ilmu tarekat mistik 13

Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 13. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 13. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

ilmu tarekat mistik 13


 


an merugikan, mengosongkan 

hati dari segala kebimbangannya, siap sedia menerima kurnia Allah 

yang akan tertumpah dan tercurah ke dalamnya, sebab  barangsiapa 

yang menyediakan dirinya untuk Al lah , Al lah itu tersedia baginya. 

Hati itu memiliki  keanehan, ia terlepas dari pengaruh panca 

indra, bebas dari otak dan pengajaran. Bahkan lebih dari otak dan pe-

ngajaran, acapkali yang tidak sanggup dipikirkan otak, terlintas dalam 

hati dengan jelas. Barangkali suatu perumpamaan lebih menjelaskan 

persoalan. Kita gali sebuah tebat, kita alirkan ke dalamnya air dari tem­

pat lain melalui saluran. Memang dengan usaha demikian tebat itu ter-

isi, namun  isinya terbatas, sebanyak air yang mengalir melalui saluran 

itu. Jika air dalam tebat itu terpancar dari dalam tanah, niscaya ia me­

rupakan isi tebat yang tidak akan kering-kering. Ilmu yang diusahakan 

dari luar, melalui panca indra ada batasnya, namun  ilmu yang terpancar 

dari dalam hati, sebagai kurnia dari rahmat Allah , tidak akan habis-

habisnya, ia yaitu  sumber mata air yang tidak akan kering-kering. 

2. H A K E K A T . 

Meskipun pembicaraan tentang hakekat dan ma'rifat ini akan saya 

398 

bicarakan dalam sebuah kitab khusus mengenai persoalan, namun  kare­

na kedua masaalah ini rapat juga hubungannya dengan tarekat, tidak 

ada salahnya untuk memudahkan pengertian pembaca saya singgung 

juga dalam kitab ini . Dalam "Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawwuf" 

(Bandung, 1962) sudah saya jelaskan, bahwa keempat tingkat syari'at, 

tarekat, hakekat dan ma'rifat tidak dapat dipisah-pisahkan, sebab  sya­

ri'at itu terpiün dengan hakekat dan hakekat itu terpilin dengan syari­

'at. Tiap-tiap syari'at itu hakekat dan tiap-tiap hakekat itu syari'at. 

Syari'at meujudkan amai, dan hakekat meujudkan ihwal, syari'at ber­

buat dengan ilmu, hakekat mengambil hikmah dari pengalaman, syari­

'at ditujukan kepada manusia untuk melaksanakan ibadat serta pembi­

caraan yang sampai kepadanya berupa amar dan nahi yaitu untuk 

menjelaskan kecintaan dan mendirikan keterangan, sedang hakekat pe-

laksanaannya dalam khuluk dan iradah, hasilnya hanya akan diperoleh 

mereka yang terpilih dibandingkan  hamba-Nya yang dicintai Allah . 

Tarekat yaitu latihan untuk menempatkan diri setingkat demi 

setingkat lebih tinggi dan lebih dekat kepada Allah . Al-Junaid berkata, 

bahwa semua tarekat itu akan tidak berhasil, j ika tidak dilakukan se-

panjang ajaran Nabi, yang yaitu  sumber tarekat. Al-Khadimi 

berkata, bahwa tarekat itu sebenarnya sudah termasuk ke dalam ilmu 

mukasyafah, yang memancarkan nur cahaya ke dalam hati murid-

muridnya, sehingga dengan nur itu terbukalah baginya segala sesuatu 

yang gaib dibandingkan  ucapan-ucapan Nabinya dan rahasia-rahasia Allah ­

nya. Ilmu mukasyafah tidak dapat dipelajari, namun  diperoleh dengan 

riadhah dan mujahadah yang yaitu  pendahuluan bagi pertunjuk 

hidayah Allah , sesuai dengan firman-Nya, bahwa mereka yang berju-

ang atau berjihad untuknya, akan ditunjuki jalannya. 

Perbedaan yang besar antara tarekat dan hakekat tidak ada namun  

bahkan sambung-menyambung antara satu sama lain, sebagaimana ada 

persambungan yang langsung antara hakekat dan ma'rifat. Taftazani 

menerangkan dalam kitab "Syarhul Maqasid" : "Apabi la seseorang 

telah mencapai akhir pekerjaan suluknya ilallah dan fillah, pasti ia 

akan tenggelam dalam lautan tauhid dan irfan, sehingga zatnya selalu 

dalam pengawasan zat Allah  dan sifatnya selalu dalam pengawasan 

sifat Allah . Ketika itu orang ini fana dan lenyap dalam suatu ke­

adaan masiwallah, apa yang bersifat bukan Allah . Ia tidak melihat da-

399 

lam wujud alam ini kecuali Al lah , fana dalam tauhid ini sebenarnya sudah 

disindirkan dalam sebuah Hadis : Orang-orang mutaqarribin tidak da­

pat mendekati Allah  dengan hanya menjalankan segala ibadat yang 

diperlukan, namun  mereka dapat mendampinginya dengan memperba­

nyak ibadat sunat, demikian banyaknya hingga Allah  mencintainya, 

dan apabila Allah  mencintainya pendengaran Allah  menjadikan pen-

dengarannya dan pandangan Allah  menjadi pandangannya, jalin men-

jalin. Dan oleh sebab  itu tariq, ilmu, irfan, keadaan jamal dan kamal, 

berjalin menjadi satu, dan apabila ia sudah menjadi satu, tidak ada lagi 

yang batil di depan dan di belakangnya, tidak ada lagi yang menyele-

weng pada permulaan dan kesudahannya. Seluruh alam tidak dapat 

mengubah lagi sesuatu yang sudah yaitu  hasil dibandingkan  rahasia 

Allah  i tu" . Pengarang kitab Jami'ul Wusul mengulangi ucapan Tafta-

zani, dan menekankan kepada hubungan yang erat antara tarekat dan 

hakekat. Ia berkata, bahwa hakekat itu melihat Allah  sebagai pencipta 

keseluruhan, yang memberi pertunjuk dan kesesatan, yang dapat meng­

angkat manusia dan merendahkannya, yang dapat memuliakan, dan 

menghinakan saya, yang dapat memimpin dan melepaskannya, sehingga 

kebajikan dan kejahatan, manfa'at dan mudharat, iman dan kufur, tas-

diq dan ingkar, kejayaan dan kerugian, penambahan dan kekurangan, 

ta'at dan ma'siat, jahil dan berilmu, semuanya tidak dapat berlaku ke­

cuali dengan qadha dan qadarnya, hikmah dan perjalanannya, sehingga 

apa yang dikehendaki Allah  berlaku dan apa yang tidak dikehendaki-

nya gagal dan kecewa. Tidak ada jalan ke luar dibandingkan  sesuatu keada­

an melainkan dengan qudrat dan iradatnya, tidak dapat berlari dari­

pada ma'siatnya kecuali dengan taufiqnya dan rahmatnya, tidak ada 

kekuatan dan tenaga untuk melakukan taat kecuali dengan kehendak-

nya, pertolongannya dan kesediaan kecintaannya. 

Maka dengan demikian kita ketahuilah, bahwa pelaksanaan qadha 

dan qadar itu semata-mata urusan Allah, dan penyelidikan serta pelak­

sanaan ke arah ini termasuk ilmu hakekat. Pengakuan kita dalam Fati­

hah, bahwa "Engkaulah yang kami sembah" termasuk syari'at dan ta­

rekat, dan pengakuan kita "Engkaulah yang kami mintai pertolongan" 

termasuk hakekat dan ma'rifat. 

Hakekat membuka kesempatan, bagaimana salik mencapai mak­

sudnya, yaitu mengenai Allah , ma'rifatullah dan musyahadah nur 

400 

yang tajalli. Imam Ghazali menerangkan, bahwa tajalli itu yaitu terbu­

ka nur cahaya yang gaib bagi hati seseorang, dan sangat mungkin bah­

wa yang dimaksudkan dengan tajalli di sini yaitu yang mutajallli, tidak 

lain dibandingkan  Al lah . Pengertian ini sesuai dengan pendapat Qusyairi di 

kala ia menerangkan perbedaan antara syari'at dan hakekat, yaitu bah­

wa syari'at itu yaitu kesungguhan dalam segala ubudiyah, sedang ha­

kekat itu musyahadah rububiyah atau melihat rububiyah itu dengan 

hatinya. Dalam tarekat orang memperbaiki ibadat, dalam hakekat 

orang memperhalus kehidupan dalam mencapai maqamat dan ahwal, 

yang akan kita bicarakan dalam bahagian tersendiri. Setengah orang 

Sufi menerangkan, bahwa yang dimaksudkan dengan hakekat itu ialah 

segala macam penjelasan mengenai kebenaran sesuatu, seperti syuhud 

asma dan sifat, begitu juga syuhud zat yang tunggal, memahami raha-

sia-rahasia Qur'an, memahami rahasia-rahasia suruh tegah dan harus, 

dan akhirnya memahami sari-sarinya ilmu pengetahuan yang gaib, yang 

tidak dapat diperoleh dari pembacaan dan pengajaran kitab dan guru-

guru. 

Memang perkembangan pengetahuan mengenai hakekat ini pada 

akhir abad II H . dan permulaan abad III H . , yaitu  pembahasan 

yang melaut-laut dan mendalam, di mana tokoh-tokoh Sufi hari-hari 

pertama, seperti Ibrahim bin Adham, Ma.'r ïf Al-Karakhi dan Abdul 

Wahid bin Zaid turut mengambil bahagian p enting dalam pembicaraan 

itu. Umumnya ilmu hakekat itu dapat kita simpulkan dalam tiga jenis 

pembahasan sebagai berikut. 

Pertama yang dinamakan hakekat tasawwuf, terutama diarahkan 

untuk membicarakan usaha-usaha memutuskan syahwat dan mening­

galkan dunia dengan segala keindahannya ;;erta menarik diri dari ke-

biasaan-kebiasaan duniawi. Hakekat tasawwuf itu biasanya dibahagi 

atas delapan pokok ajaran, yaitu mengenai sakha', ridha, sabar, isya-

rah, ghurbah, labsus suf, siahah dan faqar. Kedelapan masaalah ini di-

kupas secara mendalam, diberi bermacam-macam alasan dan contoh-

contoh, sehingga orang dapat memahami maksud dan hakekat dibandingkan  

tiap sifat itu. Dalam menerangkan sakha', yang artinya dalam bahasa 

sehari-hari tidak lebih dibandingkan  baik atau kebaikan, diberi penjelasan 

lebih panjang dengan berpedoman kepada sifat-sifat Nabi Ibrahim de­

ngan segala kebajikannya dalam mempertahankan tauhid dan memper-

401 

tahankan kebajikan dengan segala pengorbanan. Demikianlah selanjut­

nya dalam memberikan pengertian ridha berpedoman kepada Nabi Is-

hak, pengertian sabar berpedoman kepada akhlak Nabi Ayyub, isyarah 

berpedoman kepada Nabi Yahya, ghurbah berpedoman kepada Nabi 

Yusuf, memakai suf berpedoman kepada Nabi Musa, mengenai siahah 

atau pengembaraan berpedoman kepada Nabi Isa dan mengenai faqar 

atau kemiskinan berpedoman kepada hakekat hidupnya Nabi Muham­

mad saw. 

Kedua yang dinamakan hakekat ma'rifat, yang tidak lain dibandingkan  

mengenai nama-nama Allah dan sifat-Nya dengan sesungguh-sungguh-

nya, dalam segala' pekerjaan sehari-hari dan dalam segala suasana dan 

ahwal. Hakekat ma'rifat itu dalam beberapa kitab Sufi tidak hanya di­

artikan sampai sekian saja, namun  termasuk juga ke dalamnya mengenai 

Allah  dalam segala munajat dan ratap tangis, dalam air mata dan 

kembali kepada Allah  mengenai persoalan apa pun juga, menjaga ke-

sucian akhlak diri dibandingkan  sifat-sifat yang buruk, sebab  dengan men­

jauhkan sesuatu yang baru dibandingkan  dirinya, ia dapat kembali kepada 

ma'rifat Allah nya. Ada diterangkan, bahwa ma'rifat itu dua macam, 

pertama ma'rifat hak dan kedua ma'rifat hakekat. Orang Sufi yang me­

ngadakan perbedaan ini menerangkan, bahwa yang dinamakan ma'rifat 

hak itu ialah ma'rifat wahdaniyat Al lah , satu tunggal sebagaimana 

yang jelas bagi makhluknya mengenai nama dan sifat Allah , sedang 

ma'rifat hakekat tidak dapat dicapai oleh manusia, sebab  tidak ada 

suatu ilmu pun yang dapat memperjelas hakekat Allah itu. Dalam Qur­

'an dikatakan, bahwa Allah  itu tidak dapat dicapai dengan ilmu pe­

ngetahuan. Oleh sebab  itu banyak ahli hakekat tidak mau membicara­

kan ma'rifat itu lebih dibandingkan  apa yang dapat dicapai dengan penge-

nalan manusia. Kata setengah Sufi hak itu tidak dapat diketahui oleh 

yang bukan hak, jika hendak diketahui yaitu dengan hak itu sendiri. 

Perkataan ini diucapkan oleh Abu Bakar Siddiq, yang menerangkan : 

"Segala puji bagi Allah  yang tidak membuka suatu jalan pun untuk 

mengenalnya, kecuali dengan kelemahan manusia itu sendiri dibandingkan  

mengenai Allah nya i tu" . 

Ketiga yang dinamakan hakekatul haqa'iq. Hakekat ini yaitu  

puncak segala hakekat, ia termasuk martabat ahadiyah, penghimpun 

bagi semua hakekat, oleh sebab  itu dinamakan juga hadratul jama'  

atau hadratul wujud. Hakekat asma dan nama Allah  tidak lain dari­

pada memberi batas kepada zat, dan hakekat Muhammadiyah diletak­

kan di dalam tasawwuf 'aqidah ini sebagai penjelasan pertama, ta'ay-

yun awal, sedang ta'ayyun sabitah ialah hakekat segala yang mumkinat 

dalam ilmu Allah . 

Saya tidak ingin membicarakan soal ini secara mendalam, sebab  

dapat menimbulkan salah pengertian bagi mubtadi dan mutawassith 

yang membaca kitab ini sebagai pengantar ilmu. Saya ingin menang-

guhkan pembicaraan ini untuk sebuah karangan yang khusus membica­

rakan tentang hakekat dan ma'rifat, baik dibaca oleh mereka yang su­

dah memahami betul kedua buah kitab saya "Pengantar Sejarah Sufi 

dan Tasawwuf" dan "Pengantar Ilmu Tarekat". 

Meskipun demikian baik saya catat di sini beberapa perkara me­

ngenai hakekat itu. Hakekat muraqabah dimaksudkan tidak lain dari­

pada kewaspadaan hamba dalam memandang Allah  mengenai segala 

bidang ahwalnya, sehingga dengan pandangan yang demikian itu secara 

sir terjadilah pengawasan Allah  atas segala gerak-geriknya, yang ber-

akibat hudur Haq dan melimpah pengawasannya ke dalam hati, kepa­

da segala anggota hambanya dalam segala gerak dan diamnya. Qur'an 

menerangkan, bahwa Allah  itu mendampingi hamba-Nya setiap wak­

tu, dan Jibrail memesankan kepada Nabi Muhammad, bahwa ia harus 

beribadat kepada Allah  seakan-akan melihat Allah  itu sendiri, j ika 

ia tidak melihat niscaya Allah  melihatnya. Ibn Athailah menerangkan, 

bahwa sebaik-baik taat alah muraqabah Allah  dalam segala waktu. 

Hakekat mahabbah terhadap Allah  menurut istilah ahli tasawwuf 

tidak lain dibandingkan  arti senantiasa seorang hamba berkehendak kepada 

Allah  untuk beroleh nikmatnya, berbuat baik dengan penyembahan 

terhadapnya, dan sebaliknya iradat Allah  terhadap hamba-Nya dengan 

nikmat yang berlimpah-limpah. Hakekat pemeliharaan Allah , yang di­

sebut wilayah, ialah menyerah diri seluruhnya kepada bantuan dan per-

lindungan Allah , sebagaimana penyerahan diri orang-orang yang salih 

terhadapnya. Dalam membicarakan hakekat iradat, kitab-kitab tasaw­

wuf membicarakan perbedaan pengertian antara perkataan murid dan 

murad. Sementara hakekat iradat diartikan tergerak hati dalam menca­

ri Allah , murid diartikan yaitu orang yang tidak memiliki  kehen- 

dak atau tradat apa-apa, sedang murad yaitu orang yang hanya mem­

punyai satu kehendak yaitu Allah  semata-mata. Ghazali menerangkan, 

bahwa yang dinamakan murid itu ialah seseorang yang layak menderita 

percobaan dan termasuk ke dalam jumlah orang-orang yang melepas-

k xn dunia ini dan mencari Allah  melalui nama-Nya atau asma-Nya. 

ia menerangkan bahwa murad yaitu orang-orang yang arif, yang tidak 

memiliki  kehendak apa-apa lagi selain dibandingkan  Allah  dan dengan 

demikian ia sudah sampai kepada tingkat penghabisan tujuannya atau 

nihayah, keadaannya itu telah mengubahkan ahwal dan maqamatnya. 

Naqsyabandi tidak mengadakan perbedaan antara murid dan murad. 

Ia memberikan contoh, bahwa Nabi Musa itu berada dalam tingkat 

murid, sebab  ia berdo'a minta dibersihkan dadanya, sedang Nabi M u ­

hammad bertingkat murad sebab  ia tidak meminta apa-apa, hanya 

Allah  yang bertanya kepadanya "Bukankah dadamu sudah dibelah 

dan dibersihkan dan engkau sudah diangkat menjadi buah tutur dan 

pujian orang". Orang yang berdo'a untuk sesuatu kepada Allah  ter­

masuk murid, namun  orang yang diam dan tenang dalam sesuatu hasrat 

dan keinginan termasuk murad. 

Demikian beberapa contoh tentang pengupasan hakekat, yang da­

pat kita simpulkan, bahwa hakekat itu hasil dibandingkan  tarekat, dan tare­

kat itu hasil dibandingkan  syari'at. Najmuddin memberikan perbandingan 

yang indah, bahwa syari'at itu seperti sampan, tarekat itu seperti laut 

dan hakekat itu seperti mutiara. Barang siapa menghendaki mutiara 

itu, ia harus naik ke dalam sampan dan pergi ke laut, sehingga dengan 

demikian berhasillah ia mencari dan mengambil mutiara itu. Ia mene­

rangkan, bahwa hakekat keAllah an itu diibaratkan dengan Ka'bah se­

bagai kiblat sembahyang, dengan hakekat Qur'an sebagai tuntunan dan 

dengan hakekat sembahyang sebagai ibadat, sedang yang kedua dina­

makan hakekat kenabian, yang terdiri dari hakekat Ibrahimiyah, hake­

kat Musawiyah dan hakekat Muhammadiyah. Ulasan ini dibicarakan 

demikian rupa, sehingga memakan tempat berhalaman-halaman. Ha­

kekat Ibrahimiyah menghasilkan uns atau berjinak-jinakan dengan Zat, 

hakekat Musawiyah melahirkan cinta, hakekat Muhammadiyah, yang 

yaitu  haqiqatur haqaik menghasilkan meruqabah dengan Zat, se­

dang hakekat Ahmadiyah melahirkan cahaya, yang dapat membuka 

kecintaan yang tidak terbatas kepada Zat yang satu.  

3. MA'RIFAT. 

Sebagaimana dalam tarekat, dalam hakekat pun dikupas masaa-

lah-masaalah akhlak dan kepribadian, meskipun pengupasan sekarang 

ini dalam pengertian yang lebih mendalam. Dengan demikian kita men­

dapati pembicaraan yang agak meluas tentang maqamat dan ahwal. Ra-

mai sekali pembicaraan tentang masaalah ini, dan di sana-sini kita men­

dapati perbedaan paham, baik tentang pengertiannya maupun tentang 

sifat-sifat mana dan keadaan mana yang termasuk ke dalam maqamat 

dan yang termasuk ke dalam ahwal. 

Ahl i hakekat menafsirkan, bahwa ahwal itu suatu keadaan yang 

mendatang ke dalam hati manusia dengan tiba-tiba dan dengan tidak 

diusahakan, yaitu keadaan gembira atau susah, keadaan sempit atau 

lapang, keadaan hebat dll . disebabkan kedatangan sifat-sifat jiwa, yang 

digerakkan oleh hati yang beroleh ilham itu. Apabila sifat-sifat itu ber­

kekalan, tetap dan tidak berubah lagi, menjadi milik pribadi yang ber-

pilin yaitu  darah daging, maka keadaan itu dinamakan maqam. 

Lalu dapatlah kita ambil kesimpulan, bahwa ahwal itu yaitu kurnia, 

dan maqamat itu yaitu perolehan yang diusahakan. Ahwal datang 

dibandingkan  wujud yang tidak tersedia sebelumnya, maqamat terjadi kare­

na majhud yang diusahakan sebagai kesungguhan sesudahnya. Demiki­

an ini dalam kitab "Al-Ta'rifat", karangan Jurjani, hal 56 atau 

dalam "Ar-Risalah", gubahan Qusyairi, hal. 32. Dalam "Hilliyatul 

Auliya", J . I, hal. 244, diterangkan bahwa ahwal itu yaitu percikan 

dibandingkan  jiwa dengan tidak diusahakan oleh orang yang memiliki jiwa 

itu, ahwal itu kadang-kadang menetap pada jiwa seseorang kadang-

kadang dapat berubah, artinya bertambah atau berkurang, datang atau 

lenyap. Abu Usman A l - H i r i menerangkan, bahwa ia selama empat pu­

luh tahun tidak tetap dalam satu hal, dan selalu bertukar-tukar, sedang 

ia ingin hendak berdiri teguh dalam sesuatu hal yang dikehendak. A l -

Junaid menerangkan, bahwa ahwal itu yaitu tetesan yang menetes ke 

dalam hati seseorang, dan hal itu tidak tetap (Al-Lama' , hal. 42). 

Memang ahwal itu berubah-ubah, apabila ia tetap maqam nama­

nya. Hal itu mungkin lenyap, namun  maqam tetap tidak berubah-ubah, 

sebab  ahwal yang datang kepada seseorang dan orang itu dapat me-

nguasainya untuk menetapkannya dengan do'a dan kesungguhan, maka 

ia pun abadi dan menjadi maqam. Oleh sebab  itu orang-orang Sufi 

mengatakan, bahwa sesuatu maqam hamba terletak dalam tangan Tu­

han, yang dapat dikekalkan dengan ibadat, dengan mujahadat, dengan 

riadat dan dengan mengembalikan seluruh diri kepada Allah. 

Mengenai macam keadaan yang termasuk ahwal juga diperselisih-

kan dalam kitab-kitab Sufi, namun  umumnya mengatakan, bahwa yang 

termasuk ahwal itu ialah muraqabah, qurb, hub, khauf, raja', syauq, 

uns, thama'ninah, musyahadah dan yaqin. Sedang yang masuk maqa­

mat kebanyakan menetapkannya taubah, wara', zuhud, faqar, sabar, 

tawakkal dan ridha. Inilah pendapat yang umum dalam kitab-kitab Su­

fi . 

Kesimpulan di atas ini mengenai ahwal dan maqamat dipetik dari 

kitab Nicholson yang bernama "Sufism in Islam", terjemah ke dalam 

bahasa Arab oleh Syaribah, hal. 33 — 34. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa ajaran ahwal dan maqamat ini 

ditujukan untuk memperbaiki akhlak, untuk melakukan taubat dari­

pada dosa, untuk meninggalkan kecintaan kepada harta benda dan 

menggemari kemiskinan atau hidup yang sederhana, untuk tidak terla­

lu mencintai dunia, untuk menjaga diri dibandingkan  segala sesuatu yang 

diharamkan Allah , dan sabar atas apa yang tidak diperbolehkan, un­

tuk memperbesar rasa tawakkal dan menyerah diri atas kekuasaan Tu­

han. Sedang ahwal itu ada hubungannya yang erat dengan ibadat dan 

kerohanian, seperti muraqabah dengan Allah , yang dapat menghilang­

kan ria dan menanam cinta pada amal ibadat, cinta dan rindu kepada 

Allah, uns dan berjinak-jinak dengan Allah  dalam susah dan senang, 

ketenangan jiwa dan thama'ninah terhadap Allah , yang semuanya akan 

berakhir kepada suatu keadaan yaqin yang sebulat-bulatnya, yang me­

rupakan tujuan terakhir dan kesudahan dibandingkan  ahwal. 

Kemudian dibandingkan  itu didikan pun berpindah dari hakekat kepa­

da ma'rifat, tujuan terakhir dibandingkan  tasawwuf, yaitu mengenai Allah  

dengan sebaik-baiknya. Jalan mengenai Allah  itu tidak dapat ditem­

puh sekaligus dan melalui satu lorong saja, namun , sesuai dengan ke­

adaan masing-masing pribadi, ia harus ditempuh bertingkat, dan dari 

bermacam jalan. 

Dalam penempuhan jalan ini orang Sufi membagi manusia atas 

dua bahagian, sebahagian bernama muridin atau salikin, yang oleh.kita  

biasa kita sebutkan muslimin atau orang Islam, sebahagian lagi disebut 

majzubin, mutahaqqiqin atau arifin, yang oleh kita dikenal dengan 

mu'minin. 

Tadi sudah kita katakan, bahwa orang Sufi itu dalam mengenai 

Allah  membagi empat tingkat, pertama athar, kedua asma, ketiga si­

fat, dan keempat zat. Orang-orang Sufi berpendapat, bahwa salikin 

mengenai athar atau alam lebih dahulu, kemudian meningkat pengenal-

annya kepada asma, kemudian meningkat kepada sifat, dan kemudian 

barulah meningkat kepada zat Allah yang satu tunggal. Mereka berpen­

dapat bahwa majzubin mengenai Allah  dengan jalan sebaliknya, mere­

ka mengenai zat lebih dahulu, kemudian berpindah kepada sifat, kemu­

dian berpindah kepada asma, dan kemudian barulah mempelajari 

athar, sayia atau alam ini untuk menjadi bukti adanya Khalik atau Tu­

han itu. Jadi tujuan akhir dibandingkan  perjalanan salikin yaitu  per­

mulaan keyakinan majzubin, sebaliknya permulaan perjalanan majzu­

bin yaitu  tujuan terakhir dibandingkan  keyakinan salikin. Tujuan sa­

likin : " K a m i tidak lihat sesuatu, kecuali Allah sesudahnya", tujuan 

majzubin : " K a m i tidak lihat sesuatu, melainkan Allah sebelumnya". 

Tujuan salikin, melihat alam ini lillah, untuk Al lah , tujuan majzubin 

melihat alam ini billah, dengan Allah. Jadi keadaan salikin yaitu men-

daki dan naik dari bawah ke atas, dan keadaan majzubin yaitu tadalli, 

membuktikan dan turun dari atas ke bawah. Ahl i Sufi mengatakan, 

bahwa orang-orang yang salih itu bekerja untuk mentahqiqkan fana 

dan mahu, sedang orang-orang yang majzub atau ahli hakekat hendak 

menempuh sampai kepada jalan baqa dan suhu. 

Inilah perbedaan antara ahli hakekat dan ma'rifat. Agak sukar me-

nerangkannya, namun  saya coba dengan jalan popuier menggambarkan 

jalan itu secara mudah kepada saudara. Ibn Atha'illah pernah berdo'a 

untuk kesukaran ini : " Y a Allah ku, resapkan ke dalam jiwaku hake­

kat ahli qurb dan bantukan daku menempuh suluk atau jalan jazab". 

(Hikam). 

Dalam persoalan ini kita terbentur kepada tiga tingkat perjalanan 

untuk sampai kepada ma'rifat, yaitu melalui mahu, dari mahu kepada 

sakar, dan dari sakar kepada suhu. Mahu artinya hilang bagi seseorang 

sifat-sifat dan kebiasaan manusia, begitu juga perkara-perkara yang 

tercela, hilang sebab-sebab dan kekotoran, sebab  akan pergi kepada

suatu keadaan kebersihan akhlak dan perbuatan untuk mencapai sifat 

yang hak dan akhlak yang benar. Orang yang demikian itu lalu masuk 

kepada tingkat mabuk keAllah an atau sakar, yaitu hi lang dari kehidup­

an lahir dan kebiasaan sehari-hari. D a l a m sakar in i ia peroleh wajad, 

musyahadah dan wujud . J i k a tetap dalam keadaan sakar, ia yaitu  

orang gi la , sebab  tidak sadar akan d i r inya yang kasar. Sifat sakar i tu 

yaitu puncak dar ipada beberapa keadaan kecintaan yang la in kepada 

T u h a n , seperti muraqabah, hudur, mukasyafah, uns, hub, zauq , ' i sy iq 

dan syarab, barulah ia sampai kepada maqam sakar ar i f in atau mabuk 

Allah  i tu , yang di da lamnya ia melihat atau merasakan sesuatu yang 

tidak dapat dil ihat atau dirasakan oleh manusia biasa. Ia t idak j ad i gi­

la , ka lau ia kembal i sadar seperti semula, yang dalam keadaan ini d i ­

namakan suhu, yai tu kembal i dengan perasaan semula sesudah ghaibah 

dengan pandangan yang kuat . Ibarat orang m i m p i , j i k a ia tetap da lam 

m i m p i , i a tidak berhasil apa-apa dengan impiannya , namun  j i k a ia kem­

bali sadar dar ipada m i m p i dan ia dapat mengingat semua yang diper l i -

hatkan dalam m i m p i n y a , maka ia membawa hasil pandangan yang nya-

ta kepada a lam nasut kembal i . Demik ian lah pula dengan seseorang 

yang sesudah mahu masuk ke dalam sakar dan beroleh ray, dapat kem­

bali kepada suhu dengan membawa ray i tu , berhasil lah i a , namun  j i ka l au 

tetap dalam sakarnya maka ia menjadi gi la dan mengacau. Barangkal i 

uraian in i lebih jelas, j i k a saya gambarkan dengan sesuatu kejadian 

yang nyata antara Ha l la j dan S y i b l i . Ha la j berpindah dar ipada mahu 

masuk ke dalam sakar, namun  t idak kembal i lagi melalui suhu ke dalam 

alam perasaan, maka ia pun gi la dan mengacau. Sy ib l i berpindah dar i ­

pada mahu kepada sakar, namun  kembal i kepada suhu, kembal i ke a lam 

perasaan dar i a lam fana, sadar pula da lam alam nasut, maka ia pun 

menjadi wa l i . 

Ceri tera in i saya ambi l dar i ki tab "Futuhatul Makkiyah", j l d . II, 

gubahan Ibn A r a b i . Sy ib l i berkata : " S a y a dan Hal la j m i n u m dari se­

buah gelas yang sama, namun  saya kembal i suhu, maka selamatlah saya, 

sedang Hal la j tetap dalam keadaan sakar, maka ia mengacau, dipenja-

rakan dan d i b u n u h " . namun  H a l l a j , yang dalam ikatan, mendengar 

ucapan Syib l i i n i , menjawab : " D e m i k i a n l a h Syib l i mengaku d i r inya . 

Sayang ia t idak tahu. K a l a u ia m i n u m apa yang aku m i n u m , pasti ia 

akan menduduki maqam aku sekarang i n i " . D e m i k i a n perselisihan pa-

ham tentang m a h u , sakar dan suhu. 

Perkataan mahu memang ada ini dalam Qur'an, dalam ben­

tuk firman, Al lah membersihkan apa yang ia suka dan menetapkan ke­

adaan itu (Qur'an XIII : 41), dan sakar pun bukan tidak ada dibicara­

kan dalam Qur'an dengan firman : " D i sana akan ada sungai-

sungai yang berairkan khamar, lezat untuk diminum" (Qur'an X L V I I : 

15). 

Diterangkan dalam ilmu hakekat dan ma'rifat, bahwa sebelum 

sampai kepada sakar seseorang menghadapi lebih dahulu keadaan-

keadaan lain, seperti jamal, haibah, rughbah, 'isyiq, uns, zauq, syarab, 

sakar, fana, wajad, ray, yang kemudian kembali kepada suhu. 

Bagi orang-orang yang sudah mencapai maqam ini akan kita ber­

temu kembali bayang-bayangan jalan kepada ma'rifat itu. Dalam do'a 

Ibn Atha'illah As-Sakandari pada penutup kitab hakekat dan ma'rifat-

nya yang sangat penting, bernama " A l - H i k a m " (Mesir, t.th.), kita ber­

temu lagi dengan penggalan-penggalan do'a yang berisi keyakinan se­

perti ini di atas. Katanya : " O h Allah ku! A k u diperintahkan 

kembali kepada athar, kembaiikanlah daku kepada alam itu dengan se-

lubungan cahaya-Mu dan dengan pertunjuk yang dapat memperlihat­

kan kenyataan, hingga aku dengan mudah dapat kembali kepada Eng­

kau". Kita lihat, bahwa Ibn Atha'illah yaitu golongan majzubin, yang 

lebih dahulu melihat zat Allah , kemudian kembali membahas sifat-

Nya, asma-Nya, dan bekas-bekas af'alnya atau athar alam semesta ini . 


1. TANTANGAN TERHADAP TAREKAT. 

Sebanyak orang yang menyetujui tarekat sebagai jalan untuk mela­

tih dan membiasakan diri untuk melakukan segala amal ibadat yang 

dapat membersihkan manusia dibandingkan  sifat-sifat yang keji dan mende-

katkan dirinya kepada Allah , sebanyak itu pula orang tidak mengang­

gap penting adanya tarekat-tarekat itu, sebab  katanya segala sesuatu 

telah terkandung dalam Islam sebagai suatu agama yang selengkap-

lengkapnya untuk kebahagiaan hidup duniawi dan ukhrawi. Beberapa 

banyak alasan-alasan dikemukakan orang yang menentang cara berta-

rekat ini, di antara lain-lain ayat Qur'an yang artinya : "Pada hari ini 

telah Kusempurnakan bagimu akan agamamu dan telah Kusempurna-

kan untukmu nikmat-Ku dan Kurelakan Islam itu menjadi agamamu". 

(Qur'an V : 30), sebuah firman Allah  yang pernah diucapkan oleh 

Junjungan kita Muhammad saw pada Haji Wada' di padang Arafah, 

sebagai suatu ucapan untuk menyatakan penyelesaian tugasnya dan un­

tuk penerangan bahwa segala sesuatu sudah sempurna di dalam Islam. 

Untuk menentang tarekat-tarekat itu Syeikh Ahmad Khatib, salah 

seorang keturunan Indonesia berasal dari Minangkabau, ulama terbesar 

dan Mufti Syafi'i di Mekah, merasa perlu mengarang sebuah kitab yang 

tidak tipis, guna menyerang tarekat-tarekat yang salah yang dilakukan 

orang di Indonesia itu. Kitab ini bernama "Izhar Zaghlul Kazibin" 

(Mesir, 1326 H). Isinya terutama mengemukakan tarekat Naksyabandi­

yah sangat menjadi pokok perhatian dan pembicaraannya, sehingga ki­

tab itu disusul pula dengan beberapa risalah-risalah lain, yang berisi 

jawaban-jawaban atas kitab-kitab yang ditulis orang untuk memperta­

hankan tarekat-tarekat itu, terutama Naksyabandiyah, seperti yang su­

dah pernah kita sebutkan namanya kitab "Pertahanan Tarekat Naksya­

bandiyah", yang disusun oleh H . Jalaluddin dari Minangkabau. 

Biar kita tidak turut campur dalam soal mendebat tentang tarekat 

ini, yang alasannya sangat berbelit-belit dan mendalam terutama untuk 

mereka yang hanya ingin mengetahui pokok-pokoknya saja. 

Yang kita ingin kemukakan di sini beberapa hal yang menjadi garis 

besar, untuk mengetahui apakah alasan mereka yang menentang tare­

kat itu. 

Salah satu firman Allah yang lain yang acapkali juga kita dengar 

dari mereka yang menentang tarekat ini ialah ayat Qur'an yang berarti : 

"Bahwa Agama Islam ialah jalan-Ku yang lurus. Ikutilah olehmu akan 

dia dan janganlah kamu mengikut akan jalan-jalan yang lain, sebab  

yang demikian itu dapat mencerai-beraikan kamu dibandingkan  jalan-Ku ini. 

Inilah wasiat Allah  untukmu, mudah-mudahan kamu takut kepada-

N y a " . (Qur'an VI : 153). 

Selanjutnya banyaklah alasan-alasan, terutama dari riwayat-riwa-

yat dikemukakan untuk menunjukkan bahwa tarekat-tarekat itu yaitu 

pekerjaan-pekerjaan bid'ah, yang hanya diperbuatnya, tidak beralasan 

kepada Sunnah Nabi dan Sahabat-Sahabatnya, dan oleh sebab  itu me-

nyalahi kitab Allah dan Sunnah Rasul. Soalnya berbalik-balik kepada 

menerangkan rukun Islam dan rukun Iman, sebagai yang kita dapati 

dalam ilmu Fiqh. Terutama dalam ulasannya uraian panjang lebar di­

tujukan kepada menerangkan zat dan sifat-sifat Allah  menurut i'tikad 

Ahlus Sunnah wal Jama'ah, yang biasa kita dapati dalam uraian Sifat 

Dua Puluh atau ilmu Tauhid, dan ditolaknya semua uraian dan penye­

lesaian menurut istilah-istilah tarekat, seperti susunan insan dari sepu-

luh lathifah, begitu juga penolakan terhadap kepada pemakaian zikir 

dalam berbagai bentuk guna menyampaikan diri kepada Allah, pemba-

gian muraqabah-muraqabah yang dua puluh dan lain-lain pelajaran-

pelajaran pelik sebagai yang ada dalam praktek tarekat-tarekat. 

Semua itu ditutup dengan firman " A p a yang didatangkan oleh Rasul 

kepadamu, ambillah dan kerjakanlah, dan apa yang dicegahnya, jauh-

kanlah dirimu dibandingkan nya" (Qur'an X X I : 7). 

Mengenai syeikh yang mursyid golongan yang menentang ini telah 

putus sejak zaman Ghazali. Yang ada sekarang hanya guru-guru yang 

sekedar cukup saja pengetahuannya. 

Mengenai talkin, peringatan, di antara lain-lain dikemukakan se­

buah Hadis yang diriwayatkan oleh Yusuf Al -Kurd i , seorang yang sa­

lih, bahwa Sayyidina A l i pernah berkata kepada Nabi : "Tunjukkanlah 

daku akan sedekat-dekatnya jalan kepada Allah dan semudah-mudah-

nya dan seafdal-afdalnya pada sisi A l l a h " . Maka jawab Nabi : "Yang 

paling baik apa yang telah aku katakan dan apa yang telah pernah di­

katakan oleh Nabi-Nabi sebelumku, yaitu zikrullah : Bahwa tiada Tu­

han melainkan A l l a h " . 

Mereka yang menentang ini menyangkal adanya tingkat-tingkat 

yang dapat dicapai dengan zikir-zikir, menyangkal adanya kasyaf, ada­

nya susunan tasawwuf dan rabithah dan rnenolak kebiasaan yang dila­

kukan oleh ahli tarekat dalam Islam, sampai kepada berkhalwat, meng-

asingkan diri dari masyarakat ramai, tidak memakan daging dan me­

makan yang enak-enak, yang katanya menjadi kebiasaan orang-orang 

Masehi dalam usaha menahan dirinya. 

Berhubung dengan penahanan diri dari makan dan minum yang 

enak-enak ini dikemukakan suatu ceritera yang isinya, terambil dari 

"Kitab Ruhul M a ' a n i " sbb. 

Pada suatu hari Rasulullah memberi pelajaran kepada Sahabat-

Sahabatnya dalam uraiannya ia menerangkan sifat-sifat manusia dan 

sifat-sifat hari kiamat demikian jitunya, sehingga orang-orang yang 

mendengarkannya itu sangat terharu dan tidak sedikit yang menumpah­

kan air mata. Konon sesudah pengajian itu, lalu berkumpullah sepuluh 

orang dari sahabat Nabi ini di rumah Usman ibn Mas'ud, Abu 

Zar Al-Ghiffari , Salim Maula, Abdullah bin Umar, Miqdad bin Aswad, 

Salman Al-Farisi , Ma'qal bin Maqrah dan orang yang punya rumah. 

Dalam pembicaraannya, mereka mengambil keputusan akan menjadi 

orang suci, akan terus puasa siang hari, akan tidak tidur di atas kasur, 

akan tidak makan daging dan minyak daging, akan tidak mendekati 

isteri-isterinya pada malam hari, akan tidak memakai minyak harum 

dan pakaian yang indah-indah, pendeknya akan meninggalkan kehi­

dupan dunia ini, bahkan ada di antaranya yang lebih aneh yaitu akan 

memotong zakarnya atau kemaluannya, supaya tidak lagi memiliki  

nafsu berahi.

Keputusan ini didengar oleh Nabi Muhammad yang dengan segera 

mendatangi tempat pertemuan itu di rumah Usman. Pada suatu riwayat 

di rumah Ummu Salamah. Kebetulan Usman tidak ada di rumah, yang 

ada ialah isterinya Ummu Hakim. Lalu Nabi bertanya kepadanya, apa 

benarkah ada pertemuan antara suaminya dengan Sahabat-Sahabat. 

Alangkah sedihnya hati Rasulullah dan murkanya terhadap ke-

putusan-keputusan yang aneh yang telah diambil mereka itu. Tatkala 

Sahabat-Sahabat itu datang menemui Rasulullah, maka Rasulullah pun 

berkata : "Sesungguhnya aku tidak menyuruh kamu berbuat demikian 

itu. Kamu memiliki  kewajiban atas dirimu. Maka hendaklah kamu 

berpuasa dan berbuka. Kamu berjaga dan tidur. sebab  aku pun ber-

jaga dan beribadat dan tidur, dan berpuasa dan berbuka puasa dan ma­

kan daging, dan makan minyak daging dan mendatangi isteri-isteriku. 

Barangsiapa yang tidak suka kepada jalanku ini, maka tidaklah ia ma­

suk golonganku". Lalu Rasulullah pun mengumpulkan orang-orang 

banyak dan berkhotbah terhadap mereka itu, di antara lain-lain ia ber­

kata : "Apakah tidak aneh kelakuan-kelakuan orang yang mengharam-

kan pergaulan dengan isterinya, mengharamkan makanan dan harum-

haruman, mengharamkan tidur dan menghilangkan syahwat dunia ? 

Ketahuilah olehmu, bahwa aku tidak pernah menyuruh akan kamu 

menjadi qissin, ulama Nasrani atau ruhban, abid-abid dari golongan 

Nasrani, sebab  keadaan yang demikian itu tidaklah ada dalam agama-

ku. Tidak ada dalam agamaku meninggalkan makan daging dan me­

ninggalkan perhubungan dengan isterimu atau bertapa dalam khalwat, 

sebab  perjalanan umatku ialah puasa, dan ibadat mereka itu ialah jihad. 

Sembah olehmu akan Allah dan jangan kamu perserikatkan Dia dengan 

sesuatu, kerjakanlah ibadah hajimu dan umrahmu, dirikanlah sembah­

yang dan keluarkanlah zakatmu. Berpuasalah pada tiap-tiap bulan Ra­

madhan dan tetaplah beristiqamah atas yang demikian itu, agar engkau 

diistiqamahkan pula. Sesungguhnya banyaklah umat-umat yang telah 

binasa sebelum kamu sebab  bersangatan dalam urusan agamanya dan 

dalam menyakiti dirinya, maka AJlah pun menyakiti mereka itu per-

sepian dan tempat-tempat beribadat saja. Maka Allah  menurunkan 

firman-Nya yang berbunyi : " H a i mereka yang beriman. Janganlah ka­

mu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah 

bagimu, dan janganlah kamu berlebih-lebihan, sebab  Allah tidak suka 

kepada mereka yang berlaku berlebih-lebihan i tu" {Al-Qur'an V : 90). 

2. K O N G R E S I L M U K E B A T I N A N . 

Pada permulaan tahun 1960 di Pekalongan diadakan Kongres Ke-

batinan selama tiga hari tiga malam. Yang hadir tidak kurang dibandingkan  

tiga ratus sembilan puluh empat utusan dari seluruh Jawa, dan juga ter­

dapat seorang utusan dari Sulawesi. Selain dibandingkan  itu ada dua 

ratus enam belas utusan dari ulama-ulama biasa, di antaranya K . H . A . 

Wahab Hasbullah, K . H . Masykur, K . H . Hasan Basyri dan K.h . Mus-

ta'in (mgl. 1964) dari Partai Nahdlatul Ulama. 

Resepsinya dihadiri di antara lain oleh K S A D Jenderal A . H . Nasu-

tion, beserta pembesar-pembesar dan pemimpin-pemimpin pergerakan. 

Adapun tujuan Kongres ini, sebagai yang dinyatakan oleh K . H . 

Hafid Rembang dalam kata-kata pembukaannya, ialah 1. menguatkan 

tali persaudaraan Islam antara bermacam-macam gerakan tarekat, 2. 

memelihara dan menghormati pokok-pokok tarekat yang baik, 3. mem­

pertahankan tasawwuf dalam pandangan umum, 4. memajukan Islam 

dalam daerah Indonesia. 

Di antara keputusan kongres ini ialah mendirikan sebuah perkum-

pulan Sufi baru dengan nama Perkumpulan Ahli Tarekat Mu'tabarah. 

Di antara usul-usul yang dikemukakan ialah meminta perhatian 

Pemerintah untuk memudahkan memasukkan kitab-kitab agama dari 

Mesir untuk pelajar-pelajar ilmu agama dan pemuda-pemuda Islam In­

donesia. 

Lebih menarik dalam pertemuan itu diadakan beberapa pandangan 

dan uraian mengenai masuknya tarekat-tarekat ke Indonesia. Diterang­

kan bahwa gerakan tarekat itu masuk ke Indonesia pada permulaan 

abad yang ke VII bersama-sama dengan masuknya Islam. 

Oleh sebab  aliran-aliran fiqh yang masuk ke Indonesia itu dan 

tersiar di sini kebanyakan dari mazhab Syafi'i, maka dengan sendirinya 

keadaan umat Islam Indonesia condong kepada ilmu tasawwuf. Kemu­

dian ditambah oleh pembawaan rakyat Indonesia sendiri yang memang 

sudah berjiwa kebatinan itu, dengan mudah dan dengan keinsyafan me­

nyiarkan ilmu-ilmu tarekat itu kepada umum. 

Di antara tarekat yang mula-mula masuk ke Indonesia ini ialah 

tarekat Rifa'iyah di Aceh, yang sampai sekarang meninggalkan nama-

nya dalam semacam musik rebana yang dinamakan rapai. Tarekat ini 

kemudian tersiar di Bantam di sebelah barat pulau Jawa. Umumnya 

di pulau Jawa seluruhnya banyak tersiar tarekat Qadiriyah yang pendi-

rinya Abdul Kadir Jailani. 

Di Sumatera Tengah, daerah alam Minangkabau tersiar tarekat 

Naksyabandiyah, terutama atas kegiatan Syeikh Ismail Al-Khalidi A l -

Kurdi, dan oleh sebab  itu acapkali cabang tarekat ini dinamakan 

tarekat Naksyabandiyah Khalidiyah. 

Kemudian ada pula semacam tarekat masuk ke Indonesia, yaitu 

tarekat Khalawatiyah, yang mula-mula disiarkan di Bantam oleh Syeikh 

Yusuf Al-Khalawati Al-Makasari, ketika itu dalam kedudukan pangli­

ma perang Sultan Bantam, di hari-hari pemerintahan Sultan Agung Tir-

tayasa. Syeikh ini pernah berlayar untuk hubungan dengan alam-alam 

Islam di luar Indonesia, sehingga ia pernah datang mengunjungi Ya­

man, Hejaz, Syam, Istambul dan bertemulah dengan banyak ahli-ahli 

sufi dan tarekat di negara itu, sehingga ia banyak juga menambah ilmu 

pengetahuannya dari mereka. Syeikh Yusuf ini yaitu salah seorang 

kepala pemberontak melawan penjajahan Belanda, maka oleh sebab  

itu ia ditangkap dan dibuang ke Ceylon, kemudian dipindahkan ke kota 

Capstad, di sebelah Afrika Selatan, dan meninggal di sana sebagai pah-

lawan agama dan tanah air. 

Yang aneh bahwa kuburannya juga ada di Sulawesi Selatan, 

dalam sebuah desa bernama Lakiung, dekat Goa, Makasar. Kuburan 

ini ramai sekali diziarahi orang, dan pada pintu gedung yang diperbuat 

untuk melindungi kuburan itu tercatat "Syeikh Yusuf Tuanku Salama-

ka. Lahir 1626, pergi haji 1644, diasingkan dari Bantam ke Ceylon 

1683, dipindahkan dari Ceylon ke Kaap de Goede Hoop 1694, wafat 

23-5-1699 dan dikebumikan 23-5-1703 di Lakiung (Goa)". 

Adapun tarekat Syattariyah terutama disiarkan oleh Syeikh Abdur-

rauf Singkil di Aceh pada hari-hari pemerintahan Sultan Iskandar Mu­

da, dan padanya berguru di antara lain Syeikh Burhanuddin Ulakan di 

Sumatera Tengah, yang kemudian menyiarkan ajaran tarekat ini di se­

luruh pesisir barat. Pusatnya gerakan itu ada di tempat tinggal gurunya 

yaitu di Ulakan di salah satu tempat dekat kota Pariaman. Sementara 

itu tersiar pulalah pada hari-hari ini tarekat Naksyabandiyah di 

sebelah barat dan di daerah-daerah pegunungan Minangkabau. 

Ulama-ulama yang datang dari Hadramaut ke Indonesia membawa 

dua tarekat baru, pertama tarekat Al-Aidrusiyah dan tarekat A l -

Haddadiyah.