ilmu tarekat mistik 3

Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 3. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ilmu tarekat mistik 3. Tampilkan semua postingan

Senin, 10 Februari 2025

ilmu tarekat mistik 3



 segera harus 

ditegurnya, namun  ia yaitu  pemimpin kerohanian yang tinggi seka­

li kedudukannya dalam tarekat itu. la yaitu  perantaraan dalam 

ibadat antara murid dan Allah . Demikian keyakinan yang ada 

-fOiU ,i\£>M~i./\ rrtfifnl B}fjj(i3cl . I S O S O jsnjsv B'/nnfwiiDjujrioo (lijlTr'.iï? ijsvfïfj'"' 

dalam kalangan ahli-ahli tarekat itu. 

Oleh sebab  itu jabatan ini tidaklah dapat dipangku oleh semba-

rang orang, meskipun ia memiliki  lengkap pengetahuannya tentang 

sesuatu tarekat, namun  yang terpenting yaitu ia harus memiliki  ke-

bersihan rohani dan kehidupan bathin yang murni. Be; macam-macam 

nama yang tinggi diberikaa kepadanya menurut kedudukannya, misal­

nya nussak, orang yang mengerjakan segala amal dan perintah agama, 

ubbad, orang yang ahli dan ikhlas mengerjakan segala ibadat, mursyid, 

orang yang mengajar dan memberi contoh kepada murid-muridnya, 

imam, pemimpin tidak saja dalam segala ibadat namun  dalam sesuatu 

aliran keyakinan, syeikh, kepala dari kumpulan tarekat, dan kadang-

kadang dinamakan juga dengan nama kehormatan sadah yang artinya 

penghulu atau orang yang dihormati dan diberi kekuasaan penuh. 

Menurut kitab "Tanwirul Qulub fi mu'amalatil Hmil ghuyub" 

(Mesir, 1343 H.) yang dikarang oleh seorang penganut tarekat Naqsya-

bandiyah, Syeikh Muhammad Amin Al -Kurd i , dari mazhab Syafi 'i , 

yang dinamakan Syeikh itu ialah orang yang sudah mencapai maqam 

rijalul kamal, seorang yang sudah sempurna suluknya dalam ilmu sya­

ri'at dan hakikat menurut Qur'an, Sunnah dan ijama', dan yang demi­

kian itu baru terjadi sesudah sempurna pengajarannya dari seorang 

mursyid, yang sudah sampai kepada makam yang tinggi itu, dari ting­

kat ke tingkat hingga kepada Nabi kita Muhammad saw dan kepada 

Allah SWT dengan melakukan kesungguhan, ikatan-ikatan janji dan 

79 

wasiat, dan memperoleh izin dan ijazah, untuk menyampaikan ajaran-

ajaran suluk itu kepada orang lain. Jadi seorang Syeikh yang diakui itu 

sebenarnya tidaklah boleh dari seorang yang jahil, yang hanya ingin 

menduduki tempat itu sebab  dorongan nafsunya belaka. Maka Syeikh 

yang arif, yang memiliki  sifat-sifat dan kesungguhan-kesungguhan 

seperti yang disebutkan itu, itulah yang dibolehkan memimpin sesuatu 

tarekat, Syeikh yang yaitu  penghubung dan wasilah antara mu­

rid-muridnya dan Allah nya, yaitu  pintu yang harus dilalui mu­

rid menuju kepada Allah nya itu. Seorang Syeikh yang belum pernah 

memiliki  mursyid, kata Al -Kurd i , maka mursyidnya itu ialah syetan, 

tidak boleh tampil ke muka dan memberikan petunjuk-petunjuk kepa­

da muridnya, irsyad, kecuali sesudah beroleh pendidikan yang sempur­

na dan mendapat izin atau ijazah dari gurunya yang berhak dan mem­

punyai silsilah pendidikannya yang benar. Berkata Imam Ar-Razi , bah­

wa seorang Syeikh yang tidak berijazah, dalam pengajarannya akan 

lebih merusakkan dibandingkan  memperbaiki, dan dosanya sama dengan 

dosa seorang perampok, sebab  ia menceraikan murid-murid yang be­

nar dengan pemimpin-pemimpinnya yang arif. 

Dengan demikian seorang mursyid memiliki  tanggung jawab 

yang berat. Pertama ia harus alim dan ahli dalam memberikan tuntun-

an-tuntunan kepada murid-muridnya dalam ilmu fiqh, aqa'id dan tau-

hid, dengan pengetahuan yang dapat menyingkirkan segala purba sang-

ka dan keragu-raguan dibandingkan  murid-muridnya mengenai persoalan 

itu. Kedua bahwa ia mengenai atau arif dengan segala sifat-sifat kesem-

purnaan hati, segala adab-adabnya, segala kegelisahan jiwa dan penya-

kitnya, begitu juga mengetahui cara menyehatkannya kembali serta 

memperbaikinya sebagai semula. Ketiga bahwa ia memiliki  belas 

kasihan terhadap orang Islam, khusus terhadap murid-muridnya. Apa­

bila ia melihat, ada di antara mereka yang tidak dapat dengan segera 

meninggalkan kekurangan-kekurangan jiwanya sehingga belum dapat 

menghindarkan diri dibandingkan  kebiasaan-kebiasaannya yang tidak baik, 

maka ia bersabar, memperbanyak ma'af dan mengulangi nasehat-nase-

hatnya dengan tidak bosan-bosan, tidak dengan segera memutuskan 

hubungan murid itu dalam tarekatnya. Segala kesalahan-kesalahan itu 

jangan sedikit jua pun mengalirkan akibat kepada kesukaran-kesukaran 

yang lain. Dengan penuh lemah-lembut seorang mursyid selalu sedia 

memberikan petunjuk-petunjuk kepada murid-murid yang diasuhnya. 

80 

Keempat mursyid itu hendaklah pandai menyimpan rahasia murid-

muridnya, tidak membuka kebaikan mereka terutama di depan mata 

umum, namun  sebaliknya mengawasi dengan pandangan Sufinya yang 

tajam serta memperbaikinya dengan cara yang sangat bijaksana. Ke-

iirna bahwa ia tidak menyalahgunakan amanah muridnya, tidak mem-

pergunakan harta benda murid-muridnya itu dalam bentuk dan pada 

kesempatan apa pun juga, begitu juga tidak boleh menginginkan apa 

yang ada pada mereka. Keenam bahwa ia tidak sekali-kali menyuruh 

atau memerintah murid-muridnya itu dengan suatu perintah, kecuali 

j ika yang demikian itu layak dan pantas juga dikerjakan olehnya sendi­

ri , demikian juga dalam melarang segala macam perbuatan, dalam me­

lakukan segala ibadat yang sunnat atau menjauhkan segala perbuatan 

yang makruh, pendeknya dalam segala keadaan ahwal dan dalam sega­

la perasaan azwaq, dirinyalah yang menjadi ukuran lebih dahulu, diri-

nyalah yang menjadi contoh lebih dahulu, kemudian barulah disalur-

kan kepada perintah atau larangan kepada murid-muridnya. Jika tidak 

demikian kesanggupannya, hendaklah ia diam, jangan berbicara ten­

tang keadaan jiwa dan usaha dengan murid-muridnya. Ketujuh bahwa 

seorang mursyid hendaklah ingat sungguh-si ngguh, tidak terlalu ba­

nyak bergaul apalagi bercengkerama bersenda-gurau dengan murid-

muridnya. Ia hanya bergaul dengan murid-muridnya sekali sehari dan 

semalam, dalam melaksanakan zikir-zikir dan wirid-wirid, pada kesem­

patan mana ia menyampaikan beberapa petun,uk mengenai syari'at dan 

tarekat, mempergunakan kitab-kitab yang bak untuk tuntunan aliran-

nya, sehingga dengan demikian ia dapat men^hindarkan segala keragu-

raguan, dan memimpin murid-muridnya itu beribadat kepada Allah  

dengan amalan-amalan yang sah. 

Kedelapan ia mengusahakan segala ucapan bersih dari pengaruh 

nafsu dan keinginan, terutama tentang ucapan-ucapan yang pada pen-

dapatnya akan memberi bekas kepada kehidupan bathin murid-murid­

nya itu. Kesembilan seorang mursyid yang jijaksana selalu berlapang 

dada, ikhlas, tidak ingin memberi perintah kepada seseorang murid itu 

apa yang tidak sanggup, tidak memerintahkm sesuatu amal yang keli­

hatan kurang digemar atau disanggupinya. Ia selalu bermurah hati da­

lam mengajarkannya. Kesepuluh apabila ia melihat ada seorang murid, 

yang sebab  selalu bersama-sama dan berhubungan dia, memperlihat-

kan kebesaran dan ketinggian hatinya, makïi segera ia memerintah mu-

81 

rid itu pergi berkhalwat pada suatu tempat yang tidak jauh, juga tidak 

terlalu dekat dengan mursyidnya itu. Kesebelas apabila ia melihat bah­

wa kehormatan terhadap dirinya sudah kurang dalam anggapan dan 

hati murid-muridnya, hendaklah ia mengambil siasat yang bijaksana 

untuk mencegah yang demikian itu, sebab  kepercayaan dan kehor­

matan yang berkurang itu, yaitu  musuh terbesar baginya. 

Kedua belas jangan dilupakan olehnya memberi petunjuk-petunjuk 

tertentu dan pada waktu-waktu tertentu kepada murid-muridnya untuk 

memperbaiki hal mereka. Ketiga belas sesuatu yang harus mendapat 

perhatiannya yang penuh ialah kebangsaan rohani yang sewaktu-waktu 

timbul pada muridnya yang masih dalam didikan. Kadang-kadang 

murid itu menceritakan kepadanya tentang sesuatu ru'yah yang dilihat-

nya, mukasyafah yang terbuka baginya, dan musyadah yang dihadapi-

nya, yang di dalamnya ada perkara-perkara yang istimewa, maka 

hendaklah ia berdiam diri, jangan banyak berbicara tentang itu. Seba-

liknya hendaklah ia memberikan amal lebih banyak yang dapat meno-

lak sesuatu yang tidak benar, dan dengan itu ia mengangkat muridnya 

ke tingkat yang lebih tinggi dan lebih mulia. Sebab apabila mursyid itu 

berbicara tentang hal-hal aneh tersebut, ditakuti akan terjadi sesuatu 

yang merusakkan bagi murid itu, sebab  memang gampang seseorang 

melihat dirinya meningkat, namun  kadang-kadang hal yang tidak benar 

segera menjatuhkan martabatnya. Keempat belas ia melarang murid-

muridnya banyak berbicara dengan teman temannya, kecuali dalam 

hal-hal yang penting, terutama harus dilarang murid-murid itu berbi­

cara dengan teman-temannya tentang keramat dan wirid-wirid yang is­

timewa, sebab  jikalau ia membiarkan yang demikian itu lambat-laun-

nya murid itu rusak sebab  ia meningkat dalam tekebur dan berbesar 

diri terhadap yang lain itu. 

Kelima belas ia menyediakan tempat berkhalwat, bagi perseorang-

an murid-muridnya, yang tidak dibolehkan masuk seorang pun dari­

pada anak-anaknya kecuali untuk keperluan khusus, begitu juga mur­

syid itu menyediakan sebuah tempat berkhalwat khusus untuk dirinya 

dengan sahabat-sahabatnya. 

Keenam belas hendaklah dijaga, agar muridnya tidak melihat sega­

la gerak-geriknya, tidak melihat tidurnya, tidak melihat cara makan 

dan minumnya, sebab  yang demikian itu sewaktu-waktu dapat mengu-

82 

rangi penghormatannya terhadap Syeikh, dan mengetahui sampai di 

mana kesempurnaannya, lalu dibawa berceritera dan menggunjingkan 

hal itu untuk kemaslahatan sesama murid. Ketujuh belas ia mencegah 

muridnya memperbanyak makan, sebab  banyak makan itu melambat-

kan tercapainya latihan-latihan yang diberikan mursyidnya itu. Keba-

nyakan manusia itu yaitu budak bagi kepentingan perutnya. Kedela-

pan belas melarang murid-muridnya berhubungan dengan Syeikh tare­

kat lain, sebab  acapkali yang demikian itu memberikan akibat yang 

kurang baik bagi muridnya. namun  apabila ia lihat kecintaan muridnya 

sebab  pergaulan itu tidak berkurang terhadap dirinya, dan tidak di-

khawatirkan terguncang pendirian muridnya itu, maka yang demikian 

itu tidak mengapa. 

Kesembilan belas ia melarang murid-muridnya pulang-balik kepa­

da raja-raja dan orang-orang besar dengan tidak ada keperluan yang 

tertentu, sebab  pergaulannya dapat membesarkan nafsu keduniaannya 

dan melupakan, bahwa ia sedang dididik berjalan ke akhirat. Kedua 

puluh mursyid itu selalu dalam khutbah-khutbahnya mempergunakan 

kata-kata dan cara-cara yang lemah-lemah yang dapat menawan hati 

dan fikiran, jangan sekali-kali khutbahnya itu mengandung kecaman 

atau ancaman, sebab  yang demikian itu dapat menjauhkan jiwa mu­

ridnya dibandingkan nya. 

Kedua puluh satu apabila seorang mengundangnya, maka ia mene-

rima undangan itu dengan penuh kehormatan dan penghargaan, begitu 

juga dengan rasa merendahkan diri. 

Kedua puluh dua apabila ia duduk di tengah-tengah muridnya, 

maka hendaklah ia duduk dengan tenang dan penuh sabar, jangan ba­

nyak menoleh ke kiri-kanan, jangan mengantuk atau tidur di tengah-

tengah mereka itu, jangan melunjurkan kakinya di tengah-tengah perte-

muan menutup matanya, merendahkan suaranya, menghindarkan sega­

la sifat-sifat yang tercela, sebab  apa yang dilakukannya itu semuanya 

akan dituruti oleh murid-muridnya, yang dianggap sebagai kelakuan-

kelakuan yang terpuji dan ditirunya. 

Kedua puluh tiga bahwa ia harus menjaga pada waktu seseorang 

muridnya datang menemui dia jangan memalingkan mukanya, meski-

pun pada waktu itu ia hendak melihat atau menoleh ke arah lain. Ia 

memanggil muridnya itu meskipun ternyata tidak ada sesuatu yang 

83 

akan ditanyakannya. Apabila ia datang kepada murid, hendaklah di-

jaga adab sopan-santun dan tingkah-lakunya dalam keadaan sebaik-

baiknya. Kedua puluh empat hendaklah ia suka bertanya tentang sese­

orang murid yang tidak hadir atau kelihatan serta memeriksa sebab-

sebab ia tidak hadir itu. Apa bila murid itu ternyata sakit, segeralah 

ia menengok, apabila murid itu memerlukan sesuatu, segeralah ia ber-

ikhtiar menolongnya, dan apabila ia ternyata uzur, hendaklah ia me-

nyuruh memanggil dan berkirim salam. 

Ghazali menyatakan, bahwa murid tak boleh tidak harus mem­

punyai syeikh (dalam bahasa Persia : Pir) yang memimpinnya. Sebab 

jalan iman yaitu samar, sedang jalan-jalan iblis banyak dan terang. 

Dan siapa yang tak memiliki  Syeikh sebagai penunjuk jalan, ia pas-

ti akan dituntun oleh iblis dalam perjalanannya. sebab  itu murid ha­

rus berpegang kepada syeikhnya, sebagaimana seorang buta di pinggir 

sungai berpegang kepada pemimpinnya, mempercayakan diri kepada­

nya, jangan menentangnya sedikit pun dan berjanji mengikutinya de­

ngan mutlak. Murid harus tahu, bahwa keuntungan yang didapatinya 

sebab  kekeliruan syeikhnya, apabila ia bersalah, lebih besar dibandingkan  

keuntungan yang diperolehnya dari kebenarannya sendiri, apabila ia 

benar. Demikian catatan Gibb dalam bukunya "Lintasan Sejarah 

Islam", terjemahan dalam bahasa Indonesia. 

5. MURID DAN MURAD. 

Pengikut sesuatu tarekat dinamakan Murid, yaitu orang yang 

menghendaki pengetahuan dan pertunjuk dalam segala amal ibadatnya. 

Murid-murid itu terdiri dibandingkan  laki-laki dan perempuan, baik masih 

belum dewasa maupun sudah lanjut umurnya. Murid-murid itu tidak 

hanya berkewajiban mempelajari segala sesuatu yang diajarkan atau 

melakukan segala sesuatu yang dilatihkan guru kepadanya, yang ber­

asal dibandingkan  ajaran-ajaran sesuatu tarekat, namun  harus patuh kepada 

beberapa adab dan akhlak, yang ditentukan untuknya, baik terhadap 

syeikhnya, baik terhadap kepada dirinya sendiri, maupun terhadap diri­

nya dan saudara-saudaranya setarekat serta orang-orang Islam yang 

lain. Segala sesuatu yang bertali dengan itu diperhatikan sungguh-sung-

guh oleh mursyid sesuatu tarekat, sebab  kepada kepribadian murid-

84 

muridnya itulah bergantung yang terutama berhasil atau tidaknya per-

jalanan suluk tarekat yang ditempuhnya. Pelajaran-pelajaran Sufi dan 

latihan-latihan tarekat akan kurang faedahnya, jika pelajaran dan latih­

an itu tidak berbekas kepada perubahan akhlak dan budi pekerti murid-

murid itu. 

I. Adab murid terhadap gurunya. 

Adab-adab murid yang harus diperhatikan terhadap gurunya se­

benarnya banyak sekali, namun  yang terutama dan yang terpenting ialah 

bahwa seorang murid tidak boleh sekali-kali menentang gurunya, seba-

liknya harus membesarkan kedudukan gurunya itu lahir dan bathin. Ia 

tidak boleh meremehkan, apalagi mencemoohkan, mengecam gurunya 

di depan dan di belakang. Salah satu yang harus diyakini ialah bahwa 

maksudnya itu hanya akan tercapai sebab  didikan dan asuhan guru­

nya, dan oleh sebab  itu jika pandangannya terpengaruh oleh pendapat 

guru-guru lain, maka yang demikian itu akan menjauhkan dia dibandingkan  

mursyidnya, dan akan tidaklah terlimpah atas percikan cahaya. Maka 

harus ia memperhatikan dengan sungguh-sungguh hal-hal yang ini 

di bawah ini. 

1. Pertama-tama ia harus menyerah diri sebulat-bulat dengan se-

penuh-penuhnya kepada gurunya, rela ia dengan segala apa yang diper-

buat oleh gurunya itu, yang dikhidmatinya dengan harta benda dan j i ­

wa raganya, dengan jalan demikian barulah terlahir iradah yang murni 

dan muhibbah, yang akan yaitu  penggerak dalam usahanya, me­

rupakan kebenaran dan keikhlasan yang tidak dapat dicapai kecuali de­

ngan jalan demikian. 

2. Tidak boleh sekali-kali seorang murid menentang atau rnenolak 

apa yang dikerjakan gurunya, meskipun pekerjaan itu pada lahirnya 

kelihatan termasuk haram. 1) Ia tidak boleh bertanya, apa sebab guru­

nya berbuat demikian, tidak boleh terguris dalam hatinya, mengapa pe-

kerjaannya belum jaya. Barang siapa yang ingin beroleh ajaran guru­

nya dengan sempurna, ia tidak rnenolak sesuatu apa pun juga dibandingkan -

nya. Dari seorang guru kadang-kadang kelihatan lukisan yang tercela 

1) Keadaan ini menjadi salah satu di antara sebab Pemerintah campur tangan dalam 

pengowasan dan tindakan mengenai gerakan mistik. 

85 

pada lahirnya, namun  kemudian kelihatan terpuji dalam bathinnya, se­

perti yang terjadi dengan Nabi Musa terhadap Nabi Khaidir. Oleh kare­

na itu salah seorang Sufi melukiskan kewajiban murid terhadap Syeikh­

nya dalam suatu sajak sebagai berikut. 

Engkau laksana mayat terlentang, 

Di depan gurumu terletak membentang, 

Dicuci dibalik laksana batang, 

Janganlah engkau berani menentang. 

Perintahnya jangan engkau elakkan, 

Meskipun haram seakan-akan, 

Tunduk dan tha'at diperintahkan, 

Engkau pasti ia cintakan. 

Biarkan semua perbuatannya, 

Meskipun berlainan dengan syara'nya, 

Kegelapan hati akan nyatanya, 

Bagimu akan jelas rahasianya. 

Ingatlah ceritera Khaidir dan Musa, 

Tentang pembunuhan anak desa, 

Musa seakan putus asa, 

Pada akhirnya ia terasa. 

Pada akhirnya jelaslah sudah, 

Tampak padanya secara mudah, 

Kekuasaan Allah tidak tertadah, 

Ilmunya luas tidak termadah. 

Demikian kira-kira isi syair Sufi mengenai ilmu Allah  yang meng-

atasi akal manusia, diilhamkan kepada siapa yang dikehendakinya, kita 

petik dari kitab "Tanwirul Qulub", karangan Muhammad Amvn A l -

Kurdi An-Naqsyabandi, yang sudah kita sebutkan di atas itu. 

3. Seorang murid tidak boleh memiliki  maksud berkumpul de­

ngan Syeikhnya untuk tujuan dunia dan akhirat, dengan tidak mene-

gaskan dan menandaskan kehendak kesatuan yang sebenar-benarnya, 

baik mengenai ihwal, maqam, fana, maupun baqa' dalam keesaan Tu-

86 

han, sebab  jika tidak demikian itu maka ia yaitu  seorang murid 

yang hanya menuntut kesempurnaan dirinya dan ihwalnya sendiri. 

4. Seorang murid tidak boleh meiepaskan ikhtiarnya sendiri dari 

ikhtiar Syeikhnya dalam segala pekerjaan, baik yaitu  keseluruhan 

atau bahagian-bahagian ibadat dan adat kebiasaan. Setengah dibandingkan  

tanda seorang murid yang benar, bahwa ia begitu tha'at kepada Syeikh­

nya, sehingga kalau Syeikhnya memerintahkan ia masuk ke dalam nya-

la api, ia mesti memasukinya, jikalau ia masuk tidak terbakar benarlah 

ia, j ika terbakar pasti ia dusta. 

5. Mur id tidak boleh mempergunjingkan sekali-kali keadaan 

Syeikhnya, sebab  yang demikian itu yaitu  pokok kebinasaan, 

yang biasanya banyak terjadi. Sebaliknya ia harus membaik sangka ke­

pada gurunya dalam tiap keadaan. 

6. Begitu juga murid itu memelihara Syeikhnya pada waktu ia ti­

dak ada, sebagaimana ia memelihara guru itu pada waktu ia hadir ber-

sama-sama, dèngan demikian selalu ia mengingat Syeikhnya itu pada 

tiap keadaan, baik dalam perjalanan maupun tidak dalam perjalanan, 

agar ia beroleh berkatnya. 

7. Seorang murid harus menganggap tiap berkat yang diperoleh-

nya, baik berkat dunia maupun berkat akhirat, disebabkan oleh berkat 

Syeikhnya itu. 

8. Ia tidak boleh menyembunyikan kepada gurunya sesuatu yang 

terjadi pada dirinya sendiri, mengenai ihwal, kekhawatiran, kejadian-

kejadian yang tertimpa atas dirinya, segala macam kasyaf dan keramat, 

yang dianugerahi Al lah sewaktu-waktu kepadanya, semuanya itu diceri­

terakan dengan terus terang kepada gurunya itu. 

9. Meskipun demikian tidaklah boleh seorang murid menafsirkan 

sendiri segala kejadian itu, segala mimpinya dan segala kasyaf yang ter-

buka kepadanya, apalagi memegangnya dengan keyakinan, sebaliknya 

ia menerangkan semua kepada Syeikhnya itu sambil menanti jawabnya 

dengan tidak usah menagih jawab itu secara mendesak. Jika ada se­

orang Syeikh lain bertanya kepada seorang murid tentang sesuatu ma-

salah, janganlah menjawab dengan segera masalah itu di depan guru­

nya. 

87 

10. Ia tidak boleh menyiarkan rahasia-rahasia gurunya, atau me-

ngadakan siaran-siaran yang lain tentang gurunya itu. 

11. Ia tidak boleh mengawini seorang wanita yang kelihatan disu-

kai oleh Syeikhnya hendak dinikahinya, begitu juga ia tidak boleh ka-

win dengan seorang perempuan bekas isteri gurunya, baik yang diting-

galkan cerai atau ditinggalkan mati. 

12. Seorang murid tidak boleh hanya mengeluarkan nasehat atau 

pandangan kepadanya gurunya, j ika gurunya mempercakapkan sesuatu 

pekerjaan yang hendak dikerjakannya, begitu juga ia tidak boleh me­

ninggalkan pekerjaan yang sedang dihadapi gurunya itu. Sebaliknya ia 

menyerahkan seluruh pikiran kepada gurunya dan menganggap bahwa 

gurunya itu meminta nasehat kepadanya hanya ditimbulkan kecintaan 

semata-mata. 

13. Apabila Syeikhnya tidak ada, maka ia mengunjungi keluarga­

nya dan berbuat baik dengan segala khidmat, sebab  pekerjaannya itu 

akan mengikat hati gurunya. 

14. Apabila seorang murid memandang dirinya dengan penuh 

ujub sebab  amalan-amalannya, atau memandang telah meningkat le­

bih baik dalam ihwalnya, maka segera hal itu diadukannya kepada gu­

runya, agar guru itu memberikan pertunjuk, bagaimana mengobati pe-

nyakitnya itu, j ika didiamkan perasaan itu nanti pasti akan tumbuh 

menjadi ria dan munafik dalam hatinya. 

15. Murid tidak boleh memberikan atau menjual kepada orang 

lain apa yang dihadiahkan oleh gurunya, meskipun gurunya itu meng-

izinkan menyerahkan pemberiannya itu kepada orang lain, sebab  di 

dalam pemberian guru itu tersembunyi air kefakiran yang dicari-cari 

dan yang mendekatkan dia kepada Al lah . 

16. Di antara adab-adab murid juga di dalam tarekat dan yang di­

anggap ihwalnya terbaik ialah, bahwa ia memberikan harta bendanya 

sebagai sedekah atas permintaan Syeikhnya, sebab  menurut ajaran, 

bahwa seorang murid dianggap sudah sempurna tha'at kepada Syeikh­

nya, yang kemudian dapat membawa dia kepada Allah nya, jika ia ber­

buat yang demikian itu, dengan lain perkataan mengurbankan untuk 

sedekah apa yang dicintainya. 

88 

17. Murid yang baik tidaklah menganggap ada sesuatu kekurang-

an pada Syeikhnya, meskipun ia melihat kekurangan itu terjadi dalam 

kehidupannya, seperti banyak tidur pada malam hari, kurang war'a dl l , 

sebab  kekurangan-kekurangan yang demikian itu kadang-kadang me­

mang ditakdirkan Al lah kepada Wali-Walinya dalam kelupaan dan 

kealpaan, yang tidak ada tatkala mereka sadar, dan apabila sadar 

sekalian itu akan dipenuhinya kembali. 

18. Harus diingat bahwa murid itu tidak boleh memperbanyak bi­

cara di depan Syeikhnya, harus ia ketahui waktu-waktu berbicara itu. 

Jika ia berbicara hendaklah dengan tegas, dengan adab, dengan khu-

syuk; dengan "khudu" , dengan tidak berlebihan dari apa yang perlu, 

Kemudian ia menanti jawabnya dengan tenang, j ika belum puas hanya 

ia bertanya kedua kalinya, sesudah itu terbataslah pertanyaannya itu. 

19. Tidak boleh sekali-kali di hadapan guru seorang murid berbi­

cara keras, sebab  bicara keras itu di hadapan orang-orang besar ter­

masuk laku yang tidak baik. Sebaliknya, ke-20, ia tidak boleh duduk 

bersimpuh di depannya, tidak boleh duduk di atas sajadah, namun  me-

milih tempat yang dapat menunjukkan laku merendah diri dan menge-

cilkan dirinya, seterusnya ia berkhidmat kepada Syeikhnya. Kata Sufi : 

"Khidmat pada sesuatu bangsa yaitu  amal saleh". Ke-21, cepat 

kaki ringan tangan mengenai segala apa yang diperintahkan oleh guru­

nya, tidak istirahat dan berhenti, sebelum pekerjaan itu selesai. 

Lain dibandingkan  yang ini di atas itu seorang murid harus meng-

ingat, bahwa ia menjauhkan diri dibandingkan  segala pekerjaan yang diben-

ci oleh Syeikhnya (22), tidak boleh bergaul dengan orang yang dibenci 

oleh Syeikhnya, namun  mencintai orang yang dicintainya (23). Ia harus 

sabar jika Syeikhnya belum memenuhi perrnintaannya, dan tidak boleh 

menggerutu dan memperbanding-bandingkan dirinya dengan orang lain 

dalam perlayanan Syeikhnya (24), tidak boleh duduk pada tempat yang 

disediakan bagi guru, tidak boleh enggan dan segan-segan terhadap se­

gala pekerjaan, tidak boleh berpergian, tidak boleh kawin, tidak boleh 

mengerjakan sesuatu pekerjaan penting kecuali dengan izinnya (25), 

tidak boleh menyampaikan kepada orang lain pekerjaan Syeikhnya ke­

cuali yang dapat dipahami mereka itu sekedar kekuatan akalnya (26), 

dan tidak menyampaikan salamnya melalui orang lain kepada Syeik-

nya, namun  kalau ada kesempatan menziarahinya sendiri (27). 

89 

II. Adab murid terhadap dirinya sendiri. 

Adab-adab murid yang harus diperhatikan untuk dirinya sendiri 

dalam kehidupan tarekat banyak sekali. namun  yang terpenting dan 

yang paling utama ialah bahwa ia meyakini Allah Ta'ala itu senantiasa 

melihat kepadanya dan mengawasi dia dalam segala tingkah-lakunya 

dan dalam segala keadaan. Oleh sebab  itu hendaklah ia selalu ingat 

kepadanya, baik sedang berjalan, baik sedang duduk, atau sedang si-

buk dengan salah satu pekerjaan, sebab  semua itu tidak dapat mence-

gah dia dibandingkan  zikir dan ingat kepada Allah nya, bahkan demikian 

rupa sehingga nama Allah  itu mengalir ke seluruh pojok dan liang-

liang hatinya. 

Lain dibandingkan  itu pertama, harus ia meninggalkan semua teman-

teman yang jahat, dan mencari serta mempergauli orang-orang yang 

baik. Nabi Musa beroleh wahyu dari Allah nya : "Jangan kamu ber­

gaul dengan ahli-hawa, mereka akan memberi bekas kepada hatimu 

yang tidak layak". Maka oleh sebab  itu bergaul dengan orang yang 

baik beroleh kebajikan, bergaul dengan orang yang jahat beroleh keja­

hatan. Seorang Sufi bersyair : 

Roh laksana angin lalu, 

Melalui athar menjadi wangi, 

Baunya akan harum selalu, 

Terpengaruh oleh minyak wangi. 

Jika angin meniupi bangkai, 

Bau berobah menjadi busuk, 

Demikianlah roh jika merangkai,-

Berubah-ubah keluar masuk. 

Di antara adab juga ialah menjauhkan anak isterinya pada waktu 

ia berzikir. Adab kedua ini sangat penting baginya, sebab  pada waktu 

ia berzikir haruslah seluruh perhatian jiwa dan hatinya ditujukan ke­

pada Allah  semata-mata, tidak boleh berpaling dan terganggu dengan 

suasana lain. Memilih tempat yang sempit dan gelap lebih baik dari­

pada tempat yang luas dan terang, diterangi oleh cahaya matahari atau 

cahaya lampu pelita. Yang sama dengan cahaya lampu, pelita itu ialah 

anak isteri, yang gerak-gerik serta kelakuannya, perkataan dan senda-

90 

guraunya, dapat mengganggu dia dalam perjalannya, dan melemahkan 

hatinya dan zikir. 

Ketiga hendaklah meninggalkan segala kesenangan hidup yang ber-

limpah-limpah, mengambil sekedar apa yang perlu dari makanan, mi-

numan, pakaian dan hubungan laki-bini. Ghazali berkata : "Allah  

menjadikan makanan dan minuman di dunia ini sebab untuk mengusut-

kan hati, untuk memberatkan semua anggota badan mengerjakan tha'­

at, dan menulikan telinga dari mendengar pelajaran-pelajaran yang 

baik.". 

Keempat bahwa ia meninggalkan cinta dunia, dan selalu^melihat 

serta memikirkan akhirat, sebab  cinta kepada Allah itu tidaklah dapat 

ke dalam hati seseorang yang mencintai dirinya. 

Kelima jangan ia tidur dalam keadaan jinabah, selalu bersih, bah­

kan lebih baik ia tidur dalam wudhu. 

Keenam dan ketujuh jangan ia menghendaki apa yang ada pada 

orang lain, dan apabila ia kekurangan rezeki, hendaklah ia sabar, dan 

berkeyakinan bahwa dalam perjalanan menemui Allah nya ia tidak 

membutuhi kekayaan dan kesenangan dunia. 

Kedelapan selalu ia perhitungkan kebaikan dan keburukan dirinya, 

senantiasa bersungguh-sungguh dalam tarekatnya, jika ia menjumpai 

kesukaran dan kekurangan, ia berkata kepada dirinya : "Hendaklah 

engkau sabar, kegembiraan itu ada di depanmu. Memang aku meng­

hendaki keletihanmu untuk kesenanganmu nanti di akherat". 

Kesembilan hendaklah ia menyedikitkan tidurnya, terutama pada 

waktu sahur dan berdo'a serta beramal sebanyak-banyaknya, sebab  

waktu itu yaitu waktu mustajab. 

Kesepuluh dan kesebelas membiasakan dirinya makan yang halal, 

dan membiasakan dirinya makan sedikit, berusaha mengangkat tangan-

nya sebelum kenyang, sebab  yang demikian itu membuahkan kesung­

guhan dalam mengerjakan tha'at, dan menghilangkan malas. 

Kedua belas dan ketiga belas memelihara lidah dan matanya. Hen­

daklah dijaga agar lidahnya tidak mengucapkan omong kosong, sambil 

mengawasi hatinya jangan dalam syak wasangka. Barang siapa yang 

dapat memelihara lidahnya dan menetapkan hatinya, akan terbukalah 

baginya rahasia-rahasia yang pelik. Sesudah itu ia harus menjaga mata-

91 

nya dibandingkan  melihat yang cantik-cantik, sebab  melihat yang cantik 

dan molek itu seperti racun yang dapat membunuh atau laksana anak 

panah yang sudah terlepas dari busurnya, dapat mengenai dan membu­

nuh hatinya. Demikianlah keadaan manusia yang memandang sesuatu 

dengan keinginan syahwatnya. Junaid berkata, bahwa kegagalan yang 

acapkali menimpa seorang murid ialah terlalu banyak bicara, terlalu 

banyak bergaul dengan perempuan, oleh sebab  itu hendaklah murid 

selalu bergaul dengan orang-orang yang baik, murad, murid-murid 

yang terpilih, terutama dalam khalwatnya. 

Keempat belas jangan suka bersenda-gurau, sebab  yang demikian 

itu dapat mematikan hati dan jiwa, dan mengakibatkan kegelapan. J i ­

kalau seorang salik mengetahui betapa kemunduran ihwalnya sebab  

senda-gurau, tentu ia tidak akan mengerjakan yang demikian itu sekali-

lagi. Nabi berpesan : "Jangan engkau mengganggu dan memperolok-

olokkan saudaramu!" Maka oleh sebab  itu baiklah ditinggalkan sen­

da-gurau itu, kecuali pada waktu-waktu yang diperlukan ketika bi-

ngung dan ketika bersedih hati. 

Kelima belas meninggalkan tanya-menanya dan perdebatan, apa-

lagi pertengkaran tentang sesuatu pembahasan ilmu, sebab  yang demi­

kian itu acapkali membawa manusia kepada kealpaan dan kekeruhan. 

Jikalau sesuatu perdebatan sudah terjadi, maka segera meminta ampun 

kepada Al lah , dan meminta diri kepada mereka yang ingin melakukan 

perdebatan atau melanjutkan pembahasan itu. Cegahlah perdebatan 

tentang diri orang lain. 

Keenam belas bersedia diri mendatangi dan mempergauli orang-

orang yang sedang bingung dan sempit pikirnya, dan mencoba membi-

carakan adab-adab yang baik yang dapat membukakan jiwanya yang 

sedang sempit itu. 

Ketujuh belas mencintai kedudukan dan pengaruh, kebesaran dan 

kemegahan dapat memutuskan jalan kepada kebenaran. 

Kedelapan belas murid-murid hendaklah tawadhu', kesembilan 

belas hendaklah ia selalu takut kepada Allah , sambil meminta ampun, 

terhadap dosa yang tidak kelihatan, dalam ibadatnya maupun dalam 

zikirnya. 

Kedua puluh tidak menerangkan kepada seseorang pun juga apa 

92 

yang dilihatnya dalam mimpi atau dalam jiwanya dibandingkan  rahasia-

rahasia yang diperlihatkan Allah  kepadanya, kecuaii kepada gurunya 

sendiri. 

Kedua puluh satu hendaklah ia menjaga waktu yang tetap untuk 

zikir kepada Allah nya, dengan cara sebagaimana yang ditunjukkan 

oleh Syeikhnya, tidak ditambah atau dikurangi. Memang banyak sekali 

adab-adab murid terhadap dirinya, yang kita tidak ingin menceritera­

kan semua di sini berhubung dengan halaman-halaman yang terbatas. 

Murid itu sendiri hendaklah mencari kelebihan-kelebihan dirinya dalam 

uraian yang lebih panjang. namun  meskipun demikian kita tidak dapat 

meninggalkan beberapa hal yang acapkali ada pada murid Sufi itu, 

seperti adab pada waktu mereka menziarahi kuburan-kuburan orang-

orang keramat dan wali wali. 

Dalam kitab-kitab Sufi diterangkan bahwa seorang murid hendak -

nya sering mengunjungi kuburan wali-wali itu untuk mendapat berkah 

dan mengenangkan dia pada mati. Apabila ia mengunjungi kuburan 

orang keramat itu, dan ingin mendapat jiwa kerohaniannya melimpah 

padanya, maka hendaklah memperhatikan beberapa adab, ia memberi 

salam kepada yang meninggal itu, ia berdiri di sebelah kakinya pihak 

kanan, ia menghadap kiblat, ia meletakkan tangan kanan ke atas ta­

ngan kirinya di atas pusatnya, dan dengan membungkuk sedikit ia 

membaca Fatihah satu kali. Surat Ikhlas sebelas kali, Ayat Kursi satu 

kali, yang semuanya pahalanya diniatkan untuk orang yang sudah wa-

fat itu, baik gurunya maupun orang alim yang lain. Kemudian perla-

han-lahan ia duduk dekat kubur itu dan meiepaskan semua pikiran 

yang mengikat dia selain dibandingkan  menujukan kepada yang mati itu, 

ia bersabar, ia menggambarkan cahaya rohani dari orang yang mati itu, 

seakan-akan dapat dirasakan dan dipindahkan ke dalam hatinya, di-

kenangkan seluruh hal ihwal khawas yang ada pada orang itu. 

Dalam kitab "Tanwirul Qulub" dijelaskan bahwa orang umum 

diperkenankan melakukan sesuatu yang berlebih-lebihan dan tabut pa­

da kuburan wali, j ika mereka menghendaki tabaruk dan mengi'tikad-

kan bahwa yang memberi bekas dalam hakikat yang sebenarnya hanya 

Allah , mereka memperbuat sesuatu hanya sebab  cinta kepada orang 

yang dicintai Al lah . 

93 

III. Adab murid terhadap saudaranya dan orang Islam lain. 

Dalam ajaran Sufi hubungan antara seorang murid dengan orang 

lain lebih kuat dibandingkan  ukhuwah biasa antara seorang Islam dengan 

orang Islam lain. Diajarkan bahwa ikatan antara kedua sahabat atau 

lebih itu seperti ikatan akad nikah antara dua laki isteri, senasib seper-

juangan, cinta-mencintai. Ditunjukkannya kepada ucapan Rasulullah, 

di antaranya berbunyi : "Perumpamaan dua orang saudara yaitu se­

perti dua tangan, yang cuci-mencuci dan bersih-membersihkan antara 

satu sama la in" . Katanya pula : "Orang mu'min terhadap mu'min se­

perti tembok batu bata, mengikat satu sama la in" . Katanya pula : " T i ­

ap persahabatan antara seorang teman dengan teman yang lain, meski­

pun sesa'at dari sehari, cukup kalau ia bertanya kepada temannya itu, 

apakah ia sudah menunaikan apa yang diperintahkan Allah kepada­

nya." 

Lalu disebutkanlah dalam kitab-kitab Sufi beberapa adab antara 

murid dengan teman dan sahabatnya, begitu juga dengan orang Islam 

yang lain. D i antaranya ia mengakui sesuatu persahabatan, yang mele-

takkan kepadanya beberapa kewajiban, yaitu ia mencintai sebagaimana 

ia mencintai dirinya sendiri, tidak melebihkan dirinya dibandingkan  saha­

batnya itu, ia memberi salam, ia berjabat tangan, ia mengeluarkan tu-

tur kata yang baik, sesuai dengan ajaran Nabi, ia tidak meiepaskan sa­

habatnya itu sebelum ia meminta ma'af, ia bergaul dengan kelakuan 

yang baik, ia berbuat sesuatu terhadapnya dengan penuh kecintaan dan 

dan lemah-lembut, umumnya ia memperlihatkan akhlak-akhlak Nabi 

yang dibiasakan pada dirinya. Junaid berkata, bahwa ada empat perka­

ra yang dapat mengangkat derajat seseorang Sufi, meskipun kurang 

ilmu dan amalnya, yaitu penyantun dan sabar, merendah diri, bermu-

rah tangan, dan berbaik budi. Imam Syafi'i berkata, merendah diri itu 

adala akhlak yang mulia, sedang tekabur atau membesarkan diri meru­

pakan akhlak yang tercela. 

Di antaranya ialah rela hati terhadap teman, meskipun mereka le­

bih tinggi kedudukannya dan lebih baik nasibnya dibandingkan  murid itu, 

di antaranya juga bertolong-tolongan dalam perkara kebajikan dan taq­

wa, memberi petunjuk kepada yang benar, mencegah kejahatan, tidak 

membuka malu dan kesalahan temannya. Seorang murid bertanya ke-

94 

pada gurunya Ibrahim bin Adham tatkala hendak berpindah, katanya : 

"Wahai penghuluku, tidakkah baik tuan hamba menunjukkan kesalah­

an-kesalahan atau aib yang ada pada diri hamba sekarang in i?" Jawab 

Ibrahim : "Wahai Saudaraku, aku tidak melihat sesuatu keaiban pada 

dirimu, sebab  aku melihat engkau dengan mata yang penuh cinta. Ta-

nyakanlah keaibanmu itu kepada orang la in!" 

D i antara yang perlu diperhatikan murid juga ialah berbaik sangka 

dengan temannya, j ika ia hendak menerangkan sesuatu kekurangan, 

maka dimisalkannya kekurangan itu ada pada dirinya sendiri, agar 

diambil ibarat oleh temannya itu. Begitu juga seorang murid harus me-

nerima alasan uzur yang dikemukakan oleh temannya, meskipun ia 

tahu ia berdusta. Ketahuilah, kata Sufi, bahwa jika ia rela kepadamu 

secara lahir, pasti akan menyusul ia rela kepadamu secara bathin. 

D i antara yang banyak itu pula, ialah memenuhi janji-janji yang 

diperbuatnya mengenai pertolongan dan pemberian, tidak lekas marah 

jika sesuatu janjinya dibangkitkan orang, selanjutnya mengunjunginya 

pada waktu susah dan pada waktu sakit, membacakan do'a dan wirid-

wirid yang baik, dl l . sebagainya yang tidak terhingga banyaknya, namun  

tersimpul dalam ucapan Nabi : "Barang siapa tidak menyayangi manu­

sia, pasti ia tidak disayangi Allah ". 

IV. Murad. 

Iradat atau kemauan menjadi pembicaraan dan perhatian dalam 

tarekat. Iradat seseorang yang menuntut ilmu mengenai Allah  ialah 

cita-cita seorang yang sudah dilaksanakan sunggung-sungguh ke arah 

itu, itulah kehendak yang terpilih dengan tuntunannya, namun  iradat 

Allah baharu dicapai, apabila kesungguhan itu sudah ikhlas. 

Maka terjadilah perkataan murid dan murad, yang acapkali ditaf-

sirkan dengan bermacam-macam pengertian. Dalam kitab "At-Ta'ri-

fat", karangan Al-Jurjani (Mesir, 1938) kita dapati bermacam-macam 

penafsiran mengenai perkataan itu. Ada yang menerangkan, bahwa 

murid itu ialah seorang salik yang sudah meiepaskan kemauannya sen­

diri dalam menempuh jalan ke arah kemauan atau iradat Al lah. Murad 

ialah seorang yang telah majzub kecintaannya, sehingga ia tidak takut 

lagi akan cobaan-cobaan dan godaan-godaan dari luar. 

95 

Syeikh Muhyiddin AI-Arabi menerangkan dalam kitab "Fathui 

Makki", bahwa murid itu iaiah seorang yang telah mengambil keputus-

an kembali kepada Allah  dalam segala pandangannya, dan oleh kare 

na itu ia kosongkan dirinya dibandingkan  kemauan sendiri sebab  ia tahu, 

bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat terwujud di dunia ini kecuali 

dengan iradat atau kemauan Allah , ia tidak menghendaki apa-apa lagi 

kecuali apa yang dikehendaki oleh Al lah . 

Al-Aiydrus mencatat pada pinggir Syarah Ihya Ulumuddin 'Tttiha-

fus Sa'adah Al-Muttaqin", karangan Zabidi, perbedaan kedua perkata­

an murid dan murad itu. Katanya. bahwa murid itu ialah seorang yang 

masih dapat dilanggar bermacam-macam cobaan, ia telah masuk ke 

dalam golongan mereka yang mencahari Allah  dengan asmanya. Yang 

dikatakan murad ialah seorang yang sudah kenal Allah  serta tidak 

memiliki  lagi iradat atau kemauan sendiri, ia telah sampai kepada 

tingkat nihayat dan telah berubah ikhwal dan maqamnya. 

Al-Harawi menerangkan dalam kitab "Manazilus Sa'irin" (Mesir, 

1332 H) , bahwa akhir maqam zuhud awam yaitu permulaan maqam 

zuhud murid, yang terdiri dari tiga derajat : Derajat pertama menjauh­

kan segala pekerjaan yang buruk, memperbanyak pekerjaan yang baik 

dan memperdalam keyakinan serta iman. Derajat kedua memelihara 

taqwa, meningkat naik dari kecemaran jiwa dan menjaga jangan sam­

pai melanggar batas-batas larangan Allah. Derajat ketiga ialah berlaku 

wara' pada tiap waktu dan ketika, menghindarkan segala sebab yang 

dapat menimbulkan syirik dalam ibadat dan meresapkan fana dalam 

tauhid yang sebulat-bulatnya. Bacalah lebih jauh keterangannya yang 

panjang lebar dalam kitab "Madarijus Sal ikin" , karangan seorang Sufi 

terbesar dari golongan Salaf, Ibn Qayyim Al-Jauziyah (Mesir, 1332 H). 

96 

PERSOALANDALAM THAREKAT 

1. S I L S I L A H , K H I R Q A H D A N W A S I A T . 

Silsilah bagi seorang Syeikh atau guru tarekat, yang acapkali di­

namakan juga mursyid, sebab  ia memberi pertunjuk kepada murid-

muridnya, yaitu  syarat terpenting untuk mengajarkan atau me-

mimpin sesuatu tarekat. Mereka yang akan menggabungkan diri kepa­

da sesuatu tarekat, hendaklah mengetahui sungguh-sungguh nisbah 

atau hubungan guru-gurunya itu sambung-bersambung antara satu sa­

ma lain sampai kepada Nabi. sebab  yang demikian itu dianggap perlu 

dan tidak boleh tidak, sebab bantuan kerohanian yang diambil dari gu­

ru-gurunya itu harus benar, dan jika tidak benar tidak berhubungan 

sampai kepada Nabi , maka bantuan itu dianggap terputus dan tidak 

yaitu  warisan dibandingkan  Nabi. Murid tarekat hanya membuat bai-

'at, sumpah setia atau janji, dan tidak menerima ijazah dan khirqah, 

tanda kesanggupan, kecuali kepada mursyid yang memiliki  silsilah 

yang baik. 

Silsilah itu yaitu  hubungan nama-nama yang sangat panjang, 

yang satu bertali dengan yang lain, biasanya tertulis rapi dengan bahasa 

Arab di atas sepotong kertas, yang diserahkan kepada murid tarekat, 

sesudah ia melakukan latihan dan amal-amal, dan sesudah menerima 

pertunjuk-pertunjuk, irsyad dan peringatan-peringatan, talqin, dan se­

sudah membuat janji untuk tidak melakukan ma'siat-ma'siat yang di-

larang oleh gurunya, ahd, dan menerima ijazah atau khirqah, sebagai 

tanda boleh meneruskan lagi pelajaran tarekat itu kepada orang lain. 

Sebagai contoh saya sebutkan di sini silsilah Syeikh Muhammad Amin 

Al -Kurd i , salah seorang Syeikh tarekat Naqsyabandiyah terkenal, mgl. 

97 

1-m H . nencarane "Kitab Tanwirul Qulub" , yang menerangkan, bah­

wa ia mengambil tarekat Naqsyabandiyah itu dari Syeikh Umar, yang 

mengambil dari ayahnya Usman, selanjutnya sambung-menyambung 

mengambil dari Syeikh Khalid, Syeikh Abdullah Ad-Dahlawi, dari Ha-

Kbullah Jan Janan Mazhur, dari Nur Muhammad Al-Badwani, dari 

Muhammad Saifuddin, dari Muhammad Ma'sum, dari ayahnya Ahmad 

Al-Faruqi As-Sarhandi, dari Muhammad Al-Baqi Billah, dari Muham­

mad Khawajiki As-Samarqandi, dari ayahnya Darwis Muhammad As-

Samarqandi, dari Muhammad Az-Zahid, dari Ubaidillah As-Samarqan­

di, dari Ya'kub Al-Jarkhi , dari Muhammad bin Muhammad Ala'uddin 

Al'-Akthar Al-Bukhari Al-Khawarizmi, yang mengambil dari pencipta 

tarekat Naqsyabandiyah sendiri, bernama Syah Naqsyaband Baha'ud-

din Muhammad bin Muhammad Al-Uwaisi Al-Bukhari , yang mengam­

bil pula dari Amir Kalal , dari Muhammad Baba As-Samasi, dari A l i A r -

Ramitani, yang termasyhur dengan nama Syeikh Azinan, dari Syeikh 

Mahmud Al-Anj i r Faghnawi, dari Syeikh A r i f Ar-Riyukir i , dari Syeikh 

Abdul Khaliq Al-Khajduwani, dari Syeikh A b u Ya'kub Yusuf A l -

Hamadani, dari Syeikh A b u A l i Al-Fadhal At-Thusi, dari Syeikh Abul 

Hasan A l i bin Ja'far Al-Kharqani dari Syeikh Abu Yazid Thaifur A l -

Bisthami, dari Imam Ja'far As-Sadiq, dari Qasim bin Muhammad bin 

Abu Bakar As-Siddiq, dari Salman Al-Farisi , sahabat Nabi, yang meng­

ambil pula dari Abu Bakar As-Siddiq, sahabat Nabi dan Khalifah yang 

pertama, yang akhirnya mengambil dari Nabi Muhammad saw, yang 

menerima pula melalui Jibrail dari Allah SWT. 

Demikianlah jalannya silsilah itu, ada yang melalui Abu Bakar, 

ada yang melalui A l i bin Ab i Thalib, atau salah seorang sahabat yang 

lain, yang akhirnya sampai kepada Nabi, kepada Jibrail dan kepada 

Allah , beberapa ajaran-ajarannya. 

Jika seorang mursyid memiliki  silsilah semacam itu, maka ber-

haklah ia mengajar tarekat ini kepada orang-orang lain. Syeikh 

tarekat Sammaniyah misalnya harus sampai kepada Muhammad Sam-

man, yang kemudian sampai kepada sahabat dan kepada Nabi, Syeikh 

tarekat Syattariyah harus sampai kepada Asy-Syattari, yang kemudian 

sampai kepada sahabat dan kepada Nabi , demikianlah dengan semua 

tarekat yang lain-lain. 

Perbedaan antara ijazah dan khirqah kadang-kadang terletak da-

98 

lam perbedaan bentuk, ijazah biasanya yaitu  surat keterangan 

yang memberikan kekuasaan kepada seseorang untuk selanjutnya me­

ngajarkan tarekat itu kepada orang lain, baik bersama-sama dengan 

beberapa wasiat dan nasehat, khirqah kadang-kadang yaitu  sepo-

tong kain atau pakaian dari bekas gurunya, yang biasanya oleh murid 

dianggap setengah suci dan menjadi kenang-kenangan baginya. 

Dr. Zaki Mubarak menerangkan, bahwa ada adab yang diletakkan 

orang Sufi, baik pada waktu memberikan wasiat dan nasehat kepada 

murid-muridnya, maupun pada waktu murid-muridnya menerima wa­

siat dan nasehat itu, yang yaitu  suatu kejadian penting pada akhir 

pelajarannya, di kala mereka menerima ijazah dari gurunya itu. 

Wasiat dan nasehat ini yaitu  suatu kesenian susunan kata-

kata yang indah, yang dapat memberi kesan yang dalam kepada orang 

yang dinasehati, dan dapat menjadi tali ikatan persaudaraan yang ko-

koh yang tidak akan putus-putus antara guru dan muridnya, antara 

orang yang memberi nasehat dengan orang yang dinasehati atau yang 

menerima wasiat terakhir. Oleh sebab  itu sedapat mungkin guru-guru 

tarekat memilih kata-kata yang sangat muluk, pengertian-pengertian 

yang sangat mendalam, dan cara-cara serta adab yang akan tinggal 

lama dalam ingatan kedua belah pihak. 

Bagaimana contoh wasiat dan nasehat itu dapat kita pelajari misal­

nya dari perkataan Alqamah bin Lubaid ya ig dihadapkan kepada an-

jaknya : "Wahai anakku! Apabila pada suatu masa engkau terpaksa 

menghadapi sesuatu keperluan, yang tidak dapat engkau selesaikan sen­

diri, maka carilah sahabatmu yang dapat menolong engkau. Untuk sa-

habatmu itu carilah orang yang dalam pergaulan dengan engkau ia 

memperbaiki engkau. Jika engkau berbuat ichidmat kepadanya, ia me-

meliharakan keselamatan engkau, j ika engkau mengalami kemiskinan, 

ia memberikan dikau makan dan minum, jika engkau mengeluarkan 

kata-kata, ia membenarkan perkataanmu, jika engkau ditimpa kesukar-

an dan kesusahan, ia selalu siap sedia merapersembahkan bantuannya 

kepadamu, jika engkau mengulurkan tanganmu mengerjakan sesuatu 

pekerjaan yang baik, ia selalu siap sedia nemperluas dan menyiarkan 

kebaikan dan kebajikan itu, j ika ia melihat engkau berbuat kebajikan 

kepadanya, ia tidak melupakan dalam ingatannya kebajikanmu itu, j i ­

ka engkau meminta sesuatu kepadanya, diberikannya dengan suka rela, 

99 

j ika engkau berdiam diri ia datang kepadamu mengajak berkata-kata, 

jika engkau diselubungi malapetaka dan ketakutan, ia siap sedia de­

ngan tidak membuat perhitungan meringankan penderitaanmu!" (Uyu-

nul Akhbar). 

Memang wasiat itu yaitu  suatu kebiasaan yang sudah lama 

dalam kalangan bangsa Arab. Qur'an menyebutkan beberapa contoh 

tentang wasiat, misalnya seperti yang pernah dikemukakan oleh Luq-

man kepada anaknya : "Wahai anakku aku berwasiat kepadamu, bah­

wa janganlah engkau syirik kepada Al lah , sebab  syirik itu yaitu  

suatu kezaliman yang besar. Wahai anakku, dirikanlah. sembahyang, 

berbuatlah kebajikan, basmilah kemunkaran, bersabarlah tentang apa 

yang menimpa dirimu, sebab  yang demikian itu yaitu pekerjaan-

pekerjaan penting. Janganlah engkau berlaku congkak terhadap manu­

sia, di waktu berjalan jangan engkau bertingkah-laku sombong, sebab  

Allah  tidak menyukai mereka yang bersikap angkuh. Tenanglah eng­

kau dalam perjalananmu, lemah-lembutlah engkau dalam perkataan-

mu, sebab  Allah  membenci suara-suara yang menyamai suara kele-

da i" (Qur'an X X X I : 13 — 19). 

Wasiat itu ada di dalam Hadis, baik tatkala Nabi memberi 

pengajaran kepada pengikut-pengikutnya, baik pada waktu ia meiepas­

kan pasukan yang akan melakukan sesuatu tugas peperangan dan jihad 

atas jalan Allah, wasiat-wasiat itu diucapkan oleh Sahabat-Sahabat pa­

da waktu mereka memangku jabatan Khalifah, pada waktu mereka 

menghadapi sesuatu kejadian penting dalam pemerintahannya, begitu 

juga wasiat-wasiat itu tidak pernah ditinggalkan oleh pembesar-pembe-

sar Islam setiap sa'at dan masa, sebagaimana tiap-tiap kepala kabilah 

tidak pernah meninggalkan pesan dan tegur sapanya sewaktu-waktu 

diperlakukan kepada anak-anak buahnya. 

Kesenian berwasiat ini dikenal juga oleh bangsa-bangsa yang ke­

mudian menggabungkan dirinya dalam ikatan Islam yang luas dan per-

kasa itu. Orang Persia mengenalnya, orang Mesir mengenalnya. Tentu 

saja raja-raja Persia dalam wasiat-wasiatnya mengemukakan hal-hal 

yang penting untuk dijadikan pegangan dalam melakukan pemerintah­

an, seperti yang pernah ternyata dari wasiat Ardesyir anak Bapak yang 

ditinggalkan untuk anak-anaknya dan raja-raja bawahannya. Nabi-nabi 

meninggalan wasiatnya, Isa Al-Masih meninggalkan wasiatnya, Ghaza-

100 

li meninggalkan wasiatnya, guru-guru Sufi meninggalkan wasiatnya, 

dan Khatib-Khatib di atas mimbar tiap hari Jum'at dan hari raya me­

ninggalkan wasiat-wasiatnya. Sehingga dengan demikian wasiat itu 

menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan Islam. 

Dan oleh sebab  itu penyusunannya dalam bahasa Arab merupa­

kan suatu bentuk tertentu, indah kata-kata dan susunan kalimat, dalam 

artinya dan jauh tujuan dan sasarannya, sebab  dalam banyak hal wa­

siat itu yaitu  pembukaan pintü-pintu baru untuk kehidupan se­

seorang. Jika diperincikan selanjutnya, maka kita dapatilah wasiat raja-

raja, yang dinamakan 'uhud, kepada pembesar bawahannya, wasiat 

guru kepada muridnya, wasiat ayah kepada anaknya, dan wasiat pe­

mimpin kepada rakyatnya. Jika wasiat kebanyakan itu mengenai kehi­

dupan dan perbaikan cara-cara hidup, maka wasiat-wasiat orang Sufi 

dalam banyak hal di samping bahan-bahan yang sama terutama dituju-

kan kepada mempertinggi budi pekerti dan memperhalus jiwa manusia, 

serta mempertebal rasa lemah dalam hati manusia itu dalam mengha-

dapi kodrat dan iradat Allah nya. 

Di samping Aus bin Harisah yang mewasiatkan bahwa mati itu le­

bih baik dibandingkan  fakir dan kemuliaan itu terletak dalam rnenolak sega­

la haram, kita mendengarkan wasiat Sufi yang berlainan coraknya, se­

bagaimana yang pernah diucapkan oleh A l i bin A b i Thalib : "Ketahui-

lah bahwa dunia beralih ke belakang, sedang akhirat bergerak ke de-

pan. Baik dunia maupun akhirat memiliki  anaknya. Berusaha agar 

engkau menjadi anak akhirat, bukan anak dunia. Bukankah orang-

orang yang gemar kepada dunia menjadikan bumi itu permadaninya, 

tanah menjadi tikar dan air untuk penyegar dirinya? Bukankah orang 

yang rindu kepada syorga harus berkorban meninggalkan hawa nafsu-

nya, orang yang ingin memelihara dirinya dari api neraka harus menge-

kang diri dibandingkan  segala perbuatan yang haram, dan oleh sebab  itu 

orang yang ingin membelakangi dunia ini dan hidup zahid, pasti harus 

dapat menderita segala percobaan yang akan menghindarkan dia dan 

menyelubunginya dalam dunia". Meskipun dari dua orang ahli pepe-

rangan, namun  wasiat yang mereka ucapkan berbeda antara satu sama 

lain. Wasiat A l i bin A b i Thalib hendak membawa manusia itu kepada 

membersihkan jiwanya, memperbaiki hatinya, membawa menyendiri 

dibandingkan  dunia yang fana, dan membawa merasakan kegemaran kepa­

da akhirat yang baqa. 

101 

Tatkala Ibn Sirin ditanya orang, manakah adab yang lebih dekat 

dan lebih halus terhadap Allah , maka ia menjawab hendaklah menge­

nai Allah nya dengan sebaik-baiknya, hendaklah beramal seta'at-ta'at-

nya, hendaklah bersyukur kepadanya pada waktu senang, dan tetap 

bersabar pada waktu susah. Junaid selalu memulai wasiatnya dengan 

menyebutkan nama Allah  dan mengajak takut kepadanya dan isinya 

biasanya ditujukan kepada dua hal, pertama menyuruh memperbesar 

belas kasihan sesama manusia dan kedua memperkeras tindakan terha­

dap perbaikan jiwa dan diri sendiri. Abu Sa'id Al-Ghazali selalu mem-

pergunakan kata-kata : 'Tngatlah wasiatku ini , wahai murid-muridku! 

Berharaplah akan mendapat pahala dari Al lah . Kejahatan akan dikem-

balikan kepada dirimu, hilangkanlah dia dengan ta'at, matikanlah dia 

dengan kebajikan, potonglah dia dengan tidak mengharapkan sesuatu 

dari selain Al lah , basmilah dia dengan rasa malu terhadap Allah , kare­

na Allah  itu pelindung! Berlomba-lombalah berbuat semua kebajikan, 

yang kamu kerjakan dalam segala tingkatan hidupmu, meskipun hati-

mu merasa takut menerimanya". Sementara Zun Nun selalu mengucap-

kan perbandingan dalam wasiat, misalnya : "Wahai saudaraku, keta-

huilah bahwa tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dibandingkan  Islam, tak 

ada kemurahan lebih indah dibandingkan  taqwa, tidak ada akal yang dapat 

menyamai dibandingkan  kesalihan, tidak ada bantuan yang lebih manfa'at 

dibandingkan  taubat, tidak ada pakaian yang lebih hebat dari kesehatan, 

tidak ada perlindungan yang lebih aman dibandingkan  keselamatan, dan 

tidak ada perbendaharaan yang lebih kaya dibandingkan  merendah diri, be­

gitu juga tidak ada harta yang lebih berharga dibandingkan  kerelaan dengan 

makananmu apa yang ada! Ingatlah bahwa orang yang dapat menahan 

diri dari meminta-minta, sebenarnya ia membina kesenangan tiap-tiap 

kegemaran menciptakan kelelahan hidup, tiap keserakahan akhirnya 

membawa kepada onggokan dosa, tiap sikap pelahap menjatuhkan ma­

nusia kepada suasana hina yang keji, tiap tama' membuahkan dusta, 

tiap keinginan membuahkaa sesalan, tiap harapan menimbulkan peno-

lakan, dan tiap untung serta keuntungan membawa manusia kepada 

kerugian adanya". 

2. W A S I L A H D A N R A B I T H A H . 

Wasilah atau tawassul acapkali juga kita dengar dalam ilmu Sufi. 

102 

Istilah ini , yang kemudian memiliki  arti yang tertentu, pada mula-

nya hampir dapat diterjemahkan dengan penghubung atau hubungan, 

khususnya hubungan dengan guru. 

Yang dijadikan alasan terpokok untuk wasilah ini ialah ayat Qur­

'an yang menerangkan : "Tuntut olehmu kepadanya akan wasilah" 

(Qur'an V : 35). Kemudian diambil pula perbandingan dari kisah Nabi 

Mi'raj ke langit menemui Allah nya yang diantarkan oleh Malaikat 

Jibrail. Pengantaran ini dianggap wasilah, sehingga dalam kalangan 

ahli tarekat cerita ini lebih terkenal dengan kata-kata : Nabi Muham­

mad Mi ' raj hendak bertemu dengan Allah  berwasilah. kepada Malai­

kat Jibrail. Sesampai pada Sidratul Muntaha Malaikat Jibrail diting­

galkan di situ, sebab  Nabi ketika itu hendak masuk ke dalam laut 

ma'rifatullah, musyahadah akan Al lah , yang bersifat laisa kamislihi 

syai'un, yang tidak dapat diumpamakan dengan sesuatu benda apa 

pun juga. 

Di sini ahli tarekat mengambil ibarat, bahwa mereka pun ada baik-

nya jika berwasilah kepada guru atau kepada pengajar pada waktu ber-

ibadah kepada Al lah . Lalu istilah wasilah itu beroleh arti yang khusus 

baginya yaitu jalan yang menyampaikan hambanya kepada Al lah . Ta­

rekat Naksyabandiyah mengartikan hakikat wasilah itu tabaruk atau 

mengambil berkat, sebagaimana yang dikerjakan oleh murid-murid 

tarekat sebelum melakukan zikir. Misalnya murid tarekat itu berdo'a : 

" Y a , Al lah! A k u pinta pada-Mu dengan berkat Rasulullah dan de­

ngan berkat guruku, agar Engkau memberikan daku ma'rifat dan cin­

ta kasih hatiku kepada-Mu". 

Dalam hal ini tarekat berpegang pada sebuah Hadis yang diriwa­

yatkan oleh Bukhari, yang menceriterakan bahwa Sayyidina Umar Ibn 

Khattab ketika musim kemarau, waktu kekurangan air, meminta hu-

jan dan do'anya dimulai dengan minta berkat Abbas bin Abdul M u -

thalib demikian : " Y a , Allah ku! Kami dahulu selalu berdo'a kepa­

da-Mu dengan berkat Nabi Engkau, sekarang kami tawassul dengan 

bapak kecil N a b i " . Lalu hujan pun turunlah. Hadis ini ada da­

lam Sahih Bukhari, halaman 123, dalam kitab Sublus Salam, jil id II, 

halaman 134, dan kitab Nailul Authar, ji l id II, halaman 6. 

Hal ini menyatakan bagi ahli tarekat bahwa Sayyidina Umar pun 

berdo'a memakai wasilah Nabi dan sesudah Nabi wafat dengan wasi-

103 

lah Abbas bin Abdul Muthalib. Dengan demikian tawassul itu tidak 

hanya tertentu dengan Nabi saja, bahkan boleh juga dengan Sahabat-

Sahabat Nabi, wali-wali dan ulama-ulama, sebab  ulama-ulama itu 

yaitu warisan para Nabi-Nabi (Hadis Bukhari dan Muslim). 

Mengenai rabithah, yang artinya hubungan atau ikatan, kita da­

pat keterangan pengertiannya dalam tarekat terbagi tiga : pertama ra­

bithah wajib, kedua rabithah sunnat dan ketiga rabithah harus. 

Adapun rabithah wajib yaitu seperti yang ada pada waktu 

orang sembahyang menghadap kepada Baitullah. Menghadapkan dada 

dan muka ke Baitullah itu wajib hukumnya sebab  tidak sah sembah­

yang jika tidak menghadap ke Ka'bah itu, pada hal yang disembah 

bukanlah Ka'bah yang dihadapi itu, namun  Allah semata-mata. Ka'bah 

hanya menjadi rabithah wajib. 

Yang kedua rabithah sunnat namanya, seperti yang ada pada 

seseorang ma'mum, yang harus memandang kepada imamnya dalam 

bersembahyang berjama'ah. Sekali-kali tidak dimaksudkan bahwa ber-

paling dibandingkan  menyembah Allah dalam sembahyang. Baik ma'mum 

maupun imam kedua-duanya bersama-sama menyembah Al lah . 

Ada sebuah cerita mengenai sembahyang berjama'ah di masa Na­

bi, yang diimami oleh Rasulullah sendiri. Orang kafir menuduh bahwa 

orang Islam itu menyembah Nabi Muhammad, sebab  dilihat orang 

gerak dan diamnya dalam sembahyang. Orang Islam menjawab : " K a ­

mi tidak menyembah Nabi Muhammad. Yang kami sembah hanya 

Al lah . Hanya bersama-sama Nabi Muhammad". Maka rabithah yang 

ada dalam sembahyang berjama'ah ini, ialah rabithah sunnat na­

manya. 

Kemudian mengenai rabithah yang ketiga, yaitu rabithah harus, 

diterangkan seperti melihat barang-barang yang baik pada waktu kita 

hendak mengerjakan sesuatu barang agar baik pula. Dalam kata se-

hari-hari : meniru mengikuti yang baik-baik. Mur id diibaratkan orang 

buta yang harus mengikuti gurunya yang matanya jelas melihat. Yang 

dikatakan guru yang mursyid yaitu orang yang telah karam dalam laut 

muraqabah dan musyahadah berkekalan akan Allah nya. Murid-murid 

tarekat yang hendak mengambil rabithah diwajibkan mengetahui bekas 

yang majazi dan bekas yang hakiki, dan faham pula ma'na wahdaniat 

yang mengandung tiga perkataan, pertama tidak terbilang zat Allah, 

104 

kedua tidak terbilang sifat Allah dan ketiga tidak memberi bekas segala 

perbuatan makhluk pada hakikat pekerjaan la haw la wa la quwata illa 

billah, tidak ada daya upaya melainkan dengan kehendak Allah. 

Hakikat rabithah pada ahli tarekat ialah bersahabat atau sebanyak 

mungkin beserta dengan mursyid, dengan guru yang pandai-pandai, 

yang hatinya selalu ingat kepada Allah, melihat kepada orang-orang 

yang demikian atau kasih sayang kepada orang-orang itu, tidaklah di-

maksudkan memperhambakan diri kepadanya atau memperserikatkan 

dia dengan Al lah . 

namun  ada tarekat-tarekat yang mengartikan rabithah itu meng-

gambarkan rupa guru dalam kehendaknya kepada Allah. 

3. MU'JIZAT DAN KERAMAT. 

Orang-orang Sufi itu yakin, bahwa wali-wali itu memiliki  ke-

istimewaan, kelihatan pada dirinya keadaan yang aneh-aneh. Pada saat 

tertentu mereka dapat menciptakan sesuatu yang tidak dapat diperbuat 

oleh manusia biasa. Pekerjaan-pekerjaan yang luar biasa ini dinamakan 

keramat. Perkataan keramat dalam pengertian ini sudah umum diketa-

hui orang dan dipakai di Indonesia, terutama untuk orang-orang yang 

sudah wafat, yang menurut sejarah pada waktu hidupnya menunjukkan 

beberapa keanehan, dan pada waktu matinya banyak niat-niat orang 

yang diucapkan dengan menggunakan namanya, konon banyak terka-

bul dan berhasil. Dengan demikian terdapatlah di sana-sini beberapa 

banyak kuburan orang-orang keramat itu, yang dikunjungi orang pada 

waktu-waktu tertentu, baik dia dianggap wali maupun orang biasa. 

Perkataan keramat terambil dari bahasa Arab Karamah, yang ber­

arti tidak lebih dan tidak kurang dibandingkan  pengertian mulia dan tinggi 

budi. namun  dalam pengertian Sufi, yang kemudian diikuti oleh umum 

di Indonesia, keramat itu memiliki  pengertian seperti yang kita se-

butkan di atas, terutama terjadi dalam kalangan orang-orang yang hi­

dupnya Sufi. Lalu kita dapati arti keramat itu dalam kitab-kitab tasaw­

wuf, suatu pekerjaan yang luar biasa, pekerjaan atau keadaan di luar 

akal manusia, dengan keterangan bahwa keramat itu tidak harus diarti-

kan berpilin dengan nubuwah, tidak pula yaitu  tanda-tanda pen-

dahuluan dibandingkan  nubuwah itu. Keramat bisa saja lahir pada seorang 

105 

hamba Allah yang biasa, yang saleh, yang tetap mengikut syari'at Nabi, 

bersih i'tikadnya, dan mengerjakan segala ibadat dan amal saleh. Per-

bedaan dengan Nabi, bahwa orang-orang yang keramat itu tidak ma'-

sum, terpelihara dibandingkan  segala pekerjaan jahat, sebab  sifat ini hanya 

dikhususkan kepada Nabi saja. namun  j ika kita perhatikan cara-cara 

orang-orang Sufi menerangkan maksud perkataan ini, agak sukar me-

narik suatu garis yang tegas antara ma'sum bagi Nabi dan mahfuz bagi 

wali-wali, yang artinya juga terpelihara dibandingkan  segala perbuatan yang 

ma'siat. namun  ada kitab Sufi yang menambahkan keterangan, bahwa 

mahfuz itu pada asalnya tidak mengerjakan perbuatan yang ma'siat, 

namun  jika terkerjakan juga, maka wali-wali itu segera menyesal dan 

taubat dengan sesempurna-sempurnanya. 

Adapun orang-orang yang tetap berulang-ulang mengerjakan ma'­

siat itu tidaklah dapat dinamakan mahfuz, dan tidaklah termasuk go­

longan wali-wali dan orang keramat itu. 

Kejadian keramat pada wali-wali itu menurut orang Sufi bukanlah 

suatu pekerjaan yang mustahil dalam kekuasaan Allah , sebab  ia ter­

masuk barang yang mungkin, seperti mu'jizat Nabi-Nabi juga. Oleh 

sebab  itu kejadian ini tidak pernah disangkal oleh salah satu dari­

pada empat mazhab Ahl i Sunnah, terutama tanda-tanda keramat se­

sudah mati, sebab  tanda keramat sesudah mati ini lebih baik sebab ter-

bebas dibandingkan  purbasangka. sebab  itu ada orang berkata, bahwa se­

orang wali yang tidak lahir keramatnya sesudah mati, sebagaimana per­

nah terjadi di kala hidupnya, maka keramatnya itu tidak benar. Bebe­

rapa Syeikh tarekat pernah menerangkan, bahwa Allah menempatkan 

sebagai wakilnya pada tiap-tiap kubur wali seorang malaikat, yang 

akan melaksanakan segala keperluan dan hajat orang, bahkan sekali-

kali wali itu sendiri keluar dari kuburnya untuk menyempurnakan hajat 

orang itu. 

Ceritera-ceritera mengenai kekeramatan wali-wali itu biasanya da­

pat didengar pada penunggu-penunggu kuburan, pada keluarga dan 

muridnya, atau dibaca dalam sejarah-sejarah hidupnya yang biasa di­

sebut manaqib, seperti manaqib Syeikh Abdul Qadir Jailani dan mana-

qib Syeikh Samman. 

Dalam mempertahankan pengertian ini kitab-kitab Sufi biasanya 

membawa kita kepada ceritera Nabi-Nabi dan orang-orang yang telah 

106 

beroleh kebahagiaan dalam hal ini . Diceriterakan tentang Maryam yang 

melahirkan Isa dengan tidak berlaki, diceriterakan tentang Zakariya 

yang selalu mendapat hidangan dari Allah , beroleh buah-buahan mu-

sim dingin dalam musim panas di rumahnya, buah-buahan musim pa-

nas dalam musim dingin, ceritera Asifwazir Nabi Sulaiman mengenai 

istana Balqis, yang diangkat dan dipindahkan oleh tenteranya orang-

orang halus dari Yaman ke dalam kerajaan Nabi Sulaiman itu, begitu 

juga uraian-uraian itu penuh dengan ceritera-ceritera Ashabul Kahfi, 

yang lari dari tentara Romawi untuk menyelamatkan keyakinannya dan 

bertapa dalam sebuah gua dengan tidak makan dan minum selama tiga 

ratus sembilan tahun. 

Terutama kejadian-kejadian yang aneh pada diri Nabi Muham­

mad, sahabat-sahabatnya dan tabi'in, semuanya menjadi pembicaraan 

yang menarik. Diceriterakan tentang khutbah Jum'at Khalifah Umar 

yang ditujukan kepada Sariyah di balik gunung, berisi pertunjuk-per-

tunjuk perang, yang dapat didengar dengan jelas oleh Sariyah itu, beri-

ta-berita tentang Ibn Umar, yang dapat menjinakkan seekor Singa yang 

galak di tengah jalan, kisah Hubaid, yang dalam tawanannya beroleh 

buah anggur, sedang di tempat itu tak ada buah-buahan tersebut, do-

ngeng Abdullah bin Utbah, yang jika ia tidur di tengah padang pasir 

datang awan memayunginya, begitu juga ceritera-ceritera yang aneh 

tentang Salman Farisi dan Abu Darda' dl l . 

Tentu orang bertanya, apakah keramat itu sama dengan sihir atau 

sama dengan mu'jizat ? 

Orang Sufi menjawab : Sihir acapkali terjadi dalam kalangan 

orang-orang fasyiq, zindiq dan orang-orang kafir yang tidak percaya 

kepada agama Allah . Adapun keramat ialah sesuatu keanehan yang 

terjadi pada orang yang percaya kepada Allah  dan mengerjakan sung-

guh-sungguh akan syari'atnya. Perbedaan antara keramat dan mu'jizat 

sebenarnya tidak ada, hanya keramat terjadi pada waliyullah biasa, dan 

mu'jizat terjadi pada Nabi-Nabi, sebab  Nabi-Nabi dan Rasul itu me-

merlukannya untuk melancarkan siaran agamanya dan menanamkan 

kepercayaan kepada ummat yang dihadapinya. Sementara Nabi-Nabi 

wajib melahirkan mu'jizatnya untuk meyakinkan kenabiannya kepada 

sesuatu ummat, wali-wali tidaklah diwajibkan yang demikian itu, kare­

na ia hanya menyampaikan seruan-seruan Nabi saja kepada manusia 

107 

sekitarnya, dengan keterangan-keterangan yang sudah diber ikan oleh 

A l l a h da lam f i rman-Nya , oleh N a b i dengan Sunnahnya . M a k a keba-

nyakan wal i -wal i i tu merahasiakan keist imewaan, keramat, yang diper-

olehnya sebab  ketha'atan mereka kepada T u h a n dan kesungguhan 

mereka dalam menjauhkan d i r i dari segala ma'siat dan hawa nafsu. 

Banyak lah macam ceritera-ceritera yang k i t a dengar tentang kera­

mat i tu , misalnya ada yang melihat cahaya naik ke langit dar i kubur 

seorang wal i yang sudah wafat, ada yang mendengar suara orang ber­

z ik i r dan mengaji , mendengar tabuhan rebana, ada yang mendapati 

barang-barang yang tertentu, atau bis ikan-bis ikan yang memberikan 

pertunjuk dan menguntungkan. Bahkan ada ceritera-ceritera 'yang me­

nerangkan, bahwa ada orang berbuat mesum dekat kuburan wal i yang 

beroleh kecelakaan, ada orang yang bersumpah palsu menderita akibat 

kepalsuannya dengan t iba-t iba, dsb. 

B a h k a n pada waktu seseorang masih hidup pun ada yang menga-

lami keanehan-keanehah i tu , misalnya bertemu dengan ma lam La i l a tu l -

Qadr da lam bulan Ramadhan , dengan kayu sujud, yang menyebabkan 

orang itu berbahagia, menciptakan sesuatu benda menjadi benda yang 

la in , seperti tanah menjadi beras atau emas, berpindah tempat dengan 

sekejap mata, berjalan di atas air, wal i dari Jawa sembahyang Jum'a t 

di M e k k a h dalam M e s j i d i l H a r a m dengan perjalanan beberapa detik, 

begitu juga k o n o n ia menghadiahkan d i sana dur ian kepada gurunya, 

yang menjadikan ta ' jub orang-orang d i M e k k a h i tu . A d a wal i yang d i ­

anggap sesat dengan i l m u ghaibnya, la lu d ibunuh , kemudian darahnya 

berzikir atau mengalir menul iskan ka l imah syahadah, seperti yang per­

nah terjadi pada d i r i Syeikh Sitti Jenar atau H a m z a h Fansur i di Indone­

sia, yang terjadi pada Hal la j d l l . t okoh suci Suf i d i mana-mana. 

Semua ceritera keanehan i tu dapat didengar dari mur id atau pen-

cinta orang-orang yang dianggap wali i tu , atau dar i penunggu-penung-

gu kuburan , yang kesemuanya menebalkan keyakinan orang tentang 

keramat i tu . 

Ibn Jauzi mengupas soal keramat i tu panjang lebar da lam ki tabnya 

" T a l b i s I b l i s " (Mesi r , 1928 M ) dan menyerang habis-habisan terhadap 

keyakinan yang dianggapnya takhayul dan b i d ' a h , sementara Ashbaha -

ni da lam karangannya yang ber j i l id- j i l id besar, bernama "Hilliyatul 

Aulia" (Mesi r , 1932) mengemukakan alasan-alasan dan ceritera-ceritera 

108 

tentang keanehan beratus-ratus wali-wali sejak dari zaman Nabi Mu­

hammad. 

Ibn Jauzi menceriterakan, bagaimana setan dapat mempengaruhi 

Haris Al-Kazzab, yang tiap ia beribadat berubah bajunya menjadi 

emas, dan kemudian mengaku menjadi Nabi, sehingga ia dibunuh atas 

kekufurannya, bagaimana Ibrahim Khurasani yang pada suatu hari se­

dang berwudhu mendapati dengan tiba-tiba embernya berubah menjadi 

permata, siwak giginya menjadi perak yang ujungnya lembut sebagai 

benang sutra, bagaimana Saramqani mendapati roti dengan ayam pang­

gang serta manisan gula di tempat sembahyangnya, sedang langgarnya 

itu terkunci rapat, bagaimana Zuhruan berbicara dengan burung, begi­

tu juga bagaimana Umar bin Wasil dan Sahal bin Abdullah melihat ke­

anehan empat puluh orang wali dekat Mekkah memetik buah delima 

yang keluar dengan tiba-tiba pada sebuah pohon yang kering, dll . ceri­

tera yang aneh-aneh, yang oleh Ibn Jauzi dikecam satu persatu dan di-

tentang kemungkinannya. Ia menceriterakan bahwa wali-wali yang be­

nar, merahasiakan kekeramatan itu. Lihatlah, katanya, Rabi'ah A l -

Adawiyah sebagai contoh. Pada suatu hari datang Zulfah menanyakan 

kepadanya, mengapa ia tidak ingin mengizinkan orang-orang masuk ke 

dalam kamar khalwatnya. Jawab Adawiyah : " A k u tidak ingin manu­

sia itu menceriterakan tentang keadaanku yang tidak kukerjakan, se­

perti aku beroleh uang emas di bawah tikar sembahyangku dan periuk-

ku menanak nasi dengan tidak berapi. A k u takut mereka menyiarkan 

tentang sekalian i t u" . Tatkala Zulfah mengatakan bahwa menurut ceri­

tera orang bibinya itu selalu menerima makanan dan minuman secara 

tidak ketahuan darimana, Adawiyah menjawab : "Wahai , kemenakan-

ku! Jikalau aku mendapati sesuatu pada tempat tinggalku, tidaklah aku 

menyentuhnya dan merabanya". Qurasyi menceriterakan dari Zulfah, 

bahwa pada suatu pagi yang sangat dingin Adawiyah ingin membuka 

puasanya dengan makanan, namun  ia hanya memiliki  minyak saja 

dan tidak ada bumbu yang lain. Tatkala Zulfah mengeluh ingin menda­

pat bawang dan sayur-sayuran, datanglah seekor burung yang menja-

tuhkan bawang dari paruhnya, sehingga dapatlah Zulfah menyiapkan 

makanan yang dikehendaki bibinya. Rabi'ah Adawiyah tatkala melihat 

keadaan itu, timbullah rasa takut kalau-kalau hadiah yang demikian itu 

datang dari setan. Ceritera yang lain mengenai Abu Hafas Nisaburi, 

yang dengan tiba-tiba datang ke depannya seekor kambihg, sedang ia 

109 

berada dengan muridnya. Lalu ia menangis, dan tatkala ditanyakan, 

mengapa ia menangis, ia menjawab khawatir kalau-kalau pemberian itu 

seperti pemberian Allah  kepada Fir 'aun. 

Ghazali pernah membicarakan perkara mu'jizat, keramat dan sihir 

dengan panjang lebar. Ghazali tidak melihat ada perbedaan dalam ke­

jadian antara mu'jizat, sihir dan keramat, perbedaannya kejadian pada 

Nabi dan wali-wali itu ialah sebab  perjalanan hidupnya yang baik, se­

dang pada tukang sihir sebaliknya. 

4. WALI DAN QUTUB. 

Dalam pelajaran Islam biasa wali dinamakan seseorang yang tinggi 

kedudukannya dalam pandangan Allah  sebab  kehidupannya yang 

murni dan amalnya yang salih, yang dilakukannya dengan tulus ikhlas 

sepanjang ajaran Allah dan Rasulnya. namun  dalam kalangan Sufi pe­

ngertian wali lebih dari itu, wali yaitu  hamba dan kecintaan Tu­

han yang luar biasa, kekasih Allah  yang diberi kedudukan istimewa 

dalam kalangan hambanya, kadang-kadang menjadi perantaraan anta­

ra manusia biasa dengan Allah , tawassul, sebagaimana acapkali mere­

ka menjadikan Nabi Muhammad atau salah seorang sahabatnya men­

jadi penghubung dengan Allah  dalam menyampaikan sesuatu permin-

taan dan hajat. Ibn Arabi membayangkan dalam ajarannya, hampir-

hampir tak ada pembedaan antara Rasul Allah  dengan walinya, pada-

nya hanya berbeda bahwa Rasul itu diistimewakan pula dengan syari'at 

dan peraturan-peraturan Allah  yang harus disampaikan kepada manu­

sia. 

Ghazali menerangkan, bahwa baik bagi Nabi-Nabi atau wali-wali, 

sebab  keistimewaannya terbuka dan jelaslah baginya segala sesuatu, 

hati mereka itu penuh dengan cahaya, tidak dengan pelajaran dan tun-

tutan ilmu pengetahuan, namun  sebab  zuhud di dunia, sebab  telah ter-

bebas dari ikatan dengan dunia itu, dengan demikian hatinya telah 

hampa dari kesibukan dunia, telah bersedia menerima segala ilham Tu­

han. Maka barang siapa yang dirinya telah teruntuk bagi Allah , nisca-

ya Allah  itu pun teruntuk baginya. Lebar panjang Ghazali mengurai-