gangguan jiwa 3

Rabu, 12 Juli 2023

gangguan jiwa 3


f. Penyesuaian diri terhadap kenyataan akan meninggal dunia.
g. Menerima dirinya sebagai seorang lanjut usia.
Teori Psikologis
Teori ini menjelaskan bagaimana seseorang berespons pada tugas perkembangannya. Pada 
dasarnya perkembangan seseorang akan terus berjalan meskipun orang tersebut telah 
menua.
1. Teori hierarki kebutuhan dasar manusia Maslow (Maslow’s hierarchy of human needs)
 Dari hierarki Maslow kebutuhan dasar manusia dibagi dalam lima tingkatan mulai 
dari yang terendah kebutuhan fisiologi, rasa aman, kasih sayang, harga diri sampai 
pada yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri. Seseorang akan memenuhi kebutuhan 
kebutuhan tersebut. Menurut Maslow, semakin tua usia individu maka individu akan 
mulai berusaha mencapai aktualisasi dirinya. Jika individu telah mencapai aktualisasi 
diri, maka individu tersebut telah mencapai kedewasaan dan kematangan dengan semua 
sifat yang ada di dalamnya, otonomi, kreatif, independen, dan hubungan interpersonal 
yang positif. 
2. Teori individualisme Jung (Jung’s theory of individualism)
 Menurut Carl Jung, sifat dasar manusia terbagi menjadi dua yaitu ekstrovert dan
introvert. Individu yang telah mencapai lanjut usia cenderung introvert. Dia lebih suka 
menyendiri seperti bernostalgia tentang masa lalunya. Menua yang sukses adalah jika 
dia bisa menyeimbangkan antara sisi introvert dan ekstrovertnya, tetapi lebih condong 
ke arah introvert. Dia senang dengan dirinya sendiri, serta melihat orang dan bergantung 
pada mereka.
3. Teori delapan tingkat perkembangan Erikson (Erikson’s eigth stages of life)
 Menurut Erikson, tugas perkembangan terakhir yang harus dicapai individu adalah 
integritas ego vs menghilang (ego integrity vs disappear). Jika individu tersebut sukses 
mencapai tugas perkembangan ini, maka dia akan berkembang menjadi individu yang 
arif dan bijaksana. Namun jika individu tersebut gagal mencapai tahap ini, maka dia 
akan hidup penuh dengan keputusasaan.
4. Optimalisasi selektif dengan kompensasi (selective optimisation with compensation)
 Menurut teori ini, kompensasi penurunan tubuh ada tiga elemen yaitu sebagai 
berikut.
a. Seleksi
Adanya penurunan dari fungsi tubuh karena proses penuaan maka mau tidak mau 
harus ada peningkatan pembatasan terhadap aktivitas sehari-hari. 
b. Optimalisasi
Lanjut usia tetap mengoptimalkan kemampuan yang masih dimilikinya untuk 
meningkatkan kehidupannya.
c. Kompensasi
Berbagai aktivitas yang sudah tidak dapat dijalankan karena proses penuaan diganti 
dengan aktivitas lain yang mungkin bisa dilakukan dan bermanfaat bagi lanjut usia. 
PERUBAHAN YANG TERJADI PADA LANJUT USIA
Perubahan yang terjadi pada lanjut usia meliputi perubahan fisik, psikologis, dan sosial. 
Diawali dengan perubahan fisik, kemudian mengakibatkan perubahan psikologis dan sosial 
dan berkembang dalam bentuk gangguan perilaku. Gangguan perilaku merupakan area 
keperawatan kesehatan jiwa pada usia lanjut. Hampir tidak ada skizofrenia terjadi di usia 
lanjut, kecuali sudah mengalami skizofrenia sejak muda dan tidak sembuh sampai tua.
Tabel 20.1 Perubahan pada Lansia
Fisik Psikologis
• Pancaindera • Paranoid
• Otak • Gangguan tingkah laku
• Gastrointestinal • Keluyuran (wandering)
• Saluran kemih • Sun downing
• Otot dan tulang • Depresi
• Kardiovaskular • Demensia
• Endokrin, dan lain-lain. • Sindrom pascakekuasaan (postpower syndrome), 
dan lain-lain.
Perubahan Fisik
1. Pancaindera
a. Mata
Respons terhadap sinar menurun, adaptasi terhadap gelap menurun, akomodasi 
menurun, lapang pandang menurun, dan terjadi katarak atau gangguan pengelihatan 
lainnya. Lansia yang mulai tidak jelas pengelihatannya, sehingga sering menjadi 
curiga dengan sosok bayangan yang datang atau berada di rumahnya. Cucunya 
dianggap pencuri dan sebagainya, sehingga semakin tidak jelas pengelihatannya, 
maka semakin menjadi pencuriga.
b. Telinga
Membran timpani atrofi sehingga terjadi gangguan pendengaran, yaitu menjadi 
sangat peka atau berkurang pendengarannya. Respons perilaku lansia menjadi 
lebih pencuriga, apalagi jika pengelihatan tidak jelas dan pendengaran berkurang. 
Anggota keluarga yang tinggal serumah sering menjadi sasaran kecurigaan lansia, 
berbicara keras dianggap marah, serta berbicara pelan dianggap ngerasani atau 
menggunjingkan lansia.
c. Perabaan
Kemampuan jari untuk meraba atau menggenggam menjadi menurun (clumsy), 
akibatnya tidak mampu memegang sesuatu yang berat, misalnya makan dengan 
piring, mudah jatuh dan pecah atau minum dengan gelas, mudah jatuh dan pecah. 
Jika diberi piring melamin akan merasa marah, karena dianggap tidak menghargai 
orang tua. Selain menjadi pencuriga, lansia menjadi mudah marah karena perubahan 
mata, telinga, dan perabaan.
d. Penciuman
Kemampuan hidung untuk membau harum, gurih, dan lezat sudah menurun, yang 
akibatnya nafsu makan menjadi menurun. Permasalahan perilaku muncul dengan 
membenci siapa yang masak di rumah, apalagi jika yang masak adalah menantu. Di 
sinilah awal mula terjadinya suasana tidak kondusif antara menantu wanita dengan 
mertua. 
e. Pengecapan
Pada usia lanjut terjadi penurunan kemampuan lidah untuk merasakan rasa asam, 
asin, manis, gurih, pedas, dan semua rasa lezat, yang akibatnya nafsu makan menurun. 
Terkadang lansia masih menambahkan gula pada makanan yang sudah manis atau 
menambahkan garam pada makanan yang sudah asin. Hal akan menjadi berbahaya 
apabila lansia memiliki penyakit diabetes atau tekanan darah tinggi. Dengan keadaan 
ini, lansia dapat semakin membenci menantu wanitanya, karena sudah tidak bisa 
masak atau jika masak, tidak ada aroma dan rasanya.
 Perubahan pancaindera mengakibatkan berbagai perubahan perilaku pada 
lansia, menjadi pencuriga, mudah marah, dan membenci seseorang.
2. Otak
 Terjadi penurunan kemampuan berpikir, daya ingat, dan konsentrasi. Penurunan 
kemampuan berpikir terutama untuk memikirkan hal baru (new learning), kalaupun 
bisa terjadi secara lambat (slow learning). Sering lansia tidak bisa menerima pemikiran 
anak muda, karena menganggap bahwa apa yang lansia pikirkan itulah kebenaran. Lansia 
menjadi skeptis dengan pola pikirnya, sehingga sulit menerima sesuatu yang baru. 
 Meskipun demikian, masih banyak lansia yang tetap pandai pada masa tuanya, 
kemampuan kognitifnya sama sekali tidak berkurang, bahkan cenderung lebih hafal 
daripada yang muda. Kemampuan asah otak ternyata sama dengan asah pedang, yaitu 
semakin sering diasah, maka semakin tajam pedang itu. Hal ini bergantung pada apa 
yang dipelajari saat muda. Ibarat belajar di masa kecil, bagai mengukir di atas batu. 
Hal yang dipelajari di masa kecil yang terus digunakan sampai tua akan terukir pada 
pola pikir. Sementara belajar sesudah dewasa, bagai mengukir di atas air, yaitu hal yang 
dipelajari seolah sudah paham semua, tetapi saat sang guru pergi akan hilang semua 
yang telah dipelajari.
 Kemampuan konsentrasi yang menurun mengakibatkan lansia mengalami kesulitan 
fokus perhatian (sustain attention). Jika bercerita atau mengajar harus satu-satu, tidak 
bisa dua topik sekaligus. Selain itu, kewaspadaan juga menurun, sehingga perlu bantuan 
dan pengawasan apabila lansia melakukan aktivitas di luar rumah.
3. Paru
 Kekuatan otot pernapasan menurun dan kaku, elastisitas paru menurun, kapasitas 
residu meningkat sehingga menarik napas lebih berat, alveoli melebar dan jumlahnya 
menurun, kemampuan batuk menurun, serta terjadi penyempitan pada bronkus. 
Akibatnya, lansia selalu mengeluh dada sesak, serta bernapas cepat dan terengah￾tengah (breath holding spell dan hyperventilation). Tindakan yang paling tepat untuk 
mengatasi hal ini adalah jalan mars setiap hari selama 20 menit di udara terbuka. Solusi 
dengan metode farmakologi tidak terlalu disarankan karena gangguan terjadi karena 
menurunnya kemampuan anatomi dan fisiologi paru.
4. Gastrointestinal
 Pada sistem ini esofagus melebar, asam lambung menurun, lapar menurun, dan peristaltik 
menurun sehingga terjadilah penumpukan makanan. Apabila daya absorbsi masih 
baik, maka racun akan ikut terabsorbsi, sehingga terjadi konstipasi. Ukuran lambung 
mengecil serta fungsi organ asesori menurun sehingga menyebabkan berkurangnya 
produksi hormon dan enzim pencernaan. Lansia menjadi sangat banyak keluhan terkait 
gastrointestinal.
5. Saluran kemih
 Kondisi ginjal mengecil, aliran darah ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus 
menurun, dan fungsi tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan 
urine ikut menurun. Plastisitas buli-buli menurun, sehingga menjadi sering kencing. 
Kemampuan sfinkter uri menurun, sehingga lansia menjadi ngompol. Respons perilaku 
berupa lansia sering mengeluh tidak bisa tidur, sering terbangun untuk kencil, ngompol, 
beser, dan sebagainya.
6. Otot dan tulang
 Cairan tulang menurun sehingga mudah rapuh (osteoporosis), bungkuk (kifosis), 
persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor, tendon mengerut, 
serta mengalami sklerosis. Respons perilaku berupa lansia menjadi banyak mengeluh 
dengan sistem muskuloskeletalnya. Hal ini sangat bergantung pada aktivitas olahraga 
semasa muda. Tindakan yang sesuai adalah senam taichi atau jalan mars.
7. Kardiovaskular
 Katub jantung menebal dan kaku, kemampuan memompa darah menurun (menurunnya 
kontraksi dan volume), elastisitas pembuluh darah menurun, serta meningkatnya 
resistansi pembuluh darah perifer sehingga tekanan darah meningkat. Risiko terjadi 
infark, stroke, dan sebagainya.
8. Endokrin
 Kemampuan tubuh untuk meregulasi endokrin menurun, sehingga mudah terjadi asam 
urat, kolesterol, diabetes, dan sebagainya.
Perubahan Psikologis
Perubahan psikologis lansia sering terjadi karena perubahan fisik, dan mengakibatkan 
berbagai masalah kesehatan jiwa di usia lanjut. Beberapa masalah psikologis lansia antara 
lain sebagai berikut.
1. Paranoid
 Respons perilaku yang ditunjukkan dapat berupa curiga, agresif, atau menarik diri. 
Lansia selalu curiga pada orang lain, bahkan curiga pada televisi. Oleh karena lansia 
tidak mendengar suara TV, tetapi melihat gambarnya tersenyum atau tertawa, maka 
TV dianggap mengejek lansia. Pembantu dianggap mencuri, karena mengambil gula 
atau beras untuk dimasak, padahal instruksi pembantu berasal dari majikan yang tidak 
diketahui lansia.
 Tindakan untuk mengatasi hal ini adalah jangan mendebat, karena kita dianggap 
menantang, serta jangan mengiyakan, karena dianggap kita berteman. Berikan aktivitas 
sesuai kemampuan lansia, sehingga lansia tidak sempat memperhatikan apa yang dapat 
menimbulkan paranoid.
2. Gangguan tingkah laku
 Sifat buruk pada lansia bertambah seiring perubahan fungsi fisik. Lansia merasa 
kehilangan harga diri, kehilangan peran, merasa tidak berguna, tidak berdaya, sepi, 
pelupa, kurang percaya diri, dan sebagainya. Akibatnya bertambah sangat banyak sifat 
buruk setiap adanya penurunan fungsi fisik.
 Tindakan untuk mengatasi hal ini adalah berikan kepercayaan kepada lansia untuk 
melaksanakan hobi lama sesuai kemampuannya, sehingga harga diri lansia meningkat 
dan merasa tetap berguna dalam masyarakat.
3. Gangguan tidur
 Lansia mengalami tidur superfisial, tidak pernah mencapai total bed sleep, merasa 
tengen, setiap detik dan jam selalu terdengar, desakan mimpi buruk, serta bangun lebih 
cepat dan tidak dapat tidur lagi. Lansia selalu mengeluh tidak bisa tidur. Padahal jika 
diamati, kebutuhan tidur lansia tidak terganggu, hanya pola tidur yang berubah. Hal 
ini terjadi karena lansia mengalami tidur superfisial, sehingga tidak pernah merasa 
tidur nyenyak. Misalnya, jam 04.00 sudah bangun, lalu aktivitas beribadah, jalan-jalan, 
minum kopi atau susu dengan makanan ringan, selanjutnya mengantuk dan tertidur. 
Waktunya sarapan bangun, beraktivitas sebentar, mengantuk lagi, lalu tertidur. Pada 
siang hari, setelah makan siang tertidur lagi dan jam 8 malam sudah tertidur. Oleh 
karena kebutuhan tidur sudah terpenuhi di pagi dan siang hari, maka jam 3 pagi atau 
jam 4 pagi sudah bangun dan tidak dapat tidur lagi.
 Tindakan untuk mengatasi hal ini adalah membuat lansia tidak tidur siang 
(schedulling), sehingga malam dapat tidur lebih lama. Batasi konsumsi makanan yang 
membuat mengantuk, serta cegah nonton TV yang menakutkan atau menegangkan. 
Obat farmokologi tidak disarankan kecuali ada indikasi.
4. Keluyuran (wandering)
 Hal ini biasanya terjadi akibat bingung dan demensia. Lansia keluar rumah dan tidak 
dapat pulang, hilang, berkelana, atau menggelandang. Sebenarnya ini tidak dikehendaki 
oleh lansia. Hal tersebut terjadi karena lansia tidak betah di rumah, tetapi saat keluar 
tidak tahu jalan untuk pulang.
Tindakan yang dapat dilakukan adalah beri tanda pengenal, cantumkan nama, nama 
keluarga, dan nomor telepon, sehingga jika ditemukan masyarakat dapat menghubungi 
anggota keluarga. Tingkatkan aktivitas harian, sehingga lansia tidak ingin keluar rumah. 
Untuk penyegaran, dampingi saat keluar rumah (tapi yang sejalur) dan setelah hafal, 
boleh jalan sendiri. Pagar di kunci apabila ditinggal oleh pendamping.
5. Sun downing
 Lansia mengalami kecemasan meningkat saat menjelang malam (di rumah), terus 
mengeluh, agitasi, gelisah, atau teriak ketakutan. Jika di panti, hal tersebut dapat 
memengaruhi lansia yang lain. Keadaan ini terjadi karena lansia gelisah pada saat malam. 
Pada zaman dahulu, belum ada listrik, sehingga saat menjelang malam, kecemasan 
lansia meningkat. Oleh karenanya, semua anak dan cucunya dicari dan disuruh pulang, 
semua hewan peliharaan harus sudah ada di kandang, serta semua anggota keluarga 
harus sudah di dalam rumah. Semua itu terjadi karena kekhawatiran dengan gelapnya 
malam.
 Tindakan yang dapat dilakukan adalah berikan orientasi realitas, aktivitas menjelang 
maghrib, dan penerangan yang cukup.
6. Depresi
 Ada banyak jenis depresi yang terjadi pada lansia, di antaranya depresi terselubung, keluhan 
fisik menonjol, berkonsultasi dengan banyak dokter (umum/spesialis), merasa lebih pusing, 
nyeri, dan sebagainya. Depresi sering dialami oleh lansia muda wanita karena terjadinya 
menopause. Apabila lansia muda wanita tidak siap menghadapi menopause, maka depresi 
sangat menonjol akan dialami. Namun, bagi yang siap menghadapi menopause akan 
merasa lebih bahagia karena dapat beribadah sepanjang waktu tanpa harus cuti haid. 
Pada lansia pria, penyebab depresi terutama karena sindrom pascakekuasaan (postpower 
syndrom). Lansia mulai berkurang penghasilan, teman, dan harga diri.
 Tanda yang sering muncul adalah tidur (sleep) meningkat, ketertarikan (interest) 
menurun, rasa bersalah (guilty) meningkat, energi (energy) menurun, konsentrasi 
(concentration) menurun, nafsu makan (appetite) menurun, psikomotor (psycomotor) 
menurun, bunuh diri (suicide) meningkat—SIGECAPS.
 Tindakan yang dilakukan disesuaikan dengan penyebab yang ditemukan. Selain itu, 
tingkatkan harga diri lansia, serta yakinkan bahwa lansia masih tetap dihargai dalam 
keluarga dan tetap bermanfaat bagi masyarakat.
7. Demensia
 Demensia adalah suatu sindrom gejala gangguan fungsi luhur kortikal yang multipel, 
seperti daya ingat, daya pikir, daya tangkap, orientasi, berhitung, berbahasa, dan 
fungsi nilai sebagai akibat dari gangguan fungsi otak. Demensia banyak jenisnya yang 
bergantung pada penyebab dan gejala yang timbul, di antaranya demensia, multiinfark 
demensia, alzheimer, atau bahkan retardasi mental.
 Tindakan yang dapat dilakukan adalah berikan aktivitas sesuai kemampuan dan 
kolaborasi pengobatan dengan farmakologis.
8. Sindrom pascakekuasaan (postpower syndrom)
 Sindrom pascakekuasaan adalah sekumpulan gejala yang timbul setelah lansia tidak 
punya; kekuasaan, kedudukan, penghasilan, pekerjaan, pasangan, teman, dan sebagainya. 
Beberapa faktor penyebab lansia tidak siap menghadapi pensiun adalah kepribadian yang 
kurang matang, kedudukan sebelumnya terlalu tinggi dan tidak menduduki jabatan lain 
setelah pensiun, proses kehilangan terlalu cepat, serta lingkungan tidak mendukung. 
 Alternatif tindakan yang dapat dilakukan adalah optimalkan masa persiapan pensiun 
(MPP) selama 1 tahun, serta gaji penuh tetapi masih boleh mencari pekerjaan lain untuk 
menyiapkan alih kerja. Jika lansia bukan seorang PNS, maka siapkan jaminan sosial hari 
tua yang memadai ketika masih muda.
 Upayakan lingkungan tetap kondusif, seperti keluarga dan anak tetap menghargai. 
Usahakan kebiasaan di rumah masih tetap dilakukan, misalnya makan bersama, 
mengobrol bersama, dan sebagainya. Usahakan tetap ada kedudukan di masyarakat, 
seperti menjadi ketua yayasan sosial, koperasi, atau takmir masjid. Dengan demikian, 
lansia masih akan tetap merasa dihormati dan berguna bagi masyarakat.
PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN JIWA USIA 
LANJUT
Hidup sampai tua adalah harapan setiap orang, tetapi ketika sudah tua akan banyak perubahan 
yang terjadi dan tidak mungkin dihindari, seperti menurunnya fungsi organ tubuh dan menjadi 
sarang penyakit. Oleh karena itu, penanganan terhadap berbagai masalah yang terjadi pada 
lansia harus dilakukan secara holistik, sepanjang hidup (long live), dan jangka panjang (long 
term). Orang tua adalah orang yang telah menjadikan kita terhormat, maka hormatilah mereka. 
Berikan bantuan dan perawatan sampai kapan pun beliau membutuhkan. Pengorbanan orang 
tua jauh lebih besar dibanding bantuan yang akan kita berikan. Menghormati orang yang 
sudah meninggal adalah baik, tetapi jauh lebih baik menghormati yang masih hidup. Jangan 
sampai menyesal karena kurang pernghargaan kepada orang tua, sehingga beliau wafat. Oleh 
karena akan kurang bermakna jika memberikan pernghargaan ketika beliau sudah wafat.
Orang tua adalah orang yang telah menjadikan kita terhormat, maka hormatilah mereka.
Penatalaksanaan secara holistik meliputi penatalaksanaan fisik, psikologis, serta sosial 
yang termasuk keluarga dan lingkungan. Secara fisik, perhatikan asupan nutrisi baik secara 
kuantitas maupun kualitas, serta hindari makanan pantangan yang dapat memperparah 
penyakit yang diderita. Apabila harus menggunakan obat-obatan harus dimulai dari dosis 
rendah dan ditinggalkan secara perlahan (start low go slow)
Secara psikologis, perhatikan kegemaran intelektual (intellectual interest), seperti 
keterkaitan hobi lama dengan kesibukan baru, pekerjaan sejenis yang berguna, hindari 
waktu luang, serta kesendirian dan pikiran kosong. Perhatikan peningkatan kualitas hidup, 
cita-cita, tujuan hidup, makna kehidupan, dan pengembangan spiritualitas agar lansia bisa 
menjadi lebih terhormat.
Lingkungan dan keluarga harus disiapkan dan harus tahu bahwa lansia banyak 
mengalami perubahan, sehingga berikan aktivitas sesuai kemampuan dan hobinya. Selain 
itu, jangan harap lansia untuk membantu memasak, mengasuh anak, dan sebagainya. 
Jangan kucilkan lansia dan bantulah sesuai kebutuhan. Bila perlu, berikan gelang identitas. 
Perhatikan desain interior rumah, dapur, serta kamar mandi diusahakan ada pegangan 
dinding sampai tempat tidur dan gunakan kloset duduk. Usahakan rumah menjadi tempat 
yang nyaman untuk lansia. Selain itu, perhatikan fasilitas kesehatan yang diperlukan untuk 
lansia.
Perhatikan penanganan masalah secara umum terkait dengan proses penuaan yang 
meliputi hal berikut.
1. Penanggulangan masalah akibat perubahan fungsi tubuh.
a. Perawatan diri sehari-hari.
b. Senam atau latihan pergerakan secara teratur.
c. Pemeriksaan kesehatan secara rutin.
d. Mengikuti kegiatan yang masih mampu dilakukan.
e. Minum obat secara teratur jika sakit.
f. Memakan makanan bergizi.
g. Minum paling sedikit delapan gelas setiap hari.
2. Penanggulangan masalah akibat perubahan psikologis.
a. Mengenal masalah yang sedang dihadapi.
b. Memiliki keyakinan dalam memandang masalah.
c. Menerima proses penuaan.
d. Memberi nasihat dan pandangan.
e. Beribadah secara teratur.
f. Terlibat dalam kegiatan sosial dan keagamaan.
g. Sabar dan tawakal.
h. Mempertahankan kehidupan seksual.
3. Penanggulangan masalah akibat perubahan sosial/masyarakat.
a. Saling mengunjungi.
b. Memiliki pandangan atau wawasan.
c. Melakukan kegiatan rekreasi.









PENGERTIAN NAPZA
Zat adiktif atau istilah yang paling dikenal kalangan masyarakat luas dengan istilah narkoba
adalah berasal dari kata narkotik dan bahan adiktif. Istilah tersebut kemudian berkembang 
menjadi napza, yang merupakan kependekan dari narkotik, alkohol, psikotropika, dan zat 
adiktif lainnya. Narkotik adalah obat-obatan yang bekerja pada susunan saraf pusat dan 
digunakan sebagai analgesik (pengurang rasa sakit) pada bidang kedokteran. Psikotropika 
adalah obat-obatan yang efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, biasanya digunakan 
untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Bahan adiktif adalah bahan yang apabila digunakan 
dapat menimbulkan kecanduan atau ketergantungan. Pemakai dapat merasa tenang, merasa 
segar, bersemangat, menimbulkan efek halusinasi, dan memengaruhi suasana perasaan 
pemakai. Efek inilah yang sering dimanfaatkan pemakai saat ia merasa kurang percaya diri, 
khawatir tidak diakui sebagai kawan, melarikan diri dari permasalahan, atau bahkan hanya 
untuk sekedar rekreasi (bersenang-senang).
Tanpa disadari, narkoba sekali digunakan akan menimbulkan keinginan mencoba 
lagi, merasakan lagi, dan mengulang terus sampai merasakan efek dari obat-obatan yang 
dikonsumsi, yang akibatnya akan terjadi overdosis. Jika tidak mengonsumsi, maka tidak 
tahan untuk memenuhi keinginannya, tetapi jika mengonsumsi akan khawatir mati akibat 
overdosis. Hal ini merupakan lingkaran setan. Oleh karena itu, narkoba sekali dicoba akan 
membelenggu seumur hidup.
JENIS ZAT ADIKTIF
Saat membahas penyalahgunaan zat adiktif, maka akan ditemukan beberapa istilah seperti 
zat adiktif, zat psikoaktif, dan narkotik. 
Zat adiktif adalah suatu bahan atau zat yang apabila digunakan dapat menimbulkan 
kecanduan atau ketergantungan. Zat psikoaktif adalah golongan zat yang bekerja secara 
selektif terutama pada otak, sehingga dapat menimbulkan perubahan pada perilaku, emosi, 
kognitif, persepsi dan kesadaran seseorang. Ada dua macam zat psikoaktif, yaitu bersifat 
adiksi dan nonadiksi. Zat psikoaktif yang bersifat nonadiksi adalah obat neuroleptika untuk 
kasus gangguan jiwa, psikotik, dan obat antidepresi.
Narkotik adalah istilah yang muncul berdasar Undang-Undang Narkotika Nomor 9 
Tahun 1976, yaitu zat adiktif kanabis (ganja), golongan opioida, dan kokain. Ketiga istilah ini 
sering disebut sebagai narkoba, yang kemudian berkembang menjadi istilah napza.
AKIBAT PENGGUNAAN ZAT ADIKTIF
Seseorang yang menggunakan zat adiktif akan dijumpai gejala atau kondisi yang disebut 
intoksikasi (teler) yaitu kondisi zat adiktif tersebut bekerja dalam susunan saraf pusat yang 
menyebabkan perubahan memori, perilaku, kognitif, alam perasaan, dan kesadaran.Apabila seseorang menggunakan berulang kali atau sering secara berkesinambungan, 
maka akan dicapai suatu kondisi toleransi, yaitu terjadinya peningkatan jumlah penggunaan 
zat adiktif untuk mencapai tujuan dari pengguna (memerlukan dosis lebih tinggi untuk 
mencapai efek yang diharapkan). Kondisi toleransi ini akan terus berlangsung sampai 
mencapai dosis yang optimal (overdosis).
Pada pemakaian yang terus-menerus tercapai, maka menyebabkan tingkat dosis 
toleransi yang tinggi. Pengguna zat adiktif bila menghentikan atau tidak menggunakan zat 
adiktif lagi akan menimbulkan gejala-gejala sindroma putus zat atau pasien dalam kondisi 
withdrawal.
Gejala-gejala intoksikasi dan putus zat berbeda untuk masing-masing zat, seperti pada 
Tabel 17.2.
RENTANG RESPONS GANGGUAN PENGGUNAAN 
ZAT ADIKTIF
Eksperimental Rekreasional Situasional Penyalahgunaan Ketergantungan 
1. Eksperimental adalah kondisi penggunaan tahap awal, yang disebabkan rasa ingin 
tahu. Biasanya dilakukan oleh remaja, yang sesuai tumbuh kembangnya ingin mencari 
pengalaman baru atau sering juga dikatakan sebagai taraf coba-coba.
2. Rekreasional adalah penggunaan zat adiktif pada waktu berkumpul dengan teman 
sebayanya, misalnya waktu pertemuan malam minggu, ulang tahun, dan sebagainya. 
Penggunaan ini bertujuan untuk rekreasi bersama teman sebayanya.
3. Situasional merupakan penggunaan zat yang merupakan cara untuk melarikan diri 
atau mengatasi masalah yang dihadapi. Biasanya individu menggunakan zat bila sedang 
dalam konflik, stres, dan frustasi.
4. Penyalahgunaan adalah penggunaan zat yang sudah bersifat patologis, sudah mulai 
digunakan secara rutin, paling tidak sudah berlangsung selama 1 bulan, sudah terjadi 
penyimpangan perilaku, serta mengganggu fungsi peran di lingkungan sosialnya, 
pendidikan, dan pekerjaan. Walaupun pasien menderita cukup serius akibat 
menggunakan, pasien tersebut tidak mampu untuk menghentikan. 
5. Ketergantungan adalah penggunaan zat yang sudah cukup berat, sehingga telah terjadi 
ketergantungan fisik dan psikologis. Ketergantungan fisik ditandai dengan kondisi 
toleransi dan sindroma putus zat.ZAT ADIKTIF YANG DISALAHGUNAKAN
Zat adiktif yang biasa digunakan ini penting diidentifikasi untuk mengkaji masalah 
keperawatan yang mungkin terjadi sesuai dengan zat yang digunakan.
Tabel 17.1 Zat Adiktif yang Disalahgunakan
Golongan Jenis
Opioida Morfin, heroin (puthao), candu, kodein, petidin.
Kanabis Ganja (mariyuana), minyak hasish.
Kokain Serbuk kokain, daun koka.
Alkohol Semua minuman yang mengandung ethyl alkohol, seperti brandy, bir, wine, 
whisky, cognac, brem, tuak, anggur cap orang tua, dan lain-lain.
Sedatif–Hipnotik Sedatin (BK), rohipnol, mogadon, dulomid, nipam, mandrax.
MDA (Methyl Dioxy Amphe 
tamine)
Amfetamin, benzedrine, dexedrine
MDMA (Methyl Dioxy Meth 
Amphetamine)
Ekstasi
Halusinogen LSD, meskalin, jamur, kecubung.
Solven & Inhalasia Glue (aica aibon), aceton, thinner, N2
O.
Nikotin Terdapat dalam tembakau.
Kafein Terdapat dalam kopi.
dan lain-lain
EFEK DAN CARA PENGGUNAAN
Efek dan cara penggunaan zat adiktif ini perlu dikenali agar masyarakat dapat mengidentifikasi 
karakteristik atau bahan dan alat yang biasa digunakan oleh penyalah guna zat. Beberapa cara 
dan efek pada tubuh tampak seperti pada tabel berikut.
PERMASALAHAN YANG SERING TIMBUL
Ada berbagai macam masalah kesehatan yang sering muncul pada keadaan penyalahgunaan 
zat, antara lain sebagai berikut.
Ancaman Kehidupan (Kondisi Overdosis) 
Tahap ini kondisi pasien sudah cukup serius dan kritis, penggunaan cukup berat, tingkat 
toleransi yang tinggi, serta cara penggunaan yang impulsif. Masalah kesehatan yang sering 
timbul antara lain sebagai berikut.
1. Tidak efektifnya jalan napas (depresi sistem pernapasan) berhubungan dengan 
intoksikasi opioida, sedatif hipnotik, alkohol.
2. Gangguan kesadaran berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alkohol.
3. Gangguan keseimbangan cairan elektrolit berhubungan dengan delirium tremens (putus 
zat alkohol).
4. Amuk berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik.
5. Potensial melukai diri/lingkungan berhubungan dengan intoksikasi alkohol, sedatif 
hipnotik.
6. Potensial merusak diri/bunuh diri berhubungan dengan putus zat MDMA (ekstasi).
Kondisi Intoksikasi
1. Cemas berhubungan dengan intoksikasi ganja.
2. Perilaku agresif berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alkohol.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alkohol, 
opioida.
4. Gangguan kognitif berhubungan dengan intoksikasi sedatif hipnotik, alkohol, kanabis, 
opioida.
5. Gangguan rasa nyaman, seperti mual/muntah berhubungan dengan intoksikasi MDMA 
(ekstasi).
Sindroma Putus Zat (Withdrawal)
1. Kejang berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif hipnotik.
2. Gangguan persepsi (halusinasi) berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif 
hipnotik.
3. Gangguan proses berpikir (waham) berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif 
hipnotik.
4. Gangguan tidur (insomnia, hipersomnia) berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif 
hipnotik, opioida, MDMA (ekstasi).
5. Gangguan rasa nyaman (mual, muntah) berhubungan dengan putus zat alkohol, sedatif 
hipnotik, opioida.
6. Gangguan rasa nyaman (nyeri sendi, otot, tulang) berhubungan dengan putus zat 
opioida.
7. Gangguan afektif (depresi) berhubungan dengan putus zat MDMA (ekstasi).
8. Perilaku manipulatif berhubungan dengan putus zat opioida.
9. Terputusnya program perawatan (melarikan diri, pulang paksa) berhubungan dengan 
kurangnya sistem dukungan keluarga.
10. Cemas (keluarga) berhubungan dengan kurangnya pengetahuan dalam merawat pasien 
ketergantungan zat adiktif.
11. Potensial gangguan nutrisi (kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan putus zat 
opioida.
Pascadetoksikasi (Rehabilitasi Mental Emosional)
1. Gangguan pemusatan perhatian berhubungan dengan dampak penggunaan zat 
adiktif.
2. Gangguan kegiatan hidup sehari-hari (activity daily life—ADL) berhubungan dengan 
dampak penggunaan zat adiktif.
3. Pemecahan masalah yang tidak efektif berhubungan dengan kurang pengetahuan, pola 
asuh yang salah, dan tidak mampu asertif.
4. Gangguan konsep diri (harga diri rendah) berhubungan dengan pemecahan masalah 
yang tidak adekuat sehingga melakukan penggunaan zat adiktif.
5. Kurang kooperatif dalam program perawatan berhubungan dengan kurangnya 
pengetahuan perawatan gangguan penggunaan zat adiktif.
6. Potensial melarikan diri berhubungan dengan ketergantungan psikologis ganja dan 
alkohol.
7. Potensial kambuh (relaps) berhubungan dengan kurang/tidak adanya sistem dukungan 
keluarga.
TINDAKAN
Prinsip tindakan keperawatan pada pasien penyalahgunaan napza disesuaikan dengan 
masalah keperawatan yang timbul (seperti yang telah disebutkan di atas). Misalnya, pada 
kondisi overdosis maka usahakan pasien tidak mengalami ancaman kehidupan yang dapat 
menimbulkan kematian. Pada kondisi intoksikasi usahakan agar (1) pasien tidak mengalami 
perilaku amuk, agresif, (2) cemas pasien berkurang, (3) rasa nyaman terpenuhi, dan (4) 
bawalah pasien ke tempat pelayanan kesehatan.
PENCEGAHAN PENYALAHGUNAAN Napza
Beberapa materi pendidikan kesehatan yang dapat diberikan pada kelompok risiko tinggi. 
Orang tua serta masyarakat umum mengetahui hal-hal yang berkaitan kewaspadaan￾kewaspadaan terhadap pengguna dan sikap preventif yang dapat dilakukan, di antaranya 
sebagai berikut. 
1. Waspadai jika ditemukan benda-benda seperti:
a. jarum suntik, 
b. kertas timah, 
c. CD bekas atau kartu telepon yang permukaannya bergores, 
d. bong, 
e. botol dengan pipa yang berbentuk unik, 
f. lintingan uang kertas atau balok-balok serupa gelas kubus yang tengahnya 
berlubang. 
2. Waspadai jika saudara atau teman memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut.
a. Prestasi sekolah menurun secara drastis/anjlok.
b. Pola tidur berubah, misalnya pagi susah dibangunkan dan malam suka begadang.
c. Selera makan berkurang.
d. Banyak mengurung diri dalam kamar, menghindari bertemu anggota keluarga 
lainnya karena takut ketahuan, dan menolak makan bersama.
e. Bersikap tidak ramah, kasar terhadap anggota keluarga lainnya, dan mulai suka 
berbohong.
f. Mabuk, bicara pelo (cadel), dan jalan sempoyongan.
3. Kenali penggunaan bahasa yang sering digunakan di antara bandar dan pengguna 
napza, antara lain sebagai berikut.
a. 4-dimensi : Pakai serentak empat macam, yaitu ganja, ekstasi, shabu, dan 
alkohol.
b. Afo : Aluminium foil
c. Amper : Amplop
d. B.D. : Bandar
e. badog : Takaran yang banyak untuk sekali pakai.
f. Bebe/barbuk : Barang bukti
g. Bokul : Beli
h. Bong : Alat untuk sedot putaw
i. Gap : Tertangkap, ketahuan
j. Gaw/O : Gram, satu gram
k. Getrek : Polisi
l. Junkies : Pemakai putaw
m. Kertim : Kertas timah
n. Ngedrag : Shabu di atas aluminium foil, dibakar, lalu asap dihirup melalui 
bong.
o. Ngetrip : Tripping
p. Nyabu : Memakai shabu
q. Nyepet : Pakai putaw dengan suntikan
r. O.D. : Overdosis
s. Pakaw : Pakai putaw
t. Paket : Kemasan berisi putaw
u. Parno : Takut, curiga berlebihan karena shabu.
v. Pedaw/badai : Mabuk karena putaw
w. Pumping/spidol/
tombak/insul : Suntikan
x. Relaps : Memakai napza lagi
y. Sakaw : Sakit putus putaw
z. Seperempti : Seperempat gram
aa. Setengki : Setengah gram
ab. SS/susu/ubas : Shabu
ac. Stockun/gitting : Mabuk berat, fligh, badai
ad. STP : Stock putaw
ae. T.U. : Utang sama bandar
af. Tekapan : Paket putaw
Tindakan yang dapat dilakukan sebagai sikap preventif, di antaranya sebagai berikut.
1. Lengkapi diri dengan informasi tentang penyalahgunaan napza dan dampaknya.
2. Hindari lingkungan yang kurang kondusif.
3. Kembangkan sikap asertif.
4. Meningkatkan keinginan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
5. Segera mencari bantuan apabila menghadapi masalah.
6. Mencari dan menciptakan aktivitas yang produktif dan positif.




PENGERTIAN KEDARURATAN PSIKIATRI 
Kedaruratan psikiatri adalah suatu kondisi gangguan akut pada pikiran, perasaan, perilaku, 
atau hubungan sosial yang membutuhkan suatu intervensi segera (Allen, Forster, Zealberg, dan 
Currier, 2002). Sementara itu, menurut Kaplan dan Sadock (1998), kedaruratan psikiatri adalah 
gangguan alam pikiran, perasaan, atau perilaku yang membutuhkan intervensi terapeutik 
segera, sehingga prinsip dari kedaruratan psikiatri adalah perlu penanganan segera. Oleh 
karena itu, kedaruratan psikiatri di Indonesia sering disebut dengan unit perawatan intensif 
psikiatri (UPIP) atau psychiatric intensive care unit (PICU). Adapun kriteria kedaruratan 
memiliki kriteria adalah sebagai berikut.
1. Ancaman segera terhadap kehidupan, kesehatan, harta benda, atau lingkungan.
2. Telah menyebabkan kehilangan kehidupan, gangguan kesehatan, serta harta benda dan 
lingkungan.
3. Memiliki kecenderungan peningkatan bahaya yang tinggi dan segera terhadap 
kehidupan, kesehatan, harta benda, atau lingkungan.
Berdasarkan prinsip segera, penanganan kedaruratan dibagi dalam fase intensif I (24 
jam pertama), fase intensif II (24–72 jam pertama), dan fase intensif III (72 jam–10 hari). Fase 
intensif I adalah fase 24 jam pertama pasien dirawat dengan observasi, diagnosis, perawatan, 
dan evaluasi yang ketat. Berdasarkan hasil evaluasi pasien, maka pasien memiliki tiga 
kemungkinan yaitu dipulangkan, dilanjutkan ke fase intensif II, atau dirujuk ke rumah sakit 
jiwa. Fase intensif II fase perawatan pasien dengan observasi kurang ketat sampai dengan 72 
jam. Berdasarkan hasil evaluasi, maka pasien pada fase ini memiliki empat kemungkinan 
yaitu dipulangkan, dipindahkan ke ruang fase intensif III, atau kembali ke ruang fase intensif 
I. Pada fase intensif III, pasien dikondisikan sudah mulai stabil, sehingga observasi menjadi 
lebih berkurang dan tindakan-tindakan keperawatan lebih diarahkan kepada tindakan 
rehabilitasi. Fase ini berlangsung sampai dengan maksimal 10 hari. Merujuk kepada hasil 
evaluasi maka pasien pada fase ini dapat dipulangkan, dirujuk ke rumah sakit jiwa atau unit 
psikiatri di rumah sakit umum, ataupun kembali ke ruang fase intensif I atau II.
Adapun skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kedaruratan pasien adalah 
skala General Adaptive Function (GAF) dengan rentang skor 1–30 skala GAF. Kondisi pasien 
dikaji setiap sif dengan menggunakan skor GAF. 
Tabel 18.1 Kategori Skala General Adaptive Function (GAF)
Nilai Keterangan
Skor 11–20 Terdapat bahaya melukai diri sendiri atau orang lain (misalnya usaha bunuh diri tanpa harapan 
yang jelas akan kematian, sering melakukan kekerasan, kegembiraan manik) ATAU kadang￾kadang gagal untuk mempertahankan perawatan diri yang minimal (misalnya mengusap feses) 
ATAU gangguan yang jelas dalam komunikasi (sebagian besar inkoheren atau membisu).Nilai Keterangan
 Skor 1–10 Bahaya melukai diri sendiri atau orang lain persisten dan parah (misalnya kekerasan rekuren) 
ATAU ketidakmampuan persisten untuk mempertahankan kebersihan pribadi yang minimal 
ATAU tindakan bunuh diri yang serius tanpa harapan akan kematian yang jelas.
Keperawatan memberikan intervensi kepada pasien berfokus pada respons, sehingga 
kategori pasien dibuat dengan skor Respons Umum Fungsi Adaptif (RUFA) atau General 
Adaptive Function Response (GAFR) yang merupakan modifikasi dari skor GAF. Secara 
umum, pasien yang dirawat di UPIP adalah pasien dengan kriteria berikut.
1. Risiko bunuh diri yang berhubungan dengan kejadian akut.
2. Penyalahgunaan napza atau kedaruratan yang terjadi akibat napza.
3. Kondisi lain yang akan mengalami peningkatan yang bermakna dalam waktu singkat.
Sementara itu, berdasarkan masalah keperawatan maka pasien yang perlu dirawat 
di unit perawatan intensif psikiatri adalah pasien dengan masalah keperawatan sebagai 
berikut.
1. Perilaku kekerasan.
2. Perilaku bunuh diri. 
3. Perubahan sensori persepsi: halusinasi (fase IV).
4. Perubahan proses pikir: waham curiga.
5. Masalah-masalah keperawatan yang berkaitan dengan kondisi pasien putus zat dan 
overdosis, seperti perubahan kenyamanan berupa nyeri, gangguan pola tidur, gangguan 
pemenuhan nutrisi, gangguan eliminasi bowel, dan defisit perawatan diri.
ALUR PENERIMAAN PASIEN DI UPIP 
Pasien baru yang masuk di UPIP dilakukan triase dengan mengkaji keluhan utama pasien 
dengan menggunakan skor RUFA (1–30) dan tanda vital. Berikut kategori pasien menurut 
skor RUFA adalah sebagai berikut.
1. Skor 1–10 masuk ruang intensif I.
2. Skor 11–20 masuk ruang intensif II.
3. Skor 21–30 masuk ruang intensif III.
Triase
Tahapan triase dilakukan rapid assessment/screening assessment yang dilakukan berdasarkan 
protap. Pengkajian ini harus meliputi nama pasien, tanggal lahir, nomor tanda pengenal (KTP/
SIM/paspor), alamat, nomor telepon, serta nama dan nomor telepon orang terdekat pasien yang dapat dihubungi. Selain itu, juga disertakan tanda vital dan keluhan utama dengan 
skor RUFA untuk menentukan perlu tidaknya dirawat di unit UPIP dan bila dirawat untuk 
menentukan level/fase intensif pasien. Sementara pihak medis melakukan pengkajian dengan 
menggunakan skala GAF
Fase Intensif I (24 Jam Pertama) 
1. Prinsip tindakan
a. Penyelamatan hidup (life saving).
b. Mencegah cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
 Pasien dengan skor 1–10 skala RUFA.
3. Pengkajian
 Hal-hal yang harus dikaji adalah sebagai berikut.
a. Riwayat perawatan yang lalu.
b. Psikiater/perawat jiwa yang baru-baru ini menangani pasien (bila 
memungkinkan).
c. Diagnosis gangguan jiwa di waktu yang lalu yang mirip dengan tanda dan gejala 
yang dialami pasien saat ini.
d. Stresor sosial, lingkungan, dan kultural yang menimbulkan masalah pasien saat 
ini.
e. Kemampuan dan keinginan pasien untuk bekerja sama dalam proses perawatan.
f. Riwayat pengobatan dan respons terhadap terapi, yang mencakup jenis obat yang 
didapat, dosis, respons terhadap obat, efek samping dan kepatuhan minum obat, 
serta daftar obat terakhir yang diresepkan dan nama dokter yang meresepkan.
g. Pemeriksaan kognitif untuk mendeteksi kerusakan kognitif atau neuropsikiatrik.
h. Tes kehamilan untuk semua pasien perempuan usia subur.
 Pengkajian lengkap harus dilakukan dalam 3 jam pertama. Selain itu, pasien harus 
sudah diperiksa dalam 8 jam pertama. Pasien yang berada dalam kondisi yang sangat 
membutuhkan penanganan harus segera dikaji dan bertemu dengan psikiater/petugas 
kesehatan jiwa dalam 15 menit pertama.
4. Intervensi
 Intervensi untuk fase ini adalah observasi ketat, yakni sebagai berikut.
a. Bantuan pemenuhan kebutuhan dasar (makan, minum, perawatan diri).
b. Manajemen pengamanan pasien yang efektif (jika dibutuhkan). 
c. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik.
5. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan 
untuk dipindahkan ke ruang intensif II. 
b. Bila kondisi pasien di atas 10 skala RUFA maka pasien dapat dipindahkan ke intensif II. Fase Intensif II (24–72 Jam Pertama)
1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase krisis (intensif I).
b. Mempertahankan pencegahan cedera pada pasien, orang lain, dan lingkungan.
2. Indikasi
 Pasien dengan skor 11–20 skala RUFA
3. Intervensi
 Intervensi untuk fase ini adalah observasi frekuensi dan intensitas yang lebih rendah 
dari fase intensif I. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi 
musik dan terapi olahraga.
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan 
untuk dipindahkan ke ruang intensif III. 
b. Bila kondisi pasien di atas skor 20 skala RUFA, maka pasien dapat dipindahkan ke 
intensif III. Bila di bawah skor 11 skala RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase 
intensif I.
Fase Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Prinsip tindakan
a. Observasi lanjutan dari fase akut (intensif II).
b. Memfasilitasi perawatan mandiri pasien.
2. Indikasi
 Pasien dengan skor 21–30 skala RUFA.
3. Intervensi
 Intervensi untuk fase ini adalah sebagai berikut.
a. Observasi dilakukan secara minimal.
b. Pasien lebih banyak melakukan aktivitas secara mandiri.
c. Terapi modalitas yang dapat diberikan pada fase ini adalah terapi musik, terapi 
olahraga, dan terapi keterampilan hidup (life skill therapy).
4. Evaluasi
a. Evaluasi dilakukan setiap sif untuk menentukan apakah kondisi pasien memungkinkan 
untuk dipulangkan. 
b. Bila kondisi pasien diatas skor 30 skala RUFA, maka pasien dapat dipulangkan 
dengan mengontak perawat CMHN terlebih dahulu. Bila di bawah skor 20 skala 
RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif II, serta jika di bawah skor 11 skala 
RUFA, maka pasien dikembalikan ke fase intensif I.ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN 
PERILAKU KEKERASAN
Pengkajian
Pengkajian pasien dengan masalah keperawatan perilaku kekerasan di ruang UPIP terbagi 
dalam tiga kelompok berdasarkan skala RUFA.
Asuhan Keperawatan Intensif I (24 Jam Pertama)
1. Tindakan keperawatan
a. Tujuan
Pasien tidak membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungan.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Vokal jelas dan nada suara tegas.
c) Intonasi rendah.
d) Gerakkan tidak tergesa-gesa.
e) Pertahankan posisi tubuh.
f) Jaga jarak 1–3 langkah dari pasien.
2) Siapkan lingkungan yang aman
a) Lingkungan tenang.
b) Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang 
membahayakan.
3) Kolaborasi
a) Ukur tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, dan suhu.
b) Jelaskan secara singkat pada pasien tentang tindakan kolaborasi yang akan 
dilakukan.
c) Berikan obat-obatan sesuai standar medik seperti transquiliser sesuai 
program terapi. Pengobatan dapat berupa suntikan valium 10 mg IM/IV 
3–4 × 1 amp/hari dan suntikan Haloperidol (Serenace) 5 mg, 3–4 × 1 amp/
hari. 
d) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
4) Observasi pasien setiap 15 menit sekali. Catat adanya peningkatan atau penurunan 
perilaku (yang harus diperhatikan oleh perawat terkait dengan perilaku, verbal, 
emosi, dan fisik).5) Jika perilaku pasien tidak terkendali dan semakin tidak terkontrol, serta terus 
mencoba melukai dirinya sendiri, orang lain, dan merusak lingkungan, maka 
dapat dilakukan tindakan pembatasan gerak. Jika perilaku masih tidak terkendali, 
maka dapat dilakukan pengekangan. Tindakan pengekangan merupakan 
tindakan akhir yang dapat dilakukan.
6) Tindakan pembatasan gerak/pengekangan
a) Jelaskan tindakan yang akan dilakukan bukan sebagai hukuman melainkan 
untuk mengamankan pasien, orang lain, dan lingkungan dari perilaku pasien 
yang kurang terkontrol.
b) Siapkan ruang isolasi/alat pengekang (restrain).
c) Lakukan kontrak untuk mengontrol perilakunya.
2. Jika tindakan pengekangan dilakukan, maka lakukan hal berikut. 
a. Lakukan pengikatan pada ekstremitas dengan petunjuk ketua tim.
b. Lakukan observasi pengekangan dengan skala RUFA setiap 2 jam.
c. Perawatan pada daerah pengikatan.
1) Pantau kondisi kulit yang diikat, seperti warna, temperatur, sensasi.
2) Lakukan latihan gerak pada tungkai yang diikat secara bergantian setiap dua 
jam.
3) Lakukan perubahan posisi pengikatan.
d. Libatkan dan latih pasien untuk mengontrol perilaku sebelum ikatan dibuka secara 
bertahap.
e. Kurangi pengekangan secara bertahap, misalnya ikatan dibuka satu per satu secara 
bertahap.
f. Jika pasien sudah mulai dapat mengontrol perilakunya, maka pasien sudah dapat 
dicoba untuk bersama dengan pasien lain dengan terlebih dahulu membuat 
kesepakatan yaitu jika kembali perilakunya tidak terkontrol maka pasien akan 
diisolasi atau pengekangan kembali.
3. Tindakan keperawatan untuk kelurga.
a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal masalah perilaku kekerasan pada anggota 
keluarganya.
2) Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah perilaku kekerasan.
3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami masalah perilaku 
kekerasan.
4) Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan perilaku 
kekerasan di level intensif I.
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan tentang pengertian perilaku kekerasan.
2) Diskusikan tentang tanda dan gejala perilaku kekerasan.3) Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari perilaku kekerasan.
4) Diskusikan cara merawat pasien dengan perilaku kekerasan dengan cara 
mengajarkan teknik relaksasi napas dalam.
5) Jelaskan tentang terapi obat pasien pada level intensif I.
4. Evaluasi
 Evaluasi respons umum adapatasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat. Pada 
pasien perilaku kekerasan evaluasi meliputi hal sebagai berikut.
a. Perilaku, seperti menentang, mengancam, mata melotot.
b. Verbal, seperti bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, dan 
berdebat.
c. Emosi, seperti labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, merasa tidak aman.
d. Fisik, seperti pandangan tajam, tekanan darah masih meningkat.
5. Rujukan
 Hasilnya adalah jika kondisi tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif 
II, sedangkan jika tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan level intensif I.
6. Dokumentasi
 Dokumentasikan semua tindakan yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari 
tindakan tersebut. Sertakan juga alasan tindakan dari pembatasan gerak/pengekangan 
dan alasan penghentian dari pembatasan gerak/pengekangan. 
Asuhan Keperawatan Intensif II (25–72 Jam)
1. Tindakan keperawatan
a. Tujuan
Pasien tidak membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungan.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Vokal jelas dan nada suara tegas.
c) Intonasi rendah.
d) Gerakkan tidak tergesa-gesa.
e) Pertahankan posisi tubuh.
f) Jaga jarak 1–3 langkah dari pasien.
2) Siapkan lingkungan yang aman
a) Lingkungan tenang.
b) Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang 
membahayakan.
3) Kolaborasi
a) Berikan obat-obatan sesuai standar medik seperti transquiliser sesuai program 
terapi. Pengobatan dapat berupa suntikan valium 10 mg IM/IV 3–4 × 1 amp/
hari dan suntikan Haloperidol (Serenace) 5 mg, 3–4 × 1 amp/hari
b) Jelaskan pada pasien jika ada perubahan dalam terapi medis seperti 
penambahan obat oral.
c) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
4) Buat perjanjian dengan pasien untuk mempertahankan perilakunya.
a) Bantu pasien menggunakan kontrol diri yang diperlukan, seperti latihan 
mengendalikan emosi secara fisik, misalnya memukul sansak.
b) Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima benar (benar 
nama pasien, benar nama obat, benar cara minum obat, benar waktu minum 
obat, dan benar dosis obat) disertai penjelasan guna obat dan akibat berhenti 
minum obat.
c. Evaluasi
Evaluasi respons umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat. Pada 
pasien perilaku kekerasan evaluasi meliputi berikut.
1) Perilaku, seperti menentang, mengancam, mata melotot.
2) Verbal, seperti bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, 
dan berdebat.
3) Emosi, seperti labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, merasa tidak aman.
4) Fisik: pandangan tajam, tekanan darah masih meningkat.
d. Rujukan
Hasilnya yaitu jika kondisi tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level 
intensif III, sedangkan jika tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan 
level intensif I.
e. Dokumentasi
Dokumentasikan semua tindakan yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari 
tindakan tersebut serta alasan tindakan dari pembatasan gerak atau pengekangan.
Asuhan Keperawatan Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Tindakan Keperawatan
a. Tujuan
Pasien tidak melakukan tindakan kekerasan.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik.
a) Bicara dengan tenang.
b) Vokal jelas dan nada suara tegas.
c) Intonasi rendah.
d) Gerakkan tidak tergesa-gesa.
e) Pertahankan posisi tubuh.
f) Jaga jarak 1–3 langkah dari pasien.
2) Siapkan lingkungan yang aman.
a) Lingkungan tenang.
b) Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang 
membahayakan.
3) Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan. 
a) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
b) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
c) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
d) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
e) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
f) Diskusikan bersama pasien perilaku yang biasa dilakukan pada saat marah 
secara verbal terhadap orang lain, diri sendiri, dan lingkungan.
g) Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
h) Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara 
sosial/verbal (menyatakan secara asertif rasa marahnya), spiritual (sholat/
berdoa sesuai keyakinan pasien), dan obat. 
4) Kolaborasi
a) Berikan obat-obatan sesuai standar atau program terapi medis yaitu obat 
oral seperti Haloperidol 5 mg 3 × 1 tablet/hari dan artane atau arkine 2 mg 
3 × 1 tablet/hari.
b) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
c) Observasi tanda-tanda vital setiap 8 jam.
5) Observasi
a) Observasi perilaku dalam 24 jam.
b) Libatkan dalam terapi aktivitas kelompok.
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga.
a. Tujuan 
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
b. Tindakan 
1) Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
2) Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan 
gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut).
3) Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan 
kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain.
4) Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
a) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah 
diajarkan oleh perawat.
b) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien dapat 
melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
c) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien 
menunjukkan gejala perilaku kekerasan.
5) Buat perencanaan pulang bersama keluarga.
c. Evaluasi
Evaluasi respons umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat. Pada 
pasien perilaku kekerasan evaluasi meliputi hal berikut.
1) Perilaku, seperti menentang, mengancam, mata melotot.
2) Verbal, seperti bicara kasar, intonasi sedang, menghina orang lain, menuntut, 
dan berdebat.
3) Emosi, seperti labil, mudah tersinggung, ekspresi tegang, merasa tidak aman.
4) Fisik, seperti pandangan tajam, tekanan darah masih meningkat.
d. Rujukan
Hasilnya adalah jika kondisi tersebut tercapai, maka perawatan dilanjutkan pada 
keluarga dan dirujuk ke perawat CMHN.
e. Dokumentasi
 Dokumentasikan semua tindakan yang sudah dilaksanakan dan hasil evaluasi dari 
tindakan tersebut serta surat rujukan.
ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN 
RISIKO BUNUH DIRI
Pengkajian
Kategori pasien di UPIP berdasarkan masalah keperawatan risiko bunuh diri dapat dilihat 
pada Tabel 18.3. 

Setelah melakukan pengkajian, dapat dirumuskan diagnosis keperawatan berdasarkan 
tingkat risiko dilakukannya bunuh diri, jika ditemukan data bahwa pasien menunjukkan 
isyarat bunuh diri, masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah harga diri rendah. 
Sementara jika ditemukan data bahwa pasien memberikan ancaman atau mencoba bunuh 
diri, maka masalah keperawatan yang mungkin muncul adalah risiko bunuh diri.
Asuhan Keperawatan Fase Intensif I (24 Jam Pertama)
1. Bina hubungan saling percaya dengan pasien.
2. Identifikasi alasan, cara, dan waktu pasien melakukan tindakan bunuh diri.
3. Identifikasi alternatif mekanisme koping selain tindakan bunuh diri, di antaranya:
a. ekspresi perasaan kepada orang yang dapat dipercayai (teman atau keluarga),
b. berpikir positif,
c. melakukan aktivitas positif yang disenangi,
d. aktivitas spiritual, misalnya baca doa, sholat.
4. Observasi pasien setiap 10 menit sekali, sampai ia dipindahkan ke ruang intensif II.
5. Jauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas, ikat pinggang.
6. Kolaborasi dengan medis untuk program pengobatan pasien dengan menggunakan 
prinsip lima benar.
7. Dengan lembut jelaskan pada pasien bahwa Anda akan melindungi pasien sampai tidak 
ada keinginan bunuh diri.
8. Rawat luka atau kondisi akibat tindakan percobaan bunuh diri.
Asuhan Keperawatan Fase Intensif II (24–72 jam) 
1. Latih pasien melakukan mekanisme koping positif.
2. Kolaborasi dengan medis untuk program pengobatan pasien dengan menggunakan 
prinsip lima benar.
3. Observasi pasien setiap 30 menit sekali, sampai ia dipindahkan ke ruang intensif III.
4. Jauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas, ikat pinggang
5. Lanjutkan perawatan luka atau kondisi akibat tindakan percobaan bunuh diri (apabila 
pasien merupakan pasien pindahan dari ruang intensif I).
6. Berikan terapi musik untuk pasien.
Asuhan Keperawatan Fase Intensif III (72 jam–10 hari)
Membantu pasien untuk meningkatkan harga dirinya dengan cara sebagai berikut. 
1. Memberi kesempatan pasien mengungkapkan perasaannya.
2. Berikan pujian bila pasien dapat mengatakan perasaan yang positif. 
3. Meyakinkan pasien bahwa dirinya penting.
4. Membicarakan tentang keadaan yang sepatutnya disyukuri oleh pasien.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Mengajarkan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri.
a. Menanyakan keluarga tentang tanda dan gejala bunuh diri yang penah muncul pada 
pasien.
b. Mendiskusikan tentang tanda dan gejala yang umumnya muncul pada pasien 
berisiko bunuh diri. 
2. Mengajarkan keluarga cara melindungi pasien dari perilaku bunuh diri.
a. Mendiskusikan tentang cara yang dapat dilakukan keluarga bila pasien 
memperlihatkan tanda dan gejala bunuh diri.
b. Menjelaskan tentang cara-cara melindungi pasien, antara lain sebagai berikut.
1) Memberikan tempat yang aman. Menempatkan pasien di tempat yang mudah 
diawasi, jangan biarkan pasien mengunci diri di kamarnya atau jangan 
meninggalkan pasien sendirian di rumah.
2) Menjauhkan barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri. Jauhkan 
pasien dari barang-barang yang bisa digunakan untuk bunuh diri, seperti tali, 
bahan bakar minyak/bensin, api, pisau atau benda tajam lainnya, zat yang 
berbahaya seperti obat nyamuk atau racun serangga.
3) Selalu mengadakan pengawasan serta meningkatkan pengawasan apabila tanda 
dan gejala bunuh diri meningkat. Jangan pernah melonggarkan pengawasan, 
walaupun pasien tidak menunjukkan tanda dan gejala untuk bunuh diri. 
4) Jelaskan kepada keluarga alasan pasien melakukan tindakan bunuh diri.
5) Jelaskan kepada keluarga mekanisme koping positif yang dapat dilakukan pasien 
untuk mencegah tindakan bunuh diri.
6) Menganjurkan keluarga untuk melaksanakan cara tersebut di atas.
3. Mengajarkan keluarga tentang hal-hal yang dapat dilakukan apabila pasien melakukan 
percobaan bunuh diri, antara lain sebagai berikut.
a. Mencari bantuan pada tetangga sekitar atau pemuka masyarakat untuk menghentikan 
upaya bunuh diri tersebut.
b. Segera membawa pasien ke rumah sakit atau puskesmas mendapatkan bantuan 
medis.
4. Membantu keluarga mencari rujukan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi pasien.
a. Memberikan informasi tentang nomor telepon darurat tenaga kesehatan.
b. Menganjurkan keluarga untuk mengantarkan pasien berobat/kontrol secara teratur 
untuk mengatasi masalah bunuh dirinya. 
c. Menganjurkan keluarga untuk membantu pasien minum obat sesuai prinsip 
lima benar yaitu benar orangnya, benar obatnya, benar dosisnya, benar cara 
penggunaannya, dan benar waktu penggunaannya.
Evaluasi
Di bawah ini tanda-tanda keberhasilan asuhan keperawatan yang Anda berikan kepada pasien 
dan keluarganya, berdasarkan perilaku bunuh diri yang ditampilkan. 
1. Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri, 
keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap aman 
dan selamat.
2. Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh 
diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga berperan 
serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
3. Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan 
ditandai dengan hal berikut.
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaannya.
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
4. Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan 
keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan 
risiko bunuh diri. Untuk itu diharapkan mampu melakukan hal berikut.
a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri.
b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi anggota keluarga 
yang berisiko bunuh diri.
c. Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat 
anggota keluarga yeng berisiko bunuh diri.
Dokumentasi Asuhan Keperawatan
Pendokumentasian atau pencatatan dilakukan pada semua tahap proses perawatan.
ASUHAN KEPERAWATAN INTENSIF PADA 
GANGGUAN PANIK DI UPIP
Pengkajian
Pengkajian pasien gangguan panik di ruang UPIP menggunakan skala respons umum fungsi 
adaptif (RUFA) terbagi dalam tiga kelompok, seperti pada Tabel 18.4.
Asuhan Keperawatan Intensif I (24 Jam Pertama)
1. Diagnosis
 Panik
2. Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan
Pasien tidak membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungan.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Gunakan kalimat sederhana dan singkat.
2) Siapkan lingkungan yang aman.
a) Berikan lingkungan yang tenang dan stimulus eksternal minimal, misalnya 
tidak ada suara musik yang keras, tidak berdekatan dengan pasien lain yang 
gelisah.
b) Singkirkan semua benda yang membahayakan seperti alat-alat tajam, kaca, 
dan lainnya.
3) Dampingi terus pasien saat panik, bimbing pasien latihan tarik napas dalam.
4) Kolaborasi
a) Berikan obat-obatan sesuai standar medik seperti antiansietas sesuai 
program terapi pengobatan. Pengobatan dapat berupa suntikan diazepam 
(valium) 10 mg IM/IV, dapat diulang 30–60 menit, serta sesuaikan dengan 
instruksi dokter.
b) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
5) Observasi perilaku pasien setiap 15 menit sekali. Catat adanya peningkatan 
atau penurunan perilaku pasien yang berkaitan dengan respons fisik, respons 
kognitif, respons perilaku, dan emosi.
6) Jika perilaku pasien semakin tidak terkontrol, terus mencoba melukai dirinya 
sendiri atau orang lain, maka dapat dilakukan tindakan manajemen pengamanan 
pasien yang efektif (lihat protap pembatasan gerak dan pengekangan pasien di 
modul Asuhan Keperawatan Intensif Pasien dengan Perilaku Keker