islam 5

Tampilkan postingan dengan label islam 5. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 5. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

islam 5



 ung HAM hanya akan terasa kosong 

saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al­Maududi, 

seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian 

pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan 

hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan 

antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme 

adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan 

Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan 

Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimana­

kah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan 

Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan­tindakan 

manusia? Al­Maududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, se­

buah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang 

digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukung­

nya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemu­

dian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Repub­

lik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti 

campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan 

negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindak­

an Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah me­

Islam dan Hak asasi manusia



menangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya 

melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan­tuduhannya, 

bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, se­

bagai orang­orang yang korup dan hanya mementingkan diri 

sendiri?

eg

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifi-

kasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh 

Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam 

deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama 

adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai 

hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari 

agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (aposta-

sy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri 

kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang ber­

pindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah 

dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan 

yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi meru­

pakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan 

kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita 

hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Uni­

versal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti 

yang dilakukan al­Maududi terhadap Nasionalisme atau justru 

merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak, 

hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak 

kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada la­

munan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, 

hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan 

mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang 

secara formal sudah berabad­abad diikuti. namun  disinilah ter­

letak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan ke­

imanan kita hanya kepada Allah dan utusan­Nya sebagai sesuatu 

yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat 

lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. 

Apabila yang demikian itu juga dapat diubah­ubah maka hilang­

lah ke­Islaman kita.

g 123 h

eg

Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak 

sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan al-

Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya 

tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara 

tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum mus­

limin. Praktek­praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak 

diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilaku­

kan oleh kelompok­kelompok muslimin yang kecil tanpa perlin­

dungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam 

itu akan hilang dengan sendirinya.

Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal 

ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini 

merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab 

tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam 

kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap ha-

nya Dzat Allah mu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu 

rabbika)” (QS al­Rahman [55]: 26­27) menunjukkan hal itu de­

ngan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum 

agama sepenuhnya tergantung kepada sebab­sebabnya, baik ada 

ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a 

‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemung­

kinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan anti­

sipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU 

telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai 

dengan prinsip­prinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah 

Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pemba­

tasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah 

semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang 

semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan te­

tap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diingin­

kan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau men­

jauhi obat­obat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan 

demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa 

dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan, 

untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup? h

Islam dan Hak asasI manusIa

g 124 h

Dalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir 

Januari lalu, lagi­lagi keluar sebuah pertanyaan yang 

di mana­mana penulis hadapi, terutama dari kalangan 

anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak 

mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam, 

umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam”? Nah, ja­

waban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini 

untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi berbeda, di­

harapkan disampaikan pada penulis. Bisa jadi itu akan merubah 

pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan, 

untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (me­

nyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan 

atau pendapat. Ini hal biasa dalam sebuah pertukaran pendapat 

yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah 

persoalan.

Kita memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, kare­

na sekian lama kita terpasung dalam menyampaikan pendapat. 

Mengapa? Karena para penguasa otoriter memaksakan pendapat 

dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri. Karena kalau 

pintu perdebatan dibuka, salah­salah akan ada argumentasi 

yang menyangkal “kebenaran” yang dikemukakan rezim terse­

but. Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam 

bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang 

penguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak di­

inginkan. Bukankah filosof Yunani kuno, Plato, pernah menyata-

kan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Ketakutan 

akan lemahnya argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang 

tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang 

menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar penda­

Penafsiran kembali 

“kebenaran Relatif”

g 125 h

pat. Karenanya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter 

tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat. 

Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”, 

yang tetap akan ada walaupun terjadi penyanggahan. Kitab suci 

al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang 

diri­Ku, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) meme­

nuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku 

(wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata al-

dâ’i idzâ da’âni)” (QS al­Baqarah [2]:186).

Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, karena hanya 

melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran 

akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan 

wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan 

kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini 

pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis, 

tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengaju­

kan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan ke­

amanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psikologis 

agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. Dengan kata lain, 

yang berlaku di tempat­tempat itu adalah demokrasi prosedural, 

bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-em-

bel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat 

dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri 

akan mati dan tidak muncul ke permukaan.

eg

Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada 

“ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa ti­

dak pernah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid 

dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat 

yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam 

agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubah­

an zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara 

tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum 

muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai ke­

benaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah 

dengan adanya penafsiran ulang itu.

Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran 

ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membang­

PEnaFsIRan kEmbalI “kEbEnaRan RElatIF”


g 126 h

gakan kalian (di hadapan) umat­umat (lain) pada hari kiamat (fa 

innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam pe­

nafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau 

itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga 

merekapun berbanyak­banyak anak. Tafsiran ulang yang baru, 

yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga 

Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri 

ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: ke­

banggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan 

demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan 

tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).

Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “ke­

benaran” lalu dianggap oleh sebagaian kaum muslimin sendiri, 

pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang perlu diberi 

tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah kenyataan empirik 

yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.

Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini, 

adalah melaksanakan sumpah setia saat  berjanji; “Orang­orang 

yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan pra­

setia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS al­Baqarah 

[2]:176), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap 

janji secara umum saja. Tafsir ulang atas istilah ini , dapat 

diartikan dengan pengertian baru “menjunjung ting gi profesio­

nalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan 

saat  ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah 

dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profe­

sionalisme, dengan segala implikasinya?

eg

Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti 

itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. De­

ngan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang 

terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini 

telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar, 

dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan 

oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendi­

ri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.

Ketentuan ushûl fiqh (teori hukum Islam) berbunyi; bah­

wa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis; 

g 127 h

qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau 

dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasar­

kan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepan­

jang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat 

berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak berten­

tangan dengan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits. 

Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam karena tidak 

semua hal lalu ada sumber­sumber tertulisnya. Bagi kasus­kasus 

yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum 

yang tidak berdasarkan pada sumber­sumber tertulis. Termasuk 

dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf al­Qaradhawi, bahwa bunga 

bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang 

(termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba. 

Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat 

terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pe­

mimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu 

al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang 

hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.

Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sum­

ber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), semen­

tara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Lalu ,apakah yang 

harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita meng­

gunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa 

keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk di­

laksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).1 Hal ini, um­

pamanya saja, terlihat pada kasus negara yang  sudah meratifi­

kasi Deklarasi Universal tentang Hak­Hak Asasi Manusia (HAM) 

—(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan 

PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu 

terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu 

bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab menurut 

hukum agama (fiqh) orang yang berpindah agama Islam kepada 

agama lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau 

hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk 

Indonesia –yang berpindah dari agama Islam ke agama lain 

dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dapat dijatuhi hu­

kuman mati . h

1 Lihat Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadla’ir fi al-Furu’, hal. 60 

PEnaFsIRan kEmbalI “kEbEnaRan RElatIF”

g 128 h

Sejumlah pemimpin partai­partai politik Islam, beberapa 

tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita 

tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu 

adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-ri-

jâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS Al­Nisa [4]:34), yang dapat 

diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung ja­

ab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pan­

tas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai 

politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari 

ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih 

lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya se­

lama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya. 

Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sum­

ber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya 

mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumber­sumber sejenis. 

Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam 

hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua 

kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)” 

(QS al­Nisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai ma­

salah waris­mewaris saja. Karena itu, dua pandangan di atas, 

yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang 

dalam dunia Islam. 

Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar 

hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena 

memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam al­

Islam dan kepemimpinan Wanita

g 129 h

Qurân. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan 

perempuan (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS 

al­Hujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Per­

bedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat 

institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak 

orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun 

menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri. 

Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis per­

nah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto 

masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri terse­

but. Ia meminta agar penulis membacakan surat Al­Fatihah bagi 

bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Kata­

nya: "Bukankah Rasulullah Saw bersabda Tidak akan pernah suk­

ses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada 

wanita?1" Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi 

1 Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan 

secara tekstual dan apa adanya. Mereka berpendapat, berdasarkan petunjuk 

hadis ini , pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim peng­

adilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam agama. Mereka me­

nyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung 

jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, al­Khattabi misalnya, 

mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah. Lihat al­

Asqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, Juz. VIII, hal. 128. Demikian 

pula al­Syaukani dalam menafsirkan hadis ini  berkata, bahwa perempuan 

itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh men­

jadi kepala negara. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad al­Syaukani, Nail al-

Autar, Mesir: Mustafa al­Babi al­Halabi, t.t., Juz. VII, hal. 298). Para ulama 

lainnya seperti Ibn Hazm, al­Ghazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi 

Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan laki­laki 

sebagai kepala negara (Muhammad Yusuf Musa, Nizam al-Hukm fi al-Islam). 

Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai 

syarat laki­laki ini bagi kepala negara sebagai mana syarat bagi seorang qadi, 

karena didasarkan pada hadis seperti ini  sebelumnya. (Sayyid Sabiq, Fiqh 

al-Sunnah, Jilid. III, hal. 315).

Dalam memahami dan mengkaji hadis mutlak diperlukan informasi 

yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis) yang me­

lingkupi teks ini . Sebenarnya jauh sebelum hadis ini  muncul, yakni 

pada masa awal dakwah Islam dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan 

negeri. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat kepada 

pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam. 

Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Kisra di Persia. 

Kisah pengiriman surat ini  dapat dijelaskan sebagai berikut :

Rasulullah Muhammad SAWtelah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah 

untuk mengirimkan surat ini  kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas di­

Islam dan kEPEmImPInan WanIta


g 130 h

Perdana Menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan 

Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diper­

lukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi? 

Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpin­

an Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan 

suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (in-

dividual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara 

justru dilembagakan? 

Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui si­

lakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian 

pembesar Bahrain ini  memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca 

surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobek­robek 

surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin al­Musayyab —setelah 

peristiwa ini  sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah ber­

sabda: “Siapa saja yang telah merobek­robek surat saya, akan dirobek­robek 

(diri dan kerajaan) orang itu” (al­Asqalani. Fath al-Bari, hal. 127­128). Tidak 

lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan 

yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuh­mem­

bunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan 

yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah 

dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal ini  karena ayah 

Buwaran meninggal dunia dan anak laki­lakinya (saudara Buwaran) telah mati 

terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa 

ini  terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah 

‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Za-

hab, Beirut: Dar al­Fikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).

Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa ini  dapat diungkap bahwa 

menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan ke­

pala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum laki­laki. Sedang yang terjadi 

pada tahun 9 H. ini  menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai 

raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di 

mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali 

tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum, 

terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya ter­

jadi di Persia saja, namun  juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan 

Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang 

memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan 

masalah­masalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak 

akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang me­

mimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang 

dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin 

adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak me­

miliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan 

telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mung­

kin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan 

politik perempuan.

g 131 h

dang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan, 

kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen,  juga 

mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak 

boleh menyimpang dari Undang­Undang Dasar, dengan penja­

gaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya 

beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan ini : "Anda 

benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat Al­Fati­

hah untuk keselamatan bangsa Pakistan."

Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal: 

sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabad­abad 

lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama 

Islam di mata orang­orang itu, dalam kenyataan berlawanan de­

ngan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolah­olah terjadi per­

benturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan, 

ribuan anak­anak perempuan ulama muslimin justru menjadi 

sarjana S1 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukan­

kah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD 

kita, termasuk dalam pendidikan? 

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Su­

matra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang 

warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa 

mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawini­

nya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar 

UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di 

muka undang­undang? Karenanya, sidang kabinet saat penu­

lis menjadi Presiden telah memutuskan: Tidak diperkenankan 

adanya peraturan daerah atau produk­produk lain hasil DPRD I 

atau DPRD II, yang berlawanan dengan Undang­Undang Dasar. 

Dalam hal ini, yang memiliki wewenang untuk menyatakan, 

apakah sebuah produk DPRD ini  melanggar UUD atau ti­

dak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis 

produk itu tidak berlaku lagi. 

Jelaslah, memperjuangkan hak­hak wanita adalah peker­

jaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap 

sabar dan bertindak hati­hati dalam hal ini. namun , keadaan ini 

pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika 

Serikat (AS) yang dianggap memelihara hak­hak wanita dan pria 

secara berimbang menurut Undang­Undang Dasarnya, ternyata 

dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah 

dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUD­nya tidak 

Islam dan kEPEmImPInan WanIta


g 132 h

pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjang­

an besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling 

“maju” sekalipun. h

g 133 h

Charles Torrey dalam disertasi doktor­nya di Universitas 

Heidelburg tahun 1880­an, mengemukakan bahwa al­

Qurân mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan 

istilah­istilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Dise­

butkannya ayat; “Barang siapa memberikan pinjaman yang baik 

pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda (man dzal 

ladzi yuqridu Allâha qardlan hasanan fa yudhâ’ifahu)” (QS al:

Baqarah (2): 245), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit 

melainkan pelaksanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah; 

“Barang siapa menghendaki panenan yang baik di akhirat, akan 

Ku­tambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati 

nazid lahu fî-hartsihi)” (QS al Syura [42]:20) –yang lagi­lagi 

menggunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal ke­

bajikan/amal sholeh.

Di sini, Torrey juga menggunakan sebuah ayat lain untuk 

me nunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agama­agama 

lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama­agama ini . 

“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka 

amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di 

akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya 

(wa man yabtaghi ghaira al-Islâm dînan falan yuqbala minhu 

wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85).

Dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam 

yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak 

kerjasama antar Islam dengan berbagai agama lainnya.

Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang ker­

Islam dan dialog antar-agama


g 134 h

jasama antara Islam dan agama­agama lain, terutama dalam 

hal­hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Peneri­

maan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat diwujud­

kan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama. 

Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebuAllah  berlaku dalam 

hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam; 

“Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwu­

jud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma lâ yatim-

mu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun)”. Kerjasama tidak akan 

terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar agama juga 

menjadi kewajiban.

eg

Kitab suci al-Qurân juga menyatakan: “Sesungguhnya te-

lah Ku­ciptakan kalian sebagai laki­laki dan perempuan, dan 

Ku­jadikan kalian berbangsa­bangsa dan bersuku­suku bangsa 

agar kalian saling mengenal (Innâ khalaqnâkum min dzakarin 

wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS 

al­Hujurat [49]:13), menunjuk kepada perbedaan yang senantia­

sa ada antara laki­laki dan perempuan serta antar berbagai bang­

sa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan 

sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah 

perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).

Tentu saja, adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu 

dipersamakan secara total, karena masing­masing memiliki ke­

percayaan/aqidah yang dianggap benar. Demikian pula keduduk­

an penafsiran­penafsiran aqidah/keyakinan itu. Umat Katholik 

sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II 

yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, 

menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta meng­

hormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin 

bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka. 

Jadi, keyakinan masing­masing tidak perlu diperbandingkan 

atau dipertentangkan.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kerjasama an­

tara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam 

menangani kehidupan masyarakat, karena masing­masing me­

miliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan 

kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya 

g 135 h

berbeda­beda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan an­

tar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun 

hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian ma­

teri menggunakan bukti­bukti kuantitatif, seperti tingkat peng­

hasilan rata­rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan 

–misalnya, telpon atau kendaraan per­keluarga.Sedangkan yang 

tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik 

dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.

eg

Yang dikemukakan di atas adalah persamaan­persamaan 

yang dapat dicapai antara berbagai agama. Lalu, bagaimana hal­

nya dengan ayat al-Qurân, seperti; “Dan orang-orang Yahudi 

dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti 

kebenaran/aqidah mereka (Wa lan tardhâ ‘anka al-yahûdu 

wa la al-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum)” (QS al­Baqarah 

[2]:120). Selama Nabi Muhamad Saw masih berkeyakinan; Tu­

han adalah Allah, dan beliau sendiri adalah utusan Allah Swt, 

selama itu pula orang­orang Yahudi dan Kristen tidak dapat 

menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah terse­

but. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri. Selama 

orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Allah  dan orang 

Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Allah , maka 

selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua 

agama ini . Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka. 

Kalau kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajar­

wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan/aqidah. 

namun  hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu 

untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki 

nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka 

dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi terse­

but dengan menggunakan ajaran masing­masing. h

Islam dan dIaloG antaR aGama

g 136 h

Tulisan ini merupakan sambutan yang disampaikan penu­

lis atas datangnya Hari Raya Waisak 2547/2003. Semakin 

hari semakin nyata, bahwa peranan umat Buddha sebagai 

bagian dari bangsa Indonesia tampak semakin penting, teruta­

ma karena mereka banyak yang bergerak di bidang ekonomi dan 

dunia usaha. Dunia ini  mengharuskan adanya orientasi 

yang jelas sebagai umat agar tidak terjadi kehilangan arah secara 

kolektif. Karena itulah, dalam jumlah penganut yang tidak ter­

lalu besar, namun pengaruh umat Budha itu sendiri tambah hari 

tampak semakin besar.

Jacob Oetama, pemimpin umum “Kompas” mengatakan 

masa depan bangsa kita ditentukan oleh kemampuan memper­

satukan diri antara dua golongan yang berperan besar dalam 

hidup kita: kaum muslimin “mainstream” (mereka yang tidak 

mendukung terorisme serta tidak menghendaki negara agama di 

negeri kita) dan kaum pengusaha. Kaum pengusaha yang memi­

liki demikian banyak sumber­sumber dan kemampuan teknis, 

siapa lagi kalau bukan pengusaha Tionghoa, yang umumnya ber­

agama Budha dan Konghucu.

Orang­orang Tionghoa, yang di negeri asal dianggap seba­

gai perantau (Hoa-Kiauw), di negeri ini menggangap diri dan 

diterima sebagai warga negara, dan memiliki hak­hak yang sama 

dengan para warga negara yang lain. Mengapa? Karena mereka 

lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya 

mereka juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lain­

lain juga. Hanya karena peraturan kolonial yang tertulis sajalah 

mereka dianggap sebagai “orang Asing Timur” (vremde oster-

lingen) yang hidup damai dengan penduduk Asli. Orang­orang 

umat Budha dan 

kesadaran Berbangsa

g 137 h

seperti John Lie1 yang turut angkat senjata memperjuangkan 

kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mem­

pertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat 

menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain.

Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain adalah 

kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikatan 

dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat 

kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Minahasa dan 

orang Minangkabau menggunakan nama­nama barat, seperti 

Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan 

mereka Barat.

Karena itulah, saya selalu melawan anggapan atau penye­

butan umat Budha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tiong­

hoa di negeri ini, sebagai “warga keturunan”. Mereka adalah 

orang Tionghoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang 

Aceh, orang Sunda dan sebagainya. Juga menjadi kerja kita un­

tuk memberi kerangka gerak yang memadai bagi umat Budha, 

yang merupakan salah satu asset (kekayaan) bangsa kita. Pe­

ngembangan asset ini haruslah dilakukan dengan kepala dingin, 

sebagai bagian dari penataan kehidupan nasional secara keselu­

ruhan dalam jangka panjang.

Kalau nilai­nilai yang diikuti golongan Islam seperti santri 

ditentukan oleh Majelis Ulama Indonesia, orang­orang Katho­

lik oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia dan umat Kristen Pro­

testan oleh Persekutuan Gereja­Gereja Indonesia, orang­orang 

Konghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia, 

maka umat Budha, dalam pandangan penulis, mengikuti dan 

melaksanakan nilai­nilai agama yang dirumuskan oleh Konfe­

rensi Agung Sangha Indonesia. Bukannya oleh pihak atau per­

kumpulan orang awam. Merekalah yang harus tunduk kepada 

perkumpulan para agamawan. Hal inilah yang harus kita sadari, 

baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai warga masyara­

kat. Selama hal ini belum terwujud dengan sempurna, maka ke­

hidupan kita sebagai bangsa juga akan pincang. h 

1 John Lie alias Jahya Daniel Dharma adalah perwira Angkatan Laut 

RI keturunan Tionghoa. Dengan kapal kecil cepat bernama the Outlaw, ia ru­

tin melakukan operasi menembus blokade Belanda dengan membawa hasil 

bumi Indonesia ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang di­

perolehnya lalu diserahkan kepada pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai 

sarana perjuangan melawan Belanda.

umat buddHa dan kEsadaRan bERbanGsa

g 138 h

Idiosinkrasi adalah sifat­sifat perorangan yang khusus ada 

pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang 

kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak se­

cara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan non­muslim. Kalau 

idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan di­

maafkan, karena orang itu banyak jasanya dalam bidang­bidang 

lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di 

masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi 

itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan 

kepentingan orang banyak.

Seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma, seorang pengua­

sa yang dinilai berjasa sangat besar bagi kepentingan orang ba­

nyak. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya dalam 

membangun sistem birokrasi agraris untuk mencapai kemajuan 

pertanian yang tidak pernah surut semasa hidupnya. Sebalik­

nya, salah satu kekurangannya adalah ketidakmampuannya da­

lam menggunakan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang 

dipimpinnya. Karena itu, kekuatan laut dari berbagai kota pe­

labuhan dalam masa pemerintahan Mataram saat itu, merupa­

kan saingan politik yang harus dihancurkan.

Salah satu idiosinkrasi yang dimiliki Sultan Agung Hanya 

krakusuma adalah kegemarannya menyiksa para oposan politik 

yang menentangnya. Terkenal sekali deskripsi bagaimana ia ber­

cengkerama dengan para dayang di atas taman/gazebo di atas 

air, dan para tahanan politik dibiarkan berkumpul di atas tanah 

(seperti pulau kecil) yang ada di tengah kolam. Dan, pada saat 

yang ditentukan, ia membiarkan para pengawal  melepaskan be­

berapa buaya yang merayap ke “pulau” itu dan memakan para 

Islam dan

Idiosinkrasi Penguasa

g 139 h

tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menik­

mati bagaimana lawan­lawan politiknya menjerit ketakutan se­

belum dimangsa buaya­buaya buas ini .

eg

Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya, 

sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan 

menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang pangli­

manya. Suatu saat , Ki Pengging diperintahkan sang Sultan 

untuk menyerbu daerah­daerah non­muslim di Jawa Timur, 

dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Ke­

mantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, seiring 

dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis 

masa iddah si perempuan muda dan cantik itupun diambil Sultan 

Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan 

Demak ini  menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja 

mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas 

nama agama, dalam hal ini “peng­islaman daerah Pasuruan”.

Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang 

tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya 

menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi de­

ngan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para 

pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea 

Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang me­

nentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk 

melawan dengan cara mereka sendiri. 

Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah 

bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik wak­

tu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu, 

maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang 

bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan 

kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan 

menciptakan tradisi demokrasi yang benar­benar hidup di ka­

langan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai 

pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelas­jelas 

tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelem­

bagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi 

dalam lembaga­lembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah  pe­

mimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu 

Islam dan IdIosInkRasI PEnGuasa


g 140 h

dengan adanya pemilihan umum yang teratur,   jelas merupakan 

pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.

eg

Hal itulah yang harus diingat saat  seorang penguasa 

menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara 

Islam. Pendapat ini  mengabaikan dua hal, di satu pihak 

yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi de­

mokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu 

yang harus dihilangkan dalam konsep ini . Dengan kata lain, 

sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya 

terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga 

terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.

Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa 

Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di 

negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama 

abad yang lalu.Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi, 

yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George 

Washington. Namun karena Franklin Delano Roosevelt (FDR) 

terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, wa­

laupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya 

yaitu Harry Hopkins1, Kongres kemudian mengubah undang­un­

dang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat 

hanya untuk dua kali empat tahun saja.2 

Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep ten­

tang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apa­

lagi jika  hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep 

negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih 

senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan  —seperti 

1 Walaupun tidak pernah secara resmi menjadi Wapres, namun Harry 

Lloyd Hopkins yang juga arsitek kebangkitan ekonomi Amerika Serikat atau 

New Deal, amat dipercaya FDR dalam menjalankan program­program poli­

tiknya.

2Konstitusi Amerika (1787) semula tidak membatasi masa jabatan Presi­

den. Belajar dari masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt (1933­1945) yang 

menjabat lebih dari 3 kali masa jabatan, maka agar siklus kepemimpinan de­

mokrasi tetap terpelihara, Kongres membatasi masa jabatan presiden melalui 

Amandemen ke­XXII yang disetujui Kongres pada tanggal 12 Maret 1947, di­

ratifikasi tanggal 26 Februari 1951.

g 141 h

yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih 

di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru 

mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti 

Presiden Khatami.

Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga di­

laksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiar­

kan orang­orang yang tidak beragama Islam ­atau yang dianggap 

demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri sebagai presi­

den. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orang­

orang non­muslim akan dapat menjadi presiden, dan bukankah 

ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran memba­

tasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme 

di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terha­

dap para anggota parlemen yang membuat undang­undang ten­

tang syarat­syarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan 

dengan demokrasi. h

Islam dan IdIosInkRasI PEnGuasa

g 142 h

Ulil Abshar­Abdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ula­

ma (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”. 

Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan 

Muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang 

santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara 

hidupnya masih bersifat santri. namun  ada hal yang membeda­

kan Ulil dari orang­orang pesantren lainya, yaitu profesinya bu­

kanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya hal itulah yang 

akhirnya membuat ia dimaki­maki sebagai seorang yang “meng­

hina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap 

“abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang memper­

tanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi 

kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.

Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan libe­

ralisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan me­

miliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya, 

adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdeka­

an” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga 

meruntuhkan asas­asas keyakinannya sendiri akan “kebenaran” 

Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri 

setiap orang beragama Islam. Itulah sebabnya, mengapa demi­

kian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini. 

Reaksi seperti ini pernah terjadi saat  penulis mengemu­

kakan bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan 

ulil dengan liberalismenya

g 143 h

ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan 

hal itu. Segera penulis dimaki­maki oleh mereka yang tidak me­

ngerti maksud penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Mak­

mun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan) 

yang mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang 

bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu, 

menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat 

pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat 

adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan 

disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab 

al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan 

salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan pe­

rubahan salam sebagai ungkapan, baik saat  orang bertemu de­

ngan seorang muslim yang lain maupun dengan non­muslim. Di 

lingkungan Universitas Al­Azhar di Kairo misalnya, para syaikh/

kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenal­

an“ ini , umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi 

yang cerah (shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita 

itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan 

tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat 

dari kekurangan pengetahuan itu.

eg

Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat be­

sar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis in­

gin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil Abshar­Abdalla 

adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan 

berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia 

percaya akan batas­batas kemerdekaan itu, karena bagaimana­

pun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Allah . Selama 

ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala sesuatu mus­

nah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS 

al­Qashash [28]:88), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid, 

maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat 

apa saja, namun  tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang 

Muslim yang menyatakan bahwa Ulil anti­Muslim, akan terkena 

sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan 

saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir (man kaf-

fara akhâhu musliman fahuwa kâfirun)."

ulIl dEnGan lIbERalIsmEnya


g 144 h

Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd1 (Averoes) 

yang membela habis­habisan kemerdekaan berpikir dalam Is­

lam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja 

oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan­

perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut 

paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba 

akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sangat 

lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang 

oleh paham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),” 

seperti dikemukakan oleh al­Jabiri. Ketiga sumber ini, diusung 

oleh al­Imam al­Ghazali2 dalam magnum opus (karya besar), 

“Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di pondok­

pondok pesantren dan perguruan­perguruan tinggi di seantero 

dunia Islam.

Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena 

ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam 

kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menya-

takan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini 

(al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS al­Maidah [5]:3) dan 

“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (ud-

khulû fî al-silmi kâffah)” (QS al­Baqarah [2]:208), maka seo­

lah­olah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang 

dimaksudkan kedua ayat ini  adalah terwujudnya prinsip­

prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian ten­

1 Nama lengkapnya adalah Abu al­Walid Muhammad bin Ahmad bin 

Muhammad, lahir di Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maghribi pada 

1198 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes. Dia adalah seorang doktor, 

ahli hukum, dan tokoh filsafat yang paling populer pada periode perkembang­

an filsafat Islam (700­1200). Di samping sebagai seorang yang paling otoritatif 

dalam fungsi sebagai komentator atas karya­karya filasuf Yunani Aristoteles, 

Ibnu Rushd juga seorang filosof Muslim yang paling menonjol dalam usaha 

mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa 

al-syarî`âh). Ibn Rushd menulis banyak buku antara lain Fashl al-Maqâl wa 

Taqrîr mâ baina al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, al-Kasyf `an Ma-

nahij al-Adillah, Tahafut al-Tahâfut, dan Bidâyat al-Mujtahid. 

2 Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin 

Ta’us Ahmad al-Thûsi al-Syâfi’î. Lahir pada 450 H/1058 M di Tabaran, satu 

dari dua buah kota kecil di Khurasan. Al­Ghazali termasuk ulama yang pe­

mikiran­pemikirannya sangat mewarnai dunia Islam. Beberapa karyanya an­

tara Tahâfut al-Falasifah, Kimiyyat al-Sa’âdah, Misykat al-Anwâr, dan Ihyâ` 

Ulûm al-Dîn. Buku­buku ini  hingga sekarang menjadi bacaan penting 

dalam kajian Islam.

g 145 h

tang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena 

pengetahuannya ini  ia berani menumbuhkan dan mengem­

bangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang 

diperlukannya. Dan orang­orang lain itu marah kepadanya, ka­

rena mereka tidak menguasai penafsiran istilah ini . Berpu­

lang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Ab­

dalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam. 

Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak menge­

tahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja 

ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri 

Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, me­

ngapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham ini ? 

Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spek­

trum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewar­

nai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia 

ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah mere­

ka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan 

itu baik sendiri­sendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja 

menjadi motif yang diambil Ulil Abshar­Abdalla ini .

Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami 

Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita 

akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasan­gagasannya 

di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pe­

mikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tan­

tangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita 

masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapat­pendapat 

terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa 

lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaan­per­

bedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pan­

dangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat 

(ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”

Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil 

“berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan kepada 

dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau 

sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari 

proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan 

pemikiran demi pemikiran dari orang­orang seperti Ulil. Pada­

hal pemikiran­pemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang 

dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita ha­

rus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada ra­

ulIl dEnGan lIbERalIsmEnya


g 146 h

dikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandang­

an inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia 

Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita 

harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses moderni­

sasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham 

“serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Is­

lam. Pilihan yang kelihatannya mudah namun  sulit di lakukan, 

bukan? h

g 147 h

Dalam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerin­

tah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh 

Merdeka (GAM)1 menunjukkan tidak mau berunding 

dengan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai mu­

suh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menyatakan, 

Polri akan menambah personil di kawasan itu guna menghadapi 

setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan fisik yang 

akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergantian, 

umumnya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan pertan­

da ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembali­

nya penyelesaian konflik di Aceh ke arena perjuangan bersenjata 

melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan ini , jelas tidak 

hanya menyangkut pemerintah saja, melainkan seluruh bangsa.

Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu kon­

sekuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini 

berarti memaksa kelompok­kelompok GAM yang moderat un­

tuk bergabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras). 

Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak 

1  Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang di­

anggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang 

secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan 

Republik Indonesia. Konflik antara kedua pihak yang diakibatkan perbedaan 

keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya 

hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Su-

matra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro 

yang sekarang menjadi warga negara dan bermukim di Swedia. Pada 27 Februa­

ri 2005, pihak GAM dan pemerintah Indonesia memulai tahap perundingan di 

Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan seba­

gai fasilitator.

aceh, kekerasan dan 

Rasa kebangsaan


g 148 h

kekerasan yang mau tidak mau akan mengorbankan nyawa ba­

nyak orang yang tidak bersalah, seperti kembalinya Daerah Ope­

rasi Militer (DOM)2 di Tanah Rencong. Kalau DOM I saja sudah 

mengorbankan lebih dari 9.900 nyawa yang tidak bersalah, ke­

mungkinan besar hal seperti itu akan terulang kembali. Dalam 

keadaan demikian, salahkah jika rakyat kawasan Nangroe Aceh 

Darussalam (NAD)3 lalu beranggapan: Apa gunanya berada di 

lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI)?

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dua hal akan men­

jadi akibat dari ucapan­ucapan para pejabat pemerintah kita 

mengenai Aceh. Pertama, membuat kelompok­kelompok akomo­

datif di kalangan GAM tidak dapat bersikap lain kecuali meng­

ikuti kebijakan keras dari kelompok­kelompok ekstrim di dalam 

GAM sendiri. Kedua, jika hal itu terjadi, akan ada akibat poli­

tis yang harus kita hindari yaitu memisahnya NAD dari NKRI. 

Ini tentu bukan kehendak  kita, karena pada pasca perang ke­

merdekaan saja, para pemimpin berbagai gerakan Islam menye­

tujui dihapusnya Piagam Jakarta, dari UUD 1945 demi menjaga 

kelangsungan negara dan kesatuan bangsa kita. Relakah kita jika 

keuAllah  dan kesatuan bangsa dan negara yang dihasilkan tang­

gal 17 Agustus 1945 tercabik­cabik, karena adanya kebijakan kita 

yang selalu gegabah dalam masalah NAD?

Tentu saja kita tidak hanya ingin hal itu terjadi, apalagi 

hanya karena ucapan­ucapan tidak berarti dari para pejabat pe­

merintah sendiri. Ribuan warga telah memberikan nyawa dan 

harta benda mereka, masih banyak para pejuang yang menang­

gung cacat sebagai akibat perjuangan mempertahankan kemer­

dekaan dan kedaulatan, sebagai sebuah entitas negara dan 

bangsa. Tentu saja kita menjadi tidak akan rela adanya berbagai 

tuntutan separatisme seperti itu. Karenanya, melalui tulisan ini, 

penulis mengajukan sanggahan terhadap ucapan­ucapan seperti 

2 Kebijakan DOM memporak­porandakan seluruh pranata sosial yang 

mendukung kehidupan kultural dan ekonomi rakyat. Secara sistematis terjadi 

pelanggaran HAM sangat berat yang memenuhi syarat untuk di katakan seba­

gai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).

3 Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat 

provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat 

di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara, 

Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra 

Utara di sebelah tenggara dan selatan

g 149 h

itu, yang mengganggu keselamatan dan keuAllah  kita sebagai 

bangsa dan negara. 

Siapa pun yang mengeluarkan pernyataan, dari rakyat je­

lata di tingkat yang paling rendah hingga pejabat pemerintah 

pusat, semua harus berhati­hati dalam menanggapi langkah­

langkah yang diambil oleh kelompok­kelompok ekstrim di ling­

kungan GAM itu sendiri. Tidak semua hal dapat dipecahkan me­

lalui langkah­langkah yang gegabah dan terburu­buru. Karena 

itu diperlukan daya tahan sangat besar untuk berunding dalam 

jangka panjang, guna menyelamatkan teritorial negara kita. Ini 

yang penulis lakukan semasa menjadi presiden dengan berper­

gian ke sana ke mari ke luar negeri, menjaga agar dunia interna­

sional mengakui keuAllah  teritorial kita. Tidak rela rasanya jika 

langkah penulis itu dianggap sebagai lelucon saja, dan kemudian 

saat ini keuAllah  teritorial itu terganggu karena ucapan­ucapan 

sangat negatif dari dalam negeri sendiri.

eg

Para pejabat pemerintah yang mengeluarkan ucapan­ucap­

an di atas, jelas tidak mengikuti perintah agama untuk bersabar 

dan memaafkan, dari apa yang kita anggap sebagai kesalahan­

kesalahan mereka. Apalah artinya mengeluarkan biaya sangat 

besar dalam RAPBN untuk menerjemahkan kitab suci al-Qurân 

dalam bahasa nasional kita, kalau kemudian para pejabat peme­

rintah kita sendiri tidak mau memahaminya? Kearifan sikap jus­

tru sangat diperlukan, dan hanya didapat kalau kita sendiri mau 

mengerti dan mengambil pelajaran, antara lain dari kitab suci 

kita sendiri.

Puluhan ayat kitab suci al-Qurân meminta kaum muslimin 

untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai persoalan. 

Yang paling sederhana adalah firman Allah: “Bersabarlah terha-

dap apa yang menimpa kamu (washbir ’alâ mâ ashâbak)” (QS. 

Luqman [31]:17), dan ungkapan “Maka bersabarlah kamu de­

ngan sabar yang baik (fashbir shabran jamîla)” (QS. al-Ma’ârij 

[70]:5), menunjukkan kepada kita betapa kuatnya kedudukan 

sikap bersabar itu dalam pandangan Islam. Terkadang orang ke­

hilangan kesabaran, dan menjadi teroris seperti orang yang me­

ledakkan bom di Bali.

Karenanya kita himbau sekali lagi bagi orang­orang yang 

acEH, kEkERasan dan Rasa kEbanGsaan


g 150 h

mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saat­saat serba 

sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi 

marah. namun  bukankah justru sikap mudah marah itu yang 

dikehendaki golongan ekstrim di negeri kita, dari mana pun ia 

berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saat­

saat seperti ini. Dengan sendirinya ucapan­ucapan yang menun­

jukkan hilangnya kesabaran harus dihindari. h

g 151 h

Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Feb­

ruari 2003, penulis mendengar siaran sebuah radio 

swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah 

ras dan diskriminasi. Karena format siarannya dialog interaktif, 

maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui telepon me­

ngemukakan pendapat dan pernyataan berbeda­beda mengenai 

kedua hal itu. Ada yang menunjuk kepada keterangan etnografis, 

yang menyatakan orang­orang di Asia Tenggara, Jepang, Korea, 

Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan 

mempunyai penduduk asli dari ras Mongol (Mongoloid). Karena 

itu narasumber pada dialog itu, menolak perbedaan antara kaum 

asli dan kaum turunan di Indonesia. Menurutnya kita semua ber­

asal dari satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain. 

Maka pembagian kelompok asli dan keturunan di negeri kita ti­

dak dapat diterima dari sudut pemikirannya.

Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada 

yang melihat dari segi sejarah atau historis, bahwa orang yang 

mempunyai asal­usul sangat berbeda secara bersama­sama men­

dirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihi­

tung titik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Menurut pendapat 

ini, kalau menggunakan ukuran ini  kita tidak akan dapat 

membeda­bedakan warga negara Indonesia yang demikian be­

sar jumlahnya. Pendapat ini juga menolak pembedaan para war­

ga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena hal itu tidak 

berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini. 

Menurut pendapat ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan 

dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini berarti peno­

lakan atas teori perbedaan ini .

Ras dan diskriminasi 

di negara Ini


g 152 h

Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskri­

minasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi 

perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga 

dengan ras yang berbeda. Penulis bertanya­tanya akan hal itu, 

bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi 

di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh 

mengisi 15% kursi mahasiswa baru di sebuah Perguruan Tinggi 

Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh 

jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non 

pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kamil dan 

Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan seba­

liknya, soal adanya “kuota halus” di kalangan masyarakat ketu­

runan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager 

dari “orang­orang pribumi asli” dalam perusahaan­perusahaan 

besar milik mereka.

Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa 

lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal 

laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut 

kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut 

kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Jika 

dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan ang­

katan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari se­

buah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya 

(Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan 

laut kita pada era ini  adalah bagian dari sebuah angkatan 

laut Tiongkok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita 

ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar 

dan jaya.

eg

Sebelum masa ini, para warga negara keturunan Tionghoa 

harus mengganti namanya menjadi nama “pribumi”, tidak diper­

kenankan mendirikan sekolah­sekolah dan tidak diperbolehkan 

membuat surat kabar atau majalah umum berbahasa Mandarin. 

Terlebih parah lagi adalah mereka dilarang beragama Konghu­

cu1, karena keyakinan ini  diasumsikan  adalah sebuah fil­

1 Ajaran Konghucu atau Konfusianisme (juga: Kong Fu Tze atau Konfu-

sius) dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama 

g 153 h

safat hidup, bukannya agama. Sebagai akibat, kita memiliki peng­

usaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa. 

Padahal jelas sekali, dia bukan seorang muslim, atau pun bukan 

pula beragama Kristiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam 

kartu identitasnya.

Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak­

pihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat me­

nentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenar­

nya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN 

(Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika war­

ga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka 

para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang 

diizinkan negara. Inilah bahaya penafsiran oleh negara, padahal 

sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah 

pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya diba­

tasi pada pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah 

penu lis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin 

menutup Pondok Pesantren Al­Mukmin di Ngruki, Solo. Biar­

kan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan 

sebuah negara Islam di negara ini!

Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara pe­

ranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan 

kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru 

masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya 

dari orang­orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konghucu 

memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempur­

nakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang be­

liau sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran­ajar­

an kuno ini ”. Meskipun orang kadang mengira bahwa Konghucu adalah 

merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga 

etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh 

tentang Ru Jiao atau Agama Konghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam 

agama Konghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para 

penganutnya. Agama Konghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubung­

an antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao” dan bagaimana kita melaku­

kan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang 

disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”. Ajaran falsafah ini diasaskan 

oleh Konghucu yang dilahirkan pada tahun 551 SM. Seorang yang bijak sejak 

masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu­ilmu baru saat  berumur 

32 tahun. Konghucu banyak menulis buku­buku moral, sejarah, kesusasteraan 

dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal 

dunia pada tahun 479 SM.

Ras dan dIskRImInasI dI nEGaRa InI


g 154 h

agama ini  di negeri ini. Di sinilah terletak arti firman Allah  

dalam kitab suci al-Qurân: “Tak ada paksaan dalam beragama, 

(karena) benar­benar telah jelas mana yang benar dan mana 

yang palsu (lâ ikrâha fî ad-dîn qadtabayyana ar-rusydu min 

al-ghayyi)” (QS. Al­Baqarah [2]: 256). Jelas dalam ayat itu, tidak 

ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah 

peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan 

mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling meng­

hormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas 

dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.

Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi me­

mang ada di masa lampau, namun  sekarang harus dikikis habis. 

Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dan bangsa yang 

besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai 

kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam, wajar terja­

di dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah 

bangsa besar, seperti manusia Indonesia. Kitab suci al-Qurân 

menyebutkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah  dan se­

cara keseluruhan serta jangan terpecah­pecah dan saling berten­

tangan (wa’ tashimû bi habli Allah jamî’an wa lâ tafarraqû)” 

(QS. Ali Imran [3]:103). Ayat kitab suci ini  jelas membe­

dakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang 

nyata­nyata dilarang.

Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah 

Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti hari­hari besar 

agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasar­dasar 

perbedaan di antara kita, sambil menolak pertentangan dan 

keterpecahbelahan di antara komponen­komponen bangsa kita, 

jauh lebih berharga daripada hadiah materi. Apalagi, jika pene­

rima hadiah itu telah berlimpah­limpah secara materi, sedang­

kan pemberi hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya. 

Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskrimina­

si, namun  justru upaya mengikis habis tindakan itu memerlukan 

waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam ke­

hidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu 

sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyata­

an empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit 

dilaksanakan. h

g 155 h

Minggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis me­

resmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan 

yang dipimpin orang­orang eks Tapol (Tahanan Poli­

tik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orang­orang PKI 

(Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan. Mereka 

mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani 

(Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai organisasi 

perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa 

adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK 

Trimurti1, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis 

lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai 

sekarang pun masih mengalami tekanan­tekanan dan kehilang­

an segala­galanya. Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang 

dipenjarakan, karena dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin 

PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat me­

nyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak me­

miliki hak­hak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam 

pemilu. Rumah­rumah dan harta benda mereka yang dirampas. 

Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri 

mereka hingga saat ini. 

Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati2, 

mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru) 

yang memiliki cabang di mana­mana, walhasil gerakan mereka 

berskala nasional. Namun karena prikemanusiaan juga lah penu­

1 Soerastri Karma Trimurti begitu nama lengkapnya. Permpuan yang la­

hir pada 1912 ini adalah wartawan tiga zaman. Pernah mendapat penghargaan 

Bintang Mahaputera V yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno. 

2 Penulis buku menggemparkan dengan judul Aku Bangga Jadi Anak 

PKI, (Jakarta: Cipta Lestari, 2002).

keadilan dan Rekonsiliasi


g 156 h

lis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti hal­

nya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo, 

yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia). 

Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut memberikan 

cap pemberontak kepada (mantan) anggota DI/TII itu. 

Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, Karto­

suwiryo merekrut anggota dengan menggunakan nama DI/ TII, 

karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedir­

man, guna menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat, 

yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan 

RI) akibat Perjanjian Renville3 . Seorang pembaca menyanggah 

“catatan” penulis itu karena di matanya tidak mungkin Karto­

suwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman. Lebih 

pantas kalau ia adalah penasehat politik. Pembaca itu tidak tahu, 

bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis 

sendiri, KH. A. Wahid Hasyim. Karena itu simpati penulis kepa­

da anggota DI/ TII juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada 

mantan orang­orang PKI.

eg

Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik 

bersenjata