islam 7

Tampilkan postingan dengan label islam 7. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 7. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

islam 7



 a dekat, jelas­

lah sekali bertentangan dengan UUD 1945, yang menyamakan 

kedudukan, hak­hak dan kewajiban­kewajiban warga negara le­

laki dan perempuan. Syariatisasi macam inilah yang seharusnya 

dilihat bertentangan dengan UUD 1945, atau tidak oleh MA yang 

penakut itu. Kalau ada upaya membuat syariatisasi yang sejalan 

atau tidak bertentangan dengan UUD 1945, persoalannya adalah 

penggunaan nama syari’ah itu sendiri. Tentu itu dilakukan de-

ngan tujuan “meng­Islamkan” perundang­undangan di negeri 

ini, sesuatu yang sebenarnya berbau politik. Mantan Ketua Mah­

SyAri’AtiSASi dAn BAnk SyAri’Ah

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 194 h

kamah Agung Mesir, Al­Asmawi3 pernah mengemukakan dalam 

sebuah buku, bahwa tiap undang­undang yang berisikan pence­

gahan dan hukuman (deterrence and punishment) pada haki­

katnya dapat diperlakukan sebagai bagian dari hukum Islam?

Jelaslah dengan demikian, upaya melakukan syari’atisasi 

dengan menggunakan kerangka Al­Asmawi itu, adalah apa 

yang oleh fiqh (hukum Islam) dan cabang­cabangnya dinamai 

“melakukan hal yang tidak perlu, karena sudah dilakukan” (tah-

sil al-hasil). Yang tercapai hanyalah penamaan saja, sedangkan 

substansi atau isinya tidak diperhatikan, sehingga dilakukan se­

cara sembarangan saja. Sedangkan seharusnya, proses syari’ati-

sasi lebih tepat dilakukan oleh masyarakat sendiri, tanpa peng­

gunaan nama syari’ah. Hal ini  dapat terjadi sebagai proses 

dalam hidup bernegara. Dengan demikian dapat disimpulkan, 

karena terbawa oleh kerancuan kerangka berpikir, penyebutan 

syari’ah dalam produk-produk DPRD propinsi, kabupaten dan 

kota hanya bersifat politis saja, sesuatu yang perlu disayangkan. 

eg

Hal lain yang perlu kita sayangkan, bahwa beberapa bank 

pemerintah telah mendirikan bank syari’ah, sesuatu hal yang ma­

sih dapat diperdebatkan. Bukankah bank seperti itu menyatakan 

tidak memungut bunga bank (interest) namun  menaikkan ong­

kos­ongkos (bank cost) di atas kebiasaan? Bukankah dengan 

demikian, terjadi pembengkakan ongkos yang tidak termoni­

tor, sesuatu yang berlawanan dengan prinsip­prinsip cara kerja 

sebuah dengan bank yang sehat. Lalu, bagaimanakah halnya 

dengan transparansi yang dituntut dari cara kerja sebuah bank 

agar biaya usaha dapat ditekan serendah mungkin.

Karenanya, banyak bank­bank swasta dengan para pemi­

lik saham non-muslim, turut terkena “demam syari’atisasi” ter-

sebut. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka 

tentang hukum Islam ini . Begitu juga, sangat kurang dike­

tahui bahwa Islam dapat dilihat secara institusional/kelem­

3  Muhammad Said Al­Asymawi, selain pernah menjabat sebagai Ketua 

Mahkamah Agung di Mesir, dia juga dikenal luas sebagai pakar agama dan in­

telektual humanis terkemuka penentang kecenderungan politik Islamis, khu­

susnya di Mesir. Dia menulis buku al-Islam al-Siyasi (Islam Politik) yang ban­

yak mendapat apresiasi dari banyak kalangan intelektual sekaligus hujatan dari 

kaum Islamis. 

g 195 h

bagaan di satu pihak, dan sebagai kultur/budaya dipihak lain. 

Kalau kita mementingkan budaya/kultur, maka lembaga yang 

mewakili Islam tidak harus dipertahankan mati­matian, seperti 

partai Islam, pesantren, dan tentu saja bank syari’ah. Selama 

budaya Islam masih hidup terus, selama itu pula benih­benih 

berlangsungnya cara hidup Islam tetap terjaga. Karena itu, kita 

tidak perlu berlomba-lomba mengadakan syari’atisasi, bahkan 

itu dilarang UUD 1945 jika dilakukan oleh pihak pemerintah dan 

lembaga­lembaga negara. Mudah dikatakan, namun sulit dilak­

sanakan bukan? h

SyAri’AtiSASi dAn BAnk SyAri’Ah

g 196 h

Dalam tiga dasawarsa terakhir ini, beberapa pemikir me­

ngemukakan apa yang mereka namakan sebagai teori 

ekonomi Islam. Semula, gagasan ini  berangkat dari 

ajaran formal Islam mengenai riba dan asuransi, yang berintikan 

penolakan terhadap bunga bank sebagai riba, dan praktek asuran­

si yang bersandar pada sifat “untung­untungan”. Ditambahkan 

dalam kedua hal itu, penolakan pada persaingan bebas (laisses 

faire) sebagai sistem ekonomi yang banyak digunakan. Intinya 

dalam hal ini adalah sikap melindungi yang lemah dan mem­

batasi yang kuat seperti dalam pandangan Islam.

Dalam perkembangan berikutnya, pada dasawarsa 80­an 

 muncul sejumlah orang yang dianggap menjadi eksponen pan­

dangan ekonomi Islam. Mereka banyak berasal dari lingkung­

an lembaga swadaya masyarakat (LSM), hingga tak heran jika 

mereka mengacu pada orientasi kepentingan rakyat kecil dan 

menolak peranan perusahaan­perusahaan besar dalam tatanan 

ekonomi yang ada waktu itu. Namun, mereka gagal mengajukan 

sebuah teori yang bulat dan utuh yang dapat dianggap mewakili 

ekonomi Islam. Keberatan mereka terhadap praktek­praktek 

kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN), monopoli dan dominasi 

(oleh kerjasama pengusaha dengan para pejabat pemerintahan), 

adalah keberatan yang tidak didukung oleh teori yang lengkap, 

dan dengan demikian hanya dianggap sebagai orientasi kelom­

pok belaka.

Ekonomi Rakyat ataukah 

Ekonomi Islam?

g 197 h

Dengan perubahan kebijaksanaan di masa pemerintahan 

Presiden Soeharto, di ujung dasawarsa itu dan didukung pula 

oleh kemunculan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), 

kelompok ini  lalu berubah pikiran dan ikut memperebut­

kan kekuasaan sebagai pejabat pemerintah. Dengan merebut 

institusi­institusi pemerintahan, berarti mereka lebih menguta­

makan pendekatan institusional dan cenderung meninggalkan 

perjuangan kultural. Namun, “kemenangan” institusional itu ti­

dak membuat mereka semakin kuat, karena mereka tidak dapat 

menghambat korupsi, dan bahkan akhirnya justru mereka sendi­

ri­lah yang melakukan korupsi. Akhirnya mereka menghamba 

pada kekuasaan. Justru organisasi­organisasi Islam seperti Mu­

hammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) yang mempelopori per­

lawanan kultural itu, dengan tetap menolak untuk melegitimasi 

institusi pemerintahan.

eg

Dengan demikian, watak merakyat dari perjuangan di para 

cendikiawan itu berubah menjadi perjuangan politik. Karenanya, 

hal­hal ekonomi pun juga diukur dengan ukuran­ukuran politik. 

Nyata sekali dalam hal ini, contohnya yang terjadi dengan kredit 

usaha tani (KUT). KUT yang semula merupakan program eko­

nomi, dengan cepat berubah menjadi sebuah program politik. 

Yaitu mengusahakan sebuah program pendukung kekuasaan 

untuk menang dalam pertarungan politik melawan pihak­pihak 

lain, tanpa memandang kecakapan ekonomis dan kemampuan 

finansial. Jadilah pelaku program itu seperti sekarang ini, yakni 

menjadi bulan­bulanan pihak Pengadilan Negeri (PN) karena 

mereka dihadapkan pada pengadilan, termasuk di dalamnya 

para kyai. Ini semua, merupakan kenyataan yang tidak dapat 

dibantah oleh siapapun, dan metamorfosa yang terjadi adalah 

bagian dari perjuangan politik, dan bukan bagian dari perjuang­

an ekonomi.

Dengan metamorfosa itu, otomatis upaya menolong rak­

yat kecil hanya menjadi sisa­sisa. Bahwa upaya politik mem­

pertahankan institusi, baik itu institusi mikro seperti proyek­

proyek yang tergabung dalam KUT, maupun upaya makro untuk 

mempertahankan kekuasaan, jelas menggambarkan kenyataan 

menarik: kegagalan dalam mengembangkan apa yang dinama­

EkonomI Rakyat ataukaH EkonomI Islam?

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 198 h

kan ekonomi Islam, baik dalam teori maupun praktek. Rentetan 

yang terjadi adalah, upaya pelestarian kekuasaan secara politis 

juga menghadapi kegagalan pula.

Turut hancur pula dalam proses ini, pengembangan teori 

ekonomi Islam, karena ia dikait­kaitkan dengan kekuasaan yang 

ada. Keadaan diperparah oleh kenyataan tidak adanya penin­

jauan ulang terhadap kebijakan­kebijakan ekonomi pemerintah 

di masa lampau. Ini berarti, gagasan tentang ekonomi Islam di 

negeri kita, tidak pernah didasarkan atas peninjauan mendalam 

dari kebijakan, langkah­langkah dan keputusan­keputusan peme­

rintah di bidang ini . Bagaimana akan dibuat acuan menge­

nai sebuah sistem ekonomi Islam, kalau fakta­fakta ekonomi dan 

finansial semenjak kita merdeka tak pernah ditinjau ulang? 

eg

Dari tinjauan ulang itu akan dapat diketahui, bahwa tata­

nan ekonomi dan finansial kita, didasarkan hampir seluruhnya 

atas kecenderungan menolong sektor yang kuat dan mengabai­

kan sektor yang dianggap sebagai ekonomi lemah. Ketimpangan 

ini dapat dilihat, umpamanya dalam hal pemberian fasilitas, 

kemudahan dan pertolongan bagi usaha kuat. Apalagi, setelah 

beberapa pengusaha keturunan Tionghoa, yang belakangan men­

jadi konglomerat, berhasil menguasai sektor ini . Ekonomi 

rakyat menjadi semakin tidak diperhatikan, dan ungkapan­ung­

kapan tentang ekonomi rakyat itu dalam kebijakan pemerintah 

hanyalah bersifat retorika belaka.

Alokasi dana untuk pengembangan ekonomi rakyat dalam 

RAPBN, umpamanya, menunjukkan betapa sedikitnya perha­

tian kepada sektor ini. Kebocoran RAPBN, yang dalam perkiraan 

Prof. Soemitro Djojohadikusumo telah mencapai 30% dari jum­

lah anggaran, menunjukkan sangat kecilnya perhatian pemerin­

tah kepada sektor ini. Belum lagi matinya kreatifitas usaha kecil 

dan menengah (UKM) di hadapan birokrasi pemerintahan yang 

sangat kaku. saat  para pemikir ekonomi Islam tidak mencari 

pemecahan bagi masalah­masalah yang dihadapi tadi, di sinilah 

tampak adanya kegagalan terhadap apa yang dinamakan ekono­

mi Islam. Itulah sebabnya, mengapa pemikiran mengenai eko­

nomi Islam sekarang menjadi sangat mandul. 

saat  Drs. Kwik Kian Gie mengemukakan keinginan agar 

g 199 h

Indonesia keluar dari dana moneter internasional (IMF, Inter-

national Monetary Fund), tak ada seorang pun dari para pemikir 

gagasan ekonomi Islam itu yang menyatakan suara menerima 

atau menolak pandangan ini . Ini tentu disebabkan oleh pe­

rubahan besar dari pemikir ekonomi itu yang tertuju pada upaya 

politik seperti digambarkan di atas. 

Padahal, salah satu gagasan yang sering dilontarkan pe­

nulis secara lisan dalam rapat­rapat umum di seluruh bagian 

negeri ini, jelas mengacu pada kebuAllah  ini . Keharusan 

kita untuk mempertahankan kompetisi, tata niaga internasional 

dan efisiensi yang rasional, merupakan bagian yang tidak bisa 

ditinggalkan dari sebuah kebangkitan ekonomi. Namun, yang 

harus didorong sekuat tenaga, adalah ekonomi rakyat dalam ben­

tuk kemudahan­kemudahan, fasilitas­fasilitas dan sistem kredit 

sangat murah bagi perkembangan UKM dengan cepat. Dibarengi 

dengan peningkatan pendapatan pegawai negeri sipil dan mili­

ter, yang harus dilakukan guna mendorong peningkatan kemam­

puan daya beli (purchasing power) mereka.

Perkembangan gagasan ekonomi Islam jelas menunjukkan 

kemandulan, karena lebih cenderung untuk mempermasalahkan 

aspek­aspek normatif, seperti bunga bank dan asuransi. Artinya, 

pemikiran yang dikembangkan dalam gagasan ekonomi Islam itu 

lebih banyak menyangkut pencarian nilai­nilai daripada pencari­

an cara­cara/ aplikasi yang dilakukan oleh nilai­nilai ini . 

Jadi, masalahnya cukup sederhana bukan? h

EkonomI Rakyat ataukaH EkonomI Islam?

g 200 h

Sebagai penulis kata pengantar buku “Perekonomian In-

donesia dari Bangkrut Menuju Makmur” ini (Teplok 

Press, Januari 2003), saya bukanlah seorang ahli ekono­

mi. Karena tidak mengetahui lebih mendalam tentang ekonomi 

rakyat (people economics), dan tidak tahu hal­hal lain mengenai 

sebuah perekonomian, kecuali dua hal saja. Pertama, ekonomi 

adalah pemenuhan kebuAllah  manusia, dan ia memiliki meka­

nisme sendiri. Selebihnya, haruslah dirumuskan oleh para ahli 

ekonomi, dan mereka harus mempertimbangkan kaitan sebuah 

perekonomian dengan hal­hal lain dalam kehidupan seperti, 

politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain­lain. Dengan 

kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah 

sepenuhnya dapat diterapkan, sehingga harus selalu diingat 

keterkaitan ekonomi dengan hal­hal lain dalam kehidupan sebu­

ah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah terlepas 

dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional 

maupun internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat 

untuk memisahkan perekonomian kita sendiri dari perekonomi­

an global, yang membuat kita sengsara lebih dari perkiraan kita 

sendiri.

Hal ini dapat kita lihat pada perjalanan sejarah bangsa­

bangsa di dunia ini, yang baru berjalan puluhan ribu tahun saja. 

Karenanya, sangatlah menarik untuk melihat bagaimana kebijak­

an ekonomi yang diambil dalam sejarah sebuah bangsa. Sejarah 

memberikan pengaruh sangat besar kepada para pemimpin 

bangsa yang bersangkutan, dalam menentukan kebijakan demi 

apakah itu Ekonomi Rakyat?

g 201 h

kebijakan selanjutnya. Ini adalah bidang tersendiri, yang sering 

dinamai sejarah perekonomian (economic history), yang merupa­

kan disiplin ilmu, yang harus diketahui seorang penguasa peme­

rintahan. Namun wajar saja, jika seorang penguasa tidak menge­

tahui hal itu, mereka mengira apa yang mereka putuskan hanya 

bersifat teknis belaka, paling tinggi sebagai sebuah “keputusan 

politik”. Dengan demikian, mereka tidak menyadari keputusan 

mereka sebenarnya menyangkut bidang politik ekonomi. Tin­

dakan penguasa itu bagaikan menganggap “susu kerbau sebagai 

susu sapi” hanya karena sama­sama putih warnanya.

Kerancuan mengira apa yang dibaca atau diamatinya dari 

sejarah sebuah bangsa, sebagai sebuah keputusan politik pada­

hal itu adalah keputusan politik ekonomi, pernah juga dialami 

oleh penulis kata pengantar ini (selanjutnya disebut penulis). 

Pada waktu baru di terbitkan, penulis membaca karya Arthur 

M. Schlesinger Jr,1 penulis pidato masa mendiang Presiden Ken­

nedy, yang berjudul “The Age of Jackson”.2 Sebagai dosen Uni­

versitas Harvard di bidang sejarah, ia menghasilkan apa yang 

oleh penulis dianggap sebagai buku sejarah. Baru belakangan 

disadari penulis, bahwa yang dilakukan Presiden Jackson itu 

adalah pengambilan keputusan politik ekonomi yang sangat men­

dasar. Jackson memutuskan untuk mengangkat Kepala Gubenur 

Bank Sentral Amerika dari seorang Jerman berkewarganegaraan 

Amerika Serikat. Ia memimpin sekian orang direktur dengan ja­

batan gubenur, dan bersama mereka mengemudikan bank sen­

tral yang kemudian bernama Federal Reserve System. 

eg

Keputusan Jackson membawa perubahan mendasar atas 

jalannya sistem ekonomi di negara ini . Karena ia meng­

anggap pemimpin Bank Sentral di negerinya harus ditetapkan 

presiden dengan persetujuan kongres. Padahal teori kapitalisme 

1 Arthur Meier Schlesinger, Jr. (Lahir di Colombus, Ohio 15 Oktober 

1917) adalah seorang sejarawan Amerika dan kritikus sosial. Sebagai staf ke­

presidenan, dia memusatkan pekerjaannya pada upaya memberikan masu­

kan­masukan filosofis atas kebijakan presiden­presiden AS, (Andrew Jackson, 

Franklin D. Roosevelt, John F. Kennedy, dan Richard Nixon).

2 Buku ini mendapat hadiah Pulitzer tahun 1946 untuk kategori penu­

lisan sejarah. 

aPakaH Itu EkonomI Rakyat?

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 202 h

klasik menyatakan pemerintah tidak boleh ikut campur dalam 

urusan ekonomi nasional, dan pengangkatan pejabat ekono­

mi dan finansial sepenuhnya menjadi wewenang pihak swasta 

bukan pemerintah. namun  Jackson justru mengangkat para pe­

jabat pemerintahan untuk mengelola bank sentral itu. Hal ini 

menunjukkan keyakinan Jackson, bahwa urusan bank sentral 

tidak terbatas hanya pada bidang ekonomi saja, melainkan juga 

menyangkut pengelolaan uang pajak yang dibayarkan rakyat se­

bagai warga negara. Untuk melakukan pengelolaan itu dan sete­

rusnya, juga menggunakannya untuk keperluan rakyat, harus 

dilakukan oleh “orang­orang pemerintah”. Dengan demikian, 

Jackson berkeyakinan bank sentral bukanlah semata­mata ber­

tanggung jawab atas jalannya perekonomian nasional, melain­

kan juga bertanggung jawab atas tingkat kesejahteraan rakyat.

Apa yang dilakukan Presiden Jackson itu, melahirkan apa 

yang disebut sebagai “kapitalisme rakyat” (folks capitalism). Bah­

wa negara biangnya kapitalisme seperti Amerika Serikat, dapat 

mengembangkan paham kerakyatan seperti itu, adalah suatu hal 

yang sangat menarik. Ini menunjukkan kapitalisme bukan ba­

rang mati melainkan dapat berkembang sesuai dengan kebutuh­

an. Kebencian Bung Karno terhadap kapitalisme, sebenarnya 

adalah penolakan terhadap kapitalisme klasik itu, yang hanya 

dipergunakan untuk mencari keuntungan maksimal bagi para 

pemilik modal belaka. Jika kapitalisme dapat menerima modifi­

kasi, dan dapat dipakai untuk tujuan memperbaiki tingkat hidup 

dan kesejahteraan rakyat di sebuah negara, ia tidak patut lagi 

dibenci seperti itu. Karena itu, kebencian Bung Karno terhadap 

kapitalisme klasik, bukanlah sesuatu yang harus berlaku secara 

tetap atau permanen, melainkan juga harus diarahkan kepada 

modifikasi ideologi ini .

Dengan demikian, jelaslah bahwa ada perbedaan besar an­

tara berpikir ilmiah dan berpikir ideologis. Secara ilmiah pandang­

an apapun memiliki kemungkinan menerima modifikasi, yang 

terkadang merubah orientasi dan pandangan itu sendiri. Sedang­

kan pemikiran ideologis adalah sesuatu yang “jahat”. Karena itu, 

kita harus bedakan benar pemikiran ideologis dan pemikiran il­

miah. Sewaktu membuat pledoi (pembelaan) di muka pengadilan 

kolonial di tahun 1931, sikap Bung Karno memang benar, mela­

wan kapitalisme klasik itu. Ini karena pandangan ini  digu­

nakan untuk menindas bangsa kita. Karena itulah, Bung Karno 

g 203 h

menulis pledoinya ini , yang belakangan diterbitkan dalam 

bentuk buku berjudul “Indonesia Menggugat”.

eg

Sebuah contoh lain dapat dikemukakan dalam hal ini ya­

itu kebijakan Dr. Hjalmar Schacht, Menteri Perekonomian Jer­

man tahun 30­an, di bawah Kepala Pemerintahan Adolf Hitler. 

Ia memutuskan membangun jaringan jalan aspal yang halus 

(autobahnen) di seluruh negeri, sepanjang lebih dari 80.000 

kilometer. Pembuatan jalan raya bagi kendaraan bermotor de­

ngan menggunakan hotmix itu, dengan sendirinya menaikkan 

pendapatan bangsa ini , yang kemudian mendorong mun­

culnya industri pembuatan barang (manufacturing industry) 

yang kuat. Kita ingat pabrik lokomotif Kruff dan mobil Volkswa­

gen yang tangguh. Bahwa kemudian Hitler menempuh kebijakan 

lebensraum (ruang hidup) dengan menjarah negeri­negeri lain, 

tidak merubah kenyataan bahwa pandangan Schacht itu meru­

pakan sesuatu yang sangat diperlukan bangsa Jerman.

Kesalahan Hitler itu, yang berakibat pecah Perang Dunia 

II dengan korban 35 juta jiwa melayang, kemudian diganti oleh 

sebuah pandangan lain yang belakangan dikemukakan oleh Kan­

selir (Perdana Menteri) Jerman Barat Ludwig Erhard.3 Dengan 

pandangan yang terkenal “Sozialen Marktwirtschaft”, adalah 

sebuah upaya untuk meneruskan upaya Schacht itu. Dengan 

pandangannya itu, Erhard mementingkan fungsi sosial, pening­

katan kesejahteraan dan perebutan pasar bagi industri Jerman 

di seantero dunia. Yang direbut bukanlah negara, melainkan pa­

sar tanpa melalui peperangan dan melanggar perikemanusian. 

Jelas ini merupakan modifikasi atas kapitalisme klasik yang oleh 

Karl Marx dan Friederich Engels dianggap mengandung benih­

benih “kontradiksi struktural” yang akan menimbulkan kekeras­

an. Kaum kapitalisme akan berhadapan dengan kaum proletar 

dalam sebuah kontradiksi maha dahsyat, yang akan meliputi se­

luruh dunia.

eg

3  Ludwig Erhard (1897­ 1977) adalah seorang politikus Jerman dari Par­

tai Christian Democratic Union dan Kanselir Jerman (1963­1966). 

aPakaH Itu EkonomI Rakyat?

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 204 h

Buku yang ada di tangan pembaca ini, yang ditulis oleh 

Hendi Kariawan memang tidak menyebutkan kontradiksi seperti 

itu, ataupun menggambarkan modifikasi atas kapitalisme klasik 

yang dilakukan oleh tokoh­tokoh seperti Andrew Jackson. namun  

buku ini sendiri adalah cerminan dari sebuah pandangan, bahwa 

perekonomian nasional sebuah negeri memang harus meng­

abdi kepada kesejahteraan dan tingkat hidup tinggi (high living 

standard) suatu bangsa. Ini adalah juga pandangan dari kapital­

isme klasik yang mengalami modifikasi. Bahwa hal itu kemudian 

dinamai pandangan ekonomi rakyat, tidak dapat menghilangkan 

kenyataan adanya modifikasi itu sendiri. Selama perekonomian 

nasional berdasarkan persaingan atau kompetisi terbuka, dan 

tetap dalam lingkup perdagangan internasional yang bebas dan 

menggunakan prinsip efisiensi rasional, selama itu pula ia tetap 

akan memelihara semangat kapitalisme, walaupun dengan nama 

lain.

Sumbangan pemikiran ekonomi dari buku ini, adalah se­

suatu yang harus kita hargai. Dalam bahasa lain, buku ini menya­

jikan daya hidup (vitalitas) yang terkandung dalam paham 

kapitalisme, perlu dikaji secara ilmiah, bukan secara ideologis. 

Bahwa kemudian muncul sosialisme sebagai lawan kapitalisme 

tidak berarti “konfrontasi” itu bersifat tetap/permanen. Kalau 

meminjam filsafat Hegel tentang thesa melawan antithesa akan 

lahir sinthesa, maka dari kapitalisme klasik melawan sosialisme 

akan lahir pandangan ekonomi rakyat seperti yang digambarkan 

buku ini. h

g 205 h

Sejak kemerdekaan di tahun 1945, orientasi ekonomi kita 

banyak ditekankan pada kepentingan para pengusaha be­

sar dan modern. Di tahun 1950­an, dilakukan kebijakan 

Benteng, dengan para pengusaha pribumi atau nasional memper­

oleh hampir seluruh lisensi, kredit dan pelayanan pemerintah 

untuk “mengangkat” mereka. Hasilnya adalah lahir perusahaan 

“Ali-Baba” , yaitu dengan mayoritas pemilikan ada di tangan para 

pengusaha pribumi (Ali) dan pelaksana perusahaan seperti itu 

dipimpin oleh keturunan Tionghoa (Baba). Ternyata, kebijakan 

itu gagal. ‘Si Baba’ atau pengusaha keturunan Tionghoa, karena 

ketekunan dan kesungguhannya mulai menguasai dunia usaha, 

baik yang bersifat peredaran/perdagangan barang­barang mau­

pun pembuatan/produksinya, walau adanya pembatasan ruang 

gerak warga negara keturunan Tionghoa, untuk tidak aktif/me­

mimpin di bidang­bidang selain perdagangan.

Demikian pula dengan sistem quota dalam pendidikan, 

mau tidak mau mempengaruhi ruang gerak warga negara ketu­

runan Tionghoa di bidang perdagangan saja. Mereka dengan 

segera memanfaatkan kelebihan uang mereka, untuk membiayai 

pendidikan anak­anak mereka di luar negeri. Karena tidak ter­

ikat dengan sistem beasiswa yang disediakan pemerintah untuk 

berbagai bidang studi, mereka lalu memanfaatkan pendidikan 

luar negeri yang memberikan perhatian lebih besar kepada pen­

didikan berbagai bidang seperti, teknologi, produksi, kimia, ko­

munikasi terapan, kemasan (package), pemasaran, penciptaan 

jaringan (networking) dan permodalan. Di tahun­tahun terakhir 

ini, para pengusaha keturunan Tionghoa itu bahkan sudah men­

Ekonomi ditata dari Orientasinya

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 206 h

capai tingkatan kesempurnaan (excellence) dalam bidang­bidang 

ini , seperti terbukti dari hasil­hasil yang dicapai anak­anak 

mereka di luar negeri.

Karena itu tidaklah mengherankan, jika lalu dunia usaha 

(bisnis) mereka kuasai. Para manager/pimpinan usaha ada di 

tangan mereka, bahkan hal itu terasa pada tingkat usaha di bi­

dang keuangan/finansial. Bahkan Bulog dan Dolog hampir selu­

ruhnya berhutang uang pada mereka. Sehingga praktis merekalah 

yang menentukan jalannya kebijakan teknis, dalam hal­hal yang 

menyangkut sembilan macam kebuAllah  pokok bangsa. Tidak 

mengherankan jika lalu ada pihak yang merasa, ekonomi negeri 

kita dikuasai oleh keturunan Tionghoa. Itu wajar saja. Bahkan 

lontaran emosional itu akan menjadi sangat berbahaya, jika di­

tutup­tutupi oleh pemerintah dan media dalam negeri. Namun, 

harus segera ditemukan sebuah kerangka lain, untuk menghin­

darkan lontaran­lontaran perasaan yang emosional seperti itu. 

Janganlah berbagai reaksi itu, lalu berkembang karena diper­

caya oleh orang banyak. 

Kesenjangan kaya­miskin yang terus menjadi besar dalam 

kenyataan, maka diperlukan sebuah penataan ekonomi bangsa 

kita. Bagaimanapun juga harus diakui, bahwa apa­apa yang ter­

baik di negeri kita, dikuasai/dimiliki oleh mereka yang kaya, baik 

golongan pribumi maupun golongan keturunan Tionghoa. Na­

mun untuk menyelamatkan diri dari kemarahan orang melarat, 

baik yang merasa miskin ataupun yang memang benar­benar 

tidak menguasai/memiliki apa­apa, maka elite ekonomi/orang 

kaya kalangan pribumi selalu meniup­niupkan bahwa perekono­

mian nasional kita dikuasai/dimiliki para pengusaha golongan 

keturunan Tionghoa. Karena memang selama ini media nasio­

nal dan kekuasaan politik selalu berada di tangan mereka, de­

ngan mudah saja pendapat umum dibentuk dengan mengang­

gap golongan keturunan Tionghoa, yang lazim disebut golongan 

non­pribumi, sebagai penguasa perekonomian bangsa kita. 

Kesan salah itu dapat segera dibetulkan dengan sebuah 

koreksi total atas jalannya orientasi perekonomian kita sendiri. 

Koreksi total itu harus dilakukan. Orientasi yang lebih memen­

tingkan pelayanan kepada pengusaha besar dan raksasa, apa­

pun alasannya, termasuk klaim pertolongan kepada pengusaha 

nasional “pribumi”, haruslah disudahi. Sebenarnya yang harus 

ditolong adalah pengusaha kecil dan menengah, seperti yang 

g 207 h

diinginkan oleh Undang­undang Dasar kita, maupun berbagai 

peraturan yang lain. Dengan demikian tidaklah tepat memperso­

alkan “pribumi” dan “non­pribumi”, karena persoalannya bukan 

terletak di situ, masalahnya adalah kesenjangan antara kaya dan 

miskin. 

Jadi, yang harus dibenahi, adalah orientasi yang terlalu 

melayani kepentingan orang­orang kaya, atas kerugian orang 

miskin. Kita harus jeli melihat masalah ini dengan kacamata yang 

jernih. Perubahan orientasi itu terletak pada dua bidang utama, 

yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah dan 

upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah itu harus disertai 

pengawasan yang ketat, disamping liku­liku birokrasi, yang me­

mang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan 

kredit murah kepada UKM. Padahal saat ini,  apapun upaya yang 

dilakukan untuk menolong UKM, selalu menghadapi hambatan. 

Jadi, haruslah dirumuskan kerangka yang tepat untuk tujuan ini. 

Dan tentu saja, upaya mengatasi kemiskinan menghadapi begitu 

banyak rintangan dan hambatan, terutama dari lingkungan biro­

krasi sendiri. 

eg

Padahal tujuan pemerintah dan kepemimpinan dalam 

pandangan Islam adalah maslahah al-‘âmmah, yang secara se­

derhana diterjemahkan dengan kata kesejahteraan. Kata kesejah­

teraan ini, dalam Undang­undang Dasar kita, dinamakan keadil­

an dan kemakmuran. Sekaligus dalam pembukaan UUD 1945 

diterangkan, bahwa tujuan bernegara bagi kita semua diibarat­

kan menegakkan masyarakat yang adil dan makmur. Ini juga 

menjadi sasaran dari ketentuan Islam itu, dengan pengungkap­

an “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas rakyat yang 

dipimpinnya, terkait langsung dengan kepentingan rakyat yang 

dipimpinnya (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun bi-

al-mashlahah).“

Dalam bahasa sekarang, sikap agama seperti itu dirumus­

kan sebagai titik yang menentukan bagi orientasi kerakyataan. 

Itulah yang seharusnya menjadi arah kita dalam menyelengga­

rakan perekonomian nasional. Bukannya mempersoalkan asli 

dan tidak dengan latar belakang seorang pengusaha. Pandangan 

picik seperti itu, sudah seharusnya digantikan oleh orientasi per­

EkonomI dItata daRI oRIEntasInya

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 208 h

ekonomian nasional kita yang lebih sesuai dengan kebuAllah  

mayoritas bangsa.

Masalahnya sekarang, perekonomian nasional kita terkait 

sepenuhnya dengan persaingan bebas, keikutsertaan dalam per­

dagangan internasional yang bebas dan mengutamakan efisiensi 

rasional. Karenanya orientasi ekonomi rakyat harus difokuskan 

kepada prinsip “menjaga dan mendorong” UKM. Namun sebe­

lumnya dalam hal ini adalah, keharusan merubah orientasi per­

ekonomian nasional itu sendiri. h

g 209 h

Pertanyaan di atas harus diajukan kepada pemerintahan 

sekarang ini, yang tampaknya tidak memiliki konsep apa 

pun dalam menangani krisis multidimensi yang meng­

hinggapi bangsa kita. Sebab kenyataannya, pemerintah tidak 

memiliki keberanian untuk mengambil satu sikap saja dalam 

setiap persoalan. Karena konsistensi pandangan yang diambil 

tidak diperhatikan, maka orientasi permasalahan tidak pernah 

memiliki kejelasan. Bukti yang paling jelas adalah, inkonsistensi 

dalam orientasi ekonomi kita. Di satu pihak, kita merasakan ada­

nya kecenderungan untuk membiarkan optimalisasi keuntungan, 

yaitu perusahaan mendiktekan “keharusan­keharusan” yang ke­

mudian diikuti pemerintah. Di antaranya adalah dihilangkannya 

bentuk­bentuk subsidi bagi kebuAllah  masyarakat, untuk meng­

hilangkan “kerugian­kerugian” setiap usaha.

Contoh yang paling jelas dan aktual adalah berbagai kenaik­

an tarif dan harga penjualan BBM (Bahan Bakar Minyak). Jelas, 

hal itu disebabkan oleh desakan luar negeri, agar supaya segala 

macam subsidi dihilangkan. Hal itu diperlukan, guna menghin­

darkan “kerugian” pada berbagai BUMN (Badan Usaha Milik 

Negara). Padahal subsidi bagi sejumlah hajat hidup orang ba­

nyak, adalah sebuah keharusan. Dan yang perlu diubah bukan­

lah keberadaan subsidi, melainkan terjadinya biaya tinggi ekono­

mi (high cost economy) akibat permainan birokrasi pemerintah. 

Untuk mengikis KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang 

tambah merajalela ini, diperlukan keberaniaan moral yang tinggi 

dan kemauan politik yang kuat. Bukan dengan mengurangi subsi­

di yang akan menyusahkan rakyat banyak saja. 

Akibatnya sekarang, masyarakat ditimpa dua hal yang sebe­

narnya berbeda satu dengan yang lain. Pertama, rakyat menderita 

Benarkah Harus ada konsepnya?

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 210 h

akibat dicabutnya subsidi dari berbagai barang yang menjadi ke­

buAllah  pokok. Kedua, yang secara politis dianggap sebagai “ke­

buAllah  pokok”, yaitu perdagangan dunia,  rakyat juga “terkena 

imbasnya” akibat kemahiran birokrasi pemerintahan ber­KKN. 

Kedua hal inilah yang dikhawatirkan akan menciptakan situasi 

sangat negatif bagi perekonomian nasional kita, dan bahkan revo­

lusi atau anarki sosial yang tidak terkendalikan lagi. Dalam ung­

kapan lain, bahaya akan terjadinya konflik horisontal haruslah 

benar­benar dirasakan pemerintah, justru agar supaya kita tidak 

terdesak oleh perkembangan keadaan yang sama sekali tidak ter­

duga. Semua itu disebabkan langkanya konsep dalam menangani 

permasalahan krisis multidimensi yang kita hadapi saat ini.

eg     

Di ruang tunggu Bandara Soekarno­Hatta, Cengkareng, 

menjelang keberangkatan ke Semarang, penulis mendengar dari 

tayangan televisi mengenai aktivitas sebuah LSM di Kabupaten 

Simalungun (Sumatera Utara), yang mengusahakan agar masya­

rakat merasakan perlunya kepemilikan hutan pohon meranti di 

sebuah suaka alam yang hanya seluas 200 Ha. Kepemilikan itu 

ternyata berdampak pada terlindung dan terjaganya hutan itu 

dari para perambah hutan, karena masyarakat merasa penting 

melestarikan hutan Meranti itu. Ini menunjukkan bahwa rasa 

turut memiliki oleh rakyat, sebagai sebuah faktor dalam pereko­

nomian kita, memang sangat dibutuhkan. Jadi, penghapusan 

subsidi secara semena­mena akan sangat mempengaruhi kemam­

puan kita untuk menyelesaikan krisis ekonomi, karena hilangnya 

faktor rakyat tadi.

Apa yang terjadi di Kecamatan Purba Tengah di kawasan 

Simalungun itu bersesuaian sepenuhnya dengan usul Erna Witoe­

lar, semasa menjadi Menteri Permukiman dan Pengembangan 

Wilayah, dengan gagasan agar masyarakat diberi kepemilikan 

sejumlah luas tertentu atas hutan­hutan kita, agar mereka mera­

sa berkepentingan untuk menjaga kelestarian hutan. Usul itu 

diajukan untuk mencegah pembakaran hutan oleh orang­orang 

yang membuat ladang. 

Di sini jelas tidak ada perbedaan antara upaya mengatasi 

pembakaran hutan dengan upaya melestarikanya. Kedua kenya­

taan di atas membuktikan betapa pentingnya menciptakan rasa 

g 211 h

memiliki hutan­hutan kita oleh masyarakat luas. Ini dimungkin­

kan, jika pemerintah mengenal sangat dalam atas adanya rasa 

memiliki itu di kalangan masyarakat.

Jadi, faktor masyarakat menjadi sesuatu yang tidak dapat 

dipungkiri lagi oleh siapa pun, terutama pemerintah. Tanpa ada­

nya rasa memiliki seperti itu, sia­sialah kebijakan apa pun yang 

akan di ambil, walaupun para perumus kebijakan itu sendiri 

adalah tokoh­tokoh intelektual dengan berbagai gelar ilmu dari 

beberapa perguruan tinggi, yang memiliki reputasi ilmiah yang 

sangat baik. Jadi, benarlah kata sebaris sajak Arab: “Bukanlah 

pemuda kalau mengatakan itulah bapak kami (yang berbuat), 

melainkan seorang pemuda yang berani berkata inilah aku (laisa 

al-fatâ man yaqûlû kâna abî lâkin al-fatâ man yaqûlû hâ’anâ 

dza).”

eg

Sikap menghamba kepada ‘orang luar’ tanpa memikirkan 

kerugian orang banyak adalah sikap yang sangat sempit, yang 

didasarkan ketakutan pada pihak asing itu sendiri. Dalam ajar­

an Islam, kepentingan orang banyak itu dirumuskan sebagai ke­

buAllah  umum (al-mashlahah al-‘âmmah) yang dalam bahasa 

kita digantikan oleh kata kesejahteraan. Dalam pembukaan Un­

dang­undang Dasar 1945, hal itu dirumuskan sebagai masyara­

kat adil dan makmur. Kata adil (al-adlu) dan kemakmuran (ar-

rafahiyah), menunjukkan orientasi mementingkan kebuAllah  

orang banyak dan kesejahteraan mereka (moril dan materiil). 

Jadi, orientasi kepentingan orang banyak menjadi ukuran pe­

nyelenggaraan pemerintahan dalam Islam. Menarik sekali, ung­

kapan fiqh “kebijakan dan tindakan seorang pemimpin atas/

bagi rakyat yang dipimpin, harus terkait langsung, dengan kese­

jahteraan mereka (tasharruf al-Imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manû-

thun bi al-mashlahah). Karena itu, kepentingan rakyat adalah 

ukuran satu­satunya dalam Islam bagi penyelenggaraan peme­

rintahan yang baik.

Dalam dunia modern sekarang, kebijakan subsidi yang 

tidak begitu mempengaruhi perdagangan bebas selalu terjadi. 

Seperti di Amerika Serikat, dana milyaran dollar US untuk mem­

beli dan menyimpan susu dan produk ikutannya (keju, mentega, 

dan sebagainya), dimasukkan dalam anggaran belanja negara 

bEnaRkaH HaRus ada konsEPnya?

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 212 h

(federal budget) tiap tahunnya. Mengapa? Karena subsidi yang 

diberikan itu menyangkut persediaan dan permintaan (supply 

and demand). Mengapa kita tidak berani menetapkan ukuran 

sendiri mengenai harga minyak bumi dan barang­barang tam­

bang lainnya? Bukankah mark-up dan pungutan–pungutan 

yang dibebankan kepada Pertamina, mengakibatkan mahalnya 

bahan bakar di negeri ini? Bukankah dalam hal ini diperlukan 

subsidi tertentu kepada minyak bumi kita? Subsidi untuk kenda­

raan maupun angkutan yang diperlukan rakyat kebanyakan? 

Jadi, penghapusan subsidi bahan bakar tanpa melihat keperluan 

rakyat, berarti kita menaikkan biaya hidup masyarakat keban­

yakan, tanpa diimbangi oleh kenaikan pendapatan mereka.

Jadi, kebijakan mengurangi subsidi minyak atau menghi­

langkan subsidi bahan bakar minyak adalah sebuah tindakan 

kapitalistik, tanpa melihat pendapatan kebanyakan orang. Ka­

lau pemerintah lalu menaikan harga BBM dan menaikkan tarif­

tarif tertentu, ini jelas menunjukkan orientasi memaksimalkan 

keuntungan (profit maximalization) telah berhasil didesakkan 

oleh negara­negara kapitalis kepada pemerintah. Sikap ini jelas 

menunjukkan berhasilnya tekanan­tekanan beberapa negara 

kuat di Barat atas pemerintah kita, walaupun bertentangan de­

ngan UUD 1945 yang berorientasi memenuhi kebuAllah  orang 

banyak. Tugas kita adalah memberikan koreksi atas keputusan 

ini , karena sudah demikian jelas Islam berorientasi kepada 

kebuAllah  orang banyak. h

   

g 213 h

Serombongan orang mendatangi kantor penulis pada suatu 

siang. Singkatan nama mereka adalah R, S, H dan F. R 

menjadi kontraktor dan supplier sebuah perusahaan nega­

ra yang besar, si S semula bekerja di sebuah perusahaan swasta 

dan sekarang menjadi supplier bagi pemerintah daerah di se­

buah propinsi. H dan F juga pengusaha yang aktif, tapi penulis 

tidak bertanya tentang jenis kegiatan mereka. Dua hal penting 

yang penulis lihat dalam kiprah mereka adalah: pimpinan dae­

rah sebuah parpol, dan dengan demikian menjadi “anak buah” 

penulis; dan mereka mempunyai SPK (surat perintah kerja) 

pelaksana bisnis dari Pemerintah Daerah tempat mereka tinggal, 

untuk menjadi supplier agrobisnis bagi rakyat di tempat mereka 

tinggal.

Yang menarik perhatian penulis, adalah cara berpikir mere­

ka. Di satu sisi, mereka tidak mengandalkan diri pada cara­cara 

politik lama seperti pembagian kaos oblong dan sejenisnya, da­

lam meraih perolehan suara melalui pemilu akan datang; dan di 

pihak lain, mereka langsung menghubungkan masalah politik 

dengan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, mereka me­

lihat politik sebagai sebuah proses, dan tidak mendasarkan ke­

giatan politik atas cara­cara usang, melainkan dengan pendekat­

an menghilangkan kemiskinan. Dalam bahasa klise, yang mereka 

perbuat bukanlah memberikan ikan kepada rakyat, melainkan 

memberikan kail pada mereka untuk mencari ikan sendiri. Ini 

berarti, tingkat kesejahteraan rakyat, ditentukan oleh masyara­

kat sendiri, bukan orang lain. Pendekatan baru ini, katakanlah 

kemiksinan, kaum muslimin, 

dan Partai Politik

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 214 h

sebuah pendekatan struktural dalam menangani masalah ke­

miskinan yang bersifat memberdayakan masyarakat, dan tidak 

bertumpu pada santunan kepada mereka. Pendekatan seperti 

inilah yang jarang terlihat dalam pendekatan partai politik pada 

masyarakat yang terbiasa dengan janji kosong untuk memberan­

tas kemiskinan, dan hanya memberi santunan materi dan him­

bauan moral belaka dalam kampanye pemilihan umum.

eg

Sebuah tindakan merubah kehidupan masyarakat terjadi 

saat  rakyat Amerika Serikat memilih Presiden Andrew Jack­

son1 dalam Abad ke 19 Masehi. Mereka memilih pemimpin yang 

mengerti benar mana yang menjadi hak rakyat, dan mana yang 

menjadi hak perorangan para kapitalis/bankir/industrialis. Me­

reka, di mata Jackson adalah orang­orang yang harus melaku­

kan kegiatan ekonomi dalam arti membangun dan membesar­

kan perusahaan di berbagai bidang namun  tingkat kesejahteraan 

rakyat, adalah tanggung jawab Presiden dan Kongres yang di­

pilih untuk periode tertentu oleh rakyat. Ini berarti, keduanya 

tidak boleh dicampur aduk dan pemisahan ini harus tercermin 

dalam kebijakan pemerintah di bidang ekonomi dan finansial/ 

keuangan. Ia melihat Bank Sentral Amerika Serikat di samping 

menjadi alat pemupukan modal negara, juga menyangkut penge­

lolaan uang pajak penduduk negeri; dan karena itu pengelolaan­

nya ada pada mereka. Maka Bank Sentral negara ini , harus­

lah diisi dengan pimpinan yang ditunjuk rakyat melalui Presiden 

dan Kongres sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini adalah lang­

kah pertama kearah Folks Kapitalism (kapitalisme rakyat), yang 

berbeda dari kapitalisme klasik dari John Stuart Mill.2 Akibat 

sikapnya ini, Jackson harus berhadapan dengan para kapitalis/ 

bankir/ industrialis yang beranggapan, pemerintah sama sekali 

tidak boleh campur tangan dalam Bank Sentral.

Pendapat Jackson itu sebenarnya adalah pendekatan struk­

tural, artinya, hanya dengan perubahan struktur menuju pem­

1 Pria kelahiran Waxhaw, South Carolina 15 Maret 1767 ini adalah Pres­

iden AS ketujuh. Ia berkuasa dari 1829­1837.

2 John Stuart Mill (1806–1873). Mills terkenal dengan teori ekonomi 

kapitalisme klasiknya, sebagaimana tertuang dalam buku Principles of Political 

Economy yang diterbitkan tahun 1848. 

g 215 h

berdayaan masyarakat yang dapat mengurus diri sendiri, barulah 

masyarakat itu akan terbebas dari kemiskinan. Jika hal ini yang 

ingin dicapai sebuah parpol melalui pemilu, maka perubahan 

itu seharusnya menuju pada hilangnya kemiskinan, karena ter­

jadi perubahan struktur masyarakat. Kalau tadinya rakyat hanya 

menunggu santunan pemerintah atau pihak­pihak tertentu saja, 

maka dengan cara pemberian kail ini masyarakat akan mampu 

memecahkan masalah­masalah ekonomi mereka sendiri. Di 

sinilah terletak hubungan antara sebuah sistem ekonomi ideal 

dengan sistem ekonomi yang ada.

Kemampuan rakyat mengubah nasib mereka sendiri de­

ngan bantuan parpol dan sistem politik yang ada merupakan 

masalah pokok yang dihadapi oleh pemilu yang demokratis dan 

melayani kepentingan rakyat. Dan yang dihasilkan adalah para 

anggota perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat 

yang benar­benar bertanggung jawab atas keselamatan negeri 

dalam arti yang luas, yang berfungsi baik, dengan wewenang­

wewenang yang jelas. Dengan cara itulah pembagian wewenang 

antara pihak­pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif terjaga 

dalam keseimbangan, karena semua berkewajiban melayani ma­

syarakat dan tidak mementingkan pelayanan dari masyarakat 

kepada dirinya.

eg

Bagi kaum muslimin tujuan itu benar­benar merupakan 

kewajiban mutlak. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan; “Dibuatkan 

bagi kaum muslimim kehinaan dan kemiskinan (wa dhuribat 

a’laihim adz-dzillatu wa al-maskanah)” (QS. al­Baqarah [2]: 

61), berarti Islam menolak kemiskinan sebagai sesuatu yang 

langgeng dan tetap, Islam menganggap kedua hal berubah­ubah 

menurut struktur masyarakat. Dengan demikian, terserah ke­

pada manusia jualah untuk menghapuskan atau melestarikan 

kemiskinan itu. Allah  atau nasib tidak terkait dengan hal itu, 

sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Termasuk di dalamnya 

struktur masyarakat yang menghapuskan atau melestarikan ke­

miskinan itu sendiri. Walaupun banyak sekali pemahaman kaum 

muslimin yang menganggap masalah kemiskinan sebagai kepas­

tian dari Allah, karena itu harus diganti dengan pemahaman 

lain dari pemahaman itu. Allah akan melestarikan kemiskinan 

kEmIskInan, kaum muslImIn dan PaRPol

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 216 h

apabila manusia sebagai warga masyarakat tidak mengadakan 

perubahan melalui sistem politik yang dianutnya sendiri. 

Jelaslah dengan demikian, manusia menentukan nasib 

mereka sendiri, dan jika tidak menjalankan perubahan itu mere­

ka akan dipersalahkan Allah. Dalam hal ini kitab suci al-Qur’ân 

menyatakan, “Tidaklah kau lihat orang yang menipu agama? 

Yaitu mereka yang membiarkan anak­anak yatim (terlantar) 

dan tidak perduli atas makanan orang miskin? (ara’aita al-ladzî 

yukadzdzibu bi al-dîn fadzâlikâ al-ladzî yadu’ulyatîm. Wa lâ 

yahudhdhu ‘alâ tha’âmi al-miskîn)” (QS. al­Maun [107]:1­3) me­

nunjukan dengan jelas kepada kita adanya orang­orang yang jus­

tru memanipulasi kesengsaraan anak yatim dan hak orang mis­

kin demi kepentingan mereka sendiri. Karena manipulasi seperti 

itu dianggap sebagai perbuatan menipu agama, dengan sendiri­

nya perbaikan harus dilakukan oleh manusia yang sadar untuk 

sistem politik yang membela kepentingan rakyat. Kesimpulan 

seperti itulah yang dicapai oleh kelompok muda yang menjadi 

pimpinan sebuah partai politik di suatu daerah, dan inilah yang 

membahagiakan hati penulis. Perbuatan nyata yang harus men­

jadi dasar bagi perkembangan sebuah parpol, dan bukannya re­

torika belaka. h

g 217 h

Pada pertengahan Desember tahun 2002, penulis bertemu 

sutradara Garin Nugroho1 di Airport Adi Sucipto, Yogya­

karta. Sambil menunggu pesawat terbang yang akan mem­

bawa kami ke Jakarta, Garin Nugroho dan penulis terlibat dalam 

pembicaraan mengenai cara mengatasi krisis multidimensi yang 

kita hadapi saat ini. Sebagai seorang yang melakukan referensi 

terus menerus atas kitab suci al-Qur’ân, penulis mengemukakan 

analogi dari para kyai. Mereka berpendapat krisis multidimensi 

yang kita hadapi saat ini adalah seperti krisis Mesir di zaman Nabi 

Yusuf dahulu. Krisis itu memakan waktu tujuh tahun, menurut 

kitab suci ini . Kalau ini kita analogikan kepada keadaan 

sekarang, maka era tujuh tahun itu akan berakhir pada tahun 

2003 (1997 hingga 2003). Memang, sekarang kalangan atas mu­

lai dapat mengatasi krisis ekonomi, terbukti dari penuhnya jalan 

dengan kendaraan dan lapangan terbang, namun  kalangan bawah 

masih saja mengeluh dan kesusahan karena memang mereka 

masih dilanda krisis. 

Keluhan utama adalah menurunnya daya beli secara dras­

tis, sedangkan harga­harga beberapa jenis barang kebuAllah  

sehari­hari justru melonjak. Dengan demikian, masih menjadi 

pertanyaan apakah dalam waktu cepat krisis multidimensi itu 

dapat dipecahkan, katakanlah pertengahan tahun 2003. Dalam 

hal ini, sangat menarik pembicaraan penulis dengan Kyai Nuk­

man Thahir dari Ampel, Surabaya. Ia menyatakan, kalau kitab 

suci al-Qur’ân dibaca dengan mendalam, di sana disebutkan 

bahwa krisis Nabi Yusuf berlangsung tujuh tahun, namun un­

tuk mengatasi krisis ini  diperlukan juga waktu tujuh tahun 

1 Garin Nugroho Riyanto (lahir di Yogyakarta pada 6 Juni 1961) adalah 

seorang sutradara kenamaan Indonesia. Karyanya sering mendapatkan peng­

hargaan internasional.

menyelesaikan krisis 

mengubah keadaan

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 218 h

lamanya. Penulis menjawab apa yang ia terima dari para kyai 

adalah waktu berlangsungnya krisis itu tujuh tahun lamanya, 

tidak pernah mereka mengatakan diperlukan waktu tertentu 

untuk menyelesaikan krisis. Karenanya, penulis mengungkap­

kan bahwa penyelesaian krisis itu sendiri, terjadi secara formal 

dimulai dalam waktu bersamaan/simultan dengan berakhirnya 

krisis itu. Karenanya, penyelesaian krisis tidak merupakan enti­

tas yang berdiri sendiri terlepas dari krisis yang dialami. 

eg

Percakapan penulis dengan Garin Nugroho di bawah ini 

menjadi petunjuk kongkrit cara penyelesaian masalah secara 

simultan itu. Mula­mula Garin Nugroho mengatakan dua hal 

sangat penting, satu pihak, ada perbedaan/ kesenjangan antara 

para teoritisi hukum dan pembuat undang­undang (DPR dan 

MPR). Para ahli teori hukum itu mengemukakan hukum­hukum 

baru dalam bentuk undang­undang maupun lainnya dari ber­

bagai sumber Eropa Continental yang kita kenal. namun  pelak­

sana berbagai macam peraturan itu, pada umumnya dididik di 

lingkungan hukum Anglo­Saxon yang berlaku di Amerika Seri­

kat. Tidak usah heran, jika terjadi kesenjangan antara kedua 

sistem hukum Anglo­Saxon dan Eropa Continental itu. Adalah 

tugas kita, menurut Garin Nugroho, untuk “mendamaikan” an­

tara keduanya, inilah yang harus diperbuat untuk menyelesaikan 

krisis. 

Dalam percakapan itu, penulis mengemukakan bahwa se­

cara kongkrit apa yang dinamai Garin Nugroho dengan “men­

damaikan” itu, haruslah tercermin dalam empat buah sistem 

politik baru. Katakanlah konsepsi mengenai empat buah sistem 

baru yang diperlukan, untuk kongkritisasi gagasan “mendamai­

kan” dari Garin itu. Di sini, penulis akan mencoba mengemuka­

kan beberapa konsep seperti di bawah ini.

Tentu saja, konsepsi­konsepsi yang dikemukakan itu adalah 

bukan bentuk final dari apa yang penulis pikirkan, karena jus­

tru masih memerlukan perbaikan­perbaikan serius, dan belum 

dapat digunakan sebagai konsepsi formal. Konsep empat sistem 

ini, masih harus diperjuangkan untuk masa kehidupan kita yang 

akan datang. Hanya dengan cara demikianlah, bangsa kita dapat 

mengatasi krisis multidimensional itu dengan cepat. 

g 219 h

Empat sistem baru yang penulis kemukakan kepada Ga­

rin Nugroho; meliputi sistem politik (pemerintahan), perbaikan 

sistem ekonomi dengan mengemukakan sebuah orientasi baru, 

sistem pendidikan nasional dan sistem etika atau hukum, yang 

semuanya harus serba baru. Mengapa baru? Karena sistem lama 

tidak dapat dipakai lagi, tanpa akibat­akibat serius bagi kita. 

Yang didahulukan adalah sistem politik (pemerintahan) yang 

baru. Kedua badan legislatif yang baru, DPR dan DPD (Dewan 

Perwakilan Daerah) haruslah menjadi perwakilan bikameral. 

Mereka bertugas menetapkan undang­undang serta menyetujui 

pengangkatan eksekutif dengan pemungutan suara. Sedangkan 

Presiden dan Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, 

Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di­

pilih langsung oleh rakyat, karena kalau diserahkan pada DPR 

dan DPRD saja hanya akan memperbesar korupsi saja. 

Disamping itu juga dibentuk MPR, yang hanya bersidang 

enam bulan saja, dalam lima tahun. Mereka bertugas menyusun 

Garis­Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang harus dilaksana­

kan seluruh komponen pemerintahan. Keanggotaanya, terdiri 

dari para anggota DPR, DPD dan dari golongan fungsional, guna 

menguntungkan kelompok­kelompok minoritas ikut serta dalam 

proses pengambilan keputusan, yang dicapai melalui prosedur 

musyawarah untuk mufakat, bukannya melalui pemungutan sua­

ra. Dengan demikian, kalangan minoritas turut serta memutus­

kan jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini diper­

lukan, agar semua pihak merasa memiliki negara ini, dan dengan 

demikian menghindarkan separatisme yang mulai bermunculan 

di sana­sini. Justru inilah yang merupakan tugas demokrasi, bu­

kannya liberalisasi total. 

eg

Orientasi baru dalam sistem perekonomian kita, dicapai 

dengan melakukan pilihan berat antara dua hal, yaitu moratorium 

(penundaan sementara) cicilan tanggungan luar negeri kita, dan 

pembebasan para konglomerat hitam yang nakal dari tuntutan 

perdata, jika membayar kembali 95% kredit yang dia terima dari 

bank­bank pemerintah (namun  tuntutan pidana tetap dilakukan 

oleh petugas­petugas hukum). Uang yang didapat dari kedua 

langkah ini, menurut perkiraan sekitar US$ 230 milyar, dan di­

mEnyElEsaIkan kRIsIs mEnGubaH kEadaan

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 220 h

gunakan terutama untuk: Pertama, memberikan kredit ringan, 

kira­kira 5% setahun, bagi UKM (Usaha Kecil dan Menengah) 

dengan pengawasan yang ketat. Kedua, peningkatan pendapat­

an PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan militer, kira­kira sepuluh 

kali lipat dalam masa tiga tahun. Langkah ini guna mencegah 

KKN dan menegakkan kedaulatan hukum. Melalui cara ini pula, 

dapat memperbesar jumlah wajib pajak, menjadi 20 juta orang 

dalam lima tahun dan melipatgandakan kemampuan daya beli 

masyarakat. 

Sudah tentu dikombinasikan dengan hal­hal, seperti per­

baikan undang­undang dan peraturan­peraturan yang ada, ser­

ta penataan kembali BI (Bank Indonesia) dan MA (Mahkamah 

Agung). Melalui langkah­langkah ini, diharapkan dengan cepat 

sebuah pemerintahan yang baru akan segera mengatasi krisis 

multi­dimensional ini. Hal penting lainnya, kemampuan peme­

rintah dalam mengatasi krisis juga sangat bergantung pada ke­

mampuan bekerja sama dengan negeri­negeri lain. Sudah ten­

tu, ini harus dibarengi oleh dua buah perbaikan sistematik lain. 

Perbaikan pertama, adalah pada perbaikan sistem pendidikan 

kita, yang hampir tidak memperhatikan penanaman nilai dari­

pada hafalan. Karena tekanan yang sangat kecil kepada praktek 

kehidupan, dengan sendirinya hafalan mendapatkan perhatian 

yang luar biasa, dan pemahaman nilai­nilai menjadi terbeng­

kalai. Keadaan ini mengharuskan dibuatnya sistem pendidikan 

baru yang lebih ditekankan kepada sistem nilai dan struktur ma­

syarakat yang ada, sehingga pendidikan berdasarkan masyarakat 

(community-based education) dapat dilaksanakan. 

Dikombinasikan dengan perbaikan sistematik pada kerang­

ka etika/moralitas/akhlak yang telah ada dalam kehidupan bang­

sa, maka perbaikan sistem hukum, akan menjadi dasar bagi pe­

ngampunan umum/rekonsiliasi atas kesalahan­kesalahan masa 

lampau, kecuali mereka yang bersalah dan dapat dibuktikan 

secara hukum oleh kekuasaan kehakiman dengan sistem peng­

adilan kita. Tentu saja, ini juga meliputi mereka yang sekarang 

disebut sebagai kaum ekstremis/fundamentalis dalam gerakan 

Islam, selama kejahatan yang mereka perbuat tidak dapat di­

buktikan secara hukum. Sudah tentu ini berlawanan dengan ke­

hendak orang lain yang ingin menghukum segala macam “kesa­

lahan.” Namun, kita harus bertindak secara hukum, bukan kare­

na pertimbangan­pertimbangan lain. h

BAB V

ISLAM PENDIDIKAN DAN 

MASALAH SOSIAL BUDAYA


g 223 h

Pendidikan Islam Harus Beragam

Dalam sebuah dialog tentang pendidikan Islam, yang ber­

langsung di Beirut (Lebanon) tanggal 13­14 Desember 

2002 dan diselenggarakan oleh KAF (Konrad Adenauer 

Stiftung), ternyata disepakati adanya berbagai corak pendidikan 

agama. Hal ini juga berlaku untuk pendidikan Islam. Ternyata 

ada beberapa orang yang terus terang mengakui, maupun yang 

menganggap, pendidikan Islam yang benar haruslah mengajar­

kan “formalisasi” Islam. Termasuk dalam barisan ini adalah 

dekan-dekan Fakultas Syari’ah dan Perundang-undangan dari 

Universitas Al­Azhar di Kairo. Diskusi tentang mewujudkan 

“pendidikan Islam yang benar” memang terjadi, tapi tidak ada 

seorang peserta pun yang menafikan dan mengingkari peranan 

berbagai corak pendidikan Islam yang telah ada. Penulis sendiri 

membawakan makalah tentang pondok pesantren sebagai ba­

gian dari pendidikan Islam.

Dalam makalah itu, penulis melihat pondok pesantren dari 

berbagai sudut. Pondok pesantren sebagai “lembaga kultural” 

yang menggunakan simbol­simbol budaya Jawa; sebagai “agen 

pembaharuan” yang memperkenalkan gagasan pembangunan 

pedesaan (rural development); sebagai pusat kegiatan belajar 

masyarakat (centre of community learning); dan juga pondok pe­

santren sebagai lembaga pendidikan Islam yang bersandar pada 

silabi, yang dibawakan oleh intelektual prolifik Imam Jalaluddin 

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 224 h

Abdurrahman Al­Suyuti1 lebih dari 500 tahun yang lalu, dalam 

Itmam al-Dirayah. Silabi inilah yang menjadi dasar acuan pon­

dok pesantren tradisional selama ini, dengan pengembangan “ka­

jian Islam” yang terbagi dalam 14 macam disiplin ilmu yang kita 

kenal sekarang ini, dari nahwu/ tata bahasa Arab klasik hingga 

tafsir al-Qur’ân dan teks Hadits Nabi. Semuanya dipelajari dalam 

lingkungan pondok pesantren sebagai sebuah lembaga pendidik­

an Islam. Melalui pondok pesantren juga nilai ke­Islam­an ditu­

larkan dari generasi ke generasi.

Sudah tentu, cara penularan seperti itu merupakan titik 

sambung pengetahuan tentang Islam secara rinci, dari generasi 

ke generasi. Di satu sisi, ajaran­ajaran formal Islam dipertahan­

kan sebagai sebuah “keharusan” yang diterima kaum muslimin 

di berbagai penjuru dunia. namun , di sini juga terdapat “benih­

benih perubahan”, yang membedakan antara kaum muslimin di 

sebuah kawasan dengan kaum muslimin lainnya dari kawasan 

yang lainnya. Tentang perbedaan antara kaum muslimin di 

suatu kawasan ini, penulis pernah mengajukan sebuah makalah 

kepada Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1980­an. Tentang 

perlu adanya “studi kawasan” tentang Islam di lingkungan Af­

rika Hitam, budaya Afrika Utara dan negeri­negeri Arab, budaya 

Turki­Persia­Afghan, budaya Islam di Asia Selatan, budaya Is­

lam di Asia Tenggara dan budaya minoritas muslim di kawasan­

kawasan industri maju. Sudah tentu, kajian kawasan (area studi-

es) ini diteliti bersamaan dengan kajian Islam klasik (classiccal 

Islamic studies). 

eg

1 Nama lengkapnya adalah Abu al­Fadl Abdur Rahman bin Abu Bakar 

bin Muhammad Jalaluddin as­Suyuti. Ulama besar kelahiran Kairo, 1 Rajab 

849/3 Oktober 1445 ini dikenal sebagai penulis kitab dalam berbagai disiplin 

ilmu yang produktif. As­Suyuti yang hidup pada masa Dinasti Mamluk pada 

abad ke­15, memulai aktivitas menulisnya sejak umur 17 tahun. Menurut 

catatan para sejarawan, As­Suyuti telah menulis 571 buah buku, baik berupa 

buku dengan jumlah halaman yang banyak, maupun buku­buku kecil dan ka­

rangan­karangan singkat. Bukunya yang terkenal di kalangan pesantren dalam 

bidang kaidah fikih adalah al-Asbah wa an-Nazair fi Qawa’id wa Furu’ Fiqh 

asy-Syafi’i. Dalam kitab ini, as­Suyuti menjelaskan secara gamblang dengan 

contoh-contoh penerapan dan kandungan al-Qawa’id al-Khamsah yang ber­

laku dalam Mazhab Syafi’i.   

g 225 h

Pembahasan pada akhirnya lebih banyak ditekankan pada 

dua hal yang saling terkait dalam pendidikan Islam. Kedua hal 

itu adalah, pembaharuan pendidikan Islam dan modernisasi 

pendidikan Islam, dalam bahasa Arab: tajdid al-tarbiyah al-Islâ-

miah dan al-hadâsah. Dalam liputan istilah pertama, tentu saja 

ajaran­ajaran formal Islam harus diutamakan, dan kaum musli­

min harus dididik mengenai ajaran­ajaran agama mereka. Yang 

diubah adalah cara penyampaiannya kepada peserta didik, se­

hingga mereka akan mampu memahami dan mempertahankan 

“kebenaran”. Bahwa hal ini memiliki validitas sendiri, dapat di­

lihat pada kesungguhan anak­anak muda muslimin terpelajar, 

untuk menerapkan apa yang mereka anggap sebagai “ajaran­ajar­

an yang benar” tentang Islam. Contoh paling mudahnya adalah 

menggunakan tutup kepala di sekolah non­agama, yang di negeri 

ini dikenal dengan nama jilbab. Ke­Islaman lahiriyah seperti itu, 

juga terbukti dari semakin tingginya jumlah mereka dari tahun 

ke­tahun yang melakukan ibadah umroh/ haji kecil.

Demikian juga, “semangat menjalankan ajaran Islam”, da­

tangnya lebih banyak dari komunikasi di luar sekolah, antara ber­

bagai komponen masyarakat Islam. Dengan kata lain, pendidik­

an Islam tidak hanya disampaikan dalam ajaran­ajaran formal 

Islam di sekolah­sekolah agama/madrasah belaka, melainkan 

juga melalui sekolah­sekolah non­agama yang berserak­serak di 

seluruh penjuru dunia. Tentu saja, kenyataan seperti itu tidak 

dapat diabaikan di dalam penyelenggaraan pendidikan Islam di 

negeri manapun. Hal lain yang harus diterima sebagai kenyataan 

hidup kaum muslimin di mana­mana, adalah respon umat Islam 

terhadap “tantangan modernisasi”. Tantangan seperti pengen­

tasan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup dan sebagainya, 

adalah respon yang tak kalah bermanfaatnya bagi pendidikan Is­

lam, yang perlu kita renungkan secara mendalam.

Pendidikan Islam, tentu saja harus sanggup “meluruskan” 

responsi terhadap tantangan modernisasi itu, namun kesadar­

an kepada hal itu justru belum ada dalam pendidikan Islam di 

mana­mana. Hal inilah yang merisaukan hati para pengamat 

seperti penulis, karena ujungnya adalah diperlukan jawaban yang 

benar atas pernyataan berikut: bagaimanakah caranya membuat 

kesadaran struktural sebagai bagian alamiah dari perkembangan 

pendidikan Islam? Dengan ungkapan lain, kita harus menyimak 

perkembangan pendidikan Islam di berbagai tempat, dan mem­

PEndIdIkan Islam HaRus bERaGam

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 226 h

buat peta yang jelas tentang konfigurasi pendidikan Islam itu sen-

diri. Ini merupakan pekerjaan rumah, yang mau tak mau harus 

ditangani dengan baik. 

eg

Jelas dari uraian di atas, pendidikan Islam memiliki begitu 

banyak model pengajaran, baik yang berupa pendidikan sekolah, 

maupun “pendidikan non­formal” seperti pengajian, arisan dan 

sebagainya. Tak terhindarkan lagi, keragaman jenis dan corak 

pendidikan Islam terjadi seperti kita lihat di tanah air kita dewasa 

ini. Ketidakmampuan memahami kenyataan ini, yaitu hanya me­

lihat lembaga pendidikan formal seperti sekolah dan madrasah2 

di tanah air sebagai sebuah institusi pendidikan Islam, hanyalah 

akan mempersempit pandangan kita tentang pendidikan Islam 

itu sendiri. Ini berarti, kita hanya mementingkan satu sisi be­

laka dari pendidikan Islam, dan melupakan sisi non­formal dari 

pendidikan Islam itu sendiri. Tentu saja ini menjadi tugas berat 

para perencana pendidikan Islam. Kenyataan ini menunjukkan 

di sinilah terletak lokasi perjuangan pendidikan Islam. 

Dalam kenyataan ini haruslah diperhitungkan juga penja­

baran tarekat dan gerakan shalawat Nabi, yang terjadi demikian 

cepat di mana­mana. Tentu saja, “kenyataan yang diam” seperti 

itu sebenarnya berbicara sangat nyaring, namun kita sendiri yang 

tidak dapat menangkapnya. Seorang warga Islam yang memper­

oleh kedamaian dengan ritual memuja Nabi itu, dengan sendiri­

2 Kata ini berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat belajar (dari akar 

kata darasa= belajar). Istilah madrasah di tanah air seringkali digunakan un­

tuk penyebutan sekolah agama Islam, tempat proses belajar mengajar ajaran 

Islam secara formal yang mempunyai kelas (dengan sarana antara lain; meja, 

bangku, dan papan tulis) dan kurikulum dalam bentuk klasikal. Namun dalam 

perkembangan selanjutnya, kata madrasah secara teknis mempunyai arti atau 

konotasi tertentu, yaitu suatu gedung atau bangunan tertentu yang lengkap 

dengan segala sarana dan fasilitas yang menunjang proses belajar agama. 

Dalam pengertiannya yang lebih luas, istilah madrasah juga berarti aliran atau 

mazhab, yaitu sebuatan bagi sekelompok ahli yang mempunyai pandangan atau 

paham yang sama dalam ilmu­ilmu keislaman, seperti di bidang fikih (hukum 

Islam). Penulis­penulis Barat menerjemahkannya menjadi school atau aliran, 

seperti Madrasah Maliki, Madrasah Syafi’I, Madrasah Hanafi dan Madrasah 

Hanbali yang sinonim dengan Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, Mazhab Hanafi, 

dan Mazhab Hanbali. 

g 227 h

nya berupaya menyesuaikan hidupnya dari pola hidup Nabi yang 

diketahuinya, yaitu kepaAllah  kepada ajaran Islam. Ritual itu, 

tentu saja akan menyadarkan kembali orang ini  kepada ke­

hidupan agama walaupun hanya bersifat parsial (juz’i) belaka. 

Hal inilah yang seharusnya kita pahami sebagai “kenyataan so­

sial” yang tidak dapat kita pungkiri dan abaikan. 

Karenanya, peta “keberagaman” pendidikan Islam seperti 

dimaksudkan di atas, haruslah bersifat lengkap dan tidak meng­

abaikan kenyataan yang ada. Lagi­lagi kita berhadapan dengan 

kenyataan sejarah, yang mempunyai hukum­hukumnya sendiri. 

Mengembangkan keadaan dengan tidak memperhitungkan hal 

ini, mungkin hanya bersifat menina­bobokan kita belaka dari 

tugas sebenarnya yang harus kita pikul dan laksanakan. Sikap 

mengabaikan keberagaman ini, adalah sama dengan sikap bu­

rung onta yang menyembunyikan kepalanya di bawah timbunan 

pasir tanpa menyadari badannya masih tampak. Jika kita masih 

bersikap seperti itu, akan berakibat sangat besar bagi perkem­

bangan Islam di masa yang akan datang. Karenanya jalan terbaik 

adalah membiarkan keanekaragaman sangat tinggi dalam pendi­

dikan Islam dan membiarkan perkembangan waktu dan tempat 

yang akan menentukan. h

PEndIdIkan Islam HaRus bERaGam

g 228 h

Dalam kitab suci al-Qur’ân dinyatakan: “Demi masa, manu­

sia selalu merugi, kecuali mereka yang beriman, beramal 

shaleh, berpegang kepada kebenaran dan berpegang ke­

pada kesabaran (Wa al-‘ashri inna al–insâna la fî khusrin illâ al-

ladzîna ‘âmanû wa ‘amilu al-shâlihâti wa tawâshau bi al-haqqi 

wa tawâshau bi al-shabr)” QS al­‘Ashr (103):1­3). Ayat ini  

mengharuskan kita senantiasa menyerukan kebenaran namun 

tanpa kehilangan kesabaran. Dengan kata lain, kebenaran baru­

lah ada artinya, kalau kita juga memiliki kesabaran. Kadangkala 

kebenaran itu baru dapat ditegakkan secara bertahap, seperti 

halnya demokrasi. Di sinilah rasa pentingnya arti kesabaran.

Demikian pula sikap pemaaf juga disebutkan sebagai tanda 

kebaikan seorang muslim. Sebuah ayat menyatakan: “Apa yang 

mengenai diri kalian dari (sekian banyak) musibah yang menim­

pa, (tidak lain merupakan) hal­hal berupa buah tangan kalian 

sendiri. Dan (walaupun demikian) Allah memaafkan sebagian 

(besar) hal­hal itu (mâ ashâbakum min mushîbatin fa bimâ ka-

sabat a’ydîkum wa ya’fû ‘an katsîrin)” (QS al­Syura (42):30). 

Firman Allah ini mengharuskan kita juga mudah memberikan 

maaf kepada siapapun, sehingga sikap saling memaafkan adalah 

sesuatu yang secara inherent menjadi sifat seorang muslim. Ini­

lah yang diambil mendiang Mahatma Gandhi sebagai muatan 

dalam sikap hidupnya yang menolak kekerasan (ahimsa), yang 

terkenal itu. Sikap inilah yang kemudian diambil oleh mendiang 

Bersabar dan memberi maaf

g 229 h

Pendeta Marthin Luther King Junior1 di Amerika Serikat, dalam 

tahun­tahun 60­an, saat  ia memperjuangkan hak­hak sipil 

(civil rights) di kawasan itu, yaitu agar warga kulit hitam berhak 

memilih dalam pemilu.

Hal ini membuktikan, kesabaran dalam membawakan kebe­

naran adalah sifat utama yang dipuji oleh sejarah. Sebagaimana 

dituturkan oleh kisah perwayangan, para ksatria Pandawa yang 

dengan sabar dibuang ke hutan untuk jangka waktu yang lama, 

juga merupakan contoh sebuah kesabaran. Jadi, kesadaran akan 

perlunya kesabaran itu, memang sudah sejak lama menjadi sifat 

manusia. Tanpa kesabaran, konflik yang terjadi akan dipenuhi 

oleh kekerasan. Sesuatu yang merugikan manusia sendiri. Ke­

kerasan tidak akan dipakai, kecuali dalam keadaan tertentu. Hal 

ini memang sering dilanggar oleh kaum muslimin sendiri. Su­

dah waktunya kita kaum muslimin kembali kepada ayat di atas 

dan mengambil kesabaran serta kesediaan memberi maaf, atas 

segala kejadian yang menimpa diri kita sebagai hikmah.

eg 

Hiruk pikuk kehidupan, selalu penuh dengan godaan ke­

pada kita untuk tidak bersikap sabar dan mudah memberikan 

maaf. Dalam pandangan penulis, kedua hal ini  seharus­

nya selalu digunakan oleh kaum muslimin. namun  harus kita 

akui dengan jujur, bahwa justru kesabaran itulah yang paling 

sulit ditegakkan dan kalau kita tidak dapat bersabar bagaima­

na kita akan memberi maaf atas kesalahan orang kepada kita? 

Jelas, bahwa antara keduanya terdapat hubungan timbal balik 

yang sangat mendalam, walaupun tidak dapat dikatakan terjadi 

hubungan kausalitas antara kesabaran dan kemampuan memaaf­

kan kesalahan orang lain pada diri kita. 

Kita sebagai seorang muslim, mau tidak mau harus menye­

1  Dr. Marthin Luther King Jr. (1929­1968) adalah seorang pendeta di 

Amerika Serikat yang terkenal dengan komitmen dan perjuangannya terhadap 

persamaan antar ras dan perbedaan kulit, hitam dan putih, di negaranya. Ia 

berhasil memimpin pendobrakan segregasi antar ras dan perbedaan kulit di di 

pabrik­pabrik serta di kendaraan dan tempat­tempat umum di AS yang mem­

berikan inspirasi bagi persamaan umat manusia dan kebebasan sipil di seluruh 

dunia. Karena perjuangannya ini , ia mendapatkan Nobel Perdamaian ta­

hun 1964.  

bERsabaR dan mEmbERI maaF

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 230 h

diakan keduanya sebagai pegangan hidup baik secara kolek­

tif maupun secara perorangan. Dari sinilah dapat dimengerti, 

mengapa hikmah 1 Muharam 1424 Hijriyah ini sebaiknya tetap 

ditekankan pada penciptaan kesabaran dan penumbuhan ke­

mampuan untuk memberikan maaf kepada orang yang dalam 

pandangan kita, berbuat salah kepada diri kita. Bukankah kedua 

ayat kitab suci yang dikemukakan di atas, sudah cukup kuat da­

lam mendorong kita membuat kesabaran dan kemampuan me­

maafkan kesalahan orang kepada diri kita, sebagai hikmah yang 

kita petik di hari raya yang mulia ini . Kedengarannya prin­

sip yang sederhana, namun  sulit dikembangkan dalam diri kita.

Namun, lain halnya dengan para politisi yang berinisiatif 

menyelenggarakan Sidang Istimewa yang terakhir, dengan dasar 

“kebenaran” hasil penafsiran politik masing­masing. Tindakan 

ini berarti melanggar Undang­undang Dasar 1945, karena tidak 

memiliki landasan hukum. Dengan “nafsu” politiknya –yaitu Pre­

siden harus lengser­ mereka pun meninggalkan jalan permusya­

waratan. Padahal, semua persoalan yang melibatkan orang ba­

nyak harus dipecahkan dengan negosiasi, seperti firman Allah: 

“dan persoalan mereka harus lah di musyawarahkan oleh mereka 

sendiri (wa amruhum syûrâ bainahum)” (QS al­Syura [42]:38). 

Terlihat selain melanggar konstitusi, dalam hal ini merekalah 

yang tidak dapat memaafkan. Sederhana saja, walaupun rumit 

dalam kehidupan politik kita sebagai bangsa dan negara. h

g 231 h

Ketua Umum PIB Syahrir membuat tulisan menarik dalam 

sebuah media. Dalam kesimpulan penulis, dalam karya­

nya itu, Syahrir menyebutkan ada orang berkuasa namun  

tidak memimpin. Dengan tepat, Syahrir menunjukkan pada kita 

sebagai bangsa yang sedang porak­poranda, karena tidak adanya 

kepemimpinan. Buktinya, krisis multi­dimensi yang sedang kita 

hadapi dewasa ini, sama sekali tidak mendapatkan pemecahan 

–kalau tidak dikatakan justru diperparah oleh ulah para pemim­

pin kita sendiri—. Ada pejabat yang menganggap TKI (Tenaga 

Kerja Indonesia) di Malaysia sebagai persoalan pemerintah dae­

rah, padahal seluruh peraturan yang menyangkut diri mereka 

dibuat oleh pemerintah pusat. Demikian juga pejabat lain yang 

tidak mau meninggalkan jabatan, walaupun telah diputuskan 

oleh Pengadilan Negeri di Jakarta sebagai pihak yang bersalah. 

Alasannya, karena menunggu putusan Pengadilan Tinggi. Bukan­

kah ini berarti sebuah pengakuan, bahwa sistem pengadilan kita 

bekerja di bawah pengaruh mafia peradilan? Alangkah tragisnya 

keadaan kita saat ini?

Dengan tepat pula, Syahrir menunjuk kepada pemerin­

tahan kita yang memiliki sejumlah orang berkuasa, namun tidak 

sanggup memimpin. Bahkan, aparat penegak hukum kita cende­

rung melanggar konstitusi. Pertanyaan Klinik Hukum Merdeka, 

adakah DPR/MPR kita dewasa ini legal atau tidak, mengingat 

baru 60% suara hasil pemilihan umum (Pemilu) tahun 1999 

Berkuasa dan Harus memimpin

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 232 h

yang lalu dihitung, namun pemerintah telah mengumumkan Su­

rat Keputusan (SK) Presiden, mengenai komposisi DPR/MPR 

—tidak dijawab hingga saat ini oleh Mahkamah Agung (MA). Be­

gitu juga, pertanyaan penulis kepada MA, apakah Maklumat Ke­

adaan Bahaya yang dikeluarkan penulis sebagai Presiden tanggal 

21­23 Juli 2001 merupakan tindakan legal atau illegal berdasar­

kan konstitusi, juga tidak mendapatkan jawaban.

Ditambah lagi, bahwa showroom mobil termahal (mewah) 

di dunia saat ini berada di halaman gedung DPR, yang dipenuhi 

oleh mobil para anggotanya, bahkan tanpa mengindahkan ba­

tas besarnya kubik silinder (cc) yang dimiliki kendaraan terse­

but. Keluhan birokrasi pemerintahan dan kejengkelan rakyat 

sama sekali tidak diperhatikan. DPR tidak lagi memperhatikan 

kepentingan rakyat, melainkan hanya sibuk dengan urusan mere­

ka sendiri tampak jelas di mata kita. Dengan kata lain, para ang­

gota DPR/MPR kita tengah menikmati kekuasaan yang mereka 

peroleh tanpa memperhatikan sah atau tidaknya kekuasaan me­

reka itu. Dengan demikian, pengamatan Syahrir itu juga berlaku 

bagi para anggota D