kematian 4
(SLTP) memiliki risiko 3,4 kali lebih
besar untuk mengalami kematian maternal.)
Hubungan antara pendidikan dan kematian maternal tidak bersifat langsung.
Pendidikan akan memberi pengaruh secara tidak langsung melalui peningkatan status
sosial dan kedudukan ibu di dalam masyarakat, peningkatan pilihan mereka terhadap
kehidupan dan peningkatan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri serta
menyatakan pendapat. Wanita dengan tingkat pendidikan rendah, memicu
kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil terutama
dalam hal kegawat – daruratan kehamilan dan persalinan.)
Hasil riset menunjukkan bahwa sebagian besar ibu, baik pada kelompok
masalah (63,5%) maupun kontrol (55,8%) memiliki pendidikan SD, sehingga dalam hal ini
ada kesetaraan proporsi antara masalah dan kontrol yang memicu hubungan tidak
bermakna antara pendidikan ibu dengan kematian maternal.
2. Status pekerjaan ibu
Hasil analisa baik bivariat maupun multivariat menunjukkan tidak ada pengaruh
status pekerjaan ibu terhadap kejadian kematian maternal (OR = 1,8 ; 95% CI : 0,8 – 4,4 ;
p = 0,185).
Hasil riset ini sesuai dengan hasil riset Latuamury (2002) dan Suwanti
E (2002) yang menyatakan tidak ada pengaruh status pekerjaan (bekerja / tidak bekerja)
terhadap kematian maternal. l
Pekerjaan merupakan determinan jauh dari kematian maternal. Pada keadaan
hamil, ibu terutama dengan keadaan ekonomi keluarga di tingkat subsisten tetap
melakukan pekerjaan fisik, seperti membantu suami bekerja di sawah atau berdagang. Ibu
bahkan menjadi tumpuan keluarga jika suami terbatas secara fisik. Keadaan ini akan
membawa pengaruh terhadap kesehatan ibu dan memicu nya rentan terhadap
kemungkinan terjadinya komplikasi selama kehamilan, persalinan serta nifas.l
Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa bivariat dan multivariat
dipicu oleh adanya kesetaraan proporsi antara kelompok masalah dan kontrol serta
adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh
dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
3. Jumlah pendapatan keluarga
analisa bivariat menunjukkan bahwa jumlah pendapatan keluarga kurang dari
UMR memiliki risiko 2,3 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal bila
dibandingkan dengan jumlah pendapatan keluarga sesuai dengan UMR atau lebih dan
secara statistik bermakna (OR = 2,3; 95% CI : 1,0 – 5,1 ; p = 0,044). Akan namun pada
analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada riset ini hipotesis
jumlah pendapatan keluarga merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal
tidak terbukti. Pada analisa multivariat variabel jumlah pendapatan keluarga bukan
merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, sebab variabel –
variabel ini dianalisa sekaligus, sehingga pengaruhnya akan dikontrol oleh variabel yang
lebih besar pengaruhnya.
Hasil riset ini sesuai dengan hasil riset Suwanti E (2002) dan Nining W
(2004) yang menyebutkan jumlah pendapatan keluarga bukan merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kematian maternal.
4. Wilayah tempat tinggal
Hasil riset menunjukkan bahwa wilayah tempat tinggal bukan merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal (OR = 1,1 ; 95% CI : 0,5 –
2,7 ; p = 0,8).
Wilayah tempat tinggal didefinisikan sebagai wilayah pedesaan dan perkotaan.
Pada riset ini sampel kontrol diambil dari wilayah kerja puskesmas yang di
daerahnya ada masalah kematian maternal, sehingga ada kesetaraan antara proporsi
masalah dan kontrol dalam hal wilayah tempat tinggal.
Kajian Kualitatif Kejadian Kematian Maternal di Kabupaten Cilacap
Kajian kualitatif mengenai kejadian kematian maternal dan usaha pelayanan
kesehatan maternal di Kabupaten Cilacap disajikan dalam bentuk narasi. Tujuan dari
kajian kualitatif yaitu untuk melihat berbagai faktor yang berkaitan dengan terjadinya
kematian maternal secara lebih detail.77)
Bahasan mengenai masalah ini berasal dari riwayat perjalanan / kronologi terjadinya
kematian maternal yang diperoleh melalui teknik wawancara secara mendalam (indepth
interview) terhadap responden riset pada masalah kematian maternal, dan didukung
dari data yang ada dalam dokumen otopsi verbal / hasil audit maternal perinatal.
Informasi mengenai usaha yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Cilacap dalam
menurunkan angka kematian maternal yang ada diperoleh dari hasil wawancara terhadap
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Kabupaten Cilacap dan bidan desa yang tinggal di tempat terjadinya masalah
kematian maternal.
Kematian maternal terjadi melalui berbagai rangkaian peristiwa yang berlangsung
sangat kompleks, tidak hanya berkaitan dengan pemicu medis (komplikasi obstetri dan
penyakit yang memperburuk kondisi ibu) akan namun juga berkaitan dengan berbagai
faktor yang lain, baik determinan antara maupun determinan jauh.
Hasil riset menunjukkan bahwa dari 52 masalah kematian maternal yang ada,
sebagian besar kematian dipicu oleh perdarahan (34,6%), disusul oleh penyakit yang
memperburuk kondisi ibu (26,9%), preeklamsia / eklamsia (23,1%), dan infeksi nifas
(7,7%). Disamping pemicu kematian akibat komplikasi obstetri langsung dan tidak
langsung ini, riset menemukan bahwa berbagai faktor turut berperan untuk
terjadinya kematian maternal. Faktor keterlambatan rujukan yang meliputi keterlambatan
pertama, kedua dan ketiga masih memegang peranan penting pada kejadian kematian
maternal di Kabupaten Cilacap, disamping itu juga faktor status kesehatan ibu, faktor
status reproduksi, pemeriksaan antenatal, penolong persalinan, tingkat pendidikan dan
faktor sosial ekonomi.
Sebagian besar ibu meninggal pada usia 20 – 35 tahun (65,4%), jika dilihat dari
segi usia, kategori usia ini termasuk usia produktif, namun dari segi pekerjaan, ibu yang
bekerja untuk menambah pendapatan keluarga hanya sebagian kecil saja (32,7%), hal ini
dapat diartikan bahwa walaupun sebagian besar ibu meninggal di usia produktif akan
namun dapat diasumsikan hanya sebagian kecil yang kemungkinan dipicu oleh
pekerjaan yang ikut sebagai pemicu kematiannya. Sedangkan untuk kategori usia risiko
tinggi kehamilan, 5,8% ibu yang meninggal berusia kurang dari 20 tahun dan 28,8%
berusia lebih dari 35 tahun, sehingga proporsi keseluruhan usia risiko tinggi yaitu
34,6%, masih lebih kecil dibandingkan proporsi usia ibu yang meninggal pada usia reproduksi
(20 – 35 tahun).
Kategori tingkat pendidikan masalah sebagian besar tergolong rendah (< SLTP)
yaitu sebesar 63,5%, namun jika dilihat dari proporsi pemeriksaan antenatal, sebagian
besar ibu yang meninggal (96,2%) telah melakukan pemeriksaan antenatal dan sebagian
besar pula (69,2%) memenuhi kriteria baik, yaitu memenuhi kriteria empat kali periksa
(K4) dan mendapatkan pelayanan 5 T, sedangkan tempat pemeriksaan antenatal sebagian
besar di bidan. Dari kondisi ini tampak bahwa rendahnya tingkat pendidikan masalah , tidak
mempengaruhi perilaku dalam memperoleh pelayanan kehamilan di sarana kesehatan.
Adanya bidan di desa merupakan salah satu program dari dinas kesehatan
Kabupaten Cilacap dalam rangka menurunkan Angka Kematian Maternal, yaitu dengan
penempatan bidan di desa – desa, baik dengan status PNS, PTT maupun bidan kontrak
daerah, sehingga diharapkan ibu hamil mendapatkan pelayanan maternal yang berkualitas
dan dekat dengan masyarakat. Pemeriksaan antenatal yang baik akan dapat menilai status
kesehatan ibu dan dapat memberi informasi yang memadai tentang kehamilan dan
persalinan. Selain itu, pemeriksaan antenatal dapat mengidentifikasi dan mengantisipasi
kehamilan risiko tinggi sedini mungkin dan memantau perkembangan kehamilan, serta
melakukan intervensi yang relevan untuk mencegah berbagai komplikasi kehamilan dan
persalinan. Dari hasil wawancara terhadap bidan desa, diperoleh informasi bahwa bidan
telah memberi penyuluhan tentang tanda – tanda bahaya kehamilan dan persalinan
sesuai dengan yang tercantum dalam KMS ibu hamil, akan namun bidan tidak dapat
menjamin apakah ibu benar – benar dapat memahami isi pesan yang diberikan. Salah satu
contoh pada masalah kematian ibu akibat eklamsia, saat pemeriksaan antenatal diketahui ibu
mengalami peningkatan tekanan darah dan bengkak – bengkak pada bagian muka dan
kaki, bidan telah memotivasi ibu untuk periksa ke rumah sakit susaha diperiksa oleh
dokter spesialis dan menganjurkan ibu untuk segera memeriksakan diri bila ada
keluhan pusing, bengkak – bengkak dan pandangan kabur, akan namun walaupun ibu
mengatakan ‘Ya’ akan namun saat timbul keluhan, ibu menolak untuk dibawa ke bidan
dan 1 jam kemudian ibu sudah kejang – kejang dan tidak sadar. Ibu akhirnya dibawa oleh
keluarga ke rumah sakit dan meninggal sesudah sehari dirawat di rumah sakit. Jika dilihat
dari tingkat pendidikan masalah yang sebagian besar rendah, dapat diasumsikan bahwa
tingkat pendidikan yang rendah memicu kurangnya pengertian ibu akan apa yang
dimaksud bidan mengenai kondisi kesehatannya dan bahaya yang dapat menimpa ibu
dalam hal kegawatdaruratan kebidanan. Tingkat independensi ibu untuk pengambilan
keputusanpun menjadi rendah. Kajian kualitatif pada riset ini dilakukan melalui
wawancara mendalam terhadap responden masalah kematian maternal yaitu keluarga dari
ibu yang meninggal, dengan hasil riset menemukan bahwa sebagian besar keluarga
tidak mengetahui tanda – tanda dini terjadinya komplikasi kehamilan, persalinan dan
nifas, seperti misalnya istilah eklamsia, keracunan kehamilan atau sebutan lain yang
umumnya dikenal oleh petugas kesehatan, masih kurang didengar dan dimengerti oleh
keluarga / masyarakat. Demikian juga pada masalah perdarahan, persepsi mengenai
seberapa banyak darah yang keluar dapat dikatakan lebih dari normal juga belum benar –
benar dipahami. Diperlukan kajian lebih lanjut mengenai kinerja bidan desa dalam
melaksanakan KIE dan deteksi dini bumil risti pada riset selanjutnya. Hasil studi
Tim Kajian Kematian Ibu dan Anak di Indonesia Depkes RI tahun 2004 menyebutkan
bahwa informasi, penyuluhan dan konseling penting diberikan agar ibu – ibu mengetahui
bahaya yang dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, serta usaha untuk
menghindari masalah itu. Namun dari riset diidentifikasi masih kurangnya
informasi dan konseling dari tenaga kesehatan pada masing – masing propinsi di
Indonesia, dimana petugas menitikberatkan pada pemberian informasi / penyuluhan,
tanpa melakukan konseling pada ibu untuk memecahkan masalah. Hal ini dipicu
petugas pada umumnya merasa kurang memiliki waktu untuk melakukan konseling
sebab banyaknya ibu hamil yang dilayani, selain itu pemberdayaan sarana KIE tentang
kesehatan ibu masih kurang.
Hasil riset menunjukkan bahwa 94,2% masalah telah memanfaatkan fasilitas
kesehatan saat terjadi komplikasi, baik komplikasi yang terjadi selama masa kehamilan,
persalinan, maupun masa nifas yaitu dengan meminta pertolongan pada bidan terdekat
(73,1%), dan sebesar 78,8% masalah dirujuk ke rumah sakit, akan namun hasil riset
menunjukkan bahwa 88,5% masalah mengalami keterlambatan rujukan saat terjadi
komplikasi, dan sebagian besar masalah mengalami keterlambatan pertama (84,6%).
Keterlambatan pertama merupakan keterlambatan dalam pengambilan keputusan.
Dari hasil indepth interview diketahui bahwa kemampuan ibu, suami dan anggota
keluarga lainnya untuk mengetahui tanda – tanda kegawatdaruratan kebidanan yang
mengharuskan ibu segera mendapatkan pertolongan ternyata masih rendah. Rendahnya
kemampuan untuk mengenali tanda – tanda kegawatdarutan kebidanan, seperti edema
pada tangan dan kaki, nyeri kepala, perdarahan yang terjadi saat kehamilan maupun
persalinan, infeksi dan persalinan bayi kedua dalam persalinan kembar, juga diperburuk
oleh dominannya peran suami dalam pengambilan keputusan serta budaya ‘berunding’ /
musyawarah dalam keluarga yang dapat menghambat pelaksanaan rujukan, merupakan
hal yang memberi kontribusi bagi keterlambatan pertama pada masalah – masalah
kematian maternal, sehingga saat bidan datang kondisi ibu sudah buruk. Kendala biaya
dan sikap pasrah pada takdir juga merupakan alasan terjadinya keterlambatan pertama
pada masalah – masalah kematian maternal. Pada masalah kematian maternal akibat hiperemesis
gravidarum yang mengalami dehidrasi berat, ibu berusia 36 tahun, hamil anak ketiga,
sejak awal kehamilan, ibu terus – menerus muntah, oleh bidan ibu diberi obat untuk
mengurangi rasa mual dan vitamin, akan namun muntah hanya berkurang sedikit. Selama
hamil ibu malas makan, sehingga berat badan ibu turun 3 kg. Saat kehamilan 24 minggu,
jam 04.00 pagi ibu merasa perut mules, seperti akan melahirkan. Suami memanggil
dukun bayi, akan namun dukun meminta suami memanggil bidan sebab keadaan ibu
tampak lemas dan muntah – muntah. Bidan kemudian menyarankan ibu untuk dirujuk ke
RS, akan namun suami menolak, minta ibu diinfus saja di rumah. Bidan mencoba
memasang infus, tapi infus sulit masuk, bidan mencoba memberi obat, tapi ibu muntah
terus, pucat dan berkeringat dingin. Suami tetap menolak untuk merujuk ibu ke RS dan
mengatakan pasrah, melihat keadaan ibu yang sudah demikian parah. Akhirnya jam 06.00
pagi ibu meninggal.
Hasil riset menunjukkan bahwa penghasilan keluarga di bawah UMR pada
kelompok masalah yaitu sebesar 63,5% dan mata pencaharian kepala keluarga sebagian
besar yaitu buruh tani. Meskipun bagi keluarga tidak mampu diusaha kan mendapat
kartu Askes Gakin atau surat keterangan tidak mampu dari kepala desa, keluarga tetap
beranggapan bahwa nantinya akan dihadapkan pada biaya – biaya tambahan, baik untuk
pembelian obat – obatan khusus maupun untuk biaya transportasi, yang akan merepotkan
keluarga dan tetangga sekitar. Dukungan warga masyarakat pada masalah kematian
maternal, pada umumnya sebatas rasa simpati pada keluarga ibu dan turut serta
mengusaha kan sarana transportasi saat ibu akan dirujuk ke rumah sakit, akan namun
menurut bidan desa, usaha penggalangan dana sosial ibu bersalin (dasolin) dan tabungan
ibu bersalin (tabulin) belum berjalan dengan baik. Menurut bidan, dulu pernah ada dana
untuk tiap desa sebesar 1 juta dari dinas kesehatan Kabupaten Cilacap untuk tabulin,
namun sebab dalam waktu hampir bersamaan ada program JPS dan disusul program
Askeskin dan BLT (bantuan langsung tunai) maka masyarakat beranggapan bahwa ibu –
ibu dari keluarga miskin sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah, jadi program
tabulin / dasolin belum dapat berjalan.
Keterlambatan petugas dalam merujuk ibu ke RS juga dapat menjadi pemicu
terjadinya keterlambatan pertama. Pada masalah kematian maternal akibat ruptura uteri, dari
hasil AMP diperoleh informasi bahwa saat ingin bersalin, ibu diantar oleh suami ke
rumah bersalin. Saat pembukaan lengkap dan ibu dipimpin mengejan, terjadi partus tak
maju, oleh bidan, ibu disuntik oksitosin di paha, akan namun sebab partus tetap tidak
maju, dilakukan drip oksitosin lewat infus, kemudian dilakukan vakum ekstraksi. sesudah
kepala bayi lahir, terjadi distocia bahu, berat badan lahir bayi 4400 gram dan sesudah bayi
lahir kesadaran ibu menurun. Belum sempat mengeluarkan placenta, ibu dirujuk ke
RSUD Cilacap dengan menggunakan ambulan. Perjalanan ke RS membutuhkan waktu ±
15 menit, akan namun sesudah sampai di RS ibu sudah tidak sadar dan akhirnya ibu
meninggal dengan diagnosis ruptura uteri (douglas punctie positif).
Dari sisi pertolongan persalinan, penolong pertama persalinan pada sebagian
besar masalah yaitu tenaga kesehatan (67,4%), dimana pada sebagian besar masalah
penolong pertama persalinan yaitu bidan (45,7%). Hasil ini tampak tidak sesuai dengan
teori yang mendasari, dimana seharusnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
akan menurunkan risiko kematian maternal, akan namun dari hasil wawancara mendalam
diperoleh informasi bahwa pada masalah – masalah kematian maternal, pada umumnya bidan
datang dalam kondisi ibu mengalami komplikasi baik kehamilan, persalinan maupun
nifas, yang mengharuskan ibu untuk segera dirujuk dan pada umumnya kondisi ibu sudah
buruk. Pada masalah kematian maternal pada ibu hamil dengan kehamilan kembar, suami
memanggil bidan dalam keadaan ibu mengalami ketuban pecah dini sudah dua hari,
suami memanggil bidan sebab badan ibu demam dan saat bidan datang kaki janin sudah
tampak di vagina, akhirnya ibu dirujuk ke RSUD Majenang, di rumah sakit bayi lahir
dengan bidan rumah sakit sebab dokter spesialis tidak ada di tempat dan ibu meninggal
sebab terjadi perdarahan post partum akibat atonia uteri. masalah lain yaitu kematian ibu
akibat perdarahan antepartum. masalah perdarahan antepartum terjadi pada ibu berusia 42
tahun dengan kehamilan ketiga. Saat usia kehamilan 37 minggu, ibu datang ke rumah
bidan pukul 02.00 dini hari diantar oleh suami, mengatakan sejak 1 hari yang lalu
mengeluarkan darah sampai kurang lebih dua kain. Keadaan ibu tampak pucat, ibu masih
sadar, akan namun sangat lemah. Bidan segera memasang infus dan menyarankan untuk
merujuk masalah ke RSU Banyumas. Perjalanan ke rumah sakit memakan waktu kurang
lebih tiga puluh menit. Saat tiba di rumah sakit, ibu diperiksa oleh dokter jaga,
perdarahan yang keluar hanya sedikit, di rumah sakit tidak ada persediaan darah, pihak
rumah sakit meminta keluarga untuk mencari darah ke PMI Purbalingga atau Purwokerto.
Operasi seksio sesaria (SC) dilakukan keesokan harinya, kurang lebih pukul 09.30 pagi.
Saat operasi dilakukan, ibu belum ditransfusi dan ibu akhirnya meninggal di kamar
operasi.
Dari contoh – contoh masalah di atas menunjukkan bahwa faktor waktu menjadi
sangat penting pada masalah – masalah dengan komplikasi. Keterlambatan dalam merujuk
akan menjadi lebih buruk bila terjadi kegagalan rumah sakit sebagai tempat rujukan
untuk menyediakan pelayanan gawat darurat POEK (Pelayanan Obsteri Esensial
Komprehensif) selama 24 jam, dan tersedianya darah untuk keperluan transfusi setiap
saat. Keterlambatan ketiga terjadi pada 7 masalah kematian maternal (13,5%), diantaranya
seperti dicontohkan pada dua masalah di atas. Hasil riset menunjukkan bahwa 73,1%
ibu meninggal di rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa pada masalah – masalah kematian
maternal waktu tempuh ke tempat pelayanan kesehatan rujukan sebagian besar tidak
ada kendala, sehingga masalah dapat sampai di rumah sakit sebelum meninggal.
Temuan riset ini masih memerlukan riset yang lebih mendalam mengenai
sistem rujukan dan pelayanan di rumah sakit, sebab hasil temuan riset ini
bersumber dari hasil wawancara pada keluarga dan bidan desa serta catatan hasil AMP
(audit maternal perinatal) dari dinas kesehatan Kabupaten Cilacap.
usaha penurunan angka kematian maternal yang dilakukan oleh dinas kesehatan
Kabupaten Cilacap, antara lain dengan melakukan pelatihan bidan desa, seperti pelatihan
LSS (Life Saving Skills), pelatihan KIE, dan pelatihan bagi dukun bayi yang dilaksanakan
oleh puskesmas serta pelaksanaan AMP pada masalah – masalah kematian maternal dan
kematian bayi, baik itu AMP medis yaitu dengan mendatangkan dokter spesialis, dokter
puskesmas dan bidan desa maupun AMP non medis yang melibatkan camat, kepala desa,
PKK, dan kader kesehatan. Meskipun pelatihan terhadap petugas kesehatan telah
dilakukan oleh dinas kesehatan Kabupaten Cilacap, pada beberapa contoh masalah
diperoleh informasi bahwa di sekitar keadaan kegawatdaruratan kebidanan juga dapat
dikaitkan dengan ketidakmampuan petugas dalam memberi pertolongan medis yang
memadai. Pada masalah kematian maternal akibat retensio placenta, bidan tidak berhasil
mengeluarkan placenta secara manual, sehingga ibu akhirnya dirujuk ke RS. Di RS
placenta dapat dikeluarkan secara manual, tapi sebab perdarahan yang terjadi sudah
terlalu banyak, ibu akhirnya meninggal.
Pertolongan pertama persalinan oleh dukun bayi pada masalah kematian maternal
masih memiliki proporsi sebesar 28,3% (13 masalah ) dan 4,3% (2 masalah ) melahirkan sendiri
baru kemudian memanggil dukun. Hasil riset menunjukkan bahwa perilaku ibu
bersalin ke dukun bayi selain dipicu oleh faktor ekonomi (biaya lebih murah), juga
dipengaruhi oleh tradisi turun – temurun, dimana dukun memberi perawatan pada ibu
sejak masa kehamilan (pijat, selamatan) sampai bayi lahir dengan imbalan jasa yang tidak
mengikat dan sebab dukun bayi sudah mendapat pelatihan dari puskesmas. Kerjasama
antara bidan desa dengan dukun bayi selain melalui pelatihan yang diadakan oleh
puskesmas, juga dalam bentuk pendampingan bidan saat ibu bersalin, akan namun masih
ada sebagian ibu yang bersalin dengan dukun tanpa pendampingan oleh bidan dan baru
memanggil bidan saat terjadi penyulit dalam persalinan, dimana hal ini akan
memperburuk kondisi ibu bila diperlukan rujukan segera ke RS. Salah satu masalah
kematian maternal yang terjadi pada ibu berusia 30 tahun hamil anak keenam, dimana
pada saat kehamilan berusia 33 minggu, ibu melahirkan di rumah ditolong oleh dukun
bayi. sesudah placenta lahir, terjadi perdarahan banyak sekali. Menurut keluarga, darah
yang keluar sampai membasahi 3 kain. Suami kemudian memanggil bidan, namun bidan
sedang tidak berada di tempat, sebab sedang menolong persalinan di tempat lain. Bidan
baru datang kurang lebih setengah jam kemudian dan keadaan ibu sudah sangat lemah
dan kesadaran sudah menurun, menurut bidan, darah yang keluar dari vagina sangat
banyak, memancar seperti air seni. Bidan segera memasang infus dan meminta keluarga
mencari mobil untuk merujuk ibu ke rumah sakit. Mobil baru datang kurang lebih 30
menit kemudian, akan namun ibu sudah meninggal. Pada masalah kematian maternal akibat
retensio placenta dan gemelli yang mengalami retensio janin kedua, ibu berusia 31 tahun
dan hamil anak kelima, melahirkan jam 06.00 pagi dengan dukun bayi. Menurut
keterangan bidan, bidan baru dipanggil 2 jam kemudian sebab placenta belum dapat
lahir. Menurut keterangan suami, anak – anak sebelumnya juga lahir dengan dukun dan
selamat, suami tidak mengetahui bila ibu hamil kembar, dan baru memanggil bidan
sebab melihat perdarahan yang banyak sampai kain yang dipakai ibu basah semua oleh
darah dan ibu menjadi lemas. Saat bidan datang, ibu sudah tampak lemah dan pucat.
Bidan kemudian merujuk ibu ke RS, sampai di RS ibu dioperasi SC, akan namun ibu
akhirnya meninggal akibat perdarahan.
Keterlambatan kedua dijumpai pada 21% masalah kematian maternal, dan sebagian
besar dipicu oleh kesulitan dalam mencari alat transportasi. Keberadaan ambulan
desa yang merupakan salah satu wujud program GSI belum berjalan sebagaimana
diharapkan. Pada masalah kematian maternal yang memerlukan rujukan segera ke rumah
sakit, alat transportasi yang digunakan sebagian besar yaitu mobil pinjaman / sewaan
yang baru diusaha kan oleh keluarga saat terjadi keadaan gawat darurat atau dengan
angkutan kota, yang kenyataannya tetap membutuhkan waktu untuk mencarinya apalagi
bila memerlukan rujukan pada malam hari. Hasil wawancara dengan Kepala Dinas
Kabupaten Cilacap mengenai Gerakan Sayang Ibu (GSI) di kabupaten Cilacap, kepala
dinas menyampaikan bahwa untuk keberhasilan pelaksanaan program GSI yang
memerlukan kerjasama secara lintas sektoral, tidak dapat dilakukan dalam waktu yang
singkat. Saat ini ada satu kecamatan percontohan GSI di Kabupaten Cilacap yaitu
kecamatan Kroya, yang kegiatannya antara lain yaitu pembentukan tabulin, ambulan
desa, dan donor darah hidup (pendataan golongan darah warga yang bila sewaktu – waktu
dibutuhkan dapat diambil darahnya). Diharapkan untuk waktu mendatang keberhasilan
GSI dapat merata di seluruh kabupaten Cilacap. Hasil wawancara dengan Direktur RSUD
Cilacap menyatakan bahwa untuk menurunkan angka kematian ibu, RSUD Cilacap telah
menerapkan program rumah sakit sayang ibu, dimana semua masalah kegawatdaruratan
kebidanan harus dapat ditangani dengan segera, dengan adanya 3 dokter SpOG dan bidan
yang terlatih, termasuk untuk para pasien yang tidak mampu, diberikan kemudahan
dengan menunjukkan Askes Gakin, maka tidak dipungut biaya, jarak antara rumah sakit
dengan PMI yang dekat, akan memudahkan kebutuhan darah bagi yang membutuhkan,
akan namun di kabupaten Cilacap AMP khusus untuk kematian maternal yang terjadi di
rumah sakit belum pernah dilaksanakan. Untuk RSUD Majenang, memang baru ada 1
dokter spesialis kebidanan dan kebutuhan darah diambilkan dari bank darah dari PMI
Cilacap yang disuplai tiap 1 minggu sekali.
Kajian kualitatif pada riset ini mengungkapkan kompleksnya kematian ibu
yang terjadi pada masalah – masalah kematian maternal di Kabupaten Cilacap. Yang tampak
jelas merugikan yaitu rendahnya kemampuan untuk mengenali tanda – tanda risiko
kebidanan baik oleh masalah maupun oleh anggota keluarganya. Kegagalan mengenali
kondisi kegawatdaruratan ini akan berlanjut pada keterlambatan penanganan masalah yang
membawa akibat pada terjadinya kematian maternal. Untuk menurunkan kematian
maternal di kabupaten Cilacap ini, diperlukan penyebarluasan informasi di masyarakat
mengenai gejala – gejala penting yang perlu diperhatikan selama kehamilan, persalinan
dan masa nifas, baik pada ibu sendiri, para suami maupun anggota keluarga lainnya.
Diperlukan jaringan kerjasama lintas sektoral baik di tingkat desa, kecamatan dan
kabupaten dalam memberi pengetahuan yang cukup mengenai risiko kehamilan /
persalinan dan kapan harus merujuk ke rumah sakit.
Dilihat dari tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga, hasil riset
menunjukkan bahwa 63,5% masalah berpendidikan rendah (SD) dan 71,2% masalah
berpendapatan di bawah UMR, sehingga keterlambatan mencari pertolongan ke rumah
sakit sesegera mungkin, tidak hanya berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, namun
juga dengan kurangnya biaya, sehingga usaha pencegahan kematian maternal ini juga
membutuhkan dukungan dari segi perbaikan tingkat ekonomi yang nantinya akan
berdampak pada perbaikan terhadap akses pelayanan kehamilan dan persalinan yang
aman.
Hal lain yang penting yaitu meningkatkan partisipasi suami dalam tugasnya
sebagai pendamping dalam menghadapi masalah kehamilan dan persalinan sebab dari
hasil riset menemukan bahwa peran suami dalam keluarga masih dominan.
Keluarga dari setiap ibu hamil harus mempunyai rencana rujukan, termasuk persiapan
kendaraan untuk mengirim ibu ke pelayanan kesehatan rujukan.
Kualitas pelayanan maternal di tingkat pelayanan kesehatan rujukan sangat
penting untuk diperhatikan, terutama mengenai masalah ketersediaan darah dan kesiapan
pelayanan POEK 24 jam.
Kelemahan pada riset masalah kontrol yaitu recall bias sebab riset ini bersifat
retrospektif. usaha untuk meminimalkan recall bias yang dilakukan oleh peneliti yaitu
dengan melakukan uji coba observasi dan kuesioner di lapangan dan riset dilakukan
terhadap kejadian kematian maternal yang waktunya sedekat mungkin dengan
pelaksanaan riset dan memilih kontrol pada ibu pasca persalinan yang bersalin pada
waktu yang bersamaan / hampir bersamaan dengan kejadian kematian maternal.
2. Interview bias
Interview bias yaitu kesalahan dalam melakukan wawancara. Kesalahan ini akan terjadi
bila pewawancara kurang jelas dalam memberi pertanyaan, sehingga responden
menjadi salah dalam menafsirkannya. Cara untuk mengatasinya yaitu dengan
melakukan pelatihan pada pewawancara dan peneliti berusaha untuk membuat dan
menyusun pertanyaan – pertanyaan dengan kalimat – kalimat yang sederhana dan mudah
dipahami baik oleh responden maupun pewawancara sendiri.
3. Nilai Confidence Interval yang lebar
Hasil analisa menemukan adanya variabel dengan nilai Confidence Interval yang sangat
lebar, sehingga presisi penaksiran parameter menjadi kurang baik dan untuk menaikkan
presisi perlu menambahkan jumlah sampel.
4. Mengingat kompleksnya faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian kematian
maternal, maka variabel riset yang dipilih untuk diketahui pengaruhnya terhadap
kematian maternal kemungkinan belum dapat menggambarkan secara keseluruhan
permasalahan yang ada.
sesudah dilakukan riset tentang faktor – faktor risiko yang mempengaruhi
kematian maternal, studi masalah di Kabupaten Cilacap, dapat disimpulkan bahwa :
1. Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu :
a. Determinan dekat yang terdiri dari :
− Komplikasi kehamilan (OR = 147,1; 95% CI : 2,4 – 1938,3 ; p = 0,002)
− Komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI : 1,8 – 1827,7 ; p = 0,027)
− Komplikasi nifas (OR = 84,9; 95% CI : 1,8 – 3011,4 ; p = 0,034)
b. Determinan antara yang terdiri dari :
− Riwayat penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4 ; p = 0,002)
− Riwayat KB (OR = 33,1; 95% CI : 13,0 – 2361,6 ; p = 0,038)
− Keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI : 2,5 – 488,1; p = 0,003)
Probabilitas ibu untuk mengalami kematian maternal dengan memiliki faktor – faktor
risiko ini di atas yaitu 99%.
2. Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu :
a. Determinan antara yaitu usia ibu, paritas, jarak kehamilan, riwayat komplikasi
pada kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan sebelumnya, status gizi ibu
hamil, status anemia, pemeriksaan antenatal, pemanfaatan fasilitas kesehatan saat
terjadi komplikasi, penolong pertama persalinan, cara persalinan, tempat
persalinan dan pelaksanaan rujukan saat terjadi komplikasi.
b. Determinan jauh yaitu pendidikan ibu, status pekerjaan, jumlah pendapatan
keluarga dan wilayah tempat tinggal.
3. Dari hasil kajian kualitatif pada masalah – masalah kematian maternal dapat disimpulkan
bahwa :
a. Kematian maternal di kabupaten Cilacap sebagian besar dipicu oleh
komplikasi obstetri langsung yaitu perdarahan (34,6%), preeklamsia / eklamsia
(23,1%) dan infeksi nifas (7,7%) dan komplikasi tidak langsung yaitu penyakit
yang memperburuk kondisi ibu (26,9%).
b. Kematian maternal 73,1% terjadi di Rumah Sakit dan sebesar 81,6% meninggal
dalam waktu < 48 jam sesudah masuk Rumah Sakit, hal ini dipicu oleh
keterlambatan merujuk dan keterlambatan dalam hal penanganan.
c. Faktor keterlambatan rujukan yang meliputi keterlambatan pertama, kedua dan
ketiga masih memegang peranan dalam kejadian kematian maternal di Kabupaten
Cilacap.
− Keterlambatan pertama sebagian besar diakibatkan oleh kurangnya
pengetahuan ibu, suami dan anggota keluarga mengenai tanda – tanda
kegawatdaruratan kebidanan, budaya berunding sebelum pengambilan
keputusan, peran suami yang masih dominan, kendala biaya dan sikap pasrah
terhadap takdir dan pada beberapa masalah kematian maternal ada
keterlambatan pengambilan keputusan merujuk oleh petugas kesehatan.
− Keterlambatan kedua terjadi akibat kesulitan mencari alat transportasi, jalan
yang rusak dan kendala geografis (daerah pegunungan).
− Keterlambatan ketiga terjadi akibat dokter tidak berada di tempat, penanganan
medis yang tertunda dan tidak tersedianya darah untuk keperluan transfusi.
d. Beberapa masalah kematian maternal berkaitan dengan ketidakmampuan / kesalahan
petugas kesehatan dalam memberi pertolongan medis.
e. Masih ada pertolongan persalinan oleh dukun bayi tanpa pendampingan oleh
bidan, yang memperlambat pelaksanaan rujukan bagi ibu yang mengalami
komplikasi.
f. usaha penurunan angka kematian maternal melalui program GSI belum
terlaksana secara optimal (belum ada ambulan desa, tabulin / dasolin, dan
‘donor darah hidup’) dan pelaksanaan audit maternal pada masalah – masalah kematian
di rumah sakit belum pernah dilaksanakan.
Berdasar simpulan di atas maka disarankan :
1. Bagi dinas kesehatan
a. melakukan penilaian kompetensi bidan / dokter dalam melakukan penanganan
kegawatdaruratan kebidanan baik di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan.
b. para bidan / dokter di tingkat pelayanan kesehatan dasar disarankan untuk
merujuk ibu – ibu yang mengalami komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas
lebih awal, sebab 88,5% masalah kematian maternal mengalami keterlambatan
rujukan dan 81,6% kematian maternal yang berhasil dirujuk ke Rumah Sakit
meninggal dalam waktu < 48 jam sesudah masuk Rumah Sakit, dimana hal ini
menunjukkan adanya keterlambatan dalam merujuk dan keterlambatan
penanganan.
c. melakukan analisa situasi mengenai sistem rujukan baik di tingkat pelayanan
kesehatan dasar dan rumah sakit serta prosedur penyediaan bank darah di tingkat
pelayanan kesehatan rujukan.
d. melakukan audit kematian maternal bagi masalah kematian maternal yang terjadi di
Rumah Sakit, yang dilaksanakan oleh Bagian Kebidanan dan Penyakit
Kandungan dari luar Rumah Sakit dengan mengikutsertakan para bidan di luar
Rumah Sakit mengingat 73,1% kematian maternal di Kabupaten Cilacap terjadi di
Rumah Sakit.
e. melakukan monitoring dan evaluasi kinerja bidan dalam melakukan pelayanan
kesehatan maternal, khususnya dalam pelaksanaan KIE / konseling ibu hamil,
terutama bagi ibu yang memiliki risiko tinggi kehamilan / mengalami komplikasi.
f. meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang faktor – faktor risiko,
gejala dan tanda terjadinya komplikasi, dan usaha pencegahan kejadian kematian
maternal.
g. menggalakkan pelaksanaan program Gerakan Sayang Ibu (GSI) sehingga terjalin
kerjasama lintas sektoral dalam menurunkan angka kematian maternal.
2. Bagi masyarakat
a. perlu mengenali tanda – tanda dini terjadinya komplikasi selama kehamilan,
persalinan dan nifas sehingga bila ibu mengalami komplikasi dapat segera
ditangani oleh petugas kesehatan.
b. anggota keluarga dan masyarakat perlu melakukan persiapan secara dini terhadap
kemungkinan dilakukannya rujukan pada saat ibu mengalami komplikasi
kehamilan, persalinan dan nifas, seperti persiapan biaya, sarana transportasi,
sehingga dapat mencegah terjadinya keterlambatan rujukan.
c. penggalangan dana sosial bagi ibu bersalin yang kurang mampu, pendataan dan
persiapan donor darah dari warga masyarakat dan pembentukan ambulan desa.
d. melaksanakan perencanaan kehamilan dengan menggunakaan metode kontrasepsi
khususnya bagi ibu yang memiliki risiko tinggi untuk hamil dan bagi mereka yang
hamil diharapkan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin, serta dapat
melakukan persiapan secara dini terhadap kemungkinan dilaksanakannya rujukan.
3. Bagi peneliti lain
a. Melakukan riset dengan desain studi yang lebih baik misalnya dengan studi
kohort.
b. Melakukan riset lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan maternal di
Kabupaten Cilacap dalam rangka menurunkan angka kematian maternal,
misalnya riset mengenai kinerja bidan dalam melaksanakan KIE pada ibu
hamil, riset mengenai kompetensi bidan dalam melakukan pertolongan
kegawatdaruratan kebidanan, riset mengenai kemitraan bidan dan dukun
bayi dan riset mengenai pelayanan rumah sakit dalam menangani masalah –
masalah rujukan kebidanan.
Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International
Classification of Diseases (ICD – 10) yaitu kematian wanita yang terjadi pada saat
kehamilan atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama
dan lokasi kehamilan, dipicu oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau
yang diperberat oleh kehamilan ini , atau penanganannya, akan namun bukan
kematian yang dipicu oleh kecelakaan atau kebetulan. Angka kematian maternal
dan angka kematian bayi merupakan ukuran bagi kemajuan kesehatan suatu negara,
khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan ibu dan anak. Angka kematian
maternal merupakan indikator yang mencerminkan status kesehatan ibu, terutama risiko
kematian bagi ibu pada waktu hamil dan melahirkan.
Kematian maternal 98% terjadi di negara berkembang dan sebenarnya sebagian
besar kematian ini dapat dicegah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih
memiliki angka kematian maternal yang cukup tinggi. Angka kematian maternal
Berdasar SDKI 2002 / 2003 menunjukkan angka kematian maternal sebesar 307 per
100.000 KH. Angka kematian maternal ini bila dibandingkan dengan angka kematian
pada tahun – tahun sebelumnya menunjukkan bahwa angka kematian maternal di
Indonesia cenderung berjalan stagnan.
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan angka
kematian maternal, yaitu dengan dicanangkannya Gerakan Nasional Kehamilan yang
Aman (Making Pregnancy Safer), namun dalam perkembangannya penurunan angka
kematian maternal yang dicapai tidak seperti yang diharapkan. Data pada Profil
Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan bahwa Kabupaten Cilacap
memiliki jumlah masalah kematian maternal yang masih cukup tinggi, sedangkan menurut
data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap didapatkan bahwa setiap tahun selalu
ada masalah kematian maternal, sehingga dipandang perlu untuk dilakukannya studi
mengenai faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal di Kabupaten
Cilacap.
McCarthy dan Maine (1992) mengemukakan adanya 3 faktor yang berpengaruh
terhadap proses terjadinya kematian maternal. Proses yang paling dekat terhadap kejadian
kematian maternal, disebut sebagai determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan
komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas (komplikasi
obstetri). Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu
status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku perawatan
kesehatan / pemakaian pelayanan kesehatan dan faktor – faktor lain yang tidak diketahui
atau tidak terduga. Di lain pihak, ada juga determinan jauh yang akan mempengaruhi
kejadian kematian maternal melalui pengaruhnya terhadap determinan antara, yang
meliputi faktor sosio – kultural dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga
dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.
Tujuan dari riset ini yaitu untuk mengetahui faktor – faktor risiko yang
mempengaruhi kematian maternal, yang meliputi determinan dekat, determinan antara
dan determinan jauh.
Jenis riset yang digunakan yaitu riset observasional analitik dengan
desain studi masalah kontrol, dengan dilengkapi dengan kajian secara kualitatif mengenai
kejadian kematian maternal dan usaha penurunan angka kematian maternal di Kabupaten
Cilacap dengan metode wawancara mendalam. Besar sampel riset yaitu 52 masalah
dan 52 kontrol. Data sampel masalah diambil dari data kematian maternal yang ada di
dinas kesehatan kabupaten Cilacap, yaitu 52 masalah kematian maternal terbaru yang
terdekat tanggal kematiannya dengan tanggal dimulainya riset . Sedangkan sampel
kontrol yaitu ibu pasca persalinan yang bersalin pada tanggal yang sama / hampir
bersamaan dengan kejadian masalah kematian maternal, Berdasar data pada register
kohort di puskesmas yang di wilayahnya ada masalah kematian maternal. Responden
pada masalah kematian maternal diambil dari keluarga ibu yang meninggal, yang
mengetahui kronologi kejadian kematian pada masalah kematian maternal. Sedangkan
responden pada kajian kualitatif mengenai usaha penurunan kematian maternal yaitu
kepala dinas kesehatan kabupaten Cilacap, kepala rumah sakit umum daerah kabupaten
Cilacap dan bidan desa yang di tempat tugasnya ada masalah kematian maternal.
Sumber data yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara
wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan
kematian maternal, KMS ibu hamil, data dari register kohort ibu hamil, dan dokumen
otopsi verbal. Pengolahan dan analisa data dilakukan dengan program SPSS for windows
release 10.0. analisa data kuantitatif dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat,
sedangkan data pada kajian kualitatif disajikan dalam bentuk narasi.
Hasil analisa multivariat dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan
bahwa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu determinan
dekat yang meliputi : komplikasi kehamilan (OR = 147,1; 95% CI: 2,4 – 1938,3; p =
0,002), komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI: 1,8 – 1827,7; p = 0,027), komplikasi
nifas (OR = 84,9; 95% CI: 1,8 – 3011,4; p = 0,034) dan determinan antara yaitu riwayat
penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4 ; p = 0,002), riwayat KB (OR = 33,1;
95% CI : 13,0 – 2361,6; p = 0,038) dan keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI : 2,5
– 488,1; p = 0,003). Kajian secara kualitatif mengenai kematian maternal dan usaha
penurunan angka kematian maternal di Kabupaten Cilacap menunjukkan bahwa kematian
maternal di kabupaten Cilacap, selain dipicu oleh komplikasi obstetri langsung dan
tidak langsung, juga dipengaruhi berbagai faktor seperti keterlambatan rujukan,
rendahnya tingkat pendidikan ibu, rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan belum
dapat dilaksanakannya Gerakan Sayang Ibu secara optimal di seluruh wilayah kecamatan
sebagai usaha pemerintah dalam menurunkan kematian maternal.
Diharapkan bagi anggota keluarga dan masyarakat untuk dapat mengenali secara
dini tanda – tanda terjadinya komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas sehingga
komplikasi dapat segera ditangani oleh petugas kesehatan, perlunya melakukan persiapan
secara dini terhadap kemungkinan dilakukannya rujukan pada saat ibu mengalami
komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, sehingga dapat mencegah terjadinya
keterlambatan rujukan, melaksanakan perencanaan kehamilan dengan menggunakaan
metode kontrasepsi. Bagi dinas kesehatan, penting untuk meningkatkan penyuluhan
kepada masyarakat mengenai faktor – faktor risiko, gejala dan tanda terjadinya
komplikasi, dan usaha pencegahan kejadian kematian maternal, menggalakkan
pelaksanaan program Gerakan Sayang Ibu (GSI) sehingga terjalin kerjasama lintas
sektoral dalam menurunkan angka kematian maternal, melakukan monitoring dan
evaluasi kinerja bidan dalam melakukan pelayanan kesehatan maternal, khususnya dalam
melaksanakan KIE / konseling ibu hamil, terutama bagi ibu yang memiliki risiko tinggi /
mengalami komplikasi, melakukan penilaian kompetensi bidan / dokter dalam melakukan
penanganan kegawatdaruratan kebidanan baik di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan, melakukan analisa situasi mengenai sistem rujukan baik di tingkat pelayanan
kesehatan dasar dan rumah sakit serta prosedur penyediaan bank darah di tingkat
pelayanan kesehatan rujukan.
Latar Belakang : Angka Kematian Maternal (AKM) di Indonesia masih cukup tinggi,
yaitu sekitar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002 /2003). AKM merupakan
indikator status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu saat hamil dan
melahirkan. McCarthy dan Maine mengemukakan 3 faktor yang mempengaruhi kematian
maternal yaitu determinan dekat, determinan antara dan determinan jauh. Kabupaten
Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki masalah
kematian maternal cukup tinggi, sehingga diperlukan studi untuk mengetahui faktor –
faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal di Kabupaten Cilacap.
Tujuan : riset dilakukan untuk mengetahui faktor – faktor risiko yang
mempengaruhi kematian maternal, yang terdiri dari determinan dekat, determinan antara
dan determinan jauh.
Metode : Jenis riset yaitu observasional dengan studi masalah kontrol, dilengkapi
dengan kajian kualitatif mengenai kejadian kematian maternal serta usaha penurunan
angka kematian maternal di kabupaten Cilacap. Jumlah sampel 52 masalah dan 52 kontrol.
analisa data dilakukan secara univariat, bivariat dengan chi square test, multivariat
dengan metode regresi logistik ganda. Kajian kualitatif dilakukan dengan metode indepth
interview dan dilakukan analisa secara deskriptif, disajikan dalam bentuk narasi.
Hasil : Hasil riset menunjukkan bahwa faktor risiko yang mempengaruhi kematian
maternal Berdasar analisa multivariat yaitu komplikasi kehamilan (OR = 147,1;
95% CI : 2,4 – 1938,3; p = 0,002), komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI : 1,8 –
1827,7; p = 0,027), komplikasi nifas (OR = 84,9; 95% CI : 1,8 – 3011,4; p = 0,034),
riwayat penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4; p = 0,002), riwayat KB (OR =
33,1; 95% CI : 13,0 – 2361,6; p = 0,038), dan keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI
: 2,5 – 488,1; p = 0,003). Probabilitas ibu untuk mengalami kematian maternal dengan
memiliki faktor – faktor risiko ini di atas yaitu 99%. Hasil kajian kualitatif
menunjukkan bahwa kematian maternal dipengaruhi berbagai faktor seperti
keterlambatan rujukan, terutama keterlambatan pertama, rendahnya tingkat pendidikan
ibu, rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan belum dapat dilaksanakannya Gerakan
Sayang Ibu (GSI) secara optimal di seluruh wilayah kecamatan sebagai usaha pemerintah
dalam menurunkan kematian maternal.
Saran : perlu pengenalan dini tanda – tanda komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan
nifas, persiapan rujukan, perencanaan kehamilan, pelaksanaan GSI secara optimal.
Angka kematian maternal
(AKM) merupakan indikator yang
mencerminkan status kesehatan ibu,
terutama risiko kematian bagi ibu pada
waktu hamil dan melahirkan.1) Setiap
tahun diperkirakan 529.000 wanita di
dunia meninggal sebagai akibat
komplikasi yang timbul dari kehamilan
dan persalinan, sehingga diperkirakan
AKM di seluruh dunia sebesar 400 per
100.000 kelahiran hidup (KH).2)
Kematian maternal 98% terjadi di negara
berkembang. Indonesia sebagai negara
berkembang, masih memiliki AKM
cukup tinggi. Hasil SDKI 2002/2003
menunjukkan bahwa AKM di Indonesia
sebesar 307 per 100.000 KH.3) AKM di
Indonesia sangat jauh berbeda bila
dibandingkan dengan AKM di negara –
negara maju (20 per 100.000 KH) dan
AKM di negara – negara anggota
ASEAN seperti Brunei Darussalam (37
per 100.000 KH) dan Malaysia (41 per
100.000 KH).3) AKM di propinsi Jawa
Tengah tahun 2005 menunjukkan angka
252 per 100.000 KH. Bila dibandingkan
dengan AKM tahun 2004 (155 per
100.000 KH), hal ini menunjukkan
adanya kenaikan AKM.4) Salah satu
kabupaten di Jawa Tengah yang masih
memiliki AKM cukup tinggi yaitu
Kabupaten Cilacap (AKM tahun 2005 :
147 per 100.000 KH).
McCarthy dan Maine (1992)
mengemukakan 3 faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian kematian
maternal : (1) determinan dekat yaitu
kehamilan itu sendiri dan komplikasi
yang terjadi dalam kehamilan, persalinan
dan masa nifas (komplikasi obstetri), (2)
determinan antara yaitu status kesehatan
ibu, status reproduksi, akses ke
pelayanan kesehatan, perilaku perawatan
kesehatan / pemakaian pelayanan
kesehatan dan faktor – faktor lain yang
tidak diketahui atau tidak terduga, (3)
determinan jauh meliputi faktor sosio –
kultural dan faktor ekonomi, seperti
status wanita dalam keluarga dan
masyarakat, status keluarga dalam
masyarakat dan status masyarakat.1)
riset ini bertujuan untuk
mengetahui faktor – faktor risiko
kematian maternal di Kabupaten
Cilacap, yang meliputi determinan dekat,
determinan antara dan determinan jauh,
serta untuk melakukan kajian secara
kualitatif mengenai kejadian kematian
maternal dan usaha penurunan AKM di
Kabupaten Cilacap.
Jenis riset ini merupakan
riset observasional analitik dengan
desain studi masalah kontrol, dilengkapi
dengan kajian secara kualitatif terhadap
masalah kematian maternal, untuk
mengetahui kronologi terjadinya
kematian maternal serta wawancara pada
kepala dinas kesehatan Kabupaten
Cilacap, direktur RSUD Cilacap dan
bidan desa (yang di tempat tugasnya
ada masalah kematian maternal)
mengenai usaha pelayanan kesehatan
maternal yang dilakukan dalam rangka
menurunkan AKM di Kabupaten
Cilacap.
masalah yaitu ibu yang
mengalami kematian maternal di
Kabupaten Cilacap selama tahun 2005
sampai dengan tahun 2007 yang tercatat
dalam data kematian maternal di dinas
kesehatan kabupaten Cilacap. Kontrol
yaitu ibu pasca persalinan yang tidak
mengalami kematian maternal, yang
bersalin pada hari yang sama atau
hampir bersamaan dengan terjadinya
kematian maternal. Responden
riset pada masalah kematian maternal
yaitu keluarga dari ibu yang
meninggal, yang mengetahui kronologi
terjadinya kematian maternal. Besar
sampel minimal dihitung Berdasar uji
hipotesis satu arah dengan tingkat
kemaknaan 5% dan kekuatan 80%
dengan OR perkiraan minimal sebesar
2,0. Besar sampel yang diperoleh yaitu
52 masalah dan 52 kontrol. Data sampel
masalah kematian maternal diperoleh dari
data kematian maternal di Dinkes
Kabupaten Cilacap, data sampel kontrol
diperoleh dari puskesmas yang di
wilayah kerjanya ada masalah
kematian maternal. Data primer
diperoleh melalui wawancara dengan
kuesioner, sedangkan data sekunder dari
catatan kematian maternal, dokumen
audit maternal perinatal (AMP),
dokumen otopsi verbal, catatan
persalinan dan register kohort ibu hamil.
Data kualitatif diperoleh melalui
wawancara mendalam (indepth
interview). Variabel terikat yaitu
kematian maternal, sedangkan variabel
bebas meliputi determinan dekat
(komplikasi kehamilan, komplikasi
persalinan dan komplikasi nifas),
determinan antara (usia ibu, paritas,
jarak kehamilan, riwayat penyakit ibu,
riwayat komplikasi kehamilan
sebelumnya, riwayat persalinan
sebelumnya, status gizi saat hamil,
anemia, pemeriksaan antenatal,
pemanfaatan fasilitas kesehatan saat
terjadi komplikasi, penolong pertama
persalinan, cara persalinan, tempat
persalinan, riwayat KB, pelaksanaan
rujukan, keterlambatan rujukan), dan
determinan jauh (tingkat pendidikan ibu,
status pekerjaan ibu, jumlah pendapatan
keluarga, wilayah tempat tinggal).
Pengolahan dan analisa data
dengan program SPSS for windows
release 10.0. analisa data kuantitatif
dilakukan secara univariat, bivariat (uji
Chi Square) dan multivariat (regresi
logistik ganda). analisa data kualitatif
secara deskriptif dan disajikan dalam
bentuk narasi.
HASIL riset
Kematian maternal pada 52 masalah
kematian maternal di kabupaten Cilacap
tersebar di 18 wilayah kecamatan dari 24
kecamatan yang ada, sebagian besar
dipicu oleh perdarahan (34,6%),
disusul penyakit yang memperburuk
kondisi ibu (26,9%), preeklamsia/
eklamsia (23,1%) dan infeksi nifas
(7,7%).
Jumlah 52 100
Kematian maternal sebagian
besar terjadi pada saat persalinan,
dimana 32 masalah (61,5%) meninggal saat
bersalin, disusul kematian saat masa
nifas : 14 masalah (26,9%) dan kematian
saat hamil : 6 masalah (11,5%). Sebagian
besar masalah meninggal di rumah sakit
(73,1%), sedangkan 13,5% meninggal di
rumah, 7,7% meninggal di puskesmas,
dan 5,7% meninggal di perjalanan.
Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 :
Gambaran tentang pelayanan
kesehatan rujukan dapat diketahui dari
lama perawatan di RS sebelum masalah
meninggal. Dari 38 masalah yang
meninggal di RS, 81,6% meninggal
dalam waktu < 48 jam sesudah masuk
RS, dimana hal ini kemungkinan
dipicu oleh kondisi ibu yang buruk
sebelum dibawa ke RS atau dapat
dipicu oleh keterlambatan merujuk
dan keterlambatan penanganan.
Tabel 3 memperlihatkan crude
odds ratio (OR) hasil analisa bivariat.
Hasil analisa bivariat
menunjukkan bahwa determinan dekat,
yaitu adanya komplikasi kehamilan,
komplikasi persalinan dan komplikasi
nifas secara statistik menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna.
Determinan antara yang memiliki
hubungan yang bermakna dengan
kejadian kematian maternal yaitu usia
ibu saat hamil (< 20 tahun / > 35 tahun),
jarak kehamilan (< 2 tahun / ≥ 5 tahun),
adanya riwayat penyakit ibu saat hamil,
adanya riwayat komplikasi pada
kehamilan sebelumnya, riwayat
persalinan jelek, status gizi ibu saat
hamil mengalami KEK, anemia,
pemeriksaan antenatal tidak baik
(frekuensi pemeriksaan antenatal oleh
petugas kesehatan < 4 x dan tidak
memenuhi 5T), penolong pertama
persalinan bukan tenaga kesehatan, cara
persalinan dengan tindakan dan
keterlambatan rujukan. Determinan jauh
yang berhubungan secara bermakna pada
analisa bivariat yaitu jumlah
pendapatan kelurga < UMR.
Hasil analisa multivariat
menunjukkan ada 6 variabel independen
yang patut dipertahankan secara statistik
yaitu komplikasi kehamilan, komplikasi
persalinan, komplikasi nifas, riwayat
penyakit ibu, riwayat KB, dan
keterlambatan rujukan. Hasil analisa
interaksi pada 6 variabel independen
terhadap variabel dependen
menunjukkan tidak ada interaksi
antar keenam variabel independen, yang
ditunjukkan dengan nilai p > 0,05,
sehingga tidak ada variabel yang
dikeluarkan dari model. Hasil
selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4:
Tabel 4 Ringkasan Hasil analisa Regresi Logistik Ganda
No. Faktor risiko B OR adjusted 95% CI p
1. Riwayat penyakit ibu 9,954 210,2 13,4 – 5590,4 0,002
2. Komplikasi kehamilan 4,991 147,1 2,4 – 1938,3 0,002
3. Komplikasi nifas 4,442 84,9 1,8 – 3011,4 0,034
4. Keterlambatan rujukan 3,928 50,8 2,5 – 488,1 0,003
5. Komplikasi persalinan 3,897 49,2 1,8 – 1827,7 0,027
6. Riwayat KB -2,606 33,1 13,0 – 2361,6 0,038
Faktor risiko yang terbukti
berpengaruh terhadap kejadian
kematian maternal
1. Determinan dekat
1. Komplikasi kehamilan
Hasil analisa multivariat
menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami komplikasi kehamilan
memiliki risiko untuk mengalami
kematian maternal 147,1 kali lebih besar
bila dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami komplikasi kehamilan,
dengan nilai p = 0,002 (OR adjusted =
147,1 ; 95% CI : 13,4 – 5590,4).
Hasil riset ini sesuai dengan
riset yang dilakukan oleh
Kusumaningrum (199 yang
menyatakan bahwa adanya komplikasi
kehamilan memicu ibu memiliki
risiko 19,2 kali lebih besar untuk
mengalami kematian maternal.5)
Hasil riset menunjukkan
bahwa komplikasi kehamilan yang
terjadi pada kelompok masalah sebagian
besar berupa preeklamsia (42,2%) dan
perdarahan (7,7%), demikian juga pada
kelompok kontrol, dimana preeklamsia
memiliki proporsi sebesar 3,9% dan
perdarahan 1,9%.
Adanya komplikasi pada
kehamilan, terutama perdarahan hebat
yang terjadi secara tiba – tiba, akan
memicu ibu kehilangan banyak
darah dan akan memicu kematian
maternal dalam waktu singkat.6,7,8)
Hipertensi dalam kehamilan, yang sering
dijumpai yaitu preeklamsia dan
eklamsia, bila tidak segera ditangani
akan dapat memicu ibu
kehilangan kesadaran yang berlanjut
pada terjadinya kegagalan pada jantung,
gagal ginjal atau perdarahan otak yang
akan memicu kematian
maternal.
2. Komplikasi persalinan
Hasil analisa multivariat
menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami komplikasi persalinan
memiliki risiko untuk mengalami
kematian maternal 49,2 kali lebih besar
bila dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami komplikasi persalinan
dengan nilai p = 0,027 (OR adjusted =
49,2 ; 95% CI : 1,8 – 1827,7).
Hasil riset ini sesuai dengan
riset yang dilakukan oleh Suwanti
E (2002) yang menyatakan bahwa
adanya komplikasi persalinan
memicu ibu memiliki risiko 50,69
kali lebih besar untuk mengalami
kematian maternal.11) Juga riset
oleh Kusumaningrum (199 yang
menyatakan bahwa komplikasi
persalinan memicu ibu memiliki
risiko 13 kali untuk mengalami kematian
maternal.5)
Hasil riset menunjukkan
bahwa komplikasi persalinan yang
terjadi pada kelompok masalah sebagian
besar berupa perdarahan (34,6%),
disusul preeklamsia (15,4%), dan
eklamsia (11,5%), demikian juga pada
kelompok kontrol, yaitu preeklamsia dan
perdarahan (7,7%) disusul partus lama
(3,9%).
Adanya komplikasi persalinan,
terutama perdarahan postpartum,
memberi kontribusi 25% untuk
terjadinya kematian maternal.1)
Perdarahan ini akan memicu ibu
kehilangan banyak darah, dan akan
memicu kematian maternal dalam
waktu singkat.1,7,8) Preeklamsia ringan
dapat dengan mudah berubah menjadi
preeklamsia berat dan keadaan ini akan
mudah menjadi eklamsia yang
memicu kejang. bila keadaan
ini terjadi pada proses persalinan akan
dapat memicu ibu kehilangan
kesadaran, dan dapat memicu
kematian maternal.7,9,10) Partus lama atau
persalinan tidak maju, yaitu persalinan
yang berlangsung lebih dari 18 jam sejak
inpartu. Partus lama dapat
membahayakan jiwa ibu, sebab pada
partus lama risiko terjadinya perdarahan
postpartum akan meningkat dan bila
pemicu partus lama yaitu akibat
disproporsi kepala panggul, maka risiko
terjadinya ruptura uteri akan meningkat,
dan hal ini akan memicu
kematian ibu dan juga janin dalam waktu
singkat. Partus lama dapat
memicu terjadinya infeksi jalan
lahir. Infeksi ini dapat membahayakan
nyawa ibu sebab dapat memicu
sepsis.
3. Komplikasi nifas
Hasil analisa multivariat
menunjukkan bahwa ibu yang
mengalami komplikasi nifas memiliki
risiko untuk mengalami kematian
maternal 84,9 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami komplikasi nifas dengan nilai
p = 0,034 (OR adjusted = 84,9 ; 95% CI
: 1,8 – 3011,4).
Hasil riset ini sesuai dengan
riset yang dilakukan oleh
Kusumaningrum (199 yang
menyatakan bahwa adanya komplikasi
nifas memicu ibu memiliki risiko
8,62 kali lebih besar untuk mengalami
kematian maternal.5)
Hasil riset menunjukkan
bahwa komplikasi nifas yang terjadi
pada kelompok masalah berupa perdarahan
(9,6%), disusul infeksi nifas (7,7%) dan
preeklamsia (3,9%), sedangkan pada
kelompok kontrol, yaitu infeksi nifas
(1,9%) dan mastitis (1,9%).
Adanya komplikasi pada masa
nifas terutama adanya infeksi dapat
memicu kematian maternal akibat
menyebarnya kuman ke dalam aliran
darah (septikemia), yang dapat
menimbulkan abses pada organ – organ
tubuh, seperti otak dan ginjal, sedangkan
perdarahan pada masa nifas dapat
melanjut pada terjadinya kematian
maternal terutama bila ibu tidak segera
mendapat perawatan awal untuk
mengendalikan perdarahan
2 Determinan antara
1. Riwayat Penyakit Ibu
Hasil analisa multivariat
menunjukkan bahwa risiko untuk
terjadinya kematian maternal pada ibu
yang memiliki riwayat penyakit yaitu
210,2 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan ibu yang tidak memiliki riwayat
penyakit dengan nilai p = 0,002 (OR
adjusted = 210,2 ; 95% CI : 13,4 –
5590,4).
Riwayat penyakit ibu
didefinisikan sebagai penyakit yang
sudah diderita oleh ibu sebelum
kehamilan atau persalinan atau penyakit
yang timbul selama kehamilan yang
tidak berkaitan dengan pemicu obstetri
langsung, akan namun diperburuk oleh
pengaruh fisiologik akibat kehamilan
sehingga keadaan ibu menjadi lebih
buruk. Kematian maternal akibat
penyakit yang diderita ibu merupakan
pemicu kematian maternal tidak
langsung (indirect obstetric death).
Hasil riset menunjukkan
bahwa pada kelompok masalah , penyakit
yang diderita oleh ibu sejak sebelum
kehamilan maupun selama kehamilan
mempunyai proporsi sebesar 36,5%
yaitu meliputi penyakit jantung,
hipertensi, TB paru, demam tifoid, asma
bronkiale, bronkopneumonia, hepatitis,
demam berdarah dengue, epilepsi dan
gastritis kronis. Sedangkan pada
kelompok kontrol penyakit yang diderita
ibu yaitu penyakit jantung (1,9%). Hasil
riset ini sesuai dengan riset –
riset sebelumnya yang
menunjukkan bahwa penyakit yang
diderita ibu merupakan pemicu tidak
langsung dari kematian maternal
sehingga memenuhi aspek koherensi /
konsistensi dari asosiasi
kausal.
2. Keterlambatan rujukan
Hasil analisa multivariat
menunjukkan bahwa keterlambatan
rujukan saat terjadi komplikasi akan
memicu ibu memiliki risiko 50,8
kali lebih besar untuk mengalami
kematian maternal bila dibandingkan
dengan ibu yang tidak mengalami
keterlambatan rujukan dengan nilai p =
0,003 dan OR adjusted 50,8 ; 95% CI
2,5 – 488,1.
Hasil analisa ini menunjukkan
bahwa keterlambatan rujukan pada ibu
yang mengalami komplikasi pada masa
kehamilan, persalinan dan nifas
memberi risiko lebih besar untuk
terjadinya kematian maternal bila
dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami keterlambatan rujukan saat
terjadi komplikasi. Keterlambatan
rujukan yang terjadi pada masalah – masalah
kematian maternal meliputi
keterlambatan pertama, kedua dan
ketiga. Ketiga jenis keterlambatan ini
akan memperburuk kondisi ibu akibat
ibu tidak dapat memperoleh penanganan
yang adekuat sesuai dengan komplikasi
yang ada, sehingga kematian maternal
menjadi tidak dapat dihindarkan.
Hasil riset menunjukkan
bahwa pada masalah – masalah kematian
maternal, sebagian besar terjadi
keterlambatan pertama yaitu pada 28
masalah (53,9%), sedangkan 10 masalah
mengalami jenis keterlambatan pertama
dan kedua (19,2%), 5 masalah mengalami
keterlambatan pertama dan ketiga
(9,6%), dan sisanya yaitu 3 masalah masing
– masing mengalami keterlambatan
kedua, ketiga dan ketiga keterlambatan
sekaligus. Hanya 6 masalah yang tidak
mengalami keterlambatan rujukan saat
terjadi komplikasi.
Keterlambatan pertama
merupakan keterlambatan dalam
pengambilan keputusan. Dari hasil
indepth interview yang dilakukan pada
saat riset , diperoleh informasi
bahwa ketika terjadi kegawat –
daruratan, pengambilan keputusan masih
berdasar pada budaya ‘berunding’, yang
berakibat pada keterlambatan merujuk.
Peran suami sebagai pengambil
keputusan utama juga masih tinggi,
sehingga pada saat terjadi komplikasi
yang membutuhkan keputusan ibu
segera dirujuk menjadi tertunda sebab
suami tidak berada di tempat. Kendala
biaya juga merupakan alasan terjadinya
keterlambatan dalam pengambilan
keputusan. Pada masalah – masalah dimana
ibu dari keluarga tidak mampu harus
segera dirujuk, keluarga tidak berani
membawa ibu ke rumah sakit sebagai
tempat rujukan, walaupun pihak kepala
desa akan membuatkan surat keterangan
tidak mampu, sebab pihak keluarga
merasa bahwa meskipun biaya
pendaftaran rumah sakit gratis, mereka
berpikir tetap harus mengeluarkan biaya
untuk transportasi ke rumah sakit, biaya
ekstra untuk obat – obatan khusus, yang
akan menimbulkan beban keuangan
keluarga. Keterlambatan juga terjadi
akibat ketidaktahuan ibu maupun
keluarga mengenai tanda bahaya yang
harus segera mendapatkan penanganan
untuk mencegah terjadinya kematian
maternal. Misalnya pada masalah
perdarahan, persepsi mengenai seberapa
banyak darah yang keluar dapat
dikatakan lebih dari normal bagi orang
awam (ibu maupun anggota keluarga)
ternyata belum diketahui. Pada masalah
perdarahan post partum akibat retensio
placenta, ibu merasa kondisinya masih
kuat dan tidak mau dirujuk, walaupun
menurut keluarga yang ada pada saat
kejadian, darah yang keluar sampai
membasahi 3 kain yang dipakai ibu.
Keluarga berpendapat perdarahan
ini merupakan hal yang biasa
sebab ibu habis melahirkan dan
kemudian baru merasa panik dan
memutuskan untuk membawa ibu ke
rumah sakit sesudah perdarahan terus
berlanjut dan kondisi ibu makin
memburuk. Budaya pasrah dan
menganggap kesakitan dan kematian ibu
sebagai takdir masih tetap ada dalam
masyarakat, sehingga hal ini
membuat anggota keluarga dan
masyarakat tidak segera mengusaha kan
secara maksimal penanganan kegawat –
daruratan yang ada.
Keterlambatan kedua merupakan
keterlambatan mencapai tempat rujukan,
sesudah pengambilan keputusan untuk
merujuk ibu ke tempat pelayanan
kesehatan yang lebih lengkap diambil.
Hal ini dapat terjadi akibat kendala
geografi, kesulitan mencari alat
transportasi, sarana jalan dan sarana alat
transportasi yang tidak memenuhi syarat.
masalah kematian maternal yang terjadi
pada umumnya terjadi pada saat dan
sesudah persalinan, sehingga
keterlambatan kedua sebenarnya tidak
perlu terjadi bila sarana transportasi
untuk mengantisipasi keadaan gawat –
darurat telah dipersiapkan sejak dini.
Hasil riset menunjukkan bahwa
sebagian besar anggota keluarga baru
mencari alat transportasi sesudah bidan
menyarankan ibu untuk dirujuk.
Ambulan desa sebagai salah satu sarana
alat transportasi bila terjadi keadaan
gawat – darurat belum tersedia di desa
tempat tinggal masalah – masalah kematian
maternal, sehingga ibu dibawa ke rumah
sakit dengan angkutan umum, mobil
sewaan, mobil milik bidan, truk
angkutan pasir dan hanya sebagian kecil
yang diangkut dengan ambulans milik
puskesmas. Jarak ke tempat rujukan rata
– rata dapat dicapai dalam jangka waktu
kurang dari 2 jam, akan namun kondisi
jalan yang rusak memperlama waktu
perjalanan dan memperburuk kondisi
ibu.
Keterlambatan ketiga pada masalah
kematian maternal terjadi akibat
keterlambatan penanganan masalah di
tempat rujukan. Keterlambatan ketiga
yang terjadi pada 6 masalah kematian
maternal terjadi akibat rumah sakit
tempat rujukan kekurangan persediaan
darah (3 masalah ), sehingga keluarga
diminta mencari darah di tempat lain,
dan sebelum keluarga tiba, ibu sudah
meninggal, sedangkan pada masalah yang
lain terjadi keterlambatan dalam
pelaksanaan tindakan medis akibat
tenaga ahli tidak berada di tempat dan
pada masalah yang lain terjadi akibat
pelaksanaan penanganan medis yang
membutuhkan waktu lebih dari 30 menit
sejak ibu sampai di rumah sakit. Sebagai
contoh pada masalah perdarahan
antepartum, operasi seksio sesaria baru
dilakukan 7 jam sesudah ibu tiba di
rumah sakit dan pada masalah preeklamsia
pada ibu dengan kehamilan 40 minggu,
induksi persalinan baru dilakukan 6 jam
sesudah ibu tiba di rumah sakit.
Hasil riset ini sesuai dengan
riset – riset terdahulu yang
menyatakan bahwa keterlambatan
rujukan meningkatkan risiko untuk
terjadinya kematian maternal. Hal ini
menunjukkan konsistensi dari asosiasi
kausal.
3. Riwayat KB
Hasil analisa multivariat
menunjukkan bahwa ibu yang tidak
pernah KB memiliki risiko untuk
mengalami kematian maternal 33,1 kali
lebih besar bila dibandingkan dengan ibu
yang mengikuti program KB dengan
nilai p = 0,038 (OR adjusted = 33,1 ;
95% CI : 13,0 – 2361,6).
Hasil riset menunjukkan
bahwa proporsi ibu yang tidak pernah
KB pada kelompok masalah sebesar 50%
lebih besar dibandingkan kelompok kontrol
yaitu 34,6%. Meskipun pada analisa
bivariat tidak ada hubungan yang
bermakna antara riwayat KB dengan
kematian maternal dengan nilai p =
0,112 (OR = 1,89 ; 95% CI : 0,86 –
4,16), akan namun sesudah masuk model
multivariat, ternyata riwayat KB
merupakan faktor risiko yang
berpengaruh terhadap kematian
maternal.
Program KB memiliki peranan
yang besar dalam mencegah kematian
maternal. Dengan memakai alat
kontrasepsi, seorang ibu akan dapat
merencanakan kehamilan sedemikian
rupa sehingga dapat menghindari
terjadinya kehamilan pada umur tertentu
(usia terlalu muda maupun usia tua) dan
dapat mengurangi jumlah kehamilan
yang tidak diinginkan sehingga
mengurangi praktik pengguguran yang
ilegal berikut kematian maternal yang
ditimbulkannya. pemakaian alat
kontrasepsi akan mencegah keadaan
‘empat terlalu’ yaitu terlalu muda, terlalu
tua, terlalu sering dan terlalu banyak
yang merupakan faktor risiko terjadinya
kematian maternal.1 bila seorang
ibu dalam masa reproduksinya tidak
menggunakan alat kontrasepsi, maka ia
dihadapkan pada risiko untuk terjadinya
kehamilan beserta risiko untuk
terjadinya komplikasi baik pada masa
kehamilan, persalinan maupun nifas,
yang dapat melanjut menjadi kematian
maternal.
Hasil analisa multivariat
menghasilkan model persamaan regresi
sebagai berikut :
1
Y =
1+ e-(-9,094 + 9,954 + 4,991 + 4,442 + 3,928 + 3,897 + -2,606)
Y = 0,99 ( 99% )
Hal ini berarti bahwa jika ibu
memiliki riwayat penyakit, mengalami
komplikasi kehamilan, komplikasi
persalinan, komplikasi nifas, tidak
pernah KB dan mengalami
keterlambatan rujukan saat terjadi
komplikasi akan memiliki probabilitas
atau risiko mengalami kematian
maternal sebesar 99%.
sesudah dilakukan riset
tentang faktor – faktor risiko yang
mempengaruhi kematian maternal, studi
masalah di Kabupaten Cilacap, dapat
disimpulkan bahwa :
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh
terhadap kematian maternal yaitu :
1. Determinan dekat yang terdiri dari :
− Komplikasi kehamilan (OR =
147,1; 95% CI : 2,4 – 1938,3
; p = 0,002)
− Komplikasi persalinan (OR =
49,2; 95% CI : 1,8 – 1827,7 ;
p = 0,027)
− Komplikasi nifas (OR = 84,9;
95% CI : 1,8 – 3011,4 ; p =
0,034)
2. Determinan antara yang terdiri dari :
− Riwayat penyakit ibu (OR =
210,2; 95% CI : 13,4 –
5590,4 ; p = 0,002)
− Riwayat KB (OR = 33,1;
95% CI : 13,0 – 2361,6 ; p =
0,038)
− Keterlambatan rujukan (OR =
50,8; 95% CI : 2,5 – 488,1; p
= 0,003)
Probabilitas ibu untuk mengalami
kematian maternal dengan memiliki
faktor – faktor risiko ini di atas
yaitu 99%.
Dari hasil kajian kualitatif pada
masalah – masalah kematian maternal dapat
disimpulkan bahwa :
a. Kematian maternal di kabupaten
Cilacap sebagian besar dipicu
oleh komplikasi obstetri langsung
yaitu perdarahan (34,6%),
preeklamsia / eklamsia (23,1%) dan
infeksi nifas (7,7%) dan komplikasi
tidak langsung yaitu penyakit yang
memperburuk kondisi ibu (26,9%).
b. Kematian maternal 73,1% terjadi di
Rumah Sakit dan sebesar 81,6%
meninggal dalam waktu < 48 jam
sesudah masuk Rumah Sakit, hal ini
dipicu oleh keterlambatan
merujuk dan keterlambatan dalam
hal penanganan.
c. Faktor keterlambatan rujukan yang
meliputi keterlambatan pertama,
kedua dan ketiga masih memegang
peranan dalam kejadian kematian
maternal di Kabupaten Cilacap.
− Keterlambatan pertama
sebagian besar diakibatkan
oleh kurangnya pengetahuan
ibu, suami dan anggota
keluarga mengenai tanda –
tanda kegawatdaruratan
kebidanan, budaya berunding
sebelum pengambilan
keputusan, peran suami yang
masih dominan, kendala
biaya dan sikap pasrah
terhadap takdir dan pada
beberapa masalah kematian
maternal ada
keterlambatan pengambilan
keputusan merujuk oleh
petugas kesehatan.
− Keterlambatan kedua terjadi
akibat kesulitan mencari alat
transportasi, jalan yang rusak
dan kendala geografis
(daerah pegunungan).
− Keterlambatan ketiga terjadi
akibat dokter tidak berada di
tempat, penanganan medis
yang tertunda dan tidak
tersedianya darah untuk
keperluan transfusi.
d. Beberapa masalah kematian maternal
berkaitan dengan ketidakmampuan /
kesalahan petugas kesehatan dalam
memberi pertolongan medis.
e. Masih ada pertolongan
persalinan oleh dukun bayi tanpa
pendampingan oleh bidan, yang
memperlambat pelaksanaan rujukan
bagi ibu yang mengalami komplikasi.
f. usaha penurunan angka kematian
maternal melalui program GSI belum
terlaksana secara optimal (belum
ada ambulan desa, tabulin /
dasolin, dan ‘donor darah hidup’) dan
pelaksanaan audit maternal pada
masalah – masalah kematian di rumah
sakit belum pernah dilaksanakan.
Saran bagi dinas kesehatan
Kabupaten Cilacap agar senantiasa
melakukan penilaian kompetensi bidan /
dokter dalam melakukan penanganan
kegawatdaruratan kebidanan baik di
tingkat pelayanan kesehatan dasar dan
rujukan, para bidan / dokter di tingkat
pelayanan kesehatan dasar disarankan
untuk merujuk ibu – ibu yang
mengalami komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas lebih awal, sebab
88,5% masalah kematian maternal
mengalami keterlambatan rujukan dan
81,6% kematian maternal yang berhasil
dirujuk ke Rumah Sakit meninggal
dalam waktu < 48 jam sesudah masuk
Rumah Sakit, dimana hal ini
menunjukkan adanya keterlambatan
dalam merujuk dan keterlambatan
penanganan, melakukan analisa situasi
mengenai sistem rujukan baik di tingkat
pelayanan kesehatan dasar dan rumah
sakit serta prosedur penyediaan bank
darah di tingkat pelayanan kesehatan
rujukan, melakukan audit kematian
maternal bagi masalah kematian maternal
yang terjadi di Rumah Sakit, yang
dilaksanakan oleh Bagian Kebidanan
dan Penyakit Kandungan dari luar
Rumah Sakit dengan mengikutsertakan
para bidan di luar Rumah Sakit
mengingat 73,1% kematian maternal di
Kabupaten Cilacap terjadi di Rumah
Sakit, melakukan monitoring dan
evaluasi kinerja bidan dalam melakukan
pelayanan kesehatan maternal,
khususnya dalam pelaksanaan KIE /
konseling ibu hamil, terutama bagi ibu
yang memiliki risiko tinggi kehamilan /
mengalami komplikasi, meningkatkan
penyuluhan kepada masyarakat tentang
faktor – faktor risiko, gejala dan tanda
terjadinya komplikasi, dan usaha
pencegahan kejadian kematian maternal,
menggalakkan pelaksanaan program
Gerakan Sayang Ibu (GSI) sehingga
terjalin kerjasama lintas sektoral dalam
menurunkan angka kematian maternal.
Sedangkan bagi masyarakat agar perlu
mengenali tanda – tanda dini terjadinya
komplikasi selama kehamilan, persalinan
dan nifas sehingga bila ibu mengalami
komplikasi dapat segera ditangani oleh
petugas kesehatan, anggota keluarga dan
masyarakat perlu melakukan persiapan
secara dini terhadap kemungkinan
dilakukannya rujukan pada saat ibu
mengalami komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas, seperti persiapan
biaya, sarana transportasi, sehingga
dapat mencegah terjadinya
keterlambatan rujukan, penggalangan
dana sosial bagi ibu bersalin yang
kurang mampu, pendataan dan persiapan
donor darah dari warga masyarakat dan
pembentukan ambulan desa
melaksanakan perencanaan kehamilan
dengan menggunakaan metode
kontrasepsi khususnya bagi ibu yang
memiliki risiko tinggi untuk hamil dan
bagi mereka yang hamil diharapkan
untuk melakukan pemeriksaan secara
rutin, serta dapat melakukan persiapan
secara dini terhadap kemungkinan
dilaksanakannya rujukan.