hadist yang di daifkan 1

Jumat, 07 Maret 2025

hadist yang di daifkan 1




Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai macam pengetahuan. 

Sumber dari pengetahuan tersebut ada dua macam yaitu naqli dan ‘aqli. Dan 

sumber yang sangat otentik bagi umat Islam dalam hal ini adalah al-Qur‟an dan 

hadis nabi. Allah Swt. telah memberikan kepada umat kita para pendahulu yang 

selalu menjada al-Qur‟an dan hadis nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, 

amanah, dan memegang janji. Sebagian di antara mereka mencurahkan 

perhatiannya terhadap al-Qur‟an dan ilmunya yaitu mufassir. Dan sebagian lagi 

memprioritaskan perhatiannya terhadap hadis nabi Muhammad Saw. dan ilmunya, 

mereka adalah para ahli hadis. Mereka juga diperintahkan untuk mengerjakan apa 

yang dibawa oleh nabi dan dilarang untuk mengerjakan semua larangan beliau.1 

sebagaimana Allah Swt. berfirman dalam Surah al-Ḥasyr [59]: 7: 

               ...   

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang 

dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.  

 

Ayat di atas menjelaskan bahwa nabi Muhammad Saw. bertugas 

menjelaskan al-Qur‟an kepada ummatnya dan mewajibkan setiap muslim untuk 

patuh kepada kebijaksanaan dan ketetapan Rasulullah Saw. dalam bidang apapun 

baik yang disebut secara tegas dalam al-Qur‟an maupun dalam hadis ṣaḥīḥ.

2

 Maka 

dari itu hadis berfungsi sebagai penjelas al-Qur‟an dan teladan bagi ummatnya, 

                                                          


hal inilah yang menjadikan pengamalan sebagian besar al-Qur‟an akan 

membutuhkan hadis.

3

  

Hadis memiliki kedudukan yang penting dalam ajaran agama Islam dan 

diyakini sebagai salah satu sumber hukum Islam. Posisi yang strategis inilah yang 

menyebabkan banyak sarjana baik dari kalangan muslim maupun non muslim 

tertarik untuk mengkaji autentitas hadis yang sangat berpengaruh pada 

otoritasnya. Kalangan orientalis yang pertama kali mempersoalkan status hadis 

adalah Alois Sprenger, dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan 

ajaran Muhammad, ia mengkaim bahwa hadis merupakan kumpulan cerita-cerita 

bohong namun menarik.

4

 

   Hadis nabi Muhammad Saw. dalam perjalanan sejarah telah melalui tiga 

kegiatan yang dilakukan oleh muḥadditsīn untuk memelihara dan mengabadikan 

hadis, yaitu menulis, menghimpun, dan membukukannya. Kegiatan pertama sudah 

dilakukan oleh beberapa sahabat Rasulullah Saw. sejak kenabian. Kegiatan kedua 

terjadi pada akhir abad pertama Hijriyah (100 H), yaitu pada masa pemerintahan 

Umar ibn Abdul Aziz. Sementara kegiatan ketiga dimulai oleh al-Imām Mālik ibn 

Anas (97-179 H), yang melahirkan Kitab al-Muwaṭṭa’.

5

 

Pengkajian hadis Nabi Muhammad Saw. tidak hanya menyangkut 

kandungan dan aplikasi petunjuknya saja, tetapi juga dari segi periwayatannya. 

Penelitian terhadap periwayatan hadis menjadi sangat penting karena sebagian 

yang dinyatakan masyarakat adalah pengguna hadis, terutama para muballigh, 

ternyata banyak yang tidak memenuhi standar yang ditetapkan. Bahkan tidak 

                                                          


sedikit jumlah pernyataan yang dikatakan sebagai hadis, namun ternyata setelah 

diteliti sama sekali tidak memenuhi syarat sebagai hadis Karena itulah kesahihan 

hadis sangat diperhatikan.

 

Menurut ahli-ahli hadis, kritik hadis adalah menyeleksi hadis-hadis antara 

yang ṣaḥīḥ  dengan yang ḍa‘īf dan meneliti perawinya apakah yang dipercaya dan 

kuat ingatannya (tsiqah) atau tidak. Menurut Azami, kritik hadis sudah dimulai 

sejak Nabi Muhammad Saw. masih hidup, namun lingkupnya masih sangat 

terbatas dan motifasinya berbeda dengan kritik hadis pada masa-masa 

belakangan.

7

 Secara umum, pemalsuan hadis terjadi pada dekade keempat dari 

hijrah Nabi Muhammad Saw. yaitu dalam masalah politik saling bermusuhan, 

sedang diantara mereka ada yang lemah imannya, sedikit pengetahuan agamanya, 

sehingga mereka mebuat hadis palsu untuk kepentingan kelompoknya. Maka 

sejak saat itu para ahli hadis lebih selektif dalam mendengarkan hadis, dan lebih 

teliti dalam menerima rawi. Pada saat itu, penggunaan sanad itu lebih penting 

dibanding masa sebelumnya. 


Untuk kepentingan penelitian hadis Nabi Muhammad Saw. ini, ulama 

telah menciptakan berbagai kaidah dan ilmu (pengetahuan) hadis. Dengan kaidah 

dan ilmu hadis tersebut ulama mengadakan pembagian kualitas hadis. Ibn 

Khaldun berpendapat bahwa penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama hadis 

hanya terbatas pada penelitian sanad saja. Disamping itu, pendapat tersebut 

disanggah secara tidak langsung oleh beberapa ulama lainnya misalnya Musṭafā 

                                                          


al-Sibā‟ī, Muhammad Abū Syuhbah, dan Nur al-Dīn „Itr dengan menyatakan 

ulama hadis dalam meneliti hadis Nabi Muhammad Saw. sama sekali tidak 

mengabaikan penelitian matn. hal ini terbukti pada kaidah keṣaḥiḥan hadis yang 

menyatakan bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh hadis yang berkualitas ṣaḥīḥ 

ialah matan dan sanad harus terhindar dari kejanggalan (syādz) dan cacat (‘illat) 

sebagaimana telah ditetapkan oleh ulama hadis.

 Ibn Ṣalāḥ berpendapat bahwa syarat hadis dinilai ṣaḥīḥ apabila memenuhi 

lima syarat sebagaimana telah menetapkan ulama muhadditsīn. Namun apabila 

ada perselisihan tentang keṣaḥīḥ an suatu hadis, bukanlah karena syarat-syarat itu 

sendiri melainkan karena adanya perselisihan dalam menetapkan terwujud atau 

tidaknya sifat-sifat tersebut. Misalnya  Abī Zinād mensyaratkan bagi hadis ṣaḥīḥ 

hendaknya perawi memiliki ketenaran dan keahlian dalam berusaha dan 

menyampaikan hadis. Ibn al-Sam‟ānī juga menyatakan bahwa kriteria hadis sahih 

tidak cukup hanya diriwayatkan oleh rawi yang tsiqah (adil dan ḍabit) saja, tetapi 

juga harus diriwayatkan oleh orang yang paham benar terhadap apa yang 

diriwayatkan. Di samping itu, Imam Ibnu Hajar al-Asqalānī tidak sependapat 

dengan  tentang ketentuan syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ sebagaiman yang telah 

diutarakan oleh uama-ulama tersebut, sebab syarat-syarat sebagaimana 

dikemukakan oleh Abī Zinād telah tercakup dalam persyaratan  ḍabit, sedangkan 

syarat yang dikemukakan oleh Ibn al- Sam‟ānī juga sudah termasuk dalam syarat 

“tidak ber’illat”.


 Amat banyak ulama‟ yang bertakwa dan bertanggung jawab dan sangat 

teliti dalam memelihara sunnah nabi Muhammad Saw. cara-cara mereka untuk 

menyaring sanad-sanad hadis sungguh merupakan hal yang sangat terpuji dan 

layak untuk dikagumi oleh siapa saja. Dan di samping mereka, banyak pula para 

ahli yang meneliti matan-matan hadis kemudian memisahkan mana yang dinilai 

syādz atau bercacat.

Dalam perkembangannya, usaha kritik hadis yang dilakukan ulama hadis 

masa kontemporer ini dilakukan dengan menelaah kembali terhadap kitab-kitab 

yang telah selesai dibukukan. Seperti yang dilakukan oleh ahli hadis semisal 

Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albani, „Abdul Qadir al-Arnauth, Ṭāhā al-Ulwānī 

dan ulama hadis kontemporer lainnya. Ulama hadis masa kontemporer ini biasa 

meneliti ulang hadis-hadis yang telah tersebar dalam kitab-kitab penting yang 

menjadi rujukan umat, dengan menentukan kualitas dari hadis-hadis yang 

dijadikan hujjah.

12

 Salah satu ulama hadis yang akan menjadi objek kajian pada 

penelitian ini adalah Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albānī 

 Sebagai seorang muslim, al-Albānī mengabdikan sebagian besar hidupnya 

untuk meneliti secara mendalami hadis nabi Muhammad Saw. al-Albānī telah 

meneliti sejumlah kitab hadis, termasuk Shahīh al-Bukhārī, Shahīh Muslim, 

Sunan at-Tirmīdzī, Abū Dāūd, al-Nasā‟ī dan ibn Mājah. Sebagai sarjana 

produktif, ia telah menulis 117 buku, diantaranya: Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah 

wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah, al-Tawassul Anwā’uhu wa 

Aḥkāmuhu, Taḥdzīr al-Sājid min ittiḥādz al-Qubūr masājid. Dalam karya-karya 

ini, al-Albānī telah mengidentifikasi 990 hadis yang dianggap autentik oleh 

                                                          

mayoritas sarjana muslim, namun oleh al-Albānī dianggap lemah. Al-Albānī 

menyatakan lemah (taḍ’īf) sejumlah hadis yang terdapat dalam Ṣaḥīḥ al-Bukhārī 

dan Ṣaḥīḥ Muslim, salah satu koleksi kitab hadis yang paling bergengsi itu 

menuai sejumlah kritikan tajam terhadapnya. Di antaranya; Tanāquḍāt al-Albānī 

al-Waḍīḥāt oleh Ḥasan bin „Ali as-Saqqaf, al-Ta’rīf bi Auhām man Qassama al-

Sunan Ilā Ṣaḥīḥ wa Ḍa’īf oleh Mahmud Said Mamduh, Tabyīn ḍalālah al-Albānī, 

Syaikh al-Wahhabiyyah al-Mutamaḥdits oleh „Abdullah al-Harrārī, dan masih 

banyak yang lainnya.

13

  

Menurut al-Albānī, dari sekian banyak hadis-hadis yang termuat dalam 

kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim ternyata tidak semua hadisnya 

berkualitas ṣaḥīḥ. Banyak terdapat hadis ḥasan dan ḍa’īf  yang tercantum dalam 

kitab-kitab tersebut. Kenyataan ini menimbulkan banyak pertanyaan bagi para 

kritikus hadis, karena pengarang dari kitab ini merupakan tokoh hadis besar yang 

terkenal dan selektif dalam periwayatan hadis.


 Seperti hadis  al-Imām al-

Bukhārī berikut ini:  

ثَ َنا َعْبُد الرَّْْحَِن ْبُن َعْبِد اَّللَِّ يَ ْعِن اْبنَ  َع َأََب النَّْضِر، َحدَّ َثِِن َعْبُد اَّللَِّ ْبُن ُمِنرٍي، َسَِ ، َحدَّ ٍٍ ِِيَنا  

ٍِْضَواِن اَّللَِّ ََل قَاَل:  َعْن أَبِيِه، َعْن َأِب َصاِلٍح، َعْن َأِب ُهَريْ رََة، َعِن النَِّبِّ  ِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم َِبْلَكِلَمِة ِمْن 

                                                          


 

ٍََجاٍت، َوِإنَّ اْلَعْبَد لَيَ َتَكلَُّم َِبْلَكِلَمِة ِمْن َسَخِط اَّللَِّ ََل  َِ ، يَ ْرفَ ُعُه اَّللَُّ ِِبَا  ، يُ ْلِقي ََلَا ََبَلا  يُ ْلِقي ََلَا ََبَلا

 يَ ْهِوي ِِبَا ِف َجَهنَّمَ 

15

 

“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Munir dia mendengar 

Abu An Nadlr telah menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Abdullah yaitu 

Ibnu Dinar dari Ayahnya dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dari Nabi Saw. 

beliau bersabda: “Sesungguhnya ada hamba yang pasti mengucapkan kalimat di 

antara yang diridlai Allah, yang tidak dihayatinya, yang karenanya Allah 

meninggikan beberapa derajat. Dan sesungguhnya, ada hamba yang pasti 

mengucapkan kalimat yang dibenci oleh Allah, yang tidak dihayatinya, yang 

karenanya dia terjerumus ke dalam neraka Jahannam .”

16

 (HR. Imam al-Bukhārī

 

Al-Albānī mengatakan bahwa hadis di atas adalah hadis ḍa’īf dengan 

menjelaskan dua ‘illat di dalam sanadnya.

17

Selain al-Imām al-Bukhārī, al-Albānī 

juga men-dha‟ifkan hadis yang diriwayatkan oleh al-Imām  Muslim, yaitu: 

ثَ َنا ُعَمُر ْبُن َْحْزََة َأخْ  ٍِيَّ َحدَّ ثَ َنا َمْرَواُن يَ ْعِِن اْلَفزَا ٍِ ْبُن اْلَعََلِء َحدَّ َثِِن َعْبُد اْْلَبَّا بَ َرِن أَبُو َحدَّ

ٍَُسوُل اَّللَِّ  َع َأََب ُهَريْ رََة يَ ُقوَُل قَاَل  َصلَّى اَّللَُّ َعَلْيِه َوَسلََّم ََل َيْشَرَبنَّ َأَحٌد ِمْنُكْم َغطََفاَن اْلُمّرِيُّ أَنَُّه َسَِ

ا َفَمْن َنِسَي فَ ْلَيْسَتِقئْ   18قَائِما

“Abdul Jabbar bin Al-„Alā‟ telah menceritakan kepadaku, telah 

menceritakan kepada kami Marwan yaitu Al-Fazāri, telah menceritakan kepada 

kami „Umar bin Hamzah; telah mengabarkan kepadaku Abu Ghathafan Al Murri 

                                                          


bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. bersabda: 

“Janganlah salah seorang dari kalian minum sambil berdiri, apabila dia lupa maka 

hendaklah  ia memuntahkanya”.


  

Al-Albānī menyatakan bahwa hadis di atas sebagai hadis munkar bihādzā 

al-lafdz.

 Telah diakui oleh jumhur ulama, bahwa karya Imam al-Bukhārī adalah 

seṣaḥīḥ-ṣaḥīḥ kitab hadis dan sebesar-besar pemberi faedah, sedang  Imam 

Muslim adalah periwayat yang secermat-cermat isnadnya dan sekurang-kurang 

perulangannya, sebab sebuah hadis yang telah beliau letakkan pada satu tema, 

tidak lagi ditaruh di bab lain.

21

  

Dari latar belakang di atas, penulis bermaksud untuk meneliti ke-ḍa‘īfan 

hadis-hadis yang terdapat dalam Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-

Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah dari segi sanad. Oleh karena itu, 

judul yang diangkat untuk penelitian ini adalah “Studi Kritik Sanad Hadis-hadis 

yang Diḍa’ifkan Oleh Muhammad Nāshir Al-Dīn Al-Albānī” 

B. Permasalahan 

1. Identifikasi Masalah 

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah sebagai 

berikut: 

a. Apakah al-Albānī mengkritik kriteria hadis ḍa‘īf pada kitab-kitab 

pokok? 

b. Apakah al-Albānī mengkritik kriteria hadis mauḍū‘ pada kitab-kitab 

pokok? 

                                                          


c. Pembaharuan apa yang dilakukan al-Albānī dalam memberikan 

kriteria hadis ḍa‘īf dan mauḍū‘? 

d. Bagaimana standar al-Albānī dalam menḍa’ifkan hadis-hadis? 

2. Pembatasan Masalah 

Berdasarkan identifikasi di atas, kajian ini akan dibatasi pada kajian 

tentang kritik sanad hadis, dengan mengangkat hadis-hadis imam al-Bukhārī dan 

imam Muslim yang tercantum pada nomor  1299, 6947, dan 927 dalam kitab 

Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-

Ummah karya Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albani.  

3. Perumusan Masalah 

Sehubungan dengan pembatasan masalah di atas, rumusan masalahnya yaitu: 

a. Bagaimana standar al-Albānī dalam menḍa’ifkan hadis-hadis? 

b. Mengapa hadis-hadis tersebut tercantum dalam dalam kitab Ṣaḥīḥ al-

Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim? 

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 

1. Tujuan Penelitian 

Skripsi ini merupakan bagian dari kerja penelitian yang dimaksudkan 

untuk memberikan jawaban terhadap masalah pokok di atas, yaitu melihat secara 

obyektif metodologi yang digunakan oleh al-Albānī dalam menetapkan kualitas 

suatu hadis. Dari permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini meliputi 

beberapa hal: 

a. Mengetahui kriteria kualitas hadis oleh al-Albānī, 

b. Mengkategorikan al-Albānī di antara tiga ciri ulama hadis: muttaṣil, 

mu‘tadil, atau mutasyaddid dalam menentukan kualitas hadis. 


2. Manfaat 

Adapun penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: 

a. Menambah khazanah ilmiah kriteria kualitas hadis oleh ulama 

kontemporer. 

b. Menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para pengkaji hadis. 

c. Penelitian ini merupakan kegiatan dalam rangka pengembangan ilmu 

pengetahuan, khususnya dalam bidang hadis dan ilmu hadis.  

D. Tinjauan Pustaka 

Ai Eli Latipah, “Ar-Radd ‘Ala al-Albānī fī Tadh’if Ḥadīts at-Tawassul fī 

Kitāb “At-Tawassul Anwā’uhu wa Aḥkāmuhu”, FU/TH, 2016, Skripsi, dalam 

penelitian ini penulis mengungkapkan penolakan atau bantahan terhadap al-

Albānī yang mendha‟ifkan salah satu hadis tawassul dalam kitab At-Tawassul 

Anwā’uhu wa Aḥkāmuhu dengan mengangkat satu hadis,  setelah melakukan 

penelitian ini penulis mengambil kesimpulan bahwa al-Albānī mengatakan ḍa‟īf 

sanadnya karena ada riwayat dari „Aṭiyah al-„Aufī dari Sa‟id al-Khudrī. Hal ini 

disebabkan banyak lupa, tadlis dan fanatik syi‟ah. Namun penulis membantah 

pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa status hadis ini sebenarnya adalah 

ḥasan.  

Umaiyatus Syarifah, “Konsistensi Nāṣir al-Dīn Al-Albānī dalam 

Menetapkan Status Hukum Hadis: Telaah Atas Kitab Ḍa’īf Sunnah Al-Nasā’ī, 

FU/TH, 2012, skripsi ini mengungkapkan metode ke-dha’ifan hadis yang terdapat 

dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Atsarihā fī al-

Sayyi’ al-Ummah. 


 

 

Andi, Achyar Zein, Ardiansyah, “Manhaj Muḥammad Naṣir al-Dīn Al-

Albānī dalam Mendaifkan Hadis: Telaah Kitab Ḍa’īf al-Adab al-Mufrād”, Al-

Taḥdīts: Journal of Hadits Studies, Vol. 1, no 2, Juli Desember 2017. Dalam 

jurnal ini, penulis menganalisa metode dan kritik yang dilakukan oleh al-Albānī 

dengan objek kajian kriteria hadis ḍa‟īf menurut al-Albānī. 

Mohammad Lutfianto, “Metode Kritik Muḥammad Naṣir al-Dīn Al-Albānī 

dalam Kitab  Ḍa’īf al-Adab al-Mufrād”, FU/IQTAF, UIN Sunan Ampel 2016, 

skripsi ini mengangkat tentang kriteria hadis ḍa’īf  dan bagaimana kritik yang 

digunakan al-Albānī dalam mengkritik hadis dalam Kitab  Ḍa’īf al-Adab al-

Mufrād.  

Dari beberapa pembahasan di atas, penulis belum menemukan 

pembahasan tentang standar kualitas hadis-hadis keḍa‘īfan al-Albānī. 

E. Metodologi Penelitian 

1. Metode Penelitian 

a. Jenis Penelitian 

Dalam melakukan pengkajian dan penelitian hadis-hadis yang terdapat 

dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ 

fī al-Ummah karya Muhammad Nāshir al-Dīn al-Albāni, penulis sepenuhnya 

menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research). 

b. Metode Pembahasan 

Pembahasan ini bersifat deskriptif analisis yaitu melalui pengumpulan data 

dan beberapa pendapat ulama dan pakar untuk kemudian diteliti dan dianalisa 

sehingga menjadi sebuah kesimpulan. 

 

 

 

c. Metode Pengumpulan Data  

Pengumpulan data berdasarkan pada dua sumber, yaitu pertama sumber 

primer, yang dalam penelitian ini adalah kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa 

al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah karya Muhammad Nāshir al-

Dīn al-Albānī, Ṣaḥīḥ Bukhārī dan Ṣaḥīḥ Muslim.  

Kedua yaitu sumber sekunder yakni kutub al-tis‘ah, kitab-kitab Rijāl al-

Hadīts, kitab-kitab takhrīj hadis, Maktabah al-Sy‘āmilah, kitab-kitab hadis serta 

buku-buku yang berkaitan dengan judul skripsi. 

d. Pengolahan dan Analisa Data 

Dalam pengolahan data, langkah pertama yang ditempuh adalah 

mentakhrīj hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah 

wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah untuk menunjukkan sumber 

dari hadis yang bersangkutan. Adapun metode takhrīj hadīts yang digunakan 

dalam penelitian ini yaitu: 

1.) Takhrij dengan mengetahui lafadz pertama dari matan hadis, 

menggunakan kitab Mausū’ah Atrāf al-Hadīts al-Nabāwī al- Syarīf  karya 

Muhammad Sa„īd ibn Basyūnī; 

2.) Metode takhrij dengan mengetahui kata-kata yang jarang digunakan dari 

suatu bagian matan hadis, menggunakan kitab  Mu’jam al-Mufahras li 

Alfādz al-Hadīts al-Nabāwī karya A. J. Wensinck.

22

 

Setelah melalui proses dari kedua metode takhrij di atas, langkah kedua 

yaitu menyusun keseluruhan sanad dalam sebuah skema sanad (dengan tujuan 

                                                          


 

memudahkan pembacaan jaringan sanad hadis yang sedang diteliti).

23

 Langkah 

ketiga yaitu melakukan kritik sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang 

harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas ṣaḥīḥ

24

. Adapun dalam 

melakukan kritik kesahīhan hadis, menurut al-Nawawi, bahwa yang disebut 

sebagai hadis sahīh adalah hadis yang bersambung sanadnya oleh rawi-rawi yang 

‘adil dan ḍābit serta terhindar dari syādz dan ‘illat.

25

 

Dalam kritik sanad hadis, berikut beberapa hal yang akan ditelusuri terkait 

periwayat hadis: 

1) Mencatat semua nama lengkap periwayat dalam sanad yang diteliti, 

mencatat biografi masing-masing periwayat (tahun lahir/wafat, guru dan 

murid), dan ṣighat (kata-kata) dalam proses taḥammul wa al-adā’  

(menerima dan menyampaikan hadis). Hal ini dilakukan dalam rangka 

mengetahui persambungan sanad hadis. 

2) Pendapat para ulama hadis berupa penerapan kaidah al-jarḥ wa al-ta’dīl. 

Hal ini dilakukan dalam rangka mengetahui ke’adilan dan kedābitan para 

periwayat hadis.

26

 

3) Terkait syarat terhindar dari syādz dan ‘illat, sekiranya unsur sanad 

bersambung dan rawi ḍabt telah dilaksanakan dengan semestinya, niscaya 

unsur terhindar dari syādz dan ‘illat telah terpenuhi juga.

27

 

 

 

 

 

e. Tehnik Penulisan 

Dalam penyusunan skripsi ini, digunakan teknik penulisan karya ilmiah 

yang berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang terdapat dalam 

Buku Pedoman Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif 

Hidayatullah Jakarta. Kecuali untuk transliterasi dimana peneliti menggunakan 

pedoman transliterasi Romanisasi Standar Bahasa Arab (Romanization of Arabic) 

yang pertama kali diterbitkan tahun 1991 dari American Library Association 

(ALA) dan Librrary Congres (LA).  

F. Sistematika Penulisan 

Untuk memudahkan pembaca dalam memahami gambaran secara 

menyeluruh dari skripsi ini, maka akan diuraikan sistematika beserta penjelasan 

secara garis besar. Skripsi ini akan dibagi menjadi empat bab yang terdiri dari 

beberapa sub-bab. Adapun sistematika penulisannya dapat dijelaskan sebagai 

berikut: 

Pertama, Bab Pendahuluan yang merupakan gambaran secara global tentang 

pembahasan-pembahasan pada bab-bab selanjutnya. Di dalamnya diuraikan latar 

belakang atau alasan terkait tema dan judul yang diangkat. Setelah menguraikan 

latar belakang tersebut, masalah dibatasi dan dirumuskan untuk dijawab dalam 

karya tulis ini. Penjelasan terkait tujuan dan manfaat penelitian juga menjadi poin 

dalam bab ini. Selanjutnya adalah tinjauan pustaka, metode penelitian dan terakhir 

sistematika penulisan yang akan disajikan dalam skripsi ini. 

Kedua, berisi tentang biografi pengarang kitab yaitu Muhammad Nāshir al-

Dīn al-Albānī dan dibahas pula gambaran seputar kitab Silsilah al-Aḥādīts al-

15 

 

 

Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah yang menjadi 

sumber primer dalam penelitian ini.  

Ketiga, dalam bab ini, penulis akan menyuguhkan metode keḍa‘īfan hadis al-

Albānī kemudian mengambil empat sample hadis yang akan dikritik sanad yang 

terdapat dalam Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā 

al-Sayyi’ fī al-Ummah, meliputi: takhrîj hadis, skema sanad dan kritik sanad. 

Keempat, adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan 

saran-saran terkait kualitas sanad hadis-hadis dalam Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-

Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah. 

Kelima, dicantumkan daftar pustaka yang menjadi sumber referensi dalam 

penelitian karya tulis ini. 

 

 

 

A. Biografi Muhammad Nāshir al-Dīn Al-Albānī   

1. Nasab Keluarga Al-Albānī   

Nama syaikh al-Albānī  adalah Abū „Abdirrahmān Muhammad Nāṣir al-

Dīn bin Nūḥ al-Albānī, yang lahir pada tahun 1333 H/ 1914 M. Di kota 

Ashqudarrah, ibukota Albania (Eropa), sering dipanggil Abū „Abdurrahman.

1

 

Ayahnya adalah Nūḥ Najātī al-Ḥanāfī merupakan ulama besar dalam madzhab 

Ḥanāfī, seorang lulusan lembaga pendidikan ilmu-ilmu syari‟at di ibukota negara 

dinasti „Utsmaniyah (kini Istambul). Ketika Raja Ahmad Zakho naik tahta di 

Albania dan mengubah total sistem pemerintahan menjadi pemerintah sekuler, 

Syekh Nūḥ memutuskan untuk berhijrah ke Syām kemudian menuju Damaskus.

2

 

Di kota Damaskus inilah al-Albānī kecil mulai aktif mempelajari bahasa 

Arab. Beliau masuk sekolah madrasah yang dikelola oleh Jam„iyyah al-Is‟āf al-

Khairī. Usai tamat Ibtidaiyyah, beliau menuntut ilmu langsung kepada para syekh. 

Dari ayahnya ia belajar al-Qur‟an, tilawah, tajwid, dan sekilas fikih madzhab 

Hanafī. Selain belajar ilmu-ilmu agama, al-Albānī juga belajar keterampilan unutk 

memperbaiki jam dari ayahnya. Karena keahliannya inilah, al-Albānī sebagai 

seorang servis jam yang amat masyhur.

3

 

 

                                                          

2. Kehidupan dan Rihlah Ilmiah Al-Albānī   

Syaikh al-Albānī dianugerahi kecintaan terhadap ilmu tentang hadis-hadis 

Rasulullah Saw. hal ini dapat dilihat dari aktifitas beliau sehari-hari yang sanggup 

duduk berjam-jam, keluar-masuk, dan mondar-mandir di perpustakaan al-

Dhahiriyyah di Damaskus untuk menelaah ilmu-ilmu tentang hadis.


Ketertarikan syaikh al-Albānī pada kajian hadis ini dimulai saat ia berusia 

20 tahun, berawal dari dijumpainya beberapa edisi majalah al-Manār, beliau 

menelaah tulisan Rasyid Ridha dalam mengkritisi kitab Ihya’ ‘Ulūm al-Dīn karya 

imam al-Ghazālī dari beberapa segi seperti masalah tasawuf dan hadis-hadis ḍa‘īf 

. Persentuhan pertama syaikh al-Albānī dengan hadis dimulai dengan menyalin 

dan mengomentari kitab al-Irāqī dengan melakukan takhrīj dan kajian ulang 

hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn. Pada tahap berikutnya, 

syaikh al-Albānī mulai mengkritisi karya-karya ulama hadis terkemuka seperti al-

Imām al-Bukhārī, al-Imām Muslim, dan imam kitab empat sunan lainnya. Karya 

ilmiahnya dimulai ketika ia menulis hasil kajiannya tentang hadis yang berseri 

dalam majalah al-Taḍamun al-Islāmi, tulisan berseri tersebut diberi judul Silsilah 

al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah dan 

diterbitkan pertama kali oleh al-Maktab al-Islamī pada tahun 1379 H/1958 M.

Kemudaian beliau mempelajari buku Marāqī al-Falāḥ, beberapa buku 

hadis dan ilmu balaghah dari Syaikh Sa„īd al-Burhānī. Syaikh al-Albānī tidak 

memperoleh ijazah dari guru-gurunya karena beliau memang tidak memintanya. 

                                                         

 

Ijazah yang beliau peroleh dalam ilmu hadis adalah pemberian dari tokoh ulama 

Halab, Syaikh Raghīb al-Ṭabbākh, setelah bertemu dengan syaikh al-Albānī lewat 

perantara ustadz Muhammad Mubarak.

6

 

Syaikh al-Albānī adalah orang yang gemar mencari kebenaran dan seorang 

peneliti dalil-dalil, ia sangat jauh dari sifat fanatik, taqlid, bertele-tele atau 

meremehkan orang-orang yang sangat hati-hati dengannya. Bahkan syaikh al-

Albānī termasuk orang yang hati-hati terhadap para pendukung akal. Syaikh al-

Albānī juga termasuk orang yang gemar mendakwahkan untuk mengikuti sunnah. 

Beliau juga sangat hati-hati dari pendapat-pendapat yang nyeleneh atau dibuat-

buat dan menyimpang dari ijtihad ahlu al-‘ilmi dari kalangan salaf al-shālih.

7

 

Ketika syaikh al-Albānī ditanya tentang cara beliau memanfaatkan waktu 

luang untuk menimba ilmu sekaligus bekerja mereparasi jam dan jual beli jam, 

beliau menjawab: “berkat karunia Allah Swt. Profesi sebagai reparasi jam yang 

telah kujalani sejak usia muda. Dan aku munyukainya karena profesi ini bebas, 

tidak mengganguku untuk menimba ilmu. Aku menyediakan waktu setiap hari 

untuk bekerja selain hari Selasa dan Jum‟at, itupun hanya tiga jam saja. Hal ini 

sudah mencukupi kebutuhan keluargaku, tentunya dengan amat sederhana”.


Salah satu karya dan jasa syaikh al-Albānī di al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah 

adalah memasukkan materi ilmu sanad ke dalam kurikulum bidang studi hadis 

yaang diajarkan diperguruan tinggi. Ilmu sanad yang diperkenalkan oleh syaikh 

al-Albānī tersebut merupakan kreasi terbaik. Beliau terhitung sebagai orang 

                                                          


pertama di dunia yang memasukkan bidang studi ini dalam kurikulum perguruan 

tinggi. Materi ini memberikan pengaruh yang positif setelah beliau meninggalkan 

al-Jāmi„ah al-Islāmiyyah.


Syaikh al-Albānī selalu menyibukkan diri dengan berdakwah, adapun 

dakwah beliau juga tak luput dari tantangan. Ia menceritakan ada beberapa 

tantangan yang beliau hadapi dari beberapa masyāyīkh hanya karena satu alasan 

dan sebab, yaitu fanatik madzhab. Namun sayangnya, perselisihan itu 

berkelanjutan dan berkembang menjadi pertengkaran hingga menjurus kepada 

hujatan-hujatan.


Kemudian syaikh al-Albānī memilih menetap di Amman, ibukota 

Yordania. Dakwah beliau di sana membuahkan hasil dan tersebar ke seluruh 

penjuru dunia. Di sinilah beliau memiliki murid yang sangat mencintainya dan 

beliau juga mencintai mereka, bila diibaratkan maka seperti tubuh yang satu dan 

bangunan yang kokoh saling menguatkan satu sama lainnya. Beberapa 

karakteristik syaikh al-Albānī yaitu: tidak jumud dan terus melakukan pembahsan, 

luasnya penelitian, kecepatan berpikir dan ketajaman akal, memiliki keahlian 

berdebat dan berdialog, selalu tuntas dalam membahas dan meneliti setiap 

permasalahan, disiplin dalam memanfaatkan waktu, berusaha untuk tidak 

melenceng dari salaf al-ṣāliḥ, merujuk kepada sumber asli kitab-kitab hadis, sabar 

dalam menjalani kehidupan dan menuntut ilmu, zuhud, dan masih banyak lagi 

karakteristik yang lain.

11

 

                                                          


3. Guru-guru dan Murid Al-Albānī   

Syaikh Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī pertama kali belajar dengan 

ayahnya Syaikh al-Ḥājj Nūḥ al-Najātī, beliau belajar berbagai ilmu dari ayahnya 

seperti al- Qur‟an, bahasa Arab dan Fiqih Mazhab Hanafi, serta belajar 

memperbaiki jam. Syaikh Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī belajar fiqih 

Hanafiyah lebih lanjut dan bahasa Arab dengan Syaikh Sa‟id al-Burhan. Syaikh 

al-Albānī bertemu dengan syaikh Ahmad Syakir serta ikut berpartisipasi dalam 

diskusi dan penelitian mengenai hadits.


Syaikh al-Albānī memiliki ijazah hadits dari gurunya Syaikh Muhammad 

Raghīb at-Thabbākh, yang dari beliau, Syaikh al-Albānī mempelajari ilmu hadits, 

dan mendapatkan hak menyampaikan hadits darinya. Syaikh al-Albānī 

menjelaskan tentang ijazah beliau pada kitab Mukhtasar al-‘Uluw, hlm. 72, dan 

Tahdzīr as-Sajid. Beliau memiliki ijazah tingkat lanjut dari Syaikh Bahjat al-

Baithār, dimana isnad dari Syaikh terhubung ke Imam Ahmad. Keterangan 

tersebut terdapat dalam kitab Hayah al-Albani, jilid I, hlm.44, karangan 

Muhammad Asy-Syaibani. Ijazah tersebut merupakan bukti bahwa, Syaikh al-

Albānī benar ahli dalam hadits, dapat dipercaya untuk membawakan hadits secara 

teliti.


Selain memiliki guru-guru dalam menuntut berbagai disiplin ilmu, Syaikh 

al-Albānī juga mempunyai murid-murid yang menimba ilmu kepada beliau. 

Didalam kitab Juhūd Syaikh al-Albānī fī al-Hadīts Riwāyah wa Dirāyah, 

                                                          


pengarang Abdurrahman bin Muhammad Ṣalih al-„Aizari, tercantum sebanyak 31 

orang murid beliau yang terkenal diantaranya yaitu: 

a. Syaikh Hamdi ibn „Abd al-Majīd ibn Ismā‟īl al-Salafī, lahir tahun 

1339 H/1921 M. Seorang ahli hadits dari Iraq (Kurdistan) dan dikenal 

sebagai pentakhrij al-Mu’jam Al-Kabīr Al- Ṭabrānī, Musnad Asy-

Syihāb Al-Qudaie dan lainnya. Belajar kepada Syaikh al-Albānī dalam 

bidang fiqh, tafsir, ilmu hadits, sirah nabawiyah dan lainnya. Syaikh 

Hamdi disamping kepada Syaikh al-Albānī, juga belajar kepada 

Syaikh Bahjat al-Baithār, Syaikh Abdul Fatah Al-Imam, Syaikh Al-

Fāqī dan lainnya.  

b. Syaikh „Alī Hasan al-Hallabī, lahir tahun 1380 H/1960 M di kota 

Zarqa, Yordania. Orang yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad 

„Abdul Wahhab Marzuq Al-Bannā,“Syaikh al-Albānī adalah Ibn 

Taimiyah zaman ini, dan muridnya Syaikh Alī Hasan, Ibn Qayyim 

zaman ini”. Beliau bertemu Syaikh al-Albānī pada akhir 1977 M di 

Yordania, belajar kepadanya kitab “Isykālāt Al-Bā‘its al-Hadīts” dan 

kitab-kitab lainnya mengenai hadits dan ilmu hadits. Beliau memiliki 

ijazah hadits dari beberapa ulama seperti Syaikh Badi„uddīn Al- indi, 

Syaikh Muhammad Asy-Syanqiṭī dan lainnya. 

c. Syaikh Salim Hilālī, beliau adalah Abu Usamah Salim bin „Īed al-

Hilālī dilahirkan pada tahun 1377 H/1957 M, beliau sekarang 

berdomisili di Amman, Yordania. Bersama murid-murid syaikh al-

Albānī beliau memiliki banyak guru lain, diantaranya : syaikh Bādī„ 

22 

 

 

al-Rasyidi, syaikh Muḥib al-Rasyidi, syaikh „Abdul Ghoffār al-Ḥassan, 

syaikh Muhammad Ismā„īl al-Anṣarī. 

d. Syaikh Mūsā Naṣr, dilahirkan di perkemahan Balāṭuṭ di Palestina pada 

tahun 1374 H. Kemudian beliau menuntut ilmu ke Fakultas al-Qur‟an 

Universitas Islam Madinah dan menerima gelar sarjana dalam bidang 

“Qiraāt dan „Ulūm al-Qur‟an” pada tahun 1918. Kemudian safar ke 

Damaskus di Syām pada pertengahan 70-an dan belajar kepada syaikh 

al-Albānī. 

e. Syaikh Usamah al-Qūsī al-Ḥajjājī lahir tahun 1373 H/ 1954 M di 

Kairo. Diantara guru beliau yang lain adalah syaikh Badi‟uddīn al-

Sindī, syaikh Muqbil ibn Hadī. 

f. Dan lain-lain.

14

 

4. Wafat Al-Albānī   

Syaikh al-Albānī wafat bertepatan pada waktu ashar hari Sabtu, 23 

Jumadil Akhir 1420 H, penyelenggaraan jenazah dilakukan sesuai dengan yang 

telah diwasiatkan, dan jenazahnya dimakamkan dipekuburan yang sederhana di 

pinggir jalan sebagaimana yang syaikh al-Albānī inginkan. Sebelum wafat syaikh 

al-Albānī memberikan beberapa wasiat, pertama kepada istri-istrinya, anak-

anaknya, teman-temannya dan seluruh orang yang mencintainya jika mendengar 

kabar tentang kewafatan beliau hendaknya mendoakannya agar mendapat 

maghfirahdan rahmat, jangan meratapi beliau atau menangis hingga bersuara 

keras. Kedua, menyegerakan penguburan, dan syaikh al-Albānī meminta agar 

                                                          


 

yang memandikan jenazahnya adalah al-Akh Izzat Khiddir Abū „Abdillah yaitu 

tetangga sekaligus temanku yang tulus dan beliau (al-Akh Izzat Khiddir Abū 

„Abdillah) boleh memilih teman untuk membantunya. Ketiga, syaikh al-Albānī 

berkata “ pilihlah perkuburan yang paling dekat, agar jangan sampai jenazahku 

diangkut dengan kendaraan dan para pengiring menaiki kendaraan mereka untuk 

mengiringinya”.

B. Syaikh al-Albānī juga mewasiatkan seluruh isi perpustakaan dengan 

mengatakan “aku mewasiatkan seluruh isi perpustakaanku baik yang dicetak, 

difotokopi atau masih tertulis dengan tulisan tanganku atau tulisan selainku 

agar diberikan kepada perpustakaan al-Jāmi„ah al-Islāmiyah al-Madīnah al-

Munawwarah, dan aku berharap kepada Allah Swt. Semoga dapat bermanfaat 

bagi perpustakaan dan bagi para pengurusnya sebagaimana telah memberi 

manfaat bagiku dan para penuntut ilmu, semoga keikhlasan dan kesabaran 

mereka bermanfaat bagiku ”.

16

 

B. Pandangan Ulama’ Terhadap Al-Albānī   

Pemikiran syaikh al-Albānī yang tertuang dalam karya-karyanya banyak 

menuai pro dan kontra, hal tersebut terlihat dari munculnya beberapa karya, baik 

yang memuji usaha dan mengakui kredibilitasnya dalam bidang hadis maupun 

yang mengkritik pemikiran-pemikirannya. Tidak sedikit ulama yang memberikan 

pujian dan dukungan terhadap hasil jerih payahnya yang sangat bernilai dalam 

membela hadis-hadis Nabi saw, seperti yang diungkapkan Muhammad al-Amin 

al-Syinqīṭī, Muhibbuddīn al- Khatīb dan Muhammad bin Ibrāhīm Alisy bahwa al-

                                                          


 

 

Albānī adalah pengabdi dan menghidupkan sunnah nabi Muhammad Saw. Bahkan 

Abdul Azīz bin Bāz dan raja Faisal menjuluki al-Albānī sebagai mujaddid abad 

ini.

  

Berikut ini perkataan Mufti Kerajaan Saudi Arabia terdahulu Syaikh 

Muhammad bin Ibrahīm Ālisy syaikh berkata tentang Fadhilah syaikh Al-Albānī: 

"Beliau adalah ulama ahli sunnah yang senantiasa membela al-Haq dan 

menyerang ahli kebatilan".

Kemudian Yusuf Qardhawi juga mengatakan: “syaikh al-Albānī menurut 

pandangan saya adalah seorang ulama hadist yang termasyhur pada zaman kita, 

khususnya mengenai takhrīj, tautsīq, dan taḍ‘īf. Namun demikian tidak berarti 

bahwa perkataannya dalam menṣaḥīḥkan atau melemahkan suatu hadis 

merupakan pamungkas. Sebab kadang-kadang ada pula ulama sekarang yang 

berbeda pendapat dengannya dalam penilaian terhadap suatu hadis, tidaklah aneh 

jika mereka berbeda pendapat dengan syaikh al-Albānī sebagaimana syaikh al-

Albānī berbeda pendapat dengan para ulama sebelumnya tentang beberapa hadis. 

Oleh sebab itu, penetapan syaikh al-Albānī dalam melemahkan atau mensahihkan 

suatu hadis bukan merupakan ḥujjah yang qaṭ‘ī dan sebagai kata pemutus”. 

Bahkan dapat saya katakan bahwa syaikh al-Albānī melemahkan suatu hadis 

dalam suatu kitab, dan mengesahkannya di dalam kitab yang lain”.

19

 

Adapun ulama yang kontra atas pemikiran-pemikiran syaikh al-Albānī 

diantaranya: Ismā„īl al-Anṣārī yag mengkritik fatwa syaikh al-Albānī  mengenai 

                                                          


pentaḍ‘īfan shalat tarawih 20 rakaat melalui karyanya Taṣḥīḥ Ḥadīts al-Tarāwīḥ ‘Isyrīn 

Raka‘ah wa al-Ra‘dd ‘alā al-Albānī  ‘ala Taḍ‘īfih, Abdullah al-Habsyī al-Harārī melalui 

karyanya Tabyīn Ḍalālah al-Albānī , dan al-Ghumarī yang menganggap al-Albānī  

sebagai ahli bid‟ah melalui karyanya al-Qaul al-Muqnī fi al-Radd ‘alā al-Albānī  al-

Mubtadī‘,20 dan Hasan al-Saqqāf yang mengkritisi salah satu karya al-Albānī ḍa’īf al-

Jāmi‘ melalui karyanya Tanāquḍāt al-Albānī  al-Wāḍiḥāt. 

C. Tinjauan  Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa 

Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah 

1. Latar Belakang Penulisan 

Koleksi hadis ḍa„īf dan  mauḍū’ karya syaikh al-Albānī yaitu Silsilah al-

Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah dicetak 

pertama kali di Maktabah al-Ma‟ārif, Riyādh 1977 M. Kitab tersebut merupakan kitab 

hadis yang memuat hadis-hadis ḍa„īf dan  mauḍū’ hasil seleksi syaikh al-Albānī atas 

beberapa kitab hadis dengan permasalahan yang bereda-beda. Pada awalnya 

merupakan tulisan berkala syaikh al-Albānī yang diterbitkan oleh majalah al-

Tamaddun al-Islamī di Amman. Kitab ini terdiri dari 14 jilid yang dicetak dengan 

tahun yang berbeda-beda.  

Kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-

Sayyi’ fī al-Ummah ditulis karena beberapa alasan: pertama: keprihatinan akan 

tersebarnya hadis-hadis Mauḍū’ dikalangan umat muslim yang diutarakan dalam 

ceramah, artikel dimedia massa, bahkan ditulis dalam karya ilmiah. Penulisan karya ini 

ditujukan agar umat Islam tidak terjeremus pada penggunaan hadis-hadis ḍa„īf dan  

                                                          

 Muhammad Nāṣir al-Dīn al-Albānī,

 

Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa 

Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah (al-Riyadh: al-Maktabah al-Ma‟arif, 1992),  j. 3, h. 9. 

26 

 

 

mauḍū’ yang disebarkan oleh penceramah ataupun da‟i yang tidak mengetahui 

keṣaḥiḥan suatu hadis, dan berharap umat hanya mempergunakan hadis-hadis 

ṣaḥiḥ dalam melaksanakan ajaran-ajaran agama.

21

 

Kedua, dalam rangka memurnikan ajaran Islam. Pada muqaddimah jilid 2 

dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-

Ummah ia menulis: “saya hanya berharap, mudah-mudahan usaha saya 

menerbitkan buku tentang silsilah ḍa„īf dan  mauḍū’ dan Silsilah al-Aḥādīts ṣaḥiḥ  

ini dapat menjadi andil dalam rangka memurnikan kembali ajaran Islam.

22

 

Faktor pendorong lain penyusunan kitab silsilah ḍa„īf wa al-mauḍū’ah 

dicetak secara berkelanjutan karena beberapa dialog dan tukar pikiran di antara 

para ulama, baik kalangan penulis, maupun mahasiswa diberbagai wilayah Islam 

yang mendesaknya untuk mengintensifkan penyebaran ilmu mengenai silsilah 

ḍa‘īf dan  mauḍū‟.

23

 

2. Sistematika Penulisan 

Judul lengkap kitab syaikh al-Albānī adalah “Silsilah al-Aḥādīts al-

Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah” yang terdiri dari 14 

jilid. Dalam proses penulisannya kitab ini mengalami beberapa perubahan 

maupun tambahan rincian, penelitian dan kelengkapan lainnya. Kadang-kadang 

keputusan yang ditetapkan dalam memvonis suatu hadis mengalami perubahan, 

hal ini terjadi setelah diadakan penelitian lebih jauh dan rinci, kemudian ternyata 

                                                          

21

 Lihat Albānī, muqaddimah Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa 

Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah, h. 1 

22

 Lihat Albānī, muqaddimah Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa 

Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah, h. 1. 

23

 Lihat Albānī, Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī 

al-Ummah, jld 1, h. muqaddimah.  

 

27 

 

 

didapatkan hadis yang naik derajat kualitasnya menjadi lebih ṣaḥīḥ dan lebih rājih 

dan sebaliknya. Misalnya kata ḍa‘īf  diganti kata ḍa‘īf  jiddan atau sebaliknya, dan 

kadang maudhū‘ diganti ḍa‘īf  atau sebaliknya. Suatu hal yang biasa terjadi 

meskipun jarang.

24

  

Sistematika penulisan kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-

Mauḍū’ah tidak menggunakan metode abjad atau sesuai aturan abjad, tetapi 

ditulis apa adanya sesuai apa yang dianggap perlu. Penyusunan hanya berdasarkan 

pada nomor hadis, tidak disusun menurut bab atau tema sebagaimana kitab-kitab 

hadis pada umumnya. Kitab ini telah dicetak dan diterbitkan oleh Maktabah al-

Ma‘ārif, Riyādh 1412 H/1992 M, sebanyak 14 jilid, setiap jilid yang memuat 

hadis 7162 hadis. 

- Kitab jilid 1 memuat 1 sampai 500 hadis, 

- Kitab jilid 2 memuat 501 sampai 1000 hadis, 

- Kitab jilid 3 memuat 1001 sampai 1500 hadis, 

- Kitab jilid 4 memuat 1501 sampai 2000 hadis, 

- Kitab jilid 5 memuat 2001 sampai 2500 hadis, 

- Kitab jilid 6 memuat 2501 sampai 3000 hadis, 

- Kitab jilid 7 memuat 3001 sampai  3500 hadis, 

- Kitab jilid 8 memuat 3501 sampai 4000 hadis, 

- Kitab jilid 9 memuat 4001 sampai 4500 hadis, 

- Kitab jilid 10 memuat 4501 sampai 5000 hadis,  

- Kitab jilid 11 memuat 5001 ssampai 5500 hadis, 

                                                          

24

 „Abdullāh bin „Abdul „Azīz al-„Uqail, al-Imām al-Albānī: Durūs wa Mawaqif wa ‘Ibr, 

h. 6 

28 

 

 

- Kitab jilid 1 memuat 5501 sampai 6000 hadis, 

- Kitab jilid 1 memuat 6001 sampai 6500 hadis, dan  

- Kitab jilid 1 memuat 6501 sampai 7162. 

Pembagian bab sebagaimana terletak pada akhir kitab, dalam penulisannya 

belum mengikuti sistem penulisan bab. Secara umum bisa dilihat pada jilid 1-5, 

bab yang ada adalah: al-Akhlāq wa al- Bir wa al-ṣilah, al-Adab wa al-Isti‘dzān, 

al-Imān wa al-Tauḥīd wa al-Dīn, al-Adzān wa al-Ṣalāḥ wa al-Masājid, al-Buyū‘ 

wa al-Kasab wa al-Zuhd, al-Taubah wa al-Mawā’īd wa al-Riqāq, al-Janā’iz wa 

al-Marādh wa al-Maut, al-Jihād wa al-Ghazw, al-Ḥajj wa al-Umrah wa al-

Ziyārah, al-ḥudūd wa al-Mu’amalāt wa al-Ahkām, al-Zakāt wa al-Sakhā, al-

Khilāfah wa al-Bai’ah wa al-Imārah, al-Zawāj wa Tarbiāt al-Aulād, al-Ṣalāh wa 

al- Adzān, al-Sirāh al-Nabawiyah wa al-Yamā’īl al-Muhammadiyah, al-Ṣiyām wa 

al- Qiyām, al-Thīb wa al-‘Iyādah, al-Thaharah wa al-Wudhū‘, al-‘Ilm wa al-

Ḥadīts al- Nabawī, al-Fitan wa Asyrāt al-Sa‘ah wa al-Ba’s, Fadhā’il al-Qur’ān 

wa al-‘Ād’iyah wa al-Adzkār, al-Libās wa al-Zinah, al-Mubtadā’ wa al-Anbiyā’ 

wa ‘Ajāib al- Makhluqāt, dan al-Manāqib wa al-Masālib. 

25

 

Ketika al-Albānī ditanya tentang sebagian ahli hadis yang membolehkan 

mengamalkan hadis ḍa‘īf  yang derajat kelemahannya ringan, beliau menjelaskan 

“tidak didapati satu dalilpun yang membolehkan untuk mengamalkan hadis  ḍa‘īf  

walaupun derajat kelemahannya ringan karena amalan yang tidak berdasarkan 

hadis ṣaḥīḥ  adalah bid‟ah”.

26

 

            

 

3. Metode dan Dasar Penilaian Hadis 

Asal metode dan dasar penilaian hadis dari mana al-Albānī menilai 

keḍa‘īfan suatu hadis, yaitu dari dirinya sendiri sebagaimana ia katakan dalam 

muqaddimah kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā 

al-Sayyi’ fī al-Ummah, dia berkata, “sesungguhnya aku tidak bertaklid kepada 

seorangpun dalam menentukan hukum-hukum hadis-hadis tersebut (yang terdapat 

dalam kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah). Aku hanya 

mengikuti kaidah-kaidah ilmiah yang telah diciptakan oleh ahli hadis. Mereka 

menggunakan kaidah-kaidah itu dalam menentukan hukum-hukum hadis, berupa 

ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf”.

27

atau dari kritikus periwayat lain. Dalam kitab Silsilah ḍa„īf wa 

al-Mauḍū’ah al-Albānī menetapkan kualitas hadis  lalu kemudian dikuatkan 

dengan pendapat kritikus hadis lain. Seperti berikut ini: 

ذكره السيوطي يف " اجلامع الصغري " من رواية أيب نعيم يف " املعرفة " وابن عساكر عن ابن أيب ليلى، ومل يتكلم 

ي بشيء، غري أنو قال: رواه ابن مردويو والديلمي، لكن قال شيخ اإلسالم ابن تيمية: ىذا عليو شارحو املناو 

  حديث كذب، وأقره الذىيب وكفى هبما حجة

“hadis ini mauḍū‘, al-Suyūṭī menulisnya dalam al-Jāmi‟ al-Saghīr riwayat 

Abū Nuaim dalam kitab ma’rifat, dan Ibn Asākir dari Abī Laili al-Munāwī tidak 

berkomentar selain mengatakan “diriwayatkan oleh ibn Mardawaih” , tetapi Ibn 

Taimiyyah berkata: “hadis tersebut adalah dusta belaka. Pernyataan tersebut 

                                                          


disepakati dan ditegaskan oleh al-Dzahabī dalam Mukhtaṣar al-Minhaj, dan 

cukuplah keduanya sebagai hujjah.”

 28

  

Redaksi penilaian hadis yang ditetapkan oleh al-Albāni dalam kitab ini 

juga bervariasi, yaitu: 

a. Redaksi yang secara tegas dalam menghukumi suatu hadis dengan lafadh 

ا, باطلموضوع, ال أصل له, ضعيف, منكز, ضعيف جد  dan masih banyak yang lain. 

b. Redaksi yang menyatakan hadis tidak ditemukan asalnya seperti  ال أصل, ال

 .ال أصل له عن النبي , ال أصل بهذا اللفظ ,أعزف له أصال, ال أصل له مزفوعا 

c. Redaksi yang tidak tegas menyatakan hadis tertentu palsu, seperti  ,ال ال يصح

 .يثبت

Diantara kriteria yang dirumuskan oleh al-Albānī secara global dalam 

kitab ini adalah:  “seorang zindik biasa memalsukan lebih dari empat ribu hadis, 

bahkan dipastikan dari tiga orang yang dikenal sebagai pemalsu hadis, puluhan 

ribu hadis dibuat, ada beberapa hal yang melatarbelakangi munculnya hadis palsu, 

yaitu: tendensi politik, demi aṣhabiyah (rasialisme), fanatisme mazhab, pengakuan 

demi bertaqarrub kepada Allah, dan juga karena kesalahan tak sengaja sebagian 

kaum sufi karena ketidak tahuannya”.

29

 

 

 

 

                                                          


 

 

4. Keunggulan dan keterbatasan kitab Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa 

al-Mauḍū’ah wa Ātsaruhā al-Sayyi’ fī al-Ummah 

 Sebagai karya manusia, tentu tidak akan terlepas dari kelebihan, 

keterbatasan, dan kekurangan. Kelebihan itu terkadang terkait dengan metodologi, 

terkadang dengan kontennya, atau terkait dengan hal-hal yang dapat 

mempermudah penggunaanya. Sedangkan keterbatasan dan kekurangan kitab 

tersebut, ada yang terkait dengan penulisan, pembahasan atau hal lainnya. Adapun 

diantara keunggulan kitab ini adalah: 

a. Menjelaskan status hadisnya, baik itu ḍa‘īf , ḍa‘īf  jiddan, munkar, 

Mauḍū’, bāṭil, lā aṣlā lah dan lain-lainnya. 

b. Menjelaskan alasan kelemahan atau kepalsuannya, baik yang terkait 

dengan sanadnya atau matannya, semisal hadis:  

 .اد  ع  ب   َّل إ   للا   ن  م   د  د  ز  ي   مل    ر  ك  نملا  و   اء  ش  ح  لف  ا   ن  ع   و  ت  ال  ص   و  ه  ن  ت   مل    ن  م  

Hadis tersebut dikomentari oleh al-Albānī dengan mengatakan: 

 .متنو جهة من وّل إسناده قبل من يصح ّل األلسنة على اشتهاره مع وىو ابطل،

  “Hadis yang batil (tidak benar), meskipun sangat masyhur diucapkan, akan 

tetapi hadis tersebut tidak sah dari sisi sanadnya dan juga matannya.” 

c. Menjelaskan letak hadis tersebut dalam al-kutub al-mutun, semisal hadis 

di atas terdapat dalam kitab al-Mu‘jam al-Kabīr karya al-Ṭabārānī, juz. 

3, h. 106. Terdapat juga dalam Musnad al-Syihāb karya al-Quḍā„ī, Juz. 

2, h. 43, dan begitu seterusnya. 

d. Al-Albānī terkadang menjelaskan hadis yang ṣaḥīḥ  setelah menghukumi 

hadis yang dikaji itu ḍa‘īf. Contonya: رأس الدين النّصيحة (pokok agama 

32 

 

 

adalah nasehat). Hadis ini ḍa‘īf. sedangkan yang al-maḥfūdz (yang 

diterima) adalah dengan menggunakan lafal :  إنّما الدّين النّصيحة 

(sesungguhnya agama itu hanyalah nasihat).

30

 

Sedangkan keterbatasan kitab tersebut yang terlihat oleh penulis adalah:  

5. Dalam penilaiannya, al-Albānī menggunakan kata yang beragam, seperti: 

,ضعيف منكز    tanpa menjelaskan اليصح ,باطل ,ال أصل له ,موضوع ,ضعيف جدا ,

perbedaan kapasitas dari kata-kata tersebut. 

6. Tidak menyusun hadis-hadis tersebut secara bab-bab fiqih, secara 

alphabet, atau tema-tema tertentu sehingga tidak membingungkan bagi 

pembaca untuk melacak hadis-hadis yang dibutuhkannya. 

7. Hadis-hadis yang dikaji al-Albānī tidak dikelompokkan sesuai dengan 

status hadisnya, contohnya hadis ḍa‘īf  ditempatkan dalam bab khusus, 

akan tetapi bercampur dengan kapasitas hadis-hadis Mauḍū’, bāṭil dan 

lainnya atau dengan bahasa lain tidak sistematis. 

Adapun sumber-sumber hadis yang terdapat dalam kitab Silsilah ḍa„Īf wa 

al-Mauḍū’ah, memang secara eksplisit al-Albānī tidak menjelaskan bahwa hadis-

hadis yang diperolehnya bukanlah periwayatan atau juga melakukan perjalanan 

pencarian hadis seperti yang dilakukan ulama-ulama‟ sebelumnya yang 

menghimpun hadis mauḍū‘. 

Al-Albānī menghimpun hadis-hadis ḍa‘īf dan  mauḍū‟ melalui seleksi atas 

kitab-kitab yang ada diperpustakaan, melalui ceramah, artikel maupun tulisan di 

media massa yang kemudian ia teliti. Ia mengatakan: “ kitab ini saya mulai 

                                                          


5. Karya-karya Syaikh  al-Albānī 

Kesungguhan syaikh al-Albani selama lebih dari enam puluh tahun dalam 

menekuni ilmu hadis dan ilmu keislaman lainnya telah membuahkan karya-karya 

besar dalam aqidah, hadis, fiqih, manhaj, dakwah dan lainnya. Tercatat kurang 

lebih 200 karya mulai dari ukuran kecil, besar, hingga yang berjilid-jilid, baik 

yang terbentuk karya pena, takhrīj pada karya orang lain, buku khusus takhrīj 

hadis, maupun taḥqīq (penelitian tertentu dari segala macam sisanya), lalu 

dituangkan dalam catatan kaki dalam kitab tersebut, sebagiannya lagi belum 

sempurna (karena wafat), dan sebagian lagi sudah sempurna namun masih dalam 

bentuk manuskrip (belum dicetak dan diterbitkan). Beberapa di antaranya:

32

 

a. Silsilah al-Aḥādīts al-Ṣaḥīḥaḥ wa Ṣai’un min Fiqhihā wa Fawāiḍihā (9 

jilid), karya ini berisikan studi ilmiah terhadap hadis-hadis nabi 

Muhammad Saw. untuk dinyatakan ṣaḥīḥ sesuai dengan kaidah 

Muṣṭalāḥ al-Hadīts yang telah disepakati oleh ulama hadis sepanjang 

zaman, berdasarkan penomoran terakhir dari kitab itu jumlah hadis 

yang tertera adalah 4.035 buah hadis. 

b. Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa‘Īfah wa al-Mauḍū‘ah wa Atsāruhā fī al-Sayyi’ 

fī al-Ummah (14 jilid), karya ini berisikan studi ilmiah terhadap hadis-

hadis nabi Muhammad Saw. untuk dinyatakan ḍa‘īf  atau mauḍū‘ sesuai 

                                                          

31

 Lihat Silsilah al-Aḥādīts al-Ḍa’ifah wa al-Mauḍū’ah, j. 1, h. 48. 

32

 Abdurrahman bin Muhammad al-„Aizurī, Juhūd al-Albānī fī al-Hadīts Riwāyatan wa 

Dirāyatan (Riyad: Maktabah al-Rushd, 1425 H), 49-90. 

34 

 

 

dengan kaidah Muṣṭalāḥ al-Hadīts yang telah disepakati oleh ulama 

hadis sepanjang zaman, rata-rata hadis yang termuat dalam setiap jilid 

adalah 500 buah hadis. 

c. Irwā’ul Ghalīl (8 jilid), kitab ini berisikan takhrīj  atas hadis-hadis 

dalam kitab Manār al-Sabīl, berdasarkan penomoran hadis-hadis dalam 

kitab terakhir, jumlah hadisnya sebanyak 2.707 buah hadis. 

d. Ṣaḥīḥ dan  Ḍa‘Īf Jāmi‘ al-Ṣaghīr wa Ziyādatihi, kedua kitab ini 

berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan al-Suyūṭi lalu syaikh al-Albānī 

memberikan keterangan hukum pada setiap hadis dengan hokum yang 

sesuai, yang ṣaḥīḥ berjumlah 8.202 hadis dan yang ḍa‘īf  berjumlah 

6.452 buah hadis. 

e. Ṣaḥīḥ Sunan Abī Dāūd dan Ḍa‘Īf  Sunan Abī Dāūd, kedua kitab ini 

berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam Abū Dawud lalu al-

Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum 

yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf  berjumlah total 5.274 buah hadis. 

f. Ṣaḥīḥ Sunan al-Tirmīdzī dan Ḍa‘Īf  Sunan al-Tirmīdzī, kedua kitab ini 

berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Tirmīdzī lalu al-

Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum 

yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf, atau yang lainnya,  berjumlah total 

3.959 buah hadis. 

g. Ṣaḥīḥ Sunan al-Nasā’ī dan Ḍa‘Īf  Sunan al-Nasā’ī, kedua kitab ini 

berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam al-Nasā‟ī lalu al-

Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum 

35 

 

 

yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf, atau yang lainnya,  berjumlah total 

5.774 buah hadis. 

h. Ṣaḥīḥ Sunan Ibnu Mājah dan Ḍa‘Īf  Sunan Ibnu Mājah, kedua kitab ini 

berisikan hadis-hadis yang dikumpulkan oleh Imam Ibnu Mājah lalu al-

Albānī memberikan keterangan hokum pada setiap hadis dengan hokum 

yang sesuai, yang ṣaḥīḥ dan ḍa‘īf, atau yang lainnya,  berjumlah total 

4.341 buah hadis. 

i. Dan lain-lainnya. 

36 

 

BAB III 

METODE KRITIK HADIS 

A. Definisi Kritik Hadis 

Kritik secara bahasa dalam bahasa Arab penelitian (kritik) hadis dikenal 

dengan naqd al-ḥadīts. Kata naqd sendiri berarti penelitian, analisis, pengecekan, 

dan pembedaan. Berdasarkan empat makna ini, kririk hadis berarti penelitian 

kualitas hadis, analisis terhadap sanad dan matannya, pengecekan hadis ke dalam 

sumber-sumbernya, serta perbedaan antara hadis yang autentik dan yang tidak.

1

 

Kritik hadis sudah dimulai sejak masa sahabat Nabi Saw. hal ini 

membuktikan bahwa upaya menjaga hadis telah dilakukan sejak awal abad 

pertama hijriah, sehingga dapat dibedakan antara hadis yang dapat diterima dan 

tidak dapat diterima. Hal ini didorong oleh kuatnya pengamalan agama secara 

benar dan dalam pandangan mereka, posisi hadis nabi yang yang merupakan 

pedoman beragama yang sempurna.

2

 

B. Metodologi Keshahihan Hadis 

1. Kritik Sanad 

Setelah melalui proses dari kedua metode takhrij di atas dan semua hadis 

telah terkumpul, langkah kedua yaitu menyusun keseluruhan sanad dalam sebuah 

skema sanad (dengan tujuan memudahkan pembacaan jaringan sanad hadis yang 

sedang diteliti).

3

 Langkah ketiga yaitu melakukan kritik sanad hadis, yakni segala 

                                                          

1

 Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 275. 

2

 Abdul Hakim Wahid, Autentisitas Hadis Nabi: Studi Riwayat Nāfi‟ mawlā Ibn „Umar 

dalam Kitab al-Ṣaḥīḥain ( Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2017), h. 21. 

3

 Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Melacak Hadis Nabi Saw.: Cara Cepat Mencari Hadis dari 

Manual hingga Digital (Semarang: RaSAIL, 2006), h. 25.  

37 

 

syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas 

ṣaḥīḥ.

4

 Beberapa kriteria keṣaḥīḥan sanad hadis yaitu sebagai berikut: 

Dalam melakukan kritik keṣaḥīḥan hadis, Ibn Ṣalāḥ yaitu seoarang ulama 

hadis al-Mutaakhirīn memiliki definisi atau pengertian hadis ṣaḥīḥ adalah hadis 

yang bersambung sanadnya (sampai kepada nabi), diriwayatkan oleh perawi yang 

adil dan ḍābit sampai akhir sanad, tidak terdapat syādz (kejanggalan) dan „illat 

(„illat).

5

  menurut al-Nawawi, bahwa yang disebut sebagai hadis ṣaḥīḥ adalah 

hadis yang bersambung sanadnya oleh rawi-rawi yang „adil dan ḍābit serta 

terhindar dari syādz dan „illat.

6

 Berikut ini adalah lima kriteria  syarat hadis yaitu: 

1. Rawinya bersifat adil, arti adil dalam periwayatan menurut Ibnu al-

Sam„ānī harus memenuhi empat syarat, yaitu: 

a. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi perbuatan maksiat, 

b. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan 

santun. 

c. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan 

iman kepada kadar dan mengakibatkan penyesalan. 

d. Tidak mengikuti pendapat salah satu madzhab yang bertentangan 

dengan dasar syara„.  

                                                          

4

 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan 

Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h. 123. 

5

 M. Syuhudi Isma‟il, Kaidah Keshahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan tinajauan 

kritis dengan pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 2014), h.  128. 

6

 Hasan Asy‟ari Ulama‟I, Melacak Hadis Nabi Saw., h. 26-30, dan lihat Syuhudi Ismail, 

Kaidah Kesahihan Sanad, h. 128. 

38 

 

2. Ḍābiṭ,  yang dimaksud dengan ḍābit adalah orang yang kuat ingatannya, 

artinya bahwa ingatannya lebih banyak dari pada lupanya, dan 

kebenarannya lebih banyak dari pada kesalahannya. 

3. Sanadnya bersambung, yang dimaksud sanadnya bersambung adalah 

sanad yang tidak terputus. Dengan kata lain, tiap-tiap rawi saling bertemu 

dan menerima langsung dari guru yang memberinya. 

Untuk mengetahui bersambung suatu sanad, para muhdditsīn menempuh 

langkah-langkah sebagai berikut:

7

 

1) Mencatat semua nama lengkap periwayat dalam sanad yang diteliti, 

mencatat biografi masing-masing periwayat (tahun lahir/wafat, guru dan 

murid), dan ṣighat (kata-kata) dalam proses taḥammul wa al-adā‟  

(menerima dan menyampaikan hadis). Hal ini dilakukan dalam rangka 

mengetahui persambungan sanad hadis. 

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing periwayat. 

3) Meneliti kata-kata yang berhubungan antar periwayat yang terdekat dalam 

sanad, yakni apakah kata-kata yang terpakai berupa ḥaddatsanā, 

ḥaddatsanī, akhbaranā,dan kata-kata lainnya.  

4. Tidak ber„illat, „illat hadis adalah suatu penyakit yang samar sehingga 

dapat menodai keshahihan hadis tersebut. Dengan kata lain suatu sisipan 

yang terdapat pada matan hadis. 

5. Terhindar syādz, Syādz adalah kejanggalan suatu hadis terletak pada 

adanya perlawanan antara hadis yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbūl 

                                                          

7

 Subhi al-Ṣāliḥ, „Ulūm al-Ḥadīts wa Muṣṭalāḥuhu (Beirut: al-Ilm Li al-Malayin, 1997), 

h. 145. 

39 

 

(yang dapat diterima periwayatannya dengan hadis yang diriwayatkan oleh 

periwayat yang lebih rājih (kuat).

8

  

Terkait syarat terhindar dari syādz dan „illat, sekiranya unsur sanad 

bersambung dan rawi ḍabt telah dilaksanakan dengan semestinya, niscaya unsur 

terhindar dari syādz dan „illat telah terpenuhi juga.

9

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sanad hadis dapat dinyatakan 

bersambung jika seluruh periwayat dalam sanad itu benar-benar tsiqah („adil 

ḍabt) dan antara periwayat terdekat sebelumnya benar-benar terjadi hubungan 

periwwayatan berdasarkan ketentuan taḥammul wa al-„adā‟. 

2. Al-Jarḥ wa al-Ta‘dīl 

a. Pengertian  

Al-jarḥ secara bahasa berarti luka yang mengalirkan darah. Menurut istilah 

adalah munculnya sifat dalam diri perawi yang menodai sifat „adilnya atau 

mencacatkan hafalan dan kekuatan ingatannya yang mengakibatkan gugur 

riwayatnya, lemah riwayatnya, atau bahkan tertolak riwayatnya. Al-ta„dīl menurut 

bahasa berarti tawsiyah (menyamakan). Sedang menurut istilah berarti lawan dari 

al-jarḥ, yaitu pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan, bahwa ia „adl 

atau ḍabt.

10

  

Ilmu al-jarḥ wa al-ta„dīl adalah „timabangan‟ bagi para rawi hadis. Rawi 

yang berat timbangannya, diterima periwayatannya, dan rawi yang ringan 

timbangannya ditolak riwayatnya. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui 

                                                          

8

 Fatchur Rachman, Ikhtisār Musṭalāḥ al-Ḥadīts (Bandung: al-Ma‟arif, t.th), h. 119-123. 

9

 Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Sanad Hadis, h. 177-178. 

10

 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, Penerjemah Qodirun Nur dan Ahmad 

Musyafiq (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2013), h. 233. 

40 

 

periwayat yang dapat diterima hadisnya dan kita dapat membedakannya dengan 

periwayat yang tidak dapat diterima hadisnya.

11

 

Para ahli hadis mendefinisikan al-jarḥ sebagai menunjukkan sifat-sifat 

cela rawi sehingga mengangkat atau mencacatkan „adalah atau keḍabtan perawi. 

Sedangkan al-ta„dīl adalah kebalikan dari al-jarḥ yaitu menilai bersih terhadap 

seorang rawi dan menghukuminya bahwa ia „adl dan ḍabt.   

Mengingat penetapan ṣaḥīḥ dan  ḍa„īfnya hadis didasarkan pada beberapa 

perkara, antara lain keadilan dan keḍabtan perawi, atau cacatnya keadilan dan 

keḍabtan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang 

menjelaskan tentang keadilan dan keḍabtan para perawi, yang diambil dari para 

imam mu„addil (ahli dalam menetapkan keadilan dan kecacatan seseorang) dan 

terpercaya.hal inilah yang dikenal dengan nama al-ta„dil. Adapun al-jarḥ yakni 

yang menjelaskan cacatnya aspek keadilan sebagian perawi, termasuk keḍabtan 

dan hafalan mereka. Yang diambil dari para imam yang tidak memiliki sikap 

ta„aṣub (fanatik terhadap suatu golongan).

12

 

b. Syarat kritikus hadis 

Imam-imam yang terjun dalam bidang penjelasan hal-ihwal perawi dan 

berusaha menjaga sunnah dengan membedakan antara yang ṣaḥīḥ dan cacat, di 

samping menggunakan hidup secara maksimal dan penuh kejujuran, juga 

menggunakan hidup mereka secara maksimal dalam bidang tersebut. Mereka 

mengetahui sebab-sebab keadilan, sebab-sebab jarḥ. Karena itu, ulama 

                                                          

11

 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis , Penerjemah Mujiyo (Bandung: Remaja Rosdakarya, 

2014), h. 84. 

12

 Mahmaud Ṭāhan, Ilmu Hadis Praktis, Penerjemah Abu Fuad (Bogor: Pustaka Thariqul 

Izzah, 2005), h. 193. 

41 

 

sependapat atas kewajiban terpenuhnya syarat-syarat itu dalam diri penta‟dil dan 

pentajriḥ. Adapun syarat-syarat itu sebagai berikut: (1) „alim, (2) bertakwa (3) 

wira„i (4) jujur (5) tidak terkena jarḥ (6) tidak fanatik terhadap sebagian perawi 

dan mengerti betul sebab-sebab jarḥ dan „adl.

13

 

3. Kritik Matan 

Perlunya penelitian matan hadis tidak hanya karena keadaan matan tidak 

dapat dilepaskan dari pengaruh keadaan sanad saja, tetapi juga juga karena dalam 

periwayatan matan hadis dikenal adanya periwayatan yaitu secara makna 

(riwayah bi al-ma„na). Ulama ahli hadis memang telah menetapkan syarat-syarat 

sahnya periwayatan hadis telah mampu memenuhi dengan baik semua ketentuan 

itu.

14

 

Adapun aspek penelitian tentang matan hadis, langkah-langkah sistematis 

disuguhkan oleh Syuhudi Ismailsebagai berikut:  (1) meneliti matan dengan 

melihat dengan melihat kualitas sanadnya, (2) meneliti susunan lafal berbagai 

matan yang semakna, (3) meneliti kandungan matan, dan (4) menyimpulkan hasil 

penelitian.

15

  

Suatu hal yang perlu diperhatikan bahwa hasil penelitian matan tidak 

mesti sejalan dengan hasil penelitian sanad. Karena, penelitian hadis berhubungan 

satu dengan yang lainnya yaitu antara unsur-unsur hadis, maka otomatis penelitian 

sanad harus diikuti dengan penelitian terhadap matan.

16

  

                                                          

13

 Muhammad „Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits, h. 240. 

14

 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2016), h. 

21. 

15

 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 113. 

16

 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadis Dari Teks ke Konteks, ed. 

Shohibul Adib ( Yogyakarta: Kalimedia, 2016), h. 39. 

42 

 

Ulama hadis tidak merumuskan tentang urutan penggunaan kaidah 

keṣaḥīḥan matan. Penggunaan tolak ukur keṣaḥīḥan matan disesuaikan dengan 

masalah yang didapatinya di dalam matan. Menurut al-Dzahabī, tolak ukur 

penelitian matan ada empat macam, yaitu: (1) tidak bertentangan dengan al-

Qur‟an, (2) tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, (3) tidak 

bertentangan dengan akal yang sehat, (4) susunan pernyataan menunjukkan sabda 

kenabian.

17

 

C. Kriteria Hadis Berdasarkan Kualitas 

Dilihat dari segi kualitasnya, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis 

ṣaḥīḥ, ḥasan, dan ḍa„īf. Pembahasan tentang hadis ṣaḥīḥ dan ḥasan mengkaji dua 

hadis yang hampir sama, tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis 

maqbūl, yaitu dapat diterima sebagai ḥujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat 

dari segi persyaratan dan kriteria-kriterianya sama kecuali pada hadis ḥasan, di 

mana periwayatnya ada yang kurang hafalannya. Sedang persyaratan lain seperti 

ketersambungan snad, keadilan periwayat, bebas syādz, dan „illat tetap sama.

18

 

1. Hadis Ṣaḥīḥ  

Para ahli hadis mendefinisikan hadis ṣaḥīḥ sebagai hadis yang 

sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang 

yang sama, sampai berakhir kepada Nabi Saw. atau kepada sahabat atau 

kepada tabi‟in, bukan hadis yang syādz (janggal), dan terkena „illat (cacat) 

yang menyebabkan cacatnya dalam penerimaannya.

19

  

                                                          

17

 Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, h. 128-129. 

18

 Idri, Studi Hadis, h. 157. 

19

 Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Penerjemah Tim Pustaka Firdaus ( 

Jakarta: Pustaka Firdaus, 2017), h. 142. 

43 

 

Hadis ṣaḥīḥ terbagi menjadi dua,

20

 yaitu: 

a) ṣaḥīḥ li dzātihi, hadis yang memenuhi syarat-syarat hadis ṣaḥīḥ 

sebagaimana telah dijelaskan di atas,  

b) ṣaḥīḥ li ghoirihi, hadis ṣaḥīḥ yang kurang memenuhi syarat hadis ṣaḥīḥ 

seperti hafalannya kurang sempurna. 

Ulama ahli hadis dan para ulama yang pendapatnya dipegangi oleh 

kalangan fuqaha‟ dan ahli ushul sepakat bahwa hadis ṣaḥīḥ dapat digunakan 

sebagai hujjah dan wajib diamalkan, baik rawinya seorang diri atau ada rawi 

lain yang meriwayatkan bersamanya, atau masyhur dengan diriwayatkan 

oleh tiga orang atau lebih, tetapi mencapai derajat mutawatir.

21

 

2. Hadis Ḥasan 

Ulama ahli hadis mendefinisikan hadis ḥasan adalah hadis yang  

sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil,yang rendah tingkat 

kekuatan daya hafalnya, tidak syādz (janggal), dan tidak ber„illat (cacat). Hal 

ini bertepatan dengan pendapat Ibn Ṣalāḥ yang menjelaskan bahwa rawi 

hadis ḥasan adalah orang yang dikenal jujur dan dapat dipercaya, tetapi tidak 

mencapai tingkatan para perawi hadis ṣaḥīḥ, karena tingkat daya hafalannya 

dan akurasinya masih di bawah mereka. Meskipun demikian, derajat rawi 

hadis ḥasan berada di atas perawi yang menyendiri dan hadisnya disebut 

munkar.

22

 

Menurut seluruh fuqaha, hadis ḥasan dapat diterima sebagai hujjah 

dan diamalkan, demikian pula pendapat kebanyakan para ahli hadis dan ahli 

                                                          

20

 Fatchur Rachman, Ikhtisar Mushtalah al-Hadis (Bandung: PT. Al-Ma‟arif, t.t.), h. 123. 

21

 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis , h. 244. 

22

Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis ,h.  267. 

44 

 

ushūl. Karena rendahnya tingkat hafalan tidak mengeluarkan rawi yang 

bersngkutan dari jajaran rawi yang mampu menyampaikan hadis 

sebagaimana hadis itu ketika didengar. Maksud daripada pemisahan ini 

adalah untuk menjelaskan bahwa hadis ḥasan berada pada tingkat terendah 

dari hadis ṣaḥīḥ tanpa mencela hafalannya, dan kemungkinan kebenarannya 

sangat besar sehingga dapat diterima.

23

 

3. Hadis Ḍa„Īf 

Hadis ḍa„īf  menurut bahasa adalah lawan dari qawiy (kuat), kategori 

ḍa„īf ada dua macam yaitu lahiriyah dan maknawiyah, sedangkan yang 

dimaksud di sini adalah yang ḍa„īf maknawiyah.

 24

 Sedangkan hadis ḍa„īf 

menurut istilah, Ibn Ṣālah memberikan definisi sebagai hadis yang di 

dalamnya tidak terdapat syarat hadis ṣaḥīḥ maupun hadis ḥasan.

25

  

Istilah ḍa„īf adalah predikat yang umum dan mencakup semua hadis 

yang ditolak dengan sebab apapun. Hadis ḍa„īf banyak sekali macamnya, hal 

ini desebabkan apabila kita menetapkan  Apabila kita menetapkan sua 

Para ulama hadis mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadis dari 

dua faktor, yaitu dari segi sanad dan segi matan. Dan jenis hadis ḍa„īf sangat 

banyak dan tidak cukup jika dijelaskan secara keseluruhan. Maka dari itu, 

penulis berusaha untuk memilah menjadi beberapa bagian, yaitu hadis ḍa„īf 

berdasarkan terputusnya sanad, dan karena sebab selain sanadnya muttasil. 

 

                                                          

23

 Nuruddin „Itr, „Ulumul Hadis, 268-269. 

24

 Syaikh Manna‟ al-Qattan, Pengantar Ilmu Hadis, Penerjemah Mifdhol Abdurrahman 

(Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2005), h. 129.  

25

 Nawir Yuslem, „Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), h. 237. 

45 

 

a.   Hadis ḍa„īf berdasarkan terputusnya sanad 

Dalam kaitan keterputusan sanad, Ibn Ḥajar al-Asqalānī membagi hadis 

ḍa„īf kepada lima macam

26

, yaitu hadis mu‟allaq, hadis mursal, hadis munqaṭi‟, 

hadis mu„ḍal, dan hadis mudallas. 

1) Hadis Mursal 

Pengertian hadis mursal secara terminologi ialah hadis yang dimarfu�