ilmu tarekat mistik 5

Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 5. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

ilmu tarekat mistik 5



 tul kulli jasad. 

III. Zikir Nafi Isbat. 

IV. Zikir Wuquf. 

V . Zikir Muraqabah ithlak. 

V I . Muraqabah ahdiat af'al. 

V I L Muraqabah ma'iyah. 

VIII. Muraqabah aqrabiyah. 

I X . Muraqabah ahdiatuz zat. 

X . Muraqabah zatu sharaf wal bahath. 

X I . Tahlulul lisan. 

XI I . Maqamul ubudiyah. 

Keempat. Hendaklah dalam khalwat itu berpisah hati dan badan­

nya dibandingkan  segala manusia. 

Keenam. Selama dalam khalwat mengurangi makan, minum, tidur 

dan berkata-kata. Yang terutama dikurangi perkataan lidah dan per­

kataan hati. Hati hanya berkata-kata menyebut zikir Al lah. 

Ketujuh. Dalam khalwat memakai pakaian putih, baju putih, kain 

sarung putih, tutup kepala putih, sebab  pakaian putih bagi mereka pa-

142 

kaian suci, tiap ada najis lekas kelihatan. Dengan demikian tidak saja 

diperoleh kesucian bathin namun  juga lahir. 

Kedelapan. Selama dalam khalwat meninggalkan pekerjaan jual-

beli dan segala pekerjaan-pekerjaan duniawi yang lain yang akan da­

pat melalaikan hati berhadapan kepada Allah. 

Kesembiian. Mengurangi makan daging, sebab  sifat daging mem-

bikin sifat manusia menjadi buas. 

kesepuluh. Sedapat mungkin khalwat itu memakai kelambu, tidak 

saja dapat mencegah nyamuk, lalat dan sebagainya yang mengganggu 

pikiran dalam zikir, namun  juga ahli tarekat memandang seakan-akan 

berada dalam lubang kuburan atau liang lahad. 

Kesebelas. Selalu berhadap muka dan dadanya ke arah kiblat. 

Arah jasmaninya, yaitu dada dan muka ialah : Baitullah, arah hati 

ialah Al lah. 

Kedua belas. Dalam khalwat itu belajar sabar dan qina'ah. Segala 

amal ibadat dan zikir-zikir yang dikerjakan dalam khalwat itu oleh ahli 

tarekat dianggap hanya menjadi wasilah, hubungan jalan, sedang yang 

menjadi tujuannya ialah berkekalan perhambaan lahir dan bathin serta 

berkekalan hadir hati terhadap Allah 1). 

6. TANGIS DAN AIR M A T A . 

Bagi orang Sufi tangis dan air mata itu mendapat nilai tertentu se­

bagai tanda penyesalan diri atas sesuatu kesalahan menyimpang dari­

pada kehendak Allah . Dalam Qur'an memang ada disebut sebuah ceri-

ritera dari segolongan manusia yang merasa menyesal atas dosa yang 

diperbuatnya, kemudian diperingatkan akan akibatnya yang pedih da­

lam neraka, dan dikatakan : "Hendaklah mereka tertawa sedikit, dan 

memperbanyak menangis, sebagai balasan untuk apa yang mereka la-

kukan" (Qur'an IX : 82). 

Lalu tangis dan pertumpahan air mata itu menjadi salah suatu 

amal adabiyah, suatu riyadhah, yang terpuji bagi orang Sufi. Mereka 

I) Dr. H Jataludm. Pertahanan At-Thariqah An Naksyabandiyah, cel. ke i, Bukit 

Tinggi. t'. th. hal. 127 — 132. 

143 

mengemukakan, bahwa Nabi-Nabi pun menangis untuk menyesali do-

sanya. 

Bukankah Nabi Daud atas penyesalannya pernah menumpahkan 

air mata yang tidak sedikit? Nabi Daud menangis empat puluh hari la-

manya, menumpahkan air mata dalam keadaan sujud, tidak mengang-

kat-angkat kepalanya, sehingga lapangan tandus tempat ia meletakkan 

dahinya itu menjadi padang rumput, yang menutupi seluruh kepalanya. 

Lalu diserukan kepadanya : " H a i , Daud! Tidakkah engkau lapar, agar 

diberi makan? Tidakkah engkau dahaga, agar diberi minum? Dan ti-

dakkah engkau telanjang, agar diberi pakaian?" Daud menangis lebih 

sangat lagi, sehingga bergoncang dan keringlah pohon-pohon kayu se-

kitarnya, serta terbakar dari kepanasan takutnya. Kemudian barulah 

diturunkan taubat dan pada telapak tangannya!" Maka tertulislah do-

sanya itu pada telapak tangannya itu, sehingga ia tidak berani membu-

ka untuk makan dan minum, dan tidak berani melihatnya kecuali ia 

menangis. Kemudian didatangkan oranglah sebuah cambung, yang ber­

isi dua pertiganya dengan air. Apabila ia hendak meletakkan tangannya 

ke atas cambung itu sebab  ingin minum, dilihatnyalah dosanya, lalu 

ia menangis pula, sehingga air matanya yang jatuh ke dalam cambung 

itu membuat cambung itu penuh berlimpah. 

Diceriterakan, bahwa sesudah ia menangis sekian lamanya, dengan 

tidak ada perubahannya, hilanglah daya-upayanya dan berduka-citalah 

ia dengan amat sangat sambil berkata "Wahai , Allah ku! Tidakkah 

engkau mengasihani terhadap tangisku!" Maka Allah  pun berfirman : 

"Wahai, Daud! Engkau lupa akan dosamu, meskipun teringat akan 

tangismu!" Maka berkata Daud : "Allah ku dan junjunganku! Bagai-

mana aku dapat melupakan dosaku, sedangkan di kala aku membaca 

Zabur tertahanlah air dari alirannya, terhentilah debu dari tiupan 

angin, berhentilah bertengger margasatwa di atas kepalaku, dan menja­

di jinaklah segala binatang buas, datang berkumpul di dekatku. Wahai, 

Allah ku dan junjunganku! Apakah yang menjadi sebab gerangan ada 

ketakutan dan perpisahan antaraku dan Engkau?" Maka Allah  ber­

firman : "Wahai , Daud! Dari satu ketika sebab  baik hati dalam ta'at, 

dari lain sa'at perpisahan dalam ma'siat. Wahai, Daud! Ketahuilah, 

bahwa Adam itu makhluk-Ku, Kuciptakan ia dengan tangan-Ku, Ku-

tiupkan ke dalam tubuhnya roh-Ku, Kutundukkan semua Malaikat-Ku 

sujud kepadanya, Kututupi badannya dengan pakaian kemuliaan-Ku, 

144 

Kunobatkan dengan makhkota kebesaran-Ku, tatkala ia mengeluh sen-

dirian, Kukawinkan dia dengan budak-Ku Hawa, Kuberikan tempat da­

lam sorga. namun , ingatlah, tatkala ia mendurhakai Daku, Kuusir dari 

dekat-Ku dalam keadaan telanjang yang menghinakan. Wahai, Daud ! 

Dengarkanlah Daku dan perkataan kebenaran-Ku : "Kamu ta'ati Ka­

mi, Kami setia padamu, kamu meminta kepada Kami, Kami penuhi 

permintaanmu, kamu berbuat durhaka kepada Kami, Kami awasi kela-

kuanmu, dan jika kamu kembali kepada Kami sebagai semula, Kami 

terima kedatanganmu!" 

Diceriterakan, bahwa Nabi Daud itu apabila ia hendak menangis, 

menahan diri tujuh hari, tidak makan, tidak minum dan tidak mende­

kati perempuan. Sehari sebelum itu dikeluarkan oranglah sebuah mini­

bar di tengah gurun, sambil memerintah Sulaiman menyiarkan berita 

ke seluruh negeri, ke seluruh hutan belantara. Maka berkumpullah pa­

da hari itu segala manusia dan binatang hendak mendengar apa yang 

disampaikannya. Sesudah ia naik ke atas mimbar yang dikelilingi oleh 

Bani Isra'il, ia memulai khutbahnya dengan memuji Allah  sambil me­

nangis tersedu-sedu. Tatkala khutbah itu sampai kepada ceritera sorga 

dan neraka maka matilah sebahagian dibandingkan  binatang dan manusia 

yang hadir, dan tatkala ceritera itu sampai kepada uraian mengenai hari 

kiamat, maka matilah semua makhluk itu. Tatkala Sulaiman, yang ber­

diri di dekatnya, melihat banyak makhluk yang mati, berkatalah ia : 

" Y a , ayahku! Engkau telah mencabik-cabik pendengar yang hadir dan 

telah mati sebahagian dari Bani Isra'il dan sebahagian dari binatang 

buas". Maka barulah Nabi Daud berdo'a, sedang sebahagian dari 

orang Yahudi itu berseru : "Kelihatan engkau bergegas-gegas minta 

balasan jasa kepada Allah ". Maka menangis pulalah ia, dan jatuh 

murcalah ia di tengah makhluk banyak itu. 

Demikian orang Sufi memberikan gambaran tangis menyesali diri, 

tangis Daud yang tak ada taranya, yang harus dicontoh dan diteladani, 

untuk mendapat ampunan Allah  sebagaimana diucapkan kepada Daud 

itu. Dalam Qur'an hanya ini : "Sungguh banyak orang-orang 

yang berserikat itu menganiaya yang seorang kepada yang lain, kecuali 

orang-orang yang beriman dan beramal saleh, meskipun amat sedikit 

bilangan mereka itu. Maka tahulah Daud, bahwa Kami memuji dia, 

lalu ia pun minta ampun kepada Allah , seraya tertelungkup, tunduk 

dan minta taubat. Kemudian Kami pun mengampuni kesalahannya itu. 

145 

Dipastikan bahwa ia mendapat tempat yang terdekat pada Kami dan 

tempat kembali yang sebaik-baiknya. Wahai, Daud! Kami jadikan eng­

kau Khalifah di muka bumi, sebab itu hendaklah engkau menghukum 

antara manusia dengan kebenaran, jangan engkau menuruti hawa naf-

.u, sebab  ia dapat menyesatkan engkau dari jalan Al lah . Orang-orang 

yang sesat dari jalan Allah itu akan mendapat siksa yang keras, sebab  

mereka lupa akan perhitungan pada kiamat" (Qur'an X X X V I I : 24 — 

26). 

namun  ceritera ini diperindah demikian rupa, sehingga yaitu  

suatu dorongan sesalan yang terharu. 

Begitu juga tangis Yahya dijadikan contoh. Diceriterakan, bahwa 

Yahya pada suatu hari dalam usia delapan tahun berhaji ke Baitalmaq-

dis, dan melihat orang-orang yang beribadat di sana memakai baju Su­

fi , yang memberikan kesan yang dalam kepadanya. Tatkala ia melalui 

anak-anak yang sedang bermain dan mengajaknya turut, ia berkata, 

bahwa ia tidak dijadikan untuk bermain-main. Ia pulang ke rumahnya, 

meminta kepada kedua orang tuanya untuk memutihkan rambutnya, 

serupa dengan orang-orang tua yang beribadat di Baitulmaqdis itu. Se­

telah permintaannya itu dipenuhi, Yahya pun kembalilah ke Baitulmaq­

dis, untuk berkhidmat kepada rumah suci itu pada siang harinya, dan 

pada malam harinya ia duduk menangis menyesali dirinya. Keadaan 

yang demikian itu dikerjakan sampai ia berumur lima belas tahun, dan 

kemudian ia biasanya bersembunyi diri ke gunung dan tempat-tempat 

yang sepi. Pada suatu hari ayahnya mencari ia, didapatinya Yahya du­

duk di pinggir sebuah telaga, serta memasukkan kakinya berendam 

ke dalam telaga itu sebab  sangat hausnya. Ia mengeluh kepada Tu­

han : "Demi kekuasaan dan keluhuran-Mu! Tidak akan kurasakan ba­

rang seteguk air pun, sebelum aku tahu di mana tempatku pada-Mu!" 

Kebetulan ayahnya datang dan mendengar, lalu diberikannyalah 

sepotong roti dan segelas air minum, serta diperintahkan memakan dan 

meminumnya. Yahya menta'ati ayahnya, sehingga ia terpaksa melang-

gar sumpahnya. Maka dipujilah ia dengan kebaikan itu. Ayahnya me­

milih untuknya tempat yang lebih baik untuk beribadat, yaitu Baitul­

maqdis. Di sanalah ia sembahyang dan apabila ia menangis, maka me-

nangislah pula semua pohon-pohonan, dan gema bergoncanglah tanah-

tanah sekelilingnya. Melihat anaknya menangis, Zakaria pun turut me-

146 

nangis sehingga pingsan. Demikianlah Yahya itu siang malam menangis 

sehingga air matanya itu merusakkan pipinya, sampai kelihatan rahang-

nya kepada orang banyak. Maka berkatalah ibunya : "Wahai , anakku ! 

Jikalau engkau izinkan daku, akan kuberikan sesuatu untuk menutupi 

rahangmu yang terbuka i tu" . Tatkala sudah diberinya izin, maka ibu­

nya lalu menambal pipinya dengan bulu-buluan. namun  tatkala Yahya 

sembahyang pula dan menangis, maka kedua potong bulu itu menjadi 

basah kuyup pula. Tatkala ibunya berulang-ulang datang memerah air 

mata pada bulu itu, yang turut membasahi kedua tangan ibunya, Yah­

ya pun berdo'alah : " Y a , Allah ku! Inilah air mataku, inilah ibuku, 

dan inilah aku hamba-Mu, limpahilah belas kasihmu, sebab  engkau 

sangat pengasih dan penyayang". Maka berkatalah pula ayahnya Zaka­

ria : " H a i , anakku! A k u sudah meminta kepada Allah , agar engkau 

disedarkan menuruti daku". namun  Yahya menyahut : "Wahai , ayah-

ku! Jibrail telah menceriterakan kepadaku, bahwa antara sorga dan 

neraka terletak sebab yang membahagiakan, yang hanya dapat dicapai 

oleh orang-orang yang menangis". Lalu Zakaria berkata : "Wahai , 

anakku! Kalau demikian, menangislah engkau sesukamu!" 

Beberapa contoh di atas telah cukup n enunjukkan sejarah tangis 

dan air mata, yang dinilai tinggi oleh orang-orang Sufi. Antara yang 

dibenci ialah bimbang kepada dunia, kebimbangan itu disebabkan si­

buk dengan sesuatu selain Al lah , yang men adikan dinding antara ma­

nusia dan Allah nya, dinding itu yaitu  syahwat, yang selalu 

mengganggu hati dan jiwa manusia, sehingga lupa kepada Allah nya, 

dan lupa pula kepada jalan yang terdekat kepada Allah . Untuk me-

nembuskan dinding hijab penghalang itu, perlu kesadaran, kesadaran 

itu tidak lain dibandingkan  sesalan, yang membawa kepada tangis dan air 

mata. 

7. S A F A R . 

Salah satu dibandingkan  sifat orang Sufi ialah melakukan safar, konon 

sebab  ini pun banyak terjadi pada diri Rasulullah. Mereka melihat da­

lam safar itu suatu amal yang baik. Safar artinya keluar dari tempat 

tinggal dan mengembara, sebaliknya dari iqamah, yang berarti meng-

147 

ambil sesuatu tempat tinggal yang tetap. 

Ada di antara mereka yang memilih iqamah dan tidak safar ke­

cuali untuk kepentingan pembelaan Islam, seperti Al-Junaid, Sahl bin 

Abdullah, A b u Yazid Al-Bisthami dan A b u Jafar, ada di antara mereka 

yang mengutamakan safar sampai wafatnya, seperti Abu Abdullah A l -

Maghrabi dan Ibrahim bin Adham, dan ada pula yang melakukan safar 

pada waktu mudanya di kala permulaan hal dan menetap di kala tua-

nya, seperti Asy-Syibli , A b u Usman A l - H i r i , masing-masing ada alasan-

nya yang dijadikan dasar tharikatnya. Mereka yang lebih mengutama­

kan safar dibandingkan  iqamah berpendirian, bahwa di dalam safar itu da­

pat ditambah riyadhah, yang dikerjakan dalam keadaan sepi terlepas 

dibandingkan  hubungan dengan manusia, sekali-kali tidak dengan niat un­

tuk mempergunakan segala rukhsah dalam ibadat yang diperkenan di 

kala safar itu. Ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan safar itu 

ialah safar dalam arti mengelakkan diri dari sifat-sifat yang buruk yang 

ada dalam kalangan manusia. 

Oleh sebab  itu safar dibahagi dua, pertama safar bil badan, me-

ngembara dengan badan, yaitu pindah dari satu tempat ke tempat yang 

lain, kedua safar bil qalb, mengembara dengan hati, yaitu pindah dari 

suatu sifat kepada lebih baik. Yang pertama acapkali dinamakan safar 

bumi dan yang kedua disebut safar langit. Tentu saja macam yang ke­

dua ini sedikit sekali dikerjakan orang. 

Malik bin Dinar berkata, Allah  mewahyukan kepada Musa untuk 

melakukan safar. Maka Nabi Musa pun memakai sepatu besi, tongkat 

besi dan mengembara di bumi mencahari kebenaran. Pada suatu kali 

orang bertanya sesuatu nasehat kepada Muhammad Al-Kiyani , lalu 

orang besar Sufi ini mengatakan : "Coba bersungguh-sungguh setiap 

malam kamu menjadi tamu mesjid dan jangan mati kecuali di antara 

dua tempat". Saya pahamkan dari perkataannya itu, bahwa menjadi 

tamu mesjid ialah setiap malam berganti mesjid sebagai tempat sem­

bahyang, j ika tidak demikian, tidak ada hubungan nasehatnya itu de­

ngan safar, Abu Abdullah An-Nasibi berkata : " A k u melakukan safar 

selama tiga puluh tahun, dan selama itu aku tidak menjahit pakaian 

yang sobek-sobek, aku tidak pernah mendatangi sesuatu tempat teman-

ku untuk menumpang, dan aku tidak pernah mcnyuruh mengangkat 

barang-barangku oleh seseorang jua pun". 

148 

Diceriterakan, bahwa Rasulullah, apabila sudah siap duduk di atas 

keledai yang akan membawa musafir, ia selalu bertakbir tiga kali, ke­

mudian ia membaca do'a-do'a yang tertentu untuk safar, begitu pula 

do'a-do'a yang tertentu sesudah kembali pulang. 

8. KASYAF. 

Kasyaf artinya terbuka dinding antara hamba dengan Allah nya. 

Perkataan ini banyak terpakai oleh ahli tarekat dan orang suci, yang 

dengan perkataan lain diucapkan menemui Allah . 

Menurut ahli tarekat ada 4 dinding yang membatasi antara Khalik 

dengan makhluk-Nya, antara Allah  dengan hamba-Nya, namun  ada 4 

buah pula jalan yang akan dapat membuka dinding pembatasan itu. 

Dinding pertama antara manusia dengan Allah dikatakan kalau 

manusia itu berkekalan bernajis besar dan bernajis kecil serta berkekal­

an pula berhadas besar dan berhadas kecil. Keadaan ini yaitu  

dinding yang membatasi manusia dengan Allah nya. Supaya dinding ini 

terbuka hendaknya manusia itu berada dalam keadaan selalu suci dari­

pada hadas besar dan hadas kecil, suci pakaiannya, suci tempat ke-

diamannya dibandingkan  najis besar dan najis kecil sebagaimana hukumnya 

diterangkan dalam ilmu Fiqh atau ilmu syari'at. 

Dinding yang kedua, yang membatasi antara manusia dengan 

Allah ialah kalau anggota manusia yang tujuh berkekalan menjalankan 

haram dan makruh. Untuk pembukaan dinding kedua ini ditunjukkan 

jalan supaya anggota manusia yang tujuh itu, yaitu mata, telinga, l i ­

dah, kaki, perut atau faraj atau kemaluan, menghentikan pekerjaan 

haram dan makruh dan senantiasa berkekalan mengerjakan yang wajib-

wajib dan sunnat-sunnat sebagaimana yang diperintahkan dalam sya­

ra'. 

Angka-angka yang tertentu bagi tarekat memiliki  arti perban-

dingan. Dengan demikian anggota tujuh itu dibandingkan dengan hari 

tujuh, dalam seminggu, neraka tujuh dan sebagainya. Anggota yang 

tujuh itu mengerjakan haram dan hari yang tujuh pula, yang mana aki-

batnya akan dimasukkan ke dalam neraka tujuh. Akan meiepaskan diri 

dari neraka yang tujuh itu penganut tarekat menyebut kalimat syahdah 

sebanyak mungkin, yang terjadi pula dibandingkan  tujuh kata-kata yaitu : 

149 

la ilaha illa Al lah , Muhammad Rasul Al lah , artinya symbolik : berke­

kalan dan berkepanjangan berAllah  atau memperhambakan diri kepa­

da Allah, dan berkekalan dan berkepanjangan pula mengikuti lahir dan 

bathin kepada Nabi Muhammad saw. 

Sebagai dinding yang ketiga disebut : kalau hati manusia itu ber­

kekalan bersifat yang dicela oleh syara'. Kunci pembukaannya ialah 

supaya membuangkan sifat-sifat hati yang tercela oleh syara' itu de­

ngan ilmu dan amal, sesudah itu ditanam sifat-sifat yang terpuji oleh 

syara' ke dalam hati itu dengan ilmu amal pula. Sebagai sifat-sifat yang 

dicela oleh syara', yang selalu ada di dalam kandungan hati, di­

sebut : hawa nafsu, dunia, setan, jahil, lalai, munafiq, kafir, hasad, 

ria, ujub, sam'ah, panjang angan-angan, loba, tama' dan lain-lain sifat 

yang jelek, yang jumlahnya menurut kata ahli tasawwuf tidak kurang 

dari 60 macam banyaknya. Sebagai sifat yang terpuji, yang harus di­

tanam di dalam hati, sesudah hati itu bersih, ialah iman, Islam, tauhid, 

khusyu', tadharu', pengasih, penyantun, ramah hati, tinggi cita-cita, 

qana'ah, berani dan lain-lain yang tidak kurang dari 60 pula. 

Yang keempat, sebagai dinding yang terakhir antara manusia de­

ngan Allah nya disebutkan : kalau hati lalai kepada lain Al lah , misal­

nya terpesona oleh dunia, harta-benda dan makhluk yang lain. Bagai­

mana membukakan dinding ini, ilmu tasawwuf menerangkan, bahwa 

hendaklah dibuangkan dari dalam hati itu segala yang lain dibandingkan  

Allah (ma siwallah), dengan lain perkataan, yang ada tetap dalam hati 

kita hanyalah mengingat Al lah , zikir Allah atau ma'rifat Allah yang 

berkepanjangan. 

Tarekat selanjutnya memberi jalan, apa yang harus dikerjakan 

oleh hamba Al lah , setelah keempat dinding itu terbuka, untuk meng-

hampirkan diri kepada Allah. Maka diterangkan untuk ini ada empat 

jalan yang harus ditempuh, pertama syari'at, kedua tarekat, ketiga 

hakikat dan keempat ma'riiat. Syari'at itu dimisalkan seperti laut, tare­

kat seperti sampan, hakikat seperti mutiara yang terletak di dalam laut 

dan ma'rifat seperti memakai cincin mutiara yang dihajatkan dan di-

kejar-kejar itu. Perumpamaan yang lain diberikan ialah syari'at sebagai 

bukit batu, tarekat memecah-mecahkan batu dalam bukit itu, hakikat 

ialah kaca teropong atau lensa yang tersembunyi dalam batu itu, sedang 

ma'rifat ialah mempergunakan lensa itu dalam teropong untuk melihat. 

150 

Banyaklah perumpamaan-perumpamaan yang diberikan untuk 

menerangkan 4 tingkat ilmu dan amal itu. Ada yang mengumpamakan 

syari'at sebagai sebuah kelapa, sedang tarekat ialah membelah, me-

marut dan meremas santan kelapa itu serta memasaknya. Yang menjadi 

hakikat dalam hal ini ialah minyak yang terjadi dibandingkan  suatu buah 

kelapa itu. namun  meskipun demikian bukanlah minyak itu saja yang 

menjadi tujuan pekerjaan. Tujuan pekerjaan ialah ma'rifat, yaitu mem-

pergunakan minyak itu untuk makanan. 

Dengan perbandingan-perbandingan ini di atas, ahli tarekat 

hendak menunjukkan, bahwa syari'at, tarekat, hakikat dan ma'rifat itu 

tidak dapat dicerai-beraikan antara satu sama lain. Tiap-tiap orang 

yang hendak sampai kepada Al lah , hendaklah mengerjakan keempat-

empat perkara yang tersebut, tingkat-bertingkat, agar kita sampai ke­

pada tujuan yang terakhir, yaitu mendekatkan diri kepada Allah seba­

gai Khalik. 

Mengerjakan syari'at itu diartikan mengerjakan amal badaniyah 

dibandingkan  segala hukum-hukum sembahyang, puasa, zakat dan haji. Se­

bagai alasan disebutkan Qur'an Surat Maidah, ayat 48, yang menerang­

kan, bahwa Allah menjadikan syari'at untuk tiap-tiap ummat dan jalan 

melaksanakannya. 

Jalan ini diartikan tarekat. Alasan yang lain didasarkan kepada 

Qur'an Surat An-Nahl , ayat 125, yang maksudnya, bahwa Allah me-

nyuruh Nabi Muhammad menyerukan semua manusia kepada jalan 

Allah nya dengan pengajaran dan nasehat yang baik. Perkataan jalan 

dalam ayat ini diartikan tarekat. Ada yang mempergunakan firman Tu­

han di dalam Al-Qur 'an, Surat Al - J in , ayat 16, yang maksudnya : " J i ­

kalau tetap mereka itu berjalan di atas jalan itu, sesungguhnya Allah 

akan menuangi air yang berlimpah-limpah." Acapkali ayat ini oleh ahli 

tarekat diartikan : Kalau mereka itu tetap mengamalkan tarekat, sung-

guh Allah  akan menuangi untuknya tuangan air yang amat banyak, 

dengan maksud, bahwa Allah Ta'ala menjanjikan akan menumpahkan 

rahmat kepada orang yang berkekalan mengerjakan tarekat. 

Penyerahan diri yang sebulat-bulatnya kepada Allah dalam mela­

kukan segala sesuatu didasarkan di antara lain-lain kepada Hadis Nabi, 

yang menerangkan, bahwa tiada sesuatu pun akan dapat bergerak da­

lam alam ini, melainkan dengan seizin Allah dan kehendak-Nya juga, 

151 

dan kepada N a b i M u h a m m a d , bahwa t idaklah engkau yang melempar 

tatkala engkau melakukan pelemparan i tu , mela inkan pada hakekatnya 

A l l a h juga yang melempar. Selanjutnya ayat Q u r ' a n Surat As-Safat 96, 

yang berbunyi bahwa A l l a h Ta ' a l a l ah yang menjadikan kamu dan apa 

yang kamu kerjakan. Tarekat d iar t ikan ja lan yang menyampaikan dari 

tempat syari 'at ke tempat hakika t , yang menegakkan syari 'at dan me­

nyampaikan kepada hakika t . Dengan tarekat d i lengkapkan i l m u dan 

amal menundukkan d i r i kepada wajah A l l a h , yang dengan demik ian itu 

banyak taubat, zuhud , muhasabah, muraqabah , t awakka l , rela, tas l im, 

syukur d l l . sifat yang terpuji oleh syara ' . A p a l a g i syari 'at dengan segala 

hukum-hukumnya telah d i cukupkan , d isambung lagi dengan tarekat, 

akan sampailah hamba A l l a h i tu ke tempat hakika t . M a k a jelaslah bah­

wa syari 'at , tarekat dan hakikat i tu sesuatu tiga menjadi satu, t r imurt i 

seperti tali berpi l in tiga, seperti tungku tiga sejarangan atau kelapa tiga 

matanya, yang tidak dapat dipisah diceraiberaikan. Y a n g demikian itu 

sesuai dengan sabda N a b i M u h a m m a d saw : " S y a r i ' a t i tu perkataanku, 

tarekat i tu perbuatanku dan hakikat i tu ia lah k e l a k u a n k u " . 

D a l a m menerangkan bahwa orang Islam itu harus ta'at kepada 

A l l a h dan Rasulnya (Qur ' an IV : 58), harus mencintai A l l a h dan meng­

ikut i segala perintah N a b i , supaya dicintai A l l a h (Qur ' an 111 : 30), d i ­

terangkan, bahwa ada dua ja lan untuk mengikut i Rasulu l lah i tu , per­

tama ka l i , yaitu mengikut i Rasulu l lah dengan mengamalkan lahir syari-

at seperti mengerjakan segala amalan yang bersangkut-paut dengan 

anggota yang lahir dan menghentikan segala larangannya yang bersang­

kut-paut dengan anggota yang lahir , kedua khaf i , yang d iar t ikan meng­

ikut i Rasulul lah dengan mengamalkan bathin syari 'at atau mengamal­

kan tarekat, demikian rupa, sehingga sampai kepada tingkat berkekal­

an memperhambakan, dengan ringkas disebut dengan istilah sufi da-

wam 'ubudiyah . 

A k h i r n y a dapat ki ta khabarkan bahwa ja lan untuk mencapai ka­

syaf itu ada tiga, yang harus di tempuh tingkat-bertingkat, yaitu per­

tama muhadharah dengan burhan untuk menguji aka l , kedua muka­

syafah dengan bayan sebagai keterangan bagi i l m u , dan ketiga musya-

hadah yang langsung dicapai dengan ma ' r i fa t , pengalaman pr ibadi 

yang telah murn i . Dengan melalui i lmu yak in yang dapat diperoleh oleh 

ashabul 'u lum dan h a k k u l yakin yang dapat dicapai oleh ashabul m a ' -

152 

rifat, akan sampailah seorang hamba kepada Allah nya, yang acapkali 

dalam ilmu tasawwuf dinamakan mu'ayanah. Demikian diuraikan oleh 

Al-Qusyairi dalam kitabnya Ar-Risalah dengan tafsir dari Zakaria dan 

Al-Arusi . Di Indonesia tingkat mu'ayanah ini acapkali diartikan dengan 

perkataan keramat atau wali. 

153 


VII 

SUL UK DAN RIYADHAH 

1. R I Y A D H A T U L BADAN DAN NAFAS. 

D i dalam kitab "Sullamut Taufiq", karangan Syeikh Muhammad 

Nawawi Bantam diterangkan, bahwa Ghazali pernah melihat Allah  

dalam mimpinya. Tatkala ditanyakan orang kepada Ghazali, apakah 

yang diperbuat Al lah dengan dia, Ghazali menjawab, bahwa Allah  

menempatkan dia di hadapannya dan berkata, kepadanya : "Tahukah 

engkau apa sebab maka engkau diperkenankan menghadap A k u ke-

mari?" Kata Ghazali : " L a l u aku jawab bahwa yang memungkinkan 

yang demikian itu, barang tentu sebab  ketha'atanku". Allah  lalu ber­

kata : "Tidak ada yang A k u terima semua amalmu itu, kecuali satu 

amal yang telah menyelamatkan engkau semua dibandingkan  sifat-sifat ria, 

sum'ah dan ujub, yaitu tatkala engkau sedang duduk mengarang, hing-

gaplah seekor lalat ke atas tangkai penamu. Ketika itu engkau berhenti 

sebentar mencelupkan pena itu ke dalam botol tinta, untuk memberi 

kesempatan kepada lalat itu meminum seteguk air yang ada pada tang­

kai penamu itu. Yang demikian itu yaitu kurnia rahmat kepadanya. 

Maka oleh sebab  itu A k u pun mengurniai rahmat kepadamu. Seka­

rang pergilah engkau, A k u telah mengampuni dosamu". Tatkala Gha­

zali terjaga dari tidurnya ia mengeluarkan air matanya sambil berdo'a : 

" Y a , Allah ku! Belas kasihanilah daku ini dengan rahmat-Mu, yang 

dapat membebaskan aku kelak kemudian hari dibandingkan  azab dan siksa-

an-Mu, wahai Allah  yang termurah dibandingkan  segala pemurah. Maha 

suci Engkau!" 

Diakui memang tidak mudah orang sampai kepada ru'yah itu. Ber-

macam-macam jalan harus ditempuh untuk menyampaikan diri kepada 

155 

tingkat kebahagiaan yang terakhir bagi orang Sufi itu. Bermacam-

macam usaha yang harus dikerjakan, dan bermacam-macam amal yang 

harus dilakukan sebagai latihan atau riyadhah, baik yang bertali de­

ngan badan, riyadhatul badan, baik yang bertali dengan jiwa atau hati, 

riyadhatul nafas. Semuanya itu bermacam-macam dan menurut tata-

cara yang ditentukan di dalam gerakan-gerakan Sufi, yang dinamakan 

tarekat. 

namun  meskipun demikian semuanya harus melalui beberapa ge-

lombang perubahan menurut kekuatan bathin manusia. Gelombang-

gelombang itu yaitu sebagai yang akan diterangkan di bawah ini , me­

nurut apa yang dapat kita pahami dibandingkan  kehidupan Sufi dan ajaran-

ajarannya. 

Tentu saja yang pertama kali semua penganut harus melakukan 

apa yang diperintahkan dalam syari'at dibandingkan  iman, Islam dan ihsan. 

Ia harus -mengerti dengan sebaik-baiknya segala sesuatu yang disebut 

dalam rukun iman, tidak saja mengakui adanya Allah sebagai zat tung-

gal Wihdatul Wujud, namun  juga ia mengerti segala uraian mengenai 

sifat-sifatnya, dengan alasan-alasannya menurut hukum aqli dan naqli, 

serta pembagian-pembagian yang rapi dibandingkan  sifat-sifat Allah  itu, 

yang wajib dan yang ja'iz, yang mustahil dan yang mumkin, ia harus 

mengetahui tentang nubuwah dan masalah-masalah yang bertali dengan 

Nabi-Nabi dibandingkan  sifat-sifatnya, mujizat-mujizat dan syafa'at-syafa-

'atnya, terutama apa yang disampaikan oleh Nabi-Nabi itu mengenai 

malaikat, kitab-kitab suci, terutama Qur'an yang nanti dijadikan pe-

gangan dan bacaan yang tetap, begitu juga mengenai hari kemudian 

dan qadha dan qadhar manusia yang sudah ditentukan Allah . Pengeta­

huan ini diperluas dengan uraian-uraian mengenai arasy dan kursi, me­

ngenai loh. dan qalam, mengenai mati, mengenai roh, mengenai azab 

kubur, mengenai keadaan orang-orang yang syahid dan salih, mengenai 

hari kiamat dan apa yang terjadi sekitarnya, mengenai perhitungan amal 

kebajikan dan amal kejahatan, mengenai azab dan siksaannya, menge­

nai amal ibadat dan timbangannya, mengenai syafa'at Nabi Muham­

mad kepada ummatnya, mengenai sorga dan neraka, dengan segala nik­

mat dan siksaan dl l . yang dianggap perlu bagi persiapan keyakinan se­

orang Sufi. 

Dalam menerangkan rukun-rukun Islam, yaitu amal ibadat yang 

156 

harus dikerjakan seperti sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan, 

zakat dan fitrah, pembicaraannya diperluas demikian rupa sehingga 

pengajaran ibadat itu melangkupi segala ibadat-ibadat yang sunnah, 

yang afdhal, sambil memahami hikmah-hikmah dibandingkan  tiap-tiap iba­

dat itu. 

Begitu juga dalam mengerjakan ihsan diterangkan sungguh-sung-

guh keikhlasan dalam mengerjakan segala sesuatu yang bersangkut de­

ngan segala amalan yang harus dikerjakan oleh orang-orang Sufi, 

yaitu : "Sembahlah Allah mu seakan-akan engkau melihat Dia , dan 

jika engkau tidak melihat Dia, niscaya Ia melihat engkau". (Hadis). 

Sekalian kesucian lahir ini harus dipelihara sungguh-sungguh oleh 

orang Sufi, dalam gelombang yang dinamakan muhafazah, sebagai per-

sediaan diri untuk memasuki kehidupan yang lebih sempurna dibandingkan  

itu. 

Kehidupan ini acapkali dinamakan mujahadah, yaitu perjuangan 

dalam bathin dan diri sendiri. 

Hamka dalam kitabnya Perkembangan Tasawwuf dari abad ke 

abad (Jakarta, 1960) mengertikan mujahadah itu, yaitu perjuangan pe-

nganut Sufi dalam rasa, dan menghitung-hitung diri supaya tercapai 

tempat yang lebih tinggi dibandingkan  kedudukan semula. Katanya, muja­

hadah itu dilakukan dalam berbagai-bagai cara, misalnya dalam tafa-

kur, bermenung dengan memicingkan mata serta menaikkan lidah ke 

langit-langit, lalu melakukan zikir atau mengingat dan menyebut nama 

Allah. Usaha ini ditujukan untuk menambah asyik dan birahi, rindu 

dan dendam, hendak pulang kepada asal. Maka oleh sebab  itu senan-

tiasalah orang Sufi berusaha mempertinggi tingkatnya, dari suatu ma­

qam ke maqam yang lebih sempurna, sampai ia mencapai derajat tau­

hid, kesatuan, dan irfan, kenal dengan sebenar-benarnya. 

Ghazali memasukkan pembicaraan mujahadah ini ke dalam pem-

bicaraan murabathah, mengawasi diri dengan pengawasan Allah , se­

bagai salah satu jalan mencapai kejayaan bagi kehidupan manusia, 

yang disebutnya munjiat, jalan keluar, yaitu terdiri dari enam penga­

was atau murabathah, yaitu musyarathah, muraqabah, muhasabatun 

nafsi, muaqabatun nafsi, dan mujahadah. Baginya mujahadah ini rupa-

nya menjadi tingkat yang tertinggi dibandingkan  keenam pengawas diri itu. 

157 

Bukan tidak ada alasan Ghazali untuk memberi nama murabathah 

bagi keenam pengawas ini. Dalam ayat Qur'an Allah  berfirman : 

"Wahai segala mereka yang beriman, perbanyaklah sabar, dan menyu-

ruh orang lain sabar, kemudian ikatlah atau murabathahlah dirimu, 

dan takutlah kepada Allah mu" (Qur'an III : 200). Meskipun ada 

orang mengartikan rabithu itu, mengawasi musuh, namun  pengertiannya 

tidak terlepas dibandingkan  mengawasi diri, yang menurut Ghazali lebih ja­

hat dibandingkan  musuh yang tampak. 

Lalu Ghazali mengatakan, bahwa sebagai tindakan yang pertama 

musyarathah itu perlu bagi diri manusia. Sebagai seorang saudagar da­

lam jual beli harus menentukan syarat-syarat penjualan barang dagang-

annya, begitulah seorang manusia harus menentukan tiap hari pada 

dirinya syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dikerjakan, agar dirinya 

itu tidak rugi. Syarat-syarat yang ditentukan bagi dirinya itu tidak saja 

mengenai pengisian sa'at-sa'at yang kosong dalam hari itu dengan 

amalan yang berfaedah namun  juga untuk memelihara dosa-dosa kecil 

besar yang dapat diperoleh dibandingkan  penyelewengan mata, telinga, l i ­

dah, perut, kemaluan, tangan, kaki, dan menyelamatkan segala alat 

pancaindera itu untuk memperoleh keuntungan bathin yang besar bagi 

dirinya. Dengan demikian dirinya itu diikat menurut perhitungan se-

panjang kehendak Allah. Membuat perhitungan diri ini , yang dinama­

kan muhasabah, di dunia ini , dianggap perlu untuk meringankan hisab-

nya seorang nanti di hadapan Allah . Maka salah satu dibandingkan  kewa-

jibannya ialah meletakkan syarat-syarat pada dirinya, agar dirinya itu 

tetap pada pendiriannya, istiqamah, dan dalam pelaksanaannya, inqi-

yah, untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian tiap orang Sufi sela­

lu mengawasi dirinya untuk mengetahui lebih dan kurangnya amalan-

amalannya itu. 

Syarat saja bagi sesuatu usaha tidak cukup, kalau tidak diiringi di 

dalam mengawasi pelaksanaan syarat-syarat ini. Pengiringan dalam pe-

ngawasan ini disebut muraqabah. Dalam firman-firman Allah  banyak 

ada peringatan-peringatan, bahwa Allah  itu melihat segala per­

buatan manusia dan mengawasi segala usahanya. Oleh sebab  itu ikuti-

lah Allah itu dalam segala perbuatanmu menurut pertunjuknya. Allah  

menjanjikan kejayaan bagi "mereka yang selalu menjaga amanat-ama-

natnya dan janji-janjinya, dan mereka mempertahankan kesaksiannya" 

158 

(Qur'an L X X : 33), Ibn Mubarak mentafsirkan ayat Qur'an ini dengan 

keterangan, bahwa tiap orang harus mengerjakan amalnya demikian 

rupa, seakan-akan ia dalam berbuat amal itu melihat Allah nya Ibn 

Athailah mengatakan, bahwa tha'at kepada Allah  yang terbaik ialah 

yang dilakukan secara muraqabah pada waktu-waktu yang tetap. 

Tatkala Muhasibi ditanya orang tentang muraqabah ia berkata, 

bahwa permulaannya muraqabah itu ialah pengetahuan hati bahwa Tu­

han itu selalu ada di samping hamba-Nya. Menurut Murta'isy muraqa­

bah itu memelihara rahasia dari manusia yang gaib pada tiap sa'at dan 

pada tiap perkataan. Junaid Al-Bagdhadi berkata, bahwa keadaan se­

seorang yang dilihat Allah nya. Dalam sebuah Hadis Qudsi dikatakan 

Allah  berkata kepada Malaikat-Nya : "Kamu ini menjadi wakil yang 

lahir, sedang A k u yaitu pengawas bathin". 

Oleh sebab  demikian pentingnya muraqabah ini, pernah Zun Nun 

ditanya orang, dengan apa orang dapat memasuki sorga. Ia menjawab : 

"Dengan lima perkara, pertama pendirian yang tetap tidak bergoncang, 

kedua ijtihad yang tidak ada kelupaan, ketiga muraqabah dengan 

Allah lahir dan bathin, keempat menunggu mati dengan segala persiap-

annya, dan kelima membuat perhitungan atas dirinya, sebelum Allah 

nanti membuat perhitungan atasnya. As-Sanji menerangkan bahwa 

tiap-tiap orang munafik hanya mengawasi mata manusia, apabila tak 

ada orang yang melihat ia mengerjakan kejahatan, jadi muraqabahnya 

hanya terhadap manusia tidak terhadap Allah . Dan akhirnya saya ku-

tip perkataan Sahl mengenai muraqabah ini, katanya : "Tidak ada se­

suatu pun yang dapat menghiasi hati seseorang lebih afdhal dan lebih 

mulia dibandingkan  pengetahuan seseorang itu, bahwa Allah  selalu melihat 

dan mengawasi dia di manapun ia berada". 

Meskipun demikian muraqabah itu tidak sama tingkatnya. Ghazali 

menerangkan ada muraqabah orang-orang yang berhak mendapat ge­

laran muqarrabin dan siddiqin, gelaran yang paling tinggi dalam ting­

kat ini, sebab  seluruh harinya tenggelam dalam pengawasan Allah . 

Orang-orang yang mencapai derajat ini biasanya lupa kepada makhluk 

dan kepada dirinya, sehingga kadang-kadang tidak melihat orang yang 

berada di depan matanya sedang matanya itu terbuka, dan tidak men­

dengar apa yang dikatakan kepadanya meskipun ia tidak tuli, seluruh 

hatinya sibuk dengan pencipta alam ini, dan seluruh pikirannya dituju-

159 

kan kepadanya. Diceriterakan orang bahwa Yahya bin Zakariya pada 

suatu kali berjalan dan menubmk seorang percmpuan sampai jatuh ter-

pelanting, sedangkan ia tidak mengetahui semuanya itu. Tatkala di­

tanya orang kepadanya, ia menjawab saya menyangka yang saya tu-

bruk itu yaitu sebuah tembok. 

Muraqabah yang lain macamnya menurut Ghazali ialah muraqa­

bah War'in min ashabil yamin, yaitu mereka yang meyakini melihat 

Allah  secara lahir dan bathin dan dalam hati mereka, namun  hati mere­

ka itu tetap sederhana, tiap-tiap mengerjakan amal tidak sunyi dibandingkan  

muraqabah. Mereka merasa malu kepada Allah , j ika mengerjakan 

amalnya berlebih berkurang, dan oleh sebab  itu teliti dalam menetap­

kan amal-amal perbuatannya. 

Jika dalam amal orang-orang muqarrabin itu sudah demikian 

membedakan dirinya, apabila dalam perkara iman. Oleh orang Sufi 

iman seseorang itu dianggap tidak sama tingkatnya, ada yang tebal ada 

yang tipis. Iman Sahabat Abu Bakar terhadap Nabi lebih besar dari­

pada iman Sahabat-Sahabat yang lain. Ibn Umar menceriterakan bah­

wa ia pernah bertanya kepada Nabi apakah iman itu bisa bertambah 

atau berkurang. Nabi berkata : "Benar iman itu mungkin bertambah 

atau berkurang, bertambah demikian sehingga dapat memasukkan yang 

beriman itu ke dalam surga, atau berkurang demikian sehingga dapat 

memasukkan orang yang kurang imannya itu ke dalam neraka". 

Muhammad Amin Al -Kurd i , salah seorang pemuka yang terkenal 

dalam tarekat Naksyabandiyah, mengatakan dalam 'kitabnya "Tanwi-

rul Qulub" (Mesir, 1343 H.), bahwa iman itu dibagi empat macam, 

iman orang munafik, iman orang awam dalam kalangan mu'min, iman 

muqarrabin, dan iman ahlul fana fillah. Katanya, bahwa iman orang-

orang yang muqarrabin itu sangat dipengaruhi itu oleh keyakinan-keya-

nan i'tikadnya, yang sangat mendalam dalam kehidupan bathinnya, 

sehingga pandangan mereka itu tidak melihat sesuatu yang tampak ini 

kecuali semuanya keluar dibandingkan  kodrat Allah  yang azali. Maka ter-

nyatalah bagi mereka itu semua alam ini tidak lain dibandingkan  buah ke­

kuasaan Allah  itu, oleh sebab  itu ia tidak berpegang kepada sesuatu 

pun kecuali kepada Allah , tidak ada yang ditakutinya, tidak ada tempat 

ia mencurahkan harapannya, kecuali kepada Allah  semata-mata. Pada 

pandangan mereka itu semua makhluk ini tidak memiliki kekuasaan 

160 

apa-apa bagi dirinya, tidak ada yang menyebabkan dia baik atau jahat, 

tidak dalam tangannya matinya, hidupnya, dan kebangkitan di kemudi­

an hari. Oleh sebab  ia tidak dapat melihat bahwa ada sesuatu yang 

lain dibandingkan nya yang dapat berbuat baik kepada orang itu. Keyakinan 

ini dapat kita lihat dalam do'a seorang besar Sufi Abul Hasan, 

yang berbunyi demikian : " Y a , Allah ku! Curahkanlah kepadaku haki­

kat iman dan keyakinan terhadap-Mu, hingga tak yaitu yang kami ta-

kuti selain Engkau, dan tak yaitu orang tempat kami tujukan permin-

taan dan harapan selain Engkau, O Allah ku, tidak kami cintai selain 

dibandingkan  Engkau dan tidaklah kami jadikan sembahan selain kepada-

M u semata-mata. Dan oleh sebab  itu orang-orang muqarrabin itu ti­

dak pernah kita lihat menggerutu dan mengeluh tentang apa yang ter­

jadi atas dirinya dari perbuatan Allah  dan hukum takdirnya, sebab  

mereka itu menganggap Allah  itu yaitu sumber yang sangat bijaksa-

na, dan memandang akhirat tidak lain dibandingkan  suatu tempat yang aba-

di , yang mereka buru dan kejar-kejar itu untuk mencapainya. 

Dalam wasiatnya, termuat dalam Risalah Al-Mu'awanah, Syayyid 

Abdullah Al-Haddad, yang tarekatnya banyak juga dianut orang di In­

donesia, menerangkan, bahwa orang harus muraqabah dengan Allah  

senantiasalah dalam gerak dan diamnya, dalam memandang dan berfi-

kir, dalam berkehendak dan berharap dan dalam segala gerak-gerik hi­

dupnya, ia harus menganggap dirinya selalu ada dekat Allah  yang me-

ngawasinya. Ia berkata kepada muridnya, bahwa Allah  selalu melihat 

kepadanya, selalu memandang dengan pandangan yang tak ada aling-

alingnya, yang tak terluput meskipun sebesar zarah baik di bumi atau di 

langit, "Ketahuilah baik engkau berkata dengan suara yang santer atau 

tidak, Allah  itu mengetahui rahasia bathinmu dan apa yang tersembu­

nyi di bawah lubuk hatimu, Ia selalu berada bersamamu, di manapun 

juga engkau bertempat atau menempatkan dir imu", (Qur'an), semua­

nya diketahuinya dengan ilmu-Nya, dengan kesempurnaan-Nya, dengan 

kekuasaan-Nya, dan oleh sebab  itu amalmu selalu berjalan dengan 

hidayatnya, dan dengan pertolongannya. Dan oleh sebab  itu menjadi-

lah orang yang baik-baik, dan selalu bermalu terhadap Allah mu se-

besar-besar malu, berusahalah bahwa engkau tidak berada di tempat 

yang terlarang, dan jangan tidak ada tempat yang dia perintahkan eng­

kau harus hadir, sembahlah Dia seolah-olah engkau melihat kepada-

161 

Nya, dan jika engkau tidak melihat sebenarnya Ia melihat kepadamu, 

demikianlah bunyi wasiat Al-Haddad kepada pengikut-pengikutnya. 

Memang pengertian tentang muraqabah itu panjang lebar sekali 

uraiannya, namun  tidak semua dapat kita kupas di dalam lembaran-

le-nbaran kitab yang sangat terbatas ini . 

Jadi muraqabah itu menurut Ghazali yaitu  pengawasan se-

belum amal. Pengawasan sesudah amal disebut muhasabah atau muha-

sabatun nafsi, memperhitungkan laba rugi dalam amal bagi diri sendiri. 

Di antara lain-lain dalil yang dijadikan alasan dalam pembentukan ting­

kat ini ialah ucapan Umar ibn Khattab, yang berbunyi demikian : "Per-

hitungkanlah dirimu, sebelum engkau nanti diperhitungkan, perhitung-

kanlah kelakuanmu, sebelum ia dimasukkan dalam pertimbangan". 

Aisyah menceriterakan, bahwa ayahya, Abu Bakar, pada waktu akan 

wafat berkata : "Tidak ada seorang pun yang lebih kucintai dibandingkan  

Umar" . Tatkala ditanya orang kepadanya, apa maksudnya perkataan 

itu, ia menjawab, sebab  Umar lebih tinggi nilainya dibandingkan  yang lain, 

tiap-tiap kali selesai ia bercakap-cakap, dipikirkannya kembali baik-

baik tentang apa yang telah diucapkannya itu jika perlu ditukarkan de­

ngan suatu ucapan yang lebih sempurna. Hasan berkata : "Orang mu'­

min yang dapat menguasai dirinya, memperhitungkan laba rubi amal-

annya bagi Allah , kepada Allah , meringankan pertanggungan jawab 

terhadap mereka, yang sejak di dunia telah memperhitungkan laba rugi, 

baik dan buruk tentang apa yang dikerjakannya. 

Jadi muhasabah itu sekali terjadi sebelum, dan sekali terjadi sesu­

dah amal. Muhasabah yang terjadi sebelum amal bermaksud untuk 

memperbesar hati-hati seseorang terhadap amal yang akan dikerjakan­

nya itu. Allah  berfirman : "Ketahuilah bahwa Allah waspada sekali 

terhadap gerak-gerikmu, oleh sebab  itu takutlah dan hati-hati!" Maka 

dengan ketakutan ini, seorang itu selalu mengerjakan perintah-perintah 

Allah  menurut sebagaimana yang disuruh, menjauhkan segala larang-

annya, menurut sebagaimana yang dicegahnya, teliti dalam segala pe­

laksanaan suruh dan cegah itu, tidak berlebih dan tidak berkurang, ka­

rena ia mengerti betul kelebihan dan kekurangan perbuatannya, dan 

inilah yang dikatakan muhasabah sebelum amal itu. Adapun muhasa­

bah sesudah amal, tujuannya ialah untuk mengoreksi kembali segala 

perbuatannya, tepat atau tidak, ada yang dikerjakan itu sebagai yang 

162 

disuruh atau dicegah T u h a n . Salah satu dar ipada ayat Q u r ' a n yang ba­

nyak, yang memerintahkan mempergunakan kewaspadaan in i ialah fir­

man A l l a h : " W a h a i mereka yang ber iman, j i k a datang seseorang kepa­

damu membawa sesuatu berita, sedang pembawa i tu masih dicur igai , 

maka hendaklah kamu periksa benar-benar kebenaran berita yang d i -

sampaikannya i t u " . 

J i k a seorang saudagar sesudah selesai perniagaannya, memperhi­

tungkan laba ruginya, untuk mengetahui apakah perdagangannya itu 

membawa untung bagi moda lnya , m a k a apakah lagi bagi seorang ham­

ba T u h a n yang ingin mendapat lebih banyak pahala atas amalan-amal-

annya. J i k a moda l bagi mereka d iumpamakan segala ibadat yang wa­

j i b , maka keuntungannya ialah balasan yang harus diperbuat lipat gan-

da dalam mengerjakan amalan-amalan yang sunat dan yang lebih af-

dha l , sedang yang yaitu  kerugian baginya ia lah pekerjaan-peker-

jaan yang ma'siat , baik yang diketahuinya maupun yang tidak diketa-

huinya . Muhasabah in i ada yang d i l akukan saban sa'at, ada yang d i la ­

k u k a n saban har i , ada yang d i l akukan setahun sekal i , namun  bagaima-

napun juga orang yang sadar selalu meminta pertanggungan jawab ke­

pada seluruh anggota tubuhnya tentang i t u . - k harus memperhi tungkan 

pada tiap sa'at kebaj ikan dan kejahatan anggota badan dan hat inya. 

J i k a orang yang melakukan muhasabah i tu telah mengetahui ke­

salahan-kesalahan yang diperbuatnya, maka ilengan sendirinya datang-

lah waktu baginya sebagai hak im untuk member ikan hukuman kepada 

d i r inya , agar kesalahan itu tidak berulang lagi d i masa-masa yang akan 

datang. Penyiksaan d i r i da lam pengertian in i oleh orang Sufi d inama­

kan Mu'aqabah atau Mu'qabatun nafsi. 

M u ' a q a b a h ini demikian kata Syeikh M u h a m m a d J a m i l Jawo da­

lam ki tabnya "Tazkiratui Qulub fi Mu'raqatati Allamil Ghuyub" (Bu-

ki t t inggi , t .th), yaitu sunah dan perjalana m y a wal i -wal i dan orang-

orang sal ih , yang selalu mengawasi d i r inya , apakah pernah ia berkhi-

anat atau melupakan sesuatu yang diper in tahkan, j i k a ada maka segera 

disusuli dengan taubat, namun  untuk menga.ahkan nafsunya, ia meng-

obat inya dengan member ikan hukuman , mu ' aqabah , untuk meninggal­

kan sama sekali pekerjaan kealpaan itu yang dianggap ma'siat , mufara-

qatul ina'asi yang d iker jakannya menggantikannya dengan cara yang 

lebih sukar, guna kembal i kepada ketetapan semula, yang d inamakan 

163 

istiqamah. Hukuman-hukuman itu diberikan menurut keperluan latih­

an anggota tubuh, misalnya jika ia termakan makanan yang syubhat 

dengan penuh hawa nafsu, maka ia menghukumi perutnya menahan 

lapar untuk beberapa waktu lamanya, jika yang berbuat dosa itu mata­

nya melihat yang haram, maka matanya itu disiksanya dengan tidak me­

lihat apa-apa dalam beberapa waktu, demikianlah siksaan-siksaan Sufi 

yang dijatuhkan dengan kemauannya sendiri atas dirinya terhadap tiap 

pancaindera dan anggota tubuhnya, sehingga dengan pengekangan yang 

demikian itu mereka mengembalikan dirinya kepada jalan akhirat, tha-

riqul akhirah. 

Dalam hubungan ini Mansur bin Ibrahim menceriterakan, bahwa 

pernah seorang Sufi berbicara dengan seorang wanita yang bukan muh-

rimnya, demikian rupa sehingga ia meletakkan tangan pada pipinya. 

Kemudian ia menyesal dan lalu disiksa dirinya dengan meletakkannya 

keatas api sampai hangus. Hasan bin A b i Sinan pada suatu hari berja­

lan dalam kamarnya dan tertumbuk kepada tembok dindingnya, sam­

bil menggerutu mengeluh mengatakan, mengapa aku mendirikan tem­

bok celaka ini , hal mana bertentangan dengan adab. Kemudian ia insaf 

akan dirinya, menyesal akan penggerutuan yang tidak pada tempatnya 

dengan berpuasa setahun lamanya. Diceriterakan orang bahwa Tamim 

Ad-Dari , pada suatu malam lupa tertidur dengan tidak sembahyang 

tahajjud, maka ia mengambil keputusan tidak tidur malam satu tahun 

lamanya sebagai siksaan atas kealpaannya itu. 

Demikianlah beberapa contoh dari perjalanan orang Sufi, yang 

menghisap dirinya pada tiap sa'at dan waktu, kemudian meng'iqabnya, 

apabila ia berbuat dosa atau sesuatu kesalahan. Sebenarnya Nabi M u ­

hammad sendiri pun mengerjakan muhasabah dan mu'aqabah itu da­

lam arti kata yang lebih sesuai dengan ajaran taubat, sedang ia sendiri 

sudah dijamin terpelihara dibandingkan  segala dosa besar dan kecil. Kata­

nya bahwa ia meminta ampun kepada Allah  seratus kali saban hari 

atas dosanya kepada Allah , baik yang kelihatan maupun yang tidak 

kelihatan. 

Umar Ibn Khattab pun pernah melakukan mu'aqabah atas dirinya. 

Tatkala ia melupakan sembahyang Ashar berjama'ah, dan kemudian 

teringat, sebagai hukuman ia lalu menyedekahkan sepotong tanahnya, 

yang harganya tidak kurang daipada dua ratus ribu dirham. Ibn Umar, 

164 

yang juga terlupa akan sembahyang berjama'ah dan terlambat Maghrib 

sampai keluar bintang dua seiring, lalu memerdekakan dua orang ham­

ba sahayanya sebagai tebusan dosa. Juga Rabi'ah, yang terlengah da­

lam melakukan dua raka'at sembahyang Fajar, memerdekakan seorang 

budak beliannya. Banyak di antara orang-orang suci itu yang menghu-

kumkan dirinya sebab  kelengahannya terhadap ibadat, ada yang de­

ngan berpuasa setahun, naik haji berjalan kaki, atau mengeluarkan se­

mua harta bendanya sebagai sedekah. 

Ghazali membenarkan mu'aqabah Sufi semacam itu, dan berkata : 

"Jikalau engkau saban hari menjatuhkan hukuman kepada pelayanmu, 

kepada anggota keluargamu dan kepada anak-anakmu sebab  kejahat­

an af'alnya, mengapa engkau lupa dan tidak. ingin menjatuhkan hu­

kuman semacam itu atas dirimu sendiri?" (Ihya). 

Jika sudah selesai memperhitungkan laba rugi tentang amal, dan 

menjatuhkan hukuman atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya, 

agar tidak terulang lagi, Ghazali memberi jalan dalam murabathah 

yang kelima yaitu mujahadah. 

Mujahadah artinya bersungguh-sungguh mengerjakan segala iba-

dah dan segala wirid-wirid dengan segala kegemaran, seakan-akan yang 

mengerjakan itu lupa akan dirinya, sebab  harapannya akan diterima 

oleh Allah , dan takutnya akan ditolak yang mengakibatkan kerugian 

baginya. Rasulullah pernah menggambarkan golongan ini dengan kata­

nya : "Allah  memberi rakhmat kepada golongan manusia yang disang-

ka orang sakit, namun  mereka itu sebenarnya tidak sakit" (Ahmad), dan 

katanya : "Alangkah baiknya manusia itu. yang panjang umurnya dan 

sempurna amalnya i tu" (Thabrani). 

Hasan menceriterakan bahwa yang dimaksudkan dengan orang-

orang itu ialah mereka yang termasuk tingkat mujahadah, sangat ber­

sungguh-sungguh dalam amal kebajikannya, sehingga hampir-hampir 

terganggu perasaannya. Orang-orang itu tidak menggemari dunia, du­

nia kelihatan baginya tidak lebih dari tanah yang diinjak-injaknya, ti­

dak menarik perhatiannya kepada pakaian-pakaian yang indah dan 

makan-makanan yang lezat cita rasanya, seluruh kesungguhannya di­

tujukan kepada melaksanakan isi kitab suci Allah nya dan sunnah per­

jalanan Nabinya. Apabila mereka dapat beramal kebajikan, gembiralah 

mereka, dan bersyukurlah kepada Allah  serta meminta supaya diteri-

165 

manya amalan-amalan itu. Mereka sangat takut kepada amal kejahat­

an, meminta diampuninya segala amal semacam itu yang telah sudah, 

dan minta diselamatkan dibandingkan  dosa serta diberi ma'af atas segala 

kealpaannya. 

Diceriterakan orang bahwa pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz 

menerima beberapa orang tamu, yang menziarahinya dalam sakit. 

Umar melihat di antaranya ada seorang anak muda yang kurus badan­

nya, sehingga ia terpaksa menanyakan apa sebabnya. Mula-mula anak 

itu menyembunyikan rahasianya dengan mengatakan ia sakit. Tatkala 

Umar menyuruh berkata benar, anak muda itu lalu berdatang sembah : 

" Y a , Amirul mu'minin! Saya mencoba merasakan kemanisan dunia 

ini, namun  yang terasa kepadaku dunia itu pahit belaka, buahnya kecil 

dan hasilnya tidak seberapa, sehingga aku bersiap-siap akan meninggal­

kan dia. A k u melihat kepada arasy Allah ku, dan kelihatan kepadaku 

manusia berjubel-jubel, ada yang masuk ke surga, ada yang masuk ke 

neraka. Maka kuputuskan, akan kuderitakan kehausan pada siang hari, 

berjaga pada malam harinya, dan dengan demikian beroleh pahala atas 

siksaan Allah . 

Muhammad bin Abdul Azizi menceriterakan, bahwa ia pada suatu 

hari bertemu pada Ahmad bin Razin, dan duduk dekat dia sejak pagi 

sampai waktu Ashar, Razin, selama itu tidak melihat sepicing pun ke 

kanan dan ke kiri . Tatkala orang bertanya kepadanya mengapa, ia 

menjawab : " A l l a h menjadikan dua mata hanya untuk memandang, 

munazarah, kepada kebesarannya, maka oleh sebab  itu tiap-tiap pan­

dangan yang berpaling dari arah itu yaitu dosa". Dalam pada itu Abu 

Darda' pernah berceritera, bahwa ada tiga perkara yang dicintainya 

dalam sehari semalam, pertama menahan haus untuk mendekati Tu­

han, kedua sujud kepada Allah di tengah malam, dan ketiga pertemuan 

dengan orang-orang yang berbicara tentang kebaikan. 

Memang demikianlah halnya orang yang mujahadah itu. Kita de­

ngar misalnya Aswad bin Yazid yaitu salah seorang yang sangat besar 

mujahadahnya dalam ibadah, ia selalu berpuasa pada musim panas, 

sehingga badannya bertukar-tukar antara biru dan kuning. Tatkala A l -

qamah bin Qais berkata kepadanya, mengapa ia mengazab dirinya se­

macam itu, ia berkata : "sebab  aku ingin memuliakannya". 

Ada orang menceriterakan, bahwa Fata Al-Musul i mengeluarkan 

166 

air mata darah. Tatkala ditanya orang kepadanya, ia menjawab : " A k u 

ingin meiepaskan diriku dibandingkan  kewajiban hak A l l a h " . 

Orang yang mujahadah itu jika beribadat sungguh-sungguh, ada 

yang lupa kepada dirinya sama sekali. Ghazali menceriterakan, bahwa 

ada di antara mereka yang sembahyang sampai seribu raka'at sehari, 

ada yang sampai tidak kuat lagi sehingga mereka terpaksa sembahyang 

sambil duduk. Junaid menceriterakan, bahwa ia tidak pernah melihat 

orang yang.lebih banyak ibadatnya dalam mendirikan sembahyang 

dibandingkan  As-Siri , belum pernah ia bertemu tidur terlentang selama 

umurnya sembilan puluh delapan tahun, kecuali pada waktu itu ia su­

dah menjadi mayat. Rabi ' menceriterakan bahwa di antara yang ter-

kuat mujahadahnya ialah Uwais, selalu didapat sembahyang pagi, sela­

lu didapat bertasbih sampai sembahyang Lohor, sampai sembahyang 

Ashar, sampai sembahyang Maghrib, sampai sembahyang Isya, dan 

sampai sembahyang Subuh. Tatkala ia sudah mengantuk, ia berdo'a : 

" Y a , Allah ku! A k u berlindung dengan Engkau dibandingkan  mata yang 

mengantuk dan dibandingkan  perut yang tidak pernah kenyang". Tatkala 

orang bertanya kepadanya, mengapa ia kelihatan sakit, ia menjawab : 

"Uwais tidak pernah sakit, ia memberi makan orang sakit, Uwais tidak 

pernah makan, namun  ia tidur sakit, dan Uwais sebenarnya tidak tidur". 

Begitulah orang-orang Sufi itu mujahadah untuk berjaga malam. 

Segala yang kecil-kecil diperhatikannya, sehingga waktunya itu ti­

dak pernah kosong dari ibadat. Seorang Sufi menceriterakan, bahwa ia 

pernah mendatangi Ibrahim bin Adham. Ia dapati Ibrahim itu sudah 

sembahyang Isya, lalu orang Sufi itu menggabungkan diri dalam ibadat 

bersama dia. Kemudian dengan tiba-tiba Ibrahim melemparkan dirinya 

di atas tikar, terlentang, tidak berbalik ke kanan dan ke kiri , sepanjang 

malam demikian sampai waktu Subuh. Dan tatkala kedengaran azan ia 

lalu bangun dan sembahyang subuh. Tatkala temannya itu menegor, 

bahwa ia belum berwudhuk, ia lalu berkata : " A k u tidak tidur sepan­

jang malam, aku mengembara kadang-kadang dalam kebun surga, dan 

kadang-kadang dalam lembah neraka". Diceriterakan orang, bahwa 

Nasruk belum pernah tidur kecuali sedang sujud. 

Abu Bakar Al -Matu ' i menceriterakan, bahwa ia tidak .akan tidur 

sehari semalam sebelum ia menyelesaikan membaca Surat Samadiyah 

sebanyak tiga puluh ribu atau empat puluh ribu kali. Orang mencerite-

167 

rakan pula bahwa Safwan bin Sulaim pada musim dingin ia masuk ke 

dalam kamar yang panas, supaya ia tidak tertidur, ia mati sedang su­

jud, sedang do'anya terakhir berbunyi : " Y a , Allah ku : A k u ingin ber-

temu dengan Engkau, maka pertemukanlah aku ini dengan wajah-

M u " . 

Qasim bin Muhammad berceritera, bahwa ia selalu bangun pagi-

pagi, dan sesudah bangun ia pergi menemui Sitti Aisyah pada suatu pa-

gi, yang dihadapin'ya sembahyang Dhuha dan membaca ayat Qur'an : 

"Pasti Allah memberi kurnia kepada kita dan memelihara kita dibandingkan  

siksaan neraka". (Qur'an L i l : 27), sambil ia menangis sambil meng-

ulang-ulangi ayat itu sekian lamanya, sehingga pulang pergi Qasim ke 

pasar berbelanja masih didapati Siiti Aisyah itu pada tempatnya meng-

ulang-ulangi ayat Qur'an itu dengan air matanya yang berhamburan 

terus-menerus. 

Mujahadah itu sebenarnya digerakkan oleh kegelisahan orang-

orang Sufi hendak menemui Allah nya dengan segera, dan oleh sebab  

itu dicarinya jalan dengan tha'at yang tak kenal letih dan lesu. 

A l i bin Ab i Thalib berkata, bahwa tanda muka orang salih itu pu-

cat sebab  tidak tidur malam, cekung matanya sebab  tangis, dan ke­

ring bibirnya sebab  puasa, atas mereka itu bertabur debu orang-orang 

yang khusyu'. 

Seorang mujahadah yang terkenal, Amir bin Abdul Qais, berdo'a : 

"Wahai Allah ku, Engkau jadikan daku, tidak engkau tugaskan, Eng­

kau matikan daku dengan tidak Engkau ajarkan, Engkau jadikan mu­

suh bagiku, yang berjalan di seluruh darahku, Engkau biarkan ia meli­

hat daku, sedang aku tak dapat melihat dia. Wahai Allah ku! Engkau 

menyuruh daku berpegang pada-Mu, bagaimana aku berpegang kepa­

da-Mu jika Engkau tidak memegang daku? Allah ku! Di dunia ini pe­

nuh ketakutan dan gundah-gulana, di akhirat penuh siksaan dan hisab, 

di manakah aku mendapat kesenangan dan ketenangan?" 

Firman Allah  menjawab : "Pada waktu itu teranglah bagi mere­

ka, suatu penerangan mendatang dibandingkan  Allah, tentang sesuatu yang 

tidak mereka perhitungkan lebih dahulu" (Qur'an X X X I X : 47). Orang-

orang yang tidak mengenai mujahadah akan rugilah ia di hari kemudi­

an itu ! 

Murabathah yang keenam ialah mengecam dan menyesali diri sen-

168 

di r i yang ada kekurangan dalam menghadapi Allah nya . Keadaan in i 

d inamakan Mu'atabah. 

M e m a n g pembicaraan tentang diri atau nafsu manusia itu rupanya 

sangat dipent ingkan oleh orang Su f i , untuk digunakan sebagai tempak 

bertolak. A r t i nafs atau nafsu dan nafsi berputar sekitar d i r i dan j i w a , 

kadang-kadang d imaksudkan dengan pengertian d i r i , kadang-kadang 

j i w a manusia. 

Mu'atabah tak dapat dicapai sebelum j i w a dan d i r i i tu d ikenal le­

bih dahulu . K a t a n y a mengenai j i w a itu fardhu'ain bagi tiap-tiap manu­

sia, sebab  mengenai T ü h a n i tu berhubungan rapat dengan mengenai 

d i r i sendiri . " B a r a n g siapa mengenai d i r inya , niscaya ia mengenai T u ­

h a n n y a " , kata orang Sufi dengan pengertian, bahwa d i r i i tu harus d i ­

kenal sebagai suatu zat yang h ina , lemah, dha ' i f , dan fana, pengenalan 

mana dapat men imbulkan keyakinan bahwa T u h a n itu mul ia , berkuasa, 

kekal adanya. Orang yang tidak mengenai d i r inya , tidak akan mengenai 

Allah nya , baik di dunia atau d i akhirat dan apabila ia t idak kenal 

akan Allah nya , maka ia tidak dapat menyembah Allah nya itu dengan 

sebaik-baiknya. B u k a n k a h orang yang buta di dunia i n i , buta pula nan-

ti di akhirat , bahkan lebih sesat lagi? B u k a n k a h manusia dan j i n i tu d i ­

j ad ikan semata-mata untuk menyembah Allah nya? 

Orang Sufi mengart ikan nafs i tu suatu benda yang sangat halus 

dan pel ik, pada mulanya sebelum d imasukkan ke dalam badan manusia 

bernama roh. R o h itu sudah d i jad ikan T u h a n seribu tahun lebih dahulu 

dibandingkan  kemurnian semula. M a k a perlulah hal ini diingat-ingat, kare­

na peringatan itu bermanfa'at bagi orang m u ' m i n . 

R o h itu yaitu  suatu jauhar yang bercahaya atas badan manu­

sia, j i k a cahaya itu melihat kepada badan lahir dan badan bathin, akan 

terjagalah dan terbangkit lah manusia itu dibandingkan  t idurnya, namun  j i k a 

ia memerc ikkan cahayanya hanya kepada badan bathin saja, tidak ke­

pada badan lahir juga , lalu mengakibatkan t idur , dan apabila ia memu-

tuskan cahaya sama sekali dengan manusia i tu , maka terjadilah kemati-

an atas d i r i manusia i tu . 

Tiap- t iap ma'siat i tu , kealpaan, syahwat, dan syirk, d i t imbu lkan 

sebab  cinta dan r indu kepada d i r inya sendiri saja. F i r ' a u n tatkala 

sangat r indu kepada d i r inya terjerumuslah ia ke dalam jurang kebinasa-

an, sehingga ia berkata dengan congkak dan sombongnya : " A k u l a h 

169 

T u h a n m u yang te r t inggi" . 

D a l a m pada itu tiap ketha 'atan, kebangki tan, kehormatan d i r i dan 

musyahadah, semuanya i tu disebabkan oleh sebab  manusia i tu dapat 

meiepaskan kecintaan dan ker induan kepada d i r inya . M a k a ternyatalah 

bahwa tidak ada yang lebih besar kewajiban manusia da lam tingkat per­

tama dar ipada mengenai d i r inya , dan orang yang mengenai d i r i i tu saja-

lah yang dapat memancarkan sifat-sifat yang buruk dan dendam, dsb. 

Bagi j i w a itu ada tujuh tingkat sebagai ini di bawah in i . 

Pertama namanya nafsul amarah, yai tu j i w a yang lebih condong 

kepada kebuAllah  badan, j i w a yang terpengaruh oleh kelezatan, syah­

wat, dan yang menyeretkan hati ke da lam lembah kehinaannya, in i lah 

yang yaitu  serangan kejahatan dan sumber kelakuan-kelakuan 

yang tercela, sebab  ia dapat memancarkan sifat-sifat yang buruk dan 

dendam, dsb. 

Kedua namanya nafsul lauwamah, yai tu j i w a yang menerangi lu -

buk hati manusia , sekali ia men imbulkan kekuatan yang bi jaksana, la in 

kal i ia menciptakan keinginan berbuat ma'siat , da lam hal mana ia me­

nyesal dan menyadari d i r inya , maka ia yaitu  sumber penyesalan, 

atau menggerakkan hawa nafsu, salah sangka dan kep ic ikan . 

Ketiga namanya nafsul muthma'innah, yai tu j i w a yang di i r ingi hati 

dengan cahayanya yang murni dan terang-benderang, sehingga hati itu 

terlepas dar ipada segala sifat-sifat yang tercela, dan dapat bertambah 

pada tingkat kesempurnaannya, dan apabila keadaan ini mengekal , 

maka seluruh badannya pun akan terbuka kepada kebenaran. 

Keempat namanya nafsul mulhamah, yaitu j i w a yang d i i l hamkan 

A l l a h dan d ikurn ia i dengan i l m u , serta sifat-sifat yang baik , seperti 

tawadhu, rendah d i r i , kemurahan dsb. J iwa ini yaitu  juga sumber 

sabar, bertahan dan syukur . 

Kelima namanya nafsur radhiyah, yai tu j i w a yang merelai T u h a n , 

diberi kedudukannya dalam kesejahteraan dan merasakan nikmat T u ­

han. 

keenam namanya nafsul-mardhiyah, yai tu j i w a yang dir idhai T u ­

han juga, namun  d i l ah i rkan kerelaan T u h a n itu sebagai bukt i kepadanya 

berupa kemul iaan, keramat, ikhlas , dan selalu ingat, kepada T u h a n . 

Da lam tingkat ini orang-orang salik meletakkannya, mengenai Allah -

170 

nya dengan sebaik-baiknya, dan lahir Allah nya kepadanya dalam afa l -

nya. 

Ketujuh namanya nafsul kamilah, yaitu jiwa yang sudah sempurna 

dalam dasar bentuknya, jiwa yang meningkat dalam kesempurnaannya, 

jiwa yang dianggap cakap untuk kembali menghadapi hamba Allah un­

tuk mengerjakan, irsyad, dan menyempurnakan, ikmal, mereka itu. 

Maka orang yang berjiwa inilah yang berhak memakai gelar Mursyid 

dan Mukammil . Makamnya yaitu pada tingkat tajalli asma dan sifat, 

dan halnya yaitu baqabillah, pergi kepada Al lah , kembali dibandingkan  

Allah kepada Al lah , tidak ada tempatnya selain Al lah , dan tidak ada 

ilmunya selain yang diperoleh dibandingkan  Al lah . Ia fana pada Allah. 

Maka oleh sebab  itu berpindah dari satu tingkat jiwa ke tingkat 

jiwa yang lain tidak mudah, namun  harus dicapai melalui maqamat dan 

ihwal, yang ada dalam tarekat-tarekat latihan atau riadhahnya. 

Dalam perjalanannya itu ia harus mengenai sungguh-sungguh akan 

diri dan jiwanya, dengan sungguh-sungguh menyesali dan menginsafi 

jiwanya itu, ma'atabah, siang malam berpikir baik dengan kesalehan 

amalnya, maupun dengan kebersihan jiwanya, selekas mungkin menuju 

kembali kepada Allah , yang dicari dan dikejar-kejar oleh orang Sufi 

itu. 

2. SYAJA'AH. 

Di antara sifat-sifat mengenai budi pekerti, orang Sufi memberikan 

nilai tinggi kepada sifat keberanian, yang dinamakan syaja'ah adabi-

yah, keberanian yang tidak melampaui batas kesopanan. Memang sya­

ja'ah ini yaitu salah satu dibandingkan  sifat-sifat orang Sufi yang terpen­

ting, yang terbaik dan yang tertonjolkan kepada umum. Syaja'ah tidak 

usah diartikan berani menentang, berani melawan atau berani berkela-

hi. Keberanian semacam ini kadang-kadang termasuk sifat yang diang­

gap rendah oleh orang Sufi. Syaja'ah atau keberanian dapat diartikan 

lain dari biasa. Orang Sufi dikatakan berani, sebab  ia berani menderi­

ta kehinaan dalam dunia, berani menderita hidup sederhana dan serba 

kekurangan di tengah-tengah kehidupan yang mewah, sebab  pada pen-

dapatnya mencintai dunia dan hidup mewah itu yaitu  pokok ke-

takutan dan kegelisahan selalu cemas tidak cukup, selalu cemas tidak 

171 

tenteram, begitu juga pada pendapatnya bahwa orang-orang dunia ini 

hanya mencintai kekayaan belaka, tidak melihat keselamatan diri ke­

cuali sebahagiaan dalam membujuk dan menjilat, sebahagian dalam 

menyombongkan diri dan bersikap ria takabur belaka. 

Dalam sejarah dapat dilihat contoh-contoh keberanian orang-orang 

yang beriman. Tidak saja ia berani menghadapi musuh dalam pepe­

rangan, namun  juga ia berani menghadapi kemungkaran dalam diri sen­

diri. Bilal dalam peperangan berani menghabiskan jiwa seorang besar 

Quraisy bekas tuannya, mengapa pada waktu damai ia tidak berani me-' 

lawan hawa nafsu sendiri ? 

Apa yang menyebabkan seorang Badawi biasa pada waktu mende­

ngar Khalifah Umar mengucapkan khutbah keangkatannya dan menga­

takan bahwa ia akan berlaku adil, orang Badawi itu berani berdiri de­

ngan pedang terhunus sambil berkata : " J ika engkau tidak benar, maka 

pedangku inilah akan meluruskan Umar biri Khatab!" Begitu juga jika 

tidak ada keberanian tersebut, akan tidak ada dalam sejarah se­

orang miskin menghina Sulaiman bin Abdul Malik di atas takhta ke­

rajaan dengan teriaknya supaya ia berlaku lebih adil dan lebih sayang 

kepada rakyatnya, lebih takut kepada Allah  dengan cara pemerintahan 

yang lebih bijaksana, yang lebih sesuai dengan amanat penderitaan rak­

yat. 

Yang demikian itu terjadi sebab  orang Sufi itu menganggap diri­

nya bertanggung jawab kepada Allah , untuk memperingati raja-raja 

dan pemimpin-pemimpin, agar mereka menginsafi dirinya dibandingkan  ke-

mabukan duniawi, yang melupakan mereka kepada Allah  serta siksaan 

di hari akhirat. 

Syuaib bin Harb mengemukakan dalam kitab "Tarikh Baghdad" 

suatu ceritera sebagai berikut : "Dalam suatu perjalanan saya ke Mek­

kah saya melihat Khalifah Harunur Rasyid, maka saya berkata pada 

diri saya : Sekarang datang suatu kesempatan bagimu untuk meiepas­

kan kewajiban memberikan dia nasehat tentang amar ma'ruf dan nahi 

munkar. Maka dikatakan orang kepadaku : jangan kamu berbuat yang 

demikian, sebab  orang ini kejam. Apabila engkau mengecam tingkah-

lakunya, ia menyuruh membunuh engkau. namun  aku berkata pada 

diriku : Bagaimanapun juga aku mesti berbuat demikian. Maka tatkala 

Khalifah itu dekat padaku, aku pun berteriak : Hai , Harun! Engkau 

172 

sudah menyusahkan rakyatmu, sekarang engkau menyusahkan pula bi­

natang kendaraanmu!" Khalifah lalu memerintah pengiringnya menyu-

ruh membawa aku masuk ke hadapannya, sedang dia duduk di atas se­

buah kerosi bertatahkan permata, sambil mempermain-mainkan cam-

buk di tangannya. Ia bersabda : Dari golongan mana orang ini? Maka 

kataku : Dari manusia-manusia yang fana. Maka ujarnya : Apakah 

engkau ini anak buangan ibumu? Maka kataku : A k u ini dibandingkan  anak 

Adam! Katanya pula : Apa yang menggerakkan engkau memanggil aku 

dengan nama kecilku?" Maka Syuaib pun merasakan dalam hatinya 

sudah datang waktu untuk menyampaikan cita-cita yang sudah lama di-

kandungnya. Maka ia pun berkata : "Allah  pun kupanggil dengan 

namanya sendiri. A k u panggil selalu : Ya , Allah, ya Rahman! Mengapa 

aku tidak boleh memanggilmu dengan namamu? Apa yang dapat meng-

halangi seruanku dengan namamu? Bukankah engkau melihat, bahwa 

Allah  menamakan makhluknya yang sangat tercinta dengan nama 

yang sederhana yaitu Muhammad? Mengapa aku harus memanggil de­

ngan gelar, sedang Allah  memanggil makhluknya yang sangat dicintai-

nya dengan nama biasa. Apakah engkau suka kupanggil dengan gelar, 

seperti Allah  pernah memanggil orang yang sangat dibencinya dengan 

gelarnya, yaitu Abu Lahab! Tabbat yada Abi Lahab! Celakalah kedua 

tangan Abu Lahab! Maka Khalifah Harunur Rasyid berkata : "Keluar-

kanlah orang i n i . " Maka mereka keluarkanlah daku dari hadapannya". 

Demikianlah kita lihat keberanian orang Sufi. Meskipun agak su-

kar kita memahaminya, namun  dalam kelakarnya terselip, pertama kebe­

ranian, dan kedua menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar, yang 

terjalin dalam susunan kalimat ma'nawi yang halus. 

Kejadian-kejadian yang seperti ini banyak ada dalam sejarah 

Islam, dari satu pihak menunjukkan keberanian menegor yang salah, 

dari lain pihak memperlihatkan toleransi pembesar-pembesar Islam da­

lam masa itu menyambut nasehat dari siapa pun datangnya. Tatkala pa­

da suatu hari Khalifah Mansur dalam khutbahnya mengatakan tidak 

ada Allah  melainkan Allah, bangunlah seorang biasa dari yang hadir 

itu sambil berkata " Saya peringatkan engkau kepada nama Allah yang 

engkau sebutkan i tu!" Tegoran ini membuat Khalifah terpaksa menam-

bah dalam khutbahnya pengakuan, bahwa ia akan patuh menta'ati pe­

rintah Allah yang diperingatkan itu, dan ia minta berlindung dengan 

173 

nama Allah ini dibandingkan  menjadi seorang penguasa yang kejam 

dan ma'siat. Penguasa-penguasa yang tidak memiliki  toleransi dan 

tidak memahami kehidupan Sufi, biasanya merasa tersinggung dan 

menghukum orang-orang Sufi yang demikian, yang biasanya menerima 

hukuman itu dengan sabar. 

Salah seorang yang baik kita jadikan contoh dalam toleransi sema­

cam ini ialah Khalifah Harunur Rasyid, yang pada suatu malam datang 

ke rumah Fudhail ibn Iyadh dengan temannya Ibn Rabi ' , dan kebetul-

an tatkala sampai di depan pintu mendengar orang Sufi itu membaca 

Qur'an : "Adakah patut orang-orang yang berbuat jahat itu mengira, 

bahwa kami menjadikan mereka itu sama dengan orang-orang yang ber-

iman dan beramal saleh, di waktu hidup atau di kala mati mereka ? 

Alangkah jahatnya tuduhan mereka i t u " (Qur'an X L V : 21). Khalifah 

terharu dan berkata kepada Fadhal ibn Rabi ' , bahwa pendengaran itu 

tak dapat tidak memberi manfa'at kepada mereka. Tatkala Fadhal me-

nyuruh membuka pintu untuk Khalifah, Ibn Iyadh berkata : " A p a per-

lunya Khalifah padanya". Tatkala Fadhal ibn Rabi ' menerangkan, 

barangkali ada faedahnya pertemuan Khalifah itu dengan dia, maka 

Fudhail ibn Iyadh turun, membuka pintu dan membawa mereka ke da­

lam sebuah bilik yang sudah dipadami lampunya. Tatkala di dalam ge-

lap-gulita itu Ibn'Iyadh menyinggung tangan Khalifah, ia pun mulai 

berkata : "Wahai orang yang tangannya demikian lemah-lembutnya, 

alangkah berbahagia jika engkau terlepas dibandingkan  azab Allah  di hari 

kemudian nanti". Maka Ibn Iyadh pun berceriteralah : "Pada suatu 

hari tatkala Umar bin Abdul Aziz dinobatkan menjadi Khalifah, ia me­

manggil tiga orang alim untuk memberikan ia pertunjuk, yaitu Salim 

bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab Al-Qurzi , dan Raja' bin Hiwan. 

Kepada mereka dikatakan : "Dengan penobatan ini aku mendapat ba­

la, berikanlah aku pertunjuk. Banyak raja-raja yang mengalami bala, 

aku menganggap engkau dan teman-temanmu membawa nikmat". 

Maka berkatalah Salim bin Abdullah : " Y a , daulat Tuanku! Jika 

tuan hamba menghendaki kelepasan dibandingkan  azab Allah , hendaklah 

t