ilmu tarekat mistik 6
uan hamba puasa menahan diri dari dunia ini, dan jadikanlah buka
puasamu itu berarti mati buat tuan hamba".
Muhammad bin Ka'ab berkata : " J ika tuan hamba ingin terlepas
dari azab Allah , menurut pendapat hamba, hendaklah tuan hamba itu
174
menjadikan diri ayah orang Islam terbesar, menjadikan saudara orang
Islam menengah, dan menjadikan anak orang Islam kecil. Maka besar-
kanl ayah tuan hamba itu, muliakanlah saudara tuan hamba itu, dan
cintailah anak-anak tuan hamba i tu!"
Raja' bin Hiwan bersabda : " J ika tuan hamba ingin terbebas dari
pada azab Allah pada hari kemudian, hendaklah tuan hamba mencin
tai orang-orang Islam itu sebagaimana mencintai diri tuan hamba sen
diri, dan membencinya dengan apa yang tuan hamba benei, kemudian
bolehlah tuan hamba mati menutup mata".
" M a k a nasehatku kepadamu, wahai Harun" , berkata Fudhail ibn
Iyad selanjutnya, "aku ini sangat takut dengan dirimu pada hari ke-
dudukanmu tergoyah. Apa adakah orang yang akan menyampaikan
kepadamu nasehat-nasehat seperti i tu?"
Maka menangislah Harunur Rasyid tersedu-sedu sampai ia terpak-
sa menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Tatkala Fadhal
meminta supaya Fudhail ibn Iyadh memperlunak kecamannya terhadap
Khalifah, Ibn Iyadh berkata dengan lancang : "Engkau dengan saha-
batmu membunuh dia, apakah sekarang aku harus berlunak diri terha-
dapnya?"
Sesudah Khalifah tenang kembali dan meminta ditambah lagi nase
hat itu, maka Ibn Iyadh meneruskan : "Wahai , Amirul mu'minin! Per
nah disampaikan kepadaku suatu ceritera, bahwa ada seorang pegawai
pengecam Umar bin Abdul Aziz . Maka Khalifah ini menulis surat ke
padanya : Wahai saudara, saya peringatkan dikau dengan kekurangan
tidur orang-orang yang disiksa dalam neraka, penderitaan ini tidak ada
habisnya. Mudah-mudahan engkau tidak dapat nasib malang yang de
mikian i tu . " Sesudah ia membaca surat itu ia kembali lagi kepada Kha
lifah. Atas pertanyaan Khalifah, mengapa ia datang, ia menjawab :
"Surat tuanku itu sangat membekasi hati saya, sehingga saya tidak
ingin kembali ke desa itu sampai saya menemui Allah Azza wajalla".
Untuk memenuhi permintaan yang kedua Ibn Iyadh menceritera
kan bahwa datanglah kepada Nabi pamannya Abbas, meminta agar ia
diangkat menjadi raja dalam suatu wilayah. Nabi berkata : "Wahai
paman! Adakah engkau tahu, apakah arti kerajaan itu? Kerajaan itu
ialah kerugian, kesebalan dan penyesalan di hari kiamat. Jika engkau
sanggup, berusahalah agar engkau jangan menjadi raja. Perbuatlah
175
yang demikian i t u " .
Kemud ian Ibn Iyadh menghadapkan pembicaraannya kepada H a -
run , sambil katanya : " W a h a i , kekas ihku, engkaulah yang akan d i -
tanyai dan d i r imulah akan d imin ta pertanggungan jawab terhadap ma
nusia ini pada hari kiamat . M a k a oleh sebab i tu , j i k a engkau sanggup
takuti lah T u h a n m u , jauhlah pagi dan petang sesuatu yang yaitu
tipuan terhadap r a k y a t m u " .
M a k a menangislah pulalah H a r u n terkenang akan nasibnya. Sesu
dah tenang ia bertanya kepada Ibn Iyadh ; " A p a k a h engkau mempu
nyai u t ang?" Jawabnya : " S a y a punya utang untuk T u h a n k u tidak ter-
hitung banyaknya. Ce laka lah saya, j i k a d imintanya; celakalah saya j i k a
di tagih; dan celakalah saya j i k a saya tidak beri i lham menyampaikan
hajat tujuan s a y a " . Ta tka l a H a r u n menerangkan, bahwa yang dimak-
sudkan dengan utang itu ialah utang sesama manusia , Ibn Iyadh ber
kata : " T u h a n k u tidak menyuruh daku berbuat demik ian . T u h a n k u
berkata : A l l a h itu satu-satunya yang memberi rezeki kepada hamba-
N y a " . D a n tatkala H a r u n hendak member ikan seribu dinar untuk biaya
h idupnya, biaya keluarganya, yang d ika takannya untuk menguatkan ia
berbuat ibadat. Ibn Iyadh berkata : "Subhana l l ah ! Saya menunjukkan
kamu kepada ja lan yang benar, dan kamu tega membalasnya itu de
ngan penghinaan i n i " .
Sebuah ceritera lagi mengenai toleransi K h a l i f a h Ha runu r Rasy id ,
diceriterakan oleh Sa ' i d b in Sula iman sebagai pengalamannya. Ta tka la
ia naik H a j i ke M e k k a h bersama A b d u l l a h bin A b d u l A z i s A l - A m r i ia
menemui H a r u n u r Rasy id . Ta tka l a ada seorang berteriak menyuruh
menyingkir sebab K h a l ' f a h akan lewat, A l - A m r i berkata : " T i d a k la-
yak aku minta terima kasih kepadamu, sebab engkau menyusahkan
aku yang tidak pada tempatnya" . Kemud ian di turut inya rombongan
Kha l i f ah i tu dari M a r w a h ke Safa, dan tatkala dekat ia berteriak : " Y a ,
H a r u n ! " M a k a jawabnya : " L a b b a i k a , ya A m r i ! " A m r i menyuruh ia
menaiki bukit Safa, dan melayangkan pandangannya ke K a ' b a h , yang
sedang dike l i l ingi ratusan r ibu manusia. Kepada H a r u n ia bertanya :
" K a m u lihat, betapa banyak manusia i t u ? " Sesudah H a r u n mengata
kan , tidak ada yang dapat menghitung mela inkan T u h a n , ujar A m r i :
" K e t a h u i l a h , wahai saudaraku, bahwa tiap-tiap orang itu di tanya T u
han tentang keadaan mereka itu semua, kepadamu akan d imin ta per-
176
tanggungan jawab mengenai orang banyak itu. Bagaimanakah penda-
patmu? Maka menangislah Harun, sedang Amri menambah kecaman :
"Tidak, wahai saudaraku : Demi Allah pertanggungan jawab itu sa
ngat berat! Jika seseorang sebab mempermain-mainkan hartanya, ber-
hak dihukum sita dan diawasi, apatah konon jika mengenai diri seorang
manusia, yang menghambur-hamburkan dan menyia-nyiakan harta
benda kaum Muslimin yang sekian banyaknya!"
Baghawi menceriterakan, bahwa Khalifah Harunur Rasyid pernah
berkata : " A k u tidak suka naik haji setiap tahun, tidak lain yang meng-
halangi aku itu hanyalah seorang laki-laki dari anak Amr i , yang selalu
memperdengarkan kepadaku sesuatu yang menggelisahkan daku".
Demikian beberapa contoh-contoh tentang sikap raja-raja terha
dap wasiat dan nasehat orang-orang Sufi itu, ada yang tidak mau mene-
rimanya, ada yang menerima dengan toleransi, dan ada yang sungguh-
sungguh berterima kasih atas nasehat itu. Meskipun demikian sudah
menjadi adat dan keyakinan orang-orang Sufi, bahwa mereka dengan
penuh keberanian harus menyampaikan wasiat dan nasehatnya, meski
pun diterima atau tidak, meskipun ditolak atau mereka dihukum. De
ngan demikian kezuhudan raja-raja itu dapat dibagi atas dua keberani
an, pertama keberanian mereka menghadapi kecaman-kecaman yang
tajam tapi benar terhadap dirinya, kedua keberanian mereka mende
ngar nasehat-nasehat ulama-ulama, dengan kemerdekaan penuh untuk
dituruti atau ditolaknya sesudah itu.
177
VIII
PERBAIKAN JIWA DAN BUDI
ï . A K H L A K D A N BUDI.
D a l a m tarekat manapun juga , salah satu dar ipada persoalan yang
terpenting dalam suluk ialah memperbaiki ahwal dan menuntun mur id
mencapai maqam yang lebih t inggi, dengan lain perkataan memperbaiki
akhlak dan bud i .
Salah satu dar ipada sifat-sifat yang sangat d ianjurkan orang Sufi
itu misalnya ialah Sabar. Ghaza l i menerangkan bahwa Sabar i tu yaitu
bawaan dar ipada sesuatu pengertian yang yak in . Y a n g d ika takan Sabar
olehnya ialah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan
oleh syahwat, tetap pada pendir ian agama yang mungkin bertentangan
dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata sebab menghendaki keba
hagiaan dunia dan akhirat . A p a b i l a kehendak seseorang terlalu keras,
maka tak dapat tidak kehendak itu membf w a dia kepada keyakinan ,
dan kehendak yang sudah d iyak in i betul-be'.ul d inamakan i m a n . Keya
kinan bahwa kehendak hawa nafsu itu musuh yang dapat memotong
jalan kepada T u h a n menyebabkan keteguhan keyakinannya pada aga
ma . D a n apabila ketetapan yang demik ia r i tu sudah diperoleh maka
t imbul lah perbuatannya yang bertentangan dengan kehendak hawa naf
su i tu .
Y a n g dikehendaki dengan sabar, berkata G h a z a l i selanjutnya, ialah
beramal menurut tujuan sesuatu keyakinan yang benar, sebab keya
kinan itu mengerti sungguh-sungguh, bahwa perbuatan ma'siat itu me-
larat dan ta'at i tu bermanfa 'at , sehingga tidak mungk in ma'siat itu d i
t inggalkan dan ta'at itu d i laksanakan mela inkan dengan sabar, maka
dengan demik ian berarti pula , bahwa pekerjaan ini ialah mene-
179
gakkan agama dengan menentang hawa nafsunya.
Pendapat Ghazali ini tentang sabar sebenarnya tidak begitu berbe
da dengan faham Socrates, yang mengatakan bahwa dasar hidup ialah
pengetahuan atau pengertian, apabila seseorang mengetahui sesuatu ke
bajikan, maka diperbuatnya kebajikan itu, sebaliknya apabila ia me
ngetahui yang dihadapinya itu suatu kejahatan, maka lalu ditinggalkan-
nya kejahatan itu. Seorang ahli filsafat Emile Polak berpendapat, bah
wa ilmu saja, tidak cukup untuk meletakkan dasar yang utama bagi
sesuatu kelebihan. Mengetahui sesuatu kewajiban saja tidak cukup un
tuk menjalankan kewajiban itu dengan baik, orang harus juga mempu
nyai kegemarannya dan kemauannya yang kuat untuk melaksanakan
kewajiban itu. Maka oleh sebab itu Ghazali pun menegaskan bahwa
dalam menjalankan sabar harus seseorang melihat manfa'atnya, yang
digemarinya atau dicintainya.
Imam Ghazali membedakan 'beberapa nama yang diberikan kepa
da sabar. Jika sabar itu ditujukan untuk menahan nafsu perut dan naf
su keinginan bersetubuh, sabar itu bernama 'iffah, j ika untuk menahan
diri dibandingkan keserakahan kaya, ia dinamakan dhabtun nafs, j ika ia
berlaku dalam peperangan untuk mencari kemenangan, ia dinamakan
syaja'ah, j ika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal, ia dinama
kan hilm, j ika ia ditujukan untuk menahan sesuatu penghinaan atau
kecaman, ia bernama si'atus sadar, j ika ia ditujukan kepada merahasia-
kan sesuatu, ia dinamakan kitmanus sir, dan j ika ia ditujukan untuk
meninggikan kehidupan, ia dinamakan zuhud, j ika ia ditujukan kepada
menerima nasib sebagaimana yang ada, maka ia dinamakan qina'ah.
Sabar itu dibagi menurut hukum atas beberapa golongan yaitu wa
jib, sunat, makruh, dan haram. Sabar yang dilakukan untuk menjauh
kan diri dibandingkan segala yang haram dikatakan wajib, sabar yang di-
derita untuk menjauhkan diri dibandingkan segala pekerjaan yang makruh,
dihukum sunat, dan sabar atas segala yang tidak diperkenankan, maka
hukumnya pun harus dijauhi. Seorang yang menurut agama misalnya
dihukum potong tangannya, haruslah ia menerima hukuman itu dengan
sabar, seorang yang diganggu kehormatan keluarganya, maka sabarnya
itu haram. Dan begitu juga sabar membiarkan isterinya terbuka aurat-
nya dilihat oleh orang yang tidak termasuk muhrimnya, maka sabarnya
itu makruh.
180
Menurut Ghazali sabar itu hendaklah dilakukan dalam sembarang
waktu, orang harus sabar pada waktu senang, orang harus sabar pada
waktu susah, bahkan orang yang sabar pada waktu senang lebih tinggi
nilainya.
Keta'atan menghendaki sabar, sebab manusia yang tersendiri
menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerja
kan ibadat. Maka sabar tentang keta'atan itu memiliki tiga keadaan.
Yang pertama sebelum ta'at, seperti mengokohkan niat dan ikhlas me
nahan diri dibandingkan semua gerak-gerik yang dapat membawa kepada
nya, membulatkan tekad dan tujuan. Yang kedua pada waktu menger
jakan sesuatu amal, dilakukan dengan penuh kesungguhan sampai sele-
sai. Dan yang ketiga sesudah selesai mengerjakan amal itu, di antara
lain-lain tidak merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada
orang, sehingga orang lain melihatnya dengan penuh keheranan.
Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi kebiasaan
sehari-hari. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang ringan
dan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat sifatnya, seperti
sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah,
seperti mengumpat orang, berdusta, bercekcokan mulut, memuji-muji
diri sendiri dan mengemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk
berbangga atau untuk mengadakan sesuatu berbandingan dengan orang
lain, berkelakar, yang dapat menjadikan penyakit untuk hati, dll . Ber-
sabar atas kesakitan yang diperbuat orang, yaitu utama sekali, dan sa
bar yang terbesar dan tertinggi nilainya ialah sabar yang diderita terha
dap bermacam-macam bala, seperti mati salah seorang yang dianggap
penting untuk kehidupannya, kehancuran segala harta benda dan kehi-
langan kesenangan dan kesehatan.
Orang-Orang Sufi menganggap, bahwa penderitaan hati dan per-
tumpahan air mata tidak menghilangkan fadilat sabar, sebab ihwal ini
yaitu pembawaan manusia, yang hanya dapat berpisah dengan manu
sia itu apabila ia mati.
Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan hawa nafsu,
dan membangkitkan kesungguhan kepada agama. Melemahkan hawa
nafsu itu dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, meng
hilangkan sebab-sebabnya, dan mengekang diri apa yang diingini. Ke
sungguhan pada agama dapat dibangkitkan dengan memperbanyak amal
181
ibadat, dengan berfikir dan merenungkan ceritera-ceritera mengenai sa
bar dan akibat-akibatnya.
Dalam Qur'an banyak sekali ada ayat-ayat sabar yang dituju
kan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. D i antara lain-
lain Allah berfirman : "Wahai sekalian orang yang beriman, perbesar-
lah sabar dan nasehat-menasehatilah antaramu dengan sabar!" Kata
nya pula : " K a m i coba di'rimu dengan mendatangkan ketakutan, kela-
paran, kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan buah-buah
an, namun akan Kami gembirakan kemudian itu orang-orang yang sa
bar!" Katanya lagi ; " M i n t a tolonglah kamu dengan sabar dan dengan
sembahyang, sebab Allah itu selalu ada dekat mereka yang sabar".
Begitu juga dalam Hadis banyak sekali ada keterangan-kete-
rangan yang menyatakan kelebihan sabar dan keutamaannya Ibn Sinan
menceriterakan bahwa Nabi pernah berkata : "Pekerjaan orang muk-
min itu sangat menakjubkan, sebab semuanya baik, tidaklah sama de
ngan pekerjaan orang yang tidak beriman. Seseorang mukmin, apabila
ia beroleh kesenangan ia bersyukur, dan yang demikian itu baik bagi
nya".
Ibn Mas'ud menceriterakan, bahwa sesudah peperangan Hunain
Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada
A k r a ' Ibn Habis seratus ekor onta, begitu juga kepada Uyaynah seratus
ekor onta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pemba
hagian yang mewah ini menimbulkan iri hati orang-orang Ansar, yang
lalu mengeritik perbuatan Nabi, yang dikatakan tidak adil. Tatkala ke-
caman ini disampaikan oleh Ibn Mas'ud kepada Nabi berubahlah mata
nya seketika menjadi merah, seraya katanya : "Jikalau aku dikatakan
tidak adil, maka siapakah lagi yang dapat dinamakan adil itu. Mudah-
mudahan Allah memberikan rahmat kepada Nabi Musa, yang mende
rita lebih banyak dibandingkan pengikut-pengikutnya yang bodoh dan du-
ngu, sedang ia terus-meneras sabar". Begitu juga Nabi pernah menga
takan, bahwa besar sesuatu ganjaran Allah bergantung kepada besar-
nya bala yang diturunkan kepada seseorang, sebab j ika Allah men
cintai seseorang pasti menurunkan cobaan kepadanya, j ika orang itu
rela menderita, maka Allah pun rela pula terhadapnya, j ika orang itu
menggerutu, maka Allah pun membencinya dan tidak bersenang hati.
Imam Ghazali dalam mengemukakan fadilat sadaq, mendasarkan
182
keterangannya kepada beberapa ayat Qur'an.
Orang-orang Sufi diwajibkan misalnya benar, jujur dan terus-
terang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Keadaan itu da
lam ajaran Sufi dinamakan sadaq, dan orang yang bersifat demikian
bernama siddiq. Ajaran Islam biasa pun memastikan pemeluknya me
makai sifat ini , dan tidak membolehkan seseorang berdusta, tidak jujur
atau tidak benar dalam perkataan dan perbuatannya.
Mari kita bicarakan perbaikan akhlak secara Sufi itu. Saya ambil
sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhalli, tahalli
dan tajalli. Dengan riyadhah ini pun orang Sufi hendak membawa mu
rid-muridnya kepada ma'rifatullah, dari muslim biasa kepada mu'min,
kepada siddiqin, salihin, mutahaqqiqin dan meningkat sendiri kepada
'arifin, mereka yang mengenai sungguh-sungguh akan Allah nya.
2. SIFAT-SIFAT Y A N G T E R C E L A .
(TAKHALLI)
Membicarakan sifat-sifat yang tercela ini dalam ilmu Sufi lebih di-
pentingkan dan didahulukan, sebab ia termasuk usaha takhliyah, me-
ngosongkan atau membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum di-
isi dengan sifat-sifat yang terpuji sebagaimana sudah kita bayangkan
di atas. Sifat tercela ini yaitu terjemahan dibandingkan bahasa Arab sifatul
mazraumah, artinya sifat-sifat yang tidak baik, yang dapat membawa
seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan atau akibat-akibat yang
membinasakan.
Oleh sebab itu oleh Ghazali memasukkan pembicaraan ini ke da
lam pembicaraan mengenai muhlikat, artinya segala sesuatu yang dapat
membawa manusia kepada kebinasaan, dan oleh sebab itu sifat-sifat
ini dibaginya atas penyakit lidah afatul lisan, dan penyakit hati,
afatul qulub. Segala sifat-sifat yang buruk itu dinamakan kehinaan,
razilah, dengan demikian ia menamakan marah razilatul ghazab, ke
hinaan dengki razilatul hasad, dan sebagainya. Sebaliknya untuk sifat-
sifat yang baik, sifatul mahmudah, digunakan istilah kelebihan, fadhi-
lah, kelebihan, dan dengan demikian sifat benar, dinamakannya fadhi-
183
latus sadaq, sifat sabar d inamakan fadhilatus sabar, kelebihan sabar,
dan sebagainya.
Saya pakai untuk sifat-sifat golongan siatul mazmumah terjemah
sifat-sifat tercela, untuk sifat-sifat golongan sifatul mahmudah terje
mah sifat-sifat terpuji .
Perkataan muhlikat dari Ghaza l i dapat k i ta terjemahkan kebinasa-
an, dan perkataan munjiyat yang menjadi lawannya, dapat k i ta terje
mahkan kemenangan atau kejayaan.
D i antara sifat-sifat yang tercela, yang berasal dar i j i w a manusia,
ialah hasad, haqad, kibir, ujub, bukhul, riya, hubbul jan, hubbul mal,
hubbur riyasah, tafakhur, ghadhab, ghibah, namimah, kizb, syarhul
kalam, syarbul tha'am, hubbud dunia.
Hasad d iar t ikan membenci n i 'mat T u h a n yang dianugerahkan ke
pada orang la in dengan keinginan agar n i 'mat orang la in i tu terhapus.
Hasad yaitu salah satu sifat j i w a yang kej i , tidak dapat dihi lang-
kan dengan tidak beroleh d id ikan dan lat ihan secara Su f i . N a b i ber
kata : " H a s a d itu memakan segala kebajikan sebagaimana api mema
kan segala kayu b a k a r " . Oleh sebab itu bagi orang Sufi tidak ada ke
jahatan yang lebih berbahaya dar ipada hasad i tu . Sebelum orang yang
hasad itu mencapai maksudnya , ia lebih dahulu telah membinasakan
di r inya dengan l ima akibat , pertama menderita duka-ci ta yang berlarut-
larut, kedua menderita kecelakaan yang tak dapat d i to long, ketiga ber
oleh celaan orang k i r i kanan, keempat beroleh amarah T u h a n , dan ke-
lima di tutup untuknya pintu hidayat dan taufiq. Hasan Basri berkata :
" W a h a i anak A d a m , janganlah engkau hasad atau dengki terhadap
saudaramu, sebab j i k a ia beroleh kemuliaan dar ipada T u h a n , maka
t idaklah layak engkau dengki terhadap orang yang telah d imul i akan
oleh Allah i tu , sebaliknya j i k a ia beroleh sesuatu bukan dari T u h a n ,
apakah layak engkau dengki atau iri hati terhadap orang yang akan
pergi masuk ne r aka?" A d a orang Sufi berkata : "Seseorang yang mem
punyai tiga macam kelakuan tidak diperkenankan do ' anya , pertama
ia gemar makan haram, kedua banyak mengumpat orang la in , ketiga
terselip barang sedikit hasad atau dengki dalam hatinya terhadap orang
Islam.
D a l a m pada itu hasad yang tidak berarti dengki terhadap ni 'mat
yang d ikurn ia i kepada orang l a in , t idak pu la untuk menghi langkannya,
184
namun sekedar mendorong cita-cita untuk berbuat sesuatu, sehingga ber
oleh kurnia sifat yang terpuji dan beroleh pahala di hari akhirat, sifat,
ini dinamakan munafasah atau ghirah.
Ghazali mengatakan, bahwa hasad itu haram hukumnya, yaitu
hasad yang memiliki tujuan menghilangkan sesuatu ni'mat pada diri
orang lain dan mengharapkan datang celaka kepada orang lain itu.
Adapun munafasah, yaitu keinginan agar memperoleh ni'mat seperti
orang lain itu dengan tidak menghendaki kebinasaan terhadap orang
itu, menurut Ghazali tidak haram.
Berlainan dengan hasad ialah sifat haqad, yaitu dengki yang sudah
'membuahkan permusuhan, kebencian dan memutuskan silaturrahmi,
yang demikian itu yaitu sifat yang paling buruk dan sangat tercela,
menurut Rasulullah besar sekali dosanya, sebab orang yang demikian
itu telah termasuk ke dalam golongan orang yang memisahkan dirinya
dari sesama Islam, dan membuka aib dan rahasia sesama saudaranya,
sehingga baginya tidak ada tempat lain selain dibandingkan neraka.
Kibir dalam bahasa Indonesia diucapkan takabur, artinya membe-
sakan diri di hadapan mata orang lain. Penyakit jiwa ini dapat memba
wa manusia ke dalam neraka. Nabi berkata : "Tidak akan dapat masuk
surga seseorang yang dalam hatinya ada takabur meskipun sebesar biji
sawi". Orang yang takabur itu sama derajatnya dengan iblis, yang juga
takabur tatkala disuruh Allah sujud kepada Adam. Oleh sebab itu
banyak sekali ayat-ayat Qur'an memperingatkan, agar manusia jangan
takabur, sebab orang takabur itu tempatnya dalam neraka, dalam ke
adaan hina yang abadi. Nabi berkata, bahwa orang-orang yang perkasa
dan takabur itu berkumpul pada hari kiamat sebagai kumpulan semut,
yang diinjak orang sebab sangat hinanya. Dalam kitab "Hidayatus
Salikin", karangan Syeikh Abdus Samad Palembang (Cet. Bombay,
1352 H.), dikatakan bahwa yang dikatakan kibir atau takabur itu ialah
sifat seseorang yang merasakan dirinya lebih tinggi, lebih besar dan le
bih mulia dibandingkan orang lain, kesombongan itu kelihatan nyata pada
tingkah-lakunya atau dari perkataan yang diucapkannya, bahwa orang
lain itu buruk dan dialah yang baik dan tinggi dalam segala-galanya.
Ujub tidak lain dibandingkan takabur yang tersimpan dalam hati sese
orang, bahwa ialah yang sempurna dalam ilmu dan amal, sedang orang
lain tidak demikian, Nabi memperingatkan bahwa sifat ini yaitu sifat
185
buruk dengan katanya : " A d a tiga perkara yang dapat mencelakakan
seseorang, pertama k ik i r yang d iambi l orang menjadi contoh, kedua
hawa nafsu yang diperturut i , dan ketiga ta ' jub seseorang akan d i r inya .
A j a r a n ini d i antara la in d igunakan untuk melenyapkan sifat
sombong dan berbangga d i r i , tafakhur, pada manusia , yang yaitu
juga sumber dengki dan sumber perpecah'an antara manusia . Ta fakhur
yaitu berbangga-bangga dengan kemul iaan dan keturunan, yang sangat
dicela oleh N a b i : " A l l a h telah mewahyukan kepadaku, agar aku hidup
merendah d i r i , tawadhu', dan oleh sebab itu janganlah ada d i antara
kamu seorang berbangga atau tafakhur terhadap orang l a i n " . Kebang-
gaan yang di tonjol - tonjolkan, baik melalui harta benda, baik melalui
keturunan, maupun berkenaan dengan ibadat atau jasa, menurut orang
Sufi harus d i lenyapkan, sebab ia termasuk ma'siat bathin yang berba-
haya.
Selanjutnya dianggap ma'siat bathin ialah ghadhab, yaitu marah,
yang menurut orang Suf i disebabkan sebab kepenuhan darah hat i , dan
bertujuan membalas dendam.
Bahwa sifat ini sangat jahat akibatnya ternyata dari nasehat-nase-
hat yang pernah d iber ikan N a b i berulang-ulang, d i antara la in dihadap-
kan kepada M u ' a w i y a h : " W a h a i M u ' a w i y a h j auhkan olehmu sifat
amarah, sebab amarah itu dapat merusakkan iman seseorang, sebagai
mana j adam yang pahit merusakkan madu yang m a n i s " . N a b i mene
rangkan pula bahwa amarah itu berasal dari syaithan, sebab syaithan
itu d i jad ikan dar ipada ap i , dan bahwa api hanya dapat d ibunuh dengan
air, maka oleh sebab itu N a b i menasehatkan agar orang yang sedang
marah i tu segera mengambil air sembahyang. D a l a m suatu Had i s Q u d -
si , T u h a n menerangkan " W a h a i anak A d a m , sebutlah n a m a - K u , apa
bi la engkau marah agar A k u ingat pula akan d i k a u , dengan demikian
apabila aku marah , t idaklah A k u menurunkan malapetaka a t a smu" .
M a k a oleh sebab itu da lam ki tab-ki tab Suf i k i ta dapati uraian,
bahwa salah satu dar ipada amal yang terbaik ia lah tahan d i r i , hilm, tat
ka la marah , dan sabar, tatkala keinginan hawa nafsu meluap-luap. M e
reka j ad ikan alamat, bahwa orang yang baik itu harus kelihatan ke-
ba ikannya pada wak tu marah , bukan pada waktu girang.
Di terangkan rasa takut kepada T u h a n dapat menghi langkan ma
rah, sebab amarah i tu datang, apabi la seseorang melupakan Allah -
186
nya. Allah lah yang berhak marah, apabila seseorang berbuat salah
atau ma'siat , kemarahan T u h a n dapat menghancurkan segala yang ada.
D a l a m mengajarkan sifat-sifat ini orang Sufi selalu menggunakan
ceritera-ceritera yang j i t u , baik yang dipetik dari kehidupan N a b i dan
sahabat-sahabatnya, baik yang d iambi l dari kehidupan orang-orang :
ar i f in atau wal i -wal i yang la in . Dengan demikian ki ta bertemu ceritera-
ceritera mengenai Imam S y a f i ' i , yang sebab tinggi budi dan luas i l m u -
nya dengan mudah dapat menahan marah , ceritera Juna id A l - B a g h d a -
d i , yang dis i ram orang seluruh badannya dengan air bekas cucian ikan
tatkala ia keluar dari rumah.
Selanjutnya sifat riya yaitu juga suatu sifat keangkuhan. R i a
ar t inya meminta agar ia dipuj i orang dan d ikagumi dalam ibadatnya.
A m a l yang dikehendaki oleh Islam dan dipuji-puji oleh N a b i yaitu
amal sal ih, yaitu amal ibadat yang tidak bercampur ria atau menimbul -
kan kekaguman dalam hati orang yang melihatnya.
N a b i memperingatkan : " D i antara ketakutan yang saya takut i sa
ngat terhadapmu ialah syirk k e c i l . " Orang bertanya, apakah yang d i -
maksud dengan syirk kecil i tu . N a b i menjawab, bahwa " Y a n g kumak-
sudkan, dengan syirk kecil itu ialah r i a " . Pada hari kiamat T u h a n ber
kata kepada mereka yang menaruh ria da lam hat inya, yaitu pada ket ika
T u h a n akan membalas amal manusia : " H a i kamu orang r ia! Pergi lah
kamu kepada mereka yang mengagumi k a m u dan l iha t lah , apakah ka
mu akan mendapat balasan dar ipada mereka terhadap amal ibadat-
m u " . Oleh sebab itu segala ibadat yang d i l akukan menurut pendapat
orang Sufi haruslah dibebaskan dar ipada r ia , segala ibadat itu haruslah
yaitu amal yang ikhlas , yang melulu di tujukan kepada T u h a n ,
tidak untuk dipuj i atau d ikagumi oleh manusia .
Sebuah Hadis yang berasal dari M u ' a z menceriterakan secara pan
jang lebar, bagaimana amal ibadat seseorang disaring demik ian rupa
daridapat sifat takabur, r ia , hasad dan ujub, sebelum di ter ima T u h a n .
Ceri tera i tu telah menumpahkan air mata M u ' a z sebab tidak mudah
mendapatkan suatu amal yang ikhlas dengan tidak bercampur ujub,
ria dan takabur. Oleh sebab itu Rasulul lah sering memperingatkan,
bahwa T u h a n tidak akan menerima sesuatu amal , yang di da lamnya
bercampur r ia , meskipun sebesar bi j i sawi .
M u h a m m a d A m i n A l - K u r d i membagi ria i tu atas dua macam, per-
187
tama ria muhadh, yaitu keadaan seseorang yang menghendaki dengan
amal akherat mendapat manfa'at di dunia, kedua ria takhlith, yaitu
keadaan sesuatu amal ibadat, di mana orang menghendaki dunia dan
akherat. Kedua-dua macam amal ibadat yang bercampur ria itu tidak
dapat diterima Allah .
Kiki r dan cinta kekayaan, bukhul dan hubbul mal, biasanya ham-
pir seiring. Orang kaya yang pemurah dipuji dan dicintai orang, seba
liknya orang kaya yang kikir atau mata duwitan acapkali menimbulkan
kebencian orang, bahkan mengacaukan kerukunan yang baik dalam se
suatu masyarakat. Oleh sebab itu orang Sufi sangat memperhatikan
hal ini , dan Ghazali berkata : " K i k i r itu berasal dari cinta harta benda,
dan oleh sebab itu termasuk sifat yang tercela. Orang yang tidak mem
punyai harta benda biasanya tidak kikir. namun orang yang pemurah,
yang mencintai harta benda pula, supaya dipuji orang kemurahannya,
itu pun tercela pula.
Kecintaan kepada harta benda atau kekayaan mencegah orang lupa
kepada Allah , dan membuat hatinya sangat terikat kepada dunia, ma
ka oleh sebab itu sifat-sifat ini tercela dalam agama".
Allah memperingatkan keburukan ini dengan firman-Nya : "Ja
nganlah orang yang kikir dengan pemberian Allah yang berlimpah-
limpah menyangka bahwa yang demikian itu baik bagi mereka, namun
sebaliknya yang demikian itu yaitu kejahatan baginya, sebab
pada hari kiamat ia akan dipikulkan kekikiran itu sebagai suatu beban
yang amat berat di atas pundaknya'". Oleh sebab itu Nabi kita selalu
melarang : "Jauhkanlah dirimu dibandingkan sifat kikir, sebab yang demi
kian itu telah banyak membinasakan orang-orang sebelum kamu". Pa
da suatu hari Rasulullah ditanya orang, siapakah yang layak dinama
kan orang kikir dan siapakah yang layak disebut orang pemurah. Lalu
ia berkata : "Orang pemurah itu ialah orang yang mengeluarkan hak-
hak Allah dibandingkan hartanya, dan orang kikir itu ialah orang yang ti
dak sedia mengeluarkan hak-hak Allah itu, tidaklah dapat dinamakan
orang pemurah, j ika ia mengumpulkan harta bendanya dengan jalan
haram, dan mengeluarkan secara mewah".
Nabi pernah berkata pula : "Seorang pemurah yang jahil lebih di
cintai Allah dibandingkan seorang abid yang kikir. Allah tidak meniadikan
seseorang wali, kecuali kalau ia pemurah dan baik perangainya". Nabi
188
berkata pula : " K e c i n t a a n kepada harta benda dan kemuliaan dapat
menumbuhkan munaf iq da lam hati seseorang, sebagaimana air menum-
buhkan sayur-sayuran" .
Menc in ta i kemasyhuran dan kenamaan, yang dalam baha.-,a A r a b
disebut Hubbul jah, hubbur riyasah, bagi orang Sufi sangat tercela, ka
rena kedua-duanya membawa kepada cinta keduniaan, hubbu dunia,
yang sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan Suf i . Ghaza l i ber
kata, bahwa yang d inamakan jah itü ialah mencari kemasyhuran dengan
sengaja untuk membesarkan d i r i yang dianggapnya sangat tercela, teta
pi kemasyhuran yang diperolehnya sebab amal-amalnya yang ikhlas
baik di dun ia maupun d i akherat, tidak termasuk ke dalam sifat yang
tercela. A l i b in A b i Tha l i b menasehatkan : " H e n d a k l a h engkau selalu
merendahkan d i r i m u , jangan mencari kemasyhuran, jangan mengang-
kat-angkat d i r imu dengan membangga-banggakan i l m u pengetahuanmu
dan la in- la in , biasakan tenang dan berdiam d i r i , agar engkau selamat
dar ipada segala kejahatan, agar engkau disukai oleh orang-orang salih
dan menjengkelkan hati orang-orang yang f a s ik" .
M e m a n g yang demik ian i tu telah yaitu dasar pendidikan Su
f i , yang hanya menghendaki akhirat belaka. M e r e k a ingin menyesuai-
kan di r i dengan f i rman T u h a n pada waktu melukiskan keindahan
akhirat i tu : " D e m i k i a n l a h negeri akhirat ini K a m i j ad ikan untuk mere
ka , yang tidak ber laku tinggi hati di bumi dan tidak pula berbuat bina-
sa, semua balasan yang baik itu d iun tukkan bagi mereka yang t a q w a " .
Oleh sebab itu orang Sufi menganggap cinta dunia i tu pokok segala
kejahatan, dan dunia itu neraka bagi orang m u ' m i n dan menamakan
surga bagi orang kafir . D u n i a hanya dianggapnya sebagai sebuah ke-
bun , tempat berusaha untuk bekal pembawaan ke akhirat .
Banyaklah alasan-alasan yang d ipaka i oleh orang Suf i , sebahagian
dar ipada Q u r ' a n , dan sebahagian terambil dar ipada Had i s , untuk me
nunjukkan agar orang tidak terlalu melekatkan cintanya dan keabadi-
annya kepada dunia , yang dianggapnya sumber la 'nat , sumber kemela-
ratan, m i m p i dan bayang-bayangan yang fana belaka.
Ghaza l i menguraikan panjang lebar tentang ghadhab atau amarah
itu dalam ki tabnya "Ihya Ulumud Din", bahagian muhl ika t , sifat-sifat
yang dapat membinasakan manusia, dan menghubungkannya dengan
hasad dan haqad.
189
Tidak saja mengenai alasan-alasan, namun juga mengenai hakikat
ghadhab, cara menghi langkannya dan nasehat-nasehat yang berfaedah
mengenai penyakit hati yang jahat i n i .
Ghibah dapat k i ta ar t ikan dalam bahasa Indonesia mengumpat,
menceriterakan segala sesuatu tentang dir i orang lain dengan maksud
mengejek atau menghina, sehingga j i k a orang itu mendengar tak dapat
tidak ia akan marah. J i k a ceritera itu menyimpang dari yang sebenar
nya maka ia bernama buhtan, yaitu dusta, yang juga berdosa.
G h i b a h in i terlarang, sebagaimana ini dalam Q u r ' a n : " J a
nganlah. kamu umpat-mengumpat! A p a k a h ada di antara kamu yang
hendak memakan daging saudaranya yang m a t i ? " N a b i berpesan : Ja-
uhkanlah d i r imu dari umpat dan gunjing, sebab ia lebih jahat dari
z ina . Seorang yang berzina, j i k a ia taubat, maka A l l a h akan mengam-
puninya , namun seorang yang mengumpat tidak akan d iampuni T u h a n ,
sebelum orang yang diumpat itu mengampun inya" .
Dicer i terakan pada suatu hari datang seorang kepada N a b i mena-
nyakan beberapa soal . Orang itu yaitu seorang perempuan yang ge-
gemuk pendek. Perempuan itu dengan perawakan tubuhnya yang demi
k i an , menarik perhatian Sit t i A i s y a h , sehingga pada waktu perempuan
itu sudah meninggalkan N a b i , ia berkata : " A l a n g k a h gendut dan pen-
deknya perempuan i t u ! " Dengan muka yang masam N a b i berkata :
"Pe rka t aanmu itu tidak baik, hai A i s y a h ! " A i s y a h menjawab : " Y a
Rasulul lah aku berkata sebenarnya" ujar N a b i : " J i k a engkau tidak
berkata yang sebenarnya engkau sudah berdusta dengan segala dosanya
p u l a " .
M e m i n d a h k a n perkataan dari seorang kepada seorang dengan
maksud mengadudombakan orang atau merusakkan hubungan baik-
nya, d inamakan namimah. Da lam Q u r ' a n di larang berlaku demikian
itu : " Jangan lah engkau ikut orang, yang banyak bersumpah lagi hina
dina , suka mencaci orang la in , berjalan kian ke mari mengadu d o m b a " .
(Qur ' an L V I I I : 10 — 11).
Nab i menceriterakan, bahwa orang yang melakukan namimah itu
tidak akan masuk sorga. D a l a m sebuah Hadis yang d i r iwayatkan oleh
Imam A h m a d , N a b i bertanya kepada sahabat-sahabatnya : " A p a k a h
aku belum menceriterakan kepadamu tentang hamba A l l a h yang paling
j a h a t ? " Ta tka l a sahabat mengatakan belum,- N a b i menerangkan bahwa
190
orang itu ialah orang-orang Islam yang berjalan kian ke mari dengan
fitnah, sehingga dapat menceraiberaikan antara saudara-saudaranya
yang hidup cinta-mencintai, orang yang zalim yang suka membuka aib
orang lain. Namimah itu haram, dan termasuk dosa besar pada Allah ,
oleh sebab itu hendaklah orang-orang Sufi menjauhkan diri dibandingkan -
nya. Salah satu sifat yang sangat ditakuti orang Sufi, sehingga dalam
ajaran-ajarannya sangat ditekankan untuk menjauhinya, ialah kizb
atau dusta. Allah selalu memberi la'hat kepada mereka yang dusta dan
bohong. Nabi pernah memperingatkan : "Hendaklah kamu selalu ber
laku benar, sebab benar itu membawa kepada kebajikan, dan kebajik
an itu membawa kamu masuk surga. Orang-orang yang jujur dan ber
kata benar ditulis Al lah dalam golongan siddiqin. Oleh sebab itu jauh-
kanlah dirimu dari berdusta, sebab dusta itu membawa kepada keja
hatan, kejahatan itu membawa kamu ke dalam neraka". Orang yang
selalu berdusta digolongkan Allah kepada golongan kazzab. Nabi
memperingatkan bahwa dosa lidah yang terbesar ialah dusta, dan bah
wa dusta itu hanya dibolehkan dalam tiga keadaan, pertama dalam pe
perangan, kedua dalam memperbaiki dua orang berselisih, dan ketiga
dalam menyelamatkan jiwa manusia yang tidak berdosa.
Ketahuilah, bahwa sidq atau benar itu perhiasan wali-wali, semen-
tara itu kizb yaitu perlambang orang jahat. Dalam Qur'an terda
pat banyak sekali ayat-ayat yang melarang orang berdusta, dan meng
anjurkan orang takut kepada Allah dan jujur serta berkata benar.
Syarhul kalam atau kasratul kalam artinya banyak berbicara yang
tidak berfaedah dan tidak mengenai persoalan agama. Banyak berbica
ra itu tidak digemari oleh orang Sufi, sebab Nabi melarangnya : "Ja
ngan kamu terlalu berbanyak bicara kosong, sebab yang demikian itu
menutup hatimu dan menjauhkan dirimu dari hati yang gilang-gemi-
lang". Pada kesempatan yang lain Nabi memperingatkan : "Barang
siapa banyak berbicara, niscaya banyak ia terpeleset. Barang siapa ba
nyak terpeleset, banyak pula dosanya. Dan barang siapa banyak dosa-
nya, maka nerakalah yang layak disediakan baginya".
Orang Sufi dalam pendidikannya mengajarkan jangan banyak ber
bicara yang tidak perlu, bahkan diperintahkan diam dalam segala ke
adaan, kecuali yang ada faedahnya buat agama atau kepentingan
umum di dunia. Mereka memperingatkan, bahwa tiap-tiap orang di-
191
awasi oleh dua Malaikat, Kiraman Kartibin, yang mengetahui semua
gerak-gerik manusia, dan menulisi tiap perkataan yang diucapkannya
yang di kelak hari akan dipertanggungjawabkannya kepada Allah .
Acap kali dalam membicarakannya orang-orang Sufi itu mengemuka
kan contoh-contoh, misalnya Rabi ' bin Khaisam, yang tiap hari menulis-
kan apa yang diucapkannya di atas sepotong kertas yang selalu dibawanya
ke mana-mana.
Ibrahim bin Adham, salah seorang tokoh Sufi terbesar, menceri
terakan, bahwa ia pada waktu menerima beberapa orang wali yang ber-
kedudukan Abdal, kepadanya dimintanya, agar mereka memberikan
wasiat, yang dapat dipergunakan Ibn Adham untuk menambah takut-
nya kepada Allah , dan dengan demikian dapat mencapai tingkat Ab
dal itu. Abdal itu berkata : " K a m i wasiatkan kepadamu tujuh perkara
ini : Pertama orang yang banyak bicara, hatinya mati, kedua orang
yang banyak makan tidak akan beroleh hikmah kebijaksanaan, ketiga,
orang yang terlalu banyak bergaul dengan manusia, tidak akan dapat
mengecapkan kemuliaan sari ibadat, keempat, barang siapa terlalu
mencintai dunia, tidak akan memperoleh husnul khatimah, kelima,
barang siapa jahil dan bodoh, tidak hidup hatinya, keenam, orang yang
mencari persahabatan dengan manusia yang zalim, tidak akan dapat
istiqamah, ketenangan dalam agama, dan ketujuh barang siapa meng-
harapkan kerelaan manusia pasti tidak akan memperoleh kerelaan Tu
han".
Sebenarnya banyak sekali pekerjaan-pekerjaan dan kelakuan-kela-
kuan yang oleh orang Sufi dianggap tercela, seperti tidak memiliki
iman dan aqidah yang benar, berbuat segala macam maksiat dan keja
hatan, meninggalkan taubat, tidak paham tentang ibadat yang wajib
dan yang sunat dalam Islam, enggan mengerjakan amal-amal yang ba
ik, khianat, loba thama' menuruti hawa nafsu dalam mengerjakan se
gala yang haram atau yang makruh, suka mendengar dan melihat yang
mungkar, suka memaki orang, mela'nati dan melempar kesalahan ke
pada orang lain, mengeluarkan perkataan yang keji, mengejek menter-
tawakan orang, menghina dan merendahkan orang lain, suka muram
dan murung, gemar bertengkar dan bersoal jawab, gelisah dan tidak
sabar, gemar mengusik, tidak puas, tidak bersyukur, berbuat zalim,
mewah dan tidak hernat, suka bersolek, cinta fitnah, cinta berbuat do-
192
sa, suka bertangguh-tangguh janji, banyak keinginan, kurang malu,
beku dan kurang minat, suka merugikan diri orang lain dan masyarakat
umumnya. Guru-guru diwajibkan mengawasi murid-muridnya, dan
mencoba menghilangkan penyakit diri dan jiwa itu, amrahul qulub dan
amradhul nafs, dengan ajaran dan latihan-latihan perbaikannya, yang
dinamakan riadhatun nafs dan 'ilajul qulub.
3. SIFAT-SIFAT YANG TERPUJI.
(TAHALLI)
Acapkali diartikan, bahwa yang dimaksudkan dengan ibadat hati
atau tha'at bathin, ialah memakai perangai-perangai yang baik dan
sifat-sifat yang terpuji, sesudah diri seseorang itu dibersihkan dibandingkan
sifat-sifat yang tercela. Ghazali menguraikan dalam kitabnya. "Kitab
Arba'in fi Usulud Din" ada sepuluh macam sifat terpuji itu, pertama
taubat, kedua khauf atau takut kepada Allah , ketiga zuhud, tidak
mengingini hidup duniawi, keempat sabar, tahan diri, kelima syukur,
terima kasih kepada Allah , keenam ikhlas, berbuat sesuatu hanya un
tuk Allah semata-mata, ketujuh tawakkul, menggantungkan nasib se-
luruhnya kepada Allah , kedelapan mahabbah, mencintai Allah secara
tidak terbatas, kesembilan ridha, bersenang diri dengan apa yang diten
tukan Allah , dan kesepuluh zikrul maut ingat akan mati.
Untuk dapat mengikuti, bagaimana orang Sufi menjelaskan sifat-
sifat itu sebagai dasar pendidikannya, kita uraikan beberapa buah dari-
padanya di bawah ini.
Taubat dianggapnya anak kunci bagi kemenangan segala orang.
Orang yang gemar taubat dikasihi Al lah , sebagaimana ini dalam
Qur'an "Bahwasanya Allah mencintai orang yang taubat dan mencintai
orang yang bersih". Rasulullah memuji orang yang sedia menyesali di
rinya atas perbuatan yang tersesat, dan kembali bertaubat kepada Tu
han. Katanya : "Orang yang taubat itu dicintai Al lah , orang yang tau
bat dibandingkan dosanya seakan-akan orang yang tidak berdosa lagi" .
Taubat itu diperintahkan Allah dalam Qur'an : "Bertaubatlah kamu
kepada Allah , wahai sekalian orang mu'min, agar kamu beroleh keme
nangan".
Untuk melakukan sesuatu taubat diletakkan tiga syarat, pertama
193
harus meninggalkan ma'siat yang dikerjakan itu, kedua harus menyé-
sali diri atas perbuatan ma'siat tersebut, dan ketiga berjanji, bahwa ti
dak akan kembali lagi kepada kejahatan itu selama-lamanya, yang de
mikian itu jika ma'siat ini yaitu suatu dosa antara seseorang
dengan Allah . namun j ika dosa yang diperbuat itu berhubungan de
ngan manusia, misalnya menzalimi orang dengan mengambil hartanya,
maka ketiga syarat ini ditambah pula dengan syarat keempat, bah
wa hak orang itu harus dikembalikan lebih dahulu kepada yang punya,
atau meminta dihalalkan. Jika yang punya harta itu misalnya tidak di-
ketahui lagi tempatnya, atau mati, maka hendaklah hak orang itu di
kembalikan kepada ahli warisnya, j ika ada, atau disedekahkan kepada
fakir miskin.
Begitu juga terhadap kepada dosa-dosa yang lain, seperti mengum
pat atau memaki orang, hendaklah diminta ampun lebih dahulu kepada
orang yang bersangkutan itu, kemudian barulah taubat dan meminta
ampun kepada Allah atas segala dosa yang dikerjakannya.
Orang Sufi menamakan Khauf atau takut kepada Allah itu, per-
hiasan diri orang-orang salih. Ada beberapa perkataan Arab, yang
hampir sama artinya dengan khauf itu, yaitu rahab, khasyiya', dalam
beberapa pengertian juga taqwa. Yang menjadi sumber dalil bagi khauf
ini yaitu beberapa ayat Qur'an, pertama berbunyi : "Pertunjuk dan
rahmat itu diberikan kepada mereka yang takut kepada Allah nya",
kedua, berbunyi : " D i antara hamba Allah yang takut kepada Allah
nya ialah ulama", ketiga, berbunyi : " A d a hambanya yang rela kepada
Allah dan direlai Allah nya, yang demikian itu ialah mereka yang ta
kut kepada Allah nya i tu" , keempat berbunyi : "Orang yang takut ke
pada Allah nya dan mencegah dirinya dibandingkan hawa nafsu, tempat
orang itu ialah surga", dan kelima firman Allah yang berbunyi : " B a
gi orang yang takut kepada Allah nya, di kelak kemudian hari disedia-
kan dua surga.
Hidup Zuhud, yaitu meiepaskan diri dibandingkan kemuliaan dan ke
senangan dunia, dianggap oleh orang Sufi suatu martabat yang tinggi,
sebab hidup yang semacam itu pernah ada pada diri Nabi dan pa
da diri sahabat-sahabatnya. Nabi pernah memerintahkan : "Hidup zu-
hudlah engkau di atas dunia, agar Allah mencintai kamu dan jangan
engkau hiraukan apa yang ada pada manusia itu, niscaya manusia itu
kasih kepadamu".
194
Pada lain kesempatan Nabi berkata : "Apabi la Allah hendak
memberikan sesuatu kebajikan kepada hamba-Nya, membuat dia hidup
zuhud, tidak tertarik kepada dunia dan menanam kegemaran kepada
dirinya untuk akherat, serta membuka matanya melihat kekurangan-
kekurangan yang ada pada dirinya". Begitu juga Nabi pernah
menceriterakan, bahwa orang yang hidup zuhud di dunia akan diberi-
kan Allah hikmah dalam hatinya petah lidahnya, dan diberi pengetahu
an mengetahui penyakit dunia dan obat-obatnya, dan akhirnya ia akan
diantarkan dengan selamat ke dalam surga.
Ghazali mengartikan zuhud itu tidak menyukai dunia, sebab ingin
memperbanyak tha'at sekuasanya kepada Allah . Selanjutnya zuhud
itu dalam kehidupan Sufi-sehari-hari dapat kita artikan, membenci ke
pada dunia, mengurangi makan, memakai pakaian yang buruk, tidak
menghiraukan kesenangan, kemuliaan, dan kekayaan dunia, dengan
keyakinan bahwa semua itu tidak abadi, dan bahwa Allah telah mem-
beli diri dan harta orang mu'min dengan surga.
Orang yang zahid menujukan seluruh hidupnya untuk akhirat, dan
oleh sebab itu mengerjakan ibadah sebanyak mungkin dengan tidak
memperdulikan kesenangan dirinya. Ia memakan makanan sekedar un
tuk hidup, dan memakai pakaian sekedar untuk menutupi auratnya.
Sifat sabar dianggap sifat yang terpuji juga, sebab Allah me
nyuruh yang demikian itu kepada hamba-Nya : "Sabarlah kamu, kare
na Allah selalu ada bersama orang yang sabar". Juga Allah berfir-
man : " K a m i akan membalas orang-orang yang sabar itu dengan paha-
la yang lebih baik dari amal mereka". Pada tempat yang lain Allah
berkata : " K a m i jadikan segolongan umat yang akan beroleh pertun
juk mengenai perintah Kami, asal saja mereka itu sabar". Memang sa
bar itu tinggi nilainya, sehingga Nabi menga.akan, bahwa sabar itu se-
tengah dibandingkan iman, dan sabar itu sebuah perbendaharaan dibandingkan
perbendaharaan surga.
Orang-orang Sufi membiasakan sabar itu, sabar dalam berbuat
tha'at dan ibadat, sabar dalam segala keku-angan, kesusahan dan ke-
hinaan, sebab sabar itu dianggapnya tha'at bathin. Jadi arti sabar itu
bagi orang awam tahan atas segala kesusahan dan kesakitan, yang di
anggapnya semuanya datang dibandingkan Allah , bagi orang salih meneri
ma sabar itu dengan hati yang syukur tentang sesuatu kesusahan dan
195
kesakitan itu dianggap percobaan dibandingkan Allah , dan bagi orang yang
zahid tidak berusaha meiepaskan diri dibandingkan kesusahan dan kesakitan
itu, sebab dianggapnya yang demikian itu sudah tertulis di atas Luh
Mahfud.
Sifat sabar ini rapat sekali hubungannya dengan ridha bil qadha',
artinya rela menerima dengan apa yang telah ditentukan dan dianggap
ditakdirkan Allah . Sifat ini banyak sekali menumbuhkan orang-orang
Sufi yang tahan dalam menghadapi segala kekurangan dan kesukaran
bahkan kadang-kadang sampai sekian jauhnya, melahirkan orang-
orang yang tidak ingin berikhtiar lagi, namun mereka menyerahkan se
luruh nasibnya kepada qadha dan qadar dibandingkan Allah semata-mata.
Memang Nabi pernah menerangkan : "Persembahkanlah ibadat-
mu ke haribaan Allah dengan ridha, j ika engkau tidak sanggup, bersa-
barlah engkau atas yang engkau tidak sukai, sebab yang demikian itu
lebih baik bagimu".
Memang banyak yang dibenci oleh manusia mengenai keadaan-
keadaan yang tertimpa atas dirinya, seperti kemiskinan, kekurangan
harta, kekurangan makan dan minum, penghinaan dan rintangan dari
orang lain, sabar atas semua itu dan menerima semua itu dengan suka
hati terpuji bagi orang Sufi.
Rasulullah berkata : "Apabi la Allah mencintai seseorang hamba-
Nya, maka hamba-Nya itu diberi bala sebagai percobaan, j ika hamba-
Nya itu rela terhadap percobaan tersebut, maka dipilihnya hamba-Nya
itu untuk dimasukkan ke dalam golongan orang-orang pil ihan". Dalam
sebuah Hadis Qudsi Nabi menceriterakan, bahwa Allah berkata :
"Aku lah Al lah , tidak ada Allah lain selain A k u , maka barang siapa
tidak sabar terhadap keputusan-Ku, tidak bersyukur bagi nikmat-Ku,
dan tidak rela terhadap keputusan-Ku, hendaklah ia mencari Allah
yang lain dibandingkan -Ku".
Ridha atau rela berarti juga beribadat dengan suka hati menurut
qadha dan qadar Allah dengan tidak menyangkal sedikit jua pun dari
pada hukum Allah yang sudah diadakan bagi manusia. Abu A l i A d -
Daqqaq berkata : "Tidak dapat dinamakan rela hanya dengan menderi
ta bala bencana belaka, namun yang dinamakan rela itu tidak berpaling
sekali-kali dibandingkan hukum Allah dan qadha-Nya". Rela akan ma'siat
dan kufur tidak dapat dinamakan sabar, sebab Allah tidak rela bagi
196
hamba-Nya yang kufur kepadanya.
Ghazali menerangkan, bahwa cinta dan rela kepada Allah terma
suk derajat wali-wali yang tertinggi di antara sembilan derajat yang la
in. Memang derajat yang lain diperlukan juga, seperti taubat, zuhud,
takut kepada Allah , sabar, sebab taubat itu berarti pulang kembali
dari penyelewengan yang telah jauh dari pokok pangkal berbuat keba
jikan kepada Allah , sebab zuhud itu meninggalkan segala yang dapat
mengacaukan dan membimbangkan hati dibandingkan berbuat kebajikan,
sebab takut itu yaitu cambuk yang dapat menghalaukan manu
sia meninggalkan segala ma'siat dan kebimbangan, dan sebab sabar
itu yaitu jihad menghadapi hawa nafsu untuk kembali pulang
kepada Allah , namun derajat yang tertinggi sebagai buah seluruh usaha
itu ialah mahabbah dan ridha, kecintaan dan kerelaan sepenuh hati ke
pada Allah . Kedua-duanya tidak menjadi alat, namun menjadi hasil
dan tujuan dibandingkan jihad atau perjuangan orang salih yang hendak
menemui Allah nya.
Untuk mencapai tingkat yang tinggi itu orang diajarkan juga ber-
terima kasih, syukur, kepada Allah , sebab syukur akan nikmat Tu
han itu yaitu sifat yang terpuji bagi hamba-Nya, sedangkan kufur
atau menentang Allah yaitu azab yang sangat pedih.
Dalam Qur'an Allah berkata : " J ika engkau bersyukur kepada-
K u , akan A k u tambah nikmat-Ku, namun jika engkau kufur kepada-Ku,
ketahuilah bahwa azab-Ku akan sangat pedih". Berulang-ulang Allah
memperingatkan dalam Qur'an supaya manusia bersyukur kepada-Nya,
yang akan dibalasnya dengan ganjaran yang lebih banyak, dan jangan
kufur, sebab akibatnya sangat merugikan bagi manusia yang angkuh
dan sombong itu. Seorang yang makan sambil bersyukur kepada Allah
samalah kedudukannya dengan orang puasa yang sabar.
Rasulullah pernah berceritera, bahwa pada hari kiamat diadakan
panggilan khusus kepada golongan hammadun, maka berdirilah mere
ka itu berkumpul. Kepada mereka diserahkan sebuah panji-panji ke-
megahan. Lalu .dengan panji-panji itu mereka berangkat masuk surga
dengan cara yang istimewa. Tatkala orang bertanya kepada Nabi, si
apakah hammadun itu. Nabi menjawab : "Mereka ialah orang-orang
yang selalu bersyukur kepada Allah dalam tiap keadaan".
Ada tiga hakikat syukur, pertama mengakui bahwa segala nikmat
197
itu datang dibandingkan Al lah , meskipun diterima melalui tangan manusia,
sebab manusia itu pada hakekatnya sudah digerakkan meneruskan
nikmat itu oleh Al lah , kedua membesarkan syukur atas nikmat yang
telah diberikan Allah itu, dan ketiga dipergunakan segala nikmat yang
diberikan oleh Allah itu kepada kebajikan, misalnya mata untuk me
lihat Qur'an dan kitab-kitab ilmu pengetahuan, yang menjadi sumber
agama Islam, melihat langit dan bumi serta makhluknya sebagai dalil
adanya Allah yang menciptanya, begitu juga seperti telinga untuk
mendengar yang bermanfa'at bukan yang haram. Lidah untuk berzikir
dan mengucap syukur kepada Allah , tangan untuk membantu sesama
manusia dan mencari rezeki yang halal, dan kaki untuk bepergian ke
tempat-tempat amal ibadah dan kebajikan. Menyalahgunakan segala
nikmat Allah berarti kufur dan mendapat dosa serta azab.
Sebagai jalan ke arah yang dicita-citakan itu hendaklah orang be
nar dan ikhlas, sidq dan ikhlas, dalam segala perkataan dan perbuatan
nya, terutama dalam beribadat, sebagaimana yang diterangkan dalam
Qur'an : "Kami hanya memerintahkan mereka menyembah Allah itu
secara ikhlas. Nabi pun memperingatkan, bahwa Allah pernah berfir-
man dalam Hadis Qudsi : Ikhlas itu yaitu sebuah rahasia dari
pada rahasia-rahasia-Ku yang Kutitipkan kepada hamba-Ku yang Ku-
kasihi". Pada kesempatan lain Nabi menyuruh : "Ikhlaskanlah agama-
mu, sebab dapat memadai engkau dengan amal yang sedikit". Dan ia
berkata pula, bahwa Allah yang Maha Kuasa tidak menerima amalan,
kalau amalan itu tidak dikerjakan secara ikhlas dan dipersembahkan
semata-mata kepada Allah .
Ibrahim bin Adham menerangkan, bahwa arti ikhlas itu ialah niat
yang benar terhadap Allah . Pengertian sidq lebih jauh terdiri dari
dari enam macam, pertama pada perkataan, kedua pada niat, ketiga
pada cita-cita, keempat pada janji, kelima pada perbuatan dan keenam
pada maqam dan kedudukan, kesemuanya itu harus ditujukan kepada
Allah dan kepada segala kebajikan.
Salah satu sifat yang dianjurkan orang Sufi, yang agak aneh keli
hatan pada orang biasa, ialah tawakkul, yang tidak lain artinya melain
kan tawakkal atau nekat dengan menyerah diri kepada Allah . Dalam
arti biasa tawakkal itu tidak lebih dibandingkan sabar sambil berikhtiar, te
tapi kadang-kadang terjadi dalam kalangan Sufi suatu pengertian lain
198
bagi tawakkal itu, pengertian yang lebih mesra, yaitu menyerah diri se-
luruhnya kepada Al lah , sambil meninggalkan segala usaha, sampai
Allah memberikan sesuatu kepadanya. Dalam ayat Qur'an memang ada
ini : "Orang yang sungguh-sungguh menyembah Allah, bukan Tu
han yang lain dibandingkan nya, meskipun mereka tidak memiliki rezeki,
Allah akan memberikan rezeki kepadanya".
Nabi pun pernah berkata : "Jikalau kamu bertawakkal kepada
Allah sebenar-benarnya, pasti ia akan memberikan kamu rezeki, seba
gaimana ia mengasih makan burung, yang pagi-pagi lapar pada petang
harinya ia menjadi kenyang"".
Ghazali mengartikan tawakkal berpegang kepada Allah dalam se
gala pekerjaan dan perbuatan, serta percaya dan tetap dalam hati me
nyerahkan diri kepada Allah itu, sedikit pun tidak berpaling dibandingkan
kepercayaan itu.
Ada tiga martabat tawakkal, pertama percaya kepada Allah seba
gai wakilnya yang sungguh-sungguh, kedua cinta seperti ibunya, dan
ketiga menyerahkan diri dan segala pekerjaannya kepada Allah itu se
perti penyerahan mayat di hadapan orang yang memandikan dan me-
ngafaninya. Tingkat yang ketiga inilah yang tertinggi menurut anggap-
an orang Sufi, tingkat yang pernah dicapai oleh golongan siddiqin, juga
golongan yang dipuji-pujikan oleh Ghazali, sebab golongan ini telah
fana dan telah mengesampingkan usaha atau tadbir, do'a atau raja',
dan menyerahkan seluruhnya kepada Al lah , dengan tidak ada ikhtiar
manusia lagi.
Oleh sebab dalam kalangan Sufi ada juga pengaruh paham
i'tikad seperti Jabariyah, Qadariyah, dan lain-lain, maka pengertian
tawakkal ini pun bermacam-macam.
Golongan yang agak menengah tidak meletakkan dalam tawakkal
itu meninggalkan segala usaha, seperti berobat, sebab tiap-tiap amal
harus menghasilkan manfa'at, menjauhkan mudharat, dan oleh sebab
itu usaha manusia itu tidak mengurangi qodrat Allah .
Dengan dasar pendidikan ini orang Sufi yakin, bahwa manusia itu
pada akhirnya akan sampai kepada tingkat mahabbah, mencintai Tu
han sebenar-benarnya. Ini diterangkan Allah dalam Qur'an : "Allah
akan sampai mendapat suatu kaum yang mencintai Allah dan dicintai
oleh A l l a h " . Dalam hubungan ini sahabat Nabi, Abu Bakar, pernah
199
menerangkan, barang siapa dapat merasakan keikhlasan dalam mencin
tai Allah, niscaya Allah akan memisahkannya orang itu dibandingkan kecin-
taannya kepada dunia, dan membuat orang itu meninggalkan kumpul-
an dan pergaulan manusia." Kata Nabi : "Tidak terhitung beriman se
seorang kamu, kecuali j ika ia mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari
pada dirinya sendiri, keluarganya, anak-anaknya, harta bendanya, dan
manusia seluruhnya".
Sebagai hikmah cinta dan kasih kepada Allah itu dikemukakan,
pertama bersifat-fardhu, dengan cinta semacam ini manusia terdorong
mengerjakan amal ibadat sebanyak-banyaknya dan menjauhkan diri
dibandingkan maksiat yang dibenci oleh Allah , begitu membawa dia pada
akhirnya kepada rela dengan qadha dan qadar Allah atas dirinya, ke
dua yang bersifat sunat, yang dapat mendorong pula seseorang menger
jakan sunat sebanyak-banyaknya, menjauhkan barang-barang dan pe
kerjaan yang makruh, di samping ia gemar menahan segala hawa naf-
sunya kepada sesuatu yang dibenci Al lah , kesemua itu menanamkan
kebencian kepada dunia dan kecintaan kepada akhirat.
Jika semua itu telah menjadi darah daging bagi seseorang manusia,
maka tak dapat tidak ia akan sampai kepada zikrul maut, ingat akan
mati, suatu sifat yang paling terpuji, sebab dapat mendorong manusia
yang sadar itu kepada berbuat amal kebajikan yang sebanyak-banyak
nya, baik yaitu ibadah maupun yang yaitu mu'amalah dan
mu'asyarah yang baik terhadap manusia. Ia akan ingat akan firman
Allah : "Terangkanlah bahwa maut itu, yang selalu hendak disingkir-
kan oleh manusia, akan mendapati kamu". Ia akan ingat akan sabda
Nabi : "Perbanyaklah engkau mengingat mati, yang akan memutuskan
kamu dengan kesenangan dunia. Tiap orang yang teringat akan mati,
akan diperluas hidupnya yang picik dengan kelasan ni'mat, sebaliknya
tiap orang yang tidak teringat akan mati, akan diperkecil hidupnya
yang luas".
Pada suatu hari Sitti Aisyah bertanya kepada Rasulullah : " A p a
kah ada orang-orang lain dikumpulkan dengan syuhada' pada hari kia
mat?" Nabi menjawab : "Benar ada, yaitu mereka yang selalu meng
ingat akan mati tiap hari tiap malam sebanyak dua puluh ka l i " .
Nabi menganggap, bahwa cukup kematian itu menjadi pengajaran
bagi manusia, dan berkata : " A k u tinggalkan kepadamu dua macam
200
juru nasehat, semacam secara diam, dan semacam lagi berbicara, juru
nasehat yang diam itu ialah maut, dan juru nasehat yang berbicara itu
ialah Qur 'an" .
Bagi orang yang bijaksana kematian itu akan mendorong dia, per
tama meninggalkan dunia, dan kedua menambah tertarik hatinya kepa
da akhirat.
Ghazali menerangkan, bahwa orang arif yang sempurna, yang sela
lu ingat kepada Allah , tidak perlu lagi ingat akan mati, sebab ia su
dah fana dalam tauhid, yang tidak dapat melupakan yang akan da
tang".
Demikianlah beberapa buah sifat-sifat terpuji, sebagaimana yang
biasa diuraikan atau disampaikan oleh orang-orang Sufi kepada murid-
muridnya. Sebenarnya sifat-sifat terpuji itu banyak sekali. Amin A l -
Kurdi , pengikut tarekat Naqsyabandiyah, menerangkan, di antara sifat-
sifat yang terpuji itu ialah memiliki aqidah yang benar, taubat, malu
terhadap Allah , tha'at, sabar, wara', zuhud, qina'ah, ridha, syukur,
gemar memuji Allah dan Rasulnya, jujur dan benar dalam perkataan,
menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan khianat, memeliha
ra hak tetangga, suka memberi makan orang, suka memberi salam, ge
mar kepada amal kebajikan, mencintai akhirat dan membenci dunia,
takut akan hisap Allah , merendah diri, sedia menderita malapetaka,
sabar, dalam percobaan, selalu bersama-sama dengan orang-orang yang
benar, tenang hati, sedia menahan nafsu dan syahwat, menjauhkan diri
dari kesenangan syahwat, takut kepada Allah , harap yang tidak putus
kepada Allah , baik tingkah laku, pengampun, bermurah tangan, ba
nyak kegiatan, suka memberi nasehat, hidup sederhana, suka menyela-
matkan orang lain, sedia tawakkal, berani kepada yang benar, menjaga
muru'ah, cinta kepada Al lah , takut kepada perpecahan dan perpisahan
dengan Al lah , beradab, selalu berfikir, selalu tenang, selalu memper
hitungkan diri, selalu insaf, selalu berbaik sangka, selalu berjihad, sela
lu meninggalkan percekcokan dan perdebatan, ingat akan mati, pendek
angan-angan, bersungguh-bersungguh membaca Qur'an, meninggalkan
kemewahan, gemar hidup kemiskinan, ikhlas dalam segala hal, dan lain-
lain sebagainya, segala amal yang baik, terutama yang membuahkan
amal kebajikan untuk akhirat. Amin Al -Kurd i menerangkan, bahwa
yang dimaksudkan dengan takhalli, tidaklah mengosongkan semua Si-
201
fat-sifat yang buruk pada manusia, namun menguranginya sebanyak
mungkin, untuk memberi tempat kepada jiwa seseorang dekat kepada
Allah nya, dan dengan demikian menjadikan dia manusia yang indah
dan sempurna (Tanwirul Qulub).
Jika semua sifat-sifat itu sudah dimiliki maka sampailah manusia
itu kepada tujuannya, yaitu taqwa, tidak diartikan sebagaimana pe
ngertian fiqh yaitu takut meninggalkan apa yang diperintahkan Allah ,
dan menjauhkan diri dibandingkan semua larangannya, namun taqwa itu per-
paduan dibandingkan empat sifat, yang ditunjukkan oleh empat hurufnya,
yaitu ta, keringkasan dibandingkan taubat, menyesali diri serta meminta am
pun kepada Allah , qaf, keringkasan dari qina'ah, yaitu khusyu' dan
tawadhu', dalam segala amal ibadat, wauw yaitu wara', beribadat de
ngan ikhlas kepada Allah , dan aüf, keringkasan dibandingkan ikhlas, mela
kukan ibadat semata-mata untuk Allah .
4. MA'SIAT DAN T H A ' A T
(TAJALLI)
Jika Ghazali pada suatu tempat, misalnya dalam kitab "Ihya Ulu-
muddin", membicarakan tentang sifat-sifat yang merusakkan jiwa,
muhlikat, dan sifat-sifat yang dapat membawa kebahagiaan kepada j i
wa, munjiat, pada lain tempat dalam kitab-kitabnya diuraikan bagai
mana melaksanakannya, bagaimana menghindarkan diri atau jiwa itu
dari perbuatan yang keji, ijtinabul ma'asi waz zunub dan bagaimana
membiasakan diri kepada amalan-amalan yang baik, tha'at Fil awamir,
yang sebenarnya yaitu isi dari pelajaran tasawwuf, tujuan mem
perbaiki dan membersihkan hidup manusia.
Ghazali menerangkan, bahwa ma'siat itu ada dua macam, pertama
ma'siat lahir, kedua ma'siat bathin. Begitu juga ia menerangkan, bah
wa tha'at itu ada dua rupa, pertama tha'at lahir, kedua tha'at bathin.
Katanya, bahwa maksud agama itu hanya ada dua, pertama meninggal
kan yang dilarang, kedua menyuruh memperbuat segala yang dianjur
kan. Pekerjaan menjauhkan diri dari larangan lebih sukar bagi manusia
dibandingkan mengerjakan sesuatu ketha'atan, sebab tha'at itu dapat di
lakukan oleh tiap orang, namun meninggalkan syahwat tidak dapat di
lakukan kecuali oleh mereka yang benar. Oleh sebab itu Nabi berkata,
202
bahwa orang yang dapat disebut Muhajirin ialah orang yang dapat ber-
pindah dari kejahatan, dan orang yang dapat disebut Mujahidin ialah
orang-orang yang dapat berperang atau menentang hawa nafsunya.
Mengenai usaha menjauhkan diri dari ma'siat lahir Ghazali mene
rangkan, bahwa tidaklah pantas manusia itu berbuat kejahatan dengan
anggota badannya, yang ada pada dirinya, sebab anggota badannya
itu yaitu kurnia dan nikmat Allah serta amanahnya kepadanya.
Maka mempergunakan nikmat Allah itu untuk melakukan sesuatu
ma'siat kepadanya tak dapat tidak yaitu puncaknya kekufuran
dan puncaknya khianat tentang amanah yang dipercayakan Allah ke
padanya manusia itu. Merusakkannya yaitu dosa yang sebesar-besar-
nya, dan kekejian yang sesungguh-sungguhnya. Segala anggota itu ha
rus dipelihara dibandingkan panyalahgunaan, harus dipimpin kepada arah
yang baik, sebab "Semua kamu pemimpin dan tiap pemimpin diper-
tanggungjawabkan tentang apa yang dipimpinnya". Semua ini sudah
kita paparkan di atas tadi,
Memang beginilah keyakinan Sufi yang sebaik-baiknya. Tiap-tiap
perbuatan manusia akan ditanyai kelak oleh Allah nya di hari kiamat,
dan tiap-tiap anggota badannya menjadi saksi ata's perbuatan yang di
lakukan oleh manusia itu. Di dalam Al-Qur 'an Allah berfirman :
"Ingatlah akan hari, di mana Kami mencegah mulutnya memberi ke
terangan, namun di mana Kami suruh berbicara tangannya dan Kami
menyuruh menjadi saksi kakinya, tentang apa yang diperbuat oleh se
seorang manusia" (Qur'an X X X V I : 65). Mahmud Yunus menambah
tafsiran tentang ayat ini , bahwa pada hari kiamat Allah menutup mulut
orang-orang yang kafir, dan melarang mereka bercakap-cakap, untuk
mempertahankan dirinya. Waktu itu bercakaplah tangan mereka, jadi
saksi atas apa-apa yang telah diusahakannya, masa hidup di dunia. Me
nurut kata setengah ahli Tafsir, tangan mereka itu pandai bercakap-
cakap seperti lidah, sebab dipandaikan oleh Al lah . namun ulama yang
lain berpendapat, bahwa bukan sebenarnya bercakap, melainkan keli-
hatanlah bekas dosa (kesalahan) mereka pada anggauta-anggautanya
seperti tangannya dan kakinya, yang menunjukkan atas perbuatannya
pada masa hidup di dunia. Maka seolah-olah anggautanya itu mengakü
kesalahannya. (Tafsir, Jakarta 1957).
Ma'siat lahir itu membuahkan kejahatan-kejahatan yang bersima-
203
harajalela dalam masyarakat, seperti mencur i , membegal , mencopet,
merampas dan merampok, menganiaya, menyiksa dan membunuh , dan
la in- la in kejahatan yang dapat d i l akukan dengan tangan manusia, begi
tu juga kejahatari-kejahatan seperti mempercakapkan rahasia dan aib
orang, memak i , mencela dan mencerca, bergunjing, membuat f i tnah,
menghasut menghina dengan ucapan dan kata-kata, membujuk, menji-
lat atau memuji seseorang dengan niat beroleh sesuatu, berdusta dan
berbohong, memutarba l ikkan kata-kata yang benar menjadi salah atau
yang salah menjadi benar, dan la in- la in kejahatan mulut yang termasuk
ma'siat lahi r , begitulah selanjutnya kejahatan-kejahatan yang diperbuat
dengan mata, dengan telinga, dengan k a k i , semuanya yaitu ma ' -
siat-ma'siat lahir yang sangat berbahaya untuk keamanan dan keten-
teraman masyarakat . Semua ma'siat lahir i tu harus d i jauhkan dar ipada
manusia.
namun d i samping itu ada pada manusia ma'siat bathin, yang
lebih berbahaya, sebab ia t idak kelihatan dan kurang di insyaf i , dan
yang lebih sukar menghi langkannya. M a ' s i a t i tu yaitu pembang-
kit dar ipada ma'siat lahir i tu . Selama ma'siat bathin itu belum dile-
nyapkan , ma'siat lahir tidak dapat d ih indarkan pada manusia , atau se
lalu berulang kembal i serta menumbuhkan kejahatan-kejahatan baru,
yang diperbuat d i laksanakan oleh anggauta badan manusia . J i k a T u h a n
da lam Q u r ' a n memperingatkan tentang bahaya ma'siat lahir dengan
f i rman-Nya : "Sungguh rugi mereka yang mengotorkan j i w a n y a " , ia
t idak lupa menegor hamba-Nya , agar ia members ihkan j iwanya i tu su
paya h idupnya jaya : "Sungguh mendapat kejayaan mereka yang mem
bersihkan j i w a n y a " . Ini lah yang menyebabkan, bahwa N a b i M u h a m
mad menjadikan kesucian lahir dan bathin manusia itu sebahagian dar i
pada imannya .
Ma ' s i a t yang bathin ini melahi rkan dengan tidak langsung juga ke
jahatan-kejahatan yang mengacaubalaukan ketenteraman dan kesejah-
teraan masyarakat . M a k a n dan m i n u m yang berlebih-lebihan tidak saja
merusakkan kesehatan seseorang, namun memperbesar syahwat hawa
nafsu terhadap j i m a ' , terhadap kegiatan mengumpulkan kekayaan de
ngan tidak membedakan halal atau haram, kebanyakan berbicara acap
kal i membuat manusia menyeleweng kepada ucapan-ucapan yang meru-
g ikan , memiliki sifat marah acapkal i men imbulkan perselisihan dan
persengketaan, hasad atau dengki memecah belahkan perhubungan
204
baik antara keluarga dan sahabat kenalan, kikir membuat manusia di
benci oleh masyarakat, yang dihadapinya, kemudian serakah dalam ke
kayaan mengumpulkan harta benda tak dapat tidak membuat orang-
orang miskin menaruh dendam dan dengki, kecintaan kepada keduduk
an dan nama acapkali melupakan seseorang kepada keadilan dan rasa
persaudaraan, mencintai dunia yang berlebih-lebihan pasti dapat melu
pakan seseorang kepada Allah nya dan amal kebajikan, takabur akan
dicemoohkan orang, ujub dan ria akan menimbulkan sifat munafik dan
hidup yang tidak jujur, demikianlah selanjutnya ma'siat bathin itu de
ngan tidak langsung menciptakan manusia-manusia yang jahat dalam
masyarakat, dan manusia-manusia yang ingkar kepada Allah nya.
Kedua macam ma'siat ini dapat membawa manusia-manusia kepa
da kecelakaan. Oleh sebab itu Ghazali menamakannya muhlikat, sifat-
sifat yang merusak binasakan manusia. Dan oleh sebab sifat-sifat itu
sebenarnya berasal dari dalam hati manusia, sebab amal perbuatan
jahat itu digerakkan oleh thabi'at-thabi'at hati yang sakit, maka Gha
zali menamakannya juga amradhuul qulub, yaitu penyakit-penyakit
hati.
Penyakit-penyakit itu harus diobati, dan obatnya itu tidak lain da
ripada menunjukkan sebab-sebab penyakit itu, menginsyafkan akan aki-
bat-akibat yang berbahaya, melatih membersihkannya serta mengemba-
likan kepada keadaan suci semula, kemudian barulah mengisikannya
dengan sifat-sifat yang baik, yang dapat menumbuhkan amal-amal per
buatan yang baik pula, sehingga manusia itu menjadi manusia yang
berbahagia. Usaha-usaha ke arah ini dengan segala sifat-sifat dan ajar
an yang baik oleh Ghazali dinamakan munjiyat, tingkah-laku yang
dapat membahagiakan manusia.
Ghazali menerangkan, bahwa sebagaimana Allah menempatkan
dalam hati manusia pembangkit, ba'is, yang diperlukan oleh manusia
untuk mendapat manfa'at, seperti syahwat, atau untuk rnenolak muda-
rat, seperti ghadhab, muharrik, naluri yang dapat menggerakkan ang-
gauta manusia untuk melaksanakan sesuatu maksud, dan mudrik, pan-
ca indera yang dapat mengenai segala sesuatu, seperti, penglihatan,
pendengaran, pembauan, rasa, demikianlah juga Allah mengadakan
pengawas dalam dirinya, jundun, yaitu ilmu, hikmat dan akal pikiran.
Dengan ilmu, hikmat dan akal pikiran itu manusia dapat membedakan
205
mana yang buruk dan mana yang baik, mana yang berbahaya dan
mana yang dapat membawa bahagia.
Lalu manusia itu melihat dengan ilmu dan akal fikirannya itu, bah
wa tidak ada lain jalan melainkan tunduk kepada petunjuk-petunjuk
yang telah diberikan Allah untuk menyelamatkan manusia itu. Petun
juk-petunjuk itu yaitu perintah-perintah Allah yang harus di-
tha'ati dan dilaksanakan. Sebagaimana dalam ma'siat, tha'at ini pun
terbahagi atas dua bahagian, tha'at lahir dan tha'at bathin.
Yang dimaksudkan dengan tha'at lahir ialah melakukan seluruh
amal ibadat yang diwajibkan Allah , seperti mengucapkan dua kalimah
syahadat, melakukan sembahyang atau shalat, berpuasa atau shaum,
mengeluarkan segala macam zakat, dan membahagikan kepada fakir
miskin atau mereka yang berhak menerimanya, kemudian mengerjakan
haji ke Mekkah, j ika sanggup melakukannya. Lain dibandingkan itu banyak
lagi pekerjaan yang termasuk tha'at lahir, yaitu mematuhi segala hu-
kum-hukum Allah pergaulan antara ma