islam 3
ta ciptakan dalam kehidupan
bangsa, haruslah tetap dilanjutkan. Walaupun sudah lebih dari
150 tahun, Alexis de Tocquevile1 menerbitkan bukunya tentang
demokrasi di Amerika Serikat, sampai hari inipun pembicaraan
tentang jenisjenis dan jangkauan proses ini dalam kehi
1 Penulis buku Democracy in America, terbit pertama kali tahun 1840,
hampir bersanaan waktunya dengan tersiarnya buku The Communist Mani-
festo karya Karl Marx & Friedrick Engels.
g 45 h
dupan bangsa Amerika tetap berlangsung. Dengan demikian,
perkembangan proses demokratisasi itu sendiri senantiasa dijaga
oleh para pemikir, agar tidak menyimpang dari tujuan semula.
Ini adalah sebuah hal yang sangat mendasar (fundamental), ka
renanya ia tidak dapat diabaikan begitu saja.
Karena itu, keinginan berbagai kalangan gerakan Islam,
agar Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam pasal 29 UUD kita,
haruslah terus dibicarakan. Ia menunjukkan kurang adanya pe
ngertian di kalangan gerakangerakan Islam ini . Bukankah
pencantuman Piagam Jakarta itu dalam salah satu pasal UUD
akan berarti memasukkan ideologi agama ke da lam kehidupan
negara, dan dengan demikian memberi kepadanya kedudukan
resmi sebagai ideologi negara? Bukankah dengan demikian,
para warga negara lain yang nonmuslim dimasukkan ke dalam
lingkungan warga negara kelas dua? Dan bukankah orang yang
berpaham atau berideologi nonagama, seperti kaum nasionalis
dan sosialis, juga tidak memperoleh kedudukan terhormat di
negeri ini? Ini adalah pertanyaanpertanyaan dasar yang harus
dijawab, bila kita menginginkan kehidupan bangsa yang benar
benar demokratis di masa depan. h
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (01)
g 46 h
Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim
Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum
muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri ini diatur
oleh UndangUndang Dasar (UUD) yang tidak mencantumkan Is
lam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak
berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan hidup
masyarakat. Demikian halnya dengan Indonesia, tentu masyara
kat sendiri yang memilih berkeyakinan Islam, dan masyarakat
yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya
sebagai ideologi negara seperti di Tiongkok. Persamaan men
dasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara
itu dalam hubungan formal dan nonformal dengan mereka.
Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang
sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. Mengingat
perbedaan ini , maka pentinglah arti sejarah bagi pemben
tukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan
orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap
menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, tulisan ini men
coba menyoroti hal itu, agar kita tidak terusmenerus melaku
kan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas
kesalahankesalahan masa lampau, dalam menyongsong masa
depan.
Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah se
jarah masingmasing yang saling berbeda. Sejak semula Tiong
kok berpenduduk sangat banyak, maka pemerintahan dikem
Islam:
Ideologis ataukah kultural? (02)
g 47 h
bangkan lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh
sistem administrasi yang sama dan birokrasi yang tunggal di
semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nan
king maupun Beijing. Bahkan Tiongkok telah memiliki wadah
tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan semenjak
ratusan tahun yang lalu.1 Sementara APDN (Akademi Pemerin
tahan Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di
negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun
dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Universi
tas Tokyo, Jepang dan Ecole Superieur, Perancis yang berusia
sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.
eg
Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat
ditelusuri pada sejarah masingmasing. Tiongkok sebagai nega
ra daratan (land-based country) dan Indonesia sebagai negara
maritim. Sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China
dan keragaman kerajaankerajaan di negeri kita. Kalau daratan
Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah
dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaan
nya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbeda
an sangat besar dalam cara hidup masingmasing daerah. Ada
yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di
Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan
perdagangan laut antar pulau, seperti terdapat dalam kebudaya
an Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra
kusuma2 dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan
sistem kepegawaiannya.
Namun, pengenalan antropologis antara keduanya, dengan
yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan
konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang
1 Dinasti T’ang (618-906) paling berjasa membangun sistem pemerin
tahan Kerajaan Tiongkok yang solid. Dinasti ini juga membuat sistem perek
rutan bagi pegawai negeri itu, yang biasanya diambil dari muridmurid yang
belajar di kuil.
2 Ia juga bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman yang
sukses membawa puncak kejayaan Kerajaan Mataram dalam segala bidang, ke
hidupan politik, militer, kesenian, kesusastraan, dan keagamaan. Sultan Agung
menjadi penguasa Mataram tahun 1613 sampai 1645 M.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (02)
g 48 h
juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan keduanya.
Umpamannya saja, pada kuatnya kekuasaan pihak yang meme
rintah (the ruling class).
Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiong
kok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan
yang menguasai negeri itu sejak lebih dari 2000 tahun lampau.
Kelompok birokrat ini sanggup bertahan, bahkan menghadapi
tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalam
an Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini. Sekarang pun,
masih belum diketahui bagaimana keberadaan mereka dalam
pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasa
an komite militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok ma
sih sangat besar. Apakah kelas bersenjata itu diserap ke dalam
komite militer ini dengan bawahanbawahannya, juga ti
dak kita ketahui.
Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai
nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja,
dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan mus
lim (dikenal dengan nama kaum santri) berhasil menyelusup
ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi ini . Jalan yang
dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur
pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya
dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal
hidup masa kini dan masa mendatang.
eg
Jelas, kalau kita proyeksikan bayangan masa lalu itu, ber
tambah nyata persamaan maupun perbedaan sistemsistem poli
tik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan.
Bagaimana masingmasing menjawab tantangan yang dihadapi,
yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan per
saingan, adalah pengenalan sebuah proses yangmenarik untuk
dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya deskripsi historis
sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi,
yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial
HindiaBelanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya
catatancatatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini
adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan
g 49 h
sejarah kedua bangsa. Bahwa ada perbedaanperbedaan sejarah
di dua orkestrakamar (chamber orchestra) itu adalah hal yang
wajar. namun , membandingkan antar keduanya, untuk mencari
pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup
kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.
Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang
memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa
itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita
menjadi sebuah bangsa yang hanya mengandalkan dominasi
masa lampau, terlepas sama sekali dari konteks historis yang se
dang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang dapat
menatap masa depan sendiri? Semuanya terpulang kepada kita
sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara
lebih mendalam sebagai bangsa yang samasama bukan negara
agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical
development) yang berbeda. h
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (02)
g 50 h
Beberapa partai politik masih mencantumkan Islam sebagai
asas/dasar organisasinya, begitu juga beberapa perkum
pulan lain yang nonpolitis. saat hal itu ditanyakan pada
penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah ke
hendak mereka. Si penanya mengemukakan: aneh sekali, Anda
dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai
politik yang berasaskan Islam tidak Anda tolak? Bukankah ini
berarti Anda menerima pandangan mereka?
Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam
Islam di Indonesia, tapi tidak di tempat lain yang penduduknya
homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka
ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak
dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam
saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima
negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap
hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jum
lahnya melebihi 10% bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk
menganggap konsep negara Islam diterima seluruh kaum mus
limin di negeri ini, hanya karena Islam sebagai agama mayoritas
penduduk Indonesia.
Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan
negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal ke
benaran yang dibawakan oleh statistik tadi. Lain halnya dengan
bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena
persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tem
pat ke kawasan ini dari daerah asal, dan di Pakistan mere
ka membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat
dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam
Islam:
Ideologis ataukah kultural? (03)
g 51 h
Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran
penulis.
eg
Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik mau
pun perkumpulan. Karena yang beratribut Islam adalah partai
politik dan/atau perkumpulanperkumpulan, maka tidak ada
sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuang
kan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang
Undang Dasar kita maka itu adalah hak mereka, juga untuk
merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konsekuensi
berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang
ingin agar UndangUndang Dasarnya diubah menjadi Undang
Undang Dasar berideologi komunis. Masalahnya tinggal, apakah
dalam pemilu, rakyat mau menerimanya atau tidak?
Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan per
kumpulan yang seperti ini, adalah sikap yang sehat kalau kita
ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari si
kap ini adalah keyakinan bahwa, rakyat banyak sudah tahu apa
yang harus dilakukan, walaupun mayoritas mereka tidak ber
pendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase yang buta
huruf. Kalau dalam hal ini kita memiliki keberanian, maka mere
ka yang bercitacita mendirikan negara Islam tidak akan mem
peroleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan
menempuh jalan pemberontakan bersenjata.
Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan
pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan
menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang men
dasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 19661
harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham
MarxismeLeninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham,
pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerang
an, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum
1 Meskipun UUD 1945 telah dilakukan amandemen setidaknya empat
kali dan secara hukum TAP MPR dan MPRS tidak berlaku lagi, namun TAP
MPRS No. 25 tahun 1966 ini sampai sekarang masih menjadi inspirasi dan
bahkan menjadi konsideran bagi berbagai UU, Peratuan atau regulasi di ber
bagai tingkatan dan bahkan Peraturan Daerah (PERDA) di beberapa tempat
untuk membatasi kebebasan berpolitik warga negara tertentu.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (03)
g 52 h
apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau
institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI). Lembaga dapat
dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga ber
nama Freemason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama)2.
Di sinilah diperlukan ketelitian kita, agar produkproduk kenega
raan kita tidak merugikan diri sendiri.
eg
Mengetahui hal sekecil ini, yaitu perbedaan antara paham
dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan
seperti itu, kita akan berjalan ke arah yang salah, yaitu menindak
hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang
memerlukan tindakan. Prinsip ini penting diingat oleh lembaga
lembaga yang mengutamakan perembugan/permusyawaratan,
seperti yang dibuat oleh UndangUndang Dasar kita: Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang seringkali hanya diang
gap sebagai ajang percaturan kekuasaan.
Walaupun banyak dijalankan oleh umat muslim, namun
sistem politik nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari
tradisi politik Jawa dalam menjaga keberlangsungan negara.
Sering kontinuitas kekuasan diwariskan dari sebuah generasi
kepada generasi selanjutnya. Joko Tingkir, umpamanya, mem
punyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin3 dari Kajen,
Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV4 di Surakarta. Se
dang Joko Tingkir alias Sultan Hadiwidjaya adalah penguasa Ke
sultanan Demak (memerintah tahun 15501582) yang diguling
kan oleh Sutawidjaya5, pendiri dinasti Mataram yang kemudian
bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Pana-
tagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih
2 Beberapa sumber menyebut Freemason sebagai organisasi rahasia in
ternasional yang anti agama. Bahkan Gereja Katolik pada masa Paus Leo XIII
melalui Ensiklik berjudul Humanum Genus (1884), melarang semua umat
Katolik bergabung dengan organisasi itu.
3 Mengenai KH. A. Mutamakkin, lihat pula Bab I bag. 9 berjudul Islam:
Apakah Bentuk Perlawanannya?
4 Amangkurat IV memerintah Kesultanan Surakarta tahun 17191726 M.
5 Sutawidjaya mengangkat diri sebagai raja dengan gelar Panembahan
Senapati setelah wafatnya Sultan Hadiwijaya 1582. Sutawijaya memerintah
sampai kirakira 1601 yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama
Mas Jolang yang kemudian terkenal dengan Panembahan Seda Krapyak.
g 53 h
keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakkin, berarti masih terkait
dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I,
dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati
penulis.
Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang
mendalam atas sistem politik nasional kita sekarang, dengan
sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Contoh tadi
juga memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak memiliki
acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan.
Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan mem
berikan suara kepada partaipartai politik yang menginginkan
Islam sebagai dasar negara. Benarkah apa yang disangkakan
penulis itu? Pemilu adalah satusatunya tempat untuk menguji
kebenaran pendapat itu. Sejarahlah yang akan menjawab h
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (03)
g 54 h
Dalam upacara penganugerahan gelar Doktor Honoris
Causa untuk bidang humaniora di Universitas Soka Gak
kai, Tokyo, barubaru ini, penulis mengemukakan dalam
sambutannya bahwa sebuah tradisi baru telah dimulai di Asia.
Di samping PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang membawa
moralitas keagamaan dalam kehidupan politik suatu bangsa, kita
melihat hal yang sama dilakukan Partai Komeito, yang didukung
oleh gerakan Buddha terbesar di dunia, Soka Gakkai di Jepang.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Bharatiya Janata Party, yang
dipimpin oleh Perdana Menteri India Atal Behari Vajpayee. Dan,
didukung oleh oraganisasi Hindu kenamaan di negeri itu, Rash
triya Swayamsevak Sangh (RSS), yang didirikan tahun 1925, se
tahun sebelum NU lahir (tahun 1926).
Malam harinya, sebelum pemberian gelar ini , penu
lis berkunjung ke rumah Prof. Mitsuo Nakamura, seorang ahli
gerakan Islam di Indonesia, yang tinggal di Ito City (sekitar dua
jam berkendaraan mobil dari kota Tokyo). Sebuah pertanyaan
beliau menunjuk dengan tepat problematika yang dihadapi pe
nulis: “Anda memisahkan ideologi agama dari kehidupan negara.
Mengapakah sekarang Anda justru membawa agama dalam ke
hidupan bernegara?” tanyanya. Mendengar pertanyaan ini ,
badan yang terasa kecapaian akibat berkendaraan mobil ke Ito
City selama dua jam itu, hilang sesaat . Inilah yang penulis cari
selama beberapa tahun ini, namun tidak pernah dirumuskannya
dalam bentuk pertanyaan seperti itu.
Penulis memberi jawaban, bahwa yang terjadi (dan terus
terang saja, dikembangkan penulis di Indonesia melalui PKB),
Islam:
Ideologis ataukah kultural? (04)
g 55 h
adalah penolakan terhadap langkanya moralitas dalam kehidup
an politik kita dewasa ini. Jadi dengan demikian, kalau dalam
masyarakat sekuler di Barat ada moralitas nonagama dalam ke
hidupan politik, di negaranegara berkembang yang belum me
miliki tradisi yang mapan, moralitas ditegakkan melalui dasar
dasar agama. Dalam pandangan penulis, ukuranukuran ideo
logisagama tetap tidak memperoleh tempat dalam kehidupan
bernegara, karena sifatnya yang sesisi dan hanya khusus untuk
kepentingan para pemeluk agama ini . Di sinilah terletak
perbedaan antara moralitas dan ideologi, walaupun samasama
berasal dari wahyu yang satu.
eg
Kita harus jeli membaca sejarah bangsabangsa di dunia,
untuk mengambil pelajaran serta sikap yang diperlukan. Kita
sering mendengar moralitas yang tinggi tanpa berdasarkan
agama, seperti diperlihatkan Jiang Zemin dan Zhu Rongji di
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang sepenuhnya disandar
kan pada moralitas sekuler yang bersifat materiil. Oleh karena
itu, kita harus mampu mengembangkan moralitas politik yang
di dasarkan pada ajaranajaran umum semua agama. Kejujuran,
kesungguhan kerja dan pertanggunganjawab secara jujur kepa
da nasib bangsa di kemudian hari, merupakan sebagian morali
tas umum agamaagama. Karenanya, pemakaian agama untuk
menimbulkan moralitas seperti itu justru harus dihargai, dan
bukannya dicurigai.
Antonio Gramsci1 mengemukakan gagasan sosialisme yang
penuh kemanusiaan, dan di dalamnya tentu terdapat peran be
sar dari moralitas yang tinggi, sebagai sebuah koreksi atas Marx
ismeLeninisme yang sarat dengan ketentuanketentuan organi
1 Antonio Gramsci (18911937) adalah pendiri dan anggota Partai So
sialis Italia/ the Italian Socialist Party (PSI). Seorang penulis, intelektual,
wartawan dan aktivis yang sangat aktif dan terkenal sebelum akhirnya ditang
kap oleh pemerintahan fasis Italia dan dimasukkan penjara hingga meninggal.
Meski hidup di penjara lebih dari 20 tahun, ia meninggalkan berbagai catatan
teoriteori politik dari refleksi dan suratsuratnya di dalam penjara yang kemu
dian dikumpulkan dalam bentuk buku the Prison Notebooks. Melalui catatan
catatan dan suratnya itulah lahir berbagai teori politik yang terkenal hingga
sekarang. Beberapa istilah seperti “hegemony”, “organic intellectual” dan “his
torical bloc” berasal dari tulisannya ini .
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (04)
g 56 h
satoris belaka. Pandangannya saat itu (sebelum 1927) dianggap
sebagai penyimpangan Komunisme di Italia, namun adanya ke
bangkrutan dan kehancuran UniSoviet justru membenarkan
nya. Demikian pula halnya dengan Alexander Dubcek2 di Praha
yang berani menawarkan Komunisme yang berwajah kemanu
siaan. Namun, beberapa puluh tahun kemudian apa yang mere
ka bawakan menjadi kenyataan: bahwa Komunisme pun harus
melakukan koreksi atas peranannya dalam kebangunan ma
nusia di akhir abad lalu dan sepanjang abad ini. Pengamatan
ini sepenuhnya mengikuti apa yang diingatkan Vladimir Ilyich
Lenin: “penyakit kiri kekanakkanakan (leftism infantile disease)”
yang dihadapi kaum revolusioner manapun, yaitu heroisme roman
tis. Mereka menganggap revolusi akan rampung saat aku yang
berjuang. Akuisme seperti inilah yang justru merusak revolusi,
karena perjuangan jangka panjang harus ditundukkan kepada
kebuAllah pribadi seorang pemimpin yang tidak lama jangka
hidupnya.
Lawan dari akuisme itu adalah budaya/kultur dan agama,
termasuk manifestasi budayanya yang sangat penting dalam
sejarah umat manusia. Kalau tidak kita pahami dengan benar,
peranan agama tidak lagi berorientasi kultural, melainkan ber
orientasi institusional. Kegagalan memahami hal ini berarti
kegagalan pula dalam memahami proses demokratisasi, yang
memang sejak semula sudah tidak ideal. Sir Winston Spencer
Churchill3 pernah menyatakan, demokrasi banyak kelemahan
dan kekurangannya, namun ia tetap merupakan perwujudan ter
baik dari upaya umat manusia menegakkan pemerintahan yang
benar. Dengan menghiraukan halhal seperti ini, maka pandang
an Mao Zedong4 di RRT menjadi sesuatu yang tidak sehat.
2 Alexander Dubcek (1921 1992), salah seorang pemimpin partai ko
munis, pernah menduduki Sekretaris Jenderal di Slovakia yang mencanangkan
pembaruan, pembebaskan media dari sensorship dan mengkritik pemerintah.
3 Sir Winston Leonard Spencer Churchill (18741965), adalah salah
seorang pemimpin terkemuka Kerajaan Inggris (United Kingdom). Pernah
menjadi Perdana Menteri maupun anggota parlemen dan menduduki jabatan pen
ting di berbagai bidang. Ia juga seorang penulis yang produktif dan terkenal.
4 Mao Zedong atau Mao Tsetung (1893–1976), adalah pendiri Negara
Republik Rakyat Cina/The People’s Republic of China. Pemimpin Cina dan
Komunis paling terkenal dengan pencanangan Revolusi Kebudayaan (Cultural
Revolution).
g 57 h
eg
Demikianlah, terlihat betapa erat hubungan antara buda
ya/kultur dan politik, paling tidak untuk menampilkan kesusilaan
politik (political morality) yang diperlukan oleh sistem pemerin
tahan manapun di dunia ini. Kata-kata Zhu Rongji5 “sediakan se
puluh buah peti mati, sembilan buah untuk para koruptor dan se
buah lagi untuk diriku, kalau aku juga korup”, adalah ungkapan
moralitas yang diingini. Karenanya, baik itu moralitas sekuler
dari sebuah ideologi duniawi seperti Komunisme, maupun mo
ralitas agama yang digunakan dalam pengembangan sistem poli
tik, haruslah dibaca sebagai keniscayaan sebuah pemerintahan
yang benarbenar bertanggung jawab pada rakyat.
Di sini, kita harus belajar dari para moralis dunia, dari Fir
’aun Akhnaton di Mesir kuno hingga Mahatma Gandhi di India
dalam abad ke 20, membuat ramburambu yang harus diguna
kan dalam mengemban amanat rakyat yang kita junjung tinggi.
Kegagalan memahami hal ini, hanya akan membuat seorang pe
nguasa mementingkan diri saja, seperti halnya Kaisar Nero6 yang
membakar kota Roma untuk mencari kesenangan. Juga Kaisar
Wu Zetian7 yang curiga dan menganggap semua orang ingin me
nyingkirkan dirinya dari pemerintahan, maupun Sultan Agung
Hanyakrakusuma dari Mataram yang bergembira dengan para
dayangdayangnya di atas Taman Sari dengan membuang dan
menyaksikan lawanlawan politiknya di makan buaya, karena ti
dak dapat melawan binatangbinatang buas itu tanpa senjata.
Jadi benar menurut kaidah fiqh: “tindakan dan kebijak
sanaan seorang pemimpin mengenai rakyat yang dipimpin, ha
rus terkait langsung dengan kesejahteraan mereka”, merupakan
5 Dia salah seorang Perdana Menteri Cina 19982003 saat jabatan
presiden dipegang Jiang Zemin.
6 Nero Claudius Caesar Drusus Germanicus (3768 C.E.) raja di kota
Roma. Terkenal dengan bakatnya sebagai penulis puisi dan penyanyi namun
juga sangat ambisius. Ia membakar kota Roma konon untuk membangun ista
na yang megah, karena kota Roma saat itu tidak cukup untuk membangun
istana yang menjadi citacitanya.
7 Wu Zetian (625-705 AD) adalah Permaisuri Kaisar Kao Tsung pada
zaman Dinasti Tang. Setelah suaminya meninggal, dia menjalankan kekaisar
an. Dalam mengamankan kekuasan, Wu membentuk pasukan khusus untuk
mematamatai lawan politiknya. Dia tak segan membunuh kaum oposisi yang
melawan kebijakannya.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (04)
g 58 h
sebuah rambu moral yang melarang seorang pemimpin untuk
menumpuk kekayaan bagi dirinya sendiri. Tiap agama dan keya
kinan memiliki sejumlah adagium/ketentuan seperti itu, karena
itulah moralitasagama sangat diperlukan dalam menciptakan
sistem politik yang sehat. Karenanya, kita tidak perlu raguragu
bahwa moralitasagama memberikan sumbangan bagi pemben
tukan sistem politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Pada tingkat
inilah agama dan politik dapat dihubungkan, dan tidak pada
tingkat ideologis. h
g 59 h
Dalam perjalanan menuju Banjarmasin, di pagi hari, penu
lis mengikuti siaran warta berita televisi di ruang tunggu
pesawat Mandala. Ditayangkan di televisi itu peringatan
Tabot di Bengkulu, yang diselenggarakan untuk menghormati
Syekh Burhanudin1 yang hidup di kawasan itu pada akhir abad
ke 17 dan awal abad ke 18 Masehi. Karena dijelaskan dalam
pemberitaan ini , bahwa acara ini juga diikuti orang
orang keturunan India, jelaslah bahwa orang-orang Syi’ah sekte
Isma’illiyah2 adalah pembawa Islam ke Bengkulu saat itu. Sekte
Syi’ah Isma’iliyah inilah yang kemudian menurunkan para pe
mimpin yang bernama Aga Khan di negeri India.
Walaupun kemudian ajaran Sunni tradisional menguasai
Bengkulu, upacara Tabot itu tampaknya tidak juga kunjung hi
lang, dan sekarang bahkan menjadi bagian dari adat setempat.
Di permukaan tampak Syi’isme dalam baju adat atau kultur ma
syarakat setempat, walaupun seluruh ajaran kaum muslimin —di
kawasan itu, di “sunni”kan melalui fiqh/hukum Islam. Ini berarti
1 Syekh Burhanuddin adalah seorang tokoh tarekat dari Ulakan, Paria
man, Sumatera Barat. Dia murid Syekh Abdurrauf Singkel, ulama terkemuka
Aceh yang juga seorang tokoh tarekat Syattariah, Qadiriyah dan Naqsabandiyah.
2 Syi’ah Ismailiyah merupakan salah satu sekte Syi’ah. Syi’ah sekte ini
muncul karena perbedaan pendapat tentang imam ke-7 pengganti Ja’far al-
Shiddiq. Menurut kelompok ini, pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Ismail
meskipun ia sudah meninggal. Namun kelompok lain (Syi’ah Imamiyah atau
Syi’ah Dua Belas) berpendapat bahwa pengganti Ja’far al-Shiddiq adalah Musa
alKadzim, adik Ismail.
Islam:
Ideologis ataukah kultural? (05)
g 60 h
bahwa, Sayyidina Hasan dan Husain dimuliakan dalam “ajaran”
Sunni, dengan dilepaskan dari sekte Syi’isme. Ini adalah kejadi
an lumrah, seperti halnya pembacaan dziba’ oleh jutaan warga
Nahdltul Ulama di berbagai kawasan di negeri kita.
Kedua hal ini di atas, yaitu munculnya Syi’isme dan
pembacaan dziba’ dalam bentuk budaya adalah bentuk paling
kongkrit dari penampilan Islam di masa lampau di negeri ini,
yakni dalam bentuk kultural, bukannya ideologis. Hal ini harus
kita perhatikan baikbaik, jika ingin memahami proses masuknya
Islam ke Indonesia dan menyimak perkembangan agama terse
but di kawasan Asia Tenggara. Ketidakmampuan memahaminya,
hanya akan menghadapkan Islam pada pahampaham lain di
negeri ini. Sesuatu yang jelasjelas tidak diingini oleh mayoritas
kaum muslimin Indonesia —bahkan mayoritas bangsa.
Inilah yang menjadi tema utama yang harus diperhati
kan dalam mencermati perkembangan Islam di negeri ini, yang
sering disebut sebagai “negerinya kaum muslim moderat.” Kega
galan mengambil sikap ini, apapun alasannya (ideologis ataupun
politis), jelas menjadi tantangan bagi kaum muslimin di negeri
ini. Karena kedudukan Indonesia sebagai negara berpenduduk
mayoritas muslimin (sekitar 185 juta jiwa) terbesar di seluruh
dunia. Dengan sendirinya siapa yang menang di negeri ini akan
menentukan masa depan Islam; apakah ia berkembang sebagai
ideologi ataukah secara kultural?
Tulisantulisan berikut akan mencoba menelusuri perkem
bangan ini, tentu saja dengan memenangkan pendapat kaum
moderat yang tidak mementingkan ideologi. Dalam pandangan
mereka, Islam muncul dalam keseharian kultural, tanpa berbaju
ideologi sama sekali. Dengan mencoba bersikap simpatik kepada
pendekatan ideologis, penulis bermaksud menekankan penting
nya saling pengertian antara kedua pendekatan ini .
eg
Kalau kita tidak menginginkan terorisme merajalela di
negeri kita, dengan menggunakan nama Islam, tentu pendekat
an ideologis ini harus benarbenar diperhatikan dengan cermat.
Apapun sebabsebab yang menimbulkannya, terorisme dengan
menggunakan nama Islam lebih banyak disebabkan oleh ketidak
pahaman mereka akan proses modernisasi yang dialami bangsa
g 61 h
kita mulai abad ke19 masehi hingga saat ini. Ini bukan berarti,
penulis meniadakan kemungkinan adanya asalusul lain bagi ter
orisme yang menggunakan nama Islam yang kini sudah meraja
lela di manamana —seperti kita saksikan di berbagai kawasan di
negeri ini dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai sebuah proses
sejarah, hal itu adalah sesuatu yang biasa, betapapun sakit dan
susah kita dibuatnya, akibat dari rumahrumah, sekolahsekolah
dan tempattempat umum lain yang dirusakkan, maupun jiwa
yang melayang karenanya. Namun dapat disimpulkan bahwa
terorisme bukannya sebuah proses yang tidak dapat dihindari.
eg
Di samping itu ideologis, pendekatan institusional ini se
ringkali ditunggangi oleh kepentingan politis. Ini terjadi terus
menerus hingga tulisan ini dikirimkan ke meja redaksi untuk
diterbitkan. Kepentingan politik sesaat, untuk merebut atau
mempertahankan kepemimpinan negara, membuat sejumlah
lingkaran kekuasaan di negeri ini —dalam beberapa tahun terak
hir, untuk mendukung gerakangerakan ideologis Islam. Karena
kepentingan politik mereka, dikombinasikan dengan ketakutan
sebagian penguasa untuk menindak terorisme berbaju ideologis
itu, jadilah toleransi kepada gerakangerakan mereka justru
menjadi pendorong para teroris untuk menggunakan nama suci
agama.
William Cleveland menuliskan dalam disertasinya3, bebe
rapa waktu lalu. Ia menjelaskan ideologi Islamistik dari Syakib
Arsalan, pemimpin sekte Druz di Lebanon yang juga kakek dari
Kamal Jumlad ini, berasal dari penolakannya terhadap gagasan
nasionalisme Arab. Hal itu timbul dari ambisi pribadi Syakib un
tuk tetap menjadi anggota Parlemen Ottoman di Turki. Ambisi
ini hanya dapat dicapai kalau keuAllah Islam di bawah pemerin
tahan Ottoman dapat dipertahankan di seluruh kawasan Arab,
juga di tempattempat lain dalam dunia Islam. Tentu saja, kita
dapat menolak atau menerima pendapat ini, tapi yang terpenting
adalah upaya untuk mencoba mengerti asalusul historis mau
3 Judul disertasi Profesor Sejarah di Universitas Simon Fraser, Canada
ini yaitu, Islam Against the West: Shakib Arslan and the Campaign for Is-
lamic Nationalism.
Islam: IdEoloGIs ataukaH kultuRal? (05)
g 62 h
pun idealistik dari gagasan itu sendiri.
Disertasi itu, yang ditulis oleh paman tua Paul Cleveland,
ketua Lembaga Persahabatan Amerika SerikatIndonesia (Usin
do) saat ini, mencoba menggali alasanalasan historis pemikiran
utama yang dikembangkan Syakib Arsalan, yang tentu saja ber
beda, atau mungkin bertentangan dengan sebabsebab idealistik
dari Syakib Arsalan, yang dikenal sebagai penganjur Islam ideo
logis dengan bukunya “limâzâ ta’-akhkhara al-muslimûn wa
taqaddama ghairuhum (Mengapa Kaum Muslimin Mundur dan
Selain Mereka Maju?)”. Dari sinilah kita lalu mengerti mengapa
harus diketahui sebabsebab paham Islam ideologis itu, termasuk
nantinya sebabsebab sosiologis dan sebagainya. Kalau tujuan
ini dapat dicapai, nama Islam dapat dijernihkan dan dipisahkan
dari terorisme, serta dapat dikembangkan pegangan lebih pasti
bagi kaum “muslimin moderat”. Mereka ini dalam pandangan
penulis adalah mayoritas kaum muslimin yang tengah disalahpa
hami orang —terutama oleh kaum nonmuslim. h
g 63 h
saat menghadapi Hari Waisak 2546 pada 26 Mei 2002
penulis mendapat undangan dari KASI (Konferensi
Agung Sangha Indonesia) untuk hadir dalam acara terse
but di Balai Sidang Senayan Jakarta. Penulis menjawab akan
hadir. Dan, rombongan KASI berlalu dengan hati lega. Setelah
berjalan beberapa waktu, penulis mendengar bahwa Megawati
Soekarnoputri sebagai personifikasi kepala negara dan pemerin-
tah akan datang pada peringatan yang sama di Candi Borobudur
oleh Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia), pada waktu
yang besamaan pula. Di saat itulah ada orang yang bertanya pada
penulis, akan datangkah ke acara KASI?
saat penulis menjawab ya, segera disusul dengan perta
nyaan berikut, hadirkah Anda dalam acara KASI itu yang ber
beda dari pemerintah? Penulis menjawab, akan hadir. Apakah
alasannya? Karena penulis yakin, KASI mewakili para bhiksu
dan agamawan dalam agama Buddha di negeri kita. Sedangkan
Walubi adalah organisasi yang dikendalikan bukan oleh agama
wan. Dengan kata lain, Walubi adalah organisasi milik orang
awam (laymen).1 Prinsip inilah yang penulis pakai sejak awal
dalam bersikap pada sebuah organisasi agama.
Pada Hari Raya Waisak itu, sebelum berangkat ke Balai
Sidang, penulis mendengar bahwa Megawati Soekarnoputri ter
1 Baik pihak KASI maupun Walubi mengaku sebagai organisasi paling
sah yang memayungi seluruh umat Buddha Indonesia. Saat ini (2006), organi
sasi KASI ditingkat nasional dijalankan oleh seorang Sekretaris Jenderal Bhik
su Vidya Sasana Sthavira. Sedangkan DPP Walubi dipimpin oleh Ketua Umum
Siti Hartati Murdaya.
Islam, Gerakan ataukah kultur ?
g 64 h
nyata tidak jadi hadir untuk keperluan ini di Candi Boro
budur. Namun, pemerintah diwakili Menteri Agama. Dengan
demikian jelas, pemerintah mengakui Walubi sebagai perwakilan
umat Buddha di negeri kita. Sedangkan di Balai Sidang hadir
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jacob Nuwa Wea, yang
bukan membidangi masalah agama. Dengan ungkapan lain,
pemerintah justru mengutamakan Walubi sebagai perwakilan
umat Buddha dan bukannya KASI.
Nah, disamping penulis, juga hadir Kardinal Dharmaat
madja, Haksu Tjhie Tjay Ing dan seseorang yang mewakili Maje
lis Ulama Indonesia (MUI). Untunglah, datang Akbar Tandjung
mewakili DPR dan Ketua Bappenas Kwik Kian Gie yang bertin
dak selaku penasihat panitia. Namun, kesan bahwa pemerintah
lebih mengutamakan Walubi dan bukannya KASI sebagai per
wakilan umat Buddha di Indonesia tidak dapat dihindari lagi.
Sebenarnya, sikap tidak jelas pemerintah itu sangat meng
untungkan KASI. Dengan ungkapan lain, di hadapan kekuasaan
pemerintah yang tidak begitu melindunginya, ternyata KASI jus
tru ditunjang dua pihak yang penting, pihak agamawan Buddha
sendiri dan para pemuka agamaagama lain yang menghargai
nya. Bukankah kedua modal itu akan memungkinkan KASI dapat
bergerak lebih maju?
Kejadian di atas menjadi lebih menarik lagi, jika kita
bandingkan dengan keadaan internal kaum muslim di Indone
sia. Kalau dalam agamaagama lain seorang agamawan diang
kat organisasi tertinggi dari agama ini , yang biasanya di
dominasi para agamawan, justru dalam Islam hal itu tidak ada.
Bukankah justru Rasulullah Saw sendiri yang bersabda, “Tidak
ada kependetaan dalam Islam (lâ rahbâniyyata fî al-Islâm).” Ka
renanya, pantaslah kalau dalam Islam tidak ada pihak yang me
miliki otoritas dalam pengangkatan ulama. Semua terserah pada
pengakuan masyarakat kepada seseorang untuk dianggap seba
gai ulama. Karena kekosongan itu, lalu organisasiorganisasi Is
lam meletakkan para wakil mereka dalam Majelis Ulama Indo
nesia (MUI). Apakah yang terjadi? Hilangnya keulamaan dalam
arti penguasaan ilmuilmu agama dalam kepengurusan MUI itu
sendiri. Seseorang yang hanya hafal sepuluh ayat al-Qur’an dan
sepuluh hadis Nabi, sudah bisa masuk dalam jajaran pimpinan
harian MUI. Seolah aspek penguasaan ilmuilmu agama di ling
kungan MUI tidak bersifat baku, padahal merekalah pembawa
g 65 h
tradisi Islam kultural dalam kehidupan umat. Jadi organisasi
itu tidak mencerminkan kelompok agamawan, melainkan hanya
tampilan wakil gerakangerakan agama atau organisasi, seperti
Muhammadiyah, NU, dan sebagainya.
Dari sini letak kelemahan dan justru kekuatan yang dimili
ki umat Islam. Dikatakan kelemahan, karena tidak ada kohesi
dan kejelasan siapa yang diterima dan tidak sebagai agamawan.
Karena langkanya kohesi intern umat itu, cara termudah mem
persatukan seluruh elemen umat Islam adalah menentukan mu
suh bersama, dipilihlah kekuatan Barat yang dianggap merusak
kekuatan Islam. Dan dikatakan kekuatan, karena tak adanya si
kap dominan dari para agamawan. Oleh sebab itu, pemikiranpe
mikiran orang awam tentang agama diperlakukan sama dengan
pemikiran para ahli agama itu sendiri.
Contoh konkret yang dapat dikemukakan di sini, yaitu
kisah Ki Panji Kusmin2 di awalawal tahun 1970an. Orang awam
ini dapat digambarkan sebagai pihak representatif yang mewakili
Islam, atau justru sebaliknya. Kemudian beberapa tokoh muslim
yang memiliki kekuatan sendiri, walau didukung oleh kekuatan
pemerintahan, menentang pandangannya yang memandang Tu
han tidak perlu dibela siapa pun dalam kebesaranNya. Sangat
nyata, dengan berniat membelaNya berarti terjadi dikotomi
pandangan para tokoh agama berpandangan formal itu.
Karena tiap orang dapat menyatakan dirinya mewakili Is
lam, maka harus ada standar minimal untuk menilai apakah sese
orang dapat dianggap mewakili Islam atau tidak. Tanpa kriteria
ini, hanya situasi semrawutlah yang lahir, seperti yang terjadi
sekarang ini. Di sinilah arti penting dari sabda Nabi Muham
mad Saw: “Kalau persoalan diserahkan kepada bukan ahlinya,
tunggulah hari kiamat, (idzâ wussida al-amru ilâ ghairi ahlihi,
fantazdiri al-sâ’ah).”3 Sanggupkah kaum muslimin di negeri kita
menetapkan kriteria ini ? h
2 Ki Panji Kusmin adalah nama samaran pengarang cerpen Langit Ma-
kin Mendung dalam Majalah Sastra (1971). Cerpen yang dinilai menghina Tu
han itu, menyeret pemimpin majalah Sastra, HB Jassin dihukum 1 tahun pen
jara, karena tidak mau membeberkan identitas asli Panji Kusmin.
3 Hadis ini diriwayatkan oleh AlBukhari dalam Bab Al-Ilm lewat jalur
Abu Hurairah. Statemen Nabi ini muncul karena dialog dan pertanyaan dari
seorang badui yang menanyakan tentang kapan terjadinya kiamat.
Islam, GERakan ataukaH kultuR ?
g 66 h
Saat membaca kembali makalahmakalah yang dikirimkan
kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian
buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak dis
kusi, penulis mendapati pandanganpandangannya sendiri ten
tang Islam yang tengah mengalami perubahanperubahan besar.
Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang
menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran
“Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam ge
rakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahuntahun 50
an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasiona
lisme Arab di Mesir pada tahuntahun 60an, dan Sosialisme
Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah)2 di Baghdad. Sekembali
di tanah air, di tahuntahun 70an penulis melihat Islam sebagai
jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengam
bil berbagai ideologi nonagama, serta berbagai pandangan dari
agamaagama lain.
Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekali
gus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan
1 Sebenarnya penyebutan Ikhwanul Muslimin meski populer di ber
bagai tulisan adalah sesuatu yang salah kaprah karena tidak sesuai dengan
historis sosiologisnya. Nama ini bukanlah bentuk idlafah akan namun
sifat mausuf. Sehingga yang sesuai dengan kaidah bahasa adalah AlIkhwan
al-Muslimun. Dari Al-Ikhwan inilah kemudian muncul Al-Jama’ah Al-Islamiy-
yah pimpinan Dr.Umar Abdurrahman yang menyusun kitab Kalimatu Haqq
dan juga Jama’ah al-Muslimin pimpinan Syukri Mustofa yang sering disebut
dengan Jama’ah at-Takfir wal Hijrah serta Hizbut tahrir yang dinakhodai oleh
Taqiyyuddin anNabhany alFilastiny.
2 Paham ini diusung oleh Partai “Al-Ba’tsu Al-Araby al-Isytiraky (Ke
bangkitan Arab Sosialis)” yang populer dengan sebutan “Partai Baath.”
Islamku, Islam anda, Islam kita
g 67 h
pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesama
an pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengemba
raan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir
pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada
orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya,
tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang
tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan
demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiranpikir
an sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.
Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan,
bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu
yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga
karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai
pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa me
miliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga,
akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan mem
bunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.
eg
Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan ke
hendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya se
bagai satusatunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan
kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun
kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiri
tual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa
paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu
diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika halhal irra
sional itu benarbenar terjadi dalam kehidupan nyata.
Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola
ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan3
seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa
dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu
memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasu
ruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang
mengendarai truk ke kota ini dengan mengenakan seragam
3 Marshall McLuhan adalah ahli media terkemuka kelahiran Kanada
1911, menulis berbagai buku di antaranya Understanding Media: The Exten-
sions of Man, (Cambridge: The MIT Press, 1994).
Islam-ku, Islam anda, Islam kIta
g 68 h
masingmasing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak
lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain
rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pu
lang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orangrombongan
lain.
Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan ke
matian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa
diumumkankan, orang datang berduyunduyun ke alunalun Tu
ban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar
mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di
sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah
itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan mejakursi ala
kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak
penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pi
kiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan
—yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “ke
benaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasar
kan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah
yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar
penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang
yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.
eg
Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian
hari, kita sampai pada keharusankeharusan rasional untuk di
laksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai
“muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran
Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu.
Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”,
karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedang
kan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran
agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya kare
na ia menyatakan pikiranpikiran tentang masa depan Islam.
Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Is
lam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena pe
rumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama ini ,
sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan
bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita”
ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak
g 69 h
umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di
manapun mereka berada.
Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu
jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang
membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam
Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di
sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksa
kan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan sega
la sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam
bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi.
Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa.
Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa
yang dinamakan “ideologilslam”, yang oleh orangorang terse
but hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya,
kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”,
yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideo
logi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah
halhal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, me
lalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam
Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksa
an pandangan? Cukup jelas, bukan? h
Islam-ku, Islam anda, Islam kIta
g 70 h
Soal citacita kaum muslimin, tentu saja harus dipresen
tasikan dengan mendalam. Ini sesuai dengan kenyataan,
bahwa kaum muslimin terbagi dalam dua kelompok besar.
Ada kaum muslimin yang menjadi gerakan Islam, ada pula yang
hanya ingin menjadi warga negara tempat mereka hidup, tanpa
menjadi warga gerakan apapun di dalamnya. Dalam hal ini su
dah tentu harus dikecualikan gerakan yang menyangkut selu
ruh warga negara, seperti gerakan Pramuka yang menggantikan
gerakan kepanduan di masa lampau dalam kehidupan masya
rakat Indonesia. Pengecualian ini dilakukan dengan kesadaraan
penuh karena ia menyangkut kehidupan seluruh warga bangsa,
dan dengan demikian tidak memiliki “warna ideologis apapun.”
Sedangkan jenis lainnya adalah kaum muslimin warga ge
rakangerakan Islam, apapun wujud dan bentuknya. Ada yang
hanya bersifat lokal belaka, nasional, dan ada yang bersifat in
ternasional. Yang terakhir ini dapat dilihat pada pembubaran
Laskar Jihad di Saudi Arabia yang secara otomatis berarti pula
pembubaran perkumpulan yang bernama Laskar Jihad1 di Indo
nesia. Juga dapat dilihat pada pembentukan Nahdlatul Ulama
(NU) di beberapa kawasan mancanegara, ataupun pembentukan
Ikhwanul Muslimin di sejumlah negara Timur Tengah. Karena
sifatnya yang sangat heterogen, jelas tidak ada satu pihak pun
yang dapat mengajukan klaim sebagai “perwakilan Islam” di
manapun.
1 Laskar Jihad adalah organisasi milisi Islam yang didirikan oleh Fourm
Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ) pimpinan H. Ja’far Umar
Thalib pada tanggal 14 Februari 1998. Banyak mengirimkan pasukan ke Am
bon saat di sana terjadi konflik berdarah. namun kemudian Laskar Jihad
dibubarkan pada 7 Oktober 2002.
kaum muslimin dan Cita-Cita
g 71 h
Karena itu pula lembagalembaga keagamaan Islam, tidak
dapat bersatu dalam sebuah kesatuan dengan memiliki otori
tas penuh. Lembaga yang mencoba mewakili ulama atau kaum
muslimin dengan klaim seperti itu, dalam hal ini Majelis Ulama
Indonesia (MUI), hanya menjadi salah sebuah diantara organi
sasiorganisasi Islam yang ada. Lembaga ini tidak memiliki su
premasi, seperti yang ada dalam agamaagama lain, seperti Kon
ferensi Waligereja Indonesia (KWI), Persekutuanpersekutuan
GerejaGereja Indonesia (PGI) atau Parisada Hindu Dharma.
namun , MUI harus berbagi tempat dengan NU, Muhammadiyah
dan lainlain. Karenanya, hanya halhal yang disepakati bersama
oleh sekian banyak perkumpulan itu, yang dapat dianggap seba
gai nilainilai yang diterima umat.
saat Rois Syuriyah NU cabang Pasuruan menyatakan
“pengeboran Inul“ bertentangan dengan ketentuan agama Islam,
disusul dengan fatwa MUI daerah itu, timbul reaksi di kalangan
para warga negara republik kita. Untuk apa kedua lembaga itu
“mengurus Inul” sejauh itu? Apalagi saat H. Rhoma Irama
menyatakan Inul tidak boleh membawa lagu ciptaan beliau,
kalangan muda santri mentertawakannya sebagai “tindakan
ketinggalan jaman”. Karena memang, orang seperti Inul tidak
cocok membawakan lagulagu beliau. Dalam hal ini, masyara
kat mengembangkan pandangan mereka sendiri. saat ditanya
dalam wawancara TV, Inul menyatakan, ia “mengebor” untuk
mencari makan. Ia tidak menutupnutupinya dengan berbagai
istilah "keren" seperti memajukan seni dan sebagainya, melain
kan secara berterusterang ia mengatakan mencari makan. Keju
juran ucapan seperti ini, sangat bertentangan dengan sikap palsu
gaya “sok untuk kepentingan bangsa” yang diperlihatkan keba
nyakan tokohtokoh politik kita. Padahal itu untuk menutupi
ambisi pribadi masingmasing. Mungkin inilah maksud pepatah
“katakan apa yang benar, walaupun pahit (qul al-haqqa walau
kana murran).”
Karenanya tidak heran, jika pendapat atau kritikan berba
gai macam pihak terhadap Inul, tidak memperoleh respon yang
berarti dari kaum muslimin sendiri. Dengan kata lain, pendapat
mereka itu akhirnya memiliki pengaruh sangat terbatas, bahkan
banyak badanbadan penyiaran yang tidak mendukung. Bahkan
ancaman H. Rhoma Irama untuk menggerakkan sejumlah orga
nisasi ekstrim Islam melawan Inul, dalam pandangan penulis
kaum muslImIn dan cIta-cIta
g 72 h
merupakan sesuatu yang sudah keterlaluan (over acting), yang
mengancam keselamatan hidup kita sebagai bangsa. Apa beda
nya ancaman itu dengan tindakan Front Pembela Islam (FPI)
yang menyerbu rumahrumah makan (Coffe House) di Kemang,
Jakarta Selatan beberapa tahun lalu.
eg
Kita harus merubah moralitas masyarakat dengan sabar,
agar sesuai dengan ajaranajaran Islam yang kita yakini kebenar
annya, dengan memberikan contoh yang baik sebagai wahana
utama dalam pembentukan moralitas yang berlaku di tengah
tengah masyarakat. Hal ini yang tampaknya sering tidak disadari
beberapa tokoh Islam maupun beberapa perkumpulan kaum
muslimin. Masyarakat kita sekarang ini memiliki kemajemukan
sangat tinggi, kalau kita tidak menyadari hal ini, kita akan mu
dah marah dan bersikap “memaksakan” kehendak kepada ma
syarakat.
Cara itu membutuhkan sikap serba resmi (formalisme)
yang belum tentu disepakati semua pihak. Mengapa? Karena ini
dapat menjurus kepada “terorisme moralitas”, dengan akibat
yang sama seperti peledakan bom di Bali, di Medan maupun di
lapangan terbang Cengkareng. Pelakunya harus dicari sampai
dapat dan harus diganjar hukuman sangat berat, karena bersifat
merusak dan mengacaukan keadaan secara umum. Tentu saja
kita tidak ingin tuduhan ini terjadi pada tokohtokoh yang kita
kagumi seperti H. Rhoma Irama.
Karena itu dalam pandangan penulis, perlu diperhatikan
bahwa citacita kaum muslimin dibagi dua, yaitu antara keingin
an kaum muslim yang tidak memasuki perkumpulan gerakan
Islam manapun, dan citacita para warga gerakan Islam. Tanpa
adanya perhatian terhadap perbedaan ini, maka apa yang kita
anggap penting, tidak begitu diperhatikan oleh kaum muslim
yang lain. Akibatnya kita akan kehilangan hubungan. Berlaku
lah dalam hal ini adagium ushûl fiqh (teori hukum Islam atau Is-
lamic legal theory), yang berbunyi “yuthalaqu al-âm wa yurâdû
bihi al-khâs (hal umum yang disebut, hal khusus yang dimak
sud).” Kita harus hatihati dan sadar sepenuhnya dengan apa
yang kita ucapkan, agar kita memperoleh setepatnya apa yang
kita inginkan. Memang ini melelahkan, tapi inilah konsekuensi
g 73 h
kaum muslImIn dan cIta-cIta
dari apa yang kita upayakan selama ini.
Dengan demikian, keputusan para pendiri negeri ini untuk
tidak mendirikan sebuah negara agama adalah keputusan yang
berakibat jauh. Hal ini harus kita sadari konsekuensinya. Karena
ada pemisahan agama dari negara, maka hukum yang berlaku
bukanlah hukum Islam, namun hukum nasional yang belum tentu
sama dengan keyakinan kita.
Artinya, dasar dari pembentukan hukum itu adalah tata
cara yang kita gunakan bersama seharihari sebagai bangsa atau
yang bukan berdasarkan suatu agama, yang memperoleh materi
hukumnya dari wahyu yang dikeluarkan Allah .
Selama berabadabad ini, kaum muslimin melakukan pe
nafsiran kembali (reinterpretasi) wahyu Allah itu, sebagai acu
an moral dalam menjalani kehidupan seharihari. Namun ada
juga yang kemudian menjadi materi hukum nasional kita dan
ada yang menjadi moralitas bangsa (setidaktidaknya moralitas
kaum muslimin).
Daripada memperjuangkan ajaranajaran Islam menjadi
hukum formal, lebih berat memperjuangkan moralitas bangsa.
Tapi ini adalah konsekuensi terjauh dari pandangan kita untuk
memisahkan agama dari negara. Mudah kedengarannya, tapi su
lit dilaksanakan, bukan? h
g 74 h
Yang paling banyak dilakukan orang adalah mengacaukan
antara orientasi kehidupan dengan konsep sebuah bangsa.
Makanya sering ada kerancuan dengan menganggap ada
nya sebuah konsep negara dalam Islam. Atas dasar ini, orang
pandai –semacam Abul A’la Al-Maududi,1 menganggap ideologi
sebagai sebuah kerangkapandang Islam. Karena itulah, ia lalu
menganggap tidak ada nasionalisme dalam Islam, karena Islam
bersifat universal bagi seluruh umat manusia. Tentunya, ini ber
hadapan dengan kenyataan bahwa sangat besar jumlah kaum
muslimin yang memeluk nasionalisme, seperti mendiang Bung
Karno. Pertanyaannya, dapatkah mereka dianggap kurang Islam
dibanding ulama besar ini ?
Pendapat alMaududi itu jelas membedakan antara mere
ka yang menerima universalitas Islam sebagai sebuah formalitas,
dengan mereka yang tidak memiliki atau mempercayai formalitas
seperti itu. Pendapat ini, antara lain disanggah oleh seorang pe
neliti dari Amerika Serikat (AS), William Cleveland. Dalam diser
tasinya berjudul “Islam Against the West: Shakib Arslan and
the campaign for Islamic nationalism”, Cleveland mengungkap
1 Sayyid Abul A’la Maududi (1903-1979) adalah pendiri organisasi
Islam terkenal di Pakistan Jamaat-e-Islami dan seorang teolog Islam yang
sangat berpengaruh di dunia. Pikiranpikirannya yang cenderung konservatif
dalam menafsirkan Islam banyak mempengaruhi anakanak muda di kampus
di seluruh dunia Islam dan menjadi inspriasi bagi gerakan Islam. Bekas
wartawan, aktivis Islam, ulama dan politisi ini adalah penulis buku, artikel,
dan ceramah yang sangat produktf. Beberapa bukunya yang terkenal adalah
Islamic Law and Constitution (Lahore: Islamic Publication, 1960); Towards
Understanding Islam; Human Rights in Islam; Introduction to the Study of
the Qur’an, (London: Islamic Foundation, 1988).
Islam dan Orientasi Bangsa
g 75 h
kan bahwa teori universalitas dan formalitas pandangan Islam
Shakib Arsalan2 (kakek Kamal Jumlad3 dari Lebanon, seorang
pemimpin Druz) ini, bersumber pada keanggotaannya dalam
parlemen Ottoman (Ustmaniyyah). Kalau Shakib tidak berpan
dangan demikian, maka ia harus ikut nasionalisme Arab, sebuah
pandangan yang justru ditolaknya. Dengan demikian, universali
tas dari pandangan formal Islam ia jadikan teori, karena ia ingin
mempertahankan kedudukannya sebagai anggota parlemen Ot-
toman ini .
Terlihat ada dua orientasi yang saling bertentangan antara
karyakarya AlMaududi dengan Shakib Arsalan dalam disertasi
Cleveland di atas. Tapi pandangan AlMaududi dan Shakib yang
dikenal di kalangan orangorang Perancis –sebagai golongan
l’integrist (di dunia Barat lain dikenal dengan sebutan Islamists)
itu, menganggap bahwa Islam harus diwujudkan secara keselu
ruhan, bukan secara parsial. Sebagai landasan, pandangan itu
selalu menggunakan ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Hari ini
telah Kusempurnakan bagi kalian, agama kalian, dan Kusem
purnakan bagi kalian pemberian nikmatKu, dan Kurelakan
bagi kalian Islam sebagai agama kalian (al-yauma akmaltu la-
kum dîinakum wa atmamtu alaikum nikmatî wa radhîtu lakum
al-Islâma dîna)” (QS alMaidah [5]:3). Menurut pandangan ini,
Islam hanya akan tampak dan berarti kalau ia menjadi sebuah
sistem, dan itu hanya berarti kalau dia ada secara formal. Maka,
dari pikiran inilah lahir gagasan negara Islam.
eg
Dengan demikian, Islam dapat dibagi menjadi dua bagian:
Islam formal dan tidak formal. Dalam pandangan formal, ajaran
Islam selalu menjadi aturan bernegara, dalam bentuk undang
undang (UU). Formalisasi ini juga mengancam kebersamaan
2 Shakib Arsalan (18691946) adalah cendekiawan muslim sekaligus na
sionalis lahir di Lebanon. Ia juga penulis buku “Limadza Ta’akhara al-Musli-
mun wa Limadza Taqaddama Ghayruhum” yang terbit pertama kali di Cairo
1939.
3 Kamal Jumlad adalah pendiri Partai Progresif Libanon Lebanese Pro-
gressive Party (PSP) dari kelompok suku Druz yang mati tertembak pada 1977.
Partai itu kemudian dipimpin oleh anaknya Walid Jumlad.
Islam dan oRIEntasI banGsa
g 76 h
kaum muslimin Indonesia. Karena negara akan menetapkan se
buah versi (madzhab) dalam Islam untuk dijadikan UU, sedang
hukum Islam versi lain berada di luar UU. Dengan demikian,
yang benar atau yang salah adalah apa yang tertera dalam rumus
an UU itu, sedangkan yang tidak tercantum di dalamnya tentu
saja tidak dipakai.
Formalisasi ini sudah tentu berbeda dari pandangan umum
madzhab fiqh (Islamic law school). Da lam pandangan mereka,
orang dapat saja berbeda pandangan dan rumusan aturan, ter
gantung dari pilihan masingmasing. Adagium terkenal dalam
hal ini adalah: “perbedaan pandangan di kalangan para Imam
adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-aimmah rahmat al-um-
mah).”4 Bahkan, pandangan ini memperkenankan perubahan
perubahan rumusan hukum agama dari waktu ke waktu.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) tahun 1989 di Pondok
Pesantren AlMunawwir, Krapyak, Yogyakarta, merumuskan
kebolehan itu dengan katakata: rumusan hukum agama sangat
tergantung kepada prinsipprinsip yang digunakan. Jelaslah, pe
rubahan rumusan hukum agama itu menjadi diperkenankan,
karena adanya kebuAllah . Salah satu kaidah fiqh berbunyi: “kebu-
Allah dapat saja dianggap sebagai keadaan darurat (al-hâjatu
tanzilu manzilata al-dharûrah).” Prinsip ini memperkenankan
perubahan rumusan hukum agama jika memang ada kebuAllah
nyata untuk itu.
Karena hukum agama dalam sebuah negara Islam adalah
keputusankeputusan hukum yang diwujudkan secara formal,
hingga dengan sendirinya asas pluralitas tidak dapat dilaksana
kan, dan yang ada adalah UU formal. Dan, sistem formal agama
lalu menjadi lahan tawarmenawar. Karena itu, banyak pihak
yang berpendapat bahwa, ajaran formal Islam selalu bersifat kaku
dan tidak mampu menampung perkembanganperkembangan
4 Sering juga diungkapkan dengan redaksi “ikhtilafu ummati rahmah”
yang akhirnya mengilhami sebuah penulisan kitab populer di pesantren de
ngan judul “rahmatul ummah fi ikhtilaf al-a’immah” yang dicetak bersama
dengan kitab pluralisme hukum dengan judul “Al-Mizan Al-Kubra” karya Ab
dul Wahhab as-Sya’rany. As-Sya’rani ini juga mempersembahkan karya yang
juga memuat pluralisme fiqhiyyah dengan judul “Kasyful Ghummah An Jami’
Al-Ummah” yang juga merupakan pembekalan komprehensif kepada para in
telektual dalam menghadapi perbedaan pendapat yang memang sudah meru
pakan “historical necessity (hatmiyyah at-tarikh)”
g 77 h
Islam dan oRIEntasI banGsa
baru yang terjadi. Contohnya adalah sikap para penguasa Saudi
Arabia yang telah membongkar tanah pusara Sayyid Ali al Urai
dhi,5 di Madinah, untuk mencegah terjadinya penyembahan ber
hala yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bagi ratusan juta
orang kaum tradisionalis muslim, yang seringkali disebut orang
kolot, sikap seperti itu berarti justru membuat Islam tidak berge
rak sesuai dengan perkembangan zaman. Islam akan mengalami
kebekuan, yang sering di sebut dengan istilah al-jumûd.
eg
Penentengan terhadap pembongkaran makam Sayyid ‘Urai
dhi di atas, putra ketiga Ja’far Shaddiq setelah Isma’il (diaba
dikan dalam nama kelompok Syi’ah Isma’iliyyah) dan Musa al-
Kadzim (perintis Syi’ah Itsna ‘Asyariyah yang memerintah Iran
dan menjadi kelompok mayoritas di Irak saat ini), menunjukkan
betapa besar para pengikut beliau di seluruh dunia, katakanlah
para kelompok Sunni tradisionalis. Namun perasaan mereka di
anggap sepele saja oleh pemerintah Saudi Arabia. Sikap formal
yang diwariskan Muhammad bin Abdul Wahab6 (diabadikan
dalam istilahsalah, Wahabbisme) membuat pemerintah Saudi
Arabia menjadi formalis, merusak/menghancurkan makam be
liau di ‘Uraidhah, dekat Madinah, beberapa waktu yang lalu.
Kejadian di atas, dilakukan oleh rezim yang katanya ber
undang-undang dasar kitab suci al-Qurân dengan 6666 ayatnya.
Hal ini menunjuk dengan jelas kenyataan bahwa formalisme di
5 Sayyid Ali alUraidhi adalah tabi’i al-tâbi’în salah seorang keturunan
Ja’far al--Shadiq, seorang ahli sufi yang dihormati yang dimakamkan di Madi
nah dan menjadi salah satu kuburan yang menjadi tempat ziarah para jamaah
haji.
6 Muhammad bin Abdul Wahab, dilahirkan sekitar 1700 dan mening
gal 1791, adalah pendiri aliran Wahabi yang merupakan salah satu cikal bakal
aliran sangat konservatif. Pengaruh aliran Wahabi masih terasa hingga kini di
seluruh dunia. Abdul Wahab sebagai penasehat spiritual AbdulAziz ibn Abdul
Rahman alSaud atau terkenal dengan Muhammad Ibnu Saud bekerjasama
mendirikan kerajaan yang sampai sekarang dikenal dengan Arab Saudi atau
Saudi Arabia. Salah satu kebijakan pemerintah Ibnu Saud yang didukung oleh
aliran Wahabi atau Muhammad bin Abdul Wahab adalah memurnikan Islam
dari pahampaham mistik yang bisa merusak akidah Islam. Mereka melarang
kebiasaan atau tradisi berziarah kubur dan melakukan pengrusakan berbagai
kuburan yang dianggap keramat dengan cara kekerasan.
negeri itu justru memacu konservativisme di kalangan para ula
manya. Kalau hal ini tidak mereka perbaiki dalam waktu dekat
ini, maka di kalangan kaum muslimin di seluruh dunia akan
terjadi pertentangan sangat dah syat, yang belum pernah terjadi
selama ini. Keputusan Raja Saudi pertama, Abdul Aziz, di tahun
1924, untuk mengijinkan kaum muslimin melakukan ibadah
haji menurut keyakinan masingmasing, telah membuat Saudi
Arabia bisa diterima semua kalangan Dunia Islam. Keputusan
membongkar kuburan Sayyid ‘Uraidhi adalah sesuatu yang jus
tru berkebalikan dari keluasan pandangan di atas.
Pegangan golongan formalis dalam Islam adalah ayat:
“Masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan (udkhulû
fi al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208), yang berarti kalau
Anda menyerah kepada Allah , lakukan hal itu secara sung guh
sungguh dan tak tanggungtanggung. Para formalis mengartikan
kata “al-silmi” di sini, dengan arti Islam sebagai sistem, katakan
lah sistem Islami. Namun, penafsiran ini hanya memperoleh
pengikut yang sedikit, sedangkan mayoritas kaum muslimin
(terutama para ulama Indonesia), memegang arti Islam sebagai
pengayom. Toleransi kita diminta oleh kitab suci yang kita ya
kini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang, termasuk
kaum nonmuslim. Ini bersesuaian dengan ayat lain yang ber
bunyi: “Tiadalah Kuutus engkau kecuali sebagai penyambung
tali persaudaraan dengan sesama umat manusia (wa mâ arsal-
nâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn)” (QS alAnbiya [21]:107). Ini
jika para ahli tafsir mengartikan kata “al-‘âlamîn” dengan umat
manusia belaka, dan bukan semua makhluk yang ada di dunia
ini. Indah, pengertian tentang Islam sebagai pelindung itu, bu
kan?
Ada pertanyaan sangat menarik untuk diketahui jawaban
nya; apakah sebenarnya konsep Islam tentang negara?
Sampai seberapa jauhkah hal ini dirasakan oleh kalangan
pemikir Islam sendiri? Dan, apakah konsekuensi dari konsep ini
jika memang ada? Rangkaian pertanyaan di atas perlu diajukan
di sini, karena dalam beberapa tahun terakhir ini banyak diaju
kan pemikiran tentang Negara Islam, yang berimplikasi pada
orang yang tidak menggunakan pemikiran itu dinilai telah me
ninggalkan Islam.
Jawabanjawaban atas rangkaian pertanyaan itu dapat di
sederhanakan dalam pandangan penulis dengan katakata: tidak
ada. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah)
tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Mengapakah
penulis beranggapan demikian? Karena sepanjang hidupnya,
penulis telah mencari dengan siasia makhluk yang dinamakan
Negara Islam itu. Sampai hari inipun ia belum menemukannya,
jadi tidak salahlah jika disimpulkan memang Islam tidak memi
liki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Dasar dari jawaban itu adalah tiadanya pendapat yang ba
ku dalam dunia Islam tentang dua hal. Pertama, Islam tidak me
ngenal pandangan yang jelas dan pasti tentang pergantian pe
mimpin. Rasulullah Saw digantikan Sayyidina Abu Bakar –tiga
hari setelah beliau wafat. Selama masa itu masyarakat kaum
muslimin, minimal di Madinah, menunggu dengan sabar bagai
mana kelangkaan petunjuk tentang hal itu dipecahkan. Setelah
tiga hari, semua bersepakat bahwa Sayyidina Abu Bakarlah
yang menggantikan Rasulullah Saw melalui bai’at/prasetia. Janji
negara Islam,
adakah konsepnya?
g 82 h
itu disampaikan oleh para kepala suku/wakilwakil mereka, dan
dengan demikian terhindarlah kaum muslimin dari malapetaka.
Sayyidina Abu Bakar sebelum meninggal dunia, menyatakan ke
pada komunitas kaum muslimin, hendaknya Umar Bin Khattab
yang diangkat menggantikan beliau, yang berarti telah ditempuh
cara penunjukkan pengganti, sebelum yang digantikan wafat. Ini
tentu sama dengan penunjukkan seorang Wakil Presiden oleh
seorang Presiden untuk menggantikannya di masa modern ini.
saat Umar1 ditikam Abu Lu’luah2 dan berada di akhir
masa hidupnya, ia meminta agar ditunjuk sebuah dewan pe
milih (electoral college ahl halli wa al-aqdli), yang terdiri dari
tujuh orang, termasuk anaknya, Abdullah, yang tidak boleh di
pilih menjadi pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka un
tuk mengangkat Utsman bin Affan sebagai kepala negara/kepala
pemerintahan.3 Untuk selanjutnya, Utsman digantikan oleh Ali
1 Umar Ibn Khattab ra adalah Khalifah Islam kedua (634 – 644M) setelah
Nabi Muhammad saw menggantikan Abu Bakar AshShiddiq. Kepemimpinan
nya dikenal tegas dan adil, serta berani melakukan interpretasi pemahaman
Islam demi penegakan keadilan.
2 Abu Lu’luah adalah seorang Parsi yang berkomplot dengan seorang
bekas pembesar Parsi, Hurmuzan dan Jufainah, karena dendam akibat Umar
dianggap telah mengagresi mereka dan membunuh para raja mereka. Sosok
Abu Lu’luah, bernama asli Firuz, adalah tawanan perang dari Persia saat
Umar bin Khattab memperluas wilayah kekuasaan Islam. Ia dibawa ke Madi
nah untuk menjadi budak sebelum menyatakan masuk Islam. Firuz akhirnya
dimerdekakan oleh Mughirah bin Syu’bah, sehingga ia disebut maulâ (yang di
merdekakan dan dilindungi). Abu Lu’luah adalah orang yang mempunyai rasa
kebangsaan yang tinggi. Meski sudah masuk Islam dan tinggal di Madinah, na
mun identitas Persia yang pernah memiliki kaisar dan kerjaan besar tidak per
nah dilupakannya. Dalam hatinya terdapat dendam kepada Umar bin Khattab,
yang telah memerangi kerajaan bangsanya. Inilah yang menjadi motifasi Abu
Lu’luah untuk membunuh Umar bin Khattab.
3 Dalam kondisi terluka, Umar bin Khattab diminta oleh beberapa orang
yang ada disekitarnya untuk menunjuk pengganti yang akan menjalankan roda
kepemerintahan. Jawaban Umar saat itu membuat kaget orangorang yang
hadir yaitu: “Apabila saya menunjuk seorang pengganti untuk menjadi khalifah
maka orang yang lebih baik ketimbang saya yaitu Abu Bakar pernah melaku
kan itu, dan jika saya tidak menunjuk pengganti maka orang yang lebih baik
ketimbang saya dan Abu Bakar yaitu Rasulullah SAW juga tidak pernah menun
juk pengganti”. Pernyataan Umar di akhir hidupnya yang menjelaskan tentang
tidak adanya formula baku dalam suksesi kepemerintahan ini, telah direkam
oleh hampir semua kitab hadis yaitu Sahih AlBukhari dalam bab al-Ahkam,
Sahih Muslim dalam bab al-Imarah, Sunan Abi Dawud dalam bab al-Kharaj
wal Imarah, Tirmizi dalam bab al-Fitan dan juga Musnad Imam Ahmad.
g 83 h
bin Abi Thalib. Pada saat itu, Abu Sufyan tengah mempersiapkan
anak cucunya untuk mengisi jabatan di atas, sebagai penganti
Ali bin Abi Thalib. Lahirlah dengan demikian, sistem kerajaan
dengan sebuah marga yang menurunkan caloncalon raja/sultan
dalam Islam sampai dengan khilafah Usmaniyyah/ottoman em
pire yang oleh para “Islam politik” dianggap sebagai prototype
pemerintahan harus diadopsi begitu saja sebagai sebuah “for
mula Islami”.
eg
De