alkitab digital. 2
tuh mereka
demi kepentingan Tuhan kita, agar supaya mereka boleh
disembuhkan dan dapat dikembalikan lagi ke dalam himpunan
kelompok domba-domba.26
Jadi, cukup penting kelompok kecil itu diadakan dalam rangka
memulihkan kembali orang-orang Kristen dari persoalan mereka dan
kemudian orang-orang Kristen ini perlu berkembang atau bertumbuh di
dalam Tuhan. Karena Allah menginginkan setiap orang percaya
mengembangkan karakter Kristus dalam hidupnya. Dalam hal ini
diperlukan tekat dan komitmen dari setiap orang Kristen.
Dengan pertolongan Tuhan kita dapat menjadi apa saja sesuai
dengan tekad kita, karena kesehatan rohani tergantung pada latihan rohani
yaitu mendisiplinkan diri untuk melakukannya hingga hal-hal tersebut
menjadi kebiasaan (1Kor 9:27).
Orang-orang percaya akan bertumbuh lebih cepat jika mereka
menyediakan jalan untuk bertumbuh dan dalam kaitan ini orang Kristen
membutuhkan hubungan dengan sesama untuk dapat bertumbuh, karena
kita bertumbuh dalam konteks persekutuan.27
Kita tak dapat berbicara tentang karakter tanpa berbicara tentang
kebiasaan, karakter seperti Kristus merupakan tujuan akhir dari semua
pendidikan dan disiplin Kristen, karakter ini dibentuk dalam keadaankeadaan di lingkungan persekutuan, pergaulan dan kehidupan.Gereja dapat bertumbuh jika penginjilan yang dilakukan didukung
oleh strategi dipimpin oleh Roh Kudus. Dalam kitab Kisah Para Rasul
ditunjukkan bahwa Roh Kudus yaitu ahli strategi Agung. Roh Kudus
yaitu pengawas tertinggi dari kampanye misi yang besar. Roh Kudus
memberi kuasa dan mengambil prakarsa (Kis I:8, 13:1-4), membimbing dan
mengarahkan (Kis 8:29, 16:6-10).
Langkah utama dalam kerangka strategi yaitu penetapan tujuan
scperti yang dikemukakan oleh Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 1:8, di
mana Tuhan Yesus memberi tugas kepada munid-murid-Nya: Tetapi kamu
akan menerimna kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu
akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria
dan sampai ke ujung bumi. Bagian bumi yang paling jauh menjadi tujuan
dan penginjilan yang sepenuhnya dipimpin olel Roh Kudus.
Beberapa pengamatan berikut menunjukkan strategi yang telah
mendorong penginjilan dan pertumbuhan Gereja, yakni: tempat yang dipilih
oleh Tuhan, waktu yang ditetapkan Tuhan, pembentukan hamba-hamba
Tuhan, dan visi universal dari Tuhan.
Tempat yang Dipilih Tuhan
Kunjungan Allah terjadi di Yerusalem, pusat ibadah dan ajaran
Yahudi zaman itu. Roh Kudus turun pada hari Pentakosta dan melahirkan
umat Allah yang baru, sebuah lembaga baru–Gereja–telah tercipta. Jadi,
Yerusalem telah menjadi pusat manifestasi kuasa Allah. Allah memilih
sebuah tempat untuk menyatakan kuasa-Nya. Prinsip rohani yang dapat
diambil dalam peristiwa ini yaitu Allah dalam strategi-Nya memilih
tempat yang ditunjukkan-Nya untuk melakukan sesuatu demi kelahiran dan
pertumbuhan Gereja-Nya.
Waktu yang Ditetapkan Tuhan
Intervensi Allah terjadi pada waktu yang tepat (waktu yang
ditetapkan Tuhan). Saat itu ribuan orang Yahudi, orang-orang yang takut
akan Allah, dan orang-orang yang beragama lain memenuhi kota Yerusalem untuk perayaan-perayaan keagamaan. Pada saat itu Allah
mengirim Roh Kudus, banyak orang bertobat dan menjadi anggota Gereja
mula-mula.
Pada peristiwa Pentakosta tersebut, muncul pemberita-pemberita
Injil yang utama seperti: Barnabas, Stefanus, Filipus dan yang lain (Kis
6:5). Juga ketika terjadi penganiayaan, memaksa orang-orang percaya
meninggalkan Yerusalem, dan pergi, membawa berita Injil ke negeri-negeri
dimana mereka tinggal (Kis 8:4, 11:19-22).
Pembentukan Hamba-Hamba Tuhan
Tuhan memberikan waktu persiapan bagi orang-orang percaya yang
baru mengalami kelahiran baru untuk mengembangkan hubungan spiritual
dan kemasyarakatan yang baru, serta untuk dibentuk menjadi murid-murid
Yesus Kristus. Mereka diberi pengajaran untuk menjadi saksi demi menjaga
kesatuan dan kesehatan iman, serta diajar untuk melaksanakan fungsi
sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dalam bersaksi, berdoa
dan hidup dalam masyarakat (Kis 2:42-46, 4:23-41, 5:42; 6:1-7, 8:4: 11:19-
21, 12:5).
Visi Universal dari Tuhan
Paulus mempunyai visi misi universal yang jelas. Setelah didesak ke
luar dari Yerusalem, dia mengubah perhatiannya pada Asia Kecil, bekerja
keras pertama di Tarsus dan Antiokhia (Kis l1:25-30, 13:1-3), kemudian ke
Asia Kecil bagian barat, di mana Efesus sebagai pusatnya (Kis 19:1-20:38).
Dari situ Paulus melihat ke arah barat dengan Roma sebagai pusat, dan
Spanyol sebagai bagian yang paling jauh (Kis 19:21, 23:11, 28:14-31; Rm
1:9-15, 15:24-28). Inilah orang dengan visi yang universal.
Pentingnya dan efektifnya sebuah strategi, nampak dari hasil-hasil
pelayanan seperti yang disebutkan dalam Kisah Para rasul.
• Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu (Kis 5:28)
• Dan Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid makin
bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan
percaya (Kis 6:7)
• Maka sangat besar sukacita dalam kota itu (Kis 8:8)• Semua penduduk Lida dan Saron melihat Dia, lalu mereka berbalik
kepada Tuhan (Kis 9:35)
• Maka Firman makin tersebar dan makin banyak didengar orang (Kis
12:24)
• Lalu Firman Tuhan disiarkan di seluruh daerah itu (Kis 13:49)
• Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama
makin bertambah besar jumlahnya (Kis 16:5)
• Sehingga semua penduduk Asia mendengar Firman Tuhan, baik
orang Yahudi maupun orang Yunani (Kis 19:10)
• Makin tersiarlah Firman Tuhan dan makin berkuasa (Kis 19:20)
• Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke
Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnva Injil Kristus (Rm
15:19)
Inilah contoh dari pelayanan yang digerakkan oleh strategi dan visi
yang jelas, suatu gerakan yang dipimpin dan diawasi oleh Roh Kudus, yang
juga disertai dengan penuh ketaatan, ketekunan dan pengorbanan dari lakilaki dan perempuan pemberani. George W. Peters mengatakan sebagai
berikut:
Jangan seorang pun menganggap ringan strategi. Strategi bukan
mengatur siasat licik. Strategi yaitu perencanaan yang bijaksana
dan mempunyai maksud serta merupakan prosedur yang teratur
untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Strategi sangat
penting bagi pertumbuhan Gereja.29
PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Sebagai suatu fenomena rohani dan teologis, gerakan pertumbuhan
Gereja yang dimulai oleh beberapa hamba Tuhan, tidak dapat tidak harus
diakui dan diterima sebagai jawaban Tuhan atas kebutuhan rohani Gereja
Kristen dan sekaligus sebagai jawaban Tuhan terhadap kemerosotankemerosotan rohani dalam kehadiran dan pelayanan Gereja Tuhan terhadap
dunia ini. Karena itu, disarankan supaya Gereja-gereja Tuhan masa kini,
perlu masuk dan mengambil bagian yang aktif dan konkrit dalam arus
pertumbuhan Gereja ini demi terlaksananya Amanat Agung Tuhan Yesus
dalam Matius 28:19-20.
Pengertian atau pun konsep yang benar, proporsional dan
konprehensif tentang pertumbuhan Gereja haruslah berdasar dan bertumbuh
sesuai dengan pengajaran Alkitab sendiri tentang Teologi Pertumbuhan
Gereja. Supaya orang Kristen tahu dan sadar bahwa ide, ilmu Teologi
Pertumbuhan Gereja bukanlah ide manusia atau hasil filsafat manusia tetapi
benar-benar yaitu ide dan kehendak Allah sendiri bagi Gereja dan dunia
ini. Karena itu disarankan supaya pengertian atau pun konsep orang-orang
Kristen tentang pertumbuhan Gereja harus terus diperdalam, dipengaruhi
dan diperkokoh melalui studi dan pengertian Alkitab.
Kita harus mengerti dan meyakini bahwa upaya Gereja untuk
menerapkan ilmu, konsep dan prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja yang
Alkitabiah perlu mempertimbangkan tantangan, serangan dan hambatanhambatan yang datang dan berbagai segi seperti adanya hambatan karena
dangkalnya pengertian sebagian anggota Gereja tentang pentingnya
pertumbuhan Gereja. Juga hambatan karena kurangnya pemahaman tentang
arti misi Kristus bagi dunia ini. Di samping itu, perlu mempertimbangkan
hambatan-hambatan karena bangkitnya agama-agama dunia yang juga
sangat misioner dalam gerak dan aksinya, dimana tujuannya juga yaitu
untuk memenangkan umat manusia bagi agamanya, secara khusus perlu
dihitung tantangan yang muncul karena faktor kesalahan sejarah yang
dibuat oleh misi atau zending Kristen sendiri dalam beberapa kurun waktu
yang lalu. Karena hal ini telah dan terus saja menimbulkan penolakan
psikologi dan sosial terhadap hadirnya misi Gereja di berbagai tempat di
dunia ini dan di Indonesia khususnya. Namun, yang sangat penting untuk
disadari yaitu tantangan serius yang datang dan ajaran agama tertentu
tentang dosa Syrk. Karena penolakan, kebencian dan serangan pihak agama
tertentu terhadap orang-orang Kristen, organisasi Kristen dan teologi
Kristen berakar di sini. Makanya disarankan supaya orang-orang Kristen,
organisasi dan teologi Kristen harus mampu secara bijaksana dan penuh
kasih mensikapi perlakuan orang-orang dari agama tertentu tersebut, tanpa
terpancing dalam emosi dan pikiran serta sikap yang merugikan kita
sendiri. Jelasnya kita perlu tulus dan cerdik disertai doa yang tak putusputusnya bagi saudara-saudara dari agama tertentu tersebut, agar mereka dapat mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus dan bertumhuh di dalam
pengetahuan tentang kehenaran (Mat 5:44-45, 10:16; 1Tim 2:3-4).
Kendati pun demikian, bagi kita yang telah mengenal kebenaran
tentang pertumbuhan Gereja seperti yang diajarkan Alkitab, tidak ada
alasan untuk merasa takut, tawar hati dan menjadi lemah di dalam iman,
kehadiran dan pelayanan misi di tengah-tengah tantangan dan hambatanhambatan apa pun, karena Allah sendiri menjamin bahwa Injil Kerajaan
Allah yang mengamanatkan pelaksanaan gerak pertumbuhan Gereja akan
menyertai, melindungi, melengkapi dan memakai kita agar semua bangsa
mendengar Injil sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali (Mat 14:14).
Mengapa kita harus bersikap dan berpendirian seperti ini? Jawabannya
yaitu karena terdapat banyak faktor yang menunjang kemungkinan lahir,
hadir dan berkembangnya Gereja Tuhan di tengah-tengah serigala dunia
ini. Karena ltu, disarankan supaya Gereja tetap setia menjalankan perintah
Kristus dalam ketergantungan yang terus-menerus kepada Allah pemilik
dan pemelihara manusia, supaya kemuliaan akan terus bertambah bagi Dia
dalam segala pelayanan kita.
Terdapat empat hal penting tentang prinsip-prinsip pertumbuhan
Gereja yang harus kita pertimbangkan dalam upaya menumbuhkan Gereja
Tuhan masa kini.
Pertama, prinsip-prinsip (faktor-faktor penunjang pertumbuhan
Gereja seperti tertulis dalam makalah ini), tersebut berlaku secara universal,
artinya dapat diterapkan pada Gereja-gereja di seluruh dunia, alasannya
karena Allah kita yaitu Allah untuk seluruh dunia dan semua manusia dan
juga karena Gereja yang ada di dalam dunia ini yaitu milik Tuhan sendiri
yang diperinthkan untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Allah (1Tim
2:3-4; 2Ptr 3:8).
Kedua, prinsip-prinsip itu dapat ditransfer ke dalam situasi kita
masa kini, alasannya yaitu karena ketaatan kita kepada perintah Kristus
untuk memuridkan semua orang dan segala bangsa menjadi murid Kristus
(Mat 28:19-20).
Ketiga, perlu disadari bahwa masing-masing prinsip ini memiliki
hubungan yang erat satu sama lain; baik pertumbuhan kualitas, kuantitas
maupun organisatoris, karena itu disarankan supaya orang-orang Kristen
tidak memandang, dan memperlakukan masing-masing prinsip itu secara
terpisah tetapi harus memegang dan menjalankannya secara bersama-sama, saling berkaitan, saling mengisi dan saling mendukung, karena dengan cara
demikian pertumbuhan Gereja yang kita dambakan bakal terwujud.
Keempat, tiap-tiap prinsip yang telah dikemukakan merupakan
pesan-pesan pokok Alkitab sendiri dengan kata lain, prinsip-prinsip tersebut
yaitu prinsip Allah sendiri bagi pertumbuhan Gereja-Nya di dunia dalam
dunia. Terminologi yang digunakan dalam mengungkapkan prinsip-prinsip
tersebut dapat saja tidak sempuma seperti halnya metodologi ilmiah
lainnya, tetapi hal itu tidak dapat meniadakan fakta bahwa prinsip tersebut
yaitu prinsip-prinsip Allah sendiri yang mesti dipegang dan dipatuhi oleh
Gereja Tuhan masa kini. Akhirnya, aku (Paulus) menanam, Apolos
menyiram, tetapi Allah memberi pertumbuhan (1Kor 3:6). Ini berarti bahwa
para petani dapat menanam, menyiram, dan menuiai, tetapi mereka tidak
dapat memberi pertumbuhan. Akan telapi mereka tahu bahwa penanaman
dan penyiraman yang mereka lakukan benar-benar mempengaruhi tuaian
yang diharapkan.
Akhirnya, kemajuan pertumbuhan Gereja juga sangat ditentukan
oleh faktor strategi Tuhan yang dapat kita pelajari dari Alkitab, khususnya
kitab Kisah Papa Rasul. Di sana dijelaskan bahwa pertumbuhan Gereja
mesti dimulai: (1) di tempat yang dipilih Tuhan, (2) Dilaksanakan dalam
waktu Tuhan, (3) Didukung oleh hamba-hamba Tuhan yang dipersiapkan
dan dibentuk Tuhan secara khusus, dan (4) Perlu diarahkan dan dibimbing
oleh visi misi universal dari Tuhan sendiri. Karena itu, tulisan ini
menyarankan agar Gereja-gereja masa kini sungguh-sungguh mencari dan
menemukan strategi Tuhan yang khusus untuk tiap-tiap pelayanan misi
yang kita kerjakan.
Paul Ricoeur yaitu salah satu nama terkenal dalam kancah filsafat.
Ia dikenal tajam dalam pemikiran fenomenologis yang membedah makna
dalam narasi teks menjadi terang bagi pencari kebenaran otentik. Cakrawala
pemikirannya melingkupi hampir semua topik filsafat kontemporer,
sehingga ia dinobatkan sebagai pemenang hadiah Balzan Price for
Philosophy pada tahun 1999.2 Tidak heran kemudian apabila ia termasuk
tokoh yang masih hidup yang banyak diperbincangkan dengan panjang
lebar. Berbagai kajian tentang Ricoeur diselenggarakan di berbagai tempat,
baik secara personal insidentil oleh para pemikir dan penulis maupun secara
kolektif sistematis oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi.3
Lebih khusus lagi dalam wilayah studi hermeneutika, Ricoeur telah
menyumbangkan, bukan hanya gagasan-gagasan (ideas) baru tetapi bahkan
wawasan (insight) baru.4 Kekhasan kajian hermeneutika Ricoeur, bukan
hanya karena ia yaitu pemikir mutakhir sehingga memiliki kesempatan
untuk meng-up-date pemikiran-pemikiran sebelumnya, melainkan ia juga meng-up-grade dengan menampilkan corak kajian hermeneutika yang
sepenuhnya berbeda dengan kajian-kajian yang ada.
Sebagaimana yang dikatakan Joseph Bleicher dalam Contemporary
Hermeneutics (1981)5
yang menempatkan pemikiran Ricoeur di luar tiga
tradisi pemikiran hermeneutik: hermeneutika metodologis, hermeneutika
filosofis dan hermeneutika kritis. Ini menunjukkan bahwa corak pemikiran
Ricoeur tidak dapat dimasukkan dalam salah satu dari tiga tradisi itu. Dan
dengan melihat pada para komentator Ricoeur seperti Don Ihde6
dan
Patrick L. Bourgouis,7 Zainal Abidin8
bahkan berani melangkah lebih jauh
dengan mengatakan bahwa untuk mengkaji hermeneutika Ricoeur, tidak
perlu melacak akarnya pada perkembangan hermeneutika sebelumnya.9
RICOEUR DAN HERMENEUTICAL DESPUTE
Sebelum melangkah pada kajian pemikiran Ricoeur, ada baiknya
kita melihat kontur yang lebih luas dari posisi pemikiran Ricoeur sendiri
dalam peta pemikiran hermeneutika. Hal ini akan dapat memudahkan kita
untuk memahami pengaruh dan tantangan dari pemikirannya. Sebab, dalam
genealogi intelektual, setiap pemikiran selalu merupakan aksi sekaligus
reaksi terhadap wacana yang sudah ada.
Mengikuti penjelasan Bleicher,10 pemikiran Ricoeur dapat dianggap
menjembatani perdebatan sengit dalam peta hermeneutika antara tradisi
metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing diwakili oleh Emilio
Betti dan Hans-George Gadamer.11 Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik
berangkat yang sama dengan Betti bahwa hermeneutika yaitu kajian untuk
menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang
dan waktu dari pembaca,12 namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa
seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan
sebagai acuan utama dalam memahami teks. Dan ini yaitu posisi
Gadamer.13
Lebih jauh lagi, Ricoeur juga dianggap menjadi mediator dari posisi
tradisi hermeneutika romantic dari Schleirmacher dan Dilthey dengan
hermeneutika filosofisnya Martin Heidegger.14 Mengikuti Dilthey, Ricoeur
menempatkan hermeneutika sebagai kajian sebagai ekspresi-ekspresi
kehidupan yang terbakukan dalam bahasa (linguistically fixed expression of
life),15 namun ia tidak berhenti pada langkah psikologisme untuk
merekonstruksi pengalaman penulis (seperti Schleirmacher),16 maupun
usaha penemuan diri sendiri pada orang lain (seperti Dilthey)17 melainkan
untuk menyingkapkan potensi keber-Ada-an atau Eksistensi (seperti
Heidegger).18
Bahkan Ricoeur dapat ditempatkan sebagai perpaduan antara dua
tradisi filsafat besar, yaitu fenomenologi Jerman19 dan Strukturalisme
Perancis.20 Dari arah fenomenologi, Ricoeur juga memadukan antara
tendensi metafisik Cartesian Edmund Husserl dan tendensi eksistensial dari
Heidegger,21 sedangkan dari Strukturalisme ia mengadopsi baik dari aliran
linguistik dari Ferdinand de Saussure maupun aliran Antropologis dari
Claude Levi-Strauss.22 Sebagai tambahan, Ricoeur juga mengakomodir
tendensi kritik ideologi di satu sisi dan psikoanalisis di sisi lain untuk
melakukan eksplorasi isi pada kajian hermeneutika yang ia lakukan.23
MENCANGKOK24 HERMENUTIKA DARI FENOMENOLOGI
Selanjutnya mari kita menukik lebih dalam pada penelusuran
pemikiran hermeneutika menurut Paul Ricoeur. Sebagaimana dikatakan di
atas, meskipun mengakomodir semua tendensi dalam sejarah hermeneutika,
bahkan di antara berbagai cabang dan model hermeneutika yang saling
bersaing, namun Ricoeur sekaligus membuka wawasan baru dalam kajian
hermeneutika yang sekaligus mengatasi atau melampaui carut-marut
hermeneutical despute yang sudah berlangsung dan bukan sekedar
mendamaikan semata. Dalam hal ini barangkali akan cukup memadai bagi
kita untuk memfokuskan pada dua tema sentral dalam pemikiran
hermeneutika Paul Ricoeur, yaitu apa yang ia sebut sebagai jalan panjang
hermeneutika dan setelah itu kita akan menelaah apa yang menurutnya
problem sentral dalam hermeneutika: yaitu hubungan antara bahasa lisan
dan metafor di satu sisi dengan bahasa tulis dan teks di sisi lain. Dengan
menelaah dua tema itu, barangkali kita sudah akan dapat mengikuti proyek
utama Ricoeur, yaitu mencangkokkan Hermenutika dengan
fenomenologi.25
Ricoeur menganggap bahwa persoalan hermeneutika yaitu
persoalan yang sudah sangat panjang sejarahnya,26 mulai dari tradisi
Yunani hingga pemikiran teologi abad pertengahan. Ini disebutnya sebagai
fase pertama hermeneutika klasik. Di sini hermeneutika sudah menghadapi
persoalan filosofis, di mana ia tidak hanya merupakan sebuah keahlian
teknis dalam menafsirkan teks tertentu (techne hermeneutikhe) melainkan
juga berhadapan dengan persoalan tentang pemahaman dalam arti yang
lebih luas. Inilah yang diangkat dalam pemikiran Aristoteles dalam Peri
Hermeneia. Pada tahap ini sudah dihasilkan dua arah kajian hermeneutika,
yaitu sebagai interpretasi atau tafsir terhadap suatu teks tertentu serta
sebagai pemahaman terhadap konsep pemahaman itu sendiri.27
Sedangkan fase kedua perkembangan hermeneutika klasik dibidangi
oleh Schleirmacher28 dan terutama Dilthey.29 Pemikir yang terakhir ini
menurut Ricoeur telah berjasa untuk membangkitkan pertanyaan
fundamental mengenai keunikan posisi manusia vis-à-vis objek alami,
sehingga kajian terhadap manusia qua manusia harus menggunakan
metodologi yang berbeda dengan ilmu alam. Dilthey mengusulkan sebuah
ilmu kemanusiaan (Geistesswissenschaften) yang secara epistemologi akan
bersaing dengan ilmu-ilmu alam yang positivistik.30 Pertanyaan kedua dari
Dilthey yang fundamental yaitu kesadaran historis. Bahwa manusia yaitu
wujud historis yang hanya dapat hidup, dipahami, dan memahami secara
historis. Kehidupan selalu dalam konteks. Kebenaran bagi manusia selalu
dalam konteks.31 Namun, Ricoeur mencatat bahwa pertanyaan yang
diajukan Dilthey ini menyimpan residu problem yang tak mampu ia reduksi
sendiri: sebagai mahluk historis bagaimana manusia dapat memahami
sejarah secara historis? Bagaimana kehidupan dapat menampilkan diri
sekaligus menyingkapkan makna dirinya yang dapat terpahami oleh wujud
historis lain?32
Persoalan inilah yang menurut Ricoeur memicu pertanyaan tentang
ontology of understanding.
33 Yaitu untuk menjawab pertanyaan paradox di
atas maka kita harus lebih dulu mengetahui hakikat manusia sebagai keberada-an yang historis, keberadaan yang terjebak dalam arus waktu, Das Sein,
Being and Time.
34 Hermeneutika bukan lagi diarahkan kepada teks
melainkan kepada realitas itu sendiri untuk menemukan eksistensi keberada-an yang bersifat historis. Namun jalan ini oleh Ricoeur dianggap
sebagai potong kompas karena melakukan lompatan dari hermeneutika
pada level metode kepada level metafisika atau ontology.35 Dan ini yang
dilanjutkan oleh Gadamer dengan memisahkan metode dan kebenaran
(truth and metode). Sehingga pertanyaan yang muncul yaitu , dalam
pemahaman jenis apakah yang ada di situ?36
Sedangkan menurut Ricoeur, pertanyaan yang tepat mestinya
yaitu : dalam kondisi bagaimana sebuah wujud yang mengetahui dapat
memahami teks atau sejarah?37 Pertanyaan ini lebih memadai karena lebih
sistematis dalam usaha mengarahkan hermeneutika dari level metode menuju metafisika. Sedangkan pertanyaan terdahulu mengalami lompatan
sehingga antara metodologi dan ontology tetap terdapat jarak yang tak
terjembatani.38
Selanjutnnya, Ricoeur menguraikan bahwa proses okulasi antara
metode dengan metafisika dari teori ke ontologi, dari hermeneutika ke
fenomenologi, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui.39 Pertama yaitu
level semantic, yaitu bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi
ontologi.40 Oleh karena itu, poros yang tidak dapat ditinggalkan yaitu
kajian terhadap struktur bahasa dan kebahasaan mencakup keseluruhan
sistem symbol sebagai hakikat dari berbahasa. Keberbahasaan ini dalam
tataran normal akan tercakup dalam kajian simbolisme sebagai kajian
terhadap sistem bahasa.41 Sedangkan dalam tataran abnormal menjadi
kajian dari psikoanalisis, yaitu dalam usaha untuk mengungkapkan makna
yang tak terbahasakan karena terepresi atau pengungkapan makna yang
terdeviasi atau bahkan tereduksi, karena kendala dalam sistem
komunikasi.42
Level semantic ini memiliki peran fundamental dalam menjaga
hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontology di
sisi yang lain.43 Hermeneutika sebagai metode, sebagai praktik yang
dijalankan, akan menjaganya terhindar dari langkah untuk memisahkan
konsep metode dan konsep kebenaran. Selanjutnya, ia juga bermanfaat
dalam hubungan dengan fenomenologi sebagai usaha untuk menangkap realitas “keber-ada-an” manusia bukan sebagai entitas objektif dan statis
melainkan equivocal dan intensional.
44 Dan terakhir, tataran penampang
semantik ini akan menjaga pintu penghubung antara hermeneutika dengan
filsafat bahasa yang lain dan bahkan filsafat secara keseluruhan.45
Tahap kedua yaitu level refleksi, yaitu mengangkat lebih tinggi
lagi posisi hermenutika pada level filosofis.46 Level semantic
memungkinkan hermeneutika memijakkan kakinya pada tingkap teknik
aplikatif kebahasaan. Sedangkan pada level ini hermeneutika harus
melewati tahap yang lebih tinggi untuk memperoleh posisi sebagai sebuah
filsafat. Posisi itu akan teraih dengan melalui proses ulang-balik antara
pemahaman teks dengan pemahaman diri.47 Proses ini berlangsung mirip
dengan lingkaran hermeneutic Schleirmacher,48 di mana yang satu
menghasilkan yang lain dan keduanya harus dilaksanakan secara bersama.
Tujuan hermeneutika dalam hal ini yaitu memahami diri sendiri melalui
pemahaman orang lain. Yaitu dengan mengatasi jarak waktu yang
memisahkan antara kita dengan teks. Namun refleksi ini tidak terjadi dalam
pola Cogito Cartesian49 di mana entitas diri yaitu sesuatu yang statis dan
objektif terkungkung dalam hubungan subjek-objek, melainkan dalam
sebuah benturan langsung dalam realitas sebagaimana yang diistilahkan
Dilthey dengan ekspresi kehidupan.50 Dalam hal ini yang kita gunakan bukan logika positivistic yang bisa dijungkirbalikkan, melainkan logika
transcendental yang berpijak pada perjumpaan langsung dengan realitas.51
Tahap ketiga yaitu level eksistensial.52 Pada tahap ini, menurut
Ricoeur hermeneutika memasuki tahap paling kompleks yaitu ontology
membeberkan hakikat dari pemahaman, ontology of understanding melalui
methodology of interpretation. Pada tahap ini akan tersingkap pemahaman
dan makna, bagi manusia, ternyata berakar pada dorongan-dorongan yang
lebih mendasar yang bersifat instingtif: hasrat.53
Dari hasrat inilah lahir
kehidupan, dan selanjutnya bahasa. Untuk menyingkapkan realitas hasrat
ini, sebagai realitas yang tidak disadari instingtif, Ricoeur mengajak kita
melewati lorong Psikoanalisis.54 Melalui lorong ini kita diajak untuk
menemukan the archeology of subject55
– suatu sumber data diri paling
primitif dan mentah. Dari sini kita akan menyadari, kata Ricoeur, bahwa
ontology pemahaman itu bisa ditarik kepada arah awal dan ke dalam.56 Di
samping itu, ontology pemahaman manusia juga memiliki akar pada
kesadarannya terhadap realitas yang lebih tinggi dari kesadaran dirinya
sendiri, yaitu kekuatan semesta yang teratur, yang membatasi hasrathasratnya dalam batasan-batasan yang stabil. Di sini kita akan memasuki lorong Phenomenology of the Spirit57
–suatu kesadaran akan adanya
kesadaran yang lebih tinggi, bertujuan teologis dan menyatukan.58 Pada
tahap ini ontology pemahaman manusia bisa ditarik pada ujung yang lebih
akhir dan bersifat ke luar. Dan pada lapis terakhir kita akan menembus
lorong Phenomenology of Religion,
59 yang kata Ricoeur merupakan tahapan
paling tinggi eskatologis di mana pada lapisan ini ontology pemahaman
manusia bisa ditarik ke atas yang melampaui masa lalu dan masa depan ke
arah yang sacral.60 Yang sakral ini lebih unggul ketimbang arche maupun
telos karena di luar kendali manusia. Dalam posisi ini manusia hanya dapat
bersikap pasif dan menunggu panggilan dari sana.61
Dengan demikian, maka level ontologis dapat diraih dengan
sempurna, tanpa kehilangan pijakan pada level methodology, yaitu melalui
interpretasi. Sehingga ontology yang konkrit dan wajar bagi hermeneutika
bukanlah ontology of understanding secara langsung dalam dirinya sendiri,
melainkan sejauh yang dapat kita jangkau melalui interpretasi ontology.62
Dengan ketiga tahapan ini, hermeneutika tidak meletakkan
posisinya di kursi metafisika dengan tenang, anggun dan aman, tanpa harus
melakukan lompatan yang intuitif, melainkan tetap melalui prosedur
metodologis. Setelah menyingkapkan postur hermeneutika yang berpijak di
metode, meliuk di filsafat dengan logika transenden, serta menjulang menjangkau metafisika alias ontology: sekarang mari kita mengikuti lebih
jauh, apa yang menjadi tema sentral dalam hermeneutika Paul Ricoeur.
TUGAS-TUGAS POKOK HERMENEUTIKA
Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika yaitu untuk
memahami teks. Oleh karena itu, perngertian tentang teks menjadi sangat
sentral dalam pemikiran hermeneutika Ricoeur. Untuk itu, kita perlu
memberikan perhatian yang cermat pada poin ini.
Teks dan Teori Interpretasi
Secara mendasar, Ricoeur mengatakan bahwa teks yaitu any
discourse fixed by writing.
63 Berpijak pada defeinisi singkat ini, pertama
kali kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Ricouer dengan
discourse, sebelum kita memahami tentang writing.
Dengan istilah discourse, Ricouer merujuk kepada bahasa sebagai
event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Pengertian ini
diambil Ricouer dari para filsuf bahasa seperti Austin dan Beardsley64 yang
membagi bahasa ke dalam dua sifat, yaitu “bahasa sebagai meaning65 dan
bahasa sebagai event.” Bahasa sebagai meaning yaitu dimensi yang hidup
dan dinamis; atau dalam ungkapan Ricouer sendiri, “bahasa selalu
mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu.”66 Gampangnya, discourse
yaitu bahasa ketika ia gunakan untuk berkomunikasi. Dan dalam hal ini
ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis.67
Yang pertama membentuk komunikasi langsung dimana metode
hermeneutik tidak terlalu diperlukan, karena ujaran yang disampaikan
(speech) masih terlekat langsung kepada pembicara. Maka dari ujaran
tersebut masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat
(gestures) dari si pembicara.68
Sedangkan teks merupakan sebuah korpus yang otonom. Ricoeur
menganggap bahwa sebuah teks memiliki kemandirian, totalitas,69 yang
dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat
pada apa yang dikatakan (what is said)
70 terlepas dari proses
pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua
proses itu tidak dapat dipisahkan.71 Dalam sebuah dialog, maksud dari
seorang pembicara bukan hanya ditunjukkan oleh ucapannya, melainkan
juga oleh intonasi, mimik maupun gesturesnya.72 Kedua, dengan demikian
makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana
bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang
awalnya dimaksudkan oleh penulisnya.73 Bukan berarti bahwa penulis tidak
lagi diperlukan, meskipun Ricoeur sempat mengatakan tentang kematian
penulis,74 akan tetapi maksud si penulis terhalang oleh teks yang sudah
membaku. Yang tidak kalah menarik, Ricoeur menganggap bahwa penulis
lebih merupakan pembaca pertama. Ketiga, karena tidak lagi terikat pada
sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks
semula (ostensive reference),75 ia tidak terikat pada konteks asli dari
pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks dengan demikian, yaitu dunia
imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri dalam dirinya sendiri maupun
dalam hubungan dengan teks-teks yang lain. Terakhir, dengan demikian
juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan
terikat kepada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca
tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca,76 dan tidak
terbatas pada ruang dan waktu. Dapat dikatakan pula bahwa sebuah teks
membangun hidupnya sendiri, karena sebuah teks yaitu sebuah monolog.
Penjelasan lebih lanjut Ricoeur terhadap konsep teks ini juga akan
menjadi revisi bagi konsep Dilthey tentang Explanation dan
understanding,
77 di mana Dilthey menganggap bahwa penjelasan yaitu
karakteristik kerja ilmu alam, yaitu untuk mengungkapkan cara kerja
fenomena alami yang pasti dan tanpa intensi. Sementara pemahaman yaitu
cara kerja ilmu humaniora, untuk mengungkapkan perilaku manusia yang
sangat kompleks, tidak kausalistik dan memiliki dimensi intensionalitas.
Dan kedua metode itu bekerja secara mutual exclusive.
78 Sedangkan
menurut Ricoeur, kedua cara kerja metodologis tersebut tidak bisa
dipisahkan secara dikotomis. Dengan menerapkan pada persoalan
hubungan antara metaphor dan teks sebagai kodifikasi bahasa lisan dan
bahasa tulis, Ricoeur menunjukkan bagaimana penjelasan dan pemahaman
dapat diterapkan pada sisi yang berlainan. Penjelasan (explanation) yaitu
cara kerja yang menghubungkan metaphor kepada teks,79 yaitu pembakuan
bahasa lisan kepada bahasa tulis, sementara interpretasi (interpretation)
yaitu cara kerja dari teks ke metaphor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis
ke bahasa lisan.80
Dengan kata lain, bahasa sebagai meaning yaitu sebuah sistem
tanda yang memiliki konstelasi internal, yang baku dan objektif. Di sini
Ricoeur meminjam teori para strukturalis mulai dari dikotomi langue dan
parole dari Ferdinand de Saussure, strukturalisme filosofis-antropologis
dari Claude Levi Strauss81 hingga analisis struktural sastrawi Rolland
Barthes dan A.J. Greimas.82 Bahasa memiliki hukum-hukum yang baku,
yang bekerja mirip hukum alam. Ini yaitu pengertian kata-kata dalam
kamus atau ensiklopedi yang sudah bermakna tunggal dan baku. Dalam
aspek inilah metodologi yang digunakan yaitu explanation. Sedangkan
bahasa sebagai event atau discourse, yaitu penampang bahasa yang terikat
kepada konteks. Di sini bahasa menjadi multi-interpretable, sehingga tidak
mungkin ada objektivitas, apalagi pembakuan. Di sinilah, lanjut Ricoeur,
tempatnya metode interpretation sebagai bentuk utama dari
understanding.
83
Melangkah lebih jauh lagi, Ricoeur tidak hanya ingin sekedar
mendamaikan dikotomi yang diciptakan namun tidak mampu diatasi
Dilthey di atas. Sampai pada tahap itu, Ricoeur hanya menempatkan
explanation dan interpretation pada satu domain yaitu Geisteswissenschaften tetapi tetap saja keduanya yaitu dua prosedur yang
berbeda dan bekerja secara terpisah.85 Untuk ini Ricouer mengajukan
prosedur kerja depth semantic86 yaitu dengan menempatkan kedua prosedur
metodologis di atas dalam sebuah garis linier. Menurut Ricoeur, analisis
explanation bisa digunakan sebagai tahap awal untuk mengkaji dimensi
statis dari teks, sedangkan interpretation digunakan selanjutnya untuk
menangkap makna kontekstual dari teks tersebut.87
Bagi Ricoeur, istilah makna kontekstual bukan lagi mengacu kepada
the single meaning dari teks yang bersangkutan, karena teks itu sudah
memiliki makna internal yang objektif dan tidak lagi ditopang oleh
intensional psikologis dari penulisnya melainkan the multiple meaning dari
konteks pembaca modern. Dalam sebuah pembacaan teks, seorang pembaca
tidak lagi masuk ke dalam teks untuk melakukan rekonstruksi psikologis
kepada pengarang, dan tidak pula menarik teks ke dalam preunderstanding-nya sendiri. Yang terjadi yaitu seorang pembaca membuka
dirinya di hadapan teks yang juga telah membuka diri. Makna sebuah teks
tidaklah ada di balik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya.88
Sejarah Sebagai Teks
Ricoeur memperluas konsep teks ini bukan hanya pada bahasa yang
mengendap pada tulisan, melainkan juga kepada setiap tindakan manusia
yang memiliki makna yaitu setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai
tujuan tertentu. Dalam hal ini dia meminjam teori Max Weber tentang
sinhaft orientierties Verhalten.
89 Tujuan Ricoeur dalam teori ini yaitu
membangun sebuah epistemology baru bagi ilmu-ilmu sosial maupun
humaniora karena, berdasarkan pendalaman pada hermeneutik sebagai
kajian terhadap teks, Ricoeur menganggap bahwa (1) objek dari ilmu-ilmu
sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai teks; (2) dengan demikian
metodologi kajian untuk itu haruslah berupa kajian yang menyerupai kajian
interpretative (Auslengung) yang ada pada hermeneutika.90
Dalam penjelasan selanjutnya, Ricoeur memaparkan bagaimana
realitas sosial, atau dapat kita katakan sejarah,91 memiliki persamaan
karakater dengan definisinya mengenai teks. Pertama, fixation of action,
92
yaitu bahwa realitas sosial baru akan dapat dijadikan sebagi objek kajian
ilmiah sejauh ia terbakukan dalam mekanisme maupun struktur seperti
terbakukannya discourse dalam tulisan. Sedangkan pemahaman pada
realitas sosial yang belum terbakukan, yaitu peristiwa-peristiwa yang
datang dan pergi disebut dengan knowledge without observation, yaitu
pengetahuan tentang bagaimana dari realitas sosial dan bukan apa.
93
Kedua, the automatiozation of action, berupa kenyataan bahwa
tindakan sosial kita memiliki makna objektif94 dan bukan hanya semata
tergantung kepada maksud kita belaka sebagaimana makna teks yang sudah
tidak lagi tergantung kepada intensitas psikologis sang pengarang. Pada
tindakan sederhana memang masih memungkinkan hubungan antara pelaku
dengan perbuatannya. Namun dalam peristiwa-peristiwa sosial yang
kompleks yang memiliki dampak luas, maka hubungan antara maksud
dengan hasil tindakan semakin menjauh. Misalnya seorang pemimpin
politik, tidaklah dinilai dari apa tujuan dari kebijakan yang ia ambil,
melainkan dari hasilnya.95
Ciri ketiga dari realitas sosial yang memiliki karakter teks yaitu
keterlepasannya dari konteks awal tindakan atau dalam ungkapan Ricoeur
sendiri yaitu relevance and importance.
96 Sebagaimana sebuah teks tidak
lagi harus dipahami berdasarkan konteks awalnya, demikian pula nilai
penting (importance) dari sebuah tindakan sosial tidak lagi terikat baku
dengan nilai pentingnya (relevance). Maksudnya, bahwa sebuah tindakan
bisa bermakna lain bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda, dan itu
yaitu pemahaman yang absah dilakukan. Dan inilah yang sering terjadi
dalam proses hermeneutika judicial, di mana makna sebuah tindakan
diperdebatkan dengan mengaitkannya kepada konteks-konteks yang
berlainan.97
Yang terakhir, penampang dari meaningful action yang menyerupai
penampang sebuah teks yaitu keterbukaanya kepada makna-makna baru
human action sebagai “open” work yang identik dengan karakter teks yang
juga equivocal. Maksudnya yaitu , sebagaimana sebuah teks tidak lagi
terikat kepada audiens awal dalam suatu proses dialogis bahasa lisan,
demikian juga sebuah perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orang-orang
yang menjadi saksi mata. Sebuah tindakan menjadi terbuka untuk
selamanya, bagi para penanggap baru yang datang dari ruang waktu. Yang
menjadi hakim dari sebuah tindakan atau realitas sosial bukan hanya orangorang dari zaman itu, melainkan sejarah itu sendiri.98
Dengan demikian, proyek hermeneutika fenomenologis Paul
Ricoeur merupakan sebuah jalan panjang dan ambisius, bukan hanya untuk
menjembatani hubungan antara hermeneutika metodologi di satu sisi degan
hermeneutika filosofis di sisi lain, tetapi juga membangun sebuah
epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial-humaniora. Epistemologi ini tidak
lagi merupakan kelanjutan epistemologi tradisional, melainkan lebih pada
epistemologi kritis sebagaimana yang kita jumpai dalam pemikiran
hermenutika kritis baik dai Karl-Otto Apel maupun Jürgen Habermas.
PENUTUP: IMPLIKASI HERMENUTIS
Dari analisa teori interpretasi, Paul Ricoeur membawa kita untuk
dapat mengantisipasi beberapa implikasi, yakni yang berkisar pada
penggunaan dan pengkaburan konsep peristiwa pembicaraan dalam tradisi
hermenutika romantic yang telah dibangun oleh Schleirmarcher dan
Dilthey, bahwa interpretasi harus mengindentifikasi kategori pemahaman
sebagai maksud mula-mula dari sudut pandang penulis teks atau si
pembicara. Dalam hal ini Ricoeur mengajak untuk mempertanyakan asumsi
hermeneutika ini dari sudut pandang anatomi bahasa, bahwa tanpa adanya
suatu penyelidikan khusus terhadap tulisan (teks), suatu teori analisa bahasa
belum dapat menjadi suatu teori teks. Namun bila suatu teks dapat
diakomodir oleh teori analisa bahasa, maka kondisi inskripsi bahasa berada
dalam persyaratan yang memungkinkan terjadinya suatu wacana dalam
pengaruh teks. Dalam artian bahwa apa yang terjadi dengan teks yaitu
manifestasi sepenuhnya pembicaraan yang hidup, yakni pemilahan makna
dari peristiwa, yakni otonomi teks tetap muncul dalam aturan dialektika
peristiwa dan makna teks.
Di sinilah Ricoeur menawarkan sebuah proyek yang menarik dalam
rangkuman ilmu teologi dan filsafat sebagai suatu pendekatan bagi kajiankajian hermeneutika yang berguna bagi suatu analisis kritis dalam dunia
interpretasi.
KONTRIBUSI GAGASAN JÜRGEN HABERMAS
BAGI HERMENEUTIKA POSTMODERN
ERNI M.C. EFRUAN
PENDAHULUAN
Hermeneutika dalam segala tahap perkembangannya sangat
berpengaruh, bukan hanya dalam bidang teologi, tetapi juga dalam berbagai
bidang pengetahuan manusia. Dalam Postmodern ini, orang yang mengaku
ilmuwan atau filsuf, tidak bisa begitu saja mengabaikan hermeneutika.
Ironisnya, manusia Postmodern menyerang kekristenan karena
beranggapan bahwa merekalah satu-satunya yang memiliki kebenaran.
Berdasarkan pemikiran yang objektif dan metanaratif sekuler, manusia
Postmodern tidak percaya adanya metanaratif-absolut.1 Sedangkan,
kepercayaan berelasi erat dengan pemahaman, sementara semua
interpretasi mencakup pemahaman.
2 Untuk dapat menginterpretasi hal-hal
metanaratif, maka pastinya terlebih dahulu harus memahami. Tentunya,
memahami dan menginterpretasi yaitu satu momen dalam satu proses yang menciptakan lingkaran hermeneutika; hermeneutika tidak dapat
mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain. Di sini hermeneut
mengahadapi dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara
tetap subjektif dan harus menjadi objektif.
Dengan demikian, adakah kontribusi dimensi gagasan atau
pemikiran filsuf hermeneutika atau hermeneut bagi hermeneutis-teologis
yang memadai di era Post Modern ini?
POSTMODERN DAN HERMENEUTIKA
Mencari dan menemukan kontribusi gagasan-gagasan atau
pemikiran-pemikiran filsuf hermeneutika terkemuka saat kini Jürgen
Hubermas telah menstimulir penulis untuk terlebih dahulu mengkaji
hakekat postmodern dan hermeneutika pada bagian berikut ini.
Postmodern
Postmodern yaitu suatu tantangan utama bagi kekristenan abad ke-
21 ini. Para pemikir Barat beranggapan bahwa manusia sudah melewati
zaman Modern yang berlangsung mulai dari Abad Pencerahan (Aufklarung)
sampai tahun 1960-an.3 Faktanya, terjadi perubahan budaya yang
berlawanan dengan ciri khas zaman modern, yakni: inovasi yang lahir
sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan Abad Pertengahan.4
Pemikir lain seperti sejarawan Arnold Toynbee berpendapat bahwa Perang
Dunia I merupakan saat berakhirnya Modernisme dan dimulainya
Postmodern.
5 Dengan demikian dapat dianggap bahwa pencetus istilah
Postmodern yaitu Arnold Toynbee dengan bukunya yang termahsyur
berjudul Study of History.
6 Ada pula yang mengatakan bahwa karya
Friedrich Nietzsche (1844-1900) berjudul Thus Spoke Zarathustra, terbit
tahun 1883,7 menandai berakhirnya era Modern dan bangkitnya
Postmodern. Tetapi Charles Jencks, arsitek Postmodern yang paling
berpengaruh mengatakan bahwa, the end of modernism and the beginning
of postmodernism took place at:32 P.M. on July 15, 1972.
8
Jean Francois
Lyotard dengan semangat Nietzschean yang menyala-nyala mengemukakan
kematian pilar-pilar metanaratif modernisme seperti dialektika roh,
emansipasi proletar, hermeneutika dan sains.9 Dengan demikian, kehadiran
Postmodern merupakan reaksi penolakan terhadap modernisme dan Pencerahan serta asumsi-asumsinya,10 sebagaimna ditulis oleh David
Harvey sebagai berikut:
The Enlightenment project... took it as axiomatic that there was only
one possible answer to any question. From this it followed taht the
world could be controlled and rationally ordered if we could only
picture and represent it rightly. But this presumed that there existed
a single correct mode of representation which, if we could uncover it
(and this was what scientific and mathematical endeavors were all
about), would provide the means to Enlightenment ends.
11
Bagi Rene Descartes (1596-1650), dasar segala sesuatu yaitu diri manusia
yang berpikir (thinking-self), dan diri manusia yaitu subjek otonom dan
rasional (cogito ergo sum).12 Manusia memasuki Postmodern yang ditandai
dengan pandangan yang pesimis terhadap kemajuan manusia, disintegrasi
kebudayaan dan sikap relativisme terhadap kenyataan dalam dunia. Hasil
penelitian George Barna mengindikasikan, 66% orang Amerika percaya
bahwa there is no such thing as absolute truth.
13 Veith menegaskan,
Postmodernism attempts to re-order thought and culture on a completely
different basis, accepting reality as a social contruction and avoiding
“totalizing discourse” altogether.
14 Postmodern, pada satu sisi yaitu anti
metanaratif, antifondasi, sebagaimana dideskripsikan oleh Patricia Waugh:
Central to the “Postmodern coundition,” of Western history and, in
particular, enlightened modernity have broken down.
15
Hermeneutika
Kata Hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari bahasa Ibrani
Pathar (to interpret), Pithron (penafsiran); Yunani- e`rmhneuw -
hermēneuō- (explai, expound) yang berarti menginterpretasi, menjelaskan atau menterjemahkan. Kata benda e`rmhneia secara harfiah dapat diartikan
sebagai penafsiran atau interpretasi.
16 Kata Yunani ini berhubungan dengan
dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani.17 Walter C. Kaiser Jr.
mengatakan: The term hermeneutics has become in creasingly popular in
recent decades.18 Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses
mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.19 J.
Bleicher menggolongkan hermeneutika dalam tiga bagian, yaitu: teori
hermeneutika, filsafat hermeneutika dan hermeneutika kritis. Dalam
penggolongan ini, Jürgen Habermas ditempatkan sebagai salah satu filsuf
hermeneutika terkemuka saat kini, yang menekankan pentingnya
hermeneutika yang sadar secara sosiologis; “Hermeneutika Kritis.”20
Fungsi Hermeneutika
Hermeneutika merupakan upaya memberi makna (meaning) suatu teks.21
Namun perlu dicatat, rentang waktu penulisan teks dan pembaca teks sering
menciptakan berbagai hambatan. Hermeneutik paling sedikit melibatkan
dua aspek, yaitu, eksegese dan eksposisi, walaupun di sisi yang lain, J.I.
Packer menawarkan penafsiran biblikal Injili yang dimulai dengan tiga
langkah, yaitu, eksegese, sintesa dan aplikasi.22
Hermeneutik berfungsi untuk mempelajari prinsip-prinsip penafsiran, baik
penafsiran tata bahasa, historis, kebudayaan maupun penerapan praktis dari
penafsiran tersebut di mimbar.23
Mencari penjelasan tentang apa yang tidak
secara jelas di dalam Alkitab, yang didahului dengan langkah observasi
atau dapat pula disebut persiapan,24 bertanya dan menjawab pertanyaan apa
makna teks ini.25
Urgensitas Hermeneutika
G.W. Bromiley memberikan empat alasan urgensitas hermeneutik.26
Pertama, otoritas Alkitab dihilangkan bilamana arti yang sesungguhnya
dilalaikan. Kedua, memahami Alkitab yaitu tidak begitu mudah, seperti
kelihatannya dan secara umum menyatakannya dalam istilah-istilah yang
sederhana, namun hal itu tidaklah menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang
mengitari semua komunikasi. Ketiga, dalam hal-hal yang dari iman dan
tingkah laku, orang-orang Kristen berbeda dengan apa yang Alkitab
ajarkan; komitmen kepada otoritas Alkitab bukanlah usaha perlindungan
terhadap ketidak-setujuan. Keempat, ada bahaya yang sungguh-sungguh
bilamana kita membingungkan otoritas-otoritas, yaitu otoritas dari Alkitab
dan otoritas dari penafsiran perorangan akan Alkitab, bilamana pertanyaan
hermeneutik tidak diperhatikan.
Interpretasi Alkitab meliputi 3 (tiga) aspek yang perlu diperhatikan, yaitu:
antara penulis, teks, dan pembaca. Penulis mengekspresikan pesan kepada
pembaca melalui teks yang ditulisnya. Arah komunikasi bersifat satu arah,
bergerak dari penulis kepada pembaca. Pembaca tidak dapat berkomunikasi
dengan pengarang seperti lazimnya dalam setiap komunikasi, maka respons
atau efek diharapkan muncul sebagai akibat proses komunikasi. Banyak
kritikus berpendapat bahwa penafsiran yang objektif tidak mungkin
dilakukan dan makna yang dimaksud penulis telah hilang selamanya.
Dengan demikian setiap komunitas menyediakan tradisi untuk menuntun
pembaca dalam memahami suatu teks, dan inilah yang menghasilkan
makna. Implikasinya, makna tersebut berbeda-beda di setiap komunitas.
Jadi, pada kenyataannya setiap teks dapat memiliki beragam makna, dan
setiap makna itu sah bagi suatu perspektif pembaca atau komunitas
tertentu.27
Karakteristik Hermeneutika Postmodern
Secara umum, karakteristik hermeneutika Postmodern, antara lain:
Pertama, hal atau peristiwa tidak mempunyai arti yang intrinsik pada
dirinya, yang ada hanyalah penafsiran yang terus-menerus terhadap realitas
dan dunia. Kedua, penafsiran-penafsiran tersebut membutuhkan penelitian
sesuai dengan konteksnya, sedangkan kita yaitu bagian dari konteks itu
sendiri. Ketiga, penafsiran tidak tergantung kepada faktor objektif dari teks
atau pengarangnya, tetapi kepada pandangan relatif dari penafsir. Keempat,
bahasa tidaklah netral melainkan relatif dan dipakai untuk menyampaikan
suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu.28
Problema Hermeneutika Postmodern
Dalam Studi Hermeneutika saat kini, tak bisa dilepaskan dari pengaruh
Posmodern. Pendekatan hermeneutika dibawa kepada pendekatanpendekatan ilmu sastra yang dikenal dengan nama-nama: Reader-response,
deconstruction, feminist criticism, ideological criticism, autobiographical criticism, dan lain sebagainya. Dengan munculnya reader-response
criticism maka terjadilah pergeseran paradigma aktivitas membaca teks.
Tiap orang dapat membaca Alkitab dan berhak menafsirkan artinya
sebagaimana ia atau golongannya mengartikannya.
Namun percu dicatat, bahwa penafsiran tanpa hermenutika yang benar
menimbulkan problema serius. Munculnya publikasi biblika seperti
interpretasi feminis merupakan petunjuk semakin meluasnya pendekatanpendekatan Postmodern dalam dunia hermeneutika.
Hakikatnya, suatu teks merupakan dasar pemaknaan teks. Tidak salah jika
dikatakan bahwa hermeneutika bergantung pada konsep tentang teks.29
Dengan melalaikan maksud asli teks Alkitab akan menimbulkan krisis yang
dalam banyak cara menimbulkan krisis-krisis teologi yang lain. George M.
Landes mengatakan bahwa krisis yang paling dasar dalam studi-studi
biblikal haruslah ditempatkan dalam disiplin hermeneutika.30
Friedrich Schleiermacher (1768-1834), pemikir utama jalur hermeneutika
yang berorientasi pada penulis terkenal sebagai: to reproduce the whole
internal process of an author's way of combining thoughts... Explanation of
words and contents are not themselves interpretation but only elements of
it.31 William Dilthey (1833-1911) dan E.D. Hirsch32 serta pakar lainnya
kemudian berjalan di atas landasan yang telah dibangun Schleiermacher.
Hans-Georg Gadamer membuka jalan terhadap pendekatan yang menekankan partisipasi pembaca dalam memberi makna suatu teks. Jürgen
Habermas sendiri menghargai dan menyetujui sikap Gadamer.
LANDASAN PEMIKIRAN JÜRGEN HUBERMAS
Untuk memahami pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan
Jürgen Hubermas yang memiliki relasi dengan hermeneutika, maka terlebih
dahulu perlu menganalisis riwayat hidup, latarbelakang pemikirannya, dan
kerangka hermeneutiknya.
Riwayat Hidup
K. Bertens meringkaskan riwayat hidup Jürgen Habermas dalam
buku Filsafat Barat Abad XX, sebagai berikut:
Jürgen Habermas dilahirkan di Gummersbach tahun 1929. Di
Universitas kota Gottingen, ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah
dan filsafat (a.l. pada N. Hartmann) dan juga mengikuti kuliah di
bidang psikologi dan ekonomi. Sesudah beberapa waktu di Zurich, ia
meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn. Tahun 1954 ia meraih
gelar 'doktor filsafat,' berdasarkan sebuah disertasi tentang Das
Absolute und die Geschichte, suatu karya yang masih secara
mendalam dipengaruhi oleh filsafat Heidegger.33
Habermas sangat populer di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh
beberapa golongan dianggap sebagai ideolog mereka. Ia yaitu salah
seorang filsuf Jerman paling terkemuka dalam era 1970-an. Pada tahun
tersebut ia menerbitkan buku Protesbewegung und Hochschulreform, suatu
buku yang menjadi best-seller di Jerman. Salah satu kritik yang menarik
atas Kebenaran dan Metode berasal dari Jürgen Habermas.
Latarbelakang Pemikiran Habermas
Jürgen Habermas (1929- ), tidak diragukan lagi menjadi salah
satu filsuf terbesar abad ini. Sebagai pemikir generasi baru (generasi kedua)
Mazhab Frankfurt (Frankfurt School),34 Habermas berusaha meneruskan
pemikiran para pendahulunya (M. Horkheimer, Th. Adorno, H. Marcuse),
sekaligus mengusulkan proyek-proyek baru yang lebih otentik. Meskipun
gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutika, namun ideidenya tersebut memberi warna pada pustaka hermeneutika.
Tidaklah mudah memahami secara tepat dan sistematis seluruh
pemikiran atau gagasan Habermas, yang luas dan mendalam; lagi pula
pemikirannya amat dinamis dan terus berkembang hingga kini. Untuk
memahami gagasan-gagasannya, maka harus terlebih dahulu menempatkan
seluruh pemikirannya dalam konteks Teori Kritis yang ditawarkan Mazhab
Frankfurt, bahkan lebih jauh lagi dalam tradisi pemikiran Hegelianisme,
Marxisme dan psikoanalisis Sigmund Freud. Ketiga pemikiran kritis
tersebut memahami kata kritik secara berbeda.
Hegel memahami kritik sebagai refleksi atau refleksi diri atas
rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi
yang menghambat proses pembentukkan-diri dari rasio dalam
sejarah. Karl Marx sebagai seorang Hegelian, memahami kritik
sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan alienasi yang
dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat.
Sigmund Freud memahami kritik sebagai pembebasan individu dari
irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi
kesadaran.35
Habermas juga amat dipengaruhi oleh pragmatisme Dewey, filsafat
analisis-nya Wittgenstein dan J.L. Austin, serta banyak pemikir lainnya.
Oleh karena itu, dapatkah dimunculkan dimensi-dimensi hermeneutik-
teologis dari Teori Kritis Habermas ini?36 Selain itu, tidak mungkin
memahami pemikiran Habermas tanpa menyadari konteks kehidupan
bangsa Jerman pada masa mudanya. Habermas dibingungkan pertanyaan,
mengapa bangsa Jerman, yang melahirkan gagasan-gagasan kemanusiaan
yang unggul, mulai dari Kant sampai Marx dengan tema-tema emansipasi,
kebebasan, sekaligus menyediakan lahan subur bagi Hitler dan Nazisme?37
Kerangka Hermeneutika Habermas
Meskipun gagasan-gagasan Jürgen Habermas tidak berpusat pada
hermeneutik, dan karya-karyanya-pun tidak secara khusus membicarakan
hermeneutik sebagai ide tunggalnya, namun pemikiran-pemikirannya itu
mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutikanya dapat ditemui
di dalam tulisannya berjudul Knowledge and Human Interest.38 Habermas
mengikuti tiga bentuk penyimpulan, yaitu: deduksi, induksi dan abduksi
atau proses abdutif.39
Dalam penyelidikan ilmu-ilmu hermeneutik, ia tertarik untuk
menyingkapkan kerangka metodologis dan kepentingan yang menentukan
dalam ilmu hermeneutik. Bagi Habermas, klaim-klaim pengetahuan dalam
ilmu-ilmu hermeneutik grasp interpretations of reality with regard to
possible intersubjectivity of action-orieting mutual understanding specific
to a given hermeneutic sating point.40 Ia memusatkan kritik dan studinya
pada pemikiran hermeneutik Dilthey, bahwa pemahaman hermeneutik
harus mengintegrasikan ketiga kelas kehidupan, yakni: bahasa, tindakan
dan pengalaman. Habermas sendiri menyetujui sikap Gadamer yang
menentang pendirian objektivisme. Ia juga menghargai usaha Gadamer
merefleksikan kesadaran diri hermeneutis, sekaligus setuju pada pendapat
Gadamer mengenai ketergantungan subjek yang berbicara dengan
bahasanya.41
Menurut Habermas, hermeneut atau penafsir tak dapat memahami
sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat
diinterpretasi. Hermeneutika membutuhkan pemahaman tentang makna
yang mampu mengartikan hubungan-hubungan simbol sebagai hubungan
fakta. Habermas harus melawan klaim Gadamer bahwa hermeneutik
memiliki arah atau penekanan yang universal karena hermeneutika berpusat
pada bahasa.42 Yang ditakutkan oleh Habermas yaitu terjadinya pseudocommunication yang memungkinkan terjadinya “komunikasi yang
terdistorsi secara sistematis.” Ia berpendapat bahwa bahasa itu sendiri
didominasi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan satu-satunya jawaban yaitu
kritik ideologi pada inti hermeneutika. Ketimbang mengandaikan sebuah
hermeneutika yang universal, Habermas menawarkan dipakainya Depth
Hermeneutics yang diyakininya tidak akan mengalami distorsi yang muncul
dari luar. Habermas menulis sebagai berikut:
Skeptisisme Postmodern menghasilkan dunia yang selalu dipenuhi
pluralitas yang saling bertentangan dan tak pernah selesai. Komitmen
kepada Allah dalam Kristus, mengharuskan kita berdiri teguh melawan
skeptisisme radikal postmodern, yakni lenyapnya metanaratif - “titik pusat.”
Namun harus selalu siuman dan patut dicatat bahwa suatu faham baru
selalu ada sisi postif dan negatifnya.
Berkaitan dengan hal di atas, telah bermunculan pemikir-pemikir
dari kaum injili yang menggunakan tiga metode pendekatan terhadap
semangat postmodern, yakni: akomodasi, sintesis juga kontra-postmodern.
Fakta menunjukan bahwa kritik postmodern dalam beberapa bagian lebih
sesuai dengan pemahaman iman Kristen. Selama kita mengakui validitas
keyakinan-keyakinan kristiani secara absolut, metanaratif, keyakinankeyakinan tersebut pasti mengendalikan penafsiran. Hanya dengan
mengidentifikasikan mereka apa adanya, suatu perkiraan terhadap
kebenaran secara teologis dan budaya, barulah kita dapat tetap
menempatkan mereka di dalam perspektif postmodern yang benar.44
Postmodern menolak anggapan pencerahan bahwa pengetahuan itu
pasti dan kriteria kepastian itu terletak pada rasio manusia. Iman Kristen
juga menolak kalau metode ilmiah dan rasional itu dianggap sebagai satusatunya kriteria kebenaran. Sebagaimana dikatakan oleh Blaise Pascal,
“Hati manusia mempunyai logikanya sendiri yang tidak dapat dipahami
oleh rasio manusia” (bnd. Ams 3:7; Ul 29:29; Flp 4:7; 1Kor 13:12).
Berkaitan dengan hal inilah penulis mengamati adanya dimensi-dimensi
gagasan hermeneutik posmodern Jürgen Habermas yang dapat
didistribusikan ke dalam hermeneutis-teologis.
Kritik Atas Positivisme
Pada tahun 1960-an di Eropa, muncul sebuah perbantahan hebat
mengenai positivisme, yang dikenal dengan nama Possitivismusstreit.
Diskusi ini menempatkan metode ilmu sosial sebagai bahan pembicaraan.
Semula Theodor W. Adorno berdebat dengan Karl Popper, yang masingmasing mewakili pendirian kritis-dialektis dan pendirian positivistis.
Setelah itu tampil Hans Alber dan Jürgen Habermas. Perdebatan ini
mempertajam permasalahan dan pemikiran masing-masing pihak.45
Sejak awal Habermas menempatkan pendiriannya dalam alur
pemikiran Mazhab Frankfurt, yang berjuang menentang positivisme dan
objektivisme. Habermas mengikuti pemikiran para pendahulunya,
menegaskan penolakannya terhadap positivisme, yang berusaha
memisahkan ilmu dan kepentingan (interest), agar ilmu bisa hadir secara
netral tanpa pemihakan (disinterested). Akibatnya ilmu (theoria) dipisahkan
secara radikal dengan praksis dan menjadi a-historis secara a-sosial.
Menurut Habermas, kepentingan atau minat yaitu orientasi dasar
yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang
mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia, yaitu kerja atau karya
dan interaksi. Sebagai contoh misalnya: sesuatu yang diminati atas dasar
penalaran yaitu masuk akal. Jadi, dari hal yang menyenangkan bisa
muncul kecenderungan untuk sesuatu yang baik dan masuk akal.46 Tetapi,
mengapa kepentingan atau minat dimasukkan ke dalam hermeneutik? Bagi
Habermas, pengetahuan dan minat itu pada dasarnya yaitu satu dan
keduanya berpadu atau berbaur menjadi satu dalam bahasa yang dipakai.
Akibat semua tindak-tanduk positivisme ini, Habermas melontarkan
tuduhan bahwa ilmu–yang bebas–nilai pada akhirnya hanya ingin
mempertahankan status-quo masyarakat. Baginya, usaha memperoleh
pengetahuan yang objektif, yang terbebas dari kepentingan-kepentingan,
sebenarnya usaha tersebut didorong oleh sebuah kepentingan yang lebih
dalam, yaitu agar dicapai sebuah teori murni.47
Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang utama. Untuk
mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan pengarahan,
yaitu semacam mekanisme tindakan yang terkoordinasikan. Sehingga, walaupun mempergunakan konsensus tertentu, tetap dapat mengkoordinir
diri sendiri ke arah tujuan tertentu.
Teori Kritis
Habermas mengajukan sebuah pemecahan epistemologis melalui
apa yang kemudian disebut Teori Kritis. Bagi Habermas, proses
memperoleh pengetahuan selalu dilandasi kepentingan tertentu. Teori Kritis
senantiasa bersifat historis, berpijak pada realitas konkret, serta menjadi
kritik imanen atas tatanan yang melanggengkan status-quo. Namun yang
menjadi sasaran kritis teori ini bukan hanya realitas sosial, tetapi juga
pendekatan-pendekatan ilmiah atas realitas sosial itu sendiri.
Bagi Habermas, Teori Kritis mengambil sikap kritis baik terhadap
ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya.
Ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu
menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena
pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks
sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa
memperhitungkan asal-usul historis (dalam arti sosiologi reflektif).48
Ilmu tidak pernah bebas-nilai, termasuk pula teologi. Selain itu
Habermas juga mencela kecenderungan positivisme yang berusaha
melepaskan teori dari praksis, demi memperoleh sebuah teori murni. Tak
jarang pula teologi Kristen terjebak dalam kecenderungan semacam ini.
Dengan demikian jelaslah bahwa Teori Kritis berurusan dengan
usaha memperoleh pengetahuan (epistemologi) dengan cara-cara yang
kritis, serta peka terhadap kepentingan manusiawi di balik setiap upaya
ilmiah. Dalam hal ini, Habermas sendiri membedakan pengetahuan dalam
tiga cakupan: ilmu yang memanfaatkan keterangan teknis yang diperoleh
secara langsung atau secara analitis; sejarah, yang menafsirkan bahasa
sesuai dengan Gadamer; dan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan perenungan untuk membebaskan atau meng-“emansipasi” orang-orang dari
dominasi kekuatan dan-kekuatan-kekuatan sejarah.49
Rasio dan Praksis
Habermas juga mempersoalkan makna Rasio dalam seluruh
percakapan yang sedang diikutinya. Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt
rasio telah menjadi alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah
sistem. Rasio semacam ini oleh Horkheimer disebut rasionalitas-bertujuan.
Yang dimaksud di sini, rasio sekedar menjadi alat (instrument) belaka di
luar dirinya sendiri, yaitu kepentingan-kepentingan ideologis. Akhirnya,
menurut Marcuse, “masyarakat modern yaitu rasional secara parsial
tetapi irasional dalam keseluruhan.” Rasionalitas yang irasional!50
Mazhab Frankfurt berhasil menunjukan bahwa kesalahan ini terjadi
karena rasio dipisahkan dari praksis, yaitu tindakan manusia untuk
merealisasikan hidup yang baik. Rasio dimurnikan dari unsur penilaian dan
moralitas. Secara epistemologis akhirnya mereka sendiri pun pesimis
terhadap Teori Kritis, dengan kekuatiran bahwa rasionalitas yang kritis pun
bisa membeku dan menjadi ideologis. Di sinilah persimpangan muncul;
Habermas menjalani arah lain yang jauh lebih optimis terhadap rasionalitas.
Permasalahan rasio ini oleh Habermas diletakan dalam konteks yang
lebih luas, yaitu nisbah antara teori dan praksis. Bagi Habermas,
pengetahuan bukanlah persoalan kontemplasi, melainkan mendorong
praksis perubahan sosial. Praksis di sini yaitu tindakan dasar manusia
yang didorong oleh kesadaran rasional. Dari Karl Marx, Habermas
mewarisi konsep tentang kerja sebagai syarat keberadaan manusia dan tidak
terikat pada bentuk-bentuk masyarakat. Kerja yaitu proses yang terdapat
antara manusia dengan alam, dimana manusia melalui tindakannya
menengahi, mengatur dan mengawasi pertukaran barang-barang yang
mereka miliki dengan alam. Jadi, kerja mempunyai fungsi sintesis, namun
juga dapat dijauhkan dan diasingkan dari manusia.51 Dalam studinya atas
pemikiran Hegel, Habermas menemukan bahwa praksis pada dasarnya tidak hanya berarti kerja (arbeit), namun juga komunikasi (communication).
Namun Habermas juga mengritik Marx dengan mengatakan bahwa Marx
telah menipu dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan hakikat
refleksi yang ia kembalikan ke kerja karena Marx kemudian menarik proses
refleksi ke tingkat tindakan instrumental.52
Harus mulai diusahakan sebuah rancang bangun model Gereja
sebagai sebuah komunitas aksi komunikatif,
53 dimana diskursus imankomunikasi iman-menjadi praksis bersama. Konsep pokok dalam praksis
yaitu interpretasi. Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang
utama. Untuk mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan
semacam mekanisme praksis yang terkoordinasikan. Sehingga, walaupun
mempergunakan konsensus tertentu, kita dapat mengkoordinir diri kita
sendiri ke arah tujuan tertentu.
Habermas memperlihatkan bahwa praksis berdasarkan rasio
instrumental bisa menjadi praksis dari manusia, namun tidak boleh menjadi
praksis terhadap sesama. Kehebatan Habermas yaitu mengajukan secara
konsisten perlunya pemakaian praksis melalui paradigma komunikasi
daripada sekedar memakai paradigma kerja.
54
Refleksi Diri
Dalam Knowledge and Human Interest Habermas melontarkan tesis
keempatnya yang berbunyi, “in the power self-reflection, knowledge and
interest are one.”
55 Di sini Habermas berdiri dalam tradisi pemikir Jerman
Fichte bahwa rasio mengandung dua segi, yaitu: kehendak dan kesadaran.
Bagi Hegel, rasio dipandang memiliki kemampuan untuk
menemukan hambatan yang merintangi perkembangan diri untuk mencari
otonomi kedewasaan. Oleh Habermas, kedewasaan diartikan sebagai
konsensus-bebas-hambatan, yang dicapai melalui refleksi-diri, kita terbebas
dari dogmatisme, “Self-reflection is at once intuition and emancipations, comprehension and liberation from dogmatic dependence.”
56 Dalam banyak
hal, para interpreter tidak dapat bebas dari titik mula hermeneutika, yaitu
refleksi diri. Habermas mempertahankan pendapatnya bahwa minat yang
tertinggi dan dasar dari semua minat yang lain yaitu minat terhadap diri
sendiri. Lalu, apakah minat terhadap diri sendiri akan menjadi faktor
penentu dalam pemahaman epistemologi seperti hermeneutika? Habermas
mengatakan bahwa penalaran mempunyai minat praktis yang menjadi milik
penalaran itu sendiri. Ini berarti bahwa bila kita berefleksi, maka refleksi itu
sekaligus merupakan intuisi dan emansipasi, pemahaman dan kebebasan
dari ketergantungan kepada dogma. Dengan memahami diri sendiri maka
kita juga memahami dunia.
Interpreter tidak dapat mengawali interpretasinya tanpa terlebih
dahulu melibatkan dirinya dalam refleksi diri. Inilah alasan Habermas
mengatakan bahwa “membuka rahasia interpretasi terhadap diri sendiri
yaitu tugas hermeneutika.”57 Sebab itu, diri sendiri menjadi titik tolak
interpretasi, dan ini menyebabkan hermeneutika menjadi penting.
Habermas memperkaya konsep refleksi-diri ini dengan teori
psikoanalisis-nya Freud.58 Bagi Paul Ricoeur, ide-ide Freud melengkapi
para hermeneut dengan landasan yang kokoh untuk interpretasi.59 Bahkan,
mimpi juga memerlukan hermeneutik batin dan refleksi diri.
Praktek penafsiran mimpi merupakan sebuah bentuk hermeneutika
yang amat mendalam. Karena, berbeda dengan hermeneutika biasa yang
memakai bahasa sesehari sebagai teks, panafsiran mimpi mempergunakan
bahasa yang kacau sebagai teks yang perlu dianalisis.60 Dalam hal ini
hermeneutika mempunyai tugas ganda, yaitu menempatkan dirinya sendiri
sebagai orang yang bermimpi untuk kemudian menyibukkan diri dalam
penjelasan kausal dan ilmiah, serta interpretasi. Ia menjadi semacam
analisis yang harus menyusup masuk ke bawah isi yang mewujud dari teks
mimpi, yang menyembunyikan kejanggalannya dan analisis harus bisa
menguraikan kejanggalan tersebutTidak ada satu batas pun dalam mimpi. Berdeda pula dengan
hermeneutika biasa yang menghadapi teks transparan, psikoanalisis
berhadapan dengan teks yang terselubung. Karena itu, Habermas menyebut
psikoanalisis sebagai Hermeneutika Dalam/Batin (Tiefenhermeneutik atau
Dept Hermeneutics). Terhadap bentuk atau objek semacam itu interpreter
diharapkan menghubungkan dan menjalin pola-pola tindakan dalam
upayanya untuk menguraikan misteri dan mencari penjelasannya melalui
makna yang tersembunyi di balik bahasa atau mimpi.
PENUTUP: EVALUASI DAN REFLEKSI
Pertama, konteks sosial postmodern terdiri dari banyak bagian dan
berubah-ubah, yang memengaruhi hermeneutika seseorang. Hermeneut
menjadi titik tolak hermeneutika, dan ini menyebabkan hermeneutika
menjadi penting. Karenanya, bila hermeneut meninggalkan makna teks dan
maksud penulis, maka ia akan tenggelam dalam lautan relativitas
postmodern, dan tak ada dimensi metanaratif yang absolut.
Kedua, pewahyuan ilahi itu sendiri terkondisi secara budaya karena
dikomunikasikan kepada berbagai budaya dalam berbagai bahasa yang
tidaklah netral dan tak dapat dihapuskan oleh postmodern.
Ketiga, teologi kritis bisa memberi kemungkinan mengerjakan refleksi-diri
terus-menerus. Kritis atas kenyataan dunia harus dibarengi dengan kritik
terhadap diri sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah pola hermeneutik yang
kritis atas teks-teks mapan yang ada.
Keempat, jika hendak menginterpretasi secara benar dan tepat, maka kita
harus mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi
dengan tindakan di sisi lain. Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak
melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang
objektif.
Kelima, bahasa mencakup seluruh makna dan oleh sebab itu hermeneutika
memiliki implikasi yang universal. Pentingnya sosiologi pengetahuan
sebagai suatu sarana penafsiran.
Keenam, kekuatan-kekuatan ideologis mengendalikan hermeneutika hampir
semua orang. Calvinis atau Armenian, Reformed atau Dispensasional,
Teolog Proses atau Pembebasan, tiap komunitas orang percaya telah
memberikan kecenderungan-kecenderungan ideologis tertentu yang
menuntun penafsiran. Karenanya, hermeneutika harus membebaskan
pemahaman dari ideologi.
Ketujuh, pemahaman hermeneutik sifatnya global, yaitu mengandaikan
adanya tujuan khusus. Setiap komunikasi yang sehat yaitu komunikasi
dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa
ketakutan akan koersi, intimidasi, deceit dan sebagainya. Melalui tindakan
komunikatif, pemahaman hermeneutik mempunyai bentuk yang hidup,
yaitu kehidupan sosial Postmodern.
KEBANGKITAN ORANG MATI MENURUT
I KORINTUS 15:12-34 DAN IMPLIKASI ETISNYA BAGI
ORANG PERCAYA
DANIK ASTUTI LUMINTANG
PENDAHULUAN
Doktrin kebangkitan merupakan dasar atau sentral pemberitaan dari
iman kristen, karena itu, doktrin kebangkitan merupakan keunikan Kristen
yang tiada tandingnya. Memang, doktrin kebangkitan orang mati bukanlah
monopoli agama Kristen, karena agama-agama dan aliran lain, misalnya:
agama Islam, Hindu, Budha dan aliran kebatinan, serta agama Suku
memiliki konsep masing-masing.1 Yang jelas, bahwa doktrin Kristen
mengenai kebangkitan berbeda sama sekali dengan doktrin kebangkitan
agama-agama lain, aliran-aliran kepercayaan bahkan pandangan filsafat.
Kesamaan yang ada hanyalah kesamaan istilah, sedangkan sumber dan
konsepnya berbeda. Tetapi karena tulisan ini bukanlah studi perbandingan
agama, maka perbedaan konsep ini tidak akan dibahas lebih lanjut.
Doktrin kebangkitan menurut ajaran kristiani yaitu doktrin yang
unik, karena Alkitab yang yaitu sumber dogma menyatakan bahwa
kebangkitan orang percaya (Gereja) yaitu kebangkitan tubuh. Tidak
ditemukan di dalam ajaran lain mana pun juga. Kebangkitan Kristus yang
menjadi dasar kebangkitan orang percaya yaitu unik. Kendatipun
demikian di kalangan Kristen sendiri masih menjadi pokok perdebatan yang
seru, antara dongeng dan fakta, antara spiritual dan jasmaniah, antara
bohong dan benar. Perdebatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman
Tuhan Yesus.2 Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pandangan atau
konsep di antara orang Kristen sendiri. Perbedaan-perbedaan yang ada ini
disebabkan oleh perbedaan hermeneutika yang dipakai, dan perbedaan latar
belakang yang mempengaruhi masing-masing pandangan tersebut, bahkan
perbedaan konteks zaman dan tempat dimana doktrin itu dibicarakan atau
diajarkan. Karena itu, penulis sengaja membahas lagi topik kebangkitan
orang mati ini dalam 1Korintus 15:12-58 untuk menggali kebenaran
alkitabiah mengenai doktrin ini, sekaligus menemukan implikasinya etisnya
bagi kehidupan orang percaya (Gereja).
ANALISIS SURAT IKORINTUS
Untuk memahami 1Korintus 15:12-34, sebelum penulis membahas
kebangkitan orang mati secara mendalam, penulis akan terlebih dahulu
memaparkan mengenai latarbelakang 1Korintus, baik analisis konteks
historis secara umum dan analisis konteks historis secara khusus maupun
analisis struktur teks dan paralelnya.
Analisis Latarbelakang Surat 1Korintus
Analisis latarbelakang surat 1Korintus, secara khusus penulis akan
membahas dua hal penting, yaitu: analisa konteks historis secara umum dan
analisa konteks historis secara khusus. Adapun pemahaman kedua hal
tersebut yaitu sebagai berikut:
Analisis Konteks Historis Secara Umum
Korintus yaitu kota yang berada di wilayah Akhaya, dekat selat yang
memisahkan tanah daratan Yunani dari Peloppones, yaitu sebuah
semenanjung bagian selatan Yunani.3 Pada tahun 146 SM., kota Korintus
dihancurkan oleh tentara Romawi, namun kota ini dibangun kembali sekitar
tahun 50 SM dan menjadi ibu kota propinsi Akhaya. Kota Korintus yaitu
kota yang sangat strategis, baik di bidang ekonomi maupun militer. Selain
kota ini yaitu kota dagang, kota ini juga memiliki dua pelabuhan yang
sangat ramai, karena hampir semua kapal, baik kapal perang maupun kapal
dagang pasti melewati kota Korintus.4
Penduduk kota Korintus yaitu sebagian besar pendatang dari
beberapa wilayah jajahan Romawi, yaitu orang Yunani asli dan bangsabangsa Timur pada umumnya, termasuk orang Yahudi (band. Kis. 18:4).
Sebagian besar penduduknya yaitu para cerdik pandai (pengaruh ilmu
pengetahuan Yunani) dan kota Korintus yaitu kota yang kaya karena
merupakan pusat perdagangan, namun penduduknya memiliki moral yang
buruk. Penduduk kota ini terdiri dari pelbagai kelompok masyarakat yaitu
orang Yunani, Romawi dan Yahudi. Hal ini membuktikan bahwa kota ini
yaitu majemuk dalam hal suku bangsa, budaya maupun agama. Di kota
ini, orang Yahudi dan agamanya yaitu golongan yang cukup besar, hal ini
terbukti dengan adanya sinagoge-sinagoge (tempat ibadah).5
Jemaat Korintus didirikan oleh Paulus pada perjalanan misinya yang
kedua (Kis 18). Selama kurang lebih 1