ilmu tarekat mistik 5
tul kulli jasad.
III. Zikir Nafi Isbat.
IV. Zikir Wuquf.
V . Zikir Muraqabah ithlak.
V I . Muraqabah ahdiat af'al.
V I L Muraqabah ma'iyah.
VIII. Muraqabah aqrabiyah.
I X . Muraqabah ahdiatuz zat.
X . Muraqabah zatu sharaf wal bahath.
X I . Tahlulul lisan.
XI I . Maqamul ubudiyah.
Keempat. Hendaklah dalam khalwat itu berpisah hati dan badan
nya dibandingkan segala manusia.
Keenam. Selama dalam khalwat mengurangi makan, minum, tidur
dan berkata-kata. Yang terutama dikurangi perkataan lidah dan per
kataan hati. Hati hanya berkata-kata menyebut zikir Al lah.
Ketujuh. Dalam khalwat memakai pakaian putih, baju putih, kain
sarung putih, tutup kepala putih, sebab pakaian putih bagi mereka pa-
142
kaian suci, tiap ada najis lekas kelihatan. Dengan demikian tidak saja
diperoleh kesucian bathin namun juga lahir.
Kedelapan. Selama dalam khalwat meninggalkan pekerjaan jual-
beli dan segala pekerjaan-pekerjaan duniawi yang lain yang akan da
pat melalaikan hati berhadapan kepada Allah.
Kesembiian. Mengurangi makan daging, sebab sifat daging mem-
bikin sifat manusia menjadi buas.
kesepuluh. Sedapat mungkin khalwat itu memakai kelambu, tidak
saja dapat mencegah nyamuk, lalat dan sebagainya yang mengganggu
pikiran dalam zikir, namun juga ahli tarekat memandang seakan-akan
berada dalam lubang kuburan atau liang lahad.
Kesebelas. Selalu berhadap muka dan dadanya ke arah kiblat.
Arah jasmaninya, yaitu dada dan muka ialah : Baitullah, arah hati
ialah Al lah.
Kedua belas. Dalam khalwat itu belajar sabar dan qina'ah. Segala
amal ibadat dan zikir-zikir yang dikerjakan dalam khalwat itu oleh ahli
tarekat dianggap hanya menjadi wasilah, hubungan jalan, sedang yang
menjadi tujuannya ialah berkekalan perhambaan lahir dan bathin serta
berkekalan hadir hati terhadap Allah 1).
6. TANGIS DAN AIR M A T A .
Bagi orang Sufi tangis dan air mata itu mendapat nilai tertentu se
bagai tanda penyesalan diri atas sesuatu kesalahan menyimpang dari
pada kehendak Allah . Dalam Qur'an memang ada disebut sebuah ceri-
ritera dari segolongan manusia yang merasa menyesal atas dosa yang
diperbuatnya, kemudian diperingatkan akan akibatnya yang pedih da
lam neraka, dan dikatakan : "Hendaklah mereka tertawa sedikit, dan
memperbanyak menangis, sebagai balasan untuk apa yang mereka la-
kukan" (Qur'an IX : 82).
Lalu tangis dan pertumpahan air mata itu menjadi salah suatu
amal adabiyah, suatu riyadhah, yang terpuji bagi orang Sufi. Mereka
I) Dr. H Jataludm. Pertahanan At-Thariqah An Naksyabandiyah, cel. ke i, Bukit
Tinggi. t'. th. hal. 127 — 132.
143
mengemukakan, bahwa Nabi-Nabi pun menangis untuk menyesali do-
sanya.
Bukankah Nabi Daud atas penyesalannya pernah menumpahkan
air mata yang tidak sedikit? Nabi Daud menangis empat puluh hari la-
manya, menumpahkan air mata dalam keadaan sujud, tidak mengang-
kat-angkat kepalanya, sehingga lapangan tandus tempat ia meletakkan
dahinya itu menjadi padang rumput, yang menutupi seluruh kepalanya.
Lalu diserukan kepadanya : " H a i , Daud! Tidakkah engkau lapar, agar
diberi makan? Tidakkah engkau dahaga, agar diberi minum? Dan ti-
dakkah engkau telanjang, agar diberi pakaian?" Daud menangis lebih
sangat lagi, sehingga bergoncang dan keringlah pohon-pohon kayu se-
kitarnya, serta terbakar dari kepanasan takutnya. Kemudian barulah
diturunkan taubat dan pada telapak tangannya!" Maka tertulislah do-
sanya itu pada telapak tangannya itu, sehingga ia tidak berani membu-
ka untuk makan dan minum, dan tidak berani melihatnya kecuali ia
menangis. Kemudian didatangkan oranglah sebuah cambung, yang ber
isi dua pertiganya dengan air. Apabila ia hendak meletakkan tangannya
ke atas cambung itu sebab ingin minum, dilihatnyalah dosanya, lalu
ia menangis pula, sehingga air matanya yang jatuh ke dalam cambung
itu membuat cambung itu penuh berlimpah.
Diceriterakan, bahwa sesudah ia menangis sekian lamanya, dengan
tidak ada perubahannya, hilanglah daya-upayanya dan berduka-citalah
ia dengan amat sangat sambil berkata "Wahai , Allah ku! Tidakkah
engkau mengasihani terhadap tangisku!" Maka Allah pun berfirman :
"Wahai, Daud! Engkau lupa akan dosamu, meskipun teringat akan
tangismu!" Maka berkata Daud : "Allah ku dan junjunganku! Bagai-
mana aku dapat melupakan dosaku, sedangkan di kala aku membaca
Zabur tertahanlah air dari alirannya, terhentilah debu dari tiupan
angin, berhentilah bertengger margasatwa di atas kepalaku, dan menja
di jinaklah segala binatang buas, datang berkumpul di dekatku. Wahai,
Allah ku dan junjunganku! Apakah yang menjadi sebab gerangan ada
ketakutan dan perpisahan antaraku dan Engkau?" Maka Allah ber
firman : "Wahai , Daud! Dari satu ketika sebab baik hati dalam ta'at,
dari lain sa'at perpisahan dalam ma'siat. Wahai, Daud! Ketahuilah,
bahwa Adam itu makhluk-Ku, Kuciptakan ia dengan tangan-Ku, Ku-
tiupkan ke dalam tubuhnya roh-Ku, Kutundukkan semua Malaikat-Ku
sujud kepadanya, Kututupi badannya dengan pakaian kemuliaan-Ku,
144
Kunobatkan dengan makhkota kebesaran-Ku, tatkala ia mengeluh sen-
dirian, Kukawinkan dia dengan budak-Ku Hawa, Kuberikan tempat da
lam sorga. namun , ingatlah, tatkala ia mendurhakai Daku, Kuusir dari
dekat-Ku dalam keadaan telanjang yang menghinakan. Wahai, Daud !
Dengarkanlah Daku dan perkataan kebenaran-Ku : "Kamu ta'ati Ka
mi, Kami setia padamu, kamu meminta kepada Kami, Kami penuhi
permintaanmu, kamu berbuat durhaka kepada Kami, Kami awasi kela-
kuanmu, dan jika kamu kembali kepada Kami sebagai semula, Kami
terima kedatanganmu!"
Diceriterakan, bahwa Nabi Daud itu apabila ia hendak menangis,
menahan diri tujuh hari, tidak makan, tidak minum dan tidak mende
kati perempuan. Sehari sebelum itu dikeluarkan oranglah sebuah mini
bar di tengah gurun, sambil memerintah Sulaiman menyiarkan berita
ke seluruh negeri, ke seluruh hutan belantara. Maka berkumpullah pa
da hari itu segala manusia dan binatang hendak mendengar apa yang
disampaikannya. Sesudah ia naik ke atas mimbar yang dikelilingi oleh
Bani Isra'il, ia memulai khutbahnya dengan memuji Allah sambil me
nangis tersedu-sedu. Tatkala khutbah itu sampai kepada ceritera sorga
dan neraka maka matilah sebahagian dibandingkan binatang dan manusia
yang hadir, dan tatkala ceritera itu sampai kepada uraian mengenai hari
kiamat, maka matilah semua makhluk itu. Tatkala Sulaiman, yang ber
diri di dekatnya, melihat banyak makhluk yang mati, berkatalah ia :
" Y a , ayahku! Engkau telah mencabik-cabik pendengar yang hadir dan
telah mati sebahagian dari Bani Isra'il dan sebahagian dari binatang
buas". Maka barulah Nabi Daud berdo'a, sedang sebahagian dari
orang Yahudi itu berseru : "Kelihatan engkau bergegas-gegas minta
balasan jasa kepada Allah ". Maka menangis pulalah ia, dan jatuh
murcalah ia di tengah makhluk banyak itu.
Demikian orang Sufi memberikan gambaran tangis menyesali diri,
tangis Daud yang tak ada taranya, yang harus dicontoh dan diteladani,
untuk mendapat ampunan Allah sebagaimana diucapkan kepada Daud
itu. Dalam Qur'an hanya ini : "Sungguh banyak orang-orang
yang berserikat itu menganiaya yang seorang kepada yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, meskipun amat sedikit
bilangan mereka itu. Maka tahulah Daud, bahwa Kami memuji dia,
lalu ia pun minta ampun kepada Allah , seraya tertelungkup, tunduk
dan minta taubat. Kemudian Kami pun mengampuni kesalahannya itu.
145
Dipastikan bahwa ia mendapat tempat yang terdekat pada Kami dan
tempat kembali yang sebaik-baiknya. Wahai, Daud! Kami jadikan eng
kau Khalifah di muka bumi, sebab itu hendaklah engkau menghukum
antara manusia dengan kebenaran, jangan engkau menuruti hawa naf-
.u, sebab ia dapat menyesatkan engkau dari jalan Al lah . Orang-orang
yang sesat dari jalan Allah itu akan mendapat siksa yang keras, sebab
mereka lupa akan perhitungan pada kiamat" (Qur'an X X X V I I : 24 —
26).
namun ceritera ini diperindah demikian rupa, sehingga yaitu
suatu dorongan sesalan yang terharu.
Begitu juga tangis Yahya dijadikan contoh. Diceriterakan, bahwa
Yahya pada suatu hari dalam usia delapan tahun berhaji ke Baitalmaq-
dis, dan melihat orang-orang yang beribadat di sana memakai baju Su
fi , yang memberikan kesan yang dalam kepadanya. Tatkala ia melalui
anak-anak yang sedang bermain dan mengajaknya turut, ia berkata,
bahwa ia tidak dijadikan untuk bermain-main. Ia pulang ke rumahnya,
meminta kepada kedua orang tuanya untuk memutihkan rambutnya,
serupa dengan orang-orang tua yang beribadat di Baitulmaqdis itu. Se
telah permintaannya itu dipenuhi, Yahya pun kembalilah ke Baitulmaq
dis, untuk berkhidmat kepada rumah suci itu pada siang harinya, dan
pada malam harinya ia duduk menangis menyesali dirinya. Keadaan
yang demikian itu dikerjakan sampai ia berumur lima belas tahun, dan
kemudian ia biasanya bersembunyi diri ke gunung dan tempat-tempat
yang sepi. Pada suatu hari ayahnya mencari ia, didapatinya Yahya du
duk di pinggir sebuah telaga, serta memasukkan kakinya berendam
ke dalam telaga itu sebab sangat hausnya. Ia mengeluh kepada Tu
han : "Demi kekuasaan dan keluhuran-Mu! Tidak akan kurasakan ba
rang seteguk air pun, sebelum aku tahu di mana tempatku pada-Mu!"
Kebetulan ayahnya datang dan mendengar, lalu diberikannyalah
sepotong roti dan segelas air minum, serta diperintahkan memakan dan
meminumnya. Yahya menta'ati ayahnya, sehingga ia terpaksa melang-
gar sumpahnya. Maka dipujilah ia dengan kebaikan itu. Ayahnya me
milih untuknya tempat yang lebih baik untuk beribadat, yaitu Baitul
maqdis. Di sanalah ia sembahyang dan apabila ia menangis, maka me-
nangislah pula semua pohon-pohonan, dan gema bergoncanglah tanah-
tanah sekelilingnya. Melihat anaknya menangis, Zakaria pun turut me-
146
nangis sehingga pingsan. Demikianlah Yahya itu siang malam menangis
sehingga air matanya itu merusakkan pipinya, sampai kelihatan rahang-
nya kepada orang banyak. Maka berkatalah ibunya : "Wahai , anakku !
Jikalau engkau izinkan daku, akan kuberikan sesuatu untuk menutupi
rahangmu yang terbuka i tu" . Tatkala sudah diberinya izin, maka ibu
nya lalu menambal pipinya dengan bulu-buluan. namun tatkala Yahya
sembahyang pula dan menangis, maka kedua potong bulu itu menjadi
basah kuyup pula. Tatkala ibunya berulang-ulang datang memerah air
mata pada bulu itu, yang turut membasahi kedua tangan ibunya, Yah
ya pun berdo'alah : " Y a , Allah ku! Inilah air mataku, inilah ibuku,
dan inilah aku hamba-Mu, limpahilah belas kasihmu, sebab engkau
sangat pengasih dan penyayang". Maka berkatalah pula ayahnya Zaka
ria : " H a i , anakku! A k u sudah meminta kepada Allah , agar engkau
disedarkan menuruti daku". namun Yahya menyahut : "Wahai , ayah-
ku! Jibrail telah menceriterakan kepadaku, bahwa antara sorga dan
neraka terletak sebab yang membahagiakan, yang hanya dapat dicapai
oleh orang-orang yang menangis". Lalu Zakaria berkata : "Wahai ,
anakku! Kalau demikian, menangislah engkau sesukamu!"
Beberapa contoh di atas telah cukup n enunjukkan sejarah tangis
dan air mata, yang dinilai tinggi oleh orang-orang Sufi. Antara yang
dibenci ialah bimbang kepada dunia, kebimbangan itu disebabkan si
buk dengan sesuatu selain Al lah , yang men adikan dinding antara ma
nusia dan Allah nya, dinding itu yaitu syahwat, yang selalu
mengganggu hati dan jiwa manusia, sehingga lupa kepada Allah nya,
dan lupa pula kepada jalan yang terdekat kepada Allah . Untuk me-
nembuskan dinding hijab penghalang itu, perlu kesadaran, kesadaran
itu tidak lain dibandingkan sesalan, yang membawa kepada tangis dan air
mata.
7. S A F A R .
Salah satu dibandingkan sifat orang Sufi ialah melakukan safar, konon
sebab ini pun banyak terjadi pada diri Rasulullah. Mereka melihat da
lam safar itu suatu amal yang baik. Safar artinya keluar dari tempat
tinggal dan mengembara, sebaliknya dari iqamah, yang berarti meng-
147
ambil sesuatu tempat tinggal yang tetap.
Ada di antara mereka yang memilih iqamah dan tidak safar ke
cuali untuk kepentingan pembelaan Islam, seperti Al-Junaid, Sahl bin
Abdullah, A b u Yazid Al-Bisthami dan A b u Jafar, ada di antara mereka
yang mengutamakan safar sampai wafatnya, seperti Abu Abdullah A l -
Maghrabi dan Ibrahim bin Adham, dan ada pula yang melakukan safar
pada waktu mudanya di kala permulaan hal dan menetap di kala tua-
nya, seperti Asy-Syibli , A b u Usman A l - H i r i , masing-masing ada alasan-
nya yang dijadikan dasar tharikatnya. Mereka yang lebih mengutama
kan safar dibandingkan iqamah berpendirian, bahwa di dalam safar itu da
pat ditambah riyadhah, yang dikerjakan dalam keadaan sepi terlepas
dibandingkan hubungan dengan manusia, sekali-kali tidak dengan niat un
tuk mempergunakan segala rukhsah dalam ibadat yang diperkenan di
kala safar itu. Ada yang berpendapat bahwa yang dinamakan safar itu
ialah safar dalam arti mengelakkan diri dari sifat-sifat yang buruk yang
ada dalam kalangan manusia.
Oleh sebab itu safar dibahagi dua, pertama safar bil badan, me-
ngembara dengan badan, yaitu pindah dari satu tempat ke tempat yang
lain, kedua safar bil qalb, mengembara dengan hati, yaitu pindah dari
suatu sifat kepada lebih baik. Yang pertama acapkali dinamakan safar
bumi dan yang kedua disebut safar langit. Tentu saja macam yang ke
dua ini sedikit sekali dikerjakan orang.
Malik bin Dinar berkata, Allah mewahyukan kepada Musa untuk
melakukan safar. Maka Nabi Musa pun memakai sepatu besi, tongkat
besi dan mengembara di bumi mencahari kebenaran. Pada suatu kali
orang bertanya sesuatu nasehat kepada Muhammad Al-Kiyani , lalu
orang besar Sufi ini mengatakan : "Coba bersungguh-sungguh setiap
malam kamu menjadi tamu mesjid dan jangan mati kecuali di antara
dua tempat". Saya pahamkan dari perkataannya itu, bahwa menjadi
tamu mesjid ialah setiap malam berganti mesjid sebagai tempat sem
bahyang, j ika tidak demikian, tidak ada hubungan nasehatnya itu de
ngan safar, Abu Abdullah An-Nasibi berkata : " A k u melakukan safar
selama tiga puluh tahun, dan selama itu aku tidak menjahit pakaian
yang sobek-sobek, aku tidak pernah mendatangi sesuatu tempat teman-
ku untuk menumpang, dan aku tidak pernah mcnyuruh mengangkat
barang-barangku oleh seseorang jua pun".
148
Diceriterakan, bahwa Rasulullah, apabila sudah siap duduk di atas
keledai yang akan membawa musafir, ia selalu bertakbir tiga kali, ke
mudian ia membaca do'a-do'a yang tertentu untuk safar, begitu pula
do'a-do'a yang tertentu sesudah kembali pulang.
8. KASYAF.
Kasyaf artinya terbuka dinding antara hamba dengan Allah nya.
Perkataan ini banyak terpakai oleh ahli tarekat dan orang suci, yang
dengan perkataan lain diucapkan menemui Allah .
Menurut ahli tarekat ada 4 dinding yang membatasi antara Khalik
dengan makhluk-Nya, antara Allah dengan hamba-Nya, namun ada 4
buah pula jalan yang akan dapat membuka dinding pembatasan itu.
Dinding pertama antara manusia dengan Allah dikatakan kalau
manusia itu berkekalan bernajis besar dan bernajis kecil serta berkekal
an pula berhadas besar dan berhadas kecil. Keadaan ini yaitu
dinding yang membatasi manusia dengan Allah nya. Supaya dinding ini
terbuka hendaknya manusia itu berada dalam keadaan selalu suci dari
pada hadas besar dan hadas kecil, suci pakaiannya, suci tempat ke-
diamannya dibandingkan najis besar dan najis kecil sebagaimana hukumnya
diterangkan dalam ilmu Fiqh atau ilmu syari'at.
Dinding yang kedua, yang membatasi antara manusia dengan
Allah ialah kalau anggota manusia yang tujuh berkekalan menjalankan
haram dan makruh. Untuk pembukaan dinding kedua ini ditunjukkan
jalan supaya anggota manusia yang tujuh itu, yaitu mata, telinga, l i
dah, kaki, perut atau faraj atau kemaluan, menghentikan pekerjaan
haram dan makruh dan senantiasa berkekalan mengerjakan yang wajib-
wajib dan sunnat-sunnat sebagaimana yang diperintahkan dalam sya
ra'.
Angka-angka yang tertentu bagi tarekat memiliki arti perban-
dingan. Dengan demikian anggota tujuh itu dibandingkan dengan hari
tujuh, dalam seminggu, neraka tujuh dan sebagainya. Anggota yang
tujuh itu mengerjakan haram dan hari yang tujuh pula, yang mana aki-
batnya akan dimasukkan ke dalam neraka tujuh. Akan meiepaskan diri
dari neraka yang tujuh itu penganut tarekat menyebut kalimat syahdah
sebanyak mungkin, yang terjadi pula dibandingkan tujuh kata-kata yaitu :
149
la ilaha illa Al lah , Muhammad Rasul Al lah , artinya symbolik : berke
kalan dan berkepanjangan berAllah atau memperhambakan diri kepa
da Allah, dan berkekalan dan berkepanjangan pula mengikuti lahir dan
bathin kepada Nabi Muhammad saw.
Sebagai dinding yang ketiga disebut : kalau hati manusia itu ber
kekalan bersifat yang dicela oleh syara'. Kunci pembukaannya ialah
supaya membuangkan sifat-sifat hati yang tercela oleh syara' itu de
ngan ilmu dan amal, sesudah itu ditanam sifat-sifat yang terpuji oleh
syara' ke dalam hati itu dengan ilmu amal pula. Sebagai sifat-sifat yang
dicela oleh syara', yang selalu ada di dalam kandungan hati, di
sebut : hawa nafsu, dunia, setan, jahil, lalai, munafiq, kafir, hasad,
ria, ujub, sam'ah, panjang angan-angan, loba, tama' dan lain-lain sifat
yang jelek, yang jumlahnya menurut kata ahli tasawwuf tidak kurang
dari 60 macam banyaknya. Sebagai sifat yang terpuji, yang harus di
tanam di dalam hati, sesudah hati itu bersih, ialah iman, Islam, tauhid,
khusyu', tadharu', pengasih, penyantun, ramah hati, tinggi cita-cita,
qana'ah, berani dan lain-lain yang tidak kurang dari 60 pula.
Yang keempat, sebagai dinding yang terakhir antara manusia de
ngan Allah nya disebutkan : kalau hati lalai kepada lain Al lah , misal
nya terpesona oleh dunia, harta-benda dan makhluk yang lain. Bagai
mana membukakan dinding ini, ilmu tasawwuf menerangkan, bahwa
hendaklah dibuangkan dari dalam hati itu segala yang lain dibandingkan
Allah (ma siwallah), dengan lain perkataan, yang ada tetap dalam hati
kita hanyalah mengingat Al lah , zikir Allah atau ma'rifat Allah yang
berkepanjangan.
Tarekat selanjutnya memberi jalan, apa yang harus dikerjakan
oleh hamba Al lah , setelah keempat dinding itu terbuka, untuk meng-
hampirkan diri kepada Allah. Maka diterangkan untuk ini ada empat
jalan yang harus ditempuh, pertama syari'at, kedua tarekat, ketiga
hakikat dan keempat ma'riiat. Syari'at itu dimisalkan seperti laut, tare
kat seperti sampan, hakikat seperti mutiara yang terletak di dalam laut
dan ma'rifat seperti memakai cincin mutiara yang dihajatkan dan di-
kejar-kejar itu. Perumpamaan yang lain diberikan ialah syari'at sebagai
bukit batu, tarekat memecah-mecahkan batu dalam bukit itu, hakikat
ialah kaca teropong atau lensa yang tersembunyi dalam batu itu, sedang
ma'rifat ialah mempergunakan lensa itu dalam teropong untuk melihat.
150
Banyaklah perumpamaan-perumpamaan yang diberikan untuk
menerangkan 4 tingkat ilmu dan amal itu. Ada yang mengumpamakan
syari'at sebagai sebuah kelapa, sedang tarekat ialah membelah, me-
marut dan meremas santan kelapa itu serta memasaknya. Yang menjadi
hakikat dalam hal ini ialah minyak yang terjadi dibandingkan suatu buah
kelapa itu. namun meskipun demikian bukanlah minyak itu saja yang
menjadi tujuan pekerjaan. Tujuan pekerjaan ialah ma'rifat, yaitu mem-
pergunakan minyak itu untuk makanan.
Dengan perbandingan-perbandingan ini di atas, ahli tarekat
hendak menunjukkan, bahwa syari'at, tarekat, hakikat dan ma'rifat itu
tidak dapat dicerai-beraikan antara satu sama lain. Tiap-tiap orang
yang hendak sampai kepada Al lah , hendaklah mengerjakan keempat-
empat perkara yang tersebut, tingkat-bertingkat, agar kita sampai ke
pada tujuan yang terakhir, yaitu mendekatkan diri kepada Allah seba
gai Khalik.
Mengerjakan syari'at itu diartikan mengerjakan amal badaniyah
dibandingkan segala hukum-hukum sembahyang, puasa, zakat dan haji. Se
bagai alasan disebutkan Qur'an Surat Maidah, ayat 48, yang menerang
kan, bahwa Allah menjadikan syari'at untuk tiap-tiap ummat dan jalan
melaksanakannya.
Jalan ini diartikan tarekat. Alasan yang lain didasarkan kepada
Qur'an Surat An-Nahl , ayat 125, yang maksudnya, bahwa Allah me-
nyuruh Nabi Muhammad menyerukan semua manusia kepada jalan
Allah nya dengan pengajaran dan nasehat yang baik. Perkataan jalan
dalam ayat ini diartikan tarekat. Ada yang mempergunakan firman Tu
han di dalam Al-Qur 'an, Surat Al - J in , ayat 16, yang maksudnya : " J i
kalau tetap mereka itu berjalan di atas jalan itu, sesungguhnya Allah
akan menuangi air yang berlimpah-limpah." Acapkali ayat ini oleh ahli
tarekat diartikan : Kalau mereka itu tetap mengamalkan tarekat, sung-
guh Allah akan menuangi untuknya tuangan air yang amat banyak,
dengan maksud, bahwa Allah Ta'ala menjanjikan akan menumpahkan
rahmat kepada orang yang berkekalan mengerjakan tarekat.
Penyerahan diri yang sebulat-bulatnya kepada Allah dalam mela
kukan segala sesuatu didasarkan di antara lain-lain kepada Hadis Nabi,
yang menerangkan, bahwa tiada sesuatu pun akan dapat bergerak da
lam alam ini, melainkan dengan seizin Allah dan kehendak-Nya juga,
151
dan kepada N a b i M u h a m m a d , bahwa t idaklah engkau yang melempar
tatkala engkau melakukan pelemparan i tu , mela inkan pada hakekatnya
A l l a h juga yang melempar. Selanjutnya ayat Q u r ' a n Surat As-Safat 96,
yang berbunyi bahwa A l l a h Ta ' a l a l ah yang menjadikan kamu dan apa
yang kamu kerjakan. Tarekat d iar t ikan ja lan yang menyampaikan dari
tempat syari 'at ke tempat hakika t , yang menegakkan syari 'at dan me
nyampaikan kepada hakika t . Dengan tarekat d i lengkapkan i l m u dan
amal menundukkan d i r i kepada wajah A l l a h , yang dengan demik ian itu
banyak taubat, zuhud , muhasabah, muraqabah , t awakka l , rela, tas l im,
syukur d l l . sifat yang terpuji oleh syara ' . A p a l a g i syari 'at dengan segala
hukum-hukumnya telah d i cukupkan , d isambung lagi dengan tarekat,
akan sampailah hamba A l l a h i tu ke tempat hakika t . M a k a jelaslah bah
wa syari 'at , tarekat dan hakikat i tu sesuatu tiga menjadi satu, t r imurt i
seperti tali berpi l in tiga, seperti tungku tiga sejarangan atau kelapa tiga
matanya, yang tidak dapat dipisah diceraiberaikan. Y a n g demikian itu
sesuai dengan sabda N a b i M u h a m m a d saw : " S y a r i ' a t i tu perkataanku,
tarekat i tu perbuatanku dan hakikat i tu ia lah k e l a k u a n k u " .
D a l a m menerangkan bahwa orang Islam itu harus ta'at kepada
A l l a h dan Rasulnya (Qur ' an IV : 58), harus mencintai A l l a h dan meng
ikut i segala perintah N a b i , supaya dicintai A l l a h (Qur ' an 111 : 30), d i
terangkan, bahwa ada dua ja lan untuk mengikut i Rasulu l lah i tu , per
tama ka l i , yaitu mengikut i Rasulu l lah dengan mengamalkan lahir syari-
at seperti mengerjakan segala amalan yang bersangkut-paut dengan
anggota yang lahir dan menghentikan segala larangannya yang bersang
kut-paut dengan anggota yang lahir , kedua khaf i , yang d iar t ikan meng
ikut i Rasulul lah dengan mengamalkan bathin syari 'at atau mengamal
kan tarekat, demikian rupa, sehingga sampai kepada tingkat berkekal
an memperhambakan, dengan ringkas disebut dengan istilah sufi da-
wam 'ubudiyah .
A k h i r n y a dapat ki ta khabarkan bahwa ja lan untuk mencapai ka
syaf itu ada tiga, yang harus di tempuh tingkat-bertingkat, yaitu per
tama muhadharah dengan burhan untuk menguji aka l , kedua muka
syafah dengan bayan sebagai keterangan bagi i l m u , dan ketiga musya-
hadah yang langsung dicapai dengan ma ' r i fa t , pengalaman pr ibadi
yang telah murn i . Dengan melalui i lmu yak in yang dapat diperoleh oleh
ashabul 'u lum dan h a k k u l yakin yang dapat dicapai oleh ashabul m a ' -
152
rifat, akan sampailah seorang hamba kepada Allah nya, yang acapkali
dalam ilmu tasawwuf dinamakan mu'ayanah. Demikian diuraikan oleh
Al-Qusyairi dalam kitabnya Ar-Risalah dengan tafsir dari Zakaria dan
Al-Arusi . Di Indonesia tingkat mu'ayanah ini acapkali diartikan dengan
perkataan keramat atau wali.
153
VII
SUL UK DAN RIYADHAH
1. R I Y A D H A T U L BADAN DAN NAFAS.
D i dalam kitab "Sullamut Taufiq", karangan Syeikh Muhammad
Nawawi Bantam diterangkan, bahwa Ghazali pernah melihat Allah
dalam mimpinya. Tatkala ditanyakan orang kepada Ghazali, apakah
yang diperbuat Al lah dengan dia, Ghazali menjawab, bahwa Allah
menempatkan dia di hadapannya dan berkata, kepadanya : "Tahukah
engkau apa sebab maka engkau diperkenankan menghadap A k u ke-
mari?" Kata Ghazali : " L a l u aku jawab bahwa yang memungkinkan
yang demikian itu, barang tentu sebab ketha'atanku". Allah lalu ber
kata : "Tidak ada yang A k u terima semua amalmu itu, kecuali satu
amal yang telah menyelamatkan engkau semua dibandingkan sifat-sifat ria,
sum'ah dan ujub, yaitu tatkala engkau sedang duduk mengarang, hing-
gaplah seekor lalat ke atas tangkai penamu. Ketika itu engkau berhenti
sebentar mencelupkan pena itu ke dalam botol tinta, untuk memberi
kesempatan kepada lalat itu meminum seteguk air yang ada pada tang
kai penamu itu. Yang demikian itu yaitu kurnia rahmat kepadanya.
Maka oleh sebab itu A k u pun mengurniai rahmat kepadamu. Seka
rang pergilah engkau, A k u telah mengampuni dosamu". Tatkala Gha
zali terjaga dari tidurnya ia mengeluarkan air matanya sambil berdo'a :
" Y a , Allah ku! Belas kasihanilah daku ini dengan rahmat-Mu, yang
dapat membebaskan aku kelak kemudian hari dibandingkan azab dan siksa-
an-Mu, wahai Allah yang termurah dibandingkan segala pemurah. Maha
suci Engkau!"
Diakui memang tidak mudah orang sampai kepada ru'yah itu. Ber-
macam-macam jalan harus ditempuh untuk menyampaikan diri kepada
155
tingkat kebahagiaan yang terakhir bagi orang Sufi itu. Bermacam-
macam usaha yang harus dikerjakan, dan bermacam-macam amal yang
harus dilakukan sebagai latihan atau riyadhah, baik yang bertali de
ngan badan, riyadhatul badan, baik yang bertali dengan jiwa atau hati,
riyadhatul nafas. Semuanya itu bermacam-macam dan menurut tata-
cara yang ditentukan di dalam gerakan-gerakan Sufi, yang dinamakan
tarekat.
namun meskipun demikian semuanya harus melalui beberapa ge-
lombang perubahan menurut kekuatan bathin manusia. Gelombang-
gelombang itu yaitu sebagai yang akan diterangkan di bawah ini , me
nurut apa yang dapat kita pahami dibandingkan kehidupan Sufi dan ajaran-
ajarannya.
Tentu saja yang pertama kali semua penganut harus melakukan
apa yang diperintahkan dalam syari'at dibandingkan iman, Islam dan ihsan.
Ia harus -mengerti dengan sebaik-baiknya segala sesuatu yang disebut
dalam rukun iman, tidak saja mengakui adanya Allah sebagai zat tung-
gal Wihdatul Wujud, namun juga ia mengerti segala uraian mengenai
sifat-sifatnya, dengan alasan-alasannya menurut hukum aqli dan naqli,
serta pembagian-pembagian yang rapi dibandingkan sifat-sifat Allah itu,
yang wajib dan yang ja'iz, yang mustahil dan yang mumkin, ia harus
mengetahui tentang nubuwah dan masalah-masalah yang bertali dengan
Nabi-Nabi dibandingkan sifat-sifatnya, mujizat-mujizat dan syafa'at-syafa-
'atnya, terutama apa yang disampaikan oleh Nabi-Nabi itu mengenai
malaikat, kitab-kitab suci, terutama Qur'an yang nanti dijadikan pe-
gangan dan bacaan yang tetap, begitu juga mengenai hari kemudian
dan qadha dan qadhar manusia yang sudah ditentukan Allah . Pengeta
huan ini diperluas dengan uraian-uraian mengenai arasy dan kursi, me
ngenai loh. dan qalam, mengenai mati, mengenai roh, mengenai azab
kubur, mengenai keadaan orang-orang yang syahid dan salih, mengenai
hari kiamat dan apa yang terjadi sekitarnya, mengenai perhitungan amal
kebajikan dan amal kejahatan, mengenai azab dan siksaannya, menge
nai amal ibadat dan timbangannya, mengenai syafa'at Nabi Muham
mad kepada ummatnya, mengenai sorga dan neraka, dengan segala nik
mat dan siksaan dl l . yang dianggap perlu bagi persiapan keyakinan se
orang Sufi.
Dalam menerangkan rukun-rukun Islam, yaitu amal ibadat yang
156
harus dikerjakan seperti sembahyang lima waktu, puasa Ramadhan,
zakat dan fitrah, pembicaraannya diperluas demikian rupa sehingga
pengajaran ibadat itu melangkupi segala ibadat-ibadat yang sunnah,
yang afdhal, sambil memahami hikmah-hikmah dibandingkan tiap-tiap iba
dat itu.
Begitu juga dalam mengerjakan ihsan diterangkan sungguh-sung-
guh keikhlasan dalam mengerjakan segala sesuatu yang bersangkut de
ngan segala amalan yang harus dikerjakan oleh orang-orang Sufi,
yaitu : "Sembahlah Allah mu seakan-akan engkau melihat Dia , dan
jika engkau tidak melihat Dia, niscaya Ia melihat engkau". (Hadis).
Sekalian kesucian lahir ini harus dipelihara sungguh-sungguh oleh
orang Sufi, dalam gelombang yang dinamakan muhafazah, sebagai per-
sediaan diri untuk memasuki kehidupan yang lebih sempurna dibandingkan
itu.
Kehidupan ini acapkali dinamakan mujahadah, yaitu perjuangan
dalam bathin dan diri sendiri.
Hamka dalam kitabnya Perkembangan Tasawwuf dari abad ke
abad (Jakarta, 1960) mengertikan mujahadah itu, yaitu perjuangan pe-
nganut Sufi dalam rasa, dan menghitung-hitung diri supaya tercapai
tempat yang lebih tinggi dibandingkan kedudukan semula. Katanya, muja
hadah itu dilakukan dalam berbagai-bagai cara, misalnya dalam tafa-
kur, bermenung dengan memicingkan mata serta menaikkan lidah ke
langit-langit, lalu melakukan zikir atau mengingat dan menyebut nama
Allah. Usaha ini ditujukan untuk menambah asyik dan birahi, rindu
dan dendam, hendak pulang kepada asal. Maka oleh sebab itu senan-
tiasalah orang Sufi berusaha mempertinggi tingkatnya, dari suatu ma
qam ke maqam yang lebih sempurna, sampai ia mencapai derajat tau
hid, kesatuan, dan irfan, kenal dengan sebenar-benarnya.
Ghazali memasukkan pembicaraan mujahadah ini ke dalam pem-
bicaraan murabathah, mengawasi diri dengan pengawasan Allah , se
bagai salah satu jalan mencapai kejayaan bagi kehidupan manusia,
yang disebutnya munjiat, jalan keluar, yaitu terdiri dari enam penga
was atau murabathah, yaitu musyarathah, muraqabah, muhasabatun
nafsi, muaqabatun nafsi, dan mujahadah. Baginya mujahadah ini rupa-
nya menjadi tingkat yang tertinggi dibandingkan keenam pengawas diri itu.
157
Bukan tidak ada alasan Ghazali untuk memberi nama murabathah
bagi keenam pengawas ini. Dalam ayat Qur'an Allah berfirman :
"Wahai segala mereka yang beriman, perbanyaklah sabar, dan menyu-
ruh orang lain sabar, kemudian ikatlah atau murabathahlah dirimu,
dan takutlah kepada Allah mu" (Qur'an III : 200). Meskipun ada
orang mengartikan rabithu itu, mengawasi musuh, namun pengertiannya
tidak terlepas dibandingkan mengawasi diri, yang menurut Ghazali lebih ja
hat dibandingkan musuh yang tampak.
Lalu Ghazali mengatakan, bahwa sebagai tindakan yang pertama
musyarathah itu perlu bagi diri manusia. Sebagai seorang saudagar da
lam jual beli harus menentukan syarat-syarat penjualan barang dagang-
annya, begitulah seorang manusia harus menentukan tiap hari pada
dirinya syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dikerjakan, agar dirinya
itu tidak rugi. Syarat-syarat yang ditentukan bagi dirinya itu tidak saja
mengenai pengisian sa'at-sa'at yang kosong dalam hari itu dengan
amalan yang berfaedah namun juga untuk memelihara dosa-dosa kecil
besar yang dapat diperoleh dibandingkan penyelewengan mata, telinga, l i
dah, perut, kemaluan, tangan, kaki, dan menyelamatkan segala alat
pancaindera itu untuk memperoleh keuntungan bathin yang besar bagi
dirinya. Dengan demikian dirinya itu diikat menurut perhitungan se-
panjang kehendak Allah. Membuat perhitungan diri ini , yang dinama
kan muhasabah, di dunia ini , dianggap perlu untuk meringankan hisab-
nya seorang nanti di hadapan Allah . Maka salah satu dibandingkan kewa-
jibannya ialah meletakkan syarat-syarat pada dirinya, agar dirinya itu
tetap pada pendiriannya, istiqamah, dan dalam pelaksanaannya, inqi-
yah, untuk mencapai kebenaran. Dengan demikian tiap orang Sufi sela
lu mengawasi dirinya untuk mengetahui lebih dan kurangnya amalan-
amalannya itu.
Syarat saja bagi sesuatu usaha tidak cukup, kalau tidak diiringi di
dalam mengawasi pelaksanaan syarat-syarat ini. Pengiringan dalam pe-
ngawasan ini disebut muraqabah. Dalam firman-firman Allah banyak
ada peringatan-peringatan, bahwa Allah itu melihat segala per
buatan manusia dan mengawasi segala usahanya. Oleh sebab itu ikuti-
lah Allah itu dalam segala perbuatanmu menurut pertunjuknya. Allah
menjanjikan kejayaan bagi "mereka yang selalu menjaga amanat-ama-
natnya dan janji-janjinya, dan mereka mempertahankan kesaksiannya"
158
(Qur'an L X X : 33), Ibn Mubarak mentafsirkan ayat Qur'an ini dengan
keterangan, bahwa tiap orang harus mengerjakan amalnya demikian
rupa, seakan-akan ia dalam berbuat amal itu melihat Allah nya Ibn
Athailah mengatakan, bahwa tha'at kepada Allah yang terbaik ialah
yang dilakukan secara muraqabah pada waktu-waktu yang tetap.
Tatkala Muhasibi ditanya orang tentang muraqabah ia berkata,
bahwa permulaannya muraqabah itu ialah pengetahuan hati bahwa Tu
han itu selalu ada di samping hamba-Nya. Menurut Murta'isy muraqa
bah itu memelihara rahasia dari manusia yang gaib pada tiap sa'at dan
pada tiap perkataan. Junaid Al-Bagdhadi berkata, bahwa keadaan se
seorang yang dilihat Allah nya. Dalam sebuah Hadis Qudsi dikatakan
Allah berkata kepada Malaikat-Nya : "Kamu ini menjadi wakil yang
lahir, sedang A k u yaitu pengawas bathin".
Oleh sebab demikian pentingnya muraqabah ini, pernah Zun Nun
ditanya orang, dengan apa orang dapat memasuki sorga. Ia menjawab :
"Dengan lima perkara, pertama pendirian yang tetap tidak bergoncang,
kedua ijtihad yang tidak ada kelupaan, ketiga muraqabah dengan
Allah lahir dan bathin, keempat menunggu mati dengan segala persiap-
annya, dan kelima membuat perhitungan atas dirinya, sebelum Allah
nanti membuat perhitungan atasnya. As-Sanji menerangkan bahwa
tiap-tiap orang munafik hanya mengawasi mata manusia, apabila tak
ada orang yang melihat ia mengerjakan kejahatan, jadi muraqabahnya
hanya terhadap manusia tidak terhadap Allah . Dan akhirnya saya ku-
tip perkataan Sahl mengenai muraqabah ini, katanya : "Tidak ada se
suatu pun yang dapat menghiasi hati seseorang lebih afdhal dan lebih
mulia dibandingkan pengetahuan seseorang itu, bahwa Allah selalu melihat
dan mengawasi dia di manapun ia berada".
Meskipun demikian muraqabah itu tidak sama tingkatnya. Ghazali
menerangkan ada muraqabah orang-orang yang berhak mendapat ge
laran muqarrabin dan siddiqin, gelaran yang paling tinggi dalam ting
kat ini, sebab seluruh harinya tenggelam dalam pengawasan Allah .
Orang-orang yang mencapai derajat ini biasanya lupa kepada makhluk
dan kepada dirinya, sehingga kadang-kadang tidak melihat orang yang
berada di depan matanya sedang matanya itu terbuka, dan tidak men
dengar apa yang dikatakan kepadanya meskipun ia tidak tuli, seluruh
hatinya sibuk dengan pencipta alam ini, dan seluruh pikirannya dituju-
159
kan kepadanya. Diceriterakan orang bahwa Yahya bin Zakariya pada
suatu kali berjalan dan menubmk seorang percmpuan sampai jatuh ter-
pelanting, sedangkan ia tidak mengetahui semuanya itu. Tatkala di
tanya orang kepadanya, ia menjawab saya menyangka yang saya tu-
bruk itu yaitu sebuah tembok.
Muraqabah yang lain macamnya menurut Ghazali ialah muraqa
bah War'in min ashabil yamin, yaitu mereka yang meyakini melihat
Allah secara lahir dan bathin dan dalam hati mereka, namun hati mere
ka itu tetap sederhana, tiap-tiap mengerjakan amal tidak sunyi dibandingkan
muraqabah. Mereka merasa malu kepada Allah , j ika mengerjakan
amalnya berlebih berkurang, dan oleh sebab itu teliti dalam menetap
kan amal-amal perbuatannya.
Jika dalam amal orang-orang muqarrabin itu sudah demikian
membedakan dirinya, apabila dalam perkara iman. Oleh orang Sufi
iman seseorang itu dianggap tidak sama tingkatnya, ada yang tebal ada
yang tipis. Iman Sahabat Abu Bakar terhadap Nabi lebih besar dari
pada iman Sahabat-Sahabat yang lain. Ibn Umar menceriterakan bah
wa ia pernah bertanya kepada Nabi apakah iman itu bisa bertambah
atau berkurang. Nabi berkata : "Benar iman itu mungkin bertambah
atau berkurang, bertambah demikian sehingga dapat memasukkan yang
beriman itu ke dalam surga, atau berkurang demikian sehingga dapat
memasukkan orang yang kurang imannya itu ke dalam neraka".
Muhammad Amin Al -Kurd i , salah seorang pemuka yang terkenal
dalam tarekat Naksyabandiyah, mengatakan dalam 'kitabnya "Tanwi-
rul Qulub" (Mesir, 1343 H.), bahwa iman itu dibagi empat macam,
iman orang munafik, iman orang awam dalam kalangan mu'min, iman
muqarrabin, dan iman ahlul fana fillah. Katanya, bahwa iman orang-
orang yang muqarrabin itu sangat dipengaruhi itu oleh keyakinan-keya-
nan i'tikadnya, yang sangat mendalam dalam kehidupan bathinnya,
sehingga pandangan mereka itu tidak melihat sesuatu yang tampak ini
kecuali semuanya keluar dibandingkan kodrat Allah yang azali. Maka ter-
nyatalah bagi mereka itu semua alam ini tidak lain dibandingkan buah ke
kuasaan Allah itu, oleh sebab itu ia tidak berpegang kepada sesuatu
pun kecuali kepada Allah , tidak ada yang ditakutinya, tidak ada tempat
ia mencurahkan harapannya, kecuali kepada Allah semata-mata. Pada
pandangan mereka itu semua makhluk ini tidak memiliki kekuasaan
160
apa-apa bagi dirinya, tidak ada yang menyebabkan dia baik atau jahat,
tidak dalam tangannya matinya, hidupnya, dan kebangkitan di kemudi
an hari. Oleh sebab ia tidak dapat melihat bahwa ada sesuatu yang
lain dibandingkan nya yang dapat berbuat baik kepada orang itu. Keyakinan
ini dapat kita lihat dalam do'a seorang besar Sufi Abul Hasan,
yang berbunyi demikian : " Y a , Allah ku! Curahkanlah kepadaku haki
kat iman dan keyakinan terhadap-Mu, hingga tak yaitu yang kami ta-
kuti selain Engkau, dan tak yaitu orang tempat kami tujukan permin-
taan dan harapan selain Engkau, O Allah ku, tidak kami cintai selain
dibandingkan Engkau dan tidaklah kami jadikan sembahan selain kepada-
M u semata-mata. Dan oleh sebab itu orang-orang muqarrabin itu ti
dak pernah kita lihat menggerutu dan mengeluh tentang apa yang ter
jadi atas dirinya dari perbuatan Allah dan hukum takdirnya, sebab
mereka itu menganggap Allah itu yaitu sumber yang sangat bijaksa-
na, dan memandang akhirat tidak lain dibandingkan suatu tempat yang aba-
di , yang mereka buru dan kejar-kejar itu untuk mencapainya.
Dalam wasiatnya, termuat dalam Risalah Al-Mu'awanah, Syayyid
Abdullah Al-Haddad, yang tarekatnya banyak juga dianut orang di In
donesia, menerangkan, bahwa orang harus muraqabah dengan Allah
senantiasalah dalam gerak dan diamnya, dalam memandang dan berfi-
kir, dalam berkehendak dan berharap dan dalam segala gerak-gerik hi
dupnya, ia harus menganggap dirinya selalu ada dekat Allah yang me-
ngawasinya. Ia berkata kepada muridnya, bahwa Allah selalu melihat
kepadanya, selalu memandang dengan pandangan yang tak ada aling-
alingnya, yang tak terluput meskipun sebesar zarah baik di bumi atau di
langit, "Ketahuilah baik engkau berkata dengan suara yang santer atau
tidak, Allah itu mengetahui rahasia bathinmu dan apa yang tersembu
nyi di bawah lubuk hatimu, Ia selalu berada bersamamu, di manapun
juga engkau bertempat atau menempatkan dir imu", (Qur'an), semua
nya diketahuinya dengan ilmu-Nya, dengan kesempurnaan-Nya, dengan
kekuasaan-Nya, dan oleh sebab itu amalmu selalu berjalan dengan
hidayatnya, dan dengan pertolongannya. Dan oleh sebab itu menjadi-
lah orang yang baik-baik, dan selalu bermalu terhadap Allah mu se-
besar-besar malu, berusahalah bahwa engkau tidak berada di tempat
yang terlarang, dan jangan tidak ada tempat yang dia perintahkan eng
kau harus hadir, sembahlah Dia seolah-olah engkau melihat kepada-
161
Nya, dan jika engkau tidak melihat sebenarnya Ia melihat kepadamu,
demikianlah bunyi wasiat Al-Haddad kepada pengikut-pengikutnya.
Memang pengertian tentang muraqabah itu panjang lebar sekali
uraiannya, namun tidak semua dapat kita kupas di dalam lembaran-
le-nbaran kitab yang sangat terbatas ini .
Jadi muraqabah itu menurut Ghazali yaitu pengawasan se-
belum amal. Pengawasan sesudah amal disebut muhasabah atau muha-
sabatun nafsi, memperhitungkan laba rugi dalam amal bagi diri sendiri.
Di antara lain-lain dalil yang dijadikan alasan dalam pembentukan ting
kat ini ialah ucapan Umar ibn Khattab, yang berbunyi demikian : "Per-
hitungkanlah dirimu, sebelum engkau nanti diperhitungkan, perhitung-
kanlah kelakuanmu, sebelum ia dimasukkan dalam pertimbangan".
Aisyah menceriterakan, bahwa ayahya, Abu Bakar, pada waktu akan
wafat berkata : "Tidak ada seorang pun yang lebih kucintai dibandingkan
Umar" . Tatkala ditanya orang kepadanya, apa maksudnya perkataan
itu, ia menjawab, sebab Umar lebih tinggi nilainya dibandingkan yang lain,
tiap-tiap kali selesai ia bercakap-cakap, dipikirkannya kembali baik-
baik tentang apa yang telah diucapkannya itu jika perlu ditukarkan de
ngan suatu ucapan yang lebih sempurna. Hasan berkata : "Orang mu'
min yang dapat menguasai dirinya, memperhitungkan laba rubi amal-
annya bagi Allah , kepada Allah , meringankan pertanggungan jawab
terhadap mereka, yang sejak di dunia telah memperhitungkan laba rugi,
baik dan buruk tentang apa yang dikerjakannya.
Jadi muhasabah itu sekali terjadi sebelum, dan sekali terjadi sesu
dah amal. Muhasabah yang terjadi sebelum amal bermaksud untuk
memperbesar hati-hati seseorang terhadap amal yang akan dikerjakan
nya itu. Allah berfirman : "Ketahuilah bahwa Allah waspada sekali
terhadap gerak-gerikmu, oleh sebab itu takutlah dan hati-hati!" Maka
dengan ketakutan ini, seorang itu selalu mengerjakan perintah-perintah
Allah menurut sebagaimana yang disuruh, menjauhkan segala larang-
annya, menurut sebagaimana yang dicegahnya, teliti dalam segala pe
laksanaan suruh dan cegah itu, tidak berlebih dan tidak berkurang, ka
rena ia mengerti betul kelebihan dan kekurangan perbuatannya, dan
inilah yang dikatakan muhasabah sebelum amal itu. Adapun muhasa
bah sesudah amal, tujuannya ialah untuk mengoreksi kembali segala
perbuatannya, tepat atau tidak, ada yang dikerjakan itu sebagai yang
162
disuruh atau dicegah T u h a n . Salah satu dar ipada ayat Q u r ' a n yang ba
nyak, yang memerintahkan mempergunakan kewaspadaan in i ialah fir
man A l l a h : " W a h a i mereka yang ber iman, j i k a datang seseorang kepa
damu membawa sesuatu berita, sedang pembawa i tu masih dicur igai ,
maka hendaklah kamu periksa benar-benar kebenaran berita yang d i -
sampaikannya i t u " .
J i k a seorang saudagar sesudah selesai perniagaannya, memperhi
tungkan laba ruginya, untuk mengetahui apakah perdagangannya itu
membawa untung bagi moda lnya , m a k a apakah lagi bagi seorang ham
ba T u h a n yang ingin mendapat lebih banyak pahala atas amalan-amal-
annya. J i k a moda l bagi mereka d iumpamakan segala ibadat yang wa
j i b , maka keuntungannya ialah balasan yang harus diperbuat lipat gan-
da dalam mengerjakan amalan-amalan yang sunat dan yang lebih af-
dha l , sedang yang yaitu kerugian baginya ia lah pekerjaan-peker-
jaan yang ma'siat , baik yang diketahuinya maupun yang tidak diketa-
huinya . Muhasabah in i ada yang d i l akukan saban sa'at, ada yang d i la
k u k a n saban har i , ada yang d i l akukan setahun sekal i , namun bagaima-
napun juga orang yang sadar selalu meminta pertanggungan jawab ke
pada seluruh anggota tubuhnya tentang i t u . - k harus memperhi tungkan
pada tiap sa'at kebaj ikan dan kejahatan anggota badan dan hat inya.
J i k a orang yang melakukan muhasabah i tu telah mengetahui ke
salahan-kesalahan yang diperbuatnya, maka ilengan sendirinya datang-
lah waktu baginya sebagai hak im untuk member ikan hukuman kepada
d i r inya , agar kesalahan itu tidak berulang lagi d i masa-masa yang akan
datang. Penyiksaan d i r i da lam pengertian in i oleh orang Sufi d inama
kan Mu'aqabah atau Mu'qabatun nafsi.
M u ' a q a b a h ini demikian kata Syeikh M u h a m m a d J a m i l Jawo da
lam ki tabnya "Tazkiratui Qulub fi Mu'raqatati Allamil Ghuyub" (Bu-
ki t t inggi , t .th), yaitu sunah dan perjalana m y a wal i -wal i dan orang-
orang sal ih , yang selalu mengawasi d i r inya , apakah pernah ia berkhi-
anat atau melupakan sesuatu yang diper in tahkan, j i k a ada maka segera
disusuli dengan taubat, namun untuk menga.ahkan nafsunya, ia meng-
obat inya dengan member ikan hukuman , mu ' aqabah , untuk meninggal
kan sama sekali pekerjaan kealpaan itu yang dianggap ma'siat , mufara-
qatul ina'asi yang d iker jakannya menggantikannya dengan cara yang
lebih sukar, guna kembal i kepada ketetapan semula, yang d inamakan
163
istiqamah. Hukuman-hukuman itu diberikan menurut keperluan latih
an anggota tubuh, misalnya jika ia termakan makanan yang syubhat
dengan penuh hawa nafsu, maka ia menghukumi perutnya menahan
lapar untuk beberapa waktu lamanya, jika yang berbuat dosa itu mata
nya melihat yang haram, maka matanya itu disiksanya dengan tidak me
lihat apa-apa dalam beberapa waktu, demikianlah siksaan-siksaan Sufi
yang dijatuhkan dengan kemauannya sendiri atas dirinya terhadap tiap
pancaindera dan anggota tubuhnya, sehingga dengan pengekangan yang
demikian itu mereka mengembalikan dirinya kepada jalan akhirat, tha-
riqul akhirah.
Dalam hubungan ini Mansur bin Ibrahim menceriterakan, bahwa
pernah seorang Sufi berbicara dengan seorang wanita yang bukan muh-
rimnya, demikian rupa sehingga ia meletakkan tangan pada pipinya.
Kemudian ia menyesal dan lalu disiksa dirinya dengan meletakkannya
keatas api sampai hangus. Hasan bin A b i Sinan pada suatu hari berja
lan dalam kamarnya dan tertumbuk kepada tembok dindingnya, sam
bil menggerutu mengeluh mengatakan, mengapa aku mendirikan tem
bok celaka ini , hal mana bertentangan dengan adab. Kemudian ia insaf
akan dirinya, menyesal akan penggerutuan yang tidak pada tempatnya
dengan berpuasa setahun lamanya. Diceriterakan orang bahwa Tamim
Ad-Dari , pada suatu malam lupa tertidur dengan tidak sembahyang
tahajjud, maka ia mengambil keputusan tidak tidur malam satu tahun
lamanya sebagai siksaan atas kealpaannya itu.
Demikianlah beberapa contoh dari perjalanan orang Sufi, yang
menghisap dirinya pada tiap sa'at dan waktu, kemudian meng'iqabnya,
apabila ia berbuat dosa atau sesuatu kesalahan. Sebenarnya Nabi M u
hammad sendiri pun mengerjakan muhasabah dan mu'aqabah itu da
lam arti kata yang lebih sesuai dengan ajaran taubat, sedang ia sendiri
sudah dijamin terpelihara dibandingkan segala dosa besar dan kecil. Kata
nya bahwa ia meminta ampun kepada Allah seratus kali saban hari
atas dosanya kepada Allah , baik yang kelihatan maupun yang tidak
kelihatan.
Umar Ibn Khattab pun pernah melakukan mu'aqabah atas dirinya.
Tatkala ia melupakan sembahyang Ashar berjama'ah, dan kemudian
teringat, sebagai hukuman ia lalu menyedekahkan sepotong tanahnya,
yang harganya tidak kurang daipada dua ratus ribu dirham. Ibn Umar,
164
yang juga terlupa akan sembahyang berjama'ah dan terlambat Maghrib
sampai keluar bintang dua seiring, lalu memerdekakan dua orang ham
ba sahayanya sebagai tebusan dosa. Juga Rabi'ah, yang terlengah da
lam melakukan dua raka'at sembahyang Fajar, memerdekakan seorang
budak beliannya. Banyak di antara orang-orang suci itu yang menghu-
kumkan dirinya sebab kelengahannya terhadap ibadat, ada yang de
ngan berpuasa setahun, naik haji berjalan kaki, atau mengeluarkan se
mua harta bendanya sebagai sedekah.
Ghazali membenarkan mu'aqabah Sufi semacam itu, dan berkata :
"Jikalau engkau saban hari menjatuhkan hukuman kepada pelayanmu,
kepada anggota keluargamu dan kepada anak-anakmu sebab kejahat
an af'alnya, mengapa engkau lupa dan tidak. ingin menjatuhkan hu
kuman semacam itu atas dirimu sendiri?" (Ihya).
Jika sudah selesai memperhitungkan laba rugi tentang amal, dan
menjatuhkan hukuman atas kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya,
agar tidak terulang lagi, Ghazali memberi jalan dalam murabathah
yang kelima yaitu mujahadah.
Mujahadah artinya bersungguh-sungguh mengerjakan segala iba-
dah dan segala wirid-wirid dengan segala kegemaran, seakan-akan yang
mengerjakan itu lupa akan dirinya, sebab harapannya akan diterima
oleh Allah , dan takutnya akan ditolak yang mengakibatkan kerugian
baginya. Rasulullah pernah menggambarkan golongan ini dengan kata
nya : "Allah memberi rakhmat kepada golongan manusia yang disang-
ka orang sakit, namun mereka itu sebenarnya tidak sakit" (Ahmad), dan
katanya : "Alangkah baiknya manusia itu. yang panjang umurnya dan
sempurna amalnya i tu" (Thabrani).
Hasan menceriterakan bahwa yang dimaksudkan dengan orang-
orang itu ialah mereka yang termasuk tingkat mujahadah, sangat ber
sungguh-sungguh dalam amal kebajikannya, sehingga hampir-hampir
terganggu perasaannya. Orang-orang itu tidak menggemari dunia, du
nia kelihatan baginya tidak lebih dari tanah yang diinjak-injaknya, ti
dak menarik perhatiannya kepada pakaian-pakaian yang indah dan
makan-makanan yang lezat cita rasanya, seluruh kesungguhannya di
tujukan kepada melaksanakan isi kitab suci Allah nya dan sunnah per
jalanan Nabinya. Apabila mereka dapat beramal kebajikan, gembiralah
mereka, dan bersyukurlah kepada Allah serta meminta supaya diteri-
165
manya amalan-amalan itu. Mereka sangat takut kepada amal kejahat
an, meminta diampuninya segala amal semacam itu yang telah sudah,
dan minta diselamatkan dibandingkan dosa serta diberi ma'af atas segala
kealpaannya.
Diceriterakan orang bahwa pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz
menerima beberapa orang tamu, yang menziarahinya dalam sakit.
Umar melihat di antaranya ada seorang anak muda yang kurus badan
nya, sehingga ia terpaksa menanyakan apa sebabnya. Mula-mula anak
itu menyembunyikan rahasianya dengan mengatakan ia sakit. Tatkala
Umar menyuruh berkata benar, anak muda itu lalu berdatang sembah :
" Y a , Amirul mu'minin! Saya mencoba merasakan kemanisan dunia
ini, namun yang terasa kepadaku dunia itu pahit belaka, buahnya kecil
dan hasilnya tidak seberapa, sehingga aku bersiap-siap akan meninggal
kan dia. A k u melihat kepada arasy Allah ku, dan kelihatan kepadaku
manusia berjubel-jubel, ada yang masuk ke surga, ada yang masuk ke
neraka. Maka kuputuskan, akan kuderitakan kehausan pada siang hari,
berjaga pada malam harinya, dan dengan demikian beroleh pahala atas
siksaan Allah .
Muhammad bin Abdul Azizi menceriterakan, bahwa ia pada suatu
hari bertemu pada Ahmad bin Razin, dan duduk dekat dia sejak pagi
sampai waktu Ashar, Razin, selama itu tidak melihat sepicing pun ke
kanan dan ke kiri . Tatkala orang bertanya kepadanya mengapa, ia
menjawab : " A l l a h menjadikan dua mata hanya untuk memandang,
munazarah, kepada kebesarannya, maka oleh sebab itu tiap-tiap pan
dangan yang berpaling dari arah itu yaitu dosa". Dalam pada itu Abu
Darda' pernah berceritera, bahwa ada tiga perkara yang dicintainya
dalam sehari semalam, pertama menahan haus untuk mendekati Tu
han, kedua sujud kepada Allah di tengah malam, dan ketiga pertemuan
dengan orang-orang yang berbicara tentang kebaikan.
Memang demikianlah halnya orang yang mujahadah itu. Kita de
ngar misalnya Aswad bin Yazid yaitu salah seorang yang sangat besar
mujahadahnya dalam ibadah, ia selalu berpuasa pada musim panas,
sehingga badannya bertukar-tukar antara biru dan kuning. Tatkala A l -
qamah bin Qais berkata kepadanya, mengapa ia mengazab dirinya se
macam itu, ia berkata : "sebab aku ingin memuliakannya".
Ada orang menceriterakan, bahwa Fata Al-Musul i mengeluarkan
166
air mata darah. Tatkala ditanya orang kepadanya, ia menjawab : " A k u
ingin meiepaskan diriku dibandingkan kewajiban hak A l l a h " .
Orang yang mujahadah itu jika beribadat sungguh-sungguh, ada
yang lupa kepada dirinya sama sekali. Ghazali menceriterakan, bahwa
ada di antara mereka yang sembahyang sampai seribu raka'at sehari,
ada yang sampai tidak kuat lagi sehingga mereka terpaksa sembahyang
sambil duduk. Junaid menceriterakan, bahwa ia tidak pernah melihat
orang yang.lebih banyak ibadatnya dalam mendirikan sembahyang
dibandingkan As-Siri , belum pernah ia bertemu tidur terlentang selama
umurnya sembilan puluh delapan tahun, kecuali pada waktu itu ia su
dah menjadi mayat. Rabi ' menceriterakan bahwa di antara yang ter-
kuat mujahadahnya ialah Uwais, selalu didapat sembahyang pagi, sela
lu didapat bertasbih sampai sembahyang Lohor, sampai sembahyang
Ashar, sampai sembahyang Maghrib, sampai sembahyang Isya, dan
sampai sembahyang Subuh. Tatkala ia sudah mengantuk, ia berdo'a :
" Y a , Allah ku! A k u berlindung dengan Engkau dibandingkan mata yang
mengantuk dan dibandingkan perut yang tidak pernah kenyang". Tatkala
orang bertanya kepadanya, mengapa ia kelihatan sakit, ia menjawab :
"Uwais tidak pernah sakit, ia memberi makan orang sakit, Uwais tidak
pernah makan, namun ia tidur sakit, dan Uwais sebenarnya tidak tidur".
Begitulah orang-orang Sufi itu mujahadah untuk berjaga malam.
Segala yang kecil-kecil diperhatikannya, sehingga waktunya itu ti
dak pernah kosong dari ibadat. Seorang Sufi menceriterakan, bahwa ia
pernah mendatangi Ibrahim bin Adham. Ia dapati Ibrahim itu sudah
sembahyang Isya, lalu orang Sufi itu menggabungkan diri dalam ibadat
bersama dia. Kemudian dengan tiba-tiba Ibrahim melemparkan dirinya
di atas tikar, terlentang, tidak berbalik ke kanan dan ke kiri , sepanjang
malam demikian sampai waktu Subuh. Dan tatkala kedengaran azan ia
lalu bangun dan sembahyang subuh. Tatkala temannya itu menegor,
bahwa ia belum berwudhuk, ia lalu berkata : " A k u tidak tidur sepan
jang malam, aku mengembara kadang-kadang dalam kebun surga, dan
kadang-kadang dalam lembah neraka". Diceriterakan orang, bahwa
Nasruk belum pernah tidur kecuali sedang sujud.
Abu Bakar Al -Matu ' i menceriterakan, bahwa ia tidak .akan tidur
sehari semalam sebelum ia menyelesaikan membaca Surat Samadiyah
sebanyak tiga puluh ribu atau empat puluh ribu kali. Orang mencerite-
167
rakan pula bahwa Safwan bin Sulaim pada musim dingin ia masuk ke
dalam kamar yang panas, supaya ia tidak tertidur, ia mati sedang su
jud, sedang do'anya terakhir berbunyi : " Y a , Allah ku : A k u ingin ber-
temu dengan Engkau, maka pertemukanlah aku ini dengan wajah-
M u " .
Qasim bin Muhammad berceritera, bahwa ia selalu bangun pagi-
pagi, dan sesudah bangun ia pergi menemui Sitti Aisyah pada suatu pa-
gi, yang dihadapin'ya sembahyang Dhuha dan membaca ayat Qur'an :
"Pasti Allah memberi kurnia kepada kita dan memelihara kita dibandingkan
siksaan neraka". (Qur'an L i l : 27), sambil ia menangis sambil meng-
ulang-ulangi ayat itu sekian lamanya, sehingga pulang pergi Qasim ke
pasar berbelanja masih didapati Siiti Aisyah itu pada tempatnya meng-
ulang-ulangi ayat Qur'an itu dengan air matanya yang berhamburan
terus-menerus.
Mujahadah itu sebenarnya digerakkan oleh kegelisahan orang-
orang Sufi hendak menemui Allah nya dengan segera, dan oleh sebab
itu dicarinya jalan dengan tha'at yang tak kenal letih dan lesu.
A l i bin Ab i Thalib berkata, bahwa tanda muka orang salih itu pu-
cat sebab tidak tidur malam, cekung matanya sebab tangis, dan ke
ring bibirnya sebab puasa, atas mereka itu bertabur debu orang-orang
yang khusyu'.
Seorang mujahadah yang terkenal, Amir bin Abdul Qais, berdo'a :
"Wahai Allah ku, Engkau jadikan daku, tidak engkau tugaskan, Eng
kau matikan daku dengan tidak Engkau ajarkan, Engkau jadikan mu
suh bagiku, yang berjalan di seluruh darahku, Engkau biarkan ia meli
hat daku, sedang aku tak dapat melihat dia. Wahai Allah ku! Engkau
menyuruh daku berpegang pada-Mu, bagaimana aku berpegang kepa
da-Mu jika Engkau tidak memegang daku? Allah ku! Di dunia ini pe
nuh ketakutan dan gundah-gulana, di akhirat penuh siksaan dan hisab,
di manakah aku mendapat kesenangan dan ketenangan?"
Firman Allah menjawab : "Pada waktu itu teranglah bagi mere
ka, suatu penerangan mendatang dibandingkan Allah, tentang sesuatu yang
tidak mereka perhitungkan lebih dahulu" (Qur'an X X X I X : 47). Orang-
orang yang tidak mengenai mujahadah akan rugilah ia di hari kemudi
an itu !
Murabathah yang keenam ialah mengecam dan menyesali diri sen-
168
di r i yang ada kekurangan dalam menghadapi Allah nya . Keadaan in i
d inamakan Mu'atabah.
M e m a n g pembicaraan tentang diri atau nafsu manusia itu rupanya
sangat dipent ingkan oleh orang Su f i , untuk digunakan sebagai tempak
bertolak. A r t i nafs atau nafsu dan nafsi berputar sekitar d i r i dan j i w a ,
kadang-kadang d imaksudkan dengan pengertian d i r i , kadang-kadang
j i w a manusia.
Mu'atabah tak dapat dicapai sebelum j i w a dan d i r i i tu d ikenal le
bih dahulu . K a t a n y a mengenai j i w a itu fardhu'ain bagi tiap-tiap manu
sia, sebab mengenai T ü h a n i tu berhubungan rapat dengan mengenai
d i r i sendiri . " B a r a n g siapa mengenai d i r inya , niscaya ia mengenai T u
h a n n y a " , kata orang Sufi dengan pengertian, bahwa d i r i i tu harus d i
kenal sebagai suatu zat yang h ina , lemah, dha ' i f , dan fana, pengenalan
mana dapat men imbulkan keyakinan bahwa T u h a n itu mul ia , berkuasa,
kekal adanya. Orang yang tidak mengenai d i r inya , tidak akan mengenai
Allah nya , baik di dunia atau d i akhirat dan apabila ia t idak kenal
akan Allah nya , maka ia tidak dapat menyembah Allah nya itu dengan
sebaik-baiknya. B u k a n k a h orang yang buta di dunia i n i , buta pula nan-
ti di akhirat , bahkan lebih sesat lagi? B u k a n k a h manusia dan j i n i tu d i
j ad ikan semata-mata untuk menyembah Allah nya?
Orang Sufi mengart ikan nafs i tu suatu benda yang sangat halus
dan pel ik, pada mulanya sebelum d imasukkan ke dalam badan manusia
bernama roh. R o h itu sudah d i jad ikan T u h a n seribu tahun lebih dahulu
dibandingkan kemurnian semula. M a k a perlulah hal ini diingat-ingat, kare
na peringatan itu bermanfa'at bagi orang m u ' m i n .
R o h itu yaitu suatu jauhar yang bercahaya atas badan manu
sia, j i k a cahaya itu melihat kepada badan lahir dan badan bathin, akan
terjagalah dan terbangkit lah manusia itu dibandingkan t idurnya, namun j i k a
ia memerc ikkan cahayanya hanya kepada badan bathin saja, tidak ke
pada badan lahir juga , lalu mengakibatkan t idur , dan apabila ia memu-
tuskan cahaya sama sekali dengan manusia i tu , maka terjadilah kemati-
an atas d i r i manusia i tu .
Tiap- t iap ma'siat i tu , kealpaan, syahwat, dan syirk, d i t imbu lkan
sebab cinta dan r indu kepada d i r inya sendiri saja. F i r ' a u n tatkala
sangat r indu kepada d i r inya terjerumuslah ia ke dalam jurang kebinasa-
an, sehingga ia berkata dengan congkak dan sombongnya : " A k u l a h
169
T u h a n m u yang te r t inggi" .
D a l a m pada itu tiap ketha 'atan, kebangki tan, kehormatan d i r i dan
musyahadah, semuanya i tu disebabkan oleh sebab manusia i tu dapat
meiepaskan kecintaan dan ker induan kepada d i r inya . M a k a ternyatalah
bahwa tidak ada yang lebih besar kewajiban manusia da lam tingkat per
tama dar ipada mengenai d i r inya , dan orang yang mengenai d i r i i tu saja-
lah yang dapat memancarkan sifat-sifat yang buruk dan dendam, dsb.
Bagi j i w a itu ada tujuh tingkat sebagai ini di bawah in i .
Pertama namanya nafsul amarah, yai tu j i w a yang lebih condong
kepada kebuAllah badan, j i w a yang terpengaruh oleh kelezatan, syah
wat, dan yang menyeretkan hati ke da lam lembah kehinaannya, in i lah
yang yaitu serangan kejahatan dan sumber kelakuan-kelakuan
yang tercela, sebab ia dapat memancarkan sifat-sifat yang buruk dan
dendam, dsb.
Kedua namanya nafsul lauwamah, yai tu j i w a yang menerangi lu -
buk hati manusia , sekali ia men imbulkan kekuatan yang bi jaksana, la in
kal i ia menciptakan keinginan berbuat ma'siat , da lam hal mana ia me
nyesal dan menyadari d i r inya , maka ia yaitu sumber penyesalan,
atau menggerakkan hawa nafsu, salah sangka dan kep ic ikan .
Ketiga namanya nafsul muthma'innah, yai tu j i w a yang di i r ingi hati
dengan cahayanya yang murni dan terang-benderang, sehingga hati itu
terlepas dar ipada segala sifat-sifat yang tercela, dan dapat bertambah
pada tingkat kesempurnaannya, dan apabila keadaan ini mengekal ,
maka seluruh badannya pun akan terbuka kepada kebenaran.
Keempat namanya nafsul mulhamah, yaitu j i w a yang d i i l hamkan
A l l a h dan d ikurn ia i dengan i l m u , serta sifat-sifat yang baik , seperti
tawadhu, rendah d i r i , kemurahan dsb. J iwa ini yaitu juga sumber
sabar, bertahan dan syukur .
Kelima namanya nafsur radhiyah, yai tu j i w a yang merelai T u h a n ,
diberi kedudukannya dalam kesejahteraan dan merasakan nikmat T u
han.
keenam namanya nafsul-mardhiyah, yai tu j i w a yang dir idhai T u
han juga, namun d i l ah i rkan kerelaan T u h a n itu sebagai bukt i kepadanya
berupa kemul iaan, keramat, ikhlas , dan selalu ingat, kepada T u h a n .
Da lam tingkat ini orang-orang salik meletakkannya, mengenai Allah -
170
nya dengan sebaik-baiknya, dan lahir Allah nya kepadanya dalam afa l -
nya.
Ketujuh namanya nafsul kamilah, yaitu jiwa yang sudah sempurna
dalam dasar bentuknya, jiwa yang meningkat dalam kesempurnaannya,
jiwa yang dianggap cakap untuk kembali menghadapi hamba Allah un
tuk mengerjakan, irsyad, dan menyempurnakan, ikmal, mereka itu.
Maka orang yang berjiwa inilah yang berhak memakai gelar Mursyid
dan Mukammil . Makamnya yaitu pada tingkat tajalli asma dan sifat,
dan halnya yaitu baqabillah, pergi kepada Al lah , kembali dibandingkan
Allah kepada Al lah , tidak ada tempatnya selain Al lah , dan tidak ada
ilmunya selain yang diperoleh dibandingkan Al lah . Ia fana pada Allah.
Maka oleh sebab itu berpindah dari satu tingkat jiwa ke tingkat
jiwa yang lain tidak mudah, namun harus dicapai melalui maqamat dan
ihwal, yang ada dalam tarekat-tarekat latihan atau riadhahnya.
Dalam perjalanannya itu ia harus mengenai sungguh-sungguh akan
diri dan jiwanya, dengan sungguh-sungguh menyesali dan menginsafi
jiwanya itu, ma'atabah, siang malam berpikir baik dengan kesalehan
amalnya, maupun dengan kebersihan jiwanya, selekas mungkin menuju
kembali kepada Allah , yang dicari dan dikejar-kejar oleh orang Sufi
itu.
2. SYAJA'AH.
Di antara sifat-sifat mengenai budi pekerti, orang Sufi memberikan
nilai tinggi kepada sifat keberanian, yang dinamakan syaja'ah adabi-
yah, keberanian yang tidak melampaui batas kesopanan. Memang sya
ja'ah ini yaitu salah satu dibandingkan sifat-sifat orang Sufi yang terpen
ting, yang terbaik dan yang tertonjolkan kepada umum. Syaja'ah tidak
usah diartikan berani menentang, berani melawan atau berani berkela-
hi. Keberanian semacam ini kadang-kadang termasuk sifat yang diang
gap rendah oleh orang Sufi. Syaja'ah atau keberanian dapat diartikan
lain dari biasa. Orang Sufi dikatakan berani, sebab ia berani menderi
ta kehinaan dalam dunia, berani menderita hidup sederhana dan serba
kekurangan di tengah-tengah kehidupan yang mewah, sebab pada pen-
dapatnya mencintai dunia dan hidup mewah itu yaitu pokok ke-
takutan dan kegelisahan selalu cemas tidak cukup, selalu cemas tidak
171
tenteram, begitu juga pada pendapatnya bahwa orang-orang dunia ini
hanya mencintai kekayaan belaka, tidak melihat keselamatan diri ke
cuali sebahagiaan dalam membujuk dan menjilat, sebahagian dalam
menyombongkan diri dan bersikap ria takabur belaka.
Dalam sejarah dapat dilihat contoh-contoh keberanian orang-orang
yang beriman. Tidak saja ia berani menghadapi musuh dalam pepe
rangan, namun juga ia berani menghadapi kemungkaran dalam diri sen
diri. Bilal dalam peperangan berani menghabiskan jiwa seorang besar
Quraisy bekas tuannya, mengapa pada waktu damai ia tidak berani me-'
lawan hawa nafsu sendiri ?
Apa yang menyebabkan seorang Badawi biasa pada waktu mende
ngar Khalifah Umar mengucapkan khutbah keangkatannya dan menga
takan bahwa ia akan berlaku adil, orang Badawi itu berani berdiri de
ngan pedang terhunus sambil berkata : " J ika engkau tidak benar, maka
pedangku inilah akan meluruskan Umar biri Khatab!" Begitu juga jika
tidak ada keberanian tersebut, akan tidak ada dalam sejarah se
orang miskin menghina Sulaiman bin Abdul Malik di atas takhta ke
rajaan dengan teriaknya supaya ia berlaku lebih adil dan lebih sayang
kepada rakyatnya, lebih takut kepada Allah dengan cara pemerintahan
yang lebih bijaksana, yang lebih sesuai dengan amanat penderitaan rak
yat.
Yang demikian itu terjadi sebab orang Sufi itu menganggap diri
nya bertanggung jawab kepada Allah , untuk memperingati raja-raja
dan pemimpin-pemimpin, agar mereka menginsafi dirinya dibandingkan ke-
mabukan duniawi, yang melupakan mereka kepada Allah serta siksaan
di hari akhirat.
Syuaib bin Harb mengemukakan dalam kitab "Tarikh Baghdad"
suatu ceritera sebagai berikut : "Dalam suatu perjalanan saya ke Mek
kah saya melihat Khalifah Harunur Rasyid, maka saya berkata pada
diri saya : Sekarang datang suatu kesempatan bagimu untuk meiepas
kan kewajiban memberikan dia nasehat tentang amar ma'ruf dan nahi
munkar. Maka dikatakan orang kepadaku : jangan kamu berbuat yang
demikian, sebab orang ini kejam. Apabila engkau mengecam tingkah-
lakunya, ia menyuruh membunuh engkau. namun aku berkata pada
diriku : Bagaimanapun juga aku mesti berbuat demikian. Maka tatkala
Khalifah itu dekat padaku, aku pun berteriak : Hai , Harun! Engkau
172
sudah menyusahkan rakyatmu, sekarang engkau menyusahkan pula bi
natang kendaraanmu!" Khalifah lalu memerintah pengiringnya menyu-
ruh membawa aku masuk ke hadapannya, sedang dia duduk di atas se
buah kerosi bertatahkan permata, sambil mempermain-mainkan cam-
buk di tangannya. Ia bersabda : Dari golongan mana orang ini? Maka
kataku : Dari manusia-manusia yang fana. Maka ujarnya : Apakah
engkau ini anak buangan ibumu? Maka kataku : A k u ini dibandingkan anak
Adam! Katanya pula : Apa yang menggerakkan engkau memanggil aku
dengan nama kecilku?" Maka Syuaib pun merasakan dalam hatinya
sudah datang waktu untuk menyampaikan cita-cita yang sudah lama di-
kandungnya. Maka ia pun berkata : "Allah pun kupanggil dengan
namanya sendiri. A k u panggil selalu : Ya , Allah, ya Rahman! Mengapa
aku tidak boleh memanggilmu dengan namamu? Apa yang dapat meng-
halangi seruanku dengan namamu? Bukankah engkau melihat, bahwa
Allah menamakan makhluknya yang sangat tercinta dengan nama
yang sederhana yaitu Muhammad? Mengapa aku harus memanggil de
ngan gelar, sedang Allah memanggil makhluknya yang sangat dicintai-
nya dengan nama biasa. Apakah engkau suka kupanggil dengan gelar,
seperti Allah pernah memanggil orang yang sangat dibencinya dengan
gelarnya, yaitu Abu Lahab! Tabbat yada Abi Lahab! Celakalah kedua
tangan Abu Lahab! Maka Khalifah Harunur Rasyid berkata : "Keluar-
kanlah orang i n i . " Maka mereka keluarkanlah daku dari hadapannya".
Demikianlah kita lihat keberanian orang Sufi. Meskipun agak su-
kar kita memahaminya, namun dalam kelakarnya terselip, pertama kebe
ranian, dan kedua menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar, yang
terjalin dalam susunan kalimat ma'nawi yang halus.
Kejadian-kejadian yang seperti ini banyak ada dalam sejarah
Islam, dari satu pihak menunjukkan keberanian menegor yang salah,
dari lain pihak memperlihatkan toleransi pembesar-pembesar Islam da
lam masa itu menyambut nasehat dari siapa pun datangnya. Tatkala pa
da suatu hari Khalifah Mansur dalam khutbahnya mengatakan tidak
ada Allah melainkan Allah, bangunlah seorang biasa dari yang hadir
itu sambil berkata " Saya peringatkan engkau kepada nama Allah yang
engkau sebutkan i tu!" Tegoran ini membuat Khalifah terpaksa menam-
bah dalam khutbahnya pengakuan, bahwa ia akan patuh menta'ati pe
rintah Allah yang diperingatkan itu, dan ia minta berlindung dengan
173
nama Allah ini dibandingkan menjadi seorang penguasa yang kejam
dan ma'siat. Penguasa-penguasa yang tidak memiliki toleransi dan
tidak memahami kehidupan Sufi, biasanya merasa tersinggung dan
menghukum orang-orang Sufi yang demikian, yang biasanya menerima
hukuman itu dengan sabar.
Salah seorang yang baik kita jadikan contoh dalam toleransi sema
cam ini ialah Khalifah Harunur Rasyid, yang pada suatu malam datang
ke rumah Fudhail ibn Iyadh dengan temannya Ibn Rabi ' , dan kebetul-
an tatkala sampai di depan pintu mendengar orang Sufi itu membaca
Qur'an : "Adakah patut orang-orang yang berbuat jahat itu mengira,
bahwa kami menjadikan mereka itu sama dengan orang-orang yang ber-
iman dan beramal saleh, di waktu hidup atau di kala mati mereka ?
Alangkah jahatnya tuduhan mereka i t u " (Qur'an X L V : 21). Khalifah
terharu dan berkata kepada Fadhal ibn Rabi ' , bahwa pendengaran itu
tak dapat tidak memberi manfa'at kepada mereka. Tatkala Fadhal me-
nyuruh membuka pintu untuk Khalifah, Ibn Iyadh berkata : " A p a per-
lunya Khalifah padanya". Tatkala Fadhal ibn Rabi ' menerangkan,
barangkali ada faedahnya pertemuan Khalifah itu dengan dia, maka
Fudhail ibn Iyadh turun, membuka pintu dan membawa mereka ke da
lam sebuah bilik yang sudah dipadami lampunya. Tatkala di dalam ge-
lap-gulita itu Ibn'Iyadh menyinggung tangan Khalifah, ia pun mulai
berkata : "Wahai orang yang tangannya demikian lemah-lembutnya,
alangkah berbahagia jika engkau terlepas dibandingkan azab Allah di hari
kemudian nanti". Maka Ibn Iyadh pun berceriteralah : "Pada suatu
hari tatkala Umar bin Abdul Aziz dinobatkan menjadi Khalifah, ia me
manggil tiga orang alim untuk memberikan ia pertunjuk, yaitu Salim
bin Abdullah, Muhammad bin Ka'ab Al-Qurzi , dan Raja' bin Hiwan.
Kepada mereka dikatakan : "Dengan penobatan ini aku mendapat ba
la, berikanlah aku pertunjuk. Banyak raja-raja yang mengalami bala,
aku menganggap engkau dan teman-temanmu membawa nikmat".
Maka berkatalah Salim bin Abdullah : " Y a , daulat Tuanku! Jika
tuan hamba menghendaki kelepasan dibandingkan azab Allah , hendaklah
t