fasik
6Fậsiq dalam tafsir al-Misbah adalah orang yang memiliki sifat dan prilaku
keluar dari ketaatan pada Allah. Sifat dan prilaku ini mendarah daging bagi pelakunya.
Pada tarap terendah fậsiq adalah orang yang melakukan dosa besar, namun pada tarap
tertinggi fậsiq adalah orang yang kafir kepada Allah swt. Analisis ayat-ayat fậsiq dalam
Alquran menurut Qurash Shihab ditujukan kepada: 1) Golongan Yahudi dan Nasrani
yang tidak mengimani Nabi Muhamamd saw., orang yang membangkang pada
pemimpin dan menyepelekan dosa kecil. 2) Umat Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad
saw. yang durhaka kepada Nabi-Nabi Allah dan kitab Allah. 3) Kaum muslimin yang meragukan Islam dan melakukan dosa besar dan keluar dari keimanan kepada Allah.
Fậsiq merupakan dampak dari tidak berkembangnya secara sempurna potensi jismiyah
dan ruhiyah manusia, yang ditandai dengan ketidaksesuaian fungsi dengan bentuk fisik
dan ketidakmampuan menggunakan potensi ‘aql, al-nafs dan al-qalb. Keseimbangan
kedua potensi ini akan menghantarkan manusia menjadi insan kamil, seperti tercermin
dalam kepribadian Rasulullah saw. Dimensi rûh sangat menentukan dalam
pembentukan kepribadian seseorang, meski pada fitrahnya rûh adalah suci, namun
dalam realita sering kali tergelincir dan ternodai. Dalam konteks empiris, maka proses
pembentukan, pembinaan dan pengembangan kepribadian manusia terutama untuk
menghindari munculnya kepribadian fậsiq, maka dibutuhkan konseling keagamaan
dengan pendekatan fitrah, yang diawali diawali dengan tazkiyah al-nafs,dilanjutkan
dengan tazkiyah al-‘aql dan tazkiyah al-jism Dalam bahasa Arab kata fậsiq berasal dari kata ق سْ فِ
سو ق al-Fisq) atau) الْ
فْال (alFusuq) yang maknanya keluarnya dari sesuatu.1 Sedangkan secara terminologi menurut
Manzhur dalam Lisân al-‘Arab fasiq memiliki makna maksiat, yaitu suatu
ditinggalkanya terhadap segala perintah Allah swt, dan penyimpang terhadap jalan yang
benar yang telah ditunjukkan Allah swt.2 Sejalan dengan hal tersebut, maka al-Qurthubi
berpendapat bahwa fậsiq adalah seorang muslim yang banyak atau gemar melakukan
tindakan maksiat, dengan secara sengaja mengabaikan terhadap segala perintah Allah
swt, serta dengan sengaja keluar dari ajaran agama yang benar.3 Sedangkan jika
merujuk pada pengertian syariat tentang maka fậsiq maka tentunya memiliki artinya di
antaranya keluarnya dari melakukan ketaatan. Adapun yang dimaksud ketaatan disini
merupakan segala bentuk perbuatan, yang apabila pelakunya meninggalkannya maka
menyebabkan kekufuran maupun apabila ditinggalkan oleh pelakunya tidak
menyebabkan kekufuran.
Sedangkan kata kepribadian dipahami oleh para ahli jiwa sebagai satu bentuk
perilaku yang dapat membedakan antara diri seorang individu dengan yang lain,
Karena menurut Al-Rasyidin, prilaku seseorang merupakan wujud nyata kepribadian
seseorang.5
Secara jelas kepribadian manusia tidak dapat terpahami secara jelas
melainkan dengan memahami terhadap realitas faktor-faktor yang membentuk
kepribadian seseorang.6 Terbentuknya kepribadian seseorang diantara faktor-faktornya
adalah: dari faktor genetika (keturunan) selain itu juga dengan faktor lingkungan,7
Karena pada dasarnya kepribadian adalah anugrah tuhan yang terus mengalami proses
perkembangan dan pembentukan. Selain faktor hereditas, faktor lingkungan, seperti
pendidikan merupakan faktor yang salah satunya dapat menentukan terhadap terjadinya
perkembangan dan pembentukan kepribadian seseorang. Dari uraian-uraian ini dapat
dipahami bahwa kepribadian fậsiq adalah adalah prilaku penyimpangan dari ketaatan
kepada Alah, secara terus menerus yang akhirnya menjadi identitas bagi si pelaku.8
Tulisan ini akan mengkaji konsep fậsiq, sebagai satu pola kepribadian terbelah
dalam Alquran. Pemilihan tafsir al-Misbah karena tafsir ini bercorak tafsir maudhu’iy,
atau tematik. Dalam pembahasannya tulisan ini diawali dengan penelusuran trematerma fậsiq dalam ayat Alquran dalam kitab Mu’jam mufarras alfậzh Alquran alKarim. Untuk kemudian dicari maknanya sesuai konteks ayat dalam tafsir al-Misbah.
Diakhir pembahasan ditutup dengan terapi al-Quran melalui konseling islami bagi orang
yang memiliki sifat fậsiq.
B. Pembahasan
1. Tafsir Ayat-Ayat Alquran Tentang Fậsiq Dalam Tafsir Al-Misbah.
Dalam kitab Mu’jam mufarras alfậzh Alquran al-Karim ditemukan terma fasiq
dalam beberapa bentuk yaitu 1) fasaqa, 2) Fasaqû 3) Tafsuqûn, 4) Yafsuqûn 5)
Fisqun 6) Fisqan 7) Fậsiqun, 8) Fậsiqan, 9) al-Fậsiqûna 10) Al-Fậsiqīn dan 11)
Al-Fusûq.9 Secara lebih rinci terma tersebut akan dirinci berdasarkan wazan-nya,Dari tafsir ayat-ayat tentang fậsiq difahami bahwa, fậsiq adalah salah satu
bentuk pola kepribadian tercela yang diakibatkan oleh prilaku yang melanggar atau
tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ke-fậsiq-an merupakan sikap yang membuat manusia
menjadi keluar dari kebenaran serta keadilan, karena berbuat suatu perbuatan yang
bertentangan terhadap ajaran Islam di antaranya: 1). Durhaka kepada Allah seperti yang
ditunjukkan iblis86 2). Menyembah berhala dan mengikuti kesesatan, hidup berfoyafoya, melakukan penganiayaan dan pengrusakan, seperti yang dilakukan kaum
musyrikin Mekkah.87 3). Membangkang dan melalaikan perintah Allah seperti yang
dilakukan bani israil.88 4). Menyukai sesama jenis kelamin, seperti yang diperbuat kaum
nabi Luth.89 5). Lebih mencintai duniawi (keluarga dan harta) dari pada Allah.90 Fậsiq
adalah gelar yang disandangkan pada seseorang akibat prilaku meyimpang yang ia
lakukan. Oleh karenanya Fậsiq merupakan seburuk-buruk gelar atau sebutan bagi
seseorang. Dalam QS al-Hujarat : 11, kata لاسم١ mengandung makna sebutan. yakni
sebutan yang memanggil seseorang dengan gelar yang mengandung makna kefasikan
setelah dia disifati dengan keimanan. Sedangkan makna lain dari istilah لاسم١ adalah
tanda yaitu meperkenalkan seseorang dengan perbuatan dosa yang pernah
dilakukanya.91
Di antara watak orang yang memiliki kepribadian fậsiq adalah bersifat ganda
atau bermuka dua. Ini dipahami dari tafsir QS at-taubah: 53. Ayat ini bercerita tentang
prilaku orang munafik pada masa nabi saw. Dimana mereka tidak mau ikut memerangi
kaum musyrikin, agar tidak dinilai memusihi mereka, disisi lain menunjukkan kepada
kaum muslimin dengan menafkahkan harta mereka untuk berjihad.92
Pemahaman ini
didukung oleh tafsir terhadap QS. at-taubah:96 yang ditujukan kepada Orang yang
telah keluar dari keimanan dan bergelimang dosa,93 saat berada di kalangan orang beriman mereka berdalih dengan bersumpah untuk menghindari kecaman dan menarik
simpati kaum muslimin pada mereka.
Fậsiq terdiri dari beberapa tingkatan dan tingkatan yang tertinggi adalah kufur
kepada Allah.95 Ayat lain yang menjelaskan tentang fậsiq akbar ini adalah firman Allah
dalam Quran surah As-Sajadah: 18-20:
ُوۥ َن
ۚ الا يَ ۡستَ
ا
َمن َكا َن ُمۡؤ ِمٗنا َكَمن َكا َن فَا ِسقٗ
فَ
َ
أ ١٨
ْ
ِ َما َكانُوا
ب
َو َّٰى نُ ُزَلا ا
ۡ
َمأ
ۡ
ُت ٱل
َّٰ
ُهۡم َجنا
ِت فَلَ
َح َّٰ
ِل
ٱل اصَّٰ
ْ
ُوا
َو َعِمل
ْ
َمنُوا
ِذي َن َءا
ا
اما ٱل
َ
أ
ُو َن
يَۡع ١٩ ام َمل
َ
َو ُه أ
َوقِي َل لَ
َها
فِي
ْ
ِعيدُوا
ُ
َهآ أ
ِمنۡ
ْ
ۡخ ُر ُجوا
َن يَ
أ
ْ
ٓوا
َرادُ
َ
َمآ أ
ا
ُۖ ُكل
َوَّٰى ُهُم ٱلناا ُر
ۡ
َمأ
فَ
ْ
َسقُوا
ِذي َن فَ
ا ٱل ِذي ا
ا
ِر ٱل
َعذَا َب ٱلناا
ْ
ۡم ذُوقُوا
ِبُو َن
ُكنتُم ب ٢٠ ِ ِهۦ تُ َكذ
Apakah sama antara orang-orang beriman itu dengan orang-orang yang fasik?
Tentunya tidak sama mereka. Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh, maka bagi mereka jannah tempat kediaman, sebagai pahala terhadap apa
yang mereka kerjakan. Dan adapun orang-orang yang fasik (kafir) maka tempat mereka
adalah jahannam. Setiap kali mereka hendak keluar daripadanya, mereka dikembalikan
ke dalamnya dan dikatakan kepada mereka: "Rasakanlah siksa neraka yang dahulu
kamu mendustakannya" (QS. as-Sajadah: 18-20) 96
Para mufassir berpendapat bahwa fậsiq dalam ayat ini adalah kekafiran, karena
dipergunakan sebagai lawan kata untuk iman dan diberikan ancaman oleh Allah berupa
siksa neraka yang abadi. Sedangkan fậsiq kecil merupakan perilaku tercela yang
berbeda pada derajat kekafiran. Ini dapat dipahami dari firman Allah pada:
ِك ان ٱ اّللَ َحبا
َّٰ
َولَ
ۡم
ۡمِر لَعَنِتُّ
ۡۡلَ
ٖر ِ م َن ٱ
ُكۡم فِي َكثِي
ۡو يُ ِطيعُ
ان فِي ُكۡم َر ُسو َل ٱ اّللِۚ لَ
َ
أ
ْ
ُمٓوا
ٱ ۡعلَ
ۡل َو ِ
لَۡي ُكُم ٱ
َو َك َب إ ارهَ ِ
ُكۡم
ِ
ُوب
ل
َن َو َزيانَهۥُ فِي قُ
َمَّٰ
ي
ِشدُو َن
ُم ٱل ار َّٰ
ئِ َك هُ
َّٰٓ
ْولَ
ُ
أ
ِع ۡصيَا َنۚ
ۡ
ُسو َق َوٱل
فُ
ۡ
َر َوٱل
ۡ
ُكف
ۡ
لَۡي ُكُم ٱل
ِ
إ ٧
Dan ketahuilah oleh kamu bahwa pada kalanganmu terdapat Rasulullah. Kalau ia
menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat
kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu "cinta" kepada keimanan dan menjadikan
keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran,
kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang
lurus (QS. al-Hujarat: 7).
Pada ayat ini Allah menyebutkan kekafiran, kemudian ke- fậsiq-an dan
kedurhakaan, yang menunjukkan tiga perbuatan yang berbeda. Oleh karenanya ulama
memahami kefasikan dalam ayat ini adalah fasik kecil, yaitu pelaku dosa besar, artinya
bukan kekufuran. Pemahaman inilah melahirkan kaedah para Ulama tentang syarat
persaksian bahwa tidak boleh diterima kesaksian orang fậsiq.
2. Fậsiq sebagai Bentuk Kepribadian Terbelah.
Dalam kajian Filsafat Islam konsep tentang manusia melahirkan beberapa
pandangan para filosof tentang siapa itu manusia? Diantaranya adalah pendapat Ibn
Maskwaih yang menyatakan bahwa manusia terdiri dari dari jasmani dan rohani. Baik
jasmani maupun rohani memiliki bentuk yang berbeda satu sama lain.98 Namun secara
umum para filosof sepakat bahwa manusia dalam konsep Islam, diciptakan dalam
kesempurnaan jismiyah dan ruhiyah.99 Ini yang difahami dari makna yang terkandung
dalam firman Allah QS at-Tiin: 4 dalam lafazh ahsan taqwîm. yaitu bentuk fisik dan
psikhis yang sempurna.100
Kesempurnaan fisik ditandai dengan kesesuaian fungsi
dengan bentuk fisik, sedangkan kesempurnaan rûh ditandai dengan kemampuan
menggunakan potensi ‘aql, al-nafs dan al-qalb. Dalam kajian filsafat pendidikan Islam
kesempurnaan al-jism dan al-rûh dimaksudkan sebagai potensi yang harus
dikembangkan dalam rangka menunaikan tujuan, fungsi, dan tugas penciptaan manusia
oleh Allah di muka bumi ini.101 Keseimbangan antara perkembangan al-jism dan al-rûh
akan menghantarkan manusia menjadi insan kamil, seperti tercermin dalam kepribadian
Rasulullah saw.102
Implikasi filosofi dari makna ‘abd Allah, pada hakekatnya adalah
mengaktualisasikan daya al-jism dan al-rûh untuk taat kepada perintah Allah.103 Dari
konsep ini idealnya pendidikan Islam harus mencegah munculnya pribadi fậsiq, karena
demensi rûh sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian seseorang. Pada dasarnya rûh adalah suci, yang menunjuki manusia kepada cahaya keimanan. Namun
seringkali menjadi menyimpang saat berinteraksi dengan alam materi. Pada kondisi
yang sangat futur, akan memunculkan kepribadian, kufr, fậsiq, munafiq bahkan musyrik.
Kebalikannya pada kondisi fitrahnya yang suci maka rûh akan melahirkan pribadi
mukmin, muslim, muhsin, dan muttaqîn.104 Dalam konteks empiris, maka proses
pembentukan, pembinaan dan pengembangan kepribadian manusia terutama untuk
menghindari munculnya kepribadian fậsiq, maka pendidikan harus diawali dengan
tazkiyah al-nafs, al-‘aql, wa al-jism105 yang dilanjutkan dengan ta’lim, tarbiyah dan
ta’dib.
Dalam konsep fitrah; sifat dasar manusia106 rûh manusia adalah suci. Selain
kata fitrah dalam bahasa Arab ada istilah lain yang memiliki kemiripan makna dengan
fitrah yaitu al-Gharizah.
107 Yang membedakan keduanya adalah gharizah ditujukan
untuk hewan sedangkan fitrah untuk manusia. Menurut Ibn Khaldun , potensi dasar
manusia adalah baik, sehingga penyimpangan kepribadian manusia adalah merupakan
pengaruh lingkungannya. Kebiasaan sehari-hari akan menjadi prilaku (khuluqun), yang
akan menjadi sifat bentukan (malakah) dan akhirnya menjadi kebiasaan (‘adatan). yang
kemudian pada proses akhirnya akan menjadi sifat dasar (tabi’atan dan watak
asli/kepribadian jibillah).
108 untuk lebih jelasnya kami coba gambarkan dalam skema di
bawah ini.
Dari penjelasan di atas dipahami bahwa jiwa manusia yang suci akan redup dan
sirna apabila dalam lingkungannya manusia terbiasa melakukan prilaku tercela. Dampak
dari kebiasaan buruk yang mendarah daging ini membuat manusia sulit menerima
kebaikan dan nasehat. Pendapat ini sesuai dengan tafsir QS ash-Shaf: 5 tentang prilaku
orang-orang fậsiq dari kalangan bani Israil, yang memiliki prilaku buruk yang sudah mendarah daging sehingga tidak ada lagi jalan memperbaikinya.109 Tidak hanya
lingkungan, makanan yang dikonsumsipun berdampak pada lahirnya prilaku fᾰsiq.
Dalam kajian empiris ditemukan bahwa makanan tidak hanya mempengaruhi fisik tapi
juga jiwa dan perasaan manusia.
Dalam kajian Konseling Islami, kepribadian fᾰsiq merupakan satu bentuk
kepribadian menyimpang yang membutuhkan penanganan serius. Meski pada fitrahnya
rûh adalah suci, namun dalam realita sering kali tergelincir dan ternodai, padahal
demensi rûh sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian seseorang. Dalam
konteks empiris, maka proses pembentukan, pembinaan dan pengembangan kepribadian
manusia terutama untuk menghindari munculnya kepribadian fậsiq, maka dibutuhkan
konseling dengan pendekatan keagamaan. Kegiatan konseling ini, harus diawali dengan
tazkiyah al-nafs, al-‘aql, wa al-jism111 yang dilanjutkan dengan ta’lim, tarbiyah dan
ta’dib. Tazkiyah al-nafs, al-‘aql, wa al-jism ini memerlukan pelatihan dan rutinitas
melalui pengamalan ajaran Islam seperti shalat, puasa, zakat, shadaqah, silaturrahmi
bahkan menunaikan ibadah haji, serta wirid seperti istighfar dan zikr sesuai ajaran Islam
yang terkandung dalam Al-quran al-Karim. Pendapat ini disandarkan pada pendapat
Ustman Najati yang mengatakan bahwa “Tidak diragukan lagi bahwa dalam al-Qur’an
terdapat kekuatan spiritual yang luar biasa dan mempunyai pengaruh mendalam atas diri
manusia” 112 Konsep ini sesuai dengan pandangan Ibn Khaldun yang telah diuraikan sebelumnya bahwa, potensi dasar manusia adalah baik, dan lingkungan memiliki
pengaruh yang kuat dalam penyimpangan kepribadian manusia. Perlunya pembiasaan
amalan ajaran Islam akan menjadi prilaku yang menjadi sifat dan kebiasaan yang baik,
yang pada akhirnya akan menjadi pribadi yang sempurna/ insan kamil.
Salah satu pendekatan Konseling Islami yang dapat diterapkan dalam
menangani kasus prilaku menyimpang ini adalah dengan pendekatan fitrah. Pendekatan
ini mendasarkan konsepnya bahwa pada dasarnya manusia membawa potensi
berketauhidan, apabila potensi ini kemudian tidak berkembang atau menyimpang maka
ini disebabkan karena pengaruh lingkungan.113 Konsep ini sesuai dengan pandangan Ibn
Khaldun bahwa, potensi dasar manusia adalah baik, dan lingkungan memiliki
pengaruh yang kuat dalam penyimpangan kepribadian manusia. Perlunya pembiasaan
amalan ajaran Islam akan menjadi prilaku yang menjadi sifat dan kebiasaan yang baik,
yang pada akhirnya akan menjadi pribadi yang sempurna/ insan kamil.
114 Konseling
Islami dengan pendekatan fitrah, berusaha membantu individu untuk kembali kepada
fitrahnya apabila telah terjadi penyimpangan, namun lebih dari itu pendekatan fitrah
berupaya agar fitrah keberagaman individu dapat berkembang secara maksimal
sehingga menghantarkannya menjadi peribadi yang sempurna. Wa Allahu a’lam bi ashshawab.1. Fậsiq dalam tafsir al-Misbah adalah orang yang memiliki sifat dan prilaku yang
keluar dari ketaatan pada Allah, sifat dan prilaku yang mendarah daging bagi
pelakunya. Pada tarap terendah fậsiq adalah orang yang melakukan dosa besar,
namun pada tarap tertinggi fậsiq adalah orang yang kafir kepada Allah swt.
Analisis ayat-ayat fậsiq dalam Alquran menurut Qurash Shihab ditujukan kepada:
1) Golongan Yahudi dan Nasrani yang tidak mengimani Nabi Muhamamd saw.,
membangkang pada pemimpin dan menyepelekan dosa kecil. 2) Umat Nabi-nabi
sebelum Nabi Muhammad saw. yang durhaka kepada Nabi-Nabi Allah dan kitab
Allah. 3) Kaum muslimin yang meragukan Islam dan melakukan dosa besar dan
keluar dari keimanan kepada Allah.
2. Fậsiq merupakan dampak dari tidak berkembangnya secara sempurna potensi
jismiyah dan ruhiyah manusia.
115 Kesempurnaan jismiyah, ditandai dengan
kesesuaian fungsi dengan bentuk fisik, sedangkan kesempurnaan rûh ditandai
dengan kemampuan menggunakan potensi ‘aql, al-nafs dan al-qalb. Keseimbangan
kedua potensi ini akan menghantarkan manusia menjadi insan kamil, seperti
tercermin dalam kepribadian Rasulullah saw. Demensi rûh sangat menentukan
dalam pembentukan kepribadian seseorang, meski pada fitrahnya rûh adalah suci,
namun dalam realita sering kali tergelincir dan ternodai. Dalam konteks empiris,
maka proses pembentukan, pembinaan dan pengembangan kepribadian manusia
terutama untuk menghindari munculnya kepribadian fậsiq, maka dibutuhkan
konseling dengan pendekatan keagamaan. Kegiatan harus diawali dengan tazkiyah
al-nafs, al-‘aql, wa al-jism116 yang dilanjutkan dengan ta’lim, tarbiyah dan ta’dib,
melalui pendekatan fitrah.