dakwah salafiah

Tampilkan postingan dengan label dakwah salafiah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label dakwah salafiah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 Januari 2025

dakwah salafiah




Alhamdulillah,  Washsholatu  wasallamu  `alaa  asyrofil  anbiyaai  nabiyyinaa

muhammadin wa `alaa aalihi wa ashhaabihi ...

yaitu  sikap yang bijak dalam segala urusan, bila kita selalu mengevaluasi

setperbuatan dan sikap yang pernah kita lakukan, guna mengembangkan

keberhasilan  dan  meluruskan  kesalahan,  sehingga  hari-hari  kita  selalu

bertambah baik, bila dibanding hari-hari sebelumnya. Dan pada kesempatan

ini,  saya  mengajak  semua  orang  yang  berkepentingan  dengan  dakwah

salafiyyah  di  negara kita   untuk  sedikit  menoleh  kebelakang,  guna  menilik

kembali, lalu mengevaluasi perjalanan dakwah islamiyyah ini.

Umar bin Khaththab pernah berkata :

Artinya : bermuhasabahlah (intropeksi dirilah) sebelum kalian dihisab.  ( HR. At

Tirmidzi dan Ibnu Syaibah ). Hal ini saya anggap penting dan sangat mendesak

untuk  bersama-sama kita  lakukan,  sebab   saya  merasa,  dan  setiap  orang

telah  merasakan  adanya  berbagai  aral  dan  berbagai  badai  yang  sedang

menerpa bahtera dakwah ini.

Bahkan pada akhir-akhir ini semakin banyak badai dan ombak yang menerpa,

bila  tidak  segera  diluruskan  laju  bahtera  ini,  saya  takut  akan  oleng  dan

tenggelam.

Sungguh  indah  dan  tepat  sekali  permisalan  yang  telah  diberikan  oleh

Rasulullah b bahtera dakwah ini.. tatkala beliau bersabda :

Artinya : Permisalan orang-orang yang menegakkan batasan-batasan ( syariat )

allah dan orang-orang yang melanggarnya, bagaikan suatu kaum yang berbagi-

bagi tempat di sebuah kapal / ahtera, sehingga sebagian dari mereka ada yang

mendapatkan bagian atas kapal ini ,  dan sebagian lainnya mendapatkan

bagian bawahnya, sehingga yang berada dibagian bawah kapal bila mengambil

air,  maka pasti  melewati  orang-orang  yang  berada diatas  mereka,  kemudian

mereka berkata : seandainya kita melubangi bagian kita dari kapal ini, niscaya

kita tidak akan mengganggu orang-orang yang berada diatas kita. Nah apabila

mereka semua membiarkan orang-orang ini  melaksanakan keinginnanya,

niscaya mereka semua akan  binasa,  dan bila mereka mencegah  orang-orang

ini ,  niscaya  mereka  telah  menyelamatkan  orang-orang  ini ,  dan

mereka semuapun akan selamat. ( HR Bukhori ).

Bila kita amati dan renungkan realita dakwah salaf di  negri  kita, kita akan

melihat adanya berbagai kekurangan yang mesti dibenahi, dan menurut hemat

saya,  ada  enam  permasalahan  yang  sepatutnya  kita  pikirkan  bersama,

kemudian  kita  bersama-sama  mencarikan  solusi  baginya,  keenam

permasalahan ini  yaitu  :

1. Tidak sistematis dalam belajar dan mengajar

2. Sikap tidak jujur terhadap diri ssendiri

3. Kedudukan uang transport bagi seorang da'i.

4. Pemahaman  dan  sikap  warisan  dari  berbagai  firqoh-firqoh  (aliran-

aliran) yang berseberangan dengan Ahlus sunnah wal jama'ah.

5. Ketidakmampuan kita untuk menjelaskan kebenaran dan mematahkan

argumentasi lawan.

6. Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan 

para ulama'.

Untuk lebih jelasnya, akan saya jabarkan keenam permasalahan ini  satu

demi satu :

Tidak  sistematis  dalam  belajar  dan  mengajar  Bila  kita  membaca  nasehat-

nasehat para ulama' -baik ulama'- terdahulu maupun ulama' zaman sekarang-

dalam  perihal  menuntut  ilmu,  maka  kita  akan  dapatkan  mereka

menganjurkan  kita  untuk  memulai  mempelajari  ilmu-ilmu  yang  paling

penting,  kemudian  yang  penting,  dan  kemudian  yang  kurang  penting  dan

seterusnya,. Sehingga setiap orang yang ingin berhasil dalam menuntut ilmu,

maka dengan ilmu itulah ia memulai belajar.

Dan sesudah  ia mengetahui  ilmu yang paling penting,  lalu iapun harus bisa

memilah-milah  pembahasan-pembahasan  ilmu  ini ,  sehingga  ia  harus

mendahulukan hal-hal prinsip dalam ilmu ini , sebelum ia mempelajari

hal-hal lainnya.

Sebagai contoh: Ilmu yang paling penting dalam kehidupan seorang muslim,

yaitu  ilmu tauhid, maka ilmu inilah yang pertama kita pelajari. Dan ketika

kita hendak memulai belajar ilmu tauhid, maka kita harus tahu, dari bagian

ilmu  tauhid  yang  mana  kita  harus  memulai  ?  Apakah  kita  mulai  dari

mempelajari permasalahan tauhid uluhiyah, ataukah tauhid rububiyyah, atau

tauhid asma' wa shifat ? Mungkin ada yang berkata : Bagaimana, saya bisa

melakukan hal  ini,  sedangkan saya yaitu  pemula  atau orang  awam, yang

belum tahu apa-apa ?

Nah...inilah sumber permasalahan yang ingin saya tekankan. Sebagai tholibul

ilmi pemula, terlebih-lebih warga  awam , tentunya ia tidak akan mampu

melakukan  hal  ini  sendiri,  oleh  sebab   itu,  disini  datanglah  peran  para

asatidzah dan du'at, mereka dituntut untuk mengarahkan dan membimbing

murid-murid  mereka,  masing-masing  disesuaikan  dengan  kemampuannya.

Nah...kewajiban  inilah  yang  saya  rasa  telah  banyak  dilalaikan  oleh  para

asatidzah dan du'at-du'at  kita, sehingga terjadilah kekacauan, dan berbagai

fitnah diwarga .

Artinya :  Berbicaralah kepada setiap manusia dengan masalah-masalah yang

mampu  mereka  pahami,  apakah  kalian  suka  bila  Allah  dan  Rasul-Nya

didustakan. (Diriwayatkan oleh Imam Bukhori tanpa menyebutkan sanad, dan

Imam Al Baihaqi dalam kitab Al Madkhal, dan Al Khathib Al Baghdady dalam

kitab Al Jami', keduanya dengan menyebutkan sanadnya). 

Sebagai contoh nyata : Pada +/- 4 tahun silam, pada saat terjadi muqabalah

(test  seleksi  mahasisiwa  untuk  belajar  di  Al  Jami'ah  Al  Islamiyyah),

berkumpulah  sekitar  50  orang  thullabul  ilmi  di  sebuah  pesantren,  lalu

beberapa  asatidzah  -termasuk  saya  sendiri-  menghubungi  beberapa  syekh

yang  sedang  menjalankan  test  muqobalah  ini ,  guna  memohon  agar

sebagian mereka sudi mengunjungi pesantren ini  diatas dan kemudian

menguji ke 50 thullab ini . Alhamdulillah, salah seorang syekh yang ada

kala itu bersedia memenuhi undangan kita, syekh ini  bernama :"Syekh

Muhammad bin Abdul  Wahhab Al  `Aqiil"  (Penulis  buku Manhaj  dan Aqidah

Imam Syafi'iy yang diterbitkan oleh Pustaka Imam Syafi'I),  dan ketika beliau

sudah tiba di pesantren yang dimaksud, maka beliau langsung mengetest  /

menguji ke-50 thullab, satu demi satu. Dan diantara pertanyaan yang beliau

lontarkan kepada mereka :"Sebutkan rukun-rukun sholat?"

Sangat memalukan, dari  ke  50 orang ini ,  tidak satupun yang berhasil

memberikan jawaban,  walau  hanya menyebutkan satu rukun  saja.  Bahkan

ada salah satu dari  mereka yang memberanikan diri  untuk menjawab,  dan

berkata: "Diantara rukun sholat yaitu  berwudhu sebelumnya".

Lalu syekh ini  bertanya kepada salah seorang mereka : "Siapakah yang

lebih kafir, ahlul bid'ah ataukah yahudi?", maka dengan sekonyong-konyong

orang  ini   berkata  :  Ahlul  bid'ah  lebih  kafir  dibanding  yahudi.  Tatkala

syekh Muhammad bin Abdul  Wahhab mendengar  jawaban ini ,  beliau

terbelalak, seakan tidak percaya melihat kenyataan yang sangat memalukan

ini  dan  berkata:  "Apakah  ini  yang  kalian  pahami  tentang  manhaj  salaf  ?!,

Siapakah yang mengajari kalian demikian ?!.

Yang lebih parah dari itu semua, pada keesokan harinya, ada salah seorang

ustadz yang berceramah dan berkata : "Sesungguhnya Syekh Muhammad bin

Abdul  Wahhab  Al  `Aqiil  telah  dipengaruhi  oleh  orang-orang  sururiyyin,

sehingga bertanya kepada murid-murid kita dengan  pertanyaan yang rumit".

Apakah  para  pembaca  percaya  dengan  komentar  ustadz  ini ,  apakah

pertanyaan tentang rukun sholat rumit? Apakah tidak ada yang tahu bahwa

yahudi  jelas-jelas  kafir,  sedangkan  ahlul  bid'ah  banyak  dari  mereka  tidak

sampai kepada kekufuran ?!?!?!

Contoh  lain  :  Beberapa  saat  lalu,  ramai  terjadi  fitnah  antara  warga 

dengan  syabab  yang  telah  kenal  pengajian  salaf,  dalam  masalah  beradzan

diluar  masjid,  iqomah  tanpa  memakai   pengeras  suara,  menentukan

waktu-waktu  shalat  dengan  memakai   matahari,  mengenakan  pakaian

gamis dilingkungan yang tidak kenal gamis, seperti di kampus, dll.

Contoh lain : Setiap kali  sampai  ke  negara kita   sebuah kitab baru, terutama

yang ditulis oleh ulama'-ulama' zaman sekarang, seperti Syekh Rabi' bin Hadi

Al  Madkholi,  Ali  Hasan,  Mansyur  Hasan  Salman,  atau  yang  lainnya,  kita

langsung  ramai-ramai  membacakan  kitab  ini ,  dan  marak  diadakan

dauroh-dauroh  membahas  kitab  ini ,  dan  tatkala  ada  kitab  baru

lagi,maka  kitapun  ramai-ramai  pindah  ke  kitab  ini ,  dan  begitulah

seterusnya.  Bukan berarti  tidak dibenarkan untuk membaca kitab ini ,

akan namun , sistematis dalam belaja dan mengajar harus tetap dijaga.

Contoh lain : Tatkala ada salah seorang dari ustadz,  atau da'i  yang sedang

ditahdzir,  maka  disetiap  kota,  dan  setiapa  majlis,  pembicaraan  dan  materi

kajiannyapun berhubungan dengan ustadz ini ,  baik yang pro ataupun

kontra,  sibuk  dengan  isu  seputar  permasalahan  ini ,  dan  melalaikan

ilmu.

Sikap yang tidak punya pendirian ini, bagaikan buih lautan yang diombang-

ambingkan  oleh  angin,  kemana  angin  berhembus,  maka  kesanalah  buih

menuju. Oleh sebab  itu tidak heran kalau keilmuan yang terbentuk dari cara

pedidikan dan dakwah seperti  ini,  tidak kokoh sebagaimana lemahnya buih

lautan yang tidak pernah tetap pada sebuah pendirian

Sebagai  wujud  lain  dari  permasalahan ini  yaitu   :  Sering  kali  kita  merasa

cukup  dengan  hanya  mengenal  nama  sebuah  istilah,  walaupun  tidak

mengenal hakikat.

Para ulama telah banyak menjelaskan, bahwa setiap nama dalam syariat islam

ini,  yaitu   merupakan  istilah  syar'i,  sehingga  defiinisi  dan  maknanyapun

harus dipahami sesuai  dengan yang dikehendaki  dalam syariat islam, tidak

cukup untuk dipahami secara bahasa Sebagai contoh : kata "sholat"  secara

bahasa  kata  ini  bermakna  "doa",  akan  namun   dalam  syariat  kata  ini 

memiliki  definisi  lain,  sehingga  kalau  kita  membaca  ayat  atau  hadits  yang

menyebutkan kata  "sholat",  maka kita  fahami  secara  istilah  syariat,  bukan

secara  bahasa.  Begitu  juga  halnya  dengan  istilah  -istilah  syariat  lainnya,

kecuali kalau ada dalil  yang menunjukkan bahwa yang  dimaksud dari kata

"sholat" disitu yaitu  makna secara bahasa, bukan secara syariat.

Nah...sampai saat ini, kita telah banyak mengenai dan tahu berbagai istilah

dalam syariat,  akan namun   yang  menjadi  permasalahan,  apakah kita  sudah

mengenal makna istilah ini  secara syariat, sebagaimana kita mengenal

definisi  kata "sholat",  lengkap dengan mengenal  syarat,  rukun,  wajibat,  dan

sunnah-sunnahnya?.  Untuk  lebih  jelasnya,  kita  kenal  kata  "tasyabbuh",

apakah kita sudah mengetahui tentang makna kata ini dengan benar, syarat-

syarat, rukun-rukun, dan hukumnya ? atau kita baru tahu namanya saja ?

Sebagai bukti, mari kita renungkan bersama hadits berikut ini :

Artinya  :  Diriwayatkan  dari  sahabat  Anas  bin  Malik,  ia  berkata  :  "Tatkala

Rasulullah  b hendak  menuliskan  surat  ke  romawi,  (para  sahabat  berkata

kepada beliau) : Sesungguhnya orang-orang romawi tidak mau membaca surat,

kecuali bila berstempel. Maka Rasulullah b membuat stempel dari perak".  (HR

Bukhori dan Muslim)

Bukankah  Rasulullah  b dalam  kisah  ini  meniru  kebiasaan  orang-orang

kafir?  Bukankah  ini  tasyabbuh  ?  Ini  menunjukkan  bahwa  tidak  semua

perbuatan yang menyerupai  orang kafir,  atau ahli  bid'ah diharamkan,  akan

namun  ada beberapa kriteria /syarat yang harus diperhatikan, diantaranya :

1. Perbuatan ini  merupakan ciri khas mereka.

2. Perbuatan ini  tidak mendatangkan manfaat.

3. Adanya niat  meniru,  berdasarkan hadits  (  Innal  a'malu  binniyaati  /

sesungguhnya setiap amalan disertai dengan niat...) 

Sebagai  contoh  lain  :  Kita  semua  tahu,  bahwa  mobil,  pesawat  terbang,

berbagai  peralatan  telekomunikasi  yang  ada  pada  zaman  kita  ini,  yaitu 

dibuat  oleh  orang-orang  kafir,  tapi  kenapa  tidak  satu  orangpun  yang

mengharamkannya hal-hal ini  dengan alasan tasyabbuh?

Yang lebih memilukan yaitu  nasib istilah "manhaj salaf", betapa sering kita

mengaku bahwa kita bermanhaj salaf, mengikuti manhaj salaf, dan berdakwah

sesuai dengan manhaj salaf, tapi mari kita jujur, dan balik bertanya kepada

diri sendiri, apa sebenarnya yang dimaksud dengan manhaj salaf, bagaimana

rumusannya,  permasalahan  apa  saja  yang  tergolong  dalam  manhaj  salaf,

sejauh  mana  kita  telah  kenal  atau  menguasai  atau  memahami  manhaj

salaf...dst?

Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang -menurut hemat saya- sampai saat

ini di negri kita negara kita , belum mendapatkan jawaban dan penjelasan yang

semestinya. Oleh sebab  itu, setiap kali kita mengenal atau mendengar sebuah

nama  atau  istilah  dalam syariat  ini,  hendaknya  kita  jangan  merasa  puas,

sebelum mengenal  dan memahami  segala  permasalahan yang  berhubungan

dengan istilah ini . Dengan cara kita tanyakan kepada para `ulama atau

kita baca kitab-kitab yang menjelaskan istilah ini  hingga tuntas.

Sebagai wujud lain dari permasalahan pertama ini:yaitu  sikap meremehkan

peranan kaedah-kaedah dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam berbagai

ilmu syariat.

Pada  akhir-akhir  ini,  saya  mulai  mendengar  ungkapan-ungkapan  yang

menyeru  agar  kita  tidak  menyibukkan  diri  dengan  mempelajari  ilmu  ushul

fiqh, qowaid fiqhiyyah dan tidak perlu mempermasalahkan pembagian suatu

ibadah menjadi:  rukun,  syarat,  wajib,  dan sunnah.  Mereka berkata  :  "Yang

penting bagi kita yaitu  mengetahui, bahwa amalan ini  diamalkan oleh

Rasulullah  b,  maka kita  amalkan,  tidak  perlu  tahu,  apakah hal  ini 

merupakan  syarat,  rukun,  atau  wajib,  atau  sunnah  dalam  suatu  sebuah

ibadah.

Yang lebih menyedihkan lagi, bila hal ini diucapkan oleh orang yang mengaku

dirinya bermanhaj salafy, lebih menyedihkan lagi kalau orang ini  yaitu 

seorang yang dipanggil ustadz, dan sangat lebih memilukan lagi bila ternyata

yang mengucapkan itu yaitu  seorang  yang menyandang gelar (Lc)  yang  ia

peroleh dari Al Jami'ah Al Islamiyyah  di Madinah Munawwarah.

Para ulama semenjak zaman dahulu kala mengatakan : Artinya : Barangsiapa

yang tidak memperoleh hal-hal yangh prinsip, maka dia tidak akan mencapai

ilmu. 

Pada  kesempatan  ini,  saya  ingin  bertanya  kepada  orang-orang  yang

mengatakan ungkapan ini  : "Ulama manakah, dan siapakah namanya, yang

berhasil menjadi ulma', tanpa mempelajari ilmu-ilmu ini ?"

Pada mulanya, saya merasa keheranan mendengar ungkapan ini, tapi sesudah 

saya  pikirkan,  kemudian  saya  cocokkan  dengan  keadaan  orang-orang

ini ,  rasa  heran  saya  menjadi  sirna,  hal  ini  disebab kan  saya

berkesimpulan, bahwa orang-orang ini , rasa heran saya menjadi sirna,

hal ini disebab kan saya berkesimpulan, bahwa orang-orang ini  hanya

ingin menutupi ketidak pahamannya tentang ilmu-ilmu ini .

Untuk sedikit memberikan gambaran akan pentingnya mengetahui ilmu-ilmu

ini ,  dan  pembagian  suatu  ibadah  menjadi  syarat,  rukun,  wajib,  dan

sunnah, berikut  ini  akan saya jelaskan satu hal  yang tidak asing bagi  kita

semua.

Ahlis sunnah wal jama'ah telah sepakat dalam mendefinisikan "iman", bahwa

iman yaitu  keyakinan hati, ucapan lisan dan amalan dengan anggota badan.

Dan merekapun telah sepakat, bahwa barangsiapa yang mengingkari sesuatu

yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan agama, apabila ilmu

tentang  hal  ini   telah  menyebar,  seperti  halnya  wajibnya  sholat  lima

waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, dll, maka dihukumitelah kafir,

keluar dari agama islam, walaupun ia masih tetap menjalankan sholat, puasa,

mandi janabah dll.

Imam An Nawawi berkata : "Adapun pada saat ini, sungguh agama Islam telah

menyebar,  dan  telah  merata  dikalangan  kaum  muslimin  ilmu  tentang

kewajiban membayar zakat, sehingga diketahui oleh setiap orang khusus dan

orang awam, ulama dan orang bodohpun sama-sama mengetahuinya,  maka

tidak diberikan uzur bagi  siapapun, sebab  sebuah alasan yang ia pegangi,

untuk mengingkari  kewajiban zakat. Begitu  juga halnya dengan orang yang

mengingkari sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin dari urusan

agama, apabila ilmu tentang hal ini  telah menyebar, seperti halnya sholat

lima waktu, puasa bulan ramadlan, mandi janabah, haramnya zina, khomer,

menikahi mahram. Dan hukum-hukum yang serup, kecuali orang yang baru

masuk Islam, dan tidak mengetahui norma-norma agama islam, maka bila 

orang  seperti  ini  mengingkari  salah  satu  dari  hal-hal  ini ,  sebab 

kebodohannya tentang hal ini , ia tidak kafir." (  Syarah Shohih Muslim

1/250 ) 

Ibnu Taimiyyah berkata : "Sesungguhnya beriman dengan wajibnya kewajiban

kewajiban  yang  telah  jelas  dan  diketahui  oleh  setiap  orang,  dan

diharamkannya hal-hal yang diharamkan yang telah jelas dan diketahui oleh

setiap orang yaitu  salah satu prinsip keimanan yang paling agung dan salah

satu dari kaedah-kaedah agama Islam, dan orang yang mengingkarinya telah

disepakati akan kekafirannya". (Majmu' Fatawa 12/496).

Oleh sebab  itu, orang yang menjalankan sholat-misalnya-, dengan sempurna,

akan namun  ia tidak menyakini bahwa takbiratul ihram yaitu  rukun, maka

sholatnya tidak syah, walaupun ia tetap bertakbiratul ihram. Dan barangsiapa

yang  tidak  meyakini  wajibnya  berwudhu  sebelum  sahalat,  maka  sholatnya

tidak  syah,  walaupun  ia  telah  berwudhu  sebelumsholat.  Inilah  salah  satu

wujud nyata dari  definisi  iman menurut Ahlis Sunnah Wal Jama'ah. Untuk

lebih jelas lagi. ilahkan baca buku-buku fiqih yang yang menjelaskan syarat-

syarat, rukun-rukun, dan wajib-wajib sholat.

Sikap tidak jujur terhadap diri sendiri

Rasulullah  b bersabda  :  Artinya  :  Tidaklah  salah  seorang  dari  kalian

dikatakan telah beriman, sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia

cintai untuk dirinya sendiri. (HR. Bukhori dan Muslim)

Hadits  ini  merupakan  barometer  keimanan  setiap  muslim,  dan  merupakan

pedoman dan prinsip  yang seharusnya dipegangi  oleh setiap muslim dalam

bergaul dan berwarga , yaitu : sebelum kita mengucapkan perkataan atau

bersilap  kepada  saudara  kita,  hendaknya  kita  selalu  bertanya  kepada  hati

nurani  kita  sendiri  "apakah saya suka bila  diperlakukan dengan perlakuan

yang akan saya lakukan ini?" 

Bila jawabannya yaitu  "Ya, saya suka", maka silahkan untuk dilakukan, dan

bila ternyata jawabannya yaitu  "Tidak", maka jangan lakukan hal ini .

Betapa indahnya pedoman dan prinsip yang beliau ajarkan kepada ummatnya.

Seandainya para da'i,  dan ustadz yang ada di  negri  kita,  -terutama mereka

yang mengaku bermanhaj salaf-mengamalkan prinsip ini, saya yakin, banyak

permasalahan yang akan hilang dan sirna dengan sendirinya.

Akan namun   kenyataan  yang ada sangatlah jauh dari  apa yang  diharapkan.

Sebagai  contoh  :  Yayasan  "AL  HARAMAIN"  yang  ada  dikota  Riyadh,  dalam

beberapa  periode  memberikan  sumbangan  kepada  setiap  mahasiswa  yang

lulus dari Al Jami'ah Al Islamiyyah  di Madinah -tanpa terkecuali-, sumbangan

berupa  uang.  Dan  hal  ini  berjalan  beberapa  tahun  silam,  dimulai  pada

kelulusan  periode  1420-1421,  dan  beberapa  periode  selanjutnya.  Besarnya

sumbangan ini  dari tahun ke tahun, berbeda-beda, kadang 1000 reyal,

dan kadang 500 reyal.

Nah...Sekarang  saya  yakin,  para  pembaca  pasti  langsung  bertanya,  dan

berkata,  kalo  demikian...  alumni  jami'ah  yang  sekarang  sudah  malang

melintang  berdakwah,  menyerukan  kepada  manhaj  salaf,  dan  mentahdzir

setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain, juga menerima

sumbangan ini  ???!!

Maka jawaban pertanyaan ini -dan saya tahu sendiri-  yaitu   : "Ya, mereka

menerima itu  semua dengan kedua  tangan terbuka,  dan tanpa sedikit  ada

keragu-raguan".

Pada beberapa tahun silam, ada dua orang alumni jami'ah -yang sekarang ini

dengan  lantang  mentahdzir  setiap  orang  yang  menerima  sumbangan  dari

Yayasan Al Haramain- sesudah  menerima sumbangan sebesar: 1.000,- Reyal,

mereka  ditanya  oleh  salah  seorang  kawan  :  Kenapa  kok  mau  menerima

sumbangan  ini ,  bukankah  itu  dari  Al  Haramain?,  keduanya  dengan

sangat lugu berkata : "Lho...kami tidak tahu kalo itu dari Al Haramain".

Tentu kita tidak akan begitu mudah percaya, sebab  sumbangan macam ini

sudah berjalan beberapa periode sebelumnya.

Dan yang mengherankan pula, sesudah  keduanya tahu, bahwa sumbangan itu

berasal  dari  Al  Haramain,  keduanya  tetap  dengan  erat-erat  mengantongi

sumbangan ini , dengan harapan jangan sampai ada satu reyal-pun yang

jatuh dari sakunya.

Contoh  lain  :  Pada  9  tahun  silam,  mahasiswa  salafiyyin  negara kita   di  Al

Jami'ah  Al  Islamiyyah  ,  mengukirkan  sebuah  sejarah  baru  dalam  hal

pengiriman kitab ke negara mereka negara kita , yaitu dengan dikirimkan secara

kolektif  dengan  memakai   kontainer  ini  yaitu   awal  pengiriman  kitab

dengan cara ini di Al Jami'ah Al Islamiyyah ). Pengiriman ini  didanai oleh

Yayasan IHYA `UT TUROTS yang bermarkaskan di negara Kuwait.

Pada kesempatan ini saya ingin bertanya kepada para alumni Al Jami'ah Al

Islamiyyah  yang telah malang melintang di medan dakwah, dan mentahdzir

setiap orang yang ada hubungan dengan Yayasan Al Haramain dan Yayasan

Ihya `ut Turots : "Kenapa, masing-masing antum tidak mentahdzir diri antum;

sebab  telah menerima sumbangan dari  Al  Haramain dan Ihya'ut  Turots  ??

Apakah  Al  Haramain  &  Ihya'  at  Turots  menjadi  yayasan  salafy,  bila  yang

menerima sumbangan yaitu  antum sendiri, dan menjadi yayasan kholafy /

surury,  bila  yang  menerima  yaitu   anak-anak  yatim,  atau  orang  selain

antum??!. Ataukah barometer salafy antum yang berwarna-warni?"

Contoh lain : Tatkala hangat permasalahan jihad di pulau Maluku, ada salah

seorang  ustadz  besar  yang  memberanikan  diri  melayangkan  surat  untuk

bertanya  akan  hukum  hal  ini  kepada  Syekh  Muhammad  bin  Sholeh  Al

Utsaimin  rahimahullah,  dan tatkala jawaban beliau tidak sesuai  dengan apa

yang diharapkan, maka fatwa syekh ini , lenyap entah kemana...., Saya

tidak tahu, apakah fatwa ini  telah ditelan bumi, atau ditelan ambisi.

Oleh sebab  itu -menurut  hemat  saya- menumbuhkan rasa malu pada diri

sendiri yaitu  penting perannya dalam kehidupan seorang muslim.

Diriwayatkan dari sahabat An Nawwas bin Sam'an, beliau berkata: Aku pernah

bertanya  kepada Rasulullah  b tentang  Al  Bir  (perbuatan  baik)  dan  Al  Itsm

(perbuatan dosa), maka beliau bersabda:"Al Birru yaitu  akhlaq / budi pekerti

yang  baik,  dan  Al  Itsmu  yaitu   segala  yang  engkau  merasakan  adanya

kejanggalan  dan keragu-raguan  dalam dadamu (hatimu),  dan engkau merasa

tidak suka bila diketahui oleh orang lain. (HR. Muslim)

Kedudukan uang transportasi bagi seorang da'i

Pada permasalahan ini,  kita dihadapkan kepada sebuah tradisi  dan budaya

yang  bersenggolan  dengan  prinsip  paling  besar  dalam  agama  Islam,  yaitu

keikhlasan dalam setiap aktifitas kita, prinsip hanya mengharapkan balasan

bagi segala amalan kita hanya darri Allah Ta'ala. Pada kesempatan ini, saya

tidak  ingin  membahas  tentang  kewajiban  ikhlas;  sebab   hal  itu  sudah

diketahui  bersama. Yang ingin  saya serukan dalam kesempatan ini,  yaitu 

ajakan  kepada  seluruh  du'at  dan  asatidzah,  agar  mengkaji  ulang  hukum

kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah kita, yaitu kebiasaan menerima uang

transportasi.

Sebelum kita  membahas lebih  lanjut  tentang hukumnya,  mari  kita  koreksi,

apakah  uang  transportasi  yang  kita  terima,  sesudah   kita  memberikan

pengajian/ceramah/dauroh dll, benar-benar uang transportasi? Ataukah uang

transportasi? Ataukah uang transportasi yang telah digelembungkan berlipat

ganda,  dan  menurut  yang  saya  ketahui-  alternatif  inilah  yang  terjadi,

transportasi  inilah  yang  terjadi,  transportasi  pulang  pergi  yang  seharusnya

hanya  misalnya  Rp.  50.000,-  akan  namun   amplop  yang  diterima  berisikan-

minimal Rp. 100.000,-

Hal kedua yang harus kita kaji ulang yaitu  hukum menerima uang ini ,

sebab  para  ulama'  semenjak  dahulu  kala  sudah  berbeda  pendapat  dalam

menghukumi hal  ini,  ada yang menghalalkan, dan ada yang memakruhkan,

dan ada yang mengharamkannya, dan pendapat ketiga inilah yang dirajihkan

(dikuatkan) oleh Syekh Muhammad Nashirddin Al Albani rahimahullah.

Sebagai  contoh  dari  kisah-kisah  yang  sampai  kepada  saya:  Ada  beberapa

ustadz yang  Alhamdulillah telah berhasil mendirikan Pondok Pesantren, dan

Alhamdulillah  pula  telah  memiliki  santri  yang  cukup  banyak,  lebih

mementingkan  untuk  memenuhi  undangan  pengajian  diluar  pesantren

terlebih-lebih undangan dari luar kota dibandingkan  mengajar di  pesantren

yang telah ia dirikan, akibatnya santri pesantrennya sering tidak mendapatkan

pengajaran. Bahkan seringkali, Ustadz ini , bila sudah keluar kota untuk

berdakwah, tidaklah kembali  ke pesantrenya, kecuali  bila sudah kecapekan,

dan sudah mulai merasakan gejala akan jatuh sakit.

Apakah  ustadz  yang  bertindak  seperti  ini,  tidak  ingat,  bahwa  kewajiban

mengajar  dipesantrennya  lebih  besar  dibanding  berdakwah  di  luar  kota?

Bukankah para santri telah walaupun sedikit membayar SPP, sehingga telah

menjadi hak mereka untuk menerima pengajaran yang telah dicanangkan oleh

pesantren?

Lalu, apakah yang memotivasi ustadz ini  untuk keluar kota? Bukankah

keluar  kota  lebih  melelahkan?  Membutuhkan  transportasi?  Bukankah

kewajiban berdakwah bisa dilaksanakan tanpa itu semua? Yaitu mengajar di

pesantren yang telah ia dirikan, dan berdakwah diwarga  sekitar lokasi

pesantren?

Diantara  kisah  yang  sampai  kepada  saya  :  Bahwa  daerah-daerah  yang

masyakatnya  (orang-orang  yang  telah  kenal  dan  mengikuti  kajian  salaf)

berperekonomian  /  berpenghasilan  rendah  /  tidak  memiliki  donatur  yang

kuat, kesusahan untuk mendatangkan ustadz yang siap mengisi pengajian di

tempat-tempat ini , terlebih-lebih pengajian rutin.

Diantara kisah yang pernah saya dengar : Ada seorang Ustadz (A) bermusuhan

dengan Ustadz (B), si (A) telah mentahdzir si (B), dengan berbagai alasan. Pada

suatu  saat,  ada  salah  seorang  murid  Ustadz  (A)  disebab kan  beberapa  hal

menghadiri pengajian Ustadz (B) dan enggan menghadiri pengajian Ustadz (A),

maka Ustadz  (A)  berang  seakan sedang kebakaran kumis,  lalu  mengatakan

bahwa Ustadz (B) telah mencuri muridnya.. Usut punya usut, ternyata 

dahulunya  anak  murid  ini   biasanya  selalu  memberikan  sumbangan

kepada Ustadz (A), dan sesudah  menghadiri pengajian Ustadz (B), ia tidak lagi

mengucurkan sumbangan ini .

Pemahaman dan  sikap warisan  dari  berbagai  firqoh-firqoh  (aliran-aliran)

yang bersebrangan dengan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Tidak  mungkin  kita  pungkiri,  bahwa  banyak  dari  kita,  sebelum  mengenal

dakwah salaf,  manhaj  salaf,  mengikuti  berbagai  firqoh-firqoh yang memiliki 

manhaj  yang  bersebrangan  dengan  manhaj  salaf.  Ada  dari  kita  yang

dahulunya seorang ikhwani,  dan ada juga yang tablighi, dan ada pula yang

sufi, dan ada pula yang takfiri (hizbut tahrir), dan ada pula yang mu'tazili dll.

Hal ini yaitu  kenyataan yang tidak boleh kita lupakan, sebab selain agar kita

bisa selalu bersyukur kepada Allah Ta'ala, yang telah memberi hidayah kepada

kita, sehingga kenal dengan manhaj salaf, juga agar kita selalu berhati-hati,

dan  selalu  mengoreksi  setiap  pemahaman  dan  sikap  kita,  jangan  sampai

pemahaman  dan  sikap  kita  yang  sekarang  ini,  masih  terpengaruh  dengan

pemahaman  dan  kebiasaan  kita  semasa  bergabung  dengan  firqoh-firqoh

ini .

Diantara manfaat kita mengingat kenyataan ini, kita akan bisa lebih sabar dan

bersikap  lembut  kepada  orang  yang  memiliki  kesalahan,  sebab   kita  akan

selalu  berkata  kepada diri  sendiri,  bahwa dahulu  -sebab  kebodohan-  saya

juga telah berbuat kesalahan. Sehingga  kita  akan merasa iba,  dan kasihan

terhadap orang ini , akibatnya, kita akan lebih gigih untuk menjalankan

segala  daya  dan  upaya  agar  orang  ini   bisa  mendapatkan  hidayah,

sebagaimana kita telah mendapatkan hidayah.

Marilah kita renungkan bersama ayat berikut :

"Hai orang-orang yang beriman, apabila engkau pergi (berperang) di jalan Allah,

maka  telitilah,  dan  janganlah  kamu  mengatakan  kepada  orang  yang

mengucapkan  "salam"  kpdmu  :  "Kamu  bukan  seorang  mu'min"  (lalu  kamu

membunuhnya),  dengan  maksud  mencari  harta  benda  kehidupan  di  dunia,

sebab  di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitulah keadaan kamu dahulu,

lalu  Allah  menganugerahkan  ni'mat-Nya  atas  kamu,  maka  telitilah.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan" ( QS. An Nisaa'

: 94 )

Pada ayat ini  Allah melarang orang-orang Muhajirin -ketika dalam keadaan

peperangan-  dari  mengatakan  kepada  seorang  musuh  yang  menampakkan

keislaman  dengan  cara  mengucapkan  salam  kepada  kaum  muslimin,  :

"Engkau  bukanlah  seoarang  muslim,  engkau  mengucapkan  salam  hanya

sekedar  takut  dibunuh"  lalu  dibunuh,  sebab   sangat  dimungkinkan  bahwa

orang ini  yaitu  orang yang benar-benar telah masuk Islam, akan namun 

takut  untuk  menampakkan  keislamannya.  Kemudian  Allah  mengingatkan

orang-orang  Muhajirin  akan  keadaan  mereka  sebelum  berhijrah,  dimana

didapatkan dari  mereka banyak orang yang telah masuk Islam, akan namun 

takut untuk menampakkan keislamannya.

Nah...pada  kesempatan  ini,  saya  mengingatkan  para  da'i,  dan  ustadz,

bahwasannya  dahulu  kita  seperti  mereka,  berbuat  kesalahan,  salah

pemahaman,  dan  rusak  aqidahnya,  kenapa  kita  tidak  bersabar  dan  lebih

lembut  mensikapi  saudara kita  yang memiliki  kesalahan,  terlebih-lebih  bila

terlihat darinya ketulusan dan keseriusan dalam mencari kebenaran. 

10

Ketidakmampuan  kita  untuk  menjelaskan  kebenaran  dan  mematahkan

argumentasi lawan

Allah  Ta'ala  telah  memberikan  setiap  manusia  akal  dan  pikiran,  masing-

masing  kita  memiliki  kemampuan  akal  dan  pikiran  yang  berbeda-beda,  ini

yaitu  sebuah fakta yang kita rasakan bersama, dan harus selalu kita ingat,

tatkala kita berbicara dengan orang lain.

Ada orang yang memiliki pemahaman kuat, shg dengan mendengarkan sedikit

penjelasan, ia langsung paham dan melaksanakan hal ini . Akan namun ,

ada orang yang memerlukan penjelasan dua, tiga, atau empat kali, baru akan

bisa memahami apa yang kita inhginkan. Bahkan ada orang yang tidak bisa

memahami penjelasan kita sama sekali, walaupun sudah berpuluh-puluh kali,

akan namun , bila ia mendengarkan penjelasan dari orang lain, dengan cara lain,

ia bisa memahami, kemudian mengamalkan apa yang kita maksudkan.

Selain itu, sebagaimana kita tidak akan menerima pendapat orang lain, kecuali

sesudah  terjawab berbagai pertanyaan yang ada di dalam akal pikiran, maka

begitu pulalah orang lain, tidak akan menerima pendapat kita, sampai seluruh

pertanyaan dan berbagai alasan yang ada di akal pikirannya terjawab dengan

tuntas.

Hal ini sering kita lalaikan, sehingga kita relatif memaksakan pendapat, tanpa

memperdulikan pendapat dan alasan kita.

Seringkali  ketika  kita  beradu  argumentasi,  kita  melupakan  akan  hal  ini,

sehingga  tatkala  orang  lain  tidak  atau  blm  bisa  menerima  pendapat  kita

maka...mulailah  kumis  kita  terbakar  sedikit  demi  sedikit,  dan  akhirnya

berkobarlah  api  amarah,  dan  terlontarlah  berbagai  klaim,  dimulai  dari

klaim:"Keras kepala, aqlani, menolak hadits,...hingga vonis mubtadi'".

Sebagai  contoh  :  Sering  kali  kita  mendengar  ada  ustadz  yang  mentahdzir

ustadz  lain,  dengan  alasan,  bahwa  ustadz  ini   telah  dinasehati,  dan

tatkala diusut,  ternyata yang terjadi hanyalah sebuah perdebatan yang belum

tuntas,  kedua  belah  pihak  tidak  mampu  untuk  menjelaskan  pendapatnya

dengan  gamblang,  dan  tidak  mampu menjawab  argumentasi  lawan  dengan

gamblang pula. Atau hanya sekedar dikirimi kaset, atau buku, yang mungkin

saja belum sempat didengar atau dibaca, dan kalaupun sudah didengar dan

dibaca, belum tentu ustadz ini  memahaminya dengan baik.

Oleh sebab  itu, saya mengajak para da'i, dan asatidzah untuk lebih banyak

belajar  cara-cara  berkomunikasi  dengan  orang  lain,  dan  cara-cara

berargumentasi  dan  menjawab  argumentasi  lawan,  yaitu  dengan  cara

mempelajari  ilmu  ushulul  fiqh,  mustholah  hadits,  qowaid  fiqhiyyah  dan

banyak-banyak membaca kisah perdebatan para ulama ahlis sunnah dengan

ahlul bid'ah.

Sikap kaku dan beku dalam menerapkan fatwa dan penjelasan para ulama

Sebagaimana telah kita  ketahui  bersama, bahwa Al  Qur'an dan As Sunnah

tidak  mungkin  bisa  dipahami  dan  kemudian  diamalkan,  kecuali  dengan

perantara  penjelasan  dan  penafsiran  para  ulama'.  Merekalah  yang  yang

mampu menghukumi setiap kejadian dan permasalahan sesuai dengan yang

telah digariskan dalam Al Quran dan As Sunnah.

Oleh sebab  itu, seorang ulama membutuhkan kepada dua jenis pemahaman,

agar fatwa dan hukum yang ia berikan benar-benar sesuai dengan Al Quran

dan As Sunnah, yaitu :

1. Pemahaman yang benar terhadap Al Quran dan As Sunnah, sesuai

dengan pemahaman salafush sholih.

2. Pemahaman  yang  benar  dan  sempurna  terhadap  kasus  dan

permasalahan yang hendak ia hukumi

Bila  seorang  ulama telah memiliki  kedua  jenis  pemahaman ini ,  maka

Insya Allah fatwa dan hukum yang ia berikan akan benar, akan namun , bila

salah  satu  dari  keduanya  tidak  ia  miliki,  atau  terjadi  kesalahpahaman

padanya, niscaya ia tidak akan bisa berfatwa dengan baik dan benar.

Ibnul Qoyyim pernah menggambarkan bahayanya seorang yang tidak memiliki

pemahaman jenis kedua, sehingga ia hanya kaku dan beku dengan apa yang

pernah ia dapatkan dalam kitab semata,  beliau gambarkan kerusakan yang

akan  ditimbulkan  oleh  orang  semacam  ini,  bagaikan  seorang  yang  tidak  

paham  ilmu  kedokteran,  kemudian  mengaku-aku  menjadi  seorang  dokter.

Sehingga jatuhlah korban sebab nya. Bahkan menurut beliau, bahaya seorang

yang  beku  dan  kaku dengan  apa yang  ia  dapatkan  di  kitab,  tanpa paham

terhadap  realita  yang  ada  pada  zamannya.,  yaitu   lebih  besar  dibanding

dokter  gadungan  ini ,  sebab   kesalahan  yang  ia  timbulkan  ada

hubungannya dengan nasib manusia di akhirat.

Pada kesempatan kali ini, saya juga ingin mengingatkan kepada para da'i, dan

asatidzah,  agar  extra  hati-hati  bila  hendak  menerapkan sebuah  fatwa  atau

sebuah hukum, tolong dipikirkan masak-masak, apakah keadaan warga 

kita sesuai dan sudah sepantasnya untuk diterapkan fatwa ini  ?

Sebagai  contoh  nyata,  Ada  dari  kalangan  ulama'  salaf  yang  menegaskan:

bahwa  lebih  baik  bertetangga  dengan  kena  kera  dan  babi,  dibanding

bertetangga  atau  duduk  dengan  dengan ahlul  bid'ah.  Seharusnya  sebelum

kita menerapkan hal ini, kita harus pikirkan, apakah warga  kita sama

dengan  warga   ulama  ini ,  warga   yang  mayoritasnya

memahami manhaj salaf?

Contoh  lain  :  Para  ulama  telah  sepakat,  bahwa  :  Barangsiapa  yang

menyatakan  Al  quran  yaitu   makhluk,  maka  ia  kafir.  Nah...apakah  setiap

orang yang kita temui dan ternyata mengatakan perkataan ini , langsung

kita hukumi sebagai orang kafir?? 

Imam  Ahmad,  beliau  langsung  menghadapi  fitnah  tentang  hal  ini,  tatkala

mengetahui bahwa Al Makmun (kholifah pada masa beliau) telah mengatakan

bahwa Al Quran yaitu  makhluq, bahkan sampai memaksa orang-orang yang

ada  pada  zamannya  untuk  mengatakan  perkataan  ini,  akan  namun   Imam

Ahmad tidak mengkafirkannya. Yang lebih mengherankan lagi Imam Ahmad

malah berkata : "Seandainya aku mengetahui bahwa aku memiliki do'a yang

mustajabah  (dikabulkan),  pasti  akan  aku  gunakan  untuk  mendoakan

pemimpin kaum muslilmin (kholifah)".

Contoh  lain  :  Beberapa  bulan  yang  lalu,  Syekh  Muhammad  bin  Hadi  Al

Madkholi, berkenan untuk memberikan tausiyyah (ceramah) via telpon kepada

asatidzah  di  negara kita .  Pada  hari  dan  waktu  yang  telah  disepakati,  beliau

menyampaikan  tausiyyahnya,  dan  sesudah   selesai,  maka  beliau

memperkenankan  untuk  dibacakan  beberapa  pertanyaan  yang  sebelumnya

telah  mereka  siapkan.  Diantara  pertanyaan  yang  dibacakan  yaitu 

berhubungan  dengan  hukum  mengajar  ditempat  ahlil  bid'ah,  maka  beliau

berfatwa  :  "Tidak  boleh  mengajar  ditempat  ahlil  bid'ah",  tentunya  dengan

berbagai alasan dan dalil yang beliau utarakan.

sesudah   acara  ini   selesai,  fatwa  ini   langsung  diterapkan  oleh

beberapa  gelintir  ustadz,  yaitu  dengan menunjukkan  kepada  salah  seorang

ustadz yang mengajar di pesantren As Salam Solo-Jateng, dan tatkala ustadz

ini   tidak  menuruti  apa  yang  mereka  inginkan,  mulailah  mereka

mengeluarkan  senjata  pemungkas,  yaitu  tahdzir  dan  hajr,  bahkan  bukan

hanya itu saja, ustadz ini  juga diwajibkan untuk membubarkan TK dan

SDIT yang ia bina, dengan alasan yang sangat tidak ilmiyyah.

Tatkala saya berjumpa dengan Syekh Muhammad bin Hadi Al Madkholi, dan

saya sampaikan perilaku mereka, beliau langsung murka, dan mengatakan :

bahwa penjelasan saya  ini ,  yaitu  hukum yang bersifat  umum, tidak

boleh langsung diterapkan kepada setiap orang. sebab  menerapkan hukum

kepada  orang-orang  tertentu,  memiliki  tahapan  dan  tatacara  tersendiri.

Terlebih  dari  itu  semua,  kita  harus  mempertimbangkan  maslahat  dan

mafsadah yang akan terjadi dari sikap kita kepada ustadz ini 

Apalagi,  sesudah   beliau  mendengar  perpecahan  antar  asatidzah  yang  terjadi

akhir-akhir  ini,  beliau  semakin  murka,  dan  berkata  :  Semoga  Allah  tidak

memasrahkan tugas dakwah ini kepada orang-orang semacam mereka.

Sikap ini  -sebagaimana kita ketahui bersama- telah menjadi kebiasaan, bila

ada salah seorang ustadz yang tidak suka dengan ustadz lain, maka ustadz

pertama  tadi  akan  mencari  dukungan  untuk  menghantam  ustadz  kedua

ini ,  yaitu  dengan  cara  menelpon  salah  seorang  syekh,  kemudian

ditanyakan kepadanya hukum suatu permasalahan, sehingga syekh ini 

memberikan jawaban yang bersifat umum (muthlaq), sebagaimana terjadi pada

kisah yang lalu.  Dan sesudah   ia  mendapatkan jawaban yang ia inginkan,  ia

langsung menjadikannya sebagai senjata untuk menyerang ustadz yang tidak

ia sukai, dan demikianlah selanjutnya.

Oleh  sebab   itu  para  ulama  telah  meletakkan  sebuah  qaidah  yang

berhubungan dengan hal penerapan hukum pada orang tertentu, atau kasus

tertentu,  yaitu "Tidak dipungkiri  terjadinya perubahan hukum syar'i,  sesuai

dengan perubahan adat atau keadaan pada orang ini ".

Oleh  sebab   itu,  marilah  kita  benar-benar  mencontoh  ulama  salaf  dalam

berilmu, berfatwa, dan berperilaku, dan jangan sampai kita besar kepala, bak

katak dalam tempurung.

Inilah  keenam  permasalahan  yang  menurut  pendapat  saya,  telah

menimbulkan berbagai fitnah dinegri kita. Dan akhir tulisan ini,  saya ingin

menekankan, bahwa tulisan ini  hanya sebatas pandangan saya,  sehingga

saya  siap  untuk  menerima  kritikan  atau  sangkalan  yang  disertai  dengan

alasan serta  dalil,  bahkan saya sangat  mmengharapkan kritikan  dan saran

dari  kawan-kawan  demi  tercapainya  kebenaran  dan  kemaslahatan  dakwah

dinegri kita.