doktrin tritunggal

Tampilkan postingan dengan label doktrin tritunggal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label doktrin tritunggal. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 Juli 2025

doktrin tritunggal


 


Orang Kristen ada dan hadir di tengah-tengah dunia yang plural. Sebab, 

pluralitas itu niscaya dalam hidup manusia. Realitas kemajemukan tidak bisa 

dihindari dan ditolak, sehingga berbeda itulah hidup, menerima perbedaan 

itulah indahnya hidup. Hidup bersama, meskipun berbeda dalam banyak hal, 

saling menerima satu dengan yang lain, demikianlah semestinya hidup dijalani. 

Akan menjadi Ironis, jika gaya hidup yang eksklusif, tertutup, dan isolatif, 

bahkan separatis yang ditampilkan. 

Namun faktanya, fenomena hidup yang eksklusif, tertutup dan 

cenderung hanya mau berbaur dengan yang sefaham, segolongan, dan 

sekeyakinan saja menjadi ciri khas sekelompok orang yang ekstrem atau 

singkatnya yang biasa disebut dengan gerakan radikalisme dan 

fundamentalisme. Menurut Karen Amstrong dalam bukunya “Berperang Demi 

Tuhan” mengatakan bahwa corak hidup yang eksklusif, separatis sudah ada 

sejak zaman Yesus, yang disebut dengan Farisisme.1

 Begitupun di kalangan 

kekristenan sendiri. Di Filipina terdapat kelompok tertentu dari Gereja Katolik 

yang masuk ke dalam bidang politik dan hanya mengambil keuntungan bagi 

diri sendiri, tanpa memperhatikan sesama yang miskin.2

 Yang kemudian hal ini 

mendapat kecaman keras dari Paus. 

Kemudian dikalangan Protestan khususnya kelompok evangelikal 

sendiri dengan lahirnya gerakan fundamentalisme yang awal mulanya 

berorintasi pada pembelaan dan proklamasi kembali iman, yang kemudian 

berubah sikap menjadi lebih sensitif, cepat tersinggung, memiliki pemikiran 

yang tertutup, intoleransi, merasa superior 

Tak bisa dipungkiri mentalitas ghetto begitu mewarnai gereja sehingga 

gereja menjadi terasing dalam masyarakat, itulah sebabnyaseruan integrasi 

bukan ghetto menjadi signifikan,4

 oleh PGI dalam Sidang Raya XI tahun 1989 

menegaskan kembali komitmen mereka agar terlibat aktif dalam 

pembangunan skala nasional dan bangsa. Yang pada prinsipnya menjauhkan 

sikap eksklusif dan sikap apatis sebagai gaya hidup gereja.5

 Hal yang senada 

dalam kritikan Eka Darmaputera yang juga sangat tajam terhadap teologi yang 

dianut oleh kelompok tertentu yang tak kurang introvert, eksklusif, 

individualistis dan dualistisnya,6

 yang tentu saja berpengaruh langsung pada 

gaya hidup praksis dari para penganutnya. 

Karena itu, berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis 

mencoba merumuskan aspek praktis-relasional doktrin Tritunggal, sebagai 

pijakan etis-praktis orang Kristen berelasi dengan sesamanya. Seperti apa yang 

dikatakan oleh Leith bahwa: the Triune God is both “unity” and “diversity” 

(“one God in Three Person”), with the communion of love binding together, so 

the cosmos itself reflect this same unity and diversity as the expression of the 

creative of the Triune of God.7

Disatu sisi, biasanya tulisan tentang Tritunggaldi kalangan kaum Injili 

lebih banyak dalam kajian yang bersifat apologetik, karena memang doktrin ini 

seringkali disalah-mengerti atau dipahami oleh golongan tertentu.8

Tulisan ini 

mencoba melihat dari sisi yang berbeda denganmereformulasi doktrin 

Tritunggal yang ditinjau dari aspek Praktis-relasional dalam perspektif Injili.

Doktrin Tritunggal merupakan doktrin yang rumit,9

namun bukan 

berarti doktrin ini salah atau keliru. Sebab konfesi akan Tritunggal yaitu  

kebenaran dan juga misteri ilahi10 yang hanya dapat diterima oleh dan melalui 

iman. Bukan juga terjebak pada sikap yang fideistik, karena bagaimanpun juga 

dalam argumentasinya memiliki penalaran yang rasional, meskipun juga harus 

diakui untuk memahaminya sistem pikir “akal yang diperluas” atau melampaui 

akal harus dipertimbangkan, yang kemudian sumber utama yaitu  pada apa 

yang dikatakan oleh Alkitab. 

Allah Tritunggal menurut Grudem dapat didefinisikan sebagai: “God 

eternaly exists as Three persons, Father, Son, and Holy Spirit, and each 

person is fully God, and There is one God.11Memang istilah Tritunggal tidak 

pernah muncul di dalam Alkitab, tetapi tidak berarti tidak diajarkan dalam 

Alkitab. Justru Alkitab memberikan data yang cukup lengkap baik secara 

eksplisit maupun implisit tentang konsep Tritunggal.12 Karena itu, sangat tepat 

apa yang dikatakan oleh Louis Berkhof bahwa: “doktrin Allah Tritunggal 

sesungguhnya yaitu  doktrin pewahyuan.”13 Artinya doktrin Tritunggal bukan 

hasil rumusan gereja, tetapi penyataan Allah sendiri dalam Alkitab. Allah yang 

tersembunyi (Deus Absconditus), telah menyatakan diri-Nya sendiri (Deus 

Revelatus). Ini merupakan perspektif Injili. 

Oleh karena itu dalam pembahasan tentang rumusan doktrin Tritunggal 

akan diuraikan dari beberapa aspek, yaitu: Presuposisi, Pernyataan Doktrinal. 

Presuposisi 

Dalam usaha membangun sebuah teologi, peran presuposisi menjadi 

sangat penting karena akan sangat menentukan arah dari bangunan teologi itu. 

Presuposisi bisa dikatakan sebagai asumsi dasar, pra-anggapan, pra￾pengetahuan seseorang dalam usahanya menafsir atau melihat sesuatu. Dengan

kata lain, pentingnya metode teologi sistematik, dimana didalamnya terdapat 

presuposisi Teisme Kristen, Allah sebagai the Absolut, self-conscious Being 

(Keberadaan Mutlak yang berkesadaran diri) menjadi Principium Essendi 

(Prinsip Utama).14 Keberadaan yang Mutlak yang berpribadi tersebut yaitu  

Allah Tritunggal berdasarkan special revelation. Van Til menyebut ini sebagai 

presuposisi Ultimat.15 Dengan kata lain, presuposisi Kristen bersifat 

supranaturalistik-revelasional. 

Oleh karena itu, presuposisi Teisme Kristen bersifat Trinitarian, 

kepercayaan kepada Allah Tritunggal.16 Dimana doktrin Tritunggal 

mencerminkan keyakinan kepada Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh 

Kudus. Serta keyakinan akan inkarnasi Yesus Kristus dalam kerangka 

penebusan atau karya keselamatan umat pilihan-Nya. Ini merupakan 

worldview Kristen dan melalui formulasi doktrinal akan menjadi lifeview 

ataupun habit dalam hidup orang Kristen, dalam berelasi dengan sesamanya. 

Tritunggal Sebagai Basic Beliefs

Doktrin Tritunggal merupakan teisme Kristen, sekaligus basic 

beliefs17yang mencirikan kekhususan iman kekristenan berdasarkan revelasi. 

Seperti yang dikatakan oleh Karkkainen bahwa: 

Doktrin Tritunggal bukan hanya prinsip penstrukturan dari doktrin 

Kristen, melainkan juga cara mengidentifikasikan Allah Alkitab. 

Doktrin Tritunggal ialah apa yang secara mendasar mencirikan doktrin 

Kristen tentang Allah dan dengan demikian telah membedakan konsep 

penyataan Kristen sebagai Kristen, berbeda dengan semua doktrin 

Allah yang lain. Doktrin Tritunggal ialah satu-satunya jawaban Kristen 

yang mungkin atas pertanyaan siapa Allah yang menyatakan diri-Nya.18

Karena itu, doktrin Tritunggal mencerminkan keyakinan orang Kristen 

yang kokoh mengenai Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus berdasarkan Alkitab 

sebagai wahyu khusus yang yaitu  sumber prinsip dan pengetahuan bagi 

kehidupan etis praktis orang Kristen.


Doktrin Tritunggal Sebagai Akar Dari Semua Doktrin Kristen 

Doktrin Tritunggal yaitu  pusat dari iman Kristen, tanpa doktrin 

Tritunggal kekristenan kehilangan konten dan esensi dari iman Kristen itu 

sendiri. Doktrin Tritunggal sebagaimana Allah sendiri telah mewahyukannya 

(Deus Revelatus). Dengan demikian doktrin ini merupakan inti dari iman 

Kristen, akar dari semua doktrin dan seluruh ativitas bergereja, bahkan semua 

doktrin yang lain tersusun dan berpijak pada doktrin Tritunggal itu sendiri. 

Sebab itu, seperti yang dikatakan oleh Timo bahwa: 

Tanpa iman kepada Allah Tritunggal, pemahaman Kristen tentang 

semua hal dalam iman Kristen tidak memiliki keunikan apa-apa. Tanpa 

iman kepada Allah Tritunggal, ibadah dan penyembahan Kristen 

hampa, tak bermakna dan kehilangan pengharapan. Iman Kristen 

berbeda dari agama-agama yang kita kenal.19

Sebab itu, doktrin Tritunggal yaitu  doktrin yang sangat penting dalam 

teologia Kristen.Seperti yang dikatakan oleh Grudem bahwa: “the doctrine of 

the Trinity is one of the most important doctrines of the Cristian faith”.20

Senada dengan apa yang dikatakan oleh Erickson bahwa: “the doctrine of the 

Trinity is crucial for Christianity.”21Jatuh bangunnya iman Kristen sungguh￾sungguh bergantung pada benar-tidaknya doktrin ini. Sebab, hampir semua 

pokok penting dalam iman Kristen, bergantung pada ajaran bahwa Allah 

yaitu  tiga dalam satu.22

Jadi, doktrin Tritunggal yaitu  fondasi keseluruhan Teologi Kristen. Itu 

juga berarti bahwa doktrin Tritunggal menjadi fondasi bagi ortopraksi orang 

Kristen, khususnya aspek relasi baik di gereja ataupun relasinya dengan dunia. 

Pernyataan Doktrinal 

Untuk dapat memahami korelasi antara doktrin Tritunggal dari aspek 

praktis-relasional, maka diperlukan pernyataan doktrin Tritunggal, yang secara 

niscaya menjadi norma absolut bagi orang Kristen dalam berpikir, bersikap 

dan bertidak terhadap sesama yang yang plural di dunia ini. Kerangka berpikir 

sistematik mengenai konsep Allah Tritunggal sebagaimana saya gambarakan 

di bawah ini: 


Dari quid melihat keberadaan Allah dalam dua persepsi, yaitu esensi

dan substansi. Esensi untuk melihat “apakah” Allah pada hakekatnya (ousia), 

qradus atau kualitas materi sebab Ia yaitu  Theos (kata benda tapi, bukan 

materialisme) Allah berbeda (different) secara kualitas sebab Ia “beyond the 

matter” dan berada diluar ruang dan waktu, hanya saja ini upaya manusia 

mencoba melihat Allah dari dalam ruang dan waktu, sementara substansi 

melihat “siapakah” Allah dari sisi persona (person) untuk melihat status atau 

kuantitas, dari sinilah melihat Allah Tritunggal dari segi kuantitas, dimana 

secara personal beda (distinct) akan tetapi, secara status yaitu  sama (equal), 

juga dalam aspek qualisnya dalam sifat-sifat dan atribut-Nya.23

Oleh sebab itu, Pernyataan doktrin Tritunggal secara ringkas, 

diungkapkan dalam pengakuan Iman Westminster yang berkata bahwa: 

“Di dalam Allah yang esa, terdapat tiga Pribadi, yang yaitu  satu 

dalam substansi, kuasa dan kekekalan; Allah Bapa, Allah Anak dan 

Allah Roh Kudus. Bapa bukan dari apapun, juga bukan diperanakkan 

oleh siapapun, juga bukan keluar dari apapun; Anak diperanakkan dari 

Bapa sejak kekekalan; Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak sejak 

kekekalan.”

24

Lebih lanjut, Erickson memaparkan Istilah Tritunggal, harus di pahami 

dalam 3 pendekatan yang berdasar pada Alkitab, yaitu, “The Oneness of God, The Deity of Three, dan Three-in-Oneness.25 Jika diparalelkan antara Kredo 

Westminster di atas, dan pendekatan yang dipakai oleh Erickson, maka penulis 

menguraikan secara terperinci melalui proposisi-proposisi sebagai berikut: 

Singularitas Allah 

Singularitas Allah artinya yang menekankan kesatuan Allah, faktanya 

bahwa Ia secara angka satu dan bahwa Ia unik. Cakupan arti logis dari istilah 

ini yaitu  hanya ada satu keberadaan Ilahi, tidak mungkin ada lain, selain satu 

keberadaan Ilahi dan semua keberadaan lain ada dan melalui serta kepada￾Nya.26 Dalam keberadaan Ilahi hanya ada satu esensi yang tidak terbagi 

(ousia esentia). Allah yaitu  satu dalam esensi-Nya atau dalam natur 

konstitusional-Nya. 

Alkitab mencatat dalam Kitab Ulangan 6:4 menggunakan kata דָח ֶא

'echad, yang berarti satu. Kata echad dipakai dalam berbagai variasi misalnya 

diartikan sebagai a compound one (satu gabungan), semua satu, satu dengan. 

Kata Ibrani lain yang dekat berkaitan dengan echad dan digunakan bergantian 

dengan kata badhadh berarti sendiri, yang pertama. 

Kata echad bukan an absolute one (satu yang mutlak).27 Kata itu 

digunakan misalnya untuk satu tandan anggur atau mengatakan bangsa Israel 

merespons sebagai satu bangsa.28 Sebaliknya kata Ibrani yang berarti satu yang 

mutlak (an absolute one), mengunakan kata יד ִחָיyachiyd (Kej 22:2, 16).29 Dan 

bukan kata yachiyd dipakai dalam konteks Allah yang esa, tapi kata echad. 

Selanjutnya, Boice juga mengatakan bahwa echad bukan satu dalam isolasi, 

satu dalam kesatuan. Faktanya kata itu tidak pernah digunakan dalam bahasa 

Ibrani sebagai suatu entitas tunggal.30 Ini bukan hanya berarti satu-satunya 

Allah yang benar di dunia ini, tetapi juga artinya tidak ada Allah lain. 

“Pluralitas” Allah 

Ini tidak berarti ada banyak Allah (politeisme), tetapi adanya 

“kejamakan” dalam diri Allah. Secara evidensial, ditunjukkan oleh Alkitab, 

misalnya melalui penggunaan nama Allah dalam Perjanjian Lama, dipakai kata 

 ים ִ֑ ִלהֱֹא (elohim) dalam Kejadian 1:1 yang merupakan kata bentuk jamak

plural). Demikian juga, banyak referensi ayat Alkitab yang mengindikasikan 

adanya “kejamakan” dalam diri Allah, seperti Kejadian 1:26: Berfirmanlah 

Allah: "Baiklah Kita...”; Kejadian 3:22 "... Sesungguhnya manusia itu telah 

menjadi seperti salah satu dari Kita, Begitu pun dalam Kejadian 11:7, “Baiklah 

Kita turun...” dan masih banyak ayat yang menyatakan kejamakan dalam diri 

Allah. 

Lebih jelas lagi di dalam Perjanjian Baru, seperti Matius 3:16-17 

mencatat bahwa: “ketika Yesus dibaptis, Bapa berbicara dari Surga dan Roh 

Kudus turun dalam wujud seperti burung merpati.” Peristiwa ini menunjukkan 

dengan jelas adanya “kejamakan” dalam diri Allah.

Data Alkitab di atas menunjukkan adanya tiga subsistensi atau tiga 

Pribadi yang berbeda, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus. Para penulis Yunani 

memakai istilah hupostatis, dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan 

persona. Pribadi Bapa, bukan Anak, Pribadi Anak bukan Pribadi Roh Kudus, 

demikian juga sebaliknya. Pluralitas, atau kejamakan bahkan juga dapat 

dikatakan keragaman dalam diri Allah diekspresikan melalui tiga Pribadi. Jadi, 

Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu  Pribadi yang berbeda. 

Selanjutnya, pluralitas dalam diri Allah ini terlihat melalui pekerjaan 

masing-masing Pribadi. Artinya setiap pribadi dalam Tritunggal memiliki 

peran yang berbeda, secara khusus dalam opera ad extra dimana Bapa sebagai 

Pencipta, pemelihara, Anak sebagai Penyelamat dan Penebus dan Roh Kudus 

melahirbarukan, menghibur dan memelihara Orang Kristen. 

Bapa-bapa gereja awal, Ignatius, Klement dari Aleksandria dan Origen, 

misalnya mampu untuk mengekspresikan aspek dispensasi ilahi. Dimana 

konsep ekonomi menjadi cara mengintegrasikan pluralitas, mempertahankan 

kekayaan dan keragaman cara dari satu Allah dalam dunia.31

Allah pada diri-Nya sendiri ad intra (adanya subsistensi-subsistensi: 

Bapa, Anak dan Roh Kudus) dan di luar diri-Nya melalui karya-Nya opera ad 

extra (Tiga Pribadi melalui pekerjaan masing-masing) Irenieus memiliki 

konsepsi yang kaya mengenai konsep Tritunggal ekonomi. Kita dapat 

mengatakan bahwa Irenaeus mampu memberikan konsep yang sangat koheren 

dan memuaskan dari konstitusi ilahi dan keterlibatan dalam ruang dan waktu 

dalam dunia ciptaan-Nya.32 Hal ini merupakan keunikan doktrin Tritunggal, 

secara ekonomi, Allah terlibat aktif dalam sejarah manusia. 

Seperti apa yang dikatakan oleh Frame bahwa: “Tritunggal bukan 

semata-mata satu dan semata-mata tiga, melainkan selalu tiga di dalam satu. 

Maka ciptaan merupakan kesatuan dalam kejamakan.

Equalitas “Tiga Persona” Allah 

Bapa, Anak dan Roh Kudus sama-sama Allah yang tunggal dan esensi 

yang tidak terbagi-bagi dan segala kesempurnaan dan prerogatif ilahi, yaitu  

kepunyaan dari masing-masing Pribadi dalam pengertian dan derajat yang 

sama.34 Bapa, Anak dan Roh Kudus sehakekat, setara, sekedudukan, seesensi, 

merupakan tiga pribadi yang berbeda, tetapi satu Allah. Satu keberadaan, tiga 

Pribadi, atau tiga Pribadi dalam satu keberadaan. Bapa tidaklah lebih mulia 

dan lebih tinggi derajat-Nya daripada Anak, demikian juga Anak tidaklah lebih 

tinggi derajatnya daripada Roh Kudus, demikian juga sebaliknya. 

Artinya, masing-masing Pribadi yaitu  Allah sepenuhnya, memiliki 

semua atribut ilahi. Pribadi-pribadi itu bukankah bagian-bagian dari Allah, 

seolah-olah Satu Pribadi bisa bertindak tanpa kedua Pribadi lainnya. 

Keberadaan Allah menunjukkan suatu identitas numeral yang mutlak. Ia 

yaitu  satu “Keberadaan”, bukan tiga; ketiga-tiganya mengambil bagian dari 

satu “esensi.”35 Satu esensi dalam tiga Pribadi yang sama-sama equal. 

Alkitab memberikan data tentang kesetaraan atau derajat yang sama 

diantara Tiga Pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus). Dalam Perjanjian Baru 

Injil Yohanes 5:31 menunjukkan Yesus sebagai saksi, dan Yohanes 5:32, 37a 

menunjukkan Bapa sebagai “saksi yang lain”. Frase “yang lain” menjadi frase 

kunci. Dalam bahasa Yunani dipakai kata ἄλλος (allos). Ada dua kata bahasa 

Yunani yang berarti “yang lain” allos dan heteros. Allos menunjuk pada “yang 

lain” dari jenis yang sama, sedangkan heteros menunjuk pada “yang lain” dari 

jenis yang berbeda.36 Sama halnya dengan relasi antara Yesus dengan Roh 

Kudus. Yesus disebut παράκλητοϛ (parakletos)dalam I Yohanes 2:1 dan Roh 

Kudus juga disebut sebagai ἄλλον παράκλητον (Penolong “yang lain”)dalam 

Yohanes 14:16. Dipakai juga kata allos/allon, yang menunjukkan 

kesederajatan atau kesetaraan kualitas keduanya. 

Untuk menjelaskan ketiga Pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) equal 

dalam Kredo Konstantinopel dikatakan sebagai berikut: “Kami percaya bahwa 

ada satu hakekat (ousia) dari Bapa dan Anak dan Roh Kudus dalam tiga 

kepribadian yang sempurna (hypostatis) atau tiga Pribadi yang sempurna 

(prosopois).37 Penekanan pada kredo ini sebenarnya terletak pada kesatuan dan 

kesamaan hakekat (homoousios) yang dimiliki oleh ketiga Pribadi dalam 

Tritunggal. 

Karena itu, Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu  setara dalam hakekat. 

Diantara ketiganya tidak ada hakekat yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Bahkan ketiganya bukan hanya memiliki hakekat yang setara, tetapi juga 

hakekat yang satu (bukan triteisme ataupun politeisme).

Relasionitas“Tiga Persona” Allah

Doktrin Allah Kristen, yang bersifat Trinitarian akan memudahkan kita 

memahami relasi kebersamaan kemajemukan pada diri Allah sendiri dalam 

kekekalan, sebelum dunia diciptakan. Artinya sebelum dunia diciptakan 

melalui doktrin Tritunggal Allah memiliki aktivitas relasional di dalam diri￾Nya sendiri. Roger Nicole mengatakan bahwa: 

Yet the doctrine of the trinity to apprehend in God something of his 

own inner life and to see in him the intimate attachment of the Father 

to the Son, of the son to the father, of both them to the holy spirit, and 

the holy spirit to both of them.38

Schaffer mengatakan bahwa: tiga Pribadi saling mengasihi dan saling 

berkomunikasi, sebelum adanya semua hal yang lain (sebelum 

penciptaan).39Apsek trinitarianisme dikenal dengan istilah perichoresis atau 

dalam bahasa Latin circumincessio yaitu  doktrin yang menunjukkan saling 

berdiamnya tiga Pribadi dari Tritunggal. Dimana satu sama lain, berada dalam 

kesatuan. Istilah ini didefinisikan sebagai pemahaman dan berdiamnnya tiga 

Pribadi secara timbal balik dalam satu dan lainnya. Dalam konsepsi Yunani 

tentang Tritunggal ada penekanan pada pemahaman timbal balik dari tiga 

Pribadi, dalam keastuan esensi Ilahi. Dalam gagasan Latin, penekanannya pada 

relasi internal dari tiga Pribadi.40

Didalam pembahasan teologi Trinitarian maka isu tunggal yang dapat 

dikemukakan berdasarkan kesepakatan bersama menunjukkan sikap 

antusiasme kolektif yang disebut dalam kategori “relasionitas.”41

IMPLIKASI PRAKTIS–RELASIONAL 

BAGI HIDUP ORANG KRISTEN


Semua konsep memiliki konsekuensi arti maupun maknanya. Demikian 

juga sebuah doktrin itu memiliki implikasi logis berkenaan dengan kehidupan 

praktis setiap orang yang meyakininya, sehingga konsep ataupun doktrin yang 

dianut terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. 

Doktrin Trinitas sama seperti formulasi doktrinal lain dari iman 

Kristen, harus dipikirkan dengan serius. Ini yaitu  doktrin yang menyediakan 

kita dengan wawasan asli ke dalam realitas ilahi. Hal ini dimaksudkan untuk 

memberikan makna bagi kehidupan Kristen dan ibadah.42 Artinya implikasi 

dari doktrin Tritunggal bagi iman Kristen sangat kaya, sebab doktrin ini sangat 

fundamental dalam memahami Allah dan relasinya dengan dunia, khususnya 

dalam kaitannya dengan penebusan. Sebagaimana semua doktrin Kristen 

berhulu pada doktrin Tritunggal menjadi fondasi serta tiang keseluruhan 

doktrin, bahkan akhirnya bermuara juga pada Allah Tritunggal, maka tidak 

bisa tidak, ini mempengaruhi kehidupan umat Tuhan baik segi ibadah maupun 

relasi sosialnya. Karena itu, Penulis menemukkan implikasi praktis-relasional 

doktrin Tritunggal yang harus menjadi pijakan cara tindak atau prilaku orang 

Kristen hidup ditengah-tengah dunia yang majemuk. 

Singularitas dalam Pluralitas: Sikap Hidup Yang Inklusif dan Toleran 

Dalam Allah ada kejamakan, tetapi kejamakan itu tidak saling 

menyerang, menjauhkan diri, atau menghancurkan. Yang tiga yaitu  satu, 

tanpa jatuh dalam bahaya menjadi sama atau seragam (tresunum sunt, non 

unus) Allah bukanlah kesatuan yang seragam dan sama, melainkan kesatuan 

dari yang tidak seragam dan tidak sama.43

Semangat kebersamaan, hidup dalam kasatuan ditengah pluralitas 

yaitu  refleksi doktrin Tritunggal. Kejamakan tidak harus bertendensi pada 

perpecahan atau segmentasi-segmentasi golongan kepercayaan dan etnis yang 

heterogen. Sebaliknya, ditengah hidup manusia yang plural tercipta kesatuan 

antara satu dengan yang lainnya. Tanpa harus memaksa yang “berbeda” 

menjadi sama dengan golongan tertentu. Pluralitas bukanlah ancaman. Justru 

adaanya kesatuan dalam kemajemukan merupakan prinsip hidup yang niscaya 

dalam hidup manusia, karena di dalam diri Allah yang Esa terdapat pluralitas 

dalam singularitas. Schaeffer mengatakan bahwa: “kesatuan dan keragaman 

tidak mungkin eksis sebelum Allah atau ada dibalik Allah, karena apapun yang 

paling dulu ada yaitu  Allah. Doktrin Trinitas merupakan kesatuan dan 

keragaman yaitu  Allah sendiri, Tiga Pribadi, satu Allah.”44

Ini merupakan dasar bagi relasi sosial yang transcendental, dimana 

keberadaan umat Tuhan sebagai gereja bisa berelasi dengan harmonis ke dalam 

bagian sebuah kelompok sosial. Bukan hidup dalam individilistis, tetapi hidup

secara kolektif, hidup dalam komunitas, kesatuan antara pribadi-pribadi dalam 

sebuah relasi yang harmonis.45

Trinitas merupakan landasan konseptual yang sangat tepat bagi 

keharmonisan hidup masyarakat yang berbeda. Itu berarti orang Kristen tidak 

hidup terpisah atau memisahkan diri dari dunia, tetapi hidup secara bersama 

dan juga menjadi bagian aktif dari dunia. Hidup bersama dengan orang-orang 

yang berbeda suku, agama, ras dan antar golongan dalam satu kesatuan atau 

sebagai bagian yang tak terpisahkan. Pada titik ini, maka hidup yang eksklusif 

tidaklah menjadi pola atau gaya hidup Kristen. Sebaliknya menampilkan pola 

hidup yang inklusif, terbuka dan menjadi bagian dari kelompok yang berbeda, 

menjadi karakteristik hidup Kristiani. 

Demikian juga soal toleransi, dimana toleransi antar umat beragama 

bisa terjadi karena menghargai keberagaman, tanpa harus memaksa menjadi 

seragam. Prinsip hidup dalam suatu kesatuan di tengah keberagaman, sangat 

diperlukan sikap yang terbuka pada tataran etis. Sama halnya dengan sikap 

toleransi, menghargai keberadaan orang yang berbeda dengan kita harus 

menjadi norma prilaku praktis relasional umat Tuhan.

Equalitas Dalam Relasionitas: Aktualisasi Kasih Yang Setara 

Ajaran Kristen tentang Allah merupakan model dari kualitas 

persekutuan bagi keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di 

Bumi Bhineka Tunggal Ika. Menurut Timo bahwa: 

“Allah yaitu  satu entitas yang jamak. Pada-Nya ada kehidupan yang 

berbhineka tunggal ika. Ia yaitu  sebagai pribadi yang berkomunikasi 

dan berelasi antara Bapa, Anak, Dan Roh Kudus. Relasi dan 

komunikasi antara ketiga cara berada itu tidak mengenal hierarki atau 

subordinasi. Yang satu tidak lebih penting atau utama dari yang lain.”

46

Dalam opera ad extra diantara ketiga subsistensi Tritunggal bersifat 

submisif. Artinya ketaatan Anak kepada Bapa dalam kesederajatan sesuai 

dengan rencana Mereka, demikian juga dengan Roh Kudus. Sebaliknya tidak 

bersifat subordinasi, yang satu superior dan yang lainnya inferior. Dalam 

pengertian ini, sangat relevan bagi relasi sosial yang mejemuk yang biasanya 

bertendensi pada sikap dan tindakan antara yang superior terhadap yang 

inferior. 

Prinsip utamanya yaitu  adanya equalitas dalam relasionitas. Sebuah 

relasi yang sederajat, sehakekat, setara, sekedudukan didalam kejamakan. 

Prinsip ini, secara otomatis menolak ekses negatif dari fenomena sosial yang 

acapkali terjadi dalam kehidupan manusia yang mejemuk. Seperti, fenomena


kaum mayoritas terhadap kaum minoritas, yang merasa lebih utama ataupun 

lebih tinggi hak dan kedudukannya, sehingga menyebabkan adanya fenomena 

sikap superioritas golongan tertentu terhadap golongan lain yang inferior; 

fenomena pertentangan, perselisihan bahkan kekerasan dalam kehidupan 

berbangsa dan bernegara karena perbedaan etnis dan religi. Kesemuanya ini, 

bermuara pada sikap individulisme, yang menyebabkan hancurnnya 

kolektivitas dalam pluralitas. 

Sebaliknya, equalitas dalam relasionitas merupakan dasar hidup 

bersama-sama (kolektivitas) dalam berbagai perbedaan. Arogansi, sikap 

sewenang-wenang terhadap orang lain, bahkan menganggap orang lain atau 

golongan tertentu rendah dan tidak berarti, tidak lagi menjadi fenomena yang 

umum dan wajar dalam kehidupan sosial khususnya di Indonesia.Dengan 

demikian, terjadi keseimbangan antara individulitas dan kolektivitas. 

Kepentingan individu tidaklah mengorbankan kepentingan kolektif, demikian 

juga sebaliknya, kepentingan kolektif tidak mengorbankan individu tertentu. 

Dan di dalam kolektivitas terdapat equlitas antara individu-individu yang 

majemuk. Seperti apa yang dikatakanoleh Timo bahwa:“tiap individu berdiam 

dalam yang lain dan di diami juga oleh yang lain. Mereka bersekutu, bukan 

saling bersaing merebutkan posisi sebagai yang terutama, atau bahkan saling 

menghancurkan.47Inilah kekayaan, sekaligus keunikan doktrin Tritunggal 

sebagai basic beliefsiman Kristen yang dapat diimplementasikan dalam 

kehidupan manusia, sehingga relasi sosial tercipta dengan harmonismelalui 

hubungan kasih yang setara. 

Relasi yang sederajat dalam Allah Tritunggal ini didasari oleh Kasih 

sebagai atribut-Nya sendiri. Grenz melihat implikasi teologis doktrin 

Tritunggal berkenaan dengan esensi Allah yang yaitu  kasih, sebagai atribut 

moral-Nya.48 Relasi antara tiga Pribadi yang sederajat, setara, sehakekat, sama 

dalam kasih. 

Inilah yang menjadi prinsip hidup praxis bagi orang Kristen.dimana 

Orang Kristen harus senantiasa mengaktualisasikan kasih yang sederajat 

kepada siapapun, tanpa memandang bulu. Orang Kristen tidak boleh 

memandang yang seorang lebih tinggi dari yang lainnya berdasarkan strata 

sosial. Tidak berlaku hukum “tebang pilih”, hukum “pilih kasih,” sebab pilih 

kasih bukanlah kasih itu sendiri. Kasih itu sama rata diperlakukan kepada 

siapapun. Kualitas kasih sama kepada orang yang berbeda suku, agama, ras 

dan golongan yang berbeda. Kualitas kasih juga sama kepada yang kaya atau 

pun yang miskin, kepada yang berpendidikan atau pun tidak, kepada orang 

yang dipandang masyarakat terhormat atau pun kepada orang yang sianggap 

sepele, kepada orang yang berada maupun yang tak punya.

Relasi Kerjasama Yang Harmonis 

Bukan hanya relasi dalam kesetaraan atau kesederajatan tetapi juga 

relasi dalam kerjasama yang harmonis. Persis seperti apa yang dikatakan oleh 

Timo bahwa: Tritunggal merupakan persekutuan ketiga mode of being Allah 

ditandai oleh relasi kerja sama yang saling menopang dan melengkapi 

sehingga pekerjaan-pekerjaan Allah bukan hanya mencapai tujuan, melainkan 

juga pelaksanaan yang indah (Kej 1:31).”49 Ini merupakan relasi kerjasama 

yang harmonis dalam opera ad extra. Ketiga Pribadi Allah dalam relasi 

keilahian setara, sederajat, sehakekat, sama, namun memiliki peran spesifik 

yang berbeda di dalam rencana penyelamatan orang pilihan sejak semula 

sampai dunia yang akan datang. Meskipun bisa dibedakan secara spesifik 

tetapi tidak dalam pengertian yang ekstrim. Karena sesungguhnya antara 

pekerjaan Pribadi satu dengan yang lainnya tidak bisa terlepas satu dengan 

yang lainnya, karena peran inipun sifatnya tumpang tindih. Dapat dibedakan 

Oknumnya dalam tugas personal bagi keselamatan umat-Nya. Bapa yang 

mengutus Anak (I Yoh. 4:10) Anak turun dari Sorga melakukan kehendak 

Bapa (Yoh. 6:38) dan Roh Kudus menjamin keselamatan.50 Lebih terang lagi 

jika dilihat dalam kerangka teologi reformed dengan prinsip infralapsarianisme 

dekrit Allah dalam kekekalan untuk memahami peran Oknum Tritunggal yaitu: 

Penciptaan – kejatuhan – pemilihan – penebusan.51

Gambaran kerjasama yang harmonis dalam tiga Oknum Tritunggal 

tepat seperti apa yang dikatakan oleh Timo bahwa “Ketiganya selalu ada dan 

aktif bersama-sama tanpa dapat dipisahkan atau dipertentangkan.”

52 Inilah 

yang saya namakan sebagai prinsip kerjasama yang harmonis. Tiga Oknum 

berbeda, ketiganya memiliki peran masing-masing, tetapi tidak bertentangan 

atau berkonflik, tetapi tumpang tindih, karena kesatuannya, Ketiga Oknum 

yaitu  satu esensi, tidak ada yang lebih menonjol atau teraibaikan, tetapi 

terikat dalam sebuhan hubungan kerjasama yang harmonis. 

Karena itu, seharusnya Gereja merupakan komunitas yang mudah 

bekerja sama, berperan aktif dalam dunia, tidak suka pertentangan apalagi 

konflik. Orang Kristen tidak menutup diri, atau bersikap apatis terhadap dunia 

luar, tidak berkontribusi apa-apa. Implikasi relasional yang terakhir yang saya 

bahas doktrin Tritunggal yaitu  kerjasama yang harmoni.

Doktrin Tritunggalyang selama ini diaksiomakan sebagai doktrin yang 

rumit pada tataran diskursus teologi sistematik, dan cenderung pembahasannya 

pada ranah apologetik,sesungguhnyajuga memiliki implikasi yang sangat 

dalam bagi kehidupan praktiis-relasionalorang Kristen. Implikasi tersebut 

terlihat dalam relasi harmonis Allah Tritunggalbaik pada diri-Nya sendiri (ad 

intra) maupun di luar diri-Nya (ad extra). 

Relasi harmonis Allah Tritunggal nampak dalam keberagaman Tiga 

Oknum yang berbeda, tetapi dalam satu kesatuan. Relasi di antara ketiga 

Oknum, yang setara, sederajat, sehakaket, sekedudukan, sebab satu esensi, 

yaitu satu Allah. Ini menunjukkan nilai praktis-relasional bahwa keperbedaan 

dalam kesatuan itu mungkin dan bahkan niscaya. Dengan hidup dalam 

kesatuanmeskipun berbeda maka keharmonisan hidup sosial itu tercipta. Dari 

prinsip etis ini melahirkan sikap yang inklusif dan toleran. Sikap yang terbuka 

dan dapat menerima mereka yang berbeda dengan kita. bukan gaya hidup yang 

tertutup, membenci atau meniadakan yang berbeda, atau bersikap separatif, 

menganggap orang lain sebagai ancaman yang harus dibinasakan. Inilah yang 

harus menjadi gaya hidup orang Kristen, berada di tengah dunia, bukan 

memisahkan diri dari dunia, tetapi hidup terbuka dan menghargai sesama yang 

lain, apapun bentuk perbadaan yang dijumpai. 

Relasi ketiga Oknum Allah Tritunggal, yang penuh kasih yang 

sederajat, antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Berdiam bersama, bukan dalam 

relasi hirararki Bapa lebih tinggi dari Anak dan Anak lebih tinggi dari Roh 

Kudus, tetap berdiam bersama ketiga Oknum dalam mengaktualisasikan kasih 

yang setara. Ketiga-Nya sama derajat, sama hakekat berdiam bersama, berelasi 

dalam kasih yang sama. Hal ini menjadi prinsip praktis-relasional agar kita 

memperlakukan sesama dengan cara yang sama, dengan kualitas kasih yang 

sama, tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya. 

Relasi kerja sama dalam peran dan tugas yang harmonis dari ketiga 

Oknum Tritunggal juga menjadi prinsip praktis-relasional bagi kita, agar 

berperan aktif, bekerja sama dengan orang lain, sehingga kita berkontribusi 

aktif bukan hanya bagi kelompok sendiri,untuk kemajuan bersama, kemajuan 

pada skop yang lebih luas, negara dan bangsa, bukan hanya dalam gereja. 

Akhirnya, isolasi diri, sikap yang individualistik yang hanya 

mementingkan kelompok sendiri, baik dalam relasi pengungkapan kasih 

maupun dalam keterlibatan kerja bukanlah menjadi ciri khas praktek hidup 

orang Kristen. Allah Tritunggal yaitu  Allah yang berdiam bersama, berelasi 

dengan harmonis pada dir-Nya sendiri dan juga bekerja bersama dalam tujuan 

yang sama, keselamatan bagi umat-Nya.


Ajaran sesat yang menolak doktrin Allah Tritunggal (Anti-Tritunggal) 

sudah muncul sejak awal kekristenan lahir di dunia. Bentuknya ada 

dalam berbagai varian yang pada prinsipnya menolak keallahan dan 

kesetaraan pribadi Allah yang eksis dalam Tritunggal. Bahkan di era 

global saat ini, masih bermunculan varian baru seperti ajaran Oneness 

Pentacostalism dan Dwitunggal. Ajaran Anti-Tritunggal menjadi 

ancaman yang menyesatkan gereja. Seorang pengajar Alkitab perlu 

memiliki kualifikasi khusus untuk melawan ajaran Anti-Tritunggal. 

Kualifikasi apa yang diperlukan seorang pengajar Alkitab melawan 

ajaran Anti-Tritunggal seperti yang tertuang dalam 1 Timotius 4:1-16,

merupakan pertanyaan penelitian yang diajukan. Untuk itu, artikel 

ilmiah ini ditulis dengan tujuan memaparkan kualifikasi tersebut. 

Dengan memakai metode eksegesis dan studi literatur, ditemukan 

kualifikasi yang patut dimiliki seorang pengajar Alkitab melawan 

ajaran Anti-Tritunggal yaitu menghidupi ajaran para rasul dengan cara 

berpegang teguh padanya dan setia mengajarkannya, memiliki 

kompetensi spiritual-teologis alkitabiah dengan cara memahami 

pokok-pokok iman Kristen (Basic Beliefs), memiliki Hermeneutika 

Inspirational Pneumatik, dan mampu mengawasi diri juga ajarannya.Ajaran-ajaran sesat yang menolak ajaran Alkitab tentang doktrin Tritunggal atau 

Trinitas sudah muncul pada masa awal kekristenan. Bidat-bidat ini memiliki penekanan 

khusus yang umumnya menolak keallahan dan kesetaraan Kristus dengan Bapa. 

Contohnya, Ebionisme menolak keallahan Tuhan Yesus karena dianggap lahir dari Yusuf 

dan Maria. Kemudian, Arianisme menolak kesetaraan Kristus dengan Bapa, sebab Ia 

lebih rendah dari Bapa. Ada pula ajaran Pneumatomakhoi yang menolak keallahan Roh 

Kudus (Hermawan 2023, 18). Bahkan sampai abad modern ini, ajaran bidat Saksi 

Yehuwa yang merupakan turunan dari ajaran Arius menolak keilahian Kristus dan 

menganggap Dia hanyalah ciptaan pertama Allah (Veri, Sahari, and Selan 2021). Paham 

Anti-Trinitarian masih terus bermunculan sampai sekarang. Sebut saja gerakan 

sektarian “Oneness Pentacostalism” (Reed 2008, 9) dan Ajaran Dwitunggal yang menolak 

eksistensi dan kesetaraan tiga Pribadi Allah Tritunggal (Panjaitan, Edwin, and Pieter 

2021, 142). 

Semua ajaran di atas yaitu  bentuk-bentuk ajaran yang menolak ajaran Alkitab 

tentang eksistensi Allah Tritunggal. Paham-paham sektarian tersebut menolak ajaran 

ortodoksi atau tradisional Kristen tentang Doktrin Tritunggal yang merupakan 

eksistensi Allah Alkitab yang menyatakan Diri dalam Tiga Pribadi yaitu Bapa, Firman 

dan Roh Kudus yang diajarkan Tuhan Yesus dan diimani para Rasul. Untuk kemudian 

dalam pemaparan artikel ilmiah ini, ajaran-ajaran ini akan disebut Anti-Tritunggal atau 

Anti-Trinitarian untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan. Paham Anti￾Tritunggal atau Anti-Trinitarian ini tentunya menjadi tantangan dan persoalan bagi 

para pengajar Alkitab masa kini dan mendatang.

Oleh sebab itu, penting sekali bagi seorang pengajar Alkitab zaman ini untuk 

memiliki kualifikasi khusus untuk mengajarkan dan mempertahankan doktrin-doktrin 

tradisional gereja yang diwariskan oleh Yesus Kristus, para Rasul dan Bapa-bapa Gereja, 

secara khusus doktrin tentang Tritunggal (Bray 2020; Ramelli 2011). Dengan demikian, 

maka rumusan masalah yang ingin diajukan yaitu  apa kualifikasi khusus yang perlu 

dimiliki seorang pengajar Alkitab untuk melawan ajaran Anti-Trinitarian? Artikel ini 

ditulis dengan tujuan untuk menyajikan kualifikasi yang semestinya dimiliki seorang 

pengajar Alkitab menurut teks 1 Timotius 4:1-16 untuk melawan ajaran Anti-Tritunggal.

II. Metode

Metode yang digunakan dalam yaitu  Metode Eksegesis dan Studi Literatur. 

Metode eksegesis digunakan dengan mengkaji Teks 1 Timotius 4:1-16 untuk 

menemukan kualifikasi yang dibutuhkan oleh seorang pengajar Alkitab melawan ajaran 

sesat, khususnya berkenaan dengan paham Anti-Tritunggal. Beberapa kata tertentu

dalam teks 1 Timotius 4:1-16 akan dieksposisi untuk mendapatkan data penelitian yang 

sahih guna menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu, metode studi literatur atau 

Pustaka dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan dan analisis data dengan 

mengkaji literatur online berupa artikel ilmiah dan buku-buku berkenaan dengan topik penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan. Artikel 

ini kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan. 

III. Pembahasan

Ajaran-ajaran sesat sudah bermunculan sejak berdirinya gereja dan masih terus 

berlanjut di lingkungan kekristenan serta menjadi musuh dalam selimut bagi gereja￾gereja. Takaliuang dalam penelitiannya menegaskan bahwa ajaran-ajaran sesat tersebut 

dapat menyesatkan pikiran, merusak iman dan menimbulkan dekadensi moral orang 

percaya sehingga perlu dilawan dengan ajaran ortodoksi yang diwariskan oleh para

Rasul (Takaliuang 2020). Maksudnya gereja perlu memiliki pemahaman mendasar 

tentang iman rasuli yaitu ajaran para rasul yang terdapat di Alkitab. Para pengajar 

Alkitab mutlak harus mempertahankan ajaran Tuhan Yesus tentang Allah Tritunggal dan 

Allah Alkitab yang diimani para Rasul (iman rasuli). Hal ini penting karena melawan 

ajaran sesat merupakan bagian dari tugas misi gereja (Ceria et al. 2022). Untuk itu, para 

pengajar Alkitab perlu memahami teks 1 Timotius 4:1-16 untuk mendapatkan 

pengertian akan kualifikasi yang perlu dimiliki guna melawan ajaran sesat, secara 

khusus Anti-Tritunggal yaitu sebagai berikut: 

Menghidupi Ajaran Para Rasul (Iman Rasuli), 1 Tim. 4:1-5

Mencermati teks 1 Tim. 4:1-5, Sang Rasul Misionaris yaitu Paulus sekaligus 

sebagai bapak rohani Timotius, sudah mencium adanya ajaran sesat yang masuk ke 

gereja di Efesus. Pada masa itu, Timotius melayani sebagai gembala sidang di kota 

Efesus, dan sudah ada ajaran sesat yang merupakan campuran dari Gnostisisme, Taurat 

Yahudi dan penyembahan kepada Dewi Artemis (Dewi Orang Efesus). Pengaruh filsafat 

Yunani yang mengusung ajaran Gnostik yang memisahkan materi dan roh, juga ajaran 

Yudaisme dan penyembahan berhala penduduk kota Efesus menjadi ancaman serius 

bagi iman jemaat di Efesus (Juanda and Andaline 2019). Gnostisisme masuk kepada 

kelompok ajaran yang dikategorikan Anti-Tritunggal, sebab Kristus hanya dianggap 

sebagai utusan atau manusia yang memiliki gnosis (manusia pneumatik) dan bukan

Allah yang menjadi manusia atau Juruselamat (Purba 2019, 98). 

Rasul Paulus menyadari hal ini dan memberikan peringatan kepada anak imannya, 

Timotius agar mewaspadai ajaran sesat tersebut yang dibawa oleh para pemimpin 

gereja yang telah tersesat dalam ajaran dan spiritualitasnya yaitu melakukan askese. 

Banyak anggota jemaat akan murtad dan mengikuti para pemimpin palsu yang tersesat 

dengan ajaran yang menyimpang dan dipengaruhi oleh setan-setan (1Tim. 4:1). Menarik 

menyimak pemakaian kata “murtad” di dalam ayat 1 ini yang yaitu kata

“ἀποστήσονταί τῆς πίστεως (apostēsontai tēs pisteōs)”. Frasa ini dapat diterjemahkan 

sebagai menghapus, menghasut untuk memberontak; berhenti, atau meninggalkan iman

(Strong 2023).

Ayat ini merujuk kepada para pemimpin yang memberontak, berhenti atau 

meninggalkan iman yang diajarkan para Rasul. Maksudnya para pemimpin yang telah meninggalkan iman rasuli yaitu iman yang sejati kepada Allah dan Kitab Suci yang 

bersumber dari ajaran Nabi dan Rasul (Ef. 2:20). Para pemimpin yang murtad biasanya 

meninggalkan dan melupakan ajaran dan iman yang tertulis dan terkandung di Alkitab 

sebagai warisan ajaran Kristus dan para Rasul. 

Kemurtadan terjadi karena ada orang-orang Kristen, terutama para pemimpin 

gereja atau pemimpin Rohani yang “mengikuti roh-roh penyesat” dan ajaran setan-setan 

(1Tim. 4:1), orang-orang Kristen tersebut yaitu  para pemimpin yang tersesat. Dua 

buah frasa yang patut di simak di sini yang menyebabkan pemurtadan terjadi ialah 

“mengikuti roh-roh penyesat” dan “ajaran setan-setan”. Kata “mengikuti” 

προσέχοντες (prosechontes) diartikan sebagai menaruh perhatian, menerapkan diri, 

mematuhi. Sedangkan kata “roh-roh penyesat” πλάνοις (planois) dapat diterjemahkan 

sebagai impostor (penipu) atau misleader (pemimpin sesat atau penyesat). Para 

pemimpin yang tersesat dan tertipu oleh ajaran setan-setan atau 

διδασκαλίαις δαιμονίων (didaskaliais daimoniōn) (Strong 2023). 

Hal ini tidak mengherankan karena Iblis disebut sebagai bapa segala dusta dan 

sering menipu manusia (Tanhidy 2023). Selain itu, Rusli mengutip penjelasan 

Takaliuang mengungkapkan bahwa penyebab munculnya ajaran sesat dalam konteks 

ayat ini yaitu pengaruh latar belakang sistem hidup lama; Sinkretisme ajaran agama 

dunia, Filsafat sekuler mencampuri iman Kristen; Ketidakpuasan dan kekecewaan 

orang Kristen terhadap vitalitas kerohanian gereja yang sudah merosot dan rapuh 

akibat materialisme; Intervensi ajaran dari roh-roh setan (Rusli 2023, 34; Takaliuang 

2020). 

Apa yang diungkapkan Rusli dan Takaliaung ini, menjadi isu kuat yang menjadi 

penyebab mengapa seorang pemimpin rohani bisa tersesat ajarannya dan ada saja 

orang percaya yang mudah dipengaruhi dan tersesat. Kondisi ini patut menjadi 

perhatian serius gereja-gereja di era global yang sarat dengan perkembangan IPTEKS 

(Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni). Kemajuan IPTEKS yang disebut era digital 

menjadi lahan subur bagi tumbuhnya rasionalisme, materialisme, sekularisme, 

hedonisme, konsumerisme, dll., yang berpotensi mendistorsi eksistensi wahyu umum 

dan menyesatkan gereja. Ini disebut “materialism paradigm trap” (Tanhidy, Panggarra, 

and Budiman 2023, 6) atau jebakan paradigma materialistis yang sangat perlu 

diwaspadai para pemimpin gereja dan orang-orang Kristen pada masa kini. 

Para pemimpin yang terjebak derasnya arus perkembangan IPTEKS dan 

paradigma materialistis ini berpotensi besar tersesat karena mencampurkan filsafat 

dengan iman Kristen. Hal ini menyebabkan ajaran Rasuli (iman rasuli) yang dipegang 

dan diyakini oleh para pemimpin tersebut akhirnya terdistorsi. Untuk itulah, para 

pengajar Alkitab yang benar dan setia kepada ajaran Alkitab, semestinya mewaspadai 

diri dari pengaruh ilah zaman dengan tetap memegang teguh memegang dan 

menghidupi ajaran para Rasul dan mengajarkan iman rasuli dalam pengajarannya. 

Barulah dengan demikian jemaat-jemaat yang dilayaninya tidak disesatkan oleh ajaran 

sesat yang dibawanya dan terhindar dari pengaruh ilah zaman ini. Memiliki Kompetensi Spiritual-Teologis Alkitabiah, 1 Timotius 4:6-11

Seorang pengajar Alkitab semestinya memiliki kompetensi spiritual dan teologis 

untuk menghadapi ajaran sesat yang muncul, secara khusus bidat Anti-Tritunggal. 

Berikut ada beberapa kompetensi spiritual-teologis yang diberikan oleh Paulus kepada 

Timotius dalam teks 1 Timotius 4;6-11 sebagai pengajar Alkitab yang perlu dimiliki 

dalam menghadapi para pemimpin sesat atau penyesat yang muncul di Efesus, tempat 

Timotius melayani sebagai gembala sidang, terutama para pemimpin penganut ajaran 

sesat yang dipengaruhi Gnostisisme yang mendistorsi ajaran Tritunggal yaitu:

1. Memahami Pokok-pokok Iman Kristen (Basic Beliefs) dengan Benar, 1 

Timotius 4:6

Seorang pelayan Tuhan yaitu Timotius yang masih muda diberi wawasan oleh 

Paulus sebagai mentor rohaninya untuk melengkapi diri menjadi pelayan Kristus yang 

baik (καλὸς διάκονος Χριστοῦ; kalos diakonos Xristou), diartikan sebagai seorang 

pelayanan Kristus yang dapat mengatur diri dan ajarannya dengan baik. Caranya ialah 

Timotius harus berpegang teguh pada ajaran yang ia terima dari gurunya, Paulus 

sebagai ajaran yang sehat. Dengan demikian ia akan terdidik dalam pokok-pokok ajaran 

rasuli sebagai fondasi iman Kristen yang benar dan sehat, sehingga ia memiliki 

pengajaran yang sehat, kerohanian yang benar dan berhasil menyelamatkan 

pendengarnya dari kesesatan. 

Untuk mengantisipasi ajaran sesat Gnostisisme, maka Timotius harus dapat 

menjadi seorang pelayan Kristus yang “terdidik dalam soal-soal pokok iman”. Kata 

“terdidik” dalam ayat ini yaitu  “ἐντρεφόμενος” (entrephomenos) yang dapat 

diterjemahkan sebagai seorang yang memelihara (to nourish), mempertahankan (to 

sustain), dan terdidik (be educated) dalam pokok-pokok ajaran iman Kristen yang telah 

ia ikuti selama ini dari para Rasul Tuhan Yesus, terutama Paulus (Strong 2023). 

Demikian pula seorang pengajar firman Allah pada masa kini, patut mengikuti 

nasehat Paulus dan teladan dari Timotius untuk membuktikan diri sebagai seorang 

pelayan Kristus yang dapat memelihara, mempertahankan dan terdidik dalam ajaran 

pokok iman Kristen yang diwariskan oleh Kristus dan para Rasul-Nya. Sebagai contoh, 

jika Paulus menyebut ketiga Pribadi Allah Alkitab sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus 

(Yoh. 1;1; 14:15-17; 16:7-15; Rom. 1:1-7; Fil. 1:2; 2:1; 1Tim. 1:2; 2Tim. 1:2, 13-14; Tit. 

1:4; 1 Pet. 1:1-2; 2Pet. 1:20-21; 1Yoh. 1:1-2; 2 Yoh.1:1; Yud. 1) maka tidak ada alasan 

atau dalih untuk menolak eksistensi Tiga Pribadi Allah yang menyatu dalam satu hakIkat 

itu, yaitu Allah yang benar yang dikenal melalui Yesus Kristus yang diutus Bapa untuk 

mengerjakan keselamatan bagi manusia berdosa (bandingkan Yoh. 17:3). 

Ketiga pribadi Allah yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus ikut serta dalam upaya 

merancang, mengerjakan dan menggenapkan karya keselamatan berupa hidup kekal 

bagi keturunan Adam yang telah jatuh dalam dosa melalui Injil (Yoh. 3:16; Rom. 3:23)

dan hanya ada satu Injil yang berlandaskan karya Kristus di kayu salib (Yoh. 14:6; Gal. 

1;1-10) , Oleh sebab itu keselamatan yang diterima setiap orang percaya merupakan sebuah soteriologi yang bersifat trinitarian, 

kristosentris dan pneumatis-eskatologis (Daliman 2023). Inilah pokok-pokok iman 

Kristen berupa keyakianan-keyakinan dasar (Basic Beliefs) baik menyangkut Doktrin 

Allah (Teologi Proper), Doktrin Kristus (Kristologi), Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi), 

Doktrin Keselematan (Soteriologi), Doktrin Dosa, Doktrin Malaikat, Doktrin Setan, dan 

lain-lain. Intinya memahami bangunan teologi dogmatika dan sistimatika dengan baik 

dan benar. 

Keyakinan-keyakinan dasar yang disinggung di atas dalam bentuk bangunan 

teologi dogmatika dan sistematika di atas, mendapat serangan yang terus-menerus dari 

berbagai bidat yang bermunculan (lebih tepat timbul tenggelam) di sepanjang masa. 

Bidat Gnostisisme disinyalir telah mewujud dalam kebangkitan Gerakan Zaman Baru 

(New Age). Kepercayaan dan praktik yang biasanya dikaitkan dengan aspek-aspek 

pemikiran Zaman Baru, di luar kekristenan contohnya seperti meditasi Zen, para 

psikologi, dan agama ”dewi” (Goddess). Tokoh gerakan yang populer dan dikenal 

sebagai”spiritualitas baru”ini yaitu  Anand Khrisna dan Deepak Chopra, kedua tokoh 

ini sangat populer, baik di Amerika maupun di Indonesia, selain tokoh-tokoh lainnya. 

Gnostik postmodern berusaha merekonstruksi Kristologi baru berdasarkan sumber￾sumber yang dianggap otentik. Mereka melakukan berbagai upaya untuk 

merekonstruksi atau merobohkan doktrin traditional Kristen atau ortodoks. Ajaran ini 

menjadi ancaman yang sangat berbahaya dalam agama Kristen, apalagi jika ada yang 

bersentuhan dengannya, karena hal ini dapat menimbulkan kebingungan pemahaman 

pengikut Yesus dan berujung pada kemurtadan (Butarbutar 2020, 119).

Pokok-Pokok Iman Kristen (Basic Beliefs) yang dikemukakan di atas yaitu  bagian 

dari ajaran pokok iman Kristen yang berlandaskan ajaran Alkitab yang diwariskan 

Kristus dan para Rasul. Doktrin-doktrin Primer yang merupakan basic beliefs

(Keyakinan Dasar) terutama Kristologi, Pneumatologi, Soteriologi, sudah semestinya 

jangan diganggu gugat lagi. Seorang guru Alkitab pada masa kini harus berpegang teguh 

pada ajaran ortodoks, bersejarah, dan Alkitabiah sebagaimana yang telah disinggung di 

atas. Para pengajar Alkitab harus mampu memberikan penekanan dalam doktrin yang 

sehat dan juga menegur orang yang menentangnya. Ia juga harus berpegang teguh pada 

perkataan yang dapat dipercaya seperti yang diajarkan oleh para Rasul di Alkitab. 

2. Kedua, Memiliki Hermeneutika Inspirational-Pneumatik, 1 Timotius

4:7-15

Kualifikasi guru Alkitab lainnya yang tidak kalah penting di era global ini, 

terutama ketika menghadapi ajaran sesat yaitu  kemampuan menguasai dasar-dasar 

penafsiran alkitabiah di bawah pimpinan Roh Kudus (Hermeneutika Inspirational 

Pneumatik). Ilmu mengkaji dan menafsirkan Alkitab yang dikenal di Sekolah Tinggi 

Teologi (STT) saat ini yaitu Hermeneutika penting dikuasai dengan baik oleh seorang 

pengkhotbah dan pengajar Alkitab era global ini. Kata “Hermeneutika” berasal dari kata 

Yunani hermeneuo yang berarti menyebutkan, menjelaskan, atau menerjemahkan. Kata tersebut berasal dari nama dewi Yunani bernama Hermes, yang berperan 

menyampaikan pesan dari Tuhan kepada manusia (Kau 2014, 111).

Hermeneutika yaitu  ilmu yang mempelajari tentang prinsip dan kriteria yang 

digunakan untuk menafsirkan suatu dalil kebenaran sedemikian rupa sehingga dapat 

dipahami dengan benar. Hal ini penting untuk memahami berbagai teks kitab suci kuno 

yang diinspirasikan oleh Roh Kudus (Wibowo, Tanhidy, and Ming 2022) agar dapat 

dipahami oleh pembaca masa kini, meskipun terdapat perbedaan cara berpikir dan tata 

bahasa. Jika tidak dapat menemukan pesan asli dari penulis kitab tersebut, maka 

khotbah tersebut tidak akan mempunyai pesan yang jelas. Penafsir perlu melakukan 

analisis berupa analisis teks dalam bahasa asli penulis kitab, analisis latar belakang 

teks dan sosial-budayanya, analisis sastra, analisis arti kata dan tata Bahasa 

(Panjaitan, Edwin, and Pieter 2021).

Hermeneutika sebagai metode atau cara dalam menafsir ayat-ayat dalam kitab suci 

menyuguhkan rangkaian norma-norma dan petunjuk yang sistematis. Hermeneutika 

yaitu  disiplin ilmu yang memandu untuk menafsirkan dengan tepat teks-teks Alkitab. 

Tujuan utama yaitu  mengonstruksi nats yang tidak dipahami dan tidak dimengerti 

sehingga dapat dipahami dan dimengerti. Dengan kata lain demi untuk menemukan 

makna dan arti yang terkandung dalam suatu teks Alkitab, maka hermeneutika 

dipandang sebagai ilmu yang berfungsi untuk mengkaji demi memahami dengan tepat 

dan benar serta menginterpretasikan teks. Mengikuti berbagai kaidah hermeneutika 

tentunya akan menghasilkan penafsiran yang akurat dan terjamin kredibilitas.

Mengandalkan Roh kudus yaitu  baik dan benar, akan tetapi mengharapkan Roh 

kudus dan pengurapan-Nya semata sehingga mengabaikan hal-hal praktis seperti 

belajar hermeneutika dan homiletika yaitu  tindakan keliru dalam mempersiapkan 

materi khotbah dan pengajaran. Bukan hanya sampai disitu, para pengkhotbah masa 

kini selain mengandalkan Roh kudus, juga mengklaim kebenaran melalui khotbah yang 

diurapi disertai tanda mukjizat. Semua hal itu baik adanya, akan tetapi Alkitab yaitu  

firman berupa teks yang membutuhkan penggalian dimana ilmu tafsir sangat berperan. 

Alkitab merupakan wahyu Allah yang harus juga dipahami dengan akal sehat 

manusia melalui ilmu hermeneutika. Jadi bukan hanya bersandar pada Roh Kudus saja. 

Seiring dengan hal ini, maka sesungguhnya patut dimengerti bahwa Roh kudus selalu 

bekerja melalui akal dan pikiran manusia dan Ia akan menginspirasi, memberi hikmat 

dan pengertian untuk dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks-teks 

Alkitab. Akal pikiran manusia bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Roh Kudus. 

Manusia membutuhkan akal dan ilmu hermeneutika yaitu  alat untuk mengetahui, 

memahami dan menemukan pesan sesungguhnya yang terkandung dalam nats Alkitab

(Sitompul 2006, 378).

Sangat disayangkan jika seorang pengajar Alkitab, pengkhotbah atau hamba Tuhan 

hanya memiliki karunia Roh, namun tidak mempertahankan dan memelihara ajaran 

Alkitab yang benar dan sehat melalui kajian ilmu hermeneutika. Ia akan mudah 

membawa penyesatan bagi para pengikutnya. Kesimbangan antara karunia rohani dan 

penguasaan hermeneutika perlu dimiliki oleh setiap pengkhotbah atau pengajar Alkitab 

masa kini. Paulus berpesan kepada Timotius agar menjauhi takhayul dan dongeng (1Tim. 4:7). Kata “takhyul {βεβήλους}” (bebēlous) dalam ayat ini diartikan sebagai cerita 

yang berisi kejahatan atau ajaran kafir. Sedangkan kata “dongeng{γραώδεις μύθους}” 

(graōdeis mythous) maksudnya yaitu  cerita orang tua yang konyol, cerita khayalan, 

mitos atau fiksi Strong, “1 Timotius 4:7.” Keduanya baik cerita takhayul dan dongeng 

atau mitos tidak berdasarkan ajaran Alkitab dan tentunya harus dijauhi. Seorang 

pengkhotbah yang setia kepada ajaran Kitab Suci harus teguh memegang dan 

memelihara dasar atau pokok ajaran iman Kristen secara teguh dan penuh 

tanggungjawab kepada Sang Pemberi dan Penulis Firman, yaitu Allah, Sang Pencipta 

yang telah menyatakan Diri-Nya dalam Bapa, Firman dan Roh Kudus (Mat. 3:16-17; 1 

Yoh. 5:6-12). 

Selanjutnya, gelar sarjana yaitu  persyaratan minimum untuk sebagian besar 

pekerjaan guru Alkitab. Gelar dalam Studi Biblika atau Teologi lebih menjadi 

persyaratan yang harus dipenuhi seorang pengajar Kitab Suci. Meskipun gelar lain 

seperti pendidikan atau filsafat juga dapat berguna bagi seorang pengajar Alkitab untuk 

menguasai prinsip, teknik dan strategi mengajar yang baik. Intinya, seorang pengajar 

Alkitab atau pengkhotbah firman Allah harus menguasai ilmu tafsir kitab suci yang 

memadai, sehingga dapat memiliki ajaran yang sehat. 

3. Mampu Mengawasi Diri dan Ajarannya, 1 Timotius 4:16

Nasihat terakhir Sang Rasul Misionaris kepada anak imannya, Timotius khususnya 

dalam menghadapi Bidat atau ajaran sesat, terutama Gnostisisme yang merupakan 

ajaran Anti-Tritunggal, ada dalam ayat terakhir di pasal 4 ini yaitu ayat 16. Isi ayat ini

yaitu  sesuatu yang sangat penting dan justru sering diabaikan oleh banyak pemimpin 

Kristen dan orang-orang Kristen masa kini, yaitu mawas diri dan mawas ilmu. Ada 

hamba Tuhan dan aktivis gereja yang imannya luar biasa pelayanannya disertai dengan 

tanda-tanda mukjizat, namun ajarannya banyak yang kacau dan menyimpang dari 

ajaran yang sehat. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya sederhana, yaitu 

kebanyakan orang itu lupa untuk mengawasi diri dan ajarannya, sebagaimana yang 

disampaikan oleh Rasul Paulus kepada anak imannya, Timotius. Nasehat Paulus ini 

masih sangat relevan dan sangat penting diterapkan oleh para pemimpin gereja dan 

orang-orang Kristen masa kini. Mengapa hal ini penting, sebab jika dihidupi akan 

menolong Timotius secara pribadi menjadi seorang pengajar yang mampu 

menyelamatkan diri sendiri dan orang yang dilayaninya (1Tim. 4:6b).

Kata “awasilah” ἔπεχε (epeche) dalam ayat 16 ini, merupakan sebuah kata kerja 

kekinian berbentuk perintah (imperative active) orang kedua tunggal, artinya 

“mempertahankan, menahan, memperhatikan” (Strong 2023). Ada dua poin utama yang 

diperintahkan Paulus untuk dipatuhi dan dilakukan oleh Timotius yaitu “mengawasi 

diri” dan “mengawasi ajaran”. Pertama, Kata “diri” dalam ayat ini menggunakan kata 

“σεαυτῷ (seautō)” yang artinya diri (self). Lebih tepatnya yaitu  kehidupan pribadi 

Timotius. Alkitab mengajarkan paling tidak ada tiga musuh besar orang percaya yaitu 

Iblis, dunia dan diri sendiri (1Yoh. 3:8-10; 5:1-5). Berkaitan dengan mawas diri, hal ini 

menyangkut kehidupan seorang Kristen. Dosa yang mendatangkan maut sudah memasuki hidup manusia sejak kejatuhan Adam (Rom. 5:12). Selama orang Kristen 

masih tinggal di dunia ini, maka Iblis akan selalu selalu berusaha menjatuhkan iman 

orang percaya. Begitu pula dengan dosa, akan selalu mengintip kehidupan setiap pribadi 

anak-anak Tuhan tanpa terkecuali. Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap dosa 

sebab semua orang telah berbuat dosa (Rom. 3:23). Para pengajar Alkitab atau hamba 

Tuhan seperti Timotius, sangat penting memiliki mawas diri. Pengaruh kemajuan zaman 

dan dunia saat ini, akan dengan mudah menjatuhkan para pemimpin muda dan para 

pengikut Kristus.

Sangat disayangkan jika kesuksesan, popularitas, materi dan kekayaan akhirnya 

membuat orang memuja berhala di dalam hatinya, mengantikan iman yang murni 

kepada Allah. Timotius diminta oleh Paulus untuk mengawasi dirinya, agar hidupnya 

jangan menjadi sombong, atau menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang 

dilayaninya. Demikian pula diharapkan agar para pengajar Alkitab dan hamba Tuhan 

pada masa kini memiliki kewaspadaan diri yang tinggi. Karakter yang diharapkan 

Paulus kepada Timotius sebagai pemimpin muda dan menjadi contoh bagi pemimpin 

gereja masa kini seperti yang tertera dalam 1 Timotius 4:12 yaitu  menjadi teladan 

dalam perkataan, tingkah lakumu, kasih, kesetiaan dan kesucian (Gulo 2021, 68).

Seorang pemimpin gereja yaitu  seorang pengajar Alkitab yang semestinya merupakan 

seorang yang sehat dalam iman, menolak sifat dunia, mengejar kesalehan hidup,

mengandalkan Tuhan, menjadi teladan, hidup berpusatkan firman Allah dan 

bertanggung jawab atas diri dan ajarannya (Waruwu, Sugiono, and Kusmanto 2021, 98). 

Seorang guru Alkitab haruslah seorang Kristen yang matang yang telah menjadi 

orang percaya selama beberapa waktu dan telah menunjukkan komitmen terhadap 

imannya dalam kehidupan kesehariannya. Ia yaitu  orang yang memiliki kedewasaan 

rohani. Paulus menyebutnya memiliki panca indera rohani yang terlatih. Ia tahu 

membedakan mana hal-hal yang baik dan yang jahat (Ibr. 5:14), termasuk membedakan 

ajaran yang baik dan buruk. Seorang pengajar Alkitab yang menjadi pemimpin gereja 

janganlah orang yang baru bertobat, karena mungkin akan menjadi sombong dan 

terkena hukuman Iblis (1Tim. 3:6). Ia juga harus mempunyai nama baik di luar jemaat 

(1Tim. 3:7). Artinya ia memiliki kedewasaan rohani dan perilakunya mencerminkan 

kehidupan seorang Kristen yang baik dan memuliakan Allah, baik sikap, perkataan 

(baca: ajaran) dan tingkah lakunya. Tidak ada ambigu antara ajaran dan perilakunya. 

Antara ajaran dan talenta yang dimilikinya. Karunia rohani atau kewibawaan yang 

dimiliki seorang pengajar Alkitab sungguh tidak boleh mengesampingkan kesehatan 

ajarannya. Keduanya bagai mata uang yang harus berjalan berdampingan sebagai 

keutuhan bakti pelayanan untuk kemuliaan Allah dan keselamatan orang-orang yang 

dilayaninya. 

Kedua, kata “ajaran” διδασκαλίᾳ (didaskalia) yang dapat diartikan sebagai 

pengajaran, instruksi dan petunjuk (Strong 2023). Di samping mengawasi diri, penting 

bagi seorang pengajar Alkitab untuk mengawasi ajarannya. Penting sekali bagi seorang 

pengajar Alkitab untuk mengawasi ajarannya, karena pengajaran yang benar akan 

membawa kepada pertumbuhan gereja secara kualitatif dan kuantitatif. Hal ini dapat 

dilihat dalam contoh kehidupan jemaat mula-mula di Yerusalem. Ada 3000 jiwa yang bertobat oleh khotbah Rasul Petrus, dan jemaat mula-mula ini disebutkan bahwa 

“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul”, KPR. 2:41-42. Kata ‘pengajaran” 

dalam ayat 42 ini, memakai kata “διδαχῇ” (didachē), dapat diartikan sebagai doktrin, 

pengajaran, perintah, instruksi. Kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan kata 

“didaskalia” yaitu didasko artinya mengajar, dimana kata ini selalu diartikan dengan 

mengajarkan Kitab Suci. 

Dari konteks ayat di atas dapat dipastikan bahwa pengajaran Timotius yang 

bersumber dari para Rasul menjadi salah satu faktor yang membuat iman jemaat mula￾mula bertumbuh dengan baik dari segi kerohanian dan gereja berkembang karena 

orang-orang percaya dimuridkan melalui pengajaran rasul-rasul (Sitepu and Tarigan 

2020). Machen memaparkan bahwa Gerakan kekristenan bertumpu pada fakta sejarah 

dan doktrin-doktrin Alkitab, dan kredo yang merupakan fakta yang melandasi 

pengalaman kehidupan Kristen (Machen 2018, 21–22). Dengan demikian kualitas iman 

jemaat sangat ditentukan oleh sejauh mana jemaat memiliki doktrin Alkitab yang sehat 

dan benar. Agar jemaat dapat memiliki pemahaman akan doktrin yang benar, maka yang 

seorang pengajar Alkitab wajib mengikuti teladan para Rasul yang konsisten 

mengajarkan doktrin yang benar sesuai ajaran Alkitab sebagai Kitab Suci yang menjadi 

otoritas tertinggi iman Kristen. Para pengajar Alkitab tidak boleh memakai 

pemahamannya sendiri yang berbeda dengan ajaran para Rasul yang tertulis di Alkitab. 

Ajaran para Rasul itu diilhamkan oleh Allah dan berasal dari wahyu yang diberikan oleh 

Roh Kudus kepada rasul-rasul (2Tim. 3:16 ;2Pet. 1:21). Hal ini yang membuat ajaran 

para Rasul itu memiliki otoritas sebagai tulisan suci atau Kitab Suci. 

Ajaran para rasul itu merupakan sarana dan bahan untuk mendirikan gereja yang 

kuat dan sehat. Hal ini diungkapkan oleh Rasul Paulus yang menegaskan bahwa gereja 

dibangun di atas fondasi pengajaran para rasul dan para nabi dimana Yesus Kristus 

yaitu  batu penjuru” (Ef. 2:20). Ayat ini sangat penting dipahami oleh para pengajar 

Alkitab di era global. Legalitas dan kuasa Firman Tuhan itu bersifat kekal dan tidak 

lekang oleh zaman. Hal inilah yang harus dipahami dan diyakini oleh para pengajar 

Alkitab masa kini. Rasul Petrus di bawah bimbingan Roh Kudus mengungkapkan dan 

menegaskan kebenaran firman Allah sebagai benih yang kekal dan terus eksis itu 

dengan berkata “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana, 

tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. Sebab: 

"Semua yang hidup yaitu  seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga 

rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk 

selama-lamanya" Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu” (1Pet. 1:23-25). 

Oleh sebab itu, seorang pengajar Alkitab, dari masa ke masa harus setia mengajarkan 

kebenaran Alkitab yang berotoritas dan bersifat kekal itu jika ingin membangun gereja 

yang kuat, sehat dan bertahan sampai kesudahan zaman. 

Pengajar Alkitab merupakan pemimpin gereja semestinya menjauhi sikap arogan. 

Ia harus dapat melayani sebagai satu tim work, dengan pemimpin gereja lainnya. 

Andaikan model kepemimpinan gereja bersifat tunggal, maka pastilah Tuhan Yesus 

hanya merekrut 1 orang saja sebagai murid-Nya. Kenyataannya tidak demikian, bahwa 

kepemimpinan gereja bersifat kolektif atau komunal, ada 12 orang rasul yang dipilih untuk menjadi penerus pelayanan Yesus Kristus di bumi. Efesus 2:20 secara tersirat 

menjelaskan kolektivitas pengajaran para rasul dan nabi sebagai fungsi kontrol satu 

sama lain, dan ini merupakan karakteristik pengajaran gereja dan menjadi pondasi 

untuk membangun gereja yang sehat yaitu berdasarkan pengajaran para rasul dan nabi. 

Bukan pengajaran individual atau perorangan. Untuk itu, dibutuhkan karakter cinta 

damai di antara para pemimpin gereja untuk membangun gereja yang sehat (Urbanus 

2021). Para pemimpin gereja yang notabene yaitu  para pengajar Alkitab wajib untuk

saling bersekutu, melayani dan bersaksi untuk meluaskan kerajaan Allah. Telaumbanua 

dalam penelitiannya menemukan bahwa peran seorang gembala sidang sebagai 

pendidik mampu mempengaruhi pertumbuhan rohani jemaat yang pada akhirnya 

membawa pertumbuhan gereja secara kualitas dan kuantitas (Telaumbanua 2019). Jadi 

gereja yang sehat dan kuat diukur dari kualitas para pendidik. Pemimpin jemaat yaitu 

para pelayan Tuhan yang mengajarkan firman Allah dan terdidik untuk mengajarkan 

ajaran yang sehat. Salah satu kualifikasi seorang pelayan Tuhan yang baik berdasarkan 

1 Tim. 4:1-16 yaitu  terdidik dalam pengajaran (Arifianto 2020, 66).

Melihat betapa pentingnya peran seorang pemimpin gereja yang bertugas 

mengajarkan Alkitab, sudah semestinya seorang pendidik atau pengajar Alkitab 

mewaspadai diri dan ajarannya secara seimbang, baik dan benar. Pemimpin yang sudah 

sehat dalam iman, perlu dibarengi dengan sehat dalam ajaran atau teologinya. Pengajar 

Alkitab perlu memiliki iman dan ilmu yang sehat sehingga mampu membawa jemaat 

menuju kedewasaan, bertumbuh dan berbuah lebat bagi kerajaan Allah serta terhindar 

dari kesesatan dan penyimpangan. Hal ini penting karena menimbang bahwa para guru 

palsu akan pasti banyak bermunculan sesuai nubuat Tuhan Yesus dalam Matius 24: dan 

memakai “wajah dan jubah baru” dengan “konten lama” dari masa ke masa. 

IV. 

Ajaran sesat selalu bermunculan dari masa ke masa, sejak gereja mulai didirikan, 

salah satunya Secara khusus ajaran Anti-Tritunggal dan berbagai bentuk atau variannya. 

Ajaran sesat muncul karena para pemimpin gereja memiliki karakter yang buruk, tidak 

puas dengan doktrin Alkitab, terpengaruh dengan nilai-nilai kehidupan duniawi, dan 

ajaran setan-setan serta spiritualitas yang menyimpang (Neo-Gnostisisme). Dalam 

menghadapi serangan ajaran sesat, terutama ajaran Anti-Tritunggal dengan berbagai 

variannya, berdasarkan Surat 1 Timotius 4:1-16 maka seorang pengajar Alkitab yang 

benar dan setia kepada ajaran Alkitab sepatutnya memiliki kualifikasi khusus, yaitu 

menghidupi ajaran para rasul dengan cara berpegang teguh kepadanya dan setia

mengajarkannya, memiliki kompetensi spiritual-teologis alkitabiah dengan cara 

memahami pokok-pokok iman Kristen (Basic Beliefs), memiliki Hermeneutika 

Inspirational Pneumatik, dan mampu mengawasi diri dan ajarannya.