Home » gangguan jiwa 4 » gangguan jiwa 4
Rabu, 12 Juli 2023
3. Tindakan keperawatan untuk keluarga
a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal masalah panik pada anggota keluarganya.
2) Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah panik.
3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami panik.
4) Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan panik di level
intensif I.
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan tentang pengertian panik.
2) Diskusikan tentang tanda dan gejala panik.
3) Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari panik.
4) Diskusikan cara merawat pasien dengan panik dengan cara mengajarkan teknik
relaksasi napas dalam.
5) Jelaskan tentang terapi obat pasien pada level intensif I.
4. Evaluasi
Evaluasi respons umum fungsi adapatasi dilakukan setiap akhir sif oleh perawat.
Pada pasien panik evaluasi meliputi respons fisik yang mulai menurun, tidak adanya
palpitasi, kebas dan kesemutan, gemetar dan diaforesis, serta hipotensi. Respons kognitif
mengalami perbaikan yang pasien mulai mampu berpikir logis tetapi masih belum
mampu menyelesaikan masalah. Respons perilaku dan emosi sedikit lebih terkendali
sehingga pasien sudah tidak mengalami amuk, agitasi, dan persepsi mulai membaik.
5. Rujukan
Jika kondisi di bagian evaluasi tercapai, maka perawatan dilanjutkan pada level intensif
II. Jika tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan level intensif I.
6. Dokumentasi
Dokumentasikan hasil observasi perilaku pasien terkait panik, seperti terapi injeksi
yang diberikan, respons setelah penyuntikan. Jika dilakukan manajemen pengamanan
pasien yang efektif, maka catat alasan, tindakan yang dilakukan, respons pasien, dan
alasan penghentiannya.
Asuhan Keperawatan Intensif II (25–72 Jam)
1. Diagnosis
Ansietas berat
2. Tindakan keperawatan untuk pasien
a. Tujuan
Pasien tidak mengalami kembali panik.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Gunakan kalimat sederhana dan singkat.
2) Siapkan lingkungan yang aman.
a) Lingkungan tenang dan stimulus eksternal minimal.
b) Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang
membahayakan.
3) Ajarkan teknik relaksasi peregangan otot.
4) Kolaborasi
a) Berikan obat-obatan sesuai standar medik seperti antiansietas sesuai
program terapi pengobatan. Pengobatan dapat berupa suntikan diazepam
(valium) 10 mg IM/IV, yang dapat diulang 30–60 menit, serta sesuaikan
dengan instruksi dokter.
b) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
5) Observasi perilaku pasien setiap 30–60 menit sekali, catat adanya peningkatan
atau penurunan perilaku pasien yang berkaitan dengan respons fisik, respons
kognitif, respons perilaku, dan emosi. Antisipasi jika pasien kembali menunjukkan
perilaku panik, maka tindakan keperawatan yang diberikan kembali ke level
intensif I.
3. Tindakan keperawatan untuk keluarga.
a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal tanda dan gejala cemas berat.
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami cemas berat.
3) Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan panik di level
intensif II (cemas berat).
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan tentang tanda dan gejala cemas berat.
2) Diskusikan cara merawat pasien dengan panik dengan cara mengajarkan teknik
relaksasi peregangan otot.
3) Bantu keluarga mempraktikkan tehnik relaksasi peregangan otot pada pasien.
4) Jelaskan tentang terapi obat pasien pada level intensif II.
4. Evaluasi
Evaluasi keadaan pasien, yang ditandai dengan respons fisik yang mulai menurun, yaitu
frekuensi napas pendek, sakit kepala, dan berkeringat berkurang. Respons kognitif
sedikit meluas tetapi hanya berfokus pada hal yang menjadi pusat perhatiannya saja.
Respons perilaku dan emosi sedikit lebih terkendali yakni perasaan terancam mulai
berkurang, verbal cenderung cepat tetapi tidak lagi mengalami bloking, serta pasien
masih merasa tidak aman.
5. Rujukan
Jika kondisi di bagian evaluasi tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif III,
jika tidak tercapai tetap di level intensif II dan jika perilaku kembali kacau maka kembali
ke level intensif II.
6. Dokumentasi.
Dokumentasikan semua tindakan keperawatan yang diberikan seperti latihan
peregangan otot, terapi injeksi yang masih diberikan (keefektifan, respons post-injeksi,
efek samping, dan sebagainya). Catat juga hasil observasi perilaku terkait cemas berat.
Asuhan Keperawatan Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Diagnosis
Ansietas sedang.
2. Tindakan keperawatan untuk pasien.
a. Tujuan
Pasien tidak mengalami kembali ansietas berat—panik.
b. Tindakan keperawatan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Vokal jelas, misalnya intonasi rendah, gerakan tidak tergesa-gesa,
pertahankan posisi tubuh.
2) Siapkan lingkungan yang aman.
a) Lingkungan tenang.
b) Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang
membahayakan.
3) Diskusikan bersama pasien mengenai hal berikut.
a) Diskusikan kemungkinan penyebab terjadinya ansietas/panik.
b) Motivasi pasien menceritakan pengalaman traumatisnya dalam lingkungan
yang nyaman.
c) Diskusikan tanda dan gejala dari ansietas yang meningkat.
d) Ajarkan cara memutus ansietas yang meningkat dengan terapi visualisasi,
penghentian pikiran (thought stopping), pengalihan situasi, dan sugesti diri
sendiri (latihan lima jari).
e) Libatkan dalam terapi modalitas, seperti keterampilan hidup (living skill),
musik, dan olahraga.
4) Kolaborasi:
a) Berikan obat-obatan sesuai standar medik seperti yaitu antiansietas sesuai
program terapi pengobatan. Pengobatan dapat aprazolam, xanax, atau
antiansietas lainnya.
b) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek samping.
c) Jelaskan tentang nama, dosis, dan manfaat terapi farmakologi.
3. Tindakan keperawatan untuk keluarga
a. Tujuan
1) Keluarga memahami program terapi keperawatan pada level intensif III (cemas
sedang).
2) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami panik pada level
intensif III.
3) Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan panik pada level
intensif III.
4) Keluarga memahami sistem rujukan pasien.
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan tentang kondisi pasien di level intensif III dan tindakan keperawatan
yang dilakukan.
a) Diskusikan cara merawat pasien dengan panik dengan cara mengajarkan
teknik relaksasi, seperti terapi visualisasi, penghentian pikiran (thought
stopping), pengalihan situasi, dan sugesti diri sendiri (latihan lima jari).
2) Diskusikan dengan terapi obat-obatan pasien.
3) Diskusikan dengan keluarga perilaku pasien yang perlu dirujuk dan bagaimana
merujuk pasien.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HALUSINASI
Pengkajian
Pengkajian pasien halusinasi di ruang PICU difokuskan pada halusinasi yang membahayakan
diri, orang lain, dan lingkungan dengan menggunakan skala respons umum fungsi adaptif
(RUFA) dengan rentang skor 1–30. Pengkajian tersebut terbagi dalam dalam kelompok
berdasarkan skala RUFA, yang tertuang dalam Tabel 18.5.
Asuhan Keperawatan Intensif I (24 Jam Pertama)
1. Diagnosis
Gangguan sensori persepsi : halusinasi.2. Tindakan keperawatan
a. Tujuan
1) Pasien tidak mencederai diri, orang lain, dan lingkungan.
2) Pasien mengontrol halusinasi dengan obat.
b. Tindakan keperawatan
1) Komunikasi terapeutik
a) Perawat sabar, empati, gunakan kemampuan mendengar aktif.
b) Melakukan kontak mata.
c) Berbicara dengan suara yang jelas dan tegas.
d) Memanggil pasien dengan namanya.
e) Menggunakan sentuhan.
f) Mengadakan kontak sering dan singkat secara bertahap.
2) Siapkan lingkungan yang aman
b) Menyiapkan lingkungan yang tenang.
c) Singkirkan semua benda yang membahayakan.
3) Kolaborasi
Berikan obat-obatan, seperti Valium 10 mg IM/IV (golongan benzodiazepin)
dan injeksi Haloperidol/Serenace/Lodomer 5 mg IM (golongan butirofenon).
Pemberian dapat diulang 30–60 menit. Selain obat injeksi diberikan juga obat
peroral (golongan fenotiazine) seperti Chlorpromazine/largactile/promactile,
biasanya diberikan 3 × 100 mg. Pantau keefektifan obat-obatan dan efek
sampingnya.
4) Observasi perilaku pasien setiap 15 menit sekali. Catat adanya peningkatan
atau penurunan perilaku pasien yang berkaitan dengan respons fisik, respons
kognitif, serta respons perilaku dan emosi.
5) Jika perilaku pasien semakin tidak terkontrol, terus mencoba melukai dirinya
sendiri atau orang lain, maka dapat dilakukan tindakan pembatasan gerak.
Jika perilaku masih tidak terkendali, pengekangan adalah tindakan akhir yang
dilakukan (lihat protap pembatasan gerak dan pengekangan pasien).
6) Bila memungkinkan, maka bantu pasien mengenal halusinasinya, yaitu
mengidentifikasi jenis halusinasi, isi, frekuensi, situasi, perasaan, dan tindakan
yang dilakukan jika terjadi halusinasi.
7) Mendiskusikan manfaat cara yang digunakan dan jika bermanfaat, maka beri
pujian.
3. Tindakan keperawatan untuk keluarga
a. Tujuan
1) Keluarga mampu mengenal masalah halusinasi yang membahayakan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan pada anggota keluarganya.
2) Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah halusinasi yang
membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan pada anggota keluarganya
3) Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami halusinasi
yang membahayakan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan pada anggota
keluarganya.
4) Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan halusinasi di level
intensif I.
b. Tindakan keperawatan
1) Diskusikan tentang pengertian halusinasi yang membahayakan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
2) Diskusikan tentang tanda dan gejala halusinasi yang membahayakan diri sendiri,
orang lain, dan lingkungan.
3) Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari halusinasi yang membahayakan
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
4) Diskusikan cara merawat pasien dengan halusinasi yang membahayakan diri,
orang lain, dan lingkungan dengan cara mengajarkan cara menghardik.
5) Jelaskan tentang terapi obat pasien pada level intensif I.
4. Evaluasi
Evaluasi respons umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat. Pada
pasien halusinasi yang membahayakan diri, orang lain dan lingkungan evaluasi meliputi
respons perilaku dan emosi lebih terkendali yang pasien sudah tidak mengamuk lagi,
masih ada PK verbal, bicara dan tertawa sendiri, sikap curiga dan bermusuhan, perasaan
cemas berat, dan mudah tersinggung. Sementara itu, persepsi pasien mulai membaik,
pasien dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata.
5. Rujukan
Hasil jika kondisi tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif II. Jika
tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan level intensif I.
6. Dokumentasi
Dokumentasikan alasan pengekangan, tindakan yang dilakukan, respons pasien, dan
alasan penghentian pengekangan.
Asuhan Keperawatan Intensif II (24–72 Jam)
1. Diagnosis
Gangguan sensori persepsi: halusinasi.
2. Tindakan keperawatan
a. Tujuan keperawatan untuk pasien.
1) Pasien tidak membahayakan dirinya, orang lain, dan lingkungan.
2) Pasien mengenal halusinasinya.
3) Pasien mampu mengontrol halusinasi dengan cara menghardik dan bercakapcakap dengan orang lain.
b. Tindakan keperawatan
1) Komunikasi terapeutik
a. Mendengar ungkapan pasien dengan empati.
b. Berbicara dengan suara yang jelas dan tegas.
c. Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya.
d. Mengadakan kontak sering dan singkat.
2) Siapkan lingkungan yang aman
a) Lingkungan tenang.
b) Tidak ada barang-barang yang berbahaya atau singkirkan semua benda yang
membahayakan.
3) Kolaborasi
a) Berikan obat-obatan sesuai standar medik atau program terapi pengobatan
dapat berupa suntikan valium 10 mg IM/IV (golongan fenotiazine)
dan suntikan Haloperidol, Serenace atau lodomer 5 mg IM (golongan
butirofenon). Pemberian dapat diulang setiap 6 jam. Selain obat injeksi
diberikan juga obat per oral (golongan fenotiazine) seperti Chlorpromazine/
largactile/promactile, biasanya diberikan 3 × 100 mg.
b) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
4) Observasi
a) Antisipasi jika pasien kembali mencoba melukai dirinya sendiri atau orang
lain, jelaskan pada pasien tindakan suntikan dan pengekangan gerak
mungkin akan kembali dilakukan untuk melindungi diri pasien jika prilaku
melukai diri muncul kembali.
b) Lakukan observasi setiap 30 menit–1 jam, kaji ulang RUFA setiap sif.
c) Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam.
5) Membantu pasien mengenal halusinasinya.
Mengidentifikasi jenis halusinasi, isi, frekuensi, situasi, perasaan, dan tindakan
yang dilakukan jika terjadi halusinasi.
6) Mendiskusikan dengan pasien cara untuk memutus/mengontrol halusinasinya
dengan cara menghardik dan bercakap-cakap dengan orang lain.
7) Memasukkan ke jadwal kegiatan harian pasien.
2. Tindakan keperawatan untuk keluarga
a. Tujuan
Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan halusinasi di level
intensif II.
b. Tindakan keperawatan
Pendidikan kesehatan kepada keluarga yaitu melatih keluarga merawat pasien
meliputi cara berkomunikasi, pemberian obat, pemberian aktivitas kepada pasien.
3. Evaluasi
Evaluasi respons umum adaptasi pasien dilakukan setiap akhir sif oleh perawat,
meliputi respons perilaku sesuai, ekspresi tenang, pasien sudah mengenal halusinasinya,
seperti isi, waktu, frekuensi, situasi, dan kondisi yaang menimbulkan halusinasi, serta
responsnya saat mengalami halusinasi. Pasien dapat mengontrol halusinasinya dengan
dua cara, yaitu menghardik dan bercakap-cakap dengan orang lain. Berpikir logis,
persepsi adekuat, perasaan cemas sedang, dan emosi sesuai dengan kenyataan.
4. Rujukan
Hasilnya adalah jika kondisi tersebut tercapai, maka perawatan dilanjutkan pada level
intensif III, sedangkan jika tidak tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan level
intensif II.
5. Dokumentasi
Dokumentasikan semua tindakan yang dilakukan dan respons pasien.
Asuhan Keperawatan Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Diagnosis
Gangguan sensori persepsi: halusinasi.
2. Tindakan keperawatan
a. Tujuan keperawatan untuk pasien.
Pasien dapat mengontrol halusinasinya dengan cara ke-3 dan ke-4, yaitu melakukan
aktivitas yang terjadwal dan menggunakan obat secara teratur.
b. Tindakan keperawatan untuk pasien
1) Komunikasi terapeutik
a) Perawat sabar, empati, gunakan kemampuan mendengar aktif.
b) Melakukan kontak mata.
c) Hindarkan menyalahkan atau menertawakan pasien.
d) Kontak sering dan singkat.
2) Siapkan lingkungan yang aman dan tenang.
3) Kolaborasi
a) Berikan obat-obatan sesuai standar atau program terapi medis.
b) Pantau keefektifan obat-obatan dan efek sampingnya.
4) Observasi
a) Observasi perilaku dalam 24 jam, kaji ulang RUAP setiap sif.
b) Observasi tanda-tanda vital setiap sif.
c) Libatkan dalam terapi aktivitas kelompok orientasi realita stimulasi
persepsi.
d) Melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara 3 dan 4, yaitu melakukan
aktivitas yang terjadwal dan menggunakan obat secara teratur.
3. Tindakan keperawatan untuk keluarga
a. Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien langsung di level intensif III dan menjadi sistem
pendukung yang efektif untuk pasien.
b. Tindakan keperawatan
Pendidikan kesehatan kepada keluarga dengan melatih keluarga untuk merawat
pasien langsung.
4. Evaluasi
Evaluasi kemampuan pasien dalam mengontrol halusinasi yang telah diajarkan.
5. Dokumentasi
Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien.
ASKEP KEPERAWATAN INTENSIF PADA PASIEN
NAPZA
Pengkajian
Pengkajian pada pasien overdosis opioid di ruang PICU menggunakan rentang skore 1–30
skala RUF skala respons umum fungsi adaptif (RUFA) yang pengkajian tersebut terbagi dalam
tiga kelompok, yang dapat dilihat pada Tabel 18.6.
Asuhan Keperawatan Intensif I (24 Jam Pertama)
1. Diagnosis
Pola napas tidak efektif.
2. Tindakan keperawatan
a. Tujuan
Jalan napas bebas dari sumbatan, kebutuhan O2
pasien terpenuhi, perfusi jaringan
adekuat.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Gunakan kalimat singkat dan jelas.
2) Kaji keadekuatan pernapasan, ventilasi dan oksigenasi, serta tingkat kesadaran
pasien.
3) Pasang O2
100% sesuai kebutuhan.
4) Observasi adanya needle track bekas suntikan pada lengan dan kaki pasien.
5) Kolaborasi dilakukan dengan ambil darah untuk analisis kimia darah.
6) Observasi TTV setiap 5 menit selama 4 jam.
7) Kolaborasi dengan pertimbangkan intubasi endotrakheal bila ragu keadekuatan
pernapasan, oksigenasi kurang, dan hipoventilasi menetap.
8) Kolaborasi dengan pasang IVFD (NaCl 0,9% atau dextrose 4%) untuk mendukung
tekanan darah, mencegah koma, dan dehidrasi.
9) Pasang kateter untuk analisis urine untuk menentukan jenis zat yang digunakan
terakhir.
10) Pasien dipuasakan untuk menghindari aspirasi.
11) Coba untuk mendapat riwayat penggunaan obat dari orang lain yang ikut
bersama pasien.
12) Kolaborasi terapi medis pemberian antidotum naloxon.
a) Tanpa hipoventilasi: dosis awal 0,4 mg intravena.
b) Dengan hipoventilasi: dosis awal 1,2 mg intravena.
c) Bila tidak ada respons dalam 5 menit, maka ulangi sampai dosis maksimal
10 mg, bila tidak ada perubahan, lapor konsulen.
d) Bila berespons, maka drip naloxon diberikan 1 ampul dalam 500 cc NaCl
0,9% atau dextrose 5% dalam 6 jam.
13) Kolaborasi terapi penunjang lainnya misalnya EKG, foto thoraks.
14) Kolaborasi terapi medis lainnya secara simtomatik.
3. Evaluasi
Evaluasi keadaan umum pasien, yaitu tingkat kesadaran meningkat dari koma ke
somnolen. Selain itu, berdasarkan observasi pasien menunjukkan tanda-tanda vital mulai
dalam batas normal, terutama respirasi tidak mengalami hipoventilasi. Komunikasi
mengalami perubahan dari tidak ada respons sampai ada respons secara nonverbal dari
pasien, misalnya respons nyeri dan bicara kacau.
Jika kondisi tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif II, jika tidak
tercapai maka pasien tetap berada di perawatan intensif I.
4. Dokumentasi
Dokumentasikan proses keperawatan yang sudah dilakukan selama intensif I.
Asuhan Keperawatan Intensif II (25 Jam–72 Jam)
1. Diagnosis
Pola napas tidak efektif.
2. Tindakan keperawatan
a. Tujuan
Jalan napas bebas dari sumbatan, kebutuhan O2
pasien terpenuhi, perfusi jaringan
adekuat.
b. Tindakan
1) Komunikasi terapeutik
a) Bicara dengan tenang.
b) Gunakan kalimat singkat dan jelas.
2) Kaji keadekuatan pernapasan, ventilasi dan oksigenasi, serta tingkat kesadaran
pasien.
3) Pasang O2
100% sesuai kebutuhan.
4) Observasi tanda-tanda vital setiap 4 jam.
5) Observasi drip naloxon dalam IVFD NaCl 0,9% atau dextrose 5% 500 ml per 6 jam.
6) Kolaborasi terapi medis lainnya secara simtomatik.
3. Evaluasi
Evaluasi keadaan umum pasien tingkat kesadaran meningkat dari somnolen ke kompos
mentis. Selain itu, berdasarkan observasi mulai muncul gejala putus zat. Komunikasi
mengalami perubahan dari tidak ada respons sampai ada respons koheren baik secara
nonverbal maupun verbal. Tanda dan gejala fisik putus zat mulai muncul. Jika kondisi
tersebut tercapai, perawatan dilanjutkan pada level intensif III, sedangkan jika tidak
tercapai, maka pasien tetap berada di perawatan intensif II.
4. Dokumentasi
Dokumentasikan proses keperawatan yang sudah dilakukan selama intensif II.
Asuhan Keperawatan Intensif III (72 Jam–10 Hari)
1. Diagnosis
Gangguan rasa nyaman, yaitu nyeri.
2. Tindakan keperawatan (merujuk ke modul putus zat opioid)
a. Tujuan
Pasien dapat mengontrol nyeri dengan baik.
b. Tindakan
1) Kaji tingkat nyeri pasien dengan menggunakan skala nyeri 1–10 (1–3 nyeri
ringan, 4–7 nyeri sedang, 8–10 nyeri berat).
2) Kaji lokasi nyeri, intensitas nyeri, dan karakteristik nyeri.
3) Diskusikan dengan pasien penyebab nyeri yang terjadi.
4) Diskusikan pengalaman pasien dalam mengatasi nyeri.
5) Ajarkan teknik distraksi (ngobrol, melakukan kegiatan yang menyenangkan).
6) Ajarkan teknik relaksasi tarik napas dalam.
7) Obsevasi CINA setiap 4 jam.
8) Kolaborasi pemberian terapi analgesik (sesuai keluhan).
a) Tramal 3 × 50 mg.
b) Jika perlu, injeksi diazepam 1 ampul IM atau IV.
9) Libatlan pasien dalam terapi modalitas, yaitu keterampilan hidup (living skill)
dan terapi musik.
3. Evaluasi
Evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dengan diagnosis pola napas tidak efektif
PENGERTIAN PERILAKU KEKERASAN DALAM
KELUARGA
Perilaku kekerasan dalam keluarga lebih sering berbentuk kekerasan dalam keluarga atau
rumah tangga (KDRT). Berdasarkan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, kekerasan dalam rumah tangga adalah segala bentuk, baik
kekerasan secara fisik, secara psikis, kekerasan seksual, maupun ekonomi yang pada intinya
mengakibatkan penderitaan, baik penderitaan yang secara kemudian memberikan dampak
korban menjadi sangat trauma atau mengalami penderitaan secara psikis.
Perilaku kekerasan dalam keluarga dapat terjadi pada semua orang yang tinggal dalam
keluarga, suami, istri, orang tua, anak, usia lanjut, ataupun pembantu, tanpa membedakan
gender ataupun posisi dalam keluarga.
FAKTOR PENYEBAB PERILAKU KEKERASAN
DALAM KELUARGA
1. Biologi
Perubahan sistem limbik otak dan neurotransmitter menyebabkan individu tidak
mampu mengendalikan perilaku agresifnya.
2. Psikologi
Kegagalan, frustasi, ketidakpuasan, pernah jadi korban, saksi, atau pelaku kekerasan.
3. Sosial budaya
Adanya perilaku agresif yang dapat memenuhi kebutuhan akan cenderung diulang dalam
cara penyelesaian masalah. Adanya penerimaan masyarakat atas perilaku kekerasan
yang terjadi, tidak adanya pencegahan, dan kurang berperannya aspek hukum akan
menyuburkan perilaku kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat.
Lingkup Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Pertama: hubungan keturunan darah.
2. Kedua : hubungan suami istri.
3. Ketiga : hubungan bekerja di dalam keluarga.
Klasifikasi Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Kekerasan antarorang dewasa.
2. Kekerasan orang dewasa dengan anak.
3. Kekerasan orang dewasa dengan lansia.Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga
1. Secara fisik, yaitu menampar, memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut
dengan rokok, melukai dengan senjata, dan sebagainya.
2. Secara psikologis, yaitu penghinaan, komentar-komentar yang merendahkan, melarang
istri mengunjungi saudara atau teman-temannya, mengancam akan dikembalikan ke
rumah orang tuanya, dan sebagainya.
3. Secara seksual (marital rape), yaitu kekerasan dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan
hubungan seksual.
4. Secara ekonomi, yaitu tidak memberi nafkah istri, melarang istri bekerja, atau
membiarkan istri bekerja untuk dieksploitasi.
KEKERASAN PADA ANAK
Pengertian Kekerasan pada Anak
Kekerasan pada anak adalah suatu trauma, perlakuan, pembatasan dalam mengemukakan
berbagai alasan, menakut-nakuti, intimidasi, hukuman yang berakibat melukai fisik dan/
atau mental, serta perampasan hak individu termasuk dalam penerimaan pelayanan baik
dilakukan secara terpaksa untuk mempertahankan fisik, mental, maupun psikososial. Selain
itu, didefinisikan sebagai suatu keadaan melecehkan, menelantarkan, atau tindakan yang
menempatkan seseorang dalam kondisi kacau dalam hal kesehatan, pribadi, hak memutuskan,
dan pendapatnya
Kekerasan pada anak perlu mendapat perhatian karena anak masih bergantung pada
orang dewasa, anak belum mampu bertahan dan menghindar, serta daya tahan anak masih
lemah dan perjalanan hidup seorang anak masih panjang. Kekerasan yang pernah dialami
seorang anak semasa hidupnya akan memengaruhi proses tumbuh dan kembang dalam hal
fisik, psikologis, sosial, dan perilaku.
Jenis Kekerasan
1. Aniaya fisik (physical abuse)
Contoh aniaya fisik adalah anak menjatuhkan gelas yang ada di meja, maka dihukum
dengan memukul tangan anak atau anak disiram air.
2. Pengabaian (child neglect)
Pengabaian perawatan dan asuhan sehingga anak tidak mendapatkan pemenuhan
kebutuhan sesuai dengan tingkat perkembangannya dan menurunkan kesejahteraan
anak. Contohnya adalah gagal menciptakan lingkungan belajar yang nyaman.
Tabel 19.2 Indikator Anak yang Mengalami Pengabaian
Fisik Perilaku
• Kelaparan
• Kebersihan diri kurang
• Pakaian tidak terurus
• Tidak terurus dalam waktu lama
• Tidak pernah periksa kesehatan
• Mengemis
• Berbuat jahat
• Mencuri
• Datang cepat, pulang lambat
• Pasif/agresif/penuntut
3. Aniaya emosi (emotional maltreatment)
Perlakuan emosional yang salah dari orang tua dan berdampak pada kerusakan emosi
pada anak sepanjang masa. Contohnya adalah penolakan, tidak peduli, menyalahkan
dengan kata-kata yang menyakitkan (misal, bodoh, anjing), mengisolasi anak, dan
disiplin dengan peraturan yang tidak konsisten.
Tabel 19.3 Indikator Anak yang Mengalami Aniaya Emosi
Fisik Perilaku
• Gagal dalam perkembangan
• Pertumbuhan fisik terganggu
• Gangguan bicara
• Perilaku ekstrem, seperti pasif sampai agresif
• Destruktif
• Neurotik
• Percobaan bunuh diri
4. Aniaya seksual (sexual abuse)
Aktivitas seksual yang dilakukan orang dewasa kepada anak. Contohnya, rangsangan
seksual, eksploitasi kegiatan seksual, prostitusi, dan pornografi.
Tabel 19.4 Indikator Anak yang Mengalami Aniaya Seksual
Fisik Perilaku
• Sukar jalan dan duduk
• Pakaian dalam berdarah
• Genital gatal
• Perineal memar/berdarah
• Penyakit kelamin
• Ketergantungan obat
• Tumbuh kembang terlambat
• Hamil usia remaja
• Harga diri rendah
• Tidak percaya pada orang lain
• Disfungsi kognitif motorik
• Defisit kemampuan personal dan sosial
• Penjahat
• Ketergantungan obat
• Ide bunuh diri dan depresi
• Melakukan aniaya seksual
• Psikotik
Masalah Keperawatan Akibat Kekerasan pada Anak
1. Sindroma trauma perkosaan.
2. Ketidakberdayaan.
3. Keputusasaan.
4. Ketakutan.
5. Ansietas.
6. Gangguan konsep diri, yaitu harga diri rendah.
7. Risiko isolasi sosial.
8. Risiko bunuh diri.
STRATEGI PENCEGAHAN KEKERASAN DALAM
RUMAH TANGGA
1. Pendidik
Institusi pendidikan dari jenjang SD sampai dengan SMA memiliki andil yang penting
dalam usaha pencegahan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
2. Penegak hukum dan keamanan
Pemerintah bersama penegak hukum juga memiliki peran yang lebih kuat melalui
UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, BAB II Pasal 2 yang menyatakan,
“Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan yang dapat membahayakan atau
menghambat pertumbuhan dan perkembangan secara wajar”. Selain itu, UU No. 23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Oleh karenanya,
tidak ada alasan bagi siapapun untuk boleh melakukan kekerasan dalam rumah
tangga.
3. Media massa
Media massa sebaiknya menampilkan berita kekerasan yang diimbangi dengan artikel
pencegahan dan penanggulangan dampak kekerasan yang diterima korban jangka
panjang atau pendek, sehingga masyarakat tidak menjadikan berita kekerasan sebagai
inspirasi untuk melakukan kekerasan.
4. Pelayanan kesehatan
a. Prevensi primer, yaitu promosi orang tua dan keluarga sejahtera.
b. Prevensi sekunder, yaitu diagnosis dan tindakan bagi keluarga yang stres.
c. Prevensi tertier, yaitu edukasi ulang dan rehabilitasi keluarga.
PENGERTIAN WAHAM
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terusmenerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk gangguan isi pikiran.
Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di dalam isi pikirannya. Waham
sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada penderita skizofrenia.
PROSES TERJADINYA WAHAM
1. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need)
Waham diawali dengan terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara fisik maupun
psikis. Secara fisik, pasien dengan waham dapat terjadi pada orang dengan status sosial
dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan
ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi
yang salah. Hal itu terjadi karena adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu
tidak memiliki finansial yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin
memiliki berbagai kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita, malu, dan tidak
berharga.
3. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan, dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, dianggap penting, dan diterima lingkungan
menjadi prioritas dalam hidupnya, sebab kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak
kecil secara optimal. Lingkungan sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa
sesuatu yang dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara
adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya
menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan
pengakuan pasien tidak merugikan orang lain.
4. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien dalam lingkungannya
menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan pasien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
(superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong5. Fase nyaman (comforting)
Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap bahwa
semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan sering
disertai halusinasi pada saat pasien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien
lebih sering menyendiri dan menghindari interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan yang salah
pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan dengan kejadian traumatik
masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham
bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman
diri dan orang lain.
KLASIFIKASI WAHAM
1. Waham kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya ini direktur sebuah bank swasta lho..”
atau “Saya punya beberapa perusahaan multinasional”.
2. Waham curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha merugikan/mencederai
dirinya, serta diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
tahu..kalian semua memasukkan racun ke dalam makanan saya”.
3. Waham agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Kalau saya mau masuk surga saya harus
membagikan uang kepada semua orang.”
4. Waham somatik
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/terserang penyakit, serta
diucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya sakit menderita
penyakit menular ganas”, setelah pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan tandatanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan bahwa ia terserang kanker.
5. Waham nihilistik
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal, serta diucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Ini kan alam kubur ya, semua yang ada di
sini adalah roh-roh”.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Tanda dan gejala dari perubahan isi pikir waham, yaitu pasien menyatakan dirinya sebagai
seorang besar mempunyai kekuatan, pendidikan, atau kekayaan luar biasa, serta pasien menyatakan perasaan dikejar-kejar oleh orang lain atau sekelompok orang. Selain itu, pasien
menyatakan perasaan mengenai penyakit yang ada dalam tubuhnya, menarik diri dan isolasi,
sulit menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain, rasa curiga yang berlebihan,
kecemasan yang meningkat, sulit tidur, tampak apatis, suara memelan, ekspresi wajah datar,
kadang tertawa atau menangis sendiri, rasa tidak percaya kepada orang lain, dan gelisah.
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) beberapa hal yang harus dikaji antara lain sebagai
berikut.
1. Status mental
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal, kecuali
bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
b. Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri
dan mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas
depresi ringan.
f. Pasien dengan waham tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap kecuali
pada pasien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa pasien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.
2. Sensorium dan kognisi (Kaplan dan Sadock, 1997)
a. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki
waham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
b. Daya ingat dan proses kognitif pasien dengan utuh (intact).
c. Pasien waham hampir seluruh memiliki daya tilik diri (insight) yang jelek.
d. Pasien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya, keputusan
yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi pasien adalah dengan
menilai perilaku masa lalu, masa sekarang, dan yang direncanakan.
Tanda dan gejala waham dapat juga dikelompokkan sebagai berikut.
1. Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya.
c. Sulit berpikir realita.
d. Tidak mampu mengambil keputusan.
2. Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Afek tumpul
3. Perilaku dan hubungan sosial
a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresif
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktivitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsif
i. Curiga
4. Fisik
a. Kebersihan kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. Berat badan menurun
e. Nafsu makan berkurang dan sulit tidur
DIAGNOSIS
Pohon Masalah
Risiko kerusakan komunikasi verbal
Perubahan proses pikir: waham
Gangguan konsep diri:
harga diri rendah: kronis
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.
2. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah
RENCANA INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
b. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
c. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
d. Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.
2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya.
1) Mengucapkan salam terapeutik.
2) Berjabat tangan.
3) Menjelaskan tujuan interaksi.
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu orientasi realitas.
1) Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
2) Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
3) Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
4) Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa
memberikan dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti
membicarakannya.
5) Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
c. Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah.
1) Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional
pasien.
2) Berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki.
3) Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
4) Berdiskusi tentang obat yang diminum.
5) Melatih minum obat yang benar.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien.
b. Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi
oleh wahamnya.
c. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.
2. Tindakan
a. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien.
b. Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut.
1) Cara merawat pasien waham di rumah.
2) Follow up dan keteraturan pengobatan.
3) Lingkungan yang tepat untuk pasien.
c. Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek
samping, akibat penghentian obat).
d. Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang memerlukan konsultasi segera.
PENGERTIAN HALUSINASI
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya rangsangan
dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan
salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman.
Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada.
Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas. Salah satu
manifestasi yang muncul adalah halusinasi yang membuat pasien tidak dapat menjalankan
pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari.
RENTANG RESPONS NEUROBIOLOGI
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, waham merupakan gangguan pada isi
pikiran. Keduanya merupakan gangguan dari respons neorobiologi. Oleh karenanya secara
keseluruhan, rentang respons halusinasi mengikuti kaidah rentang respons neorobiologi.
Rentang respons neorobiologi yang paling adaptif adalah adanya pikiran logis dan
terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Rentang respons yang paling maladaptif adalah
adanya waham, halusinasi, termasuk isolasi sosial menarik diri. Berikut adalah gambaran
rentang respons neorobiologi.
Adaptif Maladaptif
• Pikiran logis.
• Persepsi akurat.
• Emosi konsisten dengan
pengalaman.
• Perilaku cocok.
• Hubungan sosial harmonis.
• Kadang proses pikir tidak
terganggu.
• Ilusi.
• Emosi tidak stabil.
• Perilaku tidak biasa.
• Menarik diri.
• Gangguan proses berpikir/
waham.
• Halusinasi.
• Kesukaran proses emosi.
• Perilaku tidak terorganisasi.
• Isolasi sosial.
Gambar 9.1 Rentang Respons Neurologi
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Faktor Predisposisi
1. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang dapat
meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi. Pasien
mungkin menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi
tidak efektif.
2. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa disingkirkan atau
kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti delusi
dan halusinasi.
3. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau peran yang
bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir dengan pengingkaran terhadap
kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
4. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi realitas, serta
dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal, perubahan besar, serta bentuk sel
kortikal dan limbik.5. Faktor genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan pada pasien
skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang salah satu anggota
keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan lebih tinggi jika kedua orang tua
skizofrenia.
Faktor Presipitasi
1. Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas keluarga,
perpisahan dengan orang yang penting, atau diasingkan dari kelompok dapat
menimbulkan halusinasi.
2. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat halusigenik
diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi.
3. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan
mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi realitas. Pasien
mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
4. Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas berkaitan
dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan sosial.
DIAGNOSIS
Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan.
Perubahan persepsi sensosi: halusinasi.
Isolasi sosial: menarik diri.
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
halusinasi.
2. Perubahan persepsi sensor: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.RENCANA INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi hal berikut.
a. Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya.
b. Pasien dapat mengontrol halusinasinya.
c. Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.
2. Tindakan keperawatan
a. Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdiskusi dengan pasien
tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi, frekuensi
terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul, dan respons
pasien saat halusinasi muncul.
b. Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar mampu
mengontrol halusinasi, Anda dapat melatih pasien empat cara yang sudah terbukti
dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai berikut.
1) Menghardik halusinasi.
2) Bercakap-cakap dengan orang lain.
3) Melakukan aktivitas yang terjadwal.
4) Menggunakan obat secara teratur.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit maupun di
rumah.
b. Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b. Berikan pendidikan kesehatan tentang pengertian halusinasi, jenis halusinasi yang
dialami pasien, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, serta cara
merawat pasien halusinasi.
c. Berikan kesempatan kepada keluarga untuk memperagakan cara merawat pasien
dengan halusinasi langsung di hadapan pasien.
d. Buat perencanaan pulang dengan keluarga.
PENGERTIAN PERILAKU KEKERASAN
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang diarahkan
pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat
berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran
diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai atau
membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak
lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada di lingkungan. Pasien yang dibawa
ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di rumah. Perawat harus jeli
dalam melakukan pengkajian untuk menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan
selama di rumah.
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah yang paling
maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel yang timbul sebagai respons
terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman.
(Stuart dan Sundeen, 1991). Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif
yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol,
yang individu dapat merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991).
RENTANG RESPONS MARAH
Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Gambar 10.1 Rentang Respons Marah
Keterangan:
Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.
Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.
Pasif : Respons lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan perasaan.
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol.GEJALA ATAU TANDA MARAH (PERILAKU)
1. Emosi
a. Tidak adekuat
b. Tidak aman
c. Rasa terganggu
d. Marah (dendam)
e. Jengkel
2. Intelektual
a. Mendominasi
b. Bawel
c. Sarkasme
d. Berdebat
e. Meremehkan
3. Fisik
a. Muka merah
b. Pandangan tajam
c. Napas pendek
d. Keringat
e. Sakit fisik
f. Penyalahgunaan zat
g. Tekanan darah meningkat
4. Spiritual
a. Kemahakuasaan
b. Kebijakan/kebenaran diri
c. Keraguan
d. Tidak bermoral
e. Kebejatan
f. Kreativitas terlambat
5. Sosial
a. Menarik diri
b. Pengasingan
c. Penolakan
d. Kekerasan
e. Ejekan
f. Humor
PROSES TERJADINYA AMUK
Amuk merupakan respons kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan
marah dan bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak
diri sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991). Amuk adalah respons marah terhadap
adanya stres, rasa cemas, harga diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan.
Respons marah dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal
dapat berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara eksternal dapat
berupa perilaku destruktif agresif. Respons marah dapat diungkapkan melalui tiga cara yaitu
(1) mengungkapkan secara verbal, (2) menekan, dan (3) menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan menggunakan katakata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti orang lain akan memberikan
kelegaan pada individu. Apabila perasaan marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan
menentang, biasanya dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan amuk.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Faktor Predisposisi
1. Psikoanalisis
Teori ini menyatakan bahwa perilaku agresif adalah merupakan hasil dari dorongan
insting (instinctual drives).
2. Psikologis
Berdasarkan teori frustasi-agresif, agresivitas timbul sebagai hasil dari peningkatan
frustasi. Tujuan yang tidak tercapai dapat menyebabkan frustasi berkepanjangan.
3. Biologis
Bagian-bagian otak yang berhubungan dengan terjadinya agresivitas sebagai berikut.
a. Sistem limbik
Merupakan organ yang mengatur dorongan dasar dan ekspresi emosi serta perilaku
seperti makan, agresif, dan respons seksual. Selain itu, mengatur sistem informasi
dan memori.
b. Lobus temporal
Organ yang berfungsi sebagai penyimpan memori dan melakukan interpretasi
pendengaran.
c. Lobus frontal
Organ yang berfungsi sebagai bagian pemikiran yang logis, serta pengelolaan emosi
dan alasan berpikir.
d. Neurotransmiter
Beberapa neurotransmiter yang berdampak pada agresivitas adalah serotonin
(5-HT), Dopamin, Norepineprin, Acetylcholine, dan GABA
4. Perilaku (behavioral)
a. Kerusakan organ otak, retardasi mental, dan gangguan belajar mengakibatkan
kegagalan kemampuan dalam berespons positif terhadap frustasi.
b. Penekanan emosi berlebihan (over rejection) pada anak-anak atau godaan (seduction)
orang tua memengaruhi kepercayaan (trust) dan percaya diri (self esteem)
individu.
c. Perikaku kekerasan di usia muda, baik korban kekerasan pada anak (child abuse)
atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga memengaruhi penggunaan kekerasan
sebagai koping.
Teori belajar sosial mengatakan bahwa perilaku kekerasan adalah hasil belajar dari
proses sosialisasi dari internal dan eksternal, yakni sebagai berikut.
a. Internal : penguatan yang diterima ketika melakukan kekerasan.
b. Eksternal : observasi panutan (role model), seperti orang tua, kelompok,
saudara, figur olahragawan atau artis, serta media elektronik
(berita kekerasan, perang, olahraga keras).
5. Sosial kultural
a. Norma
Norma merupakan kontrol masyarakat pada kekerasan. Hal ini mendefinisikan
ekspresi perilaku kekerasan yang diterima atau tidak diterima akan menimbulkan
sanksi. Kadang kontrol sosial yang sangat ketat (strict) dapat menghambat ekspresi
marah yang sehat dan menyebabkan individu memilih cara yang maladaptif
lainnya.
b. Budaya asertif di masyarakat membantu individu untuk berespons terhadap marah
yang sehat.
Faktor sosial yang dapat menyebabkan timbulnya agresivitas atau perilaku kekerasan
yang maladaptif antara lain sebagai berikut.
a. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan hidup.
b. Status dalam perkawinan.
c. Hasil dari orang tua tunggal (single parent).
d. Pengangguran.
e. Ketidakmampuan mempertahankan hubungan interpersonal dan struktur keluarga
dalam sosial kultural.
Faktor Presipitasi
Semua faktor ancaman antara lain sebagai berikut.
1. Internal
a. Kelemahan.
b. Rasa percaya menurun
c. Takut sakit.
d. Hilang kontrol.
2. Eksternal
a. Penganiayaan fisik.
b. Kehilangan orang yang dicintai.
c. Kritik.
Diagnosis
Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan.
Perilaku kekerasan.
Gangguan konsep diri: harga diri rendah.
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan perilaku
kekerasan.
2. Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
RENCANA INTERVENSI
Risiko Perilaku Kekerasan
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b. Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
c. Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya.
d. Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya.
e. Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya.
f. Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara fisik, spiritual,
sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
2. Tindakan
a. Bina hubungan saling percaya.
1) Mengucapkan salam terapeutik.
2) Berjabat tangan.
3) Menjelaskan tujuan interaksi.
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini dan masa lalu.
c. Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan.
1) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik.
2) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis.
3) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial.
4) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual.
5) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual.
d. Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat
marah secara:
1) verbal,
2) terhadap orang lain,
3) terhadap diri sendiri,
4) terhadap lingkungan.
e. Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya.
f. Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
1) fisik, misalnya pukul kasur dan batal, tarik napas dalam;
2) obat;
3) sosial/verbal, misalnya menyatakan secara asertif rasa marahnya;
4) spiritual, misalnya sholat atau berdoa sesuai keyakinan pasien.
g. Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik, yaitu latihan napas dalam dan
pukul kasur/bantal, secara sosial/verbal, secara spiritual, dan patuh minum obat.
h. Ikut sertakan pasien dalam terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi mengontrol
perilaku kekerasan.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
Keluarga dapat merawat pasien di rumah.
2. Tindakan
a. Diskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam merawat pasien.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang perilaku kekerasan (penyebab, tanda dan
gejala, serta perilaku yang muncul dan akibat dari perilaku tersebut).
c. Diskusikan bersama keluarga kondisi-kondisi pasien yang perlu segera dilaporkan
kepada perawat, seperti melempar atau memukul benda/orang lain
d. Latih keluarga merawat pasien dengan perilaku kekerasan.
1) Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien melakukan tindakan yang telah
diajarkan oleh perawat.
2) Ajarkan keluarga untuk memberikan pujian kepada pasien bila pasien dapat
melakukan kegiatan tersebut secara tepat.
3) Diskusikan bersama keluarga tindakan yang harus dilakukan bila pasien
menunjukkan gejala-gejala perilaku kekerasan.
e. Buat perencanaan pulang bersama keluarga.
Strategi Penahanan
Stategi Preventif Strategi Antisipasi Strategi Penahanan
• Kesadaran diri
• Pendidikan pasien
• Latihan asertif
• Komunikasi
• Perubahan lingkungan
• Perilaku
• Psikofarmakologi
• Manajemen krisis
• Pengasingan
• Pengendalian/pengekangan
Gambar 10.3 Rangkaian Intervensi Keperawatan dalam Manajemen Perilaku Kekerasan
Manajemen Krisis
1. Identifikasi pemimpin tim krisis.
2. Susun atau kumpulkan tim krisis.
3. Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
4. Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
5. Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
6. Susun strategi dan beritahu anggota lain.
7. Tugas penanganan pasien secara fisik.
8. Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono, karena perilaku
Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika Tono sudah dapat mengontrol perilakunya,
kami akan lepaskan”.
9. Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).
10. Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
11. Jaga tetap kalem dan konsisten.
12. Evaluasi tindakan dengan tim.
13. Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
14. Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.
Pengasingan
Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di tempat yang aman dan
cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya adalah melindungi pasien, orang lain, dan
staf dari bahaya. Hal ini legal jika dilakukan secara terapeutik dan etis. Prinsip pengasingan
antara lain sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 1995: 738).
1. Pembatasan gerak
a. Aman dari mencederai diri.
b. Lingkungan aman dari perilaku pasien.
2. Isolasi
a. Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid.
b. Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap.
3. Pembatasan input sensoris
Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.
Pengekangan
Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien, serta melindungi pasien
dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain sebagai berikut.
1. Ketidakmampuan mengontrol perilaku.
2. Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.
3. Hiperaktif dan agitasi.
Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut.
1. Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
2. Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
3. Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi, dan membuka
ikatan untuk latihan gerak.
4. Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan perawatan diri.
5. Selengkapnya baca Stuart dan Sundeen (1995: 739) dan pedoman pengikatan.
PENGERTIAN BUNUH DIRI
Bunuh diri merupakan tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan (Wilson dan Kneisl, 1988). Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
pasien berada dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif.
Situasi gawat pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana
yang spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. Oleh
karena itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan perawat yang tinggi dalam merawat
pasien dengan tingkah laku bunuh diri, agar pasien tidak melakukan tindakan bunuh diri.
Menurut Stuart dan Sundeen (1995), faktor penyebab bunuh diri adalah perceraian,
pengangguran, dan isolasi sosial. Sementara menurut Tishler (1981) (dikutip oleh Leahey
dan Wright, 1987) melalui penelitiannya menyebutkan bahwa motivasi remaja melakukan
percobaan bunuh diri, yaitu 51% masalah dengan orang tua, 30% masalah dengan lawan
jenis, 30% masalah sekolah, dan 16% masalah dengan saudara.
RENTANG RESPONS PROTEKTIF DIRI
Adaptif Maladaptif
Peningkatan Diri Pertumbuhan
Peningkatan
Berisiko
Perilaku
destruktif diri
tak langsung
Pencederaan
diri
Bunuh diri
Gambar 11.1 Rentang Respons Protektif Diri
Keterangan
1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat.
2. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan
fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti perilaku merusak, mengebut,
berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan
zat, perilaku yang menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang dilakukan
dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa bantuan orang
lain, dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku
pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau
anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
5. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan.
Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi untuk bunuh
diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri, mengembangkan gagasan
sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri
merupakan masalah keperawatan yang harus mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien
berhasil mencoba bunuh diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan
beberapa mitos (pendapat yang salah) tentang bunuh diri.
MITOS TENTANG BUNUH DIRI
1. Mitos: Ancaman bunuh diri hanya cara individu untuk menarik perhatian dan tidak
perlu dianggap serius.
Fakta: Semua perilaku bunuh diri harus dianggap serius.
2. Mitos: Bunuh diri tidak memberi tanda.
Fakta: Delapan dari 10 individu memberi tanda secara verbal atau perilaku sebelum
melakukan percobaan bunuh diri.
3. Mitos: Berbahaya membicarakan pikiran bunuh diri pada pasien.
Fakta: Hal yang paling penting dalam perencanaan keperawatan adalah pengkajian yang
akurat tentang rencana bunuh diri pasien.
4. Mitos: Kecenderungan bunuh diri adalah keturunan.
Fakta: Tidak ada data dan hasil riset yang menyokong pendapat ini karena pola perilaku
bunuh diri bersifat individual.
KLASIFIKASI BUNUH DIRI
Jenis Bunuh Diri
1. Bunuh diri egoistik
Akibat seseorang yang mempunyai hubungan sosial yang buruk
2. Bunuh diri altruistik
Akibat kepatuhan pada adat dan kebiasaan.
3. Bunuh diri anomik
Akibat lingkungan tidak dapat memberikan kenyamanan bagi individu.
Pengelompokan Bunuh Diri
1. Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin bunuh
diri, misalnya dengan mengatakan “Tolong jaga anak-anak karena saya akan pergi
jauh!” atau “Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi ini pasien mungkin
sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, tetapi tidak disertai dengan ancaman
dan percobaan bunuh diri. Pasien umumnya mengungkapkan perasaan seperti rasa
bersalah/sedih/marah/putus asa/tidak berdaya. Pasien juga mengungkapkan hal-hal
negatif tentang diri sendiri yang menggambarkan