islam 6

Tampilkan postingan dengan label islam 6. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 6. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

islam 6



 di masa lampau dapat dianggap selesai, apapun alas­

annya, karena kita sekarang sudah kuat sebagai bangsa dan tidak 

usah menakuti kelompok manapun. Justru keadilan yang harus 

kita tegakkan, sebagai persyaratan utama bagi sebuah proses de­

mokratisasi. Kita adalah bangsa yang besar. Dengan penduduk 

saat ini 205 juta lebih, kita harus mampu menegakkan keadilan, 

dan tidak “menghukum” mereka yang tidak bersalah. Seperti 

pembelaan (pledoi) Amrozi di muka Pengadilan Negeri Denpa­

sar, bahwa ia merakit bom kecil saja, sedangkan ada orang yang 

dibalik pemboman Bali itu dengan bom besar yang membunuh 

3 Perundingan Renville dilakukan di atas kapal pengangkut pasukan 

Angkatan Laut Amerika USS Renville yang dimulai pada 8 Desember 1947. Pada 

tanggal 17 Januari 1948 hasil Perjanjian Renville ditandatangani oleh Perdana 

Mentri Mr. Amir Sjarifuddin, yang disaksikan oleh H.A. Salim, Dr.Leimena, 

Mr. Ali Sastroamidjojo, dimana sebagian isinya: penghentian tembak menem­

bak disepanjang “Garis van Mook”. Penghentian tembak menembak yang di­

ikuti dengan perletakan senjata dan pembentukan daerah­daerah kosong mili­

ter. Mengakui secara de facto kekuasaan RI sekitar daerah Yogyakarta.

g 157 h

lebih dari 200 orang. Pernyataan Amrozi ini seharusnya men­

dorong kita memeriksa “pengakuan” ini . Karena hal ini ti­

dak dilakukan maka  hingga saat ini kita tetap tidak tahu, apakah 

pendapat Amrozi itu berdasarkan fakta atau tidak. Demikian 

juga, kita tetap tidak tahu siapa yang meledakan bom di Hotel 

Marriott Jakarta beberapa waktu kemudian.

Begitu banyak rahasia menyelimuti masa lampau kita, 

sehingga tidak layak jika kita bersikap congkak dengan tetap 

menganggap diri kita benar dan orang lain salah. Diperlukan ke­

rendahan hati untuk melihat semua yang terjadi itu dalam per­

spektif prikemanusiaan, bukannya secara ideologis. Kalau meng­

gunakan kacamata ideologis saja, maka sudah tentu akan sangat 

mudah bagi kita untuk menganggap diri sendiri benar dan orang 

lain bersalah. Ini bertentangan dengan hakekat kehidupan bang­

sa kita yang demikian beragam. Kebhinekaan/keragaman justru 

menunjukkan kekayaan kita yang sangat besar. Karenanya kita 

tidak boleh menyalahkan siapa­siapa atas kemelut yang masih 

menghinggapi kehidupan bangsa kita saat ini. 

Sebuah contoh lagi dapat dikemukakan. Abu Bakar Ba’asyir 

yang dianggap sebagai “biang kerok” terorisme di negeri kita, 

saat ini mendekam di LP (Lembaga Permasyarakatan) Cipinang, 

Jakarta Timur setelah pengadilan menjatuhkan hukuman em­

pat tahun penjara. Memang pengadilan menetapkan ia bersalah 

namun kepastian sejarah belum kita ketahui, mengingat data­

data yang “tidak pasti (unreliable)” digunakan dalam mengambil 

keputusan. Selain itu, memang pengadilan­pengadilan kita penuh 

dengan “mafia peradilan’, maka kita tidak dapat diyakinkan oleh 

“kepastian hukum” yang dihasilkannya. Seperti halnya kasus 

Akbar Tandjung, jelas keputusan Mahkamah Agung akan terus 

“diragukan” apapun bunyi keputusan itu sendiri. Tidak heran­

lah sekarang kita mengalami “kelesuan” dalam menegakkan ke­

daulatan hukum. Inilah rahasia mengapa tidak ada investasi dari 

luar negeri, karena langkanya kepastian hukum tadi.

Sebuah kasus lain cukup menarik untuk dikemukakan di 

sini. Kyai Mahfud Sumalangu (Kebumen), adalah pahlawan yang 

memerangi balatentara pendudukan Belanda di Banyumas Se­

latan. saat  Kabinet Hatta memutuskan “rasionalisasi” TNI atas 

kEadIlan dan REkonsIlIasI

usul Jenderal Besar AH. Nasution, antara lain berupa ketentuan 

bahwa Komandan Batalyon TNI haruslah berijazah. Ijazah itu 

hanya dibatasi pada keluaran beberapa lembaga pendidikan saja 

(tidak termasuk pesantren), maka kyai kita itu tidak diperkenan­

kan menjadi komandan batalyon di Purworejo. Sebagai gantinya 

diangkat seorang perwira muda bernama A. Yani. Akibatnya kyai 

kita itu mendirikan Angkatan Umat Islam (AUI) yang kemudian 

dinyatakan oleh A. Yani sebagai pemberontak. Peristiwa tragis 

ini terjadi pada awal tahun 50­an, namun bekasnya yang pahit 

masih saja tersisa sampai hari ini.

Korban­korban politik seperti ini masih banyak terdapat di 

negeri kita dewasa ini. Karenanya, kita harus memiliki kelapang­

an dada untuk dapat menerima kehadiran pihak­pihak lain yang 

tidak sepaham dengan kita. Termasuk di dalamnya orang­orang 

mantan Napol dan Tapol PKI, yang kebanyakan bukan orang 

yang benar­benar memahami ideologi komunis. Karena itulah, 

penulis tidak pernah menganggap mantan anggota PKI maupun 

DI/TII sebagai “lawan yang harus diwaspadai”. Penulis justru 

beranggapan bahwa mantan anggota PKI itu, sekarang sedang 

mencari Allah  dalam kehidupan mereka, karena apa yang saat 

ini mereka anggap sebagai “kezaliman­kezaliman”, justru pernah 

mereka jalani saat “berkuasa”. Sekarang mereka berpegang pada 

keyakinan yang mereka miliki, yang tidak bertentangan dengan 

undang­undang dasar. Kalau kita juga menggunakan cara pan­

dang itu, berarti kita sudah turut menegakkan keadilan.

Dari uraian di atas, jelas bahwa yang kita perlukan adalah 

rekonsiliasi nasional, setelah pengadilan memberikan keputusan 

“yang adil” bagi semua pihak. Kalau “konglomerat hitam” dapat 

diberi status Release and Discharge (bebas dari segala tuntutan), 

mengapakah kita tidak melakukan hal seperti itu pada orang­

orang mantan PKI dan DI/TII? Jadi, pengertian dari rekonsiliasi 

yang benar adalah pertama mengharuskan adanya pemeriksaan 

tuntas oleh pengadilan, kalau bukti­bukti yang jelas masih dapat 

dicari. Baru kemudian diumumkan pengampunan setelah vonis 

pengadilan dikeluarkan. Di sinilah keadilan harus ditegakkan di 

Bumi Nusantara. Sebuah tekad untuk memeriksa kasus­kasus 

yang terjadi di depan mata kita dalam masa lima belas tahun ter­

akhir ini, justru meminta kepada kita agar “melupakan” apa yang 

terjadi 40­50 tahun yang lalu. Kedengarannya mudah dilakukan, 

namun dalam kenyataan sulit dilaksanakan.

Dalam pandangan Islam, tujuan hidup perorangan adalah 

mencari kebahagian dunia dan akhirat yang dicapai me­

lalui kerangka peribadatan kepada Allah Swt. Terkenal 

dalam hal ini firman Allah melalui kitab suci al-Qurân: “Tidak 

Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada 

Ku (wa mâ khalaqtu al-jinna wa al-insâ illâ liya’budûni)” (QS. 

adz-Dzâriyât [51]:56). Dengan adanya konteks ini, manusia se­

lalu merasakan kebuAllah  akan Allah , dan dengan demikian ia 

tidak berbuat sesuka hati. Karena itulah, akan ada kendali atas 

perilakunya selama hidup, dalam hal ini adalah pencarian pa­

hala/kebaikan untuk akhirat, dan pencegahan sesuatu yang se­

cara moral dinilai buruk atau baik di dunia. Karena itulah do’a 

seorang muslim yang paling tepat adalah “Wahai Allah , berikan 

kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat (rabbanâ 

âtinâ fî ad-dunya hasanatan wa fî al-âkhirati hasanatan)” (QS. 

al­Baqarah [2]:201).

Yang digambarkan di atas adalah kerangka mikro bagi ke­

hidupan seorang Muslim di dunia dan akhirat. Hal ini adalah se­

suatu yang pokok dalam kehidupan seorang manusia, yang di­

simpulkan dari keyakinan akan adanya Allah dan bahwa Nabi 

Muhammad Saw adalah utusan­Nya. Tanpa kedua hal pokok itu 

sebagai keyakinan, secara teknis dia bukanlah seorang muslim. 

Karena manusia adalah bagian dari sebuah masyarakat, 

maka secara makro ia adalah makhluk sosial yang tidak berdiri 

sendiri. Terkenal dalam hal ini ungkapan: “Tiada Islam tanpa ke­

lompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepe­

mimpinan tanpa ketundukan. (La Islama Illa bi Jama’ah wala 

Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Dengan 

demikian, kedudukan dan tugas seorang pemimpin sangat berat 

dalam pandangan Islam. Dia harus menciptakan kelompok yang 

kuat, patuh dan setia pada kerangka peribadatan yang dikemu­

kakan Islam. Oleh sebab itu, seorang pemimpin harus memiliki 

strategi yang jelas agar tercapai tujuan masyarakat yang adil 

dan makmur. Tujuan ini diungkapkan dengan indahnya dalam 

pembukaan Undang­undang Dasar (UUD) 1945. Sedang dalam 

bahasa Arab, seornag pemimpin harus mampu menciptakan ke­

sejahteraan masyarakat yang bertumpukan keadilan dan kemak­

muran atau “al-maslahah al-âmmah”. 

Hal kedua yang harus ditegakkannya adalah orientasi yang 

benar dalam memerintah, termasuk orientasi ekonomi yang jelas. 

Jika segala macam kebijakan pemerintah, tindakan yang diam­

bil dan peraturan­peraturan di bidang ekonomi yang selama ini 

–sejak kemerdekaan kita­, hampir seluruhnya mengacu kepada 

kemudahan prosedur dan pemberian fasilitas kepada usaha be­

sar dan raksasa, yang berarti orientasi ini tidak memihak kepada 

kepentingan Usaha Kecil Menengah (UKM), maka sekarang su­

dah tiba saatnya untuk melakukan perubahan­perubahan dalam 

orientasi ekonomi kita. Orientasi membangun UKM, dijalankan 

dengan penyediaan kredit yang berbunga sangat rendah sebagai 

modal pembentukan UKM ini .

Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan 

tekanan dalam ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada 

bidang ekspor, yang hasilnya dalam bentuk pajak­ sangat sedikit 

kembali ke kas pemerintah, karena begitu banyak keringanan 

untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus diuta­

makan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar­besaran.

Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, pe­

ningkatan pendapatan masyarakat guna menciptakan kemam­

puan daya beli yang besar. Kedua, pengerahan industri guna 

menghidupkan kembali penyediaan barang untuk pasaran dalam 

negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya ter­

gantung kepada tata niaga internasional.

Ini berarti, kita harus tetap memelihara kompetisi yang ju­

jur, mengadakan efisiensi dan menciptakan jaringan fungsional 

bagi UKM kita, baik untuk menggalakkan produksi dalam negeri, 

maupun untuk penciptaan pemasaran dalam negeri yang kita per­

lukan. Keterkaitannya adalah tetap memelihara tata niaga inter

nasional yang bersih dan bersaing, disamping memperluas basis 

pajak kita (dari sekitar 2 juta orang saat ini ke 20 juta orang wa­

jib pajak dalam beberapa tahun mendatang). Ditambah dengan, 

pemberantasan kebocoran­kebocoran dan pungutan liar yang 

masih ada sekarang ini. Barulah dengan demikian, dapat kita 

naikkan pendapatan.    

Tata ekonomi seperti itu akan lebih memungkinkan terca­

painya kesejahteraan dengan cepat, yang dalam pembukaan 

UUD 1945 disebutkan sebagai terciptanya masyarakat adil dan 

makmur. Dalam fiqh disebutkan “kebijakan dan tindakan pe­

mimpin atas rakyat yang dipimpin harus sejalan dengan kemas­

lahatan mereka’ (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-ra’iyyah manûthun 

bi al-mashlahah)”. Itu berlaku juga untuk bidang ekonomi. Eko­

nomi yang berorientasi kepada kemampuan berdiri di atas kaki 

sendiri, menjadikan ekonomi kita akan sesuai dengan ajaran­ajar­

an Islam. 

Apakah ekonomi yang sedemikian itu akan dinamai eko­

nomi Islam atau hanya disebut ekonomi nasional saja, tidaklah 

relevan untuk didiskusikan di sini. Yang terpenting, bangunan 

ekonomi yang dikembangkan, baik tatanan maupun orientasi­

nya, sesuai dengan ajaran Islam. Penulis yakin, ekonomi yang 

sedemikian itu juga sesuai dengan ajaran­ajaran berbagai agama 

lain. Karenanya, penamaan ekonomi seperti itu dengan nama eko­

nomi Islam, sebenarnya juga tidak diperlukan sekali, karena yang 

terpenting adalah pemberlakuannya, dan bukan penamaannya.

Dalam kerangka inilah, kepentingan mikro ekonomi Islam 

secara pribadi, yaitu untuk mencapai kebahagiaan dunia­akhirat, 

lalu sama posisinya dengan dibangunnya ekonomi makro yang 

mementingkan keadilan dan kemakmuran seluruh bangsa. Sebe­

narnya kita dapat melakukan hal itu, apabila tersedia political 

will untuk menerapkannya. Memang, ekonomi terlalu penting 

bagi sebuah bangsa jika hanya untuk diputuskan oleh sejumlah 

ahli ekonomi belaka, tanpa melibatkan seluruh bangsa. Karena 

menyangkut kesejahteraan seluruh bangsa, maka diperlukan 

keputusan bersama dalan hal ini. Untuk mengambil keputusan 

seperti itu, haruslah didengar lebih dahulu perdebatannya. h


g 164 h

Sejumlah ahli ekonomi berpendapat bahwa ada kaitan 

langsung antara Islam dan ekonomi. Dengan demikian, 

ada yang dinamakan ekonomi Islam, yaitu Islam memuat 

ajaran­ajaran ekonomi yang harus diterapkan oleh masyarakat 

kaum muslimin. Pengakuan ini sangatlah menarik, karena kita 

sudah lama melihat bahwa ekonomi hanyalah bersifat empirik 

saja, sedangkan agama memiliki nuansa spiritual yang sangat 

kuat. Jadi, ada sebuah pertanyaan yang sangat menarik, adakah 

ekonomi Islam? 

Pada tahun­tahun 70­an dan 80­an, sejumlah ekonom 

mengajukan pendapat, bahwa sebuah ekonomi dapatlah dina­

makan ekonomi Islam, kalau mengikuti ketentuan­ketentuan 

agama Islam mengenai riba, eksistensi bank dan penolakan ter­

hadap asuransi. Menurut pendapat ini, sistem perbankan tidak 

diperkenankan menggunakan bunga bank (bank interest), se­

dangkan ketentuan­ketentuan yang lazim dalam asuransi sama 

saja dengan permainan judi, yang diharamkan oleh Islam. De­

ngan demikian, pemberian atau pengambilan bunga bank dan 

penerimaan asuransi berarti penyimpangan dari hukum Islam. 

Ekonomi yang menggunakan kedua­duanya sama saja dengan 

ekonomi yang menolak ajaran Islam. 

Dalam tahun­tahun 70­an, muncul juga pendapat orang­

orang seperti Prof. Dr. Mubyarto dari Universitas Gajah Mada 

(UGM), yang mengemukakan pendapat tentang Ekonomi Panca­

sila. Menurut pendapat beliau, Ekonomi Pancasila harus terkait 

langsung dengan ekonomi orang kecil, dan bertumpu pada mo­

ralitas. Pendapat ini identik dengan konsepsi dari ekonomi Islam, 

Islam, moralitas dan Ekonomi

g 165 h

minus soal bunga bank dan asuransi. Karenanya, pembahasan 

tentang ekonomi Islam dengan segera lalu terhenti, karena orang 

lalu berdiskusi tentang Ekonomi Pancasila. Dalam pada itu, eko­

nomi yang empirik dan bebas nilai, seperti yang dibawakan kaum 

teknokrat, tetap dilaksanakan dan berkembang pesat.

Sekarang ini, terasa adanya keperluan untuk membahas 

ada tidaknya ekonomi Islam. Pertama, karena adanya sejum­

lah program yang menggunakan nama syari’ah, seperti bank 

syari’ah yang ada di lingkungan sebuah bank besar milik nega­

ra (BUMN). Begitu juga ada beberapa upaya percobaan untuk 

menerapkan asuransi menurut ajaran Islam –yang dikenal de­

ngan nama takaful. Kedua, karena dalam waktu lima belas tahun 

terakhir, ekonomi kita benar­benar bersifat empirik dan tidak 

menggunakan acuan moral sama sekali. Ini berarti, telah terba­

ngunnya ekonomi yang benar­benar kapitalistik dan berazas sia­

pa yang kuat dan cerdik, dialah yang menguasai segala­galanya.

Bahkan, begitu kuatnya watak kapitalistik dalam ekonomi 

kita waktu itu, hingga seorang bankir dan pendiri jaringan se­

buah bank raksasa di negeri ini, senantiasa mengucapkan “puji 

Allah ” setiap kali akan atau usai menipu orang. Jadi agama dire­

dusir hanya menjadi keimanan dan keyakinan belaka, sedangkan 

dimensi sosial dijauhkan dari agama dalam pengertian ini . 

Benarkah dengan sistem ekonomi harus membuang jauh­jauh 

pertimbangan moral sama sekali? Di sisi lain,  dapatkah sebuah 

sistem yang hanya bertumpu pada acuan moral saja, dinamai 

sebuah sistem ekonomi? Kalau jawabannya positif, berarti eko­

nomi Islam ada; dan kalau jawabannya negatif, berarti tidak ada 

ekonomi Islam. Justru dalam menentukan jawaban atas kedua 

pertanyaan di atas, terletak wujud atau tidak terwujudnya eko­

nomi Islam.

Yusuf Qardhawi1 mengemukakan, bahwa tidak dapat begitu 

saja bunga bank dianggap sebagai riba, tergantung pada besar­

kecil dan maksud pemungutan bunga bank ini . Menurut 

1 Lahir di sebuah desa kecil di Mesir bernama Shafth Turaab di tengah 

delta pada 9 September 1926. Usia 10 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an. Menamat-

kan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qardhawi melanjut­

kan ke Universitas al­Azhar, Fakultas Ushuluddin lulus tahun 1952. Tapi gelar 

doktornya baru dia peroleh pada tahun 1972 dengan disertasi “Zakat dan Dam­

paknya Dalam Penanggulangan Kemiskinan”, yang kemudian di sempurnakan 

menjadi Fiqh Zakat. 

Islam, moRalItas dan EkonomI

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 166 h

pendapatnya, jika bunga bank dipungut dari upaya non­produk­

tif –katakanlah bersifat konsumtif belaka, maka ia dapat dikata­

kan riba. Kalau bunga bank itu merupakan bagian dari sebuah 

upaya produktif maka bunga bank yang digunakan atas transaksi 

itu bukanlah riba, melainkan bagian dari ongkos produksi saja.

Dari uraian di atas, menjadi jelas bagi kita bahwa ada tiga 

hal yang sangat penting yang tidak boleh dilupakan sama sekali. 

Pertama, orientasi ekonomi itu sendiri, yang harus memperjuang­

kan nasib rakyat kecil serta kepentingan orang banyak. Ini sesuai 

dengan ketentuan agama Islam bahwa tindakan pemimpin atas 

rakyat yang dipimpin harus terkait langsung dengan kesejahtera­

an rakyat yang dipimpin. Istilah yang digunakan dalam bahasa 

Arab oleh fiqh adalah maslahah, diterjemahkan oleh penulis 

dengan istilah kesejahteraan. Dan, dalam bahasa Undang­un­

dang Dasar (UUD) 1945, masyarakat sejahtera dirumuskan seba­

gai masyarakat adil dan makmur, hingga orientasi kepentingan 

dan kesejahteraan warga masyarakat itu, yang dikandung oleh 

Islam, sepenuhnya sesuai dengan UUD 1945.

Kedua, mekanisme yang digunakan untuk mencapai kese­

jahteraan itu, tidak ditentukan format dan bentuknya. Dengan 

demikian, acuan persaingan-perdagangan bebas dan efisiensi 

yang dibawakan oleh kapitalisme, tidaklah bertentangan dengan 

pandangan ekonomi yang dibawakan Islam. Bahkan Islam me­

nganjurkan adanya sikap fastabiqu al-khairat (berlomba dalam 

kebaikan), yang menjadi inti dalam praktek ekonomi yang se­

hat. Dengan persaingan dan perlombaan, akan terjadi efisiensi 

yang semakin meningkat. Namun, pemerintah sebagai pengua­

sa harus memberikan perlindungan kepada yang lemah tanpa 

melakukan intervensi dalam perdagangan. Negara­negara yang 

berteknologi maju­pun melindungi para penganggur, sampai 3% 

dari jumlah keseluruhan kaum pekerja. Ini adalah prinsip yang 

harus dipegang teguh dalam menentukan kebijakan ekonomi. 

Dari orientasi dan mekanisme pasar seperti itu, jelas bahwa 

tidak ada satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Se­

dangkan masalah bunga bank dan pelaksanaan asuransi sebagai 

unit parsial dalam kehidupan ekonomi, dapat saja dirumuskan 

yang benar­benar sesuai dengan ajaran Islam, dengan predikat 

bank Islam/bank syari’ah maupun takaful/asuransi Islam. Pe­

nyebutan ekonomi secara keseluruhan sebagai “ekonomi Islam” 

dapat saja dilakukan tanpa kehilangan Islamisitas kita sendiri. 

g 167 h

What is a name? ungkap dramawan dunia William Shakespeare. 

Karenanya, dapat saja kita melihat pelaksanaan prinsip­prinsip 

Islam, namun dalam orientasi dan mekanismenya adalah ekono­

mi kapitalistik. Padahal orientasi kapitalistik itu dapat dibeda­

kan dari orientasi Islam. Dalam orientasi kapitalistik yang di­

utamakan adalah individu pengusaha besar dan pemilik modal. 

Dalam Islam, justru kepentingan rakyat­kesejahteraan masyara­

kat secara keseluruhan yang menjadi ukuran. h

Islam, moRalItas dan EkonomI

g 168 h

Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah 

keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam ke­

hidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Is­

lam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil (an ta’dilû)” 

maupun keharusan “menegakkan keadilan (kûnû qawwâmîna bi 

al-qisthi),” berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al-Qurân. 

Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristi­

lahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan 

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI): menegakkan ke­

adilan dan mencapai kemakmuran. Kalau negara lain mengemu­

kakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) 

sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip ke­

adilan daripada prinsip kemerdekaan itu.

Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita seka­

rang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia 

usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Se­

olah­olah kita mengikuti prinsip kemakmuran dan kebebasan 

itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. 

Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM ­yang 

kemudian dicabut kembali­, menunjukkan hal itu dengan jelas, 

kalau kita tidak berprinsip keadilan. Tentulah kenaikan harga itu 

harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. De­

ngan demikian, bukankah telah terjadi pengambilalihan sebuah 

paham dari negeri lain ke negeri kita, yang memiliki prinsip se­

suai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang 

melindungi kaum lemah, padahal akibat paham itu mereka ha­

rus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bang­

sa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, 

adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?

Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 

Islam dan keadilan sosial

g 169 h

45 dengan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan per­

bedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan peme­

rintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi. 

Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan 

karena keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan 

keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini 

adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi 

oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melaku­

kan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap 

pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan 

UUD 45. 

Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan me­

nerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai 

sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang 

harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. 

Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka 

konstitusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Se­

perti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa 

rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menja­

dikan sistem politik kita benar­benar liberal, yang berdasarkan 

suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amande­

men UUD lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.

eg

Dalam memahami perubahan­perubahan sosial yang ter­

jadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima 

hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas ja-

lannya proses ini . Dalam hal ini, penulis mengemukakan 

sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penaf­

siran kembali (reinterpretasi) atas ajaran­ajaran agama yang 

tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa 

proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit 

memahami ayat-ayat al-Qurân. Seperti misalnya “Hari ini telah 

Ku­sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku­sempur­

nakan (pemberian) nikmat­Ku dan Ku­relakan bagi kalian Islam 

sebagai agama (al-yauma akmaltu lakum dînakum wa atmam-

tu ‘alaikum ni’matî wa radhîtu lakum al-Islâma dînan)” (QS. 

al­Maidah [5]:3). Ayat ini  menunjukkan bahwa Allah telah 

menurunkan prinsip­prinsip yang tetap (seperti daging bangkai 

Islam dan kEadIlan sosIal

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 170 h

itu haram), sedangkan hukum­hukum agama (fiqh/ canon laws) 

terus­menerus mengalami perubahan dalam perinciannya. 

Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) menge­

nai Keluarga Berencana (KB), yang bersifat rincian dan menga­

lami perubahan­perubahan. Dahulu, KB sama sekali ditolak, 

padahal waktu itu ia adalah satu­satunya cara untuk membatasi 

peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah program ini se­

bagai campur­tangan manusia dalam hak reproduksi manusia 

yang berada di tangan Allah  sebagai sang pencipta. Namun, ke­

mudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan 

kelahiran (tanzim an-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar 

menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. 

Dengan demikian, dipakailah cara­cara, metode, alat­alat dan 

obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kon­

dom dan sebagainya. Penggunaan metode dan alat­alat ini  

sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali ayat suci 

dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pem­

batasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (fami-

ly planning). 

Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, de­

ngan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang ini . 

Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengala­

mi “kemacetan”. Hal itu menyalahi ketentuan agama itu sendiri 

yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tem­

pat dan masa (al-Islâm yasluhu li kulli makânin wa zamânin).” 

Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muham­

mad Saw itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna, 

karena hanya pada hal­hal prinsip saja Islam bersifat tetap, se­

dangkan dalam hal­hal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang, 

kalau telah memenuhi persyaratan­persyaratan untuk itu.

eg

Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang 

pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah un­

tuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia 

yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam 

memperhatikan susunan masyarakat yang adil dengan mem­

bela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat 

suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan 

g 171 h

fai’) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka ha­

rus digunakan bagi Allah, utusan­Nya, sanak keluarga terdekat, 

anak­anak yatim, orang­orang miskin, para peminta­minta/

pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang 

terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang­

orang kaya saja di lingkungan kalian. (mâ afâ ‘a Allâhu ‘alâ rasû-

lihi min ahl al-qurâ fa li-Allâhi wa li al-rasûl wa li dzî al-qurbâ 

wa al-yatâ mâ wa al-masâkîn wa ibn al-sabîl, kailâ yakûnâ 

dûlatan bain al-aghniyâ’a minkum)” (QS al­Hasyr [59]:7).

Haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan 

Islam saat ini, bahwa apa yang dikemukakan oleh ayat suci di 

atas, menunjukkan dengan jelas watak keadilan struktural dari 

bangunan masyarakat, baik itu dicapai melalui perjuangan struk­

tural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun 

tidak. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Is­

lam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaat­

kan manusia untuk kepentingan manusia lain (exploitation de 

l’home par l’home). Jelas, sikap itu berlawanan dengan keselu­

ruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Kare­

nanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan 

KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus ber­

hadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat 

struktural atau non­struktural.

Jelaslah, bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman dan 

pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. 

Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh 

dari kata i’dilû’ atau ‘al-qisth’ itu sendiri, lalu ada sementara pe-

mikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “ke­

adilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin me­

ngenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini menginginkan 

pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial. Na­

mun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian be­

sar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyara­

kat. namun , lambat-laun akan muncul para aktifis yang meng­

gunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah 

keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya 

akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu 

“muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan 

kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan? h

Islam dan kEadIlan sosIal

g 172 h

Kitab suci al-Qurân berkali-kali menandaskan, bahwa ma­

salah kecukupan adalah masalah yang kerapkali meng­

ganggu hidup manusia. Dikatakan; “Telah membuat ka­

lian lalai, upaya memperbanyak harta, hingga kalian masuk liang 

kubur (Alhâkum al-takâtsur. Hattâ zurtum al-maqâbir)” (QS. 

at­Takatsur [102]:1­2). Jelas dari ayat ini bahwa, upaya mengejar 

harta sebanyak mungkin dapat melupakan manusia dari Allah , 

apalagi bila mengakibatkan penderitaan sesama manusia. Den­

gan demikian, melalui ayat di atas, Islam jelas sekali menentu­

kan bahwa manusia harus bersama­sama dalam kehidupan, ter­

masuk dalam mencari apa yang dinamakan “kecukupan”, baik 

yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (af-

fluent society).

Dengan demikian, nyata bagi kita, kecukupan itu dalam pe­

mikiran Islam ada aturannya, yaitu mencapai tingkat perolehan 

yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal yang sama. 

Kesamaan hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam kon­

sep kapitalisme klasik tidak pernah dipikirkan tentang gairah 

mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa manusia lain 

menjadi korban. 

Dalam persaingan bebas itu, tidak lagi mempedulikan siapa 

korban, toh manusia memang tidak bernasib sama. Jadi, negara 

berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga negara yang 

"kalah" dalam bentuk kecukupan minimal. Contoh yang paling 

Islam dan masalah kecukupan

g 173 h

umum adalah asuransi sosial, yang diberikan kepada orang yang 

menganggur. Sedang asuransi sosial bagi  pensiunan, sebesar 

80% pendapatan tertinggi semasa mereka masih bekerja. Asu­

ransi sosial ini adalah jaminan sosial akan kebuAllah  terendah 

seorang warga masyarakat, dan itulah yang menjadi tugas utama 

pemerintah, yakni penyediaan jaminan sosial yang mencukupi 

kebuAllah  standard kehidupan. Untuk tujuan politik, pemerin­

tah menyediakan berbagai pelatihan kerja, guna memungkinkan 

para penganggur itu memperoleh lapangan pekerjaan yang ta­

dinya tidak dapat mereka masuki.

Diharapkan dengan pembayaran pajak yang besar dari per­

saingan bebas, maka pemerintah kapitalis akan mampu menang­

gulangi masalah pengangguran itu melalui penetapan dasar ke­

cukupan minimal seorang warga negara. Kalau tercapai jumlah 

yang ditentukan itu, berarti pemerintah sudah melaksanakan 

tugas. 

Jadi keseluruhan hidup manusia diukur dengan capaian 

minimal ini , dan selebihnya manusia dapat mengejar ke­

tinggian maksimal dalam keenakan hidup secara material. Hal 

ini berarti, seluruh kehidupan diukur dengan ukuran capaian 

materialistik belaka. Maka, tidak mengherankan jika penerapan 

ukuran­ukuran pincang itu menghasilkan juga pola kehidupan 

yang pincang. Dalam institusi perkawinan pun terjadi perkem­

bangan yang sedemikian rupa, seperti masyarakat gay, lesbi dan 

bahkan perkawinan sejenis. Di sini, ukuran­ukuran moral yang 

kita ikuti selama ini justru “mengganggu” lembaga­lembaga baru 

yang akan diwujudkan mereka.

Sudah tentu, pengembangan ukuran materialistik bagi war­

ga negara harus diwujudkan guna mencapai masyarakat yang 

sejahtera. namun , hal ini tanpa harus meninggalkan ukuran­ukur­

an moral yang konvensional dalam kehidupan bermasyarakat. 

Tanggung jawab sosial para warga masyarakat tidak dapat di­

gantikan negara demikian saja, seperti yang terjadi di Skandi­

navia1. Angka bunuh diri yang tinggi di dalamnya, menunjukkan 

besarnya rasa tidak puas atas tatanan struktural yang dikem­

1  Suatu kawasan di Eropa Utara yang terkenal dengan tingkat kesejah­

teraan yang begitu tinggi para warganya. Negara­negara di kawasan ini; Nor­

wegia, Swiss, dan Finlandia, memberikan jaminan kesejahteraan yang cukup 

tinggi juga bagi para warganya yang miskin tak bekerja dan para manula. 

Islam dan masalaH kEcukuPan

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 174 h

bangkan. Sikap negara yang tidak memihak pada si lemah, mem­

buat para warga negara gundah perasaannya. Di tengah­tengah 

kemakmuran serba benda, dalam negara yang diperintah oleh 

kaum sosial demokrat itu, ternyata manusia tidak cukup dilayani 

dengan struktur materialistik belaka, melainkan juga membutuh­

kan institusi­institusi lain yang lebih mengarah kepada hal­hal 

spiritual. Aspek spiritual ini menjadi menonjol, dan mengambil 

bentuk munculnya nasionalisme sempit atau radikalisme model 

baru seperti yang terjadi di Eropa Barat, yang sering menyebut 

diri mereka sebagai golongan konservatif.

eg

Kehidupan di bawah tingkat kecukupan itu tidak menjadi 

perhatian benar bagi pemerintah, paling jauh hanya ditangani 

aspek psikologis yang bersifat materialistik saja. Contohnya ada­

lah manusia lanjut usia (manula) yang dalam masyarakat kita 

jumlahnya semakin lama semakin bertambah besar. Sebagai ca­

tatan di berbagai negara, dibangun sejumlah rumah panti jompo 

bagi para warga negara manula. Mereka berkumpul di rumah­

rumah jompo dan hidup bersama manula­manula lain. Negara 

tidak melihat hal yang aneh dalam keterpisahan (isolasi) antara 

sesama warga negara itu. Jadi, yang diperhatikan hanya sudut 

psikologis, tanpa meninjau terlalu jauh keterikatan manula dari 

keluarganya.

Tentu, apa yang diterangkaan di atas dapat diperdebatkan, 

seperti jawaban atas pertanyaan adakah pengaruh seorang manu­

la atas cucunya; bersifat positif ataukah negatif? Jawaban­jawab­

an atas pertanyaan seperti itu tentu saja menjadi penting untuk 

ditemukan rumusan-rumusannya yang definitif. Demikian pula, 

dapatkah jawaban­jawaban seperti itu menjadi sama bagi setiap 

warga negara, ataukah hanya berkenaan dengan warga negara 

tertentu saja? Karena itu, diperlukan sejumlah lembaga yang 

dipimpin oleh para pakar dari berbagai bidang untuk memadu 

jawaban yang diperoleh, sehingga menjadi landasan bagi sejum­

lah kebijakan umum.

Dari hal­hal yang disebutkan di atas, menjadi jelas bagi 

kita, bahwa wawasan agama harus dapat digabungkan dengan 

pertimbangan­pertimbangan kepakaran yang lain. Karenanya, 

menjadi penting untuk memahami peranan agama dalam me­

g 175 h

lihat masalah tidak hanya dari sudut agama belaka, melainkan 

secara menyeluruh dari berbagai bidang. Menjadi pertanyaan 

penting bagi kita, adakah Islam dapat menerima jawaban multi­

fungsi dan multi­bidang seperti ini.

eg

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa aplikasi atau penerap­

an­penerapan ajaran agama, termasuk agama Islam, memang 

bersifat sangat sulit dan sangat komplek dalam kehidupan nya­

ta. Karenanya, kita harus bersikap hati­hati dalam masalah ini. 

Kita tidak dapat berlepas­tangan dari aspek penyediaan jawaban 

dari sudut pandang agama atau justru hanya mengandalkan dari 

sudut pandang materialisme.

Guna memungkinkan jawaban­jawaban dalam hal ini, pe­

nulis beranggapan faktor nilai (values) turut menentukan tin­

dakan­tindakan manusia untuk memecahkan masalah­masalah 

yang mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini ber­

sifat komprehensif, berlawanan dengan jawaban dari lembaga 

pemerintahan pada umumnya.  Sungguh rumit bukan? h

Islam dan masalaH kEcukuPan

g 176 h

Dalam fiqh dikemukakan keharusan seorang pemimpin 

agar mementingkan kesejahteraan rakyat yang dipimpin, 

sebagai tugas yang harus dilaksanakan: “Kebijaksanaan 

dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung dengan 

kesejahteraan rakyat yang dipimpin (tasharruf al-imâm ‘alâ ar-

ra’iyyah manûtun bi al-maslahah)”. Sangat jelas tujuan berkua­

sa bukanlah kekuasaan itu sendiri, melainkan sesuatu yang di­

rumuskan dengan kata kemaslahatan (al-maslahah). Prinsip 

kemaslahatan itu sendiri seringkali diterjemahkan dengan kata 

“kesejahteraan rakyat”, yang dalam ungkapan ekonom dosen 

Harvard, yang juga mantan Duta Besar Amerika Serikat (AS) 

untuk India, John Kenneth Galbraith, sebagai “The Affluent So-

ciety”.1

Dalam bahasa pembukaan Undang­undang Dasar (UUD) 

1945, kata kesejahteraan ini  dirumuskan dengan ungkapan 

lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Itulah 

tujuan dari berdirinya sebuah Negara Kesatuan Republik Indo­

nesia (NKRI) dalam siklus berikut: hak setiap bangsa untuk mem­

1 Konsep ini mengacu pada takaran “kecukupan” secara ekonomi, baik 

yang bersifat perorangan maupun keseluruhan masyarakat (affluent society). 

John Kenneth Galbraith (1908­2006), adalah seorang ahli ekonomi berkebang­

saan Amerika abad ke­20. sebagai penganut aliran Keynesian dan seorang in­

stitusionalis, Galbraith dikenal pula sebagai ahli politik liberalisme. Keahlian­

nya inilah yang mengantarkan ia menjadi Duta Besar AS untuk India. Sebagai 

seorang akademisi, ia juga dikenal sebagai penulis yang produktif, baik berupa 

buku maupun artikel­artikel. Tiga di antaranya merupakan buku yang paling 

terkenal dalam bidang ekonomi, yaitu; “American Capitalism (1952)”, “The Af-

fluent Society (1958)”, dan The New Industrial State (1967)”.  

Islam dan kesejahteraan Rakyat

g 177 h

peroleh kemerdekaan, guna mewujudkan perdamaian dunia 

yang abadi dan meningkatkan kecerdasan bangsa, guna menca­

pai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan menganggap­

nya sebagai tujuan bernegara, UUD 1945 jelas­jelas menempat­

kan kesejahteraan/keadilan­kemakmuran sebagai sesuatu yang 

esensial bagi kehidupan kita.

Menjadi nyata bagi kita bahwa prinsip menyelenggarakan 

negara yang adil dan makmur menurut UUD 1945, menjadi sama 

nilainya dengan pencapaian kesejahteraan yang dimaksudkan 

oleh fiqh tadi. Hal inilah yang harus dipikirkan secara mendalam 

oleh mereka yang menginginkan amandemen terhadap UUD 

1945. Tidakkah amandemen seperti itu dalam waktu dekat ini, 

akan merusak rumusan tujuan bernegara ini ? 

eg

Tingginya kesejahteraan suatu bangsa, dengan demikian 

menjadi sesuatu yang esensial bagi Islam. Saudi Arabia dan nega­

ra­negara Teluk lainnya telah mencapai taraf ini, walaupun masa­

lah keadilan di negeri­negeri ini  masih belum terwujud se­

luruhnya. Keadilan baru dibatasi pengertiannya pada keadilan 

hukum belaka, namun keadilan politik2 dan budaya belum terwu­

jud. Dengan demikian, masih menjadi pertanyaan besar, apakah 

negara­negara ini  demokratis ataukah belum? Memang 

terasa, jawaban atas pertanyaan di atas bersifat sangat pelik, 

apalagi dalam hal ini kita berhadapan dengan sebuah pertanya­

an besar: benarkah penerapan hak bersuara bagi tiap individu 

(one man one vote principle) telah mencerminkan demokrasi3 

2 Keadilan sosial adalah sebuah konsep yang membuat para filsuf ter­

kagum­kagum sejak Plato membantah filosof muda, Thrasymachus, karena ia 

menyatakan bahwa keadilan adalah apa pun yang ditentukan oleh si terkuat. 

Dalam ‘Republik’, Plato beralasan bahwa sebuah negara ideal akan bersandar 

pada empat sifat baik: kebijakan, keberanian, pantangan (atau keprihatinan), 

dan keadilan. Penambahan kata sosial adalah untuk membedakan keadilan so-

sial dengan konsep keadilan dalam hukum. Di Indonesia, keadilan sosial juga 

merupakan salah satu butir dalam Pancasila.

3 Kata “demokrasi” berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti 

rakyat, dan kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diarti­

kan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerin­

tahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi 

sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, 

Islam dan kEsEjaHtERaan Rakyat

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 178 h

yang sesungguhnya?

Penulis mengemukakan hal ini dengan maksud agar hal 

itu dibicarakan secara serius dalam wacana terbuka bagi kaum 

muslimin. Haruskah kita menerima pencapaian kesejahteraan 

dan terselenggaranya keadilan sekaligus sebagai persyaratan de­

mokrasi?.

Jalinan antara kesejahteraan dan keadilan menjadi sa­

ngat penting bagi kaum muslimin di negeri ini, paling tidak bagi 

kaum santri yang melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan 

sehari­hari. Pentingnya upaya ini  dapat dilihat pada tidak 

tercapainya keadilan maupun kesejahteraan di negeri ini, wa­

laupun ia memiliki tiga sumber alam yang tidak dimiliki oleh 

negara­negara lain: hutan yang lebat yang dikenal sebagai paru­

paru dunia, kekayaan tambang yang luar biasa dan kekayaan laut 

yang kini banyak dicuri orang. Kegagalan mencapai kesejahtera­

an hidup bagi rakyat banyak itu, dapat dikembalikan sebabnya 

kepada kebijakan ekonomi dan peraturan­peraturan semenjak 

kemerdekaan kita, yang lebih banyak ditekankan pada kepen­

tingan orang kaya/ cabang atas dari masyarakat kita, bukan ke­

pentingan rakyat banyak.

eg

Karena eratnya hubungan antara kebijakan/ tindakan pe­

merintah di bidang ekonomi dengan pencapaian kesejahteraan, 

jelas bagi kita nilai­nilai Islam memang belum dilaksanakan de­

ngan tuntas oleh bangsa kita selama ini. Dikombinasikan dengan 

maraknya korupsi dan pungutan­pungutan liar, maka secara 

keseluruhan dapat dikatakan telah terjadi penguasaan aset­aset 

kekayaan bangsa oleh segelintir orang. Dan dari penguasaan se­

perti itu dapatkah diharapkan akan tercapai kesejahteraan yang 

merata bagi bangsa kita? Jawaban atas pertanyaan ini, menun­

sebab demokrasi saat ini disebut­sebut sebagai indikator perkembangan politik 

suatu negara. Demokraasi menempati posisi vital dengan kaitannya pembagian 

kekuasaan dalam suatu negara, di mana kekuasaan negara yang diperoleh dari 

rakyat juga harus bertujuan untuk rakyat. Konsep ini menjadi sangat penting 

untuk diperhitungkan saat  kekuasaan pemerintah yang begitu besar ternyata 

tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab, bahkan 

kekuasaan absolut pemerintah seringali menimbulkan pelanggaran terhadap 

hak­hak asasi manusia.

g 179 h

jukkan keharusan bagi kita untuk berani banting setir/kemudi 

dalam upaya mencapainya. Kalau tidak, berarti kita rela membiar­

kan sebagian besar bangsa kita hidup di bawah garis kemiskinan 

atau tidak jauh dari garis ini . Inginkah kita hal itu akan ter­

jadi, manakala kita ingat tujuan mendirikan negeri ini?

 Bukankah pembiaran  kita atas rakyat kecil di pedesaan, 

yang menjual tanah dan aset­aset lain untuk sekedar memper­

oleh makanan, merupakan kejahatan kita atas agama yang tidak 

dapat dimaafkan?Jelaslah bagi kita bahwa pencapaian kesejah­

teraan yang merata bagi seluruh bangsa, merupakan amanat aga­

ma juga. Bukankah kita menjadi berdosa jika hal ini dilupakan 

dan kita tetap tidak melakukan perbaikan? 

Jawaban atas rangkaian pertanyaan di atas yaitu,  kita ha­

rus menempuh kebijakan dan tindakan baru di bidang ekonomi. 

Caranya dengan mengembangkan ekonomi rakyat dalam bentuk 

memperluas dengan cepat inisiatif mendirikan dan mengem­

bangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Segenap sumber­

sumber daya kita harus diarahkan kepada upaya ini , yang 

berarti pemerintah langsung memimpin tindakan itu. Namun, 

ini tidak berarti kita menentang usaha besar dan raksasa, me­

lainkan mereka harus berdiri sendiri tanpa pertolongan peme­

rintah dan tanpa memperoleh keistimewaan apapun. Selain itu, 

kita tetap berpegang pada persaingan bebas, efisiensi dan per-

modalan swasta dalam dan luar negeri. 

Jelaslah dari uraian di atas, upaya menegakkan ekonomi 

rakyat seperti itu tidak terlepas dari tujuan UUD 1945 atau ajar­

an Islam. Pencapaian kesejahteraan/maslahah menurut ajaran 

Islam dan pencapaian masyarakat adil dan makmur menurut 

UUD 1945 adalah sesuatu yang esensial bagi kita. Tanpa orien­

tasi itu, apapun yang kita lakukan akan bertentangan dengan 

kedua­duanya. Untuk melakukan upaya banting setir/kemudi 

di bidang ekonomi, cukup mudah dalam perumusan, tapi sangat 

sulit dalam pelaksanaan,  bukan? h

Islam dan kEsEjaHtERaan Rakyat

g 180 h

Dalam menguraikan sejarah ekonomi bangsa­bangsa Ti­

mur Tengah, Charles Issawi1 menunjuk kepada Bangsa 

Mesir. Bangsa ini sulit melepaskan diri dari birokrasi pe­

merintahan, karena tradisi sejarah itu yang menunjukkan kekuat­

an mereka semenjak ribuan tahun yang lalu. Di mulai dengan 

Fir’aun/Paraoh yang menjadi manifestasi kekuasaan Allah  di 

muka bumi, melalui para sultan yang menjadi wakilnya. Dilan­

jutkan oleh kekuasaan kaum imperialis yang luar biasa, birokrasi 

pemerintah menjadi sesuatu yang kokoh dengan adanya Sosialis­

me Arab di bawah Gamal Abdel Naser.2 Birokrasi pemerintahan 

mengembangkan diri begitu rupa, hingga kepentingan­kepen­

tingannya seringkali disamakan dengan kepentingan rakyat ba­

nyak, sebuah hal yang secara perlahan­lahan tapi pasti sedang 

merasuki kehidupan kita sebagai bangsa.

Hal ini jarang dipikirkan orang, dan mau tak mau kita harus 

mengaitkannya dengan konsep negara Islam yang saat ini ditiup­

tiupkan oleh sementara orang. Karenanya, sebuah pertanyaan 

harus dijawab sebelum meneruskan pemikiran tentang konsep 

ini  yaitu: di manakah letak birokrasi pemerintahan dalam 

sebuah konsep negara Islam? Ini diperlukan, untuk menghindar­

kan atau menghadirkan sebuah negara Islam, kalau konsep se­

1 Prof. Charles Issawi (1916­2000), intelektual kelahiran Mesir yang 

banyak bergelut dalam isu ekonomi. Dialah perintis sejarah ekonomi Timur 

Tengah sebagai bidang kajian. Pernah menjadi Presiden the Middle East Stu­

dies Association ­ MESA (1973) dan the Middle East Economic Association 

– MEES (1978­83).

2 Gamal Abdel Naser (1918 – 1970) adalah pemimpin besar Mesir. Man­

tan pemimpin Al­Ikhwan al­Muslimun ini adalah penggagas Arab Bersatu atau 

Pan­Arabisme untuk mempersatukan Arab menentang imperialisme. 

Islam: 

antara Birokrasi dan Pasar Bebas

g 181 h

perti itu dapat dibuat dan kemudian dilaksanakan, karena hal itu 

akan menyangkut kepentingan kita bersama sebagai bangsa.

Dapat saja keinginan itu dianggap sebagai sesuatu yang 

mengada­ada, namun  ia harus dibicarakan di sini untuk memper­

oleh kejelasan tentang posisi Islam dalam kehidupan kita sebagai 

bangsa yang bernegara dan bermasyarakat. Jika ini kita abaikan, 

jangan­jangan nantinya kita dihadapkan kepada semakin kuat­

nya birokrasi pemerintahan dalam kehidupan kita. Ini untuk 

menghindarkan kita dari penyesalan berkepanjangan, jika gagas­

an tentang konsep negara Islam dapat diwujudkan.

eg

saat  penulis menanyakan kepada Datuk Seri Dr. Maha­

thir Muhamad,3 tentang keputusan Malaysia keluar dari kung­

kungan Dana Moneter Internasional (IMF), beliau menjawab 

bahwa guru besar Massachussets Institute of Technology (MIT), 

Paul Krugman4 yang menganjurkan hal itu. saat  guru besar itu 

singgah di Jakarta, penulis bertanya kepadanya; apakah hal itu 

sebaiknya juga dilakukan oleh Indonesia? Beliau menyatakan, 

Malaysia dapat melakukannya karena memiliki birokrasi yang 

bersih dan ramping (clean and lean bureaucracy), dan Indonesia 

sebaiknya tidak melakukan hal itu, karena tidak memiliki biro­

krasi seperti yang disebutkan tadi. Penulis tidak menjawabnya, 

karena disadari kita memang memiliki birokrasi pemerintahan 

yang terlalu besar dan korup.

3  Seri Dr. Mahathir Muhamad (lahir pada 10 Juli 1925) adalah Perdana 

Mentri (PM) Malaysia yang ke­IV. Ia memerintah Malaysia sejak 16 Juli 1981 

hingga 31 Oktober 2003 dan dianggap berhasil mensejahterakan Malaysia 

menjadi negara yang makmur, sejajar dengan negara lainnya. Sebagai seorang 

tokoh politik yang seringkali dianggap kontroversi, Mahathir selalu mengambil 

posisi oposan terhadap kebijakan­kebijakan AS. Ini dilakukan sebagai bentuk 

protes keras terhadap sistem kapitalisme AS dan perlunya internalisasi nilai­

nilai Asia. Selepas dari jabatannya sebagai PM, nama Mahathir semakin harum 

dan dikenang. Ia adalah negarawan ulung yang telah menjadikan Malaysia se­

bagai negara modern. Keberhasilannya ini telah mengantarkan ia memperoleh 

gelar “Tun”, sebuah gelar kehormatan tertinggi di Malaysia.  

4  Paul Robin Krugman (lahir 28 Februari 1953) adalah seorang ahli teo­

ri ekonomi yang telah menulis beberapa buku sejak tahun 2000 dan kolomnis 

pada The New York Times. Saat ini, Ia adalah seorang profesor ekonomi dan 

hubungan internasional pada Princeton University. 

Islam: antaRa bIRokRasI dan PasaR bEbas

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 182 h

Untuk mencapai birokrasi yang ramping dan bersih, diuta­

makan beberapa hal, dimulai dari peningkatan pendapatan pe­

gawai negeri sipil dan warga TNI/POLRI. Persenjataan dan 

kesejahteraan mereka harus ditingkatkan secara drastis, kalau 

diinginkan mereka tidak terlibat tindakan­tindakan korup dan 

penyelundupan. Tanpa dilakukannya kedua hal itu, mustahil kita 

akan memiliki birokrasi yang jujur. Sementara itu, penyebaran 

tenaga-tenaga birokrasi harus efisien, agar tempat-tempat yang 

memerlukannya memperoleh tenaga birokrat yang cukup, dan 

tempat­tempat yang tidak begitu memerlukan terlalu banyak 

akan memperoleh birokrasi sejumlah yang diperlukan.

Demikian pula, status purnawirawan harus diterapkan 

pada waktunya agar tidak menghambat karier maupun kemung­

kinan promosi generasi muda. Jika hal ini dilaksanakan secara 

konsekuen, dalam waktu beberapa tahun saja akan tercapai kese­

imbangan antara kebuAllah  birokrasi dan tersediannya tenaga 

untuk itu. Pada tahap itulah kita baru dapat melakukan kon­

solidasi kepegawaian –seperti yang ditentukan oleh undang­un­

dang. Memang berat tugas menciptakan birokrasi dalam jumlah 

dan tingkatan yang sesuai dengan kebuAllah , tapi memang masa 

depan bangsa ini tergantung sepenuhnya pada kemampuan kita 

untuk mewujudkan keseimbangan seperti itu.

eg

Keharusan menciptakan profesionalisme penuh bagi sis­

tem kepegawaian kita, tertera dalam Kitab suci al-Qurân yang 

menyebut dengan istilah “Memenuhi janji mereka di kala meng­

ucapkan sumpah prasetia kepada jabatan (Wal mûfûna bi ‘ahdi-

him idzâ ‘âhadû)” (QS. al­Baqarah [2]:177). Adakah sebuah janji 

yang lebih besar dari pada sesuatu yang diucapkan saat  me­

nyatakan janji prasetia kepada jabatan? Karena itulah profesion­

alisme harus ditegakkan, guna memungkinkan kita menepati 

janji prasetia yang kita ucapkan saat  pertama kali menerima 

jabatan.

Birokrasi pemerintahan memang diperlukan oleh sebuah 

negara modern, namun birokrasi seperti itu haruslah benar­

benar profesional, untuk membantu dalam pengambilan keputus­

an pemerintah serta mencari kebijakan yang diperlukan untuk 

menyejahterakan rakyat. namun , birokrasi pemerintahan bukan­

g 183 h

lah entitas independen, melainkan sebagai pihak yang selalu ber­

pegang kepada kepentingan warga negara kebanyakan. 

Jelaslah dari uraian di atas, bahwa Islam tidak memberi­

kan kekuasaan mutlak kepada birokrasi pemerintahan untuk 

berbuat semau mereka. namun , Islam juga memandang penting­

nya arti birokrasi pemerintahan yang baik, karena segenap kebi­

jakan pemimpin tidak dapat dipisahkan dari pelaksananya, yaitu 

birokrasi pemerintahan. Karenanya, birokrasi pemerintahan 

yang tidak terlalu besar dan tunduk sepenuhnya kepada para 

pemimpin politik sebagai pengambil keputusan terakhir, meru­

pakan keharusan yang tak dapat ditawar lagi (conditio sine qua 

non, mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihî fahua wâjibun). Tidak­

kah lalu menjadi jelas bagi kita, bahwa menurut pandangan Is­

lam, birokrasi pemerintahan seharusnya berukuran tidak terlalu 

besar dan memiliki wewenang serba terbatas. h

Islam: antaRa bIRokRasI dan PasaR bEbas

g 184 h

Nabi Muhammad Saw bersabda: “Setiap kalian adalah 

penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya 

tentang gembalaannya (kullukum râ’in wa kullu râ’in 

mas’ûlun ‘an ra’îyyatihi).” Hal ini merupakan landasan moral 

bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan 

teori pembangunan nasional yang dipakai di negaranya. Sejauh 

ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang eli­

tis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit 

perhatian diberikan pada orientasi dan teori pembangunan na­

sional yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali 

aspek­aspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori 

pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi 

pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.

Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah, orien­

tasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya mementing­

kan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan 

banyak sekali para orang kaya –yang di kemudian hari menjadi 

konglomerat hitam, membawa lari modal pinjaman mereka ke 

luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pemba­

ngunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor pro­

duk­produk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan 

perhatian pada pembentukan modal secara besar­besaran ke­

pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pem­

berian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahan­

kemudahan dan fasilitas­fasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis 

ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita, 

hingga dewasa ini.

Islam dan teori 

Pembangunan nasional

g 185 h

Untuk meredam suara protes yang mencari sebab­mu­

sabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuan­acuan seperti 

persaingan, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan 

berefisiensi. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang 

harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat 

bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik 

yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun 

yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM 

yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghor­

matan kepada tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi 

yang tinggi.

eg

Ukuran teori pembangunan nasional yang sekuler yang di­

gunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang ber­

beda dari teori pembangunan nasional yang lebih lengkap (baik 

aspek spiritual keagamaan maupun aspek­aspek lainnya). Teori 

pembangunan nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi 

rendahnya pendapatan nasional sebuah bangsa, dengan meng­

gunakan berbagai pertimbangan kuantitatif. Sedangkan teori 

pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa 

bermula dari tanggung jawab menciptakan masyarakat yang adil 

dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menu­

rut ajaran Islam dinamai kesejahteraan. Perbedaan titik tolak 

dalam memandang hasil pembangunan nasional ini, tidak dapat 

dihindarkan, karena memang cara melihat masalahnya pun 

berbeda. Dari sudut pandang spiritual keagamaan, yang dinilai 

adalah capaian individu warga masyarakat, sedangkan bagi teori 

pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah 

capaian makro negara.

Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya ber­

beda dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bah­

wa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang 

sekuler atau teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu 

saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pemba­

ngunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keagamaan. 

Karena, di samping ukuran­ukuran kuantitatif seperti penghasil­

an nasional, capaian umur rata­rata warga negara –baik pria 

dan wanita serta pemilikan rata­rata perorangan tiap penduduk 

Islam dan tEoRI PEmbanGunan nasIonal

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 186 h

sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya, 

juga digunakan ukuran non­materiil –seperti keadilan, HAM, 

dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak 

hanya satu corak saja, tapi memiliki beragam ukuran dari satu 

ke lain bidang.

Ini menjadi sesuatu yang penting, karena dengan ukuran­

ukuran kuantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi 

dalam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertu­

kangan dan sebagainya. Justru di negara­negara berkembang, 

disparitas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negara­negara 

berteknologi maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masya­

rakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan penda­

patan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, mem­

buat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang 

besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negara­negara ber­

teknologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih 

kecil kesenjangannya, sesuatu yang belum ada pengaturannya di 

negara­negara yang sedang berkembang.

eg

Dengan demikian, slogan­motto­semboyan yang diguna­

kan dalam pembangunan nasional pun juga berbeda. Nah, per­

bedaan ini harus dicari sumber­sumbernya dalam teori pemba­

ngunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis 

membedakan teori pembangunan nasional yang sekuler dengan 

teori yang juga memasukkan aspek­aspek spiritual­keagamaan. 

Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, karena 

ia melihat ketimpangan­ketimpangan dalam orientasi pemba­

ngunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas 

dan pengusaha kaya belaka.

Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pemba­

ngunan nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orien­

tasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping 

ukuran kuantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finan-

sial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diaki­

batkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis, 

dan mengabaikan ukuran­ukuran seperti kesejahteraan bersa­

ma, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hak­hak 

asasi manusia. 

g 187 h

Jelaslah dengan demikian, ukuran mikro dan makro yang 

benar harus sama­sama digunakan dalam mengukur capaian 

pembangunan nasional kita. Ini berarti harus ada perubahan 

besar dalam strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di 

samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata 

niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi 

(yang lebih bersifat ukuran­ukuran mikro), digunakan juga orien­

tasi yang benar akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan 

HAM. Dengan kata lain, di samping ukuran­ukuran kuantitatif 

yang bersifat mikro, digunakan juga ukuran­ukuran kualitatif 

dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan ke­

pentingan rakyat banyak, sebagai hal­hal makro yang juga harus 

diperhatikan. h

Islam dan tEoRI PEmbanGunan nasIonal

g 188 h

Globalisasi ekonomi, saat ini sering diartikan sebagai per­

saingan terbuka, ketundukan mutlak pada kompetisi 

dan penerimaan total atas “kebenaran” tata niaga inter­

nasional yang diwakili oleh World Trade Organisation (WTO)1. 

Benarkah dan cukupkah, hal ini menjadi perhatian kita melalui 

tulisan ini. Dalam uraian ini,  akan tercapai kejelasan pandangan 

dan maksud tentang hal­hal ini .

Globalisasi ekonomi dimaksudkan untuk membenarkan 

dominasi perusahaan­perusahaan besar atas perekonomian 

negara­negara berkembang, yang tentu saja akan sangat meru­

gikan negara­negara ini . Karena itulah, tentangan atas 

WTO dan pengertian globalisasi seperti itu justru dilancarkan 

oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang 

berpangkalan di negara­negara berteknologi maju. Penentangan 

terbuka atas WTO oleh LSM internasional di Seatle2, mempenga­

1World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia 

yang secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, merupakan satu­satunya 

badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar 

negara. Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi: 1. Barang/ goods (General 

Agreement on Tariff and Trade/ GATT) 2. Jasa/ services (General Agreement 

on Trade and Services/ GATS) 3. Kepemilikan intelektual (Trade­Related As­

pects of Intellectual Properties/ TRIPs) 4. Penyelesaian sengketa (Dispute Sett­

lements)

2Demonstran dari berbagai negara meluruk lokasi Konferensi Tingkat 

Menteri WTO yang berlangsung di Negeri Paman Sam pada November 1999 ini. 

Para demonstran menentang WTO dengan alasan globalisasi tidak demokratis, 

merusak lingkungan, mengurangi pekerjaan, menimbulkan pengangguran dan 

Islam dan Globalisasi Ekonomi

g 189 h

ruhi sikap negara­negara berkembang, yang dimunculkan dalam 

konferensi WTO di Doha, Qatar tahun 2001. 

Namun, tentangan terhadap gagasan globalisasi ekonomi 

itu tidak dilanjutkan dengan kampanye besar­besaran untuk me­

numbuhkan alternatif baru atas globalisasi itu.  Dengan kegagal­

an menampilkan strategi positif itu tampak bahwa pengertian 

lama yang negatif tentang globalisasi tetap berlaku. Hal ini tentu 

berbeda, misalnya, dengan strategi Bung Karno untuk menye­

rang imperialisme dengan mengemukakan alternatifnya, yaitu 

negara­negara Asia­Afrika.

Dalam memahami arti globalisasi di luar pengertian yang 

sudah lazim, kita dapat juga bertitik tolak dari pandangan agama 

tentang pembangunan nasional. Pandangan itu, berangkat dari 

apa yang dimaksudkan agama Islam tentang fungsi ekonomi 

dalam kehidupan sebuah masyarakat, bertumpu pada dua faktor 

utama: arti barang dan jasa bagi kehidupan manusia dan bagai­

mana masyarakat menggunakan barang dan jasa ini . Mo­

dal, dalam pandangan ini, adalah sesuatu yang diperlukan untuk 

membuat sesuatu barang atau jasa bagi kehidupan masyarakat. 

Dalam memandang modal seperti itu, menjadi jelas bahwa keun­

tungan/profit merupakan hasil sekunder yang tidak hanya mem­

perbaiki kehidupan pemilik modal, tapi juga ia tidak berakibat 

menyengsarakan pembeli/pengguna barang ini .

Maksudnya, laba tidak hanya berfungsi menguntungkan 

pemilik modal, tapi ia juga berfungsi menciptakan keadilan da­

lam hubungan antara produsen dan konsumen. Dengan kata 

lain, laba/keuntungan tidak boleh bersifat manipulatif, berarti 

tidak dibenarkan penggunaan sebuah faktor produksi, untuk me­

manipulasi pihak lain. Dalam pandangan Islam, tidak diperke­

nankan adanya pendekatan laisses faire (kebebasan penuh) yang 

menjadi ciri kapitalisme klasik. Dalam pandangan Islam, benda 

dan jasa harus memberikan keuntungan pada kedua belah pi­

hak, hingga hilanglah sifat eksploitatif dari sebuah transaksi eko­

nomi. Dengan ungkapan lain, yang dijauhi oleh Islam bukanlah 

pencarian laba/untung dari sebuah transaksi ekonomi, melain­

kan sebuah pencarian laba/untung yang bersifat eksploitatif.

menghambat kenaikan gaji. Perusahaan mulitnasional asing yang merupakan 

ujung tombak implementasi globalisasi mereka anggap perampok dan secara 

umum merusak ekonomi nasional. 

Islam dan GlobalIsasI EkonomI

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 190 h

Dengan pendekatan non­eksploitatif semacam itu, me­

mang tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa cam­

pur tangan pemerintah, minimal untuk mencegah terjadinya 

eksploitasi itu sendiri. Di sinilah peranan negara menjadi sangat 

penting, yaitu menjamin agar tidak ada manusia/warga negara 

yang terhimpit oleh sebuah transaksi ekonomi. Manusia harus 

diutamakan dari mekanisme pasar dan bukan sebaliknya. Jika 

prinsip non­eksploitatif dalam sebuah transaksi ekonomi seperti 

digambarkan di atas terjadi, maka dengan sendirinya pengertian 

akan globalisasi juga harus dijauhkan dari dominasi sebuah nega­

ra/perusahaan atas negara/perusahaan lain. Karena itu, global­

isasi dalam pengertian lama yang hanya mementingkan satu 

pihak saja haruslah dirubah dengan pengertian baru yang lebih 

menekankan keseimbangan antara pemakai/pengguna sebuah 

barang/jasa dan penghasil (produsennya).

Dengan demikian, pencarian untung/laba dalam global­

isasi tidak harus diartikan sebagai kemerdekaan penuh pengua­

sa modal untuk melikuidasi saingan mereka, melainkan justru 

diarahkan pada tercapainya keseimbangan antara kepentingan 

produsen dan konsumen. Penyesuaian antara kepentingan pihak 

konsumen dan produsen ini, tentulah menjadi titik penyesuaian 

antara kepentingan berbagai negara satu sama lain di bidang 

ekonomi dan perdagangan.

Di lihat dari sudut penafsiran seperti itu, dalam pandangan 

Islam diperlukan keseimbangan antara kepentingan negara pro­

dusen barang/jasa dan negara pengguna barang/jasa ini , 

sehingga tercapai keseimbangan atas kehidupan internasional 

di bidang ekonomi/finansial. Dengan kata lain, keadilan tidak 

memperkenankan kata globalisasi digunakan untuk menjarah 

kepentingan sesuatu bangsa atau negara, hingga kata itu sendiri 

berubah arti menjadi tercapainya keseimbangan antara kedua 

belah pihak. Singkatnya, WTO seharusnya berperan mendorong 

perkembangan ke arah itu, bukannya menjamin kebebasan ber­

niaga secara penuh, dengan hasil terlemparnya bangsa atau peru­

sahaan lain karenanya. Sederhana, bukan? h

g 191 h

Judul di atas keluar dari pengamatan penulis yang melihat 

proses “penyantrian”1 kaum muslimin di seluruh dunia Is­

lam saat ini. Tentu saja, pendapat ini berdasarkan penga­

matan sebelumnya, bahwa ratusan juta muslimin dapat dianggap 

sebagai orang­orang “Islam statistik” belaka alias kaum musli­

min yang tidak mau atau tidak dapat menjalankan ajaran­ajaran 

agama mereka. Orang­orang seperti itu, dikalangan “kaum san­

tri” di negeri kita, dikenal dengan nama “orang­orang abangan” 

(nominal muslim) di Indonesia. Mereka berjumlah sangat besar, 

jauh lebih besar daripada kaum santri. Jika di masa lampau ada 

anggapan, bahwa kaum santri yang melaksanakan secara tuntas 

ajaran­ajaran agama mereka berjumlah sekitar 30 % dari pen­

duduk Indonesia, maka selebihnya, mayoritas bangsa ini tidak 

melaksanakan “kewajiban­kewajiban” agama dengan tuntas.

Karena “menyadari” hal itu, dengan kata lain menganggap 

Islam baru tersebar dalam lingkup tauhid di negeri kita, maka 

para wakil berbagai organisasi Islam, menerima pencabutan 

1 Istilah “penyantrian” berasal dari kata dasar “santri”. Sementara Santri 

adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. 

Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajaran­

nya lebih banyak ilmu­ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya 

tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak 

berkembang di Pulau Jawa.

syari’atisasi dan Bank syariah

Islam dan EkonomI kERakyatan

g 192 h

Piagam Jakarta dari pembukaan UUD 1945. Ki Bagus Hadiku­

sumo, Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosuyoso, Ahmad Subar­

djo, Agus Salim, dan A. Wahid Hasyim menerima pencabutan 

itu dengan mewakili organisasi masing­masing. Tentu mereka 

bersikap seperti itu, karena secara de facto telah berkonsultasi 

dengan kawan­kawan lain dari organisasi masing­masing, atau 

paling tidak mengetahui sikap itu diterima secara umum di ka­

langan gerakan Islam di Indonesia. Hanya dengan keyakinan 

seperti itulah, mereka akan mengambil sikap seperti di kemuka­

kan di atas. Pengetahuan sejarah ini  sangat diperlukan, un­

tuk mengetahui jalan pikiran para wakil berbagai perkumpulan 

Islam itu, sebuah kenyataan sejarah yang penting untuk menge­

tahui motif dari keputusan yang diambil ini .

Pada saat ini, organisasi­organisasi Islam menguasai wa­

cana politik dan budaya di negeri kita. Sebagaimana terlihat 

dalam demikian banyak para “santri” yang membeberkan pan­

dangan dan pemikiran mengenai kedua bidang ini  dalam 

media khalayak. Walaupun yang dibicarakan adalah topik­topik 

yang sangat beragam, yang hanya sebagian saja menyangkut 

aspek­aspek agama Islam, namun hampir dua pertiga paparan 

pendapat dan pemikiran itu berasal dari “dunia santri”. Bahkan 

mereka yang tidak menjalankan seluruh ajaran Islam dalam 

kehidupan sehari­hari telah turut bersama­sama menyatakan 

pendapat dan pandangan kaum santri di media khalayak. Dari 

fakta ini, banyak pengamat asing tentang Indonesia, berpan­

dangan bahwa sangatlah penting untuk mengetahui pandangan 

kaum santri tentang berbagai hal yang menyangkut Indonesia.

eg

Salah satu perkembangan yang menarik untuk diamati 

adalah pelaksanaan syari’ah2 (jalan hidup kaum muslimin), 

umumnya terkodifikasikan dalam kehidupan masyarakat santri 

2 Kata syari’ah biasanya merujuk kepada Syariat Islam, yang berarti 

berisi hukum dan aturan Islam yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat 

manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, 

Syariat Islam juga berisi problem solving (penyelesaian masalah) seluruh ke­

hidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, Syariat Islam merupakan 

panduan integral/menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup 

manusia dan kehidupan dunia ini.

g 193 h

di negeri kita. Walaupun tidak semua ajaran Islam dijalankan 

dengan tekun, paling tidak slogan “syari’atisasi” telah dilaku­

kan oleh mereka yang “sadar” akan pentingnya Islam sebagai 

“pemberi warna” hidup bangsa kita. Bahkan, berbagai lembaga 

perwakilan rakyat di tingkat propinsi, kabupaten dan kota, telah 

membuat sesuatu yang melanggar “kesepakatan bersama” untuk 

tidak mengaitkan negara kepada kehidupan beragama secara for­

mal atau resmi. Karena itu, saat  penulis masih menjadi Presi­

den, telah mengusulkan agar tiap Peraturan Daerah yang isinya 

bertentangan dengan undang­undang dasar dianggap batal.

Karena itulah, perkembangan upaya “syari’atisasi” harus 

dimonitor terus, semestinya perkembangan itu harus sejalan de­

ngan keputusan sidang kabinet yang tertera di atas. Nah, mengapa 

sampai sekarang belum ada pelaksanaan syari’ah di beberapa 

daerah yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945? Jawab­

nya, karena Mahkamah Agung yang seharusnya memberikan 

kata akhir bagi pembahasan hal­hal mendasar bagi kehidupan 

kita bersama, tidak menjalankan kewajibannya. Sebuah Mahka­

mah Agung yang benar­benar menjalankan kewajiban, tentulah 

tidak takut kepada tekanan berbagai pihak, termasuk “kaum tero­

ris”. Karena ketakutan itu, Mahkamah Agung kita akhirnya tidak 

memberikan kontribusi apa­apa dalam memudahkan berbagai 

masalah sangat penting bagi negeri kita. Mahkamah Agung kita 

sekarang takut oleh tekanan dari pihak yang ingin memberlaku­

kan syari’ah Islam, maka benarlah apa yang dikatakan Franklin 

D. Roosevelt, Presiden USA yang meninggal dunia tahun 1945, 

bahwa apa yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri 

(what we have to fear is fear itself).

Umpamanya, Peraturan Daerah yang dibuat DPRD Suma­

tera Barat bahwa perempuan tidak boleh bekerja sendirian setelah 

jam 09.00 malam tanpa “dikawal” seorang keluarg