gangguan jiwa 1

Rabu, 12 Juli 2023

gangguan jiwa 1


PENGERTIAN TERAPI KELUARGA
Terapi keluarga adalah suatu cara untuk menggali masalah emosi yang timbul kemudian 
dibahas atau diselesaikan bersama dengan anggota keluarga, dalam hal ini setiap anggota 
keluarga diberi kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam menyelesaikan masalah 
(Keliat, 1996; Gladding, 2002). 
Keluarga sebagai suatu sistem sosial merupakan sebuah kelompok kecil yang terdiri atas 
beberapa individu yang mempunyai hubungan erat satu sama lain dan saling bergantung, 
serta diorganisasi dalam satu unit tunggal dalam rangka mencapai tujuan tertentu.
Keluarga memiliki hubungan satu sama lain dalam suatu sistem keluarga terikat begitu 
ruwet sehingga suatu perubahan yang terjadi pada satu bagian pasti menyebabkan perubahan 
dalam seluruh sistem keluarga. Setiap anggota keluarga dan subsistem akan dipengaruhi oleh 
stresor transisional dan situasional, tetapi efek tersebut berbeda intensitas ataupun kualitas. 
Oleh karena itu, jika ada seorang anggota keluarga yang mengalami masalah kesehatan baik 
fisik maupun psikososial maka hal tersebut akan dapat memengaruhi kondisi keluarga secara 
keseluruhan. Dengan memahami prinsip keluarga, perawat dapat melakukan observasi yang 
akurat sehingga dapat meningkatkan pengkajian terhadap kebutuhan dan berbagai sumber 
dalam keluarga. Perawat juga dapat menyarankan cara baru untuk meningkatkan fungsi 
keluarga yang adaptif dan meningkatkan koping keluarga yang efektif. Dengan demikian, 
perawat dapat lebih cepat mengidentifikasi masalah di dalam keluarga dan bersama keluarga 
mencari penyelesaian masalah yang tepat serta melakukan rujukan jika diperlukan.
Terapi keluarga merupakan terapi yang dikembangkan untuk menangani keluarga 
bermasalah. Oleh karena itu, sebagian besar berorientasi pada patologis yang menyangkut 
keluarga baik fungsional maupun disfungsional, dan bersifat preskriptif, menyarankan 
strategi penanganan (Friedman, 1992 dalam Keliat, 1996).
Ciri Sistem Keluarga yang Fungsional 
Ciri sistem keluarga yang fungsional antara lain sebagai berikut (Gladding, 2002). 
1. Mempertahankan keseimbangan, fleksibilitas, dan adaptif terhadap perubahan tahap 
transisi yang terjadi dalam hidup.
2. Masing-masing anggota keluarga menyadari bahwa masalah emosi merupakan bagian 
dari fungsi setiap individu.
3. Setiap anggota keluarga mampu mempertahankan kontak emosi pada setiap generasi.
4. Menjalin hubungan erat antaranggota keluarga dan menghindari menjauhi masalah.
5. Menggunakan perbedaan antaranggota keluarga yang ada sebagai motivasi untuk 
meningkatkan pertumbuhan dan kreativitas individu.
6. Antara orang dan anak terbentuk hubungan yang terbuka dan bersahabat.Ciri Disfungsional Keluarga 
Ciri keluarga yang disfungsional adalah sebagai berikut (Gladding, 2002).
1. Tidak memiliki satu atau lebih fungsi keluarga di atas.
2. Ketidakseimbangan pola asuh seperti ibu yang terlalu melindungi atau sebaliknya.
3. Orang tua super atau pasif.
4. Pasangan yang tidak harmonis.
INDIKASI TERAPI KELUARGA
1. Konflik perkawinan, konflik antarsaudara kandung, konflik beberapa generasi.
2. Konflik antara orang tua dan anak.
3. Konflik pada masa transisi dalam keluarga seperti pasangan yang baru menikah, 
kelahiran anak pertama, dan masalah remaja.
4. Terapi individu yang memerlukan melibatkan anggota keluarga lain.
5. Proses terapi individu yang tidak kunjung mengalami kemajuan.
PERKEMBANGAN TERAPI KELUARGA 
Sejarah perkembangan terapi keluarga sudah dimulai oleh Bowen sejak tahun 1945 di klinik 
Menninger pada kasus ibu dan anak (Gladding, 2002). Bowen menerapkan konsep terapi 
keluarga pada kasus psikiatri sejak tahun 1954, kemudian diteruskan antara lain oleh Salvador 
Minuchin, Jay Haley, Nathan Ackerman, dan Virginia Satir. Secara keseluruhan sejarah 
perkembangan terapi keluarga tampak pada Tabel 27.1. 

APLIKASI TERAPI KELUARGA
Pengkajian
Dilakukan pengkajian keluarga secara menyeluruh terutama pola komunikasi dalam keluarga, 
hubungan interpersonal antaranggota keluarga, sistem pendukung yang tersedia, mekanisme 
koping keluarga, dan persepsi keluarga terhadap masalah.Diagnosis
Diagnosis yang umum dan sering adalah konflik (gangguan hubungan interpersonal anak 
dan keluarga) berhubungan dengan koping keluarga tidak efektif.
Tujuan Jangka Panjang
Tujuan jangka panjang yang ingin dicapai adalah mengacu pada problem atau masalah yaitu 
konflik menurun atau dapat diatasi dan hubungan interpersonal anak dan keluarga dapat 
ditingkatkan.
Tujuan Jangka Pendek
Tujuan jangka pendek yang ingin dicapai mengacu pada etiologi, yaitu koping keluarga 
efektif.
Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan yang direncanakan dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Memanipulasi lingkungan.
2. Sistem pendukung.
3. Pendekatan umum untuk semua anggota keluarga.
4. Pendekatan individu, meliputi:
a. teknik aberasi yaitu menurunkan stres dengan ekspresi perasaan,
b. penggunaan penguatan,
c. penggunaan teknik klarifikasi, dan lain-lain.
MANFAAT TERAPI KELUARGA
1. Pasien
a. Mempercepat proses penyembuhan pasien yang berdampak positif bagi dinamika 
keluarga.
b. Memperbaiki hubungan interpersonal.
c. Menurunkan angka kekambuhan.
2. Keluarga
a. Memperbaiki fungsi dan struktur keluarga.
b. Keluarga mampu meningkatkan pengertian terhadap pasien sehingga lebih dapat 
menerima, lebih bertoleransi, dan lebih menghargai pasien sebagai manusia.c. Keluarga dapat meningkatkan kemampuan dalam membantu pasien dalam proses 
rehabilitasi.


PENGERTIAN TERAPI LINGKUNGAN
Terapi lingkungan adalah lingkungan fisik dan sosial yang ditata agar dapat membantu 
penyembuhan dan atau pemulihan pasien. Milleu berasal dari Bahasa Prancis, yang dalam 
Bahasa Inggris diartikan surronding atau environment, sedangkan dalam Bahasa Indonesia 
berarti suasana. Jadi, terapi lingkungan adalah sama dengan terapi suasana lingkungan yang 
dirancang untuk tujuan terapeutik. Konsep lingkungan yang terapeutik berkembang karena 
adanya efek negatif perawatan di rumah sakit berupa penurunan kemampuan berpikir, adopsi 
nilai-nilai dan kondisi rumah sakit yang tidak baik atau kurang sesuai, serta pasien akan 
kehilangan kontak dengan dunia luar.
TUJUAN TERAPI LINGKUNGAN
Mengembangkan keterampilan emosional dan sosial yang akan menguntungkan kehidupan 
setiap hari, dengan cara memanipulasi lingkungan atau suasana lingkungan sebagai tempat 
pasien untuk mendapatkan perawatan seperti di rumah sakit.
KARAKTERISTIK UMUM TERAPI LINGKUNGAN
Distibusi Kekuatan
Proses penyembuhan pasien sangat bergantung pada kemampuan pasien dalam membuat 
keputusan bagi dirinya sendiri (otonomi). Oleh karena itu, perawat, tenaga kesehatan, dan 
pasien yang terlibat di dalamnya diharapkan dapat bekerja sama dalam melengkapi data yang 
dibutuhkan untuk menentukan masalah pasien, berbagi tanggung jawab, dan bekerja sama 
untuk mengarahkan pasien dalam membuat keputusan bagi proses penyembuhannya.
Komunikasi Terbuka
Komunikasi terbuka merupakan komunikasi dua arah yang kedua belah pihak saling mengerti 
pesan yang dimaksudkan tanpa adanya hal yang disembunyikan. Komunikasi terbuka yang 
dilandasi saling percaya dan kejujuran di antara perawat dengan tenaga kesehatan lain 
merupakan hal yang sangat penting dalam pelayanan keperawatan. Setiap data yang diperoleh 
mengenai pasien dan keluarganya harus segera dikomunikasikan bersama sehingga dapat 
memberi arahan dalam pembuatan keputusan yang hanya ditujukan untuk kesembuhan 
pasien.
Struktur Interaksi
Interaksi terapeutik bukan hanya sekadar berinteraksi biasa, melainkan membutuhkan 
strategi tersendiri seperti halnya struktur yang tepat sehingga apa yang diinginkan dalam interaksi tersebut tercapai. Perawat sebagai ujung tombak utama yang berhadapan langsung 
dengan pasien selama 24 jam diharapkan mampu memfasilitasi interaksi terapeutik dengan 
memperlihatkan sikap bersahabat, bertutur kata lembut, jelas tapi tegas, tidak defensif, penuh 
perhatian, peka terhadap kebutuhan pasien, mampu memotivasi pasien untuk berinteraksi 
dengan pasien lain, serta saling berbagi rasa dan pengalaman. Hal tersebut akan sangat 
membantu pasien untuk dapat menerima perawatan dan pengobatan yang diberikan.
Aktivitas Kerja
Pasien yang dirawat di rumah sakit dalam jangka waktu tidak sebentar sering mempunyai 
perasaan kesepian, tidak berarti, ditolak/dikucilkan, tidak mandiri/bergantung, dan 
keterbatasan hubungan dengan dunia luar. Oleh karenanya, perawat diharapkan mampu 
mengisi waktu luang pasien dengan memotivasi pasien ikut serta dalam aktivitas lingkungan 
yang sesuai dengan minat, kemampuan, dan tingkat perkembangannya. Sebelum menentukan 
kegiatan apa yang akan dilakukan pasien, perawat bersama pasien mengidentifikasi jenis￾jenis kegiatan yang dapat dilakukan pasien sebagai pengisi waktu luang. Misalnya membaca 
majalah, buku pelajaran bagi siswa/pelajar/mahasiswa, jalan-jalan pagi, menyulam, melakukan 
kegiatan sehari-hari, serta berbagi pikiran dan perasaan dengan sesama pasien yang dilakukan 
bersama perawat.
Peran Serta Keluarga dan Masyarakat dalam Proses Terapi
Keluarga merupakan orang-orang terdekat yang sangat memengaruhi kehidupan pasien. 
Oleh karena itu, peran serta keluarga dalam penyembuhan pasien juga menjadi hal yang 
utama karena setelah selesai menjalani perawatan di rumah sakit pasien akan kembali ke 
keluarga dan berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya. Kesiapan keluarga dan masyarakat 
dalam menerima kembali kehadiran pasien merupakan hal yang harus ditata sedini mungkin. 
Pelibatan keluarga dalam penyusunan perencanaan perawatan, pengobatan, dan persiapan 
pulang pasien merupakan solusi yang harus dilakukan oleh perawat dan tenaga kesehatan 
secara komprehensif. Penyiapan lingkungan masyarakat dapat dilakukan dengan penyuluhan 
dan penyebaran selebaran tentang kesehatan jiwa, penyakit jiwa, dan solusinya. Hal ini 
membutuhkan kerja sama yang solid antarpihak, yaitu tenaga kesehatan dan kebijakan 
pemerintah setempat.
Lingkungan yang Mendukung
Untuk mendukung fase tumbuh kembangnya maka lingkungan diatur sedemikian rupa, 
seperti ruang anak-anak terdapat mainan yang disesuaikan dengan usianya, ruang remaja 
banyak alat informasi, majalah, buku, film, sedangkan untuk lansia ruang yang terang, aman, 
dan sederhana.STRATEGI DALAM TERAPI LINGKUNGAN
Aspek Fisik
1. Menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman seperti gedung yang permanen, 
mudah dijangkau atau diakses, serta dilengkapi dengan kamar tidur, ruang tamu, 
ruang makan, kamar mandi, dan WC. Cat ruangan sesuai dengan pengaruh dalam 
menstimulasi suasana hati pasien menjadi lebih baik, seperti warna muda atau pastel 
untuk pasien amuk, serta warna cerah untuk pasien menarik diri dan anak-anak. Semua 
ruangan hendaknya disiapkan dengan memperhatikan keamanan dan kenyamanan, 
serta usahakan suasana ruangan bagai di rumah sendiri (home sweet home). Hal-hal 
yang bersifat pribadi dari pasien harus tetap dijaga. Kamar mandi dan WC harus tetap 
dilengkapi dengan pintu sebagaimana layaknya rumah tinggal. Kantor keperawatan 
hendaknya dilengkapi dengan kamar-kamar pertemuan yang dapat digunakan untuk 
berbagai terapi, misalnya untuk pelaksanaan terapi kelompok, terapi keluarga, dan 
rekreasi.
2. Struktur dan tatanan dalam gedung sebaiknya dirancang sesuai dengan kondisi dan jenis 
penyakit, serta tingkat perkembangan pasien. Misalnya ruang anak dirancang berbeda 
dengan dewasa ataupun usia lanjut. Demikian pula ruangan untuk kondisi akut berbeda 
dengan ruang perawatan intensif.
Aspek Intelektual
Tingkat intelektual pasien dapat ditentukan melalui kejelasan stimulus dari lingkungan dan 
sikap perawat. Oleh karena itu, perawat harus dapat memberikan stimulus ekstrenal yang 
positif dalam arti perawat harus berkemampuan merangsang daya pikir pasien sehingga 
pasien dapat memperluas kesadaran dirinya sehingga pasien dapat menerima keadaan dan 
peran sakitnya.
Aspek Sosial
Perawat harus mampu mengembangkan pola interaksi yang positif, baik perawat dengan 
perawat, perawat dengan pasien, maupun perawat dengan keluarga pasien. Untuk dapat 
membangun interaksi yang positif tersebut perawat harus menguasai kemampuan 
berkomunikasi dengan baik. Penggunaan teknik komunikasi yang tepat akan sangat berperan 
dalam menciptakan hubungan terapeutik antara perawat dengan pasien. Oleh karenanya, 
diharapkan pasien dapat mengembangkan hubungan komunikasi yang baik terhadap 
pasien lain maupun perawatnya, karena hubungan interpersonal yang menyenangkan dapat 
mengurangi konflik intrapsikis yang akan menguatkan fungsi ego pasien dan mendukung 
kesembuhan pasien.
Aspek Emosional
Iklim emosional yang positif mutlak harus diciptakan oleh seluruh perawat dan tenaga 
kesehatan yang terlibat dalam proses penyembuhan pasien. Sikap dasar yang hendaknya 
dibangun adalah memperlihatkan sikap yang tulus, jujur/dapat dipercaya, hangat, tidak 
defensif, empati, peka terhadap perasaan dan kebutuhan pasien, serta bersikap spontan dalam 
memenuhi kebutuhan pasien.
Aspek Spiritual
Spiritual merupakan kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dielakkan pemenuhannya. 
Meningkatkan aspek spiritual dari lingkungan dalam proses penyembuhan ditujukan untuk 
memaksimalkan manfaat dari pengalaman, pengobatan, dan perasaan damai bagi pasien. 
Cara pemenuhan yang paling mudah adalah dengan penyediaan sarana ibadah seperti tempat 
ibadah, kitab suci, dan ahli agama. Pemberian penguatan terhadap perilaku positif yang telah 
dilakukan pasien dalam hal spritual akan memotivasi pasien melakukannya lebih baik sebagai 
dampak dari peningkatan harga diri pasien.
PERAN PERAWAT DALAM TERAPI LINGKUNGAN
1. Pengasuh (Mothering Care)
 Seorang perawat dalam memenuhi kebutuhan pasien akan memberikan asuhan 
keperawatan atas dasar identifikasi masalah baik kebutuhan fisik maupun emosional. 
Selain itu, perawat juga harus memfasilitasi pasien agar mengembangkan kemampuan 
barunya untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Dengan demikian, pasien 
dapat memahami dan menerima situasi yang sedang dialaminya serta termotivasi 
untuk mengubah perilaku yang destruktif manjadi konstruktif. Hal yang tidak kalah 
pentingnya adalah perawat juga harus membantu pasien mengenal batasan-batasan dan 
menerima risiko akibat perilakunya. 
 Contohnya, pasien menolak minum obat atau menjalani pemeriksaan tertentu, maka 
perawat disini bertugas menjelaskan manfaat pengobatan ataupun pemeriksaan tersebut 
dan konsekuensi dari penolakannya.
2. Manajer
 Pasien sama dengan setiap manusia yang lain yaitu individu yang unik. Oleh karenanya, 
dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat harus memperhatikan tingkat 
perkembangan pasien. Sebagai perencana, perawat melakukan pengkajian untuk 
mendapatkan gambaran yang jelas tentang kondisi dan kebutuhan pasien sebelum 
melakukan asuhan keperawatan. Sebagai manajer, perawat harus dapat mengatur dan 
mengorganisasi semua kegiatan untuk pasien dari pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, 
sampai dengan evaluasi. Selain itu, perawat harus mampu memberikan arahan singkat 
dan jelas kepada pasien, keluarga, dan tenaga kesehatan lain agar asuhan keperawatan 
yang telah direncanakan dapat dilaksanakan secara komprehensif.




PENGERTIAN TERAPI PERILAKU
Perilaku akan dianggap sebagai hal yang maladaptif saat perilaku tersebut dirasa kurang tepat, 
mengganggu fungsi adaptif, atau suatu perilaku tidak dapat diterima oleh budaya setempat 
karena bertentangan dengan norma yang berlaku. Terapi dengan pendekatan perilaku adalah 
suatu terapi yang dapat membuat seseorang berperilaku sesuai dengan proses belajar yang 
telah dilaluinya saat dia berinteraksi dengan lingkungan yang mendukung (Chambless dan 
Goldstein, 1979).
Asumsi dasar yang dapat menyatakan bahwa terdapat masalah perilaku apabila terjadi 
pembelajaran yang tidak adekuat dan perilaku tersebut dapat dibenahi dengan pembelajaran 
yang tepat. Prinsip terapi perilaku yang masih dianut hingga saat ini berdasarkan dua 
ilmuwan besar yaitu pengondisian klasik (classical conditioning) oleh Pavlov (1927) dan 
pengondisian operant (operant conditioning) oleh Skinner (1938).
PENGONDISIAN KLASIK (CLASSICAL 
CONDITIONING)
Pengondisian klasik (classical conditioning) adalah suatu proses belajar yang dikenalkan oleh 
Pavlov pada tahun 1927 setelah percobaan yang dilakukannya pada seekor anjing, yaitu anjing 
akan mengeluarkan air liurnya saat memulai memakan makanan yang diberikan (respons yang 
tidak dikondisikan—unconditioned response). Kemudian anjing ini akan berliur kembali saat 
melihat ada makanan yang dihidangkan, padahal ia belum mulai memakannya (respons yang 
dikondisikan—conditioned response). Hal tersebut terjadi karena anjing sudah pernah belajar 
bahwa makanan yang dilihat itu dapat merangsang kelenjar air liurnya saat dimakan. Lalu 
dihadirkan bunyi bel kepada anjing tersebut dan tidak menimbulkan respons apa-apa (anjing 
tidak mengeluarkan liur). Selanjutnya, dihadirkan bunyi bel bersamaan dengan makanan, 
hal itu ternyata membuat anjing berliur (respons yang dikondisikan—conditioned response). 
Di waktu yang lain, dihadirkan bunyi bel tanpa menghadirkan makanan dan anjing tersebut 
mengeluarkan air liur (respons yang dikondisikan—conditioned response). 
Dari percobaan tersebut disimpulkan oleh Pavlov bahwa makhluk hidup dapat belajar 
merespons untuk berperilaku tertentu bila dihadirkan pada suatu kondisi tertentu. Dalam 
teori ini, pengondisian klasik (classical conditioning) berfokus pada respons perilaku yang 
dihadirkan oleh suatu objek atau kejadian tertentu pada stimulus. Untuk lebih jelasnya dapat 
dilihat pada diagram berikut ini.Sebelum Pengondisian
UCS (Unconditioned Stimulus)
Makan makanan
→ UCR (Unconditioned Response)
Berliur
UCS (Unconditioned Stimulus)
Melihat makanan
→ CR (Conditioned Response)
Berliur
CS (Conditioned Stimulus)
Suara bel
→ Nonresponse
Tidak berliur
Selama Pengondisian
UCS + CS (Unconditioned Stimulus + Conditioned Stimulus)
Makan + suara bel
→ CR (Conditioned Response)
Berliur
Setelah Pengondisian
CS (Conditioned Stimulus)
Suara bel
→ CR (Conditioned Response)
Berliur
Gambar 29.1 Diagram Operasional Pengondisian Klasik (Classical Conditioning)
PENGONDISIAN OPERANT (OPERANT 
CONDITIONING)
Pengondisian operant (operant conditioning) dikenalkan oleh ilmuwan yang bernama Skinner 
pada tahun 1938. Skinner menyatakan bahwa hubungan antara stimulus dan respons dapat 
diperkuat dan dilemahkan oleh konsekuensi dari respons tersebut.
Pengondisian operant (operant conditioning) merupakan modifikasi perilaku 
yang dipertajam atau ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui pemberian penguatan 
(reinforcement) (Murray dan Wilson, 1983). Sementara menurut Reynold (dikutip oleh 
Stuart dan Sundeen, 1987), pengondisian operant (operant conditioning) mengacu pada 
proses frekuensi terjadinya suatu perilaku dimodifikasi oleh berbagai konsekuensinya.
Secara operasional dapat digambarkan sebagai berikut.
1. Stimulus adalah kejadian yang ada di lingkungan yang dapat memengaruhi perilaku 
individu dalam menghasilkan respons.
2. Stimulus yang diikuti oleh perilaku atau respons disebut stimulus memperkuat 
(reinforcing stimulus).
3. Pada saat reinforcing stimulus ini mendapatkan dukungan yang baik dari lingkungan 
maka kemungkinan perilaku tersebut untuk berulang, yang disebut penguatan positif 
(positive reinforcement).
4. Bila reinforcing stimulus ini tidak mendapatkan tanggapan lingkungan, maka 
kemungkinan perilaku tersebut tidak akan berulang, yang disebut penguatan negatif 
(negative reinforcement).5. Bila reinforcing stimulus ini mendapatkan tanggapan yang tidak menyenangkan dari 
lingkungan, maka kemungkinan perilaku tersebut tidak akan berulang, yang disebut 
stimulus permusuhan (aversive stimulus).
TEKNIK UNTUK MEMODIFIKASI PERILAKU PASIEN
1. Pembentukan (Shaping)
 Dalam membentuk perilaku seseorang, penguatan diberikan untuk meningkatkan 
pencapaian respons yang diinginkan. Contohnya, saat melatih seorang siswa yang 
tidak mau berbicara, seorang guru harus memberikan penguatan kepada siswa tersebut 
secara bertahap, yaitu saat siswa mau melihat gerakan bibir guru, lalu saat siswa mau 
menirukan suara seperti yang disuarakan oleh gurunya, setelah itu saat murid mau 
berbicara sesuai yang diucapkan oleh gurunya, sampai pada akhirnya guru hanya 
memberikan penguatan hanya bila siswa tersebut mengucapkan kata yang diharapkan 
dengan benar.
2. Pemodelan (Modelling)
 Pemodelan memiliki arti mempelajari suatu perilaku dengan menirukan perilaku 
orang lain. Model akan lebih suka untuk ditiru apabila dirasa memiliki nilai prestise, 
berpengaruh, atau menggunakan gerakan fisik yang atraktif, serta yang paling utama 
saat perilaku itu mendapatkan banyak penguatan (Bandura, 1969). Peniruan bisa terjadi 
di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja, termasuk dapat dilakukan oleh seorang 
pasien kepada terapisnya. Hal ini dapat dimanfaatkan untuk memodifikasi perilaku 
pasien. Caranya pasien diminta untuk melihat sesuatu melalui televisi, lalu pasien 
diminta untuk melakukan hal yang sama dengan yang dilihatnya, lalu pasien diberi 
penguatan bila mampu melakukannya dengan baik.
3. Prinsip Premarck (Premarck Principle)
 Teknik ini menyatakan bahwa respons yang sering terjadi (R1
) dapat dibuat menjadi 
sebuah penguatan positif untuk respons yang lebih jarang untuk dilakukan (R2
) atau 
kata lain R1
 dapat dijadikan sebagai hadiah bila R2
 telah dilakukan. Contohnya, Silfy, 
seorang gadis berusia 13 tahun, jarang sekali mengerjakan pekerjaan rumahnya, karena 
ia lebih memilih menelepon temannya. Oleh karenanya, digunakan Prinsip Premarck, 
Silfy diizinkan menelepon temannya bila pekerjaan rumahnya telah selesai dikerjakan. 
Untuk lebih jelasnya, perhatikan Gambar 29.2.
Stimulus
(PR)
→ R2
Menyelesaikan PR
→ R1 
(Menelepon teman)
Gambar 29.2 Prinsip Premarck
4. Penghilangan (Extinction)
 Teknik ini merupakan prosedur yang biasa digunakan oleh pemberi penguatan untuk 
menghilangkan perilaku. Penghilangan berjalan lebih lambat daripada penguatan dalam 
memodifikasi perilaku. Contohnya, seorang anak temper tantrum. ibunya mengatakan 
berhenti pada anak tersebut, tetapi anak tersebut malah menjatuhkan diri lalu berguling￾guling. Ibunya lalu memutuskan untuk tidak lagi memberikan perhatian pada perilaku 
tersebut. Pada tantrum berikutnya, ibu tetap melakukan hal tersebut. Meskipun pada 
awal tantrum tersebut menjadi meningkat, karena ibunya tetap tidak memberikan 
respons secara kontinu, maka perilaku tantrum tersebut secara bertahap menurun.
5. Perjanjian Kontingensi (Contingency Contracting)
 Perubahan perilaku yang diinginkan dinyatakan secara tertulis. Dalam kontrak tertulis 
secara spesifik perubahan perilaku tertentu dan penguatan yang akan diberikan saat 
terjadi perubahan perilaku. Di samping itu, konsekuensi negatif yang akan diberlakukan 
dicantumkan dalam kontrak tersebut (Sundel dan Sundel, 2005).
6. Token Ekonomi (Token Economy)
 Hampir serupa dengan perjanjian kontingensi, penguatan diberikan untuk setiap 
perilaku yang diinginkan dalam bentuk token (semacam tanda khusus). Misalnya, untuk 
membantu membeli makanan diberi 2 token, untuk pergi ke perpustakaan diberi 5 
token, dan seterusnya. Token tersebut dapat dikumpulkan dalam jumlah yang banyak 
untuk ditukarkan dengan penghargaan yang lebih diinginkan. 
7. Time Out
 Mikulas mengatakan hal ini merupakan prosedur hukuman dalam periode waktu 
tertentu yang selama waktu tersebut pemberian penguatan tidak sesuai. Contohnya, 
seorang anak yang melalaikan/tidak mengerjakan pekerjaan rumah, anak tersebut 
disuruh oleh gurunya berdiri di depan kelas selama 15 menit.
8. Penghambatan Resiprok (Reciprocal Inhibition)
 Disebut juga kebalikan dari pengondisian. Penghambatan resiprok menghilangkan 
perilaku dengan mengenalkan perilaku lain yang lebih adaptif. Contohnya, mengenalkan 
teknik relaksasi kepada individu dengan masalah fobia. Relaksasi diperagakan saat 
ansietas datang sehingga individu dapat mengatur ansietas saat stimulus rasa takutnya 
datang.
9. Kepekaan Terbuka (Overt Sensitization)
 Merupakan jenis dari terapi aversion yang menghasilkan konsekuensi yang tidak 
menyenangkan untuk perilaku yang tidak diinginkan. Misalnya disulfiram (antabuse) 
adalah obat yang diberikan kepada individu yang ingin berhenti minum alkohol. Bila 
seseorang mengonsumsi alkohol, maka ia sedang menjalani terapi antabuse maka 
ia akan merasa mual, muntah, sesak napas, dada berdebar-debar, dan sakit kepala. 
Efek dari alkohol yang dianggap menyenangkan tidak didapatkan. Hal itu merupakan 
hukuman agar is tidak lagi melakukan perilaku yang maladaptif (minum alkohol).
10. Kepekaan Terselubung (Covert Sensitization)
 Suatu teknik dengan membayangkan sesuatu yang menghasilkan gejala yang tidak 
menyenangkan. Teknik ini berada di bawah kontrol pasien dan dapat digunakan kapan 
saja diinginkan individu membayangkan untuk memvisualisasikan mual. Hal ini paling 
efektif bila dipasangkan dengan relaksasi. Keuntungan utamanya adalah individu tidak 
perlu menunjukkan perilaku yang diinginkan tetapi cukup dengan membayangkannya 
(Sundel dan Sundel, 2005).
11. Desensitisasi Sistematis (Systematic Desensitization)
 Suatu teknik untuk membantu individu mengatasi rasa takutnya pada suatu stimulus 
fobia. Disebut sistematis karena adanya hierarki aktivitas yang membuat cemas. Contoh 
hierarki tersebut pada kasus takut naik lift, yaitu sebagai berikut.
a. Bicarakan dengan terapis tentang stimulus fobia, misalnya takut naik lift.
b. Melihat gambar sebuah lift.
c. Berjalan ke lobi suatu gedung untuk melihat lift.
d. Mencoba untuk menekan tombol lift.
e. Masuk ke dalam lift dengan orang yang dipercaya dan keluar sebelum pintu lift 
tertutup.
f. Masuk ke dalam lift dengan orang yang dipercaya, biarkan pintu lift tertutup, lalu 
membuka lagi dan keluar dari lift.
g. Mencoba naik lift ke satu lantai yang lebih tinggi dengan orang yang dipercayai dan 
turun lagi ke lantai bawah lewat tangga.
h. Mencoba naik lift ke satu lantai yang lebih tinggi dan turun kembali ke lantai 
bawah.
i. Naik lift sendirian.
Setiap langkah di atas dapat dikombinasikan dengan teknik relaksasi. Setiap langkah 
dicoba dengan membayangkannya terlebih dahulu, bila tiba-tiba gugup gunakan 
teknik relaksasi dan kembali ke langkah sebelumnya.
12. Dibanjiri (Flooding)
Teknik ini disebut juga terapi implosif. Teknik ini juga digunakan untuk desensitisasi 
individu terhadap stimulus fobia. Individu dibanjiri (flooding) terus-menerus untuk 
membayangkan stimulus fobia sampai tidak lagi merasa cemas (Sundel dan Sundel, 
2005). Flooding akan lebih cepat memperlihatkan efek dibandingkan desensitisasi 
sistematis.




PENGERTIAN REHABILITASI PSIKIATRI
Pengertian rehabilitasi ada banyak versi, tetapi yang paling lengkap diungkapan oleh L.E. 
Hinsei dan R.J.Cambell dalam Psychiatic Dictionary. Rehabilitasi adalah segala tindakan fisik, 
penyesuaian psikososial, dan latihan vocational sebagai usaha untuk memperolah fungsi dan 
penyesuaian diri secara maksimal, serta untuk mempersiapkan pasien secara fisik, mental, dan 
vocational. Terapi rehabilitasi ini ditujukan untuk mencapai perbaikan fisik sebesar-besarnya, 
penempatan vokasional sehingga dapat bekerja dengan kapasitas maksimal, penyesuaian 
diri dalam hubungan perseorangan, dan sosial secara memuaskan sehingga dapat berfungsi 
sebagai warga masyarakat yang berguna.
Rehabilitasi sudah dikenal sejak zaman dahulu yang mempunyai arti secara umum 
yaitu pengembalian kemampuan seseorang seperti semula, baik secara fisik maupun mental.
Hampir sebagian besar orang beranggapan bahwa rehabilitasi sebagai kegiatan ekstramural 
dari pengobatan pasien mental sehingga selalu diorientasikan pada pekerjaan dan masalah￾masalah sosial saja. Hal itu tentu masih kurang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan 
psikiatri modern. Upaya rehabilitasi pasien mental di Indonesia dirintis pada tahun 1969 
dan berkembang sampai sekarang. 
LANGKAH PELAKSANAAN TERAPI REHABILITASI
Terapi rehabilitasi yang dilaksanakan di rumah sakit jiwa terdiri atas tiga tahap, yaitu sebagai 
berikut.
1. Terapi persiapan: seleksi, terapi okupasi, latihan kerja.
2. Terapi penyaluran (bengkel kerja terlindung—BKT).
3. Tahap pengawasan (day care, after care, kunjungan rumah [home visit]).
Tahap Persiapan
1. Seleksi
 Sebelum diseleksi, perlu diadakan case conference yang dihadiri berbagai disiplin 
profesi, seperti psikiater, psikolog, perawat psikiatri, pekerja sosial, terapis okupasi, yang 
setiap profesi memberikan pertimbangan hasil evaluasinya, sehingga kemudian dapat 
dimusyawarahkan dan disimpulkan untuk membuat program yang jelas dan terperinci 
untuk masing-masing rehabilitasi. 
 Hasil seleksi tersebut dapat mengetahui hal berikut.
a. Apakah pasien mengikuti proses rehabilitasi secara lengkap?
b. Apakah mengikuti terapi okupasi saja?
c. Apakah mengikuti latihan kerja saja?
d. Apakah belum dapat diberikan aktivitas dalam unit rehabilitasi sehingga sementara 
ditangguhkan dulu karena masih memerlukan pelayanan medik psikiatrik secara 
intensif?
 Materi yang diperlukan dalam seleksi antara lain sebagai berikut.
a. Hasil pemeriksaan medis.
b. Hasil pemeriksaan psikologis (kemampuan, bakat, minat, sifat-sifat kepribadian, dan 
dinamikanya).
c. Hasil perkembangan pasien dalam perawatan.
d. Hasil evaluasi sosial (riwayat hidup, perkembangan dari anak sampai dewasa, masalah 
sosial yang dialami, pengalaman pendidikan, pekerjaan, pergaulan, lingkungan 
keluarga, serta kemungkinan dan keinginan baik pasien maupun keluarga terhadap 
masa depan).
e. Hasil observasi terapis okupasi terhadap kemungkinan pemberian aktivitas atau 
pekerjaan.
 Tahap seleksi dilakukan dua kali, tahap awal tugas pokok tim adalah sebagai 
berikut.
a. Menentukan apakah calon rehabilitan sudah dapat diberi aktivitas yang bersifat 
psikologis, sosial, edukasional, dan vokasional.

b. Membuat tujuan jangka pendek (diberikan aktivitas yang sesuai dengan keadaan 
saat ini).
c. Membuat tujuan jangka panjang (rehabilitan disiapkan untuk penyaluran sampai 
pada latihan kerja).
 Tahap kedua, tugas pokok tim adalah menilai kesiapan rehabilitan untuk disalurkan 
ke keluarga atau masyarakat yang akan menerima.
2. Terapi Okupasi
a. Pengertian
Okupasi artinya mengisi atau menggunakan waktu luang. Setiap orang menggunakan 
waktu luang untuk melakukan aktivitas atau pekerjaan, sedangkan terapi mempunyai 
arti penatalaksanaan terhadap individu yang menderita penyakit atau disabilitas baik 
fisik maupun mental (Reed, 2001)
 Terapi okupasi bukan merupakan terapi kerja atau vocational training. Terapi 
okupasi bukan untuk menyiapkan individu yang mengalami limitasi fisik atau 
mental untuk mampu mengerjakan pekerjaan tertentu seperti tukang kayu dan 
pengrajin. Okupasi terapi memiliki keyakinan bahwa aktivitas yang digunakan 
dalam pemberian terapinya bertujuan untuk meningkatkan penampilan dan prestasi 
manusia, mencegah disfungsi fisik, mental, dan sosial, serta mengembangkan level 
fungsional manusia menjadi lebih tinggi atau kembali ke level normal. Jadi, pengertian 
terapi okupasi secara global adalah penyembuhan atau pemulihan terhadap individu 
dengan penggunaan aktivitas yang bertujuan sesuai dengan kebutuhan masing￾masing individu.
b. Tujuan
Terapi okupasi bagi pasien gangguan mental, yaitu sebagai berikut.
1) Menciptakan kondisi tertentu sehingga pasien dapat mengembangkan 
kemampuannya agar dapat berhubungan dengan orang lain.
2) Membantu menyalurkan dorongan emosi secara wajar dan produktif.
3) Menghidupkan kemauan dan motivasi pasien.
4) Menemukan kemampuan kerja yang sesuai dengan bakat dan keadaannya.
5) Mengumpulkan data guna penentuan diagnosis dan penetapan terapi lainnya.
c. Proses 
Terapi okupasi di rumah sakit jiwa terdiri atas tiga tahap yaitu sebagai berikut.
1) Penilaian (assessment), yaitu seorang terapis memperoleh pengertian tentang 
pasien yang berguna untuk membuat keputusan dan mengonstruksikan kerangka 
kerja/model dari pasien.
2) Perawatan (treatment), yaitu formulasi rencana pemberian terapi, implementasi 
terapi yang direncanakan, menilai terapi yang diberikan, dan evaluasi.
3) Evaluasi (evaluation), yaitu ditentukan apakah pasien dapat melanjutkan 
vocational training atau pulang
d. Jenis aktivitas terapi okupasi
1) Aktivitas latihan fisik untuk meningkatkan kesehatan jiwa.
2) Aktivitas dengan pendekatan kognitif.
3) Aktivitas yang memacu kreativitas.
4) Training keterampilan.
5) Terapi bermain.
 Semua kegiatan itu dipandu oleh seorang terapis okupasi yang memiliki tugas 
sebagai berikut.
1) Motivator dan sumber penguatan, yakni memberikan motivasi pada pasien dan 
meningkatkan motivasi dengan memberikan penjelasan pada pasien tentang 
kondisinya, manfaat aktivitas yang diberikan, memberikan dukungan, dan 
meyakinkan pasien akan sukses.
2) Guru, yaitu terapis memberikan pengalaman pembelajaran ulang, yang 
maksudnya terapis harus mempunyai pengalaman tentang keterampilan dan 
keahlian tertentu serta harus dapat menciptakan dan menerapkan aktivitas 
mengajar pada pasien.
3) Model sosial, yaitu seorang terapis harus dapat menampilkan perilaku yang dapat 
dipelajari oleh pasien. Pasien mengidentifikasi dan meniru terapisnya melalui 
bermain peran, yang pada saat itu terapis mendemonstrasikan tingkah laku yang 
diinginkan (verbal/nonverbal) yang akan dicontoh pasien.
4) Konsultan, yaitu terapis menentukan program perilaku yang dapat menghasilkan 
respons terbaik dari pasien. Terapis bekerja sama dengan pasien dan keluarga 
dalam merencanakan rencana tersebut.
3. Latihan Kerja (Vocational Training)
a. Pengertian
Latihan kerja adalah suatu kegiatan yang diberikan pada rehabilitan secara berjenjang 
sebagai bekal untuk persiapan pulang dan kembali ke masyarakat.
b. Tahapan
Tahap latihan kerja ada tiga, yaitu sebagai berikut.
1) Tahap percobaan
Rehabilitan dicoba untuk melakukan aktivitas sesuai dengan hasil seleksi. Jika 
ada perkembangan tingkah lakunya, maka pekerjaan tersebut dapat dilanjutkan 
pada tahap pengarahan.
2) Tahap pengarahan
Rehabilitan dilatih bekerja dari yang sederhana sampai yang bersifat lebih 
kompleks. Seluruh pekerjaan memiliki kurikulum. Hasil akhir tahap ini adalah 
rehabilitan mampu memiliki keterampilan secara lengkap atau terbatas hanya 
sebagai pelaksana.
3) Tahap penyaluran: rehabilitan diusahakan meningkat baik secara kualitatif 
maupun kuantitatif, lebih mandiri dalam melakukan pekerjaan yang dipelajari, 
dan diharapkan dapat menyesuaikan diri terhadap lingkungan. Selanjutnya 
rehabilitan disalurkan ke keluarga, masyarakat, panti karya, dan panti jompo.
Tahap Penyaluran (Bengkel Kerja Terlindung—BKT)
Bengkel kerja terlindung adalah suatu tempat atau bengkel kerja khusus bagi rehabilitan yang 
masih perlu dilindungi dari persaingan di tempat kerja bebas (open job placement). Bengkel 
ini bisa merupakan bagian dari rumah sakit atau merupakan lembaga tersendiri. Bengkel ini 
memperkerjakan rehabilitan yang terampil dan memiliki keterampilan kerja, tetapi karena 
sesuatu hal maka mereka tidak dapat hidup bersaing dalam masyarakat umum sehingga disebut 
terlindung dari persaingan (sheltered). Di Indonesia belum ada yang menyelenggarakan secara 
resmi sehingga rehabilitan tersebut harus mampu bersaing di masyarakat luar. Namun, mereka 
cenderung tidak mampu bertahan sehingga sering terjadi kekambuhan akibat persaingan 
yang ketat.
Tahap Pengawasan
1. Kunjungan rumah (home visit)
a. Pengertian
Kunjungan rumah adalah mengunjungi tempat tinggal pasien dan keluarganya untuk 
mendapatkan berbagai informasi penting yang diperlukan dalam rangka membantu 
pasien dalam proses terapi.
b. Tujuan
Tujuan kunjungan adalah mengadakan evaluasi sosial dan lingkungan hidup pasien 
yang mungkin berpengaruh terhadap sakit atau penyembuhan pasien, serta dapat 
memberi bimbingan pada keluarga dalam merawat pasien di rumah. Selain itu, hal 
ini merupakan modus yang tepat untuk memulihkan hubungan antara keluarga dan 
pasien.
c. Indikasi
Pasien after care atau day care yang tidak teratur kehadirannya, pasien kambuh 
berkali-kali, pasien rawat inap yang datanya kurang lengkap, keluarga pasien yang 
menolak kepulangan pasien, atau pasien yang dianggap perlu memperoleh kunjungan 
sebagai bagian dari terapi.
2. Day Care
 Day care adalah pasien yang sudah dipulangkan atau sudah pernah berobat ke rumah 
sakit, tetapi masih memerlukan untuk mengikuti kegiatan rehabilitasi pada siang hari. 
3. After Care
 After care merupakan perawatan lanjutan bagi rehabilitan yang dilakukan secara periodik 
agar tetap dapat menjaga kesehatannya.










PENGERTIAN TERAPI KEJANG LISTRIK 
(ELECTROCONVULSIVE THERAPY—ECT)
Terapi kejang listrik adalah suatu prosedur tindakan pengobatan pada pasien gangguan jiwa, 
menggunakan aliran listrik untuk menimbulkan bangkitan kejang umum, berlangsung sekitar 
25–150 detik dengan menggunakan alat khusus yang dirancang aman untuk pasien.
Pada prosedur tradisional, aliran listrik diberikan pada otak melalui dua elektroda dan 
ditempatkan pada bagian temporal kepala (pelipis kiri dan kanan) dengan kekuatan aliran 
terapeutik untuk menimbulkan kejang. Kejang yang timbul mirip dengan kejang epileptik 
tonik-klonik umum. Namun, sebetulnya yang memegang peran penting bukanlah kejang 
yang ditampilkan secara motorik, melainkan respons bangkitan listriknya di otak yang 
menyebabkan terjadinya perubahan faali dan biokimia otak.
Indikasi pemberian terapi ini adalah sebagai berikut.
1. Depresi berat dengan retardasi motorik, waham (somatik dan bersalah, tidak ada 
perhatian lagi terhadap dunia sekelilingnya, ada ide bunuh diri yang menetap, serta 
kehilangan berat badan yang berlebihan).
2. Skizofrenia terutama yang akut, katatonik, atau mempunyai gejala afektif yang 
menonjol.
3. Mania.
Kontraindikasi pemberian terapi ini antara lain sebagai berikut.
1. Tumor intrakranial, hematoma intrakranial.
2. Infark miokardiak akut.
3. Hipertensi berat.
Efek samping pemberian terapi ini meliputi hal berikut.
1. Aritmia jantung.
2. Apnea berkepanjangan.
3. Reaksi toksik atau alergi terhadap obat-obatan yang digunakan untuk ECT.
Hal-hal yang harus diperhatikan sebelum pelaksanaan ECT adalah sebagai berikut.
1. Persiapan
a. Kelengkapan surat informed consent.
b. Alat-alat yang diperlukan.
1) Tempat tidur beralas papan
2) Alat ECT lengkap
3) Kasa basah untuk lapisan elekroda
4) Alat untuk mengganjal gigi5) Tabung oksigen dan perlengkapannya
6) Alat pengisap lendir
7) Alat suntik dan obat-obat untuk persiapan kondisi gawat darurat
c. Tindakan perawat pada tahap persiapan sesuai dengan peran sebagai pelaksanan 
dan pendidik.
1) Melakukan pemeriksaan fisik pasien secara menyeluruh sebelum diputuskan 
untuk melakukan ECT (walaupun tidak ada kontraindikasi).
a) Fungsi vital
b) EKG
c) Rontgen kepala dan rontgen toraks serta rontgen tulang belakang
d) EEG
e) CT scan
f) Pemeriksaan darah dan urine
2) Menjelaskan kepada pasien untuk berpuasa (tidak makan dan minum) minimal 
6 jam sebelum ECT.
3) Menjelaskan kepada pasien akan diberikan premedikasi.
4) Mengobservasi keadaan pasien dan menjelaskan tentang ECT agar pasien tidak 
cemas.
5) Menanyakan dan menjelaskan kepada pasien untuk tidak memakai gigi palsu, 
perhiasan, ikat rambut, ikat pinggang.
d. Tenaga perawat yang akan membantu sebanyak 3–4 orang.
2. Pelaksanaan
a. Pasien ditidurkan dalam posisi terlentang tanpa bantal dan pakaian longgar.
b. Bantalan gigi dipasang dan ditahan oleh seorang perawat pada rahang bawah. 
Perawat yang lain menahan bagian bahu, pinggul, dan lutut secara fleksibel agar tidak 
terjadi gerakan yang mungkin menimbulkan dislokasi atau fraktur akibat terjadinya 
kejang-kejang.
c. Aliran listrik diberikan melalui elektroda di pelipis kiri dan kanan yang telah dilapisi 
dengan kasa basah. Sebelumnya dokter/psikiater telah mengatur waktu dan besarnya 
aliran listrik yang diberikan.
d. Sesaat setelah aliran listrik diberikan, maka akan terjadi kejang-kejang yang didahului 
oleh fase kejang tonik-klonik, serta timbul apnea beberapa saat dan baru terjadi 
kembali pernapasan spontan.
e. Saat menunggu pernapasan kembali merupakan saat yang penting. Bila apnea 
berlangsung terlalu lama, maka perlu dibantu dengan pemberian oksigen dan 
pernapasan buatan atau tindakan lain yang diperlukan.
3. Observasi pasca-ECT
 Pada fase ini perawat harus mengobservasi dan mengantisipasi tindakan yang harus 
dilakukan karena kesadaran pasien belum pulih walaupun kondisi vital telah berfungsi normal kembali (tetap monitor kondisi vital). Selain itu, harus tetap berada didamping 
pasien agar pasien menjadi aman dan nyaman.
ECT biasanya diberikan dalam satu seri yang terdiri atas 6–12 kali (kadang-kadang 
diperlukan sampai 20 kali) pemberian dengan dosis 2–3 kali per minggu.

PENGERTIAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
Kelompok adalah kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain, 
saling bergantungan, serta mempunyai norma yang sama (Stuart dan Sundeen, 1991). Manusia 
adalah makhluk sosial, hidup berkelompok, dan saling berhubungan untuk memenuhi 
kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial dimaksud antara lain rasa menjadi milik orang lain 
atau keluarga, kebutuhan pengakuan orang lain, kebutuhan penghargaan orang lain, dan 
kebutuhan pernyataan diri.
Penggunaan kelompok dalam praktik keperawatan jiwa memberikan dampak positif 
dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan jiwa. Selain 
itu, dinamika kelompok tersebut membantu pasien meningkatkan perilaku adaptif dan 
mengurangi perilaku maladaptif.
Secara umum fungsi kelompok adalah sebagai berikut.
1. Setiap anggota kelompok dapat bertukar pengalaman.
2. Berupaya memberikan pengalaman dan penjelasan pada anggota lain.
3. Merupakan proses menerima umpan balik.
Terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan terapi yang bertujuan mengubah 
perilaku pasien dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Cara ini cukup efektif karena 
di dalam kelompok akan terjadi interaksi satu dengan yang lain, saling memengaruhi, 
saling bergantung, dan terjalin satu persetujuan norma yang diakui bersama, sehingga 
terbentuk suatu sistem sosial yang khas yang di dalamnya terdapat interaksi, interelasi, dan 
interdependensi. 
Terapi aktivitas kelompok (TAK) bertujuan memberikan fungsi terapi bagi anggotanya, 
yang setiap anggota berkesempatan untuk menerima dan memberikan umpan balik 
terhadap anggota yang lain, mencoba cara baru untuk meningkatkan respons sosial, serta 
harga diri. Keuntungan lain yang diperoleh anggota kelompok yaitu adanya dukungan 
pendidikan, meningkatkan kemampuan pemecahan masalah, dan meningkatkan hubungan 
interpersonal.
TUJUAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
1. Terapeutik
 Meningkatkan kemampuan pasien, memfasilitasi proses interaksi, membangkitkan 
motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif, serta mempelajari cara baru dalam 
mengatasi masalah dan melakukan sosialisasi.
2. Rehabilitatif
 Meningkatkan kemampuan mengekspresikan diri, kemampuan berempati, meningkatkan 
kemampuan sosial, serta tanggung jawabnya dalam hubungan interpersonal.KERANGKA TEORITIS TERAPI AKTIVITAS 
KELOMPOK
Model Focal Conflict
Menurut Whitakers dan Liebermen, terapi kelompok lebih berfokus pada kelompok daripada 
individu. Prinsipnya adalah terapi kelompok ini dikembangkan berdasarkan konflik yang 
tidak disadari. Pengalaman kelompok secara berkesinambungan muncul, yang kemudian 
konflik dikonfrontir untuk pemecahan masalah. Tugas terapis membantu anggota kelompok 
memahami konflik dan mencapai penyelesaian konflik.
Menurut model ini pimpinan kelompok (leader) harus memfasilitasi dan memberikan 
kesempatan pada anggota untuk mengekspresikan perasaan dan mendiskusikannya untuk 
penyelesaian masalah. Contohnya, adanya perbedaan pendapat antaranggota, cara masalah 
(perbedaan) ditanggapi anggota, dan pemimpin mengarahkan alternatif penyelesaian 
masalah.
Model Komunikasi
Model komunikasi menggunakan prinsip komunikasi dan komunikasi terapeutik. Diasumsikan 
bahwa disfungsi atau komunikasi tidak efektif dalam kelompok akan menyebabkan 
ketidakpuasan anggota kelompok, umpan balik tidak adekuat, dan kohesi atau keterpaduan 
kelompok menurun.
Dengan menggunakan model ini, pemimpin berperan memfasilitasi komunikasi 
efektif, masalah individu atau kelompok dapat diidentifikasi dan diselesaikan. Pemimpin 
mengajarkan pada kelompok bahwa:
1. perlu komunikasi di dalam kelompok;
2. anggota harus bertanggung jawab terhadap apa yang diucapkan;
3. komunikasi berada dalam semua level, misalnya komunikasi verbal, nonverbal, terbuka, 
dan tertutup;
4. pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain;
5. anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam membantu satu dan yang lain 
untuk melakukan komunikasi efektif.
Model ini bertujuan membantu meningkatkan keterampilan interpersonal dan sosial 
anggota kelompok. Selain itu, teori komunikasi membantu anggota merealisasikan bagaimana 
mereka berkomunikasi secara nonverbal dan mengajarkan cara berkomunikasi lebih efektif. 
Selanjutnya, pemimpin juga perlu menjelaskan secara singkat prinsip-prinsip komunikasi 
dan cara menggunakan di dalam kelompok, serta menganalisis proses komunikasi tersebut.Model Interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa semua tingkah laku (pikiran, perasaan, dan tindakan) 
digambarkan melalui hubungan interpersonal. Contohnya, interaksi dalam kelompok 
dapat dipandang sebagai proses sebab akibat, yang perasaan dan tingkah laku satu anggota 
merupakan akibat dari tingkah laku anggota lain.
Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok. Anggota kelompok 
belajar dari interaksi antaranggota dan terapis. Melalui proses ini, kesalahan persepsi 
dapat dikoreksi dan perilaku sosial yang efektif dipelajari. Perasaan cemas dan kesepian 
merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan mengubah perilaku. Contohnya, tujuan 
salah satu terapi aktivitas kelompok untuk meningkatkan hubungan interpersonal. Pada saat 
konflik interpersonal muncul, pemimpin menggunakan situasi tersebut untuk mendorong 
anggota untuk mendiskusikan perasaan mereka dan mempelajari konflik yang membuat 
anggota merasa cemas, serta menentukan perilaku yang digunakan untuk menghindari atau 
menurunkan cemas pada saat terjadi konflik.
Model Psikodrama
Model ini memotivasi anggota kelompok untuk berakting sesuai dengan peristiwa yang baru 
terjadi atau peristiwa yang lalu. Anggota memainkan peran sesuai dengan peristiwa yang 
pernah dialami. Contoh, pasien memerankan ayahnya yang dominan atau keras.
Psikodrama ini dilakukan secara spontan dan memberi kesempatan pada anggota 
untuk berakting di luar situasi spesifik yang pernah terjadi.
TAHAP PERKEMBANGAN KELOMPOK
Kelompok mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan berkembang. Pemimpin yang akan 
mengembangkan kelompok akan melalui empat fase atau tahap, yaitu fase prakelompok, 
fase awal kelompok, fase kerja kelompok, dan fase terminasi kelompok.
1. Fase Prakelompok
 Hal penting yang harus diperhatikan saat mulai membangun kelompok adalah 
merumuskan tujuan kelompok. Tercapai atau tidaknya suatu tujuan sangat dipengaruhi 
oleh perilaku pemimpin kelompok. Pemimpin kelompok harus melakukan persiapan 
dengan penyusunan proposal.
2. Fase Awal Kelompok 
 Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuk kelompok yang baru dan peran yang 
baru. Yalom (1995) dalam Stuart dan Laraia (2005) membagi fase ini menjadi tiga fase 
lagi, yaitu fase orientasi, konflik, dan kohesif.a. Tahap orientasi
Pada tahap ini pimpinan kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan. Pemimpin 
mengorientasikan anggota pada tugas utama dan melakukan kontrak yang terdiri 
atas tujuan, kerahasiaan, waktu pertemuan, struktur, dan aturan komuniksi (hanya 
satu orang bicara pada satu saat). Norma perilaku dan rasa memiliki atau kohesif 
antara anggota kelompok diupayakan terbentuk fase orientasi.
b. Tahap konflik
Peran dependen dan independen terjadi pada tahap ini. Sebagian pemimpin ingin 
sebagai pengambil keputusan, serta ada pula yang hanya mengarahkan dan anggota 
nantinya yang akan memutuskan. Selain itu, ada pula anggota yang netral dan hanya 
membantu penyelesaian konflik peran yang terjadi.
 Perasaan bermusuhan yang ditampilkan baik antaranggota kelompok maupun 
antara anggota dan pimpinan dapat terjadi pada tahap ini. Pimpinan perlu 
memfasilitasi ungkapan perasaan baik positif maupun negatif dan membantu 
kelompok mengenali penyebab konflik, serta mencegah perilaku yang tidak 
produktif, misalnya saling mengambinghitamkan.
c. Tahap kohesif
Setelah melalui tahap konflik, anggota kelompok akan merasakan ikatan yang 
kuat satu sama lain. Perasaan positif akan semakin saling diungkapkan. Anggota 
merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih intim dengan anggota yang 
lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan anggota kelompok 
dalam penyelesaian masalah. Pada akhirnya, anggota kelompok akan belajar bahwa 
perbedaan tidak perlu ditakutkan. Semua persamaan dan perbedaan tetap dapat 
mewujudkan tujuan menjadi suatu realitas.
3. Fase kerja kelompok 
 Fase ini kelompok sudah menjadi sebuah tim yang stabil dan realistis. Bekerja keras 
tetapi tetap menyenangkan dan menjadi suatu tantangan bagi anggota dan pemimpin 
kelompok. Tugas pimpinan kelompok pada fase ini membantu kelompok mencapai 
tujuan dan mengurangi dampak dari hal-hal yang dapat menurunkan produktivitas 
kelompok. Pemimpin akan bertindak sebagai konsultan.
 Beberapa anggota akan sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian pemimpin 
kelompok, tidak ada lagi kerahasiaan, dan keinginan untuk berubah. Hal inilah yang 
harus diperhatikan oleh pimpinan kelompok agar segera melakukan strukturisasi. Di 
akhir fase, anggota akan menyadari produktivitas dan kemampuan yang bertambah 
disertai percaya diri dan kemandirian.
4. Fase terminasi kelompok
 Terminasi dapat sementara atau permanen. Terminasi dapat pula terjadi karena anggota 
kelompok atau pimpinan keluar dari kelompok. Pada fase ini dilakukan evaluasi yang 
difokuskan pada pencapaian kelompok dan individu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok dapat digunakan secara individual pada 
kehidupan sehari-hari.
JENIS TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Sensori
Aktivitas digunakan untuk memberikan stimulasi pada sensori pasien. Kemudian diobservasi 
reaksi sensori pasien berupa ekspresi emosi/perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi muka, 
dan ucapan. Biasanya pasien yang tidak mau berkomunikasi secara verbal akan terangsang 
sensoris emosi dan perasaannya melalui aktivitas tertentu. Aktivitas tersebut berupa: 
1. TAK stimulasi sensori suara, misalnya mendengar musik,
2. TAK stimulasi sensori menggambar,
3. TAK stimulasi sensori menonton TV/video.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Orientasi Realitas
Pasien diorientasikan pada kenyataan yang ada di sekitar pasien yaitu diri sendiri, orang lain 
yang ada di sekeliling pasien atau orang yang dekat dengan pasien, serta lingkungan yang 
pernah mempunyai hubungan dengan pasien pada saat ini dan masa yang lalu. Aktivitasnya 
adalah sebagai berikut. 
1. Sesi I : pengenalan orang
2. Sesi II : pengenalan tempat
3. Sesi III : pengenalan waktu
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi
Pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitar pasien. 
Sosialisasi dapat pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa. 
Aktivitas yang diberikan antara lain sebagai berikut.
1. Sesi I : menyebutkan jati diri.
2. Sesi II : mengenali jati diri anggota kelompok.
3. Sesi III : bercakap-cakap dengan anggota kelompok.
4. Sesi IV : menyampaikan dan membicarakan topik percakapan.
5. Sesi V : menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain.
6. Sesi VI : bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok.
7. Sesi VII : menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAK sosialisasi yang 
telah dilakukan.Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi
Pasien dilatih untuk mempersepsikan stimulus yang disediakan atau stimulus yang pernah 
dialami. Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses 
ini diharapkan respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan menjadi adaptif. 
Aktivitas yang diberikan antara lain sebagai berikut.
1. Sesi I : menonton TV
2. Sesi II : membaca majalah/koran/artikel
3. Sesi III : gambar
4. Sesi IV : 4.1 Mengenal perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
4.2 Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan fisik.
4.3 Mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi asertif.
4.4 Mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat.
4.5 Mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Peningkatan Harga Diri
Pasien dilatih untuk mengidentifikasi hal-hal positif pada diri sehingga mampu menghargai 
diri sendiri. Kemampuan pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam proses 
ini, pasien diharapkan mampu merumuskan suatu tujuan hidup yang realistis. Aktivitas yang 
diberikan adalah sebagai berikut.
1. Sesi I : identifikasi hal positif diri.
2. Sesi II : menghargai hal positif orang lain.
3. Sesi III : menetapkan tujuan hidup yang realistis.
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Stimulasi Persepsi Mengontrol Halusinasi
Pasien dilatih untuk dapat mengenal halusinasi yang dialaminya dan dilatih cara mengontrol 
halusinasi. Kemampuan persepsi pasien dievaluasi dan ditingkatkan pada tiap sesi. Dalam 
proses ini, respons pasien terhadap berbagai stimulus dalam kehidupan diharapkan menjadi 
adaptif. Aktivitas yang diberikan yaitu sebagai berikut.
1. Sesi I : mengenal halusinasi
2. Sesi II : mengontrol halusinasi dengan menghardik
3. Sesi III : mengontrol halusinasi dengan menyusun jadwal kegiatan
4. Sesi IV : mengontrol halusinasi dengan minum obat yang benar
5. Sesi V : mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap
PENGORGANISASIAN TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
1. Pemimpin kelompok (leader)
 Tugas pemimpin kelompok adalah sebagai berikut.
a. Menyusun rencana aktivitas kelompok (proposal).
b. Mengarahkan kelompok dalam mencapai tujuan.
c. Memfasilitasi setiap anggota untuk mengekspresikan perasaan, mengajukan 
pendapat, dan memberikan umpan balik.
d. Sebagai “role model”.
e. Memotivasi setiap anggota untuk mengemukakan pendapat dan memberikan umpan 
balik.
2. Pembantu pemimpin kelompok (co-leader)
 Tugasnya adalah membantu pemimpin dalam mengorganisir anggota kelompok.
3. Fasilitator
 Tugasnya adalah sebagai berikut.
a. Membantu pemimpin memfasilitasi anggota untuk berperan aktif dan memotivasi 
anggota.
b. Memfokuskan kegiatan.
c. Membantu mengoordinasi anggota kelompok.
4. Observer
 Tugas observer antara lain sebagai berikut.
a. Mengobservasi semua respons pasien.
b. Mencatat semua proses yang terjadi dan semua perubahan perilaku pasien.
c. Memberikan umpan balik pada kelompok.
Perawat dapat bertugas sebagai pimpinan, pembantu pimpinan, fasilitator, dan 
observer. Namun untuk kelompok yang telah melakukan aktivitas secara teratur, pasien yang 
sudah kooperatif dan stabil dapat berperan sebagai pembantu pimpinan, fasilitator, observer 
bahkan sebagai pimpinan. Perawat sebagai terapis perlu mengarahkan.
Jumlah anggota kelompok berkisar antara 7 sampai 10 orang sedangkan lamanya 
aktivitas 45 sampai 60 menit. Sebelum memulai terapi, aktivitas kelompok perlu menyusun 
proposal sebagai pedoman pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
PROGRAM ANTISIPASI MASALAH DALAM TERAPI 
AKTIVITAS KELOMPOK (TAK)
Masalah yang mungkin timbul dalam TAK antara lain sebagai berikut.
1. Adanya subkelompok.
2. Keterbukaan yang kurang
3. Resistansi baik individu maupun kelompok.
4. Adanya anggota kelompok yang drop out.
5. Penambahan anggota baru.
Cara mengatasi masalah ini bergantung pada jenis kelompok terapis, kontrak, dan 
kerangka teori yang mendasari terapi aktivitas tersebut. Program antisipasi masalah 
merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan yang 
bersifat gawat darurat dalam terapi yang dapat memengaruhi proses pelaksanaan TAK. 
Misalnya, pasien meninggalkan permainan, maka intervensi yang diberikan panggil nama 
pasien, serta tanyakan alasan meninggalkan tempat dan beri penjelasan.
Berikut adalah contoh struktur perencanaan terapi aktivitas kelompok.
PROPOSAL TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK
TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK ………..
RUANG JIWA C RSU Dr. SOETOMO
Kamis, 7 Desember 2013
A. Pengertian (sesuaikan dengan jenis dan fase TAK)
B. Tujuan (sesuaikan dengan jenis dan fase TAK, pertemuan ke berapa)
C. Karakteristik Pasien
D. Masalah Keperawatan
E. Kriteria Evaluasi
1. Evaluasi Struktur
2. Evaluasi Proses
3. Evaluasi Hasil
F. Pengorganisasian TAK
1. Terapis
 Peran dan fungsi:
a. Pemimpin (leader)
b. Pembantu pemimpin (co-leader)
c. Observer
d. Fasilitator
2. Seleksi pasien
3. Nama pasien yang ikut
4. Waktu
5. Tempat
6. Alat- alat
G. Proses TAK
1. Fase Orientasi
2. Fase Kerja
3. Fase Terminasi
H. Antisipasi Masalah



PENGERTIAN TERAPI KOGNITIF
Terapi kognitif adalah terapi jangka pendek dan dilakukan secara teratur, yang memberikan 
dasar berpikir pada pasien untuk mengekspresikan perasaan negatifnya, memahami 
masalahnya, mampu mengatasi perasaan negatifnya, serta mampu memecahkan masalah 
tersebut.
Terapi kognitif sebenarnya merupakan rangkaian dengan terapi perilaku yang disebut 
sebagai terapi kognitif dan perilaku, karena menurut sejarahnya merupakan aplikasi dari 
beberapa teori belajar yang bervariasi. Terapi perilaku menggunakan prinsip pengondisian 
klasik (classical conditioning) yang dikenalkan oleh Pavlov dan pengondisian operant (operant 
conditioning) yang dikenalkan oleh Skinner. Seiring berjalannya waktu ditambahkan satu 
teori lagi yang diperkenalkan oleh Bandura, yaitu teory pembelajaran sosial (social learning 
theory) mengingat pentingnya proses pikir (kognitif) dan informasi dalam memengaruhi 
perilaku seseorang. Untuk selanjutnya, pendekatan ini lebih dikenal dengan terapi kognitif 
yang berfokus pada cara memodifikasi cara berpikir, sikap, dan keyakinan sebaik mungkin 
untuk membentuk suatu perilaku. Oleh karenanya, dapat dikatakan seorang individu adalah 
sebagai pembuat keputusan penting bagi hidupnya sendiri. 
Peran perawat dalam pelaksanaan terapi kognitif diharapkan mampu menerapkan 
terapi kognitif ini serta mendampingi pasien untuk memodifikasi cara pikir, sikap, dan 
keyakinan untuk memutuskan perilaku yang tepat dalam menghadapi pengobatan yang 
sedang dijalaninya.
TUJUAN TERAPI KOGNITIF
1. Mengubah pikiran dari tidak logis dan negatif menjadi objektif, rasional, dan positif.
2. Meningkatnya aktivitas.
3. Menurunkan perilaku yang tidak diinginkan.
4. Meningkatkan keterampilan sosial.
KARAKTERISTIK PASIEN
1. Menarik diri.
2. Penurunan motivasi.
3. Defisit perawatan diri.
4. Harga diri rendah.
5. Menyatakan ide bunuh diri.
6. Komunikasi inkoheran dan ide/topik yang berpindah-pindah (flight of idea).
7. Delusi, halusinasi terkontrol, tidak ada manik depresi, tidak mendapat ECT
MASALAH KEPERAWATAN
1. Risiko bunuh diri
2. Isolasi sosial
3. Harga diri rendah
4. Defisit perawatan diri
TUJUAN KEPERAWATAN
Tabel 26.1 Tujuan Keperawatan
Masalah Tujuan
1. Risiko bunuh diri 1. Ide bunuh diri hilang
2. Isolasi