islam 3

Tampilkan postingan dengan label islam 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 3. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

islam 3


 


ta ciptakan dalam kehidupan 

bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari 

150 tahun, Alexis de Tocquevile1 menerbitkan bukunya tentang 

demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan 

tentang jenis­jenis dan jangkauan proses ini  dalam kehi­

1 Penulis buku Democracy in America, terbit pertama kali tahun 1840, 

hampir bersanaan waktunya dengan tersiarnya  buku The Communist Mani-

festo karya Karl Marx & Friedrick Engels. 

g 45 h

dupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian, 

perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga 

oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula. 

Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), ka­

renanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.

Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam, 

agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita, 

haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pe­

ngertian di kalangan gerakan­gerakan Islam ini . Bukankah 

pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD 

akan berarti memasukkan ideologi agama ke da lam kehidupan 

negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedudukan 

resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian, 

para warga negara lain yang non­muslim dimasukkan ke dalam 

lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang 

berpaham atau berideologi non­agama, seperti kaum nasionalis 

dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di 

negeri ini? Ini adalah pertanyaan­pertanyaan dasar yang harus 

dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar­

benar demokratis di masa depan. h

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (01)

g 46 h

Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim 

Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum 

muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri ini diatur 

oleh Undang­Undang Dasar (UUD) yang tidak mencantumkan Is­

lam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak 

berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup 

masyarakat. Demikian halnya dengan Indonesia, tentu masyara­

kat sendiri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masyarakat 

yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya 

sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan men­

dasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara 

itu dalam hubungan formal dan non­formal dengan mereka.

Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang 

sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat 

perbedaan ini , maka pentinglah arti sejarah bagi pemben­

tukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan 

orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap 

menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, tulisan ini men­

coba menyoroti hal itu, agar kita tidak terus­menerus melaku­

kan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas 

kesalahan­kesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa 

depan.

Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah se­

jarah masing­masing yang saling berbeda. Sejak semula Tiong­

kok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan dikem­

Islam:

Ideologis ataukah kultural? (02)

g 47 h

bangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh 

sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di 

semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nan­

king maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah 

tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semenjak 

ratusan tahun yang lalu.1 Sementara APDN (Akademi Pemerin­

tahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di 

negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun 

dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universi­

tas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia 

sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.

eg

Perbedaan  sangat mencolok antara kedua bangsa dapat 

ditelusuri pada sejarah masing­masing. Tiongkok sebagai nega­

ra daratan (land-based country) dan Indonesia sebagai negara 

maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China 

dan keragaman kerajaan­kerajaan di negeri kita. Kalau daratan 

Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah 

dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaan­

nya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbeda­

an sangat besar dalam cara hidup masing­masing daerah. Ada 

yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di 

Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan 

perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudaya­

an Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra­

kusuma2 dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan 

sistem kepegawaiannya.

Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, dengan 

yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan 

konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang 

1 Dinasti T’ang (618-906) paling berjasa membangun sistem pemerin­

tahan Kerajaan Tiongkok yang solid. Dinasti ini juga membuat sistem perek­

rutan bagi pegawai negeri itu, yang biasanya diambil dari murid­murid yang 

belajar di kuil.  

2 Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman yang 

sukses membawa puncak kejayaan Kerajaan Mataram dalam segala bidang, ke­

hidupan politik, militer, kesenian, kesusastraan, dan keagamaan. Sultan Agung 

menjadi penguasa Mataram tahun 1613 sampai 1645 M.

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (02)


g 48 h

juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya. 

Umpamannya saja, pada kuatnya kekuasaan pihak yang meme­

rintah (the ruling class).

Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiong­

kok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan 

yang menguasai negeri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau. 

Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi 

tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalam­

an Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun, 

masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam 

pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasa­

an komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok ma­

sih sangat besar. Apakah kelas bersenjata itu diserap ke dalam 

komite militer ini  dengan bawahan­bawahannya, juga ti­

dak kita ketahui.

Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai­

nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, 

dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan mus­

lim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup 

ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi ini . Jalan yang 

dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur 

pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya 

dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal 

hidup masa kini dan masa mendatang.

eg

Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu,  ber­

tambah nyata persamaan maupun perbedaan sistem­sistem poli­

tik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan. 

Bagaimana masing­masing menjawab tantangan yang dihadapi, 

yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan per­

saingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk 

dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis 

sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, 

yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial 

Hindia­Belanda).

Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya 

catatan­catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini 

adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan 

g 49 h

sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaan­perbedaan sejarah 

di dua orkestra­kamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang 

wajar. namun , membandingkan antar keduanya, untuk mencari 

pelajaran yang dapat kita gunakan  untuk mengenal cara hidup 

kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula. 

Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang 

memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa 

itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita 

menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi 

masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang se­

dang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat 

menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita 

sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara 

lebih mendalam sebagai bangsa yang sama­sama bukan negara 

agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical 

development) yang berbeda. h

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (02)

g 50 h

Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai 

asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkum­

pulan lain yang non­politis. saat  hal itu ditanyakan pada 

penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah ke­

hendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda 

dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai 

politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini 

berarti Anda menerima pandangan mereka?

Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam 

Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya 

homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka 

ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak 

dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam 

saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima 

negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap 

hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jum­

lahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk 

menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum mus­

limin di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas 

penduduk Indonesia.

Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan 

negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal ke­

benaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan 

bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena 

persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tem­

pat ke kawasan ini  dari daerah asal, dan di Pakistan mere­

ka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat 

dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam 

Islam: 

Ideologis ataukah kultural? (03)

g 51 h

Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran 

penulis.

eg

Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik mau­

pun perkumpulan. Karena yang beratribut Islam adalah partai 

politik dan/atau perkumpulan­perkumpulan, maka tidak ada 

sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuang­

kan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang­

Undang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk 

merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi 

berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang 

ingin agar Undang­Undang Dasar­nya diubah menjadi Undang­

Undang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah 

dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak? 

Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan per­

kumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita 

ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari si­

kap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa 

yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak ber­

pendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta 

huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mere­

ka yang bercita­cita mendirikan negara Islam tidak  akan mem­

peroleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan 

menempuh jalan pemberontakan bersenjata.

Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan 

pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan 

menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang men­

dasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 19661 

harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham 

Marxisme­Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, 

pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerang­

an, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum 

1 Meskipun UUD 1945 telah dilakukan amandemen setidaknya empat 

kali dan secara hukum TAP MPR dan MPRS tidak berlaku lagi, namun  TAP 

MPRS No. 25 tahun 1966 ini sampai sekarang masih menjadi inspirasi dan 

bahkan menjadi konsideran bagi berbagai UU, Peratuan atau regulasi di ber­

bagai tingkatan dan bahkan Peraturan Daerah (PERDA) di beberapa tempat 

untuk membatasi kebebasan berpolitik warga negara tertentu. 

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (03)


g 52 h

apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau 

institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga dapat 

dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga ber­

nama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama)2. 

Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produk­produk kenega­

raan kita tidak merugikan diri sendiri.

eg

Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham 

dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan 

seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak 

hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang 

memerlukan tindakan. Prinsip  ini penting diingat oleh lembaga 

lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan, 

seperti yang dibuat oleh Undang­Undang Dasar kita: Majelis 

Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya diang­

gap sebagai ajang percaturan kekuasaan. 

Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, namun  

sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari 

tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara. 

Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi 

kepada  generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mem­

punyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin3 dari Kajen, 

Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV4 di Surakarta. Se­

dang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Ke­

sultanan Demak (memerintah tahun 1550­1582) yang diguling­

kan oleh Sutawidjaya5, pendiri dinasti Mataram yang kemudian 

bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Pana-

tagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih 

2 Beberapa sumber menyebut Freemason sebagai organisasi rahasia in­

ternasional yang anti agama. Bahkan Gereja Katolik pada masa Paus Leo XIII 

melalui Ensiklik berjudul Humanum Genus (1884), melarang semua umat 

Katolik bergabung dengan organisasi itu.

3 Mengenai KH. A. Mutamakkin, lihat pula Bab I bag. 9 berjudul Islam: 

Apakah Bentuk Perlawanannya? 

4  Amangkurat IV memerintah Kesultanan Surakarta tahun 1719­1726 M.

5 Sutawidjaya mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Panembahan 

Senapati setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya 1582. Sutawijaya memerintah 

sampai kira­kira 1601 yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama 

Mas Jolang yang kemudian terkenal dengan Panembahan Seda Krapyak.

g 53 h

keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait 

dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, 

dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati 

penulis.

Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang 

mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan 

sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi 

juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki 

acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. 

Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan mem­

berikan suara kepada partai­partai politik yang menginginkan 

Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan 

penulis itu? Pemilu adalah satu­satunya tempat untuk menguji 

kebenaran pendapat itu.  Sejarahlah yang akan menjawab h

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (03)

g 54 h

Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris 

Causa untuk bidang humaniora  di Universitas Soka Gak­

kai, Tokyo, baru­baru ini, penulis mengemukakan dalam 

sambutannya bahwa  sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia. 

Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa 

moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita 

melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung 

oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang. 

Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang 

dipimpin oleh Perdana Menteri  India Atal Behari Vajpayee. Dan, 

didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan  di negeri itu, Rash­

triya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, se­

tahun sebelum NU lahir (tahun 1926).

Malam harinya, sebelum pemberian gelar ini , penu­

lis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli 

gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua 

jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan 

beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi pe­

nulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara. 

Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam ke­

hidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan ini , 

badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito 

City selama dua jam itu, hilang sesaat . Inilah yang penulis cari 

selama beberapa tahun ini, namun  tidak pernah dirumuskannya 

dalam bentuk pertanyaan seperti itu.

Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus 

terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB), 

Islam:

Ideologis ataukah kultural? (04)

g 55 h

adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidup­

an politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam 

masyarakat sekuler di Barat ada moralitas non­agama dalam ke­

hidupan politik, di negara­negara berkembang yang belum me­

miliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar­

dasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuran­ukuran ideo­

logis­agama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan 

bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk 

kepentingan para pemeluk agama ini . Di sinilah terletak 

perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun sama­sama 

berasal dari wahyu yang satu.

eg

Kita harus jeli membaca sejarah bangsa­bangsa di dunia, 

untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita 

sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan 

agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di 

Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandar­

kan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh karena 

itu,  kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang 

di dasarkan pada ajaran­ajaran umum semua agama. Kejujuran, 

kesungguhan kerja dan pertanggungan­jawab secara jujur kepa­

da nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian morali­

tas umum agama­agama. Karenanya, pemakaian agama untuk 

menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan 

bukannya dicurigai.

Antonio Gramsci1 mengemukakan gagasan sosialisme yang 

penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran be­

sar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marx­

isme­Leninisme yang sarat dengan ketentuan­ketentuan organi­

1 Antonio Gramsci (1891­1937) adalah pendiri dan anggota Partai So­

sialis Italia/ the Italian Socialist Party (PSI). Seorang penulis, intelektual, 

wartawan dan aktivis  yang sangat aktif dan terkenal sebelum akhirnya ditang­

kap oleh pemerintahan fasis Italia dan dimasukkan penjara hingga meninggal. 

Meski hidup di penjara lebih dari 20 tahun, ia meninggalkan berbagai catatan 

teori­teori politik dari refleksi dan surat­suratnya di dalam penjara yang kemu­

dian dikumpulkan dalam bentuk buku the Prison Notebooks. Melalui catatan­

catatan dan suratnya itulah lahir berbagai teori politik yang terkenal hingga 

sekarang. Beberapa istilah seperti “hegemony”, “organic intellectual” dan “his­

torical bloc” berasal dari tulisannya ini .

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (04)


g 56 h

satoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap 

sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya ke­

bangkrutan dan kehancuran Uni­Soviet justru membenarkan­

nya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek2 di Praha 

yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanu­

siaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mere­

ka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus 

melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan ma­

nusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan 

ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich 

Lenin: “penyakit kiri ke­kanak­kanakan (leftism infantile disease)” 

yang dihadapi kaum revolusioner manapun, yaitu heroisme roman­

tis. Mereka menganggap revolusi akan rampung saat  aku yang 

berjuang. Aku­isme seperti inilah yang justru merusak revolusi, 

karena perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada 

kebuAllah  pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka 

hidupnya. 

Lawan dari aku­isme itu  adalah budaya/kultur dan agama, 

termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam 

sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar, 

peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan ber­

orientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti 

kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang 

memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer 

Churchill3 pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan 

dan kekurangannya, namun  ia tetap merupakan perwujudan ter­

baik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang 

benar. Dengan menghiraukan hal­hal seperti ini, maka pandang­

an Mao Zedong4 di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat. 

2 Alexander Dubcek (1921­ 1992), salah seorang pemimpin partai ko­

munis, pernah menduduki Sekretaris Jenderal di Slovakia yang mencanangkan 

pembaruan, pembebaskan media dari sensorship dan mengkritik pemerintah.  

3 Sir Winston Leonard Spencer Churchill (1874­1965), adalah salah 

seorang pemimpin terkemuka Kerajaan Inggris (United Kingdom). Pernah 

menjadi Perdana Menteri maupun anggota parlemen dan menduduki jabatan pen­

ting di berbagai bidang. Ia juga seorang penulis yang produktif dan terkenal.

4 Mao Zedong atau Mao Tse­tung (1893–1976), adalah pendiri Negara 

Republik Rakyat Cina/The People’s Republic of China. Pemimpin Cina dan 

Komunis paling terkenal dengan pencanangan Revolusi Kebudayaan (Cultural 

Revolution).

g 57 h

eg

Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara buda­

ya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan 

politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerin­

tahan manapun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji5 “sediakan se­

puluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan se­

buah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan 

moralitas yang diingini. Karenanya, baik itu moralitas sekuler 

dari sebuah ideologi  duniawi seperti Komunisme, maupun mo­

ralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem poli­

tik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan 

yang benar­benar  bertanggung jawab pada rakyat.

Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir­

’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India 

dalam abad ke 20, membuat rambu­rambu yang harus diguna­

kan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi. 

Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang pe­

nguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero6 yang 

membakar kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar 

Wu Zetian7 yang curiga dan menganggap semua orang ingin me­

nyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung 

Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para 

dayang­dayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan 

menyaksikan lawan­lawan politiknya di makan buaya, karena ti­

dak dapat melawan binatang­binatang buas itu tanpa senjata.

Jadi benar menurut kaidah fiqh: “tindakan dan kebijak­

sanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, ha­

rus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan 

5 Dia salah seorang Perdana Menteri Cina 1998­2003 saat  jabatan 

presiden dipegang Jiang Zemin.

6 Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus (37­68 C.E.) raja di kota 

Roma. Terkenal dengan bakatnya sebagai penulis puisi dan penyanyi namun  

juga sangat ambisius. Ia membakar kota Roma konon untuk membangun ista­

na yang megah, karena kota Roma saat  itu tidak cukup untuk membangun 

istana yang menjadi cita­citanya. 

7 Wu Zetian (625-705 AD) adalah Permaisuri Kaisar Kao Tsung pada 

zaman Dinasti Tang. Setelah suaminya meninggal, dia menjalankan kekaisar­

an. Dalam mengamankan kekuasan, Wu membentuk pasukan khusus untuk 

memata­matai lawan politiknya. Dia tak segan membunuh kaum oposisi yang 

melawan kebijakannya.

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (04)


g 58 h

sebuah rambu moral yang melarang seorang pemimpin untuk 

menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Tiap agama dan keya­

kinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, karena 

itulah moralitas­agama sangat diperlukan dalam menciptakan 

sistem politik yang sehat. Karenanya, kita tidak perlu ragu­ragu 

bahwa moralitas­agama memberikan sumbangan bagi pemben­

tukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat 

inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada 

tingkat ideologis. h

g 59 h

Dalam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penu­

lis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu 

pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan 

Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati 

Syekh Burhanudin1 yang hidup di kawasan itu pada akhir abad 

ke 17 dan awal abad ke 18 Masehi. Karena dijelaskan dalam 

pemberitaan ini , bahwa acara ini  juga diikuti orang­

orang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte 

Isma’illiyah2 adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte 

Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pe­

mimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.

Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai 

Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hi­

lang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat. 

Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur ma­

syarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin —di 

kawasan itu, di “sunni”kan melalui fiqh/hukum Islam. Ini berarti 

1 Syekh Burhanuddin adalah seorang tokoh tarekat dari Ulakan, Paria­

man, Sumatera Barat. Dia murid Syekh Abdurrauf Singkel, ulama terkemuka 

Aceh yang juga seorang tokoh tarekat Syattariah, Qadiriyah dan Naqsabandiyah. 

2 Syi’ah Ismailiyah merupakan salah satu sekte Syi’ah. Syi’ah sekte ini 

muncul karena perbedaan pendapat tentang imam ke-7 pengganti Ja’far al-

Shiddiq. Menurut kelompok ini, pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Ismail 

meskipun ia sudah meninggal. Namun kelompok lain (Syi’ah Imamiyah atau 

Syi’ah Dua Belas) berpendapat bahwa pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Musa 

al­Kadzim, adik Ismail.

Islam:

Ideologis ataukah kultural? (05)


g 60 h

bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran” 

Sunni, dengan dilepaskan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadi­

an lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga 

Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.

Kedua hal ini  di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan 

pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling 

kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini, 

yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis.  Hal ini harus 

kita perhatikan baik­baik, jika ingin memahami proses masuknya 

Islam ke Indonesia dan menyimak perkembangan agama terse­

but di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan memahaminya, 

hanya akan menghadapkan Islam pada paham­paham lain di 

negeri ini. Sesuatu yang jelas­jelas tidak diingini oleh mayoritas 

kaum muslimin Indonesia —bahkan mayoritas bangsa.

Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhati­

kan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang 

sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat.” Kega­

galan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun 

politis), jelas menjadi tantangan bagi kaum muslimin di negeri 

ini. Karena kedudukan Indonesia sebagai negara berpenduduk 

mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh 

dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan 

menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai 

ideologi ataukah secara kultural?

Tulisan­tulisan berikut akan mencoba menelusuri perkem­

bangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum 

moderat yang tidak mementingkan ideologi. Dalam pandangan 

mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju 

ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada 

pendekatan ideologis, penulis bermaksud menekankan penting­

nya saling pengertian antara kedua pendekatan ini .

eg

Kalau kita tidak menginginkan terorisme merajalela di 

negeri kita, dengan menggunakan nama Islam, tentu pendekat­

an ideologis ini harus benar­benar diperhatikan dengan cermat. 

Apapun sebab­sebab yang menimbulkannya, terorisme dengan 

menggunakan nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidak­

pahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa 

g 61 h

kita mulai abad ke­19 masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti, 

penulis meniadakan kemungkinan adanya asal­usul lain bagi ter­

orisme yang menggunakan nama Islam yang kini sudah meraja­

lela di mana­mana —seperti kita saksikan di berbagai kawasan di 

negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah proses 

sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, betapapun sakit dan 

susah kita dibuatnya, akibat dari rumah­rumah, sekolah­sekolah 

dan tempat­tempat umum lain yang dirusakkan, maupun jiwa 

yang melayang karenanya. Namun dapat disimpulkan bahwa 

terorisme bukannya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.

eg

Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini se­

ringkali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terus­

menerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk 

diterbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau 

mempertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah 

lingkaran kekuasaan di negeri ini —dalam beberapa tahun terak­

hir, untuk mendukung gerakan­gerakan ideologis Islam. Karena 

kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan ketakutan 

sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideologis 

itu, jadilah toleransi kepada gerakan­gerakan mereka justru 

menjadi pendorong para teroris untuk menggunakan nama suci 

agama.

William Cleveland menuliskan dalam disertasinya3, bebe­

rapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib 

Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari 

Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan 

nasionalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib un­

tuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi 

ini hanya dapat dicapai kalau keuAllah  Islam di bawah pemerin­

tahan Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab, 

juga di tempat­tempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita 

dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting 

adalah upaya untuk mencoba mengerti asal­usul historis mau­

3 Judul disertasi Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Canada 

ini yaitu,  Islam Against the West: Shakib Arslan and the Campaign for Is-

lamic Nationalism.

Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (05)


g 62 h

pun idealistik dari gagasan itu sendiri. 

Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland, 

ketua Lembaga Persahabatan Amerika Serikat­Indonesia (Usin­

do) saat ini, mencoba menggali alasan­alasan historis pemikiran 

utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja ber­

beda,  atau mungkin bertentangan dengan sebab­sebab idealistik 

dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideo­

logis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa 

taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan 

Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa 

harus diketahui sebab­sebab paham Islam ideologis itu, termasuk 

nantinya sebab­sebab sosiologis dan sebagainya. Kalau tujuan 

ini dapat dicapai, nama Islam dapat dijernihkan dan dipisahkan 

dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti 

bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pandangan 

penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang tengah disalahpa­

hami orang —terutama oleh kaum non­muslim. h

g 63 h

saat  menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002 

penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi 

Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara terse­

but di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan 

hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah 

berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati 

Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerin-

tah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur 

oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), pada waktu 

yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada 

penulis, akan datangkah ke acara KASI? 

saat  penulis menjawab ya, segera disusul dengan perta­

nyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang ber­

beda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah 

alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu 

dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan 

Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agama­

wan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang 

awam (laymen).1 Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal 

dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.

Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai 

Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ter­

1 Baik pihak KASI maupun Walubi mengaku sebagai organisasi paling 

sah yang memayungi seluruh umat Buddha Indonesia. Saat ini (2006), organi­

sasi KASI ditingkat nasional dijalankan oleh seorang Sekretaris Jenderal Bhik­

su Vidya Sasana Sthavira. Sedangkan DPP Walubi dipimpin oleh Ketua Umum 

Siti Hartati Murdaya.

Islam, Gerakan ataukah kultur ?


g 64 h

nyata tidak jadi hadir untuk keperluan ini  di Candi Boro­

budur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan 

demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan 

umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir 

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang 

bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain, 

pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan 

umat Buddha dan bukannya KASI.

Nah, disamping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaat­

madja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Maje­

lis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung 

mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertin­

dak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah 

lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai per­

wakilan umat Buddha di Indonesia tidak dapat dihindari lagi.

Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat meng­

untungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan 

pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI jus­

tru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha 

sendiri dan para pemuka agama­agama lain yang menghargai­

nya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat 

bergerak lebih maju?

Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita 

bandingkan dengan keadaan internal kaum muslim di Indone­

sia. Kalau dalam agama­agama lain seorang agamawan diang­

kat organisasi tertinggi dari agama ini , yang biasanya di­

dominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada. 

Bukankah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak 

ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Ka­

renanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang me­

miliki otoritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada 

pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap seba­

gai ulama. Karena kekosongan itu, lalu organisasi­organisasi Is­

lam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indo­

nesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam 

arti penguasaan ilmu­ilmu agama dalam kepengurusan MUI itu 

sendiri. Seseorang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan 

sepuluh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan 

harian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmu­ilmu agama di ling­

kungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa 

g 65 h

tradisi  Islam kultural dalam kehidupan umat. Jadi organisasi 

itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya 

tampilan wakil gerakan­gerakan agama atau organisasi, seperti 

Muhammadiyah, NU, dan sebagainya. 

 Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimili­

ki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi 

dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan. 

Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mem­

persatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan mu­

suh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak 

kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, karena tak adanya si­

kap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiran­pe­

mikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan 

pemikiran para ahli agama itu sendiri.

Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu 

kisah Ki Panji Kusmin2 di awal­awal tahun 1970­an. Orang awam 

ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili 

Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh muslim 

yang memiliki kekuatan sendiri, walau didukung oleh kekuatan 

pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tu­

han tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesaran­Nya. Sangat 

nyata, dengan  berniat membela­Nya berarti terjadi dikotomi 

pandangan para tokoh  agama berpandangan formal itu.

Karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Is­

lam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah sese­

orang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriteria 

ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi 

sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muham­

mad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya, 

tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi, 

fantazdiri al-sâ’ah).”3 Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita 

menetapkan kriteria ini ? h

2 Ki Panji Kusmin adalah nama samaran pengarang cerpen Langit Ma-

kin Mendung dalam Majalah Sastra (1971). Cerpen yang dinilai menghina Tu­

han itu, menyeret pemimpin majalah Sastra, HB Jassin dihukum 1 tahun pen­

jara, karena tidak mau membeberkan identitas asli Panji Kusmin.    

3 Hadis ini diriwayatkan oleh Al­Bukhari dalam Bab Al-Ilm lewat jalur 

Abu Hurairah. Statemen Nabi ini muncul karena dialog dan pertanyaan dari 

seorang badui yang menanyakan tentang kapan terjadinya kiamat.

Islam, GERakan ataukaH kultuR ?

g 66 h

Saat membaca kembali makalah­makalah yang dikirimkan 

kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian 

buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak dis­

kusi, penulis mendapati pandangan­pandangannya sendiri ten­

tang Islam yang tengah mengalami perubahan­perubahan besar. 

Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang 

menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran 

“Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam ge­

rakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun­tahun 50­

an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasiona­

lisme Arab di Mesir pada tahun­tahun 60­an, dan Sosialisme 

Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah)2 di Baghdad. Sekembali 

di tanah air, di tahun­tahun 70­an penulis melihat Islam sebagai 

jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengam­

bil berbagai ideologi non­agama, serta berbagai pandangan dari 

agama­agama lain. 

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekali­

gus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan 

1 Sebenarnya penyebutan Ikhwanul Muslimin meski populer di ber­

bagai tulisan adalah sesuatu yang salah kaprah karena tidak sesuai dengan 

historis sosiologisnya. Nama ini  bukanlah bentuk idlafah akan namun  

sifat mausuf. Sehingga yang sesuai dengan kaidah bahasa adalah Al­Ikhwan 

al-Muslimun. Dari Al-Ikhwan inilah kemudian muncul Al-Jama’ah Al-Islamiy-

yah pimpinan Dr.Umar Abdurrahman yang menyusun kitab Kalimatu Haqq 

dan juga Jama’ah al-Muslimin pimpinan Syukri Mustofa yang sering disebut 

dengan Jama’ah at-Takfir wal Hijrah serta Hizbut tahrir yang dinakhodai oleh 

Taqiyyuddin an­Nabhany al­Filastiny.

2 Paham ini diusung oleh Partai “Al-Ba’tsu Al-Araby al-Isytiraky (Ke­

bangkitan Arab Sosialis)” yang populer dengan sebutan “Partai Baath.”

Islamku, Islam anda, Islam kita

g 67 h

pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesama­

an pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengemba­

raan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir 

pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada 

orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, 

tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang 

tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan 

demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran­pikir­

an sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain. 

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, 

bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu 

yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga 

karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai 

pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa me­

miliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, 

akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan mem­

bunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

eg

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan ke­

hendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya se­

bagai satu­satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan 

kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun 

kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiri­

tual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa 

paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu 

diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal­hal irra­

sional itu benar­benar terjadi dalam kehidupan nyata. 

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola 

ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan3 

seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa 

dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu 

memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasu­

ruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang 

mengendarai truk ke kota ini  dengan mengenakan seragam 

3 Marshall McLuhan adalah ahli media terkemuka kelahiran Kanada 

1911, menulis berbagai buku di antaranya Understanding Media: The Exten-

sions of Man, (Cambridge: The MIT Press, 1994).

Islam-ku, Islam anda, Islam kIta


g 68 h

masing­masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak 

lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain 

rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pu­

lang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang­rombongan 

lain. 

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan ke­

matian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa 

diumumkankan, orang datang berduyun­duyun ke alun­alun Tu­

ban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar 

mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di 

sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah 

itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja­kursi ala 

kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak 

penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pi­

kiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan 

—yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “ke­

benaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasar­

kan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah 

yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar 

penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang 

yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

eg

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian 

hari, kita sampai pada keharusan­keharusan rasional untuk di­

laksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai 

“muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran 

Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. 

Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, 

karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedang­

kan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran 

agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya kare­

na ia menyatakan pikiran­pikiran tentang masa depan Islam. 

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Is­

lam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena pe­

rumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama ini , 

sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan 

bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” 

ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak 

g 69 h

umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di 

manapun mereka berada. 

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu 

jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang 

membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam 

Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di 

sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksa­

kan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan sega­

la sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam 

bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. 

Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. 

Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa 

yang dinamakan “ideologi­lslam”, yang oleh orang­orang terse­

but hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, 

kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, 

yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideo­

logi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah 

hal­hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, me­

lalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam 

Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksa­

an pandangan? Cukup jelas, bukan? h

Islam-ku, Islam anda, Islam kIta

g 70 h

Soal cita­cita kaum muslimin, tentu saja harus dipresen­

tasikan dengan mendalam. Ini sesuai dengan kenyataan, 

bahwa kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok besar. 

Ada kaum muslimin yang menjadi gerakan Islam, ada pula yang 

hanya ingin menjadi warga negara tempat mereka hidup, tanpa 

menjadi warga gerakan apapun di dalamnya. Dalam hal ini su­

dah tentu harus dikecualikan gerakan yang menyangkut selu­

ruh warga negara, seperti gerakan Pramuka yang menggantikan 

gerakan kepanduan di masa lampau dalam kehidupan masya­

rakat Indonesia. Pengecualian ini dilakukan dengan kesadaraan 

penuh karena ia menyangkut kehidupan seluruh warga bangsa, 

dan dengan demikian tidak memiliki “warna ideologis apapun.” 

Sedangkan jenis lainnya adalah kaum muslimin warga ge­

rakan­gerakan Islam, apapun wujud dan bentuknya. Ada yang 

hanya bersifat lokal belaka, nasional, dan ada yang bersifat in­

ternasional. Yang terakhir ini dapat dilihat pada pembubaran 

Laskar Jihad di Saudi Arabia yang secara otomatis berarti pula 

pembubaran perkumpulan yang bernama Laskar Jihad1 di Indo­

nesia. Juga dapat dilihat pada pembentukan Nahdlatul Ulama 

(NU) di beberapa kawasan mancanegara, ataupun pembentukan 

Ikhwanul Muslimin di sejumlah negara Timur Tengah. Karena 

sifatnya yang sangat heterogen, jelas tidak ada satu pihak pun 

yang dapat mengajukan klaim sebagai “perwakilan Islam” di 

manapun. 

1 Laskar Jihad adalah organisasi milisi Islam yang didirikan oleh Fourm 

Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) pimpinan H. Ja’far Umar 

Thalib pada tanggal 14 Februari 1998. Banyak mengirimkan pasukan ke Am­

bon saat  di sana terjadi konflik berdarah. namun  kemudian Laskar Jihad 

dibubarkan pada 7 Oktober 2002.

kaum muslimin dan Cita-Cita

g 71 h

Karena itu pula lembaga­lembaga keagamaan Islam, tidak 

dapat bersatu dalam sebuah kesatuan dengan memiliki otori­

tas penuh. Lembaga yang mencoba mewakili ulama atau kaum 

muslimin dengan klaim seperti itu, dalam hal ini Majelis Ulama 

Indonesia (MUI), hanya menjadi salah sebuah diantara organi­

sasi­organisasi Islam yang ada. Lembaga ini tidak memiliki su­

premasi, seperti yang ada dalam agama­agama lain, seperti Kon­

ferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuan­persekutuan 

Gereja­Gereja Indonesia (PGI) atau Parisada Hindu Dharma. 

namun , MUI harus berbagi tempat dengan NU, Muhammadiyah 

dan lain­lain. Karenanya, hanya hal­hal yang disepakati bersama 

oleh sekian banyak perkumpulan itu, yang dapat dianggap seba­

gai nilai­nilai yang diterima umat. 

saat  Rois Syuriyah NU cabang Pasuruan menyatakan 

“pengeboran Inul“ bertentangan dengan ketentuan agama Islam, 

disusul dengan fatwa MUI daerah itu, timbul reaksi di kalangan 

para warga negara republik kita. Untuk apa kedua lembaga itu 

“mengurus Inul” sejauh itu? Apalagi saat  H. Rhoma Irama 

menyatakan Inul tidak boleh membawa lagu ciptaan beliau, 

kalangan muda santri mentertawakannya sebagai “tindakan 

ketinggalan jaman”. Karena memang, orang seperti Inul tidak 

cocok membawakan lagu­lagu beliau. Dalam hal ini, masyara­

kat mengembangkan pandangan mereka sendiri. saat  ditanya 

dalam wawancara TV, Inul menyatakan, ia “mengebor” untuk 

mencari makan. Ia tidak menutup­nutupinya dengan berbagai 

istilah "keren" seperti memajukan seni dan sebagainya, melain­

kan secara berterus­terang ia mengatakan mencari makan. Keju­

juran ucapan seperti ini, sangat bertentangan dengan sikap palsu 

gaya “sok untuk kepentingan bangsa” yang diperlihatkan keba­

nyakan tokoh­tokoh politik kita. Padahal itu untuk menutupi 

ambisi pribadi masing­masing. Mungkin inilah maksud pepatah 

“katakan apa yang benar, walaupun pahit (qul al-haqqa walau 

kana murran).” 

Karenanya tidak heran, jika pendapat atau kritikan berba­

gai macam pihak terhadap Inul, tidak memperoleh respon yang 

berarti dari kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, pendapat 

mereka itu akhirnya memiliki pengaruh sangat terbatas, bahkan 

banyak badan­badan penyiaran yang tidak mendukung. Bahkan 

ancaman H. Rhoma Irama untuk menggerakkan sejumlah orga­

nisasi ekstrim Islam melawan Inul, dalam pandangan penulis 

kaum muslImIn dan cIta-cIta


g 72 h

merupakan sesuatu yang sudah keterlaluan (over acting), yang 

mengancam keselamatan hidup kita sebagai bangsa. Apa beda­

nya ancaman itu dengan tindakan Front Pembela Islam (FPI) 

yang menyerbu rumah­rumah makan (Coffe House) di Kemang, 

Jakarta Selatan beberapa tahun lalu. 

eg

Kita harus merubah moralitas masyarakat dengan sabar, 

agar sesuai dengan ajaran­ajaran Islam yang kita yakini kebenar­

annya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana 

utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah­

tengah masyarakat. Hal ini yang tampaknya sering tidak disadari 

beberapa tokoh Islam maupun beberapa perkumpulan kaum 

muslimin. Masyarakat kita sekarang ini memiliki kemajemukan 

sangat tinggi, kalau kita tidak menyadari hal ini, kita akan mu­

dah marah dan bersikap “memaksakan” kehendak kepada ma­

syarakat.   

Cara itu membutuhkan sikap serba resmi (formalisme) 

yang belum tentu disepakati semua pihak. Mengapa? Karena ini 

dapat menjurus kepada “terorisme moralitas”, dengan akibat 

yang sama seperti peledakan bom di Bali, di Medan maupun di 

lapangan terbang Cengkareng. Pelakunya harus dicari sampai 

dapat dan harus diganjar hukuman sangat berat, karena bersifat 

merusak dan mengacaukan keadaan secara umum. Tentu saja 

kita tidak ingin tuduhan ini terjadi pada tokoh­tokoh yang kita 

kagumi seperti H. Rhoma Irama. 

Karena itu dalam pandangan penulis, perlu diperhatikan 

bahwa cita­cita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keingin­

an kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan 

Islam manapun, dan cita­cita para warga gerakan Islam. Tanpa 

adanya perhatian terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita 

anggap penting, tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim 

yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlaku­

lah dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Is-

lamic legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû 

bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimak­

sud).” Kita harus hati­hati dan sadar sepenuhnya dengan apa 

yang kita ucapkan, agar kita memperoleh setepatnya apa yang 

kita inginkan. Memang ini melelahkan, tapi inilah konsekuensi 

g 73 h

kaum muslImIn dan cIta-cIta

dari apa yang kita upayakan selama ini. 

Dengan demikian, keputusan para pendiri negeri ini untuk 

tidak mendirikan sebuah negara agama adalah keputusan yang 

berakibat jauh. Hal ini harus kita sadari konsekuensinya. Karena 

ada pemisahan agama dari negara, maka hukum yang berlaku 

bukanlah hukum Islam, namun  hukum nasional yang belum tentu 

sama dengan keyakinan kita. 

Artinya, dasar dari pembentukan hukum itu adalah tata 

cara yang kita gunakan bersama sehari­hari sebagai bangsa atau 

yang bukan berdasarkan suatu agama, yang memperoleh materi 

hukumnya dari wahyu yang dikeluarkan Allah . 

Selama berabad­abad ini, kaum muslimin melakukan pe­

nafsiran kembali (reinterpretasi) wahyu Allah  itu, sebagai acu­

an moral dalam menjalani kehidupan sehari­hari. Namun ada 

juga yang kemudian menjadi materi hukum nasional kita dan 

ada yang menjadi moralitas bangsa (setidak­tidaknya moralitas 

kaum muslimin). 

Daripada memperjuangkan ajaran­ajaran Islam menjadi 

hukum formal, lebih berat memperjuangkan moralitas bangsa. 

Tapi ini adalah konsekuensi terjauh dari pandangan kita untuk 

memisahkan agama dari negara. Mudah kedengarannya, tapi su­

lit dilaksanakan, bukan? h

g 74 h

Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan 

antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa. 

Makanya sering ada kerancuan dengan menganggap ada­

nya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang 

pandai –semacam Abul A’la Al-Maududi,1 menganggap ideologi 

sebagai sebuah kerangka­pandang Islam. Karena itulah, ia lalu 

menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, karena Islam 

bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini ber­

hadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum 

muslimin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung 

Karno. Pertanyaannya, dapatkah mereka dianggap kurang Islam 

dibanding ulama besar ini ?

Pendapat al­Maududi itu jelas membedakan antara mere­

ka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas, 

dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas 

seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang pe­

neliti dari Amerika Serikat (AS), William Cleveland. Dalam diser­

tasinya berjudul “Islam Against the West: Shakib Arslan and 

the campaign for Islamic nationalism”, Cleveland mengungkap­

1 Sayyid Abul A’la Maududi (1903-1979) adalah pendiri organisasi 

Islam terkenal di Pakistan Jamaat-e-Islami dan seorang teolog Islam yang 

sangat berpengaruh di dunia. Pikiran­pikirannya yang cenderung konservatif 

dalam menafsirkan Islam banyak mempengaruhi anak­anak muda di kampus 

di seluruh dunia Islam dan menjadi inspriasi bagi gerakan Islam. Bekas 

wartawan, aktivis Islam, ulama dan politisi ini adalah penulis buku, artikel, 

dan ceramah yang sangat produktf. Beberapa bukunya yang terkenal adalah 

Islamic Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication, 1960); Towards 

Understanding Islam; Human Rights in Islam; Introduction to the Study of 

the Qur’an, (London: Islamic Foundation, 1988).

Islam dan Orientasi Bangsa

g 75 h

kan bahwa teori universalitas dan formalitas pandangan Islam 

Shakib Arsalan2  (kakek Kamal Jumlad3 dari Lebanon, seorang 

pemimpin Druz) ini, bersumber pada keanggotaannya dalam 

parlemen Ottoman (Ustmaniyyah). Kalau Shakib tidak berpan­

dangan demikian, maka ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah 

pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universali­

tas dari pandangan formal Islam ia jadikan teori, karena ia ingin 

mempertahankan kedudukannya sebagai anggota parlemen Ot-

toman ini .

Terlihat ada dua orientasi yang saling bertentangan antara 

karya­karya Al­Maududi dengan Shakib Arsalan dalam disertasi 

Cleveland di atas. Tapi pandangan Al­Maududi dan Shakib  yang 

dikenal di kalangan orang­orang Perancis –sebagai golongan 

l’integrist (di dunia Barat lain dikenal dengan sebutan Islamists) 

itu, menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keselu­

ruhan, bukan secara parsial. Sebagai landasan, pandangan itu 

selalu menggunakan ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Hari ini 

telah Ku­sempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Ku­sem­

purnakan bagi kalian pemberian nikmat­Ku, dan Ku­relakan 

bagi kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu la-

kum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum 

al-Islâma dîna)” (QS al­Maidah [5]:3). Menurut pandangan ini, 

Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah 

sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka, 

dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.

eg

Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian: 

Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran 

Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undang­

undang (UU). Formalisasi ini juga mengancam kebersamaan 

2 Shakib Arsalan (1869­1946) adalah cendekiawan muslim sekaligus na­

sionalis lahir di Lebanon. Ia juga penulis buku “Limadza Ta’akhara al-Musli-

mun wa Limadza Taqaddama Ghayruhum” yang terbit pertama kali di Cairo 

1939.

3 Kamal Jumlad adalah pendiri Partai Progresif Libanon ­Lebanese Pro-

gressive Party (PSP) dari kelompok suku Druz yang mati tertembak pada 1977. 

Partai itu kemudian dipimpin oleh anaknya Walid Jumlad.

Islam dan oRIEntasI banGsa


g 76 h

kaum muslimin Indonesia. Karena negara akan menetapkan se­

buah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang 

hukum Islam versi lain berada di luar UU. Dengan demikian, 

yang benar atau yang salah adalah apa yang tertera dalam rumus­

an UU itu, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu 

saja tidak dipakai.

Formalisasi ini sudah tentu berbeda dari pandangan umum 

madzhab fiqh (Islamic law school). Da lam pandangan mereka, 

orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, ter­

gantung dari pilihan masing­masing. Adagium terkenal dalam 

hal ini adalah: “perbedaan pandangan di kalangan para Imam 

adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-aimmah rahmat al-um-

mah).”4 Bahkan, pandangan ini memperkenankan perubahan­

perubahan rumusan hukum agama dari waktu ke waktu.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok 

Pesantren Al­Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan 

kebolehan itu dengan kata­kata: rumusan hukum agama sangat 

tergantung kepada prinsip­prinsip yang digunakan. Jelaslah, pe­

rubahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan, 

karena adanya kebuAllah . Salah satu kaidah fiqh berbunyi: “kebu-

Allah  dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat (al-hâjatu 

tanzilu manzilata al-dharûrah).” Prinsip ini memperkenankan 

perubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebuAllah  

nyata untuk itu.

Karena hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah 

keputusan­keputusan hukum yang diwujudkan secara formal, 

hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksana­

kan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama 

lalu menjadi lahan tawar­menawar. Karena itu, banyak pihak 

yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku 

dan tidak mampu menampung perkembangan­perkembangan 

4 Sering juga diungkapkan dengan redaksi “ikhtilafu ummati rahmah” 

yang akhirnya mengilhami sebuah penulisan kitab populer di pesantren de­

ngan judul “rahmatul ummah fi ikhtilaf al-a’immah” yang dicetak bersama 

dengan kitab pluralisme hukum dengan judul “Al-Mizan Al-Kubra” karya Ab­

dul Wahhab as-Sya’rany. As-Sya’rani ini juga mempersembahkan karya yang 

juga memuat pluralisme fiqhiyyah dengan judul “Kasyful Ghummah An Jami’ 

Al-Ummah” yang juga merupakan pembekalan komprehensif kepada para in­

telektual dalam menghadapi perbedaan pendapat yang memang sudah meru­

pakan “historical necessity (hatmiyyah at-tarikh)”

g 77 h

Islam dan oRIEntasI banGsa

baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi 

Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali al Urai­

dhi,5 di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan ber­

hala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta 

orang kaum tradisionalis muslim, yang seringkali disebut orang 

kolot, sikap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak berge­

rak sesuai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami 

kebekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumûd.

eg

Penentengan terhadap pembongkaran makam Sayyid ‘Urai­

dhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddiq setelah Isma’il (diaba­

dikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma’iliyyah) dan Musa al-

Kadzim (perintis Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang memerintah Iran 

dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan 

betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia, katakanlah 

para kelompok Sunni tradisionalis. Namun perasaan mereka di­

anggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal 

yang  diwariskan Muhammad bin Abdul Wahab6 (diabadikan 

dalam istilah­salah, Wahabbisme) membuat pemerintah Saudi 

Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan makam be­

liau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu. 

Kejadian di atas, dilakukan oleh rezim yang katanya ber­

undang-undang dasar kitab suci al-Qurân dengan 6666 ayatnya. 

Hal ini menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di 

5 Sayyid Ali al­Uraidhi adalah tabi’i al-tâbi’în salah seorang keturunan 

Ja’far al--Shadiq, seorang ahli sufi yang dihormati yang dimakamkan di Madi­

nah dan menjadi salah satu kuburan yang menjadi tempat ziarah para jamaah 

haji.

6 Muhammad bin Abdul Wahab, dilahirkan sekitar 1700 dan mening­

gal 1791, adalah pendiri aliran Wahabi yang merupakan salah satu cikal bakal 

aliran sangat konservatif. Pengaruh aliran Wahabi masih terasa hingga kini di 

seluruh dunia. Abdul Wahab sebagai penasehat spiritual Abdul­Aziz ibn Abdul­

Rahman al­Saud atau terkenal dengan Muhammad Ibnu Saud bekerjasama 

mendirikan kerajaan yang sampai sekarang dikenal dengan Arab Saudi atau 

Saudi Arabia. Salah satu kebijakan pemerintah Ibnu Saud yang didukung oleh 

aliran Wahabi atau Muhammad bin Abdul Wahab adalah memurnikan Islam 

dari paham­paham mistik yang bisa merusak akidah Islam. Mereka melarang 

kebiasaan atau tradisi berziarah kubur dan melakukan pengrusakan berbagai 

kuburan yang dianggap keramat dengan cara kekerasan. 

negeri itu justru memacu konservativisme di kalangan para ula­

manya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat 

ini, maka di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia akan 

terjadi pertentangan sangat dah syat, yang belum pernah terjadi 

selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun 

1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah 

haji menurut keyakinan masing­masing, telah membuat Saudi 

Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan 

membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang jus­

tru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas. 

Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat: 

“Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû 

fi al-silmi kâffah)” (QS al­Baqarah [2]:208), yang berarti kalau 

Anda menyerah kepada Allah , lakukan hal itu secara sung guh­

sungguh dan tak tanggung­tanggung. Para formalis mengartikan 

kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakan­

lah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh 

pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin 

(terutama para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai 

pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita ya­

kini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk 

kaum non­muslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang ber­

bunyi: “Tiadalah Ku­utus engkau kecuali sebagai penyambung 

tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsal-

nâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS al­Anbiya [21]:107). Ini 

jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat 

manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia 

ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bu­

kan?


Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawaban­

nya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara? 

Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan 

pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini 

jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan 

di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diaju­

kan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada 

orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah me­

ninggalkan Islam.

Jawaban­jawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat di­

sederhanakan dalam pandangan penulis dengan kata­kata: tidak 

ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah) 

tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah 

penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya, 

penulis telah mencari dengan sia­sia makhluk yang dinamakan 

Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya, 

jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memi­

liki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.

Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang ba­

ku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak me­

ngenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pe­

mimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga 

hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum 

muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagai­

mana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah 

tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakar­lah 

yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji 

negara Islam, 

adakah konsepnya?


g 82 h

itu disampaikan oleh para kepala suku/wakil­wakil mereka, dan 

dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka. 

Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan ke­

pada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab 

yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh 

cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini 

tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh 

seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.

saat  Umar1 ditikam Abu Lu’luah2 dan berada di akhir 

masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pe­

milih (electoral college ­ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari 

tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh di­

pilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka un­

tuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala 

pemerintahan.3 Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali 

1 Umar Ibn Khattab ra adalah Khalifah Islam kedua (634 – 644M) setelah 

Nabi Muhammad saw menggantikan Abu Bakar Ash­Shiddiq. Kepemimpinan­

nya dikenal tegas dan adil, serta berani melakukan interpretasi pemahaman 

Islam demi penegakan keadilan.

2 Abu Lu’luah adalah seorang Parsi yang berkomplot dengan seorang 

bekas pembesar Parsi, Hurmuzan dan Jufainah, karena dendam akibat Umar 

dianggap telah mengagresi mereka dan membunuh para raja mereka. Sosok 

Abu Lu’luah, bernama asli Firuz, adalah tawanan perang dari Persia saat  

Umar bin Khattab memperluas wilayah kekuasaan Islam. Ia dibawa ke Madi­

nah untuk menjadi budak sebelum menyatakan masuk Islam. Firuz akhirnya 

dimerdekakan oleh Mughirah bin Syu’bah, sehingga ia disebut maulâ (yang di­

merdekakan dan dilindungi). Abu Lu’luah adalah orang yang mempunyai rasa 

kebangsaan yang tinggi. Meski sudah masuk Islam dan tinggal di Madinah, na­

mun identitas Persia yang pernah memiliki kaisar dan kerjaan besar tidak per­

nah dilupakannya. Dalam hatinya terdapat dendam kepada Umar bin Khattab, 

yang telah memerangi kerajaan bangsanya. Inilah yang menjadi motifasi Abu 

Lu’luah untuk membunuh Umar bin Khattab.

3 Dalam kondisi terluka, Umar bin Khattab diminta oleh beberapa orang 

yang ada disekitarnya untuk menunjuk pengganti yang akan menjalankan roda 

kepemerintahan. Jawaban Umar saat  itu membuat kaget orang­orang yang 

hadir yaitu: “Apabila saya menunjuk seorang pengganti untuk menjadi khalifah 

maka orang yang lebih baik ketimbang saya yaitu Abu Bakar pernah melaku­

kan itu, dan jika saya tidak menunjuk pengganti maka orang yang lebih baik 

ketimbang saya dan Abu Bakar yaitu Rasulullah SAW juga tidak pernah menun­

juk pengganti”. Pernyataan Umar di akhir hidupnya yang menjelaskan tentang 

tidak adanya formula baku dalam suksesi kepemerintahan ini, telah direkam 

oleh hampir semua kitab hadis yaitu Sahih Al­Bukhari dalam bab al-Ahkam, 

Sahih Muslim dalam bab al-Imarah, Sunan Abi Dawud dalam bab al-Kharaj 

wal Imarah, Tirmizi dalam bab al-Fitan dan juga Musnad Imam Ahmad.

g 83 h

bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan 

anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti 

Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan 

dengan sebuah marga yang menurunkan calon­calon raja/sultan 

dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman em­

pire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype 

pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “for­

mula Islami”.

eg

De