ilmu tarekat mistik 2
?
Meskipun kata Sufi dan tasawwuf belum dikenal orang, namun apa
yang dikerjakan Nabi dan apa yang ini dalam Qur'an mengenai
tasawwuf itu sudah lama dikenal dan dipraktekkan.
Tidak saja oleh Nabi namun juga oleh Sahabat-sahabatnya. Abu
Bakar, yang sebelum Islam seorang saudagar yang kaya raya, sesudah
beriman seluruh harta bendanya habis untuk dijadikan korban atas ja
lan Allah, sehingga seekor onta pun tak ada lagi kepunyaannya. Tiap
ada keperluan untuk jihad, Nabi bertanya, siapa yang akan memberi-
kan sumbangannya, jarang ada tangan orang lain yang menunjuk un
tuk mengatakan siap sedia kecuali tangan Abu Bakar Sahabat Nabi dan
Khalifah yang pertama itu. Tatkala Umar ingin menyainginya pada
suatu hari dengan mengatakan : "Saya ya Rasulullah". Rasulullah ber
tanya : "Hai, Umar! Berapa banyak hartamu yang sudah engkau sede-
kahkan untuk jalan Allah?" Umar menjawab : "Seperdua dibandingkan
hartaku". Kemudian Nabi bertanya kepada Abu Bakar yang semacam
itu, Abu Bakar menjawab, bahwa seluruh ontanya sudah dibiayakan
semua, tidak seekor pun juga ada yang tinggal padanya. Maka kata Na
bi : "Apa yang tinggal lagi padamu?" Jawab Abu Bakar dengan pen-
dek dan puas : "Al l ah dan Rasulnya!" Inilah gambaran Sufi dibandingkan
Abu Bakar.
Panah Sufi ini pernah menusuk hati Umar bin Khattab, yang pada
suatu ketika sangat kejam dan keras, hendak membunuh Nabi, sebab
pada keyakinannya dialah yang memecahbelahkan golongan Quraisy,
dan dia yang menghancurkan agama nenek moyangnya, yang sudah
dianut berabad-abad lamanya. Tatkala orang mempersilahkan Umar
kembali melihat ke rumahnya, ia pufang dan didapatinya adiknya Fha-
timah sedang mempelajari ayat-ayat Qur'an dengan suaminya. Ama-
rahnya menjadi bertambah, adiknya ditolak terpelanting ke tanah se
hingga berdarah mukanya. Kemudian dirampasnya perkamen yang ber-
tuliskan ayat-ayat suci itu untuk dibacanya. Bagaimana keadaan Umar
yang keras yang kejam itu, sesudah ia mengenai Allah dalam tulisan
itu? Hal ini diceriterakan oleh Umar sendiri : " M a k a aku bacalah ayat-
ayat yang tertulis di atas kulit kambing itu. Sudah berpuluh-puluh ta
hun aku menjadi jagoan, orang yang ditakuti oleh seluruh Makkah, su
dah berpuluh-puluh manusia mati dalam tanganku, dalam tanganku
sebagai seorang yang paling keras dan berani, namun pada ketika itu se-
kujur badanku gemetar, seluruh tubuhku lemah, seakan-akan tidak
berdaya aku berdiri lagi. Apa yang kusangka-sangka dan apa yang
menjadi was-was dalam hatiku, semuanya dijawab oleh ayat-ayat Qur
'an yang ada pada tanganku, yang demikian bunyinya : Hai , Muham
mad! Tidaklah Kami turunkan Qur'an ini kepadamu untuk menyusah-
kan dan memecahbelahkan ummat. Hanya Kami turunkan dia untuk
jadi nasehat dan peringatan bagi mereka yang takut. Qur'an itu ditu
runkan dibandingkan Allah yang menjadikan bumi dan petala langit yang
tinggi, yaitu Allah yang bersifat pengasih, yang bersemayam di atas
singgasana Arasy, Allah yang memiliki apa-apa yang ada dalam
petala langit dan apa yang ada dalam lapisan bumi, yang memiliki
apa yang ada di antara keduanya dan juga di dalam Hang bumi
yang tersembunyi. Baik engkau berkata keras dan tegang, ia mengeta
hui seluruhnya, sampai kepada rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam
hatimu. Allah itu ialah Al lah , tidak ada Allah melainkan Dia , dan
bagi-Nya kembali dipersembahkan segala nama-nama yang baik (Qur
'an X X : 1 — 8). Sesudah aku membaca ayat itu, aku lalu menyerah
diri kepada Allah , sebab aku merasa lemah sebagai manusia, Allah -
lah yang kuat tempat manusia itu menyerahkan dirinya", demikian
Umar mengaku kelemahannya pada akhir pergulatannya antara hak
dan bathil, antara menyembahan berhala dan menyembahan Allah
yang sebenarnya. Tatkala kemudian ia menemui Nabi Muhammad di
bukit Safa, menyerahkan dirinya menjadi anggota keluarga Islam, Nabi
memperlihatkan wajahnya yang berseri-seri, sebab do'anya sudah di-
perkenankan Allah , yaitu do'a Nabi di kala ummat Islam masih le
mah, yang berbunyi : " Y a , Allah ku! Kuatkanlah Islam ini dengan sa
lah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam dan atau Umar bin Khat-
tab". D i antara dua Umar ini rupanya Umar bin Khattablah yang ber-
bahagia, dari seorang jagoan pembunuh menjadi seorang Sahabat dan
Khalifah yang terkenal adil dan bijaksana dalam sejarah Islam.
Dari ceritera ini kita ketahui, bahwa dari satu pihak manusia itu
pada suatu kali merasa lemah dan mencari Allah nya yang lebih kuat,
dari lain pihak manusia yang lemah dan tertekan itu mencari kekuatan
rohaninya pada Allah nya untuk memberikan dia bantuan yang diper-
lukan.
Sebagaimana Abu Bakar, begitu juga dengan dirinya Usman, dari
seorang yang kaya raya sampai menjadi seorang miskin yang semiskin-
miskinnya, yang dalam masa menjabat pangkat Khalifah, tidak mem
punyai makanan yang cukup di rumahnya. Ia rela hidup miskin, asal
sepanjang ajaran agamanya, ia rela dimarahi dan dicaci oleh isterinya
sebab tidak memiliki kekayaan apa-apa, asal ajaran suci yang ter-
simpan dalam Qur'an dapat diamalkan dan menghiburkan hatinya da
lam gundah-gulana itu. Contoh hidup Sufi yang diberikan Usman bin
Affan dalam kehidupan menderita, besar sekali, dan contoh Sufi yang
diperlihatkan oleh Khalifah ketiga ini menggantungkan nasibnya se-
mata-mata kepada Allah .
Tentang A l i bin A b i Thalib kita tidak usah berpanjang kata, kare
na dialah salah satu tokoh besar dibandingkan Sahabat-sahabat yang menja
di tiang penggerak bagi ajaran tasawwuf itu. Dengan kata-katanya yang
tajam A l i meninggalkan pandangan-pandangannya, yang bersifat Sufi,
terhadap Allah , terhadap dunia, dan terhadap manusia, ia sendiri per
nah hendak hidup dengan tiga buah korma sehari, sehingga hampir me-
rusakkan kesehatannya. Ia meninggalkan anak.dan meninggalkan cucu-
nya, yang hidup dengan hidup Sufi, bahkan oleh golongan Syi'ah sam
pai demikian tinggi diagung-agungkan, sehingga tidak ada sebuah kitab
Sufi dan Tasawwuf pun yang kita bertemu, dengan tidak berjumpa na
ma A l i bin A b i Thalib. Semuanya itu menunjukkan tujuannya yang ti
dak diarahkan kepada dunia, semua itu menunjukkan jalannya ke arah
zuhud, ke arah mencari hidup yang lebih baik, hidup murni dan hidup
Sufi pada sisi Al lah .
Maka sebagai yang kita katakan kehidupan ini merata di antara
Sahabat-sahabat, yang kemudian pindah kepada Tabi' in dan pengikut
dibandingkan Tabi' in dalam kalangan ulama-ulama Salaf dan Khalaf. Da
lam kitab Pengantar Sufi dan Tasawwuf kita uraikan sejarah perkem
bangan ajaran ini dari Huzaifah ibn Al-Yaman, sampai kepada Hasan
Basri, dan kepada orang-orang Sufi yang lain. namun belum kita bicara-
kan dengan tegas perbedaannya antara ilmu tasawwuf ini dengan ilmu
syari'at, yang biasa disebut dengan nama julukan ilmu bathin dan ilmu
lahir.
2. U L A M A F I Q I H D A N T A S A W W U F .
Memang ada perbedaannya antara kedua aliran faham ini. A h l i -
ahli Fiqh biasanya berjalan di atas jalannya sendiri, dan ahli-ahli tasaw
wuf berjalan pula menurut keyakinan sendiri, sehingga terjadilah anta
ra kedua jalan fikiran ini lama-kelamaan suatu jurang yang makin lama
makin jauh berpisah satu sama lain. Bahkan kadang-kadang terjadi
tuduh-menuduh antara golongan yang menamakan dirinya ahli Syari'at
dengan golongan yang ingin dinamakan ahli Hakikat. namun meskipun
demikian jika satu sama lain dekat-mendekati dan kenal-mengenal, ke-
dua-duanya mempertahankan pendirian dalam garis-garis Islam, maka
biasanya perselisihan itu ibarat asap ditiup angin.
Perselisihan-perselisihan ini terus-menerus terjadi, terjadi pada ma
sa dahulu, dan terjadi pada masa sekarang. Misalnya Ibn Abdussalam
pernah menyerang dengan hebatnya Ibn Arabi dan menuduhnya se
orang zindik, yang terlepas dibandingkan faham Islam yang benar. namun
tatkala seorang sahabatnya berkata kepadanya : "Saya ingin kamu me
nunjukkan kepadaku seorang qutub", Ibn Abdussalam menunjukkan
Ibn Arabi . Sahabatnya berkata : "Bukankah engkau telah menyerang
dia?" Ibn Abdussalam menjawab : "Saya hanya memelihara syara'
yang lahir". Dari percakapan ini kita ketahui bahwa syara' yang lahir
itu tidak dapat mengakui kesufian sebagai suatu kenyataan yang tersen-
diri dan benar.
Setengah orang Sufi memberi keterangan kepada murid-muridnya :
" J ika kamu menghendaki sorga, sebaiknya kamu pergi belajar kepada
ahli Fiqh Ibn Madiyan, namun j ika kamu menghendaki Allah yang em-
punya sorga itu, marilah belajar kepadaku". Kedua percakapan ini di-
petik oleh Dr. Zaki Mubarak dari kitab "Nafkhut T h i b " .
Ucapan Sufi yang terakhir ini seolah-olah menunjukkan kepada
kita bahwa jalan ke sorga itu ialah ajaran syari'at, sedang jalan kepada
Allah dicapai dengan tasawwuf.
Ibn Al-Kat ib sering kali menyebut nama Ruzbari dengan gelaran
"Sayyidina Abu A l i " , yang berarti : Junjunganku Abu A l i " . Maka di-
peringatkan orang kepadanya, apakah gelaran itu tidak terlalu tinggi
dan berlebih-lebihan. Ia menjawab : "sebab ia tèlah pergi dari ilmu
syari'at kepada ilmu hakikat, sedang kami kembali dibandingkan ilmu haki-
kat kepada ilmu syari'at". Maka dengan demikian ia menganggap,
bahwa ilmu Fiqh hanyalah yaitu pengajaran umum untuk manu
sia biasa.
Pada suatu kali orang bertanya kepada ulama Sufi, berapa banyak
zakat yang harus dikeluarkan untuk dua ratus dirham. Ulama Sufi itu
menjawab : "Untuk orang awam menurut hukum syara' diwajibkan
lima dirham. namun kami menganggap wajib atas diri kami mengeluar
kan semuanya."
Memang orang Sufi membahagi ulama itu atas dua bahagian, ada
ulama umum dan ada ulama khusus. Ulama umum memberikan fatwa-
nya tentang halal dan haram, dan oleh sebab itu mereka dinamakan
ahli ustuwanah, yang mengajar pada tiang-tiang tertentu dalam mesjid.
namun ulama khusus ialah orang-orang yang alim tentang ilmu tauhid
dan ilmu ma'rifat Allah , yang dinamakan ahli zawiyah dengan kedu-
dukannya yang terasing dan terpencil.
Memang banyak yang aneh-aneh yang menunjukkan perbedaan
dalam kehidupan kedua golongan itu. Muhasibi misalnya tidak mau
menerima sesuatu dibandingkan warisan yang ditinggalkan ayahnya seba-
nyak tujuh puluh ribu dirham, sebab berlainan keadaan war'a antara
anak dan bapak. Penolakan yang demikian itu hanya didasarkan atas
sebuah hadis Nabi yang berbunyi : "Tidaklah diperkenankan waris
mewarisi antara dua orang yang berlainan agamanya". Demikian jauh-
nya pendapat kedua anak dan bapak ini seakan-akan orang Sufi mem
punyai agama sendiri, dan orang lain yang tidak sepaham dengan dia
memiliki agama yang lain pula.
Kita akui bahwa perbedaan ini ada, meskipun kadang-kadang tim-
bulnya secara lunak, kadang-kadang mehonjol secara serang-menye-
rang. namun yang penting kita ketahui yaitu pokok pertentangan pen
dapat itu, yaitu ahli ilmu lahir menganggap syari'at itu peraturan-per
aturan yang sudah tetap, terbatas dan disusun rapi, yang memudahkan
untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara manusia dengan
manusia, sedang ahli ilmu bathin menganggap tasawwuf itu satu-satu-
nya alat untuk mengemudikan didikan jiwa dan memberi tuntunan ke
pada hati, tidak usah tersusun rapi, namun barang siapa yang tidak me-
ngetahuinya tidak pula dapat menyempurnakan ilmu syari'at itu.
Di antara serangan-serangan yang hebat terhadap orang Sufi itu
dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, seorang dibandingkan ahli salaf yang me
mang tajam sekali lidah dan penanya dalam membongkar sesuatu yang
tidak sesuai dengan Qur'an dan Sunnah Nabi.
Memang orang takuti lidah dan pena Ibn Taimiyah yang petah dan
tajam itu. Ia menyerang tidak sebab mengejek dan membesarkan diri
nya, namun sebab ingin mengupas soal, namun dengan keyakinan hen
dak membersihkan Islam dan dengan cukup alasan untuk membuktikan
kesalahan-kesalahan yang dikupasnya.
Selanjutnya Ibn Taimiyah pun menyerang secara berapi-api A l -
Ghazali, Muhyiddin Ibn Arabi , Umar Ibn Al-Faridh, dan umumnya
semua golongan Sufi, yang menurut anggapannya membuat-buat bid
'ah baru dalam Islam. Terhadap Ghazali serangannya terutama ditun-
jukkan kepada kitab Al-Munqiz Minaz Zalal dan kitab Ihya Ulumud-
din, sebab dalam kedua kitab itu Ghazali banyak sekali memakai Ha-
dis da'if untuk alasan keterangannya.
Dari sudut filsafat Ibn Taimiyah menyerang Ibn Sina dan Ibn Sab-
' in, yang dituduhnya banyak memasukkan faham-faham filsafat Yuna-
ni ke dalam ajaran Islam. Ia bertanya : Bukankah filsafat itu membawa
kepada syirik dan melemahkan Islam?" Ia mengatakan terhadap orang
Sufi : "Orang Sufi dan Mutakallimun sebenarnya timbul dari satu ju-
rang yang sama".
Dalam pada itu ia sendiri seorang Sufi. Sesudah beberapa kali ia
dimasukkan ke dalam penjara sebab perselisihan faham, akhirnya di-
tempatkan dalam suatu kamar kecil yang bertembok tebal. Meskipun
biasanya penjara itu tidak memilukan perasaannya, namun pada waktu
terakhir sangat menimbulkan kerusuhan dalam hatinya, sebab dalam
penjara sekali ini ia tidak diperkenankan menulis lagi dan menjawab
serangan-serangan musuhnya. Musuh-musuhnya, berikhtiar bersama-
sama untuk melarang menyampaikan kitab-kitab, tinta dan kertas ke
pada Ibn Taimiyah.
Pelarangan ini datang kepadanya sebagai azab yang paling besar.
Ia pada mulanya bingung tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Ba-
dannya seakan-akan lumpuh tidak berdaya lagi. Pukulan ini terlalu ke
ras mengenai jiwanya. A i r matanya berhamburan melalui pipinya yang
sudah berkerut-kerut itu, dan bibirnya gemetar seakan-akan hendak
tanggal gugur ke bumi. Ia merangkak ke dekat sebuah Mashaf, satu-
satunya kitab yang terlupa ditinggalkan orang di atas sajadahnya, dan
membaca Qur'an itu dengan suaranya yang sangat sedih. diselang-selingi
dengan sembahyang terus-menerus. Dua puluh hari, hanya sesudah dua
puluh hari, seluruh badannya habis dan ia jatuh sakit dan meninggal
pada malam Senen 20 Zulkaedah 728 H . (26-27 September 1328 M. ) se
dang ia membaca Qur'an, terguling di atas tikar sembahyangnya.
Konon pada salah satu keadaan naza'a ia mengeluarkan perkata
an : " A n a a l -Haq" — " k u kebenaran", yang oleh setengah orang di-
artikan, bahwa Ibn Taimiyah mengaku dirinya Allah dalam ucapan-
nya. namun banyak orang yang percaya, bahwa ia sebagai seorang Sufi
telah fana dalam keAllah an, sehingga hanya Allah lah yang ada, hanya
Allah lah yang benar, yang lain bayangan semata-mata.
Sudah menjadi kebiasaan, manusia itu dicintai sesudah mati, di-
hormati sesudah ia tidak ada. Kematiannya membuat gempar seluruh
Damaskus. Semua penduduk Damaskus merasa kehilangan, baik mu
suh maupun temannya menerima hari kematian Ibn Taimiyah itu de
ngan air mata bertetes. Damaskus menunjukkan kehormatan yang pa
ling besar padanya. Dua ratus ribu laki-laki dan lima belas ribu perem-
puan mengantarkan kunarpanya ke kubur, kunarpa dan jenazah se
orang Ulama yang terbesar dalam masanya, seorang mujaddid zaman-
nya, seorang Sufi dan seorang ahli salaf yang hidupnya sederhana dan
terus terang. Ibn Al-Wardi mengucapkan rangkaian sajak, yang mem-
buat Ibn Taimiyah seakan-akan hidup berdiri kembali di tengah-tengah
hadirin yang melaut itu dengan perjuangannya : "Kembali kepada Qur
'an dan Sunnah Muhammad yang sebenar-benarnya!"
Ibn Jauzi menulis sebuah kitab khusus untuk menyerang golongan
Sufi ini, yang diberi nama "Talbis Iblis", dengan mengemukakan
pendiriannya berdasarkan syara' dan akal. Sangatlah pedas isi kitab
itu, terutama pada waktu ia mencela dan mengejek orang-orang Sufi
itu, yang dikatakannya memiliki keyakinan, bahwa latihan jiwa yang
dikerjakannya dapat mengubah kebathinan dibandingkan sifat-sifat manu
sia, misalnya dapat mematikan syahwat, melenyapkan kemarahan, dan
lain-lain sebagainya. Ia kemukakan dengan tegas, bahwa maksud yang
demikian itu sekali-kali tidak sesuai dengan maksud syara', dan tidak
termasuk di akal, bahwa tabiat-tabiat dan pembawaan manusia dapat
dihilangkan dengan riyadhah atau latihan itu. Syahwat itu diciptakan
Allah sebab ada faedahnya, jikalau tidak ada syahwat atau nafsu ma
kan, pasti manusia itu akan binasa semuanya, jikalau tidak ada syah
wat atau keinginan kawin, maka akan putuslah keturunan dan perkem
bangan manusia. Dalam pada itu keinginan menjadi kaya tidak lain
dari suatu akibat dibandingkan tabiat manusia untuk menyampaikannya
kepada syahwat itu. Yang dimaksudkan oleh syara' ialah menahan diri
sekedarnya, untuk membuat manusia sedang dan sederhana dalam se
gala tindakannya.
Ia mengatakan pula, bahwa kesungguhan orang-orang menunjuk
kan perhatiannya kepada kekhawatiran dan penyakit hati semata-mata,
dengan mengabaikan sama sekali hukum-hukum syara', yaitu mimpi
belaka, yang menunjukkan bahwa orang-orang Sufi itu yaitu orang
orang yang tidak dapat berfikir dengan benar. Ia mengemukakan pet
kataan Syafi 'i , yang menetapkan, bahwa jika seseorang bertasawwut
pagi hari, belum sampai petang orang itu sudah menjadi seorang yang
pandir atau ahmaq. Syafi'i pernah juga berkata : " A p a yang dilatih
orang Sufi selama empat puluh hari, tidak ada artinya, semuanya akan
dikembalikan oleh akal sebagai semula". Yunus bin Abdul A ' l a mene-
rangkan : "Saya bergaul selama tiga puluh tahun dengan orang Sufi,
saya tidak mendapatinya seorang pun berakal, hanya seorang Muslim
yang biasa saja".
Selanjutnya Ibn Jauzi mengejek pendapat orang Sufi, yang sangat
memperbeda-bedakan antara syari'at dan hakikat, katanya : "Ini sa
ngat hina, sebab syari'at itu diadakan oleh kebenaran untuk memper
baiki kelakuan manusia, maka oleh sebab itu, apa yang disebut haki
kat sesudah syari'at itu, yang dianggap ada di dalam jiwa manusia,
tidak lain dibandingkan ciptaan iblis dan syaitan. Tiap orang yang menghen
daki hakikat dengan membuang syari'at, maka orang itu mengacau dan
tertipu. Tidaklah benar tuduhan orang-orang Sufi kepada orang-orang
yang ingin mempelajari Hadis dan Sunnah Nabi : "Sangat sayang me
reka itu, menerima ilmunya sebagai orang mati dari orang mati, sedang
kita mendapat ilmu dari yang hidup dan tidak akan mati-mati. Mereka
berkata, bahwa keterangan ini diriwayatkan oleh bapakku dari nenek-
ku, sedang kita berkata bahwa ini diriwayatkan oleh hatiku dari Allah -
k u " . Mereka itu termasuk orang yang binasa dan membinasakan orang
lain dengan khayal-khayal khurafat semacam ini. Yang demikian itu
yaitu siasatnya untuk memperoleh uang belaka. Orang-orang Fuqaha
yaitu tabib-tabib yang ulung, yang kemahalannya terletak oada
pembelian obatnya. Pengeluaran kita kepada mereka itu seperti untuk
penyanyi. Dan mereka mengatakan pula, bahwa kemarahan orang-
orang Fuqaha itu yaitu zindik terbesar, sebab orang-orang Fu
qaha itu membahayakan dengan fatwa-fatwa mereka sebab kesesatan-
nya dan kefasikannya. Dalam pada itu yang hak itu tetap berat seperti
beratnya zakat" (Talbis Iblis, hal. 366 — 373).
Demikian pula pandangan Ibn Qayyim terhadap orang-orang Sufi.
Dan demikian pula ceriteranya dan tuduhannya mengenai orang-orang
Sufi itu, yang tidak tertahan-tahan dilepaskan oleh Ibn Qayyim, pada
waktu ia mempertahankan ahli Fiqh dan ahli Hadis. Sedang dia sendiri
tidak dapat dikatakan keluar dari orang-orang Sufi. Perkataannya,
yang pernah dipetik oleh Dr. Zaki Mubarak dari "Raudhatul Muhib-
b in" , menunjukkan yang demikian itu : " D i antara tanda-tanda cinta
yaitu banyak menyebut yang dicintai, terpilin terjalin dalam tiap ucap-
an dan sebutan. Jika seseorang mencintai sesuatu, kecintaannya itu
memperbanyak sebutan yang dicintainya, baik dengan hati maupun de
ngan lidah. Dan oleh sebab itu Allah menyuruh hambanya meng-
ingatkan dia pada tiap ketika, terutama dalam keadaan yang menakut-
kan. Maka alamat, cinta yang benar itu ialah hamburan sebutan ten
tang yang dicintai itu, baik waktu girang, baik pada waktu takut i tu"
55
(Tasawwuf Al-Islami, II : 233).
Selanjutnya dapat kita katakan bahwa Ibn Qayyim ada pengarang
kitab tasawwuf "Madarijus Sal ikin" , syarah Al-Marawi .
Sementara itu orang-orang Sufi tetap berkeyakinan, bahwa mereka
itu warastatul anbiya', peneruskan usaha Nabi-Nabi, dan menamakan
dirinya ikhwanus safa, keluarga yang suci, wali-wali Al lah dan hamba-
nya yang saleh. Ceritera yang dikemukakan mereka itu tentang sifatnya
tidak benar, yang benar ialah bahwa mereka dalam pembicaraannya,
baik dalam pertemuan maupun dalam khalwatnya tidak mengingat dan
menyebut selain dibandingkan Al lah , tidak berfikir melainkan tentang pen-
ciptaannya, mereka tidak melihat dalam segala kejadian, melainkan
perbaikan Allah , kebesaran nikmatnya dan keindahan pimpinannya,
mereka tidak beramal kecuali untuk Al lah , tidak menyembah sesuatu
kecuali dia, tidak mengingini kecuali Allah , dan tidak menempatkan
sesuatu harapan pun kecuali pada Allah itu. Yang demikian itu sebab
mereka melihat yang hak dalam segala ciptaan Allah , menyaksikan
dalam segala halnya, tidak mendengar kecuali yang datang dibandingkan -
nya, tidak melihat kecuali kepadanya, pendeknya pada hakekatnya ti
dak kelihatan selain dibandingkan nya. Dan oleh sebab itu mereka memu-
tuskan perhubungannya dengan segala makhluk, dan menujukan selu
ruh kesempurnaannya kepada pencipta atau Khalik dari makhluk itu,
kepada Allah yang diperAllah kan oleh segala yang ada.
Demikian gambarannya yang diberikan mereka sendiri. Dan apa
kah Ibn Qayyim dapat memutarkan gambaran ini kepada ahli Fiqh dan
ahli Hadis saja? Masih disangsikan.
Kepada orang-orang yang semacam itu hidupnya, Nabi pernah
mengeluarkan pujiannya : "Selalu berada di tengah-tengah ummat ini
empat puluh orang laki-laki yang saleh, yang menganut agama Nabi
Ibrahim". Dan orang-orang yang saleh itu ialah mereka yang disebut
Allah dan kitabnya dengan sanjungan " U l i l Albab, Ulin Nahyi, dan
Uli l Abshar", ahli pemikir, ahli pencegah kejahatan dan kema'siatan, dan
ahli penimbang yang bijaksana, mereka itulah wali-wali Allah dan ke-
cintaannya. Terhadap mereka itu Nabi pernah memberi peringatan ke
pada iblis : "Kamu tidak dapat mengalahkan hamba-hambaku i tu" .
Dan terhadap orang yang seperti itu Nabi pernah membangkitkan per
hatian Abu Hurairah dengan katanya : "Wahai , Abu Hurairah! Ikuti-
56
lah jalan, tarik suatu golongan, yang tidak pernah merasa gentar di
tengah-tengah manusia yang berteriak-teriak minta dilepaskan dari api
neraka". Tanya Abu Hurairah : "Siapakah gerangan orang-orang itu,
ya Rasulullah? Terangkanlah kepadaku sifat-sifatnya, agar dapat ku-
kenali!" Jawab Rasulullah : "Itulah segolongan dibandingkan ummatku
yang pada hari kemudian berkumpul pada tempat Nabi-Nabi, sehingga
tiap mata yang melihat kepadanya menyangka bahwa mereka itu Nabi-
Nabi, sehingga akulah yang menerangkannya dan memperkenalkannya.
Maka kuserukan : Ummatku! Ummatku! Dengan panggilanku itu se
mua makhluk pun tahulah, bahwa mereka itu bukan Nabi, namun um-
mat-ummatku yang biasa. Mereka berjalan cepat laksana kilat dan
angin, silau semua mata yang melihat kepadanya oleh cahaya mereka".
Maka berkatalah Abu Hurairah : " Y a , Rasulullah! Suruhlah aku ber
buat amal yang sama dengan amal mereka, agar dapat aku bersatu de
ngan mereka i t u" . Ujar Rasulullah : "Wahai , Abu Hurairah! Orang-
orang itu telah menempuh jalan, tarik, yang sukar, oleh sebab itu da-
patlah mereka mencapai derajat Nabi-Nabi, mereka itu telah dapat
menderita lapar sesudah Allah mengenyangkannya, mereka itu telah
mengalami bertelanjang sesudah Allah memberikan pakaian penutup
badannya, demikian itu sebab pengharapannya yang kuat kepada ba-
lasan Allah , mereka itu telah pernah meninggalkan segala yang halal
sebab takut kepada perhitungan Allah , mereka itu hanya berhubung-
an dengan dunia sebab untuk keperluan badannya yang kasar, namun
hatinya tidaklah sedikit pun terlekat kepada dunia itu. Wahai, semua
Nabi-Nabi dan Malaikat heran melihat mereka itu dalam keta'atannya
kepada Allah nya. Maka berbahagialah mereka itu! A k u pun meng-
ingini, agar Allah dapat mengumpulkan daku dengan mereka itu . . . . " .
Maka menangislah Rasulullah sebab kecintaannya hendak melihat
orang-orang yang saleh itu (Risalah Ikhwanus Safa I : 299).
Dr. Zaki Mubarak, yang yaitu juga tukang kritik yang pa
ling pedas terhadap Ghazali dengan kitabnya " A l - A k h l a q indal Ghaza
l i " , pada akhirnya terpaksa membenarkan pendirian orang-orang Sufi
ini, dan membenarkan pula pendirian mereka bahwa orang-orang Sufi
itu melihat dirinya waratsatul anbiya', pengganti Nabi-Nabi. Katanya,
bahwa yang demikian itu tidak aneh, sebab orang-orang Sufi pun da
lam tingkat pertama yaitu orang-orang yang mengetahui dan meng-
amalkan syari'at dengan sungguh-sungguh, meskipun ada di antaranya
yang sederhana keahliannya, namun kemudian bertingkatlah ia kepada
jalan menguatkan pribadi dan mengarahkan seluruh perhatian kepada
kesatuan Allah dan persatuan ma'na antara khalik dan makhluk, yang
acapkali disebut julukannya wujdaniyah. Sebagai alasan untuk menun
jukkan seluruh perhatian kepada hati, orang Sufi mengemukakan per
kataan Nabi : " M i n t a pertimbangan kepada hatimu, meskipun engkau
dicoba dengan beberapa cobaan".
Baiklah saya bawa pembaca kepada kesimpulan yang pernah di-
ambil oleh Dr. Zaki Mubarak dalam menilai ilmu syari'at dan ilmu ba
thin itu.
Ia berpendapat bahwa ada batas antara syari'at lahir dengan ke
yakinan Sufi. Syari'at lahir hanya layak untuk manusia yang awam,
sedang khawas hanya dapat difahami oleh orang-orang yang arif bijak-
sana, tidaklah mungkin sama mereka yang berilmu dengan mereka
yang tidak mengetahui dalam memahami sesuatu yang pelik. Dalam
alam ini banyak rahasia yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang
khawas. Syari'at sendiri yaitu bahan-bahan pelik, yang tidak
dapat difahami oleh orang-orang Fuqaha yang awam, kebanyakan ahli-
ahli ilmu lahir itu terlalu keras berpegang kepada sesuatu yang tetap
sehingga mereka menjadi bodoh dan menutup seluruh pintu ijtihad, se
luruh jalan berfikir, seolah-olah dunia itu berakhir pada waktu ummat-
nya berakhir, dan seolah-olah orang-orang alim telah membuka rahasia
yang tertutup dan tidak ada yang tersembunyi lagi, yang memerlukan
pembahasan dan pemikiran lebih lanjut."
Kebekuan semacam inilah yang menyebabkan Iman Ghazali men-
jatuhkan keputusannya, bahwa bersungguh-sungguh hanya dengan
ilmu lahir saja bathal adanya.
Kemudian Dr. Zaki Mubarak, setelah memberikan uraian yang
panjang lebar tentang kekurangan-kekurangan dan kelebihan dibandingkan
kedua macam ilmu itu, yang sesungguhnya harus ditujukan tidak saja
kepada yang tersurat di dalam Qur'an dan Hadis, namun juga kepada
apa yang tersirat di dalamnya memutuskan, bahwa permusuhan antara
ulama lahir dan ulama bathin ini tidak berdasarkan kepada sesuatu
azas yang benar. Ahl i lahir mesti ada, dan perlu adanya, sebab mereka
melindungi manusia dibandingkan penyerahan dirinya kepada segala per-
sangkaan yang jahat dan perbuatan yang sesat. Ahl i bathin mesti ada,
dan perlu adanya, sebab mereka itu menyirami syari'at itu dengan wa-
ngi-wangian dengan jalan menyelidiki jiwa manusia, dan nieleburkan
di atasnya panggilan kelebihan khayal. Ahl i lahir memelihara segala
ilmu syari'at, dan memajukan Islam itu dari syari'at yang sudah dile-
takkan, kepada dasar-dasar pergaulan yang diatur oleh hukum Fiqh.
Sedang ahli bathin ialah mereka yang membangun asabiyah agama
yang kuat, dan memberikan gambaran Rasul serta Sahabat-sahabatnya
dengan suatu gambaran kerohanian yang mena'jubkan, yang dapat
menciptakan kekuatan yang mendalam untuk memelihara agama yang
suci.
Dan oleh sebab itu tidak dapat kita abaikan apa yang telah di-
hasilkan Islam dibandingkan peradaban Sufi, sebab tasawwuf itu telah
mengisi sudut-sudut yang kosong dari hati kaum Muslimin, dan melem-
butkan serta memperindah bekas-bekas kebendaan yang ada dalam
peradaban Fiqh.
3. ISLAM DAN HIDUP KEROHANIAN.
Prof. Dr. M u h . Mustafa Hilmi menerangkan, bahwa ada hidup
kerohanian dalam Islam, dan menceriterakan dalam "Al-Muhadarat
' A m m a h " (Mesir, 1960), sbb. :
Kehidupan manusia itu ada dua macam, kehidupan kebendaan
(material) yang terdiri dari harta benda, kemegahan dan sebagainya,
dan kehidupan kerohanian (spritual).
Adapun kehidupan kerohanian itu yaitu sentral induk yang
memberi kehidupan seseorang, yang menghubungkan sesamanya; ma-
nakala yang ruhy itu telah berada dalam kemurnian (ikhlas, bersih,
murni, jujur, Peny.), maka ia akan melahirkan kemurnian pula pada
seseorang dalam perkataan dan perbuatannya, senantiasa baik dan di-
senangi dalam segala kehidupan dan pergaulan, menemukan keindahan
dalam rasa dan cita.
Itulah hidup kerohanian yang telah ditempuh oleh Salafus Shalih
Muslimin Zaman yang lalu! Hidup kerohanian ini telah meliputi jagat
semesta yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Kehidupan ini ber
jalan terus masa Shahabat dan Tabi ' in, masa Tabi '-Tabi ' in yang Zu-
5'
had, U b b a d , Nussak, Q u r r a ' , dan para Shuf i , kemudian disambung la
gi oleh orang-orang yang memfalsafahkan tasawwuf.
Tasawwuf Islam dimasuki oleh bermacam-macam falsafah dan
pandangan hidup kerohanian di luar Is lam, sehingga orang yang tidak
tahu akan haqiqat tasawwuf Islam mengatakan bahwa tasawwuf Islam
itu bersumber dari Pers i , Y u n a n i , H i n d u dan Kr is ten . Padaha l j i k a me
reka mengetahui hidup kerohanian Islam i tu , yaitu or is in i l dan di da-
lamnya ada unsur-unsur i lm iyah , jad i hidup kerohanian Islam itu
bukan imitasi dari bermaca-macam falsafah hidup di luar Islam, per-
sangkaan mereka akan berubah dan sungguh tidak benar.
Un tuk menjelaskan purbasangka dan kekel i ruan-kekel i ruan di
atas, maka mari lah saya jelaskan "Sejarah H i d u p Kerohanian dalam
I s l a m " , atau dengan kata lain " H i d u p Kerohan ian a l - M u h a m m a d i y a h "
selaku sumber pertama dibandingkan hidup zuhud dan Z u h a d dalam riya-
dhaat (latihan), mujahadaat, (berjuang), musyahadat, beroleh kesaksi-
an dan mukasyafaad terbuka hi jab.
J i ka ki ta perhatikan kehidupan M u h a m m a d saw sebelum diangkat
menjadi Rasu l , m a k a ki ta lihat M u h a m m a d itu memulai kehidupannya
dengan menyendir i dan mengasingkan d i r i di gua H i r a , d i sana ia mela-
tih di r i mengasah j iwanya , ia bertekun dan berf iki r , ia memperhat ikan
keindahan alam dan susunannya, memperhat ikan segala-galanya de
ngan matahat inya, dengan demikian pandangan dan kepr ibadiannya
menjadi bersih dan sempurna, sehingga ia layak untuk didatangi J i b r i l
dan menerima dar ipadanya wahyu. M u h a m m a d diajarkan membaca-
baca oleh J i b r i l , bacaan M u h a m m a d yang mula -mula sekali berbunyi
" i q r a bismi rabb ika d s b " , ar t inya : " B a c a l a h dengan nama T u h a n m u
yang telah menjadikan. Ia telah menjadikan manusia dar ipada sekepal
darah. Bacalah sebab T u h a n m u yang amat mul ia itu telah mengajar
dengan perantaraan qa lam. l a telah mengajar manusia apa yang tidak
mereka ke t ahu i " . M u h a m m a d membaca ayat i n i , bacaan yang berarti
"pengakhi ran dan p e r m u l a a n " , pengakhiran terhadap kehidupan me
nyembah berhala yang materialistis yang meliput i kehidupan masyara
kat A r a b waktu i tu , dan permulaan kepada kehidupan Tauhid dan ber-
Ibadat kepada Allah Y a n g M a h a Esa , tempat bergantung manusia,
A l l a h yang satu dan tidak d iperanakkan , tidak ada yang sebaya dengan-
N y a seorang pun . Pembacaan M u h a m m a d in i lah yang mengubah pr i -
hidup lahir dan prihidup kejiwaan bangsa Arab. Hal ini berkelanjutan
dengan kehidupan mereka yang berbahagia berkat limpahan ayat-ayat
Al-Qur 'an, dan pimpinan utama Muhammad Rasulullah sendiri.
Apa yang diperbuat Rasul setelah wahyu turun? Apa langkah dan
geraknya? Latihan dan perjuangan apa yang dilakukannya terhadap
dirinya dan gangguan syeitan ?
Setelah Muhammad menjadi Rasul, sesudah ia sering mengasing-
kan diri di gua Hira , maka ia selalu melakukan latihan (riyadhah) dan
berjoang (mujahadah). Ia shalat tahajjud sampai jauh malam hingga
gembung kakinya. Pernah Aisyah mengatakan : "Kenapa engkau ber-
ibadah sekuat itu ya Rasulullah, padahal dosa engkau yang lalu dan
yang akan datang telah diampuni?" Rasul menjawab : "Keinginanku
hendak menjadi hamba Allah yang bersyukur!" Syukur, syukur inilah
yang meresap dalam jiwa Muhammad, dengan syukur ini pula ia men-
capai Haqiqat KeAllah an. Kemudian dengan segala jihad ia berlatih,
ia zikir, syukur, shabar, ridha, qanaah dan zuhud, ia berlapang dada
dalam menghadapi segala percobaan dan rintangan sewaktu menjalan-
kan Da'wah ke Jalan Allah.
Itulah kehidupan dan prihidup Muhammad Rasulullah yang telah
dicontohkannya, guna diikuti dan diteladani oleh orang-orang yang me-
menuhi seruannya dan oleh orang-orang yang menganut agamanya !
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hidup kerohanian
Muhammad saw baik sebelum dan sesudah ia menjadi Rasul yaitu
sumber utama kerohanian Islam, teladan bagi zuhad, bagi Ubad, Nu-
sak, Fukara' dan para Shufiyah.
Adapun sifat-sifat sabar, syukur, zuhud, ridha dan sebagainya ada
lah sifat-sifat yang telah dibenarkan Muhammad saw dan telah diprak-
tekkannya pada dirinya sendiri. Sifat-sifat itu keseluruhannya diambil
alih oleh para shufi yang mereka istilahkan dengan "maqamat dan akh-
wal" .
Para shufiyah membuat suatu sistem (thariqah), sistem itu berjang-
ka dan beningkat-tingkat (marahil dan maratib). Jangka dan tingkat-
tingkat itu harus ditempuh oleh setiap pengembaranya (salik) dalam
menuju kepada Allah SWT. Marahil itu bermacam-macam pula menda-
patkannya, dengan pendidikan (tahzib), dengan berita suka dan ancam-
an (targhib dan tarhiib), yang timbul dari dirinya sendiri atau dengan
perantaraan pimpinan syeikh yang menentukannya ke arah pendidikan
kerohanian. Begitulah sistem para sufiyah dalam menuju Allah SWT,
yang semakin lama semakin berkembang ajarannya atau sistemnya.
Kemudian jika kita telah mengetahui bahwa kehidupan Rasul itu
yaitu sumber utama para shufi dan Tasawwuf Islam, di samping itu
Hadis dan do'a Rasul yang diucapkannya dalam berbagai tempat dan
suasana yaitu juga menjadi sumber utama Tasawwuf Islam. Rasul
pernah berdo'a dan menyerukan "cinta kepada Allah dan sesama
makhluq, persaudaraan, toleransi, berbudi luhur, berkata manis, meng
utamakan aqal, memenuhi janji dan keutamaan-keutamaan lainnya
yang harus diamalkan dan menjadi perhiasan hidup Muslim (tahalli)".
Begitu juga Nabi Muhammad saw dengan i'tikafnya. Semua lang-
kah dan perjalanannya yaitu teladan Muslim dalam menunaikan
segala kewajiban terhadap Allah , jasmaniyah dan rohaniyah.
Perbuatan Rasulullah yang telah digariskannya itu, pada haqiqat-
nya yaitu sorotan Al-Qur 'an, dan dari Al-Qur 'an itulah yang mem-
buat para shufi menggali rahasia-rahasia dalam kehidupan tasawwuf
mereka. Mereka gali dari segi ilmiyah, dari segi zauq dan perasaan, se
perti saja mereka merumuskan Hubb Al-Ilahy yang mereka ambil dari
ajaran Al-Qur 'an : " H a i orang yang beriman, siapa yang ragu di anta-
ramu akan agama Allah , maka nanti Allah akan mendatangkan satu go
longan yang dicintai Al lah , dan mereka sangat mencintai A l l a h " . Cinta
yang berjalin ini , saling isi-mengisi antara Allah dengan hamba-Nya
dan antara hamba dan Allah nya, cinta abadi yang menjadi cita-cita-
nya Tasawwuf Islam. Kecintaan kepada Allah ini menimbulkan akal
yang bersinar dan menyinari diri pribadi, melahirkan ucapan dan kata-
kata indah dalam sajak, syair prosa dan puisi menumbuhkan seni buda-
ya yang menyedapkan pandangan dan menggetarkan jiwa.
Perhatikanlah syair Al-Faridh yang tenggelam dalam cintanya ke
pada Al lah , katanya :
"Sekalian pengawal-Mu melengahkan-Mu;
Kecuali aku dan beberapa orang pengawal;
Berkumpul para Asyiq di bawah benderaku;
Dan hamba-hamba di bawah bendera-Mu".
Perhatikan pula munajat Rabi'ah al-A'dawiyah dengan Allah nya,
yang penuh rasa cinta :
"Cintaku ada dua cinta;
Cinta rindu dan cinta kepada-Mu belaka;
Cinta pertama membimbangkan daku belaka;
Adapun cinta kepada-Mu, maka ia;
Bertemu dengan-Mu tanpa tirai apa-apa;
Tak ada segala puji dan puja;
Kecuali hanya untuk-Mu sahaja".
Hubbuilahi sebagaimana didendangkan Al-Faridh dan Rabiah itu
yaitu jiwa Islam, sebab Islam itu yaitu dinul hubb, dan Muhammad
Rasulullah pernah berkata :
" A k u beragama, dengan agama — cinta;
A k u berlayar dengan bahterany^a;
Cinta yaitu agamaku dan imanku pula".
Hubb atau agama yang didirikan di atas hubb, tidak lain dari
" D I N U L I S L A M " , sebagaimana yang diuraikan oleh Ibnu Arabi sen
diri dalam syair-syairnya yang berjudul "arti kasih dan cinta".
Demikianlah, jika kita mencari sumber telaga tempat mereka me-
nyauk, maka tidak ada yang lain, selain dari Al-Qur 'an. Hadis dan
Asar Nabi.
Jika kita kembali kepada Al-Qur 'an, maka Al-Qur 'an itu jelas
mengajak kepada "cinta yang isi-mengisi antara Allah dan manusia,
menetapkan bahwa Allah itu "sumber segala" — " A l l a h Nur langit
dan bumi ," " D i mana dan ke manapun engkau menghadap di situlah
wajah A l l a h " Al-Qur 'an membentangkan jalan-jalan kebaikan, jalan-
jalan kecintaan, persaudaraan dan persamaan. Semua itu menjadi buah
bibir para shufiyah dan itulah landasan dari Mazhab-Tajally mereka.
Tajallinya Allah pada benda-benda alami ini , tajalli afa'lnya, asmanya,
zatnya pada bermacam-macam keadaan. Mereka mendasarkan semua
itu kepada firman Allah : " A l l a h itu cahaya langit dan bumi" , dan fir-
man-Nya : " K e mana kamu menghadap di sanalah wajah A l l a h " .
Tidak cukup begitu saja, malah para Shufi menetapkan bahwa
Allah Maha Pembuat yang Haqiqi, dan bahwasanya insan itu dari
Allah, insan itu laksana potlot di tangan penulis, bergerak menurut ke-
mauan penulis. Manusia menyangka bahwa perbuatannya dari iradah-
nya sendiri, tidak! Perbuatan manusia itu pada haqiqatnya yaitu ira-
dah dan kehendak Allah. Pendapat ini diambil para Shufiyah dari ayat
Al-Qur 'an : "Wama ramaita iz ramaita walakinnallaha rama. Bukan
engkau yang melempar sewaktu engkau melempar, namun yang melem-
par itu sebenarnya Allah jua" .
Ayat di atas pada kelahirannya, menerangkan kemenangan Mus
limin dalam perang dengan bantuan Allah namun para Shufi menta'wil-
kan ayat itu dengan pengertian lain, yaitu bahwa Allah itu menguasai
sesuatu, selain dibandingkan nya tidak ada sesuatu, Allah yang berbuat dan
mengatur, yang dibuat dan yang diaturnya itu ia dilahirkan pada manu
sia, manusia yang dapat berbuat dan mengatur, menyangka bahwa hal
itu dari kuasa mereka sendiri, padahal sebenarnya dari Al lah , beserta
Allah dan dengan A l l a h . "
Setelah kita meng-analisa semua itu, maka jelaslah bahwa : "Sum
ber hidup kerohanian dalam Islam itu yaitu Murni, penuh keikhlasan,
dan tidak bercampur sedikit pun dengan anasir-anasir lainnya."
Kita dapat membenarkan, bahwa orang-orang Muslimin itu pernah
berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, saling ambil-mengambil ke-
budayaan dan saling pengaruh-mempengaruhi, seperti percampuran an
tara Muslimin dengan bangsa-bangsa Yunani, Parsi dan Hindu, namun
percampuran itu tidak sampai merobah prinsip-prinsip Islam dalam hi
dup kerohaniannya, ia tetap orisinil sebagai yang diterangkan oleh A l -
Qur'an, Hadis dan kehidupan Muhammad sebelum dan sesudah ia
menjadi Rasul.
Itulah sumber-sumber Islam yang asli, yang bersih lagi murni, yang
mengilhamkan hidup kerohanian para Zuhad, Ubbad pada masa dulu,
kemudian diiringi oleh para shufi dan ahli filsafat shufi.
Dengan menjelaskan persoalan di atas, maka kita ketahuilah di
mana kesalahan faham ahli-ahli ketimuran Barat tentang hidup ke
rohanian Islam dan sumber-sumbernya. Dan tahulah kita sekarang,
bahwa : "Cita-cita hidup kerohanian Islam itu yaitu ajaran Islam sen
diri dan tujuan asli dari segala usaha para Shufi yaitu menurut Islam,
64
cita-cita yang disinari rahasia, kemudian cahaya itu menyinari bumi
A r a b sekaliannya, akh i rnya cahaya itu mengisi lubuk hati setiap M u s
l i m ! "
Demik i an kata P ro f . D r . M u h . Mus t a f a H i l m i da lam ceramah i l -
miyahnya di hadapan a l im ulama di Mes i r , termuat dalam majallah ter-
sebut di atas.
65
tmud i i en i^nam u l i B Y B I I B D r t f i iburn^ ,e iz£rün i iEniaib griEv. B l b - B l b
- auM qsiloz beri Auóul mgn^m u l i BYBrlE-j EYmirME ,By.nriBilB^32 d f i i A
"Irriil
- l i rifirfiBiSD mslBb i m l i H B I B I Z L I M . r i u M .iCI .ïoiH BJBJI nsiAimsQ
-13) dBi lBism mBiBb JBurrmi . l i z a M ib ems lu rnilB nBqBbBfi ib tafaristfkn
.2BJB ib mfcjï.
ld
J O J 1 J / 1 U 1 1 ; i ; Hij '. . £>G ..1 IJ I 4 1 I U .niJV_{lJ U J l l U J l JW/IV 1 » J J . - . . J . ' i - • ' i i * J « w ^ t J u J i
/ ^ l ^ B i 3 i §HBY nBU(ul rlfilEbE uti iBln'Bm nsb nEBbBsj! nE^Eqimm uy
^ b ^ j a j ^ j ^ n a g n a b nB^u>lBlib zmEri rlfinnu2 riBSjfijhaq nifil nsgnsQ
-iBdBrfBï-lBdEffBE fifilEbB uli lErlitem griE-y .EynnEjIujlEbrn BIBO nBb Eyn
-idfi) uiiBY ,Evnbhurn-bhurn BbEq3>i ilfidrns^! riB^BiaJhsonsm gnsy ,Byn
ni'idEl-idfii uiisy ,Bynlu>li§n3q EbEq3>l sluq nB)iEi3lh33ri3rn §rtB\' ,ni'
.BrnBlu dBJijl-dËlid mBlfib nBb IEKA
Sebagaimana sudah kita terangkan,* bahwa Tarekat itu artinya ja
lan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran
yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh saha-
bat dan tabi'in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-
menyambung dan rantai-berantai.. Guru-gur ï yang memberikan petun
juk dan pimpinan ini dinamakan Mursyid yi ng mengajar dan memim-
pin muridnya sesudah mendapat ijazat dari zurunya pula sebagaimana
ini dalam silsilahnya. Dengan demikian ahli Tasawwuf yakin, bah
wa peraturan-peraturan yang ini dalarr ilmu Syari'at dapat diker
jakan dalam pelaksanaan yang sebaik-baikm'a.
Orang Islam yang tidak mengerti Ilmu Tasawwuf acapkali berta
nya secara mengejek, rnengapa ada pula ilmu Tarekat, apa tidak cukup
ilmu fiqh itu saja dikerjakan untuk melaksanakan ajaran Islam itu.
Orang yang bertanya demikian itu sebenarnya sudah melakukan ilmu
tarekat, tatkala gurunya yang mengajarkan ilmu fiqh itu kepadanya,
misalnya sembahyang, menunjuk dan membimbing dia, bagaimana ca
ra melakukan ibadat sembahyang itu, bagaimana mengangkat tangan
pada waktu takbir pembukaan, bagaimana berniat yang sah, bagaima
na melakukan bacaan, bagaimana melakukan Mukt i dan sujud, semua
nya itu dengan sebaik-baiknya. Semua bimbingan guru itu dinamakan
tarekat, secara minimum tarekat namanya, namun j ika pelaksanaan iba
dat itu berbekas kepada jiwanya, pelaksanaan itu secara maksimum
hakekat namanya, sedang hasilnya sebagai tujuan terakhir dibandingkan se-
dengan istilah sufi ma'rifat namanya, mengenai Allah, untuk siapa di-
persembahkan segala amal ibadat itu.
Dalam ilmu tasawwuf penjelasan ini disebut demikian : Syari'at
itu yaitu peraturan, tarekat itu yaitu pelaksanaan, hakekat
itu yaitu keadaan dan ma'rifat itu yaitu tujuan yang terakhir.
Dengan lain perkataan Sunnah harus dilakukan dengan tarekat, tidak
cukup hanya keterangan dari Nabi saja, jikalau tidak dilihat pekerjaan-
nya dan cara melakukannya, yang melihat itu yaitu sahabat-sahabat
nya, yang menceriterakan kembali kepada murid-muridnya, yaitu tabi
' in, yang menceriterakan pula kepada pengikutnya, yaitu tabi-tabi'in
dan selanjutnya, sebagaimana yang dituliskan dalam Hadis, dalam
Asar dan dalam kitab-kitab ulama.
Jadi dengan demikian itu dapatlah kita katakan bahwa bukanlah
Qur'an itu tidak lengkap atau Sunnah dan ilmu fiqh itu tidak sempur-
na, namun masih ada penjelasan lebih lanjut dan bimbingan lebih ter-
atur, agar pelaksanaan dibandingkan peraturan-peraturan Allah dan Nabi
itu dapat dilakukan menurut semestinya, tidak menurut penangkapan
otak orang yang hanya membacanya saja dan melakukannya sesuka-
sukanya. Naksyabandi berkata bahwa syari'at itu segala apa yang di-
wajibkan, dan hakekat itu segala yang dapat diketahui, syari'at itu ti
dak bisa terlepas dibandingkan hakekat dan hakekat itu tidak bisa terlepas
dibandingkan syari'at. Agaknya inilah maksudnya Imam Malik mengata
kan, bahwa barang siapa mempelajari fiqh saja tidak mempelajari ta-
sawwu f, maka dia fasik, barang siapa mempelajari tasawwuf saja de
ngan tidak mengenai fiqh, maka dia itu zindiq, dan barang siapa mem
pelajari serta mengamalkan kedua-duanya, maka ia itulah mutahaqqiq,
yaitu ahli hakekat yang sebenar-benarnya.
Sebagai contoh dapat kita sebutkan, thaharah atau bersuci, menu
rut syari'at dilakukan dengan air atau tanah, namun ada tingkat yang
lebih tinggi dengan tidak keluar dari garis syari'at bahkan lebih me-
nyempurnakan, yaitu melakukan thaharah secara tarekat, dengan mem-
bersihkan diri kita dibandingkan hawa nafsu sehingga kebersihan itu dilaku
kan secara hakekat, yaitu mengosongkan hati kita dibandingkan segala se
suatu yang bersifat selain Al lah .
Maka bagaimanapun juga perselisihan pengertian, tidak dapat ti
dak kita akui bahwa semua syari'at itu hakekat, dan semua hakekat itu
68
syari'at pada dasarnya, syari'at itu disampaikan dengan perantaraan
Rasul dan hakekat itu maksud yang terselip di dalamnya, meskipun me
rupakan sesuatu yang tidak diperoleh dengan perintah. Syari'at di-
umumkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang wajib dilakukan dan pe-
kerjaan-pekerjaan yang terlarang yang harus dijauhkan, sedang dengan
hakekat itu kita diajarkan membuka dan mengenai rahasia-rahasianya
yang tersembunyi di dalamnya. Apabila rahasia ini sudah kita kenal,
kita kenal pula penciptanya, yaitu Al lah , dan lalu bertambah gembira-
lah kita dan yakin kepadanya serta mengerjakan amalan-amalan itu.
Jadi syari'at dan tarekat itu tidak lain dibandingkan mewujudkan pe
laksanaan ibadat dan amal, sedang hakekat itu memperlihatkan ihwal
dan rahasia tujuannya.
Acapkali kita bertemu dalam ilmu fiqh, bahwa dalam suatu hukum
terkadang tiga macam cara mengerjakannya. Jika kita sebutkan dengan
istilah sufi, dalam suatu syari'at ada tiga macam tarekat untuk menca-
paikan tujuannya. Misalnya Nabi membasuh tangan dalam wudhu, ada
satu kali, ada yang dikerjakan dua kali, dan ada yang dikerjakan tiga
kali, dengan ada keterangannya mengenai ketiga cara itu. Demikian
juga berkenaan dengan yang lain-lain, mengenai keyakinan ber Allah ,
mengenai membersihkan diri, dan mempertinggi mutu akhlak mengenai
kebahagiaan manusia, dsb.
Dan oleh sebab itu Nabi selalu memberikan jawaban yang berla-
inan, tatkala ditanyakan orang manakah thuruq atau jalan yang sede-
kat-dekatnya pada Allah . Misalnya mengenai taqarrub menebalkan
keyakinan kepada Allah , yang dikemukakan oleh A l i bin A b i Thalib
kepada Rasulullah. Kata A l i bin A b i Thalib : " A k u berkata kepada Ra
sulullah. Tunjuki daku thuruq yang sedekat-dekatnya dan semudah-
mudahnya serta yang semulia-mulianya kepada Al lah , yang semudah-
mudah dapat dikerjakan oleh hamba-Nya!" Jawabnya : " Y a A l i , hen-
daklah engkau selalu zikir dan ingat kepada Allah , terang-terangan
atau diam-diam" Kataku pula : "Tiap orang berzikir, sedang aku
menghendaki dibandingkan mu yang khusus untukku". Jawabnya : "Sebaik-
baiknya perkataan yang aku ucapkan dan yang diucapkan oleh Nabi-
Nabi sebelumku ialah kalimah Syahadat " l a ilaha i l lal lah", tiada Tu
han melainkan Al lah . Jika ditimbang dengan dacing, pada sebelah da-
un timbangan ditumpukkan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi,
dan pada daun t imbangan yang lain di le takkan ka l imah Syahadat i tu ,
pasti daun t imbangan yang memuat ka l imah Syahadat i tu lebih berat
dfaifi^'dh^ySngiWnii'rbq nsgnab rtelotaqib jlsbiJ gnEy UIBUZSZ n&Asqui
M u n g k i n t iap orang bisa menangkap salah keterangan ini dengan
mengambi! kesimpulan, bahwa yang perlu untuk mendekati T u h a n ha-
nyalah ucapan tah l i l , t idak perlu sembahyang, tidak perlu puasa, tidak
perlu zakat dan tidak perlu ha j i . 'Tarekat lah dan mursyidnya yang akan
menunjuk mengajar orang i tu serta membimbingnya , bahwa maksud-
nya itu bukan demik ian . D i samping semua kewajiban agama, yang ka
dang-kadang diker jakan dengan tidak berj iwa, keyakinan mentauhid-
kan T u h a n i tulah yang tidak boleh d i t inggalkan, apakah tauhid itu
akan d iucapkan dengan l idah sebagai lat ihan, apakah ia akan diresap-
kan dengan ingatan, semua itu pekerjaan seorang mursyid yang bijak-
sana. L e b i h dahulu meresapkan keesaan T u h a n , kemudian baru taat
OBanab nfijfjuoiz, BÜA BATL BYnxiBaBmsnarn E T B 3 mBOEm sgil gnsbexial
dari mempersembahkan amal ibadat kepada-Nya .
-Bonam afilnu i B i b i E l rnBOBm BgU BbB I B nBya utBU8 niElBb ,itu2 rtEluzt
I lmu tasawwuf mengajarkan dari pengamalan dan filsafatnya, bah
wa r iadhah amalan saja tidak dapat memben bekas dan memberi fae-
dah apa-apa, juga t idak mendekatkan hamba kepada A l l a h , selama ria
dhah itu t idak sesuai dengan syari 'at sejalan dengan Sunnah N a b i . A l -
Juna id berkata, bahwa semua tarekat i tu tertutup bagi manusia , kecuali
bagi mereka yang mengikut i jejak-jejak Rasu lu l l ah . , n B r n nBBigBrifida)!
P o k o k dar i semua tarekat i tu yaitu l ima : pertama mempelajari
i l m u pengetahuan yang bersangkut-paut dengan pelaksanaan semua
perintah, kedua mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk
melihat bagaimana cara melakukannya sesuatu ibadat, ketiga mening
galkan segala rukhsah dan t a 'w i l untuk menjaga dan memelihara ke-
sempurnaau amal , keempat menjaga dan mempergunakan waktu serta
mengisikannya dengan segala w i r id dan d o ' a guna mempertebalkan
khusyu ' dan hudur , dan kelima mengekang d i r i , jangan sampai keluar
melakukan hawa nafsu dan supaya d i r i i tu terjaga dar ipada kesalahan.
H a l in i k i ta terangkan da lam bahagian mengenai tujuan tarekat lebih
-^ të r jSS" : Byndfiv/Bl ."uAAulnu zuzuAA gney umBbsqiisb ijlBbnsrignsrn
4#sM rb lo n£>lqfiDuib gnsy nBb nBilqBDU UAB gnBy nBElEvhaq Byn/liBd
-uT Bbfi iJ ."rlEllBlIi Bfifili B I " }BbBriEy8 riBmilfijl rifilBi uAmuteósz idfiW
-fa n l $ a i ? M q ^ ! ^ h £ g n 3 b gnsdrnilib BAH .risIIA nB^niBiam H E H
P a d a waktu ki ta berbicara tentang i l m u pengetahuan sufi dan ta-
70
sawwuf, sudah kita singgung, bahwa mereka membahagikan ilmu dan
amal itu dalam empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan
keyakinan manusia, yaitu syari'at, tarekat, hakikat dan ma'rifat. Mes-
kipun ada golongan yang membahagikan ilmu bathin itu atas pembagi-
an lam, misalnya atas hidayat dan nihayat, seperti yang kita dapati pa
da. penganut-penganut tasawwuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim A l -
Jauziyah, namun pembahagian yang kita jumpai yaitu pembahagian
' ü^SÜ&S^^iit snsied .pizfil nfignoloa *u&nmt fii .IUWWBZ
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapati Sufi-Sufi yang mengemu
kakan kepada murid-muridnya mengambil misalnya tarekat atau haki
kat saja, di samping ahli-ahli fiqh yang hanya menekankan pelaksanaan
Islam itu kepada melakukan syari'at saja. Saya tidak ingin memben-
tangkan hal ini panjang lebar dalam risalah yang sangat terbatas halam-
annya ini , sebab cukup dengan saya, persilakan pembaca-pembaca me-
nelaah karangan-karangan Imam Ghazali sebagai salah seorang yang
ingin memperdekatkan kedua aliran paham dibandingkan ulama lahir dan
ulama fe^hin hu. j j • [ . i : . L •• , ons»
Yang perlu saya catat di sini, bahwa tidak ada seorang ulama Sufi
pun, yang ajarannya dan tarekatnya beroleh pengakuan kebenaran da
lam masyarakat Islam memperbolehkan penganut-penganutnya, hanya
mengerjakan salah satu saja dibandingkan keempat bahagian itu. Mereka
berkata, bahwa pelaksanaan agama Islam tidak sempurna, j ika tidak
dikerjakan keempat-empatnya, sebab keempat-empatnya itu merupa
kan satu tunggal bagi Islam. , J T , w
Bmslu rfolo nl? lUXfifD ansy i f i j b i B l qBit-qBit uit BnaiBJl rfelo B X B M
Syeikh Najmuddin Al-Kubra , sebagai ini dalam kitab " Ja-
mi'ul Aul iya ' " (Mesir, 1331 M ) , mengatakan, syari'at itu yaitu
uraian, tarekat itu yaitu pelaksanaan, hakikat itu yaitu ke
adaan, dan ma'rifat itu yaitu tujuan pokok, yakni pengenalan
Allah yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaha
rah, pada syari'at dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa
nafsu, pada hakikat bersih hati dari selain Al lah , semuanya itu untuk
mencapai ma'rifat terhadap Al lah . Oleh sebab itu orang tidak dapat
berhenti pada syari'at saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. Ia
memperbandingkan syari'at itu dengan sampan, tarekat itu lautan, ha
kikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak
W^^^WÈÉ^kmtd^nsm ,sriu*$s umïï nsb rfsbas'had afüsv. )sih.
Oleh sebab itu Syeikh Ahmad Al-Khamsyakhanuwi An-Naksya-
bandi, pengarang kitab yang ini di atas, menyimpulkan, bahwa
syari'at itu apa yang diperintahkan, dan hakikat itu apa yang dipahami,
syari'at itu terpilih menjadi satu dengan hakikat, dan hakikat menjadi
satu dengan syari'at (hal. 42).
Kedua ucapan orang Sufi itu sesuai dengan apa yang pernah dije-
laskan oleh Anas bin Malik : "Barang siapa berfiqh saja, tidak berta-
sawwuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawwuf saja
meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, namun barang siapa
mengerjakan kedua-duanya, dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq
yaitu ahli hakikat."
Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya ta
rekat itu tidak terbatas banyaknya, sebab tarekat atau jalan kepada
Allah itu sebanyak jiwa hamba Al lah . Pokok ajarannya tidak terbi-
lang pula, sebab ada yang akan melalui jalan zikir, jalan muraqabah,
jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, seperti sembah
yang, puasa, haji dan jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluar
kan zakat dan membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa
dari kebimbangan dunia akan kethama'an hawa nafsu, seperti khalawat
dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum, semuanya itu tidak
daoat dicapai dengan meninggalkan syari'at dan Sunnah Nabi. Dalam
hal ini Al-Junaid memperingatkan : "Semua tarekat itu tidak berfaedah
bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasulnya."
Maka oleh sebab itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama
harus memiliki lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk dilaksana-
kan sebagai perintah Allah , kedua mendampingi guru dan teman seta-
rekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta'wil untuk
kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan do'a dan wirid,
dan kelima mengekangi hawa nafsu dibandingkan berniat salah dan untuk
keselamatan.
Mengenai tarekat Naksyabandiyah dapat kita ringkaskan atas dua
hal, penama mengenai dasar, ialah memegang teguh kepada i'tiqad A h -
lus Sunnah, meninggalkan rukhsah membiasakan kesungguhan, senan
tiasa kala muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain
Al lah , hudur terhadap Allah , mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-
sifat yang berfaedah dan ilmu agama, mengikhlaskan zikir, menghin-
72
darkan kealpaan terhadap Allah , dan berakhlak Nabi Muhammad,
sedang kedua mengenai syarat-syaratnya, diatur sebagai berikut : i ' t i -
qad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memper
baiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan
sunnah, memilih amal menurut syari'at yang sah, menjauhkan diri dari
pada segala yang munkar dan bid'ah, dibandingkan pengaruh hawa nafsu
dan dibandingkan perbuatan yang tercela.
Pokok-pokok dasar tarekat Syaziliyah di antara lain ialah : Taqwa
kepada Allah lahir bathin, mengikuti sunnah dalam perkataan dan
perbuatan, mencegah menggantungkan nasib kepada manusia, rela de
ngan pemberian Allah dalam sedikit dan banyak, berpegang kepada
Allah pada waktu susah dan senang. Menurut tarekat ini pelaksanaan
taqwa dilakukan dengan wara' dan istiqamah, pelaksanaan sunnah de
ngan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggan-
tian nasib dengan sabar dan tawakkal, pelaksanaan rela terhadp Allah
dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada, dan
pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Al lah dengan ucapan tah-
mid dan syukur.
Untuk kesempurnaan kita sebutkan juga di sini pokok-pokok tare
kat Qadiriyah, yaitu lima, pertama tinggi cita-cita, kedua menjaga sega
la yang haram, ketiga memperbaiki khidmat terhadap Allah , keempat
melaksanakan tujuan yang baik, dan kelima memperbesarkan arti kur-
nia nikmat Allah .
Demikianlah beberapa catatan mengenai tujuan dan pokok-pokok
dasar dibandingkan tarekat-tarekat terpenting, yaitu yang yaitu induk
keyakinan dibandingkan beberapa banyak tarekat lain. Insya Al lah uraian
yang panjang lebar mengenai tarekat dan seluk-beluk ilmu dan amalnya
akan saya uraikan pada kesempatan lain dalam kitab in i .
3. K E K E L U A R G A A N T A R E K A T .
Pada waktu kita membicarakan ilmu tarekat, sudah kita singgung
bahwa pengertian tentang tarekat itu, yang mula-mula tidak lain dari
pada suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi
kekeluargaan, kumpulan, yang mengikat penganut-penganut Sufi yang
sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan
73
latihan-latihan dibandingkan pemimpinnya dalam suatu ikatan, yang ber-
da&ia tarükst. ifigsdoz xulsib .fi^nlais^g-tsisyK ianagnsm Buba^ gnsbsz
-ioqrnsrn .nifil gnsio iteri nBJÜBnunsrn .iBnad gnsy JBduBl .rise gnBY_ DBP
Terutama dalam zaman kemajuan Baghdad dalam abad ke-III dan
ke-IV Hijrah, dalam masa kehidupan lebih banyak yaitu kedunia-
an dibandingkan keagamaan, kelihatan benar pertumbuhan pengertian tare
kat kedua ini. Daiam pada itu dari satu pihak kelihatan lunturnya iman
dan tauhid, dari lain pihak timbulnya hidup kebendaan dan kemewah-
an, yang kedua-duanya menyuburkan kerusakan akhlak dan moral da
lam kaiangan kaum muslimin. Maka timbullah ulama-ulama, yang
ingin hendak memperbaiki kerusakan jasmani dan rohani itu, ingin
mengembahkan umat kepada kehidupan Islam yang sebenar-benarnya,
seperti yang pernah terjadi dalam masa Nabi. Lalu mereka mengumpul-
kan pengikut-pengikutnya, mengajar dan melatih syari'at Islam, serta
rneresapkan ke dalam jiwanya, jazb, rasa keAllah an melalui jalan, tha-
tiqah, yang kita namakan tarekat sekarang ini, dari petunjuk-petunjuk
yang ada dalam ayat-ayat Qur'an atau dalam Hadis-Hadis. De
ngan demikian terjadilah tarekat itu semacam kumpulan amal, yang di-
pimpin oleh seorang guru, yang dinamakan mursyid, atau syeikh tare
kat, wakilnya biasa dinamakan khalifah, beberapa banyak pengikutnya
yang dinamakan murid dengan Gedungnya tempat berlatih melakukan
ibadat dan lain-lain yang bernama ribath atau zawiyah, kitab-kitab
yang khusus dipergunakan untuk keperluan itu, baik mengenai ilmu
fiqh maupun mengenai ilmu tasawwuf, yang sudah diberi bercorak se
suatu tarekat yang khusus, memiliki zikir dan do'a serta wirid yang
khusus pula, perjanjian-perjanjian yang tertentu dari murid terhadap
gurunya, yang biasa disebut bai'at, dlls. sehingga tarekat itu merupa
kan suatu kekeluargaan, ukhuwah, yang berbeda antara satu sama lain.
Segala sesuatu yang terjadi dalam tarekat itu memiliki corak yang
tertentu. Sampai kepada cara bergaul dan cara berpakaian, cara mela
kukan ibadat, cara berzikir dan berwirid, berbeda dengan yang lain.
Suatu tarekat yaitu suatu persaudaraan, suatu kekeluargaan yang
tersendiri, seperti yang kita dapati kekeluargaan-kekeluargaan dalam
dunia Katholik, yang dalam bahasa Belanda disebut mystieke broeders
chap. Sebagai perkumpulan tarekat itu, didirikan dan dipimpin oleh
seorang bekas murid yang telah mendapat ijazah dari gurunya dengan
silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad.
74
Cara pendidikan dalam bentuk kekeluargaan seperti ini lekas sekali
meluas ke Persia, ke Syria, ke Mesir, ke seluruh Jazirah Arab. Teruta
ma di daerah Persia, daerah Hindi, dan daerah-daerah sekitarnya, isti-
mewa dalam masa rakyat tidak begitu senang terhadap pemerintahan
Umaiyyah Arab yang dianggap menjajah itu, tarekat-tarekat itu sangat
lekas berkembang biak, bahkan yaitu kumpulan-kumpulan raha
sia, di mana diajarkan juga percaya kepada imam yang adil yang akan
menjelma, dan di mana diajarkan secara halus dan secara tersirat da
lam ucapan-ucapan Sufi menentang kekuasaan raja-raja duniawi yang
memerintah ketika itu., ns3lünua ib n B m z ( j nsriamoteX . " i i sdms i
" n n s L a i n dibandingkan itu ada sebab yang lain dalam kalangan bangsa Arab
sendiri, yang memperbesarkan dan menyokong pertentangan rakyat
Persia terhadap pemerintah Umaiyyah. Kita ketahui dari sejarah Islam,
bahwa persengketaan antara dua suku Quraisy terpenting, Bani Umaiy
yah dan Bani Hasyim sudah terjadi sejak zaman sebelum Isiam. Kedua
suku ini memang berbeda sekali dalam kehidupan, sifat dan pendidik-
annya. Suku Bani Hasyim, yang di dalamnya termasuk Nabi Muham
mad dan Ali bin Abi Thalib, berkuasa dalam soal-soal keagamaan, se
dang suku Bani Umaiyyah menguasai bidang politik ketatanegaraan
dan perdagangan. Kekuasaan dunia sebenarnya hampir tidak berarti
bagi Bani Hasyim terhadap Bani Umaiyyah yang kaya dan berpengaruh
itu, meskipun pemerintahan berada dalam tangan Bani Abdul Muthalib
atau Bani Hasyim. Barulah sesudah kebangkitan Islam dan kekalahan
tentara Abu Sufyan, kekuasaan dan pengaruh kembali lagi ke dalam
tangan keturunan Bani Hasyim. Walaupun Nabi menutup-nutup per-
soalan ini, orang banyak mengetahui juga. Pada waktu Fath Mekkah
seorang sahabat berkata kepada Abbas, paman Nabi : "Kerajaan
kemenakanmu sekarang sudah meluas besar!" Abbas menjawab, bah
wa Muhammad bukan raja namun Nabi. Meski bagaimanapun Nabi
memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan dan keluarganya, namun
dendam Abu Sufyan itu rupanya tidak hilang, hanya ditutup dengan
bermohon kepada Nabi untuk mengangkat anaknya Mu'awiyah menja
di pengikut dan pembantunya. Dengan demikian kerja sama berjalan
untuk sementara waktu dalam masa hidup Qurun pertama.
-331 fIu51£Dfi3m gfl&Y ru>c3X ilü/siT30IT1 j l l l ; I H Ï llii Jlll 11)3YU3111 Joif IIhc guby
namun sesudah Nabi Muhammad wafat, dendam ini timbul kemba
li. Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan
75
mencoba-coba kembali menghasut A l i dan Abbas menentang keangkat-
an itu, dengan mengatakan, bahwa Abu Bakar berasal dari keturunan
yang hina di antara suku Quraisy, dan menganjurkan A l i bin A b i Tha
lib dengan janji akan dibantunya dengan kekuatan. namun ikhtiar itu
gagal.
Tatkala Usman bin Affan terpilih, timbullah dalam perasaan Abu
Sufyan rasa kemegahan dan kepuasan balasan dendam, sehingga ia per
gi ke kuburan Hamzah, paman Nabi, sambil berkata : "Bangunlah !
Lihatlah kerajaan kami yang kau perangi telah balik ke tangan kami
kembali". Kelemahan Usman dipergunakan oleh Marwan bin A l -
Hakam untuk menempatkan kembali Bani Umaiyyah dalam pemerin
tahan, dan dengan demikian Mu'awiyah, salah seorang yang dilahirkan
dalam alam rasa benei dan penuh dendam suku, didikan ayahnya Abu
Sufyan dan ibunya Hindun, pembunuh Hamzah, mendapat kedudukan
yang kuat (Dr. George Gerdake, Al-Imam Ali, terjemah H . M . Asad
Shahab, Jakarta, 1960).
Meskipun A l i bin A b i Thalib menghindarkan segala perselisihan,
namun akhirnya ia gugur juga dalam menentang kezaliman Mu'awiyah
itu. Setelah tidak dapat dikalahkan dalam peperangan, ia dibunuh se
cara diam-diam dalam mesjid Kufah. Sebelum ia kembali kepada Tu
hannya, masih sempat orang besar Sufi ini berpesan, akan memberikan
makanan yang cukup dan tempat tidur yang layak kepada pembunuh-
nya, Abdurrahman, yang tertangkap hidup. Dan kepada dua putera-
nya, Hasan dan Husein, ia menasehati : " J i k a engkau mengampuninya,
maka itu sebenarnya lebih mendekati taqwa. Jaga tetanggamu baik-
baik. Keluarkanlah zakat dari harta bendamu untuk fakir miskin. H i -
duplah engkau bersama-sama mereka. Berkatalah baik kepada sesama
manusia, sebagaimana diperintahkan Al lah kepadamu. Janganlah bo-
san dan meninggalkan kelakuan yang baik dan menganjurkan orang
berbuat baik. Rendahkan hatimu dan suka tolong-menolong sesama
manusia. Jagalah, jangan sampai engkau menjadi terpecah belah. Dan
jangan bermusuh-musuhan."
Kematian A l i dan kecelakaan atas keturunan-keturunannya secara
yang sangat menyedihkan ini, memberikan kesan yang mendalam ke
pada Bani Hasyim. Tatkala kekuatan lahir telah penuh dalam tangan
Bani Umaiyyah, pintu hanya terbuka untuk kekuatan bathin, yang di-
76
salurkan kepada tarekat-tarekat Sufi, secara kerja sama antara orang
Persia dan Ahl i Bait, dan oleh sebab itu nama-nama dari keluarga A l i
bin A b i Thalib banyak ada kembali di dalam jalinan keyakinan
Sufi.
Ada sebab-sebab yang lain yang melekaskan juga tersiarnya tare
kat-tarekat itu di tempat-tempat tersebut, di antaranya kebanyakan
ulama-ulama penciptanya ialah dari anak Persia, Hindi sendiri, yang
meskipun muslim namun cara berpikir sangat dekat dengan keyakinan
agama-agama Persia atau Hindu. Bahkan banyak di antara amal per-
buatannya, seperti khalwat atau bertapa, menggunakan tasbih atau fi l
safat angka, menggunakan pendupaan, latihan berbaju buruk dan me-
nahan lapar, safar atau mengembara, keadaan fana dan kemasukan
jiwa suci, sampai sekarang masih dipersoalkan orang, apakah semua
itu asli dari Islam ataukah dimasukkan orang ke dalam agama Islam
melalui ajaran Sufi yang diciptakan oleh ulama-ulama berasal dari Per
sia, Hindi , Syria atau Mesir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas
Mahmud Al-Aqqad dalam "AI-Falsafatul Qur-aniyah" (Kairo, 1947),
semua itu yaitu persoalan, apakah terambil dari filsafat India
atau Yunani melalui paham-paham Plato, ataukah ia yaitu ba-
han-bahan campuran dari sisa-sisa ibadat Mesir, India dan Yunani. Te
tapi, katanya, bagaimanapun juga amal perbuatan atau cara pelaksana
an, inti ajaran tasawwuf atau Sufi itu sudah ada ada dalam Qur
'an.
Demikianlah sehari demi sehari kekeluargaan-kekeluargaan tarekat
itu, yang pada mula pertama bersifat lemah dan suka rela menjadi per-
gerakan yang kuat dan disukai oleh umum, terutama orang-orang mis
kin, bhs. Arab faqir, bhs. Persia darwisy, yang salih serta war'a, tidak
memiliki apa-apa, dan tidak pula mengharapkan apa-apa kecuali
beramal mensucikan pribadinya. Orang-orang itu hidup dalam ke
keluargaan tempat guru dan pusat dari kekeluargaan itu, bernama ribath
(Persia : khangah), yang didirikan dengan sumbangan wakaf dan sede-
kah dari penganut-penganutnya, sehingga syeikh dan murid-murid yang
berlatih itu tidak usah memikirkan penghidupan lagi, namun mencurah-
kan seluruh tenaganya untuk beribadat, beramal, berzikir dan melaku
kan wirid-wirid serta bertafakkur dengan senang.
Gibb menceriterakan, bahwa di Persia murid-murid yang telah me-
77
ninggalkan ribath gurunya, acap kali mendirikan ribath-ribath lain
yang yaitu ranting dan cabang. Dengan demikian dari satu pusat
terbesar jaringan ribath-ribath itu meliputi daerah yang sangat luas,
yang tergabung dalam ikatan kerohanian, ketha'atan dan amalan-amal-
an yang sama dengan syeikh atau pirnya yang asli. Apabila pembangun-
nya yang asli meninggal dunia, yang biasanya beroleh kehormatan se
cara wali untuk penguburannya, maka salah seorang muridnya meng
ambil pimpinan menggantikannya. Penggantinya itu biasanya disebut
khalifah atau wali sajadah, dipilih dan dibai'ati dalam tarekat-tarekat
yang tidak memiliki larangan kawin, pengganti pemimpin itu yaitu
turun-temurun dalam keluarga pembangun semula dari sesuatu tarekat.
.j.Syed Ameer A l i dalam bukunya "The Spirit of Islam" (terjemah
dalam bahasa Indonesia oleh Roesli, Jakarta, 1958, pen. Pembangun-
an), menerangkan, bahwa ajaran Sufi dengan cepatnya bergerak dari
Irak dan Persi ke India, di mana ia mendapatkan tanah yang subur un
tuk hidupnya. Sejumlah besar ahli-ahli Sufi yang suci itu baik wanita
maupun pria berkembang biak banyaknya di Hindustan dan Dekkan dan
mendapatkan nama yang harum semasa hidup mereka lantaran perbu-
atan-perbuatan mereka yang baik. Kuburan mereka sampai hari ini te-
tap menjadi tempat kunjungan kaum Muslimin, dan patut dicatat, bah
wa juga golongan yang beragama Hindu mengunjungi kuburan mereka
itu. Orang-orang suci ini mengajar pengikut-pengikut mereka yang ber-
kumpul di tempat-tempat kuliah yang mereka adakan di mana-mana.
Mereka dalam kenyataannya boleh dinamakan ahli-ahli kebathinan. Di
Barat ahli-ahli kebathinan ini dinamai syeikh, di India dinamai pir atau
mursyid, pengikutnya dinamai murid. Apabila pir itu meninggal dunia
maka penggantinya mendapat kehormatan untuk mengajarkan peng
ikut-pengikut lainnya akan kegaiban ajaran darwisy-darwisy atau Sufi
itu. Hal mengajar atau menjadikan murid, hal menyampaikan pengeta
huan bathin itu yaitu yaitu salah satu fungsi yang dilakukan
oleh sajjadanasyin atau yang dianggap mereka lakukan. Dia yaitu
juru kunci dibandingkan makam nenek moyangnya dan kepadanyalah di-
teruskan silsilah bathin itu. Tempat-tempat suci (dargah) yang ditemui
di mana-mana di India adaiah kuburan dibandingkan darwisy-darwisy yang
termasyhur yang di mana hidup mereka dianggap sebagai orang-orang
suci. Setengahnya dari mereka itu mendirikan khankah di mana mereka
diam dan di mana mereka mengajarkan ajaran Sufi. Kebanyakan dari
78
mereka itu tidak memiliki khankah dan apabila mereka mati maka
kuburan-kuburan mereka yang menjadi tempat-tempat suci itu.
ritgiii Bynari gnay; Jirlsi gnsy gneicoa heb riaiod rfBMBbil BymBnadaa
rMiayS B>ÏBM .BilBterJ eynualfin nfignoiob snars)! u i i ifiqrnai i^ububrnrn
4ifiSa88HC»AflsAiï^öraïil .nBb IEYB-SSÜZ i f iynuqmsm ansy ,'ïhs gnsy
Syeikh atau guru memiliki kedudukan yang penting dalam tare
kat. Ia tidak saja yaitu seorang pemimpin yang mengawasi mu
rid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan schari-hari, agar
tidak menyimpang dibandingkan ajaran-ajaran Islam dan terjerumus ke
,nfij3V<i ns iGï nij svnDïYc"iufri SXBITÏ .ÏÖIÏJfi^i/K fifEji ^otvzium lüYniïcirfiürn
dalam ma'siat, berbuat dosa besar atau dosa kecü, yang