ODGJ A

Rabu, 12 Juli 2023

ODGJ A


Fenomena gangguan jiwa pada saat ini 
mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dan 
setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah 
penderita gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data 
dari World Health Organisasi (WHO) ada sekitar 450 
juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa. 
WHO menyatakan setidaknya satu dari empat orang di 
dunia mengalami masalah mental. Prevalensi gangguan 
jiwa berat pada penduduk berjumlah 1,7 per mil dari 
populasi. Selanjutnya ditemukan 14,3 persen [%] orang 
dengan gangguan jiwa pernah mengalami pemasungan 
di dalam proses kehidupannya.
North America Nursing Diagnosis Association
menyatakan bahwa perilaku agresif merupakan salah 
satu gangguan perilaku dimana seseorang berisiko 
melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa 
tindakan individu dapat membahayakan diri sendiri dan 
orang lain secara fisik, emosional dan atau seksual yang 
tidak sesuai dengan norma lokal, kultural dan 
menganggu fungsi sosial, kerja dan fisik individu 
 Umumnya klien 
dengan perilaku agresif dibawa dengan paksa ke rumah 
sakit sering tampak diikat secara tidak manusiawi 
disertai dengan bentakan dan pengawalan oleh 
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku 
agresif seperti memukul anggota keluarga atau orang 
lain, merusak alat rumah tangga dan marah marah 
merupakan alasan utama yang paling banyak 
dikemukakan oleh keluarga sebagai penyebab pasien 
dibawa ke Rumah Sakit.
Persentase Rumah Tangga yang memiliki ART 
gangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut 
Propinsi [Riskesdas, Tahun 2013], sebagai berikut: Aceh 
[13,3%], Sumatera Utara [17,2%], Sumatera Barat 
[13,9%], Riau [17,8%], Kalimantan selatan [28,5%], 
Kalimantan Tengah [27,0%] dan NTB [31,4%].
Pasung merupakan tindakan dengan metode 
manual yang menggunakan materi atau alat mekanik 
yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh orang 
dengan gangguan jiwa dengan membuat tidak dapat 
bergerak dengan mudah atau membatasi kebebasan 
bergerak. Apapun alasannya upaya pemasungan adalah 
suatu tindakan yang tidak manusiawi.
perilaku agresif adalah suatu respon 
terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam 
atau ancaman yang memancing amarah yang dapat 
membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai 
suatu cara untuk melawan atau menghukum yang 
berupa Tindakan menyerang, merusak, hingga 
membunuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku 
agresif adalah Tindakan yang dilakukan untuk 
menyakiti atau melukai orang lain atau merusak benda 
dengan unsur kesengajaan baik fisik maupun psikis.
Penyebab perilaku agresif muncul pada individu 
berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam 
diri individu, sebab-sebab muncul perilaku agresif 
sebagai berikut: adanya serangan dari orang lain, 
terjadinya frustasi dalam diri seseorang, Ekspektasi 
pembalasan atau motivasi untuk balas dendam, 
kompetisi.
Faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif 
[ adalah 
sebagai berikut: 1. Faktor Psikologis,seperti kerusakan otak organic dan 
retardasi mental, adanya seduction parental yang 
telah merusak hubungan saling percaya dan harga 
diri, terpapar kekerasan selama masa perkem￾bangan termasuk child abuse.
2. Faktor sosial budaya, social learning theory, teori ini 
mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda 
dengan respon-respon yang lain. Agresif dapat 
dipelajari melalui observasi atau imitasi dan 
semakin sering mendapatkan penguatan, maka 
semakin besar kemungkinan untuk terjadi. 
3. Faktor biologis, dorongan agresif mempunyai dasar 
biologis karena adanya pemberian stimulus elektis 
ringan pada hipotalamus yang dapat menimbulkan 
perilaku agresif.
Deteksi Potensi Agresif pada seseorang yang 
potensial melakukan tindak kekerasan adalah sebagai 
berikut: 
1. Memahami pola pikiran seseorang dengan 
hostilitas dan potensi melakukan Tindakan 
kekerasan. Seseorang pada hakekatnya 
membutuhkan kesempatan untuk dapat 
menyampaikan pendapatnya, berikan kesempatan 
untuk dapat menyampaikan pendapatnya, berikan kesempatan padanya untuk mengutarakan isi 
pikiran sekalipun pemahamannya menyimpang.
2. Sikap Empati, yaitu: seperti, Hindari sikap 
konfrontatif mengancam, Alternatif solusi 
penyelesaian masalah, bergerak kearah win-win 
solution. Mengalihkan fokus dari apa yang tidak 
dapat anda lakukan menjadi apa yang dapat anda 
lakukan. 
Perilaku Agresif klien dengan ODGJ, seperti 
marah-marah, mengamuk, menjerit, memukul-mukul 
benda atau orang yang ada disekitarnya. Kondisi 
tersebut sering direspon dengan pihak keluarga dengan 
emosional kepada ODGJ sampai dengan Tindakan 
pemasungan.
Undang-Undang No. 36 tahun 2019 pasal 148 ayat 
1 menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai 
hak yang sama sebagaimana warga negara sementara. 
Pasal 149 menyatakan penderita penderita gangguan 
jiwa yang terlantar, mengelandang, mengancam 
keselamatan dirinya, dan/atau orang lain atau 
menganggu ketertiban dan keamanan umum wajib 
mendapatkan pengobatan dan perawatan difalisitas 
pelayanan Kesehatan.Tindakan pemasungan terhadap orang dengan 
gangguan jiwa adalah perbuatan yang dilarang dan 
diancam oleh pidana Undang-Undang No.18 tahun 
2014 tentang Kesehatan jiwa pasal 86, menyatakan 
setiap orang yang dengan sengaja melakukan 
pemasungan, penelantaran, kekerasan atau menyuruh 
orang lain melakukan pemasungan, penelantaran atau 
kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa maka 
dapat dipidanakan sesuai peraturan perundang￾undangan yang telah ditetapkan.
Dalam upaya kesehatan jiwa berdasarkan pasal 2 
UU No. 18 tahun 2014 dengan berazaskan keadilan, 
perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas, 
komprehensif, perlindungan dan non diskriminasi. 
Diharapak penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa 
dengan menerapkan prinsip-prinsip keterjangkauan, 
keadilan, perlindungan hak azazi manusia, terpadu, 
terkoordinasi, berkelanjutan, efektif membina 
hubungan lintas sektor, melakukan pembagian wilayah, 
pelayanan dan bertanggung jawab terhadap konsidi 
kesehatan jiwa seluruh populasi di wilayah kerjanya.
Pengelolaan dan penyelenggaraan upaya kesehatan 
jiwa, sebagai berikut :
1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas 
kesehatan jiwa yang baik, menikmati kehidupan 
kejiwaan yang sehat, bebas, dari ketakutan, 
tekannan dan gangguan lain yang dapat 
mengganggu kesehatan jiwa.
2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan 
berbagai potensi kenyamanan, memberikan 
perlindungan dan menjamin pelayanan 
kesehatan jiwa bagi orang dengan masalah 
kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa 
berdasarkan hak azazi manusia.3. Memberikan pelayanan kesehatan secara 
terintegrasi, komprehensip dan 
berkesinambungan melalui upaya promotif, 
preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi orang 
dengan masalah kejiwaan dan orang dengan 
gangguan jiwa.
4. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan 
sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa.
5. Meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai 
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan 
teknologi
6. Memberikan kesempatan kepada orang dengan 
masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan 
jiwa untuk dapat memperoleh haknya sebagai 
warga negara Indonesia.
Pendekatan keluarga adalah salah satu cara 
puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan 
mendekatkan akses pelayanan Kesehatan di wilayah 
kerjanya dengan mendatangi keluarga sebagai fokus 
dalam pendekatan pelaksanaan program Indonesia 
sehat , terdapat dua 
fungsi keluarga yaitu : 
1. Fungsi afektif, keluarga berperan utama 
mempersiapkan anggota keluarga berhubungan 
dengan orang lain.2. Fungsi sosialisasi yaitu keluarga mempersiapkan 
anggota keluarganya dalam berinteraksi sosial 
dalam lingkungan sosialnya. Keluarga sangat 
memegang fungsi yang penting dalam 
meningkatkan derajat Kesehatan anggota 
keluarganya. 
Konsep Peran Keluarga, merupakan aspek dinamis 
kedudukan [status], apabila seseorang melaksanakan 
hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, 
maka dapat menjalankan suatu peranan. Disimpulkan 
peran adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan 
oleh banyak orang atau sekelompok orang terhadap 
seseorang yang memiliki status atau kedudukan 
tertentu.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang 
hidup dalam satu rumah tangga karena adanya 
hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka 
saling ketergantungan satu sama lain, mempunyai 
peran masing-masing dan menciptakan serta 
mempertahankan suatu budaya , tugas 
Keluarga dalam Kesehatan sebagai berikut: 
1. Mengenal masalah Kesehatan keluarga, Kesehatan 
merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh 
diabaikan. 
2. Memutuskan Tindakan Kesehatan yang tepat bagi 
keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang 
utama untuk mencari pertolongan yang tepat 
sesuai dengan keadaan keluarga.
3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan 
Kesehatan, sering kali keluarga telah mengambil 
Tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga 
memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh 
keluarga sendiri.
4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin 
keluarga sehat. Modifikasi lingkungan keluarga 
dilakukan agar keluarga merasa nyaman dan aman 
sehingga perilaku agresif tidak timbul.
5. Memanfaatkan fasilitas Kesehatan disekitarnya bagi 
keluarga. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas 
yang ada disekitar rumah, misalnya puskesmas.
Berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan 
literature dan praktek kesehatan jiwa, maka 
penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) 
meliputi dua jenis yakni pelayanan kuratif dan 
pelayanan rehabilitatif, pelayanan kuratif merupakan 
upaya menstabilkan kondisi kejiwaan pasien mulai dari 
mendiagnosa, pengurangan/pemulihan serta 
pengendalian. Dalam pelayanan kuratif ini sangat 
penting peran dari keluarga/ masyarakat, kepala desa/ 
lingkungan, kader kesehatan, dokter spesialis jiwa 
dalam mendukung keberhasilan stabilisasi orang 
dengan gangguan jiwa. Selain itu dukungan fasilitas 
pelayanan kesehatan meliputi puskesmas dan jejaring 
klinik pratama dan praktik dokter dengan kompetensi 
pelayanan kesehatan jiwa di RSU, RSJ dan rumah 
perawatan pada pelayanan kuratif terhadap orang 
dengan gangguan jiwa ini. Beberapa hal yang sangat penting diperhatikan antara 
lain, sebagai berikut:
1. Partisipasi masyarakat untuk melaporkan orang 
dengan gangguan jiwa terutama yang dipasung dan 
menyerahkan ke fasilitas kesehatan jiwa dilakukan 
pemulihan atau stabilitasi kejiwaan. Dalam tahap 
ini sangat penting untuk memberikan kesadaran 
kepada masyarakat terkait dengan orang gangguan 
kejiwaan, untuk itu media sosialisasi orang dengan 
gangguan jiwa dan pasung sangat penting untuk 
dilakukan. 
2. Selain partisipasi masyarakat atau kader kesehatan 
perlu sistem jemput bola dari tim kesehatan 
pemerintah daerah juga sangat penting dalam hal 
ini untuk dapat melakukan pemantauan kepada 
orang dengan gangguan jiwa.
3. Investigasi orang dengan gangguan jiwa dilakukan 
oleh tim kesehatan, perangkat desa, kader 
kesehatan, petugas rumah sakit /puskesmas/ dinas 
kesehatan untuk membebaskan dan memutuskan 
langkah rehabilitasi berikutnya.
4. Pemeriksaan kondisi orang dengan gangguan jiwa 
oleh dokter spesialis untuk menentukan sistem 
pengobatan.5. Orang dengan gangguan jiwa dengan kondisi parah 
yang membahayakan diri sendiri / orang lain 
mendapatkan rujukan untuk perawatan 
menstabilisasikan kejiwaan nya di RSJ sampai ODGJ 
pada kondisi tertentu dan dapat dilakukan 
perawatan di rumah.
6. Orang dengan gangguan jiwa pada kondisi ringan 
yang tidak membahayakan diri sendiri/ orang lain 
dapat dilakukan pengobatan di rumah. Pengobatan 
di rumah pada umumnya keluarga pasien 
mendatangi fasilitas kesehatan, seperti RSJ/ 
Puskesmas untuk memeriksaan secara rutin dan 
pengambilan obat. 
Namun kondisi ini perlu dipertimbangkan 
keterjangkauannya wilayah, tempat, daerah dan waktu 
tempuh, maka perlu diperioritaskan bagi keluarga 
miskin karena pada umumnya mereka terkendali 
dengan biaya transportasi ke fasilitasi kesehatan oleh 
karena itu untuk kasus seperti ini tim kesehatan perlu 
peran aktif untuk memberikan pelayanan antar obat ke 
pasien dan pemeriksaan dari rumah ke rumah dengan 
melibatkan kader kesehatan.A. Deteksi Potensi Perilaku Agresif
Adalah memahami pola pikiran seseorang 
secara keseluruhan dan memahami potensi 
melakukan Tindakan kekerasan dengan cara diberi 
kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan isi 
pikiran.
B. Bersikap Empati
Menghindari sikap konfrontatif mengancam 
dalam menangani klien dengan perilaku agresif, 
Mencari alternatif solusi penyelesaian masalah 
dalam menangani klien dengan perilaku agresif, 
solusi penyelesaian masalah tersebut bergerak 
kearah win-win solution.
C. Penatalaksanaan Perilaku Agresif
1. Tetap Berkomunikasi dengan Klien ODGJ sesuai 
kemampuan dan kebutuhan.
Komunikasi memegang peranan penting dalam 
tahapan proses kesembuhan klien dengan ODGJ. Dengan Komunikasi yang baik dan lancar 
akan mempercepat proses penyembuhan.
2. Penuhi kebutuhan fisiologi klien dengan ODGJ, 
seperti: makan, minum, rasa aman, dan 
nyaman.
Pemenuhan kebutuhan fisiologi pada pasien 
ODGJ harus diperhatikan dengan baik agar 
terpenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi klien ODGJ 
dengan baik. Selanjutnya dengan terjaminnya 
kebutuhan gizi akan mencegah terjadinya 
komplikasi penyakit yang lain.
3. Tempatkan klien dengan ODGJ di ruangan yang 
mudah dalam pengamatan kita setiap saat.
Setiap saat klien dengan ODGJ harus tetap kita 
amati dari setiap aktivitas dan pergerakannya
untuk mencegah Tindakan agresif klien dengan
ODGJ seperti melukai diri sendiri sampai 
Tindakan bunuh diri.
4. Tempatkan ODGJ di ruangan yang cukup 
ventilasi.
Dengan cukup ventilasi bagi klien ODGJ akan 
memberikan sirkulasi udara yang baik dan 
bersih sebagai upaya proses penyembuhan 
klien dengan ODGJ.5. Jauhkan dari barang – barang atau alat yang 
berbahaya, seperti: gunting, silet, tali, kayu, 
barang pecah belah yang terbuat kaca dan 
logam.
Alat-alat yang berbahaya ini harus disingkirkan 
dari jangkauan klien dengan ODGJ. Supaya 
keselamatan klien ODGJ tetap terjamin.
6. Jangan tempatkan ODGJ di ruangan atas [lantai 
atas]. Tindakan ini juga untuk menjaga 
keselamatan klien ODGJ. Sebagai upaya 
mencegah terjadinya Tindakan agresif. Seperti 
terjun dari lantai atas.
7. Ciptakan suasana konduksif bagi ODGJ agar 
tidak memancing perilaku agresif dari klien 
ODGJ.
Dengan suasana konduksif bagi ODGJ dapat 
meningkatkan peran dan interaksi yang 
maksimal dengan klien ODGJ sehingga dapat 
mengurangi pemicu perilaku agresif bagi klien 
ODGJ. 
8. Berikan obat therapi dokter sesuai dosis dan 
aturan minum bagi klien ODGJ
Pemberian therapi yang sesuai dengan dosis, 
waktu pemakaian yang tepat maka akan 
mempercepat proses penyembuhan.
9. Klien dengan ODGJ kerap diajak berkomunikasi 
secara rutin.
 Dengan rutin berkomunikasi diharapkan klien 
ODGJ akan terbina interaksi yang konduktif 
sebagai proses penyembuhannya.
10. Klien dengan ODGJ diberikan aktivitas Latihan 
motorik berupa pekerjaan Rumah Tangga yang 
simple, seperti: menyapu, merapikan kamar tidur, 
mengepel lantai.,dan lain-lain.
11. Klien dengan ODGJ jangan diperlakukan kasar baik 
verbal maupun fisik selama dalam perawatan jalan 
di rumah.
 Dengan menghindari Tindakan kekasaran baik 
verbal maupun fisik maka akan mengurangi 
pemicu/pencetus terjadinya Tindakan agresif bagi
klien dengan ODGJ.




Gangguan jiwa (mental disorder) 
merupakan salah satu dari empat masalah 
kesehatan yang utama selain penyakit 
degeneratif, kanker dan kecelakaan. Meskipun 
tidak menyebabkan kematian secara langsung 
namun gangguan jiwa dapat menyebabkan 
ketidakmampuan serta invaliditas baik secara 
individu maupun kelompok sehingga berpotensi 
menghambat pembangunan ,
serta pengaruhnya pada produktivitas manusia 
dan juga kaitannya dengan kasus-kasus kriminal 
seperti bunuh diri ,Menurut data empiris World Health 
Organitation (WHO) menyebutkan tahun 2007, 
tiga per mil penduduk suatu wilayah mengalami 
gangguan jiwa dan 19 per mil mengalami stres 
bahkan diperkirakan pada saat ini, 450 juta orang 
di seluruh dunia terkena dampak permasalahan 
jiwa, saraf, maupun perilaku dan jumlahnya 
terus meningkat. Lebih jauh telah diprediksi oleh 
WHO bahwa satu dari empat keluarga memiliki 
sekurang-kurangnya satu anggota keluarga yang 
memiliki gangguan mental.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS) 
Kalimantan Selatan tahun 2003, jumlah 
permintaan pelayanan kesehatan jiwa di 
Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sebanyak 
3.201.962 jiwa diketahui angka kesakitan jiwa 
berat dengan jumlah 128.079 jiwa, sedangkan 
populasi anak sebanyak 128.079 jiwa dan yang 
perlu penanganan jiwa 192.000 jiwa. Sebagian 
besar pasien gangguan jiwa yang dirawat di 
rumah sakit mengalami halusinasi. Pasien dengan 
halusinasi adalah sering mengalami gangguan 
pemenuhan perawatan diri . Banyak gangguan kesehatan yang 
diderita seseorang karena tidak terpeliharanya 
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan 
fi sik yang paling sering terjadi adalah gangguan 
membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan 
telinga, gangguan fi sik pada kuku dan yang paling banyak ditemukan penyakit kulit dan 
gangguan integritas kulit. Masalah sosial yang 
berhubungan dengan kebersihan diri adalah 
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan 
dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri, 
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial 
,Ekpresi secara verbal apa 
yang dirasakan pasien, menumbuhkan perasaan 
positif terhadap diri, penerimaan diri dan konsep 
dirinya, dengan cara mengkomunikasikan dan 
memberikan motivasi serta dukungan berupa 
nasehat dan reward (hadiah) agar pasien dapat 
berinteraksi dan bekerja sama dengan peneliti.
Upaya untuk meningkatkan perawatan 
diri pada pasien halusinasi yaitu dengan 
menggunakan metode partisipatif dan metode 
pemberian reward (hadiah) berupa alat mandi 
(sabun) untuk memberikan motivasi pasien 
halusinasi melakukan status pemeliharaan 
kebersihan dirinya sendiri. Tujuan penelitian 
ini adalah untuk menganalisis pengaruh metode 
partisipatif dan metode pemberian reward 
(hadiah) terhadap perawatan diri pada pasien 
halusinasi di Rumah Sakit Jantung (RSJ) 
Sambang Lihum Banjarmasin.
Rancangan Penelitian ini menggunakan 
ekperimen dengan pendekatan pra eksperimen, 
yaitu mengukur perawatan diisi sesudah 
pemberian intervensi metode partisipasif dan 
reward pada kedua kelompok. Populasi pada 
penelitian ini adalah semua klien halusinasi yang 
dirawat di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin 
dengan jumlah 118 orang. Teknik sampling 
yang digunakan adalah dengan menggunakan 
nonprobability sampling dengan pendekatan 
purposive sampling, yaitu berdasarkan pada 
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti 
sendiri yaitu pada klien halusinasi (Nursalam, 
2008). Sampel pasien halusinasi dengan jumlah 
55 orang dengan kriteria inklusi klien halusinasi 
yang tidak mengarah keperilaku kekerasan dan 
tenang. Sampel pasien halusinasi pada kriteria 
inklusi adalah 55 orang kemudian dibagi 
menjadi kelompok A 25 orang dan kelompok 
B 30 orang. Instrumen yang digunakan adalah 
dengan observasi dan wawancara.
Alat yang digunakan pada penelitian 
ini adalah alat mandi sabun, shampo (untuk 
keramas), dan pasta gigi (gosok gigi) yang 
digabung dengan peralatan mandi pasien 
lainnya; buku catatan dan pulpen; dan jadwal 
kegiatan klien. Evaluasi dilakukan saat proses 
TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja. 
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan 
klien sesuai tujuan TAK. Kemampuan yang 
diharapkan melakukan apa yang telah diberikan 
oleh terapis. Pengumpulan data dan Analisis. 
Kelompok A dengan mengisi lembar check list 
materi yang diisi oleh peneliti mengenai hal-hal 
yang telah disampaikan menggunakan metode 
partisipatif (TAK) pada setiap indikator ada 
empat point pemberian yang harus disampaikan, 
sedangkan kelompok B dengan menggunakan 
lembar observasi yang akan diisi oleh orang 
kedua. TempatPenelitian dilaksanakan di Rumah 
Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. Waktu
Penelitian dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal
9–16 Juni 2011.
Analisis data yang dilakukan setelah 
semua data terkumpul berupa observasi 
yang diisi oleh pihak kedua, kemudian data 
tersebut diperiksa peneliti untuk mengetahui 
kelengkapan isi datanya. Setelah data lengkap, 
dikelompokkan berdasarkan indikator (kulit, 
rambut, gigi dan mulut). Analisis statistik yang 
digunakan adalah uji mann-whitney u-test. 
Untuk menguji beda mean dari dua sampel. Uji 
U ini tidak memerlukan asumsi distribusi normal 
dan homogenitas varians. 
HASIL
Secara geografis Rumah Sakit Jiwa 
Sambang Lihum terletak di wilayah Kecamatan 
Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan 
Selatan. Rumah Sakit ini terletak 600 m dari 
Jalan Gubernur Syarkawi Km 3,9 arah timur. 
Jalan Gubernur Syarkawi merupakan rencana 
jalan lintas Kalimantan Selatan - Kalimantan 
Tengah. Rumah Sakit ini didirikan pada area 
± 10 hektar, luas bangunan yang ada saat ini 
adalah 11.530 m² dan tanah yang ditempati 
merupakan tanah milik Pemerintah Provinsi 
Kalimantan Selatan Pada tahun 2008 

Peningkatan Kebersihan Diri ,
Rumah Sakit ini memiliki 75 kapasitas tempat 
tidur tahun 2009 memiliki 200 kapasitas tempat 
tidur dan pada tahun 2010 telah memiliki
300 kapasitas tempat tidur.
Jumlah ruang rawat inap yang ada di 
Rumah Sakit ini terdiri dari 16 ruangan yang 
terdiri dari 2 Ruang Rehabilitasi NAPZA dan 
13 ruangan lainnya dibagi menjadi tiga jenis 
ruangan yaitu ruangan akut antara lain akut pria 
dan akut wanita, ruang intermediate yang terdiri 
dari ruang anggrek dan ruang melati, serta ruang 
tenang yang terdiri dari ruang akasia, ruang 
cemara, ruang cendana, ruang keruing, ruang 
mahoni, ruang meranti, ruang pinus dan ruangan 
detoxifi kasi.
Jumlah tenaga perawat pada ruang akut 
sebanyak 26 ruang, jumlah tenaga perawat 
pada ruang intermediate sebanyak 22 orang, 
jumlah tenaga perawat diruang tenang sebanyak 
76 orang dan jumlah tenaga perawat di ruang 
NAPZA sebanyak 20 orang. Jumlah jam kerja 
mengacu pada keputusan Presiden Republik 
Indonesia Nomor 58 Tahun 1964 (37,5 jam/
minggu atau 150 jam/bulan) dengan pembagian 
dinas pagi 7×/bulan, dinas sore dan dinas malam 
masing-masing 6 kali/bulan.
Metode partisipatif mayoritas lama 
perawatan 1–3 bulan 15 orang (60%) (tabel 
1). Pada metode reward (hadiah) mayoritas 
lama perawatan 1–3 bulan 20 orang (66,66%) 
(tabel 2).
Adapun hasil penelitian untuk mengetahui 
perbedaan pengaruh antara dua metode yang 
diberikan. Pada kelompok perlakuan metode 
partisipatif 25 orang dan pada perlakuan 
kelompok metode reward (hadiah) 30 orang. 
Dilakukan sesudah pemberian perlakuan 
menggunakan uji mann whitney dengan tingkat 
kemaknaan 0,05.
Analisis univariat dalam penelitian ini 
bertujuan untuk melihat karakteristik responden 
dari variabel bebas yaitu perlakuan metode 
partisipatif dan perlakuan metode pemberian 
reward (hadiah) tentang pemeliharaan kesehatan 
fisik terhadap status kebersihan diri pada 
pasien halusinasi di RSJ Sambang Lihum 
Banjarmasin.
Responden dalam kategori bersih 8 orang 
(32%) dan status kebersihan diri kurang 11 
orang (44%) dengan sampel 25 orang metode 
partisipatif menggunakan uji mann whitney 
p value 0,001 (tabel 3). Kategori bersih 4 orang 
(13,34%) dan status kebersihan diri kurang 20 
orang (66,66%) dengan sampel 30 orang metode 
reward (hadiah) menggunakan uji mann whitney 
p value 0,001 (tabel 4).
Tabel 1. Karakteristik responden dengan 
perlakuan metode partisipatif 
berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan Metode partisipatif
N %
1–3 bulan 15 60
2–4 bulan 5 20
5–8 bulan 3 12
1–2 tahun 2 8
Total 25 100
Tabel 2. Karakteristik responden dengan 
perlakuan metode reward (hadiah) 
berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan Metode reward (hadiah)
N %
1–3 bulan 20 66,66
2–4 bulan 5 16,67
5–8 bulan 2 6,67
1–2 tahun 3 10
Total 30 100
Tabel 3. Status kebersihan diri pada 
pasien halusinasi dengan metode 
partisipatif 
Status 
Kebersihan 
Diri
Kelompok Patisipatif
n = 25
value
Bersih 8 orang 32%
Cukup 6 orang 24% 0,001
Kurang 11 orang 44%
Jumlah 25 orang 100%
Tabel 4. Status kebersihan diri pada pasien 
halusinasi dengan metode reward
(hadiah) 
Status 
Kebersihan 
Diri
Kelompok reward
(hadiah)
n = 30
P value
Bersih 4 orang 13,34%
Cukup 6 orang 20% 0,001
Kurang 20 orang 66,66%
Jumlah 30 orang 100%

Analisis bivariat dilakukan untuk 
mengetahui perbedaan pengaruh metode 
partisipatif dan metode pemberian reward
(hadiah) tentang pemeliharaan kesehatan fi sik 
terhadap status kebersihan diri pada pasien 
halusinasi di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin. 
Hasil perhitungan dengan uji mann whitney pada 
pasien halusinasi setelah pemberian perlakuan 
dengan metode partisipatif dan metode pemberian 
reward (hadiah) didapat tingkat signifi kan (ρ) = 
0,001, oleh karena tingkat signifi kan (ρ) lebih 
kecil dari 0,05 dapat disimpulkan bahwa ada 
perbedaan pengaruh metode partisipatif dan 
metode pemberian reward (hadiah) tentang 
pemeliharaan kesehatan fi sik terhadap status 
kebersihan diri pada pasien halusinasi di RSJ 
Sambang Lihum Banjarmasin.
Kelompok perlakuan metode partisipatif 
nilai kategori bersih yang paling tinggi pada 
indikator rambut, semua sampel pada tiap 
indikator tidak ada pada bagian kutu dan nilai 
terendah pada indikator kulit pada bagian daki. 
Sedangkan kelompok perlakuan metode reward
(hadiah) kategori bersih (baik) pada indikator
kulit bagian lesi dan nilai terendah (kurang) 
pada kebersihan kulit adanya daki karena hanya 
tiga orang dari 30 sampel yang tidak ada daki 
(tabel 5).
Hasil uji mann whitney didapatkan nilai 
p = 0,001 di mana nilai kemaknaan maka (alpa < 
0,05), maka dapat dikatakan bahwa analisis dari 
kedua kelompok menunjukkan ada perbedaan.

Pembahasan hasil penelitian yang 
diuraikan adalah status kebersihan diri pada pasien 
halusinasi di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin 
setelah diberikan metode partisipatif dan metode 
pemberian reward (hadiah) tentang pemeliharaan 
kesehatan fi sik. Berdasarkan hasil penelitian 
perbedaan metode partisipatif dan metode 
pemberian reward (hadiah) pada kelompok 
A dengan metode partisipatif (TAK) sampel 
terdiri dari 25 orang karena lima orang lainnya 
meninggalkan ruangan sehingga sulit dilakukan 
pengamatan dan pengukuran didapatkan hasil dengan kategori bersih 8 orang, kategori cukup 
6 orang dan kurang 11 orang. Sedangkan pada 
kelompok B dengan metode pemberian reward
(hadiah) jumlah sampel 30 orang didapatkan 
hasil kategori bersih 4 orang, cukup 6 orang 
dan kurang 20 orang. Status kebersihan diri baik 
(bersih) kelompok A pada indikator rambut pada 
bagian kutu karena dari 25 sampel tidak ada 
yang kutuan dan nilai terendah pada indikator 
kulit bagian daki. Pada kelompok B status 
kebersihan diri baik pada indikator kulit bagian 
lesi karena 30 sampel tidak ada lesi dan terendah 
pada bagian daki karena hanya tiga orang yang 
tidak ada.
Metode partisipatif (TAK) terhadap 
status kebersihan diri pada pasien halusinasi. 
Pada kategori ini pasien sudah menunjukkan 
peningkatan untuk menjaga status kebersihan 
diri. Pada kelompok A dengan metode 
partisipatif lebih efektif digunakan pada pasien 
halusinasi. Metode partisipatif pada penelitian 
ini melibatkan seseorang (pasien halusinasi) 
dalam mengikuti pembelajaran (mendapatkan 
pengalaman) tentang pemeliharaan kebersihan 
diri yang mencakup keterlibatan klien secara 
aktif dalam hal mandi, keramas dan gosok gigi. 
Metode pemberian reward (hadiah) dalam 
penelitian ini adalah dengan memberikan sabun 
yang bertujuan menjaga pemeliharaan kesehatan 
fi sik (mandi, keramas dan gosok gigi) pada 
pasien halusinasi.
Pengaruh Metode Partisipatif dan Metode 
Pemberian Reward (Hadiah) tentang 
Pemeliharaan Kesehatan Fisik terhadap 
Status Kebersihan Diri
Pemeliharaan fi sik adalah terpeliharanya 
kebersihan perorangan dengan baik, tidak terjadi 
gangguan kesehatan pada fi sik individu dari 
ujung rambut sampai ujung kaki. Kulit yang 
lembab akan mudah dilalui oleh bahan yang 
dapat menyebabkan iritasi dan lebih mudah 
terinfeksi jamur atau kuman dan juga rentan 
terhadap gesekan, sehingga kulit mudah lecet 
yang akan lebih mudah iritasi ,
Kebersihan diri adalah suatu upaya 
untuk memelihara kebersihan tubuh dari ujung 
rambut sampai ujung kaki. Perawatan diri adalah 
salah satu kemampuan dasar manusia dalam 
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan 
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai 
dan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan 
terganggu keperawatan dirinya jika tidak 
dapat melakukan perawatan diri ,
Banyak gangguan kesehatan yang diderita 
seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan 
perorangan dengan baik, gangguan fi sik yang 
sering terjadi adalah gangguan integritas kulit, 
gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada 
mata dan telinga dan gangguan fi sik pada kuku 
,
Manfaat mandi ialah menghilangkan bau, 
menghilangkan kotoran, merangsang peredaran 
darah, dan memberi kesegaran pada tubuh. 
pelatihan dengan 
metode partisipatif adalah proses pembelajaran 
dengan landasan utama dari keterlibatan atau 
partisipasi aktif dari peserta latih melalui 
penerapan pengetahuan-pengetahuan teoritis 
ke dalam situasi kehidupan sebenarnya dengan 
cara menggabungkan dan mengatur metode 
pembelajaran agar dapat menambah semangat 
belajar dan mengurangi kelelahan peserta 
karena tidak membosankan. Makin aktif 
keterlibatan peserta latih di dalam proses 
metode partisipatif akan semakin tinggi 
motivasinya dan semakin besar daya retensinya. 
Selanjutnya berakibat peserta latih lebih siap 
untuk mempratikkannya.
Pembelajaran pada pasien gangguan 
jiwa dapat dilakukan dengan pemberian terapi 
aktivitas kelompok. TAK merupakan salah 
satu pedoman terapi yang dilakukan perawat 
kepada sekelompok klien yang mempunyai 
masalah yang sama dalam ilmu keperawatan 
jiwa. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan 
kelompok adalah kumpulan individu yang 
memiliki hubungan satu dengan yang lain, 
saling bergantung dan mempunyai norma yang 
sama ,Di dalam kelompok terjadi 
dinamika interaksi yang sangat bergantung, 
saling membutuhkan dan menjadi tempat 
klien berlatih perilaku baru yang adaptif 
untuk memperbaiki perilaku lama maladaptif.
Metode partisipatif pada penelitian ini melibatkan 
seseorang (pasien halusinasi) dalam mengikuti 
pembelajaran (mendapatkan pengalaman) 
tentang pemeliharaan kebersihan diri yang mencakup keterlibatan klien secara aktif dalam 
hal mengajarkan, menjelaskan tujuan, manfaat 
mandi, keramas dan gosok gigi.
Reward atau reinforcement sebagai faktor 
terpenting dalam proses belajar. Tujuan psikologi 
adalah meramal dan mengontrol tingkah laku, 
Teori ini mengenai 
stimulus-respons, yang mempercayai bahwa 
setiap tingkah laku itu dapat diamati dan didasari 
oleh respons positif atau negatif yang diterima. 
Respons positif akan mendapatkan hadiah 
sebaliknya respons negatif menandakan akan 
mendapatkan hukuman. Skinner yakin bahwa 
manusia akan berusaha untuk mendapatkan 
respons positif atau hadiah dari apa yang 
dilakukannya. 
Pemberian reward (hadiah) sangat 
berpengaruh dengan teori Skinner karena 
apabila diidentifi kasi hadiah-hadiah tersebut 
dapat dilakukan pembentukan kebiasaan 
yang positif (Rasmun, 2004). Reinforce itu 
sendiri adalah stimulus yang meningkatkan 
kemungkinan timbulnya sejumlah respons 
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai 
pasangan stimulus. 
Metode pemberian reward (hadiah) 
dalam penelitian ini adalah dengan memberikan 
sabun yang bertujuan menjaga pemeliharaan 
kesehatan fi sik (mandi, keramas dan gosok gigi) 
pada pasien halusinasi.
Metode partisipatif lebih baik dan 
efektif digunakan untuk digunakan sebagai 
pemeliharaan kesehatan fi sik terhadap status 
kebersihan diri pada pasien halusinasi di RSJ 
Sambang Lihum Banjarmasin karena dengan 
melibatkan langsung dengan pasien, makin 
aktif keterlibatan pasien di dalam proses 
metode partisipatif akan semakin tinggi 
motivasinya dan semakin besar daya retensinya. 
Selanjutnya berakibat pasien lebih siap dan 
mampu untuk mempraktikkannya.
Metode reward (hadiah) kurang baik dan 
efektif untuk pasien berespons karena hanya 
memberikan stimulus tanpa banyak komunikasi, 
sehingga kurang efektif diberikan pada pasien 
gangguan jiwa karena pasien mengalami 
ingatan, persepsi dan perhatian yang kurang 
dengan lingkungan sekitarnya.






Pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan 
pengetahuan, sikap, praktik baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan 
meningkatkan kesehatan mereka sendiri . Hasil penelitian Lubis, Namora,
dan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan dan sikap pada 
responden akibat dari intervensi melalui penyuluhan dengan metode ceramah, terdapat 
peningkatan pengetahuan dan sikap pada responden akibat dari intervensi melalui penyuluhan 
dengan metode diskusi. Metode penyuluhan yang paling efektif digunakan untuk meningkatkan 
pengetahuan dan sikap anak sekolah dasar tentang PHBS adalah melalui metode diskusi. 
Penyuluhan dengan metode ceramah dapat meningkatkan pengetahuan. Sejalan dengan Green 
bahwa dengan pendekatan edukasional 
dapat merubah perilaku seseorang termasuk pengetahuan, dimana intervensi yang diberikan 
merupakan proses pendidikan kesehatan untuk merubah perilaku. 
Ceramah merupakan metode penyuluhan kesehatan yang efektif apabila penceramah 
atau narasumber sendiri dapat menguasai materi, memiliki penampilan yang meyakinkan serta 
mampu mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran misalnya makalah singkat, slide, sound system
dan sebagainya . Kelebihan metode ceramah sebagai berikut: 1) Dapat 
menampung kelas besar dimana tiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk 
mendengarkan dan biaya yang diperlukan relative murah; 2) Konsep yang disajikan secara 
hierarki akan memberikan fasilitas belajar pada siswa; 3) Guru dapat memberikan tekanan 
terhadapat hal-hal penting hingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin; 4) 
Kekurangan atau tidak adanya buku sumber dan alat bantu pelajaran tidak menghambat 
terlaksananya proses pembelajaran ,
LPKA kelas IIB Sungai Raya dihuni oleh anak-anak usia muda. Kepala LPKA kelas IIB 
Sungai Raya mendukung adanya upaya-upaya pengembangan pendidikan untuk meningkatkan 
pengetahuan pada anak-anak binaannya. Kabupaten Kubu Raya juga dicanangkan menjadi salah 
satu Kabupaten Layak Anak sehingga perhatian, pengembangan dan dukungan setiap program 
yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas IIB Sungai Raya. Belum optimalnya perhatian 
pihak pemerintah daerah ataupun lembaga lainnya untuk peningkatan kualitas pendidikan 
khususnya bidang kesehatan di LPKA kelas IIB Sungai Raya, pengetahuan tentang sehat jiwa bagi 
anak-anak usia muda masih rendah, dan penyuluhan kesehatan tentang kesehatan jiwa usia muda 
belum pernah dilakukan di LPKA kelas IIB Sungai Raya.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013) 
menunjukkan angka prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia 1.7 permil, artinya ada 
sekitar 1.7 kasus gangguan jiwa berat di antara 1000 orang penduduk Indonesia. Gangguan 
jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya kemampuan menilai 
realitas dan tilikan diri (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain 
berupa halusinasi, wahan, gangguan proses pikir dan kemampuan berpikir, dan tingkah laku 
aneh seperti katatonik. Gangguan mental emosional dapat dialami oleh semua orang dan setiap 
tingkatan usia pada kondisi distres psikologis, namun tetap dapat pulih seperti semula. Orang 
Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), jika tidak mendapatkan intervensi dari profesional 
kesehatan mental dengan tepat, maka orang dengan gangguan mental emosional dapat 
mengalami gangguan yang lebih serius ,
PKM ini sejalan dengan Program Indonesia Sehat (PSI-PK) yang merupakan salah satu 
program dari Agenda ke-5 Nawa Cita, yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. 
Program ini didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program Indonesia Pintar, Program 
Indonesia Kerja, dan Program Indonesia Sejahtera. Dampak akibat gangguan mental yang serius 
adalah kematian atau bunuh diri. Kisaran usia tertinggi akibat bunuh diri adalah usia 15 – 29 
tahun ,Gangguan jiwa sangat lazim terjadi pada remaja-remaja dengan perilaku 
bunuh diri. Tidak semua tindakan bunuh diri disebabkan oleh gangguan jiwa, tetapi 80-90% 
remaja yang meninggal karena bunuh diri mempunyai psikopatologi signifikan seperti gangguan 
mood, gangguan cemas, problem perilaku, dan penyalahgunaan NAPZA , Kasus 
terbesar pada anak didik di LPKA kelas IIB Sungai Raya adalah 80% dengan kasus asusila dan 
20% dengan kasus narkoba. Hal ini tentu menjadi stressor bagi anak usia muda (remaja) yang 
mengalami kasus kriminal akibat penyimpangan perilaku pada remaja. Mereka harus mengalami 
perubahan lingkungan tempat tinggal dan orang-orang disekitarnya yang awalnya bersama 
keluarga ke LPKA. Kesehatan mental bagi anak usia dini memerlukan perhatian penting agar 
pergeseran rentang sehat sakit dapat dicegah sehingga kualitas hidup remaja khusunya di LPKA 
dapat ditingkatkan. Kegiatan PKM tentang penyuluhan kesehatan dengan tema sehat jiwa usia muda (remaja) 
melalui pendekatan keluarga dan agama sebagai psychosocial trauma ini berjalan sesuai dengan 
perencanaan. Kegiatan PKM ini dilakukan selama satu hari atau pertemuan. Total jumlah peserta 
yang hadir dalam kegiatan PKM ini sebanyak 25 orang remaja. Rentang usia peserta kegiatan di 
LPKA kelas IIB Sungai Raya 15-20 tahun. Kegiatan PKM tentang penyuluhan kesehatan ini 
menggunakan metode ceramah dan diskusi. Antusiasme peserta aktif dan kegiatan berlangsung 
tertib. Tahapan penyuluhan kesehatan ini dilakukan dengan 3 tahapan yaitu tahap pembukaan, 
kerja dan penutup. Pada saat tahap kerja setelah penyampaian materi penkes, selanjutnya tahap 
diskusi dilakukan dan ada satu orang peserta yang bertanya sesuai tema penkes. Dua puluh lima 
peserta penkes, 80% peserta dapat menjawab dengan benar dari 5 pertanyaan yang diberikan 
saat evaluasi sumatif dilakukan. Media yang digunakan saat PKM ini pengeras suara, LCD dan 
Power Point Slide. Pelaksanaan PKM ini melibatkan mitra yaitu Pihak Puskesmas Sungai Raya 
Dalam melalui pemegang program berkoordinasi dan LPKA bagian Pembinaan dan Petugas 
Kesehatan di LPKA kelas IIB Sungai Raya. 
Saran yang ditujukan untuk anak didik di LPKA kelas IIB Sungai Raya yaitu diharapkan 
seluruh anak didik di LPKA kelas IIB terlibat aktif dalam setiap kegiatan atau program-program 
yang sudah terjadwal oleh LPKA guna meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan 
psikomotor remaja khusunya terkait dengan kesehatan jiwa remaja dengan melibatkan peran 
keluarga dan agama. Bagi LPKA kelas IIB Sungai Raya yaitu dapat meningkatkan fasilitas dan 
pengembangan program-program khususnya terkait kesehatan jiwa untuk remaja penghuni 
LPKA serta guna meminimalisasi dampak psychosocial truma bagi remaja penghuni LPKA kelas 
IIB Sungai Raya. Bagi institusi pengusul PKM dapat meningkatkan kerjasama lintas sektoral dan 
lintas program guna mencapai status kesehatan individu khususnya remaja di LPKA dalam 
bentuk MoU untuk pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi. 



Kesehatan merupakan salah satu agenda 
dalam Suistainable Development Goal’s (SDG’s). 
Selain kesehatan raga, kesehatan jiwa juga sangat 
penting bagi seseorang. Kesehatan jiwa masih 
menjadi salah satu permasalahan sosial yang 
kompleks di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut 
data World Health Organization (WHO) tahun 2016 
diketahui bahwa sejumlah 35.000.000 orang 
mengalami depresi, 21.000.000 orang mengalami 
skizofrenia, 60.000.000 orang mengalami bipolar 
serta 47.500.000 orang mengalami dimensia 
(Kementerian Kesehatan, 2019b). Berdasarkan data 
tersebut, diketahui bahwa masalah-masalah 
kesehatan jiwa di dunia masih tinggi, termasuk di 
Indonesia. Berdasarkan data dari Pusat Data dan 
Informasi Kementerian Kesehatan tahun 2017, 
diketahui bahwa gangguan jiwa merupakan salah 
satu penyebab disabilitas tertinggi di Indonesia yaitu 
sebesar 13,4%. Menurut perhitungan beban 
penyakit pada tahun 2017, beberapa jenis gangguan 
jiwa yang diderita penduduk Indonesia diantaranya 
yaitu skizofrenia, gangguan depresi, bipolar, autis, 
gangguan perilaku, cemas, gangguan perilaku makan, 
cacat intelektual dan attention deficit hyperactivity 
disorder (ADHD). Dalam masa tiga dekade (tahun 
1990-2017), terjadi perubahan pola penyakit mental 
dan yang mengalami peningkatan yaitu depresi, 
skizofrenia, bipolar, autis dan gangguan perilaku 
makan (Kementerian Kesehatan, 2019c). 
Selanjutnya, penderita orang dengan gangguan 
jiwa (ODGJ) di Indonesia menunjukkan adanya 
peningkatan menurut Riset Kesehatan Dasar 
(Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018. 
Peningkatan ini ditunjukkan dengan adanya 
penambahan prevalensi rumah tangga yang 
mempunyai ODGJ di Indonesia. Jumlah peningkatan 
tersebut yaitu dari 1.7 per mil naik ke angka 7 per mil 
rumah tangga. Definisinya bahwa per 1.000 rumah 
tangga terdapat 7 rumah tangga yang memiliki ODGJ, 
sehingga totalnya diproyeksikan sekitar 450.000 
ODGJ berat. Jumlah pada angka tersebut 
menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mental 
di Indonesia masih tinggi. Berbagai faktor psikologis, 
biologis, sosial, dan keanekaragaman penduduk di 
Indonesia dapat menyebabkan jumlah gangguan jiwa 
akan mengalami penambahan. Berdasarkan Profil 
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 terdapat 
kesenjangan antara layanan kesehatan mental yang 
ditunjukkan dengan jumlah rumah sakit jiwa di 
Indonesia yang hanya tersedia sebanyak 43 unit 
dengan kapasitas tempat tidur 9.880 buah. Indonesia 
juga masih kekurangan tenaga kesehatan mental 
profesional untuk melayani pasien kesehatan 
mental, tercatat bahwa Indonesia hanya memiliki 
1.563 tenaga psikologi klinis dengan 1 psikiater yang 
melayani melayani 300.000-400.000 orang
(Kementerian Kesehatan, 2019a). 
Lebih lanjut, berdasarkan Undang-Undang 
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang 
Disabilitas, gangguan jiwa merupakan bagian dari 
penyandang disabilitas mental (PDM) yaitu “mereka 
yang terganggu dalam fungsi pikir, emosi, dan 
perilaku antara lain meliputi gangguan psikososial 
seperti skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan 
gangguan kepribadian serta perkembangan 
disabilitas yang berpengaruh pada kemampuan 
interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif” 
(Undang-undang RI, 2016). Undang-undang tersebut 
menggeser model paradigma yang menurut Kasim 
(2010) dari pendekatan individual dan medis 
menuju pedendekatan berbasis hak-hak asasi/rights 
based model (Widinarsih, 2019). Penyandang 
disabilitas menjadi subjek untuk berpartisipasi 
penuh berdasarkan kesamaan hak sehingga 
keterbatasan pada penyandang disabilitas tidak 
menjadi hambatan. Hasil interaksi dari lingkungan 
dan sikap masyarakat menjadi salah satu faktor 
penting yang mempengaruhi penyandang disabilitas.
Penurunan produktivitas akibat gangguan 
mental akan berdampak pada perkembangan dan 
pertumbuhan negara baik segi kesehatan, sosial, 
ekonomi, hak asasi manusia (HAM) dan lain 
sebagainya. Funk., dkk (2012) menyebutkan bahwa 
gangguan mental menjadi faktor penyebab parahnya 
penyakit kronis seperti kanker, penyakit 
kardiovaskular, diabetes dan HIV/AIDS, terutama 
melalui dampak perilaku tidak sehat dan berisiko, 
ketidakpatuhan terhadap rejimen medis yang 
diresepkan dan berkurangnya fungsi kekebalan 
tubuh. Gangguan mental memiliki dampak sosial 
yang beragam dan luas, termasuk tunawisma, 
banyaknya orang masuk penjara, peluang dan hasil 
pendidikan yang buruk, kurangnya pekerjaan dan 
terbatasnya peluang untuk menghasilkan 
pendapatan. Stigma, mitos dan kesalahpahaman 
seputar penyakit jiwa adalah akar penyebab banyak 
diskriminasi dan pelanggaran HAM yang dialami 
oleh PDM setiap hari. Kelompok rentan yang rawan 
menjadi korban penelantaran salah satunya adalah 
PDM, dengan alasan faktor kemiskinan, keluarga 
tidak bisa mengurus, kurangnya pengetahuan 
tentang penyakit gangguan jiwa, dan masih 
mendapatkan stigma.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial 
melakukan upaya rehabilitasi sosial yang dijelaskan 
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 
tentang Kesejahteraan Sosial. Upaya rehabilitasi sosial yang di atur dalam undang-undang tersebut 
dilakukan ‘secara persuasif, motivatif atau koersif 
yang dilaksanakan di dalam keluarga, masyarakat 
maupun panti sosial’ (Undang-undang RI, 2009). 
Penanganan PDM telantar juga harus sesuai dengan 
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang 
kesehatan jiwa, pemberian perlindungan dan 
jaminan bagi PDM berdasarkan hak asasi manusia 
‘melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan 
rehabilitatif’ (Undang-undang RI, 2014). Dinas Sosial 
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di 
seluruh Indonesia juga melakukan perpanjangan 
fungsi layanan sosial. Kebijakan rehabilitasi sosial 
juga dilaksanakan di daerah khususnya Provinsi DKI 
Jakarta. 
Menurut Pusat Data dan Informasi 
Kementerian Kesehatan RI per Juli 2019 
menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta meraih 
data tertinggi sebesar 79,03% pada indikator 
penderita gangguan jiwa yang mendapatkan 
pengobatan dan tidak ditelantarkan. Pemerintah 
Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi masalah PDM 
telantar yaitu menempatkan PDM telantar di dalam 
panti sosial. Kemudian, untuk menjalankan 
kebijakan rehabilitasi sosial, pemerintah Provinsi 
DKI Jakarta membuat Peraturan Gubernur DKI 
Jakarta Nomor 157 tahun 2015 tentang Penanganan 
Orang Dengan Masalah Kejiwaan dan/atau Orang 
Dengan Gangguan Jiwa yang telantar dan/atau 
Mengganggu Ketertiban Umum. Selanjutnya 
peraturan gubernur tersebut menjadi pedoman bagi 
petugas pelaksana dalam melakukan rehabilitasi 
sosial bagi penyandang disabilitas mental telantar. 
Intervensi melalui rehabilitasi sosial bertujuan untuk 
memulihkan dan mengembangkan kemauan serta 
kemampuan PDM agar bisa menjalankan fungsi 
sosial secara wajar dalam bermasyarakat. PDM yang 
mengalami kemajuan memungkinkan untuk 
memberdayakan mereka sehingga mampu 
memenuhi kebutuhan dasarnya (Pemerintah 
Provinsi DKI Jakarta, 2015).
Pemerintah daerah provinsi dalam standar 
pelayanan minimal urusan bidang sosial diberi 
kewenangan untuk melaksanakan rehabilitasi sosial 
pada disabilitas telantar di dalam panti sosial 
. Panti Sosial Bina Laras 
Harapan Sentosa 1 Provinsi DKI Jakarta yang 
selanjutnya disebut PSBL 1 merupakan salah satu 
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial tempat 
pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi 
penyandang psikotik telantar dengan tingkat berat 
yang telah melakukan terobosan dengan membuka 
Klinik Tiendra sebagai klinik pertama di Panti Sosial 
Provinsi DKI Jakarta. PSBL 1 memiliki kapasitas atau 
daya tampung penerima manfaat sebesar 750. 
Berdasarkan data per Maret tahun 2020 jumlah PDM 
di PSBL 1 sebesar 809 orang dan jumlah untuk 
sumber daya manusia yang menanganinya sebanyak 
63 orang (Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, 2020). 
Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan jumlah 
sumber daya manusia sebanyak 63 orang dengan 
jumlah PDM yang berada di panti tersebut. Selain 
masalah kurangnya pegawai tersebut, pemilihan 
PSBL 1 didasarkan atas realisasi anggaran tahun 
2020 sebesar Rp15.421.627.999,-. Realisasi 
anggaran tersebut merupakan realisasi yang 
tertinggi dibandingkan dengan panti sosial yang 
menangani PDM telantar di DKI Jakarta (Pemerintah 
Provinsi DKI Jakarta, 2020).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin 
mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan 
rehabilitasi sosial bagi PDM telantar di PSBL 1 
Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya, dengan adanya 
tujuan tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat 
menjadi referensi tambahan bagi pengembangan 
disiplin ilmu kesejahteraan sosial khususnya yang 
berkaitan dengan rehabilitasi sosial bagi PDM 
telantarProvinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan 
pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang 
disabilitas berupaya melindungi dan memenuhi hak 
penyandang disabilitas agar dapat meningkatkan 
potensi diri dan berdaya sesuai bakat dan minat yang 
dimiliki, berperan serta berkontribusi secara 
maksimal dalam segala aspek. Upaya yang dilakukan 
tertuang dalam kegiatan strategis daerah yaitu 
‘peningkatan aksesibilitas penyandang disabilitas 
terhadap pelayanan dasar, pelayanan publik, dan 
kesempatan kerja atau berusaha’. Dinas sosial 
sebagai unsur pelaksana yang menyelenggarakan 
urusan pemerintahan bidang sosial di Provinsi DKI 
Jakarta berusaha menindaklanjuti salah satunya
dengan pelaksanaan program pelayanan dan 
rehabilitasi sosial. Indikator kinerja yang ditetapkan 
adalah pada Penyandang Masalah Kesejahteraan 
Sosial (PMKS) yang dapat ditampung di panti sosial.
PSBL 1 sebagai UPT Dinas Sosial Provinsi DKI 
Jakarta wajib berkontribusi dalam memenuhi 
indikator tersebut melalui upaya pelayanan 
rehabilitasi sosial bagi PDM telantar. Hal ini 
bertujuan untuk mengentaskan PDM terlantar ke 
dalam kehidupan yang layak dan normatif dengan 
sasaran meningkatkan pelayanan pemenuhan hak 
dasar PDM telantar. PDM terlantar masuk ke dalam 
kategori PMKS. Kondisi PDM terlantar dalam penempatan di Panti Sosial Bina Laras Harapan 
Sentosa sebelum adanya Peraturan Gubernur Nomor 
157 Tahun 2015 tentang Penanganan Orang dengan 
Masalah Kejiwaan dan/atau Orang Dengan Gangguan 
Jiwa yang telantar dan/atau mengganggu ketertiban 
umum adalah campuran dari semua kategori fase 
PDM dengan segala permasalahannya, tidak ada 
klasterisasi. Penanganan sebelumnya dinilai kurang 
efektif seiring bertambahnya jumlah PDM telantar, 
sehingga Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta berupaya 
menanggulangi secara bertahap persoalan PDM
telantar dengan klasterisasi. Kepala Seksi 
Rehabilitasi Sosial-Penyandang Disabilitas Dinas 
Sosial Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan:
“Ternyata kita juga melihat fenomena di Jakarta 
banyak sekali orang dengan gangguan jiwa. 
Akhirnya dia tidak terurus, telantar dan masuk ke 
panti kita. Dari hasil rapat-rapat provinsi berlaku 
Pergub 2015 PSBL HS 1, 2, 3 sesuaikan clustering￾nya, 1 berat, 2 sedang, 3 ringan, trus ada loka karya 
buat buku silabi yang inovasi nanganin masalah 
disabiltas mental ini. Ada perubahan pergub ortala 
PSBL juga, menyesuaikan” (HW, 5 Januari 2021).
Berdasarkan temuan lapangan, terdapat 
beberapa temuan terkait rehabilitasi sosial bagi PDM 
telantar di PSBL 1 Provinsi DKI Jakarta. Di dalam 
penelitian ini, peneliti menggunakan konsep tahapan 
rehabilitasi sosial . Konsep tersebut dipilih karena lebih 
komprehensif dan sistematis dibandingkan dengan 
tahapan pemecahan masalah praktik pekerjaan 
sosial seperti konsep menurut Zastrow (2017) yang 
hanya membahas 6 tahapan intervensi yang meliputi 
identifikasi masalah, menghasilkan solusi alternatif 
yang mungkin dilakukan, mengevaluasi solusi 
alternatif, memilih solusi yang akan digunakan, 
menerapkan solusi dan tindak lanjut untuk 
mengevaluasi. Sedangkan konsep tahapan 
rehabilitasi sosial menurut Luhpuri & Andayani 
(2019) memiliki 7 tahapan rehabilitasi yang sejalan 
dengan tahapan rehabilitasi sosial yang diatur dalam 
regulasi pemerintah daerah (Peraturan Gubernur 
Provinsi DKI Jakarta Nomor 358 Tahun 2016 tentang 
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial 
Bina Laras Harapan Sentosa). PSBL 1 sebagai UPT 
Dinas Sosial melaksanakan rehabilitasi sosial sesuai 
dengan peraturan gubernur tersebut. Tahapan 
rehabilitasi sosial berdasarkan Pergub DKI Jakarta 
nomor 358 tahun 2016 yang digunakan di PSBL 1 
yaitu pendekatan awal, pengungkapan dan 
pemahaman masalah, penyusunan rencana 
pemecahan masalah, pemecahan masalah, 
resosialisasi, terminasi dan bimbingan lanjut 
(Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2016)
Pendekatan Awal
Pelaksanaan pendekatan awal akan berjalan 
dengan efektif dengan memenuhi lima langkah yang 
terdiri dari kegiatan sosialisasi, identifikasi, motivasi, 
seleksi dan penerimaan. Pelaksanaan rehabilitasi 
sosial PDM telantar di PSBL 1 perlu disertai dengan 
pemahaman dan komitmen dari seluruh Aparatur 
Sipil Negara, PJLP di PSBL 1 serta dukungan dari para 
pengambil keputusan. Kerjasama dari berbagai 
sektor yang terkait untuk penanganan PDM juga 
sangat diperlukan. Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta 
dan PSBL 1 sebagai proses awal harus 
menyampaikan informasi dengan sosialisasi terkait 
layanan rehabilitasi sosial yang dapat dijangkau. 
Sosialisasi dilaksanakan secara internal dan 
eksternal kepada PDM, keluarga, kerabat, institusi, 
maupun masyarakat. Dinas Sosial Provinsi DKI 
Jakarta dan PSBL 1 melaksanakan sosialisasi internal 
melalui rapat-rapat koordinasi. Pembahasan 
pembagian tugas di PSBL 1 juga telah dibentuk sesuai 
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 358 
Tahun 2016 tentang Pembentukan, Organisasi dan 
Tata Kerja Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa. 
PSBL 1 selanjutnya menyampaikan gambaran 
pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada PDM. 
Faktor kondisi karakteristik kejiwaan PDM yang 
menolak mengikuti layanan rehabilitasi sosial 
memicu timbulnya hambatan proses pemulihan. 
Sosialisasi eksternal sudah dilaksanakan 
melalui website resmi Dinas Sosial Provinsi DKI 
Jakarta dan akun Instagram milik Dinas Sosial 
Provinsi DKI Jakarta dan PSBL 1 yaitu akun 
@dinsosdkijakarta dan akun @psbl_cengkareng1. 
Upaya promotif ini juga dilakukan oleh Dinas 
Kesehatan melalui puskesmas untuk 
menyebarluaskan informasi bagi masyarakat 
mengenai kesehatan jiwa, pencegahan dan 
penanganan gangguan jiwa. Upaya sosialisasi 
tersebut mendapat dukungan masyarakat sekitar 
seperti pemberian makanan tambahan dan upaya 
pembinaan keterampilan seperti pembuatan keset 
dan kerajinan mote. Selanjutnya, pihak eksternal
(masyarakat) juga membantu dalam pemasaran dan 
penjualan hasil kerajinan yang dibuat oleh 
penyandang disabilitas mental terlantar. 
Sebagaimana diungkapkan oleh Satuan Pelaksana 
Pembinaan Sosial PSBL 1 berikut:
“Sebelum pandemi kita ada infoin kegiatan ke 
masyarakat, trus WBS (Warga Bina Sosial) yang udah pulih siap rujuk ke PSBL 2, biasanya ikut 
kerajinan mote, bikin keset, hasilnya bisa dijual ke 
masyarakat sekitar, pameran pernah, masyarakat 
ada pernah berkunjung liat-liat, kasih susu, biskuit 
juga” (DH, 22 Januari 2021).
Dukungan dari masyarakat dapat memberikan 
kelancaran pelaksanaan rehabilitasi di dalam panti
berdasarkan hasil penelitian Fathurrachmanda & 
Pratiwi (2013). “Upaya promotif kesehatan jiwa 
menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa dilakukan 
untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat 
kesehatan jiwa, menghilangkan stigma, diskriminasi, 
pelanggaran hak asasi PDM, serta meningkatkan 
pemahaman, keterlibatan, dan penerimaan 
masyarakat terhadap kesehatan jiwa”. Upaya 
promotif sebagaimana hasil penelitian ,penting dilaksanakan di lingkungan 
keluarga, masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan, 
media massa, tempat kerja, lembaga pendidikan, 
lembaga keagamaan, serta lembaga pemasyarakatan 
dan tempat ibadah.
Selanjutnya pada pendekatan awal juga untuk 
memastikan PDM dapat diregistrasi sebagai calon 
penerima layanan di panti. PDM terlantar didapat 
dari hasil penjangkauan PMKS oleh Petugas 
Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial 
(P3S) yang berkoordinasi juga dengan Polisi Pamong 
Praja yang selanjutnya akan ditampung sementara 
oleh Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya (PSBI BD) 
untuk diidentifikasi dan asesmen berdasarkan 
klasifikasi kategori PDM. P3S merupakan satuan 
tugas di bawah Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI 
Jakarta yang diberi tugas untuk mengantarkan para 
PMKS ke panti sosial agar segera ditindaklanjuti. 
Identifikasi asesmen dengan melihat bagaimana 
kondisi fisik PDM. Kemudian, data informasi PDM 
yang didapat melalui komunikasi pendekatan 
personal kepada PDM akan menentukan PDM 
sebagai penerima layanan rehabilitasi sosial di PSBL 
1 (fase stabilisasi 1). Menurut Kepala Seksi 
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Dinas 
Sosial Provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa:
“Asal ODGJ biasa gabungan, ada yang dari luar DKI 
atau- jadi kalau misalkan ada orang telantar gitu ya 
dan dia misalkan orang dengan gangguan jiwa di 
razia oleh petugas kita gitu kan apa di apa 
ditampung di PSBI, diasesmen di sana, apakah dia 
punya KTP, punya identitas nggak, punya keluarga 
nggak. Pekerja sosial lah yang pertama melakukan 
asesmen, psikolog juga, kalau memang dirasa 
memang membutuhkan perawatan dengan 
kesehatan biasanya juga akan nge-refer ke RSUD￾RSUD terdekat, gitu.” (HW, 5 Januari 2021)
PDM telantar ada yang berdomisili di Provinsi 
DKI Jakarta dan luar Provinsi DKI Jakarta. Setelah 
menerima penempatan sementara PDM telantar, 
PSBI BD akan melakukan identifikasi dan asesmen 
untuk menentukan data dan informasi tentang PDM 
telantar, kondisi fase kejiwaan, dan tindak lanjut 
penanganan. Pemeriksaan kondisi kejiwaan 
berdasarkan kriteria diagnostik oleh pekerja sosial, 
psikolog dan tenaga medis umum. PDM telantar yang 
dijangkau oleh petugas Provinsi dan diduga dalam 
fase akut akan diantar langsung ke RSKD Duren 
Sawit. PDM telantar berada dijangkauan Kabupaten 
Administrasi berkoordinasi dengan Puskesmas dan 
Lurah dan/atau Camat. Rujukan bisa ke fasilitas 
kesehatan lain yang memiliki pelayanan kesehatan 
jiwa dan telah bekerja sama dengan Pemerintah 
Daerah. PSBI BD akan merujuk PDM telantar dalam 
fase stabilisasi 1 ke PSBL 1. pencarian 
informasi orang-orang yang dianggap memiliki 
gangguan mental menunjukkan usaha dalam 
mengidentifikasi calon klien yang akan atau harus 
ditangani. Berdasarkan hasil penelitian, pihak PSBL 1 
sudah melakukan pencarian informasi identitas
penyandang disabilitas mental telantar untuk 
persyaratan registrasi di dalam panti.
Pengungkapan dan Pemahaman Masalah
Pengungkapan dan pemahaman masalah 
dilakukan dalam bentuk persiapan, pengumpulan 
informasi, analisis dan temu bahas kasus. PSBL 1 
sudah menjalin hubungan dengan penyandang 
disabilitas mental telantar yang ditunjukkan dengan 
pendampingan pengurusan administrasi. Menurut 
Pekerja Sosial PSBL 1 menyatakan:
“Peksos memfasilitasi pada proses awal penerimaan 
WBS ya, lebih ke administrasi. PSBL 1 menjadi panti 
untuk ODGJ tingkat berat, yang telantar, ga keurus. 
Ketika dokumen sudah lengkap lanjut registrasi dan 
jelasin program yang ada di panti, lalu diarahkan 
masuk ke wisma panti. Peksos juga membantu 
penyediaan kegiatan – kegiatan yang akan diikuti 
oleh WBS, dilanjutkan melakukan pendampingan 
WBS saat mengikuti kegiatan tersebut”. (AR, 15 
Januari 2021)
Pegumpulan data dari hasil penelitian 
Fathurrachmanda & Pratiwi (2013) merupakan 
kompenen penting dalam setiap bentuk perencanaan 
untuk menuju proses lebih lanjut. PSBL 1 telah 
melakukan penelaahan pendataan ulang kepada 
PDM dari PSBI BD melalui pendekatan personal 
dengan beberapa pertanyaan seperti nama, alamat, 
dan nama orang tua dan pertanyaan Instrumen 
Skrining Psikotik Dinas Sosial (ISPDS). Pendataan 
tersebut dilakukan salah satunya dengan tujuan PDM 
memiliki KTP sebagai tertib administrasi 
kependudukan dan dapat digunakan untuk 
penerimaan bantuan dan pendaftaran jaminan 
sosial. 
Temu bahas kasus telah dilakukan melalui 
pelaksanaan rapat di PSBL 1 dengan membahas hasil 
asesmen PDM berdasarkan ISPDS untuk memahami 
masalah klien dan mengetahui potensi dan sumber 
daya untuk menangani PDM. Satuan Pelaksana 
Pelayanan PSBL 1 menyatakan:
“Jadi, WBS masuk pertama kali dari PSBI 1 mau ke 
PSBI 2, yang masuk ke PSBL 1, kemudian dilakukan 
identifikasi dan asesmen namanya, Instrumen 
Skrining Psikotik Dinas Sosial. seleksi motivasi 
secara komunikasi ya, itu tanya jawab bisa didapat, 
karena balik lagi, ini kan WBS-nya itu merupakan 
ODMK ODGJ ya, jadi memang identifikasi asesmen 
awal itu pasti lebih dilihat dari fisik, gitu. Sesudah 
diidentifikasi, dalam rapat nanti WBS ditempatkan 
ke wisma-wisma yang ada di panti. Ada 6 wisma di 
panti kita yaitu Wisma Elang, Mawar, Merak, Melati, 
Cendrawasih, Kenari. Dilaksanakan pembinaan di 
Wisma, maksudnya lebih ke rehabilitasi sosial gitu, 
diberikan terapi-terapi, aktivitas kelompok di sana, 
kemudian nanti ditempatkan sesuai juga dengan 
kondisi kesehatan dan kondisi psikologisnya. (PW, 
15 Januari 2021)
Pembahasan hasil asesmen tersebut mengenai 
seleksi yang dilakukan oleh pihak PSBL 1 dengan 
pengelompokan beberapa WBS dan kemudian 
ditempatkan di beberapa wisma (pengasramaan). 
Pengelompokan tersebut berdasarkan jenis kelamin 
dan jenis penyakit penyerta. Pengasramaan menurut 
Fathurrachmanda & Pratiwi (2013) dilakukan untuk 
memudahkan proses pengawasan dan pembelajaran 
klien. Setelah penempatan dilakukan penyusunan 
jadwal untuk kegiatan yang sesuai untuk WBS 
dengan melihat masalah, potensi dan sumber daya 
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Penyusunan Rencana Pemecahan Masalah
Kegiatan yang dilakukan untuk menyusun 
rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil 
asemen di mana akan menjelaskan informasi tentang 
kegiatan yang akan dijalankan, oleh siapa dilakukan 
dan waktunya kapan. Skala prioritas kebutuhan PDM 
di PSBL 1 sebagai klaster 1 masih mengutamakan 
penanganan farmakaterapi karena itu silabi lebih 
banyak diutamakan pada aktivitas kegiatan harian 
orientasi kebersihan dan perawatan diri. PSBL 1 
memfasilitasi layanan kesehatan Klinik Tiendra bagi 
PDM di dalam panti merupakan akses ke layanan 
kesehatan untuk mental dan fisik yang dapat 
mengurangi potensi risiko negatif dari kekambuhan. 
PSBL 1 sudah menyusun jadwal pemeriksaan 
kesehatan bagi PDM di Klinik Tiendra. Kegiatan 
tersebut merupakan upaya kuratif yang 
dilaksanakan oleh PSBL 1 dengan tujuan 
penyembuhan dan pemulihan, pengurangan
penderitaan, pengendalian disabilitas, dan 
pengendalian gejala penyakit. Sebagaimana yang 
diutarakan Satuan Pelaksana Pelayanan Sosial PSBL 
1:
“Untuk menangani ODMK dan ODGJ, gitu. Dan ada 
apa aja sih isi dari silabi itu? Kita ada 11 silabi, 101-
111, dimulai dari bangun tidur, sesudah bangun 
tidur itu menyikat gigi, kemudian mandi pagi, lalu 
mandi pagi kemudian, eh... sarapan pagi gitu, makan 
bersama. Itu tujuannya pun lebih ke kegiatan sehari￾hari, karena memang di sini kategori ODMK ODGJ￾nya, eh... dikatakan tergolong yang berat ya, karena 
memang awal masuknya ODMK ODGJ dari telantar
itu ke panti kami, gitu. pelayanan kesehatan, 
Kebetulan panti kita ini memiliki klinik yang terdiri 
dari dokter-dokter spesialis kejiwaan. Untuk 
pemeriksaan fisik juga dan jiwa 'kan. Fisiknya dilihat 
apakah ini mungkin, maaf, ada penyakit koreng, gitu. 
Nanti sesudahnya dilakukan pembinaan di sini, nanti 
ada lagi namanya clustering. Jadi, kita itu ada 
skrining, namanya instrumen skrining psikotik Dinas 
Sosial. Nah, di sana nanti ada indikator-indikator 
apa saja yang mengklasifikasikan bahwa WBS 
tersebut karakteristik seperti apa. Kalau di sini 
activity daily living, dengan mengacu juga ke silabi 
dan terapi aktivitas kelompok.” (DH, 22 Januari 
2021)
PSBL 1 juga telah memberikan pelayanan 
rehabilitasi sosial mengacu pada silabi kegiatan 
nomor 101-111 dengan menyusun jadwal kegiatan 
harian dan kegiatan bimbingan yang akan diikuti 
oleh PDM. Pemulihan personal yang dilakukan PSBL 
1 melalui komunikasi personal kepada PDM dengan 
memberikan bantuan sesuai kebutuhan dan yang 
diminati PDM serta penyampaian tujuan pemulihan. 
Upaya rehabilitasi sosial pada PSBL 1 dilaksanakan 
secara persuasif dan motivatif.
Pemecahan Masalah
Tahapan penyelesaian masalah berdasarkan 
rencana pemecahan masalah yang sudah dibuat 
untuk PDM. Kegiatan silabi nomor 101-111 yang 
telah dilaksanakan adalah mandi, sikat gigi, 
berpakaian, cuci tangan, makan bersama, 
memperkenalkan diri sesama teman WBS, bernyanyi bersama, senam bersama, olahraga beregu dan 
menggambar benda nyata. PSBL 1 telah melakukan 
pelayanan rehabilitasi sosial bagi PDM telantar
dengan pendek