ilmu tarekat mistik 6

Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 6. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

ilmu tarekat mistik 6


 




uan hamba puasa menahan diri dari dunia ini, dan jadikanlah buka 

puasamu itu berarti mati buat tuan hamba". 

Muhammad bin Ka'ab berkata : " J ika tuan hamba ingin terlepas 

dari azab Allah , menurut pendapat hamba, hendaklah tuan hamba itu 

174 

menjadikan diri ayah orang Islam terbesar, menjadikan saudara orang 

Islam menengah, dan menjadikan anak orang Islam kecil. Maka besar-

kanl ayah tuan hamba itu, muliakanlah saudara tuan hamba itu, dan 

cintailah anak-anak tuan hamba i tu!" 

Raja' bin Hiwan bersabda : " J ika tuan hamba ingin terbebas dari­

pada azab Allah  pada hari kemudian, hendaklah tuan hamba mencin­

tai orang-orang Islam itu sebagaimana mencintai diri tuan hamba sen­

diri, dan membencinya dengan apa yang tuan hamba benei, kemudian 

bolehlah tuan hamba mati menutup mata". 

" M a k a nasehatku kepadamu, wahai Harun" , berkata Fudhail ibn 

Iyad selanjutnya, "aku ini sangat takut dengan dirimu pada hari ke-

dudukanmu tergoyah. Apa adakah orang yang akan menyampaikan 

kepadamu nasehat-nasehat seperti i tu?" 

Maka menangislah Harunur Rasyid tersedu-sedu sampai ia terpak-

sa menutup mukanya dengan kedua belah tangannya. Tatkala Fadhal 

meminta supaya Fudhail ibn Iyadh memperlunak kecamannya terhadap 

Khalifah, Ibn Iyadh berkata dengan lancang : "Engkau dengan saha-

batmu membunuh dia, apakah sekarang aku harus berlunak diri terha-

dapnya?" 

Sesudah Khalifah tenang kembali dan meminta ditambah lagi nase­

hat itu, maka Ibn Iyadh meneruskan : "Wahai , Amirul mu'minin! Per­

nah disampaikan kepadaku suatu ceritera, bahwa ada seorang pegawai 

pengecam Umar bin Abdul Aziz . Maka Khalifah ini menulis surat ke­

padanya : Wahai saudara, saya peringatkan dikau dengan kekurangan 

tidur orang-orang yang disiksa dalam neraka, penderitaan ini tidak ada 

habisnya. Mudah-mudahan engkau tidak dapat nasib malang yang de­

mikian i tu . " Sesudah ia membaca surat itu ia kembali lagi kepada Kha­

lifah. Atas pertanyaan Khalifah, mengapa ia datang, ia menjawab : 

"Surat tuanku itu sangat membekasi hati saya, sehingga saya tidak 

ingin kembali ke desa itu sampai saya menemui Allah  Azza wajalla". 

Untuk memenuhi permintaan yang kedua Ibn Iyadh menceritera­

kan bahwa datanglah kepada Nabi pamannya Abbas, meminta agar ia 

diangkat menjadi raja dalam suatu wilayah. Nabi berkata : "Wahai 

paman! Adakah engkau tahu, apakah arti kerajaan itu? Kerajaan itu 

ialah kerugian, kesebalan dan penyesalan di hari kiamat. Jika engkau 

sanggup, berusahalah agar engkau jangan menjadi raja. Perbuatlah 

175 

yang demikian i t u " . 

Kemud ian Ibn Iyadh menghadapkan pembicaraannya kepada H a -

run , sambil katanya : " W a h a i , kekas ihku, engkaulah yang akan d i -

tanyai dan d i r imulah akan d imin ta pertanggungan jawab terhadap ma­

nusia ini pada hari kiamat . M a k a oleh sebab  i tu , j i k a engkau sanggup 

takuti lah T u h a n m u , jauhlah pagi dan petang sesuatu yang yaitu  

tipuan terhadap r a k y a t m u " . 

M a k a menangislah pulalah H a r u n terkenang akan nasibnya. Sesu­

dah tenang ia bertanya kepada Ibn Iyadh ; " A p a k a h engkau mempu­

nyai u t ang?" Jawabnya : " S a y a punya utang untuk T u h a n k u tidak ter-

hitung banyaknya. Ce laka lah saya, j i k a d imintanya; celakalah saya j i k a 

di tagih; dan celakalah saya j i k a saya tidak beri i lham menyampaikan 

hajat tujuan s a y a " . Ta tka l a H a r u n menerangkan, bahwa yang dimak-

sudkan dengan utang itu ialah utang sesama manusia , Ibn Iyadh ber­

kata : " T u h a n k u tidak menyuruh daku berbuat demik ian . T u h a n k u 

berkata : A l l a h itu satu-satunya yang memberi rezeki kepada hamba-

N y a " . D a n tatkala H a r u n hendak member ikan seribu dinar untuk biaya 

h idupnya, biaya keluarganya, yang d ika takannya untuk menguatkan ia 

berbuat ibadat. Ibn Iyadh berkata : "Subhana l l ah ! Saya menunjukkan 

kamu kepada ja lan yang benar, dan kamu tega membalasnya itu de­

ngan penghinaan i n i " . 

Sebuah ceritera lagi mengenai toleransi K h a l i f a h Ha runu r Rasy id , 

diceriterakan oleh Sa ' i d b in Sula iman sebagai pengalamannya. Ta tka la 

ia naik H a j i ke M e k k a h bersama A b d u l l a h bin A b d u l A z i s A l - A m r i ia 

menemui H a r u n u r Rasy id . Ta tka l a ada seorang berteriak menyuruh 

menyingkir sebab  K h a l ' f a h akan lewat, A l - A m r i berkata : " T i d a k la-

yak aku minta terima kasih kepadamu, sebab  engkau menyusahkan 

aku yang tidak pada tempatnya" . Kemud ian di turut inya rombongan 

Kha l i f ah i tu dari M a r w a h ke Safa, dan tatkala dekat ia berteriak : " Y a , 

H a r u n ! " M a k a jawabnya : " L a b b a i k a , ya A m r i ! " A m r i menyuruh ia 

menaiki bukit Safa, dan melayangkan pandangannya ke K a ' b a h , yang 

sedang dike l i l ingi ratusan r ibu manusia. Kepada H a r u n ia bertanya : 

" K a m u lihat, betapa banyak manusia i t u ? " Sesudah H a r u n mengata­

kan , tidak ada yang dapat menghitung mela inkan T u h a n , ujar A m r i : 

" K e t a h u i l a h , wahai saudaraku, bahwa tiap-tiap orang itu di tanya T u ­

han tentang keadaan mereka itu semua, kepadamu akan d imin ta per-

176 

tanggungan jawab mengenai orang banyak itu. Bagaimanakah penda-

patmu? Maka menangislah Harun, sedang Amri menambah kecaman : 

"Tidak, wahai saudaraku : Demi Allah  pertanggungan jawab itu sa­

ngat berat! Jika seseorang sebab  mempermain-mainkan hartanya, ber-

hak dihukum sita dan diawasi, apatah konon jika mengenai diri seorang 

manusia, yang menghambur-hamburkan dan menyia-nyiakan harta 

benda kaum Muslimin yang sekian banyaknya!" 

Baghawi menceriterakan, bahwa Khalifah Harunur Rasyid pernah 

berkata : " A k u tidak suka naik haji setiap tahun, tidak lain yang meng-

halangi aku itu hanyalah seorang laki-laki dari anak Amr i , yang selalu 

memperdengarkan kepadaku sesuatu yang menggelisahkan daku". 

Demikian beberapa contoh-contoh tentang sikap raja-raja terha­

dap wasiat dan nasehat orang-orang Sufi itu, ada yang tidak mau mene-

rimanya, ada yang menerima dengan toleransi, dan ada yang sungguh-

sungguh berterima kasih atas nasehat itu. Meskipun demikian sudah 

menjadi adat dan keyakinan orang-orang Sufi, bahwa mereka dengan 

penuh keberanian harus menyampaikan wasiat dan nasehatnya, meski­

pun diterima atau tidak, meskipun ditolak atau mereka dihukum. De­

ngan demikian kezuhudan raja-raja itu dapat dibagi atas dua keberani­

an, pertama keberanian mereka menghadapi kecaman-kecaman yang 

tajam tapi benar terhadap dirinya, kedua keberanian mereka mende­

ngar nasehat-nasehat ulama-ulama, dengan kemerdekaan penuh untuk 

dituruti atau ditolaknya sesudah itu. 

177 


VIII 

PERBAIKAN JIWA DAN BUDI 

ï . A K H L A K D A N BUDI. 

D a l a m tarekat manapun juga , salah satu dar ipada persoalan yang 

terpenting dalam suluk ialah memperbaiki ahwal dan menuntun mur id 

mencapai maqam yang lebih t inggi, dengan lain perkataan memperbaiki 

akhlak dan bud i . 

Salah satu dar ipada sifat-sifat yang sangat d ianjurkan orang Sufi 

itu misalnya ialah Sabar. Ghaza l i menerangkan bahwa Sabar i tu yaitu 

bawaan dar ipada sesuatu pengertian yang yak in . Y a n g d ika takan Sabar 

olehnya ialah meninggalkan segala macam pekerjaan yang digerakkan 

oleh syahwat, tetap pada pendir ian agama yang mungkin bertentangan 

dengan kehendak hawa nafsu, semata-mata sebab  menghendaki keba­

hagiaan dunia dan akhirat . A p a b i l a kehendak seseorang terlalu keras, 

maka tak dapat tidak kehendak itu membf w a dia kepada keyakinan , 

dan kehendak yang sudah d iyak in i betul-be'.ul d inamakan i m a n . Keya­

kinan bahwa kehendak hawa nafsu itu musuh yang dapat memotong 

jalan kepada T u h a n menyebabkan keteguhan keyakinannya pada aga­

ma . D a n apabila ketetapan yang demik ia r i tu sudah diperoleh maka 

t imbul lah perbuatannya yang bertentangan dengan kehendak hawa naf­

su i tu . 

Y a n g dikehendaki dengan sabar, berkata G h a z a l i selanjutnya, ialah 

beramal menurut tujuan sesuatu keyakinan yang benar, sebab  keya­

kinan itu mengerti sungguh-sungguh, bahwa perbuatan ma'siat itu me-

larat dan ta'at i tu bermanfa 'at , sehingga tidak mungk in ma'siat itu d i ­

t inggalkan dan ta'at itu d i laksanakan mela inkan dengan sabar, maka 

dengan demik ian berarti pula , bahwa pekerjaan ini ialah mene-

179 

gakkan agama dengan menentang hawa nafsunya. 

Pendapat Ghazali ini tentang sabar sebenarnya tidak begitu berbe­

da dengan faham Socrates, yang mengatakan bahwa dasar hidup ialah 

pengetahuan atau pengertian, apabila seseorang mengetahui sesuatu ke­

bajikan, maka diperbuatnya kebajikan itu, sebaliknya apabila ia me­

ngetahui yang dihadapinya itu suatu kejahatan, maka lalu ditinggalkan-

nya kejahatan itu. Seorang ahli filsafat Emile Polak berpendapat, bah­

wa ilmu saja, tidak cukup untuk meletakkan dasar yang utama bagi 

sesuatu kelebihan. Mengetahui sesuatu kewajiban saja tidak cukup un­

tuk menjalankan kewajiban itu dengan baik, orang harus juga mempu­

nyai kegemarannya dan kemauannya yang kuat untuk melaksanakan 

kewajiban itu. Maka oleh sebab  itu Ghazali pun menegaskan bahwa 

dalam menjalankan sabar harus seseorang melihat manfa'atnya, yang 

digemarinya atau dicintainya. 

Imam Ghazali membedakan 'beberapa nama yang diberikan kepa­

da sabar. Jika sabar itu ditujukan untuk menahan nafsu perut dan naf­

su keinginan bersetubuh, sabar itu bernama 'iffah, j ika untuk menahan 

diri dibandingkan  keserakahan kaya, ia dinamakan dhabtun nafs, j ika ia 

berlaku dalam peperangan untuk mencari kemenangan, ia dinamakan 

syaja'ah, j ika ditujukan untuk menahan amarah dan kesal, ia dinama­

kan hilm, j ika ia ditujukan untuk menahan sesuatu penghinaan atau 

kecaman, ia bernama si'atus sadar, j ika ia ditujukan kepada merahasia-

kan sesuatu, ia dinamakan kitmanus sir, dan j ika ia ditujukan untuk 

meninggikan kehidupan, ia dinamakan zuhud, j ika ia ditujukan kepada 

menerima nasib sebagaimana yang ada, maka ia dinamakan qina'ah. 

Sabar itu dibagi menurut hukum atas beberapa golongan yaitu wa­

jib, sunat, makruh, dan haram. Sabar yang dilakukan untuk menjauh­

kan diri dibandingkan  segala yang haram dikatakan wajib, sabar yang di-

derita untuk menjauhkan diri dibandingkan  segala pekerjaan yang makruh, 

dihukum sunat, dan sabar atas segala yang tidak diperkenankan, maka 

hukumnya pun harus dijauhi. Seorang yang menurut agama misalnya 

dihukum potong tangannya, haruslah ia menerima hukuman itu dengan 

sabar, seorang yang diganggu kehormatan keluarganya, maka sabarnya 

itu haram. Dan begitu juga sabar membiarkan isterinya terbuka aurat-

nya dilihat oleh orang yang tidak termasuk muhrimnya, maka sabarnya 

itu makruh. 

180 

Menurut Ghazali sabar itu hendaklah dilakukan dalam sembarang 

waktu, orang harus sabar pada waktu senang, orang harus sabar pada 

waktu susah, bahkan orang yang sabar pada waktu senang lebih tinggi 

nilainya. 

Keta'atan menghendaki sabar, sebab  manusia yang tersendiri 

menghendaki lebih banyak pengawasan atas dirinya dalam mengerja­

kan ibadat. Maka sabar tentang keta'atan itu memiliki  tiga keadaan. 

Yang pertama sebelum ta'at, seperti mengokohkan niat dan ikhlas me­

nahan diri dibandingkan  semua gerak-gerik yang dapat membawa kepada­

nya, membulatkan tekad dan tujuan. Yang kedua pada waktu menger­

jakan sesuatu amal, dilakukan dengan penuh kesungguhan sampai sele-

sai. Dan yang ketiga sesudah selesai mengerjakan amal itu, di antara 

lain-lain tidak merasa bangga dan menampak-nampakkan kepada 

orang, sehingga orang lain melihatnya dengan penuh keheranan. 

Sabar itu dikerjakan demikian rupa sehingga menjadi kebiasaan 

sehari-hari. Terutama dalam menghadapi sesuatu kejahatan yang ringan 

dan mudah dikerjakan, sabar itu menjadi lebih berat sifatnya, seperti 

sabar tentang dosa-dosa yang dapat dengan mudah dilancarkan lidah, 

seperti mengumpat orang, berdusta, bercekcokan mulut, memuji-muji 

diri sendiri dan mengemukakan jasa-jasa yang dikerjakan, baik untuk 

berbangga atau untuk mengadakan sesuatu berbandingan dengan orang 

lain, berkelakar, yang dapat menjadikan penyakit untuk hati, dll . Ber-

sabar atas kesakitan yang diperbuat orang, yaitu utama sekali, dan sa­

bar yang terbesar dan tertinggi nilainya ialah sabar yang diderita terha­

dap bermacam-macam bala, seperti mati salah seorang yang dianggap 

penting untuk kehidupannya, kehancuran segala harta benda dan kehi-

langan kesenangan dan kesehatan. 

Orang-Orang Sufi menganggap, bahwa penderitaan hati dan per-

tumpahan air mata tidak menghilangkan fadilat sabar, sebab  ihwal ini 

yaitu pembawaan manusia, yang hanya dapat berpisah dengan manu­

sia itu apabila ia mati. 

Sabar itu dapat dihasilkan hanya dengan menekan hawa nafsu, 

dan membangkitkan kesungguhan kepada agama. Melemahkan hawa 

nafsu itu dikerjakan dengan mengurangi keperluan kebendaannya, meng­

hilangkan sebab-sebabnya, dan mengekang diri apa yang diingini. Ke­

sungguhan pada agama dapat dibangkitkan dengan memperbanyak amal 

181 

ibadat, dengan berfikir dan merenungkan ceritera-ceritera mengenai sa­

bar dan akibat-akibatnya. 

Dalam Qur'an banyak sekali ada ayat-ayat sabar yang dituju­

kan sebagai nasehat dalam bermacam-macam keadaan. D i antara lain-

lain Allah  berfirman : "Wahai sekalian orang yang beriman, perbesar-

lah sabar dan nasehat-menasehatilah antaramu dengan sabar!" Kata­

nya pula : " K a m i coba di'rimu dengan mendatangkan ketakutan, kela-

paran, kekurangan harta benda, kematian, dan kekurangan buah-buah­

an, namun  akan Kami gembirakan kemudian itu orang-orang yang sa­

bar!" Katanya lagi ; " M i n t a tolonglah kamu dengan sabar dan dengan 

sembahyang, sebab  Allah  itu selalu ada dekat mereka yang sabar". 

Begitu juga dalam Hadis banyak sekali ada keterangan-kete-

rangan yang menyatakan kelebihan sabar dan keutamaannya Ibn Sinan 

menceriterakan bahwa Nabi pernah berkata : "Pekerjaan orang muk-

min itu sangat menakjubkan, sebab  semuanya baik, tidaklah sama de­

ngan pekerjaan orang yang tidak beriman. Seseorang mukmin, apabila 

ia beroleh kesenangan ia bersyukur, dan yang demikian itu baik bagi­

nya". 

Ibn Mas'ud menceriterakan, bahwa sesudah peperangan Hunain 

Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan, di antaranya kepada 

A k r a ' Ibn Habis seratus ekor onta, begitu juga kepada Uyaynah seratus 

ekor onta, sebagaimana kepada orang-orang bangsawan Arab. Pemba­

hagian yang mewah ini menimbulkan iri hati orang-orang Ansar, yang 

lalu mengeritik perbuatan Nabi, yang dikatakan tidak adil. Tatkala ke-

caman ini disampaikan oleh Ibn Mas'ud kepada Nabi berubahlah mata­

nya seketika menjadi merah, seraya katanya : "Jikalau aku dikatakan 

tidak adil, maka siapakah lagi yang dapat dinamakan adil itu. Mudah-

mudahan Allah  memberikan rahmat kepada Nabi Musa, yang mende­

rita lebih banyak dibandingkan  pengikut-pengikutnya yang bodoh dan du-

ngu, sedang ia terus-meneras sabar". Begitu juga Nabi pernah menga­

takan, bahwa besar sesuatu ganjaran Allah  bergantung kepada besar-

nya bala yang diturunkan kepada seseorang, sebab  j ika Allah  men­

cintai seseorang pasti menurunkan cobaan kepadanya, j ika orang itu 

rela menderita, maka Allah  pun rela pula terhadapnya, j ika orang itu 

menggerutu, maka Allah  pun membencinya dan tidak bersenang hati. 

Imam Ghazali dalam mengemukakan fadilat sadaq, mendasarkan 

182 

keterangannya kepada beberapa ayat Qur'an. 

Orang-orang Sufi diwajibkan misalnya benar, jujur dan terus-

terang dalam pemikiran, perkataan dan perbuatannya. Keadaan itu da­

lam ajaran Sufi dinamakan sadaq, dan orang yang bersifat demikian 

bernama siddiq. Ajaran Islam biasa pun memastikan pemeluknya me­

makai sifat ini , dan tidak membolehkan seseorang berdusta, tidak jujur 

atau tidak benar dalam perkataan dan perbuatannya. 

Mari kita bicarakan perbaikan akhlak secara Sufi itu. Saya ambil 

sebagai contoh suatu cara yang umum, yang dinamakan takhalli, tahalli 

dan tajalli. Dengan riyadhah ini pun orang Sufi hendak membawa mu­

rid-muridnya kepada ma'rifatullah, dari muslim biasa kepada mu'min, 

kepada siddiqin, salihin, mutahaqqiqin dan meningkat sendiri kepada 

'arifin, mereka yang mengenai sungguh-sungguh akan Allah nya. 

2. SIFAT-SIFAT Y A N G T E R C E L A . 

(TAKHALLI) 

Membicarakan sifat-sifat yang tercela ini dalam ilmu Sufi lebih di-

pentingkan dan didahulukan, sebab  ia termasuk usaha takhliyah, me-

ngosongkan atau membersihkan diri dan jiwa lebih dahulu sebelum di-

isi dengan sifat-sifat yang terpuji sebagaimana sudah kita bayangkan 

di atas. Sifat tercela ini yaitu terjemahan dibandingkan  bahasa Arab sifatul 

mazraumah, artinya sifat-sifat yang tidak baik, yang dapat membawa 

seseorang manusia kepada pekerjaan-pekerjaan atau akibat-akibat yang 

membinasakan. 

Oleh sebab  itu oleh Ghazali memasukkan pembicaraan ini ke da­

lam pembicaraan mengenai muhlikat, artinya segala sesuatu yang dapat 

membawa manusia kepada kebinasaan, dan oleh sebab  itu sifat-sifat 

ini dibaginya atas penyakit lidah afatul lisan, dan penyakit hati, 

afatul qulub. Segala sifat-sifat yang buruk itu dinamakan kehinaan, 

razilah, dengan demikian ia menamakan marah razilatul ghazab, ke­

hinaan dengki razilatul hasad, dan sebagainya. Sebaliknya untuk sifat-

sifat yang baik, sifatul mahmudah, digunakan istilah kelebihan, fadhi-

lah, kelebihan, dan dengan demikian sifat benar, dinamakannya fadhi-

183 

latus sadaq, sifat sabar d inamakan fadhilatus sabar, kelebihan sabar, 

dan sebagainya. 

Saya pakai untuk sifat-sifat golongan siatul mazmumah terjemah 

sifat-sifat tercela, untuk sifat-sifat golongan sifatul mahmudah terje­

mah sifat-sifat terpuji . 

Perkataan muhlikat dari Ghaza l i dapat k i ta terjemahkan kebinasa-

an, dan perkataan munjiyat yang menjadi lawannya, dapat k i ta terje­

mahkan kemenangan atau kejayaan. 

D i antara sifat-sifat yang tercela, yang berasal dar i j i w a manusia, 

ialah hasad, haqad, kibir, ujub, bukhul, riya, hubbul jan, hubbul mal, 

hubbur riyasah, tafakhur, ghadhab, ghibah, namimah, kizb, syarhul 

kalam, syarbul tha'am, hubbud dunia. 

Hasad d iar t ikan membenci n i 'mat T u h a n yang dianugerahkan ke­

pada orang la in dengan keinginan agar n i 'mat orang la in i tu terhapus. 

Hasad yaitu  salah satu sifat j i w a yang kej i , tidak dapat dihi lang-

kan dengan tidak beroleh d id ikan dan lat ihan secara Su f i . N a b i ber­

kata : " H a s a d itu memakan segala kebajikan sebagaimana api mema­

kan segala kayu b a k a r " . Oleh sebab  itu bagi orang Sufi tidak ada ke­

jahatan yang lebih berbahaya dar ipada hasad i tu . Sebelum orang yang 

hasad itu mencapai maksudnya , ia lebih dahulu telah membinasakan 

di r inya dengan l ima akibat , pertama menderita duka-ci ta yang berlarut-

larut, kedua menderita kecelakaan yang tak dapat d i to long, ketiga ber­

oleh celaan orang k i r i kanan, keempat beroleh amarah T u h a n , dan ke-

lima di tutup untuknya pintu hidayat dan taufiq. Hasan Basri berkata : 

" W a h a i anak A d a m , janganlah engkau hasad atau dengki terhadap 

saudaramu, sebab  j i k a ia beroleh kemuliaan dar ipada T u h a n , maka 

t idaklah layak engkau dengki terhadap orang yang telah d imul i akan 

oleh Allah  i tu , sebaliknya j i k a ia beroleh sesuatu bukan dari T u h a n , 

apakah layak engkau dengki atau iri hati terhadap orang yang akan 

pergi masuk ne r aka?" A d a orang Sufi berkata : "Seseorang yang mem­

punyai tiga macam kelakuan tidak diperkenankan do ' anya , pertama 

ia gemar makan haram, kedua banyak mengumpat orang la in , ketiga 

terselip barang sedikit hasad atau dengki dalam hatinya terhadap orang 

Islam. 

D a l a m pada itu hasad yang tidak berarti dengki terhadap ni 'mat 

yang d ikurn ia i kepada orang l a in , t idak pu la untuk menghi langkannya, 

184 

namun  sekedar mendorong cita-cita untuk berbuat sesuatu, sehingga ber­

oleh kurnia sifat yang terpuji dan beroleh pahala di hari akhirat, sifat, 

ini dinamakan munafasah atau ghirah. 

Ghazali mengatakan, bahwa hasad itu haram hukumnya, yaitu 

hasad yang memiliki  tujuan menghilangkan sesuatu ni'mat pada diri 

orang lain dan mengharapkan datang celaka kepada orang lain itu. 

Adapun munafasah, yaitu keinginan agar memperoleh ni'mat seperti 

orang lain itu dengan tidak menghendaki kebinasaan terhadap orang 

itu, menurut Ghazali tidak haram. 

Berlainan dengan hasad ialah sifat haqad, yaitu dengki yang sudah 

'membuahkan permusuhan, kebencian dan memutuskan silaturrahmi, 

yang demikian itu yaitu sifat yang paling buruk dan sangat tercela, 

menurut Rasulullah besar sekali dosanya, sebab  orang yang demikian 

itu telah termasuk ke dalam golongan orang yang memisahkan dirinya 

dari sesama Islam, dan membuka aib dan rahasia sesama saudaranya, 

sehingga baginya tidak ada tempat lain selain dibandingkan  neraka. 

Kibir dalam bahasa Indonesia diucapkan takabur, artinya membe-

sakan diri di hadapan mata orang lain. Penyakit jiwa ini dapat memba­

wa manusia ke dalam neraka. Nabi berkata : "Tidak akan dapat masuk 

surga seseorang yang dalam hatinya ada takabur meskipun sebesar biji 

sawi". Orang yang takabur itu sama derajatnya dengan iblis, yang juga 

takabur tatkala disuruh Allah  sujud kepada Adam. Oleh sebab  itu 

banyak sekali ayat-ayat Qur'an memperingatkan, agar manusia jangan 

takabur, sebab  orang takabur itu tempatnya dalam neraka, dalam ke­

adaan hina yang abadi. Nabi berkata, bahwa orang-orang yang perkasa 

dan takabur itu berkumpul pada hari kiamat sebagai kumpulan semut, 

yang diinjak orang sebab  sangat hinanya. Dalam kitab "Hidayatus 

Salikin", karangan Syeikh Abdus Samad Palembang (Cet. Bombay, 

1352 H.), dikatakan bahwa yang dikatakan kibir atau takabur itu ialah 

sifat seseorang yang merasakan dirinya lebih tinggi, lebih besar dan le­

bih mulia dibandingkan  orang lain, kesombongan itu kelihatan nyata pada 

tingkah-lakunya atau dari perkataan yang diucapkannya, bahwa orang 

lain itu buruk dan dialah yang baik dan tinggi dalam segala-galanya. 

Ujub tidak lain dibandingkan  takabur yang tersimpan dalam hati sese­

orang, bahwa ialah yang sempurna dalam ilmu dan amal, sedang orang 

lain tidak demikian, Nabi memperingatkan bahwa sifat ini yaitu sifat 

185 

buruk dengan katanya : " A d a tiga perkara yang dapat mencelakakan 

seseorang, pertama k ik i r yang d iambi l orang menjadi contoh, kedua 

hawa nafsu yang diperturut i , dan ketiga ta ' jub seseorang akan d i r inya . 

A j a r a n ini d i antara la in d igunakan untuk melenyapkan sifat 

sombong dan berbangga d i r i , tafakhur, pada manusia , yang yaitu  

juga sumber dengki dan sumber perpecah'an antara manusia . Ta fakhur 

yaitu berbangga-bangga dengan kemul iaan dan keturunan, yang sangat 

dicela oleh N a b i : " A l l a h telah mewahyukan kepadaku, agar aku hidup 

merendah d i r i , tawadhu', dan oleh sebab  itu janganlah ada d i antara 

kamu seorang berbangga atau tafakhur terhadap orang l a i n " . Kebang-

gaan yang di tonjol - tonjolkan, baik melalui harta benda, baik melalui 

keturunan, maupun berkenaan dengan ibadat atau jasa, menurut orang 

Sufi harus d i lenyapkan, sebab  ia termasuk ma'siat bathin yang berba-

haya. 

Selanjutnya dianggap ma'siat bathin ialah ghadhab, yaitu marah, 

yang menurut orang Suf i disebabkan sebab  kepenuhan darah hat i , dan 

bertujuan membalas dendam. 

Bahwa sifat ini sangat jahat akibatnya ternyata dari nasehat-nase-

hat yang pernah d iber ikan N a b i berulang-ulang, d i antara la in dihadap-

kan kepada M u ' a w i y a h : " W a h a i M u ' a w i y a h j auhkan olehmu sifat 

amarah, sebab  amarah itu dapat merusakkan iman seseorang, sebagai­

mana j adam yang pahit merusakkan madu yang m a n i s " . N a b i mene­

rangkan pula bahwa amarah itu berasal dari syaithan, sebab  syaithan 

itu d i jad ikan dar ipada ap i , dan bahwa api hanya dapat d ibunuh dengan 

air, maka oleh sebab  itu N a b i menasehatkan agar orang yang sedang 

marah i tu segera mengambil air sembahyang. D a l a m suatu Had i s Q u d -

si , T u h a n menerangkan " W a h a i anak A d a m , sebutlah n a m a - K u , apa­

bi la engkau marah agar A k u ingat pula akan d i k a u , dengan demikian 

apabila aku marah , t idaklah A k u menurunkan malapetaka a t a smu" . 

M a k a oleh sebab  itu da lam ki tab-ki tab Suf i k i ta dapati uraian, 

bahwa salah satu dar ipada amal yang terbaik ia lah tahan d i r i , hilm, tat­

ka la marah , dan sabar, tatkala keinginan hawa nafsu meluap-luap. M e ­

reka j ad ikan alamat, bahwa orang yang baik itu harus kelihatan ke-

ba ikannya pada wak tu marah , bukan pada waktu girang. 

Di terangkan rasa takut kepada T u h a n dapat menghi langkan ma­

rah, sebab  amarah i tu datang, apabi la seseorang melupakan Allah -

186 

nya. Allah  lah yang berhak marah, apabila seseorang berbuat salah 

atau ma'siat , kemarahan T u h a n dapat menghancurkan segala yang ada. 

D a l a m mengajarkan sifat-sifat ini orang Sufi selalu menggunakan 

ceritera-ceritera yang j i t u , baik yang dipetik dari kehidupan N a b i dan 

sahabat-sahabatnya, baik yang d iambi l dari kehidupan orang-orang : 

ar i f in atau wal i -wal i yang la in . Dengan demikian ki ta bertemu ceritera-

ceritera mengenai Imam S y a f i ' i , yang sebab  tinggi budi dan luas i l m u -

nya dengan mudah dapat menahan marah , ceritera Juna id A l - B a g h d a -

d i , yang dis i ram orang seluruh badannya dengan air bekas cucian ikan 

tatkala ia keluar dari rumah. 

Selanjutnya sifat riya yaitu  juga suatu sifat keangkuhan. R i a 

ar t inya meminta agar ia dipuj i orang dan d ikagumi dalam ibadatnya. 

A m a l yang dikehendaki oleh Islam dan dipuji-puji oleh N a b i yaitu 

amal sal ih, yaitu amal ibadat yang tidak bercampur ria atau menimbul -

kan kekaguman dalam hati orang yang melihatnya. 

N a b i memperingatkan : " D i antara ketakutan yang saya takut i sa­

ngat terhadapmu ialah syirk k e c i l . " Orang bertanya, apakah yang d i -

maksud dengan syirk kecil i tu . N a b i menjawab, bahwa " Y a n g kumak-

sudkan, dengan syirk kecil itu ialah r i a " . Pada hari kiamat T u h a n ber­

kata kepada mereka yang menaruh ria da lam hat inya, yaitu pada ket ika 

T u h a n akan membalas amal manusia : " H a i kamu orang r ia! Pergi lah 

kamu kepada mereka yang mengagumi k a m u dan l iha t lah , apakah ka­

mu akan mendapat balasan dar ipada mereka terhadap amal ibadat-

m u " . Oleh sebab  itu segala ibadat yang d i l akukan menurut pendapat 

orang Sufi haruslah dibebaskan dar ipada r ia , segala ibadat itu haruslah 

yaitu  amal yang ikhlas , yang melulu di tujukan kepada T u h a n , 

tidak untuk dipuj i atau d ikagumi oleh manusia . 

Sebuah Hadis yang berasal dari M u ' a z menceriterakan secara pan­

jang lebar, bagaimana amal ibadat seseorang disaring demik ian rupa 

daridapat sifat takabur, r ia , hasad dan ujub, sebelum di ter ima T u h a n . 

Ceri tera i tu telah menumpahkan air mata M u ' a z sebab  tidak mudah 

mendapatkan suatu amal yang ikhlas dengan tidak bercampur ujub, 

ria dan takabur. Oleh sebab  itu Rasulul lah sering memperingatkan, 

bahwa T u h a n tidak akan menerima sesuatu amal , yang di da lamnya 

bercampur r ia , meskipun sebesar bi j i sawi . 

M u h a m m a d A m i n A l - K u r d i membagi ria i tu atas dua macam, per-

187 

tama ria muhadh, yaitu keadaan seseorang yang menghendaki dengan 

amal akherat mendapat manfa'at di dunia, kedua ria takhlith, yaitu 

keadaan sesuatu amal ibadat, di mana orang menghendaki dunia dan 

akherat. Kedua-dua macam amal ibadat yang bercampur ria itu tidak 

dapat diterima Allah . 

Kiki r dan cinta kekayaan, bukhul dan hubbul mal, biasanya ham-

pir seiring. Orang kaya yang pemurah dipuji dan dicintai orang, seba­

liknya orang kaya yang kikir atau mata duwitan acapkali menimbulkan 

kebencian orang, bahkan mengacaukan kerukunan yang baik dalam se­

suatu masyarakat. Oleh sebab  itu orang Sufi sangat memperhatikan 

hal ini , dan Ghazali berkata : " K i k i r itu berasal dari cinta harta benda, 

dan oleh sebab  itu termasuk sifat yang tercela. Orang yang tidak mem­

punyai harta benda biasanya tidak kikir. namun  orang yang pemurah, 

yang mencintai harta benda pula, supaya dipuji orang kemurahannya, 

itu pun tercela pula. 

Kecintaan kepada harta benda atau kekayaan mencegah orang lupa 

kepada Allah , dan membuat hatinya sangat terikat kepada dunia, ma­

ka oleh sebab  itu sifat-sifat ini tercela dalam agama". 

Allah  memperingatkan keburukan ini dengan firman-Nya : "Ja­

nganlah orang yang kikir dengan pemberian Allah  yang berlimpah-

limpah menyangka bahwa yang demikian itu baik bagi mereka, namun  

sebaliknya yang demikian itu yaitu  kejahatan baginya, sebab  

pada hari kiamat ia akan dipikulkan kekikiran itu sebagai suatu beban 

yang amat berat di atas pundaknya'". Oleh sebab  itu Nabi kita selalu 

melarang : "Jauhkanlah dirimu dibandingkan  sifat kikir, sebab  yang demi­

kian itu telah banyak membinasakan orang-orang sebelum kamu". Pa­

da suatu hari Rasulullah ditanya orang, siapakah yang layak dinama­

kan orang kikir dan siapakah yang layak disebut orang pemurah. Lalu 

ia berkata : "Orang pemurah itu ialah orang yang mengeluarkan hak-

hak Allah dibandingkan  hartanya, dan orang kikir itu ialah orang yang ti­

dak sedia mengeluarkan hak-hak Allah itu, tidaklah dapat dinamakan 

orang pemurah, j ika ia mengumpulkan harta bendanya dengan jalan 

haram, dan mengeluarkan secara mewah". 

Nabi pernah berkata pula : "Seorang pemurah yang jahil lebih di­

cintai Allah dibandingkan  seorang abid yang kikir. Allah  tidak meniadikan 

seseorang wali, kecuali kalau ia pemurah dan baik perangainya". Nabi 

188 

berkata pula : " K e c i n t a a n kepada harta benda dan kemuliaan dapat 

menumbuhkan munaf iq da lam hati seseorang, sebagaimana air menum-

buhkan sayur-sayuran" . 

Menc in ta i kemasyhuran dan kenamaan, yang dalam baha.-,a A r a b 

disebut Hubbul jah, hubbur riyasah, bagi orang Sufi sangat tercela, ka­

rena kedua-duanya membawa kepada cinta keduniaan, hubbu dunia, 

yang sebenarnya sangat bertentangan dengan tujuan Suf i . Ghaza l i ber­

kata, bahwa yang d inamakan jah itü ialah mencari kemasyhuran dengan 

sengaja untuk membesarkan d i r i yang dianggapnya sangat tercela, teta­

pi kemasyhuran yang diperolehnya sebab  amal-amalnya yang ikhlas 

baik di dun ia maupun d i akherat, tidak termasuk ke dalam sifat yang 

tercela. A l i b in A b i Tha l i b menasehatkan : " H e n d a k l a h engkau selalu 

merendahkan d i r i m u , jangan mencari kemasyhuran, jangan mengang-

kat-angkat d i r imu dengan membangga-banggakan i l m u pengetahuanmu 

dan la in- la in , biasakan tenang dan berdiam d i r i , agar engkau selamat 

dar ipada segala kejahatan, agar engkau disukai oleh orang-orang salih 

dan menjengkelkan hati orang-orang yang f a s ik" . 

M e m a n g yang demik ian i tu telah yaitu  dasar pendidikan Su­

f i , yang hanya menghendaki akhirat belaka. M e r e k a ingin menyesuai-

kan di r i dengan f i rman T u h a n pada waktu melukiskan keindahan 

akhirat i tu : " D e m i k i a n l a h negeri akhirat ini K a m i j ad ikan untuk mere­

ka , yang tidak ber laku tinggi hati di bumi dan tidak pula berbuat bina-

sa, semua balasan yang baik itu d iun tukkan bagi mereka yang t a q w a " . 

Oleh sebab  itu orang Sufi menganggap cinta dunia i tu pokok segala 

kejahatan, dan dunia itu neraka bagi orang m u ' m i n dan menamakan 

surga bagi orang kafir . D u n i a hanya dianggapnya sebagai sebuah ke-

bun , tempat berusaha untuk bekal pembawaan ke akhirat . 

Banyaklah alasan-alasan yang d ipaka i oleh orang Suf i , sebahagian 

dar ipada Q u r ' a n , dan sebahagian terambil dar ipada Had i s , untuk me­

nunjukkan agar orang tidak terlalu melekatkan cintanya dan keabadi-

annya kepada dunia , yang dianggapnya sumber la 'nat , sumber kemela-

ratan, m i m p i dan bayang-bayangan yang fana belaka. 

Ghaza l i menguraikan panjang lebar tentang ghadhab atau amarah 

itu dalam ki tabnya "Ihya Ulumud Din", bahagian muhl ika t , sifat-sifat 

yang dapat membinasakan manusia, dan menghubungkannya dengan 

hasad dan haqad. 

189 

Tidak saja mengenai alasan-alasan, namun  juga mengenai hakikat 

ghadhab, cara menghi langkannya dan nasehat-nasehat yang berfaedah 

mengenai penyakit hati yang jahat i n i . 

Ghibah dapat k i ta ar t ikan dalam bahasa Indonesia mengumpat, 

menceriterakan segala sesuatu tentang dir i orang lain dengan maksud 

mengejek atau menghina, sehingga j i k a orang itu mendengar tak dapat 

tidak ia akan marah. J i k a ceritera itu menyimpang dari yang sebenar­

nya maka ia bernama buhtan, yaitu dusta, yang juga berdosa. 

G h i b a h in i terlarang, sebagaimana ini dalam Q u r ' a n : " J a ­

nganlah. kamu umpat-mengumpat! A p a k a h ada di antara kamu yang 

hendak memakan daging saudaranya yang m a t i ? " N a b i berpesan : Ja-

uhkanlah d i r imu dari umpat dan gunjing, sebab  ia lebih jahat dari 

z ina . Seorang yang berzina, j i k a ia taubat, maka A l l a h akan mengam-

puninya , namun  seorang yang mengumpat tidak akan d iampuni T u h a n , 

sebelum orang yang diumpat itu mengampun inya" . 

Dicer i terakan pada suatu hari datang seorang kepada N a b i mena-

nyakan beberapa soal . Orang itu yaitu seorang perempuan yang ge-

gemuk pendek. Perempuan itu dengan perawakan tubuhnya yang demi­

k i an , menarik perhatian Sit t i A i s y a h , sehingga pada waktu perempuan 

itu sudah meninggalkan N a b i , ia berkata : " A l a n g k a h gendut dan pen-

deknya perempuan i t u ! " Dengan muka yang masam N a b i berkata : 

"Pe rka t aanmu itu tidak baik, hai A i s y a h ! " A i s y a h menjawab : " Y a 

Rasulul lah aku berkata sebenarnya" ujar N a b i : " J i k a engkau tidak 

berkata yang sebenarnya engkau sudah berdusta dengan segala dosanya 

p u l a " . 

M e m i n d a h k a n perkataan dari seorang kepada seorang dengan 

maksud mengadudombakan orang atau merusakkan hubungan baik-

nya, d inamakan namimah. Da lam Q u r ' a n di larang berlaku demikian 

itu : " Jangan lah engkau ikut orang, yang banyak bersumpah lagi hina 

dina , suka mencaci orang la in , berjalan kian ke mari mengadu d o m b a " . 

(Qur ' an L V I I I : 10 — 11). 

Nab i menceriterakan, bahwa orang yang melakukan namimah itu 

tidak akan masuk sorga. D a l a m sebuah Hadis yang d i r iwayatkan oleh 

Imam A h m a d , N a b i bertanya kepada sahabat-sahabatnya : " A p a k a h 

aku belum menceriterakan kepadamu tentang hamba A l l a h yang paling 

j a h a t ? " Ta tka l a sahabat mengatakan belum,- N a b i menerangkan bahwa 

190 

orang itu ialah orang-orang Islam yang berjalan kian ke mari dengan 

fitnah, sehingga dapat menceraiberaikan antara saudara-saudaranya 

yang hidup cinta-mencintai, orang yang zalim yang suka membuka aib 

orang lain. Namimah itu haram, dan termasuk dosa besar pada Allah , 

oleh sebab  itu hendaklah orang-orang Sufi menjauhkan diri dibandingkan -

nya. Salah satu sifat yang sangat ditakuti orang Sufi, sehingga dalam 

ajaran-ajarannya sangat ditekankan untuk menjauhinya, ialah kizb 

atau dusta. Allah  selalu memberi la'hat kepada mereka yang dusta dan 

bohong. Nabi pernah memperingatkan : "Hendaklah kamu selalu ber­

laku benar, sebab  benar itu membawa kepada kebajikan, dan kebajik­

an itu membawa kamu masuk surga. Orang-orang yang jujur dan ber­

kata benar ditulis Al lah dalam golongan siddiqin. Oleh sebab  itu jauh-

kanlah dirimu dari berdusta, sebab  dusta itu membawa kepada keja­

hatan, kejahatan itu membawa kamu ke dalam neraka". Orang yang 

selalu berdusta digolongkan Allah  kepada golongan kazzab. Nabi 

memperingatkan bahwa dosa lidah yang terbesar ialah dusta, dan bah­

wa dusta itu hanya dibolehkan dalam tiga keadaan, pertama dalam pe­

perangan, kedua dalam memperbaiki dua orang berselisih, dan ketiga 

dalam menyelamatkan jiwa manusia yang tidak berdosa. 

Ketahuilah, bahwa sidq atau benar itu perhiasan wali-wali, semen-

tara itu kizb yaitu  perlambang orang jahat. Dalam Qur'an terda­

pat banyak sekali ayat-ayat yang melarang orang berdusta, dan meng­

anjurkan orang takut kepada Allah dan jujur serta berkata benar. 

Syarhul kalam atau kasratul kalam artinya banyak berbicara yang 

tidak berfaedah dan tidak mengenai persoalan agama. Banyak berbica­

ra itu tidak digemari oleh orang Sufi, sebab  Nabi melarangnya : "Ja­

ngan kamu terlalu berbanyak bicara kosong, sebab  yang demikian itu 

menutup hatimu dan menjauhkan dirimu dari hati yang gilang-gemi-

lang". Pada kesempatan yang lain Nabi memperingatkan : "Barang 

siapa banyak berbicara, niscaya banyak ia terpeleset. Barang siapa ba­

nyak terpeleset, banyak pula dosanya. Dan barang siapa banyak dosa-

nya, maka nerakalah yang layak disediakan baginya". 

Orang Sufi dalam pendidikannya mengajarkan jangan banyak ber­

bicara yang tidak perlu, bahkan diperintahkan diam dalam segala ke­

adaan, kecuali yang ada faedahnya buat agama atau kepentingan 

umum di dunia. Mereka memperingatkan, bahwa tiap-tiap orang di-

191 

awasi oleh dua Malaikat, Kiraman Kartibin, yang mengetahui semua 

gerak-gerik manusia, dan menulisi tiap perkataan yang diucapkannya 

yang di kelak hari akan dipertanggungjawabkannya kepada Allah . 

Acap kali dalam membicarakannya orang-orang Sufi itu mengemuka­

kan contoh-contoh, misalnya Rabi ' bin Khaisam, yang tiap hari menulis-

kan apa yang diucapkannya di atas sepotong kertas yang selalu dibawanya 

ke mana-mana. 

Ibrahim bin Adham, salah seorang tokoh Sufi terbesar, menceri­

terakan, bahwa ia pada waktu menerima beberapa orang wali yang ber-

kedudukan Abdal, kepadanya dimintanya, agar mereka memberikan 

wasiat, yang dapat dipergunakan Ibn Adham untuk menambah takut-

nya kepada Allah , dan dengan demikian dapat mencapai tingkat Ab­

dal itu. Abdal itu berkata : " K a m i wasiatkan kepadamu tujuh perkara 

ini : Pertama orang yang banyak bicara, hatinya mati, kedua orang 

yang banyak makan tidak akan beroleh hikmah kebijaksanaan, ketiga, 

orang yang terlalu banyak bergaul dengan manusia, tidak akan dapat 

mengecapkan kemuliaan sari ibadat, keempat, barang siapa terlalu 

mencintai dunia, tidak akan memperoleh husnul khatimah, kelima, 

barang siapa jahil dan bodoh, tidak hidup hatinya, keenam, orang yang 

mencari persahabatan dengan manusia yang zalim, tidak akan dapat 

istiqamah, ketenangan dalam agama, dan ketujuh barang siapa meng-

harapkan kerelaan manusia pasti tidak akan memperoleh kerelaan Tu­

han". 

Sebenarnya banyak sekali pekerjaan-pekerjaan dan kelakuan-kela-

kuan yang oleh orang Sufi dianggap tercela, seperti tidak memiliki  

iman dan aqidah yang benar, berbuat segala macam maksiat dan keja­

hatan, meninggalkan taubat, tidak paham tentang ibadat yang wajib 

dan yang sunat dalam Islam, enggan mengerjakan amal-amal yang ba­

ik, khianat, loba thama' menuruti hawa nafsu dalam mengerjakan se­

gala yang haram atau yang makruh, suka mendengar dan melihat yang 

mungkar, suka memaki orang, mela'nati dan melempar kesalahan ke­

pada orang lain, mengeluarkan perkataan yang keji, mengejek menter-

tawakan orang, menghina dan merendahkan orang lain, suka muram 

dan murung, gemar bertengkar dan bersoal jawab, gelisah dan tidak 

sabar, gemar mengusik, tidak puas, tidak bersyukur, berbuat zalim, 

mewah dan tidak hernat, suka bersolek, cinta fitnah, cinta berbuat do-

192 

sa, suka bertangguh-tangguh janji, banyak keinginan, kurang malu, 

beku dan kurang minat, suka merugikan diri orang lain dan masyarakat 

umumnya. Guru-guru diwajibkan mengawasi murid-muridnya, dan 

mencoba menghilangkan penyakit diri dan jiwa itu, amrahul qulub dan 

amradhul nafs, dengan ajaran dan latihan-latihan perbaikannya, yang 

dinamakan riadhatun nafs dan 'ilajul qulub. 

3. SIFAT-SIFAT YANG TERPUJI. 

(TAHALLI) 

Acapkali diartikan, bahwa yang dimaksudkan dengan ibadat hati 

atau tha'at bathin, ialah memakai perangai-perangai yang baik dan 

sifat-sifat yang terpuji, sesudah diri seseorang itu dibersihkan dibandingkan  

sifat-sifat yang tercela. Ghazali menguraikan dalam kitabnya. "Kitab 

Arba'in fi Usulud Din" ada sepuluh macam sifat terpuji itu, pertama 

taubat, kedua khauf atau takut kepada Allah , ketiga zuhud, tidak 

mengingini hidup duniawi, keempat sabar, tahan diri, kelima syukur, 

terima kasih kepada Allah , keenam ikhlas, berbuat sesuatu hanya un­

tuk Allah semata-mata, ketujuh tawakkul, menggantungkan nasib se-

luruhnya kepada Allah , kedelapan mahabbah, mencintai Allah  secara 

tidak terbatas, kesembilan ridha, bersenang diri dengan apa yang diten­

tukan Allah , dan kesepuluh zikrul maut ingat akan mati. 

Untuk dapat mengikuti, bagaimana orang Sufi menjelaskan sifat-

sifat itu sebagai dasar pendidikannya, kita uraikan beberapa buah dari-

padanya di bawah ini. 

Taubat dianggapnya anak kunci bagi kemenangan segala orang. 

Orang yang gemar taubat dikasihi Al lah , sebagaimana ini dalam 

Qur'an "Bahwasanya Allah mencintai orang yang taubat dan mencintai 

orang yang bersih". Rasulullah memuji orang yang sedia menyesali di­

rinya atas perbuatan yang tersesat, dan kembali bertaubat kepada Tu­

han. Katanya : "Orang yang taubat itu dicintai Al lah , orang yang tau­

bat dibandingkan  dosanya seakan-akan orang yang tidak berdosa lagi" . 

Taubat itu diperintahkan Allah dalam Qur'an : "Bertaubatlah kamu 

kepada Allah , wahai sekalian orang mu'min, agar kamu beroleh keme­

nangan". 

Untuk melakukan sesuatu taubat diletakkan tiga syarat, pertama 

193 

harus meninggalkan ma'siat yang dikerjakan itu, kedua harus menyé-

sali diri atas perbuatan ma'siat tersebut, dan ketiga berjanji, bahwa ti­

dak akan kembali lagi kepada kejahatan itu selama-lamanya, yang de­

mikian itu jika ma'siat ini yaitu  suatu dosa antara seseorang 

dengan Allah . namun  j ika dosa yang diperbuat itu berhubungan de­

ngan manusia, misalnya menzalimi orang dengan mengambil hartanya, 

maka ketiga syarat ini ditambah pula dengan syarat keempat, bah­

wa hak orang itu harus dikembalikan lebih dahulu kepada yang punya, 

atau meminta dihalalkan. Jika yang punya harta itu misalnya tidak di-

ketahui lagi tempatnya, atau mati, maka hendaklah hak orang itu di­

kembalikan kepada ahli warisnya, j ika ada, atau disedekahkan kepada 

fakir miskin. 

Begitu juga terhadap kepada dosa-dosa yang lain, seperti mengum­

pat atau memaki orang, hendaklah diminta ampun lebih dahulu kepada 

orang yang bersangkutan itu, kemudian barulah taubat dan meminta 

ampun kepada Allah  atas segala dosa yang dikerjakannya. 

Orang Sufi menamakan Khauf atau takut kepada Allah  itu, per-

hiasan diri orang-orang salih. Ada beberapa perkataan Arab, yang 

hampir sama artinya dengan khauf itu, yaitu rahab, khasyiya', dalam 

beberapa pengertian juga taqwa. Yang menjadi sumber dalil bagi khauf 

ini yaitu beberapa ayat Qur'an, pertama berbunyi : "Pertunjuk dan 

rahmat itu diberikan kepada mereka yang takut kepada Allah nya", 

kedua, berbunyi : " D i antara hamba Allah yang takut kepada Allah ­

nya ialah ulama", ketiga, berbunyi : " A d a hambanya yang rela kepada 

Allah  dan direlai Allah nya, yang demikian itu ialah mereka yang ta­

kut kepada Allah nya i tu" , keempat berbunyi : "Orang yang takut ke­

pada Allah nya dan mencegah dirinya dibandingkan  hawa nafsu, tempat 

orang itu ialah surga", dan kelima firman Allah  yang berbunyi : " B a ­

gi orang yang takut kepada Allah nya, di kelak kemudian hari disedia-

kan dua surga. 

Hidup Zuhud, yaitu meiepaskan diri dibandingkan  kemuliaan dan ke­

senangan dunia, dianggap oleh orang Sufi suatu martabat yang tinggi, 

sebab  hidup yang semacam itu pernah ada pada diri Nabi dan pa­

da diri sahabat-sahabatnya. Nabi pernah memerintahkan : "Hidup zu-

hudlah engkau di atas dunia, agar Allah mencintai kamu dan jangan 

engkau hiraukan apa yang ada pada manusia itu, niscaya manusia itu 

kasih kepadamu". 

194 

Pada lain kesempatan Nabi berkata : "Apabi la Allah  hendak 

memberikan sesuatu kebajikan kepada hamba-Nya, membuat dia hidup 

zuhud, tidak tertarik kepada dunia dan menanam kegemaran kepada 

dirinya untuk akherat, serta membuka matanya melihat kekurangan-

kekurangan yang ada pada dirinya". Begitu juga Nabi pernah 

menceriterakan, bahwa orang yang hidup zuhud di dunia akan diberi-

kan Allah hikmah dalam hatinya petah lidahnya, dan diberi pengetahu­

an mengetahui penyakit dunia dan obat-obatnya, dan akhirnya ia akan 

diantarkan dengan selamat ke dalam surga. 

Ghazali mengartikan zuhud itu tidak menyukai dunia, sebab  ingin 

memperbanyak tha'at sekuasanya kepada Allah . Selanjutnya zuhud 

itu dalam kehidupan Sufi-sehari-hari dapat kita artikan, membenci ke­

pada dunia, mengurangi makan, memakai pakaian yang buruk, tidak 

menghiraukan kesenangan, kemuliaan, dan kekayaan dunia, dengan 

keyakinan bahwa semua itu tidak abadi, dan bahwa Allah  telah mem-

beli diri dan harta orang mu'min dengan surga. 

Orang yang zahid menujukan seluruh hidupnya untuk akhirat, dan 

oleh sebab  itu mengerjakan ibadah sebanyak mungkin dengan tidak 

memperdulikan kesenangan dirinya. Ia memakan makanan sekedar un­

tuk hidup, dan memakai pakaian sekedar untuk menutupi auratnya. 

Sifat sabar dianggap sifat yang terpuji juga, sebab  Allah  me­

nyuruh yang demikian itu kepada hamba-Nya : "Sabarlah kamu, kare­

na Allah selalu ada bersama orang yang sabar". Juga Allah  berfir-

man : " K a m i akan membalas orang-orang yang sabar itu dengan paha-

la yang lebih baik dari amal mereka". Pada tempat yang lain Allah  

berkata : " K a m i jadikan segolongan umat yang akan beroleh pertun­

juk mengenai perintah Kami, asal saja mereka itu sabar". Memang sa­

bar itu tinggi nilainya, sehingga Nabi menga.akan, bahwa sabar itu se-

tengah dibandingkan  iman, dan sabar itu sebuah perbendaharaan dibandingkan  

perbendaharaan surga. 

Orang-orang Sufi membiasakan sabar itu, sabar dalam berbuat 

tha'at dan ibadat, sabar dalam segala keku-angan, kesusahan dan ke-

hinaan, sebab  sabar itu dianggapnya tha'at bathin. Jadi arti sabar itu 

bagi orang awam tahan atas segala kesusahan dan kesakitan, yang di­

anggapnya semuanya datang dibandingkan  Allah , bagi orang salih meneri­

ma sabar itu dengan hati yang syukur tentang sesuatu kesusahan dan 

195 

kesakitan itu dianggap percobaan dibandingkan  Allah , dan bagi orang yang 

zahid tidak berusaha meiepaskan diri dibandingkan  kesusahan dan kesakitan 

itu, sebab  dianggapnya yang demikian itu sudah tertulis di atas Luh 

Mahfud. 

Sifat sabar ini rapat sekali hubungannya dengan ridha bil qadha', 

artinya rela menerima dengan apa yang telah ditentukan dan dianggap 

ditakdirkan Allah . Sifat ini banyak sekali menumbuhkan orang-orang 

Sufi yang tahan dalam menghadapi segala kekurangan dan kesukaran 

bahkan kadang-kadang sampai sekian jauhnya, melahirkan orang-

orang yang tidak ingin berikhtiar lagi, namun  mereka menyerahkan se­

luruh nasibnya kepada qadha dan qadar dibandingkan  Allah  semata-mata. 

Memang Nabi pernah menerangkan : "Persembahkanlah ibadat-

mu ke haribaan Allah dengan ridha, j ika engkau tidak sanggup, bersa-

barlah engkau atas yang engkau tidak sukai, sebab  yang demikian itu 

lebih baik bagimu". 

Memang banyak yang dibenci oleh manusia mengenai keadaan-

keadaan yang tertimpa atas dirinya, seperti kemiskinan, kekurangan 

harta, kekurangan makan dan minum, penghinaan dan rintangan dari 

orang lain, sabar atas semua itu dan menerima semua itu dengan suka 

hati terpuji bagi orang Sufi. 

Rasulullah berkata : "Apabi la Allah  mencintai seseorang hamba-

Nya, maka hamba-Nya itu diberi bala sebagai percobaan, j ika hamba-

Nya itu rela terhadap percobaan tersebut, maka dipilihnya hamba-Nya 

itu untuk dimasukkan ke dalam golongan orang-orang pil ihan". Dalam 

sebuah Hadis Qudsi Nabi menceriterakan, bahwa Allah  berkata : 

"Aku lah Al lah , tidak ada Allah  lain selain A k u , maka barang siapa 

tidak sabar terhadap keputusan-Ku, tidak bersyukur bagi nikmat-Ku, 

dan tidak rela terhadap keputusan-Ku, hendaklah ia mencari Allah  

yang lain dibandingkan -Ku". 

Ridha atau rela berarti juga beribadat dengan suka hati menurut 

qadha dan qadar Allah  dengan tidak menyangkal sedikit jua pun dari­

pada hukum Allah  yang sudah diadakan bagi manusia. Abu A l i A d -

Daqqaq berkata : "Tidak dapat dinamakan rela hanya dengan menderi­

ta bala bencana belaka, namun  yang dinamakan rela itu tidak berpaling 

sekali-kali dibandingkan  hukum Allah  dan qadha-Nya". Rela akan ma'siat 

dan kufur tidak dapat dinamakan sabar, sebab  Allah  tidak rela bagi 

196 

hamba-Nya yang kufur kepadanya. 

Ghazali menerangkan, bahwa cinta dan rela kepada Allah  terma­

suk derajat wali-wali yang tertinggi di antara sembilan derajat yang la­

in. Memang derajat yang lain diperlukan juga, seperti taubat, zuhud, 

takut kepada Allah , sabar, sebab  taubat itu berarti pulang kembali 

dari penyelewengan yang telah jauh dari pokok pangkal berbuat keba­

jikan kepada Allah , sebab  zuhud itu meninggalkan segala yang dapat 

mengacaukan dan membimbangkan hati dibandingkan  berbuat kebajikan, 

sebab  takut itu yaitu  cambuk yang dapat menghalaukan manu­

sia meninggalkan segala ma'siat dan kebimbangan, dan sebab  sabar 

itu yaitu  jihad menghadapi hawa nafsu untuk kembali pulang 

kepada Allah , namun  derajat yang tertinggi sebagai buah seluruh usaha 

itu ialah mahabbah dan ridha, kecintaan dan kerelaan sepenuh hati ke­

pada Allah . Kedua-duanya tidak menjadi alat, namun  menjadi hasil 

dan tujuan dibandingkan  jihad atau perjuangan orang salih yang hendak 

menemui Allah nya. 

Untuk mencapai tingkat yang tinggi itu orang diajarkan juga ber-

terima kasih, syukur, kepada Allah , sebab  syukur akan nikmat Tu­

han itu yaitu  sifat yang terpuji bagi hamba-Nya, sedangkan kufur 

atau menentang Allah  yaitu  azab yang sangat pedih. 

Dalam Qur'an Allah  berkata : " J ika engkau bersyukur kepada-

K u , akan A k u tambah nikmat-Ku, namun  jika engkau kufur kepada-Ku, 

ketahuilah bahwa azab-Ku akan sangat pedih". Berulang-ulang Allah  

memperingatkan dalam Qur'an supaya manusia bersyukur kepada-Nya, 

yang akan dibalasnya dengan ganjaran yang lebih banyak, dan jangan 

kufur, sebab  akibatnya sangat merugikan bagi manusia yang angkuh 

dan sombong itu. Seorang yang makan sambil bersyukur kepada Allah  

samalah kedudukannya dengan orang puasa yang sabar. 

Rasulullah pernah berceritera, bahwa pada hari kiamat diadakan 

panggilan khusus kepada golongan hammadun, maka berdirilah mere­

ka itu berkumpul. Kepada mereka diserahkan sebuah panji-panji ke-

megahan. Lalu .dengan panji-panji itu mereka berangkat masuk surga 

dengan cara yang istimewa. Tatkala orang bertanya kepada Nabi, si­

apakah hammadun itu. Nabi menjawab : "Mereka ialah orang-orang 

yang selalu bersyukur kepada Allah  dalam tiap keadaan". 

Ada tiga hakikat syukur, pertama mengakui bahwa segala nikmat 

197 

itu datang dibandingkan  Al lah , meskipun diterima melalui tangan manusia, 

sebab  manusia itu pada hakekatnya sudah digerakkan meneruskan 

nikmat itu oleh Al lah , kedua membesarkan syukur atas nikmat yang 

telah diberikan Allah  itu, dan ketiga dipergunakan segala nikmat yang 

diberikan oleh Allah  itu kepada kebajikan, misalnya mata untuk me­

lihat Qur'an dan kitab-kitab ilmu pengetahuan, yang menjadi sumber 

agama Islam, melihat langit dan bumi serta makhluknya sebagai dalil 

adanya Allah  yang menciptanya, begitu juga seperti telinga untuk 

mendengar yang bermanfa'at bukan yang haram. Lidah untuk berzikir 

dan mengucap syukur kepada Allah , tangan untuk membantu sesama 

manusia dan mencari rezeki yang halal, dan kaki untuk bepergian ke 

tempat-tempat amal ibadah dan kebajikan. Menyalahgunakan segala 

nikmat Allah  berarti kufur dan mendapat dosa serta azab. 

Sebagai jalan ke arah yang dicita-citakan itu hendaklah orang be­

nar dan ikhlas, sidq dan ikhlas, dalam segala perkataan dan perbuatan­

nya, terutama dalam beribadat, sebagaimana yang diterangkan dalam 

Qur'an : "Kami hanya memerintahkan mereka menyembah Allah itu 

secara ikhlas. Nabi pun memperingatkan, bahwa Allah  pernah berfir-

man dalam Hadis Qudsi : Ikhlas itu yaitu  sebuah rahasia dari­

pada rahasia-rahasia-Ku yang Kutitipkan kepada hamba-Ku yang Ku-

kasihi". Pada kesempatan lain Nabi menyuruh : "Ikhlaskanlah agama-

mu, sebab  dapat memadai engkau dengan amal yang sedikit". Dan ia 

berkata pula, bahwa Allah  yang Maha Kuasa tidak menerima amalan, 

kalau amalan itu tidak dikerjakan secara ikhlas dan dipersembahkan 

semata-mata kepada Allah . 

Ibrahim bin Adham menerangkan, bahwa arti ikhlas itu ialah niat 

yang benar terhadap Allah . Pengertian sidq lebih jauh terdiri dari 

dari enam macam, pertama pada perkataan, kedua pada niat, ketiga 

pada cita-cita, keempat pada janji, kelima pada perbuatan dan keenam 

pada maqam dan kedudukan, kesemuanya itu harus ditujukan kepada 

Allah dan kepada segala kebajikan. 

Salah satu sifat yang dianjurkan orang Sufi, yang agak aneh keli­

hatan pada orang biasa, ialah tawakkul, yang tidak lain artinya melain­

kan tawakkal atau nekat dengan menyerah diri kepada Allah . Dalam 

arti biasa tawakkal itu tidak lebih dibandingkan  sabar sambil berikhtiar, te­

tapi kadang-kadang terjadi dalam kalangan Sufi suatu pengertian lain 

198 

bagi tawakkal itu, pengertian yang lebih mesra, yaitu menyerah diri se-

luruhnya kepada Al lah , sambil meninggalkan segala usaha, sampai 

Allah memberikan sesuatu kepadanya. Dalam ayat Qur'an memang ada 

ini : "Orang yang sungguh-sungguh menyembah Allah, bukan Tu­

han yang lain dibandingkan nya, meskipun mereka tidak memiliki  rezeki, 

Allah akan memberikan rezeki kepadanya". 

Nabi pun pernah berkata : "Jikalau kamu bertawakkal kepada 

Allah sebenar-benarnya, pasti ia akan memberikan kamu rezeki, seba­

gaimana ia mengasih makan burung, yang pagi-pagi lapar pada petang 

harinya ia menjadi kenyang"". 

Ghazali mengartikan tawakkal berpegang kepada Allah dalam se­

gala pekerjaan dan perbuatan, serta percaya dan tetap dalam hati me­

nyerahkan diri kepada Allah itu, sedikit pun tidak berpaling dibandingkan  

kepercayaan itu. 

Ada tiga martabat tawakkal, pertama percaya kepada Allah seba­

gai wakilnya yang sungguh-sungguh, kedua cinta seperti ibunya, dan 

ketiga menyerahkan diri dan segala pekerjaannya kepada Allah itu se­

perti penyerahan mayat di hadapan orang yang memandikan dan me-

ngafaninya. Tingkat yang ketiga inilah yang tertinggi menurut anggap-

an orang Sufi, tingkat yang pernah dicapai oleh golongan siddiqin, juga 

golongan yang dipuji-pujikan oleh Ghazali, sebab  golongan ini telah 

fana dan telah mengesampingkan usaha atau tadbir, do'a atau raja', 

dan menyerahkan seluruhnya kepada Al lah , dengan tidak ada ikhtiar 

manusia lagi. 

Oleh sebab  dalam kalangan Sufi ada juga pengaruh paham 

i'tikad seperti Jabariyah, Qadariyah, dan lain-lain, maka pengertian 

tawakkal ini pun bermacam-macam. 

Golongan yang agak menengah tidak meletakkan dalam tawakkal 

itu meninggalkan segala usaha, seperti berobat, sebab  tiap-tiap amal 

harus menghasilkan manfa'at, menjauhkan mudharat, dan oleh sebab  

itu usaha manusia itu tidak mengurangi qodrat Allah . 

Dengan dasar pendidikan ini orang Sufi yakin, bahwa manusia itu 

pada akhirnya akan sampai kepada tingkat mahabbah, mencintai Tu­

han sebenar-benarnya. Ini diterangkan Allah  dalam Qur'an : "Allah  

akan sampai mendapat suatu kaum yang mencintai Allah dan dicintai 

oleh A l l a h " . Dalam hubungan ini sahabat Nabi, Abu Bakar, pernah 

199 

menerangkan, barang siapa dapat merasakan keikhlasan dalam mencin­

tai Allah, niscaya Allah akan memisahkannya orang itu dibandingkan  kecin-

taannya kepada dunia, dan membuat orang itu meninggalkan kumpul-

an dan pergaulan manusia." Kata Nabi : "Tidak terhitung beriman se­

seorang kamu, kecuali j ika ia mencintai Allah dan Rasulnya lebih dari­

pada dirinya sendiri, keluarganya, anak-anaknya, harta bendanya, dan 

manusia seluruhnya". 

Sebagai hikmah cinta dan kasih kepada Allah itu dikemukakan, 

pertama bersifat-fardhu, dengan cinta semacam ini manusia terdorong 

mengerjakan amal ibadat sebanyak-banyaknya dan menjauhkan diri 

dibandingkan  maksiat yang dibenci oleh Allah , begitu membawa dia pada 

akhirnya kepada rela dengan qadha dan qadar Allah  atas dirinya, ke­

dua yang bersifat sunat, yang dapat mendorong pula seseorang menger­

jakan sunat sebanyak-banyaknya, menjauhkan barang-barang dan pe­

kerjaan yang makruh, di samping ia gemar menahan segala hawa naf-

sunya kepada sesuatu yang dibenci Al lah , kesemua itu menanamkan 

kebencian kepada dunia dan kecintaan kepada akhirat. 

Jika semua itu telah menjadi darah daging bagi seseorang manusia, 

maka tak dapat tidak ia akan sampai kepada zikrul maut, ingat akan 

mati, suatu sifat yang paling terpuji, sebab  dapat mendorong manusia 

yang sadar itu kepada berbuat amal kebajikan yang sebanyak-banyak­

nya, baik yaitu  ibadah maupun yang yaitu  mu'amalah dan 

mu'asyarah yang baik terhadap manusia. Ia akan ingat akan firman 

Allah  : "Terangkanlah bahwa maut itu, yang selalu hendak disingkir-

kan oleh manusia, akan mendapati kamu". Ia akan ingat akan sabda 

Nabi : "Perbanyaklah engkau mengingat mati, yang akan memutuskan 

kamu dengan kesenangan dunia. Tiap orang yang teringat akan mati, 

akan diperluas hidupnya yang picik dengan kelasan ni'mat, sebaliknya 

tiap orang yang tidak teringat akan mati, akan diperkecil hidupnya 

yang luas". 

Pada suatu hari Sitti Aisyah bertanya kepada Rasulullah : " A p a ­

kah ada orang-orang lain dikumpulkan dengan syuhada' pada hari kia­

mat?" Nabi menjawab : "Benar ada, yaitu mereka yang selalu meng­

ingat akan mati tiap hari tiap malam sebanyak dua puluh ka l i " . 

Nabi menganggap, bahwa cukup kematian itu menjadi pengajaran 

bagi manusia, dan berkata : " A k u tinggalkan kepadamu dua macam 

200 

juru nasehat, semacam secara diam, dan semacam lagi berbicara, juru 

nasehat yang diam itu ialah maut, dan juru nasehat yang berbicara itu 

ialah Qur 'an" . 

Bagi orang yang bijaksana kematian itu akan mendorong dia, per­

tama meninggalkan dunia, dan kedua menambah tertarik hatinya kepa­

da akhirat. 

Ghazali menerangkan, bahwa orang arif yang sempurna, yang sela­

lu ingat kepada Allah , tidak perlu lagi ingat akan mati, sebab  ia su­

dah fana dalam tauhid, yang tidak dapat melupakan yang akan da­

tang". 

Demikianlah beberapa buah sifat-sifat terpuji, sebagaimana yang 

biasa diuraikan atau disampaikan oleh orang-orang Sufi kepada murid-

muridnya. Sebenarnya sifat-sifat terpuji itu banyak sekali. Amin A l -

Kurdi , pengikut tarekat Naqsyabandiyah, menerangkan, di antara sifat-

sifat yang terpuji itu ialah memiliki  aqidah yang benar, taubat, malu 

terhadap Allah , tha'at, sabar, wara', zuhud, qina'ah, ridha, syukur, 

gemar memuji Allah  dan Rasulnya, jujur dan benar dalam perkataan, 

menepati janji, menunaikan amanah, meninggalkan khianat, memeliha­

ra hak tetangga, suka memberi makan orang, suka memberi salam, ge­

mar kepada amal kebajikan, mencintai akhirat dan membenci dunia, 

takut akan hisap Allah , merendah diri, sedia menderita malapetaka, 

sabar, dalam percobaan, selalu bersama-sama dengan orang-orang yang 

benar, tenang hati, sedia menahan nafsu dan syahwat, menjauhkan diri 

dari kesenangan syahwat, takut kepada Allah , harap yang tidak putus 

kepada Allah , baik tingkah laku, pengampun, bermurah tangan, ba­

nyak kegiatan, suka memberi nasehat, hidup sederhana, suka menyela-

matkan orang lain, sedia tawakkal, berani kepada yang benar, menjaga 

muru'ah, cinta kepada Al lah , takut kepada perpecahan dan perpisahan 

dengan Al lah , beradab, selalu berfikir, selalu tenang, selalu memper­

hitungkan diri, selalu insaf, selalu berbaik sangka, selalu berjihad, sela­

lu meninggalkan percekcokan dan perdebatan, ingat akan mati, pendek 

angan-angan, bersungguh-bersungguh membaca Qur'an, meninggalkan 

kemewahan, gemar hidup kemiskinan, ikhlas dalam segala hal, dan lain-

lain sebagainya, segala amal yang baik, terutama yang membuahkan 

amal kebajikan untuk akhirat. Amin Al -Kurd i menerangkan, bahwa 

yang dimaksudkan dengan takhalli, tidaklah mengosongkan semua Si-

201 

fat-sifat yang buruk pada manusia, namun  menguranginya sebanyak 

mungkin, untuk memberi tempat kepada jiwa seseorang dekat kepada 

Allah nya, dan dengan demikian menjadikan dia manusia yang indah 

dan sempurna (Tanwirul Qulub). 

Jika semua sifat-sifat itu sudah dimiliki maka sampailah manusia 

itu kepada tujuannya, yaitu taqwa, tidak diartikan sebagaimana pe­

ngertian fiqh yaitu takut meninggalkan apa yang diperintahkan Allah , 

dan menjauhkan diri dibandingkan  semua larangannya, namun  taqwa itu per-

paduan dibandingkan  empat sifat, yang ditunjukkan oleh empat hurufnya, 

yaitu ta, keringkasan dibandingkan  taubat, menyesali diri serta meminta am­

pun kepada Allah , qaf, keringkasan dari qina'ah, yaitu khusyu' dan 

tawadhu', dalam segala amal ibadat, wauw yaitu wara', beribadat de­

ngan ikhlas kepada Allah , dan aüf, keringkasan dibandingkan  ikhlas, mela­

kukan ibadat semata-mata untuk Allah . 

4. MA'SIAT DAN T H A ' A T 

(TAJALLI) 

Jika Ghazali pada suatu tempat, misalnya dalam kitab "Ihya Ulu-

muddin", membicarakan tentang sifat-sifat yang merusakkan jiwa, 

muhlikat, dan sifat-sifat yang dapat membawa kebahagiaan kepada j i ­

wa, munjiat, pada lain tempat dalam kitab-kitabnya diuraikan bagai­

mana melaksanakannya, bagaimana menghindarkan diri atau jiwa itu 

dari perbuatan yang keji, ijtinabul ma'asi waz zunub dan bagaimana 

membiasakan diri kepada amalan-amalan yang baik, tha'at Fil awamir, 

yang sebenarnya yaitu  isi dari pelajaran tasawwuf, tujuan mem­

perbaiki dan membersihkan hidup manusia. 

Ghazali menerangkan, bahwa ma'siat itu ada dua macam, pertama 

ma'siat lahir, kedua ma'siat bathin. Begitu juga ia menerangkan, bah­

wa tha'at itu ada dua rupa, pertama tha'at lahir, kedua tha'at bathin. 

Katanya, bahwa maksud agama itu hanya ada dua, pertama meninggal­

kan yang dilarang, kedua menyuruh memperbuat segala yang dianjur­

kan. Pekerjaan menjauhkan diri dari larangan lebih sukar bagi manusia 

dibandingkan  mengerjakan sesuatu ketha'atan, sebab  tha'at itu dapat di­

lakukan oleh tiap orang, namun  meninggalkan syahwat tidak dapat di­

lakukan kecuali oleh mereka yang benar. Oleh sebab  itu Nabi berkata, 

202 

bahwa orang yang dapat disebut Muhajirin ialah orang yang dapat ber-

pindah dari kejahatan, dan orang yang dapat disebut Mujahidin ialah 

orang-orang yang dapat berperang atau menentang hawa nafsunya. 

Mengenai usaha menjauhkan diri dari ma'siat lahir Ghazali mene­

rangkan, bahwa tidaklah pantas manusia itu berbuat kejahatan dengan 

anggota badannya, yang ada pada dirinya, sebab  anggota badannya 

itu yaitu  kurnia dan nikmat Allah  serta amanahnya kepadanya. 

Maka mempergunakan nikmat Allah  itu untuk melakukan sesuatu 

ma'siat kepadanya tak dapat tidak yaitu  puncaknya kekufuran 

dan puncaknya khianat tentang amanah yang dipercayakan Allah  ke­

padanya manusia itu. Merusakkannya yaitu dosa yang sebesar-besar-

nya, dan kekejian yang sesungguh-sungguhnya. Segala anggota itu ha­

rus dipelihara dibandingkan  panyalahgunaan, harus dipimpin kepada arah 

yang baik, sebab  "Semua kamu pemimpin dan tiap pemimpin diper-

tanggungjawabkan tentang apa yang dipimpinnya". Semua ini sudah 

kita paparkan di atas tadi, 

Memang beginilah keyakinan Sufi yang sebaik-baiknya. Tiap-tiap 

perbuatan manusia akan ditanyai kelak oleh Allah nya di hari kiamat, 

dan tiap-tiap anggota badannya menjadi saksi ata's perbuatan yang di­

lakukan oleh manusia itu. Di dalam Al-Qur 'an Allah  berfirman : 

"Ingatlah akan hari, di mana Kami mencegah mulutnya memberi ke­

terangan, namun  di mana Kami suruh berbicara tangannya dan Kami 

menyuruh menjadi saksi kakinya, tentang apa yang diperbuat oleh se­

seorang manusia" (Qur'an X X X V I : 65). Mahmud Yunus menambah 

tafsiran tentang ayat ini , bahwa pada hari kiamat Allah menutup mulut 

orang-orang yang kafir, dan melarang mereka bercakap-cakap, untuk 

mempertahankan dirinya. Waktu itu bercakaplah tangan mereka, jadi 

saksi atas apa-apa yang telah diusahakannya, masa hidup di dunia. Me­

nurut kata setengah ahli Tafsir, tangan mereka itu pandai bercakap-

cakap seperti lidah, sebab  dipandaikan oleh Al lah . namun  ulama yang 

lain berpendapat, bahwa bukan sebenarnya bercakap, melainkan keli-

hatanlah bekas dosa (kesalahan) mereka pada anggauta-anggautanya 

seperti tangannya dan kakinya, yang menunjukkan atas perbuatannya 

pada masa hidup di dunia. Maka seolah-olah anggautanya itu mengakü 

kesalahannya. (Tafsir, Jakarta 1957). 

Ma'siat lahir itu membuahkan kejahatan-kejahatan yang bersima-

203 

harajalela dalam masyarakat, seperti mencur i , membegal , mencopet, 

merampas dan merampok, menganiaya, menyiksa dan membunuh , dan 

la in- la in kejahatan yang dapat d i l akukan dengan tangan manusia, begi­

tu juga kejahatari-kejahatan seperti mempercakapkan rahasia dan aib 

orang, memak i , mencela dan mencerca, bergunjing, membuat f i tnah, 

menghasut menghina dengan ucapan dan kata-kata, membujuk, menji-

lat atau memuji seseorang dengan niat beroleh sesuatu, berdusta dan 

berbohong, memutarba l ikkan kata-kata yang benar menjadi salah atau 

yang salah menjadi benar, dan la in- la in kejahatan mulut yang termasuk 

ma'siat lahi r , begitulah selanjutnya kejahatan-kejahatan yang diperbuat 

dengan mata, dengan telinga, dengan k a k i , semuanya yaitu  ma ' -

siat-ma'siat lahir yang sangat berbahaya untuk keamanan dan keten-

teraman masyarakat . Semua ma'siat lahir i tu harus d i jauhkan dar ipada 

manusia. 

namun  d i samping itu ada pada manusia ma'siat bathin, yang 

lebih berbahaya, sebab  ia t idak kelihatan dan kurang di insyaf i , dan 

yang lebih sukar menghi langkannya. M a ' s i a t i tu yaitu  pembang-

kit dar ipada ma'siat lahir i tu . Selama ma'siat bathin itu belum dile-

nyapkan , ma'siat lahir tidak dapat d ih indarkan pada manusia , atau se­

lalu berulang kembal i serta menumbuhkan kejahatan-kejahatan baru, 

yang diperbuat d i laksanakan oleh anggauta badan manusia . J i k a T u h a n 

da lam Q u r ' a n memperingatkan tentang bahaya ma'siat lahir dengan 

f i rman-Nya : "Sungguh rugi mereka yang mengotorkan j i w a n y a " , ia 

t idak lupa menegor hamba-Nya , agar ia members ihkan j iwanya i tu su­

paya h idupnya jaya : "Sungguh mendapat kejayaan mereka yang mem­

bersihkan j i w a n y a " . Ini lah yang menyebabkan, bahwa N a b i M u h a m ­

mad menjadikan kesucian lahir dan bathin manusia itu sebahagian dar i ­

pada imannya . 

Ma ' s i a t yang bathin ini melahi rkan dengan tidak langsung juga ke­

jahatan-kejahatan yang mengacaubalaukan ketenteraman dan kesejah-

teraan masyarakat . M a k a n dan m i n u m yang berlebih-lebihan tidak saja 

merusakkan kesehatan seseorang, namun  memperbesar syahwat hawa 

nafsu terhadap j i m a ' , terhadap kegiatan mengumpulkan kekayaan de­

ngan tidak membedakan halal atau haram, kebanyakan berbicara acap­

kal i membuat manusia menyeleweng kepada ucapan-ucapan yang meru-

g ikan , memiliki  sifat marah acapkal i men imbulkan perselisihan dan 

persengketaan, hasad atau dengki memecah belahkan perhubungan 

204 

baik antara keluarga dan sahabat kenalan, kikir membuat manusia di­

benci oleh masyarakat, yang dihadapinya, kemudian serakah dalam ke­

kayaan mengumpulkan harta benda tak dapat tidak membuat orang-

orang miskin menaruh dendam dan dengki, kecintaan kepada keduduk­

an dan nama acapkali melupakan seseorang kepada keadilan dan rasa 

persaudaraan, mencintai dunia yang berlebih-lebihan pasti dapat melu­

pakan seseorang kepada Allah nya dan amal kebajikan, takabur akan 

dicemoohkan orang, ujub dan ria akan menimbulkan sifat munafik dan 

hidup yang tidak jujur, demikianlah selanjutnya ma'siat bathin itu de­

ngan tidak langsung menciptakan manusia-manusia yang jahat dalam 

masyarakat, dan manusia-manusia yang ingkar kepada Allah nya. 

Kedua macam ma'siat ini dapat membawa manusia-manusia kepa­

da kecelakaan. Oleh sebab  itu Ghazali menamakannya muhlikat, sifat-

sifat yang merusak binasakan manusia. Dan oleh sebab  sifat-sifat itu 

sebenarnya berasal dari dalam hati manusia, sebab  amal perbuatan 

jahat itu digerakkan oleh thabi'at-thabi'at hati yang sakit, maka Gha­

zali menamakannya juga amradhuul qulub, yaitu penyakit-penyakit 

hati. 

Penyakit-penyakit itu harus diobati, dan obatnya itu tidak lain da­

ripada menunjukkan sebab-sebab penyakit itu, menginsyafkan akan aki-

bat-akibat yang berbahaya, melatih membersihkannya serta mengemba-

likan kepada keadaan suci semula, kemudian barulah mengisikannya 

dengan sifat-sifat yang baik, yang dapat menumbuhkan amal-amal per­

buatan yang baik pula, sehingga manusia itu menjadi manusia yang 

berbahagia. Usaha-usaha ke arah ini dengan segala sifat-sifat dan ajar­

an yang baik oleh Ghazali dinamakan munjiyat, tingkah-laku yang 

dapat membahagiakan manusia. 

Ghazali menerangkan, bahwa sebagaimana Allah  menempatkan 

dalam hati manusia pembangkit, ba'is, yang diperlukan oleh manusia 

untuk mendapat manfa'at, seperti syahwat, atau untuk rnenolak muda-

rat, seperti ghadhab, muharrik, naluri yang dapat menggerakkan ang-

gauta manusia untuk melaksanakan sesuatu maksud, dan mudrik, pan-

ca indera yang dapat mengenai segala sesuatu, seperti, penglihatan, 

pendengaran, pembauan, rasa, demikianlah juga Allah  mengadakan 

pengawas dalam dirinya, jundun, yaitu ilmu, hikmat dan akal pikiran. 

Dengan ilmu, hikmat dan akal pikiran itu manusia dapat membedakan 

205 

mana yang buruk dan mana yang baik, mana yang berbahaya dan 

mana yang dapat membawa bahagia. 

Lalu manusia itu melihat dengan ilmu dan akal fikirannya itu, bah­

wa tidak ada lain jalan melainkan tunduk kepada petunjuk-petunjuk 

yang telah diberikan Allah  untuk menyelamatkan manusia itu. Petun­

juk-petunjuk itu yaitu  perintah-perintah Allah  yang harus di-

tha'ati dan dilaksanakan. Sebagaimana dalam ma'siat, tha'at ini pun 

terbahagi atas dua bahagian, tha'at lahir dan tha'at bathin. 

Yang dimaksudkan dengan tha'at lahir ialah melakukan seluruh 

amal ibadat yang diwajibkan Allah , seperti mengucapkan dua kalimah 

syahadat, melakukan sembahyang atau shalat, berpuasa atau shaum, 

mengeluarkan segala macam zakat, dan membahagikan kepada fakir 

miskin atau mereka yang berhak menerimanya, kemudian mengerjakan 

haji ke Mekkah, j ika sanggup melakukannya. Lain dibandingkan  itu banyak 

lagi pekerjaan yang termasuk tha'at lahir, yaitu mematuhi segala hu-

kum-hukum Allah  pergaulan antara ma