hadist yang di daifkan 2

Jumat, 07 Maret 2025

hadist yang di daifkan 2


 


�kan 

baik berupa sabda, perbuatan, maupun taqrīr, baik pada tabi‟in kecil maupun 

besar. Dengan kata lain definisi di atas dapat dipahami bahwa seorang tabi‟in 

mengatakan Rasulullah berkata demikian, namun pada hakikatnya tabi‟in tersebut 

menghilangkan sahabat sebagai generasi perantara antara Rasulullah dengan 

tabi‟in. 

2) Hadis Munqaṭi„ 

Pengertian hadis munqaṭi„ adalah hadis yang gugur seorang rawinya 

sebelum sahabat, di satu tempat atau gugur dua orang pada dua tempat dalam 

keadaan tidak berurutan. 

3) Hadis Mudallas 

Berasal dari kata dallasa yang berarti menipu atau menyembunyikan 

cacat, hadis mudallas berarti suatu hadis yang terdapat di dalamnya tipuan atau 

cacat. Menurut istilah, hadis mudallas adalah hadis yang diriwayatkan dengan 

cara yang diperkirakan bahwa hadis itu tidak bercacat. Periwayat 

menyembunyikan kecacatan disebut al-mudallis, hadis dari mudallis disebut al-

mudallas dan perbuatannya disebut tadlis. Tadlis memiliki tiga macam, yaitu: 

                                                          

26

 Idri, Studi Hadis, h. 179. 

46 

 

a) Tadlis isnad, yaitu bila seorang rawi yang meriwayatkan dari orang 

yang pernah bertemu dengannya, tetapi rawi tersebut tidak mendengar 

hadis daripadanya. Agar rawi tersebut dianggap mendengar dari rawi 

yang digugurkan, ia menggunakan lafal menyampaikan hadis dengan 

„an fulān (dari si fulan) atau anna fulānan yaqūlu (sesungguhnya 

sifulan berkata). 

b) Tadlis Suyukh, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadis 

yang didengarnya dari seorang guru dengan menyebutkan kuniyah 

gurunya, nama keturunannya, atau menyifati gurunya dengan sifat-

sifat yang tidak/belum dikenal oleh orang banyak.  

c) Tadlis Taswiyah, yaitu bila seorang rawi meriwayatkan hadis dari 

gurunya yang tsiqah, guru tersebut menerima dari gurunya yang 

lemah, dan guru yang lemah ini menerima dari seorang guru yang 

tsiqah pula. Tetapi si mudallis tersebut meriwayatkannya tanpa 

menyebutkan rawi-rawi yang lemah, bahkan ia meriwayatkan dengan 

lafal yang mengandung pengertian bahwa rawinya tsiqah semua. 

4) Hadis Muallaq 

Hadis muallaq menurut bahasa berarti hadis yang tergantung. 

Menurut istilah, Hadis muallaq adalah hadis yang gugur satu rawi atau 

lebih di awal sanad.

27

 

 

 

                                                          

27

 M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushūl al-Ḥadīts (Jakarta: Gaya Mwdia 

Pratama, 1998), h. 305-310 

47 

 

5) Hadis Mu„ḍal 

Hadis mu„ḍal adalah hadis yang gugur dua orang sanadnya atau lebih 

secara berturut-turut. Termasuk ke dalam jenis ini hadis yang dimursalkan oleh 

tābi„ tābi„īn. Hadis ini juga sama derajatnya dengan hadis munqaṭī„ bahkan lebih 

rendah.

28

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hadis ḍa„īf karena gugurnya 

rawi, artinya tidak adanya satu, dua, atau beberapa rawi yang seharusnya ada 

dalam satu sanad. 

b. Hadis-hadis ḍa„īf karena sebab selain sanadnya muttasil ada enam 

macam, di antaranya: 

1) Hadis Muḍa„af, yaitu hadis yang tidak disepakati keḍa„īfannya. 

Sebagian ahli hadis menilainya mengandung ḍa„īf baik dari segi 

sanad atau matannya, namun, sebagian lainnya menilainya kuat. 

Namun lebih dominan adalah penilaian ḍa„īfnya. 

2) Hadis Muḍtarrib, yaitu hadis yang diriwayatkan dngan beberapa 

bentuk yang saling berbeda dan tidak mungkin dilakukan tarjih.  

3) Hadis Maqlūb,  hadis yang terjadi pemutarbalikkan dari diri 

perawi mengenai matannya, nama salah satu sanadnya, atau sanad 

untuk matan lain. 

4) Hadis Syādz, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang 

tsiqah dan di antara perawinya ada yang menyimpang dari yang 

                                                          

28

 M. Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Ushūl al-Ḥadīts, h. 306. 

48 

 

lainnya. Imam Syafi‟i menjelaskan hadis syādz merupakan hadis 

yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat. 

5) Hadis Munkar, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang 

ḍa„īf dan bertentangan dengan perawi-perawi yang tsiqah. 

6) Hadis Matruk,yaitu hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang 

tertuduh dusta dalam hadis atau sering berdusta dalam 

pembicaraannya, jelas kefasikannya atau sering lupa dan salah.

29

 

c. Kehujjahan Hadis Ḍa„Īf 

Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadis ḍa„īf yang mauḍū„ tanpa 

menyebutkan kemauḍū„annya, sedangkan hadis ḍa„īf itu bukan hadis mauḍū„, 

karena itu diperselisihkan tentang boleh tidaknya diriwayatkan untuk berhujjah. 

Dalam hal ini ada 3 pendapat, diantaranya: 

1) Mengamalkan secara mutlak. Yakni baik yang berkenaan dengan 

masalah halal-haram, maupun berkenaan dengan masalah kewajiban, 

dengan syarat tidak ada hadis lain yang menerangkannya. Pendapat ini 

dikemukakan oleh Imam Aḥmad bin Ḥanbal, Abū Dāwud, dan 

sebagainya. 

2) Melarang secara mutlak. Meriwayatkan segala macam hadis ḍa„īf, 

baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti 

amalan utama. Pendapat ini dipertahankan oleh Abu Bakr Ibnu al-

Arabī, Syihāb al-Khafajī, al-Jalāl al-Dawānī. 

                                                          

29

 „Abdurrahman al-Suyuti, Tadrīb al-Rāwī Fī Ṣarḥ Taqrīb al-Nawāwī (Kairo: Maktabah 

Dar al-Turath, 1972), h. 152. 

49 

 

3) Membolehkan. Kendatipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa 

menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberikan sugesti, 

menerangkan keutamaan amal (faḍā‟il a„mal), dan cerita-cerita, bukan 

untuk menetapkan hukum-hukum syariat, seperti hala-haram, dan 

bukan untuk menetapkan aqidah-aqidah. Pendapat ini dikemukakan 

oleh Imam Aḥmad bin Ḥanbal, „Abdurrahman bin Mahdy, „Abdullah 

bin al-Mubarok.

30

  

Selain itu, Ibnu Ḥajar al-„Asqalānī termasuk ulama ahli hadis yang 

membolehkan berhujjah dengan hadis ḍa„īf untuk faḍā‟il a„mal 

memberikan 3 syarat, yaitu: 

a) Hadis ḍa„īf itu tidak keterlaluan, oleh karena itu hadis ḍa„īf yang 

disebabkan rawinya pendusta, tertuduh dusta, dan banyak salah 

tidak dapat dibuat hujjah kendatipun sebagai faḍā‟il a„mal. 

b) Dasar a‟mal yang ditunjuk oleh hadis ḍa„īf  tersebutmasih di 

bawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadis yang dapat 

diamalkan (ṣaḥīḥ dan ḥasan). 

c) Dalam mengamalkannya meni‟tikadkan bahwa hadis tersebut 

benar-benar bersumber dari nabi. Tetapi mengamalkannya hanya 

semata-mata untuk ikhtiyath (hati-hati) belaka.

31

  

Adapun demikian, pengamalan hadis ḍa„īf  banyak terjadi 

perselisihan pendapat di antara para ulama hadis. Periwayatan hadis ḍa„īf  

hendaknya dengan jalur sanadnya serta jika telah di-takhrij oleh ulama 

                                                          

30

 Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadis,h. 229. 

31

 Rachman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadis, 230. 

50 

 

hadis, maka wajiblah untuk menyebutkan „illah hadis yang terkandung di 

dalamnya . sehingga dapat diketahui bahwa hadis tersebut ḍa„īf . 

D. Pemikiran al-Albānī Tentang Hadis   

1. Pandangan Mengenai Hadis, Sunah, Khabar dan Atsar 

Pengertian hadis menurut al-Albānī sama dengan jumhur ulama‟ lainnya 

yaitu segala sesuatu yang diperbincangkan dan disampaikan baik dengan suara 

maupun dengan tulisan. Sedangkan sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber 

dari Nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan atau pernyataan di dalam 

masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum syari‟at. Berdasarkan dari 

pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hal-hal yang menyangkut 

masalah dunia dan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan urusan agama 

bukanlah termasuk sunnah. Namun di kalangan ahli hadis, sunnah mencakup 

perkara wajib dan sunnah. Berbeda dengan pengertian ahli fikih yang mengartikan 

sunnah mencakup hal yang dianjurkan saja, tidak untuk perkara yang 

diwajibkan.

32

 

Jumhur ulama mengatakan bahwasanya hadis merupakan sinonim dari 

sunnah. Namun sebagian ulama membatasi pengertian hadis terhadap apa-apa 

yang merupakan perkataan beliau semata. Tidak tercakup perbuatan maupun 

takrir (pernyataan) beliau. Tetapi menurut al-Albānī, sunnah secara bahasa 

mencakup dua pengertian yaitu perbuatan dan pernyataan, sedangkan hadis adalah 

                                                          

32

 M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah bi Nafsihi fī al-„Aqīdah wa al-Aḥkām 

(Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif li al-Nasr wa al-Tauzi‟, 1425), h. 19. 

51 

 

perkataan. Karena keduanya sama-sama disandarkan kepada Nabi Saw. maka 

ulama hadis cenderung mengartikan sama antara keduanya.

33

 

Sedangkan khabar secara bahasa memiliki pengertian yang sama dengan 

hadis, namun kebanyakan para ulama memberikan penilaian khusus kepada hadis 

yaitu sesuatau yang hanya bersumber dari Nabi Saw. saja. Sedangkan khabar 

memiliki pengertian yang lebih luas yaitu bersumber dari Nabi atau yang lainnya. 

Meskipun ada ulama yang beranggapan bahwa antara hadis, sunnah dan khabar 

memiliki pengertian yang sama. Namun al-Albānī lebih condong pada pendapat 

yang pertama yakni memiliki pengertian yang lebih luas yaitu bersumber dari 

Nabi atau yang lainnya

34

Pengertian atsar menurut al-Albānī adalah sesuatu yang disandarkan pada 

generasi setelah Nabi Saw. yakni sahabat, tabi‟in, atba‟ tabi‟in. Dengan pengertian 

ini maka akan bisa dibedakan antara mauquf dengan hadis marfu‟.

35

 

2. Kritik Sanad dan Matan al-Albānī 

Sebuah hadis terdiri dari dua bagian utama yaitu sanad dan matan, sanad 

adalah jalan menuju matan, artinya sebuah matan hadis dan menyampaikannya 

secara keseluruhan mulai dari perawi awal hingga sampai nabi. Adapun yang 

dimaksud dengan matan adalah lafal dari sebuah hadis yang tersusun menjadi 

suatu pengertian.

36

 

Para ulama termasuk al-Albānī menolak setiap hadis yang tidak memiliki 

sanad. Hal ini disebabkan merebaknya kebohongan yang mengatasnamakan Nabi 

                                                          

33

 M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah bi Nafsihi fī al-„Aqīdah wa al-Aḥkām, h. 

21. 

34

 al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 22. ة 

35

al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 22.  

36

 al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 23. 

52 

 

Saw. seorang ulama dari golongan tabi‟in, Muhammad Ibn Sirrin berkata: “dahulu 

para ulama tidaklah pernah menanyakan sanad suatu hadis. Namun, tatkala fitnah 

telah merebak, merekapun berkata “sebutkan sanadmu” setelah itu mereka 

menimbang, jika orang-orang yang ada dalam sanad tersebut tergolong ke dalam 

ahl al-bait, maka mereka tolak hadisnya”.

37

 

Bagi al-Albānī setiap sanad yang dinukil kepada perawi, apabila orang-

orang yang meriwayatkan termasuk dalam kriteria syarat hadis ṣaḥīḥ, maka hadis 

tersebut harus diterima. Karena untuk mengetahui kualitas sebuah hadis bisa 

dilihat dari susunan sanadnya. Abdullah Ibn al-Mubarak berkata “al-isnād adalah 

bagian dari agama. Jika seandainya bukan karena isnad niscaya seorang akan 

berkata sesuka hatinya”.

38

 

Menurut al-Albānī, kriteria diterimanya sanad sebuah hadis adalah sebagai 

berikut:

39

 

a. Sanadnya bersambung, 

b. Periwayat hadis adalah seorang yang bersifat ḍabt, 

c.  Periwayat hadis adalah seorang yang bersifat ādil, 

d. Perawi hadis terbebas dari sifat syudzūdz (tidak menyalahi perawi yang 

kuat)dan „illah. 

kriteria diterimanya sanad ini sama dengan kriteria ulama hadis lainnya 

karena memang hal itu telah disepakati oleh jumhur ulama. 

 

                                                          

37

 M. Nāsir al-Din al-Albānī, hadis sebagai landasan akidah dan hukum, Penerjemah M. 

Irfan Abu Zain, ed. Abu Fahmi Huaidi (Jakarta: Pustaka Azza, 2002), h. 22. 

38

M. Nāsir al-Din al-Albānī, hadis sebagai landasan akidah dan hukum, h. 23.  

39

al-Albānī, al-Ḥadīts Ḥujjah, h. 15. 

53 

 

3. Jarḥ Wa Ta’dil menurut al-Albānī 

Ilmu jarḥ wa ta‟dil merupakan ilmu yang istimewa yang hanya bisa 

dikuasai oleh beberapa orang saja. Adapun syarat dasar yang harus ada dalam diri 

seorang ulama jarḥ wa ta‟dil adalah:

40

 

a. Tidak memihak terhadap siapapun atau bersifat objektif, 

b. Harus berani men- jarḥ seorang rawi yang sudah jelas kecacatannya 

walaupun dia sama akidahnya, 

c. Harus berani menyatakan tsiqah seorang rawi yang tidak teridentifikasi 

kecacatan walaupun dia berbeda akidah, 

d. Tidak melakukan jarḥ atau ta‟dil berdasarkan hawa nafsu. 

Sedangkan syarat seorang dikatakan adil adalah muslim, baligh, berakal, 

selamat dari sebab fasik, dan dapat menjaga muru‟ah.

41

 

Adapun seorang rawi yang majhūl al-Albānī membaginya menjadi dua 

macam, yaitu: 1) majhūl „ainiyyah, seorang perawi yang hanya menurunkan satu 

perawi darinya. Dan 2) majhūl ḥāliyah, yaitu seorang perawi yang menurunkan 

beberapa perawi darinya namun belum sampai kepada derajat tsiqah.

42

 

Sesungguhnya riwayat masur dan majhūl tidak dapat ditolak  atau diterima 

secara mutlak, tetapi tergantung pada kejelasan keadaan perawi oleh imam yang 

handal. Dengan kata lain majhūl ḥāliyah merupakan oarang yang teriwayatkan 

                                                          

40

 „Aṣm Mūsā Hādy, „ulūm al-Ḥadīts li al-„Allāmah al-Albānī (Beirut: Dār al-

Utsmaniyah, 2003), h. 52-53.  

41

 „Aṣm Mūsā Hādy, „ulūm al-Ḥadīts li al-„Allāmah al-Albānī, h. 53. 

42

M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Terjemah Tamamul Minnah(Koreksi Dan Komentar Secara 

Ilmiah Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq, Penerjemah Afifuddin Said, ed. Tim 

MSP (Tegal: Maktabah Salafy Press, 2002), h.7.  

54 

 

hadisnya oleh dua orang perawi atau lebih namun tidak ada pengakuan 

terpercaya.

43

 

Bentuk dan tingkatan lafal jarḥ wa ta‟dil al-Albānī merujuk pada al-

Dzahabī dalam kitabnya “Mīzān al-I„tidāl fī Naqd al-Rijāl”, untuk menentukan 

bentuk lafal ta‟dil tingkatannya yaitu:

44

  

1) Tsabt ḥujjah, Tsabt Ḥāfdh, tsiqah mutqan, tsiqah  

2) Tsiqah 

3) ṣadūq, lā ba‟sa bih, laisa bih ba‟sa, maḥalluhu al-ṣidq, jayyīd al-ḥadīts, 

syayikh wasaṭ, syayikh ḥasan al-ḥadīts, ṣadūq insyā‟ Allāh, dan 

sebagainya. 

Sedangkan tingkatan lafal jarḥ adalah: 

1)  sū‟ al-ḥifdh 

2) Matrūk, tingkatan ḍa„īfnya berat 

3) Munkar al-Ḥadīts 

4) Kadzdzāb 

Ta‟arud dalam jarḥ wa ta‟dīl,  jika ditemukan perbedaan dalam yang 

harus dilakukan adalah mendahulukan jarḥ atas ta‟dīl dengan syarat sebab 

cacatnya telah diketahui dengan jelas.

45

 

Menurut jumhur ulama‟ dan juga al-Albānī, untuk menyatakan keadilan 

bagi seorang perawi cukuplah dengan pernyataan satu orang ulama‟ saja. sehingga 

apabila perawi telah dinyatakan diterima periwayatannya. Ulama yang sependapat 

                                                          

43

M. Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Terjemah Tamamul Minnah(Koreksi Dan Komentar Secara 

Ilmiah Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq), h. 8. 

44

 „Āṣām Mūsā Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts li al-„Allāmah al-Albānī, h. 59-60. 

45

 Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts, h. 67.  

55 

 

dengan pernyataan ini adalah Ibn Ṣālāḥ. Namun al-Albānī menambahkan bahwa 

maksud kaidah di atas bukanlah bersifat mutlak, namun berlaku bagi ulama jarḥ 

wa ta‟dīl yang belum mengetahui secara mendalam dan cenderung tasahhul.

46

  

Penetapan jarḥ wa ta‟dīl,  berdasarkan pendapat seorang Imam ada banyak 

pendapat tentang penetapan status seorang perawi berdasarkan pendapat seorang 

imam. Ada sebagian ulama‟ yang menerimanya dengan catatan seorang imam 

tersebut memberi keterangan sebab jarḥ terhadap seorang perawi. Pendapat ini 

juga bisa diambil apabila seorang imam tersebut memenuhi syarat sebagai seorang 

ulama jarḥ wa ta‟dīl yaitu dia harus seorang yang „ālim dan nāṣiḥ.

47

  

Seorang perawi yang telah teridentifikasi jarḥ, maka secara otomatis hadis 

yang diriwayatkan menjadi ḍa„īf kecuali telah diketahui bahwa dia meriwayatkan 

hadis tersebut sebelum adanya ikhtilāṭ (percampuran). Kaidah “ikhtilāṭ” yang 

berlaku adalah jika seorang perawi mendengarkan hadis sebelum ikhtilāṭ maka 

periwayatannya diterima, namun jika dia mendengar sesudah dinyatakan ikhtilāṭ 

atau tidak diketahui apakah dia mendengar sebelum ikhtilāṭ atau dia dalam 

keadaan keduanya maka hadisnya tertolak.

48

  

4. Kriteria Hadis Mauḍū’ dan Ḍa’īf Menurut al-Albānī 

a. Kriteria Hadis Mauḍū‟ Menurut al-Albānī 

Al-Albānī belum merumuskan secara jelas kriteria hadis mauḍū‟ , hanya 

menetapkan secara global. Di antara kriteria yang ia rumuskan secara global 

dalam kitab silsilah al-Aḥādīts al-ḍa‟īfah wa al- mauḍū‟ah adalah al-Albānī 

menggunakan kriteria-kriteria dalam menetapkan kualitas hadis mauḍū‟ yang bisa 

                                                          

46

Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts,h. 47-48.  

47

 Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts, h. 68. 

48

 Hādī, „Ulūm al-Ḥadīts, h. 70. 

56 

 

dirumuskan dari penjelasan-penjelasan yang dipaparkannya: “seorang zindik biasa 

memalsukan lebih dari empat ribu hadis, bahkan dipastikan dari tiga orang yang 

dikenal sebagai pemalsu hadis, puluhan ribu hadis bisa dibuat. Menurutnya, ada 

beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya hadis palsu yaitu: tendensi politik, 

demi aṣhabiyah (rasialisme) fanatisme madzhab, pengakuan demi bertaqarrub 

kepada Allah Swt. Dan juga karena kesalahan tak sengaja sebagian kaum sufi 

karena ketidak tahuannya”.

49

  

Dalam kitab Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah pengakuan pemalsu hadis 

sebagai indikator palsunya sebuah hadis tidak banyak ditemukan dalam kitab ini, 

mayoritas penilaian al-Albānī diambil berdasarkan pemalsu hadis secara umum, 

bahwa periwayat pernah membuat hadis palsu, disamping pribadinya yang cacat 

karena dinilai pendusta.

50

  

Al-Albānī dalam menentukan kualitas hadis mauḍū‟ berdasarkan kritik 

sanad dan kritik matan. Kriteria dari segi matan lebih mengarah pada redaksi 

hadis yang mengandung kedustaan yang dinisbatkan kepada Rasulullah Saw. baik 

dari segi perkataan yang tidak pernah dikatakan atau perbuatan yang tidak pernah 

dilakukan.

51

  

Dari pernyataan di atas, bisa dirumuskan diantara kriteria penetapan 

kepalsuan hadis menurut al-Albānī: pengakuan pemalsu hadis, sesuai dengan 

madzab periwayat dan juga melebih-lebihkan pahala atau siksa atas amal sepele 

guna mendekatkan diri kepada Allah.   

                                                          

49

 Al-Albānī, Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah, j. 2, h. 17. 

50

 Al-Albānī, Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah, j. 1, h. 229. 

51

 Usman al-Fallah ibn Ḥasan, al-Waḍ„u fī al-Ḥadīts (Beirut: Muassasah manahil Irfan, 

1981), j. 1,h. 300.  

57 

 

b. Kriteria Hadis Ḍa‟īf  

Kriteria hadis ḍa‟īf yang dikemukakan oleh ulama terdahulu (pada 

umumnya) yang dihimpun oleh M. Syuhudi Ismail, dalam kategori sanad 

adalah:

52

  

1) Sanad yang tampak muttasil dan marfu‟, tetapi ternyata mawqūf 

2) Sanad yang tampak muttasil dan marfu‟, tetapi ternyata mursal 

3) Dalam suatu hadis terdapat kerancuan karena bercampur dengan hadis 

lain dalam sanad hadis tersebut terjadi kekeliruan penyebutan nama 

periwayat yang memiliki  

kemiripan atau kesamaan nama dengan perawi lain yang kualitasnya 

berbeda. 

Kriteria ini juga dianut oleh al-Albānī karena memang mayoritas ulama 

telah sepakat akan kriteria tersebut. Jika suatu hadis dinyatakan terputus atau 

teridentifikasi terkena syādz atau „illat maka dikategorikan ke dalam hadis ḍa‟īf.

53

 

Selanjutnya hadis dinilai ḍa‟īf dari segi matan menurut al-Albānī adalah:

54

 

1) Hadis yang matannya mengandung nakārah karena bertentangan 

dengan al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣaḥīḥ, kaidah syariat yang mapan, 

realita dan data yang pasti. 

2) Hadis yang matannya tidak bertentangan namun tidak mendapat 

dukungan petunjuk al-Qur‟an, hadis-hadis yang ṣaḥīḥ, kaidah syariat 

yang mapan, realita dan data yang pasti. 

                                                          

52

 M. Syuhudi Ismail, metodologi Penelitian Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 89. 

53

 Al-Albānī, Silsilah al-Ḍa‟īfah wa al-Mauḍū‟ah, j. 1, lihat muqaddimah. 

54

 Abu Yahya Zakariya ibn Ghulam Qadir, al-Albānī wa Manhaj al-Aimmah al-

Mutaqaddimīn fī „ilm al-Ḥadīts (Riyad: maktabah al-Ma‟arif, 1983), h. 29. 

58 

 

Sementara dari aspek hukum ber-hujjah dengan hadis ḍa‟īf  al-Albānī 

berpendapat tidak boleh diamalkan walaupun untuk keutamaan (faḍāil al-a‟māl). 

Al-Albānī mengakui bahwa pendapat yang populer dikalangan ulama hadis adalah 

ḍa‟īf  boleh diamalkan dalam konteks keutamaan (faḍāil al-a‟māl).

55

 

Dalam kitabnya Tamām al-Minah fī ta‟līq „alā Fiqh al-Sunnah, al-Albānī 

merumuskan beberapa kaidah untuk mendalami dan memahami sunnah sebagai 

berikut:

56

 

a) Menolak hadis syādz 

b) Menolak hadis muḍtarīb 

c) Menolak hadis mudallas 

d) Menolak hadis majhūl 

e) Mengukuhkan hadis dengan banyaknya jalur bersifat tidak mutlak, 

sebuah hadis akan menjadi kukuh dan dapat dijadikan hujjah jika 

diriwayatkan dari berbagai jalur, meskipun secara tersendiri masing-

masing jalur itu lemah. 

f) Meninggalkan hadis ḍa‟īf meski sabagai keutamaan (faḍāil al-a‟māl) 

dengan menyebutkan beberapa alasan, yakni, hadis ḍa‟īf hanya 

memberi manfaat bagi dugaan yang diunggulkan, tetapi disepakati 

untuk tidak diamalkan. Bagi yang ingin mengamalkan hadis tersebut 

harus dapat menyertakan dalil yang menguatkannya, dan jika ada suatu 

amal yang tidak disyariatkan berdasarkan hujjah yang kuat, tetapi 

                                                          

55

 Muhammad Jamal al-Din al-Qasimi, Qawa‟id al-Taḥdīth min Funun Muṣṭalāḥ al-

Ḥadīts (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.t.), h. 113. 

56

 Dīn al-Albānī, Terjemah Tamamul Minnah(Koreksi Dan Komentar Secara Ilmiah 

Terhadap Kitab Fiqhus Sunnah Karya Sayyid Sabiq), h. 2-32). 

59 

 

disertai hadis yang menyebutkan khusus pahala bagi yang 

mengamalkannya. 

 

 

 

 

 

 

60 

 

      BAB IV 

KRITIK SANAD HADIS-HADIS YANG DIDHA’IFKAN OLEH 

MUHAMMAD NĀSHIRUDDĪN AL-ALBĀNĪ 

A. Kritik Hadis ke-1  

1. Kritik Sanad 

Untuk menentukan kualitas suatu hadis, maka terlebih dahulu haruslah 

melakukan penelitian lebih lanjut baik dari segi sanad ataupun matannya. 

a. Teks dan Terjemahannya 

ُ ِِبَا ةِ مَ لِ لكَ بِْ  َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَّمُ   1ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل، يَ ْرفَ ُعُو اَّللَّ

“Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridlai Allah, 

suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya 

beberapa derajat”2 

b. Kegiatan Takhrij Hadis 

Dalam men- takhrīj hadis, seseorang haruslah mengetahui metode apa saja 

yang digunakan dalam melakukan takhrīj  hadisPengertian takhrīj adalah 

seperangkat ilmu yang mempelajari tentang bagaimana cara atau metode untuk 

mengeluarkan sebuah hadis dari sumbernya, sehingga diketahui asal-usul hadis 

tersebut berasal. Dari kitab apa, siapa yang meriwayatkannya, dan informasi-

informasi penting lainnya, lengkap dengan sanad dan matannya.

3

 Adapun metode 

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 

                                                          

1

 Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa‟ifah wa al-Mauḍū‟ah wa 

Ātsaruhā al-Sayyi‟ fī al-Ummah (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif, 1992), j. 3, h. 463. 

2

 Ibn Hajar al-Asqalani, Fatḥ al-Bārī Syarah Shahih al-Bukhari, Penerjemah Amir 

Hamzah (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), j. 31, h. 267. 

3

 Lihat Ali Imron, dkk, Ilmu Sanad Hadis (Yogyakarta: Idea Press, 2017), h. 250. 

61 

 

1. Takhrīj melalui awal matan hadis , menggunakan kitab Mausū‟ah Atrāf al-

Hadīts al-Nabāwī al- Syarīf  karya Muhammad Sa„id ibn Basyuni. Kitab 

ini memuat indeks lafadz pertama matan hadis yang terdapat dalam 150 

kitab.

4

 Berikut ini salah satu contoh cara membaca rumus yang terdapat 

dalam kitab ini, yaitu: 

:١٧  dibaca: hadis dengan lafadh tersebut terdapat dalam kitab) مجمع  ١۲ 

Ṣaḥīḥ Muslim, dalam tema “al-Īmān”, dengan nomor hadis 71 dan 73).

5

  

2. Takhrīj melalui kata atau lafadz dalam matan hadis, menggunakan kitab 

al-Mu‟jam al-Mufahras li Alfādz al-Hadīts al-Nabāwī karya A.J. 

Wensinck.

6

 Kitab ini memuat kumpulan hadis-hadis yang terdapat dalam 

Sembilan kitab induk. Berikut adalah salah satu contoh: 

 di baca: hadis dengan lafadh tersebut terdapat di dalam kitab)  ١ اإلٌمانخ 

Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dalam tema “al-Īmān” dengan nomor bab 7. 

 Berdasarkan penelusuran dengan kata  ىرض , data dari kitab al-Mu‟jam al-

Mufahras tersebut yaitu sebagai berikut: 

  7ةِ مَ لِ لكَ بِْ  اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَّمُ ِإنَّ 

 ۳ٔت : زىد :   ۲۳خ : رقاق : 

  جو : فنت  ۲۲ٗ:  ۳حم : 

                                                          

4

 Abū Hājar Muhammad al-Sa„īd bin Basyūnī Zaghlūl, Mausū‟ah Atrāf al-Ḥadīts al- 

Nabawī al-Syarīf (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.), j. 1,  h, 16-21. 

5

 Keterangan nama-nama kitab yang dimaksud di dalam rumus terdapat dalam 

Muqaddimah Kitab Abū Hājar Muhammad al-Sa„īd bin Basyūnī Zaghlūl, Mausū‟ah Atrāf al-

Ḥadīts al- Nabawī al-Syarīf, j. 1,  h, 16-21. 

6

 Mahmud al-Ṭaḥḥān, Uṣl al-Takhrīj wa Dirāsah al-Asānid (Riyadh: Maktabah al-M‟arif, 

1991), h. 35. 

7

 Winsink, Al-Mu„jam al-Mufahras li Alfādz al-Ḥadīts al-Nabawī (Leiden: Beril, 1936), j. 

2. h. 269. 

62 

 

Kemudian, Setelah ditelusuri melalui awal matan  ُةِ مَ لِ لكَ بِْ  ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَّم  

dengan menggunakan kitab Mausū„ah al-Aṭrāf al-Ḥadīts al-Nabawī al-Syarīf, 

berdasarkan kitab tersebut, informasi yang didapat sebagai berikut: 

ُ ِِبَا ةِ مَ لِ لكَ بِْ  ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَّمُ    8ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل، يَ ْرفَ ُعُو اَّللَّ

:  ٔٔفتح :  ۲ٔ۲:  ٗٔسّنة :   ۳ٜٙ٘جوامع :    ۳۲ٔ : ٛخ : 

۲ٓٛ 

   ۲ٔٛٗ: مشكاة  ٘ٙٔ:  ٛىق :   ۲۲ٗ:  ۳حم :   ۳ٜٙأذكار : 

 Berdasarkan petunjuk dengan menggunakan kedua metode takhrij tersebut,  

berikut ini adalah teks/ redaksi hadis yang berhasil ditemukan di dalam kitab-kitab 

rujukan: 

Redaksi dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī : 

ثَ َنا َعْبُد الرَّْْحَِن ْبُن َعْبِد اَّللَِّ يَ ْعِن اْبنَ  َع َأَب النَّْضِر، َحدَّ َثِِن َعْبُد اَّللَِّ ْبُن ُمِنرٍي، َسَِ  ِديَناٍر، َعْن أَبِيِو، َحدَّ

ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن رِْضَواِن اَّللَِّ ََل يُ ْلِقي ََلَا َعْن َأِب َصاِلٍح، َعْن َأِب ُىَريْ رََة، َعِن النَِّبِّ قَاَل: 

ُ ِِبَا َدَرَجاٍت، َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ ََل يُ ْلِقي َلََ  ِوي ِِبَا ِِ َبًَل، يَ ْرفَ ُعُو اَّللَّ ْْ ا َبًَل، يَ 

نَّمَ  َْ  9.َج

 

 

 

 

                                                          

8

Abū Hājar Muḥammad al-Sa„īd bin Basyūnī Zaghlūl, Mausū„ah al-Aṭrāf al-Ḥadīts al-

Nabawī al-Syarīf  (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t. ),  j. 3, h. 107. 

9

 Abī „Abdillāh Muḥammad bin Ismā„īl al-Bukhārī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (Beirut: Syirkah al-

Quds, 2008), h. 1304. 

63 

 

Redaksi dalam kitab al-Baihaqī: 

قَاَل: " ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن رِْضَواِن هللِا ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل يَ ْرَفُع ملسو هيلع هللا ىلص َعْن َأِب ُىَريْ رََة، َعِن النَِّبِّ 

نَّمَ هللُا ِِبَا َلُو َدَرَجاٍت , َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة مِ  َْ ِوي ِِبَا ِِ َج ْْ " ْن َسَخِط هللِا ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل يَ 

ِوْي  (رواية َلما  ِو رواه البخاري  ْْ  10)ِِبَا ِِ النَّاِر أَبْ َعَد َما بَ ْْيَ اْلَمْشرِِق َواْلَمْغِربِ يَ 

Redaksi dalam kitab  al-Adzk ār li al-Nawāwī: 

قَاَل: " إنَّ الَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم بلَكِلَمِة ِمْن رِْضَواِن اَّللَِّ َتعاىل ما يُ ْلِقي ََلَا بًَل،  ملسو هيلع هللا ىلصالنَِّبِّ َعْن َأِب ُىَريْ رََة، َعِن 

ُ َتعاىل ِبا َدَرجاٍت، َوإنَّ الَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم بلَكِلَمِة ِمْن َسْخِط اَّللَِّ تَعاىل َل يُ ْلِقي ََلا ب ِوي يَ ْرَفُع اَّللَّ ْْ ًَل يَ 

نَّمَ ِبِ  َْ 11"ا ِ َج

 

Redaksi dalam kitab Sunan al-Tirmidzī: 

ُد ْبُن إِ   َثِِن ُُمَمَّ ِد ْبِن ِإْسَحاق، َحدَّ ، َعْن ُُمَمَّ ثَ َنا اْبُن َأِب َعِديٍّ اٍر، َحدَّ ُد ْبُن َبشَّ ثَ َنا ُُمَمَّ بْ رَاِىيَم، َعْن َحدَّ

: " ِإنَّ الرَُّجَل لَيَ َتَكلَُّم ِبلْ  ِوي ِعيَسى ْبِن طَْلَحَة، َعْن َأِب ُىَريْ رََة، قَاَل: قَاَل َرُسوُل اَّللَِّ ْْ َكِلَمِة ََل يَ َرى ِِبَا ََبًْسا يَ 

 12 .ِِبَا َسْبِعَْي َخرِيًفا ِِ النَّاِر "، قَاَل: َىَذا َحِديٌث َحَسٌن َغرِيٌب ِمْن َىَذا اْلَوْجوِ 

Redaksi dalam kitab Sunan Aḥmad bin Ḥanbal: 

ثَ َنا َعْبُد الرَّْْحَِن َعْن أَبِيِو  ثَ َنا أَبُو النَّْضِر َحدَّ َعْن َأِب َصاِلٍح َعْن َأِب ُىَريْ رََة َعْن النَِّبِّ َصلَّى اَّللَُّ َعَلْيِو َحدَّ

فَ ُعُو اَّللَُّ ِِبَا َدَرَجاٍت َوَسلََّم قَاَل ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن ُرْضَواِن اَّللَِّ َعزَّ َوَجلَّ ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل يَ رْ 

نَّمَ َوِإنَّ اْلَعْبَد  َْ ِوي ِِبَا ِِ َج ْْ  13لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل يَ 

 

                                                          

10

 Al-Jalīl Abī Bakr Aḥmad bin al-Ḥusain bin „Alī al-Baihaqī, Al-Sunan al-Kubrā (Dar al-

fikr), h. 165. 

11

 Abū Zakariyā Muḥyī al-Dīn Yaḥyā bin Syarf al-Nawawī, al-Adzkār al-Nawawiyyah 

(Beirut: Dār al-Fikr, 1994), h. 331-332. 

12

Muḥammad bin „īsā bin Saurah bin Mūsā bin al-Ḍaḥāk al-Tirmidzī, al-Jāmi„ al-Kabīr 

Sunan al-Tirmidzī (Beirut: Dār al-Islāmī, 1998), j. 4, h. 135.   

13

 Al-Imām Aḥmad bin Ḥanbal, Musnad al-Imām al-ḥāfidh Abī „Abdullāh Aḥmad bin 

Ḥanbal (Saudi Arabia: Riyāḍ, 1998), h.8395 

64 

 

Redaksi dalam kitab Sunan Ibn Mājah: 

ُد ْبنُ  ثَ َنا ُُمَمَّ ُد ْبُن َأْْحََد الرَّقِّيُّ قَاَل: َحدَّ ثَ َنا أَبُو يُوُسَف ْبُن الصَّْيَدََلِنُّ ُُمَمَّ َسَلَمَة، َعِن اْبِن  َحدَّ

ِد ْبِن ِإبْ رَاِىيَم، َعْن َأِب َسَلَمَة، َعْن َأِب ُىَريْ رََة، قَاَل: قَاَل َرُسوُل اَّللَِّ َصلَّى  هللُا َعَلْيِو ِإْسَحاَق، َعْن ُُمَمَّ

، ََل يَ َرى ِِبَا َبَْ »َوَسلََّم:  نََّم ِإنَّ الرَُّجَل لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن ُسْخِط اَّللَِّ َْ ِوي ِِبَا ِِ رَاِر َج ْْ ًسا، فَ يَ 

 14«َسْبِعَْي َخرِيًفا

Redaksi dalam kitab  Misykāh li Maṣābīḥ: 

اَّللَِّ ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن ِرْضَواِن »َوَعْن َأِب ُىَريْ رََة قَاَل: قَاَل َرُسوُل اَّللَِّ َصلَّى اَّللَُّ َعَلْيِو َوَسلََّم: 

 يُ ْلِقي ََلَا َبًَل ََل يُ ْلِقي ََلَا َبًَل يَ ْرَفُع اَّللَُّ ِِبَا َدَرَجاٍت َوِإنَّ اْلَعْبَد لِيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ ََل 

نَّمَ  َْ ِوي ِِبَا ِِ َج ْْ . َوِِ رَِوايٍَة ََلَُما: « . يَ  ِوي ِِبَا ِِ ا»َرَواُه اْلُبَخارِيُّ ْْ لنَّاِر أَبْ َعَد َما بَ ْْيَ اْلَمْشرِِق يَ 

 15«َواْلَمْغِربِ 

Redaksi dalam kitab Syarḥ al-Sunnah li al-Baghāwī: 

، ََل »َعْن َأِب ُىَريْ رََة، َعِن النَِّبِّ َصلَّى هللُا َعَلْيِو َوَسلََّم قَاَل:   ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن رِْضَواِن اَّللَِّ

، ََل  يُ ْلِقي ََلَا َبَل يُ ْلِقي ََلَا َبَل يَ ْرَفُع اَّللَُّ ِِبَا َدَرَجاٍت، َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم ِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ

نَّمَ  َْ ِوي ِِبَا ِِ َج ْْ  16«يَ 

   

 

 

 

 

                                                          

14

 Al-ḥāfidh Abī „Abdullāh bin Yazīd al-Qazwainī, Sunan Ibn Mājah (Lebanon: Dār al-

Kutb, 2008), h. 639. 

15

 Al-Khaṭīb al-Tabrīzī, Misykāt al-Maṣābīḥ (Beirut: Dār al-Kutub, 2012), h. 189. 

16

 Al-Ḥusain bin Mas‟ūd al-Baghawī, Syarḥ al-Sunnah (Beirut:  al-Maktab al-Islāmī, 

1983), j. 14, h. 313. 

65 

 

c. I‟tibār Hadis 

Kata i‟tibār (اإلعتبار) merupakan masdar dari kata  إعتبز menurut bahasa 

adalah “peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui 

sesuatu yang jelas”. Sedangkan menurut istilah adalah penelitian jalan-jalan hadits 

yang diriwayatkan oleh satu orang perawi untuk mengetahui apakah ada orang 

lain dalam meriwayatkan hadits itu atau tidak. Menurut istilah ilmu hadis, al-

i‟tibar berarti menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, 

yang hadis itu pada bagian sanad-nya tampak hanya terdapat seorang periwayat 

saja, dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat 

diketahui apakah aada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad 

dari sanad hadis di-maksud.17 

Dengan dilakukannya al-i‟tibar, maka akan terlihat dengan jelas seluruh 

jalur sanad hadis yang diteliti, demikian juga nama- nama periwayatan yang 

digunakan oleh masing-masing periwayat yang bersangkutan. Kegunaan al-i‟tibar 

adalah untuk mengetahui keadaan sanad hadis seluruhnya dilihat dari ada atau 

tidak adanya pendukung berupa periwayat yang berstatus mutabi‟ atau syahid.18 

Dalam melakukan i‟tibar dapat dibantu dengan pembuatan skema sanad, 

hal ini dilakukan untuk memudahkan pemahaman dan efektifitas keiatan 

penelitian mengenai hadis yang bersangkutan. Adapun skemanya sebagai berikut: 

 

 

 

 

 

                                                          

17

 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 51. 

18

 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 52. 

66 

 

   

 

          

   عن                   قال 

    

              

     

 

    

 عن عن عن 

        عن     عن

                                     

 

 عن        عن     عن      

 

   

      عن        عن حّدثِن           

  

 

                     

  

 حّدثنا          حّدثنا               عن     

 

 

  حّدثنا حّدثنا   َسع

 

 حّدثنا حّدثنا    حّدثنا  حّد ثِن

 

 

 

ملسو هيلع هللا ىلصالنَِّبِّ   

ھ ۳ٓٔأِب صاحل   

ھ ٓٔٔأِب ىريرة   

ھ ۳۳۷  ( دينار بن عبد هللا أبيو   (  

 

ھ ۳ٓ۷أب الّنضر   

ھ ۳ٗٔمنري  عبد هللا بن  

ھ ۳٘ٙالبخاري  ھ ۳ٗٔإمام أْحد بن حنبل    

ھ ٜٗأِب سلمة   

ھ ۳ُٓٔمّمد بن إبراىيم   

ابه إسحاق   ُمّمد  

  ھ ُٜٔٔمّمد بن سلمة 

ابو ٌوسف به الصالوً 

ھ ۲۴٩  

ھ ۲١٩التزمذي   

ھ ٓٓٔعيسى بن طلحة   

ھ ٧٩۴ابه أبً عدّي   

۳٘۳ُمّمد بن بشار   

ھ ۲١۳ابه ماجه    

 عبد الرمحن بن عبد هللا 

 د الرمحن بن عبد هللا 

67 

 

d. Sanad Hadis 

Kegiatan penelitian sanad ini adalah untuk memperoleh informasi 

mengenai periwayat, pada bagian ini diperlukan kitab-kitab yang menerangkan 

periwayat hadis baik dari segi biografinya, pribadinya, kritikan terhadapnya dan 

lain-lain. Dalam meneliti sanad hadis ini, dari awal penulis batasi yaitu hanya 

meneliti hadis yang ada pada kitab al-kutub al-sittah saja. Dalam kegiatan ini, 

kritik sanad dimulai dari periwayat terakhir (mukharrij). 

Jalur Imām al-Bukhārī 

1. Al-Bukhārī 

a. Nama lengkap : Muḥammad bin Ismā‟īl bin Ibrāhīm bin al-Mughīrah ibn 

Bardizbah, lahir pada hari Jum‟at setelah solat Jum‟at di bulan Syawwāl 

tahun 194 H (810M) di Bukhara, usia 10 tahun dia mulai mempelajari dan 

menhafal hadis. Ketika berusia 11 tahun cita-citanya dalam mendalami ilmu 

hadis semakin menggebu-gebu dan akhirnya pergi menemui tokoh-tokoh ahli 

hadis di tanah airnya untuk mendalami hadis.

19

  

Pada tahun 216 H dia berhijrah ke Mekkah dan mendalami hadis dari 

tokoh-tokoh ahli hadis seperti al-Wālid al-Azraqī dan Ismā„īl bin Salim, kemudian 

pergi ke Madinah mendalami hadis dari anak cucu nabi Saw. selama satu tahun. 

Beberapa kota yang menjadi tempat belajar hadis adalah Mekkah, Madinah, 

Syam, Baghdad, Wasit, Basrah, Bukhara, Kufah, Mesir, Harah, Naisapur, 

Qarasibah, „Asqalan, Himsih, dan Khurasan. 

                                                          

19

 Muhammad Muhammad Abū Syuhbah, Fī Riḥāb al-Kutub al-Ṣiḥāḥ al-Sittah (Kairo: 

Majma‟ al-Buḥūs al-Islāmiyyah, 1969), h. 53. 

68 

 

Setelah berusia 62 tahun, anak yatim yang kemudian tersohor sebagai ahli 

hadis nomor satu itu kembali dan menetapdi Bukhara, dia pergi ke Khartank 

dikawasan Samarqand menjenguk saudaranya yang bernama Ghalib bin Jibril, 

beberapa hari kemudian beliau sakit hingga wafat pada  malam Sabtu  ketika 

hendak melaksanakan solat „Isyā‟ di Bulan Syawwāl tahun 256 H (870 M).20 

b. Guru : Ibrāhīm bin Ḥamzah al-Zubairī, Ibrāhīm bin Mūsā al-Rāzī, Aḥmad bin 

Ḥanbal, Abī al-Naḍr Isḥāq bin Ibrāhīm, Ismā‟īl bin Abī Aus, Ibrāhīm bin al-Mudzir 

al-Ḥizāmī,‟Affān bin Muslim, : ‘Abdullāh bin Munīr, Muhammad bin Basysyār 

Bundār, „Ubaidullāh bin Mūsā,  Muhammad bin Sinān, dll.  

c. Murid : al-Tirmidzī, Ibrāhīm bin Isḥāq, Abū Bakr Aḥmad bin Rustum, Aḥmad bin 

Sahl bin mālik, Abū Bakr bin „Amr bin Abī „Āṣim, Abū al-„Ābbās Aḥmad bin 

Muhammad, Aḥmad bin Muhammad bin al-Jalīl, Abū ḥāmid Aḥmad bin 

Muhammad bin „Ammār al-Naisābūrī, dll.

 

 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanā 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Aḥmad bin Sayyār al-Marwazī : “mencari ilmu, bermasyarakat, melakukan rihlah 

hadis, mencari ijazah hadis, bagus pengetahuannya, dan bagus hafalannya”

 21

 

Abū Muṣ‟ab : “afqah „indanā wa abṣar min ibn Ḥanbal” 

„Āmir bin al-Mutja‟ : “mā ra‟aynā mitsla Muhammad bin Ismā‟īl” 

Ṣāliḥ bin Muhammad al-Asadī : Muhammad bin Ismā‟īl a‟lamuhum bi al-ḥadīts.22 

 

 

                                                          

20

 Haji Khalifah, Kasyf al-Ḍuḥūn „an Asami„ al-Kutūb wa al-Mutūn (Beirut: Dar al-

Haditsah, t.t.), h. 541. 

21

 Jamāl al-Dīn Abī al-Ḥajjāj Yūsuf al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā al-Rijāl (Beirut: 

Muassasah, 1983), j. 24, h. 430. 

22

 Abī al-Faḍl Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar Syihāb al-Dīn al‟Asqalānī al-Syāfi‟ī, Tadzhīb al-

Tahdzīb (Beirut: Muassasah al-Risālah, t.t.), h. 509. 

69 

 

2. „Abdullāh bin Munīr 

a. Nama lengkap : „Abdullāh bin Munīr, Abū „Abdurrahmān al-Marwazīy al-

Zāhid, beliau tinggal di Farabr ulama berbeda pendapat tentang tahun 

wafatnya, Muḥammad bin Yūsuf mengatakan „Abdullāh bin Munīr wafat 

pada tahun 241 H dan Abū al-Qāsim mengatakan bulan Rabī‟ al-Ākhir 243 

H.  

b. Guru-guru : Abā al-Naḍr Hāsyim bin al-Qāsim, Aḥmad bin Sulaimān al-

Marwazīy, Isḥāq bin Rāhawiyah, Asyhal bin Ḥātim, Ja‟far bin „Aun, Khālid 

bin Makhlad, Sa„īd bin „Āmir al-Ḍuba„ī, Abī „Āṣim al-Ḍaḥāk bin Makhlad 

al-Nabīl, „Abdullāh bin Abī Bakr al-Sahmī, „Abd al-Mulk bin Ibrāhīm al-

Juddīy, „Abd al-Razzāq bin Hammām, „Ubaidullāh bin Mūsā, „Alī bin al-

Ḥasan bin Syaqīq, al-Naḍr Hāsyim bin al-Qāsim, Wahb bin Jarīr bin Ḥāzim, 

Yazīd bin Abī Ḥakīm al-„Adanī, dan Yazīd bin Hārūn. 

c. Murid-murid : al-Bukhārī, al-Tirmīdzī, al-Nasā‟ī, Abū Ya„qūb, „Abdān bin 

Muhammad bin „īsā al-Marwazīy, Hubairah bin al-Hasan, Yaḥyā bin Badr al-

Qurasyī. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanī 

e. Pendapat ulama‟ hadis :  

al-Nasā‟ī : tsiqah 

ibn Ḥibbān : dzakarahu fī kitāb “tsiqāt”  

Muhammad bin Yūsuf : lam ara mitslahu

23

 

 

                                                          

23

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 16, h. 178-180. 

70 

 

3. Abā al-Naḍr 

a. Nama lengkap : Hāsyim bin al-Qāsim, Abū al-Naḍr al-Laitsī al-Baghdādī, 

lahir pada tahun 134 H. Dan wafat pada tahun 207 H. Berasal dari Khurasān 

bani al-Laitsī yang menjadi kinayahnya sendiri, pernah tinggal di Khurasān, 

Baghdād. 

b. Guru-guru : Ibrāhīm bin Sa„ad, Ibrāhīm bin „Abdullah bin al-Ḥārits, Isḥāq bin 

Sa„īd al-Qurasyī, Bakr bin Khunais, Jarīr bin „Utsmān al-Raḥbī, Zuhair bin 

Mu„āwiyah, Ziyād bin „Abdullah bin „Alātsah, Sulaimān bin al-Mughīrah, 

Syarīk bin „Abdullah al-Nakh„ī, Syu„bah bin al-Ḥajjāj, Syaibān bin 

„Abdurraḥman , Ṣāliḥ al-Murī, „Abdurraḥman bin Tsābit bin Tsaubān, 

‘Abdurraḥman bin ‘Abdullāh bin Dīnār, dll. 

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Ya„qūb al-Juzjānī, Aḥmad bin Ḥanbal, Aḥmad bin 

Ḥanbal, Aḥmad bin al-Khalīl, Aḥmad bin „Umar al-Samsār, Abū Mas„ūd 

Aḥmad bin al-Furāt al-Rāzī, Isḥāq bin Munī„, Ḥāmid bin Yaḥyā, Ḥajjāj bin 

al-Syā„ir, Abdullāh bin Munīr al-Marwazīy, „Alī bin Syu„aib, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : sami„a 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Abū Aḥmad bin „adī al-Jurjānī : lam ara lahu ḥadītsan munkaran wa „indī lā 

ba‟sa bih 

Al-Ḥārits : Abā al-Naḍr Syaikhunā min al-āmirīn bi al-ma‟rūf wa al-nāhīn „an al-

munkar 

Abū Bakr bin Abī „Attāb al-A‟yun : Abā al-Naḍr min mutatsabbitī Baghdād    

„Utsmān bin Sa‟īd al-Dārimī : tsiqah 

71 

 

„Alī ibn al-Madīnī : tsiqah 

Abū Ḥātim : ṣadūq 

Abū Ḥātim bin Ḥibbān al-Bustanī : tsiqāt 

Aḥmad bin Syu„aib al-Nasā‟ī : lā ba‟sa bih 

Aḥmad bin al-„Asqallānī : tsiqah 

Al-Dzahabī : al-ḥāfidh tsiqah 

Muḥammad bin Sa‟ad : tsiqah

24

 

4. ‘Abdurraḥman bin ‘Abdullāh

25

 (beliau yang dikritisi oleh al-Albānī 

dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa 

Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah) 

a. Nama lengkap : „Abdurraḥman bin „Abdullāh bin Dīnār al-Qurasyī,  

b. Guru-guru : Abīhi „Abdullāh bin Dīnār, Asīd bin Abī Asīd al-Barrād, Zaid 

bin Aslam, „Amr bin Yaḥyā bin „Umārah, Muḥammad bin Zaid bin al-

Muhājir, dll. 

c. Murid-murid : Abū al-Naḍr Hāsyim bin al-Qāsim, Asy‟ats bin syu‟bah, al-

Ḥasan bin Mūsā, „Abdullāh bin al-Mubārak, „Utsmān bin „Umar bin Fāris, 

Abū „Alī al-Ḥanafī, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanā 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Abū Ḥātim : fīhi layyin  

Ibn Mu‟ayyan : “menurutku hadisnya ḍa„īf, Yahya bin Saīd juga telah berbicara 

tentangnya, dia juga menganggapnya seperti itu”. 

                                                          

24

Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 30, h. 130. 

25

Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 17, h. 208-210. 

72 

 

Abū al-Qāsim : ṣāliḥ al-ḥadīts 

„Alī al-Madīnī : ṣadūq 

Ibn „Adī : “sebagian apa yang diriwayatkannya munkar dan dia termasuk penulis 

hadis yang banyak hadis ḍa„īf nya” 

26

 

 Al-Albānī berpendapat bahwa hadis ini sanadnya ḍa„īf karena memiliki dua 

kelemahan. Pertama, buruknya hafalan „Abdurraḥman bin Abdullah bin Dīnār. 

Kendatipun imam al-Bukhārī menjadikannya hujjah, para pakar hadits yang lain 

mempermasalahkan kelemahan hafalannya, tetapi bukan kebenaran apa yang 

diucapkannya. Diantara pakar hadis yang berbeda pendapat dengan imam al-

Bukhāri adalah sebagai berikut: 

1. Yaḥyā bin Ma„īn mengatakan “Yaḥyā bin al-Qaṭṭān telah meriwayatkan 

darinya („Abdurraḥman bin Abdullah bin Dīnār), dan dalam 

periwayatannya terdapat kedha‟ifan. Diriwayatkan oleh al-Uqaili dalam 

al-Ḍu„afā‟(II/339 dan 936) juga oleh ibnu „Addī dalam al-Kāmil 

(IV/1604) 

2. Ibn Ḥibbān berkata dia termasuk perawi yang secara tunggal 

meriwayatkan dari ayahnya dengan periwayatan yang tidak ditelusuri. Di 

samping itu, ada kesalahan fatal dalam periwayatannya. Tidaklah 

dibenarkan berhujjah pada periwatannya jika diberitakannya secara 

tunggal”. Yaḥyā bin al-Qaṭṭān dan Muḥammad bin Ismā„ī l al-Bukhārī 

termasuk yang menjadikannya hujjah dalam karyanya. 

                                                          

26

 Syams al-Dīn Abī „Abdullāh al-Dzahabī, Tadzhīb Tahdzīb al-Kamāl fī Asmā‟ al-Rijāl 

(Beirut: al-Fārūq al-Ḥadītsah Liṭṭibā‟ah wa al-Naysr, 2004), h. 5. 

73 

 

3. Abū Ḥatim berkata, “pada periwayatannya terdapat kelunakan yaitu ditulis 

pemberitaannya tetapi tidak dijadikan hujjah” 

4. Ibn „Addī, pada akhir penutupan otobiografinya  setelah mengungkap 

beberapa hadis periwayatan („Abdurraḥman bin Abdullah bin Dīnār) 

mengatakan “sebagian periwayatannya mungkar dan tidak ditelusuri dan 

dia termasuk kalangan perawi yang dikutip periwayatannya dari sejumlah 

perawi sanad ḍa„īf”.  

5. Al-Dāruqutnī berkata “dalam menilainya, imam al-Bukhāri ditentang 

kalangan muḥadditsīn namun, dia („Abdurraḥman bin Abdullah bin Dīnār) 

bukanlah termasuk perawi yang ditinggalkan”. 

6. Al-Dzahabī menuturkan otobiografinya di dalam kitab “al-Ḍu„afā‟” dan 

berkata “ia dipercaya” namun, ibn Mu‟īn mengatakan dalam 

periwayatannya terdapat kelemahan. Sedangkan dalam kitab al-Kāsyif 

lebih cenderung pada pernyataan Abu Ḥātim. 

7. Semua pernyataan para pakar hadis tadi dapat diringkas dan dirangkum 

oleh ibn Ḥajar dan dituangkannya dalam kitab “al-Taqrīb”

 

dengan 

pernyataan, “benar orangnya, namun banyak salah dalam periwayatan”. 

 Kedua, hal yang menguatkan kesepakatan para pakar hadis di atas (dalam 

memvonis keḍa„īf an „Abdurraḥman bin „Abdullah bin Dīnār karena buruk 

hafalannya) adalah imam Mālik yang mengkritiknya dalam memarfu„kan hadis. Ia 

berkata dalam kitab al-Muwaṭṭa‟ dari „Abdurraḥman bin Abdullah bin Dīnār, dari 

Abī Ṣāliḥ al-Sammān bahwa ia telah memberitakan kepadanya bahwa Abū 

74 

 

Hurairah telah berkata..” lalu ia me-mauquf-kannya, dengan menambahkan pada 

redaksinya lafal fī al-jannah. 

Periwayatan imam Mālik yang me-mauquf-kan sanadnya dengan adanya 

tambahan tersebut, menguatkan bukti bahwa „Abdurraḥman bin Abdullah bin 

Dīnār memang tidak sempurna, dan ia menambahkan sanadnya dengan me-

marfu„-kannya hingga kepada nabi Muhammad Saw. dan mengurangi 

matan/susunan redaksinya. Selain itu, ada bukti yang menunjukkan tidak kuat 

hafalan „Abdurraḥman bin Abdullah bin Dīnār ini dan minimnya ketepatan dalam 

meriwayatkan, yaitu tambahan hadis pada redaksi akhirnya yaitu “ َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم

نَّمَ ِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ ََل يُ  َْ ِوي ِِبَا ِِ َج ْْ ْلِقي ََلَا َبًَل، يَ  ”. Riwayat ini dikeluarkan oleh 

Syaikhān dari jalur sanad lain dari Abū Hurairah secara marfu„ dengan berbagai 

perbedaan matan, diantaranya ada yang dikeluarkan oleh imam al-Tirmidzī 

dengan susunan redaksi yang berbeda”.

27

 

Menanggapi hal ini imam ibn Ḥajar al-„Asqalānī menilai „Abdurraḥman 

bin Abdullah bin Dīnār dengan ṣadūq yukhṭī‟.

28

 Dengan demikian, dapat diambil 

kesimpulan bahwa hadis ini terdapat kelemahan dari „Abdurraḥman bin Abdullah 

bin Dīnār karena banyaknya kesalahan dalam hafalan, namun imam ibn Ḥajar al-

„Asqalānī tidak memberikan keterangan atau komentar terhadap hadis ini terkait 

mengapa hadis dari jalur ini dicantumkan dalam karya imam al-Bukhārī. 

                                                          

27

Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī, Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa‟ifah wa al-Mauḍū‟ah  wa 

Ātsaruhā al-Sayyi‟ fī al-Ummah, Penerjemah A.M. Basalah (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), j. 

3, h.  658-661. 

28

 Lihat Syihāb al-Dīn Aḥmad bin „Alī bin Ḥajar al-„Asqalānī, Taqrīb al-Tahdzīb 

(Suriyah: Dār al-Qalam, 1991), h. 351. 

75 

 

Al-Albānī juga merujuk pada ulama‟ hadis seperti Imam Ahmad, Abū 

Ḥātim, Ibnu Ma„īn, al-Rāzi, al-Nawāwī, al-Dzahabī, al-Asqalānī, dan ulama 

lainnya. Namun argumen yang diungkapkan al-Albānī dalam muqaddimahnya

29

 

menimbulkan kerancuan dalam penghukuman kualitas suatu hadis.  

5. Abīhi („Abdullāh bin Dīnār)

 30

 

a. Nama lengkap : „Abdullāh bin Dīnār al-„Adwī, Abū „al-Raḥman al-Madanī, 

wafat pada tahun 227 H. 

b. Guru-guru : Anas bin Mālik, Khālid bin Khalād bin al-Sā‟ib, Dzakwān Abī 

Ṣāliḥ, Sulaimān bin Yasār, Ṣaliḥ bin Muḥammad bin Zāidah, „Abdullāh bin 

„umar, Muḥammad bin Usāmah bin Zaid, Nāfi„ bin „Umar. 

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin „Abdullah bin al-Ḥārits, Ismā„īl bin Ja„far al-

Madanī, al-Hasan bin Ṣāliḥ bin al-Ḥayy, Ḥamzah bin Abī Muḥammad al-

Madanī,  Rabī„ah bin Abī „Abdurraḥman, Sufyān al-Tsaurī, Sulaimān bin 

Sufyān, Suhail bin Abī Ṣāliḥ, „Abdurraḥman bin „Abdullāh bin Dīnār al-

Qurasyī, ‘Abdullah bin Sa‟ad al-Damsytakī, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Ṣāliḥ bin Aḥmad bin Ḥanbal : tsiqah, mustaqīm al-ḥadīts 

 Isḥāq bin Manṣūr : tsiqah 

Abū Zur‟ah : tsiqah 

Abū Ḥātim : tsiqah 

Muḥammad bin Sa‟d : tsiqah 

                                                          

29

 Lihat, bab 2 halaman 15. 

30

Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 14, h. 471- 473. 

76 

 

Al-Nasā‟ī : tsiqahAbī Ṣāliḥ

31

 

a. Nama lengkap : Dzakwān Abū Ṣāliḥ al-Sammān al-Ziyyāt al-Madanī, (maulā 

Juwairiyah binto al-Aḥmas al-Ghaṭāfānī dan ayahnya adalah Suhail bin Abī 

Ṣāliḥ, „Abdullāh bin Abī Ṣāliḥ. Wafat pada tahun 201 di Madinah. 

b. Guru-guru : Isḥāq, Jabir bin „Abdullāh, Sa‟d bin Abī Waqāṣ, Sa„īd bin Jabīr, 

„Abdullāh bin Ḍamīr al-Salūsī, „Abdullāh bin „Abbās, „Abdullāh bin „Umar 

bin al-Khattāb, „Aṭā‟ bin Yazīd bin al-Laitsī, „Uqail bin Abī Ṭālib,  Mālik al-

Dār, Mu‟awiyah bin Abī Sufyan, Abī Bakr al-Ṣiddīq, Abī Dardā‟, Abī Sa„īd 

al-Khudrī, „Āisyah, Ummu Ḥabībah, Abī Hurairah, Ummu Salamah, dll. 

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Abī Maimūnah,  Isḥāq bin „Abdullāh bin Abī 

Ṭalḥ`aḥ, Ismā„īl bin Abi Khālid, Bukair bin „Abdullah bin al-Asyj, Ḥubaib 

bin Tsābit, al-Ḥakam bin „Utaibah, Ḥakīm bin Jabīr, Ḥamīd bin Hilāl, 

Duwaid bin Nāfi„, Zaid bin Aslam, Abū Ḥāzim Salamah bin Dīnār, „Abdullāh 

bin Dīnār al-„Adwī, Abū Bakr bin „Abdurraḥman, Ibnuhu Ṣālih bin ābī Ṣāliḥ, 

Ṣufyān bin Sulaim, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis :  

„Abdullāh bin Aḥmad bin Ḥanbal : tsiqah tsiqah, min ajl al-nās wa autsiqahum 

Abū Bakr bin Abī Khaitsah : tsiqah 

Abū ḥātim : ṣāliḥ al-ḥadīts yuḥtajju biḥadītsihi   

Abū Zur„ah :  mustaqīm al-ḥadīts 

Aḥmad bin Ḥanbal : tsiqah tsiqah  

                                                          

31

Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j.  8, h. 513. 

77 

 

Muḥammad ibn Sa‟d : tsiqah katsīr al-ḥadīts 

Aḥmad bin „Abdullah al-„Ajlī : tsiqah 

Ibn Ḥajar al-„Asqallānī : tsiqah tsubt 

6. Abī Hurairah

32

 

a. Nama lengkap : ulama berselisih pendapat tentang nama Abī Hurairah  dan 

nama ayahnya, ada yang mengatakan „Abdurraḥmān bin Ṣakhr, 

„Abdurraḥman bin Ghanam, „Abdullāh ibn „Ā‟idz, „Abdullāh bin „Amr, 

Sukain bin Wadzamah, Sukain bin Hānī, Sukain ibn Mal, Sukain bin Ṣakhr, 

dan masih banyak yang lainnya. Abī Hurairah adalah sahabat Rasulullah Saw, 

dan ḥāfidh al-ṣahabah, dan masih banyak lagi pendapat yang lainnya. Beliau 

wafat pada tahun 58 H. 

b. Guru-guru : Rasulullah Saw, al-Katsīr al-Ṭayyib, Ubay bin Ka‟ab, Usāmah 

bin Zaid bin Ḥāritsah Baṣrah bin Abī Baṣrah al-Ghifārī, „Umar bin al-

Khattāb, al-Fadl bin al-„Abbās, Ka„b al-Aḥbār, Abī Bakr al-Ṣiddīq, „Āisyah. 

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Ismā‟īl, Ibrāhīm bin „Abdullāh ibn Ḥunain, 

Ibrāhīm bin „Abdullāh bin Qāridh, Abū Ṣāliḥ al-Sammān, Abū „Abdullāh al-

Madanī, Abū „Abd al-Mulk, Abū „Abd al-„Azīz, Abū al-„Āliyah al-Riyāḥī, 

Abū „Abdullāh al-Madanī, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Abū Ḥātim bin Ḥibbān : al-tsiqāt 

Ibn ḥajar al-„Asqalānī : ṣaḥābī, jalīl, ḥāfiẓ, masyhūr 

                                                          

32

Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 34, 366- 383. 

78 

 

al-Muzi : ṣāḥib Rasulullāh 

 Setelah melakukan penelitian sanad jalur hadis yang diriwayatkan oleh 

imam al-Bukhārī, dapat disimpulkan bahwa periwayat yang diteliti terdapat satu 

perowi yang dinilai negatif (Jarḥ) oleh para ulama‟ yakni „Abdurraḥmān bin 

„Abdullāh, namun selain daripada beliau semua tidak ada yang dinilai negatif 

semuanya berkualitas tsiqah. 

 Imam al-Bukhārī (197 – w. 256) hidup semasa dengan gurunya, dan telah 

terjadi pertemuan dengan „Abdullah bin Munīr (w. 241 H), para ulama menilai 

positif (ta„dil), Imam al-Bukhārī menerima hadis dari gurunya dengan cara 

“ḥaddatsanī” dengan demikian sanadnya bersambung. 

 „Abdullah bin Munīr hidup sezaman dengan gurunya, dan telah terjadi 

pertemuan dengan gurunya yaitu Abā Naḍr (w. 207) para ulama menilai positif 

(ta„dil), „Abdullah bin Munīr menerima hadis dari gurunya dengan cara “sami„a” 

dengan demikian sanadnya bersambung. 

 Abā Naḍr hidup sezaman dengan gurunya, dan telah terjadi pertemuan 

dengan gurunya yaitu „Abdurraḥmān bin „Abdullāh (dari beberapa kitab rujukan 

penulis tidak menemukan data tahun wafatnya) dalam hal ini para ulama menilai 

negatif (Jarḥ),  yaitu Ibn Mu‟ayyan yang berkata “menurutku hadisnya dha‟if, 

Yahya bin Saīd juga telah berbicara tentangnya, dia juga menganggapnya seperti 

itu”, dan Ibn „Adī yang berkata “sebagian apa yang diriwayatkannya munkar dan 

dia termasuk penulis hadis yang banyak hadis dha„ifnya”. Abā Naḍr menerima 

hadis dari gurunya dengan cara “ḥaddatsanā” dengan demikian sanadnya 

bersambung. 

79 

 

 „Abdurraḥmān bin „Abdullāh hidup sezaman dengan gurunya, dan telah 

terjadi pertemuan dengan ayahnya yaitu „Abdullāh bin Dīnār (w. 227) para ulama 

menilai positif (ta„dil) dan dimungkinkan mereka pernah bertemu, „Abdurraḥmān 

bin „Abdullāh menerima hadis dari ayahnya dengan cara “„an” dengan demikian 

sanadnya bersambung. 

 „Abdullāh bin Dīnār hidup sezaman dengan gurunya, dan telah terjadi 

pertemuan dengan ayahnya yaitu Abī Ṣāliḥ (w. 201) para ulama menilai positif 

(ta„dil), „Abdullāh bin Dīnār menerima hadis dari ayahnya dengan cara “„an” 

dengan demikian sanadnya bersambung. 

 „Abdullāh bin Dīnār hidup sezaman dengan gurunya, dan telah terjadi 

pertemuan dengan ayahnya yaitu Dzakwān Abū Ṣāliḥ al-Sammān (w. 201 H) para 

ulama menilai positif (ta„dil) dan dimungkinkan mereka pernah bertemu, 

„Abdullāh bin Dīnār menerima hadis dari ayahnya dengan cara “„an” dengan 

demikian sanadnya bersambung. 

 Dzakwān Abū Ṣāliḥ al-Sammān hidup sezaman dengan gurunya, dan telah 

terjadi pertemuan dengan ayahnya yaitu Abū Hurairah (w. 58 H) para ulama 

menilai positif (ta„dil), dan dimungkinkan mereka pernah bertemu. Dzakwān Abū 

Ṣāliḥ menerima hadis dari gurunya dengan cara “„an” dengan demikian sanadnya 

bersambung.  

 Abū Hurairah menerima hadis dari Rasulullāh dengan cara “‟an” dan para 

ulama menilai positif (ta„dil), dan dimungkinkan mereka pernah bertemu, 

sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima. 

80 

 

 Berdasarkan penelitian dan pendapat para ulama di atas, sanad yang 

diteliti semuanya bersambung, namun ada salah seorang perawi yang dijarḥ oleh 

ulama yaitu „Abdurrahman bin „Abdullah, tidak syādz dan tidak ada „illat, 

sehingga dapat disimpulkan bahwa sanad yang diriwayatkan oleh imam al-

Bukhārī berkualitas ḍa‟īf. Oleh karena alasan di atas, maka kualitas hadis ini  

dilihat dari segi sanadnya adalah ḍa‟if. 

Jalur imām Aḥmad bin Ḥanbal 

1. Al- Imām Aḥmad bin Ḥanbal

33

 

a. Nama lengkap : Aḥmad bin Muḥammad bin Ḥanbal bin Hilāl bin Asad al-

Syaybānī, kuniyahnya Abū „Abdillāh al-Marwazī al-Baghdādī. Lahir di 

Baghdad, pada tahun 164 H dan wafat pada hari Jum‟at bulan Rabi„ul Awal 

tahun 241 H, dan pernah menuntut ilmu ke Kuffah, Baṣrah, Mekah, Madinah, 

Yaman, Syam, dan Jazirah. 

b. Guru-guru : Ibrāhīm bin Khālid al-ṣan„anī, Isḥāq  bin Yūsuf al-Azraq, Ismā„īl 

ibn „Ulayyah, Bahz bin Asad dan Ya„qūb bin Ibrāhīm bin Sa„d al-Zuhri. 

c. Murid-murid : al-Bukhārī, Muslim, Abū Dāwud, Ibrāhīm bin Isḥāq al-Ḥarbī 

dan Aḥmad bin al-Ḥasan bin Junaydib al-Tirmidzī.

 34

 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ :  

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Aḥmad ibn Salamah al-Naisabūrī : Aḥmad bin Ḥanbal adalah seorang imam di 

muka bumi. 

                                                          

33

 jalur ini sama dengan jalur imam al-Bukhārī, sehingga biografi perawi yang 

dicantumkan hanya imām Aḥmad bin Ḥanbal saja. 

34

Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl,  j, 1, h. 437-447. 

81 

 

Ibn Ma‟in : saya tidak melihat orang yang lebih baik pengetahuannya di bidang 

hadis melebihi Aḥmad. 

Al-Qattan : tidak datang kepada saya yang kebaikannya melebihi Aḥmad, dia itu 

hiasan ummat (dibidang pengetahuan Islam, khususnya dibidang hadis). 

Al-Syāfi‟ī :saya keluar dari Baghdad dan di belakang saya tidak ada orang yang 

lebih paham tentang Islam, lebih zuhud, lebih wara‟, dan yang lebih berilmu 

melebihi Aḥmad 

Al-Nasā‟ī : Aḥmad itu adalah seorang ulama yang tsiqah, ma‟mūn. 

Ibn Ḥibbān : Aḥmad itu ḥāfidh, mutqin fāqih 

Abū Dāud al-Sijitānī : ṣadūq 

Ḥusain ibn Abi Ḥātim : zuhūd wa al-Wara„ 

 Ibn Abi Ḥātim : ḥāfidh, fāqih

35

 

 Jalur dari imam Ahmad bin Ḥanbal ini sejalur dengan jalur imam al-

Bukhārī, jadi penulis tidak melakukan penelitian ulang tetapi mencantumkan 

perawi yang belum disebutkan saja. 

Jalur Ibn Mājah 

1. Ibn Mājah 

a. Nama lengkap : Muḥammad  bin Yazīd al-Raba„ī, Abū „Abdullāh bin Mājah 

al-Qazwīnī al-Ḥāfiz, lahir pada tahun 209 H dan wafat pada hari Senin bulan 

Ramadhān tahun 273 H. 

b. Guru-guru : Abū Bakr bin Abī Syaibah, Muhammad  bin Aḥmad bin al-

Ḥajjāj, dll. 

                                                          

35

 Ibn Ḥajar Al-„Asqalānī, Tahdzīb al-Tahdzīb (Beirut: Muassasah al-Risalah, t.t.), j. 7, h. 

141-143.  

82 

 

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Dīnār al-Ḥausyabī al-Hamadzānī, Abū al-Ṭayyib 

Aḥmad bin Rauḥ al-Baghdādī al-Sya‟rānī dan Ja‟far bin Idris. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanā 

e. Pendapat ulama‟ hadis :   

al-Ḥāfiz Abū Ya‟lā al-Khlīli bin „Abdillāh al-Khlīli al-Qazwīnī : tsiqah kabīr, 

muḥtaj bih. 

2. Abū Yūsuf

36

 

a. Nama lengkap : Muhammad  bin Aḥmad bin al-Ḥajjāj bin Maysaroh al-

Qursyī al-Kurayzī Abū Yūsuf al-Ṣaydalānī al-Jazariyī, wafat pada tahun 249 

H. 

b. Guru-guru : Khālid bin Ḥayyān, Abī Usāmah Zaid bin „Alī, Sufyān bin 

Uyaynah, „Ibād bin Yūsuf,  „Utsmān bin Jamīl, „Umar bin Yazīd, „Īsā bin 

Yūnus, Muhammad bin Salamah al-Ḥarrānī, Yaḥyā bin Ziyād al-Raqī, dll. 

c. Murid-murid : ibn Mājah, al-Nasā‟ī, al-Ḥusain bin Jum„ah, Abū Ḥātim 

Muhammad bin Idrīs, Muhammad bin „Alī bin Ḥabīb al-Ṭarā‟ifī, Muhammad 

bin „Alī al-Marī. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanā 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Abū Ḥātim : ṣadūq 

Abū Ḥātim bin Ḥibbān al-Bustanī : tsiqāt 

Aḥmad bin Ḥanbal : syaikh ṣadūq 

Aḥmad bin Syu„aib : tsiqah 

                                                          

36

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl,j. 24, h. 350. 

83 

 

Ahmad bin „Abdullah : tsiqah 

Ibn ḥajar al-„Asqallānī : tsiqah 

„Alī bin al-Madanī : tsiqah 

3. Muhammad bin Salamah

37

 

a. Nama lengkap : Muhammad bin Salamah „Abdullāh al-Bāhilī, maulāhum 

„Abdullāh al-Ḥarrānī. Wafat pada tahun 191 H. 

b. Guru-guru : Abī Isḥāq Ibrāhīm bin Muḥammad al-Fazarīy, Bakr bin Khunais, 

Abī „Abdirrahīm Khālid bin Abī Yazīd al-Ḥarrānī, Khuṣaif bin 

„Abdurraḥmān, al-Zunair bin Khuraiq, Abī Sinān Sa‟īd bin Sinān al-Syaibānī, 

Sulaimān bin Arqom, Abī al-Wāṣil „Abd al-Ḥamīd, Muhammad bin Isḥāq 

bin Yasār, dll. 

c. Murid-murid : Ahmad bin Bakkār al-Ḥarranī, Ahmad bin Ḥanbal, Ahmad bin 

Syu‟aib bin al-Ḥarranī, Ahmad bin „Umar,  Isḥāq bin Ibrāhīm, Ismā„īl bin 

„Ubaid bin Abī Karīmah, al-Ḥasan bin  Ahmad, al-Khalīl bin „Amr al-

Baghawī, Suraij bin Yūnus,  

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : ḥaddatsanā 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Abū Ḥātim : tsiqah 

Ibn Ḥibbān: menyebutkan dalam kitab “al-tsiqāt” 

Aḥmad bin Syu„aib : tsiqah 

Abū „Īsā al-Tirmīdzī : tsiqah 

Ibn ḥajar al-„Asqallānī : tsiqah lahū afrād 

                                                          

37

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 25, h. 289- 292. 

84 

 

Al-Dzahabī : tsiqah 

Al-Nasā‟ī: tsiqah 

Al-Bukhārī : ṣaḥīḥ al-ḥadīts 

4. Ibn Isḥāq

38

 

a. Nama lengkap : Muḥammad bin Isḥāq bin Yasār 

b. Guru-guru : Ibrāhīm bin „Abdullah bin Ḥunain, Ibrāhīm bin „Uqbah, abīhi 

Isḥāq bin Yasār, Ismā„īl bin Umayyah, Ismā„īl bin Abī Ḥakīm, Ayyūb bin 

Mūsā, ja‟far bin „Amr, Tsaur bin Yazīd, al-Ruḥbī, Basyīr bin Yasār, al-Qāsim 

bin Muhammad, Muhammad bin Ibrāhīm, dll. 

c. Murid-murid :  Muhammad bin Salamah, Jarīr bin Ḥāzim, Jarīr bin „Abd al-

Ḥamīd, Ḥafṣ bin Ghiyāts, Zuhair bin Mu‟āwiyah, Ziyād bin „Abdullāh al-

Bukā‟ī, Sufyān bin al-Tsaurī, Salamah bin al-Faḍl al-Rāzī, Abū Khālid 

Sulaimān bin Ḥayyān, Syu„bah bin al-Ḥajjāj, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

al-Faḍl bin Ghasān al-Ghalābī : tsiqah 

Abī Zur‟ah al-Rāzī : ṣadūqAbū  

Abū Bakr al-Atsrm : “hadisnya ḥasan” 

Abū Mu‟āwiyah al-Ḍarīr : man aḥfadh al-nās 

Ibn Ḥibbān: menyebutkan dalam kitab “al-tsiqāt” 

 

 

                                                          

38

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 24, h. 405. 

85 

 

5. Muhammad bin Ibrāhīm

39

 

a. Nama lengkap : Muhammad bin Ibrāhīm bin al-Ḥārits bin Khālid bin Ṣakhr, 

termasuk kaum Muhajirin yang pertama. Muhammad bin Sa‟d mengatakan 

beliau termasuk tobaqoh ketiga dari ahli Madinah, ibunya adalah Ḥafṣah binti 

Abī Yaḥyā. Wafat pada 120 H. 

b. Guru-guru : Usāmah bin Zaid bin Ḥāritsah, Asyad bin Ḥuḍair, Anas bin 

Mālik, Busr bin Sa„īd, Jābir bin „Abdullāh, Ḥumrān bin Abān, Khālid bin 

Ma„dān, Salamah bin al-Ṭufail, „Āmir bin Sa„ad bin Abī Waqāṣ, „Abdullah 

bin Ḥunain, „Abdullāh bin „Abbās, „Abdullāh bin „Umar bin al-Khattāb, 

„Abdurraḥman bin Azhar, „Aṭā‟ bin Yasar, „Urwah bin al-Zubair, „Alqamah 

bin Waqāṣ al-Laitsī, „Umar bin al-Ḥakam bin Tsaubān, „Imrān bin Abī Yaḥyā 

al-Taiymī, „īsā bin Ṭalḥaḥ bin  „Abdullah, dll. 

c. Murid-murid : Usāmah bin Zaid bin al-Laitsī, Taubah al-„Anbarī, ḥumaid bin 

Qais al-A„rāj, Muḥammad bin „Ajlān „Ubaidullah bin „Umar al-„Umrī, 

Muḥammad bin Muslim bin Syihāb, Mūsā bin Muḥammad bin Ibrāhīm al-

Taimīy, Hisyām bin „Urwah, Yaḥyā bin Abī Katsīr, Yazīd bin „Abdullah bin 

al-Hād, Muḥammad bin Isḥāq bin Yasār, dll.  

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Isḥāq bin Manṣūr : tsiqah 

Abū Ḥātim : tsiqah 

Al-Nasā‟ī : tsiqah 

                                                          

39

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 24, h. 301. 

86 

 

Ibn Khirāsy : tsiqah 

Muhammad bin Sa„ad : tsiqah 

6. Abī Salamah

40

 

a. Nama lengkap : Abī Salamah bin „Abdurraḥman bin „Auf  al-Qurasyī al-

Zuhrī al-Madanī, ada yang mengatakan namanya adalah „Abdullāh, Ismā‟īl. 

Al-Haitsam mengatakan Abī Salamah wafat pada tahun 94 H, Muhammad 

bin Sa„d juga mengatakan Abī Salamah wafat di Madinah pada tahun 94 H. 

b. Guru-guru : Usāmah bin Zaid, Anas Mālik, Basyr bin Sa„id, Tsaubān, Jābir 

bin „Abdullāh , Ja‟far bin „Amr, „Abdullāh  bin „Umar bin al-Khattāb, 

„Abdullāh bin „Abdurraḥman bin Azhar, Abī Hurairah, dll. 

c. Murid-murid : Muhammad bin Ibrāhīm bin al-Ḥārits, „Amr bin „Abd al-

„Azīz, „Imrān bin Abī Anas, „Amr bin Dīnār, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Muhammad bin Sa„d : tsiqah  

Abū Zur„ah : tsiqah imām 

Mālik bin Anas : rijāl min ahl al-„ilm  

Muhammad bin „Abdullāh : rajulan ṣabīḥan 

7. Abī Hurairah

41

 

a. Nama lengkap : ulama berselisih pendapat tentang nama Abī Hurairah  dan 

nama ayahnya, ada yang mengatakan „Abdurraḥmān bin Ṣakhr, 

„Abdurraḥman bin Ghanam, „Abdullāh ibn „Ā‟idz, „Abdullāh bin „Amr, 

                                                          

40

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 33, h. 370. 

41

 Al-Mizzī, Tahdzīb al-Kamāl, j. 34, 366- 383. 

87 

 

Sukain bin Wadzamah, Sukain bin Hānī, Sukain ibn Mal, Sukain bin Ṣakhr, 

dan masih banyak yang lainnya. Abī Hurairah adalah sahabat Rasulullah Saw, 

dan ḥāfidh al-ṣahabah. 

b. Guru-guru : Rasulullah Saw, al-Katsīr al-Ṭayyib, Ubay bin Ka‟ab, Usāmah 

bin Zaid bin Ḥāritsah Baṣrah bin Abī Baṣrah al-Ghifārī, „Umar bin al-

Khattāb, al-Fadl bin al-„Abbās, Ka„b al-Aḥbār, Abī Bakr al-Ṣiddīq, „Āisyah. 

c. Murid-murid : Ibrāhīm bin Ismā‟īl, Ibrāhīm bin „Abdullāh ibn Ḥunain, 

Ibrāhīm bin „Abdullāh bin Qāridh, Abū Ṣāliḥ al-Sammān, Abī Salamah bin 

‘Abdurraḥman, Abū „Abdullāh al-Madanī, Abū „Abd al-Mulk, Abū „Abd al-

„Azīz, Abū al-„Āliyah al-Riyāḥī, Abū „Abdullāh al-Madanī, dll. 

d. Sighat taḥammul wa al-adā‟ : „an 

e. Pendapat ulama‟ hadis : 

Abū Ḥātim bin Ḥibbān : menyebutkan dalam kitab “al-tsiqāt” 

Ibn ḥajar al-„Asqalānī : ṣaḥābī, jalīl, ḥāfiẓ, masyhūr 

al-Muzi : ṣāḥib Rasulullāh 

Setelah melakukan penelitian sanad melalui jalur hadis yang diriwayatkan oleh 

Ibnu Mājah, dapat disimpulkan bahwa periwayat yang diteliti tidak ada yang 

dinilai negatif, semuanya berkualitas tsiqah. 

Ibnu Mājah (w. 273 H.) menerima hadis dari Abū Yūsuf  (w. 249 H) 

dengan cara ḥaddatsanā , para ulama menilai positif  (ta„dil) dan dimungkinkan 

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima. 

88 

 

Abū Yūsuf   menerima hadis dari Muḥammad bin Salamah (w. 191 H) 

dengan cara ḥaddatsanā , para ulama menilai positif  (ta„dil) dan dimungkinkan 

mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat diterima. 

Muḥammad bin Salamah menerima hadis dari Muḥammad bin Isḥāq (w. 

191 H) dengan cara ḥaddatsanā , para ulama menilai positif  (ta„dil) dan 

dimungkinkan mereka pernah bertemu, sehingga sanadnya bersambung dan dapat 

diterima. 

Muḥammad bin Isḥāq menerima hadis dari Muḥammad bin Ibrāhīm (w.