kesehatan mental 3
kemampuan mental
individu (misal: regulasi diri yang buruk, cara berpikir yang keliru), munculnya
emosi negatif yang tak dapat dikelola dengan baik sehingga memperburuk relasi
yang ada (misal: rasa malu, cemburu, iri), serta disfungsi dalam proses relasi
sosial (misal: ketergantungan pada pasangan, pengkhianatan, beda persepsi
terhadap peran gender, kesepian). Pokok bahasan kali ini akan membahas
mengenai berbagai permasalahan emosional dan perilaku dalam konteks sosial.
1.1.2. Relevansi
Diharapkan setelah mengikuti materi berikut ini, mahasiswa dapat
mengidentifikasi berbagai permasalahan emosional dan perilaku yang sedang
terjadi di lingkungan sekitarnya, serta dapat menjelaskan dinamika terjadinya
permasalahan tersebut dengan berbagai konsep kesehatan mental yang telah
dikuasai.
1.1.3. Kompetensi
a. Standar Kompetensi
Mahasiswa dapat mengidentifikasi berbagai masalah emosional dan perilaku
dalam konteks sosial.
b. Kompetensi Dasar
1. Mahasiswa dapat mengidentifikasi berbagai masalah
emosional dan perilaku dalam konteks sosial, dapat diukur
dengan:
Mahasiswa mampu membedakan masalah-masalah
emosional-perilaku-krisis dalam konteks sosial, dalam: • proses kognisi-sosial (egosentrisme, perbandingan
sosial) • regulasi diri dan emosi-sosial • proses interpersonal • krisis psikologis
b. Mahasiswa mampu menentukan satu permasalahan
aktual dan desain program intervensi-non klinis yang
akan disusun.
REGULASI DIRI DAN PSIKOPATOLOGI. Regulasi diri adalah usaha
individu untuk mengelola respon-responnya, seperti menguasai impuls
tingkah lakunya, melawan godaan, mengendalikan pikiran, dan mengelola
emosinya. Kegagalan regulasi diri seseorang dikaitkan dengan berbagai
perilaku yang maladaptif, seperti penyalahgunaan obat dan alkohol,
kekerasan, kehamilan remaja, putus sekolah, ketergantungan, hubungan
seksual yang tidak sehat, judi, berhutang dan pemakain berlebihan pada
kartu kredit, gangguan makan, perceraian. Teori mengenai regulasi diri
sangat dekat dengan penjelasan mengenai self-control dan berakar pada
studi mengenai penundaan kepuasaan. Intinya pada konteks apakah
seseorang akan memilih reward yang segera tetapi kecil nilainya, atau
reward yang besar nilainya tetapi tertunda. Selain itu, keberhasilan regulasi
diri seseorang juga dipengaruhi oleh kekuatan impuls dan kekuatan usaha
mengendalikannya yang biasanya diantara keduanya saling bertentangan.
Stres dan emosi sedih juga mempengaruhi kegagalan regulasi diri.
REGULASI DIRI MEMPENGARUHI KONDISI PSIKOPATOLOGI. Dalam DSM
IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) dapat
kita temui, bahwa sebagian besar gangguan mental menunjukkan
adanya simtom psikopatologi dalam kriterianya berupa kegagalan
melakukan regulasi diri. Contohnya, pada penderita gangguan cemas
terdapat simtom kesulitan mengendalikan rasa khawatirnya sebagai
salah satu kriteria gangguan. Gross dan Munoz (1995)
mengungkapkan bahwa rendahnya kendali atas ekspresi dan
pengalaman emosi merupakan karakteristik utama dari banyak tipe
gangguan psikopatologis. Regulasi emosi merupakan hal yang
penting dalam kesehatan mental individu.
PROBLEMATIKA EMOSI-SOSIAL. Rasa malu, rasa bersalah,
cemburu, dan iri merupakan emosi yang biasa dialami oleh siapapun
dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun biasanya bukan merupakan
emosi yang diterima, tetapi emosi-emosi tersebut juga memiliki
fungsi bagi individu dan relasi yang dimiliki. Akan tetapi disisi lain,
dampak negatif emosi-emosi tersebut juga dapat memicu masalah
sosial dan penyesuaian emosi bagi individu yang terlibat di dalam
relasi tersebut.
MALU (SHAME) DAN RASA BERSALAH (GUILT). Malu dan
rasa bersalah merupakan emosi yang berkaitan erat dengan moralitas
individu, sehingga dampak dari emosi tersebut adalah terhambatnya
perilaku yang tak diinginkan lingkungan sosial dan dukungan bagi
kondisi moral tertentu. Perbedaannya adalah bahwa perasaan malu
jauh lebih bersifat publik atau umum, sedangkan perasaan bersalah
cenderung bersifat pribadi. Rasa malu yang dimiliki seseorang
biasanya terkait dengan perilaku yang mengarah pada interaksi
sosial secara langsung. Sedangkan rasa bersalah cenderung
mengarahkan individu pada perilaku yang membawa dampak
rahasia (tidak ingin diketahui orang lain) karena melanggar norma
sosial atau bersifat immoral. Contohnya, rasa malu muncul ketika
kita tidak mampu memenuhi harapan sosial (presentasi buruk, salah
menyapa orang), sedangkan rasa bersalah muncul ketika kita
mengetahui bahwa apa yang kita lakukan bertentangan dengan
norma sosial atau immoral (selingkuh, mencontek saat ujian).
Rasa bersalah mengandung evaluasi negatif terhadap perilaku
tertentu yang spesifik. Muncul evaluasi seperti, “Saya telah
melakukan hal buruk”. Dampaknya secara psikologis adalah adanya
penyesalan, ketegangan dan transgression. Individu akan
terpreokupasi pada hal tersebut dan berpikir terus-menerus untuk
berperilaku yang berbeda dari yang telah terjadi.
Sedangkan rasa malu, memiliki kunci pada bagaimana individu
tersebut sebagai seseorang. Di dalam rasa malu terdapat rasa
menyakitkan yang detil pada sekujur tubuh, yaitu perasaan bahwa
saya tidak berguna, tidak kompeten, individu yang buruk atau payah.
Muncul perasaan “menjadi kecil”, tak berguna dan tak berdaya.
CEMBURU (JEALOUSY) DAN IRI (ENVY). Cemburu (jealousy)
berasal dari bahasa Yunani zealous yang berarti persembahan yang
menyala-nyala pada seseorang atau objek. Cemburu sendiri diartikan
sebagai keyakinan atau kecurigaan bahwa apa yang dimiliki berada
dalam bahaya atau akan hilang. Iri (envy) berasal dari bahasa Latin
invidere, yang artinya memandang orang lain dengan penuh
kebencian. Iri merepresentasikan adanya ketidakpuasan dengan
sesuatu dan keinginan untuk memiliki yang lain (Salovey dan Radin,
dalam Kowalski dan Leary, 1999).
Cemburu biasanya muncul ketika suatu hubungan interpersonal
yang dianggap penting terancam oleh adanya pesaing, dan kita
menjadi khawatir bahwa posisi kita menjadi tidak penting lagi dalam
hubungan tersebut. Perasaan cemburu biasanya dirasakan bersamaan
dengan rasa marah, takut, dan sedih yang mendalam.
Sedangkan iri dijelaskan sebagai rasa tidak nyaman atau tidak
senang pada keuntungan yang dimiliki orang lain dan keinginan
untuk memiliki keuntungan tersebut bagi dirinya sendiri. Iri
biasanya muncul dalam konteks memperbandingkan dua hal
sekaligus yang dianggap penting bagi kita.
MANFAAT EMOSI NEGATIF DALAM KONTEKS SOSIAL. Rasa
malu memiliki begitu banyak dampak menyakitkan secara emosional,
akan tetapi dengan pengalaman merasakan malu membuat individu
menghindari perilaku yang keliru. Rasa bersalah juga sangat efektif
untuk meningkatkan sisi moral seseorang, sebagai bentuk dari fungsi
regulasi diri. Sedangkan rasa iri memiliki manfaat untuk memotivasi
individu melakukan yang terbaik, mengembangkan bakat dan
kemampuannya menjadi lebih produktif. Rasa cemburu, dijelaskan
dalam psikoanalisa bermanfaat untuk menunjukkan tanda kepedulian
seseorang yang tinggi pada orang lain yang kemungkinan berada dalam
taraf bahaya atau akan kehilangannya.
PROBLEMATIKA YANG MUNCUL. Meskipun malu, rasa bersalah,
cemburu dan iri merupakan emosi normal yang dapat bermanfaat bagi
individu atau kelompok untuk beradaptasi, akan tetapi tetap merupakan sisi
tergelap dari emosi. Kapankah emosi kita dapat menjadi problematika? Emosi
negatif seringkali membawa dampak psikologis yang negatif seperti rasa
tidak nyaman, bagi individu yang merasakan maupun bagi orang lain yang
terlibat dalam relasi dengannya. Durasi dan keparahan munculnya emosi
negatif tersebut dapat menjadi tanda peringatan bahwa emosi tersebut dapat
menjadi masalah tersendiri. Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa
rasa malu, cemburu dan iri dapat memotivasi seseorang untuk menjadi
agresif. Dalam ranah hukum juga diungkap bahwa iri dan cemburu dapat
menjadi akar dari aktivitas kriminal.
B. Masalah-masalah dalam Proses Interpersonal
(Dukungan sosial dan gangguan psikologis, Relasi yang salahsuai)
DUKUNGAN SOSIAL. Berbagai riset mengenai dukungan sosial terus
berkembang dari waktu ke waktu. Saat ini dukungan sosial bukan lagi sebagai
komponen tunggal, tetapi diyakini sebagai kumpulan dari komponen- komponen yang memiliki proses yang berdiri sendiri (lihat skema 8.1)
DISFUNGSI PERSONAL. Hubungan interpersonal seseorang secara
substansial mempengaruhi kesejahteraannya. Individu yang mampu
memelihara kedekatannya dengan individu lain menandakan bahwa dirinya
juga mampu menikmati kesehatan fisik dan psikisnya, menunjukkan harga
diri yang tinggi (Leary dan Down, 1995), rendahnya gejala psikopatologi, dan
sistem immune yang efisien. Ada beberapa problematika dalam ranah relasi
sosial, yaitu:
Disfungsi Personal, seperti cemburu, kesepian, dan depresi.
Disfungsi Interaktif, seperti komunikasi nonverbal,
pengkhianatan, beda jenis kelamin, dan proses atribusi.
Disfungsi relasi, seperti: ketergantungan dengan pasangan,
kesetaraan.
Gerakan Kesehatan Mental menekankan pada usaha-usaha menolong dan
meningkatkan kualitas kehidupan manusia dalam ranah preventif
(pencegahan) yang bersifat luas pada komunitas tertentu. Ranah pencegahan
sendiri memiliki ciri khas, yaitu dilakukan sebelum gangguan mental
muncul atau setelah gangguan mental muncul. Tujuan dari pencegahan
adalah mencegah terjadinya gangguan pada masyarakat awam (primary
preventif ), mencegah berkembangnya gangguan mental pada kelompok
resiko (secondary preventif), dan memberdayakan kelompok penderita
gangguan mental yang telah pada tahap rehabilitasi (tersiery preventif) agar
dapat berfungsi optimal.
Tuntutan untuk mencakup kelompok yang luas, bukan sekedar pendekatan
individual membuat intervensi tersebut haruslah mampu diserap oleh
komunitas tertentu secara tepat, terpadu, dan terus-menerus. Oleh karena itu
intervensi dalam ranah Kesehatan Mental merupakan program psikososial
yang terpadu, dimana mengarah pada pemberdayaan kelompok yang
berkaitan langsung dengan problematika sosial tersebut. Selain itu, metode
yang digunakan serta media yang mendukung haruslah tepat sasaran dan
dapat diserap setiap lapisan. Dalam topik bahasan kali ini, kita akan
membahas tuntas mengenai Intervensi dalam bentuk Psikoedukasi dalam
rangka pemberdayaan keluarga sebagai bagian dari program Psikososial
yang mempunyai sasaran dan agen keluarga, sebagai bagian terkecil dari
suatu komunitas.
Diharapkan setelah mempelajari materi berikut ini, mahasiswa dapat
melakukan identifikasi masalah kesehatan mental, menganali-sanya, hingga
membuat rancangan program pemberdayaan keluarga yang relevan dengan
kondisi dan potensi lingkungan sekitar.
1.1.3. Kompetensi
a. Standar Kompetensi
1. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep-konsep dalam
intervensi kesehatan mental.
2. Mahasiswa dapat merancang program pemberdayaan
keluarga sesuai dengan permasalahan yang ada
3. Mahasiswa dapat mempresentasikan Program Pember- dayaan Keluarga dalam Gerakan Kesehatan Mental yang
dirancangnya dengan baik.
b. Kompetensi Dasar
1. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep-konsep dalam
intervensi kesehatan mental, dapat diukur dengan:
a. Mahasiswa dapat menjelaskan konsep-konsep dalam
intervensi kesehatan mental.
b. Mahasiswa dapat menentukan model intervensi
kesehatan mental (non-klinis) yang akan digunakan
dalam menyusun desain rancangan program.
2. Mahasiswa dapat merancang program pemberdayaan
keluarga sesuai dengan permasalahan yang ada
a. Mahasiswa mampu menyusun desain rancangan
program pemberdayaan keluarga dengan pendekatan
biopsikososio-spiritual sebagai alternatif solusi
masalah emosional dan perilaku dalam konteks sosial,
yang telah dipilih dalam kelompok.
3. Mahasiswa dapat mempresentasikan Program Pember- dayaan Keluarga dalam Gerakan Kesehatan Mental yang
dirancangnya, dapat diukur dengan:
a. Mahasiswa dalam kelompoknya mampu melakukan
presentasi rancangan programnya dengan jelas dan
menganut kaidah-kaidah psikoedukasi.
Konsep Intervensi dalam Gerakan Kesehatan Mental
PROGRAM PSIKOSOSAL. Tujuan intervensi psikososial adalah
memperkuat faktor pelindung psikososial dan menurunkan faktor-faktor
stresor psikososial pada berbagai tingkatan intervensi. Intervensi dalam
ranah Kesehatan Mental seringkali diungkapkan dalam ranah dukungan
(support). Proses perencanaan program psikososial:
1. mengidentifikasi pihak atau sasaran yang memerlukan
2. menentukan secara tepat apa yang mereka butuhkan, yang dapat
diberikan, dan yang paling mudah diperoleh dengan bantuan
organisasi
3. merancang program untuk memenuhi kebutuhan secara efektif.
KRITIK TERHADAP PROGRAM KESEHATAN MENTAL DAN
INTERVENSI TRAUMA. Seringkali intervensi yang dilakukan di lapangan
masih menggunakan :
1. Kebanyakan menggunakan pendekatan teraupetis ala barat yang
dipandang kurang tepat dan konvensional, karena tidak sensitif
budaya, dan tidak membangun kesadaran masyarakat.
2. Intervensi yang dilakukan seringkali sebagai hasil dari
ketergesa-gesaan untuk memberikan bantuan, hal tersebut
beresiko terhadap tidak adanya pertimbangan yang kuat pada
ungkapan kultural dan makna trauma, sehingga berpengaruh
pada diagnosa dan penanganan.
3. Tidak adanya kesepakatan mengenai intervensi besar apa yang
harus dilakukan supaya program tepat dan efektif antara
organisasi-organisasi kemanusiaan yang ada.
PRINSIP UTAMA DALAM INTERVENSI PSIKOSOSIAL. Ada empat
prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan Intervensi psikososial,
yaitu:
1. Peka terhadap Keadaan dan Kebutuhan Masyarakat.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu program
adalah bagaimana kita menganalisa masalah setempat. Yang diperlukan
adalah mempelajari keadaan masyarakat setempat, bagaimana kehidupan
mereka, bagaimana adat
istiadatnya, bagaimana mereka memaknai masalah yang ada baik
secara sosial ekonomi, budaya, nilai setempat, tingkat pendidikan,
dan pola kebiasaan. Intinya adalah berusaha menjadi ’bagian’ dari
masyarakat. Tujuannnya agar program atau bantuan tepat sasaran
dan bermanfaat. Salah satu cara mengasah kepekaan dan
menguatkan kepekaan adalah dengan turun ke lapangan dan
mengamati keadaan sekitar.
2. Memaksimalkan & Membangun Kapasitas Sumber Daya Lokal.
Sebelum memahami kapasitas SDM lokal, perlu dilakukan
pemetaan, dengan assessment terhadap apa yang terjadi, apa
yang sudah dilakukan, apa yang direncanakan di komunitas
tersebut terkait kegiatan psikososial, menentukan kebutuhan
prioritas, SDM dan potensi daerah tersebut. Adapun caranya:
a. Belajar dari menggali informasi dari pemimpin, tokoh,
pekerja sosial, & panutan masyarakat lokal setempat.
b. Materi ajar: nilai-nilai, norma yang berlaku, pola interaksi
dalam keluarga, tradisi, dan praktek budaya, politik dalam
komunitas.
c. Program direncanakan dalam jangka panjang untuk
memberdayakan individu, keluarga, dan komunitas,
misalnya dengan mempromosikan self-help untuk keluarga
dan komunitas.
3. Menggunakan Pendekatan Berlapis & Melibatkan Unsur
Penting dalam Masyarakat.
Pendekatan berlapis (multilayer) dapat dilihat dari dapat bentuk:
a. Merekrut wakil masyarakat dari berbagai lapisan agar
mereka memperoleh pelatihan dan atau penguatan sesuai
kapasitas porsi masing-masing.
b. Memberlakukan sistem atau mekanisme berlapis dalam
prevensi dan intervensi, termasuk menyusun jaringan kerja
dan melaksanakan sistem rujukan.
Lapis pertama adalah tokoh kunci di masyarakat, lapis kedua adalah
hasil rekrutmen tokoh-tokoh kunci, sedangkan lapis ketiga, yaitu
kelompok-kelompok dampingan langsung yang ada di lapangan.
Ada beberapa hal yang dapat menjadi catatan adalah bila kita tidak
memiliki waktu banyak, sistem lapisan dapat dikurangi
tingkatannya, namun diusahakan tetap menggunakan sistem
tersebut. Sistem ini penting karena biasanya orang-orang pada
lapisan pertama memperoleh
MACAM PSIKOEDUKASI. Ada beberapa macam psikoedukasi, antara lain:
1. Penyebaran informasi atau isu-isu kesehatan mental untuk
mengurangi stigma sosial.
2. Peningkatan resiliensi
3. Pembentukan support group
4. Peningkatan keterampilan pendamping, didukung berbagai
bentuk media psikoedukasi (misal: leaflet, poster, video,
dokumentasi) .
Dalam pelaksanaan psikoedukasi, hendaknya kita juga memperhatikan
keterlibatan pihak-pihak lain, yaitu tokoh masyarakat (tokoh agama, tokoh
adat, guru), dipikirkan pula mengenai kaum marginal setempat, lembaga
sosial lokal, dan organisasi kemasyarakatan setempat.
PELAKSANAAN PSIKOEDUKASI.
a. Dalam melakukan psikoedukasi: menarik secara audio- visual, ringkas, sederhana, mudah dipahami, tidak
menimbulkan penolakan, penyampaiannya peka terhadap
budaya setempat, dilakukan berulang dan meluas.
b. Pesan visual: dilekatkan pada tempat yang banyak dilalui
orang, judul terlihat dari jarak tertentu, isi menarik, minta
saran dari tokoh setempat.
c. Pertemuan dengan masyarakat: bentuk jejaring, bicara
singkat, jelas, menghibur, contoh aplikatif, ada aktivitas
selingan, ada handout atau lembar informasi yang dapat
dibawa pulang.
SISTEM RUJUKAN. Selain melakukan psikoedukasi, hendaknya tidak
menutup kemungkinan mengembangkan sistem rujukan. Integrasi dalam
penanganan memerlukan sistem rujukan, agar kasus-kasus berat dapat
tertangani secara profesional. Sistem Rujukan adalah sistem yang dibangun
dalam sebuah penanganan khusus lebih lanjut dirujuk ke sumber daya yang
memiliki kapasitas menanganinya. Sifat tidak lagi satu arah, tetapi bisa dua
arah. Contoh sistem rujukan:
Penanganan keluarga & masyarakat pusat penanganan trauma
rumah sakit rumah sakit jiwa.
PERAN PROFESIONAL KESEHATAN MENTAL. Ada
beberapa peran yang hendaknya dilakukan seorang profesional
kesehatan mental, yaitu:
1. Membantu tokoh masyarakat mengembangkan program
bantuan psikologis.
2. Menyediakan pelayanan bantuan psikologis langsung.
3. Mengidentifikasi masalah psikologis lanjutan dari krisis
yang terjadi.
4. Menyediakan kesempatan melakukan psikoedukasi ke
masyarakat.
5. Merancang teknik penanganan atau support group. 6. Membuat data base dan riset terkait.
MONITORING, EVALUASI, DAN RISET. Merupakan bagian dari
program intervensi yang terkait dengan bagaimana keberlang-sungan
program, efektifitas program, perubahan perilaku di masyarakat, dan
efek program atau efek problem yang ada.
B. Pemberdayaan Keluarga
DEFINISI KELUARGA. Keluarga merupakan lingkungan paling
berpengaruh dalam proses pembelajaran dan perkembangan anak.
Pengalaman yang didapat bersama orangtua diyakini akan
selamanya tertanam dalam kehidupan mereka bahkan ketika mereka
telah dewasa (Bronfenbrenner, dalam Swick, 2006). Keluarga
didefinisikan sebagai sebuah kelompok yang memiliki relasi intim
yang terdiri atas dua atau lebih individu di dalamnya dan memiliki
beberapa ciri berikut ini: hidup bersama di dalam relasi yang
berkomitmen, saling asuh dan membimbing anak, dan berbagi
aktivitas serta memiliki ikatan emosional yang relatif dekat
(Benokraitis, 2011). Anak-anak yang memiliki pengalaman
emosional cukup kaya, ketika dewasa akan menjadi individu yang
peduli (Brazelton dan Greenspan, 2000).
Ada empat fungsi keluarga sebagai agen pembelajaran kepedulian
menurut Swick (2006) :
1. Keluarga merupakan ekologi yang dapat dipercaya,
didalamnya dibutuhkan tempat yang aman, nyaman, penuh
cinta, dan menganggap anak-anak bermakna agar mereka
dapat mengembangkan relasi positif.
2. Keluarga merupakan tempat dimana anggota keluarga saling
melayani dan membantu, sehingga anak-anak mendapati
dirinya dipedulikan dan mendapat kesempatan untuk
mempedulikan orang lain.
2. Keluarga mengajari anak untuk membantu orang lain, dengan
begitu anak-anak belajar mengenai: identitas kepedulian,
menyadari pentingnya memberikan bantuan kepada orang lain,
serta mengembangkan pemahaman baru mengenai orang lain
dan bakat kepedulian yang mereka miliki.
3. Keluarga merupakan alat untuk memecahkan permasalahan
dengan penuh kedamaian.
KELUARGA SEBAGAI DASAR KETAHANAN. Keluarga
menjadi sumber utama bagi: anak untuk menyediakan dasar
ketahanan anak dalam masyarakat, suami istri saling bergantung
dalam hal companionship, serta anak-anak karena membutuhkan
kasih sayang dan pengasuhan dari orangtua. Fungsi dasar keluarga
adalah reproduksi, sosialisasi, pendidikan, penugasan peran-peran
sosial, dukungan ekonomi, serta dukungan emosi.
MEMBANTU ANAK DAN REMAJA. Ada beberapa langkah dalam
membantu anak dan remaja mengatasi permasalahannya, yaitu:
1. Jalin hubungan yang dekat & terbuka dengan anak atau remaja
2. Identifikasi, perjelas, dan fokuskan pada kebutuhan / masalah
3. Memahami perasaan anak-anak / remaja
4. Menyimak dengan seksama
5. Berkomunikasi dengan jelas.
BERBICARA PADA ANAK MENGENAI BENCANA. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan anak-anak
yang mengalami bencana, antara lain:
a. Jangan beranggapan bahwa anak tidak mengetahui tentang
bencana yg terjadi.
b. Dengarkan apa yang ingin dikatakan anak tentang bencana,
karena ini adalah kesempatan untuk mengetahui apakah ada
kesalahpahaman sehingga dapat segera diberikan penjelasan
serta dukungan yg tepat.
c. Bantu anak mengekspresikan perasaannya dengan berbagai
cara, misal: menggambar, musik, gerak – tari, kita hendaknya
berusaha untuk fleksibel terhadap ekspresi anak.
d. Bantu anak merasa aman, serta ingatlah utk bersikap realistis.
Anda bisa berusaha utk menjaga anak, namun tidak bisa
menghindarkan hal buruk terjadi. Sampaikan bahwa anda
mencintai dan akan selalu mendampingi mereka.
C. Media Psikoedukasi
LANGKAH-LANGKAH PRAKTISI KESMEN DALAM
PENGUASAAN MEDIA. Ada beberapa langkah yang hendaknya
dipahami profesional di bidang kesehatan mental sebelum menyusun
suatu media psikoedukasi, yaitu: • Mengetahui manfaat media
• Mengetahui efek positif maupun negatif dari media
• Mampu membuat produk & mengembangkan media sebagai
sarana promosi kesmen
• Mampu melakukan evaluasi produk media
• Melakukan riset terkait.
MEDIA. Media merupakan tools atau alat atau sarana penyampaian
informasi, sehingga sifat: apa adanya, objektif, bermakna. Media
memiliki sasaran: khalayak, orang banyak, komunitas. Komunikasi
massa: jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang
tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik,
sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat.
Media (membawa pesan atau stimulus) diterima panca indera yang lalu
diolah kognisi, afeksi, dan konasi penerima, sehingga meninggalkan
respon sampai dengan perubahan perilaku.
ELEMEN MEDIA. • Material : jenis material (kertas, elektronik), bentuk material
(gambar, tulisan, suara), penunjang material (warna, gradasi,
setting). • Isi Materi • Cara penyajian
• Tujuan, untuk alasan apa media dibuat (propaganda, penambah
informasi, sampai pada ranah kognisi s.d konasi)
Sasaran, siapa yang dituju
• Durasi
FUNGSI DAN EFEK MEDIA. Segitiga Media (Edgar
Dale): menunjukkan intensitas representasi media
1. kata-kata
2. tulisan
3. rekaman/ radio
4. film
5. televisi
6. pameran
7. field trip
8. demonstrasi
9. sandiwara
10. benda tiruan
11. benda asli
FUNGSI MEDIA.
1. Fungsi edukasi & komunikasi
a. menimbulkan minat
b. dapat mencapai sasaran dalam jumlah banyak dalam waktu
singkat
c. membantu mengatasi hambatan bahasa
d. meneruskan pesan
e. mempermudah penyampaian pesan
f. mempermudah penerimaan pesan
2. Fungsi hiburan
3. Fungsi propaganda/ promosi
EFEK NEGATIF DARI MEDIA. Ada beberapa efek negatif dari
media, yaitu: lelah, perilaku negatif, salah memaknai pesan,
pengaruh dramatik, kurangnya interaksi.
MACAM-MACAM MEDIA.
1. Alat bantu lihat (visual aid )
Media cetak (booklet, leaflet, flyer, flip chart, rubrik, poster, foto,
slide).
2. Alat bantu dengar
Radio, rekaman audio.
Alat bantu lihat-dengar
Televisi, video.
4. Alat peraga (3-dimensi)
Maket, duplikasi.