hukum perkawinan 1

Rabu, 29 Januari 2025

hukum perkawinan 1




Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa 

arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini 

yang terpakai dalam kehidupan sehari- hari orang arab dan banyak 

terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi (Amir Syarifuddin, 2006:35). 

Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad 

atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan 

disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan menurut Islam ialah suatu 

perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah 

antara seorang laki-laki dengan seorang wanita  membemtuk 

keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman 

tenteram, bahagia dan kekal 

Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) 

memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam  yaitu  

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan 

untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah. 

jika  pengertian ini  dibandingkan dengan yang tercantum 

dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU 

Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya antara pengertian 

perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak 

terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab 

pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir 

bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri 

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia 

dan kekal berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam bahasia 

Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut 

bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan 

hubungan kelamin atau bersetubuh 

Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin 

menyatakan perkawinan  yaitu  suatu perjanjian yang diadakan oleh 

dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan 

seorang wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga 

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasar  

Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila 

Ali Afandi menyatakan perkawinan 

 yaitu  suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan 

dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciri-

ciri tertentu ,

Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi 

Hukum Islam  yaitu  jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara 

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan 

memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh syariat islam 

dan hukum negara, maka ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah 

putus untuk mengakhiri hubungan suami isteri. Tali ikatan 

pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh pasangan suami isteri 

dengan alasan yang  tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan 

pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika 

mempunyai alasan yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum 

syariat serta hukum negara dan tidak ada jalan lain  untuk 

mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap kukuh selama-

lamanya.  

Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan 

mempunyai 4 (empat) unsur, yakni : 1) ikatan lahir batin, maksudnya 

dalam suatu perkawinan tidak hanya ada ikatan lahir yang 

diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali 

menpelai wanita  dengan menpelai laki-laki yang disaksikan oleh 

2 (dua) orang saksi yang disertai penyerahan mas kawin,  tetapi 

ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan yang 

ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur 

paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang 

peranan yang sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah 

dalam mewujudkan keluarga bahagia dan kekal. 2) antara seorang 

pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam suatu ikatan 

perkawinan menurut UU perkawinan  hanya boleh terjadi antara 

seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi isteri.  

Dengan demikian pasal 1 UU perkawinan menganut azas 

monogami. 3) membentuk keluarga Bahagia dan kekal, maksudnya 

perkawinan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kesenangan, 

kenyamanan, ketentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya 

dalam kehidupan berumah tangga. Dalam arti perkawinan untuk 

membentuk sebuah keluarga harus mampu membawa ketenangan

dan ketentraman sampai akhir hayatnya. 4) berdasar  Ketuhanan 

Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus berdasar  pada 

ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan dengan agama. 

Dalam arti sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan yang 

diatur dalam hukum agama. 

Ahli Ahmad Al-Jurjawi menyatakan Hikmah-hikmah 

perkawinan antara lain: 

1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika 

keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi 

berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus 

dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara 

individual. 

2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika 

keadaan rumah tangga teratur. 

3. Laki-laki dan wanita   yaitu  dua sekutu yang berfungsi 

memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya 

berbuat dengan berbagai macam pekerjaan. 

4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi 

orang yang dikasihi. Adanya isteri akan bisa menghilangkan 

kesedihan dan ketakutan. Isteri berfungsi sebagai teman dalam 

suka dan penolong dalam mengatur kehidupan. 

5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah 

(kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan. 

Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat 

terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya. 

6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya. 

Didalamnya terdapat faedah yang banyak antara lain 

memelihara hak-hak dalam warisan. 

7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik 

sedikit. Pernikahan pada umunya akan menghasilkan 

keturunan yang banyak. 

8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal 

perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala 

kepadanya. Namun bila masih meninggalkan anak dan isteri, 

mereka akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya 

tidak terputus dan pahalanyapun tidak ditolak. 

 

Sayyid Sabiq juga menyebutkan hikmah-hikmah yang lain, 

seabagi berikut: 


1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat, 

yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan 

keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia 

yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan 

yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang 

paling baik dan sesuai untuk menyakurkan dan memuaskan 

naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang, 

mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang 

menikmati barang yang halal. 

2. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak 

menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup 

manusia serta memelihara nasap yang oleh islam sangat 

diperhatikan 

3. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-

anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh 

dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang. 

4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan 

mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar, 

sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri 

dalam menangani tugas-tugasnya. 

5. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali 

kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara 

keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang 

oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat 

yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan terbentuk 

masyarakat yang kuat dan bahagia.  

  

      

B. Sumber hukum perkawinan di Indonesia 

1. Al-Qur’an 

Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan  yaitu  sebagai 

berikut: 

a. Perkawinan  yaitu  tuntutan kodrat hidup dan 

tujuannya antara lain  yaitu  untuk memperoleh 

keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya 

terdapat didalam QS. Al-Dzariyat:49, QS.Yasin:36, 

QS.al-Hujurat:13, QS.al-Nahl:72. 

b. Perkawinan  yaitu  untuk mewujudkan kedamaian 

dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa 

22  

kasih sayang khususnya antara suami istri, kalangan 

keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan 

umat manusia umumnya. Hal ini dapat dilihat 

didalam QS. Al-Rum:21, QS.An-nur:32. 

c. Larangan-larangan Allah untuk dalam perkawinan 

dapat dilihat didalam QS.al-Baqarah:235, QS.Al-

Nisa:22-23, QS.an-Nur:3, QS.al-Baqarah:221, QS.al-

Maidah:5, QS.al-Mumtahanah:10. 

d. Perintah berlaku adil dalam perkawinan dapat dilihat 

di dalam QS. An-Nisa’:3 dan 34. 

e. Adanya peraturan dalam melakukan hubungan suami 

istri terdapat di dalam QS. Al-Baqarah:187, 222, dan 

223. 

f. Aturan-aturan tentang penyelesaian kemelut rumah 

tangga terdapat di dalam QS.an-Nisa’:35, QS. Al-

Thalaq:1, QS. Al-Baqarah:229-230. 

g. Aturan tentang masa menunggu (‘iddah) terdapat di 

dalam QS.al-Baqarah:226-228, 231-232, 234, 236-

237, QS. Al-Thalaq:1-2, 4, 7, dan 66, serta QS al-

Ahzab;49. 

h. Hak dan kewajiban dalam perkawinan terdapat di 

dalam QS. Al-Baqarah: 228-233, serta QS. An-Nisa’:4. 

i. Peraturan tentang nusyuz dan zhihar terdapat di 

dalam QS. An-Nisa’:20 dan 128, QS. Al-Muj yaitu :2-

4, QS. An-Nur;6-9. 

 

2. Al Hadist  

Meskipun Al-Quran telah memberikan ketentuan-

ketentuan hukum perkawinan dengan sangat terperinci 

sebagaimana disebutkan diatas, tetapi masih diperlukan 

adanya penjelasan-penjelasan dari sunnah, baik 

mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun 

mengenai hal-hal yang telah disebutkan Al-Qur’an secara 

garis besar. Beberapa contoh sunnah mengenai hal-hal 

yang tidak disinggung dalam Al-Quran dapat disebutkan 

antara lain sebagai berikut: 

a. Hal-hal yang berhubungan dengan walimah. 

b. Tata cara peminangan. 

c. Saksi dan wali dalam akad nikah. 


d. Hak mengasuh anak jika  terjadi perceraian. 

e. Syarat yang disertakan dalam akad nikah. 

       Beberapa contoh penjelasan sunnah tentang hal-hal 

yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara garis besar 

sebagai berikut: 

a. Pengertian quru’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an 

mengenai masa ‘iddah wanita  yang ditalak 

suaminya. 

b. Bilangan susuan yang mengakibatkan hubungan 

mahram. 

c. Besar kecilnya mahar. 

d. Izin keluar rumah bagi wanita  yang mengalami 

‘iddah talak raj’i. 

e. Perceraian yang terjadi karena li’an merupakan talak 

yang tidak memungkinkan bekas suami istri kembali 

nikah lagi. 

 

3.  Ijmak Ulama Fiqh 

Para ahli fiqh Munakahat banyak memberikan 

pemikiran, pendapat tentang perkawinan yang 

didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis dengan 

melakukan interprestasi serta analisis yang melahirkan 

hukum Fiqh dalam bidang perkawinan yang menjadi 

sumber hukum perkawinan indonesia. Para ahli Fiqh 

juga menguraikan tentang : 

a. Pengertian perkawinan, antara lain seperti yang 

dikemukakan oleh Abu Yahya Zakariya Al-Anshary, 

Nikah menrut istilah Syarak ialah akad yang 

mengandung ketentuan hukum kebolehan 

hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan 

kata-kata yang semakna dengannya (Abu Yahya 

Zakariya Al-Anshary, t.t:30). selanjutnya 

Muhammad Abu Ishrah yang dikutip oleh Abd. 

Rahman Ghazaly, akad yang memberikan faedah 

hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga 

(suami isteri) antara pria dan wanita dan 

mengadakan tolong menolong dan memberi batas 

hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban 

bagi masing-masing. 

b. Rukun dan Syarat sah Perkawinan. Rukun yaitu 

sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan 

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu 

termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti 

membasuh muka untuk wudhuk dan takbiratur 

ihram untuk shalat. Atau adanya calon penganten 

laki-laki/peremouan dalam perkawinan. Syarat yaitu 

sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan 

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu 

itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, 

seperti menutup aurat untuk shalat. Atau menurut 

islam, calon penganten laki-laki/wanita  itu 

harus beragama islam 

a) Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun 

perkawinan itu     terdiri atas: 

a) Adanya calon suami dan isteri yang akan 

melakukan perkawinan, 

b) Adanya wali dari pihak calon penganti 

wanita, akad nikah akan dianggap sah 

jika        ada seorang wali atau 

wakilnya yang akan menikahkannya. 

c)  Adanya dua orang saksi, pelaksanaan 

akad nikah akan sah jika  dua orang 

saksi yang          menyaksikan akad nikah 

ini . 

d) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang 

diucapkan oleh wali atau wakilnya dari 

pihak wanita dan dijawab oleh calon 

penganten laki-laki.  

 

Jumlah rukun nikah ini para ulama berbeda 

pendapat: 

Imam malik mengatakan, bahwa rukun nikah 

itu ada lima macam, yaitu: 

1) Wali dari pihak wanita , 

2) Mahar (mas kawin), 

3) Calon penganten laki-laki 

4) Calon penganten wanita  

5) Sighat akad nikah. 

Imam Syafi i menyatakan rukun nikah itu ada 

lima macam, yaitu: 

1) Calon penganten laki-laki, 

2) Calon penganten wanita , 

3) Wali, 

4) Dua orang saksi, 

5) Sighat akad nikah 

 

Menurut Ulama Hanafiyah, rukun nikah itu 

hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang 

dilakukan oleh pihak wali wanita  dan 

calon penganten laki-laki). 

 

 

Menurut segolongan yang lain, rukun nikah itu 

ada empat macam, yaitu: 

1) Sighat (ijab kabul), 

2) Calon penganten wanita , 

3) Calon penganten laki-laki, 

4) Wali dari pihak calon penganten 

wanita . 

 

Rukun perkawinan 

1) Dua orang yang saling melakukan akad 

perkawinan, yakni mempelai laki-laki 

dan mempelai wanita , 

2) Adanya wali, 

3) Adanya dua orang saksi, 

4) Dilakukan dengan sighat tertentu. 

 

b) Syarat Sah Perkawinan 

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar 

bagi sahnya perkawinan. jika  syarat-

syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah 

dan menimbulkan adanya segala hak dan 

kewajiban sebagai suami isteri. Pada garis 

besar syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada 

dua: 

1) Calon mempelai wanita  halal 

dikawin oleh laki-laki yang ingin 

menjadikannya isteri. 

2) Akad nikahnya dihadiri para saksi. 

 

Syarat-syarat kedua mempelai 

Syarat bagi calon pengantin pria: 

a. Calon suami beragama islam; 

b. Terang (jalas) bahwa calon suami itu betul-

betul laki-laki; 

c. Orangnya diketahui dan tertentu; 

d. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal 

kawin dengan calon isteri; 

e. Calon mempelai laki-laki tahun/kenal pada 

calon isteri halal baginya; 

f. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk 

melakukan perkawinan itu; 

g. Tidak sedang melakukan ihram; 

h. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu 

dengan calon isteri; 

i. Tidak sedang mempunyai isteri empat. 

 

Syarat-syarat calon pengantin wanita : 

a. Beragama islam 

b. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa 

(banci); 

c. Wanita itu tentu orangnya; 

d. Halal bagi calon suami; 

e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan 

dan tidak masih dalam iddah; 

f. Tidak dipaksa; 

g. Tidak dalam keadaan ihram haji atau 

umrah. Hikmah perkawinan. 

 


4. Ijtihad 

Hal yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau Sunnah, 

tetapi memerlukan ketentuan hukum dengan ijtihad 

misalnya mengenai harta bersama yang diperoleh selama 

perkawinan berlangsung, perkawinan wanita hamil karena 

zina, akibat pembatalan pertunangan, terhadap hadiah-

hadiah pertunangan dan sebagainya.  

 

C. Hukum perkawinan Islam di Indonesia 

Indonesia telah memiliki undang-undang nasional yang berlaku 

bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia, yaitu UU Perkawinan.  

Sebelum diberlakukannya UU Perkawinan ini, Indonesia telah 

memberlakukan peraturan-peraturan perkawinan yang diatur dalam 

KUHPerdata (BW) , Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen 

(Huwelijks Ordonansi voor de Christens Indonesiers) Staatsblaad 1933 

No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde 

Huwelijken), Staatsblaad 1898 No. 158. Selain itu, diberlakukan juga 

Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) dalam 

lembaran negara 1954 No.32 serta peraturan Menteri Agama 

mengenai pelaksanaannya. Undang-Undang Pencatatan NTR hanya 

mengenaii teknis pencatatan nikah, talak, dan rujuk umat islam, 

sedangkan praktek hukum nikah, talak, dan rujuk pada umumnya 

menganut ketentuan-ketentuan fiqh mazhab Syafi’i 

Agama Islam di nusantara sudah ada sebelum penjajahan 

belanda datang ke nusantara, sehingga dimana masyarakat islam 

berada, disitu sudah berlaku hukum islam, meskipun dalam lingkup 

masyarakat yang jumlahnya masih sangat minim. Dibeberapa 

kerajaan Nusantara waktu itu, hukum islam diakui dan dianut oleh 

masyarakat, seperti disumatera terdapat Kerajaan Sultan Pasai di 

Aceh serta Kerajaan Pagar Ruyung dan Kerajaan Paderi kedua-duanya 

di Minang Kabau. Di Jawa terdapat Kerajaan Demak, Mataram, dan 

Sultan Agung: di Makassar terdapat Kerajaan Hasanuddin: dan 

sebagainya, bahkan Malaka serta Brunai (sekarang Brunai 

Darussalam) di semenangjung Melayu (Idris Ramuliyo, 1997:49) 

Pada Zaman VOC eksistensi Hukum Keluarga Islam telah diakui 

dan berlaku dalam masyarakat dan diakui pula oleh kerajaan-

kerajaan islam yang lalu  dihimpun dalam Kitab Hukum Islam, 

yang dikenal dengan Kompedium Freijen. Kitab Hukum Islam ini  

berisi aturan-aturan Hukum Keluarga, perkawinan, dan kewarisan 

islam yang ditetapkan agar diterapkan oleh Pengadilan VOC. Selain 

itu, dibuat pula himpunan hukum keluarga, perkawinan dan 

kewarisan islam untuk daerah-daerah Cirebon, semarang dan 

Makasar.  

Sudah menjdi fakta sejarah, sebelum pemerintah kolonial 

Belanda menginjakkan kakinya di Bumi Nusantara pada waktu itu, 

manyoritas penduduk telah menganut agama islam. Atas dasar fakta 

ini  tak dapat dimungkiri jika  di Nusantara pada waktu itu 

telah terbentuk kelompok masyarakat islam yang besar dan kuat. Di 

beberapa daerah di Hindia Belanda (kini Indonesia), islam bukan saja 

merupakan agama resmi karena diakui kerajaan-kerajaan di 

Nusantara, bahkan akhirnya hukum keluarga yang berlaku di Hindia 

Belanda telah mengakui nilai-nilai islam yang lalu  diadopsi 

dalam perundang-undangan Hindia Belanda. 

Walaupun sudah berabad-abad hukum Islam itu dianut oleh 

masyarakat islam di Nusantara yang secara terus menerus 

diperjuangkan oleh umat islam, namun dengan berlakunya Hukum 

Barat yang dibawa dari Negeri Belanda di berlakukan di Nusantara 

dalam menunjang dan memperkuat kristenisasi tidak mampu 

menghilangkan semangat masyarakat islam di Nusantara untuk 

memperkuat hukum islam. Atas dasar keyakinan yang sudah 

tertanam dalam jiwanya dan dengan penuh semangat 

mempertahankan agama islam dan hukum keluarga islam tetap 

kokoh ditengah-tengah masyarakat di Nusantara ini.  

Dalam rangka menghadapi perkembangan hukum keluarga 

Islam di Hindia Belanda, semula pemerintah Kolonial Belanda 

merumuskan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh VOC bahwa 

mereka tidak menganggap hukum islam itu sebagai suatu ancaman 

bagi kelangsungan pemeritah kolonial Belanda. Akan tetapi kondidsi 

seperti ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu panjang 

sebab pemerintah kolonial Belanda mengubah pendirian ini sebagai 

akibat usul Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. 

Snouck Hurgronje mengajukan teori baru, karena teori yang 

berlaku saat itu dianggap sebagai teori yang keliru dalam kehidupan 

masyarakat. Menurut Snouck Hurgronje teori yang lebih tepat untuk 

digunakan dalam masyarakat   yaitu  teori resepsi (receptie theori). 

Menurut teori ini  hukum yang berlaku dalam realitas 

masyarakat  yaitu  hukum adat, sedangkan hukum islam baru dapat 

diberlakukan jika  sudah beradaptasi dengan hukum adat. Teori 

resepsi ini didukung oleh Van Vollen Hoven dan Ter Haar. 

Akibat pemberlakuan teori resepsi ini dalam masyarakat Hindia 

Belanda waktu itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Stb. 

Nomor 116 dan Nomor 610 Tahun 1937 tentang Kebijakan Baru yang 

membatasi kewenangan Peradilan Agama. Pembatasan kewenangan 

peradilan agama ini  berdampak penghambatan atau 

penghentian pengembangan hukum keluarga islam dalam 

masyarakat. Teori resepsi ini berlaku terus di Hindia Belanda (kini 

indonesia) sampai kurun waktu 1970. Bahkan hingga kini masih ada 

beberapa ahli hukum indonesia menganut teori ini. 

Satu tahun lsesudah  proklamasi kemerdekaan indonesia, 

keadaan mulai berubah akibat perkembangan masyarakat yang 

semakin maju untuk menyesuaikan hukum yang berlaku dengan 

kondisi indonesia merdeka  termasuk juga hukum islam. Pada tanggal 

22 Nopember di undangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 

tentang Nikah, Talak dan Rujuk sebagai dasar hukum keluarga islam. 

berdasar  pada pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak 

dan rujuk yang diatur dalam Ordonansi Perkawinan Stb. Nomor 348 

Tahun 1929 Jo. Stb. 467 Tahun 1931, Ordonansi Perkawinan 

Campuran Stb. 1933 Nomor 98, tidak sesuai lagi dengan keadaan 

yang ada. Sementara itu, untuk membuat Undang-undang baru tidak 

mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat. lsesudah  diundangkannya 

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan 

Rujuk, segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan 

pendaftaran nikah, talak dan rujuk dan peradilan agama. Karena 

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa 

dan Madura, dengan semangat kemerdekaan perlu adanya kesatuan 

hukum yang berlaku secara nasional. Pada tanggal 26 Oktober 1954 

dikeluarkan peraturan Penetapan berlakunya Undang-undang Nomor 

22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh 

daerah di luar Jawa dan Madura. 

Upaya untuk melahirkan Hukum Perkawinan dan perceraian 

terutama bagi umat islam yang refresentatif dan bersifat unifikasi 

hukum  terus dilakukan, maka pada akhir tahun 1950 dengan Surat 

Penetapan Menteri Agama RI Nomor B/2/4299 tanggal 1 Oktober 

1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan, 

Talak dan Rujuk yang di ketuai Oleh Teuku Moh. Hasan. Namun 

panitia ini tidak dapat bekerja maksimal, karena kesibukannya 

mempertahankan kemerdekaan, maka pada tanggal 1 April 1951 

dibentuk panitia baru yang diketuai oleh H. Moh. Noer 

Poerwosoetjipto yang disebut dengan panitia Penyelidik Peraturan 

Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang disingkat dengan NTR. 

Panitia ini telah berhasil menyelesaikan dua Rancangan Undang-

undang Perkawinan, yaitu : 

1. Rancangan Undang-undang Pokok Perkawinan yang dijadikan 

Hukum Umum bagi seluruh rakyat indonesia dan berlaku untuk 

seluruh wilayah Indonesia. Rancangan ini diselesaikan pada 

tahun 1952. 

2. Rancangan Undang-undang Pernikahan Umat Islam, yang 

berlaku bagi umat Islam di seluruh wilayah Indonesia. 

Rancangan ini diselesaikan pada tahun 1954. 

lsesudah  dilakukan berbagai pedebatan dalam sidang-sidang 

DPR, maka pada tanggal 2 Januari 1974 undang-undang ini  

diundangkan sebagai undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam 

Lembaran Negara Reepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974, 

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 Tahun 

1974. Sejarah mencatat bahwa proses melahirkan Undang-undang 

Perkawinan telah menghabiskan waktu yang cukup lama, yaitu sejak 

tahun 1950 sampai disahkan menjadi Undang-undang Perkawinan 

pada akhir tahun 1973 yang telah memakan waktu selama 23 (dua 

puluh tiga) tahun.   

Oleh karena UU Perkawinan yang dilahirkan bertujuan untuk 

mengakhiri berlakunya hukum peninggalan kolonial belanda di 

Indonesia yang pluralistik dalam bidang perkawinan menuju pada 

unifikasi hukum yang harus berlaku bagi semua warga negara 

Indonesia , maka hukum perkawinan yang dilahirkan tidak hanya 

menyerap aspirasi dari hukum islam, melainkan juga harus menyerap 

aspirasi dari agama lain selain dari islam. Sehingga UU perkawinan 

sebagai hasil kompilasi dari berbagai ketentuan hukum menjadi satu 

UU perkawinan, dengan demikian UU perkawinan meskipun dari segi 

bentuknya sudah unifikasi hukum, namun dari segi isinya juga terjadi 

pluralisme hukum yang berlaku untuk semua agama yang diakui di 

indonesia.  

Dalam keadaan yang demikianlah yang membuat masyarakat 

islam menghendaki UU Perkawinan tersendiri yang khusus berlaku 

bagi masyarakat islam dengan mengadopsi syariat islam. Selain dari 

itu terdapat pandangan bahwa kenyataannya umat islam di Indonesia 

sebagai anggota masyarakat  yang besar jumlahnya, maka perlu 

mendapat perhatiannya (Jamaluddin, 2009:74). Maka dari itu, 

lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun dengan maksud 

untuk melengkapi UU Perkawinan dan menjadi pedoman bagi hakim 

di lembaga peradilan agama yang telah ditetapkan dan 

disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 

tentang Kompilasi Hukum Islam. 

Pasal 2 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa : “Perkawinan  yaitu  

sah, jika  dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan 

kepercayaannya itu”. Ketentuan ini tidak ada beda dengan Pasal 2 

ayat  (1) UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan  yaitu  sah 

jika  dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan 

kepercayaannya itu. Ini menunjukakan isi dari Kompilasi Hukum Islam 

masih mengakui pluralisme dalam hukum perkawinan di indonesi. 

Namun dapat ditegaskan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum 

perkawinan Islam, sedangkan bagi agama selain islam berlaku hukum 

perkawinan yang diatur dalam agamanya. Dalam  Hukum perkawinan 

islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad antara 

pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki 

lsesudah  dipenuhi syarat-syarat lain menurut hukum islam. Dengan 

dikukuhkannya hukum agama (Fiqh Munakahat) sebagai syarat 

sahnya suatu perkawinan, maka berlakunya hukum islam di Indonesia 

bukan lagi berdasar  kepada teori resepsi, melainkan langsung 

berdasar  kepada UU Perkawinan. Dengan demikian, pelaksanaan 

Hukum Perkawinan Islam itu disamping menjadi tanggung jawab 

pribadi umat islam, juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk 

ikut mengawasinya. Adanya pengawasan pemerintah itu 

dimaksudkan agar supaya dalam pelaksanaan Hukum perkawinan 

Islam itu tidak disalah gunakan .

 

D. Hukum perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1975 

Sebelum UU Perkawinan dinyatakan berlaku secara efektif  

pada tanggal 1 Oktober 1975, hukum perkawinan di Indonesia di atur 

dalam berbagai macam peraturan hukum atau sistem hukum yang 

berlaku untuk berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah.  

Berbagai macam hukum perkawinan ini  antara lain: 

 

1. Hukum Perkawinan Adat 

Hukum perkawinan adat  hanya berlaku bagi orang-orang 

indonesia asli. Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja 

merupakan soal yang mengenai orang-orang yang 

bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan 

kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adatpun 

ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Sebagai 

contoh, pada umumnya suatu perkawinan adat didahului 

dengan pertunangan. jika  pertunangan ini  tidak 

dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan karena salah satu 

pihak membatalkan pertunangan ini , maka pihak yang 

dirugikan berhak menuntut kembali harta benda dan 

kerugiannya kepada pihak yang bersalah dan para pemuka 

adat yang melakukan penyelesaiannya secara damai.  

 

Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat 

kekerabatan,  yaitu  untuk mempertahankan dan meneruskan 

keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu 

bapakan, untuk kebahagian rumah keluarga/kerabat, untuk 

memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk 

mempertahankan kewarisan 

Dengan demikian tujuan perkawinan dalam hukum adat 

berbeda-beda, hal ini sangat tergantung pada lingkungan 

masyarakat adat yang bersangkutan, karena indonesia sebagai 

negara kepulauan dengan agama, adat dan budaya yang 

berbeda, semua ini tetap diakui, dihargai dan dijunjung tinggi 

oleh Konstitusi Negara Republik indonesia yang dilambangkan 

dengan Bhineka Tunggal Ika walau bercerai berai namun tetap 

bersatu dalam kerangka NKRI. 

 

Pada umumnya sahnya perkawinan menurut masyarakat 

hukum adat indonesia sangat tergantung pada agama yang 

dianutnya, jika perkawinan sudah memenuhi syarat ditentukan 

33  

oleh hukum agama, maka perkawinan itu sudah sah secara 

adat. Hanya saja 

walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut 

masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari 

masyarakat adat yang bersangkutan. Pada masyakat Lampung 

beradat pepadun, walaupun perkawinan suami isteri itu sudah 

sah dilaksanakan menurut Hukum Islam, jika  kedua 

mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat 

(kugruk adat) Lampung berarti mereka belum diakui sebagai 

warga kekerabatan adat. 

Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini 

merupakan upacara perkawinan adat. Dikalangan orang 

Lampung tulang Bawang uapacara perkawinan adat ini 

dilaksanakan dengan acara “mosok majew (menyuap 

mempelai) dengan tindih sila”, yaitu kedua mempelai 

didudukan di atas kasur perkawinan, biasanya dihadapan 

puwade (tahta mempelai) menghadai sepiring besar nasi 

dengan lauk pauk baging, hati kerbau, ayam panggang dan 

lainnya, air minum segelas untuk mereka minum. Kedua 

mempelai duduk bersanding dipertemukan lututnya (tidih sila) 

disaksikan para pemuka adat, terutama kaum ibu dari kerabat 

kedua pihak yang mengikat tali perkawinan. 

 

Uapacara mosok dipimpin oleh tua adat wanita, biasanya isteri 

ratu punyimbang (pemuka) adat dan dibantu oleh beberapa 

wanita sebagai juru bicara dan pembawa syair perkawinan. 

lsesudah  siap semuanya, maka pimpinan (penglaku) acara 

mempersilakan mempelai pria melakukan acara pertama 

“nentang sabik” (melepas kalung leher mempelai wanita) 

dengan menyatakan “kutetang sabikmu dik mangei jadei 

cahyow begetow (kulepaskan kalung lehermu dik agar menjadi 

cahaya berita). Dengan demikian berakhirlah kedudukan 

mempelai wanita sebagai seorang gadis. 

 

        Acara selanjutnya dengan silih berganti para ibu wakil-wakil 

tua-tua adat dari kerabat mempelai pria dan wanita 

mengambil nasi dan lauk pauk dengan tangannya dan 

menyuapkan (mosok) pada mulut kedua mempelai silih 

berganti dan diberi minum dari satu gelas. Hadirin bersorak 

sorai bergembira. Selesai acara suap lalu penghulu acara 

mempersilakan pembaca syair membaca syair tentang gelar 

panggilan kedua mempelai. lalu  pemuka adat dengan 

  memakai   kunci kamar mempelai mengetuk sedikit dahi 

kedua mempelai dan menyebut panggilan (amai) bagi 

mempelai pria, panggilan (inai) bagi mempelai wanita dan 

gelar-gelar (adek) keduanya. Panggilan dan gelar itu 

diumumkan kepada hadirin dengan memukul canang. Dengan 

demkian resmilah kedua mempelai menjadi suami isteri dan 

menjadi warga adat. 

 

2. Hukum Perkawinan Islam 

Hukum perkawinan Islam berlaku bagi orang-orang indonesia 

asli yang beragama islam. Prinsip-prinsip perkawinan islam 

terkandung di dalam ajaran hukum Allah dan Sunnah-Nya. 

Sedangkan hal-hal mengenai penjelasan atau perincian lebih 

lanjut terhadap prinsip-prinsip ini  dapat dilihat pada 

kitab-kitab fiqih munakahat karya para mujtahid terdahulu, 

seperti fiqih munakahat karya Imam Syafi’i. 

 

3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek 

atau BW) yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa, Cina 

(Tionghoa) dan Timur Asing. 

 

4. Hukum Perkawinan  menurut Ordonansi Perkawinan Indonesia 

Kristen (HOCI)  yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli 

(Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama Kristen. 

Ordonansi ini mulai di undangkan pada tanggal 15 Februari 

1933. 

5. Peraturan Perkawinan Campuran. 

 

6. (Regeling op de Gemengde Huwelijken). Peraturan ini dibuat 

untuk mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-

orang yang tunduk pada hukum-hukum yang berlainan, seperti 

orang Indonesia asli dengan orang Cina atau orang Eropa, 

orang Cina dengan orang Eropa, antara orang-orang Indonesia 

tetapi berlainan agama ataupun berlainan asalnya.peraturan 

ini mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 1896, termuat  

dalam Staatsblad 1896 Nomor 158 dan telah mengalami 

beberapa perubahan. 

 

E. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 

Lahirnya  UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang 

berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia sebagian besar 

telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah 

dikumandangkan sejak Kongres wanita  Indonesia pertama tahun 

1928 dengan harapan dapat memperbaiki kedudukan wanita dalam 

perkawinan.  Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian 

pergerakan wanita pada waktu itu  yaitu  masalah perkawinan paksa, 

poligami, dan talak yang sewenang-wenang. Pada tahun 1950-an, 

pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di bidang hukum 

perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan 

Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (disingkat NTR). Panitia NTR ini, 

dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan 

pemerintah kolonial Belanda), membuat dua macam Rancangan 

Undang-Undang (RUU) perkawinan, yaitu RUU perkawinan yang 

bersifat umum dan RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk 

masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha) 

Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha 

membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) sendiri. Tujuannya agar 

Indonesia tidak lagi mengadopsi UU yang diwariskan oleh pemerintah 

kolonial belanda. RUU ini  lalu  dibahas dalam sidang DPR 

namun tidak berhasil berwujud undang-undang .  lalu  pada tahun 1967-1971 DPR kembali membahas 

RUU Perkawinan yang berisi tentang RUU Perkawinan umat Islam 

yang berasal dari Departemen Agama dan RUU ketentuan-ketentuan 

Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. Namun, 

pembahasan kedua RUU ini pada akhirnya mengalami kemacetan 

karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang 

menyangkut hukum agama, karena pada saat itu wakil golongan 

Katolik sangat kecil jumlahnya 

Pada tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU kepada 

DPR melalui pembicaraan empat tingkat. Tingkat pertama 

merupakan penjelasan pemerintah atas RUU ini . Tingkat kedua 

merupakan pandangan umum masing-masing fraksi atas RUU 

ini  dan tanggapan pemerintah atas pandangan umum itu. 

Tingkat ketiga berupa rapat komisi (gabungan Komisi III dan Komisi 

IX) untuk membahas RUU, yang dalam hal ini diserahkan kepada 

suatu panitia yang diberi nama Panitia Kerja RUU Perkawinan. 

Tingkat keempat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU 

Perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering) 

dari masing-masing fraksi. lsesudah  melalui pembicaraan empat 

tingkat antara DPR dan Pemerintah, maka RUU ini  diteruskan 

kepada Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-

undang. lsesudah  semua fraksi termasuk Menteri Kehakiman diberi 

kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, maka pada hari itu 

juga RUU Perkawinan disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang. 

Tepat pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan, dengan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara 

Nomor 1 Tahun 1974, tambahan Lembaran Negara Nomor 

3019/1974

 

F. Pencatatan Perkawinan 

Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria 

dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan 

membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal 

berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan  yaitu  sah 

jika  dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan 

kepercayaannya.itu. Namun tiap-tiap perkawinan perlu dicatat 

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalah 

pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa pasal 

peraturan perundang-undangan. Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan 

mengatur bahwa :”Tiap-tiap perkawinan  dicatat menurut peraturan 

perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 5 KHI mengatur bahwa 

agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap 

perkawinan harus dicatat (ayat (1)). Untuk pencatatan pernikahan itu 

dilakukan oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri 

Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk seperti yang termuat 

didalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang 

Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Jo, Undang-undang 32 Tahun 

1954. lalu  pada pasal 6 KHI dijelaskan “setiap perkawinan 

harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai 

Pencatat Nikah ( ayat 1). Perkawinan yang dilakukan di luar 

pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan 

hukum. Pencatatan perkawinan juga terdapat didalam PP Nomor 9 

Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU 

Perkawinan. 

Fungsi pencatatan perkawinan terdapat dalam penjelasan 

umum UU Perkawinan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan  yaitu  

sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam 

kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan 

dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam 

daftar pencatatan”. Jadi, dari penjelasan pencatatan perkawinan di 

dalam UU Perkawinan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 serta 

PP Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari 

UU Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa sekalipun bukan 

merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan perkawinan 

memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu 

perkawinan, karena pencatatan itu merupakan syarat diakui atau 

tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan hal ini membawa banyak 

konsekuensi hukum bagi yang bersangkutan 

Nikah yang tidak dicatat pada pegawai pencatat nikah selaku 

pengawas nikah bagi orang yang beragama islam akan dikenakan 

sanksi hukum. Hal ini pasal 3 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946 

menegaskan barangsiapa yang melakukan akad nikah dengan 

seorang wanita  tidak dibawah pengawasan Pegawai yang 

diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk 

dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,00,- (Lima Puluh Rupiah). 

Masalah sanksi bagi yang melangsungkan perkawinan yang tidak 

melaporkan kepada pegawai pencatat perkawinan juga diatu dalam 

pasal 45 PP No. 9 Tahun 1979 yang menegaskan siapa saja yang 

melangsungkan perkawian tidak sepengetahuan pegawa Pencatat 

dihukum dengan hukuman denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus 

rupiah). Di dalam ketentuan PP No. 9 Tahun 1979 ini  hukuman 

tidak hanya kepada pihak yang melangsungkan perkawinan yang 

tidak sepengetahuan pegawai Pencatat, tetapi kepada kepada 

pegawai pencatat yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana telah 

diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga akan dikenakan hukuman 

denda 3 (tiga) bulan kurungan atau denda setinggi-tingginya Rp. 

7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah). 

1. Pencatatan Perkawinan Menurut Islam 

Islam memandang pernikahan bukan hanya sebagai sarana 

untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata, tetapi lebih dari itu 

menjadi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan 

Allah (bernilai ibadah)  Hal ini sesuai dengan 

yang tertuang didalam Pasal 2 KHI yang merumuskan bahwa 

:”Perkawinan menurut hukum Islam  yaitu  pernikahan, yaitu akad 

yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah 

Allah dan melakukannya merupakan ibadah”.  

Pada zaman Rasullullah SAW, kewajiban untuk mencatatkan 

pernikahan memang tidak ada. Semua itu dikarenakan belum 

terbentuknya infrastruktur pemerintahan yang lengkap seperti 

sekarang ini. Dari perspektif Fikih sebagai salah satu sumber Hukum 

islam, bahwa ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan 

mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius 

oleh Fikih wapaupun ada ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk 

mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama, larangan 

untuk menulis sesuatu selain Al-Quran. Akibatnya kultur tulis tidak 

begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral). 

Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat 

mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah 

peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk 

dilakukan. Ketiga, transaksi walimat al-urusy walaupun dengan 

seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i tentang 

sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang 

berlangsung pada masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah 

negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlansung 

dimana calon suami dan calon isteri berada dalam satu wilayah yang 

sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan 

Jadi pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu yang dipandang 

penting pada waktu itu, sehingga pembuktian perkawinan bukanlah 

dengan suatu akta tertulis yang harus diterbitkan oleh pejabat yang 

berwenang, akan tetapi perkawian cukup dibuktikan dengan saksi 

dan uapara walimah yang dihadiri oleh banyak orang. Namun, 

walaupun tidak ada kewajiban pencatatan pernikahan, Rasullullah 

sendiri memerintahkan agar perlu dilakukan pengumuman (i’lan) atas 

setiap pernikahan untuk menghindari fitnah. Jadi, Islam sendiri 

memerintahkan agar pernikahan dilakukan secara terbuka dan tidak 

ditutup-tutupi. Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap 

suatu perbuatan hukum, yang dalam hal ini  yaitu  perkawinan, 

sebenarnya tidak diambil dari ajaran hukum perdata Belanda (BW) 

atau  Hukum Barat, tetapi diambil dari ketentuan Allah SWT yang 

tercantum dalam Surat Al-Baqarah: 28 ”Hai orang-orang Yang 

beriman,jika  kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu 

yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan 

hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan 

benar”.  

berdasar  ayat ini  dapat dipahami, bahwa, pencatatan 

merupakan alat bukti tertulis. Meskipun perintah pencatatan pada 

ayat ini   yaitu  terkait dengan perikatan yang bersifat umum, 

namum berlaku juga pada masalah pernikahan. jika  perikatan 

(akad) muamalah saja dianjurkan agar dicatat untuk dijadikan alat 

bukti, tentunya akad nikah sebagai perikatan yang kokoh dan 

langgeng (mitsaaqan ghalizhan) mestinya seruannya lebih dari itu 

Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 KHI, dengan 

tujuan: 

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam 

setiap perkawinan harus dicatat. 

(2) Pencatatan perkawinan ini  pada Ayat (1), dilakukan oleh 

Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam 

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang 

Nomor 32 Tahun 1954. 

Oleh karena itu, istilah “harus dicatat” dalam Pasal 5 Ayat (1) 

KHI juga hanya bertujuan untuk     menjamin ketertiban perkawinan 

bagi masyarakat Islam semata. berdasar  hal ini , sudah 

sepantasnya umat Islam Indonesia harus menyadari bahwa 

pencatatan suatu perkawinan merupakan aspek yang sangat penting 

karena merupakan ajaran agama yang langsung sebagai perintah 

Allah SWT, dan telah diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia 

sebagai hukum positif sehingga mempunyai daya mengikat dan 

memaksa untuk dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umat Islam. 

 

2. Akibat Hukum Dari Dicatat/Tidaknya Perkawinan 

Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan  yaitu  untuk 

menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai 

instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai 

salah satu alat bukti perkawinan. Seperti yang telah dikemukakan di 

atas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah peristiwa hukum, tetapi 

merupakan peristiwa penting, sama halnya dengan kelahiran, 

kematian, dan peristiwa penting lainnya. Oleh sebab itu, pencatatan 

perkawinan menjadi sangat penting karena kelak dapat menjadi alat 

bukti yang sah bahwa telah terjadi perkawinan diantara kedua belah 

pihak. Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak 

dilaksanakan tidaklah mengganggu keabsahan suatu perkawinan 

yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena sekedar 

menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan 

tidak dicatatkan, maka suami istri ini  tidak memiliki bukti 

otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang 

sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan ini  tidak 

diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (no 

legal force). Oleh karena itu, perkawinan ini  tidak dilindungi 

oleh hukum, dan bahkan dianggap tidak pernah ada. 

Jika ditinjau dari aspek politis dan sosiologis, tidak 

mencatatkan suatu perkawinan akan menimbulkan dampak yaitu : 

  Masyarakat muslim Indonesia dipandang tidak mempedulikan 

kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang hukum, 

yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan 

ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan negara, yang 

pada akhirnya lagi mengusung pandangan bahwa agama harus 

dipisahkan dari kehidupan kenegaraan, yang dikenal dengan 

istilah Sekularisme. 

  Akan mudah dijumpai perkawinan sirri / perkawinan dibawah 

tangan, yang hanya peduli pada unsur agama saja dibanding 

unsur tata cara pencatatan perkawinan. 

  jika  terjadi wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka 

peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara 

bebas sesuka hati suami atau istri, tanpa adanya akibat hukum 

apapun, sehingga hampir semua kasus berdampak pada wanita 

yang lalu  akan berakibat buruk kepada anak-anaknya 

 

Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-

undangan tentang pencatatan perkawinan bagi orang Islam, yaitu: 

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi 

Kependudukan bagi Orang Islam; 

2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang 

Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang 

Administrasi Kependudukan; 

3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 

2007 tentang Pencatatan Nikah; 

4) Keputusan bersama Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan 

Urusan haji dan Dirjen Protokoler dan Konsuler Nomor 280/07 

Tahun 1999, Nomor: D/447/Tahun 1999 tentang Petunjuk 

Teknis Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di 

Luar Negeri. 

 

 


Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan 

perdata semata, bukan pula  sekedar urusan keluarga dan masalah 

budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Karena  perkawinan itu 

dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi. Oleh 

karena itu, Islam memberi pedoman memilih jodoh yang tepat. 

Sesuai dengan hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah 

menjelaskan : “wanita  dinikahi pada umumnya atas 

pertimbangan empat faktor, yaitu kecantikannya, kekayaannya, 

pangkatnya (status sosialnya), dan agamanya. Maka pilihlah 

wanita  yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung”. 

Yang dimaksud dengan memilih wanita  yang kuat 

agamanya  yaitu  komitmen keagamaannya atau kesungguhannya 

dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama 

karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat 

lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula 

kedudukan, suatu ketika akan hilang (Amir Syarifuddin, 2006:49). 

 

2. Peminangan 

Meminang  artinya menyatakan permintaan untuk menikah  

dari seorang laki-laki kepada seorang wanita  atau sebaliknya 

dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Peminangan itu 

disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya 

diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Menurut etimologi 

meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk 

dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Sedangkan menurut 

terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya 

hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita 

Dalam tradisi Islam sebagaimana ini  dalam hadits Nabi 

yang mengajukan pinangan itu  yaitu  dari pihak laki-laki , sedangkan 

pihak wanita  berada dalam status orang yang menerima 

pinangan Pihak laki-laki yang mengajukan pinangan dalam hal ini 

dapat dilakukan oleh laki-laki itu sendiri yang datang kepada pihak 

wanita  untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus 

seseorang yang dipercayai (dalam hal ini wanita ) untuk 

melakukannya. Semua wanita boleh dipinang, asalkan tidak 

meminang istri orang atau wanita yang telah dipinang oleh orang 

lain. Dalam suatu hadits dikatakan : “orang mukmin  yaitu  saudara 

orang mukmin. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin 

meminang seorang wanita  yang telah dipinang oleh saudaranya, 

sehingga nyata sudah ditinggalkannya” (H.R. Ahmad dan Muslim). 

Menurut  Imam Nawawi dan jumhur ulama, hadits diatas 

menunjukkan keharaman atas pinangan orang lain. Mereka sepakat 

akan keharamannya bila telah jelas pinangannya diterima. Bila 

meminang pinangan orang lain lalu  menikah, orang yang 

melakukan pinangan ini  telah berbuat maksiat, namun 

pernikahannya sah ,

Meminang wanita tidak hanya dilihat dari kesediaan wanita itu 

dalam menerima pinangan laki-laki itu saja, tetapi laki-laki juga harus 

melihat kondisi wanita ini  pada saat dilamar. Pasal 12 KHI 

menyatakan: 

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang 

masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa 

iddahnya. 

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa 

iddah raj’iah , haram dan dilarang untuk dipinang. 

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang 

pria lain, selama pinangan pria ini  belum putus atau 

belum ada penolakan dari pihak wanita. 

(4) Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan 

tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam 

pria yang telah meminang telah menjauh dan meninggalkan 

wanita yang dipinang. 

berdasar  ketentuan Pasal 12 ini  dapat dijelaskan 

bahwa seorang laki-laki bebas untuk meminang seorang wanita, baik 

perawan atau janda yang ingin dijadikan istrinya. Kecuali wanita 

ini  masih terdapat keterikatan dalam ikatan pinangannya 

dengan pria lain. Selain itu seorang laki-laki tidak boleh meminang 

wanita yang sedang dalam masa iddah karena dalam masa iddah itu, 

bekas suaminya masih mempunyai hak untuk merujuk isteri, jika hal 

itu diinginkannya. Disamping itu, dalam masa iddah juga dapat 

memperjelas status kandungan seorang janda, serta dapat 

mengetahui hamil atau tidak hamil dari perkawinan sebelumnya. 

 

3. Melihat wanita  yang dipinang 

Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat wanita  yang 

akan dipinang itu boleh saja. Hal ini didasarkan pada Hadits 

Rasullullah SAW. Dari Musa bin Abdullah menurut riwayat Ahmad 

yang berbunyi : “…..berkata Rasul Allah SAW. Bila salah seorang 

diantaramu meminang seseorang wanita  tidakada halangannya 

melihat kepadanya bila melihat itu  yaitu  untuk kepentingan 

peminangan, meskipun wanita  itu tidak mengetahuinya”. 

Adapula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat 

wanita  yang akan dipinang  itu hukumnya sunat. Hal ini 

didasarkan kepada Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad 

dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya: 

“….jika  salah seorang diantara kamu meminang seorang 

wanita , sekiranya dia dapat melihat wanita  itu, hendaklah 

dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka 

lakukanlah”. (H.R. Ahmad dan Abu Dawud) 

Meskipun hadits Nabi menetapkan boleh melihat wanita  

yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Batasan 

anggota badan yang boleh dilihat  yaitu : 

a)  Jika yang melihatnya sama-sama wanita , seluruh anggota 

badannya boleh dilihat, dan wanita  yang diutus oleh pihak 

laki-laki harus mengatakan sejujur-jujurnya tentang keadaan 

47  

wanita  yang dimaksudkan, sehingga jangan sampai pihak 

laki-laki tertipu. 

b)  Jika yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang 

diperbolehkan hanya muka dan telapak tangan, karena selain 

itu merupakan aurat yang haram dilihat. Larangan melihat 

anggota tubuh selain muka dan telapak tangan didasarkan 

kepada dalil Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An-Nur ayat 

31: “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, 

kecuali yang (biasa) nampak darinya.” (Q.S. An-Nur:31). Hadits 

Nabi dari Khalid ibn Duraik dari Aisyah menurut riwayat Abu 

Daud pun menegaskan bahwa batas umum aurat seorang 

wanita  yang mungkin dapat dilihat hanya muka dan 

telapak tangan. Hadits Nabi ini  berbunyi: “Asma’ binti 

Abi Bakar masuk kerumah Nabi sedangkan dia memakai 

pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata 

: hai Asma’ bila seorang wanita  telah haid tidak boleh 

terlihat kecuali ini dan ini. Nabi mengisyaratkan kepada muka 

dan telapak tangannya.” 

 

Alasan mengapa hanya muka dan telapak tangan saja yang boleh 

dilihat, karena dengan melihat  muka dapat diketahui kecantikannya 

dan dengan melihat telapak tangan dapat diketahui kesuburan 

badannya (Amir Syarifuddin, 2006:57). Adapun waktu melihat kepada 

wanita  ini   yaitu  saat menjelang menyampaikan 

pinangan, bukan lsesudah nya, karena jika  laki-laki ini  tidak 

suka lsesudah  melihat maka laki-laki ini  akan dapat 

meninggalkannya tanpa menyakitinya. 

 

B.  Tujuan Pernikahan 

Pasal 3 KHI merumuskan bahwa tujuan dari perkawinan  yaitu  

untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, 

mawaddah, dan rahmah. Sedangkan tujuan pengertian menurut UU 

Perkawinan  yaitu  untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang 

bahagia dan kekal berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan 

perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia yang 

dimaksud dalam UU Perkawinan sama dengan tujuan perkawinan 

yang terdapat dalam KHI. Tujuan pernikahan untuk membentuk 

keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, suatu rumah tangga yang 

didalamnya terjalin keharmonisan diantara suami istri yang saling 

mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa 

damai dalam rumah tangganya, dan terciptalah kebahagiaan dalam 

rumah tangga ini .  

Selain itu, tujuan dari disyariatkannya perkawinan  yaitu  

untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk generasi yang 

akan datang. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memilih 

pasangan suami istri yang baik (agamanya) sehingga dapat 

melahirkan keturunan (generasi pengganti) sebagaimana yang 

diharapkan. 

 

C. Jenis Pernikahan 

Pada bagian berikut akan disampaikan beragam jenis 

pernikahan yang dikenal dan menjadi kontroversi keberadaannya 

dalam masyarakat. Sebahagiannya dianggap sebagai bagian dari 

tradisi atau kebiasaan setempat masyarakatnya dan sebahagian 

lainnya dianggap sebagai penyimpangan yang hadir dari suatu 

masyarakat tertentu. Masing-masing jenis pernikahan ini  akan 

diuraikan secara singkat sebagai berikut: 

1. Nikah mut’ah 

Nikah mut’ah  yaitu  akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki 

terhadap wanita  dengan memakai lafazh “tamattu, istimta” atau 

sejenisnya (Beni Ahmad Saebani, 2001:55). Ada yang mengatakan 

nikah mut’ah disebut juga kawin kontrak (muaqqat) dengan jangka 

waktu tertentu atau tak tertentu, tanpa wali maupun saksi. Seluruh 

imam Madzhab menetapkan nikah mut’ah  yaitu  haram. Alasannya 

 yaitu  : 

  Nikah mut’ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Al-

Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan 

dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi pernikahan seperti itu 

batal sebagaimana pernikahan lain yang dibatalkan Islam. 

  Banyak hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya 

nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 

Majah, Rasullullah SAW . mengharamkan nikah mut’ah dengan 

sabdanya : “Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kamu 

nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah 

mengharamkannya sampai hari kiamat”. 

  Umar ketika menjadi khalifah berpidato dengan menyatakan 

keharaman nikah mut’ah. Ketika itu para sahabat langsung 

menyetujuinya.

Hikmah pengharaman nikah mut’ah  yaitu  tidak terealisasinya 

tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng serta tidak 

bertujuan membentuk keluarga yang langgeng, sehingga dengan 

diharamkan, tidak akan lahir anak-anak hasil zina dan lelaki yang 

memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat zina. 

 

2. Nikah Muhallil (Kawin Cinta Buta) 

Muhallil disebut pu