islam 6
di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alas
annya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak
usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus
kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses de
mokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar. Dengan penduduk
saat ini 205 juta lebih, kita harus mampu menegakkan keadilan,
dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Seperti
pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpa
sar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang
dibalik pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh
3 Perundingan Renville dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan
Angkatan Laut Amerika USS Renville yang dimulai pada 8 Desember 1947. Pada
tanggal 17 Januari 1948 hasil Perjanjian Renville ditandatangani oleh Perdana
Mentri Mr. Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena,
Mr. Ali Sastroamidjojo, dimana sebagian isinya: penghentian tembak menem
bak disepanjang “Garis van Mook”. Penghentian tembak menembak yang di
ikuti dengan perletakan senjata dan pembentukan daerahdaerah kosong mili
ter. Mengakui secara de facto kekuasaan RI sekitar daerah Yogyakarta.
g 157 h
lebih dari 200 orang. Pernyataan Amrozi ini seharusnya men
dorong kita memeriksa “pengakuan” ini . Karena hal ini ti
dak dilakukan maka hingga saat ini kita tetap tidak tahu, apakah
pendapat Amrozi itu berdasarkan fakta atau tidak. Demikian
juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan bom di Hotel
Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.
Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita,
sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap
menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan ke
rendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam per
spektif prikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau meng
gunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat
mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang
lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bang
sa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/keragaman justru
menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karenanya kita
tidak boleh menyalahkan siapasiapa atas kemelut yang masih
menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini.
Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Abu Bakar Ba’asyir
yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita,
saat ini mendekam di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang,
Jakarta Timur setelah pengadilan menjatuhkan hukuman em
pat tahun penjara. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah
namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data
data yang “tidak pasti (unreliable)” digunakan dalam mengambil
keputusan. Selain itu, memang pengadilanpengadilan kita penuh
dengan “mafia peradilan’, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh
“kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus
Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung akan terus
“diragukan” apapun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heran
lah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menegakkan ke
daulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari
luar negeri, karena langkanya kepastian hukum tadi.
Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di
sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang
memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Se
latan. saat Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas
kEadIlan dan REkonsIlIasI
usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa ketentuan
bahwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah. Ijazah itu
hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja
(tidak termasuk pesantren), maka kyai kita itu tidak diperkenan
kan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya
diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. Akibatnya kyai
kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian
dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis
ini terjadi pada awal tahun 50an, namun bekasnya yang pahit
masih saja tersisa sampai hari ini.
Korbankorban politik seperti ini masih banyak terdapat di
negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita harus memiliki kelapang
an dada untuk dapat menerima kehadiran pihakpihak lain yang
tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orangorang
mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang
yang benarbenar memahami ideologi komunis. Karena itulah,
penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI maupun
DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”. Penulis justru
beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang
mencari Allah dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat
ini mereka anggap sebagai “kezalimankezaliman”, justru pernah
mereka jalani saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada
keyakinan yang mereka miliki, yang tidak bertentangan dengan
undangundang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara pan
dang itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.
Dari uraian di atas, jelas bahwa yang kita perlukan adalah
rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan
“yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat
diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan),
mengapakah kita tidak melakukan hal seperti itu pada orang
orang mantan PKI dan DI/TII? Jadi, pengertian dari rekonsiliasi
yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan
tuntas oleh pengadilan, kalau buktibukti yang jelas masih dapat
dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis
pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di
Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasuskasus
yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun ter
akhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang
terjadi 4050 tahun yang lalu. Kedengarannya mudah dilakukan,
namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan.
Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah
mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai me
lalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Terkenal
dalam hal ini firman Allah melalui kitab suci al-Qurân: “Tidak
Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada
Ku (wa mâ khalaqtu al-jinna wa al-insâ illâ liya’budûni)” (QS.
adz-Dzâriyât [51]:56). Dengan adanya konteks ini, manusia se
lalu merasakan kebuAllah akan Allah , dan dengan demikian ia
tidak berbuat sesuka hati. Karena itulah, akan ada kendali atas
perilakunya selama hidup, dalam hal ini adalah pencarian pa
hala/kebaikan untuk akhirat, dan pencegahan sesuatu yang se
cara moral dinilai buruk atau baik di dunia. Karena itulah do’a
seorang muslim yang paling tepat adalah “Wahai Allah , berikan
kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (rabbanâ
âtinâ fî ad-dunya hasanatan wa fî al-âkhirati hasanatan)” (QS.
alBaqarah [2]:201).
Yang digambarkan di atas adalah kerangka mikro bagi ke
hidupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Hal ini adalah se
suatu yang pokok dalam kehidupan seorang manusia, yang di
simpulkan dari keyakinan akan adanya Allah dan bahwa Nabi
Muhammad Saw adalah utusanNya. Tanpa kedua hal pokok itu
sebagai keyakinan, secara teknis dia bukanlah seorang muslim.
Karena manusia adalah bagian dari sebuah masyarakat,
maka secara makro ia adalah makhluk sosial yang tidak berdiri
sendiri. Terkenal dalam hal ini ungkapan: “Tiada Islam tanpa ke
lompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepe
mimpinan tanpa ketundukan. (La Islama Illa bi Jama’ah wala
Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Dengan
demikian, kedudukan dan tugas seorang pemimpin sangat berat
dalam pandangan Islam. Dia harus menciptakan kelompok yang
kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dikemu
kakan Islam. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki
strategi yang jelas agar tercapai tujuan masyarakat yang adil
dan makmur. Tujuan ini diungkapkan dengan indahnya dalam
pembukaan Undangundang Dasar (UUD) 1945. Sedang dalam
bahasa Arab, seornag pemimpin harus mampu menciptakan ke
sejahteraan masyarakat yang bertumpukan keadilan dan kemak
muran atau “al-maslahah al-âmmah”.
Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang
benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas.
Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diam
bil dan peraturanperaturan di bidang ekonomi yang selama ini
–sejak kemerdekaan kita, hampir seluruhnya mengacu kepada
kemudahan prosedur dan pemberian fasilitas kepada usaha be
sar dan raksasa, yang berarti orientasi ini tidak memihak kepada
kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka sekarang su
dah tiba saatnya untuk melakukan perubahanperubahan dalam
orientasi ekonomi kita. Orientasi membangun UKM, dijalankan
dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai
modal pembentukan UKM ini .
Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan
tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada
bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak sangat sedikit
kembali ke kas pemerintah, karena begitu banyak keringanan
untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diuta
makan perluasan pasaran di dalam negeri secara besarbesaran.
Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, pe
ningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemam
puan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna
menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam
negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya ter
gantung kepada tata niaga internasional.
Ini berarti, kita harus tetap memelihara kompetisi yang ju
jur, mengadakan efisiensi dan menciptakan jaringan fungsional
bagi UKM kita, baik untuk menggalakkan produksi dalam negeri,
maupun untuk penciptaan pemasaran dalam negeri yang kita per
lukan. Keterkaitannya adalah tetap memelihara tata niaga inter
nasional yang bersih dan bersaing, disamping memperluas basis
pajak kita (dari sekitar 2 juta orang saat ini ke 20 juta orang wa
jib pajak dalam beberapa tahun mendatang). Ditambah dengan,
pemberantasan kebocorankebocoran dan pungutan liar yang
masih ada sekarang ini. Barulah dengan demikian, dapat kita
naikkan pendapatan.
Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan terca
painya kesejahteraan dengan cepat, yang dalam pembukaan
UUD 1945 disebutkan sebagai terciptanya masyarakat adil dan
makmur. Dalam fiqh disebutkan “kebijakan dan tindakan pe
mimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemas
lahatan mereka’ (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun
bi al-mashlahah)”. Itu berlaku juga untuk bidang ekonomi. Eko
nomi yang berorientasi kepada kemampuan berdiri di atas kaki
sendiri, menjadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaranajar
an Islam.
Apakah ekonomi yang sedemikian itu akan dinamai eko
nomi Islam atau hanya disebut ekonomi nasional saja, tidaklah
relevan untuk didiskusikan di sini. Yang terpenting, bangunan
ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orientasi
nya, sesuai dengan ajaran Islam. Penulis yakin, ekonomi yang
sedemikian itu juga sesuai dengan ajaranajaran berbagai agama
lain. Karenanya, penamaan ekonomi seperti itu dengan nama eko
nomi Islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, karena yang
terpenting adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaannya.
Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi Islam
secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan duniaakhirat,
lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang
mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Sebe
narnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political
will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting
bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah
ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. Karena
menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka diperlukan
keputusan bersama dalan hal ini. Untuk mengambil keputusan
seperti itu, haruslah didengar lebih dahulu perdebatannya. h
g 164 h
Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan
langsung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian,
ada yang dinamakan ekonomi Islam, yaitu Islam memuat
ajaranajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat
kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, karena kita
sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik
saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat
kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah
ekonomi Islam?
Pada tahuntahun 70an dan 80an, sejumlah ekonom
mengajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dina
makan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuanketentuan
agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan ter
hadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak
diperkenankan menggunakan bunga bank (bank interest), se
dangkan ketentuanketentuan yang lazim dalam asuransi sama
saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. De
ngan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan
penerimaan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam.
Ekonomi yang menggunakan keduaduanya sama saja dengan
ekonomi yang menolak ajaran Islam.
Dalam tahuntahun 70an, muncul juga pendapat orang
orang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada
(UGM), yang mengemukakan pendapat tentang Ekonomi Panca
sila. Menurut pendapat beliau, Ekonomi Pancasila harus terkait
langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada mo
ralitas. Pendapat ini identik dengan konsepsi dari ekonomi Islam,
Islam, moralitas dan Ekonomi
g 165 h
minus soal bunga bank dan asuransi. Karenanya, pembahasan
tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, karena orang
lalu berdiskusi tentang Ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, eko
nomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum
teknokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.
Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas
ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, karena adanya sejum
lah program yang menggunakan nama syari’ah, seperti bank
syari’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik nega
ra (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk
menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal de
ngan nama takaful. Kedua, karena dalam waktu lima belas tahun
terakhir, ekonomi kita benarbenar bersifat empirik dan tidak
menggunakan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terba
ngunnya ekonomi yang benarbenar kapitalistik dan berazas sia
pa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segalagalanya.
Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi
kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan se
buah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji
Allah ” setiap kali akan atau usai menipu orang. Jadi agama dire
dusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan
dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian ini .
Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauhjauh
pertimbangan moral sama sekali? Di sisi lain, dapatkah sebuah
sistem yang hanya bertumpu pada acuan moral saja, dinamai
sebuah sistem ekonomi? Kalau jawabannya positif, berarti eko
nomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada
ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua
pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya eko
nomi Islam.
Yusuf Qardhawi1 mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu
saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besar
kecil dan maksud pemungutan bunga bank ini . Menurut
1 Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah
delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Menamat-
kan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qardhawi melanjut
kan ke Universitas alAzhar, Fakultas Ushuluddin lulus tahun 1952. Tapi gelar
doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dam
paknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian di sempurnakan
menjadi Fiqh Zakat.
Islam, moRalItas dan EkonomI
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 166 h
pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya nonproduk
tif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikata
kan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah
upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi
itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.
Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga
hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali.
Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memperjuang
kan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai
dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas
rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahtera
an rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa
Arab oleh fiqh adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis
dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undangun
dang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan seba
gai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepentingan
dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh
Islam, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.
Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kese
jahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan
demikian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi
yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan
pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam me
nganjurkan adanya sikap fastabiqu al-khairat (berlomba dalam
kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang se
hat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi
yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai pengua
sa harus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa
melakukan intervensi dalam perdagangan. Negaranegara yang
berteknologi majupun melindungi para penganggur, sampai 3%
dari jumlah keseluruhan kaum pekerja. Ini adalah prinsip yang
harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi.
Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa
tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Se
dangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai
unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan
yang benarbenar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat
bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Pe
nyebutan ekonomi secara keseluruhan sebagai “ekonomi Islam”
dapat saja dilakukan tanpa kehilangan Islamisitas kita sendiri.
g 167 h
What is a name? ungkap dramawan dunia William Shakespeare.
Karenanya, dapat saja kita melihat pelaksanaan prinsipprinsip
Islam, namun dalam orientasi dan mekanismenya adalah ekono
mi kapitalistik. Padahal orientasi kapitalistik itu dapat dibeda
kan dari orientasi Islam. Dalam orientasi kapitalistik yang di
utamakan adalah individu pengusaha besar dan pemilik modal.
Dalam Islam, justru kepentingan rakyatkesejahteraan masyara
kat secara keseluruhan yang menjadi ukuran. h
Islam, moRalItas dan EkonomI
g 168 h
Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah
keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam ke
hidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Is
lam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)”
maupun keharusan “menegakkan keadilan (kûnû qawwâmîna bi
al-qisthi),” berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân.
Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristi
lahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): menegakkan ke
adilan dan mencapai kemakmuran. Kalau negara lain mengemu
kakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty)
sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip ke
adilan daripada prinsip kemerdekaan itu.
Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita seka
rang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia
usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Se
olaholah kita mengikuti prinsip kemakmuran dan kebebasan
itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita.
Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM yang
kemudian dicabut kembali, menunjukkan hal itu dengan jelas,
kalau kita tidak berprinsip keadilan. Tentulah kenaikan harga itu
harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. De
ngan demikian, bukankah telah terjadi pengambilalihan sebuah
paham dari negeri lain ke negeri kita, yang memiliki prinsip se
suai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang
melindungi kaum lemah, padahal akibat paham itu mereka ha
rus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bang
sa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita,
adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?
Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD
Islam dan keadilan sosial
g 169 h
45 dengan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan per
bedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan peme
rintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan
karena keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan
keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini
adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi
oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melaku
kan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap
pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan
UUD 45.
Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan me
nerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai
sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang
harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka
konstitusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Se
perti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa
rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menja
dikan sistem politik kita benarbenar liberal, yang berdasarkan
suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amande
men UUD lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.
eg
Dalam memahami perubahanperubahan sosial yang ter
jadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima
hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas ja-
lannya proses ini . Dalam hal ini, penulis mengemukakan
sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penaf
siran kembali (reinterpretasi) atas ajaranajaran agama yang
tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa
proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit
memahami ayat-ayat al-Qurân. Seperti misalnya “Hari ini telah
Kusempurnakan bagi kalian agama kalian dan Kusempur
nakan (pemberian) nikmatKu dan Kurelakan bagi kalian Islam
sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmam-
tu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dînan)” (QS.
alMaidah [5]:3). Ayat ini menunjukkan bahwa Allah telah
menurunkan prinsipprinsip yang tetap (seperti daging bangkai
Islam dan kEadIlan sosIal
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 170 h
itu haram), sedangkan hukumhukum agama (fiqh/ canon laws)
terusmenerus mengalami perubahan dalam perinciannya.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) menge
nai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan menga
lami perubahanperubahan. Dahulu, KB sama sekali ditolak,
padahal waktu itu ia adalah satusatunya cara untuk membatasi
peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini se
bagai campurtangan manusia dalam hak reproduksi manusia
yang berada di tangan Allah sebagai sang pencipta. Namun, ke
mudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan
kelahiran (tanzim an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar
menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu.
Dengan demikian, dipakailah caracara, metode, alatalat dan
obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kon
dom dan sebagainya. Penggunaan metode dan alatalat ini
sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci
dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pem
batasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (fami-
ly planning).
Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, de
ngan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang ini .
Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengala
mi “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri
yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tem
pat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).”
Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muham
mad Saw itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna,
karena hanya pada halhal prinsip saja Islam bersifat tetap, se
dangkan dalam halhal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang,
kalau telah memenuhi persyaratanpersyaratan untuk itu.
eg
Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang
pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah un
tuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia
yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam
memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan mem
bela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat
suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan
g 171 h
fai’) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka ha
rus digunakan bagi Allah, utusanNya, sanak keluarga terdekat,
anakanak yatim, orangorang miskin, para pemintaminta/
pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang
terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang
orang kaya saja di lingkungan kalian. (mâ afâ ‘a Allâhu ‘alâ rasû-
lihi min ahl al-qurâ fa li-Allâhi wa li al-rasûl wa li dzî al-qurbâ
wa al-yatâ mâ wa al-masâkîn wa ibn al-sabîl, kailâ yakûnâ
dûlatan bain al-aghniyâ’a minkum)” (QS alHasyr [59]:7).
Haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan
Islam saat ini, bahwa apa yang dikemukakan oleh ayat suci di
atas, menunjukkan dengan jelas watak keadilan struktural dari
bangunan masyarakat, baik itu dicapai melalui perjuangan struk
tural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun
tidak. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Is
lam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaat
kan manusia untuk kepentingan manusia lain (exploitation de
l’home par l’home). Jelas, sikap itu berlawanan dengan keselu
ruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Kare
nanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan
KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus ber
hadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat
struktural atau nonstruktural.
Jelaslah, bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman dan
pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri.
Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh
dari kata i’dilû’ atau ‘al-qisth’ itu sendiri, lalu ada sementara pe-
mikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “ke
adilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin me
ngenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini menginginkan
pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial. Na
mun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian be
sar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyara
kat. namun , lambat-laun akan muncul para aktifis yang meng
gunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah
keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya
akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu
“muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan
kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan? h
Islam dan kEadIlan sosIal
g 172 h
Kitab suci al-Qurân berkali-kali menandaskan, bahwa ma
salah kecukupan adalah masalah yang kerapkali meng
ganggu hidup manusia. Dikatakan; “Telah membuat ka
lian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang
kubur (Alhâkum al-takâtsur. Hattâ zurtum al-maqâbir)” (QS.
atTakatsur [102]:12). Jelas dari ayat ini bahwa, upaya mengejar
harta sebanyak mungkin dapat melupakan manusia dari Allah ,
apalagi bila mengakibatkan penderitaan sesama manusia. Den
gan demikian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentu
kan bahwa manusia harus bersamasama dalam kehidupan, ter
masuk dalam mencari apa yang dinamakan “kecukupan”, baik
yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (af-
fluent society).
Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pe
mikiran Islam ada aturannya, yaitu mencapai tingkat perolehan
yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama.
Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam kon
sep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah
mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain
menjadi korban.
Dalam persaingan bebas itu, tidak lagi mempedulikan siapa
korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Jadi, negara
berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang
"kalah" dalam bentuk kecukupan minimal. Contoh yang paling
Islam dan masalah kecukupan
g 173 h
umum adalah asuransi sosial, yang diberikan kepada orang yang
menganggur. Sedang asuransi sosial bagi pensiunan, sebesar
80% pendapatan tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asu
ransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebuAllah terendah
seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama
pemerintah, yakni penyediaan jaminan sosial yang mencukupi
kebuAllah standard kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerin
tah menyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan
para penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan yang ta
dinya tidak dapat mereka masuki.
Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari per
saingan bebas, maka pemerintah kapitalis akan mampu menang
gulangi masalah pengangguran itu melalui penetapan dasar ke
cukupan minimal seorang warga negara. Kalau tercapai jumlah
yang ditentukan itu, berarti pemerintah sudah melaksanakan
tugas.
Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian
minimal ini , dan selebihnya manusia dapat mengejar ke
tinggian maksimal dalam keenakan hidup secara material. Hal
ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian
materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan
ukuranukuran pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan
yang pincang. Dalam institusi perkawinan pun terjadi perkem
bangan yang sedemikian rupa, seperti masyarakat gay, lesbi dan
bahkan perkawinan sejenis. Di sini, ukuranukuran moral yang
kita ikuti selama ini justru “mengganggu” lembagalembaga baru
yang akan diwujudkan mereka.
Sudah tentu, pengembangan ukuran materialistik bagi war
ga negara harus diwujudkan guna mencapai masyarakat yang
sejahtera. namun , hal ini tanpa harus meninggalkan ukuranukur
an moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat di
gantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandi
navia1. Angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan
besarnya rasa tidak puas atas tatanan struktural yang dikem
1 Suatu kawasan di Eropa Utara yang terkenal dengan tingkat kesejah
teraan yang begitu tinggi para warganya. Negaranegara di kawasan ini; Nor
wegia, Swiss, dan Finlandia, memberikan jaminan kesejahteraan yang cukup
tinggi juga bagi para warganya yang miskin tak bekerja dan para manula.
Islam dan masalaH kEcukuPan
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 174 h
bangkan. Sikap negara yang tidak memihak pada si lemah, mem
buat para warga negara gundah perasaannya. Di tengahtengah
kemakmuran serba benda, dalam negara yang diperintah oleh
kaum sosial demokrat itu, ternyata manusia tidak cukup dilayani
dengan struktur materialistik belaka, melainkan juga membutuh
kan institusiinstitusi lain yang lebih mengarah kepada halhal
spiritual. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil
bentuk munculnya nasionalisme sempit atau radikalisme model
baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut
diri mereka sebagai golongan konservatif.
eg
Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi
perhatian benar bagi pemerintah, paling jauh hanya ditangani
aspek psikologis yang bersifat materialistik saja. Contohnya ada
lah manusia lanjut usia (manula) yang dalam masyarakat kita
jumlahnya semakin lama semakin bertambah besar. Sebagai ca
tatan di berbagai negara, dibangun sejumlah rumah panti jompo
bagi para warga negara manula. Mereka berkumpul di rumah
rumah jompo dan hidup bersama manulamanula lain. Negara
tidak melihat hal yang aneh dalam keterpisahan (isolasi) antara
sesama warga negara itu. Jadi, yang diperhatikan hanya sudut
psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari
keluarganya.
Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan,
seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manu
la atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawabanjawab
an atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk
ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula,
dapatkah jawabanjawaban seperti itu menjadi sama bagi setiap
warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara
tertentu saja? Karena itu, diperlukan sejumlah lembaga yang
dipimpin oleh para pakar dari berbagai bidang untuk memadu
jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi sejum
lah kebijakan umum.
Dari halhal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi
kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan
pertimbanganpertimbangan kepakaran yang lain. Karenanya,
menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam me
g 175 h
lihat masalah tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan
secara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan
penting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multi
fungsi dan multibidang seperti ini.
eg
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerap
anpenerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang
bersifat sangat sulit dan sangat komplek dalam kehidupan nya
ta. Karenanya, kita harus bersikap hatihati dalam masalah ini.
Kita tidak dapat berlepastangan dari aspek penyediaan jawaban
dari sudut pandang agama atau justru hanya mengandalkan dari
sudut pandang materialisme.
Guna memungkinkan jawabanjawaban dalam hal ini, pe
nulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tin
dakantindakan manusia untuk memecahkan masalahmasalah
yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini ber
sifat komprehensif, berlawanan dengan jawaban dari lembaga
pemerintahan pada umumnya. Sungguh rumit bukan? h
Islam dan masalaH kEcukuPan
g 176 h
Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin
agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin,
sebagai tugas yang harus dilaksanakan: “Kebijaksanaan
dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan
kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-
ra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan berkua
sa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang di
rumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip
kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata
“kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen
Harvard, yang juga mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS)
untuk India, John Kenneth Galbraith, sebagai “The Affluent So-
ciety”.1
Dalam bahasa pembukaan Undangundang Dasar (UUD)
1945, kata kesejahteraan ini dirumuskan dengan ungkapan
lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah
tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indo
nesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk mem
1 Konsep ini mengacu pada takaran “kecukupan” secara ekonomi, baik
yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (affluent society).
John Kenneth Galbraith (19082006), adalah seorang ahli ekonomi berkebang
saan Amerika abad ke20. sebagai penganut aliran Keynesian dan seorang in
stitusionalis, Galbraith dikenal pula sebagai ahli politik liberalisme. Keahlian
nya inilah yang mengantarkan ia menjadi Duta Besar AS untuk India. Sebagai
seorang akademisi, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif, baik berupa
buku maupun artikelartikel. Tiga di antaranya merupakan buku yang paling
terkenal dalam bidang ekonomi, yaitu; “American Capitalism (1952)”, “The Af-
fluent Society (1958)”, dan The New Industrial State (1967)”.
Islam dan kesejahteraan Rakyat
g 177 h
peroleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia
yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna menca
pai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggap
nya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelasjelas menempat
kan kesejahteraan/keadilankemakmuran sebagai sesuatu yang
esensial bagi kehidupan kita.
Menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan
negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama
nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan
oleh fiqh tadi. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam
oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD
1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini,
akan merusak rumusan tujuan bernegara ini ?
eg
Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian
menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan nega
ranegara Teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masa
lah keadilan di negerinegeri ini masih belum terwujud se
luruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan
hukum belaka, namun keadilan politik2 dan budaya belum terwu
jud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah
negaranegara ini demokratis ataukah belum? Memang
terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik,
apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanya
an besar: benarkah penerapan hak bersuara bagi tiap individu
(one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi3
2 Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf ter
kagumkagum sejak Plato membantah filosof muda, Thrasymachus, karena ia
menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat.
Dalam ‘Republik’, Plato beralasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar
pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan),
dan keadilan. Penambahan kata sosial adalah untuk membedakan keadilan so-
sial dengan konsep keadilan dalam hukum. Di Indonesia, keadilan sosial juga
merupakan salah satu butir dalam Pancasila.
3 Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti
rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diarti
kan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerin
tahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi
sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar,
Islam dan kEsEjaHtERaan Rakyat
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 178 h
yang sesungguhnya?
Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal
itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum
muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan
dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan de
mokrasi?.
Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sa
ngat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi
kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan
seharihari. Pentingnya upaya ini dapat dilihat pada tidak
tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, wa
laupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh
negaranegara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru
paru dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut
yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahtera
an hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya
kepada kebijakan ekonomi dan peraturanperaturan semenjak
kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepen
tingan orang kaya/ cabang atas dari masyarakat kita, bukan ke
pentingan rakyat banyak.
eg
Karena eratnya hubungan antara kebijakan/ tindakan pe
merintah di bidang ekonomi dengan pencapaian kesejahteraan,
jelas bagi kita nilainilai Islam memang belum dilaksanakan de
ngan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan
maraknya korupsi dan pungutanpungutan liar, maka secara
keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan asetaset
kekayaan bangsa oleh segelintir orang. Dan dari penguasaan se
perti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang
merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menun
sebab demokrasi saat ini disebutsebut sebagai indikator perkembangan politik
suatu negara. Demokraasi menempati posisi vital dengan kaitannya pembagian
kekuasaan dalam suatu negara, di mana kekuasaan negara yang diperoleh dari
rakyat juga harus bertujuan untuk rakyat. Konsep ini menjadi sangat penting
untuk diperhitungkan saat kekuasaan pemerintah yang begitu besar ternyata
tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan
kekuasaan absolut pemerintah seringali menimbulkan pelanggaran terhadap
hakhak asasi manusia.
g 179 h
jukkan keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi
dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiar
kan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan
atau tidak jauh dari garis ini . Inginkah kita hal itu akan ter
jadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?
Bukankah pembiaran kita atas rakyat kecil di pedesaan,
yang menjual tanah dan asetaset lain untuk sekedar memper
oleh makanan, merupakan kejahatan kita atas agama yang tidak
dapat dimaafkan?Jelaslah bagi kita bahwa pencapaian kesejah
teraan yang merata bagi seluruh bangsa, merupakan amanat aga
ma juga. Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan
dan kita tetap tidak melakukan perbaikan?
Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas yaitu, kita ha
rus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi.
Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk
memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengem
bangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Segenap sumber
sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya ini , yang
berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Namun,
ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, me
lainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan peme
rintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu,
kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan per-
modalan swasta dalam dan luar negeri.
Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi
rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajar
an Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran
Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut
UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa orien
tasi itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan
keduaduanya. Untuk melakukan upaya banting setir/kemudi
di bidang ekonomi, cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat
sulit dalam pelaksanaan, bukan? h
Islam dan kEsEjaHtERaan Rakyat
g 180 h
Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsabangsa Ti
mur Tengah, Charles Issawi1 menunjuk kepada Bangsa
Mesir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pe
merintahan, karena tradisi sejarah itu yang menunjukkan kekuat
an mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Di mulai dengan
Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Allah di
muka bumi, melalui para sultan yang menjadi wakilnya. Dilan
jutkan oleh kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi
pemerintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya Sosialis
me Arab di bawah Gamal Abdel Naser.2 Birokrasi pemerintahan
mengembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingankepen
tingannya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat ba
nyak, sebuah hal yang secara perlahanlahan tapi pasti sedang
merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.
Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus
mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiup
tiupkan oleh sementara orang. Karenanya, sebuah pertanyaan
harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep
ini yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam
sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghindar
kan atau menghadirkan sebuah negara Islam, kalau konsep se
1 Prof. Charles Issawi (19162000), intelektual kelahiran Mesir yang
banyak bergelut dalam isu ekonomi. Dialah perintis sejarah ekonomi Timur
Tengah sebagai bidang kajian. Pernah menjadi Presiden the Middle East Stu
dies Association MESA (1973) dan the Middle East Economic Association
– MEES (197883).
2 Gamal Abdel Naser (1918 – 1970) adalah pemimpin besar Mesir. Man
tan pemimpin AlIkhwan alMuslimun ini adalah penggagas Arab Bersatu atau
PanArabisme untuk mempersatukan Arab menentang imperialisme.
Islam:
antara Birokrasi dan Pasar Bebas
g 181 h
perti itu dapat dibuat dan kemudian dilaksanakan, karena hal itu
akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.
Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang
mengadaada, namun ia harus dibicarakan di sini untuk memper
oleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita sebagai
bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan,
janganjangan nantinya kita dihadapkan kepada semakin kuat
nya birokrasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk
menghindarkan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagas
an tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.
eg
saat penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Maha
thir Muhamad,3 tentang keputusan Malaysia keluar dari kung
kungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab
bahwa guru besar Massachussets Institute of Technology (MIT),
Paul Krugman4 yang menganjurkan hal itu. saat guru besar itu
singgah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu
sebaiknya juga dilakukan oleh Indonesia? Beliau menyatakan,
Malaysia dapat melakukannya karena memiliki birokrasi yang
bersih dan ramping (clean and lean bureaucracy), dan Indonesia
sebaiknya tidak melakukan hal itu, karena tidak memiliki biro
krasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak menjawabnya,
karena disadari kita memang memiliki birokrasi pemerintahan
yang terlalu besar dan korup.
3 Seri Dr. Mahathir Muhamad (lahir pada 10 Juli 1925) adalah Perdana
Mentri (PM) Malaysia yang keIV. Ia memerintah Malaysia sejak 16 Juli 1981
hingga 31 Oktober 2003 dan dianggap berhasil mensejahterakan Malaysia
menjadi negara yang makmur, sejajar dengan negara lainnya. Sebagai seorang
tokoh politik yang seringkali dianggap kontroversi, Mahathir selalu mengambil
posisi oposan terhadap kebijakankebijakan AS. Ini dilakukan sebagai bentuk
protes keras terhadap sistem kapitalisme AS dan perlunya internalisasi nilai
nilai Asia. Selepas dari jabatannya sebagai PM, nama Mahathir semakin harum
dan dikenang. Ia adalah negarawan ulung yang telah menjadikan Malaysia se
bagai negara modern. Keberhasilannya ini telah mengantarkan ia memperoleh
gelar “Tun”, sebuah gelar kehormatan tertinggi di Malaysia.
4 Paul Robin Krugman (lahir 28 Februari 1953) adalah seorang ahli teo
ri ekonomi yang telah menulis beberapa buku sejak tahun 2000 dan kolomnis
pada The New York Times. Saat ini, Ia adalah seorang profesor ekonomi dan
hubungan internasional pada Princeton University.
Islam: antaRa bIRokRasI dan PasaR bEbas
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 182 h
Untuk mencapai birokrasi yang ramping dan bersih, diuta
makan beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pe
gawai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan
kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara drastis, kalau
diinginkan mereka tidak terlibat tindakantindakan korup dan
penyelundupan. Tanpa dilakukannya kedua hal itu, mustahil kita
akan memiliki birokrasi yang jujur. Sementara itu, penyebaran
tenaga-tenaga birokrasi harus efisien, agar tempat-tempat yang
memerlukannya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan
tempattempat yang tidak begitu memerlukan terlalu banyak
akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.
Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan
pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemung
kinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan secara
konsekuen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai kese
imbangan antara kebuAllah birokrasi dan tersediannya tenaga
untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan kon
solidasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh undangun
dang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jumlah
dan tingkatan yang sesuai dengan kebuAllah , tapi memang masa
depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita
untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.
eg
Keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi sis
tem kepegawaian kita, tertera dalam Kitab suci al-Qurân yang
menyebut dengan istilah “Memenuhi janji mereka di kala meng
ucapkan sumpah prasetia kepada jabatan (Wal mûfûna bi ‘ahdi-
him idzâ ‘âhadû)” (QS. alBaqarah [2]:177). Adakah sebuah janji
yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan saat me
nyatakan janji prasetia kepada jabatan? Karena itulah profesion
alisme harus ditegakkan, guna memungkinkan kita menepati
janji prasetia yang kita ucapkan saat pertama kali menerima
jabatan.
Birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah
negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benar
benar profesional, untuk membantu dalam pengambilan keputus
an pemerintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk
menyejahterakan rakyat. namun , birokrasi pemerintahan bukan
g 183 h
lah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu ber
pegang kepada kepentingan warga negara kebanyakan.
Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberi
kan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk
berbuat semau mereka. namun , Islam juga memandang penting
nya arti birokrasi pemerintahan yang baik, karena segenap kebi
jakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksananya, yaitu
birokrasi pemerintahan. Karenanya, birokrasi pemerintahan
yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para
pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, meru
pakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua
non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidak
kah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Is
lam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu
besar dan memiliki wewenang serba terbatas. h
Islam: antaRa bIRokRasI dan PasaR bEbas
g 184 h
Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap kalian adalah
penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya
tentang gembalaannya (kullukum râ’in wa kullu râ’in
mas’ûlun ‘an ra’îyyatihi).” Hal ini merupakan landasan moral
bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan
teori pembangunan nasional yang dipakai di negaranya. Sejauh
ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang eli
tis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit
perhatian diberikan pada orientasi dan teori pembangunan na
sional yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali
aspekaspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori
pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi
pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.
Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah, orien
tasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya mementing
kan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan
banyak sekali para orang kaya –yang di kemudian hari menjadi
konglomerat hitam, membawa lari modal pinjaman mereka ke
luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pemba
ngunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor pro
dukproduk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan
perhatian pada pembentukan modal secara besarbesaran ke
pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pem
berian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahan
kemudahan dan fasilitasfasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis
ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita,
hingga dewasa ini.
Islam dan teori
Pembangunan nasional
g 185 h
Untuk meredam suara protes yang mencari sebabmu
sabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuanacuan seperti
persaingan, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan
berefisiensi. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang
harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat
bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik
yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun
yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM
yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghor
matan kepada tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi
yang tinggi.
eg
Ukuran teori pembangunan nasional yang sekuler yang di
gunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang ber
beda dari teori pembangunan nasional yang lebih lengkap (baik
aspek spiritual keagamaan maupun aspekaspek lainnya). Teori
pembangunan nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi
rendahnya pendapatan nasional sebuah bangsa, dengan meng
gunakan berbagai pertimbangan kuantitatif. Sedangkan teori
pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa
bermula dari tanggung jawab menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menu
rut ajaran Islam dinamai kesejahteraan. Perbedaan titik tolak
dalam memandang hasil pembangunan nasional ini, tidak dapat
dihindarkan, karena memang cara melihat masalahnya pun
berbeda. Dari sudut pandang spiritual keagamaan, yang dinilai
adalah capaian individu warga masyarakat, sedangkan bagi teori
pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah
capaian makro negara.
Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya ber
beda dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bah
wa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang
sekuler atau teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu
saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pemba
ngunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keagamaan.
Karena, di samping ukuranukuran kuantitatif seperti penghasil
an nasional, capaian umur ratarata warga negara –baik pria
dan wanita serta pemilikan ratarata perorangan tiap penduduk
Islam dan tEoRI PEmbanGunan nasIonal
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 186 h
sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya,
juga digunakan ukuran nonmateriil –seperti keadilan, HAM,
dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak
hanya satu corak saja, tapi memiliki beragam ukuran dari satu
ke lain bidang.
Ini menjadi sesuatu yang penting, karena dengan ukuran
ukuran kuantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi
dalam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertu
kangan dan sebagainya. Justru di negaranegara berkembang,
disparitas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negaranegara
berteknologi maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masya
rakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan penda
patan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, mem
buat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang
besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negaranegara ber
teknologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih
kecil kesenjangannya, sesuatu yang belum ada pengaturannya di
negaranegara yang sedang berkembang.
eg
Dengan demikian, sloganmottosemboyan yang diguna
kan dalam pembangunan nasional pun juga berbeda. Nah, per
bedaan ini harus dicari sumbersumbernya dalam teori pemba
ngunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis
membedakan teori pembangunan nasional yang sekuler dengan
teori yang juga memasukkan aspekaspek spiritualkeagamaan.
Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, karena
ia melihat ketimpanganketimpangan dalam orientasi pemba
ngunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas
dan pengusaha kaya belaka.
Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pemba
ngunan nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orien
tasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping
ukuran kuantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finan-
sial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diaki
batkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis,
dan mengabaikan ukuranukuran seperti kesejahteraan bersa
ma, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hakhak
asasi manusia.
g 187 h
Jelaslah dengan demikian, ukuran mikro dan makro yang
benar harus samasama digunakan dalam mengukur capaian
pembangunan nasional kita. Ini berarti harus ada perubahan
besar dalam strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di
samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata
niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi
(yang lebih bersifat ukuranukuran mikro), digunakan juga orien
tasi yang benar akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan
HAM. Dengan kata lain, di samping ukuranukuran kuantitatif
yang bersifat mikro, digunakan juga ukuranukuran kualitatif
dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan ke
pentingan rakyat banyak, sebagai halhal makro yang juga harus
diperhatikan. h
Islam dan tEoRI PEmbanGunan nasIonal
g 188 h
Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan sebagai per
saingan terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi
dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga inter
nasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO)1.
Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui
tulisan ini. Dalam uraian ini, akan tercapai kejelasan pandangan
dan maksud tentang halhal ini .
Globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan
dominasi perusahaanperusahaan besar atas perekonomian
negaranegara berkembang, yang tentu saja akan sangat meru
gikan negaranegara ini . Karena itulah, tentangan atas
WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan
oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang
berpangkalan di negaranegara berteknologi maju. Penentangan
terbuka atas WTO oleh LSM internasional di Seatle2, mempenga
1World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia
yang secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, merupakan satusatunya
badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar
negara. Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi: 1. Barang/ goods (General
Agreement on Tariff and Trade/ GATT) 2. Jasa/ services (General Agreement
on Trade and Services/ GATS) 3. Kepemilikan intelektual (TradeRelated As
pects of Intellectual Properties/ TRIPs) 4. Penyelesaian sengketa (Dispute Sett
lements)
2Demonstran dari berbagai negara meluruk lokasi Konferensi Tingkat
Menteri WTO yang berlangsung di Negeri Paman Sam pada November 1999 ini.
Para demonstran menentang WTO dengan alasan globalisasi tidak demokratis,
merusak lingkungan, mengurangi pekerjaan, menimbulkan pengangguran dan
Islam dan Globalisasi Ekonomi
g 189 h
ruhi sikap negaranegara berkembang, yang dimunculkan dalam
konferensi WTO di Doha, Qatar tahun 2001.
Namun, tentangan terhadap gagasan globalisasi ekonomi
itu tidak dilanjutkan dengan kampanye besarbesaran untuk me
numbuhkan alternatif baru atas globalisasi itu. Dengan kegagal
an menampilkan strategi positif itu tampak bahwa pengertian
lama yang negatif tentang globalisasi tetap berlaku. Hal ini tentu
berbeda, misalnya, dengan strategi Bung Karno untuk menye
rang imperialisme dengan mengemukakan alternatifnya, yaitu
negaranegara AsiaAfrika.
Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang
sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama
tentang pembangunan nasional. Pandangan itu, berangkat dari
apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi
dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor
utama: arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagai
mana masyarakat menggunakan barang dan jasa ini . Mo
dal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk
membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat.
Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keun
tungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya mem
perbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat
menyengsarakan pembeli/pengguna barang ini .
Maksudnya, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan
pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan da
lam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata
lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti
tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk me
manipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperke
nankan adanya pendekatan laisses faire (kebebasan penuh) yang
menjadi ciri kapitalisme klasik. Dalam pandangan Islam, benda
dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pi
hak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi eko
nomi. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah
pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melain
kan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif.
menghambat kenaikan gaji. Perusahaan mulitnasional asing yang merupakan
ujung tombak implementasi globalisasi mereka anggap perampok dan secara
umum merusak ekonomi nasional.
Islam dan GlobalIsasI EkonomI
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 190 h
Dengan pendekatan noneksploitatif semacam itu, me
mang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa cam
pur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya
eksploitasi itu sendiri. Di sinilah peranan negara menjadi sangat
penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara
yang terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Manusia harus
diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Jika
prinsip noneksploitatif dalam sebuah transaksi ekonomi seperti
digambarkan di atas terjadi, maka dengan sendirinya pengertian
akan globalisasi juga harus dijauhkan dari dominasi sebuah nega
ra/perusahaan atas negara/perusahaan lain. Karena itu, global
isasi dalam pengertian lama yang hanya mementingkan satu
pihak saja haruslah dirubah dengan pengertian baru yang lebih
menekankan keseimbangan antara pemakai/pengguna sebuah
barang/jasa dan penghasil (produsennya).
Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam global
isasi tidak harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh pengua
sa modal untuk melikuidasi saingan mereka, melainkan justru
diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara kepentingan
produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak
konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian
antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang
ekonomi dan perdagangan.
Di lihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan
Islam diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara pro
dusen barang/jasa dan negara pengguna barang/jasa ini ,
sehingga tercapai keseimbangan atas kehidupan internasional
di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain, keadilan tidak
memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah
kepentingan sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri
berubah arti menjadi tercapainya keseimbangan antara kedua
belah pihak. Singkatnya, WTO seharusnya berperan mendorong
perkembangan ke arah itu, bukannya menjamin kebebasan ber
niaga secara penuh, dengan hasil terlemparnya bangsa atau peru
sahaan lain karenanya. Sederhana, bukan? h
g 191 h
Judul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat
proses “penyantrian”1 kaum muslimin di seluruh dunia Is
lam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan penga
matan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap
sebagai orangorang “Islam statistik” belaka alias kaum musli
min yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaranajaran
agama mereka. Orangorang seperti itu, dikalangan “kaum san
tri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orangorang abangan”
(nominal muslim) di Indonesia. Mereka berjumlah sangat besar,
jauh lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada
anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas
ajaranajaran agama mereka berjumlah sekitar 30 % dari pen
duduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak
melaksanakan “kewajibankewajiban” agama dengan tuntas.
Karena “menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap
Islam baru tersebar dalam lingkup tauhid di negeri kita, maka
para wakil berbagai organisasi Islam, menerima pencabutan
1 Istilah “penyantrian” berasal dari kata dasar “santri”. Sementara Santri
adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren.
Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajaran
nya lebih banyak ilmuilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya
tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak
berkembang di Pulau Jawa.
syari’atisasi dan Bank syariah
Islam dan EkonomI kERakyatan
g 192 h
Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus Hadiku
sumo, Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subar
djo, Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim menerima pencabutan
itu dengan mewakili organisasi masingmasing. Tentu mereka
bersikap seperti itu, karena secara de facto telah berkonsultasi
dengan kawankawan lain dari organisasi masingmasing, atau
paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di ka
langan gerakan Islam di Indonesia. Hanya dengan keyakinan
seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di kemuka
kan di atas. Pengetahuan sejarah ini sangat diperlukan, un
tuk mengetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan
Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk menge
tahui motif dari keputusan yang diambil ini .
Pada saat ini, organisasiorganisasi Islam menguasai wa
cana politik dan budaya di negeri kita. Sebagaimana terlihat
dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan pan
dangan dan pemikiran mengenai kedua bidang ini dalam
media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topiktopik
yang sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut
aspekaspek agama Islam, namun hampir dua pertiga paparan
pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan
mereka yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam
kehidupan seharihari telah turut bersamasama menyatakan
pendapat dan pandangan kaum santri di media khalayak. Dari
fakta ini, banyak pengamat asing tentang Indonesia, berpan
dangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui pandangan
kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut Indonesia.
eg
Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati
adalah pelaksanaan syari’ah2 (jalan hidup kaum muslimin),
umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri
2 Kata syari’ah biasanya merujuk kepada Syariat Islam, yang berarti
berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Selain berisi hukum dan aturan,
Syariat Islam juga berisi problem solving (penyelesaian masalah) seluruh ke
hidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan
panduan integral/menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup
manusia dan kehidupan dunia ini.
g 193 h
di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan
dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah dilaku
kan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai
“pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga
perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah
membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk
tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara for
mal atau resmi. Karena itu, saat penulis masih menjadi Presi
den, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya
bertentangan dengan undangundang dasar dianggap batal.
Karena itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus
dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan de
ngan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa
sampai sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di beberapa
daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawab
nya, karena Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan
kata akhir bagi pembahasan halhal mendasar bagi kehidupan
kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahka
mah Agung yang benarbenar menjalankan kewajiban, tentulah
tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum tero
ris”. Karena ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak
memberikan kontribusi apaapa dalam memudahkan berbagai
masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita
sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang ingin memberlaku
kan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin
D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945,
bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri
(what we have to fear is fear itself).
Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Suma
tera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah
jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarg