alkitab digital. 1
Ibadah yaitu bagian penting dari hidup keagamaan seseorang.
Tidak pernah terjadi dalam dua dekade yang lalu, dimana ibadah menjadi
hangat dibicarakan dalam kekristenan seperti saat ini. Tidak pernah
sebelumnya ibadah menjadi sesuatu yang begitu rumit, sementara itu
banyak orang keluar dari satu Gereja kepada Gereja yang lain untuk
mencari dan mengalami ibadah yang benar, yang telah dimodifikasi untuk
menjawab persoalan manusia, demikian pendapat Fischer, seorang
penyanyi dan pengarang lagu serta penulis buku Fearless Faith.
1
Selanjutnya dikatakan: statistik menunjukkan bahwa Gereja-gereja besar
bertumbuh bukan karena pertobatan tetapi bentuk ibadah yang lebih baik
dan populer bagaikan pipa penyedot yang menarik pengunjung ke dalam
Gereja yang tadinya kecil, kemudian menjadi besar. Bahkan pemberitaan
Firman Tuhan yang tadinya begitu penting, sekarang menjadi hanya
sebagai tambahan kepada pujian dan penyembahan.2 Menurut Fischer: Many people go to church today more to experience God than they go to
hear about Him, and they feel that they experience God mostly in the
music.
3 Hal ini menunjukkan adanya kehausan yang dalam dari umat Tuhan
untuk bertemu dengan Allah-nya dalam ibadah.
Pemahaman tentang pengertian ibadah dalam Perjanjian Baru (PB)
harus dimulai dengan memperhatikan kata-kata tertentu yang biasa
digunakan dalam ibadah PB. Menurut Reimer, kata ibadah (atau ibadat)
yaitu istilah untuk menyebut suatu perbuatan yang menyatakan bakti
kepada Allah, yang didasari oleh ketaatan mengerjakan perintah-Nya.4 Kata
leiturgia berasal dari kata kerja leiturgeo, artinya melayani, melaksanakan
dinas atau tugas, memegang jabatan.
5 Secara harafiah kata leiturgia berasal
dari dua kata Yunani, yaitu leitos yang berarti rakyat, umat; dan kata ergon
yang berarti pekerjaan, perbuatan, tugas. Jadi leiturgia berarti melakukan
suatu pekerjaan untuk rakyat.
6 Menurut Abineno yang dikutip Reimer,
ibadah yang biasanya digunakan dalam PB bahasa Indonesia, yaitu
terjemahan tiga istilah Yunani, sebagai berikut: leiturgi (Kis 13:2)…
beribadah kepada Allah; latreia (Rm 12:1)… mempersembahkan seluruh
tubuh: threskeia (Yak 1)… pelayanan kepada orang yang dalam
kesusahan.7 Dengan demikian, seluruh istilah ini yaitu menunjuk kepada
aktifitas manusia. Dengan kata lain, pengertian ibadah PB menunjuk
kepada aktifitas ibadah manusia sebagai respons terhadap karya
keselamatan Kristus, yang yaitu penggenapan ibadah Perjanjian Lama.
Tulisan ini bertujuan memaparkan apa itu ibadah dalam PB dan bagaimana
umat Tuhan beribadah serta kontribusinya bagi ibadah masa kini.
DASAR IBADAH
Dasar ibadah PB yaitu pada perjanjian Allah yang digenapi di
dalam pengurbanan Kristus di kayu salib. Kristus yaitu kurban yang sempurna. Kristus yaitu penggenapan ibadah PL. Searah dengan
pernyataan di atas, Lumintang menuliskan sebagai berikut:
Kristus menggenapi tabernakel dan Bait Allah dengan jalan Pribadi
Kedua Allah Tritunggal menjadi manusia dan tinggal di antara kita
(manusia). Kehadiran Allah menjadi nyata di dalam Pribadi Yesus.
Yesus yaitu Allah yang tinggal di antara kita. Karena itu, ibadah
kepada Allah hanya terjadi di dalam dan melalui Tuhan Yesus.8
Peterson juga menuliskan bahwa: the New Testament begins with
the assurance that all history has been moving towards Jesus Christ as its
goal and that he is the final and definitive manifestation of God’s presence
with his people,
9 maka dasar ibadah Perjanjian Baru ada pada inkarnasi
Yesus Kristus, sebagai penggenapan nubuatan mesianik Perjanjian Lama.
Dasar ibadah PB dapat ditemukan melalui mencermati sikap Yesus
terhadap ibadah dan makna karya Kristus. Sikap Yesus terhadap ibadah,
pertama; Yesus mendukung ibadah PL.10 Hubungan Yesus dengan Bait
Allah, synagoge, dan hari raya Yahudi membuktikan kesimpulan di atas.
Dalam Injil dicatat bahwa Yesus berada Bait Allah (Luk 2:21-25; Yoh
7:14-49; 10:22,23). Tetapi tidak dicatat bahwa Yesus mempersembahkan
kurban binatang atau menyetujui system kurban. Menurut Lukas, Yesus
secara regular mengunjungi synagoge pada hari Sabat (Luk 4:16). Yesus
juga menghadiri perayaan hari raya Israel (Yoh 7:2; 10:22). Detail dari
Yesus merayakan paskah sebelum perjamuan akhir membuktikan
pengetahuan dan penghargaan Yesus terhadap hari raya besar Israel (Mat
26:1-30; Mrk 14:1-26; Luk 22:1-23; Yoh 13:1-30).
11
Kedua, Yesus memandang institusi ibadah dalam PL menunjuk
kepada diri-Nya.12 Contoh; pembersihan Bait Allah harus dilakukan
bersama dengan pandangan tentang berakhirnya tempat untuk pengurbanan.
Jadi makna sesungguhnya dari tindakan Yesus yaitu untuk menyatakan
bahwa ritual tradisional kurban yaitu tidak cukup atau tidak mungkin.
Dengan menghentikan system pengurbanan binatang, Yesus menunjuk diri-
Nya sebagai penggenapan kurban yang sempurna.13 Dengan kata lain,
Yesus yaitu anak domba yang sempurna, dan yaitu kurban yang
sempurna.
Ketiga, Yesus berhak menginterpretasi tradisi ibadah Yahudi.14
Contoh; konfrontasi Yesus dan orang Farisi tentang hari Sabat. “Lalu kata
Yesus kepada mereka: Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan
manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia yaitu juga Tuhan atas hari
Sabat” (Mrk 2:27,28). Tentang konfrontasi ini, Webber menyatakan: Jesus
willingness to break the rulers of Sabbath carried over into His attitude
toward the regulations that governed cleannes and uncleanness (Mrk 7:1-
23), as well as the ruler regarding fasting dan prayer (Mat 6:5-8, 16-18).15
Inti dari pembicaraan Yesus dengan orang Farisi di atas yaitu proclaiming
Himself–His lordship, His place in the kingdom, His place in the revelation
of God in history.
16 Dalam hal ini, Yesus mempersiapkan jalan perubahan
yang signifikan dalam ibadah bagi umat yang baru sebagai pengenapan PL
di dalam diri-Nya.
Di dalam ibadah PL, berisi perayaan peristiwa di Sinai, sedangkan
ibadah PB yaitu proklamasi kisah Keluaran yang kedua, masuknya
Kristus ke dalam dunia untuk menebus umat-Nya dari ikatan dosa.17
Kelahiran Kristus yaitu wujud dari sejumlah penggenapan nubuatan
dalam Perjanjian Lama. Kematian dan kebangkitan Yesus menghasilkan
satu respons ibadah yang menekankan penghancuran kuasa dosa dan maut.
Tema ini yaitu fokus khotbah mula-mula dan pada perjamuan Tuhan.
Pencurahan Roh Kudus bermanifestasi di dalam hidup manusia baru oleh
karya Roh di dalam nama Yesus dan untuk menyembah-Nya.
Dengan demikian, isi ibadah PB yaitu proklamasi dan respons
terhadap karya keselamatan yang dikerjakan Kristus melalui kematian dan
kebangkitan, serta oleh karya Roh Kudus di dalam hidup orang percaya.Mengerti elemen-elemen ibadah dalam Perjanjian Baru tidak dapat
dipisahkan dari peristiwa Pentakosta dalam Kisah Para Rasul 2, dimana
Gereja lahir dan dibangun, pertama-tama melalui khotbah Petrus yang
mengakibatkan kurang lebih 3000 orang menerima firman dan memberi diri
dibaptis (Kis 2:14-47).
Pentakosta yaitu moment bersejarah berdirinya Gereja. Setelah
kematian, kebangkitan, dan kenaikkan Kristus ke Sorga, maka tahapan baru
sejarah kekristenan dimulai. Gereja dibangun dan didirikan oleh Roh Kudus
melalui khotbah Petrus, dimana tiga ribu orang bertobat dan menyerahkan
diri dibaptis (Kis 2:1-40).
Orang-orang yang telah menerima firman yang dikhotbahkan Petrus
memberi diri dibaptis (Kis 2:41). Mereka bertekun dalam pengajaran para
Rasul dan dalam persekutuan. Mereka selalu berkumpul untuk
memecahkan roti dan berdoa (Kis 2:42). Inilah situasi ibadah Gereja
pertama. Webber mengomentari teks ini dengan menyatakan: some scholar
have argued for a twofold sequence of Word and sacrament.
18 Hal ini
menyatakan bahwa ibadah pada Gereja mula-mula berakar pada pengajaran
firman Tuhan dan sakramen.
Yesus Kristus yaitu kegenapan ibadah PL. Maka setelah pelayanan
Yesus di dunia ini, pelayanan-Nya dilanjutkan oleh para murid, dan
kemudian oleh Gereja sebagai tubuh Kristus. Itulah sebabnya isi ibadah
pada Gereja mula-mula yaitu merupakan respons orang percaya terhadap
karya Kristus, yang datang ke dalam dunia untuk membebaskan dan
menyelamatkan manusia dari ikatan kuasa dosa. Berdasarkan penelitian
tentang ibadah di dalam seluruh PB, Segler menuliskan sepuluh elemen
ibadah sebagai berikut:
(1)Musik memiliki tempat sentral di dalam ekspresi pujian Kristen.
Mereka menyanyikan mazmur dan puji-pujian serta lagu-lagu rohani
dari hati mereka kepada Tuhan (Ef 5:18-20; Kol 3:16; 1Kor 14:15);
(2) Pembacaan Kitab Suci yaitu element penting dalam ibadah
Kristen mula-mula. Yesus berdiri di Synagoge, membaca kitab suci
(Kol 4:16; 1Tes 5:27; 1Tim 4:13) dan surat-surat Paulus ditulis
untuk dibacakan dalam Gereja-gereja. Tidak diragukan lagi bahwa
pembacaan kitab suci menjadi bagian dari perintah umum dalam
ibadah; (3) Doa yang telah terbukti kuasanya pada ibadah Kristenmula-mula. Kisah Para Rasul 2:42,19 menceriterakan bagaimana
keadaan jemaat mula-mula. Doa ucapan syukur, permintaan, syafaat;
(4) Jemaat berkata “Amin.” Amin yaitu kata yang biasa digunakan
jemaat dalam ibadah untuk mengekspresikan persetujuan kepada apa
yang dikatakan oleh pemimpin (1Kor 14:16); 5) Khotbah atau
Eksposisi kitab Suci yaitu bagian dari ibadah Kristen mula-mula.
(6) Nasehat yaitu esensi ibadah. Penulis kitab Ibrani merasa
nasehat penting bagi orang Kristen untuk ”saling mendorong dalam
kasih dan dalam pekerjaan baik” (Ibr 10:24); (7) Orang Kristen
memberi persembahan dalam ibadah umum (1Kor 16:2; 2Kor 9:6-7,
10-13; 2Kor 8:2-8); (8) Ibadah Perjanjian Baru dipenuhi dengan
doxology atau puji-pujian (Ef 1:3); (9) Pengakuan yang terbuka
telah menjadi hal praktis dalam ibadah Kristen mula-mula. Ada
pengakuan dosa di depan umum dan di hadapan saksi-saksi (1Tim
6:12; Rm 10:9; Yak 5:16); (10) Ibadah Kristen juga meliputi
sakramen baptisan dan perjamuan kudus. Yesus memerintahkan
umat-Nya untuk membaptis dan mengadakan perjamuan kudus.20
Basden dalam The Worship Maze, tentang elemen ibadah dalam
Perjanjian Baru menuliskan bahwa: The first disciples worshiped by means
of prayer (Acts 2:42), singing (Col 3:16), Scripture reading, preaching and
teaching (1Tim 4:13), making offerings (1Cor 16:2), and celebrating the
Lord’s Supper (1Cor 11:17-34).21 Dengan demikian, elemen penting dalam
ibadah PB seperti dipaparkan Basden yaitu lima elemen; Doa, Nyanyian,
Khotbah, Persembahan dan Perjamuan Kudus.
TUJUAN IBADAH
Tujuan ibadah PB yaitu memuliakan Allah Bapa yang menyatakan
diri di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus anak domba Allah, yang
yaitu kurban yang sempurna, tetapi juga yang yaitu imam agung dari
perjanjian yang baru. Yesus Kristus yaitu sentral dalam ibadah PB. Tidak
ada hal lain yang memotivasi orang Kristen mula-mula ketika mereka
berkumpul dan beribadah, hanya nama Yesus.22 Hal ini nampak dalam
pengucapan nama Yesus dalam doa, nyanyian yang meninggikan dan
memuliakan karya Kristus, dan dalam khotbah serta pengajaran.
IBADAH DALAM KITAB WAHYU
Prinsip-prinsip teologis yang mendasar tentang ibadah telah
dinyatakan di dalam kitab Wahyu sebagai kitab terakhir dari Alkitab. Untuk
itu perlu dicermati bagaimana ibadah di dalam kitab Wahyu.
Wahyu kepada Yohanes yaitu kitab penting tentang ibadah dalam
Perjanjian Baru. Disusun dalam bentuk drama yang agung tentang
kemenangan Kristus, hal ini dimulai dengan surat-surat yang dialamatkan
kepada tujuh jemaat di tujuh kota di Asia Kecil dan diakhiri dengan
penglihatan tentang Yerusalem baru dimana Allah tinggal di tengah umatNya (21:3), dalam menggenapi formulasi ringkas para nabi Israel tentang
perjanjian, “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi
umat-Ku” (Yer 31:33).23 Tentang ibadah dalam kitab Wahyu, Peterson
menuliskan bahwa,
A major theme of this book is the distinction between true worship
and idolatry. John devides humanity into two categories, the
worshippers of the dragon and the beast and the worshippers of God
and the Lamb. The contrast between the two groups of worshippers
reaches its climax in two visions at the end of the book.24
Untuk memahami penjelasan lebih lanjut, penulis akan memaparkan
dasar teologi ibadah.Allah yaitu sumber segala wahyu, wahyu Kristus juga yaitu apa
yang dikaruniakan Allah (1:1). Sedangkan Firman (logos) yaitu milik
Allah, maka disebut Firman Allah (1:2,9). Firman Allah sudah ada sejak
semula, maka Firman itu yaitu Allah (bnd. Yoh 1:1,2).
Allah yaitu yang dahulu ada, sekarang ada, dan yang akan datang
(1:4). Di dalam kurun waktu, Ia yaitu yang pernah ada, sekarang ada;
dalam konteks lintas waktu, Ia yaitu yang akan ada selama-lamanya. Oleh
karena sifat, kehendak, kuasa, hikmat, kekuatan, otoritas-Nya selamalamanya sama, maka Allah itu kekal adanya.
Allah yaitu pencipta segala sesuatu (3:14; 4:11). Segala sesuatu
diciptakan berdasarkan kehendak Allah (4:11). Allah menciptakan langit
dan segala yang ada di langit; bumi dan segala yang ada di dalamnya, laut
dan segala yang ada di dalamnya (10:6). Dia yang menciptakan langit dan
bumi, laut dan segala sumber air itu patut menyembah-Nya (14:7).
Allah duduk di takhta (1:4; 4:3-11; 5:1-14; 7:9-17; 8:3; 12:5; 14:3;
16:17; 19:4, 11, 12; 21:3,5; 22:1,3). Hal ini menyatakan pengontrolan,
kuasa serta wibawa-Nya. Di sekeliling takhta ada 4 makluk hidup, 24 tuatua, serta orang percaya yang tak terbilang banyaknya, juga disertai dengan
perhiasan yang indah. Semua ini bersifat rohani dan non material. TakhtaNya sudah ada sejak semula dan berada untuk selama-lamanya. Dalam
rencana Allah yang kekal, Ia ingin agar orang percaya umat tebusan-Nya
menjadi warga kerajaan-Nya dan imamat-Nya (1:6; 20:6). Untuk menjadi
warga kerajaan-Nya harus mengalami tebusan darah Kristus (1:5). Allah
yaitu Mahakuasa (1:8; 11:17) menunjukkan kuasa dan kekuatan
kesempurnaan-Nya. Allah Mahatahu, tidak ada sesuatupun di luar
pengetahuan-Nya; “Aku tahu perbuatanmu” (3:1).
Allah yaitu hakim. Ia melaksanakan penghakiman pada waktunya
(14:7). Ia adil (16:5,7); Ia mengadili seturut dengan perilaku manusia
(20:12,13). Menurut Wongso,
Jika ditinjau dari seluruh kitab Wahyu, maka pasal 2 dan 3 yaitu
penghakiman atas para pemimpin jemaat; enam malapetaka dalam
pasal 6, enam sangkakala dalam pasal 8,9,11; tujuh malapetaka
dalam pasal 15,16 ditujukan kepada orang non-percaya di sepanjang
abad, serta penghakiman atas para penganiaya jemaat; Wahyu 17:18
yaitu penghakiman atas Babel, pezinah, penyembah berhala serta
usaha dagang ilegal dan ekonomi memegang peranan paling penting;
penghakiman atas Setan (20:1-3,7,10); penghakiman ata segenap
umat manusia di dunia (20:11-15).25
Itulah sebabnya otoritas Allah nampak dengan jelas dalam
ungkapan, “Segera aku dikuasai oleh Roh dan lihatlah, sebuah takhta terdiri
di sorga, dan di takhta itu duduk Seorang Dan keempat makhluk itu
masing-masing bersayap enam, sekelilingnya dan di sebelah dalamnya
penuh dengan mata, dan dengan tidak berhenti-hentinya mereka berseru
siang dan malam: “Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa,
yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang” (4:2,8). Menurut
Scheunemann, istilah takhta menyatakan: Allah memerintah.26 Mounce
menulis bahwa: The first thing that John sees in heaven is a throne. This
symbol occurs more than forty times in Revelation. It symbolizes the
absolute sovereignty of God.
27 Istilah Takhta Allah sering digunakan dalam
literatur Yahudi, seperti; “Dalam tahun matinya raja Uzia aku melihat
Tuhan duduk di atas takhta yang tinggi dan menjulang, dan ujung jubahNya memenuhi Bait Suci” (Yes 6:1) dan di dalam Mazmur 47:8; “Allah
memerintah sebagai raja atas bangsa-bangsa, Allah bersemayam di atas
takhta-Nya yang kudus.” Dengan demikian Allah dalam konteks kitab
Wahyu yaitu pusat ibadah. Dengan kata lain, dasar Ibadah dalam kitab
Wahyu yaitu pada Allah yang duduk di takhta. Dia yang duduk di takhta
yaitu Dia yang mencipta dunia dan segala isinya. Dia yang menyatakan
diri-Nya kepada manusia, baik melalui Firman yang menjadi manusia,
maupun Firman yang tertulis. Dia yang menebus manusia dari ikatan kuasa
dosa. Hanya kepada Dia, segala puji, hormat dan kuasa serta kemuliaan,
dari sekarang sampai selama-lamanya.
Yesus Kristus
Selain Allah yang duduk di atas takhta, dalam kitab Wahyu Anak
Domba yang menunjuk kepada Kristus juga yaitu pusat ibadah. Mengapa? Mounce menjelaskan bahwa: The Lamb of Revelation is the 'Lord of lords,
and the King of kings' who wages a victorious warfare against the beast
and his confederates (17:12-14) and before whose wrath the men of earth
call upon the rocks and mountains to fall on them (6:15-17).28
Anak Domba disembah karena Dia yaitu Tuhan atas segala tuhan
dan Raja atas segala raja. Searah dengan pernyataan di atas, Scheunemann
menuliskan bahwa,
Di tengah-tengah penglihatan Yohanes tentang takhta Allah
muncullah sebagai puncak penglihatan Anak Domba Allah antara
takhta Allah dan empat zat hidup dan duapuluh empat tua-tua (5:6).
Namun sekarang Anak Domba Allah mempunyai wujud yang baru.
Kata yang dipakai Yohanes, ialah ”anak domba kecil yang ditandai
luka kematian” (Yun. arnion).29
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan Anak Domba Allah
yaitu Yesus Kristus. Istilah Anak Domba Allah dipakai untuk menunjuk
kepada penggenapan perjanjian30 yang Allah telah berikan kepada Adam
dan Hawa setelah mereka jatuh ke dalam dosa. Dan kemudian diberikan
kepada Abraham31 serta keturunannya. Jadi dasar teologi ibadah dalam
kitab Wahyu yaitu penggenapan perjanjian Allah kepada manusia di
dalam diri Tuhan Yesus Kristus.
Roh Kudus
Karya Roh Kudus dalam konteks kitab Wahyu lebih banyak
menyatakan penggenapan dari janji Tuhan Yesus tentang penolong yang
lain,
32 yang akan datang dan yang menginsyafkan manusia.
Tujuh Roh dalam kitab Wahyu dipakai sebanyak empat kali (1:4;
3:1; 4:5; 5:6).33 Roh Kudus disebut tujuh Roh, untuk menyatakan
kesetaraan Roh Kudus dengan Kristus dan Allah Bapa. Dalam kitab
Wahyu, empat kali mencatat Yohanes digerakkan Roh Kudus (1:10; 4:2;
17:3; 22:6). Dan empat kali gerakkan Roh Kudus membuat Yohanes
mendengar, melihat fakta rohani.34 Hal ini berarti tanpa Roh Kudus
Yohanes tidak dapat melihat dan mengalami penglihatan yang dahsyat itu.
Dengan kata lain Roh Kudus yaitu dinamisator ibadah dalam kitab
Wahyu.
Penulis menyimpulkan bahwa dasar teologi ibadah dalam kitab
Wahyu yaitu ibadah Trinitarian. Allah Bapa dengan takhta-Nya yaitu
center ibadah kitab Wahyu. Yesus Kristus yaitu kegenapan ibadah
Perjanjian Lama. Roh Kudus yaitu dinamisator ibadah dalam kitab
Wahyu. Lumintang menuliskan bahwa “Ibadah Kristen yaitu ibadah
kepada Allah Bapa di dalam dan melalui Tuhan Yesus oleh Roh Kudus.”35
KARAKTERISTIK IBADAH KITAB WAHYU
Adapun karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu, antara lain:
trinitarian, theocentric, redeemptif, theistik, covenental, dan transformatif.
Trinitarian
Kitab Wahyu dimulai dengan salam dari Tiga Pribadi dalam Trinitas
(1:5b,6); “... Bagi Dia, yang mengasihi kita dan yang telah melepaskan kita
dari dosa kita oleh darah-Nya, dan yang telah membuat kita menjadi suatu
kerajaan, menjadi imam-imam bagi Allah, Bapa-Nya, bagi Dialah
kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya. Amin.
Doxology (1:4-8) ini berkembang secara signifikan sebagai formula
dasar yang dapat ditemukan dalam surat-surat kiriman. Karya penebusan
Kristus yaitu penting dalam doxology. Perhatikanlah bahwa sekalipun
Tiga Pribadi dari Trinitas disebut, dalam doxology ini diarahkan langsung
secara jelas kepada Kristus. Dalam posisi-Nya sebagai raja, dan oleh
kebajikan dalam karya penebusan yang sempurna, Kristus membuat umatNya menjadi imamat yang rajani (bnd. 1Ptr 2:9). Umat Tuhan yang
berkumpul di Gereja dan di Sorga (7:9-15) yaitu penggenapan dari
perjanjian yang dibuat untuk Israel di Sinai; “Kamu akan menjadi bagi-Ku
kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus
kaukatakan kepada orang Israel” (Kel 19:6; bnd. 1Ptr 2:9). Konteks
menyatakan bahwa doxology ini lebih merefleksikan PL dan secara
sederhana mengindikasikan penggenapan perjanjian Sinai. Kemudian
diikuti dengan doxology pengumuman bahwa Kristus datang di awanawan. Hal ini menyatakan satu kiasan yang kuat kepada seorang seperti
anak manusia dalam Daniel 7:13.
Dalam pasal 4:1-5:14, doxology diarahkan kepada seorang yang
duduk di atas takhta dan anak domba (4:9,11; 5:12,13). Ini yaitu salah
satu dari sekian banyak liturgi yang kaya dari seluruh kitab. Memuat tidak
lebih dari lima lagu pujian yang dikumandangkan keluar dari lingkaran
takhta itu. Dengan kata lain, kalau dicermati, pasal 4-5 memberi alasan
mengapa Allah (Bapa) dan Kristus (Anak) layak disembah: Allah
menciptakan segala sesuatu (4:11) dan Kristus melalui kematian-Nya
menebus manusia bagi Allah (5:9). Atau dapat dikatakan bahwa umat
Tuhan menyembah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan
anak domba yang telah menebus mereka di pihak yang lain, maka
penyembahan menjadi powerful. Ungkapan “Pada hari Tuhan aku dikuasai
oleh Roh” (1:10) menunjuk kepada karya Roh Kudus. Itu sebabnya penulis
menyimpulkan bahwa dalam konteks kitab Wahyu, Ibadah bersifat
Trinitarian. Yang penulis maksudkan yaitu dalam ibadah, jemaat
menyembah Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus. Dengan kata
lain, dalam ibadah, jemaat masuk dalam relasi dengan Allah (Bapa)
melalui Allah (Anak) dan oleh Allah (Roh Kudus).
Theocentric
Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian theologia kitab Wahyu,
Allah yang duduk di takhta menjadi pusat ibadah, maka sifat ibadah dalam
konteks Wahyu bersifat Theocentric. Wahyu 4:1-11 yaitu penglihatan
Yohanes yang kedua. Penglihatan yang kedua ini terfokus pada Takhta (ay
2-3). Muncul 3 kali dalam ayat 2 dan 3, dan muncul 13 kali dalam seluruh
pasal ini. Takhta merupakan simbol; “Otoritas Tertinggi, Kekuasaan yang
Maha Agung, Kedaulatan yang mutlak.” Jadi, kedaulatan Allah merupakan
sentral dalam penglihatan Yohanes. Sentralitas dari penglihatan ini,
bukanlah mengenai Sorga, melainkan mengenai pusat dari Sorga ialah
Takhta, mengenai Kedaulatan Allah. Tahkta atau Kedaulatan Allah, hanya
mungkin dimengerti oleh orang percaya yang dikuasai oleh Roh Kudus.
Karena hanya kepada orang yang diundang oleh Tuhan Yesus sendirilah,
yang dikuasai oleh Roh Kudus untuk mengerti mengenai Allah yang
berdaulat.36 Jadi, pusat ibadah kitab Wahyu yaitu Allah, yaitu Allah yang
sedang bekerja dan memerintah dunia ini, mengontrol semua kejadian
dalam dunia, sehingga tidak satu peristiwa yang luput dari kedaulatan-Nya.
Sentralitas Takhta yang dilihat Yohanes, terletak pada Dia Yang
Duduk Di Atas Takhta, yaitu Dia yang berdaulat. Siapakah Dia yang duduk
di atas Takhta itu? Yohanes tidak bisa mengidentifikasikan dengan jelas.
Karena itu, Yohanes hanya mampu melukiskan “Dia yang duduk di Takhta
itu” dengan menggunakan istilah bagaikan. Bahasa manusia tidak mampu
menampung bahasa Sorga. Penglihatan manusia tidak mampu
membahasakan apa yang dilihatnya tentang Allah.37
Redeemptif
Sifat ini menunjuk pada karya penebusan Kristus. Istilah Anak
Domba dalam kitab Wahyu menunjuk kepada Yesus. Hal ini dapat
ditemukan dalam kitab Wahyu bahwa Ia hampir selalu diperkenalkan
dengan nama pribadi Yesus (1:9; 12:17) daripada Kristus (11:15).38 Nama
Yesus menunjuk kepada karya keselamatan yang dikerjakan-Nya. Dalam pasal 5, penyembahan ke-24 tua-tua diarahkan kepada Anak Domba karena
karya penebusan-Nya.39
Kristus menerima penyataan Allah, yang kemudian Ia lanjutkan
kepada Yohanes (1:1); Ia yaitu Anak Domba yang disembelih dan dengan
darah-Nya ia telah menebus orang kudus bagi Allah (5:6,9); dan sebagai
Anak Domba, Ia akan menyambut mempelainya, itulah Gereja, ke dalam
pesta perkawinan (19:7-9; 21:9). Yohanes mengajarkan bahwa Kristus
yaitu agen Allah dalam penciptaan, penebusan dan penyempurna.40
Dengan demikian, karakteristik ibadah dalam kitab Wahyu ialah
Redemptif, sebagaimana ditunjukan dalam penyembahan kepada Anak
Domba Allah dan Dia yang duduk di Takhta. Sifat redemptif ini
berimplikasi kepada penyembah, yaitu seorang yang datang menyembah
yaitu seorang yang sudah mengalami karya penebusan Kristus.
Theistik
Teologi ibadah Kristen, tentu bukanlah teologi yang deistik, yaitu
teologi yang menekankan pada penyembahan kepada Allah yang bersifat
transenden, yang jauh di “sana” (Allah yang ada di Sorga), juga bukanlah
teologi penyembahan yang pantheistik, yaitu teologi yang semata-mata
menekankan pada ibadah yang imanen (Allah itu ada di mana-mana, di
mana-mana ada Allah), melainkan teologi yang theistik, yaitu teologi yang
mengemukakan mengenai penyembahan kepada Allah yang transenden
sekaligus imanen.41
Pelukisan tentang Allah dalam penglihatan Yohanes menunjukkan
betapa mulia dan tak terjangkaunya manusia berdosa untuk menghampiri
Takhta yang suci itu. Kemuliaan Allah yang tak terhampiri itu menunjuk
kepada sifat transcendent. Yohanes begitu takut, bahkan seperti orang mati
(1:17), hal ini menunjukkan bahwa Yohanes sedang berhadapan dengan
Allah yang transcendent. Tetapi ayat 17 juga menyatakan bahwa “tetapi Ia
meletakkan tangan kanan-Nya di atasku.” Hal ini menunjukkan bahwa
Yohanes sedang berhadapan dengan Allah yang imanent. Maka memahami sifat ibadah yang theistik ini membuat penyembah dengan rasa hormat dan
gentar datang beribadah kepada Allah, tetapi di sisi lain ibadah Kristen
yaitu ibadah dengan rasa nyaman, dan dekat dengan Allah yang imanen.
Covenental
Wahyu kepada Yohanes yaitu satu dokumen perjanjian. Janice E.
Leonard dalam Covenant Worship in The New Testament menuliskan
bahwa: The proliferation of sevens is a clue to the book’s covenant content,
a reminder of the taking of a covenant oath, which in Hebrew is literally
“to seven oneself.
42 Kitab Wahyu yaitu juga merupakan sebuah lukisan
tentang ibadah perjanjian sebagai respons manusia baru kepada Allah yang
telah membebaskan mereka.
Yohanes juga memberikan satu pola Gereja mengikuti deskripsi 24
tua-tua yang tersungkur di hadapan Anak Domba. “Lalu aku mendengar
seperti suara himpunan besar orang banyak, seperti desau air bah dan
seperti deru guruh yang hebat, katanya: Haleluya! Karena Tuhan, Allah
kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan
bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba
telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia” (19:6,7). Di dalam ibadah
Gereja, “Kota suci, Yerusalem baru,” perjanjian itu mendapat
penggenapannya: Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu
berkata: Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan
diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia
akan menjadi Allah mereka” (21:3).
Dengan demikian, sifat ibadah covenental menuntut penyembah
untuk mengalami rekonsiliasi yang yaitu merupakan pintu masuk kepada
ibadah. Karena perjanjian Allah digenapi di dalam diri Tuhan Yesus, maka
penyembah terlebih dahulu harus mengalami rekonsiliasi. Rekonsiliasi ini
terjadi di kayu salib. Itu berarti, dengan menerima Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, seseorang memperoleh pintu masuk ke dalam ibadah.
Transformatif
Sifat ibadah yang transformatif ini dapat dicermati dalam kitab
Wahyu, khususnya pada saat berhadapan dengan Takhta Allah. “Ketika
aku melihat Dia, tersungkurlah aku di depan kaki-Nya sama seperti orang
yang mati; tetapi Ia meletakkan tangan kanan-Nya di atasku, lalu berkata:
'Jangan takut! Aku yaitu Yang Awal dan Yang Akhir (1:17).” Maka
tersungkurlah ke-24 tua-tua itu di hadapan Dia yang duduk di atas takhta
itu, dan mereka menyembah Dia yang hidup sampai selama-lamanya. Dan
mereka melemparkan mahkotanya di hadapan takhta itu, sambil berkata:
“Ya Tuhan dan Allah kami, Engkau layak menerima puji-pujian dan hormat
dan kuasa; sebab Engkau telah menciptakan segala sesuatu; dan oleh karena
kehendak-Mu semuanya itu ada dan diciptakan” (4:10).
Transformasi terjadi ketika Yohanes berhadapan atau melihat Yesus
dalam kemuliaan-Nya. Menyadari ketidaklayakan di hadapan Dia yang
layak menerima segala hormat dan pujian, serta kemuliaan,43 yaitu
transformasi pikiran.
Transformasi berikut yaitu sikap 24 tua-tua yang tersungkur di
hadapan Dia yang duduk di atas Takhta, serta tindakan melemparkan
mahkota, juga menyatakan ketidaklayakan, di hadapan Dia yang layak
menerima penyembahan umatnya. Kistemaker menuliskan tentang sikap 24
tua-tua demikian: they had recieved these crowns from God for being
overcomes, but they respectfully return them to God to assign to him all
glory and honor.
44
Dengan demikian, orang yang beribadah harus menunjukkan
transformasi baik pikiran, maupun sikap hidup. Transformasi ini tentu
karena karya Roh Kudus yang mengaplikasikan karya penebusan Kristus
bagi kita.
KONTRIBUSI BAGI IBADAH MASA KINI
Kontribusi kepada Gereja-gereja masa kini. Ibadah Kristen yang
memadai perlu memperhatikan beberapa prinsip ibadah di bawah ini.
1. Ibadah Kristen harus Biblikal. Bersumber dari firman Tuhan dan bukan
pengalaman atau perasaan atau emosi belaka.
2. Ibadah Kristen harus bersifat dialog. Dalam ibadah, Allah berbicara
dan mendengar. Dengan kuasa Roh Kudus, Allah menantang kita,
menghibur kita, dan membangunkan kita. Dan oleh Roh Kudus, kita
mendengar dan memberi respons dengan pujian, pengakuan, kesaksian
dan dedikasi.
3. Ibadah Kristen bersifat covenental. Dalam ibadah, kebaikan Allah dan
perjanjian yang baru dengan kita di dalam Kristus dibaharui,
diteguhkan dan dimateraikan. Hubungan kita dengan Allah bukan
didasarkan pada kontrak, tetapi pada perjanjian.
4. Ibadah Kristen harus Trinitarian. Dalam ibadah kita arahkan segala
hormat, pujian dan kemuliaan hanya kepada Allah Trinitas, Bapa,
Anak dan Roh Kudus. Allah yaitu yang dengan anugerah-Nya
mengundang kita beribadah dan kemudian Ia mendengar bahkan
melihat respons kita.
5. Ibadah Kristen harus communal. Injil Yesus Kristus menarik kita
masuk dalam kehidupan bersama dengan orang lain.
PENUTUP: KESIMPULAN
Ibadah dalam Perjanjian Baru yaitu penggenapan perjanjian Allah
kepada manusia, bahwa akhirnya semua orang akan berhadapan dengan
takhta Allah yang kudus, dan Anak Domba. Semua bangsa akan bertekuk
lutut di hadapan Anak Domba yang menghapus dosa isi dunia. Dengan kata
lain, Allah Tritunggal yaitu arah dan alamat pujian dan penyembahan
orang percaya. Allah Bapa disembah di dalam nama Allah Anak yaitu
Yesus Kristus dan dikerjakan oleh Allah Roh Kudus sebagai dinamisator
ibadah. Ibadah kitab Wahyu yaitu ibadah kepada Tuhan, Allah Bapa,
Pencipta alam semesta (Why 4:10-11). Yesus Kristus, Anak Allah, Penebus
dan Anak Domba Allah (Why 1:5,6; 5:11-14; 7:9-10). Roh Kudus, ialah
tujuh Roh yang ada di hadapan takhta-Nya (Why.1:4). Ibadah dalam kitab
Wahyu yaitu Trinitarian. Bukan kepada; Iblis, “seluruh dunia menyembah
naga itu” (13:3); anti Kristus, “iblis memberi kekuasaan kepada binatang itu
dan mereka menyembah dia” (13:4); kepada nabi anti-Kristus, “ia
menyebabkan seluruh bumi menyembah binatang pertama” (13:11-12).
Allah Tritunggal yaitu pusat ibadah Perjanjian Baru sebagaimana
dinyatakan dalam kitab Wahyu.
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT DAN
PENUNJANG PERTUMBUHAN GEREJA
MORRIS P. TAKALIUANG
PENDAHULUAN
Prinsip yang fundamental bagi semua kehidupan yaitu bahwa
organisme hidup itu tumbuh. Pertumbuhan itu alamiah, sebagai pernyataan
kehidupan yang spontan. Satu-satunya cara yang menghentikan
pertumbuhan yaitu penyakit atau kematian. Demikian pula dengan Gereja
Kristus. Ron Jenson dan Jim Stevens menilai, bahwa Gereja berdenyut
seiring kehidupan Kristus, maka kita berharap Gereja bertumbuh, kecuali
pertumbuhannya dihambat oleh penyakit.1
Pembahasan tentang pertumbuhan Gereja dan analisis dinamikanya
di balik cara bagaimana Gereja bertumbuh telah menerima daya dorong
melalui pekerjaan Donald McGravan dan koleganya di Fuller Theological
Seminary School of World Mission. Studi mereka telah mendorong minat
dalam pertumbuhan Gereja dan menstimulir penulis dalam presentasi
tulisan ini.
Bagian pertama penulis memaparkan pengertian Alkitab mengenai
pertumbuhan Gereja. Bagian kedua memaparkan tentang faktor-faktor
penghambat dan penunjang pertumbuhan Gereja. Sedangkan bagian ketiga
menjabarkan strategi pertumbuhan Gereja. Dan ditutup dengan kesimpulan
dan rekomendasi.
PENGERTIAN PERTUMBUHAN GEREJA
Suatu pengertian yang tepat dan baik tentang pertumbuhan Gereja
sangat diperlukan dalam usaha memahami esensi dan eksistensi dari
gerakan pertumbuhan Gereja. Esensi maksudnya yaitu perlunya konsep
teologis tentang pertumbuhan Gereja, dan eksistensi maksudnya yaitu
hadirnya gerakan pertumbuhan Gereja terkait dengan beberapa faktor yang
turut mendukung maupun menghambatnya.
Pakar pertumbuhan Gereja, Peter Wagner merumuskan
pertumbuhan Gereja sebagai: segala sesuatu yang mencakup soal membawa
orang-orang yang tak memiliki hubungan pribadi dengan Yesus Kristus ke
dalam persekutuan dengan Dia dan membawa menjadi anggota Gereja yang
bertanggung jawab.2 Bagi Wagner, penginjilan dan pemuridan merupakan
proses yang menghasilkan pertumbuhan kuantitatif dan kualitatif yang
berjalan secara simultan dan dalam keseimbangan yang baik. Sedangkan
menurut Dr. Peter Wongso, pertumbuhan Gereja yaitu sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan pertumbuhan Gereja ialah perkembangan
dan perluasan Tubuh Kristus, baik dalam kualitas maupun kuantitas,
dalam bentuk yang tampak. Alkitab mencacat, “Gereja yaitu Tubuh
Kristus” (Ef 1:23; 4:12-16; Kol 1:24). Tiap-tiap hari Tuhan
menambahkan jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan (Kis
2:47). Jelaslah ayat-ayat ini menerangkan bahwa orang yang
diselamatkan (kualitas yang tak tampak), tiap-tiap hari Tuhan
menambahkan jumlah mereka (kuantitas yang tampak). Ini yaitu
makna pertumbuhan Gereja. Ide pertumbuhan Gereja bukan berasal
dari pikiran manusia, melainkan dari kehendak Allah sendiri.
Tatkala Allah menciptakan manusia, Ia memberkati mereka agar
mereka berkembang biak memenuhi bumi (Kej 1:27-28). Tuhan
Yesus juga memerintahkan murid-murid-Nya, pergilah ke ujung
bumi memberitakan Injil kepada segenap bangsa, yang percaya dan
dibaptis pasti diselamatkan (Mrk 16:15-16). Maka ide pertumbuhan
Gereja bukanlah berasal dari filsafat barat, melainkan kehendak
Allah semula. Pertumbuhan Gereja yaitu suatu masalah yang
mendesak, karena Allah tidak menghendaki manusia binasa,
melainkan menghendaki semua diselamatkan, percaya bahwa Tuhan
Yesus yaitu Juruselamat pribadi dan beroleh hidup yang kekal
(Yoh 3:16; 2Ptr 3:9).3
Selanjutnya Peter Wongso dalam bukunya Tugas Gereja dan Misi
Masa Kini menuliskan sebagai berikut:
Bila kita ingin Gereja bertumbuh dengan sesungguhnya, kebenaran
pertumbuhan Gereja harus dijadikan suatu konsep dan pandangan
yang amat kuat dalam hati setiap umat Kristen... Jika konsep dan
pandangan setiap orang Kristen terhadap hal ini makin kuat, maka
pertumbuhan Gereja pasti akan maju dengan pesat... jika Gereja mau
mempertahankan eksistensinya, harus terus berkembang dan
bertumbuh. Gereja yang tak bertumbuh yaitu Gereja yang tak
mungkin mempertahankan eksistensinya.4
Sedangkan Pdt. Dr. I Wayan Mastra, berdasarkan Lukas 2:40 dan
Lukas 2:52 menulis sebagai berikut:
Jika Gereja yaitu Tubuh Kristus, maka dalam berbicara mengenai
pertumbuhan Gereja kita tak boleh melalaikan empat unsur
pertumbuhan Gereja. Pertama, Gereja harus makin bertumbuh
dalam hikmat atau kebijaksanaannya secara intelektual dan
akademis. Jadi, Gereja harus makin dicerdaskan. Kedua, Gereja
harus bertumbuh besar dan makin kuat jasmaninya, fisiknya,
materialnya atau ekonominya. Ketiga, Gereja harus makin dikasihi
Allah. Jadi makin bertumbuh kehidupan rohaninya. Keempat, Gereja
makin dikasihi manusia artinya makin banyak orang percaya dan
melekatkan diri kepada-Nya.5
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Gereja yang bertumbuh yaitu
Gereja yang diperkuat kecerdasannya, jasmaninya, kerohaniannya dan
kehidupan sosialnya, sehingga ia makin disukai oleh Allah dan manusia.
Dalam pertumbuhan Gereja yang utuh dan menyeluruh, maka ketiga aspek
kebutuhan manusia, yaitu: kebutuhan kepala, hati dan perut harus dipenuhi
agar tubuh itu dapat tumbuh seimbang dan selaras.
Pertumbuhan yang berimbang itu amat penting artinya, agar Gereja
dapat menjalankan tugas dan panggilannya dengan baik. Kalau seseorang
makin kuat jasmani, kebijaksanaan dan kerohaniannya, maka secara
otomatis akan dihargai dalam masyarakat. Memutuskan bahwa Allah tidak
menghendaki Gereja-Nya bertumbuh berarti kita telah memutuskan untuk
mati. Tidak ada pilihan lain, karena makhluk hidup seharusnya bertumbuh,
demikian pula Gereja harus bertumbuh karena Gereja itu hidup.
Karena itu, jika kita telah percaya kepada Imamat am orang
percaya, maka setiap anggota Gereja harus mampu dalam doa, daya dan
dana, melaksanakan tugas dan panggilannya. Kenyataan ini juga terdapat
dalam diri rasul Paulus. Dia mengembangkan teologinya dan sekaligus
penyerahan diri secara total kepada Allah dan pada saat yang bersamaan,
dia berusaha sendiri dengan cara membuat dan menjual tenda untuk
membiayai usaha-usaha pekabaran Injilnya. Gereja dapat berbuat demikian
jika memperhatikan ketiga aspek kebutuhan anggota Gereja, yaitu: kepala,
hati, dan perut dalam memikirkan pertumbuhan Gereja. Artinya, Gereja
harus bisa menjadi subjek dan bukan hanya objek. Gereja harus menjadi
berkat dalam arti mampu memberi, karena lebih baik memberi daripada
menerima (Kis 20:35).
FAKTOR-FAKTOR PENGHAMBAT PERTUMBUHAN GEREJA
Faktor penghambat pertumbuhan Gereja dapat dilihat dari lima
sudut, yakni: kesalahan pemahaman teologi, kesalahan pemahaman hakikat
arti misi, sosial kultural, trauma sejarah, dan agama tertentu.
Faktor Kesalahan Pemahaman Teologi
Pada tahun 1960-an, banyak orang mempersoalkan apakah Gereja
seharusnya bertumbuh? Ada keragu-raguan yang datang dari beberapa
orang tentang apakah Gereja dapat bermanfaat bagi masyarakat secara
keseluruhan. Di dalam lingkungan tertentu untuk beberapa saat lamanya
orang biasa menyampaikan bahwa kita sekarang hidup dalam suatu zaman
sesudah Kristen (post christianity). Lembaga Gereja dianggap sudah
ketinggalan zaman. Beberapa pengaruh dari konsep ini, masih tertinggal
seperti suatu batuk kecil sesudah pilek yang berat.
Di kalangan tertentu, ada anggapan populer yang menyatakan
bahwa Tuhan Yesus Kristus tidak tertarik pada perkembangan Gereja.
Mereka beranggapan bahwa Yesus menganut filsafat kecil itu indah. Yesus
dianggap tidak mengutamakan kesuksesan, melainkan mengutamakan
kesetiaan. Misi penderitaan-Nya dinyatakan di atas kayu salib. Yesus
dipandang lain oleh masyarakat pada zaman-Nya. Yesus hanya memanggil
beberapa orang untuk mengikuti-Nya, Yesus lebih mengutamakan kualitas
bukan kuantitas.
Orang-orang yang memandang Yesus dan pelayanan-Nya seperti ini
seringkali menolak ajaran tentang perkembangan Gereja. Bagi
mereka, antusiasme dan optimisme yang terdapat pada gerakan
pertumbuhan Gereja tampak sebagai suatu sikap kebanggaan yang
berlebih-lebihan akan keberhasilan yang tak sepadan dengan Roh
Kristus. Bahkan ada yang menganggapnya serupa dengan sikap
mengagung-agungkan angka dan jumlah ini, dengan mudah dapat
menjadi sesuatu yang buruk dan berpusat pada diri sendiri.6
Timbul pertanyaan, benarkah Yesus memandang pelayanan dan
misi-Nya seperti demikian? Setelah tiga tahun melayani murid-murid-Nya,
Yesus sedang mendekati saat-saat terakhir dalam pelayanan-Nya di dalam
dunia ini. Ia akan ditangkap, diadili, difitnah, diludahi, dihina, pakaian-Nya
dilucuti, diejek dan disalibkan di antara dua orang penyamun. Penduduk
kota Yerusalem yang dikasihi dan ditangisi-Nya justru memarahi Dia dan
menghendaki penyaliban-Nya. Lebih dari itu, Ia ditinggalkan oleh muridmurid-Nya yang terdekat, orang yang disiapkan-Nya untuk melanjutkan
pelayanan-Nya dikemudian hari, jika Ia pergi.
Pada saat-saat demikian, kebanyakan orang akan merasa tidak
mempunyai harapan lagi, tetapi lain bagi Yesus, Dia tetap optimis. BagiNya peristiwa-peristiwa yang dilayani-Nya tak akan berakhir dalam
kekalahan, tetapi dalam kemenangan. Di tengah-tengah semuanya itu Dia
membuat pernyataan yang luar biasa, Injil Kerajaan ini akan diberitakan di
seluruh dunia menjadi kesaksian bagi semua bangsa, sesudah itu barulah
tiba kesudahannya (Mrk 24:14). Sedangkan pada saat itu pemberitaan Injil
masih terbatas pada sekelompok kecil orang-orang yang terdapat di pantai
Laut Tengah bagian Timur, yakni orang Yahudi di Galilea yang berbahasa
Aram. Tetapi Yesus mampu memandang ke depan dan melihat pemberitaan
Injil Kerajaan Allah akan terjadi kepada semua bangsa di bumi ini.
Faktor Kesalahan Pemahaman Hakikat Misi
Kurangnya pemahaman dan dangkalnya kesadaran orang-orang
Kristen bahwa setiap generasi baru harus diinjili di dalam zamannya
sendiri, dan juga adanya prinsip teologi bahwa Allah tidak mempunyai
cucu, salah dipahami oleh Gereja, sehingga terdapat pemahaman keliru
bahwa orangtua yang percaya secara sungguh-sungguh kepada Kristus
dapat menyebabkan anaknya masuk ke dalam keselamatan.
Di sini dapat dipahami bahwa para orangtua yang sungguh-sungguh
percaya Kristus dapat sangat mempengarui anak-anaknya mengenal
Kristus, tetapi hal itu tak otomatis anak-anak tersebut langsung menerima
keselamatan. Anak-anak itu perlu mengenal pribadi Juruselamat karena
usaha penginjilan. Juga karena kurangnya kesadaran bahwa walaupun telah
terdapat banyak pelayanan pengembalaan tetapi masih banyak dombadomba yang hilang dan tersesat. Dan bahwa kehendak Allah ialah dombadomba itu ditemukan kembali dan beroleh keselamatan (2Ptr 3:9).7
Faktor Sosio-Kultural
Selama 50 tahun terakhir ini, agama-agama di seluruh dunia
mengalami kebangkitan. Dari pihak Gereja kenyataan ini merupakan
tantangan dan hambatan bagi pertumbuhan Gereja. Apabila Gereja tidak
bertumbuh, maka ketika agama lain bertumbuh, dengan sendirinya Gereja
yang tak memiliki konsep yang Alkitabiah tentang pertumbuhan Gereja
akan terdesak.
Pada tahun 1966, Pemerintah Indonesia mengakui ajaran Konghucu
sebagai suatu agama dan mereka juga membaurkan diri dalam kegiatan
masyarakat, menyusun buku-buku pelajaran dan mengajarkan ajaran etika
Konghucu di sekolah-sekolah negeri dan swasta. Dewasa ini jumlah mereka
telah mencapai jutaan orang di seluruh Indonesia.
Agama Budha di Asia juga ikut berkembang. Di Taiwan terdapat
puluhan ribu kuil. Rakyat di sana kian percaya kepada tahyul dan mengasuh
kuil Budha sehingga sudah menjadi semacam usaha baru. Banyak orang
yang melayani di kuil-kuil itu mengumpulkan uang dari para pengunjung
yang sembahyang di tempat tersebut dan dengan itu mengadakan
pemugaran kuil-kuil Hindu.
Akhir-akhir ini agama Budha juga menerbitkan buku-buku,
mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit, panti asuhan yatim piatu dan
lain sebagainya. Di samping itu, kerapkali mereka mengadakan ceramahceramah yang bersifat ilmiah. Candi Borobudur beberapa kali telah dipugar
dan di tempat tersebut diadakan upacara besar-besaran dan umat Budha dari
berbagai negara turut hadir.
Agama Islam juga mengalami kebangkitan yang luar biasa. Di
samping mereka mengembangkan pendidikan dasar sampai perguruan
tinggi dan rumah sakit yang sangat banyak, juga umat Islam masa kini telah
mempunyai paling kurang tiga partai politik besar yang berazaskan Islam
(Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, Partai Kebangkitan
Bangsa), tujuan akhirnya yaitu penerapan syariat Islam dalam segala
aspek kehidupan masyarakat. Belum lagi berkembangnya organisasiorganisasi intelektual Islam yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan
politik dan kemasyarakatan.
Selain agama-agama besar yang telah disebutkan di atas,
kepercayaan lain seperti: animisme, astrologi, ilmu sihir, ilmu kebatinan,
kepercayaan kepada dukun-dukun dan jimat-jimat dari agama primitif,
dewasa ini telah menjadi mata kuliah dalam studi Antropologi di perguruan
tinggi. Ilmu-ilmu tersebut bukan saja diilmiahkan, tetapi juga telah sangat
menarik perhatian banyak sarjana yang jiwanya kosong. Di Amerika juga di
Indonesia, majalah-majalah dan surat kabar-kabar besar, membuka kolom
astrologia dan mempromosikannya secara besar-besaran. Penulis-penulis
kolom itu kebanyakan yaitu orang-orang yang bergelar dokter atau para
profesor. Ini sangat menarik perhatian banyak orang yang tersesat.
Faktor Trauma Sejarah
Sejarah perkembangan dan perluasan agama Kristen atau Gereja
dalam sejarah dunia, pada satu sisi merupakan suatu prestasi dan prestise
tersendiri, bagi dunia misi dan zending.8 Tetapi pada sisi lain hal itu
berdampak buruk pada sebagian orang, karena menimbulkan trauma sejarah
yang berkepanjangan dan sulit dipulihkan. Sebagai contoh yaitu sejarah
Perang Salib yang sampai saat ini telah membuat orang-orang dari agama
tertentu berpandangan bahwa agama Kristen yaitu musuh yang harus
diperangi karena telah menumpahkan darah jutaan umat agama tertentu
pada zamannya. Kebencian itu sampai hari ini telah menjiwai juataan umat
penganut agama tertentu terhadap orang-orang Kristen dan Gereja.9 Tentu
juga ada faktor teologis lain yang menyebabkannya.
Serangan Belanda terhadap Indonesia dan penjajahan panjang
terhadap Nusantara ini telah melahirkan trauma baru, di mana orang-orang
non-Kristen menganggap agama Kristen identik dengan penjajah atau
agama orang barat atau kulit putih.10 Dan sekali pun alasan mereka dapat dimengerti tetapi harus diakui juga bahwa Gereja dan zending yang diutus
dari barat, turut andil dalam menciptakan citra negatif tersebut. Dengan
demikian mayoritas bangsa Indonesia menyimpan dendam sejarah terhadap
agama Kristen, Gereja dan misi masa kini.11
Belum lagi zaman Post Modern ini, perlakukan Amerika terhadap
terorisme yang begitu keras, lebih memicu dendam dan sakit hati terhadap
Kekristenan, karena Amerika Serikat dianggap Negara Kristen oleh
sebagian besar orang-orang non-Kristen di Indonesia. Ditambah, dukungan
yang sangat kuat dari Amerika Serikat terhadap musuh bersama agamaagama tertentu, yakni Israel, turut menambah intensitas kebencian itu.
Sikap permusuhan dan anti-Kristen memuncak di Indonesia dengan
pengrusakkan, pembakaran dan penutupan 800 Gereja lebih di Indonesia
masa kini. Hal ini mengakibatkan ketakutan, kegelisahan dan trauma
mental yang cukup berat bagi orang-orang Kristen di Indonesia. Kita
melihat bahwa banyak orang Kristen yang menjadi pudar imannya lalu
mundur dari iman. Inilah sebabnya beberapa orang Kristen beranggapan
bahwa kita perlu kompromi, perlu mengoreksi kepercayaan kita dan bahkan
tak perlu lagi menjalankan penginjilan dan misi terhadap orang-orang nonKristen tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Gereja atau kekristenan, jelas
akan merosot dan terus merosot sampai akhirnya kehilangan garam dan
terangnya yakni Gereja dalam proses menuju kematian rohani.
Dalam pandangan Alkitab, Gereja yang menderita yaitu Gereja
yang cepat bertumbuh dan memenangkan banyak jiwa bagi Kristus. Sebab
seorang Kristen yang telah lahir baru dan terus bertumbuh dalam
pengenalan akan Kristus pasti akan tetap bertahan dan bertumbuh dalam hal
kualitas, kuantitas dan komplesitas organisasi Tubuh Kristus. Maka
benarlah yang dikatakan oleh Dr. Peter Wongso: Apabila Gereja tak
bertumbuh dengan cepat, maka tatkala agama-agama lain bertumbuh,
dengan sendirinya Gereja akan terdesak.
Sandungan terbesar, terkuat dan terberat umat agama tertentu dalam
memahami dan menerima kekristenan yaitu karena mereka menganggap
dan yakin bahwa ajaran Kristen tentang Allah Tritunggal dan tentang Yesus
Kristus merupakan dosa yang tidak terampuni (dosa syirk). Menurut
mereka, syirk atau mempersekutukan Tuhan Allah yaitu dosa yang tak
dapat diampuni.13
Sejak masa kanak-kanak penganut agama tertentu sudah diajarkan
bahwa... lam yalid lam yulod... atau Allah itu tak beranak dan tidak
diperanakan.
14 Akibatnya, mereka tidak dapat menerima pandangan bahwa
Yesus Kristus itu Anak Allah. Juga, mereka tak dapat menyebut Yesus itu
Tuhan karena mereka sudah diajarkan, La ilaha illahlah atau Tiada Tuhan
selain Allah. Karena inilah muncul anggapan bahwa orang-orang Kristen
bersalah terhadap syirk ini karena mempercayai dan mengajarkan doktrin
Allah Tritunggal.
Sementara itu di kalangan Kristen, khususnya di Indonesia ini,
masalah dosa syirk ini, menjadi salah satu sebab munculnya keragu-raguan
di benak mereka. Apalagi, posisi orang Kristen pada saat ia dituduh atau
difitnah dan bahkan diserang oleh orang-orang penganut agama tertentu.
Karena itu terhadap situasi yang demikian ini, tak jarang orang Kristen,
bukan saja tak bertumbuh, tetapi malahan sedang berada dalam proses
menuju kematian iman. Dan jangan lupa, pengaruh ajaran agama tertentu,
telah sangat mempengaruhi perudangan-undangan di Indonesia sejak
beberapa dekade yang lalu. Tetapi bagi kita yang sungguh telah percaya
kepada Allah dalam Yesus Kristus dan Roh Kudus seperti yang diajarkan
Alkitab, justru hal ini merupakan tantangan dan sekaligus peluang untuk
menyaksikan Injil Yesus Kristus yang menyelamatkan (Rm 1:16-17).
Faktor-faktor penunjang atau penentu pertumbuhan Gereja dapat
dilihat dari dua sudut, yakni faktor teologis dan antropologis. Yang
dimaksud dengan faktor teologis yaitu keterlibatan dan peranan Allah
sendiri di dalam memulai dan menumbuhkan Gereja-Nya. Sedangkan
faktor antropologis bermaksud menunjukkan bahwa Allah memakai,
membentuk dan memperlengkapi hamba-hamba-Nya atau manusia Tuhan
yang dipilih-Nya untuk bekerja sama dengan Dia dalam rangka menumbuhkembangkan Gereja-Nya di dunia ini.
Faktor Teologis
Salah satu aspek penunjang pertumbuhan Gereja yaitu faktor
teologis, yakni bergantung kepada Allah, dan peranan atau karya Roh
Kudus dalam Gereja.
Pertumbuhan Gereja Bergantung Kepada Allah
Pertumbuhan secara kuantitatif, kualitatif dan organik dalam Gereja
lokal merupakan suatu proses supranatural. Gereja yaitu ciptaan Allah,
Yesus Kristus yaitu kepalanya. Kehidupan mengalir dari keberadaan-Nya
di dalam Gereja dan pertumbuhan terjadi sebagai akibat dari kehidupan
ilahi tersebut. Gereja yaitu sebuah organisme yang hidup. Gereja
berkembang dan bertumbuh melalui proses karya Allah, bukan perbuatan
manusia. Dalam 1Korintus 3 Paulus menjelaskan tentang tanggung jawab
terakhir untuk pertumbuhan Gereja: Aku menanam, Apolos menyiram,
tetapi Allah yang memberi pertumbuhan (1Kor 3:6).
Rasul Paulus menguraikan bahwa setelah segala usaha manusia
dilakukan, pada akhirnya pertumbuhan itu bergantung kepada Allah. Benih
itu ditanam dan tanaman yang tumbuh itu disiram, dipangkas dan
dipelihara, tetapi pertumbuhan yaitu hasil dari proses supranatural,
misterius dan ajaib yang terjadi di bawah tanah, bebas dari intervensi dan
usaha manusia. Demikian juga pertumbuhan Gereja. Jikalau bukan Tuhan
yang membangun Gereja, maka sia-sialah usaha manusia yang
mengorganisir, merencanakan dan membiayainya (bnd. Mzm 127:1).
Sebelum kita mengakui adanya unsur supranatural dalam proses
pertumbuhan Gereja dan menempatkan usaha manusia pada proporsinya,
maka tidak ada nilai benar dan kekal yang dapat dicapai dari diri kita
sendiri; kita tak dapat membuat Gereja bertumbuh (Yoh 15:5).15
Kita mungkin berpikir sejenak dan kemudian memuji keberhasilan
kita karena sifat yang baik, karunia rohani yang hebat, adanya sumbersumber dana atau karena kepempinan gembala yang kuat. Tetapi tanpa
mengecilkan faktor di mana Allah memakai keterlibatan manusia,
pertumbuhan Gereja tetap tergantung pada Allah dan di dalamnya Allah
memakai manusia yang bergantung kepada-Nya (Yoh 15:1-8).
Gereja-gereja yang dibangun berdasarkan talenta berkhotbah yang
hebat atau kemampuan berorganisasi seseorang, harus menolak godaan
untuk memuji manusia sebagai penyebab pertumbuhan sebuah Gereja.
Paling tepat, jika kita berkata, kita yaitu orang-orang yang menanam dan
orang-orang yang menyiram tetapi Allah yang menghidupkan dan
menumbuhkan Gereja dan hanya Dia saja yang layak menerima pujian.
Timbul pertanyaan, bagaimana hal tersebut di atas berhubungan
dengan doa? Jawabannya yaitu : jika kita percaya bahwa pertumbuhan
Gereja berasal dari Allah dan kerenanya bersifat supranatural dan jika kita
sadar bahwa kita bergantung kepada Allah dalam proses pertumbuhan
Gereja, maka doa juga di dalam tuntunan Allah (Roh Kudus) akan
menempati urutan teratas dari susunan daftar prioritas kita. Jika Allah yang
menyebabkan pertumbuhan, maka kita harus berhubungan dengan Dia, jika
tidak, maka kita berusaha dengan sia-sia, menjalankan roda pelayanan kita
tanpa hasil rohani yang diharapkan.
Perubahan dan pertumbuhan roahni yang sejati akan terjadi hanya
karena jawaban doa, sementara kita terus belajar untuk bergantung kepadaNya Fokus harus dialihkan dari diri kita sendiri kepada Allah. Dan jika
kemampuan kita berasal dari Allah dan bukan dari diri kita sendiri dalam
segala hal, maka pastilah fokus kita harus berpusat pada Allah sebagai
sumber segala kekuatan kita. Supaya kita menjadi semakin yakin bahwa
sumber pertumbuhan Gereja yaitu dari Allah saja dan bahwa usaha
manusia sia-sia adanya tanpa berkat-Nya, maka seharusnya kita memahami
petingnya peranan Roh Kudus dalam Gereja.
Gereja lahir, bertumbuh dan tetap eksis karena pekerjaan Roh
Kudus. Roh Kudus-lah yang membawa orang-orang ke dalam Gereja.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam hidup seseorang sehingga
mengalami kelahiran baru, makin berakar dan bertumbuh di dalam Kristus
merupakan karya Roh Kudus.16 Karya tersebut dapat diamati dalam proses
di bawah ini.
Roh Kudus Menginsafkan
Roh Kudus mengisafkan manusia akan dosa-dosanya ketika Ia
mendirikan Gereja (Yoh 16:8-11). Dalam bagian lain Yesus menegaskan
bahwa, tak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku jikalau ia tak
ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku (Yoh 6:44). Kesadaran akan
pendekatan ilahi membuat kita sadar bahwa Allah memulai dengan caraNya yang misterius, menarik, melembutkan dan menciptakan kesadaran
akan kebutuhan dalam hati seseorang akan pentingnya keselamatan atau
lahir baru.
Kita harus sadar bahwa Roh Kudus, dengan cara yang kadangkadang tak kita mengerti dan di luar kemampuan kita, bekerja di dalam hati
seseorang mendatangkan keselamatan. Kita berpikir bahwa latihan,
kemampuan dan pengetahuan kita sebagai penyebab kesadaran seseorang.
Roh Kudus menggunakan sumber daya manusia dalam pekerjaan-Nya
tetapi tanggung jawab untuk menyadarkan seseorang yaitu karya-Nya
sendiri.
Roh Kudus Mengerjakan Pertobatan
Roh Kudus mengerjakan pertobatan yang sejati di dalam hati
seseorang. Pertobatan yaitu buah dari kesadaran yang membawa kepada
keputusan, di mana caranya sulit untuk dipahami. Roh Kudus menarik kita
dan menciptakan di dalam kita kesadaran akan kebutuhan kita yang paling
dalam. Ia kemudian memberikan kemampuan kepada kita untuk percaya
kepada berita Injil dan menempatkan iman kita kepada-Nya. Ia
menyebabkan perubahan itu terjadi. Titus 3:5 menjelaskan proses tersebut:
Oleh pemandian kelahiran kembali dan oleh pembaharuan yang dikerjakan
oleh Roh Kudus. Hal yang perlu diigat bahwa sebagai manusia, kita tidak
memiliki peran apapun dalam kelahiran baru atau pembaharuan seseorang,
selain hanya menyampaikan berita Injil. Tentang hal ini, Billy Graham
menjelaskan sebagai berikut:
Pembaharuan itu bukanlah pekerjaan penginjil, itu yaitu pekerjaan
Roh Allah. Syarat yang tak dapat dipisahkan dari kelahiran baru
yaitu pertobatan dan iman, tetapi pertobatan dan iman itu sendiri
tak menyelamatkan. Iman yang sejati itu yaitu pemberian Allah
kepada seseorang seperti yang telah saya katakan bahkan menolong
kita untuk bertobat.17
Roh Kudus Menciptakan Pengakuan
Hal Penting lainnya dalam karya Roh Kudus selain menginsafkan
dan menobatkan seseorang yaitu adanya pengakuan bahwa Yesus yaitu
Tuhan (Rm 10:9-10). Dalam 1Korintus 12:3, dijelaskan: Tak ada seorang
pun yang dapat mengaku Yesus yaitu Tuhan selain oleh Roh Kudus. Roh
Kudus saja yang menyebabkan seseorang bertobat kemudian membuatnya
mengakui di dalam hati dan dengan kata-kata di dalam mulutnya, bahwa
Yesus yaitu Tuhannya.
Roh Kudus memperlengkapi Gereja
Roh Kudus memperlengkapi Gereja di samping membawa orangorang ke dalam Gereja. Roh Kudus juga mengarahkan pertumbuhan
individu-individu tersebut ke tingkat yang lebih dalam dan tinggi di dalam
Tuhan Kristus Yesus.
Perlu disadari bahwa kita tak dapat menyebabkan pertumbuhan
Gereja sama seperti halnya pertobatan. Surat Galatia 5:22 melukiskan
sembilan kualitas sifat atau karakter dan tingkah laku Kristus dalam diri
seorang Kristen sebagai buah pertumbuhan rohani, yang disebut Paulus
sebagai buah Roh. Buah Roh di sini bukan berasal dari manusia yang
mengalaminya tetapi dari Roh yang tinggal di dalamnya. Ini terjadi pada
individu-individu yang berada dan tinggal di dalam Tubuh Kristus.
Efesus 3:16 berkata tentang aktifitas Roh ini yang terjadi di dalam
batin manusia. Jika Roh Kudus tinggal dalam hati atau batin seseorang,
maka ia juga bekerja di dalam orang tersebut. Ia menggerakkan, mengubah,
menuntun dan menggembalakannya menjadi seperti Kristus dalam tiga cara
utama.
Pertama, melalui Firman Tuhan. Roh Kudus memperlengkapi
Gereja melalui Firman Allah. Ibrani 4:12 melukiskan bahwa Firman Allah
itu hidup, kuat dan tajam. Selanjutnya dalam Yohanes 16:13 ditulis bahwa
Roh akan memimpin kita ke dalam seluruh kebenaran yaitu kebenaran
tentang Tuhan Yesus Kristus. Konteks dari ayat ini yaitu percakapan di
mana Yesus sedang berhubungan dengan murid-murid-Nya berkaitan
dengan hubungan-Nya dengan Allah, Kerajaan Surga dan mereka sendiri.
Kata Yesus kepada mereka bahwa salah satu pelayanan Roh Kudus atau
Penghibur yaitu mencelikkan mata rohani mereka yang buta dan
memimpin mereka kepada pengertian yang mendalam tentang Kristus,
Anak Allah yang hidup. Roh Kudus yang hidup menggunakan Firman
Allah yang hidup, memberinya kuasa, dan dengan cara ajaib atau misterius,
supranatural, memakainya untuk mengubah seseorang di dalam hatinya dan
menumbuhkan kualitas rohaninya.
Dalam 1Tesalonika 2:13 Paulus berbicara tentang Firman yang
bekerja dalam hidup mereka yang percaya. Hubungan yang erat dan
harmonis antara Roh yang bekerja melalui Firman Allah ditegaskan lagi
oleh Stephen Tong sebagai berikut:
Dan semua yang disebut sebagai suara Roh Kudus harus sesuai dan
harmonis dengan prinsip-prinsip yang ada di seluruh Kitab Suci.
Tidak ada konflik dengan Firman. Jangan membedakan dan
memisahkan Roh Kudus dari Firman. Roh Kudus yaitu kebenaran
dan Kitab Suci yaitu kebenaran yang diwahyukan oleh Roh Kudus,
karena Roh Kudus yaitu roh kebenaran, maka Roh Kudus yang
mewahyukan kebenaran, mencerahkan orang akan kebenaran dan
memimpin Gereja kembali, masuk ke dalam pengertian dan
kenikmatan kebenaran. Roh Kudus dan kebenaran tak boleh
dipisahkan.
Kedua, melalui manusia-manusia Tuhan. Di samping menggunakan
Firman Allah, Roh Kudus juga menggunakan orang-orang dalam
menyatakan dan menyingkap makna Firman Allah. Menurut Efesus 4:12,
Allah telah memberikan orang-orang yang mempunyai karunia kepada
Gereja untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan
pelayanan. Seringkali kita melihat laki-laki dan perempuan yang
sebelumnya mati secara rohani, datang ke dalam keluarga Allah dan mulai
berkembang sementara mereka belajar dari pelayanan Firman yang
dinyatakan oleh seorang pengkhotbah, guru, gembala-gembala dan
penginjil yang memiliki karunia.
Seringkali terjadi seorang hamba Tuhan memerlukan waktu berjamjam untuk menyiapkan sebuah khotbah, tetapi sesudah menyampaikannya
ia mendapati bahwa orang-orang diberkati dan mengalami pertumbuhan
iman dan pengertiannya akan rencana Allah bagi dirinya dan dunia. Dalam
hal ini Roh Kudus telah bekerja, menyatakan kesalahan, memperbaiki
kelakuan dan mendidik orang dalam kebenaran (2Tim 3:16-17).
Jadi, Roh Kudus menggunakan hamba Tuhan untuk menjelaskan
arti Firman Tuhan. Tetapi Roh Kudus sendiri akan bekerja pada tingkat
yang lebih mendalam, menggunakan Firman yang membawa kepada
perubahan dan pertumbuhan rohani.
Ketiga, melalui karunia-karunia Roh Kudus. Cara kerja Roh Kudus
yang ketiga dalam memperlengkapi Gereja yaitu dengan mengaruniakan
karunia-karunia rohani kepada orang-orang percaya secara pribadi. Allah
memberikan kepada setiap orang sedikitnya satu karunia rohani untuk
mengisi peranan khusus dalam Gereja. Setiap karunia menyumbangkan
sesuatu kepada Tubuh Kristus. Persoalan dan sampai pada perpecahan
dalam Gereja terjadi karena masing-masing orang Kristen tak melayani
sesuai dengan jenis pelayanan yang diberikan oleh Roh Kudus kepadanya
(tak sesuai dengan karunia Roh yang ada padanya).
Kita masing-masing memiliki keterbatasan tetapi Allah telah
memberikan kemampuan atau karunia-karunia kepada yang lain untuk
mengisi dan mengimbangi keterbatasan dan kekurangan-kekurangan kita.
Tidak ada satu manusia pun yang dapat menjadi manusia super. Tiap-tiap
anggota mempunyai kemampuan atau karunia unik. Dan kita harus
menjalankan karunia-karunia itu, bukan meremehkan atau pun
memamerkannya. Dengan perkataan lain setiap orang Kristen, mesti
menemukan sebuah tempat pelayanan yang diberikan oleh Roh Kudus
kepadanya untuk mengembangkan karunia rohani yang dimilikinya. Sebab
dengan cara demikian pertumbuhan Gereja yang diharapkan dapat
tercapai.19
Faktor Antropologis
Faktor kedua terjadinya pertumbuhan Gereja yaitu aspek
antropologis yang meliputi enam pernan penting, yakni: doa, iman,
kepemimpinan yang memberdayakan, struktur pelayanan yang efektif,
ibadah yang membangkitkan inspirasi, serta kelompok kecil yang
menjawab kebutuhan anggota Gereja.
Peranan Doa
Pertumbuhan Gereja secara kualitatif, kuantitatif dan organis, akan
terjadi jika kita sadar bahwa implikasi dari pekerjaan dan pelayanan Roh
Kudus yaitu dorongan, komitmen dan kegiatan doa yang lebih serius
dengan yang kita lakukan sebelumnya. Allah mengasihi dan memelihara
Gereja-Nya. Ia selalu siap memberkati umat-Nya. Tetapi terkadang Allah
menunggu kita agar meminta daripada-Nya (Yoh 14:13-14, 15:7-8).
Tantangan Firman Tuhan benar secara teologis tetapi jarang dan kurang
dipraktikkan. Kita sering berpendirian dan berpikir bahwa kita dapat
menjalankan kehidupan Gereja (kekristenan kita) dengan baik, dengan
menggunakan sumber daya kita sendiri, tanpa mempedulikan kekuatan
ilahi. Kita kurang memiliki pengertian perlunya bergantung kepada Allah.
Kita berpikir bahwa kita tahu bagaimana menyusun program yang kreatif
sehingga ada kegiatan untuk setiap kelompok umur dan profesi. Kita tahu
bagaimana menyampaikan pikiran-pikiran teologis dengan cara menarik.
Kita tahu bagaimana cara membangun fasilitas yang bagus untuk mewadahi
program-program kita. Mungkin juga kita tahu, bagaimana menerapkan
struktur badan usaha ke dalam Gereja sehingga organisasi kita menjadi
hebat, kita tahu melakukan hal-hal tersebut dan kita berpikir, semua itu
dapat dilakukan tanpa keterlibatan Allah. Kurangnya pengertian terhadap
kebutuhan akan Allah menghilangkan pengertian kita akan perlunya
berdoa. Doa pribadi dan bersama tidak antusias, mencerminkan kurangnya
pengertian kita tentang proses supranatural yang bekerja dalam
pertumbuhan Gereja.
Kita sering berbicara tentang doa secara abstrak, lalu berdoa tidak
lagi menjadi prioritas kita. Kelesuan terhadap doa merupakan akibat dari
kecenderungan kita untuk mengukur hasil-hasil dengan cara-cara yang
berbeda dari sifat-sifat Allah. Sarana pengukur kita menunjuk kepada
jumlah anggota, jumlah rupiah atau fasilitas-fasilitas. Meskipun Allah juga
peduli terhadap aspek-aspek tersebut, namun Allah lebih melihat pada
kondisi hati manusia. Ia peduli terhadap dosa yang tak diakui; apakah kita
mengasihi Dia dan mengasihi satu terhadap yang lain? Apakah kita peduli
terhadap mereka yang terhilang?
Rasul Paulus memberi contoh-contoh doa bagi kita. Ia secara terusmenerus berdoa agar jemaat-Nya mengembangkan kualitas-kaulitas rohani
yang merupakan hal yang paling penting. Ia berdoa bagi kasih yang dalam
di antara orang percaya, bagi pengertian yang makin jelas tentang siapakah
Yesus, dan bagi peningkatan kesabaran dalam penderitaan dan
penganiayaan (Ef 3:14-21). Jika kita mulai melihat bahwa hal-hal itu tak
akan terjadi kecuali melalui jawaban doa, maka doa akan menjadi lebih
daripada sekedar program pilihan atau tambahan saja. Sebaliknya doa akan
menjadi kekuatan yang mendorong pertumbuhan Gereja.20
Peranan Iman
Karya Roh Kudus dalam pertumbuhan Gereja mempunyai implikasi
bagi iman kita. Persoalan kita, seringkali terlalu banyak di antara kita
masuk dan terjual dalam sebuah pelayanan pemeliharaan (status qua).
Terdapat suatu kekurangan dan ketidakpercayaan bahwa Allah akan
melakukan mujizat. Kita telah menjadi satu generasi yang ragu-ragu dan
mungkin takut. Kita sering menganggap Allah tidak dapat melakukan halhal yang besar dan tak terpahami (Yer 33:3). Atau mungkin kita juga masih
percaya tetapi hanya dalam tingkatan ajaran atau doktrin saja di dalam
pemikiran kita. Salah satu sebabnya yaitu karena kita tak memiliki iman
terhadap perkara-perkara yang besar dari Allah. Kita akan percaya kepada Allah jika kita merasa terpaksa. Kita cenderung melihat pada setiap
altematif manusia dalam penyelesaian suatu masalah, sebelum akhimya kita
berpaling kepada Allah. Untuk mengajar murid-murid tentang iman,
berkali-kali Yesus membawa mereka ke dalam situasi yang tak
berpengharapan dari sudut pandang manusia (badai di laut, 5.000 orang
yang harus diberikan makan, dan lain sebagainya). Yesus sedang melatih
mereka untuk beriman dan berpaling kepada-Nya dengan sebuah sikap
ketergantugan dan berpengharapan di dalam Dia saja. Kita akan belajar
berpaling kepada-Nya, hanya jika kita telah mulai melihat kegagalan usaha
manusiawi untuk menghasilkan perkara-perkara rohani di luar Dia.
Kurangnya iman yang membawa ketergantungan kepada Allah
dapat ditelusuri pada pengertian tentang siapa yang bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan Gereja. Jansen dan Jim Stevens menegaskan sebagai
berikut:
Jika kita percaya bahwa pertumbuhan yaitu karya manusia, maka
kita akan berpaling kepada manusia untuk memperoleh sumbersumber daya; perhatian kita akan berada pada rencana-rencana dan
strategi-strategi kita. Kita akan cenderung menggunakan cara
penyeleksian manusiawi terhadap masalah-masalah yang tak
terselesaikan. Tetapi hasil dari proses buatan manusia yaitu sebuah
produk karya manusia. Jika Gereja harus bertumbuh, Gereja harus
bergantung dengan kendali manusia. Jika Gereja harus bertumbuh,
Gereja harus bergantung kepada Allah, Gereja juga akan
berpengharapan. Seluruh proses akan menjadi sebuah pengalaman
besar seperti yang seharusnya. Pengalaman untuk melihat Allah
yang hidup terus-menerus melakukan perkara-perkara yang tak
dapat dijelaskan dengan bahasa manusia. Jika kita tahu bahwa hanya
Allah yang dapat melakukan hal-hal tersebut terjadi, maka kita akan
meminta kepada-Nya perkara-perkara yang mustahil dan percaya
bahwa Ia akan melakukannya.21
Karena itu, orang-orang Kristen perlu belajar bagaimana berdoa dan
melangkah dengan iman dalam setiap peristiwa. Peristiwa-peristiwa iman
menantang umat Allah untuk percaya bahwa Ia akan memberikan sesuatu
di luar jangkauan mereka. Gereja perlu dimobilisir agar melalui iman
mendoakan perkara-perkara besar. Mulai dengan doa bersama untuk situasi
yang tampaknya tak berpengharapan. Misalnya sang pecandu alkohol yang
perlu dilepaskan, sebuah keluarga yang tampaknya harus bercerai atau
orang-orang yang telah tersesat pada jalan Setan dan sebagainya.
Banyak Gereja mengalami kemunduran rohani dan moral. Mereka
memiliki mentalitas yang lelah. Tetapi keadaan demikian dapat berubah
jika kelompok-kelompok Kristen berdoa bagi hal-hal yang tak mungkin.
Allah pasti menyukai doa-doa semacam itu dan Ia akan menanggapinya.
Iman melibatkan resiko dan usaha tanpa takut akan kegagalan. Tetap
beriman walaupun dalam situasi yang tak menyenangkan. Ini berarti bahwa
orang Kristen harus belajar nyerempet-nyerempet bahaya. Ini juga berarti
orang-orang Kristen belajar meremehkan kesulitan-kesulitan. Tentang hal
ini, seorang pakar pertumbuhan Gereja menulis sebagai berikut:
Sejarah berhubungan dengan pertumbuhan Gereja, salah satu hasil
dari studi kami menunjukkan bahwa kenyataan yang penting,
bukanlah bagaimana cara kerohanian diekspresikan, melainkan
kenyataan bahwa iman dihayati dan diamalkan berdasarkan
komitmen yang berapi-api dan antusiasme. Tingkat kehausan rohani,
jelas merupakan titik yang memisahkan Gereja yang bertumbuh
dengan yang tidak.22
Peranan Kepemimpinan yang Memberdayakan
Hasil studi dan penelitian para pakar pertumbuhan Gereja
membuktikan bahwa para pemimpin Gereja yang bertumbuh tidaklah
berusaha membangun kekuasan mereka untuk menjadi sangat dominan.
Justru sebaliknya mereka menganggap salah satu tugas yang terpenting
yaitu menolong orang-orang Kristen mengembangkan tingkat
kemampuannya, menurut yang telah Allah berikan kepada mereka. Para
pemimpin di sini melayani untuk memperlengkapi, mendukung,
memotivasi dan menjadi mentor bagi individu-individu untuk menjadi seperti yang Allah kehendaki atas mereka. Beginilah sifat daripada
kepemimpinan Kristus yang berjiwa memuridkan segala bangsa bagi
perluasan kerajaan-Nya di bumi ini.23
Peranan Struktur Pelayanan yang Efektif
Kriteria paling penting untuk bentuk dan struktur di dalam Gereja
yang bertumbuh yaitu apakah Gereja-gereja tersebut memenuhi tujuannya,
apakah Gereja tersebut jalan di tempat atau sedang mundur dan akhimya
merosot, yang ujung-ujungnya menjadi Gereja yang mati? Struktur Gereja
sendiri tak pernah dan tidak boleh menjadi tujuan, tetapi selalu hanya
merupakan sarana untuk mencapai suatu tujuan. Disarankan oleh para pakar
supaya apa pun yang tak memenuhi persyaratan-persyaratan ini seperti,
struktur kepemimpinan, merendahkan martabat, waktu ibadah yang tak
tepat atau program yang tak menjangkau khalayak secara efektif lebih baik
diubah dan dinonaktifkan. Melalui proses pembaharuan ini, kebiasaan yang
hanya bersifat tradisi dapat dipertahankan sejauh masih efektif.24
Peranan Ibadah yang Membangkitkan Inspirasi
Ibadah yang dimaksud dengan membangkitkan inspirasi yaitu
kegiatan menyembah Allah, bersekutu dengan Dia, berdoa kepada-Nya,
memuji dan menyanyi bagi Allah, mengaku dihadapan-Nya dan memberi
tanggapan kepada-Nya, sebagaimana layaknya Ia patut ditinggikan dan
dimuliakan seperti yang dinyatakan dalam firman-Nya. Dalam ibadah ini
pertanyaan yang patut disampaikan yaitu apakah ibadah merupakan
pengalaman yang membangkitkan inspirasi bagi mereka yang
menghadirinya? Jika ya maka ibadah itu akan dihadiri dan dinikmati, jika
tidak maka ibadah itu kurang diminati.
Bidang ini secara jelas memisahkan Gereja yang bertumbuh dengan
Gereja yang tidak bertumbuh. Dari sekian banyak kelompok Kristen,
terdapat pemikiran yang berbeda-beda tentang fungsi dan manfaat ibadah.
Di antaranya ada yang biasa beribadah hanya sekedar memenuhi tuntutan
agamanya, datang ke Gereja hanya demi berbuat baik bagi Allah atau bagi gembalanya atau orang lain. Beberapa orang di antara mereka percaya
bahwa kesetiaan dalam beribadah seperti itu diberkati oleh Allah.
Sedangkan bagi yang lain ibadah itu benar-benar sangat menggairahkan dan
membangkitkan inspirasi dan semangat. Dalam posisi dan pandangan yang
mana kita berada, merupakan petunjuk dan pertanda yang jelas tentang
keadaan Gereja kita. Ibadah yang benar dan mendatangkan kualitas
pembaharuan, itulah salah satu sebab bagi pertumbuhan Gereja baik
kualitas maupun kuantitas dan organis.25
Peranan Kelompok Kecil yang Menjawab Kebutuhan Anggota
Penelitian para pakar telah membuktikan bahwa Gereja yang
bertumbuh lezimnya yaitu Gereja yang mengembangkan hadirnya sistem
kelompok kecil, dimana setiap orang Kristen dapat berkomunikasi dengan
intim, mendapat pertolongan sehari-hari dan dukungan pertumbuhan rohani
yang tetap dalam kelompok ini. Isi Alkitab di dalam kelompok ini,
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok kecil seperti ini,
bukanlah suatu pilihan hati atau kesenangan yang dilakukan bila ada waktu,
tetapi ini merupakan pokok kehidupan yang utama dari Gereja Tuhan yang
bertumbuh. Dalam buku Bukan Sekadar Jumlah, Dr. Yonggi Cho
menjelaskan pentingnya pelayanan di dalam Kelompok Sel.
Terdapat banyak orang di tengah-tengah masyarakat kita, yang telah
menjadi anggota dari suatu Gereja, akan tetapi sekarang tak lagi
menghadiri kebaktian dimana pun juga. Oleh karena sesuatu alasan
maka menggabungkan diri dengan jumlah guguran orang-orang
Kristen yang kita saksikan tersebar di seluruh dunia. Sebagian besar
dari guguran orang-orang Kristen itu, menurut pandangan saya,
mempunyai alasan yang sama. Mereka masih tetap percaya kepada
Yesus Kristus. Mereka masih tetap menganggap diri sebagai orang
Kristen, akan tetapi mereka telah dikecewakan oleh pihak Gereja.
Beberapa di antaranya bahkan ada yang telah melibatkan diri dalam
perpecahan Gereja. Sebagian lagi di antaranya ada yang merasa
kecewa terhadap pendeta atau gembala sidang mereka, atau terhadap
kepimpinan Gereja mereka. Ada lagi yang mungkin telah jatuh ke
dalam lembah dosa dan sudah meras amalu untuk kembali ke Gereja, sebagian lagi ada yang mungkin merasa malu untuk kembali ke
Gereja, sebagian lagi ada yang mungkin merasa diabaikan oleh
gembala sidang, yang tidak pernah datang berkunjung menengok
mereka entah apa pun alasannya, kita temukan masih ada kelompok
besar orang-orang yang perlu untuk kita capai dan sen