suka mengembara menyiarkan ilmunya sampai ke Yaman, 

dan India, kemudian dari sana ia pernah melawat ke Aceh dalam masa 

pemerintahan raja perempuan (mungkin Safiyatuddin Syah), yang di-

370 

kunjunginya dan dipuji-puji kemuliaannya, kebesaraannya, kekuasaan-

nya, kesalehannya, selalu dikelilingi oleh wazir-wazir dan raja-raja ba-

wahannya. Ia kawin dengan anak seorang wazir, dan oleh sebab  itu 

beroleh kedudukan yang mulia dan beberapa orang anak, tinggal bebe­

rapa lama di Aceh menyiarkan ilmunya sampai ia meninggal dunia di 

sana (Masyara'ul Rawi, Jld. I, hal 171). 

A L - H A D D A D . (III). 

Ratib Haddad itu sangat sederhana, terdiri dibandingkan  bacaan fate-

hah, ayat Al-Kurs i , Ayat Amanar Rasulu, Surat Al-Ikhlas dan dua su­

rat Al-Qur 'an berikutnya dan tujuh belas bacaan, yang terdiri dibandingkan  

tahlil, tasbih, istigfar, salawat, taawwuz, basmalah dan do'a-do'a yang 

lain, yang semuanya disusun dan dipilih oleh penciptanya, Habib Abdul­

lah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad, yang dianggap qutub mur­

syid. Semuanya wirid dan do'a itu dipilih a as dasar hadits-hadits yang 

mutawatir sebagaimana yang dibentangkai dalam Sullamut Thalib, 

Syarah ratib Haddad, diterbitkan di Jakarta, karangan Sayyid A l i bin 

Abdullah Al-Haddad. 

Oleh sebab  sangat sederhana dan mulahnya, maka ratib tarekat 

ini banyak diamalkan orang di Hadramaut dan Indonesia dl l . , yang ke-

banyakan dikunjungi oleh orang-orang Arab dari Hadramaut itu. W i ­

rid ini dibacakan sesudah sembahyang, terutama sesudah sembahyang 

Subuh, baik secara perseorangan, maupun secara beramai-ramai. Jika 

dilakukan beramai-ramai bacaan itu biasanya dipimpin oleh Imam sem­

bahyang, yang tentu dipilih dari orang yant; terutama, dan disahuti ber­

sama-sama oleh yang hadir. Tiap-tiap bacaan dibacakan tiga kali, baca­

an yang pertama mengenai pengakuan tidak ada Allah  melainkan 

Allah sendiri, yang tidak ada saingannya, baginya seluruh kerajaan la­

ngit dan bumi, baginya kembali seluruh puji dan syukur, berkuasa da­

lam menghidupkan dan mematikan sesuatu ciptaannya. Bacaan yang 

kedua mengenai tasbih dan tahmid serta takbir, mempersucikan, me­

muji dan mengagungkan Allah , yang memang suatu bacaan yang sa­

ngat dianjurkan Nabi, sebagaimana ini dalam hadits-hadits, di 

371 

antaranya diriwayatkan oleh Abu Hurairah dan Malik bin Anas. Baca­

an yang ketiga hampir bersamaan isinya, terambil dari hadits yang di­

riwayatkan oleh Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah dan Abu Umar. 

Bacaan yang keempat mengenai permintaan taubat dan ampunan, su­

atu ucapan yang sangat dianjurkan oleh Nabi sebab  ia sendiri melaku­

kannya setiap hari sampai tujuh puluh kali. Demikian diceriterakan da­

lam hadits-hadits, di antaranya oleh Ibn Umar. 

Bacaan yang kelima mengenai selawat dan taslim kepada Nabi M u ­

hammad, sebagaimana diperintahkan dalam Qur'an dan dipohonkan 

oleh Nabi. Sesudah itu kita bertemu dengan zikir yang keenam permo­

honan melindungi diri pada Allah  dari semua kejahatan-kejahatan. 

Perbuatan ini juga sebagai kata Imam Harawi sangat dipuji Tirmidi, 

Ibn Sunni dalam kitabnya. Bacaan yang ketujuh berisi tasmiyah, yang 

dianjurkan oleh agama dilakukan pada tiap perbuatan baik, sambil 

mengharapkan kehilangan kesukaran dan kemudaratan dengan ucapan 

nama Allah itu. Fadilatnya di antara lain diceriterakan oleh Usman bin 

Affan. 

Zikir yang kedelapan berisi penyerahan diri kepada Al lah , penga-

kuan menerima Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi. 

Dengan demikian dilanjutkan zikir ini dengan bacaan yang kesembilan, 

di mana ini pengakuan bahwa tiap yang baik dan yang buruk itu 

berasal dari Al lah . Di dalamnya juga ada pengakuan berterima 

kasih kepada Allah , yang menentukan Qadha dan Qadarnya, yang ti­

dak dapat diubah oleh manusia. Maka kita lihatlah dalam zikir yang 

kesepuluh pengakuan percaya dengan sungguh-sungguh kepada Allah 

dan hari kemudian serta bertaubat lahir dan bathin dengan sesungguh-

nya, sebagaimana yang dianjurkan dalam Qur'an dan dalam Sunnah 

Nabi. 

Dalam zikir yang kesebelas terisi permohonan minta ampun dan 

maaf serta pembersihan diri dari semua dosa. Dalam keterangan dise­

butkan oleh Nabi, yang selalu memperingatkan amal itu kepada pa­

mannya Abbas menurut riwayat Sitti Aisyah. Selanjutnya do'a yang 

ini dalam zikir kedua belas ialah : " O , Allah ku yang perkasa dan 

pemurah, matikanlah kami dalam agama Islam". Berbeda dengan yang 

lain bacaan ini diucapkan tujuh kali. Diceriterakan bahwa lafad "jalal 

dan ikram" yang ini dalam zikir ini dipetik dari ayat Qur'an dan 

Ü2 

hadits, begitu juga permintaan dimatikan dalam agama Islam pun ber­

asal dari ayat Qur'an yang berbunyi. "Janganlah kamu mati terlebih 

dahulu, sebelum kaum seluruhnya Islam dan menyerah diri kepada Tu­

han". 

Bacaan yang ketiga belas berisi do'a untuk menghindarkan diri da­

ri kejahatan orang-orang yang zalim. Nama Allah  yang disebutkan 

dalam bacaan ini terambil dari Asma'ul Husna. Kemudian kita bertemu 

dalam zikir yang keempat belas dengan do'a Rasulullah yang memo-

honkan kepada Allah , agar dibereskan semua pekerjaan orang Islam, 

dan dihilangkan semua rencana musuh yang menyakitinya. Pun do'a 

yang ini dalam bacaan yang kelima belas tersusun dari nama-nama 

Allah  dari Asma'ul Husna, yang dianjurkan kepada manusia berdo'a 

dengan nama-nama Allah  yang indah itu agar diperkenankan. 

Berlainan dengan zikir keenam belas, yang berisi keluhan hamba 

kepada Allah nya, agar dilepaskannya dibandingkan  kebimbangan dan ke-

sukaran, agar diampuni dan dikasihani. Khalifah Abu Bakar selalu ber­

do'a dengan do'a itu. 

Istigfar yang ini dalam bacaan ketujuh belas, yang diucapkan 

empat kali, dapat dianggap sebagai penutüp tarekat ini. Kalimat itu 

berbunyi : " A k u minta ampun kepada kepada-Mu, pencipta yang maha 

Agung, agar Engkau ampuni dosaku". 

Pada akhir ratib dianjurkan mengucapkan tahlil sekurang-kurang­

nya dua puluh lima kali, banyaknya tidak terbatas. Kemudian disudahi 

dengan syahadat tauhid dan syahadat rasul, meminta kerelaan untuk 

Nabi Muhammad keluarganya yang suci, sahabat-sahabatnya yang mu­

lia, isteri-isterinya yang bersih serta tabi'in di belakangnya. Sesudah 

membaca tiga kali surat Ikhlas dan sekali masing-masing surat berikut-

nya, dibacakanlah Fatihah, di antaranya untuk Sayyid Muhammad bin 

Ba Alawi, untuk Sayyid Abdullah bin Alawi bin Muhammad A l Had­

dad dan untuk guru-guru yang lain serta kaum muslimin seluruhnya. 

Do'a yang dibaca sesudah itu sangat pendek dan sederhana, berisi mo-

hon bantuan agar Allah  memberikan kebajikan dan perlindungan. 

Sebelum bubar didengungkannya bersama-sama sebanyak tiga 

kali : " Y a Allah ku kami pohonkan rela-Mu dan anugerah sorga. Kami 

berlindung pada-Mu dibandingkan  kemurkaan-Mu dan azab neraka!" 

373 

11. TIJANIYAH. 

Salah satu tarekat yang ada juga di Indonesia di samping tare­

kat-tarekat yang lain ialah tarekat Tijaniyah. Dalam tahun berapa ta­

rekat ini masuk ke Indonesia tidak diketahui orang dengan pasti, namun  

sejak tahun 1928 mulai terdengar adanya gerakan ini di Cirebon. Se­

orang Arab yang tinggal di Tasikmalaya, bernama A l i bin Abdullah At-

Thayyib Al-Azhar i , berasal dari Madinah, menulis sebuah kitab berke-

pala "Kitab Munayatul Murid" (Tasikmalaya, 1928 M. ) berisi bebera­

pa pertunjuk mengenai tarekat ini, dan kitab itu ada tersebar luas 

di Cirebon khususnya, dan di Jawa Barat umumnya. 

Oleh sebab  gerakan ini pernah mendapat perhatian umum, Pe-

merintah Belanda pernah menyelidikinya. Dr. G . F . Pijper, ketika itu 

Adjunct-Adviseur Voor Inlandsche Zaken, menulis sebuah karangan 

mengenai tarekat Tijaniyah itu, yang dimuat dalam kitabnya "Frag-

menta Islamica" (Leiden, 1934). Beberapa hal di antaranya kita kutip 

sebagai di bawah ini. 

Memang sebelum 1928 tarekat Tiyaniyah belum memiliki  ang-

gotanya di Jawa, namun  tarekat ini sudah terkenal dan tersiar luas di 

Afr ika Barat dan Utara, selanjutnya di Mesir, dan di sebelah Barat Ja-

zirah Arab. 

Pendirinya yaitu seorang ulama dari Algeria, bernama Abul Ab­

bas Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani, lahir di ' A i n Mah­

di dalam tahun 1150 H . (1737 — 1738 M . ) . Diceriterakan bahwa dari 

bapaknya ia keturunan dari Hasan bin A l i bin A b i Thalib, sedang nama 

Tijani yaitu dari Tijanah dari keluarga ibunya. Sejak umur tujuh ta­

hun konon ia sudah menghafal seluruh Qur'an, kemudian lalu ia mem­

pelajari ilmu-ilmu Islam yang lain dengan giatnya, sehingga pada waktu 

ia menjadi guru masih remaja putera. 

Waktu ia berumur dua puluh satu tahun ia mulai bergaul dengan 

orang-orang Sufi. Tatkala dalam tahun 1186 H . (1172 — 1773 M. ) ia 

naik haji ke Mekkah, ia berhubungan dengan beberapa orang Sufi da­

lam perjalanannya itu di Mesir, dan kemudian di Madinah berkenalan 

dengan Muhammad bin Abdul Karim As-Samman, pendiri tarekat 

Sammaniyah, dan belajar padanya mengenai ilmu-ilmu rahasia bathin. 

Tiap guru agama yang didatanginya mengatakan bahwa ia akan mem­

punyai harapan yang baik dan gilang-gemilang. 

374 

Dalam tahun 1196 H . (1781 — 1782 M.) ia pergi ke Tilimsan me­

nambah ilmu pengetahuannya pada Abu Samghun dan As-Shalalah. 

Di sini mulailah terbuka pandangan bathinnya. Bukan dalam tidur teta­

pi dalam jaga dan sadar, konon ia bertemu dengan Nabi Muhammad, 

yang mengajarkkan kepadanya beberapa wirid, istighfar, dan selawat, 

yang masing-masing harus diucapkan seratus kali dalam sehari sema­

lam, dan memerintahkan dia mengajarkan wirid itu kepada semua 

orang Islam yang menghendakinya. Konon Nabi memerintahkan juga 

kepadanya, agar ia meiepaskan diri dari tarekat-tarekat yang lain. Da­

lam tahun 1200 H . (1785 — 1786 M. ) Rasulullah kelihatan lagi dalam 

kasyafnya dan mengajarkan pula tambahan wiridnya dengan tahlil, 

yang harus diucapkan seratus kali pula, sambil berkata : "Engkau me­

rupakan penunggu yang akan menyelamatkan tiap hamba Allah yang 

durhaka". 

Sejak itu Tijani mulailah mengajar tarekatnya, yang dengan segera 

tersiar ke sana-sini di sekitar tempat tinggalnya. Kemudian ia pergi ke 

Fez, dan di sana tidak berapa lama kemudian ia pun berpulang ke rah-

matullah menemui Allah nya, yaitu pada suatu pagi tanggal 17 Syawal 

1230 H (22 September 1815 M.) pada waktu ia berusia delapan puluh 

tahun. Ia dikuburkan di Fez. 

Tarekat Tijaniyah ini memiliki  wirid yang sangat sederhana, 

dan wazifah yang sangat mudah. Wiridnya terdiri dari istighfar seratus 

kali, selawat seratus kali, dan tahlil seratus kali . Boleh dilakukan dua 

kali sehari, yaitu pagi dan sore, pagi sesudah sembahyang Subuh sam­

pai sembahyang Zuha, sore sesudah sembahyang Ashar sampai sem­

bahyang Isya. Wazifahnya terdiri dari "astaghrirullah al-azim allazi la 

ilaha illa huwal hayyul qayyum" (saya minta ampun kepada Allah, yang 

tidak ada Allah  melainkan Dia , Ia selalu hidup dan mengawasi), seba­

nyak tiga puluh kali, kemudian dibaca shalatul fatih, yang berbunyi 

"Allahumma salli ala sayyidina Muhammad al-fatihi lima ughliqa, wal-

khatimi lima sabaqa, nasrirul haqqi bil haqqi, wal hadi ila shirathil 

mustaqim, wa ala alihi haqqa qadruhu wa migdaruhul azim (Ya, Tu­

hanku! Berikanlah rahmat kepada penghulu kami Muhammad, yang 

terbuka baginya apa yang tertutup, yang menjadi penutup bagi semua 

yang sudah lampau, pembantu kebenaran dengan kebenaran, orang yang 

menunjuki kepada jalan yang benar, begitu juga atas keluarganya seke-

375 

dar yang layak dengan kadar yang besar) lima puluh kali, dan bacaan 

"la ilaha illallah" (tidak ada Allah  melainkan Allah) seratus kali, ke­

mudian barulah ditutup dengan do'a yang dinamakan Jauharatal ka­

mal, sebanyak dua belas kali, didapat dalam kitab "Fathur Rabbani", 

pada halaman enam puluh. 

Sebenarnya pembacaan wazifah ini boleh petang hari tapi yang ba­

ik yaitu pada malam harinya, sekurang-kurangnya dua kali, pagi dan 

sore. 

Lain dibandingkan  itu membaca hayhalah, yaitu pada hari Jum'at, ter­

diri dari zikir tahlil dan Al lah , Al lah , sebanyak yang tidak ditentukan 

sejak sudah sembahyang Ashar sampai kepada terbenamnya matahari. 

Tarekat ini menentukan beberapa syarat untuk pelaksanaan itu, 

pertama berwudhu, bersih pakaian dan tempat serta badan orang yang 

mengerjakannya, tertutup segala auratnya, tidak boleh berbicara, ber-

niat yang tegas, mengucapkan wirid, wazifah, dan hayhalah sambil du­

duk menghadap ke kiblat. Sebagaimana tarekat-tarekat yang lain tare­

kat ini pun menganjurkan, agar murid-muridnya dalam mengerjakan 

amalan itu, menggambarkan rupa gurunya dalam ingatannya, dan 

mengikuti seluruh nasehat-nasehatnya dengan tenang. 

Pernah terjadi perdebatan sekitar Cirebon oleh ulama-ulama me­

ngenai tarekat ini, dan pernah orang menyerang guru-gurunya dengan 

ucapan-ucapan dan surat-surat siaran sekitar tahun 1928 sampai 1931. 

namun  keadaan ini kemudian tenang kembali, sesudah Nahdatul Ulama 

menyatakan sebagai keputusannya, bahwa tarekat itu tidak termasuk 

kepada ajaran yang sesat, sebab  amalan-amalannya sesuai dengan 

ajaran Islam. namun  majallah Al-Manar, Maret 1926 M . , Hal . 796 — 

778, sebuah majallah dari golongan Salaf, menyatakan tarekat itu me-

nyeleweng dari ajaran Islam yang sebenarnya. 

Di Cirebon tarekat Tijani ini pernah tersiar dengan suburnya di 

bawah pimpinan Kiyai Buntet dan keluarganya, terutama di bawah 

pimpinan alm. Kiyai Abbas Buntet dan saudaranya Kiyai Anas di desa 

Martapada, dekat kota Cirebon. namun  juga dikatakan, bahwa murid-

murid yang datang itu ada yang berasal dari jauh-jauh, dari Tasikmala­

ya, Brebes dan Banyumas. Terutama dalam bulan Ramadhan kelihatan 

kesibukan tarekat ini . 

376 

Perselisihan paham dengan tarekat-tarekat lain dan perkumpulan-

perkumpulan yang memang tidak menyetujui tarekat, seperti Muham-

madiyah, pernah menyebabkan debat-mendebat, sehingga terpaksa Pe-

merintah campur tangan. Begitu juga turutnya Kiyai Madrais, 1) se­

orang guru yang sangat sederhana dekat Kuningan, ke dalam tarekat 

ini, yang menarik ribuan murid-murid, menimbulkan kecurigaan bagi 

Pemerintah Belanda. namun  perkumpulan Nahdhatul Ulama, yang per­

nah memeriksa wirid dan wazifah dibandingkan  tarekat ini, menyatakan, 

bahwa tarekat itu tidak menyimpang dibandingkan  aliran yang benar (hal. 

117 dari Fragmenta Islamica). 

Di antara mereka yang sangat menentang tarekat ini termasuk se­

orang alim Mekkah Sayyid Abdullah bin Sadaqah Dahlan, kemanakan 

dari Mufti Syafi'i di Mekkah. Sementara Nahdhatul Ulama memasuk­

kan pembicaraan tentang tarekat ini ke dalam acara Kongresnya di C i ­

rebon Agustus 1931, sebagai acara yang sangat menarik perhatian ula­

ma-ulama di Indonesia. 

Pemeriksaan pemerintah Belanda yang diadakan dalam th. 1932 

menyatakan, bahwa gerakan Tijaniyah itu memiliki  banyak guru-

guru dan murid-muridnya tersebar di Cirebon Kuningan, Tasikmalaya 

dan dalam beberapa kabupaten di Jawa Tengah, semuanya berjalan 

dengan damai dan tidak mengganggu ketenteraman umum. 

Demikianlah kita catat beberapa hal mengenai tarekat Tijaniyah 

itu. 

12. AS-SANUSIYAH. 

Sebuah tarekat yang lahir dan sangat luas tersiar di Afrika Utara 

ialah Sanusiyah, tarekat yang bersifat sangat keras, terutama dalam 

melakukan jihad atas jalan Allah dan mentaati pemimpin-pemimpin-

nya. Sebenarnya tarekat ini yaitu  lanjutan dibandingkan  sebuah tare­

kat Marokko Khadhiriyah, yang didirikan oleh Ibn Dabbagh (mgl. 1717 

1 ) Kiyai Madrais menamakan tarekatnya "Agama Sunda". Saya pernah menyelidiki 

"Agama Sunda" ini. dan ternyata tidak berasal dari tarekat Tijaniyah. 

377 

M..), yang yaitu  cabang juga dari Amirghaniyah dan Indrisiyah. 

namun  ada orang mengatakan, bahwa Khadhiriyah itu yang berasal dari 

Sanusiyah. Tarekat ini terutama tersiar pada hari-hari pertama di Jagh-

bub kemudian berpindah ke Kufra, di sebelah timur Sahara. 

Bagaimanapun juga tarekat Sanusiyah ini berkembang oleh se­

orang tokoh tarekat yang bernama Sidi Muhammad bin A l i As-Sanusi" 

dan oleh sebab  ia termasuk cucu dibandingkan  Al-Idrisi, maka tarekat ini' 

dinamakan juga Al-Idrisiyah. Sanusi lahir dalam tahun 1791 di Tursy, 

dekat Musytaghanam (Algeria atau Aljazirah) dan meninggal di Jagh-

bub (Cyrenaica). 

Orang Barat menamakan, bahwa Sanusiyah yaitu tarekat yang 

moderen, sangat sederhana dalam amal-amal dan wiridnya, tidak bera­

pa menyimpang dibandingkan  ajaran Islam yang asli. 

Mengenai riwayat hidup dibandingkan  pendiri tarekat ini dapat kita ce-

riterakan, bahwa As-Sanusi mula-mula mendapat didikan agama dari 

seorang guru ternama Abu Ras (mgl. 1823 M) dan Belganduz (mgl. 

1829 M) di tempat tinggalnya sendiri. Kemudian Sanusi pergi ke Fas 

dari tahun 1821 sampai 1828, dan di sana ia memperdalam ilmunya me­

ngenai tafsir Qur'an, ilmu Hadis, ilmu Hukum Fiqh, dl l . pengajaran 

Islam tingkat lanjutan. Kemudian ia mengerjakan ibadat Haji ke Mek­

kah, yang dilakukannya dengan perjalanan melalui Tunisia Selatan dan 

Mesir. Diceriterakan bahwa ia kemudian mengambil tempat tinggal 

yang tetap di Sabia, dan di sana dalam tahun 1837 untuk pertama kali 

ia membuat zawiyah, tempat melatih murid-murid tarekatnya, di sebu­

ah gunung yang terkenal di Mekkah, bernama Abu Qubais. 

Sepulang dari sana ia tidak tinggal di Mesir, namun  ia menetap be­

berapa waktu di Cyreinaica, di mana ia mendirikan pula zawiyah suluk 

dari tarekat Rifa ' i , kemudian pindah membuat zawiyah pula di A l -

Baidha dekat Cyreine (Jabal Akhdhar), kemudian pindah pula ke Te-

messa, dan akhirnya menetap di Jaghbub sampai tahun 1855, kota 

mana pada awal mulanya sangat sepi, namun  kemudian diisinya dengan 

budak-budak yang sudah merdeka, yang kemudian menjadi pengikut-

pengikutnya yang gagah perkasa. Ia meninggal dalam kota ini dan di-

kuburkan orang di sana. 

Riwayat hidupnya menceriterakan, bahwa dia memiliki  dua 

orang anak, pertama yang tua bernama Sidi Muhammad Al-Mahdi (la-

378 

hir 1844 dan meninggal 1961 di Guro), yang kemudian menjadi khali-

fahnya, dan kedua bernama Sidi Muhammad Asy-Syarief (lahir 1846 

dan meninggal 1896) Al-Mahdi meninggalkan dua orang anak, masing-

masing bernama Sidi Muhammad Idris, yang lahir 1883, dalam tahun 

1909 diangkat menjadi raja Kecil, di bawah pengawasan Itali, dan me­

merintah antara 1916 sampai 1923. Anak yang lain bernama Sidi R i ­

dha, yang memiliki  enam orang putra, masing-masing bernama Sidi 

Ahmad Syarif, lahir 1880, menjadi khalifah dibandingkan  tarekat neneknya 

antara tahun 1901 sampai 1916, kemudian dalam perang dunia pertama 

ia memihak kepada Jerman namun  kemudian ia pergi ke Turki dan tu. 

rut dalam mengadakan propaganda untuk mendirikan gerakan Pan 

Islamisme serta bertempat tinggal di Ankara. Lima orang anaknya yang 

lain bernama Sidi Muhammad A l - ' A l b i d menjadi tuan tanah di sebelah 

selatan Fezzan, antara tahun 1916 — 1918 memimpin pertempuran di 

Saharan menentang Perancis, selanjutnya Sidi A l i Al-Khattab, Sidi Safi-

uddin, yang menjadi ketua Parlemen Itali di Cyreneica dalam tahun 

1921, Sidi Al-Hal la l dan Sidi Ar-Ridha. 

Markas Tarekat Sanusiyah ini pada mula-mulanya berada di Jagh-

bub antara 1855 — 1895, kemudian dipindahkan ke Kufra 1895, ke 

Guro 1899, kemudian dipindahkan lagi ke Kufra 1902, sementara zawi-

yah-zawiyah sufinya, yang dalam tahun 1859 berjumlah hanya dua 

puluh dua buah, meningkat dalam tahun 1884 sampai seratus buah ba­

nyaknya. 

Di antara wirid-wirid yang dilakukan secara sir oleh penganut-

penganut tarekat ini ialah ucapan : " Y a Lat i f" sebanyak seribu kali, 

kemudian dalam hukum, sangat memegang kepada Qur'an dan Hadits. 

Meskipun dalam pelaksanaan fiqh kadang-kadang ada perbedaan, 

tarekat ini kuat memegang mazhab Mal ik i dan membuka pintu ijtihad 

untuk penetapan hukum. Dalam kitab Sabilul Mukminin fi Thariqil 

Arba ' in , yang berisi zikir-zikir serta hizib-hizib tarekat ini , kita ketahui 

bahwa tujuannya tidak menyeleweng kepada hal-hal yang dibuat-buat. 

Di antara kitab-kitab yang menyiarkan ajaran ini kita sebutkan Kitab 

Risalah karangan Hasan Ujaimi (1702), yang kemudian diterjemahkan 

atau diringkaskan oleh Sidi Murtadha Az-Zabidi menjadi Kitab Iqdul 

Juman. Mengenai zikir Halliyah yang juga menjadi pembicaraan dalam 

tarekat ini banyak diterangkan oleh A b i Sa'id Al-Qadiri dalam kitab-

379 

nya Adabuz Zikir, yang ditulis dalam tahun 1686 di India, oleh Ivanov 

disebut dalam Katalogusnya 1280. 

Pengaruh Qadiriyah, sebagaimana yang dilihat orang dalam tarekat 

ini di kala perkembangannya di Musytaghnam, dan pengaruh Tijaniyah 

dan Thaibiyah, sebagai yang pernah dirasa orang dalam perkembangan­

nya di Fas, mungkin diperoleh Sanusi di Mekkah, tatkala ia belajar pada 

gurunya Ahmad bin Idris Al-Fasi (mgl. 1837 di Sabia), yang mendirikan 

tarekat Qadiriyah-Idrisiyah, dan yang menjadi guru juga dari dua buah 

tarekat lain Rasyidiyah dan Amirghaniyah. 

Saya catat beberapa hal mengenai tarekat ini, sebab  dengan tidak 

langsung ada hubungannya dan pengaruhnya di Indonesia, yang sejak 

purbakala banyak dikunjungi oleh "Syeikh-Syeikh Maghr ib i" , yang se­

lain dari menjadi muballigh, tentu banyak sedikit sudah dipengaruhi 

oleh paham-paham tarekat ini . 

380 

XII 

DARI SYARI'A TKE HAKIKA T 

1. KEDUDUKAN GHAZALI D A L A M T H A R E K A T . 

Tarekat manapun juga menganggap, bahwa ajaran-ajaran Imam 

Ghazali, sebagaimana yang ada dalam karangan-karangannya, di 

antaranya kitab "Ihya Ulumuddin", yaitu pegangan dan sumber ilmu 

syari'at hakikat yang tidak kering-keringnya. Tiap bertemu perselisihan 

paham dalam ilmu tasawwuf, termasuk ilmu tarekat, orang mencahari 

penyelesaiannya ke dalam ajaran-ajaran Ghazali. 

Memang Ghazali yang dapat menyelesaikan pertentangan antara 

ilmu Syari'at dan ilmu Hakikat, antara kehidupan lahir dan kehidupan 

bathin ini, dan mempertemukannya dalam suatu bentuk ilmu Tasawwuf 

yang kita kenal dalam Islam. 

Sebagaimana dikatakan De Boer dalam kitabnya Sejarah Falsafat 

Islam, yang pernah disalin ke dalam bahasa Arab sebab  pentingnya, 

Ghazali tidak dapat mencari kepuasan dalam mempelajari dan meng­

ajarkan, baik ilmu pengetahuan alam, maupun ilmu peraturan agama 

Islam, sebab  ia tidak dapat melihat sesuatu apa dalam ilmu yang dapat 

memberikan bekas kepada jiwanya yang gelisah dan haus kepada kebe­

naran. De Boer berkata, bahwa bukanlah hanya kegemaran kepada 

ilmu pengetahuan semata-mata yang telah membawa dia mempelajari 

ilmu filsafat, namun  ia mencemplungkan dirinya ke mari pun dengan 

maksud ingin mencari sesuatu yang dapat meiepaskan keraguan-keragu-

an yang bersarang dalam pikirannya. Tidak mungkin ia sampai kepada 

tujuannya dengan mempelajari alam yang lahir ini saja, begitu juga ti­

dak hanya dengan mengisi dan mengasah pikirannya sejadi-jadinya, te-

381 

tapi sebab  ia berhasrat menenangkan hatinya dan merasakan hakikat 

yang tertinggi dan terakhir. 

Dengan demikian ia keluar masuk ke dalam dunia ilmu pengetahu­

an, pulang pergi belajar dan mengajar, membaca dan menulis, sebab  

agama, sebab  syak dan wasangka, keraguan dan kegoncangan jiwanya 

terhadap apa yang dicarinya itu. 

Dalam kitabnya "Al-Munqiz minaz zalal" (terjemah dalam bahasa 

Indonesia bernama "Pembebas dari Kesesatan" diselenggarakan oleh 

Sdr. Abdullah bin Nuh, diterbitkan oleh "Tinta mas", Jakarta), Gha­

zali menjelaskan, apa sebab ia tidak puas dengan ilmu syari'at saja, 

jika tidak disertai dengan amal dan kehidupan bathin. Ia tidak puas ha­

nya dengan ilmu lahir yang menyiarkan ilmu pengetahuan dan menja­

lankan peraturan-peraturan syara' secara kaku, ia menghendaki lebih 

banyak ilmu yang membuahkan amal, lebih banyak didikan yang dapat 

memimpin kehidupan bathin. Ia berkata sebagai berikut : 

"Setelah itu maka perhatianku tertarik oleh kehidupan Sufi, ter-

ikat oleh jalan kebathinan. Nyata sekali jalan ini tidak dapat ditempuh, 

kecuali dengan ilmu dan amal kedua-duanya. Menempuh jalan ini ber­

arti menghadapi tanjakan-tanjakan bathin dan menujukan amal itu le­

bih banyak kepada membersihkan diri. Hal ini perlu untuk mengosong-

kan bathin manusia, dan kemudian mengisinya dengan zikir kepada 

Allah Ta 'a la" . 

Selanjutnya ia berkata : "Bagiku ilmu itu lebih mudah dibandingkan  

amal. Maka segeralah aku memulai mempelajari ilmu Sufi serta mem­

baca kitab-kitabnya di antara lain ialah kitab "Qutul-Qulub", karang­

an Abu Thalib A l - M a k k i , dan kitab-kitab karangan Al-Haris Al -Muha-

sibi, begitu juga ucapan-ucapan Al-Junaid, Asy-Syibli, Abu Yazid AI-

Bisthami dl l . Dengan demikian dapatlah aku memahami tujuan mere­

ka. Maka kuketahuilah yang lebih dalam lagi hanya dapat dicapai de­

ngan perasaan, zauq' pengalaman dan perkembangan bathin. Jauh nian 

perbedaan antara mengetahui arti sehat atau kenyang dengan menga-

lami sendiri rasa sehat dan kenyang itu. Mengalami mabuk lebih jelas 

dibandingkan  hanya mendengar keterangan tentang artinya. Padahal yang 

mengalaminya mungkin belum mendengar sesuatu keterangan tentang 

dia. Tabib yang sedang sakit tahu banyak tentang sehat, namun  ia sendi­

ri sedang tidak sehat. 

382 

Tahu arti dan syarat-syarat zuhud tidak sama dengan bersifat zu­

hud. 

Yang penting bagi mereka yaitu pengalaman, bukan perkataan. 

Apa yang dapat dicapai dengan ilmu telah kucapai. Selanjutnya harus 

dengan zauq dan suluk. 

Ilmu-ilmu syari'iyah dan aqliyah, telah memperkuat imanku kepa­

da Allah Ta'ala, kepada Nabi dan Hari Kemudian. Tak terhitung buk-

ti-bukti dan sebab-sebab yang menyebabkan kuatnya imanku itu. A k u 

insyaf, bahwa hanya taqwa dan menguasai nafsu itulah jalan satu-satu­

nya untuk mencapai kebahagiaan yang abadi. Pokoknya meiepaskan 

bathin dari belenggu dunia untuk penuh-penuh menghadap Allah Ta ' ­

ala. A k u tahu, itu tak mungkin sebelum terlepas dari pengaruh kedu­

dukan dan harta beserta godaan dan rintangan lainnya. 

A k u lihat diriku tenggelam dalam samudera godaan dan rintangan. 

Segala pekerjaan yang terbaik tentang mengajar dan mendidik, kutin-

jau sedalam-dalamnya. Jelas aku sedang memperhatikan ilmu yang 

tidak kurang penting untuk perjalanan ke Akhirat. A p a niat dan tujuanku 

dengan mengajar dan mendidik, nyatalah tidak sebenarnya ikhlas yang 

murni sebab  Allah Ta'ala, melainkan dicampuri oleh pengaruh ingin 

kepada kedudukan dan kemasyhuran. Maka terasalah kepadaku bahwa 

aku sedang berdiri di pinggir jurang yang curam, di atas tebing terjal 

yang hampir gugur. A k u akan jatuh ke neraka jika tidak segera mero-

bah sikap. 

Lama juga aku berpikir. Maka timbullah keinginan hendak me­

ninggalkan kota Baghdad dengan kesenangannya, namun kemudian 

urung juga, hati masih ragu-ragu. Keinginan keras di waktu pagi untuk 

menuntut bahagia abadi, menjadi lemah di petang harinya. Nafsu du-

niawi menarik hatiku ke arah kedudukan, nama dan pengaruh, namun 

iman berseru : "Bersiap-siaplah, umur hampir berakhir, padahal perja­

lanan sangat jauhnya, ilmu dan amalan hanyalah sombong dan pura-

pura, j ika tidak sekarang, bilakah akan bersiap". 

Kemudian bertambah keras untuk membebaskan diri, namun setan 

kembali pula. "Ini hanya pikiran sementara", kata setan, "jangan di-

turut ajakannya, sayang, jangan kau tinggalkan kedudukanmu yang 

tiada taranya ini, kelak engkau akan menyesal, tak mudah kembali 

kepadanya". 

383 

Lama juga tcrombang-ambing antara dunia dan akhirat, hampir 

enam bulan, yaitu sejak bulan Rajab tahun 488. Akhirnya keadaan te­

lah memuncak, tak dapat lagi melakukan tugas mengajar, namun sepa-

tah kata pun hampir tak dapat keluar dari mulutku. Hal ini sangat me-

nyedihkan. Nafsu makan pun hilang, kesehatan merosot. Akhirnya pa­

ra dokter pun merasa putus asa. Untuk penyakit di dalam hati tiada 

lain obatnya melainkan istirahat, membebaskan hati itu dari segala 

yang mengganggunya, kata mereka. 

Dengan segenap jiwa, hatiku menjerit kepada Allah  yang Penga­

sih dan Penyayang. Dan akhirnya permohonanku pun terkabullah, dan 

relalah hati meninggalkan Baghdad, tempat kemuliaan, keluarga dan 

handai taulan. 

A k u berbuat seakan-akan hendak berziarah ke Mekkah, padahal 

tujuanku negeri Syam. A k u kuatir kalau Khalifah dan beberapa kenal-

anku tahu akan maksudku hendak tinggal di tanah Syam. Akhirnya 

berhasillah aku keluar dari tanah Baghdad dengan tidak menggempar-

kan dan niat tidak akan kembali lagi selama-lamanya. 

Penduduk Irak tidak akan membenarkan tindakanku ini . Tak se­

orang pun mengira bahwa niatku meninggalkan kedudukan tinggi di 

Baghdad itu berdasarkan pertimbangan agama, sebab pada anggapan 

mereka, kedudukanku tadi yaitu kedudukan yang tertinggi dalam 

agama. Hanya sampai di situlah pandangan mereka. 

Bermacam-macam dugaan mereka. Orang-orang yang jauh dari 

Irak mengira ada keretakan dalam hubunganku dengan pemerintah 

Irak. namun  orang yang tahu betapa besar penghormatan pemerintah 

kepadaku, meskipun aku tidak mendekat kepadanya, hanya berkata, 

sudah takdir Ilahi, tak ada sebab musababnya melainkan orang Islam 

dan ahli ilmu telah menetapkan demikian. 

Demikian hartaku habis kubagi-bagikan, kecuali sedikit untuk be-

kal di jalanan dan untuk nafkah anak-anak yang masih kecil. sebab  

kekayaan tanah Irak itu wakaf bagi umat Islam, maka seorang alim 

boleh mengambil dari hasil wakaf ini sekedarnya untuk dirinya 

sendiri beserta keluarganya. Untuk alim ulama tak ada yang lebih baik 

dibandingkan  kekayaan wakaf Irak itu. 

Di tanah Syam aku tinggal kira-kira dua tahun, melakukan 'uzlah, 

khalwah, riadhah dan mujahadah, menurut tasawwuf yang telah ku-

384 

pelajari itu. Semua itu untuk menjernihkan bathin, agar supaya mudah 

berzikir kepada Allah SWT sebagaimana mestinya. 

Lama aku ber'itikaf di mesjid kota Damsyik, di atas menara se-

panjang hari dengan pintu tertutup. Dari Damsyik aku pergi Baital 

Maqdis, di mana setiap hari aku masuk Qubbatus Sakhra dalam hatiku 

berkeinginan untuk ibadah haji, berziarah ke Mekkah, Madinah dan 

makam Rasulullah saw, yaitu setelah selesai ziarah ke makam Al-Khal i l 

a.s. Demikianlah aku pergi ke tanah Hijaz. 

Kemudian, sebab  rindu dan ingin melihat anak-anak, pulanglah 

aku kembali ke rumah, suatu keadaan yang dulunya tak pernah terlin-

tas dalam hatiku. Meskipun begitu, namun aku tetap ber'uzlah, ber-

khalwah, menjernihkan bathin untuk zikir. Berbagai peristiwa masa, 

urusan keluarga dan keperluan hidup, mempengaruhi tujuan dan me-

rintangi kejernihan khalwah. Hanyalah sewaktu-waktu saja dapat ke­

sempatan yang sempurna, namun tak putus asa, dan khalwah dapat 

juga dijalankan. Yang demikian itu berlaku sepuluh tahun. 

Sebelum waktu berkhalwah itu, terbukalah bagiku rahasia yang 

tak terhitung jumlahnya, tak mungkin diceriterakan. Yang akan kuka-

takan untuk diambil manfa'atnya ialah, aku yakin benar-benar, kaum 

Sufiyah itulah yang betul-betul telah menempuh jalan yang dikehendaki 

Allah Ta'ala. Merekalah golongan yang paling utama cara-cara hidup­

nya, paling tepat tindak lakunya dan paling tinggi budi pekertinya. 

Bahkan andaikata semua para 'uqala, hukama, para ahli hukum dan 

ilmu, para ulama yang tahu rahasia syara', semua itu dihimpunkan un­

tuk menciptakan cara yang lebih utama dibandingkan  cara Sufi itu, tiyaitu 

akan memberi hasil, sebab segala gerak-gerik mereka (kaum Sufiyah), 

baik lahir maupun bathin, diterangi sinar dari Cahaya Kenabian. Di 

dunia tak ada cahaya yang lebih terang dibandingkan nya. Pendeknya, apa­

kah yang akan dikatakan orang tentang sesuatu jalan, yang dimulai 

sebagai syarat pertama untuk membersihkan hati, mengosongkan sama 

sekali dari segala sesuatu selain Allah Ta'ala? Sedang kunci pembuka 

pintunya laksana takbiratul ihram bagi sembahyang, ialah istigraq diri 

dalam zikir kepada Al lah . Dan akhirnya sama sekali fana pada Allah 

Ta'ala. Keadaan fana ini penutup taraf pertama, yang hampir masih 

dalam batas ikhtiar dan kasab. Padahal ini sebenarnya yaitu  per­

mulaan tarekat, sedang yang sebelumnya itu hanyalah yaitu  jihad 

385 

(jalan kecil) menuju kepadanya. Dari awal tarekat ini mulailah peristi­

wa-peristiwa mukasyafah dan musyahadah, hingga akhirnya dalam ke­

adaan jaga mereka dapat pelajaran dibandingkan nya. Dari tingkat ini, ia 

naik pula beberapa tingkatan yang meninggi jauh di atas ukuran kata-

ksta. Tiap usaha untuk setiap kata yang dipakai pastilah mengandung 

salah faham yang tak mungkin dihindarkannya. 

Akhirnya sampai ia ke derajat yang begitu "dekat" (kepada-Nya) 

hingga ada orang yang hampir mengiranya hulul, atau ittihad, atau wu-

sul. Semua kiraan itu salah, dan ini telah kami terangkan dalam ka­

rangan kami "Al-Maqsidul Aqsa" (Tujuan Terakhir). Barang siapa 

mengalaminya, hanya akan dapat mengatakan, bahwa itu suatu hal 

yang tak dapat diterangkan, indah, utama, dan janganlah lagi bertanya. 

Pendeknya, barang siapa belum dikurniai Allah  mengalaminya, 

belumlah ia mengenai hakekat kenabian, lebih dari namanya belaka. 

Sebenarnya keramat aulia yaitu hidayat anbia. Yang kemudian itu 

yaitu hal Rasulullah saw ketika berkhalwat di bukit Hi ra ' , hingga 

orang-orang Arab berkata, Muhammad "jatuh-cinta kepada Allah ­

nya". Hal ini dapat dipahamkan dengan zauq oleh orang yang melalui 

jalannya. Adapun orang yang belum mengalaminya dapat juga mema-

hami sekedarnya dengan sering bergaul dengan kaum Sufiyah itu atau 

dengan membaca uraian-uraian yang ada pada karangan kami " A j a -

ibul Qalb" , "Ihya Ulumuddin", Usaha Menghidupkan Ilmu-ilmu. 

Agama Mencapai sesuatu pengertian dengan alasan dan bukti dan ke­

terangan yaitu ilmu namanya, mengalaminya bernama zauq, meneri-

manya sebab  kepercayaan iman namanya. Jadi yaitu tiga derajat. 

"Orang-orang yang iman dan orang-orang yang diberi ilmu diangkat 

oleh Allah beberapa derajat". Di luar mereka yaitu orang-orang jahil, 

menyimpang semua itu dari dasarnya dan mereka heran mendengar cerite-

ranya. Mendengar sambil mengejek dan menganggapnya sebagai 

omong kosong. Tentang mereka itu Allah Ta'la berfirman : " D i antara 

mereka ada yang mendengar perkataanmu, namun  setelah keluar dari 

tempatmu, mereka bertanya kepada orang-orang yang dianugerahinya 

pengetahuan : Apakah yang dikatakannya tadi itu? Merekalah yang ha­

tinya telah dicap oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu. Maka ia telah 

menjadikan mereka tuli dan buta". 

Setelah menempuh jalan Sufinya itu, jelaslah bagiku hakikat kena-

386 

bian dan khasiatnya. 

Penafsir kitab Al-Munkiz , sejarah hidup Ghazali yang ditulisnya 

sendiri, menerangkan tentang ini : "Bertimbun kitab diselidiki, semua­

nya mengandung satu pembahasan, yaitu sekitar agama, yang menawan 

hidupnya. Tentang apa pun ia menulis, tentang pendirian apa pun ia 

pertahankan dalam ilmunya yang luas itu, ia pada akhirnya berulang 

kembali kepada pokok yang satu itu. Lalu menjanjikan pengembaraan-

nya mencari Allah  itu dengan kata-kata yang indah, jauh dibandingkan  su­

sunan kalimat biasa, selalu mengandung cahaya yang diburunya, yang 

kemudian diikuti oleh pembaca-pembaca kitabnya itu. Yang demikian 

itu menunjukkan, ke mana hatinya hendak dilekatkan, pikiran hendak 

ditujukan, jiwanya hendak dipenuhi, disiram, disemai dan ditumbuh-

kan. 

Sesudah tinggal beberapa lama di Nisabur, ia kembali ke Thus, 

lalu mendirikan sekitar rumahnya dua sekolah tinggi, sekolah tinggi 

bagi ilmu Fiqh dan sekolah tinggi bagi ilmu Tasawwuf, dengan demiki­

an seakan-akan Ghazali berkata : "Lihat! Kedua-dua perlu untukmu, 

dunia dan akhirat!" Ghazali meninggal pada tanggal 14 Jumadil Awai , 

505 F L , dihadiri oleh teman sesufinya Ahmad, dikuburkan sebelah ti­

mur kuburan Thabiran, dekat kubur penya'r Firdausi yang terkenal. 

Beberapa sa'at sebelum mati ia berkata : "Sekarang aku ketahui 

bahwa aku telah kembali, meskipun dalam I atas menyiarkan ilmu pe­

ngetahuan, sebab  kembali itu pulang kepada asal adanya. Pada waktu 

dahulu aku menyiarkan ilmu pengetahuan, yang menghasilkan keme­

gahan bagi manusia, kusiarkan dengan segala kesungguhan hati ilmu 

pengetahuan yang dapat meninggalkan kesombongan dan kemegahan. 

Inilah tujuanku, inilah niatku dan inilah imanku. Mudah-mudahan 

Allah mengetahui yang demikian dan menerimanya dibandingkan ku". 

Demikianlah pandangan Imam Ghazali tentang tasawwuf dan tare­

kat. 

Pada akhirnya sampailah Ghazali kepaia tujuannya. Sebagai yang 

dikatakan oleh Zwemer ia yaitu satu-satur.ya bapak orang Sufi, pena­

sehat orang Sufi, paman orang Sufi. Saudara orang Sufi, guru besar 

orang Sufi, kepercayaan orang Sufi, dan bintang masa orang Sufi. 

Umumnya orang Barat menyebut nama Ghazali itu dengan penuh ke­

hormatan : Bapak gereja dalam Islam. Pada kesempatan yang lain saya 

387 

pernah membaca penghargaan orang Barat terhadap Ghazali dalam 

ucapannya : Jika seseorang akan mempelajari Islam, tak dapat tidak 

akan bertemu dengan salah satu dibandingkan  tiga nama, Muhammad, Bu­

khari, atau Ghazali. 

Prof. M c . Donald berkata : "Sebenarnya hidup kesufian dalam 

Islam sudah ada sebelum Ghazali. namun  acapkali orang menganggap 

kesufian itu menyalahi syara', dan mengecam orang-orang yang meng-

ikut serta menyertainya. namun  Ghazali, sesudah lahir dalam perjuang­

an hidup, mulailah ia mengangkat ajaran Sufi itu dalam kupasan-

kupasannya, memasukkan ilmu Syari'at ke dalam Tasawwuf dan me­

masukkan ilmu Tasawwuf ke dalam Syari'at, sehingga Agama Islam itu 

seolah-olah terpilih menjadi satu antara ilmu Fiqh dan ilmu Tasawwuf, 

antara ibadat lahir dan keyakinan bathin. Maka ilmu Tasawwuf itu 

mendapat tempat yang terhormat, beroleh nilai yang tinggi dari semua 

kaum Muslimin, bahkan dapat diterima oleh semua aliran yang ada 

dalam Islam ketika i t u" . 

Seorang ahli Filsafat Inggeris menulis kalimat peringatan untuk 

Ghazali dalam kitabnya, yang menggambarkan ucapan ahli Sufi terbe­

sar ini : " A k u meletakkan jiwaku di hadapan Allah ku. Tubuhku su­

paya dikuburkan pada tempat yang tidak kelihatan. namun  namaku, 

ya aku ini yaitu pencipta masa-masa depan untuk seluruh ummat ma­

nusia" (Sulaiman Dunia, Al-Hakikah fi nazri Al-Khazali, Mesir 1947 

hl . 76). 

Kehormatan yang besar ini hanya disebut oleh Ghazali dalam ki-

tab-kitabnya dengan kata-kata yang sangat sederhana : " M a k a terbu-

lah bagiku di tengah-tengah khalwat beberapa perkara yang tidak dapat 

kunilai dan tidak dapat kusangka-sangka". 

2. IMAN DAN SYARI'AT. 

Dalam ilmu tarekat iman dan dan syari'at itu dipelajari lebih men­

dalam dibandingkan  dalam ilmu tasawwuf biasa atau dalam ilmu tauhid. 

Rukun iman sebagaimana yang kita kenal sehari-hari dikupas dan ditaf-

sirkan lebih luas, sehingga j ika kita tidak mengenai ilmu tarekat itu 

388 

akan berpendapat, bahwa pengupasannya itu seakan-akan berlainan 

dibandingkan  yang kita dapati dalam ajaran Islam sehari-hari. 

Ahli-ahli tarekat mengupas ilmu itu dengan menjawab pertanya-

an-pertanyaan : apakah iman itu, manakah kepalanya, manakah ba­

dannya, manakah pohonnya, manakah cabangnya, manakah buah-

nya, manakah akarnya, manakah buminya, manakah airnya dan mana­

kah kalinya? Dalam jawabannya akan kita dapati, bahwa iman itu arti­

nya membenarkan, tasdhiq, yang dinamakan kepala ialah zuhud, yaitu 

hidup lebih mencintai akhirat dibandingkan  dunia, lebih mencintai Allah  

dibandingkan  kesenangan diri dan kekayaan duniawi. Bagi orang tarekat 

kepala iman itu tidak cukup dengan zuhud saja, namun  juga dengan tak-

wa, yaitu takut dan patuh kepada segala perintah Allah  serta menjauhi 

segala larangan-Nya. Keterangan tentang taqwa ini oleh ahli tarekat di-

perluas demikian rupa, sehingga seolah-olah tidak ada tempat lagi bagi 

seorang yang mukmin untuk meiepaskan dirinya kecuali lari kepada Tu­

hannya. Dengan demikian zuhud dan taqwa ini dianggap kepala dari 

iman. 

Dalam menjawab apakah yang yaitu  badan iman itu, sebagai 

kepentingan badan bagi manusia, diterangkan yaitu ta'at dan yakin. 

Keterangan ini pun sangat luas. Mereka jelaskan ta'at lahir, yang terdiri 

dibandingkan  segala rukun Islam, segala ibadah dan mu'amalah, termasuk 

jihad dan termasuk segala sunat-sunat mu'akkad. Begitu juga dalam 

menafsirkan yakin, diperjelas dengan keterangan mengenai ilmul yaqin, 

haqqulyaqin, dan 'ainulyaqin. Tentu saja dengan alasan-alasan yang 

mereka petik dari uraian-uraian Qur'an dan Hadits. 

Pertanyaan manakah pohonnya mengalihkan pikiran kita kepada 

tugas-tugas sebatang pohon kayu mengenai yang penting dan yang lebih 

penting. Pertanyaan ini harus dijawab, bahwa pohon iman itu ialah 

amar ma'ruf dan nahi mungkar. Tentu saja dalam memberikan penaf-

siran jawaban ini guru merembet hampir seluruh amal kebajikan dan 

amal kejahatan, yang membuahkan ta'at dan ma'siat, dengan segala 

akibat-akibatnya yang membawa kepada surga dan neraka. Demikian­

lah kita dengar jawaban mengenai cabang iman, yaitu tauhid, dengan 

segala kepuasan-kepuasannya, selanjutnya buahnya yaitu zakat, urat-

nya yaitu salat dan ikhlas, buminya yaitu segala orang mu'min, airnya 

yaitu segala kalam Allah  dan kalinya yaitu ilmu Allah  yang sangat 

389 

luas. Saya tidak memberikan penjelasan satu persatu tentang ini, cukup 

beberapa buah di atas untuk menjadi contoh, sebab  dalam jawaban-

jawaban inilah terletak kebijaksanaan Syeikh tarekat dan Mursyid itu. 

namun  pada umumnya ahli-ahli tarekat itu dalam memberi kupasan 

persoalan-persoalan ini menggali dari pengertian hikmah dan hakikat 

lebih banyak dibandingkan  apa yang kita ketahui dalam ajaran Islam biasa. 

Iman dan syari'at itu katanya berputar sekitar dua puluh bidang, 

lima mengenai hati atau qalb, yaitu pengakuan bahwa Allah itu satu, 

tidak ada kedua ketiganya, Allah itu pencipta makhluk, penjamin reze-

kinya, pemelihara, pemberi bantuan, pelindung dari suatu keadaan ke­

pada keadaan yang lain. Semuanya ini termasuk lima bidang yang ter­

sembunyi dalam hati dibandingkan  pengertian iman dan syari'at itu. 

Lima bidang yang mengenai lidah, lisan, yaitu percaya kepada 

Allah, percaya kepada segala malaikat-Nya, percaya kepada segala ki-

tab-kitab-Nya, percaya kepada segala Rasul-Rasul-Nya, percaya kepada 

hari Akhirat, dan percaya bahwa nasib baik dan jahat datang dari 

Allah itu. 

Perputaran kepada lima bidang ialah mengenai anggota badan, 

jawarih, yaitu berpuasa, mengerjakan sembahyang, menunaikan haji, 

mandi sebab  nifas, sebab  haid dan zunub dan perintah-perintah aga­

ma yang semacam itu. 

Lima bidang terakhir sebagai perputaran atau pilihan iman dan 

syari'at, yang tidak dapat dipisahkan, ialah mengenai anggota-anggota 

luar, kharijul jawarih. Yang dimaksudkan dengan lima dalam bidang 

ini ialah ta'at kepada raja-raja dan sultan-sultan yang adil, ta'at kepa­

da imam-imam, ta'at kepada tukang azan sembahyang, dan mencintai 

fakir miskin. 

Demikian uraian ahli tarekat mengenai iman dan syari'at, yang 

katanya satu sama lain tunjang-menunjang dan bantu-membantu. 

Bagaimana menjawab jika ditanyai apa iman, apa ma'rifat, apa 

tauhid, apa syari'at, apa agama (din), dan apa keyakinan (millah), 

dan apa peraturan atau namus. Jawabnya diajarkan oleh guru, bahwa 

iman itu mengakui kesatuan Allah, ma'rifat itu mengenai Allah de­

ngan tidak menggugat-gugat tentang bagaimana, tentang berapa, ten­

tang keserupaan atau kesamaan, bahwa tauhid itu mengakui sebagai 

seorang yang mengesakan Allah , bahwa Allah  itu tunggal, tidak ada 

390 

awal berpermulaan dan tidak ada akhir berkesudahan, bahwa syari'at 

itu mengikuti Allah nya dengan mengerjakan perintahnya dan men­

jauhi larangannya, bahwa agama itu ialah menetap dalam melaksana-

kan keempat perkara ini sampai mati, bahwa agama atau din itu ha­

nyalah Islam, sedang syari'at, atau millah yaitu qaedah-qaedah yang 

tidak boleh dikesampingkan dalam keadaan apa pun jua. 

Ahli-ahli tarekat memberikan arti kepada iman itu serta syarat-

syarat. Kita ketahui dalam ilmu fiqih, bahwa yang dinamakan rukun 

yaitu  bahagian dibandingkan  satu-satu ibadat, dan yang dinamakan 

syarat sesuatu pekerjaan di luar ibadat itu, namun  j ika tidak dikerja­

kan, ibadat itu tidak dapat dianggap syah. Rukun iman yaitu baha­

gian dibandingkan  iman, tidak aneh bagi kita ahli Fiqih. namun  ahli tare­

kat mengemukakan sebagai mata pelajaran syarat-syarat iman dalam i l ­

mu yang diajarkannya, di samping rukun-rukun iman sebagaimana 

yang kita ketahui. Syarat-syarat iman ini terdiri dari sepuluh macam, 

pertama khauf, takut terhadap Allah , kedua raja', penuh harap atas 

kelimpahan kurnia rakhmatnya, ketiga kecintaan 'isyiq, rindu dendam 

yang tidak habis-habisnya terhadap Allah , keempat ta'zim, menghor-

mati orang yang membesarkan Allah , kelima tahawun, menghinakan 

orang yang menghinakanAllah , keenam ridha, rela dengan kadha dan 

kadar Allah , ketujuh hazan, gentar terhadap pekerjaan-pekerjaan 

yang dibenci oleh Allah , kedelapan syukur, merasa terima kasih atas 

kurnia nikmat yang diberikan Allah  kepada kita, kesembilan tawak-

kul, menyerah diri seluruhnya kepada Allah , kesepuluh tasbih, mem-

persucikan Allah  dan mengagungkannya dengan mengembalikan se­

gala puji kepadanya. 

Ahli-ahli tarekat membagi iman itu atas beberapa tingkat, pertama 

iman mat'buk, yaitu keyakinan yang tetap, yang tidak berlebih dan ti­

dak berkurang, seperti iman malaikat, kedua iman ma'sum, iman yang 

membuat orangnya terpelihara dibandingkan  segala dosa, sebagai iman na-

bi-nabi, iman ini bertambah dengan turunnya hukum-hukum Allah  

kepadanya, namun  tidak menjadi kurang, ketiga iman maqbul, iman 

yang bersih yang diterima oleh Al lah , seperti iman orang-orang mu'­

min, iman ini mungkin sekali bertambah dalam ketaatannya, sekali ber­

kurang sebab  perbuatan yang terlanjur melakukan maksi'at. Ulama-

ulama Syafi'i menerangkan, bahwa iman itu berlebih dengan ta'at dan 

berkurang dengan ma'siyat. Keempat dinamakan iman mauquf, iman 

391 

yang tidak diterima, seperti iman orang-orang munafiq dari umat M u ­

hammad. namun  apabila kemunafiqan dalam hatinya itu sudah lenyap, 

maka imannya itu sah kembali. Kelima iman mardud, iman yang terto-

lak, sama sekali tidak diterima dan diperhitungkan, seperti iman orang-

orang yang kafir terhadap Allah . Demikianlah syarat-syarat iman itu 

ditetapkan oleh ahli tarekat. 

Juga ahli-ahli tarekat membahas hakekat iman, apakah dia dapat 

diusahakan ke dalam hati seseorang atau hanya beroleh dengan hidayat 

Allah . Jawabnya bagi mereka, bahwa hakekat iman itu tidak dapat 

diusahakan dan dicari, sebab  ia yaitu  nur dan hidayat, yang di-

tetaskan oleh Allah ke dalam hati hamba yang dikehendakinya. Dalam 

pembahasan ini timbullah suatu pertanyaan hakekat, apakah Haq Ta ' ­

ala ada dalam zihin atau dalam 'ain. Orang tarekat menjawab, 

bahwa Allah itu ada serta tiap hamba-Nya sebab  ini dalam 

firman-Nya, bahwa Ia itu selalu berada serta kamu, di mana saja kamu 

berada (Qur'an). Barang siapa berkata, bahwa Allah itu ada dalam 

'ain, maka menjadi kafirlah ia, sebab  jika terletak di dalam 'ain, tentu 

dapat dilihat, namun  j ika ia berada dalam zihin, tidak juga mungkin, 

sebab  yaitu  tempat, sedang Allah bersih dibandingkan  sifat-sifat ber-

masa dan bertempat itu. 

Mengenai iman dan Islam juga dalam ilmu tarekat menjadi pembi­

caraan dan mata pelajaran. Kedua-duanya terpilin, kedua-duanya men­

jadi permulaan dan kedua-duanya menjadi kesudahan, kedua-duanya 

menjadi kenyataan dan kedua-duanya menjadi kebatinan, yang meru­

pakan persoalan kerohanian yang tidak dapat dipisahkan satu sama 

yang lain, Syazili menerangkan, bahwa ada lima perkara, j ika tidak di-

miliki kelima-limanya, seorang tidak dapat dinamakan beriman, perta­

ma taslim Islam, menyerah diri kepada keseluruhan perintah Al lah , ke­

dua ridha, rela dengan qadha dan qadar Allah , ketiga selalu berpegang 

kepada keputusan Allah , yang dinamakan tafwidh, keempat tawakkul, 

bertawakkal diri kepada Allah , dan kelima sabar, bertahan diri di kala 

pukulan-pukulan kesukaran pertama. Islam dengan tahqiq bersyukur 

kepada Allah , Islam dengan nifaq, bersyukur kepada manusia. 

Mengenai ubudiyah dikatakan, bahwa ubudiyah itu ialah meng­

ikuti segala perintah Allah dan menjauhkan segala larangannya, namun  

tidak itu saja, juga menampik segala hawa nafsu, dan berjalan untuk 

392 

memperoleh syuhud dan ' iyan T u h a n . 

A d a lagi suatu isti lah da lam mata pelajaran tarekat ini mengenai 

syari 'at , yai tu yang d inamakan syarat-syarat sifat iman , yang sebenar­

nya yaitu r u k u n iman yang enam perkara, yang ki ta amalkan sehari-

hari . M e r e k a mengatakan syarat sifat iman i n i , yang mereka namakan 

juga iman ijmali, ada enam macam, pertama percaya kepada A l l a h , 

kedua percaya kepada ma la ika t -Nya , ketiga percaya kepada ki tab-

k i t ab -Nya , keempat percaya kepada rasul-rasul-Nya, ke l ima percaya 

kepada hari akhirat , dan keenam percaya bahwa qadar baik dan jahat 

itu datang dar ipada A l l a h . Syarat iman ghaib ialah terdiri dar ipada 

enam macam juga , pertama percaya kepada yang ghaib, dan meyakin i , 

bahwa tidak ada yang mengetahui segala yang ghaib itu kecuali A l l a h , 

selanjutnya membesarkan harapan terhadap rahmat T u h a n , takut dan 

gentar menghadapi azab T u h a n , dan meyakin i yang halal i tu halal dan 

yang haram itu haram 

A d a p u n rukun iman i tu bagi mereka hanya dua, yang terdiri dari­

pada da l i l aka l dan kesaksian naqal . 

Mereka membicarakan juga tentang asas-asas Islam dan alamat-

nya, yang terdiri dar ipada l ima pokok , pertama kesaksian bahwa tidak 

ada T u h a n mela inkan A l l a h dan bahwa M u h a m m a d itu hamba-Nya 

dan rasu l -Nya , pelaksanaan sembahyang l ima waktu , puasa haji dan 

mengeluarkan zakat. namun  di samping itu ada istilah kewajiban (lawa-

zim), yang terdiri dar ipada tiga macam pekerjaan, pertama amar ma ' ­

ruf, kedua nahi munkar , dan ketiga j ihad f isabi l i lah. Sedang hukum-

h u k u m iman i tu , yang mereka kupas, terdiri di antara la in , dar ipada 

menjaga keselamatan orang-orang yang beriman mengenai darahnya, 

hartanya dan keluarganya, selanjutnya menjaga rahasianya seluruhnya. 

Syarat-syarat hakekat Islam yaitu di antara lain ber laku lemah-

lembut terhadap sesama manusia , melenyapkan segala perbuatan yang 

jahat dan f i tnah, membinasakan orang-orang yang musyr ik , yang sesat, 

yang z ind iq dan yang m u l h i d , yang z a l i m , yang keluar dari ahli sunnah 

waljamaah (Khawarij). Bagaimana maka semua masa 'a lah peperangan 

ini masuk ke da lam i l m u tarekat, saya tidak tahu ja lannya . sebab  ada 

tarekat-tarekat yang tidak pula menyebutkan persoalan in i da lam mata 

pelajarannya. namun  menurut persangkaan saya persoalan-persoalan 

qital ini d imasukkan orang ke dalam ajaran tarekat da lam masa meng-

393 

hadapi serangan Jenggis dan Hulagu Khan, di kala mereka menyerang 

Baghdad. namun  yang banyak termasuk di dalam uraian hakekat Islam 

ini juga kasih-mengasihi di antara orang mu'min, bergembira sebab  

mereka gembira, berduka-cita sebab  mereka berduka-cita, nasehat-

menasehati, membantu segala kemuslahatan, berdo'a untuk mereka, 

mengucap istigfar terhadap mereka, bantu-membantu dan gotong-ro-

yong, jangan ada curang dan penipuan, istiqamah atau ketetapan da­

lam pendirian, maru'ah atau menjaga kehormatan, berlapang dada se­

sama orang yang beriman, selalu jujur dan benar, suka bersedekah, 

lemah-lembut dalam pemerintahan, berlaku sabar, ma'af-mema'afkan, 

belajar menderita menahan kesakitan sesama saudara, cinta-mencintai, 

bermurah tangan, wajib mempercayai, beriman yang teguh, beramal 

saleh dan bersifat segala sifat-sifat kesempurnaan. Semua itu mereka 

namak hakekat Islam dan wajib dilakukan oleh ahli-ahli tarekat, oleh 

guru dan muridnya. 

Uraian ini terbanyak saya petik dari kitab : "Jami'ul Usul Fil 

Aulia", karangan Syeikh Akhmad Al-Kamsyakhanuwi, salah seorang 

tokoh Naksyabandiyah yang terkenal, hal 188 — 189. 

394 

XIII 

DARI HAKEKA T KE MA 'RIFA T 

1. I L H A M D A N W A H Y U . 

Sesudah kita mengerti Syari'at dan Tarekat, maka barulah kita 

dapat mempelajari suatu lapangan ilmu yang pelik dalam tasawwuf 

yaitu yang dinamakan hakekat, ilmu untuk mengenai sesuatu dengan 

sesungguh-sungguhnya, siapa manusia itu dan siapa yang menjadikan-

nya, demikian juga siapa yang menciptakan sekalian itu. Jadi dimulai 

dari dunia kecil atau pribadi manusia, berpindah kepada alam yang be­

sar, yaitu dunia dengan segala susunan bulan, matahari dan bintang, 

dan kemudian manusia itu dibawa memikirkan, bagaimana terjadinya 

semuanya itu dan siapa penciptanya. Memasuki lapangan filsafat yang 

pelik dan penting itu artinya memasuki mempelajari ilmu hakekat dan 

ma'rifat, yang tujuannya mengetahui sesuatu dengan sesungguh-sung­

guhnya. 

Orang tasawwuf meringkaskan jalan pengetahuan ini dengan ucap­

an : "Barangsiana mengenai dirinya, niscaya ia akan mengenai Allah ­

nya". 

Seseorang tidak mudah mengenai dirinya, ia lebih mudah menge­

nai diri orang lain, sebab  beberapa sifat yang ada pada manusia 

menghalangi dia mengetahui, siapa ia dan apa ia itu. Pengetahuan da­

pat membuka kepadanya jalan untuk mencapai maksud tersebut, namun  

tidak selamanya pengetahuan itu dapat membawanya kepada hakekat 

atau kebenaran. Lalu terjadilah beberapa macam jalan atau tarekat, 

seperti jalan yang ditempuh oleh ahli filsafat, jalan yang ditempuh oleh 

ahli mantiq atau logika, jalan yang ditempuh oleh ahli akhlak, dsb. 

395 

Orang tasawwuf mengutamakan suatu jalan tertentu, yang mereka na-

makan thariqatus sufiyah, tarekat sufi yang terdiri dibandingkan  latihan-

latihan ibadat, sebagaimana yang diperintahkan dalam agama. 

Ghazali berpendapat, bahwa hakekat itu tidak dapat dipelajari de­

ngan ilmu pengetahuan saja, dengan tidak ada latihan hakekat itu tidak 

dapat dicapai. Seorang yang ingin mencintai Allah  itu, namun  biasanya 

kecintaan itu belum meresap dalam dirinya, ia belum yakin dalam arti 

kata yang sesungguhnya, pikirannya masih penuh dengan syak wasang-

ka. namun  j ika ia melakukan riadah, menjalani aturan-aturan yang di-

wajibkan kepadanya dalam tarekat, baik mengenai latihan badan, mau­

pun mengenai latihan jiwa dan berfikir, biasanya hal itu lebih melekas-

kan dia mencapai maksudnya. 

Ghazali menerangkan, bahwa ilmu itu tidak begitu perlu untuk 

mencapai hakekat, sebab  hakekat itu keluar dari dalam hati. Sekali 

hakekat itu datang terang dan jelas dalam hati, seakan-akan dicampak-

kan ke dalamnya dengan tidak diketahui, sekali ia diperoleh dengan 

jalan penyelidikan dan mempelajari dalil-dalilnya. Hakekat yang diper­

oleh tidak dengan usaha itu, disebut ilham, sedang yang diperoleh de­

ngan mempelajari alasan dan penyelidikan, disebut i'tibar dan istibsar. 

Yang diperoleh dalam hati dengan tidak bersusah payah dan bersung­

guh-sungguh mencarinya dapat dibagi atas dua bahagian, pertama ti­

dak diketahui dari mana dan bagaimana datangnya, hanya dengan tiba-

tiba sudah jelas dalam hatinya, disebut ilham, dan kedua diperoleh de­

ngan musyahadah, yang disampaikan ke dalam hatinya oleh malaikat, 

dinamakan wahyu, kejadian yang khusus ada pada diri Nabi-Nabi 

dan Rasul. Mukasyafah yang diperoleh dengan tiba-tiba dibandingkan  hake­

kat itu biasanya diperoleh pada diri auliya dan asfiya, sedang hakekat 

yang diperoleh dengan usaha yang dipelajari dari alasan dan penyelidik­

an, hanya dapat dicapai oleh ulama-ulama. 

Tiap-tiap sesuatu, baik benda dan keadaan, ada hakekatnya yang 

sudah ditakdirkan pada azalnya oleh Allah , sudah tertulis pada Luh 

Mahfud, tidak diketahui oleh manusia, tertutup atau lebih tepat dina­

makan dengan istilah Sufi terdinding oleh hijab, yang menghalangi ma­

nusia tidak dapat melihatnya. Sebagaimana manusia tidak dapat me­

ngetahui perasaan atau sesuatu urat yang terkandung dalam hati manu­

sia lain, begitu jugalah hakekat sesuatu yang tertulis pada Luh Mahfud, 

396 

yang menentukan perjalanan alam ini tidak dapat diketahui oleh manu­

sia biasa sebab  antara matanya dan Luh Mahfud Allah  terhijab dan 

tertutup. Manusia hanya dapat meraba-raba dengan ilmunya, dan me-

nerka dengan pikirannya dan akalnya yang sederhana, bagaimana du-

duknya sesuatu perkara dalam alam ini. Ghazali menerangkan, bahwa 

hatilah yang dapat mencapai hakekat sebagaimana yang tertulis pada 

Luh Mahfud itu, yaitu hati yang sudah bersih dan murni. 

Memang kadang-kadang hijab antara hati dan Luh Mahfud itu da­

pat dihilangkan dengan usaha anggauta badan dan panca indra yang 

diasah dan dilatih, namun  juga kadang-kadang di luar usaha manusia 

hijab itu terbuka sebab  tiupan bisikan Suci, yang dinamakan oleh 

Ghazali : "riyahul althaf". Maka ketika itu terbukalah hijab yang me­

nutup mata hati dan ketika itu jelas dan teranglah semua kepada orang 

yang berkepentingan apa yang tertulis di atas Luh Mahfud itu. namun  

juga hijab itu terbuka pada waktu tidur, orang yang berkepentingan itu 

dapat melihat hal-hal yang akan terjadi di masa yang akan datang. H i ­

jab itu seluruhnya terangkat bagi seorang manusia apabila ia mati. Dan 

tutup hijab itu dapat terangkat pada waktu terjaga, diangkatkan oleh 

Allah , maka berpencar-pencaranlah cahaya dalam hati dari belakang 

selubungan rahasia yaitu  sesuatu ilmu yang pelik, yang tidak mu­

dah didapat. Sekali kadang-kadang meletus cahaya itu seperti petir, lain 

kali datang berturut-turut secara lemah-lunglai. 

Inilah gambaran pokok-pokok ma'rifat Sufi, keistimewaan ulama 

dan ambiya. Ulama menghilangkan hijab itu dengan usaha dan kegiat-

annya. Ambiya dan auliya tidak menghilangkan hijab itu dengan mem­

pelajari dan menyelidiki, yang diusahakan dengan kegiatan, namun  di-

tiupi ke dalam hatinya oleh "riyahul althaf", yang menyemburkan ca­

haya suci, yang dapat mengangkat hijab dan melihat apa yang tertulis 

di atas Luh Mahfud. 

Apabila semua ini kita ketahui, maka tidaklah heran kita, bahwa 

orang-orang Sufi itu lebih condong kepada ilmu ilhamiyah dibandingkan  i l ­

mu ta'limiyah. Mereka tidak ingin bersusah payah untuk mempelajari i l ­

mu yang dikarang orang, dikupas dan diulas dalam jilid-jilid kitab yang 

tebal. Mereka ingin menempuh jalan atau tarekat yang yaitu  pen-

dahuluan mujahadah melenyapkan pada dirinya sifat-sifat yang tercela, 

memutuskan segala hubungan yang dapat merugikan kesucian dirinya, 

397 

serta mempersiapkan diri untuk menerima pancaran nur Allah  itu. 

Tidak jarang hal itu berhasil, sebab  Allah  maha kaya terhadap 

hamba-Nya, dan Allah  yaitu sumber dibandingkan  segala cahaya dan i l ­

mu itu. Apabila Allah  telah menembusi hati hamba-Nya dengan nur 

dan cahaya-Nya, berlimpah-ruahlah rahmat. Hati hamba-Nya bercaha-

ya terang-benderang, dadanya terbuka luas dan lapang, terangkatlah 

tabir rahasia malakut dengan kurnia rahmat itu, dan tatkala itu jelaslah 

segala hakekat keAllah an yang selama itu tersembunyi. 

Ghazali meneruskan, bahwa tidak ada yang dikerjakan oleh se­

orang hamba kecuali mempersiapkan dirinya dengan kesucian yang 

murni, menyediakan himmahnya dengan kehendak yang benar, dan 

menanti dengan tenang akan segala rahmat-Nya. Sungguh bagi Nabi-

Nabi dan Wali-Wali terbukalah apa yang tertutup, jelaslah apa yang 

tersembunyi, ke dalam dadanya berlimpah nur dan cahaya, tidak de­

ngan bertekun dan belajar, tidak dengan membolak-balikkan buku 

yang bertimbun-timbun, namun  dengan zuhud dalam dunia, dengan me­

iepaskan hubungan yang tidak perlu d