hukum perkawinan 1
Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa
arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari- hari orang arab dan banyak
terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis Nabi (Amir Syarifuddin, 2006:35).
Hukum Islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad
atau perikatan hukum antara pihak-pihak yang bersangkutan dengan
disaksikan dua orang laki-laki. Perkawinan menurut Islam ialah suatu
perjanjian suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah
antara seorang laki-laki dengan seorang wanita membemtuk
keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih mengasihi, aman
tenteram, bahagia dan kekal
Dengan demikian Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
memberikan pengertian perkawinan menurut hukum Islam yaitu
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan
untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.
jika pengertian ini dibandingkan dengan yang tercantum
dalam Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UU
Perkawinan) dan KHI maka pada dasarnya antara pengertian
perkawinan menurut hukum Islam dan menurut UU Perkawinan tidak
terdapat perbedaan prinsipil (Hamid Sarong, 2010:33), sebab
pengertian perkawinan menurut UU Perkawinan ialah: “ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam bahasia
Indonesia, perkawinan berasal dari kata “kawin” yang menurut
bahasa artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis, melakukan
hubungan kelamin atau bersetubuh
Menurut pendapat para ahli antara lain Soedharyo Saimin
menyatakan perkawinan yaitu suatu perjanjian yang diadakan oleh
dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan
seorang wanita dengan tujuan materil, yakni membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal itu haruslah berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila
Ali Afandi menyatakan perkawinan
yaitu suatu persetujuan kekeluargaan. Persetujuan kekeluargaan
dimaksud disisni bukanlah persetujuan biasa, tetapi mempunyai ciri-
ciri tertentu ,
Adapun maksud akad yang sangat kuat dalam Kompilasi
Hukum Islam yaitu jika pelaksanaan akat nikah sudah terjadi antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
memenuhi syarat dan rukun nikah yang ditentukan oleh syariat islam
dan hukum negara, maka ikatan pernikahan itu tidak begitu mudah
putus untuk mengakhiri hubungan suami isteri. Tali ikatan
pernikahan itu tidak dapat diputuskan oleh pasangan suami isteri
dengan alasan yang tidak kuat dan dibuat-buat. Tali ikatan
pernikahan yang sudah terjadi baru dapat diputuskan jika
mempunyai alasan yang kuat dan sesuai dengan ketentuan hukum
syariat serta hukum negara dan tidak ada jalan lain untuk
mempertahankan ikatan pernikahan itu untuk tetap kukuh selama-
lamanya.
Sementara pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan
mempunyai 4 (empat) unsur, yakni : 1) ikatan lahir batin, maksudnya
dalam suatu perkawinan tidak hanya ada ikatan lahir yang
diwujudkan dalam bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali
menpelai wanita dengan menpelai laki-laki yang disaksikan oleh
2 (dua) orang saksi yang disertai penyerahan mas kawin, tetapi
ikatan batin yang diwujudkan dalam bentuk adanya persetujuan yang
ikhlas antara kedua calon menpelai dalam arti tidak ada unsur
paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain juga memegang
peranan yang sangat penting untuk memperkuat akad ikatan nikah
dalam mewujudkan keluarga bahagia dan kekal. 2) antara seorang
pria dengan seorang wanita, maksudnya dalam suatu ikatan
perkawinan menurut UU perkawinan hanya boleh terjadi antara
seorang pria sebagai suami dengan seorang wanita sebagi isteri.
Dengan demikian pasal 1 UU perkawinan menganut azas
monogami. 3) membentuk keluarga Bahagia dan kekal, maksudnya
perkawinan bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kesenangan,
kenyamanan, ketentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya
dalam kehidupan berumah tangga. Dalam arti perkawinan untuk
membentuk sebuah keluarga harus mampu membawa ketenangan
dan ketentraman sampai akhir hayatnya. 4) berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa, maksudnya perkawinan harus berdasar pada
ketentuan agama, tidak boleh perkawinan dipisahkan dengan agama.
Dalam arti sahnya suatu perkawinan diukur dengan ketentuan yang
diatur dalam hukum agama.
Ahli Ahmad Al-Jurjawi menyatakan Hikmah-hikmah
perkawinan antara lain:
1. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika
keturunan itu banyak, maka proses memakmurkan bumi
berjalan dengan mudah, karena suatu perbuatan yang harus
dikerjakan bersama-sama akan sulit jika dilakukan secara
individual.
2. Keadaan hidup manusia tidak akan tenteram kecuali jika
keadaan rumah tangga teratur.
3. Laki-laki dan wanita yaitu dua sekutu yang berfungsi
memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya
berbuat dengan berbagai macam pekerjaan.
4. Sesuai dengan tabiatnya, manusia itu cenderung mengasihi
orang yang dikasihi. Adanya isteri akan bisa menghilangkan
kesedihan dan ketakutan. Isteri berfungsi sebagai teman dalam
suka dan penolong dalam mengatur kehidupan.
5. Manusia diciptakan dengan memiliki rasa ghirah
(kecemburuan) untuk menjaga kehormatan dan kemuliaan.
Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat
terhadap apa yang tidak dihalalkan untuknya.
6. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.
Didalamnya terdapat faedah yang banyak antara lain
memelihara hak-hak dalam warisan.
7. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik
sedikit. Pernikahan pada umunya akan menghasilkan
keturunan yang banyak.
8. Manusia itu jika telah mati terputuslah seluruh amal
perbuatannya yang mendatangkan rahmat dan pahala
kepadanya. Namun bila masih meninggalkan anak dan isteri,
mereka akan mendoakannya dengan kebaikan hingga amalnya
tidak terputus dan pahalanyapun tidak ditolak.
Sayyid Sabiq juga menyebutkan hikmah-hikmah yang lain,
seabagi berikut:
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat,
yang selamanya menuntut adanya jalan keluar. Bilamana jalan
keluar tidak dapat memuaskannya, maka banyaklah manusia
yang mengalami kegoncangan, kacau dan menerobos jalan
yang jahat. Kawin merupakan jalan alami dan biologis yang
paling baik dan sesuai untuk menyakurkan dan memuaskan
naluri seks ini. Dengan kawin badan jadi segar, jiwa jadi tenang,
mata terpelihara dari melihat yang haram, perasaan tenang
menikmati barang yang halal.
2. Kawin merupakan jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak
menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup
manusia serta memelihara nasap yang oleh islam sangat
diperhatikan
3. Menyadari tanggung jawab beristeri dan menanggung anak-
anak akan menimbulkan sikap rajin dan sungguh-sungguh
dalam memperkuat bakat dan pembawaan seseorang.
4. Adanya pembagian tugas, dimana yang satu mengurusi dan
mengatur rumah tangga, sedangkan yang lain bekerja di luar,
sesuai dengan batas-batas tanggung jawab antara suami isteri
dalam menangani tugas-tugasnya.
5. Dengan perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cinta antara
keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang
oleh islam direstui, ditopang dan ditunjang. Karena masyarakat
yang saling menunjang lagi saling menyayangi akan terbentuk
masyarakat yang kuat dan bahagia.
B. Sumber hukum perkawinan di Indonesia
1. Al-Qur’an
Ayat-ayat Al-Qur’an tentang perkawinan yaitu sebagai
berikut:
a. Perkawinan yaitu tuntutan kodrat hidup dan
tujuannya antara lain yaitu untuk memperoleh
keturunan, guna melangsungkan kehidupan jenisnya
terdapat didalam QS. Al-Dzariyat:49, QS.Yasin:36,
QS.al-Hujurat:13, QS.al-Nahl:72.
b. Perkawinan yaitu untuk mewujudkan kedamaian
dan ketentraman hidup serta menumbuhkan rasa
22
kasih sayang khususnya antara suami istri, kalangan
keluarga yang lebih luas, bahkan dalam kehidupan
umat manusia umumnya. Hal ini dapat dilihat
didalam QS. Al-Rum:21, QS.An-nur:32.
c. Larangan-larangan Allah untuk dalam perkawinan
dapat dilihat didalam QS.al-Baqarah:235, QS.Al-
Nisa:22-23, QS.an-Nur:3, QS.al-Baqarah:221, QS.al-
Maidah:5, QS.al-Mumtahanah:10.
d. Perintah berlaku adil dalam perkawinan dapat dilihat
di dalam QS. An-Nisa’:3 dan 34.
e. Adanya peraturan dalam melakukan hubungan suami
istri terdapat di dalam QS. Al-Baqarah:187, 222, dan
223.
f. Aturan-aturan tentang penyelesaian kemelut rumah
tangga terdapat di dalam QS.an-Nisa’:35, QS. Al-
Thalaq:1, QS. Al-Baqarah:229-230.
g. Aturan tentang masa menunggu (‘iddah) terdapat di
dalam QS.al-Baqarah:226-228, 231-232, 234, 236-
237, QS. Al-Thalaq:1-2, 4, 7, dan 66, serta QS al-
Ahzab;49.
h. Hak dan kewajiban dalam perkawinan terdapat di
dalam QS. Al-Baqarah: 228-233, serta QS. An-Nisa’:4.
i. Peraturan tentang nusyuz dan zhihar terdapat di
dalam QS. An-Nisa’:20 dan 128, QS. Al-Muj yaitu :2-
4, QS. An-Nur;6-9.
2. Al Hadist
Meskipun Al-Quran telah memberikan ketentuan-
ketentuan hukum perkawinan dengan sangat terperinci
sebagaimana disebutkan diatas, tetapi masih diperlukan
adanya penjelasan-penjelasan dari sunnah, baik
mengenai hal-hal yang tidak disinggung maupun
mengenai hal-hal yang telah disebutkan Al-Qur’an secara
garis besar. Beberapa contoh sunnah mengenai hal-hal
yang tidak disinggung dalam Al-Quran dapat disebutkan
antara lain sebagai berikut:
a. Hal-hal yang berhubungan dengan walimah.
b. Tata cara peminangan.
c. Saksi dan wali dalam akad nikah.
d. Hak mengasuh anak jika terjadi perceraian.
e. Syarat yang disertakan dalam akad nikah.
Beberapa contoh penjelasan sunnah tentang hal-hal
yang disebutkan dalam Al-Qur’an secara garis besar
sebagai berikut:
a. Pengertian quru’ yang disebutkan dalam Al-Qur’an
mengenai masa ‘iddah wanita yang ditalak
suaminya.
b. Bilangan susuan yang mengakibatkan hubungan
mahram.
c. Besar kecilnya mahar.
d. Izin keluar rumah bagi wanita yang mengalami
‘iddah talak raj’i.
e. Perceraian yang terjadi karena li’an merupakan talak
yang tidak memungkinkan bekas suami istri kembali
nikah lagi.
3. Ijmak Ulama Fiqh
Para ahli fiqh Munakahat banyak memberikan
pemikiran, pendapat tentang perkawinan yang
didasarkan pada Al-Quran dan Al-Hadis dengan
melakukan interprestasi serta analisis yang melahirkan
hukum Fiqh dalam bidang perkawinan yang menjadi
sumber hukum perkawinan indonesia. Para ahli Fiqh
juga menguraikan tentang :
a. Pengertian perkawinan, antara lain seperti yang
dikemukakan oleh Abu Yahya Zakariya Al-Anshary,
Nikah menrut istilah Syarak ialah akad yang
mengandung ketentuan hukum kebolehan
hubungan seksual dengan lafaz nikah atau dengan
kata-kata yang semakna dengannya (Abu Yahya
Zakariya Al-Anshary, t.t:30). selanjutnya
Muhammad Abu Ishrah yang dikutip oleh Abd.
Rahman Ghazaly, akad yang memberikan faedah
hukum kebolehan mengadakan hubungan keluarga
(suami isteri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong menolong dan memberi batas
hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban
bagi masing-masing.
b. Rukun dan Syarat sah Perkawinan. Rukun yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu
termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti
membasuh muka untuk wudhuk dan takbiratur
ihram untuk shalat. Atau adanya calon penganten
laki-laki/peremouan dalam perkawinan. Syarat yaitu
sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu
itu tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti menutup aurat untuk shalat. Atau menurut
islam, calon penganten laki-laki/wanita itu
harus beragama islam
a) Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun
perkawinan itu terdiri atas:
a) Adanya calon suami dan isteri yang akan
melakukan perkawinan,
b) Adanya wali dari pihak calon penganti
wanita, akad nikah akan dianggap sah
jika ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya.
c) Adanya dua orang saksi, pelaksanaan
akad nikah akan sah jika dua orang
saksi yang menyaksikan akad nikah
ini .
d) Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang
diucapkan oleh wali atau wakilnya dari
pihak wanita dan dijawab oleh calon
penganten laki-laki.
Jumlah rukun nikah ini para ulama berbeda
pendapat:
Imam malik mengatakan, bahwa rukun nikah
itu ada lima macam, yaitu:
1) Wali dari pihak wanita ,
2) Mahar (mas kawin),
3) Calon penganten laki-laki
4) Calon penganten wanita
5) Sighat akad nikah.
Imam Syafi i menyatakan rukun nikah itu ada
lima macam, yaitu:
1) Calon penganten laki-laki,
2) Calon penganten wanita ,
3) Wali,
4) Dua orang saksi,
5) Sighat akad nikah
Menurut Ulama Hanafiyah, rukun nikah itu
hanya ijab dan qabul saja (yaitu akad yang
dilakukan oleh pihak wali wanita dan
calon penganten laki-laki).
Menurut segolongan yang lain, rukun nikah itu
ada empat macam, yaitu:
1) Sighat (ijab kabul),
2) Calon penganten wanita ,
3) Calon penganten laki-laki,
4) Wali dari pihak calon penganten
wanita .
Rukun perkawinan
1) Dua orang yang saling melakukan akad
perkawinan, yakni mempelai laki-laki
dan mempelai wanita ,
2) Adanya wali,
3) Adanya dua orang saksi,
4) Dilakukan dengan sighat tertentu.
b) Syarat Sah Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar
bagi sahnya perkawinan. jika syarat-
syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah
dan menimbulkan adanya segala hak dan
kewajiban sebagai suami isteri. Pada garis
besar syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada
dua:
1) Calon mempelai wanita halal
dikawin oleh laki-laki yang ingin
menjadikannya isteri.
2) Akad nikahnya dihadiri para saksi.
Syarat-syarat kedua mempelai
Syarat bagi calon pengantin pria:
a. Calon suami beragama islam;
b. Terang (jalas) bahwa calon suami itu betul-
betul laki-laki;
c. Orangnya diketahui dan tertentu;
d. Calon mempelai laki-laki itu jelas halal
kawin dengan calon isteri;
e. Calon mempelai laki-laki tahun/kenal pada
calon isteri halal baginya;
f. Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk
melakukan perkawinan itu;
g. Tidak sedang melakukan ihram;
h. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu
dengan calon isteri;
i. Tidak sedang mempunyai isteri empat.
Syarat-syarat calon pengantin wanita :
a. Beragama islam
b. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa
(banci);
c. Wanita itu tentu orangnya;
d. Halal bagi calon suami;
e. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan
dan tidak masih dalam iddah;
f. Tidak dipaksa;
g. Tidak dalam keadaan ihram haji atau
umrah. Hikmah perkawinan.
4. Ijtihad
Hal yang tidak disinggung dalam Al-Qur’an atau Sunnah,
tetapi memerlukan ketentuan hukum dengan ijtihad
misalnya mengenai harta bersama yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung, perkawinan wanita hamil karena
zina, akibat pembatalan pertunangan, terhadap hadiah-
hadiah pertunangan dan sebagainya.
C. Hukum perkawinan Islam di Indonesia
Indonesia telah memiliki undang-undang nasional yang berlaku
bagi seluruh warga Negara Republik Indonesia, yaitu UU Perkawinan.
Sebelum diberlakukannya UU Perkawinan ini, Indonesia telah
memberlakukan peraturan-peraturan perkawinan yang diatur dalam
KUHPerdata (BW) , Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijks Ordonansi voor de Christens Indonesiers) Staatsblaad 1933
No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde
Huwelijken), Staatsblaad 1898 No. 158. Selain itu, diberlakukan juga
Undang-Undang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (NTR) dalam
lembaran negara 1954 No.32 serta peraturan Menteri Agama
mengenai pelaksanaannya. Undang-Undang Pencatatan NTR hanya
mengenaii teknis pencatatan nikah, talak, dan rujuk umat islam,
sedangkan praktek hukum nikah, talak, dan rujuk pada umumnya
menganut ketentuan-ketentuan fiqh mazhab Syafi’i
Agama Islam di nusantara sudah ada sebelum penjajahan
belanda datang ke nusantara, sehingga dimana masyarakat islam
berada, disitu sudah berlaku hukum islam, meskipun dalam lingkup
masyarakat yang jumlahnya masih sangat minim. Dibeberapa
kerajaan Nusantara waktu itu, hukum islam diakui dan dianut oleh
masyarakat, seperti disumatera terdapat Kerajaan Sultan Pasai di
Aceh serta Kerajaan Pagar Ruyung dan Kerajaan Paderi kedua-duanya
di Minang Kabau. Di Jawa terdapat Kerajaan Demak, Mataram, dan
Sultan Agung: di Makassar terdapat Kerajaan Hasanuddin: dan
sebagainya, bahkan Malaka serta Brunai (sekarang Brunai
Darussalam) di semenangjung Melayu (Idris Ramuliyo, 1997:49)
Pada Zaman VOC eksistensi Hukum Keluarga Islam telah diakui
dan berlaku dalam masyarakat dan diakui pula oleh kerajaan-
kerajaan islam yang lalu dihimpun dalam Kitab Hukum Islam,
yang dikenal dengan Kompedium Freijen. Kitab Hukum Islam ini
berisi aturan-aturan Hukum Keluarga, perkawinan, dan kewarisan
islam yang ditetapkan agar diterapkan oleh Pengadilan VOC. Selain
itu, dibuat pula himpunan hukum keluarga, perkawinan dan
kewarisan islam untuk daerah-daerah Cirebon, semarang dan
Makasar.
Sudah menjdi fakta sejarah, sebelum pemerintah kolonial
Belanda menginjakkan kakinya di Bumi Nusantara pada waktu itu,
manyoritas penduduk telah menganut agama islam. Atas dasar fakta
ini tak dapat dimungkiri jika di Nusantara pada waktu itu
telah terbentuk kelompok masyarakat islam yang besar dan kuat. Di
beberapa daerah di Hindia Belanda (kini Indonesia), islam bukan saja
merupakan agama resmi karena diakui kerajaan-kerajaan di
Nusantara, bahkan akhirnya hukum keluarga yang berlaku di Hindia
Belanda telah mengakui nilai-nilai islam yang lalu diadopsi
dalam perundang-undangan Hindia Belanda.
Walaupun sudah berabad-abad hukum Islam itu dianut oleh
masyarakat islam di Nusantara yang secara terus menerus
diperjuangkan oleh umat islam, namun dengan berlakunya Hukum
Barat yang dibawa dari Negeri Belanda di berlakukan di Nusantara
dalam menunjang dan memperkuat kristenisasi tidak mampu
menghilangkan semangat masyarakat islam di Nusantara untuk
memperkuat hukum islam. Atas dasar keyakinan yang sudah
tertanam dalam jiwanya dan dengan penuh semangat
mempertahankan agama islam dan hukum keluarga islam tetap
kokoh ditengah-tengah masyarakat di Nusantara ini.
Dalam rangka menghadapi perkembangan hukum keluarga
Islam di Hindia Belanda, semula pemerintah Kolonial Belanda
merumuskan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh VOC bahwa
mereka tidak menganggap hukum islam itu sebagai suatu ancaman
bagi kelangsungan pemeritah kolonial Belanda. Akan tetapi kondidsi
seperti ini tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu panjang
sebab pemerintah kolonial Belanda mengubah pendirian ini sebagai
akibat usul Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda.
Snouck Hurgronje mengajukan teori baru, karena teori yang
berlaku saat itu dianggap sebagai teori yang keliru dalam kehidupan
masyarakat. Menurut Snouck Hurgronje teori yang lebih tepat untuk
digunakan dalam masyarakat yaitu teori resepsi (receptie theori).
Menurut teori ini hukum yang berlaku dalam realitas
masyarakat yaitu hukum adat, sedangkan hukum islam baru dapat
diberlakukan jika sudah beradaptasi dengan hukum adat. Teori
resepsi ini didukung oleh Van Vollen Hoven dan Ter Haar.
Akibat pemberlakuan teori resepsi ini dalam masyarakat Hindia
Belanda waktu itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Stb.
Nomor 116 dan Nomor 610 Tahun 1937 tentang Kebijakan Baru yang
membatasi kewenangan Peradilan Agama. Pembatasan kewenangan
peradilan agama ini berdampak penghambatan atau
penghentian pengembangan hukum keluarga islam dalam
masyarakat. Teori resepsi ini berlaku terus di Hindia Belanda (kini
indonesia) sampai kurun waktu 1970. Bahkan hingga kini masih ada
beberapa ahli hukum indonesia menganut teori ini.
Satu tahun lsesudah proklamasi kemerdekaan indonesia,
keadaan mulai berubah akibat perkembangan masyarakat yang
semakin maju untuk menyesuaikan hukum yang berlaku dengan
kondisi indonesia merdeka termasuk juga hukum islam. Pada tanggal
22 Nopember di undangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946
tentang Nikah, Talak dan Rujuk sebagai dasar hukum keluarga islam.
berdasar pada pertimbangan bahwa peraturan nikah, talak
dan rujuk yang diatur dalam Ordonansi Perkawinan Stb. Nomor 348
Tahun 1929 Jo. Stb. 467 Tahun 1931, Ordonansi Perkawinan
Campuran Stb. 1933 Nomor 98, tidak sesuai lagi dengan keadaan
yang ada. Sementara itu, untuk membuat Undang-undang baru tidak
mungkin dilaksanakan dalam waktu singkat. lsesudah diundangkannya
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak dan
Rujuk, segera diambil tindakan dengan jalan memisahkan urusan
pendaftaran nikah, talak dan rujuk dan peradilan agama. Karena
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 hanya berlaku untuk Jawa
dan Madura, dengan semangat kemerdekaan perlu adanya kesatuan
hukum yang berlaku secara nasional. Pada tanggal 26 Oktober 1954
dikeluarkan peraturan Penetapan berlakunya Undang-undang Nomor
22 Tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh
daerah di luar Jawa dan Madura.
Upaya untuk melahirkan Hukum Perkawinan dan perceraian
terutama bagi umat islam yang refresentatif dan bersifat unifikasi
hukum terus dilakukan, maka pada akhir tahun 1950 dengan Surat
Penetapan Menteri Agama RI Nomor B/2/4299 tanggal 1 Oktober
1950 dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan dan Hukum Perkawinan,
Talak dan Rujuk yang di ketuai Oleh Teuku Moh. Hasan. Namun
panitia ini tidak dapat bekerja maksimal, karena kesibukannya
mempertahankan kemerdekaan, maka pada tanggal 1 April 1951
dibentuk panitia baru yang diketuai oleh H. Moh. Noer
Poerwosoetjipto yang disebut dengan panitia Penyelidik Peraturan
Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang disingkat dengan NTR.
Panitia ini telah berhasil menyelesaikan dua Rancangan Undang-
undang Perkawinan, yaitu :
1. Rancangan Undang-undang Pokok Perkawinan yang dijadikan
Hukum Umum bagi seluruh rakyat indonesia dan berlaku untuk
seluruh wilayah Indonesia. Rancangan ini diselesaikan pada
tahun 1952.
2. Rancangan Undang-undang Pernikahan Umat Islam, yang
berlaku bagi umat Islam di seluruh wilayah Indonesia.
Rancangan ini diselesaikan pada tahun 1954.
lsesudah dilakukan berbagai pedebatan dalam sidang-sidang
DPR, maka pada tanggal 2 Januari 1974 undang-undang ini
diundangkan sebagai undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam
Lembaran Negara Reepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019 Tahun
1974. Sejarah mencatat bahwa proses melahirkan Undang-undang
Perkawinan telah menghabiskan waktu yang cukup lama, yaitu sejak
tahun 1950 sampai disahkan menjadi Undang-undang Perkawinan
pada akhir tahun 1973 yang telah memakan waktu selama 23 (dua
puluh tiga) tahun.
Oleh karena UU Perkawinan yang dilahirkan bertujuan untuk
mengakhiri berlakunya hukum peninggalan kolonial belanda di
Indonesia yang pluralistik dalam bidang perkawinan menuju pada
unifikasi hukum yang harus berlaku bagi semua warga negara
Indonesia , maka hukum perkawinan yang dilahirkan tidak hanya
menyerap aspirasi dari hukum islam, melainkan juga harus menyerap
aspirasi dari agama lain selain dari islam. Sehingga UU perkawinan
sebagai hasil kompilasi dari berbagai ketentuan hukum menjadi satu
UU perkawinan, dengan demikian UU perkawinan meskipun dari segi
bentuknya sudah unifikasi hukum, namun dari segi isinya juga terjadi
pluralisme hukum yang berlaku untuk semua agama yang diakui di
indonesia.
Dalam keadaan yang demikianlah yang membuat masyarakat
islam menghendaki UU Perkawinan tersendiri yang khusus berlaku
bagi masyarakat islam dengan mengadopsi syariat islam. Selain dari
itu terdapat pandangan bahwa kenyataannya umat islam di Indonesia
sebagai anggota masyarakat yang besar jumlahnya, maka perlu
mendapat perhatiannya (Jamaluddin, 2009:74). Maka dari itu,
lahirlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disusun dengan maksud
untuk melengkapi UU Perkawinan dan menjadi pedoman bagi hakim
di lembaga peradilan agama yang telah ditetapkan dan
disebarluaskan melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 2 ayat 1 KHI menyebutkan bahwa : “Perkawinan yaitu
sah, jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu”. Ketentuan ini tidak ada beda dengan Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan perkawinan yaitu sah
jika dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Ini menunjukakan isi dari Kompilasi Hukum Islam
masih mengakui pluralisme dalam hukum perkawinan di indonesi.
Namun dapat ditegaskan bahwa bagi umat Islam berlaku hukum
perkawinan Islam, sedangkan bagi agama selain islam berlaku hukum
perkawinan yang diatur dalam agamanya. Dalam Hukum perkawinan
islam mengatur agar perkawinan itu dilakukan dengan akad antara
pihak-pihak yang bersangkutan dengan disaksikan dua orang laki-laki
lsesudah dipenuhi syarat-syarat lain menurut hukum islam. Dengan
dikukuhkannya hukum agama (Fiqh Munakahat) sebagai syarat
sahnya suatu perkawinan, maka berlakunya hukum islam di Indonesia
bukan lagi berdasar kepada teori resepsi, melainkan langsung
berdasar kepada UU Perkawinan. Dengan demikian, pelaksanaan
Hukum Perkawinan Islam itu disamping menjadi tanggung jawab
pribadi umat islam, juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk
ikut mengawasinya. Adanya pengawasan pemerintah itu
dimaksudkan agar supaya dalam pelaksanaan Hukum perkawinan
Islam itu tidak disalah gunakan .
D. Hukum perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1975
Sebelum UU Perkawinan dinyatakan berlaku secara efektif
pada tanggal 1 Oktober 1975, hukum perkawinan di Indonesia di atur
dalam berbagai macam peraturan hukum atau sistem hukum yang
berlaku untuk berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah.
Berbagai macam hukum perkawinan ini antara lain:
1. Hukum Perkawinan Adat
Hukum perkawinan adat hanya berlaku bagi orang-orang
indonesia asli. Menurut hukum adat, perkawinan bukan saja
merupakan soal yang mengenai orang-orang yang
bersangkutan (sebagai suami istri), melainkan juga merupakan
kepentingan seluruh keluarga dan bahkan masyarakat adatpun
ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Sebagai
contoh, pada umumnya suatu perkawinan adat didahului
dengan pertunangan. jika pertunangan ini tidak
dapat dilanjutkan ke jenjang perkawinan karena salah satu
pihak membatalkan pertunangan ini , maka pihak yang
dirugikan berhak menuntut kembali harta benda dan
kerugiannya kepada pihak yang bersalah dan para pemuka
adat yang melakukan penyelesaiannya secara damai.
Tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan, yaitu untuk mempertahankan dan meneruskan
keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan atau keibu
bapakan, untuk kebahagian rumah keluarga/kerabat, untuk
memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian, dan untuk
mempertahankan kewarisan
Dengan demikian tujuan perkawinan dalam hukum adat
berbeda-beda, hal ini sangat tergantung pada lingkungan
masyarakat adat yang bersangkutan, karena indonesia sebagai
negara kepulauan dengan agama, adat dan budaya yang
berbeda, semua ini tetap diakui, dihargai dan dijunjung tinggi
oleh Konstitusi Negara Republik indonesia yang dilambangkan
dengan Bhineka Tunggal Ika walau bercerai berai namun tetap
bersatu dalam kerangka NKRI.
Pada umumnya sahnya perkawinan menurut masyarakat
hukum adat indonesia sangat tergantung pada agama yang
dianutnya, jika perkawinan sudah memenuhi syarat ditentukan
33
oleh hukum agama, maka perkawinan itu sudah sah secara
adat. Hanya saja
walaupun sudah sah menurut agama kepercayaan yang dianut
masyarakat adat belum tentu sah menjadi warga adat dari
masyarakat adat yang bersangkutan. Pada masyakat Lampung
beradat pepadun, walaupun perkawinan suami isteri itu sudah
sah dilaksanakan menurut Hukum Islam, jika kedua
mempelai belum diresmikan masuk menjadi warga adat
(kugruk adat) Lampung berarti mereka belum diakui sebagai
warga kekerabatan adat.
Upacara meresmikan masuk menjadi warga adat ini
merupakan upacara perkawinan adat. Dikalangan orang
Lampung tulang Bawang uapacara perkawinan adat ini
dilaksanakan dengan acara “mosok majew (menyuap
mempelai) dengan tindih sila”, yaitu kedua mempelai
didudukan di atas kasur perkawinan, biasanya dihadapan
puwade (tahta mempelai) menghadai sepiring besar nasi
dengan lauk pauk baging, hati kerbau, ayam panggang dan
lainnya, air minum segelas untuk mereka minum. Kedua
mempelai duduk bersanding dipertemukan lututnya (tidih sila)
disaksikan para pemuka adat, terutama kaum ibu dari kerabat
kedua pihak yang mengikat tali perkawinan.
Uapacara mosok dipimpin oleh tua adat wanita, biasanya isteri
ratu punyimbang (pemuka) adat dan dibantu oleh beberapa
wanita sebagai juru bicara dan pembawa syair perkawinan.
lsesudah siap semuanya, maka pimpinan (penglaku) acara
mempersilakan mempelai pria melakukan acara pertama
“nentang sabik” (melepas kalung leher mempelai wanita)
dengan menyatakan “kutetang sabikmu dik mangei jadei
cahyow begetow (kulepaskan kalung lehermu dik agar menjadi
cahaya berita). Dengan demikian berakhirlah kedudukan
mempelai wanita sebagai seorang gadis.
Acara selanjutnya dengan silih berganti para ibu wakil-wakil
tua-tua adat dari kerabat mempelai pria dan wanita
mengambil nasi dan lauk pauk dengan tangannya dan
menyuapkan (mosok) pada mulut kedua mempelai silih
berganti dan diberi minum dari satu gelas. Hadirin bersorak
sorai bergembira. Selesai acara suap lalu penghulu acara
mempersilakan pembaca syair membaca syair tentang gelar
panggilan kedua mempelai. lalu pemuka adat dengan
memakai kunci kamar mempelai mengetuk sedikit dahi
kedua mempelai dan menyebut panggilan (amai) bagi
mempelai pria, panggilan (inai) bagi mempelai wanita dan
gelar-gelar (adek) keduanya. Panggilan dan gelar itu
diumumkan kepada hadirin dengan memukul canang. Dengan
demkian resmilah kedua mempelai menjadi suami isteri dan
menjadi warga adat.
2. Hukum Perkawinan Islam
Hukum perkawinan Islam berlaku bagi orang-orang indonesia
asli yang beragama islam. Prinsip-prinsip perkawinan islam
terkandung di dalam ajaran hukum Allah dan Sunnah-Nya.
Sedangkan hal-hal mengenai penjelasan atau perincian lebih
lanjut terhadap prinsip-prinsip ini dapat dilihat pada
kitab-kitab fiqih munakahat karya para mujtahid terdahulu,
seperti fiqih munakahat karya Imam Syafi’i.
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek
atau BW) yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa, Cina
(Tionghoa) dan Timur Asing.
4. Hukum Perkawinan menurut Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (HOCI) yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli
(Jawa, Minahasa, dan Ambon) yang beragama Kristen.
Ordonansi ini mulai di undangkan pada tanggal 15 Februari
1933.
5. Peraturan Perkawinan Campuran.
6. (Regeling op de Gemengde Huwelijken). Peraturan ini dibuat
untuk mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-
orang yang tunduk pada hukum-hukum yang berlainan, seperti
orang Indonesia asli dengan orang Cina atau orang Eropa,
orang Cina dengan orang Eropa, antara orang-orang Indonesia
tetapi berlainan agama ataupun berlainan asalnya.peraturan
ini mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 1896, termuat
dalam Staatsblad 1896 Nomor 158 dan telah mengalami
beberapa perubahan.
E. Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Lahirnya UU Perkawinan pada tanggal 02 Januari 1974 yang
berlaku bagi semua warga negara Republik Indonesia sebagian besar
telah memenuhi tuntutan masyarakat Indonesia. Tuntutan ini sudah
dikumandangkan sejak Kongres wanita Indonesia pertama tahun
1928 dengan harapan dapat memperbaiki kedudukan wanita dalam
perkawinan. Masalah-masalah yang menjadi pusat perhatian
pergerakan wanita pada waktu itu yaitu masalah perkawinan paksa,
poligami, dan talak yang sewenang-wenang. Pada tahun 1950-an,
pemerintah Indonesia mulai melakukan pengaturan di bidang hukum
perkawinan, dengan dibentuknya Panitia Penyelidik Peraturan
Hukum Nikah, Talak, dan Rujuk (disingkat NTR). Panitia NTR ini,
dengan mengevaluasi pengaturan perkawinan yang berlaku (warisan
pemerintah kolonial Belanda), membuat dua macam Rancangan
Undang-Undang (RUU) perkawinan, yaitu RUU perkawinan yang
bersifat umum dan RUU perkawinan yang bersifat khusus untuk
masing-masing agama (Islam, Katholik, Kristen, Hindu, Buddha)
Pada tahun 1958-1959, pemerintah Indonesia telah berusaha
membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) sendiri. Tujuannya agar
Indonesia tidak lagi mengadopsi UU yang diwariskan oleh pemerintah
kolonial belanda. RUU ini lalu dibahas dalam sidang DPR
namun tidak berhasil berwujud undang-undang . lalu pada tahun 1967-1971 DPR kembali membahas
RUU Perkawinan yang berisi tentang RUU Perkawinan umat Islam
yang berasal dari Departemen Agama dan RUU ketentuan-ketentuan
Pokok Perkawinan dari Departemen Kehakiman. Namun,
pembahasan kedua RUU ini pada akhirnya mengalami kemacetan
karena Fraksi Katolik menolak membicarakan suatu RUU yang
menyangkut hukum agama, karena pada saat itu wakil golongan
Katolik sangat kecil jumlahnya
Pada tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU kepada
DPR melalui pembicaraan empat tingkat. Tingkat pertama
merupakan penjelasan pemerintah atas RUU ini . Tingkat kedua
merupakan pandangan umum masing-masing fraksi atas RUU
ini dan tanggapan pemerintah atas pandangan umum itu.
Tingkat ketiga berupa rapat komisi (gabungan Komisi III dan Komisi
IX) untuk membahas RUU, yang dalam hal ini diserahkan kepada
suatu panitia yang diberi nama Panitia Kerja RUU Perkawinan.
Tingkat keempat, pengambilan keputusan (pengesahan RUU
Perkawinan) dengan didahului pendapat terakhir (stemmotivering)
dari masing-masing fraksi. lsesudah melalui pembicaraan empat
tingkat antara DPR dan Pemerintah, maka RUU ini diteruskan
kepada Sidang Paripurna DPR RI untuk disahkan menjadi undang-
undang. lsesudah semua fraksi termasuk Menteri Kehakiman diberi
kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya, maka pada hari itu
juga RUU Perkawinan disahkan oleh DPR RI menjadi undang-undang.
Tepat pada tanggal 2 Januari 1974 diundangkan, dengan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Lembaran Negara
Nomor 1 Tahun 1974, tambahan Lembaran Negara Nomor
3019/1974
F. Pencatatan Perkawinan
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yaitu sah
jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya.itu. Namun tiap-tiap perkawinan perlu dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Masalah
pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa pasal
peraturan perundang-undangan. Pasal 2 Ayat (2) UU Perkawinan
mengatur bahwa :”Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku”. Pasal 5 KHI mengatur bahwa
agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat islam, setiap
perkawinan harus dicatat (ayat (1)). Untuk pencatatan pernikahan itu
dilakukan oleh pegawai pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri
Agama atau oleh pegawai yang ditunjuk seperti yang termuat
didalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 Tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk Jo, Undang-undang 32 Tahun
1954. lalu pada pasal 6 KHI dijelaskan “setiap perkawinan
harus dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan Pegawai
Pencatat Nikah ( ayat 1). Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum. Pencatatan perkawinan juga terdapat didalam PP Nomor 9
Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari UU
Perkawinan.
Fungsi pencatatan perkawinan terdapat dalam penjelasan
umum UU Perkawinan: “Pencatatan tiap-tiap perkawinan yaitu
sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan
dalam surat-surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam
daftar pencatatan”. Jadi, dari penjelasan pencatatan perkawinan di
dalam UU Perkawinan, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 serta
PP Nomor 9 Tahun 1975 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan dari
UU Perkawinan, dapat disimpulkan bahwa sekalipun bukan
merupakan syarat sahnya suatu perkawinan, pencatatan perkawinan
memegang peranan yang sangat menentukan dalam suatu
perkawinan, karena pencatatan itu merupakan syarat diakui atau
tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan hal ini membawa banyak
konsekuensi hukum bagi yang bersangkutan
Nikah yang tidak dicatat pada pegawai pencatat nikah selaku
pengawas nikah bagi orang yang beragama islam akan dikenakan
sanksi hukum. Hal ini pasal 3 ayat (1) UU No. 22 Tahun 1946
menegaskan barangsiapa yang melakukan akad nikah dengan
seorang wanita tidak dibawah pengawasan Pegawai yang
diangkat oleh Menteri Agama atau oleh Pegawai yang ditunjuk
dihukum denda sebanyak-banyaknya Rp. 50,00,- (Lima Puluh Rupiah).
Masalah sanksi bagi yang melangsungkan perkawinan yang tidak
melaporkan kepada pegawai pencatat perkawinan juga diatu dalam
pasal 45 PP No. 9 Tahun 1979 yang menegaskan siapa saja yang
melangsungkan perkawian tidak sepengetahuan pegawa Pencatat
dihukum dengan hukuman denda Rp. 7.500,- (tujuh ribu lima ratus
rupiah). Di dalam ketentuan PP No. 9 Tahun 1979 ini hukuman
tidak hanya kepada pihak yang melangsungkan perkawinan yang
tidak sepengetahuan pegawai Pencatat, tetapi kepada kepada
pegawai pencatat yang tidak melaksanakan tugas sebagaimana telah
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga akan dikenakan hukuman
denda 3 (tiga) bulan kurungan atau denda setinggi-tingginya Rp.
7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah).
1. Pencatatan Perkawinan Menurut Islam
Islam memandang pernikahan bukan hanya sebagai sarana
untuk mencapai kenikmatan lahiriah semata, tetapi lebih dari itu
menjadi bagian dari pemenuhan naluri yang didasarkan pada aturan
Allah (bernilai ibadah) Hal ini sesuai dengan
yang tertuang didalam Pasal 2 KHI yang merumuskan bahwa
:”Perkawinan menurut hukum Islam yaitu pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqan ghalizhan untuk menaati perintah
Allah dan melakukannya merupakan ibadah”.
Pada zaman Rasullullah SAW, kewajiban untuk mencatatkan
pernikahan memang tidak ada. Semua itu dikarenakan belum
terbentuknya infrastruktur pemerintahan yang lengkap seperti
sekarang ini. Dari perspektif Fikih sebagai salah satu sumber Hukum
islam, bahwa ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan
mengapa pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius
oleh Fikih wapaupun ada ayat Al-Quran yang menganjurkan untuk
mencatat segala bentuk transaksi muamalah. Pertama, larangan
untuk menulis sesuatu selain Al-Quran. Akibatnya kultur tulis tidak
begitu berkembang dibandingkan dengan kultur hafalan (oral).
Kedua, kelanjutan dari yang pertama, maka mereka sangat
mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya mengingat sebuah
peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit untuk
dilakukan. Ketiga, transaksi walimat al-urusy walaupun dengan
seekor kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i tentang
sebuah perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang
berlangsung pada masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah
negara yang berbeda. Biasanya perkawinan pada masa itu berlansung
dimana calon suami dan calon isteri berada dalam satu wilayah yang
sama. Sehingga alat bukti kawin selain saksi belum dibutuhkan
Jadi pencatatan perkawinan bukanlah sesuatu yang dipandang
penting pada waktu itu, sehingga pembuktian perkawinan bukanlah
dengan suatu akta tertulis yang harus diterbitkan oleh pejabat yang
berwenang, akan tetapi perkawian cukup dibuktikan dengan saksi
dan uapara walimah yang dihadiri oleh banyak orang. Namun,
walaupun tidak ada kewajiban pencatatan pernikahan, Rasullullah
sendiri memerintahkan agar perlu dilakukan pengumuman (i’lan) atas
setiap pernikahan untuk menghindari fitnah. Jadi, Islam sendiri
memerintahkan agar pernikahan dilakukan secara terbuka dan tidak
ditutup-tutupi. Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap
suatu perbuatan hukum, yang dalam hal ini yaitu perkawinan,
sebenarnya tidak diambil dari ajaran hukum perdata Belanda (BW)
atau Hukum Barat, tetapi diambil dari ketentuan Allah SWT yang
tercantum dalam Surat Al-Baqarah: 28 ”Hai orang-orang Yang
beriman,jika kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang tidak ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kau menuliskannya dengan
benar”.
berdasar ayat ini dapat dipahami, bahwa, pencatatan
merupakan alat bukti tertulis. Meskipun perintah pencatatan pada
ayat ini yaitu terkait dengan perikatan yang bersifat umum,
namum berlaku juga pada masalah pernikahan. jika perikatan
(akad) muamalah saja dianjurkan agar dicatat untuk dijadikan alat
bukti, tentunya akad nikah sebagai perikatan yang kokoh dan
langgeng (mitsaaqan ghalizhan) mestinya seruannya lebih dari itu
Pencatatan perkawinan diatur dalam Pasal 5 KHI, dengan
tujuan:
(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam
setiap perkawinan harus dicatat.
(2) Pencatatan perkawinan ini pada Ayat (1), dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 1954.
Oleh karena itu, istilah “harus dicatat” dalam Pasal 5 Ayat (1)
KHI juga hanya bertujuan untuk menjamin ketertiban perkawinan
bagi masyarakat Islam semata. berdasar hal ini , sudah
sepantasnya umat Islam Indonesia harus menyadari bahwa
pencatatan suatu perkawinan merupakan aspek yang sangat penting
karena merupakan ajaran agama yang langsung sebagai perintah
Allah SWT, dan telah diperjuangkan oleh umat Islam Indonesia
sebagai hukum positif sehingga mempunyai daya mengikat dan
memaksa untuk dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umat Islam.
2. Akibat Hukum Dari Dicatat/Tidaknya Perkawinan
Fungsi dan kedudukan pencatatan perkawinan yaitu untuk
menjamin ketertiban hukum (legal order) yang berfungsi sebagai
instrumen kepastian hukum, kemudahan hukum, disamping sebagai
salah satu alat bukti perkawinan. Seperti yang telah dikemukakan di
atas bahwa pencatatan perkawinan bukanlah peristiwa hukum, tetapi
merupakan peristiwa penting, sama halnya dengan kelahiran,
kematian, dan peristiwa penting lainnya. Oleh sebab itu, pencatatan
perkawinan menjadi sangat penting karena kelak dapat menjadi alat
bukti yang sah bahwa telah terjadi perkawinan diantara kedua belah
pihak. Adapun masalah pencatatan perkawinan yang tidak
dilaksanakan tidaklah mengganggu keabsahan suatu perkawinan
yang telah dilaksanakan sesuai hukum Islam karena sekedar
menyangkut aspek administratif. Hanya saja jika suatu perkawinan
tidak dicatatkan, maka suami istri ini tidak memiliki bukti
otentik bahwa mereka telah melaksanakan suatu perkawinan yang
sah. Akibatnya, dilihat dari aspek yuridis, perkawinan ini tidak
diakui pemerintah, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (no
legal force). Oleh karena itu, perkawinan ini tidak dilindungi
oleh hukum, dan bahkan dianggap tidak pernah ada.
Jika ditinjau dari aspek politis dan sosiologis, tidak
mencatatkan suatu perkawinan akan menimbulkan dampak yaitu :
Masyarakat muslim Indonesia dipandang tidak mempedulikan
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bidang hukum,
yang pada akhirnya sampai pada anggapan bahwa pelaksanaan
ajaran Islam tidak membutuhkan keterlibatan negara, yang
pada akhirnya lagi mengusung pandangan bahwa agama harus
dipisahkan dari kehidupan kenegaraan, yang dikenal dengan
istilah Sekularisme.
Akan mudah dijumpai perkawinan sirri / perkawinan dibawah
tangan, yang hanya peduli pada unsur agama saja dibanding
unsur tata cara pencatatan perkawinan.
jika terjadi wanprestasi terhadap janji perkawinan, maka
peluang untuk putusnya perkawinan akan terbuka secara
bebas sesuka hati suami atau istri, tanpa adanya akibat hukum
apapun, sehingga hampir semua kasus berdampak pada wanita
yang lalu akan berakibat buruk kepada anak-anaknya
Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-
undangan tentang pencatatan perkawinan bagi orang Islam, yaitu:
1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan bagi Orang Islam;
2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan;
3) Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 11 Tahun
2007 tentang Pencatatan Nikah;
4) Keputusan bersama Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam dan
Urusan haji dan Dirjen Protokoler dan Konsuler Nomor 280/07
Tahun 1999, Nomor: D/447/Tahun 1999 tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Perkawinan Warga Negara Indonesia di
Luar Negeri.
Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukan hanya urusan
perdata semata, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah
budaya, tetapi masalah dan peristiwa agama. Karena perkawinan itu
dilakukan untuk memenuhi sunnah Allah dan sunnah Nabi. Oleh
karena itu, Islam memberi pedoman memilih jodoh yang tepat.
Sesuai dengan hadits Nabi riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah
menjelaskan : “wanita dinikahi pada umumnya atas
pertimbangan empat faktor, yaitu kecantikannya, kekayaannya,
pangkatnya (status sosialnya), dan agamanya. Maka pilihlah
wanita yang kuat agamanya, kamu pasti beruntung”.
Yang dimaksud dengan memilih wanita yang kuat
agamanya yaitu komitmen keagamaannya atau kesungguhannya
dalam menjalankan ajaran agamanya. Ini dijadikan pilihan utama
karena itulah yang akan langgeng. Kekayaan suatu ketika dapat
lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar demikian pula
kedudukan, suatu ketika akan hilang (Amir Syarifuddin, 2006:49).
2. Peminangan
Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah
dari seorang laki-laki kepada seorang wanita atau sebaliknya
dengan perantaraan seseorang yang dipercayai. Peminangan itu
disyari’atkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya
diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. Menurut etimologi
meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk
dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Sedangkan menurut
terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya
hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita
Dalam tradisi Islam sebagaimana ini dalam hadits Nabi
yang mengajukan pinangan itu yaitu dari pihak laki-laki , sedangkan
pihak wanita berada dalam status orang yang menerima
pinangan Pihak laki-laki yang mengajukan pinangan dalam hal ini
dapat dilakukan oleh laki-laki itu sendiri yang datang kepada pihak
wanita untuk menyampaikan pinangannya atau mengutus
seseorang yang dipercayai (dalam hal ini wanita ) untuk
melakukannya. Semua wanita boleh dipinang, asalkan tidak
meminang istri orang atau wanita yang telah dipinang oleh orang
lain. Dalam suatu hadits dikatakan : “orang mukmin yaitu saudara
orang mukmin. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin
meminang seorang wanita yang telah dipinang oleh saudaranya,
sehingga nyata sudah ditinggalkannya” (H.R. Ahmad dan Muslim).
Menurut Imam Nawawi dan jumhur ulama, hadits diatas
menunjukkan keharaman atas pinangan orang lain. Mereka sepakat
akan keharamannya bila telah jelas pinangannya diterima. Bila
meminang pinangan orang lain lalu menikah, orang yang
melakukan pinangan ini telah berbuat maksiat, namun
pernikahannya sah ,
Meminang wanita tidak hanya dilihat dari kesediaan wanita itu
dalam menerima pinangan laki-laki itu saja, tetapi laki-laki juga harus
melihat kondisi wanita ini pada saat dilamar. Pasal 12 KHI
menyatakan:
(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang
masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa
iddahnya.
(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa
iddah raj’iah , haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang
pria lain, selama pinangan pria ini belum putus atau
belum ada penolakan dari pihak wanita.
(4) Putusnya pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan
tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam
pria yang telah meminang telah menjauh dan meninggalkan
wanita yang dipinang.
berdasar ketentuan Pasal 12 ini dapat dijelaskan
bahwa seorang laki-laki bebas untuk meminang seorang wanita, baik
perawan atau janda yang ingin dijadikan istrinya. Kecuali wanita
ini masih terdapat keterikatan dalam ikatan pinangannya
dengan pria lain. Selain itu seorang laki-laki tidak boleh meminang
wanita yang sedang dalam masa iddah karena dalam masa iddah itu,
bekas suaminya masih mempunyai hak untuk merujuk isteri, jika hal
itu diinginkannya. Disamping itu, dalam masa iddah juga dapat
memperjelas status kandungan seorang janda, serta dapat
mengetahui hamil atau tidak hamil dari perkawinan sebelumnya.
3. Melihat wanita yang dipinang
Sebagian ulama mengatakan bahwa melihat wanita yang
akan dipinang itu boleh saja. Hal ini didasarkan pada Hadits
Rasullullah SAW. Dari Musa bin Abdullah menurut riwayat Ahmad
yang berbunyi : “…..berkata Rasul Allah SAW. Bila salah seorang
diantaramu meminang seseorang wanita tidakada halangannya
melihat kepadanya bila melihat itu yaitu untuk kepentingan
peminangan, meskipun wanita itu tidak mengetahuinya”.
Adapula sebagian ulama yang berpendapat bahwa melihat
wanita yang akan dipinang itu hukumnya sunat. Hal ini
didasarkan kepada Hadits Nabi dari Jabir menurut riwayat Ahmad
dan Abu Daud dengan sanad yang dipercaya yang bunyinya:
“….jika salah seorang diantara kamu meminang seorang
wanita , sekiranya dia dapat melihat wanita itu, hendaklah
dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka
lakukanlah”. (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)
Meskipun hadits Nabi menetapkan boleh melihat wanita
yang dipinang, namun ada batas-batas yang boleh dilihat. Batasan
anggota badan yang boleh dilihat yaitu :
a) Jika yang melihatnya sama-sama wanita , seluruh anggota
badannya boleh dilihat, dan wanita yang diutus oleh pihak
laki-laki harus mengatakan sejujur-jujurnya tentang keadaan
47
wanita yang dimaksudkan, sehingga jangan sampai pihak
laki-laki tertipu.
b) Jika yang melihatnya pihak laki-laki, bagian yang
diperbolehkan hanya muka dan telapak tangan, karena selain
itu merupakan aurat yang haram dilihat. Larangan melihat
anggota tubuh selain muka dan telapak tangan didasarkan
kepada dalil Al-Qur’an yang terdapat dalam surat An-Nur ayat
31: “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak darinya.” (Q.S. An-Nur:31). Hadits
Nabi dari Khalid ibn Duraik dari Aisyah menurut riwayat Abu
Daud pun menegaskan bahwa batas umum aurat seorang
wanita yang mungkin dapat dilihat hanya muka dan
telapak tangan. Hadits Nabi ini berbunyi: “Asma’ binti
Abi Bakar masuk kerumah Nabi sedangkan dia memakai
pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata
: hai Asma’ bila seorang wanita telah haid tidak boleh
terlihat kecuali ini dan ini. Nabi mengisyaratkan kepada muka
dan telapak tangannya.”
Alasan mengapa hanya muka dan telapak tangan saja yang boleh
dilihat, karena dengan melihat muka dapat diketahui kecantikannya
dan dengan melihat telapak tangan dapat diketahui kesuburan
badannya (Amir Syarifuddin, 2006:57). Adapun waktu melihat kepada
wanita ini yaitu saat menjelang menyampaikan
pinangan, bukan lsesudah nya, karena jika laki-laki ini tidak
suka lsesudah melihat maka laki-laki ini akan dapat
meninggalkannya tanpa menyakitinya.
B. Tujuan Pernikahan
Pasal 3 KHI merumuskan bahwa tujuan dari perkawinan yaitu
untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah. Sedangkan tujuan pengertian menurut UU
Perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan
perkawinan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia yang
dimaksud dalam UU Perkawinan sama dengan tujuan perkawinan
yang terdapat dalam KHI. Tujuan pernikahan untuk membentuk
keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah, suatu rumah tangga yang
didalamnya terjalin keharmonisan diantara suami istri yang saling
mengasihi dan menyayangi sehingga masing-masing pihak merasa
damai dalam rumah tangganya, dan terciptalah kebahagiaan dalam
rumah tangga ini .
Selain itu, tujuan dari disyariatkannya perkawinan yaitu
untuk mendapatkan anak keturunan yang sah untuk generasi yang
akan datang. Islam menganjurkan kepada umatnya untuk memilih
pasangan suami istri yang baik (agamanya) sehingga dapat
melahirkan keturunan (generasi pengganti) sebagaimana yang
diharapkan.
C. Jenis Pernikahan
Pada bagian berikut akan disampaikan beragam jenis
pernikahan yang dikenal dan menjadi kontroversi keberadaannya
dalam masyarakat. Sebahagiannya dianggap sebagai bagian dari
tradisi atau kebiasaan setempat masyarakatnya dan sebahagian
lainnya dianggap sebagai penyimpangan yang hadir dari suatu
masyarakat tertentu. Masing-masing jenis pernikahan ini akan
diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1. Nikah mut’ah
Nikah mut’ah yaitu akad yang dilakukan oleh seorang laki-laki
terhadap wanita dengan memakai lafazh “tamattu, istimta” atau
sejenisnya (Beni Ahmad Saebani, 2001:55). Ada yang mengatakan
nikah mut’ah disebut juga kawin kontrak (muaqqat) dengan jangka
waktu tertentu atau tak tertentu, tanpa wali maupun saksi. Seluruh
imam Madzhab menetapkan nikah mut’ah yaitu haram. Alasannya
yaitu :
Nikah mut’ah tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Al-
Qur’an, juga tidak sesuai dengan masalah yang berkaitan
dengan talak, iddah, dan kewarisan. Jadi pernikahan seperti itu
batal sebagaimana pernikahan lain yang dibatalkan Islam.
Banyak hadits yang dengan tegas menyebutkan haramnya
nikah mut’ah. Dalam suatu hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah, Rasullullah SAW . mengharamkan nikah mut’ah dengan
sabdanya : “Wahai manusia! Aku pernah mengizinkan kamu
nikah mut’ah, tetapi sekarang ketahuilah bahwa Allah telah
mengharamkannya sampai hari kiamat”.
Umar ketika menjadi khalifah berpidato dengan menyatakan
keharaman nikah mut’ah. Ketika itu para sahabat langsung
menyetujuinya.
Hikmah pengharaman nikah mut’ah yaitu tidak terealisasinya
tujuan-tujuan dasar pernikahan yang abadi dan langgeng serta tidak
bertujuan membentuk keluarga yang langgeng, sehingga dengan
diharamkan, tidak akan lahir anak-anak hasil zina dan lelaki yang
memanfaatkan nikah mut’ah untuk berbuat zina.
2. Nikah Muhallil (Kawin Cinta Buta)
Muhallil disebut pu