orang gila

Rabu, 12 Juli 2023

orang gila


Kelompok penyandang disabilitas menjadi 
salah satu dari lima kelompok minoritas 
yang ditawarkan untuk konteks di 
Indonesia oleh Komnas HAM. Kelompok 
disabilitas, termasuk di dalamnya adalah 
penyandang disabilitas mental yang lebih 
dikenal dengan orang dengan gangguan 
jiwa (ODGJ), yang permasalahannya masih 
menjadi perhatian pemerintah Indonesia. 
Berdasarkan laporan dari Litbang Kompas, 
Global Health Data Exchange mencatat 
sebanyak 27,3 juta penduduk Indonesia 
pada tahun 2017 mengalami gangguan jiwa, 
tertinggi dibandingkan dengan negara￾negara di Asia Tenggara. Data Riset 
Kesehatan Dasar (Riskesdas) milik 
Kementerian Kesehatan juga menunjukkan 
adanya peningkatan jumlah proporsi 
gangguan jiwa di Indonesia dari 1,7 persen 
di tahun 2013 menjadi 7 persen di tahun 
2018, serta peningkatan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk 
di atas usia 15 tahun dari 6 persen menjadi 
9.8 persen.
Psikiater Compton dan Kotwicki 
(2007:3) mendefinisikan gangguan jiwa 
sebagai sebuah penyakit biologis yang 
menyerang otak, yang menyebabkan 
timbulnya beragam gejala dan 
mempengaruhi perilaku, pemikiran, dan 
perasaan seseorang. Sebagai sebuah 
penyakit, gangguan jiwa dikategorikan 
dalam 3 kelompok. Pertama, gangguan 
psikiatrik yang meliputi gangguan bipolar, 
skizofrenia, PTSD (gangguan mental pasca 
trauma), dan gangguan kepribadian. Kedua, 
gangguan adiktif atau disebut juga 
gangguan penggunaan yang merujuk pada 
penggunaan zat-zat adiktif. Ketiga, 
gangguan perkembangan mencakup 
keterbelakangan mental dan gangguan 
emosi serius yang muncul sejak usia sangat 
dini, seperti autisme. World Health 
Organization (WHO) pun membagi jenis 
gangguan jiwa ke dalam 10 kategori yaitu 
gangguan kecemasan (anxiety disorder),
skizofrenia, gangguan depresi, gangguan 
makan (eating disorder), autisme, bipolar, 
gangguan konsentrasi (attention 
deficit/hyperactivity disorder), gangguan 
perilaku (conduct disorder), idiopathic 
development intellectual disability, dan 
gangguan mental lainnya.
Sebagai bagian dari kelompok 
minoritas di Indonesia, ODGJ 
mendapatkan jaminan atas kesempatan 
hidup yang setara berdasarkan hak asasi 
manusia, sebagaimana diatur dalam UU No. 
18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. 
Dalam pasal 8 ayat (7) juga dijelaskan salah 
satu bentuk upaya promotif kesehatan jiwa 
adalah melalui media massa, dengan 
penyebarluasan informasi mengenai 
kesehatan jiwa dalam pemberitaan, 
penyiaran atau program dengan materi yang 
kondusif bagi pertumbuhan dan 
perkembangan kesehatan jiwa. Akan tetapi, 
isu ODGJ di media massa sejatinya belum 
menjadi isu yang di-arus-utamakan. Riset 
AJI Indonesia pada 2016 menunjukkan 
keberpihakan media pada kelompok 
minoritas masih minim, dan bahkan 
menunjukkan dominasi berita berdasarkan 
peristiwa.
Detik.com menjadi salah satu media 
massa online yang memuat pemberitaan 
terkait isu ODGJ. Salah satunya yang 
sempat ramai mengenai seorang wanita 
paruh baya yang masuk ke dalam sebuah 
masjid di Bogor sambil membawa anjing 
dan mengenakan sepatu pada Juli 2019 lalu. 
Dalam kasus tersebut, wanita berinisial SM 
yang membawa masuk anjing ke dalam 
masjid telah dilaporkan ke pihak yang 
berwajib untuk diselidiki lebih lanjut. 
Selama penyelidikan pihak kepolisian jugamenyatakan bahwa SM memiliki riwayat 
gangguan jiwa. SM diketahui memiliki 
riwayat gangguan skizofrenia. Meski begitu, 
polisi menetapkan SM sebagai tersangka 
penistaan agama. Selama periode 
pemberitaan kasus tersebut, tercatat 
detik.com menyoroti kasus ini dengan 
memuat artikel pemberitaan lebih banyak 
dibanding Kompas.com dan Tribunnews, 
dengan gaya pemberitaan yang terkesan 
mengedepankan informasi dari kepolisian, 
dan penggunaan bahasa yang lugas.
Media online merupakan bentuk 
adaptasi media arus utama terhadap 
perkembangan teknologi digital, dalam 
rangka menjangkau khalayak yang lebih 
luas lagi. Survei APJII pada tahun 2017 
menunjukkan 54,68% dari total penduduk 
Indonesia menggunakan internet. Perilaku 
pengguna internet di Indonesia pada bidang 
edukasi, sosial politik, dan gaya hidup 
menunjukkan lebih dari 50% pengguna 
memanfaatkan internet untuk membaca 
artikel dan berita. Dalam hal ini, media 
massa online berperan dalam memberikan 
informasi pada masyarakat di bidang 
edukasi, sosial politik, dan gaya hidup.
Dalam kurun waktu yang sama, 
detik.com menerbitkan artikel terkait isu 
ODGJ lebih tinggi dibanding Kompas.com 
dan Tribunnews, yaitu sebanyak 93 berita. 
Detik.com melihat ODGJ sebagai isu yang 
penting untuk diberitakan, melalui 
kuantitas pemberitaan yang lebih tinggi 
dibandingkan media lain. Namun, melihat 
dari segi kualitas berita yang dihasilkan 
juga penting untuk mengetahui sejauh mana 
kepentingan dan kepedulian detik.com 
terhadap ODGJ dalam pemberitaannya. 
Dari contoh berita terkait isu ODGJ, 
detik.com memiliki pendekatan yang 
berbeda dalam memberitakan isu terkait 
ODGJ, baik dari segi pemilihan headline, 
narasumber, maupun kata-kata yang 
digunakan. Strategi detik.com dalam 
melihat dan memahami isu ODGJ melalui 
pemberitaannya menjadi menarik untuk 
diteliti, mengingat berita-berita di 
detik.com berpotensi untuk menjadi 
rujukan informasi.
Peneliti ingin mengetahui bagaimana 
detik.com membingkai orang dengan 
gangguan jiwa (ODGJ) dalam 
pemberitaannya.
Tujuan dari penelitian ini adalah 
untuk menjelaskan bingkai pemberitaan 
yang dilakukan detik.com terhadap orang 
dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Penelitian ini menggunakan teori 
utama yaitu Teori Ekologi Media yang 
diperkenalkan oleh Marshall McLuhan. 
Teori Ekologi Media memiliki beberapa 
asumsi yang pertama yaitu media 
melingkupi setiap tindakan di dalam 
masyarakat. Asumsi kedua yaitu media 
memperbaiki persepsi, dan mengorganisasikan pengalaman kita. Kita 
secara langsung dipengaruhi oleh media. 
McLuhan menyatakan bahwa media cukup 
kuat di dalam pandangan kita mengenai 
dunia. Terkadang tanpa kita ketahui, kita 
menjadi termanipulasi oleh apa yang 
disampaikan oleh media. Sikap, 
pengalaman, bahkan sistem kepercayaan 
kita secara langsung dipengaruhi oleh apa 
yang kita konsumsi di media. 
Bagaimana informasi dalam media 
itu dibentuk, dapat mempengaruhi persepsi 
dan pandangan kita terhadap suatu hal. 
Dalam kasus ini, pemberitaan tentang orang 
dengan gangguan jiwa di media dapat 
membentuk persepsi masyarakat tentang 
orang dengan gangguan jiwa itu sendiri. 
Pembentukan informasi yang menunjukkan 
hal positif tentang orang dengan gangguan 
jiwa, akan menimbulkan persepsi 
masyarakat yang baik pula terhadap orang 
dengan gangguan jiwa, begitu pula 
sebaliknya. Sedangkan asumsi ketiga dari 
teori ekologi media telah memunculkan 
percakapan yang cukup populer, yaitu 
media menghubungkan dunia.
II. METODE PENELITIAN
Unit analisis dalam penelitian ini adalah 
teks berita terkait isu ODGJ di detik.com 
selama Januari – Maret 2019. Terdapat 93 
artikel berita yang diterbitkan detik.com 
dalam kurun waktu 3 bulan, dan dipilih 10 
berita secara acak untuk dianalisis.
Penelitian ini menggunakan 
pendekatan kualitatif deskriptif dengan 
metode analisis framing. Analisis framing
digunakan untuk mencermati strategi 
seleksi, penonjolan, dan penggabungan 
fakta ke dalam berita agar lebih bermakna 
serta untuk menggiring interpretasi 
khalayak sesuai perspektifnya. Peneliti 
menggunakan analisis framing model 
Zhongdang Pan dan M. Kosicki untuk 
melihat bingkai berita dalam pemberitaan 
terkait isu ODGJ di detik.com. Pemberitaan 
tersebut akan dianalisis melalui empat 
struktur yaitu struktur sintaksis, struktur 
skrip, struktur tematik, dan struktur retoris.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan Struktur Sintaksis, ditemukan 
bahwa 9 dari 10 berita memiliki arah 
pemberitaan negatif yang ditinjau dari 
pemilihan headline. Headline bernada 
negatif yang digunakan dalam berita secara 
singkat menunjukkan tindakan apa yang 
dilakukan oleh subyek berita yaitu ODGJ. 
Bagian lead sebagai pembuka informasi 
berisi uraian yang menjelaskan headline. 
Selain itu, pemilihan sumber berita 
didominasi oleh non-ahli di bidang 
kejiwaan. Dari total 10 berita, 8 berita 
diidentifikasi menggunakan sumber berita 
yang berasal dari pihak kepolisian, pihak 
pemerintah setempat, keluarga, dan petugas 
SAR. Pernyataan dari sumber yang dikutip 
dalam berita menunjukkan pihak-pihak 
yang tidak memiliki kompetensi dalam 
bidang kejiwaan cenderung memberikan 
pernyataan dan identifikasi terkait kondisi 
kejiwaan subyek berita. Skema berita yang 
digunakan didominasi oleh piramida 
terbalik dengan ciri penulisan deduktif. 
Bagian penutup dari 10 berita yang 
dianalisis merupakan bagian yang 
didominasi oleh pernyataan yang berkaitan 
dengan kondisi kejiwaan subyek berita. 
Dengan penggunaan skema berita piramida 
terbalik, bagian penutup akan cenderung 
dianggap sebagai bagian yang tidak penting 
karena inti pembahasan dijelaskan di 
bagian awal berita.
Pada Struktur Skrip, unsur 5W+1H 
tidak selalu dipenuhi pada pemberitaan 
yang dilakukan detik.com. Lewat unsur 
who diketahui 8 dari 10 berita 
memfokuskan pemberitaan pada ODGJ 
sebagai subyek berita. Fokus pemberitaan 
tersebut juga diperjelas dalam unsur what 
yang menjelaskan peristiwa yang terjadi, 
atau isu yang diperdebatkan. Unsur dari 
5W+1H yang kerap tidak dicantumkan 
dalam 10 berita adalah unsur why. Dalam 
analisis elemen skrip, meskipun unsur why
dicantumkan dalam berita, kehadiran unsur 
tersebut tidak selalu dapat memberikan 
penjelasan yang mendalam dan hanya 
bersifat menjelaskan peristiwa. 
Ketidaklengkapan unsur dalam struktur 
skrip ini sejatinya mendukung model 
pemberitaan yang dilakukan detik.com 
dengan mengusung konsep 3W (what, 
where, when). Tetapi, unsur kelengkapan 
berita dapat menjadi penanda framing yang 
penting. Berdasarkan analisis skrip, berita 
didominasi dengan menekankan pada unsur 
how yang berkaitan dengan kronologi 
peristiwa.
Dari Struktur Tematik, 10 berita yang 
dianalisis memunculkan 3 tema yaitu tema
ODGJ dan kriminalitas, perilaku ODGJ, 
dan hak ODGJ sebagai warga negara. Tema 
dalam teks ini didukung oleh hubungan 
antar kalimat dalam berita, baik hubungan 
sebab-akibat, hubungan penjelas, maupun 
hubungan pembeda. Dalam tema ODGJ 
dan kriminalitas, hubungan antar kalimat 
yang mendukung tema adalah hubungan 
penjelas dan sebab-akibat. Hubungan 
penjelas menunjukkan detail tindakan yang 
dilakukan ODGJ yang dianggap sebagai 
tindakan kriminal, sedangkan hubungan 
sebab-akibat menunjukkan gangguan jiwa 
yang dimiliki oleh yang dianggap “pelaku” 
dalam berita ini, adalah penyebab dari 
tindak kriminal yang terjadi. Di sisi lain, 5 
dari 10 berita bertemakan perilaku ODGJ, 
dimana hubungan antar kalimat dalam teks 
didominasi oleh hubungan penjelas, menunjukkan detail perilaku ODGJ yang 
dianggap mengherankan, meresahkan, atau 
menghebohkan. Sementara itu pada tema 
hak ODGJ sebagai warga negara, hubungan 
antar kalimat yang mendukung tema ini 
didominasi oleh hubungan sebab-akibat 
yang menunjukkan adanya polemik serta 
potensi pelanggaran terhadap hak ODGJ 
sebagai warga negara.
Pada Struktur Retoris, detik.com 
melakukan penekanan fakta dengan 
melibatkan unsur leksikon dan grafis. Pada 
unsur leksikon ditemukan penggunaan 
kata-kata yang berkaitan dengan tema 
berita seperti pada unsur tematik. Terdapat 
kata-kata yang menjelaskan bahwa 
tindakan yang dilakukan ODGJ tidak 
manusiawi, ODGJ meresahkan, ODGJ erat 
dengan tindak kriminal, ODGJ tidak 
mampu menentukan pilihan, gangguan jiwa 
adalah penyakit, hingga menyederhanakan 
ODGJ dengan orang gila. Penggunaan 
istilah pelaku dan korban dari suatu tindak 
kriminal menunjukkan adanya identifikasi 
terhadap orang dengan gangguan jiwa yang 
diarahkan sebagai pelaku dan bukan korban.
Di sisi lain, sejumlah istilah baik medis 
maupun non medis juga digunakan untuk 
menggantikan kata gangguan jiwa.
Sementara dari unsur grafis yaitu foto dan 
caption yang digunakan, tidak selalu 
memberikan penekanan terhadap fakta 
dalam berita seperti pada 2 dari 10 berita 
yang menggunakan grafis berupa foto 
ilustrasi tanpa caption yang mendukung. 
Rangkaian huruf yang digunakan dalam 
caption di unsur grafis pada seluruh berita 
yang dianalisis memiliki ukuran yang sama, 
tidak menunjukkan adanya bagian yang 
ditonjolkan, bahkan ada yang tidak 
menggunakan caption dalam grafisnya. 
Penekanan cenderung muncul pada foto 
yang berkaitan dengan peristiwa yang 
menunjukkan figur dari subyek berita itu 
sendiri, maupun suasana di sekitar TKP saat 
atau setelah peristiwa berlangsung.
Berdasarkan uraian tersebut, bingkai 
yang ditampilkan detik.com dalam 
pemberitaan terkait ODGJ cenderung 
negatif. Bingkai negatif yang digunakan 
menunjukkan bahwa detik.com melakukan 
generalisasi bahwa ODGJ sama dengan 
orang gila, dengan tidak mengakomodasi 
bahwa gangguan jiwa memiliki jenis 
gangguan yang berbeda-beda. ODGJ 
dibingkai sebagai orang yang dinilai tidak 
kompeten untuk mendapatkan akses 
terhadap haknya sebagai warga negara. 
Detik.com juga membingkai ODGJ sebagai 
orang yang dekat dengan tindak kriminal, 
berbahaya, dan tidak dapat diprediksi, dan 
karenanya harus diisolasi dan dipisahkan 
dari kehidupan masyarakat.
Dengan membingkai ODGJ sebagai 
orang gila, menunjukkan sikap keredaksian 
detik.com yang abai dan tidak memiliki perhatian untuk melihat ODGJ secara 
positif. Dalam kajian Ekonomi Politik, 
media adalah sebuah industry bisnis yang 
memiiki fungsi ekonomi dengan tujuan 
mendapatkan keuntungan. Berita-berita 
dengan isu ODGJ semata-mata dilihat 
sebagai persoalan nilai berita yang dapat 
mengundang klik untuk meningkatkan 
statistik situs web, tanpa memperhatikan 
dampak pemberitaan terhadap ODGJ itu 
sendiri. Asumsi kedua dari Teori Ekologi 
Media menyatakan bahwa media 
memperbaiki persepsi, dan 
mengorganisasikan pengalaman khalayak 
melalui produk media. bagaimana 
informasi dalam media itu dibentuk, dapat 
mempengaruhi persepsi dan pandangan 
khalayak terhadap suatu hal. Pembingkaian 
yang dilakukan detik.com dalam 
pemberitaan terkait isu ODGJ menguatkan 
persepsi dan mengarusutamakan 
pemaknaan tentang ODGJ sebagaimana 
yang dipahami di masyarakat. m tidak 
memunculkan pengalaman-pengalaman 
ODGJ di luar yang ditampilkan detik.com,
justru mengarusutamakan pemaknaan 
tentang ODGJ sebagaimana yang sudah 
dipahami seperti di masyarakat.
Hasil penelitian yang telah dilakukan 
terhadap pembingkaian berita dalam 
detik.com mengenai orang dengan 
gangguan jiwa (ODGJ) menggunakan 
analisis framing model Pan dan Kosicki 
melalui elemen sintaksis, skrip, tematik, 
dan retoris, menyimpulkan bahwa 
detik.com membingkai pemberitaan 
dengan isu ODGJ secara negatif.
Terdapat dominasi arah 
pemberitaan negatif yang diperoleh dari 
penggunaan headline dalam berita terkait 
isu ODGJ, serta pemilihan sumber berita 
yang didominasi oleh non-ahli di bidang 
kejiwaan. ODGJ diposisikan sebagai 
subyek dalam berita yang di dalamnya tidak 
selalu memenuhi unsur 5W+1H. Berita 
menekankan unsur how dan kerap 
menghilangkan unsur why.
Melalui pilihan kata dan hubungan 
antar kalimat dalam berita, ODGJ dibingkai 
sebagai pelaku kriminalitas, berbahaya, 
tidak dapat diprediksi, dan dinilai tidak 
kompeten untuk mengakses haknya sebagai 
warga negara. Detik.com melakukan 
pembingkaian dengan menggeneralisasi 
bahwa ODGJ sama dengan orang gila. 
Bingkai ini menunjukkan detik.com yang 
melihat isu ODGJ hanya sebagai nilai berita, 
dan justru menguatkan definisi ODGJ yang 
sudah ada di masyarakat.

Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental
dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa
penyakit atau kelemahan (WHO, 2001). Hal ini
berarti seseorang dikatakan sehat apabila
seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan
tidak terganggu baik tubuh, psikis, maupun
sosial. Apabila fisiknya sehat, maka mental
(jiwa) dan sosialpun sehat, demikian pula
sebaliknya, jika mentalnya terganggu atau
sakit, maka fisik dan sosialnyapun akan sakit.
Kesehatan harus dilihat secara menyeluruh
sehingga kesehatan jiwa merupakan bagian
dari kesehatan yang tidak dapat dipisahkan(Stuart & Laraia, 2005). Manusia saat ini
banyak yang mengalami gangguan, gangguan
fisik ataupun mental yang akan mempengaruhi
sosial dan budaya sehari-hari seorang manusia.
Gangguan fisik ataupun mental dapat terjadi
kepada siapa saja, yang dimana kondisi mental
yang mengalami gangguan dapat
mempengaruhi kesehatan fisik, sehingga tidak
menutup kemungkinan seorang yang
mengalami gangguan jiwa juga akan
mempunyai penyakit penyerta yang lain.
Stuart dan Laraia (2005) Seseorang dikatakan
sehat jiwa apabila terpenuhi kriteria memiliki
perilaku positif, tumbuh kembang dan
aktualisasi diri, memiliki integritas diri,
memiliki otonomi, memiliki persepsi sesuai
realita yang ada serta mampu beradaptasi
dengan lingkungannya sehingga mampu
melaksanakan peran sosial dengan baik.
Maslow (1970, dalam Shives, 2005)
menyatakan bahwa seseorang yang sehat jiwa
mampu mengaktualisasikan dirinya yang
ditunjukkan dengan memiliki konsep diri
positif dan memiliki hubungan yang baik
dengan orang lain dan lingkungannya, terbuka
dengan orang lain, membuat keputusan
berdasarkan realita yang ada, optimis,
menghargai dan menikmati hidup, mandiri
dalam berfikir dan bertindak sesuai dengan
standar perilaku dan nilai-nilai, serta kreatif
menggunakan berbagai pendekatan dalam
penyelesaian masalah kesehatan jiwa.
WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di
seluruh dunia mengalami gangguan mental,
sekitar 10% orang dewasa mengalami
gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk
diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa
pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini
biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia
18-21 tahun (WHO, 2009). Menurut National
institute of mental health gangguan jiwa
mencapai 13% dari penyakit secara
keseluruhan dan diperkirakan akan
berkembang menjadi 25% di tahun 2030.
Kejadian tersebut akan memberikan andil
meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari
tahun ke tahun di berbagai negara.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika
Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2 %
penduduk yang berusia 18 – 30 tahun atau
lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH,
2011).
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di
Indonesia terdapat di provinsi Daerah Khusus
Ibu kota Jakarta (24,3 %), diikuti Nagroe Aceh
Darussalam (18,5 %), Sumatera Barat (17,7
%), NTB (10,9 %), Sumatera Selatan (9,2 %)
dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
(2007), menunjukkan bahwa prevalensi
gangguan jiwa secara nasional mencapai 5,6%
dari jumlah penduduk, dengan kata lain
menunjukkan bahwa pada setiap 1000 orang
penduduk terdapat empat sampai lima orang
menderita gangguan jiwa. Berdasarkan dari
data tersebut bahwa data pertahun di Indonesia
yang mengalami gangguan jiwa selalu
meningkat, dengan peningkatan tersebut akan
menyebabkan seseorang dengan gangguan jiwa
dapat mengalami penyakit penyerta antara lain
hipertensi, diabetes mellitus, febris dan lain￾lain. Penyakit penyerta ini juga dapat
mempengaruhi psikis dan fisik seseorang.
Hasil observasi di ruang Kresno banyak sekali
penyakit penyerta pada pasien yang dirawat
antara lain epilepsi, CHF, hipertensi, diabetes
melitus dan lain-lain. Ruang Kresno
merupakan salah satu ruangan yang terdapat di
RSJD Dr. Amino Gondohutomo Semarang
yang merawat pasien dengan double
diagnostic, dimana pasien yang mengalami
gangguan jiwa juga mengalami penyakit
penyerta misalnya febris, fraktur dan diabetes
mellitus. Pada pasien dengan gangguan jiwa
banyak sekali faktor pencetus yang
menimbulkan penyakit penyerta antara lain
gaya hidup, pola makan dan obat-obat
kejiwaan yang dikonsumsi mereka. Beberapa
obat kejiwaan dapat meningkatkan kadar gula
dalam darah sehingga pasien gangguan jiwa
dapat mengalami peningkatan kadar gula
dalam darah yang akan menyebabkan diabetes
mellitus.
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu
penyakit yang prevalensinya semakin
meningkat dari tahun ke tahun. Wordl Health
Organization (WHO) memprediksi kenaikan
jumlah pasien diabetes di Indonesia dari 8,4
juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030, bahkan Indonesia menempati
urutan keempat di dunia sebagai jumlah
penderita diabetes mellitus terbanyak setelah
India, China, dan Amerika (Pratiwi, 2007).
Pengobatan diabetes memerlukan waktu yang
lama (karena diabetes merupakan penyakit
menahun yang akan diderita seumur hidup)
dan sangat kompleks (tidak hanya
membutuhkan pengobatan tetapi juga
perubahan gaya hidup) sehingga seringkali
pasien tidak patuh dan cenderung menjadi
putus asa dengan program terapi yang lama,
kompleks dan tidak menghasilkan
kesembuhan. Menurut Asti (2006) umumnya
penderita diabetes patuh berobat kepada dokter
selama ia masih menderita gejala yang
subjektif dan mengganggu hidup rutinnya
sehari-hari, begitu ia bebas dari
keluhankeluhan tersebut maka kepatuhannya
untuk berobat berkurang (Pratiwi, 2007). Hasil
penelitian di beberapa negara, ketidakpatuhan
pasien diabetes dalam berobat mencapai 40- 50%. Menurut laporan WHO pada tahun 2013,
kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka
panjang terhadap penyakit kronis di negara
maju hanya sebesar 50% dan di negara
berkembang jumlah tersebut bahkan lebih
rendah. Tahun 2006 jumlah penderita diabetes
Indonesia mencapai 14 juta orang, dari jumlah
itu baru 50% penderita yang sadar mengidap
dan sekitar 30% diantaranya melakukan
pengobatan secara teratur (Delamater, 2009;
Pratiwi, 2007).
Berdasarkan masalah diatas, kami ingin
mengetahui gambaran penyakit penyerta pada
pasien yang dirawat di ruang Kresno RSJD Dr.
Amino Gondo Hutomo Semarang selama 6
bulan terakhir. Kami memilih mengambil data
selama 6 bulan terakhir karena penyakit
penyerta pada pasien yang dirawat lebih
signifikan dalam hal membandingkan penyakit
yang satu dengan penyakit yang lain.
METODE
Metode penelitian yang digunakan deskriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua
pasien yang ada selama 6 bulan terakhir (Mei- Oktober) sejumlah 284 pasien. Teknik sampel
dalam penelitian ini menggunakan total
sampling. Adapun besar sampel dalam
penelitian ini adalah 284 responden. Penelitian
ini dilaksanakan di RSJD Dr. Amino Gondho
Hutomo Semarang di ruang Kresno. Data
dianalisis secara univariat menggunakan
distribusi frekuensi.
HASIL
Hasil penelitia disajikan sebagai berikut :
Diabetes Melitus
DM tipe 2, pancreas tetap menghasilkan
insulin, namun kadarnya lebih tinggi dan tubuh
kebal/menolak (resistant) terhadap hormon
insulin yang dihasilkan pancreas. DM tipe 2 ini
dapat menyerang anak-anak remaja, tetapi
lebih banyak menyerang orang di atas usia 30
tahun (Hermawan, 2009). Reaksi-reaksi psikis
yang mungkin muncul merupakan masalah lain
bagi dokter disamping masalah DM itu sendiri,
yang selanjutnya akan mempengaruhi
penanganan penderita. Dari sudut pandang
psikiatri hal ini berarti menambah prevalensi
gangguan jiwa ringan dan merupakan resiko
terjadinya gangguan jiwa berat.Munculnya
problema psikiatri tersebut berarti bahwa ilmu
kedokteran jiwa dapat memainkan peranannya
dalam penanganan penderita, terutama mereka
yang mengalami problema psikiatri seperti di
atas.Hal ini harus disadari oleh para dokter
agar dapat mengambil sikap yang bijak dalam
menghadapi penderita DM, terlebih bila
dihubungkan dengan kencederungan
meningkatnya prevalensi DM di
Indonesia.(Shahab, 2006).
Perubahan besar terjadi dalam hidup seseorang
setelah mengidap penyakit DM. Ia tidak dapat
mengkonsumsi makanan tanpa aturan dan
tidak dapat melakukan aktifitas dengan bebas
tanpa khawatir kadar gulanya akan naik pada
saat kelelahan. Selain itu, penderita DM juga
harus mengikuti tritmen dokter, pemeriksaan
kadar gula darah secara rutin dan pemakaian
obat sesuai aturan. Seseorang yang menderita
penyakit DM memerlukan banyak sekali
penyesuaian di dalam hidupnya, sehingga
penyakit DM ini tidak hanya berpengaruh
secara fisik, namun juga berpengaruh secara
psikologis pada penderita. Saat seseorang
didiagnosis menderita DM maka respon
emosional yang biasanya muncul yaitu
penolakan, kecemasan dan depresi, tidak jauh
berbeda dengan penyakit kronis lain. Penderita
DM memiliki tingkat depresi dan kecemasan
yang tinggi, yang berkaitan dengan tritmen
yang harus dijalani dan terjadinya komplikasi
serius. Kecemasan yang dialami penderita
berkaitan dengan tritmen yang harus dijalani
seperti diet atau pengaturan makan,
pemeriksaan kadar gula darah, konsumsi obat
dan juga olah raga. Selain itu, resiko
komplikasi penyakit yang dapat dialami
penderita juga menyebabkan terjadinya
kecemasan.Murdiningsih dan Ghofur (2013),
mengatakan konflik psikologis, kecemasan,
depresi, dan stress dapat menyebabkan
semakin memburuknya kondisi kesehatan atau
penyakit yang diderita oleh seseorang.
Penderita DM jika mengalami kecemasan,
akan mempengaruhi proses kesembuhan dan
menghambat kemampuan aktivitas kehidupan
sehari-hari. Pasien diabetes yang mengalami
kecemasan memiliki control gula darah yang
buruk dan meningkatnya gejala-gejala penyakit
(Murdiningsih dan Ghofur, 2013). Kecemasan
merupakan hal yang tidak mudah untuk
dihadapi oleh penderita DM. Oleh karena itu,
penderita DM tentu sangat membutuhkan
dukungan dari lingkungan sosialnya.
Diabetes dan gangguan kejiwaan dapat hadir
dalam pola yang berbeda.Pertama, keduanya
dapat hadir sebagai kondisi independen dengan
koneksi langsung yang tidak jelas.Dalam
skenario kedua adalah hasil dari jalur patogen
yang independen dan paralel.Kedua, tentu
diabetes dapat menjadi rumit dengan
munculnya gangguan kejiwaan. Dalam kasus
diabetes berkontribusi patogenesis gangguan
kejiwaan. Berbagai faktor biologis dan
psikologis menengahi munculnya gangguan
kejiwaan dalam konteks seperti itu.Ketiga,
gangguan kejiwaan tertentu seperti depresi dan
skizofrenia bertindak sebagai faktor risiko
independen yang signifikan untuk
perkembangan diabetes. Keempat, mungkin
ada tumpang tindih antara presentasi klinis
hipoglikemik dan episode ketoasidosis dan
kondisi seperti serangan panik. Kelima,
toleransi glukosa terganggu dan diabetes bisa
muncul sebagai efek samping dari obat yang
digunakan untuk gangguan kejiwaan.
Pengobatan gangguan kejiwaan dapat
mempengaruhi perawatan diabetes dengan
cara lain.
Risperidone adalah obat yang digunakan untuk
menangani skizofrenia dan gangguan psikosis
lain, serta perilaku agresif dan disruptif yang
membahayakan pasien maupun orang lain.
Antipsikotik ini bekerja dengan menstabilkan
senyawa alami otak yang mengendalikan pola
pikir, perasaan, dan perilaku. Obat ini
mempunyai efek samping menaikan kadar gula
darah pada orang yang mengkonsumsinya jadi
disarankan untuk orang yang mendapatkan
obat Risperidone ini untuk sering
memeriksakan kadar gula darahnya.
Hipertensi
Perilaku kekerasan merupakan respon terhadap
stresor yang dihadapi oleh seseorang yang
ditunjukkan dalam perilaku aktual dalam
melakukan kekerasan baik verbal maupun non
verbal. Penyebab perilaku kekerasan
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor
predisposisi dan faktor presipitasi. Faktor
predisposisi adalah faktor resiko yang
mempengaruhi jenis dan jumlah sumber yang
dapat dibangkitkan oleh individu untuk
mengatasi stres. Faktor presipitasi yaitu
stimulasi yang dipresepsikan oleh individu
sebagai tantangan, ancaman atau tuntutan yang
memerlukan energi ekstra untuk melakukan
koping (PPNI Jawa Tengah, 2014).
Stres merupakan suatu respon nonspesifik dari
tubuh terhadap setiap tekanan atau tuntutan
yang mungkin muncul, baik dari kondisi yang
menyenangkan maupun
tidakmenyenangkan.Stres dapat memicu
timbulnya hipertensi melalui aktivasi sistem
saraf simpatis yang mengakibatkan
naiknyatekanandarah secara intermiten (tidak
menentu) (Andria, 2013). Pada saat seseorang
mengalami stres, hormon adrenalin akan
dilepaskan dan kemudian akan meningkatkan
tekanan darah melalui kontraksi arteri
(vasokontriksi) dan peningkatan denyut
jantung. Apabila stresberlanjut, tekanan darah
akan tetap tinggi sehingga orang tersebut akan
mengalami hipertensi (South, 2014).
Epilepsi
Ilmuwan di Taiwan tahun 2014 telah
menemukan bahwa skizofrenia memang sangat
erat kaitannya dengan penyakit mental
epilepsi. Penelitian ini telah dipublikasikan di
dalam Jurnal Epilepsia, sebuah kumpulan
artikel yang dikeluarkan oleh ILAE
(International League Against Epilepsy).
Dalam artikel tersebut dikatakan bahwa pasien
skizofrenia mampu menderita epilepsi 6 kali
lipat, sedangkan penderita epilepsi mampu
juga menderita skizofrenia hampir 8 kali lipat.
Masyarakat lebih mengenal epilepsi dengan
sebutan ayan atau sawan yang di sebabkan
oleh pengaruh roh jahat, guna – guna, atau
bahkan dianggap sebagai suatu kutukan
(Hawari, 2010).Terdapat dua faktor pencetus
epilepsi yakni faktor internal seperti stres,
kelelahan, kurang tidur, siklus menstruasi dan
faktor eksternal seperti alkohol berlebih,
cahaya tertentu, mandi (Kasteleijnetal,
2012).Stressmerupakan suatu usaha dari tubuh
untuk menyesuaikan diri baik secara fisik
maupun jiwa dengan keadaan sekitarnya,
apabila tidak dapat mengatasinya maka akan
timbul gangguan jasmani, perilaku maupun
gangguan jiwa (Maramis, 2010). Mediator
stres seperti corticotropin-releasing hormone,
corticosteroids, dan neurosteroids
berkonstribusi terhadap patogenesis epilepsi
(Joels, 2009).
Dampak dari penyakit epilepsi salah satunya
dilihat dari aspek psikososial, masalah
kejiwaan dan kemasyarakatan yang memiliki
pengaruh timbal balik sebagai akibat terjadinya
perubahan sosial atau gejolak dalam
masyarakat yang dapat menimbulkan
gangguan jiwa yang merupakan dampak dari
penyakit epilepsi.Dari aspek ini dapat
diketahui jenisnya yaitu masalah medik,
psikologis, sosial dan ekonomi.Stigma negatif
tersebut membuat penyandang epilepsi kerap
mengalami deskriminasi, baik di dalam
lingkungan sekolah, pekerjaan maupun
lingkungan sekitar tempat tinggal(Maramis,




Kesehatan jiwa adalah suatu bagian 
yang tidak terpisahkan dari kesehatan atau 
bagian integral dan merupakan unsur utama 
dalam menunjang terwujudnya kualitas 
hidup manusia yang utuh. Menurut UU No.18 
tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, Orang 
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah 
seseorang yang mengalami gangguan 
dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang 
termanifestasi dalam bentuk sekumpulan 
gejala dan/atau perubahan
perilaku yang bermakna, serta dapat 
menimbulkan penderitaan, dan hambatan 
dalam menjalankan fungsi sebagai manusia 
(Undang-undang Kesehatan Jiwa 2014). 
Penyebab ODGJ yaitu faktor somatik, 
psikologik, sosio-budaya, keturunan, 
konstitusi, cacat kongenital, deprivasi dini, 
pola keluarga yang patogenik, masa remaja, 
penyalahgunaan obat-obatan, psikodinamik, 
masa tua dan masalah golongan minoritas. 
ODGJ akan mengalami tanda dan gejala, 
yaitu gangguan kognitif, perhatian, ingatan, 
asosiasi, pertimbangan,pikiran, kesadaran, kemauan, emosi dan 
psikomotor (Direja, 2011).
Hasil Riset Kesehatan Dasar 
(Riskesdas) 2018 menyebutkan prevalensi 
gangguan jiwa pada penduduk Indonesia 
sebanyak 11% dan prevalensi gangguan 
jiwa di Jawa Timur pada gangguan jiwa berat 
(psikosa/skizofrenia) sebanyak 6% dan 
prevalensi gangguan mental emosional yang 
ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi 
dan kecemasan adalah sebesar 4% untuk 
usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta 
orang. Sedangkan untuk gangguan jiwa 
berat seperti gangguan psikosis, 
pervalensinya adalah 1,7 per 1000 penduduk 
atau diperkirakan lebih dari
400.000 orang menderita gangguan jiwa 
berat (Kementerian Kesehatan RI, 2018:98). 
Jumlah gangguan jiwa di Jawa Timur telah 
mencapai angka 306.261 orang. Sedangkan 
jumlah ODGJ di Kabupaten Jember sebesar 
21,7% per seribu penduduk. Pada tahun 
2017 jumlah gangguan jiwa di Kabupaten 
Jember sebanyak 17.451 orang dengan 
prevalensi jumlah ODGJ sebanyak 1937 
atau 11,1% penduduk di Kabupaten Jember 
seperti skizofrenia dan gangguan psikotik 
lain, gangguan psikotik akut, gangguan 
bipolar dan gangguan depresif, dan Orang 
Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) 
sebanyak
15.514 orang (Halida, 2016:2). Kabupaten 
Jember menduduki peringkat ke empat untuk 
kasus gangguan jiwa berat setelah 
Kabupaten Pacitan, Kabupaten Malang, dan 
Kabupaten Bangkalan Madura.
Salah satu instansi pemerintah yang 
berperan dalam penanganan ODGJ adalah 
UPT Liposos. Unit Pelaksana Teknis (UPT) 
Lingkungan Pondok Sosial (Liposos) 
merupakan tempat penampungan atau 
tempat tinggal bagi para penghuni yang 
memiliki latar belakang dari pengemis, anak 
jalanan dan gelandangan; serta Orang 
Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Penghuni 
Liposos dalam pemenuhan hidupnya tidak 
berusaha sendiri dan mengandalkan 
bantuan dari dinas sosial. ODGJ yang 
terdapat di UPT Liposos Jember ditangani 
oleh para Pekerja Sosial.
Pekerja Sosial merupakan seseorang 
yang bekerja, baik di lembaga pemerintahan 
maupun swasta yang memiliki kompetensi 
dan profesi pekerjaan sosial dan kepedulian 
dalam pekerjaan sosial yang diperoleh 
melalui pendidikan, pelatihan, dan atau 
pengalaman praktek pekerja sosial untuk 
melaksanakan tugas tugas pelayanan dan 
penanganan masalah sosial (Kemensos, 
2009). Profesi pekerja sosial sudah diakui 
keberadaannya dalam UU No. 11 Tahun 
2009 tentang Kesejahteraan Sosial, profesi 
pekerja sosial buakn hanya sekedar 
kesukarelaan dari seorang individu, tetapi 
seorang yang telah mendapat pendidikan 
dan pelatihan sehingga mempunyai 
kompetensi dalam bidang kesejahteraan 
sosial. Pekerja sosial sebagai salah satu 
profesi yang berfokus pada keberfungsian 
sosial klien dan interaksi lingkungan sosial 
klien sejatinya memiliki peran yang sangat 
penting dalam proses pemulihan sosial bagi 
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
adalah seorang pekerja sosial profesional 
yang berumur lebih dari 30 tahun, dan 
bekerja sebagai pekerja sosial di UPT. 
Liposos Jember selama kurang lebih tujuh 
tahun. Informan utama tersebut juga 
merupakan seorang perawat yang juga
melakukan tindakan medis dalam 
penanganannya terkait ODGJ yang 
menderita sakit fisik maupun gangguan jiwa 
itu sendiri, bersama dengan dokter dan 
perawat dari RSD Subandi. Selama bekerja 
sebagai pekerja sosial di UPT. Liposos 
Jember, Informan utama juga merangkap 
beberapa pekerjaan seperti menjadi 
administrasi ketika dibutuhkan.
Informan Utama II (IU2, 43 tahun) 
merupakan pekerja sosial yang berumur 
lebih dari 40 tahun, dan baru satu setengah 
tahun ditugaskan bekerja di UPT. Liposos, 
selama sebelumnya beliau adalah perawat di 
RSD Subandi. Sama seperti informan I, 
informan II juga melakukan penanganan 
medis terhadap ODGJ dengan rutin 
memberikan obat setiap hari pada jam-jam 
mankan atau minum obat.
Hambatan yang dialami oleh peneliti 
adalah waktu, dimana peneliti tidak bisa 
memantau proses penelitian dari pagi hingga 
malam, hanya dari pagi hingga siang atau 
sore. Hambatan lainnya adalah peneliti 
hanya melakukan wawancara mendalam 
pada dua informan penelitian karena 
keterbatasan waktu dan tenaga. Selain itu 
proses wawancara dengan para informan 
berjalan dengan baik dan lancar. Waktu 
wawancara juga kondusif dan relatif tenang 
karena dilakukan pada waktu luang informan 
yaitu pada saat jam istirahat. Informan juga 
mampu menjawab semua pertanyaan yang 
diberikan peneliti dengan jelas dan tidak 
berbelit-belit, mengingat informan sendiri 
sudah bekerja selama tujuh tahun sebagai 
pekerja sosial UPT. Liposos Jember.
Pembahasan
a. Broker
Broker adalah salah satu peran pekerja 
sosial yang sangat penting berkaitan dengan 
pekerjaannya dalam pelayanan
masyarakat dan penanganan PMKS, 
termasuk juga ODGJ. Menurut Zastrow 
dalam Eko (2018: 27) seorang broker 
berperan dalam menghubungkan individu 
ataupun kelompok dalam masyarakat yang 
membutuhkan bantuan ataupun layanan 
masyarakat, tetapi mereka tidak tahu di 
mana dan bagaimana mendapatkan 
pelayanan tersebut. Pekerja sosial bertindak 
diatara klien dengan sistem sumber yang 
ada dilembaga. Sebagai perantara pekerja 
sosial juga berupaya membentuk jaringan 
kerja dengan organisasi pelayanan sosial 
untuk mengontrol kualitas pelayanan sosial. 
Peranan sebagai perantara muncul akibat 
banyaknya orang yang tidak mampu 
menangkau sistem pelayanan sosial.
Menurut hasil pemaparan dari informan 
utama, peran pekerja sosial sebagai broker 
selain pada saat menghubungkan antara 
klien ODGJ perlu mendapatkan perawatan 
secara medis di RS maka Pekerja sosial 
yang akan mengurusnya dan juga 
menghubungkan ODGJ dengan 
keluarganya, jika ada.
Berdasarkan hasil penjelasan informan 
utama diatas, terdapat beberapa poin terkait 
peranannya sebagai broker antara lain 
adalah: bekerja sama dengan satpol PP dan 
polres setempat ketika ada razia orang 
terlantar, sebagai perantara yang 
menghubungkan kecamatan atau kelurahan 
kepada UPT. Liposos jika menemukan 
ODGJ, merujuk Pasien ODGJ yang sakit 
secara fisik ke RSD atau RSJ, merujuk 
ODGJ ke lembaga yang membantu 
pemulihan dan kesembuhan pasien seperti 
panti psikotik dan pondok pesantren.
b. Enabler
Peranan pekerja sosial sebagai enabler 
adalah peran yang penting dalam membantu 
klien ODGJ agar dapat diterima kembali 
pada masyarakat dan keluarganya ketika 
sudah sembuh. Peranan sebagai enabler
adalah yang paling sering digunakan dalam 
profesi pekerjaan sosial, karena peranan ini 
diilhami oleh konsep pemberdayaan dan 
difokuskan padakemampuan, kapasitas, dan kompetensi 
klien atau penerima pelayanan untuk 
menolong dirinya sendiri.
Berdasarkan alisis peneliti, dari hasil 
wawancara didapatkan poin-poin tentang 
peranan pekerja sosial sebagai 
enabler/pemungkin, yaitu: memungkinkan 
keluarga dan kerabat ODGJ untuk dapat 
mengetahui keberadaannya dan menjemput 
klien ODGJ, memulangkan ODGJ ke tempat 
tinggalnya atau ke keluarganya, setelah 
mendata dan mendapatkan info valid tentang 
hal itu.
c. Facilitator
Menurut Barker dalam Eko (2018: 84), 
peran pekerja sosial sebagai facilitator 
mempunyai tanggung jawab untuk 
membantu klien agar mampu menangani 
tekanan situasional atau transisional. 
Peranan pekerja sosial adalah memfasilitasi 
atau memungkinkan klien mampu 
melakukan perubahan yang telah ditetapkan 
dan disepakati bersama
Menurut UU Kesehatan Jiwa No.3
(194) tentang upaya kesehatan jiwa, yaitu 
adalah suatu kondisi yang dapat 
menciptakan keadaan yang memungkinkan 
atau mengijinkan perkembangan fisik, 
intelektual, dan emosional yang optimal pada 
seseorang, serta perkembangan ini selaras 
dengan orang lain. Dari hasil penuturan 
informan diatas, peranan pekerja sosial 
sebagai facilitator di UPT. Liposos Jember 
antara lain adalah: memberikan pelayanan 
medis bagi ODGJ yang sakit fisik, 
mengadakan visite dokter untuk memeriksa 
kondisi klien secara rutin, memfasilitasi 
kebutuhan hidup bagi ODGJ yang berada di 
UPT. Liposos Jember, melakukan 
pemulasaran jenazah ODGJ yang 
meninggal.
Kesimpulan dan Saran
Peranan pekerja sosial sebagai broker 
di UPT. Liposos Jember adalah bekerja 
sama dengan satpol PP dan polres setempat 
ketika ada razia orang terlantar, sebagai 
perantara yang menghubungkan kecamatan 
atau kelurahan kepada UPT.
Liposos jika menemukan ODGJ, merujuk 
Pasien ODGJ yang sakit secara fisik ke RSD 
atau RSJ, merujuk ODGJ ke lembaga yang 
membantu pemulihan dan kesembuhan 
pasien seperti panti psikotik dan pondok 
pesantren.
Peranan pekerja sosial sebagai enabler 
di UPT. Liposos Jember adalah 
memungkinkan keluarga dan kerabat ODGJ 
untuk dapat mengetahui keberadaannya dan 
menjemput klien ODGJ, dan memulangkan 
ODGJ ke tempat tinggalnya atau ke 
keluarganya.
Peranan pekerja sosial sebagai 
facilitator di UPT. Liposos Jember adalah, 
yaitu memberikan pelayanan medis bagi 
ODGJ yang sakit fisik, mengadakan visite 
dokter untuk memeriksa kondisi klien secara 
rutin, memfasilitasi kebutuhan hidup bagi 
ODGJ yang berada di UPT. Liposos Jember, 
melakukan pemulasaran jenazah ODGJ 
yang meninggal.
Diharapkan pekerja sosial lebih 
meningkatkan kinerja dalam perannya 
sehingga lebih profesionalisme dalam 
menangani ODGJ, dengan mengikuti 
pelatihan-pelatihan atau seminar yang 
menambah keilmuan seputar pelayanan 
sosial dan penanganan ODGJ, yang didanai 
oleh Instansi Dinas Sosial di Kabupaten 
Jember. Kepada UPT. Liposos Jember lebih 
banyak menjalin kerja sama antar instansi 
atau lembaga yang mengayomi masalah 
ODGJ, seperti Rumah Sakit Swasta, Panti 
Psikotik, Pondok pesantren, dan LSM, agar 
penanganan lebih maksimal dan berkualitas. 
Diharapkan peneliti selanjutnya agar menjadi 
referensi sebagai bahan penelitian dan 
pertimbangan. Peneliti selanjutnya dapat 
membahas lebih dalam mengenai peran 
pekerja sosial lainnya seperti educator dan 
activist.


Kesehatan jiwa merupakan aspek penting 
dalam mewujudkan kesehatan secara 
menyeluruh. Kesehatan jiwa juga penting 
diperhatikan selayaknya kesehatan 
fisik.Kesehatan jiwa yang baik memungkinkan 
orang untuk menyadari potensi mereka, 
mengatasi tekanan kehidupan yang normal, 
bekerja secara produktif, dan berkontribusi 
pada komunitas mereka, oleh karena itu 
adanya gangguan kesehatan jiwa tidak bisa 
kita remehkan, karena jumlah kasusnya saat 
ini masih cukup mengkhawatirkan. Terdapat 
sekitar 450 juta orang menderita gangguan 
jiwa dan perilaku di seluruh dunia. 
Diperkirakan satu dari empat orang akan 
menderita gangguan jiwa selama masa hidup 
mereka (Agustina & Handayani, 2017).
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia 
sudah menjadi masalah yang sangat serius. 
Terdapat sekitar 21 juta terkena skizofrenia 
sedangkan jumlah penduduk di dunia yang 
mengalami depresi diperkirakan 4,4%. Total 
jumlah penduduk sekitar 322 juta orang
mengalami gangguan depresi. Diperkirakan 
penduduk yang mengalami depresi meningkat 
sampai 18,4%. Proporsi jumlah penduduk 
yang mengalami gangguan kecemasan 3,6% 
Total jumlah penduduk sekitar 264 juta orang 
mengalami gangguan kecemasan, dan 
meningkat sampai 14,9% (World Health 
Organization, 2017).
Prevalensi gangguan jiwa berat pada 
penduduk Indonesia adalah 1,7 per mil. 
Gangguan jiwa berat terbanyak di DI 
Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan 
Jawa Tengah. Lebih lanjut juga Riskesdas 
menyebutkan bahwa prevalensi gangguan 
jiwa emosional pada penduduk Jawa Tengah 
adalah 9,8% dari seluruh penduduk Indonesia 
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 
2019).Prevalensi (permil) Rumah Tangga 
dengan ART Gangguan Jiwa 
Skizofrenia/Psikosis menurut Provinsi, 
Menurut hasil Riskesdas 2018, sebesar 
6,7%dengan kejadian tertinggi di Provinsi Bali 
sebesar 11,1%dan terendah di Kepulauan 
Riau sebsar 2,8%sedangkan Provinsi 
Lampung sebesar 6,0%.dengan gangguan 
jiwa tertinggi di Kabupaten Lampung Tengah 
sebesar 12,06%dan terendah di Kabupaten 
Pesisir Barat sebesar 0% (Kementrian 
Kesehatan Republik Indonesia, 2019).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan 
Kabupaten Lampung Tengah, di tahun 2018 
jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) 
sebanyak 1763 kasus, dengan ODGJ 
terbanyak di wilayah kerja Puskesmas Kalirejo 
sebanyak 112 kasus dan terendah di 
Puskesmas Rumbia dengan jumlah kasus 21 
ODGJ sedangkan di Puskesmas Kesumadadi 
sebanyak 34 kasus. Pada tahun 2019 terjadi 
penurunan kasus ODGJ dimana secara 
keseluruhan yang menderita ODGJ sebesar 
1673 orang, dengan kejadian tertinggi di 
Puskesmas Kalirejo yaitu sebanyak 132 orang 
atau meningkat sebanyak 20 kasus dan 
kejadian terendah di Puskesmas Bumi 
Nabung sebanyak 13 kasus atau menurun 
sebanyak 35 kasus sedangkan di Puskesmas 
Kesumadadi sebanyak 61 kasus atau 
mengalami peningkatan sebanyak 27 kasus 
(Dinas Kesehatan Kabupaten Lampung 
Tengah, 2020).
Beban emosional yang dirasakan oleh 
hampir seluruh anggota keluarga antara lain 
kesedihan dan rasa malu akibat perilaku 
pasien yang tidak terkontrol, dikhawatirkan 
dapat membahayakan lingkungan dan 
mengkhawatirkan masa depan pasien. Hal 
tersebut dapat membuat beban emosional 
keluarga semakin meningkat, Beban 
emosional juga membuat keluarga 
menyalahkan diri sendiri, kehilangan harapan 
dan khawatir akan masa depan. Hasil 
penelitian WHO (2018), menunjukkan 
ganggun jiwa mengakibatkan beban yang 
cukup besar yaitu 8,1%. Meskipun masalah 
gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian, 
akan tetapi menimbulkan penderitaan yang 
mendalam bagi setiap individu dan beban 
berat bagi keluarga baik secara fisik, mental, 
dan ekonomi karena penderita tidak lagi hidup 
dengan produktif. Hasil penelitian sebelumnya 
sebagian besar pengasuh orang dengan 
penyakit gangguan jiwa terasa terbebani. 
Beban dapat diartikan sebagai dampak negatif 
yang dialami oleh pengasuh saat merawat 
orang yang mengalami gangguan. 
Dampaknya bisa pada rumah tangga (beban 
obyektif) atau perasaan (beban subjektif) 
,
Secara umum dampak yang dirasakan 
oleh keluarga dengan adanya anggota 
keluarga mengalami gangguan jiwa adalah 
tingginya beban ekonomi, beban emosi 
keluarga, stres terhadap perilaku pasien yang 
terganggu. Gangguan jiwa dianggap penyakit 
akibat dosa dari keluarganya dan merupakan 
aib bagi klien dan keluarganya, sehingga 
masih banyak keluarga yang 
menyembunyikan anggota keluarganya yang 
mengalami gangguan jiwa, keluarga merasa 
malu, kecewa dan putus asa , Penanganan penderita gangguan jiwa 
harus melibatkan peran serta dan dukungan 
dari keluarga. Peran keluarga sangat penting 
terhadap pengobatan pasien gangguan jiwa, 
karena pada umumnya klien gangguan jiwa 
belum mampu mengatur dan mengetahui 
jadwal dan jenis obat yang akan diminum. 
Keluarga harus selalu membimbing dan 
mengarahkan agar klien gangguan jiwa dapat 
minum obat dengan benar dan teratur. Proses 
pemulihan dan penyembuhan pada orang 
dengan gangguan jiwa membutuhkan 
dukungan keluarga untuk menentukan 
keberhasilan pemulihan tersebut. Keluarga 
memiliki waktu yang lebih banyak saat klien 
diberikan perawatan di rumah, sehingga 
keluarga memiliki tugas untuk memberikan 
perawatan ketika pasien tidak dapat 
memenuhi kebutuhannya sendiri 
Keluarga pengasuh menggunakan 
strategi koping yang lebih maladaptif, 
termasuk penghindaran, pemaksaan dan 
pengunduran diri. Pengumpulan informasi 
adalah strategi koping yang paling sedikit 
digunakan oleh mereka. Lebih lanjut, hasil 
penelitian menunjukkan bahwa beban dan 
beberapa faktor demografis keluarga 
pengasuh merupakan prediktor terkuat dalam 
mengatasi keluarga pengasuh pasien 
skizofrenia  .
Karakteristi informan terdiri dari 7 
orang berjenis kelamin perempuan dan 1 
orang laki-laki dengan status hubungan 
dengan pasien sebagai orang tua sebanyak 7 
orang dan sebagai anak 1 orang. Umur 
informan berkisar antara 31 – 50 tahun, 
dengan pendidikan terendah SD dan tertinggi 
PT. dari seluruh informan memiliki pekerjaan 
sebagai buruh, IRT dan ASN. 5 dari 8informan 
bersuku Jawa, dan 3 orang sisanya bersuku 
Sunda. Seluruh informan beragama islam. 
1. Gambaran tentang gangguan jiwa dan 
tanda gejala 
seluruh informan mengatakan 
pendapat dan mengalami tanda gejala 
yang sama pada keluarganya yaitu ketidak 
stabilan emosi dan adanya perubahan 
sikap, berikut kutipan hasil wawancaranya :
“Ya, kalau setau saya sih kalau 
orang dengan gangguan jiwa 
itu ada kayak kelainan bu, 
kayak suka marah-marah 
nggak jelas, suka curiga suka 
marah-marah yang 
berlebihan kayak gitu lah bu. 
Tadi nya saya juga nggak 
nyangka bu kalau anakku jadi 
kayak gitu”  .
Informasi ini diperkuat dengan 
pendapat informan pada saat FGD, berikut 
kutipan wawancaranya :
“Dia tuh suka marah sendiri 
nanti tiba-tiba diem aja 
benggong”  .
Kepada seluruh informan ditanyakan tentang faktor penyebab yang menjadikan 
keluarganya mengalami gangguan jiwa. 
Hasil wawancara informan memiliki 
pendapat yang berbeda-beda, sebagian 
besar informan mengatakan hal ini terjadi 
akibat dari adanya keinginan dari pasien 
yang tidak tercapai dan perasaan kecewa 
yang mendalam atas pengalaman 
hidupnya, dan sebagian kecil lainnya 
mengatakan karena pengaruh dari 
penggunaan obat terlarang (narkoba), 
berikut kutipan wawancaranya :
“Waktu itu gara gara 
perceraian loh bu, bapak saya 
itu cerai sama ibu saya” .
“Sebenernya enggak tau sih 
penyebab dia itu bisa kayak 
gitu. Kayaknya dulu itu dia 
pingin puya motor gede tapi 
berhubung saya nya gak bisa 
nyukupin kan, namanya 
bapaknya maman kan udah 
meninggal. Jadi itulah 
kayaknya.”  
“Anak saya begini itu akibat 
dulunya konsumsi narkoba” 
 . 
2. Gambaran Kesulitan Keluarga Dalam 
Merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa
Dilihat Dari Sisi Keluarga 
Pada saat wawancara sepada 
seluruh informan, ketika ditanyakan 
mengenai perasaannya selama ini dalam 
mengurus anggota keluarganya yang 
mengalami kondisi gangguan jiwa dari hasil 
wawancara didapatkan bahwa sebagian 
besar informan mengatakan merasa sedih 
dan binggung, dan sebagian kecil lainnya 
mengatakan merasa malu dengan keadaan 
yang dialami keluarganya, berikut kutipan 
wawancaranya:
“Sedih banget, binggung 
juga. Gimana ya, soalnya kita 
orang tua itu jadi nggak bisa ke 
mana-mana akhirnya karna 
harus jagain dia. Terus saya 
sama emaknya itu sering 
dipukul gitu sama dia” 
“Kadang saya malu, sekarang 
jarang saya keluar-keluar 
rumah. Kalo sekarang ada 
yang ngomongin, saya biar￾biarin aja”  
Hal ini di perkuat dengan 
pernyataan informan pada saat FGD, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Campur aduk bu, takut, sedih, 
binggung jadi satu”  .
Mengenai hubungan yang terjalin 
antara keluarga yang merawat dengan 
pasien selama mengalami gangguan jiwa 
seluruh informan mengatakan bahwa 
tidak ada perubahan antara masa saat 
pasien sehat dengan kondisinya saat ini, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Kalau hubungan saya dengan 
bapak ya baik walaupun bapak 
dengan kondisi seperti itu ya 
harus diterima karena gimana 
juga bapak ya”  .
Bersasarkan hasil wawancara 
mengenai komunikasi yang dilakukan 
oleh pasien dengan keluarganya 
didapatkan hasil bahwa sebagian besar 
informan mengalami kesulitan 
dikarenakan pasien yang tidak bisa 
mengungkapkan apa yang menjadi 
keinginannya dan keluarga yang kurang 
dapat memahami keinginan pasien, 
berikut kutipan wawancaranya:
“Dia ini gak jelas ngomongnya 
jadi kadang kita gak ngerti” 
(A2).
Selain itu ada sebagian kecil 
informan yang mengatakan bahwa sudah 
ada perubahan yang dialami keluarganya 
sehingga komunikasi antara keluarga dan 
pasien dapat berjalan lebih mudah, berikut 
kutipan wawancaranya :
“Sekarang anaknya udah bisa 
diajak ngobrol kayak 
biasanya, udah mau dikasih 
motivasi, terus dia sekarang 
juga udah banyak perubahan 
karna mungkin udah tenang 
ya bu, jadi dikasih motivasi 
udah mau anaknya udah bisa 
menerima pelan-pelan bisa 
sadar sih bu setelah minum 
obat itu “  .
Hal ini di perkuat dengan pernyataan 
informan pada saat FGD, berikut kutipan 
wawancaranyaKalo dulu susah, tapi sejak 
udah diobatin ini udah 
mendingan. Udah bisa diajak 
ngobrol baik-baik” (F2). 
Dalam menghadapi pasien dengan 
masalah gangguan jiwa peran keluarga 
sangatlah penting. Dari hasil wawancara 
dengan informan di dapatkan hasil bahwa 
seluruh informan mengatakan keluarga 
berperan aktif dan telah melakukan 
upaya pengobatan demi kesembuhan 
pasien. Berikut kutipan wawancaranya:
“Sempet pernah dibawa ke 
rumah sakit jiwa juga, cuma 
bapak ini kan susahnya karena 
dia nggak mau minum obat” 
 .
“Setelah yang dulu saya di suruh 
ke puskes terus di kasih obat. Ya 
alhamdulillah sekarang dia udah 
mau sholat, udah mau ngomong 
terus denger musik bisa ketawa, 
udah mulai biasa lah”  
Setelah mendapatkan perawatan 
secara medis dan non medis pasien 
menunjukan sebuah kemajuan yang 
cukup signifikan, berikut kutipan 
wawancaranya : 
“Udah banyak perubahan, anak 
saya udah mulai sadarlah kan 
dikasih obat. Dari segi agama 
pun sekarang udah mulai bu, ini 
saya sering ngajak sholat, biar 
dia nggak kosong pikirannya” 
 . 
“Udah dilakuin semua bu, 
bahkan saya bela-belain punya 
sapi saya jual buat ajak dia plesir 
ke padang. Sebenrnya saya ini 
kalo sedih ya sedih bu, cuma 
mau gimana lagi lah demi anak. 
Alhamdulillah dia jadi mendingan 
gini gara-gara saya bawa ke 
padang“ 
Kepada seluruh informan ditanyakan 
tentang kesulitan yang mereka hadapi 
selama merawat keluarganya yang 
merupakan pasien dengan gangguan 
jiwa. Hasil wawancara informan memiliki 
pendapat yang berbeda-beda, 
setengahnya mengatakan bahwa 
kesulitan yang dihadapi adalah kesulitan 
menghadapi emosional pasien yang tidak 
stabil dan pasien yang tidak mau minum 
obat, sebagian kecil mengatakan karena 
masalah ekonomi dan sebagian kecil 
lainnya lagi mengatakan bahwa yang 
menjadi kesulitan adalah beban moral, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Kalau disuruh minum obat 
dia nggak mau, terus dia suka 
pergi-pergi jarang dirumah” 
 .
“Bebannya ini gini loh bu, ya 
sebenarnya ekonomi sih, 
makanya kalau ada bantuan 
gitu, karena saya kan baru di 
sini jadi bantuan-bantuan itu 
saya enggak dapat. Selain itu 
yang bikin menjadi beban 
berat karena kan jarak rumah 
saya ini kan agak jauh dari 
puskes jadi saya harus naik 
ojek, karena ya saya yang 
nggak punya motor”  
“Kayak mana ya bu, yang 
jelas malu lah bu sama 
lingkungan kok anak saya gila 
saya seolah olah kayak 
enggak bisa ngurus anak. 
Jadi saya bebannya itu ya 
malu sama lingkungan” 
Ketika ditanyakan tentang 
bagaimana cara keluarga mengatasi 
kesulitan yang yang mereka hadapi 
selama merawat anggota keluarga yang 
mengalami gangguan jiwa, seluruh 
informan mengatakan cara menghadapi 
merawat keluarganya adalah dengan 
memberikan obat dan bersabar dalam 
menghadapi kondisi tersebut, berikut 
kutipan wawancaranya :
“Ya harus bersabar bu, ngasih 
dia nasihat biar mau minum 
obatnya walaupun masih susah 
gitu. Pokoknya sabar itulah bu 
solusinya”(A6).
Sedangkan informan yang memiliki 
kesulitan ekonomi dalam merawat 
keluarganya mengatakan bahwa mereka 
akan melakukan cara apapun meski memiliki kesulitan dalam hal biaya, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Biaya sendiri. Kalo lagi enggak 
ada apa aja yang punya dijual 
buat berobat dia” 
Dalam merawat keluarga yang sakit, 
khususnya yang mengalami gangguan 
jiwa dipastikan membutuhkan biaya. 
Ketika ditanyakan mengenai biaya yang 
dikeluarkan oleh keluarga dalam merawat 
pasien, seluruh informan mengatakan 
biaya tersebut menggunakan uang 
pribadi dan mereka juga merasa terbantu 
oleh obat yang diberikan secara gratis 
dari puskesmas untuk pasien dengan 
gangguan jiwa, berikut kutipan 
wawancaranya :
“Saya kan obatnya dari 
puskesmas bu, jadi gak keluar 
biaya. Gratis dari pemerintah 
katanya”  .
“Buat berobat di puskes gak 
bayar bu, gratis program 
pemerintah”  
Hal ini perkuat dengan pendapat 
dari informan kunci, berikut kutipan 
wawancaranya :
“Kami memberitahukan 
kepada keluarga pasien 
bahwa obat yang diberikan 
oleh puskesmas tidak 
dipungut biaya dan juga
memberitahu kepada 
keluarga bahwasanya obat 
dari puskesmas habis segera 
lapor ke kami supaya tidak 
putus obat” (B).
3. Gambaran Kesulitan Keluarga Dalam 
Merawat Orang Dengan Gangguan 
Jiwa Dilihat Dari Sisi Budaya 
Di Indonesia, khususnya di daerah￾daerah tertentu memiliki kebiasaan atau 
tradisi melakukan pengobatann diluar 
tindakan medis atau yang di sebut 
dengan pengobatan alternatif. Dari hasil 
wawancara yang dilakukan oleh informan 
di dapatkan hasil sebagian besar 
informan pernah melakukan pengobatan 
secara alternatif dan sebagian kecil 
lainnya tidak pernah melakukannya, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Wah udah gak keitung, udah 
banyak” 
“Nggak bu, cuma berobat ke 
puskesmas aja”  .
Bentuk pengobatan yang mereka 
dapatkan beragam, sebagian besar 
informan mengatakan mereka pernah 
mendatangi orang yang memiliki 
kemampuan supranatural (orang pintar) 
seperti dukun, kyai dan pastur karena 
meyakini pasien yang mengalami 
gangguan jiwa tersebut ada kaitannya 
dengan pengaruh mahkuk ghaib, berikut 
kutipan wawancaranya : 
“Pernah saya bawa ke 
dukun, ke Pak Kyai, pernah 
juga saya ruqyah. Katanya ini 
loh bu anak saya itu ada yang 
ngikutin gitu loh tapi nyatanya 
ya masih kayak gitu aja 
lah” 
Sedangkan alasan dari sebagian 
kecil informan yang tidak melakukannya 
adalah karena tidak percaya dengan hal 
seperti itu, berikut kutipan wawancaranya 
:
“Saya nggak percaya kayak 
gitu-gitu langsung ke medis 
berobat nya” .
4. Gambaran Kesulitan Keluarga Dalam 
Merawat Orang Dengan Gangguan 
Jiwa Dilihat Dari Sisi Peranan Petugas 
Kesehatan
Kepada seluruh informan ditanyakan 
tentang peran petugas kesehatan dalam 
melakukan perawatan terhadap orang 
dengan gangguan jiwa. Seluruh informan 
menyampaikan bahwa petugas 
kesehatan telah berperan aktif dalam 
pelaksanaan nya berikut kutipan 
wawancaranya :
“O iya bu malah dikunjungin 
sama orang puskes yang 
katanya pemegang program 
jiwa. Itu dari situ saya dapat 
pencerahan bu. Ini sekarang 
dari ibu malah ibu kesini saya 
dapet pencerahan lagi”  
memiliki kesulitan dalam hal biaya, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Biaya sendiri. Kalo lagi enggak 
ada apa aja yang punya dijual 
buat berobat dia” 
Dalam merawat keluarga yang sakit, 
khususnya yang mengalami gangguan 
jiwa dipastikan membutuhkan biaya. 
Ketika ditanyakan mengenai biaya yang 
dikeluarkan oleh keluarga dalam merawat 
pasien, seluruh informan mengatakan 
biaya tersebut menggunakan uang 
pribadi dan mereka juga merasa terbantu 
oleh obat yang diberikan secara gratis 
dari puskesmas untuk pasien dengan 
gangguan jiwa, berikut kutipan 
wawancaranya :
“Saya kan obatnya dari 
puskesmas bu, jadi gak keluar 
biaya. Gratis dari pemerintah 
katanya” ,
“Buat berobat di puskes gak 
bayar bu, gratis program 
pemerintah” 
Hal ini perkuat dengan pendapat 
dari informan kunci, berikut kutipan 
wawancaranya :
“Kami memberitahukan 
kepada keluarga pasien 
bahwa obat yang diberikan 
oleh puskesmas tidak 
dipungut biaya dan juga
memberitahu kepada 
keluarga bahwasanya obat 
dari puskesmas habis segera 
lapor ke kami supaya tidak 
putus obat”,
3. Gambaran Kesulitan Keluarga Dalam 
Merawat Orang Dengan Gangguan 
Jiwa Dilihat Dari Sisi Budaya 
Di Indonesia, khususnya di daerah￾daerah tertentu memiliki kebiasaan atau 
tradisi melakukan pengobatann diluar 
tindakan medis atau yang di sebut 
dengan pengobatan alternatif. Dari hasil 
wawancara yang dilakukan oleh informan 
di dapatkan hasil sebagian besar 
informan pernah melakukan pengobatan 
secara alternatif dan sebagian kecil 
lainnya tidak pernah melakukannya, 
berikut kutipan wawancaranya :
“Wah udah gak keitung, udah 
banyak”,
“Nggak bu, cuma berobat ke 
puskesmas aja”,
Bentuk pengobatan yang mereka 
dapatkan beragam, sebagian besar 
informan mengatakan mereka pernah 
mendatangi orang yang memiliki 
kemampuan supranatural (orang pintar) 
seperti dukun, kyai dan pastur karena 
meyakini pasien yang mengalami 
gangguan jiwa tersebut ada kaitannya 
dengan pengaruh mahkuk ghaib, berikut 
kutipan wawancaranya : 
“Pernah saya bawa ke 
dukun, ke Pak Kyai, pernah 
juga saya ruqyah. Katanya ini 
loh bu anak saya itu ada yang 
ngikutin gitu loh tapi nyatanya 
ya masih kayak gitu aja 
lah”,
Sedangkan alasan dari sebagian 
kecil informan yang tidak melakukannya 
adalah karena tidak percaya dengan hal 
seperti itu, berikut kutipan wawancaranya 
:
“Saya nggak percaya kayak 
gitu-gitu langsung ke medis 
berobat nya”,
4. Gambaran Kesulitan Keluarga Dalam 
Merawat Orang Dengan Gangguan 
Jiwa Dilihat Dari Sisi Peranan Petugas 
Kesehatan
Kepada seluruh informan ditanyakan 
tentang peran petugas kesehatan dalam 
melakukan perawatan terhadap orang 
dengan gangguan jiwa. Seluruh informan 
menyampaikan bahwa petugas 
kesehatan telah berperan aktif dalam 
pelaksanaan nya berikut kutipan 
wawancaranya :
“O iya bu malah dikunjungin 
sama orang puskes yang 
katanya pemegang program 
jiwa. Itu dari situ saya dapat 
pencerahan bu. Ini sekarang 
dari ibu malah ibu kesini saya 
dapet pencerahan lagi”  gangguan jiwa, baik itu kesulitan karena 
faktor luar seperti biaya, ataupun kesulitan 
yang dirasakan caregiver sendiri baik fisik, 
maupun psikolgis nya yang dapat menjadi 
beban pada Caregiver.Salah satu beban 
yang dirasakan caregiver adalah 
pembiayaan transportasi saat ke rumah 
sakit, dan beban lainnya adalah beban 
dalam perawatan yaitu munculnya berupa 
beban stress emosional saat merawat. 
Beban transportasi dalam mencapai 
pelayanan kesehatan dilihat dari jarak 
rumah puskesmas ,
2 dari 8 informan lainnya merasakan 
beban akan tetapi beban yang mereka 
rasakan adalah beban subjektif, informan 
mengalami kesulitan saat merawat, 
informan merasa kesal dengan gejala atau 
tingkah yang ditunjukan oleh pasien, dan 
membuat mereka selalu memikirkan pasien 
dan menjadikan nya menjadi beban pikiran. 
3 informan merasa kesulitan biaya 
pengobatan, karena ia melakukan dua 
jenis pengobatan yaitu pengobatan medis 
dan pengobatan spiritual yaitu dengan 
membawa pasien untuk berobat pada 
ustad yang dipercaya keluarga, dan 
mengeluarkan biaya untuk pengobatan 
tersebut. 
bahwa perawatan yang dibutuhkan 
penderita gangguan jiwa menimbulkan 
dampak yang besar bagi keluarga, yaitu 
dampak ekonomi yaitu tingginya biaya 
perawatan yang harus ditanggung.
Keluarga merupakan unit yang paling 
dekat dengan klien dan merupakan 
perawatan utama bagi klien ganggun jiwa. 
Keluarga berperan dalam menentukan cara 
atau asuhan yang diperlukan di rumah. 
Rendahnya peran keluarga juga dipicu oleh 
rendahnya motivasi dari keluarga sebagai 
tenaga penggerak.Diperlukan minat yang 
tinggi pada keluarga untuk dapat merawat 
anggota keluarga yang mengalami 
gangguan jiwa secara optimal.
Beragam tindakan yang harus 
dilakukan keluarga dalam merawat 
penderita gangguan jiwa akan menjadi 
masalah tersendiri yang dihadapi keluarga 
dalam merawat. Jika keluarga terbebani 
kemungkinan keluarga tidak mampu 
merawat pasien dengan baik. Status 
perekonomian keluarga yang rendah serta 
kondisi klien yang tidak memungkinkan 
untuk bekerja menambah beban dalam 
merawat pasien. bahwa beban 
obyektif adalah masalah yang 
berhubungan dengan pelaksanaan 
perawatan pasien, yang meliputi : tempat 
tinggal, makanan, transportasi, 
pengobatan, keuangan, dan intervensi 
krisis. Selama merawat, keluarga 
mengalami beban ekonomi, status ekonomi 
keluarga yang rendah dan tingginya biaya 
pengobatan menjadi salah satu faktor 
penghambat yang dialami keluarga. 
Cara perawatan yang diberikan oleh 
keluarga dalam penelitian ini adalah harus 
pelan tidak boleh kasar yang berarti 
pemberian perawatan haruslah dengan 
kelembutan. 
mendapatkan hasil tentang cara pemberian 
perawatan yang dilakukan oleh keluarga 
direkomendasikan untuk tidak menghadapi 
penderita dengan kasar karena bisa 
menyebabkan kondisi penderita semakin 
buruk.
Berdasarkan hasil penelitian dan 
observasi yang dilakukan, informan 
mengatakan bahwa informan selalu 
mempersiapkan dan selalu mengawasi 
penderita saat minum obat agar penderita 
tepat waktu minumnya, selain itu juga 
partisipan mengatakan bahwa partisipan 
selalu memberikan aktivitas kepada pasien. 
mendapatkan hasil bahwa pemberian 
aktivitas memang sangat diperlukan bagi 
penderita skizofrenia dalam pemberian 
keperawatan dengan tujuan untuk 
meningkatkan kemandirian penderita agar 
tidak selalu bergantung dengan orang lain
Kondisi psikologis keluarga yang 
menjadi caregiver akan mengalami 
perubahan, kadang akan merasa sedih, 
takut, emosi dan bahkan marah serta 
respons psikologis lain adalah perasaan 
menerima sebagai hasil dari respons 
adaptasi. Kondisi psikologis keluarga juga 
akan memberikan pengaruh terhadap 
kualitas perawatan yang diberikan keluarga 
kepada penderita, karena disaat kondisi 
psikologis keluarga dalam keadaan yang 
stabil maka kualitas pelayanan yang akan 
diberikan juga akan optimal, begitu juga 
sebaliknya jika kondisi psikologis keluarga 
dalam keadaan yang buruk maka akan 
menurunkan kualitas perawatan kepada 
penderita, sehingga akan meningkatkan 
resiko kekambuhan pada penderita 
skizofreniaPeran serta keluarga dalam 
memberikan upaya pengobatan kepada 
pasien sudah baik dengan cara berusaha 
memberikan perawatan kepada pasien, 
namun tindakan yang dilakukan keluarga 
dalam merawat klien hanya sesuai dengan 
kemampuan nya yang dimiliki keluarga 
padahal selama merawat masih ada 
tindakan yang dilakukan keluarga yang 
tidak sesuai. Proses perawatan yang 
kurang tepat tersebut yaitu dengan 
membawa pasien ke dukun. 
Keterbatasan kemampuan yang 
dimiliki keluarga mengakibatkan keluarga 
merawat sesuai dengan keinginan keluarga 
yang dianggap benar bagi mereka. Peneliti 
berpendapat bahwa keluarga melakukan 
perawatan sesuai kemampuan nya 
disebabkan karena keluarga mengalami 
kelelahan secara fisik maupun mental 
selama merawat anggota keluarganya 
yang mengalami gangguan jiwa. Dampak 
yang dirasakan keluarga akibat perilaku 
pasien sangat mempengaruhi sikap 
keluarga dalam merawat pasien gangguan 
jiwa.
Sebenarnya sudah banyak fasilitas 
kesehatan yang disediakan oleh 
pemerintah di setiap wilayah. Klien dengan 
gangguan jiwa seharusnya dibawa berobat 
ke tempat yang sesuai yaitu dengan 
memanfaatkan fasilitas kesehatan seperti 
puskesmas dan rumah sakit. Akan tetapi 
masyarakat awam banyak yang masih 
tidak memanfaatkan, mereka memilih 
membawa keluarga yang sakit berobat ke 
dukun atau paranormal, sehingga perlu 
meningkatkan kesadaran masyarakat 
khususnya keluarga dengan gangguan jiwa 
untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan 
yang ada. 
Stigma sosial merupakan lingkungan 
yang sangat berpengaruh terhadap 
kesembuhan. Stigma sosial ini bukan 
hanya berdampak ke penderita skizofrenia 
saja, namun bahkan ke seluruh anggota 
keluarga sehingga yang ditakutkan 
anggota keluarga yang menjadi caregiver
akan mengalami tekanan dan bisa 
mengalami stress karena stigma sosial. 
Stigma sosial yang buruk akan 
menyebabkan keluarga menjadi malu 
karena keberadaan anggota keluarga yang 
mengalami skziofrenia. Perasaan malu 
yang dialami oleh keluarga sebagai 
caregiver akan menyebabkan kemunduran 
perawatan bagi penderita skzifrenia. 
Selama merawat keluarga mengalami 
perubahan pada spiritual mereka, pada 
dasarnya beban fisik maupun emosional 
dapat dirasakan oleh setiap caregiver, 
namun karena sikap penerimaan diri yang
keyakinan kesembuhan yang dimiliki oleh 
keluarga dapat mengatasi setiap proses 
kehidupan selama merawat penderita 
skziofrenia.  mendapatkan hasil 
bahwa jika penderita mampu berinteraksi 
secara baik maka akan bermanfaat bagi 
diri sendiri ataupun orang lain. Interaksi 
sosial bermasyarakat bagi penderita dapat 
membantu dalam meningkatkan hubungan 
sosial di lingkungan sekitar rumah 
sehingga bisa memunculkan stigma yang 
positif bagi penderita.
3. Gambaran Kesulitan Keluarga Dalam 
Merawat Pasien Dengan Gangguan Jiwa
Dilihat Dari Sisi Peranan Petugas 
Kesehatan 
Peningkatan kemampuan merawat 
pasien gangguan jiwa dapat diperoleh 
melalui intervensi untuk meningkatkan 
pengetahuan keluarga, kekhawatiran yang 
muncul karena ketidaktahuan dapat 
teratasi. Berdasarkan kondisi ini peneliti 
berpendapat bahwa dengan hanya 
mendapatkan pelayanan medis dan 
penjelasan yang diperoleh saat melakukan 
kontrol ke pelayanan kesehatan tidak 
memberikan pengetahuan yang memadai. 
Hasil ini dimungkinkan waktu yang relatif 
singkat saat kunjungan, dan informasi yang 
diberikan hanya berfokus pada informasi 
medis dan pengobatan, sementara 
informasi tentang cara perawatan dan 
diagnosis keperawatan sangat terbatas, itu 
pun jika keluarga pro aktif untuk bertanya. 
Sebagian petugas boleh jadi memberikan 
informasi yang memadai, tetapi komunikasi 
umumnya berjalan satu arah, tidak ada 
kedektan yang terjadil antara terapi dengan 
pasien. bahwa 
pendidikan kesehatan sangat dipengaruhi 
oleh motivasi keluarga (individu yang 
mendapatkan pendidikan kesehatan) untuk 
berubah. 
bahwa informasi atau pengetahuan 
berpengaruh besar dalam perawatan sehingga bisa memunculkan opini dan 
kepercayaan pada keluarga, karena 
informasi yang didapat akan 
mempermudah seseorang untuk 
mempersepsikannya sehingga dapat dinilai 
secara langsung dari isi informasi tersebut 
hingga terwujud dalam suatu tindakan.