kesehatan mental 1
Deskripsi Singkat
Pemahaman akan mental yang sehat tak dapat lepas dari pemahaman
mengenai sehat dan sakit secara fisik. Berbagai penelitian telah
mengungkapkan adanya hubungan antara kesehatan fisik dan mental
individu, dimana pada individu dengan keluhan medis menunjukkan adanya
masalah psikis hingga taraf gangguan mental. Sebaliknya, individu dengan
gangguan mental juga menunjukkan adanya gangguan fungsi fisiknya.
Sehat dan sakit merupakan kondisi biopsikososial yang menyatu dalam
kehidupan manusia. Pengenalan konsep sehat dan sakit, baik secara fisik
maupun psikis merupakan bagian dari pengenalan manusia terhadap kondisi
dirinya dan bagaimana penyesuaiannya dengan lingkungan sekitar.
Gerakan Kesehatan Mental di masa lalu, mencoba memahami gangguan
mental dan melakukan intervensi dalam berbagai bidang ilmu untuk
mengatasinya. Seringkali tampil kurang manusiawi karena lebih
mengedepankan pada aspek penyembuhan dan isolasi dari lingkungan yang
dirasa lebih sehat. Saat ini, telah terjadi pergeseran paradigma dalam
Gerakan Kesehatan Mental yang lebih mengedepankan pada aspek
pencegahan gangguan mental serta bagaimana peran komunitas dalam
membantu optimalisasi fungsi mental individu.
. Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti pokok bahasan mengenai Gerakan Kesehatan
Mental, mahasiswa dapat menguraikan konsep-konsep Kesehatan Mental
yang berkembang dewasa ini secara sistematis sesuai dengan perkembangan
gerakan kesehatan mental yang telah ada, serta mengidentifikasi isu-isu
terkait di dunia.
Sehat, Kesehatan dan Sehat Mental
DEFINISI SEHAT. Sehat (Health) secara umum dapat dipahami sebagai
kesejahteraan secara penuh (keadaan yang sempurna) baik secara fisik,
mental, maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau keadaan
lemah. Sedangkan di Indonesia, UU Kesehatan No. 23/ 1992 menyatakan
bahwa sehat adalah suatu keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial
dimana memungkinkan setiap manusia untuk hidup produktif baik secara
sosial maupun ekonomis. World Health Organization (WHO, 2001),
menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan
yang disadari individu, yang di dalamnya terdapat
kemampuan-kemampuan untuk mengelola stres kehidupan yang
wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta
berperan serta di komunitasnya.
SEHAT SEBAGAI KONTINUM. Kondisi sehat dan sakit pada
manusia merupakan suatu kontinum, sehingga sangat sulit memberikan
batasan yang jelas saat melakukan evaluasinya. Akan tetapi, meng- amati fenomena tersebut, maka diyakini taraf kesehatan seseorang dapat
ditingkatkan bahkan dioptimalkan. Hal inilah yang mendasari Gerakan
Kesehatan Mental dewasa ini. Tidak hanya memandang bagaimana
seseorang sembuh dari sakitnya, tetapi bagaimana meningkatkan taraf
kesehatan seseorang menjadi lebih optimal.
INDIVIDU YANG SEHAT MENTAL. Pribadi yang normal/
bermental sehat adalah pribadi yang menampilkan tingkah laku yang
adekuat & bisa diterima masyarakat pada umumnya, sikap hidupnya
sesuai norma & pola kelompok masyarakat, sehingga ada relasi
inter-personal & intersosial yang memuaskan (Kartono, 1989).
Sedangkan menurut Karl Menninger, individu yang sehat mentalnya
adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk menahan diri,
menunjuk-kan kecerdasan, berperilaku dengan menenggang
perasaan orang lain, serta memiliki sikap hidup yang bahagia. Saat
ini, individu yang sehat mental dapat dapat didefinisikan dalam dua
sisi, secara negatif dengan absennya gangguan mental dan secara
positif yaitu ketika hadirnya karakteristik individu sehat mental.
Adapun karakteristik individu sehat mental mengacu pada kondisi
atau sifat-sifat positif, seperti: kesejahteraan psikologis
(psychological well-being) yang positif, karakter yang kuat serta
sifat-sifat baik/ kebajikan (virtues) (Lowenthal, 2006).
Selama ini masih banyak mitos dan konsepsi yang diyakini masyarakat
Indonesia mengenai Kesehatan Mental yang keliru, antara lain: gangguan
mental adalah herediter/ diturunkan, gangguan mental tidak dapat
disembuhkan, gangguan mental muncul secara tiba-tiba, gangguan mental
merupakan aib/ noda bagi lingkungannya, gangguan mental merupakan
peristiwa tunggal, seks merupakan penyebab munculnya gangguan mental,
kesehatan mental cukup dipahami dan ditangani oleh satu disiplin ilmu saja,
kesehatan mental dipandang sama dengan “ketenangan batin”, yang
dimaknai sebagai tidak ada konflik, tidak ada masalah, hidup tanpa ambisi,
pasrah.
B. Perkembangan Gerakan Kesehatan Mental
Gerakan Kesehatan Mental berkembang seiring dengan adanya revolusi
pemahaman masyarakat mengenai mental yang sehat dan cara-cara
penanganannya, terutama di masyarakat barat. Adapun tahap-tahapan
perkembangan gerakan kesehatan mental, yaitu:
1. TAHAP DEMONOLOGI (sebelum abad pertengahan)
Kesehatan mental dikaitkan dengan kekuatan gaib, kekuatan
spiritual, setan dan makhluk halus, ilmu sihir, dan sejenisnya.
Gangguan mental terjadi akibat kegiatan yang menentang kekuatan
gaib tersebut. Sehingga bentuk penanganannya, tidak ilmiah dan
kurang manusiawi, seperti: upacara ritual, penyiksaan atau
perlakuan tertentu terhadap penderita dengan maksud mengusir roh
jahat dari dalam tubuh penderita.
2. TAHAP PENGENALAN MEDIS (4 abad SM – abad ke-6 M)
Mulai 4 abad SM muncul tokoh-tokoh bidang medis (Yunani):
Hipocrates, Hirophilus, Galenus, Vesalius, Paracelsus, dan
Cornelius Agrippa, mulai menggunakan konsep biologis yang
penanganannya lebih manusiawi. Gangguan mental disebabkan
gangguan biologis atau kondisi biologis seseorang, bukan akibat roh
jahat. Mendapat pertentangan keras dari aliran yang meyakini
adanya roh jahat.
3. TAHAP SAKIT MENTAL DAN REVOLUSI KESEHATAN
MENTAL Mulai muncul pada abad ke-17: Renaissance
(revolusi Prancis), dengan tokohnya: Phillipe Pinel.
Mengutamakan: persamaan, kebebasan, dan persaudaraan dalam
penanganan pasien gangguan mental di rumah sakit secara
manusiawi. Terjadi perubahan dalam: pemikiran mengenai
penyebab gangguan mental dan cara penanganan dan upaya
penyembuhan. Tokoh-tokoh lain yang mendukung adalah :
a. William Tuke (abad 18), di Inggris: perlakuan moral pasien
asylum
a. Benjamin Rush (1745-1813), di Amerika Serikat:
merupakan bapak kedokteran jiwa Amerika
b. Emil Kraepelin (1855-1926), di Jerman: menyusun
klasifikasi gangguan mental pertama
c. Dorothea Dix (1802-1887), di Amerika: mengajar dan
memberikan bantuan kemanusiaan kepada masyarakat
miskin dan komunitas perempuan di penjara
d. Clifford Beers (1876-1943), di Amerika: pengusaha yang
mendirikan gerakan kesehatan mental di Amerika.
4. TAHAP PENGENALAN FAKTOR PSIKOLOGIS (Abad ke- 20) Merupakan Revolusi Kesehatan Mental ke-2: munculnya
pendekatan psikologis (Psikoanalisa) yang mempelopori
penanganan penderita gangguan mental secara medis dan
psikologis. Tokoh utamanya adalah Sigmund Freud, yang
melakukan: penanganan hipnose, katarsis, asosiasi bebas, analisis
mimpi. Tujuannya adalah mengatasi masalah mental individu dengan
menggali konflik intrapsikis penderita gangguan mental. Intervensi
tersebut dikenal dengan istilah penanganan klinis (psikoterapi).
5. TAHAP MULTIFAKTORIAL
Mulai berkembang setelah Perang Dunia II. Kesehatan mental
dipandang tidak hanya dari segi psikologis dan medis, tetapi melibatkan
faktor interpersonal, keluarga, masyarakat, dan hubungan sosial.
Interaksi semua faktor tersebut diyakini mempengaruhi kesehatan
mental individu dan masyarakat. Merupakan Revolusi ke-3 Gerakan
Kesehatan Mental dengan tokohnya: Whittingham Beers (buku ”A Mind
That Found Itself”), William James, dan Adolf Meyer. Menurut
pandangan ini, penanganan penderita gangguan mental, lebih baik
dilakukan sejak tahap pencegahannya, yaitu:
a. pengembangan perbaikan dalam perawatan dan terapi
terhadap penderita gangguan mental
b. penyebaran informasi yang mengarah pada sikap inteligen
dan humanis pada penderita gangguan mental
c. mengadakan riset terkait
d. mengembangkan praktik pencegahan gangguan mental.
Adapun organisasi terkait yang berkembang, antara lain: Society
for Improvement The Condition of The Insane (London-1842)
dan American Social Hygiene Association (AS-1900).
C. Paradigma dalam Kesehatan Mental
Prinsip-prinsip dalam memahami Kesehatan Mental telah diungkap
Schneiders sejak tahun 1964, yang mencakup tiga hal : 11 prinsip yang
didasari atas sifat manusia, yaitu:
1. Kesehatan dan penyesuaian mental tidak terlepas dari kesehatan
fisik dan integritas organisme.
2. Dalam memelihara kesehatan mental, tidak terlepas dari sifat
manusia sebagai pribadi yang bermoral, intelek, religius,
emosional, dan sosial. 3. Kesehatan dan penyesuaian mental memerlukan integrasi dan
pengendalian diri, meliputi: pengendalian pemikiran, imajinasi,
hasrat, emosi dan perilaku.
4. Memperluas pengetahuan diri merupakan keharusan dalam
pencapaian dan memelihara kesehatan mental.
5. Kesehatan mental memerlukan konsep diri yang sehat, meliputi:
penerimaan dan usaha yang realistik terhadap status dan harga
diri.
6. Pemahaman dan penerimaan diri harus ditingkatkan dalam
usaha meningkatkan diri dan realisasi diri untuk mencapai
kesehatan mental.
7. Stabilitas mental memerlukan pengembangan yang terus- menerusdalam diri individu, terkait dengan: kebijaksanaan,
keteguhan hati, hukum, ketabahan, moral, dan kerendahan hati.
8. Pencapaian dalam pemeliharaan kesehatan mental terkait
dengan penanaman kebiasaan baik.
9. Stabilitas mental menuntut kemampuan adaptasi, kapasitas
mengubah situasi dan kepribadian.
10. Stabilitas mental memerlukan kematangan pemikiran,
keputusan, emosionalitas, dan perilaku.
11. Kesehatan mental memerlukan belajar mengatasi secara efektif
dan secara sehat terhadap konflik mental, kegagalan, serta
ketegangan yang timbul.
Kemudian sebagai prinsip yang kedua adalah 3 prinsip yang didasari
atas hubungan manusia dengan lingkungannya, yaitu:
1. Kesehatan mental dipengaruhi oleh hubungan interpersonal
yang sehat, khususnya di dalam keluarga.
2. Penyesuaian yang baik dan kedamaian pikiran dipengaruhi oleh
kecukupan individu dalam kepuasan kerja.
3. Kesehatan mental memerlukan sikap yang realistik, yaitu
menerima realita tanpa distorsi dan objektif.
Serta prinsip yang terakhir, merupakan 2 prinsip yang didasari atas
hubungan individu dengan Tuhan, yaitu:
1. Stabilitas mental memerlukan pengembangan kesadaran atas
realitas terbesar dari dirinya yang menjadi tempat bergantung
kepada setiap tindakan yang fundamental.
2. Kesehatan mental dan ketenangan hati memerlukan hubungan
yang konstan antara manusia dengan Tuhannya.
Adapun paradigma yang digunakan dalam mempelajari Kesehatan
Mental yang diyakini sebagai tinjauan multifaktorial, antara lain:
PENDEKATAN BIOLOGIS. Dengan mempelajari fungsi otak,
kelenjar endokrin, dan fungsi sensoris, pendekatan tersebut
meyakini bahwa kesehatan mental individu sangat dipengaruhi oleh
faktor genetik dan kondisi saat ibu hamil, serta faktor eksternal
terkait: gizi, radiasi, usia, komplikasi penyakit.
PENDEKATAN PSIKOLOGIS. Pendekatan tersebut meyakini
bahwa faktor psikologis berpengaruh besar pada kondisi mental
seseorang, dimana dalam pendekatan psikologis memiliki 3
pandangan yang besar yang membahas mengenai hal tersebut, yaitu:
A. PSIKOANALISA
Pendekatan yang meyakini bahwa interaksi individu pada awal
kehidupannya serta konflik intrapsikis yang terjadi akan
mempengaruhi perkembangan kesehatan mental seseorang. Faktor
Epigenetik mempelajari kematangan psikologis seseorang yang
berkembang seiring pertumbuhan fisik dalam tahap-tahap
perkembangan individu, juga merupakan faktor penentu kesehatan
mental individu.
B. BEHAVIORISTIK
Pendekatan yang meyakini Proses pembelajaran dan Proses belajar
sosial akan mempengaruhi kepribadian seseorang. Kesalahan
individu dalam proses pembelajaran dan belajar sosial akan
mengakibatkan gangguan mental.
C. HUMANISTIK
Perilaku individu dipengaruhi oleh hirarkhi kebutuhan yang dimiliki.
Selain itu, individu diyakini memiliki kemampuan memahami
potensi dirinya dan berkembang untuk mencapai aktualisasi diri.
PENDEKATAN SOSIO-KULTURAL. Memiliki beberapa pendekatan,
yaitu: STRATIFIKASI SOSIAL yang membahas faktor sosial-ekonomi dan
seleksi sosial; INTERAKSI SOSIAL yang membahas fungsi dalam suatu
hubungan interpersonal (Teori Psikodinamik, Teori rendahnya interaksi
sosial : isolasi, kesepian); TEORI KELUARGA yang mempelajari
pengaruh pola asuh, interaksi antar anggota keluarga, dan fungsi keluarga
terhadap kesehatan mental individu:
PERUBAHAN SOSIAL, yang mengkaitkan perubahan jangka
panjang, migrasi dan industrialisasi, serta kondisi krisis dengan
kondisi mental individu;
SOSIAL-BUDAYA, yang mempelajari pengaruh agama dan budaya
pada kondisi mental seseorang;
STRESSOR SOSIAL, yang mempelajari pengaruh berbagai situasi
sosial yang berdampak psikologis (misal: perkawinan, meninggal,
kriminalitas, resesi) terhadap kondisi mental individu.
PENDEKATAN LINGKUNGAN. Pendekatan ini memiliki dua
dimensi: DIMENSI LINGKUNGAN FISIK, yang terkait dengan: ruang,
waktu, dan sarana (gizi) yang menyertai.
DIMENSI LINGKUNGAN KIMIAWI DAN BIOLOGIS, yang terkait
dengan: polusi, radiasi, virus dan bakteri, populasi makhluk hidup lain.
D. Isu-isu dalam Perkembangan Gerakan Kesehatan Mental
Adanya pergeseran paradigma dalam upaya memahami manusia dalam
ranah Psikologi Klinis dan Kesehatan, dimana dahulu lebih
mengutamakan pemahaman akan makna penderitaan, kelemahan, dan
gangguan yang mungkin dialami manusia. Sehingga pada pendekatan ini
muncul upaya untuk memahami etiologi gangguan mental hingga upaya
intervensinya, produknya berupa: DSM (Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorder).
Di sekitar tahun 2000, muncul pemahaman baru yang lebih mengutamakan
keseimbangan dan lengkapnya kehidupan manusia itu sendiri sebagai subjek
pembelajaran. Sehingga pandangan yang berkembang adalah adanya
dinamika kesehatan mental pada individu: adanya “saat puncak” (sehat
mental dan optimal) hingga “lembah” (ketika terjadi gangguan), serta
proses-proses di antara keduanya. Pandangan ini menggali sisi positif
manusia sebagai upaya:
a. memahami dinamika kehidupan manusia
b. mengoptimalkan dan mencegah
c. intervensi terhadap gangguan.
Maka semakin berkembanglah gerakan Psikologi Positif, yang
sebenarnya telah dipelopori oleh para ahli pada tahun 1958 dengan
pengembangan mengenai Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well- being).
E. Psikologi Positif (Positive Psychology)
SEJARAH SINGKAT. Psikologi Positif disepakati sebagai isu penting di era Millenium (sekitar tahun 2000) oleh APA (American Psychologist
Assosciation). Kajian mengenai Psikologi Positif disepakati masuk dalam ranah
Kesehatan Mental (Mental Health) dan Kesejahteraan
sebagai kajian lanjut pada ilmu gangguan mental (Psikologi Klinis).
Beberapa tokoh pioneer dalam pengembangan Psikologi Positif: Carl
Rogers (1951), Abraham Maslow (1954, 1962), Jahoda (1958),
Erikson (1963, 1982), Vaillant (1977), Deci & Ryan (1985), Riff &
Singer (1996). Tokoh Psikologi Positif saat ini: Martin E.Selligman,
Christhopher Peterson, Tracy A.Steen, dan Nansook Park.
DEFINISI PSIKOLOGI POSITIF. Untuk memahami Psikologi
Positif secara utuh, perlu diyakini bahwa manusia bukan hanya sebagai
individu yang memiliki masalah psikologis semata. Akan tetapi, setiap
manusia memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan hal-hal
yang baik dan mampu mengelola hal tersebut. Sehingga dalam
Psikologi Positif lebih diutamakan bagaimana seseorang berfungsi
secara optimal dan faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh terhadap
hal tersebut. Menurut beberapa ahli definisi Psikologi Positif adalah
upaya teoritik dan riset mengenai proses membuat hidup menjadi lebih
bermakna (Peterson & Park, 2003). Psikologi Positif merupakan ilmu
yang mempelajari kondisi dan proses-proses yang berpengaruh pada
pengembangan atau fungsi optimal dari individu, kelompok, dan
institusi (Gable & Haidt, 2005). Sedangkan menurut Compton (2005),
Psikologi Positif merupakan ilmu yang menggunakan teori-teori
psikologis, penelitian, dan teknik intervensi untuk memahami sisi
positif, adaptif, kreatif, dan elemen-elemen yang bermakna secara
emosional pada perilaku manusia.
TUJUAN PSIKOLOGI POSITIF. Tujuan yang ingin dicapai pada
kajian Psikologi Positif adalah kebahagiaan (happiness).
Kebahagiaan pada manusia, meliputi perasaan positif (kenyamanan- enjoyable) dan kegiatan positif tanpa unsur perasaan (keterlibatan).
RUANG LINGKUP PSIKOLOGI POSITIF. Terdapat tiga pilar
utama dalam Psikologi Positif, yaitu:
a. Pengkajian terhadap karakter positif (virtues), yaitu: kreatif,
memiliki rasa ingin tahu, memiliki keterbukaan pikiran,
memiliki Kegemaran belajar, memiliki kearifan, memiliki
Keberanian, tabah dalam kesulitan, murah hati, penuh semangat.
b. Pengkajian terhadap emosi positif, yaitu: kebahagiaan
(Happiness), kasih sayang (Love), bersyukur (Gratitude),
memaafkan (Forgiveness), mengharap hal baik (Hope), gembira
(Humor).
c. Pengkajian terhadap institusi positif, seperti pemerintah yang
demokrasi, keluarga yang kukuh, organisasi yang menjunjung
kebebasan informasi, yang mana masing-masing memiliki sifat- sifat: adil, peduli (caring), bertanggung jawab, beradab (civil
society), toleransi, non-diskriminatif, saling mendukung , saling
menghargai.
KEBAHAGIAAN (HAPPINESS). Kebahagiaan sendiri terbagi
menjadi emosi positif, keterlibatan, dan makna hidup. Menurut
Selligman (2002), dalam mencapai kebahagiaan individu
menghindari bentuk-bentuk kesenangan sesaat, tingkat kepuasan
minimal, dan kehampaan makna. Apabila hal tersebut diaplikasikan
dalam psikoterapi, maka tidak sekedar memperbaiki gangguan
mental individu tersebut, tetapi terapis juga membantu individu
untuk mengenali dan membangun kekuatan serta kebajikan (virtue)
yang dimiliki.
KEKUATAN DAN KEBAJIKAN (STRENGTH & VIRTUE).
Adapun kebajikan yang diungkap dalam Psikologi Positif terdiri atas
enam hal, yang didalamnya memiliki 24 kekuatan karakter individu
yang bersifat universal. Enam kebajikan tersebut adalah wisdom &
knowledge, courage, humanity, justice, temperance, dan transcendence.
ASSESMEN DALAM PSIKOLOGI POSITIF. Ada beberapa bentuk alat
penilaian berupa skala psikologis yang dapat membantu kita mengukur
kebahagiaan, antara lain: Steen Happiness Index (SHI) yang dikembangkan
sejak tahun 1999, terdiri atas 20 aitem dan 5 pilihan jawaban ekstrim untuk
merefleksikan tiga bentuk hidup bahagia (menyenangkan, keterlibatan, dan
kebermaknaan). Assesmen yang lain adalah General Happiness Scale
(Lepper, 1999), dan Happiness Scale (Fordyce, 1977).
F. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-being)
DEFINISI. Kesejahteraan Psikologis merupakan gambaran kesehatan psikologis
individu berdasarkan pemenuhan fungsi psikologis positif (Riff, dalam Papalia,
2000). Kesejahteraan psikologis seringkali dimaknai sebagai bagaimana seorang
individu mengevaluasi dirinya. Adapun evaluasi tersebut memiliki dua bentuk,
yaitu:
a. evaluasi yang bersifat kognitif
seperti: penilaian umum (kepuasan hidupnya/ life satisfaction), dan kepuasan
spesifik/ domain spesifik (kepuasaan kerja, kepuasaan perkawinan).
b. evaluasi yang bersifat afektif, berupa frekuensi dalam
mengalami emosi yang menyenangkan (misal: menikmati) dan
mengalami emosi yang tak menyenangkan (misal: depresi). Subjective
Well-being merupakan salah satu aspek dalam Kesejahteraan Psikologis
(Davies, 2001). Individu yang memiliki tingkat kesejahteraan psikologis
yang tinggi adalah mereka yang jauh lebih sering mengalami kepuasaan
hidup dan lebih sedikit mengalami emosi yang tak menyenangkan, seperti
marah dan sedih. Subjective well-being lebih merupakan pengalaman
internal individu daripada evaluasi klinis.
DIMENSI DALAM KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS. Terdapat enam
dimensi dalam kesejahteraan psikologis, yaitu: penerimaan diri, hubungan
positif dengan orang lain, kemandirian, penguasaan lingkungan, tujuan
hidup, pertumbuhan pribadi.
FAKTOR-FAKTOR PENGARUH. Kesejahteraan psikologis individu
sangat dipengaruhi oleh: usia, jenis kelamin, pendapatan dan status sosial- ekonomi, pendidikan, status pernikahan, pengalaman dan interpretasinya,
temperamen dan kepribadian.
Deskripsi Singkat
Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk selalu melakukan
penyesuaian (adjusment). Penyesuaian adalah suatu hubungan harmonis
dengan lingkungan yang melibatkan kemampuan untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan terpenting dan menghadapi tuntutan, baik secara fisik
& sosial. Penyesuaian diri yang baik bukanlah kemampuan beradaptasi
dengan cepat semata, tetapi juga dengan cara-cara yang sesuai dengan diri
dan lingkungan, serta mengarahkan individu untuk mampu berbuat yang
terbaik dan mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya. Dalam pokok
bahasan kali ini, kita akan bersama-sama mendis-kusikan bagaimana proses
penyesuaian secara umum dan bagaimana penyesuaian menjadi mediator
individu mencapai aktualisasi dirinya. Kita juga akan mencoba pilihan
untuk bertumbuh dengan memahami siapa diri kita yang sebenarnya dan
potensi-potensi apa yang kita miliki.
Penyesuaian & Perbedaan individu (Individual Differences)
DEFINISI PENYESUAIAN. Penyesuaian (adjustment) terdiri atas tiga
komponen dasar yaitu: diri sendiri, orang lain, dan perubahan. Penyesuaian
merupakan suatu variasi dan perubahan dalam perilaku yang diperlukan
untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan dan menghadapi tuntutan-tuntutan
sehingga dapat mendirikan suatu hubungan yang harmonis dengan
lingkungan. Menurut Atwater (1983), penyesuaian terjadi dari serangkaian
perubahan-perubahan diri dan pada situasi tertentu dalam hal mencapai
suatu hubungan yang memuaskan dengan orang lain serta apa yang ada di
sekitar kita. Penyesuaian juga dapat diungkapkan sebagai proses dimana
seseorang merespon tuntutan lingkungan dan mengatasi stres (Rathus &
Nevid, 2002). Definisi penyesuaian sendiri diungkap Duffy dan Atwater
(2005) sebagai proses psikososial, dimana
individu berperan dalam mengelola tuntutan hidup sehari-hari dengan
memodifikasi diri atau memodifikasi lingkungan.
PERUBAHAN PEMAHAMAN MENGENAI PENYESUAIAN.
Paradigma lama dalam memahami penyesuaian meyakini bahwa
melakukan penyesuaian berarti individu yang harus melakukan
serangkaian perubahan dan adaptasi sehingga sesuai dengan tuntutan
lingkungan sekitarnya. Sehingga kemampuan seseorang dalam
melakukan penyesuaian sangat dipengaruhi oleh komformitas sosialnya.
Individu yang well-adjusted adalah individu yang lebih terlihat stabil
dan membatasi keinginan serta perasaannya dari yang lain. Saat ini,
terjadi pergeseran pemahaman mengenai penyesuaian. Penyesuaian
tidaklah selalu harus mengimplikasikan perubahan dari diri individu,
tetapi juga bagaimana individu tersebut dapat berperan aktif merubah
lingkungan sekitarnya untuk memahami dirinya, dengan cara
mengkomunikasikan siapa dirinya kepada lingkungan dengan cara-cara
yang dapat dipahami lingkungan sekitarnya. Contohnya, dengan
pengembangan keterampilan berperilaku asertif dan manajemen stres.
Sehingga penyesuaian yang sehat diyakini sebagai proses dua arah yang
melibatkan peran aktif individu.
PARADIGMA LAMA : “merubah diri kita sesuai dgn lingkungan”
PARADIGMA BARU : “merubah diri kita dan lingkungan kita
sebagai cara memuaskan kebutuhan- kebutuhan kita”
B. Pertumbuhan Diri (Personal Growth)
HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIAN DIRI DAN PERTUMBUHAN DIRI.
Merupakan proses dalam hidup yang saling melengkapi, dimana kita
menyesuaikan diri untuk survive dan karena pengalaman kita bertumbuh
maka hidup kita akan lebih terarah (self-direction) dan penuh antusias. Keduanya sama-sama melibatkan pemuasan kebutuhan sendiri dan tuntutan tuntutan lingkungan di sekitar kita. Prosesnya pun sama-sama membawa
kepuasan tersendiri. Sulit membedakan antara penyesuaian & pertumbuhan
diri secara jelas. Akan tetapi, ada perbedaan penekanan di antara keduanya
(Tabel.2.1).
DEFINISI PERTUMBUHAN DIRI. Pertumbuhan diri merupakan
perubahan atau perkembangan dalam arah yang diharapkan atau
diinginkan. Bertumbuh sebagai individu berarti menjadi lebih penuh
pemahaman, kompeten, dan penuh perhatian pada sesama. Proses
dan perubahan dalam menuju pertumbuhan diri sangat bervariasi
tergantung: kebutuhannya, nilai-nilai yang dianut, serta
perkembangan di masa lampau.
KONDISI DAN TAHAPAN MEMULAI PERTUMBUHAN DIRI.
Ada beberapa kondisi yang memberi pengaruh besar bagi pertumbuhan
diri, yaitu: perubahan fisik dan lingkungan, peristiwa hidup yang
signifikan, perubahan dalam diri individu, serta kehidupan pribadi. Tiga
fase dalam mengawali pengalaman bertumbuh :
a. Menyatakan (perlu/ adanya/ mesti) perubahan
b. Merasakan adanya situasi yang terganggu atau ketidakpuasan
seperti: rasa khawatir, cemas, tidak nyaman
c. Menata ulang pengalaman, dengan memulai persepsi baru dan
penerimaan diri
Kierkegaard: “Dalam hidup sangatlah penting untuk memahaminya
dengan kembali ke belakang, tetapi kita haruslah tetap hidup
dengan pandangan ke depan”
PERUBAHAN SEBAGAI LANGKAH AKTUALISASI DIRI.
Mengacu pada Teori Psikologi Humanistik (Maslow & Rogers)
bahwa setiap organis-me menunjukkan kecenderungan untuk
mengaktualisasikan potensi-potensi di dalam dirinya. “Kecenderungan mengaktualisasikan diri” tersebut memaksa individu
untuk menyadari adanya “rasa untuk melakukan pemenuhan diri”.
PEMENUHAN POTENSI DIRI. Dasar dari pemenuhan potensi
diri yaitu setiap individu memiliki beberapa kemungkinan lebih
banyak untuk tumbuh dari yang disadarinya. Maslow berkeyakinan
bahwa ada beberapa orang yang memiliki kesehatan mental yang
lebih baik dibanding orang pada umumnya, yaitu:
orang-orang yang memiliki fungsi lebih optimal dari rata-rata yang
dimiliki orang pada umumnya, seringkali disebut dengan individu
dengan “self – actualizing”. KARAKTERISTIK INDIVIDU DENGAN AKTUALISASI
DIRI. Ada kriteria tertentu mengenai karakteristik individu dengan
aktualisasi diri, yang dibuat Maslow yaitu individu tersebut haruslah
bebas dari neurosis atau masalah-masalah besar dalam hidupnya,
selain itu individu tersebut dapat melakukan hal-hal terbaik yang
mungkin dapat dilakukan dengan menggunakan bakat &
kekuatannya. Sedangkan Duffy dan Atwater (2005) mengungkapkan
bahwa individu yang memiliki aktualisasi diri (otonomi) adalah
mereka yang mampu menerima tanggung jawab dalam hidupnya dan
secara hati-hati melakukan pilihan yang tersedia sepanjang
hidupnya. Individu tersebut tetap membuka diri dan
memperjuangkan kehormatannya dengan menyadari kesalahan, serta
memiliki kesadaran untuk berubah. Secara umum, ciri yang tampak
dari individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya adalah
individu yang memiliki persepsi realita yang lebih adekuat,
penerimaannya lebih baik terhadap diri maupun lingkungan,
membutuhkan privasi dan kesunyian, memiliki autonomi atau
independensi yang tinggi, apresiasinya terhadap masalah-masalah
mendasar dalam kehidupan sehari-hari sangatlah segar, lebih sering
mengalami pengalaman puncak atau spiritual, bertambahnya
perasaan bersaudara dengan orang lain yang terpuaskan, memiliki
hubungan yang intim dengan beberapa teman dan pasangan, pribadi
yang demokratik, memiliki kemampuan mengetahui mana yang
benar-salah yang tinggi: sehat, memiliki rasa humor yang tidak
kasar, kreativitas tinggi, serta peka dalam berkomformitas. Beberapa
hal penting yang harus diperhatikan: • Individu yang mampu mengaktualisasikan diri tidak
samadengan individu yang sempurna • Individu yang mampu mengaktualisasikan dirinya tetaplah
mengalami problem yang dapat membuatnya cemas, frustrasi,
dan merasa bersalah. Akan tetapi mereka selalu mengarahkan coping-nya
secara nyata, menyelesaikan masalah, tidak ke arah distorsi neurotik.
Contohnya Abraham Lincoln, Jane Addams, Albert Einstein, & Eleanor
Roosevelt. • Individu dengan kecacatan juga dapat mencapai aktualisasi diri.
Adaptation : proses memenuhi tuntutan lingkungan dengan
memodifikasi diri.
Adjustment : proses psikososial yang berlangsung dengan cara
mengelola tuntutan dalam keseharian, dengan
memodifikasi diri kita dan lingkungan di sekitar kita.
Personal growth : perubahan individu atau perkembangan ke arah yang
diinginkan, termasuk di dalamnya pemenuhan potensi
yang dimiliki sejak lahir.
Deskripsi Singkat
Setiap manusia memiliki gambaran tentang dunia sekitarnya. Gambaran
mengenai bagaimana kita menerima dunia tersebut antar satu dengan yang
lain pastilah unik dan bervariasi. Inilah yang membuat kita selalu berusaha
membuat segala sesuatu yang di sekeliling kita sesuai dengan cara pandang
kita. Seringkali kita komplain mengenai seseorang yang menyerobot
antrean yang panjang, atau ketika kita terjebak kemacetan lalu lintas (ingat
Mitologi mengenai Procrustes: “Procrustean’s Bed”).
Suatu kumpulan keyakinan dan perasaan mengenai sesuatu yang dimiliki
individu, termasuk di dalamnya stereotip, prejudis, dan generalisasi inilah
yang disebut dengan Schema. Penyesuaian dan pengembangan diri kita
sangat dipengaruhi oleh schema yang kita miliki. Setiap individu memiliki
role schema, person schema, dan self schema. Penerimaan diri kita dan
bagaimana kita memandang lingkungan sekitar tidaklah secara langsung
apa yang terlihat menjadi penilaian kita. Semua informasi yang kita terima
mengenai hal tersebut, termasuk mengenai konsep diri kita sendiri juga
diproses melalui schema-schema yang kita miliki. Pada pokok bahasan kali
ini, kita akan mendiskusikan dimanakah letak konsep diri kita, bagaimana
konsep diri terbentuk dari schema-schema yang ada, bagaimana
perubahannya, kaitan antara konsep diri dengan self secara utuh, serta
bagaimana cara kita memahami dan mengopti-malkan apa yang kita miliki
tersebut. Konsep diri seringkali dikenali sebagai cara seseorang memandang
dirinya, atau pusat dari kesa-daran dan perilaku seseorang, serta merupakan
dasar dalam mengevaluasi pengalaman- pengalaman pribadi seseorang.
1.1.2. Relevansi
Setelah mengikuti materi berikut ini, diharapkan mahasiswa dapat
menjelaskan apakah konsep diri dan mengidentifikasikan isu-isu
terkait kesehatan mental yang dipengaruhi dan mempengaruhi konsep diri
seseorang
A. Schema dan Self
PERSON SCHEMA. Person schema seringkali terekspresikan dalam
kesan pertama kita pada seseorang. Person schema kita pada
sekelompok orang melalui ras atau etnis-nya inilah yang sering kita
kenali sebagai prejudis (biasanya bersifat negatif). Person schema
adalah schema mengenai bagaimana seorang individu diharapkan
berperilaku.
ROLE SCHEMA. Merupakan schema mengenai bagaimana seseorang
dalam melaksanakan perannya seperti yang diharapkan atau perilaku
yang ideal dilakukan oleh peran tersebut. Contohnya: guru (seorang
yang mentransfer ilmu pengetahuan kepada siswanya, memiliki sikap
bijaksana, berwawasan luas, dan memiliki etika dalam berperilaku), istri,
atasan.
SELF-SCHEMA. Merupakan kumpulan keyakinan, perasaan, dan
generalisasi yang kita miliki mengenai diri kita sendiri. Self schema kita
merupakan inti dari dunia psikis yang kita miliki karena keberadaannya
sangat mempengaruhi perasaan kita terhadap diri kita sendiri dan
mempengaruhi perilaku kita. Termasuk di dalamnya diri-fisik kita atau
body image; diri-pribadi kita yang terdiri atas: konsep diri, diri ideal,
identitas diri, dan harga diri; serta diri-sosial.
SELF. Menurut Carl Jung dan Alfred Adler dalam Psychodynamic
theory, self merupakan bagian dalam kepribadian manusia yang
berfungsi berdasar prinsip mengarahkan atau kendali diri. Sedangkan
tokoh psikologi Erik Erickson dan Carl Rogers memahami self sebagai
pengendali kesadaran dalam diri kita. Self adalah siapa dan apa kita,
bagaimana dan mengapa kita bereaksi terhadap lingkungan, serta
bagaimana pilihan perilaku kita di lingkungan (Rathus & Nevid, 2002).
BAGIAN DARI SELF. Self memiliki beberapa bagian, yaitu physical self, personal self, dan social self. Aspek dari physical self antara lain berat
badan, tinggi badan, gaya rambut, warna kulit, bentuk wajah yang akan
berkembang seiring bertambahnya usia dan dapat dimodifikasi. Sedangkan
jenis kelamin dan ras merupakan identitas fisik yang bersifat permanen.
Menurut Steinem (1992) physical self berkaitan dengan penerimaan diri (self
acceptance) dan harga diri (self esteem). Social self merupakan topeng sosial
yang kita pakai sesuai dengan
peran sosial yang kita perankan. Personal self adalah diri yang bersifat
pribadi, perasaan keberlangsungan sebagai diri yang unik. Aspek dalam
personal self yaitu: nama dan nilai (value).
Nama mempengaruhi persepsi seseorang, terutama yang terkait dengan
ketertarikan fisik. Garwood (1980) melakukan penelitian bahwa ada nama- nama tertentu yang dipersepsi orang lain dimiliki oleh seseorang yang
fisiknya atraktif (Jennifer, Kathy, Christine lebih atraktif dibanding nama- nama seperti Ethel, Harriet). Nama-nama yang bersifat unisex juga
mempengaruhi siapa yang mengguna-kannya. Pada perempuan yang
menggunakan nama-nama maskulin, cenderung lebih tenang dan berpotensi
sebagai pemimpin dibanding yang menggunakan nama-nama feminim
(Ellington dkk, 1980).
Sedangkan nilai (value) yang dianut seseorang lebih berpengaruh pada
tujuan hidup dan prioritas yang akan diambil sepanjang hidup seseorang.
Nilai individu seringkali merupakan nilai yang diturunkan orangtuanya dan
dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanaknya. Selain nilai, kita juga
memiliki etika (ethic) yang merupakan standar perilaku seseorang yang
terkait dengan pemikiran logis dan beralasan. Fungsi moral seseorang
diungkap Kohlberg memiliki level tertinggi apabila digunakan dengan
prinsip-prinsip etik sebagai standarnya. Nilai pribadi dan etika yang dimiliki
seseorang sangat penting bagi personal growth-nya. Apabila nilai personal
diabaikan maka perilaku kita akan cenderung tanpa makna atau tanpa
tujuan.
B. Konsep diri, Harga Diri dan Diri Ideal
Konsep diri dibentuk oleh banyak persepsi yang kita miliki selama kita
berkembang, terutama di usia dini. Persepi diri tersebut dapat berubah
pada masa perkembangan berikutnya (dipengaruhi oleh: teman, guru,
pasangan). Ohannessian, dkk (1994) mengungkap bahwa remaja awal
yang memiliki konsep diri yang positif ternyata memiliki teknik coping
yang baik, dukungan teman sebaya, dan keluarga yang menurut mereka
memuaskan.
DEFINISI KONSEP DIRI. Konsep diri merupakan kumpulan dari
ratusan persepsi diri dalam berbagai variasi tingkatan intensitas &
klarifikasi yang di dapat dalam pengalaman individu, terutama yang
berhubungan dengan orang lain (Epstein, 1973). Konsep diri terdiri atas
pola-pola konsisten yang terorganisir mengenai konstruk mental untuk
menjelaskan bagaimana fungsi persepsi diri di dalam
pengalaman individu. Menurut Atwater dan Duffy (2005) konsep
diri merupakan keseluruhan kesan dan kesadaran yang dimiliki
mengenai diri sendiri, termasuk didalamnya adalah semua persepsi
mengenai saya (pribadi) dan aku (kepemilikan di luar diri pribadi),
bersama dengan perasaan, keyakinan, dan nilai yang dimiliki.
Konsep diri mempengaruhi cara seseorang menerima, menilai, dan
berperilaku. Menurut Rathus dan Nevid (2002), konsep diri lebih
merupakan persepsi kita terhadap diri kita sendiri, yang didalamnya
terdapat sifat-sifat yang menurut kita merepresentasikan diri serta
evaluasi kita terhadap sifat tersebut.
ASPEK DALAM KONSEP DIRI. Konsep diri terdiri atas harga diri (self
esteem) dan diri ideal (self-ideals). Ada beberapa ahli yang mengikut- sertakan aspek lain yaitu body image (kesan terhadap fisik kita).
BODY IMAGE. Merupakan kesadaran kita akan tubuh kita sendiri,
berupa refleksi tubuh kita dan pengalaman kita bersama tubuh kita
(Fisher, 1973). Body image dipengaruhi oleh sosial-budaya dan jenis
kelamin seseorang (misalnya perempuan lebih memprioritaskan sex
appeal, sedangkan laki-laki lebih mengutamakan kompetensi fisik).
Pandangan saat ini, menghargai keunikan dan individualitas pribadi
membantu kita menerima keadaan tubuh kita.
HARGA DIRI. Kasih sayang dan penerimaan orangtua merupakan
dasar seorang anak mengembangkan harga dirinya. Keberhasilan
dan kegagalan seseorang diyakini juga mempengaruhi harga diri
seseorang (Brown dan Gallagher, 1992). Dampak dari Prestasi yang
dimiliki seseorang akan berbeda terhadap harga diri seseorang,
tergantung bagaimana kelompok rujukan memaknainya (Leary,
1999). Harga diri merupakan pembenaran kita terhadap diri kita
sendiri, pendapat yang menyetujui diri sendiri dan respek terhadap
diri kita sendiri. Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa harga
diri seseorang berkorelasi dengan kesehatan fisik dan psikologisnya.
Harga diri mempengaruhi: ekspetansi, penilaian terhadap diri dan
orang lain, dan perilaku individu. Harga diri bukanlah sifat bawaan
seseorang, tetapi merupakan sifat yang dapat dibentuk.
DIRI IDEAL. Merupakan diri yang diinginkan, termasuk di dalamnya
aspirasi, moral yang ideal, dan nilai-nilai yang dimiliki. Diri ideal
dipengaruhi oleh tuntutan orangtua di masa kanak-kanak (Psikoanalisa),
bersifat: sedikit disadari dan kurang realistik. Fungsi diri ideal adalah
untuk membantu seseorang untuk terpacu meraih yang terbaik.
Kegagalan meraih diri ideal, tidak menjadikan kita “sakit mental”,
apabila meningkatkan usaha dalam meraih aspirasi atau memodifikasi
diri ideal kita untuk mengurangi gap ke arah yang lebih realistik.
C. Identitas diri dan Status Diri
Identitas diri (self identity) diungkap Erik Erikson sebagai kesadaran
seseorang akan siapa dirinya dan apa yang dipertahankannya. James
E.Marcia (1991) melakukan serangkaian penelitian mengenai identitas
diri. Dijelaskan bahwa tidak semua individu mengalami krisis identitas.
Dan tidak semua individu mengembangkan komitmen pada peran
hidupnya atau pada peran-peran yang dimilikinya. Menurut Marcia, ada
empat status diri yang dikategorikannya berdasar adanya krisis identitas
dan komitmen (lihat Tabel 3.1).
Perubahan dalam Konsep Diri
VERIFIKASI DAN PENINGKATAN DIRI. Dalam Teori Peningkatan Diri
(Taylor dan Brown, 1994), setiap individu akan mencari masukan positif bagi
ide-ide yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas yang positif. Akan tetapi,
kemampuan seseorang memandang positif suatu masukan dipengaruhi oleh
pandangan positif tentang dirinya. Sedangkan dalam Teori Verifikasi Diri,
dijelaskan bahwa setiap individu akan mencari gambaran tentang dirinya, baik
positif maupun negatif yang dapat digunakan sebagai masukan atau konfirmasi
terhadap persepsi dirinya.
PERUBAHAN KONSEP DIRI. Kebanyakan perubahan konsep diri
terjadi sejalan berkembangnya kematangan seseorang yang terkait oleh usia
dan pengalaman. Akan tetapi, pada dasarnya perubahan konsep diri yang
bertujuan untuk adanya peningkatan diri dapat dilakukan setiap individu
tanpa mengenal batasan fisik dan usia. Adapun beberapa langkah dalam
merubah konsep diri kita menjadi lebih baik, adalah :
a. Mengurai dan memahami diri kita, serta diri yang kita inginkan
b. Belajar dari kritik yang konsisten
c. Mengambil tanggung jawab atas diri sendiri, serta memutuskan
aktivitas dan perilaku apa saja yang bermakna atau tidak.
Mengenali konsep diri kita dan berupaya meningkatkannya menjadi lebih
baik akan membantu kita merasa hidup lebih nyaman, serta menyadari
kompleksitas perasaan dan kebutuhan diri sendiri.
Self-acceptance : pemahaman yang optimal dan afirmasi dari keseluruhan
diri sebagai individu yang memiliki pengalaman-pengalaman; suka dan
meyakini diri sendiri.
Self-actualization : proses pemenuhan potensi yang dimiliki sejak
lahir, melibatkan pertumbuhan biologis dan juga
pencapaian kesadaran diri untuk bertumbuh.
Self-concept : keseluruhan pola-pola persepsi atas “saya” dan
“aku”, bergabung di dalamnya perasaan,
keyakinan, dan nilai-nilai yang terhubung satu
dengan yang lain.
Self-esteem : kesan terhadap pertumbuhan diri yang dianggap
bermakna, terkait dengan konsep diri seseorang.
Self-efficacy : keyakinan seseorang atas kapasitasnya untuk
mengorganisir dan memutuskan tindakan- Tindakan tertentu untuk menghasilkan
pencapaian/prestasi tertentu.
Self-image : diri yang tampak terlihat
Self-verification : usaha yang dilakukan untuk mencari umpan
balik tentang diri dari orang lain, untuk
diverifikasi atau dikonfirmasikan dengan
persepsi kita sendiri.
Deskripsi Singkat
Setiap manusia memiliki emosi. Emosi ada sejak manusia dilahirkan
meskipun bentuknya masih kabur, berupa kegairahan yang bersifat umum
(general-diffuse excitement). Ketika manusia dilahirkan hanya respon
senang dan tidak senang saja yang dapat dikenalinya, hingga pada usia di
atas 2 minggu bayi sudah mengenal emosi jijik, tertarik, marah, sedih,
heran, gembira, takut, serta malu. Bayi belumlah mampu memahami dan
memaknai emosi-emosi tersebut, mereka hanya mampu
mengekspresikannya sebagai respon terhadap stimulus yang diterimanya.
Seiring perkembangan usianya, emosi juga mengalami perkembangan
hingga usia dewasa. Perkembangan emosi sendiri sangat dipengaruhi oleh
faktor kemasakan sel otak dan belajar, faktor seberapa peka individu
terhadap rangsang dan bagaimana individu tersebut memaknainya, serta
bagaimana harapan sosial terutama dari orangtua dan lingkungan sosial
disekitarnya.
Dalam pokok bahasan emosi pada mata kuliah Kesehatan Mental, kita akan
mendiskusikan fungsi emosi dalam kehidupan kita, proses memaknai
emosi, jenis emosi, serta bagaimana mengelola emosi secara sehat.
1.1.2 Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti pokok bahasan mengenai Emosi, mahasiswa
dapat menguraikan konsep-konsep Emosi yang berkembang dewasa ini
secara sistematis sesuai dengan perkembangan emosi yang telah ada,
mengidentifikasi isu-isu terkait, serta pengelolaan emosi dalam kesehatan
mental.
Pengertian dan Fungsi Emosi
DEFINISI EMOSI. Emosi dalam bahasa Latin memiliki arti: “move
out” (bergerak keluar). Emosi (emotion) merupakan gabungan kata e untuk energi dan motion untuk pergerakan, sehingga emosi
menggerakkan kita untuk bertindak agar dapat bertahan dari ancaman,
mendapat kedekatan sosial, dan prokreasi (Gentry, 2007). Emosi adalah
suatu kompleks keadaan dari kewaspadaan yang meliputi sensasi (di
bagian dalam) & ekspresi (di bagian luar), yang merupakan kekuatan
untuk memotivasi individu dalam bertindak (Atwater, 1983). Emosi
merupakan pola yang kompleks dari perubahan yang terjadi pada
bangkitan/ getaran fisiologis, perasaan subjektif, proses kognitif, dan
reaksi perilaku (Atwater & Duffy, 2005). Emosi memang sulit
didefinisikan, akan tetapi dapat diungkap bahwa emosi selalu terkait
dengan perasaan (feeling), perilaku (behaviour), perubahan fisiologis
(physiological change), dan kognisi. Fungsi utama emosi adalah untuk
memberi informasi
kepada individu mengenai interaksinya dengan dunia luar
(Strongman, 2006). Gentry menjelaskan bahwa Alexithymia
merupakan istilah psikiatris untuk seseorang yang mengalami
kekurangan dalam emosinya, yaitu: sulit membedakan perasaan
yang dimilikinya, merasa sulit berinteraksi dengan orang lain,
kewaspadaan emosional yang kurang, kurang dapat merasa senang,
sulit membedakan emosi dengan getaran tubuh, secara berlebihan
menggunakan logika dalam pengambilan keputusan, kurang dapat
bersimpati dengan orang lain, menunjukkan kebingungan ketika
menghadapi emosi orang lain, tidak tergugah oleh seni, karya sastra,
atau musik, hanya memiliki sedikit memori emosional (misal:
memori masa kanak-kanak).
KOMPONEN EMOSI. Atwater (1983), mengungkap komponen
dalam emosi menjadi: perubahan fisiologis, termasuk sensasi tubuh
(fisik); kewaspadaan subjektif & interpretasi penuh makna dari suatu
sensasi; kemungkinan diekspresikannya kewaspadaan tersebut
dalam perilaku yang overt (tampak). Dalam perkembangannya
(Atwater & Duffy, 2005), komponen emosi diungkap dalam 4 hal
yang saling terkait, yaitu:
1. Bangkitan/ getaran fisilogis
Emosi melibatkan kerja otak, sistem saraf, dan hormon, sehingga
ketika individu dibangkitkan emosinya, maka secara fisiologis juga
terbangkit. Terbangkitnya emosi membutuhkan energi dalam tubuh
dan bahkan menurunkan ketahanan tubuh terhadap penyakit.
2. Perasaan subjektif
Emosi melibatkan kewaspadaan subjektif/ perasaan yang memiliki
elemen menyenangkan atau tidak menyenangkan, suka atau tidak
suka.
3. Proses kognitif
Emosi juga melibatkan proses kognitif, seperti: memori, persepsi,
ekspetansi, dan interpretasi. Satu peristiwa beda makna bagi beda
individu.
4. Reaksi perilaku
Reaksi perilaku yang terlibat dalam emosi dapat berbentuk ekpresif
dan instrumental. Contoh reaksi ekpresif: ekspresi wajah, gesture, nada suara. Contoh reaksi instrumental : menangis karena distres,
melarikan diri dari masalah.
PROSES DALAM MENGALAMI EMOSI. Ada tiga tahap yang
terjadi di dalam proses individu mengalami emosi, yaitu:
1. Sensasi Tubuh. Sensasi tubuh merupakan proses yang
terkait dengan hubungan antara Emosi dan Perubahan
Fisiologis :
persepsi individu terhadap stimulus eksternal perubahan
jasmaniah individu merasakan sensasi tersebut secara disadari
(misal: proses gerak refleks).
Emosi melibatkan suatu jaringan yang kompleks dari perubahan
fisiologis, yang terdiri atas pikiran dan jasmaniah kita, sehingga
perasaan dan tingkah laku saling bekerja simultan.
Dapatkah Mengendalikan Emosi Tertentu dengan Memanipulasi
Sensasi Tubuh Kita?
Dapat, dengan mem-blocking gerbang yang dilalui sinyal dari
bagian tubuh yang mengalami sensasi tertentu menuju ke otak,
misal: teknik akupuntur. 2. Sensasi yang Dimaknai. Emosi bukan sekedar sensasi,
tetapi bagaimana sensasi tersebut dimaknai oleh
individu. Hal ini dijelaskan para ahli di bidang
psikologi kognitif dengan suatu Studi Eksperimental
(Schachter dan Singer di tahun 1962): suproxin
(epinephrine) memasukkan “kakitangan” peneliti ke
dalam kelompok eksperimennya dengan efek
perilaku yang berbeda Hasil:
a. Emosi sangat tergantung pada apa yang kita
pikirkan & bagaimana kita berinteraksi dengan
orang lain saat emosi kita bangkit
b. Emosi kita dipengaruhi oleh harapan kita &
persepsi kita terhadap orang lain, selain oleh
dorongan jasmaniah (mental set & seting sosial
dapat membantu kita memaknai sensasi tubuh kita
sendiri)
c. Belajar memainkan suatu peran penting dimana
kita benar-benar dapat merasakannya, memberikan
implikasi yang besar dalam pengaturan emosi kita.
Perlu menjadi perhatian: * Adanya bias dalam teori kognitif, tidak
memperhitungkan faktor bawaan individu
Emosi sangat tergantung pada campuran yang kompleks
antara fisiologis bawaan dan faktor pembelajaran.
3. Respon-respon Adaptif. Menurut Arnold (1970), penilaian
terhadap baik dan buruknya suatu stimulus memberikan
petunjuk bagi respon kita selanjutnya :
respon melawan atau menghindar emosi yang muncul:
marah, takut
Fungsi adaptif yang lain dari emosi, yaitu memperkuat ikatan antara
individu dengan kelompoknya : emosi positif seperti cinta, kasih
sayang; sedangkan emosi negatif seperti cemas, cemburu, dan
berduka akan membantu kita mengacaukan hubungan sosial yang
tidak diinginkan.
FUNGSI EMOSI. Emosi kita merupakan barometer terhadap dunia
internal kita, sehingga emosi merupakan pengetahuan intuitif secara
sekilas tentang diri kita. Apabila kita tahu tentang perasaan seseorang,
maka kita telah mengetahui sedikit tentangnya. Menurut Atwater
(1983), emosi memiliki fungsi yang berbeda dalam kehidupan individu,
dapat dilihat dari fase-fase :
1. Intensitas Pembangkitan (arousal). Intensitas emosi menunjukkan
seberapa banyak perasaan kita dipengaruhi oleh suatu peristiwa. Apabila emosi terasa kuat, biasanya hal tersebut sangat dipengaruhi
oleh kebutuhan & dorongan yang dominan saat itu pada diri kita.
Reaksi emosional yang intensif akan mendorong dan memotivasi
kita untuk bertindak dan sebaliknya, membuat kita tidak terlibat
secara emosional pada suatu peristiwa. Intensitas Emosi dipengaruhi
oleh:
a. faktor herediter, yaitu karakteristik sistem saraf dan
sistem hormon
b. usia, contohnya pada usia anak-anak dan remaja
intensitas emosinya lebih besar ketimbang pada usia
dewasa.
c. pengalaman belajar, individu yang hidup di lingkungan
yang ekspresif secara emosional kemungkinan besar
memiliki pengalaman emosional yang lebih kuat.
2. Makna Personal. Menjelaskan pada kita, pada
situasi apa kita terpengaruh secara emosional.
Apabila kebutuhan dan keinginan kita terpenuhi
maka muncul emosi menyenang-kan, seperti
cinta, senang, bahagia, bersemangat. Namun,
ketika merasa dicampuri atau dirampas haknya,
maka muncul emosi negatif, seperti takut,
marah, cemburu, atau iri. Emosi dasar manusia
adalah emosi menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Emosi ini akan berkembang
seiring tahapan perjalanan perkembangan
individu menjadi lebih variatif dan spesifik.
3. Pengalaman Sementara. Emosi merefleksikan
pengalaman sementara, sebagai perubahan dari
pengalaman subjektif kita, kebutuhan, dan
kepuasan kita. Mood merupakan emosi yang
bertahan dalam jangka waktu tertentu dalam
diri kita. Mood yang berubah-ubah tanpa alasan
yang cukup dapat menjadi tanda-tanda
patologis, baik karena penyebab fisiologis atau
psikologis.
B. Jenis-jenis Emosi dan Ekspresinya
JENIS EMOSI. Banyak teori mengenai emosi yang
mencoba mengungkap macam emosi dalam istilah
“emosi dasar” (basic emotions) dengan tujuan
membedakan (secara kualitatif) berdasar fungsinya
dalam proses adaptasi individu (Matthews dkk, 2002).
Teori Plutchik (1980, 2001, dalam Matthews dkk, 2002;
Atwater & Duffy, 2005) mengidentifikasi ada 8 macam
emosi primer: gembira, penerimaan, takut, terkejut,
sedih, muak/ jijik, marah, dan antisipasi (lihat tabel 4.1
di bawah ini).
Dimensi utama dari emosi ada 2, yaitu:
a. Menyenangkan (pleasant) vs tidak menyenangkan
b. Intensely aroused vs weakly aroused
(Rusell dkk, 1989).
Menurut Ekman (1993), dari delapan emosi primer yang berbeda
hanya 6 yang bersifat universal tanpa batasan budaya dan usia, yaitu:
marah (anger), takut (fear), kegembiraan (happiness), sedih
(sadness), dan muak (disgust). Sedangkan menurut Matsumoto
(2000), ditambahkan satu emosi lagi yaitu: jijik (contempt).
EKSPRESI EMOSI. Emosi tidak hanya berfungsi untuk
menggerakkan seseorang dalam bertindak atau menghindari situasi
tertentu, tetapi juga merupakan salah satu cara berkomunikasi
dengan orang lain, dalam bentuk ekspresi emosi tertentu. Yang harus
diperhatikan adalah keseimbangan antara ekspresi emosi dengan
kendali terhadap perasaan kita, sehingga menimbulkan rasa nyaman.
Wajah merupakan kunci dari ekspresi emosi seseorang (Bower,
2001), kemudian tubuh, postur, perubahan suara, dan gerakan tangan
dapat menjadi tanda berikutnya (Azar, 2001). Ekspresi emosi yang
terhalang karena mekanisme individu untuk menutupinya, dapat
terungkap dengan:
a. Microexpressions, yaitu ekspresi wajah sepintas lalu yang
tampak hanya beberapa detik
b. body leakage , yaitu sikap tubuh seseorang.
Kecerdasan Emosi
CIRI-CIRI CERDAS EMOSI. Individu yang memiliki kecerdasan
emosi dapat terungkap melalui kemampuannya memotivasi diri &
bertahan menghadapi frustrasi, dapat mengendalikan dorongan hati dan
tidak melebih-lebihkan kesenangan, mampu mengatur suasana hati dan
menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta
dapat berempati dan selalu berdoa.
WILAYAH DALAM KECERDASAN EMOSI. Ada empat ranah
dalamKecerdasaan Emosi (Emotional Quotion), yaitu:
1. KESADARAN DIRI, yaitu mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi, yang meliputi: kesadaran emosi, penilaian
diri secara teliti dan percaya diri.
2. MENGELOLA EMOSI, yaitu kemampuan menangani perasaan
agar perasaan dapat terungkap tanpa melewati kewajaran,
meliputi: kendali diri, dapat dipercaya, kewaspadaan,
adaptibilitas, dan inovasi,
3. MEMOTIVASI DIRI SENDIRI, yaitu memiliki kecenderungan
emosi yang mendorong pencapaian tujuan, meliputi dorongan
berprestasi, komitmen, inisiatif, serta optimisme.
4. MENGENALI EMOSI ORANG LAIN, yaitu memiliki
kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang
lain, yang terdiri dari memahami orang lain, orientasi akan
pelayanan, dan mampu mengembangkan orang lain, serta
mengatasi keberagaman, mampu berkomunikasi dengan baik,
merupakan katalisator perubahan, mampu mengelola konflik,
mampu berkoolaborasi dan berkooperasi, serta kemampuan
bekerja dalam tim.
D. Pengelolaan Emosi
MENGELOLA EMOSI. Mengapa emosi mesti dikelola? Emosi kita
sangat terkait dengan bagaimana kita melakukan penyesuaian psikologis
(Izard, dkk, 2001). Mengelola emosi berarti belajar
bagaimana mengekspresikan perasaan kita secara efektif
melibatkan keseimbangan antara ekspresi spontan dengan yang
disadari, menggunakan kontrol rasional (Atwater & Duffy, 2005).
Beberapa cara sederhana dalam mengelola emosi :
a. Berbagi perasaan tersebut, seperti perasaan positif dapat
mem-bantu kita merasa lebih bersemangat, sedangkan
apabila kita berbagi perasaan negatif pada orang lain akan
menemukan beberapa keuntungan, antara lain: mengenali
perasaan apa sebenarnya yang kita alami, meredakan
emosi negatif menjadi netral, dan menemukan
pemecahan masalah.
b. Ekspresikan secara terbuka dengan tata cara yang
konstruktif, yaitu dengan membicarakan perasaan kita
pada orang lain akan membantu kita untuk
berkomunikasi dengan dengan sumber munculnya emosi
negatif.
Teknik sederhana dalam Mengelola Emosi Negatif (misal: marah).
“I” MESSAGE (Tom Gordon, dalam Gordon & Sands, 1984) :
Teknik lain dalam mengelola emosi secara sederhana, antara lain
penggunaan humor, pengarahan ulang energi emosional,
mengembangkan emosi positif, dan istirahat.
EMOSI-EMOSI ISTIMEWA. Cemas (Anxiety), merupakan
emosi yang tidak menyenangkan, tetapi sangat penting manfaatnya
sebagai alarm secara emosional yang memperingatkan kita akan
adanya
ancaman atau bahaya (Gorman, 2002). Rasa cemas membantu
seseorang untuk melakukan persiapan/ antisipasi.
Marah (Anger), rasa marah dapat mengarah pada perilaku penolakan,
kepribadian tipe A, serta penyakit jantung koroner. Mengelola rasa
marah dapat diajarkan sejak anak usia dini dengan cara mengajarkan
anak untuk mengenali rasa marahnya dan membantunya mencari
cara menyalurkannya. Anak-anak yang sejak kecil selalu merasa
marah dan tertekan akan mengembangkan perilaku bully kepada
teman sebayanya. Orangtua dapat menjadi model peran yang positif
untuk anak-anaknya.
Cemburu (Jealousy), kecemburuan biasanya terkait dalam konteks
romantisme. Kecemburuan seharusnya dikelola secara aktif dan
konstruktif, dengan cara mengajarkan individu tersebut untuk
mengekspresikan ketidakpuasannya dan intensinya kepada pasangan
untuk mengembangkan suatu hubungan yang lebih sehat.
Gembira/ Bahagia (Happiness)
Kegembiraan merupakan emosi positif yang terkait dengan
kesejahteraan subjektif seseorang. Kegembiraan tidak dipengaruhi
oleh jenis kelamin, ras, atau level pendapatan seseorang. Individu
yang gembira/ bahagia dapat diidentifikasi sebagai: kurang
penolakan, tidak mudah sakit/ lemah, mudah memaafkan, mudah
percaya dan lebih energik daripada orang yang tidak bahagia.
MANAJEMEN MOOD. Mood adalah keadaan emosi kita selama
beberapa waktu tertentu, sehingga mood seseorang biasanya
cenderung stabil. Dalam pengelolaan emosi, seringkali kita
menjumpai stimulus yang membuat mood kita menurun atau
berubah negatif. Misal, karena dikejar deadline tugas, saat
kehilangan significant other
KIAT MENGHADAPI KRITIK. Ada beberapa langkah sebagai
salah satu cara menghadapi kritik secara produktif:
Memahami bahwa mempelajari sesuatu dengan menerima kritik
Dengarkan dengan seksama
Pahami emosi
Bertanggung jawab atas tindakan
Jangan defensif
Matikan semua filter dalam mendengarkan
Gunakan pernyataan pengungkapan diri
Gunakan ketegasan
Peka perasaan orla
Buat kesimpulan
Tunjukkan kemauan untuk berubah
Latihan: Anger Management (“I” Message)
SIMAKLAH SALAH SATU TEKNIK DALAM MENGELOLA EMOSI
NEGATIF BERIKUT INI :
Teknik sederhana dalam Mengelola Emosi Negatif, “I” MESSAGE (Tom
Gordon, dalam Gordon & Sands, 1984).
Tujuannya: mengungkap pesan yang berisi perasaan sejujurnya dari kita
untuk disampaikan kepada orang lain agar mereka mendengarkan.
Langkah-langkah (lihat juga contoh dalam tabel 4.2 di atas):
a. Deskripsikan perilaku orang lain atau situasi yang terjadi
secara spesifik tanpa penilaian subjektif anda.
Contoh:
“Kamu tidak mengembalikan buku tepat waktu” V (benar) “Kamu
tidak bertanggung jawab” X (salah)
2. Uraikan secara singkat bagaimana perilaku orang lain tersebut
mempengaruhi Anda
Contoh: “Saya jadi terlambat membuat tugas karena itu.”
Seseorang biasanya tidak menyadari konsekuensi perbuatannya terhadap
orang lain, karena kebanyakan hanya memikirkan kepentingan dirinya.
3. Katakan pada orang tersebut perasaan Anda mengenai
perbuatan mereka dengan istilah emosi Anda sendiri. Awali
dengan : “Saya merasa ... ” (sedih, kecewa, terganggu, marah)
4. Katakan pada mereka apa yang Anda inginkan dari mereka
untuk memperbaiki situasi tersebut.
Contoh: “Saya harap kamu menepati janjimu”
TUGAS: Bergabunglah dalam kelompok kecil (2-3 orang), ingat-ingatlah
peristiwa yang paling menjengkelkan/ menyedihkan Anda 1 bulan terakhir
ini. Buatlah “I” Message untuk peristiwa tersebut. Lalu diskusikan dalam
kelompok kecil Anda beda efek emosional yang terjadi pada diri Anda
sebelum dan setelah menggunakan teknik “I” Message tersebut. Pilih salah
satu kasus terbaik, lalu persentasikan di depan kelas.
Deskripsi Singkat
Seiring dengan perkembangan Gerakan Kesehatan Mental dan pergeseran cara
pandang mengenai karakteristik individu yang sehat mental, maka muncullah
pembahasan mengenai kepribadian sehat, dalam ranah psikologis. Tidak dapat
dipungkiri bahwa individu yang sehat mental tidak dapat terlepas dari perasaan- perasaan sedih, marah, kecewa, bahkan depresi sekalipun. Akan tetapi, mereka
memiliki kemampuan untuk bangkit, mengendalikan, dan mengelola emosi
negatif tersebut. Pribadi yang sehat juga memiliki kemampuan mengasah bakat
dan keterampilan mereka sehingga dapat bertahan dari masalah serta
berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Kajian yang membahas mengenai dynamic living pada individu yang sehat
mental dalam Psikologi disebut dengan pengembangan diri. Ruang lingkup
yang akan dipelajari lebih menekankan pada bagaimana berbagai
pendekatan dalam Psikologi menjelaskan proses terbentuknya kepribadian
sehat dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari untuk mencapai individu
yang tidak sekedar sehat secara mental, tetapi mampu bertahan dari
permasalahan hidup dan mengasah kemampuan-kemampuan mentalnya.
1.1.2. Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti materi mengenai Kepribadian Sehat, maka
mahasiswa menerapkan langkah-langkah menuju pribadi sehat dan memberikan
penjelasan kepada lingkungan di sekitarnya mengenai kepribadian sehat dan
faktor-faktor yang mempengaruhi.
Kepribadian dan Kepribadian Sehat
DEFINISI KEPRIBADIAN SEHAT. Secara umum, kepribadian dipahami
sebagai pola-pola yang jelas dari perilaku, pikiran, dan perasaan yang menjadi
karakteristik individu dalam penyesuaiannya untuk memenuhi tuntutan
kehidupan (Rathus dan Nevid, 2002). Sedangkan menurut Hahn dan Payne
(2003), Kepribadian Sehat (psychological wellness) merupakan keadaan
individu yang mengarah pada perkembangan yang adekuat dan kemampuan
mental yang memiliki kesesuaian fungsi, sehingga individu mampu
mengembangkan kemampuan-kemampuan mentalnya secara lebih baik.
KARAKTERISTIK KEPRIBADIAN SEHAT. Individu yang memiliki
kepribadian sehat seringkali dikenali sebagai mereka yang:
a. Dapat terbebas dari gangguan psikologis dan gangguan mental
berat.
b. Mampu menyesuaikan