ilmu tarekat mistik 13
an merugikan, mengosongkan
hati dari segala kebimbangannya, siap sedia menerima kurnia Allah
yang akan tertumpah dan tercurah ke dalamnya, sebab barangsiapa
yang menyediakan dirinya untuk Al lah , Al lah itu tersedia baginya.
Hati itu memiliki keanehan, ia terlepas dari pengaruh panca
indra, bebas dari otak dan pengajaran. Bahkan lebih dari otak dan pe-
ngajaran, acapkali yang tidak sanggup dipikirkan otak, terlintas dalam
hati dengan jelas. Barangkali suatu perumpamaan lebih menjelaskan
persoalan. Kita gali sebuah tebat, kita alirkan ke dalamnya air dari tem
pat lain melalui saluran. Memang dengan usaha demikian tebat itu ter-
isi, namun isinya terbatas, sebanyak air yang mengalir melalui saluran
itu. Jika air dalam tebat itu terpancar dari dalam tanah, niscaya ia me
rupakan isi tebat yang tidak akan kering-kering. Ilmu yang diusahakan
dari luar, melalui panca indra ada batasnya, namun ilmu yang terpancar
dari dalam hati, sebagai kurnia dari rahmat Allah , tidak akan habis-
habisnya, ia yaitu sumber mata air yang tidak akan kering-kering.
2. H A K E K A T .
Meskipun pembicaraan tentang hakekat dan ma'rifat ini akan saya
398
bicarakan dalam sebuah kitab khusus mengenai persoalan, namun kare
na kedua masaalah ini rapat juga hubungannya dengan tarekat, tidak
ada salahnya untuk memudahkan pengertian pembaca saya singgung
juga dalam kitab ini . Dalam "Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf"
(Bandung, 1962) sudah saya jelaskan, bahwa keempat tingkat syari'at,
tarekat, hakekat dan ma'rifat tidak dapat dipisah-pisahkan, sebab sya
ri'at itu terpiün dengan hakekat dan hakekat itu terpilin dengan syari
'at. Tiap-tiap syari'at itu hakekat dan tiap-tiap hakekat itu syari'at.
Syari'at meujudkan amai, dan hakekat meujudkan ihwal, syari'at ber
buat dengan ilmu, hakekat mengambil hikmah dari pengalaman, syari
'at ditujukan kepada manusia untuk melaksanakan ibadat serta pembi
caraan yang sampai kepadanya berupa amar dan nahi yaitu untuk
menjelaskan kecintaan dan mendirikan keterangan, sedang hakekat pe-
laksanaannya dalam khuluk dan iradah, hasilnya hanya akan diperoleh
mereka yang terpilih dibandingkan hamba-Nya yang dicintai Allah .
Tarekat yaitu latihan untuk menempatkan diri setingkat demi
setingkat lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah . Al-Junaid berkata,
bahwa semua tarekat itu akan tidak berhasil, j ika tidak dilakukan se-
panjang ajaran Nabi, yang yaitu sumber tarekat. Al-Khadimi
berkata, bahwa tarekat itu sebenarnya sudah termasuk ke dalam ilmu
mukasyafah, yang memancarkan nur cahaya ke dalam hati murid-
muridnya, sehingga dengan nur itu terbukalah baginya segala sesuatu
yang gaib dibandingkan ucapan-ucapan Nabinya dan rahasia-rahasia Allah
nya. Ilmu mukasyafah tidak dapat dipelajari, namun diperoleh dengan
riadhah dan mujahadah yang yaitu pendahuluan bagi pertunjuk
hidayah Allah , sesuai dengan firman-Nya, bahwa mereka yang berju-
ang atau berjihad untuknya, akan ditunjuki jalannya.
Perbedaan yang besar antara tarekat dan hakekat tidak ada namun
bahkan sambung-menyambung antara satu sama lain, sebagaimana ada
persambungan yang langsung antara hakekat dan ma'rifat. Taftazani
menerangkan dalam kitab "Syarhul Maqasid" : "Apabi la seseorang
telah mencapai akhir pekerjaan suluknya ilallah dan fillah, pasti ia
akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan, sehingga zatnya selalu
dalam pengawasan zat Allah dan sifatnya selalu dalam pengawasan
sifat Allah . Ketika itu orang ini fana dan lenyap dalam suatu ke
adaan masiwallah, apa yang bersifat bukan Allah . Ia tidak melihat da-
399
lam wujud alam ini kecuali Al lah , fana dalam tauhid ini sebenarnya sudah
disindirkan dalam sebuah Hadis : Orang-orang mutaqarribin tidak da
pat mendekati Allah dengan hanya menjalankan segala ibadat yang
diperlukan, namun mereka dapat mendampinginya dengan memperba
nyak ibadat sunat, demikian banyaknya hingga Allah mencintainya,
dan apabila Allah mencintainya pendengaran Allah menjadikan pen-
dengarannya dan pandangan Allah menjadi pandangannya, jalin men-
jalin. Dan oleh sebab itu tariq, ilmu, irfan, keadaan jamal dan kamal,
berjalin menjadi satu, dan apabila ia sudah menjadi satu, tidak ada lagi
yang batil di depan dan di belakangnya, tidak ada lagi yang menyele-
weng pada permulaan dan kesudahannya. Seluruh alam tidak dapat
mengubah lagi sesuatu yang sudah yaitu hasil dibandingkan rahasia
Allah i tu" . Pengarang kitab Jami'ul Wusul mengulangi ucapan Tafta-
zani, dan menekankan kepada hubungan yang erat antara tarekat dan
hakekat. Ia berkata, bahwa hakekat itu melihat Allah sebagai pencipta
keseluruhan, yang memberi pertunjuk dan kesesatan, yang dapat meng
angkat manusia dan merendahkannya, yang dapat memuliakan, dan
menghinakan saya, yang dapat memimpin dan melepaskannya, sehingga
kebajikan dan kejahatan, manfa'at dan mudharat, iman dan kufur, tas-
diq dan ingkar, kejayaan dan kerugian, penambahan dan kekurangan,
ta'at dan ma'siat, jahil dan berilmu, semuanya tidak dapat berlaku ke
cuali dengan qadha dan qadarnya, hikmah dan perjalanannya, sehingga
apa yang dikehendaki Allah berlaku dan apa yang tidak dikehendaki-
nya gagal dan kecewa. Tidak ada jalan ke luar dibandingkan sesuatu keada
an melainkan dengan qudrat dan iradatnya, tidak dapat berlari dari
pada ma'siatnya kecuali dengan taufiqnya dan rahmatnya, tidak ada
kekuatan dan tenaga untuk melakukan taat kecuali dengan kehendak-
nya, pertolongannya dan kesediaan kecintaannya.
Maka dengan demikian kita ketahuilah, bahwa pelaksanaan qadha
dan qadar itu semata-mata urusan Allah, dan penyelidikan serta pelak
sanaan ke arah ini termasuk ilmu hakekat. Pengakuan kita dalam Fati
hah, bahwa "Engkaulah yang kami sembah" termasuk syari'at dan ta
rekat, dan pengakuan kita "Engkaulah yang kami mintai pertolongan"
termasuk hakekat dan ma'rifat.
Hakekat membuka kesempatan, bagaimana salik mencapai mak
sudnya, yaitu mengenai Allah , ma'rifatullah dan musyahadah nur
400
yang tajalli. Imam Ghazali menerangkan, bahwa tajalli itu yaitu terbu
ka nur cahaya yang gaib bagi hati seseorang, dan sangat mungkin bah
wa yang dimaksudkan dengan tajalli di sini yaitu yang mutajallli, tidak
lain dibandingkan Al lah . Pengertian ini sesuai dengan pendapat Qusyairi di
kala ia menerangkan perbedaan antara syari'at dan hakekat, yaitu bah
wa syari'at itu yaitu kesungguhan dalam segala ubudiyah, sedang ha
kekat itu musyahadah rububiyah atau melihat rububiyah itu dengan
hatinya. Dalam tarekat orang memperbaiki ibadat, dalam hakekat
orang memperhalus kehidupan dalam mencapai maqamat dan ahwal,
yang akan kita bicarakan dalam bahagian tersendiri. Setengah orang
Sufi menerangkan, bahwa yang dimaksudkan dengan hakekat itu ialah
segala macam penjelasan mengenai kebenaran sesuatu, seperti syuhud
asma dan sifat, begitu juga syuhud zat yang tunggal, memahami raha-
sia-rahasia Qur'an, memahami rahasia-rahasia suruh tegah dan harus,
dan akhirnya memahami sari-sarinya ilmu pengetahuan yang gaib, yang
tidak dapat diperoleh dari pembacaan dan pengajaran kitab dan guru-
guru.
Memang perkembangan pengetahuan mengenai hakekat ini pada
akhir abad II H . dan permulaan abad III H . , yaitu pembahasan
yang melaut-laut dan mendalam, di mana tokoh-tokoh Sufi hari-hari
pertama, seperti Ibrahim bin Adham, Ma.'r ïf Al-Karakhi dan Abdul
Wahid bin Zaid turut mengambil bahagian p enting dalam pembicaraan
itu. Umumnya ilmu hakekat itu dapat kita simpulkan dalam tiga jenis
pembahasan sebagai berikut.
Pertama yang dinamakan hakekat tasawwuf, terutama diarahkan
untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan mening
galkan dunia dengan segala keindahannya ;;erta menarik diri dari ke-
biasaan-kebiasaan duniawi. Hakekat tasawwuf itu biasanya dibahagi
atas delapan pokok ajaran, yaitu mengenai sakha', ridha, sabar, isya-
rah, ghurbah, labsus suf, siahah dan faqar. Kedelapan masaalah ini di-
kupas secara mendalam, diberi bermacam-macam alasan dan contoh-
contoh, sehingga orang dapat memahami maksud dan hakekat dibandingkan
tiap sifat itu. Dalam menerangkan sakha', yang artinya dalam bahasa
sehari-hari tidak lebih dibandingkan baik atau kebaikan, diberi penjelasan
lebih panjang dengan berpedoman kepada sifat-sifat Nabi Ibrahim de
ngan segala kebajikannya dalam mempertahankan tauhid dan memper-
401
tahankan kebajikan dengan segala pengorbanan. Demikianlah selanjut
nya dalam memberikan pengertian ridha berpedoman kepada Nabi Is-
hak, pengertian sabar berpedoman kepada akhlak Nabi Ayyub, isyarah
berpedoman kepada Nabi Yahya, ghurbah berpedoman kepada Nabi
Yusuf, memakai suf berpedoman kepada Nabi Musa, mengenai siahah
atau pengembaraan berpedoman kepada Nabi Isa dan mengenai faqar
atau kemiskinan berpedoman kepada hakekat hidupnya Nabi Muham
mad saw.
Kedua yang dinamakan hakekat ma'rifat, yang tidak lain dibandingkan
mengenai nama-nama Allah dan sifat-Nya dengan sesungguh-sungguh-
nya, dalam segala' pekerjaan sehari-hari dan dalam segala suasana dan
ahwal. Hakekat ma'rifat itu dalam beberapa kitab Sufi tidak hanya di
artikan sampai sekian saja, namun termasuk juga ke dalamnya mengenai
Allah dalam segala munajat dan ratap tangis, dalam air mata dan
kembali kepada Allah mengenai persoalan apa pun juga, menjaga ke-
sucian akhlak diri dibandingkan sifat-sifat yang buruk, sebab dengan men
jauhkan sesuatu yang baru dibandingkan dirinya, ia dapat kembali kepada
ma'rifat Allah nya. Ada diterangkan, bahwa ma'rifat itu dua macam,
pertama ma'rifat hak dan kedua ma'rifat hakekat. Orang Sufi yang me
ngadakan perbedaan ini menerangkan, bahwa yang dinamakan ma'rifat
hak itu ialah ma'rifat wahdaniyat Al lah , satu tunggal sebagaimana
yang jelas bagi makhluknya mengenai nama dan sifat Allah , sedang
ma'rifat hakekat tidak dapat dicapai oleh manusia, sebab tidak ada
suatu ilmu pun yang dapat memperjelas hakekat Allah itu. Dalam Qur
'an dikatakan, bahwa Allah itu tidak dapat dicapai dengan ilmu pe
ngetahuan. Oleh sebab itu banyak ahli hakekat tidak mau membicara
kan ma'rifat itu lebih dibandingkan apa yang dapat dicapai dengan penge-
nalan manusia. Kata setengah Sufi hak itu tidak dapat diketahui oleh
yang bukan hak, jika hendak diketahui yaitu dengan hak itu sendiri.
Perkataan ini diucapkan oleh Abu Bakar Siddiq, yang menerangkan :
"Segala puji bagi Allah yang tidak membuka suatu jalan pun untuk
mengenalnya, kecuali dengan kelemahan manusia itu sendiri dibandingkan
mengenai Allah nya i tu" .
Ketiga yang dinamakan hakekatul haqa'iq. Hakekat ini yaitu
puncak segala hakekat, ia termasuk martabat ahadiyah, penghimpun
bagi semua hakekat, oleh sebab itu dinamakan juga hadratul jama'
atau hadratul wujud. Hakekat asma dan nama Allah tidak lain dari
pada memberi batas kepada zat, dan hakekat Muhammadiyah diletak
kan di dalam tasawwuf 'aqidah ini sebagai penjelasan pertama, ta'ay-
yun awal, sedang ta'ayyun sabitah ialah hakekat segala yang mumkinat
dalam ilmu Allah .
Saya tidak ingin membicarakan soal ini secara mendalam, sebab
dapat menimbulkan salah pengertian bagi mubtadi dan mutawassith
yang membaca kitab ini sebagai pengantar ilmu. Saya ingin menang-
guhkan pembicaraan ini untuk sebuah karangan yang khusus membica
rakan tentang hakekat dan ma'rifat, baik dibaca oleh mereka yang su
dah memahami betul kedua buah kitab saya "Pengantar Sejarah Sufi
dan Tasawwuf" dan "Pengantar Ilmu Tarekat".
Meskipun demikian baik saya catat di sini beberapa perkara me
ngenai hakekat itu. Hakekat muraqabah dimaksudkan tidak lain dari
pada kewaspadaan hamba dalam memandang Allah mengenai segala
bidang ahwalnya, sehingga dengan pandangan yang demikian itu secara
sir terjadilah pengawasan Allah atas segala gerak-geriknya, yang ber-
akibat hudur Haq dan melimpah pengawasannya ke dalam hati, kepa
da segala anggota hambanya dalam segala gerak dan diamnya. Qur'an
menerangkan, bahwa Allah itu mendampingi hamba-Nya setiap wak
tu, dan Jibrail memesankan kepada Nabi Muhammad, bahwa ia harus
beribadat kepada Allah seakan-akan melihat Allah itu sendiri, j ika
ia tidak melihat niscaya Allah melihatnya. Ibn Athailah menerangkan,
bahwa sebaik-baik taat alah muraqabah Allah dalam segala waktu.
Hakekat mahabbah terhadap Allah menurut istilah ahli tasawwuf
tidak lain dibandingkan arti senantiasa seorang hamba berkehendak kepada
Allah untuk beroleh nikmatnya, berbuat baik dengan penyembahan
terhadapnya, dan sebaliknya iradat Allah terhadap hamba-Nya dengan
nikmat yang berlimpah-limpah. Hakekat pemeliharaan Allah , yang di
sebut wilayah, ialah menyerah diri seluruhnya kepada bantuan dan per-
lindungan Allah , sebagaimana penyerahan diri orang-orang yang salih
terhadapnya. Dalam membicarakan hakekat iradat, kitab-kitab tasaw
wuf membicarakan perbedaan pengertian antara perkataan murid dan
murad. Sementara hakekat iradat diartikan tergerak hati dalam menca
ri Allah , murid diartikan yaitu orang yang tidak memiliki kehen-
dak atau tradat apa-apa, sedang murad yaitu orang yang hanya mem
punyai satu kehendak yaitu Allah semata-mata. Ghazali menerangkan,
bahwa yang dinamakan murid itu ialah seseorang yang layak menderita
percobaan dan termasuk ke dalam jumlah orang-orang yang melepas-
k xn dunia ini dan mencari Allah melalui nama-Nya atau asma-Nya.
ia menerangkan bahwa murad yaitu orang-orang yang arif, yang tidak
memiliki kehendak apa-apa lagi selain dibandingkan Allah dan dengan
demikian ia sudah sampai kepada tingkat penghabisan tujuannya atau
nihayah, keadaannya itu telah mengubahkan ahwal dan maqamatnya.
Naqsyabandi tidak mengadakan perbedaan antara murid dan murad.
Ia memberikan contoh, bahwa Nabi Musa itu berada dalam tingkat
murid, sebab ia berdo'a minta dibersihkan dadanya, sedang Nabi M u
hammad bertingkat murad sebab ia tidak meminta apa-apa, hanya
Allah yang bertanya kepadanya "Bukankah dadamu sudah dibelah
dan dibersihkan dan engkau sudah diangkat menjadi buah tutur dan
pujian orang". Orang yang berdo'a untuk sesuatu kepada Allah ter
masuk murid, namun orang yang diam dan tenang dalam sesuatu hasrat
dan keinginan termasuk murad.
Demikian beberapa contoh tentang pengupasan hakekat, yang da
pat kita simpulkan, bahwa hakekat itu hasil dibandingkan tarekat, dan tare
kat itu hasil dibandingkan syari'at. Najmuddin memberikan perbandingan
yang indah, bahwa syari'at itu seperti sampan, tarekat itu seperti laut
dan hakekat itu seperti mutiara. Barang siapa menghendaki mutiara
itu, ia harus naik ke dalam sampan dan pergi ke laut, sehingga dengan
demikian berhasillah ia mencari dan mengambil mutiara itu. Ia mene
rangkan, bahwa hakekat keAllah an itu diibaratkan dengan Ka'bah se
bagai kiblat sembahyang, dengan hakekat Qur'an sebagai tuntunan dan
dengan hakekat sembahyang sebagai ibadat, sedang yang kedua dina
makan hakekat kenabian, yang terdiri dari hakekat Ibrahimiyah, hake
kat Musawiyah dan hakekat Muhammadiyah. Ulasan ini dibicarakan
demikian rupa, sehingga memakan tempat berhalaman-halaman. Ha
kekat Ibrahimiyah menghasilkan uns atau berjinak-jinakan dengan Zat,
hakekat Musawiyah melahirkan cinta, hakekat Muhammadiyah, yang
yaitu haqiqatur haqaik menghasilkan meruqabah dengan Zat, se
dang hakekat Ahmadiyah melahirkan cahaya, yang dapat membuka
kecintaan yang tidak terbatas kepada Zat yang satu.
3. MA'RIFAT.
Sebagaimana dalam tarekat, dalam hakekat pun dikupas masaa-
lah-masaalah akhlak dan kepribadian, meskipun pengupasan sekarang
ini dalam pengertian yang lebih mendalam. Dengan demikian kita men
dapati pembicaraan yang agak meluas tentang maqamat dan ahwal. Ra-
mai sekali pembicaraan tentang masaalah ini, dan di sana-sini kita men
dapati perbedaan paham, baik tentang pengertiannya maupun tentang
sifat-sifat mana dan keadaan mana yang termasuk ke dalam maqamat
dan yang termasuk ke dalam ahwal.
Ahl i hakekat menafsirkan, bahwa ahwal itu suatu keadaan yang
mendatang ke dalam hati manusia dengan tiba-tiba dan dengan tidak
diusahakan, yaitu keadaan gembira atau susah, keadaan sempit atau
lapang, keadaan hebat dll . disebabkan kedatangan sifat-sifat jiwa, yang
digerakkan oleh hati yang beroleh ilham itu. Apabila sifat-sifat itu ber
kekalan, tetap dan tidak berubah lagi, menjadi milik pribadi yang ber-
pilin yaitu darah daging, maka keadaan itu dinamakan maqam.
Lalu dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa ahwal itu yaitu kurnia,
dan maqamat itu yaitu perolehan yang diusahakan. Ahwal datang
dibandingkan wujud yang tidak tersedia sebelumnya, maqamat terjadi kare
na majhud yang diusahakan sebagai kesungguhan sesudahnya. Demiki
an ini dalam kitab "Al-Ta'rifat", karangan Jurjani, hal 56 atau
dalam "Ar-Risalah", gubahan Qusyairi, hal. 32. Dalam "Hilliyatul
Auliya", J . I, hal. 244, diterangkan bahwa ahwal itu yaitu percikan
dibandingkan jiwa dengan tidak diusahakan oleh orang yang memiliki jiwa
itu, ahwal itu kadang-kadang menetap pada jiwa seseorang kadang-
kadang dapat berubah, artinya bertambah atau berkurang, datang atau
lenyap. Abu Usman A l - H i r i menerangkan, bahwa ia selama empat pu
luh tahun tidak tetap dalam satu hal, dan selalu bertukar-tukar, sedang
ia ingin hendak berdiri teguh dalam sesuatu hal yang dikehendak. A l -
Junaid menerangkan, bahwa ahwal itu yaitu tetesan yang menetes ke
dalam hati seseorang, dan hal itu tidak tetap (Al-Lama' , hal. 42).
Memang ahwal itu berubah-ubah, apabila ia tetap maqam nama
nya. Hal itu mungkin lenyap, namun maqam tetap tidak berubah-ubah,
sebab ahwal yang datang kepada seseorang dan orang itu dapat me-
nguasainya untuk menetapkannya dengan do'a dan kesungguhan, maka
ia pun abadi dan menjadi maqam. Oleh sebab itu orang-orang Sufi
mengatakan, bahwa sesuatu maqam hamba terletak dalam tangan Tu
han, yang dapat dikekalkan dengan ibadat, dengan mujahadat, dengan
riadat dan dengan mengembalikan seluruh diri kepada Allah.
Mengenai macam keadaan yang termasuk ahwal juga diperselisih-
kan dalam kitab-kitab Sufi, namun umumnya mengatakan, bahwa yang
termasuk ahwal itu ialah muraqabah, qurb, hub, khauf, raja', syauq,
uns, thama'ninah, musyahadah dan yaqin. Sedang yang masuk maqa
mat kebanyakan menetapkannya taubah, wara', zuhud, faqar, sabar,
tawakkal dan ridha. Inilah pendapat yang umum dalam kitab-kitab Su
fi .
Kesimpulan di atas ini mengenai ahwal dan maqamat dipetik dari
kitab Nicholson yang bernama "Sufism in Islam", terjemah ke dalam
bahasa Arab oleh Syaribah, hal. 33 — 34.
Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran ahwal dan maqamat ini
ditujukan untuk memperbaiki akhlak, untuk melakukan taubat dari
pada dosa, untuk meninggalkan kecintaan kepada harta benda dan
menggemari kemiskinan atau hidup yang sederhana, untuk tidak terla
lu mencintai dunia, untuk menjaga diri dibandingkan segala sesuatu yang
diharamkan Allah , dan sabar atas apa yang tidak diperbolehkan, un
tuk memperbesar rasa tawakkal dan menyerah diri atas kekuasaan Tu
han. Sedang ahwal itu ada hubungannya yang erat dengan ibadat dan
kerohanian, seperti muraqabah dengan Allah , yang dapat menghilang
kan ria dan menanam cinta pada amal ibadat, cinta dan rindu kepada
Allah, uns dan berjinak-jinak dengan Allah dalam susah dan senang,
ketenangan jiwa dan thama'ninah terhadap Allah , yang semuanya akan
berakhir kepada suatu keadaan yaqin yang sebulat-bulatnya, yang me
rupakan tujuan terakhir dan kesudahan dibandingkan ahwal.
Kemudian dibandingkan itu didikan pun berpindah dari hakekat kepa
da ma'rifat, tujuan terakhir dibandingkan tasawwuf, yaitu mengenai Allah
dengan sebaik-baiknya. Jalan mengenai Allah itu tidak dapat ditem
puh sekaligus dan melalui satu lorong saja, namun , sesuai dengan ke
adaan masing-masing pribadi, ia harus ditempuh bertingkat, dan dari
bermacam jalan.
Dalam penempuhan jalan ini orang Sufi membagi manusia atas
dua bahagian, sebahagian bernama muridin atau salikin, yang oleh.kita
biasa kita sebutkan muslimin atau orang Islam, sebahagian lagi disebut
majzubin, mutahaqqiqin atau arifin, yang oleh kita dikenal dengan
mu'minin.
Tadi sudah kita katakan, bahwa orang Sufi itu dalam mengenai
Allah membagi empat tingkat, pertama athar, kedua asma, ketiga si
fat, dan keempat zat. Orang-orang Sufi berpendapat, bahwa salikin
mengenai athar atau alam lebih dahulu, kemudian meningkat pengenal-
annya kepada asma, kemudian meningkat kepada sifat, dan kemudian
barulah meningkat kepada zat Allah yang satu tunggal. Mereka berpen
dapat bahwa majzubin mengenai Allah dengan jalan sebaliknya, mere
ka mengenai zat lebih dahulu, kemudian berpindah kepada sifat, kemu
dian berpindah kepada asma, dan kemudian barulah mempelajari
athar, sayia atau alam ini untuk menjadi bukti adanya Khalik atau Tu
han itu. Jadi tujuan akhir dibandingkan perjalanan salikin yaitu per
mulaan keyakinan majzubin, sebaliknya permulaan perjalanan majzu
bin yaitu tujuan terakhir dibandingkan keyakinan salikin. Tujuan sa
likin : " K a m i tidak lihat sesuatu, kecuali Allah sesudahnya", tujuan
majzubin : " K a m i tidak lihat sesuatu, melainkan Allah sebelumnya".
Tujuan salikin, melihat alam ini lillah, untuk Al lah , tujuan majzubin
melihat alam ini billah, dengan Allah. Jadi keadaan salikin yaitu men-
daki dan naik dari bawah ke atas, dan keadaan majzubin yaitu tadalli,
membuktikan dan turun dari atas ke bawah. Ahl i Sufi mengatakan,
bahwa orang-orang yang salih itu bekerja untuk mentahqiqkan fana
dan mahu, sedang orang-orang yang majzub atau ahli hakekat hendak
menempuh sampai kepada jalan baqa dan suhu.
Inilah perbedaan antara ahli hakekat dan ma'rifat. Agak sukar me-
nerangkannya, namun saya coba dengan jalan popuier menggambarkan
jalan itu secara mudah kepada saudara. Ibn Atha'illah pernah berdo'a
untuk kesukaran ini : " Y a Allah ku, resapkan ke dalam jiwaku hake
kat ahli qurb dan bantukan daku menempuh suluk atau jalan jazab".
(Hikam).
Dalam persoalan ini kita terbentur kepada tiga tingkat perjalanan
untuk sampai kepada ma'rifat, yaitu melalui mahu, dari mahu kepada
sakar, dan dari sakar kepada suhu. Mahu artinya hilang bagi seseorang
sifat-sifat dan kebiasaan manusia, begitu juga perkara-perkara yang
tercela, hilang sebab-sebab dan kekotoran, sebab akan pergi kepada
suatu keadaan kebersihan akhlak dan perbuatan untuk mencapai sifat
yang hak dan akhlak yang benar. Orang yang demikian itu lalu masuk
kepada tingkat mabuk keAllah an atau sakar, yaitu hi lang dari kehidup
an lahir dan kebiasaan sehari-hari. D a l a m sakar in i ia peroleh wajad,
musyahadah dan wujud . J i k a tetap dalam keadaan sakar, ia yaitu
orang gi la , sebab tidak sadar akan d i r inya yang kasar. Sifat sakar i tu
yaitu puncak dar ipada beberapa keadaan kecintaan yang la in kepada
T u h a n , seperti muraqabah, hudur, mukasyafah, uns, hub, zauq , ' i sy iq
dan syarab, barulah ia sampai kepada maqam sakar ar i f in atau mabuk
Allah i tu , yang di da lamnya ia melihat atau merasakan sesuatu yang
tidak dapat dil ihat atau dirasakan oleh manusia biasa. Ia t idak j ad i gi
la , ka lau ia kembal i sadar seperti semula, yang dalam keadaan ini d i
namakan suhu, yai tu kembal i dengan perasaan semula sesudah ghaibah
dengan pandangan yang kuat . Ibarat orang m i m p i , j i k a ia tetap da lam
m i m p i , i a tidak berhasil apa-apa dengan impiannya , namun j i k a ia kem
bali sadar dar ipada m i m p i dan ia dapat mengingat semua yang diper l i -
hatkan dalam m i m p i n y a , maka ia membawa hasil pandangan yang nya-
ta kepada a lam nasut kembal i . Demik ian lah pula dengan seseorang
yang sesudah mahu masuk ke dalam sakar dan beroleh ray, dapat kem
bali kepada suhu dengan membawa ray i tu , berhasil lah i a , namun j i ka l au
tetap dalam sakarnya maka ia menjadi gi la dan mengacau. Barangkal i
uraian in i lebih jelas, j i k a saya gambarkan dengan sesuatu kejadian
yang nyata antara Ha l la j dan S y i b l i . Ha la j berpindah dar ipada mahu
masuk ke dalam sakar, namun t idak kembal i lagi melalui suhu ke dalam
alam perasaan, maka ia pun gi la dan mengacau. Sy ib l i berpindah dar i
pada mahu kepada sakar, namun kembal i kepada suhu, kembal i ke a lam
perasaan dar i a lam fana, sadar pula da lam alam nasut, maka ia pun
menjadi wa l i .
Ceri tera in i saya ambi l dar i ki tab "Futuhatul Makkiyah", j l d . II,
gubahan Ibn A r a b i . Sy ib l i berkata : " S a y a dan Hal la j m i n u m dari se
buah gelas yang sama, namun saya kembal i suhu, maka selamatlah saya,
sedang Hal la j tetap dalam keadaan sakar, maka ia mengacau, dipenja-
rakan dan d i b u n u h " . namun H a l l a j , yang dalam ikatan, mendengar
ucapan Syib l i i n i , menjawab : " D e m i k i a n l a h Syib l i mengaku d i r inya .
Sayang ia t idak tahu. K a l a u ia m i n u m apa yang aku m i n u m , pasti ia
akan menduduki maqam aku sekarang i n i " . D e m i k i a n perselisihan pa-
ham tentang m a h u , sakar dan suhu.
Perkataan mahu memang ada ini dalam Qur'an, dalam ben
tuk firman, Al lah membersihkan apa yang ia suka dan menetapkan ke
adaan itu (Qur'an XIII : 41), dan sakar pun bukan tidak ada dibicara
kan dalam Qur'an dengan firman : " D i sana akan ada sungai-
sungai yang berairkan khamar, lezat untuk diminum" (Qur'an X L V I I :
15).
Diterangkan dalam ilmu hakekat dan ma'rifat, bahwa sebelum
sampai kepada sakar seseorang menghadapi lebih dahulu keadaan-
keadaan lain, seperti jamal, haibah, rughbah, 'isyiq, uns, zauq, syarab,
sakar, fana, wajad, ray, yang kemudian kembali kepada suhu.
Bagi orang-orang yang sudah mencapai maqam ini akan kita ber
temu kembali bayang-bayangan jalan kepada ma'rifat itu. Dalam do'a
Ibn Atha'illah As-Sakandari pada penutup kitab hakekat dan ma'rifat-
nya yang sangat penting, bernama " A l - H i k a m " (Mesir, t.th.), kita ber
temu lagi dengan penggalan-penggalan do'a yang berisi keyakinan se
perti ini di atas. Katanya : " O h Allah ku! A k u diperintahkan
kembali kepada athar, kembaiikanlah daku kepada alam itu dengan se-
lubungan cahaya-Mu dan dengan pertunjuk yang dapat memperlihat
kan kenyataan, hingga aku dengan mudah dapat kembali kepada Eng
kau". Kita lihat, bahwa Ibn Atha'illah yaitu golongan majzubin, yang
lebih dahulu melihat zat Allah , kemudian kembali membahas sifat-
Nya, asma-Nya, dan bekas-bekas af'alnya atau athar alam semesta ini .
1. TANTANGAN TERHADAP TAREKAT.
Sebanyak orang yang menyetujui tarekat sebagai jalan untuk mela
tih dan membiasakan diri untuk melakukan segala amal ibadat yang
dapat membersihkan manusia dibandingkan sifat-sifat yang keji dan mende-
katkan dirinya kepada Allah , sebanyak itu pula orang tidak mengang
gap penting adanya tarekat-tarekat itu, sebab katanya segala sesuatu
telah terkandung dalam Islam sebagai suatu agama yang selengkap-
lengkapnya untuk kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Beberapa
banyak alasan-alasan dikemukakan orang yang menentang cara berta-
rekat ini, di antara lain-lain ayat Qur'an yang artinya : "Pada hari ini
telah Kusempurnakan bagimu akan agamamu dan telah Kusempurna-
kan untukmu nikmat-Ku dan Kurelakan Islam itu menjadi agamamu".
(Qur'an V : 30), sebuah firman Allah yang pernah diucapkan oleh
Junjungan kita Muhammad saw pada Haji Wada' di padang Arafah,
sebagai suatu ucapan untuk menyatakan penyelesaian tugasnya dan un
tuk penerangan bahwa segala sesuatu sudah sempurna di dalam Islam.
Untuk menentang tarekat-tarekat itu Syeikh Ahmad Khatib, salah
seorang keturunan Indonesia berasal dari Minangkabau, ulama terbesar
dan Mufti Syafi'i di Mekah, merasa perlu mengarang sebuah kitab yang
tidak tipis, guna menyerang tarekat-tarekat yang salah yang dilakukan
orang di Indonesia itu. Kitab ini bernama "Izhar Zaghlul Kazibin"
(Mesir, 1326 H). Isinya terutama mengemukakan tarekat Naksyabandi
yah sangat menjadi pokok perhatian dan pembicaraannya, sehingga ki
tab itu disusul pula dengan beberapa risalah-risalah lain, yang berisi
jawaban-jawaban atas kitab-kitab yang ditulis orang untuk memperta
hankan tarekat-tarekat itu, terutama Naksyabandiyah, seperti yang su
dah pernah kita sebutkan namanya kitab "Pertahanan Tarekat Naksya
bandiyah", yang disusun oleh H . Jalaluddin dari Minangkabau.
Biar kita tidak turut campur dalam soal mendebat tentang tarekat
ini, yang alasannya sangat berbelit-belit dan mendalam terutama untuk
mereka yang hanya ingin mengetahui pokok-pokoknya saja.
Yang kita ingin kemukakan di sini beberapa hal yang menjadi garis
besar, untuk mengetahui apakah alasan mereka yang menentang tare
kat itu.
Salah satu firman Allah yang lain yang acapkali juga kita dengar
dari mereka yang menentang tarekat ini ialah ayat Qur'an yang berarti :
"Bahwa Agama Islam ialah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah olehmu akan
dia dan janganlah kamu mengikut akan jalan-jalan yang lain, sebab
yang demikian itu dapat mencerai-beraikan kamu dibandingkan jalan-Ku ini.
Inilah wasiat Allah untukmu, mudah-mudahan kamu takut kepada-
N y a " . (Qur'an VI : 153).
Selanjutnya banyaklah alasan-alasan, terutama dari riwayat-riwa-
yat dikemukakan untuk menunjukkan bahwa tarekat-tarekat itu yaitu
pekerjaan-pekerjaan bid'ah, yang hanya diperbuatnya, tidak beralasan
kepada Sunnah Nabi dan Sahabat-Sahabatnya, dan oleh sebab itu me-
nyalahi kitab Allah dan Sunnah Rasul. Soalnya berbalik-balik kepada
menerangkan rukun Islam dan rukun Iman, sebagai yang kita dapati
dalam ilmu Fiqh. Terutama dalam ulasannya uraian panjang lebar di
tujukan kepada menerangkan zat dan sifat-sifat Allah menurut i'tikad
Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang biasa kita dapati dalam uraian Sifat
Dua Puluh atau ilmu Tauhid, dan ditolaknya semua uraian dan penye
lesaian menurut istilah-istilah tarekat, seperti susunan insan dari sepu-
luh lathifah, begitu juga penolakan terhadap kepada pemakaian zikir
dalam berbagai bentuk guna menyampaikan diri kepada Allah, pemba-
gian muraqabah-muraqabah yang dua puluh dan lain-lain pelajaran-
pelajaran pelik sebagai yang ada dalam praktek tarekat-tarekat.
Semua itu ditutup dengan firman " A p a yang didatangkan oleh Rasul
kepadamu, ambillah dan kerjakanlah, dan apa yang dicegahnya, jauh-
kanlah dirimu dibandingkan nya" (Qur'an X X I : 7).
Mengenai syeikh yang mursyid golongan yang menentang ini telah
putus sejak zaman Ghazali. Yang ada sekarang hanya guru-guru yang
sekedar cukup saja pengetahuannya.
Mengenai talkin, peringatan, di antara lain-lain dikemukakan se
buah Hadis yang diriwayatkan oleh Yusuf Al -Kurd i , seorang yang sa
lih, bahwa Sayyidina A l i pernah berkata kepada Nabi : "Tunjukkanlah
daku akan sedekat-dekatnya jalan kepada Allah dan semudah-mudah-
nya dan seafdal-afdalnya pada sisi A l l a h " . Maka jawab Nabi : "Yang
paling baik apa yang telah aku katakan dan apa yang telah pernah di
katakan oleh Nabi-Nabi sebelumku, yaitu zikrullah : Bahwa tiada Tu
han melainkan A l l a h " .
Mereka yang menentang ini menyangkal adanya tingkat-tingkat
yang dapat dicapai dengan zikir-zikir, menyangkal adanya kasyaf, ada
nya susunan tasawwuf dan rabithah dan rnenolak kebiasaan yang dila
kukan oleh ahli tarekat dalam Islam, sampai kepada berkhalwat, meng-
asingkan diri dari masyarakat ramai, tidak memakan daging dan me
makan yang enak-enak, yang katanya menjadi kebiasaan orang-orang
Masehi dalam usaha menahan dirinya.
Berhubung dengan penahanan diri dari makan dan minum yang
enak-enak ini dikemukakan suatu ceritera yang isinya, terambil dari
"Kitab Ruhul M a ' a n i " sbb.
Pada suatu hari Rasulullah memberi pelajaran kepada Sahabat-
Sahabatnya dalam uraiannya ia menerangkan sifat-sifat manusia dan
sifat-sifat hari kiamat demikian jitunya, sehingga orang-orang yang
mendengarkannya itu sangat terharu dan tidak sedikit yang menumpah
kan air mata. Konon sesudah pengajian itu, lalu berkumpullah sepuluh
orang dari sahabat Nabi ini di rumah Usman ibn Mas'ud, Abu
Zar Al-Ghiffari , Salim Maula, Abdullah bin Umar, Miqdad bin Aswad,
Salman Al-Farisi , Ma'qal bin Maqrah dan orang yang punya rumah.
Dalam pembicaraannya, mereka mengambil keputusan akan menjadi
orang suci, akan terus puasa siang hari, akan tidak tidur di atas kasur,
akan tidak makan daging dan minyak daging, akan tidak mendekati
isteri-isterinya pada malam hari, akan tidak memakai minyak harum
dan pakaian yang indah-indah, pendeknya akan meninggalkan kehi
dupan dunia ini, bahkan ada di antaranya yang lebih aneh yaitu akan
memotong zakarnya atau kemaluannya, supaya tidak lagi memiliki
nafsu berahi.
Keputusan ini didengar oleh Nabi Muhammad yang dengan segera
mendatangi tempat pertemuan itu di rumah Usman. Pada suatu riwayat
di rumah Ummu Salamah. Kebetulan Usman tidak ada di rumah, yang
ada ialah isterinya Ummu Hakim. Lalu Nabi bertanya kepadanya, apa
benarkah ada pertemuan antara suaminya dengan Sahabat-Sahabat.
Alangkah sedihnya hati Rasulullah dan murkanya terhadap ke-
putusan-keputusan yang aneh yang telah diambil mereka itu. Tatkala
Sahabat-Sahabat itu datang menemui Rasulullah, maka Rasulullah pun
berkata : "Sesungguhnya aku tidak menyuruh kamu berbuat demikian
itu. Kamu memiliki kewajiban atas dirimu. Maka hendaklah kamu
berpuasa dan berbuka. Kamu berjaga dan tidur. sebab aku pun ber-
jaga dan beribadat dan tidur, dan berpuasa dan berbuka puasa dan ma
kan daging, dan makan minyak daging dan mendatangi isteri-isteriku.
Barangsiapa yang tidak suka kepada jalanku ini, maka tidaklah ia ma
suk golonganku". Lalu Rasulullah pun mengumpulkan orang-orang
banyak dan berkhotbah terhadap mereka itu, di antara lain-lain ia ber
kata : "Apakah tidak aneh kelakuan-kelakuan orang yang mengharam-
kan pergaulan dengan isterinya, mengharamkan makanan dan harum-
haruman, mengharamkan tidur dan menghilangkan syahwat dunia ?
Ketahuilah olehmu, bahwa aku tidak pernah menyuruh akan kamu
menjadi qissin, ulama Nasrani atau ruhban, abid-abid dari golongan
Nasrani, sebab keadaan yang demikian itu tidaklah ada dalam agama-
ku. Tidak ada dalam agamaku meninggalkan makan daging dan me
ninggalkan perhubungan dengan isterimu atau bertapa dalam khalwat,
sebab perjalanan umatku ialah puasa, dan ibadat mereka itu ialah jihad.
Sembah olehmu akan Allah dan jangan kamu perserikatkan Dia dengan
sesuatu, kerjakanlah ibadah hajimu dan umrahmu, dirikanlah sembah
yang dan keluarkanlah zakatmu. Berpuasalah pada tiap-tiap bulan Ra
madhan dan tetaplah beristiqamah atas yang demikian itu, agar engkau
diistiqamahkan pula. Sesungguhnya banyaklah umat-umat yang telah
binasa sebelum kamu sebab bersangatan dalam urusan agamanya dan
dalam menyakiti dirinya, maka AJlah pun menyakiti mereka itu per-
sepian dan tempat-tempat beribadat saja. Maka Allah menurunkan
firman-Nya yang berbunyi : " H a i mereka yang beriman. Janganlah ka
mu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah
bagimu, dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sebab Allah tidak suka
kepada mereka yang berlaku berlebih-lebihan i tu" {Al-Qur'an V : 90).
2. K O N G R E S I L M U K E B A T I N A N .
Pada permulaan tahun 1960 di Pekalongan diadakan Kongres Ke-
batinan selama tiga hari tiga malam. Yang hadir tidak kurang dibandingkan
tiga ratus sembilan puluh empat utusan dari seluruh Jawa, dan juga ter
dapat seorang utusan dari Sulawesi. Selain dibandingkan itu ada dua
ratus enam belas utusan dari ulama-ulama biasa, di antaranya K . H . A .
Wahab Hasbullah, K . H . Masykur, K . H . Hasan Basyri dan K.h . Mus-
ta'in (mgl. 1964) dari Partai Nahdlatul Ulama.
Resepsinya dihadiri di antara lain oleh K S A D Jenderal A . H . Nasu-
tion, beserta pembesar-pembesar dan pemimpin-pemimpin pergerakan.
Adapun tujuan Kongres ini, sebagai yang dinyatakan oleh K . H .
Hafid Rembang dalam kata-kata pembukaannya, ialah 1. menguatkan
tali persaudaraan Islam antara bermacam-macam gerakan tarekat, 2.
memelihara dan menghormati pokok-pokok tarekat yang baik, 3. mem
pertahankan tasawwuf dalam pandangan umum, 4. memajukan Islam
dalam daerah Indonesia.
Di antara keputusan kongres ini ialah mendirikan sebuah perkum-
pulan Sufi baru dengan nama Perkumpulan Ahli Tarekat Mu'tabarah.
Di antara usul-usul yang dikemukakan ialah meminta perhatian
Pemerintah untuk memudahkan memasukkan kitab-kitab agama dari
Mesir untuk pelajar-pelajar ilmu agama dan pemuda-pemuda Islam In
donesia.
Lebih menarik dalam pertemuan itu diadakan beberapa pandangan
dan uraian mengenai masuknya tarekat-tarekat ke Indonesia. Diterang
kan bahwa gerakan tarekat itu masuk ke Indonesia pada permulaan
abad yang ke VII bersama-sama dengan masuknya Islam.
Oleh sebab aliran-aliran fiqh yang masuk ke Indonesia itu dan
tersiar di sini kebanyakan dari mazhab Syafi'i, maka dengan sendirinya
keadaan umat Islam Indonesia condong kepada ilmu tasawwuf. Kemu
dian ditambah oleh pembawaan rakyat Indonesia sendiri yang memang
sudah berjiwa kebatinan itu, dengan mudah dan dengan keinsyafan me
nyiarkan ilmu-ilmu tarekat itu kepada umum.
Di antara tarekat yang mula-mula masuk ke Indonesia ini ialah
tarekat Rifa'iyah di Aceh, yang sampai sekarang meninggalkan nama-
nya dalam semacam musik rebana yang dinamakan rapai. Tarekat ini
kemudian tersiar di Bantam di sebelah barat pulau Jawa. Umumnya
di pulau Jawa seluruhnya banyak tersiar tarekat Qadiriyah yang pendi-
rinya Abdul Kadir Jailani.
Di Sumatera Tengah, daerah alam Minangkabau tersiar tarekat
Naksyabandiyah, terutama atas kegiatan Syeikh Ismail Al-Khalidi A l -
Kurdi, dan oleh sebab itu acapkali cabang tarekat ini dinamakan
tarekat Naksyabandiyah Khalidiyah.
Kemudian ada pula semacam tarekat masuk ke Indonesia, yaitu
tarekat Khalawatiyah, yang mula-mula disiarkan di Bantam oleh Syeikh
Yusuf Al-Khalawati Al-Makasari, ketika itu dalam kedudukan pangli
ma perang Sultan Bantam, di hari-hari pemerintahan Sultan Agung Tir-
tayasa. Syeikh ini pernah berlayar untuk hubungan dengan alam-alam
Islam di luar Indonesia, sehingga ia pernah datang mengunjungi Ya
man, Hejaz, Syam, Istambul dan bertemulah dengan banyak ahli-ahli
sufi dan tarekat di negara itu, sehingga ia banyak juga menambah ilmu
pengetahuannya dari mereka. Syeikh Yusuf ini yaitu salah seorang
kepala pemberontak melawan penjajahan Belanda, maka oleh sebab
itu ia ditangkap dan dibuang ke Ceylon, kemudian dipindahkan ke kota
Capstad, di sebelah Afrika Selatan, dan meninggal di sana sebagai pah-
lawan agama dan tanah air.
Yang aneh bahwa kuburannya juga ada di Sulawesi Selatan,
dalam sebuah desa bernama Lakiung, dekat Goa, Makasar. Kuburan
ini ramai sekali diziarahi orang, dan pada pintu gedung yang diperbuat
untuk melindungi kuburan itu tercatat "Syeikh Yusuf Tuanku Salama-
ka. Lahir 1626, pergi haji 1644, diasingkan dari Bantam ke Ceylon
1683, dipindahkan dari Ceylon ke Kaap de Goede Hoop 1694, wafat
23-5-1699 dan dikebumikan 23-5-1703 di Lakiung (Goa)".
Adapun tarekat Syattariyah terutama disiarkan oleh Syeikh Abdur-
rauf Singkil di Aceh pada hari-hari pemerintahan Sultan Iskandar Mu
da, dan padanya berguru di antara lain Syeikh Burhanuddin Ulakan di
Sumatera Tengah, yang kemudian menyiarkan ajaran tarekat ini di se
luruh pesisir barat. Pusatnya gerakan itu ada di tempat tinggal gurunya
yaitu di Ulakan di salah satu tempat dekat kota Pariaman. Sementara
itu tersiar pulalah pada hari-hari ini tarekat Naksyabandiyah di
sebelah barat dan di daerah-daerah pegunungan Minangkabau.
Ulama-ulama yang datang dari Hadramaut ke Indonesia membawa
dua tarekat baru, pertama tarekat Al-Aidrusiyah dan tarekat A l -
Haddadiyah.