Home » filsafat 2 » filsafat 2
Kamis, 16 November 2023
Alasan utama mereka ialah bahwa
agama jelas-jelas tidak dapat membuktikan kebenaran ajaranajarannya dengan tegas, pada hal sains bisa melakukan hal itu
(Haught, 2004:2).
Di samping pendekatan kontras dan konflik yang
digunakan oleh ilmuan Barat dalam melihat hubungan antara
ilmu dan agama, terdapat juga dua pendekatan lainnya, yaitu
pendekatan kontak dan konfirmasi. Pendekatan kontak
maksudnya ada usaha untuk mengadakan dialog, interaksi,
dan usaha penyesuaian antara ilmu dan agama, misalnya
mengusaha kan cara bagaimana ilmu ikut mempengaruhi
pemahaman religius dan teologis. Pendekatan konfirmasi
maksudnya adalah usaha menyoroti cara-cara agama
mendukung dan menghidupkan kegiatan ilmiah. Artinya,
sekalipun titik tolak keduanya berbeda, filsafat dan ilmu
pengetahuan bermula dengan ragu-ragu atau tidak percaya,
sedangkan agama dimulai dengan yakin dan percaya (iman).
sebab dimulai dengan tidak percaya atau ragu-ragu (skeptis),
maka filsafat dan ilmu selalu mempertanyakan sesuatu. Filsafat
dan ilmu adalah mengenai pengetahuan, sedangkan agama
adalah mengenai kepercayaan atau keyakinan. Pengetahuan
tidak sama dengan keyakinan, namun keduanya memiliki
hubungan yang erat. Keyakinan dapat menjiwai atau
mempengaruhi ilmu pengetahuan, yang sebab itu ilmu
pengetahuan tidak bersifat netral atau bebas nilai.Ilmu pengetahuan menyangkut sikap mental seseorang
dalam hubungan dengan obyek tertentu yang disadarinya
sebagai ada atau terjadi. Bedanya, dalam hal keyakinan, maka
obyek yang disadari sebagai ada itu tidak perlu harus ada
sebagaimana adanya. Sebaliknya dalam hal pengetahuan obyek
yang disadari itu memang ada sebagai adanya. Pengetahuan
tidak sama dengan keyakinan sebab keyakinan bisa saja keliru
tetapi sah saja dianut sebagai keyakinan. Apa saja yang
disadari atau diyakini sebagai ada, bisa saja tidak ada dalam
kenyataannya.
Sebaliknya pengetahuan tidak bisa salah atau keliru,
sebab begitu suatu pengetahuan terbukti salah atau keliru,
maka tidak bisa lagi dianggap sebagai pengetahuan. Apa yang
dianggap sebagai pengetahuan lalu berubah status menjadi
sekedar keyakinan belaka. Contohnya, kalau 2x3=6 hanya sah
dianggap sebagai sebuah pengetahuan kalau memang dalam
kenyataannya 2x3=6. Semua angsa berbulu putih hanya sah
menjadi sebuah pengetahuan kalau dalam kenyataannya
semua angsa berwarna putih. Kalau dalam kenyataannya tidak
demikian maka pernyataan ini hanya menjadi sebuah
keyakinan. sebab itu pengetahuan selalu mengandung
kebenaran. Atau pengetahuan selalu berarti pengetahuan
tentang kebenaran. Namun sampai pada tingkat tertentu,
pengetahuan selalu mengandung keyakinan, yaitu keyakinan
mengenai kebenaran pengetahuan itu. Misalnya kalau saya
tahu bahwa anda baik, maka saya yakin bahwa anda adalah
orang baik. (Lihat Sonny Keraf dan Mikhael Dua, 2001:33).
Memang pernah pada suatu masa, yaitu di zaman gelap
abad pertengahan, antara ilmu dan agama dipertentangkan dan
terjadi permusuhan antara keduanya. Ilmu dan filsafat menjadi
musuh penganut agama (Kristen) pada masa itu. Sumber
konflik adalah sebab penganut agama itu keliru dalam
memahami makna kalimat (ayat) yang berkaitan dengan
filsafat dan fakta ilmiah dalam kitab suci. Penganut agama
Kristen pada masa itu memang bermusuhan dengan ilmu
pengetahuan, tetapi agama itu sendiri tidak pernah
bermusuhan dengan ilmu pengetahuan, malah antara
keduanya tidak bisa dipisahkan.
Seperti dikatakan oleh Mahdi Ghulsyani (1993:59) “Ilmu
itu laksana lampu kehidupan dan agama adalah petunjuknya”
Sesuai dengan itu, Einstein menulis dalam bukuya Out of my
later years sbb: ”Ilmu tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu
buta” (science without religion is lame, religion without science is
blind). Ini berarti bahwa begitu erat hubungan antara keduanya
sehingga kalau salah satu tidak mendampingi yang lain pada
diri seseorang, maka kehidupan seseorang itu ibarat
mengalami kebutaan ataupun kelumpuhan. Jadi, tanpa didasari
dengan nilai-nilai agama maka ilmu yang dimiliki oleh
seseorang tidak jelas akan digunakan untuk apa, dan tanpa
dibimbing oleh ilmu maka nilai-nilai agama yang dimiliki oleh
seseorang akan salah ketika diamalkannya.
Mengenai hubungan ilmu dan agama, Muhammad Hatta
(1960:17) menulis sbb: “Ilmu mengenai soal pengetahuan,
agama soal kepercayaan. Pengetahuan dan kepercayaan adalah
dua macam sikap yang berlainan daripada keinsyafan manusia.
Pelita ilmu terletak di otak, pelita agama terletak di hati. sebab
itu ilmu dan agama dapat berjalan seiring dengan tiada
mengganggu daerah masing-masing”.
5. Hubungan Filsafat dan Seni
Filsafat dan seni juga berkaitan erat. Kesenian berkaitan
dengan keindahan, dan keindahan (estetika) merupakan bagian dari filsafat tentang nilai (axiologi), yaitu nilai sesuatu
dilihat dari sudut indah atau tidak indah. Dalam karya seni
banyak terkandung nilai-nilai filosofis, sebab seniman
mengungkapkan nilai-nilai keindahan itu dalam karyakaryanya. Dalam karya seni bukan hanya mengandung nilainilai keindahan, tetapi juga nilai-nilai kehidupan yang
mencerminkan pandangan hidup. Dalam karya sastra seperti
puisi, drama dan novel, demikian juga dalam lukisan, lagu, tari
dan film banyak terkandung nilai-nilai filosofis. Adalah
kenyataan bahwa banyak filosof yang juga seniman atau
sebaliknya. Misalnya Mohammad Iqbal adalah filosof muslim
dan sekali gus penyair yang terkenal, dan filosof
eksistensialisme Jean Paul Sartre adalah sastrawan dan penulis
ternama.
6. Guna Mempelajari Filsafat
Baik sebagai pengetahuan maupun sebagai pandangan
hidup, mempelajari filsafat banyak manfaatnya, antara lain:
1) Filsafat akan menyadarkan kita kepada berbagai masalah
yang kita jumpai dalam kehidupan, dan kita akan semakin
mampu memecahkan masalah-masalah kehidupan dengan
lebih bijaksana, sebab dengan mempelajari filsafat akan
memperluas wawasan kita dan melatih kita berpikir kritis,
sistematis, dan logis.
2) Filsafat akan membantu kita menentukan pandangan
hidup yang tegas, yang menjadi pedoman dan landasan
bagi perbuatan kita sehari-hari.
3) Dengan mendalami filsafat akan membawa kita kepada
kemungkinan untuk menjadi ahli filsafat.
Titus, Smith, dan Nolan dalam buku Living Issues of
Philosophy (terjemahan H.M. Rasyidi, 1984:25) mengatakan
bahwa faedah filsafat adalah:
1) Untuk menjajagi kemungkinan adanya pemecahanpemecahan terhadap problem-problem filsafat dan
memudahkan kita untuk mendapatkan pemecahannya
menurut kita sendiri.
2) sebab filsafat adalah satu bagian dari keyakinankeyakinan yang menjadi dasar perbuatan kita, maka
pemikiran-pemikiran dalam filsafat dapat membentuk
pengalaman-pengalaman kita.
3) Dapat memperluas bidang-bidang kesadaran kita agar kita
dapat menjadi lebih hidup, lebih mampu membedakan,
lebih mampu mengkritik, dan lebih pandai.
Franz Magnis Suseno dalam bukunya Filsafat sebagai Ilmu
Kritis (1993) menyebutkan beberapa faedah filsafat, yaitu pada
halaman 254 bukunya itu ditulis sebagai berikut: Filsafat
memiliki tempat baik dalam kehidupan rohani warga ,
maupun dalam lingkungan akademik maupun secara spesifik
diantara ilmu-ilmu lain. Dalam kehidupan rohani, warga
filsafat membantu menjernihkan duduk permasalahan,
membantu menyingkirkan tawaran-tawaran ideologis yang
palsu, dan tidak membiarkan prasangka-prasangka memantapkan diri.
Dalam lingkungan akademis, filsafat membantu untuk
membuat orang berpikir mandiri, mendalam, berdasar, kritis,
dan berani. Menurutnya, filsafat merupakan pembela akal budi
dalam keseluruhan hidup warga , yang memungkinkan
warga memikirkan masalah-masalah dasar hidupnya
secara rasional, dengan bahasa, wawasan dan argumentasi
yang universal, yang dapat dimengerti oleh semua. Dengan
demikian filsafat membuka cakrawala bagi diskusi berbagai
masalah kehidupan. Selanjutnya pada halaman 255 disebutkan
lebih khusus implikasi filsafat untuk negara kita , yaitu bahwa
filsafat adalah sebagai wali atau pembela akal budi dalam
keseluruhan hidup warga .
Filsafat memungkinkan warga memikirkan masalahmasalah dasar hidupnya secara rasional, dengan bahasa,
wawasan dan argumentasi yang universal, yang dapat
dimengerti oleh semua, sehingga filsafat membuka cakrawala
bagi diskusi terbuka mengenai masalah-masalah yang kita
hadapi; Filsafat membantu kita mengambil jarak terhadap
klaim ideologis ilmu-ilmu empiris bahwa dalam budaya
modern ilmu-ilmu empirislah yang mendefinisikan arti
kemanusiaan dan tujuan perkembangan warga ; Filsafat
dapat membantu dalam mengambil sikap terbuka dan kritis
terhadap dampak modernisasi, memungkinkan kita untuk
berhadapan dengan meluasnya budaya modern yang memang
tak terbentung, mengambil sikap dan menjadi pemain aktif
mempertahankan identitas kita, mengarahkan perkembangan
sesuai dengan pandangan kita sendiri; Filsafat membantu
menggali kekayaan kebudayaan tradisi dan filsafat negara kita
asli secara terbuka, kritis dan kreatif; Filsafat dapat menditeksi
kedok-kedok ideologis pelbagai ketidakadilan sosial serta
pelanggaran-pelanggaran terhadap martabat manusia dan hakhak asasinya; Filsafat memungkinkan orang dari pandangan
dunia dan agama yang berbeda untuk bersama-sama
membahas tantangan-tantangan yang dihadapi bangsa serta
untuk mencari pemecahan yang berorientasi pada martabat
manusia. Ia menjadi dasar untuk dialog di antara agamaagama; Filsafat berperan sebagai penjaga rasionalitas, sebab
dalam membangun, negara kita membutuhkan filsafat, tanpa
filsafat kehidupan intelektual bangsa negara kita aka tawar dan
kurang kreatif.
7. Kritik Terhadap Filsafat
Memang peranan filsafat pernah dikritik sebagai tidak ada
artinya. Filsafat dipandang tidak bermanfaat bagi warga
atau malah dapat mengganggu perkembangan ilmu pengetahuan. Diantara pengeritik yang keras terhadap filsafat
diberikan oleh Odo Marquard yang mengatakan sbb: “Semula
filsafat kompeten untuk segala apa; lalu filsafat kompeten
untuk beberapa hal; akhirnya filsafat hanya kompeten untuk
satu hal: yaitu untuk pengakuan inkompetensinya”.
Maksudnya ialah bahwa selama sejarahnya, ada tiga kali
filsafat mengalami keadaan tidak memiliki kompetensi yang
sebelumnya diklaimnya.
Pertama, dalam tradisi Platonik, filsafat diklaim sebagai
ajaran keselamatan, tetapi ketika kekuasaan agama samawi
sangat kuat, ajaran keselamatan filsafat tidak sanggup
menyaingi ajaran keselamatan yang dibawa oleh agama-agama
Pada saat itu filsafat hanya berperan sebagai pelayan teologi
(ancilla theologiae). Kedua, ketika munculnya ilmu-ilmu modern,
filsafat dinilai inkompetensi berperan sebagai ilmu yang
universal sehingga peran filsafat merosot menjadi pelayan ilmu
pengetahuan (ancilla scientae). Dan ketiga, filsafat diharapkan
mampu berperan untuk menciptakan tatanan yang lebih adil
dalam kehidupan warga , namun dinilai bahwa filsafat
juga tidak mampu memenuhi harapan itu, sebab filsafat hanya
bertahan sekedar sebagai filsafat sejarah demi emansipasi
manusia (ancilla emancipationis). Menurut Jurgen Habermas
kritik Odo Marquard itu merupakan usaha mendeskriditkan
filsafat atau mematikan filsafat. Dengan matinya filsafat
diharapkan mati juga keyakinan manusia kepada kekuatan
transenden yang benar dan mutlak, atau keyakinan akan
kebenaran agama. (lihat Frans Magnis Suseno, 1993:246).
Dalam filsafat Islam juga dikenal adanya kritik terhadap
filsafat. Kritik Al-Ghazali tehadap filsafat yang ditulis dalam
bukunya Thahafut al Falasifah bukanlah berarti bahwa AlGhazali memusuhi filsafat, tetapi menuduh sejumlah filosof
Islam yang beraliran Muktazilah telah melenceng dari ajaran
Islam sehingga mereka dianggap sebagai kafir. Namun
tuduhan itu dijawab oleh Ibnu Rusjd dalam bukunya Thahafut
al-Thahafut, sebagai tidak benar.
Logika merupakan salah satu sarana berpikir ilmiah
disamping bahasa, matematika, dan statistika. Logika adalah
cabang filsafat yang memikirkan tentang hakekat berpikir itu
sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Popkin and Stroll (1958:
149) dalam buku mereka “Philosophy Made Simple” sbb:
“Logic may be defined as that branch of philosophy which reflects
upon the nature of thinking itself”. Menurut Popkin and Stroll,
logika merupakan cabang filsafat yang sangat mendasar
sifatnya sebab semua cabang filsafat menggunakan kegiatan
berpikir logis. Logika berusaha menjawab pertanyaan sebagai
berikut:
Bagaimanakah berpikir yang benar?
Apa yang membedakan argumen yang benar dengan yang
salah?
Adakah cara untuk mengetahui kesalahan-kesalahan dalam
berpikir dan bila ada bagaimana?
Poespoprodjo dan T.Gilarso, dalam bukunya mereka
“Logika: Ilmu Menalar (1999), mengatakan bahwa “Logika
merupakan cabang ilmu, tetapi juga merupakan dasar yang
mutlak bagi eksistensi ilmu yang secara sistematis menyelidiki,
merumuskan, dan menerangkan asas-asas yang harus ditaati
agar orang dapat berpikir dengan tepat, lurus, teratur.”
Menurut mereka logika ialah ilmu tentang kecakapan menalar
atau berpikir dengan tepat. Berpikir merupakan kegiatan akal
untuk mengolah ilmu pengetahuan yang telah kita terima melalui indera untuk tujuan mencapai ilmu pengetahuan.
Dengan kata lain bahwa logika adalah sarana berpikir. Ahli
logika berusaha merumuskan aturan umum untuk berpikir
yang benar (correct reasoning) dan bukan mencoba menjelaskan
bagaimana akal itu bekerja.
Menurut Langeveld (1959) dalam bukunya “Menuju ke
Pemikiran Filsafat”, logika tidak mempelajari semua syarat
yang harus dipenuhi oleh pemikiran akal, tetapi hanya
mengenai bentuk pemikiran saja. Logika tidak mengindahkan
hal ikhwal isi. Logika memperhatikan peraturan tentang
pembentukan pengertian, keputusan dan pembuktian. sebab
itu disebut logika formal. Hal yang menyangkut isi pengertian,
keputusan dan pembuktian itu tidak menjadi hal menarik bagi
logika. Sebuah pembuktian atau kesimpulan adalah tepat
apabila telah diadakan keputusan-keputusan yang diharuskan,
dan daripadanya ditarik kesimpulan menurut aturan-aturan
berpikir.
Suatu kesimpulan adalah benar dan tepat apabila
kesimpulan itu ditarik sesuai dengan aturan berpikir (premis)
yang benar. Andaikata semua penduduk pulau Sumatera pemalas,
dan tuan A adalah seorang penduduk pulau Sumatera, maka tuan A
adalah pemalas. Menurut bentuknya maka seluruh rangkaian
kalimat yang saling berhubungan dan serba benar. Disitu tidak
dikatakan semua penduduk pulau Sumatera adalah memang
pemalas, dan juga tidak dikatakan bahwa Tuan A adalah
seorang penduduk pulau Sumatera. Yang dikemukakan
hanyalah bahwa: “andai-kata……..dan andaikata, maka….”
Kalimat itu bentuknya tiada salah, tetapi mengenai isinya tidak
dipersoalkan, mungkin belum tentu benar.Berpikir Logis
Segi khusus yang diperhatikan dalam logika ialah tepatnya
pemikiran kita. Suatu jalan pemikiran yang tepat yang sesuai
dengan patokan atau aturan logika disebut logis. Sebaliknya
jalan pikiran yang tidak memperhatikan patokan logika itu
disebut tidak logis. Logika menganalisa unsur-unsur pemikiran
manusia. Ada 3 unsur daripada pekerjaan berpikir, yaitu:
1) Mengerti tentang kenyataan, dan membentuk pengertian
atas dasar kenyataan itu.
2) Menyatakan hubungan antara pengertian-pengertian yang
ada. Ini disebut putusan.
3) Membuat kesimpulan atau penyimpulan.
Dalam logika yang dipentingkan ialah pekerjaan akal yang
ketiga itu, yaitu penyimpulan. Jadi dengan logika kita belajar
cara menganalisis suatu jalan pikiran, yaitu bagaimana dan atas
dasar apa orang sampai kepada kesimpulan.
Contoh:
Dalam surat kabar dimuat sebuah gambar tentang akibat
suatu bencana alam yang mengerikan, yaitu suatu
pemandangan alam dengan pohon-pohon yang tumbang dan
menimpa rumah, awan tebal yang hitam, dan dari kejauhan
kelihatan puncak gunung api dengan asap yang kelabu. Apa
arti fakta-fakta yang kita lihat dalam gambar itu? Apa
hubungan antara fakta-fakta itu? Apa kesimpulan kita dengan
melihat hubungan antara fakta-fakta itu? Apa yang telah terjadi
disitu? Pekerjaan akal kita memikirkan itu disebut penalaran
atau pemikiran (reasoning), yaitu penjelasan yang menunjukkan
kaitan atau hubungan dua hal atau lebih yang atas dasar
alasan-alasan tertentu dan dengan langkah-langkah tertentu
kita sampai kepada suatu kesimpulan. Hubungan antara dua
hal dapat dinyatakan dengan beberapa cara:
Hubungan putusan yang dinyatakan dalam kalimat berita
Misalnya: “pohon itu tumbang; gunung api itu meletus,
dan lain sebagainya”
Hubungan sebab akibat (causal). Misalnya: pohon-pohon itu
tumbang sebab tanah longsor.
Hubungan maksud atau tujuan. Misalnya: pohon-pohon itu
ditebang untuk membuat jalan.
Hubungan bersyarat (kondisional). Misalnya: Kalau akan
dibangun jalan disana, maka pohon-pohon itu perlu
ditebang.
Hubungan-hubungan itu seringkali hanya dinyatakan
secara implicit atau tersirat. Misalnya: “pohon-pohon itu
tumbang sebab letusan gunung berapi”. Sebenarnya dalam
keputusan itu ada suatu jalan pikiran yang terkandung di
dalamnya, yang mengaitkan “pohon tumbang” dengan
“letusan gunung api”, tetapi tidak diutarakan dengan jelas,
lengkap, dan terurai. Untuk menganalisa jalan pikiran maka
hal-hal yang hanya secara implisit terkandung dalam
pemikiran itu perlu diekplisitkan, (dinyatakan secara lengkap
dan terurai). Kemampuan untuk melihat hal-hal yang implicit
dan mampu membuatnya menjadi ekplisit merupakan hal yang
penting dalam pemikiran deduktif. (lihat Poespoprodjo dan
Gilarso, 1999).
Tujuan manusia berpikir atau menalar ialah untuk
mencari kebenaran, untuk mencapai pengetahuan yang benar.
Tetapi seringkali dalam kenyataan hasil pemikiran manusia,
yaitu kesimpulan ataupun alasan-alasan yang dikemukakannya
belum tentu selalu benar. Dikatakan benar dalam arti apa yang
dipikirkan itu sesuai dengan kenyataan atau realitas.
Sebaliknya dikatakan salah, apabila yang dipikirkan atau
dikatakan itu tidak sesuai dengan kenyataan atau realitas yang sebenarnya. Dalam contoh tentang gambar di surat kabar
ini di atas, apabila dikatakan bahwa: “Ini terjadi sebab
tanah longsor”, padahal dalam kenyataan tidak ada tanah yang
longsor, maka ucapan atau penjelasan itu tidak benar sekalipun
dikatakan dengan penuh keyakinan. Dengan kata lain
kesimpulan itu tidak benar menurut teori koherensi tentang
kebenaran.
Perhatikan pula contoh berikut ini, apakah kesimpulan
yang diambil itu benar dan masuk akal?
“Seorang peneliti ingin menemukan apa yang sebenarnya
menyebabkan manusia itu mabuk. Untuk itu ia mengadakan
penyelidikan dengan mencampur berbagai minuman keras.
Mula-mula ia mencampur air dengan wiski luar negeri yang
setelah dengan habis diteguknya maka iapun terkapar mabuk.
Setelah siuman ia mencampur air dengan TKW, wiski local
yang diminum di pinggir jalan sambil mengisap kretek,
ternyata campuran inipun menyebabkan ia mabuk. Akhirnya
dia mencampur air dengan tuak yang juga, seperti kedua
campuran terdahulu, menyebabkan ia mabuk. Berdasarkan
penelitian itu maka dia menyimpulkan bahwa airlah yang
menyebabkan manusia itu mabuk”. (lihat Jujun Suriasumantri,
1984).
3. Syarat untuk Kesimpulan yang Benar
Agar suatu pemikiran atau jalan pikiran dapat menghasilkan kesimpulan yang benar ada tiga syarat pokok yang harus
dipenuhi.
a. Pemikiran itu harus berpangkal pada kenyataan atau
titik pangkalnya (premisnya) harus benar.
Suatu pemikiran, yang meskipun jalan pikirannya logis,
tetapi tidak berpangkal pada kenyataan atau pada dalil yang benar, tidak akan menghasilkan kesimpulan yang
benar, apalagi pasti. Kalau titik pangkal suatu pemikiran
tidak pasti, maka kesimpulan yang ditarik daripadanya
juga tidak akan pasti, bahkan mungkin salah.
Contoh:
Semua orang yang berambut gondrong adalah penjahat,
Setiap penjahat harus dihukum. Jadi, semua orang yang
berambut gondrong harus dihukum.
Dalam contoh itu jalan pikirannya logis, akan tetapi
kesimpulannya salah, sebab titik pangkalnya salah.
Berambut gondrong tidak sama dengan penjahat
b. Alasan-alasan yang diajukan harus tepat dan kuat
Kerapkali terjadi orang mengajukan pernyataan atau
pendapat, tetapi yang sama sekali tidak didukung dengan
alasan-alasan. Sering juga orang merasa sudah pasti dan
yakin dalam menarik kesimpulan, padahal sebenarnya
tidak cukup alasan, atau alasan yang dikemukakannya itu
tidak kena, tidak kuat, atau tidak membuktikan apa-apa.
Contoh : Tetangga saya memiliki mobil
Oleh sebab itu sayapun harus memiliki
mobil.
Disini tidak cukup alasan untuk mengambil kesimpulan.
Dalam hal apa saya sama dengan tetangga? Dalam hal apa
pula tidak sama?
c. Jalan pikiran harus logis atau “sah”
Jika titik pangkal memang benar dan tepat, tetapi jalan
pikiran tidak tepat, maka kesimpulan juga tidak akan tepat.
Jika hubungan antara titik pangkal dengan jalan pikiran itu
tepat dan logis, maka kesimpulan disebut “sah” atau valid. Contoh : Semua sapi itu binatang. Semua kuda itubinatang.
Jadi sapi itu sama dengan kuda.
Disini kalimat pertama dan kedua memang benar, tetapi
kesimpulannya salah sebab jalan pikiran keliru.
4. Guna Mempelajari Logika
Tugas logika ialah membahas tentang ketepatan berpikir,
yaitu menyelidiki sifat dan cara-cara berpikir yang benar
dengan menggunakan akal sehat atau logis. Dengan berpikir
logis maka kesimpulan yang diambil benar dan logis pula.
Tugas seperti itu tentu sangat berguna bagi mahasiswa yang
berkecimpung dalam dunia ilmu pengetahuan. Pengetahuan
logika sesungguhnya sangat praktis sifatnya, sebab yang
dipentingkan ialah kecakapan menggunakan aturan-aturan
pemikiran secara tepat terhadap persoalan-persoalan konkrit
yang kita hadapi sehari-hari, dan dengan logika dapat
membantu kita mengembangkan kemampuan berpikir logis
dan kritis, membentuk sikap objektif dan sikap ilmu yang
positif. Dari seorang mahasiswa dituntut kemampuan untuk
menyampaikan buah pikiran dengan teratur, baik secara
tertulis maupun secara lisan. Dalam menyampaikan pendapat
ketika diskusi-diskusi perlu dinyatakan dengan bahasa yang
jelas dan alasan-alasan yang logis, dan ketika menyusun skripsi
diperlukan pula kemampuan menyusunnya dengan bahasa
yang teratur, sistematis, dan logis pula.
Oleh sebab itu, pengetahuan logika bagi mahasiswa dan
ilmuan, adalah sangat diperlukan. Logika membantu manusia
berpikir lurus, efisien, tepat, dan teratur untuk mendapatkan
kebenaran dan menghindari kekeliruan, dan logika dapat juga
membantu kita untuk bersikap objektif, lepas dari pelbagai
prasangka yang subjektif
Dalam filsafat aksiologi atau filsafat nilai biasanya terdapat
3 hal yang menjadi objek pembahasan, yaitu:
1. Etika yang membahas tingkah laku manusia dari sudut
pandang nilai baik dan buruk, atau benar dan salah.
2. Estetika, yang membahas sesuatu dari sudut pandang nilai
indah dan tidak indah.
3. Religi yang membahas sesuatu dari sudut pandang nilai
agama atau sistem kepercayaan.
Dalam Bab ini hanya dibahas mengenai Etika dalam
kaitannya dengan ilmu pengetahuan, yaitu mengenai:
pengertian etika, hubungan etika dengan moralitas dan norma,
pentingnya etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan,
tanggung jawab ilmuan, dan budaya ilmiah.
1. Pengertian Etika
Etika ialah cabang filsafat (bagian dari filsafat axiologi)
yang membahas mengenai nilai dan norma moral yang
menentukan perilaku manusia dalam hidupnya. Secara
etimologi etika berasal dari bahasa Yunani „ethos‟ yang berarti
watak dan kesusilaan. Sedangkan istilah moral berasal dari
bahasa Latin „mores‟ (jamak) yang berarti adat atau cara hidup.
Etika berkenaan dengan nilai baik atau buruk mengenai
perilaku manusia. Etika dapat juga di artikan sebagai sistem
nilai dalam kehidupan manusia baik sebagai individu maupun
sebagai anggota warga , untuk menjadi pegangan dalam
mengatur perilakunya.
Menurut Popkin dan Stroll (1956), etika ialah cabang
filsafat, yang membahas tentang perbuatan atau perilaku
manusia dari sudut pandangan baik atau buruk, benar atau
salah. (Ethics, the study and philosophy of human conduct, with
emphasis on the determination of wright or wrong; one of the
normative sciences). Selain sebagai cabang filsafat, etika
dipandang pula sebagai ilmu, yaitu ilmu yang bersifat
normatif, berisi norma atau nilai-nilai yang dapat
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Istilah lain yang
sering disamakan dengan etika ialah: moral, susila, budi
pekerti, karakter, dan akhlak. Istilah-istilah itu seringkali
dipergunakan dalam pengertian yang sama, sekalipun masih
dapat dibedakan.
2. Etika, Moralitas, dan Norma
Sebagai cabang filsafat, etika sangat menekankan pada
pendekatan kritis dalam melihat nilai moral serta masalahmasalah yang timbul berkaitan dengannya. Etika dapat juga
dikatakan sebagai refleksi kritis dan rasional mengenai ajaran
moral atau moralitas. Antara etika dengan moralitas
memiliki fungsi yang sama, yaitu memberi arah atau
orientasi mengenai bagaimana kita harus berbuat dalam hidup
ini. Keduanya memberikan pedoman bertingah laku. Bedanya
ialah bahwa moralitas memberi petunjuk konkrit tentang
bagaimana kita harus hidup, sedangkan etika hanya
memberikan refleksi kritis terhadap norma itu. Moralitas
langsung mengatakan kepada kita: “beginilah caranya anda
harus berbuat”, sedangkan etika yang menuntut sikap kritis
dan rasional terhadap moralitas, misalnya dengan pertanyaan
sebagai berikut: Mengapa saya harus berbuat begini dan tidak
begitu? Mengapa saya harus selalu jujur? Apakah saya harus
jujur dalam segala situasi? Etika berperan membantu manusia untuk bertindak secara bebas dan dapat dipertanggungjawabkan, sebab setiap tindakan manusia selalu lahir dari
keputusan pribadi yang bebas. sebab itu kebebasan dan
tanggung jawab adalah dasar penting bagi pengambilan
keputusan dan tindakan yang bersifat etis. Dalam hal ini maka
bukan hanya akal tetapi kata hati manusia memainkan peran
yang sangat penting. (lihat juga Robert Solomon, 1987)
Moralitas adalah sistem nilai tentang bagaimana kita harus
hidup secara baik sebagai manusia. Sistem nilai itu terkandung
dalam ajaran berbentuk nasihat, petuah, pepatah-petitih,
peraturan dan semacamnya yang diwariskan secara turun
temurun dalam kebudayaan warga tertentu. Sedangkan
etika merupakan sikap kritis seseorang atau kelompok
warga dalam melaksanakan moralitas atau ajaran moral
itu. sebab itu moralitas bisa saja sama, tetapi sikap etis antara
seorang dengan orang lain atau antara satu warga dengan
warga yang lain dapat berbeda. Frans Magnis Suseno
(1987:14) mengatakan bahwa Etika bukan sumber tambahan
bagi ajaran moral, tetapi filsafat atau pemikiran kritis dan
mendasar tentang ajaran dan pandangan moral. Etika adalah
sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Etika mau mengerti
bagaimana kita dapat mengambil sikap yang bertanggung
jawab terhadap berbagai ajaran moral.
Ada dua macam etika, yaitu etika deskriptif dan etika
normatif. Etika deskriptif berbicara mengenai fakta apa adanya,
yaitu mengenai nilai atau pola perilaku manusia yang terkait
dengan situasi dan realitas konkrit yang membudaya. Misalnya
tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang
kondisi-kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara
etis. Sedangkan etika normatif berusaha menetapkan sikap dan
pola perilaku yang seharusnya (yang ideal) dimiliki oleh manusia. Etika normatif berbicara mengenai norma-norma
yang menuntun tingkah laku manusia dan mengenai
bagaimana seharusnya bertindak sesuai dengan norma-norma
itu. Dengan etika normatif manusia diajak untuk berbuat yang
baik dan meninggalkan yang tidak baik. Kedua macam etika
ini pada hakekatnya berperan menuntun manusia untuk
mengambil sikap dalam hidupnya. Kalau etika deskriptif
memberikan fakta sebagai dasar untuk menentukan sikap,
maka etika normatif memberikan penilaian, sekaligus
memberikan norma sebagai dasar untuk menentukan sikap dan
tindakan yang akan dilakukan.
Dalam hidup kita, norma yang akan dijadikan pedoman
bertindak itu bermacam-macam, namun dapat dibagi atas dua
macam, yaitu norma khusus dan norma umum. Norma khusus
adalah aturan yang berlaku dalam bidang kehidupan yang
khusus, misalnya mengenai aturan bermain dalam olahraga,
peraturan dalam bertamu ke rumah sakit, dan sebagainya.
Sedangkan norma umum bersifat umum dan universal, yang
dapat dibagi atas 3 macam, yaitu: norma sopan santun, norma
hukum, dan norma moral.
Norma sopan santun adalah norma yang mengakur
perilaku yang bersifat lahiriah, misalnya tatacara bertamu, tata
cara makan, dan sebagainya. Norma sopan santun bersifat
lahiriah dan terdapat dalam pergaulan sehari-hari, yang
disebut etiket. Sekalipun perilaku lahiriah atau etiket itu
mengandung kualitas moral, namun etiket tidak bersifat moral,
atau etiket bukanlah etika. Tetapi etiket sebab mengandung
nilai sopan santun dalam pergaulan maka dapat dimasukkan
sebagai bagian dari ajaran etika, yaitu etika sosial. Semakin
tinggi kebudayaan manusia semakin banyak pula jenis etiket
yang perlu dipelajari, namun etiket sangat bergantung kepada kebudayaan suatu warga . Etiket warga Timur seperti
negara kita dalam banyak hal berbeda dengan etiket warga
Barat.
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas
oleh warga sebab menyangkut keselamatan dan
kesejahteraan warga . Norma hukum itu lebih tegas dan
pasti sebab dijamin oleh adanya sanksi terhadap para
pelanggarnya. Norma hukum tidak sama dengan norma moral,
sebab norma hukum tidak secara mutlak menentukan
bermoral atau tidaknya seseorang. Bisa terjadi misalnya
seseorang melanggar norma hukum sebab menurut
pertimbangan dan alasan yang rasional tindakannya itu adalah
yang terbaik baginya dan bagi warga , namun secara
hukum ia tetap dihukum. sebab itu penilaian mengenai
bermoral tidaknya suatu tindakan tidak bisa didasarkan pada
pelaksanaan norma hukum. Dengan kata lain, moralitas tidak
sama dengan legalitas.
Norma moral adalah aturan mengenai sikap dan perilaku
seseorang dari sudut nilai baik atau buruk. Norma moral
menjadi tolok ukur yang dipakai oleh warga untuk
menentukan baik baik buruknya perilaku manusia sebagai
manusia. Walaupun pada akhirnya setiap orang dinilai dalam
kaitan dengan tugas dan profesi yang dilaksanakannya, namun
penilaian moral itu bukan terutama didasarkan pada tugas atau
profesinya itu, tetapi terutama didasarkan pada perilakunya
sebagai manusia yang melaksanakan tugas atau profesi
tertentu. Misalnya, suatu norma moral tidak dipakai untuk
menilai tepat tidaknya seorang dokter mengobati seorang
pasien, tetapi terutama untuk menilai bagaimana dokter itu
menjalankan tugasnya dengan baik sebagai manusia. Yang
ditekankan ialah sikap dalam menjalankan atau menghadapi tugasnya sebagai dokter. Kegiatan dalam hubungan dengan
ilmu pengetahuan berkaian erat baik dengan norma moral
maupun dengan norma hukum. Seorang ilmuan dapat
dikenakan sanksi hukum apabila melanggar norma moral
ataupun norma hukum, tetapi tidak bisa dihukum kalau hanya
melanggar norma sopan santun atau etiket. (lihat Robert
Solomon, 1987).
3. Pentingnya Etika dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak pertumbuhannya ilmu tidak bisa dilepaskan dengan
masalah-masalah moral. Contoh Galileo yang pandangan
ilmiahnya mendapat tantangan dari kaum gereja yang
dogmatis. Dalam perkembangannya, seperti dikemukakan oleh
Bertrand Russell, bahwa ilmu telah berubah dari sifatnya yang
konsepsional-kontemplatif ke penerapan konsep ilmiah dan
masalah-masalah praktis, atau dari kontemplasi ke manipulasi.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah
menimbulkan banyak persoalan moral yang berakibat
destruktif pada manusia. Tetapi apakah itu salahnya iptek atau
salahnya manusia, yaitu orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, yang tidak peduli pada etika, atau yang telah
mengarahkan tujuan ilmu kepada yang tidak baik. Hal
demikian terjadi sebab manusia telah sangat mengutamakan
akalnya dalam mengukur kebenaran pengetahuan, padahal
akal memiliki keterbatasan.
4. Tanggung Jawab Ilmuan
Ilmuan adalah sarjana yang menguasai ilmu, yang
memiliki cara berpikir dan berperilaku ilmiah. Mengingat
pentingnya nilai etika dalam pengembangan ilmu pengetahuan
maka tugas dan tanggung jawab ilmuan bukan hanya
mengembangkan ilmu pengetahuan tetapi juga harus beretika
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan itu. Seorang ilmuan dituntut untuk tetap konsekwen dengan nilai moral yang
dituntut oleh ilmu itu sendiri. Dalam pandangan Islam seorang
ilmuan (ulama) memiliki kedudukan yang sangat terhormat.
Sesuai dengan kedudukannya maka dalam Islam tanggung
jawab orang yang berilmu (orang alim) adalah mengajarkan
ilmu yang dimilikinya kepada orang-orang yang belum
mengetahui, dan lebih dari itu tanggung jawab mereka
sebenarnya adalah untuk meningkatkan peradaban manusia
sebab mereka adalah orang yang mampu untuk itu.
Andi Hakim Nasution (1999) mengatakan bahwa
tanggung jawab utama ilmuan terhadap dirinya sendiri,
terhadap sesama ilmuan, dan warga ialah: “menjamin
kebenaran dan keterandalan penyataan-pernyataan ilmiah
yang dibuatnya dan dapat dibuat oleh sesama ilmuan lainnya”.
Ini berarti selain menjaga agar semua pernyataan ilmiah yang
dibuatnya selalu benar, ia harus memberikan tanggapan
apabila ia merasa ada pernyataan ilmiah yang dibuat oleh
ilmuan lain tidak benar. Ini adalah tanggung jawab warga
ilmiah sejak dari dulu. sebab itu seorang ilmuan tidak begitu
saja menerima pernyataan ilmuan lain walaupun ia sangat
terkenal. Ia hanya menerima pernyataan sebagai kebenaran
atas dasar pengamatan dan pengalaman. Jangan sampai terjadi
“ketidak jujuran ilmiah”, seperti terjadi pada kasus Cyril Burt
(seorang ahli psikologi di Inggeris) dan T.D. Lyssenko ahli
genetika di Rusia, ketika zaman Stalin yang memanipulasi teori
Mendel. (Andi Hakim Nasoetion, 1999:29)
Dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains (1999:31)
Andi Hakim Nasution menyarankan pedoman kerja bagi
ilmuan atau warga ilmuan, yaitu sbb:
a. Bekerjalah dengan jujur;
b. Jangan sekali-kali menukangi data;c. Selalulah bertindak tepat, teliti dan cermat;
d. Berlakulah adil terhadap pendapat orang lain yang muncul
terlebih dahulu;
e. Jauhilah pandangan berbias terhadap data dan pemikiran
ilmuan lain;
f. Jangan berkompromi tetapi selesaikanlah permasalahan
yang dihadapi dengan tuntas.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi (1986) moralitas yang
diperlukan oleh ilmuan diantaranya yang terpenting adalah:
a. Perasaan bertanggung jawab, yaitu rasa tanggung
jawabnya di hadapan Allah, sebab ulama adalah pewaris
nabi-nabi. Semakin luas penguasaan ilmu seseorang
semakin berat pula tanggung jawabnya.
b. Amanah.Sifat amanah termasuk moralitas yang diperlukan
atau yang dituntut dari seorang ilmuan, sebab tidak ada
iman bagi orang yang tidak memiliki sifat amanah, dan
sebaliknya sifat khianat termasuh kriteria orang munafik.
c. Rendah hati. Sikap rendah hati (tawadhu) merupakah salah
satu moralitas yang harus dimiliki oleh seorang ilmuan
atau ulama. Orang yang benar-benar berilmu tidak akan
diperbudak oleh perasaan ujub (mengagumi diri sendiri)
atau sombong sebab ia yakin benar bahwa tidak ada
seorangpun yang lengkap dan sempurna pengetahuannya.
Tuhan berfirman yang artinya: “Dan tidaklah aku berikan
kepadamu ilmu kecuali hanya sedikit” (Al-Isra‟: 85).
d. Mulia („Izzah) merupakan salah satu moralitas hukum
intelektual.
e. Mengamalkan ilmu. Kehancuran kebanyakan manusia
adalah sebab mereka berilmu tetapi tidak mengamalkan
ilmu itu. f. Menyebarluaskan ilmu merupakan salah satu moralitas
yang diperlukan oleh ilmuan atau ulama. Ilmu yang
disembunyikan tidak mendatangkan kebaikan.
5. Budaya Ilmiah
Pokok penting dalam budaya ilmiah adalah pemakaian
logika, sebab di dalamnya ada analisis dan reasoning.
Reasoning haruslah berdasarkan fakta sejujurnya dengan
pembuktian, dengan tujuan suatu kebenaran. Selain itu
masalah ilmu adalah masalah umum bukan masalah pribadi,
sebab itu di dunia akademik harus dapat dipisahkan antara
masalah akademik dengan masalah pribadi. sebab inti ilmu
adalah kebenaran, maka kejujuran adalah sifat yang amat
penting yang dituntut dari semua civitas academica. Misalnya
hasil penelitian harus dilaporkan secara jujur.
Plagiatisme harus dihindari sebab hal itu amat tercela
dalam dunia akademik. Dalam budaya ilmiah yang penuh
kejujuran biasanya, dipergunakan kata-kata yang batasannya
jelas, tegas sehingga tidak salah ditafsirkan. Dengan kata lain
tidak ada basa basi (eufemisme) dalam budaya ilmiah. Francis
Crick, pemenang Hadiah Nobel untuk DNA, mengatakan:
Politeness is the poison of all good collaboration in science. The soul of
collaboration is perfect candor rudeness if needed be. In science
criticism is the height and measure of frienship” (Sopan santun
dalam warga adalah racun bagi semua kerjasama yang
baik di dalam ilmu. Roh kerjasama itu ialah kejujuran,
keterusterangan, kasar bila perlu. Di dalam ilmu pengetahuan,
kritik berarti tingginya dan ukuran persahabatan).
Filsafat ilmu dan budaya ilmiah adalah „saudara
kandung‟ yang saling membantu dan memperkokoh. Seorang
sarjana yang tidak mengetahui filsafat ilmu sukar untuk
berbudaya ilmiah. Filsafat ilmu dan budaya ilmiah adalah landasan yang bagi seseorang yang ingin menjadi ilmuan sejati,
atau ingin maju, sebab budaya ilmiah adalah kenderaaan yang
andal untuk maju. Budaya ilmiah, disebut juga budaya
akademik, adalah budaya atau perilaku para ilmuan atau
warga akademik yang sesuai dengan kaidah-kaidah
keilmuan.
Budaya ilmiah merupakan syarat mutlak atau conditio sine
qua non dalam mempelajari dan memajukan ilmu. Dalam
warga ilmiah yang tanpa budaya ilmiah maka perjalanan
ilmu itu akan mengalami hambatan, atau melenceng ke arah
yang non-ilmiah. Penguasaan ilmu, cara berpikir ilmiah, dan
berperilaku ilmiah adalah hal-hal yang saling kait mengait dan
saling mempengaruhi. Kegiatan ilmiah adalah semua kegiatan
yang ada hubungannya dengan keilmuan, bisa berupa
pengajaran, penelitian, simposium, seminar, ceramah ilmiah,
forum diskusi, membuat media ilmiah, membuat artikel ilmiah,
dan lain-lain. Kegiatan ilmiah yang dilakukan oleh perguruan
tinggi atau civitas academica disebut kegiatan akademik.
Kegiatan ilmiah ialah kegiatan logika bukan kegiatan emosi.
sebab itu dalam forum ilmiah materi pembicaraan
menyangkut gagasan, konsep, analisis dan reasoning, bukan
hal-hal yang menyangkut emosi seperti perasaan tersinggung,
marah, rasa malu, dan lain-lain. Masalah etika dalam ilmu
pengetahuan erat kaitannya dengan budaya ilmiah, termasuk
di dalamnya etika dan kebebasan akademik.
Kebebasan akademik adalah kebebasan para akademisi
yang tertuang dalam undang-undang untuk menyatakan
pendapatnya, menguji dalil dan kegiatan akademik lain,
sehingga ia tidak akan terancam kehilangan pekerjaan dan
kemudahan yang ia peroleh di institusinya. Kebebasan
akademik menjadikan para akademisi di dalam hukum
memiliki hak lebih bebas dari orang awam, namun
kebebasan itu tidak mutlak. Budaya akademik dan etika
akademik, serta etika penelitian merupakan pagar-pagar bagi
para ilmuan. Dalam dunia akademik atau dunia ilmiah
terdapat penghargaan yang didasarkan kepada prestasi
seseorang dan prestasi seseorang akan dilihat dari kontribusi
ilmiahnya. Umur biologik tidak termasuk criteria untuk
penghormatan dan penghargaan. Pembicaraan tentang budaya
akademik, etika akademik, dan filsafat ilmu terkait satu sama
lain, yang satu adalah cermin dari yang lain.
6. Aliran Filsafat Aksiologi
Dalam filsafat aksiologi atau filsafat nilai terdapat juga
sejumlah aliran, antara lain: Hedonisme,Utilitarianisme, dan
Pragmatisme.
Hedonisme ialah aliran filsafat nilai yang mementingkan
nilai kenikmatan. Dalam filsafat Yunani klasik aliran ini
dikembangkan oleh Epicurus (341-217 SM), dan sebab itu
dinamakan juga aliran Epicurean. Yang dikejar oleh
penganutnya ialah kenikmatan (pleasure), yang dipandang hal
itu sebagai suatu kebaikan. Jadi apa saja yang dapat membawa
kepada kenikmatan adalah kebaikan, sedangkan hal yang
membawa kepada ketidaknikmatan atau kesakitan adalah
keburukan. Aliran hedonisme kemudian terpecah menjadi
beberapa jenis, yaitu egoistic hedonism yang menekankan pada
kenikmatan individu, universalistic hedonism yang menekankan
pada kenikmatan universal, dan psychological hedonism, yang
menganggap bahwa perbuatan seseorang adalah sebab ada
dorongan psikologis untuk memperoleh kenikmatan, terutama
kenikmatan fisik.
Utilitarianime adalah aliran filsafat nilai yang
mementingkan kegunaan. Menurut paham ini sesuatu yang
baik atau yang benar adalah yang berguna, sebaliknya sesuatu
yang tidak berguna berarti tidak baik atau tidak benar. Aliran
ini dikembangkan oleh filosof Inggeris Jeremy Bentham (1748-
1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Pada dasarnya aliran
ini merupakan versi baru dari aliran hedonism, dimana yang
dimaksud dengan kegunaan ialah kebahagiaan. Bagi Bentham
prinsip kebahagiaan itu adalah kenikmatan bagi golongan
terbanyak, yaitu kebahagiaan terbesar bagi jumlah terbesar (the
greatest happiness for the greatestn number). Walaupun John Stuart
Mill berusaha mengubah sifat kuantitatif dari pada kenikmatan
yang dimaksud Bentham menjadi lebih bersifat kualitatif,
namun tidak mengubah prinsip dasar dari aliran ini yaitu nilai
kegunaan dalam praktek (practical consequenses).
Pragmatisme. Filsafat pragmatisme sangat berpengaruh
di Amerika Serikat dan Inggeris. Menurut aliran ini sesuatu
dikatakan benar apabila berguna atau bermanfaat (utility) bagi
kehidupan, tentu saja maksudnya adalah kehidupan di dunia
ini. Dan prinsip kegunaan atau manfaat dari aliran ini bukan
hanya menekankan pada kebahagiaan (utilitarianisme) atau
pada kenikmatan (hedonism), tetapi ditekankanpada akibat
praktisnya (practical cvonsequences). Pragmatisme dikenal juga
dengan berbagai nama yaitu: instrumentalisme, fungsionalisme, dan eksprimentalisme. Pelopor aliran pragmatisme ialah
Charles Sanders Pierce (1819-1914). Tokoh lain yang terkenal
ialah William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).
Filsafat pragmatisme berdasar pada empat prinsip utama,
yaitu:
1. Bahwa esensi kenyataan ialah perubahan (change)
2. Bahwa manusia adalah makhluk biologis dan sosial3. Bahwa nilai-nilai bersifat relatif
4. Bahwa berpikir kritis secara cerdas adalah esensial.
Pragmatisme tergolong filsafat materialisme, dan sebab itu
aliran ini menolak filsafat spekluatif dan metafisik, termasuk
agama, dan sejalan dengan utilitarianisme, pragmatisme juga
mengutamakan akibat dalam praktek (practical consequenses)
sebagai ukuran baik atau benar sesuatu. Yang benarb ialah
yang bersifat praktis atau yang dapat dikerjakan. Seorang
pragmatis adalah orang yang mementingkan apa yang dapat
dibuatnya, faedah dan keuntungannya, serta sesuai atauntidak
dengan situasi ndan kenyataan.
Menurut pragmatisme, kenyataan atau realitas adalah hasil
interaksi antara manusia dengan lingkungannya, dan
kenyataan itu merupakan keseluruhan dari pengalaman
manusia. Manusia dan lingkungan saling berinteraksi. Dunia
ini akan bermakna hanyalah sejauh manusia memberi makna
kepadanya. Kaum pragmatis yakin bahwa perubahan adalah
esensi dari kenyataan, dan bahwa kita harus selalu siap
menghadapi perubahan dalam dunia ini. sebab itu
pendidikan sangat penting. Pendidikan itu menurut John
Dewey dipandang sekaligus sebagai tujuan dan alat. Sebagai
tujuan, pendidikan itu tertuju kepada pengembangan diri
manusia, dan sebagai alat, pendidikan merupakan cara
manusia mencapai kemajuan.
Paradigma Sains Modern
Fisafat sains modern dan struktur ilmu pengetahuan yang
dibangunnya tercermin pada pengagungan terhadap rasionalisme, empirisme, positivisme, obyektivisme, dan netralitas
nilai etika. Inilah yang dikenal sebagai paradigma sains
modern. Seluruh struktur keilmuan harus berpijak pada
paradigma itu. Di luar paradigma itu dipandang salah, atau
tidak ilmiah. Hal-hal mengenai nilai keilmuan yang berkaitan
dengan agama dipandang tidak rasional dan tidak objektif, dan
sebab itu harus ditinggalkan.
Dimensi-dimensi mistis dan transenden sama sekali tidak
ada tempat dalam filsafat sains modern itu. Sains modern
hanya mementingkan hukum-hukum empiris, yang sebenarnya
hukum-hukum empiris itu hanya berlaku pada dunia materi,
lepas dari dunia normatif. Dengan kata lain sains modern
memisahkan antara lapangan berpikir empirik dengan
lapangan berpikir normatif, yang akibatnya, dalam
memandang dan memperlakukan alam semesta ini, sains
modern hanya mampu menjelaskan sebab-sebab fisik saja dari
hukum-hukum kosmos.
Pemisahan hukum empiris dengan hukum normatif telah
menyebabkan sains modern disebut netral dan bebas nilai
(value free). Hukum normatif mengatur hubungan antara
mahkluk dengan penciptanya. Bagi penganut empirisme,
hukum normatif dipandang hanya berhubungan dengan
manusia, yang oleh Rousseau dipandang sebagai kontrak
social, sehingga tidak ada hubungannya dengan agama. Pandangan bahwa hukum normatif hanya sebagai kontrak
social inilah yang sebenarnya telah berhasil mengikis habis
kesadaran agamawi dari kesadaran manusia modern, dimana
Tuhan dengan seperangkat hukumNya dipandang tidak ada
dalam seluruh fenomena kehidupan. (lihat Syamsul Arifin,
1999:160). Dengan paradigma sains seperti itu, maka dapat
disimpulkan bahwa sains modern memiliki ciri-ciri sebagai
berikut.
1. Percaya pada rasionalitas
2. Metode ilmiah untuk mengetahui realitas
3. Mementingkan obyektivitas, dan sebab itu ilmu bebas
nilai (value free)
4. Reduksionisme, artinya fenomena direduksi, dan cara
itu dipandang dominan untuk kemajuan sains
5. Universalisme
6. Kebebasan absolut
2. Sains Modern dan Sekularisme
Menurut Syed Naquib al-Attas (1993:133), peradaban Barat
modern telah membuat ilmu menjadi problematis sebab di
samping juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun juga
telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Hal
demikian disebabkan sebab imu pengetahuan modern itu
tidak dibangun di atas kepercayaan agama, tetapi berdasarkan
tradisi budaya yang terkait dengan kehidupan sekuler yang
memandang manusia hanya sebagai makhluk rasional.
Proses sekularisasi ilmu itu dimulai pada masa Renaissance
(kebangkitan kembali) dan dilanjutkan pada masa Aufklarung
(pencerahan), yaitu ketika tokoh Renaissance filosof Perancis
Rene Descartes (1596-1650) menklaim bahwa akal atau rasiolah
sebagai satu-satunya kreteria untuk mengukur kebenaran, yang terkenal dengan ucapannya cogito ergo sum ( saya berpikir maka
saya ada). Ludwig Feurbach (1804-1872), seorang teolog,
namun merupakan salah seorang pelopor paham atheisme di
abad modern, dalam bukunya “The Essence of Christanity”,
menegaskan bahwa manusia adalah prinsip filsafat yang paling
tinggi, sedangkan agama adalah mimpi akal manusia (religion is
the dream of human mind). Karl Marx (1818 -1883) mengatakan
bahwa agama adalah candu bagi rakyat. Baginya agama adalah
factor sekunder, sedangkan yang primer adalah ekonomi.
Charles Darwin (1805-1882) mengatakan bahwa asal mula
manusia bukan dari Tuhan, tetapi dari alam sebagai hasil
adaptasinya kepada lingkungan, dan ia menyimpulkan bahwa
Tuhan tidak berperan dalam penciptaan makhluk hidup. (lihat
The Origin of Species, 1958). Walaupun banyak pula filosof pada
masa pencerahan, seperti Hobbes, Spinoza, Berkeley, Rousseu,
Locke, Hume, Kant, Hegel, Feuerbach dan lain-lain, yang
memberi tekanan bukan hanya pada rasio tertapi juga pada
pancaindera sebagai sumber ilmu pengetahuan, namun semua
mereka adalah pendukung sekularisme.
Paham sekularisme dan ateisme juga berkembang dalam
disiplin ilmu sosiologi, psikologi, dan filsafat. Auguste Comte
(1778-1857) menganggap bahwa kepercayaan kepada agama
merupakan bentuk keterbelakangan warga . Ahli sosiologi
yang lain Herbert Spencer (1820-1903) mengatakan bahwa
agama bermula dari mimpi manusia tentang adanya spirit di
dunia lain. Ahli psikologi Sigmund Freud mengatakan bahwa
hanya karya ilmiah satu-satunya jalan untuk menuju kearah
ilmu pengetahuan, sementara doktrin-doktrin agama
dipandangnya hanya sebagai ilusi. Filosof terkenal Friedrich
Nietzsche (1844-1900) dalam bukunya Thus spoke Zarathusra
menulis bahwa “Tuhan telah mati”. Baginya agama tidak bisa
disesuaikan dengan ilmu pengetahuan. Epistemologi Barat sekuler telah menyebabkan pula teologi
Kristen menjadi sekuler. Kalau pada zaman pertengahan para
teolog Kristen seperti Agustinus, Johanes Scotus, dan Thomas
Aquinas, memodifikasi filsafat Yunani klasik supaya sesuai
dengan ajaran agama Kristen, maka pada abad ke-20 para
teolog Kristen seperti Karl Barth, Gogarten, Vahanian, dan lainlain memodifikasi teologi Kristen supaya sesuai dengan
peradaban Barat modern-sekuler. Mereka membuat penafsiran
baru terhadap Bible dan menolak penafsiran lama yang
menyatakan ada alam lain yang lebih hebat dan lebih agamis
dari alam ini. Mereka membantah peran dan sikap gerejawan
yang mengklaim bahwa gereja memiliki keistimewaan social,
kekuatan, dan properti khusus. Gogarten (1887-1967) mengatakan bahwa sekularisasi terlepas dari apa yang mungkin telah
berkembang darinya di dalam zaman modern adalah
konsekwensi sah dari iman Kristen. Gabriel Vahanian, seorang
teolog Neo-Calvinis mengatakan bahwa sekuler adalah
kerharusan seorang Kristiani. Menurutnya kematian Tuhan
adalah peristiwa agama dan sekaligus budaya. Dalam
warga yang modern dan saintifik, peristiwa-peristiwa
dalam Bible dianggap sebagai mitos, sudah lapuk, dan tidak
terpakai lagi. (lihat Adnin Armas dan Dinar Dewi Kania
(2013:12).
Proses sekularisasi ilmu pengetahuan dan proses desakralisasi agama seperti ini di atas, sudah berlangsung lama.
Para pendukung teori sekularisasi ilmu dan agama, baik teori
klasik sejak renaissance maupun teori yang bercampur dengan
teori modernisasi abad ke-20, menduga bahwa agama pasti
tidak dapat berkembang lagi. Bapak ilmu social modern seperti
Marx, Durkheim, dan Weber, menganggap bahwa era agama
akan lewat. Pendukung teori sekularisasi dan teori modernisasi
abad ke-20 juga berpendapat bahwa “semakin modern
warga , semakin kompleks penataan hidup mereka,
semakin rasional dan individual mereka, maka akan semakin
berkurang keagamaan mereka”. Ternyata bahwa dugaan
seperti itu tidak benar, agama masih tetap berkembang dalam
seluruh warga di dunia, sebagaimana yang didukung oleh
bukti berbagai riset yang dilakukan pada abad ke-21 ini (lihat
Pappa Norris dan Ronald Inglehart (2009) Sekularisasi Ditinjau
Kembali: Agama dan Politik di Dunia Dewasa ini.
Kenyataan seperti itu disebabkan sebab setiap peradaban
dibangun atas ide utama yang membentuk pandangan dunia
(worldview), yaitu agama dalam pengertian yang luas. Berbagai
peradaban di dunia ini menempatkan agama sebagai jantung
peradaban, Bahkan peradaban Barat modern sebenarnya juga
berdasarkan pada peradaban agama, yaitu agama Kristen.
Sekalipun bersifat sekuler, namun peradaban Barat itu
bukanlah filsafat sekuler tetapi filsafat Kristen. Walaupun
kaum sekuler Barat tidak mengakui agama, namun agama
semakin berkembang di berbagai negara di dunia ini, sehingga
Peter Berger (1999) seorang pengembang teori sekularisasi,
dalam bukunya The Secularization of the World mengatakan
bahwa apa yang telah berlangsung di dunia selama beberapa
dekade bukanlah sekularisasi warga , tetapi desekularisasi.
Sekarang ini agama-agama di seluruh dunia sedang
berkembang, dan penganut agama semakin banyak.
3. Sains dan Teknologi dan Pengaruhnya dalam Kehidupan
Sains dan teknologi, terutama sains dan teknologi modern,
tentu memiliki kelebihan dan kekurangannya. Sudah terbukti
bahwa sains dan teknologi telah memberikan banyak
kemudahan bagi kehidupan manusia. Berkembangnya sains
dan teknologi kedokteran, telah memberi pengaruh yang lebih
baik pada kesehatan dan kesejahteraan manusia. Dengan sains
dan teknologi komunikasi dan informasi, telah memungkinkan
manusia dapat bergerak dan bertindak dengan lerbih cepat dan
tepat, lebih efektif dan efisien. Demikian pula halnya dengan
berbagai sains yang lain, baik sains fisik maupun metafisik.
Namun sains dan teknologi modern memiliki kelemahan yang
mendasar, yaitu bahwa sains dan teknologi ini tidak
memiliki roh agama yang menjadi sumber rujukan bagi
penentuan tujuan hidup manusia. Sains tanpa agama tidak
memungkinkan manusia hidup dengan bertujuan dan bahagia,
sebab manusia adalah makhluk jasmani dan sekaligus
makhluk rohani.
Bagi mereka yang percaya bahwa manusia adalah hamba
dan khalifah Allah swt. di bumi ini, sains dan teknologi amat
bermakna bagi mereka sebab dengan menguasai sains dan
teknologi memungkinkan mereka melaksanakan tugas mereka
dengan sempurna untuk mendapatkan keredaan Allah swt.
Sains dan teknologi perlu dikuasai sebab dengan sains dan
teknologi itu manusia dapat mengambil manfaat daripadanya.
Dengan keterpaduan antara ilmu dan agama memungkinkan
kita memahami alam semesta ini dan mengambil manfaat
daripadanya, sehingga dengan demikian kehidupan ini akan
menjadi lebih berarti.
Teknologi adalah anak kandung dari sains, yang memiliki
roh materi, yaitu mesin. Adapun watak utama dari mesin ialah
cara kerjanya yang mekanistis. Perkembangann teknologi yang
revoliusioner dan sangat pesat telah membawa bencana bagi
kehidupan makhluk terutama manusia. Ketika ditemukan bom
atom dan dipergunakan sebagai senjata pemusnah massal pada
Perang Dunia II, telah menghancurkan kota Okinawa dan
Nagasaki, sehingga kegunaan teknologi untuk kehidupan manusia dan kemanusiaan mulai dipertanyakan. Sifat netral
dari sains juga dipertanyakan sebab ternyata pengembang
sains banyak yang berpihak kepada kepentingan pemilik
modal. Dengan alat-alat teknologi bermesin, telah dipakai oleh
manusia untuk merubah alam. Eksploitasi sumber daya alam
yang berlebihan telah menyebabkan keseimbangan lingkungan
terganggu dan menyebabkan bumi rentan terhadap bencana.
Sains dan teknologi adalah alat untuk mencapai tujuan, namun
untuk mencapai tujuan yang diharapkan tanpa merusak,
penggunaan alat itu haruslah dengan bijaksana
Banyak kritik yang telah diarahkan kepada sains Barat atau
sains modern, antara lain mengenai apakah benar sains modern
itu bersifat obyektif atau bebas nilai? Menurut teori obyektif
ilmu pengetahuan hanya bisa obyektif jika merujuk kepada
suatu realitas yang sama sekali terpisah dari diri kita dan tidak
tercampuri dengan keyakinan-keyakinan atau nilai-nilai yang
kita yakini. Teori obyektif ini dikecam sebab alam ini tidak
menguraikan sendiri dirinya, tetapi para ilmuanlah yang
memberi makna kepada pesan-pesan alam itu. sebab itu tidak
ada ilmu yang netral atau bebas nilai, atau obyektif.
Kritik mengenai sains objektif itu diberikan baik oleh
ilmuan Barat sendiri, maupun oleh ilmuan muslim. Menurut
ilmuan Barat sendiri, seperti Thomas Kuhn, Feyerebend, Hess,
dan Polanyi, pandangan bahwa sains bersifat obyektif sudah
tidak dapat diterima lagi. Menurut mereka sains itu sebenarnya
tidak netral, tetapi berupa hasil kajian yang dipengaruhi oleh
sosio budaya setempat, dan sistem nilai warga yang
dimiliki oleh pengkaji itu. Inilah yang menyebabkan adanya
sains dunia kapitalis, sains marxis, dan lain-lain.
Ilmuan muslim seperti Ziauddin Sardar, Seyyed Hossein
Nasr, Al-Attas, dan lain-lain, berpendapat bahwa sains tidak
mungkin obyektif sebab ia berkembang secara tidak ilmiah.
Sains tidak mengungkapkan kebenaran sebab ia hanya
melihat apa yang bisa dilihat dengan alatnya. Setiap
pertanyaan sains sebenarnya hanyalah hipotesa, baru
merupakan dugaan yang belum tentu benar. Nilai yang bisa
diperoleh daripadanya bergantung dari seberapa komprehensif
model atau alat yang dipakai. Sardar mengatakan, bahwa sains
adalah keseluruhan riset dan penerapannya. Pandangan bahwa
sains itu bebas nilai telah menyebabkan banyak malapetaka
terjadi di bumi ini, sebab sains dapat dipergunakan untuk halhal yang buruk atau untuk kejahatan.
Rasionalisme Barat melahirkan para rasionalis yang
bertuhankan akal, sedangkan rasionalisme Islam melahirkan
rasionalis yang yakin akan keterbatasan akal. Rasionalisme
Barat melahirkan falsafah humanisme yang mengagungkan
manusia, yang dapat menguasai atau berbuat apa saja. Paham
humanisme Barat itu, seperti dikatakan oleh Bertrand Russell
dalam bukunya The Impact of Science on Society, bahwa sains
bukan saja dapat mengatasi kepintaran Tuhan, tetapi sains
dapat digunakan untuk mengalahkan Tuhan. Ini menunjukkan
kesombongan yang luar biasa. (lihat Shaharir, 1979).
Dalam buku “Step to An Ecology of Mind”, Gregory Bateson
(1972) menunjukkan banyak sekali kesalahan epistemologis
Barat yang mendasari sains modern. Misalnya premis
epistemologis, yang mengatakan bahwa “jika sesuatu itu lebih
baik untuk kita, maka lebih banyak yang kita miliki akan lebih
baik”. Orang yang percaya kepada premis seperti itu maka
baginya tidak merasa bersalah untuk mengekploitasi alam ini
habis-habisan.
Seyyed Hossein Nasr, seorang ilmuan muslim yang
terdidik dalam bidang sains dan ilmu keislaman, sangat kritis
terhadap sains modern. Ia sangat konsern dengan krisis
ekologi yang menyangkut umat manusia di bumi ini.
Kerusakan hutan, pencemaran air dan udara, adalah sebab
manusia tidak lagi takjub kepada diri sendiri dan alam raya
atau kosmos, dan sebab manusia telah miskin kesadarannya
terhadap yang suci atau yang sakral. Dalam kondisi seperti itu
menurut Nasr, manusia cenderung menggunakan sains dan
teknologi untuk mengekploitasi alam demi kepentingan materi.
Kesadaran manusia hanya terikat pada realitas fisik.
Menurutnya, epistemologi Barat memandang realitas fisik
adalah dominan sehingga segala hal yang bersifat metafisik
menjadi tidak penting atau tidak berarti, dan pandangan
demikian sangat mendasar kesalahannya. Pengetahuan tentang
relialitas fisik tidak berbicara mengenai kebenaran tetapi hanya
mengenai ketepatan. Pengetahuan yang hanya berdasarkan
realitas fisik membuat kehidupan menjadi hampa, kering dan
sempit.
Selain krisis ekologi, krisis sains modern juga berdampak
pada krisis manusia. Dengan sains modern manusia cenderung
diperlakukan sebagai mesin atau perpanjangan mesin, sehingga
menyebabkan dehumanisasi. Dengan sains modern timbul
usaha untuk menciptakan jenis makhluk hidup baru atau
kehidupan baru melalui rekayasa genetika, misalnya dengan
system cloning. sebab sains modern memutuskan hubungan
antara manusia dengan realitas yang lebih tinggi atau Tuhan,
menyebabkan terjadinya despiritualisasi. Manusia modern
tidak mengerti tentang siapa dirinya (the self) yang sebenarnya.
Dampak lainnya dari sains modern terhadap manusia ialah
dampak psikologis, yaitu dalam bentuk meningkatnya
penderita depresi, kegelisahan, psikosis, sakit jiwa dan
keinginan bunuh diri.
Dampak lain lagi dari sains modern ialah apa yang
disebut Ziauddin Sardar (1987) sebagai imperialisme
epistemologis, yaitu dampak pada pola pikir manusia dan perilakunya. Orang menganggap segala sesuatu yang datang
dari Barat adalah modern, malah oleh kebanyakan orang dinilai
sebagai pasti baik. warga dunia, termasuk warga
muslim, kata Ziauddin Sardar, dibentuk dengan citra dunia
Barat. Keadaan demikian sudah berlangsung lama sekali, lebih
dari 300 tahun, dan masih akan terus berlangsung kecuali ada
epistemology alternatif.
Syed Naquib al-Attas mengeritik konsep Francis Bacon
bahwa untuk menyelidiki alam, manusia harus menempatkan
alam itu pada sebuah posisi dimana alam itu dipaksa untuk
memberikan jawabannya. Artinya harus dipisahkan antara
pengamat dan yang diamati, antara subyek dan obyek, antara
manusia dan alam, yang akhirnya membawa kepada
pemisahan fakta dan nilai. sebab sains mengamati fakta, maka
nilai menjadi diabaikan. Demikian pula sebab sains hanya
dapat mengamati yang terukur, maka sifat “rohaniah” dari
alam dan benda-benda di dalamnya dihilangkan. Inilah yang
oleh Naquib Al-Attas disebut sekularisme. Ia juga mengeritik
teori positivisme Comte yang dilihat dari perspektif Islam
menjadi sangat bermasalah, sebab ia meletakkan agama
sebagai jenis pengetahuan yang sangat primitive. Teori Comte
yang membagi perkembangan berpikir manusia dalam tiga
tingkat yaitu religius, metafisik dan positif ternyata tidak
terbukti kebenarannya sebab manusia ditengah perkembangan sains dan teknologi yang pesat sekarang ini, masih
tetap berpegang pada agama dan pada hal-hal yang metafisik.
Betapapun tingginya pendidikan seseorang ternyata ia
tetap menerima kebenaran ilmiah yang bukan berdasarkan
metode empirisme, tetapi melalui informasi yang diperolehnya
dari buku atau laporan orang lain. sebab itu tidaklah benar
apabila suatu ilmu pengetahuan hanya dapat diperoleh melalui
metode empiris rasional. Pengetahuan tentang akhirat, tentang
ibadah haji dll. diperoleh dari sumber-sumber yang terpercaya
sekalipun hal itu berada di luar jangkauan akal dan empiri.
Naquib juga mengeritk konsep desakralisasi alam oleh ilmuan
sekuler yang melepaskan keterkaitan alam dengan segala unsur
ketuhanan. Agama menentang desakralisasi jika desakralisasi
diartikan sebagai meniadakan semua makna spiritual dalam
pandangan terhadap alam. (lihat Adian, 2012)
Seperti dikatakan oleh Theodore Roszak, bahwa sains
mendominasi budaya warga negara-negara maju. Adanya
mode kesadaran ilmiah, yang disebut “saintisme”, yaitu suatu
cara berpikir dimana ekperimen dan pengalaman statistical
menjadi satu-satunya yang bisa dipercaya. Kebenaran yang
diperoleh dengan metode ilmiah dipandang sebagai kebenaran
yang mutlak. Ilmu sosial menjadi amat kuantitatif, perubahan
social atau individual dipandang dapat dijelaskan secara
kuantitatif, pengalaman dan perasaan manusia direduksikan ke
dalam simbol-simbol matematis. Nilai-nilai seperti dikembangkan oleh rasionalisme, empirisme, sekularisme, dan pragmatisme yang semuanya itu oleh Herman Khan disebut “budaya
inderawi”, kini menonjol dalam gaya hidup individu, baik
dalam warga maupun dalam pemerintahan.
Stephen Mason dalam bukunya A History of Science (1962)
mengatakan “Dalam dunia modern Sains telah membawa
manusia kepada sekularisasi pikiran dan pengembangan sifat
utilitarian, di samping juga berpengaruh pada standar
penilaian dan nilai-nilai manusia”. Sifat utilitarian daripada
sains modern berarti bahwa pemahaman terhadap alam
berjalan bersama sama dengan kontrol teknik terhadapnya. Ini
tercermin pada sifat pragmatis dari sains modern, yaitu ia
benar sebab berguna untuk menciptakan teknologi.
Karl R.Popper (bukunya yang terkenal ialah: The Logic of
Scientific Discovery) menunjukkan bahwa metode keilmuan
seperti yang dikembangkan oleh aliran positivisme dan neo
positivisme itu didasarkan kepada suatu kekeliruan logis.
Menurutnya tenaga pendorong sains bukan pada konfirmasi
tetapi pada penyangkalan. Bagi Popper yang penting bukanlah
klarifikasi (pengujian kebenaran) tatapi falsifikasi (pengujian
kesalahan).
Thomas Kuhn (bukunya yang terkenal ialah The
Structures of Scientic Revolutions) juga mengeritik kelemahan
sains modern itu dengan mengemukakan konsep paradigma
untuk menjelaskan bagaimana proses kegiatan sains itu
sebenarnya.
Adapun kritik Edward Goldsmith terhadap sains
modern, sebagaimana ditulis dalam karangannya “Is religion a
science? (1975) ialah bahwa “sains modern itu sekarang ini
hanya merupakan akumulasi dari setengah kebenaran, dan atas
dasar setengah kebenaran itulah kita mengontrol dunia, dan
sebagai hasilnya telah membawa dunia kepada kehancurannya.”
Kritik terhadap sains modern tertuju juga kepada paham
reduksionisme, yaitu paham bahwa segala sesuatu dapat
dikembalikan kepada suatu konsep asasi yang dipandang pasti,
yang mekanis, yang tidak berdasarkan pada wahyu. Suatu
anggapan dalam kajian sains ialah bahwa bentuk alam semesta
dengan segala gejalanya dipandang sebagai memenuhi sifat
yang bersistem, seragam dan tidak kacau, yang disebut prinsip
parsimony. Itulah sebabnya para ilmuan sering mengembangkan kajian mereka dengan melakukan reduksi. Mereka hanya
berpegang pada ilmu aqli (ilmu akal), dan menolak wahyu
yang menjadi dasar ilmu naqli. Inilah yang membedakan sains
Barat dengan sains yang lain. Proses sains Barat semata-mata
berkisar pada alam maya saja dan terpisah jauh dengan agama,
sedangkan proses sains Islam selalu terjalin dengan ilmu
wahyu atau ilmu naqli. Inilah yang telah menyebabkan
kegemilangan sains dan peradaban Islam pada abad ke-9 – 12
M.
2. Kelemahan Sains Modern
Dari berbagai kritik yang ditujukan kepada sains modern
menunjukkan bahwa sains modern itu memiliki kelemahan
yang mendasar, yaitu:
1. Sains modern tidak selalu mampu membantu manusia
memahami alam semesta secara seutuhnya, sebab sains
modern menggunakan pendekatan analitis dan
reduksionistis yang mementingkan bagian-bagian, bukan
keseluruhan.
2. Sains modern diklaim bersifat objektif, netral, dan bebas
nilai (value-free), padahal sains tidak selalu objektif dan
bebas nilai, malah justru penuh dengan nilai (value-laden)
sebab sains selalu dipengaruhi keyakinan kita yang
bersifat subjektif.
3. Metode verifikasi yang dipakai pengembangan sains
modern tidak dapat dipertahankan kebenarannya sebab
terdapat kekeliruan logis. Seperti dikemukakan oleh Karl
Popper, kebenaran sains harus diuji dengan metode
falsifikasi (pemeriksaaan kesalahan) bukan dengan
metode verifikasi (pengujian kebenaran). Sehingga
Goldsmith mengatakan bahwa sains modern hanya
merupakan akumulasi setengah kebenaran.
4. Sains modern sangat mementingkan pemikiran logis, dan
mengabaikan hal hal yang emosional dan kerohanian.
Pada awal abad ke-20 ketika berkembangkan revolusi
industri di barat, kecerdasan intelek (IQ) digunakan
untuk menilai kepintaran seseorang. Seseorang itu
dikatakan mencapai taraf kesempurnaan kemanusiaan
apabila ia memiliki IQ yang tinggi. Padahal IQ
(kecerdasan berpikir) hanya berperan 20% saja bagi
keberhasilan hidup seseorang, sebab peran unsur EQ
(kecerdasan emosional) dan SQ (kecerdasan spiritual) juga
lebih menentukan (lihat Silberman, 2002).
5. sebab sifatnya yang sekuler, maka sains modern
berpotensi despiritualisasi kehidupan manusia. Agama
menjadi tidak lagi menjadi pedoman hidup, semua bisa
diciptakan atau dilakukan manusia tanpa merujuk
kepada nilai agama.
6. sebab sifatnya yang materialistis dan pragmatis maka
sains modern berpotensi dehumanisasi. Manusia
dipandang sebagai materi atau sebagai mesin (lhomme
machine), atau sebagai perpanjangan mesin. Sebagai mesin
yang bersifat mekanistik, maka manusia cenderung
bekerja secara mekanis, bukan secara alamiah menurut
fitrahnya.
7. sebab sifatnya yang materialistik dan pragmatik maka
manusia cenderung terdorong untuk berbuat serakah,
sehingga berpotensi untuk merusak lingkungan.
3. Diperlukan Filsafat Sains Alternatif
sebab kelemahan-kelemahan yang mendasar dari sains
modern, maka sains modern tidak dapat diandalkan lagi. Para
ilmuan muslim berpendapat bahwa harus dicari filsafat sains
alternatif, yaitu filsafat sains Islam (epistemology Islam)
dengan membangun paradigma keilmuan yang didalamnya terkandung hukum-hukum normatif yang berdasarkan filsafat
Islam. Bagaimana ciri-ciri filsafat sains Islam itu telah diusulkan
oleh sejumlah ilmuan muslim, misalnya oleh Ziauddin Sardar
(1973) dan IFIAS (1981) (lihat bab 11 buku ini). Di samping itu
oleh Nataatmadja (1992) dan Syamsul Arifin dkk. (1999)
diusulkan sejumlah ciri sains Islam, antara lain sebagai berikut.
1. Rasionalisme yang berakar pada nilai spiritualisme Islam.
2. Empirisme yang tidak hanya berakar pada dunia fisik,
tetapi juga dunia metafisik.
3. Sains yang tidak tepisah dengan agama.
4. Sains tidak netral terhadap nilai moral, agama dan
ideologi, sebab itu sains sarat dengan nilai, bukan bebas
nilai.
5. Hukum kausalitas dalam sains itu merupakan
keniscayaan dan Allah merupakan prima causa yang
harus ditegakkan dalam pemikiran ilmiah.
6. Nilai dan norma keilmuan inheren dalam seluruh
struktur sains, termasuk pada pengguna sains.
Filsafat sains Islam atau epistemologi Islam itu sangat perlu
diusaha kan oleh ilmuan muslim untuk mengembangkan sains
dan teknologi yang sesuai dengan ajaran Islam dan yang dapat
memenuhi kebutuhan umat Islam.
1. Sumber Ilmu Menurut Islam
Dari perspektif agama Islam, semua ilmu pengetahuan
bersumber pada Allah SWT, yang diketahui oleh manusia
melalui wahyuNya yang tercantum dalam kitab suci AlQur‟an. Sebagai sumber pengetahuan yang utama sesungguhnya Al-Qur‟an telah memberikan banyak informasi dan
petunjuk mengenai cara manusia memperoleh ilmu pengetahuan. Beberapa ayat Al-Qur‟an mengisyaratkan agar AlQur‟an dijadikan sebagai sumber ilmu dengan memakai katakata antara lain: ya‟qilun (memikirkan),dan yudabbirun
(memperhatikan).
Adapun petunjuk-petunjuk Al-Qur‟an tentang cara-cara
memperoleh pengetahuan atau kebenaran pada dasarnya ada 3
macam, yaitu melalui panca indera, melalui akal, dan melalui
wahyu. Dalam Al-Qur‟an ada beberapa ayat yang menyuruh
manusia menggunakan inderanya dalam mencari ilmu
pengetahuan, yaitu dengan penggunaan kata-kata seperti: qala
(menimbang), qadara (ukuran/ketentuan), dan lain-lain. Katakata itu menisyaratkan bahwa pengetahuan itu dapat diperoleh
melalui observasi terhadap segala sesuatu yang merupakan
dasar dari pemikiran, perhitungan, dan pengukuran. Terlepas
dari kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh indera manusia,
adalah diakui bahwa indera memilki kemampuan yang kuat dalam memperoleh pengetahuan. Dengan indera dapat
dilakukan observasi dan ekperimen. Di dalam Al-Qur‟an
terdapat metodologi pengetahuan yang memperkuat adanya
pengetahuan indera itu, namun Al-Qur‟an juga menerangkan
keterbatasan indera manusia sebagai alat untuk memperoleh
pengetahuan yang benar. Al-Qur‟an mengecam orang-orang
yang hanya mengandalkan inderanya untuk memperoleh
kebenaran, misalnya yang dikisahkan oleh Al-Qur‟an tentang
kaum Nabi Musa yang ingin melihat Tuhan secara langsung.
Al-Qur‟an juga menyebutkan adanya realitas yang tidak bisa
diamati dengan indera, yang menunjukkan bahwa indera itu
terbatas jangkauannya dalam mencapai kebenaran (lihat Mehdi
Ghulsyani, 2003).
Di atas pengetahuan indera masih ada pengetahuan yang
lebih tinggi yaitu pengetahuan akal. Adanya pengetahuan itu
dapat dipahami dari beberapa kata yang dipakai dalam AlQur‟an seperti: tafakkur (merenungkan), ta‟aqqul (memikirkan),
tafaqquh (memahami), dan lain-lain. Kata-kata itu menunjukkan
kepada akal sebagai metode bagi manusia untuk memperoleh
ilmu. Meskipun hampir semua ulama dan ahli filsafat Islam
mengakui akal sebagai sumber pengetahuan, namun pendapat
mereka tentang tingkat kepentingannya berbeda-beda.
Sebagian ahli filsafat sangat melebihkan pentingnya akal, yaitu
oleh ahli-ahli filsafat rasionalis atau golongan Muktazilah dan
pengikut-pengikut Syi‟ah, yang mengatakan bahwa dengan
akal kita akan dapat menanggapi segala sesuatu termasuk
wujud Allah, kebaikan, keburukan dan hal-hal yang ghaib.
Sementara itu, golongan yang lebih sederhana penilaiannya terhadap akal ialah dari golongan ulama tasawuf, serta ahli
fikh dan hadist, dimana mereka menghargai akal sekedarnya
saja dan tidak mengatakan bahwa akal itu dapat menjangkau segalanya, sebab walaupun akal itu lebih luas jangkauannya
dari alat dria, namun ia terbatas terutama yang berkenaan
dengan ketuhanan dan hal-hal yang ghaib. Al-Kindi (801-873)
berpendapat bahwa alat dria manusia merupakan sumber
pengetahuan yang utama, dan akal merupakan sumber yang
kedua. Menurutnya (lihat Harun Nasution, 1992:18) akal
manusia memiliki tiga tingkatan, yaitu:
a. akal yang bersifat potensial,
b. akal yang bersifat aktual (telah keluar dari sifat
potensialnya),
c. akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Ini berarti bahwa akal baru memiliki makna apabila ia
diaktualkan, bukan hanya sebagai potensi. Menurut Ghulsyani
(2003:107-117), sesungguhnya kebenaran akal lebih tinggi dari
pada pengetahuan indera, namun akal dapat juga jatuh pada
kekeliruan-kekeliruan yang berbahaya. Ada beberapa faktor
menurutnya yang menyebab-kan terjadi distorsi pada pengetahuan akal, yaitu:
a. Ketiadaan iman;
b. Mengikuti hawa nafsu, kecenderungan dan keinginankeinginan;
c. Cinta, benci buta, dan prasangka;
d. Takabur;
e. Taklit buta terhadap pendapat nenek moyang dan
pemikiran jumud;
f. Tergesa-gesa dalam memutuskan;
g. Kebodohan sehingga menerima atau menolak sesuatu
tanpa alasan;
h. Kedangkalan pengetahuan sebab tidak mau berpikir
secara mendalam;
i. Ketidakpedulian terhadap pentingnya kebenaran.Pentingnya Ilmu Pengetahuan
Agama Islam memberi tekanan yang sangat besar kepada
masalah ilmu. Dalam Al-Qur‟an kata al-„ilm digunakan lebih
dari 780 kali. Allah swt. berfirman yang artinya:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang mencipta-kan.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah.
Dan Tuhanmulah yang paling pemurah. Yang menga-jarkan
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS Al-Alaq: 1-5)
Ayat ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya
membaca, pena, dan ajaran untuk menusia agar manusia
memiliki ilmu pengetahuan.
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada malaikat dan
berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama-nama benda itu, jika
kamu memang orang yang benar!” Mereka menjawab: “Maha-suci
Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain apa yang telah
Engkau ajarkan kepada Kami; Engkaulah yang maha mengetahui
lagi maha bijaksana” (QS Al-Baqarah:31-32)
Ayat ini menunjukkan bahwa malaikatpun disuruh
bersujud dihadapan Adam, sebab Adam telah diberi ilmu
(diajari nama-nama).
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” (QS Az-Zumar: 9)
Ayat ini menegaskan bahwa adalah tidak sama antara
orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu (mengetahui
dengan yang tidak mengetahui)“Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk
manusia; dan tiada yang memahaminya, kecuali orang-orang
yang berilmu.” (QS Al-Ankabut:43)
Ayat ini menegaskan bahwa hanya orang yang
berilmulah yang memahami berbagai hal dalam alam semesta
ciptaan Allah swt.
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hambahambaNya, hanyalah ulama”. (QS Al-Fathir: 28).
Ini berarti bahwa hanya orang yang berilmu yang takut
kepada Allah swt.
Terdapat sejumlah hadist yang menyatakan pentingnya
ilmu bagi manusia, antara lain adalah:
Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim
Carilah ilmu walaupun di negeri cina
Carilah ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat
Para ulama adalah pewaris para Nabi
Orang yang paling berharga adalah yang paling banyak
ilmunya dan yang paling hina adalah yang paling
bodoh. (Lihat Ghulsyan, 1993 hal 39-40).
sebab pentingnya ilmu pengetahuan maka adalah
sangat perlu setiap muslim mempelajari ilmu. Mahdi
Ghulsyani (1993:49) mengemukakan alasan mengapa dalam
perspektif Al-Quran ilmu pengetahuan sangat perlu dipelajari.
1. sebab mencari ilmu merupakan kewajiban jika pengetahuan dari sesuatu ilmu itu menurut syariah merupakan
persyaratan untuk mencapai tujuan-tujuan Islam. Misalnya
kesehatan adalah penting dalam warga Islam, dan
sebab itu mempelajari ilmu obat-obatan adalah wajib
kifayah. Seluruh ilmu, merupakan alat untuk mendekatkan
diri kepada Allah swt, dan selama memerankan peranan
itu, maka ilmu itu suci, tetapi apabila tidak maka ilmu akan
menjadi alat kesesatan.
2. sebab warga yang dikehendaki oleh Al-Qur‟an
adalah warga yang agung dan mulia, bukan
warga yang takluk dan bergantung kepada orangorang kafir.
3. Dalam dunia modern sekarang ini banyak masalah
kehidupan manusia tidak dapat dipecahkan kecuali
dengan usaha pengembangan ilmu.
3. Ilmu Yang Bermanfaat
Dalam Islam ditegaskan bahwa orang muslim harus
menuntut ilmu yang berguna, dan melarang mencari ilmu
yang bahayanya lebih besar dari manfaatnya. Hadist Nabi
mengatakan: “Sebaik-baik ilmu ialah yang bermanfaat”.
Menurut Imam Abu Rajab al-Hambali “ilmu yang bermanfaat
adalah yang dipelajari dengan seksama dari Al-Quran dan
Sunnah Rasulullah, serta berusaha memahami kandungan
maknanya”. Ilmu ini “masuk (dan menetap) ke dalam
relung hati, yang kemudian melahirkan rasa tenang, takut,
tunduk, merendahkan dan mengakui kelemahan diri di
hadapan Allah Ta‟ala”. Ini berarti bahwa ilmu yang cuma
pandai diucapkan dan dihafalkan tetapi tidak menyentuh
apalagi masuk ke dalam hati manusia maka itu sama sekali
bukanlah ilmu yang bermanfaat, dan ilmu seperti itu justru
akan menjadi bencana bagi yang memilikinya, bahkan
menjadikan pemiliknya terkena ancaman besar di akhirat.
Menurut Mahdi Ghulsyani (1993:55), ilmu yang
bermanfaat ialah ilmu yang digunakan untuk mendapatkan
pengetahuan tentang Allah, keridhaan dan kedekatan
kepadaNya. Baik itu ilmu-ilmu kealaman maupun ilmu
syariah. Sebabnya ialah sebab tujuan hidup utama manusia
adalah mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan
ridhaNya. Dikatakan juga bahwa, suatu ilmu itu berguna
apabila dapat menolong manusia dalam memainkan peranannya di dunia ini sebagaimana yang telah ditentukan oleh Allah
swt. Apabila tidak demikian maka ilmu itu tidak berguna.
Dengan bantuan ilmu seorang muslim dapat meningkatkan
pengetahuannya tentang Allah, membantu mengembangkan
warga Islam dan merealisasikan tujuan-tujuannya secara
efektif, membimbing orang lain dalam melakukan pengabdian
kepada Allah, dan dapat memecahkan berbagai masalah
warga manusia.
Istilah peradaban (bahasa negara kita ), tamaddun (bahasa
Arab), atau civillization (bahasa Inggeris) menunjuk kepada
pengertian kebudayaan yang lebih maju, lebih baik, lebih
indah, lebih tinggi sifatnya, baik dalam bentuk material
maupun dalam bentuk spiritual atau kerohanian. Di Malaysia,
untuk peradaban dipakai kata tamaddun. Menurut Syed
Naquib al-Attas, tamaddun adalah kehidupan insan yang
mencapai taraf kehalusan, tata susila dan kebudayaan yang
luhur bagi seluruh warga nya.
Menurut Ibnu Khaldun, ciri tamaddun adalah majunya
pembangunan yang berkaitan dengan peningkatan kemewahan
kehidupan, keindahan dalam suasana dan minat warga
kepada berbagai aspek industri, termasuk untuk keperluan
bahan makanan, pakaian, peralatan rumah tangga dan lain
sebagainya. Secara rinci, ciri tamaddun menurut Ibnu Khaldun
adalah sebagai berikut:
a. Kehidupan beragama yang lebih tinggi, baik,
b. Sistem pemerintahan dan negara yang baik dan teratur
c. Sistem penulisan yang baik
d. Bentuk seni yang jelas dan tinggi
e. Kehidupan kota
Menurut Sayyid Qutb, peradaban Islam adalah segala
bentuk kemajuan yang dihasilkan oleh suatu warga
seperti dalam sistem sosial, pemerintahan, politik, ekonomi dan kebudayaan yang berdasarkan syariat Islam dan bercirikan
nilai-nilai akhlakul karimah (Islami). Pada abad ke-20
Muhammad Abduh dalam tulisannya berjudul “al-Tamaddun”
menyebutkan bahwa sebuah bangsa yang beradab adalah
bangsa yang negerinya telah berkembang termasuk dalam hal
gedung-gedung, pasar yang maju, serta juga ada di dalam
negeri itu para pekerja, para politisi dan orang-orang yang
terhormat. Istilah Arab lain yang biasa dipergunakan untuk
tamaddun ialah madaniyyah dan hadarah. Penggunaan kata
madaniyyah adalah menunjuk kepada aspek kehidupan materi
dalam suatu warga , yang dalam arti ini dapat diterapkan
ke dalam warga apapun, sedangkan kata hadarah
berkaitan dengan fenomena spiritual dan kebudayaan dalam
kehidupan suatu warga , yang dalam arti ini hanya sesuai
untuk warga tertentu, dan sulit ditiru oleh warga
yang lain. Istilah yang popular dikalangan para penulis dan
sejarawan Arab adalah kata hadarah, sedangkan di kalangan
sarjana dan intelektual muslim non-Arab (Turki, Persia,
Melayu) hanya dikenal dua istilah madaniyyah dan tamaddun.
2. Sekilas Sejarah Perkembangan Peradaban Islam
Peradaban Islam bermula ketika Nabi Muhammad saw
hijrah ke Medinah. Setelah disusun Piagam Medinah mulailah
berkem-bang warga Islam dengan sistem kehidupan yang
bersifat menyeluruh. Nabi Muhammad saw diakui sebagai
pemimpin Negara. Perkembangan selanjutnya dari peradaban
Islam ialah pada zaman Khulafarur Rasyidin, yang terdiri atas
4 khalifah, yaitu: Abubakar AS, Umar bin Khatab AS, Usman
bin Affan AS, dan Ali bin Abi Thalib AS. Pada masa itu
pembangunan Negara Islam difokuskan pada pembangunan insan, kemajuan yang menyeluruh dan seimbang, keadilan,
perkembangan ilmu dan perkembangan wilayah.
Kemudian peradaban Islam semakin berkembang pada
masa pemerintahan Khilafah Umayyah dan Khilafah
„Abbasiah, yaitu periode selama 600 tahun lamanya yang biasa
disebut sebagai era peradaban “Islam Klasik”. Kerajaan
Khalifah Ummayah (661-750 M) adalah kekalifahan Islam
pertama setelah masa Khulafarur Rasyidin. Ibu kota kerajaan
pada mulanya berada di Damaskus dan kemudian di Kordoba
Spanyol. Pada masa kerajaan Bani Ummayah tamaddun Islam
berkembang terutama dalam bidang kemiliteran, ekonomi, dan
pendidikan. Dalam bidang kemiliteran antara lain dipermodern
angkatan bersenjata serta alat perangnya. Angkatan perang
terdiri atas pasukan berkuda, memakai kenderaan, dan
pasukan jalan kaki, prajurit terlatih dalam perang musim panas
dan musim dingin.
Dalam bidang ekonomi berpusat pada pertanian dan
perdagangan. Sistem administrasi Baitul Mal juga diperbaharui. Bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan mendapat
perhatian yang sangat besar. Kota Basrah dijadikan pusat
penyebaran ilmu, bahasa Arab dijadikan bahasa pengantar
utama dalam kerajaan. Perkembangan ilmu bukan hanya
dalam bidang agama tetapi juga dalam bidang sejarah dan
geografi.
Kerajaan Bani Abbasiyah (750-1258 M) adalah kerajaan
yang melanjutkan kekuasaan Kerajaan Bani Ummayyah.
Disebut kerajaan Abbasyah sebab para pendiri dan penguasa
dinasti ini adalah keturunan Abbas, keturunan Nabi
Muhammad SAW. Pendiri kerajaan ini ialah Abu Abbas AsSaffah. Selama kerajaan ini berkuasa, martabat kaum muslimin
sudah sampai pada puncak kemuliaan. Konsep-konsep
pemerintahan dari Persia juga diadopsi oleh beberapa khalifah
Abbasiyah dengan cara melakukan kawin silang dengan
perempuan-perempuan Persia. Perkawinan itu melahirkan
generasi, baru, salah satunya ialah al-Makmun.
Puncak masa keemasan peradaban Islam terjadi pada
masa pemerintahan khalifah Harun al-Rasyid (788-808 M) dan
al-Makmun (813-833 M). Pada masa Khalifah Al Ma‟mun,
tahun 823 M, didirikan sebuah lembaga penelitian yang cukup
besar dan berperan, yang bernama Baitul Hikmah. Pada
lembaga itu terdapat perpustakaan yang lengkap dengan bukubuku, termasuk tersedianya satu tim penerjemah teks-teks asli
Yunani ke dalam bahasa Arab. Dari Baitul Hikmah itu unsurunsur kebudayaan Yunani diserab oleh kaum muslimin.
Pada masa kegemilangan itu berkembang filsafat Islam dan
ilmu pengetahuan. Kaum muslim pada masa itu memandang
realitas (Tuhan, alam, dan manusia) secara holistic (kaffah).
Kesadaran yang kaffah itulah yang menyebabkan tidak dilihat
adanya pertentangan antara agama dengan filsafat dan ilmu
pengetahuan. Dalam segi akidah, ilmu pengetahuan, filsafat,
kebudayaan, ekonomi dan sistem kewarga an sangat maju,
lebih dari masa-masa sebelumnya. Umat Islam pada masa itu
mengamalkan budaya dan nilai-nilai Islami yang bersifat dunia
akhirat. Keadilan tumbuh dengan baik tanpa membedakan ras
dan suku bangsa.
Kerajaan Abbasiyah memberi kesempatan kepada bukan
orang Arab, khususnya orang Persia untuk memegang jabatan
utama dalam pemerintahan, dan bahasa Persia mengalami
perkembangan sebagai bahasa kedua setelah bahasa Arab
sebagai lingua franca. Prasarana pendidikan seperti mesjid dan
sekolah disediakan juga untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan. Ilmu-ilmu yang dipelajari pada masa itu adalah Al-Quran, Hadist, Nahu, ibadah, geografi, matematika,
astronomi, dan falsafah. Kota Baghdad yang dibangun pada
tahun 762 M oleh Khaliah al-Mansyur, segera menjadi pusat
kebudayaan terbesar di dunia Islam pada abad ke-9 M. (lihat
Seyyed Hossein Nasser, 2003).
3. Tradisi Keilmuan Islam
Tahap penting dalam perkembangan dan tradisi
keilmuan Islam ialah masuknya unsur-unsur luar ke dalam
Islam. Salah satu unsur kebudayaan luar yang diadopsi oleh
Islam pada permulaan perkembangannya ialah kebudayaan
Helenisme (kebudayaan Yunani dan Romawi). Ilmuan dan
filosof muslim pada masa itu mempelajari berbagai ilmu
pengetahuan yang telah tumbuh dalam alam pikiran bangsa
Yunani klasik, seperti matematika, fisika, kimia, biologi,
astronomi, dan kedokteran. Banyak pemikiran filsafat dan ilmu
pengetahuan dari Yunani pada masa itu diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab, termasuk pemikiran-pemikiran Aristoteles.
Filosof Al Farabi dipandang sebagai komentator pemikiranpemikran Aristoteles.
Namun demikian, tidak berarti bahwa kebudayaan
Yunani itu diserap seluruhnya oleh kaum muslimin.
Pandangan dunia bangsa Yunani yang mengandung hal-hal
yang bersifat tahayul dan mitos tidak mungkin diserap oleh
kaum muslim yang tradisi pemikirannya didasarkan pada
wahyu dan sunnah Nabi, yang merupakan sumber utama dari
ilmu pengetahuan dan filsafat Islam, sebab hal itu
bertentangan dengan Islam. Para ilmuan muslim mengadakan
perubahan-perubahan terhadap tradisi pemikiran Helenisme
yang kontemplatif dan spekulatif itu, dan mengembangkan
tradisi berpikir empirical-ekperimental. Usaha itu dilakukan dengan mendayagunakan perangkat-perangkat intelektual
guna menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai hakekat
realitas, baik yang nyata maupun yang gaib. Bertemunya Islam
dengan budaya Helenisme di Bagdad pada zaman kekalifahan
Abbasiah merupakan awal dari perkembangan tradisi filsafat
Islam, sebab sejak itu peradaban muslim kemajuannya
melebihi perdaban dunia selama lebih dari 5 abad lamanya,
yaitu antara tahun 656–1258 M, yang dipandang sebagai abad
keemasan (the Golden Age) dunia Islam.
Dari tangan para ilmuan muslim itu berkembang konsep
ilmu (sains) dan filsafat ilmu yang berdiri di atas postulatpostulat Al-Qur‟an. Pada masa itu terkenal ilmuan muslim
seperti Jabir Ibnu Hayyan (721-815 M) yang dipandang sebagai
bapak alkemi modern, yang mengatakan bahwa seorang
ilmuan seharusnya tidak mengatakan sesuatu kalau tidak
didukung dengan bukti-bukti berdasarkan ekperimen. Ibn
Taymiyah dan Al Biruni adalah penganjur empirisme ilmiah.
Dalam menolak silogisme Aristoteles, Ibn Taymiyah
mengatakan: “kenyataan ada di dunia luar, bukan dalam dunia
pikiran.”
Ziauddin Sardar dalam tulisannya “Why Islam Needs
Islamic Science” (1982) mengatakan bahwa ilmuan muslim dapat
mencapai kemajuan yang luar biasa dalam pekerjaannya,
adalah sebab mereka bekerja dengan cara-cara yang sesuai
dengan Islam. Menurutnya ada tiga unsur dalam tradisi sains
Islam yang digunakan oleh para ilmuan muslim itu, yaitu sikap
rendah hati, pengakuan akan keterbatasan metode ilmiah, dan
penghargaan terhadap subyek yang diamati. Kerendahhatian
merupakan tonggak dasar dalam sains Islam. Misalnya Hasan
Ibnu Al-Haytam ( 965-1039), dalam karya “Optics”
menyimpulkan bahwa pengetahuannya terbatas dan mungkin
ada kesalahan dalam karyanya itu, hanya Allah yang
mengetahui segalanya.
4. Sumbangan Ilmuan Muslim kepada Sains Modern
Dunia Islam bagian Timur yang banyak dikuasai oleh
golongan Asy‟ariyah mengalami stagnasi dalam bidang
pemikiran, dimana filsafat dan sains tidak berkembang. Tetapi
dunia Islam bagian Barat (Cordoba di Spanyol), dimana
berkembang paham Muktazilah, umat Islam memperoleh
kebebasan intelektual, sehingga filsafat dan sains berkembang
dengan pesat, dan banyak terdapat ilmuan muslim yang
terkenal, seperti Ibn Massarah, Ibn Majjah, Ibn Tuffail, Ibn.
Rusyd, dan lain-lain. Dunia Islam bagian Barat itulah yang
membuat benang merah yang menghubungkan alam pikiran
Yunani-Arab Islam dan alam pikiran Barat (modern). Seperti
dikatakan oleh George Bernard Shaw dan juga oleh George
Santilana, bahwa peradaban baru di Barat harus dicari akarakar intelektualnya pada tradisi filsafat Islam dimasa “The
golden age of Islam” di Spanyol. (lihat Hossein Nasr, 2003).
Sebenarnya adalah tidak benar apa yang dikatakan oleh
kebanyakan ilmuan Barat bahwa sains dan teknologi dipelopori
oleh sarjana Barat, yaitu oleh Copernicus (1473-1543), dan
Yohanes Kepler, dan diikuti oleh Galilie Galileo (1564-1642).
Mereka mengkaji tentang astronomi yang katanya dipelajari
dari karya ilmuan Yunani seperti Ptolemy. Padahal sebenarnya
Al-Biruni (973-1050) orang yang pertama yang menerangkan
fenomena gerhana, bulan dan matahari secara tepat dan yang
kemudian mengatakan bahwa matahari adalah pusat sistem
surya. Demikian juga, sarjana Barat mengatakan bahwa
William Harvey sebagai orang pertama yang menemukan
fenomena peredaran darah, padahal fenomena ini sudah
diperbincangkan dengan terperinci oleh Ibn an-Nafis ( -1288).
(lihat Mohd Yusof Hj. Othman, 2009)
Dunia mengakui bahwa perkembangan sains modern
berdiri di atas sumbangan ilmuan-ilmuan muslim. Diantara
sumbangan mereka yang terpenting ialah penemuan metode
ekperimental yang pada gilirannya menimbulkan revolusi di
bidang IPTEK sebagaimana dilakukan oleh Al Biruni, Al
Haytam, Al Razi, Ibnu Sina, dan lain-lain. Al-Qur‟an menjadi
sumber motivasi bagi mereka. Bagi para ilmuan muslim klasik
pada masa itu, cara dan tujuan melakukan sains didasarkan
pada cita-cita Islam. Produk daripada sains menurut mereka
hanya boleh dipakai untuk penggunaan yang dapat diterima
oleh Islam.
Dalam bidang kedokteran, terkenal nama Ibnu Sina dan AlRazi. Ibnu Sina (370-428 M) atau Avecinna , yang menulis buku
petunjuk tentang kedokteran, yaitu tentang fisiologi,
kebersihan, patologi, terapi, dan materi pengobatan. Karyanya
al-Qanun fi al- Thibb merupakan encyclopedia kedokteran yang
paling besar dalam sejarah. Al-Razi adalah tokoh pertama
yang menyusun buku mengenai kedokteran anak. Muhammad
al-Khawarizmi, ahli matematika yang juga mahir dalam
astronomi, adalah yang mencipta ilmu aljabar. Kata “aljabar”
berasal dari judul bukunya al-Jabar wa al-Maqabalah.
Dalam bidang llmu Fisika, Hasan Ibnu Haytam (354-430
M) yang di Eropa dikenal sebagai Alhazen, menemukan optik
yang kemudian dipakai sebagai dasar bagi karya Roger Bacon
dan Kepler mengenai teropong, teleskop, dan mikroskop.
Penelitian-penelitian yang dilakukan Ibnu Haytam dan
karangannya dalam bidang ilmu falak dan metereologi
memiliki manfaat besar dalam menemukan hakekat-hakekat
ilmiah yang penting. Ia membuktikan bahwa bintang-bintang
memiliki sinar khusus yang dikirimnya dan bulan mengambil
cahaya dari matahari. Ia menghitung ketinggian lapisan udara
yang mengelilingi bumi dan memperkirakannya sampai 15 km.
Ia juga memberikan perhatiannya terhadap sebab-sebab
munculnya bulan sabit, gelap, pelangi, dan juga menemukan
kacamata pembesar pertama untuk membaca. Ibnu Haytam
juga terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa
mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut
teorinya, yang kemudian ternyata benar, bahwa bendalah yang
mengirim cahaya ke mata. (lihat Ahmad Fuad Basya, 2015).
Dalam bidang ilmu filsafat terkenal Ibnu Farabi sebagai
komentator Aristoteles, serta Ibnu Rusyd, dan Al-Kindi yang
banyak mempengaruhi ilmuan Barat. Ibnu Rusyd (520-595 M)
yang dikenal sebagai Averroes sangat besar pengaruhnya di
Eropa, sehingga pada waktu itu timbul gerakan kebebasan
berpikir yang disebut gerakan Averroeisme. Berawal dari
gerakan itulah kemudian lahir reformasi dalam bentuk gerakan
kebangkitan kembali atau renaissance Pengaruh ilmu
pengetahuan Islam atas Eropa sudah berlangsung sejak abad
ke-12, yaitu dengan mempelajari terjemahan Arab yang
diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Latin. (lihat juga Badri
Yatim, 1993).
Demikianlah, banyak buku yang telah ditulis mengenai
betapa besarnya sumbangan keilmuan Islam kepada peradaban
dunia, dengan menunjukkan bukti-bukti tentang peranan
ilmuan muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Banyak diantara ilmuan muslim itu yang ahli dalam lebih dari
dua bidang ilmu pengetahuan.
5. Faktor pemicu Majunya Peradaban Islam
Sejarah mencatat bahwa pada zaman Islam klasik, lebih
dari 500 tahun lamanya (650-1150) tamaddun Islam mencapai
kemajuan yang sangat berarti. Itu terutama berlangsung pada
masa pemerintahan Khilahah Abbasyah. Peradaban Islam
berada pada abad keemasan (the golden age), sementara dunia
Eropah pada masa itu masih berada dalam abad gelap (the dark
age). Apa yang menyebabkan dapat dicapai kejayaan seperti
itu?
Ada beberapa pemicu nya.
a. Ilmu dan agama tidak dipertentangkan, keduanya saling
mengisi. Para filosof dan ilmuan pada masa itu di samping
memiliki keimanan yang kokoh, juga memiliki etos
keilmuan yang kuat, mereka juga memiliki etos
kemanusiaan yang tinggi, yaitu mereka sangat percaya
akan kemampuan manusia dalam melaksanakan perannya
sebagai khalifah di bumi.
b. Penguasa pada masa itu sangat mendukung usaha para
ilmuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam, terutama pada masa pemerintahan
khalifah Harun al-Rasyid dan Khalifah al-Makmun. Pada
masa pemerintahan kedua khalifah itu diadakan gerakan
penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan dan juga
didirikan perpustakaan
c. Terjadinya asimilasi antara bangsa Arab dengan bangsabangsa lain yang lebih dahulu telah maju dalam ilmu
pengetahuan. Dalam usaha penyebaran agama Islam ke
berbagai wilayah di dunia, Islam bertemu dengan berbagai
kebudayaan baru yang mendorong semangat untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Misalnya pemerintah
Abbasiyah memasukkan orang-orang Persia dalam
pemerintahan, malah juga menggunakan strategi
perkawinan silang.
d. Kehidupan di dunia Arab pada masa itu berada dalam
suasana yang relatif aman, sampai datang ancaman dari
pihak luar yaitu dari bangsa Mongol di bagian Timur dan
dari pihak Kristen di bagian Barat jazirah Arab.
Faktor-faktor ini dapat dipandang sebagai diantara
sebab majunya peradaban Islam pada masa-masa awal sejarah
Islam sampai dengan abad ke 12.
6. Faktor pemicu Mundurnya Peradaban Islam
Terdapat dua faktor internal yang menyebabkan kemunduran peradaban Islam pada periode Islam klasik.
a. Setelah memasuki abad ke 12 M kaum muslim sudah mulai
meninggalkan tradisi berpikir filsafat, khususnya filsafat
sains. Mereka sudah lebih cenderung mengembangkan
kesadaran mistis dan arketisme, lari dari kesadaran kosmis
atau dunia materi menuju ke dunia sufisme. Penafsiran
secara rasional terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an menjadi
haram, pintu ijtihaj ditutup rapat-rapat, kegiatan berfilsafat
dihujat, filosof mulai dicap sebagai kafir. Islam diredusir
menjadi kegiatan ritual semata atau hanya sebagai ajaran
moral. Sejak itu peradaban Islam mulai redup cahayanya.
Memang seperti dikatakan oleh Mohammad Iqbal, bahwa
Islam (dengan pandangan kosmologinya yang dinamis),
pada dasarnya tidak dapat menerima kebudayaan
Helenisme, malah oleh para ulama budaya Helenisme itu
dipandang dapat membahayakan agama. sebab itu dari
kalangan kaum ulama tumbuh gerakan untuk bangkit
melawan kaum Neo-Platonis Islam yang ada pada waktu
itu, seperti perkumpulan “Ikhwanussafa” yang berusaha menghancurkan filsafat. Dalam karyanya “Tahafut AlFalasifa” Al-Ghazali menunjukkan bahwa ada 20 macam
persoalan yang ditemuinya dalam karya-karya para filosof
yang menurutnya merusak ajaran Islam. Sebanyak 17
macam diantaranya dipandang sebagai bid‟ah, dan 3
macam lainnya membuat para filosof dicap sebagai kafir
sebab dinilai telah menyimpang dari aqidah. Ketiga hal
itu ialah mengenai: Qadimnya alam, penyangkalan
terhadap pengetahuan Allah mengenai hal-hal yang
pertikular, dan penyangkalan terhadap kebangkitan
kembali. Pandangan Al-Ghazali itu mendapat reaksi dari
Ibn Rusyd dari Kordoba, yang mengarang kitab Tahafut al
Tahafut. Selain Tahafut al-Falasifa, Al-Ghazali juga
mengarang buku penting benama “Ihya Ulumuddin”
(Menghidupkan kembali Ilmu-Ilmu Agama). Pandanganpandangannya dalam kitab itu telah membuatnya
memainkan peranan rekonsiliasi antara dua kubu
pandangan yang bertentangan dalam Islam, yaitu antara
pandangan Eksoteris dan pandangan Esoteris. (lihat Aslam
Hadi, 1986:60).
Dalam dunia Islam klasik telah ada dua golongan yang
berbeda dalam filsafat ketuhanan, yaitu Asy‟ariyah yang
berpandangan esoteris, dan Muktazilah yang eksoteris.
Golongan Asy‟ariyah menganut pandangan yang
deterministik (jabariah) mengenai alam dan manusia,
artinya alam dan manusia ini sudah ditentukan sedemikian
rupa oleh Allah dimana manusia tidak dapat
mengubahnya. Manusia tidak memiliki kemauan bebas
(free will) untuk berbuat lain dari yang telah ditentukan itu.
Golongan Muktazilah ialah golongan yang berpandangan
rasionalistis. Menurut mereka alam bersifat deterministik,
tetapi manusia adalah indeterministik sifatnya. Artinya manusia memiliki kemauan bebas (free will) untuk
menentukan kehidupannya. Menurut kaum Muktazilah,
determinisme (ketertundukan) manusia hanya berlaku
pada fungsi dirinya sebagai hamba Allah, bukan pada
fungsi dirinya sebagai khalifah di bumi, sebagai pengelola
dan pemakmur kehidupan dunia. sebab itu manusia tidak
tergantung pada nasib, tetapi memiliki kebebasan untuk
merubah nasibnya. Kaum Asy‟ariyah menetang atau
memusuhi filsafat, sedangkan kaum Muktazilah
mendukung filsafat dan ilmu pengetahuan. Perseteruan
antara kedua paham teologis-filosofis itu telah membawa
sejarah pemikiran Islam pada titik balik yang sangat serius
pada abad ke-12. Sejak itu peradaban Islam mengalami
kemunduran, dan terus tertinggal dari kemajuan dunia
Barat sampai sekarang.
b. Secara gradual setelah beberapa peristiwa, kekuatan
khilafah Abbasyiah menurun. Mereka terjebak perselisihan
yang berada ditengah-tengah antara bangsa Arab, Persia,
dan Turki. Sejak awal abad ke-9 M amir-amir yang
berkuasa di provinsi bagian Timur Persia mulai
melepaskan diri dari pemerintahan pusat kekhalifahan di
Bagdad dan mendirikan dinasti-dinasti sendiri seperti
dinasti Saffariah (867-908 M), dan dinansti Samaniyah (879-
999 M) yang memiliki peran penting dari sudut
pandang kultural sebab mereka adalah pelindung utama
bahasa Persia. Pergerakan dan kemajuan suku-suku Turki
telah menyebabkan terjadinya perubahan penting baik dari
segi politik maupun etnik. Dinasti Ghaznawiyah yang
berasal usul Turki mengalahkan dinasti Samadiyah dan
mendirikan kerajaan-kerajaan, dan bahkan kekuasaannya
sampai ke India. Dinasti Turki yang penting ialah Bani
Seljuk yang berkuasa hampai 2 abad lamanya (1035-1258 M). Meskipun berasal dari keturunan bangsa Turki, Bani
Seljuk adalah pelaku utama khasanah budaya Persia.
Selama masa pemerintahan mereka kesusasteraan Persia
berkembang pesat dan Persia telah melahirkan beberapa
penyair besar. (lihat Hossein Nasr, 2003).
Adapun sebagai faktor eksternal yang menjadi pemicu
kemunduran itu adalah sebab terjadinya invasi dari pihak luar
terhadap peradaban Islam. Pada saat bagian barat wilayah
Islam tidak terpengaruh oleh invasi bangsa Mongol, wilayah
Timur telah dihancurkan oleh keturunan Jengis khan itu, yang
mengawalinya dengan merebut daerah Asia Tengah, kemudian
Persia, Irak, Syria, Palestina dan hanya terhenti oleh pasukan
Mamalik di Semenanjung Sinai. Bangsa Mongol juga
menghabisi kekhalifahan Abbasiyah sehingga membawa
perubahan besar dalam bidang politik dunia Islam. Dengan
penaklukan Baghdad dan pembunuhan terhadap khalifah
terakhir Bani Abbas pada tahun 1258 M, dunia Islam memasuki
fase baru sejarahnya.
Sejak mundurnya peradaban Islam pada abad ke 13 yang
kemudian peradaban Barat mulai maju, ternyata peradaban
Islam masih tertinggal sampai sekarang. Para ilmuan muslim
kontem-porer menyadari hal itu dan terus berusaha untuk
membangun kembali peradaban Islam. Ada beberapa usaha
yang telah dan sedang dilakukan ke arah itu sejak abad ke 15
H, diantaranya ialah: menggagaskan dan mengembangkan
konsep Islamisasi ilmu pengetahuan, membangun epistemologi
sains Islam, dan memajukan kembali pendidikan bagi kaum
muslimin.
1. Melalui Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islam adalah sebuah sistem agama, kebudayaan dan
peradaban secara menyeluruh, dimana etika dan nilai-nilainya
menyerap setiap aktivitas manusia, termasuk di dalamnya
sains, yang bermakna bahwa ilmu pengetahuan atau sains
tidak mungkin bebas nilai tetapi sarat dengan nilai (value
laden). Gagasan Islamisasi llmu pengetahuan muncul dari
keyakinan ini , yaitu sebagai reaksi terhadap konsepsi
sains modern yang mengatakan bahwa sains netral atau bebas
nilai (value free). Artinya ilmu pengetahuan modern itu harus
diislamkan.
Berbicara mengenai Islamisasi ilmu pengetahuan tidak
dapat dilepaskan dari tiga orang ilmuan muslim yang
dipandang sebagai penggagas atau pelopornya, yaitu Syed
Muhammad Naquib al-Attas, Ismail Raji al-Faruqi dan Seyyed
Hossein Nasr. Berikut ini dikemukakan secara singkat gagasan
dan usaha yang dilakukan mereka mengenai Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Syed Muhammad Naquib al-Attas
Profesor al-Attas adalah ilmuan warganegara Malaysia,
lahir di Bogor, negara kita pada 5 September 1931, putra dari
Syed Ali Alatas, yang pada usia 5 tahun pindah ke Malaysia.
Memperoleh gelar MA pada McGill University, Kanada (1962)
di bidang Teologi dan Metafisika, dan gelar PhD. pada The
School of Oriental and African Studies, The University of
London (1966). Ia pendiri Institut Bahasa, Kesusasteraan dan
Kebudayaan Melayu, dan salah seorang pendiri Universitas
Islam Antar Bangsa, Malaysia (1987) serta pendiri International
Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) dan menjadi
pimpinannya (1989-2002). Sejak tahun tahun 1960-an al-Attas
telah menggagas teori Islamisasi ilmu. Bukunya yang berjudul
Preliminary Statements on a General Theory of the Islamization of the
Malay-negara kita n archipelago ditulis tahun1969.
Ketika berlangsung konperensi internasional tentang
pendidikan di Mekkah tahun 1977, al-Attas diundang sebagai
pembicara utama dimana ia mengatakan bahwa tantangan
terbesar yang sedang dihadapi oleh umat Islam ialah
sekularisasi ilmu pengetahuan. Ia mengeritik proses
sekularisasi ilmu pengetahuan yang terjadi di dunia Barat, dan
menyampaikan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai
solusinya. Gagasannya itu dipertajam lagi dalam bukunya
berjudul Islam and Secularization yang ditulis tahun 1978, dan
kemudian pada tahun 1995, ide-idenya mengenai Islamisasi
ilmu pengetahuan dibukukan dengan judul Prolegomena to the
Metaphysic of Islam.Dalam bukunya berjudul Islam and The Philosophy of Science
(1989:9) al-Attas mengemukakan bahwa wahyu merupakan
sumber ilmu tentang realitas dan kebenaran akhir mengenai
makhluk dan Penciptanya. Wahyu merupakan dasar bagi
kerangka metafisis untuk membahas filsafat sains sebagai
sebuah sistem yang menggambarkan realitas dan kebenaran
yang diperoleh melalui rasio dan empiri. Tanpa wahyu, realitas
yang dipahami hanya terbatas kepada alam nyata yang
dipandang sebagai satu-satunya realitas. Itulah sains sekuler.
Dikatakan bahwa pandangan hidup Islam terdiri dari berbagai
konsep yang saling terkait, seperti konsep Tuhan, wahyu,
penciptaan, psikologi manusia, ilmu, agama, kebebasan, nilai
dan kebaikan serta kebahagiaan. sebab itu Islam adalah
agama dan sekaligus peradaban. Kebenaran nilai dalam Islam
bersifat mutlak sebab kebenaran nilai Islam akan berlaku
sepenjang masa.
Gagasan Naquib al-Attas tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan yang telah digelutinya selama sekitar 30 tahun,
dimanifestasikan dalam ISTAC, sebuah lembaga pendidikan
pascasarjana yang didirikannya pada tahun 1989 di Malaysia.
Ismail Raji al-Faruqi
Profesor Ismail Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada 1
Januari 1921. Pendidikan dasar dilaluinya pada College des
Fretes di Lebanon, dan pendidikan tinggi ditempuh pada The
American University, Bairut. Setelah lulus sarjana ia kembali ke
Palestina bekerja sebagai pegawai pemerintah. Pada tahun 1947
ia hijrah ke Amerika Serikat, dan disana ia mulai menekuni
dunia akademik. Ia meraih gelar Master pertama dalam bidang
filsafat dari Universitas Indiana (1949), dan gelar Master kedua
dari Universitas Harvard, sementara gelar doktornya diperoleh
di Universitas Indiana. Kemudian selama 4 tahun ia
memperdalam ilmu agama di Universitas al- Azhar, Kairo.
Setelah itu pada tahun 1959 ia mengajar di Universitas McGill,
Montreal, Kanada selama dua tahun. Pada tahun 1962 ia
pindah ke Karatchi, Pakistan, terlibat dalam kegiatan riset.
Tahun 1962 ia kembali lagi ke Amerika Serikat mengajar di
Fakultas Agama Universitas Chicago, dan program pengkajian
Islam di Universitas Syracuse, New York. Tahun 1968 ia pindah
ke Universitas temple, Philadelphia dimana ia mendirikan
Pusat Pengkajian Islam di sana. Sementara itu ia juga menjadi
professor tamu di berbagai universits seperti di Philipina dan di
Iran. Nasib tragis menimpanya, al-Faruqi dan isterinya Dr. Lois
Lamya, serta keluarganya terbunuh pada tanggal 27 Mei 1986
di Philadelphia, dalam satu kerusuhan yang dilakukan oleh
kelompok teroris. (lihat w.w.w ummahonline.com)
Yang dimaksud dengan Islamisasi ilmu pengetahuan
menurut Ismail Faruqi ialah mengislamkan semua ilmu, baik
ilmu kontemporer maupun ilmu-ilmu yang menjadi tradisi
Islam. Jadi berbeda dengan pengertian islamisasi yang
dimaksudkan oleh Naquib al-Attas. Definisi Islamization of
Knowledge menurut Ismail Faruqi adalah sebagai “usaha
dalam memberikan definisi baru, mengatur data-data, memikir
kembali argumen dan rasionalisasi berhubung data itu, menilai
kembali kesimpulan dan tafsiran, membentuk kembali tujuan,
dan melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga semua
disiplin itu memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi
cita-cita Islam.
Menurut Faruqi, tujuan islamisasi ilmu pengetahuan
adalah untuk menghapuskan secara tuntas dualisme sistem
pendidikan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini,
menggantikannya dengan paradigma Islam atau sistem
pendidikan Islam yang dapat menanamkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan waktu.
Dikatakannya bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan yang
digagaskannya bersandarkan pada prinsip tauhid. Prinsip
tauhid itu dikembangkan menjadi lima macam kesatuan, yaitu:
1) kesatuan Tuhan, 2) kesatuan ciptaan, 3) kesatuan kebenaran
dan pengetahuan, 4) kesatuan kehidupan, dan 5) kesatuan
kemanusiaan. (lihat Ismail Faruqi, Islamisasi Pengetahuan,
Pustaka, Bandung, 2003:38-39).
Untuk merealisasikan gagasannya ini , Ismail Faruqi
bersama teman-temannya mendirikan Internasional Institut
Pemikiran Islam (International Institute of Islamic Thought, IIIT)
di Virginia, pada tahun 1981. Untuk melaksanakan rencana
kerjanya, Ismail Faruqi menyarankan beberapa langkah sebagai
berikut:
1. Mengembalikan ilmu tauhid pada kedudukannya sebagai
teras ilmu dan ilmu tertinggi dalam susunan ilmu
pengetahuan.
2. Melaksanakan pengajaran ilmu tauhid yang lebih luas
ruang lingkupnya dan dengan lebih berkesan dengan
menghubungkan ilmu ini kepada segala bidang ilmu
modern dan segala bidang kehidupan manusia dewasa ini.
3. Menghidupkan peranan al-Quran sebagai pencetus
kemajuan ilmu pengetahuan dan sebagai sumber prinsipprinsip ilmu dalam pelbagai bidang.
4. Memupuk sikap yang positif dikalangan orang Islam
terhadap warisan intelektual tamaddun Islam zaman silam
dan juga terhadap ilmu pengetahuan modern yang
dihasilkan oleh orang bukan Islam
5. Mewujudkan iklim yang sehat bagi pertumbuhan ilmu,
yaitu dengan menggalakkan factor-faktor yang dapat menyuburkan pertumbuhan ilmu dan menghapuskan
factor-faktor yang menghalangi kemajuannya.
6. Melahirkan segolongan ilmuan yang memiliki
pengetahuan mendalam tentang tradisi ilmu Islam dan
pada waktu yang sama menguasai pelbagai bidang ilmu
pengetahuan yang modern. (lihat Baharuddin Ahmad,
1994: 139-140).
Pendidikan merupakan bagian penting dari tujuan
programnya, dan salah satu dampak dari gagasan Islamisasi
ilmu pengetahuan Ismail Raji al-Faruqi ialah berdirinya
Universitas Islam Antar Bangsa di Malaysia pada tahun 1983.
Setelah ia meninggal, namanya diabadikan dengan didirikan
The Ismail and Lamya al-Faruqi Memorial Fund, oleh organisasi
warga Islam Amerika Utara (ISNA), untuk mengenang
jasa-jasa, usaha, dan karyanya, dan untuk maksud melanjutkan
cita-cita Islamisasi ilmu pengetahuan.
Seyyed Hossein Nasr
Prof. Seyyed Hossein Nasr seorang ilmuan muslim
kelahiran Iran tahun 1933 tetapi lama tinggal di Amerika
Serikat. Ia dengan sangat gigih mengeritik sains sekuler.
Sebagai solusi terhadap gerakan sekularisasi atau desakralisasi
ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh Barat, Hossein
Nasr menggagaskan konsep sains sakral. Ia mengatakan bahwa
iman tidak terpisah dari ilmu dan ilmu tidak terpisah dari
iman. Fungsi ilmu adalah sebagai jalan menuju yang sakral.
Menurutnya desakralisasi ilmu pengetahuan di Barat bermula
ketika masa renaissance, yaitu ketika rasio mulai dipisahkan
dari iman, yang kemudian seterusnya terjadilah proses
sekularisasi, bukan saja dalam studi ilmu tetapi juga dalam
studi agama. Namun demikian, menurut Hossein Nasr, sains
sakral yang digagaskannya bukan hanya milik ajaran Islam, tetapi juga dimiliki oleh agama Hindu, Budha, Confusius,
Taoisme, Majusi, Yahudi, Kristen, dan filsafat Yunani klasik.
Namun demikian pandangannya mengenai desakralisasi ilmu
dapat digolongkan ke dalam kegiatan Islamisasi ilmu
pengetahuan.
Di negara kita , gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan juga
menarik perhatian para cendikiawan muslim. Pada tanggal 11
November 2000 bertempat di Bandung diadakan diskusi atau
Perdebatan Ontologis-Fungsional mengenai gagasan Islamisasi
Sains dan Dekonstruksi Sains Modern. (lihat Muflich
Hasbullah, 2000). Mengenai gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan yang dibahas dalam diskusi itu, ternyata ada
yang pro dan ada yang kontra, dan masing-masing pihak
mengemukakan alasan-alasan yang mendasar.
Pihak pro menganggap bahwa sistem sains yang banyak
dikembangkan oleh kaum muslimin sekarang ini adalah sistem
sains Barat yang bersifat sekuler, banyak mengandung nilai
yang bertentangan dengan Islam, dan yang mengancam
kelangsungan kehidupan umat manusia dan lingkungannya.
sebab itu sistem pendidikan yang sekuler itu perlu diislamkan
sebagaimana pernah berkembang dalam peradaban Islam pada
masa “the golden age of Islam”. Bagi yang kontra antara lain
berpendapat bahwa sebenarnya tidaklah mudah mengislamkan
ilmu pengetahuan modern itu, sebab selain harus mampu
mengidentifikasi dan memahami dengan benar pandangan
hidup Islam, tentu harus pula memahami sejarah dan esensi
peradaban Barat yang mendasari sains modern itu. Apakah mungkin dikembangkan suatu filsafat sains
Islam? Bagaimana pandangan ilmuan muslin tentang itu? Pada
tahun 1985, Mahmud Ahmed mengadakan suatu penelitian
tentang “Etos Islam dan Ilmuan Muslim” untuk mengetahui
sikap ilmuan muslim, yang muda dan senior terhadap sains
modern dan tanggapan mereka terhadap sains Islam.
Ditemukan bahwa para ilmuan muda cenderung waspada
terhadap nilai-nilai inheren dari sains modern. Selain itu
sebanyak 71 % dari mereka yakin bahwa nilai-nilai Islam dapat
menjadi dasar bagi kegiatan keilmuan, sementara hanya 50%
dari kalangan yang lebih tua yang merasa yakin mengenai hal
itu. Para ilmuan muslim pada umumnya sepakat mengenai
perlunya dibentuk sains yang islami, yaitu dengan alasan
sebagai berikut:
a. Umat Islam memerlukan sebuah sistem sains untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, baik yang bersifat
material maupun spiritual, sebab sistem sains yang ada
kini dipandang belum mampu menenuhi kebutuhan
ini . Sebabnya sebab sains modern mengandung
nilai-nilai khas Barat, yang banyak diantaranya yang
bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Selain itu juga
sebab telah terbukti bahwa sains modern itu
menimbulkan ancaman bagi kelangsungan hidup umat
manusia.
d. Secara sosiologis umat Islam yang tinggal di daerah yang
geografis dan kebudayaannya berbeda dengan Barat tentu
memerlukan suatu sains yang berbeda pula, sebab sains
Barat diciptakan guna memenuhi kebutuhan warga nya sendiri.
Umat Islam pernah memiliki suatu peradaban Islam
dimana sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan
kebutuhan umat Islam. Jadi syarat-syarat untuk itu
sebenarnya mampu dipenuhi, yaitu mencipta kembali
sians Islam.
f. sebab belum ada sistem pendidikan yang sesuai dengan
nilai-nilai Islam. Sistem pendidikan di negara muslim
sudah terjebak dalam dualisme, yaitu ilmu agama dan
ilmu sekuler yang memberi tekanan ataupun
mengabaikan pada salah satu dari keduanya.
Konsep Sains Islam menurut IFIAS
Pada tahun 1981 telah diadakan sebuah seminar tentang
“Pengetahuan dan Nilai” di Stockholm yang diselenggarakan
oleh International Federation of Institutes of Advance Study (IFIAS)
yang telah berhasil menentukan 10 konsep Islami yang secara
bersama-sama membentuk kerangka nilai sains Islam. Konsep
Islami itu mencakup sifat dasar penelitian ilmiah. Kedudukan
ke 10 konsep ini digambarkan dalam diagram sebagai
berikut:
Gambaran Diagramatik Konsep Islam
Yang Mencakup Sifat Dasar Penelitian Ilmiah
(lihat Nasim Butt, 1996)
1. Tauhid (keesaan Allah)
2. Khilafah (kekhalifahan manusia)
3. Ibadah (ibadah)
4. „Ilm (pengetahuan)
5. Halal (diperbolehkan)
6. Haram (dilarang)
7. „Adl (keadilan)
8. Zhulm (kezaliman)
9. Ishtislah (kemaslahatan umum)
10. Dhiya (kecerobohan)
Inti konsep paradigma sains Islam ialah Tauhid, Khilafah,
dan „Ibadah, konsep yang menjabarkan peran dan tujuan
kehidupan manusia, untuk membuat kehidupan manusia dan
alam menjadi lebih berarti. IFIAS berpendapat bahwa ilmuan
muslim, lembaga-lembaga, serta pusat sains Islam perlu
memiliki tujuan utama untuk meningkatkan keadilan dan
kemaslahatan manusia sementara dalam waktu yang
bersamaan mampu meredam atau menekan kezaliman dan
kecerobohan (zhulm dan dhiya). Gerakan mencari epistemologi
Islam ini semakin nyata dengan terbitnya majalah Afkar
(Inquiry) pada tahun 1984 dimana di dalamnya banyak dibahas
mengenai epistemologi Islam.
Konsep Episemologi Islam menurut Ziauddin Sardar
Ziauddin Sardar adalah seorang jurnalis dan intelektual
Islam asal Pakistan yang dibesarkan di Inggeris. Dalam
bukunya “Jihad Intelektual (1988), Ziauddin Sardar menjelaskan bahwa worldview (pandangan dunia) tentang Islam masih
belum tepat. Banyak intelektual muslim memandang Islam
dalam makna yang sangat sempit dan mengikat. Gambaran
tentang cara hidup Islam sering digambarkan dalam bentuk
atomic dan segregated (terpisah-pisah). Menurut Sardar, Islam
harus dilihat sebagai peradaban. Ia menegaskan bahwa “hanya
dengan mendekati Islam sebagai peradaban masa depan, dan
hanya dengan menyajikan Islam sebagai suatu peradaban yang
hidup dan dinamis, kita dapat menggapai tantangan yang
menghadang dari Barat secara sungguh-sungguh.”
sebab itu, dalam usaha membangun kembali peradaban
muslim, membutuhkan pendekatan terhadap Islam sebagai peradaban. Hal itu secara esensial merupakan suatu proses
elaborasi pandangan dunia Islam, dimana proses teoritis dan
praktis saling membantu satu sama lain (teori membentuk
praktek dan perilaku, dan praktek mempertajam teori).
Peradaban muslim menurutnya merupakan sebuah kontinum
sejarah: ia ada pada masa lampau, ada pada masa kini, dan ada
pada masa depan. Menurutnya ada 7 (tujuh) bidang peradaban
yang memerlukan elaborasi dan merupakan prasyarat pokok
untuk merekonstruksi peradaban muslim. Ketujuh bidang itu
ialah:
1. Pandangan dunia (worldview) tentang Islam
2. Epistemologi
3. Syariah
4. Struktur Sosial politik
5. Kegiatan ekonomi
6. Sains dan teknologi
7. Lingkungan
Kedudukan dan peran ke-7 bidang ini digambarkan
dalam bentuk sekuntum bunga, yaitu sebagai berikut:Sekuntum bunga yang dimaksud terdiri atas inti bunga
dan kelopak bunga. Pada inti bunga terdapat tiga lapis yang
meliputi Pandangan dunia (worldview) Islam, Epistemologi
Islam, dan Syariah, sedangkan pada kelopak bunga tergambar
empat bidang kehidupan atau aspek peradaban (bisa saja
sekuntum bunga memiliki lebih dari empat kelopak bunga).
3. Melalui Pendidikan
Dalam hubungan dengan pendidikan, salah satu masalah
utama yang dihadapi umat Islam ialah adanya dualisme dalam
sistem pendidikan, yaitu sistem pendidikan Islam dan sistem
pendidikan sekuler, atau yang sering disebut dualisme antara
pendidikan agama dan pendidikan umum. Menurut Mahdi
Ghulsyani (1983) hal itu terjadi sebab banyak madrasah atau
lembaga pendidikan Islam tidak lagi memasukkan dalam
kurikulumnya seluruh ilmu-ilmu kealaman kecuali astronomi
dan matematika. Selain itu orang Islam yang menuntut ilmuilmu empiris kebanyakan terasing dari ilmu-ilmu agama.
Akibat dari pada penghapusan studi ilmu-ilmu kealaman
dalam kurikulum madrasah dan kurangnya hubungan sarjanasarjana agama dengan sumber-sumber ilmu modern, telah
menimbulkan munculnya dua aliran intelektual dikalangan
muslim, yaitu: (a) kaum muslim yang berada di bawah
pengaruh kemajuan Iptek Barat yang berdasarkan pada
empiris, malah ada yang mencoba menafsirkan Al-Quran dan
hadit sesuai dengan pengetahuan ilmu empiris ini , dan (b)
sarjana yang menganggap teori-teori ilmiah bertentangan
dengan doktrin Islam dan sebab itu menentang sains dan
hanya memegang agama, sehingga terjadi dualisme dan
menciptakan konflik antara ilmu dan agama. Ghulsyani
mengatakan: “Jika garis demarkasi antara agama dan ilmu
pengetahuan dibuat jelas, maka tidak ada alasan bagi konflikantara keduanya, malahan mereka akan saling menyempurnakan.
Terjadinya dikotomi dan konflik antara agama dan ilmu
pengetahuan merupakan fator penting yang telah
menyebabkan kemunduran peradaban Islam. Mengenai
dualisme dalam sistem pendidikan Islam itu Ahmad Syafii
Ma’arif mengatakan apabila konsep dualisme dikotomis
berhasil ditumbangkan, dalam jangka panjang sistem
pendidikan Islam akan berubah secara keseluruhan. Tindakan
peleburan itu tentu saja merupakan langkah strategis, asalkan
peleburan ini berdasarkan rumusan filofofis, metodologi
keilmuan, proses, sampai pada tingkat departemental, sehingga
tidak ada lagi pengkotakan-pengkotakan ilmu ke dalam “ilmu
umum” dan “ilmu agama”. Mencermati masalah ini maka
salah satu usaha yang harus dilakukan oleh umat Islam di
berbagai warga muslim ialah memperbaharui sistem
pendidikannya, terutama dalam usaha menghilangkan
dualisme sistem pendidikan itu.
Di negara kita , usaha memperbaharui sistem pendidikan
Islam untuk menghilangkan dualisme pendidikan itu menjadi
perhatian berbagai organisasi warga dan cendekiawan
muslim. Ada yang berusaha menyatukan sistem pendidikan
tradisional di madrasah dan pesantren yang sangat
menekankan pada pengetahuan agama Islam dengan sistem
sekolah warisan kolonial yang mementingkan pengetahuan
umum. Namun usaha seperti itu belum banyak berhasil dalam
usaha menghilangkan dualisme dikotomis dalam pendidikan
Islam di negara kita .
Hujair AH Sanaky, dalam bukunya “Pembaharuan
Pendidikan Islam”Menuju warga Madani negara kita (2015),
menyarankan konsep pendidikan madani yang memberdaya-kan dan membebaskan, yaitu pendidikan yang berbasis pada 10
nilai Islami, yaitu: religious, demokrasi, sikap toleransi, hukum,
sikap egalitarian, menjunjung tinggi martabat manusia,
kemajemukan budaya, wawasan global, anti kekerasan dan anti
korupsi. Saran ini didasarkan pada hasil analisisnya
terhadap tiga macam corak sistem pendidikan Islam yang
sudah lama berkembang di negara kita , yaitu: corak tradisional
klasik, corak modern sekuler, dan corak konvergensi.
Di Malaysia, juga berkembang berbagai gagasan untuk
memperbaharui sistem pendidikan Islam di negeri itu. Syed
Naguib Al-Attas melalui ISTAC dan Universiti Islam Antar
Bangsa di Malaysia sedang terus mengembangkan konsep
mengenai sistem pendidikan Islami dan filsafat Sains Islam
yang sesuai dengan nilai-nilai dan etika Islam.
4. Saran-Saran Ilmuan Muslim
Dalam hubungan dengan usaha membangun kembali
peradaban Islam, berikut ini akan dikemukakan pendapat dan
saran sejumlah ilmuan muslim.
Mahdi Gholsyani, ilmuan muslim asal Iran lahir tahun
1939 di Isfahan. Dalam bukunya “Sains Islam Menurut AlQuran” (2003:60) ia mengatakan bahwa dunia muslim perlu
berusaha untuk membawa kebangkitan kembali dunia
keilmuan. Dalam hal itu ia menyarankan:
1. supaya umat Islam mempelajari semua ilmu yang berguna
dari orang lain, seperti yang pernah dilakukan oleh para
sarjana dan ulama pada abad-abad pertama zaman Islam.
Kita harus mampu membebaskan pengetahuan ilmiah dari
penafsiran materialistik Barat dan mengembalikannya ke
dalam konteks pandangan dunia dan ideologi Islam.2. Bentuk gabungan yang ada antara ilmu-ilmu agama dan
ilmu-ilmu kealaman pada zaman puncak tamaddun Islam
harus dibangun kembali, sebab titik akhir antara agama
dan ilmu-ilmu kealaman tidak ada konflik. Agama
mengajarkan bahwa seluruh penciptaan diorientasikan
kepada Allah.
3. Negara-negara muslim perlu mengambil langkah untuk
melatih para spesialis di dalam segala bidang keilmuan dan
industri yang penting. Pusat-pusat riset harus didirikan
oleh seluruh komunitas muslim, sehingga sarjana muslim
dapat bekerja tanpa kecemasan.
4. Penyelidikan ilmiah harus dipikirkan sebagai sebuah
pencarian penting dan mendasar, dan bukan seadanya.
Mengimpor teknologi harus disertai dengan riset yang asli
(indigenous).
5. Harus ada kerjasama antara negara muslim dalam masalah
iptek. Perlu diciptakan jaringan komunikasi antar
universitas, dan kerjasama lembaga R&D harus dibentuk
antara negara muslim dimana para ilmuan muslim dapat
bekerjasama.
Nurcholis Madjid (1939-2012) seorang tokoh
cendekiawan muslim negara kita , dalam bukunya “Kaki Langit
Peradaban Islam” (1977) menulis bahwa ilmu pengetahuan
dan seluruh peradaban Islam adalah ilmu pengetahuan dan
peradaban yang berlandaskan iman kepada ajaran-ajaran Allah,
yang dikembangkan dengan mengambil keseluruhan warisan
kemanusiaan setelah dipisahkan mana yang benar dan mana
yang salah, yang baik dan yang buruk, yang haq dari yang
bathil. Hasilnya ialah ilmu pengetahuan dan peradaban yang
kosmopolit dan universal, menjadi milik semua umat manusia
dan bermanfaat untuk seluruh umat manusia. Ia juga menulis bahwa warga Islam klasik itu merupakan warga
manusia yang pertama menginternasionalkan ilmu pengetahuan, yang sebelumnya bersifat parokhialistik (kedaerahan,
primordial). Dan mereka sangat tinggi etos keilmuannya. Pada
zaman pra modern tidak ada warga manusia yang
memiliki etos keilmuan yang begitu tinggi seperti pada
warga muslim. Etos keilmuan itulah yang kemudian
diwariskan oleh peradaban Islam kepada Barat, kemudian
dikembangkan oleh Barat begitu rupa, sehingga mereka justru
mendahului kaum muslim memasuki zaman modern, dan
membuat kaum muslim dalam kesulitan yang besar.
Dalam usaha membangun kembali ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam, Nurcholis Madjid (1977:16) menyarankan
beberapa hal yang diperlukan oleh umat Islam, yaitu:
1. Membangkitkan kembali etos intelektual Islam klasik, yaitu
keyakinan bahwa bahwa ilmu pengetahuan adalah
universal, bersifat kosmopolit, dan sikap ilmuan tidak
parochialistik.
2. Membangkitkan kembali etos kemanusiaan, yaitu sikap
percaya kepada manusia dan kekuatannya, sebab inilah
yang merupakan dasar kosmopolitanisme Islam masa
lampau.
3. Berpandangan optimistik dan positif terhadap alam, sebab
Quran menegaskan bahwa alam ini baik dan berguna.
4. Perlu dikembangkan berbagai nilai asasi yang lain, yang
selain benar dan baik pada dirinya, juga merupakan
pendukung bagi kreativitas ilmiah, misalnya nilai
kebebasan berpikir, berpendapat dan berbicara, sikap
demokratis yang ditandai dengan kesanggupan menghargai pandangan yang berbeda, semangat keterbukaan, gemar belajar dimana saja, berpaham kemajemukan, dan
sebagainya.
5. Berpandangan jauh ke depan berdasarkan iman kepada
Allah swt.
Fazlur Rahman (1919-1988) tokoh ilmuan muslim asal
Pakistan, seorang yang dikenal sebagai juru bicara
Neomodernisme Islam. Ia sangat kritis terhadap gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan dan usaha mencari epistemologi
Islam. Dalam tulisannya berjudul Islamisasi Ilmu: Sebuah
Respon (2000:66) ia mengatakan bahwa yang sangat perlu
dilakukan ialah mendidik sebanyak mungkin para pemikir atau
ilmuan muslim yang memiliki kapasitas berfikir konstruktif
dan positif sebab seorang ilmuan muslim dengan sendirinya
akan menghasilkan ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada
nilai-nilai Islam. Ia menawarkan pendekatan “mengislamkan”
pendidikan sekuler modern yang secara umum telah
berkembang di dunia Barat, yaitu dengan mengisinya dengan
konsep tertentu dari Islam. Dengan pendekatan ini menurutnya
akan dapat dicapai dua tujuan (a) membentuk watak siswa dan
mahasiswa dengan nilai Islam, dan (b) para ahli yang
berpendidikan modern akan meningkatkan karya dalam
bidangnya masing-masing dengan perspektif Islam.
Osman Bakar, seorang tokoh ilmuan muslim dari
Malaysia, dalam bukunya “Tauhid & Sains : Perspektif Islam
tentang Agama dan Sains” (2008:399) mengatakan bahwa umat
Islam sekarang perlu membulatkan tekat untuk menghidupkan
kembali tamaddun Ilmu berdasarkan tauhid sesuai dengan
tuntutan agama Islam. Dalam bukunya itu dia menyarankan
beberapa langkah program sebagai berikut:1. Perlu kesadaran religious sebagai daya dorong untuk
menuntut sains dan teknologi. Dari pemahaman yang
benar tentang semangat tauhid mengalirlah penghargaan
terhadap pengetahuan.
2. Perlu ketaatan pada syariah sebab itu mengilhami studi
atas berbagai ilmu.
3. Perlu adanya gerakan penerjemahan besar-besaran yang
bertahanlama selama berabad-abad.
4. Perlu disuburkan filsafat yang tertuju pada pengajaran,
kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan
5. Perlu diperluas santunan bagi aktivitas sains dan teknologi
oleh pemerintah.
6. Perlu adanya iklim intelektual yang sehat sebagaimana
diilustrasikan oleh fakta bahwa para sarjana dari berbagai
mashab pemikiran (hukum, teologi, filsafat, dan spiritual)
melangsungkan debat intelektual secara jujur dan rasional
tetapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan
ilmiah antara Ibnu Sina dan Al-Biruni pada abad kesepuluh
merupakan salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah
intelektual Islam.
7. Perlu adanya peran penting yang dimainkan oleh lembagalembaga pendidikan dan ilmiah, terutama oleh universitasuniversitas.
8. Perlu adanya keseimbangan yang dicapai oleh perspektifperspektif intelektual Islam yang utama.
Menurut Osman Bakar ke-8 macam hal ini diatas
merupakan factor internal terpenting yang menyebabkan
keunggulan prestasi kaum muslimin di masa lampau di bidang
sains dan teknologi, atau faktor pemicu kemajuan peradaban
Islam pada periode “the golden age”. Faktor-faktor pemicu
kegemilangan peradaban Islam di masa lampau itu dipandang patut dijadikan inspirasi dan dipakai sebagai langkah-langkah
positif dalam usaha membangun kembali peradaban Islam
yang pada masa sekarang ini, yang sudah jauh merosot
dibandingkan ketika periode keemasan.