dakwah salafiah
Alhamdulillah, Washsholatu wasallamu `alaa asyrofil anbiyaai nabiyyinaa
muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi ...
yaitu sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi
setperbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan
keberhasilan dan meluruskan kesalahan, sehingga hari-hari kita selalu
bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan
ini, saya mengajak semua orang yang berkepentingan dengan dakwah
salafiyyah di negara kita untuk sedikit menoleh kebelakang, guna menilik
kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini.
Umar bin Khaththab pernah berkata :
Artinya : bermuhasabahlah (intropeksi dirilah) sebelum kalian dihisab. ( HR. At
Tirmidzi dan Ibnu Syaibah ). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak
untuk bersama-sama kita lakukan, sebab saya merasa, dan setiap orang
telah merasakan adanya berbagai aral dan berbagai badai yang sedang
menerpa bahtera dakwah ini.
Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa,
bila tidak segera diluruskan laju bahtera ini, saya takut akan oleng dan
tenggelam.
Sungguh indah dan tepat sekali permisalan yang telah diberikan oleh
Rasulullah b bahtera dakwah ini.. tatkala beliau bersabda :
Artinya : Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan ( syariat )
allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi-
bagi tempat di sebuah kapal / ahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang
mendapatkan bagian atas kapal ini , dan sebagian lainnya mendapatkan
bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil
air, maka pasti melewati orang-orang yang berada diatas mereka, kemudian
mereka berkata : seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya
kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila
mereka semua membiarkan orang-orang ini melaksanakan keinginnanya,
niscaya mereka semua akan binasa, dan bila mereka mencegah orang-orang
ini , niscaya mereka telah menyelamatkan orang-orang ini , dan
mereka semuapun akan selamat. ( HR Bukhori ).
Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di negri kita, kita akan
melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat
saya, ada enam permasalahan yang sepatutnya kita pikirkan bersama,
kemudian kita bersama-sama mencarikan solusi baginya, keenam
permasalahan ini yaitu :
1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar
2. Sikap tidak jujur terhadap diri ssendiri
3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.
4. Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-
aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.
5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan.
6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan
para ulama'.
Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan ini satu
demi satu :
Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar Bila kita membaca nasehat-
nasehat para ulama' -baik ulama'- terdahulu maupun ulama' zaman sekarang-
dalam perihal menuntut ilmu, maka kita akan dapatkan mereka
menganjurkan kita untuk memulai mempelajari ilmu-ilmu yang paling
penting, kemudian yang penting, dan kemudian yang kurang penting dan
seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu,
maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar.
Dan sesudah ia mengetahui ilmu yang paling penting, lalu iapun harus bisa
memilah-milah pembahasan-pembahasan ilmu ini , sehingga ia harus
mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu ini , sebelum ia mempelajari
hal-hal lainnya.
Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim,
yaitu ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika
kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian
ilmu tauhid yang mana kita harus memulai ? Apakah kita mulai dari
mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau
tauhid asma' wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa
melakukan hal ini, sedangkan saya yaitu pemula atau orang awam, yang
belum tahu apa-apa ?
Nah...inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul
ilmi pemula, terlebih-lebih warga awam , tentunya ia tidak akan mampu
melakukan hal ini sendiri, oleh sebab itu, disini datanglah peran para
asatidzah dan du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing
murid-murid mereka, masing-masing disesuaikan dengan kemampuannya.
Nah...kewajiban inilah yang saya rasa telah banyak dilalaikan oleh para
asatidzah dan du'at-du'at kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai
fitnah diwarga .
Artinya : Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang
mampu mereka pahami, apakah kalian suka bila Allah dan Rasul-Nya
didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan
Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam
kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya).
Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah
(test seleksi mahasisiwa untuk belajar di Al Jami'ah Al Islamiyyah),
berkumpulah sekitar 50 orang thullabul ilmi di sebuah pesantren, lalu
beberapa asatidzah -termasuk saya sendiri- menghubungi beberapa syekh
yang sedang menjalankan test muqobalah ini , guna memohon agar
sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren ini diatas dan kemudian
menguji ke 50 thullab ini . Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada
kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh ini bernama :"Syekh
Muhammad bin Abdul Wahhab Al `Aqiil" (Penulis buku Manhaj dan Aqidah
Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I), dan ketika beliau
sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest /
menguji ke-50 thullab, satu demi satu. Dan diantara pertanyaan yang beliau
lontarkan kepada mereka :"Sebutkan rukun-rukun sholat?"
Sangat memalukan, dari ke 50 orang ini , tidak satupun yang berhasil
memberikan jawaban, walau hanya menyebutkan satu rukun saja. Bahkan
ada salah satu dari mereka yang memberanikan diri untuk menjawab, dan
berkata: "Diantara rukun sholat yaitu berwudhu sebelumnya".
Lalu syekh ini bertanya kepada salah seorang mereka : "Siapakah yang
lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi?", maka dengan sekonyong-konyong
orang ini berkata : Ahlul bid'ah lebih kafir dibanding yahudi. Tatkala
syekh Muhammad bin Abdul Wahhab mendengar jawaban ini , beliau
terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan
ini dan berkata: "Apakah ini yang kalian pahami tentang manhaj salaf ?!,
Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!.
Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang
ustadz yang berceramah dan berkata : "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab Al `Aqiil telah dipengaruhi oleh orang-orang sururiyyin,
sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan pertanyaan yang rumit".
Apakah para pembaca percaya dengan komentar ustadz ini , apakah
pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa
yahudi jelas-jelas kafir, sedangkan ahlul bid'ah banyak dari mereka tidak
sampai kepada kekufuran ?!?!?!
Contoh lain : Beberapa saat lalu, ramai terjadi fitnah antara warga
dengan syabab yang telah kenal pengajian salaf, dalam masalah beradzan
diluar masjid, iqomah tanpa memakai pengeras suara, menentukan
waktu-waktu shalat dengan memakai matahari, mengenakan pakaian
gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.
Contoh lain : Setiap kali sampai ke negara kita sebuah kitab baru, terutama
yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin Hadi
Al Madkholi, Ali Hasan, Mansyur Hasan Salman, atau yang lainnya, kita
langsung ramai-ramai membacakan kitab ini , dan marak diadakan
dauroh-dauroh membahas kitab ini , dan tatkala ada kitab baru
lagi,maka kitapun ramai-ramai pindah ke kitab ini , dan begitulah
seterusnya. Bukan berarti tidak dibenarkan untuk membaca kitab ini ,
akan namun , sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga.
Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz, atau da'i yang sedang
ditahdzir, maka disetiap kota, dan setiapa majlis, pembicaraan dan materi
kajiannyapun berhubungan dengan ustadz ini , baik yang pro ataupun
kontra, sibuk dengan isu seputar permasalahan ini , dan melalaikan
ilmu.
Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-
ambingkan oleh angin, kemana angin berhembus, maka kesanalah buih
menuju. Oleh sebab itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara
pedidikan dan dakwah seperti ini, tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih
lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian
Sebagai wujud lain dari permasalahan ini yaitu : Sering kali kita merasa
cukup dengan hanya mengenal nama sebuah istilah, walaupun tidak
mengenal hakikat.
Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam
ini, yaitu merupakan istilah syar'i, sehingga defiinisi dan maknanyapun
harus dipahami sesuai dengan yang dikehendaki dalam syariat islam, tidak
cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata "sholat" secara
bahasa kata ini bermakna "doa", akan namun dalam syariat kata ini
memiliki definisi lain, sehingga kalau kita membaca ayat atau hadits yang
menyebutkan kata "sholat", maka kita fahami secara istilah syariat, bukan
secara bahasa. Begitu juga halnya dengan istilah -istilah syariat lainnya,
kecuali kalau ada dalil yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dari kata
"sholat" disitu yaitu makna secara bahasa, bukan secara syariat.
Nah...sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah
dalam syariat, akan namun yang menjadi permasalahan, apakah kita sudah
mengenal makna istilah ini secara syariat, sebagaimana kita mengenal
definisi kata "sholat", lengkap dengan mengenal syarat, rukun, wajibat, dan
sunnah-sunnahnya?. Untuk lebih jelasnya, kita kenal kata "tasyabbuh",
apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-
syarat, rukun-rukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ?
Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :
Artinya : Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik, ia berkata : "Tatkala
Rasulullah b hendak menuliskan surat ke romawi, (para sahabat berkata
kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat,
kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah b membuat stempel dari perak". (HR
Bukhori dan Muslim)
Bukankah Rasulullah b dalam kisah ini meniru kebiasaan orang-orang
kafir? Bukankah ini tasyabbuh ? Ini menunjukkan bahwa tidak semua
perbuatan yang menyerupai orang kafir, atau ahli bid'ah diharamkan, akan
namun ada beberapa kriteria /syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :
1. Perbuatan ini merupakan ciri khas mereka.
2. Perbuatan ini tidak mendatangkan manfaat.
3. Adanya niat meniru, berdasarkan hadits ( Innal a'malu binniyaati /
sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...)
Sebagai contoh lain : Kita semua tahu, bahwa mobil, pesawat terbang,
berbagai peralatan telekomunikasi yang ada pada zaman kita ini, yaitu
dibuat oleh orang-orang kafir, tapi kenapa tidak satu orangpun yang
mengharamkannya hal-hal ini dengan alasan tasyabbuh?
Yang lebih memilukan yaitu nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering kita
mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah
sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada
diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana
rumusannya, permasalahan apa saja yang tergolong dalam manhaj salaf,
sejauh mana kita telah kenal atau menguasai atau memahami manhaj
salaf...dst?
Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang -menurut hemat saya- sampai saat
ini di negri kita negara kita , belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang
semestinya. Oleh sebab itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah
nama atau istilah dalam syariat ini, hendaknya kita jangan merasa puas,
sebelum mengenal dan memahami segala permasalahan yang berhubungan
dengan istilah ini . Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau
kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah ini hingga tuntas.
Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:yaitu sikap meremehkan
peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai
ilmu syariat.
Pada akhir-akhir ini, saya mulai mendengar ungkapan-ungkapan yang
menyeru agar kita tidak menyibukkan diri dengan mempelajari ilmu ushul
fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu
ibadah menjadi: rukun, syarat, wajib, dan sunnah. Mereka berkata : "Yang
penting bagi kita yaitu mengetahui, bahwa amalan ini diamalkan oleh
Rasulullah b, maka kita amalkan, tidak perlu tahu, apakah hal ini
merupakan syarat, rukun, atau wajib, atau sunnah dalam suatu sebuah
ibadah.
Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku
dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang ini yaitu
seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata
yang mengucapkan itu yaitu seorang yang menyandang gelar (Lc) yang ia
peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah Munawwarah.
Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : Barangsiapa
yang tidak memperoleh hal-hal yangh prinsip, maka dia tidak akan mencapai
ilmu.
Pada kesempatan ini, saya ingin bertanya kepada orang-orang yang
mengatakan ungkapan ini : "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang
berhasil menjadi ulma', tanpa mempelajari ilmu-ilmu ini ?"
Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi sesudah
saya pikirkan, kemudian saya cocokkan dengan keadaan orang-orang
ini , rasa heran saya menjadi sirna, hal ini disebab kan saya
berkesimpulan, bahwa orang-orang ini , rasa heran saya menjadi sirna,
hal ini disebab kan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang ini hanya
ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu ini .
Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu
ini , dan pembagian suatu ibadah menjadi syarat, rukun, wajib, dan
sunnah, berikut ini akan saya jelaskan satu hal yang tidak asing bagi kita
semua.
Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman", bahwa
iman yaitu keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan.
Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu
yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu
tentang hal ini telah menyebar, seperti halnya wajibnya sholat lima
waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir,
keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa,
mandi janabah dll.
Imam An Nawawi berkata : "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah
menyebar, dan telah merata dikalangan kaum muslimin ilmu tentang
kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan
orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya, maka
tidak diberikan uzur bagi siapapun, sebab sebuah alasan yang ia pegangi,
untuk mengingkari kewajiban zakat. Begitu juga halnya dengan orang yang
mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan
agama, apabila ilmu tentang hal ini telah menyebar, seperti halnya sholat
lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer,
menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru
masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila
orang seperti ini mengingkari salah satu dari hal-hal ini , sebab
kebodohannya tentang hal ini , ia tidak kafir." ( Syarah Shohih Muslim
1/250 )
Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban
kewajiban yang telah jelas dan diketahui oleh setiap orang, dan
diharamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh
setiap orang yaitu salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah
satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah
disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496).
Oleh sebab itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna,
akan namun ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram yaitu rukun, maka
sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa
yang tidak meyakini wajibnya berwudhu sebelum sahalat, maka sholatnya
tidak syah, walaupun ia telah berwudhu sebelumsholat. Inilah salah satu
wujud nyata dari definisi iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama'ah. Untuk
lebih jelas lagi. ilahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syarat-
syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.
Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri
Rasulullah b bersabda : Artinya : Tidaklah salah seorang dari kalian
dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori dan Muslim)
Hadits ini merupakan barometer keimanan setiap muslim, dan merupakan
pedoman dan prinsip yang seharusnya dipegangi oleh setiap muslim dalam
bergaul dan berwarga , yaitu : sebelum kita mengucapkan perkataan atau
bersilap kepada saudara kita, hendaknya kita selalu bertanya kepada hati
nurani kita sendiri "apakah saya suka bila diperlakukan dengan perlakuan
yang akan saya lakukan ini?"
Bila jawabannya yaitu "Ya, saya suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan
bila ternyata jawabannya yaitu "Tidak", maka jangan lakukan hal ini .
Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.
Seandainya para da'i, dan ustadz yang ada di negri kita, -terutama mereka
yang mengaku bermanhaj salaf-mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak
permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya.
Akan namun kenyataan yang ada sangatlah jauh dari apa yang diharapkan.
Sebagai contoh : Yayasan "AL HARAMAIN" yang ada dikota Riyadh, dalam
beberapa periode memberikan sumbangan kepada setiap mahasiswa yang
lulus dari Al Jami'ah Al Islamiyyah di Madinah -tanpa terkecuali-, sumbangan
berupa uang. Dan hal ini berjalan beberapa tahun silam, dimulai pada
kelulusan periode 1420-1421, dan beberapa periode selanjutnya. Besarnya
sumbangan ini dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal,
dan kadang 500 reyal.
Nah...Sekarang saya yakin, para pembaca pasti langsung bertanya, dan
berkata, kalo demikian... alumni jami'ah yang sekarang sudah malang
melintang berdakwah, menyerukan kepada manhaj salaf, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima
sumbangan ini ???!!
Maka jawaban pertanyaan ini -dan saya tahu sendiri- yaitu : "Ya, mereka
menerima itu semua dengan kedua tangan terbuka, dan tanpa sedikit ada
keragu-raguan".
Pada beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah -yang sekarang ini
dengan lantang mentahdzir setiap orang yang menerima sumbangan dari
Yayasan Al Haramain- sesudah menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal,
mereka ditanya oleh salah seorang kawan : Kenapa kok mau menerima
sumbangan ini , bukankah itu dari Al Haramain?, keduanya dengan
sangat lugu berkata : "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".
Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, sebab sumbangan macam ini
sudah berjalan beberapa periode sebelumnya.
Dan yang mengherankan pula, sesudah keduanya tahu, bahwa sumbangan itu
berasal dari Al Haramain, keduanya tetap dengan erat-erat mengantongi
sumbangan ini , dengan harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang
jatuh dari sakunya.
Contoh lain : Pada 9 tahun silam, mahasiswa salafiyyin negara kita di Al
Jami'ah Al Islamiyyah , mengukirkan sebuah sejarah baru dalam hal
pengiriman kitab ke negara mereka negara kita , yaitu dengan dikirimkan secara
kolektif dengan memakai kontainer ini yaitu awal pengiriman kitab
dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah ). Pengiriman ini didanai oleh
Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkaskan di negara Kuwait.
Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al
Islamiyyah yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir
setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan
Ihya `ut Turots : "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum;
sebab telah menerima sumbangan dari Al Haramain dan Ihya'ut Turots ??
Apakah Al Haramain & Ihya' at Turots menjadi yayasan salafy, bila yang
menerima sumbangan yaitu antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafy /
surury, bila yang menerima yaitu anak-anak yatim, atau orang selain
antum??!. Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"
Contoh lain : Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah
seorang ustadz besar yang memberanikan diri melayangkan surat untuk
bertanya akan hukum hal ini kepada Syekh Muhammad bin Sholeh Al
Utsaimin rahimahullah, dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai dengan apa
yang diharapkan, maka fatwa syekh ini , lenyap entah kemana...., Saya
tidak tahu, apakah fatwa ini telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi.
Oleh sebab itu -menurut hemat saya- menumbuhkan rasa malu pada diri
sendiri yaitu penting perannya dalam kehidupan seorang muslim.
Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata: Aku pernah
bertanya kepada Rasulullah b tentang Al Bir (perbuatan baik) dan Al Itsm
(perbuatan dosa), maka beliau bersabda:"Al Birru yaitu akhlaq / budi pekerti
yang baik, dan Al Itsmu yaitu segala yang engkau merasakan adanya
kejanggalan dan keragu-raguan dalam dadamu (hatimu), dan engkau merasa
tidak suka bila diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim)
Kedudukan uang transportasi bagi seorang da'i
Pada permasalahan ini, kita dihadapkan kepada sebuah tradisi dan budaya
yang bersenggolan dengan prinsip paling besar dalam agama Islam, yaitu
keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan
bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta'ala. Pada kesempatan ini, saya
tidak ingin membahas tentang kewajiban ikhlas; sebab hal itu sudah
diketahui bersama. Yang ingin saya serukan dalam kesempatan ini, yaitu
ajakan kepada seluruh du'at dan asatidzah, agar mengkaji ulang hukum
kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang
transportasi.
Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang hukumnya, mari kita koreksi,
apakah uang transportasi yang kita terima, sesudah kita memberikan
pengajian/ceramah/dauroh dll, benar-benar uang transportasi? Ataukah uang
transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat
ganda, dan menurut yang saya ketahui- alternatif inilah yang terjadi,
transportasi inilah yang terjadi, transportasi pulang pergi yang seharusnya
hanya misalnya Rp. 50.000,- akan namun amplop yang diterima berisikan-
minimal Rp. 100.000,-
Hal kedua yang harus kita kaji ulang yaitu hukum menerima uang ini ,
sebab para ulama' semenjak dahulu kala sudah berbeda pendapat dalam
menghukumi hal ini, ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan,
dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan
(dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani rahimahullah.
Sebagai contoh dari kisah-kisah yang sampai kepada saya: Ada beberapa
ustadz yang Alhamdulillah telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan
Alhamdulillah pula telah memiliki santri yang cukup banyak, lebih
mementingkan untuk memenuhi undangan pengajian diluar pesantren
terlebih-lebih undangan dari luar kota dibandingkan mengajar di pesantren
yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan
pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz ini , bila sudah keluar kota untuk
berdakwah, tidaklah kembali ke pesantrenya, kecuali bila sudah kecapekan,
dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit.
Apakah ustadz yang bertindak seperti ini, tidak ingat, bahwa kewajiban
mengajar dipesantrennya lebih besar dibanding berdakwah di luar kota?
Bukankah para santri telah walaupun sedikit membayar SPP, sehingga telah
menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh
pesantren?
Lalu, apakah yang memotivasi ustadz ini untuk keluar kota? Bukankah
keluar kota lebih melelahkan? Membutuhkan transportasi? Bukankah
kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? Yaitu mengajar di
pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah diwarga sekitar lokasi
pesantren?
Diantara kisah yang sampai kepada saya : Bahwa daerah-daerah yang
masyakatnya (orang-orang yang telah kenal dan mengikuti kajian salaf)
berperekonomian / berpenghasilan rendah / tidak memiliki donatur yang
kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di
tempat-tempat ini , terlebih-lebih pengajian rutin.
Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A) bermusuhan
dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada
suatu saat, ada salah seorang murid Ustadz (A) disebab kan beberapa hal
menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A),
maka Ustadz (A) berang seakan sedang kebakaran kumis, lalu mengatakan
bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya.. Usut punya usut, ternyata
dahulunya anak murid ini biasanya selalu memberikan sumbangan
kepada Ustadz (A), dan sesudah menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi
mengucurkan sumbangan ini .
Pemahaman dan sikap warisan dari berbagai firqoh-firqoh (aliran-aliran)
yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
Tidak mungkin kita pungkiri, bahwa banyak dari kita, sebelum mengenal
dakwah salaf, manhaj salaf, mengikuti berbagai firqoh-firqoh yang memiliki
manhaj yang bersebrangan dengan manhaj salaf. Ada dari kita yang
dahulunya seorang ikhwani, dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang
sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu'tazili dll.
Hal ini yaitu kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita
bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta'ala, yang telah memberi hidayah kepada
kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati,
dan selalu mengoreksi setiap pemahaman dan sikap kita, jangan sampai
pemahaman dan sikap kita yang sekarang ini, masih terpengaruh dengan
pemahaman dan kebiasaan kita semasa bergabung dengan firqoh-firqoh
ini .
Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan
bersikap lembut kepada orang yang memiliki kesalahan, sebab kita akan
selalu berkata kepada diri sendiri, bahwa dahulu -sebab kebodohan- saya
juga telah berbuat kesalahan. Sehingga kita akan merasa iba, dan kasihan
terhadap orang ini , akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan
segala daya dan upaya agar orang ini bisa mendapatkan hidayah,
sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah.
Marilah kita renungkan bersama ayat berikut :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah,
maka telitilah, dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan "salam" kpdmu : "Kamu bukan seorang mu'min" (lalu kamu
membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia,
sebab di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu dahulu,
lalu Allah menganugerahkan ni'mat-Nya atas kamu, maka telitilah.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" ( QS. An Nisaa'
: 94 )
Pada ayat ini Allah melarang orang-orang Muhajirin -ketika dalam keadaan
peperangan- dari mengatakan kepada seorang musuh yang menampakkan
keislaman dengan cara mengucapkan salam kepada kaum muslimin, :
"Engkau bukanlah seoarang muslim, engkau mengucapkan salam hanya
sekedar takut dibunuh" lalu dibunuh, sebab sangat dimungkinkan bahwa
orang ini yaitu orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan namun
takut untuk menampakkan keislamannya. Kemudian Allah mengingatkan
orang-orang Muhajirin akan keadaan mereka sebelum berhijrah, dimana
didapatkan dari mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan namun
takut untuk menampakkan keislamannya.
Nah...pada kesempatan ini, saya mengingatkan para da'i, dan ustadz,
bahwasannya dahulu kita seperti mereka, berbuat kesalahan, salah
pemahaman, dan rusak aqidahnya, kenapa kita tidak bersabar dan lebih
lembut mensikapi saudara kita yang memiliki kesalahan, terlebih-lebih bila
terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran.
10
Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan
argumentasi lawan
Allah Ta'ala telah memberikan setiap manusia akal dan pikiran, masing-
masing kita memiliki kemampuan akal dan pikiran yang berbeda-beda, ini
yaitu sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat,
tatkala kita berbicara dengan orang lain.
Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit
penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal ini . Akan namun ,
ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan
bisa memahami apa yang kita inhginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa
memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali,
akan namun , bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain,
ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan.
Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali
sesudah terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran, maka
begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh
pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan
tuntas.
Hal ini sering kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa
memperdulikan pendapat dan alasan kita.
Seringkali ketika kita beradu argumentasi, kita melupakan akan hal ini,
sehingga tatkala orang lain tidak atau blm bisa menerima pendapat kita
maka...mulailah kumis kita terbakar sedikit demi sedikit, dan akhirnya
berkobarlah api amarah, dan terlontarlah berbagai klaim, dimulai dari
klaim:"Keras kepala, aqlani, menolak hadits,...hingga vonis mubtadi'".
Sebagai contoh : Sering kali kita mendengar ada ustadz yang mentahdzir
ustadz lain, dengan alasan, bahwa ustadz ini telah dinasehati, dan
tatkala diusut, ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum
tuntas, kedua belah pihak tidak mampu untuk menjelaskan pendapatnya
dengan gamblang, dan tidak mampu menjawab argumentasi lawan dengan
gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin
saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan
dibaca, belum tentu ustadz ini memahaminya dengan baik.
Oleh sebab itu, saya mengajak para da'i, dan asatidzah untuk lebih banyak
belajar cara-cara berkomunikasi dengan orang lain, dan cara-cara
berargumentasi dan menjawab argumentasi lawan, yaitu dengan cara
mempelajari ilmu ushulul fiqh, mustholah hadits, qowaid fiqhiyyah dan
banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan
ahlul bid'ah.
Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa Al Qur'an dan As Sunnah
tidak mungkin bisa dipahami dan kemudian diamalkan, kecuali dengan
perantara penjelasan dan penafsiran para ulama'. Merekalah yang yang
mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang
telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.
Oleh sebab itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman,
agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran
dan As Sunnah, yaitu :
1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai
dengan pemahaman salafush sholih.
2. Pemahaman yang benar dan sempurna terhadap kasus dan
permasalahan yang hendak ia hukumi
Bila seorang ulama telah memiliki kedua jenis pemahaman ini , maka
Insya Allah fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan namun , bila
salah satu dari keduanya tidak ia miliki, atau terjadi kesalahpahaman
padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar.
Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki
pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang
pernah ia dapatkan dalam kitab semata, beliau gambarkan kerusakan yang
akan ditimbulkan oleh orang semacam ini, bagaikan seorang yang tidak
paham ilmu kedokteran, kemudian mengaku-aku menjadi seorang dokter.
Sehingga jatuhlah korban sebab nya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang
yang beku dan kaku dengan apa yang ia dapatkan di kitab, tanpa paham
terhadap realita yang ada pada zamannya., yaitu lebih besar dibanding
dokter gadungan ini , sebab kesalahan yang ia timbulkan ada
hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.
Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da'i, dan
asatidzah, agar extra hati-hati bila hendak menerapkan sebuah fatwa atau
sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan warga
kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa ini ?
Sebagai contoh nyata, Ada dari kalangan ulama' salaf yang menegaskan:
bahwa lebih baik bertetangga dengan kena kera dan babi, dibanding
bertetangga atau duduk dengan dengan ahlul bid'ah. Seharusnya sebelum
kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah warga kita sama
dengan warga ulama ini , warga yang mayoritasnya
memahami manhaj salaf?
Contoh lain : Para ulama telah sepakat, bahwa : Barangsiapa yang
menyatakan Al quran yaitu makhluk, maka ia kafir. Nah...apakah setiap
orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan ini , langsung
kita hukumi sebagai orang kafir??
Imam Ahmad, beliau langsung menghadapi fitnah tentang hal ini, tatkala
mengetahui bahwa Al Makmun (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan
bahwa Al Quran yaitu makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang
ada pada zamannya untuk mengatakan perkataan ini, akan namun Imam
Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad
malah berkata : "Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do'a yang
mustajabah (dikabulkan), pasti akan aku gunakan untuk mendoakan
pemimpin kaum muslilmin (kholifah)".
Contoh lain : Beberapa bulan yang lalu, Syekh Muhammad bin Hadi Al
Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada
asatidzah di negara kita . Pada hari dan waktu yang telah disepakati, beliau
menyampaikan tausiyyahnya, dan sesudah selesai, maka beliau
memperkenankan untuk dibacakan beberapa pertanyaan yang sebelumnya
telah mereka siapkan. Diantara pertanyaan yang dibacakan yaitu
berhubungan dengan hukum mengajar ditempat ahlil bid'ah, maka beliau
berfatwa : "Tidak boleh mengajar ditempat ahlil bid'ah", tentunya dengan
berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.
sesudah acara ini selesai, fatwa ini langsung diterapkan oleh
beberapa gelintir ustadz, yaitu dengan menunjukkan kepada salah seorang
ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz
ini tidak menuruti apa yang mereka inginkan, mulailah mereka
mengeluarkan senjata pemungkas, yaitu tahdzir dan hajr, bahkan bukan
hanya itu saja, ustadz ini juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan
SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.
Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan
saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan :
bahwa penjelasan saya ini , yaitu hukum yang bersifat umum, tidak
boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. sebab menerapkan hukum
kepada orang-orang tertentu, memiliki tahapan dan tatacara tersendiri.
Terlebih dari itu semua, kita harus mempertimbangkan maslahat dan
mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz ini
Apalagi, sesudah beliau mendengar perpecahan antar asatidzah yang terjadi
akhir-akhir ini, beliau semakin murka, dan berkata : Semoga Allah tidak
memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.
Sikap ini -sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila
ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz
pertama tadi akan mencari dukungan untuk menghantam ustadz kedua
ini , yaitu dengan cara menelpon salah seorang syekh, kemudian
ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh ini
memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada
kisah yang lalu. Dan sesudah ia mendapatkan jawaban yang ia inginkan, ia
langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak
ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.
Oleh sebab itu para ulama telah meletakkan sebuah qaidah yang
berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus
tertentu, yaitu "Tidak dipungkiri terjadinya perubahan hukum syar'i, sesuai
dengan perubahan adat atau keadaan pada orang ini ".
Oleh sebab itu, marilah kita benar-benar mencontoh ulama salaf dalam
berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak
katak dalam tempurung.
Inilah keenam permasalahan yang menurut pendapat saya, telah
menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Dan akhir tulisan ini, saya ingin
menekankan, bahwa tulisan ini hanya sebatas pandangan saya, sehingga
saya siap untuk menerima kritikan atau sangkalan yang disertai dengan
alasan serta dalil, bahkan saya sangat mmengharapkan kritikan dan saran
dari kawan-kawan demi tercapainya kebenaran dan kemaslahatan dakwah
dinegri kita.