islam 9
n tulisan yang menyertai
beberapa buah gambaran/lukisan tentang beliau. Katakanlah
semacam diorama tentang kehidupan Hang Tuah,2 yang sejak
masih muda sudah mengabdi kepada Raja/Sultan Malaka. Bah
kan, oleh intrik istana ia diharuskan membunuh saudara seper
guruan dan senasib sepenanggungan yaitu, Hang Jebat.3 Harga
inilah yang harus dibayar oleh Hang Tuah untuk pengabdiannya
kepada Sultan. Ia adalah prototype “Korpri sempurna”, —seperti
halnya Habib Abdurrahman alBasyaibani, yang dikuburkan di
Segarapura, Kemantrenjero (sekarang terletak di Kecamatan Re
joso, Pasuruan). Ia adalah nenek moyang penulis yang menjadi
abdi dalem Sultan Trenggono dari Demak.
eg
Penulis mengemukakan bahwa Susuhunan Pakubuwono
XII masih memainkan peranan penting dalam rangkaian ikatan
budaya/kultural yang merekatkan kedua bangsa serumpun, Indo
nesia dan Malaysia. Apapun perbedaan antara keduanya, namun
persamaan yang ada haruslah dipupuk terus, agar menghasilkan
ikatan yang semakin kuat di hadapan tantangan modernisasi ke
hidupan, yang sering berbentuk westernisasi (pembaratan). Di
kala perkembangan politik justru mengarahkan Indonesia dan
2 Hang Tuah adalah pahlawan nasional Malaysia. Namanya muncul
dalam karya sastra Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu yang disusun oleh
Mansur Shah, salah seorang penguasa di Malaka. Tak bisa dipastikan, apakah
Hang Tuah adalah tokoh mitos atau sejarah, meskipun dalam Sejarah Melayu
disebutkan Hang Tuah mati di abad ke15.
3 Buku Hikayat Hang Tuah menyebut Hang Jebat sebagai salah seorang
dari 4 sahabat karib Hang Tuah, yaitu Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang
Lekiu. Hang Jebat mengantikan jabatan Hang Tuah sebagai laksamana Kesul
tanan Malaka setelah Hang Tuah difitnah dan diasingkan. Namun Hang Jebat
berkhianat kepada Sultan Mahmud Shah. Akhirnya Hang Tuah dipanggil kem
bali oleh Sultan Malaka untuk membunuh Hang Jebat.
g 271 h
Malaysia untuk saling bersaing, namun persaingan itu sendiri
haruslah diimbangi oleh ikatanikatan budaya/kultural yang
sangat kuat. Seperti halnya Kanada, yang secara politis lebih ter
ikat kepada Kerajaan Inggris, yang terletak 9000 km di seberang
lautan, walau secara kultural lebih dekat kepada Amerika Serikat
yang secara geografis adalah negara jiran/tetangga.
Ikatan seperti ini, yaitu berdasarkan persamaan budaya
antara dua negara, masih mempunyai kekuatan sendiri. Seperti
negara jiran, Australia justru merasa lebih dekat kepada Keraja
an Inggris atau Amerika Serikat, yang memiliki ikatannya sendi
ri satu dengan yang lain dari sisi budaya. Inilah “kodrat alami”
yang intensitasnya tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun.
Karena itu, kemauan pihak Keraton Solo4 sangatlah memiliki ar
ti penting; ia menunjang kedekatan hubungan antara Indonesia
dan Malaysia.
Karena itulah, penulis tidak mengerti mengapa ada pejabat
Indonesia yang mengatakan bahwa Keraton Solo tidak penting
artinya bila dibandingkan dengan keraton lainnya di Jawa. Ini
adalah ucapan orang yang tidak mengerti peranan budaya sebuah
keraton. Yang dimengerti orang itu hanyalah peranan politisnya
belaka, yang belum tentu memiliki kelanggengan dalam hubung
an antara kedua bangsa. Padahal setiap kali kita memperhatikan
hubungan antara dua bangsa serumpun, seperti Indonesia dan
Malaysia, tentulah menjadi sangat penting untuk mengetahui
peranan politik atau peranan budayanyan. Kerancuan dalam
melihat hal ini hanya akan membuat kita kepada keadaan tidak
4 Keraton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Dalam Babad
Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Gi
yanti (1916, I), kisah perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta berawal
dari setibanya Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo
(1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh
bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para
pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan ini mendorong niatnya untuk
membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak
lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan. Niat ini kemudian disampaikan
kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bang
sawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru ini .
Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja men
ghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat den
gan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh
para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di Kartasura, juga untuk
menghapus kenangan buruk kehancuran Istana Kartasura.
kERaton dan PERjalanan budayanya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 272 h
menguntungkan: ditertawakan orang baik di Indonesia maupun
di Malaysia.
eg
Dalam jamuan makan malam untuk menghormati ulang
tahun ke80 Susuhunan Pakubuwono XII di Kuala Lumpur itu,
penulis juga mengemukakan peran lain selain peran budaya itu.
Pada saat ini, Malaysia dan Thailand sedang mengutamakan
pengembangan wilayah ke sebelah utara kawasan ASEAN –yaitu,
Myanmar, Vietnam, Laos dan Kamboja. Secara politis, ini berarti
Malaysia dan Thailand mengambil peranan politik lebih besar di
wilayah utara kawasan ASEAN ini . Ini dapat dimengerti,
karena dua negara di wilayah selatan dari perhimpunan ASEAN
itu, yaitu Singapura dan Indonesia sedang dilanda krisis masing
masing. Dalam hal ini, Malaysia dan Thailand melakukan sebuah
hal yang alami dan wajar, yaitu mengisi sebuah kekosongan politik.
Peran Malaysia di wilayah sebelah utara kawasan ASEAN
itu berjalan sangat cepat, tidak seperti peran politik Indonesia di
wilayah selatan kawasan ini , yang terasa tidak bertambah
sama sekali. Ini karena ASEAN belum dapat menerima Papua
Nugini, Timor Lorosae dan negeri-negeri pasifik sebelah barat
(western pacific states). Maka dengan sendirinya, lebih sulit
bagi Indonesia untuk mendukung mereka secara kongkrit di bi
dang politik, sedangkan hubungan budaya dengan wilayah terse
but masih belum berkembang secara pesat. Keeratan hubungan
budaya antara Indonesia dengan wilayah pasifik barat ini ,
akan sangat ditentukan oleh kerjasama ekonomi dan komersial.
Peran budaya Indonesia dan peran budaya Malaysia di
wilayah masingmasing itu, harus disambungkan secara baik.
Dalam hal ini, keraton Surakarta Hadiningrat mempunyai pelu
ang sangat besar mengembangkan peranan kedua bangsa serum
pun itu. Inilah yang harus senantiasa menjadi pegangan dalam
meninjau posisi keraton dalam hubungan itu. Dan ini adalah
peran alami, yang bagaimanapun juga tidak akan dapat diim
bangi oleh hubungan yang direkayasa. Dalam hal ini, kita tidak
memerlukan intervensi khusus. h
g 273 h
Kata “Raja” di Maluku, terutama Ambon, berarti kepala
kampung/desa. Ada yang perempuan, ada pula yang laki
laki; berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan sangat
berpengaruh secara adat di lingkungan masyarakat mereka. Per
gaulan mereka dengan rakyat yang dipimpin sangatlah erat, dan
boleh dikata merekalah yang menjadi penentu (decision maker).
Kalau para Raja dan berbagai dusun/desa setuju tentang sesuatu,
biasanya itulah yang menjadi konsensus bersama yang diikuti
rakyat. Dengan konsep adat mengenai fungsi para pemuka adat
ini , seperti Raja dan sebagainya itu, membuat pemerintah
daerah/pusat terbantu dalam melaksanakan tugasnya. Seperti
memutuskan cara penyelesaian bagi kasus konflik antar agama
dan antar etnis pada saatsaat seperti sekarang ini dengan cara
gerakan Baku Bae.1
Dengan fungsi dari konsep adat tadi, mengharuskan pe
merintah daerah dan pusat untuk bersikap rendah hati dalam
memberikan tempat bagi pelaksanaan peran mereka. Bahkan
kalau perlu seolaholah hanya merekalah yang berperan, sedang
pemerintah pusat dan daerah hanya bersifat membantu, teruta
ma dalam konseptualisasi caracara yang diperlukan untuk me
ngatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, peran para pemimpin
agama dalam proses ini juga menjadi sangat penting. Baik
1 Harafiah Baku Bae adalah saling berbaikan. Dalam konflik Maluku
pengertiannya diperluas menjadi penghentian kekerasan sehingga gerakan
Baku Bae adalah gerakan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan di
Maluku.
akan Jadi apakah Para Raja?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 274 h
para pemuka agama maupun adat, merupakan pihakpihak yang
dipercayai oleh warga masyarakat. Karenanya, kerjasama erat
antara para pemimpin informal seperti mereka itu, dan para pe
mimpin formal (pejabat daerah dan pusat), sangat diperlukan
dan merupakan sarat utama bagi penyelesaian konflik-konflik
yang terjadi.
Apalagi, kalau dalam konflik-konflik ini terjadi peng-
ambilan peran oleh sebagian sangat kecil orangorang yang me
ngaku menjadi pemimpin masyarakat, atas nama agama atau ke
lompok etnis yang ada. Inilah penyebab berlarutnya konflik, baik
di Ambon maupun di Poso (Sulawesi Tengah) dan mungkin juga
daerah-daerah lain. Melakukan identifikasi para pelaku perda
maian tidaklah mudah, dan karenanya sering diambil tindakan
pintas dengan membuat persetujuan atas penyelesaian konflik,
melalui perjanjianperjanjian seperti Malino, yang meliputi ber
bagai pihak resmi maupun tidak resmi di kalangan bangsa kita,
dengan disaksikan oleh pihak negaranegara lain. Diharapkan,
dengan penandatanganan Perjanjian Malino yang sudah berusia
setahun itu, dapat dicapai sendisendi perdamaian antara ber
bagai pihak yang terlibat dalam konflik agama maupun etnis di
berbagai kawasan Indonesia Timur itu.
eg
Ini adalah kesimpulan pertemuan penulis dengan Barron
ess Cox2 di Majelis Tinggi (House of Lords) London, Inggris,
pertengahan November 2002. Pertemuan itu sendiri berjalan
sangat sederhana di sebuah restoran dalam Gedung Parlemen
Inggris, sambil santap malam. Namun, kesederhanaan itu tidak
menutup kenyataan akan pentingnya pertemuan ini . Bar
roness Cox sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara
para pemimpin agama bagi kedua daerah itu, sedangkan penulis
dalam hal ini ditunjuk sebagai Presiden Kehormatan (Honorary
President) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional3
2 Perempuan bangsawan Inggris ini bernama lengkap Baroness Caroline
Cox of Queensbury. Dia adalah Presiden pada Christian Solidarity Worldwide.
3 Lembaga itu bernama International Islamic Christian Organization
for Reconciliantion and Reconstruction (IICOR). IICOR diluncurkan Kamis 13
Februari 2003 di Jakarta. Baroness Cox sebagai ketua dewan eksekutif lembaga
itu.
g 275 h
akan jadI aPakaH PaRa Raja?
yang didirikan oleh tokoh itu yang bekerja khusus untuk men
cari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama maupun etnis
di kawasan Indonesia. Dalam pemikiran penulis, bahwa bukan
hanya para pemuka agama saja yang mempunyai peranan sangat
menentukan dalam mencari penyelesaian bagi konflik-konflik
ini , namun juga para pemuka adat, ternyata dapat diterima.
Dengan dasar yang disetujui itu, dalam waktu tidak terlalu
lama lagi, pertemuan antar pemuka agama dan adat itu akan dise
lenggarakan, dan ini akan merupakan sumbangan besar bagi pe
nyelesaian krisis yang terjadi di kedua kawasan ini . Tentu
saja, dalam pertemuan ini para pejabat pemerintah pusat
dan daerah yang bersangkutan dengan masalah itu akan diun
dang sebagai peserta atau pemberi makalah. Ini adalah hal yang
normalnormal saja, karena kerja mencari penyelesaian bagi
konflik berdasarkan agama dan etnisitas ini memang meru-
pakan kerja kolektif yang harus diselesaikan dengan baik.
Karenanya, prinsip-prinsip penyelesaian berbagai konflik
di kedua kawasan itu merupakan kerja awal yang harus ditanga
ni dengan tuntas. Penulis sendiri meminta kepada Barroness
Cox supaya penyelesaian masalah ini dapat dilakukan se
cara alami (natural).
Putri sulung penulis, Alissa Munawarah, yang tinggal di
Yogyakarta terlibat sangat mendalam pada proses penciptaan
gagasan Baku Bae itu. Beberapa orang pemimpin adat telah
menemui penulis, dalam kedudukan sebagai presiden. Ternyata
perkembangan keadaan selama lebih setahun ini sangat meng
gembirakan, walaupun di sanasini masih ada upaya berbagai
kelompok sangat kecil yang berusaha “memanaskan” situasi
dan mencegah terjadinya proses penyelesaian yang diharapkan
ini .
eg
Dengan sendirinya, gagasan penulis tentang peranan para
pemuka adat itu menimbulkan pertanyaanpertanyaan baru
mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat In
donesia di masa depan. Karena agama Islam juga mengembang
kan nilainilai (values) yang penting bagi pembangunan dan pe
rubahan sosial, dengan sendirinya lalu timbul pertanyaan; nilai
Islam apakah yang paling tepat dikembangkan dalam hal ini?
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 276 h
Juga ada sebuah pertanyaan lain: dalam perkembangan sosial
seperti itu, adakah tempat bagi pelaksanaan nilainilai Islam ter
sebut? Dari kedua pertanyaan pokok ini di atas, tentu juga
muncul banyak pertanyaanpertanyaan lain yang tidak akan di
jawab di sini. Panjangnya ruangan untuk tulisan ini membatasi
hal ini .
Sebuah nilai Islam (Islamic value) tepat untuk dipakai bagi
peranan para pemuka adat ini , yaitu; “Tiada Islam tanpa
kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepe
mimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala
Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Ini
berarti, pemuka adat dapat menjadi pemimpin, karena sebuah
ungkapan lain juga mengatakan: “hukum adat dapat saja diguna
kan sebagai pedoman agama (al ‘âdatu muhakkamah),” yang
menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, hingga
benar adanya anggapan bahwa nilainilai Islam tidak bertentang
an dengan adat.
Kedua ungkapan di atas, harus diletakkan dalam sebuah
kerangka, yaitu harus memberikan prioritas kepada kepentingan
umum. Pengertian kepentingan umum itu adalah tindakantin
dakan yang dalam literatur agama Islam diberi nama maslahah
‘âmmah, yang harus tercermin dalam kebijakan yang diambil
maupun tindakan yang dilaksanakan bagi kepentingan masyara
kat/orang banyak oleh para pemimpin.
Hal ini dengan jelas tergambar dalam adagium “kebijakan
kebijakan/tindakantindakan seorang pemimpin harus terkait
sepenuhnya dengan kepentingan masyarakat (tasharruf al-
lmâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jadi jelas,
prinsip kegunaan (asas manfaat) dan bukan sekedar berkuasa,
menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin.
Para pemuka agama dan para pemimpin adat di masa depan ha
rus mengambil peran lebih banyak sebagai pemimpin masyara
kat. Dalam arti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat
dan bukannya kelangsungan lembagalembaga yang mereka
pimpin. h
g 277 h
Penulis diundang oleh harian Memorandum untuk mem
berikan ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw, beberapa
waktu yang lalu yang dihadiri ribuan massa, diantaranya
para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Pe
nulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza1 dari Mesir, Maria
Pakpahan dan dr. Sugiat dari DPW PKB Jakarta. Dalam acara itu
H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini menyata
kan, peredaran oplaag harian ini kini sudah mencapai 120
ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan
pembaca yang rata di Jawa Timur.
Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria
Pakpahan tercapai yaitu melihat sesuatu yang belum pernah mere
ka saksikan. Hal itu adalah digelarnya pembacaan shalawat Nabi
dari Habib AlHaddad dan sajak Burdah2 dari Imam AlBushairi.
1 Mona Abaza adalah associate professor bidang sosiologi di American
University di Kairo, Mesir. Beberapa karyanya antara lain Islamic Education,
Perceptions and Exchanges (Paris, Cahier d’Archipel, 1994), Debates on Islam
and Knowledge in Malaysia and Egypt: Shifting Worlds (Taylor & Francis,
2002).
2 Dikisahkan, kasidah burdah diciptakan saat Syekh alBusyiri ter
serang penyakit aneh. Sebagian tubuhnya lumpuh. Ia bermunajat pada Ilahi
sambil mengucurkan air mata memohon kesembuhan. Tak lupa ia ciptakan se
jumlah syair pujian untuk Rasulullah SAW, dengan maksud memohon syafaat.
Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam
mimpi ini alBusyiri sempat berdialog dengan Nabi. Ia membacakan
syairsyair pujiannya untuk Nabi, namun sampai pada bait ke 51: “famâ bala-
Islam dan marshall mcluhan
di surabaya
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 278 h
saat memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah
para peraga kedua jenis pagelaran agama itu berlatih atas ke
hendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai?
Terdengar jawaban gemuruh; tidak! Ini artinya mereka tidak per
nah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dengan pembiayaan
acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan
dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.
Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh
Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi,3 sebagai “happe-
ning (kejadian)”. Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seper
ti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruan, setiap tahun dua kali.
Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur,
setiap kelompok bermain sekitar 510 menit. Mereka datang
sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pe
ngenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mere
ka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.
eg
Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu,
juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan
Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari
panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terba
ghul ilmi fîhi annahu basyarun...” ia tidak sanggup meneruskannya. Konon
Rasul menyuruhnya meneruskan “wa annahu khayru khalqillahi kullihimi”.
Kemudian Nabi memberikan jubah (burdah) kepada alBusyiri dan mengusap
bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan. saat esok paginya orang tua ini
terbangun, tibatiba ia bisa berjalan dan pulih seperti sedia kala. Dengan ceria
ia berjalanjalan di pasar sambil membacakan syairsyair pujian untuk Rasul.
Syairsyair inilah yang kemudian dikenal sebagai kasidah Burdah. Kasidah
Burdah terdiri atas 162 sajak Dari 162 bait ini , 10 bait tentang cinta, 16
bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Nabi, 19 tentang kelahiran
Nabi, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang Isra’ Mi’raj, 22 tentang
jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan mu
najat. Puisi cinta untuk Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai ba
hasa (Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Indonesia, Inggris,
Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia). Di beberapa pesantren salaf, kasidah ini
masih senantiasa dibaca.
3 Herbert Marshall Mcluhan (19111980) adalah ahli filsafat dan profe
sor bahasa Inggris kelahiran Kanada. Mcluhan yang juga dikenal sebagai ahli
teori komunikasi telah memberikan sumbangan konsep berupa “budaya popu
ler/populer culture” dalam ranah ilmu antropologi.
g 279 h
Islam dan maRsHall mcluHan dI suRabaya
tas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disedia
kan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung
lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai
alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa
mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh
kondang alm. KH. Yasin Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara
haul ini , tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang
penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara
haul ini , dan mereka datang atas dasar kesadaran mereka
sendiri.
Ternyata, dalam halhal yang terjadi tanpa disiapkan ma
tangmatang terlebih dahulu, pengamatan Marshall McLuhan
itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam ben
tuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal
ini ? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: se
lama halhal itu dianggap membawa berkah Allah dan terbuk
tikan, maka selama itu pula kesukarelaan akan menjadi pen
dorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang
memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada
yang dapat melarangnya.
Dengan kata lain, kesukarelaan atas dasar keagamaan itu,
adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang ti
dak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi Saw.
itu, karena keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita un
tuk menerapkan secara lebih luas prinsip kesukarelaan di atas.
Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya
sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang
keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nya
ta bagi kita, bahwa pembentukan sebuah sistem politik yang me
miliki kandungan sangat beragam, benarbenar diperlukan saat
ini.
Jelaslah bahwa aspek kesukarelaan dan keterbukaan sis
tem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan landasan ke
hidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening seba
gaimana yang diamati McLuhan itu ternyata memiliki arti yang
mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama terse
but. Hal ini berlaku pula dalam politik. Pengingkaran terhadap
kesukarelaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem
politik yang memungkinkan seseorang berbohong kepada rakyat.
h
g 280 h
Pada minggu terakhir bulan September 2002, penulis di
minta hadir pada sebuah pertemuan untuk membentuk
sebuah Dewan Agama, yang akan menjadi organisasi pe
nasehat bagi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) di New York.
Penulis yang seharusnya tidak berangkat, karena situasi di tanah
air yang sangat sensitif, menganggap pertemuan ini sangat
penting, hingga penulis datang ke New York untuk hadir, walau
pun tidak untuk seluruh pertemuan ini . Dalam pertemuan
itu, penulis mendapat peluang waktu untuk berbicara selama tu
juh menit saja, di hadapan begitu banyak negarawan, orang pan
dai dan para pemimpin berbagai negara serta bermacammacam
corak organisasi.
Waktu tujuh menit yang disediakan untuk penulis pun ti
dak seluruhnya dipakai, karena penulis hanya berbicara lima
menit saja. Namun, pembicaraan selama lima menit itu ternyata
mengubah jalannya pertemuan. Hampir seluruh peserta menjadi
kan pidato penulis sebagai rujukan dalam pembicaraan dua hari
berikutnya. Sebenarnya yang dikemukakan penulis dalam per
temuan ini sangatlah sederhana saja, yakni: spiritualitas
harus kembali berbicara dalam arena politik. Hal ini sebelumnya
pernah dikemukakan penulis sewaktu menerima gelar Doctor
Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gak
kai di Tokyo, pada bulan April 2002.
diperlukan spiritualitas Baru
g 281 h
Apa yang penulis kemukakan baik di Tokyo maupun di New
York, adalah sebuah kenyataan bahwa berbagai organisasi ke
agamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partaipartai
politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Buddha terbesar
di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir ini, mendukung Partai Ko
meito (partai bersih), yang sekarang menjadi mitra junior bagi
Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat ini. Di
India, RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) sebuah organisa
si keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925,
mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan
Atal Behari Vajpayee yang memerintah India sekarang ini, meru
pakan bukti tak terbantahkan tentang hal di atas. Demikian juga,
Jam’iyyah al-Taqrib Baina al-Madzâhib, di bawah pimpinan
orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh, mendukung Presi-
den Iran Mohammad Khatami. Sedang organisasi keagamaan
seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia, mendukung Partai Ke
bangkitan Bangsa (PKB).
eg
Apakah artinya semua ini? Karena agama memiliki sudut
pandang yang berdasarkan pada etika dan moralitas suatu
bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik ber
bagai bangsa. Karena itu muncul reaksi dalam berbagai bentuk.
Di kalangan gerakangerakan Kristiani, baik dari kaum Katolik
maupun Protestan, timbul apa yang dinamakan sebagai “tanda
tanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari keterkung
kungan pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan
moralitas. Maka, lahirlah sejumlah “alternatifalternatif”, seperti
Teologi Pembebasan (liberation theology) yang dibawakan oleh
Leonardo Boff1 dan kawankawan di Amerika Latin dalam paruh
kedua abad lalu. Ini membawa gaungnya sendi ri yang dipenuhi
dengan perdebatan sengit di hampir semua pemikir keagamaan
dari berbagai keyakinan yang ada saat ini. Dari “alternatifalter
natif” seperti inilah lahir kesadaran, bahwa harus dilakukan ber
1 Leonardo Boff dilahirkan pada 14 Desember 1938 di Concórdia, Estado
de Santa Catarina, Brasil. Ia seorang teolog, filsuf dan penulis, yang terkenal
karena ia aktif mendukung perjuangan hakhak kaum miskin dan mereka yang
tersisihkan. Ia adalah salah satu pencetus Teologi Pembebasan, bersamasama
dengan Gustavo Gutierrez.
dIPERlukan sPIRItualItas baRu
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 282 h
bagai tindakan untuk menghidupkan kembali berbagai peranan
agama, pada bidangbidang yang strategis untuk kehidupan ber
sama seluruh umat manusia.
Namun, perkembangan spiritualitas yang demikian hiruk
pikuk, ternyata tidaklah bergema di bidang politik. Para politisi
tetap saja sibuk dengan kepentingankepentingan mereka, dan
hampirhampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehidup
an umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang meru
pakan hidangan seharihari yang kita saksikan saat ini, mulai
dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang
melibatkan para pemimpin dari berbagai negara. Kenyataan pa
ling jelas dari hal ini dapat dilihat pada bagaimana usaha banyak
politisi untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.
eg
Dekadensi moral itu, dalam artiannya yang luas, dapat di
lihat pada lembaga PBB saat ini. Bahwa ada Dewan Keamanan
(DK) dengan wewenang lima buah negara anggota untuk menja
tuhkan veto, menunjukkan dengan jelas bahwa wawasan moral
dan etika telah hilang dari badan politik tertinggi dunia saat ini.
Dan, jika diperlukan, maka sebuah negara adi kuasa yang juga
menjadi anggota tetap DKPBB, yaitu Amerika Serikat (AS) dapat
memaksakan kehendak untuk menyerbu Irak dan Afghanistan di
luar kerangka PBB sendiri. Ketidakseimbangan ini jelas merupa
kan hal yang memerlukan koreksi, untuk menyehatkan proses
di dalamnya. Diantaranya, melalui penyadaran semua pihak
akan pentingnya arti spiritualitas yang baru dalam perpolitikan
tingkat dunia.
Dalam hal ini, penulis menerima penuh ketentuan dari
adagium geopolitik “tak ada hegemoni dalam hubungan inter
nasional” seperti yang diajarkan oleh para pemimpin Republik
Rakyat Tiongkok (RRT) di bawah kekuasaan Mao Zedong atas
Partai Komunis Tiongkok. Kebijakan tanpa hegemoni itu, men
jadi ukuran penting yang harus diaplikasikan dalam hubungan
internasiona oleh lembaga spiritualitas baru. Namun, pemikiran
yang demikian menarik ini sering juga dilanggar oleh para peng
anutnya sendiri. Itu semua terjadi karena dia ditetapkan tanpa
ada spiritualitas itu sendiri di dalamnya. Apabila geopolitik di
lepaskan dari spiritualitas hubungan internasional, maka akan
g 283 h
dIPERlukan sPIRItualItas baRu
membuatnya menjadi alat belaka bagi sikap hidup materialistik
yang dikembangkan di luar ketentuan etis dan moral.
Oleh karena itu, harus dilihat dan selalu dipertimbangkan
sebuah tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara, akan
kah memenuhi kriteria keadilan dan kemakmuran bersama?
Memang, pertanyaan ini kedengarannya sangat naif, namun bu
kankah kita sekarang sudah melihat akibatakibat terjauh dari
politik kepentingan (interest politics) dalam hubungan interna
sional? Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menye
barkan gagasan, agar ada transaksi barter (counter trade) dalam
hubungan antar negaranegara berkembang, guna menghemat
devisa antara mereka. Bukankah ini berarti sebagai sikap protes
atas ketergantungan negaranegara berkembang kepada sebuah
negara saja, yaitu AS, dalam masalah devisa? Bukankah ketergan
tungan ini sekarang juga terdapat dalam penggunaan mata uang
Euro dan Yen? Belum lagi diingat kekuatan Renminbi dari RRC,
yang diperkirakan akan turut menguasai pasaran uang dunia
sepuluh tahun lagi? Bukankah dengan demikian menjadi nyata
bagi kita, keperluan akan sebuah spiritualitas baru? h
g 284 h
Dalam budaya Jawa, dikenal tembang anakanak “Lirilir”.1
Demikian terkenalnya tembang anakanak itu, sehingga
ia sering terdengar dibawakan bocah angon (anak gem
bala ternak) di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang
sedang kering kerontang di musim kemarau. Apa yang istimewa
dari tembang ini , hingga perlu diketengahkan melalui tu
lisan ini? Apakah penulis kehabisan bahan untuk dibahas, hing
ga ‘barang sekecil’ itu diketengahkan kembali dalam forum mulia
ini? Bukankah itu sebuah tanda, bahwa penulis hanya mengada
ada, dan membahas sesuatu yang tidak ada artinya?
Sebenarnya, tidak demikian halnya. Justru dengan meng
ungkapkan adanya hubungan antara aqidah Islam dan tembang
anakanak di atas, penulis ingin mengemukakan sebuah pende
katan strategis yang ditempuh para pejuang muslim di kawasan
budaya Nusantara di masa lampau. Penulis ingin mempertanya
kan, pendekatan strategis mereka, benarkah memiliki efektifitas
di masa lampau, waktu sekarang dan masa depan? Kalau penulis
dapat mengajak para pembaca tulisan ini untuk turut memikir
kannya, tercapailah sudah tujuan penulis membahas masalah
ini. Sebuah kerja sederhana, yang menyangkut masa depan umat
Islam di negeri ini. Adakah sesuatu yang lebih mulia dari maksud
di atas?
1 Tembang Ilirilir yang ditulis Sunan Kalijaga sangat dikenal di kalang
an orang Jawa. Syairnya sarat dengan nilai dakwah dan tasawuf yang tinggi.
Sebagai seorang wali Allah yang sangat jenius dalam bersyair, beliau sangat
efektif menggunakan budaya setempat sebagai sarana pendekatan dakwah.
Syair selengkapnya adalah “ Lir-ilir, lir ilir..Tandure wis sumilir..Tak ijo royo
royo..Tak sengguh penganten anyar…Cah angon-cah angon..Peneken blimb-
ing kuwi..Lunyu lunyu ya peneken..Kanggo mbasuh dodotiro…Dodotiro..
dototiro..Kumitir bedah ing pinggir.Dondomana jlumatono..Kanggo seba
mengko sore…Mumpung jembar kalangane..Mumpung padang..rembulane..
Yo surake..Surak hayo!”
doktrin dan tembang
g 285 h
Terus terang saja, artikel ini diilhami oleh beberapa tin
dak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai kawasan
negara kita dalam masa setahundua terakhir ini. Seolaholah
strategi yang ditempuh melalui pendekatan sistematik itu, ha
rus dilaksanakan dengan menggunakan kekerasan atau dengan
berbagai macam sweeping dan sejenisnya. Mungkin, karena
pemahaman bergaris keras dan bersifat militan mereka, dalam
membela agama Islam di hadapan berbagai macam tantangan
dewasa ini, yang mengakibatkan perlawanan disamakan dengan
penggunaan kekerasan.
eg
Tembang anakanak berjudul “lir-ilir” di atas, sebenarnya
sudah berusia ratusan tahun, ia menjadi bagian inheren dari se
buah pendekatan strategis yang dibawakan Sunan Ampel di akhir
masa kejayaan Majapahit. Dalam tembang itu tergambar jelas
pendekatan beliau dan rekanrekan terhadap kekuasaan, sebuah
model perjuangan yang menurut penulis, baik untuk dijadikan
kaca pembanding saat ini. saat itu, para Wali Sembilan (Wali
Songo)2 di Pulau Jawa sedang mengembangkan dengan sangat
baik sistem kekuasaan yang ada. Para perintis gerakan Islam
waktu itu, dengan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut
agama Islam untuk bisa hidup di hadapan rajaraja yang sedang
berkuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu
diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin
dapat saja mempunyai raja/penguasa nonmuslim. Seperti Sunan
Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang beragama Hindu
Buddha (Bhairawa). Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V
beragama Islam pada masa akhir hayatnya dengan gelar Sunan
Lawu. Nah, strategi untuk memperkenalkan agama Islam kepa
da sistem kekuasaan yang ada, sangat jelas, yaitu menekankan
2 Wali Sembilan (Wali Songo) adalah sembilan ulama yang merupakan
pelopor dan pejuang dakwah Islam di Pulau Jawa pada abad ke15 (masa Kesul
tanan Demak). Dalam penyiaran Islam di Jawa, Wali Songo dianggap sebagai
kepala kelompok dari sejumlah besar muballigh Islam yang mengadakan dak
wah di daerahdaerah yang belum memeluk agama Islam. Mereka adalah; (1)
Sunan Gresik, (2) Sunan Ampel, (3) Sunan Bonang, (4) Sunan Giri, (5) Sunan
Drajat, (6) Sunan Kalijaga, (7) Sunan Kudus, (8) Sunan Muria, dan (9) Sunan
Gunung Jati.
doktRIn dan tEmbanG
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 286 h
pada pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang
sangat berbau politik. Dalam kerangka “membudayakan” sebuah
doktrin kalangan ahlus sunnah tradisional itulah, sebuah dok
trin sentral dikemukakan melalui sebuah tembang anakanak.
Doktrin yang dimaksud pandangan kaum Sunni tradi
sional itu ialah adanya kewajiban tunduk kepada pemerintah
oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan
mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 ta
hun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat (imâmun fâjirun
sittîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin).” Ketundukan itu,
sama sekali tidak memperhitungkan penggunaan kekuasaan se
cara salah. Ketundukan kepada penguasa ini sebenarnya adalah
doktrin kaum Sunni tradisional, yang sudah tentu sangat berla
wanan dengan berbagai ajaran dan orangorang seperti Imam
Ayatullah Khomenei dan Ali Syariati.
eg
Doktrin di atas oleh Sunan Ampel dimasukkan dalam tem
bang “Lirilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya pe
nguasa Jawa di Majapahit. Makna tembang ini yaitu blim-
bing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang
rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu
dipakai untuk menghadap raja (seba), karena lingkaran meng
hadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran
(pumpung jembar kalangane, pumpung padang rembulane).
Tampak di situ bagaimana Sunan Ampel3 menggunakan sim
bolsimbol budaya Jawa dalam hubungan masyarakat dengan
penguasa, yang sama sekali tidak ideologis.
Dalam kasus ini terlihat, pendekatan budaya dan ideologis
saling bertentangan. Dalam pendekatan yang menggunakan
strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyogyakan meng
3 Nama asli Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401 Ampel Surabaya, 1481)
yaitu Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim dari istrinya
yang bernama Dewi Candrawulan. Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel
sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal
dari kalangan istana. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat
penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara
Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan berarti, bahkan mendapat izin dari pe
nguasa kerajaan.
g 287 h
doktRIn dan tEmbanG
gunakan ideologi untuk merubah kultur masyarakat atas nama
agama. Biarlah struktur itu berubah dengan sendirinya melalui
pranatapranata lain, sejarah jualah yang akan menunjukkan ke
pada kita perubahanperubahan yang akan terjadi. Karenanya,
strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meli
puti masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi
ke generasi.
Berbeda dengan strategi budaya itu, strategi ideologis se
nantiasa menekankan diri pada pentingnya merubah struktur
masyarakat, dan mengganti sistem kekuasaan yang ada, guna
menjamin berlangsungnya perubahan politik dalam sistem ke
kuasaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sering dilupakan
pilihanpilihan rakyat akan sistem kekuasaan yang mereka i
nginkan. Yang penting, sang pemimpin dan temanteman se
ideologi nya memegang tampuk kepemimpinan dan merubah
struktur masyarakat yang dimaksudkan. Di sini berlakulah sep
erti apa yang dikatakan Vladimir Illyich Lenin dalam pamflet
nya “penyakit kiri kekanakkanakan kaum revolusioner (The In-
fantile Disease of ‘Leftism’ in Communism),” yaitu perjuangan
yang selalu menekankan keharusan sukses akan dicapai semasa
sang aku masih hidup. Ini terjadi pada kaum komunis di bawah
Lenin-Mao Zedong, di kalangan kaum nasionalis di bawah Soek
arno, dan gerakan Islam di bawah pimpinan Imam Khamenei
dan kawankawan yang sekarang menguasai Dewan Ulama
(Khubrigan), yang oleh pers Barat disebut sebagai ulama kon
servatif. Herankah kita jika orangorang seperti Presiden Iran,
Mohammad Khatami, lalu berhadapan dengan mereka, karena
strategi budaya yang dianutnya? h
4 Dewan Ulama atau Majlis e’ Khubrigan adalah lembaga yang be
ranggotakan sejumlah ulama pilihan rakyat. Dewan ini memiliki tugas untuk
menunjuk serta mengawasi kinerja wali faqih atau rahbar atau pemimpin ter
tinggi revolusi Islam Iran.
Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya
g 288 h
BAB VI
ISLAM TENTANG KEKERASAN
DAN TERORISME
g 291 h
Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersa
maan di Denpasar, Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari
180 orang menjadi korban, termasuk sangat banyak orang
yang mati sesaat . Jelas ini adalah bagian mengerikan dari tin
dakan teror yang selama belasan bulan ini menggetarkan pe
rasaan kita sebagai warga masyarakat. Penulis berkalikali me
minta agar pihak keamanan mengambil langkahlangkah yang
diperlukan guna menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk
mengambil langkahlangkah preventif, antara lain menahan
orangorang yang keluyuran di negeri kita membawa senjata ta
jam, membuat bombom rakitan, memproduksi senjatasenjata
yang banyak ragamnya.
Namun pihak keamanan merasa tidak punya buktibukti
legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap
mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang
kita hadapi. Kita masih menganut kebijakankebijakan punitif
dan kurang memberikan perhatian pada tindakantindakan pre
ventif, kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak dilakukan
penangkapan. Ini jelas kekeliruan yang menyebabkan hilangnya
rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehi
dupan seharihari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan
oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat mela
kukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang di
lakukan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik
kita yang sekarang, karena banyak sekali pelanggaran politik di
lakukan oleh oknumoknum pemerintah.
terorisme Harus dilawan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 292 h
Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap
halhal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan
seharihari di masyarakat. Apabila akan diambil tindakan hukum
terhadap aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk
“menetralisir” tindakan itu. Kasus bentroknya Batalyon Linud
(Lintas Udara) Angkatan Darat dengan aparat kepolisian di Bin
jai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh. Mereka melakukan
tindakan “netralisasi” terhadap langkahlangkah hukum, karena
para anggota batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para
perwira mereka, baik di Angkatan Darat dan Polri, yang men
dukung (backing) kelompokkelompok pelaksana perjudian dan
pengedar narkoba, tidak mendapat tindakan hukum apapun.
Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana mereka
dapat mencegah kelompokkelompok kriminal dalam memper
siapkan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga
asing? Sikap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehing
ga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap ke
lompokkelompok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan
yang bersih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan
tindakan preventif, karena akan berarti kemungkinan berhada
pan dengan atasan atau teman sejawatnya sendiri. Dalam hal ini
berlakulah pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing ber
lari.” Inilah penyebab dari apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi
tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diheran
kan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.
Penyebab lain dari “paralyse” (kelumpuhan) tadi, adalah
adanya hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan
pihakpihak teroris dan preman sendiri. Seolaholah mereka
mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat, karena
kemanapun kepremanan mereka dapat ditutupi. Bahkan ada
benggolan preman yang berpidato di depan agamawan, seolah
olah dia lepas dari hukumhukum sebabakibat. Herankah kita
jika orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan pre
ventif? Padahal hakikat tindakan itu adalah mencegah dilaku
kannya langkahlangkah melanggar hukum, dengan terciptanya
rasa malu pada diri caloncalon pelanggar kedaulatan hukum.
Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau tero
ris, herankah kita jika pihak keamanan yang justru takut dan bu
kannya menindak mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya me
nerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolaholah
g 293 h
pahlawan? Bukankah ini berarti pelecehan yang sangat serius
dalam kehidupan bermasyarakat kita? Ditambah lagi kesalahan
sikap ini ditutuptutupi pula oleh anggapan bahwa Amerika Seri
katlah yang bersekongkol dengan TNI untuk menimbulkan hal
hal di atas guna melaksanakan “rencana jahat” dari CIA (Central
Inteligence Agency)? Teori ini harus diselidiki secara mendalam,
namun masingmasing pihak tidak perlu saling menunggu. Ini
lah prinsip yang harus dilakukan.
Memang setelah bertahuntahun, hal semacam ini baru da
pat diketahui sebagai kebijakan baru di bidang keamanan, guna
memungkinkan tercapainya ketenangan yang benarbenar tang
guh. Sudah tentu, kebijakan itu harus benarbenar sesuai dengan
kebuAllah yang ada. Dalam hal ini keperluan akan tindakantin
dakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu.
Karenanya tindakan preventif harus diutamakan. KebuAllah itu
mengharuskan kita segera mencapai kesepakatan, mengatasi
kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat ber
akibat semakin beraninya pihakpihak yang melakukan destabili-
sasi di negeri kita.
Untuk itu diperlukan beberapa tindakan yang dilakukan se
cara simultan (bersamasama). Pertama, harus dilakukan upaya
nyata menghentikan KKN oleh birokrasi negara. Dengan adanya
KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas
secara adil, jujur dan sesuai dengan undangundang yang ada.
Kedua, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka
undangundang tidak akan dapat terlaksana jika KKN masih
ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkungan
sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegakan
demokrasi di negeri kita.
Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah, kebijakan
yang sesuai dengan kebuAllah dan kenyataan yang ada. Kita
tidak dapat membuat istana di awangawang, melainkan atas
kenyataan yang ada di bumi Indoesia. Karena itulah, dalam se
buah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto, penulis
mengatakan bahwa kita harus siap untuk memaafkan dalam
masalah perdata para konglomerat yang tidak mengembalikan
pinjaman mereka pada bankbank pemerintah, asalkan uang ha
sil pinjaman itu dikonversikan menjadi kredit murah bagi usaha
kecil dan menengah (UKM). Soalsoal pidana menjadi tanggung
jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik
tERoRIsmE HaRus dIlaWan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 294 h
oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Resep ini memang terasa
terlalu sumir dan elitis, namun memberikan harapan cukup untuk
tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan
kembali ekonomi nasional kita. h
g 295 h
Terorisme memang merajalela di negeri kita. Dalam waktu
setahun terakhir ini, seharusnya ada tindakan yang jelas
dari pemerintah untuk memberantas dan mengikis habis
terorisme ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Para tero
ris semakin lama semakin merajalela, dan mendorong masyara
kat untuk menganggapnya sebagai buatan luar negeri yang tidak
dapat diatasi. Akhirnya, terorisme mengalami eskalasi luar biasa,
dan terjadilah peledakan 3 buah bom berkekuatan sangat tinggi
di Bali. Korban yang berjaAllah sangat besar, berjumlah di atas
200 jiwa, ini menurut laporan media massa sendiri.1
Pemerintah sendiri tidak siap menghadapinya, terbukti da
ri usulanusulan yang saling bertentangan antar pejabat pemerin
tahan di tingkat pusat. Ada usul agar supaya kegiatankegiatan
intelejen dikoordinir oleh sebuah badan baru, sedangkan Menko
Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menganggap hal itu tidak
perlu. Menhan Matori Abdul Djalil menganggap ada gerakan
Islam internasional di belakang peristiwa pengeboman itu, se
dangkan Kapolri sendiri menyatakan belum ada buktibukti hu
kum yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Kalau
di lingkungan pemerintahan saja terjadi perbedaan pendapat
1 Seringnya terjadi peristiwa terorisme dan kekerasan lainnya tidak di
pungkiri telah mengakibatkan banyak korban berjaAllah yang pada akhirnya
telah menggiring kepada identifikasi minor bahwa potret Islam fundamentalis
lebih menjadi objek kajian yang menarik—karena sebagai pihak tertuduh dalam
beberapa kasus terorisme—ketimbang potret Islam substansialis di negeri kita
ini.
terorisme di negeri kita
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 296 h
seperti itu, berarti itu menunjukkan ketidaksiapan menghadapi
kejadian ini, dan dapat diperkirakan betapa banyaknya pendapat
saling bertentangan dalam masyarakat.
Secara internasional, ketidaksiapan pemerintah atas keja
dian itu dilontarkan oleh berbagai pihak atau negara. Ini juga
berakibat parah terhadap ekonomi kita yang sedang dilanda kri
sis. Bagaikan orang yang jatuh ditimpa tangga pula. Bukan ha
nya menurunnya jumlah wisatawan asing yang ke Bali melain
kan juga jumlah ekspor kita ke negara lain terkena pukulan he
bat. Demikian juga, usaha di bidang pariwisata kita mengalami
pukulan berat. Jumlah penganggur semakin membengkak dan
tak terbatas hanya pada daerah Bali saja. Gubernur Jawa Timur
(Jatim) menyatakan kepada penulis, ekspor daerah itu melalui
Bali yang telah lalu mencapai jumlah 1 milyar rupiah. Jelas Jatim
mengalami pukulan hebat akibat peristiwa pemboman itu. Penu
lis menambahkan, para wisatawan asing itu banyak juga yang
kemudian berselancar di selatan Banyuwangi dan menyaksikan
matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kalau mereka tidak
datang ke Bali, maka mereka tidak akan datang ke Jatim.
eg
Secara matematis pendapatan negeri kita mengalami pu
kulan hebat akibat peristiwa di Bali ini. Tapi hitungan matematis
ini tidak berlaku bagi kehidupan perikemanusiaan, dengan hi
langnya nyawa orang sedemikian banyak itu. Inilah yang harus
diingat dalam memperhatikan akibatakibat dari peristiwa terse
but. Hilangnya kepercayaan negaranegara lain akan kemampu
an kita sebagai bangsa untuk memelihara keamanan siapa pun,
juga mengalami pukulan berat. Kita juga tidak tahu, harus berse
dih hati kah? Atau justru menjadi marah oleh kejadian ini .
Hanya pernyataan, bahwa apa yang telah terjadi itu adalah sebu
ah force majeur –hal yang tidak dapat kita tanggulangi secara
tuntas, membuat kita sedikit tenang.
Yang tidak kita mengerti, mengapa pihak keamanan sama
sekali tidak tanggap terhadap kekerasan, bersiap siaga terhadap
kemungkinan yang ditimbulkannya. Kesimpulannya, pihak ke
amanan memang kekurangan tenaga, atau mereka cerminan dari
sistem politik kita yang kacau balau. Itu semua terjadi karena ada
nya perintah tak tertulis “dari atas” yang saling bertentangan. Di
g 297 h
satu pihak, ada yang menyatakan bahwa kaum teroris merajalela
di negeri kita, karena itu kita harus siaga sepenuhnya. Di pihak
lain, ada “bisikan” agar kelompokkelompok teroris di negara
kita jangan ditindak kalau belum terbukti melanggar hukum.
Ini berarti, tidak ada tindakan antisipatif apapun terhadap ke
mungkinan tindakan yang ditimbulkan oleh para teroris. Makna
dari hal ini adalah, pihak keamanan menerima perintah saling
bertentangan, dan wajar saja kalau mereka lalu dibuat bingung
oleh kebijakan itu, yang berakibat pada ketidakpastian dalam
penyelenggaraan keamanan. Justru inilah kesempatan yang di
tunggutunggu oleh para teroris, yang masih harus dibuktikan
secara hukum melalui kerjasama dengan unsurunsur aparat ke
amanan luar negeri.
Tidak heranlah jika negaranegara lain lalu menganggap
kita tidak memiliki kesanggupan menjaga keamanan dan meneli
ti pelanggaranpelanggaran atasnya. Tawaran yang oleh Kapolri
dinyatakan datang dari berbagai negara, pada hakikatnya adalah
kritikan terhadap kemampuan kita di bidang keamanan dalam
negeri. Jadi tidak tepatlah kebanggaan sementara kalangan akan
datangnya tawaran membantu itu. Ini adalah akibat belaka dari
kelalaian kita di masamasa lampau, termasuk saat penulis
menjadi Kepala Pemerintahan.
Yang sebenarnya mengejutkan kita adalah sikap Wapres
Hamzah Haz. Pertama, ia tidak pernah mengutuk tindakan tero
ris ini . Kedua, ia justru mengunjungi para tahanan seperti
Ja’far Umar Thalib2, mengunjungi tempattempat yang selama
ini diduga dipakai sebagai pangkalan teroris di negara kita. Paling
tidak, Hamzah seharusnya menahan diri dan tidak melakukan
kunjungan ini , sampai dibuktikan oleh pengadilan bahwa
mereka tidak bersalah. Tundalah melakukan kunjungan demi
2 Kunjungan ke sel tahanan Mabes Polri dilakukan pada Selasa (7/5/
2002). Ja’far ditahan atas tuduhan pidatonya mengakibatkan kerusuhan di
Desa Soya, Ambon. Ja’far adalah komandan dan pendiri Laskar Jihad, sebuah
kelompok gerakan Islam salafi yang dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998.
Di era penulis masih menjadi Kepala Pemerintahan, kelompok ini diupayakan
untuk tidak memasuki wilayah konflik, seperti Ambon, Poso, dan lainnya, na
mun dalam kenyataannya sekitar tahun 2000 dan 2001, telah tercatat seki
tar 2000 anggota Laskar Jihad di wilayah ini . Tiga hari setelah peristiwa
bom Bali, 12 Oktober 2002, Ja’far membubarkan Laskar Jihad, sementara orga-
nisasi induk Laskar Jihad, yaitu FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlussunnah
Waljama’ah), tetap dipertahankan eksistensinya.
tERoRIsmE dI nEGERI kIta
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 298 h
kunjungan itu sampai masalahnya menjadi terang. Kesimpulan
kita, ia perlu mendekati kelompok garis keras gerakan Islam, un
tuk kepentingan politik, mencari dukungan bagi partainya dalam
pemilu mendatang. Berarti ia melakukan kunjungan demi kun
jungan itu untuk kepentingan politik pribadinya.
Ini dapat dimengerti sebagai kebuAllah politik yang wajar.
Tapi tindakannya menerima orangorang yang diduga melang
gar hukum atau undangundang di Istana (kantor) Wapres, ada
lah tindakan politik gegabah.3 Ia tidak bisa membedakan kedu
dukan sebagai ketua umum sebuah parpol dari jabatan Wapres.
Hal ini langsung atau tidak langsung memberikan dorongan bagi
kaum teroris untuk melakukan perbuatanperbuatan yang tidak
berperikemanusiaan dan melanggar undangundang. Melihat
langkahlangkah yang diambilnya, demikian jauh ia dari rakyat
pada umumnya. Ini sebagai sesuatu yang mengherankan. Di sini
lah ia akan dinilai, mampukah ia membebaskan diri dari kepen
tingankepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan
umum.
Seorang pejabat negara tidak boleh mencampuradukkan
kepentingan jabatan dengan kelompok yang dipimpinnya. Kalau
ia ingin melaksanakan sebuah garis perjuangan partainya dalam
jangka panjang, umpamanya saja dengan mendekati kelompok
kelompok garis keras, untuk memperoleh suara mereka dalam
pemilu yang akan datang, maka pertemuan itu harus dilakukan
di tempat mereka atau di kalangan partai yang dipimpinnya. Ti
daklah layak mengundang mereka yang dituduh sebagai teroris
oleh banyak pihak untuk makan siang di Kantor Wakil Presiden.
Perbedaan utama fungsi resmi jabatan atas pemerintahan dari
fungsi politik kepartaian harus selalu diperhatikan, agar baik
pemerintah maupun partai politiknya tidak saling mengalami
kerugian. Karena itu, upaya memerangi terorisme memerlukan
ketegasan sikap yang ditujukan untuk mereka, ini harus benar
benar diperhatikan. h
3 Wapres Hamzah Haz menerima komandan Laskar Jihad Ja’far Umar
Thalib di Istana Wapres, Rabu (8/8/2001). Dalam kesempatan itu, Ja’far me
nyampaikan kepada Hamzah, dirinya menolak Presiden Megawati karena ia
perempuan. Hamzah beralasan, naiknya Megawati itu karena hasil situasi
darurat.
g 299 h
Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sun
da Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Ma
hendra.1 Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena
bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah
kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang
muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir
dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâ al-
kuffâr ruhamâ baynahum)” (QS alFath [48]:29). Menanggapi
hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari
kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia
tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur’ân dalam kata “kafir”
atau “kuffar” adalah orangorang musyrik (polytheis) yang ada
di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu,
bagaimana ia berani menjadi mubaligh?
Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti
itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Ma
luku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom
di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu ba
nyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti
1Peristiwa ini terjadi pada acara Ta’aruf & Bedah Buku “Islam Demokra
si Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur & Amien
Rais” pada Minggu (1/12/1996) dan diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa
Islam Indonesia. Bertindak sebagai pembicara selain Gus Dur dan Yusril adalah
Amien Rais, Nurcholish Madjid, Mohammad Sobary, dengan moderator Emha
Ainun Nadjib.
Bersumber dari Pendangkalan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 300 h
penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. Karena dalam
pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak
mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan
dan diskriminatif. Satusatunya pembenaran bagi tindakan ke
kerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari
rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Karena itulah, saat
harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut
Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun. Sebab
nya, karena ada perintah lain dalam Sunni tradisional yang diya
kini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci
alQuran, “Taatlah kalian pada Allah, pada utusanNya dan pada
pemegang kekuasaan pemerintahan (athî‘u allâha wa’athî’u ar-
rasûl wa ulî al-amri minkum)” (QS. AlNisa [4]:59). Pak Luhut
Panjaitan2 mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan
penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –karena lengser
dari jabatan kepresidenan mengikuti perintah ini .
Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresiden
an, karena penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apa
pun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah.
Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani
300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan ja
batan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa.
eg
Tindak kekerasan walaupun atas nama agama dinyatakan
oleh siapapun dan dimanapun sebagai terorisme. Beberapa ta
hun sebelum menjabat sebagai presiden, penulis merencanakan
berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri
Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberang
katan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersa
ma, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron.
Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis
dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Is
lam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat
pada matinya orangorang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar
2 Jendral (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, lahir di Tapanuli, Sumatra
Utara, 28 September 1947 adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan ke
tika Gus Dur menjadi presiden.
g 301 h
Nahdlatul Ulama (NU) mengutus Wakil Rois ‘Am, KH. M.A. Sa
hal Mahfudz3 untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH.
M.A. Sahal Mahfudz meminta katakata “tidak berdosa” diubah
menjadi “tidak bersalah”.
Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang
itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt. Sedangkan salah atau
tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesa
ma manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan
rancangan pernyataan ini , juga diterima oleh Rabi Eli Bak
shiloron. saat tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli lang
sung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan
Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan pub
lik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, NU sebagai or
ganisasi Islam terbesar di Indonesia —bahkan menurut statistik
sebagai organisasi Islam terbesar di dunia— menolak terorisme
dan penggunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena
itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya
sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.
Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada penda
pat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub
al-mu’tabarah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri.
Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama hukum, kare
nanya setiap sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hu
kum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tu
juannya (al-umûru bi maqâshidiha), maka kita patut menyimak
pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Muhammad
Sa’id al-Ashmawy.4 Menurutnya, “hukum Barat” dapat dijadikan
3 KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudz lahir di Kajen, Pati, 17
Desember 1937. Beliau adalah pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda,
Pati 1963sekarang. Di samping itu, beliau juga menjabat Rektor Institut Is
lam NU di Jepara 1989sekarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah AJB Putra
(2002sekarang), Rais ‘Am PBNU dua periode 19992004/20042009 dan
Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI).
4 Muhammad Sa’id al-Ashmawy adalah mantan Ketua Pengadilan
Tinggi Kairo. Seorang intelektual humanis yang banyak memberikan kuliah di
berbagai perguruan tinggi di Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, dan Afrika
Utara. Karyanya al-Islam as-Siyasy, banyak mendapatkan apresiasi dari ka
langan intelektual, sekaligus hujatan dari kalangan Islamis. Totalitas pemiki
rannya menawarkan arah baru interpretasi dan pembaruan Islam, dengan
menyediakan satu metodologi baru untuk memahami sumbersumber suci al
Qur’an dan Sunnah. Seperti halnya ia menawarkan perbedaan esensial antara
“Syari’ah” dan “Fiqih”.
bERsumbER daRI PEndanGkalan
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 302 h
“hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana
Islam (jarimah), menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawy, sama
dengan hukum pidana Barat, karena sama berfungsi dan bertu
juan mencegah (deterrence) dan menghukum (punishment).
eg
Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang
lain masih juga dijalankan oleh sebagian kaum muslimin? Ka
lau memang benar kaum muslimin melakukan tindakantindak
an ini , jelas bahwa mereka telah melanggar ajaranajaran
agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak
jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia para
pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang
rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada
aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama mengua-
sai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin
kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional.
Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan memba
ngun masyarakat Islam yang elitis.
Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan teroris
me, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini ada
lah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para
pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam.
Penyebab lain dijalankannya tindakantindakan yang telah dila
rang Islam itu —sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’ân dan
ajaran Nabi Muhammad Saw— adalah proses pendangkalan
agama Islam yang berlangsung sangat hebat.5 Walau kita lihat,
adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme
klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses
sejarah itu memperkenankan kaum muslimin untuk bertindak
kekerasan dan terorisme.
Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang pan
jang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan tero
risme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara
5 Hal ini ditengarai sebagai akibat dari pemahaman keagamaan yang
literalisskripturalistik yang sering terjebak dalam ruang ideologis yang berciri
kan subyektif, normatif dan tertutup. Dalam wilayah sosial seringkali dicirikan
dengan anggapan bahwa komunitasnya atau selain jama’ahnya adalah sesat
dan munkar dan oleh karena itu harus didefinisikan sebagai musuh bagi komu
nitas atau jama’ahnya.
g 303 h
kaum muslimin mengkoreksi langkahlangkah yang salah, atau
melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang
dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran
baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslim
in melakukan koreksi atas kesalahankesalahan yang diperbuat
sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas
tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah
“agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses seja
rah berkembangnya Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata
akan kedamaian itu, walaupun di kawasankawasan lain, masih
juga terjadi tindak kekerasan atas nama Islam yang tidak di
harapkan. h
bERsumbER daRI PEndanGkalan
g 304 h
Dalam sebuah konferensi internasional, penulis diminta
memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang
tengah terjadi, seperti peledakan bom di Bali dan per
buatanperbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada
penggunaan nama Islam dalam kerusuhankerusuhan di Ambon
dan Poso, serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah
besar dalam kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis
menjadi terperangah oleh banyaknya tindakantindakan yang
dilakukan atas nama Islam di atas.
Tentu saja kita tidak dapat menerima hal itu, seperti hal
nya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai perten
tangan agama Protestantisme melawan Katholikisme. Begitu
juga perusakan Masjid Babri sebagai pertentangan orangorang
beragama Hindu melawan kaum Muslimin di negeri India, wa
laupun yang bermusuhan memang jelas orangorang dari kedua
agama itu. Pasalnya, karena mayoritas orangorang beragama
Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan
tindakan kekerasan seperti di negerinegeri ini .
Dalam jenisjenis tindakan teroristik itu, para pemuda
muslim jelasjelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan.
Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihanlatihan
guna melakukan tindakantindakan ini . Belasan bulan per
siapan teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia
disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika ti
dak terjadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindak
an teror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan
dilaksanakan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap
diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, men
nu dan terorisme Berkedok Islam
g 305 h
jadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, yang ter
kadang hanya dianggap sebagai kegiatan ilmiah guna membahas
kecilnya deskripsi yang dilakukan.
Suatu hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu gerakan Is
lam apa pun dan di mana pun senantiasa terkait dengan pilihan
berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga/
institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memperhati
kan lembaga yang mereka dukung. Ambil contoh NU (Nahdlatul
Ulama) dengan para anggota/ pengikutnya. Perhatikan dengan
seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal, dan meng
ikuti rukyah (melihat bulan) untuk menetapkan permulaan hari
raya. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembagaorganisasi
yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepatkah atau
tidak.
Karena itulah, saat para aktivis muda Islam yang bela
kangan dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi di
kenal sebagai para teroris yang memulai konflik di Ambon dan
Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, mereka pun
menghadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lem
baga (institusi). Sebagian dari mereka melupakan “warisan Is
lam” —berupa proses penafsiran kembali (reinterpretasi)— yang
sudah dipakai kaum muslimin ratusan tahun lamanya, guna me
masukkan perkembangan zaman ke dalam ajaran agama mere
ka. Sebagai akibat, mereka mengembangkan “cara hidup Islam”
serba keras dan memusuhi caracara hidup lain, dan dengan
demikian membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak
saat penulis suatu saat memberikan ceramah kepada para
calon dokter di sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter le
laki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perem
puan, dan pemisahan mereka itu “dijaga” oleh seorang bertubuh
kekar yang lalu lalang di tengahnya. Pertemuan NU pun tidak
sampai sedemikian keadaannya, karena di tengahtengah tidak
ada “penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap
pelanggaran halangan yang mereka lakukan.
eg
Sikap mementingkan lembaga (institusi) inilah, —seti
daktidaknya lebih mementingkan institusi dari kultur— seperti
diperlihatkan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah
nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam
Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE
g 306 h
sumber dari terorisme yang berkedok Islam. Jika institusi atau
lembaga keIslaman ditantang oleh sebuah cara hidup, seperti
halnya sekarang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara
hidup “Barat”, maka mereka pun merasa terancam dan bersikap
ketakutan. Perasaan dan sikap itu ditutupi oleh tindakan garang
kepada “sang penantang”, dan menganggap “budaya sendiri” se
bagai lebih dari segalagalanya dari “sang penantang”.
Karena tidak dapat membuktikannya secara pasti dan ma
suk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung
pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan menculik
para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Se
latan). Mereka lalu menggunakan kekerasan, sesuatu yang tidak
diminta atau diperintahkan oleh Islam. Agama mereka menen
tukan hanya kalau diusir dari rumahrumah mereka, baru di
perkenankan melakukan tindak kekerasan untuk membela diri
(idzâ ukhrijû min diyârihim).
Karena pendekatan institusional yang mereka perguna
kan, maka mereka merasa “dikalahkan” oleh peradabanbudaya
lain, yaitu “kebudayaan barat modern”. Dilupakan umpamanya
saja, bagaimana Saladin sebagai Sultan Mamalik ‘mengalahkan’
Richard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan
dokter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu
dalam Perang Salib. Dokter ini disertai anak Saladin yang
dapat saja dibunuh, kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyem
buhkan anak Richard. Raja Inggris ini dengan demikian
mengetahui betapa luhur budi Saladin. Dari upaya itu akhirnya
ia pulang ke negaranya dan menghentikan Perang Salib.
Demikian pula hubungan antara budaya Islam dan budaya
budaya lain, harus dikembangkan dalam pola menghargai mere
ka, dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipe
luk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. Karena
itu, sejak dahulu penulis menolak penggunaan terorisme untuk
“mempertahankan Islam”. Tindakan seperti itu justru merendah
kan Islam di mata budayabudaya lain, termasuk budaya modern
di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, penge
tahuan, dan teknologi. Islam hanya dapat “mengejar ketertinggal
an’ itu, jika ia menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiah. Me
mang, rasionalitas Islam sangat jauh berbeda dari rasionalitas
lain, karena kuatnya unsur identitas Islam itu. Rasionalitas Is
lam yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama ini ,
g 307 h
berintikan penggunaan unsurunsur manusiawi, dengan segala
pertimbangannya ditunjukkan kepada “sumbersumber tertu
lis” (adillah naqliyyah) dari Allah, seperti ungkapanungkapan
resmi Allah dalam al-Qur’ân dan ucapan Nabi (al-Hadits). Kare
na itu, pengenalan ini tidak memerlukan tindak kekerasan
apa pun, yang hanya akan membuktikan “kelemahan” Islam saja.
Karena itulah, kita harus memiliki sikap jelas mengutuk teroris
me, siapa pun yang melakukannya. Apalagi kalau hal itu dilaku
kan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang
sebenarnya.
Padahal kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, yaitu
yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-munadzamah
al-Islamiyyah) dan orangorang Islam kebanyakan (‘awâm atau
laymen). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja
tidak menyetujui penggunaan kekerasan (terorisme), apalagi
kaum muslimin awam. Inilah yang sering dilupakan para teroris
itu dan harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak
kekerasan, apalagi terorisme, di kalangan para aktivis muslimin.
Kalau