ilmu tarekat mistik 2

Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 2. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

ilmu tarekat mistik 2



 ? 

Meskipun kata Sufi dan tasawwuf belum dikenal orang, namun  apa 

yang dikerjakan Nabi dan apa yang ini dalam Qur'an mengenai 

tasawwuf itu sudah lama dikenal dan dipraktekkan. 

Tidak saja oleh Nabi namun  juga oleh Sahabat-sahabatnya. Abu 

Bakar, yang sebelum Islam seorang saudagar yang kaya raya, sesudah 

beriman seluruh harta bendanya habis untuk dijadikan korban atas ja­

lan Allah, sehingga seekor onta pun tak ada lagi kepunyaannya. Tiap 

ada keperluan untuk jihad, Nabi bertanya, siapa yang akan memberi-

kan sumbangannya, jarang ada tangan orang lain yang menunjuk un­

tuk mengatakan siap sedia kecuali tangan Abu Bakar Sahabat Nabi dan 

Khalifah yang pertama itu. Tatkala Umar ingin menyainginya pada 

suatu hari dengan mengatakan : "Saya ya Rasulullah". Rasulullah ber­

tanya : "Hai, Umar! Berapa banyak hartamu yang sudah engkau sede-

kahkan untuk jalan Allah?" Umar menjawab : "Seperdua dibandingkan  

hartaku". Kemudian Nabi bertanya kepada Abu Bakar yang semacam 

itu, Abu Bakar menjawab, bahwa seluruh ontanya sudah dibiayakan 

semua, tidak seekor pun juga ada yang tinggal padanya. Maka kata Na­

bi : "Apa yang tinggal lagi padamu?" Jawab Abu Bakar dengan pen-

dek dan puas : "Al l ah dan Rasulnya!" Inilah gambaran Sufi dibandingkan  

Abu Bakar. 

Panah Sufi ini pernah menusuk hati Umar bin Khattab, yang pada 

suatu ketika sangat kejam dan keras, hendak membunuh Nabi, sebab  

pada keyakinannya dialah yang memecahbelahkan golongan Quraisy, 

dan dia yang menghancurkan agama nenek moyangnya, yang sudah 

dianut berabad-abad lamanya. Tatkala orang mempersilahkan Umar 

kembali melihat ke rumahnya, ia pufang dan didapatinya adiknya Fha-

timah sedang mempelajari ayat-ayat Qur'an dengan suaminya. Ama-

rahnya menjadi bertambah, adiknya ditolak terpelanting ke tanah se­

hingga berdarah mukanya. Kemudian dirampasnya perkamen yang ber-

tuliskan ayat-ayat suci itu untuk dibacanya. Bagaimana keadaan Umar 

yang keras yang kejam itu, sesudah ia mengenai Allah  dalam tulisan 

itu? Hal ini diceriterakan oleh Umar sendiri : " M a k a aku bacalah ayat-

ayat yang tertulis di atas kulit kambing itu. Sudah berpuluh-puluh ta­

hun aku menjadi jagoan, orang yang ditakuti oleh seluruh Makkah, su­

dah berpuluh-puluh manusia mati dalam tanganku, dalam tanganku 

sebagai seorang yang paling keras dan berani, namun  pada ketika itu se-

kujur badanku gemetar, seluruh tubuhku lemah, seakan-akan tidak 

berdaya aku berdiri lagi. Apa yang kusangka-sangka dan apa yang 

menjadi was-was dalam hatiku, semuanya dijawab oleh ayat-ayat Qur­

'an yang ada pada tanganku, yang demikian bunyinya : Hai , Muham­

mad! Tidaklah Kami turunkan Qur'an ini kepadamu untuk menyusah-

kan dan memecahbelahkan ummat. Hanya Kami turunkan dia untuk 

jadi nasehat dan peringatan bagi mereka yang takut. Qur'an itu ditu­

runkan dibandingkan  Allah  yang menjadikan bumi dan petala langit yang 

tinggi, yaitu Allah  yang bersifat pengasih, yang bersemayam di atas 

singgasana Arasy, Allah  yang memiliki apa-apa yang ada dalam 

petala langit dan apa yang ada dalam lapisan bumi, yang memiliki 

apa yang ada di antara keduanya dan juga di dalam Hang bumi 

yang tersembunyi. Baik engkau berkata keras dan tegang, ia mengeta­

hui seluruhnya, sampai kepada rahasia-rahasia yang tersembunyi dalam 

hatimu. Allah  itu ialah Al lah , tidak ada Allah  melainkan Dia , dan 

bagi-Nya kembali dipersembahkan segala nama-nama yang baik (Qur­

'an X X : 1 — 8). Sesudah aku membaca ayat itu, aku lalu menyerah 

diri kepada Allah , sebab  aku merasa lemah sebagai manusia, Allah -

lah yang kuat tempat manusia itu menyerahkan dirinya", demikian 

Umar mengaku kelemahannya pada akhir pergulatannya antara hak 

dan bathil, antara menyembahan berhala dan menyembahan Allah  

yang sebenarnya. Tatkala kemudian ia menemui Nabi Muhammad di 

bukit Safa, menyerahkan dirinya menjadi anggota keluarga Islam, Nabi 

memperlihatkan wajahnya yang berseri-seri, sebab  do'anya sudah di-

perkenankan Allah , yaitu do'a Nabi di kala ummat Islam masih le­

mah, yang berbunyi : " Y a , Allah ku! Kuatkanlah Islam ini dengan sa­

lah satu dari dua Umar, Umar bin Hisyam dan atau Umar bin Khat-

tab". D i antara dua Umar ini rupanya Umar bin Khattablah yang ber-

bahagia, dari seorang jagoan pembunuh menjadi seorang Sahabat dan 

Khalifah yang terkenal adil dan bijaksana dalam sejarah Islam. 

Dari ceritera ini kita ketahui, bahwa dari satu pihak manusia itu 

pada suatu kali merasa lemah dan mencari Allah nya yang lebih kuat, 

dari lain pihak manusia yang lemah dan tertekan itu mencari kekuatan 

rohaninya pada Allah nya untuk memberikan dia bantuan yang diper-

lukan. 

Sebagaimana Abu Bakar, begitu juga dengan dirinya Usman, dari 

seorang yang kaya raya sampai menjadi seorang miskin yang semiskin-

miskinnya, yang dalam masa menjabat pangkat Khalifah, tidak mem­

punyai makanan yang cukup di rumahnya. Ia rela hidup miskin, asal 

sepanjang ajaran agamanya, ia rela dimarahi dan dicaci oleh isterinya 

sebab  tidak memiliki  kekayaan apa-apa, asal ajaran suci yang ter-

simpan dalam Qur'an dapat diamalkan dan menghiburkan hatinya da­

lam gundah-gulana itu. Contoh hidup Sufi yang diberikan Usman bin 

Affan dalam kehidupan menderita, besar sekali, dan contoh Sufi yang 

diperlihatkan oleh Khalifah ketiga ini menggantungkan nasibnya se-

mata-mata kepada Allah . 

Tentang A l i bin A b i Thalib kita tidak usah berpanjang kata, kare­

na dialah salah satu tokoh besar dibandingkan  Sahabat-sahabat yang menja­

di tiang penggerak bagi ajaran tasawwuf itu. Dengan kata-katanya yang 

tajam A l i meninggalkan pandangan-pandangannya, yang bersifat Sufi, 

terhadap Allah , terhadap dunia, dan terhadap manusia, ia sendiri per­

nah hendak hidup dengan tiga buah korma sehari, sehingga hampir me-

rusakkan kesehatannya. Ia meninggalkan anak.dan meninggalkan cucu-

nya, yang hidup dengan hidup Sufi, bahkan oleh golongan Syi'ah sam­

pai demikian tinggi diagung-agungkan, sehingga tidak ada sebuah kitab 

Sufi dan Tasawwuf pun yang kita bertemu, dengan tidak berjumpa na­

ma A l i bin A b i Thalib. Semuanya itu menunjukkan tujuannya yang ti­

dak diarahkan kepada dunia, semua itu menunjukkan jalannya ke arah 

zuhud, ke arah mencari hidup yang lebih baik, hidup murni dan hidup 

Sufi pada sisi Al lah . 

Maka sebagai yang kita katakan kehidupan ini merata di antara 

Sahabat-sahabat, yang kemudian pindah kepada Tabi' in dan pengikut 

dibandingkan  Tabi' in dalam kalangan ulama-ulama Salaf dan Khalaf. Da­

lam kitab Pengantar Sufi dan Tasawwuf kita uraikan sejarah perkem­

bangan ajaran ini dari Huzaifah ibn Al-Yaman, sampai kepada Hasan 

Basri, dan kepada orang-orang Sufi yang lain. namun  belum kita bicara-

kan dengan tegas perbedaannya antara ilmu tasawwuf ini dengan ilmu 

syari'at, yang biasa disebut dengan nama julukan ilmu bathin dan ilmu 

lahir. 

2. U L A M A F I Q I H D A N T A S A W W U F . 

Memang ada perbedaannya antara kedua aliran faham ini. A h l i -

ahli Fiqh biasanya berjalan di atas jalannya sendiri, dan ahli-ahli tasaw­

wuf berjalan pula menurut keyakinan sendiri, sehingga terjadilah anta­

ra kedua jalan fikiran ini lama-kelamaan suatu jurang yang makin lama 

makin jauh berpisah satu sama lain. Bahkan kadang-kadang terjadi 

tuduh-menuduh antara golongan yang menamakan dirinya ahli Syari'at 

dengan golongan yang ingin dinamakan ahli Hakikat. namun  meskipun 

demikian jika satu sama lain dekat-mendekati dan kenal-mengenal, ke-

dua-duanya mempertahankan pendirian dalam garis-garis Islam, maka 

biasanya perselisihan itu ibarat asap ditiup angin. 

Perselisihan-perselisihan ini terus-menerus terjadi, terjadi pada ma­

sa dahulu, dan terjadi pada masa sekarang. Misalnya Ibn Abdussalam 

pernah menyerang dengan hebatnya Ibn Arabi dan menuduhnya se­

orang zindik, yang terlepas dibandingkan  faham Islam yang benar. namun  

tatkala seorang sahabatnya berkata kepadanya : "Saya ingin kamu me­

nunjukkan kepadaku seorang qutub", Ibn Abdussalam menunjukkan 

Ibn Arabi . Sahabatnya berkata : "Bukankah engkau telah menyerang 

dia?" Ibn Abdussalam menjawab : "Saya hanya memelihara syara' 

yang lahir". Dari percakapan ini kita ketahui bahwa syara' yang lahir 

itu tidak dapat mengakui kesufian sebagai suatu kenyataan yang tersen-

diri dan benar. 

Setengah orang Sufi memberi keterangan kepada murid-muridnya : 

" J ika kamu menghendaki sorga, sebaiknya kamu pergi belajar kepada 

ahli Fiqh Ibn Madiyan, namun  j ika kamu menghendaki Allah  yang em-

punya sorga itu, marilah belajar kepadaku". Kedua percakapan ini di-

petik oleh Dr. Zaki Mubarak dari kitab "Nafkhut T h i b " . 

Ucapan Sufi yang terakhir ini seolah-olah menunjukkan kepada 

kita bahwa jalan ke sorga itu ialah ajaran syari'at, sedang jalan kepada 

Allah dicapai dengan tasawwuf. 

Ibn Al-Kat ib sering kali menyebut nama Ruzbari dengan gelaran 

"Sayyidina Abu A l i " , yang berarti : Junjunganku Abu A l i " . Maka di-

peringatkan orang kepadanya, apakah gelaran itu tidak terlalu tinggi 

dan berlebih-lebihan. Ia menjawab : "sebab  ia tèlah pergi dari ilmu 

syari'at kepada ilmu hakikat, sedang kami kembali dibandingkan  ilmu haki-

kat kepada ilmu syari'at". Maka dengan demikian ia menganggap, 

bahwa ilmu Fiqh hanyalah yaitu  pengajaran umum untuk manu­

sia biasa. 

Pada suatu kali orang bertanya kepada ulama Sufi, berapa banyak 

zakat yang harus dikeluarkan untuk dua ratus dirham. Ulama Sufi itu 

menjawab : "Untuk orang awam menurut hukum syara' diwajibkan 

lima dirham. namun  kami menganggap wajib atas diri kami mengeluar­

kan semuanya." 

Memang orang Sufi membahagi ulama itu atas dua bahagian, ada 

ulama umum dan ada ulama khusus. Ulama umum memberikan fatwa-

nya tentang halal dan haram, dan oleh sebab  itu mereka dinamakan 

ahli ustuwanah, yang mengajar pada tiang-tiang tertentu dalam mesjid. 

namun  ulama khusus ialah orang-orang yang alim tentang ilmu tauhid 

dan ilmu ma'rifat Allah , yang dinamakan ahli zawiyah dengan kedu-

dukannya yang terasing dan terpencil. 

Memang banyak yang aneh-aneh yang menunjukkan perbedaan 

dalam kehidupan kedua golongan itu. Muhasibi misalnya tidak mau 

menerima sesuatu dibandingkan  warisan yang ditinggalkan ayahnya seba-

nyak tujuh puluh ribu dirham, sebab  berlainan keadaan war'a antara 

anak dan bapak. Penolakan yang demikian itu hanya didasarkan atas 

sebuah hadis Nabi yang berbunyi : "Tidaklah diperkenankan waris

mewarisi antara dua orang yang berlainan agamanya". Demikian jauh-

nya pendapat kedua anak dan bapak ini seakan-akan orang Sufi mem­

punyai agama sendiri, dan orang lain yang tidak sepaham dengan dia 

memiliki  agama yang lain pula. 

Kita akui bahwa perbedaan ini ada, meskipun kadang-kadang tim-

bulnya secara lunak, kadang-kadang mehonjol secara serang-menye-

rang. namun  yang penting kita ketahui yaitu pokok pertentangan pen­

dapat itu, yaitu ahli ilmu lahir menganggap syari'at itu peraturan-per­

aturan yang sudah tetap, terbatas dan disusun rapi, yang memudahkan 

untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara manusia dengan 

manusia, sedang ahli ilmu bathin menganggap tasawwuf itu satu-satu-

nya alat untuk mengemudikan didikan jiwa dan memberi tuntunan ke­

pada hati, tidak usah tersusun rapi, namun  barang siapa yang tidak me-

ngetahuinya tidak pula dapat menyempurnakan ilmu syari'at itu. 

Di antara serangan-serangan yang hebat terhadap orang Sufi itu 

dikemukakan oleh Ibn Taimiyah, seorang dibandingkan  ahli salaf yang me­

mang tajam sekali lidah dan penanya dalam membongkar sesuatu yang 

tidak sesuai dengan Qur'an dan Sunnah Nabi. 

Memang orang takuti lidah dan pena Ibn Taimiyah yang petah dan 

tajam itu. Ia menyerang tidak sebab  mengejek dan membesarkan diri­

nya, namun  sebab  ingin mengupas soal, namun  dengan keyakinan hen­

dak membersihkan Islam dan dengan cukup alasan untuk membuktikan 

kesalahan-kesalahan yang dikupasnya. 

Selanjutnya Ibn Taimiyah pun menyerang secara berapi-api A l -

Ghazali, Muhyiddin Ibn Arabi , Umar Ibn Al-Faridh, dan umumnya 

semua golongan Sufi, yang menurut anggapannya membuat-buat bid­

'ah baru dalam Islam. Terhadap Ghazali serangannya terutama ditun-

jukkan kepada kitab Al-Munqiz Minaz Zalal dan kitab Ihya Ulumud-

din, sebab  dalam kedua kitab itu Ghazali banyak sekali memakai Ha-

dis da'if untuk alasan keterangannya. 

Dari sudut filsafat Ibn Taimiyah menyerang Ibn Sina dan Ibn Sab-

' in, yang dituduhnya banyak memasukkan faham-faham filsafat Yuna-

ni ke dalam ajaran Islam. Ia bertanya : Bukankah filsafat itu membawa 

kepada syirik dan melemahkan Islam?" Ia mengatakan terhadap orang 

Sufi : "Orang Sufi dan Mutakallimun sebenarnya timbul dari satu ju-

rang yang sama". 

Dalam pada itu ia sendiri seorang Sufi. Sesudah beberapa kali ia 

dimasukkan ke dalam penjara sebab  perselisihan faham, akhirnya di-

tempatkan dalam suatu kamar kecil yang bertembok tebal. Meskipun 

biasanya penjara itu tidak memilukan perasaannya, namun  pada waktu 

terakhir sangat menimbulkan kerusuhan dalam hatinya, sebab  dalam 

penjara sekali ini ia tidak diperkenankan menulis lagi dan menjawab 

serangan-serangan musuhnya. Musuh-musuhnya, berikhtiar bersama-

sama untuk melarang menyampaikan kitab-kitab, tinta dan kertas ke­

pada Ibn Taimiyah. 

Pelarangan ini datang kepadanya sebagai azab yang paling besar. 

Ia pada mulanya bingung tidak tahu apa yang harus dikerjakannya. Ba-

dannya seakan-akan lumpuh tidak berdaya lagi. Pukulan ini terlalu ke­

ras mengenai jiwanya. A i r matanya berhamburan melalui pipinya yang 

sudah berkerut-kerut itu, dan bibirnya gemetar seakan-akan hendak 

tanggal gugur ke bumi. Ia merangkak ke dekat sebuah Mashaf, satu-

satunya kitab yang terlupa ditinggalkan orang di atas sajadahnya, dan 

membaca Qur'an itu dengan suaranya yang sangat sedih. diselang-selingi 

dengan sembahyang terus-menerus. Dua puluh hari, hanya sesudah dua 

puluh hari, seluruh badannya habis dan ia jatuh sakit dan meninggal 

pada malam Senen 20 Zulkaedah 728 H . (26-27 September 1328 M. ) se­

dang ia membaca Qur'an, terguling di atas tikar sembahyangnya. 

Konon pada salah satu keadaan naza'a ia mengeluarkan perkata­

an : " A n a a l -Haq" — " k u kebenaran", yang oleh setengah orang di-

artikan, bahwa Ibn Taimiyah mengaku dirinya Allah  dalam ucapan-

nya. namun  banyak orang yang percaya, bahwa ia sebagai seorang Sufi 

telah fana dalam keAllah an, sehingga hanya Allah lah yang ada, hanya 

Allah lah yang benar, yang lain bayangan semata-mata. 

Sudah menjadi kebiasaan, manusia itu dicintai sesudah mati, di-

hormati sesudah ia tidak ada. Kematiannya membuat gempar seluruh 

Damaskus. Semua penduduk Damaskus merasa kehilangan, baik mu­

suh maupun temannya menerima hari kematian Ibn Taimiyah itu de­

ngan air mata bertetes. Damaskus menunjukkan kehormatan yang pa­

ling besar padanya. Dua ratus ribu laki-laki dan lima belas ribu perem-

puan mengantarkan kunarpanya ke kubur, kunarpa dan jenazah se­

orang Ulama yang terbesar dalam masanya, seorang mujaddid zaman-

nya, seorang Sufi dan seorang ahli salaf yang hidupnya sederhana dan 

terus terang. Ibn Al-Wardi mengucapkan rangkaian sajak, yang mem-

buat Ibn Taimiyah seakan-akan hidup berdiri kembali di tengah-tengah 

hadirin yang melaut itu dengan perjuangannya : "Kembali kepada Qur­

'an dan Sunnah Muhammad yang sebenar-benarnya!" 

Ibn Jauzi menulis sebuah kitab khusus untuk menyerang golongan 

Sufi ini, yang diberi nama "Talbis Iblis", dengan mengemukakan 

pendiriannya berdasarkan syara' dan akal. Sangatlah pedas isi kitab 

itu, terutama pada waktu ia mencela dan mengejek orang-orang Sufi 

itu, yang dikatakannya memiliki  keyakinan, bahwa latihan jiwa yang 

dikerjakannya dapat mengubah kebathinan dibandingkan  sifat-sifat manu­

sia, misalnya dapat mematikan syahwat, melenyapkan kemarahan, dan 

lain-lain sebagainya. Ia kemukakan dengan tegas, bahwa maksud yang 

demikian itu sekali-kali tidak sesuai dengan maksud syara', dan tidak 

termasuk di akal, bahwa tabiat-tabiat dan pembawaan manusia dapat 

dihilangkan dengan riyadhah atau latihan itu. Syahwat itu diciptakan 

Allah  sebab  ada faedahnya, jikalau tidak ada syahwat atau nafsu ma­

kan, pasti manusia itu akan binasa semuanya, jikalau tidak ada syah­

wat atau keinginan kawin, maka akan putuslah keturunan dan perkem­

bangan manusia. Dalam pada itu keinginan menjadi kaya tidak lain 

dari suatu akibat dibandingkan  tabiat manusia untuk menyampaikannya 

kepada syahwat itu. Yang dimaksudkan oleh syara' ialah menahan diri 

sekedarnya, untuk membuat manusia sedang dan sederhana dalam se­

gala tindakannya. 

Ia mengatakan pula, bahwa kesungguhan orang-orang menunjuk­

kan perhatiannya kepada kekhawatiran dan penyakit hati semata-mata, 

dengan mengabaikan sama sekali hukum-hukum syara', yaitu mimpi 

belaka, yang menunjukkan bahwa orang-orang Sufi itu yaitu orang 

orang yang tidak dapat berfikir dengan benar. Ia mengemukakan pet 

kataan Syafi 'i , yang menetapkan, bahwa jika seseorang bertasawwut 

pagi hari, belum sampai petang orang itu sudah menjadi seorang yang 

pandir atau ahmaq. Syafi'i pernah juga berkata : " A p a yang dilatih 

orang Sufi selama empat puluh hari, tidak ada artinya, semuanya akan 

dikembalikan oleh akal sebagai semula". Yunus bin Abdul A ' l a mene-

rangkan : "Saya bergaul selama tiga puluh tahun dengan orang Sufi, 

saya tidak mendapatinya seorang pun berakal, hanya seorang Muslim 

yang biasa saja". 

Selanjutnya Ibn Jauzi mengejek pendapat orang Sufi, yang sangat 

memperbeda-bedakan antara syari'at dan hakikat, katanya : "Ini sa­

ngat hina, sebab  syari'at itu diadakan oleh kebenaran untuk memper­

baiki kelakuan manusia, maka oleh sebab  itu, apa yang disebut haki­

kat sesudah syari'at itu, yang dianggap ada di dalam jiwa manusia, 

tidak lain dibandingkan  ciptaan iblis dan syaitan. Tiap orang yang menghen­

daki hakikat dengan membuang syari'at, maka orang itu mengacau dan 

tertipu. Tidaklah benar tuduhan orang-orang Sufi kepada orang-orang 

yang ingin mempelajari Hadis dan Sunnah Nabi : "Sangat sayang me­

reka itu, menerima ilmunya sebagai orang mati dari orang mati, sedang 

kita mendapat ilmu dari yang hidup dan tidak akan mati-mati. Mereka 

berkata, bahwa keterangan ini diriwayatkan oleh bapakku dari nenek-

ku, sedang kita berkata bahwa ini diriwayatkan oleh hatiku dari Allah -

k u " . Mereka itu termasuk orang yang binasa dan membinasakan orang 

lain dengan khayal-khayal khurafat semacam ini. Yang demikian itu 

yaitu siasatnya untuk memperoleh uang belaka. Orang-orang Fuqaha 

yaitu  tabib-tabib yang ulung, yang kemahalannya terletak oada 

pembelian obatnya. Pengeluaran kita kepada mereka itu seperti untuk 

penyanyi. Dan mereka mengatakan pula, bahwa kemarahan orang-

orang Fuqaha itu yaitu  zindik terbesar, sebab  orang-orang Fu­

qaha itu membahayakan dengan fatwa-fatwa mereka sebab  kesesatan-

nya dan kefasikannya. Dalam pada itu yang hak itu tetap berat seperti 

beratnya zakat" (Talbis Iblis, hal. 366 — 373). 

Demikian pula pandangan Ibn Qayyim terhadap orang-orang Sufi. 

Dan demikian pula ceriteranya dan tuduhannya mengenai orang-orang 

Sufi itu, yang tidak tertahan-tahan dilepaskan oleh Ibn Qayyim, pada 

waktu ia mempertahankan ahli Fiqh dan ahli Hadis. Sedang dia sendiri 

tidak dapat dikatakan keluar dari orang-orang Sufi. Perkataannya, 

yang pernah dipetik oleh Dr. Zaki Mubarak dari "Raudhatul Muhib-

b in" , menunjukkan yang demikian itu : " D i antara tanda-tanda cinta 

yaitu banyak menyebut yang dicintai, terpilin terjalin dalam tiap ucap-

an dan sebutan. Jika seseorang mencintai sesuatu, kecintaannya itu 

memperbanyak sebutan yang dicintainya, baik dengan hati maupun de­

ngan lidah. Dan oleh sebab  itu Allah  menyuruh hambanya meng-

ingatkan dia pada tiap ketika, terutama dalam keadaan yang menakut-

kan. Maka alamat, cinta yang benar itu ialah hamburan sebutan ten­

tang yang dicintai itu, baik waktu girang, baik pada waktu takut i tu" 

55 

(Tasawwuf Al-Islami, II : 233). 

Selanjutnya dapat kita katakan bahwa Ibn Qayyim ada pengarang 

kitab tasawwuf "Madarijus Sal ikin" , syarah Al-Marawi . 

Sementara itu orang-orang Sufi tetap berkeyakinan, bahwa mereka 

itu warastatul anbiya', peneruskan usaha Nabi-Nabi, dan menamakan 

dirinya ikhwanus safa, keluarga yang suci, wali-wali Al lah dan hamba-

nya yang saleh. Ceritera yang dikemukakan mereka itu tentang sifatnya 

tidak benar, yang benar ialah bahwa mereka dalam pembicaraannya, 

baik dalam pertemuan maupun dalam khalwatnya tidak mengingat dan 

menyebut selain dibandingkan  Al lah , tidak berfikir melainkan tentang pen-

ciptaannya, mereka tidak melihat dalam segala kejadian, melainkan 

perbaikan Allah , kebesaran nikmatnya dan keindahan pimpinannya, 

mereka tidak beramal kecuali untuk Al lah , tidak menyembah sesuatu 

kecuali dia, tidak mengingini kecuali Allah , dan tidak menempatkan 

sesuatu harapan pun kecuali pada Allah  itu. Yang demikian itu sebab  

mereka melihat yang hak dalam segala ciptaan Allah , menyaksikan 

dalam segala halnya, tidak mendengar kecuali yang datang dibandingkan -

nya, tidak melihat kecuali kepadanya, pendeknya pada hakekatnya ti­

dak kelihatan selain dibandingkan nya. Dan oleh sebab  itu mereka memu-

tuskan perhubungannya dengan segala makhluk, dan menujukan selu­

ruh kesempurnaannya kepada pencipta atau Khalik dari makhluk itu, 

kepada Allah  yang diperAllah kan oleh segala yang ada. 

Demikian gambarannya yang diberikan mereka sendiri. Dan apa­

kah Ibn Qayyim dapat memutarkan gambaran ini kepada ahli Fiqh dan 

ahli Hadis saja? Masih disangsikan. 

Kepada orang-orang yang semacam itu hidupnya, Nabi pernah 

mengeluarkan pujiannya : "Selalu berada di tengah-tengah ummat ini 

empat puluh orang laki-laki yang saleh, yang menganut agama Nabi 

Ibrahim". Dan orang-orang yang saleh itu ialah mereka yang disebut 

Allah  dan kitabnya dengan sanjungan " U l i l Albab, Ulin Nahyi, dan 

Uli l Abshar", ahli pemikir, ahli pencegah kejahatan dan kema'siatan, dan 

ahli penimbang yang bijaksana, mereka itulah wali-wali Allah dan ke-

cintaannya. Terhadap mereka itu Nabi pernah memberi peringatan ke­

pada iblis : "Kamu tidak dapat mengalahkan hamba-hambaku i tu" . 

Dan terhadap orang yang seperti itu Nabi pernah membangkitkan per­

hatian Abu Hurairah dengan katanya : "Wahai , Abu Hurairah! Ikuti-

56 

lah jalan, tarik suatu golongan, yang tidak pernah merasa gentar di 

tengah-tengah manusia yang berteriak-teriak minta dilepaskan dari api 

neraka". Tanya Abu Hurairah : "Siapakah gerangan orang-orang itu, 

ya Rasulullah? Terangkanlah kepadaku sifat-sifatnya, agar dapat ku-

kenali!" Jawab Rasulullah : "Itulah segolongan dibandingkan  ummatku 

yang pada hari kemudian berkumpul pada tempat Nabi-Nabi, sehingga 

tiap mata yang melihat kepadanya menyangka bahwa mereka itu Nabi-

Nabi, sehingga akulah yang menerangkannya dan memperkenalkannya. 

Maka kuserukan : Ummatku! Ummatku! Dengan panggilanku itu se­

mua makhluk pun tahulah, bahwa mereka itu bukan Nabi, namun  um-

mat-ummatku yang biasa. Mereka berjalan cepat laksana kilat dan 

angin, silau semua mata yang melihat kepadanya oleh cahaya mereka". 

Maka berkatalah Abu Hurairah : " Y a , Rasulullah! Suruhlah aku ber­

buat amal yang sama dengan amal mereka, agar dapat aku bersatu de­

ngan mereka i t u" . Ujar Rasulullah : "Wahai , Abu Hurairah! Orang-

orang itu telah menempuh jalan, tarik, yang sukar, oleh sebab  itu da-

patlah mereka mencapai derajat Nabi-Nabi, mereka itu telah dapat 

menderita lapar sesudah Allah  mengenyangkannya, mereka itu telah 

mengalami bertelanjang sesudah Allah  memberikan pakaian penutup 

badannya, demikian itu sebab  pengharapannya yang kuat kepada ba-

lasan Allah , mereka itu telah pernah meninggalkan segala yang halal 

sebab  takut kepada perhitungan Allah , mereka itu hanya berhubung-

an dengan dunia sebab  untuk keperluan badannya yang kasar, namun  

hatinya tidaklah sedikit pun terlekat kepada dunia itu. Wahai, semua 

Nabi-Nabi dan Malaikat heran melihat mereka itu dalam keta'atannya 

kepada Allah nya. Maka berbahagialah mereka itu! A k u pun meng-

ingini, agar Allah dapat mengumpulkan daku dengan mereka itu . . . . " . 

Maka menangislah Rasulullah sebab  kecintaannya hendak melihat 

orang-orang yang saleh itu (Risalah Ikhwanus Safa I : 299). 

Dr. Zaki Mubarak, yang yaitu  juga tukang kritik yang pa­

ling pedas terhadap Ghazali dengan kitabnya " A l - A k h l a q indal Ghaza­

l i " , pada akhirnya terpaksa membenarkan pendirian orang-orang Sufi 

ini, dan membenarkan pula pendirian mereka bahwa orang-orang Sufi 

itu melihat dirinya waratsatul anbiya', pengganti Nabi-Nabi. Katanya, 

bahwa yang demikian itu tidak aneh, sebab  orang-orang Sufi pun da­

lam tingkat pertama yaitu orang-orang yang mengetahui dan meng-

amalkan syari'at dengan sungguh-sungguh, meskipun ada di antaranya 

yang sederhana keahliannya, namun  kemudian bertingkatlah ia kepada 

jalan menguatkan pribadi dan mengarahkan seluruh perhatian kepada 

kesatuan Allah  dan persatuan ma'na antara khalik dan makhluk, yang 

acapkali disebut julukannya wujdaniyah. Sebagai alasan untuk menun­

jukkan seluruh perhatian kepada hati, orang Sufi mengemukakan per­

kataan Nabi : " M i n t a pertimbangan kepada hatimu, meskipun engkau 

dicoba dengan beberapa cobaan". 

Baiklah saya bawa pembaca kepada kesimpulan yang pernah di-

ambil oleh Dr. Zaki Mubarak dalam menilai ilmu syari'at dan ilmu ba­

thin itu. 

Ia berpendapat bahwa ada batas antara syari'at lahir dengan ke­

yakinan Sufi. Syari'at lahir hanya layak untuk manusia yang awam, 

sedang khawas hanya dapat difahami oleh orang-orang yang arif bijak-

sana, tidaklah mungkin sama mereka yang berilmu dengan mereka 

yang tidak mengetahui dalam memahami sesuatu yang pelik. Dalam 

alam ini banyak rahasia yang hanya dapat dilihat oleh orang-orang 

khawas. Syari'at sendiri yaitu  bahan-bahan pelik, yang tidak 

dapat difahami oleh orang-orang Fuqaha yang awam, kebanyakan ahli-

ahli ilmu lahir itu terlalu keras berpegang kepada sesuatu yang tetap 

sehingga mereka menjadi bodoh dan menutup seluruh pintu ijtihad, se­

luruh jalan berfikir, seolah-olah dunia itu berakhir pada waktu ummat-

nya berakhir, dan seolah-olah orang-orang alim telah membuka rahasia 

yang tertutup dan tidak ada yang tersembunyi lagi, yang memerlukan 

pembahasan dan pemikiran lebih lanjut." 

Kebekuan semacam inilah yang menyebabkan Iman Ghazali men-

jatuhkan keputusannya, bahwa bersungguh-sungguh hanya dengan 

ilmu lahir saja bathal adanya. 

Kemudian Dr. Zaki Mubarak, setelah memberikan uraian yang 

panjang lebar tentang kekurangan-kekurangan dan kelebihan dibandingkan  

kedua macam ilmu itu, yang sesungguhnya harus ditujukan tidak saja 

kepada yang tersurat di dalam Qur'an dan Hadis, namun  juga kepada 

apa yang tersirat di dalamnya memutuskan, bahwa permusuhan antara 

ulama lahir dan ulama bathin ini tidak berdasarkan kepada sesuatu 

azas yang benar. Ahl i lahir mesti ada, dan perlu adanya, sebab  mereka 

melindungi manusia dibandingkan  penyerahan dirinya kepada segala per-

sangkaan yang jahat dan perbuatan yang sesat. Ahl i bathin mesti ada, 

dan perlu adanya, sebab  mereka itu menyirami syari'at itu dengan wa-

ngi-wangian dengan jalan menyelidiki jiwa manusia, dan nieleburkan 

di atasnya panggilan kelebihan khayal. Ahl i lahir memelihara segala 

ilmu syari'at, dan memajukan Islam itu dari syari'at yang sudah dile-

takkan, kepada dasar-dasar pergaulan yang diatur oleh hukum Fiqh. 

Sedang ahli bathin ialah mereka yang membangun asabiyah agama 

yang kuat, dan memberikan gambaran Rasul serta Sahabat-sahabatnya 

dengan suatu gambaran kerohanian yang mena'jubkan, yang dapat 

menciptakan kekuatan yang mendalam untuk memelihara agama yang 

suci. 

Dan oleh sebab  itu tidak dapat kita abaikan apa yang telah di-

hasilkan Islam dibandingkan  peradaban Sufi, sebab  tasawwuf itu telah 

mengisi sudut-sudut yang kosong dari hati kaum Muslimin, dan melem-

butkan serta memperindah bekas-bekas kebendaan yang ada dalam 

peradaban Fiqh. 

3. ISLAM DAN HIDUP KEROHANIAN. 

Prof. Dr. M u h . Mustafa Hilmi menerangkan, bahwa ada hidup 

kerohanian dalam Islam, dan menceriterakan dalam "Al-Muhadarat 

' A m m a h " (Mesir, 1960), sbb. : 

Kehidupan manusia itu ada dua macam, kehidupan kebendaan 

(material) yang terdiri dari harta benda, kemegahan dan sebagainya, 

dan kehidupan kerohanian (spritual). 

Adapun kehidupan kerohanian itu yaitu  sentral induk yang 

memberi kehidupan seseorang, yang menghubungkan sesamanya; ma-

nakala yang ruhy itu telah berada dalam kemurnian (ikhlas, bersih, 

murni, jujur, Peny.), maka ia akan melahirkan kemurnian pula pada 

seseorang dalam perkataan dan perbuatannya, senantiasa baik dan di-

senangi dalam segala kehidupan dan pergaulan, menemukan keindahan 

dalam rasa dan cita. 

Itulah hidup kerohanian yang telah ditempuh oleh Salafus Shalih 

Muslimin Zaman yang lalu! Hidup kerohanian ini telah meliputi jagat 

semesta yang bersumber dari Nabi Muhammad saw. Kehidupan ini ber­

jalan terus masa Shahabat dan Tabi ' in, masa Tabi '-Tabi ' in yang Zu-

5' 

had, U b b a d , Nussak, Q u r r a ' , dan para Shuf i , kemudian disambung la­

gi oleh orang-orang yang memfalsafahkan tasawwuf. 

Tasawwuf Islam dimasuki oleh bermacam-macam falsafah dan 

pandangan hidup kerohanian di luar Is lam, sehingga orang yang tidak 

tahu akan haqiqat tasawwuf Islam mengatakan bahwa tasawwuf Islam 

itu bersumber dari Pers i , Y u n a n i , H i n d u dan Kr is ten . Padaha l j i k a me­

reka mengetahui hidup kerohanian Islam i tu , yaitu or is in i l dan di da-

lamnya ada unsur-unsur i lm iyah , jad i hidup kerohanian Islam itu 

bukan imitasi dari bermaca-macam falsafah hidup di luar Islam, per-

sangkaan mereka akan berubah dan sungguh tidak benar. 

Un tuk menjelaskan purbasangka dan kekel i ruan-kekel i ruan di 

atas, maka mari lah saya jelaskan "Sejarah H i d u p Kerohanian dalam 

I s l a m " , atau dengan kata lain " H i d u p Kerohan ian a l - M u h a m m a d i y a h " 

selaku sumber pertama dibandingkan  hidup zuhud dan Z u h a d dalam riya-

dhaat (latihan), mujahadaat, (berjuang), musyahadat, beroleh kesaksi-

an dan mukasyafaad terbuka hi jab. 

J i ka ki ta perhatikan kehidupan M u h a m m a d saw sebelum diangkat 

menjadi Rasu l , m a k a ki ta lihat M u h a m m a d itu memulai kehidupannya 

dengan menyendir i dan mengasingkan d i r i di gua H i r a , d i sana ia mela-

tih di r i mengasah j iwanya , ia bertekun dan berf iki r , ia memperhat ikan 

keindahan alam dan susunannya, memperhat ikan segala-galanya de­

ngan matahat inya, dengan demikian pandangan dan kepr ibadiannya 

menjadi bersih dan sempurna, sehingga ia layak untuk didatangi J i b r i l 

dan menerima dar ipadanya wahyu. M u h a m m a d diajarkan membaca-

baca oleh J i b r i l , bacaan M u h a m m a d yang mula -mula sekali berbunyi 

" i q r a bismi rabb ika d s b " , ar t inya : " B a c a l a h dengan nama T u h a n m u 

yang telah menjadikan. Ia telah menjadikan manusia dar ipada sekepal 

darah. Bacalah sebab  T u h a n m u yang amat mul ia itu telah mengajar 

dengan perantaraan qa lam. l a telah mengajar manusia apa yang tidak 

mereka ke t ahu i " . M u h a m m a d membaca ayat i n i , bacaan yang berarti 

"pengakhi ran dan p e r m u l a a n " , pengakhiran terhadap kehidupan me­

nyembah berhala yang materialistis yang meliput i kehidupan masyara­

kat A r a b waktu i tu , dan permulaan kepada kehidupan Tauhid dan ber-

Ibadat kepada Allah Y a n g M a h a Esa , tempat bergantung manusia, 

A l l a h yang satu dan tidak d iperanakkan , tidak ada yang sebaya dengan-

N y a seorang pun . Pembacaan M u h a m m a d in i lah yang mengubah pr i -

hidup lahir dan prihidup kejiwaan bangsa Arab. Hal ini berkelanjutan 

dengan kehidupan mereka yang berbahagia berkat limpahan ayat-ayat 

Al-Qur 'an, dan pimpinan utama Muhammad Rasulullah sendiri. 

Apa yang diperbuat Rasul setelah wahyu turun? Apa langkah dan 

geraknya? Latihan dan perjuangan apa yang dilakukannya terhadap 

dirinya dan gangguan syeitan ? 

Setelah Muhammad menjadi Rasul, sesudah ia sering mengasing-

kan diri di gua Hira , maka ia selalu melakukan latihan (riyadhah) dan 

berjoang (mujahadah). Ia shalat tahajjud sampai jauh malam hingga 

gembung kakinya. Pernah Aisyah mengatakan : "Kenapa engkau ber-

ibadah sekuat itu ya Rasulullah, padahal dosa engkau yang lalu dan 

yang akan datang telah diampuni?" Rasul menjawab : "Keinginanku 

hendak menjadi hamba Allah yang bersyukur!" Syukur, syukur inilah 

yang meresap dalam jiwa Muhammad, dengan syukur ini pula ia men-

capai Haqiqat KeAllah an. Kemudian dengan segala jihad ia berlatih, 

ia zikir, syukur, shabar, ridha, qanaah dan zuhud, ia berlapang dada 

dalam menghadapi segala percobaan dan rintangan sewaktu menjalan-

kan Da'wah ke Jalan Allah. 

Itulah kehidupan dan prihidup Muhammad Rasulullah yang telah 

dicontohkannya, guna diikuti dan diteladani oleh orang-orang yang me-

menuhi seruannya dan oleh orang-orang yang menganut agamanya ! 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, hidup kerohanian 

Muhammad saw baik sebelum dan sesudah ia menjadi Rasul yaitu 

sumber utama kerohanian Islam, teladan bagi zuhad, bagi Ubad, Nu-

sak, Fukara' dan para Shufiyah. 

Adapun sifat-sifat sabar, syukur, zuhud, ridha dan sebagainya ada­

lah sifat-sifat yang telah dibenarkan Muhammad saw dan telah diprak-

tekkannya pada dirinya sendiri. Sifat-sifat itu keseluruhannya diambil 

alih oleh para shufi yang mereka istilahkan dengan "maqamat dan akh-

wal" . 

Para shufiyah membuat suatu sistem (thariqah), sistem itu berjang-

ka dan beningkat-tingkat (marahil dan maratib). Jangka dan tingkat-

tingkat itu harus ditempuh oleh setiap pengembaranya (salik) dalam 

menuju kepada Allah SWT. Marahil itu bermacam-macam pula menda-

patkannya, dengan pendidikan (tahzib), dengan berita suka dan ancam-

an (targhib dan tarhiib), yang timbul dari dirinya sendiri atau dengan 

perantaraan pimpinan syeikh yang menentukannya ke arah pendidikan 

kerohanian. Begitulah sistem para sufiyah dalam menuju Allah SWT, 

yang semakin lama semakin berkembang ajarannya atau sistemnya. 

Kemudian jika kita telah mengetahui bahwa kehidupan Rasul itu 

yaitu sumber utama para shufi dan Tasawwuf Islam, di samping itu 

Hadis dan do'a Rasul yang diucapkannya dalam berbagai tempat dan 

suasana yaitu juga menjadi sumber utama Tasawwuf Islam. Rasul 

pernah berdo'a dan menyerukan "cinta kepada Allah dan sesama 

makhluq, persaudaraan, toleransi, berbudi luhur, berkata manis, meng­

utamakan aqal, memenuhi janji dan keutamaan-keutamaan lainnya 

yang harus diamalkan dan menjadi perhiasan hidup Muslim (tahalli)". 

Begitu juga Nabi Muhammad saw dengan i'tikafnya. Semua lang-

kah dan perjalanannya yaitu  teladan Muslim dalam menunaikan 

segala kewajiban terhadap Allah , jasmaniyah dan rohaniyah. 

Perbuatan Rasulullah yang telah digariskannya itu, pada haqiqat-

nya yaitu sorotan Al-Qur 'an, dan dari Al-Qur 'an itulah yang mem-

buat para shufi menggali rahasia-rahasia dalam kehidupan tasawwuf 

mereka. Mereka gali dari segi ilmiyah, dari segi zauq dan perasaan, se­

perti saja mereka merumuskan Hubb Al-Ilahy yang mereka ambil dari 

ajaran Al-Qur 'an : " H a i orang yang beriman, siapa yang ragu di anta-

ramu akan agama Allah , maka nanti Allah akan mendatangkan satu go­

longan yang dicintai Al lah , dan mereka sangat mencintai A l l a h " . Cinta 

yang berjalin ini , saling isi-mengisi antara Allah dengan hamba-Nya 

dan antara hamba dan Allah nya, cinta abadi yang menjadi cita-cita-

nya Tasawwuf Islam. Kecintaan kepada Allah ini menimbulkan akal 

yang bersinar dan menyinari diri pribadi, melahirkan ucapan dan kata-

kata indah dalam sajak, syair prosa dan puisi menumbuhkan seni buda-

ya yang menyedapkan pandangan dan menggetarkan jiwa. 

Perhatikanlah syair Al-Faridh yang tenggelam dalam cintanya ke­

pada Al lah , katanya : 

"Sekalian pengawal-Mu melengahkan-Mu; 

Kecuali aku dan beberapa orang pengawal; 

Berkumpul para Asyiq di bawah benderaku; 

Dan hamba-hamba di bawah bendera-Mu". 

Perhatikan pula munajat Rabi'ah al-A'dawiyah dengan Allah nya, 

yang penuh rasa cinta : 

"Cintaku ada dua cinta; 

Cinta rindu dan cinta kepada-Mu belaka; 

Cinta pertama membimbangkan daku belaka; 

Adapun cinta kepada-Mu, maka ia; 

Bertemu dengan-Mu tanpa tirai apa-apa; 

Tak ada segala puji dan puja; 

Kecuali hanya untuk-Mu sahaja". 

Hubbuilahi sebagaimana didendangkan Al-Faridh dan Rabiah itu 

yaitu jiwa Islam, sebab Islam itu yaitu dinul hubb, dan Muhammad 

Rasulullah pernah berkata : 

" A k u beragama, dengan agama — cinta; 

A k u berlayar dengan bahterany^a; 

Cinta yaitu agamaku dan imanku pula". 

Hubb atau agama yang didirikan di atas hubb, tidak lain dari 

" D I N U L I S L A M " , sebagaimana yang diuraikan oleh Ibnu Arabi sen­

diri dalam syair-syairnya yang berjudul "arti kasih dan cinta". 

Demikianlah, jika kita mencari sumber telaga tempat mereka me-

nyauk, maka tidak ada yang lain, selain dari Al-Qur 'an. Hadis dan 

Asar Nabi. 

Jika kita kembali kepada Al-Qur 'an, maka Al-Qur 'an itu jelas 

mengajak kepada "cinta yang isi-mengisi antara Allah dan manusia, 

menetapkan bahwa Allah itu "sumber segala" — " A l l a h Nur langit 

dan bumi ," " D i mana dan ke manapun engkau menghadap di situlah 

wajah A l l a h " Al-Qur 'an membentangkan jalan-jalan kebaikan, jalan-

jalan kecintaan, persaudaraan dan persamaan. Semua itu menjadi buah 

bibir para shufiyah dan itulah landasan dari Mazhab-Tajally mereka. 

Tajallinya Allah pada benda-benda alami ini , tajalli afa'lnya, asmanya, 

zatnya pada bermacam-macam keadaan. Mereka mendasarkan semua 

itu kepada firman Allah : " A l l a h itu cahaya langit dan bumi" , dan fir-

man-Nya : " K e mana kamu menghadap di sanalah wajah A l l a h " . 

Tidak cukup begitu saja, malah para Shufi menetapkan bahwa 

Allah Maha Pembuat yang Haqiqi, dan bahwasanya insan itu dari 

Allah, insan itu laksana potlot di tangan penulis, bergerak menurut ke-

mauan penulis. Manusia menyangka bahwa perbuatannya dari iradah-

nya sendiri, tidak! Perbuatan manusia itu pada haqiqatnya yaitu ira-

dah dan kehendak Allah. Pendapat ini diambil para Shufiyah dari ayat 

Al-Qur 'an : "Wama ramaita iz ramaita walakinnallaha rama. Bukan 

engkau yang melempar sewaktu engkau melempar, namun  yang melem-

par itu sebenarnya Allah jua" . 

Ayat di atas pada kelahirannya, menerangkan kemenangan Mus­

limin dalam perang dengan bantuan Allah namun  para Shufi menta'wil-

kan ayat itu dengan pengertian lain, yaitu bahwa Allah itu menguasai 

sesuatu, selain dibandingkan nya tidak ada sesuatu, Allah yang berbuat dan 

mengatur, yang dibuat dan yang diaturnya itu ia dilahirkan pada manu­

sia, manusia yang dapat berbuat dan mengatur, menyangka bahwa hal 

itu dari kuasa mereka sendiri, padahal sebenarnya dari Al lah , beserta 

Allah dan dengan A l l a h . " 

Setelah kita meng-analisa semua itu, maka jelaslah bahwa : "Sum­

ber hidup kerohanian dalam Islam itu yaitu Murni, penuh keikhlasan, 

dan tidak bercampur sedikit pun dengan anasir-anasir lainnya." 

Kita dapat membenarkan, bahwa orang-orang Muslimin itu pernah 

berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, saling ambil-mengambil ke-

budayaan dan saling pengaruh-mempengaruhi, seperti percampuran an­

tara Muslimin dengan bangsa-bangsa Yunani, Parsi dan Hindu, namun  

percampuran itu tidak sampai merobah prinsip-prinsip Islam dalam hi­

dup kerohaniannya, ia tetap orisinil sebagai yang diterangkan oleh A l -

Qur'an, Hadis dan kehidupan Muhammad sebelum dan sesudah ia 

menjadi Rasul. 

Itulah sumber-sumber Islam yang asli, yang bersih lagi murni, yang 

mengilhamkan hidup kerohanian para Zuhad, Ubbad pada masa dulu, 

kemudian diiringi oleh para shufi dan ahli filsafat shufi. 

Dengan menjelaskan persoalan di atas, maka kita ketahuilah di 

mana kesalahan faham ahli-ahli ketimuran Barat tentang hidup ke­

rohanian Islam dan sumber-sumbernya. Dan tahulah kita sekarang, 

bahwa : "Cita-cita hidup kerohanian Islam itu yaitu ajaran Islam sen­

diri dan tujuan asli dari segala usaha para Shufi yaitu menurut Islam, 

64 

cita-cita yang disinari rahasia, kemudian cahaya itu menyinari bumi 

A r a b sekaliannya, akh i rnya cahaya itu mengisi lubuk hati setiap M u s ­

l i m ! " 

Demik i an kata P ro f . D r . M u h . Mus t a f a H i l m i da lam ceramah i l -

miyahnya di hadapan a l im ulama di Mes i r , termuat dalam majallah ter-

sebut di atas. 

65 

tmud i i en i^nam u l i B Y B I I B D r t f i iburn^ ,e iz£rün i iEniaib griEv. B l b - B l b 

- auM qsiloz beri Auóul mgn^m u l i BYBrlE-j EYmirME ,By.nriBilB^32 d f i i A 

"Irriil 

- l i rifirfiBiSD mslBb i m l i H B I B I Z L I M . r i u M .iCI .ïoiH BJBJI nsiAimsQ 

-13) dBi lBism mBiBb JBurrmi . l i z a M ib ems lu rnilB nBqBbBfi ib tafaristfkn 

.2BJB ib mfcjï. 

ld 

J O J 1 J / 1 U 1 1 ; i ; Hij '. . £>G ..1 IJ I 4 1 I U .niJV_{lJ U J l l U J l JW/IV 1 » J J . - . . J . ' i - • ' i i * J « w ^ t J u J i 

/ ^ l ^ B i 3 i §HBY nBU(ul rlfilEbE uti iBln'Bm nsb nEBbBsj! nE^Eqimm uy 

^ b ^ j a j ^ j ^ n a g n a b nB^u>lBlib zmEri rlfinnu2 riBSjfijhaq nifil nsgnsQ 

-iBdBrfBï-lBdEffBE fifilEbB uli lErlitem griE-y .EynnEjIujlEbrn BIBO nBb Eyn 

-idfi) uiiBY ,Evnbhurn-bhurn BbEq3>i ilfidrns^! riB^BiaJhsonsm gnsy ,Byn 

ni'idEl-idfii uiisy ,Bynlu>li§n3q EbEq3>l sluq nB)iEi3lh33ri3rn §rtB\' ,ni' 

.BrnBlu dBJijl-dËlid mBlfib nBb IEKA 

Sebagaimana sudah kita terangkan,* bahwa Tarekat itu artinya ja­

lan, petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadat sesuai dengan ajaran 

yang ditentukan dan dicontohkan oleh Nabi dan dikerjakan oleh saha-

bat dan tabi'in, turun-temurun sampai kepada guru-guru, sambung-

menyambung dan rantai-berantai.. Guru-gur ï yang memberikan petun­

juk dan pimpinan ini dinamakan Mursyid yi ng mengajar dan memim-

pin muridnya sesudah mendapat ijazat dari zurunya pula sebagaimana 

ini dalam silsilahnya. Dengan demikian ahli Tasawwuf yakin, bah­

wa peraturan-peraturan yang ini dalarr ilmu Syari'at dapat diker­

jakan dalam pelaksanaan yang sebaik-baikm'a. 

Orang Islam yang tidak mengerti Ilmu Tasawwuf acapkali berta­

nya secara mengejek, rnengapa ada pula ilmu Tarekat, apa tidak cukup 

ilmu fiqh itu saja dikerjakan untuk melaksanakan ajaran Islam itu. 

Orang yang bertanya demikian itu sebenarnya sudah melakukan ilmu 

tarekat, tatkala gurunya yang mengajarkan ilmu fiqh itu kepadanya, 

misalnya sembahyang, menunjuk dan membimbing dia, bagaimana ca­

ra melakukan ibadat sembahyang itu, bagaimana mengangkat tangan 

pada waktu takbir pembukaan, bagaimana berniat yang sah, bagaima­

na melakukan bacaan, bagaimana melakukan Mukt i dan sujud, semua­

nya itu dengan sebaik-baiknya. Semua bimbingan guru itu dinamakan 

tarekat, secara minimum tarekat namanya, namun  j ika pelaksanaan iba­

dat itu berbekas kepada jiwanya, pelaksanaan itu secara maksimum 

hakekat namanya, sedang hasilnya sebagai tujuan terakhir dibandingkan  se-

dengan istilah sufi ma'rifat namanya, mengenai Allah, untuk siapa di-

persembahkan segala amal ibadat itu. 

Dalam ilmu tasawwuf penjelasan ini disebut demikian : Syari'at 

itu yaitu  peraturan, tarekat itu yaitu  pelaksanaan, hakekat 

itu yaitu  keadaan dan ma'rifat itu yaitu tujuan yang terakhir. 

Dengan lain perkataan Sunnah harus dilakukan dengan tarekat, tidak 

cukup hanya keterangan dari Nabi saja, jikalau tidak dilihat pekerjaan-

nya dan cara melakukannya, yang melihat itu yaitu sahabat-sahabat­

nya, yang menceriterakan kembali kepada murid-muridnya, yaitu tabi­

' in, yang menceriterakan pula kepada pengikutnya, yaitu tabi-tabi'in 

dan selanjutnya, sebagaimana yang dituliskan dalam Hadis, dalam 

Asar dan dalam kitab-kitab ulama. 

Jadi dengan demikian itu dapatlah kita katakan bahwa bukanlah 

Qur'an itu tidak lengkap atau Sunnah dan ilmu fiqh itu tidak sempur-

na, namun  masih ada penjelasan lebih lanjut dan bimbingan lebih ter-

atur, agar pelaksanaan dibandingkan  peraturan-peraturan Allah  dan Nabi 

itu dapat dilakukan menurut semestinya, tidak menurut penangkapan 

otak orang yang hanya membacanya saja dan melakukannya sesuka-

sukanya. Naksyabandi berkata bahwa syari'at itu segala apa yang di-

wajibkan, dan hakekat itu segala yang dapat diketahui, syari'at itu ti­

dak bisa terlepas dibandingkan  hakekat dan hakekat itu tidak bisa terlepas 

dibandingkan  syari'at. Agaknya inilah maksudnya Imam Malik mengata­

kan, bahwa barang siapa mempelajari fiqh saja tidak mempelajari ta-

sawwu f, maka dia fasik, barang siapa mempelajari tasawwuf saja de­

ngan tidak mengenai fiqh, maka dia itu zindiq, dan barang siapa mem­

pelajari serta mengamalkan kedua-duanya, maka ia itulah mutahaqqiq, 

yaitu ahli hakekat yang sebenar-benarnya. 

Sebagai contoh dapat kita sebutkan, thaharah atau bersuci, menu­

rut syari'at dilakukan dengan air atau tanah, namun  ada tingkat yang 

lebih tinggi dengan tidak keluar dari garis syari'at bahkan lebih me-

nyempurnakan, yaitu melakukan thaharah secara tarekat, dengan mem-

bersihkan diri kita dibandingkan  hawa nafsu sehingga kebersihan itu dilaku­

kan secara hakekat, yaitu mengosongkan hati kita dibandingkan  segala se­

suatu yang bersifat selain Al lah . 

Maka bagaimanapun juga perselisihan pengertian, tidak dapat ti­

dak kita akui bahwa semua syari'at itu hakekat, dan semua hakekat itu 

68 

syari'at pada dasarnya, syari'at itu disampaikan dengan perantaraan 

Rasul dan hakekat itu maksud yang terselip di dalamnya, meskipun me­

rupakan sesuatu yang tidak diperoleh dengan perintah. Syari'at di-

umumkan dengan pekerjaan-pekerjaan yang wajib dilakukan dan pe-

kerjaan-pekerjaan yang terlarang yang harus dijauhkan, sedang dengan 

hakekat itu kita diajarkan membuka dan mengenai rahasia-rahasianya 

yang tersembunyi di dalamnya. Apabila rahasia ini sudah kita kenal, 

kita kenal pula penciptanya, yaitu Al lah , dan lalu bertambah gembira-

lah kita dan yakin kepadanya serta mengerjakan amalan-amalan itu. 

Jadi syari'at dan tarekat itu tidak lain dibandingkan  mewujudkan pe­

laksanaan ibadat dan amal, sedang hakekat itu memperlihatkan ihwal 

dan rahasia tujuannya. 

Acapkali kita bertemu dalam ilmu fiqh, bahwa dalam suatu hukum 

terkadang tiga macam cara mengerjakannya. Jika kita sebutkan dengan 

istilah sufi, dalam suatu syari'at ada tiga macam tarekat untuk menca-

paikan tujuannya. Misalnya Nabi membasuh tangan dalam wudhu, ada 

satu kali, ada yang dikerjakan dua kali, dan ada yang dikerjakan tiga 

kali, dengan ada keterangannya mengenai ketiga cara itu. Demikian 

juga berkenaan dengan yang lain-lain, mengenai keyakinan ber Allah , 

mengenai membersihkan diri, dan mempertinggi mutu akhlak mengenai 

kebahagiaan manusia, dsb. 

Dan oleh sebab  itu Nabi selalu memberikan jawaban yang berla-

inan, tatkala ditanyakan orang manakah thuruq atau jalan yang sede-

kat-dekatnya pada Allah . Misalnya mengenai taqarrub menebalkan 

keyakinan kepada Allah , yang dikemukakan oleh A l i bin A b i Thalib 

kepada Rasulullah. Kata A l i bin A b i Thalib : " A k u berkata kepada Ra­

sulullah. Tunjuki daku thuruq yang sedekat-dekatnya dan semudah-

mudahnya serta yang semulia-mulianya kepada Al lah , yang semudah-

mudah dapat dikerjakan oleh hamba-Nya!" Jawabnya : " Y a A l i , hen-

daklah engkau selalu zikir dan ingat kepada Allah , terang-terangan 

atau diam-diam" Kataku pula : "Tiap orang berzikir, sedang aku 

menghendaki dibandingkan mu yang khusus untukku". Jawabnya : "Sebaik-

baiknya perkataan yang aku ucapkan dan yang diucapkan oleh Nabi-

Nabi sebelumku ialah kalimah Syahadat " l a ilaha i l lal lah", tiada Tu­

han melainkan Al lah . Jika ditimbang dengan dacing, pada sebelah da-

un timbangan ditumpukkan tujuh petala langit dan tujuh petala bumi, 

dan pada daun t imbangan yang lain di le takkan ka l imah Syahadat i tu , 

pasti daun t imbangan yang memuat ka l imah Syahadat i tu lebih berat 

dfaifi^'dh^ySngiWnii'rbq nsgnab rtelotaqib jlsbiJ gnEy UIBUZSZ n&Asqui 

M u n g k i n t iap orang bisa menangkap salah keterangan ini dengan 

mengambi! kesimpulan, bahwa yang perlu untuk mendekati T u h a n ha-

nyalah ucapan tah l i l , t idak perlu sembahyang, tidak perlu puasa, tidak 

perlu zakat dan tidak perlu ha j i . 'Tarekat lah dan mursyidnya yang akan 

menunjuk mengajar orang i tu serta membimbingnya , bahwa maksud-

nya itu bukan demik ian . D i samping semua kewajiban agama, yang ka­

dang-kadang diker jakan dengan tidak berj iwa, keyakinan mentauhid-

kan T u h a n i tulah yang tidak boleh d i t inggalkan, apakah tauhid itu 

akan d iucapkan dengan l idah sebagai lat ihan, apakah ia akan diresap-

kan dengan ingatan, semua itu pekerjaan seorang mursyid yang bijak-

sana. L e b i h dahulu meresapkan keesaan T u h a n , kemudian baru taat 

OBanab nfijfjuoiz, BÜA BATL BYnxiBaBmsnarn E T B 3 mBOEm sgil gnsbexial 

dari mempersembahkan amal ibadat kepada-Nya . 

-Bonam afilnu i B i b i E l rnBOBm BgU BbB I B nBya utBU8 niElBb ,itu2 rtEluzt 

I lmu tasawwuf mengajarkan dari pengamalan dan filsafatnya, bah­

wa r iadhah amalan saja tidak dapat memben bekas dan memberi fae-

dah apa-apa, juga t idak mendekatkan hamba kepada A l l a h , selama ria­

dhah itu t idak sesuai dengan syari 'at sejalan dengan Sunnah N a b i . A l -

Juna id berkata, bahwa semua tarekat i tu tertutup bagi manusia , kecuali 

bagi mereka yang mengikut i jejak-jejak Rasu lu l l ah . , n B r n nBBigBrifida)! 

P o k o k dar i semua tarekat i tu yaitu l ima : pertama mempelajari 

i l m u pengetahuan yang bersangkut-paut dengan pelaksanaan semua 

perintah, kedua mendampingi guru-guru dan teman setarekat untuk 

melihat bagaimana cara melakukannya sesuatu ibadat, ketiga mening­

galkan segala rukhsah dan t a 'w i l untuk menjaga dan memelihara ke-

sempurnaau amal , keempat menjaga dan mempergunakan waktu serta 

mengisikannya dengan segala w i r id dan d o ' a guna mempertebalkan 

khusyu ' dan hudur , dan kelima mengekang d i r i , jangan sampai keluar 

melakukan hawa nafsu dan supaya d i r i i tu terjaga dar ipada kesalahan. 

H a l in i k i ta terangkan da lam bahagian mengenai tujuan tarekat lebih 

-^ të r jSS" : Byndfiv/Bl ."uAAulnu zuzuAA gney umBbsqiisb ijlBbnsrignsrn 

4#sM rb lo n£>lqfiDuib gnsy nBb nBilqBDU UAB gnBy nBElEvhaq Byn/liBd 

-uT Bbfi iJ ."rlEllBlIi Bfifili B I " }BbBriEy8 riBmilfijl rifilBi uAmuteósz idfiW 

-fa n l $ a i ? M q ^ ! ^ h £ g n 3 b gnsdrnilib BAH .risIIA nB^niBiam H E H 

P a d a waktu ki ta berbicara tentang i l m u pengetahuan sufi dan ta-

70 

sawwuf, sudah kita singgung, bahwa mereka membahagikan ilmu dan 

amal itu dalam empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan 

keyakinan manusia, yaitu syari'at, tarekat, hakikat dan ma'rifat. Mes-

kipun ada golongan yang membahagikan ilmu bathin itu atas pembagi-

an lam, misalnya atas hidayat dan nihayat, seperti yang kita dapati pa­

da. penganut-penganut tasawwuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim A l -

Jauziyah, namun  pembahagian yang kita jumpai yaitu pembahagian 

' ü^SÜ&S^^iit snsied .pizfil nfignoloa *u&nmt fii .IUWWBZ 

Dalam kehidupan sehari-hari kita dapati Sufi-Sufi yang mengemu­

kakan kepada murid-muridnya mengambil misalnya tarekat atau haki­

kat saja, di samping ahli-ahli fiqh yang hanya menekankan pelaksanaan 

Islam itu kepada melakukan syari'at saja. Saya tidak ingin memben-

tangkan hal ini panjang lebar dalam risalah yang sangat terbatas halam-

annya ini , sebab  cukup dengan saya, persilakan pembaca-pembaca me-

nelaah karangan-karangan Imam Ghazali sebagai salah seorang yang 

ingin memperdekatkan kedua aliran paham dibandingkan  ulama lahir dan 

ulama fe^hin hu. j j • [ . i : . L •• , ons» 

Yang perlu saya catat di sini, bahwa tidak ada seorang ulama Sufi 

pun, yang ajarannya dan tarekatnya beroleh pengakuan kebenaran da­

lam masyarakat Islam memperbolehkan penganut-penganutnya, hanya 

mengerjakan salah satu saja dibandingkan  keempat bahagian itu. Mereka 

berkata, bahwa pelaksanaan agama Islam tidak sempurna, j ika tidak 

dikerjakan keempat-empatnya, sebab  keempat-empatnya itu merupa­

kan satu tunggal bagi Islam. , J T , w 

Bmslu rfolo nl? lUXfifD ansy i f i j b i B l qBit-qBit uit BnaiBJl rfelo B X B M 

Syeikh Najmuddin Al-Kubra , sebagai ini dalam kitab " Ja-

mi'ul Aul iya ' " (Mesir, 1331 M ) , mengatakan, syari'at itu yaitu  

uraian, tarekat itu yaitu  pelaksanaan, hakikat itu yaitu  ke­

adaan, dan ma'rifat itu yaitu  tujuan pokok, yakni pengenalan 

Allah  yang sebenar-benarnya. Diberinya teladan seperti bersuci thaha­

rah, pada syari'at dengan air atau tanah, pada hakikat bersih dari hawa 

nafsu, pada hakikat bersih hati dari selain Al lah , semuanya itu untuk 

mencapai ma'rifat terhadap Al lah . Oleh sebab  itu orang tidak dapat 

berhenti pada syari'at saja, mengambil tarekat atau hakikat saja. Ia 

memperbandingkan syari'at itu dengan sampan, tarekat itu lautan, ha­

kikat itu mutiara, orang tidak dapat mencapai mutiara itu dengan tidak 

W^^^WÈÉ^kmtd^nsm ,sriu*$s umïï nsb rfsbas'had afüsv. )sih. 

Oleh sebab  itu Syeikh Ahmad Al-Khamsyakhanuwi An-Naksya-

bandi, pengarang kitab yang ini di atas, menyimpulkan, bahwa 

syari'at itu apa yang diperintahkan, dan hakikat itu apa yang dipahami, 

syari'at itu terpilih menjadi satu dengan hakikat, dan hakikat menjadi 

satu dengan syari'at (hal. 42). 

Kedua ucapan orang Sufi itu sesuai dengan apa yang pernah dije-

laskan oleh Anas bin Malik : "Barang siapa berfiqh saja, tidak berta-

sawwuf, ia termasuk golongan fasiq, barang siapa bertasawwuf saja 

meninggalkan fiqh ia termasuk golongan zindiq, namun  barang siapa 

mengerjakan kedua-duanya, dialah yang dapat dinamakan mutahaqqiq 

yaitu ahli hakikat." 

Seorang ahli tarekat terbesar menerangkan, bahwa sebenarnya ta­

rekat itu tidak terbatas banyaknya, sebab  tarekat atau jalan kepada 

Allah  itu sebanyak jiwa hamba Al lah . Pokok ajarannya tidak terbi-

lang pula, sebab  ada yang akan melalui jalan zikir, jalan muraqabah, 

jalan ketenangan hati, jalan pelaksanaan segala ibadat, seperti sembah­

yang, puasa, haji dan jihad, jalan melalui kekayaan, seperti mengeluar­

kan zakat dan membiayai amal kebajikan, jalan membersihkan jiwa 

dari kebimbangan dunia akan kethama'an hawa nafsu, seperti khalawat 

dan mengurangi tidur, mengurangi makan minum, semuanya itu tidak 

daoat dicapai dengan meninggalkan syari'at dan Sunnah Nabi. Dalam 

hal ini Al-Junaid memperingatkan : "Semua tarekat itu tidak berfaedah 

bagi hamba Allah jika tidak menurut Sunnah Rasulnya." 

Maka oleh sebab  itu tiap-tiap tarekat yang diakui sah oleh ulama 

harus memiliki  lima dasar, pertama menuntut ilmu untuk dilaksana-

kan sebagai perintah Allah , kedua mendampingi guru dan teman seta-

rekat untuk meneladani, ketiga meninggalkan rukhsah dan ta'wil untuk 

kesungguhan, keempat mengisi semua waktu dengan do'a dan wirid, 

dan kelima mengekangi hawa nafsu dibandingkan  berniat salah dan untuk 

keselamatan. 

Mengenai tarekat Naksyabandiyah dapat kita ringkaskan atas dua 

hal, penama mengenai dasar, ialah memegang teguh kepada i'tiqad A h -

lus Sunnah, meninggalkan rukhsah membiasakan kesungguhan, senan­

tiasa kala muraqabah, meninggalkan kebimbangan dunia dari selain 

Al lah , hudur terhadap Allah , mengisi diri (tahalli) dengan segala sifat-

sifat yang berfaedah dan ilmu agama, mengikhlaskan zikir, menghin-

72 

darkan kealpaan terhadap Allah , dan berakhlak Nabi Muhammad, 

sedang kedua mengenai syarat-syaratnya, diatur sebagai berikut : i ' t i -

qad yang sah, taubat yang benar, menunaikan hak orang lain, memper­

baiki kezaliman, mengalah dalam perselisihan, teliti dalam adab dan 

sunnah, memilih amal menurut syari'at yang sah, menjauhkan diri dari­

pada segala yang munkar dan bid'ah, dibandingkan  pengaruh hawa nafsu 

dan dibandingkan  perbuatan yang tercela. 

Pokok-pokok dasar tarekat Syaziliyah di antara lain ialah : Taqwa 

kepada Allah  lahir bathin, mengikuti sunnah dalam perkataan dan 

perbuatan, mencegah menggantungkan nasib kepada manusia, rela de­

ngan pemberian Allah  dalam sedikit dan banyak, berpegang kepada 

Allah  pada waktu susah dan senang. Menurut tarekat ini pelaksanaan 

taqwa dilakukan dengan wara' dan istiqamah, pelaksanaan sunnah de­

ngan penelitian amal dan perbaikan budi pekerti, pelaksanaan penggan-

tian nasib dengan sabar dan tawakkal, pelaksanaan rela terhadp Allah  

dengan hidup sederhana dan merasa puas dengan apa yang ada, dan 

pelaksanaan kembali dan berpegang kepada Al lah dengan ucapan tah-

mid dan syukur. 

Untuk kesempurnaan kita sebutkan juga di sini pokok-pokok tare­

kat Qadiriyah, yaitu lima, pertama tinggi cita-cita, kedua menjaga sega­

la yang haram, ketiga memperbaiki khidmat terhadap Allah , keempat 

melaksanakan tujuan yang baik, dan kelima memperbesarkan arti kur-

nia nikmat Allah . 

Demikianlah beberapa catatan mengenai tujuan dan pokok-pokok 

dasar dibandingkan  tarekat-tarekat terpenting, yaitu yang yaitu  induk 

keyakinan dibandingkan  beberapa banyak tarekat lain. Insya Al lah uraian 

yang panjang lebar mengenai tarekat dan seluk-beluk ilmu dan amalnya 

akan saya uraikan pada kesempatan lain dalam kitab in i . 

3. K E K E L U A R G A A N T A R E K A T . 

Pada waktu kita membicarakan ilmu tarekat, sudah kita singgung 

bahwa pengertian tentang tarekat itu, yang mula-mula tidak lain dari­

pada suatu cara mengajar atau mendidik, lama-lama meluas menjadi 

kekeluargaan, kumpulan, yang mengikat penganut-penganut Sufi yang 

sepaham dan sealiran, guna memudahkan menerima ajaran-ajaran dan 

73 

latihan-latihan dibandingkan  pemimpinnya dalam suatu ikatan, yang ber-

da&ia tarükst. ifigsdoz xulsib .fi^nlais^g-tsisyK ianagnsm Buba^ gnsbsz 

-ioqrnsrn .nifil gnsio iteri nBJÜBnunsrn .iBnad gnsy JBduBl .rise gnBY_ DBP 

Terutama dalam zaman kemajuan Baghdad dalam abad ke-III dan 

ke-IV Hijrah, dalam masa kehidupan lebih banyak yaitu  kedunia-

an dibandingkan  keagamaan, kelihatan benar pertumbuhan pengertian tare­

kat kedua ini. Daiam pada itu dari satu pihak kelihatan lunturnya iman 

dan tauhid, dari lain pihak timbulnya hidup kebendaan dan kemewah-

an, yang kedua-duanya menyuburkan kerusakan akhlak dan moral da­

lam kaiangan kaum muslimin. Maka timbullah ulama-ulama, yang 

ingin hendak memperbaiki kerusakan jasmani dan rohani itu, ingin 

mengembahkan umat kepada kehidupan Islam yang sebenar-benarnya, 

seperti yang pernah terjadi dalam masa Nabi. Lalu mereka mengumpul-

kan pengikut-pengikutnya, mengajar dan melatih syari'at Islam, serta 

rneresapkan ke dalam jiwanya, jazb, rasa keAllah an melalui jalan, tha-

tiqah, yang kita namakan tarekat sekarang ini, dari petunjuk-petunjuk 

yang ada dalam ayat-ayat Qur'an atau dalam Hadis-Hadis. De­

ngan demikian terjadilah tarekat itu semacam kumpulan amal, yang di-

pimpin oleh seorang guru, yang dinamakan mursyid, atau syeikh tare­

kat, wakilnya biasa dinamakan khalifah, beberapa banyak pengikutnya 

yang dinamakan murid dengan Gedungnya tempat berlatih melakukan 

ibadat dan lain-lain yang bernama ribath atau zawiyah, kitab-kitab 

yang khusus dipergunakan untuk keperluan itu, baik mengenai ilmu 

fiqh maupun mengenai ilmu tasawwuf, yang sudah diberi bercorak se­

suatu tarekat yang khusus, memiliki  zikir dan do'a serta wirid yang 

khusus pula, perjanjian-perjanjian yang tertentu dari murid terhadap 

gurunya, yang biasa disebut bai'at, dlls. sehingga tarekat itu merupa­

kan suatu kekeluargaan, ukhuwah, yang berbeda antara satu sama lain. 

Segala sesuatu yang terjadi dalam tarekat itu memiliki  corak yang 

tertentu. Sampai kepada cara bergaul dan cara berpakaian, cara mela­

kukan ibadat, cara berzikir dan berwirid, berbeda dengan yang lain. 

Suatu tarekat yaitu  suatu persaudaraan, suatu kekeluargaan yang 

tersendiri, seperti yang kita dapati kekeluargaan-kekeluargaan dalam 

dunia Katholik, yang dalam bahasa Belanda disebut mystieke broeders­

chap. Sebagai perkumpulan tarekat itu, didirikan dan dipimpin oleh 

seorang bekas murid yang telah mendapat ijazah dari gurunya dengan 

silsilah yang diakui kebenarannya sampai kepada Nabi Muhammad. 

74 

Cara pendidikan dalam bentuk kekeluargaan seperti ini lekas sekali 

meluas ke Persia, ke Syria, ke Mesir, ke seluruh Jazirah Arab. Teruta­

ma di daerah Persia, daerah Hindi, dan daerah-daerah sekitarnya, isti-

mewa dalam masa rakyat tidak begitu senang terhadap pemerintahan 

Umaiyyah Arab yang dianggap menjajah itu, tarekat-tarekat itu sangat 

lekas berkembang biak, bahkan yaitu  kumpulan-kumpulan raha­

sia, di mana diajarkan juga percaya kepada imam yang adil yang akan 

menjelma, dan di mana diajarkan secara halus dan secara tersirat da­

lam ucapan-ucapan Sufi menentang kekuasaan raja-raja duniawi yang 

memerintah ketika itu., ns3lünua ib n B m z ( j nsriamoteX . " i i sdms i 

" n n s L a i n dibandingkan  itu ada sebab yang lain dalam kalangan bangsa Arab 

sendiri, yang memperbesarkan dan menyokong pertentangan rakyat 

Persia terhadap pemerintah Umaiyyah. Kita ketahui dari sejarah Islam, 

bahwa persengketaan antara dua suku Quraisy terpenting, Bani Umaiy­

yah dan Bani Hasyim sudah terjadi sejak zaman sebelum Isiam. Kedua 

suku ini memang berbeda sekali dalam kehidupan, sifat dan pendidik-

annya. Suku Bani Hasyim, yang di dalamnya termasuk Nabi Muham­

mad dan Ali bin Abi Thalib, berkuasa dalam soal-soal keagamaan, se­

dang suku Bani Umaiyyah menguasai bidang politik ketatanegaraan 

dan perdagangan. Kekuasaan dunia sebenarnya hampir tidak berarti 

bagi Bani Hasyim terhadap Bani Umaiyyah yang kaya dan berpengaruh 

itu, meskipun pemerintahan berada dalam tangan Bani Abdul Muthalib 

atau Bani Hasyim. Barulah sesudah kebangkitan Islam dan kekalahan 

tentara Abu Sufyan, kekuasaan dan pengaruh kembali lagi ke dalam 

tangan keturunan Bani Hasyim. Walaupun Nabi menutup-nutup per-

soalan ini, orang banyak mengetahui juga. Pada waktu Fath Mekkah 

seorang sahabat berkata kepada Abbas, paman Nabi : "Kerajaan 

kemenakanmu sekarang sudah meluas besar!" Abbas menjawab, bah­

wa Muhammad bukan raja namun  Nabi. Meski bagaimanapun Nabi 

memberikan kehormatan kepada Abu Sufyan dan keluarganya, namun  

dendam Abu Sufyan itu rupanya tidak hilang, hanya ditutup dengan 

bermohon kepada Nabi untuk mengangkat anaknya Mu'awiyah menja­

di pengikut dan pembantunya. Dengan demikian kerja sama berjalan 

untuk sementara waktu dalam masa hidup Qurun pertama. 

-331 fIu51£Dfi3m gfl&Y ru>c3X ilü/siT30IT1 j l l l ; I H Ï llii Jlll 11)3YU3111 Joif IIhc guby 

namun  sesudah Nabi Muhammad wafat, dendam ini timbul kemba­

li. Pada waktu Abu Bakar diangkat menjadi Khalifah, Abu Sufyan 

75 

mencoba-coba kembali menghasut A l i dan Abbas menentang keangkat-

an itu, dengan mengatakan, bahwa Abu Bakar berasal dari keturunan 

yang hina di antara suku Quraisy, dan menganjurkan A l i bin A b i Tha­

lib dengan janji akan dibantunya dengan kekuatan. namun  ikhtiar itu 

gagal. 

Tatkala Usman bin Affan terpilih, timbullah dalam perasaan Abu 

Sufyan rasa kemegahan dan kepuasan balasan dendam, sehingga ia per­

gi ke kuburan Hamzah, paman Nabi, sambil berkata : "Bangunlah ! 

Lihatlah kerajaan kami yang kau perangi telah balik ke tangan kami 

kembali". Kelemahan Usman dipergunakan oleh Marwan bin A l -

Hakam untuk menempatkan kembali Bani Umaiyyah dalam pemerin­

tahan, dan dengan demikian Mu'awiyah, salah seorang yang dilahirkan 

dalam alam rasa benei dan penuh dendam suku, didikan ayahnya Abu 

Sufyan dan ibunya Hindun, pembunuh Hamzah, mendapat kedudukan 

yang kuat (Dr. George Gerdake, Al-Imam Ali, terjemah H . M . Asad 

Shahab, Jakarta, 1960). 

Meskipun A l i bin A b i Thalib menghindarkan segala perselisihan, 

namun  akhirnya ia gugur juga dalam menentang kezaliman Mu'awiyah 

itu. Setelah tidak dapat dikalahkan dalam peperangan, ia dibunuh se­

cara diam-diam dalam mesjid Kufah. Sebelum ia kembali kepada Tu­

hannya, masih sempat orang besar Sufi ini berpesan, akan memberikan 

makanan yang cukup dan tempat tidur yang layak kepada pembunuh-

nya, Abdurrahman, yang tertangkap hidup. Dan kepada dua putera-

nya, Hasan dan Husein, ia menasehati : " J i k a engkau mengampuninya, 

maka itu sebenarnya lebih mendekati taqwa. Jaga tetanggamu baik-

baik. Keluarkanlah zakat dari harta bendamu untuk fakir miskin. H i -

duplah engkau bersama-sama mereka. Berkatalah baik kepada sesama 

manusia, sebagaimana diperintahkan Al lah kepadamu. Janganlah bo-

san dan meninggalkan kelakuan yang baik dan menganjurkan orang 

berbuat baik. Rendahkan hatimu dan suka tolong-menolong sesama 

manusia. Jagalah, jangan sampai engkau menjadi terpecah belah. Dan 

jangan bermusuh-musuhan." 

Kematian A l i dan kecelakaan atas keturunan-keturunannya secara 

yang sangat menyedihkan ini, memberikan kesan yang mendalam ke­

pada Bani Hasyim. Tatkala kekuatan lahir telah penuh dalam tangan 

Bani Umaiyyah, pintu hanya terbuka untuk kekuatan bathin, yang di-

76 

salurkan kepada tarekat-tarekat Sufi, secara kerja sama antara orang 

Persia dan Ahl i Bait, dan oleh sebab  itu nama-nama dari keluarga A l i 

bin A b i Thalib banyak ada kembali di dalam jalinan keyakinan 

Sufi. 

Ada sebab-sebab yang lain yang melekaskan juga tersiarnya tare­

kat-tarekat itu di tempat-tempat tersebut, di antaranya kebanyakan 

ulama-ulama penciptanya ialah dari anak Persia, Hindi sendiri, yang 

meskipun muslim namun  cara berpikir sangat dekat dengan keyakinan 

agama-agama Persia atau Hindu. Bahkan banyak di antara amal per-

buatannya, seperti khalwat atau bertapa, menggunakan tasbih atau fi l ­

safat angka, menggunakan pendupaan, latihan berbaju buruk dan me-

nahan lapar, safar atau mengembara, keadaan fana dan kemasukan 

jiwa suci, sampai sekarang masih dipersoalkan orang, apakah semua 

itu asli dari Islam ataukah dimasukkan orang ke dalam agama Islam 

melalui ajaran Sufi yang diciptakan oleh ulama-ulama berasal dari Per­

sia, Hindi , Syria atau Mesir. Sebagaimana yang dikatakan oleh Abbas 

Mahmud Al-Aqqad dalam "AI-Falsafatul Qur-aniyah" (Kairo, 1947), 

semua itu yaitu  persoalan, apakah terambil dari filsafat India 

atau Yunani melalui paham-paham Plato, ataukah ia yaitu  ba-

han-bahan campuran dari sisa-sisa ibadat Mesir, India dan Yunani. Te­

tapi, katanya, bagaimanapun juga amal perbuatan atau cara pelaksana­

an, inti ajaran tasawwuf atau Sufi itu sudah ada ada dalam Qur­

'an. 

Demikianlah sehari demi sehari kekeluargaan-kekeluargaan tarekat 

itu, yang pada mula pertama bersifat lemah dan suka rela menjadi per-

gerakan yang kuat dan disukai oleh umum, terutama orang-orang mis­

kin, bhs. Arab faqir, bhs. Persia darwisy, yang salih serta war'a, tidak 

memiliki  apa-apa, dan tidak pula mengharapkan apa-apa kecuali 

beramal mensucikan pribadinya. Orang-orang itu hidup dalam ke­

keluargaan tempat guru dan pusat dari kekeluargaan itu, bernama ribath 

(Persia : khangah), yang didirikan dengan sumbangan wakaf dan sede-

kah dari penganut-penganutnya, sehingga syeikh dan murid-murid yang 

berlatih itu tidak usah memikirkan penghidupan lagi, namun  mencurah-

kan seluruh tenaganya untuk beribadat, beramal, berzikir dan melaku­

kan wirid-wirid serta bertafakkur dengan senang. 

Gibb menceriterakan, bahwa di Persia murid-murid yang telah me-

77 

ninggalkan ribath gurunya, acap kali mendirikan ribath-ribath lain 

yang yaitu  ranting dan cabang. Dengan demikian dari satu pusat 

terbesar jaringan ribath-ribath itu meliputi daerah yang sangat luas, 

yang tergabung dalam ikatan kerohanian, ketha'atan dan amalan-amal-

an yang sama dengan syeikh atau pirnya yang asli. Apabila pembangun-

nya yang asli meninggal dunia, yang biasanya beroleh kehormatan se­

cara wali untuk penguburannya, maka salah seorang muridnya meng­

ambil pimpinan menggantikannya. Penggantinya itu biasanya disebut 

khalifah atau wali sajadah, dipilih dan dibai'ati dalam tarekat-tarekat 

yang tidak memiliki  larangan kawin, pengganti pemimpin itu yaitu 

turun-temurun dalam keluarga pembangun semula dari sesuatu tarekat. 

.j.Syed Ameer A l i dalam bukunya "The Spirit of Islam" (terjemah 

dalam bahasa Indonesia oleh Roesli, Jakarta, 1958, pen. Pembangun-

an), menerangkan, bahwa ajaran Sufi dengan cepatnya bergerak dari 

Irak dan Persi ke India, di mana ia mendapatkan tanah yang subur un­

tuk hidupnya. Sejumlah besar ahli-ahli Sufi yang suci itu baik wanita 

maupun pria berkembang biak banyaknya di Hindustan dan Dekkan dan 

mendapatkan nama yang harum semasa hidup mereka lantaran perbu-

atan-perbuatan mereka yang baik. Kuburan mereka sampai hari ini te-

tap menjadi tempat kunjungan kaum Muslimin, dan patut dicatat, bah­

wa juga golongan yang beragama Hindu mengunjungi kuburan mereka 

itu. Orang-orang suci ini mengajar pengikut-pengikut mereka yang ber-

kumpul di tempat-tempat kuliah yang mereka adakan di mana-mana. 

Mereka dalam kenyataannya boleh dinamakan ahli-ahli kebathinan. Di 

Barat ahli-ahli kebathinan ini dinamai syeikh, di India dinamai pir atau 

mursyid, pengikutnya dinamai murid. Apabila pir itu meninggal dunia 

maka penggantinya mendapat kehormatan untuk mengajarkan peng­

ikut-pengikut lainnya akan kegaiban ajaran darwisy-darwisy atau Sufi 

itu. Hal mengajar atau menjadikan murid, hal menyampaikan pengeta­

huan bathin itu yaitu yaitu  salah satu fungsi yang dilakukan 

oleh sajjadanasyin atau yang dianggap mereka lakukan. Dia yaitu 

juru kunci dibandingkan  makam nenek moyangnya dan kepadanyalah di-

teruskan silsilah bathin itu. Tempat-tempat suci (dargah) yang ditemui 

di mana-mana di India adaiah kuburan dibandingkan  darwisy-darwisy yang 

termasyhur yang di mana hidup mereka dianggap sebagai orang-orang 

suci. Setengahnya dari mereka itu mendirikan khankah di mana mereka 

diam dan di mana mereka mengajarkan ajaran Sufi. Kebanyakan dari 

78 

mereka itu tidak memiliki  khankah dan apabila mereka mati maka 

kuburan-kuburan mereka yang menjadi tempat-tempat suci itu. 

ritgiii Bynari gnay; Jirlsi gnsy gneicoa heb riaiod rfBMBbil BymBnadaa 

rMiayS B>ÏBM .BilBterJ eynualfin nfignoiob snars)! u i i ifiqrnai i^ububrnrn 

4ifiSa88HC»AflsAiï^öraïil .nBb IEYB-SSÜZ i f iynuqmsm ansy ,'ïhs gnsy 

Syeikh atau guru memiliki  kedudukan yang penting dalam tare­

kat. Ia tidak saja yaitu  seorang pemimpin yang mengawasi mu­

rid-muridnya dalam kehidupan lahir dan pergaulan schari-hari, agar 

tidak menyimpang dibandingkan  ajaran-ajaran Islam dan terjerumus ke 

,nfij3V<i ns iGï nij svnDïYc"iufri SXBITÏ .ÏÖIÏJfi^i/K fifEji ^otvzium lüYniïcirfiürn 

dalam ma'siat, berbuat dosa besar atau dosa kecü, yang