doktrin tritunggal
Orang Kristen ada dan hadir di tengah-tengah dunia yang plural. Sebab,
pluralitas itu niscaya dalam hidup manusia. Realitas kemajemukan tidak bisa
dihindari dan ditolak, sehingga berbeda itulah hidup, menerima perbedaan
itulah indahnya hidup. Hidup bersama, meskipun berbeda dalam banyak hal,
saling menerima satu dengan yang lain, demikianlah semestinya hidup dijalani.
Akan menjadi Ironis, jika gaya hidup yang eksklusif, tertutup, dan isolatif,
bahkan separatis yang ditampilkan.
Namun faktanya, fenomena hidup yang eksklusif, tertutup dan
cenderung hanya mau berbaur dengan yang sefaham, segolongan, dan
sekeyakinan saja menjadi ciri khas sekelompok orang yang ekstrem atau
singkatnya yang biasa disebut dengan gerakan radikalisme dan
fundamentalisme. Menurut Karen Amstrong dalam bukunya “Berperang Demi
Tuhan” mengatakan bahwa corak hidup yang eksklusif, separatis sudah ada
sejak zaman Yesus, yang disebut dengan Farisisme.1
Begitupun di kalangan
kekristenan sendiri. Di Filipina terdapat kelompok tertentu dari Gereja Katolik
yang masuk ke dalam bidang politik dan hanya mengambil keuntungan bagi
diri sendiri, tanpa memperhatikan sesama yang miskin.2
Yang kemudian hal ini
mendapat kecaman keras dari Paus.
Kemudian dikalangan Protestan khususnya kelompok evangelikal
sendiri dengan lahirnya gerakan fundamentalisme yang awal mulanya
berorintasi pada pembelaan dan proklamasi kembali iman, yang kemudian
berubah sikap menjadi lebih sensitif, cepat tersinggung, memiliki pemikiran
yang tertutup, intoleransi, merasa superior
Tak bisa dipungkiri mentalitas ghetto begitu mewarnai gereja sehingga
gereja menjadi terasing dalam masyarakat, itulah sebabnyaseruan integrasi
bukan ghetto menjadi signifikan,4
oleh PGI dalam Sidang Raya XI tahun 1989
menegaskan kembali komitmen mereka agar terlibat aktif dalam
pembangunan skala nasional dan bangsa. Yang pada prinsipnya menjauhkan
sikap eksklusif dan sikap apatis sebagai gaya hidup gereja.5
Hal yang senada
dalam kritikan Eka Darmaputera yang juga sangat tajam terhadap teologi yang
dianut oleh kelompok tertentu yang tak kurang introvert, eksklusif,
individualistis dan dualistisnya,6
yang tentu saja berpengaruh langsung pada
gaya hidup praksis dari para penganutnya.
Karena itu, berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mencoba merumuskan aspek praktis-relasional doktrin Tritunggal, sebagai
pijakan etis-praktis orang Kristen berelasi dengan sesamanya. Seperti apa yang
dikatakan oleh Leith bahwa: the Triune God is both “unity” and “diversity”
(“one God in Three Person”), with the communion of love binding together, so
the cosmos itself reflect this same unity and diversity as the expression of the
creative of the Triune of God.7
Disatu sisi, biasanya tulisan tentang Tritunggaldi kalangan kaum Injili
lebih banyak dalam kajian yang bersifat apologetik, karena memang doktrin ini
seringkali disalah-mengerti atau dipahami oleh golongan tertentu.8
Tulisan ini
mencoba melihat dari sisi yang berbeda denganmereformulasi doktrin
Tritunggal yang ditinjau dari aspek Praktis-relasional dalam perspektif Injili.
Doktrin Tritunggal merupakan doktrin yang rumit,9
namun bukan
berarti doktrin ini salah atau keliru. Sebab konfesi akan Tritunggal yaitu
kebenaran dan juga misteri ilahi10 yang hanya dapat diterima oleh dan melalui
iman. Bukan juga terjebak pada sikap yang fideistik, karena bagaimanpun juga
dalam argumentasinya memiliki penalaran yang rasional, meskipun juga harus
diakui untuk memahaminya sistem pikir “akal yang diperluas” atau melampaui
akal harus dipertimbangkan, yang kemudian sumber utama yaitu pada apa
yang dikatakan oleh Alkitab.
Allah Tritunggal menurut Grudem dapat didefinisikan sebagai: “God
eternaly exists as Three persons, Father, Son, and Holy Spirit, and each
person is fully God, and There is one God.11Memang istilah Tritunggal tidak
pernah muncul di dalam Alkitab, tetapi tidak berarti tidak diajarkan dalam
Alkitab. Justru Alkitab memberikan data yang cukup lengkap baik secara
eksplisit maupun implisit tentang konsep Tritunggal.12 Karena itu, sangat tepat
apa yang dikatakan oleh Louis Berkhof bahwa: “doktrin Allah Tritunggal
sesungguhnya yaitu doktrin pewahyuan.”13 Artinya doktrin Tritunggal bukan
hasil rumusan gereja, tetapi penyataan Allah sendiri dalam Alkitab. Allah yang
tersembunyi (Deus Absconditus), telah menyatakan diri-Nya sendiri (Deus
Revelatus). Ini merupakan perspektif Injili.
Oleh karena itu dalam pembahasan tentang rumusan doktrin Tritunggal
akan diuraikan dari beberapa aspek, yaitu: Presuposisi, Pernyataan Doktrinal.
Presuposisi
Dalam usaha membangun sebuah teologi, peran presuposisi menjadi
sangat penting karena akan sangat menentukan arah dari bangunan teologi itu.
Presuposisi bisa dikatakan sebagai asumsi dasar, pra-anggapan, prapengetahuan seseorang dalam usahanya menafsir atau melihat sesuatu. Dengan
kata lain, pentingnya metode teologi sistematik, dimana didalamnya terdapat
presuposisi Teisme Kristen, Allah sebagai the Absolut, self-conscious Being
(Keberadaan Mutlak yang berkesadaran diri) menjadi Principium Essendi
(Prinsip Utama).14 Keberadaan yang Mutlak yang berpribadi tersebut yaitu
Allah Tritunggal berdasarkan special revelation. Van Til menyebut ini sebagai
presuposisi Ultimat.15 Dengan kata lain, presuposisi Kristen bersifat
supranaturalistik-revelasional.
Oleh karena itu, presuposisi Teisme Kristen bersifat Trinitarian,
kepercayaan kepada Allah Tritunggal.16 Dimana doktrin Tritunggal
mencerminkan keyakinan kepada Allah Bapa, Allah Putra dan Allah Roh
Kudus. Serta keyakinan akan inkarnasi Yesus Kristus dalam kerangka
penebusan atau karya keselamatan umat pilihan-Nya. Ini merupakan
worldview Kristen dan melalui formulasi doktrinal akan menjadi lifeview
ataupun habit dalam hidup orang Kristen, dalam berelasi dengan sesamanya.
Tritunggal Sebagai Basic Beliefs
Doktrin Tritunggal merupakan teisme Kristen, sekaligus basic
beliefs17yang mencirikan kekhususan iman kekristenan berdasarkan revelasi.
Seperti yang dikatakan oleh Karkkainen bahwa:
Doktrin Tritunggal bukan hanya prinsip penstrukturan dari doktrin
Kristen, melainkan juga cara mengidentifikasikan Allah Alkitab.
Doktrin Tritunggal ialah apa yang secara mendasar mencirikan doktrin
Kristen tentang Allah dan dengan demikian telah membedakan konsep
penyataan Kristen sebagai Kristen, berbeda dengan semua doktrin
Allah yang lain. Doktrin Tritunggal ialah satu-satunya jawaban Kristen
yang mungkin atas pertanyaan siapa Allah yang menyatakan diri-Nya.18
Karena itu, doktrin Tritunggal mencerminkan keyakinan orang Kristen
yang kokoh mengenai Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus berdasarkan Alkitab
sebagai wahyu khusus yang yaitu sumber prinsip dan pengetahuan bagi
kehidupan etis praktis orang Kristen.
Doktrin Tritunggal Sebagai Akar Dari Semua Doktrin Kristen
Doktrin Tritunggal yaitu pusat dari iman Kristen, tanpa doktrin
Tritunggal kekristenan kehilangan konten dan esensi dari iman Kristen itu
sendiri. Doktrin Tritunggal sebagaimana Allah sendiri telah mewahyukannya
(Deus Revelatus). Dengan demikian doktrin ini merupakan inti dari iman
Kristen, akar dari semua doktrin dan seluruh ativitas bergereja, bahkan semua
doktrin yang lain tersusun dan berpijak pada doktrin Tritunggal itu sendiri.
Sebab itu, seperti yang dikatakan oleh Timo bahwa:
Tanpa iman kepada Allah Tritunggal, pemahaman Kristen tentang
semua hal dalam iman Kristen tidak memiliki keunikan apa-apa. Tanpa
iman kepada Allah Tritunggal, ibadah dan penyembahan Kristen
hampa, tak bermakna dan kehilangan pengharapan. Iman Kristen
berbeda dari agama-agama yang kita kenal.19
Sebab itu, doktrin Tritunggal yaitu doktrin yang sangat penting dalam
teologia Kristen.Seperti yang dikatakan oleh Grudem bahwa: “the doctrine of
the Trinity is one of the most important doctrines of the Cristian faith”.20
Senada dengan apa yang dikatakan oleh Erickson bahwa: “the doctrine of the
Trinity is crucial for Christianity.”21Jatuh bangunnya iman Kristen sungguhsungguh bergantung pada benar-tidaknya doktrin ini. Sebab, hampir semua
pokok penting dalam iman Kristen, bergantung pada ajaran bahwa Allah
yaitu tiga dalam satu.22
Jadi, doktrin Tritunggal yaitu fondasi keseluruhan Teologi Kristen. Itu
juga berarti bahwa doktrin Tritunggal menjadi fondasi bagi ortopraksi orang
Kristen, khususnya aspek relasi baik di gereja ataupun relasinya dengan dunia.
Pernyataan Doktrinal
Untuk dapat memahami korelasi antara doktrin Tritunggal dari aspek
praktis-relasional, maka diperlukan pernyataan doktrin Tritunggal, yang secara
niscaya menjadi norma absolut bagi orang Kristen dalam berpikir, bersikap
dan bertidak terhadap sesama yang yang plural di dunia ini. Kerangka berpikir
sistematik mengenai konsep Allah Tritunggal sebagaimana saya gambarakan
di bawah ini:
Dari quid melihat keberadaan Allah dalam dua persepsi, yaitu esensi
dan substansi. Esensi untuk melihat “apakah” Allah pada hakekatnya (ousia),
qradus atau kualitas materi sebab Ia yaitu Theos (kata benda tapi, bukan
materialisme) Allah berbeda (different) secara kualitas sebab Ia “beyond the
matter” dan berada diluar ruang dan waktu, hanya saja ini upaya manusia
mencoba melihat Allah dari dalam ruang dan waktu, sementara substansi
melihat “siapakah” Allah dari sisi persona (person) untuk melihat status atau
kuantitas, dari sinilah melihat Allah Tritunggal dari segi kuantitas, dimana
secara personal beda (distinct) akan tetapi, secara status yaitu sama (equal),
juga dalam aspek qualisnya dalam sifat-sifat dan atribut-Nya.23
Oleh sebab itu, Pernyataan doktrin Tritunggal secara ringkas,
diungkapkan dalam pengakuan Iman Westminster yang berkata bahwa:
“Di dalam Allah yang esa, terdapat tiga Pribadi, yang yaitu satu
dalam substansi, kuasa dan kekekalan; Allah Bapa, Allah Anak dan
Allah Roh Kudus. Bapa bukan dari apapun, juga bukan diperanakkan
oleh siapapun, juga bukan keluar dari apapun; Anak diperanakkan dari
Bapa sejak kekekalan; Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak sejak
kekekalan.”
24
Lebih lanjut, Erickson memaparkan Istilah Tritunggal, harus di pahami
dalam 3 pendekatan yang berdasar pada Alkitab, yaitu, “The Oneness of God, The Deity of Three, dan Three-in-Oneness.25 Jika diparalelkan antara Kredo
Westminster di atas, dan pendekatan yang dipakai oleh Erickson, maka penulis
menguraikan secara terperinci melalui proposisi-proposisi sebagai berikut:
Singularitas Allah
Singularitas Allah artinya yang menekankan kesatuan Allah, faktanya
bahwa Ia secara angka satu dan bahwa Ia unik. Cakupan arti logis dari istilah
ini yaitu hanya ada satu keberadaan Ilahi, tidak mungkin ada lain, selain satu
keberadaan Ilahi dan semua keberadaan lain ada dan melalui serta kepadaNya.26 Dalam keberadaan Ilahi hanya ada satu esensi yang tidak terbagi
(ousia esentia). Allah yaitu satu dalam esensi-Nya atau dalam natur
konstitusional-Nya.
Alkitab mencatat dalam Kitab Ulangan 6:4 menggunakan kata דָח ֶא
'echad, yang berarti satu. Kata echad dipakai dalam berbagai variasi misalnya
diartikan sebagai a compound one (satu gabungan), semua satu, satu dengan.
Kata Ibrani lain yang dekat berkaitan dengan echad dan digunakan bergantian
dengan kata badhadh berarti sendiri, yang pertama.
Kata echad bukan an absolute one (satu yang mutlak).27 Kata itu
digunakan misalnya untuk satu tandan anggur atau mengatakan bangsa Israel
merespons sebagai satu bangsa.28 Sebaliknya kata Ibrani yang berarti satu yang
mutlak (an absolute one), mengunakan kata יד ִחָיyachiyd (Kej 22:2, 16).29 Dan
bukan kata yachiyd dipakai dalam konteks Allah yang esa, tapi kata echad.
Selanjutnya, Boice juga mengatakan bahwa echad bukan satu dalam isolasi,
satu dalam kesatuan. Faktanya kata itu tidak pernah digunakan dalam bahasa
Ibrani sebagai suatu entitas tunggal.30 Ini bukan hanya berarti satu-satunya
Allah yang benar di dunia ini, tetapi juga artinya tidak ada Allah lain.
“Pluralitas” Allah
Ini tidak berarti ada banyak Allah (politeisme), tetapi adanya
“kejamakan” dalam diri Allah. Secara evidensial, ditunjukkan oleh Alkitab,
misalnya melalui penggunaan nama Allah dalam Perjanjian Lama, dipakai kata
ים ִ֑ ִלהֱֹא (elohim) dalam Kejadian 1:1 yang merupakan kata bentuk jamak
plural). Demikian juga, banyak referensi ayat Alkitab yang mengindikasikan
adanya “kejamakan” dalam diri Allah, seperti Kejadian 1:26: Berfirmanlah
Allah: "Baiklah Kita...”; Kejadian 3:22 "... Sesungguhnya manusia itu telah
menjadi seperti salah satu dari Kita, Begitu pun dalam Kejadian 11:7, “Baiklah
Kita turun...” dan masih banyak ayat yang menyatakan kejamakan dalam diri
Allah.
Lebih jelas lagi di dalam Perjanjian Baru, seperti Matius 3:16-17
mencatat bahwa: “ketika Yesus dibaptis, Bapa berbicara dari Surga dan Roh
Kudus turun dalam wujud seperti burung merpati.” Peristiwa ini menunjukkan
dengan jelas adanya “kejamakan” dalam diri Allah.
Data Alkitab di atas menunjukkan adanya tiga subsistensi atau tiga
Pribadi yang berbeda, yaitu Bapa, Putra dan Roh Kudus. Para penulis Yunani
memakai istilah hupostatis, dalam bahasa Latin dikenal dengan sebutan
persona. Pribadi Bapa, bukan Anak, Pribadi Anak bukan Pribadi Roh Kudus,
demikian juga sebaliknya. Pluralitas, atau kejamakan bahkan juga dapat
dikatakan keragaman dalam diri Allah diekspresikan melalui tiga Pribadi. Jadi,
Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu Pribadi yang berbeda.
Selanjutnya, pluralitas dalam diri Allah ini terlihat melalui pekerjaan
masing-masing Pribadi. Artinya setiap pribadi dalam Tritunggal memiliki
peran yang berbeda, secara khusus dalam opera ad extra dimana Bapa sebagai
Pencipta, pemelihara, Anak sebagai Penyelamat dan Penebus dan Roh Kudus
melahirbarukan, menghibur dan memelihara Orang Kristen.
Bapa-bapa gereja awal, Ignatius, Klement dari Aleksandria dan Origen,
misalnya mampu untuk mengekspresikan aspek dispensasi ilahi. Dimana
konsep ekonomi menjadi cara mengintegrasikan pluralitas, mempertahankan
kekayaan dan keragaman cara dari satu Allah dalam dunia.31
Allah pada diri-Nya sendiri ad intra (adanya subsistensi-subsistensi:
Bapa, Anak dan Roh Kudus) dan di luar diri-Nya melalui karya-Nya opera ad
extra (Tiga Pribadi melalui pekerjaan masing-masing) Irenieus memiliki
konsepsi yang kaya mengenai konsep Tritunggal ekonomi. Kita dapat
mengatakan bahwa Irenaeus mampu memberikan konsep yang sangat koheren
dan memuaskan dari konstitusi ilahi dan keterlibatan dalam ruang dan waktu
dalam dunia ciptaan-Nya.32 Hal ini merupakan keunikan doktrin Tritunggal,
secara ekonomi, Allah terlibat aktif dalam sejarah manusia.
Seperti apa yang dikatakan oleh Frame bahwa: “Tritunggal bukan
semata-mata satu dan semata-mata tiga, melainkan selalu tiga di dalam satu.
Maka ciptaan merupakan kesatuan dalam kejamakan.
Equalitas “Tiga Persona” Allah
Bapa, Anak dan Roh Kudus sama-sama Allah yang tunggal dan esensi
yang tidak terbagi-bagi dan segala kesempurnaan dan prerogatif ilahi, yaitu
kepunyaan dari masing-masing Pribadi dalam pengertian dan derajat yang
sama.34 Bapa, Anak dan Roh Kudus sehakekat, setara, sekedudukan, seesensi,
merupakan tiga pribadi yang berbeda, tetapi satu Allah. Satu keberadaan, tiga
Pribadi, atau tiga Pribadi dalam satu keberadaan. Bapa tidaklah lebih mulia
dan lebih tinggi derajat-Nya daripada Anak, demikian juga Anak tidaklah lebih
tinggi derajatnya daripada Roh Kudus, demikian juga sebaliknya.
Artinya, masing-masing Pribadi yaitu Allah sepenuhnya, memiliki
semua atribut ilahi. Pribadi-pribadi itu bukankah bagian-bagian dari Allah,
seolah-olah Satu Pribadi bisa bertindak tanpa kedua Pribadi lainnya.
Keberadaan Allah menunjukkan suatu identitas numeral yang mutlak. Ia
yaitu satu “Keberadaan”, bukan tiga; ketiga-tiganya mengambil bagian dari
satu “esensi.”35 Satu esensi dalam tiga Pribadi yang sama-sama equal.
Alkitab memberikan data tentang kesetaraan atau derajat yang sama
diantara Tiga Pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus). Dalam Perjanjian Baru
Injil Yohanes 5:31 menunjukkan Yesus sebagai saksi, dan Yohanes 5:32, 37a
menunjukkan Bapa sebagai “saksi yang lain”. Frase “yang lain” menjadi frase
kunci. Dalam bahasa Yunani dipakai kata ἄλλος (allos). Ada dua kata bahasa
Yunani yang berarti “yang lain” allos dan heteros. Allos menunjuk pada “yang
lain” dari jenis yang sama, sedangkan heteros menunjuk pada “yang lain” dari
jenis yang berbeda.36 Sama halnya dengan relasi antara Yesus dengan Roh
Kudus. Yesus disebut παράκλητοϛ (parakletos)dalam I Yohanes 2:1 dan Roh
Kudus juga disebut sebagai ἄλλον παράκλητον (Penolong “yang lain”)dalam
Yohanes 14:16. Dipakai juga kata allos/allon, yang menunjukkan
kesederajatan atau kesetaraan kualitas keduanya.
Untuk menjelaskan ketiga Pribadi (Bapa, Anak dan Roh Kudus) equal
dalam Kredo Konstantinopel dikatakan sebagai berikut: “Kami percaya bahwa
ada satu hakekat (ousia) dari Bapa dan Anak dan Roh Kudus dalam tiga
kepribadian yang sempurna (hypostatis) atau tiga Pribadi yang sempurna
(prosopois).37 Penekanan pada kredo ini sebenarnya terletak pada kesatuan dan
kesamaan hakekat (homoousios) yang dimiliki oleh ketiga Pribadi dalam
Tritunggal.
Karena itu, Bapa, Anak dan Roh Kudus yaitu setara dalam hakekat.
Diantara ketiganya tidak ada hakekat yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Bahkan ketiganya bukan hanya memiliki hakekat yang setara, tetapi juga
hakekat yang satu (bukan triteisme ataupun politeisme).
Relasionitas“Tiga Persona” Allah
Doktrin Allah Kristen, yang bersifat Trinitarian akan memudahkan kita
memahami relasi kebersamaan kemajemukan pada diri Allah sendiri dalam
kekekalan, sebelum dunia diciptakan. Artinya sebelum dunia diciptakan
melalui doktrin Tritunggal Allah memiliki aktivitas relasional di dalam diriNya sendiri. Roger Nicole mengatakan bahwa:
Yet the doctrine of the trinity to apprehend in God something of his
own inner life and to see in him the intimate attachment of the Father
to the Son, of the son to the father, of both them to the holy spirit, and
the holy spirit to both of them.38
Schaffer mengatakan bahwa: tiga Pribadi saling mengasihi dan saling
berkomunikasi, sebelum adanya semua hal yang lain (sebelum
penciptaan).39Apsek trinitarianisme dikenal dengan istilah perichoresis atau
dalam bahasa Latin circumincessio yaitu doktrin yang menunjukkan saling
berdiamnya tiga Pribadi dari Tritunggal. Dimana satu sama lain, berada dalam
kesatuan. Istilah ini didefinisikan sebagai pemahaman dan berdiamnnya tiga
Pribadi secara timbal balik dalam satu dan lainnya. Dalam konsepsi Yunani
tentang Tritunggal ada penekanan pada pemahaman timbal balik dari tiga
Pribadi, dalam keastuan esensi Ilahi. Dalam gagasan Latin, penekanannya pada
relasi internal dari tiga Pribadi.40
Didalam pembahasan teologi Trinitarian maka isu tunggal yang dapat
dikemukakan berdasarkan kesepakatan bersama menunjukkan sikap
antusiasme kolektif yang disebut dalam kategori “relasionitas.”41
IMPLIKASI PRAKTIS–RELASIONAL
BAGI HIDUP ORANG KRISTEN
Semua konsep memiliki konsekuensi arti maupun maknanya. Demikian
juga sebuah doktrin itu memiliki implikasi logis berkenaan dengan kehidupan
praktis setiap orang yang meyakininya, sehingga konsep ataupun doktrin yang
dianut terimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Doktrin Trinitas sama seperti formulasi doktrinal lain dari iman
Kristen, harus dipikirkan dengan serius. Ini yaitu doktrin yang menyediakan
kita dengan wawasan asli ke dalam realitas ilahi. Hal ini dimaksudkan untuk
memberikan makna bagi kehidupan Kristen dan ibadah.42 Artinya implikasi
dari doktrin Tritunggal bagi iman Kristen sangat kaya, sebab doktrin ini sangat
fundamental dalam memahami Allah dan relasinya dengan dunia, khususnya
dalam kaitannya dengan penebusan. Sebagaimana semua doktrin Kristen
berhulu pada doktrin Tritunggal menjadi fondasi serta tiang keseluruhan
doktrin, bahkan akhirnya bermuara juga pada Allah Tritunggal, maka tidak
bisa tidak, ini mempengaruhi kehidupan umat Tuhan baik segi ibadah maupun
relasi sosialnya. Karena itu, Penulis menemukkan implikasi praktis-relasional
doktrin Tritunggal yang harus menjadi pijakan cara tindak atau prilaku orang
Kristen hidup ditengah-tengah dunia yang majemuk.
Singularitas dalam Pluralitas: Sikap Hidup Yang Inklusif dan Toleran
Dalam Allah ada kejamakan, tetapi kejamakan itu tidak saling
menyerang, menjauhkan diri, atau menghancurkan. Yang tiga yaitu satu,
tanpa jatuh dalam bahaya menjadi sama atau seragam (tresunum sunt, non
unus) Allah bukanlah kesatuan yang seragam dan sama, melainkan kesatuan
dari yang tidak seragam dan tidak sama.43
Semangat kebersamaan, hidup dalam kasatuan ditengah pluralitas
yaitu refleksi doktrin Tritunggal. Kejamakan tidak harus bertendensi pada
perpecahan atau segmentasi-segmentasi golongan kepercayaan dan etnis yang
heterogen. Sebaliknya, ditengah hidup manusia yang plural tercipta kesatuan
antara satu dengan yang lainnya. Tanpa harus memaksa yang “berbeda”
menjadi sama dengan golongan tertentu. Pluralitas bukanlah ancaman. Justru
adaanya kesatuan dalam kemajemukan merupakan prinsip hidup yang niscaya
dalam hidup manusia, karena di dalam diri Allah yang Esa terdapat pluralitas
dalam singularitas. Schaeffer mengatakan bahwa: “kesatuan dan keragaman
tidak mungkin eksis sebelum Allah atau ada dibalik Allah, karena apapun yang
paling dulu ada yaitu Allah. Doktrin Trinitas merupakan kesatuan dan
keragaman yaitu Allah sendiri, Tiga Pribadi, satu Allah.”44
Ini merupakan dasar bagi relasi sosial yang transcendental, dimana
keberadaan umat Tuhan sebagai gereja bisa berelasi dengan harmonis ke dalam
bagian sebuah kelompok sosial. Bukan hidup dalam individilistis, tetapi hidup
secara kolektif, hidup dalam komunitas, kesatuan antara pribadi-pribadi dalam
sebuah relasi yang harmonis.45
Trinitas merupakan landasan konseptual yang sangat tepat bagi
keharmonisan hidup masyarakat yang berbeda. Itu berarti orang Kristen tidak
hidup terpisah atau memisahkan diri dari dunia, tetapi hidup secara bersama
dan juga menjadi bagian aktif dari dunia. Hidup bersama dengan orang-orang
yang berbeda suku, agama, ras dan antar golongan dalam satu kesatuan atau
sebagai bagian yang tak terpisahkan. Pada titik ini, maka hidup yang eksklusif
tidaklah menjadi pola atau gaya hidup Kristen. Sebaliknya menampilkan pola
hidup yang inklusif, terbuka dan menjadi bagian dari kelompok yang berbeda,
menjadi karakteristik hidup Kristiani.
Demikian juga soal toleransi, dimana toleransi antar umat beragama
bisa terjadi karena menghargai keberagaman, tanpa harus memaksa menjadi
seragam. Prinsip hidup dalam suatu kesatuan di tengah keberagaman, sangat
diperlukan sikap yang terbuka pada tataran etis. Sama halnya dengan sikap
toleransi, menghargai keberadaan orang yang berbeda dengan kita harus
menjadi norma prilaku praktis relasional umat Tuhan.
Equalitas Dalam Relasionitas: Aktualisasi Kasih Yang Setara
Ajaran Kristen tentang Allah merupakan model dari kualitas
persekutuan bagi keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di
Bumi Bhineka Tunggal Ika. Menurut Timo bahwa:
“Allah yaitu satu entitas yang jamak. Pada-Nya ada kehidupan yang
berbhineka tunggal ika. Ia yaitu sebagai pribadi yang berkomunikasi
dan berelasi antara Bapa, Anak, Dan Roh Kudus. Relasi dan
komunikasi antara ketiga cara berada itu tidak mengenal hierarki atau
subordinasi. Yang satu tidak lebih penting atau utama dari yang lain.”
46
Dalam opera ad extra diantara ketiga subsistensi Tritunggal bersifat
submisif. Artinya ketaatan Anak kepada Bapa dalam kesederajatan sesuai
dengan rencana Mereka, demikian juga dengan Roh Kudus. Sebaliknya tidak
bersifat subordinasi, yang satu superior dan yang lainnya inferior. Dalam
pengertian ini, sangat relevan bagi relasi sosial yang mejemuk yang biasanya
bertendensi pada sikap dan tindakan antara yang superior terhadap yang
inferior.
Prinsip utamanya yaitu adanya equalitas dalam relasionitas. Sebuah
relasi yang sederajat, sehakekat, setara, sekedudukan didalam kejamakan.
Prinsip ini, secara otomatis menolak ekses negatif dari fenomena sosial yang
acapkali terjadi dalam kehidupan manusia yang mejemuk. Seperti, fenomena
kaum mayoritas terhadap kaum minoritas, yang merasa lebih utama ataupun
lebih tinggi hak dan kedudukannya, sehingga menyebabkan adanya fenomena
sikap superioritas golongan tertentu terhadap golongan lain yang inferior;
fenomena pertentangan, perselisihan bahkan kekerasan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara karena perbedaan etnis dan religi. Kesemuanya ini,
bermuara pada sikap individulisme, yang menyebabkan hancurnnya
kolektivitas dalam pluralitas.
Sebaliknya, equalitas dalam relasionitas merupakan dasar hidup
bersama-sama (kolektivitas) dalam berbagai perbedaan. Arogansi, sikap
sewenang-wenang terhadap orang lain, bahkan menganggap orang lain atau
golongan tertentu rendah dan tidak berarti, tidak lagi menjadi fenomena yang
umum dan wajar dalam kehidupan sosial khususnya di Indonesia.Dengan
demikian, terjadi keseimbangan antara individulitas dan kolektivitas.
Kepentingan individu tidaklah mengorbankan kepentingan kolektif, demikian
juga sebaliknya, kepentingan kolektif tidak mengorbankan individu tertentu.
Dan di dalam kolektivitas terdapat equlitas antara individu-individu yang
majemuk. Seperti apa yang dikatakanoleh Timo bahwa:“tiap individu berdiam
dalam yang lain dan di diami juga oleh yang lain. Mereka bersekutu, bukan
saling bersaing merebutkan posisi sebagai yang terutama, atau bahkan saling
menghancurkan.47Inilah kekayaan, sekaligus keunikan doktrin Tritunggal
sebagai basic beliefsiman Kristen yang dapat diimplementasikan dalam
kehidupan manusia, sehingga relasi sosial tercipta dengan harmonismelalui
hubungan kasih yang setara.
Relasi yang sederajat dalam Allah Tritunggal ini didasari oleh Kasih
sebagai atribut-Nya sendiri. Grenz melihat implikasi teologis doktrin
Tritunggal berkenaan dengan esensi Allah yang yaitu kasih, sebagai atribut
moral-Nya.48 Relasi antara tiga Pribadi yang sederajat, setara, sehakekat, sama
dalam kasih.
Inilah yang menjadi prinsip hidup praxis bagi orang Kristen.dimana
Orang Kristen harus senantiasa mengaktualisasikan kasih yang sederajat
kepada siapapun, tanpa memandang bulu. Orang Kristen tidak boleh
memandang yang seorang lebih tinggi dari yang lainnya berdasarkan strata
sosial. Tidak berlaku hukum “tebang pilih”, hukum “pilih kasih,” sebab pilih
kasih bukanlah kasih itu sendiri. Kasih itu sama rata diperlakukan kepada
siapapun. Kualitas kasih sama kepada orang yang berbeda suku, agama, ras
dan golongan yang berbeda. Kualitas kasih juga sama kepada yang kaya atau
pun yang miskin, kepada yang berpendidikan atau pun tidak, kepada orang
yang dipandang masyarakat terhormat atau pun kepada orang yang sianggap
sepele, kepada orang yang berada maupun yang tak punya.
Relasi Kerjasama Yang Harmonis
Bukan hanya relasi dalam kesetaraan atau kesederajatan tetapi juga
relasi dalam kerjasama yang harmonis. Persis seperti apa yang dikatakan oleh
Timo bahwa: Tritunggal merupakan persekutuan ketiga mode of being Allah
ditandai oleh relasi kerja sama yang saling menopang dan melengkapi
sehingga pekerjaan-pekerjaan Allah bukan hanya mencapai tujuan, melainkan
juga pelaksanaan yang indah (Kej 1:31).”49 Ini merupakan relasi kerjasama
yang harmonis dalam opera ad extra. Ketiga Pribadi Allah dalam relasi
keilahian setara, sederajat, sehakekat, sama, namun memiliki peran spesifik
yang berbeda di dalam rencana penyelamatan orang pilihan sejak semula
sampai dunia yang akan datang. Meskipun bisa dibedakan secara spesifik
tetapi tidak dalam pengertian yang ekstrim. Karena sesungguhnya antara
pekerjaan Pribadi satu dengan yang lainnya tidak bisa terlepas satu dengan
yang lainnya, karena peran inipun sifatnya tumpang tindih. Dapat dibedakan
Oknumnya dalam tugas personal bagi keselamatan umat-Nya. Bapa yang
mengutus Anak (I Yoh. 4:10) Anak turun dari Sorga melakukan kehendak
Bapa (Yoh. 6:38) dan Roh Kudus menjamin keselamatan.50 Lebih terang lagi
jika dilihat dalam kerangka teologi reformed dengan prinsip infralapsarianisme
dekrit Allah dalam kekekalan untuk memahami peran Oknum Tritunggal yaitu:
Penciptaan – kejatuhan – pemilihan – penebusan.51
Gambaran kerjasama yang harmonis dalam tiga Oknum Tritunggal
tepat seperti apa yang dikatakan oleh Timo bahwa “Ketiganya selalu ada dan
aktif bersama-sama tanpa dapat dipisahkan atau dipertentangkan.”
52 Inilah
yang saya namakan sebagai prinsip kerjasama yang harmonis. Tiga Oknum
berbeda, ketiganya memiliki peran masing-masing, tetapi tidak bertentangan
atau berkonflik, tetapi tumpang tindih, karena kesatuannya, Ketiga Oknum
yaitu satu esensi, tidak ada yang lebih menonjol atau teraibaikan, tetapi
terikat dalam sebuhan hubungan kerjasama yang harmonis.
Karena itu, seharusnya Gereja merupakan komunitas yang mudah
bekerja sama, berperan aktif dalam dunia, tidak suka pertentangan apalagi
konflik. Orang Kristen tidak menutup diri, atau bersikap apatis terhadap dunia
luar, tidak berkontribusi apa-apa. Implikasi relasional yang terakhir yang saya
bahas doktrin Tritunggal yaitu kerjasama yang harmoni.
Doktrin Tritunggalyang selama ini diaksiomakan sebagai doktrin yang
rumit pada tataran diskursus teologi sistematik, dan cenderung pembahasannya
pada ranah apologetik,sesungguhnyajuga memiliki implikasi yang sangat
dalam bagi kehidupan praktiis-relasionalorang Kristen. Implikasi tersebut
terlihat dalam relasi harmonis Allah Tritunggalbaik pada diri-Nya sendiri (ad
intra) maupun di luar diri-Nya (ad extra).
Relasi harmonis Allah Tritunggal nampak dalam keberagaman Tiga
Oknum yang berbeda, tetapi dalam satu kesatuan. Relasi di antara ketiga
Oknum, yang setara, sederajat, sehakaket, sekedudukan, sebab satu esensi,
yaitu satu Allah. Ini menunjukkan nilai praktis-relasional bahwa keperbedaan
dalam kesatuan itu mungkin dan bahkan niscaya. Dengan hidup dalam
kesatuanmeskipun berbeda maka keharmonisan hidup sosial itu tercipta. Dari
prinsip etis ini melahirkan sikap yang inklusif dan toleran. Sikap yang terbuka
dan dapat menerima mereka yang berbeda dengan kita. bukan gaya hidup yang
tertutup, membenci atau meniadakan yang berbeda, atau bersikap separatif,
menganggap orang lain sebagai ancaman yang harus dibinasakan. Inilah yang
harus menjadi gaya hidup orang Kristen, berada di tengah dunia, bukan
memisahkan diri dari dunia, tetapi hidup terbuka dan menghargai sesama yang
lain, apapun bentuk perbadaan yang dijumpai.
Relasi ketiga Oknum Allah Tritunggal, yang penuh kasih yang
sederajat, antara Bapa, Anak dan Roh Kudus. Berdiam bersama, bukan dalam
relasi hirararki Bapa lebih tinggi dari Anak dan Anak lebih tinggi dari Roh
Kudus, tetap berdiam bersama ketiga Oknum dalam mengaktualisasikan kasih
yang setara. Ketiga-Nya sama derajat, sama hakekat berdiam bersama, berelasi
dalam kasih yang sama. Hal ini menjadi prinsip praktis-relasional agar kita
memperlakukan sesama dengan cara yang sama, dengan kualitas kasih yang
sama, tanpa membedakan antara satu dengan yang lainnya.
Relasi kerja sama dalam peran dan tugas yang harmonis dari ketiga
Oknum Tritunggal juga menjadi prinsip praktis-relasional bagi kita, agar
berperan aktif, bekerja sama dengan orang lain, sehingga kita berkontribusi
aktif bukan hanya bagi kelompok sendiri,untuk kemajuan bersama, kemajuan
pada skop yang lebih luas, negara dan bangsa, bukan hanya dalam gereja.
Akhirnya, isolasi diri, sikap yang individualistik yang hanya
mementingkan kelompok sendiri, baik dalam relasi pengungkapan kasih
maupun dalam keterlibatan kerja bukanlah menjadi ciri khas praktek hidup
orang Kristen. Allah Tritunggal yaitu Allah yang berdiam bersama, berelasi
dengan harmonis pada dir-Nya sendiri dan juga bekerja bersama dalam tujuan
yang sama, keselamatan bagi umat-Nya.
Ajaran sesat yang menolak doktrin Allah Tritunggal (Anti-Tritunggal)
sudah muncul sejak awal kekristenan lahir di dunia. Bentuknya ada
dalam berbagai varian yang pada prinsipnya menolak keallahan dan
kesetaraan pribadi Allah yang eksis dalam Tritunggal. Bahkan di era
global saat ini, masih bermunculan varian baru seperti ajaran Oneness
Pentacostalism dan Dwitunggal. Ajaran Anti-Tritunggal menjadi
ancaman yang menyesatkan gereja. Seorang pengajar Alkitab perlu
memiliki kualifikasi khusus untuk melawan ajaran Anti-Tritunggal.
Kualifikasi apa yang diperlukan seorang pengajar Alkitab melawan
ajaran Anti-Tritunggal seperti yang tertuang dalam 1 Timotius 4:1-16,
merupakan pertanyaan penelitian yang diajukan. Untuk itu, artikel
ilmiah ini ditulis dengan tujuan memaparkan kualifikasi tersebut.
Dengan memakai metode eksegesis dan studi literatur, ditemukan
kualifikasi yang patut dimiliki seorang pengajar Alkitab melawan
ajaran Anti-Tritunggal yaitu menghidupi ajaran para rasul dengan cara
berpegang teguh padanya dan setia mengajarkannya, memiliki
kompetensi spiritual-teologis alkitabiah dengan cara memahami
pokok-pokok iman Kristen (Basic Beliefs), memiliki Hermeneutika
Inspirational Pneumatik, dan mampu mengawasi diri juga ajarannya.Ajaran-ajaran sesat yang menolak ajaran Alkitab tentang doktrin Tritunggal atau
Trinitas sudah muncul pada masa awal kekristenan. Bidat-bidat ini memiliki penekanan
khusus yang umumnya menolak keallahan dan kesetaraan Kristus dengan Bapa.
Contohnya, Ebionisme menolak keallahan Tuhan Yesus karena dianggap lahir dari Yusuf
dan Maria. Kemudian, Arianisme menolak kesetaraan Kristus dengan Bapa, sebab Ia
lebih rendah dari Bapa. Ada pula ajaran Pneumatomakhoi yang menolak keallahan Roh
Kudus (Hermawan 2023, 18). Bahkan sampai abad modern ini, ajaran bidat Saksi
Yehuwa yang merupakan turunan dari ajaran Arius menolak keilahian Kristus dan
menganggap Dia hanyalah ciptaan pertama Allah (Veri, Sahari, and Selan 2021). Paham
Anti-Trinitarian masih terus bermunculan sampai sekarang. Sebut saja gerakan
sektarian “Oneness Pentacostalism” (Reed 2008, 9) dan Ajaran Dwitunggal yang menolak
eksistensi dan kesetaraan tiga Pribadi Allah Tritunggal (Panjaitan, Edwin, and Pieter
2021, 142).
Semua ajaran di atas yaitu bentuk-bentuk ajaran yang menolak ajaran Alkitab
tentang eksistensi Allah Tritunggal. Paham-paham sektarian tersebut menolak ajaran
ortodoksi atau tradisional Kristen tentang Doktrin Tritunggal yang merupakan
eksistensi Allah Alkitab yang menyatakan Diri dalam Tiga Pribadi yaitu Bapa, Firman
dan Roh Kudus yang diajarkan Tuhan Yesus dan diimani para Rasul. Untuk kemudian
dalam pemaparan artikel ilmiah ini, ajaran-ajaran ini akan disebut Anti-Tritunggal atau
Anti-Trinitarian untuk mempermudah pemahaman dan pembahasan. Paham AntiTritunggal atau Anti-Trinitarian ini tentunya menjadi tantangan dan persoalan bagi
para pengajar Alkitab masa kini dan mendatang.
Oleh sebab itu, penting sekali bagi seorang pengajar Alkitab zaman ini untuk
memiliki kualifikasi khusus untuk mengajarkan dan mempertahankan doktrin-doktrin
tradisional gereja yang diwariskan oleh Yesus Kristus, para Rasul dan Bapa-bapa Gereja,
secara khusus doktrin tentang Tritunggal (Bray 2020; Ramelli 2011). Dengan demikian,
maka rumusan masalah yang ingin diajukan yaitu apa kualifikasi khusus yang perlu
dimiliki seorang pengajar Alkitab untuk melawan ajaran Anti-Trinitarian? Artikel ini
ditulis dengan tujuan untuk menyajikan kualifikasi yang semestinya dimiliki seorang
pengajar Alkitab menurut teks 1 Timotius 4:1-16 untuk melawan ajaran Anti-Tritunggal.
II. Metode
Metode yang digunakan dalam yaitu Metode Eksegesis dan Studi Literatur.
Metode eksegesis digunakan dengan mengkaji Teks 1 Timotius 4:1-16 untuk
menemukan kualifikasi yang dibutuhkan oleh seorang pengajar Alkitab melawan ajaran
sesat, khususnya berkenaan dengan paham Anti-Tritunggal. Beberapa kata tertentu
dalam teks 1 Timotius 4:1-16 akan dieksposisi untuk mendapatkan data penelitian yang
sahih guna menjawab pertanyaan penelitian. Selain itu, metode studi literatur atau
Pustaka dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan dan analisis data dengan
mengkaji literatur online berupa artikel ilmiah dan buku-buku berkenaan dengan topik penelitian untuk menemukan jawaban atas pertanyaan penelitian yang diajukan. Artikel
ini kemudian diakhiri dengan sebuah kesimpulan.
III. Pembahasan
Ajaran-ajaran sesat sudah bermunculan sejak berdirinya gereja dan masih terus
berlanjut di lingkungan kekristenan serta menjadi musuh dalam selimut bagi gerejagereja. Takaliuang dalam penelitiannya menegaskan bahwa ajaran-ajaran sesat tersebut
dapat menyesatkan pikiran, merusak iman dan menimbulkan dekadensi moral orang
percaya sehingga perlu dilawan dengan ajaran ortodoksi yang diwariskan oleh para
Rasul (Takaliuang 2020). Maksudnya gereja perlu memiliki pemahaman mendasar
tentang iman rasuli yaitu ajaran para rasul yang terdapat di Alkitab. Para pengajar
Alkitab mutlak harus mempertahankan ajaran Tuhan Yesus tentang Allah Tritunggal dan
Allah Alkitab yang diimani para Rasul (iman rasuli). Hal ini penting karena melawan
ajaran sesat merupakan bagian dari tugas misi gereja (Ceria et al. 2022). Untuk itu, para
pengajar Alkitab perlu memahami teks 1 Timotius 4:1-16 untuk mendapatkan
pengertian akan kualifikasi yang perlu dimiliki guna melawan ajaran sesat, secara
khusus Anti-Tritunggal yaitu sebagai berikut:
Menghidupi Ajaran Para Rasul (Iman Rasuli), 1 Tim. 4:1-5
Mencermati teks 1 Tim. 4:1-5, Sang Rasul Misionaris yaitu Paulus sekaligus
sebagai bapak rohani Timotius, sudah mencium adanya ajaran sesat yang masuk ke
gereja di Efesus. Pada masa itu, Timotius melayani sebagai gembala sidang di kota
Efesus, dan sudah ada ajaran sesat yang merupakan campuran dari Gnostisisme, Taurat
Yahudi dan penyembahan kepada Dewi Artemis (Dewi Orang Efesus). Pengaruh filsafat
Yunani yang mengusung ajaran Gnostik yang memisahkan materi dan roh, juga ajaran
Yudaisme dan penyembahan berhala penduduk kota Efesus menjadi ancaman serius
bagi iman jemaat di Efesus (Juanda and Andaline 2019). Gnostisisme masuk kepada
kelompok ajaran yang dikategorikan Anti-Tritunggal, sebab Kristus hanya dianggap
sebagai utusan atau manusia yang memiliki gnosis (manusia pneumatik) dan bukan
Allah yang menjadi manusia atau Juruselamat (Purba 2019, 98).
Rasul Paulus menyadari hal ini dan memberikan peringatan kepada anak imannya,
Timotius agar mewaspadai ajaran sesat tersebut yang dibawa oleh para pemimpin
gereja yang telah tersesat dalam ajaran dan spiritualitasnya yaitu melakukan askese.
Banyak anggota jemaat akan murtad dan mengikuti para pemimpin palsu yang tersesat
dengan ajaran yang menyimpang dan dipengaruhi oleh setan-setan (1Tim. 4:1). Menarik
menyimak pemakaian kata “murtad” di dalam ayat 1 ini yang yaitu kata
“ἀποστήσονταί τῆς πίστεως (apostēsontai tēs pisteōs)”. Frasa ini dapat diterjemahkan
sebagai menghapus, menghasut untuk memberontak; berhenti, atau meninggalkan iman
(Strong 2023).
Ayat ini merujuk kepada para pemimpin yang memberontak, berhenti atau
meninggalkan iman yang diajarkan para Rasul. Maksudnya para pemimpin yang telah meninggalkan iman rasuli yaitu iman yang sejati kepada Allah dan Kitab Suci yang
bersumber dari ajaran Nabi dan Rasul (Ef. 2:20). Para pemimpin yang murtad biasanya
meninggalkan dan melupakan ajaran dan iman yang tertulis dan terkandung di Alkitab
sebagai warisan ajaran Kristus dan para Rasul.
Kemurtadan terjadi karena ada orang-orang Kristen, terutama para pemimpin
gereja atau pemimpin Rohani yang “mengikuti roh-roh penyesat” dan ajaran setan-setan
(1Tim. 4:1), orang-orang Kristen tersebut yaitu para pemimpin yang tersesat. Dua
buah frasa yang patut di simak di sini yang menyebabkan pemurtadan terjadi ialah
“mengikuti roh-roh penyesat” dan “ajaran setan-setan”. Kata “mengikuti”
προσέχοντες (prosechontes) diartikan sebagai menaruh perhatian, menerapkan diri,
mematuhi. Sedangkan kata “roh-roh penyesat” πλάνοις (planois) dapat diterjemahkan
sebagai impostor (penipu) atau misleader (pemimpin sesat atau penyesat). Para
pemimpin yang tersesat dan tertipu oleh ajaran setan-setan atau
διδασκαλίαις δαιμονίων (didaskaliais daimoniōn) (Strong 2023).
Hal ini tidak mengherankan karena Iblis disebut sebagai bapa segala dusta dan
sering menipu manusia (Tanhidy 2023). Selain itu, Rusli mengutip penjelasan
Takaliuang mengungkapkan bahwa penyebab munculnya ajaran sesat dalam konteks
ayat ini yaitu pengaruh latar belakang sistem hidup lama; Sinkretisme ajaran agama
dunia, Filsafat sekuler mencampuri iman Kristen; Ketidakpuasan dan kekecewaan
orang Kristen terhadap vitalitas kerohanian gereja yang sudah merosot dan rapuh
akibat materialisme; Intervensi ajaran dari roh-roh setan (Rusli 2023, 34; Takaliuang
2020).
Apa yang diungkapkan Rusli dan Takaliaung ini, menjadi isu kuat yang menjadi
penyebab mengapa seorang pemimpin rohani bisa tersesat ajarannya dan ada saja
orang percaya yang mudah dipengaruhi dan tersesat. Kondisi ini patut menjadi
perhatian serius gereja-gereja di era global yang sarat dengan perkembangan IPTEKS
(Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni). Kemajuan IPTEKS yang disebut era digital
menjadi lahan subur bagi tumbuhnya rasionalisme, materialisme, sekularisme,
hedonisme, konsumerisme, dll., yang berpotensi mendistorsi eksistensi wahyu umum
dan menyesatkan gereja. Ini disebut “materialism paradigm trap” (Tanhidy, Panggarra,
and Budiman 2023, 6) atau jebakan paradigma materialistis yang sangat perlu
diwaspadai para pemimpin gereja dan orang-orang Kristen pada masa kini.
Para pemimpin yang terjebak derasnya arus perkembangan IPTEKS dan
paradigma materialistis ini berpotensi besar tersesat karena mencampurkan filsafat
dengan iman Kristen. Hal ini menyebabkan ajaran Rasuli (iman rasuli) yang dipegang
dan diyakini oleh para pemimpin tersebut akhirnya terdistorsi. Untuk itulah, para
pengajar Alkitab yang benar dan setia kepada ajaran Alkitab, semestinya mewaspadai
diri dari pengaruh ilah zaman dengan tetap memegang teguh memegang dan
menghidupi ajaran para Rasul dan mengajarkan iman rasuli dalam pengajarannya.
Barulah dengan demikian jemaat-jemaat yang dilayaninya tidak disesatkan oleh ajaran
sesat yang dibawanya dan terhindar dari pengaruh ilah zaman ini. Memiliki Kompetensi Spiritual-Teologis Alkitabiah, 1 Timotius 4:6-11
Seorang pengajar Alkitab semestinya memiliki kompetensi spiritual dan teologis
untuk menghadapi ajaran sesat yang muncul, secara khusus bidat Anti-Tritunggal.
Berikut ada beberapa kompetensi spiritual-teologis yang diberikan oleh Paulus kepada
Timotius dalam teks 1 Timotius 4;6-11 sebagai pengajar Alkitab yang perlu dimiliki
dalam menghadapi para pemimpin sesat atau penyesat yang muncul di Efesus, tempat
Timotius melayani sebagai gembala sidang, terutama para pemimpin penganut ajaran
sesat yang dipengaruhi Gnostisisme yang mendistorsi ajaran Tritunggal yaitu:
1. Memahami Pokok-pokok Iman Kristen (Basic Beliefs) dengan Benar, 1
Timotius 4:6
Seorang pelayan Tuhan yaitu Timotius yang masih muda diberi wawasan oleh
Paulus sebagai mentor rohaninya untuk melengkapi diri menjadi pelayan Kristus yang
baik (καλὸς διάκονος Χριστοῦ; kalos diakonos Xristou), diartikan sebagai seorang
pelayanan Kristus yang dapat mengatur diri dan ajarannya dengan baik. Caranya ialah
Timotius harus berpegang teguh pada ajaran yang ia terima dari gurunya, Paulus
sebagai ajaran yang sehat. Dengan demikian ia akan terdidik dalam pokok-pokok ajaran
rasuli sebagai fondasi iman Kristen yang benar dan sehat, sehingga ia memiliki
pengajaran yang sehat, kerohanian yang benar dan berhasil menyelamatkan
pendengarnya dari kesesatan.
Untuk mengantisipasi ajaran sesat Gnostisisme, maka Timotius harus dapat
menjadi seorang pelayan Kristus yang “terdidik dalam soal-soal pokok iman”. Kata
“terdidik” dalam ayat ini yaitu “ἐντρεφόμενος” (entrephomenos) yang dapat
diterjemahkan sebagai seorang yang memelihara (to nourish), mempertahankan (to
sustain), dan terdidik (be educated) dalam pokok-pokok ajaran iman Kristen yang telah
ia ikuti selama ini dari para Rasul Tuhan Yesus, terutama Paulus (Strong 2023).
Demikian pula seorang pengajar firman Allah pada masa kini, patut mengikuti
nasehat Paulus dan teladan dari Timotius untuk membuktikan diri sebagai seorang
pelayan Kristus yang dapat memelihara, mempertahankan dan terdidik dalam ajaran
pokok iman Kristen yang diwariskan oleh Kristus dan para Rasul-Nya. Sebagai contoh,
jika Paulus menyebut ketiga Pribadi Allah Alkitab sebagai Bapa, Anak dan Roh Kudus
(Yoh. 1;1; 14:15-17; 16:7-15; Rom. 1:1-7; Fil. 1:2; 2:1; 1Tim. 1:2; 2Tim. 1:2, 13-14; Tit.
1:4; 1 Pet. 1:1-2; 2Pet. 1:20-21; 1Yoh. 1:1-2; 2 Yoh.1:1; Yud. 1) maka tidak ada alasan
atau dalih untuk menolak eksistensi Tiga Pribadi Allah yang menyatu dalam satu hakIkat
itu, yaitu Allah yang benar yang dikenal melalui Yesus Kristus yang diutus Bapa untuk
mengerjakan keselamatan bagi manusia berdosa (bandingkan Yoh. 17:3).
Ketiga pribadi Allah yaitu Bapa, Anak dan Roh Kudus ikut serta dalam upaya
merancang, mengerjakan dan menggenapkan karya keselamatan berupa hidup kekal
bagi keturunan Adam yang telah jatuh dalam dosa melalui Injil (Yoh. 3:16; Rom. 3:23)
dan hanya ada satu Injil yang berlandaskan karya Kristus di kayu salib (Yoh. 14:6; Gal.
1;1-10) , Oleh sebab itu keselamatan yang diterima setiap orang percaya merupakan sebuah soteriologi yang bersifat trinitarian,
kristosentris dan pneumatis-eskatologis (Daliman 2023). Inilah pokok-pokok iman
Kristen berupa keyakianan-keyakinan dasar (Basic Beliefs) baik menyangkut Doktrin
Allah (Teologi Proper), Doktrin Kristus (Kristologi), Doktrin Roh Kudus (Pneumatologi),
Doktrin Keselematan (Soteriologi), Doktrin Dosa, Doktrin Malaikat, Doktrin Setan, dan
lain-lain. Intinya memahami bangunan teologi dogmatika dan sistimatika dengan baik
dan benar.
Keyakinan-keyakinan dasar yang disinggung di atas dalam bentuk bangunan
teologi dogmatika dan sistematika di atas, mendapat serangan yang terus-menerus dari
berbagai bidat yang bermunculan (lebih tepat timbul tenggelam) di sepanjang masa.
Bidat Gnostisisme disinyalir telah mewujud dalam kebangkitan Gerakan Zaman Baru
(New Age). Kepercayaan dan praktik yang biasanya dikaitkan dengan aspek-aspek
pemikiran Zaman Baru, di luar kekristenan contohnya seperti meditasi Zen, para
psikologi, dan agama ”dewi” (Goddess). Tokoh gerakan yang populer dan dikenal
sebagai”spiritualitas baru”ini yaitu Anand Khrisna dan Deepak Chopra, kedua tokoh
ini sangat populer, baik di Amerika maupun di Indonesia, selain tokoh-tokoh lainnya.
Gnostik postmodern berusaha merekonstruksi Kristologi baru berdasarkan sumbersumber yang dianggap otentik. Mereka melakukan berbagai upaya untuk
merekonstruksi atau merobohkan doktrin traditional Kristen atau ortodoks. Ajaran ini
menjadi ancaman yang sangat berbahaya dalam agama Kristen, apalagi jika ada yang
bersentuhan dengannya, karena hal ini dapat menimbulkan kebingungan pemahaman
pengikut Yesus dan berujung pada kemurtadan (Butarbutar 2020, 119).
Pokok-Pokok Iman Kristen (Basic Beliefs) yang dikemukakan di atas yaitu bagian
dari ajaran pokok iman Kristen yang berlandaskan ajaran Alkitab yang diwariskan
Kristus dan para Rasul. Doktrin-doktrin Primer yang merupakan basic beliefs
(Keyakinan Dasar) terutama Kristologi, Pneumatologi, Soteriologi, sudah semestinya
jangan diganggu gugat lagi. Seorang guru Alkitab pada masa kini harus berpegang teguh
pada ajaran ortodoks, bersejarah, dan Alkitabiah sebagaimana yang telah disinggung di
atas. Para pengajar Alkitab harus mampu memberikan penekanan dalam doktrin yang
sehat dan juga menegur orang yang menentangnya. Ia juga harus berpegang teguh pada
perkataan yang dapat dipercaya seperti yang diajarkan oleh para Rasul di Alkitab.
2. Kedua, Memiliki Hermeneutika Inspirational-Pneumatik, 1 Timotius
4:7-15
Kualifikasi guru Alkitab lainnya yang tidak kalah penting di era global ini,
terutama ketika menghadapi ajaran sesat yaitu kemampuan menguasai dasar-dasar
penafsiran alkitabiah di bawah pimpinan Roh Kudus (Hermeneutika Inspirational
Pneumatik). Ilmu mengkaji dan menafsirkan Alkitab yang dikenal di Sekolah Tinggi
Teologi (STT) saat ini yaitu Hermeneutika penting dikuasai dengan baik oleh seorang
pengkhotbah dan pengajar Alkitab era global ini. Kata “Hermeneutika” berasal dari kata
Yunani hermeneuo yang berarti menyebutkan, menjelaskan, atau menerjemahkan. Kata tersebut berasal dari nama dewi Yunani bernama Hermes, yang berperan
menyampaikan pesan dari Tuhan kepada manusia (Kau 2014, 111).
Hermeneutika yaitu ilmu yang mempelajari tentang prinsip dan kriteria yang
digunakan untuk menafsirkan suatu dalil kebenaran sedemikian rupa sehingga dapat
dipahami dengan benar. Hal ini penting untuk memahami berbagai teks kitab suci kuno
yang diinspirasikan oleh Roh Kudus (Wibowo, Tanhidy, and Ming 2022) agar dapat
dipahami oleh pembaca masa kini, meskipun terdapat perbedaan cara berpikir dan tata
bahasa. Jika tidak dapat menemukan pesan asli dari penulis kitab tersebut, maka
khotbah tersebut tidak akan mempunyai pesan yang jelas. Penafsir perlu melakukan
analisis berupa analisis teks dalam bahasa asli penulis kitab, analisis latar belakang
teks dan sosial-budayanya, analisis sastra, analisis arti kata dan tata Bahasa
(Panjaitan, Edwin, and Pieter 2021).
Hermeneutika sebagai metode atau cara dalam menafsir ayat-ayat dalam kitab suci
menyuguhkan rangkaian norma-norma dan petunjuk yang sistematis. Hermeneutika
yaitu disiplin ilmu yang memandu untuk menafsirkan dengan tepat teks-teks Alkitab.
Tujuan utama yaitu mengonstruksi nats yang tidak dipahami dan tidak dimengerti
sehingga dapat dipahami dan dimengerti. Dengan kata lain demi untuk menemukan
makna dan arti yang terkandung dalam suatu teks Alkitab, maka hermeneutika
dipandang sebagai ilmu yang berfungsi untuk mengkaji demi memahami dengan tepat
dan benar serta menginterpretasikan teks. Mengikuti berbagai kaidah hermeneutika
tentunya akan menghasilkan penafsiran yang akurat dan terjamin kredibilitas.
Mengandalkan Roh kudus yaitu baik dan benar, akan tetapi mengharapkan Roh
kudus dan pengurapan-Nya semata sehingga mengabaikan hal-hal praktis seperti
belajar hermeneutika dan homiletika yaitu tindakan keliru dalam mempersiapkan
materi khotbah dan pengajaran. Bukan hanya sampai disitu, para pengkhotbah masa
kini selain mengandalkan Roh kudus, juga mengklaim kebenaran melalui khotbah yang
diurapi disertai tanda mukjizat. Semua hal itu baik adanya, akan tetapi Alkitab yaitu
firman berupa teks yang membutuhkan penggalian dimana ilmu tafsir sangat berperan.
Alkitab merupakan wahyu Allah yang harus juga dipahami dengan akal sehat
manusia melalui ilmu hermeneutika. Jadi bukan hanya bersandar pada Roh Kudus saja.
Seiring dengan hal ini, maka sesungguhnya patut dimengerti bahwa Roh kudus selalu
bekerja melalui akal dan pikiran manusia dan Ia akan menginspirasi, memberi hikmat
dan pengertian untuk dapat menangkap makna yang terkandung dalam teks-teks
Alkitab. Akal pikiran manusia bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan Roh Kudus.
Manusia membutuhkan akal dan ilmu hermeneutika yaitu alat untuk mengetahui,
memahami dan menemukan pesan sesungguhnya yang terkandung dalam nats Alkitab
(Sitompul 2006, 378).
Sangat disayangkan jika seorang pengajar Alkitab, pengkhotbah atau hamba Tuhan
hanya memiliki karunia Roh, namun tidak mempertahankan dan memelihara ajaran
Alkitab yang benar dan sehat melalui kajian ilmu hermeneutika. Ia akan mudah
membawa penyesatan bagi para pengikutnya. Kesimbangan antara karunia rohani dan
penguasaan hermeneutika perlu dimiliki oleh setiap pengkhotbah atau pengajar Alkitab
masa kini. Paulus berpesan kepada Timotius agar menjauhi takhayul dan dongeng (1Tim. 4:7). Kata “takhyul {βεβήλους}” (bebēlous) dalam ayat ini diartikan sebagai cerita
yang berisi kejahatan atau ajaran kafir. Sedangkan kata “dongeng{γραώδεις μύθους}”
(graōdeis mythous) maksudnya yaitu cerita orang tua yang konyol, cerita khayalan,
mitos atau fiksi Strong, “1 Timotius 4:7.” Keduanya baik cerita takhayul dan dongeng
atau mitos tidak berdasarkan ajaran Alkitab dan tentunya harus dijauhi. Seorang
pengkhotbah yang setia kepada ajaran Kitab Suci harus teguh memegang dan
memelihara dasar atau pokok ajaran iman Kristen secara teguh dan penuh
tanggungjawab kepada Sang Pemberi dan Penulis Firman, yaitu Allah, Sang Pencipta
yang telah menyatakan Diri-Nya dalam Bapa, Firman dan Roh Kudus (Mat. 3:16-17; 1
Yoh. 5:6-12).
Selanjutnya, gelar sarjana yaitu persyaratan minimum untuk sebagian besar
pekerjaan guru Alkitab. Gelar dalam Studi Biblika atau Teologi lebih menjadi
persyaratan yang harus dipenuhi seorang pengajar Kitab Suci. Meskipun gelar lain
seperti pendidikan atau filsafat juga dapat berguna bagi seorang pengajar Alkitab untuk
menguasai prinsip, teknik dan strategi mengajar yang baik. Intinya, seorang pengajar
Alkitab atau pengkhotbah firman Allah harus menguasai ilmu tafsir kitab suci yang
memadai, sehingga dapat memiliki ajaran yang sehat.
3. Mampu Mengawasi Diri dan Ajarannya, 1 Timotius 4:16
Nasihat terakhir Sang Rasul Misionaris kepada anak imannya, Timotius khususnya
dalam menghadapi Bidat atau ajaran sesat, terutama Gnostisisme yang merupakan
ajaran Anti-Tritunggal, ada dalam ayat terakhir di pasal 4 ini yaitu ayat 16. Isi ayat ini
yaitu sesuatu yang sangat penting dan justru sering diabaikan oleh banyak pemimpin
Kristen dan orang-orang Kristen masa kini, yaitu mawas diri dan mawas ilmu. Ada
hamba Tuhan dan aktivis gereja yang imannya luar biasa pelayanannya disertai dengan
tanda-tanda mukjizat, namun ajarannya banyak yang kacau dan menyimpang dari
ajaran yang sehat. Mengapa bisa terjadi demikian? Jawabannya sederhana, yaitu
kebanyakan orang itu lupa untuk mengawasi diri dan ajarannya, sebagaimana yang
disampaikan oleh Rasul Paulus kepada anak imannya, Timotius. Nasehat Paulus ini
masih sangat relevan dan sangat penting diterapkan oleh para pemimpin gereja dan
orang-orang Kristen masa kini. Mengapa hal ini penting, sebab jika dihidupi akan
menolong Timotius secara pribadi menjadi seorang pengajar yang mampu
menyelamatkan diri sendiri dan orang yang dilayaninya (1Tim. 4:6b).
Kata “awasilah” ἔπεχε (epeche) dalam ayat 16 ini, merupakan sebuah kata kerja
kekinian berbentuk perintah (imperative active) orang kedua tunggal, artinya
“mempertahankan, menahan, memperhatikan” (Strong 2023). Ada dua poin utama yang
diperintahkan Paulus untuk dipatuhi dan dilakukan oleh Timotius yaitu “mengawasi
diri” dan “mengawasi ajaran”. Pertama, Kata “diri” dalam ayat ini menggunakan kata
“σεαυτῷ (seautō)” yang artinya diri (self). Lebih tepatnya yaitu kehidupan pribadi
Timotius. Alkitab mengajarkan paling tidak ada tiga musuh besar orang percaya yaitu
Iblis, dunia dan diri sendiri (1Yoh. 3:8-10; 5:1-5). Berkaitan dengan mawas diri, hal ini
menyangkut kehidupan seorang Kristen. Dosa yang mendatangkan maut sudah memasuki hidup manusia sejak kejatuhan Adam (Rom. 5:12). Selama orang Kristen
masih tinggal di dunia ini, maka Iblis akan selalu selalu berusaha menjatuhkan iman
orang percaya. Begitu pula dengan dosa, akan selalu mengintip kehidupan setiap pribadi
anak-anak Tuhan tanpa terkecuali. Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap dosa
sebab semua orang telah berbuat dosa (Rom. 3:23). Para pengajar Alkitab atau hamba
Tuhan seperti Timotius, sangat penting memiliki mawas diri. Pengaruh kemajuan zaman
dan dunia saat ini, akan dengan mudah menjatuhkan para pemimpin muda dan para
pengikut Kristus.
Sangat disayangkan jika kesuksesan, popularitas, materi dan kekayaan akhirnya
membuat orang memuja berhala di dalam hatinya, mengantikan iman yang murni
kepada Allah. Timotius diminta oleh Paulus untuk mengawasi dirinya, agar hidupnya
jangan menjadi sombong, atau menjadi batu sandungan bagi orang-orang yang
dilayaninya. Demikian pula diharapkan agar para pengajar Alkitab dan hamba Tuhan
pada masa kini memiliki kewaspadaan diri yang tinggi. Karakter yang diharapkan
Paulus kepada Timotius sebagai pemimpin muda dan menjadi contoh bagi pemimpin
gereja masa kini seperti yang tertera dalam 1 Timotius 4:12 yaitu menjadi teladan
dalam perkataan, tingkah lakumu, kasih, kesetiaan dan kesucian (Gulo 2021, 68).
Seorang pemimpin gereja yaitu seorang pengajar Alkitab yang semestinya merupakan
seorang yang sehat dalam iman, menolak sifat dunia, mengejar kesalehan hidup,
mengandalkan Tuhan, menjadi teladan, hidup berpusatkan firman Allah dan
bertanggung jawab atas diri dan ajarannya (Waruwu, Sugiono, and Kusmanto 2021, 98).
Seorang guru Alkitab haruslah seorang Kristen yang matang yang telah menjadi
orang percaya selama beberapa waktu dan telah menunjukkan komitmen terhadap
imannya dalam kehidupan kesehariannya. Ia yaitu orang yang memiliki kedewasaan
rohani. Paulus menyebutnya memiliki panca indera rohani yang terlatih. Ia tahu
membedakan mana hal-hal yang baik dan yang jahat (Ibr. 5:14), termasuk membedakan
ajaran yang baik dan buruk. Seorang pengajar Alkitab yang menjadi pemimpin gereja
janganlah orang yang baru bertobat, karena mungkin akan menjadi sombong dan
terkena hukuman Iblis (1Tim. 3:6). Ia juga harus mempunyai nama baik di luar jemaat
(1Tim. 3:7). Artinya ia memiliki kedewasaan rohani dan perilakunya mencerminkan
kehidupan seorang Kristen yang baik dan memuliakan Allah, baik sikap, perkataan
(baca: ajaran) dan tingkah lakunya. Tidak ada ambigu antara ajaran dan perilakunya.
Antara ajaran dan talenta yang dimilikinya. Karunia rohani atau kewibawaan yang
dimiliki seorang pengajar Alkitab sungguh tidak boleh mengesampingkan kesehatan
ajarannya. Keduanya bagai mata uang yang harus berjalan berdampingan sebagai
keutuhan bakti pelayanan untuk kemuliaan Allah dan keselamatan orang-orang yang
dilayaninya.
Kedua, kata “ajaran” διδασκαλίᾳ (didaskalia) yang dapat diartikan sebagai
pengajaran, instruksi dan petunjuk (Strong 2023). Di samping mengawasi diri, penting
bagi seorang pengajar Alkitab untuk mengawasi ajarannya. Penting sekali bagi seorang
pengajar Alkitab untuk mengawasi ajarannya, karena pengajaran yang benar akan
membawa kepada pertumbuhan gereja secara kualitatif dan kuantitatif. Hal ini dapat
dilihat dalam contoh kehidupan jemaat mula-mula di Yerusalem. Ada 3000 jiwa yang bertobat oleh khotbah Rasul Petrus, dan jemaat mula-mula ini disebutkan bahwa
“Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul”, KPR. 2:41-42. Kata ‘pengajaran”
dalam ayat 42 ini, memakai kata “διδαχῇ” (didachē), dapat diartikan sebagai doktrin,
pengajaran, perintah, instruksi. Kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan kata
“didaskalia” yaitu didasko artinya mengajar, dimana kata ini selalu diartikan dengan
mengajarkan Kitab Suci.
Dari konteks ayat di atas dapat dipastikan bahwa pengajaran Timotius yang
bersumber dari para Rasul menjadi salah satu faktor yang membuat iman jemaat mulamula bertumbuh dengan baik dari segi kerohanian dan gereja berkembang karena
orang-orang percaya dimuridkan melalui pengajaran rasul-rasul (Sitepu and Tarigan
2020). Machen memaparkan bahwa Gerakan kekristenan bertumpu pada fakta sejarah
dan doktrin-doktrin Alkitab, dan kredo yang merupakan fakta yang melandasi
pengalaman kehidupan Kristen (Machen 2018, 21–22). Dengan demikian kualitas iman
jemaat sangat ditentukan oleh sejauh mana jemaat memiliki doktrin Alkitab yang sehat
dan benar. Agar jemaat dapat memiliki pemahaman akan doktrin yang benar, maka yang
seorang pengajar Alkitab wajib mengikuti teladan para Rasul yang konsisten
mengajarkan doktrin yang benar sesuai ajaran Alkitab sebagai Kitab Suci yang menjadi
otoritas tertinggi iman Kristen. Para pengajar Alkitab tidak boleh memakai
pemahamannya sendiri yang berbeda dengan ajaran para Rasul yang tertulis di Alkitab.
Ajaran para Rasul itu diilhamkan oleh Allah dan berasal dari wahyu yang diberikan oleh
Roh Kudus kepada rasul-rasul (2Tim. 3:16 ;2Pet. 1:21). Hal ini yang membuat ajaran
para Rasul itu memiliki otoritas sebagai tulisan suci atau Kitab Suci.
Ajaran para rasul itu merupakan sarana dan bahan untuk mendirikan gereja yang
kuat dan sehat. Hal ini diungkapkan oleh Rasul Paulus yang menegaskan bahwa gereja
dibangun di atas fondasi pengajaran para rasul dan para nabi dimana Yesus Kristus
yaitu batu penjuru” (Ef. 2:20). Ayat ini sangat penting dipahami oleh para pengajar
Alkitab di era global. Legalitas dan kuasa Firman Tuhan itu bersifat kekal dan tidak
lekang oleh zaman. Hal inilah yang harus dipahami dan diyakini oleh para pengajar
Alkitab masa kini. Rasul Petrus di bawah bimbingan Roh Kudus mengungkapkan dan
menegaskan kebenaran firman Allah sebagai benih yang kekal dan terus eksis itu
dengan berkata “Karena kamu telah dilahirkan kembali bukan dari benih yang fana,
tetapi dari benih yang tidak fana, oleh firman Allah, yang hidup dan yang kekal. Sebab:
"Semua yang hidup yaitu seperti rumput dan segala kemuliaannya seperti bunga
rumput, rumput menjadi kering, dan bunga gugur, tetapi firman Tuhan tetap untuk
selama-lamanya" Inilah firman yang disampaikan Injil kepada kamu” (1Pet. 1:23-25).
Oleh sebab itu, seorang pengajar Alkitab, dari masa ke masa harus setia mengajarkan
kebenaran Alkitab yang berotoritas dan bersifat kekal itu jika ingin membangun gereja
yang kuat, sehat dan bertahan sampai kesudahan zaman.
Pengajar Alkitab merupakan pemimpin gereja semestinya menjauhi sikap arogan.
Ia harus dapat melayani sebagai satu tim work, dengan pemimpin gereja lainnya.
Andaikan model kepemimpinan gereja bersifat tunggal, maka pastilah Tuhan Yesus
hanya merekrut 1 orang saja sebagai murid-Nya. Kenyataannya tidak demikian, bahwa
kepemimpinan gereja bersifat kolektif atau komunal, ada 12 orang rasul yang dipilih untuk menjadi penerus pelayanan Yesus Kristus di bumi. Efesus 2:20 secara tersirat
menjelaskan kolektivitas pengajaran para rasul dan nabi sebagai fungsi kontrol satu
sama lain, dan ini merupakan karakteristik pengajaran gereja dan menjadi pondasi
untuk membangun gereja yang sehat yaitu berdasarkan pengajaran para rasul dan nabi.
Bukan pengajaran individual atau perorangan. Untuk itu, dibutuhkan karakter cinta
damai di antara para pemimpin gereja untuk membangun gereja yang sehat (Urbanus
2021). Para pemimpin gereja yang notabene yaitu para pengajar Alkitab wajib untuk
saling bersekutu, melayani dan bersaksi untuk meluaskan kerajaan Allah. Telaumbanua
dalam penelitiannya menemukan bahwa peran seorang gembala sidang sebagai
pendidik mampu mempengaruhi pertumbuhan rohani jemaat yang pada akhirnya
membawa pertumbuhan gereja secara kualitas dan kuantitas (Telaumbanua 2019). Jadi
gereja yang sehat dan kuat diukur dari kualitas para pendidik. Pemimpin jemaat yaitu
para pelayan Tuhan yang mengajarkan firman Allah dan terdidik untuk mengajarkan
ajaran yang sehat. Salah satu kualifikasi seorang pelayan Tuhan yang baik berdasarkan
1 Tim. 4:1-16 yaitu terdidik dalam pengajaran (Arifianto 2020, 66).
Melihat betapa pentingnya peran seorang pemimpin gereja yang bertugas
mengajarkan Alkitab, sudah semestinya seorang pendidik atau pengajar Alkitab
mewaspadai diri dan ajarannya secara seimbang, baik dan benar. Pemimpin yang sudah
sehat dalam iman, perlu dibarengi dengan sehat dalam ajaran atau teologinya. Pengajar
Alkitab perlu memiliki iman dan ilmu yang sehat sehingga mampu membawa jemaat
menuju kedewasaan, bertumbuh dan berbuah lebat bagi kerajaan Allah serta terhindar
dari kesesatan dan penyimpangan. Hal ini penting karena menimbang bahwa para guru
palsu akan pasti banyak bermunculan sesuai nubuat Tuhan Yesus dalam Matius 24: dan
memakai “wajah dan jubah baru” dengan “konten lama” dari masa ke masa.
IV.
Ajaran sesat selalu bermunculan dari masa ke masa, sejak gereja mulai didirikan,
salah satunya Secara khusus ajaran Anti-Tritunggal dan berbagai bentuk atau variannya.
Ajaran sesat muncul karena para pemimpin gereja memiliki karakter yang buruk, tidak
puas dengan doktrin Alkitab, terpengaruh dengan nilai-nilai kehidupan duniawi, dan
ajaran setan-setan serta spiritualitas yang menyimpang (Neo-Gnostisisme). Dalam
menghadapi serangan ajaran sesat, terutama ajaran Anti-Tritunggal dengan berbagai
variannya, berdasarkan Surat 1 Timotius 4:1-16 maka seorang pengajar Alkitab yang
benar dan setia kepada ajaran Alkitab sepatutnya memiliki kualifikasi khusus, yaitu
menghidupi ajaran para rasul dengan cara berpegang teguh kepadanya dan setia
mengajarkannya, memiliki kompetensi spiritual-teologis alkitabiah dengan cara
memahami pokok-pokok iman Kristen (Basic Beliefs), memiliki Hermeneutika
Inspirational Pneumatik, dan mampu mengawasi diri dan ajarannya.