filsafat 1

Tampilkan postingan dengan label filsafat 1. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label filsafat 1. Tampilkan semua postingan

Kamis, 16 November 2023

filsafat 1






Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan membahas 
secara mendalam mengenai tiga masalah pokok, yaitu sumber 
ilmu pengetahuan, metode ilmu pengetahuan, dan kebenaran 
ilmu pengetahuan. Dalam bab ini di samping akan dibahas 
ketiga hal ini , juga akan dibahas beberapa aliran filsafat
Barat yang menjadi landasan epistemologi sains Barat modern. 
1. Sumber Ilmu Pengetahuan 
Yang dimaksud dengan sumber ilmu pengetahuan ialah 
hal-hal yang secara hakiki diyakini sebagai sumber darimana 
ilmu pengetahuan itu kita peroleh. Mengenai sumber pengeta￾huan, tradisi filsafat Barat mewarisi dua aliran epistemologi
yang terbesar, yaitu aliran rasionalisme dan empirisme. Aliran 
rasionalisme memberi tekanan pada akal (reason) sebagai 
sumber pengetahuan, sedangkan aliran empirisme mengangap 
bahwa sumber pengetahuan yang utama adalah pengalaman 
inderawi manusia (sense experience). Kedua macam sumber ilmu 
pengetahuan itu, yaitu akal dan indera, pada dasarnya 
bersumber pada manusia, sebab  akal dan indera itu dimiliki 
oleh manusia.
Disamping itu ada pula pengetahuan yang bersumber 
Tuhan yang disebut pengetahuan wahyu. Dengan demikian 
Ilmu pengetahuan dapat digolongkan kepada dua macam. 
1) Ilmu yang diperoleh oleh manusia (acquired knowledge), 
yaitu melalui akal dan pengalaman inderawi. Ilmu yang 
bersumber pada akal atau yang diperoleh melalui akal disebut juga conceptual knowledge, dan ilmu yang 
bersumber pada indera manusia disebut perceptual 
knowledge. Kedua macam ilmu yang diperoleh itu disebut 
juga dengan ilmu aqli. 
2) Ilmu wahyu (revealed knowledge),atau ilmu naqli yaitu 
ilmu yang bersumber Allah swt., seperti ilmu ketauhidan, 
keimanan, dan kewahyuan, ilmu fikh, ilmu ushuluddin, 
dan sebagainya. Kalau ilmu-ilmu aqli bertujuan untuk 
membantu manusia menjalankan peranannya sebagai 
khalifah, atau untuk menyempurnakan fardhu kifayah bagi 
kesejahteraan umat, maka ilmu-ilmu naqli bertujuan 
menyempurnakan tugas manusia sebagai hamba Allah, 
atau untuk menyempurnakan fardhu „ain. 
2. Metode Ilmu Pengetahuan
 Adapun ilmu-ilmu yang diperoleh melalui akal dan 
pengalaman manusia diperoleh dengan pendekatan ilmiah, 
yaitu melalui suatu rangkaian langkah berpikir yang disebut 
berpikir ilmiah (scientific thinking). Biasanya langkah-langkah 
berpikir ilmiah itu ada 5 macam, yaitu:
1 Perumusan masalah
2 Perumusan hipotesa
3 Pengumpulan data 
4 Analisis data
5 Pengambilan kesimpulan.
 Sesuai dengan pendekatan ilmiah itu, maka untuk ilmu￾ilmu rasional dipakai metode apriori dan deduksi, sedangkan 
untuk ilmu-ilmu empiris dipakai metode aposteriori dan induksi. 
Yang dimaksud dengan apriori ialah pengetahuan yang 
diperoleh sebelum dilakukan pengamatan atau tanpa 
pengamatan, yang sebab  itu pengetahuan ini  bukanlah pengetahuan yang baru, sebab  sudah apriori. Yang dimaksud 
dengan aposteriori ialah pengetahuan yang diperoleh setelah 
dilakukan ekperimen atau pengamatan secara empiris, yang 
sebab  itu pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan 
yang baru. Deduksi adalah cara berpikir dari yang umum 
kepada yang khusus, sedangkan induksi ialah berpikir dari 
yang khusus kepada yang umum. sebab  itu pengetahuan 
yang diperoleh secara deduktif-aprioris adalah pengetahuan 
yang pasti atau mutlak, tetapi tidak baru, sedangkan 
pengetahuan yang diperleh secara induktif-aposterioris adalah 
pengetahuan yang baru tetapi tidak pasti atau tidak mutlak.
Metode deduktif.
Metode deduktif adalah suatu proses bepikir yang 
bertolak dari hal-hal yang abstrak kepada yang konkrit, atau 
dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang 
bersifat khusus dengan menggunakan kaedah logika tertentu, 
yaitu logika deduktif. Cara berpikir deduktif itu sudah dimulai 
oleh Aristoteles dan para pengikutnya, yaitu melalui serang￾kaian pernyataan yang disebut silogisme. Silogisme terdiri atas 
3 pernyataan, yang disebut:
1. Premis mayor (dasar pikiran utama)
2. Premis minor (dasar pikiran kedua)
3. Kesimpulan
Contoh 
1. Semua makhluk hidup pasti mati (premis mayor)
2. Manusia adalah makhluk hidup (premis minor), sebab  itu
3. Manusia pasti mati (kesimpulan) 
Dalam cara berpikir deduktif, apabila dasar pikirannya 
benar, maka kesimpulannya pasti benar. Dengan cara berpikir 
deduktif memungkinkan kita menyusun premis-premis men-
jadi pola-pola yang dapat memberikan bukti yang kuat bagi 
kesimpulan yang benar atau sahih (valid). Adapun kelemahan 
cara berpikir deduktif ialah bahwa dengan cara ini kita tidak 
akan memperoleh pengetahuan yang baru, sebab  kesimpulan 
deduktif selalu merupakan perluasan dari pengetahuan yang 
sudah ada sebelumnya, sudah apriori.
Kesimpulan silogisme tidak pernah dapat melampaui isi 
premis-premisnya. Kita harus mulai dengan premis terlebih 
dahulu untuk sampai kepada kesimpulan yang benar. Dengan 
kata lain berpikir deduktif bersifat analitis aprioris. Kita akan 
memperoleh pengetahuan yang bersifat mutlak, tetapi bukan 
pengetahuan yang baru. sebab  itu penyelidikan ilmiah tidak 
dapat dilaksanakan hanya dengan menggunakan cara berpikir 
deduktif saja, sebab  sulitnya menentukan kebenaran universal 
dari berbagai pernyataan mengenai gejala ilmiah. Dengan 
metode deduktif, kesimpulan yang diambil hanya benar 
apabila premis yang menjadi dasar kesimpulan itu benar. Akan 
tetapi bagaimana orang mengetahui bahwa premis itu benar?
Mengenai metode deduktif selanjutnya akan dibahas dalam 
Bab 5 tentang Logika.
Metode Induktif.
Francis Bacon (1561-1626) menggunakan metode induktif 
dalam mengetahui sesuatu. Ia yakin bahwa seorang peneliti 
dapat membuat kesimpulan umum berdasarkan fakta yang 
dikumpulkan melalui pengamatan langsung. Menurutnya 
untuk memperoleh kebenaran mengenai alam ini, peneliti 
harus mengamati alam itu secara langsung, dan harus 
membebaskan pikiran dari berbagai bentuk prasangka. Untuk 
memperoleh pengetahuan menurutnya seseorang harus 
mengamati alam itu sendiri, mengumpulkan fakta, dan 
merumuskan generalisasi dari fakta-fakta ini . Jadi metode  induktif dimulai dari bukti-bukti yang khusus, dan atas dasar 
bukti-bukti yang khusus itu ditarik kesimpulan yang bersifat 
umum. Perbedaan antara metode deduktif dengan metode 
induktif dapat dilihat dari logika berpikir dalam contoh berikut 
ini:
 Deduktif. Setiap binatang menyusui memiliki  paru-paru. 
Kucing adalah binatang menyusui. Oleh sebab  itu, setiap 
kucing memiliki  paru-paru.
 Induktif. Setiap kucing yang pernah diamati memiliki  
paru paru. Oleh sebab  itu, setiap kucing memiliki  
paru-paru.
Sesuai dengan cara kerjanya maka pengetahuan ilmiah 
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Obyektif, artinya bebas dari penilaian yang bersifat 
subyektif dan kebenarannya evidence (didukung oleh bukti￾bukti)
b. Rasional, artinya sesuai dengan logika atau aturan 
penalaran
c. Sistematis, artinya dilakukan dan disusun secara teratur, 
dan sesuai dengan teori-teori
d. Generalisasi, artinya pengetahuan itu dapat diterapkan pada 
fenomena lain bukan hanya pada obyek tertentu.
3. Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Mengenai kebenaran pengetahuan telah dipersoalkan sejak 
masa filsafat Yunani klasik. Plato mengatakan bahwa 
pengetahuan yang diperoleh dengan alat dria adalah 
pengetahuan yang semu, sedangkan pengetahuan yang benar 
adalah yang diperoleh dengan akal yang disebutnya idea.
Sebaliknya penganut aliran empirisme mengatakan bahwa  pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh dengan 
perantaraan pancaindera, sedangkan pengetahuan yang 
diperoleh dengan akal hanyalah merupakan pendapat saja. 
Empirisme mengeritik akal, bahwa akal manusia itu
diperlengkapi dengan pengetahuan apriori, pengetahuan yang 
sudah ada, dibawa sejak lahir, yang oleh Plato disebut innate 
ideas. Menrut empirisme pengetahuan itu bukan sudah ada 
atau tidak dibawa lahir, tetapi diperoleh dari pengalaman. 
Pengalamanlah yang menentukan pengetahuan kita.
 Dari perspektif Barat dikenal 3 macam teori kebenaran 
pengetahuan, yaitu teori korespondensi, teori koherensi atau 
konsistensi, dan teori pragmatik. Teori korespondensi 
menunjuk kepada adanya kesesuaian antara pernyataan 
dengan kenyataan atau dengan situasi yang sebenarnya. Teori 
konsistensi ialah adanya kesesuaian antara suatu pernyataan 
dengan pernyataan-pernyataan lain yang sudah diterima 
kebenarannya. Sedangkan teori prakmatik menekankan pada 
nilai kegunaan sebagai ukuran kebenaran suatu pengetahuan 
atau kebenaran sesuatu hal. 
Teori Korespondensi (Teori Persesuaian). 
 Menurut teori korespondensi pengetahuan kita itu adalah 
benar apabila sesuai dengan kenyataan. Suatu pernyataan atau 
suatu proposisi dikatakan benar apabila pernyataan itu sesuai 
dengan fakta-fakta yang ada. Kalau tidak sesuai dengan fakta 
maka pernyataan itu tidak benar. Pendukung teori ini, yaitu 
kaum empiris dan realis, berpendapat bahwa dunia di luar diri 
kita (obyek) tidak bergantung pada diri kita (subyek). 
Kebenaran menurut teori ini adalah kebenaran yang 
transenden, artinya kebenaran itu terletak di luar jiwa kita, 
melampaui batas-batas jiwa kita. Kebenaran di luar diri kita itu 
dijangkau secara langsung, artinya kita langsung berhadapan dengan kenyataan atau objek di luar diri kita. Jadi kebenaran 
dirumuskan sebagai persesuaian antara pengetahuan kita 
dengan obyek pengetahuan, artinya apa yang kita ketahui itu 
cocok dengan kenyataan. Dalam teori ini, diutamakan 
pengalaman (empiri), adanya dualitas subyek dan obyek, dan 
mementingkan bukti (evidence).
Teori Konsistensi atau Koherensi 
Menurut teori konsistensi suatu proposisi dianggap benar 
apabila proposisi ini  memiliki hubungan dengan gagasan 
dari proposisi sebelumnya yang telah dianggap benar, atau 
proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya. Menurut 
teori ini, yang didukung oleh kaum rasionalis dan idealis, 
manusia tidak pasti dapat mencapai kesesuaian antara 
pengetahuannya dengan obyek di luar dirinya, tetapi kita 
hanya sampai kepada adanya kesan-kesan tentang sesuatu, 
atau pendapat tentang sesuatu. Kesan atau pendapat kita 
tentang sesuatu itu belum tentu sama dengan kesan orang lain.
Demikian pula belum tentu apakah pendapat kita akan sesuai 
dengan pendapat orang lain, apakah pendapat kita benar atau 
pendapat orang lain itu yang lebih benar.
sebab  itu, menurut teori ini kita harus menentukan atau 
menggunakan kriteria untuk mencari kebenaran itu. Kreteria 
itu ialah, apakah ada tidaknya ketetapan (konsistensi) antara 
pendapat-pendapat atau kesan-kesan yang ada tentang sesuatu. 
Pendapat itu harus reliable, artinya dapat dipercaya 
kebenarannya, yaitu setelah dilakukan ekperimen berkali-kali 
maka hasilnya tetap sama (konsisten). Apabila diminta 
pendapat dari sejumlah orang dan setelah berkali-kali 
dilakukan pendapat mereka itu tetap sama, maka hal demikian 
dipandang benar. Kebenaran menurut teori konsistensi disebut 
kebenaran immanen, yaitu kebenaran yang terjadi dalam jiwa kita, kebenaran itu tidak langsung dijangkau dari obyek di luar 
diri kita (kenyataan), tetapi sebenarnya telah ada pada diri kita. 
Pengetahuan kita tentang obyek adalah penyadaran kembali 
terhadap apa yang telah ada dalam diri kita. Inilah yang 
dikatakan oleh Plato sebagai doktrin innate ideas, yaitu doktrin 
bahwa idea itu sudah ada pada kita, dibawa sejak lahir.
Teori Prakmatik. 
 Menurut teori ini suatu proposisi dikatakan benar apabila 
proposisi itu berlaku, dapat digunakan, berguna. Dengan kata 
lain bahwa sesuatu itu dikatakan benar apabila ia berguna, 
dapat digunakan dalam praktek, akibat atau pengaruhnya 
memuaskan. Jelas bahwa teori ini berdasarkan pada filsafat 
pragmatisme. 
Kebenaran Empiris dan kebenaran Logis
Ketiga macam teori kebenaran menurut pandangan sains 
Barat itu dapat digolongkan ke dalam dua macam kebenaran, 
yaitu kebenaran empiris (yang bertolak dari aliran empirisme), 
dan kebenaran logis (yang bertolak dari logika deduktif).
Kebenaran empiris : 
 Mementingkan obyek
 Menghargai cara kerja induktif dan aposterioris
 Lebih mengutamakan pengamatan indera
Kebenaran logis
 Mementingkan subyek
 Menghargai cara kerja deduktif dan aprioris
 Lebih mengutamakan penalaran akal budi.
Contoh:
1. Air lebih berat dari batu, maka batu tenggelam dalam air
Disini terkandung kebenaran empiris, bukan kebenaran logis
2. Air lebih ringan dari batu, maka batu tenggelam dalam air
Disini terkandung kebenaran logis dan empiris
3. Air lebih ringan dari batu, maka batu mengambang di atas 
air
Disini tidak ada kebenaran baik logis maupun empiris
4. Air lebih berat dari batu, maka batu mengambang di atas air
Disini terkandung kebenaran logis, tetapi tidak kebenaran 
empiris
Kebenaran Wahyu
Di samping diakui adanya kebenaran logis dan kebenaran 
empiris, terdapat pula kebenaran wahyu. Kebenaran wahyu 
adalah kebenaran yang datangnya dari Allah, dan sebab  itu 
bersifat mutlak. Wahyu diturunkan oleh Allah SWT kepada 
rasul-rasulNya untuk menjadi sumber ilmu pengetahuan dan 
menjadi petunjuk bagi semua manusia. Bagi seorang muslim 
bukan saja diharuskan mengambil pengetahuan yang 
bersumber dari wahyu, tetapi juga diperintahkan supaya   
mengikuti ajaran yang terkandung di dalamnya. Kebenaran 
wahyu sejalan dengan kebenaran logis (berdasarkan rasio) dan 
kebenaran empiris (berdasarkan pengalaman). Kalau 
kebenaran logis dan kebenaran empiris bersifat relatif, maka 
kebenaran wahyu bersifat mutlak atau absolut. 
4. Aliran-Aliran Filsafat Epistemologi
Sehubungan dengan pengetahuan yang diperoleh dengan 
akal dan pengalaman manusia, maka dalam filsafat Barat 
dikenal beberapa aliran yang mendasari epistemologi Barat itu. 
Dalam bab ini akan dibahas beberapa aliran, yaitu: Idealisme
dan Rasionalisme, Realisme dan Empirisme, Kritisisme,
Positivisme, Post Positivisme. dan Pragmatisme.
Idealisme dan Rasionalisme. Kedua aliran filsafat ini 
pada dasarnya adalah sama, yaitu yang memandang bahwa 
kenyataan yang sesungguhnya adalah dunia idea atau rasio. 
Tokoh Idealisme di zaman Yunani klasik ialah Plato dan di 
zaman modern (neo-idealisme) adalah Frederick Hegel, 
sedangkan tokoh rasionalisme (disebut juga idealisme rasional) 
adalah Rene Descartes, yang terkenal dengan ucapannya cogito 
ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Aliran filsafat idealisme 
bermacam-macam, masih dapat dibedakan antara idealisme 
rasional, idealisme etis, idealisme estetis, dan idealisme religius.
Menurut filsafat idealisme dan rasionalisme gagasan dan 
konsepsi atau pengetahuan kita tentang sesuatu itu memang 
telah ada pada diri kita, yang merupakan fitrah manusia, yang 
secara esensial telah ada dalam lubuk jiwa kita, dibawa sejak 
kita lahir, yaitu akal atau idea. Pengetahuan kita pada 
hakekatnya menurut Plato adalah hasil penyadaran kembali 
ide-ide yang telah ada pada kita itu, jadi bukan datang kepada 
kita melalui alat dria. Misalnya kalau kita melihat sebuah 
mobil, maka gambaran tentang mobil itu adalah hasil dari 
pengungkapan kembali ide yang telah ada pada kita tentang 
mobil.
Menurut idealisme dan rasionalisme pengetahuan yang 
diperoleh dengan pengalaman atau dengan perantaraan alat 
dria diragukan kebenarannya, sebab  mereka tidak menemu￾kan cukup alasan untuk menganggap bahwa munculnya 
sejumlah konsepsi dan gagasan pada kita adalah sebab  kerja 
indera kita. Makhluk binatang juga memiliki alat dria tetapi 
bidang tidak menghasilkan konsepsi atau gagasan sebab  
binatang tidak memiliki akal. Filsafat idealisme dan rasiona-
lisme sangat berpengaruh pada filsafat modern dengan teori￾teori yang dikemukakan oleh filosof Eropah yang terkenal, 
antara lain filosof Perancis Rene Descartes (1596-1650), dan 
filosof Jerman Immanuel Kant (1724-1804), dan Friederich
Wilhelm Hegel (1770-1631).
Realisme dan Empirisme. Filsafat realisme mempersoal￾kan objek pengetahuan manusia. Menurut realisme, objek 
pengetahuan manusia terletak di luar diri manusia. Benda￾benda di luar diri manusia seperti gunung, pohon, kota, 
bintang dan sebagainya adalah kenyataan yang sesungguhnya. 
Benda-benda itu bukan hanya ada dalam pikiran orang-orang 
yang mengamatinya tetapi memang sudah ada dan tidak 
tergantung pada jiwa manusia. Ada dua macam filsafat 
realisme, yaitu realisme rasional dan realisme alam atau 
realisme ilmiah.
Realisme rasional terbagi atas realisme klasik dan realisme 
religius. Baik realisme klasik maupun realisme religius 
berpangkal pada pandangan Aristoteles. Bedanya ialah, kalau 
realisme klasik langsung dari pandangan Aristoteles, maka 
realisme religius secara tidak langsung. Artinya ia berkembang 
berdasarkan filsafat Thomas Aquina, seorang ahli filsafat 
Kristen, yang kemudian dikenal sebagai aliran Thomisme.
Realisme alam atau realisme ilmiah berkembang sejalan dengan 
berkembangnya ilmu pengetahuan alam di Eropah pada abad 
ke 15 dan 16. Aliran realisme ilmiah ini dikenal pula sebagai 
aliran Empirisme.
Menurut empirisme pengetahuan kita bukan telah ada 
pada kita, tetapi datang kepada kita melalui alat dria atau 
pengalaman. Menurut teori ini penginderaan adalah satu￾satunya cara yang membekali manusia dengan gagasan dan 
konsepsi-konsepsi, dan bahwa potensi akal kita adalah potens  yang tercerminkan dalam berbagai persepsi inderawi. Jadi 
ketika kita melihat sebuah mobil misalnya, maka kita dapat 
memiliki konsep tentang mobil, yaitu menangkap gambar atau 
bentuk mobil itu dalam akal kita. Menurut pandangan ini, akal 
kita hanya mengelola konsepsi dan gagasan inderawi. Tokoh 
utama dari aliran Empirisme ialah Francis Bacon (1561-1626), 
John Locke (1632-1704), George Berkeley (1684-1755), David 
Hume (1711-1776), Alfred North Whitehead (1861-1947), dan 
Bertrand Russell (1972-1870). John Locke menganalisis 
pandangan-pandangan Descartes tentang ide-ide fitrah. Ia 
menyerang konsep ide fitrah itu dan menyusun pandangan 
tersendiri mengenai pengetahuan manusia yang ditulis dalam 
bukunya Essay on Human Understanding. 
Ekperimentasi dalam pengembangan ilmu adalah berda￾sarkan pandangan filsafat Empirisme. Ekperimen-ekperimen 
ilmiah telah menunjukkan bahwa indera berperan memberikan 
persepsi yang menghasilkan konsepsi-konsepsi dalam akal 
manusia. Dengan kata lain indra adalah sumber pokok 
konsepsi. Seseorang yang tidak memiliki salah satu macam 
indra tertentu tidak mungkin dapat mengkonsepsikan 
pengertian-pengertian yang berhubungan dengan indra 
ini . Menurut empirisme, kita tidak memiliki pengetahuan 
sampai ia datang kepada kita melalui alat dria atau panca 
indera kita. Dan pengetahuan yang diperoleh dengan alat dria 
itulah yang benar sedangkan pengetahuan yang bersumber 
pada rasio baru merupakan pendapat, yang belum tentu benar.
Tetapi dengan peran indra yang penting dalam melakukan 
ekperimen-ekperimen tidak berarti meniadakan kemampuan 
akal dalam melahirkan gagasan-gagasan baru dari pengalaman 
inderawi.
Filsafat Kritisisme. Filsafat Kritisisme merupakan pengga￾bungan antara rasionalisme dan empirisme, yaitu bahwa 
pengetahuan kita itu diperoleh melalui akal dan pancaindera 
kita. Obyek di luar diri kita memberikan pengalaman kepada 
kita melalui indera. Pengalaman itu dirasionalkan oleh subyek 
(kita) menjadi pengetahuan. Aliran kritisisme ini dikenal pula 
sebagai Kritisisme Kant, sebab  filosof Emanuel Kant yang 
pertama kali mengkritik dan menganalisis kedua macam 
sumber pengetahuan itu dan menggabungkan keduanya. 
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal menggunakan 
metode berpikir analitis-aprioris, sedangkan pengetahuan yang 
diperoleh dengan empiri menggunakan metode sintesis￾aposterioris.
Emanuel Kant, Friedrich Hegel, dan Karl Marx dipandang 
sebagai filosof Kritis pada zamannya yang berkembang setelah 
Renaissance. Menurut Kant, kritik adalah kegiatan menguji 
sahih tidaknya klaim pengetahuan menurut aspek rasio semata. 
Menurut Kant, rasio dapat menjadi kritis terhadap 
kemampuannya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan dan 
metafisika. Hegel meletakkan pengetahuan dalam konteks 
perkem-bangannya dalam sejarah. Bagi Hegel, kritik 
merupakan refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan￾tekanan, dan kontradiksi yang menghambat proses pembentu￾kan diri dalam sejarah. Jalan pikiran Hegel banyak 
mempengaruhi mahasiswa yang dikenal sebagai Hegelian 
Kanan dan Hegelian Kiri (Hegelian Muda). Diantara Hegelian 
Kiri itu adalah Karl Marx. 
Marx menganggap bahwa teori kritik Hegel masih kabur 
dan membingungkan, sebab  Hegel memahami sejarah secara 
abstrak. Sejarah menurut Hegel adalah sejarah kesadaran 
bukan sejarah manusia yang konkrit. Marx mengkonkritkan  teori idealism Hegel ke dalam materialisme historis yang 
bersifat praktis emansipatoris, yaitu berupa tindakan nyata 
yang bersifat membebaskan. Marx menjelaskan bahwa yang 
dimaksud dengan sejarah adalah hubungan kekuasaan antara 
pemilik modal atau kaum borjuis di satu pihak, dan pihak lain 
yaitu kaum buruh yang tidak memiliki modal. Tujuan utama 
pemilik modal ialah memperoleh keuntungan yang besar 
dengan biaya produksi yang rendah. Untuk itu pemilik modal 
memeras kaum buruh dengan sistem manipulasi. Model 
analisis itu disebut Marxisme. Marxisme mengembangkan dua 
istilah pokok yaitu: substruktur, yaitu factor ekonomi yang 
berkembang dalam warga , dan suprastruktur, yaitu faktor 
non ekonomi seperti agama, politik, seni, dan literature. 
Menurut Marx keadaan ekonomi pada substruktur dipengaruhi 
oleh faktor-faktor suprastruktur.
Filsafat Kritisisme kemudian dikembangkan lagi oleh 
mashab Frankfurt, yang disebutnya “Teori Kritik warga ” 
(Teori Kritis). Sasaran kritiknya yang terutama adalah Teori 
ilmu Sosial yang berkembang pada masa itu. Diantara tokoh
mashab ini ialah Lukacs dan Horkheimer. Lukacs mengem￾bangkan pandangan tentang adanya hubungan-antara 
manusia, yang nampak sebagai hubungan antara benda-benda. 
Tujuan mashab Frakfurt menurut Horkheimer adalah untuk 
membebaskan manusia dari perbudakan, dan ingin 
membangun warga  atas dasar hubungan antar pribadi 
yang merdeka, dan mengembalikan kedudukan manusia 
sebagai subyek yang mengelola sendiri kenyataan sosialnya.
Positivisme. Positivisme adalah aliran filsafat ilmu 
pengetahuan yang muncul pada abad ke-17 yang merupakan 
elaborasi oleh Francis Bacon dari aliran empirisme yang telah 
dikembangkan sebelumnya oleh Galileo dan rekan-rekannya. 
Yang menjadi inti dari metode ilmiah Bacon ialah penelitian 
ilmiah yang dimulai dari pengumpulan data yang dapat 
diamati secara terbuka, disertai dengan pengembangan 
hipotesis yang mengarah pada penjelasan data, selanjutnya 
pengujian hipotesis itu melalui ekperimen. Pembuktian 
hipotesis secara empiris akan memperkuat posisi hukum 
ilmiah. Proses ini  disebut proses induksi, yang kemudian 
menjadi inti pokok metode ilmiah Bacon. Metode induksi itu 
telah digunakan selama 4 abad lamanya untuk membedakan 
antara sains dan non-sains.
Contohnya, sebuah generalisasi atau kesimpulan bahwa “ 
logam akan memuai apabila dipanaskan” baru dianggap ilmiah 
apabila didukung dengan pembenaran yang diperluas melalui 
sejumlah pernyataan pengamatan dan penelitian yang 
membentuk dasar generalisasi. Demikian pula bahwa 
pengamatan itu harus diulang-ulang di bawah berbagai macam 
kondisi, dan tidak boleh ada hasil pengamatan yang 
bertentangan dengan hukum yang telah berlaku universal. 
Dengan kata lain tidaklah sah kesimpulan bahwa setiap logam 
yang dipanaskan akan memuai, apabila dipanaskan 
berdasarkan pengamatan tunggal atas sebuah lempengan 
logam saja.
Inti dari prinsip Bacon adalah bahwa ilmu pengetahuan 
itu dicapai dengan melakukan penelitian-penelitian melalui 
obsrvasi dan eksiperimen, dan dengan cara menjauhkan 
spekulasi filosofis, menjauhkan dunia mitos yang tidak pasti, 
dunia prasangka, serta ketentuan-ketentuan moral dan agama. 
Charles Darwin dalam bukunya yang terkenal, “The Origin of 
Spieces”, menyatakan dengan bangga bahwa seluruh rangkaian 
penelitian ilmiahnya didasarkan pada prinsip-prinsip Bacon. 
Aliran positivisme bertolak dari pandangan bahwa 
pemikiran manusia berlangsung melalui tiga tahap, yaitu tahap 
religious, filosofis, dan positivif. Pengetahuan ilmiah adalah 
tahap positif, yang pada tahap ini tidak berlaku pemikiran 
filosofis dan nilai-nilai agama. Ilmu pengetahuan yang 
dikembangkan berdasarkan prinsip positivisme itu disebut 
ilmu-ilmu positif.
Positivisme diterima secara umum pada abad ke-17 dan 
mengalami prestasi dengan munculnya revolusi sains di 
Inggeris. Bacon sendiri bertujuan meyakinkan “peluasan 
kerajaan manusia” dan mencapai “segala sesuatu menjadi 
mungkin”. Tuhan secara perlahan terlepas dari konteks 
persoalan warga  melalui revolusi sains itu, yang memberi 
kesadaran bahwa manusia mampu menciptakan kemajuan 
duniawi yang tidak perlu dinikmati di alam akhirat. (lihat 
Nasim Butt, 1996:29).
Metode induksi atau metode ilmiah Bacon (induksi￾onisme) itu belum menjadi patokan yang berlaku umum. David 
Hume mengemukakan kesangsiannya atas kesahihan aliran 
Bacon itu dengan alasan bahwa penalaran melalui induksi 
tidak bisa diterima logika, sebab  tidak ada pernyataan umum 
yang berasal dari sejumlah pengamatan individu. Dengan 
melontarkan keraguan pada metode induksi, Hume juga 
menyatakan keraguan terhadap status sains sebagai suatu 
kebenaran tertentu. Ungkapan yang terkenal adalah: “setiap 
angsa yang berwarna putih” tidak bisa dibuktikan 
kebenaranya. Berapapun jumlah angsa putih yang ada, tetap 
saja masih ada kemungkinan terdapatnya seekor angsa yang 
tidak putih yang diamati pada suatu waktu.Post Positivisme. Ada 3 aliran filsafat post positivisme
yang memberikan kritikan dan pemikiran perbaikan terhadap 
positivisme, yaitu: positivisme logical, rasionalisme kritikal, 
dan teori Paradigma Thomas Kuhn. 
Positivisme Logikal. Aliran filsafat ini dikembangkan 
oleh kelompok ilmuan dan filosof di Wina yang menamakan 
diri “Lingkaran Wina” atau Der Wiener Kreis, dengan 
tokohnya yang terkenal Morits Schlick (ahli fisika) dan Rudolf 
Carnab (ahli logika). Kelompok ini bertemu secara teratur dan 
bertukar pikiran tentang makna ilmu, yang kemudian 
mengeluarkan sebuah risalah berjudul : “Pandangan ilmiah 
tentang dunia, Lingkaran Wina”. Aliran ini berkeyakinan 
bahwa hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang 
sah, dan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus bersifat 
empirical, artinya hanya kenyataan yang dapat diobservasi 
dengan pancaindera yang dapat menjadi obyek ilmu. Untuk 
menguji kebenaran dipakai asas verifikasi. Metode untuk 
memperoleh pengetahuan ilmiah ialah metode induksi. Metode 
induksi ialah cara untuk memperoleh pengetahuan dengan 
jalan bertolak dari sejumlah data lewat generalisasi sampai 
pada dalil umum. Produknya yang berupa teori ilmiah 
sekaligus juga merupakan hipotesis yang dapat diuji kembali 
kebenarannya. Dengan kata lain tori ini menganut teori 
korespondensi mengenai kebenaran ilmu. Jadi teori ilmiah 
adalah benar jika persis mencerminkan dunia kenyataan 
sebagaimana adanya, yaitu adanya kesesuaian antara proposisi 
dengan dunia kenyataan.
Rasionalisme Kritikal. Tokoh utama dari aliran ini ialah 
Karl Raimund Popper. Bukunya yang terkenal adalah The Logic 
of Scientific Revolution (1959). Menurut aliran ini pengetahuan 
ilmiah harus obyektif dan teoritikal, dan pada analisis terakhir Teori Paradigma Thomas Kuhn. Thomas Kuhn adalah 
seorang sejarahwan dan sosiolog ilmu. Karyanya yang utama 
ialah: The Structure of Scientific Revolutions. Berbeda dengan 
Popper yang mendekati pengertian ilmu secara internal, 
sebagai sosiolog dan penulis sejarah, Kuhn mendekati ilmu 
secara eksternal. Dalam bukunya itu Kuhn mengemukakan 
pandangan tentang ilmu dengan mengemukakan 5 macam 
istilah atau konsep kunci, yaitu: paradigm, revolusi ilmiah, pra￾paradigmatik, ilmu normal, dan anomali. 
Menurutnya, ada dua tahap perkembangan setiap ilmu. 
Yaitu tahap pra-paradigmatik dan tahap ilmu normal (normal 
science). Pada tahap pra-paradigmatik kegiatan penelitian 
dalam bidang tertentu berlangsung dengan cara yang mengacu 
pada kerangka teoritis yang diterima secara umum. Pada tahap 
ini terdapat sejumlah aliran pikiran yang saling bersaing tetapi 
tidak ada satupun yang memperoleh penerimaan secara 
umum. Namun perlahan-lahan salah satu dari kerangka teoritis 
itu mulai diterima secara umum, dan dengan demikian 
paradigma pertama sebuah ilmu (disiplin) mulai terbentuk, dan 
ini berarti bahwa kegiatan ilmiah sebuah disiplin ilmu 
memasuki periode ilmu normal. 
Yang dimaksud “ilmu normal” oleh Kuhn adalah 
kegiatan penelitian yang berdasarkan pada karya-kaya ilmiah 
sebelumnya yang sudah diakui oleh warga  ilmiah sebagai 
pencapaian ilmiah (scientific achievement) yang memiliki 
landasan yang kuat. Menurut Kuhn ilmu normal itu memiliki 
dua ciri penting:
1. Bersifat baharu, sehingga warga  ilmiah atau para 
pelaksana ilmu cenderung mengacu kepadanya atau 
menjadikannya sebagai rujukan dalam menjalankan 
kegiatan ilmiah mereka.2. Bersifat terbuka, sehingga masih terdapat berbagai 
masalah yang memerlukan pemecahan secara ilmiah
Kedua ciri itu oleh Kuhn dinamakan paradigma. Dengan 
penggunaan istilah paradigma itu, Kuhn hendak menunjukkan
bahwa ada sejumlah pemikiran atau praktek ilmiah yang 
diterima atau diakui dalam lingkungan komunitas ilmiah, yang 
dikembangkan dalam bentuk model-model yang bersifat 
terpadu atau koheren. Pemikiran atau praktek ilmiah itu 
mencakup dalil, teori, implementasi, dan instrumentasinya. 
Para ilmuan yang penelitiannya didasarkan pada paradigma 
yang sama, pada dasarnya terikat pada aturan dan standar 
yang sama dalam mengembangkan ilmunya. Keterikatan pada 
aturan dan standar ini adalah prasyarat bagi adanya ilmu 
normal. Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma 
itu adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang atas dasar 
itu suatu gejala atau fakta ditafsirkan dan dipahami. (lihat 
Arief Sidharta, 2008).
Ada hal lain yang dikemukakan oleh Kuhn yang 
dipandang penting dalam teori paradigma ialah yang disebut 
dengan anomali. Maksudnya adalah “hal yang baru atau 
pertanyaan yang tidak terliputi oleh kerangka paradigma yang 
menjadi acuan kegiatan ilmiah”. Adanya anomali itu 
merupakan prasyarat bagi penemuan baru, yang akhirnya 
dapat mengakibatkan perubahan paradigma. Namun lama￾lama sejumlah anomali terjadi dalam lingkungan ilmu normal 
tertentu yang menciptakan semacam krisis. Adanya anomali 
dan krisis itu kemudian menyebabkan sikap para ilmuan 
berubah terhadap paradigma yang berlaku, dan sesuai dengan 
itu sifat penelitian mereka juga berubah. Artinya paradigma 
lama berganti dengan paradigma baru.
































Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui. Ilmu adalah 
pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu merupakan 
ilmu, sebab pengetahuan dapat diperoleh dengan atau tanpa 
metode ilmiah, artinya dapat diperoleh melalui pengalaman 
sehari-hari atau berupa informasi yang kita terima dari 
seseorang yang memiliki kewibawaan atau otoritas tertentu. 
Sedangkan ilmu mesti diperoleh dengan metode ilmiah, yaitu 
dengan menggunakan metode berpikir deduktif dan induktif. 
Pengetahuan adalah keseluruhan gagasan, pemikiran, ide, 
konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia 
dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. 
Sedangkan ilmu pengetahuan adalah keseluruhan sistem 
pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. 
Pengetahuan lebih spontan sifatnya, sedangkan ilmu 
pengetahuan lebih sistematis dan reflektif. Pengetahuan jauh 
lebih luas dari ilmu pengetahuan, sebab  pengetahuan 
mencakup segala sesuatu yang diketahui manusia tanpa perlu 
dibakukan secara sistematis. 
Dalam literatur banyak sekali ditemukan definisi ilmu 
pengetahuan yang dikemukakan oleh para ilmuan. Berikut ini 
adalah beberapa diantaranya sebagai perbandingan. Dalam 
ENSIE disebutkan bahwa ilmu adalah pengetahuan yang 
memiliki  dasar dan yang berlaku secara umum serta 
niscaya. Ilmu adalah keseluruhan dari kebenaran-kebenaran 
yang terikat antara yang satu dengan yang lainnya secara 
sistematis.
Dalam karangannya berjudul “Pengantar Filsafat Ilmu”
(1997:88), The Liang Gie mengatakan bahwa ilmu dapat dilihat 
sebagai aktivitas yang dilakukan untuk memperoleh ilmu 
pengetahuan, sebagai metode bagaimana aktivitas itu dilakukan, 
dan sebagai ilmu pengetahuan atau produk dari aktvitas 
ini . Ketiga hal itu merupakan kesatuan logis yang mesti 
ada secara berurutan dan bersifat dinamis. Ilmu harus 
diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus 
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas 
metodis itu mendatang pengetahuan yang sistematis. Dengan 
kata lain, menurut The Liang Gie, ilmu ialah “aktivitas penelitian, 
metode ilmiah, dan pengetahuan sistematis.”
Ziman (1980) dalam karangannya “What is Science?”
menelaah bermacam-macam definisi ilmu pengetahuan. Dari 
sejumlah definisi mengenai ilmu pengetahuan yang 
ditelaahnya dikatakan bahwa definisi berikut ini dipandang 
lebih tepat dan paling digemari oleh banyak filosof. “Ilmu 
pengetahuan adalah kebenaran yang diperoleh melalui kesimpulan 
logis dari pengamatan empiris, (berpikir logis dan berpikir
induktif). Definisi ini biasanya didasarkan pada asas induksi, 
yaitu bahwa apa yang kelihatannya telah terjadi beberapa kali 
hampir pasti selalu terjadi dan dapat dipakai sebagai fakta 
dasar atau hukum yang memungkinkan dibangunnya suatu 
struktur teori yang kuat. Pentingnya pemikiran spekulatif 
diakui, dengan pengandaian bahwa ia dikendalikan oleh 
kesesuaian dengan fakta. 
Hasil analisis Ziman mengungkapkan bahwa penyelidi￾kan ilmiah di mulai dengan pengamatan dan percobaan, dan 
berakhir dengan generalisasi yang bersifat problematik dan 
tidak pernah dapat dengan begitu saja menyatakan bahwa 
masalahnya sudah selesai atau tidak boleh diganggu gugat lagi.  Ilmu pengetahuan bukan merupakan konsekuensi lebih lanjut 
dari metode ilmiah, tetapi ilmu pengetahuan adalah metode 
ilmiah itu sendiri. Selanjutnya Ziman mengatakan, bahwa 
kegiatan ilmiah bukanlah urusan pribadi, melainkan urusan 
bersama. Artinya semua orang yang tertarik pada penyelidikan 
ilmiah dapat berpartisipasi sebagai rekan yang sederajat. Ilmu 
pengetahuan itu dibentuk dan ditentukan oleh hubungan social 
diantara individu-individu. Tujuan dari ilmu pengetahuan 
bukan sekedar untuk memperoleh informasi dan 
menyampaikan pandangan-pandangan yang tidak saling 
bertentangan, tetapi bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat 
umum untuk mencapai suatu kesepakatan pendapat yang 
rasional mengenai bidang yang mungkin sangat luas.
Shaharir Muhammad Zain dalam bukunya Pengenalan 
Sejarah dan Falsafah Sains (1987:6), mengemukakan beberapa 
definisi tentang sains, salah satu diantaranya yang dinilai 
populer adalah bahwa sains merupakan “analisis phenomenon 
secara bersistem, logik, dan obyektif dengan kaedah khusus yang 
menjadi alat untuk mewujudkan pengetahuan yang benar”. Yang 
dimaksud dengan phenomenon adalah peristiwa yang beratribut 
yang dapat ditunjukkan secara obyektif. Sesuai dengan itu 
maka hal-hal alam gaib tidak dapat diamati, dan sebab  itu 
sains bukan untuk mengkaji phenomenon yang gaib. Tentu ini 
bertentangan dengan sains Islam, sebab  menurut sains Islam 
setiap gejala di alam nyata ini merupakan “ayat” kepada 
adanya yang gaib yang berdasarkan kepada tauhid, kewujudan 
Allah swt.
Ciri-Ciri Umum Ilmu Pengetahuan. Dari berbagai 
definisi tentang ilmu pengetahuan dapat diidentifikasi 
beberapa ciri ilmu pengetahun, antara lain sebagai berikut:

1. Ilmu bersifat rasional, artinya proses pemikiran yang 
berlang-sung dalam ilmu harus dan hanya tunduk pada 
hukum-hukum logika.
2. Ilmu itu bersifat objektif, artinya ilmu pengetahuan 
didukung oleh bukti-bukti (evidences) yang dapat 
diverifikasi untuk menjamin keabsahannya. 
3. Ilmu bersifat matematikal, yakni cara kerjanya runtut 
berdasarkan patokan tertentu yang secara rasional dapat 
dipertanggungjawabkan, dan hasilnya berupa fakta2 yang 
relevan dalam bidang yang ditelaahnya.
4. Ilmu bersifat umum (universal) dan terbuka, artinya harus 
dapat dipelajari oleh tiap orang, bukan untuk sekelompok 
orang tertentu.
5. Ilmu bersifat akumulatif dan progresif, yakni kebenaran 
yang diperoleh selalu dapat dijadikan dasar untuk
memperoleh kebenaran yang baru, sehingga ilmu 
pengetahuan maju dan berkembang.
6. Ilmu bersifat communicable artinya dapat dikomunikasikan
atau dibahas bersama dengan orang lain. 
Mengenai sifat obyektif dari ilmu pengetahuan menim￾bulkan beberapa persoalan, sebab  obyektif itu diartikan 
sebagai bebas nilai, atau bersifat netral, tidak dipengaruhi oleh 
subyektivitas orang yang meneliti ilmu itu. Dalam penelitian 
kualitatif, istilah obyektif kurang tepat dipakai sebab  nuansa 
subyektif dalam penelitian kualitatif sangat dominan, sehingga 
obyektivitas hasil penelitian diragukan. Selain itu hasil suatu 
penelitian ilmiah tidak sama antara yang satu dengan yang lain 
terutama antara ilmu-ilmu yang berbeda karasteristiknya, 
sehingga istilah intersubyektif lebih diperlukan dalam ilmu￾ilmu social daripada ilmu alamiah. Dilihat secara filosofis 
adalah sangat sukar untuk menyatakan sesuatu itu sebagai 
obyektif sebab  sesungguhnya segala hal yang ada dalam alam 
semesta ini adalah hasil dari suatu kesepakatan antara individu 
atau kelompok yang memiliki otoritas dalam satu bidang ilmu, 
yang kemudian diikuti oleh warga  luas.
2. Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam buku ini filsafat ilmu pengetahuan dirumuskan 
sebagai cabang filsafat yang mempersoalkan secara menyelu￾ruh dan mendasar mengenai segala masalah yang berhubu￾ngan dengan ilmu pengetahuan, khususnya mengenai hakekat 
ilmu pengetahuan, sumber ilmu pengetahuan, metode ilmu 
pengetahuan, dan kebenaran ilmu pengetahuan.
Kata epistemologi untuk filsafat ilmu pengetahuan berasal 
bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu). Dalam 
literatur dijumpai bahwa ada yang menggunakan istilah filsafat 
ilmu dan ada pula yang menggunakan istilah filsafat ilmu 
pengetahuan. Keduanya tidak berbeda secara prinsipil, namun 
untuk buku ini dipergunakan istilah filsafat ilmu pengetahuan 
(filsafat sains). Sebagai perbandingan, berikut ini dikemukakan 
beberapa definisi mengenai filsafat ilmu pengetahuan.
Cornellius Benjamin (dalam Runes: Dictionary of Philosophy, 
1975:55). Filafat Ilmu ialah cabang filsafat yang merupakan 
telaah yang sitematis mengenai sifat dasar ilmu, khususnya 
metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan prasangka￾prasangkanya, serta letaknya dalam kerangka umum dan 
cabang-cabang pengetahuan intellektual.
The Liang Gie (Pengantar Filsafat Ilmu, 1977:61). Filsafat Ilmu 
ialah segenab pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan 
mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun 
hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. 
Landasan dari ilmu itu mencakup konsep-konsep pangkal, 
anggapan-anggapan dasar, asas-asas permulaan, struktur￾struktur teoritis dan ukuran-ukuran kebenaran ilmiah. Filsafat 
ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan campuran yang 
eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan 
timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Jujun Suriasumatri (Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar, 1996:33) 
Filsafat ilmu adalah bagian filsafat epistemologi yang secara 
spesifik mengkaji hakekat ilmu (pengetahuan ilmiah), yang 
ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat 
ilmu, baik yang mengenai pertanyaan ontologis, maupun 
pertanyaan epistemologis dan axiologis tentang ilmu.
3. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu Pengetahuan
Dalam definisi-definisi ini  di atas telah 
tergambarkan ruang lingkup dari filsafat ilmu pengetahuan, 
antara lain menyangkut konsep ilmu, sumber, metode, 
kebenaran, dan kegunaan ilmu pengatahuan. Berikut ini 
dikutip beberapa pendapat mengenai ruang lingkup filsafat 
ilmu pengetahuan. 
Menurut Popkin and Stroll (Philosophy Made Simple, 
1959) ruang lingkup epistemologi meliputi: 
1. Teori pengetahuan, yaitu tentang hakekat, dasar, dan 
luas pengetahuan
2. Teori kebenaran
3. Teori ketepatan berpikir atau Logika
Arthur Pap (An Introduction to the Philosophy of Science, 
1967:vii) membagi filsafat ilmu itu atas dua macam, yaitu:
1. Filsafat ilmu yang umum (philosophy of science in general), 
yaitu filsafat ilmu yang membahas konsep dan metode
yang terdapat dalam semua ilmu.
2. Filsafat ilmu-ilmu khusus (philosophy of spesific science), 
misalnya filsafat fisika dan filsafat psikologi, filsafat 
hukum, filsafat pendidikan, dll. Setiap filsafat ilmu 
khusus itu membahas konsep-konsep yang khusus 
berlaku dalam lingkungan masing-masing ilmu.
The Liang Gie (1997:83), membagi masalah yang dibahas 
dalam filsafat ilmu ke dalam 6 kelompok, yaitu :
1. Masalah etimologis tentang ilmu
2. Masalah metafisis tentang ilmu
3. Masalah metodologis tentang ilmu
4. Masalah logis tentang ilmu
5. Masalah etis tentang ilmu
6. Masalah estetis tentang ilmu. 
4. Guna Mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan
Memperhatikan hakekat filsafat dan pentingnya ilmu 
pengetahuan maka mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan 
memberikan beberapa manfaat, yaitu:
a. Melatih kita berpikir logis dan kritis terhadap kebenaran. 
Jadi filsafat ilmu pengetahuan sangat bermanfaat bagi 
mahasiswa sebab  dapat membantu mereka untuk semakin 
kritis terhadap berbagai macam teori dan pengetahuan 
ilmiah yang dipelajarinya. Bersikap kritis artinya kita tidak 
mudah saja percaya atau menerima suatu pendapat atau 
teori, tetapi dipikirkan dulu dengan matang Sikap kritis itu 
harus dikembangkan sebagai suatu cara hidup.
b. Akan lebih menyadarkan kita kepada hakekat dan makna 
ilmu pengetahuan, serta mengenai metode dan prosedur 
pengembangan ilmu. Bagi calon ilmuan pengetahuan 
mengenai hal-hal ini  sangat perlu dipelajari, khusus-
nya untuk melakukan penelitian ilmiah. Mahasiswa (calon 
ilmuan) perlu memiliki kemampuan ilmiah, yaitu kemam￾puan menganalisis berbagai peristiwa dan menjelaskan 
keterkaitan antara berbagai peristiwa. Dalam hubungan ini 
maka akan sangat membantu mahasiswa bila kelak ia 
bekerja sebagai apa saja (ahli hukum, wartawan, guru, 
teknisi, dan lain-lain) sebab  semua pekerjaan itu berkaitan 
dengan usaha  pemecahan masalah tertentu.
c. Lebih menyadarkan kita akan pentingnya peranan etika 
dalam pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan 
dan teknologi. IPTEK tidak hanya untuk memuaskan rasa 
ingin tahu tetapi juga untuk membantu manusia memecah￾kan berbagai persoalan hidup, dan untuk dapat hidup 
dengan baik dan benar. Berbagai masalah yang timbul 
sebagai akibat moder-nisasi (kemiskinan, keterbelakangan, 
penyakit, dan lain-lain) memang dapat dipecahkan dengan 
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga sangat 
penting peran etika di dalamnya.
J.Sudarminta (2002:26) dalam bukunya Epistemologi Dasar: 
Pengantar Filsafat Pengatahuan, mengatakan bahwa epistemologi 
sangat perlu dipelajari sekurang-kurangnya sebab  3 alasan, 
yaitu:
a. Alasan strategis, sebab  pengetahuan merupakan hal yang 
secara strategis penting bagi hidup manusia (knowledge is 
power). sebab  strategisnya kedudukan pengetahuan maka 
epistemologi sangat perlu dipelajari guna memahami 
bagaimana hakekat pengetahuan itu sesungguhnya.
b. Alasan dari sudut kebudayaan, sebab  pengetahuan adalah 
salah satu unsur kebudayaan yang sangat besar peranannya 
bagi kehidupan manusia. Berkat pengetahuannya maka 
manusia mampu membudayakan alam, membudayakan warga , dan membudayakan dirinya sendiri. sebab  itu 
mempelajari epistemologi adalah perlu misalnya untuk 
mengetahui bagaimana kebudayaan dipengaruhi oleh 
perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Alasan dari sudut pendidikan,sebab  pengetahuan merupakan 
isi pendidikan (proses pengajaran) yang diperlukan dalam 
usaha  mengembangkan kepribadian manusia. Ontologi adalah bagian filsafat yang membahas hakekat 
realitas atau hakekat yang ada, termasuk hakekat ilmu 
pengetahuan sebagai sebuah realitas. Ada tiga macam yang ada
(realitas) yang menjadi obyek pemikiran filsafat, yaitu alam 
fisik (cosmos), manusia (antropos), dan Tuhan (Teos). 
Pemikiran mengenai alam fisik menimbulkan filsafat alam atau 
kosmologi; pembahasan mengenai manusia menimbulkan 
fisafat manusia atau atropologi filsafat; dan pembahasan 
mengenai Tuhan menimbulkan filsafat ketuhanan atau teologi. 
Filsafat alam misalnya, dipersoalkan apakah alam ini pada 
hakekatnya satu (monistik) atau banyak (pluralistik), apakah ia 
bersifat menetap (permanent) atau berubah (change), apakah ia 
merupakan sesuatu yang aktual atau hanya kemungkinan 
(potensial).
Dalam filsafat manusia antara lain dipertanyakan apakah 
manusia itu badan atau jiwa atau kesatuan antara keduanya, 
apakah manusia itupada hakekatnya bebas ataun tidak bebas. 
Jadi masalah ontologi sangat luas ruang lingkupnya, bukan 
hanya terbatas pada masalah alam fisik saja, tetapi termasuk 
juga alam metafisik yaitu sesuatu yang berada di luar (beyond) 
dan setelah (after) alam fisik, atau alam yang lebih luas lagi 
yang tidak dikenal (terra incognito). sebab  daerah cakupan ontologi itu sangat luas, termasuk alam metafisik, maka 
persoalan yang menyangkut ilmu pengetahuan juga sangat 
luas, meliputi ilmu pengetahuan tentang alam fisik dan 
metafisik. Jika alam fisik mengenai persoalan realitas 
kebendaan yang dapat diketahui dengan pengalaman empiris, 
sebaliknya alam metafisik yang berada di luar realitas 
kebendaan, tidak dapat diketahui melalui pengalaman empiris. 
Diantara hal-hal yang besar dalam persoalan metafisika ialah 
masalah ketuhanan, masalah hubungan badan-jiwa-roh, 
masalah keabadian dan perubahan, serta masalah asal mula 
dan akhir sesuatu.
2. Klasifikasi dan Hierarki Ilmu Pengetahuan 
 Seyyed Houssein Nasr, dalam kata pengantarnya untuk 
buku Osman Bakar, Hierarki Ilmu (1992:11), mengatakan bahwa 
kekacauan yang mewarnai kurikulum pendidikan modern di 
kebanyakan negara Islam sekarang ini ialah hilangnya visi 
hierarkis terhadap pengetahuan seperti yang dijumpai dalam 
sistem pendidikan Islam tradisional. Dalam tradisi intelektual 
Islam, ada suatu hierarki dan kesalinghubungan antara 
berbagai disiplin ilmu yang memungkinkan realisasi kesatuan 
(keesaan) dalam kemajemukan, bukan hanya dalam wilayah 
iman dan pengalaman keagamaan tetapi juga dalam dunia ilmu 
pengetahuan. Ditemukannya tingkatan dan hubungan yang 
tepat antar berbagai disiplin ilmu merupakan obsesi para tokoh 
intelektual Islam terkemuka, dari teolog hingga filosof, dari sufi 
hingga sejarahwan, yang banyak diantara mereka mencurah￾kan energi intelektualnya pada masalah klasifikasi ilmu. Dalam 
dunia Islam tradisional, subjek dan objek pengetahuan dipan￾dang bersifat hierarkis. Hieraki pertama adalah Realitas 
Mutlak, yaitu Allah. Hierarki berikutnya ialah dunia jin dan  manusia, dan akhirnya dunia alami. Manusia dapat 
mengetahui melalui inderanya, akalnya, dan akhirnya melalui 
wahyu. Wahyu yang terkandung dalam Al-Quran memuat 
berbagai prinsip pengetahuan sebab  ia berada pada puncak 
hierarki. Otoritas intelektual Islam pada masa itu sepenuhnya 
sadar akan hierarki objek dan subjek pengetahuan. Berdasarkan 
realitas itu mereka mencoba mengklasifikasikan ilmu-ilmu 
yang dijabarkannya bukan hanya dari Al-Quran dan hadis, 
tetapi juga yang diwarisi dari peradaban-peradaban terdahulu 
seperti Yunani, Persia, dan India. Berikut ini dicantumkan 
klasisifikasi ilmu pengetahuan menurut filosof dan ilmuan,
baik dari Barat maupun Islam. 
Aristoteles (374-322 SM) mengklasifikasikan ilmu sebagai alat 
dan ilmu sebagai tujuan. Ilmu sebagai alat ialah logika, 
sedangkan ilmu sebagai tujuan dibagi kedalam dua bagian 
besar, yaitu:
1. Ilmu teoritis, meliputi fisika, matematika, dan 
metafisika 
2. Ilmu praktis, meliputi etika, ekonomi, dan politik. 
Klasifikasi Aritoteles ini dipakai oleh filosof Islam seperti 
al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu Sina sebagai dasar klasifikasi ilmu 
yang dikembangkannya.
 Pada zaman pertengahan, klasifikasi ilmu yang diterima 
dan berkembang pada masa itu adalah apa yang disebut 
Trivium dan Quadrivium: Ilmu-ilmu Trivium meliputi: 
Grammar, Dialektika, dan Retorika; sedangkan ilmu-ilmu 
Quadrivium meliputi: Aritmetik, Geometri, Musik, dan 
Astronomi.
 Pada zaman modern, konsep klasifikasi ilmu yang bertolak 
dari ilmu-ilmu empiris semakin berkembang pesat dan 
semakin mantap. Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Wilhelm 
Windelband (1848-1915) mencetuskan teori dikotomi antara 
disiplin sains (ilmu pengetahuan alam) dengan disiplin ilmu 
kemanusiaan dan sastera. Sejak itu ilmu pengetahuan dibagi 
atas dua kelompok besar, yaitu kelompok ilmu (science), dan 
kelompok Seni (Arts). 
Universitas Harvard pada tahun 1928 membuat klasifikasi 
ilmu ke dalam tiga kelompok, yaitu : physical science, Social 
Science, dan Human Science atau Humanities. Untuk kelompok 
physical science ada yang membagi menjadi pure science dan 
applied science, atau physical science dan biological science. Ilmu￾ilmu kemanusiaan (humanities) dan ilmu-ilmu sosial itu pada 
dasarnya sama, sebab  kedua-duanya berhubangan dengan 
persoalan manusia. Bedanya adalah kalau ilmu kemanusian 
membahas manusia sebagai individu, sedangkan ilmu sosial 
social membahas manusia sebagai makhluk sosial. Ke dalam 
Physical atau Natural Sciences termasuk: ilmu fisika, kimia, 
biologi, matematik, astronomi, farmasi, perubatan, dll. 
Kedalam Social Science termasuk ilmu sosiolgi, antropologi, 
ekonomi, geografi, sejarah, politik, hukum, dan lain-lain. 
Sedang dalam Humanitis termasuk: Ilmu bahasa, sastra, 
filsafat, seni halus, seni pertunjukan, dan lain-lain.
Di negara kita , sebagaimana tercantum dalam Undang￾Undang Pokok tentang Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 
1961, klasifikasi ilmu dibagi atas 4 kelompok, yaitu :
1. Ilmu Agama / Kerohanian
2. Ilmu Kebudayaan
3. Ilmu Sosial
4. Ilmu Eksakta dan Teknik
 Para ahli filsafat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina, 
Al Syirazi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah, dan Ibnu Khaldun, 
menyusun klasifikasi dan hirarki ilmu tersendiri yang
berpegang pada sumber al-Qur‟an dan Hadist, yaitu pemilahan
mana ilmu yang pokok atau utama dan mana yang tidak pokok 
atau tidak utama.
Al-Kindi (796-873 M) mengklasifikasi ilmu dalam dua jenis, 
yaitu ilmu teoritis dan ilmu praktis seperti pembagian 
Ariatoteles, yaitu;
1. Ilmu Teoritis (ilmu nazariah) : Fisika (ilmu tabiat), 
 Matematika (ilmu riyadiat), Metafisika (ilmu Ilahiyah),
2. Ilmu praktis (ilmu amaliyah) : Etika (akhlaqiyah),
Ekonomi (iqtisaduyah), Politik (siasiyah)
Ibnu Sina (980-1036 M), juga membagi ilmu seperti klasifikasi 
Aristoteles
1. Ilmu Teoritis : Fisika, Matematika, Metafisika, dan ilmu 
universal.
2. Ilmu praktis : Etika, Eonomi, Politik, Syariah.
Al-Farabi (878-950 M) mengklasifikasi ilmu sbb:
1. Ilmu Bahasa (ilm al-lisan)
2. Ilmu logika (ilm al-mantiq)
3. Ilmu Matematik (ulum al-ta‟alim)
4. Ilmu Fisika (al-ilm al-tabi‟i)
5. Ilmu Metafisika (al-ilm al-ilahi)
6. Ilmu warga  (ilm al-madani).
Klasifikasi ilmu menurut Quthb Al-Din Al-Syirazi (1236-1311 
M) adalah sebagai berikut: (sumber Osman Bakar, 1997)
A. Ilmu-ilmu filosofis (ulum hikmly)
1. Teoritis : metafisika, matematika, filsafat alam, logika
2. Praktis : etika, ekonomi, politik
B. Ilmu-ilmu non-filosofis (ulum ghair hikmly) Ilmu-ilmu ini diistilahkan sebagai ilmu-ilmu religious jika 
didasarkan atas, atau termasuk dalam, ajaran-ajaran syariah 
(hokum wahyu). Jika sebaliknya maka disebut ilmu-ilmu 
non-religius (ghair diniy). 
 Ilmu-ilmu religious dapat diklasifikasikan menurut dua 
cara yang berbeda:
1. Klasifikasi dalam ilmu-ilmu naqly dan ilmu-ilmu 
intelektual (aqly)
2. Klasifikasi dalam lmu tentang pokok-pokok (ushul) dan 
ilmu tentang cabang-cabang (furu‟)
Klasifikasi ilmu menurut Al-Ghazali (1058-1111 M) adalah
sebagai berikut:
1. Ilmu syar‟iyah dan ilmu aqliyah
2. Ilmu fardhu ain dan ilmu fardhu kifayah
Ilmu Syar’iyah terbagi atas ilmu usul (tauhid, tafsir, hadist) 
dan ilmu furu‟ (Ibadat, fiqh, akhlak), sedangkan Ilmu Aqliyah
terdiri atas tiga tingkatan, yaitu:
 Tingkat pertama adalah matematika (aritmatika, geometri, 
astronomi, astrologi, musik) dan logika
 Tingkat pertengahan adalah: ilmu pengetahuan alam 
(perubatan, metereologi, mineralogy, dan kimia). 
 Tingkat tertinggi adalah tentang maujud (yang wajib dan 
mungkin), tentang pecipta (zat-Nya, sifat-Nya dan 
perbuatan-Nya), tentang tasawuf, tentang malaikat, 
syaitan, mukjizat, dan kiamat;
Yang termasuk ilmu Fardlu „Ain menurut Al-Ghazali adalah : 
„aqidah, „ibadah, dan suluk/akhlaq, sedangkan yang termasuk 
fardlu kifayah adalah selebihnya. Klasifikasi ilmu menurut Ibnu Khaldun (1332-1382 M).
1. Ilmu Syar’iyah (al-Qur‟an, tafsir, hadist, nasikh dan 
mansukh, sanat hadist, usul fiqh, ilmu kalam dan ilmu 
tasawuf)
2. Ilmu Aqliyah (bilangan, berhitung, hisab, algebra, 
muamalat dan faraid, ilmu ekonomi, ilmu bentuk, ilmu 
ruang dan kawasan, ilmu kegunaan seperti perubatan, 
pertukangan, kebidanan, dan lain-lain).
 Dalam Konferensi Pendidikan Islam Sedunia yang 
diadakan di Islamabad pada tahun 1980, para cendekiawan 
muslim telah menyusun konsep klasifikasi ilmu (classification of 
knowledge) dan hierarki ilmu (hierarchy of knowledge) dalam 
Islam, yaitu sbb:
1. Ilmu Abadi (Perennial Knowledge) yang meliputi: 
a) Al-Quran (Qiraat, Sunnah, Sejarah awal Islam, Tauhid, 
Usul Fiqh dan Fiqh, dan Bahasa Arab
b) Subyek-subyek tambahan (Metafisika Islam, 
Perbandingan Agama, Tamaddun Islam).
2 Ilmu perolehan (Acquired Knowledge)
a) Seni
b) Ilmu intelektual
c) Ilmu-ilmu Kealaman (teoritis) seperti filsafat ilmu, 
Matematika, Statistik, fisika, Kimia, Astronomi, dan lain 
sebagainya) 
d) Ilmu-ilmu Terapan (ekonomi dan teknologi, kedokteran, 
dan lain-lain)
e) Ilmu-ilmu Praktis (ilmu komunikasi, home economics, dan 
lain-lain)
Dalam klasifikasi ini  jelas bahwa ilmu Islam yang 
berdasarkanwahyu ditempatkan pada hierarki yang tinggi. 
Ilmu-ilmu akal berada di bawahnya. Konsep klasifikasi dan 
hierarki ilmu dalam perspektif Islam adalah manifestasi ajaran 
Islam tentang ayat atau tanda kebesaran Allah SWT yang 
terbagi kedalam dua jenis, yaitu ayat Qur‟aniyah dan ayat 
Kauniyah. Ayat Qur’aniyah adalah firman Allah (Words of God) 
yang merupakan ulum al-Quran dan ilmu lainnya yang terkait 
(seperti ilmu al-Quran, ilmu hadist, aqidah, syariah, akhlak, 
Adapun ayat Kauniyah, adalah mengenai ciptaan Allah SWT 
yang menjadi tanda-tanda kebesaranNya, yang dapat dipelajari 
dalam alam syahadah yang terbentang luas dalam alam ini, 
seperti sains kealaman, yang meliputi ilmu fisika, biologi, kimia 
geologi, sosiologi, botani, dan lain-lain.
3. Hukum Kausalitas
 Hal lain yang berhubungan dengan ontologi ilmu ialah 
mengenai hukum ilmu, yang maksudnya adalah hukum sebab 
akibat atau hukum kausalitas. Dalam filsafat ilmu masalah 
hukum kausalitas itu merupakan persoalan yang tidak pernah 
terselesaikan, antara lain sebab  ilmu pengetahuan tidak hanya 
mengenai alam fisik, tetapi juga menyangkut alam metafisik. 
Dalam bidang ilmu kealaman terdapat hukum sebab akibat itu, 
tetapi tidak demikian halnya dalam ilmu-ilmu kemanusiaan 
dan ilmu keagamaan.
Dalam tradisi berpikir Barat yang sekuler terdapat aliran 
filsafat dualisme (aliran serba dua), misalnya dualisme badan 
dan jiwa, dan dualisme antara bebas dan tidak bebas mengenai 
manusia. Filsafat dualisme itu dimantapkan oleh Rene 
Descartes, yang membedakan antara res extensae (hal-hal yang 
memenuhi ruang) dan res cogitans (hal-hal yang dipikirkan)dan kemudian dikembangkan polarisasi ilmu ke dalam dua 
kelompok yang dipelopori oleh William Dilthey (1833-1911). Ia 
membagi ilmu ke dalam bidang ilmu-ilmu kealaman yang 
disebut Naturwissenschaften dan bidang ilmu kemanusiaan yang 
disebut Geisteswissenscahften. Menurutnya bidang ilmu keala￾man memerlukan metode erklaren sebab  diperlukan penjelasan
(explanation), sedangkan untuk bidang ilmu kemanusiaan perlu
metode verstehen, sebab  yang diperlukan ialah pemahaman 
(understanding), yaitu memahami dan menghayati jiwa dan 
tingkah laku manusia. 
Pendapat Dilthey itu diperkuat lagi oleh Wilhelm 
Windelband (1846-1915) yang menekankan pada dua macam 
ilmu yang disebut ilmu nomotetik (ilmu kealaman) dan ilmu 
idiografik, (ilmu kemanusiaan). Dalam ilmu-ilmu kealaman 
terdapat sifat-sifat umum dan universal sehingga dapat 
dirumuskan hukum-hukum tertentu (nomos). Sedangkan dalam 
ilmu-ilmu kemanusian seperti ilmu sejarah terdapat sifat-sifat 
khusus (idios) yang menyebabkan sulit untuk merumuskan 
hukum tertentu, atau tidak memiliki  hukum (anomi). 
Sebabnya adalah sebab  sejarah menyangkut dengan manusia, 
dimana manusia memiliki ciri idiosyncracy atau sifat khusus 
yang berbeda antara manusia yang satu dengan yang lain. 
sebab  itu ilmu-ilmu empiris yang bersifat nomotetik itu disebut 
juga sebagai hard science, dan ilmu kemanusiaan yang idiografik
itu disebut sebagai solf science.
Pada zaman modern pandangan dunia mekanistik yang 
dikemukakan oleh Descartes, dimantapkan oleh Newton 
dengan konsep hukum alam yang sama (uniformity of nature) 
dimana alam semesta bergerak mengikuti hukum mekanisme 
yang tidak berubah untuk selama lamanya. Inilah asas filsafat 
naruralisme Newton, dimana Tuhan hanya merupakan tukang
yang menggerakkan mesin yang kemudiannya bergerak 
dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan lagi. Selain itu, 
salah satu ciri ilmiah yang sangat dibanggakan oleh umumnya 
ilmuan Barat ialah penekanan yang berlebihan pada sifatnya 
yang obyektif, sehingga mengabaikan sifat subyektivitas yang 
terdapat pada manusia. Sifat subyektif dipandang Comte 
sebagai tidak ilmiah. Tetapi sekarang ini pandangan obyektif 
dari sains itu tidak dapat lagi dipertahankan, sebab  tidak 
dapat diterima lagi secara mutlak. Dalam bidang fisik faktor 
subyektif juga terdapat apalagi dalam bidang ilmu social. 
Seperti dijelaskan oleh Fritjof Capra dalam The Tao of Physics
(1975), perkembangan dalam kuantum fisik menunjukkan 
bahwa kelakuan atom dan sub atom dipengaruhi oleh orang 
yang mengkajinya. 
Persoalannya ialah apakah benar hukum sebab akibat itu 
merupakan sifat asasi dari alam semesta ini? Sebenarnya sejak 
zaman Yunani masalah hukum sebab akibat itu sudah menjadi 
pemikiran para filosof waktu itu. Aristoteles mengemukakan 
teori tentang Causa Efficiens yang menunjuk kepada sebab 
pertama yang mencipta kejadian. Teori ini sangat besar 
pengaruhnya sebagai dalil kosmologi mengenai wujudnya 
Tuhan. Baginya adalah mustahil rangkaian sebab-akibat terus 
bersambung tanpa titik akhir. Ia harus berakhir pada sebab 
segala sebab, yaitu Tuhan sebagai Sebab Pertama (The First 
Cause).
Sebenarnya tidak semua pemikir Barat menyetujui hukum 
sebab akibat itu. Sikap kritis terhadap hukum kausalitas itu 
dilakukan oleh John Locke, George Berkeley, David Hume, dan 
Immanuel Kant, dan bahkan juga oleh Bertrand Russell. 
Ternyata kemudian teori Newton yang menyatakan 4 
komponen utama (zat, gerak,ruang dan waktu) itu bersifat yang menggerakkan mesin yang kemudiannya bergerak 
dengan sendirinya tanpa campur tangan Tuhan lagi. Selain itu, 
salah satu ciri ilmiah yang sangat dibanggakan oleh umumnya 
ilmuan Barat ialah penekanan yang berlebihan pada sifatnya 
yang obyektif, sehingga mengabaikan sifat subyektivitas yang 
terdapat pada manusia. Sifat subyektif dipandang Comte 
sebagai tidak ilmiah. Tetapi sekarang ini pandangan obyektif 
dari sains itu tidak dapat lagi dipertahankan, sebab  tidak 
dapat diterima lagi secara mutlak. Dalam bidang fisik faktor 
subyektif juga terdapat apalagi dalam bidang ilmu social. 
Seperti dijelaskan oleh Fritjof Capra dalam The Tao of Physics
(1975), perkembangan dalam kuantum fisik menunjukkan 
bahwa kelakuan atom dan sub atom dipengaruhi oleh orang 
yang mengkajinya. 
Persoalannya ialah apakah benar hukum sebab akibat itu 
merupakan sifat asasi dari alam semesta ini? Sebenarnya sejak 
zaman Yunani masalah hukum sebab akibat itu sudah menjadi 
pemikiran para filosof waktu itu. Aristoteles mengemukakan 
teori tentang Causa Efficiens yang menunjuk kepada sebab 
pertama yang mencipta kejadian. Teori ini sangat besar 
pengaruhnya sebagai dalil kosmologi mengenai wujudnya 
Tuhan. Baginya adalah mustahil rangkaian sebab-akibat terus 
bersambung tanpa titik akhir. Ia harus berakhir pada sebab 
segala sebab, yaitu Tuhan sebagai Sebab Pertama (The First 
Cause).
Sebenarnya tidak semua pemikir Barat menyetujui hukum 
sebab akibat itu. Sikap kritis terhadap hukum kausalitas itu 
dilakukan oleh John Locke, George Berkeley, David Hume, dan 
Immanuel Kant, dan bahkan juga oleh Bertrand Russell. 
Ternyata kemudian teori Newton yang menyatakan 4 
komponen utama (zat, gerak,ruang dan waktu) itu bersifat  absolut telah terbantah oleh teori Relativisme Einstein. Artinya 
keempat komponen itu bersifat relatif. Demikian pula sifat 
indeterministik dalam gejala alam menjadi lebih jelas dengan 
munculnya teori kuantum oleh Niels Bohr. Selanjutnya dengan 
ditemukannya teori mekanik kuantum oleh Werener 
Heisenberg, menunjukkan bahwa terdapat batasan dalam 
kemampuan manusia untuk mengetahui dan meramalkan
gejala fisik secara pasti. (lihat juga Fritjof Capra, dalam Titik 
Balik Peradaban, 2000).
Dalam dunia Islam, Al-Ghazali merupakan tokoh yang 
paling keras menentang hukum kausalitas itu. Menurut Al￾Ghazali, gerakan alam semesta ini terlaksana adalah sebab  
kehendak Allah SWT. Hukum sebab akibat yang berlaku di 
alam ini bukanlah sebab  kekuatan alamiah dari benda benda 
tertentu dalam alam ini, tetapi hal itu merupakan sunatullah. 
Suatu sebab tidaklah harus memberikan akibat tertentu. Seperti 
halnya air tidaklah seharusnya membasahi, demikian pula api 
tidaklah semestinya membakar. Yang ada adalah bahwa sifat 
air membasahi dan sifat api membakar. 
Namun, hal itu bukanlah suatu kesemestian, sebab  dalam 
situasi lain, seperti dalam hubungan dengan mukjizat (miracle), 
dimana api tidak membakar Nabi Ibrahim dan air Laut Merah 
tidak membasahi atau menenggelamkan Nabi Musa dan 
pengikutnya. Demikian intisari pendapat Al-Ghazali dalam 
bukunya Tahafut Al-Falasifah yang menunjukkan betapa tidak 
benarnya konsep “keberangkalian” yang terdapat dalam 
hukum alam ini. Pemikiran Al-Ghazali ini oleh Karen Harding 
dipandang ada beberapa kesamaannya dengan teori mekanik 
kuantum yang baru timbul pada abad ke-20 (lihat.The American 
Journal of Islamic Social Sciences, vo. 10, No.2, 1993) (lihat juga 
Abdul Rahman Abdullah, 2005:42)
4. Sifat Ilmu Pengetahuan
Dalam hubungan dengan ontologi ilmu dikenal 3 macam 
sifat dari ilmu pengetahuan yaitu sifat santifik, humanistik, dan 
holistik.
Sifat Saintifik (Ilmiah). 
 Sifat saintifik dari ilmu pengetahuan berkaitan dengan 
hukum kausalitas seperti telah dikemukakan diatas. Seperti 
dijelaskan oleh Windelband bahwa ada dua jenis ilmu, yaitu 
ilmu nomotetik dan ilmu idiografik. Khusus ilmu nomotetik 
merupakan ilmu pengetahuan kealaman yang dikatakan 
memiliki  pola hukum yang bersifat umum dan universal, 
yaitu hukum sebab dan akibat (cause and effect) yang tetap. 
Dengan sifat yang demikian maka dapat dibuat prediksi atau 
ramalan tentang kejadian yang akan datang, yang biasanya 
akan berlaku tepat seperti yang ditentukan (determined). Ciri 
nomotetik dan deterministik atau dapat diramalkan itu 
merupakan prinsip ilmiah yang paling asasi, selain dari ciri-ciri 
obyektif, induktif, dan kuantitatif. Penjelasan ilmiah atau 
scientific explanation adalah suatu bentuk penjelasan yang 
berasaskan hukum sebab-akibat yang pasti dan tetap. 
Penjelasan ilmiah itu dapat dibagi atas dua macam bentuk, 
yaitu: penjelasan nomologi deduktif penjelasan nomologi-induktif. 
Deduktif ialah metode berpikir yang mengambil 
kesimpulan dari kaedah umum kepada yang khusus, atau dari 
hal yang abstrak kepada yang konkrit. Sedangkan induktif
ialah metode berpikir yang mengambil kesimpulan dari kaedah 
yang khusus kepada yang umum, atau dari hal-hal yang 
konkrit kepada yang abstrak. Dengan demikian penjelasan jenis 
pertama merupakan cara “dari atas ke bawah” sebab  
didasarkan pada asumsi bahwa sebab sesuatu gejala berkaitan 
dengan hukum yang sudah diketahui. Sedangkan penjelasan 
jenis kedua merupakan cara dari “bawah ke atas” sebab  
hukum yang dicari dilakukan melalui hipotesis. 
Adapun ciri dari bentuk nomologi deduktif adalah 
tendensinya kearah sifat deterministik, artinya apabila berlaku 
suatu hal maka tidak dapat dielakkan akan terjadi atau berlaku 
hal yang lain. Dengan kata lain setiap sebab pasti akan 
membawa kepada akibat tertentu. Sedangkan dalam bentuk 
nomologi-induktif atau yang dikenal sebagai penjelasan 
probabilistik, cirinya yang utama ialah probabilistik atau 
kemungkinan atau kebarangkalian. 
Demikianlah dua bentuk penjelasan ilmiah yang 
berdasarkan hukum sebab–akibat, dimana yang pertama 
bersifat pasti (deterministik) dan yang kedua bersifat 
barangkali (probabilistik). Dalam bidang ilmu kealaman 
terdapat semacam kesepakatan tentang adanya hukum sebab￾akibat (hukum kausalitas) yang bersifat pasti dan tetap 
sehingga kita dapat meramalnya gejala apa yang akan terjadi 
berikutnya. Melalui pengalaman empiris terbentuk konsep 
hukum alam (natural law), seperti yang antara lain banyak 
ditemukan oleh Isaac Newton.
Berbeda halnya dengan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan 
yang sifatnya probabilistik, bukan deterministik. Dalam ilmu 
kemanusiaan tidaklah berlaku hukum sebab-akibat seperti 
yang diharapkan. sebab  ilmu ini  bersifat humanistik. Ini 
tidak berarti bahwa ilmu-ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu 
social tidak dapat disebut ilmiah. Masalah yang paling 
mendasar dalam hal ini ialah prinsip ontologi Barat itu sendiri 
yang mengutamakan ilmu empiris sebagai ilmu yang ilmiah 
dan sekaligus menganggap ilmu-ilmu kealaman sebagai ratu 
dari segala ilmu (Queen of sciences). Ilmu-ilmu kealamasn yang 
berciri nomotetik dan deterministik itu dipandang bersifat 
ilmiah, sedangkan ilmu-ilmu lain yang tidak berciri seperti itu 
dipandang tidak ilmiah. 
Sifat Humanistik (Kemanusiaan). 
 Sifat humanistik dari ilmu pengetahuan menjadi asas bagi 
ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Sifat humanistik 
terbagi atas dua macam pendekatan, yaitu: pendekatan 
fungsional dan pendekatan genetik. Pendekatan fungsional
disebut juga teleological sebab  maknanya dalam sifat itu 
terkandung tujuan tertentu. Untuk mengenal bagaimana 
pendekatan fungsional seringkali digunakan pertanyaan 
mengapa atau kenapa, dan jawabannya adalah untuk mencapai 
tujuan tertentu, yang sering digunakan ungkapan: agar, 
supaya  , demi, untuk, dengan tujuan, dan seterusnya.
Pendekatan genetik, yang disebut juga pendekatan 
historical, sebab  corak jawaban yang diberikannya dikaitkan 
dengan peristiwa masa lalu. Misalnya bagaimana kita 
menjelaskan mengenai terjadinya atau sejarah berlakunya 
peristiwa tertentu. Untuk jawabannya dijelaskan tentang 
urutan sejarah atau tahap perkembangan objek yang dikaji 
dalam perjalanan waktu. Demikian pula kalau kita ingin 
mengetahui mengapa seorang perempuan memiliki  jenis 
rambut tertentu maka pendekatan genetik dipakai untuk 
menekankan faktor keturunan perempuan ini . Dalam 
bidang psikologi banyak dipergunakan pendekatan genetik 
ketika mengkaji perilaku manusia, yaitu dengan mengkaji apa 
yang terjadi pada masa kecil seseorang.
Kedua pendekatan itu biasanya dipakai dalam ilmu-ilmu 
sosial (social sciences) seperti antropologi, sosiologi, dan 
psikologi, dan juga dalam ilmu kemanusiaan (humanities). Jadi 
berbeda dengan ilmu-ilmu kealaman (physical siences) yang 
menggunakan pendekatan ilmiah (saifitik). Dengan pendekatan yang berbeda itu maka terjadi pemisahan atau dikotomi antara 
bidang ilmu kealaman dengan ilmu social dan kemanusiaan, 
sebagaimana telah dipelopori pemisahan itu oleh William 
Dilthey dan Wilhem Windelband. Seperti telah dikemukakan 
bahwa Dilthey menggunakan pendekatan explanation /verklaren
untuk bidang ilmu kealaman, dan pendekatan understanding/ 
verstehen untuk bidang kemanusiaan. Sementara itu 
Windelband menekankan konsep ilmu nomotetik bagi bidang 
ilmu kealaman, dan konsep ilmu ideografik untuk ilmu 
kemanusiaan. 
Pengertian verstehen ialah memahami dan mengerti 
perasaan atau keadaan batin seseorang dengan menempatkan 
dirinya dalam konteks situasi dan zaman orang yang dikaji. 
Dengan pendekatan verstehen dapat dipahami (understand) 
perasaan, pikiran, dan perilaku orang yang dikaji dengan 
menempatkan pikiran dan perasaan pengkaji ke dalam situasi 
yang dikaji. Kita hanya dapat memahami secara mendalam 
tentang orang lain itu dengan cara empathy, yaitu dengan
menghayati dan menyelami sejarahnya. Menurut Dilthey ada 
tiga syarat yang harus dipenuhi dulu agar pengertian dan 
pemahaman kita dapat diperoleh dengan baik.
1. Kita harus memiliki  pengalaman dalam proses 
psikologi, misalnya pengalaman tentang cinta jika bertuju￾an ingin mengetahuai manusia yang bercinta.
2. Kita harus mengetahui tentang konteks zamannya. 
Misalnya suatu perkataan hanya dapat dipahami dengan 
mendalam menurut situasi yang bersangkutan.
3. Kita harus mengetahui bahasa dan sistem sosiobudaya 
yang dipelajari. Misalnya untuk memahami suatu kalimat 
perlulah diketahui bahasa yang berkenaan, dan untuk 
mengerti suatu permainan kita perlu mengetahui 
peraturannya.
Konsep Verstehen itu bukan hanya dipakai dalam bidang 
sejarah dan sosiologi tetapi juga dalam bidang sastra yang 
dikenal dalam bentuk hermeneutic, yaitu memahmi dan 
mentafsir makna sesuatu teks masa lalu secara menyeluruh dan 
mendalam. Tokoh-tokoh hermeneutic pada zaman modern 
antara lain: Martin Heidegger, Hans-Georg Gadamer, Paul 
Ricoeur, Michel Foucault, dan Jacques Derrida. Konsep 
hermeneutic ala Dilthey memberi tekanan pada teori ilmu 
pengetahuan (epistemologi) sedangkan konsep hermeunetic 
menurut Gadamer berubah menjadi persoalan Ontologi ilmu. 
Jadi perubahan dari persoalan tentang sarana memperoleh ilmu 
pengetahuan kepada persoalan tentang keberadaan manusia di 
dunia ini, yaitu kepada usaha manusia mentafsirkan dunianya, 
penafsiran yang berlangsung berdasarkan adanya hubungan 
timbal balik antara yang mengenal dengan yang dikenal, antara 
pembaca dan pengarang. Oleh Gadamer dunia yang amat luas 
itu diperkecil menjadi dunia penafsiran teks tertulis. 
Adapun penjelasan Wilhelm Windelband mengenai 
pemisa-han atau dikotomi kedua macam bidang ilmu itu 
adalah sebagai berikut. Dalam bukunya History and Natural 
Sciences (1894), dijelaskan bahwa pemisahan kedua macam 
bidang ilmu itu (Ilmu Sejarah dan Ilmu-Ilmu Kealaman) adalah 
dilihat dari segi kaedahnya, bukan dari segi pokok 
persoalannya. Ilmu-ilmu kealaman (nomotetik) memiliki  sifat 
general (umum) dan universal (sejagat) sehingga dapat 
dirumuskan pola hukum (nomos), sedangkan ilmu social dan 
humanities (idiografik) seperti sejarah memiliki  sifat unik dan 
khusus (idios) yang menyebabkannya tidak dapat dibuat 
generalisasi atau hukum tertentu. 
Sebagaimana sifat saintifik, sifat humanistik daripada 
ilmu juga memiliki  masalahnya sendiri. Kalau sifat saintifik 
terjebak ke dalam bahaya determinisme dan naturalisme, maka 
sifat humanistik sering terjebak ke dalam bahaya relativisme 
dan subjektivisme. Ruang dan waktu yang berbeda seringkali 
meng-hasilkan corak budaya dan pemikiran yang berbeda 
pula. Seseorang yang hidup dalam semangat zaman dan 
semangat tempat tertentu sudah tentu tidak dapat menilai 
dengan seksama terhadap orang atau kejadian pada zaman dan 
tempat yang berbeda. Walaupun pendukung sifat humanistik 
berusaha meniadakan unsur relativisme dan sujektivisme itu 
melalui syarat yang dikenakan, namun masalah ini  tidak
dapat dielakkan sama sekali. Pikiran sipelaku sejarah memang 
terkait dengan ruang dan waktu tertentu, tetapi pikiran 
sipengkaji sejarah terkait dengan ruang dan waktu sekarang. 
Adalah tidak mungkin sama sekali pikiran pelaku sejarah dapat 
dipindahkan dengan tepat ke masa kini. Kalaupun ada usaha 
untuk itu (misalnya dalam pementasan atau film) namun 
kebenarannya hanya kebetulan saja. 
Sifat Holistik
 Dalam usaha  memahami dan menjelaskan fenomena alam 
dan manusia, ternyata sifat saintifik sangat menekankan 
pentingnya alam fisik (alam natural) sehingga ilmu yang 
dipandang ilmiah ialah ilmu-ilmu kealaman (natural sciences) 
saja, sebab  ilmu-ilmu itu bersifat nomotetik (bersifat umum dan 
universal), yang memenuhi hukum kausalitas. Sebaliknya sifat
humanistik memandang bahwa ilmu-ilmu sosial dan humanitis 
juga tergolong ilmiah yang kebenarannya dapat dipetanggung￾jawabkan secara metodologis. Pandangan dualistis, dan malah 
dikotomis antara kedua bidang ilmu itu cukup lama berlangsung dalam tradisi pemikiran Barat yang sekuler. 
Sebenarnya baik sifat saintifik maupun humanistik dari ilmu 
pengetahuan memiliki  kekuatan dan kelemahan-nya 
masing-masing. sebab  itu kedua sifat itu diperlukan. Unsur￾unsur yang baik dari saintifik dapat dipakai untuk 
pengembangan ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, dan sebalik￾nya unsur yang baik dari humanistik dapat dimanfaatkan 
untuk pengembangan ilmu-ilmu kealaman. Sikap eklektif 
seperti itu lebih baik dari pada sikap dikotomis yang 
mempertentangkan secara ektrim antara kedua bidang ilmu itu, 
sebab  hanya dengan sikap saling meminjam dan membantu 
itu dapat terwujud keseimbangan atau keharmonisan.
Sifat holistik merupakan suatu pandangan dunia (world￾view) yang bersifat menyeluruh dan terpadu dalam usaha  
menjelaskan persoalan antara alam natural dan supernatural 
atau antara alam fisik dan metafisik, atau antara persoalan 
dunia dan akhirat (agama). Sifat holistik daripada ilmu itu 
disebut juga bersifat Rabbani, yang sejalan dengan falsafah
Islam mengenai persoalan alam dan manusia, khususnya 
mengenai persoalan ilmu pengetahuan alam serta pengetahuan 
social dan kemanusiaan. Pandangan Barat mengenai hal 
ini  tidak memperhatikan peranan agama atau peranan 
Tuhan. 
Padahal, sesuai dengan konsep ontologi yang mencakup 
alam natural dan supernatural, maka selayaknya faktor agama 
turut diperhatikan, malah seharusnya menjadi dasar bagi 
pembahasan masalah alam dan manusia. Pandangan yang 
keliru terhadap alam fisik atau alam natural akan melahirkan 
ilmu yang keliru pula. Konsep hukum alam yang serba 
mekanistik dan deterministik telah membentuk sifat ilmiah dari 
ilmu juga bersifat mekanistik dan deterministik. Menurut sifat  humanistik dapat dipakai dalam usaha  memahami dan 
menjelaskan fenomena alam semesta dan fenomena manusia.
(lihat Abdul Rahman Haji Abdullah, 2005). 
5. Aliran Filsafat Ontologi
Dalam fisafat Barat terdapat banyak aliran, yang beberapa 
diantaranya dapat digolongkan ke dalam filsafat ontologi yang 
membahas tentang hakekat realitas, yaitu: aliran materialisme, 
vitalisme, humanisme, dan eksistensialisme, serta juga aliran 
beberapa aliran dilihat dari sudut jumlah, seperti: monisme, 
dualisme, dan pluralisme. (Mengenai aliran-aliran ini  lihat 
juga Darwis A. Soelaiman, 2002).
Materialisme. Materialisme adalah aliran filsafat metafisika 
yang mengembalikan segala sesuatu kepada dunia materi. 
Kenyataan sejati atau kenyataan sesungguhnya dari segala 
sesuatu, termasuk manusia, adalah benda atau materi. 
Menurut materialisme manusia itu memang merupakan 
kesatuan badan dan jiwa, namun yang penting adalah 
badannya atau jasmaninya yang tiada lain adalah materi. 
 Filsafat materislisme sudah ada sejak zaman Yunani klasik. 
Menurut seorang tokohnya, Democritos (460-370 SM) kenyata￾an itu terdiri dari atom-atom (atomos) yang tidak dapat dibagi 
bagi, tidak dapat diamati dan bersifat menetap. Tetapi atom￾atom itu sering berbeda besarnya, bentuk, gerak dan 
susunannya. Meniurut Demokritos gerak atom itu ditentukan 
oleh hukum yang bersifat mutlak. Pandangan Demokritos itu 
di samping mekanistis juga deterministis dan menolak 
kebebasan. Menurutnya jiwa itu sendiri terdiri atas atom-atom 
yang halus dan meliputi seluruh badan kita. 
 Pada abad pertengahan materialisme tidak berkembang, 
sebab  pada masa itu peranan gereja sangat besar, tetapi  kemudian pada abad 17 dan 18, terutama abad 19 materialisme 
mengalami perkembangan yang sangat pesat di Eropah Barat, 
sebab  sejalan dengan pemikiran renaissance. Materialisme 
dalam filsafat modern itu dapat dibedakan antara dua macam. 
Pertama, sebagai kelanjutan dari filsafat materialisme yang 
berkembang pada masa Renaisance, yaitu yang disebut 
materialisme ilmiah, dimana ilmu pengetahuan didasarkan 
pada prinsip materialistik. Tokohnya De Lametrie (1709-1751), 
Ludwig Buchner (1824-1899), dan Ernest Haeckel (1834-1919).
Kedua ialah materialisme yang timbul sebagai reaksi terhadap 
idealisme, sebagaimana dikembangkan oleh Ludwid Feuerbach
(1804-1872), Holbach (1715-1717), Vogth (1817-1895), dan Karl 
Marx (1818-1883) yang terkenal dengan aliran materialisme 
historis. Aliran naturalisme sebagaimana dikembangkan oleh 
Charles Darwin (1809-1882), dan aliran Positivisme August 
Comte (1798-1857) juga tergolong ke dalam aliran materialisme
atau bentuk lain dari materialisme.
Vitalisme (Filsafat Hidup). Vitalisme adalah suatu aliran 
filsafat ontologi yang memutlakkan dunia organis, dan 
memandang bahwa kehidupan adalah sebagai kenyataan sejati 
satu-satunya. Aliran ini mulai timbul di Eropah akhir abad ke-
19 sebagai protes terhadap aliran yang sangat menguasai alam 
pikiran pada masa itu, yaitu materialisme, idealisme, dan 
positivisme. Materialisme dalam berbagai bentuknya dipan￾dang oleh vitalisme sebagai tidak memperhatikan cici-ciri 
totalitas, spontanitas, dan finalitas dari kehidupan atau dunia 
organis itu. Demikian juga idealisme dalam berbagai 
bentuknya ditentang, sebab  idealisme hanya memandang idea 
atau rohani manusia sebagai kenyataan sejadi satu-satunya. 
Positivisme ditolak sebab  aliran ini sangat menekankan pada 
pentingnya akal, dan hanya memandang ilmu saja yang dapat 
dijadikan dasar untuk berfilsafat.Menurut vitalisme, yang primer bukanlah akal pikiran 
atau rohani manusia, tetapi adalah kehidupan. Tak ada roh 
tanpa kehidupan, dan bahwa berfilsafat tidak hanya 
menyangkut hal-hal yang dipikirkan dengan akal saja, atau 
yang dapat dijangkau secara rasional saja, tetapi juga 
menyangkut hal-hal yang tidak dapat dipikirkan. Berfilsafat 
menyangkut pula hal-hal seperti kemauan, perasaan, hati 
nurani, dan keimanan manusia. sebab  itu vitalisme menekan￾kan pada segi irrasional manusia dimana peranan intuisi juga 
penting di samping peranan akal pikiran. Peranan kata hati 
dipandang penting sebab  keputusan-keputusan yang kita 
ambil dalam kehidupan kita seringkali berupa keputusan kata 
hati yang kadang-kadang bertentangan dengan keputusan akal.
Tokoh-tokoh aliran Vitalisme ialah Schoupenhour (1788-
1860); Edsward von Hartman (1842-1906), Frederick W. 
Nietsche 1844-1900), Henry Bergson (1859-1941), Dreiesch 
(1867-1941), Klages (1872-1949), dan Dilthey (1833-1912). 
Humanisme. Filsafat humanisme memberi tekanan 
kepada kemanusiaan sebagai hakekat manusia, dan bahwa 
kebebasan dan kedaulatan manusia itu adalah esensial. 
Menurut humanisme, manusia merupakan suatu totalitas 
kepribadian, merupakan manusia seutuhnya (a total person). 
Manusia memiliki  potensi-potensi dalam dirinya, yaitu 
pikiran, perasaan, kemauan, spiritual, yang untuk menjadi 
manusia seutuhnya, semua potensi itu harus dikembangkan 
atau diaktualkan. Manusia adalah subyek bukan objek. Setiap 
manusia adalah individu yang khas dan unik, yang memiliki 
dorongan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Manusia 
adalah makhluk pribadi dan social, dan dalam hubungan 
social, humanisme mementingkan hubungan pribadi (personal relations). Manusia memiliki kebebasan dalam mengaktualisasi￾kan dirinya.
Humanisme sudah ada sejak zaman filsafat Yunani, 
dengan tokohnya yang terkenal uialah Aristoteles. Pada zaman 
renaissance modern sampai abad ke-19 terkenal sejumlah 
pendidik humanis, seperti: Thomas Aquina, Erasmus, Come￾nius, Rousseau, dan Peztalozzi. Dalam bidang politik terkenal 
Machiavilli. Dalam bidang psikologi berkembang aliran 
psikologi humanistik dengan tokoh utama William Maslow, 
Carl Rogers, dan Hamacheck. Filsafat humanisme bermacam￾macam. Humanisme rasional memandang manusia sebagasi 
makhluk yang bebas, yang berdaulat atas dirinya. Segala 
sesuatu diukur dengan kemampuan akalnya. Humanisme 
religious memandung bahwa manusia adalah makhluk yang 
berketuhanan, sedangkan humanisme etis lebih menekankan 
pada hubungan sesama manusia dalam kehidupan social.
Eksistensialisme. Eksistensialisme merupakan aliran 
filsafat yang membahas keberadaan manusia dalam hubungan￾nya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia dan 
dengan Tuhan. Aliran filsafat ini muncul sebagai reaksi 
terhadap keadaan abad ke-20, dimana ilmu pengetahuan dan 
teknologi lebih jauh maju perkembangannya dari ilmu-ilmu 
kerohanian. Ilmu kerohanian sudah jauh tertinggal dari ilmu 
pengetahuan dan teknologi, sehingga akibatnya kehidupan 
sudah serba mesin, atau manusia sudah dikuasai oleh mesin￾mesin, atau telah menjadi perpanjangan mesin. Individualitas 
manusia sebagai perorangan sudah tidak lagi dianggap 
penting. Manusia tidak lagi memiliki  kebebasan untuk 
memilih atau untuk menentukan bagi dirinya sendiri. Hal-hal 
inilah yang ditentang oleh eksistensialisme. sebab  ini berarti 
bahwa keberadaan manusia sudah tidak otentik lagi, bukan lagi sebagai manusia yang konkrit. Manusia yang konkrit bukanlah 
manusia pada umumnya, tetapi adalah manusia yang 
bereksistensi. Manusia yang bereksistensi ialah manusia yang 
berada (exist), yang merealisir diri, yang mempraktekkan 
keyakinan dan kemauan bebas serta mengisi kebebasannya. 
Keberadaan manusia menurut eksistensialisme mendahu￾lui esensinya. Eksistensi mendahului esensi, kata laum 
eksistensi-alisme. Artinya ialah bahwa manusia itu harus ada, 
dan adanya di dunia ini bukan sebab  kemauannya, dan tidak 
tahu akan menjadi apa dia di dunia ini. Bagaimana jadinya dia 
adalah menjadi tanggung jawab manusia itu sendiri. Apakah ia 
menjadi dirinya sendiri atau memberi kemungkinan dirinya 
ditentukan oleh orang lain, apakah dia sendiri memilih menjadi 
apa dia, atau dia mengizinkan orang lain memilih untuk 
dirinya, semuanya itu menunjukkan kebebasannya. Manusia 
adalah makhluk yang bebas untuk menentukan dirinya sendiri. 
sebab  itu menurut eksistensialisme kebebasan seseorang 
harus dihargai. Menurut eksistensialisme, manusia itu harus 
membuka diri, artinya harus menceburkan diri dalam 
kehidupan di dunia ini, bukan mengasingkan diri, sebab 
manusia dan dunia adalah satu. Untuk mengenal dunia 
haruslah kita masuk ke dalamnya. Aliran eksistensialisme ada 
yang berdasarkan pada agama dan ada yang tidak. 
Aliran eksistensialisme bermula dari pekerjaan dan 
pikiran ahli filsafat Denmark Soren Kierkegaard (1813-1855) 
dan filosof Jerman F.W.Nietzsche. (1844-1900). Keduanya 
menentang agama Kristen dan filsafat spekulatif Hegel. Tokoh 
eksistensialisme lainnya ialah: Martin Heidegger (1889-19760, 
Jean Paul Sartre (1905-1980), Karl Jasper (1883-1969), Maurice 
Merleau Ponti, Albert Camus (1913-1960), Gabriel Marcel (1889-
1973), Paul Tiilich, dan Martin Buber (1878-1965). 














Apabila kita sebut istilah fifsafat (philosophy) sebenarnya 
menunjuk kepada pengertian filsafat umum, yaitu filsafat yang 
mempersoalkan segala sesuatu yang ada (realistas) dalam alam 
semesta ini untuk mengetahui kebenaran yang sesungguhnya 
atau kebenaran yang hakiki dari realitas itu. Selain filsafat 
umum ada filsafat khusus, yaitu filsafat yang diterapkan pada 
bidang ilmu tertentu, dimana filsafat disini berperan sebagai 
landasan filosofis bagi ilmu ini . Dengan demikian ada 
filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat pendidikan, filsafat 
agama, filsafat politik, filsafat, matematik, filsafat social, dan 
lain-lain. Akan tetapi filsafat ilmu pengetahuan atau 
epistemology bukanlah filsafat khusus, tetapi merupakan 
bagian dari filsafat umum (philosophy). Sebelum membahas 
mengenai filsafat ilmu pengetahuan dalam bab ini akan 
dibahas beberapa hal mengenai filsafat umum.
1. Pengertian Filsafat
Filsafat berasal dari bahasa Yunani kuno “philosophia”, 
dari akar kata philo berarti cinta, dan sophia yang berarti 
kebijaksanaan atau hikmah. Jadi filsafat secara etimologi 
berarti Love of Wisdom (Cinta kepada kebijaksanaan atau 
kearifan). Bagi Socrates (469-399 SM) filsafat ialah kajian 
mengenai alam semesta ini secara teori untuk mengenal diri 
sendiri. Sedangkan menurut Plato (427-347 SM) dan Aristoteles 
(384-322 SM) filsafat adalah kajian mengenai hal-hal yang 
bersifat asasi dan abadi untuk menghamonikan kepercayaan 
mistik atau agama dengan menggunakan akal pikiran. Para filosof muslim juga memberi makna kepada filsafat. 
Menurut Al-Kindi (790-873 M) filsafat merupakan ilmu yang 
mulia dan terbaik, yang tidak wajar ditinggalkan oleh setiap 
orang yang berpikir, sebab  ilmu ini membahas hal-hal yang 
berguna, dan juga membahas cara-cara menjauhi hal-hal yang 
merugikan. Al-Farabi, (870-950), menegaskan bahwa filsafat 
adalah ilmu mengenai yang ada, yang tidak bertentangan 
dengan agama, bahkan sama-sama bertujuan mencari 
kebenaran. Al-Ghazali (1059-1111) pada mulanya adalah juga 
ahli filsafat, tetapi kemudian ia lebih memusatkan perhatian 
kepada tasawuf. Al Ghazali dalam bukunya “Tahafut al￾Falasifa” mengecam para filosof yang dipandang pemikiran 
mereka telah melampau batas ajaran Islam dengan menyebut 
mereka kafir zindiq. Ibnu Rusyd (1126-1198) yang memandang 
filsafat sebagai jalan menuju Yang Maha Pencipta, menentang 
pendirian Al-Ghazali yang menyerang filsafat, dan berpen￾dapat bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, malah 
menjelaskan dan memantapkan hal-hal berkenaan dengan 
agama. Hal itu ditulis dalam bukunya “Thahafut al- Thahafut”.
Banyak sekali definisi mengenai filsafat yang dapat 
ditemui dalam literatur. Dalam buku ini filsafat dirumuskan 
sebagai ilmu yang mempersoalkan segala sesuatu dalam alam 
semesta ini secara keseluruhan, mendalam, dan sistematis, 
untuk menemukan kebenarannya yang hakiki. Definisi ini  
menegaskan bahwa filsafat sebagai sebuah ilmu, yang bersifat 
umum sebab  obyek pemikirannya mencakup segala sesuatu 
yang ada (realitas) dalam alam semesta ini, baik yang 
berkenaan dengan alam fisik dan manusia, maupun alam 
metafisik termasuk mengenai Tuhan pencipta alam semesta itu. 
Filsafat membahas hal-hal itu secara keseluruhan, artinya 
bukan bagian-bagian tertentu dari suatu realitas sebagaimana 
yang biasanya dilakukan oleh ilmu pengetahuan positif. Filsafat memikirkannya secara mendalam, sampai keakar-akar 
masalah yang paling dalam atau disebut juga secara radikal 
(radix=akar), sebab  tujuannya ialah untuk menemukan 
kebenaran yang sesungguhnya atau kebenaran yang hakiki, 
sekalipun kebenaran yang hakiki itu tidak mudah ditemukan
atau ada yang tidak pernah dapat ditemukan. Namun dengan 
berpikir demikian seseorang menjadi semakin sadar akan 
makna kehidupan, dan pemikiran filsafat biasanya dijadikan 
oleh seseorang sebagai pandangan hidup atau pedoman 
hidupnya (way of life). 
Jadi filsafat bukan hanya sebagai suatu disiplin ilmu 
yang dapat dipelajari, tetapi juga sebagai pandangan hidup. 
Sebagai pandangan hidup maka filsafat melekat pada diri 
seseorang, yang merupakan cerminan dari kepribadiannya. 
Filsafat yang dianutnya menjadi landasan dan pedoman bagi 
setiap perbuatan dan tindakannya sehari-hari dalam hidupnya. 
Sekalipun seseorang tidak mempelajari ilmu filsafat namun 
setiap orang memiliki filsafat tertentu yang dijadikan pedoman 
hidupnya, sebab  filsafat berisi nilai-nilai kehidupan. Dengan 
mempelajari ilmu filsafat maka seseorang akan terbantu dalam 
usaha nya memilih atau menentukan filsafat hidup yang cocok 
baginya. 
 Di samping definisi ini  di atas, berikut ini 
dikemukakan beberapa definisi filsafat sebagai bahan 
perbandingan. 
M.J. Langeveld (Menuju ke Pemikiran Filsafat, 1959, hal 10).
Filsafat adalah hasil pembuktian dan uraian dari keseluruhan 
usaha  kita memikirkan dan menyelami maslaah-masalah 
apapun juga dalam hubungannya dengan keseluruhan sarwa 
sekalian secara radikal, yaitu mulai dari dasarnya hingga 
konsekwensi-konsekwensinya yang terakhir, dan menurut sistem, artinya dengan pembuktian yang dapat diterima oleh 
akal dan dengan susun-menyusun serta hubung-menghubung 
secara bertanggung jawab
Franz Magnis Suseno (Filsafat sebagai Ilmu Kritis, 1993, hal 18) 
Filsafat dapat dipandang sebagai usaha manusia untuk 
menangani pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai 
berbagai masalah yang dihadapi manusia secara bertanggung 
jawab. Filsafat berfungsi untuk menjawab pertanyaan￾pertanyaan itu dan memecahkan masalah-masalah yang 
dihadapi dalam kehidupan manusia. Usaha itu memiliki  
dua arah, yaitu harus mengkritik jawaban-jawaban yang tidak 
memadai, dan harus ikut mencari jawaban yang benar.
Harold H.Titus et.al dalam bukunya Living Issues in Philosophy 
(1984:5) merumuskan filsafat sebagai “a process of reflecting upon 
and criticizing our most deeply held beliefs” (suatu process 
perenungan dan pengkritikan terhadap keyakinan-keyakinan 
kita yang paling dalam). Dalam bukunya itu Titus 
mengemukakan 5 definisi filsafat yang mengandung arti 
berbeda, (lihat terjemahan buku itu oleh H.M.Rasyidi 
“Persoalan-Persoalan Filsafat, 1984:11-14), yaitu sebagai berikut: 
1. Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap 
kehidupan dan alam yang biasanya diterima secara tidak kritis.
Filsafat disini dalam arti yang informal.
2. Filsafat adalah suatu proses ktitik atau pemikiran terhadap 
kepercayaan dan sikap yang sangat kita junjung tinggi. Disini 
filsafat dalam arti yang formal.
3. Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran tentang 
kehidupan sebagai suatu keseluruhan, yang merupakan hasil 
berbagai sains dan pengalaman kemanusiaan.4. Filsafat adalah sebagai analisa logis dari bahasa serta penjelasan 
tentang arti kata dan konsep. Pengertian filsafat disini 
menunjuk kepada bidang khusus dari ilmu dan membantu 
menjelaskan bahasa, dan bukan suatu bidang yang luas 
yang memikirkan semua pengalaman kehidupan. Bidang 
filsafat ini dikenal sebagai language philosophy, yang 
bertujuan menjelaskan arti dan pemakaian istilah-istilah 
dalam sains dan dalam urusan sehari-hari.
5. Filsafat adalah sekumpulan problema yang menjadi perhatian 
manusia dan yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat, 
Misalnya, apakah kebenaran itu? Apa yang dimaksud 
dengan keindahan? Adakah kemungkinan hidup setelah 
mati? Dari mana datangnya pengetahuan? dan sebagainya. 
Jawaban terhadap berbagai persoalan itu telah 
menimbulkan berbagai teori atau aliran filsafat, seperti: 
idealisme, materialisme, rasionalisme, empirisme, pragma￾tisme, eksistensialisme, dan lain sebagainya.
Definisi filsafat yang diberikan oleh para filosof hampir 
selalu berbeda antara filosof yang satu dengan yang lain, 
sebab  seperti dikatakan oleh Bertrand Russell, definisi filsafat 
akan berbeda-beda bergantung pendirian kefilsafatan yang kita 
anut. Definisi filsafat selalu merupakan hasil kesimpulan 
kegiatan berfilsafat dari pembuat definisi itu. Hoogveld-Sassen 
mengatakan bahwa tidak seorangpun dapat mengatakan apa 
filsafat itu tanpa melaksanakan kegiatan berfilsafat, atau seperti 
dikatakan oleh Langeveld “kita masuk ke dalam filsafat”. 
Filsafat itu sulit dan abstrak serta banyak sistemnya, sehingga 
pernah dicemoohkan bahwa filsafat itu sebagai kegiatan orang 
buta mencari kucing hitam yang tidak ada di dalam kamar 
yang gelap, atau seperti mencari jarum dalam setumpuk jeramidi dalam gelap, untuk menggambarkan kesulitan atau 
keabsurdannya. 
Filsafat itu sukar dan abstrak sebab  ia secara radikal dan 
sistematis berusaha  mencari sebab-sebab yang paling 
mendasar atau paling akhir sejauh yang mampu dijangkau oleh
akal manusia mengenai segala hal yang ada sebagai suatu 
keseluruhan; Dalam usaha  yang radikal itulah filsafat berbeda 
dengan ilmu-ilmu positif. Ilmu-ilmu positif mempersoalkan 
suatu masalah dan mencari apa sebabnya. Jawaban terhadap 
masalah-masalah pada ilmu positif selalu menimbulkan 
masalah baru. Sedangkan filsafat secara radikal langsung 
mencari sebab terakhir. Filsafat menyerupai theologi, tetapi 
filsafat berbeda dengan theologi sebab  filsafat hanya 
mendasarkan diri pada pembuktian yang dapat diterima akal 
manusia, dan tidak mendasarkan diri pada kekuasaan, baik 
tradisi maupun wahyu. (lihat Arief Sidharta, 2008). Inti dari 
kegiatan berfilsafat ialah berpikir. Ciri-ciri berpikir secara 
filsafat adalah sebagai berikut: 
1. Berpikir radikal, yaitu menggali sampai ke akar-akar 
persoalan yang paling mendalam untuk menemukan 
hakekat atau makna yang sesungguhnya.
2. Berpikir secara menyeluruh, komprehensif, secara umum 
(universal), tentang sesuatu.
3. Berpikir konseptual melalui perenungan atau 
kontemplasi yaitu menemukan konsep atau teori, dan 
bukan untuk menemukan bukti empiris (perceptual).
4. Berpikir secara koheren dan konsisten. Koheren 
maksudnya sesuai dengan kaedah berpikir logis, dan 
konsisten maksudnya pemikiran itu tidak mengandung 
kontradiksi.5. Berpikir sistematik, yaitu pemikiran itu bertujuan, 
tersusun menurut sistem, ide yang disusun saling 
berhubungan.
6. Berpikir bebas dan bertanggung jawab 
2. Ruang Lingkup Filsafat
Secara umum ilmu filsafat terdiri atas tiga bagian, yaitu: 
ontologi, epistemologi, dan axiologi.
Ontologi mempersoalkan tentang yang ada atau tentang 
realitas (reality), dalam alam semesta ini, yang meliputi: alam 
(kosmos), manusia (antropos), dan Tuhan (Theos), sehingga 
dikenal adanya filsafat alam (kosmologi), filsafat manusia 
(antropologi filsafat), dan filsafat ketuhanan (theologi). Ontoto￾logi disebut juga filsafat Metafisika sebab  yang dipersoalkan 
itu termasuk juga realitas non-fisik atau di luar dunia fisik 
(beyond the physic), seperti hal-hal yang gaib.
Epistemologi atau teori pengetahuan, yang mempersoal￾kan tentang kebenaran (truth) meliputi: dasar atau sumber 
pengetahuan, luas pengetahuan, metode pengetahuan, dan kebenaran 
pengetahuan. Ada juga memasukkan logika ke dalam ruang 
lingkup epistemology sebab  logika merupakan bagian filsafat 
yang membahas tentang sarana berpikir logis. 
Aksiologi yang mempersoalkan tentang nilai-nilai 
kehidupan. Axiologi disebut juga filsafat nilai, yang meliputi 
meliputi: etika, estetika, dan religi. Etika adalah bagian filsafat 
aksiologi yang menilai perbuatan seseorang dari segi baik atau 
buruk. Estetika adalah bagian filsafat yang menilai sesuatu dari 
segi indah atau tidak indah. Sedangkan religi merupakan 
sumber nilai yang berasal dari agama atau kepercayaan 
tertentu. Dengan demikian, sumber nilai bisa dari manusia 
(individu dan warga ) dan bisa dari agama atau 
kepercayaan. Jadi, kalau ontologi adalah filsafat mengenai yang 
ada, maka epistemologi adalah filsafat mengenai cara mengenal 
yang ada, dan aksiologi adalah bagian filsafat mengenai cara 
menilai yang ada itu. Ontologi disebut juga filsafat spekulatif, 
epistemology disebut filsafat analitis, dan axiology disebut 
filsafat preskriptif.
Jujun Soeriasumantri (1996:32), mengatakan bahwa pada 
mulanya pokok permasalahan yang dikaji oleh filsafat ada 5
macam, yaitu: logika, etika, estetika, metafisika, dan politik. 
Kemudian berkembang lagi cabang-cabang filsafat, seperti 
filsafat agama, filsafat hukum, filsafat ilmu, filsafat sejarah, 
filsafat matematika, dan filsafat pendidikan. Menurutnya, 
filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi atau teori 
ilmu pengetahuan. 
3. Hubungan filsafat dengan Ilmu Pengetahuan
Filsafat merupakan ilmu yang umum, dan sering disebut 
sebagai induk dari segala ilmu (mater scientiarum), sebab  pada 
mulanya ilmu pengetahuan merupakan bagian filsafat. Ilmu 
pengetahuan adalah ilmu khusus, yang makin lama semakin 
bercabang-cabang. Setiap ilmu memiliki filsafatnya yang 
berfungsi memberi arah dan makna bagi ilmu itu. 
Baik filsafat maupun ilmu pengetahuan, intinya ialah 
berpikir. Bedanya, kalau filsafat memikirkan atau menjangkau 
sesuatu itu secara menyeluruh, maka ilmu memikirkan atau 
menjangkau bagian-bagian tertentu tentang sesuatu. Kalau 
filsafat menjangkau sesuatu itu secara spekulatif atau 
perenungan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, 
maka ilmu mengguna-kan pendekatan empiris atau ilmiah 
dengan menggunakan metode berpikir induktif di samping 
metode berpikir deduktif. 
Sebagai ilmu yang umum maka filsafat mempersoalkan 
segala sesuatu yang ada, mencakup alam, manusia, dan Tuhan. 
Mengenai manusia misalnya dipersoalkan pertanyaan￾pertanyaan seperti: Apa arti dan tujuan hidup saya? Apa yang 
menjadi kewajiban saya dan yang menjadi tanggung jawab 
saya sebagai manusia? Bagaimana saya harus hidup agar 
menjadi manusia yang baik? Apa arti dan implikasi martabat 
saya dan martabat orang lain sebagai manusia? Demikian pula 
pertanyaan-pertanyaan mengenai dasar pengetahuan kita, 
mengenai nilai-nilai yang kita junjung tinggi seperti tentang 
keadilan dan sebagainya. Jawaban-jawaban yang mendalam 
terhadap pertanyaan itu akan mempengaruhi orientasi dasar 
kehidupan manusia. 
Sebagai ilmu-ilmu khusus maka ilmu pengetahuan tidak 
menggarap pertanyaan-pertanyaan fundamental manusia 
seperti ini  di atas, sebab  ilmu-ilmu khusus itu (fisika, 
kimia, sosiologi, psikologi, ekonomi, dll) secara hakiki terbatas 
sifatnya. Ilmu-ilmu pengetahuan pada umumnya membantu 
manusia dalam mengorientasikan diri dalam dunia, mengsis￾tematisasikan apa yang diketahui manusia dan mengorganisa￾sikan proses pencahariannya. sebab  ilmu-ilmu pengetahuan 
terbatas sifatnya maka semua ilmu membatasi diri pada tujuan 
atau bidang tertentu. (lihat Magnis Suseno, 1993: 19).
4. Hubungan Filsafat dengan Agama
Menurut konsep Barat, antara ilmu pengetahuan dengan 
agama pada dasarnya merupakan dua hal yang sangat berbeda 
(kontras), dan malah bertentangan (konflik). Kontras maksud￾nya antara keduanya tidak ada hubungan, masing-masing 
berjalan sendiri. Ilmu berhubungan dengan kehidupan 
duniawi, sedangkan agama sekaligus menyangkut kehidupan duniawi dan kehidupan akhirat. Menurut konsep Barat yang 
ada adalah kehidupan duniawi sedangkan kehidupan akhirat 
itu hanyalah ilusi, sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Konflik
maksudnya bahwa keberadaan agama akan menghambat 
kemajuan ilmu pengetahuan. Keduanya bertetangan dan 
keduanya dipandang tidak bisa dirujukkan. Banyak ilmuan 
Barat yang sangat yakin bahwa agama tidak akan pernah bisa 
didamaikan dengan ilmu.