gangguan jiwa 2

Tampilkan postingan dengan label gangguan jiwa 2. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label gangguan jiwa 2. Tampilkan semua postingan

Rabu, 12 Juli 2023

gangguan jiwa 2


 sosial 2. Meningkatkan hubungan sosial
3. Harga diri rendah 3. Meningkatkan harga diri
4. Defisit perawatan diri 4. Kemampuan merawat diri
TEKNIK KONTROL MOOD
1. Teknik tiga kolom
a. Pikiran otomatis, yaitu pikiran-pikiran negatif yang sering keluar seperti “…tidak 
pernah” dan “….selalu”.
b. Distorsi kognitif.
c. Tanggapan rasional.
2. Panah vertikal
 Yaitu belajar memberi pendapat secara rasional, yang bisa diterima oleh akal berdasarkan 
bukti dan fakta yang ada.
PELAKSANAAN TERAPI KOGNITIF
Terapi kognitif terdiri atas sembilan sesi, yang masing-masing sesi dilaksanakan secara terpisah. 
Setiap sesi berlangsung selama 30–40 menit dan membutuhkan konsentrasi tinggi.
1. Sesi I: Ungkap pikiran otomatis.
 Jelaskan tujuan terapi kognitif.
a. Identifikasi masalah dengan apa, di mana, kapan, siapa (what, where, when, who).
b. Diskusikan sumber masalah.
c. Diskusikan pikiran dan perasaan.
d. Catat pikiran otomatis dan klasifikasikan dalam distorsi kognitif.
2. Sesi II: Alasan.
a. Review kembali sesi I.
b. Diskusikan pikiran otomatis.
c. Tanyakan penyebabnya.
d. Beri respons atau tanggapan.
e. Tanyakan tindakan pasien.
f. Anjurkan menulis perasaan.
g. Beri rencana tindak lanjut, yaitu hasil tulisan pasien dibahas pada pertemuan 
berikutnya.
3. Sesi III: Tanggapan.
a. Diskusikan hasil tulisan pasien.
b. Dorong pasien untuk memberi pendapat.
c. Berikan umpan balik.
d. Dorong pasien untuk ungkapkan keinginan.
e. Beri persepsi/pandangan perawat terhadap keinginan tersebut.
f. Beri penguatan (reinforcement) positif.
g. Jelaskan metode tiga kolom.
h. Diskusikan cara menggunakan metode tiga kolom.
i. Rencana tindak lanjut, yaitu anjurkan menuliskan pikiran otomatis dan cara 
penyelesaiannya.
4. Sesi IV: Menuliskan
a. Tanyakan persaan pasien saat menuliskan rencana tindak lanjut pada sesi III.
b. Dorong pasien untuk mengomentari tulisan.
c. Beri respons/tanggapan dan umpan balik.
d. Anjurkan untuk menuliskan buku harian.
e. Rencana tindak lanjut, yaitu hasil tulisan pasien akan dibahas.
5. Sesi V: Penyelesaian masalah.
a. Diskusikan kembali prinsip teknik tiga kolom.
b. Tanyakan stresor/masalah baru dan cara penyelesaiannya.
c. Tanyakan kemampuan menanggapi pikiran otomatis negatif.
d. Berikan penguatan (reinforcement) positif.
e. Anjurkan menulis pikiran otomatis dan tanggapan rasional saat menghadapi 
masalah.
6. Sesi VI: Manfaat tanggapan.
a. Diskusikan perasaan setelah menggunakan tanggapan rasional.
b. Berikan umpan balik.
c. Diskusikan manfaat tanggapan rasional.
d. Tanyakan apakah dapat menyelesaikan masalah.
e. Tanyakan hambatan yang dialami.
f. Berikan persepsi/tanggapan perawat
g. Anjurkan mengatasi sesuai kemampuan.
h. Berikan penguatan (reinforcement) positif.
7. Sesi VII: Ungkap hasil.
a. Diskusikan perasaan setelah menggunakan terapi kognitif.
b. Beri reinforcement positif dan pendapat perawat.
c. Diskusikan manfaat yang dirasakan.
d. Tanyakan apakah dapat menyelesaikan masalah.
e. Beri persepsi terhadap hambatan yang dihadapi.
f. Diskusikan hambatan yang dialami dan cara mengatasinya.
g. Anjurkan untuk mengatasi sesuai kemampuan.
h. Berikan penguatan (reinforcement) positif.
8. Sesi VIII: Catatan harian.
a. Tanyakan apakah selalu mengisi buku harian.
b. Berikan penguatan (reinforcement) positif.
c. Diskusikan manfaat buku harian.
d. Anjurkan membuka buku harian bila menghadapi masalah yang sama.
e. Tanyakan kesulitan dan diskusikan cara penggunaan yang efektif.
9. Sesi IX: Sistem dukungan
a. Jelaskan keluarga tentang terapi kognitif.
b. Libatkan keluarga dalam pelaksanaannya.
c. Diskusikan dengan keluarga kemampuan yang telah dimiliki pasien.
d. Anjurkan keluarga untuk siap mendengarkan dan menagggapi masalah pasien.
CONTOH METODE TEKNIK PANAH VERTIKAL
Tabel 26.2 Contoh Teknik Panah Vertikal
Pikiran Otomatis Tanggapan Rasional
1. Dr. K mungkin berpikir saya adalah seorang 
ahli terapi yang buruk, “Jika memang ia berpikir 
demikian, mengapa harus mengecewakan saya?”
1. Hanya karena Dr. K menunjukkan kesalahan 
saya itu bukan berarti bahwa selanjutnya ia akan 
berpikir bahwa saya adalah seorang “ahli terapi” 
yang buruk. Saya harus menanyakan kepadanya 
hal yang sebenarnya dia pikirkan, tetapi dalam 
beberapa kesempatan ia telah memuji saya dan 
berkata bahwa saya mempunyai bakat unggul.
2. Itu artinya bahwa saya memang seorang 
terapis yang bodoh karena dia seorang yang 
berpengalaman,“Andaikan saya memang seorang 
ahli terapi yang buruk, lalu apa artinya bagiku?” 
2. Seorang yang berpengalaman pun hanya dapat 
menunjukkan kekuatan serta kelemahan spesifik 
saya sebagai seorang terapis. Setiap kali seseorang 
memberi cap “buruk” pada saya, maka semua 
itu hanya suatu pernyataan yang terlalu global, 
merusak, dan tidak terlalu berguna. Saya telah 
banyak berhasil dengan kebanyakan pasien saya, 
sehingga tidak benarlah saya “buruk”, tidak peduli 
siapapun yang mengatakannya.
CONTOH METODE TEKNIK TIGA KOLOM
Tabel 26.3 Contoh Teknik Tiga Kolom
Pikiran Otomatis Distorsi Kognitif Tanggapan Rasional
(Kritik Diri)
1. Saya tidak pernah benar.
2. Saya selalu terlambat
1. Overgeneralisasi
2. Overgeneralisasi
(Pembelaan Diri)
1. Omong kosong! Saya juga melakukan banyak hal 
yang baik.
2. Saya tidak selalu terlambat. Coba saja ingat-ingat saat 
saya datang tepat waktu. Meskipun kini terlambat 
lebih sering daripada biasanya, saya akan mengatasi 
masalah ini serta mencari cara agar saya lebih 
dapat tepat waktu. Seseorang mungkin kecewa 
karena saya terlambat, tetapi itu bukan berarti 
kiamat. Mungkin pertemuan juga tidak mulai pada 
waktunya.
DISTORSI KOGNITIF
1. Pemikiran “segalanya atau tidak sama sekali”
 Melihat segala sesuatu dalam kategori hitam atau putih. Contohnya, jika prestasi Anda 
kurang dari sempurna, maka Anda memandang diri Anda sendiri sebagai seorang yang 
gagal total.
2. Overgeneralisasi
 Memandang suatu peristiwa yang negatif sebagai sebuah pola kekalahan tanpa akhir. 
Contoh, seorang murid yang gagal dalam ujian berpikir, “Saya tidak akan pernah lulus 
ujian yang lain dalam semester ini dan saya akan keluar dari sekolah ini.”
3. Personalisasi
 Memandang diri sebagai penyebab dari suatu peristiwa eksternal yang negatif yang 
kenyataanya tidaklah demikian. Contohnya, “Direktur saya mengatakan bahwa 
produktivitas perusahaan kami menurun, tapi saya tahu ia sebenarnya sedang 
membicarakan saya.”
4. Berpikir dikotomi
 Berpikir dengan ekstrem bahwa semua hal adalah semuanya baik atau semuanya buruk. 
Contohnya, “Jika suami saya meninggalkan saya, saya mungkin akan mati.”
5. Pembencanaan
 Berpikir yang terburuk tentang orang atau kejadian. Contohnya, “Saya lebih baik 
tidak mengajukan diri untuk promosi di tempat pekerjaan karena saya tidak akan 
mendapatkannya dan saya merasa diri saya sangat buruk.”
6. Membuat abstrak yang selektif
 Memfokuskan pada detail tapi tidak pada informasi yang relevan. Contohnya, “Seorang 
istri percaya bahwa suaminya tidak mencintainya karena ia pulang kerja larut malam, tetapi sang istri menolak perhatian yang diberikan oleh suami, hadiah yang dibawanya, 
dan acara khusus yang mereka rencanakan bersama.”
7. Kesimpulan yang tidak beralasan
 Menarik kesimpulan negatif tanpa bukti yang mendukung. Contohnya, seorang 
wanita muda menyimpulkan, “Teman saya tidak suka kepada saya karena saya tidak 
mengirimkan kartu ulang tahun untuknya.”
8. Membesar-besarkan atau mengecilkan
 Melebih-lebihkan suatu hal atau mengecilkan suatu hal secara tidak tepat. Contoh, “Saya 
telah menghanguskan makan malam, itu menunjukkan betapa tidak mampunya saya.”
9. Prefeksionis
 Merasa butuh untuk melakukan segala sesuatu secara sempurna agar merasa dirinya 
baik. Contoh, “Saya akan menjadi seorang yang gagal apabila saya tidak mendapat nilai 
A pada semua ujian saya.”
10. Eksternalisasi harga diri 
 Mengukur nilai seseorang berdasarkan pendapat orang lain. Contoh, “Saya harus 
selalu kelihatan cantik. Kalau tidak, teman-teman saya tidak akan mau berada di dekat 
saya.”
11. Filter mental
 Menemukan hal kecil yang negatif dan terus memikirkannya sehingga pandangan 
tentang realita menjadi gelap.
12. Mendiskualifikasi hal positif
 Menolak pengalaman-pengalaman positif dengan bersikeras bahwa semua itu “bukan 
apa-apa”.
13. Penalaran emosional
 Menganggap emosi-emosi yang negatif mencerminkan realita yang sebenarnya. 
Contohnya, “Saya merasa begitu, maka pastilah begitu.”
14. Memberi cap atau salah memberi cap
 Bentuk ekstrem dari overgeneralisasi, yaitu memberi cap negatif pada diri sendiri. 
Contohnya, “Saya memang seorang sial” atau, “Saya memang seorang yang bodoh.








PENGERTIAN KESEHATAN JIWA MASYARAKAT
Kesehatan jiwa masyarakat adalah suatu keadaan setiap manusia dapat mencapai prestasi kerja 
semaksimal mungkin, anak sekolah dapat mencapai prestasi belajar semaksimal mungkin 
karena tidak adanya hambatan emosi. 
Setiap manusia dapat mencapai prestasi kerja semaksimal mungkin, yang ditandai 
dengan adanya optimalisasi prestasi, kreativitas dan produktivitas dalam dunia kerja. 
Tidak ada upaya saling menghambat, permusuhan, dan menghalangi pencapaian kinerja 
seseorang. Setiap orang dalam kelompok saling membantu menyelesaikan pekerjaan 
sesuai kemampuan, kewenangan, dan keahliannya. Dengan demikian, setiap orang dapat 
mencapai kepuasan dalam menampilkan prestasi kerja, sehingga terciptalah kesehatan jiwa 
di masyarakat. 
Setiap anak sekolah dapat mencapai prestasi belajar semaksimal mungkin merupakan 
suatu yang ideal bisa terjadi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sering terjadi konflik 
antara keinginan orang tua dan anak. Misalnya, anak yang harus masuk sekolah jam 07.00 
WIB, orang tua menginginkan anak bangun 04.30, salat, mengaji, mempersiapkan alat 
sekolah, mandi, sarapan, dan jam 06.00 harus sudah berangkat. Saat di sekolah tidak boleh 
jajan sembarangan sehingga anak diberi bekal kue atau nasi untuk makan siang. Sepulang 
sekolah harus tidur, les, mengaji, dan seterusnya. Bagaimana dengan keinginan anak? Jika 
memungkinkan bangun jam 06.00, mandi, berangkat, tidak perlu sarapan, minta uang saku 
saja, serta jika diberi bekal, maka ditukar dengan teman. Sepulang sekolah bersepeda, main 
ke rumah semua teman yang dikenalnya, bila perlu tidak pulang, karena jika sudah pulang 
tidak boleh keluar lagi, dan seterusnya. Nah, siapa yang salah? Keinginan siapa yang harus 
diikuti? Kemauan orang tua benar (menurut orang tua), bagaimana dengan keinginan 
anak?
Jika memperhatikan tugas pertumbuhan dan perkembangan usia sekolah adalah kerja 
keras (industry) vs inferioritas (inferiority). Pada usia ini, anak mulai mengenal lingkungan 
yang lebih luas yaitu lingkungan sekolah. Anak harus mulai beradaptasi dengan sekian 
banyak teman dan guru dari berbagai macam latar belakang. Dalam diri anak mulai tumbuh 
sifat kompetitif, mengembangkan sikap saling memberi dan menerima, setia kawan dan 
berpegangan pada aturan yang berlalu. Apabila ini tidak terjadi pada anak, maka sikap 
inferioritas yang akan berkembang dalam diri anak.
Keinginan orang tua harus diprioritaskan, tetapi keinginan anak tetap harus 
dipertimbangkan, untuk menyiapkan anak dalam mengembangkan tugas pertumbuhan dan 
perkembangannya. Norma dan nilai orang tua diterapkan kepada anak sesuai dunia anak. 
Dengan demikian, hubungan orang tua dengan anak akan tetap berjalan sesuai dengan tugas 
pertumbuhan dan perkembangan.
Keluarga adalah merupakan unit terkecil dari masyarakat. Oleh karena itu, kesehatan 
jiwa masyarakat ditentukan pula oleh kondisi keluarga. Menurut Good & Good, kesehatan 
jiwa masyarakat dapat terjadi apabila keluarga dan masyarakat dalam keadaan sejahtera. Pertanyaannya adalah, apakah keluarga dan masyarakat kita saat ini sudah dalam keadaan 
sejahtera? Jika belum, upaya mencapai keadaan sejahtera harus mulai dari keluarga atau 
masyarakat?
Anak dipersiapkan dengan baik oleh orang tua dalam tata aturan keluarganya. Apabila 
anak dilepaskan dalam masyarakat yang tidak kondusif, maka ketika anak pulang dari 
sekolah, dia bisa menirukan ucapan kotor yang didengar dari teman sekolah kepada orang 
tuanya. Dengan demikian, untuk mendapatkan kondisi masyarakat yang sehat jiwa, harus 
dilakukan upaya bersama dalam meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat. 
Peningkatan kesejahteraan keluarga menjadi tanggung jawab keluarga, serta peningkatan 
kesejahteraan masyarakat menjadi tanggung jawab keluarga, tokoh masyarakat, dan 
pimpinan masyarakatUpaya peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat dalam mewujudkan 
kesehatan jiwa masyarakat perlu memperhatikan beberapa stresor di masyarakat yang sangat 
memengaruhi kesehatan jiwa masyarakat. 
Beberapa stresor di masyarakat antara lain timbulnya harapan yang terlalu banyak, 
meningkatnya permintaan kebutuhan, dampak teknologi modern, urbanisasi, dan kepadatan 
penduduk.
1. Timbulnya harapan yang banyak.
 Sebelum merdeka terjadi kebobrokan, kejelekan, dan kebodohan akibat penjajah. Setelah 
merdeka ternyata harapan belum tentu sama kenyataan, serta terdapat kekecewaan dan 
kecemasan.
2. Meningkatnya permintaan kebutuhan
 Tuntutan kebutuhan dalam meningkatkan harga diri, yang meliputi perumahan, 
perlengkapan isi rumah, sarana transportasi dan komunikasi, pendidikan, serta gaya 
hidup3. Dampak teknologi modern
a. Arus dari luar mudah diakses.
b. Pengaruh budaya.
c. Peralatan rumah tangga jadi modern.
d. Makanan siap saji, hangat, dingin.
e. Ibu bekerja di luar rumah.
f. Kesiapan terhadap perubahan yang cepat.
g. Kesesuaian perkembangan teknologi dengan kebutuhan saat ini.
4. Urbanisasi
a. Pergeseran dari masyarakat desa ke kota.
b. Keluarga besar (extended family) berubah menjadi keluarga inti (nuclear family).
c. Agraris berubah menjadi industri.
d. Mobilisasi semakin cepat.
e. Ikatan keluarga menjadi longgar, kontak menurun, komunikasi menurun.
f. Peran keluarga yang semakin berkurang.
5. Kepadatan penduduk
a. Daya saing semakin ketat.
b. Hukum alam akan terjadi pertengkaran.
Beberapa stresor di masyarakat ini perlu dikenali untuk mempersiapkan kemampuan 
adaptasi keluarga dalam menjalani dan memenuhi tuntutan kehidupan di masyarakat. 
Selain itu, keluarga mempunyai tugas untuk menyiapkan anak dalam menghadapi tuntutan 
kehidupan pada masanya.
Beberapa tugas keluarga antara lain sebagai berikut.
1. Mempersiapkan anak menghadapi perubahan yang cepat. Jangan terlalu terikat pada 
kebiasaan keluarga (family culture), yang seolah menolak perubahan, sehingga mendidik 
anak menurut sudut pandang orang tua semata. Akibatnya anak hidup pada dunia 
“tidak nyata (unreality)”.
2. Tidak semua perubahan penting dan perlu diikuti. Pertahankan beberapa norma dan 
nilai keluarga yang penting, sehingga keluarga dapat berperan sebagai stabilisator dalam 
perubahan yang sangat cepat.
3. Dunia berubah dengan cepat, sehingga setiap orang akan dituntut menghadapi 
perubahan itu. Keluarga harus berperan sebagai tempat mendapatkan keamanan dan 
kenyamanan (security), sehingga keluarga merupakan tempat berlindung (refuge) dan 
jaminan (insurance) ketika anak merasakan ketidaknyamanan di lingkungan luar.
4. Waspada terhadap peran keluarga yang makin berkurang. Tunjukkan selalu figur 
ibu (mother figure) atau figur ayah (father figure), sehingga diharapkan anak akan 
mengembangkan perilaku dengan meniru orang tuanya
AREA KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA DI 
MASYARAKAT
Ruang lingkup keperawatan kesehatan jiwa masyarakat terdiri atas berbagai rentang masalah 
kesehatan jiwa antara kondisi sehat dan sakit, pada usia anak sampai usia lanjut, perawatan 
di rumah sakit atau masyarakat, serta kondisi kesehatan jiwa di rumah ataupun di tempat 
khusus (industri atau penjara).
Usia lanjut
Rumah sakit
Sakit
Tempat khusus
Anak
Masyarakat
Sehat
Rumah
Gambar 21.2 Masalah Kesehatan Jiwa di Masyarakat (Continuity Care)
Area keperawatan kesehatan jiwa masyarakat ini mencakup seluruh kasus yang terjadi 
pada usia anak, dewasa, usia lanjut, baik pada kasus individu, kelompok, maupun keluarga.
UPAYA KESEHATAN JIWA MASYARAKAT
Upaya kesehatan jiwa masyarakat meliputi seluruh level dan tindakan keperawatan kesehatan 
jiwa. Merupakan pelayanan paripurna, mulai dari pelayanan kesehatan jiwa spesialistik, 
integratif, dan pelayanan yang berfokus masyarakat. Selain itu, memberdayakan seluruh 
potensi dan sumber daya di masyarakat sehingga terwujud masyarakat yang mandiri dalam 
memelihara kesehatannya.
Pelayanan kesehatan jiwa spesialistik dilaksanakan di rumah sakit jiwa dengan berbagai 
penerapan model praktik keperawatan profesional (MPKP) yang telah dikembangkan.
Pelayanan kesehatan jiwa integratif merupakan pelayanan kesehatan jiwa yang 
dilaksanakan di rumah sakit umum. Pelayanan ini berbentuk unit perawatan intensif kejiwaan 
(psychiatric intensive care unit—PICU) dan konsultan penghubung keperawatan kesehatan 
mental (consultant liaison mental health nursing—CLMHN). Unit psikiatri di rumah sakit 
umum merupakan sarana pelayanan keperawatan kesehatan jiwa jangka pendek (short term 
hospitalization), sedangkan CLMHN merupakan sarana merawat pasien gangguan fisik 
umum yang mengalami masalah psikososial. 
Pelayanan kesehatan jiwa berfokus pada masyarakat dimulai dari pelayanan tingkat 
kabupaten/kota, puskesmas, kelompok khusus sampai keluarga. Pelayanan ini dikenal dengan 
keperawatan kesehatan jiwa masyarakat (community mental health nursing—CMHN). 
Pelayanan kesehatan jiwa di CMHN ini dimulai dari level lanjut (advance), menengah
(intermediate), dan dasar (basic). 
Pemberdayaan seluruh potensi dan sumber daya masyarakat dilaksanakan dalam 
bentuk pengembangan desa siaga sehat jiwa (DSSJ), serta melakukan revitalisasi kader 
dengan membentuk kader kesehatan jiwa (KKJ) sebagai fasilitator masyarakat dalam 
mengembangkan kesehatan jiwa masyarakat. Pada kelompok khusus dapat dibentuk 
kelompok swadaya (self help group—SHG) dan usaha kesehatan sekolah tentang kesehatan 
jiwa (UKSJ).
APLIKASI CMHN
Pelayanan keperawatan kesehatan jiwa yang komprehensif mencakup tiga tingkat pencegahan 
yaitu sebagai berikut.
Pencegahan Primer
1. Fokus pelayanan keperawatan jiwa pada peningkatan kesehatan dan pencegahan 
terjadinya gangguan jiwa.
2. Tujuan pelayanan adalah mencegah terjadinya gangguan jiwa, serta mempertahankan 
dan meningkatkan kesehatan jiwa.
3. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang belum mengalami gangguan sesuai 
dengan kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. 
4. Aktivitas pada pencegahan primer adalah sebagai berikut.
a. Program pendidikan kesehatan, program stimulasi perkembangan, program 
sosialisasi, manajemen stres, dan persiapan menjadi orang tua. Beberapa kegiatan 
yang dilakukan antara lain sebagai berikut.
1) Pendidikan kesehatan pada orang tua.
a) Pendidikan menjadi orang tua.
b) Perkembangan anak sesuai dengan usia.
c) Memantau dan menstimulasi perkembangan.
d) Menyosialisasikan anak dengan lingkungan.
2) Cara mengatasi stres.
a) Stres pekerjaan.
b) Stres perkawinan.
c) Stres sekolah.
d) Stres pascabencana.
b. Program dukungan sosial diberikan pada anak yatim piatu, kehilangan pasangan, 
kehilangan pekerjaan, serta kehilangan rumah/tempat tinggal, yang semuanya ini 
mungkin terjadi akibat bencana. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain 
sebagai berikut.
1) Memberikan informasi cara mengatasi kehilangan.
2) Menggerakkan dukungan masyarakat seperti menjadi orang tua asuh bagi anak 
yatim piatu.
3) Melatih keterampilan sesuai keahlian masing-masing untuk mendapatkan 
pekerjaan.
4) Mendapatkan dukungan pemerintah dan LSM untuk memperoleh tempat 
tinggal.
c. Program pencegahan penyalahgunaan obat. Penyalahgunaan obat sering digunakan 
sebagai koping untuk mengatasi masalah. Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain 
sebagai berikut.
1) Pendidikan kesehatan melatih koping positif untuk mengatasi stres.
2) Latihan asertif yaitu mengungkapkan keinginan dan perasaan tanpa menyakiti 
orang lain.
3) Latihan afirmasi dengan menguatkan aspek-aspek positif yang ada pada diri 
seseorang.
d. Program pencegahan bunuh diri. Bunuh diri merupakan salah satu cara penyelesaian 
masalah oleh individu yang mengalami keputusasaan. Oleh karena itu, perlu 
dilakukan program berikut.
1) Memberikan informasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang 
tanda-tanda bunuh diri.
2) Menyediakan lingkungan yang aman untuk mencegah bunuh diri.
3) Melatih keterampilan koping yang adaptif.
Pencegahan Sekunder
1. Fokus pelayanan keperawatan pada pencegahan sekunder adalah deteksi dini masalah 
psikososial dan gangguan jiwa serta penanganan dengan segera.
2. Tujuan pelayanan adalah menurunkan kejadian gangguan jiwa.
3. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang berisiko/memperlihatkan tanda-tanda 
masalah psikososial dan gangguan jiwa. 
4. Aktivitas pada pencegahan sekunder adalah sebagai berikut.
a. Menemukan kasus sedini mungkin dengan cara memperoleh informasi dari berbagai 
sumber seperti masyarakat, tim kesehatan lain, dan penemuan langsung.
b. Melakukan penjaringan kasus dengan melakukan langkah-langkah sebagai 
berikut.
1) Melakukan pengkajian dua menit untuk memperoleh data fokus (format 
terlampir pada modul pencatatan dan pelaporan).
2) Jika ditemukan tanda-tanda berkaitan dengan kecemasan dan depresi, maka 
lanjutkan pengkajian dengan menggunakan pengkajian keperawatan kesehatan 
jiwa.
3) Mengumumkan kepada masyarakat tentang gejala dini gangguan jiwa (di 
tempat-tempat umum).
4) Memberikan pengobatan cepat terhadap kasus baru yang ditemukan sesuai 
dengan standar pendelegasian program pengobatan (bekerja sama dengan 
dokter) serta memonitor efek samping pemberian obat, gejala, dan kepatuhan 
pasien minum obat.
5) Bekerja sama dengan perawat komunitas dalam pemberian obat lain yang 
dibutuhkan pasien untuk mengatasi gangguan fisik yang dialami (jika ada 
gangguan fisik yang memerlukan pengobatan).
6) Melibatkan keluarga dalam pemberian obat, mengajarkan keluarga agar 
melaporkan segera kepada perawat jika ditemukan adanya tanda-tanda yang 
tidak biasa, dan menginformasikan jadwal tindak lanjut.
7) Penanganan kasus bunuh diri dengan menempatkan pasien di tempat yang aman, 
melakukan pengawasan ketat, menguatkan koping dan melakukan rujukan jika 
mengancam keselamatan jiwa.
8) Menempatkan pasien di tempat yang aman sebelum dirujuk dengan menciptakan 
lingkungan yang tenang, dan stimulus yang minimal.
9) Melakukan terapi modalitas yaitu berbagai terapi keperawatan untuk membantu 
pemulihan pasien seperti terapi aktivitas kelompok, terapi keluarga, dan terapi 
lingkungan.
10) Memfasilitasi kelompok swadaya—self-help group (kelompok pasien, kelompok 
keluarga atau kelompok masyarakat pemerhati) berupa kegiatan kelompok 
yang membahas masalah-masalah yang terkait dengan kesehatan jiwa dan cara 
penyelesaiannya.
11) Hotline service untuk intervensi krisis yaitu pelayanan dalam 24 jam melalui 
telepon berupa pelayanan konseling.
12) Melakukan tindak lanjut (follow-up) dan rujukan kasus.
Pencegahan Tersier
1. Fokus pelayanan keperawatan pada peningkatan fungsi dan sosialisasi serta pencegahan 
kekambuhan pada pasien gangguan jiwa.
2. Tujuan pelayanan adalah mengurangi kecacatan/ketidakmampuan akibat gangguan 
jiwa.
3. Target pelayanan yaitu anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa pada tahap 
pemulihan.
4. Aktivitas pada pencegahan tersier antara lain sebagai berikut.
a. Program dukungan sosial dengan menggerakkan sumber-sumber di masyarakat 
seperti sumber pendidikan, dukungan masyarakat (tetangga, teman dekat, tokoh 
masyarakat), dan pelayanan terdekat yang terjangkau masyarakat. Beberapa kegiatan 
yang dilakukan meliputi hal se bagai berikut.
1) Pendidikan kesehatan tentang perilaku dan sikap masyarakat terhadap 
penerimaan pasien gangguan jiwa.
2) Pentingnya pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam penanganan pasien yang 
mengalami kekambuhan.
b. Program rehabilitasi dengan memberdayakan pasien dan keluarga hingga mandiri. 
Fokus pada kekuatan dan kemampuan pasien dan keluarga dengan cara berikut.
1) Meningkatkan kemampuan koping yaitu belajar mengungkapkan dan 
menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat.
2) Mengembangkan sistem pendukung dengan memberdayakan keluarga dan 
masyarakat.
3) Menyediakan pelatihan kemampuan dan potensi yang perlu dikembangkan oleh 
pasien, keluarga, dan masyarakat.
4) Membantu pasien dan keluarga merencanakan serta mengambil keputusan 
untuk dirinya.c. Program sosialisasi
1) Membuat tempat pertemuan untuk sosialisasi.
2) Mengembangkan keterampilan hidup, seperti aktivitas sehari-hari, mengelola 
rumah tangga, dan mengembangkan hobi.
3) Program rekreasi seperti nonton bersama, jalan santai, pergi ke tempat 
rekreasi.
4) Kegiatan sosial dan keagamaan, seperi arisan bersama, pengajian, majelis taklim, 
dan kegiatan adat.
d. Program mencegah stigma
Stigma merupakan anggapan yang keliru dari masyarakat terhadap gangguan jiwa. 
Oleh karena itu, perlu diberikan program mencegah stigma untuk menghindari 
isolasi dan diskriminasi terhadap pasien gangguan jiwa. Beberapa kegiatan yang 
dilakukan yaitu sebagai berikut.
1) Melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang kesehatan jiwa dan 
gangguan jiwa, serta sikap dan tindakan menghargai pasien gangguan jiwa.
2) Pendekatan kepada tokoh masyarakat atau orang yang berpengaruh dalam 
rangka menyosialisasikan kesehatan jiwa dan gangguan jiwa.
PROSES KEPERAWATAN KESEHATAN JIWA PADA 
CMHN
Pendekatan proses keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien adalah 
sebagai berikut.
Pengkajian
Pengkajian awal dilakukan dengan menggunakan pengkajian 2 menit berdasarkan keluhan 
pasien. Setelah ditemukan tanda-tanda menonjol yang mendukung adanya gangguan jiwa, 
maka pengkajian dilanjutkan dengan menggunakan format pengkajian kesehatan jiwa. Data 
yang dikumpulkan mencakup keluhan utama, riwayat kesehatan jiwa, pengkajian psikososial, 
dan pengkajian status mental (format dilampirkan pada modul pencatatan dan pelaporan). 
Teknik pengumpulan data dapat dilakukan melalui wawancara dengan pasien dan keluarga, 
pengamatan langsung terhadap kondisi pasien, serta melalui pemeriksaan.
Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan dapat dirumuskan berdasarkan hasil pengkajian, baik masalah yang 
bersifat aktual (gangguan kesehatan jiwa) maupun yang berisiko mengalami gangguan 
jiwa. Jika perawat menemukan anggota masyarakat yang mengalami gangguan jiwa, maka

perawat harus berhati-hati dalam penyampaiannya kepada pasien dan keluarga agar tidak 
menyebutkan gangguan jiwa karena hal tersebut merupakan stigma dalam masyarakat.
Adapun diagnosis keperawatan yang diidentifikasi penting untuk pascabencana adalah 
sebagai berikut.
1. Masalah kesehatan jiwa pada anak/remaja.
a. Depresi
b. Perilaku kekerasan
2. Masalah kesehatan jiwa pada usia dewasa.
a. Harga diri rendah
b. Perilaku kekerasan
c. Risiko bunuh diri
d. Isolasi sosial
e. Gangguan persepsi sensori: halusinasi
f. Gangguan proses pikir: waham
g. Defisit perawatan diri
3. Masalah kesehatan jiwa pada lansia.
a. Demensia 
b. Depresi
Perencanaan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan kesehatan 
jiwa yang mencakup tindakan psikoterapeutik yaitu:
1. penggunaan berbagai teknik komunikasi terapeutik dalam membina hubungan dengan 
pasien; 
2. pendidikan kesehatan tentang prinsip-prinsip kesehatan jiwa dan gangguan jiwa; 
3. perawatan mandiri (aktivitas kehidupan sehari-hari) meliputi kebersihan diri (misal, 
mandi, kebersihan rambut, gigi, perineum), makan dan minum, buang air besar dan 
buang air kecil; 
4. terapi modalitas seperti terapi aktivitas kelompok, terapi lingkungan dan terapi 
keluarga; 
5. tindakan kolaborasi (pemberian obat-obatan dan monitor efek samping). 
Dalam menyusun rencana tindakan harus dipertimbangkan bahwa untuk mengatasi 
satu diagnosis keperawatan diperlukan beberapa kali pertemuan hingga tercapai kemampuan 
yang diharapkan baik untuk pasien maupun keluarga. Rencana tindakan keperawatan 
ditujukan pada individu, keluarga, kelompok, dan komunitas.
1. Pada tingkat individu difokuskan pada peningkatan keterampilan dalam kegiatan sehari￾hari dan keterampilan koping adaptif dalam mengatasi masalah.2. Pada tingkat keluarga difokuskan pada pemberdayaan keluarga dalam merawat pasien 
dan menyosialisasikan pasien dengan lingkungan.
3. Pada tingkat kelompok difokuskan pada kegiatan kelompok dalam rangka sosialisasi 
agar pasien mampu beradaptasi dengan lingkungan.
4. Pada tingkat komunitas difokuskan pada peningkatan kesadaran masyarakat tentang 
kesehatan jiwa dan gangguan jiwa, serta menggerakkan sumber-sumber yang ada di 
masyarakat yang dapat dimanfaatkan oleh pasien dan keluarga.
Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan dilakukan berdasarkan rencana yang telah dibuat. Tindakan 
keperawatan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasien saat ini. Perawat bekerja 
sama dengan pasien, keluarga, dan tim kesehatan lain dalam melakukan tindakan. Tujuannya 
adalah memberdayakan pasien dan keluarga agar mampu mandiri memenuhi kebutuhannya 
serta meningkatkan keterampilan koping dalam menyelesaikan masalah. Perawat bekerja 
dengan pasien dan keluarga untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka dan memfasilitasi 
pengobatan melalui kolaborasi dan rujukan. 
Evaluasi Asuhan Keperawatan
Evaluasi dilakukan untuk menilai perkembangan pasien dan keluarga dalam memenuhi 
kebutuhan dan menyelesaikan masalah. 
1. Evaluasi pasien
a. Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sesuai kemampuannya.
b. Membina hubungan dengan orang lain di lingkungannya secara bertahap.
c. Melakukan cara-cara meyelesaikan masalah yang dialami.
2. Evaluasi keluarga 
a. Membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari pasien hingga pasien mandiri.
b. Mengenal tanda dan gejala dini terjadinya gangguan jiwa.
c. Melakukan perawatan pada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa atau 
kekambuhan.
d. Mengidentifikasi perilaku pasien yang membutuhkan konsultasi segera.
e. Menggunakan sumber-sumber yang tersedia di masyarakat seperti tetangga, teman 
dekat, pelayanan kesehatan terdekat.



PENGERTIAN TERAPI MODALITAS
Terapi modalitas adalah berbagai macam alternatif terapi yang dapat diberikan pada pasien 
gangguan jiwa. Gangguan jiwa merupakan berbagai bentuk penyimpangan perilaku dengan 
penyebab pasti belum jelas. Oleh karenanya, diperlukan pengkajian secara mendalam untuk 
mendapatkan faktor pencetus dan pemicu terjadinya gangguan jiwa. Selain itu, masalah 
kepribadian awal, kondisi fisik pasien, situasi keluarga, dan masyarakat juga memengaruhi 
terjadinya gangguan jiwa.
Maramis mengidentifikasi penyebab gangguan dapat berasal dari masalah fisik, 
kondisi kejiwaan (psikologis), dan masalah sosial (lingkungan). Apabila gangguan jiwa 
disebabkan karena masalah fisik, yaitu terjadinya gangguan keseimbangan neurotransmiter 
yang mengendalikan perilaku manusia, maka pilihan pengobatan pada farmakologi. 
Apabila penyebab gangguan jiwa karena masalah psikologis, maka dapat diselesaikan secara 
psikologis. Apabila penyebab gangguan karena masalah lingkungan sosial, maka pilihan 
terapi difokuskan pada manipulasi lingkungan. Dengan demikian, berbagai macam terapi 
dalam keperawatan kesehatan jiwa dapat berupa somatoterapi, psikoterapi, dan terapi 
lingkungan (Maramis, 1998).Konsep terapi modalitas dalam keperawatan kesehatan jiwa terus mengalami 
perkembangan disesuaikan dengan masalah yang dialami pasien, intervensi keperawatan 
disesuaikan dengan penyebab utama terjadinya masalah keperawatan. 
Pada pemberian somatoterapi (terapi somatik), peran perawat difokuskan pada 
pengenalan jenis farmakoterapi yang diberikan, mengidentifikasi efek samping, dan kolaborasi 
penanganan efek samping obat. Pada pemberian terapi kejang listrik (electroconvulsive 
therapy—ECT) peran perawat adalah menyiapkan pasien dan mengevaluasi kondisi pasien 
setelah mendapatkan terapi kejang listrik.Pada kelompok psikoterapi, perawat dapat memberikan berbagai upaya pencegahan 
dan penanganan perilaku agresif, intervensi krisis, serta mengembangkan terapi kognitif, 
perilaku, dan berbagai terapi aktivitas kelompok. Pada kelompok terapi lingkungan, perawat 
perlu mengidentifikasi perlunya pelaksanaan terapi keluarga, terapi lingkungan, terapi 
okupasi, dan rehabilitasi.
Bagan berikut menggambarkan sinkronisasi berbagai alternatif terapi medis dan 
keperawatan, yang sering disebut dengan istilah terapi modalitas.
Pemilihan terapi yang akan dilaksanakan bergantung pada kondisi pasien dengan 
berbagai macam latar belakang kejadian kasusnya. Pilihan salah satu terapi dapat 
dikombinasikan dengan terapi lain. Jarang sekali untuk pasien gangguan jiwa dapat 
diselesaikan dengan satu (single) terapi, seperti pada gambaran kasus yang terdapat dalam 
bab ini.
KASUS
Pasien wanita, dewasa muda, belum menikah, dirawat di rumah sakit jiwa selama dua minggu. Kondisi 
sudah stabil dan membaik, sehingga oleh dokter yang merawat sudah diizinkan pulang. Oleh perawat 
dilakukan tindakan persiapan pulang (discharge planning) untuk menyiapkan berbagai aktivitas dan 
keterampilan rutin harian yang harus dilakukan pasien setelah pulang dari rumah sakit jiwa. Pasien 
sudah siap dan boleh pulang.
 Hari pertama, pada awalnya pasien menjalankan aktivitas di rumah tidak ada kendala. Bangun 
pagi, mandi, salat, membersihkan kamar, dan menyapu dalam rumah. Kegiatan dilanjutkan menyapu 
halaman, tetapi dilarang oleh ibunya (ibunya malu takut ketahuan tetangga). Anak terpaksa harus 
mengikuti larangan ibunya.
 Sejenak kemudian, melihat ibunya membawa tas siap berbelanja ke pasar, anak mencoba 
menawarkan untuk membawakan tas belanja. Namun, lagi-lagi ditolak, serta disuruh menunggu saja di 
rumah. 
 Setelah ibu pulang, anak mencoba membantu masak, tetapi tidak boleh membantu memotong 
sayur. Ibu takut jika sang anak (bekas pasien) membawa pisau dapat melukai orang di dapur. Selain 
itu, anak mencoba membantu cuci piring, tetapi tidak boleh karena takut piringnya dipecah, dan 
sebagainya. Kemudian anak bertanya, “Lha saya harus berbuat apa Bu? Saya sudah dilatih perawat 
dan bisa melaksanakan kegiatan rutin harian.” Ibu menjawab, “Sudahlah nak, kamu tunggu saja dalam 
kamar (duduk manis dalam kamar). Nanti jika sarapan sudah siap, akan Ibu antar ke kamar.” 
Saat makanan sudah siap, makanan diantar ke kamar, tetapi piring dipilihkan yang tidak dapat pecah 
(piring plastik) supaya tidak dibanting, sendok dicarikan yang bukan dari logam, karena jika dari logam 
dapat diasah di lantai menjadi pisau, gelas yang tidak bisa pecah. Anak makan dengan sedikit berpikir, 
“Ibuku ini bagaimana? dibantu cuci piring tidak boleh, aku dikasih makan dengan piring plastik.” 
Namun, semua terpaksa harus dilakukan. Jika membantah ibu, bisa kena marah dan dianggap belum 
sembuh.
 Sesaat kemudian, ibu dan bapak pamit bekerja. Anak sudah dipesan harus di dalam kamar saja dan 
tidak boleh keluar. Anak bingung, “Lho, saya kan jadi gak bisa melaksanakan aktivitas yang bermanfaat. 
“Gak masalah, yang penting tidak keluar rumah”, jawab ibu. Anak kembali bertanya, “Jika ingin kencing 
atau buang air besar gimana?” “Panggil pembantu.” jawab ibu.
 Saat benar-benar ingin buang air kecil dan buang air besar, anak mengetuk pintu dan memanggil 
pembantu, “Mbak.... pingin kencing”. Pembantu mendengar, tapi tidak berani membuka karena takut. 
Beberapa waktu kemudian, memanggil lagi dengan sedikit lebih keras, sehingga pembantu tambah 
takut dan pergi ke rumah tetangga. Panggilan ketiga lebih keras lagi, sehingga tetangga bertanya, “Siapa 
dari tadi mengetok pintu dan teriak-teriak itu?”. Pembantu menjawab, “Anak ibu yang baru pulang dari 
rumah sakit jiwa.”
 Saat ibu pulang disapa oleh tetangga, “Ibu.. maaf, kenapa putrinya belum sembuh sudah dibawa 
pulang dari rumah sakit jiwa?” Ibu terkejut dan balik bertanya, “Putri yang mana?” “Putri yang tadi 
teriak-teriak.” jawab tetangga. Sang ibu bergegas menuju rumah, dengan menggerutu. Ibu menuju 
kamar anak dan membuka kunci pintu kamar. Setelah pintu terbuka, tercium bau feses dan urin. 
Spontan ibu marah, “Nak... apa kataku... kamu belum sembuh kan.. kenapa kamu tidak nurut sama 
ibu?”, dan seterusnya. Apapun penjelasan anak tidak didengar. 
Kasus di atas menunjukkan bahwa pemilihan orang yang perlu diobati dan terapi 
apa saja yang perlu digunakan sangatlah penting. Oleh karena itu, pasien yang telah mulai 
membaik harus mendapat dukungan dari keluarga yang telah siap dan tidak overprotektif, 
tetangga yang siap, dan lingkungan yang kondusif.
Berdasarkan gambaran kasus di atas, pilihan alternatif terapi adalah sebagai berikut.
1. Apabila pasien dalam kondisi akut dan kritis, lakukan manajemen krisis, sesuai dengan 
tindak kegawatdaruratan yang dialami pasien. Tenangkan pasien dengan psikofarmaka. 
Jika sudah memungkinkan, maka lakukan terapi kognitif dan perilaku. Lanjutkan 
dengan terapi aktivitas kelompok. Jika secara psikologis pasien kondusif, maka lakukan 
rehabilitasi psikiatri dengan okupasi terapi.
2. Untuk keluarga dan lingkungan, lakukan terapi keluarga agar dapat mengembangkan 
koping yang adaptif, siap menerima pasien, dan menjadi sistem pendukung bagi 
pasien. Identifikasi kesiapan lingkungan. Usahakan lingkungan menjadi tempat yang 
kondusif untuk melatih aktivitas rutin harian pasien. Jika memungkinkan, kembangkan 
bengkel kerja terlindung (sheltered workshop) untuk menyiapkan pasien kembali hidup 
produktif di masyarakat. 



PENGERTIAN PSIKOFARMAKA
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat. Efek 
utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk pengobatan 
gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus 
untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis 
psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya kolaborasi 
pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi terjadinya efek samping, serta 
memadukan dengan berbagai alternatif terapi lainnya. 
Berdasarkan efek klinik, obat psikotropika dibagi menjadi golongan antipsikotik, 
antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood stabilizer).
Antipsikotik 
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat golongan 
ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau psikotik lainnya).
Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
1. Derivat fenotiazin
a. Rantai samping alifatik
Contoh: 
1) Chlorpromazine (Largatil, ethibernal)
2) Levomepromazine (Nozinan)
b. Rantai samping piperazin
Contoh:
1) Trifluoperazin (Stelazine)
2) Perfenazin (Trilafon)
3) Flufenazin (Anatensol)
c. Rantai samping piperidin
Contoh: Thioridazin (Melleril)
2. Derivat butirofenon
 Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace)
3. Derivat thioxanten
 Contoh: Klorprotixen (Taractan)
4. Deribat dibenzoxasepin
 Contoh: Loksapin
5. Derivat difenilbutilpiperidin
 Contoh Pimozide (Orap)
6. Derivat benzamide
 Contoh: Sulpirid (dogmatil)
7. Derivat benzisoxazole
 Contoh: Risperidon (Risperdal)
8. Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal)
 Contoh: Clozapin (Leponex)
Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan 
proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang berlebihan 
(agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping ekstrapiramidal. Timbulnya 
efek samping sangat bervariasi dan bersifat individual.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut.
1. Gangguan neurologik
a. Gejala ekstrapiramidal
a. Akatisia
Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah duduk pun tak 
enak.
b. Distonia akut
Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah), tortikolis (otot leher tertarik 
ke satu sisi), opistotonus (otot punggung tertarik ke belakang), dan okulogirikrisis 
(mata seperti tertarik ke atas).
c. Sindroma Parkinson/Parkinsonisme
Terdapat rigiditas otot/fenomena roda bergerigi, tremor kasar, muka topeng, 
hipersalivasi, disartria.
d. Diskinesia tardif
Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta mengenai bagian tubuh/
kelompok otot tertentu yang biasanya timbul setelah pemakaian antipsikotik 
jangka lama.
b. Sindroma neuroleptika maligna
Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi, kejang-kejang, 
denyut nadi meningkat, keringat berlebihan, dan penurunan kesadaran. Sering 
terjadi pada pemakaian kombinasi antipsikotik golongan Butirofenon dengan garam 
lithium.
c. Penurunan ambang kejang
Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi yang mendapat antipsikotik.
2. Gangguan otonom
a. Hipotensi ortostatik/postural
Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, misalnya dari keadaan berbaring 
kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh atau syok/kesadaran menurun.
b. Gangguan sistem gastrointestinal
Mulut kering, obstipasi, hipersalivasi, dan diare
c. Gangguan sistem urogenital
Inkontinensia urine.
d. Gangguan pada mata
Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia karena terjadi mydriasis.
e. Gangguan pada hidung
Selaput lendir hidung edema sehingga pasien mengeluh hidungnya mampet.
3. Gangguan hormonal
a. Hiperprolaktinemia
b. Galactorrhoea
c. Amenorrhoea
d. Gynecomastia pada laki-laki
4. Gangguan hematologi
a. Agranulositosis
b. Thrombosis
c. Neutropenia
5. Lain-lain
 Dapat terjadi ikterus obstruktif, impotensia/disfungsi seksual, alergi, pigmentasi retina, 
dermatosis.
Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau menghilangkan 
gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter norepinefrin dan 
serotonin.
Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
1. Golongan trisiklik
 Contoh:
a. Imipramin (Tofranil)
b. Amitriptilin (Laroxyl)
c. Clomipramin (Anafranil)
2. Golongan tetrasiklik
 Contoh: Maprotilin (Ludiomil)
3. Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
 Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric)
4. Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
 Contoh:
a. Setralin (Zoloft)
b. Paroxetine (Seroxal)
c. Fluoxetine (Prozax)
Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan 
penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan.
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai 
berikut.
1. Gangguan pada sistem kardiovaskular.
a. Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut.
b. Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang klasik).
c. Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan golongan 
trisiklik).
2. Gangguan sistem atonom akibat efek antikolinergik.
a. Obstipasi, mulut dan tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.
Antiansietas (Anxiolytic Sedative)
Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis tanpa banyak 
berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek sedatif dan berpotensi 
menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada golongan Benzodiazepin.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
1. Derivat benzodiazepin
 Contoh:
a. Klordiazopoksid (Librium)
b. Diazepam (Valium)
c. Bromazepam (Lexotan)
d. Lorazepam (Aktivan)
e. Clobazam (Frisium)
f. Alprazolam (Xanax)
g. Buspiron (Buspar)
2. Derivat gliserol
 Contoh: Meprobamat (Deparon)
3. Derivat barbitrat
 Contoh: Fenobarbital (Luminal)
Obat-obat golongan Benzodiazepam paling banyak disalahgunakan karena efek 
hipnotiknya dan terjaminnya keamanan dalam pemakaian dosis yang berlebih. Obat-obat 
golongan ini tidak berefek fatal pada overdosis kecuali bila dipakai dalam kombinasi dengan 
antisiolitik jenis lain atau dicampur alkohol. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah 
sebagai berikut.
1. Rasa mengantuk yang berat.
2. Sakit kepala.
3. Disartria.
4. Nafsu makan bertambah.
5. Ketergantungan. 
6. Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).
Antimanik (Mood Stabilizer)
Merupakan kelompok obat yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif bipolar terutama 
episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah kekambuhannya. Obat yang termasuk 
kelompok ini adalah sebagai berikut.
1. Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)
2. Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
3. Asam Valproat
Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah 
kadarnya dalam plasma. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif antara 
0,8–1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini bersifat toksik terutama 
terhadap ginjal.
Efek samping yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut.
1. Tremor halus
2. Vertigo dan rasa lelah
3. Diare dan muntah-muntah
4. Oliguria dan anuria
5. Konvulsi
6. Kesadaran menurun
7. Edema
8. Ataksia dan tremor kasar
Berbagai obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan keperawatan 
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Golongan Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
a. Efek
Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan psikis dan otomatik, 
menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan antiemetik.b. Efek samping
Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.
c. Tindakan keperawatan
Observasi ketat tingkah laku pasien, beri dukungan dan rasa aman kepada pasien, 
berada dekat pasien. Selain itu, lakukan tindakan kolaboratif dengan pemberian 
obat-obat antikolinergik untuk mengatasi spasme otot dan dopamin agonis untuk 
mengatasi parkinson.
d. Cara pemberian: per oral
2. Golongan Fenotiazin (Klorpromazin, Stelazine)
a. Efek
Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik yang kuat.
b. Efek samping
1) Efek antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering, penglihatan 
kabur.
2) Efek ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien berusia di 
atas 40 tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
c. Tindakan keperawatan
1) Untuk efek antikolinergik
a) Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input cairan, dan 
beri aktivitas untuk mencegah konstipasi.
b) Monitor tekanan darah, tingkatkan volume cairan untuk mengembangkan 
pembuluh darah dan beritahu pasien untuk berpindah posisi perlahan￾lahan untuk mengontrol hipotensi orthostatik.
c) Beri pelembap mulut secara berkala untuk mengurangi rasa kering, misalnya 
gliserin.
d) Anjurkan pasien untuk tidak bekerja dengan alat berbahaya, benda tajam, 
dan tidak bepergian untuk mengurangi kecelakaan akibat adanya kekaburan 
pandangan.
e) Kolaborasi: pemberian kolinergik agonis dan laksatif.
2) Untuk efek ekstrapiramidal
a) Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol.
b) Untuk mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum tidur atau 
dengan cara lain.
d. Cara pemberian: per oral
3. Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek ekstrapiramidal. Cara 
pemberian: per oral
PERAN PERAWAT DALAM PEMBERIAN 
PSIKOFARMAKA
Peran perawat dalam penatalaksanaan obat di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut.
1. Mengumpulkan data sebelum pengobatan.
 Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang pengetahuan 
biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain riwayat penyakit, 
diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang berkaitan, riwayat pengobatan, 
jenis obat yang digunakan (dosis, cara pemberian, waktu pemberian), dan perawat perlu 
mengetahui program terapi lain bagi pasien. Pengumpulan data ini agar asuhan yang 
diberikan bersifat menyeluruh dan merupakan satu kesatuan.
2. Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas.
 Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan terapi 
yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan hasil yang 
lebih baik.
3. Pendidikan kesehatan.
 Pasien di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat 
yang diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak ada 
manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga karena 
adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu lagi minum obat 
padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat kembali di rumah sakit.
4. Memonitor efek samping obat.
 Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-reaksi 
lain yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam mencapai 
pemberian obat yang optimal.
5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
 Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik obat 
dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam tim kesehatan 
yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan tiap dosis obat pasien, 
serta secara terus-menerus mewaspadai efek samping obat. Dalam melaksanakan peran 
ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
6. Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
 Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien dengan 
fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai dirawat di rumah sakit 
maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang ada di masyarakat misalnya 
puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7. Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
 Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat 
dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu program 
terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan serta bersama 
pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
8. Ikut serta dalam riset interdisipliner
 Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapat berperan 
sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau sebagai peneliti utama. Peran 
perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus digali.
Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien curiga, risiko bunuh 
diri, dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut.
1. Pendekatan khusus pada pasien curiga.
 Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang 
diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan pada 
pasien ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat bagi pasien.
 Secara verbal dan nonverbal perawat harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak 
menimbulkan keraguan pada diri pasien karena tindakan yang ragu-ragu pada diri 
perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien.
 Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas, 
misalnya, “Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan, 
“Letakkan obat ini dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan 
yang sama setiap kali memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga. Jika 
ada perubahan dosis atau cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan pasien 
sebelum meminta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar diminum dan 
ditelan dengan cara meminta pasien untuk membuka mulut dan gunakan spatel untuk 
melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini terutama pada pasien yang mempunyai 
riwayat kecenderungan menyembunyikan obat di bawah lidah dan membuangnya.
 Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat meskipun sudah diberikan 
pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat dilakukan melalui kolaborasi 
dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi dengan memperhatikan aspek legal 
dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan dalam keadaan darurat.
2. Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.
 Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam pemberian obat 
adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud pasien ingin merusak 
dirinya. Perawat harus bersikap tegas dalam pengawasan pasien untuk minum obat 
karena pasien pada tahap ini berada dalam fase ambivalen antara keinginan hidup 
dan mati. Perawat menggunakan kesempatan memberikan “perawatan” pada saat 
pasien mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien untuk mengakhiri hidupnya 
berkurang karena pasien merasa diperhatikan. Perhatian perawat merupakan stimulus 
penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi hidup. Dalam hal ini, peran perawat 
memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan keperawatan, di antaranya untuk 
meningkatkan harga diri pasien.3. Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.
 Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya menganggap obat adalah 
hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, perawat perlu memberikan 
penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara 
untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalah￾masalah sosial seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan lainnya. Terapi 
obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti penjelasan cara-cara 
melewati proses kehilangan.
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat mengidentifikasi kasus 
yang dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat untuk melaksanakan peran 
perawat dalam pemberian obat.












PENGERTIAN USIA LANJUT
Usia lanjut adalah seseorang yang usianya sudah tua yang merupakan tahap lanjut dari suatu 
proses kehidupan. Ada berbagai kriteria umur bagi seseorang yang dikatakan tua. Menurut 
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 
60 (enam puluh) tahun ke atas. World Health Organization (WHO) memberikan klasifikasi 
usia lanjut sebagai berikut.
1. Usia pertengahan (middle age) : 45–59 tahun
2. Lanjut usia (elderly) : 60–74 tahun
3. Lanjut usia tua (old) : 75–90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) : di atas 90 tahun
Menjadi tua adalah sebuah proses yang pasti terjadi, bahkan setiap orang ingin bisa 
hidup sampai tua, tetapi adanya perubahan struktur dan fungsi tubuh sering menimbulkan 
berbagai masalah dalam kehidupan, termasuk masalah kejiwaan.
TEORI PROSES MENUA
Ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses penuaan, yaitu sebagai berikut.
Teori Biologi
1. Teori genetik dan mutasi
 Menua terjadi sebagai akibat dari perubahan biokimia yang diprogram oleh molekul￾molekul (DNA) dan setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi, sebagai contoh 
yang khas adalah mutasi dari sel-sel kelamin (terjadi penurunan kemampuan fungsional 
sel). Teori ini merupakan teori intrinsik yang menjelaskan bahwa tubuh terdapat jam 
biologis yang mengatur gen dan menentukan jalannya penuaan. 
2. Teori nongenetik
 Teori ini merupakan teori ekstrinsik dan terdiri atas berbagai teori, di antaranya adalah 
sebagai berikut.
a. Teori rantai silang (cross link)
Teori ini menjelaskan bahwa molekul kolagen dan zat kimia mengubah fungsi 
jaringan, mengakibatkan jaringan yang kaku pada proses penuaan. Sel yang tua atau 
usang menyebabkan ikatan reaksi kimianya menjadi lebih kuat, khususnya jaringan 
kolagen. Ikatan ini menyebabkan kurangnya elastisitas, kekacauan, dan hilangnya 
fungsi.
b. Teori fisiologis
Teori ini merupakan teori intrinsik dan ekstrinsik, yang terdiri atas teori oksidasi 
stres dan pemakaian dan rusak (wear and tear theory).c. Pemakaian dan rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (terpakai).
d. Reaksi dari kekebalan sendiri (autoimmune theory)
Metabolisme di dalam tubuh memproduksi suatu zat khusus. Saat dijumpai jaringan 
tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat khusus, maka jaringan tubuh menjadi 
lemah dan sakit.
e. Teori immunology slow virus
Sistem imun menjadi efektif dengan bertambahnya usia dan masuknya virus ke 
dalam tubuh dapat menyebabkan kerusakan organ tubuh. Teori ini menjelaskan 
bahwa perubahan pada jaringan limfoid mengakibatkan tidak adanya keseimbangan 
di dalam sel T sehingga produksi antibodi dan kekebalan menurun.
f. Teori stres
Menua terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan tubuh. Regenerasi 
jaringan tidak dapat mempertahankan kestabilan lingkungan internal, kelebihan 
usaha, dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah terpakai.
g. Teori radikal bebas
Radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok 
atom) mengakibatkan oksidasi oksigen bahan-bahan organik seperti karbohidrat 
dan protein. Radikal ini menyebabkan sel-sel tidak dapat regenerasi.
 Radikal bebas terdapat di lingkungan seperti asap kendaraan bermotor dan 
rokok, zat pengawet makanan, radiasi, dan sinar ultraviolet, yang mengakibatkan 
terjadinya perubahan pigmen dan kolagen pada proses penuaan.
h. Teori program
Kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah setelah sel-sel 
tersebut mati.
Teori Sosial
1. Teori interaksi sosial
 Teori ini mencoba menjelaskan mengapa lanjut usia bertindak pada situasi tertentu, 
yaitu atas dasar hal-hal yang dihargai masyarakat. Pokok-pokok interaksi sosial adalah 
sebagai berikut (Hardywinoto dan Setiabudi, 1999: 43).
a. Masyarakat terdiri atas aktor-aktor sosial yang berupaya mencapai tujuan masing￾masing.
b. Dalam upaya tersebut, maka terjadi interaksi sosial yang memerlukan biaya dan 
waktu.
c. Untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai seseorang memerlukan biaya.
d. Aktor senantiasa berusaha mencari keuntungan dan mencegah terjadinya 
kerugian.
e. Hanya interaksi yang ekonomis saja yang dipertahankan olehnya.
2. Teori penarikan diri
 Kemiskinan yang diderita lanjut usia dan menurunnya derajat kesehatan mengakibatkan 
seseorang lanjut usia secara perlahan menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan 
ini mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara kualitas maupun 
kuantitas. Pada lanjut usia sekaligus terjadi kehilangan ganda (triple loss), yaitu sebagai 
berikut (Hardywinoto dan Setiabudi, 1999: 45).
a. Kehilangan peran (loss of role).
b. Hambatan kontak sosial (restriction of contact and relationship).
c. Berkurangnya komitmen (reduced commitment to social mores and values).
3. Teori aktivitas
 Teori ini dikembangkan oleh Palmore (1965) dan Lemon, dkk. (1972) yang menyatakan 
bahwa penuaan yang sukses bergantung pada bagaimana seseorang lanjut usia merasakan 
kepuasan dalam melakukan aktivitas dan mempertahankan aktivitas tersebut selama 
mungkin. Adapun kualitas aktivitas tersebut lebih penting dibandingkan dengan 
kuantitas aktivitas yang dilakukan (Hardywinoto dan Setiabudi, 1999: 46).
4. Teori kesinambungan
 Teori ini mengemukakan adanya kesinambungan di dalam siklus kehidupan lanjut usia, 
sehingga pengalaman hidup seseorang pada suatu saat merupakan gambarannya kelak 
pada saat menjadi lanjut usia. Hal ini dapat terlihat bahwa gaya hidup, perilaku, dan 
harapan seseorang ternyata tak berubah walaupun ia menjadi lanjut usia (Hardywinoto 
dan Setiabudi, 1999: 47).
5. Teori perkembangan
 Teori ini menekankan pentingnya mempelajari apa yang telah dialami oleh lanjut usia 
pada saat muda hingga dewasa. Menurut Havighurst dan Duval, terdapat tujuh tugas 
perkembangan selama hidup yang harus dilaksanakan oleh lanjut usia yaitu sebagai 
berikut.
a. Penyesuaian terhadap penurunan fisik dan psikis.
b. Penyesuaian terhadap pensiun dan penurunan pendapatan.
c. Menemukan makna kehidupan.
d. Mempertahankan pengaturan hidup yang memuaskan.
e. Menemukan kepuasan dalam hidup berkeluarga