Home » gangguan jiwa 7 » gangguan jiwa 7
Rabu, 12 Juli 2023
asuhan. Berbagai hasil dapat dievaluasi mencakup indikator-indikator klinik, fungsional,
finansial, serta perseptual kepuasan pasien dan keluarga seperti pada tabel berikut.
Standar Praktik Keperawatan Jiwa
Standar praktik klinik keperawatan jiwa menguraikan tingkat kompetensi dan kinerja perawat
yang terlibat di tiap tatanan praktik keperawatan kesehatan jiwa. Standar ini ditujukan kepada
perawat yang memenuhi persyaratan pendidikan dan pengalaman praktik baik pada tingkat
dasar atau tingkat lanjut keperawatan kesehatan jiwa (Stuart, 2007). Oleh karena beberapa
aktivitas keperawatan sangat bergantung pada variabel seperti situasi pasien, tatanan klinik,
dan penilaian individual yang cepat, maka istilah seperti “sebagaimana mestinya”, “bila
memungkinkan”, dan “bila dapat diterapkan” digunakan untuk mengakui suatu keadaan
yang mungkin terjadi pengecualian.
Kondisi keperawatan dan perilaku keperawatan berhubungan dengan tiap tahap proses
keperawatan sebagai berikut.
Standar I Pengkajian
Perawat kesehatan jiwa mengumpulkan data kesehatan pasien.
Rasional:
Wawancara pengkajian yang memerlukan keterampilan komunikasi efektif secara linguistik
dan kultural, wawancara, observasi perilaku, tinjauan catatan-catatan data dasar, serta
pengkajian komprehensif terhadap pasien dan sistem yang relevan memungkinkan perawat
kesehatan jiwa-psikiatri untuk membuat penilaian klinis dan rencana tindakan yang tepat
dengan pasien.
Standar II Diagnosis
Perawat kesehatan jiwa menganalisis data pengkajian dalam menentukan diagnosis.
Rasional:
Landasan untuk pemberian asuhan keperawatan kesehatan jiwa adalah pengenalan dan
pengidentifikasian pola respons terhadap masalah kesehatan jiwa atau penyakit psikiatri
yang aktual dan potensial.
Standar III Identifikasi Hasil
Perawat kesehatan jiwa mengidentifikasi hasil yang diharapkan dan bersifat individual untuk
tiap pasien.
Rasional:
Dalam konteks pemberian asuhan keperawatan, tujuan yang paling utama adalah memengaruhi
hasil kesehatan dan meningkatkan status kesehatan pasien.
Standar IV Perencanaan
Perawat kesehatan jiwa mengembangkan rencana asuhan yang menggambarkan intervensi
untuk mencapai hasil yang diharapkan.
Rasional:
Rencana asuhan digunakan untuk memandu intervensi terapeutik secara sistematis dan
mencapai hasil pasien yang diharapkan.
Standar V Implementasi
Perawat kesehatan jiwa mengimplementasikan intervensi yang teridentifikasi dalam rencana
asuhan
Rasional:
Dalam mengimplementasikan rencana asuhan, perawat kesehatan jiwa menggunakan intervensi
yang dirancang untuk mencegah penyakit fisik dan mental, meningkatkan, mempertahankan,
serta memulihkan kesehatan fisik dan mental. Perawat kesehatan jiwa-psikiatri memilih
intervensi sesuai dengan tingkat praktiknya. Pada tingkat dasar, perawat dapat memilih
konseling, terapi lingkungan, aktivitas asuhan mandiri, intervensi psikobiologis, penyuluhan
kesehatan, manajemen kasus, peningkatan kesehatan dan pemeliharaan kesehatan, serta
berbagai pendekatan lain untuk memenuhi kebutuhan kesehatan mental pasien. Selain pilihan
intervensi yang tersedia untuk perawat kesehatan jiwa-psikiatri tingkat dasar, pada tingkat
lanjut spesialis yang diakui (yang mempunyai sertifikasi) boleh memberikan konsultasi,
terlibat dalam psikoterapi, dan menentukan agen farmakologis sesuai dengan peraturan
negara bagian.
Standar Va. Konseling
Perawat kesehatan jiwa menggunakan intervensi konseling untuk membantu pasien
meningkatkan atau memperoleh kembali kemampuan koping, memelihara kesehatan mental,
dan mencegah penyakit atau ketidakmampuan mental.
Standar Vb. Terapi Lingkungan
Perawat kesehatan jiwa memberikan, membentuk, serta mempertahankan suatu lingkungan
yang terapeutik dalam kolaborasinya dengan pasien dan pemberi pelayanan kesehatan lain.
Standar Vc. Aktivitas Asuhan Mandiri
Perawat kesehatan jiwa membentuk intervensi sekitar aktivitas kehidupan sehari-hari pasien
untuk memelihara asuhan mandiri dan kesejahteraan jiwa dan fisik.
Standar Vd. Intervensi Psikobiologis
Perawat kesehatan jiwa menggunakan pengetahuan intervensi psikobiologis dan menerapkan
keterampilan klinis untuk memulihkan kesehatan pasien dan mencegah ketidakmampuan
lebih lanjut.
Standar Ve. Penyuluhan Kesehatan
Perawat kesehatan jiwa, melalui penyuluhan kesehatan, serta membantu pasien dalam
mencapai pola kehidupan yang memuaskan, produktif, dan sehat.
Standar Vf. Manajemen Kasus
Perawat kesehatan jiwa menyajikan manajemen kasus untuk mengoordinasi pelayanan
kesehatan yang komprehensif serta memastikan kesinambungan asuhan.
Standar Vg. Pemeliharaan dan Peningkatan Kesehatan
Perawat kesehatan jiwa menerapkan strategi dan intervensi untuk meningkatkan, memelihara
kesehatan jiwa, serta mencegah penyakit jiwa.
Catatan:
Intervensi Praktik Tahap Lanjut Vh–Vj
Intervensi berikut ini (Vh–Vj) hanya mungkin dilakukan oleh spesialis yang bersertifikasi dalam
keperawatan kesehatan jiwa-psikiatri.
Standar Vh. Psikoterapi
Spesialis yang bersertifikasi dalam keperawatan kesehatan jiwa menggunakan psikoterapi
individu, psikoterapi kelompok, psikoterapi keluarga, psikoterapi anak, serta pengobatan
terapeutik lain untuk membantu pasien untuk memelihara kesehatan jiwa, mencegah penyakit
jiwa dan ketidakmampuan, serta memperbaiki atau mencapai kembali status kesehatan dan
kemampuan fungsional pasien.
Standar Vi. Preskripsi Agen Farmakologis
Spesialis yang bersertifikasi menggunakan preskripsi agen farmakologis sesuai dengan
peraturan praktik keperawatan negara bagian, untuk mengatasi gejala-gejala gangguan jiwa
dan meningkatkan status kesehatan fungsional.
Standar Vj. Konsultasi
Spesialis yang bersertifikasi memberikan konsultasi kepada pemberi pelayanan kesehatan dan
lainnya untuk memengaruhi rencana asuhan kepada pasien, dan memperkuat kemampuan
yang lain untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa dan psikiatri serta membawa perubahan
dalam sistem pelayanan kesehatan jiwa dan psikiatri.
Standar Vl. Evaluasi
Perawat kesehatan jiwa mengevaluasi perkembangan pasien dalam mencapai hasil yang
diharapkan.
Rasional:
Asuhan keperawatan adalah proses dinamik yang melibatkan perusahaan dalam status
kesehatan pasien sepanjang waktu, pemicu kebutuhan terhadap data baru, berbagai diagnosis,
dan modifikasi rencana asuhan. Oleh karena itu, evaluasi merupakan suatu proses penilaian
berkesinambungan tentang pengaruh intervensi keperawatan dan regimen pengobatan
terhadap status kesehatan pasien dan hasil kesehatan yang diharapkan
Aspek Etik dalam Keperawatan Jiwa
Etika berasal dari Bahasa Yunani ethos yang berarti karakter, watak kesusilaan, atau adat
kebiasaan yang etika tersebut berhubungan erat dengan konsep individu atau kelompok
sebagai alat penilai kebenaran atau evaluasi terhadap sesuatu yang telah dilakukan. Penerapan
aspek etik dalam keperawatan jiwa sangat terkait dengan pemberian diagnosis, perlakuan atau
cara merawat, hak pasien, stigma masyarakat, serta peraturan atau hukum yang berlaku.
Pemberian Diagnosis
Seseorang yang telah didiagnosis gangguan jiwa, misal skizofrenia, maka dia akan dianggap
sebagai orang yang mengalami pecah kepribadian (schizo = kepribadian, phren = pecah).
Beberapa kriteria diagnosis menyebutkan gangguan jiwa adalah ketidakmampuan seseorang
dalam mengadakan relasi dan pembatasan terhadap orang lain dan lingkungan. Dengan
demikian, seseorang yang telah didiagnosis gangguan jiwa, berarti dia sudah tidak mampu
lagi menjalin hubungan dengan lingkungan. Apabila mampu, dia tidak bisa membatasi apa
yang harus atau tidak untuk dilakukan. Ia telah mengalami gangguan perilaku, peran, dan
fungsi dalam melakukan aktivitas rutin harian. Dari kriteria diagnosis ini akan menimbulkan
stigma di masyarakat bahwa gangguan jiwa adalah orang gila. Padahal, setelah dipelajari
ternyata gangguan jiwa sangat luas spektrumnya.
Inti adalah ada gangguan jiwa ringan dan gangguan jiwa berat. Gangguan jiwa ringan
merupakan adanya masalah pada aspek psikososial (cemas dan gangguan respons kehilangan
atau berduka). Setiap orang mengalami masalah psikososial karena merupakan tantangan
dalam kehidupan agar manusia lebih maju dan berkembang. Gangguan jiwa berat memang
merupakan gangguan perilaku kronis, yang sebenarnya merupakan gangguan perilaku yang
telah lama diabaikan. Di sinilah pelanggaran etika terjadi, bergantung pada diagnosis yang
dialami pasien. Olah karenanya, untuk mendiagnosis gangguan jiwa berat (skizofrenia)
harus menggunakan kriteria waktu bahwa gangguan yang dialami pasien telah terjadi dalam
waktu yang lama (seperti pada PPDGJ).
Cara merawat pasien gangguan jiwa juga sangat erat dengan pelanggaran etika.
Beberapa keluarga pasien malah melakukan “pasung” terhadap pasien. Jika di rumah sakit,
diikat harus menggunakan seragam khusus dengan berbagai ketentuan khusus. Keadaan
ini membuat pasien diperlakukan berbeda dengan pasien fisik umumnya. Secara teoretis
dan filosofis, perawatan pasien gangguan jiwa harus tetap memperhatikan aspek etika sesuai
diagnosis yang muncul dan falsafah dalam keperawatan kesehatan jiwa.
Hak Pasien
Beberapa aturan di Indonesia sering mendiskreditkan pasien gangguan jiwa, yaitu seseorang
yang mengalami gangguan jiwa tanda tangannya tidak sah. Dengan demikian, semua
dokumen (KTP, SIM, paspor, surat nikah, surat wasiat, atau dokumen apapun) tidak sah
jika ditandatangani pasien gangguan jiwa. Haruskah demikian? Bagaimana dengan hak
pasien sebagai warga negara umumnya? Proses rawat inap dapat menimbulkan trauma atau
dukungan, yang bergantung pada institusi, sikap keluarga dan teman, respons staf, serta
jenis penerimaan atau cara masuk rumah sakit. Ada tiga jenis proses penerimaan pasien
yang masuk ke rumah sakit jiwa, yaitu masuk secara informal, sukarela, atau masuk dengan
paksaan.
Beberapa ketentuan di atas mungkin tidak berlaku di Indonesia, tetapi perlu diperhatikan
hak pasien sebagai warga negara setelah pasien menjalani perawatan di rumah sakit jiwa.
Hak pasien sangat bergantung pada peraturan perundangan. Menurut UndangUndang Kesehatan Pasal 144 mengatakan, “Menjamin setiap orang dapat menikmati
kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang
dapat mengganggu kesehatan jiwa”. Beberapa hak pasien yang telah diadopsi oleh banyak
Negara Bagian di Amerika antara lain sebagai berikut.
1. Hak untuk berkomunikasi dengan orang di luar rumah sakit.
Pasien bebas untuk mengunjungi dan berbicara melalui telepon secara leluasa dan
mengirim surat tertutup kepada siapapun yang dipilihnya.
2. Hak terhadap barang pribadi.
Pasien berhak untuk membawa sejumlah terbatas barang pribadi bersamanya. Namun,
bukan menjadi tanggung jawab rumah sakit untuk keamanan dan tidak membebaskan
staf rumah sakit tentang jaminan keamanan pasien.
3. Hak menjalankan keinginan.
Kemampuan seseorang untuk menyatakan keinginannya yang dikenal sebagai “surat
wasiat”. Pasien dapat membuat wasiat yang apsah jika ia (1) mengetahui bahwa ia
membuat surat wasiat, (2) mengetahui sifat dan besar miliknya, dan (3) mengetahui
siapa teman dan keluarganya serta hubungannya dengan mereka. Tiap kriteria ini harus
dipenuhi dan didokumentasikan agar surat wasiat tersebut dapat dianggap apsah.
4. Hak terhadap “Habeas Corpus”.
Semua pasien mempunyai hak, yang memperkenankan pengadilan hukum, untuk
mensyaratkan pelepasan secepatnya bagi tiap individu yang dapat menunjukkan bahwa
ia sedang kehilangan kebebasannya dan ditahan secara tidak legal.
5. Hak terhadap pemeriksaan psikiatrik yang mandiri.
Pasien boleh menuntut suatu pemeriksaan psikiatri oleh dokter yang dipilihnya sendiri.
Jika dokter tersebut menentukan bahwa pasien tidak menderita gangguan jiwa, maka
pasien harus dilepaskan.
6. Hak terhadap keleluasaan pribadi.
Individu boleh merahasiakan beberapa informasi tentang dirinya dari orang lain.
“Kerahasiaan” membolehkan pemberian informasi tertentu kepada orang lain, tetapi
sangat terbatas pada orang yang diberi kewenangan saja. “Komunikasi dengan hak
istimewa” merupakan suatu pernyataan legal yang hanya dapat digunakan dalam
proses yang berkaitan dengan pengadilan. Ini berarti bahwa pendengar tidak dapat
memberikan informasi yang diperoleh dari seseorang kecuali pembicara memberikan
izin. Komunikasi dengan hak istimewa tidak termasuk menggunakan catatan rumah
sakit, serta sebagian besar negara tidak memberikan hak istimewa komunikasi antara
perawat dan pasien. Selain itu, terapis bertanggung jawab terhadap pelanggaran
kerahasiaan hubungan untuk memperingatkan individu yang potensial menjadi korban
tindak kekerasan yang disebabkan oleh pasien.
7. Hak persetujuan tindakan (informed consent).
Dokter harus menjelaskan tentang pengobatan kepada pasien, termasuk potensial
komplikasi, efek samping, dan risiko. Dokter harus mendapatkan persetujuan pasien,
yang harus kompeten, dipahami, dan tanpa paksaan.
8. Hak pengobatan.
Kriteria untuk pengobatan yang adekuat didefinisikan dalam tiga area, yaitu (1)
lingkungan fisik dan psikologis manusia, (2) staf yang berkualitas dan jumlah anggota
yang mencukupi untuk memberikan pengobatan, serta (3) rencana pengobatan yang
bersifat individual.
9. Hak untuk menolak pengobatan.
Pasien dapat menolak pengobatan kecuali jika ia secara legal telah ditetapkan sebagai
tidak berkemampuan. “Ketidakmampuan” menunjukkan bahwa orang yang mengalami
gangguan jiwa dapat menyebabkan ketidakmampuannya untuk memutuskan dan
gangguan ini membuat ia tidak mampu untuk mengatasi sendiri masalahnya.
Ketidakmampuan hanya dapat dipulihkan melalui sidang pengadilan lain.
Beberapa teori ilmiah dan aturan perundangan ini perlu diperhatikan untuk
penyelesaian masalah jika ada pelanggaran etik. Meskipun demikian, aturan perundangan
hanya berlaku bagi negara yang bersangkutan.
Proses keperawatan merupakan suatu metode pemberian asuhan keperawatan pada pasien
(individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat) yang logis, sistematis, dinamis, dan teratur
(Depkes, 1998; Keliat, 1999). Proses ini bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan
yang sesuai dengan kebutuhan pasien.
Pelaksanaan proses keperawatan jiwa bersifat unik, karena sering kali pasien
memperlihatkan gejala yang berbeda untuk kejadian yang sama, masalah pasien tidak dapat
dilihat secara langsung, dan penyebabnya bervariasi. Pasien banyak yang mengalami kesulitan
menceritakan permasalah yang dihadapi, sehingga tidak jarang pasien menceritakan hal
yang sama sekali berbeda dengan yang dialaminya. Perawat jiwa dituntut memiliki kejelian
yang dalam saat melakukan asuhan keperawatan. Proses keperawatan jiwa dimulai dari
pengkajian (termasuk analisis data dan pembuatan pohon masalah), perumusan diagnosis,
pembuatan kriteria hasil, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Fortinash, 1995).
Pengkajian
Pengkajian sebagai tahap awal proses keperawatan meliputi pengumpulan data, analisis data,
dan perumusan masalah pasien. Data yang dikumpulkan adalah data pasien secara holistik,
meliputi aspek biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Seorang perawat jiwa diharapkan
memiliki kesadaran atau kemampuan tilik diri (self awareness), kemampuan mengobservasi
dengan akurat, berkomunikasi secara terapeutik, dan kemampuan berespons secara efektif
(Stuart dan Sundeen, 2002) karena hal tersebut menjadi kunci utama dalam menumbuhkan
hubungan saling percaya dengan pasien. Hubungan saling percaya antara perawat dengan
pasien akan memudahkan perawat dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Oleh karenanya,
dapat membantu pasien menyelesaikan masalah sesuai kemampuan yang dimilikinya.
Stuart dan Sundeen (2002) menyebutkan bahwa faktor predisposisi, faktor presipitasi,
penilaian terhadap stresor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki pasien
adalah aspek yang harus digali selama proses pengkajian.
Secara lebih terstruktur pengkajian kesehatan jiwa meliputi hal berikut.
1. Identitas pasien
2. Keluhan utama/alasan masuk
3. Faktor predisposisi
4. Aspek fisik/biologis
5. Aspek psikososial
6. Status mental
7. Kebutuhan persiapan pulang
8. Mekanisme koping
9. Masalah psikososial dan lingkungan
10. Pengetahuan
11. Aspek medis
Format pengkajian dan petunjuk teknis pengisian format pengkajian terlampir pada
bagian akhir pokok bahasan ini.
Data tersebut dapat dikelompokkan menjadi data objektif dan data subjektif. Data
objektif adalah data yang didapatkan melalui observasi atau pemeriksaan secara langsung
oleh perawat. Data subjektif adalah data yang disampaikan secara lisan oleh pasien dan/atau
keluarga sebagai hasil wawancara perawat.
Jenis data yang diperoleh dapat sebagai data primer bila didapat langsung oleh perawat,
sedangkan data sekunder bila data didapat dari hasil pengkajian perawat yang lain atau
catatan tim kesehatan lain.
Setelah data terkumpul dan didokumentasikan dalam format pengkajian kesehatan
jiwa, maka seorang perawat harus mampu melakukan analisis data dan menetapkan suatu
kesimpulan terhadap masalah yang dialami pasien. Kesimpulan itu mungkin adalah sebagai
berikut.
1. Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan.
a. Pasien memerlukan pemeliharaan kesehatan dengan follow up secara periodik,
karena tidak ada masalah serta pasien telah memiliki pengetahuan untuk antisipasi
masalah.
b. Pasien memerlukan peningkatan kesehatan berupa upaya prevensi dan promosi
sebagai program antisipasi terhadap masalah.
2. Ada masalah dengan kemungkinan.
a. Risiko terjadinya masalah, karena sudah ada faktor yang mungkin dapat menimbulkan
masalah.
b. Aktual terjadi masalah dengan disertai data pendukung.
Hasil kesimpulan tersebut kemudian dirumuskan menjadi masalah keperawatan.
Dalam merumuskan masalah sebaiknya mengacu pada rumusan pada tabel di bawah ini.
Pasien biasanya memiliki lebih dari satu masalah keperawatan. Sejumlah masalah
pasien akan saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah (FASID,
1983; INJF, 1996). Untuk membuat pohon masalah, minimal harus ada tiga masalah yang
berkedudukan sebagai penyebab (causa), masalah utama (core problem), dan akibat (effect).
Meskipun demikian, sebaiknya pohon masalah merupakan sintesis dari semua masalah
keperawatan yang ditemukan dari pasien. Dengan demikian, pohon masalah merupakan
rangkat urutan peristiwa yang menggambarkan urutan kejadian masalah pada pasien
sehingga dapat mencerminkan psikodimika terjadinya gangguan jiwa.
1. Masalah utama adalah prioritas masalah dari beberapa masalah yang ada pada pasien.
Masalah utama bisa didapatkan dari alasan masuk atau keluhan utama saat itu (saat
pengkajian).
2. Penyebab adalah sal satu dari beberapa masalah yang merupakan penyebab masalah
utama, masalah ini dapat pula disebabkan oleh salah satu masalah yang lain, demikian
seterusnya.
3. Akibat adalah salah satu dari beberapa akibat dari masalah utama. Efek ini dapat
menyebabkan efek yang lain dan demikian selanjutnya.
Contoh pohon masalah ini menggambarkan proses terjadinya masalah risiko
mencederai diri, orang lain, atau lingkungan. Pada penerapan di kasus nyata, semua daftar
masalah yang ditemukan saat pengkajian keperawatan harus diidentifikasi dan disusun
berdasar urutan peristiwa sehingga menggambarkan psikodinamika yang komprehensif.
Diagnosis
Menurut Carpenito (1998), diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons
aktual atau potensial dari individu, keluarga, atau masyarakat terhadap masalah kesehatan/
proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu Permasalahan (P) berhubungan dengan Etiologi
(E) dan keduanya ada hubungan sebab akibat secara ilmiah. Perumusan diagnosis keperawatan
jiwa mengacu pada pohon masalah yang sudah dibuat. Misalnya pada pohon masalah di atas,
maka dapat dirumuskan diagnosis sebagai berikut.
1. Sebagai diagnosis utama, yakni masalah utama menjadi etiologi, yaitu risiko mencederai
diri sendiri, orang lain, dan lingkungan berhubungan dengan halusinasi pendengaran.
2. Perubahan sensori persepsi: halusinasi pendengaran berhubungan dengan menarik
diri.
3. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah kronis.
Pada rumusan diagnosis keperawatan yang menggunakan typology single diagnosis,
maka rumusan diagnosis adalah menggunakan etiologi saja. Berdasarkan pohon masalah di
atas maka rumusan diagnosis sebagai berikut.
1. Perubahan sensori persepsi: halusinasi.
2. Isolasi sosial: menarik diri.
3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah kronis.
Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana tindakan keperawatan terdiri atas empat komponen, yaitu tujuan umum, tujuan
khusus, rencana tindakan keperawatan, dan rasional. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian
masalah (P). Tujuan ini dapat dicapai jika tujuan khusus yang ditetapkan telah tercapai.
Tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E). Tujuan ini merupakan rumusan
kemampuan pasien yang harus dicapai. Pada umumnya kemampuan ini terdiri atas tiga aspek,
yaitu sebagai berikut (Stuart dan Sundeen, 2002).
1. Kemampuan kognitif diperlukan untuk menyelesaikan etiologi dari diagnosis
keperawatan.
2. Kemampuan psikomotor diperlukan agar etiologi dapat selesai.
3. Kemampuan afektif perlu dimiliki agar pasien percaya akan kemampuan menyelesaikan
masalah.
Rencana tindakan keperawatan merupakan serangkaian tindakan yang dapat
dilaksanakan untuk mencapai setiap tujuan khusus. Sementara rasional adalah alasan ilmiah
mengapa tindakan diberikan. Alasan ini bisa didapatkan dari literatur, hasil penelitian, dan
pengalaman praktik. Rencana tindakan yang digunakan di tatanan kesehatan kesehatan
jiwa disesuaikan dengan standar asuhan keperawatan jiwa Indonesia. Standar keperawatan
Amerika menyatakan terdapat empat macam tindakan keperawatan, yaitu (1) asuhan
mandiri, (2) kolaboratif, (3) pendidikan kesehatan, dan (4) observasi lanjutan.
Tindakan keperawatan harus menggambarkan tindakan keperawatan yang mandiri,
serta kerja sama dengan pasien, keluarga, kelompok, dan kolaborasi dengan tim kesehatan
jiwa yang lain.
Mengingat sulitnya membuat rencana tindakan pada pasien gangguan jiwa, mahasiswa
disarankan membuat Laporan Pendahuluan dan Strategi Pelaksanaan (LPSP), yang berisi
tentang proses keperawatan dan strategi pelaksanaan tindakan yang direncanakan. Proses
keperawatan dimaksud dalam LPSP ini adalah uraian singkat tentang satu masalah yang
ditemukan, terdiri atas data subjektif, objektif, penilaian (assessment), dan perencanaan
(planning) (SOAP). Satu tindakan yang direncanakan dibuatkan strategi pelaksanaan (SP),
yang terdiri atas fase orientasi, fase kerja, dan terminasi.
Fase orientasi menggambarkan situasi pelaksanaan tindakan yang akan dilakukan,
kontrak waktu dan tujuan pertemuan yang diharapkan. Fase kerja berisi beberapa pertanyaan
yang akan diajukan untuk pengkajian lanjut, pengkajian tambahan, penemuan masalah
bersama, dan/atau penyelesaian tindakan. Fase terminasi merupakan saat untuk evaluasi
tindakan yang telah dilakukan, menilai keberhasilan atau kegagalan, dan merencanakan
untuk kontrak waktu pertemuan berikutnya.
Dengan menyusun LPSP, mahasiswa diharapkan tidak mengalami kesulitan saat
wawancara atau melaksanakan intervensi keperawatan pada pasien gangguan jiwa. Hal
ini terjadi karena semua pertanyaan yang akan diajukan sudah dirancang, serta tujuan
pertemuan dan program antisipasi telah dibuat jika tindakan atau wawancara tidak berhasil.
Berikut salah satu contoh bentuk LPSP.
Implementasi Tindakan Keperawatan
Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan perawat perlu memvalidasi apakah
rencana tindakan yang ditetapkan masih sesuai dengan kondisi pasien saat ini (here and now).
Perawat juga perlu mengevaluasi diri sendiri apakah mempunyai kemampuan interpersonal,
intelektual, dan teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan. Setelah tidak ada
hambatan lagi, maka tindakan keperawatan bisa diimplementasikan.
Saat memulai untuk implementasi tindakan keperawatan, perawat harus membuat
kontrak dengan pasien dengan menjelaskan apa yang akan dikerjakan dan peran serta
pasien yang diharapkan. Kemudian penting untuk diperhatikan terkait dengan standar
tindakan yang telah ditentukan dan aspek legal yaitu mendokumentasikan apa yang telah
dilaksanakan.
Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan
pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu (1) evaluasi proses atau evaluasi formatif, yang
dilakukan setiap selesai melaksanakan tindakan, dan (2) evaluasi hasil atau sumatif, yang
dilakukan dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan umum yang
telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
S : respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
O : respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
A : analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi terhadap masalah
yang ada.
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.
1. Rencana dilanjutkan (jika masalah tidak berubah).
2. Rencana dimodifikasi (jika masalah tetap, sudah dilaksanakan semua tindakan tetapi
hasil belum memuaskan).3. Rencana dibatalkan (jika ditemukan masalah baru dan bertolak belakang dengan
masalah yang ada).
Rencana selesai jika tujuan sudah tercapai dan perlu mempertahankan keadaan baru.
ANALISIS PROSES INTERAKSI
Pengertian
Analisis proses interaksi (API) adalah suatu alat kerja yang dipakai oleh perawat untuk
memahami interaksi yang terjadi antara perawat dengan pasien. API ini adalah merupakan
alat untuk mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan yang telah direncanakan dalam
Laporan Pendahuluan Strategi Pelaksanaan (LPSP). Pada LPSP, perawat sudah merencanakan
berbagai pertanyaan untuk mengkaji atau bahkan melaksanakan intervensi keperawatan.
Sementara itu, pelaksanaan kegiatan ini ditulis dalam analisis proses interaksi.
Ketepatan diagnosis keperawatan yang ditemukan akan dengan mudah dikoreksi dari
hasil wawancara dan pengkajian yang dilakukan dalam pelaksanaan fase kerja LPSP. Dari
hal ini, akan tergambar data yang ditemukan baik verbal maupun nonverbal dan teknik
wawancara yang diterapkan. Dengan demikian, API dapat mengoreksi ketepatan diagnosis
atau intervensi yang diberikan.
Beberapa komponen yang harus ditulis dalam API adalah komunikasi verbal,
komunikasi nonverbal perawat dan pasien, analisis berpusat pada perawat, dan analisis
berpusat pada pasien. Setelah itu, berikan alasan perawat melakukan tindakan berupa
komunikasi verbal dan nonverbal di atas, serta temukan masalah pasien dari apa yang terjadi
dengan pasien selama wawancara. Jelaskan alasan rasional teknik terapeutik yang dilakukan
oleh perawat. Dengan demikian, API adalah merupakan alat evaluasi dari kemampuan
terapeutik perawat.
Tujuan
1. Meningkatkan keterampilan komunikasi.
2. Meningkatkan kepekaan perawat terhadap kebutuhan pasien.
3. Mempermudah perkembangan dan perubahan pendekatan perawat.
4. Memberi dasar pembelajaran, yang berarti bahwa API merupakan alat untuk mengkaji
kemampuan perawat dalam berinteraksi dengan pasien dan menjadi data bagi
pembimbing klinik atau supervisor untuk memberi arahan.
5. Membantu perawat dalam penerapan proses keperawatan.
Komponen API
1. Komunikasi verbal perawat dan pasien.
2. Komunikasi nonverbal perawat dan pasien3. Analisis berpusat pada perawat, yang merupakan identifikasi perasaan perawat serta
kemungkinan komunikasi yang dapat dilakukan perawat.
4. Analisis berpusat pada pasien, yang merupakan identifikasi persepsi perawat terhadap
emosi dan komunikasi pasien.
5. Rasional dan makna dari komunikasi.
6. Kesan perawat yang merupakan evaluasi terhadap efektivitas komunikasi yang telah
dilakukan.
7. Rencana tindak lanjut, yang merupakan rencana tindakan keperawatan yang akan
dilaksanakan berikutnya berdasarkan hasil evaluasi dari komunikasi yang telah
dilakukan.
Petunjuk Pengisian Analisis Proses Interaksi
1. Inisial pasien
Tulis inisial bukan nama lengkap.
2. Status interaksi
Pertemuan keberapa dengan pasien atau pada fase apa saat berhubungan dengan
pasien.
3. Lingkungan
Tempat interaksi, situasi tempat interaksi, serta posisi perawat dan pasien.
4. Deskripsi pasien
Penampilan umum pasien.
5. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dalam interaksi saat itu. Tujuan ini berpusat pada pasien dan
terkait dengan proses keperawatan pasien.
6. Komunikasi verbal
Ucapan verbal perawat dan pasien (apa yang diucapkan oleh perawat dan apa yang
didengar pasien).
7. Komunikasi nonverbal
Sikap, gerakan, arah/pandangan mata, serta ekspresi wajah pasien dan perawat pada
saat bicara atau pada saat mendengar
8. Analisis berpusat pada perawat
Analisis bisa terdiri atas komponen sebagai berikut.
a. Perasaan sendiri
Waspada terhadap respons perasaan sendiri, apa dan mengapa perasaan itu bisa
muncul. Bagaimana perasaan perawat dipengaruhi oleh pasien.
b. Tingkah laku nonverbal
Kenali dan analisis tingkah laku nonverbal diri sendiri.
c. Isi pembicaraan yang muncul dan terselubung
Kenali dengan menggunakan teknik komunikasi.
d. Tujuan interaksi
1) Perawat berperan sebagai apa? Pasien sebagai apa?
2) Apa anggapan perawat terhadap kejadian yang ada?
3) Bagaimana seharusnya mereka berinteraksi?
4) Bagaimana pengaruh proses interaksi pada mereka?
5) Apakah ada yang perlu diubah? Jika perlu mengapa?
6) Apakah interaksi ini mempengaruhi tujuan dan renacana interaksi yang akan
datang?
e. Mengubah intervensi
Setelah perawat mendiskusikan komunikasinya, ajukan perubahan intervensi yang
mungkin lebih efektif dan gunakan teori yang mendukung9. Analisis berpusat pada pasien
Analisis bisa terdiri atas komponen sebagai berikut.
a. Tingkah laku nonverbal: kenali dan analisis tingkah laku nonverbal pasien.
b. Isi pembicaraan yang muncul dan terselubung.
c. Perasaan pasien
1) Temukan dan cari arti tingkah laku pasien.
2) Identifikasi dan diskusikan keadaan perasaan pasien.
3) Ketahui perasaan pasien dipengaruhi oleh perawat.
d. Kebutuhan pasien
Cari kebutuhan pasien dengan menggunakan data dari interaksi yang baru terjadi,
interaksi sebelumnya, riwayat pasien, dan teori.
10. Rasional
Merupakan sintesis dan terapan teori pada proses interpersonal. Berikan alasan teoretis
intervensi Anda, tunjukkan peningkatan kemampuan dalam mendiskusikan tingkah
laku pasien dengan teori psikodinamika, teori adaptasi, dan teori lainnya. Gunakan
teori komunikasi, komunikasi terapeutik, teori interpersonal, dan berbagai teknik
komunikasi terapeutik.
Setiap melakukan pengkajian, tulis tempat pasien dirawat dan tanggal dirawat.
I. IDENTITAS
1. Perawat yang merawat pasien melakukan perkenalan dan kontak dengan pasien
tentang: nama perawat, nama pasien, panggilan perawat, panggilan pasien, tujuan,
waktu, tempat pertemuan, topik yang akan dibicarakan.
2. Usia dan No. RM dapat dengan melihat rekam medis.
3. Mahasiswa menuliskan sumber data yang didapat.
II. ALASAN MASUK
Tanyakan kepada pasien/keluarga pertanyaan berikut.
1. Apa yang menyebabkan pasien/keluarga datang ke RS saat ini?
2. Apa yang sudah dilakukan oleh keluarga mengatasi masalah ini?
3. Bagaimana hasilnya?
III. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Tanyakan kepada pasien/keluarga apakah pasien pernah mengalami gangguan jiwa
di masa lalu, bila ya, beri tanda “✓” pada kotak “Ya” dan bila tidak, maka beri tanda
“✓” pada kotak “Tidak”.
2. Apabila pada Poin 1 “Ya”, maka tanyakan bagaimana hasil pengobatan sebelumnya.
Apabila dia dapat beradaptasi di masyarakat tanpa gejala-gejala gangguan jiwa, maka
beri tanda “✓” pada kotak “Berhasil”. Apabila dia dapat beradaptasi tapi masih ada
gejala-gejala sisa, maka beri tanda “✓” pada kotak “Kurang Berhasil”. Apabila tidak
ada kemajuan atau gejala-gejala bertambah atau menetap, maka beri tanda “✓” pada
kotak “Kurang Berhasil”.
3. Tanyakan pada pasien apakah pasien pernah melakukan dan atau mengalami dan/
atau menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan
dalam keluarga, dan tindakan kriminal. Beri tanda “✓” sesuai dengan penjelasan
pasien/keluarga apakah pasien sebagai pelaku dan/atau korban, dan/atau saksi, maka
beri tanda “✓” pada kotak pertama. Isi usia saat kejadian pada kotak kedua.
Jika pasien pernah sebagai pelaku, korban, dan saksi (dua atau lebih) tuliskan
pada penjelasan.
a. Beri penjelasan secara singkat dan jelas tentang kejadian yang dialami pasien
terkait nomor 1, 2, 3.
b. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.4. Tanyakan kepada pasien/keluarga apakah ada anggota keluarga lainnya yang
mengalami gangguan jiwa. Jika ada, maka beri tanda “✓” pada kotak “Ya” dan jika
tidak, maka beri tanda “✓” pada kotak tidak.
Apabila ada anggota keluarga lain yang mengalami gangguan jiwa, maka
tanyakan bagaimana hubungan pasien dengan anggota keluarga tersebut. Tanyakan
apa gejala yang dialami serta riwayat pengobatan dan perawatan yang pernah
diberikan pada anggota keluarga tersebut.
5. Tanyakan kepada pasien/keluarga tentang pengalaman yang tidak menyenangkan
(kegagalan, kehilangan/perpisahan/kematian, trauma selama tumbuh kembang)
yang pernah dialami pasien pada masa lalu.
IV. FISIK
Pengkajian difokuskan pada sistem dan fungsi organ.
1. Ukur dan observasi tanda-tanda vital, seperti tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan
pasien.
2. Ukur tinggi badan dan berat badan pasien.
3. Tanyakan kepada pasien/keluarga, apakah ada keluhan fisik yang dirasakan oleh
pasien, bila ada beri tanda “✓” pada kotak “Ya” dan bila tidak beri tanda “✓” pada
kotak “Tidak”.
4. Kaji lebih lanjut sistem dan fungsi organ dan jelaskan sesuai dengan keluhan yang
ada.
5. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data yang ada.
V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram
a. Buatlah genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan hubungan
pasien dan keluarga, misalnya sebagai berikut.
b. Jelaskan masalah yang terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan, dan
pola asuh.
c. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
2. Konsep diri
a. Citra tubuh
1) Tanyakan persepsi pasien terhadap tubuhnya, bagian tubuh yang disukai,
dan bagian yang tidak disukai.
b. Identitas diri, tanyakan tentang hal berikut.
1) Status dan posisi pasien sebelum dirawat.
2) Kepuasan klien terhadap status dan posisinya (sekolah, tempat kerja,
kelompok).
3) Kepuasan pasien sebagai laki-laki atau perempuan.
c. Peran, tanyakan mengenai hal berikut.
1) Tugas/peran yang diemban dalam keluarga/kelompok/masyarakat.
2) Ke mana saja pasien dalam melaksanakan tugas/peran tersebut.
d. Ideal diri, tanyakan hal sebagai berikut.
1) Harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas/peran.
2) Harapan pasien terhadap lingkungan (keluarga, sekolah, tempat kerja,
masyarakat).
3) Harapan pasien terhadap penyakitnya.
e. Harga diri, tanyakan hal berikut.
1) Hubungan pasien dengan orang lain sesuai dengan kondisi No. 2a, b, c, dan d.
2) Penilaian/penghargaan orang lain terhadap diri dan kehidupannya.
f. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
3. Hubungan sosial
a. Tanyakan pada pasien siapa orang terdekat dalam kehidupannya, tempat
mengadu, tempat bicara, serta minta bantuan atau sokongan.
b. Tanyakan pada pasien kelompok apa saja yang diikuti dalam masyarakat.
c. Tanyakan pada pasien sejauhmana ia terlibat dalam kelompok di masyarakat.
d. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
4. Spiritual
a. Nilai dan keyakinan, tanyakan hal berikut.
1) Pandangan dan keyakinan terhadap gangguan jiwa sesuai dengan norma
budaya dan agama yang dianut.
2) Pandangan masyarakat setempat tentang gangguan jiwa.
b. Kegiatan ibadah, tanyakan hal berikut.
1) Kegiatan ibadah di rumah secara individu dan kelompok.
2) Pendapat pasien/keluarga tentang kegiatan ibadah.
c. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
VI. STATUS MENTAL
Beri tanda ✓ pada kotak sesuai dengan keadaan pasien boleh lebih dari satu.
1. Penampilan
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat/keluarga.
a. Penampilan tidak rapi jika dari ujung rambut sampai ujung kaki ada yang tidak
rapi. Misalnya, rambut acak-acakan, kancing baju tidak tepat, resleting tidak
dikunci, baju terbalik, baju tidak diganti-ganti.
b. Penggunaan pakaian tidak sesuai, misalnya pakaian dalam dipakai di luar
baju.
c. Cara berpakaian tidak seperti biasanya,jika penggunaan pakaian tidak tepat
(waktu, tempat, identitas, situasi/kondisi).
d. Jelaskan hal yang ditampilkan pasien dan kondisi lain yang tidak tercantum
e. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
2. Pembicaraan
a. Amati pembicaraan yang ditemukan pada pasien, apakah cepat, keras, gagap,
membisu, apatis, dan/atau lambat.
b. Bila pembicaraan berpindah-pindah dari satu kalimat satu ke kalimat yang lain
yang tidak ada kaitannya, maka beri tanda ✓ pada kotak inkoheren.
c. Jelaskan hal-hal yang tidak tercantum.
d. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
3. Aktivitas motorik
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat/keluarga.
a. Lesu, tegang, gelisah sudah jelas.
b. Agitasi: gerakan motorik yang menunjukkan kegelisahan.
c. Tik: gerakan-gerakan kecil pada otot muka yang tidak terkontrol.
d. Grimasen: gerakan otot muka yang berubah-ubah yang tidak dapat dikontrol
pasien.
e. Tremor: jari-jari yang tampak gemetar ketika pasien menjulurkan tangan dan
merentangkan jari-jari.
f. Kompulsif: kegiatan yang dilakukan berulang-ulang, seperti berulang kali mencuci
tangan, mencuci muka, mandi, mengeringkan tangan, dan sebagainya.
g. Jelaskan aktivitas yang ditampilkan pasien dan kondisi lain yang tidak
tercantum.
h. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
4. Alam perasaan
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat/keluarga.
a. Sedih, putus asa, gembira yang berlebihan sudah jelas.
b. Ketakutan: objek yang ditakuti sudah jelas.
c. Khawatir: objek belum jelas.
d. Jelaskan kondisi pasien yang belum tercantum.
e. Masalah keperawatan ditulis sesuai data.
5. Afek
Data ini didapatkan melalui hasil observasi perawat/keluarga.
a. Datar: tidak ada perubahan roman muka pada saat ada stimulus yang
menyenangkan atau menyedihkan.
b. Tumpul: hanya bereaksi jika ada stimulus emosi yang kuat.
c. Labil: emosi yang cepat berubah-ubah.
d. Tidak sesuai: emosi yang tidak sesuai atau bertentangan dengan stimulus yang
ada.
e. Jelaskan hal-hal yang tidak tercantum.
f. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
6. Interaksi selama wawancara
Data ini didapatkan melalui hasil wawancara dan observasi perawat dan keluarga.
a. Bermusuhan, tidak kooperatif, mudah tersinggung sudah jelas.
b. Kontak mata kurang: tidak mau menatap lawan bicara.
c. Defensif: selalu berusaha mempertahankan pendapat dan kebenaran dirinya.
d. Curiga: menunjukkan sikap/perasaan tidak percaya pada orang lain.
e. Jelaskan hal-hal yang tidak tercantum.
f. Masalah keperawatan ditulis sesuai dengan data.
7. Persepsi
a. Jenis-jenis halusinasi sudah jelas, kecuali menghidung sama dengan
penciuman.
b. Jelaskan isi halusinasi dan frekuensi gejala yang tampak pada saat pasien
halusinasi.
c. Masalah keperawatan sesuai dengan masalah yang ada.
8. Proses pikir
Data diperoleh dari observasi pada saat wawancara.
a. Sirkumtansial: pembicaraan yang berbelit-belit tapi sampai dengan tujuan
pembicaraan.
b. Tangensial: pembicaraan yang berbelit-belit tetapi tidak sampai dengan tujuan
pembicaraan.
c. Kehilangan asosiasi: pembicaraan tidak ada hubungannya antara satu kalimat
satu dengan kalimat lainnya dan pasien tidak menyadarinya.
d. Flight of ideas: pembicaraan meloncat dari satu topik ke topik lainnya, masih ada
hubungan yang tidak logis, dan tidak sampai pada tujuan.
e. Blocking: pembicaraan terhenti tiba-tiba tanpa gangguan eksternal kemudian
dilanjutkan kembali.
f. Perseverasi: pembicaraan yang diulang berkali-kali.
g. Jelaskan apa yang dikatakan pasien pada saat wawancara.
h. Masalah keperawatan sesuai dengan data.
9. Isi pikir
Data didapatkan melalui wawancara.
a. Obsesi: pikiran yang selalu muncul walaupun pasien selalu berusaha
menghilangkannya.
b. Fobia: ketakutan yang patologis/tidak logis terhadap objek/situasi tertentu.
c. Hipokondria: keyakinan terhadap adanya gangguan organ dalam tubuh yang
sebenarnya tidak ada.
d. Depersonalisasi: perasaan pasien yang asing terhadap diri sendiri, orang, atau
lingkungan.
e. Ide yang terkait: keyakinan pasien terhadap kejadian yang terjadi di lingkungan
dan terkait pada dirinya.
f. Pikiran yang magis : keyakinan pasien tentang keyakinannya melakukan hal-hal
mustahil/di luar kemampuannya.
g. Waham.
1) Agama: keyakinan pasien terhadap suatu agama secara berlebihan dan
diucapkan secara berulang tetapi tidak sesuai dengan kenyataan.
2) Somatik: pasien mempunyai keyakinan tentang tubuhnya dan dikatakan
secara berulang yang tidak sesuai dengan kenyataan.
3) Kebesaran: pasien mempunyai keyakinan berlebihan terhadap
kemampuannya yang disampaikan secara berulang yang tidak sesuai dengan
kenyataan.
4) Curiga: pasien mempunyai keyakinan bahwa ada seseorang atau kelompok,
yang berusaha merugikan atau mencederai dirinya yang disampaikan secara
berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
5) Nihilistik: pasien yakin bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/meninggal
yang dinyatakan secara berulang, tidak sesuai kenyataan.
Waham yang aneh (bizarre) antara lain sebagai berikut.
1) Sisip pikir: pasien yakin ada ide pikiran orang lain yang disisipkan di
dalam pikiran yang disampaikan secara berulang dan tidak sesuai dengan
kenyataan.
2) Siar pikir: pasien yakin bahwa orang lain mengetahui apa yang dia pikirkan
walaupun dia tidak menyatakan kepada orang tersebut yang dinyatakan
secara berulang dan tidak sesuai dengan kenyataan.
3) Kontrol pikir: pasien yakin pikirannya dikontrol oleh kekuatan dari luar.
h. Jelaskan apa yang dikatakan oleh pasien pada saat wawancara.
i. Masalah keperawatan sesuai dengan data.
10. Tingkat kesadaran
Data tentang bingung dan sedasi diperoleh melalui wawancara dan observasi, stupor
diperoleh melalui observasi, orientasi pasien (waktu, tempat, orang) diperoleh
melalui wawancara.
a. Bingung: tampak binggung dan kacau.
b. Sedasi: mengatakan merasa melayang-layang antara sadar/tidak sadar.
c. Stupor: gangguan motorik seperti kekakuan, gerakan-gerakan yang diulang,
anggota tubuh pasien dapat diletakkan dalam sikap canggung dan dipertahankan
pasien, tapi pasien dapat mengerti semua yang terjadi di lingkungan.
d. Orientasi waktu, tempat, orang jelas.
e. Jelaskan data objektif dan subjektif yang terkait hal-hal di atas.
f. Masalah keperawatan sesuai dengan data.
g. Jelaskan apa yang dikatakan oleh pasien pada saat wawancara.
11. Memori
Data diperoleh melalui wawancara antara lain sebagai berikut.
a. Gangguan daya ingat jangka panjang: tidak dapat mengingat kejadian yang
terjadi lebih dari satu bulan.
b. Gangguan daya ingat jangka pendek: tidak dapat mengingat kejadian yang terjadi
dalam minggu terakhir.
c. Gangguan daya ingat saat ini: tidak dapat mengingat kejadian yang baru saja
terjadi.
d. Konfabulasi: pembicaraan tidak sesuai kenyataan, dengan memasukkan cerita
yang tidak benar untuk menutupi gangguan daya ingatnya.
e. Jelaskan sesuai dengan data terkait.
f. Masalah keperawatan sesuai dengan data.
12. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Data diperoleh melalui wawancara antara lain sebagai berikut.
a. Mudah dialihkan: perhatian pasien mudah berganti dari satu objek ke objek
lain.
b. Tidak mampu berkonsentrasi: pasien minta selalu agar pertanyaan diulang/tidak
dapat menjelaskan kembali pembicaraan.
c. Tidak mampu berhitung.
d. Jelaskan sesuai data terkait.
e. Masalah keperawatan sesuai data.
13.Kemampuan penilaian
a. Gangguan kemampuan penilaian ringan: dapat mengambil keputusan yang
sederhana dengan bantuan orang lain. Contohnya, berikan kesempatan pada
pasien untuk memilih mandi dulu sebelum makan atau makan dulu sebelum
mandi. Jika diberi penjelasan, pasien dapat mengambil keputusan.b. Gangguan kemampuan penilaian bermakna: tidak dapat mengambil keputusan
walaupun dibantu orang lain. Contohnya, berikan kesempatan pada pasien untuk
memilih mandi dulu sebelum makan atau makan dulu sebelum mandi. Jika
diberi penjelasan, maka pasien masih tidak mampu mengambil keputusan.
c. Jelaskan sesuai dengan data terkait.
d. Masalah keperawatan sesuai dengan data.
14. Daya tilik diri
Data diperoleh melalui wawancara antara lain sebagai berikut.
a. Mengingkari penyakit yang diderita: tidak menyadari gejala penyakit (perubahan
fisik, emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu pertolongan.
b. Menyalahkan hal-hal di luar dirinya: menyalahkan orang lain/lingkungan yang
menyebabkan kondisi saat ini.
c. Jelaskan dengan data terkait.
d. Masalah keperawatan sesuai dengan data.
VII. KEBUTUHAN PERSIAPAN PULANG
1. Makan
a. Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, jumlah, variasi, macam (suka/tidak
suka/pantang), dan cara makan.
b. Observasi kemampuan pasien dalam menyiapkan dan membersihkan alat
makan.
2. BAB/BAK
a. Observasi kemampuan pasien untuk BAB/BAK.
1) Pergi, menggunakan, dan membersihkan WC.
2) Membersihkan diri dan merapikan pakaian.
3. Mandi
a. Observasi dan tanyakan tentang frekuensi, cara mandi, menyikat gigi, cuci
rambut, gunting kuku, dan cukur (kumis, jenggot, dan rambut).
b. Observasi kebersihan tubuh dan bau badan.
4. Berpakaian
a. Observasi kemampuan pasien dalam mengambil, memilih, serta mengenakan
pakaian dan alas kaki.
b. Observasi penampilan dandanan pasien.
c. Tanyakan dan observasi frekuensi ganti pakaian.
d. Nilai kemampuan yang harus dimiliki pasien: mengambil, memilih, dan
mengenakan pakaian.
5. Istirahat dan tidur
Observasi dan tanyakan tentang hal berikut.
a. Lama dan waktu tidur siang/malam.
b. Persiapan sebelum tidur seperti menyikat gigi, cuci kaki, dan berdoac. Aktivitas sesudah tidur seperti: merapikan tempat tidur, mandi/cuci muka, dan
menyikat gigi.
6. Penggunaan obat
Observasi dan tanyakan kepada pasien dan keluarga tentang hal berikut.
a. Penggunaan obat: frekuensi, jenis, dosis, waktu, dan cara pemberian.
b. Reaksi obat.
7. Pemeliharaan kesehatan
Tanyakan kepada pasien dan keluarga tentang hal berikut.
a. Apa, bagaimana, kapan, dan ke mana perawatan lanjut.
b. Siapa saja sistem pendukung yang dimiliki (keluarga, teman, institusi, dan
lembaga pelayanan kesehatan) dan cara penggunaannya.
8. Aktivitas di dalam rumah
Tanyakan tentang kemampuan pasien dalam hal berikut.
a. Merencanakan, mengolah, dan menyajikan makanan.
b. Merapikan rumah (kamar tidur, dapur, menyapu, mengepel).
c. Mencuci pakaian sendiri.
d. Mengatur kebutuhan biaya sehari-hari.
9. Aktivitas di luar rumah
Tanyakan kemampuan pasien dalam hal berikut.
a. Belanja untuk keperluan sehari-hari.
b. Dalam melakukan perjalanan mandiri dengan berjalan kaki, menggunakan
kendaraan pribadi, kendaraan umum.
c. Aktivitas lain yang dilakukan di luar rumah (bayar listrik/telepon/air, kantor pos,
dan bank).
10.Jelaskan data terkait.
11. Masalah keperawatan ditulis sesuai data.
VIII.MEKANISME KOPING
Data didapatkan melalui wawancara pada pasien atau keluarganya. Beri tanda pada
kotak koping yang dimiliki pasien, baik adaptif maupun maladaptif.
IX. MASALAH PSIKOSOSIAL DAN LINGKUNGAN
Data didapatkan melalui wawancara pada pasien atau keluarganya. Pada tiap masalah
yang dimiliki pasien beri uraian spesifik, singkat, dan jelas.
X. PENGETAHUAN
Data didapatkan melalui wawancara pada pasien. Pada tiap item yang dimiliki oleh
pasien simpulkan dalam masalah.XI. ASPEK MEDIK
Tuliskan diagnosis medik pasien yang telah dirumuskan oleh dokter yang merawat.
Tuliskan obat-obatan yang pasien saat ini , baik obat fisik, psikofarmaka, dan terapi
lain.
XII. DAFTAR MASALAH KEPERAWATAN
1. Tuliskan semua masalah disertai data pendukung, yaitu data subjektif dan data
objektif.
2. Buat pohon masalah dari data yang telah dirumuskan.
XIII.DAFTAR DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Rumuskan diagnosis dengan rumusan P (permasalan) dan E (etiologi) berdasarkan
pohon masalah.
2. Urutkan diagnosis sesuai dengan prioritas.
3. Pada akhir pengkajian, tulis tempat dan tanggal pengkajian, serta tanda tangan dan
nama jelas mahasiswa.
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang sebelumnya
ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti
kehilangan harta, kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan. Berduka adalah reaksi
terhadap kehilangan, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk
memecahkan masalah. Seorang individu harus diberikan kesempatan untuk menemukan
koping yang efektif dalam melalui proses berduka, sehingga mampu menerima kenyataan
kehilangan yang menyebabkan berduka dan merupakan bagian dari proses kehidupan.
Kehilangan dapat terjadi terhadap objek yang bersifat aktual, dipersepsikan, atau
sesuatu yang diantisipasi. Jika diperhatikan dari objek yang hilang, dapat merupakan objek
eksternal, orang yang berarti, lingkungan, aspek diri, atau aspek kehidupan. Berbagai hal
yang mungkin dirasakan hilang ketika seseorang mengalami sakit apalagi sakit kronis antara
lain sebagai berikut.
Tabel 4.1 Kehilangan yang Potensial pada Penyakit Kronis
• Kesehatan
• Kemandirian
• Rasa mengontrol kehidupannya sendiri
• Privasi
• Kesopanan
• Gambar diri
• Hubungan
• Peran di dalam dan luar rumah yang telah ada
• Status sosial
• Kepercayaan diri
• Kepemilikan
• Keamanan keuangan
• Makna produktivitas dan pemenuhan diri
• Gaya hidup
• Rencana atau impian di masa depan
• Impian untuk kekal
• Uang
• Rutinitas sehari-hari
• Tidur
• Fungsi seksual
• Aktivitas di waktu luang
Berduka merupakan respons terhadap kehilangan. Berduka dikarakteristikkan sebagai
berikut.
1. Berduka menunjukkan suatu reaksi syok dan ketidakyakinan.
2. Berduka menunjukkan perasaan sedih dan hampa bila mengingat kembali kejadian
kehilangan.
3. Berduka menunjukkan perasaan tidak nyaman, sering disertai dengan menangis,
keluhan sesak pada dada, tercekik, dan nafas pendek.
4. Mengenang orang yang telah pergi secara terus-menerus.
5. Mengalami perasaan berduka.
6. Mudah tersinggung dan marah.
Situasi emosi sebagai respons kehilangan dan berduka seorang individu berada dalam
rentang yang fluktuatif, dari tingkatan yang adaptif sampai dengan maladaptif.
TAHAPAN PROSES KEHILANGAN DAN BERDUKA
Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.
1. Fase akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga proses,
yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
a. Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat menerima
pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya memang dibutuhkan
untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi kepedihan dan secara perlahan
untuk menerima kenyataan kematian.
b. Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain, perasaan
bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara, dan menangis
untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
c. Restitusi
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga membantu
menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan kehilangan.
2. Fase jangka panjang
a. Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
b. Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang tersembunyi
dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa individu berkembang
menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang lainnya mengabaikan diri dengan
menolak makan dan menggunakan alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
1. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak percaya, perasaan
dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut berlangsung selama beberapa hari,
kemudian individu kembali pada perasaan berduka berlebihan. Selanjutnya, individu
merasakan konflik dan mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini
akan berlangsung selama beberapa minggu.
2. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku obsesif.
Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa kehilangan yang terjadi.
3. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan untuk
tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan. Pada fase ini
individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan sosial.
Tahapan Proses Kehilangan
Proses kehilangan terdiri atas lima tahapan, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),
penawaran (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance) atau sering
disebut dengan DABDA. Setiap individu akan melalui setiap tahapan tersebut, tetapi cepat
atau lamanya sesorang melalui bergantung pada koping individu dan sistem dukungan sosial
yang tersedia, bahkan ada stagnasi pada satu fase marah atau depresi.
Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah tidak percaya, syok, diam,
terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan, mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta
berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin
muncul antara lain sebagai berikut.
1. “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2. “Diagnosis dokter itu salah.”
3. Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam, panas/dingin
dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta merasa tak nyaman.
4. Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme pertahanan (defense
mechanism) terhadap rasa cemas.
5. Pasien perlu waktu beradaptasi.
6. Pasien secara bertahap akan meninggalkan penyangkalannya dan menggunakan
pertahanan yang tidak radikal.
7. Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan dengan kematian,
tapi tidak demikian dengan emosional.
Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian orang yang
dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang dicintainya masih
hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar suara seperti biasanya. Secara
fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare, sesak napas, detak jantung cepat, menangis,
dan gelisah. Tahap ini membutuhkan waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa
tahun setelah kehilangan.
Tahap Marah (Anger)
Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan kehilangan. Perasaan
marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan kepada orang lain atau benda di
sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan
tangan mengepal. Respons pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
1. Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2. Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap orang atau
lingkungan.
3. Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik.
“Peraturan RS terlalu keras/kaku.”
“Perawat tidak becus!”
4. Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi pandang
keluarga dan staf rumah sakit.
5. Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan perasaan yang akan
mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki tahap tawar-menawar.
Ungkapan yang sering diucapkan adalah “....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut..
mungkin semua tidak akan terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu
... pasti semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal sebagai
berikut.
1. Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada masa
hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2. Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu hidup,
terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3. Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-menawar
dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau diungkapkan secara tersirat atau
diungkapkan di ruang kerja pribadi pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak menanggapi
permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan lebih berkenan bila aku
ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih baik.”
“Bila saya sembuh, saya akan…….”
4. Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali perbuatannya, dan
menangis mencari pendapat orang lain.
Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien sadar akan penyakitnya
yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu menarik diri, tidak mau berbicara dengan
orang lain, dan tampak putus asa. Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih,
dan penurunan libido.
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya “Apa yang terjadi pada
anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah keluarga saya mengatasi permasalahannya
tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap yang penting
dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap penerimaan dan damai.
Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang dapat mengatasi kesedihan dan
kegelisahannya.
Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus pemikiran terhadap
sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan terhadap kenyataan kehilangan mulai
dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan
dialihkan kepada objek lain yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai
anak saya yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun harus
berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan mengakhiri proses
berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu tahap dalam waktu yang sangat
lama dan tidak mencapai tahap penerimaan, disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu
saat apabila terjadi kehilangan kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap
penerimaan dan kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.BENTUK KEHILANGAN
1. Kehilangan orang bermakna, misalnya seseorang yang dicintai meninggal atau
dipenjara.
2. Kehilangan kesehatan bio-psiko-sosial, misalnya menderita suatu penyakit, amputasi
bagian tubuh, kehilangan pendapatan, kehilangan perasaan tentang diri, kehilangan
pekerjaan, kehilangan kedudukan, dan kehilangan kemampuan seksual.
3. Kehilangan milik pribadi, misalnya benda yang berharga, uang, atau perhiasan.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Faktor Predisposisi
1. Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau dibesarkan
dalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan
menghadapi kehilangan.
2. Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan teratur mempunyai
kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih baik dibandingkan dengan individu
yang mengalami gangguan fisik.
3. Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki tingkat kepekaan yang
tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko untuk kambuh kembali.
4. Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa kanak-kanak akan
memengaruhi kemampuan individu dalam menghadapi kehilangan di masa dewasa.
Faktor Presipitasi
Faktor pencetus kehilangan adalah perasaan stres nyata atau imajinasi individu dan kehilangan
yang bersifat bio-psiko-sosial, seperti kondisi sakit, kehilangan fungsi seksual, kehilangan
harga diri, kehilangan pekerjaan, kehilangan peran, dan kehilangan posisi di masyarakat.
Perilaku
1. Menangis atau tidak mampu menangis.
2. Marah.
3. Putus asa.
4. Kadang berusaha bunuh diri atau membunuh orang lain.
Mekanisme Koping
1. Denial
2. Regresi
3. Intelektualisasi/rasionalisasi
4. Supresi
5. Proyeksi
DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan adalah sebagai berikut.
1. Berduka berhubungan dengan kehilangan aktual.
2. Berduka disfungsional.
3. Berduka fungsional.
RENCANA INTERVENSI
Prinsip Intervensi
1. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah memberi
kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara berikut.
a. Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan.
b. Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan kehilangan pasien
secara emosional.
c. Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghukum dan
menghakimi.
d. Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu yang mengalami
kehilangan.
e. Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk bahu, dan
merangkul.
f. Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas, dan singkat.
g. Amati dengan cermat respons pasien selama bicara.
2. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan memberikan
dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan marahnya secara
verbal tanpa melawan kemarahannya. Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah
adalah ekspresi frustasi dan ketidakberdayaan.
a. Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan (marah, menangis).
b. Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
c. Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
3. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining) adalah
membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan takutnya.
a. Amati perilaku pasien.
b. Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c. Tingkatkan harga diri pasien.
d. Cegah tindakan merusak diri.
4. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi tingkat
depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa bersalah.
a. Observasi perilaku pasien.
b. Diskusikan perasaan pasien.
c. Cegah tindakan merusak diri.
d. Hargai perasaan pasien.
e. Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f. Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g. Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5. Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah membantu
pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan cara berikut.
a. Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b. Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
Tindakan Keperawatan
Tindakan Keperawatan pada Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat.
b. Pasien dapat mengenali peristiwa kehilangan yang dialami pasien.
c. Pasien dapat memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan
dirinya.
d. Pasien dapat mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
e. Pasien dapat memanfaatkan faktor pendukung.
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya dengan pasien.
b. Berdiskusi mengenai kondisi pasien saat ini (kondisi pikiran, perasaan, fisik, sosial,
dan spiritual sebelum/sesudah mengalami peristiwa kehilangan serta hubungan
antara kondisi saat ini dengan peristiwa kehilangan yang terjadi).
c. Berdiskusi cara mengatasi berduka yang dialami.
1) Cara verbal (mengungkapkan perasaan).
2) Cara fisik (memberi kesempatan aktivitas fisik).
3) Cara sosial (sharing melalui self help group).
4) Cara spiritual (berdoa, berserah diri).
d. Memberi informasi tentang sumber-sumber komunitas yang tersedia untuk saling
memberikan pengalaman dengan saksama.
e. Membantu pasien memasukkan kegiatan dalam jadwal harian.
f. Kolaborasi dengan tim kesehatan jiwa di puskesmas.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
b. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
c. Keluarga dapat mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
d. Keluarga dapat memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
2. Tindakan
a. Berdiskusi dengan keluarga tentang masalah kehilangan dan berduka dan dampaknya
pada pasien.
b. Berdiskusi dengan keluarga cara-cara mengatasi berduka yang dialami oleh
pasien.
c. Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat pasien dengan berduka
disfungsional.
d. Berdiskusi dengan keluarga sumber-sumber bantuan yang dapat dimanfaatkan oleh
keluarga untuk mengatasi kehilangan yang dialami oleh pasien.
Evaluasi
1. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.
2. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan dirinya.
3. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
4. Memanfaatkan faktor pendukung.
5. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
6. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
7. Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
8. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.
PENGERTIAN KECEMASAN
Kecemasan adalah suatu perasaan tidak santai yang samar-samar karena ketidaknyamanan
atau rasa takut yang disertai suatu respons (penyebab tidak spesifik atau tidak diketahui
oleh individu). Perasaan takut dan tidak menentu sebagai sinyal yang menyadarkan bahwa
peringatan tentang bahaya akan datang dan memperkuat individu mengambil tindakan
menghadapi ancaman.
Kejadian dalam hidup seperti menghadapi tuntutan, persaingan, serta bencana dapat
membawa dampak terhadap kesehatan fisik dan psikologis. Salah satu contoh dampak
psikologis adalah timbulnya kecemasan atau ansietas.
RENTANG RESPONS TINGKAT KECEMASAN
1. Ansietas ringan berhubungan dengan ketegangan dalam kehidupan sehari-hari dan
menyebabkan seseorang menjadi waspada dan meningkatkan lahan persepsinya.
Ansietas menumbuhkan motivasi belajar serta menghasilkan pertumbuhan dan
kreativitas.
2. Ansietas sedang memungkinkan seseorang untuk memusatkan perhatian pada hal yang
penting dan mengesampingkan yang lain, sehingga seseorang mengalami perhatian
yang selektif tetapi dapat melakukan sesuatu yang lebih terarah.
3. Ansietas berat sangat mengurangi lahan persepsi seseorang. Adanya kecenderungan
untuk memusatkan pada sesuatu yang terinci dan spesifik dan tidak dapat berpikir
tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut
memerlukan banyak pengarahan untuk dapat memusatkan pada suatu area lain.
4. Tingkat panik dari ansietas berhubungan dengan ketakutan dan merasa diteror, serta
tidak mampu melakukan apapun walaupun dengan pengarahan. Panik meningkatkan
aktivitas motorik, menurunkan kemampuan berhubungan dengan orang lain, persepsi
menyimpang, serta kehilangan pemikiran rasional.
PENGKAJIAN
Faktor Predisposisi
Menurut Stuart dan Laraia (1998) terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan ansietas,
di antaranya sebagai berikut.
1. Faktor biologis.
Otak mengandung reseptor khusus untuk benzodiazepine. Reseptor ini membantu
mengatur ansietas. Penghambat GABA juga berperan utama dalam mekanisme biologis
berhubungan dengan ansietas sebagaimana halnya dengan endorfin. Ansietas mungkin disertai dengan gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kapasitas seseorang untuk
mengatasi stresor.
2. Faktor psikologis
a. Pandangan psikoanalitik. Ansietas adalah konflik emosional yang terjadi antara
antara dua elemen kepribadian—id dan superego. Id mewakili dorongan insting
dan impuls primitif, sedangkan superego mencerminkan hati nurani seseorang
dan dikendalikan oleh norma-norma budaya seseorang. Ego atau aku berfungsi
menengahi tuntutan dari dua elemen yang bertentangan dan fungsi ansietas adalah
mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
b. Pandangan interpersonal. Ansietas timbul dari perasaan takut terhadap tidak
adanya penerimaan dan penolakan interpersonal. Ansietas berhubungan dengan
perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang menimbulkan
kelemahan spesifik. Orang yang mengalami harga diri rendah terutama mudah
mengalami perkembangan ansietas yang berat.
c. Pandangan perilaku. Ansietas merupakan produk frustasi yaitu segala sesuatu
yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pakar perilaku menganggap sebagai dorongan belajar berdasarkan keinginan dari
dalam untuk menghindari kepedihan. Individu yang terbiasa dengan kehidupan dini
dihadapkan pada ketakutan berlebihan lebih sering menunjukkan ansietas dalam
kehidupan selanjutnya.
3. Sosial budaya
Ansietas merupakan hal yang biasa ditemui dalam keluarga. Ada tumpang tindih dalam
gangguan ansietas dan antara gangguan ansietas dengan depresi. Faktor ekonomi dan
latar belakang pendidikan berpengaruh terhadap terjadinya ansietas.
Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dibedakan menjadi berikut.
1. Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan
datang atau menurunnya kapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
2. Ancaman terhadap sistem diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri,
dan fungsi sosial yang terintegrasi seseorang.
Sumber Koping
Individu mengatasi ansietas dengan menggerakkan sumber koping di lingkungan.
Mekanisme Koping
Tingkat ansietas sedang dan berat menimbulkan dua jenis mekanisme koping yaitu sebagai
berikut.1. Reaksi yang berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari dan berorientasi pada
tindakan untuk memenuhi secara realistik tuntutan situasi stres, misalnya perilaku
menyerang untuk mengubah atau mengatasi hambatan pemenuhan kebutuhan. Menarik
diri untuk memindahkan dari sumber stres. Kompromi untuk mengganti tujuan atau
mengorbankan kebutuhan personal.
2. Mekanisme pertahanan ego membantu mengatasi ansietas ringan dan sedang, tetapi
berlangsung tidak sadar, melibatkan penipuan diri, distorsi realitas, dan bersifat maladaptif.
DIAGNOSIS
Kecemasan.
RENCANA INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
a. Pasien mampu mengenal ansietas.
b. Pasien mampu mengatasi ansietas melalui teknik relaksasi.
c. Pasien mampu memperagakan dan menggunakan teknik relaksasi untuk mengatasi
ansietas.
2. Tindakan keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya.
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan agar pasien
merasa aman dan nyaman saat berinteraksi. Tindakan yang harus dilakukan dalam
membina hubungan saling percaya adalah sebagai berikut.
1) Mengucapkan salam terapeutik.
2) Berjabat tangan.
3) Menjelaskan tujuan interaksi.
4) Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
b. Bantu pasien mengenal ansietas.
1) Bantu pasien untuk mengidentifikasi dan menguraikan perasaannya.
2) Bantu pasien menjelaskan situasi yang menimbulkan ansietas.
3) Bantu pasien mengenal penyebab ansietas.
4) Bantu pasien menyadari perilaku akibat ansietas.
c. Ajarkan pasien teknik relaksasi untuk meningkatkan kontrol dan rasa percaya diri.
1) Pengalihan situasi.
2) Latihan relaksasi dengan tarik napas dalam, mengerutkan, dan mengendurkan
otot-otot.
3) Hipnotis diri sendiri (latihan lima jari).
d. Motivasi pasien melakukan teknik relaksasi setiap kali ansietas munculTindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan:
a. Keluarga mampu mengenal masalah ansietas pada anggota keluarganya.
b. Keluarga mampu memahami proses terjadinya masalah ansietas.
c. Keluarga mampu merawat anggota keluarga yang mengalami ansietas.
d. Keluarga mampu mempraktikkan cara merawat pasien dengan ansietas.
e. Keluarga mampu merujuk anggota keluarga yang mengalami ansietas.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
b. Diskusikan tentang proses terjadinya ansietas serta tanda dan gejala.
c. Diskusikan tentang penyebab dan akibat dari ansietas.
d. Diskusikan cara merawat pasien dengan ansietas dengan cara mengajarkan teknik
relaksasi.
1) Mengalihkan situasi.
2) Latihan relaksasi dengan napas dalam, mengerutkan, dan mengendurkan otot.
3) Menghipnotis diri sendiri (latihan lima jari).
e. Diskusikan dengan keluarga perilaku pasien yang perlu dirujuk dan bagaimana
merujuk pasien.
PENGERTIAN KONSEP DIRI
Konsep diri adalah semua ide, pikiran, perasaan, kepercayaan, serta pendirian yang diketahui
individu tentang dirinya dan memengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain.
Konsep diri belum muncul saat bayi, tetapi mulai berkembang secara bertahap. Bayi mampu
mengenal dan membedakan dirinya dengan orang lain serta mempunyai pengalaman dalam
berhubungan dengan orang lain. Konsep diri dipelajari melalui pengalaman pribadi setiap
individu, hubungan dengan orang lain, dan interaksi dengan dunia di luar dirinya. Memahami
konsep diri penting bagi perawat karena asuhan keperawatan diberikan secara utuh bukan
hanya penyakit tetapi menghadapi individu yang mempunyai pandangan, nilai dan pendapat
tertentu tentang dirinya.
RENTANG RESPONS KONSEP DIRI
Konsep diri seseorang terletak pada suatu rentang respons antara ujung adaptif dan ujung
maladaptif, yaitu aktualisasi diri, konsep diri positif, harga diri rendah, kekacauan identitas,
dan depersonalisasi.Rentang respons konsep diri yang paling adaptif adalah aktualisasi diri. Menurut
Maslow karakteristik aktualisasi diri meliputi:
1. realistik,
2. cepat menyesuaikan diri dengan orang lain,
3. persepsi yang akurat dan tegas,
4. dugaan yang benar terhadap kebenaran/kesalahan,
5. akurat dalam memperbaiki masa yang akan datang,
6. mengerti seni, musik, politik, filosofi,
7. rendah hati,
8. mempunyai dedikasi untuk bekerja,
9. kreatif, fleksibel, spontan, dan mengakui kesalahan,
10. terbuka dengan ide-ide baru,
11. percaya diri dan menghargai diri,
12. kepribadian yang dewasa,
13. dapat mengambil keputusan
14. berfokus pada masalah,
15. menerima diri seperti apa adanya,
16. memiliki etika yang kuat,
17. mampu memperbaiki kegagalan.
KOMPONEN KONSEP DIRI
Citra tubuh
Ideal diri Harga diri
Peran Identitas diri
Konsep Diri
Gambar 6.2 Komponen Konsep Diri
Citra Tubuh
Citra tubuh adalah kumpulan sikap individu baik yang disadari maupun tidak terhadap
tubuhnya, termasuk persepsi masa lalu atau sekarang mengenai ukuran, fungsi, keterbatasan,
makna, dan objek yang kontak secara terus-menerus (anting, make up, pakaian, kursi roda, dan
sebagainya) baik masa lalu maupun sekarang. Citra tubuh merupakan hal pokok dalam konsep
diri. Citra tubuh harus realistis karena semakin seseorang dapat menerima dan menyukai
tubuhnya ia akan lebih bebas dan merasa aman dari kecemasan sehingga harga dirinya akan
meningkat. Sikap individu terhadap tubuhnya mencerminkan aspek penting dalam dirinya
misalnya perasaan menarik atau tidak, gemuk atau tidak, dan sebagainya.
Ideal Diri
Persepsi individu tentang seharusnya berperilaku berdasarkan standar, aspirasi, tujuan,
atau nilai yang diyakininya. Penetapan ideal diri dipengaruhi oleh kebudayaan, keluarga,
ambisi, keinginan, dan kemampuan individu dalam menyesuaikan diri dengan norma serta
prestasi masyarakat setempat. Individu cenderung menyusun tujuan yang sesuai dengan
kemampuannya, kultur, realita, menghindari kegagalan dan rasa cemas, serta inferiority.
Ideal diri harus cukup tinggi supaya mendukung respek terhadap diri tetapi tidak terlalu
tinggi, terlalu menuntut, serta samar-samar atau kabur. Ideal diri akan melahirkan harapan
individu terhadap dirinya saat berada di tengah masyarakat dengan norma tertentu.
Ideal diri berperan sebagai pengatur internal dan membantu individu mempertahankan
kemampuannya menghadapi konflik atau kondisi yang membuat bingung. Ideal diri penting
untuk mempertahankan kesehatan dan keseimbangan mental.
Harga Diri
Penilaian pribadi terhadap hasil yang dicapai dan menganalisis seberapa jauh perilaku
memenuhi ideal diri. Harga diri diperoleh dari diri sendiri dan orang lain. Individu akan
merasa harga dirinya tinggi bila sering mengalami keberhasilan. Sebaliknya, individu akan
merasa harga dirinya rendah bila sering mengalami kegagalan, tidak dicintai, atau tidak
diterima lingkungan. Harga diri dibentuk sejak kecil dari adanya penerimaan dan perhatian.
Harga diri akan meningkat sesuai meningkatnya usia dan sangat terancam pada masa pubertas.
Coopersmith dalam buku Stuart dan Sundeen (2002) menyatakan bahwa ada empat hal yang
dapat meningkatkan harga diri anak, yaitu:
1. memberi kesempatan untuk berhasil,
2. menanamkan idealisme,
3. mendukung aspirasi/ide,
4. membantu membentuk koping.
Peran
Serangkaian pola sikap, perilaku, nilai, dan tujuan yang diharapkan oleh masyarakat sesuai
posisinya di masyarakat/kelompok sosialnya. Peran memberikan sarana untuk berperan serta
dalam kehidupan sosial dan merupakan cara untuk menguji identitas dengan memvalidasi
pada orang yang berarti. Hal-hal yang memengaruhi penyesuaian individu terhadap peran
antara lain sebagai berikut.
1. Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran dan pengetahuannya tentang peran yang
diharapkan.
2. Respons/tanggapan yang konsisten dari orang yang berarti terhadap perannya.
3. Kesesuaian norma budaya dan harapannya dengan perannya.
4. Perbedaan situasi yang dapat menimbulkan penampilan peran yang tidak sesuai.
Identitas Diri
Identitas adalah kesadaran tentang “diri sendiri” yang dapat diperoleh individu dari observasi
dan penilaian terhadap dirinya, serta menyadari individu bahwa dirinya berbeda dengan
orang lain. Pengertian identitas adalah organisasi, sintesis dari semua gambaran utuh dirinya,
serta tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan, dan peran. Dalam identitas
diri ada otonomi yaitu mengerti dan percaya diri, hormat terhadap diri, mampu menguasai
diri, mengatur diri, dan menerima diri.
Ciri individu dengan identitas diri yang positif adalah sebagai berikut.
1. Mengenal diri sebagai individu yang utuh terpisah dari orang lain.
2. Mengakui jenis kelamin sendiri.
3. Memandang berbagai aspek diri sebagai suatu keselarasan.
4. Menilai diri sesuai penilaian masyarakat.
5. Menyadari hubungan masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
6. Mempunyai tujuan dan nilai yang disadari.
Ciri individu yang berkepribadian sehat antara lain sebagai berikut.
1. Citra tubuh positif dan sesuai.
2. Ideal diri realistis.
3. Harga diri tinggi.
4. Penampilan peran memuaskan.
5. Identitas jelas.
PENGKAJIAN
Faktor Predisposisi
1. Citra tubuh
a. Kehilangan/kerusakan bagian tubuh (anatomi dan fungsi).
b. Perubahan ukuran, bentuk, dan penampilan tubuh (akibat tumbuh kembang atau
penyakit).
c. Proses penyakit dan dampaknya terhadap struktur dan fungsi tubuh.
d. Proses pengobatan, seperti radiasi dan kemoterapi.
2. Harga diri
a. Penolakan.
b. Kurang penghargaan.
c. Pola asuh overprotektif, otoriter, tidak konsisten, terlalu dituruti, terlalu dituntut.
d. Persaingan antara keluarga.
e. Kesalahan dan kegagalan berulang.
f. Tidak mampu mencapai standar.
3. Ideal diri
a. Cita-cita yang terlalu tinggi.
b. Harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan.
c. Ideal diri samar atau tidak jelas.
4. Peran
a. Stereotipe peran seks.
b. Tuntutan peran kerja.
c. Harapan peran kultural.
5. Identitas diri
a. Ketidakpercayaan orang tua.
b. Tekanan dari teman sebaya.
c. Perubahan struktur sosial.
Faktor Presipitasi
1. Trauma.
2. Ketegangan peran.
3. Transisi peran perkembangan.
4. Transisi peran situasi.
5. Transisi peran sehat-sakit.
Perilaku
1. Citra tubuh
a. Menolak menyentuh atau melihat bagian tubuh tertentu.
b. Menolak bercermin.
c. Tidak mau mendiskusikan keterbatasan atau cacat tubuh.
d. Menolak usaha rehabilitasi.
e. Usaha pengobatan mandiri yang tidak tepat.
f. Menyangkal cacat tubuh.
2. Harga diri rendah
a. Mengkritik diri sendiri/orang lain.
b. Produktivitas menurun.
c. Gangguan berhubungan.
d. Merasa diri paling penting.
e. Destruktif pada orang lain.
f. Merasa tidak mampu.
g. Merasa bersalah dan khawatir.
h. Mudah tersinggung/marah.
i. Perasaan negatif terhadap tubuh.
j. Ketegangan peran.
k. Pesimis menghadapi hidup.
l. Keluhan fisik.
m. Penolakan kemampuan diri.
n. Pandangan hidup bertentangan.
o. Destruktif terhadap diri.
p. Menarik diri secara sosial.
q. Penyalahgunaan zat.
r. Menarik diri dari realitas.
3. Kerancuan identitas
a. Tidak ada kode moral.
b. Kepribadian yang bertentangan.
c. Hubungan interpersonal yang eksploitatif.
d. Perasaan hampa.
e. Perasaan mengambang tentang diri.
f. Kerancuan gender.
g. Tingkat ansietas tinggi.
h. Tidak mampu empati terhadap orang lain.
i. Masalah estimasi.
4. Depersonalisasi
Mekanisme Koping
1. Pertahanan jangka pendek
a. Aktivitas yang dapat memberikan pelarian sementara dari krisis, seperti kerja keras,
nonton, dan lain-lain.
b. Aktivitas yang dapat memberikan identitas pengganti sementara, seperti ikut
kegiatan sosial, politik, agama, dan lain-lain.
c. Aktivitas yang sementara dapat menguatkan perasaan diri, seperti kompetisi
pencapaian akademik.
d. Aktivitas yang mewakili upaya jarak pendek untuk membuat masalah identitas
menjadi kurang berarti dalam kehidupan, seperti penyalahgunaan obat.
2. Pertahanan jangka panjang
a. Penutupan identitas
Adopsi identitas prematur yang diinginkan oleh orang yang penting bagi individu
tanpa memperhatikan keinginan, aspirasi, dan potensi diri individu.
b. Identitas negatif
Asumsi identitas yang tidak wajar untuk dapat diterima oleh nilai-nilai harapan
masyarakat.
3. Mekanisme pertahanan ego
a. Fantasi
b. Disosiasi
c. Isolasi
d. Proyeksi
e. Displacement
f. Marah/amuk pada diri sendiri
Daftar Diagnosis
1. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
2. Risiko perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah.
3. Gangguan konsep diri: citra tubuh berhubungan dengan koping keluarga inefektif.
4. Gangguan konsep diri: identitas personal berhubungan dengan perubahan penampilan
peran.
RENCANA INTERVENSI
Rencana intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosis yang ditemukan. Pada
rencana intervensi berikut memberikan gambaran pada gangguan konsep diri, yaitu harga
diri rendah
Tindakan Keperawatan pada Pasien
1. Tujuan
a. Pasien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
b. Pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
c. Pasien dapat menetapkan/memilih kegiatan yang sesuai kemampuan.
d. Pasien dapat melatih kegiatan yang sudah dipilih, sesuai kemampuan.
e. Pasien dapat merencanakan kegiatan yang sudah dilatihnya.
2. Tindakan keperawatan
a. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki pasien.
1) Mendiskusikan bahwa pasien masih memiliki sejumlah kemampuan dan aspek
positif seperti kegiatan pasien di rumah, serta adanya keluarga dan lingkungan
terdekat pasien.
2) Beri pujian yang realistik/nyata dan hindarkan setiap kali bertemu dengan pasien
penilaian yang negatif.
b. Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
1) Mendiskusikan dengan pasien kemampuan yang masih dapat digunakan saat ini
setelah mengalami bencana.
2) Bantu pasien menyebutkannya dan memberi penguatan terhadap kemampuan
diri yang diungkapkan pasien.
3) Perlihatkan respons yang kondusif dan menjadi pendengar yang aktif.
c. Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan sesuai dengan
kemampuan.
1) Mendiskusikan dengan pasien beberapa aktivitas yang dapat dilakukan dan
dipilih sebagai kegiatan yang akan pasien lakukan sehari-hari.
2) Bantu pasien menetapkan aktivitas yang dapat pasien lakukan secara mandiri,
aktivitas yang memerlukan bantuan minimal dari keluarga, dan aktivitas yang
perlu bantuan penuh dari keluarga atau lingkungan terdekat pasien. Berikan
contoh cara pelaksanaan aktivitas yang dapat dilakukan pasien. Susun bersama
pasien dan buat daftar aktivitas atau kegiatan sehari-hari pasien.
d. Melatih kegiatan pasien yang sudah dipilih sesuai kemampuan.
1) Mendiskusikan dengan pasien untuk menetapkan urutan kegiatan (yang sudah
dipilih pasien) yang akan dilatihkan.
2) Bersama pasien dan keluarga memperagakan beberapa kegiatan yang akan
dilakukan pasien.
3) Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan yang diperlihatkan
pasien.
e. Membantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai kemampuannya.
1) Memberi kesempatan pada pasien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
2) Beri pujian atas aktivitas/kegiatan yang dapat dilakukan pasien setiap hari.
3) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan perubahan setiap
aktivitas.
4) Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama pasien dan keluarga.
5) Berikan kesempatan mengungkapkan perasaanya setelah pelaksanaan
kegiatan.
6) Yakinkan bahwa keluarga mendukung setiap aktivitas yang dilakukan pasien.
Tindakan Keperawatan pada Keluarga
1. Tujuan
a. Keluarga dapat membantu pasien mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki.
b. Keluarga memfasilitasi aktivitas pasien yang sesuai kemampuan.
c. Keluarga memotivasi pasien untuk melakukan kegiatan sesuai dengan latihan yang
dilakukan.
d. Keluarga mampu menilai perkembangan perubahan kemampuan pasien.
2. Tindakan keperawatan
a. Diskusi dengan keluarga kemampuan yang dimiliki pasien.
b. Anjurkan memotivasi pasien agar menunjukkan kemampuan yang dimiliki.
c. Anjurkan keluarga untuk memotivasi pasien dalam melakukan kegiatan yang sudah
dilatihkan pasien dengan perawat.
d. Ajarkan keluarga cara mengamati perkembangan perubahan perilaku pasien.
PENGERTIAN MENARIK DIRI
Menarik diri merupakan suatu percobaan untuk menghindari interaksi dan hubungan
dengan orang lain (Rawlins, 1993). Isolasi sosial adalah keadaan seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya.
Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain.
Hubungan yang sehat dapat digambarkan dengan adanya komunikasi yang terbuka,
mau menerima orang lain, dan adanya rasa empati. Pemutusan hubungan interpersonal
berkaitan erat dengan ketidakpuasan individu dalam proses hubungan yang disebabkan
oleh kurang terlibatnya dalam proses hubungan dan respons lingkungan yang negatif. Hal
tersebut akan memicu rasa tidak percaya diri dan keinginan untuk menghindar dari orang
lain.
Rentang Respons Sosial
Suatu hubungan antarmanusia akan berada pada rentang respons adaptif dan maladaptif
seperti tergambar di bawah ini.
Adaptif Maladaptif
• Menyendiri (solitude)
• Otonomi
• Bekerja sama (mutualisme)
• Saling bergantung
(interdependence)
• Merasa sendiri (loneliness)
• Menarik diri (withdrawal)
• Tergantung (dependent)
• Manipulasi
• Impulsif
• Narsisme
Gambar 7.1 Rentang Respons Sosial
GANGGUAN HUBUNGAN SOSIAL
1. Menarik diri: menemukan kesulitan dalam membina hubungan dengan orang lain.
2. Dependen: sangat bergantung pada orang lain sehingga individu mengalami kegagalan
dalam mengembangkan rasa percaya diri.
3. Manipulasi: individu berorientasi pada diri sendiri dan tujuan yang hendak dicapainya
tanpa mempedulikan orang lain dan lingkungan dan cenderung menjadikan orang lain
sebagai objek.
PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL
Bayi (0–18 Bulan)
Bayi mengomunikasikan kebutuhan menggunakan cara yang paling sederhana yaitu menangis.
Respons lingkungan terhadap tangisan bayi mempunyai pengaruh yang sangat penting untuk
kehidupan bayi di masa datang. Menurut Ericson, respons lingkungan yang sesuai akan
mengembangkan rasa percaya diri bayi akan perilakunya dan rasa percaya bayi pada orang
lain. Kegagalan pemenuhan kebutuhan pada masa ini akan mengakibatkan rasa tidak percaya
pada diri sendiri dan orang lain serta perilaku menarik diri.
Prasekolah (18 Bulan–5 Tahun)
Anak prasekolah mulai membina hubungan dengan lingkungan di luar keluarganya. Anak
membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga dalam hal pemberian pengakuan yang
positif terhadap perilaku anak yang adaptif sehingga anak dapat mengembangkan kemampuan
berhubungan yang dimilikinya. Hal tersebut merupakan dasar rasa otonomi anak yang
nantinya akan berkembang menjadi kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan anak
dalam berhubungan dengan lingkungan dan disertai respons keluarga yang negatif akan
mengakibatkan anak menjadi tidak mampu pengontrol diri, tidak mandiri, ragu, menarik
diri, kurang percaya diri, pesimis, dan takut perilakunya salah.
Anak Sekolah (6–12 Tahun)
Anak sekolah mulai meningkatkan hubungannya pada lingkungan sekolah. Di usia ini anak
akan mengenal kerja sama, kompetisi, dan kompromi. Pergaulan dengan orang dewasa di luar
keluarga mempunyai arti penting karena dapat menjadi sumber pendukung bagi anak. Hal
itu dibutuhkan karena konflik sering kali terjadi akibat adanya pembatasan dan dukungan
yang kurang konsisten dari keluarga. Kegagalan membina hubungan dengan teman sekolah,
dukungan luar yang tidak adekuat, serta inkonsistensi dari orang tua akan menimbulkan
rasa frustasi terhadap kemampuannya, merasa tidak mampu, putus asa, dan menarik diri
dari lingkungannya.
Remaja (12–20 Tahun)
Usia remaja anak mulai mengembangkan hubungan intim dengan teman sejenis atau lawan
jenis dan teman seusia, sehingga anak remaja biasanya mempunyai teman karib. Hubungan
dengan teman akan sangat dependen sedangkan hubungan dengan orang tua mulai
independen. Kegagalan membina hubungan dengan teman sebaya dan kurangnya dukungan
orang tua akan mengakibatkan keraguan identitas, ketidakmampuan mengidentifikasi karier
di masa mendatang, serta tumbuhnya rasa kurang percaya diri.
Dewasa Muda (18–25 Tahun)
Individu pada usia ini akan mempertahankan hubungan interdependen dengan orang tua
dan teman sebaya. Individu akan belajar mengambil keputusan dengan tetap memperhatikan
saran dan pendapat orang lain (pekerjaan, karier, pasangan hidup). Selain itu, individu
mampu mengekspresikan perasaannnya, menerima perasaan orang lain, dan meningkatnya
kepekaan terhadap kebutuhan orang lain. Oleh karenanya, akan berkembang suatu hubungan
mutualisme. Kegagalan individu pada fase ini akan mengakibatkan suatu sikap menghindari
hubungan intim dan menjauhi orang lain.
Dewasa Tengah (25–65 Tahun)
Pada umumnya pada usia ini individu telah berpisah tempat tinggal dengan orang tua.
Individu akan mengembangkan kemampuan hubungan interdependen yang dimilikinya.
Bila berhasil akan diperoleh hubungan dan dukungan yang baru. Kegagalan pada tahap ini
akan mengakibatkan individu hanya memperhatikan diri sendiri, produktivitas dan kretivitas
berkurang, serta perhatian pada orang lain berkurang.
Dewasa Lanjut (Lebih dari 65 Tahun)
Di masa ini, individu akan mengalami banyak kehilangan, misalnya fungsi fisik, kegiatan, pekerjaan,
teman hidup, dan anggota keluarga, sehingga akan timbul perasaan tidak berguna. Selain itu,
kemandirian akan menurun dan individu menjadi sangat bergantung kepada orang lain. Individu
yang berkembang baik akan dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam kehidupannya dan
mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi kehilangan yang
dialaminya. Kegagalan individu pada masa ini akan mengakibatkan individu berperilaku menolak
dukungan yang ada dan akan berkembang menjadi perilaku menarik diri.
PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Objektif
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul.
2. Menghindari orang lain, tampak menyendiri, dan memisahkan diri dari orang lain.
3. Komunikasi kurang/tidak ada, pasien tidak tampak bercakap-cakap dengan orang lain.
4. Tidak ada kontak mata dan sering menunduk.
5. Berdiam diri di kamar.
6. Menolak berhubungan dengan orang lain, memutuskan pembicaraan, atau pergi saat
diajak bercakap-cakap.
7. Tidak tampak melakukan kegiatan sehari-hari, perawatan diri kurang, dan kegiatan
rumah tangga tidak dilakukan.
8. Posisi janin pada saat tidur.
Subjektif
1. Pasien menjawab dengan singkat “ya”, “tidak”, “tidak tahu”.
2. Pasien tidak menjawab sama sekali.
DIAGNOSIS
Pohon Masalah
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko perubahan sensori persepsi: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.
2. Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
RENCANA INTERVENSI
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, pasien mampu melakukan hal berikut.
a. Membina hubungan saling percaya.
b. Menyadari penyebab isolasi sosial.
c. Berinteraksi dengan orang lain.
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya.
1) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi dengan pasien.
2) Berkenalan dengan pasien, seperti perkenalkan nama dan nama panggilan yang
Anda sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan pasien.
3) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien saat ini.
4) Buat kontrak asuhan, misalnya apa yang Anda akan lakukan bersama pasien,
berapa lama akan dikerjakan, dan tempatnya di mana.
5) Jelaskan bahwa Anda akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi.
6) Setiap saat tunjukkan sikap empati terhadap pasien.
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan.
b. Membantu pasien menyadari perilaku isolasi sosial.
1) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi dengan orang lain.
2) Tanyakan apa yang menyebabkan pasien tidak ingin berinteraksi dengan orang
lain.
3) Diskusikan keuntungan bila pasien memiliki banyak teman dan bergaul akrab
dengan mereka.
4) Diskusikan kerugian bila pasien hanya mengurung diri dan tidak bergaul dengan
orang lain.
5) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik pasien.
c. Melatih pasien berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.
1) Jelaskan kepada pasien cara berinteraksi dengan orang lain.
2) Berikan contoh cara berbicara dengan orang lain.
3) Beri kesempatan pasien mempraktikkan cara berinteraksi dengan orang lain
yang dilakukan di hadapan Anda.
4) Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang teman/anggota
keluarga.
5) Bila pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi dengan
dua, tiga, empat orang, dan seterusnya.
6) Beri pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh pasien.
7) Siap mendengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan orang
lain. Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya.
Beri dorongan terus-menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
interaksinya.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
1. Tujuan
Setelah tindakan keperawatan, keluarga mampu merawat pasien isolasi sosial di
rumah.
2. Tindakan
Melatih keluarga merawat pasien isolasi sosial.
a. Menjelaskan tentang hal berikut.
1) Masalah isolasi sosial dan dampaknya pada pasien.
2) Penyebab isolasi sosial.
3) Sikap keluarga untuk membantu pasien mengatasi isolasi sosialnya.
4) Pengobatan yang berkelanjutan dan mencegah putus obat.
5) Tempat rujukan bertanya dan fasilitas kesehatan yang tersedia bagi pasien.
b. Memperagakan cara berkomunikasi dengan pasien.
c. Memberi kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikkan cara berkomunikasi
dengan pasien