ilmu tarekat mistik 3
segera harus
ditegurnya, namun ia yaitu pemimpin kerohanian yang tinggi seka
li kedudukannya dalam tarekat itu. la yaitu perantaraan dalam
ibadat antara murid dan Allah . Demikian keyakinan yang ada
-fOiU ,i\£>M~i./\ rrtfifnl B}fjj(i3cl . I S O S O jsnjsv B'/nnfwiiDjujrioo (lijlTr'.iï? ijsvfïfj'"'
dalam kalangan ahli-ahli tarekat itu.
Oleh sebab itu jabatan ini tidaklah dapat dipangku oleh semba-
rang orang, meskipun ia memiliki lengkap pengetahuannya tentang
sesuatu tarekat, namun yang terpenting yaitu ia harus memiliki ke-
bersihan rohani dan kehidupan bathin yang murni. Be; macam-macam
nama yang tinggi diberikaa kepadanya menurut kedudukannya, misal
nya nussak, orang yang mengerjakan segala amal dan perintah agama,
ubbad, orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadat, mursyid,
orang yang mengajar dan memberi contoh kepada murid-muridnya,
imam, pemimpin tidak saja dalam segala ibadat namun dalam sesuatu
aliran keyakinan, syeikh, kepala dari kumpulan tarekat, dan kadang-
kadang dinamakan juga dengan nama kehormatan sadah yang artinya
penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh.
Menurut kitab "Tanwirul Qulub fi mu'amalatil Hmil ghuyub"
(Mesir, 1343 H.) yang dikarang oleh seorang penganut tarekat Naqsya-
bandiyah, Syeikh Muhammad Amin Al -Kurd i , dari mazhab Syafi 'i ,
yang dinamakan Syeikh itu ialah orang yang sudah mencapai maqam
rijalul kamal, seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu sya
ri'at dan hakikat menurut Qur'an, Sunnah dan ijama', dan yang demi
kian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang
mursyid, yang sudah sampai kepada makam yang tinggi itu, dari ting
kat ke tingkat hingga kepada Nabi kita Muhammad saw dan kepada
Allah SWT dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan janji dan
79
wasiat, dan memperoleh izin dan ijazah, untuk menyampaikan ajaran-
ajaran suluk itu kepada orang lain. Jadi seorang Syeikh yang diakui itu
sebenarnya tidaklah boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin
menduduki tempat itu sebab dorongan nafsunya belaka. Maka Syeikh
yang arif, yang memiliki sifat-sifat dan kesungguhan-kesungguhan
seperti yang disebutkan itu, itulah yang dibolehkan memimpin sesuatu
tarekat, Syeikh yang yaitu penghubung dan wasilah antara mu
rid-muridnya dan Allah nya, yaitu pintu yang harus dilalui mu
rid menuju kepada Allah nya itu. Seorang Syeikh yang belum pernah
memiliki mursyid, kata Al -Kurd i , maka mursyidnya itu ialah syetan,
tidak boleh tampil ke muka dan memberikan petunjuk-petunjuk kepa
da muridnya, irsyad, kecuali sesudah beroleh pendidikan yang sempur
na dan mendapat izin atau ijazah dari gurunya yang berhak dan mem
punyai silsilah pendidikannya yang benar. Berkata Imam Ar-Razi , bah
wa seorang Syeikh yang tidak berijazah, dalam pengajarannya akan
lebih merusakkan dibandingkan memperbaiki, dan dosanya sama dengan
dosa seorang perampok, sebab ia menceraikan murid-murid yang be
nar dengan pemimpin-pemimpinnya yang arif.
Dengan demikian seorang mursyid memiliki tanggung jawab
yang berat. Pertama ia harus alim dan ahli dalam memberikan tuntun-
an-tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tau-
hid, dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala purba sang-
ka dan keragu-raguan dibandingkan murid-muridnya mengenai persoalan
itu. Kedua bahwa ia mengenai atau arif dengan segala sifat-sifat kesem-
purnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penya-
kitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta
memperbaikinya sebagai semula. Ketiga bahwa ia memiliki belas
kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya. Apa
bila ia melihat, ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera
meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya sehingga belum dapat
menghindarkan diri dibandingkan kebiasaan-kebiasaannya yang tidak baik,
maka ia bersabar, memperbanyak ma'af dan mengulangi nasehat-nase-
hatnya dengan tidak bosan-bosan, tidak dengan segera memutuskan
hubungan murid itu dalam tarekatnya. Segala kesalahan-kesalahan itu
jangan sedikit jua pun mengalirkan akibat kepada kesukaran-kesukaran
yang lain. Dengan penuh lemah-lembut seorang mursyid selalu sedia
memberikan petunjuk-petunjuk kepada murid-murid yang diasuhnya.
80
Keempat mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia murid-
muridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di depan mata
umum, namun sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya yang
tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana. Ke-
iirna bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mem-
pergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada
kesempatan apa pun juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa
yang ada pada mereka. Keenam bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh
atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali
j ika yang demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendi
ri , demikian juga dalam melarang segala macam perbuatan, dalam me
lakukan segala ibadat yang sunnat atau menjauhkan segala perbuatan
yang makruh, pendeknya dalam segala keadaan ahwal dan dalam sega
la perasaan azwaq, dirinyalah yang menjadi ukuran lebih dahulu, diri-
nyalah yang menjadi contoh lebih dahulu, kemudian barulah disalur-
kan kepada perintah atau larangan kepada murid-muridnya. Jika tidak
demikian kesanggupannya, hendaklah ia diam, jangan berbicara ten
tang keadaan jiwa dan usaha dengan murid-muridnya. Ketujuh bahwa
seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-si ngguh, tidak terlalu ba
nyak bergaul apalagi bercengkerama bersenda-gurau dengan murid-
muridnya. Ia hanya bergaul dengan murid-muridnya sekali sehari dan
semalam, dalam melaksanakan zikir-zikir dan wirid-wirid, pada kesem
patan mana ia menyampaikan beberapa petun,uk mengenai syari'at dan
tarekat, mempergunakan kitab-kitab yang bak untuk tuntunan aliran-
nya, sehingga dengan demikian ia dapat men^hindarkan segala keragu-
raguan, dan memimpin murid-muridnya itu beribadat kepada Allah
dengan amalan-amalan yang sah.
Kedelapan ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh
nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pen-
dapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-murid
nya itu. Kesembilan seorang mursyid yang jijaksana selalu berlapang
dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seseorang murid itu
apa yang tidak sanggup, tidak memerintahkm sesuatu amal yang keli
hatan kurang digemar atau disanggupinya. Ia selalu bermurah hati da
lam mengajarkannya. Kesepuluh apabila ia melihat ada seorang murid,
yang sebab selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihat-
kan kebesaran dan ketinggian hatinya, makïi segera ia memerintah mu-
81
rid itu pergi berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak
terlalu dekat dengan mursyidnya itu. Kesebelas apabila ia melihat bah
wa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan
hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang bijaksana
untuk mencegah yang demikian itu, sebab kepercayaan dan kehor
matan yang berkurang itu, yaitu musuh terbesar baginya.
Kedua belas jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk
tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk
memperbaiki hal mereka. Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat
perhatiannya yang penuh ialah kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu
timbul pada muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang
murid itu menceritakan kepadanya tentang sesuatu ru'yah yang dilihat-
nya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan musyadah yang dihadapi-
nya, yang di dalamnya ada perkara-perkara yang istimewa, maka
hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang itu. Seba-
liknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat meno-
lak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya
ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia. Sebab apabila mursyid itu
berbicara tentang hal-hal aneh tersebut, ditakuti akan terjadi sesuatu
yang merusakkan bagi murid itu, sebab memang gampang seseorang
melihat dirinya meningkat, namun kadang-kadang hal yang tidak benar
segera menjatuhkan martabatnya. Keempat belas ia melarang murid-
muridnya banyak berbicara dengan teman temannya, kecuali dalam
hal-hal yang penting, terutama harus dilarang murid-murid itu berbi
cara dengan teman-temannya tentang keramat dan wirid-wirid yang is
timewa, sebab jikalau ia membiarkan yang demikian itu lambat-laun-
nya murid itu rusak sebab ia meningkat dalam tekebur dan berbesar
diri terhadap yang lain itu.
Kelima belas ia menyediakan tempat berkhalwat, bagi perseorang-
an murid-muridnya, yang tidak dibolehkan masuk seorang pun dari
pada anak-anaknya kecuali untuk keperluan khusus, begitu juga mur
syid itu menyediakan sebuah tempat berkhalwat khusus untuk dirinya
dengan sahabat-sahabatnya.
Keenam belas hendaklah dijaga, agar muridnya tidak melihat sega
la gerak-geriknya, tidak melihat tidurnya, tidak melihat cara makan
dan minumnya, sebab yang demikian itu sewaktu-waktu dapat mengu-
82
rangi penghormatannya terhadap Syeikh, dan mengetahui sampai di
mana kesempurnaannya, lalu dibawa berceritera dan menggunjingkan
hal itu untuk kemaslahatan sesama murid. Ketujuh belas ia mencegah
muridnya memperbanyak makan, sebab banyak makan itu melambat-
kan tercapainya latihan-latihan yang diberikan mursyidnya itu. Keba-
nyakan manusia itu yaitu budak bagi kepentingan perutnya. Kedela-
pan belas melarang murid-muridnya berhubungan dengan Syeikh tare
kat lain, sebab acapkali yang demikian itu memberikan akibat yang
kurang baik bagi muridnya. namun apabila ia lihat kecintaan muridnya
sebab pergaulan itu tidak berkurang terhadap dirinya, dan tidak di-
khawatirkan terguncang pendirian muridnya itu, maka yang demikian
itu tidak mengapa.
Kesembilan belas ia melarang murid-muridnya pulang-balik kepa
da raja-raja dan orang-orang besar dengan tidak ada keperluan yang
tertentu, sebab pergaulannya dapat membesarkan nafsu keduniaannya
dan melupakan, bahwa ia sedang dididik berjalan ke akhirat. Kedua
puluh mursyid itu selalu dalam khutbah-khutbahnya mempergunakan
kata-kata dan cara-cara yang lemah-lemah yang dapat menawan hati
dan fikiran, jangan sekali-kali khutbahnya itu mengandung kecaman
atau ancaman, sebab yang demikian itu dapat menjauhkan jiwa mu
ridnya dibandingkan nya.
Kedua puluh satu apabila seorang mengundangnya, maka ia mene-
rima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu
juga dengan rasa merendahkan diri.
Kedua puluh dua apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya,
maka hendaklah ia duduk dengan tenang dan penuh sabar, jangan ba
nyak menoleh ke kiri-kanan, jangan mengantuk atau tidur di tengah-
tengah mereka itu, jangan melunjurkan kakinya di tengah-tengah perte-
muan menutup matanya, merendahkan suaranya, menghindarkan sega
la sifat-sifat yang tercela, sebab apa yang dilakukannya itu semuanya
akan dituruti oleh murid-muridnya, yang dianggap sebagai kelakuan-
kelakuan yang terpuji dan ditirunya.
Kedua puluh tiga bahwa ia harus menjaga pada waktu seseorang
muridnya datang menemui dia jangan memalingkan mukanya, meski-
pun pada waktu itu ia hendak melihat atau menoleh ke arah lain. Ia
memanggil muridnya itu meskipun ternyata tidak ada sesuatu yang
83
akan ditanyakannya. Apabila ia datang kepada murid, hendaklah di-
jaga adab sopan-santun dan tingkah-lakunya dalam keadaan sebaik-
baiknya. Kedua puluh empat hendaklah ia suka bertanya tentang sese
orang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-
sebab ia tidak hadir itu. Apa bila murid itu ternyata sakit, segeralah
ia menengok, apabila murid itu memerlukan sesuatu, segeralah ia ber-
ikhtiar menolongnya, dan apabila ia ternyata uzur, hendaklah ia me-
nyuruh memanggil dan berkirim salam.
Ghazali menyatakan, bahwa murid tak boleh tidak harus mem
punyai syeikh (dalam bahasa Persia : Pir) yang memimpinnya. Sebab
jalan iman yaitu samar, sedang jalan-jalan iblis banyak dan terang.
Dan siapa yang tak memiliki Syeikh sebagai penunjuk jalan, ia pas-
ti akan dituntun oleh iblis dalam perjalanannya. sebab itu murid ha
rus berpegang kepada syeikhnya, sebagaimana seorang buta di pinggir
sungai berpegang kepada pemimpinnya, mempercayakan diri kepada
nya, jangan menentangnya sedikit pun dan berjanji mengikutinya de
ngan mutlak. Murid harus tahu, bahwa keuntungan yang didapatinya
sebab kekeliruan syeikhnya, apabila ia bersalah, lebih besar dibandingkan
keuntungan yang diperolehnya dari kebenarannya sendiri, apabila ia
benar. Demikian catatan Gibb dalam bukunya "Lintasan Sejarah
Islam", terjemahan dalam bahasa Indonesia.
5. MURID DAN MURAD.
Pengikut sesuatu tarekat dinamakan Murid, yaitu orang yang
menghendaki pengetahuan dan pertunjuk dalam segala amal ibadatnya.
Murid-murid itu terdiri dibandingkan laki-laki dan perempuan, baik masih
belum dewasa maupun sudah lanjut umurnya. Murid-murid itu tidak
hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau
melakukan segala sesuatu yang dilatihkan guru kepadanya, yang ber
asal dibandingkan ajaran-ajaran sesuatu tarekat, namun harus patuh kepada
beberapa adab dan akhlak, yang ditentukan untuknya, baik terhadap
syeikhnya, baik terhadap kepada dirinya sendiri, maupun terhadap diri
nya dan saudara-saudaranya setarekat serta orang-orang Islam yang
lain. Segala sesuatu yang bertali dengan itu diperhatikan sungguh-sung-
guh oleh mursyid sesuatu tarekat, sebab kepada kepribadian murid-
84
muridnya itulah bergantung yang terutama berhasil atau tidaknya per-
jalanan suluk tarekat yang ditempuhnya. Pelajaran-pelajaran Sufi dan
latihan-latihan tarekat akan kurang faedahnya, jika pelajaran dan latih
an itu tidak berbekas kepada perubahan akhlak dan budi pekerti murid-
murid itu.
I. Adab murid terhadap gurunya.
Adab-adab murid yang harus diperhatikan terhadap gurunya se
benarnya banyak sekali, namun yang terutama dan yang terpenting ialah
bahwa seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya, seba-
liknya harus membesarkan kedudukan gurunya itu lahir dan bathin. Ia
tidak boleh meremehkan, apalagi mencemoohkan, mengecam gurunya
di depan dan di belakang. Salah satu yang harus diyakini ialah bahwa
maksudnya itu hanya akan tercapai sebab didikan dan asuhan guru
nya, dan oleh sebab itu jika pandangannya terpengaruh oleh pendapat
guru-guru lain, maka yang demikian itu akan menjauhkan dia dibandingkan
mursyidnya, dan akan tidaklah terlimpah atas percikan cahaya. Maka
harus ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal yang ini
di bawah ini.
1. Pertama-tama ia harus menyerah diri sebulat-bulat dengan se-
penuh-penuhnya kepada gurunya, rela ia dengan segala apa yang diper-
buat oleh gurunya itu, yang dikhidmatinya dengan harta benda dan j i
wa raganya, dengan jalan demikian barulah terlahir iradah yang murni
dan muhibbah, yang akan yaitu penggerak dalam usahanya, me
rupakan kebenaran dan keikhlasan yang tidak dapat dicapai kecuali de
ngan jalan demikian.
2. Tidak boleh sekali-kali seorang murid menentang atau rnenolak
apa yang dikerjakan gurunya, meskipun pekerjaan itu pada lahirnya
kelihatan termasuk haram. 1) Ia tidak boleh bertanya, apa sebab guru
nya berbuat demikian, tidak boleh terguris dalam hatinya, mengapa pe-
kerjaannya belum jaya. Barang siapa yang ingin beroleh ajaran guru
nya dengan sempurna, ia tidak rnenolak sesuatu apa pun juga dibandingkan -
nya. Dari seorang guru kadang-kadang kelihatan lukisan yang tercela
1) Keadaan ini menjadi salah satu di antara sebab Pemerintah campur tangan dalam
pengowasan dan tindakan mengenai gerakan mistik.
85
pada lahirnya, namun kemudian kelihatan terpuji dalam bathinnya, se
perti yang terjadi dengan Nabi Musa terhadap Nabi Khaidir. Oleh kare
na itu salah seorang Sufi melukiskan kewajiban murid terhadap Syeikh
nya dalam suatu sajak sebagai berikut.
Engkau laksana mayat terlentang,
Di depan gurumu terletak membentang,
Dicuci dibalik laksana batang,
Janganlah engkau berani menentang.
Perintahnya jangan engkau elakkan,
Meskipun haram seakan-akan,
Tunduk dan tha'at diperintahkan,
Engkau pasti ia cintakan.
Biarkan semua perbuatannya,
Meskipun berlainan dengan syara'nya,
Kegelapan hati akan nyatanya,
Bagimu akan jelas rahasianya.
Ingatlah ceritera Khaidir dan Musa,
Tentang pembunuhan anak desa,
Musa seakan putus asa,
Pada akhirnya ia terasa.
Pada akhirnya jelaslah sudah,
Tampak padanya secara mudah,
Kekuasaan Allah tidak tertadah,
Ilmunya luas tidak termadah.
Demikian kira-kira isi syair Sufi mengenai ilmu Allah yang meng-
atasi akal manusia, diilhamkan kepada siapa yang dikehendakinya, kita
petik dari kitab "Tanwirul Qulub", karangan Muhammad Amvn A l -
Kurdi An-Naqsyabandi, yang sudah kita sebutkan di atas itu.
3. Seorang murid tidak boleh memiliki maksud berkumpul de
ngan Syeikhnya untuk tujuan dunia dan akhirat, dengan tidak mene-
gaskan dan menandaskan kehendak kesatuan yang sebenar-benarnya,
baik mengenai ihwal, maqam, fana, maupun baqa' dalam keesaan Tu-
86
han, sebab jika tidak demikian itu maka ia yaitu seorang murid
yang hanya menuntut kesempurnaan dirinya dan ihwalnya sendiri.
4. Seorang murid tidak boleh meiepaskan ikhtiarnya sendiri dari
ikhtiar Syeikhnya dalam segala pekerjaan, baik yaitu keseluruhan
atau bahagian-bahagian ibadat dan adat kebiasaan. Setengah dibandingkan
tanda seorang murid yang benar, bahwa ia begitu tha'at kepada Syeikh
nya, sehingga kalau Syeikhnya memerintahkan ia masuk ke dalam nya-
la api, ia mesti memasukinya, jikalau ia masuk tidak terbakar benarlah
ia, j ika terbakar pasti ia dusta.
5. Mur id tidak boleh mempergunjingkan sekali-kali keadaan
Syeikhnya, sebab yang demikian itu yaitu pokok kebinasaan,
yang biasanya banyak terjadi. Sebaliknya ia harus membaik sangka ke
pada gurunya dalam tiap keadaan.
6. Begitu juga murid itu memelihara Syeikhnya pada waktu ia ti
dak ada, sebagaimana ia memelihara guru itu pada waktu ia hadir ber-
sama-sama, dèngan demikian selalu ia mengingat Syeikhnya itu pada
tiap keadaan, baik dalam perjalanan maupun tidak dalam perjalanan,
agar ia beroleh berkatnya.
7. Seorang murid harus menganggap tiap berkat yang diperoleh-
nya, baik berkat dunia maupun berkat akhirat, disebabkan oleh berkat
Syeikhnya itu.
8. Ia tidak boleh menyembunyikan kepada gurunya sesuatu yang
terjadi pada dirinya sendiri, mengenai ihwal, kekhawatiran, kejadian-
kejadian yang tertimpa atas dirinya, segala macam kasyaf dan keramat,
yang dianugerahi Al lah sewaktu-waktu kepadanya, semuanya itu diceri
terakan dengan terus terang kepada gurunya itu.
9. Meskipun demikian tidaklah boleh seorang murid menafsirkan
sendiri segala kejadian itu, segala mimpinya dan segala kasyaf yang ter-
buka kepadanya, apalagi memegangnya dengan keyakinan, sebaliknya
ia menerangkan semua kepada Syeikhnya itu sambil menanti jawabnya
dengan tidak usah menagih jawab itu secara mendesak. Jika ada se
orang Syeikh lain bertanya kepada seorang murid tentang sesuatu ma-
salah, janganlah menjawab dengan segera masalah itu di depan guru
nya.
87
10. Ia tidak boleh menyiarkan rahasia-rahasia gurunya, atau me-
ngadakan siaran-siaran yang lain tentang gurunya itu.
11. Ia tidak boleh mengawini seorang wanita yang kelihatan disu-
kai oleh Syeikhnya hendak dinikahinya, begitu juga ia tidak boleh ka-
win dengan seorang perempuan bekas isteri gurunya, baik yang diting-
galkan cerai atau ditinggalkan mati.
12. Seorang murid tidak boleh hanya mengeluarkan nasehat atau
pandangan kepadanya gurunya, j ika gurunya mempercakapkan sesuatu
pekerjaan yang hendak dikerjakannya, begitu juga ia tidak boleh me
ninggalkan pekerjaan yang sedang dihadapi gurunya itu. Sebaliknya ia
menyerahkan seluruh pikiran kepada gurunya dan menganggap bahwa
gurunya itu meminta nasehat kepadanya hanya ditimbulkan kecintaan
semata-mata.
13. Apabila Syeikhnya tidak ada, maka ia mengunjungi keluarga
nya dan berbuat baik dengan segala khidmat, sebab pekerjaannya itu
akan mengikat hati gurunya.
14. Apabila seorang murid memandang dirinya dengan penuh
ujub sebab amalan-amalannya, atau memandang telah meningkat le
bih baik dalam ihwalnya, maka segera hal itu diadukannya kepada gu
runya, agar guru itu memberikan pertunjuk, bagaimana mengobati pe-
nyakitnya itu, j ika didiamkan perasaan itu nanti pasti akan tumbuh
menjadi ria dan munafik dalam hatinya.
15. Murid tidak boleh memberikan atau menjual kepada orang
lain apa yang dihadiahkan oleh gurunya, meskipun gurunya itu meng-
izinkan menyerahkan pemberiannya itu kepada orang lain, sebab di
dalam pemberian guru itu tersembunyi air kefakiran yang dicari-cari
dan yang mendekatkan dia kepada Al lah .
16. Di antara adab-adab murid juga di dalam tarekat dan yang di
anggap ihwalnya terbaik ialah, bahwa ia memberikan harta bendanya
sebagai sedekah atas permintaan Syeikhnya, sebab menurut ajaran,
bahwa seorang murid dianggap sudah sempurna tha'at kepada Syeikh
nya, yang kemudian dapat membawa dia kepada Allah nya, jika ia ber
buat yang demikian itu, dengan lain perkataan mengurbankan untuk
sedekah apa yang dicintainya.
88
17. Murid yang baik tidaklah menganggap ada sesuatu kekurang-
an pada Syeikhnya, meskipun ia melihat kekurangan itu terjadi dalam
kehidupannya, seperti banyak tidur pada malam hari, kurang war'a dl l ,
sebab kekurangan-kekurangan yang demikian itu kadang-kadang me
mang ditakdirkan Al lah kepada Wali-Walinya dalam kelupaan dan
kealpaan, yang tidak ada tatkala mereka sadar, dan apabila sadar
sekalian itu akan dipenuhinya kembali.
18. Harus diingat bahwa murid itu tidak boleh memperbanyak bi
cara di depan Syeikhnya, harus ia ketahui waktu-waktu berbicara itu.
Jika ia berbicara hendaklah dengan tegas, dengan adab, dengan khu-
syuk; dengan "khudu" , dengan tidak berlebihan dari apa yang perlu,
Kemudian ia menanti jawabnya dengan tenang, j ika belum puas hanya
ia bertanya kedua kalinya, sesudah itu terbataslah pertanyaannya itu.
19. Tidak boleh sekali-kali di hadapan guru seorang murid berbi
cara keras, sebab bicara keras itu di hadapan orang-orang besar ter
masuk laku yang tidak baik. Sebaliknya, ke-20, ia tidak boleh duduk
bersimpuh di depannya, tidak boleh duduk di atas sajadah, namun me-
milih tempat yang dapat menunjukkan laku merendah diri dan menge-
cilkan dirinya, seterusnya ia berkhidmat kepada Syeikhnya. Kata Sufi :
"Khidmat pada sesuatu bangsa yaitu amal saleh". Ke-21, cepat
kaki ringan tangan mengenai segala apa yang diperintahkan oleh guru
nya, tidak istirahat dan berhenti, sebelum pekerjaan itu selesai.
Lain dibandingkan yang ini di atas itu seorang murid harus meng-
ingat, bahwa ia menjauhkan diri dibandingkan segala pekerjaan yang diben-
ci oleh Syeikhnya (22), tidak boleh bergaul dengan orang yang dibenci
oleh Syeikhnya, namun mencintai orang yang dicintainya (23). Ia harus
sabar jika Syeikhnya belum memenuhi perrnintaannya, dan tidak boleh
menggerutu dan memperbanding-bandingkan dirinya dengan orang lain
dalam perlayanan Syeikhnya (24), tidak boleh duduk pada tempat yang
disediakan bagi guru, tidak boleh enggan dan segan-segan terhadap se
gala pekerjaan, tidak boleh berpergian, tidak boleh kawin, tidak boleh
mengerjakan sesuatu pekerjaan penting kecuali dengan izinnya (25),
tidak boleh menyampaikan kepada orang lain pekerjaan Syeikhnya ke
cuali yang dapat dipahami mereka itu sekedar kekuatan akalnya (26),
dan tidak menyampaikan salamnya melalui orang lain kepada Syeik-
nya, namun kalau ada kesempatan menziarahinya sendiri (27).
89
II. Adab murid terhadap dirinya sendiri.
Adab-adab murid yang harus diperhatikan untuk dirinya sendiri
dalam kehidupan tarekat banyak sekali. namun yang terpenting dan
yang paling utama ialah bahwa ia meyakini Allah Ta'ala itu senantiasa
melihat kepadanya dan mengawasi dia dalam segala tingkah-lakunya
dan dalam segala keadaan. Oleh sebab itu hendaklah ia selalu ingat
kepadanya, baik sedang berjalan, baik sedang duduk, atau sedang si-
buk dengan salah satu pekerjaan, sebab semua itu tidak dapat mence-
gah dia dibandingkan zikir dan ingat kepada Allah nya, bahkan demikian
rupa sehingga nama Allah itu mengalir ke seluruh pojok dan liang-
liang hatinya.
Lain dibandingkan itu pertama, harus ia meninggalkan semua teman-
teman yang jahat, dan mencari serta mempergauli orang-orang yang
baik. Nabi Musa beroleh wahyu dari Allah nya : "Jangan kamu ber
gaul dengan ahli-hawa, mereka akan memberi bekas kepada hatimu
yang tidak layak". Maka oleh sebab itu bergaul dengan orang yang
baik beroleh kebajikan, bergaul dengan orang yang jahat beroleh keja
hatan. Seorang Sufi bersyair :
Roh laksana angin lalu,
Melalui athar menjadi wangi,
Baunya akan harum selalu,
Terpengaruh oleh minyak wangi.
Jika angin meniupi bangkai,
Bau berobah menjadi busuk,
Demikianlah roh jika merangkai,-
Berubah-ubah keluar masuk.
Di antara adab juga ialah menjauhkan anak isterinya pada waktu
ia berzikir. Adab kedua ini sangat penting baginya, sebab pada waktu
ia berzikir haruslah seluruh perhatian jiwa dan hatinya ditujukan ke
pada Allah semata-mata, tidak boleh berpaling dan terganggu dengan
suasana lain. Memilih tempat yang sempit dan gelap lebih baik dari
pada tempat yang luas dan terang, diterangi oleh cahaya matahari atau
cahaya lampu pelita. Yang sama dengan cahaya lampu, pelita itu ialah
anak isteri, yang gerak-gerik serta kelakuannya, perkataan dan senda-
90
guraunya, dapat mengganggu dia dalam perjalannya, dan melemahkan
hatinya dan zikir.
Ketiga hendaklah meninggalkan segala kesenangan hidup yang ber-
limpah-limpah, mengambil sekedar apa yang perlu dari makanan, mi-
numan, pakaian dan hubungan laki-bini. Ghazali berkata : "Allah
menjadikan makanan dan minuman di dunia ini sebab untuk mengusut-
kan hati, untuk memberatkan semua anggota badan mengerjakan tha'
at, dan menulikan telinga dari mendengar pelajaran-pelajaran yang
baik.".
Keempat bahwa ia meninggalkan cinta dunia, dan selalu^melihat
serta memikirkan akhirat, sebab cinta kepada Allah itu tidaklah dapat
ke dalam hati seseorang yang mencintai dirinya.
Kelima jangan ia tidur dalam keadaan jinabah, selalu bersih, bah
kan lebih baik ia tidur dalam wudhu.
Keenam dan ketujuh jangan ia menghendaki apa yang ada pada
orang lain, dan apabila ia kekurangan rezeki, hendaklah ia sabar, dan
berkeyakinan bahwa dalam perjalanan menemui Allah nya ia tidak
membutuhi kekayaan dan kesenangan dunia.
Kedelapan selalu ia perhitungkan kebaikan dan keburukan dirinya,
senantiasa bersungguh-sungguh dalam tarekatnya, jika ia menjumpai
kesukaran dan kekurangan, ia berkata kepada dirinya : "Hendaklah
engkau sabar, kegembiraan itu ada di depanmu. Memang aku meng
hendaki keletihanmu untuk kesenanganmu nanti di akherat".
Kesembilan hendaklah ia menyedikitkan tidurnya, terutama pada
waktu sahur dan berdo'a serta beramal sebanyak-banyaknya, sebab
waktu itu yaitu waktu mustajab.
Kesepuluh dan kesebelas membiasakan dirinya makan yang halal,
dan membiasakan dirinya makan sedikit, berusaha mengangkat tangan-
nya sebelum kenyang, sebab yang demikian itu membuahkan kesung
guhan dalam mengerjakan tha'at, dan menghilangkan malas.
Kedua belas dan ketiga belas memelihara lidah dan matanya. Hen
daklah dijaga agar lidahnya tidak mengucapkan omong kosong, sambil
mengawasi hatinya jangan dalam syak wasangka. Barang siapa yang
dapat memelihara lidahnya dan menetapkan hatinya, akan terbukalah
baginya rahasia-rahasia yang pelik. Sesudah itu ia harus menjaga mata-
91
nya dibandingkan melihat yang cantik-cantik, sebab melihat yang cantik
dan molek itu seperti racun yang dapat membunuh atau laksana anak
panah yang sudah terlepas dari busurnya, dapat mengenai dan membu
nuh hatinya. Demikianlah keadaan manusia yang memandang sesuatu
dengan keinginan syahwatnya. Junaid berkata, bahwa kegagalan yang
acapkali menimpa seorang murid ialah terlalu banyak bicara, terlalu
banyak bergaul dengan perempuan, oleh sebab itu hendaklah murid
selalu bergaul dengan orang-orang yang baik, murad, murid-murid
yang terpilih, terutama dalam khalwatnya.
Keempat belas jangan suka bersenda-gurau, sebab yang demikian
itu dapat mematikan hati dan jiwa, dan mengakibatkan kegelapan. J i
kalau seorang salik mengetahui betapa kemunduran ihwalnya sebab
senda-gurau, tentu ia tidak akan mengerjakan yang demikian itu sekali-
lagi. Nabi berpesan : "Jangan engkau mengganggu dan memperolok-
olokkan saudaramu!" Maka oleh sebab itu baiklah ditinggalkan sen
da-gurau itu, kecuali pada waktu-waktu yang diperlukan ketika bi-
ngung dan ketika bersedih hati.
Kelima belas meninggalkan tanya-menanya dan perdebatan, apa-
lagi pertengkaran tentang sesuatu pembahasan ilmu, sebab yang demi
kian itu acapkali membawa manusia kepada kealpaan dan kekeruhan.
Jikalau sesuatu perdebatan sudah terjadi, maka segera meminta ampun
kepada Al lah , dan meminta diri kepada mereka yang ingin melakukan
perdebatan atau melanjutkan pembahasan itu. Cegahlah perdebatan
tentang diri orang lain.
Keenam belas bersedia diri mendatangi dan mempergauli orang-
orang yang sedang bingung dan sempit pikirnya, dan mencoba membi-
carakan adab-adab yang baik yang dapat membukakan jiwanya yang
sedang sempit itu.
Ketujuh belas mencintai kedudukan dan pengaruh, kebesaran dan
kemegahan dapat memutuskan jalan kepada kebenaran.
Kedelapan belas murid-murid hendaklah tawadhu', kesembilan
belas hendaklah ia selalu takut kepada Allah , sambil meminta ampun,
terhadap dosa yang tidak kelihatan, dalam ibadatnya maupun dalam
zikirnya.
Kedua puluh tidak menerangkan kepada seseorang pun juga apa
92
yang dilihatnya dalam mimpi atau dalam jiwanya dibandingkan rahasia-
rahasia yang diperlihatkan Allah kepadanya, kecuaii kepada gurunya
sendiri.
Kedua puluh satu hendaklah ia menjaga waktu yang tetap untuk
zikir kepada Allah nya, dengan cara sebagaimana yang ditunjukkan
oleh Syeikhnya, tidak ditambah atau dikurangi. Memang banyak sekali
adab-adab murid terhadap dirinya, yang kita tidak ingin menceritera
kan semua di sini berhubung dengan halaman-halaman yang terbatas.
Murid itu sendiri hendaklah mencari kelebihan-kelebihan dirinya dalam
uraian yang lebih panjang. namun meskipun demikian kita tidak dapat
meninggalkan beberapa hal yang acapkali ada pada murid Sufi itu,
seperti adab pada waktu mereka menziarahi kuburan-kuburan orang-
orang keramat dan wali wali.
Dalam kitab-kitab Sufi diterangkan bahwa seorang murid hendak -
nya sering mengunjungi kuburan wali-wali itu untuk mendapat berkah
dan mengenangkan dia pada mati. Apabila ia mengunjungi kuburan
orang keramat itu, dan ingin mendapat jiwa kerohaniannya melimpah
padanya, maka hendaklah memperhatikan beberapa adab, ia memberi
salam kepada yang meninggal itu, ia berdiri di sebelah kakinya pihak
kanan, ia menghadap kiblat, ia meletakkan tangan kanan ke atas ta
ngan kirinya di atas pusatnya, dan dengan membungkuk sedikit ia
membaca Fatihah satu kali. Surat Ikhlas sebelas kali, Ayat Kursi satu
kali, yang semuanya pahalanya diniatkan untuk orang yang sudah wa-
fat itu, baik gurunya maupun orang alim yang lain. Kemudian perla-
han-lahan ia duduk dekat kubur itu dan meiepaskan semua pikiran
yang mengikat dia selain dibandingkan menujukan kepada yang mati itu,
ia bersabar, ia menggambarkan cahaya rohani dari orang yang mati itu,
seakan-akan dapat dirasakan dan dipindahkan ke dalam hatinya, di-
kenangkan seluruh hal ihwal khawas yang ada pada orang itu.
Dalam kitab "Tanwirul Qulub" dijelaskan bahwa orang umum
diperkenankan melakukan sesuatu yang berlebih-lebihan dan tabut pa
da kuburan wali, j ika mereka menghendaki tabaruk dan mengi'tikad-
kan bahwa yang memberi bekas dalam hakikat yang sebenarnya hanya
Allah , mereka memperbuat sesuatu hanya sebab cinta kepada orang
yang dicintai Al lah .
93
III. Adab murid terhadap saudaranya dan orang Islam lain.
Dalam ajaran Sufi hubungan antara seorang murid dengan orang
lain lebih kuat dibandingkan ukhuwah biasa antara seorang Islam dengan
orang Islam lain. Diajarkan bahwa ikatan antara kedua sahabat atau
lebih itu seperti ikatan akad nikah antara dua laki isteri, senasib seper-
juangan, cinta-mencintai. Ditunjukkannya kepada ucapan Rasulullah,
di antaranya berbunyi : "Perumpamaan dua orang saudara yaitu se
perti dua tangan, yang cuci-mencuci dan bersih-membersihkan antara
satu sama la in" . Katanya pula : "Orang mu'min terhadap mu'min se
perti tembok batu bata, mengikat satu sama la in" . Katanya pula : " T i
ap persahabatan antara seorang teman dengan teman yang lain, meski
pun sesa'at dari sehari, cukup kalau ia bertanya kepada temannya itu,
apakah ia sudah menunaikan apa yang diperintahkan Allah kepada
nya."
Lalu disebutkanlah dalam kitab-kitab Sufi beberapa adab antara
murid dengan teman dan sahabatnya, begitu juga dengan orang Islam
yang lain. D i antaranya ia mengakui sesuatu persahabatan, yang mele-
takkan kepadanya beberapa kewajiban, yaitu ia mencintai sebagaimana
ia mencintai dirinya sendiri, tidak melebihkan dirinya dibandingkan saha
batnya itu, ia memberi salam, ia berjabat tangan, ia mengeluarkan tu-
tur kata yang baik, sesuai dengan ajaran Nabi, ia tidak meiepaskan sa
habatnya itu sebelum ia meminta ma'af, ia bergaul dengan kelakuan
yang baik, ia berbuat sesuatu terhadapnya dengan penuh kecintaan dan
dan lemah-lembut, umumnya ia memperlihatkan akhlak-akhlak Nabi
yang dibiasakan pada dirinya. Junaid berkata, bahwa ada empat perka
ra yang dapat mengangkat derajat seseorang Sufi, meskipun kurang
ilmu dan amalnya, yaitu penyantun dan sabar, merendah diri, bermu-
rah tangan, dan berbaik budi. Imam Syafi'i berkata, merendah diri itu
adala akhlak yang mulia, sedang tekabur atau membesarkan diri meru
pakan akhlak yang tercela.
Di antaranya ialah rela hati terhadap teman, meskipun mereka le
bih tinggi kedudukannya dan lebih baik nasibnya dibandingkan murid itu,
di antaranya juga bertolong-tolongan dalam perkara kebajikan dan taq
wa, memberi petunjuk kepada yang benar, mencegah kejahatan, tidak
membuka malu dan kesalahan temannya. Seorang murid bertanya ke-
94
pada gurunya Ibrahim bin Adham tatkala hendak berpindah, katanya :
"Wahai penghuluku, tidakkah baik tuan hamba menunjukkan kesalah
an-kesalahan atau aib yang ada pada diri hamba sekarang in i?" Jawab
Ibrahim : "Wahai Saudaraku, aku tidak melihat sesuatu keaiban pada
dirimu, sebab aku melihat engkau dengan mata yang penuh cinta. Ta-
nyakanlah keaibanmu itu kepada orang la in!"
D i antara yang perlu diperhatikan murid juga ialah berbaik sangka
dengan temannya, j ika ia hendak menerangkan sesuatu kekurangan,
maka dimisalkannya kekurangan itu ada pada dirinya sendiri, agar
diambil ibarat oleh temannya itu. Begitu juga seorang murid harus me-
nerima alasan uzur yang dikemukakan oleh temannya, meskipun ia
tahu ia berdusta. Ketahuilah, kata Sufi, bahwa jika ia rela kepadamu
secara lahir, pasti akan menyusul ia rela kepadamu secara bathin.
D i antara yang banyak itu pula, ialah memenuhi janji-janji yang
diperbuatnya mengenai pertolongan dan pemberian, tidak lekas marah
jika sesuatu janjinya dibangkitkan orang, selanjutnya mengunjunginya
pada waktu susah dan pada waktu sakit, membacakan do'a dan wirid-
wirid yang baik, dl l . sebagainya yang tidak terhingga banyaknya, namun
tersimpul dalam ucapan Nabi : "Barang siapa tidak menyayangi manu
sia, pasti ia tidak disayangi Allah ".
IV. Murad.
Iradat atau kemauan menjadi pembicaraan dan perhatian dalam
tarekat. Iradat seseorang yang menuntut ilmu mengenai Allah ialah
cita-cita seorang yang sudah dilaksanakan sunggung-sungguh ke arah
itu, itulah kehendak yang terpilih dengan tuntunannya, namun iradat
Allah baharu dicapai, apabila kesungguhan itu sudah ikhlas.
Maka terjadilah perkataan murid dan murad, yang acapkali ditaf-
sirkan dengan bermacam-macam pengertian. Dalam kitab "At-Ta'ri-
fat", karangan Al-Jurjani (Mesir, 1938) kita dapati bermacam-macam
penafsiran mengenai perkataan itu. Ada yang menerangkan, bahwa
murid itu ialah seorang salik yang sudah meiepaskan kemauannya sen
diri dalam menempuh jalan ke arah kemauan atau iradat Al lah. Murad
ialah seorang yang telah majzub kecintaannya, sehingga ia tidak takut
lagi akan cobaan-cobaan dan godaan-godaan dari luar.
95
Syeikh Muhyiddin AI-Arabi menerangkan dalam kitab "Fathui
Makki", bahwa murid itu iaiah seorang yang telah mengambil keputus-
an kembali kepada Allah dalam segala pandangannya, dan oleh kare
na itu ia kosongkan dirinya dibandingkan kemauan sendiri sebab ia tahu,
bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat terwujud di dunia ini kecuali
dengan iradat atau kemauan Allah , ia tidak menghendaki apa-apa lagi
kecuali apa yang dikehendaki oleh Al lah .
Al-Aiydrus mencatat pada pinggir Syarah Ihya Ulumuddin 'Tttiha-
fus Sa'adah Al-Muttaqin", karangan Zabidi, perbedaan kedua perkata
an murid dan murad itu. Katanya. bahwa murid itu ialah seorang yang
masih dapat dilanggar bermacam-macam cobaan, ia telah masuk ke
dalam golongan mereka yang mencahari Allah dengan asmanya. Yang
dikatakan murad ialah seorang yang sudah kenal Allah serta tidak
memiliki lagi iradat atau kemauan sendiri, ia telah sampai kepada
tingkat nihayat dan telah berubah ikhwal dan maqamnya.
Al-Harawi menerangkan dalam kitab "Manazilus Sa'irin" (Mesir,
1332 H) , bahwa akhir maqam zuhud awam yaitu permulaan maqam
zuhud murid, yang terdiri dari tiga derajat : Derajat pertama menjauh
kan segala pekerjaan yang buruk, memperbanyak pekerjaan yang baik
dan memperdalam keyakinan serta iman. Derajat kedua memelihara
taqwa, meningkat naik dari kecemaran jiwa dan menjaga jangan sam
pai melanggar batas-batas larangan Allah. Derajat ketiga ialah berlaku
wara' pada tiap waktu dan ketika, menghindarkan segala sebab yang
dapat menimbulkan syirik dalam ibadat dan meresapkan fana dalam
tauhid yang sebulat-bulatnya. Bacalah lebih jauh keterangannya yang
panjang lebar dalam kitab "Madarijus Sal ikin" , karangan seorang Sufi
terbesar dari golongan Salaf, Ibn Qayyim Al-Jauziyah (Mesir, 1332 H).
96
V
PERSOALANDALAM THAREKAT
1. S I L S I L A H , K H I R Q A H D A N W A S I A T .
Silsilah bagi seorang Syeikh atau guru tarekat, yang acapkali di
namakan juga mursyid, sebab ia memberi pertunjuk kepada murid-
muridnya, yaitu syarat terpenting untuk mengajarkan atau me-
mimpin sesuatu tarekat. Mereka yang akan menggabungkan diri kepa
da sesuatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah
atau hubungan guru-gurunya itu sambung-bersambung antara satu sa
ma lain sampai kepada Nabi. sebab yang demikian itu dianggap perlu
dan tidak boleh tidak, sebab bantuan kerohanian yang diambil dari gu
ru-gurunya itu harus benar, dan jika tidak benar tidak berhubungan
sampai kepada Nabi , maka bantuan itu dianggap terputus dan tidak
yaitu warisan dibandingkan Nabi. Murid tarekat hanya membuat bai-
'at, sumpah setia atau janji, dan tidak menerima ijazah dan khirqah,
tanda kesanggupan, kecuali kepada mursyid yang memiliki silsilah
yang baik.
Silsilah itu yaitu hubungan nama-nama yang sangat panjang,
yang satu bertali dengan yang lain, biasanya tertulis rapi dengan bahasa
Arab di atas sepotong kertas, yang diserahkan kepada murid tarekat,
sesudah ia melakukan latihan dan amal-amal, dan sesudah menerima
pertunjuk-pertunjuk, irsyad dan peringatan-peringatan, talqin, dan se
sudah membuat janji untuk tidak melakukan ma'siat-ma'siat yang di-
larang oleh gurunya, ahd, dan menerima ijazah atau khirqah, sebagai
tanda boleh meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang lain.
Sebagai contoh saya sebutkan di sini silsilah Syeikh Muhammad Amin
Al -Kurd i , salah seorang Syeikh tarekat Naqsyabandiyah terkenal, mgl.
97
1-m H . nencarane "Kitab Tanwirul Qulub" , yang menerangkan, bah
wa ia mengambil tarekat Naqsyabandiyah itu dari Syeikh Umar, yang
mengambil dari ayahnya Usman, selanjutnya sambung-menyambung
mengambil dari Syeikh Khalid, Syeikh Abdullah Ad-Dahlawi, dari Ha-
Kbullah Jan Janan Mazhur, dari Nur Muhammad Al-Badwani, dari
Muhammad Saifuddin, dari Muhammad Ma'sum, dari ayahnya Ahmad
Al-Faruqi As-Sarhandi, dari Muhammad Al-Baqi Billah, dari Muham
mad Khawajiki As-Samarqandi, dari ayahnya Darwis Muhammad As-
Samarqandi, dari Muhammad Az-Zahid, dari Ubaidillah As-Samarqan
di, dari Ya'kub Al-Jarkhi , dari Muhammad bin Muhammad Ala'uddin
Al'-Akthar Al-Bukhari Al-Khawarizmi, yang mengambil dari pencipta
tarekat Naqsyabandiyah sendiri, bernama Syah Naqsyaband Baha'ud-
din Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisi Al-Bukhari , yang mengam
bil pula dari Amir Kalal , dari Muhammad Baba As-Samasi, dari A l i A r -
Ramitani, yang termasyhur dengan nama Syeikh Azinan, dari Syeikh
Mahmud Al-Anj i r Faghnawi, dari Syeikh A r i f Ar-Riyukir i , dari Syeikh
Abdul Khaliq Al-Khajduwani, dari Syeikh A b u Ya'kub Yusuf A l -
Hamadani, dari Syeikh A b u A l i Al-Fadhal At-Thusi, dari Syeikh Abul
Hasan A l i bin Ja'far Al-Kharqani dari Syeikh Abu Yazid Thaifur A l -
Bisthami, dari Imam Ja'far As-Sadiq, dari Qasim bin Muhammad bin
Abu Bakar As-Siddiq, dari Salman Al-Farisi , sahabat Nabi, yang meng
ambil pula dari Abu Bakar As-Siddiq, sahabat Nabi dan Khalifah yang
pertama, yang akhirnya mengambil dari Nabi Muhammad saw, yang
menerima pula melalui Jibrail dari Allah SWT.
Demikianlah jalannya silsilah itu, ada yang melalui Abu Bakar,
ada yang melalui A l i bin Ab i Thalib, atau salah seorang sahabat yang
lain, yang akhirnya sampai kepada Nabi, kepada Jibrail dan kepada
Allah , beberapa ajaran-ajarannya.
Jika seorang mursyid memiliki silsilah semacam itu, maka ber-
haklah ia mengajar tarekat ini kepada orang-orang lain. Syeikh
tarekat Sammaniyah misalnya harus sampai kepada Muhammad Sam-
man, yang kemudian sampai kepada sahabat dan kepada Nabi, Syeikh
tarekat Syattariyah harus sampai kepada Asy-Syattari, yang kemudian
sampai kepada sahabat dan kepada Nabi , demikianlah dengan semua
tarekat yang lain-lain.
Perbedaan antara ijazah dan khirqah kadang-kadang terletak da-
98
lam perbedaan bentuk, ijazah biasanya yaitu surat keterangan
yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk selanjutnya me
ngajarkan tarekat itu kepada orang lain, baik bersama-sama dengan
beberapa wasiat dan nasehat, khirqah kadang-kadang yaitu sepo-
tong kain atau pakaian dari bekas gurunya, yang biasanya oleh murid
dianggap setengah suci dan menjadi kenang-kenangan baginya.
Dr. Zaki Mubarak menerangkan, bahwa ada adab yang diletakkan
orang Sufi, baik pada waktu memberikan wasiat dan nasehat kepada
murid-muridnya, maupun pada waktu murid-muridnya menerima wa
siat dan nasehat itu, yang yaitu suatu kejadian penting pada akhir
pelajarannya, di kala mereka menerima ijazah dari gurunya itu.
Wasiat dan nasehat ini yaitu suatu kesenian susunan kata-
kata yang indah, yang dapat memberi kesan yang dalam kepada orang
yang dinasehati, dan dapat menjadi tali ikatan persaudaraan yang ko-
koh yang tidak akan putus-putus antara guru dan muridnya, antara
orang yang memberi nasehat dengan orang yang dinasehati atau yang
menerima wasiat terakhir. Oleh sebab itu sedapat mungkin guru-guru
tarekat memilih kata-kata yang sangat muluk, pengertian-pengertian
yang sangat mendalam, dan cara-cara serta adab yang akan tinggal
lama dalam ingatan kedua belah pihak.
Bagaimana contoh wasiat dan nasehat itu dapat kita pelajari misal
nya dari perkataan Alqamah bin Lubaid ya ig dihadapkan kepada an-
jaknya : "Wahai anakku! Apabila pada suatu masa engkau terpaksa
menghadapi sesuatu keperluan, yang tidak dapat engkau selesaikan sen
diri, maka carilah sahabatmu yang dapat menolong engkau. Untuk sa-
habatmu itu carilah orang yang dalam pergaulan dengan engkau ia
memperbaiki engkau. Jika engkau berbuat ichidmat kepadanya, ia me-
meliharakan keselamatan engkau, j ika engkau mengalami kemiskinan,
ia memberikan dikau makan dan minum, jika engkau mengeluarkan
kata-kata, ia membenarkan perkataanmu, jika engkau ditimpa kesukar-
an dan kesusahan, ia selalu siap sedia merapersembahkan bantuannya
kepadamu, jika engkau mengulurkan tanganmu mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang baik, ia selalu siap sedia nemperluas dan menyiarkan
kebaikan dan kebajikan itu, j ika ia melihat engkau berbuat kebajikan
kepadanya, ia tidak melupakan dalam ingatannya kebajikanmu itu, j i
ka engkau meminta sesuatu kepadanya, diberikannya dengan suka rela,
99
j ika engkau berdiam diri ia datang kepadamu mengajak berkata-kata,
jika engkau diselubungi malapetaka dan ketakutan, ia siap sedia de
ngan tidak membuat perhitungan meringankan penderitaanmu!" (Uyu-
nul Akhbar).
Memang wasiat itu yaitu suatu kebiasaan yang sudah lama
dalam kalangan bangsa Arab. Qur'an menyebutkan beberapa contoh
tentang wasiat, misalnya seperti yang pernah dikemukakan oleh Luq-
man kepada anaknya : "Wahai anakku aku berwasiat kepadamu, bah
wa janganlah engkau syirik kepada Al lah , sebab syirik itu yaitu
suatu kezaliman yang besar. Wahai anakku, dirikanlah. sembahyang,
berbuatlah kebajikan, basmilah kemunkaran, bersabarlah tentang apa
yang menimpa dirimu, sebab yang demikian itu yaitu pekerjaan-
pekerjaan penting. Janganlah engkau berlaku congkak terhadap manu
sia, di waktu berjalan jangan engkau bertingkah-laku sombong, sebab
Allah tidak menyukai mereka yang bersikap angkuh. Tenanglah eng
kau dalam perjalananmu, lemah-lembutlah engkau dalam perkataan-
mu, sebab Allah membenci suara-suara yang menyamai suara kele-
da i" (Qur'an X X X I : 13 — 19).
Wasiat itu ada di dalam Hadis, baik tatkala Nabi memberi
pengajaran kepada pengikut-pengikutnya, baik pada waktu ia meiepas
kan pasukan yang akan melakukan sesuatu tugas peperangan dan jihad
atas jalan Allah, wasiat-wasiat itu diucapkan oleh Sahabat-Sahabat pa
da waktu mereka memangku jabatan Khalifah, pada waktu mereka
menghadapi sesuatu kejadian penting dalam pemerintahannya, begitu
juga wasiat-wasiat itu tidak pernah ditinggalkan oleh pembesar-pembe-
sar Islam setiap sa'at dan masa, sebagaimana tiap-tiap kepala kabilah
tidak pernah meninggalkan pesan dan tegur sapanya sewaktu-waktu
diperlakukan kepada anak-anak buahnya.
Kesenian berwasiat ini dikenal juga oleh bangsa-bangsa yang ke
mudian menggabungkan dirinya dalam ikatan Islam yang luas dan per-
kasa itu. Orang Persia mengenalnya, orang Mesir mengenalnya. Tentu
saja raja-raja Persia dalam wasiat-wasiatnya mengemukakan hal-hal
yang penting untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pemerintah
an, seperti yang pernah ternyata dari wasiat Ardesyir anak Bapak yang
ditinggalkan untuk anak-anaknya dan raja-raja bawahannya. Nabi-nabi
meninggalan wasiatnya, Isa Al-Masih meninggalkan wasiatnya, Ghaza-
100
li meninggalkan wasiatnya, guru-guru Sufi meninggalkan wasiatnya,
dan Khatib-Khatib di atas mimbar tiap hari Jum'at dan hari raya me
ninggalkan wasiat-wasiatnya. Sehingga dengan demikian wasiat itu
menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan Islam.
Dan oleh sebab itu penyusunannya dalam bahasa Arab merupa
kan suatu bentuk tertentu, indah kata-kata dan susunan kalimat, dalam
artinya dan jauh tujuan dan sasarannya, sebab dalam banyak hal wa
siat itu yaitu pembukaan pintü-pintu baru untuk kehidupan se
seorang. Jika diperincikan selanjutnya, maka kita dapatilah wasiat raja-
raja, yang dinamakan 'uhud, kepada pembesar bawahannya, wasiat
guru kepada muridnya, wasiat ayah kepada anaknya, dan wasiat pe
mimpin kepada rakyatnya. Jika wasiat kebanyakan itu mengenai kehi
dupan dan perbaikan cara-cara hidup, maka wasiat-wasiat orang Sufi
dalam banyak hal di samping bahan-bahan yang sama terutama dituju-
kan kepada mempertinggi budi pekerti dan memperhalus jiwa manusia,
serta mempertebal rasa lemah dalam hati manusia itu dalam mengha-
dapi kodrat dan iradat Allah nya.
Di samping Aus bin Harisah yang mewasiatkan bahwa mati itu le
bih baik dibandingkan fakir dan kemuliaan itu terletak dalam rnenolak sega
la haram, kita mendengarkan wasiat Sufi yang berlainan coraknya, se
bagaimana yang pernah diucapkan oleh A l i bin A b i Thalib : "Ketahui-
lah bahwa dunia beralih ke belakang, sedang akhirat bergerak ke de-
pan. Baik dunia maupun akhirat memiliki anaknya. Berusaha agar
engkau menjadi anak akhirat, bukan anak dunia. Bukankah orang-
orang yang gemar kepada dunia menjadikan bumi itu permadaninya,
tanah menjadi tikar dan air untuk penyegar dirinya? Bukankah orang
yang rindu kepada syorga harus berkorban meninggalkan hawa nafsu-
nya, orang yang ingin memelihara dirinya dari api neraka harus menge-
kang diri dibandingkan segala perbuatan yang haram, dan oleh sebab itu
orang yang ingin membelakangi dunia ini dan hidup zahid, pasti harus
dapat menderita segala percobaan yang akan menghindarkan dia dan
menyelubunginya dalam dunia". Meskipun dari dua orang ahli pepe-
rangan, namun wasiat yang mereka ucapkan berbeda antara satu sama
lain. Wasiat A l i bin A b i Thalib hendak membawa manusia itu kepada
membersihkan jiwanya, memperbaiki hatinya, membawa menyendiri
dibandingkan dunia yang fana, dan membawa merasakan kegemaran kepa
da akhirat yang baqa.
101
Tatkala Ibn Sirin ditanya orang, manakah adab yang lebih dekat
dan lebih halus terhadap Allah , maka ia menjawab hendaklah menge
nai Allah nya dengan sebaik-baiknya, hendaklah beramal seta'at-ta'at-
nya, hendaklah bersyukur kepadanya pada waktu senang, dan tetap
bersabar pada waktu susah. Junaid selalu memulai wasiatnya dengan
menyebutkan nama Allah dan mengajak takut kepadanya dan isinya
biasanya ditujukan kepada dua hal, pertama menyuruh memperbesar
belas kasihan sesama manusia dan kedua memperkeras tindakan terha
dap perbaikan jiwa dan diri sendiri. Abu Sa'id Al-Ghazali selalu mem-
pergunakan kata-kata : 'Tngatlah wasiatku ini , wahai murid-muridku!
Berharaplah akan mendapat pahala dari Al lah . Kejahatan akan dikem-
balikan kepada dirimu, hilangkanlah dia dengan ta'at, matikanlah dia
dengan kebajikan, potonglah dia dengan tidak mengharapkan sesuatu
dari selain Al lah , basmilah dia dengan rasa malu terhadap Allah , kare
na Allah itu pelindung! Berlomba-lombalah berbuat semua kebajikan,
yang kamu kerjakan dalam segala tingkatan hidupmu, meskipun hati-
mu merasa takut menerimanya". Sementara Zun Nun selalu mengucap-
kan perbandingan dalam wasiat, misalnya : "Wahai saudaraku, keta-
huilah bahwa tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dibandingkan Islam, tak
ada kemurahan lebih indah dibandingkan taqwa, tidak ada akal yang dapat
menyamai dibandingkan kesalihan, tidak ada bantuan yang lebih manfa'at
dibandingkan taubat, tidak ada pakaian yang lebih hebat dari kesehatan,
tidak ada perlindungan yang lebih aman dibandingkan keselamatan, dan
tidak ada perbendaharaan yang lebih kaya dibandingkan merendah diri, be
gitu juga tidak ada harta yang lebih berharga dibandingkan kerelaan dengan
makananmu apa yang ada! Ingatlah bahwa orang yang dapat menahan
diri dari meminta-minta, sebenarnya ia membina kesenangan tiap-tiap
kegemaran menciptakan kelelahan hidup, tiap keserakahan akhirnya
membawa kepada onggokan dosa, tiap sikap pelahap menjatuhkan ma
nusia kepada suasana hina yang keji, tiap tama' membuahkan dusta,
tiap keinginan membuahkaa sesalan, tiap harapan menimbulkan peno-
lakan, dan tiap untung serta keuntungan membawa manusia kepada
kerugian adanya".
2. W A S I L A H D A N R A B I T H A H .
Wasilah atau tawassul acapkali juga kita dengar dalam ilmu Sufi.
102
Istilah ini , yang kemudian memiliki arti yang tertentu, pada mula-
nya hampir dapat diterjemahkan dengan penghubung atau hubungan,
khususnya hubungan dengan guru.
Yang dijadikan alasan terpokok untuk wasilah ini ialah ayat Qur
'an yang menerangkan : "Tuntut olehmu kepadanya akan wasilah"
(Qur'an V : 35). Kemudian diambil pula perbandingan dari kisah Nabi
Mi'raj ke langit menemui Allah nya yang diantarkan oleh Malaikat
Jibrail. Pengantaran ini dianggap wasilah, sehingga dalam kalangan
ahli tarekat cerita ini lebih terkenal dengan kata-kata : Nabi Muham
mad Mi ' raj hendak bertemu dengan Allah berwasilah. kepada Malai
kat Jibrail. Sesampai pada Sidratul Muntaha Malaikat Jibrail diting
galkan di situ, sebab Nabi ketika itu hendak masuk ke dalam laut
ma'rifatullah, musyahadah akan Al lah , yang bersifat laisa kamislihi
syai'un, yang tidak dapat diumpamakan dengan sesuatu benda apa
pun juga.
Di sini ahli tarekat mengambil ibarat, bahwa mereka pun ada baik-
nya jika berwasilah kepada guru atau kepada pengajar pada waktu ber-
ibadah kepada Al lah . Lalu istilah wasilah itu beroleh arti yang khusus
baginya yaitu jalan yang menyampaikan hambanya kepada Al lah . Ta
rekat Naksyabandiyah mengartikan hakikat wasilah itu tabaruk atau
mengambil berkat, sebagaimana yang dikerjakan oleh murid-murid
tarekat sebelum melakukan zikir. Misalnya murid tarekat itu berdo'a :
" Y a , Al lah! A k u pinta pada-Mu dengan berkat Rasulullah dan de
ngan berkat guruku, agar Engkau memberikan daku ma'rifat dan cin
ta kasih hatiku kepada-Mu".
Dalam hal ini tarekat berpegang pada sebuah Hadis yang diriwa
yatkan oleh Bukhari, yang menceriterakan bahwa Sayyidina Umar Ibn
Khattab ketika musim kemarau, waktu kekurangan air, meminta hu-
jan dan do'anya dimulai dengan minta berkat Abbas bin Abdul M u -
thalib demikian : " Y a , Allah ku! Kami dahulu selalu berdo'a kepa
da-Mu dengan berkat Nabi Engkau, sekarang kami tawassul dengan
bapak kecil N a b i " . Lalu hujan pun turunlah. Hadis ini ada da
lam Sahih Bukhari, halaman 123, dalam kitab Sublus Salam, jil id II,
halaman 134, dan kitab Nailul Authar, ji l id II, halaman 6.
Hal ini menyatakan bagi ahli tarekat bahwa Sayyidina Umar pun
berdo'a memakai wasilah Nabi dan sesudah Nabi wafat dengan wasi-
103
lah Abbas bin Abdul Muthalib. Dengan demikian tawassul itu tidak
hanya tertentu dengan Nabi saja, bahkan boleh juga dengan Sahabat-
Sahabat Nabi, wali-wali dan ulama-ulama, sebab ulama-ulama itu
yaitu warisan para Nabi-Nabi (Hadis Bukhari dan Muslim).
Mengenai rabithah, yang artinya hubungan atau ikatan, kita da
pat keterangan pengertiannya dalam tarekat terbagi tiga : pertama ra
bithah wajib, kedua rabithah sunnat dan ketiga rabithah harus.
Adapun rabithah wajib yaitu seperti yang ada pada waktu
orang sembahyang menghadap kepada Baitullah. Menghadapkan dada
dan muka ke Baitullah itu wajib hukumnya sebab tidak sah sembah
yang jika tidak menghadap ke Ka'bah itu, pada hal yang disembah
bukanlah Ka'bah yang dihadapi itu, namun Allah semata-mata. Ka'bah
hanya menjadi rabithah wajib.
Yang kedua rabithah sunnat namanya, seperti yang ada pada
seseorang ma'mum, yang harus memandang kepada imamnya dalam
bersembahyang berjama'ah. Sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa ber-
paling dibandingkan menyembah Allah dalam sembahyang. Baik ma'mum
maupun imam kedua-duanya bersama-sama menyembah Al lah .
Ada sebuah cerita mengenai sembahyang berjama'ah di masa Na
bi, yang diimami oleh Rasulullah sendiri. Orang kafir menuduh bahwa
orang Islam itu menyembah Nabi Muhammad, sebab dilihat orang
gerak dan diamnya dalam sembahyang. Orang Islam menjawab : " K a
mi tidak menyembah Nabi Muhammad. Yang kami sembah hanya
Al lah . Hanya bersama-sama Nabi Muhammad". Maka rabithah yang
ada dalam sembahyang berjama'ah ini, ialah rabithah sunnat na
manya.
Kemudian mengenai rabithah yang ketiga, yaitu rabithah harus,
diterangkan seperti melihat barang-barang yang baik pada waktu kita
hendak mengerjakan sesuatu barang agar baik pula. Dalam kata se-
hari-hari : meniru mengikuti yang baik-baik. Mur id diibaratkan orang
buta yang harus mengikuti gurunya yang matanya jelas melihat. Yang
dikatakan guru yang mursyid yaitu orang yang telah karam dalam laut
muraqabah dan musyahadah berkekalan akan Allah nya. Murid-murid
tarekat yang hendak mengambil rabithah diwajibkan mengetahui bekas
yang majazi dan bekas yang hakiki, dan faham pula ma'na wahdaniat
yang mengandung tiga perkataan, pertama tidak terbilang zat Allah,
104
kedua tidak terbilang sifat Allah dan ketiga tidak memberi bekas segala
perbuatan makhluk pada hakikat pekerjaan la haw la wa la quwata illa
billah, tidak ada daya upaya melainkan dengan kehendak Allah.
Hakikat rabithah pada ahli tarekat ialah bersahabat atau sebanyak
mungkin beserta dengan mursyid, dengan guru yang pandai-pandai,
yang hatinya selalu ingat kepada Allah, melihat kepada orang-orang
yang demikian atau kasih sayang kepada orang-orang itu, tidaklah di-
maksudkan memperhambakan diri kepadanya atau memperserikatkan
dia dengan Al lah .
namun ada tarekat-tarekat yang mengartikan rabithah itu meng-
gambarkan rupa guru dalam kehendaknya kepada Allah.
3. MU'JIZAT DAN KERAMAT.
Orang-orang Sufi itu yakin, bahwa wali-wali itu memiliki ke-
istimewaan, kelihatan pada dirinya keadaan yang aneh-aneh. Pada saat
tertentu mereka dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat diperbuat
oleh manusia biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang luar biasa ini dinamakan
keramat. Perkataan keramat dalam pengertian ini sudah umum diketa-
hui orang dan dipakai di Indonesia, terutama untuk orang-orang yang
sudah wafat, yang menurut sejarah pada waktu hidupnya menunjukkan
beberapa keanehan, dan pada waktu matinya banyak niat-niat orang
yang diucapkan dengan menggunakan namanya, konon banyak terka-
bul dan berhasil. Dengan demikian terdapatlah di sana-sini beberapa
banyak kuburan orang-orang keramat itu, yang dikunjungi orang pada
waktu-waktu tertentu, baik dia dianggap wali maupun orang biasa.
Perkataan keramat terambil dari bahasa Arab Karamah, yang ber
arti tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan pengertian mulia dan tinggi
budi. namun dalam pengertian Sufi, yang kemudian diikuti oleh umum
di Indonesia, keramat itu memiliki pengertian seperti yang kita se-
butkan di atas, terutama terjadi dalam kalangan orang-orang yang hi
dupnya Sufi. Lalu kita dapati arti keramat itu dalam kitab-kitab tasaw
wuf, suatu pekerjaan yang luar biasa, pekerjaan atau keadaan di luar
akal manusia, dengan keterangan bahwa keramat itu tidak harus diarti-
kan berpilin dengan nubuwah, tidak pula yaitu tanda-tanda pen-
dahuluan dibandingkan nubuwah itu. Keramat bisa saja lahir pada seorang
105
hamba Allah yang biasa, yang saleh, yang tetap mengikut syari'at Nabi,
bersih i'tikadnya, dan mengerjakan segala ibadat dan amal saleh. Per-
bedaan dengan Nabi, bahwa orang-orang yang keramat itu tidak ma'-
sum, terpelihara dibandingkan segala pekerjaan jahat, sebab sifat ini hanya
dikhususkan kepada Nabi saja. namun j ika kita perhatikan cara-cara
orang-orang Sufi menerangkan maksud perkataan ini, agak sukar me-
narik suatu garis yang tegas antara ma'sum bagi Nabi dan mahfuz bagi
wali-wali, yang artinya juga terpelihara dibandingkan segala perbuatan yang
ma'siat. namun ada kitab Sufi yang menambahkan keterangan, bahwa
mahfuz itu pada asalnya tidak mengerjakan perbuatan yang ma'siat,
namun jika terkerjakan juga, maka wali-wali itu segera menyesal dan
taubat dengan sesempurna-sempurnanya.
Adapun orang-orang yang tetap berulang-ulang mengerjakan ma'
siat itu tidaklah dapat dinamakan mahfuz, dan tidaklah termasuk go
longan wali-wali dan orang keramat itu.
Kejadian keramat pada wali-wali itu menurut orang Sufi bukanlah
suatu pekerjaan yang mustahil dalam kekuasaan Allah , sebab ia ter
masuk barang yang mungkin, seperti mu'jizat Nabi-Nabi juga. Oleh
sebab itu kejadian ini tidak pernah disangkal oleh salah satu dari
pada empat mazhab Ahl i Sunnah, terutama tanda-tanda keramat se
sudah mati, sebab tanda keramat sesudah mati ini lebih baik sebab ter-
bebas dibandingkan purbasangka. sebab itu ada orang berkata, bahwa se
orang wali yang tidak lahir keramatnya sesudah mati, sebagaimana per
nah terjadi di kala hidupnya, maka keramatnya itu tidak benar. Bebe
rapa Syeikh tarekat pernah menerangkan, bahwa Allah menempatkan
sebagai wakilnya pada tiap-tiap kubur wali seorang malaikat, yang
akan melaksanakan segala keperluan dan hajat orang, bahkan sekali-
kali wali itu sendiri keluar dari kuburnya untuk menyempurnakan hajat
orang itu.
Ceritera-ceritera mengenai kekeramatan wali-wali itu biasanya da
pat didengar pada penunggu-penunggu kuburan, pada keluarga dan
muridnya, atau dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya yang biasa di
sebut manaqib, seperti manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani dan mana-
qib Syeikh Samman.
Dalam mempertahankan pengertian ini kitab-kitab Sufi biasanya
membawa kita kepada ceritera Nabi-Nabi dan orang-orang yang telah
106
beroleh kebahagiaan dalam hal ini . Diceriterakan tentang Maryam yang
melahirkan Isa dengan tidak berlaki, diceriterakan tentang Zakariya
yang selalu mendapat hidangan dari Allah , beroleh buah-buahan mu-
sim dingin dalam musim panas di rumahnya, buah-buahan musim pa-
nas dalam musim dingin, ceritera Asifwazir Nabi Sulaiman mengenai
istana Balqis, yang diangkat dan dipindahkan oleh tenteranya orang-
orang halus dari Yaman ke dalam kerajaan Nabi Sulaiman itu, begitu
juga uraian-uraian itu penuh dengan ceritera-ceritera Ashabul Kahfi,
yang lari dari tentara Romawi untuk menyelamatkan keyakinannya dan
bertapa dalam sebuah gua dengan tidak makan dan minum selama tiga
ratus sembilan tahun.
Terutama kejadian-kejadian yang aneh pada diri Nabi Muham
mad, sahabat-sahabatnya dan tabi'in, semuanya menjadi pembicaraan
yang menarik. Diceriterakan tentang khutbah Jum'at Khalifah Umar
yang ditujukan kepada Sariyah di balik gunung, berisi pertunjuk-per-
tunjuk perang, yang dapat didengar dengan jelas oleh Sariyah itu, beri-
ta-berita tentang Ibn Umar, yang dapat menjinakkan seekor Singa yang
galak di tengah jalan, kisah Hubaid, yang dalam tawanannya beroleh
buah anggur, sedang di tempat itu tak ada buah-buahan tersebut, do-
ngeng Abdullah bin Utbah, yang jika ia tidur di tengah padang pasir
datang awan memayunginya, begitu juga ceritera-ceritera yang aneh
tentang Salman Farisi dan Abu Darda' dl l .
Tentu orang bertanya, apakah keramat itu sama dengan sihir atau
sama dengan mu'jizat ?
Orang Sufi menjawab : Sihir acapkali terjadi dalam kalangan
orang-orang fasyiq, zindiq dan orang-orang kafir yang tidak percaya
kepada agama Allah . Adapun keramat ialah sesuatu keanehan yang
terjadi pada orang yang percaya kepada Allah dan mengerjakan sung-
guh-sungguh akan syari'atnya. Perbedaan antara keramat dan mu'jizat
sebenarnya tidak ada, hanya keramat terjadi pada waliyullah biasa, dan
mu'jizat terjadi pada Nabi-Nabi, sebab Nabi-Nabi dan Rasul itu me-
merlukannya untuk melancarkan siaran agamanya dan menanamkan
kepercayaan kepada ummat yang dihadapinya. Sementara Nabi-Nabi
wajib melahirkan mu'jizatnya untuk meyakinkan kenabiannya kepada
sesuatu ummat, wali-wali tidaklah diwajibkan yang demikian itu, kare
na ia hanya menyampaikan seruan-seruan Nabi saja kepada manusia
107
sekitarnya, dengan keterangan-keterangan yang sudah diber ikan oleh
A l l a h da lam f i rman-Nya , oleh N a b i dengan Sunnahnya . M a k a keba-
nyakan wal i -wal i i tu merahasiakan keist imewaan, keramat, yang diper-
olehnya sebab ketha'atan mereka kepada T u h a n dan kesungguhan
mereka dalam menjauhkan d i r i dari segala ma'siat dan hawa nafsu.
Banyak lah macam ceritera-ceritera yang k i t a dengar tentang kera
mat i tu , misalnya ada yang melihat cahaya naik ke langit dar i kubur
seorang wal i yang sudah wafat, ada yang mendengar suara orang ber
z ik i r dan mengaji , mendengar tabuhan rebana, ada yang mendapati
barang-barang yang tertentu, atau bis ikan-bis ikan yang memberikan
pertunjuk dan menguntungkan. Bahkan ada ceritera-ceritera 'yang me
nerangkan, bahwa ada orang berbuat mesum dekat kuburan wal i yang
beroleh kecelakaan, ada orang yang bersumpah palsu menderita akibat
kepalsuannya dengan t iba-t iba, dsb.
B a h k a n pada waktu seseorang masih hidup pun ada yang menga-
lami keanehan-keanehah i tu , misalnya bertemu dengan ma lam La i l a tu l -
Qadr da lam bulan Ramadhan , dengan kayu sujud, yang menyebabkan
orang itu berbahagia, menciptakan sesuatu benda menjadi benda yang
la in , seperti tanah menjadi beras atau emas, berpindah tempat dengan
sekejap mata, berjalan di atas air, wal i dari Jawa sembahyang Jum'a t
di M e k k a h dalam M e s j i d i l H a r a m dengan perjalanan beberapa detik,
begitu juga k o n o n ia menghadiahkan d i sana dur ian kepada gurunya,
yang menjadikan ta ' jub orang-orang d i M e k k a h i tu . A d a wal i yang d i
anggap sesat dengan i l m u ghaibnya, la lu d ibunuh , kemudian darahnya
berzikir atau mengalir menul iskan ka l imah syahadah, seperti yang per
nah terjadi pada d i r i Syeikh Sitti Jenar atau H a m z a h Fansur i di Indone
sia, yang terjadi pada Hal la j d l l . t okoh suci Suf i d i mana-mana.
Semua ceritera keanehan i tu dapat didengar dari mur id atau pen-
cinta orang-orang yang dianggap wali i tu , atau dar i penunggu-penung-
gu kuburan , yang kesemuanya menebalkan keyakinan orang tentang
keramat i tu .
Ibn Jauzi mengupas soal keramat i tu panjang lebar da lam ki tabnya
" T a l b i s I b l i s " (Mesi r , 1928 M ) dan menyerang habis-habisan terhadap
keyakinan yang dianggapnya takhayul dan b i d ' a h , sementara Ashbaha -
ni da lam karangannya yang ber j i l id- j i l id besar, bernama "Hilliyatul
Aulia" (Mesi r , 1932) mengemukakan alasan-alasan dan ceritera-ceritera
108
tentang keanehan beratus-ratus wali-wali sejak dari zaman Nabi Mu
hammad.
Ibn Jauzi menceriterakan, bagaimana setan dapat mempengaruhi
Haris Al-Kazzab, yang tiap ia beribadat berubah bajunya menjadi
emas, dan kemudian mengaku menjadi Nabi, sehingga ia dibunuh atas
kekufurannya, bagaimana Ibrahim Khurasani yang pada suatu hari se
dang berwudhu mendapati dengan tiba-tiba embernya berubah menjadi
permata, siwak giginya menjadi perak yang ujungnya lembut sebagai
benang sutra, bagaimana Saramqani mendapati roti dengan ayam pang
gang serta manisan gula di tempat sembahyangnya, sedang langgarnya
itu terkunci rapat, bagaimana Zuhruan berbicara dengan burung, begi
tu juga bagaimana Umar bin Wasil dan Sahal bin Abdullah melihat ke
anehan empat puluh orang wali dekat Mekkah memetik buah delima
yang keluar dengan tiba-tiba pada sebuah pohon yang kering, dll . ceri
tera yang aneh-aneh, yang oleh Ibn Jauzi dikecam satu persatu dan di-
tentang kemungkinannya. Ia menceriterakan bahwa wali-wali yang be
nar, merahasiakan kekeramatan itu. Lihatlah, katanya, Rabi'ah A l -
Adawiyah sebagai contoh. Pada suatu hari datang Zulfah menanyakan
kepadanya, mengapa ia tidak ingin mengizinkan orang-orang masuk ke
dalam kamar khalwatnya. Jawab Adawiyah : " A k u tidak ingin manu
sia itu menceriterakan tentang keadaanku yang tidak kukerjakan, se
perti aku beroleh uang emas di bawah tikar sembahyangku dan periuk-
ku menanak nasi dengan tidak berapi. A k u takut mereka menyiarkan
tentang sekalian i t u" . Tatkala Zulfah mengatakan bahwa menurut ceri
tera orang bibinya itu selalu menerima makanan dan minuman secara
tidak ketahuan darimana, Adawiyah menjawab : "Wahai , kemenakan-
ku! Jikalau aku mendapati sesuatu pada tempat tinggalku, tidaklah aku
menyentuhnya dan merabanya". Qurasyi menceriterakan dari Zulfah,
bahwa pada suatu pagi yang sangat dingin Adawiyah ingin membuka
puasanya dengan makanan, namun ia hanya memiliki minyak saja
dan tidak ada bumbu yang lain. Tatkala Zulfah mengeluh ingin menda
pat bawang dan sayur-sayuran, datanglah seekor burung yang menja-
tuhkan bawang dari paruhnya, sehingga dapatlah Zulfah menyiapkan
makanan yang dikehendaki bibinya. Rabi'ah Adawiyah tatkala melihat
keadaan itu, timbullah rasa takut kalau-kalau hadiah yang demikian itu
datang dari setan. Ceritera yang lain mengenai Abu Hafas Nisaburi,
yang dengan tiba-tiba datang ke depannya seekor kambihg, sedang ia
109
berada dengan muridnya. Lalu ia menangis, dan tatkala ditanyakan,
mengapa ia menangis, ia menjawab khawatir kalau-kalau pemberian itu
seperti pemberian Allah kepada Fir 'aun.
Ghazali pernah membicarakan perkara mu'jizat, keramat dan sihir
dengan panjang lebar. Ghazali tidak melihat ada perbedaan dalam ke
jadian antara mu'jizat, sihir dan keramat, perbedaannya kejadian pada
Nabi dan wali-wali itu ialah sebab perjalanan hidupnya yang baik, se
dang pada tukang sihir sebaliknya.
4. WALI DAN QUTUB.
Dalam pelajaran Islam biasa wali dinamakan seseorang yang tinggi
kedudukannya dalam pandangan Allah sebab kehidupannya yang
murni dan amalnya yang salih, yang dilakukannya dengan tulus ikhlas
sepanjang ajaran Allah dan Rasulnya. namun dalam kalangan Sufi pe
ngertian wali lebih dari itu, wali yaitu hamba dan kecintaan Tu
han yang luar biasa, kekasih Allah yang diberi kedudukan istimewa
dalam kalangan hambanya, kadang-kadang menjadi perantaraan anta
ra manusia biasa dengan Allah , tawassul, sebagaimana acapkali mere
ka menjadikan Nabi Muhammad atau salah seorang sahabatnya men
jadi penghubung dengan Allah dalam menyampaikan sesuatu permin-
taan dan hajat. Ibn Arabi membayangkan dalam ajarannya, hampir-
hampir tak ada pembedaan antara Rasul Allah dengan walinya, pada-
nya hanya berbeda bahwa Rasul itu diistimewakan pula dengan syari'at
dan peraturan-peraturan Allah yang harus disampaikan kepada manu
sia.
Ghazali menerangkan, bahwa baik bagi Nabi-Nabi atau wali-wali,
sebab keistimewaannya terbuka dan jelaslah baginya segala sesuatu,
hati mereka itu penuh dengan cahaya, tidak dengan pelajaran dan tun-
tutan ilmu pengetahuan, namun sebab zuhud di dunia, sebab telah ter-
bebas dari ikatan dengan dunia itu, dengan demikian hatinya telah
hampa dari kesibukan dunia, telah bersedia menerima segala ilham Tu
han. Maka barang siapa yang dirinya telah teruntuk bagi Allah , nisca-
ya Allah itu pun teruntuk baginya. Lebar panjang Ghazali mengurai-