gangguan jiwa 6

Rabu, 12 Juli 2023

gangguan jiwa 6


adalah gangguan yang terjadi mulai sejak masa kanak-kanak, biasanya baru 
terdeteksi saat usia 7 tahun, atau ketika mulai masuk taman bermain (playgroup) dan taman 
kanak-kanak. ADHD memiliki tiga ciri utama yaitu:
1. tidak mampu memusatkan perhatian;
2. kesulitan mengendalikan impuls;
3. hiperaktivitas.
ETIOLOGI
1. Faktor genetik.
2. Faktor biokimia (dopamin, norefineprin, serotonin).
3. Kerusakan otak.
4. Faktor prenatal (ibu merokok saat hamil, keracunan, alkohol).
5. Perinatal (fetal distres, asfiksia).
6. Postnatal (kejang, CNS abnormalitas).
7. Zat makanan (pengawet).
8. Faktor lingkungan dan psikososial (stres, gangguan jiwa pada ibu saat mengandung, 
kemiskinan, besar di penjara).
TANDA DAN GEJALA
Perhatian Kurang (Inattention) 
1. Sering gagal dalam memberikan perhatian secara mendetail.
2. Sering mengalami kesulitan dalam memberikan perhatian pada tugas atau aktivitas 
bermain.
3. Sering tampak tidak memperhatikan jika berbicara secara langsung.
4. Sering tidak mengikuti instruksi dan gagal menyelesaikan tugas. 
5. Sering mengalami kesulitan dalam menyusun tugas.
6. Sering menolak dan tidak menyukai dalam tugas yang memerlukan usaha mengendalian 
mental.
7. Sering kehilangan hal-hal yang diperlukan untuk aktivitas. 
8. Sering mudah dikacaukan dengan stimulus lain.
9. Sering lupa dalam aktivitas sehari-hari
Hiperaktif (Hyperactive)
1. Sering gelisah dan duduk tidak tenang. 
2. Sering meninggalkan tempat duduk di ruang kelas.
3. Sering lari-lari atau memanjat pada keadaan yang tidak semestinya.
4. Sering mengalami kesulitan dalam aktivitas bermain atau melakukan aktivitas dengan 
tenang.
5. Sering bertindak seolah-olah sedang mengemudikan motor.
6. Sering berbicara secara berlebihan.
Impulsif (Impulsive)
1. Sering berkata tanpa berpikir dalam menjawab sebelum pertanyaan selesai.
2. Sering mengalami kesulitan dalam menunggu giliran.
3. Sering menyela atau mengganggu orang lain.
MASALAH KEPERAWATAN YANG TIMBUL
1. Risiko cedera berhubungan dengan impulsivitas, ketidakmampuan mendeteksi 
bahaya.
2. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan perilaku immatur.
3. Harga diri rendah berhubungan dengan sistem keluarga yang disfungsi/umpan balik 
negatif.
TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan keperawatan disesuaikan dengan masalah keperawatan yang timbul. Secara umum, 
terapi yang diberikan adalah farmakoterapi, psikoterapi, terapi perilaku, dan bimbingan 
belajar. Fokus pemberian terapi diutamakan untuk memperbaiki fungsi keluarga, fungsi 
sosial, dan mengurangi agresivitas.
Prognosis
1. Gejala berkelanjutan sampai remaja atau dewasa.
2. Membaik pada masa pubertas.
3. Hiperaktivitas hilang tetapi gangguan pemusatan perhatian dan impulsivitas tetap 
ada.


PENGERTIAN AUTISME
Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan 
hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan oleh Leo Kanner sejak 
tahun 1943 (Handojo, 2008). Autisme bukan suatu gejala penyakit, tetapi berupa sindroma 
(kumpulan gejala) yang terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, 
dan kepedulian terhadap sekitar (Yatim, 2003). Menurut kamus psikologi, pengertian dari 
autisme adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrem. Anak 
autisme bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan jemarinya sendiri atau dengan 
serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu tenggelam dalam satu dunia sendiri.
PENYEBAB AUTISME
Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal meliputi genetik, 
psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi virus, dan trauma kelahiran. Sementara 
faktor eksternalnya antara lain lingkungan bahan kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, 
arsenik, dan aluminium (Handojo, 2008).
Faktor Internal
1. Faktor psikologis
 Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang mengasuh anak mereka yang secara 
emosional atau akibat sikap ibu yang dingin (kurang hangat).
2. Neurobiologis 
 Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau sudah anak lahir dan 
menyebabkan berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini diduga 
karena adanya disfungsi dari batang otak dan neurolimbik.
3. Faktor genetik
 Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi kelainan itu tidak berada pada 
kromosom yang selalu sama. Ditemukan 20 gen yang terkait dengan munculnya gangguan 
autisme, tetapi gejala autisme baru bisa muncul jika kombinasi dari banyak gen. 
4. Faktor perinatal
 Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal. Komplikasi yang paling sering 
adalah perdarahan setelah trimester pertama, fetal distress, dan penggunaan obat 
tertentu pada ibu yang sedang hamil. Komplikasi waktu bersalin, terlambat menangis, 
gangguan pernapasan, dan anemia pada janin.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi bahan kimia beracun dan logam￾logam berat berikut ini .
1. Merkuri (Hg)
 Logam berat merkuri merupakan cairan yang berwarna putih keperakan. Paparan 
logam berat Hg dapat berupa metyl mercury dan etyl mercury (thimerosal) dalam vaksin. 
Merkuri dapat memengaruhi otak, sistem saraf, dan saluran cerna. Racun merkuri 
menyebabkan defisit kognitif dan sosial termasuk kehilangan kemampuan berbicara 
atau kegagalan untuk mengembangkan gangguan memori, konsentrasi yang buruk, 
kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai macam tingkah laku autisme.
2. Timbal
 Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai pembunuh sel-sel otak. 
Kadar timbal yang berlebihan pada darah anak-anak akan memengaruhi kemampuan 
belajar anak, defisit perhatian, dan sindroma hiperaktivitas.
3. Kadmium (Cd)
 Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat pada kerak bumi. Logam berat ini murni 
berupa logam. Logam berwarna putih perak lunak dapat menyebabkan kerusakan sel 
membran sehingga logam berat lain dipercepat atau dipermudah masuk ke dalam sel. 
4. Arsenik (As)
 Arsenik banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk membangun ruang 
bermain, geladak kapal, atau pagar rumah. Arsenik dapat diisap, ditelan, dan diabsorbsi 
lewat kontak kulit. Arsenik dapat disimpan di otak, tulang, dan jaringan tubuh, serta 
akan merusaknya secara serius. Gejalanya yang berlangsung lambat dapat menyebabkan 
diabetes dan kanker, juga dapat menyebabkan stroke dan sakit jantung. Dalam jangka 
lama dapat merusak liver, ginjal, dan susunan saraf pusat.
5. Aluminium (Al)
 Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang terjadi bila mengabsorbsi sejumlah 
besar aluminium yang sering disimpan di dalam otak. Pemaparan aluminium didapatkan 
dari konsumsi aluminium dari produk antasid dan air minum (panic aluminium). 
Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem digestif, paru-paru, dan kulit sebelum masuk 
ke jaringan tubuh.
KELAINAN DI OTAK AKIBAT AUTISME
Kelainan Neurokimia
Penurunan kadar neurotransmiter serotonin terutama pada sel purkinye serebellum. Anak 
normal memiliki kandungan serotonin pada sel purkinye serebellum cukup tinggi.
Kelainan Neuroanatomi
Anak autisme didapatkan kelainan neuroanatomi pada beberapa tempat. Hasil pemeriksaan 
otopsi didapatkan pengecilan serebellum utama terjadi hipoplasia lobus VI–VII sehingga 
mengakibatkan produksi serotonin menurun dan lalu lintas rangsangan informasi antara sel 
otak menjadi kacau. Didapatkan juga kerusakan hemisfer otak kiri yang menyebabkan ganguan 
bahasa ekspresif, seperti ucapan kata (area broca) dan reseptif (pengertian [Wernicke]). Selain 
itu, terdapat gangguan pada lobus pariestalis, yakni sebanyak 43% dari jumlah kasus autisme 
ditemukan terjadi atropi lobus paretalis, jumlah sel otak menurun, sehingga mengakibatkan 
perhatian pada lingkungan terganggu, serta anak menjadi acuh tak acuh pada lingkungan. 
Pada PET scan dan MRI didapatkan gangguan pada sistem limbik (daerah hipokampus dan 
amigdala). Sel neuron tumbuh padat dan kecil yang menyebabkan fungsi neuron menjadi 
kurang baik.
GEJALA AUTISME
Autisme timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan sebagian anak memiliki gejala 
itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya 
sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang 
sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatapan mata.
Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, tetapi sebelum 
mencapai umur tiga tahun perkembangan terhenti, kemudian timbul kemunduran dan 
mulai tampak gejala-gejala autisme. Faktor pencetusnya misalnya ditinggal oleh orang 
terdekat secara mendadak, punya adik, sakit berat, bahkan ada yang gejalanya timbul setelah 
mendapatkan imunisasi.
Gejala-gajala akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu 
meliputi hal berikut (IDAI, 2004).
1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal.
a. Terlambat bicara.
b. Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain. 
c. Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.
d. Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
e. la banyak meniru atau membeo (echolalia).
f. Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan kata-kata tanpa 
mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak dapat bicara sampai 
dewasa.
g. Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan mengharapkan 
tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya. 
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.
a. Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
b. Tak mau menengok bila dipanggil. 
c. Sering kali menolak untuk dipeluk.
d. Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih asyik main sendiri.
e. Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh. 
3. Gangguan dalam bidang perilaku.
a. Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient).
1) Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas motorik, seperti 
tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, melompat￾lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang 
suatu gerakan tertentu.
2) Contoh perilaku yang kekurangan adalah duduk diam bengong dengan tatap 
mata yang kosong, melakukan permainan yang sama atau monoton dan kurang 
variatif secara berulang-ulang, sering duduk diam terpukau oleh sesuatu misalnya 
bayangan dan benda yang berputar.
b. Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu, kertas, gambar, 
gelang karet, atau apa saja yang terus dipeganganya dan dibawa ke mana saja.
c. Perilaku ritual (ritualistic).
4. Gangguan dalan bidang perasaan atau emosi.
a. Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya melihat anak 
menangis, maka ia tidak merasa kasihan, tetapi merasa terganggu dan anak yang 
menangis tersebut mungkin didatangi dan dipukul.
b. Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata.
c. Sering mengamuk takterkendali (bisa menjadi agresif dan destruktif).
5. Gangguan dalam persepsi sensori.
a. Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja.
b. Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga. 
c. Tidak menyukai rabaan atau pelukan.
d. Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar.
PENATALAKSANAAN MENYELURUH
1. Terapi psikofarmaka
 Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan gangguan 
emosi dan perilaku temper tantrum, agresivitas baik terhadap diri sendiri maupun pada 
orang-orang di sekitarnya, serta hiperaktivitas dan stereotipik. Untuk mengendalikan 
gangguan emosi ini diperlukan obat yang memengaruhi berfungsinya sel otak. Obat 
yang digunakan antara lain sebagai berikut.
a. Haloperidol
Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya 
digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper tantrum yang tidak 
terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya 
digunakan dalam dosis 0,20 mg
b. Fenfluramin
Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat 
pada beberapa anak autisme.
c. Naltrexone
Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen 
sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan 
mengurangi hiperaktivitas.
d. Clompramin
Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku 
ritual, dan agresivitas, serta biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg.
e. Lithium
Merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif dan 
mencederai diri sendiri.
f. Ritalin
Untuk menekan hiperaktivitas.
2. Terapi perilaku
 Penatalaksanaan gangguan autisme menggunakan metode Lovass. Metode Lovass 
adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis
(ABA). ABA juga sering disebut sebagai intervensi perilaku (behavioral intervension) 
atau modifikasi (behavioral modification). Dasar pemikirannya adalah perilaku yang 
diinginkan atau yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem 
penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Pemberian penghargaan akan 
meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman 
akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.
3. Terapi bicara
 Gangguan bicara dan berbahasa diderita oleh hampir semua anak autisme. Tata 
laksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan karena merupakan gangguan 
yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara kata demi kata, serta 
cara ucapan harus diperhatikan. Setelah mampu berbicara, diajarkan berdialog. Anak 
dipaksa untuk memandang terapis, karena anak autisme tidak mau adu pandang dengan 
orang lain. Dengan adanya kontak mata, maka diharapkan anak dapat meniru gerakan 
bibir terapis.
4. Terapi okupasional
 Melatih anak untuk menghilangkan gangguan perkembangan motorik halusnya dengan 
memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau melakukan keterampilan 
lainnya.
5. Terapi fisik
 Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak di antara individu autis 
mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Fisioterapi dan terapi 
integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan 
memperbaiki keseimbangan tubuhnya.
6. Terapi sosial
 Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam bidang komunikasi 
dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan 
berkomunikasi dua arah dan main bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial 
membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman￾teman sebaya dan mengajari cara-caranya.
7. Terapi bermain
 Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan 
dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, 
komunikasi, dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam 
hal ini dengan teknik-teknik tertentu.
8. Terapi perkembangan
 Floortime, Son-rise, dan Relationship Developmental Intervention (RDI) dianggap 
sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya, dan 
tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional, dan 
intelektualnya.
9. Terapi visual
 Individu dengan autisme lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners atau
visual thinkers). Hal ini yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode 
belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode Picture Exchange 
Communication System (PECS). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk 
mengembangkan keterampilan komunikasi.
10. Pendidikan khusus
 Anak autisme mudah terganggu perhatiannya, sehingga pada pendidikan khusus satu 
guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak ada gambar￾gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan 
perhatian anak. Setelah ada perkembangan, maka mulai dilibatkan dalam lingkungan 
kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul 
dan berkomunikasi, maka mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk 
anak normal.
11. Terapi alternatif
 Terapi yang digolongkan terapi altenatif adalah semua terapi baru yang masih berlanjut 
dengan penelitian. Salah satunya adalah terapi detoksifikasi. Terapi ini menggunakan 
nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan 
kadar bahan-bahan beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding 
dengan anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Kandungan 
yang dikeluarkan terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan timah yang 
memengaruhi sistem kerja otak. Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan, dan shower, 
yang diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air putih minimal dua liter 
sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk dalam tubuh.
MASALAH KEPERAWATAN YANG TIMBUL
1. Risiko mutilasi diri sendiri berhubungan dengan gangguan neurologis.
2. Kerusakan interaksi sosial berhubungan dengan gangguan neurologis.
3. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan stimulasi sensori yang kurang, 
menarik diri.
4. Gangguan identitas diri berhubungan dengan stimulasi sensori yang kurang.
DIET UNTUK ANAK AUTIS
Selain tindakan keperawatan harus disesuaikan dengan masalah keperawatan, ada beberapa 
aturan diet khusus pada anak autis. Hal ini patut dipertimbangkan, karena faktor eksternal 
penyebab autis adalah banyak yang belum dapat dijelaskan dengan tegas, dan banyak terkait 
dengan konsumsi makanan yang mengandung logam berat. 
Makanan yang Harus Dihindari
1. Gluten, yaitu pada gandum, terigu, mie, spageti, makanan ringan, dan lain-lain. Produk 
olahan (gluten), seperti kecap, roti, kue, dan sebagainya.
2. Kasein, yaitu susu sapi, kambing, keju, es krim, mentega, yoghurt, kue kemasan
(cookies).
3. Makanan yang mengandung penyedap rasa.
4. Bahan pemanis dan pewarna buatan, seperti permen, saos tomat, minuman kemasan 
(soft drink), dan lain-lain.
5. Makanan yang diawetkan, seperti bakso, pangsit.
6. Makanan cepat saji (fastfood).
7. Buah yang harus dihindari, yakni pisang, apel, anggur, jeruk, tomat.
8. Semua makan yang menjadi alergen.
9. Penurun panas yang ada, misalnya asetil salisilat, asetaminofen, parasetamol.
Makanan yang Boleh
1. Tepung, seperti ketan, beras, kedelai, tapioka, sagu, hunkwe, soun, bihun, kentang.
2. Buah, seperti pepaya, semangka, melon, nanas.
3. Bahan pewarna alami, misalnya daun pandan, kunyit, coklat bubuk.
4. Margarin dari tumbuhan, santan.
5. Obat penurun panas, misal ibuprofen (proris)

































Jiwa adalah unsur manusia yang bersifat nonmateri, tetapi fungsi dan manifestasinya sangat 
terkait pada materi. Mahasiswa yang pertama kali mempelajari ilmu jiwa dan keperawatan jiwa 
sering mengalami kesulitan dengan hal yang harus dipelajari, karena jiwa bersifat abstrak dan 
tidak berwujud benda. Setiap manusia memiliki jiwa, tetapi ketika ditanya, “Mana jiwamu?” 
hanya sebagian kecil yang dapat menunjukkan tempat jiwanya. Hal ini karena jiwa memang 
bukan berupa benda, melainkan sebuah sistem perilaku, hasil olah pemikiran, perasaan, 
persepsi, dan berbagai pengaruh lingkungan sosial. Semua ini merupakan manifestasi sebuah 
kejiwaan seseorang. Oleh karena itu, untuk mempelajari ilmu jiwa dan keperawatannya, 
pelajarilah dari manifestasi jiwa terkait pada materi yang dapat diamati berupa perilaku 
manusia. 
Manifestasi jiwa antara lain tampak pada kesadaran, afek, emosi, psikomotor, proses 
berpikir, persepsi, dan sifat kepribadian. Kesadaran dalam hal ini lebih bersifat kualitatif, 
diukur dengan memperhatikan perbedaan stimulus (stressor) dan respons (perilaku yang 
ditampilkan), serta tidak diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Suatu saat kami (K) 
sedang menjenguk teman (T) yang dirawat di unit psikiatri sebuah rumah sakit di Surabaya. 
Ketika kami sampai di pintu ruang perawatan, spontan dia marah dan berteriak keras 
sembari menuding ke arah kami, seraya berkata seperti pada percakapan berikut.
T: “Jika kamu tidak suka dengan aku, tidak usah ke sini. Buat apa kamu datang jika 
tidak suka sama aku, pergi kamu, pergiiii...”.
K : kami tertegun, kemudian menjawab “Justru aku ke sini karena aku suka kamu, 
kami ada perhatian dengan kamu, kami ingin tahu bagaimana kabar dan 
keadaanmu”.
T : “Tapi kenapa kamu pakai baju merah?” (salah satu di antara kami ada yang 
memakai baju merah).
K : “Memang kenapa? Ada apa dengan baju merah?”
T : “Merah kan artinya Stop, tidak boleh jalan, dilarang masuk. Berarti kamu tidak 
suka dengan aku, pergi kamu, pergiii..”.
Dari sepenggal percakapan di atas, kita dapat menganalisis betapa pasien memberikan 
makna berlebihan terhadap warna merah. Pasien berkonotasi dengan hal lain yang tidak ada 
kaitannya dengan pakaian warna merah. Kemudian diekspresikan dengan perilaku marah, 
berteriak, dan menciptakan suasana tidak kondusif. Inilah contoh kesadaran yang terlalu 
tinggi, yakni hanya dengan sedikit stimulasi (baju merah) dia memberikan makna atau 
reaksi berlebihan.Selain kesadaran terlalu tinggi, dalam keperawatan kesehatan jiwa kita sering 
menemukan kesadaran terlalu rendah. Hal ini sering dialami oleh pasien depresi atau yang 
tertekan. Dengan stimulasi yang banyak, pasien tetap tidak memberikan respons, seperti 
diajak makan tidak mau, diajak mandi tidak mau, diajak jalan jalan tidak mau. Pasien hanya 
duduk diam, tidak beranjak dari tempatnya, bahkan diajak bicara pun pasien tidak menjawab. 
Selain itu, mungkin kita temukan kesadaran pasien yang fluktuatif, kadang marah, kadang 
diam, sebentar marah sebentar lagi tertawa.
Aspek kesadaran pada masalah kejiwaan mungkin kita temukan kesadaran yang terlalu 
tinggi, terlalu rendah, atau fluktuatif. Inilah manifestasi jiwa, tampak dari perilaku yang 
diekspresikan (secara lebih detail, ekspresi perilaku pasien akan dipelajari pada komponen 
pengkajian tanda dan gejala gangguan jiwa).
PENGERTIAN KESEHATAN JIWA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sehat adalah dalam keadaan bugar dan nyaman 
seluruh tubuh dan bagian-bagiannya. Bugar dan nyaman adalah relatif, karena bersifat 
subjektif sesuai orang yang mendefinisikan dan merasakan. Bagi seorang kuli bangunan, kaki 
kejatuhan batu, tergencet, dan berdarah-darah adalah hal biasa, karena hanya dengan sedikit 
dibersihkannya, kemudian disobekkan pakaian kumalnya, lalu dibungkus, kemudian dapat 
melanjutkan pekerjaan lagi. Namun, bagi sebagian orang, sakit kepala sedikit harus berobat 
ke luar negeri. Seluruh komponen tubuh juga relatif, apakah karena adanya panu, kudis, atau 
kurap pada kulit, seseorang disebut tidak sehat? Padahal komponen tubuh manusia bukan 
hanya fisik, melainkan juga psikologis dan lingkungan sosial bahkan spiritual.
Jiwa yang sehat sulit didefinisikan dengan tepat. Meskipun demikian, ada beberapa 
indikator untuk menilai kesehatan jiwa. Karl Menninger mendefinisikan orang yang 
sehat jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri pada 
lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat, dan bahagia. Michael Kirk 
Patrick mendefinisikan orang yang sehat jiwa adalah orang yang bebas dari gejala gangguan 
psikis, serta dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya. Clausen mengatakan 
bahwa orang yang sehat jiwa adalah orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat 
berbagai stresor, serta dipengaruhi oleh besar kecilnya stresor, intensitas, makna, budaya, 
kepercayaan, agama, dan sebagainya.
World Health Organization (WHO) pada tahun 2008 menjelaskan kriteria orang yang 
sehat jiwanya adalah orang yang dapat melakukan hal berikut.
1. Menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk.
2. Merasa bebas secara relatif dari ketegangan dan kecemasan.
3. Memperoleh kepuasan dari usahanya atau perjuangan hidupnya.
4. Merasa lebih puas untuk memberi dari pada menerima.5. Berhubungan dengan orang lain secara tolong-menolong dan saling memuaskan.
6. Mempunyai daya kasih sayang yang besar.
7. Menerima kekecewaan untuk digunakan sebagai pelajaran di kemudian hari.
8. Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif.
Di Indonesia draf rencana undang undang (RUU) kesehatan jiwa belum selesai 
dibahas. Pada perundangan terdahulu, UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966 tentang Upaya 
Kesehatan Jiwa, memberikan batasan bahwa upaya kesehatan jiwa adalah suatu kondisi 
dapat menciptakan keadaan yang memungkinkan atau mengizinkan perkembangan fisik, 
intelektual, dan emosional yang optimal pada seseorang, serta perkembangan ini selaras 
dengan orang lain. Menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pada Bab IX 
tentang kesehatan jiwa menyebutkan Pasal 144 ayat 1 “Upaya kesehatan jiwa ditujukan 
untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari 
ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Ayat 2, 
“Upaya kesehatan jiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas preventif, promotif, 
kuratif, rehabilitatif pasien gangguan jiwa, dan masalah psikososial”.
Batasan ini pun sulit dipenuhi, sehingga semua kriteria dapat dipertimbangkan dalam 
menilai kesehatan jiwa. Oleh karenanya, orang yang sehat jiwanya adalah orang yang sebagai 
berikut.
1. Melihat setiap hari adalah baik, tidak ada satu alasan sehingga pekerjaan harus ditunda, 
karena setiap hari adalah baik.
2. Hari besok adalah hari yang baik.
3. Tahu apa yang diketahui dan tahu apa yang tidak diketahui.
4. Bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan membuat lingkungan menjadi lebih 
baik.
5. Selalu dapat mengembangkan usahanya.
6. Selalu puas dengan hasil karyanya.
7. Dapat memperbaiki dirinya dan tidak menganggap dirinya selalu benar.
SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN 
KESEHATAN JIWA
Zaman Mesir Kuno
Pada zaman ini, gangguan jiwa dianggap disebabkan karena adanya roh jahat yang bersarang 
di otak. Oleh karena itu, cara menyembuhkannya dengan membuat lubang pada tengkorak 
kepala untuk mengeluarkan roh jahat yang bersarang di otak tersebutHal ini terbukti dengan ditemukannya lubang di kepala pada orang yang pernah 
mengalami gangguan jiwa. Selain itu, ditemukan pada tulisan Mesir Kuno tentang siapa saja 
yang pernah kena roh jahat dan telah dilubangi kepalanya.
Tahun-tahun berikutnya, pasien yang mengalami gangguan jiwa diobati dengan 
dibakar, dipukuli, atau dimasukkan dalam air dingin dengan cara diajak jalan melewati 
sebuah jembatan lalu diceburkan dalam air dingin dengan maksud agar terkejut, yakni 
semacam syok terapi dengan harapan agar gangguannya menghilang. 
Hasil pengamatan berikutnya diketahui ternyata orang yang menderita skizofrenia 
tidak ada yang mengalami epilepsi (kejang atau hiperplasia). Padahal penderita epilepsi 
setelah kejangnya hilang dapat pulih kembali. Oleh karenanya, pada orang skizofrenia 
dicoba dibuat hiperplasia dengan membuat terapi koma insulin dan terapi kejang listrik 
(elektro convulsif theraphy).
Zaman Yunani (Hypocrates)
Pada zaman ini, gangguan jiwa sudah dianggap suatu penyakit. Upaya pengobatannya 
dilakukan oleh dokter dan orang yang berdoa untuk mengeluarkan roh jahat. Pada waktu 
itu, orang sakit jiwa yang miskin dikumpulkan dan dimasukkan dalam rumah sakit jiwa. 
Jadi, rumah sakit jiwa lebih banyak digunakan sebagai tempat penampungan orang gangguan 
jiwa yang miskin, sehingga keadaannya sangat kotor dan jorok. Sementara orang kaya yang 
mangalami gangguan jiwa dirawat di rumah sendiri.
Pada tahun 1841, Dorothea Line Dick melihat keadaan perawatan gangguan jiwa. Ia 
tersentuh hatinya, sehingga berusaha memperbaiki pelayanan kesehatan jiwa. Bersamaan 
dengan itu, Herophillus dan Erasistratus memikirkan apa yang sebenarnya ada dalam otak, 
sehingga ia mempelajari anatomi otak pada binatang. Khale kurang puas hanya mempelajari 
otak, sehingga ia berusaha mempelajari seluruh sistem tubuh hewan (Notosoedirjo, 2001).
Zaman Vesalius
Vesalius tidak yakin hanya dengan mempelajari anatomi hewan saja, sehingga ia ingin 
mempelajari otak dan sistem tubuh manusia. Namun, membelah kepala manusia untuk 
dipelajari merupakan hal yang mustahil, apalagi mempelajari seluruh sistem tubuh manusia. 
Akhirnya, ia berusaha mencuri mayat manusia untuk dipelajari. Sayangnya kegiatannya 
tersebut diketahui masyarakat, sehingga ia ditangkap, diadili, dan diancam hukuman 
mati (pancung). Namun, ia bisa membuktikan bahwa kegiatannya itu untuk kepentingan 
keilmuan, maka akhirnya ia dibebaskan. Versailus bahkan mendapat penghargaan karena bisa 
menunjukkan adanya perbedaan antara manusia dan binatang. Sejak saat itu dapat diterima 
bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit. Namun kenyatannya, pelayanan di rumah sakit 
jiwa tidak pernah berubah. Orang yang mengalami gangguan jiwa dirantai, karena petugasnya 
khawatir dengan keadaan pasien. 

Revolusi Prancis I
Phillipe Pinel, seorang direktur di RS Bicetri Prancis, berusaha memanfaatkan Revolusi Prancis 
untuk membebaskan belenggu pada pasien gangguan jiwa. Revolusi Prancis ini dikenal dengan 
revolusi humanisme dengan semboyan utamanya “Liberty, Equality, Fraternity”. Ia meminta 
kepada walikota agar melepaskan belenggu untuk pasien gangguan jiwa. Pada awalnya, 
walikota menolak. Namun, Pinel menggunakan alasan revolusi, yaitu “Jika tidak, kita harus 
siap diterkam binatang buas yang berwajah manusia”. Perjuangan ini diteruskan oleh murid￾murid Pinel sampai Revolusi II. 
Revolusi Kesehatan Jiwa II
Dengan diterima gangguan jiwa sebagai suatu penyakit, maka terjadilah perubahan orientasi 
pada organo biologis. Pada saat ini, Qubius menuntut agar gangguan jiwa masuk dalam bidang 
kedokteran. Oleh karena itu, ganguan jiwa dituntut mengikuti paradigma natural sciences, 
yaitu ada taksonomi (penggolongan penyakit) dan nosologi (ada tanda/gejala penyakit). 
Akhirnya, Emil Craepelee mampu membuat penggolongan dari tanda-tanda gangguan jiwa. 
Sejak saat itu, kesehatan jiwa terus berkembang dengan berbagai tokoh dan spesfikasinya 
masing-masing. 
Revolusi Kesehatan Jiwa III
Pola perkembangan pada Revolusi Kesehatan Jiwa II masih berorientasi pada berbasis rumah 
sakit (hospital base), maka pada perkembangan berikutnya dikembangkanlah basis komunitas 
(community base) dengan adanya upaya pusat kesehatan mental komunitas (community mental 
health centre) yang dipelopori oleh J.F. Kennedy. Pada saat inilah disebut revolusi kesehatan 
jiwa III. 
GANGGUAN JIWA
Pengertian Gangguan Jiwa
Gangguan jiwa menurut PPDGJ III adalah sindrom pola perilaku seseorang yang secara khas 
berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau hendaya (impairment) di dalam satu 
atau lebih fungsi yang penting dari manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan 
gangguan itu tidak hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan 
masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010). 
Gangguan jiwa merupakan deskripsi sindrom dengan variasi penyebab. Banyak yang 
belum diketahui dengan pasti dan perjalanan penyakit tidak selalu bersifat kronis. Pada 
umumnya ditandai adanya penyimpangan yang fundamental, karakteristik dari pikiran dan 
persepsi, serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Maslim, 2002)
Sumber Penyebab Gangguan Jiwa
Manusia bereaksi secara keseluruhan—somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab 
gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala gangguan jiwa yang menonjol adalah 
unsur psikisnya, tetapi yang sakit dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 
2010). 
1. Faktor somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada neuroanatomi, 
neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan dan perkembangan 
organik, serta faktor pranatal dan perinatal.
2. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan anak, peranan 
ayah, persaingan antarsaudara kandung, hubungan dalam keluarga, pekerjaan, 
permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi, tingkat perkembangan emosi, 
konsep diri, dan pola adaptasi juga akan memengaruhi kemampuan untuk menghadapi 
masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat mengakibatkan kecemasan, 
depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan. 
3. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola mengasuh 
anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok minoritas yang meliputi 
prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh 
rasial dan keagamaan.
Klasifikasi Gangguan Jiwa
Klasifikasi diagnosis gangguan jiwa telah mengalami berbagai penyempurnaan. Pada tahun 
1960-an, World Health Organization (WHO) memulai menyusun klasifikasi diagnosis seperti 
tercantum pada International Classification of Disease (ICD). Klasifikasi ini masih terus 
disempurnakan, yang saat ini telah sampai pada edisi ke sepuluh (ICD X). Asosiasi dokter 
psikiatri Amerika juga telah mengembangkan sistem klasifikasi berdasarkan diagnosis dan 
manual statistik dari gangguan jiwa (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder—
DSM). Saat ini, klasifikasi DSM telah sampai pada edisi DSM-IV-TR yang diterbitkan 
tahun 2000. Indonesia menggunakan pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa 
(PPDGJ), yang saat ini telah sampai pada PPDGJ III (Maslim, 2002; Cochran, 2010; Elder, 
2012; Katona, 2012).
Sistem klasifikasi pada ICD dan DSM menggunakan sistem kategori. ICD menggunakan 
sistem aksis tunggal (uniaksis), yang mencoba menstandarkan diagnosis menggunakan 
definisi deskriptif dari berbagai sindroma, serta memberikan pertimbangan untuk 
diagnosis banding. Kriteria diagnosis pada DSM menggunakan sistem multiaksis, yang 
menggambarkan berbagai gejala yang harus ada agar diagnosis dapat ditegakkan (Katona, 
2012). Multiaksis tersebut meliputi hal sebagai berikut.
1. Aksis 1 : sindroma klinis dan kondisi lain yang mungkin menjadi fokus perhatian 
klinis.2. Aksis 2 : gangguan kepribadian dan retardasi mental.
3. Aksis 3 : kondisi medis secara umum.
4. Aksis 4 : masalah lingkungan dan psikososial.
5. Aksis 5 : penilaian fungsi secara global.
Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia (PPDGJ) pada 
awalnya disusun berdasarkan berbagai klasifikasi pada DSM, tetapi pada PPDGJ III ini 
disusun berdasarkan ICD X. Secara singkat, klasifikasi PPDGJ III meliputi hal berikut.
1. F00 – F09 : gangguan mental organik (termasuk gangguan mental simtomatik).
2. F10 – F19 : gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif.
3. F20 – F29 : skizofrenia, gangguan skizotipal, dan gangguan waham.
4. F30 – F39 : gangguan suasana perasaan (mood/afektif).
5. F40 – F48 : gangguan neurotik, gangguan somatoform, dan gangguan terkait stres.
6. F50 – F59 : sindroma perilaku yang berhubungan dengan gangguan fisiologis dan 
 faktor fisik.
7. F60 – F69 : gangguan kepribadian dan perilaku masa dewasa.
8. F70 – F79 : retardasi mental.
9. F80 – F89 : gangguan perkembangan psikologis.
10. F90 – F98 : gangguan perilaku dan emosional dengan onset biasanya pada anak dan 
 remaja.
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 
2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1) gangguan jiwa berat/kelompok psikosa dan (2) 
gangguan jiwa ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, 
panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk skizofrenia masuk dalam kelompok 
gangguan jiwa berat. 
Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien gangguan jiwa dapat ditegakkan 
berdasarkan kriteria NANDA (North American Nursing Diagnosis Association) ataupun NIC 
(Nursing Intervention Classification) NOC (Nursing Outcame Criteria). Untuk di Indonesia 
menggunakan hasil penelitian terhadap berbagai masalah keperawatan yang paling 
sering terjadi di rumah sakit jiwa. Pada penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh masalah 
keperawatan utama yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa di Indonesia, yaitu:
1. perilaku kekerasan;
2. halusinasi;
3. menarik diri;
4. waham;
5. bunuh diri; 6. defisit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri, makan, aktivitas sehari-hari, 
buang air);
7. harga diri rendah.
Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh diagnosis keperawatan 
terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah sakit jiwa di Indonesia adalah sebagai 
berikut.
1. Perilaku kekerasan.
2. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan, verbal).
3. Gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran, penglihatan, pengecap, peraba, 
penciuman).
4. Gangguan proses pikir.
5. Kerusakan komunikasi verbal.
6. Risiko bunuh diri.
7. Isolasi sosial.
8. Kerusakan interaksi sosial.
9. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi).
10. Harga diri rendah kronis.
Dari seluruh klasifikasi diagnosis keperawatan yang paling sering ditemukan di rumah 
sakit jiwa ini, telah dibuat standar rencana tindakan yang dapat digunakan acuan perawat 
dalam melaksanakan asuhan keperawatan kesehatan jiwa.



Stuart dan Sundeen memberikan batasan tentang keperawatan jiwa, yaitu suatu proses 
interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan perilaku, yang 
mengontribusi pada fungsi yang terintegrasi. Sementara ANA (American Nurses Association) 
mendefinisikan keperawatan kesehatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik 
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan 
diri secara terapeutik sebagai kiatnya (Stuart, 2007). Berdasarkan dua pengertian di atas, 
maka setiap perawat jiwa dituntut mampu menguasai bidangnya dengan menggunakan ilmu 
perilaku sebagai landasan berpikir dan berupaya sedemikian rupa sehingga dirinya dapat 
menjadi alat yang efektif dalam merawat pasien (Depkes RI, 1998).
Penggunaan diri secara terapeutik secara detail sudah dibahas pada mata ajar ilmu 
dasar keperawatan pada topik komunikasi terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu 
cara dalam berkomunikasi dengan menekankan pengalaman belajar bersama dengan pasien 
untuk memperbaiki emosi pasien. Walaupun perawat atau tenaga kesehatan lain lebih 
mengerti tentang masalah kesehatan, seseorang yang lebih mengerti tentang masalah pasien 
adalah pasien. Oleh karenanya, perawat harus menciptakan rasa percaya (trust) agar pasien 
dapat mempercayai perawat sebagai tempat berkeluh kesah tentang masalah kesehatannya. 
Perawat mengkaji data secara verbal dan nonverbal sehingga dapat dirumuskan masalah 
keperawatan untuk diselesaikan bersama dengan pasien. Dengan demikian, perawat dapat 
menggunakan dirinya sebagai seorang penolong (helper). 
Ada beberapa pertanyaan yang bisa dijawab untuk mengetahui (introspeksi) perawat 
adalah orang yang layak membantu atau “penolong”, antara lain sebagai berikut (Stuart dan 
Laraia, 2005).
1. Apakah saya dapat dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya, serta dapat dijadikan 
pegangan atau konsisten dalam arti yang mendalam?
2. Apakah saya cukup ekspresif?
3. Apakah saya bersikap positif, hangat, perhatian, menyukai, menaruh perhatian, dan 
respek?
4. Apakah saya cukup stabil untuk berpisah dengan seseorang?
5. Apakah saya dapat membiarkan diri sepenuhnya “masuk ke dunia” orang lain (perasaan, 
makna diri) dan menerima pihak lain apa adanya?
6. Apakah perilaku saya tidak dianggap sebagai ancaman pihak lain?
7. Apakah saya membebaskan pasien dari perasaan terancam oleh kritik/kecaman/
penilaian eksternal?
8. Apakah saya menerima pasien sebagai “on becoming individu” ataukah terikat oleh kesan 
yang lalu?
Beberapa pertanyaan di atas merupakan indikator yang harus dipenuhi apabila 
perawat ingin menjadi seorang helper. Selain seorang helper, perawat harus menyadari bahwa kemampuan terapeutik perawat dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti kualitas 
personal, komunikasi fasilitatif, dimensi respons, dimensi tindakan, dan hambatan dalam 
komunikasi.
Kualitas personal, tercermin dari kemampuan perawat untuk melakukan menganalisis 
diri. Apabila perawat mampu melakukan analisis diri. Perawat diharapkan dapat 
menggunakan dirinya secara terapeutik untuk membantu dan mengembangkan pengalaman 
bersama pasien dalam menyelesaikan permasalahan pasien.
Komunikasi fasilitatif merupakan cerminan kemampuan perawat untuk menerapkan 
prinsip komunikasi dan berbagai faktor yang memengaruhi. Komunikasi fasilitatif meliputi 
perilaku verbal, perilaku nonverbal, kemampuan perawat menganalisis masalah, dan 
menerapkan teknik terapeutik.
Dimensi respons merupakan reaksi perawat terhadap komunikasi yang terjadi. Dimensi 
respons ini terdiri atas sikap ikhlas, hormat, empati, dan konkret. Setelah dimensi respons, 
biasanya akan diikuti oleh dimensi tindakan, seperti konfrontasi, kesegeraan, keterbukaan, 
emosional katarsis, dan bermain peran.Selain semua faktor di atas, masih ada faktor yang memengaruhi komunikasi terapeutik 
yaitu hambatan terapeutik atau kebutuhan terapeutik. Hambatan terapeutik ini dapat berasal 
dari perawat ataupun pasien. Hambatan terapeutik dari pasien biasanya berupa resistensi 
dan transferen. Sementara hambatan terapeutik yang dari perawat dapat berupa konter 
transferen dan pelanggaran batasan.
Setelah memahami konsep penggunaan diri secara terapeutik, seorang perawat jiwa 
harus menggunakan ilmu perilaku untuk membantu menyelesaikan masalah. Secara umum 
tidak ada seseorang menangis jika tidak ada sebabnya, tidak ada orang marah jika tidak ada 
sebabnya, dan seterusnya. Pelajarilah berbagai teori perilaku, teori alasan bertindak (theory 
reason action), dan teori perencanaan bertindak (theory plan behavior), sehingga dapat 
dikembangkan berbagai falsafah dalam keperawatan kesehatan jiwa.
Keperawatan jiwa adalah suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan yang menerapkan 
teori perilaku sebagai ilmunya dan penggunaan diri secara terapeutik sebagai kiatnya.
FALSAFAH KEPERAWATAN JIWA
Beberapa keyakinan mendasar yang digunakan dalam keperawatan jiwa antara lain sebagai 
berikut (Depkes RI, 1998).
1. Individu memiliki harkat dan martabat, sehingga setiap individu perlu dihargai.
2. Tujuan individu meliputi tumbuh, sehat, otonomi, dan aktualisasi diri.
3. Setiap individu mempunyai potensi untuk berubah.
4. Manusia adalah makhluk holistik yang berinteraksi dan bereaksi dengan lingkungan 
sebagai manusia yang utuh.
5. Setiap orang memiliki kebutuhan dasar yang sama.
6. Semua perilaku individu adalah bermakna.
7. Perilaku individu meliputi persepsi, pikiran, perasaan, dan tindakan.
8. Individu memiliki kapasitas koping yang bervariasi, yang dipengaruhi oleh kondisi 
genetik, lingkungan, kondisi stres, dan sumber yang tersedia.
9. Sakit dapat menumbuhkan dan mengembangkan psikologis bagi individu.
10. Setiap orang mempunyai hak mendapatkan pelayanan kesehatan yang sama.
11. Kesehatan mental adalah komponen kritis dan penting dari pelayanan kesehatan yang 
komprehensif.
12. Individu mempunyai hak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan untuk 
kesehatan fisik dan mentalnya.
13. Tujuan keperawatan adalah meningkatkan kesejahteraan, memaksimalkan fungsi 
(meminimalkan kecacatan/ketidakmampuan), dan meningkatkan aktualisasi diri.
14. Hubungan interpersonal dapat menghasilkan perubahan dan pertumbuhan pada 
individu.
MODEL PRAKTIK KEPERAWATAN JIWA
Model adalah suatu cara untuk mengorganisasikan pengetahuan yang kompleks, membantu 
praktisi, serta memberi arah dan dasar dalam menentukan bantuan yang diperlukan. Model 
praktik keperawatan jiwa mencerminkan sudut pandang dalam mempelajari penyimpangan 
perilaku dan proses terapeutik dikembangkan. Model praktik dalam keperawatan kesehatan 
jiwa ini menggambarkan sebuah psikodinamika terjadinya gangguan jiwa. 
Psikodinamika terjadinya gangguan jiwa menggambarkan serangkaian peristiwa, 
sehingga gangguan jiwa terjadi. Oleh karenanya, diperlukan pengkajian mendalam terhadap 
berbagai faktor penyebab gangguan jiwa, tanda dan gejala, serta urutan kejadian peristiwa. 
Dengan demikian, akan tergambarkan sebagai masalah keperawatan yang ditemukan (pada 
komponen pengkajian keperawatan jiwa), sehingga dapat disusun jejaring urutan kejadian 
masalah dalam sebuah pohon masalah.
Beberapa model praktik yang dikembangkan dalam keperawatan kesehatan jiwa 
antara lain model psikoanalisis, model interpersonal, model sosial, eksistensial, suportif, 
komunikasi, perilaku, model medik, dan yang paling sering digunakan dalam keperawatan 
jiwa adalah model stres adaptasi.
Secara singkat beberapa model dalam praktik keperawatan jiwa seperti terangkum 
pada tabel berikut.
MODEL STRES ADAPTASI DALAM KEPERAWATAN JIWA
Model ini pertama kali dikembangkan oleh Gail Stuart pada tahun 1983. Fakta menunjukkan 
bahwa banyak pasien mengalami gangguan jiwa karena kegagalan beradaptasi, misal pada 
ringkasan kasus berikut.
Kasus 1
Nona A lulusan sekolah menengah atas dan termasuk dalam peringkat sepuluh besar. Rumah 
agak terpencil dan jauh dari kota besar. Sepulang dari kelulusan SMA, ia dengan bangga 
bercerita kepada ibunya dan mengutarakan rencana kuliah yang ingin ditempuh. Ibunya 
tidak terlalu menanggapi keinginan anaknya untuk kuliah, bahkan ibu memberikan nasihat, 
“Sudahlah Nak, kamu ini wanita, untuk apa sekolah sampai perguruan tinggi, toh setelah itu 
kamu akan kembali ke dapur, sumur, dan kasur”.
Nona A terkejut menegaskan keinginannya untuk tetap kuliah di beberapa perguruan 
tinggi negeri di kota yang sudah dipilih. Dengan modal peringkat sepuluh besarnya, Nona 
A yakin dapat menembus seleksi penerimaan mahasiswa baru, kemudian bisa mendapatkan 
beasiswa. Bagi Nona A, meskipun wanita dan tinggal di desa, harus tetap menempuh 
pendidikan sampai perguruan tinggi, apalagi modal dasar kepandaian sudah di tangan.
Ibu tetap melarang anaknya yang sudah berusia 17 tahun itu pergi ke kota untuk 
menempuh pendidikan di perguruan tinggi, meskipun secara finansial sebenarnya orang 
tuanya mampu untuk membiayai pendidikan anaknya. Akhirnya ibu berkata, “Sudahlah 
Nak, kamu tidak usah kuliah. Kamu ini wanita. Sebenarnya Ibu sudah memilihkan jodohuntuk dirimu, biarlah tidak terlalu tampan, yang penting dapat menjamin kehidupanmu di 
masa yang akan datang”.
Nona A tetap pada idealismenya dan ibu tetap pada keinginan untuk segera menikahkan 
anaknya karena sudah berjanji dengan calon menantu. Akhirnya dengan berbagai cara ibu 
merayu anaknya, tidak berhasil, meminta tolong saudara perempuannya, bahkan pada ibu 
guru ngajinya tidak berhasil.
Akhirnya sang Nona A menjadi pemarah, terutama setiap ketemu wanita dewasa. Oleh 
karena selalu marah setiap ketemu wanita dewasa inilah, akhirnya Nona A dibawa ke unit 
psikiatri. Terjadilah gangguan jiwa, risiko mencederai diri, orang lain, atau lingkungan.
Setelah ada trust saat dikaji oleh perawat, ternyata Nona A marah setiap ketemu wanita 
dewasa, karena Nona A menganggap pasti dia akan menyuruhnya untuk menikah.
Gangguan jiwa bukan disebabkan karena roh halus yang bersarang di tubuh manusia, 
melainkan karena kegagalan beradaptasi dengan kenyataan yang harus dihadapi.
Gambaran kasus di atas menunjukkan adanya konflik antara anak dan ibu, yang saling 
mempertahankan keinginannya sehingga tidak didapatkan adaptasi yang memuaskan.
Kasus 2
Nona B masih kelas 3 SMA, serta tinggal bersama ibu dan neneknya. Ayahnya sudah 
bercerai sehingga ibunya harus mencari nafkah untuk anak dan keluarganya. Pada saat 
tiga bulan menjelang ujian akhir, Nona B tertarik untuk mengikuti audisi MamaMia yang 
diselenggarakan di televisi yang dilihatnya. Nona B yakin sekali bahwa dia bisa memenangkan 
audisi ini, jika dibandingkan dengan para nominator sebelumnya. Nona B yakin kemampuan 
dirinya melebihi kualifikasi para pemenang sebelumnya, karena dia memang hobi musik dan 
bernyanyi, bahkan sudah sering naik panggung ketika tetangganya punya hajat. Dia yakin 
sekali bahwa suara, gaya, penampilan, dan trik untuk menguasai penonton sudah dikuasai 
dengan baik.
Setelah form diisi, Nona B dipanggil untuk seleksi audisi tahap awal. Sebelum berangkat 
Nona B pamit pada semua teman sekelasnya, “Teman-teman doakan aku yaa, mudah￾mudahan aku berhasil mengikuti audisi MamaMia, aku yakin, aku mampu kok”. Pada tahap 
seleksi awal, Nona B dinilai bagus berdasarkan suara, gaya, model, dan lain-lain. Tahap 
berikutnya, mama dari Nona B dipanggil. Nona B baru sadar bahwa dia mengikuti audisi 
tidak bersama mamanya tetapi dengan neneknya, karena mamanya harus bekerja.
Salah satu kriteria penilaian pada audisi MamaMia adalah dinilai kekompakan, 
kemampuan, serta keserasian antara peserta dengan mamanya pada saat beraksi dan 
bernyanyi di panggung. Oleh karena Nona B tidak bersama mamanya, maka dia terkena 
diskualifikasi, sebab ini bukan audisi NenekMia.
Nona B pulang dengan kecewa, karena hal yang dijanjikan pada teman-temannya 
untuk memenangi audisi ini sudah gagal total. Saat sampai di rumah, Nona B sangat malu, 
sehingga tidak mau ketemu tetangga dan tidak mau pergi ke. Sehari-hari hanya mengurungdiri di kamar, mulai jarang mandi, dan jarang makan. Terjadilah penurunan kemampuan 
aktivitas sehari-hari sampai gangguan fungsi peran dan defisit perawatan diri. Setelah dua 
bulan semakin menyendiri, Nona B dibawa ke unit psikiatri.
Orang yang sukses adalah bukan orang tidak pernah gagal, melainkan sejauh mana dia 
berhasil bangkit ketika mengalami kegagalan.
Keperawatan kesehatan jiwa menggunakan model stres adaptasi dalam 
mengidentifikasi penyimpangan perilaku. Model ini mengidentifikasi sehat sakit sebagai 
hasil berbagai karakteristik individu yang berinteraksi dengan faktor lingkungan. Model 
ini mengintegrasikan komponen biologis, psikologis, serta sosial dalam pengkajian dan 
penyelesaian masalahnya. Apabila masalah disebabkan karena fisik, maka pengobatan 
dengan fisik atau kimiawi. Apabila masalah psikologis, maka harus diselesaikan secara 
psikologis. Demikian pula jika masalah sosial, maka lebih sering dapat diselesaikan dengan 
pendekatan sosial melalui penguatan psikologis.
Beberapa hal yang harus diamati dalam model stres adaptasi adalah faktor predisposisi, 
faktor presipitasi, penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan mekanisme koping yang 
digunakan. Ada dua kemungkinan koping terpilih yaitu berada antara adaptif dan maladaptif. 
Koping ini bersifat dinamis, bukan statis pada satu titik. Dengan demikian, perilaku manusia 
juga selalu dinamis, yakni sesuai berbagai faktor yang memengaruhi koping terpilih.
Secara lengkap komponen pengkajian model stres adaptasi dalam keperawatan 
kesehatan jiwa adalah sebagai berikut.
Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi adalah faktor risiko yang menjadi sumber terjadinya stres yang 
memengaruhi tipe dan sumber dari individu untuk menghadapi stres baik yang biologis, 
psikososial, dan sosiokultural. Secara bersama-sama, faktor ini akan memengaruhi seseorang 
dalam memberikan arti dan nilai terhadap stres pengalaman stres yang dialaminya. Adapun 
macam-macam faktor predisposisi meliputi hal sebagai berikut.
1. Biologi: latar belakang genetik, status nutrisi, kepekaan biologis, kesehatan umum, dan 
terpapar racun.
2. Psikologis: kecerdasan, keterampilan verbal, moral, personal, pengalaman masa lalu, 
konsep diri, motivasi, pertahanan psikologis, dan kontrol.
3. Sosiokultural: usia, gender, pendidikan, pendapatan, okupasi, posisi sosial, latar belakang 
budaya, keyakinan, politik, pengalaman sosial, dan tingkatan sosial.
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi adalah stimulus yang mengancam individu. Faktor presipitasi memerlukan 
energi yang besar dalam menghadapi stres atau tekanan hidup. Faktor presipitasi ini dapat 
bersifat biologis, psikologis, dan sosiokultural. Waktu merupakan dimensi yang juga 
memengaruhi terjadinya stres, yaitu berapa lama terpapar dan berapa frekuensi terjadinya 
stres. Adapun faktor presipitasi yang sering terjadi adalah sebagai berikut.
1. Kejadian yang menekan (stressful)
 Ada tiga cara mengategorikan kejadian yang menekan kehidupan, yaitu aktivitas sosial, 
lingkungan sosial, dan keinginan sosial. Aktivitas sosial meliputi keluarga, pekerjaan, 
pendidikan, sosial, kesehatan, keuangan, aspek legal, dan krisis komunitas. Lingkungan 
sosial adalah kejadian yang dijelaskan sebagai jalan masuk dan jalan keluar. Jalan masuk 
adalah seseorang yang baru memasuki lingkungan sosial. Keinginan sosial adalah 
keinginan secara umum seperti pernikahan.
2. Ketegangan hidup
 Stres dapat meningkat karena kondisi kronis yang meliputi ketegangan keluarga yang 
terus-menerus, ketidakpuasan kerja, dan kesendirian. Beberapa ketegangan hidup yang 
umum terjadi adalah perselisihan yang dihubungkan dengan hubungan perkawinan, 
perubahan orang tua yang dihubungkan dengan remaja dan anak-anak, ketegangan 
yang dihubungkan dengan ekonomi keluarga, serta overload yang dihubungkan dengan 
peran.
Penilaian terhadap Stresor
Penilaian terhadap stresor meliputi penentuan arti dan pemahaman terhadap pengaruh 
situasi yang penuh dengan stres bagi individu. Penilaian terhadap stresor ini meliputi respons
kognitif, afektif, fisiologis, perilaku, dan respons sosial. Penilaian adalah dihubungkan dengan 
evaluasi terhadap pentingnya sustu kejadian yang berhubungan dengan kondisi sehat. 
1. Respons kognitif
 Respons kognitif merupakan bagian kritis dari model ini. Faktor kognitif memainkan 
peran sentral dalam adaptasi. Faktor kognitif mencatat kejadian yang menekan, memilih 
pola koping yang digunakan, serta emosional, fisiologis, perilaku, dan reaksi sosial 
seseorang. Penilaian kognitif merupakan jembatan psikologis antara seseorang dengan 
lingkungannya dalam menghadapi kerusakan dan potensial kerusakan. Terdapat tiga 
tipe penilaian stresor primer dari stres yaitu kehilangan, ancaman, dan tantangan.
2. Respons afektif
 Respons afektif adalah membangun perasaan. Dalam penilaian terhadap stresor respons 
afektif utama adalah reaksi tidak spesifik atau umumnya merupakan reaksi kecemasan, 
yang hal ini diekpresikan dalam bentuk emosi. Respons afektif meliputi sedih, takut, 
marah, menerima, tidak percaya, antisipasi, atau kaget. Emosi juga menggambarkan 
tipe, durasi, dan karakter yang berubah sebagai hasil dari suatu kejadian. 
3. Respons fisiologis
 Respons fisiologis merefleksikan interaksi beberapa neuroendokrin yang meliputi 
hormon, prolaktin, hormon adrenokortikotropik (ACTH), vasopresin, oksitosin, 
insulin, epineprin morepineprin, dan neurotransmiter lain di otak. Respons fisiologis 
melawan atau menghindar (the fight-or-fligh) menstimulasi divisi simpatik dari sistem 
saraf autonomi dan meningkatkan aktivitas kelenjar adrenal. Sebagai tambahan, stres 
dapat memengaruhi sistem imun dan memengaruhi kemampuan seseorang untuk 
melawan penyakit. 
4. Respons perilaku
 Respons perilaku hasil dari respons emosional dan fisiologis.
5. Respons sosial
 Respons ini didasarkan pada tiga aktivitas, yaitu mencari arti, atribut sosial, dan 
perbandingan sosial.
Sumber Koping
Sumber koping meliputi aset ekonomi, kemampuan dan keterampilan, teknik pertahanan, 
dukungan sosial, serta motivasi.
Mekanisme Koping
Koping mekanisme adalah suatu usaha langsung dalam manajemen stres. Ada tiga tipe 
mekanisme koping, yaitu sebagai berikut.
1. Mekanisme koping problem focus
 Mekanisme ini terdiri atas tugas dan usaha langsung untuk mengatasi ancaman diri.
 Contoh: negosiasi, konfrontasi, dan mencari nasihat.
2. Mekanisme koping cognitively focus
 Mekanisme ini berupa seseorang dapat mengontrol masalah dan menetralisasinya.
 Contoh: perbandingan positif, selective ignorance, substitution of reward, dan devaluation 
of desired objects.
3. Mekanisme koping emotion focus
 Pasien menyesuaikan diri terhadap distres emosional secara tidak berlebihan.
 Contoh: menggunakan mekanisme pertahanan ego seperti denial, supresi, atau 
proyeksi.
Mekanisme koping dapat bersifat konstruktif dan destruktif. Mekanisme konstruktif 
terjadi ketika kecemasan diperlakukan sebagai sinyal peringatan dan individu menerima 
sebagai tantangan untuk menyelesaikan masalah. Mekanisme koping destruktif menghindari 
kecemasan tanpa menyelasaikan konflik. 
Selain dapat dikategorikan dalam tiga tipe di atas, mekanisme koping dapat 
dikategorikan sebagai task oriented reaction dan ego oriented reaction. Task oriented reaction
adalah berpikir serta mencoba berhati-hati untuk menyelesaikan masalah, menyelesaikan 
konflik, dan memberikan kepuasan. Task oriented reaction berorientasi dengan kesadaran 
secara langsung dan tindakan. Sementara, ego ariented reaction sering digunakan untuk 
melindungi diri. Reaksi ini sering disebut sebagai mekanisme pertahanan. Setiap orang 
menggunakan mekanisme pertahanan dan membantu seseorang mengatasi kecemasan 
dalam tingkat ringan sampai dengan sedang. Ego oriented reaction dilakukan pada tingkat 
tidak sadar.
ASPEK LEGAL DAN ETIK DALAM KEPERAWATAN JIWA
Pokok bahasan aspek legal dan etis dalam keperawatan jiwa diawali dengan pembahasan 
peran fungsi perawat jiwa, domain aktivitas keperawatan jiwa, standar praktik keperawatan 
jiwa, dan penerapan konsep etika dalam keperawatan jiwa.
Peran dan fungsi perawat jiwa saat ini telah berkembang secara kompleks dari 
elemen historis aslinya (Stuart, 2002). Peran perawat jiwa sekarang mencakup parameter 
kompetensi klinik, advokasi pasien, tanggung jawab fiskal (keuangan), kolaborasi profesional, 
akuntabilitas (tanggung gugat) sosial, serta kewajiban etik dan legal. Dengan demikian, 
dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa perawat dituntut melakukan aktivitas pada 
tiga area utama yaitu:
1. aktivitas asuhan langsung, 
2. aktivitas komunikasi, dan 
3. aktivitas pengelolaan/penatalaksanaan manajemen keperawatan

Meskipun tidak semua perawat berperan serta dalam semua aktivitas, mereka tetap 
mencerminkan sifat dan lingkup terbaru dari asuhan yang kompeten dari perawat jiwa. 
Selain itu, perawat jiwa harus mampu melakukan hal-hal sebagai berikut.
1. Membuat pengkajian kesehatan biopsikososial yang peka terhadap budaya.
2. Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan untuk pasien dan keluarga 
dengan masalah kesehatan yang kompleks dan kondisi yang dapat menimbulkan 
sakit.
3. Berperan serta dalam aktivitas pengelolaan kasus, seperti mengorganisasi, mengkaji, 
negosiasi, koordinasi, dan mengintegrasikan pelayanan serta perbaikan bagi individu 
dan keluarga.
4. Memberikan pedoman pelayanan kesehatan kepada individu, keluarga, dan kelompok 
untuk menggunakan sumber yang tersedia di komunitas kesehatan mental termasuk 
pemberi pelayanan terkait, teknologi, dan sistem sosial yang paling tepat.
5. Meningkatkan, memelihara kesehatan mental, serta mengatasi pengaruh penyakit 
mental melalui penyuluhan dan konseling.
6. Memberikan asuhan kepada mereka yang mengalami penyakit fisik dengan masalah 
psikologik dan penyakit jiwa dengan masalah fisik.
7. Mengelola dan mengoordinasi sistem pelayanan yang mengintegrasikan kebutuhan 
pasien, keluarga, staf, dan pembuat kebijakan.
Dalam menjalankan peran fungsinya, perawat jiwa harus mampu mengidentifikasi, 
menguraikan, dan mengukur hasil asuhan yang mereka berikan pada pasien, keluarga, dan 
komunitas. Hasil adalah semua hal yang terjadi pada pasien dan keluarga ketika mereka 
berada dalam sistem pelayanan kesehatan, dapat meliputi status kesehatan, status fungsional,

kualitas kehidupan, ada atau tidaknya penyakit, jenis respons koping, serta kepuasan 
terhadap tindak penanggulangan.
Evaluasi hasil dapat berfokus pada