islam 5
ung HAM hanya akan terasa kosong
saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.
Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti AlMaududi,
seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian
pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan
hubungan antara Islam dan HAM. Bahkan, baginya hubungan
antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme
adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan
Allah Swt. Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan
Allah Swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimana
kah harus diterangkan adanya hubungan antara perkembangan
Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakantindakan
manusia? AlMaududi tidak mau menjawab pertanyaan ini, se
buah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang
digunakannya.
Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukung
nya adalah buatan Ali Jinnah dan Liaquat Ali Khan, yang kemu
dian melahirkan Pakistan, tiga kali berganti nama antara Repub
lik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti
campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan
negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindak
an Jenderal Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah me
Islam dan Hak asasi manusia
menangkan kepresidenan Pakistan melalui plebisit, bukannya
melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhantuduhannya,
bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, se
bagai orangorang yang korup dan hanya mementingkan diri
sendiri?
eg
Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifi-
kasi atas Deklarasi Universal HAM, yang dikumandangkan oleh
Perserikatan BangsaBangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam
deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama
adalah Hak Asasi Manusia. Padahal fiqh/hukum Islam sampai
hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari
agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (aposta-
sy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri
kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang ber
pindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah
dihukum mati. Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan
yang tidak akan ada jawabnya, karena jika hal itu terjadi meru
pakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan
kita.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa di hadapan kita
hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak Deklarasi Uni
versal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti
yang dilakukan alMaududi terhadap Nasionalisme atau justru
merubah diktum fiqh/hukum Islam itu sendiri. Sikap menolak,
hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak
kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada la
munan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini,
hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.
Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan
mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/hukum Islam, yang
secara formal sudah berabadabad diikuti. namun disinilah ter
letak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan ke
imanan kita hanya kepada Allah dan utusanNya sebagai sesuatu
yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa hukum muhkamat
lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu.
Apabila yang demikian itu juga dapat diubahubah maka hilang
lah keIslaman kita.
g 123 h
eg
Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak
sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi al-Qurân dan al-
Hadits (tradisi kenabian). Sekarang, perbudakan dan sejenisnya
tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara
tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum mus
limin. Praktekpraktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak
diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilaku
kan oleh kelompokkelompok muslimin yang kecil tanpa perlin
dungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam
itu akan hilang dengan sendirinya.
Nah, kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal
ini kepada mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini
merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab
tantangan masa kini dan masa depan. Firman Allah Swt dalam
kitab suci al-Qurân, “Semuanya akan binasa dan yang tetap ha-
nya Dzat Allah mu (Kullu man ‘alayha fânin. Wa yabqâ wajhu
rabbika)” (QS alRahman [55]: 2627) menunjukkan hal itu de
ngan jelas. Ketentuan ushûl fiqh (Islamic legal theory) “Hukum
agama sepenuhnya tergantung kepada sebabsebabnya, baik ada
ataupun tidak adanya hukum itu sendiri (al-hukmu yadûru ma’a
‘illatihi wujûdan wa ‘adaman)” jelas menunjuk kepada kemung
kinan perubahan diktum seperti ini.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan anti
sipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU
telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai
dengan prinsipprinsip yang digunakan”. Ambil contoh masalah
Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pemba
tasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah
semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang
semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan te
tap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diingin
kan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau men
jauhi obatobat yang dapat mengatur kelahiran. Jelaslah dengan
demikian, bahwa Islam memang menjadi agama di setiap masa
dan tempat (shalihun li kulli zamân wa makân). Indah bukan,
untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup? h
Islam dan Hak asasI manusIa
g 124 h
Dalam dialog dengan para mahasiswa di Samarinda akhir
Januari lalu, lagilagi keluar sebuah pertanyaan yang
di manamana penulis hadapi, terutama dari kalangan
anak muda. Seorang mahasiswa bertanya; mengapa penulis tak
mau menerima sesuatu yang dianggap sebagai pendirian Islam,
umpamanya saja mengenai kehadiran “negara Islam”? Nah, ja
waban atas pertanyaan itu, penulis kemukakan dalam tulisan ini
untuk dipikirkan bersama. Kalau ada argumentasi berbeda, di
harapkan disampaikan pada penulis. Bisa jadi itu akan merubah
pendirian penulis, atau malah sebaliknya. Ini penting dilakukan,
untuk semakin menajamkan argumentasi orang yang pro (me
nyetujui) atau kontra (menentang) terhadap sebuah gagasan
atau pendapat. Ini hal biasa dalam sebuah pertukaran pendapat
yang bebas dan terbuka, untuk mencapai kebenaran bagi sebuah
persoalan.
Kita memang belum terbiasa dengan hal seperti ini, kare
na sekian lama kita terpasung dalam menyampaikan pendapat.
Mengapa? Karena para penguasa otoriter memaksakan pendapat
dan memaksakan “kebenaran” miliknya sendiri. Karena kalau
pintu perdebatan dibuka, salahsalah akan ada argumentasi
yang menyangkal “kebenaran” yang dikemukakan rezim terse
but. Apalagi, kalau kontra argumentasi itu dikemukakan dalam
bentuk pertanyaan. Kalau tidak dapat menjawab, maka sang
penguasa itu akan kehilangan pendapat, sesuatu yang tidak di
inginkan. Bukankah filosof Yunani kuno, Plato, pernah menyata-
kan, sebuah pertanyaan berarti separuh kebenaran. Ketakutan
akan lemahnya argumentasi sendiri, menyebabkan seseorang
tidak memperkenankan adanya pertukaran argumentasi, yang
menjadi dasar sebuah perdebatan terbuka dan saling tukar penda
Penafsiran kembali
“kebenaran Relatif”
g 125 h
pat. Karenanya sejarah telah mencatat, seorang penguasa otoriter
tidak akan bersedia mengadakan dialog dan pertukaran pendapat.
Lain halnya dengan agama yang memiliki “kebenaran moral”,
yang tetap akan ada walaupun terjadi penyanggahan. Kitab suci
al-Qurân menyatakan; “Kalau para hamba-Ku bertanya tentang
diriKu, maka sesungguhnya Aku dekat (dengan mereka) meme
nuhi permintaan orang yang berdo’a jika (diajukan) kepada-Ku
(wa idzâ sa’alaka ‘ibâdî ‘annî fa-innî qarîbun ujîbu da’wata al-
dâ’i idzâ da’âni)” (QS alBaqarah [2]:186).
Prinsip di atas, perlu dikemukakan di sini, karena hanya
melalui dialog yang bebas dan terbuka, dapat dicapai kebenaran
akhir yang diikuti dan diterima orang yang berpikiran sehat dan
wajar. Inilah arti penting dari sikap jujur, untuk mempertahankan
kebenaran, berpikir, berpendapat dan menyatakan pendapat. Ini
pula yang merupakan ciri berlangsungnya kehidupan demokratis,
tidak seperti di beberapa negara tetangga kita. Mereka mengaju
kan klaim sebagai negara demokratis, namun dengan alasan ke
amanan internal, diberlakukan kekangan/hambatan psikologis
agar tidak menyatakan pendapat secara bebas. Dengan kata lain,
yang berlaku di tempattempat itu adalah demokrasi prosedural,
bukan demokrasi sesungguhnya. Kalau ditambahkan embel-em-
bel kata lain pada istilah demokrasi, seperti demokrasi rakyat
dan demokrasi Islam, maka pada akhirnya demokrasi itu sendiri
akan mati dan tidak muncul ke permukaan.
eg
Kembali pada pertanyaan mahasiswa di atas, mengapa ada
“ajaran Islam” yang ditolak? Penulis dapat menjawab bahwa ti
dak pernah menolak “ajaran Islam yang baku”, seperti tauhid
dan sebagainya. Namun, penulis hanya menyanggah pendapat
yang oleh banyak orang dianggap sebagai “ajaran tetap” dalam
agama Islam. Padahal, ajaran itu telah berubah melalui perubah
an zaman, dengan menggunakan cara tertentu. Di antara cara
tertentu itu, adalah penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh kaum
muslimin sendiri, atas sesuatu yang tadinya diterima sebagai ke
benaran tetap oleh mereka. “Kebenaran relatif” itu lalu berubah
dengan adanya penafsiran ulang itu.
Contoh yang dapat dikemukakan di sini, adalah penafsiran
ulang atas ucapan Rasulullah Saw: “Maka Aku (akan) membang
PEnaFsIRan kEmbalI “kEbEnaRan RElatIF”
g 126 h
gakan kalian (di hadapan) umatumat (lain) pada hari kiamat (fa
innî mubâhin bikum al-umam yauma al-qiyâmah).” Dalam pe
nafsiran lama, kaum muslimin mengartikan kebanggaan beliau
itu bertalian dengan jumlah (kuantitas) kaum muslimin, hingga
merekapun berbanyakbanyak anak. Tafsiran ulang yang baru,
yang didukung oleh kenyataan meluasnya program Keluarga
Berencana (KB) di kalangan kaum muslimin, minimal di negeri
ini, menunjuk pada arti lain dari apa yang dibanggakan itu: ke
banggaan akan mutu (kualitas) kaum muslimin sendiri. Dengan
demikian, Islam dapat berkembang sesuai dengan perubahan
tempat dan waktu (Shalihun li kulli zamânin wa makânin).
Dengan demikian, apa yang tadinya dianggap sebagai “ke
benaran” lalu dianggap oleh sebagaian kaum muslimin sendiri,
pada masa kini, sebagai “kebenaran relatif” yang perlu diberi
tafsiran baru. Contoh di atas adalah sebuah kenyataan empirik
yang tidak dapat dibantah oleh siapapun.
Sebuah tafsir ulang lain yang dapat dikemukakan di sini,
adalah melaksanakan sumpah setia saat berjanji; “Orangorang
yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan pra
setia (wa al-mûfûna bi ‘ahdihim idzâ ‘âahadû)” (QS alBaqarah
[2]:176), sebuah ungkapan firman Allah yang tadinya dianggap
janji secara umum saja. Tafsir ulang atas istilah ini , dapat
diartikan dengan pengertian baru “menjunjung ting gi profesio
nalisme”. Bukankah janji tertinggi dari seseorang, disampaikan
saat ia mengucapkan sumpah/prasetia jabatan? Bukankah
dengan demikian, berarti Islam sangat mengutamakan profe
sionalisme, dengan segala implikasinya?
eg
Jelaslah dari keterangan di atas, dengan tafsir ulang seperti
itu, “kebenaran relatif” Islam dapat ditegakkan secara pasti. De
ngan demikian, ada jalinan sangat halus antara keyakinan yang
terdapat dalam diri seorang muslim dan data empirik. Hal ini
telah terjadi dengan sendirinya, sebagai proses alami yang wajar,
dalam kehidupan masyarakat kaum muslimin. Ini dimungkinkan
oleh kenyataan yang terdapat dalam sejarah kaum muslim sendi
ri, seperti yang kita ketahui dari bacaan selama ini.
Ketentuan ushûl fiqh (teori hukum Islam) berbunyi; bah
wa hukum agama (qarâr al-hukmi) terbagi dalam dua jenis;
g 127 h
qath’iyah al-tsubût (ketentuan berdasarkan sumber tertulis atau
dalil naqli) dan dhanniyah al-tsubût (hukum tidak berdasar
kan sumber tertulis atau dalil aqli). Dengan demikian, sepan
jang dapat diterima oleh akal, maka sebuah hukum agama dapat
berlaku berdasarkan pandangan akal dan selama tidak berten
tangan dengan sumber-sumber tertulis al-Qurân dan al-Hadits.
Pembedaan ini dilakukan dalam teori hukum Islam karena tidak
semua hal lalu ada sumbersumber tertulisnya. Bagi kasuskasus
yang termasuk dalam kategori ini, maka dibuatlah jenis hukum
yang tidak berdasarkan pada sumbersumber tertulis. Termasuk
dalam hal ini, fatwa Syekh Yusuf alQaradhawi, bahwa bunga
bank yang tidak eksploitatif dan berguna bagi reproduksi barang
(termasuk dalam ongkos produksi), tidaklah dapat dianggap riba.
Masih banyak penafsiran lain tentang hal ini. Di sinilah sangat
terasa kegunaan sebuah adagium “perbedaan pendapat para pe
mimpin adalah rahmat bagi umat (ikhtilâf al-a’immah rahmatu
al-ummah).” Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang
hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.
Sekarang, bila sebuah hukum agama sudah ada dalam sum
ber tertulis al-Qurân dan al-Hadits (qath’iyah al-tsubût), semen
tara keadaan membutuhkan penafsiran baru. Lalu ,apakah yang
harus diterapkan dalam hal seperti itu? Dalam hal ini, kita meng
gunakan sebuah kaidah hukum Islam (qaidah al-fiqh), bahwa
keadaan tertentu dapat memaksakan sebuah larangan untuk di
laksanakan (al-dharûratu tubîhu al-mahdhûrât).1 Hal ini, um
pamanya saja, terlihat pada kasus negara yang sudah meratifi
kasi Deklarasi Universal tentang HakHak Asasi Manusia (HAM)
—(Universal Declaration of Human Rights) yang ditetapkan
PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Dalam Deklarasi HAM itu
terdapat masalah hak memeluk atau berpindah agama. Ini tentu
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam, sebab menurut
hukum agama (fiqh) orang yang berpindah agama Islam kepada
agama lain, harus dianggap sebagai apostacy (murtad). Kalau
hukum ini dilaksanakan, maka lebih dari 25 juta jiwa penduduk
Indonesia –yang berpindah dari agama Islam ke agama lain
dalam lingkungan negara Republik Indonesia, dapat dijatuhi hu
kuman mati . h
1 Lihat Suyuti, Al-Asybah wa an-Nadla’ir fi al-Furu’, hal. 60
PEnaFsIRan kEmbalI “kEbEnaRan RElatIF”
g 128 h
Sejumlah pemimpin partaipartai politik Islam, beberapa
tahun yang lalu, menyatakan bahwa kepemimpinan wanita
tidak tepat dalam pandangan agama. Dasar anggapan itu
adalah ungkapan al-Qurân “Lelaki lebih tegak atas wanita (al-ri-
jâlu qawwâmûna ‘alâ al-nisâ)” (QS AlNisa [4]:34), yang dapat
diartikan menjadi dua macam. Pertama, lelaki bertanggung ja
ab fisik atas keselamatan wanita; dan kedua, lelaki lebih pan
tas menjadi pemimpin negara. Ternyata para pemimpin partai
politik Islam di atas memilih pendapat kedua itu, terbukti dari
ucapan mereka di muka umum. Anggapan bahwa wanita lebih
lemah, yang menjadi pendapat dunia Islam pada umumnya se
lama ini, dalam kenyataan justru menunjukkan sebaliknya.
Untuk melanjutkan anggapan ini digunakan beberapa sum
ber tekstual (‘adillah naqliyah). Seperti ungkapan “Wanita hanya
mempunyai separuh akal lelaki”, dan sumbersumber sejenis.
Bahkan sebuah kutipan dari kitab suci al-Qurân dipakai dalam
hal ini, yaitu “Bagian pria (dalam masalah warisan) adalah dua
kali bagian wanita (Li al-dzakari mistlu hazzi al-untsayain)”
(QS alNisa [4]:11). Padahal kutipan itu hanya mengenai ma
salah warismewaris saja. Karena itu, dua pandangan di atas,
yang selalu menilai rendah wanita, masih umum dipakai orang
dalam dunia Islam.
Dalam tulisan ini, penulis ingin meluruskan hal itu agar
hak lelaki dan hak wanita menjadi semakin berimbang karena
memang Islam menilai seperti itu. Firman Allah Swt dalam al
Islam dan kepemimpinan Wanita
g 129 h
Qurân. “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan
perempuan (Innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsa),” (QS
alHujurat [49]:13) mengisyaratkan persamaan seperti itu. Per
bedaan pria dan wanita hanyalah bersifat biologis, tidak bersifat
institusional/kelembagaan sebagaimana disangkakan banyak
orang dalam literatur Islam klasik. Akibatnya, masyarakat pun
menjadi terpengaruh, termasuk kaum wanitanya sendiri.
Sewaktu masih menjadi Ketua Umum PBNU, penulis per
nah didatangi seorang ulama Pakistan, sewaktu Benazir Bhutto
masih menjadi orang pertama dalam pemerintahan negeri terse
but. Ia meminta agar penulis membacakan surat AlFatihah bagi
bangsa Pakistan, agar mereka terhindar dari malapetaka. Kata
nya: "Bukankah Rasulullah Saw bersabda Tidak akan pernah suk
ses sebuah kaum yang menyerahkan kepemimpinannya kepada
wanita?1" Bukankah dengan naiknya Benazir Bhutto menjadi
1 Jumhur ulama memahami hadis kepemimpinan politik perempuan
secara tekstual dan apa adanya. Mereka berpendapat, berdasarkan petunjuk
hadis ini , pengangkatan perempuan menjadi kepala negara, hakim peng
adilan dan berbagai jabatan politis lainnya, dilarang dalam agama. Mereka me
nyatakan bahwa perempuan menurut petunjuk syara’ hanya diberi tanggung
jawab untuk menjaga harta suaminya. Oleh karenanya, alKhattabi misalnya,
mengatakan bahwa seorang perempuan tidak sah menjadi khalifah. Lihat al
Asqalani, Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari, Juz. VIII, hal. 128. Demikian
pula alSyaukani dalam menafsirkan hadis ini berkata, bahwa perempuan
itu tidak termasuk ahli dalam hal kepemimpinan, sehingga tidak boleh men
jadi kepala negara. (Muhammad ibn ‘Ali ibn Muhammad alSyaukani, Nail al-
Autar, Mesir: Mustafa alBabi alHalabi, t.t., Juz. VII, hal. 298). Para ulama
lainnya seperti Ibn Hazm, alGhazali, Kamal ibn Abi Syarif dan Kamal ibn Abi
Hammam, meskipun dengan alasan yang berbeda juga mensyaratkan lakilaki
sebagai kepala negara (Muhammad Yusuf Musa, Nizam al-Hukm fi al-Islam).
Bahkan Sayyid Sabiq mensinyalir kesepakatan ulama (fuqaha) mengenai
syarat lakilaki ini bagi kepala negara sebagai mana syarat bagi seorang qadi,
karena didasarkan pada hadis seperti ini sebelumnya. (Sayyid Sabiq, Fiqh
al-Sunnah, Jilid. III, hal. 315).
Dalam memahami dan mengkaji hadis mutlak diperlukan informasi
yang memadai mengenai latar belakang kejadiannya (sisi historis) yang me
lingkupi teks ini . Sebenarnya jauh sebelum hadis ini muncul, yakni
pada masa awal dakwah Islam dilakukan oleh Nabi ke beberapa daerah dan
negeri. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW pernah mengirim surat kepada
pembesar negeri lain dengan maksud mengajak mereka untuk memeluk Islam.
Di antara pembesar yang dikirimi surat oleh Nabi adalah Raja Kisra di Persia.
Kisah pengiriman surat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Rasulullah Muhammad SAWtelah mengutus ‘Abdullah ibn Hudaifah
untuk mengirimkan surat ini kepada pembesar Bahrain. Setelah tugas di
Islam dan kEPEmImPInan WanIta
g 130 h
Perdana Menteri, nasib Pakistan akan seperti yang disampaikan
Rasulullah itu?’’ Penulis menjawab, bahwa dalam hal ini diper
lukan penafsiran baru sesuai dengan perubahan yang terjadi?
Bukankah Nabi Muhammad Saw menunjuk kepada kepemimpin
an Abad VII hingga IX Masehi di Jazirah Arab? Kepemimpinan
suku atau kaum, waktu itu memang berbentuk perseorangan (in-
dividual leadership), sedangkan sekarang kepemimpinan negara
justru dilembagakan?
Benazir Bhutto harus mengambil keputusan melalui si
lakukan sesuai dengan pesan dan diterima oleh pembesar Bahrain, kemudian
pembesar Bahrain ini memberikan surat kepada Kisra. Setelah membaca
surat dari Nabi Muhammad SAW, Kisra menolak dan bahkan merobekrobek
surat Nabi Muhammad SAW. Menurut riwayat bin alMusayyab —setelah
peristiwa ini sampai kepada Rasulullah SAW— kemudian Rasulullah ber
sabda: “Siapa saja yang telah merobekrobek surat saya, akan dirobekrobek
(diri dan kerajaan) orang itu” (alAsqalani. Fath al-Bari, hal. 127128). Tidak
lama kemudian, Kerajaan Persia dilanda kekacauan dan berbagai pembunuhan
yang dilakukan oleh keluarga dekat raja. Hingga setelah terjadi bunuhmem
bunuh dalam rangka suksesi kepemimpinan, diangkatlah seorang perempuan
yang bernama Buwaran binti Syairawaih bin Kisra (cucu Kisra yang pernah
dikirimi surat Nabi) sebagai ratu (Kisra) di Persia. Hal ini karena ayah
Buwaran meninggal dunia dan anak lakilakinya (saudara Buwaran) telah mati
terbunuh. Karenanya, Buwaran kemudian dinobatkan menjadi ratu. Peristiwa
ini terekam dalam sejarah terjadi pada tahun 9 H. (lihat juga: Abu Falah
‘Abd al-Hayy bin al-’Imad al-Hanbali, Syazarat al-Zahab Fi Akhbar man Za-
hab, Beirut: Dar alFikr, 1979, Jilid. I, hal. 13).
Selain itu, dari sisi sejarah sosial bangsa ini dapat diungkap bahwa
menurut tradisi masyarakat yang berlangsung di Persia masa itu, jabatan ke
pala negara (raja) biasanya dipegang oleh kaum lakilaki. Sedang yang terjadi
pada tahun 9 H. ini menyalahi tradisi itu, sebab yang diangkat sebagai
raja adalah seorang perempuan. Pada waktu itu, derajat kaum perempuan di
mata masyarakat berada di bawah derajat kaum lelaki. Perempuan sama sekali
tidak dipercaya untuk ikut serta mengurus kepentingan masyarakat umum,
terlebih lagi dalam masalah kenegaraan. Keadaan seperti ini tidak hanya ter
jadi di Persia saja, namun juga di seluruh Jazirah Arab. Dalam kondisi kerajaan
Persia dan keadaan sosial seperti itulah, wajar Nabi Muhammad SAW yang
memiliki kearifan tinggi, melontarkan hadis bahwa bangsa yang menyerahkan
masalahmasalah (kenegaraan dan kemasyarakatan) kepada perempuan tidak
akan sejahtera/sukses. Bagaimana mungkin akan sukses jika orang yang me
mimpin itu adalah orang yang sama sekali tidak dihargai oleh masyarakat yang
dipimpinnya? Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
adalah kewibawaan, sedang perempuan pada saat itu sama sekali tidak me
miliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Andaikata seorang perempuan
telah memiliki kualifikasi dan sangat dihormati oleh masyarakat, sangat mung
kin Nabi yang sangat bijaksana akan menyatakan kebolehan kepemimpinan
politik perempuan.
g 131 h
dang kabinet, dengan para menteri yang mayoritasnya pria. Dan,
kabinet tidak boleh menyimpang dari kebijakan parlemen, juga
mayoritas anggotanya adalah pria. Hingga, parlemen pun tidak
boleh menyimpang dari UndangUndang Dasar, dengan penja
gaan dan pengawalan dari Mahkamah Agung yang seluruhnya
beranggotakan kaum pria. Kata tamu Pakistan ini : "Anda
benar, namun saya minta Anda tetap membacakan surat AlFati
hah untuk keselamatan bangsa Pakistan."
Apa yang digambarkan di atas menunjuk kepada suatu hal:
sulitnya mengubah sebuah pandangan yang telah berabadabad
lamanya diikuti orang. Dalam hal ini, antara pandangan agama
Islam di mata orangorang itu, dalam kenyataan berlawanan de
ngan apa yang dirumuskan oleh UUD. Seolaholah terjadi per
benturan antara agama dan negara. Padahal, dalam kenyataan,
ribuan anakanak perempuan ulama muslimin justru menjadi
sarjana S1 hingga S3, karena UUD memungkinkan hal itu. Bukan
kah persamaan hak antara pria dan wanita dijamin oleh UUD
kita, termasuk dalam pendidikan?
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat I Su
matra Barat, mengeluarkan peraturan daerah yang melarang
warga masyarakat dari jenis wanita untuk keluar rumah tanpa
mahram (suami atau sanak keluarga yang tidak boleh dikawini
nya), setelah pukul 09.00 malam. Bukankah ini jelas melanggar
UUD, yang menyamakan kedudukan antara pria dan wanita di
muka undangundang? Karenanya, sidang kabinet saat penu
lis menjadi Presiden telah memutuskan: Tidak diperkenankan
adanya peraturan daerah atau produkproduk lain hasil DPRD I
atau DPRD II, yang berlawanan dengan UndangUndang Dasar.
Dalam hal ini, yang memiliki wewenang untuk menyatakan,
apakah sebuah produk DPRD ini melanggar UUD atau ti
dak mestinya adalah Mahkamah Agung. Jika tidak sah, otomatis
produk itu tidak berlaku lagi.
Jelaslah, memperjuangkan hakhak wanita adalah peker
jaan yang masih berat di masa kini, hingga wajiblah kita bersikap
sabar dan bertindak hatihati dalam hal ini. namun , keadaan ini
pun, bukanlah hanya monopoli golongan Islam saja. Di Amerika
Serikat (AS) yang dianggap memelihara hakhak wanita dan pria
secara berimbang menurut UndangUndang Dasarnya, ternyata
dalam praktik tidak semudah yang diperkirakan. Belum pernah
dalam sejarah AS ada presiden wanita, walaupun UUDnya tidak
Islam dan kEPEmImPInan WanIta
g 132 h
pernah melarang akan hal itu. Di sini, ternyata terdapat kesenjang
an besar antara teori dan praktik dalam sebuah masyarakat paling
“maju” sekalipun. h
g 133 h
Charles Torrey dalam disertasi doktornya di Universitas
Heidelburg tahun 1880an, mengemukakan bahwa al
Qurân mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan
istilahistilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Dise
butkannya ayat; “Barang siapa memberikan pinjaman yang baik
pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda (man dzal
ladzi yuqridu Allâha qardlan hasanan fa yudhâ’ifahu)” (QS al:
Baqarah (2): 245), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit
melainkan pelaksanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah;
“Barang siapa menghendaki panenan yang baik di akhirat, akan
Kutambahi panenannya (man kâna yurîdu hartsa al-âkhirati
nazid lahu fî-hartsihi)” (QS al Syura [42]:20) –yang lagilagi
menggunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal ke
bajikan/amal sholeh.
Di sini, Torrey juga menggunakan sebuah ayat lain untuk
me nunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agamaagama
lain, tanpa menolak klaim kebenaran agamaagama ini .
“Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka
amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di
akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya
(wa man yabtaghi ghaira al-Islâm dînan falan yuqbala minhu
wa huwa fi al-âkhirati min al-khâsirîn)” (QS Ali Imran [3]:85).
Dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah keyakinan Islam
yang berbeda dengan keyakinan lainnya, dengan tidak menolak
kerjasama antar Islam dengan berbagai agama lainnya.
Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang ker
Islam dan dialog antar-agama
g 134 h
jasama antara Islam dan agamaagama lain, terutama dalam
halhal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Peneri
maan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat diwujud
kan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama.
Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebuAllah berlaku dalam
hal ini, seperti adagium ushul fiqh/teori legal hukum Islam;
“Sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwu
jud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula (Ma lâ yatim-
mu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun)”. Kerjasama tidak akan
terlaksana tanpa dialog, oleh karena itu dialog antar agama juga
menjadi kewajiban.
eg
Kitab suci al-Qurân juga menyatakan: “Sesungguhnya te-
lah Kuciptakan kalian sebagai lakilaki dan perempuan, dan
Kujadikan kalian berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa
agar kalian saling mengenal (Innâ khalaqnâkum min dzakarin
wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila li ta’ârafû)” (QS
alHujurat [49]:13), menunjuk kepada perbedaan yang senantia
sa ada antara lakilaki dan perempuan serta antar berbagai bang
sa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan merupakan
sebuah hal yang diakui Islam, sedangkan yang dilarang adalah
perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).
Tentu saja, adanya berbagai keyakinan itu tidak perlu
dipersamakan secara total, karena masingmasing memiliki ke
percayaan/aqidah yang dianggap benar. Demikian pula keduduk
an penafsiranpenafsiran aqidah/keyakinan itu. Umat Katholik
sendiri memegang prinsip itu. Seperti dalam Konsili Vatikan II
yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965,
menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta meng
hormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin
bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran agama mereka.
Jadi, keyakinan masingmasing tidak perlu diperbandingkan
atau dipertentangkan.
Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa kerjasama an
tara berbagai sistem keyakinan itu sangat dibutuhkan dalam
menangani kehidupan masyarakat, karena masingmasing me
miliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan
kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya
g 135 h
berbedabeda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan an
tar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut, namun
hanya pada tingkat capaian materi. Karena ukuran capaian ma
teri menggunakan buktibukti kuantitatif, seperti tingkat peng
hasilan ratarata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan
–misalnya, telpon atau kendaraan perkeluarga.Sedangkan yang
tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik
dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.
eg
Yang dikemukakan di atas adalah persamaanpersamaan
yang dapat dicapai antara berbagai agama. Lalu, bagaimana hal
nya dengan ayat al-Qurân, seperti; “Dan orang-orang Yahudi
dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti
kebenaran/aqidah mereka (Wa lan tardhâ ‘anka al-yahûdu
wa la al-nashârâ hattâ tattabi’a millatahum)” (QS alBaqarah
[2]:120). Selama Nabi Muhamad Saw masih berkeyakinan; Tu
han adalah Allah, dan beliau sendiri adalah utusan Allah Swt,
selama itu pula orangorang Yahudi dan Kristen tidak dapat
menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah terse
but. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri. Selama
orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Allah dan orang
Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Allah , maka
selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua
agama ini . Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka.
Kalau kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajar
wajar saja, karena menyangkut penerimaan keyakinan/aqidah.
namun hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu
untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki
nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka
dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi terse
but dengan menggunakan ajaran masingmasing. h
Islam dan dIaloG antaR aGama
g 136 h
Tulisan ini merupakan sambutan yang disampaikan penu
lis atas datangnya Hari Raya Waisak 2547/2003. Semakin
hari semakin nyata, bahwa peranan umat Buddha sebagai
bagian dari bangsa Indonesia tampak semakin penting, teruta
ma karena mereka banyak yang bergerak di bidang ekonomi dan
dunia usaha. Dunia ini mengharuskan adanya orientasi
yang jelas sebagai umat agar tidak terjadi kehilangan arah secara
kolektif. Karena itulah, dalam jumlah penganut yang tidak ter
lalu besar, namun pengaruh umat Budha itu sendiri tambah hari
tampak semakin besar.
Jacob Oetama, pemimpin umum “Kompas” mengatakan
masa depan bangsa kita ditentukan oleh kemampuan memper
satukan diri antara dua golongan yang berperan besar dalam
hidup kita: kaum muslimin “mainstream” (mereka yang tidak
mendukung terorisme serta tidak menghendaki negara agama di
negeri kita) dan kaum pengusaha. Kaum pengusaha yang memi
liki demikian banyak sumbersumber dan kemampuan teknis,
siapa lagi kalau bukan pengusaha Tionghoa, yang umumnya ber
agama Budha dan Konghucu.
Orangorang Tionghoa, yang di negeri asal dianggap seba
gai perantau (Hoa-Kiauw), di negeri ini menggangap diri dan
diterima sebagai warga negara, dan memiliki hakhak yang sama
dengan para warga negara yang lain. Mengapa? Karena mereka
lahir di negeri ini dan menjadi warga negara, sehingga sepatutnya
mereka juga dikenal sebagai “penduduk asli” seperti yang lain
lain juga. Hanya karena peraturan kolonial yang tertulis sajalah
mereka dianggap sebagai “orang Asing Timur” (vremde oster-
lingen) yang hidup damai dengan penduduk Asli. Orangorang
umat Budha dan
kesadaran Berbangsa
g 137 h
seperti John Lie1 yang turut angkat senjata memperjuangkan
kemerdekaan kita, adalah bukti dari perjuangan mereka mem
pertahankan kemerdekaan dari serangan Belanda. Yang sangat
menyakitkan, mereka dianggap sebagai orang lain.
Tentu saja, menganggap mereka sebagai orang lain adalah
kesalahan besar yang harus kita koreksi. Kalaupun ada ikatan
dengan tanah leluhur, itu tidak lain hanya sesuatu yang bersifat
kultural dan historis belaka. Sama dengan orang Minahasa dan
orang Minangkabau menggunakan namanama barat, seperti
Frederick Waworontu dan Emil Salim, yang tidak menjadikan
mereka Barat.
Karena itulah, saya selalu melawan anggapan atau penye
butan umat Budha, yang sebagian besar dianut oleh suku Tiong
hoa di negeri ini, sebagai “warga keturunan”. Mereka adalah
orang Tionghoa sebagaimana halnya ada orang Papua, orang
Aceh, orang Sunda dan sebagainya. Juga menjadi kerja kita un
tuk memberi kerangka gerak yang memadai bagi umat Budha,
yang merupakan salah satu asset (kekayaan) bangsa kita. Pe
ngembangan asset ini haruslah dilakukan dengan kepala dingin,
sebagai bagian dari penataan kehidupan nasional secara keselu
ruhan dalam jangka panjang.
Kalau nilainilai yang diikuti golongan Islam seperti santri
ditentukan oleh Majelis Ulama Indonesia, orangorang Katho
lik oleh Konferensi Wali Gereja Indonesia dan umat Kristen Pro
testan oleh Persekutuan GerejaGereja Indonesia, orangorang
Konghucu oleh Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia,
maka umat Budha, dalam pandangan penulis, mengikuti dan
melaksanakan nilainilai agama yang dirumuskan oleh Konfe
rensi Agung Sangha Indonesia. Bukannya oleh pihak atau per
kumpulan orang awam. Merekalah yang harus tunduk kepada
perkumpulan para agamawan. Hal inilah yang harus kita sadari,
baik sebagai aparat pemerintah maupun sebagai warga masyara
kat. Selama hal ini belum terwujud dengan sempurna, maka ke
hidupan kita sebagai bangsa juga akan pincang. h
1 John Lie alias Jahya Daniel Dharma adalah perwira Angkatan Laut
RI keturunan Tionghoa. Dengan kapal kecil cepat bernama the Outlaw, ia ru
tin melakukan operasi menembus blokade Belanda dengan membawa hasil
bumi Indonesia ke Singapura untuk dibarter dengan senjata. Senjata yang di
perolehnya lalu diserahkan kepada pejabat RI yang ada di Sumatera sebagai
sarana perjuangan melawan Belanda.
umat buddHa dan kEsadaRan bERbanGsa
g 138 h
Idiosinkrasi adalah sifatsifat perorangan yang khusus ada
pada seseorang, yang membuat ia menjadi lain dari orang
kebanyakan. Dalam sejarah Islam, hal ini juga tampak se
cara jelas, walaupun ia juga ada di kalangan nonmuslim. Kalau
idiosinkrasi ada dalam diri penguasa muslim, maka ia akan di
maafkan, karena orang itu banyak jasanya dalam bidangbidang
lain untuk kepentingan bersama. Baik di masa kuno maupun di
masa sekarang, ataupun di masa yang akan datang, idiosinkrasi
itu akan tetap ada dan akan dibiarkan selama tidak merugikan
kepentingan orang banyak.
Seperti Sultan Agung Hanyakrakusuma, seorang pengua
sa yang dinilai berjasa sangat besar bagi kepentingan orang ba
nyak. Salah satu kelebihannya adalah kemampuannya dalam
membangun sistem birokrasi agraris untuk mencapai kemajuan
pertanian yang tidak pernah surut semasa hidupnya. Sebalik
nya, salah satu kekurangannya adalah ketidakmampuannya da
lam menggunakan kekuatan laut untuk kejayaan bangsa yang
dipimpinnya. Karena itu, kekuatan laut dari berbagai kota pe
labuhan dalam masa pemerintahan Mataram saat itu, merupa
kan saingan politik yang harus dihancurkan.
Salah satu idiosinkrasi yang dimiliki Sultan Agung Hanya
krakusuma adalah kegemarannya menyiksa para oposan politik
yang menentangnya. Terkenal sekali deskripsi bagaimana ia ber
cengkerama dengan para dayang di atas taman/gazebo di atas
air, dan para tahanan politik dibiarkan berkumpul di atas tanah
(seperti pulau kecil) yang ada di tengah kolam. Dan, pada saat
yang ditentukan, ia membiarkan para pengawal melepaskan be
berapa buaya yang merayap ke “pulau” itu dan memakan para
Islam dan
Idiosinkrasi Penguasa
g 139 h
tawanan politik yang tak bersenjata. Anehnya, ia tampak menik
mati bagaimana lawanlawan politiknya menjerit ketakutan se
belum dimangsa buayabuaya buas ini .
eg
Sultan Trenggono dari Demak, dalam abad sebelumnya,
sangat tertarik dengan seorang wanita cantik, yang kebetulan
menjadi istri muda Ki Pengging Sepuh, salah seorang pangli
manya. Suatu saat , Ki Pengging diperintahkan sang Sultan
untuk menyerbu daerahdaerah nonmuslim di Jawa Timur,
dan akhirnya ia pun gugur di daerah Pasuruan (Segarapura, Ke
mantren Jero, kini terletak di Kecamatan Rejoso). Maka, seiring
dengan kematian Ki Pengging Sepuh itu, segera setelah habis
masa iddah si perempuan muda dan cantik itupun diambil Sultan
Trenggono sebagai istri selir. Idiosinkrasi pemimpin Kesultanan
Demak ini menunjukkan, bahwa motif pribadi dapat saja
mendorong seorang penguasa untuk mengambil tindakan atas
nama agama, dalam hal ini “pengislaman daerah Pasuruan”.
Drama seperti itu menunjukkan bahwa kekuasaan yang
tidak dibatasi akan membuat seorang penguasa pada akhirnya
menjadi lalim dan mempersamakan kepentingan pribadi de
ngan kepentingan bangsa secara utuh. Hal ini juga mendera para
pemimpin seperti Mao Zedong (RRT) dan Kim Il Sung (Korea
Utara). Begitu lama mereka berkuasa, tanpa berani ada yang me
nentang secara terbuka, hingga memaksa orang banyak untuk
melawan dengan cara mereka sendiri.
Dengan demikian, masalah pokok yang kita hadapi adalah
bagaimana membatasi para pemegang kekuasaan, baik wak
tu maupun wewenangnya. Tanpa ada kepastian dalam hal itu,
maka demokrasi tidak akan pernah berdiri dalam negara yang
bersangkutan. Demokrasi bukanlah sekedar aturan permainan
kelembagaan yang berdasarkan formalitas belaka, melainkan
menciptakan tradisi demokrasi yang benarbenar hidup di ka
langan rakyat. Para penguasa yang demikian lama menguasai
pemerintahan, seperti yang terjadi di sebagian negara, jelasjelas
tidak demokratis walaupun mereka melaksanakan aturan kelem
bagaan yang ada. Tanpa mengembangkan tradisi demokrasi
dalam lembagalembaga yang bersangkutan, klaim sejumlah pe
mimpin bahwa di negara mereka sudah tercipta demokrasi, yaitu
Islam dan IdIosInkRasI PEnGuasa
g 140 h
dengan adanya pemilihan umum yang teratur, jelas merupakan
pelanggaran terhadap gagasan demokrasi itu sendiri.
eg
Hal itulah yang harus diingat saat seorang penguasa
menyatakan akan membangun demokrasi dalam konsep negara
Islam. Pendapat ini mengabaikan dua hal, di satu pihak
yaitu adanya idiosinkrasi para penguasa. Di pihak lain terjadi de
mokrasi sebagai formalitas saja. Keduanya merupakan sesuatu
yang harus dihilangkan dalam konsep ini . Dengan kata lain,
sebuah konsep tentang negara dalam Islam, tidak dapat hanya
terkait dengan idealisme kekuasaan itu sendiri, melainkan juga
terkait kepada mekanisme apa yang digunakan.
Kenyataan seperti itulah yang pada akhirnya memaksa
Kongres Amerika Serikat (AS) untuk membatasi kepresidenan di
negara itu hanya dalam masa dua term saja, pada paruh pertama
abad yang lalu.Pembatasan itu tadinya hanya bersifat tradisi,
yang diambil oleh Presiden Amerika Serikat semenjak George
Washington. Namun karena Franklin Delano Roosevelt (FDR)
terpilih kembali untuk keempat kalinya pada tahun 1944, wa
laupun secara efektif kekuasaan berada di tangan pembantunya
yaitu Harry Hopkins1, Kongres kemudian mengubah undangun
dang, dengan membatasi masa jabatan Presiden Amerika Serikat
hanya untuk dua kali empat tahun saja.2
Jelaslah dengan demikian, bahwa membuat konsep ten
tang sebuah negara demokratis bukanlah hal yang mudah. Apa
lagi jika hal itu dikaitkan dengan sebuah agama, seperti konsep
negara dalam Islam. Ini belum lagi diingat, bahwa para pemilih
senantiasa berkembang dalam pikiran dan perasaan —seperti
1 Walaupun tidak pernah secara resmi menjadi Wapres, namun Harry
Lloyd Hopkins yang juga arsitek kebangkitan ekonomi Amerika Serikat atau
New Deal, amat dipercaya FDR dalam menjalankan programprogram poli
tiknya.
2Konstitusi Amerika (1787) semula tidak membatasi masa jabatan Presi
den. Belajar dari masa kepresidenan Franklin D. Roosevelt (19331945) yang
menjabat lebih dari 3 kali masa jabatan, maka agar siklus kepemimpinan de
mokrasi tetap terpelihara, Kongres membatasi masa jabatan presiden melalui
Amandemen keXXII yang disetujui Kongres pada tanggal 12 Maret 1947, di
ratifikasi tanggal 26 Februari 1951.
g 141 h
yang terjadi di Republik Islam Iran saat ini. Dahulu para pemilih
di sana mendukung para Ayatullah konservatif, sekarang justru
mendukung para Ayatullah dan para pemimpin moderat, seperti
Presiden Khatami.
Ada keharusan menjawab pertanyaan yang belum juga di
laksanakan oleh Parlemen Iran hingga saat ini, yaitu membiar
kan orangorang yang tidak beragama Islam atau yang dianggap
demikian oleh Parlemen Iran, mencalonkan diri sebagai presi
den. Bukankah hal itu menunjukkan ketakutan bahwa orang
orang nonmuslim akan dapat menjadi presiden, dan bukankah
ketakutan seperti itu menunjukkan para legislator Iran memba
tasi demokrasi itu sendiri? Kalau kecenderungan moderatisme
di Iran berlangsung terus, hal ini akan menjadi tekanan terha
dap para anggota parlemen yang membuat undangundang ten
tang syaratsyarat pemilihan presiden agar tidak bertentangan
dengan demokrasi. h
Islam dan IdIosInkRasI PEnGuasa
g 142 h
Ulil AbsharAbdalla adalah seorang muda Nahdlatul Ula
ma (NU) yang berasal dari lingkungan “orang santri”.
Istrinya pun dari kalangan santri, yaitu putri budayawan
Muslim Mustofa Bisri, sehingga kredibilitasnya sebagai seorang
santri tidak pernah dipertanyakan orang. Mungkin juga cara
hidupnya masih bersifat santri. namun ada hal yang membeda
kan Ulil dari orangorang pesantren lainya, yaitu profesinya bu
kanlah profesi lingkungan pesantren. Rupanya hal itulah yang
akhirnya membuat ia dimakimaki sebagai seorang yang “meng
hina” Islam, sementara oleh banyak kalangan lain ia dianggap
“abangan”. Dan di lingkungan NU, cukup banyak yang memper
tanyakan jalan pikirannya yang memang dianggap “aneh” bagi
kalangan santri, baik dari pesantren maupun bukan.
Mengapa demikian? Karena ia berani mengemukakan libe
ralisme Islam, sebuah pandangan yang sama sekali baru dan me
miliki sejumlah implikasi sangat jauh. Salah satu implikasinya,
adalah anggapan bahwa Ulil akan mempertahankan “kemerdeka
an” berpikir seorang santri dengan demikian bebasnya, sehingga
meruntuhkan asasasas keyakinannya sendiri akan “kebenaran”
Islam. Padahal itu telah menjadi keyakinan yang baku dalam diri
setiap orang beragama Islam. Itulah sebabnya, mengapa demi
kian besar reaksi orang terhadap pemikirannya ini.
Reaksi seperti ini pernah terjadi saat penulis mengemu
kakan bahwa ucapan “Assalâmu’alaikum” dapat diganti dengan
ulil dengan liberalismenya
g 143 h
ucapan lain. Mereka menganggap penulis lah yang memutuskan
hal itu. Segera penulis dimakimaki oleh mereka yang tidak me
ngerti maksud penulis sebenarnya. Seperti KH. Syukron Mak
mun dari jalan Tulodong di Kebayoran Baru (Jakarta Selatan)
yang mengemukakan, bahwa penulis ingin merubah cara orang
bershalat. Penulis, demikian kata kyai yang dahulu kondang itu,
menghendaki orang menutup shalat dengan ucapan “selamat
pagi” dan “selamat sore”. Padahal penulis tahu definisi shalat
adalah sesuatu yang dimulai dengan “takbiratul al-ihram” dan
disudahi dengan ucapan “salam”. Jadi, menurut paham Mazhab
al-Syafi’i, penulis tidak akan semaunya sendiri menghilangkan
salam sebagai peribadatan, melainkan hanya mengemukakan pe
rubahan salam sebagai ungkapan, baik saat orang bertemu de
ngan seorang muslim yang lain maupun dengan nonmuslim. Di
lingkungan Universitas AlAzhar di Kairo misalnya, para syaikh/
kyai yang menjadi dosen juga sering merubah “tanda perkenal
an“ ini , umpamanya saja dengan ungkapan “selamat pagi
yang cerah (shabâh al-nûr).” Kurangnya pengetahuan kyai kita
itu, mengakibatkan beliau berburuk sangka kepada penulis. Dan
tentu reaksi terhadap pandangan Ulil sekarang, adalah akibat
dari kekurangan pengetahuan itu.
eg
Tidak heranlah jika reaksi orang menjadi sangat be
sar terhadap tokoh muda kita ini. Yang terpenting, penulis in
gin menekankan dalam tulisan ini, bahwa Ulil AbsharAbdalla
adalah seorang santri yang berpendapat, bahwa kemerdekaan
berpikir adalah sebuah keniscayaan dalam Islam. Tentu saja ia
percaya akan batasbatas kemerdekaan itu, karena bagaimana
pun tidak ada yang sempurna kecuali kehadirat Allah . Selama
ia percaya ayat dalam kitab suci al-Qur’ân: “Segala sesuatu mus
nah kecuali Dzat Allah (kullu syai’in halikun illa wajhah)” (QS
alQashash [28]:88), dan yakin akan kebenaran kalimat Tauhid,
maka ia adalah seorang Muslim. Orang lain boleh berpendapat
apa saja, namun tidak dapat mengubah kenyataan ini. Seorang
Muslim yang menyatakan bahwa Ulil antiMuslim, akan terkena
sabda Nabi Muhammad Saw: “Barang siapa yang mengkafirkan
saudara yang beragam Islam, justru ialah yang kafir (man kaf-
fara akhâhu musliman fahuwa kâfirun)."
ulIl dEnGan lIbERalIsmEnya
g 144 h
Ulil dalam hal ini bertindak seperti Ibnu Rusyd1 (Averoes)
yang membela habishabisan kemerdekaan berpikir dalam Is
lam. Sebagai akibat Averros juga di “kafir” kan orang, tentu saja
oleh mereka yang berpikiran sempit dan takut akan perubahan
perubahan. Dalam hal ini, memang spektrum antara pengikut
paham sumber tertulis “ahl al-naql”, dan penganut paham serba
akal “ahl al-aqli (kaum rasionalis)” dalam Islam memang sangat
lebar. Kedua pendekatan ini pun, sekarang sedang ditantang
oleh paham yang menerima “sumber intuisi (ahl al-dzauq),”
seperti dikemukakan oleh alJabiri. Ketiga sumber ini, diusung
oleh alImam alGhazali2 dalam magnum opus (karya besar),
“Ihyâ’ulûm al-dîn”, yang saat ini masih diajarkan di pondok
pondok pesantren dan perguruanperguruan tinggi di seantero
dunia Islam.
Jelaslah, dengan demikian “kesalahan” Ulil adalah karena
ia bersikap “menentang” anggapan salah yang sudah tertanam
kuat di benak kaum muslim. Bahwa kitab suci al-Qur’ân menya-
takan “Telah ku sempurnakan bagi kalian agama kalian hari ini
(al-yauma akmaltu lakum dînakum)” (QS alMaidah [5]:3) dan
“Masuklah ke dalam Islam/ kedamaian secara menyeluruh (ud-
khulû fî al-silmi kâffah)” (QS alBaqarah [2]:208), maka seo
laholah jalan telah tertutup untuk berpikir bebas. Padahal, yang
dimaksudkan kedua ayat ini adalah terwujudnya prinsip
prinsip kebenaran dalam agama Islam, bukannya perincian ten
1 Nama lengkapnya adalah Abu alWalid Muhammad bin Ahmad bin
Muhammad, lahir di Cordoba pada 520 H./1126 M. dan wafat di Maghribi pada
1198 M. Di Barat ia dikenal dengan nama Averroes. Dia adalah seorang doktor,
ahli hukum, dan tokoh filsafat yang paling populer pada periode perkembang
an filsafat Islam (7001200). Di samping sebagai seorang yang paling otoritatif
dalam fungsi sebagai komentator atas karyakarya filasuf Yunani Aristoteles,
Ibnu Rushd juga seorang filosof Muslim yang paling menonjol dalam usaha
mencari persesuaian antara filsafat dan syariat (al-ittishâl bain al-hikmah wa
al-syarî`âh). Ibn Rushd menulis banyak buku antara lain Fashl al-Maqâl wa
Taqrîr mâ baina al-Syarî’ah wa al-Hikmah min al-Ittishâl, al-Kasyf `an Ma-
nahij al-Adillah, Tahafut al-Tahâfut, dan Bidâyat al-Mujtahid.
2 Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin
Ta’us Ahmad al-Thûsi al-Syâfi’î. Lahir pada 450 H/1058 M di Tabaran, satu
dari dua buah kota kecil di Khurasan. AlGhazali termasuk ulama yang pe
mikiranpemikirannya sangat mewarnai dunia Islam. Beberapa karyanya an
tara Tahâfut al-Falasifah, Kimiyyat al-Sa’âdah, Misykat al-Anwâr, dan Ihyâ`
Ulûm al-Dîn. Bukubuku ini hingga sekarang menjadi bacaan penting
dalam kajian Islam.
g 145 h
tang kebenaran dalam Islam. Ulil mengetahui hal itu, dan karena
pengetahuannya ini ia berani menumbuhkan dan mengem
bangkan liberalisme (keterbukaan) dalam keyakinan agama yang
diperlukannya. Dan orangorang lain itu marah kepadanya, ka
rena mereka tidak menguasai penafsiran istilah ini . Berpu
lang kepada kita jualah untuk menilai tindakan Ulil Abshar Ab
dalla, yang mengembangkan paham liberalisme dalam Islam.
Lalu mengapa ia melakukan hal itu? Apakah ia tidak menge
tahui kemungkinan akan timbulnya reaksi seperti itu? Tentu saja
ia mengetahui kemungkinan itu, karena sebagai seorang santri
Ulil tentu paham “kebebasan” yang dinilai buruk itu. Lalu, me
ngapa ia tetap melakukan kerja menyebarkan paham ini ?
Tentu karena ia “terganggu” oleh kenyataan akan lebarnya spek
trum di atas. Karena ia khawatir pendapat “keras” akan mewar
nai jalan pikiran kaum Muslim pada umumnya. Mungkin juga, ia
ingin membuat para “Muslim pinggiran” merasa di rumah mere
ka sendiri (at home) dengan pemahaman mereka. Kedua alasan
itu baik sendirisendiri maupun secara bersamaan, mungkin saja
menjadi motif yang diambil Ulil AbsharAbdalla ini .
Kembali berpulang kepada kita semua, untuk memahami
Ulil dari sudut ini atau tidak. Jika dibenarkan, tentu saja kita
akan “membiarkan” Ulil mengemukakan gagasangagasannya
di masa depan. Disadari, hanya dengan cara “menemukan” pe
mikiran seperti itu, barulah Islam dapat berhadapan dengan tan
tangan sekularisme. Kalau demikian reaksi kita, tentu saja kita
masih mengharapkan Ulil mau melahirkan pendapatpendapat
terbuka dalam media khalayak. Bukankah para ulama di masa
lampau cukup bijaksana untuk memperkenalkan pebedaanper
bedaan pemikiran seperti itu? Adagium seperti “perbedaan pan
dangan di kalangan para pemimpin adalah rahmat bagi umat
(ikhtilâf al-a’immah rahmah al-ummah).”
Jika kita tidak menerima sikap untuk membiarkan Ulil
“berpikir” dalam media khalayak, maka kita dihadapkan kepada
dua pilihan yaitu “larangan terbatas” untuk berpikir bebas, atau
sama sekali menutup diri terhadap kontaminasi (penularan) dari
proses modernisasi. Sikap pertama, hanya akan melambatkan
pemikiran demi pemikiran dari orangorang seperti Ulil. Pada
hal pemikiranpemikiran ini, harus dimengerti oleh mereka yang
dianggap sebagai “orang luar”. Pendapat kedua, berarti kita ha
rus menutup diri, yang pada puncaknya dapat berwujud pada ra
ulIl dEnGan lIbERalIsmEnya
g 146 h
dikalisme yang bersandar pada tindak kekerasan. Dari pandang
an inilah lahirnya terorisme yang sekarang “menghantui” dunia
Islam. Kalau kita tidak ingin menjadi radikal, sudah tentu kita
harus dapat mengendalikan kecurigaan kita atas proses moderni
sasi, yang untuk sebagian berakibat kepada munculnya paham
“serba kekerasan”, yang saat ini sedang menghingapi dunia Is
lam. Pilihan yang kelihatannya mudah namun sulit di lakukan,
bukan? h
g 147 h
Dalam berbagai pernyataan, sejumlah pejabat pemerin
tah pekan lalu menyatakan, sikap pihak Gerakan Aceh
Merdeka (GAM)1 menunjukkan tidak mau berunding
dengan RI. Dengan demikian GAM harus dianggap sebagai mu
suh bersenjata dan harus diserang. Kapolri bahkan menyatakan,
Polri akan menambah personil di kawasan itu guna menghadapi
setiap kemungkinan. Bentuk-bentuk lain tindakan fisik yang
akan dilakukan terhadap GAM disuarakan secara bergantian,
umumnya oleh para pejabat tinggi kita. Ini merupakan pertan
da ketidaksabaran mereka untuk berunding dan akan kembali
nya penyelesaian konflik di Aceh ke arena perjuangan bersenjata
melawan GAM. Konsekuensi dari pandangan ini , jelas tidak
hanya menyangkut pemerintah saja, melainkan seluruh bangsa.
Kalau kita tidak berunding dengan GAM, sudah tentu kon
sekuensinya adalah kembali bertempur melawan mereka. Ini
berarti memaksa kelompokkelompok GAM yang moderat un
tuk bergabung dengan mereka yang ekstrim (bergaris keras).
Artinya, rakyat Aceh akan menyaksikan kembali berbagai tindak
1 Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang di
anggap separatis) yang memiliki tujuan supaya daerah Aceh atau yang sekarang
secara resmi disebut Nanggroe Aceh Darussalam lepas dari Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Konflik antara kedua pihak yang diakibatkan perbedaan
keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976 dan menyebabkan jatuhnya
hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Su-
matra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro
yang sekarang menjadi warga negara dan bermukim di Swedia. Pada 27 Februa
ri 2005, pihak GAM dan pemerintah Indonesia memulai tahap perundingan di
Vantaa, Finlandia. Mantan presiden Finlandia Martti Ahtisaari berperan seba
gai fasilitator.
aceh, kekerasan dan
Rasa kebangsaan
g 148 h
kekerasan yang mau tidak mau akan mengorbankan nyawa ba
nyak orang yang tidak bersalah, seperti kembalinya Daerah Ope
rasi Militer (DOM)2 di Tanah Rencong. Kalau DOM I saja sudah
mengorbankan lebih dari 9.900 nyawa yang tidak bersalah, ke
mungkinan besar hal seperti itu akan terulang kembali. Dalam
keadaan demikian, salahkah jika rakyat kawasan Nangroe Aceh
Darussalam (NAD)3 lalu beranggapan: Apa gunanya berada di
lingkungan Negara Kesatuan Republik Indonesai (NKRI)?
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dua hal akan men
jadi akibat dari ucapanucapan para pejabat pemerintah kita
mengenai Aceh. Pertama, membuat kelompokkelompok akomo
datif di kalangan GAM tidak dapat bersikap lain kecuali meng
ikuti kebijakan keras dari kelompokkelompok ekstrim di dalam
GAM sendiri. Kedua, jika hal itu terjadi, akan ada akibat poli
tis yang harus kita hindari yaitu memisahnya NAD dari NKRI.
Ini tentu bukan kehendak kita, karena pada pasca perang ke
merdekaan saja, para pemimpin berbagai gerakan Islam menye
tujui dihapusnya Piagam Jakarta, dari UUD 1945 demi menjaga
kelangsungan negara dan kesatuan bangsa kita. Relakah kita jika
keuAllah dan kesatuan bangsa dan negara yang dihasilkan tang
gal 17 Agustus 1945 tercabikcabik, karena adanya kebijakan kita
yang selalu gegabah dalam masalah NAD?
Tentu saja kita tidak hanya ingin hal itu terjadi, apalagi
hanya karena ucapanucapan tidak berarti dari para pejabat pe
merintah sendiri. Ribuan warga telah memberikan nyawa dan
harta benda mereka, masih banyak para pejuang yang menang
gung cacat sebagai akibat perjuangan mempertahankan kemer
dekaan dan kedaulatan, sebagai sebuah entitas negara dan
bangsa. Tentu saja kita menjadi tidak akan rela adanya berbagai
tuntutan separatisme seperti itu. Karenanya, melalui tulisan ini,
penulis mengajukan sanggahan terhadap ucapanucapan seperti
2 Kebijakan DOM memporakporandakan seluruh pranata sosial yang
mendukung kehidupan kultural dan ekonomi rakyat. Secara sistematis terjadi
pelanggaran HAM sangat berat yang memenuhi syarat untuk di katakan seba
gai kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity).
3 Nanggroe Aceh Darussalam adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat
provinsi yang terletak di Pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat
di Indonesia. Daerah ini berbatasan dengan Teluk Benggala di sebelah utara,
Samudra Hindia di sebelah barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatra
Utara di sebelah tenggara dan selatan
g 149 h
itu, yang mengganggu keselamatan dan keuAllah kita sebagai
bangsa dan negara.
Siapa pun yang mengeluarkan pernyataan, dari rakyat je
lata di tingkat yang paling rendah hingga pejabat pemerintah
pusat, semua harus berhatihati dalam menanggapi langkah
langkah yang diambil oleh kelompokkelompok ekstrim di ling
kungan GAM itu sendiri. Tidak semua hal dapat dipecahkan me
lalui langkahlangkah yang gegabah dan terburuburu. Karena
itu diperlukan daya tahan sangat besar untuk berunding dalam
jangka panjang, guna menyelamatkan teritorial negara kita. Ini
yang penulis lakukan semasa menjadi presiden dengan berper
gian ke sana ke mari ke luar negeri, menjaga agar dunia interna
sional mengakui keuAllah teritorial kita. Tidak rela rasanya jika
langkah penulis itu dianggap sebagai lelucon saja, dan kemudian
saat ini keuAllah teritorial itu terganggu karena ucapanucapan
sangat negatif dari dalam negeri sendiri.
eg
Para pejabat pemerintah yang mengeluarkan ucapanucap
an di atas, jelas tidak mengikuti perintah agama untuk bersabar
dan memaafkan, dari apa yang kita anggap sebagai kesalahan
kesalahan mereka. Apalah artinya mengeluarkan biaya sangat
besar dalam RAPBN untuk menerjemahkan kitab suci al-Qurân
dalam bahasa nasional kita, kalau kemudian para pejabat peme
rintah kita sendiri tidak mau memahaminya? Kearifan sikap jus
tru sangat diperlukan, dan hanya didapat kalau kita sendiri mau
mengerti dan mengambil pelajaran, antara lain dari kitab suci
kita sendiri.
Puluhan ayat kitab suci al-Qurân meminta kaum muslimin
untuk bersikap sabar dalam menghadapi berbagai persoalan.
Yang paling sederhana adalah firman Allah: “Bersabarlah terha-
dap apa yang menimpa kamu (washbir ’alâ mâ ashâbak)” (QS.
Luqman [31]:17), dan ungkapan “Maka bersabarlah kamu de
ngan sabar yang baik (fashbir shabran jamîla)” (QS. al-Ma’ârij
[70]:5), menunjukkan kepada kita betapa kuatnya kedudukan
sikap bersabar itu dalam pandangan Islam. Terkadang orang ke
hilangan kesabaran, dan menjadi teroris seperti orang yang me
ledakkan bom di Bali.
Karenanya kita himbau sekali lagi bagi orangorang yang
acEH, kEkERasan dan Rasa kEbanGsaan
g 150 h
mengemukakan “jalan kekerasan” di atas. Dalam saatsaat serba
sulit seperti sekarang ini, tentu mudah bagi kita untuk menjadi
marah. namun bukankah justru sikap mudah marah itu yang
dikehendaki golongan ekstrim di negeri kita, dari mana pun ia
berasal. Kedewasaan sikap kita justru harus ditunjukan di saat
saat seperti ini. Dengan sendirinya ucapanucapan yang menun
jukkan hilangnya kesabaran harus dihindari. h
g 151 h
Dalam perjalanan ke gedung TVRI saat subuh awal Feb
ruari 2003, penulis mendengar siaran sebuah radio
swasta Jakarta yang menyiarkan dialog tentang masalah
ras dan diskriminasi. Karena format siarannya dialog interaktif,
maka dapat dimengerti jika para pendengar melalui telepon me
ngemukakan pendapat dan pernyataan berbedabeda mengenai
kedua hal itu. Ada yang menunjuk kepada keterangan etnografis,
yang menyatakan orangorang di Asia Tenggara, Jepang, Korea,
Tiongkok, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan
mempunyai penduduk asli dari ras Mongol (Mongoloid). Karena
itu narasumber pada dialog itu, menolak perbedaan antara kaum
asli dan kaum turunan di Indonesia. Menurutnya kita semua ber
asal dari satu turunan dan tidak ada bedanya satu dari yang lain.
Maka pembagian kelompok asli dan keturunan di negeri kita ti
dak dapat diterima dari sudut pemikirannya.
Pendengar lain juga memiliki pandangan yang sama, ada
yang melihat dari segi sejarah atau historis, bahwa orang yang
mempunyai asalusul sangat berbeda secara bersamasama men
dirikan negara ini, dengan demikian dari masa itulah harus dihi
tung titik tolak eksistensi kita sebagai bangsa. Menurut pendapat
ini, kalau menggunakan ukuran ini kita tidak akan dapat
membedabedakan warga negara Indonesia yang demikian be
sar jumlahnya. Pendapat ini juga menolak pembedaan para war
ga negara kita menjadi asli dan keturunan, karena hal itu tidak
berasal dari kenyataan historis tentang pembentukan bangsa ini.
Menurut pendapat ini, perbedaan seperti itu terlalu dipaksakan
dan tidak sesuai dengan kenyataan empirik, ini berarti peno
lakan atas teori perbedaan ini .
Ras dan diskriminasi
di negara Ini
g 152 h
Seorang pendengar, bahkan menolak bahwa ada diskri
minasi golongan di negeri kita. Yang ada adalah diskriminasi
perorangan atau diskriminasi oknum yang terjadi pada warga
dengan ras yang berbeda. Penulis bertanyatanya akan hal itu,
bagaimana kita menjelaskan adanya semacam kuota yang terjadi
di negeri kita, seperti orang keturunan Tionghoa hanya boleh
mengisi 15% kursi mahasiswa baru di sebuah Perguruan Tinggi
Negeri? Juga, bagaimana menerangkan bahwa dalam seluruh
jajaran TNI, hanya ada dua orang Perwira Tinggi dari ras “non
pribumi”, yaitu Mayjen Purnawirawan TNI Iskandar Kamil dan
Brigjen Purnawirawan TNI Teddy Yusuf? Juga pertanyaan seba
liknya, soal adanya “kuota halus” di kalangan masyarakat ketu
runan Tionghoa sendiri, mengenai sangat langkanya manager
dari “orangorang pribumi asli” dalam perusahaanperusahaan
besar milik mereka.
Ada juga pendengar yang menyebutkan, bahwa di masa
lampau bendera Merah Putih berkibar diatas sejumlah kapal
laut milik Indonesia, yang menandakan kebesaran angkatan laut
kita pada masa itu. Dalam kenyataan, sebenarnya angkatan laut
kita waktu itu adalah bagian dari angkatan laut Tiongkok. Jika
dibandingkan dengan keadaan sekarang, seperti kekuatan ang
katan laut Australia dan Kanada, yang menjadi bagian dari se
buah dominion angkatan laut dari angkatan perang Inggris Raya
(Great Britain). Jadi sebagai angkatan laut dominion, angkatan
laut kita pada era ini adalah bagian dari sebuah angkatan
laut Tiongkok. Kenyataan sejarah ini harus kita akui, jika kita
ingin mendirikan/mengembangkan sebuah entitas yang besar
dan jaya.
eg
Sebelum masa ini, para warga negara keturunan Tionghoa
harus mengganti namanya menjadi nama “pribumi”, tidak diper
kenankan mendirikan sekolahsekolah dan tidak diperbolehkan
membuat surat kabar atau majalah umum berbahasa Mandarin.
Terlebih parah lagi adalah mereka dilarang beragama Konghu
cu1, karena keyakinan ini diasumsikan adalah sebuah fil
1 Ajaran Konghucu atau Konfusianisme (juga: Kong Fu Tze atau Konfu-
sius) dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti agama
g 153 h
safat hidup, bukannya agama. Sebagai akibat, kita memiliki peng
usaha bermata sipit yang bernama Mochammad Harun Musa.
Padahal jelas sekali, dia bukan seorang muslim, atau pun bukan
pula beragama Kristiani, melainkan ia “beragama” Budha dalam
kartu identitasnya.
Dalam hal keyakinan ini, kita berhadapan dengan pihak
pihak pejabat pemerintah yang beranggapan, negara dapat me
nentukan mana agama dan mana yang bukan. Mereka sebenar
nya memiliki motif lain, seperti dahulu sejumlah perwira BAKIN
(Badan Koordinasi Intelejen Negara) yang beranggapan jika war
ga “keturunan Tionghoa” dilarang beragama Khonghucu, maka
para warga negara itu akan masuk ke dalam agama “resmi” yang
diizinkan negara. Inilah bahaya penafsiran oleh negara, padahal
sebenarnya yang menentukan sesuatu agama atau bukan, adalah
pemeluknya sendiri. Karena itu, peranan negara sebaiknya diba
tasi pada pemberian bantuan belaka. Karena hal itu pula lah
penu lis menyanggah niatan Kapolda Jawa Tengah, yang ingin
menutup Pondok Pesantren AlMukmin di Ngruki, Solo. Biar
kan masyarakat yang menolak peranannya dalam pembentukan
sebuah negara Islam di negara ini!
Di sini harus jelas, mana yang menjadi batasan antara pe
ranan negara dan peranan masyarakat dalam menyelenggarakan
kehidupan beragama. Negara hanya bersifat membantu, justru
masyarakat yang harus berperan menentukan hidup matinya
dari orangorang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Konghucu
memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempur
nakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang be
liau sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaranajar
an kuno ini ”. Meskipun orang kadang mengira bahwa Konghucu adalah
merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga
etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh
tentang Ru Jiao atau Agama Konghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam
agama Konghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para
penganutnya. Agama Konghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubung
an antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao” dan bagaimana kita melaku
kan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang
disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”. Ajaran falsafah ini diasaskan
oleh Konghucu yang dilahirkan pada tahun 551 SM. Seorang yang bijak sejak
masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmuilmu baru saat berumur
32 tahun. Konghucu banyak menulis bukubuku moral, sejarah, kesusasteraan
dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Beliau meninggal
dunia pada tahun 479 SM.
Ras dan dIskRImInasI dI nEGaRa InI
g 154 h
agama ini di negeri ini. Di sinilah terletak arti firman Allah
dalam kitab suci al-Qurân: “Tak ada paksaan dalam beragama,
(karena) benarbenar telah jelas mana yang benar dan mana
yang palsu (lâ ikrâha fî ad-dîn qadtabayyana ar-rusydu min
al-ghayyi)” (QS. AlBaqarah [2]: 256). Jelas dalam ayat itu, tidak
ada peranan negara sama sekali melainkan yang ada hanyalah
peranan masyarakat yang menentukan mana yang benar dan
mana yang palsu. Jika semua agama itu bersikap saling meng
hormati, maka setiap agama berhak hidup di negeri ini, terlepas
dari senang atau tidaknya pejabat pemerintahan.
Sangat jelas dari uraian di atas, bahwa diskriminasi me
mang ada di masa lampau, namun sekarang harus dikikis habis.
Ini kalau kita ingin memiliki negara yang kuat dan bangsa yang
besar. Perbedaan di antara kita, justru harus dianggap sebagai
kekayaan bangsa. Berbeda, dalam pandangan Islam, wajar terja
di dalam kehidupan bermasyarakat. Apalagi pada tingkat sebuah
bangsa besar, seperti manusia Indonesia. Kitab suci al-Qurân
menyebutkan: “Berpeganglah kalian kepada tali Allah dan se
cara keseluruhan serta jangan terpecahpecah dan saling berten
tangan (wa’ tashimû bi habli Allah jamî’an wa lâ tafarraqû)”
(QS. Ali Imran [3]:103). Ayat kitab suci ini jelas membe
dakan perbedaan pendapat dengan pertentangan, yang memang
nyatanyata dilarang.
Walau telah lewat, tulisan ini dimaksudkan sebagai hadiah
Tahun Baru Imlek yang harus kita hargai, seperti harihari besar
agama yang lain. Tentu, hadiah berupa peletakkan dasardasar
perbedaan di antara kita, sambil menolak pertentangan dan
keterpecahbelahan di antara komponenkomponen bangsa kita,
jauh lebih berharga daripada hadiah materi. Apalagi, jika pene
rima hadiah itu telah berlimpahlimpah secara materi, sedang
kan pemberi hadiah itu justru secara relatif lebih tidak berpunya.
Memang mudah sekali mengatakan tidak boleh ada diskrimina
si, namun justru upaya mengikis habis tindakan itu memerlukan
waktu, yang mungkin memerlukan masa bergenerasi dalam ke
hidupan kita sebagai bangsa. Memang selalu ada jarak waktu
sangat panjang antara penetapan secara resmi dengan kenyata
an empirik dalam kehidupan. Mudah dirumuskan, namun sulit
dilaksanakan. h
g 155 h
Minggu lalu, di bilangan Kramat V, Jakarta, penulis me
resmikan sebuah panti jompo milik sebuah yayasan
yang dipimpin orangorang eks Tapol (Tahanan Poli
tik) dan Napol (Narapidana Politik), kasarnya orangorang PKI
(Partai Komunis Indonesia) yang sudah dibubarkan. Mereka
mendirikan sebuah panti jompo di gedung bekas kantor Gerwani
(Gerakan Wanita Indonesia), yang dianggap sebagai organisasi
perempuan PKI. Peresmian yang diminta mereka secara apa
adanya pada pagi yang cerah itu, disaksikan antara lain oleh SK
Trimurti1, salah seorang pejuang kemerdekaan kita. Ini penulis
lakukan karena solidaritas terhadap nasib mereka, yang sampai
sekarang pun masih mengalami tekanantekanan dan kehilang
an segalagalanya. Puluhan ribu, mungkin ratusan ribu orang
dipenjarakan, karena dituduh “terlibat” dan bahkan memimpin
PKI. Banyak yang meninggal dunia dalam keadaan sangat me
nyedihkan, sedangkan yang masih hidup banyak yang tidak me
miliki hakhak politik sama sekali, termasuk hak memilih dalam
pemilu. Rumahrumah dan harta benda mereka yang dirampas.
Dan stigma (cap) pengkhianat bangsa, tetap melekat pada diri
mereka hingga saat ini.
Dengan dipimpin oleh dr. Ribka Tjiptaning Proletariyati2,
mereka membentuk PAKORBA (Paguyuban Korban Orde Baru)
yang memiliki cabang di manamana, walhasil gerakan mereka
berskala nasional. Namun karena prikemanusiaan juga lah penu
1 Soerastri Karma Trimurti begitu nama lengkapnya. Permpuan yang la
hir pada 1912 ini adalah wartawan tiga zaman. Pernah mendapat penghargaan
Bintang Mahaputera V yang disematkan langsung oleh Presiden Soekarno.
2 Penulis buku menggemparkan dengan judul Aku Bangga Jadi Anak
PKI, (Jakarta: Cipta Lestari, 2002).
keadilan dan Rekonsiliasi
g 156 h
lis mempunyai solidaritas yang kuat dengan mereka, seperti hal
nya solidaritas penulis kepada mantan anak buah Kartosuwiryo,
yang disebut DI/TII (Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia).
Bahkan waktu turut “berkuasa”, PKI pernah turut memberikan
cap pemberontak kepada (mantan) anggota DI/TII itu.
Penulis pernah menyebutkan dalam sebuah tulisan, Karto
suwiryo merekrut anggota dengan menggunakan nama DI/ TII,
karena ia diperintahkan oleh Panglima Besar Jenderal Soedir
man, guna menghindarkan kekosongan daerah Jawa Barat,
yang ditinggalkan TNI untuk kembali ke Jawa Tengah (kawasan
RI) akibat Perjanjian Renville3 . Seorang pembaca menyanggah
“catatan” penulis itu karena di matanya tidak mungkin Karto
suwiryo menjadi “penasehat militer” Jenderal Soedirman. Lebih
pantas kalau ia adalah penasehat politik. Pembaca itu tidak tahu,
bahwa penasehat politik Jenderal Sudirman adalah ayah penulis
sendiri, KH. A. Wahid Hasyim. Karena itu simpati penulis kepa
da anggota DI/ TII juga tidak kalah besarnya dari simpati kepada
mantan orangorang PKI.
eg
Di sini penulis ingin menekankan, bahwa konflik-konflik
bersenjata