islam 9

Tampilkan postingan dengan label islam 9. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label islam 9. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 Februari 2025

islam 9



 n tulisan yang menyertai 

beberapa buah gambaran/lukisan tentang beliau. Katakanlah 

semacam diorama tentang kehidupan Hang Tuah,2 yang sejak 

masih muda sudah mengabdi kepada Raja/Sultan Malaka. Bah­

kan, oleh intrik istana ia diharuskan membunuh saudara seper­

guruan dan senasib sepenanggungan yaitu, Hang Jebat.3 Harga 

inilah yang harus dibayar oleh Hang Tuah untuk pengabdiannya 

kepada Sultan. Ia adalah prototype “Korpri sempurna”, —seperti 

halnya Habib Abdurrahman al­Basyaibani, yang dikuburkan di 

Segarapura, Kemantrenjero (sekarang terletak di Kecamatan Re­

joso, Pasuruan). Ia adalah nenek moyang penulis yang menjadi 

abdi dalem Sultan Trenggono dari Demak.

eg

Penulis mengemukakan bahwa Susuhunan Pakubuwono 

XII masih memainkan peranan penting dalam rangkaian ikatan 

budaya/kultural yang merekatkan kedua bangsa serumpun, Indo­

nesia dan Malaysia. Apapun perbedaan antara keduanya, namun 

persamaan yang ada haruslah dipupuk terus, agar menghasilkan 

ikatan yang semakin kuat di hadapan tantangan modernisasi ke­

hidupan, yang sering berbentuk westernisasi (pembaratan). Di 

kala perkembangan politik justru mengarahkan Indonesia dan 

2 Hang Tuah adalah pahlawan nasional Malaysia. Namanya muncul 

dalam karya sastra Hikayat Hang Tuah dan Sejarah Melayu yang disusun oleh 

Mansur Shah, salah seorang penguasa di Malaka. Tak bisa dipastikan, apakah 

Hang Tuah adalah tokoh mitos atau sejarah, meskipun dalam Sejarah Melayu 

disebutkan Hang Tuah mati di abad ke­15. 

3 Buku Hikayat Hang Tuah menyebut Hang Jebat sebagai salah seorang 

dari 4 sahabat karib Hang Tuah, yaitu Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang 

Lekiu. Hang Jebat mengantikan jabatan Hang Tuah sebagai laksamana Kesul­

tanan Malaka setelah Hang Tuah difitnah dan diasingkan. Namun Hang Jebat 

berkhianat kepada Sultan Mahmud Shah. Akhirnya Hang Tuah dipanggil kem­

bali oleh Sultan Malaka untuk membunuh Hang Jebat. 

g 271 h

Malaysia untuk saling bersaing, namun persaingan itu sendiri 

haruslah diimbangi oleh ikatan­ikatan budaya/kultural yang 

sangat kuat. Seperti halnya Kanada, yang secara politis lebih ter­

ikat kepada Kerajaan Inggris, yang terletak 9000 km di seberang 

lautan, walau secara kultural lebih dekat kepada Amerika Serikat 

yang secara geografis adalah negara jiran/tetangga.

Ikatan seperti ini, yaitu berdasarkan persamaan budaya 

antara dua negara, masih mempunyai kekuatan sendiri. Seperti 

negara jiran, Australia justru merasa lebih dekat kepada Keraja­

an Inggris atau Amerika Serikat, yang memiliki ikatannya sendi­

ri satu dengan yang lain dari sisi budaya. Inilah “kodrat alami” 

yang intensitasnya tidak dapat disangkal lagi oleh siapapun. 

Karena itu, kemauan pihak Keraton Solo4 sangatlah memiliki ar­

ti penting; ia menunjang kedekatan hubungan antara Indonesia 

dan Malaysia.

Karena itulah, penulis tidak mengerti mengapa ada pejabat 

Indonesia yang mengatakan bahwa Keraton Solo tidak penting 

artinya bila dibandingkan dengan keraton lainnya di Jawa. Ini 

adalah ucapan orang yang tidak mengerti peranan budaya sebuah 

keraton. Yang dimengerti orang itu hanyalah peranan politisnya 

belaka, yang belum tentu memiliki kelanggengan dalam hubung­

an antara kedua bangsa. Padahal setiap kali kita memperhatikan 

hubungan antara dua bangsa serumpun, seperti Indonesia dan 

Malaysia, tentulah menjadi sangat penting untuk mengetahui 

peranan politik atau peranan budayanyan. Kerancuan dalam 

melihat hal ini hanya akan membuat kita kepada keadaan tidak 

4  Keraton Surakarta adalah sebuah warisan budaya Jawa. Dalam Babad 

Tanah Jawi (1941), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun dalam Babad Gi­

yanti (1916, I), kisah perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta berawal 

dari setibanya Sunan Paku Buwana II (1726 – 1749) kembali dari Ponorogo 

(1742), baginda menyaksikan kehancuran bangunan istana. Hampir seluruh 

bangunan rusak berat, bahkan banyak yang rata dengan tanah akibat ulah para 

pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan ini  mendorong niatnya untuk 

membangun sebuah istana yang baru, sebab istana Kartasura sudah tidak layak 

lagi sebagai tempat raja dan pusat kerajaan. Niat ini kemudian disampaikan 

kepada para punggawa kerajaan. Patih R. Ad. Pringgalaya dan beberapa bang­

sawan diajak berembug tentang rencana pembangunan istana baru ini . 

Raja berkehendak membangun istana baru di tempat yang baru. Raja men­

ghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat den­

gan Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh 

para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di Kartasura, juga untuk 

menghapus kenangan buruk kehancuran Istana Kartasura.

kERaton dan PERjalanan budayanya

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 272 h

menguntungkan: ditertawakan orang baik di Indonesia maupun 

di Malaysia.

eg

Dalam jamuan makan malam untuk menghormati ulang 

tahun ke­80 Susuhunan Pakubuwono XII di Kuala Lumpur itu, 

penulis juga mengemukakan peran lain selain peran budaya itu. 

Pada saat ini, Malaysia dan Thailand sedang mengutamakan 

pengembangan wilayah ke sebelah utara kawasan ASEAN –yaitu, 

Myanmar, Vietnam, Laos dan Kamboja. Secara politis, ini berarti 

Malaysia dan Thailand mengambil peranan politik lebih besar di 

wilayah utara kawasan ASEAN ini . Ini dapat dimengerti, 

karena dua negara di wilayah selatan dari perhimpunan ASEAN 

itu, yaitu Singapura dan Indonesia sedang dilanda krisis masing­

masing. Dalam hal ini, Malaysia dan Thailand melakukan sebuah 

hal yang alami dan wajar, yaitu mengisi sebuah kekosongan politik.

Peran Malaysia di wilayah sebelah utara kawasan ASEAN 

itu berjalan sangat cepat, tidak seperti peran politik Indonesia di 

wilayah selatan kawasan ini , yang terasa tidak bertambah 

sama sekali. Ini karena ASEAN belum dapat menerima Papua 

Nugini, Timor Lorosae dan negeri-negeri pasifik sebelah barat 

(western pacific states). Maka dengan sendirinya, lebih sulit 

bagi Indonesia untuk mendukung mereka secara kongkrit di bi­

dang politik, sedangkan hubungan budaya dengan wilayah terse­

but masih belum berkembang secara pesat. Keeratan hubungan 

budaya antara Indonesia dengan wilayah pasifik barat ini , 

akan sangat ditentukan oleh kerjasama ekonomi dan komersial. 

Peran budaya Indonesia dan peran budaya Malaysia di 

wilayah masing­masing itu, harus disambungkan secara baik. 

Dalam hal ini, keraton Surakarta Hadiningrat mempunyai pelu­

ang sangat besar mengembangkan peranan kedua bangsa serum­

pun itu. Inilah yang harus senantiasa menjadi pegangan dalam 

meninjau posisi keraton dalam hubungan itu. Dan ini adalah 

peran alami, yang bagaimanapun juga tidak akan dapat diim­

bangi oleh hubungan yang direkayasa. Dalam hal ini, kita tidak 

memerlukan intervensi khusus. h

g 273 h

Kata “Raja” di Maluku, terutama Ambon, berarti kepala 

kampung/desa. Ada yang perempuan, ada pula yang laki­

laki; berfungsi sebagai pemimpin masyarakat dan sangat 

berpengaruh secara adat di lingkungan masyarakat mereka. Per­

gaulan mereka dengan rakyat yang dipimpin sangatlah erat, dan 

boleh dikata merekalah yang menjadi penentu (decision maker). 

Kalau para Raja dan berbagai dusun/desa setuju tentang sesuatu, 

biasanya itulah yang menjadi konsensus bersama yang diikuti 

rakyat. Dengan konsep adat mengenai fungsi para pemuka adat 

ini , seperti Raja dan sebagainya itu, membuat pemerintah 

daerah/pusat terbantu dalam melaksanakan tugasnya. Seperti 

memutuskan cara penyelesaian bagi kasus konflik antar agama 

dan antar etnis pada saat­saat seperti sekarang ini dengan cara 

gerakan Baku Bae.1 

Dengan fungsi dari konsep adat tadi, mengharuskan pe­

merintah daerah dan pusat untuk bersikap rendah hati dalam 

memberikan tempat bagi pelaksanaan peran mereka. Bahkan 

kalau perlu seolah­olah hanya mereka­lah yang berperan, sedang 

pemerintah pusat dan daerah hanya bersifat membantu, teruta­

ma dalam konseptualisasi cara­cara yang diperlukan untuk me­

ngatasi konflik yang terjadi. Dalam hal ini, peran para pemimpin 

agama dalam proses ini  juga menjadi sangat penting. Baik 

1 Harafiah Baku Bae adalah saling berbaikan. Dalam konflik Maluku 

pengertiannya diperluas menjadi penghentian kekerasan sehingga gerakan 

Baku Bae adalah gerakan masyarakat sipil untuk menghentikan kekerasan di 

Maluku.

akan Jadi apakah Para Raja?

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 274 h

para pemuka agama maupun adat, merupakan pihak­pihak yang 

dipercayai oleh  warga masyarakat. Karenanya, kerjasama erat 

antara para pemimpin informal seperti mereka itu, dan para pe­

mimpin formal (pejabat daerah dan pusat), sangat diperlukan 

dan merupakan sarat utama bagi penyelesaian konflik-konflik 

yang terjadi.

Apalagi, kalau dalam konflik-konflik ini  terjadi peng-

ambilan peran oleh sebagian sangat kecil orang­orang yang me­

ngaku menjadi pemimpin masyarakat, atas nama agama atau ke­

lompok etnis yang ada. Inilah penyebab berlarutnya konflik, baik 

di Ambon maupun di Poso (Sulawesi Tengah) dan mungkin juga 

daerah-daerah lain. Melakukan identifikasi para pelaku perda­

maian tidaklah mudah, dan karenanya sering diambil tindakan 

pintas dengan membuat persetujuan atas penyelesaian konflik, 

melalui perjanjian­perjanjian seperti Malino, yang meliputi ber­

bagai pihak resmi maupun tidak resmi di kalangan bangsa kita, 

dengan disaksikan oleh pihak negara­negara lain. Diharapkan, 

dengan penandatanganan Perjanjian Malino yang sudah berusia 

setahun itu, dapat dicapai sendi­sendi perdamaian antara ber­

bagai pihak yang terlibat dalam konflik agama maupun etnis di 

berbagai kawasan Indonesia Timur itu.

eg

Ini adalah kesimpulan pertemuan penulis dengan Barron­

ess Cox2 di Majelis Tinggi (House of Lords)  London, Inggris, 

pertengahan November 2002. Pertemuan itu sendiri berjalan 

sangat sederhana di sebuah restoran dalam Gedung Parlemen 

Inggris, sambil santap malam. Namun, kesederhanaan itu tidak 

menutup kenyataan akan pentingnya pertemuan ini . Bar­

roness Cox sedang mempersiapkan sebuah pertemuan antara 

para pemimpin agama bagi kedua daerah itu, sedangkan penulis 

dalam hal ini ditunjuk sebagai Presiden Kehormatan (Honorary 

President) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Internasional3 

2 Perempuan bangsawan Inggris ini bernama lengkap Baroness Caroline 

Cox of Queensbury. Dia adalah Presiden pada Christian Solidarity Worldwide. 

3 Lembaga itu bernama International Islamic Christian Organization 

for Reconciliantion and Reconstruction (IICOR). IICOR diluncurkan Kamis 13 

Februari 2003 di Jakarta. Baroness Cox sebagai ketua dewan eksekutif lembaga 

itu.  

g 275 h

akan jadI aPakaH PaRa Raja?

yang didirikan oleh tokoh itu yang bekerja khusus untuk men­

cari penyelesaian bagi konflik berdasarkan agama maupun etnis 

di kawasan Indonesia. Dalam pemikiran penulis, bahwa bukan 

hanya para pemuka agama saja yang mempunyai peranan sangat 

menentukan dalam mencari penyelesaian bagi konflik-konflik 

ini , namun juga para pemuka adat, ternyata dapat diterima.

Dengan dasar yang disetujui itu, dalam waktu tidak terlalu 

lama lagi, pertemuan antar pemuka agama dan adat itu akan dise­

lenggarakan, dan ini akan merupakan sumbangan besar bagi pe­

nyelesaian krisis yang terjadi di kedua kawasan ini . Tentu 

saja, dalam pertemuan ini  para pejabat pemerintah pusat 

dan daerah yang bersangkutan dengan masalah itu akan diun­

dang sebagai peserta atau pemberi makalah. Ini adalah hal yang 

normal­normal saja, karena kerja mencari penyelesaian bagi 

konflik berdasarkan agama dan etnisitas ini  memang meru-

pakan kerja kolektif yang harus diselesaikan dengan baik.

Karenanya, prinsip-prinsip penyelesaian berbagai konflik 

di kedua kawasan itu merupakan kerja awal yang harus ditanga­

ni dengan tuntas. Penulis sendiri meminta kepada Barroness 

Cox supaya penyelesaian masalah ini  dapat dilakukan se­

cara alami (natural).

Putri sulung penulis, Alissa Munawarah, yang tinggal di 

Yogyakarta terlibat sangat mendalam pada proses penciptaan 

gagasan Baku Bae itu. Beberapa orang pemimpin adat telah 

menemui penulis, dalam kedudukan sebagai presiden. Ternyata 

perkembangan keadaan selama lebih setahun ini sangat meng­

gembirakan, walaupun di sana­sini masih ada upaya berbagai 

kelompok sangat kecil yang berusaha “memanaskan” situasi 

dan mencegah terjadinya proses penyelesaian yang diharapkan 

ini .

eg

Dengan sendirinya, gagasan penulis tentang peranan para 

pemuka adat itu menimbulkan pertanyaan­pertanyaan baru 

mengenai kedudukan mereka dalam kehidupan masyarakat In­

donesia di masa depan. Karena agama Islam juga mengembang­

kan nilai­nilai (values) yang penting bagi pembangunan dan pe­

rubahan sosial, dengan sendirinya lalu timbul pertanyaan; nilai 

Islam apakah yang paling tepat dikembangkan dalam hal ini? 

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 276 h

Juga ada sebuah pertanyaan lain: dalam perkembangan sosial 

seperti itu, adakah tempat bagi pelaksanaan nilai­nilai Islam ter­

sebut? Dari kedua pertanyaan pokok ini  di atas, tentu juga 

muncul banyak pertanyaan­pertanyaan lain yang tidak akan di­

jawab di sini. Panjangnya ruangan untuk tulisan ini membatasi 

hal ini .

Sebuah nilai Islam (Islamic value) tepat untuk dipakai bagi 

peranan para pemuka adat ini , yaitu; “Tiada Islam tanpa 

kelompok, tiada kelompok tanpa kepemimpinan, dan tiada kepe­

mimpinan tanpa ketundukan” (La Islama Illa bi Jama’ah wala 

Jama’ata Illa bi Imarah wala Imarata Illa Bi Tha’ah).” Ini 

berarti, pemuka adat dapat menjadi pemimpin, karena sebuah 

ungkapan lain juga mengatakan: “hukum adat dapat saja diguna­

kan sebagai pedoman agama (al ‘âdatu muhakkamah),” yang 

menunjukkan pertalian antara hukum adat dan Islam, hingga 

benar adanya anggapan bahwa nilai­nilai Islam tidak bertentang­

an dengan adat.

Kedua ungkapan di atas, harus diletakkan dalam sebuah 

kerangka, yaitu harus memberikan prioritas kepada kepentingan 

umum. Pengertian kepentingan umum itu adalah tindakan­tin­

dakan yang dalam literatur agama Islam diberi nama maslahah 

‘âmmah, yang harus tercermin dalam kebijakan yang diambil 

maupun tindakan yang dilaksanakan bagi kepentingan masyara­

kat/orang banyak oleh para pemimpin. 

Hal ini dengan jelas tergambar dalam adagium “kebijakan­ 

kebijakan/tindakan­tindakan seorang pemimpin harus terkait 

sepenuhnya dengan kepentingan masyarakat (tasharruf al-

lmâm ‘alâ al-ra’îyyah manûthun bi al-mashlahah).” Jadi jelas, 

prinsip kegunaan (asas manfaat) dan bukan sekedar berkuasa, 

menjadi ukuran keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin. 

Para pemuka agama dan para pemimpin adat di masa depan ha­

rus mengambil peran lebih banyak sebagai pemimpin masyara­

kat. Dalam arti selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat 

dan bukannya kelangsungan lembaga­lembaga yang mereka 

pimpin. h

g 277 h

Penulis diundang oleh harian Memorandum untuk mem­

berikan ceramah Maulid Nabi Muhammad Saw, beberapa 

waktu yang lalu  yang dihadiri ribuan massa, diantaranya 

para habaib yang datang dari berbagai penjuru Jawa Timur. Pe­

nulis sendiri disertai Prof. Dr. Mona Abaza1 dari Mesir, Maria 

Pakpahan dan dr. Sugiat dari DPW PKB Jakarta. Dalam acara itu 

H. Moh. Aqiel Ali, selaku pemimpin umum harian ini menyata­

kan, peredaran oplaag harian ini  kini sudah mencapai 120 

ribu exemplar per hari, yang menjadikannya koran besar dengan 

pembaca yang rata di Jawa Timur.

Maksud penulis mengajak Prof. Dr. Mona Abaza dan Maria 

Pakpahan tercapai yaitu melihat sesuatu yang belum pernah mere­

ka saksikan. Hal itu adalah digelarnya pembacaan shalawat Nabi 

dari Habib Al­Haddad dan sajak Burdah2 dari Imam Al­Bushairi. 

1 Mona Abaza adalah associate professor bidang sosiologi di American 

University di Kairo, Mesir. Beberapa karyanya antara lain Islamic Education, 

Perceptions and Exchanges (Paris, Cahier d’Archipel, 1994), Debates on Islam 

and Knowledge in Malaysia and Egypt: Shifting Worlds (Taylor & Francis, 

2002). 

2 Dikisahkan, kasidah burdah diciptakan saat  Syekh al­Busyiri ter­

serang penyakit aneh. Sebagian tubuhnya lumpuh. Ia bermunajat pada Ilahi 

sambil mengucurkan air mata memohon kesembuhan. Tak lupa ia  ciptakan se­

jumlah syair pujian untuk Rasulullah SAW, dengan maksud memohon syafaat. 

Dalam tidurnya ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. Dalam 

mimpi ini  al­Busyiri sempat berdialog dengan Nabi. Ia membacakan 

syair­syair pujiannya untuk Nabi, namun sampai pada bait ke 51: “famâ bala-

Islam dan marshall mcluhan 

di surabaya

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 278 h

saat  memberikan ceramah, penulis mempertanyakan adakah 

para peraga kedua jenis pagelaran agama itu berlatih atas ke­

hendak sendiri sepanjang tahun, ataukah ada yang membiayai? 

Terdengar jawaban gemuruh; tidak! Ini artinya mereka tidak per­

nah mengkaitkan latihan sepanjang tahun dengan pembiayaan 

acara. Dengan kata lain, mereka berlatih atas inisiatif sendiri dan 

dibiayai oleh keinginan keras mengabdi pada agama.

Inisiatif sendiri tanpa ada yang menyuruh inilah yang oleh 

Marshall McLuhan, seorang pakar komunikasi,3 sebagai “happe-

ning (kejadian)”. Dicontohkan penulis dalam ceramah itu –seper­

ti yang terjadi di Masjid Raya Pasuruan, setiap tahun dua kali. 

Para pemain rebana datang dari seluruh penjuru Jawa Timur, 

setiap kelompok bermain sekitar 5­10 menit. Mereka datang 

sendiri dengan menyewa truk, memakai pakaian dan tanda pe­

ngenal serta makanan sendiri. Begitu juga kendaraan yang mere­

ka pakai, umumnya truk, disewa sendiri oleh tiap kelompok.

eg

Apa yang disebutkan sebagai happening oleh McLuhan itu, 

juga terjadi pada acara haul/peringatan upacara kematian Sunan 

Bonang di Tuban. Acara itu tidak memerlukan undangan dari 

panitia, kecuali hanya berupa pemberitahuan yang sangat terba­

ghul ilmi fîhi annahu basyarun...” ia tidak sanggup meneruskannya. Konon 

Rasul menyuruhnya meneruskan “wa annahu khayru khalqillahi kullihimi”. 

Kemudian Nabi memberikan jubah (burdah) kepada al­Busyiri dan mengusap 

bagian tubuh yang mengalami kelumpuhan. saat  esok paginya orang tua ini 

terbangun, tiba­tiba ia bisa berjalan dan pulih seperti sedia kala. Dengan ceria 

ia berjalan­jalan di pasar sambil membacakan syair­syair pujian untuk Rasul. 

Syair­syair inilah yang kemudian dikenal sebagai kasidah Burdah. Kasidah 

Burdah terdiri atas 162 sajak Dari 162 bait ini , 10 bait tentang cinta, 16 

bait tentang hawa nafsu, 30 tentang pujian terhadap Nabi, 19 tentang kelahiran 

Nabi, 10 tentang pujian terhadap al-Qur’an, 3 tentang Isra’ Mi’raj, 22 tentang 

jihad, 14 tentang istighfar, dan selebihnya (38 bait) tentang tawassul dan mu­

najat. Puisi cinta untuk Rasul ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai ba­

hasa (Persia, India, Pakistan, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Indonesia, Inggris, 

Prancis, Jerman, Spanyol dan Italia). Di beberapa pesantren salaf, kasidah ini 

masih senantiasa dibaca. 

3 Herbert Marshall Mcluhan (1911­1980) adalah ahli filsafat dan profe­

sor bahasa Inggris kelahiran Kanada. Mcluhan yang juga dikenal sebagai ahli 

teori komunikasi telah memberikan sumbangan konsep berupa “budaya popu­

ler/populer culture” dalam ranah ilmu antropologi.

g 279 h

Islam dan maRsHall mcluHan dI suRabaya

tas, tidak lebih dari 300 orang saja, untuk mereka yang disedia­

kan tempat duduk. Sedangkan untuk puluhan ribu pengunjung 

lainnya, mereka membawa sendiri tikar/koran bekas sebagai 

alas duduk serta botol air untuk mereka minum sendiri, tanpa 

mendapat undangan untuk hadir. Selama 43 tahun, muballigh 

kondang alm. KH. Yasin Yusuf dari Blitar, berpidato dalam acara 

haul ini , tanpa mendapatkan undangan dari panitia. Yang 

penting, ia dan rakyat pengunjung tahu hari dan tanggal acara 

haul ini , dan mereka datang atas dasar kesadaran mereka 

sendiri.

Ternyata, dalam hal­hal yang terjadi tanpa disiapkan ma­

tang­matang terlebih dahulu, pengamatan Marshall McLuhan 

itu terjadi. Happening itu terdapat di seluruh dunia dalam ben­

tuk dan ragam yang beraneka warna. Apakah implikasi dari hal 

ini ? Mudah saja pertanyaan itu untuk dapat dijawab: se­

lama hal­hal itu dianggap membawa berkah Allah  dan  terbuk­

tikan, maka selama itu pula kesuka­relaan akan menjadi pen­

dorongnya. Ini terjadi, dalam banyak bidang kehidupan yang 

memperagakan kekayaan kultural suatu kelompok, tanpa ada 

yang dapat melarangnya.

Dengan kata lain, kesukarelaan atas dasar keagamaan itu, 

adalah sesuatu yang menghidupi masyarakat kita. Apa yang ti­

dak diuraikan penulis dalam acara peringatan maulid Nabi Saw. 

itu, karena keterbatasan waktu, adalah keharusan bagi kita un­

tuk menerapkan secara lebih luas prinsip kesukarelaan di atas. 

Terutama dalam kehidupan politik kita, perlu dipikirkan adanya 

sebuah sistem politik yang sesuai dengan ajaran agama tentang 

keikhlasan, kejujuran/ketulusan dan keterbukaan. Menjadi nya­

ta bagi kita, bahwa pembentukan sebuah sistem politik yang me­

miliki kandungan sangat beragam, benar­benar diperlukan saat 

ini.

Jelaslah bahwa aspek kesukarelaan dan keterbukaan sis­

tem politik itu sangat diperlukan dalam sikap dan landasan ke­

hidupan kita sebagai bangsa. Sementara itu, happening seba­

gaimana yang diamati McLuhan itu ternyata memiliki arti yang 

mendalam bagi peneropongan akan fungsi ajaran agama terse­

but. Hal ini berlaku pula dalam politik. Pengingkaran terhadap 

kesukarelaan di bidang politik, hanya akan menghasilkan sistem 

politik yang memungkinkan seseorang berbohong kepada rakyat. 

h

g 280 h

Pada minggu terakhir bulan September 2002, penulis di­

minta hadir pada sebuah pertemuan untuk membentuk 

sebuah Dewan Agama, yang akan menjadi organisasi pe­

nasehat bagi Perserikatan Bangsa­Bangsa (PBB) di New York. 

Penulis yang seharusnya tidak berangkat, karena situasi di tanah 

air yang sangat sensitif, menganggap pertemuan ini  sangat 

penting, hingga penulis datang ke New York untuk hadir, walau­

pun tidak untuk seluruh pertemuan ini . Dalam pertemuan 

itu, penulis mendapat peluang waktu untuk berbicara selama tu­

juh menit saja, di hadapan begitu banyak negarawan, orang pan­

dai dan para pemimpin berbagai negara serta bermacam­macam 

corak organisasi.

Waktu tujuh menit yang disediakan untuk penulis pun ti­

dak seluruhnya dipakai, karena penulis hanya berbicara lima 

menit saja. Namun, pembicaraan selama lima menit itu ternyata 

mengubah jalannya pertemuan. Hampir seluruh peserta menjadi­

kan pidato penulis sebagai rujukan dalam pembicaraan dua hari 

berikutnya. Sebenarnya yang dikemukakan penulis dalam per­

temuan ini  sangatlah sederhana saja, yakni: spiritualitas 

harus kembali berbicara dalam arena politik. Hal ini sebelumnya 

pernah dikemukakan penulis sewaktu menerima gelar Doctor 

Honoris Causa di bidang Humaniora dari Universitas Soka Gak­

kai di Tokyo, pada bulan April 2002.

diperlukan spiritualitas Baru

g 281 h

Apa yang penulis kemukakan baik di Tokyo maupun di New 

York, adalah sebuah kenyataan bahwa berbagai organisasi ke­

agamaan yang besar di dunia ternyata menyokong partai­partai 

politik tertentu. Soka Gakkai selaku organisasi Buddha terbesar 

di dunia sejak tiga dasawarsa terakhir ini, mendukung Partai Ko­

meito (partai bersih), yang sekarang menjadi mitra junior bagi 

Partai Demokratik Liberal yang memerintah Jepang saat ini. Di 

India, RSS (Rashtriya Swayamsevak Sangha) sebuah organisa­

si keagamaan Hindu terbesar yang didirikan pada tahun 1925, 

mendukung Bharatya Janatha Party (BJP), di bawah pimpinan 

Atal Behari Vajpayee yang memerintah India sekarang ini, meru­

pakan bukti tak terbantahkan tentang hal di atas. Demikian juga, 

Jam’iyyah al-Taqrib Baina al-Madzâhib, di bawah pimpinan 

orang-orang seperti Ayatullah Wa’iz Zadeh, mendukung Presi-

den Iran Mohammad Khatami. Sedang organisasi keagamaan 

seperti Nahdlatul Ulama di Indonesia, mendukung Partai Ke­

bangkitan Bangsa (PKB).

eg

Apakah artinya semua ini? Karena agama memiliki sudut 

pandang yang berdasarkan pada etika dan moralitas suatu 

bangsa, yang sudah hampir hilang dari kehidupan politik ber­

bagai bangsa. Karena itu muncul reaksi dalam berbagai bentuk. 

Di kalangan gerakan­gerakan Kristiani, baik dari kaum Katolik 

maupun Protestan, timbul apa yang dinamakan sebagai “tanda­

tanda zaman” ataupun pembebasan manusia dari keterkung­

kungan pandangan sekuler yang tidak mengacu pada etika dan 

moralitas. Maka, lahirlah sejumlah “alternatif­alternatif”, seperti 

Teologi Pembebasan (liberation theology) yang dibawakan oleh 

Leonardo Boff1 dan kawan­kawan di Amerika Latin dalam paruh 

kedua abad lalu. Ini membawa gaungnya sendi ri yang dipenuhi 

dengan perdebatan sengit di hampir semua pemikir keagamaan 

dari berbagai keyakinan yang ada saat ini. Dari “alternatif­alter­

natif” seperti inilah lahir kesadaran, bahwa harus dilakukan ber­

1 Leonardo Boff dilahirkan pada 14 Desember 1938 di Concórdia, Estado 

de Santa Catarina, Brasil. Ia seorang teolog, filsuf dan penulis, yang terkenal 

karena ia aktif mendukung perjuangan hak­hak kaum miskin dan mereka yang 

tersisihkan. Ia adalah salah satu pencetus Teologi Pembebasan, bersama­sama 

dengan Gustavo Gutierrez.

dIPERlukan sPIRItualItas baRu

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 282 h

bagai tindakan untuk menghidupkan kembali berbagai peranan 

agama, pada bidang­bidang yang strategis untuk kehidupan ber­

sama seluruh umat manusia.

Namun, perkembangan spiritualitas yang demikian hiruk­

pikuk, ternyata tidaklah bergema di bidang politik. Para politisi 

tetap saja sibuk dengan kepentingan­kepentingan mereka, dan 

hampir­hampir tidak mau melihat etika, moral, dan kehidup­

an umat manusia, kecuali secara manipulatif. lnilah yang meru­

pakan hidangan sehari­hari yang kita saksikan saat ini, mulai 

dari berbagai skandal seksual, finansial maupun kultural yang 

melibatkan para pemimpin dari berbagai negara. Kenyataan pa­

ling jelas dari hal ini dapat dilihat pada bagaimana usaha banyak 

politisi untuk kepentingan pribadi ataupun golongan.

eg

Dekadensi moral itu, dalam artiannya yang luas, dapat di­

lihat pada lembaga PBB saat ini. Bahwa ada Dewan Keamanan 

(DK) dengan wewenang lima buah negara anggota untuk menja­

tuhkan veto, menunjukkan dengan jelas bahwa wawasan moral 

dan etika telah hilang dari badan politik tertinggi dunia saat ini. 

Dan, jika diperlukan, maka sebuah negara adi kuasa yang juga 

menjadi anggota tetap DK­PBB, yaitu Amerika Serikat (AS) dapat 

memaksakan kehendak untuk menyerbu Irak dan Afghanistan di 

luar kerangka PBB sendiri. Ketidakseimbangan ini jelas merupa­

kan hal yang memerlukan koreksi, untuk menyehatkan proses 

di dalamnya. Diantaranya, melalui penyadaran semua pihak 

akan pentingnya arti spiritualitas yang baru dalam perpolitikan 

tingkat dunia.

Dalam hal ini, penulis menerima penuh ketentuan dari 

adagium geopolitik “tak ada hegemoni dalam hubungan inter­

nasional” seperti yang diajarkan oleh para pemimpin Republik 

Rakyat Tiongkok (RRT) di bawah kekuasaan Mao Zedong atas 

Partai Komunis Tiongkok. Kebijakan tanpa hegemoni itu, men­

jadi ukuran penting yang harus diaplikasikan dalam hubungan 

internasiona oleh lembaga spiritualitas baru. Namun, pemikiran 

yang demikian menarik ini sering juga dilanggar oleh para peng­

anutnya sendiri. Itu semua terjadi karena dia ditetapkan tanpa 

ada spiritualitas itu sendiri di dalamnya. Apabila geopolitik di­

lepaskan dari spiritualitas hubungan internasional, maka akan 

g 283 h

dIPERlukan sPIRItualItas baRu

membuatnya menjadi alat belaka bagi sikap hidup materialistik 

yang dikembangkan di luar ketentuan etis dan moral.

Oleh karena itu, harus dilihat dan selalu dipertimbangkan 

sebuah tindakan yang akan diambil oleh sebuah negara, akan­

kah memenuhi kriteria keadilan dan kemakmuran bersama? 

Memang, pertanyaan ini kedengarannya sangat naif, namun bu­

kankah kita sekarang sudah melihat akibat­akibat terjauh dari 

politik kepentingan (interest politics) dalam hubungan interna­

sional? Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra menye­

barkan gagasan, agar ada transaksi barter (counter trade) dalam 

hubungan antar negara­negara berkembang, guna menghemat 

devisa antara mereka. Bukankah ini berarti sebagai sikap protes 

atas ketergantungan negara­negara berkembang kepada sebuah 

negara saja, yaitu AS, dalam masalah devisa? Bukankah ketergan­

tungan ini sekarang juga terdapat dalam penggunaan mata uang 

Euro dan Yen? Belum lagi diingat kekuatan Renminbi dari RRC, 

yang diperkirakan akan turut menguasai pasaran uang dunia 

sepuluh tahun lagi? Bukankah dengan demikian menjadi nyata 

bagi kita, keperluan akan sebuah spiritualitas baru? h

g 284 h

Dalam budaya Jawa, dikenal tembang anak­anak “Lir­ilir”.1 

Demikian terkenalnya tembang anak­anak itu, sehingga 

ia sering terdengar dibawakan bocah angon (anak gem­

bala ternak) di atas punggung kerbau pada sebuah sawah yang 

sedang kering kerontang di musim kemarau. Apa yang istimewa 

dari tembang ini , hingga perlu diketengahkan melalui tu­

lisan ini? Apakah penulis kehabisan bahan untuk dibahas, hing­

ga ‘barang sekecil’ itu diketengahkan kembali dalam forum mulia 

ini? Bukankah itu sebuah tanda, bahwa penulis hanya mengada­

ada, dan membahas sesuatu yang tidak ada artinya?

Sebenarnya, tidak demikian halnya. Justru dengan meng­

ungkapkan adanya hubungan antara aqidah Islam dan tembang 

anak­anak di atas, penulis ingin mengemukakan sebuah pende­

katan strategis yang ditempuh para pejuang muslim di kawasan 

budaya Nusantara di masa lampau. Penulis ingin mempertanya­

kan, pendekatan strategis mereka, benarkah memiliki efektifitas 

di masa lampau, waktu sekarang dan masa depan? Kalau penulis 

dapat mengajak para pembaca tulisan ini untuk turut memikir­

kannya, tercapailah sudah tujuan penulis membahas masalah 

ini. Sebuah kerja sederhana, yang menyangkut masa depan umat 

Islam di negeri ini. Adakah sesuatu yang lebih mulia dari maksud 

di atas?

1 Tembang Ilir­ilir yang ditulis Sunan Kalijaga sangat dikenal di kalang­

an orang Jawa. Syairnya sarat dengan nilai dakwah dan tasawuf yang tinggi. 

Sebagai seorang wali Allah yang sangat jenius dalam bersyair, beliau sangat 

efektif menggunakan budaya setempat sebagai sarana pendekatan dakwah. 

Syair selengkapnya adalah “ Lir-ilir, lir ilir..Tandure wis sumilir..Tak ijo royo 

royo..Tak sengguh penganten anyar…Cah angon-cah angon..Peneken blimb-

ing kuwi..Lunyu lunyu ya peneken..Kanggo mbasuh dodotiro…Dodotiro..

dototiro..Kumitir bedah ing pinggir.Dondomana jlumatono..Kanggo seba 

mengko sore…Mumpung jembar kalangane..Mumpung padang..rembulane..

Yo surake..Surak hayo!”

doktrin dan tembang

g 285 h

Terus terang saja, artikel ini diilhami oleh beberapa tin­

dak kekerasan atas nama Islam yang terjadi di berbagai kawasan 

negara kita dalam masa setahun­dua terakhir ini. Seolah­olah 

strategi yang ditempuh melalui pendekatan sistematik itu, ha­

rus dilaksanakan dengan menggunakan kekerasan atau dengan 

berbagai macam sweeping dan sejenisnya. Mungkin, karena 

pemahaman bergaris keras dan bersifat militan mereka, dalam 

membela agama Islam di hadapan berbagai macam tantangan 

dewasa ini, yang mengakibatkan perlawanan disamakan dengan 

penggunaan kekerasan.

eg

Tembang anak­anak berjudul “lir-ilir” di atas, sebenarnya 

sudah berusia ratusan tahun, ia menjadi bagian inheren dari se­

buah pendekatan strategis yang dibawakan Sunan Ampel di akhir 

masa kejayaan Majapahit. Dalam tembang itu tergambar jelas 

pendekatan beliau dan rekan­rekan terhadap kekuasaan, sebuah 

model perjuangan yang menurut penulis, baik untuk dijadikan 

kaca pembanding saat ini. saat  itu, para Wali Sembilan (Wali 

Songo)2 di Pulau Jawa sedang mengembangkan dengan sangat 

baik sistem kekuasaan yang ada. Para perintis gerakan Islam 

waktu itu, dengan sengaja mengusahakan hak bagi para penganut 

agama Islam untuk bisa hidup di hadapan raja­raja yang sedang 

berkuasa di Pulau Jawa. Cara mengusahakan agar hak hidup itu 

diperoleh, adalah dengan mengajarkan bahwa kaum muslimin 

dapat saja mempunyai raja/penguasa non­muslim. Seperti Sunan 

Ampel mengakui keabsahan Brawijaya yang ber­agama Hindu­

Buddha (Bhairawa). Inilah yang akhirnya membuat Brawijaya V 

beragama Islam pada masa akhir hayatnya dengan gelar Sunan 

Lawu. Nah, strategi untuk memperkenalkan agama Islam kepa­

da sistem kekuasaan yang ada, sangat jelas, yaitu menekankan 

2  Wali Sembilan (Wali Songo) adalah sembilan ulama yang merupakan 

pelopor dan pejuang dakwah Islam di Pulau Jawa pada abad ke­15 (masa Kesul­

tanan Demak). Dalam penyiaran Islam di Jawa, Wali Songo dianggap sebagai 

kepala kelompok dari sejumlah besar muballigh Islam yang mengadakan dak­

wah di daerah­daerah yang belum memeluk agama Islam. Mereka adalah; (1) 

Sunan Gresik, (2) Sunan Ampel, (3) Sunan Bonang, (4) Sunan Giri, (5) Sunan 

Drajat, (6) Sunan Kalijaga, (7) Sunan Kudus, (8) Sunan Muria, dan (9) Sunan 

Gunung Jati. 

doktRIn dan tEmbanG

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 286 h

pada pendekatan budaya daripada pendekatan ideologis yang 

sangat berbau politik. Dalam kerangka “membudayakan” sebuah 

doktrin kalangan ahlus sunnah tradisional itulah, sebuah dok­

trin sentral dikemukakan melalui sebuah tembang anak­anak.

Doktrin yang dimaksud pandangan kaum Sunni tradi­

sional itu ialah adanya kewajiban tunduk kepada pemerintah 

oleh semua kaum muslimin tanpa pandang bulu. Di kalangan 

mereka ada ungkapan “para penguasa lalim untuk masa 60 ta­

hun, masih lebih baik dari pada anarki sesaat (imâmun fâjirun 

sittîna âmman khairun min faudhâ sâ ‘atin).” Ketundukan itu, 

sama sekali tidak memperhitungkan penggunaan kekuasaan se­

cara salah. Ketundukan kepada penguasa ini sebenarnya adalah 

doktrin kaum Sunni tradisional, yang sudah tentu sangat berla­

wanan dengan berbagai ajaran dan orang­orang seperti Imam 

Ayatullah Khomenei dan Ali Syariati. 

eg

Doktrin di atas oleh Sunan Ampel dimasukkan dalam tem­

bang “Lir­ilir”, dalam ungkapan yang sesuai dengan budaya pe­

nguasa Jawa di Majapahit. Makna tembang ini  yaitu blim-

bing untuk mencuci pakaian yang sobek pinggirnya, perlambang 

rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan apapun. Baju sobek itu 

dipakai untuk menghadap raja (seba), karena lingkaran meng­

hadap raja masih lebar, dan sinar rembulan menyinari lingkaran 

(pumpung jembar kalangane, pumpung padang rembulane). 

Tampak di situ bagaimana Sunan Ampel3 menggunakan sim­

bol­simbol budaya Jawa dalam hubungan masyarakat dengan 

penguasa, yang sama sekali tidak ideologis. 

Dalam kasus ini terlihat, pendekatan budaya dan ideologis 

saling bertentangan. Dalam pendekatan yang menggunakan 

strategi budaya tadi, kaum muslimin tidak diseyogyakan meng­

3 Nama asli Sunan Ampel (Campa Aceh, 1401­ Ampel Surabaya, 1481) 

yaitu Raden Rahmat. Ia adalah putra Maulana Malik Ibrahim dari istrinya 

yang bernama Dewi Candrawulan. Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel 

sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal 

dari kalangan istana. Dekatnya Sunan Ampel dengan kalangan istana membuat 

penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit, khususnya di pantai utara 

Pulau Jawa, tidak mendapat hambatan berarti, bahkan mendapat izin dari pe­

nguasa kerajaan.

g 287 h

doktRIn dan tEmbanG

gunakan ideologi untuk merubah kultur masyarakat atas nama 

agama. Biarlah struktur itu berubah dengan sendirinya melalui 

pranata­pranata lain, sejarah jualah yang akan menunjukkan ke­

pada kita perubahan­perubahan yang akan terjadi. Karenanya, 

strategi semacam ini selalu berjangka sangat panjang, dan meli­

puti masa yang sangat panjang pula, yaitu berubah dari generasi 

ke generasi. 

Berbeda dengan strategi budaya itu, strategi ideologis se­

nantiasa menekankan diri pada pentingnya merubah struktur 

masyarakat, dan mengganti sistem kekuasaan yang ada, guna 

menjamin berlangsungnya perubahan politik dalam sistem ke­

kuasaan yang bersangkutan. Dalam hal ini, sering dilupakan 

pilihan­pilihan rakyat akan sistem kekuasaan yang mereka i­

nginkan. Yang penting, sang pemimpin dan teman­teman se­

ideologi nya memegang tampuk kepemimpinan dan merubah 

struktur masyarakat yang dimaksudkan. Di sini berlakulah sep­

erti apa yang dikatakan Vladimir Illyich Lenin dalam pamflet­

nya “penyakit kiri kekanak­kanakan kaum revolusioner (The In-

fantile Disease of ‘Leftism’ in Communism),” yaitu perjuangan 

yang selalu menekankan keharusan sukses akan dicapai semasa 

sang aku masih hidup. Ini terjadi pada kaum komunis di bawah 

Lenin-Mao Zedong, di kalangan kaum nasionalis di bawah Soek­

arno, dan gerakan Islam di bawah pimpinan Imam Khamenei 

dan kawan­kawan yang sekarang menguasai Dewan Ulama 

(Khubrigan), yang oleh pers Barat disebut sebagai ulama kon­

servatif. Herankah kita jika orang­orang seperti Presiden Iran, 

Mohammad Khatami, lalu berhadapan dengan mereka, karena 

strategi budaya yang dianutnya? h

4 Dewan Ulama atau Majlis e’ Khubrigan adalah lembaga yang be­

ranggotakan sejumlah ulama pilihan rakyat. Dewan ini memiliki tugas untuk 

menunjuk serta mengawasi kinerja wali faqih atau rahbar atau pemimpin ter­

tinggi revolusi Islam Iran.

Islam, PEndIdIkan dan masalaH sosIal budaya

g 288 h

BAB VI

ISLAM TENTANG KEKERASAN 

DAN TERORISME


g 291 h

Tiga buah bom meledak dalam waktu yang hampir bersa­

maan di Denpasar, Bali pada 12 Oktober 2002. Lebih dari 

180 orang menjadi korban, termasuk sangat banyak orang 

yang mati sesaat . Jelas ini adalah bagian mengerikan dari tin­

dakan teror yang selama belasan bulan ini menggetarkan pe­

rasaan kita sebagai warga masyarakat. Penulis berkali­kali me­

minta agar pihak keamanan mengambil langkah­langkah yang 

diperlukan guna menghindarkan terjadinya hal itu. Termasuk 

mengambil langkah­langkah preventif, antara lain menahan 

orang­orang yang keluyuran di negeri kita membawa senjata ta­

jam, membuat bom­bom rakitan, memproduksi senjata­senjata 

yang banyak ragamnya.

Namun pihak keamanan merasa tidak punya bukti­bukti 

legal yang cukup untuk mengambil tindakan hukum terhadap 

mereka. Mungkin di sinilah terletak pokok permasalahan yang 

kita hadapi. Kita masih menganut kebijakan­kebijakan punitif 

dan kurang memberikan perhatian pada tindakan­tindakan pre­

ventif, kalau belum ada bukti legal yang cukup tidak dilakukan 

penangkapan. Ini jelas kekeliruan yang menyebabkan hilangnya 

rasa hormat pada aparat negara. Hal lainnya adalah, dalam kehi­

dupan sehari­hari begitu banyak pelanggaran hukum dilakukan 

oleh aparat keamanan, sehingga mereka pun tidak dapat mela­

kukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang di­

lakukan orang. Itupun tidak bisa dibenahi oleh sistem politik 

kita yang sekarang, karena banyak sekali pelanggaran politik di­

lakukan oleh oknum­oknum pemerintah.

terorisme Harus dilawan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 292 h

Sikap menutup mata oleh aparat keamanan kita terhadap 

hal­hal yang tidak benar, juga terjadi dalam praktek kehidupan 

sehari­hari di masyarakat. Apabila akan diambil tindakan hukum 

terhadap aparat, banyak pihak lalu melakukan sesuatu untuk 

“menetralisir” tindakan itu. Kasus bentroknya Batalyon Linud 

(Lintas Udara) Angkatan Darat dengan aparat kepolisian di Bin­

jai, Sumatra Utara, dapat dijadikan contoh. Mereka melakukan 

tindakan “netralisasi” terhadap langkah­langkah hukum, karena 

para anggota batalyon itu menyaksikan sendiri bagaimana para 

perwira mereka, baik di Angkatan Darat dan Polri, yang men­

dukung (backing) kelompok­kelompok pelaksana perjudian dan 

pengedar narkoba, tidak mendapat tindakan hukum apapun.

Masalah yang timbul kemudian adalah, bagaimana mereka 

dapat mencegah kelompok­kelompok kriminal dalam memper­

siapkan tindakan teror terhadap masyarakat, termasuk warga 

asing? Sikap tutup mata itu sudah menjadi demikian luas sehing­

ga tidak ada pihak keamanan yang berani bertindak terhadap ke­

lompok­kelompok seperti itu. Kalaupun ada aparat keamanan 

yang bersih, dapat dimengerti keengganan mereka melakukan 

tindakan preventif, karena akan berarti kemungkinan berhada­

pan dengan atasan atau teman sejawatnya sendiri. Dalam hal ini 

berlakulah pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing ber­

lari.” Inilah penyebab dari apa yang terjadi di pulau Bali itu, jadi 

tidak usah heran jika hal itu terjadi, bahkan yang harus diheran­

kan, mengapakah hal ini baru terjadi sekarang.

Penyebab lain dari “paralyse” (kelumpuhan) tadi, adalah 

adanya hubungan sangat baik antara aparat keamanan dengan 

pihak­pihak teroris dan preman sendiri. Seolah­olah mereka 

mendapatkan kedudukan terhormat dalam masyarakat, karena 

kemanapun ke­premanan mereka dapat ditutupi. Bahkan ada 

benggolan preman yang berpidato di depan agamawan, seolah­

olah dia lepas dari hukum­hukum sebab­akibat. Herankah kita 

jika orang tidak merasa ada gunanya melakukan tindakan pre­

ventif? Padahal hakikat tindakan itu adalah mencegah dilaku­

kannya langkah­langkah melanggar hukum, dengan terciptanya 

rasa malu pada diri calon­calon pelanggar kedaulatan hukum.

Kalau orang merasa terjerumus menjadi preman atau tero­

ris, herankah kita jika pihak keamanan yang justru takut dan bu­

kannya menindak mereka? Apalagi kalau Wakil Presidennya me­

nerima para teroris di kantor dan memperlakukan seolah­olah 

g 293 h

pahlawan? Bukankah ini berarti pelecehan yang sangat serius 

dalam kehidupan bermasyarakat kita? Ditambah lagi kesalahan 

sikap ini ditutup­tutupi pula oleh anggapan bahwa Amerika Seri­

kat­lah yang bersekongkol dengan TNI untuk menimbulkan hal­

hal di atas guna melaksanakan “rencana jahat” dari CIA (Central 

Inteligence Agency)? Teori ini harus diselidiki secara mendalam, 

namun masing­masing pihak tidak perlu saling menunggu. Ini­

lah prinsip yang harus dilakukan.

Memang setelah bertahun­tahun, hal semacam ini baru da­

pat diketahui sebagai kebijakan baru di bidang keamanan, guna 

memungkinkan tercapainya ketenangan yang benar­benar tang­

guh. Sudah tentu, kebijakan itu harus benar­benar sesuai dengan 

kebuAllah  yang ada. Dalam hal ini keperluan akan tindakan­tin­

dakan untuk mencegah terulangnya kejadian seperti di Bali itu. 

Karenanya tindakan preventif harus diutamakan. KebuAllah  itu 

mengharuskan kita segera mencapai kesepakatan, mengatasi 

kekosongan kekuasaan keamanan yang terlalu lama dapat ber­

akibat semakin beraninya pihak­pihak yang melakukan destabili-

sasi di negeri kita.

Untuk itu diperlukan beberapa tindakan yang dilakukan se­

cara simultan (bersama­sama). Pertama, harus dilakukan upaya 

nyata menghentikan KKN oleh birokrasi negara. Dengan adanya 

KKN, birokrasi pemerintah tidak akan dapat menjalankan tugas 

secara adil, jujur dan sesuai dengan undang­undang yang ada. 

Kedua, persamaan perlakuan bagi semua warga negara di muka 

undang­undang tidak akan dapat terlaksana jika KKN masih 

ada. Dengan demikian, menciptakan kebersihan di lingkungan 

sipil dan militer merupakan persyaratan utama bagi penegakan 

demokrasi di negeri kita. 

Syarat ketiga yang tidak kalah penting adalah, kebijakan 

yang sesuai dengan kebuAllah  dan kenyataan yang ada. Kita 

tidak dapat membuat istana di awang­awang, melainkan atas 

kenyataan yang ada di bumi Indoesia. Karena itulah, dalam se­

buah surat kepada mantan Presiden HM. Soeharto, penulis 

mengatakan bahwa kita harus siap untuk memaafkan dalam 

masalah perdata para konglomerat yang tidak mengembalikan 

pinjaman mereka pada bank­bank pemerintah, asalkan uang ha­

sil pinjaman itu dikonversikan menjadi kredit murah bagi usaha 

kecil dan menengah (UKM). Soal­soal pidana menjadi tanggung 

jawab aparat hukum yang ada, dan tidak pantas dicampuri baik 

tERoRIsmE HaRus dIlaWan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 294 h

oleh pihak eksekutif maupun legislatif. Resep ini memang terasa 

terlalu sumir dan elitis, namun  memberikan harapan cukup untuk 

tetap menciptakan keamanan dan dalam menopang kebangkitan 

kembali ekonomi nasional kita. h

g 295 h

Terorisme memang merajalela di negeri kita. Dalam waktu 

setahun terakhir ini, seharusnya ada tindakan yang jelas 

dari pemerintah untuk memberantas dan mengikis habis 

terorisme ini. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Para tero­

ris semakin lama semakin merajalela, dan mendorong masyara­

kat untuk menganggapnya sebagai buatan luar negeri yang tidak 

dapat diatasi. Akhirnya, terorisme mengalami eskalasi luar biasa, 

dan terjadilah peledakan 3 buah bom berkekuatan sangat tinggi 

di Bali. Korban yang berjaAllah  sangat besar, berjumlah di atas 

200 jiwa, ini menurut laporan media massa sendiri.1 

Pemerintah sendiri tidak siap menghadapinya, terbukti da­

ri usulan­usulan yang saling bertentangan antar pejabat pemerin­

tahan di tingkat pusat. Ada usul agar supaya kegiatan­kegiatan 

intelejen dikoordinir oleh sebuah badan baru, sedangkan Menko 

Polkam Susilo Bambang Yudhoyono menganggap hal itu tidak 

perlu. Menhan Matori Abdul Djalil menganggap ada gerakan 

Islam internasional di belakang peristiwa pengeboman itu, se­

dangkan Kapolri sendiri menyatakan belum ada bukti­bukti hu­

kum yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Kalau 

di lingkungan pemerintahan saja terjadi perbedaan pendapat 

1 Seringnya terjadi peristiwa terorisme dan kekerasan lainnya tidak di­

pungkiri telah mengakibatkan banyak korban berjaAllah  yang pada akhirnya 

telah menggiring kepada identifikasi minor bahwa potret Islam fundamentalis 

lebih menjadi objek kajian yang menarik—karena sebagai pihak tertuduh dalam 

beberapa kasus terorisme—ketimbang potret Islam substansialis di negeri kita 

ini.  

terorisme di negeri kita

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 296 h

seperti itu, berarti itu menunjukkan ketidaksiapan menghadapi 

kejadian ini, dan dapat diperkirakan betapa banyaknya pendapat 

saling bertentangan dalam masyarakat. 

Secara internasional, ketidaksiapan pemerintah atas keja­

dian itu dilontarkan oleh berbagai pihak atau negara. Ini juga 

berakibat parah terhadap ekonomi kita yang sedang dilanda kri­

sis. Bagaikan orang yang jatuh ditimpa tangga pula. Bukan ha­

nya menurunnya jumlah wisatawan asing yang ke Bali melain­

kan juga jumlah ekspor kita ke negara lain terkena pukulan he­

bat. Demikian juga, usaha di bidang pariwisata kita mengalami 

pukulan berat. Jumlah penganggur semakin membengkak dan 

tak terbatas hanya pada daerah Bali saja. Gubernur Jawa Timur 

(Jatim) menyatakan kepada penulis, ekspor daerah itu melalui 

Bali yang telah lalu mencapai jumlah 1 milyar rupiah. Jelas Jatim 

mengalami pukulan hebat akibat peristiwa pemboman itu. Penu­

lis menambahkan, para wisatawan asing itu banyak juga yang 

kemudian berselancar di selatan Banyuwangi dan menyaksikan 

matahari terbit di puncak Gunung Bromo. Kalau mereka tidak 

datang ke Bali, maka mereka tidak akan datang ke Jatim. 

eg

Secara matematis pendapatan negeri kita mengalami pu­

kulan hebat akibat peristiwa di Bali ini. Tapi hitungan matematis 

ini tidak berlaku bagi kehidupan perikemanusiaan, dengan hi­

langnya nyawa orang sedemikian banyak itu. Inilah yang harus 

diingat dalam memperhatikan akibat­akibat dari peristiwa terse­

but. Hilangnya kepercayaan negara­negara lain akan kemampu­

an kita sebagai bangsa untuk memelihara keamanan siapa pun, 

juga mengalami pukulan berat. Kita juga tidak tahu, harus berse­

dih hati kah? Atau justru menjadi marah oleh kejadian ini . 

Hanya pernyataan, bahwa apa yang telah terjadi itu adalah sebu­

ah force majeur –hal yang tidak dapat kita tanggulangi secara 

tuntas­, membuat kita sedikit tenang. 

Yang tidak kita mengerti, mengapa pihak keamanan sama 

sekali tidak tanggap terhadap kekerasan, bersiap siaga terhadap 

kemungkinan yang ditimbulkannya. Kesimpulannya, pihak ke­

amanan memang kekurangan tenaga, atau mereka cerminan dari 

sistem politik kita yang kacau balau. Itu semua terjadi karena ada­

nya perintah tak tertulis “dari atas” yang saling bertentangan. Di 

g 297 h

satu pihak, ada yang menyatakan bahwa kaum teroris merajalela 

di negeri kita, karena itu kita harus siaga sepenuhnya. Di pihak 

lain, ada “bisikan” agar kelompok­kelompok teroris di negara 

kita jangan ditindak kalau belum terbukti melanggar hukum. 

Ini berarti, tidak ada tindakan antisipatif apapun terhadap ke­

mungkinan tindakan yang ditimbulkan oleh para teroris. Makna 

dari hal ini adalah, pihak keamanan menerima perintah saling 

bertentangan, dan wajar saja kalau mereka lalu dibuat bingung 

oleh kebijakan itu, yang berakibat pada ketidakpastian dalam 

penyelenggaraan keamanan. Justru inilah kesempatan yang di­

tunggu­tunggu oleh para teroris, yang masih harus dibuktikan 

secara hukum melalui kerjasama dengan unsur­unsur aparat ke­

amanan luar negeri. 

Tidak heranlah jika negara­negara lain lalu menganggap 

kita tidak memiliki kesanggupan menjaga keamanan dan meneli­

ti pelanggaran­pelanggaran atasnya. Tawaran yang oleh Kapolri 

dinyatakan datang dari berbagai negara, pada hakikatnya adalah 

kritikan terhadap kemampuan kita di bidang keamanan dalam 

negeri. Jadi tidak tepatlah kebanggaan sementara kalangan akan 

datangnya tawaran membantu itu. Ini adalah akibat belaka dari 

kelalaian kita di masa­masa lampau, termasuk saat  penulis 

menjadi Kepala Pemerintahan. 

Yang sebenarnya mengejutkan kita adalah sikap Wapres 

Hamzah Haz. Pertama, ia tidak pernah mengutuk tindakan tero­

ris ini . Kedua, ia justru mengunjungi para tahanan seperti 

Ja’far Umar Thalib2, mengunjungi tempat­tempat yang selama 

ini diduga dipakai sebagai pangkalan teroris di negara kita. Paling 

tidak, Hamzah seharusnya menahan diri dan tidak melakukan 

kunjungan ini , sampai dibuktikan oleh pengadilan bahwa 

mereka tidak bersalah. Tundalah melakukan kunjungan demi 

2 Kunjungan ke sel tahanan Mabes Polri dilakukan pada Selasa (7/5/ 

2002). Ja’far ditahan atas tuduhan pidatonya mengakibatkan kerusuhan di 

Desa Soya, Ambon. Ja’far adalah komandan dan pendiri Laskar Jihad, sebuah 

kelompok gerakan Islam salafi yang dibentuk di Solo pada 14 Februari 1998. 

Di era penulis masih menjadi Kepala Pemerintahan, kelompok ini diupayakan 

untuk tidak memasuki wilayah konflik, seperti Ambon, Poso, dan lainnya, na­

mun dalam kenyataannya sekitar tahun 2000 dan 2001, telah tercatat seki­

tar 2000 anggota Laskar Jihad di wilayah ini . Tiga hari setelah peristiwa 

bom Bali, 12 Oktober 2002, Ja’far membubarkan Laskar Jihad, sementara orga-

nisasi induk Laskar Jihad, yaitu FKAWJ (Forum Komunikasi Ahlussunnah 

Waljama’ah), tetap dipertahankan eksistensinya.   

tERoRIsmE dI nEGERI kIta

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 298 h

kunjungan itu sampai masalahnya menjadi terang. Kesimpulan 

kita, ia perlu mendekati kelompok garis keras gerakan Islam, un­

tuk kepentingan politik, mencari dukungan bagi partainya dalam 

pemilu mendatang. Berarti ia melakukan kunjungan demi kun­

jungan itu untuk kepentingan politik pribadinya. 

Ini dapat dimengerti sebagai kebuAllah  politik yang wajar. 

Tapi tindakannya menerima orang­orang yang diduga melang­

gar hukum atau undang­undang di Istana (kantor) Wapres, ada­

lah tindakan politik gegabah.3 Ia tidak bisa membedakan kedu­

dukan sebagai ketua umum sebuah parpol dari jabatan Wapres. 

Hal ini langsung atau tidak langsung memberikan dorongan bagi 

kaum teroris untuk melakukan perbuatan­perbuatan yang tidak 

berperikemanusiaan dan melanggar undang­undang. Melihat 

langkah­langkah yang diambilnya, demikian jauh ia dari rakyat 

pada umumnya. Ini sebagai sesuatu yang mengherankan. Di sini­

lah ia akan dinilai, mampukah ia membebaskan diri dari kepen­

tingan­kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan 

umum.   

Seorang pejabat negara tidak boleh mencampuradukkan 

kepentingan jabatan dengan kelompok yang dipimpinnya. Kalau 

ia ingin melaksanakan sebuah garis perjuangan partainya dalam 

jangka panjang, umpamanya saja dengan mendekati kelompok­

kelompok garis keras, untuk memperoleh suara mereka dalam 

pemilu yang akan datang, maka pertemuan itu harus dilakukan 

di tempat mereka atau di kalangan partai yang dipimpinnya. Ti­

daklah layak mengundang mereka yang dituduh sebagai teroris 

oleh banyak pihak untuk makan siang di Kantor Wakil Presiden. 

Perbedaan utama fungsi resmi jabatan atas pemerintahan dari 

fungsi politik kepartaian harus selalu diperhatikan, agar baik 

pemerintah maupun partai politiknya tidak saling mengalami 

kerugian. Karena itu, upaya memerangi terorisme memerlukan 

ketegasan sikap yang ditujukan untuk mereka, ini harus benar­

benar diperhatikan. h

3 Wapres Hamzah Haz menerima komandan Laskar Jihad Ja’far Umar 

Thalib di Istana Wapres, Rabu (8/8/2001). Dalam kesempatan itu, Ja’far me­

nyampaikan kepada Hamzah, dirinya menolak Presiden Megawati karena ia 

perempuan. Hamzah beralasan, naiknya Megawati itu karena hasil situasi 

darurat.

g 299 h

Pada sebuah diskusi beberapa tahun yang lalu di Masjid Sun­

da Kelapa, Jakarta, penulis dikritik oleh Dr. Yusril Ihza Ma­

hendra.1 Kata Bang Yusril, ia kecewa dengan penulis karena 

bergaul terlalu erat dengan umat Yahudi dan Nasrani. Bukankah 

kitab suci al-Qur’ân menyatakan salah satu tanda-tanda seorang 

muslim yang baik adalah “bersikap keras terhadap orang kafir 

dan bersikap lembut terhadap sesama muslim (asyiddâ’u ‘alâ al-

kuffâr ruhamâ baynahum)” (QS al­Fath [48]:29). Menanggapi 

hal itu, penulis menjawab, sebaiknya Bang Yusril mempelajari 

kembali ajaran Islam, dengan mondok di pesantren. Karena ia 

tidak tahu, bahwa yang dimaksud al-Qur’ân dalam kata “kafir” 

atau “kuffar” adalah orang­orang musyrik (polytheis) yang ada 

di Mekkah, waktu itu. Kalau hal ini saja Bang Yusril tidak tahu, 

bagaimana ia berani menjadi mubaligh? 

Dengan masih adanya pendangkalan pemahaman seperti 

itu, penulis jadi tidak begitu heran kalau terjadi kekerasan di Ma­

luku, Poso, Aceh dan Sampit. Penulis mengutuk peledakan bom 

di Legian, Bali, karena itu berarti pembunuhan atas begitu ba­

nyak orang yang tidak bersalah. Walau mengutuk, tidak berarti 

1Peristiwa ini terjadi pada acara Ta’aruf & Bedah Buku “Islam Demokra­

si Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur & Amien 

Rais” pada Minggu (1/12/1996) dan diadakan oleh Perhimpunan Mahasiswa 

Islam Indonesia. Bertindak sebagai pembicara selain Gus Dur dan Yusril adalah 

Amien Rais, Nurcholish  Madjid, Mohammad Sobary, dengan moderator Emha 

Ainun Nadjib. 

Bersumber dari Pendangkalan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 300 h

penulis heran atas terjadinya peledakan bom itu. Karena dalam 

pandangan penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya tidak 

mengerti, bahwa Islam tidak membenarkan tindak kekerasan 

dan diskriminatif. Satu­satunya pembenaran bagi tindakan ke­

kerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin diusir dari 

rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Karena itulah, saat  

harus meninggalkan Istana Merdeka, penulis meminta Luhut 

Panjaitan mencari surat perintah dari Lurah sekalipun. Sebab­

nya, karena ada perintah lain dalam Sunni tradisional yang diya­

kini penulis, untuk taat pada pemerintah. Berdasar ayat kitab suci 

al­Quran, “Taatlah kalian pada Allah, pada utusan­Nya dan pada 

pemegang kekuasaan pemerintahan (athî‘u allâha wa’athî’u ar-

rasûl wa ulî al-amri minkum)” (QS. Al­Nisa [4]:59). Pak Luhut 

Panjaitan2 mencarikan surat perintah itu dari seorang Lurah, dan 

penulis sebagai warga negara dan rakyat biasa –karena lengser 

dari jabatan kepresidenan­ mengikuti perintah ini . 

Soal bersedianya penulis lengser dari jabatan kepresiden­

an, karena penulis menganggap tidak layak jabatan setinggi apa­

pun di negeri ini, dipertahankan dengan pertumpahan darah. 

Padahal waktu itu, sudah ada pernyataan yang ditandatangani 

300.000 orang akan mendukung penulis mempertahankan ja­

batan kepresidenan, kalau perlu mengorbankan nyawa. 

eg

Tindak kekerasan ­walaupun atas nama agama­ dinyatakan 

oleh siapapun dan dimanapun sebagai terorisme. Beberapa ta­

hun sebelum menjabat sebagai presiden, penulis merencanakan 

berkunjung ke Israel untuk menghadiri pertemuan para pendiri 

Pusat Perdamaian Shimon Peres di Tel Aviv. Sebelum keberang­

katan ke Tel Aviv, penulis menerima rancangan pernyataan bersa­

ma, yang disampaikan oleh Rabi Kepala Sevaflim Eli Bakshiloron. 

Dalam rancangan pernyataan itu, terdapat pernyataan penulis 

dan Rabi yang menyatakan “berdasarkan keyakinan agama Is­

lam dan Yahudi, menolak penggunaan kekerasan yang berakibat 

pada matinya orang­orang yang tidak berdosa”. Pengurus Besar 

2 Jendral (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, lahir di Tapanuli, Sumatra 

Utara, 28 September 1947 adalah Menteri Perindustrian dan Perdagangan ke­

tika Gus Dur menjadi presiden.

g 301 h

Nahdlatul Ulama (NU) mengutus Wakil Rois ‘Am, KH. M.A. Sa­

hal Mahfudz3 untuk memeriksa rancangan pernyataan itu. KH. 

M.A. Sahal Mahfudz meminta kata­kata “tidak berdosa” diubah 

menjadi “tidak bersalah”.

Mengapa demikian? Karena, yang menentukan seseorang 

itu berdosa atau tidak adalah Allah Swt. Sedangkan salah atau 

tidaknya seseorang oleh hakim atau pengadilan, berarti oleh sesa­

ma manusia. Penulis menerima keputusan itu dan perubahan 

rancangan pernyataan ini , juga diterima oleh Rabi Eli Bak­

shiloron. saat  tiba di Tel Aviv, penulis bersama Rabi Eli lang­

sung menuju kantornya di Yerusalem. Di tempat itu, penulis dan 

Rabi Eli menandatangani pernyataan bersama itu di depan pub­

lik dan media massa. Ini menunjukkan bahwa, NU sebagai or­

ganisasi Islam terbesar di Indonesia —bahkan menurut statistik 

sebagai organisasi Islam terbesar di dunia— menolak terorisme 

dan penggunaan kekerasan atas nama agama sekalipun. Karena 

itu, kita mengutuk peledakan bom di Bali dan menganggapnya 

sebagai “tindak kejahatan/ kriminal” yang harus dihukum.

Keseluruhan penolakan penulis itu, bersumber pada penda­

pat agama yang tercantum dalam literatur keagamaan (al-kutub 

al-mu’tabarah), jadi bukannya isapan jempol penulis sendiri. 

Mengapa demikian? Karena Islam adalah agama hukum, kare­

nanya setiap sengketa seharusnya diselesaikan berdasarkan hu­

kum. Dan karena hukum agama dirumuskan sesuai dengan tu­

juannya (al-umûru bi maqâshidiha), maka kita patut menyimak 

pendapat mantan ketua Mahkamah Agung Mesir, Muhammad 

Sa’id al-Ashmawy.4 Menurutnya, “hukum Barat” dapat dijadikan 

3 KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudz lahir di Kajen, Pati, 17 

Desember 1937. Beliau adalah pemimpin Pondok Pesantren Maslakul Huda, 

Pati 1963­sekarang. Di samping itu, beliau juga menjabat Rektor Institut Is­

lam NU di Jepara 1989­sekarang, Ketua Dewan Pengawas Syariah AJB Putra 

(2002­sekarang), Rais ‘Am PBNU dua periode 1999­2004/2004­2009 dan 

Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia (MUI).

4 Muhammad Sa’id al-Ashmawy adalah mantan Ketua Pengadilan 

Tinggi Kairo. Seorang intelektual humanis yang banyak memberikan kuliah di 

berbagai perguruan tinggi di Eropa, Amerika Utara, Timur Tengah, dan Afrika 

Utara. Karyanya al-Islam as-Siyasy, banyak mendapatkan apresiasi dari ka­

langan intelektual, sekaligus hujatan dari kalangan Islamis. Totalitas pemiki­

rannya menawarkan arah baru interpretasi dan pembaruan Islam, dengan 

menyediakan satu metodologi baru untuk memahami sumber­sumber suci al­

Qur’an dan Sunnah. Seperti halnya ia menawarkan perbedaan esensial antara 

“Syari’ah” dan “Fiqih”.

bERsumbER daRI PEndanGkalan

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 302 h

“hukum Islam”, jika memiliki tujuan yang sama. Hukum pidana 

Islam (jarimah), menurut Muhammad Sa’id al-Ashmawy, sama 

dengan hukum pidana Barat, karena sama berfungsi dan bertu­

juan mencegah (deterrence) dan menghukum (punishment).

eg

Namun, mengapa terorisme dan tindak kekerasan yang 

lain masih juga dijalankan oleh sebagian  kaum muslimin? Ka­

lau memang benar kaum muslimin melakukan tindakan­tindak­

an ini , jelas bahwa mereka telah melanggar ajaran­ajaran 

agama. Pertanyaan di atas dapat dijawab dengan sekian banyak 

jawaban, antara lain rendahnya mutu sumber daya manusia para 

pelaku tindak kekerasan dan terorisme itu sendiri. Mutu yang 

rendah di kalangan kaum muslimin, dapat dikembalikan kepada 

aktifitas imperalisme dan kolonialisme yang begitu lama mengua-

sai kaum muslimin. Ditambah lagi dengan, orientasi pemimpin 

kaum muslimin yang sekarang menjadi elite politik nasional. 

Mereka selalu mementingkan kelompoknya sendiri dan memba­

ngun masyarakat Islam yang elitis.

Apa pun bentuk dan sebab tindak kekerasan dan teroris­

me, seluruhnya bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini ada­

lah kenyataan yang tidak dapat dibantah, termasuk oleh para 

pelaku kekerasan dan terorisme yang mengatasnamakan Islam. 

Penyebab lain dijalankannya tindakan­tindakan yang telah dila­

rang Islam itu —sesuai dengan ajaran kitab suci al-Qur’ân dan 

ajaran Nabi Muhammad Saw— adalah proses pendangkalan 

agama Islam yang berlangsung sangat hebat.5 Walau kita lihat, 

adanya praktek imperialisme dan kolonialisme atau kapitalisme 

klasik di jaman ini terhadap kaum muslim, tidak berarti proses 

sejarah itu memperkenankan kaum muslimin untuk bertindak 

kekerasan dan terorisme. 

Harus kita pahami, bahwa dalam sejarah Islam yang pan­

jang, kaum muslimin tidak menggunakan kekerasan dan tero­

risme untuk memaksakan kehendak. Lalu, bagaimanakah cara 

5 Hal ini ditengarai sebagai akibat dari pemahaman keagamaan yang 

literalis­skripturalistik yang sering terjebak dalam ruang ideologis yang berciri­

kan subyektif, normatif dan tertutup. Dalam wilayah sosial seringkali dicirikan 

dengan anggapan bahwa komunitasnya atau selain jama’ahnya adalah sesat 

dan munkar dan oleh karena itu harus didefinisikan sebagai musuh bagi komu­

nitas atau jama’ahnya. 

g 303 h

kaum muslimin mengkoreksi langkah­langkah yang salah, atau 

melakukan “responsi yang benar” atas tantangan berat yang 

dihadapi? Jawabannya, yaitu dengan mengadakan penafsiran 

baru (reinterpretasi). Melalui mekanisme inilah, kaum muslim­

in melakukan koreksi atas kesalahan­kesalahan yang diperbuat 

sebelumnya, maupun memberikan responsi yang memadai atas 

tantangan yang dihadapi. Jelas, dengan demikian Islam adalah 

“agama kedamaian” bukannya “agama kekerasan”. Proses seja­

rah berkembangnya Islam di kawasan ini, adalah bukti nyata 

akan kedamaian itu, walaupun di kawasan­kawasan lain, masih 

juga terjadi tindak kekerasan ­atas nama Islam­ yang tidak di­

harapkan. h

bERsumbER daRI PEndanGkalan

g 304 h

Dalam sebuah konferensi internasional, penulis diminta 

memaparkan pandangannya mengenai terorisme yang 

tengah terjadi, seperti peledakan bom di Bali dan per­

buatan­perbuatan lain yang serupa. Penulis jadi teringat pada 

penggunaan nama Islam dalam kerusuhan­kerusuhan di Ambon 

dan Poso, serta peristiwa terbunuhnya para ulama dalam jumlah 

besar dalam kasus “santet di Banyuwangi”. Tentu saja penulis 

menjadi terperangah oleh banyaknya tindakan­tindakan yang 

dilakukan atas nama Islam di atas. 

Tentu saja kita tidak dapat menerima hal itu, seperti hal­

nya kita tolak tindak kekerasan di Irlandia Utara sebagai perten­

tangan agama Protestantisme melawan Katholikisme. Begitu 

juga perusakan Masjid Babri sebagai pertentangan orang­orang 

beragama Hindu melawan kaum Muslimin di negeri India, wa­

laupun yang bermusuhan memang jelas orang­orang dari kedua 

agama itu. Pasalnya, karena mayoritas orang­orang beragama 

Islam di berbagai negeri tidak terlibat dalam pertikaian dengan 

tindakan kekerasan seperti di negeri­negeri ini .

Dalam jenis­jenis tindakan teroristik itu, para pemuda 

muslim jelas­jelas terlibat dalam terorisme yang dipersiapkan. 

Mereka mendapatkan bantuan keuangan dan latihan­latihan 

guna melakukan tindakan­tindakan ini . Belasan bulan per­

siapan teknis dan finansial dilakukan, sehingga tidak dapat ia 

disebut sebagai sesuatu yang bersifat spontanitas belaka. Jika ti­

dak terjadi secara spontan, sudah pasti hal itu merupakan tindak­

an teror yang memerlukan waktu lama untuk direncanakan dan 

dilaksanakan. Para pelaksana kegiatan teror itu menganggap 

diri mereka bertindak atas nama Islam. Dengan demikian, men­

nu dan terorisme Berkedok Islam

g 305 h

jadi jelaslah arti hukum Islam bagi kehidupan mereka, yang ter­

kadang hanya dianggap sebagai kegiatan ilmiah guna membahas 

kecilnya deskripsi yang dilakukan. 

Suatu hal yang harus selalu diperhatikan, yaitu gerakan Is­

lam apa pun dan di mana pun senantiasa terkait dengan pilihan 

berikut: gerakan mereka sebagai kultur atau sebagai lembaga/

institusi. Yang mementingkan kultur, tidak begitu memperhati­

kan lembaga yang mereka dukung. Ambil contoh NU (Nahdlatul 

Ulama) dengan para anggota/ pengikutnya. Perhatikan dengan 

seksama “budaya NU” seperti tahlil, halal bi halal, dan meng­

ikuti rukyah (melihat bulan) untuk menetapkan permulaan hari 

raya. Mereka tidak peduli dengan keadaan lembaga­organisasi 

yang mereka dukung, dipimpin oleh orang yang tepatkah atau 

tidak.

Karena itulah, saat  para aktivis muda Islam yang bela­

kangan dikenal sebagai “muslim radikal”, dan kemudian lagi di­

kenal sebagai para teroris yang memulai konflik di Ambon dan 

Poso, dan sebagian lagi meledakkan bom di Bali, mereka pun 

menghadapi pilihan yang sama, mementingkan budaya atau lem­

baga (institusi). Sebagian dari mereka melupakan “warisan Is­

lam” —berupa proses penafsiran kembali (reinterpretasi)— yang 

sudah dipakai kaum muslimin ratusan tahun lamanya, guna me­

masukkan perkembangan zaman ke dalam ajaran agama mere­

ka. Sebagai akibat, mereka mengembangkan “cara hidup Islam” 

serba keras dan memusuhi cara­cara hidup lain, dan dengan 

demikian membuat Islam berbeda dari yang lain. Ini tampak 

saat  penulis suatu saat  memberikan ceramah kepada para 

calon dokter di sebuah fakultas kedokteran. Para calon dokter le­

laki dipisah tempat duduk mereka dari para calon dokter perem­

puan, dan pemisahan mereka itu “dijaga” oleh seorang bertubuh 

kekar yang lalu lalang di tengahnya. Pertemuan NU pun tidak 

sampai sedemikian keadaannya, karena di tengah­tengah tidak 

ada “penjaga” yang bertubuh kekar dan bersifat galak terhadap 

pelanggaran halangan yang mereka lakukan.

eg

Sikap mementingkan lembaga (institusi) inilah, —seti­

dak­tidaknya lebih mementingkan institusi dari kultur— seperti 

diperlihatkan contoh di atas, menurut pendapat penulis adalah 

nu dan tERoRIsmE bERkEdok Islam

Islam tEntanG kEkERasan dan tERoRIsmE

g 306 h

sumber dari terorisme yang berkedok Islam. Jika institusi atau 

lembaga ke­Islaman ditantang oleh sebuah cara hidup, seperti 

halnya sekarang cara hidup orang Islam ditantang oleh cara 

hidup “Barat”, maka mereka pun merasa terancam dan bersikap 

ketakutan. Perasaan dan sikap itu ditutupi oleh tindakan garang 

kepada “sang penantang”, dan menganggap “budaya sendiri” se­

bagai lebih dari segala­galanya dari “sang penantang”.

Karena tidak dapat membuktikannya secara pasti dan ma­

suk akal, maka lalu diambil sikap keras, yang kemudian berujung 

pada terorisme, seperti meledakkan bom (di Bali) dan menculik 

para turis (seperti dilakukan kelompok Abu Sayyaf di Filipina Se­

latan). Mereka lalu menggunakan kekerasan, sesuatu yang tidak 

diminta atau diperintahkan oleh Islam. Agama mereka menen­

tukan hanya kalau diusir dari rumah­rumah mereka, baru di­

perkenankan melakukan tindak kekerasan untuk membela diri 

(idzâ ukhrijû min diyârihim). 

Karena pendekatan institusional yang mereka perguna­

kan, maka mereka merasa “dikalahkan” oleh peradaban­budaya 

lain, yaitu “kebudayaan barat modern”. Dilupakan umpamanya 

saja, bagaimana Saladin sebagai Sultan Mamalik ‘mengalahkan’ 

Richard Berhati Singa (The Lion Heart) dengan mengirimkan 

dokter pribadinya untuk menyembuhkan anak raja Inggris itu 

dalam Perang Salib. Dokter ini  disertai anak Saladin yang 

dapat saja dibunuh, kalau dokter pribadi itu tidak dapat menyem­

buhkan anak Richard. Raja Inggris ini  dengan demikian 

mengetahui betapa luhur budi Saladin. Dari upaya itu akhirnya 

ia pulang ke negaranya dan menghentikan Perang Salib.

Demikian pula hubungan antara budaya Islam dan budaya­

budaya lain, harus dikembangkan dalam pola menghargai mere­

ka, dengan demikian akan tampak keluhuran Islam yang dipe­

luk saat ini paling tidak oleh 1/6 jumlah umat manusia. Karena 

itu, sejak dahulu penulis menolak penggunaan terorisme untuk 

“mempertahankan Islam”. Tindakan seperti itu justru merendah­

kan Islam di mata budaya­budaya lain, termasuk budaya modern 

di Barat yang telah membawakan keunggulan organisasi, penge­

tahuan, dan teknologi. Islam hanya dapat “mengejar ketertinggal­

an’ itu, jika ia menggunakan rasionalitas dan sikap ilmiah. Me­

mang, rasionalitas Islam sangat jauh berbeda dari rasionalitas 

lain, karena kuatnya unsur identitas Islam itu. Rasionalitas Is­

lam yang harus dibuktikan dalam kehidupan bersama ini , 

g 307 h

berintikan penggunaan unsur­unsur manusiawi, dengan segala 

pertimbangannya ditunjukkan kepada “sumber­sumber tertu­

lis” (adillah naqliyyah) dari Allah, seperti ungkapan­ungkapan 

resmi Allah  dalam al-Qur’ân dan ucapan Nabi (al-Hadits). Kare­

na itu, pengenalan ini  tidak memerlukan tindak kekerasan 

apa pun, yang hanya akan membuktikan “kelemahan” Islam saja. 

Karena itulah, kita harus memiliki sikap jelas mengutuk teroris­

me, siapa pun yang melakukannya. Apalagi kalau hal itu dilaku­

kan oleh mereka yang tidak mengerti perkembangan Islam yang 

sebenarnya. 

Padahal kaum muslimin sejak dahulu terbagi dua, yaitu 

yang menjadi warga berbagai gerakan Islam (al-munadzamah 

al-Islamiyyah) dan orang­orang Islam kebanyakan (‘awâm atau 

laymen). Kalau mayoritas warga berbagai gerakan Islam saja 

tidak menyetujui penggunaan kekerasan (terorisme), apalagi 

kaum muslimin awam. Inilah yang sering dilupakan para teroris 

itu dan harus diingat oleh mereka yang ingin melakukan tindak 

kekerasan, apalagi terorisme, di kalangan para aktivis muslimin. 

Kalau