kematian 4

Tampilkan postingan dengan label kematian 4. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kematian 4. Tampilkan semua postingan

Kamis, 22 Februari 2024

kematian 4


 



(SLTP) memiliki risiko 3,4 kali lebih 

besar untuk mengalami kematian maternal.)  

Hubungan antara pendidikan dan kematian maternal tidak bersifat langsung. 

Pendidikan akan memberi  pengaruh secara tidak langsung melalui peningkatan status 

sosial dan kedudukan ibu di dalam masyarakat, peningkatan pilihan mereka terhadap 

kehidupan dan peningkatan kemampuan untuk membuat keputusan sendiri serta 

menyatakan pendapat. Wanita dengan tingkat pendidikan rendah, memicu  

kurangnya pengertian mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil terutama 

dalam hal kegawat – daruratan kehamilan dan persalinan.)         

Hasil riset  menunjukkan bahwa sebagian besar ibu, baik pada kelompok 

masalah  (63,5%) maupun kontrol (55,8%) memiliki pendidikan SD, sehingga dalam hal ini 

ada  kesetaraan proporsi antara masalah  dan kontrol yang memicu  hubungan tidak 

bermakna antara pendidikan ibu dengan kematian maternal.

2. Status pekerjaan ibu 

Hasil analisa  baik bivariat maupun multivariat menunjukkan tidak ada pengaruh 

status pekerjaan ibu terhadap kejadian kematian maternal (OR = 1,8 ; 95% CI : 0,8 – 4,4 ; 

p = 0,185).     

Hasil riset  ini sesuai dengan hasil riset  Latuamury (2002) dan Suwanti 

E (2002) yang  menyatakan tidak ada pengaruh status pekerjaan (bekerja / tidak bekerja) 

terhadap kematian maternal. l

 

Pekerjaan merupakan determinan jauh dari kematian maternal. Pada keadaan 

hamil, ibu terutama dengan keadaan ekonomi keluarga di tingkat subsisten tetap 

melakukan pekerjaan fisik, seperti membantu suami bekerja di sawah atau berdagang. Ibu 

bahkan menjadi tumpuan keluarga jika suami terbatas secara fisik. Keadaan ini  akan 

membawa pengaruh terhadap kesehatan ibu dan memicu nya rentan terhadap 

kemungkinan terjadinya komplikasi selama kehamilan, persalinan serta nifas.l

   Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa  bivariat dan multivariat 

dipicu  oleh adanya kesetaraan proporsi antara kelompok masalah  dan kontrol serta 

adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh 

dianalisa  sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar 

pengaruhnya. 

 

3. Jumlah pendapatan keluarga 

analisa  bivariat menunjukkan bahwa jumlah pendapatan keluarga kurang dari 

UMR memiliki risiko 2,3 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal bila 

dibandingkan dengan jumlah pendapatan keluarga sesuai dengan UMR atau lebih dan 

secara statistik bermakna (OR = 2,3; 95% CI : 1,0 – 5,1 ; p = 0,044). Akan namun  pada 

analisa  multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada riset  ini hipotesis 

jumlah pendapatan keluarga merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal 

tidak terbukti. Pada analisa  multivariat variabel jumlah pendapatan keluarga bukan 

merupakan faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal, sebab  variabel – 

variabel ini dianalisa  sekaligus, sehingga pengaruhnya akan dikontrol oleh variabel yang 

lebih besar pengaruhnya. 

Hasil riset  ini sesuai dengan hasil riset  Suwanti E (2002) dan Nining W 

(2004) yang menyebutkan jumlah pendapatan keluarga bukan merupakan faktor yang 

berpengaruh terhadap kematian maternal. 

 

4. Wilayah tempat tinggal  

Hasil riset  menunjukkan bahwa wilayah tempat tinggal bukan merupakan 

faktor yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal (OR = 1,1 ; 95% CI : 0,5 – 

2,7 ; p = 0,8). 

Wilayah tempat tinggal didefinisikan sebagai wilayah pedesaan dan perkotaan. 

Pada riset  ini sampel kontrol diambil dari wilayah kerja puskesmas yang di 

daerahnya ada  masalah  kematian maternal, sehingga ada  kesetaraan antara proporsi 

masalah  dan kontrol dalam hal wilayah tempat tinggal. 

 Kajian Kualitatif Kejadian Kematian Maternal di Kabupaten Cilacap 

Kajian kualitatif mengenai kejadian kematian maternal dan usaha  pelayanan 

kesehatan maternal di Kabupaten Cilacap disajikan dalam bentuk narasi. Tujuan dari 

kajian kualitatif yaitu  untuk melihat berbagai faktor yang berkaitan dengan terjadinya 

kematian maternal secara lebih detail.77)  

Bahasan mengenai masalah  ini berasal dari riwayat perjalanan / kronologi terjadinya 

kematian maternal yang diperoleh melalui teknik wawancara secara mendalam (indepth 

interview) terhadap responden riset  pada masalah  kematian maternal, dan didukung 

dari data yang ada dalam dokumen otopsi verbal / hasil audit maternal perinatal. 

Informasi mengenai usaha  yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Cilacap dalam 

menurunkan angka kematian maternal yang ada diperoleh dari hasil wawancara terhadap 

Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah 

(RSUD) Kabupaten Cilacap dan bidan desa yang tinggal di tempat terjadinya masalah  

kematian maternal.  

Kematian maternal terjadi melalui berbagai rangkaian peristiwa yang berlangsung 

sangat kompleks, tidak hanya berkaitan dengan pemicu  medis (komplikasi obstetri dan 

penyakit yang memperburuk kondisi ibu) akan namun  juga berkaitan dengan berbagai 

faktor yang lain, baik determinan antara maupun determinan jauh.  

Hasil riset  menunjukkan bahwa dari 52 masalah  kematian maternal yang ada, 

sebagian besar kematian dipicu  oleh perdarahan (34,6%), disusul oleh penyakit yang 

memperburuk kondisi ibu (26,9%), preeklamsia / eklamsia (23,1%), dan infeksi nifas 

(7,7%). Disamping pemicu  kematian akibat komplikasi obstetri langsung dan tidak 

langsung ini, riset  menemukan bahwa berbagai faktor turut berperan untuk 

terjadinya kematian maternal. Faktor keterlambatan rujukan yang meliputi keterlambatan 

pertama, kedua dan ketiga masih memegang peranan penting pada kejadian kematian 

maternal di Kabupaten Cilacap, disamping itu juga faktor status kesehatan ibu, faktor 

status reproduksi, pemeriksaan antenatal, penolong persalinan, tingkat pendidikan dan 

faktor sosial ekonomi. 

Sebagian besar ibu meninggal pada usia 20 – 35 tahun (65,4%), jika dilihat dari 

segi usia, kategori usia ini termasuk usia produktif, namun dari segi pekerjaan, ibu yang 

bekerja untuk menambah pendapatan keluarga hanya sebagian kecil saja (32,7%), hal ini 

dapat diartikan bahwa walaupun sebagian besar ibu meninggal di usia produktif akan 

namun  dapat diasumsikan hanya sebagian kecil yang kemungkinan dipicu  oleh 

pekerjaan yang ikut sebagai pemicu kematiannya. Sedangkan untuk kategori usia risiko 

tinggi kehamilan, 5,8% ibu yang meninggal berusia kurang dari 20 tahun dan 28,8% 

berusia lebih dari 35 tahun, sehingga proporsi keseluruhan usia risiko tinggi yaitu  

34,6%, masih lebih kecil dibandingkan  proporsi usia ibu yang meninggal pada usia reproduksi 

(20 – 35 tahun). 

Kategori tingkat pendidikan masalah  sebagian besar tergolong rendah (< SLTP) 

yaitu sebesar 63,5%, namun jika dilihat dari proporsi pemeriksaan antenatal, sebagian 

besar ibu yang meninggal (96,2%) telah melakukan pemeriksaan antenatal dan sebagian 

besar pula (69,2%) memenuhi kriteria baik, yaitu memenuhi kriteria empat kali periksa 

(K4) dan mendapatkan pelayanan 5 T, sedangkan tempat pemeriksaan antenatal sebagian 

besar di bidan. Dari kondisi ini tampak bahwa rendahnya tingkat pendidikan masalah , tidak 

mempengaruhi perilaku dalam memperoleh pelayanan kehamilan di sarana kesehatan. 

 Adanya bidan di desa merupakan salah satu program dari dinas kesehatan 

Kabupaten Cilacap dalam rangka menurunkan Angka Kematian Maternal, yaitu dengan 

penempatan bidan di desa – desa, baik dengan status  PNS, PTT maupun bidan kontrak 

daerah, sehingga diharapkan ibu hamil mendapatkan pelayanan maternal yang berkualitas 

dan dekat dengan masyarakat. Pemeriksaan antenatal yang baik akan dapat menilai status 

kesehatan ibu dan dapat memberi  informasi yang memadai tentang kehamilan dan 

persalinan. Selain itu, pemeriksaan antenatal dapat mengidentifikasi dan mengantisipasi 

kehamilan risiko tinggi sedini mungkin dan memantau perkembangan kehamilan, serta 

melakukan intervensi yang relevan untuk mencegah berbagai komplikasi kehamilan dan 

persalinan. Dari hasil wawancara terhadap bidan desa, diperoleh informasi bahwa bidan 

telah memberi  penyuluhan tentang tanda – tanda bahaya kehamilan dan persalinan 

sesuai dengan yang tercantum dalam KMS ibu hamil, akan namun  bidan tidak dapat 

menjamin apakah ibu benar – benar dapat memahami isi pesan yang diberikan. Salah satu 

contoh pada masalah  kematian ibu akibat eklamsia, saat pemeriksaan antenatal diketahui ibu 

mengalami peningkatan tekanan darah dan bengkak – bengkak pada bagian muka dan 

kaki, bidan telah memotivasi ibu untuk periksa ke rumah sakit susaha  diperiksa oleh 

dokter spesialis dan menganjurkan ibu untuk segera memeriksakan diri bila  ada  

keluhan pusing, bengkak – bengkak dan pandangan kabur, akan namun  walaupun ibu 

mengatakan ‘Ya’ akan namun  saat timbul keluhan, ibu menolak untuk dibawa ke bidan 

dan 1 jam kemudian ibu sudah kejang – kejang dan tidak sadar. Ibu akhirnya dibawa oleh 

keluarga ke rumah sakit dan meninggal sesudah  sehari dirawat di rumah sakit. Jika dilihat 

dari tingkat pendidikan masalah  yang sebagian besar rendah, dapat diasumsikan bahwa 

tingkat pendidikan yang rendah memicu  kurangnya pengertian ibu akan apa yang 

dimaksud bidan mengenai kondisi kesehatannya dan bahaya yang dapat menimpa ibu 

dalam hal kegawatdaruratan kebidanan. Tingkat independensi ibu untuk pengambilan 

keputusanpun menjadi rendah. Kajian kualitatif pada riset  ini dilakukan melalui 

wawancara mendalam terhadap responden masalah  kematian maternal yaitu keluarga dari 

ibu yang meninggal, dengan hasil riset  menemukan bahwa sebagian besar keluarga 

tidak mengetahui tanda – tanda dini terjadinya komplikasi kehamilan, persalinan dan 

nifas, seperti misalnya istilah eklamsia, keracunan kehamilan atau sebutan lain yang 

umumnya dikenal oleh petugas kesehatan, masih kurang didengar dan dimengerti oleh 

keluarga / masyarakat. Demikian juga pada masalah  perdarahan, persepsi mengenai 

seberapa banyak darah yang keluar dapat dikatakan lebih dari normal juga belum benar – 

benar dipahami. Diperlukan kajian lebih lanjut mengenai kinerja bidan desa dalam 

melaksanakan KIE dan deteksi dini bumil risti pada riset  selanjutnya. Hasil studi 

Tim Kajian Kematian Ibu dan Anak di Indonesia Depkes RI tahun 2004 menyebutkan 

bahwa informasi, penyuluhan dan konseling penting diberikan agar ibu – ibu mengetahui 

bahaya yang dapat terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas, serta usaha  untuk 

menghindari masalah itu. Namun dari riset  diidentifikasi masih kurangnya 

informasi dan konseling dari tenaga kesehatan pada masing – masing propinsi di 

Indonesia, dimana petugas menitikberatkan pada pemberian informasi / penyuluhan, 

tanpa melakukan konseling pada ibu untuk memecahkan masalah. Hal ini dipicu  

petugas pada umumnya merasa kurang memiliki waktu untuk melakukan konseling 

sebab  banyaknya ibu hamil yang dilayani, selain itu pemberdayaan sarana KIE tentang 

kesehatan ibu masih kurang. 

Hasil riset  menunjukkan bahwa 94,2% masalah  telah memanfaatkan fasilitas 

kesehatan saat terjadi komplikasi, baik komplikasi yang terjadi selama masa kehamilan, 

persalinan, maupun masa nifas yaitu dengan meminta pertolongan pada bidan terdekat 

(73,1%), dan sebesar 78,8% masalah  dirujuk ke rumah sakit, akan namun  hasil riset  

menunjukkan bahwa 88,5% masalah  mengalami keterlambatan rujukan saat terjadi 

komplikasi, dan sebagian besar masalah  mengalami keterlambatan pertama (84,6%). 

Keterlambatan pertama merupakan keterlambatan dalam pengambilan keputusan. 

Dari hasil indepth interview diketahui bahwa kemampuan ibu, suami dan anggota 

keluarga lainnya untuk mengetahui tanda – tanda kegawatdaruratan kebidanan yang 

mengharuskan ibu segera mendapatkan pertolongan ternyata masih rendah. Rendahnya 

kemampuan untuk mengenali tanda – tanda kegawatdarutan kebidanan, seperti edema 

pada tangan dan kaki, nyeri kepala, perdarahan yang terjadi saat kehamilan maupun 

persalinan, infeksi dan persalinan bayi kedua dalam persalinan kembar, juga diperburuk 

oleh dominannya peran suami dalam pengambilan keputusan serta budaya ‘berunding’ / 

musyawarah dalam keluarga yang dapat menghambat pelaksanaan rujukan, merupakan 

hal yang memberi  kontribusi bagi keterlambatan pertama pada masalah  – masalah  

kematian maternal, sehingga saat bidan datang kondisi ibu sudah buruk. Kendala biaya 

dan sikap pasrah pada takdir juga merupakan alasan terjadinya keterlambatan pertama 

pada masalah  – masalah  kematian maternal. Pada masalah  kematian maternal akibat hiperemesis 

gravidarum yang mengalami dehidrasi berat, ibu berusia 36 tahun, hamil anak ketiga, 

sejak awal kehamilan, ibu terus – menerus muntah, oleh bidan ibu diberi obat untuk 

mengurangi rasa mual dan vitamin, akan namun  muntah hanya berkurang sedikit. Selama 

hamil ibu malas makan, sehingga berat badan ibu turun 3 kg. Saat kehamilan 24 minggu, 

jam 04.00 pagi ibu merasa perut mules, seperti akan melahirkan. Suami memanggil 

dukun bayi, akan namun  dukun meminta suami memanggil bidan sebab  keadaan ibu 

tampak lemas dan muntah – muntah. Bidan kemudian menyarankan ibu untuk dirujuk ke 

RS, akan namun  suami menolak, minta ibu diinfus saja di rumah. Bidan mencoba 

memasang infus, tapi infus sulit masuk, bidan mencoba memberi obat, tapi ibu muntah 

terus, pucat dan berkeringat dingin. Suami tetap menolak untuk merujuk ibu ke RS dan 

mengatakan pasrah, melihat keadaan ibu yang sudah demikian parah. Akhirnya jam 06.00 

pagi ibu meninggal.  

Hasil riset  menunjukkan bahwa penghasilan keluarga di bawah UMR pada 

kelompok masalah  yaitu sebesar 63,5% dan mata pencaharian kepala keluarga sebagian 

besar yaitu  buruh tani. Meskipun bagi keluarga tidak mampu diusaha kan mendapat 

kartu Askes Gakin atau surat keterangan tidak mampu dari kepala desa, keluarga tetap 

beranggapan bahwa nantinya akan dihadapkan pada biaya – biaya tambahan, baik untuk 

pembelian obat – obatan khusus maupun untuk biaya transportasi, yang akan merepotkan 

keluarga dan tetangga sekitar. Dukungan warga masyarakat pada masalah  kematian 

maternal, pada umumnya sebatas rasa simpati pada keluarga ibu dan turut serta 

mengusaha kan sarana transportasi saat ibu akan dirujuk ke rumah sakit, akan namun  

menurut bidan desa, usaha  penggalangan dana sosial ibu bersalin (dasolin) dan tabungan 

ibu bersalin (tabulin) belum berjalan dengan baik. Menurut bidan, dulu pernah ada dana 

untuk tiap desa sebesar 1 juta dari dinas kesehatan Kabupaten Cilacap untuk tabulin, 

namun  sebab  dalam waktu hampir bersamaan ada program JPS dan disusul program 

Askeskin dan BLT (bantuan langsung tunai) maka masyarakat beranggapan bahwa ibu – 

ibu dari keluarga miskin sudah mendapatkan bantuan dari pemerintah, jadi program 

tabulin / dasolin belum dapat berjalan.  

Keterlambatan petugas dalam merujuk ibu ke RS juga dapat menjadi pemicu  

terjadinya keterlambatan pertama. Pada masalah  kematian maternal akibat ruptura uteri, dari 

hasil AMP diperoleh informasi bahwa saat ingin bersalin, ibu diantar oleh suami ke 

rumah bersalin. Saat pembukaan lengkap dan ibu dipimpin mengejan, terjadi partus tak 

maju, oleh bidan, ibu disuntik oksitosin di paha, akan namun  sebab  partus tetap tidak 

maju, dilakukan drip oksitosin lewat infus, kemudian dilakukan vakum ekstraksi. sesudah  

kepala bayi lahir, terjadi distocia bahu, berat badan lahir bayi 4400 gram dan sesudah  bayi 

lahir kesadaran ibu menurun. Belum sempat mengeluarkan placenta, ibu dirujuk ke 

RSUD Cilacap dengan menggunakan ambulan. Perjalanan ke RS membutuhkan waktu ± 

15 menit, akan namun  sesudah  sampai di RS ibu sudah tidak sadar dan akhirnya ibu 

meninggal dengan diagnosis ruptura uteri (douglas punctie positif).    

Dari sisi pertolongan persalinan, penolong pertama persalinan pada sebagian 

besar masalah  yaitu  tenaga kesehatan (67,4%), dimana pada sebagian besar masalah  

penolong pertama persalinan yaitu  bidan (45,7%). Hasil ini tampak tidak sesuai dengan 

teori yang mendasari, dimana seharusnya pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan 

akan menurunkan risiko kematian maternal, akan namun  dari hasil wawancara mendalam 

diperoleh informasi bahwa pada masalah  – masalah  kematian maternal, pada umumnya bidan 

datang dalam kondisi ibu mengalami komplikasi baik kehamilan, persalinan maupun 

nifas, yang mengharuskan ibu untuk segera dirujuk dan pada umumnya kondisi ibu sudah 

buruk. Pada masalah  kematian maternal pada ibu hamil dengan kehamilan kembar, suami 

memanggil bidan dalam keadaan ibu mengalami ketuban pecah dini sudah dua hari, 

suami memanggil bidan sebab  badan ibu demam dan saat bidan datang kaki janin sudah 

tampak di vagina, akhirnya ibu dirujuk ke RSUD Majenang, di rumah sakit bayi lahir 

dengan bidan rumah sakit sebab  dokter spesialis tidak ada di tempat dan ibu meninggal  

sebab  terjadi perdarahan post partum akibat atonia uteri. masalah  lain yaitu  kematian ibu 

akibat perdarahan antepartum. masalah  perdarahan antepartum terjadi pada ibu berusia 42 

tahun dengan kehamilan ketiga. Saat usia kehamilan 37 minggu, ibu datang ke rumah 

bidan pukul 02.00 dini hari diantar oleh suami, mengatakan sejak 1 hari yang lalu 

mengeluarkan darah sampai kurang lebih dua kain. Keadaan ibu tampak pucat, ibu masih 

sadar, akan namun  sangat lemah. Bidan segera memasang infus dan menyarankan untuk 

merujuk masalah  ke RSU Banyumas. Perjalanan ke rumah sakit memakan waktu kurang 

lebih tiga puluh menit. Saat tiba di rumah sakit, ibu diperiksa oleh dokter jaga, 

perdarahan yang keluar hanya sedikit, di rumah sakit tidak ada persediaan darah, pihak 

rumah sakit meminta keluarga untuk mencari darah ke PMI Purbalingga atau Purwokerto. 

Operasi seksio sesaria (SC) dilakukan keesokan harinya, kurang lebih pukul 09.30 pagi. 

Saat operasi dilakukan, ibu belum ditransfusi dan ibu akhirnya meninggal di kamar 

operasi. 

Dari contoh – contoh masalah  di atas menunjukkan bahwa faktor waktu menjadi 

sangat penting pada masalah  – masalah  dengan komplikasi. Keterlambatan dalam merujuk 

akan menjadi lebih buruk bila terjadi kegagalan rumah sakit sebagai tempat rujukan 

untuk menyediakan pelayanan gawat darurat POEK (Pelayanan Obsteri Esensial 

Komprehensif) selama 24 jam, dan tersedianya darah untuk keperluan transfusi setiap 

saat. Keterlambatan ketiga terjadi pada 7 masalah  kematian maternal (13,5%), diantaranya 

seperti dicontohkan pada dua masalah  di atas. Hasil riset  menunjukkan bahwa 73,1% 

ibu meninggal di rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa pada masalah  – masalah  kematian 

maternal waktu tempuh ke tempat pelayanan kesehatan rujukan sebagian besar tidak 

ada  kendala, sehingga masalah  dapat sampai di rumah sakit sebelum meninggal. 

Temuan riset  ini masih memerlukan riset  yang lebih mendalam mengenai 

sistem rujukan dan pelayanan di rumah sakit, sebab  hasil temuan riset  ini 

bersumber dari hasil wawancara pada keluarga dan bidan desa serta catatan hasil AMP 

(audit maternal perinatal) dari dinas kesehatan Kabupaten Cilacap.  

usaha  penurunan angka kematian maternal yang dilakukan oleh dinas kesehatan 

Kabupaten Cilacap, antara lain dengan melakukan pelatihan bidan desa, seperti pelatihan 

LSS (Life Saving Skills), pelatihan KIE, dan pelatihan bagi dukun bayi yang dilaksanakan 

oleh puskesmas serta pelaksanaan AMP pada masalah  – masalah  kematian maternal dan 

kematian bayi, baik itu AMP medis yaitu dengan mendatangkan dokter spesialis, dokter 

puskesmas dan bidan desa maupun AMP non medis yang melibatkan camat, kepala desa, 

PKK, dan kader kesehatan. Meskipun pelatihan terhadap petugas kesehatan telah 

dilakukan oleh dinas kesehatan Kabupaten Cilacap, pada beberapa contoh masalah  

diperoleh informasi bahwa di sekitar keadaan kegawatdaruratan kebidanan juga dapat 

dikaitkan dengan ketidakmampuan petugas dalam memberi  pertolongan medis yang 

memadai. Pada masalah  kematian maternal akibat retensio placenta, bidan tidak berhasil 

mengeluarkan placenta secara manual, sehingga ibu akhirnya dirujuk ke RS. Di RS 

placenta dapat dikeluarkan secara manual, tapi sebab  perdarahan yang terjadi sudah 

terlalu banyak, ibu akhirnya meninggal.  

Pertolongan pertama persalinan oleh dukun bayi pada masalah  kematian maternal 

masih memiliki proporsi sebesar 28,3% (13 masalah ) dan 4,3% (2 masalah ) melahirkan sendiri 

baru kemudian memanggil dukun. Hasil riset  menunjukkan bahwa perilaku ibu 

bersalin ke dukun bayi selain dipicu  oleh faktor ekonomi (biaya lebih murah), juga 

dipengaruhi oleh tradisi turun – temurun, dimana dukun memberi perawatan pada ibu 

sejak masa kehamilan (pijat, selamatan) sampai bayi lahir dengan imbalan jasa yang tidak 

mengikat dan sebab  dukun bayi sudah mendapat pelatihan dari puskesmas. Kerjasama 

antara bidan desa dengan dukun bayi selain melalui pelatihan yang diadakan oleh 

puskesmas, juga dalam bentuk pendampingan bidan saat ibu bersalin, akan namun  masih 

ada sebagian ibu yang bersalin dengan dukun tanpa pendampingan oleh bidan dan baru 

memanggil bidan saat terjadi penyulit dalam persalinan, dimana hal ini akan 

memperburuk kondisi ibu bila diperlukan rujukan segera ke RS. Salah satu masalah  

kematian maternal yang terjadi pada ibu berusia 30 tahun hamil anak keenam, dimana 

pada saat kehamilan berusia 33 minggu, ibu melahirkan di rumah ditolong oleh dukun 

bayi. sesudah  placenta lahir, terjadi perdarahan banyak sekali. Menurut keluarga, darah 

yang keluar sampai membasahi 3 kain. Suami kemudian memanggil bidan, namun  bidan 

sedang tidak berada di tempat, sebab  sedang menolong persalinan di tempat lain. Bidan 

baru datang kurang lebih setengah jam kemudian dan keadaan ibu sudah sangat lemah 

dan kesadaran sudah menurun, menurut bidan, darah yang keluar dari vagina sangat 

banyak, memancar seperti air seni. Bidan segera memasang infus dan meminta keluarga 

mencari mobil untuk merujuk ibu ke rumah sakit. Mobil baru datang kurang lebih 30 

menit kemudian, akan namun  ibu sudah meninggal. Pada masalah  kematian maternal akibat 

retensio placenta dan gemelli yang mengalami retensio janin kedua, ibu berusia 31 tahun 

dan hamil anak kelima, melahirkan jam 06.00 pagi dengan dukun bayi. Menurut 

keterangan bidan, bidan baru dipanggil 2 jam kemudian sebab  placenta belum dapat 

lahir. Menurut keterangan suami, anak – anak sebelumnya juga lahir dengan dukun dan 

selamat, suami tidak mengetahui bila ibu hamil kembar, dan baru memanggil bidan 

sebab  melihat perdarahan yang banyak sampai kain yang dipakai ibu basah semua oleh 

darah dan ibu menjadi lemas. Saat bidan datang, ibu sudah tampak lemah dan pucat. 

Bidan kemudian merujuk ibu ke RS, sampai di RS ibu dioperasi SC, akan namun  ibu 

akhirnya meninggal akibat perdarahan.  

Keterlambatan kedua dijumpai pada 21% masalah  kematian maternal, dan sebagian 

besar dipicu  oleh kesulitan dalam mencari alat transportasi. Keberadaan ambulan 

desa yang merupakan salah satu wujud program GSI belum berjalan sebagaimana 

diharapkan. Pada masalah  kematian maternal yang memerlukan rujukan segera ke rumah 

sakit, alat transportasi yang digunakan sebagian besar yaitu  mobil pinjaman / sewaan 

yang baru diusaha kan oleh keluarga saat terjadi keadaan gawat darurat atau dengan 

angkutan kota, yang kenyataannya tetap membutuhkan waktu untuk mencarinya apalagi 

bila memerlukan rujukan pada malam hari. Hasil wawancara dengan Kepala Dinas 

Kabupaten Cilacap mengenai Gerakan Sayang Ibu (GSI) di kabupaten Cilacap, kepala 

dinas menyampaikan bahwa untuk keberhasilan pelaksanaan program GSI yang 

memerlukan kerjasama secara lintas sektoral, tidak dapat dilakukan dalam waktu yang 

singkat. Saat ini ada  satu kecamatan percontohan GSI di Kabupaten Cilacap yaitu 

kecamatan Kroya, yang kegiatannya antara lain yaitu  pembentukan tabulin, ambulan 

desa, dan donor darah hidup (pendataan golongan darah warga yang bila sewaktu – waktu 

dibutuhkan dapat diambil darahnya). Diharapkan untuk waktu mendatang keberhasilan 

GSI dapat merata di seluruh kabupaten Cilacap. Hasil wawancara dengan Direktur RSUD 

Cilacap menyatakan bahwa untuk menurunkan angka kematian ibu, RSUD Cilacap telah 

menerapkan program rumah sakit sayang ibu, dimana semua masalah  kegawatdaruratan 

kebidanan harus dapat ditangani dengan segera, dengan adanya 3 dokter SpOG dan bidan 

yang terlatih, termasuk untuk para pasien yang tidak mampu, diberikan kemudahan 

dengan menunjukkan Askes Gakin, maka tidak dipungut biaya, jarak antara rumah sakit 

dengan PMI yang dekat, akan memudahkan kebutuhan darah bagi yang membutuhkan, 

akan namun  di kabupaten Cilacap AMP khusus untuk kematian maternal yang terjadi di 

rumah sakit belum pernah dilaksanakan. Untuk RSUD Majenang, memang baru ada 1 

dokter spesialis kebidanan dan kebutuhan darah diambilkan dari bank darah dari PMI 

Cilacap yang disuplai tiap 1 minggu sekali.          

Kajian kualitatif pada riset  ini mengungkapkan kompleksnya kematian ibu 

yang terjadi pada masalah  – masalah  kematian maternal di Kabupaten Cilacap. Yang tampak 

jelas merugikan yaitu  rendahnya kemampuan untuk mengenali tanda – tanda risiko 

kebidanan baik oleh masalah  maupun oleh anggota keluarganya. Kegagalan mengenali 

kondisi kegawatdaruratan ini akan berlanjut pada keterlambatan penanganan masalah  yang 

membawa akibat pada terjadinya kematian maternal. Untuk menurunkan kematian 

maternal di kabupaten Cilacap ini, diperlukan penyebarluasan informasi di masyarakat 

mengenai gejala – gejala penting yang perlu diperhatikan selama kehamilan, persalinan 

dan masa nifas, baik pada ibu sendiri, para suami maupun anggota keluarga lainnya. 

Diperlukan jaringan kerjasama lintas sektoral baik di tingkat desa, kecamatan dan 

kabupaten dalam memberi  pengetahuan yang cukup mengenai risiko kehamilan / 

persalinan dan kapan harus merujuk ke rumah sakit.  

Dilihat dari tingkat pendidikan dan pendapatan keluarga, hasil riset  

menunjukkan bahwa 63,5% masalah  berpendidikan rendah (SD) dan 71,2% masalah  

 

berpendapatan di bawah UMR, sehingga keterlambatan mencari pertolongan ke rumah 

sakit sesegera mungkin, tidak hanya berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, namun  

juga dengan kurangnya biaya, sehingga usaha  pencegahan kematian maternal ini juga 

membutuhkan dukungan dari segi perbaikan tingkat ekonomi yang nantinya akan 

berdampak pada perbaikan terhadap akses pelayanan kehamilan dan persalinan yang 

aman.  

Hal lain yang penting yaitu  meningkatkan partisipasi suami dalam tugasnya 

sebagai pendamping dalam menghadapi masalah kehamilan dan persalinan sebab  dari 

hasil riset  menemukan bahwa peran suami dalam keluarga masih dominan. 

Keluarga dari setiap ibu hamil harus mempunyai rencana rujukan, termasuk persiapan 

kendaraan untuk mengirim ibu ke pelayanan kesehatan rujukan.  

Kualitas pelayanan maternal di tingkat pelayanan kesehatan rujukan sangat 

penting untuk diperhatikan, terutama mengenai masalah ketersediaan darah dan kesiapan 

pelayanan POEK 24 jam. 

              

Kelemahan pada riset  masalah  kontrol yaitu  recall bias sebab  riset  ini bersifat 

retrospektif. usaha  untuk meminimalkan recall bias yang dilakukan oleh peneliti yaitu  

dengan melakukan uji coba observasi dan kuesioner di lapangan dan riset  dilakukan 

terhadap kejadian kematian maternal yang waktunya sedekat mungkin dengan 

pelaksanaan riset  dan memilih kontrol pada ibu pasca persalinan yang bersalin pada 

waktu yang bersamaan / hampir bersamaan dengan kejadian kematian maternal.    

2. Interview bias 

Interview bias yaitu  kesalahan dalam melakukan wawancara. Kesalahan ini akan terjadi 

bila pewawancara kurang jelas dalam memberi  pertanyaan, sehingga responden 

menjadi salah dalam menafsirkannya. Cara untuk mengatasinya yaitu  dengan 

melakukan pelatihan pada pewawancara dan peneliti berusaha  untuk membuat dan 

menyusun pertanyaan – pertanyaan dengan kalimat – kalimat yang sederhana dan mudah 

dipahami baik oleh responden maupun pewawancara sendiri.  

3. Nilai Confidence Interval yang lebar 

Hasil analisa  menemukan adanya variabel dengan nilai Confidence Interval yang sangat 

lebar, sehingga presisi penaksiran parameter menjadi kurang baik dan untuk menaikkan 

presisi perlu menambahkan jumlah sampel. 

4. Mengingat kompleksnya faktor – faktor yang mempengaruhi kejadian kematian 

maternal, maka variabel riset  yang dipilih untuk diketahui pengaruhnya terhadap 

kematian maternal kemungkinan belum dapat menggambarkan secara keseluruhan 

permasalahan yang ada.     


sesudah  dilakukan riset  tentang faktor – faktor risiko yang mempengaruhi 

kematian maternal, studi masalah  di Kabupaten Cilacap, dapat disimpulkan bahwa : 

1. Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu  : 

a. Determinan dekat yang terdiri dari : 

− Komplikasi kehamilan (OR = 147,1; 95% CI : 2,4 – 1938,3 ; p = 0,002) 

− Komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI : 1,8 – 1827,7 ; p = 0,027) 

− Komplikasi nifas (OR = 84,9; 95% CI : 1,8 – 3011,4 ; p = 0,034) 

b. Determinan antara yang terdiri dari : 

− Riwayat penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4 ; p = 0,002) 

− Riwayat KB (OR = 33,1; 95% CI : 13,0 – 2361,6 ; p = 0,038) 

− Keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI : 2,5 – 488,1; p = 0,003)  

Probabilitas ibu untuk mengalami kematian maternal dengan memiliki faktor – faktor 

risiko ini  di atas yaitu  99%. 

2. Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu  :  

a. Determinan antara yaitu usia ibu, paritas, jarak kehamilan, riwayat komplikasi 

pada kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan sebelumnya, status gizi ibu 

hamil, status anemia, pemeriksaan antenatal, pemanfaatan fasilitas kesehatan saat 

terjadi komplikasi, penolong pertama persalinan, cara persalinan, tempat 

persalinan dan pelaksanaan rujukan saat terjadi komplikasi. 

 

b. Determinan jauh yaitu pendidikan ibu, status pekerjaan, jumlah pendapatan 

keluarga dan wilayah tempat tinggal. 

3. Dari hasil kajian kualitatif pada masalah  – masalah  kematian maternal dapat disimpulkan 

bahwa : 

a. Kematian maternal di kabupaten Cilacap sebagian besar dipicu  oleh 

komplikasi obstetri langsung yaitu perdarahan (34,6%), preeklamsia / eklamsia 

(23,1%) dan infeksi nifas (7,7%) dan komplikasi tidak langsung yaitu penyakit 

yang memperburuk kondisi ibu (26,9%). 

b. Kematian maternal 73,1% terjadi di Rumah Sakit dan sebesar 81,6% meninggal 

dalam waktu < 48 jam sesudah  masuk Rumah Sakit, hal ini dipicu  oleh 

keterlambatan merujuk dan keterlambatan dalam hal penanganan.  

c. Faktor keterlambatan rujukan yang meliputi keterlambatan pertama, kedua dan 

ketiga masih memegang peranan dalam kejadian kematian maternal di Kabupaten 

Cilacap.  

− Keterlambatan pertama sebagian besar diakibatkan oleh kurangnya 

pengetahuan ibu, suami dan anggota keluarga mengenai tanda – tanda 

kegawatdaruratan kebidanan, budaya berunding sebelum pengambilan 

keputusan, peran suami yang masih dominan, kendala biaya dan sikap pasrah 

terhadap takdir dan pada beberapa masalah  kematian maternal ada  

keterlambatan pengambilan keputusan merujuk oleh petugas kesehatan. 

− Keterlambatan kedua terjadi akibat kesulitan mencari alat transportasi, jalan 

yang rusak dan kendala geografis (daerah pegunungan). 

 

− Keterlambatan ketiga terjadi akibat dokter tidak berada di tempat, penanganan 

medis yang tertunda dan tidak tersedianya darah untuk keperluan transfusi. 

d. Beberapa masalah  kematian maternal berkaitan dengan ketidakmampuan / kesalahan 

petugas kesehatan dalam memberi  pertolongan medis. 

e. Masih ada  pertolongan persalinan oleh dukun bayi tanpa pendampingan oleh 

bidan, yang memperlambat pelaksanaan rujukan bagi ibu yang mengalami 

komplikasi. 

f. usaha  penurunan angka kematian maternal melalui program GSI belum 

terlaksana secara optimal (belum ada  ambulan desa, tabulin / dasolin, dan 

‘donor darah hidup’) dan pelaksanaan audit maternal pada masalah  – masalah  kematian 

di rumah sakit belum pernah dilaksanakan. 

                 

Berdasar  simpulan di atas maka disarankan : 

1. Bagi dinas kesehatan 

a. melakukan penilaian kompetensi bidan / dokter dalam melakukan penanganan 

kegawatdaruratan kebidanan baik di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan 

rujukan. 

b. para bidan / dokter di tingkat pelayanan kesehatan dasar disarankan untuk 

merujuk ibu – ibu yang mengalami komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas 

lebih awal, sebab  88,5% masalah  kematian maternal mengalami keterlambatan 

rujukan dan 81,6% kematian maternal yang berhasil dirujuk ke Rumah Sakit 

meninggal dalam waktu < 48 jam sesudah  masuk Rumah Sakit, dimana hal ini 

menunjukkan adanya keterlambatan dalam merujuk dan keterlambatan 

penanganan.   

c. melakukan analisa  situasi mengenai sistem rujukan baik di tingkat pelayanan 

kesehatan dasar dan rumah sakit serta prosedur penyediaan bank darah di tingkat 

pelayanan kesehatan rujukan. 

d. melakukan audit kematian maternal bagi masalah  kematian maternal yang terjadi di 

Rumah Sakit, yang dilaksanakan oleh Bagian Kebidanan dan Penyakit 

Kandungan dari luar Rumah Sakit dengan mengikutsertakan para bidan di luar 

Rumah Sakit mengingat 73,1% kematian maternal di Kabupaten Cilacap terjadi di 

Rumah Sakit. 

e. melakukan monitoring dan evaluasi kinerja bidan dalam melakukan pelayanan 

kesehatan maternal, khususnya dalam pelaksanaan KIE / konseling ibu hamil, 

terutama bagi ibu yang memiliki risiko tinggi kehamilan / mengalami komplikasi. 

f. meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang faktor – faktor risiko, 

gejala dan tanda terjadinya komplikasi, dan usaha  pencegahan kejadian kematian 

maternal. 

g. menggalakkan pelaksanaan program Gerakan Sayang Ibu (GSI) sehingga terjalin 

kerjasama lintas sektoral dalam menurunkan angka kematian maternal. 

2. Bagi masyarakat 

a. perlu mengenali tanda – tanda dini terjadinya komplikasi selama kehamilan, 

persalinan dan nifas sehingga bila ibu mengalami komplikasi dapat segera 

ditangani oleh petugas kesehatan. 


b. anggota keluarga dan masyarakat perlu melakukan persiapan secara dini terhadap 

kemungkinan dilakukannya rujukan pada saat ibu mengalami komplikasi 

kehamilan, persalinan dan nifas, seperti persiapan biaya, sarana transportasi, 

sehingga dapat mencegah terjadinya keterlambatan rujukan. 

c. penggalangan dana sosial bagi ibu bersalin yang kurang mampu, pendataan dan 

persiapan donor darah dari warga masyarakat dan pembentukan ambulan desa.    

d. melaksanakan perencanaan kehamilan dengan menggunakaan metode kontrasepsi 

khususnya bagi ibu yang memiliki risiko tinggi untuk hamil dan bagi mereka yang 

hamil diharapkan untuk melakukan pemeriksaan secara rutin, serta dapat 

melakukan persiapan secara dini terhadap kemungkinan dilaksanakannya rujukan.  

3. Bagi peneliti lain 

a. Melakukan riset  dengan desain studi yang lebih baik misalnya dengan studi 

kohort. 

b. Melakukan riset  lebih lanjut mengenai pelayanan kesehatan maternal di 

Kabupaten Cilacap dalam rangka menurunkan angka kematian maternal, 

misalnya riset  mengenai kinerja bidan dalam melaksanakan KIE pada ibu 

hamil, riset  mengenai kompetensi bidan dalam melakukan pertolongan 

kegawatdaruratan kebidanan, riset  mengenai kemitraan bidan dan dukun 

bayi dan riset  mengenai pelayanan rumah sakit dalam menangani masalah  – 

masalah  rujukan kebidanan. 

Kematian maternal menurut batasan dari The Tenth Revision of The International 

Classification of Diseases (ICD – 10) yaitu  kematian wanita yang terjadi pada saat 

kehamilan atau dalam 42 hari sesudah  berakhirnya kehamilan, tidak tergantung dari lama 

dan lokasi kehamilan, dipicu  oleh apapun yang berhubungan dengan kehamilan, atau 

yang diperberat oleh kehamilan ini , atau penanganannya, akan namun  bukan 

kematian yang dipicu  oleh kecelakaan atau kebetulan.  Angka kematian maternal 

dan angka kematian bayi merupakan ukuran bagi kemajuan kesehatan suatu negara, 

khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan ibu dan anak. Angka kematian 

maternal merupakan indikator yang mencerminkan status kesehatan ibu, terutama risiko 

kematian bagi ibu pada waktu hamil dan melahirkan.  

Kematian maternal 98% terjadi di negara berkembang dan sebenarnya sebagian 

besar kematian ini dapat dicegah. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, masih 

memiliki angka kematian maternal yang cukup tinggi. Angka kematian maternal 

Berdasar  SDKI 2002 / 2003 menunjukkan angka kematian maternal sebesar 307 per 

100.000 KH. Angka kematian maternal ini bila dibandingkan dengan angka kematian 

pada tahun – tahun sebelumnya menunjukkan bahwa angka kematian maternal di 

Indonesia cenderung berjalan stagnan.  

Berbagai usaha  telah dilakukan oleh pemerintah dalam menurunkan angka 

kematian maternal, yaitu dengan dicanangkannya Gerakan Nasional Kehamilan yang 

Aman (Making Pregnancy Safer), namun dalam perkembangannya penurunan angka 

kematian maternal yang dicapai tidak seperti yang diharapkan. Data pada Profil 

Kesehatan Propinsi Jawa Tengah tahun 2005 menunjukkan bahwa Kabupaten Cilacap 

memiliki jumlah masalah  kematian maternal yang masih cukup tinggi, sedangkan menurut 

data pada Dinas Kesehatan Kabupaten Cilacap didapatkan bahwa setiap tahun selalu 

ada  masalah  kematian maternal, sehingga dipandang perlu untuk dilakukannya studi 

mengenai faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal di Kabupaten 

Cilacap. 

McCarthy dan Maine (1992) mengemukakan adanya 3 faktor yang berpengaruh 

terhadap proses terjadinya kematian maternal. Proses yang paling dekat terhadap kejadian 

kematian maternal, disebut sebagai determinan dekat yaitu kehamilan itu sendiri dan 

komplikasi yang terjadi dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas (komplikasi 

obstetri). Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara yaitu 

status kesehatan ibu, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, perilaku perawatan 

kesehatan / pemakaian  pelayanan kesehatan dan faktor – faktor lain yang tidak diketahui 

atau tidak terduga. Di lain pihak, ada  juga determinan jauh yang akan mempengaruhi 

kejadian kematian maternal melalui pengaruhnya terhadap determinan antara, yang 

meliputi faktor sosio – kultural dan faktor ekonomi, seperti status wanita dalam keluarga 

dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat dan status masyarakat.  

Tujuan dari riset  ini yaitu  untuk mengetahui faktor – faktor risiko yang 

mempengaruhi kematian maternal, yang meliputi determinan dekat, determinan antara 

dan determinan jauh. 

Jenis riset  yang digunakan yaitu  riset  observasional analitik dengan 

desain studi masalah  kontrol, dengan dilengkapi dengan kajian secara kualitatif mengenai 

kejadian kematian maternal dan usaha  penurunan angka kematian maternal di Kabupaten 

Cilacap dengan metode wawancara mendalam. Besar sampel riset  yaitu 52 masalah  

dan 52 kontrol. Data sampel masalah  diambil dari data kematian maternal yang ada  di 

dinas kesehatan kabupaten Cilacap, yaitu 52 masalah  kematian maternal terbaru yang 

terdekat tanggal kematiannya dengan tanggal dimulainya riset . Sedangkan sampel 

kontrol yaitu  ibu pasca persalinan yang bersalin pada tanggal yang sama / hampir 

bersamaan dengan kejadian masalah  kematian maternal, Berdasar  data pada register 

kohort di puskesmas yang di wilayahnya ada  masalah  kematian maternal. Responden 

pada masalah  kematian maternal diambil dari keluarga ibu yang meninggal, yang 

mengetahui kronologi kejadian kematian pada masalah  kematian maternal. Sedangkan 

responden pada kajian kualitatif mengenai usaha  penurunan kematian maternal yaitu  

kepala dinas kesehatan kabupaten Cilacap, kepala rumah sakit umum daerah kabupaten 

Cilacap dan bidan desa yang di tempat tugasnya ada  masalah  kematian maternal. 

Sumber data yaitu  data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan cara 

wawancara menggunakan kuesioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari catatan 

kematian maternal, KMS ibu hamil, data dari register kohort ibu hamil, dan dokumen 

otopsi verbal. Pengolahan dan analisa  data dilakukan dengan program SPSS for windows 

release 10.0. analisa  data kuantitatif dilakukan secara univariat, bivariat dan multivariat, 

sedangkan data pada kajian kualitatif disajikan dalam bentuk narasi. 

Hasil analisa  multivariat dengan menggunakan regresi logistik menunjukkan 

bahwa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu  determinan 

dekat yang meliputi : komplikasi kehamilan (OR = 147,1; 95% CI: 2,4 – 1938,3; p = 

0,002), komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI: 1,8 – 1827,7; p = 0,027), komplikasi 

nifas (OR = 84,9; 95% CI: 1,8 – 3011,4; p = 0,034) dan determinan antara yaitu riwayat 

penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4 ; p = 0,002), riwayat KB (OR = 33,1; 

95% CI : 13,0 – 2361,6; p = 0,038) dan keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI : 2,5 

– 488,1; p = 0,003). Kajian secara kualitatif mengenai kematian maternal dan usaha  

penurunan angka kematian maternal di Kabupaten Cilacap menunjukkan bahwa kematian 

maternal di kabupaten Cilacap, selain dipicu  oleh komplikasi obstetri langsung dan 

tidak langsung, juga dipengaruhi berbagai faktor seperti keterlambatan rujukan, 

rendahnya tingkat pendidikan ibu, rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan belum 

dapat dilaksanakannya Gerakan Sayang Ibu secara optimal di seluruh wilayah kecamatan 

sebagai usaha  pemerintah dalam menurunkan kematian maternal. 

Diharapkan bagi anggota keluarga dan masyarakat untuk dapat mengenali secara 

dini tanda – tanda terjadinya komplikasi selama kehamilan, persalinan dan nifas sehingga 

komplikasi dapat segera ditangani oleh petugas kesehatan, perlunya melakukan persiapan 

secara dini terhadap kemungkinan dilakukannya rujukan pada saat ibu mengalami 

komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas, sehingga dapat mencegah terjadinya 

keterlambatan rujukan, melaksanakan perencanaan kehamilan dengan menggunakaan 

metode kontrasepsi. Bagi dinas kesehatan, penting untuk meningkatkan penyuluhan 

kepada masyarakat mengenai faktor – faktor risiko, gejala dan tanda terjadinya 

komplikasi, dan usaha  pencegahan kejadian kematian maternal, menggalakkan 

pelaksanaan program Gerakan Sayang Ibu (GSI) sehingga terjalin kerjasama lintas 

sektoral dalam menurunkan angka kematian maternal, melakukan monitoring dan 

evaluasi kinerja bidan dalam melakukan pelayanan kesehatan maternal, khususnya dalam 

melaksanakan KIE / konseling ibu hamil, terutama bagi ibu yang memiliki risiko tinggi / 

mengalami komplikasi, melakukan penilaian kompetensi bidan / dokter dalam melakukan 

penanganan kegawatdaruratan kebidanan baik di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan 

rujukan, melakukan analisa  situasi mengenai sistem rujukan baik di tingkat pelayanan 

kesehatan dasar dan rumah sakit serta prosedur penyediaan bank darah di tingkat 

pelayanan kesehatan rujukan.           

Latar Belakang : Angka Kematian Maternal (AKM) di Indonesia masih cukup tinggi, 

yaitu sekitar 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002 /2003). AKM merupakan 

indikator status kesehatan ibu, terutama risiko kematian bagi ibu saat hamil dan 

melahirkan. McCarthy dan Maine mengemukakan 3 faktor yang mempengaruhi kematian 

maternal yaitu determinan dekat, determinan antara dan determinan jauh. Kabupaten 

Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki masalah  

kematian maternal cukup tinggi, sehingga diperlukan studi untuk mengetahui faktor – 

faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal di Kabupaten Cilacap. 

Tujuan : riset  dilakukan untuk mengetahui faktor – faktor risiko yang 

mempengaruhi kematian maternal, yang terdiri dari determinan dekat, determinan antara 

dan determinan jauh. 

Metode : Jenis riset  yaitu  observasional dengan studi masalah  kontrol, dilengkapi 

dengan kajian kualitatif mengenai kejadian kematian maternal serta usaha  penurunan 

angka kematian maternal di kabupaten Cilacap. Jumlah sampel 52 masalah  dan 52 kontrol. 

analisa  data dilakukan secara univariat, bivariat dengan chi square test, multivariat 

dengan metode regresi logistik ganda. Kajian kualitatif dilakukan dengan metode indepth 

interview dan dilakukan analisa  secara deskriptif, disajikan dalam bentuk narasi. 

Hasil : Hasil riset  menunjukkan bahwa faktor risiko yang mempengaruhi kematian 

maternal Berdasar  analisa  multivariat yaitu  komplikasi kehamilan (OR = 147,1; 

95% CI : 2,4 – 1938,3; p = 0,002), komplikasi persalinan (OR = 49,2; 95% CI : 1,8 – 

1827,7; p = 0,027), komplikasi nifas (OR = 84,9; 95% CI : 1,8 – 3011,4; p = 0,034), 

riwayat penyakit ibu (OR = 210,2; 95% CI : 13,4 – 5590,4; p = 0,002), riwayat KB (OR = 

33,1; 95% CI : 13,0 – 2361,6; p = 0,038), dan keterlambatan rujukan (OR = 50,8; 95% CI 

: 2,5 – 488,1; p = 0,003). Probabilitas ibu untuk mengalami kematian maternal dengan 

memiliki faktor – faktor risiko ini  di atas yaitu  99%. Hasil kajian kualitatif 

menunjukkan bahwa kematian maternal dipengaruhi berbagai faktor seperti 

keterlambatan rujukan, terutama keterlambatan pertama, rendahnya tingkat pendidikan 

ibu, rendahnya tingkat pendapatan keluarga dan belum dapat dilaksanakannya Gerakan 

Sayang Ibu (GSI) secara optimal di seluruh wilayah kecamatan sebagai usaha  pemerintah 

dalam menurunkan kematian maternal.      

Saran : perlu pengenalan dini tanda – tanda komplikasi dalam kehamilan, persalinan dan 

nifas, persiapan rujukan, perencanaan kehamilan, pelaksanaan GSI secara optimal. 

 


Angka kematian maternal 

(AKM) merupakan indikator yang 

mencerminkan status kesehatan ibu, 

terutama risiko kematian bagi ibu pada 

waktu hamil dan melahirkan.1) Setiap 

tahun diperkirakan 529.000 wanita di 

dunia meninggal sebagai akibat 

komplikasi yang timbul dari kehamilan 

dan persalinan, sehingga diperkirakan 

AKM di seluruh dunia sebesar 400 per 

100.000 kelahiran hidup (KH).2) 

Kematian maternal 98% terjadi di negara 

berkembang. Indonesia sebagai negara 

berkembang, masih memiliki AKM 

cukup tinggi. Hasil SDKI 2002/2003 

menunjukkan bahwa AKM di Indonesia 

sebesar 307 per 100.000 KH.3) AKM di 

Indonesia sangat jauh berbeda bila 

dibandingkan dengan AKM di negara – 

negara maju (20 per 100.000 KH) dan 

AKM di negara – negara anggota 

ASEAN seperti Brunei Darussalam (37 

per 100.000 KH) dan Malaysia (41 per 

100.000 KH).3) AKM di propinsi Jawa 

Tengah tahun 2005 menunjukkan angka 

252 per 100.000 KH. Bila dibandingkan 

dengan AKM tahun 2004 (155 per 

100.000 KH), hal ini menunjukkan 

adanya kenaikan AKM.4) Salah satu 

kabupaten di Jawa Tengah yang masih 

memiliki AKM cukup tinggi yaitu  

Kabupaten Cilacap (AKM tahun 2005 : 

147 per 100.000 KH).  

McCarthy dan Maine (1992) 

mengemukakan 3 faktor yang 

berpengaruh terhadap kejadian kematian 

maternal : (1) determinan dekat yaitu 

kehamilan itu sendiri dan komplikasi 

yang terjadi dalam kehamilan, persalinan 

dan masa nifas (komplikasi obstetri), (2) 

determinan antara yaitu status kesehatan 

ibu, status reproduksi, akses ke 

pelayanan kesehatan, perilaku perawatan 

kesehatan / pemakaian  pelayanan 

kesehatan dan faktor – faktor lain yang 

tidak diketahui atau tidak terduga, (3) 

determinan jauh meliputi faktor sosio – 

kultural dan faktor ekonomi, seperti 

status wanita dalam keluarga dan 

masyarakat, status keluarga dalam 

masyarakat dan status masyarakat.1) 

riset  ini bertujuan untuk 

mengetahui faktor – faktor risiko 

kematian maternal di Kabupaten 

Cilacap, yang meliputi determinan dekat, 

determinan antara dan determinan jauh, 

serta untuk melakukan kajian secara 

kualitatif mengenai kejadian kematian 

maternal dan usaha  penurunan AKM di 

Kabupaten Cilacap. 

Jenis riset  ini merupakan 

riset  observasional analitik dengan 

desain studi masalah  kontrol, dilengkapi 

dengan kajian secara kualitatif terhadap 

masalah  kematian maternal, untuk 

mengetahui kronologi terjadinya 

kematian maternal serta wawancara pada 

kepala dinas kesehatan Kabupaten 

Cilacap, direktur RSUD Cilacap dan 

bidan desa (yang di tempat tugasnya 

ada  masalah  kematian maternal) 

mengenai usaha  pelayanan kesehatan 

maternal yang dilakukan dalam rangka 

menurunkan AKM di Kabupaten 

Cilacap. 

masalah  yaitu  ibu yang 

mengalami kematian maternal di 

Kabupaten Cilacap selama tahun 2005 

sampai dengan tahun 2007 yang tercatat 

dalam data kematian maternal di dinas 

kesehatan kabupaten Cilacap. Kontrol 

yaitu  ibu pasca persalinan yang tidak 

mengalami kematian maternal, yang 

bersalin pada hari yang sama atau 

hampir bersamaan dengan terjadinya 

kematian maternal. Responden 

riset  pada masalah  kematian maternal 

yaitu  keluarga dari ibu yang 

meninggal, yang mengetahui kronologi 

terjadinya kematian maternal. Besar 

sampel minimal dihitung Berdasar  uji 

hipotesis satu arah dengan tingkat 

kemaknaan 5% dan kekuatan 80% 

dengan OR perkiraan minimal sebesar 

2,0. Besar sampel yang diperoleh yaitu 

52 masalah  dan 52 kontrol. Data sampel 

masalah  kematian maternal diperoleh dari 

data kematian maternal di Dinkes 

Kabupaten Cilacap, data sampel kontrol 

diperoleh dari puskesmas yang di 

wilayah kerjanya ada  masalah  

kematian maternal. Data primer 

diperoleh melalui wawancara dengan 

kuesioner, sedangkan data sekunder dari 

catatan kematian maternal, dokumen 

audit maternal perinatal (AMP), 

dokumen otopsi verbal, catatan 

persalinan dan register kohort ibu hamil. 

Data kualitatif diperoleh melalui 

wawancara mendalam (indepth 

interview). Variabel terikat yaitu  

kematian maternal, sedangkan variabel 

bebas meliputi determinan dekat 

(komplikasi kehamilan, komplikasi 

persalinan dan komplikasi nifas), 

determinan antara (usia ibu, paritas, 

jarak kehamilan, riwayat penyakit ibu, 

riwayat komplikasi kehamilan 

sebelumnya, riwayat persalinan 

sebelumnya, status gizi saat hamil, 

anemia, pemeriksaan antenatal, 

pemanfaatan fasilitas kesehatan saat 

terjadi komplikasi, penolong pertama 

persalinan, cara persalinan, tempat 

persalinan, riwayat KB, pelaksanaan 

rujukan, keterlambatan rujukan), dan 

determinan jauh (tingkat pendidikan ibu, 

status pekerjaan ibu, jumlah pendapatan 

keluarga, wilayah tempat tinggal).   

Pengolahan dan analisa  data 

dengan program SPSS for windows 

release 10.0. analisa  data kuantitatif 

dilakukan secara univariat, bivariat (uji 

Chi Square) dan multivariat (regresi 

logistik ganda). analisa  data kualitatif 

secara deskriptif dan disajikan dalam 

bentuk narasi. 

     

HASIL riset  

Kematian maternal pada 52 masalah  

kematian maternal di kabupaten Cilacap 

tersebar di 18 wilayah kecamatan dari 24 

kecamatan yang ada, sebagian besar 

dipicu  oleh perdarahan (34,6%), 

disusul penyakit yang memperburuk 

kondisi ibu (26,9%), preeklamsia/ 

eklamsia (23,1%) dan infeksi nifas 

(7,7%). 

 Jumlah 52 100 

Kematian maternal sebagian 

besar terjadi pada saat persalinan, 

dimana 32 masalah  (61,5%) meninggal saat 

bersalin, disusul kematian saat masa 

nifas : 14 masalah  (26,9%) dan kematian 

saat hamil : 6 masalah  (11,5%). Sebagian 

besar masalah  meninggal di rumah sakit 

(73,1%), sedangkan 13,5% meninggal di 

rumah, 7,7% meninggal di puskesmas, 

dan 5,7% meninggal di perjalanan. 

Selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2 : 


 

Gambaran tentang pelayanan 

kesehatan rujukan dapat diketahui dari 

lama perawatan di RS sebelum masalah  

meninggal. Dari 38 masalah  yang 

meninggal di RS, 81,6% meninggal 

dalam waktu < 48 jam sesudah  masuk 

RS, dimana hal ini kemungkinan 

dipicu  oleh kondisi ibu yang buruk 

sebelum dibawa ke RS atau dapat 

dipicu  oleh keterlambatan merujuk 

dan keterlambatan penanganan. 

Tabel 3 memperlihatkan crude 

odds ratio (OR) hasil analisa  bivariat.

 

Hasil analisa  bivariat 

menunjukkan bahwa determinan dekat, 

yaitu adanya komplikasi kehamilan, 

komplikasi persalinan dan komplikasi 

nifas secara statistik menunjukkan 

adanya hubungan yang bermakna. 

Determinan antara yang memiliki 

hubungan yang bermakna dengan 

kejadian kematian maternal yaitu  usia 

ibu saat hamil (< 20 tahun / > 35 tahun), 

jarak kehamilan (< 2 tahun / ≥ 5 tahun), 

adanya riwayat penyakit ibu saat hamil, 

adanya riwayat komplikasi pada 

kehamilan sebelumnya, riwayat 

persalinan jelek, status gizi ibu saat 

hamil mengalami KEK, anemia, 

pemeriksaan antenatal tidak baik 

(frekuensi pemeriksaan antenatal oleh 

petugas kesehatan < 4 x dan tidak 

memenuhi 5T), penolong pertama 

persalinan bukan tenaga kesehatan, cara 

persalinan dengan tindakan dan 

keterlambatan rujukan. Determinan jauh 

yang berhubungan secara bermakna pada 

analisa  bivariat yaitu  jumlah 

pendapatan kelurga < UMR.  

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan ada 6 variabel independen 

yang patut dipertahankan secara statistik 

yaitu komplikasi kehamilan, komplikasi 

persalinan, komplikasi nifas, riwayat 

penyakit ibu, riwayat KB, dan 

keterlambatan rujukan. Hasil analisa  

interaksi pada 6 variabel independen 

terhadap variabel dependen 

menunjukkan tidak ada  interaksi 

antar keenam variabel independen, yang 

ditunjukkan dengan nilai p > 0,05, 

sehingga tidak ada variabel yang 

dikeluarkan dari model. Hasil 

selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4:  

 

 

   Tabel 4 Ringkasan Hasil analisa  Regresi Logistik Ganda  

No. Faktor risiko B OR adjusted 95% CI p 

1. Riwayat penyakit ibu 9,954 210,2 13,4 – 5590,4 0,002 

2. Komplikasi kehamilan 4,991 147,1 2,4 – 1938,3 0,002 

3. Komplikasi nifas 4,442 84,9 1,8 – 3011,4 0,034 

4. Keterlambatan rujukan 3,928 50,8 2,5 – 488,1 0,003 

5. Komplikasi persalinan 3,897 49,2 1,8 – 1827,7 0,027 

6. Riwayat KB -2,606 33,1 13,0 – 2361,6 0,038 

         

 

Faktor risiko yang terbukti 

berpengaruh terhadap kejadian 

kematian maternal 

1. Determinan dekat 

1. Komplikasi kehamilan  

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan bahwa ibu yang 

mengalami komplikasi kehamilan 

memiliki risiko untuk mengalami 

kematian maternal 147,1 kali lebih besar 

bila dibandingkan dengan ibu yang tidak 

mengalami komplikasi kehamilan, 

dengan nilai p = 0,002 (OR adjusted = 

147,1 ; 95% CI : 13,4 – 5590,4).  

Hasil riset  ini sesuai dengan 

riset  yang dilakukan oleh 

Kusumaningrum (199   yang 

menyatakan bahwa adanya komplikasi 

kehamilan memicu  ibu memiliki 

risiko 19,2 kali lebih besar untuk 

mengalami kematian maternal.5)  

Hasil riset  menunjukkan 

bahwa komplikasi kehamilan yang 

terjadi pada kelompok masalah  sebagian 

besar berupa preeklamsia (42,2%) dan 

perdarahan (7,7%), demikian juga pada 

kelompok kontrol, dimana preeklamsia 

memiliki proporsi sebesar 3,9% dan 

perdarahan 1,9%.   

Adanya komplikasi pada 

kehamilan, terutama perdarahan hebat 

yang terjadi secara tiba – tiba, akan 

memicu ibu kehilangan banyak 

darah dan akan memicu kematian 

maternal dalam waktu singkat.6,7,8) 

Hipertensi dalam kehamilan, yang sering 

dijumpai yaitu preeklamsia dan 

eklamsia, bila  tidak segera ditangani 

akan dapat memicu ibu 

kehilangan kesadaran yang berlanjut 

pada terjadinya kegagalan pada jantung, 

gagal ginjal atau perdarahan otak yang 

akan memicu kematian 

maternal.

2. Komplikasi persalinan 

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan bahwa ibu yang 

mengalami komplikasi persalinan 

memiliki risiko untuk mengalami 

kematian maternal 49,2 kali lebih besar 

bila dibandingkan dengan ibu yang tidak 

mengalami komplikasi persalinan 

dengan nilai p = 0,027 (OR adjusted = 

49,2 ; 95% CI : 1,8 – 1827,7).  

Hasil riset  ini sesuai dengan 

riset  yang dilakukan oleh Suwanti 

E (2002) yang menyatakan bahwa 

adanya komplikasi persalinan 

memicu  ibu memiliki risiko 50,69 

kali lebih besar untuk mengalami 

kematian maternal.11) Juga riset  

oleh Kusumaningrum (199   yang 

menyatakan bahwa komplikasi 

persalinan memicu  ibu memiliki 

risiko 13 kali untuk mengalami kematian 

maternal.5)  

Hasil riset  menunjukkan 

bahwa komplikasi persalinan yang 

terjadi pada kelompok masalah  sebagian 

besar berupa perdarahan (34,6%), 

disusul preeklamsia (15,4%), dan 

eklamsia (11,5%), demikian juga pada 

kelompok kontrol, yaitu preeklamsia dan 

perdarahan (7,7%) disusul partus lama 

(3,9%).   

Adanya komplikasi persalinan, 

terutama perdarahan postpartum, 

memberi  kontribusi 25% untuk 

terjadinya kematian maternal.1) 

Perdarahan ini akan memicu ibu 

kehilangan banyak darah, dan akan 

memicu kematian maternal dalam 

waktu singkat.1,7,8) Preeklamsia ringan 

dapat dengan mudah berubah menjadi 

preeklamsia berat dan keadaan ini akan 

mudah menjadi eklamsia yang 

memicu kejang. bila  keadaan 

ini terjadi pada proses persalinan akan 

dapat memicu ibu kehilangan 

kesadaran, dan dapat memicu 

kematian maternal.7,9,10) Partus lama atau 

persalinan tidak maju, yaitu  persalinan 

yang berlangsung lebih dari 18 jam sejak 

inpartu. Partus lama dapat 

membahayakan jiwa ibu, sebab  pada 

partus lama risiko terjadinya perdarahan 

postpartum akan meningkat dan bila 

pemicu  partus lama yaitu  akibat 

disproporsi kepala panggul, maka risiko 

terjadinya ruptura uteri akan meningkat, 

dan hal ini akan memicu 

kematian ibu dan juga janin dalam waktu 

singkat. Partus lama dapat 

memicu terjadinya infeksi jalan 

lahir. Infeksi ini dapat membahayakan 

nyawa ibu sebab  dapat memicu 

sepsis.

3. Komplikasi nifas 

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan bahwa ibu yang 

mengalami komplikasi nifas memiliki 

risiko untuk mengalami kematian 

maternal 84,9 kali lebih besar bila 

dibandingkan dengan ibu yang tidak 

mengalami komplikasi nifas dengan nilai 

p = 0,034 (OR adjusted = 84,9 ; 95% CI 

: 1,8 – 3011,4).  

Hasil riset  ini sesuai dengan 

riset  yang dilakukan oleh 

Kusumaningrum (199   yang 

menyatakan bahwa adanya komplikasi 

nifas memicu  ibu memiliki risiko 

8,62 kali lebih besar untuk mengalami 

kematian maternal.5)  

Hasil riset  menunjukkan 

bahwa komplikasi nifas yang terjadi 

pada kelompok masalah  berupa perdarahan 

(9,6%), disusul infeksi nifas (7,7%) dan 

preeklamsia (3,9%), sedangkan pada 

kelompok kontrol, yaitu infeksi nifas 

(1,9%) dan mastitis (1,9%).   

Adanya komplikasi pada masa 

nifas terutama adanya infeksi dapat 

memicu  kematian maternal akibat 

menyebarnya kuman ke dalam aliran 

darah (septikemia), yang dapat 

menimbulkan abses pada organ – organ 

tubuh, seperti otak dan ginjal, sedangkan 

perdarahan pada masa nifas dapat 

melanjut pada terjadinya kematian 

maternal terutama bila ibu tidak segera 

mendapat perawatan awal untuk 

mengendalikan perdarahan

 

2 Determinan antara 

1. Riwayat Penyakit Ibu 

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan bahwa risiko untuk 

terjadinya kematian maternal pada ibu 

yang memiliki riwayat penyakit yaitu  

210,2 kali lebih besar bila dibandingkan 

dengan ibu yang tidak memiliki riwayat 

penyakit dengan nilai p = 0,002 (OR 

adjusted = 210,2 ; 95% CI : 13,4 – 

5590,4). 

Riwayat penyakit ibu 

didefinisikan sebagai penyakit yang 

sudah diderita oleh ibu sebelum 

kehamilan atau persalinan atau penyakit 

yang timbul selama kehamilan yang 

tidak berkaitan dengan pemicu  obstetri 

langsung, akan namun  diperburuk oleh 

pengaruh fisiologik akibat kehamilan 

sehingga keadaan ibu menjadi lebih 

buruk. Kematian maternal akibat 

penyakit yang diderita ibu merupakan 

pemicu  kematian maternal tidak 

langsung (indirect obstetric death).   

Hasil riset  menunjukkan 

bahwa pada kelompok masalah , penyakit 

yang diderita oleh ibu sejak sebelum 

kehamilan maupun selama kehamilan 

mempunyai proporsi sebesar 36,5% 

yaitu meliputi penyakit jantung, 

hipertensi, TB paru, demam tifoid, asma 

bronkiale, bronkopneumonia, hepatitis, 

demam berdarah dengue, epilepsi dan 

gastritis kronis. Sedangkan pada 

kelompok kontrol penyakit yang diderita 

ibu yaitu penyakit jantung (1,9%). Hasil 

riset  ini sesuai dengan riset  – 

riset  sebelumnya yang 

menunjukkan bahwa penyakit yang 

diderita ibu merupakan pemicu  tidak 

langsung dari kematian maternal 

sehingga memenuhi aspek koherensi / 

konsistensi dari asosiasi 

kausal.

 

2. Keterlambatan rujukan 

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan bahwa keterlambatan 

rujukan saat terjadi komplikasi akan 

memicu  ibu memiliki risiko 50,8 

kali lebih besar untuk mengalami 

kematian maternal bila dibandingkan 

dengan ibu yang tidak mengalami 

keterlambatan rujukan dengan nilai p = 

0,003 dan OR adjusted 50,8 ; 95% CI 

2,5 – 488,1. 

Hasil analisa  ini menunjukkan 

bahwa keterlambatan rujukan pada ibu 

yang mengalami komplikasi pada masa 

kehamilan, persalinan dan nifas 

memberi  risiko lebih besar untuk 

terjadinya kematian maternal bila 

dibandingkan dengan ibu yang tidak 

mengalami keterlambatan rujukan saat 

terjadi komplikasi. Keterlambatan 

rujukan yang terjadi pada masalah  – masalah  

kematian maternal meliputi 

keterlambatan pertama, kedua dan 

ketiga. Ketiga jenis keterlambatan ini 

akan memperburuk kondisi ibu akibat 

ibu tidak dapat memperoleh penanganan 

yang adekuat sesuai dengan komplikasi 

yang ada, sehingga kematian maternal 

menjadi tidak dapat dihindarkan. 

Hasil riset  menunjukkan 

bahwa pada masalah  – masalah  kematian 

maternal, sebagian besar terjadi 

keterlambatan pertama yaitu pada 28 

masalah  (53,9%), sedangkan 10 masalah  

mengalami jenis keterlambatan pertama 

dan kedua (19,2%), 5 masalah  mengalami 

keterlambatan pertama dan ketiga 

(9,6%), dan sisanya yaitu 3 masalah  masing 

– masing mengalami keterlambatan 

kedua, ketiga dan ketiga keterlambatan 

sekaligus. Hanya 6 masalah  yang tidak 

mengalami keterlambatan rujukan saat 

terjadi komplikasi. 

 Keterlambatan pertama 

merupakan keterlambatan dalam 

pengambilan keputusan. Dari hasil 

indepth interview yang dilakukan pada 

saat riset , diperoleh informasi 

bahwa ketika terjadi kegawat – 

daruratan, pengambilan keputusan masih 

berdasar pada budaya ‘berunding’, yang 

berakibat pada keterlambatan merujuk. 

Peran suami sebagai pengambil 

keputusan utama juga masih tinggi, 

sehingga pada saat terjadi komplikasi 

yang membutuhkan keputusan ibu 

segera dirujuk menjadi tertunda sebab  

suami tidak berada di tempat. Kendala 

biaya juga merupakan alasan terjadinya 

keterlambatan dalam pengambilan 

keputusan. Pada masalah  – masalah  dimana 

ibu dari keluarga tidak mampu harus 

segera dirujuk, keluarga tidak berani 

membawa ibu ke rumah sakit sebagai 

tempat rujukan, walaupun pihak kepala 

desa akan membuatkan surat keterangan 

tidak mampu, sebab  pihak keluarga 

merasa bahwa meskipun biaya 

pendaftaran rumah sakit gratis, mereka 

berpikir tetap harus mengeluarkan biaya 

untuk transportasi ke rumah sakit, biaya 

ekstra untuk obat – obatan khusus, yang 

akan menimbulkan beban keuangan 

keluarga. Keterlambatan juga terjadi 

akibat ketidaktahuan ibu maupun 

keluarga mengenai tanda bahaya yang 

harus segera mendapatkan penanganan 

untuk mencegah terjadinya kematian 

maternal. Misalnya pada masalah  

perdarahan, persepsi mengenai seberapa 

banyak darah yang keluar dapat 

dikatakan lebih dari normal bagi orang 

awam (ibu maupun anggota keluarga) 

ternyata belum diketahui. Pada masalah  

perdarahan post partum akibat retensio 

placenta, ibu merasa kondisinya masih 

kuat dan tidak mau dirujuk, walaupun 

menurut keluarga yang ada pada saat 

kejadian, darah yang keluar sampai 

membasahi 3 kain yang dipakai ibu. 

Keluarga berpendapat perdarahan 

ini  merupakan hal yang biasa 

sebab  ibu habis melahirkan dan 

kemudian baru merasa panik dan 

memutuskan untuk membawa ibu ke 

rumah sakit sesudah  perdarahan terus 

berlanjut dan kondisi ibu makin 

memburuk. Budaya pasrah dan 

menganggap kesakitan dan kematian ibu 

sebagai takdir masih tetap ada dalam 

masyarakat, sehingga hal ini  

membuat anggota keluarga dan 

masyarakat tidak segera mengusaha kan 

secara maksimal penanganan kegawat – 

daruratan yang ada.  

Keterlambatan kedua merupakan 

keterlambatan mencapai tempat rujukan, 

sesudah  pengambilan keputusan untuk 

merujuk ibu ke tempat pelayanan 

kesehatan yang lebih lengkap diambil. 

Hal ini dapat terjadi akibat kendala 

geografi, kesulitan mencari alat 

transportasi, sarana jalan dan sarana alat 

transportasi yang tidak memenuhi syarat. 

masalah  kematian maternal yang terjadi 

pada umumnya terjadi pada saat dan 

sesudah  persalinan, sehingga 

keterlambatan kedua sebenarnya tidak 

perlu terjadi bila sarana transportasi 

untuk mengantisipasi keadaan gawat – 

darurat telah dipersiapkan sejak dini. 

Hasil riset  menunjukkan bahwa 

sebagian besar anggota keluarga baru 

mencari alat transportasi sesudah  bidan 

menyarankan ibu untuk dirujuk. 

Ambulan desa sebagai salah satu sarana 

alat transportasi bila terjadi keadaan 

gawat – darurat belum tersedia di desa 

tempat tinggal masalah  – masalah  kematian 

maternal, sehingga ibu dibawa ke rumah 

sakit dengan angkutan umum, mobil 

sewaan, mobil milik bidan, truk 

angkutan pasir dan hanya sebagian kecil 

yang diangkut dengan ambulans milik 

puskesmas. Jarak ke tempat rujukan rata 

– rata dapat dicapai dalam jangka waktu 

kurang dari 2 jam, akan namun  kondisi 

jalan yang rusak memperlama waktu 

perjalanan dan memperburuk kondisi 

ibu.  

Keterlambatan ketiga pada masalah  

kematian maternal terjadi akibat 

keterlambatan penanganan masalah  di 

tempat rujukan. Keterlambatan ketiga 

yang terjadi pada 6 masalah  kematian 

maternal terjadi akibat rumah sakit 

tempat rujukan kekurangan persediaan 

darah (3 masalah ), sehingga keluarga 

diminta mencari darah di tempat lain, 

dan sebelum keluarga tiba, ibu sudah 

meninggal, sedangkan pada masalah  yang 

lain terjadi keterlambatan dalam 

pelaksanaan tindakan medis akibat 

tenaga ahli tidak berada di tempat dan 

pada masalah  yang lain terjadi akibat 

pelaksanaan penanganan medis yang 

membutuhkan waktu lebih dari 30 menit 

sejak ibu sampai di rumah sakit. Sebagai 

contoh pada masalah  perdarahan 

antepartum, operasi seksio sesaria baru 

dilakukan 7 jam sesudah  ibu tiba di 

rumah sakit dan pada masalah  preeklamsia 

pada ibu dengan kehamilan 40 minggu, 

induksi persalinan baru dilakukan 6 jam 

sesudah  ibu tiba di rumah sakit.           

Hasil riset  ini sesuai dengan 

riset  – riset  terdahulu yang 

menyatakan bahwa keterlambatan 

rujukan meningkatkan risiko untuk 

terjadinya kematian maternal. Hal ini 

menunjukkan konsistensi dari asosiasi 

kausal.

 

3. Riwayat KB 

Hasil analisa  multivariat 

menunjukkan bahwa ibu yang tidak 

pernah KB memiliki risiko untuk 

mengalami kematian maternal 33,1 kali 

lebih besar bila dibandingkan dengan ibu 

yang mengikuti program KB dengan 

nilai p = 0,038 (OR adjusted = 33,1 ; 

95% CI : 13,0 – 2361,6). 

Hasil riset  menunjukkan 

bahwa proporsi ibu yang tidak pernah 

KB pada kelompok masalah  sebesar 50% 

lebih besar dibandingkan  kelompok kontrol 

yaitu 34,6%. Meskipun pada analisa  

bivariat tidak ada  hubungan yang 

bermakna antara riwayat KB dengan 

kematian maternal dengan nilai p = 

0,112 (OR = 1,89 ; 95% CI : 0,86 – 

4,16), akan namun  sesudah  masuk model 

multivariat, ternyata riwayat KB 

merupakan faktor risiko yang 

berpengaruh terhadap kematian 

maternal. 

Program KB memiliki peranan 

yang besar dalam mencegah kematian 

maternal. Dengan memakai alat 

kontrasepsi, seorang ibu akan dapat 

merencanakan kehamilan sedemikian 

rupa sehingga dapat menghindari 

terjadinya kehamilan pada umur tertentu 

(usia terlalu muda maupun usia tua) dan 

dapat mengurangi jumlah kehamilan 

yang tidak diinginkan sehingga 

mengurangi praktik pengguguran yang 

ilegal berikut kematian maternal yang 

ditimbulkannya.   pemakaian  alat 

kontrasepsi akan mencegah keadaan 

‘empat terlalu’ yaitu terlalu muda, terlalu 

tua, terlalu sering dan terlalu banyak 

yang merupakan faktor risiko terjadinya 

kematian maternal.1   bila  seorang 

ibu dalam masa reproduksinya tidak 

menggunakan alat kontrasepsi, maka ia 

dihadapkan pada risiko untuk terjadinya 

kehamilan beserta risiko untuk 

terjadinya komplikasi baik pada masa 

kehamilan, persalinan maupun nifas, 

yang dapat melanjut menjadi kematian 

maternal.

Hasil analisa  multivariat 

menghasilkan model persamaan regresi 

sebagai berikut : 

   1 

Y     =     

      1+ e-(-9,094 + 9,954 + 4,991 + 4,442 + 3,928 + 3,897 + -2,606) 

Y     = 0,99   ( 99% ) 

Hal ini berarti bahwa jika ibu 

memiliki riwayat penyakit, mengalami 

komplikasi kehamilan, komplikasi 

persalinan, komplikasi nifas, tidak 

pernah KB dan mengalami 

keterlambatan rujukan saat terjadi 

komplikasi akan memiliki probabilitas 

atau risiko mengalami kematian 

maternal sebesar 99%.  

sesudah  dilakukan riset  

tentang faktor – faktor risiko yang 

mempengaruhi kematian maternal, studi 

masalah  di Kabupaten Cilacap, dapat 

disimpulkan bahwa : 

Faktor risiko yang terbukti berpengaruh 

terhadap kematian maternal yaitu  : 

1. Determinan dekat yang terdiri dari : 

− Komplikasi kehamilan (OR = 

147,1; 95% CI : 2,4 – 1938,3 

; p = 0,002) 

− Komplikasi persalinan (OR = 

49,2; 95% CI : 1,8 – 1827,7 ; 

p = 0,027) 

 

− Komplikasi nifas (OR = 84,9; 

95% CI : 1,8 – 3011,4 ; p = 

0,034) 

2. Determinan antara yang terdiri dari : 

− Riwayat penyakit ibu (OR = 

210,2; 95% CI : 13,4 – 

5590,4 ; p = 0,002) 

− Riwayat KB (OR = 33,1; 

95% CI : 13,0 – 2361,6 ; p = 

0,038) 

− Keterlambatan rujukan (OR = 

50,8; 95% CI : 2,5 – 488,1; p 

= 0,003)  

Probabilitas ibu untuk mengalami 

kematian maternal dengan memiliki 

faktor – faktor risiko ini  di atas 

yaitu  99%. 

Dari hasil kajian kualitatif pada 

masalah  – masalah  kematian maternal dapat 

disimpulkan bahwa : 

a. Kematian maternal di kabupaten 

Cilacap sebagian besar dipicu  

oleh komplikasi obstetri langsung 

yaitu perdarahan (34,6%), 

preeklamsia / eklamsia (23,1%) dan 

infeksi nifas (7,7%) dan komplikasi 

tidak langsung yaitu penyakit yang 

memperburuk kondisi ibu (26,9%). 

b. Kematian maternal 73,1% terjadi di 

Rumah Sakit dan sebesar 81,6% 

meninggal dalam waktu < 48 jam 

sesudah  masuk Rumah Sakit, hal ini 

dipicu  oleh keterlambatan 

merujuk dan keterlambatan dalam 

hal penanganan. 

c. Faktor keterlambatan rujukan yang 

meliputi keterlambatan pertama, 

kedua dan ketiga masih memegang 

peranan dalam kejadian kematian 

maternal di Kabupaten Cilacap.  

− Keterlambatan pertama 

sebagian besar diakibatkan 

oleh kurangnya pengetahuan 

ibu, suami dan anggota 

keluarga mengenai tanda – 

tanda kegawatdaruratan 

kebidanan, budaya berunding 

sebelum pengambilan 

keputusan, peran suami yang 

masih dominan, kendala 

biaya dan sikap pasrah 

terhadap takdir dan pada 

beberapa masalah  kematian 

maternal ada  

keterlambatan pengambilan 

keputusan merujuk oleh 

petugas kesehatan. 

− Keterlambatan kedua terjadi 

akibat kesulitan mencari alat 

transportasi, jalan yang rusak 

dan kendala geografis 

(daerah pegunungan). 

− Keterlambatan ketiga terjadi 

akibat dokter tidak berada di 

tempat, penanganan medis 

yang tertunda dan tidak 

tersedianya darah untuk 

keperluan transfusi. 

d. Beberapa masalah  kematian maternal 

berkaitan dengan ketidakmampuan / 

kesalahan petugas kesehatan dalam 

memberi  pertolongan medis. 

e. Masih ada  pertolongan 

persalinan oleh dukun bayi tanpa 

pendampingan oleh bidan, yang 

memperlambat pelaksanaan rujukan 

bagi ibu yang mengalami komplikasi. 

f. usaha  penurunan angka kematian 

maternal melalui program GSI belum 

terlaksana secara optimal (belum 

ada  ambulan desa, tabulin / 

dasolin, dan ‘donor darah hidup’) dan 

pelaksanaan audit maternal pada 

masalah  – masalah  kematian di rumah 

sakit belum pernah dilaksanakan. 

Saran bagi dinas kesehatan 

Kabupaten Cilacap agar senantiasa 

melakukan penilaian kompetensi bidan / 

dokter dalam melakukan penanganan 

kegawatdaruratan kebidanan baik di 

tingkat pelayanan kesehatan dasar dan 

rujukan, para bidan / dokter di tingkat 

pelayanan kesehatan dasar disarankan 

untuk merujuk ibu – ibu yang 

mengalami komplikasi kehamilan, 

persalinan dan nifas lebih awal, sebab  

88,5% masalah  kematian maternal 

mengalami keterlambatan rujukan dan 

81,6% kematian maternal yang berhasil 

dirujuk ke Rumah Sakit meninggal 

dalam waktu < 48 jam sesudah  masuk 

Rumah Sakit, dimana hal ini 

menunjukkan adanya keterlambatan 

dalam merujuk dan keterlambatan 

penanganan, melakukan analisa  situasi 

mengenai sistem rujukan baik di tingkat 

pelayanan kesehatan dasar dan rumah 

sakit serta prosedur penyediaan bank 

darah di tingkat pelayanan kesehatan 

rujukan, melakukan audit kematian 

maternal bagi masalah  kematian maternal 

yang terjadi di Rumah Sakit, yang 

dilaksanakan oleh Bagian Kebidanan 

dan Penyakit Kandungan dari luar 

Rumah Sakit dengan mengikutsertakan 

para bidan di luar Rumah Sakit 

mengingat 73,1% kematian maternal di 

Kabupaten Cilacap terjadi di Rumah 

Sakit, melakukan monitoring dan 

evaluasi kinerja bidan dalam melakukan 

pelayanan kesehatan maternal, 

khususnya dalam pelaksanaan KIE / 

konseling ibu hamil, terutama bagi ibu 

yang memiliki risiko tinggi kehamilan / 

mengalami komplikasi, meningkatkan 

penyuluhan kepada masyarakat tentang 

faktor – faktor risiko, gejala dan tanda 

terjadinya komplikasi, dan usaha  

pencegahan kejadian kematian maternal, 

menggalakkan pelaksanaan program 

Gerakan Sayang Ibu (GSI) sehingga 

terjalin kerjasama lintas sektoral dalam 

menurunkan angka kematian maternal. 

Sedangkan bagi masyarakat agar perlu 

mengenali tanda – tanda dini terjadinya 

komplikasi selama kehamilan, persalinan 

dan nifas sehingga bila ibu mengalami 

komplikasi dapat segera ditangani oleh 

petugas kesehatan, anggota keluarga dan 

masyarakat perlu melakukan persiapan 

secara dini terhadap kemungkinan 

dilakukannya rujukan pada saat ibu 

mengalami komplikasi kehamilan, 

persalinan dan nifas, seperti persiapan 

biaya, sarana transportasi, sehingga 

dapat mencegah terjadinya 

keterlambatan rujukan, penggalangan 

dana sosial bagi ibu bersalin yang 

kurang mampu, pendataan dan persiapan 

donor darah dari warga masyarakat dan 

pembentukan ambulan desa 

melaksanakan perencanaan kehamilan 

dengan menggunakaan metode 

kontrasepsi khususnya bagi ibu yang 

memiliki risiko tinggi untuk hamil dan 

bagi mereka yang hamil diharapkan 

untuk melakukan pemeriksaan secara 

rutin, serta dapat melakukan persiapan 

secara dini terhadap kemungkinan 

dilaksanakannya rujukan.