hadist yang di daifkan 1
Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan.
Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan ‘aqli. Dan
sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah al-Qur‟an dan
hadis nabi. Allah Swt. telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang
selalu menjada al-Qur‟an dan hadis nabi. Mereka adalah orang-orang jujur,
amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan
perhatiannya terhadap al-Qur‟an dan ilmunya yaitu mufassir. Dan sebagian lagi
memprioritaskan perhatiannya terhadap hadis nabi Muhammad Saw. dan ilmunya,
mereka adalah para ahli hadis. Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa
yang dibawa oleh nabi dan dilarang untuk mengerjakan semua larangan beliau.1
sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Surah al-Ḥasyr [59]: 7:
...
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa nabi Muhammad Saw. bertugas
menjelaskan al-Qur‟an kepada ummatnya dan mewajibkan setiap muslim untuk
patuh kepada kebijaksanaan dan ketetapan Rasulullah Saw. dalam bidang apapun
baik yang disebut secara tegas dalam al-Qur‟an maupun dalam hadis ṣaḥīḥ.
2
Maka
dari itu hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur‟an dan teladan bagi ummatnya,
hal inilah yang menjadikan pengamalan sebagian besar al-Qur‟an akan
membutuhkan hadis.
3
Hadis memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran agama Islam dan
diyakini sebagai salah satu sumber hukum Islam. Posisi yang strategis inilah yang
menyebabkan banyak sarjana baik dari kalangan muslim maupun non muslim
tertarik untuk mengkaji autentitas hadis yang sangat berpengaruh pada
otoritasnya. Kalangan orientalis yang pertama kali mempersoalkan status hadis
adalah Alois Sprenger, dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan
ajaran Muhammad, ia mengkaim bahwa hadis merupakan kumpulan cerita-cerita
bohong namun menarik.
4
Hadis nabi Muhammad Saw. dalam perjalanan sejarah telah melalui tiga
kegiatan yang dilakukan oleh muḥadditsīn untuk memelihara dan mengabadikan
hadis, yaitu menulis, menghimpun, dan membukukannya. Kegiatan pertama sudah
dilakukan oleh beberapa sahabat Rasulullah Saw. sejak kenabian. Kegiatan kedua
terjadi pada akhir abad pertama Hijriyah (100 H), yaitu pada masa pemerintahan
Umar ibn Abdul Aziz. Sementara kegiatan ketiga dimulai oleh al-Imām Mālik ibn
Anas (97-179 H), yang melahirkan Kitab al-Muwaṭṭa’.
5
Pengkajian hadis Nabi Muhammad Saw. tidak hanya menyangkut
kandungan dan aplikasi petunjuknya saja, tetapi juga dari segi periwayatannya.
Penelitian terhadap periwayatan hadis menjadi sangat penting karena sebagian
yang dinyatakan masyarakat adalah pengguna hadis, terutama para muballigh,
ternyata banyak yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Bahkan tidak
sedikit jumlah pernyataan yang dikatakan sebagai hadis, namun ternyata setelah
diteliti sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai hadis Karena itulah kesahihan
hadis sangat diperhatikan.
Menurut ahli-ahli hadis, kritik hadis adalah menyeleksi hadis-hadis antara
yang ṣaḥīḥ dengan yang ḍa‘īf dan meneliti perawinya apakah yang dipercaya dan
kuat ingatannya (tsiqah) atau tidak. Menurut Azami, kritik hadis sudah dimulai
sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup, namun lingkupnya masih sangat
terbatas dan motifasinya berbeda dengan kritik hadis pada masa-masa
belakangan.
7
Secara umum, pemalsuan hadis terjadi pada dekade keempat dari
hijrah Nabi Muhammad Saw. yaitu dalam masalah politik saling bermusuhan,
sedang diantara mereka ada yang lemah imannya, sedikit pengetahuan agamanya,
sehingga mereka mebuat hadis palsu untuk kepentingan kelompoknya. Maka
sejak saat itu para ahli hadis lebih selektif dalam mendengarkan hadis, dan lebih
teliti dalam menerima rawi. Pada saat itu, penggunaan sanad itu lebih penting
dibanding masa sebelumnya.
Untuk kepentingan penelitian hadis Nabi Muhammad Saw. ini, ulama
telah menciptakan berbagai kaidah dan ilmu (pengetahuan) hadis. Dengan kaidah
dan ilmu hadis tersebut ulama mengadakan pembagian kualitas hadis. Ibn
Khaldun berpendapat bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama hadis
hanya terbatas pada penelitian sanad saja. Disamping itu, pendapat tersebut
disanggah secara tidak langsung oleh beberapa ulama lainnya misalnya Musṭafā
al-Sibā‟ī, Muhammad Abū Syuhbah, dan Nur al-Dīn „Itr dengan menyatakan
ulama hadis dalam meneliti hadis Nabi Muhammad Saw. sama sekali tidak
mengabaikan penelitian matn. hal ini terbukti pada kaidah keṣaḥiḥan hadis yang
menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh hadis yang berkualitas ṣaḥīḥ
ialah matan dan sanad harus terhindar dari kejanggalan (syādz) dan cacat (‘illat)
sebagaimana telah ditetapkan oleh ulama hadis.
Ibn Ṣalāḥ berpendapat bahwa syarat hadis dinilai ṣaḥīḥ apabila memenuhi
lima syarat sebagaimana telah menetapkan ulama muhadditsīn. Namun apabila
ada perselisihan tentang keṣaḥīḥ an suatu hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu
sendiri melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau
tidaknya sifat-sifat tersebut. Misalnya Abī Zinād mensyaratkan bagi hadis ṣaḥīḥ
hendaknya perawi memiliki ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan
menyampaikan hadis. Ibn al-Sam‟ānī juga menyatakan bahwa kriteria hadis sahih
tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (adil dan ḍabit) saja, tetapi
juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang
diriwayatkan. Di samping itu, Imam Ibnu Hajar al-Asqalānī tidak sependapat
dengan tentang ketentuan syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ sebagaiman yang telah
diutarakan oleh uama-ulama tersebut, sebab syarat-syarat sebagaimana
dikemukakan oleh Abī Zinād telah tercakup dalam persyaratan ḍabit, sedangkan
syarat yang dikemukakan oleh Ibn al- Sam‟ānī juga sudah termasuk dalam syarat
“tidak ber’illat”.
Amat banyak ulama‟ yang bertakwa dan bertanggung jawab dan sangat
teliti dalam memelihara sunnah nabi Muhammad Saw. cara-cara mereka untuk
menyaring sanad-sanad hadis sungguh merupakan hal yang sangat terpuji dan
layak untuk dikagumi oleh siapa saja. Dan di samping mereka, banyak pula para
ahli yang meneliti matan-matan hadis kemudian memisahkan mana yang dinilai
syādz atau bercacat.
Dalam perkembangannya, usaha kritik hadis yang dilakukan ulama hadis
masa kontemporer ini dilakukan dengan menelaah kembali terhadap kitab-kitab
yang telah selesai dibukukan. Seperti yang dilakukan oleh ahli hadis semisal
Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albani, „Abdul Qadir al-Arnauth, Ṭāhā al-Ulwānī
dan ulama hadis kontemporer lainnya. Ulama hadis masa kontemporer ini biasa
meneliti ulang hadis-hadis yang telah tersebar dalam kitab-kitab penting yang
menjadi rujukan umat, dengan menentukan kualitas dari hadis-hadis yang
dijadikan hujjah.
12
Salah satu ulama hadis yang akan menjadi objek kajian pada
penelitian ini adalah Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albānī
Sebagai seorang muslim, al-Albānī mengabdikan sebagian besar hidupnya
untuk meneliti secara mendalami hadis nabi Muhammad Saw. al-Albānī telah
meneliti sejumlah kitab hadis, termasuk Shahīh al-Bukhārī, Shahīh Muslim,
Sunan at-Tirmīdzī, Abū Dāūd, al-Nasā‟ī dan ibn Mājah. Sebagai sarjana
produktif, ia telah menulis 117 buku, diantaranya: Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah
wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah, al-Tawassul Anwā’uhu wa
Aḥkāmuhu, Taḥdzīr al-Sājid min ittiḥādz al-Qubūr masājid. Dalam karya-karya
ini, al-Albānī telah mengidentifikasi 990 hadis yang dianggap autentik oleh
mayoritas sarjana muslim, namun oleh al-Albānī dianggap lemah. Al-Albānī
menyatakan lemah (taḍ’īf) sejumlah hadis yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī
dan Ṣaḥīḥ Muslim, salah satu koleksi kitab hadis yang paling bergengsi itu
menuai sejumlah kritikan tajam terhadapnya. Di antaranya; Tanāquḍāt al-Albānī
al-Waḍīḥāt oleh Ḥasan bin „Ali as-Saqqaf, al-Ta’rīf bi Auhām man Qassama al-
Sunan Ilā Ṣaḥīḥ wa Ḍa’īf oleh Mahmud Said Mamduh, Tabyīn ḍalālah al-Albānī,
Syaikh al-Wahhabiyyah al-Mutamaḥdits oleh „Abdullah al-Harrārī, dan masih
banyak yang lainnya.
13
Menurut al-Albānī, dari sekian banyak hadis-hadis yang termuat dalam
kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim ternyata tidak semua hadisnya
berkualitas ṣaḥīḥ. Banyak terdapat hadis ḥasan dan ḍa’īf yang tercantum dalam
kitab-kitab tersebut. Kenyataan ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi para
kritikus hadis, karena pengarang dari kitab ini merupakan tokoh hadis besar yang
terkenal dan selektif dalam periwayatan hadis.
Seperti hadis al-Imām al-
Bukhārī berikut ini:
ثَ َنا َعْبُد الرَّْْحَِن ْبُن َعْبِد اَّللَِّ يَ ْعِن اْبنَ َع َأََب النَّْضِر، َحدَّ َثِِن َعْبُد اَّللَِّ ْبُن ُمِنرٍي، َسَِ ، َحدَّ ٍٍ ِِيَنا
ٍِْضَواِن اَّللَِّ ََل قَاَل: َعْن أَبِيِه، َعْن َأِب َصاِلٍح، َعْن َأِب ُهَريْ رََة، َعِن النَِّبِّ ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم َِبْلَكِلَمِة ِمْن
ٍََجاٍت، َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم َِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ ََل َِ ، يَ ْرفَ ُعُه اَّللَُّ ِِبَا ، يُ ْلِقي ََلَا ََبَلا يُ ْلِقي ََلَا ََبَلا
يَ ْهِوي ِِبَا ِف َجَهنَّمَ
15
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Munir dia mendengar
Abu An Nadlr telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdullah yaitu
Ibnu Dinar dari Ayahnya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi Saw.
beliau bersabda: “Sesungguhnya ada hamba yang pasti mengucapkan kalimat di
antara yang diridlai Allah, yang tidak dihayatinya, yang karenanya Allah
meninggikan beberapa derajat. Dan sesungguhnya, ada hamba yang pasti
mengucapkan kalimat yang dibenci oleh Allah, yang tidak dihayatinya, yang
karenanya dia terjerumus ke dalam neraka Jahannam .”
16
(HR. Imam al-Bukhārī
)
Al-Albānī mengatakan bahwa hadis di atas adalah hadis ḍa’īf dengan
menjelaskan dua ‘illat di dalam sanadnya.
17
Selain al-Imām al-Bukhārī, al-Albānī
juga men-dha‟ifkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Imām Muslim, yaitu:
ثَ َنا ُعَمُر ْبُن َْحْزََة َأخْ ٍِيَّ َحدَّ ثَ َنا َمْرَواُن يَ ْعِِن اْلَفزَا ٍِ ْبُن اْلَعََلِء َحدَّ َثِِن َعْبُد اْْلَبَّا بَ َرِن أَبُو َحدَّ
ٍَُسوُل اَّللَِّ َع َأََب ُهَريْ رََة يَ ُقوَُل قَاَل َصلَّى اَّللَُّ َعَلْيِه َوَسلََّم ََل َيْشَرَبنَّ َأَحٌد ِمْنُكْم َغطََفاَن اْلُمّرِيُّ أَنَُّه َسَِ
ا َفَمْن َنِسَي فَ ْلَيْسَتِقئْ 18قَائِما
“Abdul Jabbar bin Al-„Alā‟ telah menceritakan kepadaku, telah
menceritakan kepada kami Marwan yaitu Al-Fazāri, telah menceritakan kepada
kami „Umar bin Hamzah; telah mengabarkan kepadaku Abu Ghathafan Al Murri
bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda:
“Janganlah salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, apabila dia lupa maka
hendaklah ia memuntahkanya”.
Al-Albānī menyatakan bahwa hadis di atas sebagai hadis munkar bihādzā
al-lafdz.
Telah diakui oleh jumhur ulama, bahwa karya Imam al-Bukhārī adalah
seṣaḥīḥ-ṣaḥīḥ kitab hadis dan sebesar-besar pemberi faedah, sedang Imam
Muslim adalah periwayat yang secermat-cermat isnadnya dan sekurang-kurang
perulangannya, sebab sebuah hadis yang telah beliau letakkan pada satu tema,
tidak lagi ditaruh di bab lain.
21
Dari latar belakang di atas, penulis bermaksud untuk meneliti ke-ḍa‘īfan
hadis-hadis yang terdapat dalam Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-
Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah dari segi sanad. Oleh karena itu,
judul yang diangkat untuk penelitian ini adalah “Studi Kritik Sanad Hadis-hadis
yang Diḍa’ifkan Oleh Muhammad Nāshir Al-Dīn Al-Albānī”
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah sebagai
berikut:
a. Apakah al-Albānī mengkritik kriteria hadis ḍa‘īf pada kitab-kitab
pokok?
b. Apakah al-Albānī mengkritik kriteria hadis mauḍū‘ pada kitab-kitab
pokok?
c. Pembaharuan apa yang dilakukan al-Albānī dalam memberikan
kriteria hadis ḍa‘īf dan mauḍū‘?
d. Bagaimana standar al-Albānī dalam menḍa’ifkan hadis-hadis?
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, kajian ini akan dibatasi pada kajian
tentang kritik sanad hadis, dengan mengangkat hadis-hadis imam al-Bukhārī dan
imam Muslim yang tercantum pada nomor 1299, 6947, dan 927 dalam kitab
Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-
Ummah karya Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albani.
3. Perumusan Masalah
Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, rumusan masalahnya yaitu:
a. Bagaimana standar al-Albānī dalam menḍa’ifkan hadis-hadis?
b. Mengapa hadis-hadis tersebut tercantum dalam dalam kitab Ṣaḥīḥ al-
Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Skripsi ini merupakan bagian dari kerja penelitian yang dimaksudkan
untuk memberikan jawaban terhadap masalah pokok di atas, yaitu melihat secara
obyektif metodologi yang digunakan oleh al-Albānī dalam menetapkan kualitas
suatu hadis. Dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini meliputi
beberapa hal:
a. Mengetahui kriteria kualitas hadis oleh al-Albānī,
b. Mengkategorikan al-Albānī di antara tiga ciri ulama hadis: muttaṣil,
mu‘tadil, atau mutasyaddid dalam menentukan kualitas hadis.
2. Manfaat
Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat:
a. Menambah khazanah ilmiah kriteria kualitas hadis oleh ulama
kontemporer.
b. Menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para pengkaji hadis.
c. Penelitian ini merupakan kegiatan dalam rangka pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya dalam bidang hadis dan ilmu hadis.
D. Tinjauan Pustaka
Ai Eli Latipah, “Ar-Radd ‘Ala al-Albānī fī Tadh’if Ḥadīts at-Tawassul fī
Kitāb “At-Tawassul Anwā’uhu wa Aḥkāmuhu”, FU/TH, 2016, Skripsi, dalam
penelitian ini penulis mengungkapkan penolakan atau bantahan terhadap al-
Albānī yang mendha‟ifkan salah satu hadis tawassul dalam kitab At-Tawassul
Anwā’uhu wa Aḥkāmuhu dengan mengangkat satu hadis, setelah melakukan
penelitian ini penulis mengambil kesimpulan bahwa al-Albānī mengatakan ḍa‟īf
sanadnya karena ada riwayat dari „Aṭiyah al-„Aufī dari Sa‟id al-Khudrī. Hal ini
disebabkan banyak lupa, tadlis dan fanatik syi‟ah. Namun penulis membantah
pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa status hadis ini sebenarnya adalah
ḥasan.
Umaiyatus Syarifah, “Konsistensi Nāṣir al-Dīn Al-Albānī dalam
Menetapkan Status Hukum Hadis: Telaah Atas Kitab Ḍa’īf Sunnah Al-Nasā’ī,
FU/TH, 2012, skripsi ini mengungkapkan metode ke-dha’ifan hadis yang terdapat
dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Atsarihā fī al-
Sayyi’ al-Ummah.
Andi, Achyar Zein, Ardiansyah, “Manhaj Muḥammad Naṣir al-Dīn Al-
Albānī dalam Mendaifkan Hadis: Telaah Kitab Ḍa’īf al-Adab al-Mufrād”, Al-
Taḥdīts: Journal of Hadits Studies, Vol. 1, no 2, Juli Desember 2017. Dalam
jurnal ini, penulis menganalisa metode dan kritik yang dilakukan oleh al-Albānī
dengan objek kajian kriteria hadis ḍa‟īf menurut al-Albānī.
Mohammad Lutfianto, “Metode Kritik Muḥammad Naṣir al-Dīn Al-Albānī
dalam Kitab Ḍa’īf al-Adab al-Mufrād”, FU/IQTAF, UIN Sunan Ampel 2016,
skripsi ini mengangkat tentang kriteria hadis ḍa’īf dan bagaimana kritik yang
digunakan al-Albānī dalam mengkritik hadis dalam Kitab Ḍa’īf al-Adab al-
Mufrād.
Dari beberapa pembahasan di atas, penulis belum menemukan
pembahasan tentang standar kualitas hadis-hadis keḍa‘īfan al-Albānī.
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis-hadis yang terdapat
dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’
fī al-Ummah karya Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albāni, penulis sepenuhnya
menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research).
b. Metode Pembahasan
Pembahasan ini bersifat deskriptif analisis yaitu melalui pengumpulan data
dan beberapa pendapat ulama dan pakar untuk kemudian diteliti dan dianalisa
sehingga menjadi sebuah kesimpulan.
c. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data berdasarkan pada dua sumber, yaitu pertama sumber
primer, yang dalam penelitian ini adalah kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa
al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah karya Muhammad Nāshir al-
Dīn al-Albānī, Ṣaḥīḥ Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim.
Kedua yaitu sumber sekunder yakni kutub al-tis‘ah, kitab-kitab Rijāl al-
Hadīts, kitab-kitab takhrīj hadis, Maktabah al-Sy‘āmilah, kitab-kitab hadis serta
buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi.
d. Pengolahan dan Analisa Data
Dalam pengolahan data, langkah pertama yang ditempuh adalah
mentakhrīj hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah
wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah untuk menunjukkan sumber
dari hadis yang bersangkutan. Adapun metode takhrīj hadīts yang digunakan
dalam penelitian ini yaitu:
1.) Takhrij dengan mengetahui lafadz pertama dari matan hadis,
menggunakan kitab Mausū’ah Atrāf al-Hadīts al-Nabāwī al- Syarīf karya
Muhammad Sa„īd ibn Basyūnī;
2.) Metode takhrij dengan mengetahui kata-kata yang jarang digunakan dari
suatu bagian matan hadis, menggunakan kitab Mu’jam al-Mufahras li
Alfādz al-Hadīts al-Nabāwī karya A. J. Wensinck.
22
Setelah melalui proses dari kedua metode takhrij di atas, langkah kedua
yaitu menyusun keseluruhan sanad dalam sebuah skema sanad (dengan tujuan
memudahkan pembacaan jaringan sanad hadis yang sedang diteliti).
23
Langkah
ketiga yaitu melakukan kritik sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas ṣaḥīḥ
24
. Adapun dalam
melakukan kritik kesahīhan hadis, menurut al-Nawawi, bahwa yang disebut
sebagai hadis sahīh adalah hadis yang bersambung sanadnya oleh rawi-rawi yang
‘adil dan ḍābit serta terhindar dari syādz dan ‘illat.
25
Dalam kritik sanad hadis, berikut beberapa hal yang akan ditelusuri terkait
periwayat hadis:
1) Mencatat semua nama lengkap periwayat dalam sanad yang diteliti,
mencatat biografi masing-masing periwayat (tahun lahir/wafat, guru dan
murid), dan ṣighat (kata-kata) dalam proses taḥammul wa al-adā’
(menerima dan menyampaikan hadis). Hal ini dilakukan dalam rangka
mengetahui persambungan sanad hadis.
2) Pendapat para ulama hadis berupa penerapan kaidah al-jarḥ wa al-ta’dīl.
Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui ke’adilan dan kedābitan para
periwayat hadis.
26
3) Terkait syarat terhindar dari syādz dan ‘illat, sekiranya unsur sanad
bersambung dan rawi ḍabt telah dilaksanakan dengan semestinya, niscaya
unsur terhindar dari syādz dan ‘illat telah terpenuhi juga.
27
e. Tehnik Penulisan
Dalam penyusunan skripsi ini, digunakan teknik penulisan karya ilmiah
yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat dalam
Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Kecuali untuk transliterasi dimana peneliti menggunakan
pedoman transliterasi Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic)
yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 dari American Library Association
(ALA) dan Librrary Congres (LA).
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembaca dalam memahami gambaran secara
menyeluruh dari skripsi ini, maka akan diuraikan sistematika beserta penjelasan
secara garis besar. Skripsi ini akan dibagi menjadi empat bab yang terdiri dari
beberapa sub-bab. Adapun sistematika penulisannya dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Pertama, Bab Pendahuluan yang merupakan gambaran secara global tentang
pembahasan-pembahasan pada bab-bab selanjutnya. Di dalamnya diuraikan latar
belakang atau alasan terkait tema dan judul yang diangkat. Setelah menguraikan
latar belakang tersebut, masalah dibatasi dan dirumuskan untuk dijawab dalam
karya tulis ini. Penjelasan terkait tujuan dan manfaat penelitian juga menjadi poin
dalam bab ini. Selanjutnya adalah tinjauan pustaka, metode penelitian dan terakhir
sistematika penulisan yang akan disajikan dalam skripsi ini.
Kedua, berisi tentang biografi pengarang kitab yaitu Muhammad Nāshir al-
Dīn al-Albānī dan dibahas pula gambaran seputar kitab Silsilah al-Aḥādīts al-
15
Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah yang menjadi
sumber primer dalam penelitian ini.
Ketiga, dalam bab ini, penulis akan menyuguhkan metode keḍa‘īfan hadis al-
Albānī kemudian mengambil empat sample hadis yang akan dikritik sanad yang
terdapat dalam Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā
al-Sayyi’ fī al-Ummah, meliputi: takhrîj hadis, skema sanad dan kritik sanad.
Keempat, adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan
saran-saran terkait kualitas sanad hadis-hadis dalam Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-
Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah.
Kelima, dicantumkan daftar pustaka yang menjadi sumber referensi dalam
penelitian karya tulis ini.
A. Biografi Muhammad Nāshir al-Dīn Al-Albānī
1. Nasab Keluarga Al-Albānī
Nama syaikh al-Albānī adalah Abū „Abdirrahmān Muhammad Nāṣir al-
Dīn bin Nūḥ al-Albānī, yang lahir pada tahun 1333 H/ 1914 M. Di kota
Ashqudarrah, ibukota Albania (Eropa), sering dipanggil Abū „Abdurrahman.
1
Ayahnya adalah Nūḥ Najātī al-Ḥanāfī merupakan ulama besar dalam madzhab
Ḥanāfī, seorang lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari‟at di ibukota negara
dinasti „Utsmaniyah (kini Istambul). Ketika Raja Ahmad Zakho naik tahta di
Albania dan mengubah total sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler,
Syekh Nūḥ memutuskan untuk berhijrah ke Syām kemudian menuju Damaskus.
2
Di kota Damaskus inilah al-Albānī kecil mulai aktif mempelajari bahasa
Arab. Beliau masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jam„iyyah al-Is‟āf al-
Khairī. Usai tamat Ibtidaiyyah, beliau menuntut ilmu langsung kepada para syekh.
Dari ayahnya ia belajar al-Qur‟an, tilawah, tajwid, dan sekilas fikih madzhab
Hanafī. Selain belajar ilmu-ilmu agama, al-Albānī juga belajar keterampilan unutk
memperbaiki jam dari ayahnya. Karena keahliannya inilah, al-Albānī sebagai
seorang servis jam yang amat masyhur.
3
2. Kehidupan dan Rihlah Ilmiah Al-Albānī
Syaikh al-Albānī dianugerahi kecintaan terhadap ilmu tentang hadis-hadis
Rasulullah Saw. hal ini dapat dilihat dari aktifitas beliau sehari-hari yang sanggup
duduk berjam-jam, keluar-masuk, dan mondar-mandir di perpustakaan al-
Dhahiriyyah di Damaskus untuk menelaah ilmu-ilmu tentang hadis.
Ketertarikan syaikh al-Albānī pada kajian hadis ini dimulai saat ia berusia
20 tahun, berawal dari dijumpainya beberapa edisi majalah al-Manār, beliau
menelaah tulisan Rasyid Ridha dalam mengkritisi kitab Ihya’ ‘Ulūm al-Dīn karya
imam al-Ghazālī dari beberapa segi seperti masalah tasawuf dan hadis-hadis ḍa‘īf
. Persentuhan pertama syaikh al-Albānī dengan hadis dimulai dengan menyalin
dan mengomentari kitab al-Irāqī dengan melakukan takhrīj dan kajian ulang
hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Pada tahap berikutnya,
syaikh al-Albānī mulai mengkritisi karya-karya ulama hadis terkemuka seperti al-
Imām al-Bukhārī, al-Imām Muslim, dan imam kitab empat sunan lainnya. Karya
ilmiahnya dimulai ketika ia menulis hasil kajiannya tentang hadis yang berseri
dalam majalah al-Taḍamun al-Islāmi, tulisan berseri tersebut diberi judul Silsilah
al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah dan
diterbitkan pertama kali oleh al-Maktab al-Islamī pada tahun 1379 H/1958 M.
Kemudaian beliau mempelajari buku Marāqī al-Falāḥ, beberapa buku
hadis dan ilmu balaghah dari Syaikh Sa„īd al-Burhānī. Syaikh al-Albānī tidak
memperoleh ijazah dari guru-gurunya karena beliau memang tidak memintanya.
Ijazah yang beliau peroleh dalam ilmu hadis adalah pemberian dari tokoh ulama
Halab, Syaikh Raghīb al-Ṭabbākh, setelah bertemu dengan syaikh al-Albānī lewat
perantara ustadz Muhammad Mubarak.
6
Syaikh al-Albānī adalah orang yang gemar mencari kebenaran dan seorang
peneliti dalil-dalil, ia sangat jauh dari sifat fanatik, taqlid, bertele-tele atau
meremehkan orang-orang yang sangat hati-hati dengannya. Bahkan syaikh al-
Albānī termasuk orang yang hati-hati terhadap para pendukung akal. Syaikh al-
Albānī juga termasuk orang yang gemar mendakwahkan untuk mengikuti sunnah.
Beliau juga sangat hati-hati dari pendapat-pendapat yang nyeleneh atau dibuat-
buat dan menyimpang dari ijtihad ahlu al-‘ilmi dari kalangan salaf al-shālih.
7
Ketika syaikh al-Albānī ditanya tentang cara beliau memanfaatkan waktu
luang untuk menimba ilmu sekaligus bekerja mereparasi jam dan jual beli jam,
beliau menjawab: “berkat karunia Allah Swt. Profesi sebagai reparasi jam yang
telah kujalani sejak usia muda. Dan aku munyukainya karena profesi ini bebas,
tidak mengganguku untuk menimba ilmu. Aku menyediakan waktu setiap hari
untuk bekerja selain hari Selasa dan Jum‟at, itupun hanya tiga jam saja. Hal ini
sudah mencukupi kebutuhan keluargaku, tentunya dengan amat sederhana”.
Salah satu karya dan jasa syaikh al-Albānī di al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah
adalah memasukkan materi ilmu sanad ke dalam kurikulum bidang studi hadis
yaang diajarkan diperguruan tinggi. Ilmu sanad yang diperkenalkan oleh syaikh
al-Albānī tersebut merupakan kreasi terbaik. Beliau terhitung sebagai orang
pertama di dunia yang memasukkan bidang studi ini dalam kurikulum perguruan
tinggi. Materi ini memberikan pengaruh yang positif setelah beliau meninggalkan
al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah.
Syaikh al-Albānī selalu menyibukkan diri dengan berdakwah, adapun
dakwah beliau juga tak luput dari tantangan. Ia menceritakan ada beberapa
tantangan yang beliau hadapi dari beberapa masyāyīkh hanya karena satu alasan
dan sebab, yaitu fanatik madzhab. Namun sayangnya, perselisihan itu
berkelanjutan dan berkembang menjadi pertengkaran hingga menjurus kepada
hujatan-hujatan.
Kemudian syaikh al-Albānī memilih menetap di Amman, ibukota
Yordania. Dakwah beliau di sana membuahkan hasil dan tersebar ke seluruh
penjuru dunia. Di sinilah beliau memiliki murid yang sangat mencintainya dan
beliau juga mencintai mereka, bila diibaratkan maka seperti tubuh yang satu dan
bangunan yang kokoh saling menguatkan satu sama lainnya. Beberapa
karakteristik syaikh al-Albānī yaitu: tidak jumud dan terus melakukan pembahsan,
luasnya penelitian, kecepatan berpikir dan ketajaman akal, memiliki keahlian
berdebat dan berdialog, selalu tuntas dalam membahas dan meneliti setiap
permasalahan, disiplin dalam memanfaatkan waktu, berusaha untuk tidak
melenceng dari salaf al-ṣāliḥ, merujuk kepada sumber asli kitab-kitab hadis, sabar
dalam menjalani kehidupan dan menuntut ilmu, zuhud, dan masih banyak lagi
karakteristik yang lain.
11
3. Guru-guru dan Murid Al-Albānī
Syaikh Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī pertama kali belajar dengan
ayahnya Syaikh al-Ḥājj Nūḥ al-Najātī, beliau belajar berbagai ilmu dari ayahnya
seperti al- Qur‟an, bahasa Arab dan Fiqih Mazhab Hanafi, serta belajar
memperbaiki jam. Syaikh Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī belajar fiqih
Hanafiyah lebih lanjut dan bahasa Arab dengan Syaikh Sa‟id al-Burhan. Syaikh
al-Albānī bertemu dengan syaikh Ahmad Syakir serta ikut berpartisipasi dalam
diskusi dan penelitian mengenai hadits.
Syaikh al-Albānī memiliki ijazah hadits dari gurunya Syaikh Muhammad
Raghīb at-Thabbākh, yang dari beliau, Syaikh al-Albānī mempelajari ilmu hadits,
dan mendapatkan hak menyampaikan hadits darinya. Syaikh al-Albānī
menjelaskan tentang ijazah beliau pada kitab Mukhtasar al-‘Uluw, hlm. 72, dan
Tahdzīr as-Sajid. Beliau memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjat al-
Baithār, dimana isnad dari Syaikh terhubung ke Imam Ahmad. Keterangan
tersebut terdapat dalam kitab Hayah al-Albani, jilid I, hlm.44, karangan
Muhammad Asy-Syaibani. Ijazah tersebut merupakan bukti bahwa, Syaikh al-
Albānī benar ahli dalam hadits, dapat dipercaya untuk membawakan hadits secara
teliti.
Selain memiliki guru-guru dalam menuntut berbagai disiplin ilmu, Syaikh
al-Albānī juga mempunyai murid-murid yang menimba ilmu kepada beliau.
Didalam kitab Juhūd Syaikh al-Albānī fī al-Hadīts Riwāyah wa Dirāyah,
pengarang Abdurrahman bin Muhammad Ṣalih al-„Aizari, tercantum sebanyak 31
orang murid beliau yang terkenal diantaranya yaitu:
a. Syaikh Hamdi ibn „Abd al-Majīd ibn Ismā‟īl al-Salafī, lahir tahun
1339 H/1921 M. Seorang ahli hadits dari Iraq (Kurdistan) dan dikenal
sebagai pentakhrij al-Mu’jam Al-Kabīr Al- Ṭabrānī, Musnad Asy-
Syihāb Al-Qudaie dan lainnya. Belajar kepada Syaikh al-Albānī dalam
bidang fiqh, tafsir, ilmu hadits, sirah nabawiyah dan lainnya. Syaikh
Hamdi disamping kepada Syaikh al-Albānī, juga belajar kepada
Syaikh Bahjat al-Baithār, Syaikh Abdul Fatah Al-Imam, Syaikh Al-
Fāqī dan lainnya.
b. Syaikh „Alī Hasan al-Hallabī, lahir tahun 1380 H/1960 M di kota
Zarqa, Yordania. Orang yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad
„Abdul Wahhab Marzuq Al-Bannā,“Syaikh al-Albānī adalah Ibn
Taimiyah zaman ini, dan muridnya Syaikh Alī Hasan, Ibn Qayyim
zaman ini”. Beliau bertemu Syaikh al-Albānī pada akhir 1977 M di
Yordania, belajar kepadanya kitab “Isykālāt Al-Bā‘its al-Hadīts” dan
kitab-kitab lainnya mengenai hadits dan ilmu hadits. Beliau memiliki
ijazah hadits dari beberapa ulama seperti Syaikh Badi„uddīn Al- indi,
Syaikh Muhammad Asy-Syanqiṭī dan lainnya.
c. Syaikh Salim Hilālī, beliau adalah Abu Usamah Salim bin „Īed al-
Hilālī dilahirkan pada tahun 1377 H/1957 M, beliau sekarang
berdomisili di Amman, Yordania. Bersama murid-murid syaikh al-
Albānī beliau memiliki banyak guru lain, diantaranya : syaikh Bādī„
22
al-Rasyidi, syaikh Muḥib al-Rasyidi, syaikh „Abdul Ghoffār al-Ḥassan,
syaikh Muhammad Ismā„īl al-Anṣarī.
d. Syaikh Mūsā Naṣr, dilahirkan di perkemahan Balāṭuṭ di Palestina pada
tahun 1374 H. Kemudian beliau menuntut ilmu ke Fakultas al-Qur‟an
Universitas Islam Madinah dan menerima gelar sarjana dalam bidang
“Qiraāt dan „Ulūm al-Qur‟an” pada tahun 1918. Kemudian safar ke
Damaskus di Syām pada pertengahan 70-an dan belajar kepada syaikh
al-Albānī.
e. Syaikh Usamah al-Qūsī al-Ḥajjājī lahir tahun 1373 H/ 1954 M di
Kairo. Diantara guru beliau yang lain adalah syaikh Badi‟uddīn al-
Sindī, syaikh Muqbil ibn Hadī.
f. Dan lain-lain.
14
4. Wafat Al-Albānī
Syaikh al-Albānī wafat bertepatan pada waktu ashar hari Sabtu, 23
Jumadil Akhir 1420 H, penyelenggaraan jenazah dilakukan sesuai dengan yang
telah diwasiatkan, dan jenazahnya dimakamkan dipekuburan yang sederhana di
pinggir jalan sebagaimana yang syaikh al-Albānī inginkan. Sebelum wafat syaikh
al-Albānī memberikan beberapa wasiat, pertama kepada istri-istrinya, anak-
anaknya, teman-temannya dan seluruh orang yang mencintainya jika mendengar
kabar tentang kewafatan beliau hendaknya mendoakannya agar mendapat
maghfirahdan rahmat, jangan meratapi beliau atau menangis hingga bersuara
keras. Kedua, menyegerakan penguburan, dan syaikh al-Albānī meminta agar
yang memandikan jenazahnya adalah al-Akh Izzat Khiddir Abū „Abdillah yaitu
tetangga sekaligus temanku yang tulus dan beliau (al-Akh Izzat Khiddir Abū
„Abdillah) boleh memilih teman untuk membantunya. Ketiga, syaikh al-Albānī
berkata “ pilihlah perkuburan yang paling dekat, agar jangan sampai jenazahku
diangkut dengan kendaraan dan para pengiring menaiki kendaraan mereka untuk
mengiringinya”.
B. Syaikh al-Albānī juga mewasiatkan seluruh isi perpustakaan dengan
mengatakan “aku mewasiatkan seluruh isi perpustakaanku baik yang dicetak,
difotokopi atau masih tertulis dengan tulisan tanganku atau tulisan selainku
agar diberikan kepada perpustakaan al-Jāmi„ah al-Islāmiyah al-Madīnah al-
Munawwarah, dan aku berharap kepada Allah Swt. Semoga dapat bermanfaat
bagi perpustakaan dan bagi para pengurusnya sebagaimana telah memberi
manfaat bagiku dan para penuntut ilmu, semoga keikhlasan dan kesabaran
mereka bermanfaat bagiku ”.
16
B. Pandangan Ulama’ Terhadap Al-Albānī
Pemikiran syaikh al-Albānī yang tertuang dalam karya-karyanya banyak
menuai pro dan kontra, hal tersebut terlihat dari munculnya beberapa karya, baik
yang memuji usaha dan mengakui kredibilitasnya dalam bidang hadis maupun
yang mengkritik pemikiran-pemikirannya. Tidak sedikit ulama yang memberikan
pujian dan dukungan terhadap hasil jerih payahnya yang sangat bernilai dalam
membela hadis-hadis Nabi saw, seperti yang diungkapkan Muhammad al-Amin
al-Syinqīṭī, Muhibbuddīn al- Khatīb dan Muhammad bin Ibrāhīm Alisy bahwa al-
Albānī adalah pengabdi dan menghidupkan sunnah nabi Muhammad Saw. Bahkan
Abdul Azīz bin Bāz dan raja Faisal menjuluki al-Albānī sebagai mujaddid abad
ini.
Berikut ini perkataan Mufti Kerajaan Saudi Arabia terdahulu Syaikh
Muhammad bin Ibrahīm Ālisy syaikh berkata tentang Fadhilah syaikh Al-Albānī:
"Beliau adalah ulama ahli sunnah yang senantiasa membela al-Haq dan
menyerang ahli kebatilan".
Kemudian Yusuf Qardhawi juga mengatakan: “syaikh al-Albānī menurut
pandangan saya adalah seorang ulama hadist yang termasyhur pada zaman kita,
khususnya mengenai takhrīj, tautsīq, dan taḍ‘īf. Namun demikian tidak berarti
bahwa perkataannya dalam menṣaḥīḥkan atau melemahkan suatu hadis
merupakan pamungkas. Sebab kadang-kadang ada pula ulama sekarang yang
berbeda pendapat dengannya dalam penilaian terhadap suatu hadis, tidaklah aneh
jika mereka berbeda pendapat dengan syaikh al-Albānī sebagaimana syaikh al-
Albānī berbeda pendapat dengan para ulama sebelumnya tentang beberapa hadis.
Oleh sebab itu, penetapan syaikh al-Albānī dalam melemahkan atau mensahihkan
suatu hadis bukan merupakan ḥujjah yang qaṭ‘ī dan sebagai kata pemutus”.
Bahkan dapat saya katakan bahwa syaikh al-Albānī melemahkan suatu hadis
dalam suatu kitab, dan mengesahkannya di dalam kitab yang lain”.
19
Adapun ulama yang kontra atas pemikiran-pemikiran syaikh al-Albānī
diantaranya: Ismā„īl al-Anṣārī yag mengkritik fatwa syaikh al-Albānī mengenai
pentaḍ‘īfan shalat tarawih 20 rakaat melalui karyanya Taṣḥīḥ Ḥadīts al-Tarāwīḥ ‘Isyrīn
Raka‘ah wa al-Ra‘dd ‘alā al-Albānī ‘ala Taḍ‘īfih, Abdullah al-Habsyī al-Harārī melalui
karyanya Tabyīn Ḍalālah al-Albānī , dan al-Ghumarī yang menganggap al-Albānī
sebagai ahli bid‟ah melalui karyanya al-Qaul al-Muqnī fi al-Radd ‘alā al-Albānī al-
Mubtadī‘,20 dan Hasan al-Saqqāf yang mengkritisi salah satu karya al-Albānī ḍa’īf al-
Jāmi‘ melalui karyanya Tanāquḍāt al-Albānī al-Wāḍiḥāt.
C. Tinjauan Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa
Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah
1. Latar Belakang Penulisan
Koleksi hadis ḍa„īf dan mauḍū’ karya syaikh al-Albānī yaitu Silsilah al-
Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah dicetak
pertama kali di Maktabah al-Ma‟ārif, Riyādh 1977 M. Kitab tersebut merupakan kitab
hadis yang memuat hadis-hadis ḍa„īf dan mauḍū’ hasil seleksi syaikh al-Albānī atas
beberapa kitab hadis dengan permasalahan yang bereda-beda. Pada awalnya
merupakan tulisan berkala syaikh al-Albānī yang diterbitkan oleh majalah al-
Tamaddun al-Islamī di Amman. Kitab ini terdiri dari 14 jilid yang dicetak dengan
tahun yang berbeda-beda.
Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-
Sayyi’ fī al-Ummah ditulis karena beberapa alasan: pertama: keprihatinan akan
tersebarnya hadis-hadis Mauḍū’ dikalangan umat muslim yang diutarakan dalam
ceramah, artikel dimedia massa, bahkan ditulis dalam karya ilmiah. Penulisan karya ini
ditujukan agar umat Islam tidak terjeremus pada penggunaan hadis-hadis ḍa„īf dan
Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī,
Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa
Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah (al-Riyadh: al-Maktabah al-Ma‟arif, 1992), j. 3, h. 9.
26
mauḍū’ yang disebarkan oleh penceramah ataupun da‟i yang tidak mengetahui
keṣaḥiḥan suatu hadis, dan berharap umat hanya mempergunakan hadis-hadis
ṣaḥiḥ dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.
21
Kedua, dalam rangka memurnikan ajaran Islam. Pada muqaddimah jilid 2
dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-
Ummah ia menulis: “saya hanya berharap, mudah-mudahan usaha saya
menerbitkan buku tentang silsilah ḍa„īf dan mauḍū’ dan Silsilah al-Aḥādīts ṣaḥiḥ
ini dapat menjadi andil dalam rangka memurnikan kembali ajaran Islam.
22
Faktor pendorong lain penyusunan kitab silsilah ḍa„īf wa al-mauḍū’ah
dicetak secara berkelanjutan karena beberapa dialog dan tukar pikiran di antara
para ulama, baik kalangan penulis, maupun mahasiswa diberbagai wilayah Islam
yang mendesaknya untuk mengintensifkan penyebaran ilmu mengenai silsilah
ḍa‘īf dan mauḍū‟.
23
2. Sistematika Penulisan
Judul lengkap kitab syaikh al-Albānī adalah “Silsilah al-Aḥādīts al-
Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah” yang terdiri dari 14
jilid. Dalam proses penulisannya kitab ini mengalami beberapa perubahan
maupun tambahan rincian, penelitian dan kelengkapan lainnya. Kadang-kadang
keputusan yang ditetapkan dalam memvonis suatu hadis mengalami perubahan,
hal ini terjadi setelah diadakan penelitian lebih jauh dan rinci, kemudian ternyata
21
Lihat Albānī, muqaddimah Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa
Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah, h. 1
22
Lihat Albānī, muqaddimah Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa
Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah, h. 1.
23
Lihat Albānī, Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī
al-Ummah, jld 1, h. muqaddimah.
27
didapatkan hadis yang naik derajat kualitasnya menjadi lebih ṣaḥīḥ dan lebih rājih
dan sebaliknya. Misalnya kata ḍa‘īf diganti kata ḍa‘īf jiddan atau sebaliknya, dan
kadang maudhū‘ diganti ḍa‘īf atau sebaliknya. Suatu hal yang biasa terjadi
meskipun jarang.
24
Sistematika penulisan kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-
Mauḍū’ah tidak menggunakan metode abjad atau sesuai aturan abjad, tetapi
ditulis apa adanya sesuai apa yang dianggap perlu. Penyusunan hanya berdasarkan
pada nomor hadis, tidak disusun menurut bab atau tema sebagaimana kitab-kitab
hadis pada umumnya. Kitab ini telah dicetak dan diterbitkan oleh Maktabah al-
Ma‘ārif, Riyādh 1412 H/1992 M, sebanyak 14 jilid, setiap jilid yang memuat
hadis 7162 hadis.
- Kitab jilid 1 memuat 1 sampai 500 hadis,
- Kitab jilid 2 memuat 501 sampai 1000 hadis,
- Kitab jilid 3 memuat 1001 sampai 1500 hadis,
- Kitab jilid 4 memuat 1501 sampai 2000 hadis,
- Kitab jilid 5 memuat 2001 sampai 2500 hadis,
- Kitab jilid 6 memuat 2501 sampai 3000 hadis,
- Kitab jilid 7 memuat 3001 sampai 3500 hadis,
- Kitab jilid 8 memuat 3501 sampai 4000 hadis,
- Kitab jilid 9 memuat 4001 sampai 4500 hadis,
- Kitab jilid 10 memuat 4501 sampai 5000 hadis,
- Kitab jilid 11 memuat 5001 ssampai 5500 hadis,
24
„Abdullāh bin „Abdul „Azīz al-„Uqail, al-Imām al-Albānī: Durūs wa Mawaqif wa ‘Ibr,
h. 6
28
- Kitab jilid 1 memuat 5501 sampai 6000 hadis,
- Kitab jilid 1 memuat 6001 sampai 6500 hadis, dan
- Kitab jilid 1 memuat 6501 sampai 7162.
Pembagian bab sebagaimana terletak pada akhir kitab, dalam penulisannya
belum mengikuti sistem penulisan bab. Secara umum bisa dilihat pada jilid 1-5,
bab yang ada adalah: al-Akhlāq wa al- Bir wa al-ṣilah, al-Adab wa al-Isti‘dzān,
al-Imān wa al-Tauḥīd wa al-Dīn, al-Adzān wa al-Ṣalāḥ wa al-Masājid, al-Buyū‘
wa al-Kasab wa al-Zuhd, al-Taubah wa al-Mawā’īd wa al-Riqāq, al-Janā’iz wa
al-Marādh wa al-Maut, al-Jihād wa al-Ghazw, al-Ḥajj wa al-Umrah wa al-
Ziyārah, al-ḥudūd wa al-Mu’amalāt wa al-Ahkām, al-Zakāt wa al-Sakhā, al-
Khilāfah wa al-Bai’ah wa al-Imārah, al-Zawāj wa Tarbiāt al-Aulād, al-Ṣalāh wa
al- Adzān, al-Sirāh al-Nabawiyah wa al-Yamā’īl al-Muhammadiyah, al-Ṣiyām wa
al- Qiyām, al-Thīb wa al-‘Iyādah, al-Thaharah wa al-Wudhū‘, al-‘Ilm wa al-
Ḥadīts al- Nabawī, al-Fitan wa Asyrāt al-Sa‘ah wa al-Ba’s, Fadhā’il al-Qur’ān
wa al-‘Ād’iyah wa al-Adzkār, al-Libās wa al-Zinah, al-Mubtadā’ wa al-Anbiyā’
wa ‘Ajāib al- Makhluqāt, dan al-Manāqib wa al-Masālib.
25
Ketika al-Albānī ditanya tentang sebagian ahli hadis yang membolehkan
mengamalkan hadis ḍa‘īf yang derajat kelemahannya ringan, beliau menjelaskan
“tidak didapati satu dalilpun yang membolehkan untuk mengamalkan hadis ḍa‘īf
walaupun derajat kelemahannya ringan karena amalan yang tidak berdasarkan
hadis ṣaḥīḥ adalah bid‟ah”.
26
3. Metode dan Dasar Penilaian Hadis
Asal metode dan dasar penilaian hadis dari mana al-Albānī menilai
keḍa‘īfan suatu hadis, yaitu dari dirinya sendiri sebagaimana ia katakan dalam
muqaddimah kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā
al-Sayyi’ fī al-Ummah, dia berkata, “sesungguhnya aku tidak bertaklid kepada
seorangpun dalam menentukan hukum-hukum hadis-hadis tersebut (yang terdapat
dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah). Aku hanya
mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang telah diciptakan oleh ahli hadis. Mereka
menggunakan kaidah-kaidah itu dalam menentukan hukum-hukum hadis, berupa
ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf”.
27
atau dari kritikus periwayat lain. Dalam kitab Silsilah ḍa„īf wa
al-Mauḍū’ah al-Albānī menetapkan kualitas hadis lalu kemudian dikuatkan
dengan pendapat kritikus hadis lain. Seperti berikut ini:
ذكره السيوطي يف " اجلامع الصغري " من رواية أيب نعيم يف " املعرفة " وابن عساكر عن ابن أيب ليلى، ومل يتكلم
ي بشيء، غري أنو قال: رواه ابن مردويو والديلمي، لكن قال شيخ اإلسالم ابن تيمية: ىذا عليو شارحو املناو
حديث كذب، وأقره الذىيب وكفى هبما حجة
“hadis ini mauḍū‘, al-Suyūṭī menulisnya dalam al-Jāmi‟ al-Saghīr riwayat
Abū Nuaim dalam kitab ma’rifat, dan Ibn Asākir dari Abī Laili al-Munāwī tidak
berkomentar selain mengatakan “diriwayatkan oleh ibn Mardawaih” , tetapi Ibn
Taimiyyah berkata: “hadis tersebut adalah dusta belaka. Pernyataan tersebut
disepakati dan ditegaskan oleh al-Dzahabī dalam Mukhtaṣar al-Minhaj, dan
cukuplah keduanya sebagai hujjah.”
28
Redaksi penilaian hadis yang ditetapkan oleh al-Albāni dalam kitab ini
juga bervariasi, yaitu:
a. Redaksi yang secara tegas dalam menghukumi suatu hadis dengan lafadh
ا, باطلموضوع, ال أصل له, ضعيف, منكز, ضعيف جد dan masih banyak yang lain.
b. Redaksi yang menyatakan hadis tidak ditemukan asalnya seperti ال أصل, ال
.ال أصل له عن النبي , ال أصل بهذا اللفظ ,أعزف له أصال, ال أصل له مزفوعا
c. Redaksi yang tidak tegas menyatakan hadis tertentu palsu, seperti ,ال ال يصح
.يثبت
Diantara kriteria yang dirumuskan oleh al-Albānī secara global dalam
kitab ini adalah: “seorang zindik biasa memalsukan lebih dari empat ribu hadis,
bahkan dipastikan dari tiga orang yang dikenal sebagai pemalsu hadis, puluhan
ribu hadis dibuat, ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya hadis palsu,
yaitu: tendensi politik, demi aṣhabiyah (rasialisme), fanatisme mazhab, pengakuan
demi bertaqarrub kepada Allah, dan juga karena kesalahan tak sengaja sebagian
kaum sufi karena ketidak tahuannya”.
29
4. Keunggulan dan keterbatasan kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa
al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah
Sebagai karya manusia, tentu tidak akan terlepas dari kelebihan,
keterbatasan, dan kekurangan. Kelebihan itu terkadang terkait dengan metodologi,
terkadang dengan kontennya, atau terkait dengan hal-hal yang dapat
mempermudah penggunaanya. Sedangkan keterbatasan dan kekurangan kitab
tersebut, ada yang terkait dengan penulisan, pembahasan atau hal lainnya. Adapun
diantara keunggulan kitab ini adalah:
a. Menjelaskan status hadisnya, baik itu ḍa‘īf , ḍa‘īf jiddan, munkar,
Mauḍū’, bāṭil, lā aṣlā lah dan lain-lainnya.
b. Menjelaskan alasan kelemahan atau kepalsuannya, baik yang terkait
dengan sanadnya atau matannya, semisal hadis:
.اد ع ب َّل إ للا ن م د د ز ي مل ر ك نملا و اء ش ح لف ا ن ع و ت ال ص و ه ن ت مل ن م
Hadis tersebut dikomentari oleh al-Albānī dengan mengatakan:
.متنو جهة من وّل إسناده قبل من يصح ّل األلسنة على اشتهاره مع وىو ابطل،
“Hadis yang batil (tidak benar), meskipun sangat masyhur diucapkan, akan
tetapi hadis tersebut tidak sah dari sisi sanadnya dan juga matannya.”
c. Menjelaskan letak hadis tersebut dalam al-kutub al-mutun, semisal hadis
di atas terdapat dalam kitab al-Mu‘jam al-Kabīr karya al-Ṭabārānī, juz.
3, h. 106. Terdapat juga dalam Musnad al-Syihāb karya al-Quḍā„ī, Juz.
2, h. 43, dan begitu seterusnya.
d. Al-Albānī terkadang menjelaskan hadis yang ṣaḥīḥ setelah menghukumi
hadis yang dikaji itu ḍa‘īf. Contonya: رأس الدين النّصيحة (pokok agama
32
adalah nasehat). Hadis ini ḍa‘īf. sedangkan yang al-maḥfūdz (yang
diterima) adalah dengan menggunakan lafal : إنّما الدّين النّصيحة
(sesungguhnya agama itu hanyalah nasihat).
30
Sedangkan keterbatasan kitab tersebut yang terlihat oleh penulis adalah:
5. Dalam penilaiannya, al-Albānī menggunakan kata yang beragam, seperti:
,ضعيف منكز tanpa menjelaskan اليصح ,باطل ,ال أصل له ,موضوع ,ضعيف جدا ,
perbedaan kapasitas dari kata-kata tersebut.
6. Tidak menyusun hadis-hadis tersebut secara bab-bab fiqih, secara
alphabet, atau tema-tema tertentu sehingga tidak membingungkan bagi
pembaca untuk melacak hadis-hadis yang dibutuhkannya.
7. Hadis-hadis yang dikaji al-Albānī tidak dikelompokkan sesuai dengan
status hadisnya, contohnya hadis ḍa‘īf ditempatkan dalam bab khusus,
akan tetapi bercampur dengan kapasitas hadis-hadis Mauḍū’, bāṭil dan
lainnya atau dengan bahasa lain tidak sistematis.
Adapun sumber-sumber hadis yang terdapat dalam kitab Silsilah ḍa„Īf wa
al-Mauḍū’ah, memang secara eksplisit al-Albānī tidak menjelaskan bahwa hadis-
hadis yang diperolehnya bukanlah periwayatan atau juga melakukan perjalanan
pencarian hadis seperti yang dilakukan ulama-ulama‟ sebelumnya yang
menghimpun hadis mauḍū‘.
Al-Albānī menghimpun hadis-hadis ḍa‘īf dan mauḍū‟ melalui seleksi atas
kitab-kitab yang ada diperpustakaan, melalui ceramah, artikel maupun tulisan di
media massa yang kemudian ia teliti. Ia mengatakan: “ kitab ini saya mulai
5. Karya-karya Syaikh al-Albānī
Kesungguhan syaikh al-Albani selama lebih dari enam puluh tahun dalam
menekuni ilmu hadis dan ilmu keislaman lainnya telah membuahkan karya-karya
besar dalam aqidah, hadis, fiqih, manhaj, dakwah dan lainnya. Tercatat kurang
lebih 200 karya mulai dari ukuran kecil, besar, hingga yang berjilid-jilid, baik
yang terbentuk karya pena, takhrīj pada karya orang lain, buku khusus takhrīj
hadis, maupun taḥqīq (penelitian tertentu dari segala macam sisanya), lalu
dituangkan dalam catatan kaki dalam kitab tersebut, sebagiannya lagi belum
sempurna (karena wafat), dan sebagian lagi sudah sempurna namun masih dalam
bentuk manuskrip (belum dicetak dan diterbitkan). Beberapa di antaranya:
32
a. Silsilah al-Aḥādīts al-Ṣaḥīḥaḥ wa Ṣai’un min Fiqhihā wa Fawāiḍihā (9
jilid), karya ini berisikan studi ilmiah terhadap hadis-hadis nabi
Muhammad Saw. untuk dinyatakan ṣaḥīḥ sesuai dengan kaidah
Muṣṭalāḥ al-Hadīts yang telah disepakati oleh ulama hadis sepanjang
zaman, berdasarkan penomoran terakhir dari kitab itu jumlah hadis
yang tertera adalah 4.035 buah hadis.
b. Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa‘Īfah wa al-Mauḍū‘ah wa Atsāruhā fī al-Sayyi’
fī al-Ummah (14 jilid), karya ini berisikan studi ilmiah terhadap hadis-
hadis nabi Muhammad Saw. untuk dinyatakan ḍa‘īf atau mauḍū‘ sesuai
31
Lihat Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah, j. 1, h. 48.
32
Abdurrahman bin Muhammad al-„Aizurī, Juhūd al-Albānī fī al-Hadīts Riwāyatan wa
Dirāyatan (Riyad: Maktabah al-Rushd, 1425 H), 49-90.
34
dengan kaidah Muṣṭalāḥ al-Hadīts yang telah disepakati oleh ulama
hadis sepanjang zaman, rata-rata hadis yang termuat dalam setiap jilid
adalah 500 buah hadis.
c. Irwā’ul Ghalīl (8 jilid), kitab ini berisikan takhrīj atas hadis-hadis
dalam kitab Manār al-Sabīl, berdasarkan penomoran hadis-hadis dalam
kitab terakhir, jumlah hadisnya sebanyak 2.707 buah hadis.
d. Ṣaḥīḥ dan Ḍa‘Īf Jāmi‘ al-Ṣaghīr wa Ziyādatihi, kedua kitab ini
berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan al-Suyūṭi lalu syaikh al-Albānī
memberikan keterangan hukum pada setiap hadis dengan hokum yang
sesuai, yang ṣaḥīḥ berjumlah 8.202 hadis dan yang ḍa‘īf berjumlah
6.452 buah hadis.
e. Ṣaḥīḥ Sunan Abī Dāūd dan Ḍa‘Īf Sunan Abī Dāūd, kedua kitab ini
berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam Abū Dawud lalu al-
Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum
yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf berjumlah total 5.274 buah hadis.
f. Ṣaḥīḥ Sunan al-Tirmīdzī dan Ḍa‘Īf Sunan al-Tirmīdzī, kedua kitab ini
berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Tirmīdzī lalu al-
Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum
yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf, atau yang lainnya, berjumlah total
3.959 buah hadis.
g. Ṣaḥīḥ Sunan al-Nasā’ī dan Ḍa‘Īf Sunan al-Nasā’ī, kedua kitab ini
berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Nasā‟ī lalu al-
Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum
35
yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf, atau yang lainnya, berjumlah total
5.774 buah hadis.
h. Ṣaḥīḥ Sunan Ibnu Mājah dan Ḍa‘Īf Sunan Ibnu Mājah, kedua kitab ini
berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam Ibnu Mājah lalu al-
Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum
yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf, atau yang lainnya, berjumlah total
4.341 buah hadis.
i. Dan lain-lainnya.
36
BAB III
METODE KRITIK HADIS
A. Definisi Kritik Hadis
Kritik secara bahasa dalam bahasa Arab penelitian (kritik) hadis dikenal
dengan naqd al-ḥadīts. Kata naqd sendiri berarti penelitian, analisis, pengecekan,
dan pembedaan. Berdasarkan empat makna ini, kririk hadis berarti penelitian
kualitas hadis, analisis terhadap sanad dan matannya, pengecekan hadis ke dalam
sumber-sumbernya, serta perbedaan antara hadis yang autentik dan yang tidak.
1
Kritik hadis sudah dimulai sejak masa sahabat Nabi Saw. hal ini
membuktikan bahwa upaya menjaga hadis telah dilakukan sejak awal abad
pertama hijriah, sehingga dapat dibedakan antara hadis yang dapat diterima dan
tidak dapat diterima. Hal ini didorong oleh kuatnya pengamalan agama secara
benar dan dalam pandangan mereka, posisi hadis nabi yang yang merupakan
pedoman beragama yang sempurna.
2
B. Metodologi Keshahihan Hadis
1. Kritik Sanad
Setelah melalui proses dari kedua metode takhrij di atas dan semua hadis
telah terkumpul, langkah kedua yaitu menyusun keseluruhan sanad dalam sebuah
skema sanad (dengan tujuan memudahkan pembacaan jaringan sanad hadis yang
sedang diteliti).
3
Langkah ketiga yaitu melakukan kritik sanad hadis, yakni segala
1
Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 275.
2
Abdul Hakim Wahid, Autentisitas Hadis Nabi: Studi Riwayat Nāfi‟ mawlā Ibn „Umar
dalam Kitab al-Ṣaḥīḥain ( Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2017), h. 21.
3
Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Melacak Hadis Nabi Saw.: Cara Cepat Mencari Hadis dari
Manual hingga Digital (Semarang: RaSAIL, 2006), h. 25.
37
syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas
ṣaḥīḥ.
4
Beberapa kriteria keṣaḥīḥan sanad hadis yaitu sebagai berikut:
Dalam melakukan kritik keṣaḥīḥan hadis, Ibn Ṣalāḥ yaitu seoarang ulama
hadis al-Mutaakhirīn memiliki definisi atau pengertian hadis ṣaḥīḥ adalah hadis
yang bersambung sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh perawi yang
adil dan ḍābit sampai akhir sanad, tidak terdapat syādz (kejanggalan) dan „illat
(„illat).
5
menurut al-Nawawi, bahwa yang disebut sebagai hadis ṣaḥīḥ adalah
hadis yang bersambung sanadnya oleh rawi-rawi yang „adil dan ḍābit serta
terhindar dari syādz dan „illat.
6
Berikut ini adalah lima kriteria syarat hadis yaitu:
1. Rawinya bersifat adil, arti adil dalam periwayatan menurut Ibnu al-
Sam„ānī harus memenuhi empat syarat, yaitu:
a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat,
b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan
santun.
c. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan
iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan.
d. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan
dengan dasar syara„.
4
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan
Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 123.
5
M. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan tinajauan
kritis dengan pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 128.
6
Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Melacak Hadis Nabi Saw., h. 26-30, dan lihat Syuhudi Ismail,
Kaidah Kesahihan Sanad, h. 128.
38
2. Ḍābiṭ, yang dimaksud dengan ḍābit adalah orang yang kuat ingatannya,
artinya bahwa ingatannya lebih banyak dari pada lupanya, dan
kebenarannya lebih banyak dari pada kesalahannya.
3. Sanadnya bersambung, yang dimaksud sanadnya bersambung adalah
sanad yang tidak terputus. Dengan kata lain, tiap-tiap rawi saling bertemu
dan menerima langsung dari guru yang memberinya.
Untuk mengetahui bersambung suatu sanad, para muhdditsīn menempuh
langkah-langkah sebagai berikut:
7
1) Mencatat semua nama lengkap periwayat dalam sanad yang diteliti,
mencatat biografi masing-masing periwayat (tahun lahir/wafat, guru dan
murid), dan ṣighat (kata-kata) dalam proses taḥammul wa al-adā‟
(menerima dan menyampaikan hadis). Hal ini dilakukan dalam rangka
mengetahui persambungan sanad hadis.
2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat.
3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antar periwayat yang terdekat dalam
sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa ḥaddatsanā,
ḥaddatsanī, akhbaranā,dan kata-kata lainnya.
4. Tidak ber„illat, „illat hadis adalah suatu penyakit yang samar sehingga
dapat menodai keshahihan hadis tersebut. Dengan kata lain suatu sisipan
yang terdapat pada matan hadis.
5. Terhindar syādz, Syādz adalah kejanggalan suatu hadis terletak pada
adanya perlawanan antara hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbūl
7
Subhi al-Ṣāliḥ, „Ulūm al-Ḥadīts wa Muṣṭalāḥuhu (Beirut: al-Ilm Li al-Malayin, 1997),
h. 145.
39
(yang dapat diterima periwayatannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh
periwayat yang lebih rājih (kuat).
8
Terkait syarat terhindar dari syādz dan „illat, sekiranya unsur sanad
bersambung dan rawi ḍabt telah dilaksanakan dengan semestinya, niscaya unsur
terhindar dari syādz dan „illat telah terpenuhi juga.
9
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis dapat dinyatakan
bersambung jika seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah („adil
ḍabt) dan antara periwayat terdekat sebelumnya benar-benar terjadi hubungan
periwwayatan berdasarkan ketentuan taḥammul wa al-„adā‟.
2. Al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl
a. Pengertian
Al-jarḥ secara bahasa berarti luka yang mengalirkan darah. Menurut istilah
adalah munculnya sifat dalam diri perawi yang menodai sifat „adilnya atau
mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengakibatkan gugur
riwayatnya, lemah riwayatnya, atau bahkan tertolak riwayatnya. Al-ta„dīl menurut
bahasa berarti tawsiyah (menyamakan). Sedang menurut istilah berarti lawan dari
al-jarḥ, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia „adl
atau ḍabt.
10
Ilmu al-jarḥ wa al-ta„dīl adalah „timabangan‟ bagi para rawi hadis. Rawi
yang berat timbangannya, diterima periwayatannya, dan rawi yang ringan
timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui
8
Fatchur Rachman, Ikhtisār Musṭalāḥ al-Ḥadīts (Bandung: al-Ma‟arif, t.th), h. 119-123.
9
Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 177-178.
10
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad
Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 233.
40
periwayat yang dapat diterima hadisnya dan kita dapat membedakannya dengan
periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya.
11
Para ahli hadis mendefinisikan al-jarḥ sebagai menunjukkan sifat-sifat
cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan „adalah atau keḍabtan perawi.
Sedangkan al-ta„dīl adalah kebalikan dari al-jarḥ yaitu menilai bersih terhadap
seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia „adl dan ḍabt.
Mengingat penetapan ṣaḥīḥ dan ḍa„īfnya hadis didasarkan pada beberapa
perkara, antara lain keadilan dan keḍabtan perawi, atau cacatnya keadilan dan
keḍabtan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang
menjelaskan tentang keadilan dan keḍabtan para perawi, yang diambil dari para
imam mu„addil (ahli dalam menetapkan keadilan dan kecacatan seseorang) dan
terpercaya.hal inilah yang dikenal dengan nama al-ta„dil. Adapun al-jarḥ yakni
yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebagian perawi, termasuk keḍabtan
dan hafalan mereka. Yang diambil dari para imam yang tidak memiliki sikap
ta„aṣub (fanatik terhadap suatu golongan).
12
b. Syarat kritikus hadis
Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal-ihwal perawi dan
berusaha menjaga sunnah dengan membedakan antara yang ṣaḥīḥ dan cacat, di
samping menggunakan hidup secara maksimal dan penuh kejujuran, juga
menggunakan hidup mereka secara maksimal dalam bidang tersebut. Mereka
mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-sebab jarḥ. Karena itu, ulama
11
Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis , Penerjemah Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2014), h. 84.
12
Mahmaud Ṭāhan, Ilmu Hadis Praktis, Penerjemah Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2005), h. 193.
41
sependapat atas kewajiban terpenuhnya syarat-syarat itu dalam diri penta‟dil dan
pentajriḥ. Adapun syarat-syarat itu sebagai berikut: (1) „alim, (2) bertakwa (3)
wira„i (4) jujur (5) tidak terkena jarḥ (6) tidak fanatik terhadap sebagian perawi
dan mengerti betul sebab-sebab jarḥ dan „adl.
13
3. Kritik Matan
Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan tidak
dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga juga karena dalam
periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan yaitu secara makna
(riwayah bi al-ma„na). Ulama ahli hadis memang telah menetapkan syarat-syarat
sahnya periwayatan hadis telah mampu memenuhi dengan baik semua ketentuan
itu.
14
Adapun aspek penelitian tentang matan hadis, langkah-langkah sistematis
disuguhkan oleh Syuhudi Ismailsebagai berikut: (1) meneliti matan dengan
melihat dengan melihat kualitas sanadnya, (2) meneliti susunan lafal berbagai
matan yang semakna, (3) meneliti kandungan matan, dan (4) menyimpulkan hasil
penelitian.
15
Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian matan tidak
mesti sejalan dengan hasil penelitian sanad. Karena, penelitian hadis berhubungan
satu dengan yang lainnya yaitu antara unsur-unsur hadis, maka otomatis penelitian
sanad harus diikuti dengan penelitian terhadap matan.
16
13
Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 240.
14
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016), h.
21.
15
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 113.
16
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks ke Konteks, ed.
Shohibul Adib ( Yogyakarta: Kalimedia, 2016), h. 39.
42
Ulama hadis tidak merumuskan tentang urutan penggunaan kaidah
keṣaḥīḥan matan. Penggunaan tolak ukur keṣaḥīḥan matan disesuaikan dengan
masalah yang didapatinya di dalam matan. Menurut al-Dzahabī, tolak ukur
penelitian matan ada empat macam, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan al-
Qur‟an, (2) tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, (3) tidak
bertentangan dengan akal yang sehat, (4) susunan pernyataan menunjukkan sabda
kenabian.
17
C. Kriteria Hadis Berdasarkan Kualitas
Dilihat dari segi kualitasnya, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis
ṣaḥīḥ, ḥasan, dan ḍa„īf. Pembahasan tentang hadis ṣaḥīḥ dan ḥasan mengkaji dua
hadis yang hampir sama, tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis
maqbūl, yaitu dapat diterima sebagai ḥujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat
dari segi persyaratan dan kriteria-kriterianya sama kecuali pada hadis ḥasan, di
mana periwayatnya ada yang kurang hafalannya. Sedang persyaratan lain seperti
ketersambungan snad, keadilan periwayat, bebas syādz, dan „illat tetap sama.
18
1. Hadis Ṣaḥīḥ
Para ahli hadis mendefinisikan hadis ṣaḥīḥ sebagai hadis yang
sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang
yang sama, sampai berakhir kepada Nabi Saw. atau kepada sahabat atau
kepada tabi‟in, bukan hadis yang syādz (janggal), dan terkena „illat (cacat)
yang menyebabkan cacatnya dalam penerimaannya.
19
17
Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 128-129.
18
Idri, Studi Hadis, h. 157.
19
Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Penerjemah Tim Pustaka Firdaus (
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2017), h. 142.
43
Hadis ṣaḥīḥ terbagi menjadi dua,
20
yaitu:
a) ṣaḥīḥ li dzātihi, hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ
sebagaimana telah dijelaskan di atas,
b) ṣaḥīḥ li ghoirihi, hadis ṣaḥīḥ yang kurang memenuhi syarat hadis ṣaḥīḥ
seperti hafalannya kurang sempurna.
Ulama ahli hadis dan para ulama yang pendapatnya dipegangi oleh
kalangan fuqaha‟ dan ahli ushul sepakat bahwa hadis ṣaḥīḥ dapat digunakan
sebagai hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri atau ada rawi
lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan
oleh tiga orang atau lebih, tetapi mencapai derajat mutawatir.
21
2. Hadis Ḥasan
Ulama ahli hadis mendefinisikan hadis ḥasan adalah hadis yang
sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil,yang rendah tingkat
kekuatan daya hafalnya, tidak syādz (janggal), dan tidak ber„illat (cacat). Hal
ini bertepatan dengan pendapat Ibn Ṣalāḥ yang menjelaskan bahwa rawi
hadis ḥasan adalah orang yang dikenal jujur dan dapat dipercaya, tetapi tidak
mencapai tingkatan para perawi hadis ṣaḥīḥ, karena tingkat daya hafalannya
dan akurasinya masih di bawah mereka. Meskipun demikian, derajat rawi
hadis ḥasan berada di atas perawi yang menyendiri dan hadisnya disebut
munkar.
22
Menurut seluruh fuqaha, hadis ḥasan dapat diterima sebagai hujjah
dan diamalkan, demikian pula pendapat kebanyakan para ahli hadis dan ahli
20
Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadis (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, t.t.), h. 123.
21
Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis , h. 244.
22
Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis ,h. 267.
44
ushūl. Karena rendahnya tingkat hafalan tidak mengeluarkan rawi yang
bersngkutan dari jajaran rawi yang mampu menyampaikan hadis
sebagaimana hadis itu ketika didengar. Maksud daripada pemisahan ini
adalah untuk menjelaskan bahwa hadis ḥasan berada pada tingkat terendah
dari hadis ṣaḥīḥ tanpa mencela hafalannya, dan kemungkinan kebenarannya
sangat besar sehingga dapat diterima.
23
3. Hadis Ḍa„Īf
Hadis ḍa„īf menurut bahasa adalah lawan dari qawiy (kuat), kategori
ḍa„īf ada dua macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah, sedangkan yang
dimaksud di sini adalah yang ḍa„īf maknawiyah.
24
Sedangkan hadis ḍa„īf
menurut istilah, Ibn Ṣālah memberikan definisi sebagai hadis yang di
dalamnya tidak terdapat syarat hadis ṣaḥīḥ maupun hadis ḥasan.
25
Istilah ḍa„īf adalah predikat yang umum dan mencakup semua hadis
yang ditolak dengan sebab apapun. Hadis ḍa„īf banyak sekali macamnya, hal
ini desebabkan apabila kita menetapkan Apabila kita menetapkan sua
Para ulama hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari
dua faktor, yaitu dari segi sanad dan segi matan. Dan jenis hadis ḍa„īf sangat
banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara keseluruhan. Maka dari itu,
penulis berusaha untuk memilah menjadi beberapa bagian, yaitu hadis ḍa„īf
berdasarkan terputusnya sanad, dan karena sebab selain sanadnya muttasil.
23
Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis, 268-269.
24
Syaikh Manna‟ al-Qattan, Pengantar Ilmu Hadis, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 129.
25
Nawir Yuslem, „Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 237.
45
a. Hadis ḍa„īf berdasarkan terputusnya sanad
Dalam kaitan keterputusan sanad, Ibn Ḥajar al-Asqalānī membagi hadis
ḍa„īf kepada lima macam
26
, yaitu hadis mu‟allaq, hadis mursal, hadis munqaṭi‟,
hadis mu„ḍal, dan hadis mudallas.
1) Hadis Mursal
Pengertian hadis mursal secara terminologi ialah hadis yang dimarfu�