kematian 3
iko. Usia ibu
yang berisiko untuk terjadinya kematian maternal yaitu usia kurang dari 20 tahun atau
lebih dari 35 tahun. Proporsi usia yang berisiko pada kelompok masalah sebesar 34,6%,
lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 13,4%. Sedangkan pada kelompok
usia 20 sampai 35 tahun (usia tidak berisiko untuk terjadinya kematian maternal),
proporsi kelompok masalah sebesar 65,4%, lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol yaitu
sebesar 86,5%. Hasil analisa bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara
usia ibu berisiko dengan kematian maternal (p=0,012). Ibu yang hamil pada usia < 20
tahun atau > 35 tahun memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 3,4 kali lebih
besar dibandingkan ibu yang berusia 20 – 35 tahun (OR = 3,4; 95% CI : 1,3 – 9,1).
Pada variabel paritas, ibu dengan paritas ≤ 1 dan paritas > 4 memiliki risiko 1,3
kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal dibandingkan ibu dengan paritas 2 –
4 (OR = 1,3; 95%CI : 0,6 – 2,8), akan namun secara statistik menunjukkan tidak ada
hubungan yang bermakna antara paritas dengan kematian maternal (p = 0,553).
Pada variabel jarak kehamilan, dapat dilihat bahwa jarak kehamilan < 2 tahun
(merupakan jarak kehamilan berisiko untuk terjadinya kematian maternal), proporsi
kelompok masalah sebesar 9,8%, lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (2,8%). Sedangkan
pada jarak kehamilan ≥ 2 tahun (tidak berisiko) pada kelompok masalah memiliki proporsi
90,2%, lebih kecil dibandingkan proporsi pada kelompok kontrol (97,2%).
Variabel jarak kehamilan pada kelompok masalah dan kelompok kontrol hanya
dapat dianalisa pada 41 sampel masalah dan 36 sampel kontrol dari 52 sampel yang ada,
sebab 11 sampel masalah dan 16 sampel kontrol baru hamil pertama kali (tidak ada jarak
kehamilan). Jarak kehamilan < 2 tahun mempunyai risiko untuk terjadi kematian
maternal 3,8 kali lebih besar bila dibandingkan jarak kehamilan ≥ 2 tahun (OR = 3,8;
95%CI : 0,4 – 35,5), akan namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang
bermakna (p = 0,222). Namun demikian, walaupun jarak kehamilan yang berisiko
terhadap kematian maternal secara teori yaitu < 2 tahun, akan namun menurut riset
yang dilakukan oleh Agudelo A.C dan Belizan J.M di Uruguay, ditemukan bahwa jarak
kehamilan ≥ 5 tahun, risiko ibu untuk mengalami preeklamsia, eklamsia, diabetes
gestasional, perdarahan pada trimester ketiga dan kematian maternal mengalami
peningkatan. Pada riset ini, bila variabel jarak kehamilan dikategorikan < 2 tahun
atau ≥ 5 tahun sebagai jarak kehamilan berisiko dan jarak kehamilan ≥ 2 tahun dan < 5
tahun sebagai jarak kehamilan yang tidak berisiko, maka pada analisa bivariat
menunjukkan hasil ada hubungan yang bermakna (p = 0,010) dengan nilai OR = 3,5
; 95% CI : 1,3 – 9,1 yang berarti bahwa ibu dengan jarak kehamilan < 2 tahun atau ≥ 5
tahun mempunyai risiko untuk terjadi kematian maternal 3,5 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang memiliki jarak kehamilan ≥ 2 tahun dan < 5 tahun.
Pada variabel riwayat penyakit ibu, proporsi kelompok masalah yang memiliki
riwayat penyakit sebesar 36,5% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar
1,9%. Sedangkan proporsi ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit pada kelompok
masalah lebih kecil yaitu sebesar 63,5% dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 98,1%.
Penyakit yang diderita oleh ibu yaitu penyakit yang sudah diderita sejak
sebelum kehamilan / persalinan atau penyakit yang timbul selama kehamilan, yang akan
memberi pengaruh pada kehamilan atau akan diperberat oleh kehamilan ini .
Jenis penyakit yang diderita oleh ibu pada kelompok masalah berturut – turut yaitu
penyakit jantung 8 orang (15,4%), TB paru 3 orang (5,8%), TB paru dan demam tyfoid 1
orang (1,9%), hipertensi 1 orang (1,9%), asma bronkiale 1 orang (1,9%),
bronkopneumonia 1 orang (1,9%), epilepsi 1 orang(1,9%), demam berdarah dengue 1
orang (1,9%), hepatitis 1 orang (1,9%), dan gastritis kronis 1 orang (1,9%). Sedangkan
pada kelompok kontrol hanya 1 orang yang memiliki riwayat penyakit yaitu penyakit
jantung (1,9%). Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang memiliki riwayat
penyakit sejak sebelum kehamilan atau selama kehamilan berlangsung, memiliki risiko
untuk mengalami kematian maternal 29,4 kali lebih besar bila dibandingkan ibu yang
tidak memiliki riwayat penyakit (OR = 29,4; 95%CI : 3,8 – 229, , dan secara statistik
menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p < 0,001).
Pada variabel riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya, proporsi
kelompok masalah yang memiliki riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya sebesar
34,1% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 2,8%. Sedangkan proporsi
ibu yang tidak memiliki riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya pada kelompok
masalah lebih kecil yaitu sebesar 65,9% dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 97,2%.
Variabel riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya pada kelompok masalah
dan kelompok kontrol hanya dapat dianalisa pada 41 sampel masalah dan 36 sampel
kontrol dari 52 sampel yang ada, sebab 11 sampel masalah dan 16 sampel kontrol baru
hamil pertama kali (jadi tidak memiliki riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya).
Jenis riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya pada kelompok masalah
berturut – turut yaitu abortus 6 orang (14,6%), preeklamsia 5 orang (9,6%), perdarahan
antepartum 1 orang (2,3%), ketuban pecah dini 1 orang (2,3%), dan infeksi kehamilan 1
orang (2,3%). Sedangkan pada kelompok kontrol, 1 orang mengalami perdarahan
antepartum pada kehamilan sebelumnya (2,8%). Hasil analisa bivariat menunjukkan
bahwa ibu yang memiliki riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya memiliki
risiko untuk mengalami kematian maternal 18,2 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan ibu yang tidak memiliki riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya (OR =
18,2 ; 95%CI : 2,3 – 146,7) dan secara statistik menunjukkan ada hubungan yang
bermakna (p = 0,001).
Pada variabel riwayat persalinan sebelumnya, proporsi kelompok masalah yang
memiliki riwayat persalinan jelek (belum pernah mengalami partus normal) sebesar
12,2% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu 0%. Sedangkan proporsi kelompok
masalah yang memiliki riwayat persalinan baik (pernah partus normal) sebesar 87,8% lebih
kecil dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 100%.
Variabel riwayat persalinan sebelumnya pada kelompok masalah dan kelompok
kontrol hanya dapat dianalisa pada 41 sampel masalah dan 36 sampel kontrol dari 52
sampel yang ada, sebab 11 sampel masalah dan 16 sampel kontrol baru hamil / bersalin
pertama kali (tidak memiliki riwayat persalinan sebelumnya).
Jenis riwayat persalinan jelek pada kelompok masalah yaitu abortus berulang (2
masalah ), partus tindakan (2 masalah ) dan partus imaturus (1 masalah ). Hasil analisa bivariat
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara riwayat persalinan sebelumnya
dengan terjadinya kematian maternal (p = 0,038). Besar nilai OR tidak dapat dihitung
sebab ada nilai 0 pada salah satu sel pada tabel kontingensi. Untuk mengetahui
besar nilai OR, nilai OR diperkirakan dengan menambahkan nilai 0,5 pada setiap sel pada
tabel kontingensi sehingga diperoleh estimasi nilai OR = 11,0.
Pada variabel status gizi ibu saat hamil, proporsi kelompok masalah yang menderita
KEK (ukuran LILA < 23,5 cm) sebesar 26,9%, lebih besar dibandingkan kelompok kontrol
yaitu sebesar 5,8%. Sedangkan proporsi ibu yang tidak menderita KEK (ukuran LILA ≥
23,5 cm) pada saat hamil pada kelompok masalah lebih kecil yaitu sebesar 73,1% dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 94,2%. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu
dengan status gizi kurang (KEK) memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 6
kali lebih besar bila dibandingkan dengan ibu yang status gizinya baik / tidak KEK (OR =
6,0; 95%CI : 1,6 – 22,5) dan secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna
(p = 0,004).
Pada variabel status anemia, proporsi kelompok masalah yang menderita anemia
pada saat hamil (kadar hemoglobin < 11 g/dl) sebesar 50%, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 21,2%. Sedangkan proporsi ibu yang tidak menderita
anemia pada saat hamil (kadar hemoglobin ≥ 11 g/dl) pada kelompok masalah lebih kecil
yaitu sebesar 46,2% dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 78,8%.
2 orang sampel masalah (3,8%) tidak diukur kadar hemoglobinnya pada saat hamil
sebab tidak pernah memeriksakan kehamilannya sampai 2 masalah ini meninggal.
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang menderita anemia pada saat hamil
memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 4 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan ibu yang tidak menderita anemia (OR = 4,0; 95%CI : 1,7 – 9,6) dan secara
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p = 0,001).
Pada variabel pemeriksaan antenatal, proporsi kelompok masalah yang memenuhi
kriteria pemeriksaan antenatal tidak baik (selama masa kehamilan, ibu tidak pernah
memeriksakan kehamilannya / frekuensi pemeriksaan kurang dari 4 kali pada tenaga
kesehatan yang ada dan tidak memenuhi standar 5 T) sebesar 30,8%, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 1,9%. Sedangkan proporsi ibu yang memenuhi kriteria
pemeriksaan antenatal baik pada kelompok masalah lebih kecil yaitu sebesar 69,2%
dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 98,1%.
Pada kelompok masalah dengan pemeriksaan antenatal tidak baik, 2 masalah (3,8%)
tidak pernah memeriksakan kehamilannya sehingga tidak memperoleh standar pelayanan
5 T, sedangkan 14 masalah (26,9%) memeriksakan kehamilannya dengan frekuensi kurang
dari 4 kali dan tidak memperoleh pelayanan 5 T secara lengkap. Sedangkan pada
kelompok kontrol, ada 1 sampel kontrol yang memiliki frekuensi pemeriksaan
antenatal kurang dari 4 kali.
Pemeriksaan antenatal pada kelompok masalah dilakukan oleh bidan pada 41 masalah
(78,9%), 9 masalah melakukan pemeriksaan antenatal pada dokter dan bidan (17,3%), dan 2
masalah tidak pernah melakukan pemeriksaan antenatal (3,8%). Pada kelompok kontrol, 45
kontrol melakukan pemeriksaan antenatal pada bidan (86,5%) dan sisanya 7 kontrol
(13,5%) melakukan pemeriksaan antenatal pada dokter dan bidan. Hasil analisa bivariat
menunjukkan bahwa pemeriksaan antenatal tidak baik (frekuensi pemeriksaan antenatal
pada petugas kesehatan kurang dari 4 kali dan tidak memenuhi standar 5 T) memiliki
risiko untuk mengalami kematian maternal 22,7 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan ibu yang pemeriksaan antenatalnya baik (OR = 22,7; 95%CI : 2,9 – 178,7) dan
secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p < 0,001).
Pada variabel pemanfaatan fasilitas kesehatan saat terjadi komplikasi, proporsi
kelompok masalah yang tidak memanfaatkan fasilitas kesehatan saat terjadi komplikasi
pada masa kehamilan, persalinan atau masa nifas sebesar 5,8%, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 0%. Sedangkan proporsi ibu yang memanfaatkan fasilitas
kesehatan saat terjadi komplikasi selama kehamilan, persalinan atau nifas pada kelompok
masalah lebih kecil yaitu sebesar 94,2% dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 100%.
Komplikasi yang terjadi selama masa kehamilan, persalinan atau nifas meliputi
komplikasi obstetri langsung (seperti perdarahan, preeklamsia, eklamsia, partus lama,
ketuban pecah dini, infeksi kehamilan) maupun komplikasi tidak langsung yang
diakibatkan oleh adanya penyakit / masalah kesehatan yang sudah diderita sejak sebelum
kehamilan atau persalinan atau akibat penyakit / masalah kesehatan yang timbul selama
kehamilan yang diperburuk oleh pengaruh fisiologik akibat kehamilan ini (seperti
penyakit jantung, hipertensi, diabetes, hepatitis, tuberkulosis, malaria, anemia, KEK).
Pada kelompok masalah , analisa dilakukan pada 52 sampel masalah (seluruh sampel
masalah mengalami komplikasi, baik komplikasi obstetri langsung maupun komplikasi
tidak langsung). Sedangkan pada kelompok kontrol, analisa dilakukan pada 24 sampel
kontrol, sebab sisanya yaitu 28 sampel kontrol tidak mengalami komplikasi selama masa
kehamilan, persalinan maupun masa nifas.
Pada kelompok masalah , pemanfaatan fasilitas kesehatan sebagian besar dilakukan
dengan melakukan pemeriksaan kepada bidan terdekat yaitu sebanyak 38 masalah (73,1%),
5 masalah melakukan pemeriksaan ke rumah sakit (9,6%), 4 masalah melakukan pemeriksaan
ke puskesmas (7,7%), dan 2 masalah ke dokter spesialis (3,8%). Sedangkan pada kelompok
kontrol, pemanfaatan fasilitas kesehatan saat dilakukan pada bidan terdekat sebanyak 21
kontrol (87,5%), dan 3 kontrol melakukan pemeriksaan ke dokter spesialis (12,5%). Hasil
analisa bivariat menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pemanfaatan
fasilitas kesehatan saat terjadi komplikasi dengan terjadinya kematian maternal (p =
0,314). Besar risiko tidak dapat dihitung sebab ada nilai 0 pada salah satu sel pada
tabel kontingensi. Untuk mengetahui besar nilai Odds Rasio diperkirakan dengan
menambahkan nilai 0,5 pada setiap sel pada tabel kontingensi sehingga estimasi nilai OR
= 3,5.
Pada variabel penolong pertama persalinan, proporsi penolong pertama persalinan
bukan tenaga kesehatan pada kelompok masalah yaitu sebesar 32,6%, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 11,5%. Sedangkan proporsi penolong pertama persalinan
oleh tenaga kesehatan pada kelompok masalah sebesar 67,4%, lebih kecil dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 88,5%.
Pada kelompok masalah , analisa dilakukan pada 46 sampel masalah , sebab 6 masalah
meninggal dalam masa kehamilan (belum memasuki proses persalinan).
Penolong pertama persalinan bukan tenaga kesehatan pada kelompok masalah
sebagian besar dilakukan oleh dukun bayi yaitu sebanyak 13 masalah (28,3%) sedangkan
sisanya yaitu 2 masalah (4,3%) melahirkan sendiri. Sedangkan pada kelompok kontrol (6
orang), penolong pertama persalinan bukan oleh tenaga kesehatan dilakukan oleh dukun
bayi yaitu sebesar 11,5%.
Penolong pertama persalinan oleh tenaga kesehatan pada kelompok masalah
sebagian besar dilakukan oleh bidan yaitu 21 masalah (45,7%) dan 10 masalah dilakukan oleh
dokter di rumah sakit (21,7%). Pada kelompok kontrol, penolong pertama persalinan oleh
bidan sebanyak 40 kontrol (76,9%) dan 6 kontrol oleh dokter di rumah sakit (11,6%).
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa penolong pertama persalinan bukan tenaga
kesehatan memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 3,7 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang bersalin ditolong oleh petugas kesehatan (OR = 3,7;
95%CI : 1,3 – 10,6) dan secara statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p =
0,011).
Pada variabel cara persalinan, proporsi cara persalinan dengan tindakan pada
kelompok masalah sebesar 33,3%, lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar
11,5%. Sedangkan proporsi cara persalinan spontan pada kelompok masalah sebesar 66,7%,
lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 88,5%. Hasil analisa bivariat
menunjukkan bahwa cara persalinan dengan tindakan memiliki risiko untuk mengalami
kematian maternal 3,8 kali lebih besar bila dibandingkan dengan ibu yang bersalin secara
spontan (OR = 3,8; 95%CI = 1,3 – 11,1) dan secara statistik menunjukkan ada hubungan
yang bermakna (p = 0,010).
Pada variabel tempat persalinan, Proporsi tempat persalinan bukan tempat
pelayanan kesehatan pada kelompok masalah yaitu sebesar 41,3%, lebih kecil dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 50%. Sedangkan proporsi tempat persalinan pada tempat
pelayanan kesehatan pada kelompok masalah sebesar 58,7%, lebih besar dibandingkan kelompok
kontrol yaitu sebesar 50%.
Pada kelompok masalah , analisa dilakukan pada 46 sampel masalah , sebab 6 masalah
meninggal dalam masa kehamilan (belum memasuki proses persalinan). Tempat
persalinan bukan tempat pelayanan kesehatan baik pada kelompok masalah maupun
kelompok kontrol dilakukan di rumah ibu. Sedangkan tempat persalinan di tempat
pelayanan kesehatan pada kelompok masalah , 22 masalah (47,8%) melakukan persalinan di
rumah sakit, 3 masalah di tempat praktik bidan (6,5%) dan 2 masalah di puskesmas (4,3%).
Pada kelompok kontrol, 20 kontrol melakukan persalinan di tempat praktik bidan
(38,5%) dan 6 kontrol melakukan persalinan di rumah sakit (11,5%). Hasil analisa
bivariat menunjukkan bahwa tempat persalinan bukan tempat pelayanan kesehatan
memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 0,7 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang bersalin di tempat pelayanan kesehatan (OR = 0,7 ;
95%CI : 0,3 – 1,6) dan secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna
(p = 0,38 .
Pada variabel riwayat KB, proporsi kelompok masalah yang tidak pernah KB
sebesar 50%, lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 34,6%. Sedangkan
proporsi kelompok masalah yang pernah KB sebesar 50%, lebih kecil dibandingkan kelompok
kontrol (65,4%). Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang tidak pernah KB
memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 1,9 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang pernah KB (OR = 1,9; 95%CI : 0,9 – 4,2), namun secara
statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p = 0,112).
Pada variabel pelaksanaan rujukan saat terjadi komplikasi, proporsi kelompok
masalah yang tidak dirujuk sebesar 21,2%, lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol yaitu
sebesar 25%. Sedangkan proporsi kelompok masalah yang dirujuk sebesar 78,8%, lebih
besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 75%.
Pada kelompok masalah , analisa dilakukan pada 52 sampel masalah (seluruh sampel
masalah ada komplikasi baik komplikasi obstetri langsung maupun komplikasi tidak
langsung). Sedangkan pada kelompok kontrol, analisa dilakukan pada 24 sampel kontrol,
sebab sisanya yaitu 28 sampel kontrol tidak mengalami komplikasi baik selama masa
99
kehamilan, persalinan maupun masa nifas. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu
yang tidak dirujuk saat terjadi komplikasi memiliki risiko untuk mengalami kematian
maternal 0,8 kali lebih besar bila dibandingkan dengan ibu dirujuk (OR = 0,8; 95%CI :
0,3 – 2,5), namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p =
0,708).
Pada variabel keterlambatan rujukan saat terjadi komplikasi, proporsi kelompok
masalah yang mengalami keterlambatan rujukan sebesar 88,5%, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 25%. Sedangkan proporsi kelompok masalah yang tidak
mengalami keterlambatan rujukan sebesar 11,5%, lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol
yaitu sebesar 75%. Pada kelompok masalah , keterlambatan pertama terjadi pada 28 masalah
(53,9%), keterlambatan pertama dan kedua 10 masalah (19,2%), keterlambatan pertama dan
ketiga 5 masalah (9,6%), sedangkan sisanya yaitu 3 masalah masing – masing mengalami
keterlambatan kedua 1 masalah (1,9%), keterlambatan ketiga 1 masalah (1,9%) dan mengalami
ketiga keterlambatan 1 masalah (1,9%).
Jenis keterlambatan pertama yang dialami yaitu keterlambatan mengenali adanya
masalah kesehatan, keterlambatan dalam mengambil keputusan sebab harus menunggu
suami / orangtua dan adanya kendala biaya. Jenis keterlambatan kedua yang dialami
meliputi kesulitan mencari sarana transportasi, mobil mogok di jalan, kendala geografi
(jalan rusak, daerah pegunungan), dan perjalanan jauh (lebih dari dua jam). Jenis
keterlambatan ketiga yang terjadi yaitu ketidaktersediaan darah, tenaga ahli tidak berada
di tempat, waktu menunggu untuk dilakukan penanganan yang lama (> 30 menit sejak
masuk rumah sakit).
Pada kelompok kontrol, keterlambatan terjadi pada 6 sampel kontrol, yang
meliputi keterlambatan pertama 4 kontrol (16,7%) dan keterlambatan pertama dan kedua
2 kontrol (8,3%). Jenis keterlambatan pertama yang terjadi yaitu keterlambatan dalam
mengambil keputusan dan kendala biaya, sedangkan keterlambatan kedua terjadi sebab
perjalanan jauh (> 2 jam). Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang terlambat
dirujuk memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 23 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu tidak terlambat (OR = 23,0; 95%CI : 6,6 – 80,8), dan secara
statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna (p < 0,001).
Hubungan antara determinan jauh dengan kematian maternal
Determinan jauh yang akan dianalisa meliputi : pendidikan ibu, status pekerjaan
ibu, jumlah pendapatan keluarga dan wilayah tempat tinggal.
Dari tabel 4.10 di atas dapat dilihat bahwa pada variabel pendidikan ibu, proporsi
kelompok masalah yang memiliki tingkat pendidikan < SLTP sebesar 63,5%, lebih besar
dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 55,8%. Sedangkan proporsi kelompok masalah
yang memiliki pendidikan ≥ SLTP sebesar 36,5%, lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol
yaitu sebesar 44,2%. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang memiliki
pendidikan di bawah SLTP memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 1,4 kali
lebih besar dibandingkan ibu yang pendidikannya SLTP atau lebih (OR = 1,4; 95% CI : 0,6 –
3,0) namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,424).
Pada variabel status pekerjaan ibu, proporsi kelompok masalah yang bekerja sebesar
32,7%, lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 21,2%. Sedangkan proporsi
kelompok masalah yang tidak bekerja sebesar 67,3%, lebih kecil dibandingkan kelompok kontrol
yaitu sebesar 78,8%. Ibu yang bekerja memiliki risiko untuk mengalami kematian
maternal 1,8 kali lebih besar dibandingkan ibu yang tidak bekerja (OR = 1,8; 95% CI : 0,8 –
4,4) namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,185).
Pada variabel jumlah pendapatan keluarga, proporsi kelompok masalah yang
memiliki jumlah pendapatan di bawah UMR sebesar 71,2%, lebih besar dibandingkan
kelompok kontrol yaitu sebesar 51,9%. Sedangkan proporsi kelompok masalah yang
memiliki jumlah pendapatan ≥ UMR sebesar 28,8%, lebih kecil dibandingkan kelompok
kontrol yaitu sebesar 48,1%. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa jumlah
pendapatan yang kurang dari UMR memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal
2,3 kali lebih besar dibandingkan keluarga yang memiliki pendapatan sesuai dengan UMR
atau lebih (OR = 2,3; 95% CI : 1,0 – 5,1) dan secara statistik menunjukkan ada hubungan
yang bermakna (p=0,044).
Pada variabel wilayah tempat tinggal, proporsi kelompok masalah yang bertempat
tinggal di desa sebesar 76,9%, lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu sebesar 75%.
Sedangkan proporsi kelompok masalah yang sebesar 23,1%, lebih kecil dibandingkan kelompok
kontrol yaitu sebesar 25%. Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang
bertempat tinggal di desa memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 1,1 kali
lebih besar dibandingkan ibu yang bertempat tinggal di kota (OR = 1,1; 95%CI : 0,5 – 2,7)
namun secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna (p=0,81 .
Hasil analisa bivariat antara variabel independen (determinan dekat, determinan
antara dan determinan jauh) terhadap kematian maternal selengkapnya dirangkum dalam
tabel 4.11 sebagai berikut :
Grafik 4.1 Hasil analisa bivariat faktor – faktor risiko yang mempengaruhi kematian maternal
4.5 analisa Multivariat
analisa multivariat dilakukan untuk mengetahui seberapa besar sumbangan
secara bersama – sama seluruh faktor risiko terhadap kejadian kematian maternal.
analisa s ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan metode backward, pada
tingkat kemaknaan 95%, menggunakan perangkat software SPSS for windows release
10.00. Alasan pemakaian uji ini yaitu agar dapat memilih variabel independen yang
paling berpengaruh, jika diuji bersama – sama dengan variabel independen lain terhadap
kejadian kematian maternal. Variabel independen yang tidak berpengaruh secara otomatis
akan dikeluarkan dari perhitungan. Variabel yang dijadikan kandidat dalam uji regresi
logistik ini yaitu variabel yang dalam analisa bivariat mempunyai nilai p < 0,25, yang
berjumlah 17 variabel yaitu variabel komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan,
komplikasi nifas, usia ibu, jarak kehamilan, riwayat penyakit ibu, riwayat komplikasi
kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan sebelumnya, status gizi ibu saat hamil, status
anemia, pemeriksaan antenatal, penolong pertama persalinan, cara persalinan, riwayat
KB, keterlambatan rujukan, status pekerjaan ibu, dan jumlah pendapatan keluarga.
Hasil analisa multivariat menunjukkan ada 6 variabel independen yang patut
dipertahankan secara statistik yaitu komplikasi kehamilan, komplikasi persalinan,
komplikasi nifas, riwayat penyakit ibu, riwayat KB, dan keterlambatan rujukan. Hasil
analisa interaksi pada 6 variabel independen terhadap variabel dependen menunjukkan
tidak ada interaksi antar keenam variabel independen, yang ditunjukkan dengan nilai
p > 0,05, sehingga tidak ada variabel yang dikeluarkan dari model. Hasil selengkapnya
dapat dilihat pada tabel 4.12.
Hasil analisa multivariat menghasilkan model persamaan regresi sebagai berikut :
Y = 1
1+ e-(β0 + ∑βn Xn)
Y = 1
1+ e-(Constant + B riwayat penyakit ibu + B komplikasi kehamilan + B komplikasi nifas + B keterlambatan
rujukan + B komplikasi persalinan + B riwayat KB)
Y = 1
1+ e-(-9,094 + 9,954 + 4,991 + 4,442 + 3,928 + 3,897 + -2,606)
Y = 0,99 ( 99% )
Hal ini berarti bahwa jika ibu memiliki riwayat penyakit, mengalami komplikasi
kehamilan, komplikasi persalinan, komplikasi nifas, tidak pernah KB dan mengalami
keterlambatan rujukan saat terjadi komplikasi akan memiliki probabilitas atau risiko
mengalami kematian maternal sebesar 99%.
Pembahasan Hasil riset
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa faktor risiko yang terbukti
berpengaruh terhadap kematian maternal yaitu faktor komplikasi kehamilan, komplikasi
persalinan dan komplikasi nifas (determinan dekat) dan faktor riwayat penyakit ibu,
keterlambatan rujukan dan riwayat KB (determinan antara).
Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal secara
statistik yaitu : a) determinan antara : usia ibu, paritas, jarak kehamilan, riwayat
komplikasi pada kehamilan sebelumnya, riwayat persalinan sebelumnya, status gizi ibu
saat hamil, status anemia, pemeriksaan antenatal, pemanfaatan fasilitas kesehatan saat
terjadi komplikasi, penolong pertama persalinan, cara persalinan, tempat persalinan, dan
pelaksanaan rujukan saat terjadi komplikasi ; b) determinan jauh : pendidikan ibu, status
pekerjaan, jumlah pendapatan keluarga, dan wilayah tempat tinggal.
Faktor risiko yang terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal
Determinan dekat
1. Komplikasi kehamilan
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa ibu yang mengalami komplikasi
kehamilan memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 147,1 kali lebih besar
bila dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami komplikasi kehamilan, dengan nilai
p = 0,002 (OR adjusted = 147,1 ; 95% CI : 13,4 – 5590,4). l
Hasil riset ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Kusumaningrum
(199 yang menyatakan bahwa adanya komplikasi kehamilan memicu ibu
memiliki risiko 19,2 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal, sehingga
menunjukkan adanya asosiasi kausal dari aspek consistency..28) Sedangkan aspek
kekuatan hubungan (strength) pada asosiasi kausal ditunjukkan dengan besarnya OR
yaitu OR=147,1 dan nilai p yang kecil (p=0,002)
Hasil riset menunjukkan bahwa komplikasi kehamilan yang terjadi pada
kelompok masalah sebagian besar berupa preeklamsia (42,2%) dan perdarahan (7,7%),
demikian juga pada kelompok kontrol, dimana preeklamsia memiliki proporsi sebesar
3,9% dan perdarahan 1,9%.
Adanya komplikasi pada kehamilan, terutama perdarahan hebat yang terjadi
secara tiba – tiba, akan memicu ibu kehilangan banyak darah dan akan
memicu kematian maternal dalam waktu singkat.1,44,46) Hipertensi dalam
kehamilan, yang sering dijumpai yaitu preeklamsia dan eklamsia, bila tidak segera
ditangani akan dapat memicu ibu kehilangan kesadaran yang berlanjut pada
terjadinya kegagalan pada jantung, gagal ginjal atau perdarahan otak yang akan
memicu kematian maternal.48,56) Hal ini berarti bahwa adanya komplikasi
kehamilan memenuhi aspek biologic plausibility dari asosiasi kausal antara komplikasi
kehamilan dengan kematian maternal.
2. Komplikasi persalinan
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa ibu yang mengalami komplikasi
persalinan memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 49,2 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami komplikasi persalinan dengan nilai p =
0,027 (OR adjusted = 49,2 ; 95% CI : 1,8 – 1827,7).
Hasil riset ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Suwanti E
(2002) yang menyatakan bahwa adanya komplikasi persalinan memicu ibu
memiliki risiko 50,69 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal.73) Juga
riset oleh Kusumaningrum (199 yang menyatakan bahwa komplikasi persalinan
memicu ibu memiliki risiko 13 kali untuk mengalami kematian maternal.28) Hal ini
menunjukkan adanya asosiasi kausal dari aspek consistency. Sedangkan aspek kekuatan
hubungan (strength) pada asosiasi kausal ditunjukkan dengan besarnya OR yaitu OR =
49,2 dan nilai p yang kecil (p = 0,027).
Hasil riset menunjukkan bahwa komplikasi persalinan yang terjadi pada
kelompok masalah sebagian besar berupa perdarahan (34,6%), disusul preeklamsia (15,4%),
dan eklamsia (11,5%), demikian juga pada kelompok kontrol, yaitu preeklamsia dan
perdarahan (7,7%) disusul partus lama (3,9%).
Adanya komplikasi persalinan, terutama perdarahan postpartum, memberi
kontribusi 25% untuk terjadinya kematian maternal.1) Perdarahan ini akan memicu
ibu kehilangan banyak darah, dan akan memicu kematian maternal dalam waktu
singkat.1,44,46) Preeklamsia ringan dapat dengan mudah berubah menjadi preeklamsia
berat dan keadaan ini akan mudah menjadi eklamsia yang memicu kejang.
bila keadaan ini terjadi pada proses persalinan akan dapat memicu ibu
kehilangan kesadaran, dan dapat memicu kematian maternal.46,48,56) Partus lama
atau persalinan tidak maju, yaitu persalinan yang berlangsung lebih dari 18 jam sejak
inpartu. Partus lama dapat membahayakan jiwa ibu, sebab pada partus lama risiko
terjadinya perdarahan postpartum akan meningkat dan bila pemicu partus lama yaitu
akibat disproporsi kepala panggul, maka risiko terjadinya ruptura uteri akan meningkat,
dan hal ini akan memicu kematian ibu dan juga janin dalam waktu singkat. Partus
lama dapat memicu terjadinya infeksi jalan lahir. Infeksi ini dapat membahayakan
nyawa ibu sebab dapat memicu sepsis.44) Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bawa aspek biologic plausibility dari asosiasi kausal antara komplikasi persalinan dengan
kematian maternal dapat dipenuhi.
3. Komplikasi nifas
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa ibu yang mengalami komplikasi
nifas memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal 84,9 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami komplikasi nifas dengan nilai p = 0,034
(OR adjusted = 84,9 ; 95% CI : 1,8 – 3011,4).
Hasil riset ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Kusumaningrum
(199 yang menyatakan bahwa adanya komplikasi nifas memicu ibu memiliki
risiko 8,62 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal, sehingga hal ini
menunjukkan adanya asosiasi kausal dari aspek consistency.28) Sedangkan aspek
kekuatan hubungan (strength) pada asosiasi kausal ditunjukkan dengan besarnya OR
yaitu OR = 84,9.
Hasil riset menunjukkan bahwa komplikasi nifas yang terjadi pada
kelompok masalah berupa perdarahan (9,6%), disusul infeksi nifas (7,7%) dan preeklamsia
(3,9%), sedangkan pada kelompok kontrol, yaitu infeksi nifas (1,9%) dan mastitis (1,9%).
Adanya komplikasi pada masa nifas terutama adanya infeksi dapat memicu
kematian maternal akibat menyebarnya kuman ke dalam aliran darah (septikemia), yang
dapat menimbulkan abses pada organ – organ tubuh, seperti otak dan ginjal, sedangkan
perdarahan pada masa nifas dapat melanjut pada terjadinya kematian maternal terutama
bila ibu tidak segera mendapat perawatan awal untuk mengendalikan perdarahan.44,48)
Hal ini berarti bahwa adanya komplikasi nifas memenuhi aspek biologic plausibility dari
asosiasi kausal antara komplikasi nifas dengan kematian maternal.
Determinan antara
1. Riwayat Penyakit Ibu
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa risiko untuk terjadinya kematian
maternal pada ibu yang memiliki riwayat penyakit yaitu 210,2 kali lebih besar bila
dibandingkan dengan ibu yang tidak memiliki riwayat penyakit dengan nilai p = 0,002
(OR adjusted = 210,2 ; 95% CI : 13,4 – 5590,4).
Riwayat penyakit ibu didefinisikan sebagai penyakit yang sudah diderita oleh ibu
sebelum kehamilan atau persalinan atau penyakit yang timbul selama kehamilan yang
tidak berkaitan dengan pemicu obstetri langsung, akan namun diperburuk oleh pengaruh
fisiologik akibat kehamilan sehingga keadaan ibu menjadi lebih buruk. Kematian
maternal akibat penyakit yang diderita ibu merupakan pemicu kematian maternal tidak
langsung (indirect obstetric death).
Hasil riset menunjukkan bahwa pada kelompok masalah , penyakit yang
diderita oleh ibu sejak sebelum kehamilan maupun selama kehamilan mempunyai
proporsi sebesar 36,5% yaitu meliputi penyakit jantung, hipertensi, TB paru, demam
tifoid, asma bronkiale, bronkopneumonia, hepatitis, demam berdarah dengue, epilepsi
dan gastritis kronis. Sedangkan pada kelompok kontrol penyakit yang diderita ibu yaitu
penyakit jantung (1,9%). Hasil riset ini sesuai dengan riset – riset
sebelumnya yang menunjukkan bahwa penyakit yang diderita ibu merupakan pemicu
tidak langsung dari kematian maternal sehingga memenuhi aspek koherensi / konsistensi
dari asosiasi kausal.
2. Keterlambatan rujukan
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa keterlambatan rujukan saat terjadi
komplikasi akan memicu ibu memiliki risiko 50,8 kali lebih besar untuk mengalami
kematian maternal bila dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami keterlambatan
rujukan dengan nilai p = 0,003 dan OR adjusted 50,8 ; 95% CI 2,5 – 488,1.
Hasil analisa ini menunjukkan bahwa keterlambatan rujukan pada ibu yang
mengalami komplikasi pada masa kehamilan, persalinan dan nifas memberi risiko
lebih besar untuk terjadinya kematian maternal bila dibandingkan dengan ibu yang tidak
mengalami keterlambatan rujukan saat terjadi komplikasi. Keterlambatan rujukan yang
terjadi pada masalah – masalah kematian maternal meliputi keterlambatan pertama, kedua dan
ketiga. Ketiga jenis keterlambatan ini akan memperburuk kondisi ibu akibat ibu tidak
dapat memperoleh penanganan yang adekuat sesuai dengan komplikasi yang ada,
sehingga kematian maternal menjadi tidak dapat dihindarkan.
Hasil riset menunjukkan bahwa pada masalah – masalah kematian maternal,
sebagian besar terjadi keterlambatan pertama yaitu pada 28 masalah (53,9%), sedangkan 10
masalah mengalami jenis keterlambatan pertama dan kedua (19,2%), 5 masalah mengalami
keterlambatan pertama dan ketiga (9,6%), dan sisanya yaitu 3 masalah masing – masing
mengalami keterlambatan kedua, ketiga dan ketiga keterlambatan sekaligus. Hanya 6
masalah yang tidak mengalami keterlambatan rujukan saat terjadi komplikasi.
Keterlambatan pertama merupakan keterlambatan dalam pengambilan keputusan.
Dari hasil indepth interview yang dilakukan pada saat riset , diperoleh informasi
bahwa ketika terjadi kegawat – daruratan, pengambilan keputusan masih berdasar pada
budaya ‘berunding’, yang berakibat pada keterlambatan merujuk. Peran suami sebagai
pengambil keputusan utama juga masih tinggi, sehingga pada saat terjadi komplikasi
yang membutuhkan keputusan ibu segera dirujuk menjadi tertunda sebab suami tidak
berada di tempat. Kendala biaya juga merupakan alasan terjadinya keterlambatan dalam
pengambilan keputusan. Pada masalah – masalah dimana ibu dari keluarga tidak mampu harus
segera dirujuk, keluarga tidak berani membawa ibu ke rumah sakit sebagai tempat
rujukan, walaupun pihak kepala desa akan membuatkan surat keterangan tidak mampu,
sebab pihak keluarga merasa bahwa meskipun biaya pendaftaran rumah sakit gratis,
mereka berpikir tetap harus mengeluarkan biaya untuk transportasi ke rumah sakit, biaya
ekstra untuk obat – obatan khusus, yang akan menimbulkan beban keuangan keluarga.
Keterlambatan juga terjadi akibat ketidaktahuan ibu maupun keluarga mengenai tanda
bahaya yang harus segera mendapatkan penanganan untuk mencegah terjadinya kematian
maternal. Misalnya pada masalah perdarahan, persepsi mengenai seberapa banyak darah
yang keluar dapat dikatakan lebih dari normal bagi orang awam (ibu maupun anggota
keluarga) ternyata belum diketahui. Pada masalah perdarahan post partum akibat retensio
placenta, ibu merasa kondisinya masih kuat dan tidak mau dirujuk, walaupun menurut
keluarga yang ada pada saat kejadian, darah yang keluar sampai membasahi 3 kain yang
dipakai ibu. Keluarga berpendapat perdarahan ini merupakan hal yang biasa sebab
ibu habis melahirkan dan kemudian baru merasa panik dan memutuskan untuk membawa
ibu ke rumah sakit sesudah perdarahan terus berlanjut dan kondisi ibu makin memburuk.
Budaya pasrah dan menganggap kesakitan dan kematian ibu sebagai takdir masih tetap
ada dalam masyarakat, sehingga hal ini membuat anggota keluarga dan masyarakat
tidak segera mengusaha kan secara maksimal penanganan kegawat – daruratan yang ada.
Keterlambatan kedua merupakan keterlambatan mencapai tempat rujukan, sesudah
pengambilan keputusan untuk merujuk ibu ke tempat pelayanan kesehatan yang lebih
lengkap diambil. Hal ini dapat terjadi akibat kendala geografi, kesulitan mencari alat
transportasi, sarana jalan dan sarana alat transportasi yang tidak memenuhi syarat. masalah
kematian maternal yang terjadi pada umumnya terjadi pada saat dan sesudah persalinan,
sehingga keterlambatan kedua sebenarnya tidak perlu terjadi bila sarana transportasi
untuk mengantisipasi keadaan gawat – darurat telah dipersiapkan sejak dini. Hasil
riset menunjukkan bahwa sebagian besar anggota keluarga baru mencari alat
transportasi sesudah bidan menyarankan ibu untuk dirujuk. Ambulan desa sebagai salah
satu sarana alat transportasi bila terjadi keadaan gawat – darurat belum tersedia di desa
tempat tinggal masalah – masalah kematian maternal, sehingga ibu dibawa ke rumah sakit
dengan angkutan umum, mobil sewaan, mobil milik bidan, truk angkutan pasir dan hanya
sebagian kecil yang diangkut dengan ambulans milik puskesmas. Jarak ke tempat rujukan
rata – rata dapat dicapai dalam jangka waktu kurang dari 2 jam, akan namun kondisi jalan
yang rusak memperlama waktu perjalanan dan memperburuk kondisi ibu.
Keterlambatan ketiga pada masalah kematian maternal terjadi akibat keterlambatan
penanganan masalah di tempat rujukan. Keterlambatan ketiga yang terjadi pada 6 masalah
kematian maternal terjadi akibat rumah sakit tempat rujukan kekurangan persediaan
darah (3 masalah ), sehingga keluarga diminta mencari darah di tempat lain, dan sebelum
keluarga tiba, ibu sudah meninggal, sedangkan pada masalah yang lain terjadi
keterlambatan dalam pelaksanaan tindakan medis akibat tenaga ahli tidak berada di
tempat dan pada masalah yang lain terjadi akibat pelaksanaan penanganan medis yang
membutuhkan waktu lebih dari 30 menit sejak ibu sampai di rumah sakit. Sebagai contoh
pada masalah perdarahan antepartum, operasi seksio sesaria baru dilakukan 7 jam sesudah
ibu tiba di rumah sakit dan pada masalah preeklamsia pada ibu dengan kehamilan 40
minggu, induksi persalinan baru dilakukan 6 jam sesudah ibu tiba di rumah sakit.
Hasil riset ini sesuai dengan riset – riset terdahulu yang
menyatakan bahwa keterlambatan rujukan meningkatkan risiko untuk terjadinya
kematian maternal. Hal ini menunjukkan konsistensi dari asosiasi kausal.
3. Riwayat KB
Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa ibu yang tidak pernah KB memiliki
risiko untuk mengalami kematian maternal 33,1 kali lebih besar bila dibandingkan
dengan ibu yang mengikuti program KB dengan nilai p = 0,038 (OR adjusted = 33,1 ;
95% CI : 13,0 – 2361,6).
Hasil riset menunjukkan bahwa proporsi ibu yang tidak pernah KB pada
kelompok masalah sebesar 50% lebih besar dibandingkan kelompok kontrol yaitu 34,6%.
Meskipun pada analisa bivariat tidak ada hubungan yang bermakna antara riwayat
KB dengan kematian maternal dengan nilai p = 0,112 (OR = 1,89 ; 95% CI : 0,86 – 4,16),
akan namun sesudah masuk model multivariat, ternyata riwayat KB merupakan faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kematian maternal.
Program KB memiliki peranan yang besar dalam mencegah kematian maternal.
Dengan memakai alat kontrasepsi, seorang ibu akan dapat merencanakan kehamilan
sedemikian rupa sehingga dapat menghindari terjadinya kehamilan pada umur tertentu
(usia terlalu muda maupun usia tua) dan dapat mengurangi jumlah kehamilan yang tidak
diinginkan sehingga mengurangi praktik pengguguran yang ilegal berikut kematian
maternal yang ditimbulkannya.3,48) pemakaian alat kontrasepsi akan mencegah keadaan
‘empat terlalu’ yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak yang
merupakan faktor risiko terjadinya kematian maternal.30) bila seorang ibu dalam masa
reproduksinya tidak menggunakan alat kontrasepsi, maka ia dihadapkan pada risiko
untuk terjadinya kehamilan beserta risiko untuk terjadinya komplikasi baik pada masa
kehamilan, persalinan maupun nifas, yang dapat melanjut menjadi kematian maternal.42)
Oleh sebab itu, pelayanan keluarga berencana harus dapat mencapai sasaran seluas –
luasnya di masyarakat, khususnya pada golongan risiko tinggi.3)
Aspek konsistensi dari asosiasi kausal tidak dapat dinilai sebab riset sejenis
yang meneliti berapa besar pengaruh KB terhadap kematian maternal belum pernah
dilakukan, akan namun menurut WHO, tindakan pencegahan kelahiran dengan
pemakaian alat kontrasepsi pada wanita yang memiliki risiko tinggi, akan mengurangi
angka kematian maternal sebesar 25%. Aspek strength dari asosiasi kausal dapat dilihat
dari besarnya nilai OR (OR adjusted = 33,1).
Faktor risiko yang tidak terbukti berpengaruh terhadap kematian maternal
Determinan antara
1.Usia ibu
analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang hamil pada usia < 20 tahun dan
usia > 35 tahun memiliki risiko 3,4 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal
dibandingkan ibu yang hamil pada usia 20 – 35 tahun (OR = 3,4; 95% CI : 1,3 – 9,1 ; p =
0,012). Sedangkan pada analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada
riset ini hipotesis usia ibu merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian
maternal tidak terbukti.
Hasil riset ini sesuai dengan hasil riset Depkes (1995),
Kusumaningrum (199 dan riset Suwanti E (2002) yang menyatakan tidak ada
pengaruh usia ibu terhadap kematian maternal (nilai p > 0,05), akan namun riset
Nining W (2004) menyatakan sebaliknya, bahwa usia ibu < 20 tahun dan > 35 tahun
memiliki risiko 3 kali untuk mengalami kematian maternal dengan nilai p = 0,02.14,28)
Usia paling aman bagi seorang wanita untuk hamil dan melahirkan yaitu usia
antara 20 – 35 tahun, sebab mereka berada dalam masa reproduksi sehat.3,4,48) Kematian
maternal pada ibu yang hamil dan melahirkan pada usia < 20 tahun dan usia > 35 tahun
akan meningkat secara bermakna, sebab mereka terpapar pada komplikasi baik medis
maupun obstetrik yang dapat membahayakan jiwa ibu.40,46,48)
Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa multivariat dipicu
adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh
dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
2. Paritas
Hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada pengaruh antara paritas dengan
kematian maternal (OR = 1,3 ; 95% CI 0,6 – 2,8 ; p = 0,553).
Hasil riset ini sesuai dengan hasil riset Depkes (1995) dan Nining W
(2004) yang menyebutkan bahwa paritas bukan merupakan faktor yang berpengaruh
terhadap kematian maternal.)
Paritas 2 – 3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal.3,48) Paritas pertama dan paritas lebih dari empat, meningkatkan risiko terjadinya
kematian maternal. Angka kematian biasanya meningkat mulai pada persalinan keempat,
dan akan meningkat secara dramatis pada persalinan kelima dan setiap anak
berikutnya.48) Ibu yang baru pertama kali hamil dan melahirkan akan berisiko sebab ibu
belum siap secara medis maupun secara mental, sedangkan paritas lebih dari empat, ibu
mengalami kemunduran dari segi fisik untuk menjalani kehamilannya.4)
Pada riset ini paritas bukan merupakan faktor risiko yang berpengaruh
terhadap kematian maternal sebab adanya kesetaraan proporsi antara masalah dan kontrol.
3. Jarak kehamilan
Hasil analisa baik secara bivariat maupun multivariat menunjukkan tidak ada
pengaruh antara jarak kehamilan < 2 tahun dengan kematian maternal (OR = 3,78; 95%
CI 0,4 – 35,5 ; p = 0,222). Hasil riset ini sesuai dengan hasil riset
menyebutkan bahwa jarak kehamilan bukan merupakan
faktor yang berpengaruh terhadap kematian maternal,
Jarak kehamilan yang disarankan agar kehamilan berlangsung aman paling sedikit
yaitu 2 tahun, untuk memungkinkan tubuh ibu dapat pulih dari kebutuhan ekstra pada
kehamilan dan laktasi. Jarak kehamilan yang terlalu dekat memicu ibu memiliki
risiko tinggi untuk mengalami perdarahan postpartum dan kematian ibu.) Menurut
riset yang dilakukan oleh Agudelo A.C dan Belizan J.M dan didukung oleh
riset – riset sebelumnya, jarak kehamilan yang terlalu panjang ( ≥ 5 tahun)
akan meningkatkan risiko untuk terjadinya preeklamsia / eklamsia, diabetes gestasional,
perdarahan pada trimester ketiga dan juga menunjukkan peningkatan risiko untuk
terjadinya kematian maternal, sehingga ibu dengan jarak kehamilan ≥ 5 tahun ini
memerlukan perhatian khusus selama pemeriksaan antenatal.
Bila jarak kehamilan dikategorikan dalam jarak kehamilan < 2 tahun atau ≥ 5
tahun sebagai jarak kehamilan berisiko dan jarak kehamilan ≥ 2 tahun dan < 5 tahun
sebagai jarak kehamilan yang tidak berisiko sesuai dengan riset yang dilakukan oleh
Agudelo A.C dan Belizan J.M maka pada analisa bivariat menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna (p = 0,010, OR = 3,5, 95% CI : 1,3 – 9,1), akan namun pada
analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada riset ini hipotesis
jarak kehamilan merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal tidak
terbukti.
Tidak adanya pengaruh antara jarak kehamilan dengan kematian maternal dalam
riset ini sebab adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat pengaruhnya,
mengingat variabel – variabel yang berpengaruh dianalisa sekaligus sehingga dikontrol
oleh variabel yang lebih besar pengaruhnya.
4. Riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya
analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang memiliki riwayat komplikasi pada
kehamilan sebelumnya memiliki risiko 18,2 kali lebih besar untuk mengalami kematian
maternal dibandingkan ibu yang tidak mengalami komplikasi (OR = 18,2; 95% CI : 2,3 –
146,7 ; p = 0,001). Akan namun pada analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh,
sehingga pada riset ini hipotesis riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya
merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal tidak terbukti.
Adanya riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya, seperti perdarahan,
preeklamsia, eklamsia dan infeksi membuat ibu masuk ke dalam golongan risiko tinggi
untuk mengalami komplikasi maupun kematian pada kehamilan berikutnya.
Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa multivariat dipicu
adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh
dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
5. Riwayat persalinan sebelumnya
Ibu dengan riwayat persalinan jelek (belum pernah menjalani partus normal)
memiliki risiko tinggi untuk mengalami kematian maternal.) Riwayat persalinan
dengan tindakan, partus lama, perdarahan, abortus berulang, melahirkan bayi mati,
kematian neonatal dini berulang diduga sebagai faktor yang berpengaruh terhadap
kejadian kematian maternal.
Pada riset ini tidak dapat dihitung berapa besar risiko riwayat persalinan
sebelumnya terhadap kejadian kematian maternal. Estimasi besar risiko pada ibu dengan
riwayat persalinan jelek sebesar 11 ,0 dan bermakna secara statistik pada analisa bivariat
dengan uji Fisher’s Exact Test dengan nilai p = 0,038, akan namun secara multivariat tidak
ada pengaruh antara riwayat persalinan sebelumnya dengan kematian maternal, sehingga
pada riset ini hipotesis riwayat persalinan sebelumnya merupakan faktor risiko bagi
terjadinya kematian maternal tidak terbukti. Hasil analisa bivariat pada riset ini
sesuai dengan hasil riset Lattuamury (2001) yang menyebutkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara riwayat obstetri jelek dengan kematian maternal
(p=0,003), akan namun secara multivariat juga tidak berpengaruh.l
6. Status gizi ibu saat hamil
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang menderita KEK pada saat
hamil memiliki risiko 6 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal dibandingkan ibu
yang tidak menderita KEK (OR = 6,0; 95% CI : 1,6 – 22,5 ; p = 0,001). Akan namun pada
analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada riset ini hipotesis
status gizi ibu saat hamil merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal tidak
terbukti.
Ibu dengan status gizi buruk memiliki risiko untuk mengalami perdarahan dan
infeksi pada saat nifas.62) Keadaan kurang gizi sebelum dan selama kehamilan terutama
kondisi ibu dengan stunting pada masa kanak – kanak yang mencerminkan keadaan
kekurangan gizi berat akan memberi risiko terjadinya partus macet akibat disproporsi
sefalopelvik, yang akan meningkatkan risiko kematian maternal pada saat persalinan.1)
Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa multivariat dipicu
adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh
dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
7. Status anemia
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa ibu yang menderita anemia pada saat
hamil memiliki risiko 4 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal dibandingkan ibu
yang tidak menderita anemia (OR = 4,0; 95% CI : 1,7 – 9,6 ; p = 0,001). Akan namun pada
analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada riset ini hipotesis
anemia ibu saat hamil merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal tidak
terbukti.
Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan
anemia selama kehamilan.1) Ibu hamil dengan anemia berat akan lebih rentan terhadap
infeksi selama masa hamil dan saat persalinan, meningkatkan risiko terjadinya
perdarahan yang akan berlanjut dengan kematian.1,48) Beberapa riset menunjukkan
bahwa risiko kematian maternal meningkat pada ibu yang menderita anemia saat
hamil.
Pada analisa multivariat variabel status anemia ibu tidak terbukti berpengaruh
terhadap kejadian kematian maternal, sebab adanya pengaruh variabel lain yang lebih
kuat, mengingat variabel yang berpengaruh dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan
dikontrol oleh variabel yang lebih besar pengaruhnya.
8. Pemeriksaan antenatal
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa pemeriksaan antenatal yang tidak baik
(frekuensi pemeriksaan antenatal pada petugas kesehatan kurang dari 4 kali dan tidak
memenuhi standar 5 T) memiliki risiko untuk mengalami kematian maternal sebesar 22,7
kali lebih besar bila dibandingkan dengan ibu yang pemeriksaan antenatalnya baik dan
hasil ini secara statistik bermakna dengan nilai p < 0,001 (OR = 22,7 ; 95% CI : 2,9 –
178,7). Akan namun hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa pemeriksaan antenatal
bukan merupakan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal,
sehingga hipotesis pemeriksaan antenatal merupakan faktor risiko bagi terjadinya
kematian maternal tidak terbukti. Hasil riset ini sesuai dengan hasil riset
Nining W (2004) dan Suwanti E (2002) yang menyebutkan bahwa perawatan antenatal
yang buruk bukan merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kematian
maternal.
Pemeriksaan antenatal yang teratur, minimal 4 kali selama kehamilan kepada
petugas kesehatan, dapat mendeteksi secara dini kemungkinan adanya komplikasi yang
timbul pada masa kehamilan, seperti preeklamsia, anemia, KEK, infeksi kehamilan dan
perdarahan antepartum, dimana keadaan ini merupakan faktor – faktor risiko untuk
terjadinya kematian maternal.
Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa multivariat dipicu
adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh
dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
9. Pemanfaatan fasilitas kesehatan saat terjadi komplikasi
Hasil analisa statistik menunjukkan tidak ada pengaruh antara variabel
pemanfaatan fasilitas kesehatan saat terjadi komplikasi dengan kematian maternal. Besar
nilai OR tidak dapat dihitung sebab ada nilai 0 pada tabel kontingensi, sehingga
dengan menambahkan nilai 0,5 pada setiap sel pada tabel kontingensi diperoleh estimasi
nilai OR = 3,5. Secara statistik dengan uji Fisher’s Exact Test tidak diperoleh hasil yang
bermakna (nilai p = 0,314). Tidak adanya pengaruh pemanfaatan fasilitas kesehatan saat
terjadi komplikasi terhadap kejadian kematian maternal sebab adanya kesetaraan
proporsi antara masalah dan kontrol, dimana > 90% ibu yang mengalami komplikasi baik
pada kelompok masalah maupun kelompok kontrol telah memanfaatkan fasilitas kesehatan
yang ada saat terjadi komplikasi.
10. Penolong pertama persalinan
analisa bivariat menunjukkan bahwa penolong pertama persalinan bukan oleh
tenaga kesehatan memiliki risiko 3,7 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal
dibandingkan penolong pertama persalinan oleh tenaga kesehatan (OR = 3,7; 95% CI : 1,3 –
10,6 ; p = 0,011). Akan namun pada analisa multivariat variabel ini tidak berpengaruh,
sehingga pada riset ini hipotesis penolong pertama persalinan bukan oleh tenaga
kesehatan merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal tidak terbukti. Hasil
riset ini secara bivariat sesuai dengan hasil riset E. Tjitra (1991) di Nusa
Tenggara Timur yang menyebutkan bahwa pertolongan persalinan oleh dukun memiliki
risiko 14,7 kali untuk terjadinya kematian maternal.13)
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan akan menurunkan risiko terjadinya
kematian maternal, sebab mereka memiliki pengetahuan dan ketrampilan untuk
melakukan pertolongan persalinan secara profesional serta memiliki kemampuan untuk
mengenal tanda – tanda adanya komplikasi / penyulit yang terjadi selama berlangsungnya
persalinan. Sedangkan dukun bayi (traditional birth attendant / TBA) yaitu penolong
persalinan yang hanya mengandalkan ketrampilan yang didapat secara turun – temurun
dan tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mengenal adanya komplikasi yang
mungkin terjadi saat persalinan berlangsung, sekalipun dukun ini telah dinyatakan
sebagai dukun bayi terlatih.48)
Tidak adanya pengaruh yang bermakna pada analisa multivariat dipicu
adanya pengaruh variabel lain yang lebih kuat, mengingat variabel yang berpengaruh
dianalisa sekaligus sehingga kemungkinan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
11. Cara persalinan
analisa bivariat menunjukkan bahwa cara persalinan dengan tindakan memiliki
risiko 3,8 kali lebih besar untuk mengalami kematian maternal dibandingkan persalinan
secara spontan (OR = 3,8; 95% CI : 1,3 – 11,1 ; p = 0,010). Akan namun pada analisa
multivariat variabel ini tidak berpengaruh, sehingga pada riset ini hipotesis cara
persalinan dengan tindakan merupakan faktor risiko bagi terjadinya kematian maternal
tidak terbukti. Pada analisa multivariat variabel cara persalinan bukan merupakan faktor
risiko yang mempengaruhi kematian maternal, sebab variabel – variabel ini dianalisa
sekaligus, sehingga pengaruhnya akan dikontrol oleh variabel yang lebih besar
pengaruhnya.
Hasil riset Depkes (1995) pada analisa bivariat sesuai dengan hasil
riset ini yaitu bahwa cara persalinan dengan tindakan memiliki risiko 3,4 kali lebih
besar untuk mengalami kematian maternal dan secara statistik bermakna (p = 0,020),
akan namun analisa multivariat tidak dilakukan.14) Menurut WHO, 15% persalinan di
negara berkembang merupakan persalinan dengan cara tindakan, dan hal ini memberi
risiko baik terhadap ibu maupun bayinya. Sebagian risiko timbul akibat sifat dari
tindakan yang dilakukan, sebagian sebab prosedur lain yang menyertai, seperti anestesi
dan transfusi darah dan sebagian lagi akibat komplikasi kehamilan yang ada, yang
memaksa untuk dilakukannya tindakan.48)
12. Tempat persalinan
Hasil riset menunjukkan bahwa tempat persalinan bukan merupakan faktor
risiko yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal (OR = 0,7 ; 95% CI : 0,3 –
1,6 ; p = 0,38 .
Hasil riset menunjukkan bahwa tempat persalinan bukan di tempat
pelayanan kesehatan pada kelompok masalah memiliki proporsi sebesar 41,3%, hampir
sebanding dengan kelompok kontrol yaitu sebesar 50%. Tempat persalinan di rumah akan
menimbulkan kesulitan bila pada proses persalinan terjadi komplikasi yang
membutuhkan ibu segera dirujuk ke rumah sakit, apalagi bila kondisi geografis yang
tidak mendukung dan sarana transportasi tidak tersedia. Semakin tinggi proporsi ibu
melahirkan di rumah, semakin tinggi risiko kematian maternal.4) Akan namun pada
riset ini ada kesetaraan proporsi antara kelompok masalah dan kontrol, sehingga
hasil analisa menunjukkan bahwa tempat persalinan bukan merupakan faktor risiko
terhadap kejadian kematian maternal.
13. Pelaksanaan rujukan saat terjadi komplikasi
Hasil riset menunjukkan bahwa pelaksanaan rujukan saat terjadi komplikasi
bukan merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian kematian maternal
(OR = 0,8 ; 95% CI : 0,3 – 2,5 ; p = 0,708). Hal ini terjadi sebab ada kesetaraan
proporsi antara kelompok masalah dan kontrol.
Sistem rujukan khususnya dalam pelayanan kegawat – daruratan kebidanan harus
dilakukan secara tepat dan harus menghindari tiga terlambat, yaitu keterlambatan dalam
pengambilan keputusan, keterlambatan dalam mencapai tempat tujuan rujukan dan
keterlambatan dalam memperoleh pelayanan di tempat rujukan. Hasil riset
menunjukkan bahwa lebih dari 75% ibu yang mengalami komplikasi telah dilakukan
rujukan saat terjadi komplikasi baik pada kelompok masalah maupun kelompok kontrol,
sehingga dapat dilihat bahwa sistem rujukan telah berjalan, hanya dalam pelaksanaannya
harus dilihat lebih lanjut apakah dalam pelaksanaan rujukan ini ada tiga
keterlambatan.
1. Pendidikan ibu
Hasil riset menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh pendidikan ibu dengan
kejadian kematian maternal (OR = 1,4 ; 95% CI : 0,6 – 3,0 ; p = 0,424). Hasil ini sesuai
dengan hasil riset bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara pendidikan ibu dengan kejadian kematian
maternal. Akan namun hasil ini berbeda dengan riset Latuamury (2001) yang
menyatakan bahwa pendidikan ibu yang rendah