ODGJ B

Rabu, 12 Juli 2023

ODGJ B


kegiatan personal melalui kegiatan 
pemberian sandang, pangan, dan pelayanan 
kesehatan di Klinik Tiendra, serta kegiatan 
rehabilitasi sosial lainnya. Informasi dari tugas 
pekerja sosial mengatakan:
“Tugas peksos juga mendampingi selama kegiatan di 
panti, memberi tahu tata cara makan, minum, 
berpakaian, kebersihan, olahraga, ada juga 
pendampingan keagamaan ada islam, kristen oh ya 
WBS buat jamu diasini, Sebelum corona, pekerja 
sosial bisa menghubungkan WBS yang sudah pulih 
mau dirujuk ke PSBL 2 dengan masyarakat sekitar 
dan pihak lain juga yang bisa itu, dari bimbingan 
keterampilan “hasta karya” dulu ada instrukturnya 
buat keset. Bisa dijual itu hasilnya.” (S, 22 Januari 
2021)
Kegiatan-kegiatan yang telah dilaksanakan 
PDM telantar secara rutin merupakan bentuk 
rehabilitasi sosial. Bentuk-bentuk rehabilitasi sosial 
yang sudah dilakukan oleh PSBL 1 yaitu:
Motivasi dan Diagnosis Psikososial/
Asesmen Kebutuhan
Motivasi dan diagnosis psikososial di PSBL 
sudah 1 dilakukan dengan mengajak PDM untuk 
mengikuti kegiatan rehabilitasi sosial melalui 
pendekatan personal. Pemberian hadiah berupa 
snack untuk PDM agar bermotivasi melaksanakan 
kegiatan rehabilitasi sosial. Diagnosis psikososial 
juga dilakukan oleh PSBL 1 melalui asesmen awal 
saat mengidentifikasi masalah dan kebutuhan PDM 
untuk menentukan jenis pelayanan rehabilitasi 
sosial yang sesuai kondisi perkembangan PDM. 
Kegiatan motivasi dan diagnosis psikososial 
bertujuan untuk menumbuhkan keinginan PDM 
dalam mengikuti proses rehabilitasi sosial serta 
upaya untuk mengidentifikasi situasi PDM, pihak 
lain, dan lingkungan sekitar yang penting dan 
berpengaruh atau dapat digunakan sebagai sistem 
sumber.
Perawatan dan Pengasuhan
Kegiatan sehari-hari yang dilakukan PSBL 1 
adalah memberikan perawatan, perhatian, 
bimbingan dan dukungan dalam pemenuhan 
sandang, pangan, pelayanan kesehatan, dan kegiatan 
rehabiltasi sosial agar memenuhi dan 
mengembangkan kemampuan fisik, mental, sosial 
dan spiritual PDM.
Pelatihan Vokasional dan Pembinaan 
Kewirausahaan
PSBL 1 sudah memberikan kegiatan 
pembinaan atau bimbingan seperti membuat jamu 
dan pelatihan keterampilan dari kerajinan keset. 
Pelatihan vokasional membuat keset dan pembinaan 
keterampilan bagi PDM yang sudah lebih stabil dan 
kooperatif. Pendekatan vokasional bagi PDM 
menurut Subekti (2013) ditekankan sebagai 
‘perawatan kesehatan jiwa’, daripada sarana untuk 
mendapatkan kemandirian ekonomi. Sejalan dengan 
penelitian Sarah (2020) dijelaskan bahwa secara 
afektif, semangat dan kepercayaan diri warga binaan 
sosial meningkat dengan adanya pelatihan 
vokasional. Selain itu, pelatihan vokasional juga 
menunjukkan adanya gerak fisik dalam membuat 
kerajinan keset. Hal tersebut juga mendukung 
penelitian yang dilakukan oleh Sarah (2020) yang 
menjelaskan bahwa secara psikomotorik, 
berkembangnya kemampuan gerak yang semula 
lambat setelah mengikuti pelatihan lebih terbiasa 
meningkatkan gerak bagian tubuh.
Namun, sesuai temuan lapangan, karena 
adanya relokasi anggaran instruktur/narasumber 
akibat pandemi covid-19, pelatihan keterampilan 
tidak melibatkan instruktur/narasumber sesuai 
bidangnya dan pihak panti hanya melibatkan ASN 
dan PJLP di panti tersebut. Satuan Pelaksana 
Pembinaan Sosial PSBL 1 menyatakan:
“Anggaran terkena rasionalisasi Tahun 2020-2021 
Iya. Eh… paling yang berdampak ya itu sih ya, tenaga 
untuk instruktur aja ya, instruktur, karena 'kan 
instruktur itu 'kan… hmm, ada 9 ya, untuk psikolog, 
pekerja sosialnya, terus untuk seni musik, seni lukis, 
seni tari, gitu. Akhirnya, semenjak itu dirasionalisasi 
ya kita memberdayakan SDM yang ada. Untuk 
menari pun yang mengajarkan adalah petugas, 
seperti itu. Terus untuk yang asesmen dan 
memberikan intervensi 'kan biasanya dibantu 
psikolog, akhirnya ini kita berdayakan lagi ke 
pekerja sosial yang ada di panti aja, gitu. Jadi, lebih 
ke mengalihkan- mengalihkan ininya sih, instruktur 
ya, sebelumnya dianggarkan melalui tenaga ahli, 
sekarang kita alihkan dengan memberdayakan SDM 
yang di panti, baik itu ASN maupun PJLP-nya.” (DH, 
22 Januari 2021)
Bimbingan Mental dan Spiritual
Kegiatan pembinaan keagamaan sesuai agama 
PDM yang dilaksanakan oleh PSBL 1 bertujuan untuk 
meningkatkan kemampuan beribadah. Kegiatan 
harian yang rutin telah dilakukan di PSBL 1 juga 
mendukung perubahan sikap dari PDM.Kegiatan untuk meningkatkan kesehatan fisik 
melalui bimbingan kebugaran fisik, aktivitas sehari￾hari, dan perawatan diri. PSBL 1 telah melaksanakan 
bimbingan fisik berupa aktivitas kegiatan sehari-hari 
dari belajar mandi, sikat gigi, makan, memakai 
pakaian, olahraga, dan kegiatan terapi aktivitas 
kelompok lainnya seperti bernyanyi, menari, 
melukis, dan mewarnai. Hal ini didukung oleh 
informasi dari Satuan Pelaksana Pembinaan Sosial 
PSBL 1 mengatakan:
“Hm… dikatakan bukan sehat ya, tapi lebih stabil ya, 
lebih kooperatif lah, juga berarti dia udah cukup 
kooperatif. Nanti diberikan terapi-terapi itu, terapi 
aktivitas kelompok. Lebih ke bernyanyi, menari, 
melukis, mewarnai, menari, gitu. Terus terapi 
dinamika kelompok, jadi semua WBS dikumpulkan, 
terus belajar berbaris, belajar berhitung, seperti itu 
sih. Memang- karena ini memang masih kategori 
WBS yang baru banget ya, dari jalan, jadi memang 
kita memberikannya pendekatan yang dasar, karena 
memang itu sudah ada pedomannya di silabi. Silabi 
di PSBL 1 tuh apa, silabi di PSBL 2 itu apa, dan silabi 
di PSBL 3 tuh apa, gitu.” (DH, 22Januari 2021)
Bimbingan Sosial dan Konseling
Psikososial
PSBL 1 telah mempersiapkan PDM untuk 
menjalin hubungan antar PDM melalui kegiatan 
interaksi saling berkenalan dan kepada masyarakat 
yang terlihat dari adanya dukungan masyarakat 
untuk membantu PDM dalam bentuk pemberian 
makanan dan penjualan kerajinan. Perjanjian 
kerjasama dengan Universitas Indonesia untuk 
praktik Program Pendidikan Dokter Spesialis di 
Klinik Tiendra memberikan edukasi tentang 
kesehatan jiwa. Kegiatan bimbingan sosial dan 
konseling psikososial bertujuan untuk 
menumbuhkan, memelihara, dan mengembangkan 
kemampuan dalam relasi sosial dan interaksi sosial 
PDM dengan lingkungannya serta meningkatkan
pemahaman PDM tentang diri sendiri dan 
perilakunya yang berkaitan dengan lingkungannya. 
Sebagaimana yang dikatakan oleh Satuan Pelaksana 
Pembinaan Sosial:
“…kita kerja sama juga 'kan dengan Dinas UMKM 
Untuk bisa- kita ikut untuk mempromosikan produk 
hasil binaan- si warga binaan sosial, gitu., seperti itu 
sih. Untuk kerja sama sama lintas sektoral sih cukup 
banyak, apalagi pimpinan kami dokter, gitu. Terus 
beberapa kalipun di sini kedatangan, apa, perjanjian 
kerja sama dengan Universitas Indonesia. Jadi, 
mendapatkan PPDS-nya, program pendidikan 
dokter spesialisnya di panti kita untuk itu￾melaksanakan praktik S2-nya, gitu.” (DH, 22 Januari 
2021)
Pelayanan Aksesibilitas
Pelayanan aksesibilitas bagi PDM di PSBL 1 
dengan penyediaan pelayanan kesehatan di Klinik 
Tiendra yang berada di dalam panti. Upaya ini 
awalnya dilakukan untuk meminimalisir kekaburan 
PDM karena kondisi kejiwaannya dan menjangkau 
layanan sosial yang dibutuhkan. Sebagaimana 
pernyataan dari Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial￾Penyandang Disabilitas Dinas Sosial Provinsi DKI 
Jakarta:
“Klinik Tiendra itu salah satu terobosan baru yang 
dibuat oleh PSBL 1 ya, nah memang kebetulan pada 
awal tahun 2019 akhir jadi Kepala Panti nya Bu 
Tinke dilantik sebagai Kepala Panti PSBL 1, yang 
mana dia merupakan bekas Kepala Bidang di Dinas 
Kesehatan. Jadi secara background dia memiliki 
wawasan, dan pengetahuan terkait kesehatan. Nah 
ketika ditugaskan di PSBL 1, memang banyak 
kendala kayak misalkan WBS kalau sakit ketika 
dirujuk ke Rumah Sakit apa terkadang WBS kabur 
penanganannya tidak maksimal akhirnya, beliau 
bikin terobosan inisiatif dibentuk lah Klinik 
Tiendra…” (HW, 5 Januari 2021)
Bantuan dan Asistensi Sosial
Dinas Sosial DKI telah bekerja sama dengan 
sejumlah Rumah Sakit untuk memberikan pelayanan 
kesehatan bagi PDM telantar. PSBL 1 memfasilitasi 
tempat dan membelikan alat kesehatan pakai habis 
untuk Klinik Tiendra. Layanan kesehatan yang 
diberikan berupa dokter umum dan berapa dokter 
spesialis untuk PDM. Pelayanan kesehatan ada yang 
terjadwal harian dan ada yang sesuai perjanjian. 
Dukungan lainnya dari Provinsi DKI Jakarta dengan 
pembuatan BPJS Kesehatan bagi PDM di PSBL 1. 
PSBL 1 juga telah bekerja sama dengan Dinas 
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk 
administrasi kependudukan pembuatan KTP dan 
Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi Usaha 
Kecil dan Menengah untuk mempromosikan hasil 
bimbingan keterampilan dari PDM. 
PDM yang mengalami kemajuan dan memiliki 
minat kejuruan, fokus perawatan dengan 
memanfaatkan secara optimal peluang sosial baru 
yang terkait dengan pekerjaan (pembuatan jamu, 
kerajinan mote dan pembuatan keset). Pemulihan di 
PSBL 1 juga telah dilaksanakan melalui pemberian 
bantuan untuk berinteraksi dengan orang-orang, 
menjalin pertemanan baru, menawarkan pelatihan 
keterampilan, dan membantu mengembangkan strategi untuk mengelola informasi pribadi, serta 
mencegah dan melawan stigma dan diskriminasi. 
Upaya pemecahan masalah yang dilaksanakan oleh 
PSBL 1 merupakan upaya rehabilitatif kesehatan 
jiwa meliputi rehabilitatif psikiatrik, psikososial, 
serta rehabilitaif sosial. Tujuan upaya rehabilitatif 
untuk mencegah dan mengendalikan disabilitas, 
memulihkan fungsi sosial, memulihkan fungsi 
okupasional, mempersiapkan dan memberi 
kemampuan PDM untuk mandiri di lingkungan 
masyarakat.
Resosialisasi
Kegiatan persiapan pengembalian penyandang 
disabilitas mental ke dalam keluarga dan 
masyarakat. PSBL 1 telah melaksanakan resosialisasi 
penyaluran keluarga dengan kondisi PDM yang 
mengalami perkembangan kemajuan setelah 
diberikan pelayanan kesehatan dan terapi aktivitas. 
PSBL 1 melaksanakan asesmen pemeriksaan secara 
berkala melalui ISDPS pemeriksaan berulang untuk 
mengetahui kemajuan PDM. PDM yang mengingat 
kembali nama, alamat dan keluarganya dibantu oleh 
PSBL 1 agar segera bertemu keluarganya bisa 
melalui hubungan telepon, kunjungan dan kerja 
sama dengan pihak terkait. Pekerja sosial juga 
membantu menghubungkan dengan pihak keluarga 
atau rujukan lainnya setelah mendapatkan data 
informasi yang benar dari pihak keluarga dan atau 
pihak rujukan lainnya. Kegiatan perbekalan 
keterampilan untuk PDM akan melatih PDM untuk 
kegiatan pemberdayaan lebih lanjut baik nanti 
penyaluran ke Keluarga ataupun yang dirujuk ke 
PSBL 2.
Sebagaimana informasi dari Satuan Pelaksana 
Pembinaan Sosial mengatakan:
“Jadi, ternyata asesmen itu tidak hanya sebatas 
sekali atau dua kali sama WBS itu ya, karena ODMK 
ODGJ. Jadi, bisa berkali-kali dan ketika meng￾asesmen pun juga si WBS kita ajak untuk sambil 
bermain, entah sambil ngapain, oh lama-lama 
terbuka sendiri. 'Iya, Bu. Saya dulu itu kerjanya jadi, 
misalnya, pernah kerja di toko apa gitu, terus saya 
pergi dari sana.' Terus 'Lho, rumahnya di mana?', 
'Iya, Bu, rumah saya sebenarnya itu ada di-' Waktu 
itu pernah ada yang paling jauh banget tuh di 
Medan, ada dari Medan. Berhasil, dan itu ternyata 
memang sudah lama sekali dicari sama keluarganya, 
dan dia tuh entah bagaimana dari Medan dia bisa 
sampai Jakarta, dia melarikan diri dari sana, dan 
alhamdulillah sekarang sudah kembali, gitu”(DH, 22 
Januari 2021).
Pekerja sosial juga membantu 
menghubungkan dengan pihak keluarga atau 
rujukan lainnya setelah mendapatkan data informasi 
yang benar dari pihak keluarga dan atau pihak 
rujukan lainnya, sebagaimana yang ditambahkan 
oleh Pekerja Sosial PSBL 1 mengatakan bahwa:
“Peksos membantu WBS mulai dari pendampingan 
kegiatan, pelayanan kesehatan ke klinik, psikolog, 
perawatan ke rumah sakit sampai pulih, normal lagi 
beraktivitas bahkan proses pemulangan 
menghubungi keluarga WBS atau dapat rujukan ke 
PSBL 2 kita terus bantu damping” (S, 22 Januari 
2021)
Terminasi
Tahap pengakhiran layanan rehabilitasi sosial 
PSBL 1 dilakukan dengan monitor penilaian 
kemajuan PDM melalui klasterisasi berdasarkan 
hasil ISDPS. Setelah melakukan pemeriksaan berkala 
PDM di PSBL 1 ada kemungkinan bisa dirujuk ke 
PSBL 2 dan bisa pulang kembali keluarga juga sudah 
diketahui keberadaan keluarganya. Setelah PDM 
kembali ke keluarga diharapkan tetap melanjutkan 
aktivitas seperti di panti dan melatih 
keterampilannya. PDM yang dirujuk ke PSBL 2 bisa 
masuk ke kegiatan pemberdayaan lebih lanjut yang 
sesuai dengan minat PDM. Sebagaimana Satuan 
Pelaksana Pembinaan PSBL 1 menyatakan:
“Naik kelas bagi WBS ODMK ODGJ. Dasar untuk bisa 
WBS ODMK ODGJ ini naik kelas itu apa? 'Clustering 
itu adalah naik kelas, Jadi, kita itu ada skrining, 
namanya instrumen skrining psikotik Dinas Sosial. 
Nah, di sana nanti ada indikator-indikator apa saja 
yang mengklasifikasikan bahwa WBS tersebut layak 
untuk di-clustering ke PSBL 2. Nanti pun pada saat 
ditempatkan di PSBL 2, kegiatannya pun tidak sama 
lagi dengan di PSBL 1. Di sana lebih mendekatkan, 
eh- tambahan lagi. Kalau di sini activity daily living, 
di sana bisa diberikan keterampilan lain, begitu.”
(DH, 22 Januari 2021)
Bimbingan lanjut
Kegiatan pemantapan kemandirian 
penyandang disabilitas untuk memastikan klien 
dapat beradaptasi dengan baik sesudah 
melaksanakan kegiatan rehabilitasi sosial. 
Bimbingan lanjut dapat diberikan kepada 
penyandang disabilitas yang belum mendekati 
kondisi keberfungsian sosial yang diharapkan. 
Penyandang disabilitas yang sudah mendapatkan
kondisi keberfungsian sosial diharapkan dapat 
dilakukan terminasi akhir. PSBL 1 sudah 
memberikan konsultasi konseling dan monitoring 
kepada PDM dan keluarga untuk melanjutkan kegiatan seperti di Panti. Satuan Pelaksana 
Pembinaan Sosial PSBL 1 menyatakan “Nah, ketika si 
WBS sudah kembali ke keluarga, dan itu dia tetap￾keluarganya konsul mau untuk diberikan terapi, 
seperti ada di panti. Dia bisa didatangkan ke UILS, 
gitu. Ada kayanya WBS kita.” (DH, 22Januari 2021).
PDM yang dirujuk ke PSBL 2 akan mendapat 
tambahan kegaiatan pemberdayaan sebagaimana 
Kepala Seksi Rehabilitasi Sosial Penyandang 
Disabilitas mengatakan 
“Kalau di PSBL 2, karena dia memiliki lahan yang 
lumayan besar-di Budi Murni itu dia yang punya ada 
yang namanya kolam ikan, apa kandang kelinci, 
banyak lah. Termasuk kambing, sapi. Iya. Dan juga 
sama hidroponik. Nah saat ini kemarin kita sudah 
bersurat Dinas Perumahan. Karena persis di 
belakang PSBL HS 2 Budi Murni ada lahan milik 
Dinas Perumahan yang mau kita dayagunakan. Jadi 
memberdayakan disabilitas untuk bercocok tanam 
di sana dan itu juga udah panen setahu saya gitu. 
Tanamannya banyak, bayam, kangkung, dan lain￾lain.” (HW, 5 Januari 2021)
Perhatian dan kepedulian keluarga terhadap 
PDM juga bisa mempercepat pemulihan. 
Sebagaimana penelitian Subekti (2013) bahwa sikap 
keluarga berdampak pada hasil PDM. Monitoring 
kunjungan keluarga selama pandemic covid-19 yang 
dilakukan oleh PSBL 1 dengan media telepon. PDM 
yang dirujuk ke PSBL 2 juga akan mendapatkan 
tambahan kegiatan pemberdayaan lainnya. Hal ini 
sesuai dengan prinsip kegiatan pembinaan lanjut 
dari Widodo (2014) yang menyebutkan adanya 
dukungan partisipasi aktif keluarga dan masyarakat, 
pelibatan penyandang disabilitas dalam proses 
pemberdayaan dalam mencapai kemandirian, dan 
kerjasama panti sosial dengan sumber yang relevan 
dengan kebutuhan dan permasalahan penyandang 
disabilitas.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis yang dilakukan dengan 
menggunakan konsep rehabilitasi menurut Luhpuri 
& Andayani (2019), dapat disimpulkan bahwa 
tahapan dalam rehabilitasi sosial bagi penyandang 
disabilitas mental telantar di Panti Sosial Bina Laras 
Harapan Sentosa 1 Provinsi DKI Jakarta dimulai dari 
pendekatan awal yang ditunjukkan dengan adanya 
sosialisasi internal, pembagian tugas yang jelas 
sesuai Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta 
Nomor 358 Tahun 2016 tentang Pembentukan, 
Organisasi dan Tata Kerja Panti Sosial Bina Laras 
Harapan Sentosa, sosialisasi eksternal mendapat 
dukungan masyarakat sekitar lingkungan PSBL 1 
seperti pemberian makanan tambahan dan upaya 
pembinaan keterampilan seperti pembuatan keset 
dan kerajinan mote. Masyarakat di sekitar panti yaitu 
yang berada di Kelurahan Cengkareng Barat juga 
membantu dalam pemasaran dan penjualan hasil 
kerajinan yang dibuat oleh penyandang disabilitas 
mental telantar. Selanjutnya pada pendekatan awal 
juga untuk memastikan PDM dapat diregistrasi 
sebagai penerima layanan di panti.
Tahapan pengungkapan dan pemahaman 
masalah, PSBL 1 sudah melakukan asesmen PDM 
berdasarkan Instrumen Skrining Psikotik Dinas 
Sosial (ISPDS) untuk memahami masalah dan 
mengetahui potensi serta sumber daya untuk 
menangani PDM. Untuk memudahkan pengawasan 
dan pembelajaran, PSBL 1 melakukan penempatan 
PDM telantar di beberapa wisma diantaranya wisma 
elang, wisma cendrawasih, wisma kenari, wisma 
merak, wisma mawar dan wisma melati. Tahapan 
penyusunan rencana pemecahan masalah, terlihat 
dari adanya penyusunan jadwal kegiatan harian dari 
PSBL 1 untuk PDM berdasarkan silabi klaster 1 yang 
mengarah pada pemulihan fungsional PDM agar 
dapat hidup mandiri. PSBL 1 juga telah menyusun 
jadwal pemeriksaan kesehatan bagi PDM di Klinik 
Tiendra untuk pemulihan klinis. Lanjut ke tahapan 
pemecahan masalah dengan menjalankan kegiatan 
silabi nomor 101-111, penanganan farmaterapi di 
Klinik Tiendra dan kegiatan bimbingan lainnya untuk 
penanganan PDM. Pemecahan masalah ini mengarah 
kepada pemulihan sosial. Kegiatan pada pemecahan 
masalah merupakan bentuk rehabilitasi sosial, 
adapun bentuk rehabilitasi sosial yang telah 
dilakukan antara lain motivasi dan diagnosis 
psikososial/asesmen kebutuhan; perawatan dan 
pengasuhan; pelatihan vokasional dan pembinaan 
kewirausahaan sebagai perawatan kesehatan jiwa; 
bimbingan mental dan spiritual; bimbingan fisik; 
bimbingan sosial dan konseling psikososial, 
pelayanan aksesibilitas adanya Klinik Tiendra di 
PSBL 1; dan bantuan dan asistensi sosial.
Selanjutnya dengan adanya tahapan 
resosialisasi, PSBL 1 melaksanakan asesmen 
pemeriksaan secara berkala melalui ISDPS 
pemeriksaan berulang untuk mengetahui kemajuan 
PDM. Pembekalan keterampilan sebagai pelatihan 
bagi PDM untuk pengembangan potensi saat 
penyaluran ke keluarga maupun rujukan ke PSBL 2. 
PSBL 1 setelah itu melakukan tahapan terminasi 
dengan monitor penilaian kemajuan PDM melalui 
klasterisasi. Setelah dilakukan pemeriksaan berkala, 
beberapa PDM di PSBL 1 dirujuk ke PSBL 2 dan 
beberapa bisa pulang kembali ke keluarga setelahdiketahui keberadaan keluarganya. Tahapan 
selanjutnya pada bimbingan lanjut, PSBL 1 
memberikan konsultasi konseling dan monitoring 
kepada PDM dan keluarga dengan untuk 
melanjutkan kegiatan seperti di panti. Perhatian dan 
kepedulian keluarga terhadap PDM dapat 
mempercepat pemulihan. PDM yang dirujuk ke PSBL 
2 juga mendapat tambahan kegiatan pemberdayaan 
untuk pembinaan lanjut.
Kemudian, diketahui bahwa pada tahap 
pemecahan masalah khususnya yang berkaitan 
dengan pelatihan keterampilan, akibat realokasi 
anggaran instruktur/narasumber terkait pandemi 
covid-19, pihak panti hanya melibatkan ASN dan PJLP 
yang bertugas di PSBL 1 DKI Jakarta. Maka dari itu, 
disarankan kepada Dinas Sosial Provinsi DKI Jakarta 
bekerja sama dengan pihak ketiga seperti komunitas 
profesional yang memiliki kompetensi dan 
keterampilan khusus sesuai muatan yang disediakan 
oleh PSBL 1 DKI Jakarta. Penelitian selanjutnya 
diharapkan agar mengembangkan peran pekerja 
sosial sebagai subjek penelitian.





Persoalan kesehatan jiwa adalah bagian tidak terpisahkan dari kesehatan masyarakat. Kesehatan 
jiwa merupakan bagian integral yang diperhatikan oleh negara karena memengaruhi angka 
kesehatan dan kondisi sosial masyarakat. Tidak dapat dipungkiri, perlindungan terhadap 
kesehatan jiwa juga termasuk di dalam segmentasi Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut 
didukung oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Health Organization(WHO). WHO menyatakan selayaknya hak asasi manusia diperhatikan, baik itu bagi manusia 
yang mengalami hendaya dan gangguan kejiwaan maupun manusia sehat psikis dan fisiknya (GA 
Resolution UN Convention, 1991).
Menurut laporan dari Human Rights Watch Indonesia (2016, 20 Maret), dengan penduduk 
sekitar 250 juta jiwa, Indonesia hanya memiliki 600-800 psikiater, hal tersebut berarti satu orang 
harus menangani 300.000 hingga 400.000 orang. Fasilitas dan pelayanan kesehatan yang 
terbilang langka tersebut juga disertai oleh pelanggaran hak-hak dasar para penyandang 
disabilitas psikososial dan sangat berperan memicu kekerasan terhadap para penyandang 
gangguan kejiwaan dan disabilitas. Kekerasan yang dimaksud misalnya: Menempatkan pasien 
perempuan dan lelaki di bangsal yang berdekatan dan membuat perempuan tidak memiliki opsi 
melarikan diri ketika dilecehkan, adanya petugas laki-laki yang menginspeksi pasien perempuan 
kapan saja, dan penyuntikkan alat kontrasepsi tanpa persetujuan klien Human Rights Watch 
Indonesia (2016, 20 Maret). Tindak kekerasan di lembaga pelayanan kesehatan jiwa juga 
diperparah dengan pembatasan fisik atau yang lebih dikenal dengan pemasungan. Pemasungan
dilakukan di beberapa lembaga pengobatan alternatif maupun dilakukan oleh keluarga dari 
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Fenomena yang marak terjadi di negara berkembang ini justru bermula dari negara maju. Minas 
dan Diatri (2008), menceritakan sejarah panjang pengentasan pembatasan fisik pasien kejiwaan 
dimulai dari Philippe Pinel di Paris, jauh pada abad 18-an. Minas dan Diatri (2008),
menyebutkan Pinel menjadi pioneer pelepas pasien yang dipasung di beberapa rumah sakit jiwa 
dan tidak setuju dengan praktik tersebut. Yusuf, Fitryasari, dan Nihayati (2015), menceritakan 
Pinel sebagai seorang direktur di RS Bicêtre Perancis, berusaha memanfaatkan Revolusi 
Perancis untuk membebaskan belenggu pada pasien dengan gangguan jiwa. Pinel meminta 
kepada walikota agar melepaskan belenggu untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya walikota 
menolak, namun Pinel menggunakan alasan revolusi, bahwa pemasungan adalah bentuk 
„penerkaman binatang buas yang berwajah manusia‟ (Yusuf dkk, 2015). Pengekangan fisik terus 
berlanjut di rumah sakit jiwa, tempat suci dan tempat penyembuhan, dan setting-setting lain di 
berbagai belahan dunia.
Di Indonesia, metode pengekangan tersebut bentuknya antara lain: belenggu, tali, pasung kayu, 
kandang, dan mengunci orang di ruang tertutup (Minas & Diatri, 2008; Irmansyah dkk., 2009; 
Lestari & Wardhani, 2014; Idaini & Raflizar, 2015). Metode-metode ini diterapkan pada laki￾laki, wanita, dan anak-anak yang menunjukkan sikap, perilaku dan ekspresi emosi tertentu yang 
berbeda dari orang kebanyakan (Lestari & Wardhani, 2014). Malfasari, Keliat, dan Daulima 
(2015), mendefinisikan pasung dengan cara membedakan terlebih dahulu perbedaan antara 
restraint (pengikatan), seclusion (pengurungan), dan confinement (pasung). Perbedaan mendasar 
yang perlu ditengarai untuk menandai pasung (confinement) atau pengikatan dan pengurungan 
(restraint dan seclusion) adalah: Restraint dan seclusion merupakan tindakan yang dilakukan 
oleh pihak medis yang berwenang dan pasung atau confinement dilakukan oleh non-profesional 
dan bukan praktisi, misalnya oleh keluarga dan masyarakat (Malfasari dkk., 2015).
Definisi pasung dalam penelitian ini yakni beragam bentuk pengekangan fisik dan pembatasan 
dari seseorang yang menderita gangguan jiwa/sakit mental oleh keluarganya dan/atau 
masyarakat lingkungannya dalam berbagai bentuk. Sering ditemui bahwa ODGJ ini dipasung di 
kayu, dirantai, dikandang, dikunci di dalam kamar, diasingkan ditengah hutan jauh dari 
masyarakat, dan juga bentuk pengekangan/pembatasan fisik lainnya. 
Pemerintah Indonesia telah melakukan upaya pembebasan pasung dalam rilis program 
“Indonesia Bebas Pasung” sejak tahun 2010. Dr. Rama Giavani, seorang psikiater dari Jakarta 
(dalam Leocata, 2015), menyatakan bahwa tujuan pembebasan pasung yakni untuk melepaskan 
pasien dengan gangguan jiwa berat agar tidak terkungkung dalam ruangan, dirantai, dikandang, atau perlakuan lain yang disebabkan hendaya seorang individu. Merefleksi secara mundur, salah 
satu tindak pelanggaran hak asasi bagi ODGJ ini sebenarnya telah dilarang di Indonesia sejak 
tahun 1977, seperti yang termaktub dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No: PEM.29/6/15 
pada surat yang ditujukan kepada Gubernur seluruh Indonesia: Meminta masyarakat tidak 
melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran untuk 
menyerahkan perawatan penderita di RSJ (Tyas, 2012).
Kenyataannya di lapangan, program Indonesia Bebas Pasung 2014 yang semula dicanangkan 
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan sejak 2010 terbukti belum membuahkan 
hasil, dan harus diperpanjang hingga tahun capaian 2019. Stagnansi Program Bebas Pasung 
berlangsung tidak hanya di beberapa Provinsi, tetapi juga hampir di seluruh daerah Indonesia 
yang mencanangkan pengentasan pemasungan, sehingga satu per satu surat kabar dan media 
memberitakan kemunduran target Bebas Pasung di beberapa provinsi. Adanya target 
penyelesaian Indonesia Bebas Pasung yang diperpanjang ini merupakan implikasi bahwa banyak 
pemerintah daerah yang belum menyanggupi mengingat kompleksitas permasalahan yang 
ditemui di lapangan. Pemerintah provinsi Jawa Tengah sendiri mengalokasikan dana khusus 
untuk petunjuk praktik pengentasan pemasungan dan tertuang dalam Petunjuk Pelaksanaan 
Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2013, tentang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit di 
Provinsi Jawa Tengah dengan detail poin ke-10 mengenai “Bebas Pasung” (Peraturan Gubernur 
Jawa Tengah, 2014). Secara komprehensif, peraturan ini membahas upaya monitoring 
rehabilitasi sosial, yaitu memulihkan fungsi kehidupan sosial di masyarakat bagi penyakit yang 
rentan dengan stigma dan diskriminasi di masyarakat, serta rehabilitasi mental atau psikologis, 
yakni memulihkan kondisi kejiwaan dan harga diri penderita pasca pengobatan atau masih dalam 
proses pengobatan namun sudah dapat kembali di tengah keluarga dan masyarakat (Peraturan 
Gubernur Jawa Tengah, 2014).
Hasil studi Wijayanti dan Rahmandani (2016), menunjukkan bahwa persebaran pasien eks 
pasung dari Provinsi Jawa Tengah sepanjang tahun 2011-2015 yang kemudian dirawat di RSJ dr. 
Soerojo Magelang berjumlah 260 kasus, terbanyak berasal dari Kabupaten Kebumen (71 kasus), 
menyusul Purbalingga (35 kasus), Cilacap dan Magelang masing-masing (33 kasus). Meskipun 
data ini diambil dari cakupan wilayah operasional RSJ Magelang saja, sudah cukup 
menggambarkan banyaknya pasien di RSJ yang berasal dari korban pasung. Dari 260 kasus 
tersebut, 161 berjenis kelamin laki-laki dan 99 perempuan. Lebih dari 57,69% pasien eks pasien 
tidak bekerja sebelumnya, dan sebanyak 46,1% tidak mengenyam pendidikan. Data yang paling 
menggambarkan diagnosis pasien adalah 96% skizofrenia (dengan tipe beragam) dan sisanya 
mengidap psikotik akut dan gangguan mental. Data ini menggambarkan betapa masifnya 
persebaran ODGJ di Jawa Tengah, meski sudah dibawa ke RSJ, tentu beberapa yang tidak 
terdata maupun tidak dibawah penanganan RSJ masih berada dalam perawatan oleh keluarga 
maupun oleh masyarakat di sekitarnya (Wijayanti & Rahmandani, 2016).
Tyas (2008), dalam temuannya di Aceh menengarai keputusan pasung seringkali merupakan 
upaya terakhir yang bisa dilakukan oleh keluarga. Tentu hal tersebut merupakan wujud dari 
ketiadaan alternatif lain yang lebih baik. Temuan ini sejalur dengan Minas dan Diatri (2008) 
yang memaparkan bahwa dasar pertimbangan pemasungan ODGJ tentu bervariasi, terlebih 
ketika keluarga sudah pernah mengupayakan pengobatan medis namun tidak menunjukkan hasil 
yang signifikan. 
 bahwa praktik pemasungan tidak seharusnya mengarahkan masyarakat 
menyalahkan keluarga, melainkan itu merupakan manifestasi dari buruknya fasilitas pelayanan 
kesehatan jiwa yang disediakan oleh pemerintah. Terlebih, dalam banyak kasus pemasungan, 
keluarga sudah mengupayakan treatment sebelumnya, misalnya membawa ODGJ ke RSJ dan 
tidak memperoleh akses yang mudah dalam prosesnya ,Keluarga adalah elemen yang paling bertanggungjawab atas praktik pemasungan penyandang 
gangguan jiwa, karena mereka takut anggota keluarganya akan menyakiti orang lain atau warga 
di desanya. , lebih 
dari setengah korban pemasungan awalnya sudah mendapat pertolongan di RSJ namun tidak 
berlanjut karena keterbatasan ekonomi, sehingga kembali dipasung oleh keluarganya. Hal 
tersebut menunjukkan upaya mencari bantuan dari luar ,kendati menunjukkan fase yang berbeda, yaitu pencarian bantuan dari luar terlebih 
dahulu, kemudian memutuskan untuk memasung setelah energinya habis dan memulai periode 
penolakan bantuan.
Keluarga sebagai unit sub-sistem dalam masyarakat tentu memainkan peranan sentral dalam 
perawatan anggota masyarakat, termasuk untuk anggotanya yang mengalami gangguan jiwa. 
Pada kondisi perawatan orang dengan gangguan jiwa, keluarga 
menjadi pertimbangan utama para praktisi kesehatan. Mengidentifikasi dan melakukan asesmen 
mendalam pada keluarga dapat memberikan banyak analisis atas kebutuhan dasar klien dengan 
gangguan jiwa. Keluarga juga dituntut untuk responsif pada kebutuhan ART yang menyandang 
gangguan, serta memberikan dukungan sosial padanya , mendefinisikan secara spesifik dukungan sosial 
keluarga. Dukungan sosial keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap 
penderita yang sakit. Anggota keluarga yang bermasalah akan menandai bahwa keluarganya 
mendukung serta selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan , Kapasitas dukungan sosial keluarga adalah bagian integral dari dukungan sosial, 
dimana hal terkait memiliki dampak mobilisasi sosial dan membantu individu mengatasi masalah 
dalam periose krisisnya, membantu kondisi kesehatan anggota keluarga, sekagus meningkatkan 
well-being seluruh anggota keluarga (Bellin & Kovacs, dalam Kaakinen dkk, 2009).
Peneliti mengevaluasi bahwa studi tentang pemasungan lebih sering menitikberatkan pada sudut 
pandang alasan pemasungan dari keluarga sebagai caregiver, tepatnya untuk tidak membawanya 
ke RSJ, instalasi kesehatan jiwa, maupun profesional medis. Melalui penelitian ini fokus peneliti 
terletak pada upaya untuk mengungkap dan memahami alasan pemasungan kembali terhadap eks 
pasien yang sudah mendapatkan perawatan di RSJ maupun instalasi kesehatan jiwa. Hal tersebut 
menyangkut adanya upaya yang telah dilakukan keluarga terlebih dahulu untuk mencari bantuan 
dan pengobatan.

Berdasarkan kekhasan kasus yang ditemukan oleh peneliti tentang pemasungan, maka peneliti 
mengkaji dengan metode studi kasus. Tipe unit yang dapat diteliti dalam studi kasus diantaranya: 
individu, karakteristik atau atribut dari individu, aksi dan interaksi, peninggalan atau artefak 
perilaku, setting, serta insiden tertentu (Punch dalam Poerwandari, 2013). Studi kasus (case 
study) menurut Creswell (dalam Creswell, 2015; Herdiansyah, 2015; Poerwandari, 2013), adalah 
model yang menekankan pada eksplorasi dari suatu “sistem yang terbatas” atau bounded context, 
pada suatu kasus atau beberapa kasus yang mendetail dengan disertai dengan penggalian data 
yang mendalam yang melibatkan beragam informasi yang konteksnya komprehensif.
Desain studi kasus tunggal memungkinkan peneliti melakukan eksplorasi mendalam dan spesifik 
tentang kejadian tertentu dari sebuah fenomena ,Penelitian ini menggunakan 
pendekatan single-case study atau studi kasus tunggal dimana peneliti hanya akan melibatkan 
satu kasus tunggal pemasungan untuk diteliti. Peneliti ingin mengetahui dinamika pengambilan 
keputusan suatu keluarga terhadap satu eks pasien yang dipasung ulang dengan melibatkan pula 
para informan yang mengetahui adanya tindak pemasungan.Adapun subjek sentral dari kasus ini menyandang gangguan jiwa, sehingga tidak memungkinkan 
untuk melakukan penggalian data lebih lanjut, kecuali melalui observasi. Fokus penelitian lebih 
kepada keputusan caregiver dalam merawatnya serta pandangan informan yang mengetahui 
adanya kasus. Subjek kasus dalam penelitian ini memiliki kriteria, yakni:
1. ODGJ; dipasung sebelum mendapat penanganan medis.
2. Pernah menjalani masa perawatan di RSJ/instalasi kesehatan jiwa di Rumah Sakit Umum.
3. Dipasung kembali setelah dirawat dari RSJ.
Sementara subjek dan infoman dari penelitian ini memiliki karakteristik inklusi sebagai berikut:
1. Keluarga yang memiliki anggota ODGJ yang dipasung, sempat dirawat di RSJ/institusi 
kesehatan jiwa lainnya, kemudian setelah kembali ke rumah kembali dipasung.
2. Anggota keluarga selaku caregiver dari eks pasien yang sedang dipasung.
3. Tetangga yang tinggal di lingkungan sekitar kediaman keluarga yang memasung ODGJ; 
mengetahui adanya tindak pemasungan.
4. Informan, yakni key person yang memiliki otoritas, serta menjadi penghubung peneliti dengan 
kasus. Key person berasal dari kader Dinas Sosial yang mengetahui adanya pemasungan.
5. Bersedia menjadi partisipan penelitian.
Metode pengambilan data dilakukan dengan cara wawancara, observasi, Focus Group 
Discussion (FGD), catatan lapangan, dan analisis dokumen subjek kasus. Peneliti memilih 
menggunakan model penyajian data dari Yin , yakni 
mengurutkan sesuai sketsa kasus dan kronologi kejadian dalam bentu narasi setelah kode dan 
tema dalam kasus ditemukan. Yin juga menegaskan lebih rumit dan tepat pola suatu kasus, 
makin tertumpu suatu analisis deret waktu menjadi landasan yang kokoh pada penarikan 
konklusi studi kasus  Penyajian deret waktu dilakukan sesuai dengan kronologi 
periode kejadian.
Hasil penelitian terbagi menjadi lima periode: 1) Periode sebelum dipasung; 2) Periode ketika 
dipasung; 3) Periode lepas-pasung (masa perawatan di RSJ); 4) Periode pengobatan alternatif; 5) 
Periode pemasungan kembali. Subjek kasus merupakan ODGJ yang masih dipasung oleh 
keluarga saat penelitian berlangsung. Pemasungan dilakukan dalam bentuk pengurungan di 
kamar.
Penjodohan pola berdasarkan tema dalam kasus dilakukan setelah proses temuan tema individu. 
Peneliti menengarai terdapat beberapa kesamaan dari kelima subjek dan informan dalam 
penelitian, meskipun masing-masing subjek dan informan memiliki pengalaman dan tema 
individu yang berbeda mengenai subjek kasus pasung. Tema-tema kelompok yang muncul juga 
menjadi perhatian peneliti.
Kesamaan-kesamaan pada tema individu dan kelompok tersebut dapat dikategorikan dalam 
tema-tema tertentu berdasarkan penjodohan pola (pattern-matching) dalam pendekatan Yin. 
Tema- tema kelima subjek dan informan penelitian mencakup latar belakang subjek kasus 
sebelum gangguan, gejala yang muncul dan kebiasaan subjek, perawatan subjek kasus sebelum 
dipasung, alasan dan pertimbangan keluarga untuk memasung, dukungan yang diperoleh dari 
lingkungan sosial, serta penerimaan keluarga dalam menghadapi kondisi subjek kasus. Semua 
tema sesuai temuan penelitian ditulis dalam 
1) Periode sebelum dipasung
PTH, subjek kasus yang berusia 53 tahun, mulai mengalami gejala gangguan kejiwaan pada 
umur 19 tahun. Sejak saat itu PTH dibatasi pergaulannya dan jarang diperbolehkan keluar rumah. Sejak saat itu keluarga memutuskan untuk membiarkan PTH berada di kamar belakang, 
yang berukuran 2x3 meter dan bersebelahan tanpa pintu dengan WC di rumah yang digunakan 
seluruh
keluarga. PTH tidak melakukan banyak tindak agresif, namun bentuk kekambuhannya dengan 
bicara sendiri tanpa makna. Pada usia 41 tahun, tepatnya tahun 2004, PTH mengalami kekerasan 
seksual, yakni diperkosa. Pelakunya belum diketahui oleh pihak keluarga sampai saat penelitian 
dilakukan. PTH diketahui hamil saat kandungannya mulai tampak, usia kehamilan sudah empat 
bulan. PTH bahkan masih sering ke kebun saat kehamilannya mulai tampak. Ketika ditanya oleh 
pihak keluarga, PTH tidak bisa memberikan jawaban yang jelas mengenai siapa pelakunya.
Cuma dia memang karena dari keluarga itu apa ya khawatir kalau 
dia itu pergi//Dulu nyuwun sewu (mohon maaf) anaknya itu kan 
juga karena anu [diperkosa] di jalan.// Iya, dulu sering dia, dulu 
sering jalan sampai ke Boja, jalan sampai ke Jerakah gitu lo.// Itu 
ya setelah anaknya lahir gitu juga kan.//Kemudian diamankan
[dipasung].//Setelah melahirkan gitu lagi, jalan lagi kan
[PTHnya], keluarga khawatir nanti malah hamil lagi kan
malah hamil lagi kan malah kemudian ngerumati
(merawat) lagi. Periode ketika dipasung
Warga mulai mengupayakan bantuan untuk PTH. Bantuan ini berupa tawaran mengantarkan 
untuk berobat ke RSJ, tawaran mengantarkan ke Puskesmas, serta pendampingan yang dilakukan 
sukarela oleh BJ dan rekan-rekannya dari Dinas Sosial. Pendampingan yang dilakukan oleh 
kader ini dimulai sejak program pendataan untuk penyandang psikotik. Kasus PTH diketahui 
oleh BJ dan BJ dengan inisiatifnya sendiri melakukan pendampingan ke keluarga dan membantu 
proses
rujukan ke RSJ di Semarang melalui Puskesmas setempat.
Hal-hal demikian itu [penuntasan pasung] karena kalau ada 
program baru ter-cover. Terus terang aja demikian.//Nah ini 
program tahun 2016 ini juga ada, tapi kita juga belum tahu 
nantinya programnya itu program apa gitu.//Iya [programnya 
pasung untuk tahun ini belum turun]// Waktu itu kita programnya 
hanya mencari data, waktu itu lho mencari data. Kemudian saya 
tahu, kemudian dari inisiatif saya sendiri untuk
pendampingan.Periode lepas-pasung (masa perawatan di RSJ)
Upaya pengobatan medis sudah ditempuh oleh caregiver PTH. PTH diketahui telah memasuki 
RSJ selama dua kali di tahun 2009 dan 2011, masing-masing sebulan masa inap. Pengiriman 
PTH ke akses kesehatan ini telah memakan banyak biaya, tenaga, dan PTH dianggap belum 
menunjukkan perubahan yang berarti. PTH keluar dari RSJ karena kuota pasien dengan asuransi 
yang telah penuh di RSJ. Konsumsi obat yang ditolak oleh subjek kasus dan riwayat pernah 
menenggak banyak tablet dalam satu waktu membuat keluarga tidak pernah memaksakan jika 
PTH tidak ingin mengonsumsi obat.
Selama PTH dirawat di RSJ untuk yang kedua kalinya, keluarga terus mengasuh anak PTH, 
yakni NH. NH mengetahui bahwa PTH adalah ibunya. Terkadang NH mengalami bullying 
verbal dari teman-temannya. NH dikatakan „anak’e wong edan’ (anak dari „orang gila‟). Hal 
tersebut serta merta membuat NH seringkali menangis waktu kecil, sehingga MT, caregiver,
menyekolahkannya di SD yang jauh dari rumah subjek kasus.
4) Periode pengobatan alternatif
FZ terus mencari dukungan dan nasehat dalam upaya perawatan NH. Lewat salah seorang 
rekannya, FZ mendapat saran untuk memasukkan PTH ke pondok pengobatan alternatif. Periode
yang lebih lama di dalam pondok, yaitu sekitar dua tahun. Pondok tersebut milik salah seorang 
temannya sehingga FZ diberi keringanan pembiayaan dan hanya membayar dengan beras sesuai 
kesanggupan. Metode pengobatan yang digunakan yakni dengan air, zikir, dan doa-doa. PTH 
juga diminta mengerjakan tugas keseharian seperti bersih-bersih dan boleh menonton TV jika 
waktunya istirahat. Pondok pengobatan alternatif tersebut sudah tutup akibat terlalu banyak 
permintaan psikotik maupun eks piskotik yang masuk.
Di Simbang, tapi sekarang udah nggak ngerawat pasien/ Udah 
nggak ada temannya//Modelnya kan memang kayak gitu, 
modelnya itu pakai air kayak gitu buat obatnya/ Buat sendiri 
obatnya, obat-obatnya itu jadi kayak gimana gitu// Teman saya 
itu udah lama nggak nangani pasien lagi, soalnya tempatnya 
udah penuh, Periode pemasungan kembali
Keluar dari pengobatan alternatif, PTH menunjukkan kebiasaan sering berzikir dan mulai 
membaik. Namun tidak berapa lama gejalanya mulai muncul dan keluarga mencari alternatif 
lain. FZ mendapatkan saran dari rekannya untuk merawat PTH dalam ruangan yang terkunci 
agar ia tidak kemana-mana. MT mendukung usulan tersebut terlebih memikirkan konsekuensi 
jika sampai PTH hamil dan memiliki anak lagi, maka keluarganya yang akan pusing 
merawatnya. Sementara kondisinya mereka sudah harus merawat NH. 
[...]berobat alternatif sudah saya coba, berobat ke dokter juga 
sudah saya coba, bantuan dari dinas sosial juga boleh, kalau 
sekarang saya suruh ngantar berobat ya hanya semampu saya 
aja, udah nggak bisa kayak dulu lagi. Lagian saya juga udah 
kayak gini, dulu juga saya sudah banyak dikasih cobaan, saya 
juga sudah bersyukur bisa seperti ini.
PTH sering meminta keluar karena merasa tidak punya hiburan dan ingin main air. Hobi PTH 
untuk bermain di sungai tidak lagi dilakukan sejak PTH berada di ruang pemasungan. Di 
ruangan 4x5 meter tersebut PTH menghabiskan waktunya dengan berdiam diri di sudut ruangan, 
tidak mengetahui kondisi di luar kecuali dari suara-suara yang didengarnya saja. Kebutuhan 
seperti makan, minum, dan fasilitas kebersihan tersedia, namun keluarga tidak terlibat dalam
pembersihan ruangan pemasungan sehingga di sudut ruangan, terdapat kotoran manusia.
Ya iya lah [PTH minta keluar], kok saya nggak boleh keluar to, 
saya cuman pengen main-main ke sawah, ke kebun, ke jalan. Ya 
nggak boleh, udah di dalam aja, makan, mandi gitu aja, kalau 
mau nyuci ya sana, di jemur disitu. saya bilang kayak gitu, lah
udah nggak bisa ngikuti, nggak bisa jaga.
,
Semua usaha yang telah diupayakan dalam segmen kesehatan sudah mengindikasikan perbedaan 
penelitian ini dengan penelitian pasung dari Tyas (2008) mengenai penduduk Aceh yang 
dipasung karena sulitnya memperoleh akses kesehatan karena berada di daerah terisolir. Subjek 
kasus telah mendapatkan akses kesehatan yang diupayakan oleh keluarga dan dukungan dari 
tokoh masyarakat setempat. Kendati demikian penelitian ini ditengarai selaras dengan hasil 
penelitian dari Minas dan Diatri (2008), bahwa enam dari 13 kasus pemasungan menunjukkan 
korban pasung yang sudah menjalani short treatement, periode perawatan singkat di RSJ akan 
kembali dipasung setelah keluar dari RSJ (discharge). Sama halnya dengan PTH yang kembali 
dipasung karena memperoleh periode perawatan yang singkat di RSJ, masing-masing hanya satu 
bulan masa inap. Kesenjangan antara kuota rawat inap dengan jumlah pasien yang membutuhkan 
menyebabkan RSJ harus membatasi pasien Jamkesmas yang menginap.
Menelisik keputusan keluarga untuk memasung sebagai satu-satunya alternatif terakhir yang ada 
di pikiran mereka karena usaha lain sudah dikerahkan. Alternatif terakhir ini juga didapati dari 
penelitian Semua 
penelitian terkait pemasungan tersebut mengindikasikan keluarga sebagai caregiver primer dari 
ODGJ sudah mengupayakan beberapa alternatif lain, yang kebanyakan berhubungan dengan 
upaya pengobatan alternatif sesuai kultur di daerahnya masing-masing.
Ketidakberdayaan PTH untuk berbicara secara koheren, untuk membangun pembicaraan yang 
normal dan untuk mengendalikan ekspresi emosional di depan orang lain membuatnya 
dikategorisasikan abnormal oleh keluarga dan lingkungannya. Subjek JM menyebut subjek kasus 
PTH bukan „wong edan‟, bukan merupakan orang gila, tetapi „perambatan setan dari YM, 
adiknya‟. Kondisi ini oleh sunjek JM disebut pula sebagai ‘datnyat’, sekedap lali sekedap eling 
(sebentar ingat sebentar lupa). Anggota keluarga yang lain, FZ, menyebut gejala yang 
ditunjukkan oleh PTH sebagai „sakit pikir‟, yang disebabkan oleh syaraf yang sudah kering. 
Sementara informan BJ menyebut PTH sebagai „psikotik‟, dan WN menyebutkan PTH 
menderita „sakit mental‟. 
Perbedaan terminologi penyebutan istilah dari para subjek dan informan ini tetap mengacu pada 
simptom yang dimiliki oleh subjek PTH yakni inkoherensi pembicaraan, berteriak di waktu￾waktu yang tidak menentu, agresifitas verbal dengan menyebutkan kata-kata umpatan kasar, 
telanjang dan membuka baju di depan umum, serta ketiadaan kemampuan untuk me-recall jalan 
pulang menuju rumah. Beberapa simptom ini juga diperkuat dengan dua upaya bunuh diri, 
menabrakkan dirinya ke kendaraan yang sedang berjalan, serta menenggak tablet obat yang 
diberikan dalam dosis yang banyak sekaligus. Upaya bunuh diri dan menyakiti dirinya sendiri 
dalam penelitian pasung lain juga ditemukan oleh Leocata (2015). Kecenderungan bunuh diri 
sebagai simptom dari gangguan kejiwaan tidak sering diperhatikan oleh para praktisi yang 
menggagas program kesehatan mental (Leocata, 2015). Hal tersebut kemudian berlanjut pada 
kekhawatiran keluarga akan tindakan berbahaya lain, berpadu dengan burn-out perawatan yang 
dirasakan oleh keluarga, sehingga menginisiasi pemasungan ,bahwa umumnya perlakuan pasung diberlakukan kepada mereka yang 
mengalami gangguan jiwa dan turut menunjukkan perilaku aneh yang tidak sesuai dengan norma 
sosial yang berlaku umum (deviant behavior) yang menggelisahkan atau membuat lingkungan 
merasa keamanannya terancam. Meskipun demikian, dalam kasus ini tidak ditemui riwayat 
adanya tindak perilaku PTH yang mengancam keamanan warga, tetapi justru mengancam 
keselamatan dirinya sendiri. Akibat riwayat kekerasan seksual yang pernah dialaminya ketika 
sudah memasuki usia dewasa madya, keluarga semakin bertekad untuk memasungnya di dalam 
kamar guna mencegah kejadian tersebt terulang. Padahal, pencegahan kasus dengan korban kekerasan seksual perempuan dapat dilakukan melalui penyediaan intervensi kesehatan mental 
yang cenderung terjangkau serta mudah untuk diakses ,
Peneliti turut menemukan dimensi yang sama dari hasil penelitian Subandi (2008). Penelitian 
tersebut membahas beberapa keluarga caregiver pasien psikotik di Jawa menunjukkan 
kekhawatiran pada anggota keluarga wanita yang belum menikah. Bagi partisipan wanita yang 
belum menikah dalam penelitian tersebut, gangguan psikosis memiliki dampak yang lebih buruk 
dibandingkan pada partisipan pria. Sehingga segala gejala yang muncul akan dikaitkan dengan
masalah perkawinan. Sejalan dengan kondisi PTH yang belum menikah turut menjadi perhatian 
JM, sebagai ibu dan terus mengaitkan kondisi gangguan PTH sebagai konsekuensi dari PN yang 
„melangkahi‟ kakaknya dengan menikah terlebih dahulu.
Selain perbandingan dengan penelitian terdahulu, peneliti mencoba menelaah hasil penelitian 
dengan beberapa teori yang sudah ada. Dimensi keluarga mengambil proporsi besar dalam 
analisis peneliti karena keluarga selaku caregiver utama adalah penginisiasi pemasungan. 
Pendekatan pengaruh kausalitas dan dinamika pengambilan keputusan serta coping keluarga 
akan dibahas peneliti lebih lanjut.
 bahwa pilihan keluarga untuk merawat dan tinggal bersama 
pasien ODGJ akan menimbulkan permasalahan yang akan dialami oleh seluruh anggota 
keluarga. Perubahan yang dapat memicu munculnya stres pada keluarga antara lain gejala ODGJ 
yang mengganggu, perubahan rutinitas dan aktivitas seluruh anggota keluarga sehari-hari, 
ketegangan hubungan keluarga dengan lingkungan sosial, kehilangan dukungan sosial, 
berkurangnya waktu luang dan kondisi keuangan yang memburuk. Kendati demikian keluarga 
tentu mengetahui konsekuensi-konsekuensi terkait perawatan dan tetap memilih untuk merawat 
keluarga. Pada kasus ini keluarga PTH memahami dengan sangat baik bahwa banyak upaya yang 
mereka lakukan tentu memiliki dampak tertentu, misalnya sawah JM yang terjual, FZ dan MT 
yang harus merawat anak subjek kasus, dan BJ yang masih harus mengupayakan bantuan untuk 
PTH melalui Dinas Kesehatan. Pemberian perhatian ini memang mengurangi waktu luang dan 
stabilitas finansial keluarga, namun tidak membuat caregiver kehilangan dukungan sosial karena 
warga setempat dan teman-teman sekantor masih memberikan dukungan sosial untuk caregiver.
Memahami dinamika keluarga PTH melalui genogram memudahkan untuk mengetahui riwayat 
penyakit dan relasi antarpribadi dalam keluarga. Berdasarkan genogram terlihat bahwa keterlibatan PN dan keluarganya pada perawatan PTH hampir tidak ada selain menjalankan 
fungsi keluarga secara struktural. FZ dan MT adalah caregiver yang paling banyak berperan 
pada perawatan PTH serta NH. Riwayat pernah memiliki ODGJ dalam keluarga yang sudah 
meninggal juga tergambar melalui genogram.
Coping dengan religious-focused terus dilakukan keluarga dalam periode perawatan dan 
pengobatan. Caregiver menerima kondisi yang ada dengan ibadah, zikir, dan menganggap 
cobaan yang diterima adalah jalan untuk membuat mereka menaiki level kehidupan. NH, anak 
dari subjek kasus yang dipasung, mengetahui bahwa ibu kandungnya sedang dikurung di kamar 
tersebut serta sempat menjadi korban bullying karena kondisi ibunya. FZ, PTH, dan MT 
beranggapan, dengan menyembunyikan sesuatu, akan membuat masalah yang ada semakin berat 
ke depannya, termasuk dalam perawatan PTH, dan keterbukaan identitas kepada NH.
McCubbin dan Patterson (dalam Morrison & Bennet, 2009), menambahkan bahwa stres dalam 
keluarga adalah tekanan yang berpotensi merubah sistem dalam keluarga. Secara umum 
perubahan sistem ini menuntut adanya adaptasi di keluarga PTH, sehingga ada beberapa fase 
kontinum adaptasi yang terjadi:
a. Stage of resistence, fase resistensi, kondisi dimana anggota keluarga mengingkari gangguan 
jiwa yang terjadi. Dalam kasus keluarga PTH resistensi jelas terlihat di awal keluhan gangguan 
kejiwaan mulai tampak. Terlebih, pengalaman berhadapan dengan anggota keluarga yang juga 
ODGJ, YM, yang kerapkali mengamuk sampai tidak berpakaian, hingga kabur, menjadi refleksi 
keluarga sehingga tidak ingin kejadian serupa terulang. Pada fase ini keluarga mulai 
menganalisis potensi-potensi risiko yang bisa muncul, merefleksi pada kasus ODGJ yang pernah 
dirawat sebelumnya. Terlebih ketika PTH tiba-tiba menunjukkan kondisi kehamilan dan akan 
melahirkan. Keluarga menjadi resisten pada segala upaya pengobatan medis dan memilih 
memasung PTH.
b. Stage of restructuring, yakni fase restrukturisasi dimana keluarga mulai menyadari kenyataan 
gangguan jiwa yang dialami oleh salah satu anggotanya, dan mulai melakukan adaptasi akan 
perubahan yang terjadi di keluarga. Adaptasi ini dimulai dengan upaya pengobatan di RS dan 
RSJ, juga pengobatan alternatif. Pada fase ini keluarga PTH sudah mengupayakan pengobatan 
alternatif. Pengobatan alternatif seperti yang dilansir peneliti dari Subandi (2013) merupakan 
bentuk spiritual focused coping yang ditawarkan oleh rekan FZ. Pendekatan pengobatan ini juga 
menekankan pada building rapport, membangun kedekatan pada PTH dan subjek FZ selaku 
caregiver. Setelah kedekatan terbentuk dan FZ menerima saran-saran dari rekannya, caregiver 
kembali menilik kondisi PTH. Tidak adanya perubahan pasca berobat medis dan alternatif 
membuat rekannya memunculkan gagasan untuk membuatkan kamar dan memasung. Gagasan 
ini diterima dengan baik oleh FZ dan didukung oleh MT, sehingga bisa diaplikasikan.
c. Stage of consolidation, pada fase ini peraturan-peraturan baru yang telah dibuat bisa beralih 
menjadi permanen, Morrison & Bennet (2009), mencontohkan ketika tidak ada penyembuhan 
yang berarti, maka pola pikir yang ada akan terus berlanjut. Pada kasus ini didapati tema 
kelompok mengenai pemasungan kembali berdasar pada tidak adanya pengawas yang bisa 
mengikuti subjek kasus jika PTH dilepas dari pasungnya, serta tidak pula ada konsumsi obat 
yang teratur sehingga gangguan tidak kunjung membaik. Upaya pemasangan alat kontrasepsi 
untuk mencegah kehamilan yang ditakuti oleh keluarga juga ditolak oleh ahli medis karena 
kondisi kejiwaan PTH. Setelah upaya-upaya konsolidasi gagal, gagasan yang ditawarkan 
sebelumnya yakni untuk tetap memasung PTH di dalam kamar menjadi sesuatu yang menetap.
Kontinum adaptasi tersebut merupakan tahapan keluarga dalam menghadapi anggota keluarga 
yang mengalami gangguan. Selain fase tersebut, ada beberapa simptom yang sering dirasakan keluarga dengan anggota ODGJ. , antara lain: Ketidakberdayaan, kebingungan dan frustrasi, rasa bersalah, kesedihan, malu 
dan marah. Ketidakberdayaan caregiver subjek kasus ini berada pada periode yang paling akhir, 
yakni pemasungan kembali. Didapati hasil bahwa tema-tema individu sudah dipenuhi oleh 
acceptance, penerimaan terhadap kondisi ODGJ dan tidak ingin mencoba upaya lain. Kesedihan, 
frustrasi dan kebingungan sempat ada dalam periode lepas-pasung karena masih dalam periode 
pengobatan subjek kasus. Rasa bersalah tidak muncul dari caregiver subjek karena memang 
sudah menganggap semua hal merupakan takdirnya. Kebingungan diatasi dengan baik oleh 
subjek FZ dengan mencari informasi ke rekan-rekannya.

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, ada beragam alasan dari pihak 
keluarga yang melandasi pengambilan keputusan untuk memasung kembali eks pasien ODGJ. 
Pemasungan sebagai alternatif terakhir diambil oleh subjek caregiver karena upaya terkait segala 
jenis pengobatan telah ditempuh oleh keluarga. Pemasungan kembali ditengarai sebagai upaya 
perlindungan dan bentuk kepedulian keluarga terhadap subjek kasus. Hasil penelitian 
menunjukkan tidak ada upaya untuk menutupi ODGJ, yakni PTH. Caregiver memasung bukan 
karena ingin menutupi keberadaan ODGJ.
Berdasarkan hasil penelitian, keluarga diharapkan dapat menjadi bagian dari primary support
untuk kelangsungan relasi sosial subjek ODGJ. Masyarakat yang mengetahui adanya tindak 
pemasungan ODGJ diharapkan terbuka dalam hal informasi dan melaporkan ke Dinas yang 
berwenang. Peneliti lain yang akan melakukan penelitian serupa disarankan agar dapat 
melibatkan lebih banyak partisipan dan menggunakan pendekatan multikasus untuk memperkaya 
hasil temuan. Peneliti juga dapat memperkaya penelitian dengan membandingkan jenis kelamin 
penyandang gangguan jiwa, maupun beragam diagnosis klien yang mengalami pemasungan.