Rabu, 12 Juli 2023
mengalami peningkatan yang sangat signifikan, dan
setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah
penderita gangguan jiwa bertambah. Berdasarkan data
dari World Health Organisasi (WHO) ada sekitar 450
juta orang di dunia yang mengalami gangguan jiwa.
WHO menyatakan setidaknya satu dari empat orang di
dunia mengalami masalah mental. Prevalensi gangguan
jiwa berat pada penduduk berjumlah 1,7 per mil dari
populasi. Selanjutnya ditemukan 14,3 persen [%] orang
dengan gangguan jiwa pernah mengalami pemasungan
di dalam proses kehidupannya.
North America Nursing Diagnosis Association
menyatakan bahwa perilaku agresif merupakan salah
satu gangguan perilaku dimana seseorang berisiko
melakukan tindakan yang menunjukkan bahwa
tindakan individu dapat membahayakan diri sendiri dan
orang lain secara fisik, emosional dan atau seksual yang
tidak sesuai dengan norma lokal, kultural dan
menganggu fungsi sosial, kerja dan fisik individu
Umumnya klien
dengan perilaku agresif dibawa dengan paksa ke rumah
sakit sering tampak diikat secara tidak manusiawi
disertai dengan bentakan dan pengawalan oleh
sejumlah anggota keluarga bahkan polisi. Perilaku
agresif seperti memukul anggota keluarga atau orang
lain, merusak alat rumah tangga dan marah marah
merupakan alasan utama yang paling banyak
dikemukakan oleh keluarga sebagai penyebab pasien
dibawa ke Rumah Sakit.
Persentase Rumah Tangga yang memiliki ART
gangguan jiwa berat yang pernah dipasung menurut
Propinsi [Riskesdas, Tahun 2013], sebagai berikut: Aceh
[13,3%], Sumatera Utara [17,2%], Sumatera Barat
[13,9%], Riau [17,8%], Kalimantan selatan [28,5%],
Kalimantan Tengah [27,0%] dan NTB [31,4%].
Pasung merupakan tindakan dengan metode
manual yang menggunakan materi atau alat mekanik
yang dipasang atau ditempelkan pada tubuh orang
dengan gangguan jiwa dengan membuat tidak dapat
bergerak dengan mudah atau membatasi kebebasan
bergerak. Apapun alasannya upaya pemasungan adalah
suatu tindakan yang tidak manusiawi.
perilaku agresif adalah suatu respon
terhadap kemarahan, kekecewaan, perasaan dendam
atau ancaman yang memancing amarah yang dapat
membangkitkan suatu perilaku kekerasan sebagai
suatu cara untuk melawan atau menghukum yang
berupa Tindakan menyerang, merusak, hingga
membunuh. Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku
agresif adalah Tindakan yang dilakukan untuk
menyakiti atau melukai orang lain atau merusak benda
dengan unsur kesengajaan baik fisik maupun psikis.
Penyebab perilaku agresif muncul pada individu
berkaitan erat dengan rasa marah yang terjadi dalam
diri individu, sebab-sebab muncul perilaku agresif
sebagai berikut: adanya serangan dari orang lain,
terjadinya frustasi dalam diri seseorang, Ekspektasi
pembalasan atau motivasi untuk balas dendam,
kompetisi.
Faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif
[ adalah
sebagai berikut: 1. Faktor Psikologis,seperti kerusakan otak organic dan
retardasi mental, adanya seduction parental yang
telah merusak hubungan saling percaya dan harga
diri, terpapar kekerasan selama masa perkembangan termasuk child abuse.
2. Faktor sosial budaya, social learning theory, teori ini
mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda
dengan respon-respon yang lain. Agresif dapat
dipelajari melalui observasi atau imitasi dan
semakin sering mendapatkan penguatan, maka
semakin besar kemungkinan untuk terjadi.
3. Faktor biologis, dorongan agresif mempunyai dasar
biologis karena adanya pemberian stimulus elektis
ringan pada hipotalamus yang dapat menimbulkan
perilaku agresif.
Deteksi Potensi Agresif pada seseorang yang
potensial melakukan tindak kekerasan adalah sebagai
berikut:
1. Memahami pola pikiran seseorang dengan
hostilitas dan potensi melakukan Tindakan
kekerasan. Seseorang pada hakekatnya
membutuhkan kesempatan untuk dapat
menyampaikan pendapatnya, berikan kesempatan
untuk dapat menyampaikan pendapatnya, berikan kesempatan padanya untuk mengutarakan isi
pikiran sekalipun pemahamannya menyimpang.
2. Sikap Empati, yaitu: seperti, Hindari sikap
konfrontatif mengancam, Alternatif solusi
penyelesaian masalah, bergerak kearah win-win
solution. Mengalihkan fokus dari apa yang tidak
dapat anda lakukan menjadi apa yang dapat anda
lakukan.
Perilaku Agresif klien dengan ODGJ, seperti
marah-marah, mengamuk, menjerit, memukul-mukul
benda atau orang yang ada disekitarnya. Kondisi
tersebut sering direspon dengan pihak keluarga dengan
emosional kepada ODGJ sampai dengan Tindakan
pemasungan.
Undang-Undang No. 36 tahun 2019 pasal 148 ayat
1 menyatakan penderita gangguan jiwa mempunyai
hak yang sama sebagaimana warga negara sementara.
Pasal 149 menyatakan penderita penderita gangguan
jiwa yang terlantar, mengelandang, mengancam
keselamatan dirinya, dan/atau orang lain atau
menganggu ketertiban dan keamanan umum wajib
mendapatkan pengobatan dan perawatan difalisitas
pelayanan Kesehatan.Tindakan pemasungan terhadap orang dengan
gangguan jiwa adalah perbuatan yang dilarang dan
diancam oleh pidana Undang-Undang No.18 tahun
2014 tentang Kesehatan jiwa pasal 86, menyatakan
setiap orang yang dengan sengaja melakukan
pemasungan, penelantaran, kekerasan atau menyuruh
orang lain melakukan pemasungan, penelantaran atau
kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa maka
dapat dipidanakan sesuai peraturan perundangundangan yang telah ditetapkan.
Dalam upaya kesehatan jiwa berdasarkan pasal 2
UU No. 18 tahun 2014 dengan berazaskan keadilan,
perikemanusiaan, manfaat, transparansi, akuntabilitas,
komprehensif, perlindungan dan non diskriminasi.
Diharapak penyelenggaraan pelayanan kesehatan jiwa
dengan menerapkan prinsip-prinsip keterjangkauan,
keadilan, perlindungan hak azazi manusia, terpadu,
terkoordinasi, berkelanjutan, efektif membina
hubungan lintas sektor, melakukan pembagian wilayah,
pelayanan dan bertanggung jawab terhadap konsidi
kesehatan jiwa seluruh populasi di wilayah kerjanya.
Pengelolaan dan penyelenggaraan upaya kesehatan
jiwa, sebagai berikut :
1. Menjamin setiap orang dapat mencapai kualitas
kesehatan jiwa yang baik, menikmati kehidupan
kejiwaan yang sehat, bebas, dari ketakutan,
tekannan dan gangguan lain yang dapat
mengganggu kesehatan jiwa.
2. Menjamin setiap orang dapat mengembangkan
berbagai potensi kenyamanan, memberikan
perlindungan dan menjamin pelayanan
kesehatan jiwa bagi orang dengan masalah
kejiwaan dan orang dengan gangguan jiwa
berdasarkan hak azazi manusia.3. Memberikan pelayanan kesehatan secara
terintegrasi, komprehensip dan
berkesinambungan melalui upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif bagi orang
dengan masalah kejiwaan dan orang dengan
gangguan jiwa.
4. Menjamin ketersediaan dan keterjangkauan
sumber daya dalam upaya kesehatan jiwa.
5. Meningkatkan mutu upaya kesehatan jiwa sesuai
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi
6. Memberikan kesempatan kepada orang dengan
masalah kejiwaan dan orang dengan gangguan
jiwa untuk dapat memperoleh haknya sebagai
warga negara Indonesia.
Pendekatan keluarga adalah salah satu cara
puskesmas untuk meningkatkan jangkauan sasaran dan
mendekatkan akses pelayanan Kesehatan di wilayah
kerjanya dengan mendatangi keluarga sebagai fokus
dalam pendekatan pelaksanaan program Indonesia
sehat , terdapat dua
fungsi keluarga yaitu :
1. Fungsi afektif, keluarga berperan utama
mempersiapkan anggota keluarga berhubungan
dengan orang lain.2. Fungsi sosialisasi yaitu keluarga mempersiapkan
anggota keluarganya dalam berinteraksi sosial
dalam lingkungan sosialnya. Keluarga sangat
memegang fungsi yang penting dalam
meningkatkan derajat Kesehatan anggota
keluarganya.
Konsep Peran Keluarga, merupakan aspek dinamis
kedudukan [status], apabila seseorang melaksanakan
hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,
maka dapat menjalankan suatu peranan. Disimpulkan
peran adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan
oleh banyak orang atau sekelompok orang terhadap
seseorang yang memiliki status atau kedudukan
tertentu.
Keluarga adalah dua atau lebih individu yang
hidup dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan atau adopsi. Mereka
saling ketergantungan satu sama lain, mempunyai
peran masing-masing dan menciptakan serta
mempertahankan suatu budaya , tugas
Keluarga dalam Kesehatan sebagai berikut:
1. Mengenal masalah Kesehatan keluarga, Kesehatan
merupakan kebutuhan keluarga yang tidak boleh
diabaikan.
2. Memutuskan Tindakan Kesehatan yang tepat bagi
keluarga. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang
utama untuk mencari pertolongan yang tepat
sesuai dengan keadaan keluarga.
3. Merawat keluarga yang mengalami gangguan
Kesehatan, sering kali keluarga telah mengambil
Tindakan yang tepat dan benar, tetapi keluarga
memiliki keterbatasan yang telah diketahui oleh
keluarga sendiri.
4. Memodifikasi lingkungan keluarga untuk menjamin
keluarga sehat. Modifikasi lingkungan keluarga
dilakukan agar keluarga merasa nyaman dan aman
sehingga perilaku agresif tidak timbul.
5. Memanfaatkan fasilitas Kesehatan disekitarnya bagi
keluarga. Keluarga mampu memanfaatkan fasilitas
yang ada disekitar rumah, misalnya puskesmas.
Berdasarkan hasil identifikasi dan pemetaan
literature dan praktek kesehatan jiwa, maka
penanganan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ)
meliputi dua jenis yakni pelayanan kuratif dan
pelayanan rehabilitatif, pelayanan kuratif merupakan
upaya menstabilkan kondisi kejiwaan pasien mulai dari
mendiagnosa, pengurangan/pemulihan serta
pengendalian. Dalam pelayanan kuratif ini sangat
penting peran dari keluarga/ masyarakat, kepala desa/
lingkungan, kader kesehatan, dokter spesialis jiwa
dalam mendukung keberhasilan stabilisasi orang
dengan gangguan jiwa. Selain itu dukungan fasilitas
pelayanan kesehatan meliputi puskesmas dan jejaring
klinik pratama dan praktik dokter dengan kompetensi
pelayanan kesehatan jiwa di RSU, RSJ dan rumah
perawatan pada pelayanan kuratif terhadap orang
dengan gangguan jiwa ini. Beberapa hal yang sangat penting diperhatikan antara
lain, sebagai berikut:
1. Partisipasi masyarakat untuk melaporkan orang
dengan gangguan jiwa terutama yang dipasung dan
menyerahkan ke fasilitas kesehatan jiwa dilakukan
pemulihan atau stabilitasi kejiwaan. Dalam tahap
ini sangat penting untuk memberikan kesadaran
kepada masyarakat terkait dengan orang gangguan
kejiwaan, untuk itu media sosialisasi orang dengan
gangguan jiwa dan pasung sangat penting untuk
dilakukan.
2. Selain partisipasi masyarakat atau kader kesehatan
perlu sistem jemput bola dari tim kesehatan
pemerintah daerah juga sangat penting dalam hal
ini untuk dapat melakukan pemantauan kepada
orang dengan gangguan jiwa.
3. Investigasi orang dengan gangguan jiwa dilakukan
oleh tim kesehatan, perangkat desa, kader
kesehatan, petugas rumah sakit /puskesmas/ dinas
kesehatan untuk membebaskan dan memutuskan
langkah rehabilitasi berikutnya.
4. Pemeriksaan kondisi orang dengan gangguan jiwa
oleh dokter spesialis untuk menentukan sistem
pengobatan.5. Orang dengan gangguan jiwa dengan kondisi parah
yang membahayakan diri sendiri / orang lain
mendapatkan rujukan untuk perawatan
menstabilisasikan kejiwaan nya di RSJ sampai ODGJ
pada kondisi tertentu dan dapat dilakukan
perawatan di rumah.
6. Orang dengan gangguan jiwa pada kondisi ringan
yang tidak membahayakan diri sendiri/ orang lain
dapat dilakukan pengobatan di rumah. Pengobatan
di rumah pada umumnya keluarga pasien
mendatangi fasilitas kesehatan, seperti RSJ/
Puskesmas untuk memeriksaan secara rutin dan
pengambilan obat.
Namun kondisi ini perlu dipertimbangkan
keterjangkauannya wilayah, tempat, daerah dan waktu
tempuh, maka perlu diperioritaskan bagi keluarga
miskin karena pada umumnya mereka terkendali
dengan biaya transportasi ke fasilitasi kesehatan oleh
karena itu untuk kasus seperti ini tim kesehatan perlu
peran aktif untuk memberikan pelayanan antar obat ke
pasien dan pemeriksaan dari rumah ke rumah dengan
melibatkan kader kesehatan.A. Deteksi Potensi Perilaku Agresif
Adalah memahami pola pikiran seseorang
secara keseluruhan dan memahami potensi
melakukan Tindakan kekerasan dengan cara diberi
kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan isi
pikiran.
B. Bersikap Empati
Menghindari sikap konfrontatif mengancam
dalam menangani klien dengan perilaku agresif,
Mencari alternatif solusi penyelesaian masalah
dalam menangani klien dengan perilaku agresif,
solusi penyelesaian masalah tersebut bergerak
kearah win-win solution.
C. Penatalaksanaan Perilaku Agresif
1. Tetap Berkomunikasi dengan Klien ODGJ sesuai
kemampuan dan kebutuhan.
Komunikasi memegang peranan penting dalam
tahapan proses kesembuhan klien dengan ODGJ. Dengan Komunikasi yang baik dan lancar
akan mempercepat proses penyembuhan.
2. Penuhi kebutuhan fisiologi klien dengan ODGJ,
seperti: makan, minum, rasa aman, dan
nyaman.
Pemenuhan kebutuhan fisiologi pada pasien
ODGJ harus diperhatikan dengan baik agar
terpenuhi kebutuhan nutrisi dan gizi klien ODGJ
dengan baik. Selanjutnya dengan terjaminnya
kebutuhan gizi akan mencegah terjadinya
komplikasi penyakit yang lain.
3. Tempatkan klien dengan ODGJ di ruangan yang
mudah dalam pengamatan kita setiap saat.
Setiap saat klien dengan ODGJ harus tetap kita
amati dari setiap aktivitas dan pergerakannya
untuk mencegah Tindakan agresif klien dengan
ODGJ seperti melukai diri sendiri sampai
Tindakan bunuh diri.
4. Tempatkan ODGJ di ruangan yang cukup
ventilasi.
Dengan cukup ventilasi bagi klien ODGJ akan
memberikan sirkulasi udara yang baik dan
bersih sebagai upaya proses penyembuhan
klien dengan ODGJ.5. Jauhkan dari barang – barang atau alat yang
berbahaya, seperti: gunting, silet, tali, kayu,
barang pecah belah yang terbuat kaca dan
logam.
Alat-alat yang berbahaya ini harus disingkirkan
dari jangkauan klien dengan ODGJ. Supaya
keselamatan klien ODGJ tetap terjamin.
6. Jangan tempatkan ODGJ di ruangan atas [lantai
atas]. Tindakan ini juga untuk menjaga
keselamatan klien ODGJ. Sebagai upaya
mencegah terjadinya Tindakan agresif. Seperti
terjun dari lantai atas.
7. Ciptakan suasana konduksif bagi ODGJ agar
tidak memancing perilaku agresif dari klien
ODGJ.
Dengan suasana konduksif bagi ODGJ dapat
meningkatkan peran dan interaksi yang
maksimal dengan klien ODGJ sehingga dapat
mengurangi pemicu perilaku agresif bagi klien
ODGJ.
8. Berikan obat therapi dokter sesuai dosis dan
aturan minum bagi klien ODGJ
Pemberian therapi yang sesuai dengan dosis,
waktu pemakaian yang tepat maka akan
mempercepat proses penyembuhan.
9. Klien dengan ODGJ kerap diajak berkomunikasi
secara rutin.
Dengan rutin berkomunikasi diharapkan klien
ODGJ akan terbina interaksi yang konduktif
sebagai proses penyembuhannya.
10. Klien dengan ODGJ diberikan aktivitas Latihan
motorik berupa pekerjaan Rumah Tangga yang
simple, seperti: menyapu, merapikan kamar tidur,
mengepel lantai.,dan lain-lain.
11. Klien dengan ODGJ jangan diperlakukan kasar baik
verbal maupun fisik selama dalam perawatan jalan
di rumah.
Dengan menghindari Tindakan kekasaran baik
verbal maupun fisik maka akan mengurangi
pemicu/pencetus terjadinya Tindakan agresif bagi
klien dengan ODGJ.
Gangguan jiwa (mental disorder)
merupakan salah satu dari empat masalah
kesehatan yang utama selain penyakit
degeneratif, kanker dan kecelakaan. Meskipun
tidak menyebabkan kematian secara langsung
namun gangguan jiwa dapat menyebabkan
ketidakmampuan serta invaliditas baik secara
individu maupun kelompok sehingga berpotensi
menghambat pembangunan ,
serta pengaruhnya pada produktivitas manusia
dan juga kaitannya dengan kasus-kasus kriminal
seperti bunuh diri ,Menurut data empiris World Health
Organitation (WHO) menyebutkan tahun 2007,
tiga per mil penduduk suatu wilayah mengalami
gangguan jiwa dan 19 per mil mengalami stres
bahkan diperkirakan pada saat ini, 450 juta orang
di seluruh dunia terkena dampak permasalahan
jiwa, saraf, maupun perilaku dan jumlahnya
terus meningkat. Lebih jauh telah diprediksi oleh
WHO bahwa satu dari empat keluarga memiliki
sekurang-kurangnya satu anggota keluarga yang
memiliki gangguan mental.
Survei Badan Pusat Statistik (BPS)
Kalimantan Selatan tahun 2003, jumlah
permintaan pelayanan kesehatan jiwa di
Kalimantan Selatan pada tahun 2003 sebanyak
3.201.962 jiwa diketahui angka kesakitan jiwa
berat dengan jumlah 128.079 jiwa, sedangkan
populasi anak sebanyak 128.079 jiwa dan yang
perlu penanganan jiwa 192.000 jiwa. Sebagian
besar pasien gangguan jiwa yang dirawat di
rumah sakit mengalami halusinasi. Pasien dengan
halusinasi adalah sering mengalami gangguan
pemenuhan perawatan diri . Banyak gangguan kesehatan yang
diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, gangguan
fi sik yang paling sering terjadi adalah gangguan
membran mukosa mulut, infeksi pada mata dan
telinga, gangguan fi sik pada kuku dan yang paling banyak ditemukan penyakit kulit dan
gangguan integritas kulit. Masalah sosial yang
berhubungan dengan kebersihan diri adalah
gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan
dicintai dan mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial
,Ekpresi secara verbal apa
yang dirasakan pasien, menumbuhkan perasaan
positif terhadap diri, penerimaan diri dan konsep
dirinya, dengan cara mengkomunikasikan dan
memberikan motivasi serta dukungan berupa
nasehat dan reward (hadiah) agar pasien dapat
berinteraksi dan bekerja sama dengan peneliti.
Upaya untuk meningkatkan perawatan
diri pada pasien halusinasi yaitu dengan
menggunakan metode partisipatif dan metode
pemberian reward (hadiah) berupa alat mandi
(sabun) untuk memberikan motivasi pasien
halusinasi melakukan status pemeliharaan
kebersihan dirinya sendiri. Tujuan penelitian
ini adalah untuk menganalisis pengaruh metode
partisipatif dan metode pemberian reward
(hadiah) terhadap perawatan diri pada pasien
halusinasi di Rumah Sakit Jantung (RSJ)
Sambang Lihum Banjarmasin.
Rancangan Penelitian ini menggunakan
ekperimen dengan pendekatan pra eksperimen,
yaitu mengukur perawatan diisi sesudah
pemberian intervensi metode partisipasif dan
reward pada kedua kelompok. Populasi pada
penelitian ini adalah semua klien halusinasi yang
dirawat di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin
dengan jumlah 118 orang. Teknik sampling
yang digunakan adalah dengan menggunakan
nonprobability sampling dengan pendekatan
purposive sampling, yaitu berdasarkan pada
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti
sendiri yaitu pada klien halusinasi (Nursalam,
2008). Sampel pasien halusinasi dengan jumlah
55 orang dengan kriteria inklusi klien halusinasi
yang tidak mengarah keperilaku kekerasan dan
tenang. Sampel pasien halusinasi pada kriteria
inklusi adalah 55 orang kemudian dibagi
menjadi kelompok A 25 orang dan kelompok
B 30 orang. Instrumen yang digunakan adalah
dengan observasi dan wawancara.
Alat yang digunakan pada penelitian
ini adalah alat mandi sabun, shampo (untuk
keramas), dan pasta gigi (gosok gigi) yang
digabung dengan peralatan mandi pasien
lainnya; buku catatan dan pulpen; dan jadwal
kegiatan klien. Evaluasi dilakukan saat proses
TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja.
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan
klien sesuai tujuan TAK. Kemampuan yang
diharapkan melakukan apa yang telah diberikan
oleh terapis. Pengumpulan data dan Analisis.
Kelompok A dengan mengisi lembar check list
materi yang diisi oleh peneliti mengenai hal-hal
yang telah disampaikan menggunakan metode
partisipatif (TAK) pada setiap indikator ada
empat point pemberian yang harus disampaikan,
sedangkan kelompok B dengan menggunakan
lembar observasi yang akan diisi oleh orang
kedua. TempatPenelitian dilaksanakan di Rumah
Sakit Jiwa Sambang Lihum Banjarmasin. Waktu
Penelitian dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal
9–16 Juni 2011.
Analisis data yang dilakukan setelah
semua data terkumpul berupa observasi
yang diisi oleh pihak kedua, kemudian data
tersebut diperiksa peneliti untuk mengetahui
kelengkapan isi datanya. Setelah data lengkap,
dikelompokkan berdasarkan indikator (kulit,
rambut, gigi dan mulut). Analisis statistik yang
digunakan adalah uji mann-whitney u-test.
Untuk menguji beda mean dari dua sampel. Uji
U ini tidak memerlukan asumsi distribusi normal
dan homogenitas varians.
HASIL
Secara geografis Rumah Sakit Jiwa
Sambang Lihum terletak di wilayah Kecamatan
Gambut Kabupaten Banjar Provinsi Kalimantan
Selatan. Rumah Sakit ini terletak 600 m dari
Jalan Gubernur Syarkawi Km 3,9 arah timur.
Jalan Gubernur Syarkawi merupakan rencana
jalan lintas Kalimantan Selatan - Kalimantan
Tengah. Rumah Sakit ini didirikan pada area
± 10 hektar, luas bangunan yang ada saat ini
adalah 11.530 m² dan tanah yang ditempati
merupakan tanah milik Pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan Pada tahun 2008
Peningkatan Kebersihan Diri ,
Rumah Sakit ini memiliki 75 kapasitas tempat
tidur tahun 2009 memiliki 200 kapasitas tempat
tidur dan pada tahun 2010 telah memiliki
300 kapasitas tempat tidur.
Jumlah ruang rawat inap yang ada di
Rumah Sakit ini terdiri dari 16 ruangan yang
terdiri dari 2 Ruang Rehabilitasi NAPZA dan
13 ruangan lainnya dibagi menjadi tiga jenis
ruangan yaitu ruangan akut antara lain akut pria
dan akut wanita, ruang intermediate yang terdiri
dari ruang anggrek dan ruang melati, serta ruang
tenang yang terdiri dari ruang akasia, ruang
cemara, ruang cendana, ruang keruing, ruang
mahoni, ruang meranti, ruang pinus dan ruangan
detoxifi kasi.
Jumlah tenaga perawat pada ruang akut
sebanyak 26 ruang, jumlah tenaga perawat
pada ruang intermediate sebanyak 22 orang,
jumlah tenaga perawat diruang tenang sebanyak
76 orang dan jumlah tenaga perawat di ruang
NAPZA sebanyak 20 orang. Jumlah jam kerja
mengacu pada keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 58 Tahun 1964 (37,5 jam/
minggu atau 150 jam/bulan) dengan pembagian
dinas pagi 7×/bulan, dinas sore dan dinas malam
masing-masing 6 kali/bulan.
Metode partisipatif mayoritas lama
perawatan 1–3 bulan 15 orang (60%) (tabel
1). Pada metode reward (hadiah) mayoritas
lama perawatan 1–3 bulan 20 orang (66,66%)
(tabel 2).
Adapun hasil penelitian untuk mengetahui
perbedaan pengaruh antara dua metode yang
diberikan. Pada kelompok perlakuan metode
partisipatif 25 orang dan pada perlakuan
kelompok metode reward (hadiah) 30 orang.
Dilakukan sesudah pemberian perlakuan
menggunakan uji mann whitney dengan tingkat
kemaknaan 0,05.
Analisis univariat dalam penelitian ini
bertujuan untuk melihat karakteristik responden
dari variabel bebas yaitu perlakuan metode
partisipatif dan perlakuan metode pemberian
reward (hadiah) tentang pemeliharaan kesehatan
fisik terhadap status kebersihan diri pada
pasien halusinasi di RSJ Sambang Lihum
Banjarmasin.
Responden dalam kategori bersih 8 orang
(32%) dan status kebersihan diri kurang 11
orang (44%) dengan sampel 25 orang metode
partisipatif menggunakan uji mann whitney
p value 0,001 (tabel 3). Kategori bersih 4 orang
(13,34%) dan status kebersihan diri kurang 20
orang (66,66%) dengan sampel 30 orang metode
reward (hadiah) menggunakan uji mann whitney
p value 0,001 (tabel 4).
Tabel 1. Karakteristik responden dengan
perlakuan metode partisipatif
berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan Metode partisipatif
N %
1–3 bulan 15 60
2–4 bulan 5 20
5–8 bulan 3 12
1–2 tahun 2 8
Total 25 100
Tabel 2. Karakteristik responden dengan
perlakuan metode reward (hadiah)
berdasarkan lama perawatan
Lama perawatan Metode reward (hadiah)
N %
1–3 bulan 20 66,66
2–4 bulan 5 16,67
5–8 bulan 2 6,67
1–2 tahun 3 10
Total 30 100
Tabel 3. Status kebersihan diri pada
pasien halusinasi dengan metode
partisipatif
Status
Kebersihan
Diri
Kelompok Patisipatif
n = 25
P
value
Bersih 8 orang 32%
Cukup 6 orang 24% 0,001
Kurang 11 orang 44%
Jumlah 25 orang 100%
Tabel 4. Status kebersihan diri pada pasien
halusinasi dengan metode reward
(hadiah)
Status
Kebersihan
Diri
Kelompok reward
(hadiah)
n = 30
P value
Bersih 4 orang 13,34%
Cukup 6 orang 20% 0,001
Kurang 20 orang 66,66%
Jumlah 30 orang 100%
Analisis bivariat dilakukan untuk
mengetahui perbedaan pengaruh metode
partisipatif dan metode pemberian reward
(hadiah) tentang pemeliharaan kesehatan fi sik
terhadap status kebersihan diri pada pasien
halusinasi di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin.
Hasil perhitungan dengan uji mann whitney pada
pasien halusinasi setelah pemberian perlakuan
dengan metode partisipatif dan metode pemberian
reward (hadiah) didapat tingkat signifi kan (ρ) =
0,001, oleh karena tingkat signifi kan (ρ) lebih
kecil dari 0,05 dapat disimpulkan bahwa ada
perbedaan pengaruh metode partisipatif dan
metode pemberian reward (hadiah) tentang
pemeliharaan kesehatan fi sik terhadap status
kebersihan diri pada pasien halusinasi di RSJ
Sambang Lihum Banjarmasin.
Kelompok perlakuan metode partisipatif
nilai kategori bersih yang paling tinggi pada
indikator rambut, semua sampel pada tiap
indikator tidak ada pada bagian kutu dan nilai
terendah pada indikator kulit pada bagian daki.
Sedangkan kelompok perlakuan metode reward
(hadiah) kategori bersih (baik) pada indikator
kulit bagian lesi dan nilai terendah (kurang)
pada kebersihan kulit adanya daki karena hanya
tiga orang dari 30 sampel yang tidak ada daki
(tabel 5).
Hasil uji mann whitney didapatkan nilai
p = 0,001 di mana nilai kemaknaan maka (alpa <
0,05), maka dapat dikatakan bahwa analisis dari
kedua kelompok menunjukkan ada perbedaan.
Pembahasan hasil penelitian yang
diuraikan adalah status kebersihan diri pada pasien
halusinasi di RSJ Sambang Lihum Banjarmasin
setelah diberikan metode partisipatif dan metode
pemberian reward (hadiah) tentang pemeliharaan
kesehatan fi sik. Berdasarkan hasil penelitian
perbedaan metode partisipatif dan metode
pemberian reward (hadiah) pada kelompok
A dengan metode partisipatif (TAK) sampel
terdiri dari 25 orang karena lima orang lainnya
meninggalkan ruangan sehingga sulit dilakukan
pengamatan dan pengukuran didapatkan hasil dengan kategori bersih 8 orang, kategori cukup
6 orang dan kurang 11 orang. Sedangkan pada
kelompok B dengan metode pemberian reward
(hadiah) jumlah sampel 30 orang didapatkan
hasil kategori bersih 4 orang, cukup 6 orang
dan kurang 20 orang. Status kebersihan diri baik
(bersih) kelompok A pada indikator rambut pada
bagian kutu karena dari 25 sampel tidak ada
yang kutuan dan nilai terendah pada indikator
kulit bagian daki. Pada kelompok B status
kebersihan diri baik pada indikator kulit bagian
lesi karena 30 sampel tidak ada lesi dan terendah
pada bagian daki karena hanya tiga orang yang
tidak ada.
Metode partisipatif (TAK) terhadap
status kebersihan diri pada pasien halusinasi.
Pada kategori ini pasien sudah menunjukkan
peningkatan untuk menjaga status kebersihan
diri. Pada kelompok A dengan metode
partisipatif lebih efektif digunakan pada pasien
halusinasi. Metode partisipatif pada penelitian
ini melibatkan seseorang (pasien halusinasi)
dalam mengikuti pembelajaran (mendapatkan
pengalaman) tentang pemeliharaan kebersihan
diri yang mencakup keterlibatan klien secara
aktif dalam hal mandi, keramas dan gosok gigi.
Metode pemberian reward (hadiah) dalam
penelitian ini adalah dengan memberikan sabun
yang bertujuan menjaga pemeliharaan kesehatan
fi sik (mandi, keramas dan gosok gigi) pada
pasien halusinasi.
Pengaruh Metode Partisipatif dan Metode
Pemberian Reward (Hadiah) tentang
Pemeliharaan Kesehatan Fisik terhadap
Status Kebersihan Diri
Pemeliharaan fi sik adalah terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik, tidak terjadi
gangguan kesehatan pada fi sik individu dari
ujung rambut sampai ujung kaki. Kulit yang
lembab akan mudah dilalui oleh bahan yang
dapat menyebabkan iritasi dan lebih mudah
terinfeksi jamur atau kuman dan juga rentan
terhadap gesekan, sehingga kulit mudah lecet
yang akan lebih mudah iritasi ,
Kebersihan diri adalah suatu upaya
untuk memelihara kebersihan tubuh dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Perawatan diri adalah
salah satu kemampuan dasar manusia dalam
memenuhi kebutuhannya guna mempertahankan
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan sesuai
dan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan
terganggu keperawatan dirinya jika tidak
dapat melakukan perawatan diri ,
Banyak gangguan kesehatan yang diderita
seseorang karena tidak terpeliharanya kebersihan
perorangan dengan baik, gangguan fi sik yang
sering terjadi adalah gangguan integritas kulit,
gangguan membran mukosa mulut, infeksi pada
mata dan telinga dan gangguan fi sik pada kuku
,
Manfaat mandi ialah menghilangkan bau,
menghilangkan kotoran, merangsang peredaran
darah, dan memberi kesegaran pada tubuh.
pelatihan dengan
metode partisipatif adalah proses pembelajaran
dengan landasan utama dari keterlibatan atau
partisipasi aktif dari peserta latih melalui
penerapan pengetahuan-pengetahuan teoritis
ke dalam situasi kehidupan sebenarnya dengan
cara menggabungkan dan mengatur metode
pembelajaran agar dapat menambah semangat
belajar dan mengurangi kelelahan peserta
karena tidak membosankan. Makin aktif
keterlibatan peserta latih di dalam proses
metode partisipatif akan semakin tinggi
motivasinya dan semakin besar daya retensinya.
Selanjutnya berakibat peserta latih lebih siap
untuk mempratikkannya.
Pembelajaran pada pasien gangguan
jiwa dapat dilakukan dengan pemberian terapi
aktivitas kelompok. TAK merupakan salah
satu pedoman terapi yang dilakukan perawat
kepada sekelompok klien yang mempunyai
masalah yang sama dalam ilmu keperawatan
jiwa. Aktivitas digunakan sebagai terapi, dan
kelompok adalah kumpulan individu yang
memiliki hubungan satu dengan yang lain,
saling bergantung dan mempunyai norma yang
sama ,Di dalam kelompok terjadi
dinamika interaksi yang sangat bergantung,
saling membutuhkan dan menjadi tempat
klien berlatih perilaku baru yang adaptif
untuk memperbaiki perilaku lama maladaptif.
Metode partisipatif pada penelitian ini melibatkan
seseorang (pasien halusinasi) dalam mengikuti
pembelajaran (mendapatkan pengalaman)
tentang pemeliharaan kebersihan diri yang mencakup keterlibatan klien secara aktif dalam
hal mengajarkan, menjelaskan tujuan, manfaat
mandi, keramas dan gosok gigi.
Reward atau reinforcement sebagai faktor
terpenting dalam proses belajar. Tujuan psikologi
adalah meramal dan mengontrol tingkah laku,
Teori ini mengenai
stimulus-respons, yang mempercayai bahwa
setiap tingkah laku itu dapat diamati dan didasari
oleh respons positif atau negatif yang diterima.
Respons positif akan mendapatkan hadiah
sebaliknya respons negatif menandakan akan
mendapatkan hukuman. Skinner yakin bahwa
manusia akan berusaha untuk mendapatkan
respons positif atau hadiah dari apa yang
dilakukannya.
Pemberian reward (hadiah) sangat
berpengaruh dengan teori Skinner karena
apabila diidentifi kasi hadiah-hadiah tersebut
dapat dilakukan pembentukan kebiasaan
yang positif (Rasmun, 2004). Reinforce itu
sendiri adalah stimulus yang meningkatkan
kemungkinan timbulnya sejumlah respons
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai
pasangan stimulus.
Metode pemberian reward (hadiah)
dalam penelitian ini adalah dengan memberikan
sabun yang bertujuan menjaga pemeliharaan
kesehatan fi sik (mandi, keramas dan gosok gigi)
pada pasien halusinasi.
Metode partisipatif lebih baik dan
efektif digunakan untuk digunakan sebagai
pemeliharaan kesehatan fi sik terhadap status
kebersihan diri pada pasien halusinasi di RSJ
Sambang Lihum Banjarmasin karena dengan
melibatkan langsung dengan pasien, makin
aktif keterlibatan pasien di dalam proses
metode partisipatif akan semakin tinggi
motivasinya dan semakin besar daya retensinya.
Selanjutnya berakibat pasien lebih siap dan
mampu untuk mempraktikkannya.
Metode reward (hadiah) kurang baik dan
efektif untuk pasien berespons karena hanya
memberikan stimulus tanpa banyak komunikasi,
sehingga kurang efektif diberikan pada pasien
gangguan jiwa karena pasien mengalami
ingatan, persepsi dan perhatian yang kurang
dengan lingkungan sekitarnya.
Pendidikan kesehatan adalah semua kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan
pengetahuan, sikap, praktik baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri . Hasil penelitian Lubis, Namora,
dan menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pengetahuan dan sikap pada
responden akibat dari intervensi melalui penyuluhan dengan metode ceramah, terdapat
peningkatan pengetahuan dan sikap pada responden akibat dari intervensi melalui penyuluhan
dengan metode diskusi. Metode penyuluhan yang paling efektif digunakan untuk meningkatkan
pengetahuan dan sikap anak sekolah dasar tentang PHBS adalah melalui metode diskusi.
Penyuluhan dengan metode ceramah dapat meningkatkan pengetahuan. Sejalan dengan Green
bahwa dengan pendekatan edukasional
dapat merubah perilaku seseorang termasuk pengetahuan, dimana intervensi yang diberikan
merupakan proses pendidikan kesehatan untuk merubah perilaku.
Ceramah merupakan metode penyuluhan kesehatan yang efektif apabila penceramah
atau narasumber sendiri dapat menguasai materi, memiliki penampilan yang meyakinkan serta
mampu mempersiapkan alat-alat bantu pengajaran misalnya makalah singkat, slide, sound system
dan sebagainya . Kelebihan metode ceramah sebagai berikut: 1) Dapat
menampung kelas besar dimana tiap siswa mempunyai kesempatan yang sama untuk
mendengarkan dan biaya yang diperlukan relative murah; 2) Konsep yang disajikan secara
hierarki akan memberikan fasilitas belajar pada siswa; 3) Guru dapat memberikan tekanan
terhadapat hal-hal penting hingga waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin; 4)
Kekurangan atau tidak adanya buku sumber dan alat bantu pelajaran tidak menghambat
terlaksananya proses pembelajaran ,
LPKA kelas IIB Sungai Raya dihuni oleh anak-anak usia muda. Kepala LPKA kelas IIB
Sungai Raya mendukung adanya upaya-upaya pengembangan pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan pada anak-anak binaannya. Kabupaten Kubu Raya juga dicanangkan menjadi salah
satu Kabupaten Layak Anak sehingga perhatian, pengembangan dan dukungan setiap program
yang ada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak Kelas IIB Sungai Raya. Belum optimalnya perhatian
pihak pemerintah daerah ataupun lembaga lainnya untuk peningkatan kualitas pendidikan
khususnya bidang kesehatan di LPKA kelas IIB Sungai Raya, pengetahuan tentang sehat jiwa bagi
anak-anak usia muda masih rendah, dan penyuluhan kesehatan tentang kesehatan jiwa usia muda
belum pernah dilakukan di LPKA kelas IIB Sungai Raya.
Hasil Riset Kesehatan Dasar Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (2013)
menunjukkan angka prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia 1.7 permil, artinya ada
sekitar 1.7 kasus gangguan jiwa berat di antara 1000 orang penduduk Indonesia. Gangguan
jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan terganggunya kemampuan menilai
realitas dan tilikan diri (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain
berupa halusinasi, wahan, gangguan proses pikir dan kemampuan berpikir, dan tingkah laku
aneh seperti katatonik. Gangguan mental emosional dapat dialami oleh semua orang dan setiap
tingkatan usia pada kondisi distres psikologis, namun tetap dapat pulih seperti semula. Orang
Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), jika tidak mendapatkan intervensi dari profesional
kesehatan mental dengan tepat, maka orang dengan gangguan mental emosional dapat
mengalami gangguan yang lebih serius ,
PKM ini sejalan dengan Program Indonesia Sehat (PSI-PK) yang merupakan salah satu
program dari Agenda ke-5 Nawa Cita, yaitu Meningkatkan Kualitas Hidup Manusia Indonesia.
Program ini didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program Indonesia Pintar, Program
Indonesia Kerja, dan Program Indonesia Sejahtera. Dampak akibat gangguan mental yang serius
adalah kematian atau bunuh diri. Kisaran usia tertinggi akibat bunuh diri adalah usia 15 – 29
tahun ,Gangguan jiwa sangat lazim terjadi pada remaja-remaja dengan perilaku
bunuh diri. Tidak semua tindakan bunuh diri disebabkan oleh gangguan jiwa, tetapi 80-90%
remaja yang meninggal karena bunuh diri mempunyai psikopatologi signifikan seperti gangguan
mood, gangguan cemas, problem perilaku, dan penyalahgunaan NAPZA , Kasus
terbesar pada anak didik di LPKA kelas IIB Sungai Raya adalah 80% dengan kasus asusila dan
20% dengan kasus narkoba. Hal ini tentu menjadi stressor bagi anak usia muda (remaja) yang
mengalami kasus kriminal akibat penyimpangan perilaku pada remaja. Mereka harus mengalami
perubahan lingkungan tempat tinggal dan orang-orang disekitarnya yang awalnya bersama
keluarga ke LPKA. Kesehatan mental bagi anak usia dini memerlukan perhatian penting agar
pergeseran rentang sehat sakit dapat dicegah sehingga kualitas hidup remaja khusunya di LPKA
dapat ditingkatkan. Kegiatan PKM tentang penyuluhan kesehatan dengan tema sehat jiwa usia muda (remaja)
melalui pendekatan keluarga dan agama sebagai psychosocial trauma ini berjalan sesuai dengan
perencanaan. Kegiatan PKM ini dilakukan selama satu hari atau pertemuan. Total jumlah peserta
yang hadir dalam kegiatan PKM ini sebanyak 25 orang remaja. Rentang usia peserta kegiatan di
LPKA kelas IIB Sungai Raya 15-20 tahun. Kegiatan PKM tentang penyuluhan kesehatan ini
menggunakan metode ceramah dan diskusi. Antusiasme peserta aktif dan kegiatan berlangsung
tertib. Tahapan penyuluhan kesehatan ini dilakukan dengan 3 tahapan yaitu tahap pembukaan,
kerja dan penutup. Pada saat tahap kerja setelah penyampaian materi penkes, selanjutnya tahap
diskusi dilakukan dan ada satu orang peserta yang bertanya sesuai tema penkes. Dua puluh lima
peserta penkes, 80% peserta dapat menjawab dengan benar dari 5 pertanyaan yang diberikan
saat evaluasi sumatif dilakukan. Media yang digunakan saat PKM ini pengeras suara, LCD dan
Power Point Slide. Pelaksanaan PKM ini melibatkan mitra yaitu Pihak Puskesmas Sungai Raya
Dalam melalui pemegang program berkoordinasi dan LPKA bagian Pembinaan dan Petugas
Kesehatan di LPKA kelas IIB Sungai Raya.
Saran yang ditujukan untuk anak didik di LPKA kelas IIB Sungai Raya yaitu diharapkan
seluruh anak didik di LPKA kelas IIB terlibat aktif dalam setiap kegiatan atau program-program
yang sudah terjadwal oleh LPKA guna meningkatkan kemampuan kognitif, afektif dan
psikomotor remaja khusunya terkait dengan kesehatan jiwa remaja dengan melibatkan peran
keluarga dan agama. Bagi LPKA kelas IIB Sungai Raya yaitu dapat meningkatkan fasilitas dan
pengembangan program-program khususnya terkait kesehatan jiwa untuk remaja penghuni
LPKA serta guna meminimalisasi dampak psychosocial truma bagi remaja penghuni LPKA kelas
IIB Sungai Raya. Bagi institusi pengusul PKM dapat meningkatkan kerjasama lintas sektoral dan
lintas program guna mencapai status kesehatan individu khususnya remaja di LPKA dalam
bentuk MoU untuk pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi.
Kesehatan merupakan salah satu agenda
dalam Suistainable Development Goal’s (SDG’s).
Selain kesehatan raga, kesehatan jiwa juga sangat
penting bagi seseorang. Kesehatan jiwa masih
menjadi salah satu permasalahan sosial yang
kompleks di dunia, termasuk di Indonesia. Menurut
data World Health Organization (WHO) tahun 2016
diketahui bahwa sejumlah 35.000.000 orang
mengalami depresi, 21.000.000 orang mengalami
skizofrenia, 60.000.000 orang mengalami bipolar
serta 47.500.000 orang mengalami dimensia
(Kementerian Kesehatan, 2019b). Berdasarkan data
tersebut, diketahui bahwa masalah-masalah
kesehatan jiwa di dunia masih tinggi, termasuk di
Indonesia. Berdasarkan data dari Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan tahun 2017,
diketahui bahwa gangguan jiwa merupakan salah
satu penyebab disabilitas tertinggi di Indonesia yaitu
sebesar 13,4%. Menurut perhitungan beban
penyakit pada tahun 2017, beberapa jenis gangguan
jiwa yang diderita penduduk Indonesia diantaranya
yaitu skizofrenia, gangguan depresi, bipolar, autis,
gangguan perilaku, cemas, gangguan perilaku makan,
cacat intelektual dan attention deficit hyperactivity
disorder (ADHD). Dalam masa tiga dekade (tahun
1990-2017), terjadi perubahan pola penyakit mental
dan yang mengalami peningkatan yaitu depresi,
skizofrenia, bipolar, autis dan gangguan perilaku
makan (Kementerian Kesehatan, 2019c).
Selanjutnya, penderita orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) di Indonesia menunjukkan adanya
peningkatan menurut Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2018.
Peningkatan ini ditunjukkan dengan adanya
penambahan prevalensi rumah tangga yang
mempunyai ODGJ di Indonesia. Jumlah peningkatan
tersebut yaitu dari 1.7 per mil naik ke angka 7 per mil
rumah tangga. Definisinya bahwa per 1.000 rumah
tangga terdapat 7 rumah tangga yang memiliki ODGJ,
sehingga totalnya diproyeksikan sekitar 450.000
ODGJ berat. Jumlah pada angka tersebut
menunjukkan bahwa penyandang disabilitas mental
di Indonesia masih tinggi. Berbagai faktor psikologis,
biologis, sosial, dan keanekaragaman penduduk di
Indonesia dapat menyebabkan jumlah gangguan jiwa
akan mengalami penambahan. Berdasarkan Profil
Kesehatan Republik Indonesia tahun 2018 terdapat
kesenjangan antara layanan kesehatan mental yang
ditunjukkan dengan jumlah rumah sakit jiwa di
Indonesia yang hanya tersedia sebanyak 43 unit
dengan kapasitas tempat tidur 9.880 buah. Indonesia
juga masih kekurangan tenaga kesehatan mental
profesional untuk melayani pasien kesehatan
mental, tercatat bahwa Indonesia hanya memiliki
1.563 tenaga psikologi klinis dengan 1 psikiater yang
melayani melayani 300.000-400.000 orang
(Kementerian Kesehatan, 2019a).
Lebih lanjut, berdasarkan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas, gangguan jiwa merupakan bagian dari
penyandang disabilitas mental (PDM) yaitu “mereka
yang terganggu dalam fungsi pikir, emosi, dan
perilaku antara lain meliputi gangguan psikososial
seperti skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan
gangguan kepribadian serta perkembangan
disabilitas yang berpengaruh pada kemampuan
interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif”
(Undang-undang RI, 2016). Undang-undang tersebut
menggeser model paradigma yang menurut Kasim
(2010) dari pendekatan individual dan medis
menuju pedendekatan berbasis hak-hak asasi/rights
based model (Widinarsih, 2019). Penyandang
disabilitas menjadi subjek untuk berpartisipasi
penuh berdasarkan kesamaan hak sehingga
keterbatasan pada penyandang disabilitas tidak
menjadi hambatan. Hasil interaksi dari lingkungan
dan sikap masyarakat menjadi salah satu faktor
penting yang mempengaruhi penyandang disabilitas.
Penurunan produktivitas akibat gangguan
mental akan berdampak pada perkembangan dan
pertumbuhan negara baik segi kesehatan, sosial,
ekonomi, hak asasi manusia (HAM) dan lain
sebagainya. Funk., dkk (2012) menyebutkan bahwa
gangguan mental menjadi faktor penyebab parahnya
penyakit kronis seperti kanker, penyakit
kardiovaskular, diabetes dan HIV/AIDS, terutama
melalui dampak perilaku tidak sehat dan berisiko,
ketidakpatuhan terhadap rejimen medis yang
diresepkan dan berkurangnya fungsi kekebalan
tubuh. Gangguan mental memiliki dampak sosial
yang beragam dan luas, termasuk tunawisma,
banyaknya orang masuk penjara, peluang dan hasil
pendidikan yang buruk, kurangnya pekerjaan dan
terbatasnya peluang untuk menghasilkan
pendapatan. Stigma, mitos dan kesalahpahaman
seputar penyakit jiwa adalah akar penyebab banyak
diskriminasi dan pelanggaran HAM yang dialami
oleh PDM setiap hari. Kelompok rentan yang rawan
menjadi korban penelantaran salah satunya adalah
PDM, dengan alasan faktor kemiskinan, keluarga
tidak bisa mengurus, kurangnya pengetahuan
tentang penyakit gangguan jiwa, dan masih
mendapatkan stigma.
Pemerintah melalui Kementerian Sosial
melakukan upaya rehabilitasi sosial yang dijelaskan
dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial. Upaya rehabilitasi sosial yang di atur dalam undang-undang tersebut
dilakukan ‘secara persuasif, motivatif atau koersif
yang dilaksanakan di dalam keluarga, masyarakat
maupun panti sosial’ (Undang-undang RI, 2009).
Penanganan PDM telantar juga harus sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang
kesehatan jiwa, pemberian perlindungan dan
jaminan bagi PDM berdasarkan hak asasi manusia
‘melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif’ (Undang-undang RI, 2014). Dinas Sosial
dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di
seluruh Indonesia juga melakukan perpanjangan
fungsi layanan sosial. Kebijakan rehabilitasi sosial
juga dilaksanakan di daerah khususnya Provinsi DKI
Jakarta.
Menurut Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan RI per Juli 2019
menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta meraih
data tertinggi sebesar 79,03% pada indikator
penderita gangguan jiwa yang mendapatkan
pengobatan dan tidak ditelantarkan. Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dalam mengatasi masalah PDM
telantar yaitu menempatkan PDM telantar di dalam
panti sosial. Kemudian, untuk menjalankan
kebijakan rehabilitasi sosial, pemerintah Provinsi
DKI Jakarta membuat Peraturan Gubernur DKI
Jakarta Nomor 157 tahun 2015 tentang Penanganan
Orang Dengan Masalah Kejiwaan dan/atau Orang
Dengan Gangguan Jiwa yang telantar dan/atau
Mengganggu Ketertiban Umum. Selanjutnya
peraturan gubernur tersebut menjadi pedoman bagi
petugas pelaksana dalam melakukan rehabilitasi
sosial bagi penyandang disabilitas mental telantar.
Intervensi melalui rehabilitasi sosial bertujuan untuk
memulihkan dan mengembangkan kemauan serta
kemampuan PDM agar bisa menjalankan fungsi
sosial secara wajar dalam bermasyarakat. PDM yang
mengalami kemajuan memungkinkan untuk
memberdayakan mereka sehingga mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya (Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, 2015).
Pemerintah daerah provinsi dalam standar
pelayanan minimal urusan bidang sosial diberi
kewenangan untuk melaksanakan rehabilitasi sosial
pada disabilitas telantar di dalam panti sosial
. Panti Sosial Bina Laras
Harapan Sentosa 1 Provinsi DKI Jakarta yang
selanjutnya disebut PSBL 1 merupakan salah satu
Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Sosial tempat
pemberian pelayanan dan rehabilitasi sosial bagi
penyandang psikotik telantar dengan tingkat berat
yang telah melakukan terobosan dengan membuka
Klinik Tiendra sebagai klinik pertama di Panti Sosial
Provinsi DKI Jakarta. PSBL 1 memiliki kapasitas atau
daya tampung penerima manfaat sebesar 750.
Berdasarkan data per Maret tahun 2020 jumlah PDM
di PSBL 1 sebesar 809 orang dan jumlah untuk
sumber daya manusia yang menanganinya sebanyak
63 orang (Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta, 2020).
Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan jumlah
sumber daya manusia sebanyak 63 orang dengan
jumlah PDM yang berada di panti tersebut. Selain
masalah kurangnya pegawai tersebut, pemilihan
PSBL 1 didasarkan atas realisasi anggaran tahun
2020 sebesar Rp15.421.627.999,-. Realisasi
anggaran tersebut merupakan realisasi yang
tertinggi dibandingkan dengan panti sosial yang
menangani PDM telantar di DKI Jakarta (Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta, 2020).
Berdasarkan uraian di atas, peneliti ingin
mendeskripsikan dan menganalisis pelaksanaan
rehabilitasi sosial bagi PDM telantar di PSBL 1
Provinsi DKI Jakarta. Selanjutnya, dengan adanya
tujuan tersebut, hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi referensi tambahan bagi pengembangan
disiplin ilmu kesejahteraan sosial khususnya yang
berkaitan dengan rehabilitasi sosial bagi PDM
telantarProvinsi DKI Jakarta dalam melaksanakan
pelayanan rehabilitasi sosial bagi penyandang
disabilitas berupaya melindungi dan memenuhi hak
penyandang disabilitas agar dapat meningkatkan
potensi diri dan berdaya sesuai bakat dan minat yang
dimiliki, berperan serta berkontribusi secara
maksimal dalam segala aspek. Upaya yang dilakukan
tertuang dalam kegiatan strategis daerah yaitu
‘peningkatan aksesibilitas penyandang disabilitas
terhadap pelayanan dasar, pelayanan publik, dan
kesempatan kerja atau berusaha’. Dinas sosial
sebagai unsur pelaksana yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan bidang sosial di Provinsi DKI
Jakarta berusaha menindaklanjuti salah satunya
dengan pelaksanaan program pelayanan dan
rehabilitasi sosial. Indikator kinerja yang ditetapkan
adalah pada Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial (PMKS) yang dapat ditampung di panti sosial.
PSBL 1 sebagai UPT Dinas Sosial Provinsi DKI
Jakarta wajib berkontribusi dalam memenuhi
indikator tersebut melalui upaya pelayanan
rehabilitasi sosial bagi PDM telantar. Hal ini
bertujuan untuk mengentaskan PDM terlantar ke
dalam kehidupan yang layak dan normatif dengan
sasaran meningkatkan pelayanan pemenuhan hak
dasar PDM telantar. PDM terlantar masuk ke dalam
kategori PMKS. Kondisi PDM terlantar dalam penempatan di Panti Sosial Bina Laras Harapan
Sentosa sebelum adanya Peraturan Gubernur Nomor
157 Tahun 2015 tentang Penanganan Orang dengan
Masalah Kejiwaan dan/atau Orang Dengan Gangguan
Jiwa yang telantar dan/atau mengganggu ketertiban
umum adalah campuran dari semua kategori fase
PDM dengan segala permasalahannya, tidak ada
klasterisasi. Penanganan sebelumnya dinilai kurang
efektif seiring bertambahnya jumlah PDM telantar,
sehingga Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta berupaya
menanggulangi secara bertahap persoalan PDM
telantar dengan klasterisasi. Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial-Penyandang Disabilitas Dinas
Sosial Provinsi DKI Jakarta mengungkapkan:
“Ternyata kita juga melihat fenomena di Jakarta
banyak sekali orang dengan gangguan jiwa.
Akhirnya dia tidak terurus, telantar dan masuk ke
panti kita. Dari hasil rapat-rapat provinsi berlaku
Pergub 2015 PSBL HS 1, 2, 3 sesuaikan clusteringnya, 1 berat, 2 sedang, 3 ringan, trus ada loka karya
buat buku silabi yang inovasi nanganin masalah
disabiltas mental ini. Ada perubahan pergub ortala
PSBL juga, menyesuaikan” (HW, 5 Januari 2021).
Berdasarkan temuan lapangan, terdapat
beberapa temuan terkait rehabilitasi sosial bagi PDM
telantar di PSBL 1 Provinsi DKI Jakarta. Di dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan konsep tahapan
rehabilitasi sosial . Konsep tersebut dipilih karena lebih
komprehensif dan sistematis dibandingkan dengan
tahapan pemecahan masalah praktik pekerjaan
sosial seperti konsep menurut Zastrow (2017) yang
hanya membahas 6 tahapan intervensi yang meliputi
identifikasi masalah, menghasilkan solusi alternatif
yang mungkin dilakukan, mengevaluasi solusi
alternatif, memilih solusi yang akan digunakan,
menerapkan solusi dan tindak lanjut untuk
mengevaluasi. Sedangkan konsep tahapan
rehabilitasi sosial menurut Luhpuri & Andayani
(2019) memiliki 7 tahapan rehabilitasi yang sejalan
dengan tahapan rehabilitasi sosial yang diatur dalam
regulasi pemerintah daerah (Peraturan Gubernur
Provinsi DKI Jakarta Nomor 358 Tahun 2016 tentang
Pembentukan, Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial
Bina Laras Harapan Sentosa). PSBL 1 sebagai UPT
Dinas Sosial melaksanakan rehabilitasi sosial sesuai
dengan peraturan gubernur tersebut. Tahapan
rehabilitasi sosial berdasarkan Pergub DKI Jakarta
nomor 358 tahun 2016 yang digunakan di PSBL 1
yaitu pendekatan awal, pengungkapan dan
pemahaman masalah, penyusunan rencana
pemecahan masalah, pemecahan masalah,
resosialisasi, terminasi dan bimbingan lanjut
(Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, 2016)
Pendekatan Awal
Pelaksanaan pendekatan awal akan berjalan
dengan efektif dengan memenuhi lima langkah yang
terdiri dari kegiatan sosialisasi, identifikasi, motivasi,
seleksi dan penerimaan. Pelaksanaan rehabilitasi
sosial PDM telantar di PSBL 1 perlu disertai dengan
pemahaman dan komitmen dari seluruh Aparatur
Sipil Negara, PJLP di PSBL 1 serta dukungan dari para
pengambil keputusan. Kerjasama dari berbagai
sektor yang terkait untuk penanganan PDM juga
sangat diperlukan. Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta
dan PSBL 1 sebagai proses awal harus
menyampaikan informasi dengan sosialisasi terkait
layanan rehabilitasi sosial yang dapat dijangkau.
Sosialisasi dilaksanakan secara internal dan
eksternal kepada PDM, keluarga, kerabat, institusi,
maupun masyarakat. Dinas Sosial Provinsi DKI
Jakarta dan PSBL 1 melaksanakan sosialisasi internal
melalui rapat-rapat koordinasi. Pembahasan
pembagian tugas di PSBL 1 juga telah dibentuk sesuai
Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 358
Tahun 2016 tentang Pembentukan, Organisasi dan
Tata Kerja Panti Sosial Bina Laras Harapan Sentosa.
PSBL 1 selanjutnya menyampaikan gambaran
pelayanan dan rehabilitasi sosial kepada PDM.
Faktor kondisi karakteristik kejiwaan PDM yang
menolak mengikuti layanan rehabilitasi sosial
memicu timbulnya hambatan proses pemulihan.
Sosialisasi eksternal sudah dilaksanakan
melalui website resmi Dinas Sosial Provinsi DKI
Jakarta dan akun Instagram milik Dinas Sosial
Provinsi DKI Jakarta dan PSBL 1 yaitu akun
@dinsosdkijakarta dan akun @psbl_cengkareng1.
Upaya promotif ini juga dilakukan oleh Dinas
Kesehatan melalui puskesmas untuk
menyebarluaskan informasi bagi masyarakat
mengenai kesehatan jiwa, pencegahan dan
penanganan gangguan jiwa. Upaya sosialisasi
tersebut mendapat dukungan masyarakat sekitar
seperti pemberian makanan tambahan dan upaya
pembinaan keterampilan seperti pembuatan keset
dan kerajinan mote. Selanjutnya, pihak eksternal
(masyarakat) juga membantu dalam pemasaran dan
penjualan hasil kerajinan yang dibuat oleh
penyandang disabilitas mental terlantar.
Sebagaimana diungkapkan oleh Satuan Pelaksana
Pembinaan Sosial PSBL 1 berikut:
“Sebelum pandemi kita ada infoin kegiatan ke
masyarakat, trus WBS (Warga Bina Sosial) yang udah pulih siap rujuk ke PSBL 2, biasanya ikut
kerajinan mote, bikin keset, hasilnya bisa dijual ke
masyarakat sekitar, pameran pernah, masyarakat
ada pernah berkunjung liat-liat, kasih susu, biskuit
juga” (DH, 22 Januari 2021).
Dukungan dari masyarakat dapat memberikan
kelancaran pelaksanaan rehabilitasi di dalam panti
berdasarkan hasil penelitian Fathurrachmanda &
Pratiwi (2013). “Upaya promotif kesehatan jiwa
menurut Undang-Undang Kesehatan Jiwa dilakukan
untuk mempertahankan dan meningkatkan derajat
kesehatan jiwa, menghilangkan stigma, diskriminasi,
pelanggaran hak asasi PDM, serta meningkatkan
pemahaman, keterlibatan, dan penerimaan
masyarakat terhadap kesehatan jiwa”. Upaya
promotif sebagaimana hasil penelitian ,penting dilaksanakan di lingkungan
keluarga, masyarakat, fasilitas pelayanan kesehatan,
media massa, tempat kerja, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, serta lembaga pemasyarakatan
dan tempat ibadah.
Selanjutnya pada pendekatan awal juga untuk
memastikan PDM dapat diregistrasi sebagai calon
penerima layanan di panti. PDM terlantar didapat
dari hasil penjangkauan PMKS oleh Petugas
Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial
(P3S) yang berkoordinasi juga dengan Polisi Pamong
Praja yang selanjutnya akan ditampung sementara
oleh Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya (PSBI BD)
untuk diidentifikasi dan asesmen berdasarkan
klasifikasi kategori PDM. P3S merupakan satuan
tugas di bawah Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta yang diberi tugas untuk mengantarkan para
PMKS ke panti sosial agar segera ditindaklanjuti.
Identifikasi asesmen dengan melihat bagaimana
kondisi fisik PDM. Kemudian, data informasi PDM
yang didapat melalui komunikasi pendekatan
personal kepada PDM akan menentukan PDM
sebagai penerima layanan rehabilitasi sosial di PSBL
1 (fase stabilisasi 1). Menurut Kepala Seksi
Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas Dinas
Sosial Provinsi DKI Jakarta mengatakan bahwa:
“Asal ODGJ biasa gabungan, ada yang dari luar DKI
atau- jadi kalau misalkan ada orang telantar gitu ya
dan dia misalkan orang dengan gangguan jiwa di
razia oleh petugas kita gitu kan apa di apa
ditampung di PSBI, diasesmen di sana, apakah dia
punya KTP, punya identitas nggak, punya keluarga
nggak. Pekerja sosial lah yang pertama melakukan
asesmen, psikolog juga, kalau memang dirasa
memang membutuhkan perawatan dengan
kesehatan biasanya juga akan nge-refer ke RSUDRSUD terdekat, gitu.” (HW, 5 Januari 2021)
PDM telantar ada yang berdomisili di Provinsi
DKI Jakarta dan luar Provinsi DKI Jakarta. Setelah
menerima penempatan sementara PDM telantar,
PSBI BD akan melakukan identifikasi dan asesmen
untuk menentukan data dan informasi tentang PDM
telantar, kondisi fase kejiwaan, dan tindak lanjut
penanganan. Pemeriksaan kondisi kejiwaan
berdasarkan kriteria diagnostik oleh pekerja sosial,
psikolog dan tenaga medis umum. PDM telantar yang
dijangkau oleh petugas Provinsi dan diduga dalam
fase akut akan diantar langsung ke RSKD Duren
Sawit. PDM telantar berada dijangkauan Kabupaten
Administrasi berkoordinasi dengan Puskesmas dan
Lurah dan/atau Camat. Rujukan bisa ke fasilitas
kesehatan lain yang memiliki pelayanan kesehatan
jiwa dan telah bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah. PSBI BD akan merujuk PDM telantar dalam
fase stabilisasi 1 ke PSBL 1. pencarian
informasi orang-orang yang dianggap memiliki
gangguan mental menunjukkan usaha dalam
mengidentifikasi calon klien yang akan atau harus
ditangani. Berdasarkan hasil penelitian, pihak PSBL 1
sudah melakukan pencarian informasi identitas
penyandang disabilitas mental telantar untuk
persyaratan registrasi di dalam panti.
Pengungkapan dan Pemahaman Masalah
Pengungkapan dan pemahaman masalah
dilakukan dalam bentuk persiapan, pengumpulan
informasi, analisis dan temu bahas kasus. PSBL 1
sudah menjalin hubungan dengan penyandang
disabilitas mental telantar yang ditunjukkan dengan
pendampingan pengurusan administrasi. Menurut
Pekerja Sosial PSBL 1 menyatakan:
“Peksos memfasilitasi pada proses awal penerimaan
WBS ya, lebih ke administrasi. PSBL 1 menjadi panti
untuk ODGJ tingkat berat, yang telantar, ga keurus.
Ketika dokumen sudah lengkap lanjut registrasi dan
jelasin program yang ada di panti, lalu diarahkan
masuk ke wisma panti. Peksos juga membantu
penyediaan kegiatan – kegiatan yang akan diikuti
oleh WBS, dilanjutkan melakukan pendampingan
WBS saat mengikuti kegiatan tersebut”. (AR, 15
Januari 2021)
Pegumpulan data dari hasil penelitian
Fathurrachmanda & Pratiwi (2013) merupakan
kompenen penting dalam setiap bentuk perencanaan
untuk menuju proses lebih lanjut. PSBL 1 telah
melakukan penelaahan pendataan ulang kepada
PDM dari PSBI BD melalui pendekatan personal
dengan beberapa pertanyaan seperti nama, alamat,
dan nama orang tua dan pertanyaan Instrumen
Skrining Psikotik Dinas Sosial (ISPDS). Pendataan
tersebut dilakukan salah satunya dengan tujuan PDM
memiliki KTP sebagai tertib administrasi
kependudukan dan dapat digunakan untuk
penerimaan bantuan dan pendaftaran jaminan
sosial.
Temu bahas kasus telah dilakukan melalui
pelaksanaan rapat di PSBL 1 dengan membahas hasil
asesmen PDM berdasarkan ISPDS untuk memahami
masalah klien dan mengetahui potensi dan sumber
daya untuk menangani PDM. Satuan Pelaksana
Pelayanan PSBL 1 menyatakan:
“Jadi, WBS masuk pertama kali dari PSBI 1 mau ke
PSBI 2, yang masuk ke PSBL 1, kemudian dilakukan
identifikasi dan asesmen namanya, Instrumen
Skrining Psikotik Dinas Sosial. seleksi motivasi
secara komunikasi ya, itu tanya jawab bisa didapat,
karena balik lagi, ini kan WBS-nya itu merupakan
ODMK ODGJ ya, jadi memang identifikasi asesmen
awal itu pasti lebih dilihat dari fisik, gitu. Sesudah
diidentifikasi, dalam rapat nanti WBS ditempatkan
ke wisma-wisma yang ada di panti. Ada 6 wisma di
panti kita yaitu Wisma Elang, Mawar, Merak, Melati,
Cendrawasih, Kenari. Dilaksanakan pembinaan di
Wisma, maksudnya lebih ke rehabilitasi sosial gitu,
diberikan terapi-terapi, aktivitas kelompok di sana,
kemudian nanti ditempatkan sesuai juga dengan
kondisi kesehatan dan kondisi psikologisnya. (PW,
15 Januari 2021)
Pembahasan hasil asesmen tersebut mengenai
seleksi yang dilakukan oleh pihak PSBL 1 dengan
pengelompokan beberapa WBS dan kemudian
ditempatkan di beberapa wisma (pengasramaan).
Pengelompokan tersebut berdasarkan jenis kelamin
dan jenis penyakit penyerta. Pengasramaan menurut
Fathurrachmanda & Pratiwi (2013) dilakukan untuk
memudahkan proses pengawasan dan pembelajaran
klien. Setelah penempatan dilakukan penyusunan
jadwal untuk kegiatan yang sesuai untuk WBS
dengan melihat masalah, potensi dan sumber daya
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah.
Penyusunan Rencana Pemecahan Masalah
Kegiatan yang dilakukan untuk menyusun
rencana pemecahan masalah berdasarkan hasil
asemen di mana akan menjelaskan informasi tentang
kegiatan yang akan dijalankan, oleh siapa dilakukan
dan waktunya kapan. Skala prioritas kebutuhan PDM
di PSBL 1 sebagai klaster 1 masih mengutamakan
penanganan farmakaterapi karena itu silabi lebih
banyak diutamakan pada aktivitas kegiatan harian
orientasi kebersihan dan perawatan diri. PSBL 1
memfasilitasi layanan kesehatan Klinik Tiendra bagi
PDM di dalam panti merupakan akses ke layanan
kesehatan untuk mental dan fisik yang dapat
mengurangi potensi risiko negatif dari kekambuhan.
PSBL 1 sudah menyusun jadwal pemeriksaan
kesehatan bagi PDM di Klinik Tiendra. Kegiatan
tersebut merupakan upaya kuratif yang
dilaksanakan oleh PSBL 1 dengan tujuan
penyembuhan dan pemulihan, pengurangan
penderitaan, pengendalian disabilitas, dan
pengendalian gejala penyakit. Sebagaimana yang
diutarakan Satuan Pelaksana Pelayanan Sosial PSBL
1:
“Untuk menangani ODMK dan ODGJ, gitu. Dan ada
apa aja sih isi dari silabi itu? Kita ada 11 silabi, 101-
111, dimulai dari bangun tidur, sesudah bangun
tidur itu menyikat gigi, kemudian mandi pagi, lalu
mandi pagi kemudian, eh... sarapan pagi gitu, makan
bersama. Itu tujuannya pun lebih ke kegiatan seharihari, karena memang di sini kategori ODMK ODGJnya, eh... dikatakan tergolong yang berat ya, karena
memang awal masuknya ODMK ODGJ dari telantar
itu ke panti kami, gitu. pelayanan kesehatan,
Kebetulan panti kita ini memiliki klinik yang terdiri
dari dokter-dokter spesialis kejiwaan. Untuk
pemeriksaan fisik juga dan jiwa 'kan. Fisiknya dilihat
apakah ini mungkin, maaf, ada penyakit koreng, gitu.
Nanti sesudahnya dilakukan pembinaan di sini, nanti
ada lagi namanya clustering. Jadi, kita itu ada
skrining, namanya instrumen skrining psikotik Dinas
Sosial. Nah, di sana nanti ada indikator-indikator
apa saja yang mengklasifikasikan bahwa WBS
tersebut karakteristik seperti apa. Kalau di sini
activity daily living, dengan mengacu juga ke silabi
dan terapi aktivitas kelompok.” (DH, 22 Januari
2021)
PSBL 1 juga telah memberikan pelayanan
rehabilitasi sosial mengacu pada silabi kegiatan
nomor 101-111 dengan menyusun jadwal kegiatan
harian dan kegiatan bimbingan yang akan diikuti
oleh PDM. Pemulihan personal yang dilakukan PSBL
1 melalui komunikasi personal kepada PDM dengan
memberikan bantuan sesuai kebutuhan dan yang
diminati PDM serta penyampaian tujuan pemulihan.
Upaya rehabilitasi sosial pada PSBL 1 dilaksanakan
secara persuasif dan motivatif.
Pemecahan Masalah
Tahapan penyelesaian masalah berdasarkan
rencana pemecahan masalah yang sudah dibuat
untuk PDM. Kegiatan silabi nomor 101-111 yang
telah dilaksanakan adalah mandi, sikat gigi,
berpakaian, cuci tangan, makan bersama,
memperkenalkan diri sesama teman WBS, bernyanyi bersama, senam bersama, olahraga beregu dan
menggambar benda nyata. PSBL 1 telah melakukan
pelayanan rehabilitasi sosial bagi PDM telantar
dengan pendek