islam 11
l yang lalu.
kEkuRanGan InFoRmasI
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 342 h
Dalam rangkaian pertemuanpertemuan di Sakai itu yang,
juga diliput oleh koran Mainichi Shimbun (yang memiliki edisi
Jepang dan Inggris), penulis menjelaskan hakekat Islam sebagai
agama perdamaian, yang disalahmengerti oleh sebagian kecil
kaum Muslimin, dengan tindakantindakan penuh kekerasan
yang mereka lakukan.
Menurut penulis, hal ini mereka lakukan karena dua hal.
Di satu sisi, mereka hanya mementingkan institusi (kelembaga
an) dalam Islam, yang sekarang tengah terancam di manamana,
dalam masyarakat yang berteknologi maju. Mereka lupa, bahwa
Islam juga membawakan kultur/budaya kesantrian, yang jus
tru sekarang semakin berkembang sebagai pertahanan kaum
Muslimin dalam menghadapi “serangan teknologi maju” itu.
Di sisi kedua, mereka yang melakukan terorisme itu tidak per
nah mendalami Islam sebagai bidang kajian, karena mereka ti
dak mengenal kultur/budaya santri itu. Sebagai akibatnya, lalu
mereka langsung mengambil dari sumbersumber tertulis Islam
(al-adillah al-naqliyyah), tanpa mengetahui deretan penafsiran
yang sudah berjalan berabadabad untuk memahami kitab suci
al-Qur’ân dan Hadits Nabi Muhammad Saw melalui perubahan-
perubahan penafsirannya. Inilah yang membuat mengapa Islam
memahami toleransi dan menerima pluralitas, yang berujung
pada penerimaan mayoritas Muslim di negeri ini akan Pancasila
dan penolakan mereka atas negara Islam melalui penghapusan
Piagam Jakarta dari UndangUndang Dasar (UUD) 1945.
Dalam keterangannya, penulis menyatakan bahwa di Indo
nesia masih terdapat kelompokkelompok kecil dalam gerakan
Islam yang masih menginginkan adanya negara Islam. Namun,
mereka selalu dikalahkan dalam setiap upaya formal dalam mela
kukan hal itu. Penulis tambahkan, ia memiliki keyakinan bahwa
upayaupaya ini tidak akan pernah mencapai hasil karena
tradisi kesantrian ini justru semakin berkembang, kini dan
di masa depan, dalam bentuk kultural dan bukan dalam bentuk
politik. Ini rupanya ditangkap oleh mereka yang bertemu dengan
penulis dan, mudahmudahan, membuat mereka merasa aman
dengan Islam.
eg
Sisi lain yang juga disinggung penulis, adalah kekhususan
g 343 h
Islam, khususnya di kawasan Asia Tenggara, yang mengembang
kan pendidikan pesantren dengan nama bermacammacam, se
perti pondok di MalaysiaThailandKamboja serta Madrasah di
Philipina Selatan. Lembaga ini membuat prioritasnya sen
diri, yang berbeda dari prioritas pendidikan yang di negara kita
dikenal sebagai pendidikan umum. Pendidikan umum itu tidak
memberikan tempat penting kepada etika/akhlak, dan sama se
kali tidak menghiraukan pendidikan agama. Hal itu berakibat
hilangnya pertimbangan moral dari pendidikan dan hanya me
mentingkan penguasaan ketrampilan dan pengetahuan belaka.
Sebenarnya, kalau ditinjau secara mendalam, sikap “ga
rang” yang ditunjukkan berbagai gerakangerakan Islam yang
kecil, dan sikap menggunakan kekerasan yang diperlihatkan ber
bagai elemen teroris di negara kita, bersumber pada kurangnya
pengetahuan akan Islam itu sendiri. Dengan mencuatnya mani
festasi lahiriyah dalam ilmu pengetahuan dan teknologi “Barat”,
mereka lalu menjadi ketakutan akan kekalahan Islam dari per
adaban yang berteknologi maju. Ini tentu saja salah, karena per
adaban adalah milik manusia secara keseluruhan. Akan terjadi
proses perpindahan pengetahuan dan teknologi “Barat” itu ke
seluruh peradabanperadaban lain, termasuk peradaban Islam.
Proses pergulatan antara kultur/budaya Islam dengan pengeta
huan dan teknologi “Barat” itu, tentu akan mengalami perubah
an bentuk di lingkungan masyarakat Muslim. Inilah yang tidak
pernah ditangkap mereka, hingga mereka melakukan perlawan
an yang acapkali berbentuk kekerasan dan tindakan teror.
Ini semua, juga pernah dikemukakan penulis dalam cera
mah Maulid Nabi Saw di halaman kantor harian umum Memo-
randum di Surabaya, beberapa waktu yang lalu. Bahwa, perubah
an sosial yang terjadi di Mesir, misalnya, dibawakan atau justru
didorong oleh perubahan bahasa dan sastra Arab yang menjadi
bahasa dan sastra nasional. Tanpa perubahan bahasa dan sastra
Arab sebagai bahasa nasional, perubahan sosial di negeri itu ti
dak mungkin terjadi. Inilah jasa Dr. Thaha Husein (18891973)2
2 Sejak kecil Thaha Husein telah buta. Namun kondisi itu tidak meng
halanginya untuk terus belajar. Setelah menyelesaikan studi di Universitas
alAzhar dia menjadi pengajar di Universitas Mesir di Kairo. Tahun 1915 Hu
sein pergi ke Perancis untuk studi selama 4 tahun. Di samping banyak menulis
tentang sastra Arab, 1938 Thaha Husein menerbitkan buku berjudul Future of
Culture in Egypt yang dinilai banyak orang sangat provokatif.
kEkuRanGan InFoRmasI
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 344 h
dan muridmuridnya. Sebaliknya, perubahan sosial juga dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan bahasa dan sastra nasio
nal, seperti dapat dilihat dalam perdebatan antara Sutan Tak
dir Alisyahbana dengan Sanusi Pane menjelang Perang Dunia
II, walaupun tidak membawa perubahan apaapa pada bahasa
dan sastra Arab di Indonesia. Ia tetap menjadi bahasa dan sas
tra tradisional yang dibawakan dalam tembang/sya’ir Arab yang
demikian banyak ditampilkan di Indonesia kini, dengan iringan
musik campuran antara yang lama dan yang baru. Ini terjadi,
karena bahasa dan sastra Arab di negeri ini dianggap sebagai
“bahasa dan sastra Islam”, karena memang tidak menjadi bahasa
nasional. Sebab, bahasa dan sastra nasional kita berasal dari ba
hasa Melayu, seperti kita ketahui selama ini. Proses yang sangat
menarik, bukan? h
g 345 h
Ulang tahun ke101 Mahatma Gandhi, bulan Oktober
yang lalu dirayakan secara sederhana. Tokoh pejuang
berkebangsaan India ini terkenal dengan ajaran yang me
nentang kekerasan (ahimsa) dan satyagraha, yang digunakan
nya dalam perjuangan menuntut kemerdekaan secara damai bagi
India dari tangan Inggris. Untuk itu, ia meninggalkan praktek
hukum yang sangat menguntungkan di Afrika Selatan, dan kem
bali ke India untuk memimpin perjuangan kemerdekaan yang
dilakukannya tanpa kekerasaan. Kita yang melakukan peperang
an melawan Belanda dalam menuntut kemerdekaan, cenderung
untuk meremehkan arti perjuangan damai yang me reka lakukan.
Sikap inilah yang perlu kita ubah, agar tidak mewarnai hubung
an kita dengan negerinegeri lain.
India, setelah perang kemerdekaan usai, ternyata menum
buhkan dua hal yang sangat penting, yaitu ketundukan kepada
hukum dan berani mengembangkan identitas bangsa ini .
Ketundukan kepada hukum itu tampak nyata dalam kehidup
an seharihari, seperti saat seorang tamtama polisi mencatat
dalam buku catatannya halhal yang membuat ia menahan/me
nangkap seseorang. Setelah keterangan tertulis itu dibacakan ke
pada si tertangkap, maka ia diminta menandatangani “pra/beri
ta acara polisi” itu, maka dokumen yang bertanda tangan warga
itu, dijadikan pegangan untuk memeriksanya dengan teliti dan
mengadilinya di pengadilan, kalau memang ia pantas dihukum.
Gandhi, Islam dan kekerasan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 346 h
Dengan kata lain, hanya orang yang memang ada indikasi kuat
secara obyektiflah yang dapat ditahan, bukannya keterangan ok-
num polisi ini . Karenanya warga negara India lebih banyak
dilindungi oleh hukum, dibandingkan warga negara kita di nege
ri sendiri.
Namun, ini tidak berarti undangundang (law) di India
sudah mencerminkan keadilan. Banyak undangundang yang
dihasilkan Lok Sabha (Majelis Rendah Parlemen India), tidak
menyelesaikan masalah hakhak anak dan perempuan, dan juga
perlindungan kepada kerja paksa (bounded labour). Kedudukan
pekerja paksa itu sangat rendah secara sosial, hal ini karena di
perkuat oleh agama Hindu dengan sistem kastanya. Datanglah
Gandhi dengan ajakan menciptakan masyarakat tanpa kasta,
dan memandang mereka dari kasta terbawah (sudra) sebagai
harijan (anak Allah ). Ternyata, penolakannya atas kekerasan
menumbuhkan rasa perikemanusiaan yang sangat dalam pada
diri Gandhi. Dan ini pula, yang membuat orangorang Hindu
fundamentalis/ekstrim membunuhnya pada tahun 1948.1
eg
Islam juga mengajarkan hidup tanpa kekerasan. Satusatu
nya alasan untuk menggunakan kekerasan, adalah jika kaum
Muslimin diusir dari tempat tinggal mereka (idzâ ukhirijû min
diyârihim). Itupun masih diperdebatkan, bolehkah kaum Muslim
in membunuh orang lain, jika jiwanya sendiri tidak terancam?
Demikianlah Islam berjalan berabadabad lamanya tanpa keke
rasan, termasuk penyebaran agama ini di negeri ini. Alang
kah jauh bedanya dengan sikap sementara fundamentalis/teroris
Muslim di manamana dewasa ini. Terjadi pergolakan berdarah
di sementara daerah, seperti Poso, Sulawesi Tengah dan Ambon,
Maluku. Begitu juga, mereka yang berhaluan “garis keras” di
kalangan berbagai gerakan Islam di sini, berlalulalang kianke
mari membawa pedang, clurit, bom, granat serta senapan rakit
an. Perbuatan itu jelas melanggar undangundang, namun tanpa
1Pada 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh seorang lelaki Hindu bernama
Nathuram Godse yang marah karena kepercayaan Gandhi yang menginginkan
rakyat Hindu dan Muslim diberikan hak yang sama. Gandhi kemudian di kre
masi di Taman Pahlawan Rajghat, Delhi.
g 347 h
ada tindakan apapun dari pemerintah.
Bahkan beberapa dari mereka melakukan gerakan pember
sihan (sweeping) dan memberhentikan kendaraan untuk diperik
sa sesuka hati. Pernah juga terjadi, dilakukan sweeping atas cof
fee house di Kemang, Jakarta, demi untuk menegakkan syari’ah
Islamiyah di negeri ini. Anehnya, botolbotol sandy dipecahkan
dibuang ke lantai, karena berharga murah, sebaliknya wishky
dan vodka yang berharga mahal dibawa pulang dalam keadaan
utuh, mungkin untuk dijual lagi. Sikap mendua yang materialis
tik ini memperkuat dugaan bahwa di antara para fundamentalis
itu ada orangorang bayaran dari luar. Masalahnya, mengapakah
para pemimpin berbagai gerakan ini tidak dapat mengen
dalikan anak buah mereka ?
Sikap menggunakan kekerasan itu, juga tidak sedikit dido
rong oleh berbagai produk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD I dan DPRD II) di berbagai kawasan, seperti di Suma
tera Barat, Garut, Cianjur, Tasikmalaya dan Pemekasan yang
berkecenderungan untuk memberlakukan syari’ah Islamiyah se
cara formal. Umpamanya saja dalam bentuk peraturan daerah,
mereka ingin melambangkan kuatnya semangat untuk menolak
tindakan-tindakan yang bertentangan dengan syari’ah Islamiyah
saat masa Orde Baru. Jadi, sebenarnya sikap itu tidak berbeda
jauh dengan orangorang fundamentalis itu. Karenanya, sidang
kabinet di waktu penulis masih menjadi Presiden memutuskan
bahwa Peraturan Daerah (Perda) yang berlawanan dengan Un
dangUndang Dasar (UUD) dianggap tidak berlaku. Penulis ber
anggapan, keputusan para pendiri negara ini termasuk 7 (tujuh)
orang pemimpin berbagai gerakan Islam, untuk memisahkan
agama dan negara dengan menghilangkan tujuh kata dalam Pia
gam Jakarta, masih berlaku dan belum dicabut oleh siapapun.
eg
Lalu, mengapakah ada orangorang fundamentalis itu, yang
umumnya terdiri dari orangorang muda yang terampil yang ca
kap secara teknis, namun tidak pernah jelas diri mereka secara
psikologis? Jawabnya sebenarnya sederhana saja. Pertama kare
na orangorang itu melihat kaum Muslimin tertinggal jauh di be
lakang dari orangorang lain. Nah, “ketertinggalan” itu mereka
kejar secara fisik, yaitu menggunakan kekerasan untuk mengha-
GandHI, Islam dan kEkERasan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 348 h
langi kemajuan materialistik dan duniawi itu. Mereka lebih me
mentingkan berbagai institusi kaum Muslimin, dan tidak percaya
bahwa budaya kaum Muslimin dapat mendorong mereka untuk
meninggalkan kelompokkelompok lain. Jika sudah mengutama
kan budaya, maka nantinya “mengejar ketertinggalan” dengan
cara penolakan atas “budaya Barat” akan dilupakan, karena keca
kapan yang mereka miliki juga berasal dari “dunia Barat”.
Aspek kedua dari munculnya gerakangerakan fundamen
talistik ini adalah proses pendangkalan agama yang menghing
gapi kaum muda Muslimin sendiri. Mereka kebanyakan adalah
ahli matematika dan ilmuilmu eksakta lainnya, para ahli eko
nomi yang penuh dengan hitunganhitungan rasional dan para
dokter yang selalu bekerja secara empirik. Maka dengan sendiri
nya tidak ada waktu bagi mereka untuk mempelajari agama Is
lam dengan mendalam. Karenanya, mereka mencari jalan pintas
dengan kembali kepada sumbersumber teksual Islam seperti al
Qur’ân dan Hadits, tanpa mempelajari berbagai penafsiran dan
pendapatpendapat hukum yang sudah berjalan berabadabad
lamanya.
Karena itulah, mereka mencukupkan diri dengan sum
bersumber tekstual yang ada. Karena mereka biasa menghafal
vademecum berbagai nama obatobatan dan bendabenda lain,
maka dengan mudah mereka menghafal ayatayat dan haditsha
dits dalam jumlah besar yang menimbulkan kekaguman orang.
Karena sumbersumber tertulis itu diturunkan dalam abad ke7
sampai ke8 masehi di Jazirah Arab, tentu dibutuhkan penafsir
an yang kontemporer dan bertanggung jawab untuk memaha
mi kedua sumber tertulis di atas. namun karena pengetahuan
mereka yang sangat terbatas tentang Islam membuat mereka
fundamentalis. Akibatnya bagi kaum Muslimin lainnya dan bagi
seluruh dunia pula sangat drastis. Tindak kekerasan yang sudah
biasa mewarnai langkahlangkah mereka, dianggap oleh masya
rakat dunia sebagai ciri khas gerakan Islam. h
g 349 h
Dalam sebuah diskusi yang diselengarakan FES (Friedrich
Ebert Stiftung) di Singapura barubaru ini, dalam ses
si pertama para peserta membicarakan konsep Samuel
Huntington tentang perbenturan antar budaya (clash of civiliza-
tions). Yang menggemparkan, beberapa peserta membicarakan
konsep itu sebagai landasan pembenaran bagi pendapat adanya
para teroris dari kelompok Islam, walaupun sebenarnya Islam
sebagai jalan hidup (syari’ah) menolak penggunaan kekerasan
termasuk terorisme dalam menentang modernitas. Mengemuka
kan Islam sebagai jalan hidup adalah sesuatu yang wajar, karena
perbedaan pandangan dalam cara hidup itu diperkenankan, yang
tidak dapat diterima adalah perpecahan/pertentangan yang tim
bul karenanya. Dengan demikian penggunaan kekerasan (teror
isme) harus ditolak.
Seorang peserta mengemukakan, bahwa di sini terjadi se
buah proses sangat menarik. Sebagai upaya pemberagaman, bu
kankah universalitas konsep Samuel Huntington justru harus di
tolak? Bukankah yang kita inginkan, justru konsep Huntington
itu hanya merupakan kekhususan? Dimanakah batasan antara
yang umum dan yang khusus sehingga tidak ada keraguan lagi
mengenai konsep Huntington itu? Penulis menanggapi pernya
taan itu dengan mengemukakan, bahwa tidak ada pertentang
Berbeda namun tidak Bertentangan1
1 Dalam diskursus pesantren ditemukan adanya istilah Ikhtilaf at-
Tanawwu’ (berbeda yang bersifat variatif) dan Ikhtilaf atTadlad (berbeda yang
bersifat kontradiktif). Yang perlu dikedepankan adalah Ikhtilaf a-Tanawwu’
yang akan menghantarkan bagaimana bersikap dengan mengacu pada relativ
isme internal.
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 350 h
an antara yang khusus dan yang umum. Duaduanya berjalan
seiring, tapi pemaksaan yang umum dengan menghilangkan
yang khusus itulah yang justru harus ditolak. Dengan demikian
kita menolak konsep Huntington itu dengan tidak mengingkari
haknya untuk menyatakan konsepkonsep.
Di sinilah sebenarnya terletak kepemimpinan yang diharap
kan, yaitu yang dapat menyampaikan kepada masyarakat luas
bahwa penolakan suatu konsep adalah hal umum, namun dapat
menjadi pendapat dominan dalam sebuah masyarakat. Dengan
demikian cara hidup kaum Muslimin dapat ditegakkan, dengan
tidak usah melanggar hak siapapun. Jadi yang harus ditolak ada
lah pemaksaan itu sendiri, bukannya sikap ingin memberlaku
kan sebuah cara hidup. Inilah arti penolakan terhadap penetap
an agama sebagai ideologi negara, dan arti ini sangat dalam bagi
gagasan pemisahan agama dari negara.
eg
Sikap para peserta untuk menolak pemaksaan sesuatu kon
sep, benarbenar merupakan sebuah hal yang sangat menggem
birakan. Dengan sikap para intelektual, politisi, dan jurnalis Ti
mur dan Barat itu, menjadi jelas bahwa konsep Huntington itu
diperiksa bersamasama secara teliti dan terbuka. Diakui bahwa
Huntington menggunakan standar ganda dalam menyusun kon
sep itu. namun ia juga mengingatkan kita kepada perbedaan
perbedaan yang harus dihargai, antara berbagai sistem budaya.
Ini justru menimbulkan harapan besar, akan masa depan umat
manusia. Berbeda dengan Francis Fukuyama yang mengajukan
konsep “Berakhirnya Sejarah” (The End of History), konsep ini
membenarkan sikap pemerintah Amerika Serikat memiliki we
wenang menjadi “polisi dunia” (policeman of the world). Juga
berarti ia mempunyai hak untuk campur tangan dalam masalah
dalam negeri orang lain.
Sikap yang membenarkan pelanggaran wewenang oleh
Amerika Serikat atas negaranegara lain, sangat bertentangan
dengan pendapat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). RRT ber
pendapat pengeboman atas sebuah negara harus diputuskan
secara multilateral oleh PBB, dan berdasarkan buktibukti yang
kuat. Ini dapat diartikan negara itu menolak “hakhak” Ameri
ka Serikat untuk melakukan pengeboman atas Afghanistan dan
g 351 h
Irak sebagai negeri yang berdaulat. Bahkan RRT berpendapat,
tindakan Amerika Serikat itu hanya berdasarkan kepada pertim
banganpertimbangan geopolitis yang belum tentu benar.
Sudah tentu, kita sangat berkepentingan dengan konsep
Huntington itu. Bukankah di negeri kita juga ada terorisme
—untuk “melawan” kebudayaan Barat—, yang dituduh menjadi
bagian dari terorisme internasional. Pembenaran anggapan bah
wa budaya Islam ataupun budaya bangsabangsa berkembang
bertentangan dengan “budaya Barat”, adalah pembenaran bagi
teroris yang merasa budaya Islam harus lebih unggul dari pada
budaya Barat. Mungkin saja pendapat ini di dasarkan pada ha
dits “Islam harus diunggulkan atas (caracara hidup) yang lain”
(al-Islâm ya’lû wa lâ yu’lâ ‘alaih). Secara tersamar Huntington
menyimpulkan ada keterpisahan antara budaya Islam –budaya
non Barat— dengan budaya Barat. Justru itulah yang menjadi
keberatan penulis dan temanteman karena menyiratkan adanya
perbenturan.
eg
Asal pandangan yang menganggap Islam sebagai cara hi
dup memiliki keungulan atas caracara hidup lain, sebenarnya
tidak salah. Setiap orang tentu menganggap sistemnya sendiri
yang benar. Karena itu perbedaan cara hidup adalah sesuatu
yang wajar. Ini termasuk dalam apa yang dimaksudkan oleh
kitab suci al-Qur’ân : “Dan telah Ku buat kalian berbangsa-bang
sa dan bersukusuku bangsa, agar kalian saling mengenal (wa
ja’alnâkum syu’ûban waqabâila li ta’ârafû)” (QS alHujurat
(49):13). Perbedaan pandangan atau pendapat adalah sesuatu
yang wajar bahkan akan memperkaya kehidupan kolektif kita,
sehingga tidak perlu ditakuti. Kenyataan inilah yang mengiringi
adanya perbedaan kultural (dan juga politik) antara berbagai ke
lompok Muslimin yang ada kawasankawasan dunia.
Yang dilarang oleh agama Islam adalah perpecahan, bu
kannya perbedaan pendapat. Kitab suci al-Qur’ân menyatakan ;
“Berpeganglah kalian pada tali Allah, dan jangan terpecahpecah
(wa’tashimû bi hablillâh jamîan wa lâ tafarraqû)” (QS Ali Im
ran (3): 103). Dengan demikian, perbedaan diakui namun per
pecahan/keterpecahbelahan ditolak oleh agama Islam. Padahal
para teroris yang mengatasnamakan Islam, justru menolak per
bERbEda namun tIdak bERtEntanGan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 352 h
bedaan pandangan/pendapat itu. Jika pandangan ini diterima,
maka artinya akan menjadi, agama Islam memerintahkan teror
isme. Padahal agama ini memperkenankan pengunaan ke
kerasannya, hanya jika kaum Muslimin diusir dari tempat tinggal
mereka, (idzâ ukhrijû min diyârihim). Jadi di sini ada perten
tangan antara pendirian sebagian sangat kecil kaum Muslimin
dengan ajaran agama mereka.
Ada sesuatu yang sangat menarik dalam membandingkan
ajaran Islam dengan konsep perbenturan budaya dari Hunting
ton itu. Penolakan atas konsep Huntington ini , berarti juga
penolakan teoritis atas terorisme dan penggunaan kekerasan
yang dilakukan oleh sebagian sangat kecil kaum Muslimin. Me
nurut penulis, baik konsep ataupun pandangan ini berasal
dari suatu hal yang sama: rasa rendah diri yang ditutupi dengan
kecongkakan sikap. Konsep dan pandangan ini sangat
mengganggu saling pengertian antara kekuatan jiwa dari buda
yabudaya yang saling berbeda dalam kehidupan umat manusia
dewasa ini. h
g 353 h
BAB VII
ISLAM PERDAMAIAN
DAN MASALAH INTERNASIONAL
g 355 h
Penulis diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003,
untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote ad-
dress) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan
yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics),
yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi
itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam,
yang mewakili agamaagama Ibrahim dan Budhisme yang mewa
kili agamaagama di luar tradisi Ibrahim.
Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara
mengenai asalusul (origins) terorisme bersenjata yang sedang
melanda dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan
mewarnai dialog ini , yang juga dihadiri oleh delegasi dari
Persekutuan GerejaGereja Eropa, wakil dari pimpinan agama
Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan
sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma
Master HsinTao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand,
di samping David Chappel dari University of California di Los
Angeles.
Pertemuan ini adalah yang ketiga kalinya, antara se
bagian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tuni
sia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemu
ka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi tahun
lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York
dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr.
Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuanperte
muan ini , diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum
Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya se
kita dan Perdamaian
g 356 h
buah konferensi besar antar kepala negaranegara berkembang
(developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun
konferensi AsiaAfrika pertama —Bandung I— pada tahun 2005
kelak. Agendaagenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan
tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa
Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari
alternatif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutusekutunya
dalam dunia internasional (seperti terbukti dari seranganse
rangan atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi
dengan negara adi kuasa ini .
Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, ka
rena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilaku
kan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana
“politik luar negeri” Indonesia yang konyol –seperti keputusan
untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana
Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada
saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom
raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul
Krugman. Ia menjawab, sebaiknya Indonesia jangan keluar dari
keanggotaan badan internasional ini . Paul Krugman yang
juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis,
hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat ke
luar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi Indonesia sangat
lah besar dan kotor.
eg
Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa
etika global dan pemerintahan yang baik (good governance)
hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulat
an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini ber
arti, negara adikuasa manapun harus memperhatikan kedua
prinsip ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan kedaulat
an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus
mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, mendapatkan
jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, ter
masuk Dharma Master HsinTao (Taiwan) yang mewakili para
pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga
disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan GerejaGe
reja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem.
g 357 h
Penulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum,
karena di Indonesia dan umumnya negaranegara berkembang,
hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintah
an mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran
hukum dan di sini konstitusi hampirhampir diabaikan. Perintah
kitab suci al-Qur’ân: “Wahai kaum Muslimin, tegakkanlah keadil-
an dan jadilah saksi bagi Allah , walaupun mengenai diri kalian
sendiri” (yâ ayyuha alladzîna âmanû kûnû qawwâmîna bi al-
qisthi syuhadâ’a li allâhi walau ‘alâ anfusikum) (QS alNisa
[4]:135), ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang
lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan,
dengan meninggalkan ketentuanketentuan yang dirumuskan
oleh kitab suci agama mereka sendiri.
Dalam pidato pembukaan ini penulis menyatakan,
agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan
yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan
bahwa sebuah negara adikuasa, seperti Amerika Serikat dapat
saja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan diri
nya sendiri dan merugikan kepentingan negaranegara lain. Ini
terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan meng
abaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB.
Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam
Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut
minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di nege
ri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai.
Dengan kata lain, perubahan berbagai sistem (termasuk sistem
politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui
paksaan. Kalau tidak, pemerintah apapun yang akan menggan
tikan Saddam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan
boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus
dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian,
apa yang sejak berbulanbulan ini diusulkan penulis, yaitu per
damaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian
abadi antara Palestina dan Israel, semakin menjadi relevan.
eg
Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan peme
rintahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya
kampanye besarbesaran untuk membentuk pengertian yang
kIta dan PERdamaIan
g 358 h
mendalam atas kedua hal ini . Di sinilah terletak peranan pa
ra agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lemba
galembaga internasional seperti UNESCO. Karena itu tindakan
sendirisendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai
etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan
karena diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terusme
nerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para
teoritisi dan para penerap nilainilai di lapangan. Di sinilah te
rasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diseleng
garakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak
di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai
nilainilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan inter
nasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masing
masing pihak akan saling belajar dan menimba sumbersumber
spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan.
Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya
sinisme yang dibawa oleh “pertimbanganpertimbangan politik
global” (global political considerations) dan akhirnya menjadi
satusatunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu —dalam ke
rangka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considera-
tions”—, hanya melahirkan kepentingan antara negaranegara
adikuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuh
kan negaranegara yang bukan adikuasa. Apalagi setelah Uni
Soviet berantakan, maka hanya tinggal sebuah negara adikuasa
yang memaksakan kehendak dan menginjakinjak hukum inter
nasional untuk kepentingannya sendiri. Contohnya adalah pe
nyerbuan AS atas Irak, dengan mengesampingkan peranan PBB
melalui Dewan Keamanan.
Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi
berupa sederet tuntutan dari negaranegara berkembang akan
sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, an
tara negara industri maju (developed countries) dengan negara
berkembang (developing countries). Dalam penyusunan tatanan
baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang
baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acuan ke
rangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendali
kan perubahan perubahan yang bakal terjadi.
Karena itu dialog terusmenerus akan kedua hal itu harus
dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peranan spiri
tualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama,
g 359 h
seperti yang diselenggarakan di Paris ini , tentulah sangat
menarik bagi kita. Pemaparan pengalaman pribadi dan pikiran
dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao
dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog
semacam itu. h
kIta dan PERdamaIan
g 360 h
Pada akhir Februari hingga awal Maret 2003 ini, penulis
berada di Washington DC, Amerika Serikat (AS), guna
menghadiri sebuah konferensi perdamaian untuk kawasan
Timur Tengah. Undangan sebagai peserta konferensi, diberikan
oleh IIFWP (Interreligious and International Federation for
World Peace, Federasi Internasional Antar Agama untuk Per
damaian Dunia), yang berkedudukan di New York. Mengapakah
penulis jauhjauh mengikuti konferensi ini , padahal ham
pir setiap hari demonstrasidemonstrasi di tanah air, menuntut
turun/lengsernya pasangan MegawatiHamzah Haz? Penulis me
mutuskan pergi ke negara Paman Sam itu, karena dua alasan.
Pertama, karena perkembangan dalam negeri baru mencapai
titik kulminasi setelah minggu kedua bulan Maret 2003. Kedua,
karena persiapanpersiapan perang yang dilakukan oleh AS dan
Inggris sudah berjalan sangat jauh, saat tulisan ini dibuat peng
iriman 198.000 pasukan AS dan 40.000 tentara Inggris ke kawa
san ini , berarti pencegahan perang lebih terasa urgensinya
di kawasan Timur Tengah saat ini.
Tentu ada orang yang berpendapat, sikap gila dalam pen
dirian penulis, karena menilai saat ini justru saat yang paling
baik untuk memulai sebuah inisiatif baru guna mencari titik
perdamaian abadi bagi kawasan Timur Tengah. Bukankah per
siapan negara adi kuasa AS dan sekutunya Inggris Raya, meru
pakan petunjuk tak terbantahkan akan adanya perang yang
Perdamaian Belum terwujud
di timur tengah
g 361 h
sudah berjalan sangat jauh, hingga tidak dapat dihentikan? Bu
kankah pertimbanganpertimbangan geopolitik telah memaksa
AS dan para sekutunya untuk menggunakan perang sebagai “alat
pemaksa” atas Irak? Jawabannya, adalah bahwa dapat dibenar
kan ucapan ahli strategi perang Jerman Von Clausewitz, bahwa
“perang adalah kelanjutan dari diplomasi/perundingan yang ga
gal”. Dalam pandangan penulis, sikap negaranegara besar seper
ti Jerman, Perancis, Rusia dan Tiongkok menunjukan, bahwa
upayaupaya diplomatik tetap memiliki relevansi yang besar,
dalam mencari solusi damai atas masalah Timur Tengah. Kare
nanya, dari sekarang sampai dengan terjadinya secara aktual
pemboman atas Irak, dapat dikatakan peluang bagi perdamaian
di kawasan itu tetap terbuka.
Kitapun sudah terbiasa menghadapi kenyataan, bahwa
penyelesaian sebuah konflik didapati hanya pada akhir sebuah
proses yang panjang, dihadapan persiapanpersiapan “penuh
kekerasan”, yang dalam bahasa asing disebut “merebut keme
nangan dari gigitan musuh di saatsaat terakhir” (to grab peace
from the jaw of war). Namun, hal itu tidak akan tercapai, apabi
la dua buah tindakan tidak diambil pada waktu yang bersamaan.
Pertama, adanya sebuah forum yang untuk kesekalian kalinya
membicarakan dan kemudian menetapkan upaya terakhir yang
harus dijalankan untuk menyelesaikan konflik secara damai.
Kedua, begitu keputusan diambil, harus segera ditunjuk orang
yang melaksanakannya, dalam waktu yang begitu sempit.
Dengan dua persyaratan itulah, baru ada harganya untuk
“menggunakan kesempatan dalam kesempitan”. Kesempatan
menegakkan perdamaian abadi di kawasan ini , dan meng
gunakan kesempitan menghadapi kenyataan pahit di kawasan
ini .
Penulis mengajukan dalam pidato pembukaan di konferen
si itu, bahwa perdamaian abadi di Timur Tengah hanya dapat
dicapai, kalau penyelesaian damai atas konflik Israel-Palestina
dikaitkan dengan perdamaian di Irak. Perdamaian antara Israel–
Palestina dapat dicapai dengan dihentikannya persiapan–persiap
an untuk melakukan pemboman dan pengiriman pasukanpasu
kan ke negara Abu Nawas itu. Dengan demikian, penyelesaian
konflik Israel-Palestina akan membawa perdamaian di Timur
Tengah secara keseluruhan. Demikian pula, upaya perdamaian
dapat dilakukan dengan dihentikannya pemboman atas Irak.
Jika ternyata hal itu tidak membawa hasil, maka ucapan
Von Clausewitz di atas harus diteruskan dengan ungkapan “pe
rundingan/negosiasi adalah kelanjutan dari peperangan yang
gagal”. “Kegagalan peperangan” atas Irak akan terjadi, jika Pre
siden AS, George Bush Jr. gagal menangkap Saddam dalam wak
tu yang cepat. Mengapa? Karena rakyat AS tidak akan bersedia
membiayai peperangan untuk jangka waktu yang lama, walau
pun negara ini telah mencapai kekayaan berlimpahlimpah
dan memiliki persenjataan yang sangat canggih yang juga mem
butuhkan biaya yang sangat besar untuk digunakan. Dikombi
nasikan dengan demonstrasi di manamana termasuk di AS dan
Inggris, untuk tidak menyelesaikan konflik ini dengan ke
kerasan, maka dapatlah diperhitungkan peperangan akan ter
henti dengan sendirinya.
Kalau Saddam Hussein tidak juga segera tertangkap oleh
musuhmusuh politiknya, maka untuk menolong “muka” AS
Inggris dan Israel, —upaya ini dilakukan agar tidak membuat
peperangan berjalan lama— diperlukan langkahlangkah untuk
mencapai dua pemecahan (solusi). Caranya adalah dengan men
capai kesepakatan antara ke empat pihak (AS, Inggris, Israel dan
Irak), yang berlanjut dengan penghentian tindaktindak mili
ter di kawasan IsraelPalestina dan Irak. Digabungkan dengan
melakukan halhal berikut. Pertama, dengan memperkuat nega
ra Palestina merdeka, melalui pemberian bantuan keuangan
berupa kredit murah berjangka panjang bagi negara itu, katakan
lah sebesar 1 miliar dolar AS. Karena dengan bantuan seperti itu,
kebangkitan industri dan perdagangan Palestina akan terjadi
sangat cepat, apabila para pemimpin Palestina mampu mencip
takan pemerintahan yang bersih di masa depan. Kedua, untuk
menghindari perang, —ini paling pahit dan sulit dilaksanakan—
mengusahakan agar Saddam Hussein lengser dari jabatan ke
presidenan secara sukarela, untuk memungkinkan tercapainya
negara Palestina yang kuat secara industrial/komersial dalam
waktu cepat.
eg
g 363 h
Untuk memungkinkan tercapainya hal ini di atas,
yaitu “menolong posisi” Israel dan Amerika SerikatInggris da
lam percaturan politik internasional, maka diperlukan seorang
penengah yang bersedia mondarmandir ke AS, Inggris, Israel,
Palestina, Libya, Irak dan negaranegara lain di Timur Tengah.
Dengan demikian, sikap untuk menentang atau mendukung po
sisi Israel dan Amerika SerikatInggris dalam kedua hal ini ,
harus dibaca sebagai sikap permulaan (initial attitudes), yang
dapat saja berubah karena perkembangan keadaan. Sedangkan
peranan “negotiator” (juru runding) itu, kalau tidak dilakukan
oleh seseorang secara pribadi (seperti disebutkan di atas), dapat
saja dilakukan oleh sekelompok orang (institusi/group). Hal itu
telah dilakukan dalam kasus Aceh oleh Henry Dunant Center,
sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional yang
berkedudukan di Geneva.
Agar tercapai perdamaian abadi di kawasan itu, kesungguh
an sikap negaranegara yang terlibat, maupun kegigihan sang
negosiator sangatlah diperlukan. Karenanya, negosiator ini
haruslah memperoleh dukungan kuat dari siapapun, dalam ben
tuk bantuan logistik maupun kemudahankemudahan yang lain.
Kalau tugas itu dibebankan pada seseorang, haruslah dipastikan
orang ini memiliki stamina yang sangat prima, dibantu oleh
dua orang asisten yang bekerja terusmenerus selama beberapa
bulan. Tentu saja, peranan seperti itu akan sangat menarik hati
siapapun, hingga banyak yang ingin melakukannya. namun , tentu
saja tidak setiap orang (termasuk para diplomat dan para negara
wan) mampu untuk melaksanakannya. Ada sebuah persyaratan
lain yang sangat penting dalam hal ini; negosiator itu haruslah
dipercaya oleh semua pihak yang terlibat, yang juga membawa
“kelayakan” bagi seorang muslim untuk tugas ini .
Itulah sebabnya, mengapa penulis bergairah untuk datang
ke Washington DC. Pertama, untuk mengemukakan pendapat
nya, bahwa sampai titik terakhir sekalipun, harus diupayakan pe
nyelesaiaan damai (peaceful settlement) yang bersifat permanen
untuk kawasan Timur Tengah. Kedua, untuk bertemu dan me
nyampaikan beberapa hasil pemikiran pada negosiator yang di
pilih atau ditunjuk oleh konferensi di ibu kota negara ini .
Konferensi yang diselenggarakan di sebuah hotel di Washington,
yang dari dalam ruangannya masih dapat terlihat bekasbekas se
rangan ke gedung Pentagon pada tragedi 11 September 2001 itu,
diharapkan menjadi forum dengan kewibawaan sangat tinggi
(prestigious body) dalam lingkup politik dunia. Di samping itu,
penulis juga dapat memenuhi undangan berceramah pada Uni
versitas Michigan di Ann Arbor dan disamping check up medis di
Boston General Hospital. Perjalanan menarik walaupun sangat
melelahkan.
Peperangan di Irak telah terjadi, dengan dilemparnya ratu
san buah peluru kendali dari sejumlah alat perang Amerika
Serikat (AS) dan sekutunya. Bagi sementara orang, perang
itu disebut sebagai penyerbuan (invasi), karena kekuatan mili
ter yang sangat tidak berimbang antara kedua belah pihak. Pada
waktu penulis berada di Ann Arbor, di kalangan kampus Uni
versitas Michigan, seorang hadirin bertanya; —mengenai terjadi
nya penyerbuan AS ke Irak, namun seorang peserta lain segera
melakukan koreksi; —bukan penyerbuan AS, melainkan penyer
buan George W. Bush Junior. Ini menunjukkan bahwa penen
tangan terhadap perang itu berjumlah sangat besar, termasuk
oleh pemerintah kita. Bahkan tiga negara anggota tetap Dewan
Keamanan (DK) Perserikatan BangsaBangsa (PBB) –yakni,
Perancis, Rusia, dan RRT menentangnya. Artinya Bush melaku
kan penyerbuan dengan tidak ada izin dari DKPBB, yang mem
bawa krisisnya sendiri —minimal krisis kredibilitas bagi PBB.
Bush selalu menyatakan keinginannya untuk menghilang
kan “semangat kejahatan” (evil spirit), dengan jalan menurunkan
Saddam Hussein dari kursi kepresidenan Irak. Dengan demiki
an, ia berusaha menegakkan pemerintahan demokratis yang
kuat di Irak. namun banyak orang meragukan niatan Bush itu,
karena terlihat pertimbanganpertimbangan geopolitik juga ada
dalam memutuskan penyerangan atas Irak itu. Karena tampak
nya Saudi Arabia —yang merupakan penghasil minyak terbesar
di dunia— dalam kasus IsraelPalestina, telah meninggalkan ke
dicari Perdamaian,
Perang yang didapat
g 366 h
bijakan politik luar negeri AS. Dengan demikian, peranan negeri
itu haruslah diimbangi dengan negeri penghasil minyak terbesar
kedua di dunia, yaitu Irak. Karena Irak masih diperintah oleh
Saddam Hussein, dengan sendirinya iapun harus diganti dengan
orang lain, yang lebih “terbuka” bagi tekanantekanan politik
luar negeri AS, berarti Irak harus diserang. Ada pula orang yang
menganggap faktor psikologis tidak boleh dilupakan dalam hal
ini, yaitu Presiden Bush muda (Junior) harus memenangkan pe
rang terhadap Saddam Hussein, yang telah menggagalkan “keme
nangan” Presiden Bush tua (Senior). Benartidaknya semua argu
mentasi tadi, cukup beralasan untuk diajukan dalam perdebatan
pendapat tentang penyerbuan ke Irak itu. Kalau memang benar
adanya, maka AS dan sekutunya harus mengakhiri perang.
Jelas, Irak harus menemukan jalannya sendiri kepada ke
majuan dalam pembangunan ekonomi, maupun dalam menemu
kan identitas sendiri, seperti diharapkan oleh banyak kalangan.
Sebagaimana halnya dengan Chun DooHwan1 di Korea Selatan,
yang pada akhirnya menjadi biarawan Budha, dan dengan demi
kian tidak dituntut oleh pengadilan di sana, sebagai bagian pen
ting dari rekonsiliasi nasional ala Korea, maka tentu Irak pun
akan menemukan caranya sendiri akan rekonsiliasi nasional
tanpa campur tangan AS.
Gempuran militer atas Irak itu tentu saja menimbulkan
reaksi keras cukup besar di seluruh dunia. Sebuah negara adi
kuasa telah memaksakan kehendak kepada dunia, melalui penaf
sirannya sendiri atas perkembangan yang terjadi di dunia ini,
dengan alasanalasannya sendiri yang berbeda dari pendapat
resmi DKPBB, jelas telah membuka lembaran buruk dalam tata
hubungan internasional.
Banyak juga orang memuji keberanian “moral” Bush
1 Penguasa rezim militer Korea Selatan 19801988 ini divonis mati oleh
pengadilan kriminal Korsel pada 26 Agustus 1996. Chun terbukti melakukan
korupsi dan menerima suap ratusan juta dollar AS, menjadi dalang kudeta mi
liter tahun 1979 dan tokoh utama dalam pembantaian para demonstran pro
demokrasi di Kwangju bulan Mei 1980. Namun setelah dua tahun mendekam
di penjara, presiden berkuasa Kim Young Sam (19931998) dan penggantinya
Kim Dae Yung (19982003), memberikan amnesti kepadanya.
g 367 h
dalam hal ini. namun , ada juga yang menyatakan, hancurnya
kredibilitas PBB dan tata hukum internasional yang obyektif.
Dampaknya, memungkinkan sebuah negara di Afrika untuk me
nyerbu tetangganya dengan alasan yang dicaricari. Jika ini yang
terjadi, dapatkah AS mengerahkan kekuatan militer di seluruh
dunia pada saat bersamaan? Inilah yang mengkhawatirkan para
pengamat itu: hubungan internasional atas dasar penafsiran se
pihak, tanpa ada pembenaran formal dari DKPBB, tidak dapat
menjamin menetapnya perdamaian dan ketentraman dunia.
Di harihari pertama penyerangan atas Irak ini , ten
tu sajian televisi CNN selalu menggambarkan tentang keperka
saan AS.2 Setelah dua hari “membatasi diri” dalam penyerangan
ini , di hari ketiga kekuatan militer AS yang demikian dah
syat digelar dengan kekuatan penuh. Sebagian Irak selatan telah
“dibebaskan” dari Saddam Hussein. Pasukanpasukan kavaleri
AS dari kawasan Kuwait menerobos dengan mudah wilayah Irak
selatan, dan dalam hal ini kecepatan yang luar biasa dari pasu
kanpasukan kavaleri AS dan para marinir Inggris sangat menga
gumkan. Dalam waktu sebentar saja, tanpa perlawanan berarti,
pasukanpasukan Irak dengan mudah begitu saja menyerah
tanpa syarat. Karena itulah, dapat saja segera diajukan klaim
“kemenangan” AS dan sekutusekutunya ditambah dengan pa
sukanpasukan AS yang tergabung dalam bala tentara Kurdi di
sebelah utara Irak, jelas bahwa Baghdad dijepit dari utara dan
selatan. Dengan demikian, kejaAllah Baghdad tinggal menung
gu waktu saja.
Benarkah sikap menganggap AS telah memenangkan per
tempuranpertempuran ini ? Penulis justru menganggap
nya sebagai permulaaan dari sebuah proses yang sangat panjang,
jika AS tidak dapat menangkap Saddam Hussein dalam waktu
beberapa bulan yang akan datang ini, maka sikap rakyat Irak
akan berubah dengan cepat. Sikap yang selama ini diperlihat
kan, paling tidak akan berubah menjadi sikap menolak secara
2 Sebuah riset yang dilakukan selama tiga minggu antara bulan Mei
Juni 2003 terhadap acara berita malam utama di enam stasiun televisi Amerika
Serikat yaitu ABC, CBS, NBC, CNN, FOX, PBS menunjukkan: 64% waktu tayang
ini menghadirkan narasumber dari kelompok pendukung perang. Hanya
10% bagi kelompok antiperang. Bahkan, khusus FOX News, 81% diberikan un
tuk narasumber pendukung perang (Lihat: Amy Goodman & David Goodman,
Perang Demi Uang, 2004).
psikologis serangan demi serangan AS itu. Sikap seperti ini, jelas
didukung oleh mayoritas bangsabangsa dan negaranegara di
dunia. Jelas yang harus diperbuat oleh Saddam Hussein adalah
menghindari penangkapan atas dirinya. Selebihnya, akan “dise
lesaikan dengan cara damai dan dengan perundingan”. Jika Von
Clausewitz menyatakan, perang adalah penerusan perundingan
yang gagal, maka dapat kita katakan, perundingan damai adalah
penerusan dari peperangan yang tidak mencapai maksudnya.
Inilah kemungkinan buruk yang tidak diperhitungkan jauh
sebelumnya oleh Bush, yang hanya mengandalkan kemarahan
kepada Saddam Hussein saja. Sikap seperti ini memang dapat
saja membawa hasil cepat yang menguntungkan, namun dapat
juga berakibat sebaliknya. Penulis memandang rakyat AS tidak
akan mau berperang lamalama melawan siapapun. Karenanya,
sangat ris kan melakukan penyerbuan besarbesaran atas negeri
lain dalam tatanan dunia sekarang ini. Di sinilah letak arti pent
ing dari peranan sebuah lembaga internasional —seperti PBB—.
Paling tidak, persetujuan PBB merupakan pembenaran formal
atas apapun yang dilakukan oleh seluruh negara atas negara
yang lain. Jika kenyataan ini diabaikan, tidaklah menjadi soal
jika sukses yang diperoleh, tapi jika sebaliknya, akan runtuhlah
kewibawaan AS di mata negaranegara lain yang kecil.
Jika AS gagal menangkap Saddam Hussein, dan terpaksa
berperang untuk jangka panjang, maka segera tindakan itu ha
rus dihentikan, karena tuntutan rakyat Amerika Serikat sendiri
yang tidak mau berperang lamalama. Jika ini terjadi, maka mau
tidak mau harus dicari formula persetujuan damai atas Irak.
Banyak masalah terkait dengan hal itu, namun jelas perundingan
merupakan penyelesaian terbaik. Dalam hal ini, penulis memin
ta agar supaya penyelesaian damai di Irak, dikaitkan langsung
dengan upaya perdamaian antara Israel dan Palestina. Dengan
demikian, baik Israel maupun seluruh bangsabangsa Arab akan
berkepentingan untuk menjaga perdamaian ini . Ini adalah
persyaratan sangat penting, karena hanya dengan cara demiki
anlah sebuah perdamaian abadi dapat ditegakkan di kawasan
TimurTengah. Di sinilah terletak kaitan vital antara penyelesai
an sengketa Irak di satu pihak dan sengketa IsraelPalestina di
pihak lain.
Perdamaian abadi antara Israel dan Palestina, hanya dapat
dicapai manakala negara Palestina diperkuat dengan mengem
bangkan industri dan perdagangannya. Hal itu hanya dapat di
capai jika ada bantuan ekonomi besarbesaran, dalam bentuk
kredit murah bagi mereka. Katakanlah pinjaman lunak selama
dua puluh tahun, sebesar satu milyar dollar AS. Sedangkan jika
ASInggris tidak dapat menangkap Saddam Hussein, maka
pendapat umum dalam negeri maupun internasional akan me
maksa penarikan mundur pasukanpasukan mereka. Dalam hal
ini, dapat diminta Saddam Hussein mengundurkan diri untuk
kepentingan bangsa Arab secara keseluruhan, khususnya agar
memungkinkan pemberian kredit lunak dalam jumlah demiki
an besar kepada negara Palestina. Ini karena keyakinan penu
lis, bahwa Saddam Hussein sangat menghormati sebuah negara
Palestina yang merdeka, dan karena ia sendiri telah berhasil
menunjukkan keberhasilannya dalam memimpin Irak yang dise
rang sebuah negara adikuasa, seperti AS.
Pada umumnya, kita mengikuti salah satu dari dua pandang
an berikut. Pendapat pertama adalah, kita memandang ke
mungkinan pemboman atas Irak oleh Amerika Serikat dan
sekutusekutunya sebagai sebuah bagian dari rencana jahat un
tuk menyerang Irak dan mengganti presidennya, Saddam Hus
sein. Dilanjutkan dengan pandangan bahwa rencana itu adalah
bagian dari Konspirasi Zionisme yang dipelopori Israel. Kita bo
leh setuju atau tidak dengan pandangan ini, namun penulis me
nolak teori komplotan/konspirasi seperti itu. namun bagaimana
pun pendapat seperti itu ada dan diikuti banyak orang. Karena
nya, pendapat seperti itu harus diakui keberadaannya dan untuk
itulah diciptakan sebuah disiplin ilmiah yang bernama studi ka
wasan, yang berjalan seiring dengan teoriteori geopolitik dalam
kajian internasional yang berkembang saat ini.
Sebaliknya, ada pihak lain yang memandang Irak di bawah
pimpinan Presiden Sadam Hussein sebagai biang kerok tindak
antindakan teror internasional, karena itu diperlukan pembom
an ke Irak, untuk menggulingkan presiden ini dari jabatan
nya. Pemboman itu harus dilakukan secara masif, walaupun
memakan korban sangat banyak dari penduduk Irak, belum lagi
rusaknya kotakota besar di Irak sebagai akibatnya, yang kes
emuanya tidak dapat dinilai kerugiannya. Tindakan itu, dalam
pandangan Amerika Serikat dan sekutusekutunya haruslah di
lakukan dengan tujuan untuk membersihkan dunia dari teroris
me. Kalau ini tidak dilakukan, terorisme internasional akan ber
lanjut, dan kehidupan di negaranegara ini akan sangat
terganggu. Karenanya walaupun menimbulkan banyak korban,
langkah itu harus tetap diambil untuk perdamaian dunia.
kita dan Pemboman atas Irak
Memang, kedua hal yang saling bertentangan itu terwujud
dalam kenyataan, dan kita tidak dapat menutup mata akan ke
adaan ini. Berarti, kita harus mengambil sikap: membenarkan
atau menolak tindakan pemboman atas Irak itu. Memang, ini
pilihan yang sangat sulit, namun bagaimanapun juga pilihan ha
rus dilakukan. Pandangan kita harus dirumuskan. Keengganan,
ketakutan ataupun emosi kita hanya akan memperpanjang soal
itu. Belum lagi akan munculnya sikap pihakpihak lain terhadap
pendirian kita itu. Karenanya, sebaiknya kita bersikap yang jelas,
masingmasing dengan akibatakibatnya sendiri.
Sikap itu pun tidak seluruhnya dapat dikemukakan dengan
lugas apa adanya. Karena salah satu persyaratan hubungan inter
nasional adalah, kemampuan untuk menyampaikan ‘bahasa’
yang dapat mengaitkan kepentingan bangsa atau kelompok yang
satu dengan yang lain. Kemampuan itu yang semakin canggih itu
untuk menutupi ambisi pribadi atau golongan yang ada. Dan sega
la sesuatunya dirumuskan, supaya sesedikit mungkin membuat
orang yang berpandangan lain dengan kita menjadi jengkel atau
marah. Kita menyaksikan beberapa istilahistilah yang berubah
arti atau bentuk. Ini adalah konsekuensi logis dari tatanan geo
politik yang ada. Penguasaan pendapat umum di sebuah negara,
yang ditentukan oleh faktorfaktor yang serba geopolitis, akibat
nya penggunaan istilah semakin menyimpang jauh dari apa yang
dimaksudkan semula.
Salah satu contoh yang dapat dikemukakan di sini adalah
kata “globalisasi” (penduniaan). Dalam pengertian yang kita
gunakan seharihari, yang dimaksud globalisasi adalah sikap
memberikan arti terhadap dunia atau universal. namun segera
terjadi perubahan arti dari kata ini , yaitu terjadi pemaksa
an kehendak atas pemahaman orang banyak, seperti dikehen
daki oleh kelompokkelompok yang berjumlah kecil. Karenanya
bagi perusahaanperusahaan raksasa, kata globalisasi ini
lalu berubah makna menjadi dominasi.
Selain itu pengertian dan pemahaman kelompok yang le
bih besar atas kata “perdagangan bebas” (free trade) yaitu kebe
basan berdagang. Namun menurut pengertian pihak yang kecil,
kata itu berarti sistem yang menguntungkan pihak yang mem
kIta dan PEmboman atas IRak
punyai modal besar. Kata “modern” berarti penggusuran halhal
yang tradisional oleh yang baru, yang dianggap lebih mengun
tungkan. Dengan demikian, tersembunyilah arti lebih dalam dari
tradisional, oleh bentukbentuk baru yang dianggap modern.
Kata “tempe” umpamanya, dipakaikan untuk menentukan
kekurangan, kelemahan atau ketidakmampuan. Mengemukakan
suatu istilah “bangsa tempe”, umpamanya, dianggap kalah arti
dari bangsa yang kuat. Padahal kata tempe dalam pengunaan di
sini, seharusnya sesuai dengan hakikatnya sebagai sesuatu yang
memiliki gizi tinggi dan nilai berlebih. Jadi, penggunaan kata itu
mencerminkan pandangan salah di masa lampau, bahwa hanya
makanan yang menggunakan daging sajalah yang dianggap ber
gizi.
Demikian pula kata “perdamaian” dalam pergaulan an
tarbangsa. Sekarang kata itu berarti, tidak adanya peperangan
atau penggunaan kekerasan oleh sesuatu pihak atas pihak yang
lain, namun dengan persyaratan dan pengertian dari pihak yang
menang. Kata “terorisme” dapat diartikan menurut kepentingan
geopolitik negaranegara adi kuasa, sehingga yang menentang
pengertian ini dianggap sebagai teroris. Berhasilkah upaya
Presiden George W Bush Jr. mengembalikan arti kata teroris,
pada pengertian semula, yaitu penggunaan kekerasan oleh pi
hakpihak yang tidak mau berunding? Kalau ini yang dimaksud
kan oleh Presiden Amerika Serikat itu, lalu mengapakah harus
jatuh korban puluhan ribu jiwa orangorang yang tidak bersalah,
akibat pemboman itu sendiri? Di sini, kita lihat terjadi perubah
an arti kata “perdamaian” dan “terorisme”
Dengan demikian, menjadi jelaslah bagi kita bahwa tindak
an pemboman secara masif atas Irak adalah sesuatu yang juga
diperdebatkan secara bahasa/epistemologi, dan tidak hanya ber
dasarkan “rasa panggilan historis” seperti dirasakan pemerintah
an Amerika Serikat saat ini. Inilah akibat kalau penafsiran dise
rahkan kepada sebuah negara adikuasa belaka. Lebih jauh lagi,
sinisme kekuasaan yang didasari pertimbanganpertimbangan
geopolitik, lalu membuat kita menghadapi jurang pertentangan
dan peperangan dalam ukuran yang masif. Karenanya, marilah
kita berupaya menggunakan ukuranukuran moral dan etis
g 373 h
dalam tata pergaulan internasional, walaupun banyak penguasa
lain memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan.
Dan ini yang sebenarnya menjadi esensi ajaran Mahatma Gan
dhi tentang ahimsa, dunia tanpa kekerasan. Islam juga menolak
penggunaan kekerasan semaunya saja oleh siapapun, dan ke
kerasan hanya dapat dilakukan oleh kaum muslimin, jika mere
ka diusir dari rumahrumah kediaman mereka (idzâ ukhrijû min
diyârihim).
Di sinilah terletak signifikansi dari filsafat dan moralitas,
perdamaian dunia tidak selayaknya hanya dibatasi pengertian
nya secara geopolitik belaka melainkan harus memasukan mora
litas ke dalam dirinya. Dalam hal ini, moralitas harus ditentukan
oleh kerangka multilateral seperti PBB, bukan hanya oleh sebuah
negara adi kuasa belaka. Mungkin ini terdengar seperti lamunan
belaka, namun bukankah citacita besar sering berangkat dari
lamunan? h
kIta dan PEmboman atas IRak
g 374 h
Dalam sebuah wawancara televisi, penulis mengemuka
kan bahwa banyak hal yang dilupakan Presiden Amerika
Serikat, George W Bush Junior, mengenai Presiden Sad
dam Hussein dari Irak. Bush beberapa kali mengatakan, bahwa
tujuan Amerika Serikat melakukan penyerangan berulang kali,
untuk menangkap Saddam Hussein yang dianggapnya menjadi
penyebab terorisme bersimaharajalela di dunia saat ini. Jadi, ia
merasa berkewajiban menangkap Saddam Hussein untuk mene
gakkan pemerintahan yang kuat dan demokratis di Irak. Untuk
tujuan itulah ia menyerang Irak secara besarbesaran. Bukan
hanya sekadar bom yang dijatuhkan seperti hujan, melainkan
juga dengan serangan seperempat juta orang bala tentara dari
utara dan selatan, ditambah 40.000 orang prajurit Inggris. Ini
berarti rangkaian serangan besar dalam ukuran perang sebenarnya.
Dilihat dari rencana semula, serangan itu seharusnya ber
akhir dengan kemenangan mutlak dalam waktu paling akhir 3
hari. namun ternyata, setelah 13 hari serangan —saat tulisan ini
dibuat—, Saddam Hussein belum juga tertangkap. Sedang jum
lah korban jiwa dan harta benda dalam satuansatuan tempur
pasukan koalisi pimpinan Amerika Serikat maupun kerugian
material lainnya telah menimpa Amerika Serikat dan sekutunya
dalam jumlah sangat besar, termasuk di dalamnya tanktank dan
senjata berat yang terkubur di gurun pasir.
saddam Hussein dan kita
g 375 h
Ini belum lagi termasuk sikap negaranegara Arab lainnya
(di luar Kuwait), yang justru cenderung bersikap netral dalam
sengketa ini . Di satu pihak, Bush Jr, tidak mengindahkan
keputusan Dewan Keamanan PBB, sehingga serangan yang dila
kukannya seperti tidak memiliki legitimasi internasional, sedang
serangan atas Irak, merusak kehormatan nasional yang dimiliki
negaranegara Arab lainnya.
Di samping halhal di atas, serangan Amerika Serikat dan
sekutusekutunya itu juga dilihat sebagai serangan terhadap Is
lam. Umat Islam di seluruh dunia menyesalkan hal itu, apapun
sebab, alasan dan argumentasi untuk mendukung sikap menolak
serangan itu. Megawati Soekarnoputri yang tidak mau mengutuk
serangan ini , dianggap oleh banyak kalangan gerakan Is
lam di negeri kita, sebagai tidak membela Islam dari serangan
(invasi) atas sebuah bangsa muslim seperti Irak. Bahkan banyak
demonstrasi yang menuntut agar hubungan diplomatik RIAS
diputuskan saja, sedang produkproduk AS di boikot oleh kaum
muslimin. Sebuah sikap konfrontatif yang sebenarnya jarang di
perlihatkan oleh gerakangerakan Islam, di manapun ia berada.
Sebab utama dari reaksi seperti itu adalah inkonsistensi
pernyataan Presiden AS George W Bush Jr, tentang hakikat se
rangan AS atas Irak. Awalnya ia mengemukakan serangan itu di
lakukan guna mencegah malapetaka bagi dunia, karena Saddam
Hussein memiliki senjata pemusnah massal dalam jumlah besar
yang ditemukan. Ternyata belakangan diketahui, senjatasenjata
itu justru dahulu diberikan AS kepada Saddam Hussein untuk
menyerang Iran. Ini berarti AS ikut membuat senjatasenjata ter
sebut di masa lampau, dan sekarang cuci tangan dari kesalahan
ini .
Dalam kesempatan lain, Bush mengatakan bahwa Saddam
adalah “tokoh jahat (evil figure)” yang harus dilenyapkan kare
na melanggar hakhak asasi manusia. Mengapa hanya Saddam
Hussein? Bukankah ada sebuah negeri di Timur Tengah yang se
tiap tahun menembak mati para warga negaranya, hanya karena
mereka dianggap menjadi oposan politik bagi para penguasa
negeri? Kalau memang Bush benarbenar ingin membela demo
krasi, tentunya ia harus mulai dengan Benua Amerika sendiri,
masih ada negaranegara otokrasi di benua ini , seperti Gua
temala. Bahwa ini tidak diperbuat Bush Jr, sangat mengurangi
kredibilitas ungkapannya itu, hingga dapat dikatakan sebagai ar
saddam HussEIn dan kIta
gumentasi kosong. Pernyataan Bush Jr. ini tidak punya arti
apaapa dan dengan demikian tidak meyakinkan siapapun.
Karena itulah terjadi demonstrasi besarbesaran di selu
ruh dunia, apalagi di kalangan bangsabangsa muslim. Walau
pun penulis sendiri dianggap sebagai “moderat”, namun penulis
tidak dapat menerima serbuan itu sebagai sebuah langkah yang
tepat. Baik secara militer maupun menurut diplomasi, langkah
itu adalah sebuah tindakan gegabah dari sebuah negara adi kua
sa atas negara lain yang lemah.
Lebihlebih lagi, Bush Jr sama sekali “melalaikan” perhi
tungan tujuan perangnya, yaitu menangkap Presiden Irak, Sad
dam Hussein. Maka jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein
tidak tertangkap, haruslah dilakukan penyelesaian damai. Sangat
sulit untuk menangkap Saddam Hussein, karena hubungan yang
sangat baik dengan sukusuku Arab yang berpindahpindah
tempat (nomaden) di Irak, Jordania, dan Syria. Mungkin Sad
dam Hussein akan mengulangi tindakannya dalam pertengahan
abad lampau, saat ia melarikan diri karena diancam hukuman
mati di Irak. Dengan hubungannya yang sangat baik itu, Sad
dam dilindungi oleh sukusuku (qabilah) dari berbagai negara,
sehingga ia sanggup berjalan kaki dan naik unta sejauh lebih dari
2.000 km untuk mencapai Mesir di bawah pahlawan Gamal Ab
dul Nasser.
Karena itulah, penulis mengatakan dalam wawancara de
ngan TV7, bahwa janganjangan diktum Von Clausewitz1: “pe
rang adalah penerusan perundingan damai yang gagal” harus
dilaksanakan secara terbalik dalam kasus Irak. Yaitu, perunding
an damai adalah kelanjutan dari perang yang tidak mencapai
tujuannya. Ini akan terjadi kalau dalam tiga bulan pasukanpa
sukan ASInggris tidak berhasil menangkap Saddam Hussein.
Karena rakyat AS tentu menuntut melalui demonstrasi besar
besaran agar pasukan AS ditarik dari Irak. Perundingan terse
but diperlukan untuk “menolong muka” AS. Hal ini juga penulis
sampaikan kepada Duta Besar Australia di sebuah tempat lima
hari setelah itu, di depan para stafnya.
Menjadi jelas dari uraian di atas, bahwa pengenalan men
dalam atas sebuah kawasan sangat diperlukan jika ingin diam
1 Carl Von Clausewitz adalah salah seorang ahli strategi perang dari
Prussia yang terkenal dan terkemuka di dunia.
g 377 h
bil tindakan militer atasnya. Dan pengenalan kawasan itu harus
disertai pertimbangan objektif yang justru sangat diabaikan oleh
Presiden Bush Jr. Arogansi yang timbul dari pengetahuannya,
bahwa AS adalah satusatunya negara adi kuasa yang dapat “me
ngalahkan” negara manapun, menyingkap kenyataan serangan
militer itu dilakukan karena pertimbanganpertimbangan geopo
litis, bukan pertimbangan moral. Menurut perhitungan geopolitis
Bush Jr, Irak sebagai penghasil minyak kedua terbesar di dunia,
dengan 116 miliar barel atau sekitar separuh dari produksi Arab
Saudi penghasil minyak terbesar di dunia, haruslah “dikembang
kan” sebagai imbangan Arab Saudi, karena Arab Saudi dewasa ini
menyimpang dari kebijaksanaan luar negeri AS. Ditambah lagi,
karena Irak saat ini mulai menggunakan mata uang masyarakat
Eropa, Euro dalam menyelesaikan transaksi minyaknya.
Keterusterangan pihak AS dalam menggunakan pertim
banganpertimbangan ekonomis ini, haruslah disampaikan oleh
Bush Jr, setidaktidaknya melalui berbagai lembagalembaga
nonpemerintahan di negeri Paman Sam itu. Tindakan menutup
nutupi berbagai pertimbangan geopolitis dan finansial itu hanya
akan mengurangi kredibilitas AS saja. Hilangnya kredibilitas itu
akan memaksa negara ini , menggunakan kekuatan militer
dalam hubungan dengan negerinegeri lain. Menjadi teladan ba
gi kita, bahwa mengendalikan sebuah negara adi kuasa tidaklah
mudah, melainkan membutuhkan kemampuan bersabar dan
sikap tidak memandang rendah orang lain. Apalagi hanya men
dengarkan suara kelompokkelompok garis keras belaka. Tidak
mudah menjadi pemimpin dunia, bukan? h
saddam HussEIn dan kIta
Amerika Serikat (AS) telah menyerbu Irak dengan sekutu
sekutunya, melalui peralatan militer yang sangat canggih
dan personel tentara yang tangguh dibantu oleh sistem
komunikasi mutakhir. Dalam waktu tiga minggu, ibu kota Bagh
dad jatuh ke tangan pasukan AS, dan patung Saddam Hussein
setinggi belasan meter itu dirobohkan. Anehnya, Saddam sendiri
bersama keluarga dan menterimenterinya tidak juga tertangkap.
Hal ini sangat mengherankan, dan menimbulkan tanda tanya be
sar, apakah gerangan yang terjadi. Kalau tadinya diproyeksikan
Saddam akan tertangkap dan ia digantikan oleh seorang pemim
pin lewat pemilu demokratis, maka sampai tulisan ini dibuat hal
itu belum terjadi.
Karenannya kita perkirakan hanya satu dari kedua proyeksi
di atas akan terwujud, yaitu mengganti pemerintahan Saddam de
ngan pemerintah yang baru, itu pun belum tentu dapat diterima
rakyat Irak. Pemerintahan yang baru itu akan melaksanakan pe
milu dalam waktu dekat, guna mendapat legitimasi bagi dirinya.
Dan tanpa legitimasi itu, pemerintah yang didirikan, tidak akan
menjadi pemerintahan yang kuat. Klaim Presiden Bush akan
menjadi suatu yang kosong dan seluruh dunia akan bertanya me
ngapa Irak harus diserang? Jawabannya adalah, AS menyerbu
Irak untuk kepentingan minyak bumi, alias hanya berdasarkan
pertimbanganpertimbangan geopolitis: “Menciptakan imbang
an bagi Saudi Arabia yang merupakan negara penghasil minyak
adakah Perdamaian di Irak?
bumi terbesar di dunia (dengan cadangan 260 milyar barel mi
nyak mentah (crude oil), yang sekarang sudah mulai menyim
pang dari kebijakan luar negeri AS dalam soal Israel.”
Dalam waktu sekitar tiga bulan atau 100 hari, jika AS ti
dak berhasil menangkap Saddam Hussein maka rakyat AS tentu
akan menuntut pasukanpasukan mereka ditarik dari Irak. Jika
ini terjadi, maka di samping adanya pemerintah yang lemah (dan
belum tentu demokratis), maka mau tidak mau perdamaian di
Irak menjadi opsi yang harus diperhitungkan? Di sinilah letak
“kelalaian” dari serangan AS atas Irak itu. Sebuah serangan yang
tidak memperhitungkan kemungkinan Saddam tidak tertangkap
tentulah membawa resiko tersendiri, jalan selanjutnya melalui
perdamaian untuk menyelesaikan konflik di Irak.
Kemungkinan penyelesaian damai di Irak, apalagi kalau
PBB diserahi tugas “mengamankan” negeri itu, haruslah mem
perhitungkan hal lain, yaitu perlunya menciptakan perdamaian
abadi di kawasan Timur Tengah. Karena itulah, penulis meng
usulkan perdamaian di Irak harus terkait langsung dengan per
damaian abadi antara Palestina dan Israel. Dengan demikian,
selanjutnya tidak ada “pengaruhpengaruh negatif” perkembang
an konflik antara Israel dan Palestina dengan perkembangan di
Irak. Kalau kita berpikir secara rasional dan obyektif, tentu akan
sampai ke tingkat itu. Dalam hal ini, apa yang dilontarkan penulis
itu bukanlah sesuatu yang utopis dan dalam anganangan saja.
Untuk mencapai perdamaian abadi antara Palestina dan
Israel harus ada negara Palestina yang kuat, terutama industri
dan perdagangannya. Hal itu hanya mungkin terjadi kalau ada
pemerintahan yang kuat dan tangguh dalam negara Palestina
(State of Palestine). Jika Israel memiliki industri dan perdagang
an yang tangguh, itu tidak lain pada masa permulaanya negeri
itu mengenal sistem Kibutz (koperasi pertanian) yang sangat
tangguh. Sebagai tandingannya negara Palestina harus mengem
bangkan UKM (Usaha Kecil dan Menengah) yang tangguh, guna
melakukan pembangunan industri dan perdagangan yang tang
guh pula. Untuk hal ini , disamping pemerintahan yang mo
derat dan kuat, juga diperlukan bantuan ekonomi secara besar
besaran dalam bentuk kredit murah bagi negeri Palestina.
adakaH PERdamaIan dI IRak?
Israel dan Palestina yang kuat, merupakan persyaratan uta
ma bagi perdamaian dunia kawasan Timur Tengah, sedangkan
perdamaian seperti itu sangat tergantung kepada kemampuan
dunia untuk menciptakan perdamaian abadi di Irak. Inilah sebab
nya mengapa penulis mengusulkan kaitan langsung antara per
damaian di Irak dengan antara IsraelPalestina. Sebagai orang
luar yang memperhatikan perkembangan di kawasan Timur Te
ngah —karena merupakan bagian dari dunia Islam yang digeluti
nya—, maka usul itu tentunya memiliki unsur kemungkinan ga
gal yang cukup besar, namun ini tidak menghilangkan keharusan
kita terus berupaya menciptakan perdamaian di manapun juga.
Usul di atas penulis kemukakan dalam berbagai forum, an
taranya pada ujung bulan Maret 2003, dalam sebuah konferensi
penciptaan perdamaian di seluruh dunia di selenggarakan oleh
IIFWP (Interreligius and International Federation for World
Peace) di Washington DC. Begitu juga hal itu penulis kemukakan
dalam rangkaian ceramah di Michigan University, Ann Arbor,
pada akhir Maret 2003. Penulis lagilagi mengemukakan hal itu
dalam seminar yang diselenggarakan Strategic Dialogue Centre
Universitas Netanya, Israel di New York awal Februari 2003 lalu,
berjudul “Mencari Kerangka Perdamaian di Timur Tengah”. Da
lam seminar di New York itu, penulis juga mengemukakan pen
tingnya mengenal sebabsebab terorisme yang dilakukan sebagi
an sangat kecil kaum muslimin, dengan atas nama agama mereka,
seperti peledakan bom di Bali
Di antara sebabsebab yang dikemukakan penulis adalah
kelalaian sebagian kecil kalangan pemuda muslimin untuk mem
bedakan antara institusi (lembaga) dan budaya (kultur) Islam.
Jika ada yang melupakan budaya (kultur) itu, tentu ada ketakut
an bahwa institusi (kelembagaan) keIslaman sedang diancam
oleh peradaban Barat dalam bentuk modernisasi. Dengan sendiri
nya, mereka merasa tantangan modernisasi dan ke baratbaratan
sulit untuk dihadapi, maka mereka menggunakan segala macam
cara (termasuk penggunaan kekerasan) dalam “mempertahan
kan” agama yang mereka cintai.
Dalam hal itu, mereka tidak memperhitungkan nyawa para
korban yang berjaAllah , yang terpenting “rasa puas” karena telah
g 381 h
dapat “membela agama”. Sikap mental yang demikian ini tentu
saja negatif dan perlu diganti dengan tindakan lain yang lebih
positif. Hal itu akan terjadi jika pemikiran yang ada diarahkan
kepada penciptaan kondisi damai di manapun kaum muslimin
berada, termasuk di kawasan Timur Tengah.
Kalau kita palingkan perhatian dari kawasan ini ,
maka akan tampak betapa besar keragaman cara hidup di kalang
an kaum muslimin yang berbeda etnis, bahasa, agama dan bu
daya yang mereka miliki. Kalau kita sadari hal ini dengan men
dalam, maka tampak nyata bagi kita, bahwa ragam dan jenis
kaum muslimin pun sangat banyak jumlahnya. Kewajiban kita
untuk melestarikan hal itu. h
adakaH PERdamaIan dI IRak?
Judul dan sekaligus pertanyaan di atas, dapat dijawab de
ngan berbagai cara. Secara historis, perang dunia kedua
berakhir dengan kalahnya Adolf Hitler1 dan Jenderal Tojo2
(Jepang) pada tahun 1945. Peperangan yang terjadi setelah itu
secara umum dapat dianggap sebagai perang kemerdekaan