poligami dalam alquran 2

Rabu, 29 Januari 2025

poligami dalam alquran 2



 ah, bukan batiniyah yang bersumber pada perasaan hati, sehingga, 

menurut ‘Abduh, ayat 129 al-Nisa>’ ini menjelaskan ketidakmampuan seseorang untuk 

membagi perasaan batin, termasuk pada Rasulullah sendiri. Sebab, pada masa akhir 

hidupnya, Rasulullah lebih condong terhadap ‘Aisyah dibandingkan dengan para istri 

lainnya.62

Dalam konteks ayat poligami, ‘Abduh memandang bahwa tujuan poligami 

dalam Islam, sebagaimana tercantum secara jelas dalam al-Qur’an, berdampak secara positif bagi perkembangan Islam masa awal. Bagi ‘Abduh, pengakuan Islam atas 

praktek poligami ini bisa memperbanyak pemeluk Islam, sehingga dapat menciptakan 

rasa solidaritas yang sangat tinggi. Apalagi, pada masa itu, tidak terdapat berbagai 

aspek negatif yang memicu kehancuran dalam masyarakat.

63

Kondisi ini berbeda dengan konteks masyarakat modern saat ini. Adanya 

poligami dapat menyebabkan terjadinya pertentangan dalam masyarakat. Sebab, 

menurut ‘Abduh, praktek poligami di zaman ini dapat memicu permusuhan antara 

para istri, anak-anak, dan keluarga. Akibatnya, permusuhan itu akan meluas dalam 

kehidupan masyarakat. Sehingga, disyari’atkannya poligami yang bertujuan untuk 

menciptakan kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai. Dari sinilah ‘Abduh 

memandang penting untuk mempertimbangkan kembali ajaran poligami dengan 

pertimbangan maslaha. Sebab, bagi ‘Abduh, ajaran Islam seluruhnya bermuara pada 

kesejahteraan manusia.

64

E. Persamaan dan Perbedaan Tafsi>r Ja>mi’ al-Baya>n fi Tafsi>r al-Qur’a>n, Tafsi>r al￾Mana>r, dan Hermeneutika Nas}r H}ami>d Abu Zaid Tentang Poligami 

1. Perbedaan 

Tafsir ayat-ayat bias gender sering didefinisikan sebagai tafsiran ayat-ayat 

Alquran yang menempatkan gender perempuan sebagai the second creation dari laki￾laki. Tafsir ini cenderung menggunakan metode tekstualis dalam penerapannya, dan 

tidak disangsikan lagi bahwa tafsir semacam ini, telah banyak memengaruhi paradigma arus utama dalam menyelami kandungan Alquran. Kecenderungan seperti 

ini bukan tanpa masalah, akibat kecenderungan tersebut telah menimbulkan banyak 

dampak yang bias dan diskriminatif gender. Korban utamanya tentu saja perempuan. 

Kondisi perem

puan sama sekali tidak punya kedaulatan dan kebebasan terhadap dirinya 

sendiri.

Hal serupa juga diikuti oleh al-Tabarî yang memahami Q. S. al-Nisa>’ ayat 3 di 

atas, sependapat dengan Imam Malik dalam memahami kebolehan poligami dengan 

empat orang istri tidak hanya pada orang merdeka, tetapi hambapun mempunyai hak 

menikahi wanita sampai empat orang.65 Bahkan menurutnya, jika secara biologis 

seorang laki-laki masih berhasrat untuk menyalurkan nafsu seksual, maka bersenang￾senanglah dengan hamba-hamba yang dimiliki, karena yang demikian itu lebih 

memelihara seseorang dari berbuat dosa kepada perempuan.66 Penafsiran secara 

literalistic sebagaimana atas ayat poligami diatas, memang sangat dominan dalam 

kitab-kitab tafsir klasik, salahsatunya tafsir Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil al-Qur’an.

Ayat-ayat yang secara harfiah menegaskan keunggulan laki-laki atas perempuan 

cenderung dipahami secara harfiah oleh para mufasir klasik, dengan 

mengesampingkan pendekatan historis-kontekstual terhadap teks-teks Alquran. Tidak 

heran memang, karena terhitung dari abad pertama sampai ketiga hijriyah, belum memuat penafsiran Alquran secara utuh. Penafsiran Alquran secara keseluruhan 

bermula pada abad keempat hijriyah yang dipelopori oleh Ibn Jarir al-Thabari (w: 

310 H/ 922 M) dengan karyanya Jami’ al-Bayan ‘an ta’wil al-Qur’an. Sebagaimana 

yang penulis ketahui, bahwa pada abad tersebut sistem penafsiran masih berpijak 

pada ayat-ayat Alquran itu sendiri, bersandar pada hadis Nabi, pernyataan para 

sahabat dan tabi’in. yang biasa dikenal dengan metode tafsir bil ma’tsur. Sehingga, 

penulis beranggapan bahwa mufasir klasik sangat bersikap patriarkis dalam 

memahami ayat yang berkaitan dengan relasi gender, seperti ayat yang berbicara 

poligami, hukum waris, persaksian, dan lain-lain. Hal ini didukung dengan peradaban 

masyarakat pada zaman itu (tafsir klasik) yang masih terkungkung oleh hegemoni 

tafsir-tafsir terdahulu yang kurang konteks dengan kondisi kekinian akibat ulah kita 

sendiri yang menempatkan tafsir-tafsir itu sebagai hal yang sakral bak kesakralan teks 

keagamaan itu sendiri. Namun, para penulisnya tidak bisa disalahkan karena ukuran 

keadilan gender tentu saja mengacu kepada persepsi relasi gender menurut kultur 

masyarakatnya.

Meskipun dikatakan, bahwa kitab klasik tersebut banyak yang bias gender, 

namun tidak menutup kemungkinan masih ada kitab klasik Islam yang mampu

mendongkrak harkat martabat perempuan, satu diantaranya adalah kitab tafsir al￾Manār yang disusun oleh Muhammad Abduh dan disempurnakan oleh muridnya 

Rasyid Ridha. Rasyid Ridha seperti gurunya Muhammad ‘Abduh mengedepankan 

konsep dar’ul mafāsid muqaddam ‘alā jalbi al-masālih untuk tidak membolehkan poligami.67 Dia menyerukan kepada ulama (khususnya di Mesir) ketika itu untuk 

mengevaluasi kebolehan poligami.

Dari beberapa literatur yang terbaca, kitab tafsir al-Manār memiliki penafsiran 

yang moderat dalam melihat sisi gender, dan tafsir ini dikategorikan sebagai tafsir 

yang moderat di kalangan mufassirῐn. Karena, dalam memberikan penafsirannya 

Rasyid Ridha menggunakan metode logika posisi binner68 untuk kembali 

memposisikan perempuan sesuai dengan keinginan teks Alquran. Demikian menurut 

Abduh, bahwa prinsip keadilan merupakan tema yang mewarnai penafsiran tafsir al￾Mana>r terhadap ayat tentang poligami. Maka di dalam al-Mana>r, Abduh berupaya 

melakukan perubahan dan modernisasi terhadap status perempuan. Hal tersebut 

karena berdasarkan pada kondisi masyarakat dimana Abduh tinggal. Keluarganya 

terpaksa harus mengungsi ke desa terpencil di Mesir lantaran mereka didzalimi oleh 

para pengusaha yang otoriter saat itu. Di sana terjadi peristiwa dimana para

pengusaha banyak melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Bahkan, 

pengusaha banyak sekali berpoligami tanpa memperhatikan rasa keadilan istri-istri 

mereka. Mereka memperlakukan para istri itu sehendak hatinya secara leluasa mereka 

dengan bebas mengawini atau menceraikan perempuan menurut seleranya. Tafsir al-Mana>r menekankan penafsiran ayat-ayat Alquran sebagai 

pembacaan terhadap realitas yang terjadi di lingkungan tempat tinggal penafsir

kemudian dijadikan sebagai solusi untuk menghadapi permasalahan sosial yang 

terjadi dalam lingkungan tersebut. Karenanya, dalam hal ini solusi yang ditawarkan 

oleh Rasyid Ridha sependapat dengan Muhammad Abduh bahwa poligami 

diperbolehkan dengan syarat keadilan terpenuhi diantara para istri sehingga tidak 

muncul kejahatan dan kedzaliman yang berdampak buruk terhadap masyarakat. Akan 

tetapi didalam literature lain, penulis menemukan bahwa menurut Abduh, poligami 

merupakan suatu tindakan yang tidak boleh atau haram.

69

Di samping itu, Abduh memandang bahwa ayat Alquran dalam satu surat 

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Artinya, berbagai ayat dalam satu 

surat merupakan satu rangkaian yang membahas satu persoalan secara konprehensif. 

Sehingga, dengan model pendekatan semacam itu, Abduh memahami sebuah ayat 

dalam konteks universal dalam satu surat.

70 Corak pendekatan di atas juga 

berpengaruh pada penafsirannya terhadap surat ayat poligami. Bagi Abduh, Q.S. al￾Nisa>’ayat 3 dan ayat 129 yang terkait dengan poligami merupakan satu kesatuan dari 

tema besar yang diangkat dalam surat al-Nisa>’, yaitu menyangkut kesejahteraan kaum 

perempuan dan anak yatim.Namun, sekalipun pemikiran Abduh di dalam tafsir al-Mana>r dikategorikan 

sebagai penafsiran yang moderat, Abduh berusaha sekuat tenaga untuk membuktikan 

bahwa Alquran memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal serta melarang 

untuk mengikuti pendapat-pendapat terdahulu. Sekalipun pendapat tersebut 

dikemukakan oleh seyogyanya orang yang paling dihormati dan dipercaya. Maka 

bagi penulis, disinilah peran akal begitu dominan dalam mengkaji ayat-ayat Alquran 

kedalam segala aspek. Sehingga, pendekatan terhadap nas}s} semacam ini bercorak 

kontekstual-rasional. 

Berbeda dengan tafsir al-Thabari yang menggunakan sistem isnad yang 

bersandar pada hadis, pernyataan para sahabat dan tabi’in. Abduh sangat rasional, dia 

berpendapat bahwa sanad belum tentu dapat dipertanggungjawabkan. Ia sangat kritis 

terhadap pendapat-pendapat sahabat Nabi, apalagi jika pemdpat tersebut berselisih 

satu sama lainnya. Sehingga, lagi-lagi peran akal yang mendalam sangat dibutuhkan. 

Karenanya, Abduh mendasarkan analisanya pada kesadaran yang nyata dengan 

memberikan pembedaan antara dua konteks: konteks pewahyuan (siya>q at-tanzi>l) dan 

ambiguitas historisnya, dan konteks interpretasi dan perubahan-perubahan sejarah 

serta realitas sosial.71

Menurut penulis, selain itu tafsir al-Thabari juga menggunakan riwayat 

Israiliyāt. Penggunaan Israiliyāt ini mengakibatkan penafsiran yang menggambarkan 

ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Adapun penafsiran Abduh dan Rasyid Ridha tidak menggunakan riwayat Israiliyāt sehingga menghasilkan 

kesimpulan yang setara antara laki-laki dan perempuan.

Seperti halnya pada dasawarsa 1990-an, karya tafsir dalam bentuk tematik 

juga banyak muncul pada tahun 2000 hingga saat ini. Diantaranya adalah tafsir 

Dawa>ir al-Kawf: Qira’at} fi Khita>b al-Mar’ah (Wilayah Ketakutan: Pembacaan Atas 

Wacana Perempuan) karya Nasr Hamid Abu Zaid. Karya tematik yang memanfaatkan 

metode Barat dalam menelaah ayat-ayat Alquran. Metode tersebut dikenal dengan 

istilah hermeneutika. Namun, sejauh penelusuran penulis, biasanya karya-karya yang 

muncul pada era reformasi memakai model hermeneutika yang telah dimodifikasi 

oleh pemikir-pemikir Muslim. Biasanya model interpretasi yang dimunculkan 

bertentangan dengan penafsiran ulama terdahulu, bahkan menganggap penafsiran 

mereka tidak relevan lagi untuk zaman sekarang. Memang, pada prinsipnya hal ini 

dilakukan untuk mendukung liberalisme yang memuat ide-ide persamaan agama yang 

kemudian disebut pluralisme dan kesetaraan gender yang kemudian disebut 

feminism. Walaupun para ulama tidak sepakat kalau metode ini disebut tafsir, namun 

perlu dipaparkan beberapa literatur terkait dengan metode, karena hal itu merupakan 

upaya interpretasi terhadap Alquran.

Hemat penulis, berkaitan dengan ayat poligami dalam Q.S. al-Nisa>’ ayat 3 

dengan semangat hermeneutika Abu Zaid, dalam karya tersebut, dipaparkan bahwa 

dalam memahami ayat poligami di atas harus melalui beberapa tahapan. Pertama 

adalah menyingkap konteks teks tentang poligami itu sendiri. Perizinan poligami dalam ayat ini, sudah tentu berkait erat dengan relasigender masa pra Islam. Sebelum 

Islam datang, poligami bersifat tak terbatas (unlimitted number of wife). Seorang laki￾laki diperkenankan memiliki istri berapapun tanpa batas. Perempuan sama sekali 

tidak punya hak untuk melawan, sebab eksistensi fungsionalnya menurut konsepsi 

budaya saat itu, adalah untuk melayani kepentingan laki-laki. Ketika Islam datang, 

poligami kemudian dibatasi menjadi empat istri saja. Itupun masih diberi syarat 

dengan keharusan adanya kemampuan untuk berlaku adil. Dengan begitu, perkenanan 

poligami dalam ayat tersebut menurutnya harus dipahami dalam konteks 

"pembatasan" (tadhyiq), bukan "pembolehan" (iba>hah) secara mutlak. Ketentuan ini 

merupakan langkah awal menuju pembebasan kaum perempuan dari dominasi kaum 

laki-laki. Dengan demikian menurutnya, dalam konteks ini tetaplah dalam semangat 

Alquran jika kaum muslim pada saat ini mendukung bahwa seorang laki-laki cukup 

menikahi satu istri saja.

72

2. Persamaan

Dehumanisasi terhadap kaum perempuan yang terjadi dalam panggung sejarah, baik 

di dunia Barat maupun di dunia Islam harus segera dihentikan. Sebab Alquran 

sebagai kitab suci secara normatif sangat menghargai perempuan. Hal ini terlihat dari 

bagaimana Alquran secara tegas memandang laki-laki dan perempuan secara setara.73

 

Menurut hemat penulis, laki-laki dan perempuan sesungguhnya harus dapat 

bekerjasama secara simbiotik mutualistik jika menginginkan sebuah sistem kehidupan yang harmoni. Berdasarkan pada ketiga tafsir diatas, maka menurut 

penulis fokus utama ayat poligami adalah masalah penyantunan anak yatim, yaitu 

dengan cara menikahi ibu dari anak yatim tersebut. Sesuai dengan asbabun nuzul ayat 

ini turun dalam kondisi ketika banyak terjadi perang, sehingga banyak laki-laki yang 

meninggal dunia, akibatnya banyak terdapat janda dan anak-anak yatim yang sudah 

semestinya disantuni. Dengan demikian dari ketiga tafsir diatas, spirit Alquran yang 

ada dalam masalah ini adalah. Pertama, agar anak-anak yatim terpelihara dan 

disantuni. Kedua, menekankan tentang keadilan bagi kaum laki-laki baik terhadap 

hak-hak anak yatim maupun hak-hak kaum perempuan. Dengan demikian, dapat 

penulis simpulkan bahwa poligami dalam Islam hanya diperbolehkan dalam kondisi 

yang darurat dan pelaku poligami harus mampu berbuat adil. Sehingga semestinya, 

bagi mereka yang tidak dapat berbuat adil, mereka tidak berpoligami.


POLIGAMI PERSPEKTIF NAS}R H}A>MID ABU> ZAID

A. Biografi, Karya dan Kegelisahan Intelektual Pemikir yang Terasingkan

Nasr Hamid Abu Zaid mempunyai nama lengkap Nasr Hamid Rizk Zaid, lahir 

di Tanta, ibukota provinsi al-Gharbiyah, Mesir pada 10 Juli 1943. Ia lahir dari latar 

belakang keluarga yang sangat religius. Ayahnya adalah seorang aktivis al-Ikhwan al￾Muslimin pengikut Sayd Qutb yang pernah dipenjara setelah dieksekusinya Sayd 

Qutb.1

Ia mulai belajar hingga mampu menghafal Alquran di usia delapan tahun, 

sehingga ia dipanggil “syaikh Nasr” oleh teman-teman di desanya. Ia ikut bergabung 

dalam organisasi Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1954 genap di usia sebelas tahun. 

Setelah ayahnya meninggal pada usia 14 tahun, ia dituntut untuk lebih mandiri, baik 

secara finansial maupun intelektual. Pada tahun 1960, Nasr berhasil menyelesaikan 

studinya di sekolah Teknik di kota kelahirannya. Selama 12 tahun sampai pada tahun 

1972, ia tertarik dengan Lembaga Komunitas Nasional dan aktif di sana sebagai 

teknisi. Pada periode inilah Abu Zaid tertarik dengan gerakan sosialisme yang 

menjadi tren dominan di Mesir pada tahun 1960-an.2 Pada tahun 1968, di samping 

aktif di Lembaga Komunitas Nasional, sambil lalu Nasr melanjutkan ke perguruan 

tinggi Universitas Kairo pada jurusan Bahasa dan Sastra Arab, dan selesai pada tahun 1972. Nasr lulus dengan predikat cumlaude. Tesisnya berjudul al-Ittijah al-‘Aqli fi>

at-Tafsir: Dirasah fi> Qadhiyyat al-Majaz fi al-Qur’an ‘ind al-Mu‘tazilah

(Rasionalisme dalam Tafsir: Sebuah Studi tentang Problem Metafor menurut 

Mu’tazilah), dipublikasikan pada 1982.

3

Nasr Hamid Abu Zaid mempunyai prestasi tinggi sehingga ia mendapatkan 

penghargaan dari kampusnya, bahkan diangkat sebagai dosen dalam mata kuliah studi 

Alquran dan Hadis, inilah yang mengubah fokus kajiannya di bidang linguistik dan 

kritik sastra. Ia pun banyak mengkaji Alquran dengan menggunakan pendekatan 

sastra, linguistik, hermeneutika, dan sosial-humaniora. Pendidikan tingginya dari S1 

hingga S3 konsern di jurusan Sastra Arab, diselesaikan di Kairo tempat ia mengabdi 

sebagai dosen sejak 1972. Nasr Hamid pernah di Amerika selama dua tahun (1978-

1980), memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle 

Eastern Studies, University of Pennsylvania, Philadelphia. Ia juga pernah menjadi 

dosen tamu di Universitas Osaka, Jepang. Di sana ia mengajar bahasa Arab selama 

empat tahun (Maret 1985-Juli 1989).4

Pada bulan April 1992 diusianya yang ke-49, Nasr Hamid menikahi Dr. 

Ibtihal Yunes, dosen bahasa Perancis dan Sastra perbandingan di Universitas Kairo. 

Satu bulan kemudian ia dipromosikan sebagai professor, tetapi ditolak karena hasil 

kerja dan pemikirannya yang kontroversial. Pada tahun 1992, ia di promosikan sebagai guru besar, tetapi di tolak karena hasil kerja dan pemikirannya yang 

kontroversial menyebabkan di vonis “murtad” yang di kenal dengan peristiwa 

Qadiyyah Nasr Hamid Abu Zayd. Pemurtadan Nasr Hamid masih berlanjut hingga 

pengadilan banding Kairo menetapkan dirinya harus menceraikan istrinya Dr. Ibtihal 

Yunes dengan alasan seorang yang murtad tidak boleh menikahi wanita muslimah. 

Semenjak peristiwa tersebut, Nasr Hamid beserta istrinya meninggalkan Mesir dan 

menetap di Netherlands (Belanda). Di Netherlands, Nasr menjadi professor tamu 

Studi Islam pada Universitas Leiden sejak 26 Juli 1995 hingga 27 Desember 2000. Ia 

dikukuhkan sebagai Guru besar tetap di universitas tersebut.5

Nasr Hamid merupakan ilmuwan muslim yang sangat produktif. Ia menulis 

beberapa karya dalam bahasa Arab dan beberapa makalah dan artikel dalam bahasa 

Inggris. Buku yang ditulis diantaranya, yaitu: 

1. (1982) Al-Ittija>h} al-‘Aqli fi> al-Tafsi>r: Dira>sat} fi> Qadiyyat} al-Maja>z ‘inda al￾Mu’tazilat} (kecenderungan Rasional dalam Penafsiran: Studi Atas Persoalan 

Metafor dalam Alquran Menurut Kalangan Mu’tazilah), Beirut.

2. (1983) Falsafat} al-Ta’wi>l: Dirasat} fi> Ta’wi>l Alqur’an ‘inda Muh}yi al-Di>n Ibn 

‘Arabi> (Filsafat Hermeneutik: Studi Atas Hermeneutika Alquran Muhyi al￾Din Ibnu ‘Arabi), Kairo.

3. (1990) Mafh}u>m al-Nash}: Dira>s}at} fi> ‘Ulum Alqur’a>n (Konsep Teks: Studi

Ilmu-ilmu Alquran), Kairo.4. (19940) Naqd al-Khita>b al-Di>ni> (Kritik Wacana Keagamaan), Kairo: Sina li 

al-Nasyr , 1994 (edisi ke-2), diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh Cherifa 

Magdi, Islam and Politic: Kritik des religiosen Diskursus. Frankfrut : Dipa, 

1996.

5. (1995) Al-Takfi>r fi> Zaman al-Tafki>r: Didda al-Jahl wa al-Zayf wa al-Khurafat}

(Pemikiran di Zaman Pengkafiran: Menentang Kebodohan, Kekeliruan dan 

Khurafat), Kairo. 

6. (1995) al-Nash}, al-Sulthat}, al-Haqi>qat}: al-Fikr al-Di>ni> bayna Ira>dat al￾Ma’rifa>t} (Teks, Kekuasaan, dan Esensi: Pemikiran Keagamaan antara 

Kehendak Pengetahuan), Kairo.

7. (1999) Dawa>ir al-Kawf: Qira’at} fi Khita>b al-Mar’ah (Wilayah Ketakutan: 

Pembacaan Atas Wacana Perempuan), Dar al-Beida.

8. Al-Ima>m al-Sya>fi’I wa Ta’s}i>s al-Aidiulujiyyah al-Washatiyyah. Kairo: Sina 

al-Nasyr.

6

Nasr Hamid Abu Zaid yang dianggap sebagai salah satu ikon penafsiran 

hermeneutika, menganggap bahwa dalam menafsirkan teks secara umum, baik berupa 

teks historis maupun keagamaan merupakan problema dasar yang diteliti 

hermeneutika. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang 

sedemikian banyak lagi kompleks yang terjalin di sekitar watak dasar teks dan 

hubungannya dengan al-turats di satu sisi, serta hubungannya dengan pengarangnya di sisi lain. Ia berupaya mengkaji teks Alquran dalam sinaran linguistik dan kritik 

sastra modern. Hermeneutika Alquran dan kritik Alquran bertemu dalam 

pendekatannya atas teks Alquran. Menuurtnya, studi Alquran adalah sebuah bidang 

keilmuan interdisipliner, perkembangan yag dibimbig oleh kemajuan yang dicapai 

dalam ilmu-ilmu sosial dan humanitas, khususnya dalam bidang linguistik, semiotika 

dan hermeneutika. Dia yakin bahwa pendekatan sastra atas teks Alquran akan 

menjadi pendekatan masa depan dalam bidang studi Alquran.7

Nasr Hamid Abu Zaid juga dikenal sebagai tokoh yang mengenalkan 

diskursus hermeneutika melalui tulisannya yang berjudul al-Hirimiyutiqa wa 

Mu’dilat Tafsi>r al-Nash (Hermeneutika dan Problema Penafsiran Teks), termasuk 

penggunaan hermeneutika dalam berbagai tulisannya. Namun, tawaran ini ditolak 

secara massif oleh kalangan konservatif dengan alasan hermeneutika adalah metode 

penafsiran Bible yang tidak sepantasnya diaplikasikan dalam penafsiran Alquran. 

pandangan konservatif simplitik ini diluruskan oleh Nasr Hamid dengan 

statementnya. Hermeneutika adalah diskursus lama sekaligus baru. Pokok 

pembahasannya adalah tentang relasi penafsir dengan teks. Hermeneutika bukan 

hanya semata diskursus pemikiran Barat, akan tetapi diskursus yang wujudnya telah 

ada dalam turats Arab, baik Arab klasik maupun modern.8

Nasr Hamid Abu Zaid hidup dalam hegemoni wacana agama Islam yang 

terisolasi dari dunia ilmu pengetahuan Barat. perhatiannya yang sangat besar dibidang interpretasi (tafsir) Alquran mendorongnya untuk bereksplorasi dengan filsafat Barat, 

seperti rasionalisme, kritisisme, fenomenologi, dan hermeneutika. 

Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid dianggap tidak sejalan dengan pemikiran 

para cendekiawan saat itu dan tentu hal ini tampak kontroversial. Meskipun ia divonis 

sebagai seorang yang murtad, ateis, kafir, dan vonis nerakawi lainnya, ia tetap 

bertahan pada pemikirannya. Ia tahu persis, bahwa wacana pengkafiran terhadap 

dirinya sudah terjadi sejal dahulu. Akan tetapi, para ulama salaf lebih berhati-hati 

dalam menilai persoalan hati seseorang. Sebagaimana dipaparkan oleh Al-Ghazali, 

“Hanya orang bodoh yang tergesa-gesa menghukum seseorang sebagai orang kafir”.9

Muhammad Abduh juga mengatakan, “Kalau pemikiran seseorang mengandung 

seratus indikasi kekafiran dan hanya satu indikasi keimanan, maka orang itu tetap 

dianggap sebagai orang beriman”. Muhammad Imarah juga melakukan pembelaan 

terhadap Nasr Hamid yaitu dengan mengatakan bahwa masalah yang dihadapinya 

adalah masalah yang berhubungan dengan pemikiran. Pemikiran adalah sebuah 

refleksi dari suatu pemahaman Alquran, Hadis, fenomena alam, sosial, politik, 

ekonomi dan budaya yang notabenenya merupakan suatu garapan seorang pemikir 

dan bukan merupakan suatu garapan pengadilan apalagi tiang gantungan. Pada 

prinsipnya, jika mungkin dikaji kembali, ternyata masalah yang dihadapi oleh Nasr 

Hamid Abu Zaid bukanlah masalah yang berhubungan dengan teologi, sebagaimana 

digembor-gemborkan, melainkan hanya masalah al-akhwal al-syakhsiyyah, yaitu 

suatu keputusan pengadilan yang mengharuskan dirinya untuk bercerai dengan istrinya. Oleh karena itu, tidak ada kata gegabah untuk menghukumi akidah 

seseorang. Pada dasarnya, yang paling menarik dicermati yaitu pemikiran￾pemikirannya. Ada kemungkinan ketika seseorang mencermati suatu pemikiran￾pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tersebut akan tampak dengan jelas sesuatu yang 

tidak membuktikan bahwa dirinya adalah murtad.10

Pada hari Senin 05 Juli 2010, Nasr Hamid Abu Zaid menghembuskan nafas 

terakhirnya akibat virus langka yang belum ditemukan obatnya secara medis. 

Sementara dugaan virus tersebut didapat dari Indonesia, karena ia baru pulang dari 

Negara tersebut. Akan tetapi, istrinya tidak mau menerima dugaan tersebut.ia tetap 

menganggap bahwa suaminya memang sudah mengidap suatu penyakit sejak 

sebelum pulang ke Indonesia.

B. Metode Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid

Benar bahwa teks (nas}s)} Alquran adalah sakral ketika berada dalam proses 

pewahyuan. Akan tetapi ketika sudah dibaca, ditafsirkan, diterjemahkan, dan 

bersentuhan dengan realitas budaya pada saat itu, maka nas}s} Alquran tersebut tidak 

dapat lagi dipandang sebagai nas}s} yang sakral, transenden, illa>hiyyah, namun berubah 

menjadi nas}s} yang profan.

11 Hal ini terjadi karena Alquran tampil sebagai teks 

keagamaan yang merupakan teks linguistik-historis yang memiliki hubungan dengan 

sosio-kultural, ruang dan waktu, sejarah dan budaya Arab. Pembacaan yang 

dilakukan Nabi dan yang lain membuktikan ketebukaann teks Alquran.Pembacaan ulang secara kritis terhadap wacana dan teks-teks yang dilakukan 

oleh Nasr Hamid Abu Zaid adalah bertujuan untuk mengubah pandangan umat Islam, 

terkhusus dalam memandang kaum perempuan. Adalah untuk melakukan pembacaan 

dan penafsiran ulang terhadap teks-teks keagamaan tersebut. Hal ini dilakukan karena 

umat Islam terbingkai dalam peradaban teks, sehingga teks-teks tersebutlah yang 

telah membentuk pola pikir dan pola perilaku umat Islam.12

 

Nasr Hamid yang dianggap sebagai salah satu ikon penafsiran hermeneutika, 

menganggap bahwa alam menafsirkan teks secara umum, baik berupa teks historis 

maupun teks keagamaan merupakan problema dasar yang diteliti hermeneutika. Oleh 

karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak lagi 

kompleks yang trjalin disekitar watak teks dan hubungannya dengan al-turats di satu 

sisi serta hubungan dengan pengarangnya disisi lain.13

Nasr Hamid Abu Zaid menjelaskan ayat poligami dalam tiga langkah. 

Pertama, konteks teks ini sendiri. Dalam konteks ini, izin untuk berpoligami haruslah 

dipahami sebagai awal dari sebuah upaya pembebasan. Perubahan pembebasan 

perempuan dari dominasi laki-laki. Penjelasan yang kedua, meletakkan teks dalam 

konteks Alquran secara keseluruhan. Konteks ini, keadilan adalah mabda’ (prinsip) 

sementara berpoligami dalah hukum. Hukum adalah peristiwa spesifik dan relatif, 

tergantung pada perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terjadi kontradiksi antara mabda’ dan hukum, maka hukum harus dikalahkan. Diskusi yang ketiga, 

berdasarkan kedua langkah tersebut diatas, Nasr Hamid Abu Zaid mengatakan bahwa 

pembolehan poligami dalam Alquran adalah pembatasan yang tidak terbatas bukan 

berarti pembolehan. Dengan demikian, “pelarangan secara tersamar” di atas, dn 

pologami sebagai hukum yang tidak boleh merusak mabda’. Pembolehan poligami 

sampai berjumlah empat istri harus dipahami dan ditafsirkan dalam konteks karakter 

hubungan-hubungan kemanusiaan, khususnya hubungan laki-laki dan perempuan 

dalam konteks masyarakat pra-Islam. Dalam konteks ini, bahwasannya pembolehan 

suatu poligami adalah merupakan suatu penyempitan terhadap kepemilikan dan 

pengkondisian perempuan, dan khususnya jika perempuan itu termasuk golongan 

serta yang paling rendah dalam suatu kabilah. Bukti-bukti yang megungkapkan 

rendahnya kedudukan seorang perempuan dapat diterangkan dari banyaknya hukum￾hukum yang disebutkan didalam Alquran, dan khususnya hukum-hukum perkawinan, 

talak, ‘iddah, nafkah, dan waris.

Lebih lanjut, mengapa harus berpendapat lebih lanjut sedangkan Rasul sendiri 

menikahi lebih dari empat istri perempuan. Namun seorang muslim sekarang tidak 

dapat menikahi lebih dari empat perempuan sebagaimana sunnah Nabi. Suatu 

pendapat yang mengatakan bahwa bolehnya menikahi lebih dari empat perempuan 

adalah hukum yang khusus untuk Nabi dan bukan untuk seluruh umat Islam. Dalam 

konteks ini bahwasannya pembatasan jumlah dengan empat perempuan secara 

historisnya merupakan suatu transisi (naqlah) dalam rangka pmbebasan perempuan (emansipasi) dari ketergantunhan laki-laki. Pembatasan tersebut merupakan transisi 

(naqlah) yang urgensitasnya didapatkan dari garis besar legislasi-lagislasi yang 

khusus tentang perempuan di dalam konteks Islam. Karena hal itu merupan transisi 

(naqlah) menuju penyempitan, maka pembatasan nikah hanya dengan satu 

perempuan setelah rentang waktu selama lima belas abad dari perkembangan manusia 

dianggap sebagai transisi (naqlah) alamiah sesuai dengan jalan yang sudah dimulai 

oleh Islam. 

Teks itu hidup didalam budaya, bukan diproduk oleh budaya. Teks sudah ada 

terlebih dahulu kemudian merespon masalah yang ada pada masyarakat. Bukan teks 

itu merupakan hasil dari perjalanan budaya. Ketika berbicara tentang Nasr Hamid 

Abu Zaid maka tergambar jelas tentang hermeneutikanya. Hermeneutika adalah salah 

satu cabang filsafat yang mengkaji pemahaman dan interpretasi teks. Kata 

hermeneutika sendiri diderivasi dari bahasa Yunani, yaitu memahami, mnjelaskan, 

dan menerjemahkan. Hermeneutika mengmbangkan kunci dan aturan untuk 

mendapatkan akses terhadap teks yang rumit. Jika hubungan antara teks dengan 

pembaca menimbulkan suatu peroblematik, misalkan antara jarak dan waktu yang 

memisahkan keduanya, maka dari itu kita berlari pada hermeneutika.14

Hal yang mendasar dalam metode pembaruan adalah berpijak apa yang 

diamankan dengan metode pembacaan kontekstual. Metode ini bukan sama sekali 

metode baru, melainkan pengembangan dari metode-metode ushu>l al-fiqhi tradisional. Dan sebagai kelanjutan dari kerja keras para pendukung ulama Islam 

seperti Muhammad Abduh dan Syaikh Ahmad al-Khuli. Kalau ulama ushu>l 

merupakan aturan-aturan Ulum Alquran yakni ilmu asba>b al-nuz}u>l dan ilmu na>sikh

mansu>kh hingga aspek aturan-aturan ilmu kebahasaan (lingusitik) menjadi perangkat 

pokok interpretasi, yang menghasilkan dan melakukan istinbat hukum dari teks. 

Perangkat-perangkat ini merupakan perangkat terpenting dalam sarana metode 

pembacaan kontekstual. Jika ulama ushu>l mementingkan asba>b al-nuz}u>l untuk 

memahami suatu makna, maka pembacaan kontekstual memahaminya dengan cara 

sudut pandang yang lebih luas. Yakni keseluruhan konteks sosial-historis abad ke-7 

M yakni pada masa turunnya wahyu. Karena melalui konteks itulah seorang penafsir 

bisa menentukan.15

Nasr Hamid Abu Zaid dianggap telah menghancurkan tatanan Alquran yang 

selama ini secara tradisional diskusi oleh para ulama. Sebagai seorang linguis dan 

kritikus sastra, Nasr Hamid Abu Zaid mengembangkan teori hermeneutika Alquran 

yang didasarkan atas teori-teori linguistic dan teori sastra (literer) kontemporer. 

Akibat dari suatu teori-teori yang digunakan oleh Nasr Hamid Abu Zaid tersebut 

berpandangan bahwa Alquran adalah sebuah teks manusiawi, walaupun sudah 

dikenal bahwa ia adalah teks ilahiyah. Hal yang paling penting yang dilontarkan 

dalam hal ini adalah bahwa Alquran adalah produk kultural, karena ia menggunakan 

bahasa kultural yakni bahasa Arab dan terbentuk dalam serta merefleksikan sebuah konteks cultural tertentu dalam hal ini, Nasr Hamid Abu Zaid bekerja dalam 

kesarjanaan kritik Alquran, yakni dimana hermeneutic dan kritik sastra saling terjalin 

erat.16

 

Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa karena bahasa berkembang 

sejalan dengan berkembangnya masyarakat dan budaya, dan menyediakan gagasan￾gagasan yang baru serta pengembangan terminologi-terminologi baru untuk 

menunjukkan hubungan-hubungan yang lebih maju. Maka adalah suatu keniscayaan 

untuk menginterpretasikan ulang teks Alquran dalam konteks historis dan sosial. 

Sembari mengganti interpretasi-interpretasi lama dengan mengganti interpretasi yang 

lebih mutakhir yakni lebih humanistic dan maju, tanpa mengubah kata-kata harfiah 

teks Alquran sedikitpun.17 Seperti dijelaskan dalam salah satu karyanya yakni dalam 

buku Mafhu>m al-Nas}h Dira>sah fi> ‘Ulu>m Alqur’a>n yang menyatakan bahwa teks 

haruslah dilihat sebagai sebuah teks linguistik historis yang muncul dalam suatu 

lingkungan cultural dan historis tertentu. Langkah selanjutnya adalah bahwa teks 

haruslah dikaji dan diinterpretasikan secara objektif dengan menerapkan metodologi 

dan teori ilmiah yang dikembangkan dalam studi-studi tekstual dan linguistic. Nasr 

Hamid Abu Zaid, dalam hal ini dia berargumen bahwa satu-satunya cara untuk 

mengkaji dan menginterpretasikan Alquran adalah melalui metode linguistik.18

Nasr Hamid Abu Zaid mengemukakan pendapatnya tentang tekstualitas 

Alquran yakni dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, kata wahyu dalam Alquran secara semantik setara dengan perkara Allah (kalam Allah) dan Alquran adalah sebuah 

pesan (risalah). Sebagai perkataan dan pesan Alquran meniscayakan dirinya untuk 

dikaji sebagai sebuah teks. Penjelasan yang kedua, urutan tekstual surat dan ayat 

dalam teks Alquran tidaksama dengan urutan kronologis pewahyuan. Urutan 

kronologis pewahyuan Alquran merefleksikan historisitas teks, sementara struktur 

dan urutan yang ada seperti ini merefleksikan tekstualitasnya. Sebuah genre spesifik 

dalam ilmu Alquran, korelasi antara ayat dan surat (‘ilm al-muna>sabah} bayn al-ayat 

wa al-suwar), telah diciptakan untuk menyediakan kepada penafsir sebuah interaktif 

aktif dengan teks, karena dalam konteks ini tersimpan kemungkinan-kemungkinan 

yang bisa terungkap dalam proses pembacaan. Penjelasan yang ketiga, Alquran terdiri 

dari ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas) yang merupakan induk teks. 

Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat ambigu) yang harus dipahami 

berdasarkan atas ayat-ayat muhkamat. Keberadaan dua macam ayat ini merangkang 

pembaca bukan hanya untuk mengidentifikasi ayat-ayat mutasyabihat. Namun juga 

membuatnya bisa menentukan bahwa ayat-ayat muhkamat adalah kunci untuk 

melakuan penjelasan dan klarifikasi terhadap ayat-ayat mutasyabihat.19

Tekstualitas Alquran mengarahkan pemahaman dan penafsiran seseorang atas 

pesan-pesan Alquran. tektstualitas Alquran meniscayakan penggunaan perangkat￾perangkat ilmiah, yakni studi-studi tekstual modern. Pengabaian atas aspek 

tekstualitas Alquran ini menurut Nasr Hamid Abu Zaid akan mengarah kepada pembekuan makna pesan, dan pemahaman mitologis atas teks. Ketika makna 

membeku dan baku, ia akan dengan sangat mudah dimanupulasi sesuai dengan 

interes ideologis seseorang atau pembaca. Namun, perlu dicatat bahwa menurut Nasr 

Hamid Abu Zaid makna pada hakikatnya hampir-hampir baku disebabkan karena 

historisitasnya dan yang dinamis adalah signifikansinya.20

Alquran sebagai kitab suci (scripture) memiliki pengaruh yang cukup 

signifikan dan besar dalam memberikan kontribusinya terhadap pembentukan 

kebudayaan dan peradaban Islam. Karya-karya intelektual muslim baik klasik 

maupun modern dalam nidang teologi, hukum, dan tafsir merupakan salah-satu 

contoh bagaimana pengaruh teks Alquran bagi kemajuan Islam. Dengan begitu, nasr 

Hamid Abu zaid cenerung menganggap peradaban ini adalah peradaban teks 

(hadlarat an-Nashsh), yakni peradaban yang lahir dari pergulatan kreatif dan terus 

menerus berdampingan dengan masyarakat muslim dengan teks disatu sisi dan 

dengan lingkungan di sisi lain,21 atau dengan kata lain menempatkan teks sebagai 

sentral peradaban.

Membicarakan Nasr Hamid Abu Zaid dan pemikirannya, tidak bisa terlepas 

dari pengaruh wacana-wacana yang berkembang di Negara tempat dimana ia 

mengemukakan pemikiran-pemikirannya tersebut, yaitu Mesir. Kecenderungan utama 

dalam wacana Islam di Mesir, yaitu kecenderungan Islamis (Islamiyyun), baik yang 

masuk kedalam golongan radikal maupun golongan moderat. Dan kecenderungan sekularis (‘alamiyyun) yang terdiri dari berbagai kelompok yang sosialis hingga yang 

liberal. Kubu Islam radikal diantaranya adalah al-jihad dan al-jama’ah al-islamiyah, 

sementara yang moderat adalah al-ikhwan al-Muslimin, sedangkan universitas al￾Azhar yang menentang penggunaan kekerasan dalam penyebaran Islam. Sedangkan 

kelompok sekularus adalah kaum progresif independen seperti para intelektual, 

penulis, dan akademisi yang menentang penerapan syari’ah dalam kehidupan publik. 

Seperti juga kalangan Islamis, kelompok yang teakhir ini juga berbeda-beda 

penekanannya yaitu ada yang mengajukan untuk sekularisme yang moderat dan ada 

yang radikal.22

Bagi Nasr Hamid Abu Zaid, problem pemahaman teks-teks keagamaan dan 

penafsiran serta takwilnya pada hakikatnya adalah merupakan produk makna, yakni 

problem yang harus didiskusikan dalam konteks sosial, politik, dan historis. Dengan 

kata lain ketika mendikusikan hal tersebut memproduksi makna adalah tindakan 

bersama antar para pembaca dan teks. Oleh karena itu, maka memproduksi makna 

adalah suatu tindakan yang berubah-ubah sesuai dengan keragaman pembacanya dan 

situasi pembacanya.23

Jika ulama ushul berpendapat, bahwa asba>b al-nuz}u>l bukan berarti 

temporalitas (waqtiyah) hukum dan tidak terbatas sebagai suatu sebab maka mereka 

meletakkan kaidah memegangi keumuman lafaz bukan kekhususan sebab (al-‘ibrah bi> umu>m al-lafz la> bi> khusu>s as-saba>b). berbeda dengan pembacaan kontekstual yang 

membuat perbedaan antara makna historis yang didapat dari suatu konteks pada satu 

sisi. Dan signifikansi yang diindikasikan oleh suatu makna dalam konteks sosio￾historis penafsiran. Maka bisa ditarik benang merah bahwa signifikansi sangatlah 

penting asalkan signifikansi tersbut muncul dari makna itu dan berkaitan secara kuat, 

seperti kterkaitan sebab dengan akibat, dan bisa difahami bukanlah signifikansi 

tersebut bukanlah hawa nafsu dari penafsir, bukan pula pelompatan makna ataupun 

penjatuhannya.24

Kembali pada permasalahan poligami yang menjadi pokok pembahasan dalam 

penelitian ini, Nasr Hamid Abu Zaid melontarkan pemahamannya yakni seperti 

berikut. Jika pembolehan poligami di dalam suatu realitas merupakan penyempitan 

terhadap poligami yang lebih luas dan mendahului hukumnya, maka istilah 

pembolehan tidak berkesesuaian denga hukum. Pembatasan dan penyempitan adalah 

hukum-hukum yang dianggap sebagai pengembalian rumusan perundang-undangan 

kepada kedudukan yang dianggap tidak sesuai dengan realitas soasial. Artinya, 

pembatasan dengan jumlah empat merupakan pembatasan perundang-undangan yang 

diluruskan (dikoreksi) dengan hukum sosial yang tidak sesuai dengan perkembangan 

masyarakat, atau dianggap tidak sesuai dengan level kesadaran yang ingin 

diwujudkan oleh Alquran.

Di dunia Islam, poligami menjadi suatu permaslahan yang kontroversial. Para 

ulama termasuk mufasir klasik pada umumnya mengakui poligami sebagai norma Islam secara tekstual mendapat legitimasi Alquran. Sementara di sisi lain, dengan 

beragam argumentasi mayoritas pemikir Islam modern berpendapat bahwa 

monogamy merupakan tujuan ideal Islam dalam perkawinan

Pemikiran seseorang tidak terlepas dari latar belakang kondisi sosial 

masyarakat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Sebagaimana Nasr Hamid Abu Zaid 

yang lahir dan besar di Mesir. Mesir adalah Negara yang menjadi pusat peradaban 

Islam di dunia. Mesir dengan lembaga pendidikannya yang terkenal seperti 

universitas Al-Azhar dan universitas Kairo. mesir telah banyak melahirkan tokoh￾tokoh yang luar biasa seperti Muhammad ‘Abduh dan muridnya yakni Rasyid Ridha 

dan Nasr Hamid Abu Zaid. Selain itu, Mesir juga mempunyai keragaman keragaman 

sejarah peradaban kemanusiaan dan munculnya berbagai macam pemikiran sebagai 

simbol dan sebuah kekayaan ilmu dan pengetahuan intelektual. Sehingga 

cendekiawan seperti Nasr Hamid Abu Zaid mampu menjadi salah satu produk 

intelektual muslim kontemporer yang berhasil menafsirkan ulang suatu teks yang 

dikenal hermeneutik. Sebagaimana pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid akan dijelaskan 

dibawah ini. 

Nasr Hamid Abu Zaid mendiskusikan ayat poligami Q.S. al-Nisa>’ ayat 3 

dalam tiga langkah.1 Pertama, dalam konteks teks ini sendiri. Ia mulai dengan mengkontraskan apa yang dimiliki oleh tangan kananmu yakni budak perempuan atau 

tawanan perang sebagai selir. Dengan adanya hal tersebut dalam wacana oslamic 

pada sisi lain adalah untuk mempertahankan poligami, maka nikahilah perempuan￾perempuan yang kamu sukai, dua, tiga, atau empat, pada sisi lain. Menurut Nasr 

Hamid Abu Zaid, ada sesuatu yang hilang yakni kesadaran akan historisitas teks-teks 

keagamaan, bahwa ia adalah teks linguistik dan bahwa bahasa adalah sebuah produk 

sosial dan kultural. Nasr Hamid Abu Zaid berpendapat bahwasannya izin bagi 

seorang laki-laki untuk menikah hingga empat istri haruslah diletakkan dalam 

konteks hubungan antar manusia, khususnya hubungan antara laki-laki dengan 

perempuan sebelum kedatangan Islam.2 Dalam periode pra-Islam, dimana hukum 

kesukuan sangat dominan. Maka poligami tidaklah dibatasi. Dalam konteks ini, izin 

untuk memiliki istri sampai empat haruslah dipahami sebagai awal dari sebuah upaya 

pembebasan. Pembebasan ini haruslah dilihat sebagai suatu perubahan kearah 

pembebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Dengan demikian, dalam konteks ini 

tetaplah dalam semangat Alquran jika kaum muslim pada saat ini mendukung bahwa 

seorang laki-laki cukup menikahi satu orang istri.3 Argumen Nasr Hamid Abu Zaid 

tentang poligami Nabi Muhammad SAW. agaknya kurang memuaskan. Nasr Manid 

Abu Zaid berpendapat bahwa poligami Nabi Muhammad SAW., sebagai seorang 

pemimpin merupakan praktek yang wajar bagi seorang pemimpin pada konteks zaman pra-Islam, yang belum dihapus ketika datangnya Islam bahkan oleh Nabi 

sendiri.4

Langkah kedua yang dilakukan Nasr Hamid Abu Zaid adalah dengan 

melekatakkan teks dalam konteks Alquran secara keseluruhan. Dengan langkah 

tersebut, Nasr Hamid Abu Zaid berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang 

implisit dapat digunakan. Teks Alquran sendiri juga menyarankan agar hanya 

memiliki satu orang istri jika suami takut tidak bisa berbuat adil: “Jika kamu takut 

tidak bisa berbuat adil (terhadap mereka), maka nikahilah seorang saja”. Demikian 

pula teks lain mengatakan bahwa bersikap adil tidak mungkin bisa dilakukan: “Kamu 

tidak akan bisa berbuat adil diantara istri-istri kamu meskipun kamu sangat 

berkeinginan melakukannya”.

5 Analisis linguistik menyarankan bahwa bersikap adil 

diantara para istri tidaklah mungkin dilakukan. Penggunaan klausa kondisional 

(pengandaian) dan penggunaan partikel kondisi law (jika) menandakan penegasian 

terhadap jawab al-syarth (konklusi dari klausa kondisional) disebabkan karena 

adanya penegasian terhadap kondisi syarth itu. Yang paling penting diperhatikan 

adalah penggunaan partikel lan (tidak akan pernah) yang berfungsi sebagai 

koroborasi (ta’yid) di awal kalimat. Hal ini menunjukkan bahwa “dapat berbuat adil” 

tidak akan pernah terjadi.6 Nasr Hamid berkesimpulan bahwa terdapat negasi ganda: pertama, negasi total terhadap kemungkinan bertindak adil dan terhadap 

kemungkinan memiliki keinginan yang kuat untuk berlaku adil terhadap mereka.7

Nasr Hamid juga berpendapat tentang mabda’ (prinsip), qaidah (kaidah), hukm

(hukum). Seperti keadilan, kebebasan, hak untuk hidup, dan kebahagiaan, termasuk 

dalam kategori mabda’. Qaidah adalah derivsi dari mabda’ itu tidak boleh 

bertentangan dengannya. Contoh: “jangan mencuri, jangan berzina, jangan membuat 

kesaksian palsu, jangan menganggu orang lain”, adalah termasuk mabda’. Menurut 

konteks jurisprudesi Islam, tujuan universal syariat (al-maqa>shid al-kulliyyah li al￾syari>ah) adalah apa yang diusulkan oleh al-Syatibi, yakni perlindungan terhadap 

agama, harta, akal, martabat, dan kehidupan. Menurut Nasr Hamid Abu Zaid, prinsip￾prinsip ini berakar dalam teori hukum Islam (Ushu>l fiqh), dan tidak berkaitan dengan 

ilmu-ilmu Islam lain. 

Nasr Hamid Abu Zaid menawarkan tiga prinsip umum yang menurutnya 

universal. Pertama, rasionalisme (‘aqlaniyyah) sebagaimana dilawankan dengan 

jahiliyyah, dalam pengertian mentalitas kesukuan dan tindakan emosional. Kedua, 

kebebasan (hurriyyah), sebagaimana dilawankan dengan segala bentuk perbudakan 

(‘ubudiyyah). Ketiga, keadilan (‘adalah) sebagaimana dilawankan dengan eksploitasi 

manusia.8

Penjelasan di dalam konteks poligami, keadilan adalah mabda’ (prinsip) 

sementara untuk memiliki sampai empat istri adalah hukum. Hukum tidak menjadi qaidah apalagi mabda’. Hukum adalah peristiwa spesifik dan relatif, tergantung 

kepada perubahan kondisi yang melingkupinya. Ketika terdapat kontradiksi antara 

mabda’ dan hukum, yang terakhur ini haruslah dikalahkan untuk mempertahankan 

yang pertama. Alquran tidak menetapkan hukm untuk mempertahankan yang 

pertama. Alquran tidaklah menetapkan hukm (tasyri’) terkait dengan masalah 

poligami. Namun, memang mengungkapkan sebuah limitasi terhadap poligami. Nasr 

Hamid Abu Zaid berpendapat bahwa Alquran melarang poligami secara tersamar 

dengan kata lain limitasi itu sesungguhnya mengindikasikan pelarangan 

(pengharaman) secara tersamar (al-tahri>m al-dhinni).

9

Pada langkah ketiga, berdasarkan dua langkah tersebut diatas, Nasr Hamid 

Abu Zaid mengusulkan sebuah pembaruan hukum Islam. Dalam hukum Islam klasik, 

poligami diklasifikasikan dibawah bab “hal-hal yang diperbolehkan” (al-muba>hat).

Tema “pembolehan” (iba>h}ah), menurut Nasr Hamid Abu Zaid, tidaklah sesuai karena 

pembolehan terkait dengan hal tidak dibicarakan oleh tejs, sementara pembolehan 

poligami dalam Alquran pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami 

yang tidak terbatas yang telah dipraktekkan sebelum datangnya Islam. Pembatasan 

tidak berarti pembolehan. Namun demikian, poligami tidak masuk bab “pelarangan 

(pengharaman) terhadap hal yang diperbolehkan” (tahri>m al-muba>hat). Berdasarkan 

atas distingsi adil dhahir di atas, bahwa poligami haruslah diperlakukan sebagai 

hukum, yang tidak dapat menjadi sebuah qaidah apalagi mabda’. Keadilanlh yang merupakan mabda’ yang harus dipertahankan dalam level qaidah dan hukum. Nasr 

Hamid Abu Zaid memberikan konklusi yang “mengambang” tentang argumennya 

mengenai poligami. Namun, apabila kita ikuti argumennya tentang “pelarangan 

secara tersamar” diatas, dan poligami yang tidak boleh merusak kaidah dan mabda’, 

dapatlah dijelaskan bahwa dalam argument terakhirnya poligami dilarang.10

 

Nasr Hamid Abu Zaid juga telah mencontohkan mengenai Undang-Undang 

Perkawinan di Tunisia yang mengatur tentang pelarangan poligami yang mana para 

penganjur penrapan hukum-hukum syari’ah yang ad di Tunisia terhadap 

penolakannya mengenai poligami yaitu didasarkan atas hukum “mengharamkan apa 

yang telah dihalalkan” oleh Allah (yuharrimu ma> ahalalla>h). karena Allah telah 

membolehkan poligami dalam firman-Nya yakni surat al-Nisa>’ ayat 3, maka 

pengharaman dan pelarangan atas hal yang mubah tersebut merupakan penentangan 

terhadap penjelasan Allah. Kita tidak pernah tahu dasar-dasar dan dalil-dalil syara’ 

yang dijadikan oleh otoritas pembuat Undang-Undang Perkawinan Tunisia ketika 

menetapkan pengharaman atau pelarangan terhadap poligami. Mungkinkah otoritas 

tersebut sudah mendasarkan diri dari kaidah fiqih yang khususnya tentang masa>lih al￾mursalah, da>r al-mafa>sid, atau istihsa>n. dalam situasi tersebut penerapan syariah 

literal dapat masuk dalam perdebatan yang keras tentang makna kaidah-kaidah fiqih 

dan penerapannya. Bahkan, bisa jadi mereka mengakui bahwasannya poligami 

mempunyi sandaran teks dan bahwa poligami tidak mungkin bertentangan dengan satu kaidah fiqhianpun. Sepertinya, persoalan poligami bagi pengikut ulama salafi 

dan terkhusus di Saudi merupakan persoalan kesunnahan yang wajib diikuti. 

Disebagian yang lain bahkan takut akan hilangnya sunnah-sunnah ini. Dengan 

ketentuan komppleksitas tanggungjawab hidup dan mustahilnya menjamin ekonomi 

lebih dari satu keluarga dan bahwa kewajiban muslim yang hakiki adalah menjaga 

dan menghidupkannya. Sebagian lain lagi berlebihan bahwa poligami adalah sesuatu 

yang merupakan ujian untuk menilai keimanan perempuan atau istri dan 

kekokohannya melalui kadar penerimaannya dengan alasan baikya seorang istri untuk 

berbagi dengan perempuan kedua yang dinikahi suaminya, dan mungkin dengan 

perempuan ketiga, dan keempat.11

Seperti halnya di bawah ini telah penulis buat table yang mungkin lebih 

mudah untuk difahami tentang interpretasi poligami menurut Nasr Hamid Abu zaid.


Setiap saat semua manusia akan mengalami tutup usia. Namun, ada hal yang 

perlu diketahui. Sebagaimana mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer, “Orang 

boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang didalam 

masyarakat dan dari sejarah”. Seperti halnya Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan 

Muhammad Abduh, pemikiran dan karyanya masih mampu bersuara lantang di 

telinga para cendekiawan dan kaum intelektual muda sampai saat ini. Dengan 

demikian, penulis akan meminjam pemikiran Imam al-Thabari di dalam tafsir Ja>mi’

al-Baya>n fi> Ta’wi>l al-Qur’a>n dan pemikiran Muhammad Abduh di dalam tafsir al￾Mana>r sebagai pisau analisa untuk mengkritisi pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid. 

Sebelum lebih jauh mengkritik pemikiran Nasr Hamid tentang poligami, 

penulis akan memaparkan pengertian tafsir dan ta’wil (interpretasi) terlebih dahulu.

Hampir semua ulama sepakat akan mengatakan bahwa tafsir terbaik adalah 

menafsirkan Alquran dengan Alquran itu sendiri, atau hadis Nabi, namun karena 

pentingnya dialek dan tata bahasa dalam perkembangan sejalan dengan berkembangnya pemikiran manusia (mufassir) itu sendiri.12 Sedangkan pengertian 

ta’wil secara etimologis berarti al-ruju’ (kembali), karena seorang mufassir 

mengembalikan pengertian ayat kepada makna yang dikandungnya. Namun, ada hal 

unik bagi penulis terkait dengan kedua pengertian tersebut. Konsepsi al-Thabari 

berbeda dengan kebanyakan ulama yang membedakan pengertian antara tafsir dan 

ta’wil. Tafsir dan ta’wil dalam pandangan al-Thabari merupakan dua kata yang tidak 

ada perbedaannya, dalam artian al-Thhabari tidak membedakan pengertian terhadap 

keduanya. Nampaknya al-Thabari termasuk kedalam kelompok golongan salaf yang 

memaknai ta’wil dalam artian menafsir dan menjabarkan maknanya. Pengertian 

inilah yang dimaksudkan Ibnu Jarir al-Thabari dalam tafsirnya dengan kata-kata: 

“pendapat tentang ta’wil firman Allah ini…begini dan begitu…” Dan kata-kata ahli

ta’wil berbeda pendapat tentang ayat ini” jadi yang dimaksud dengan “ta’wil” di sini 

adalah tafsir.

13 Bahkan al-Thabari sering menggunakan kata tafsir atau ta’wil dalam 

kitab tafsirnya yang mana keduanya memiliki pengertian yang sama.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa hermeneutika yang diterapkan 

dalam teks agama menganggap Tuhan telah mati dan pembaca diberikan kebebasan 

berlebih dalam menakwil, karena pembaca dinilai sebagai yang mengeluarkan teks 

agama tanpa sama sekali membedakan antara wahyu Tuhan dan teks-teks yang telah dirubah dan dikembangkan oleh manusia, hermeneutika memperlakukan teks agama 

yang mutlak sebagai sesuatu yang nisbi>.

14

Lebih lanjut, al-Thabari pernah menyatakan didalam pendahuluan kitab 

tafsirnya ia mencela orang yang menafsirkan Alquran dengan ra’yunya, al-Thabari 

mengutif hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang artinya “siapa saja 

yang menafsirkan Alquran dengan ra’yunya maka tempat kembalinya neraka.

15

Al-Thabari menjelaskan bahwa menta’wilkan sesuatu ayat dari Alquran yang 

tidak diketahui maknanya hanya boleh dilakukan atas dasar keterangan teks hadis 

Rasulullah atau nas}s} dalalah (teks riwayat yang menunjuk kepada hadis Nabi). Jadi 

tak seorang pun diperbolehkan menafsirkan Alquran menurut pendapatnya sendiri. 

Bahkan apabila orang melakukannya dan kendatipun tepat dan benar, tetap dia 

dipandang telah berbuat keliru mengingat ketepatan dan kebenaran pendapatnya itu 

tidak berdasarkan keyakinan, melainkan hanya dugaan karena tanpa dukungan 

pengetahuan.

16 Dengan demikian, karena disebabkan munculnya beragam takwil bagi 

suatu teks, maka hermeneutika telah membuka peluang yang luas terjadinya konflik 

dalam penakwilan. Jika masalah ini dibiarkan, maka akan terdapat banyak sekali 

penakwilan terhadap suatu teks dan mungkin saling bertentangan antara penakwilan 

yang satu dengan lainnya. Didalam Alquran sering ditemui lafaz-lafaz yang tidak terinci, misalnya 

menyangkut “sapi” yang disebutkan dalam Q.S. al-Baqarah: 67 atau “anjing” yang 

menyertai “Ashabul Kahfi” dalam Q.S. al-Kahfi: 18.17 Dari pengamatan penulis, 

Muhammad Abduh lebih memilih tidak merinci dan menjelaskan persoalan-persoalan 

yang disinggung secara mubham (tidak jelas). Walaupun, Abduh juga menggunakan 

akal untuk memahami (menafsirkan) ayat-ayat Alquran sebagaimana yang dilakukan 

Nasr Hamid Abu Zaid. namun Abduh tetap mengakui keterbatasan akal dan 

kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi SAW. (wahyu). Maka bagi penulis, 

mendewakan akal dalam hermeneutika merupakan suatu usaha (ijtihad) yang 

berlebih-lebihan dalam memaknai kalam Tuhan. 

Nasr Hamid Abu Zaid berbicara tentang historisitas makna dan kontinuitas 

maghza di dalam nas}s}. Menurut Abu Zaid khit}a>b Alquran historis, dan yang tetap 

adalah makna, sedangkan maghza>-nya berubah, maka mahgza> tergantung kepada 

hubungan antara nas}s} dan pembaca, sedangkan maknanya berdiri sendiri.18 Maka, 

kalau penulis boleh meminjam bahasanya Muhammad ‘Ima>rah menagatakan, bahwa 

dengan konsep historisitas atau membawa makna hakikat kepada maja>z, dan 

membawa makna kepada maghza>, maka akan gugurlah banyak hukum syariat dan menjadikan kisah-kisah Alquran hanya sebagai seni dan tidak ada hubungannya 

dengan hakikat dan begitu pula dengan akidah islamiyyah.19

Dengan demikian, yang menjadi pertanyaan penulis adalah jika makna ayat￾ayat Alquran hanya berlaku pada waktu penurunannya, dimanakah letak 

kemukjizatan Alquran tersebut? Oleh sebab itu, makna ayat-ayat Alquran tidak hanya 

untuk manusia saat wahyu itu diturunkan, tetapi berlaku untuk sepanjang zaman. 

Kiranya pendapat penulis semakin kuat karena sesuai dengan pemikiran Muhammad 

Abduh yang mengatakan, bahwa ayat Alquran bersifat umum. karenanya petunjuk￾petunjuk ayat-ayat Alquran berkesinambungan tidak dibatasi oleh suatu masa dan 

tidak pula ditujukan kepada orang-orang tertentu tetapi berlaku untuk setiap masa dan 

generasi.

Diantara hal menarik bagi Muhammad Abduh adalah upaya Nasr Hamid Abu 

Zaid mengembangkan sebuah pendekatan sastra dalam menginterpretasikan teks 

Alquran (al-manhaj al-adabi fi al-tafsi>r) dan sebuah teori tentang hubungan antara 

linguistic dan interpretasi Alquran. Namun dari beberapa litarure yang penulis 

temukan, Muhammad Abduh dengan tegas menyatakan bahwa, interpretasi Alquran20

bukanlah saat dimana para ahli bahasa ataupun sastrawan mempertontonkan 

kepintarannya, karena Alquran adalah sebuah kitab bimbingan religious dan spiritual 

(hidayah) dan bukan sebuah buku sastra atau filsafat. Selain itu, pendapat Nasr Hamid Abu Zaid yang mengeyampingkan keimanan 

seorang untuk mengkaji Alquran tidaklah tepat. Diantara syarat-syarat para mufasir 

adalah berkaitan dengan keberagaman dan akhlak, yaitu memiliki akidah yang sahih, 

komitmen dengan kewajiban agama dan akhlak Islam. Al-Thabari misalnya, 

menegaskan bahwa syarat utama seorang penafsir adalah akidah yang benar dan 

komitmen mengikuti sunnah. Orang yang akidahnya cacat tidak bisa dipercayai untuk 

mengemban amanah yang berkaitan dengan urusan keduniawian apalagi urusan 

keagamaan! (min shartihi s}ih}h}at al-I’tiqa>d, wa luzu>m sunnat al-di>n, fainna man ka>na 

magmu>s}an ‘alayhi fi> di>nihi, la>yu’taaamana ‘ala> al-dunya>, fa kaifa ‘ala> al-di>n!).21 Jadi, 

keimanan dan keyakinan akan kebenaran Alquran sangat penting bagi seorang 

mufasir Alquran. ini disebabkan status Alquran tidaklah sama dengan teks-teks yang 

lain. Alquran bersumber dari Allah. Sembarang metodologi tidak bisa diterapkan 

begitu saja kepada Alquran. metodologi secular akan menggiring kepada kesimpulan 

sekular.22

Selain itu, hermeneutika Nasr Hamid akan membawa kepada konsep bahwa 

tafsir itu relative. Padahal para mufasir terkemuka bersepakat dalam berbagai perkara. 

Tidak ada seorangpun mufasir Muslim terkemuka dari 1400 tahun yang lalu hingga 

sekarang, berpendapat bahwa Nabi Isa a.s. mati ditiang salib dan wanita muslimah boleh nikah dengan laki-laki kafir. Jadi, pernyataan bahwa tafsir itu relative adalah 

sebuah kekeliruan, sekalipun terdapat ribuan buku tafsir.23

Menurut hemat penulis, ilmu tafsir yag telah diformulasikan oleh para ulama 

yang berwibawa telah mengakar dalam tradisi Islam. Ilmu tafsir itu muncul karena 

bahasa Alquran memiliki struktur. Ilmu tafsir tidak sama dengan hermeneutika 

Yunani, Kristen atau ilmu interpretasi kitab suci yang lain dari agama dan budaya 

apapun. 

Dalam pandangan Nasr Hamid Abu Zaid, teks Alquran terbentuk dalam 

realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Oleh sebab itu, Alquran adalah 

‘produk budaya’. Ia juga menjadi produsen budaya karena menjadi teks yang 

hegemonic dan menjadi rujukan bagi teks yang lain.24 Disebabkan realitas dan 

budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Nasr Hamid juga 

menganggap Alquran sebagai teks bahasa (nass} lughawi>).

Kesimpulan Nasr Hamid bahwa Alquran adalah “produk budaya” tidaklah 

tepat. Ketika diturunkan secara gradual, Alquran ditentang dan menentang budaya 

Arab Jahiliyyah saat itu. Ketika menyampaikan agama Islam, Rasulullah SAW. 

ditentang dengan menuduh Rasulullah sebagai orang gila. Alquran yang berfirman, 

artinya: “Mereka berkata: hai orang-orang yang diturunkan Alquran kepadanya, 

sesungguhnya kamu benar-benar orang gila”25, sebagai penyair gila26 dan tukang tenun.27 Alquran juga menentang budaya jahiliyyah yang bangga dengan kemampuan 

puisi mereka dengan menyatakan: “Katakanlah sesungguhnya jika manusia dan jin 

berkumpul untuk membuat yang serupa Alquran ini, niscaya mereka tidak akan 

mampu membuat yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi 

pembantu bagi sebagian yang lain”.28

Jadi, Alquran bukanlah produk budaya, karena Alquran bukanlah hasil dari 

kesinambungan dari budaya yang ada. Alquran justru membawa budaya baru dengan 

menentang ataupun mengubah budaya yang ada. Jadi, Alquran bukanlah produk 

budaya Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan jahiliyyah Arab yang diubah pada 

zaman Rasulullah SAW. adalah produk dari Alquan, bukan sebaliknya.29

Alquran juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra 

Arab lainnya. Menurut Al-Attas, bahasa Arab Alquran adalah bahasa arab bentuk 

baru. Jika Alquran produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah 

dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata bukan hanya saat itu saja, 

sekarangpun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata didalam 

Alquran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn ‘Abbas tidak mengetahui makna fa>t}ir,

h}ana>nan, ghisli>n, awwa>h, al-raqi>m.

30 selain itu, Alquran memuat berbagai macam 

dialek bahasa Aarab. Abu> Baar al-Wa>sit_iy menyebutkan 50 ragam dialek ragam bahasa Arab di dalam Alquran.31selain itu, terdapat juga al-ahru>f al-muqata’ah di 

dalam Alquran yang semuanya tidak sesuai dengan perkembangan budaya sastra 

Arab saat itu. Jadi, Alquran bukanlah produk budaya sastra Arab. Ia adalah suatu 

“budaya” baru. (Istilah budaya sebenarnya tidak begitu sesuai digunakan untuk 

Alquran, karena budaya mengandung makna hasil kreasi manusia, padahal Alquran 

adalah wahyu dari Allah).

Menarik memang ketika kita mampu merealisasikan apa yang menjadi suatu 

hal yang dapat kita fikirkan kemudian kita realitaskan menjadi suatu asumsi ataupun 

pendapat dan tentunya dengan dasar. Apapun itu ketika kita dibenturkan dengan suatu 

pendapat, maka tidak ada salahnya jika kita berfikir ulang apakah pendapat tersebut 

pantas untuk disuarakan tanpa memikirkan sesuatu yang mendasarinya. Penulis 

mengatakan, bahwa apa yang menjadi dasar pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid adalah 

semacam sifat kritisnya yang ingin membebaskan perempuan dari hegemoni teks 

peradaban Arab, yang mana Nasr Hamid mengatakan, bahwa teks tersebut adalah 

yang membentuk pola pemikiran umat Islam. Salah satu upaya dalam pembebasan 

perempuan masyarakat yang terkungkung dalam hegemoni teks maka dilakukannya 

suatu penafsiran ulang dan interpretasi terhadap teks-teks keagamaan tersebut. Suatu 

pemikiran adalah suatu pendapat yang mungkin salah dan mungkin benar. Maka hal 

tersebut bisa dipercayai atau tidak karena semata-mata hanya sebuah pemikiran saja 

dan tid bgak terlepas dari sisi negative dan positif. Maka hal tersebut bisa di kritisi 

bersama-sama. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang poligami memang dirasa cukup baik 

dan sesuai dengan perkembangan zaman, karena pemikirannya mengacu pada teks itu 

sendiri yang tidak hanya melihat teks dari sisi makna melainkan dari sisi konteksnya 

juga. Sebab itu, sebagai seorang cendekiawan muslim dan seorang ulama 

kontemporer yang menginterpretasi nas}s} kedalam penafsiran kembali agar teks selalu 

relevan dengan perkembangan zaman. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid adalah 

salahsatu pemikiran yang patut di apresiasi dikarenakan adanya sesuatu pembaharuan 

hukum yang menuju kebebasan dari dominasi seorang laki-laki dan pemikirannya 

yang menganggap poligami harus dilarang. Walaupun kenyataannya untuk menuju 

poligami yang dilarang itulah suatu pesan teks yang tak terkatakan dan tak 

tersampaikan. 

Namun di sisi lain ada hal yang menjadi masalah serius bahwasannya 

poligami yang diperbolehkan oleh Islam menjadi suatu pelarangan yang mutlak 

dengan dalih penafsiran ulang dan interpretasi nas}s}. Dengan alasan penafsiran ulang 

dan interpretasi nas}s} itu agar suatu hukum dan ketetapan bisa relevan dengan 

perkembangan zaman. 

Suatu pemikiran yang dihasilkan oleh seseorang adalah suatu bentuk 

apresiasinya terhadap suatu ilmu. Maka dari itu, tidak ada suatu pemikiran yang 

negative tentang ilmu yang dihasilkan oleh seorang ilmuwan. Kecuali, memang 

dengan dasar seseorang tersebut ingin menghancurkan hakikat suatu disiplin ilmu. 

Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa suatu tindakan akal manusia pasti ada kekurangan. Setidaknya pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid patut diapresiasi setinggi 

mungkin, yang mana semoga dengan pemikirannya tersebut mendapat hikmah dan 

menjadikan masyarakat yang mampu mengedepankan keadilan dan kesetaraan 

bersama dengan dasar yang jelas yakni sumber kitab primer umat Islam dan adanya 

suatu penafsiran yang senantiasa mencerahkan bagi umat Islam. 

Apa yang telah dihasilkan oleh suatu pemikiran adalah upaya untuk ijtihad, 

yang mana suatu ijtihad adalah bisa saja diterima maupun ditolak oleh pembaca. 

Seseorang yang telah melontarkan ijtihad tidak berhak memaksakan ijtihadnya untuk 

diterima oleh orang lain. Suatu ijtihad yang dilakukannya tidak lain adalah bertujuan 

untuk kerangka membina iman dan hidayah. Lebih dari itu adalah menunjukkan 

bahwa saya berfikir maka saya adalah manusia. 

Kritik pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang poligami yaitu bahwa 

poligami dilarang secara mutlak. Statement tersebut menyimpang dengan apa yang 

ada dalam Alquran. Alquran membolehkan adanya poligami tetapi dengan adanya 

izin dari istri dan mengajukan permohonan izin ke Pengadilan Agama. Tentunya 

dengan prinsip yang mendasari poligami yaitu dengan syarat adil terhadap istri-istri 

dan anak-anaknya. 

Penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang poligami tidak relevan terhadap 

keadaan hukum yang ada di Indonesia khususnya. Mengingat kondisi masyarakat 

Indonesia yang masih terkungkung dalam dominasi pemikiran konvensional yang 

masih menerapkan kitab-kitab fiqih sebagai suatu rujukan. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid lebih relevan jia diterapkan di negara-negara modern, seperti negara Turki 

dan negara Tunisia. 

Bagi penulis, tafsir yang dideduksi dari ayat-ayat Alquran, seharusnya bukan 

hanya sekedar sekumpulan konsep dan nila-nilai normative yang idealis –metafisis 

yang hanya ada dikertas. Akan tetapi, harus mampu membentuk karakter sosial yang 

objektif (ilmiah). Pandangan Nasr Hamid Abu Zaid tentang ayat poligami diatas 

adalah “sia-sia” jika diterapkan di Indonesia. Karena, bagi penulis, poligami 

penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid berujung pada “sesuatu pesan yang tak terkatakan”. 

Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa sebuah rekonstruksi sosial juga 

diperlukan penyelidikan faktual yang menyeluruh terhadap data sosial yang relevan. 

Perlu menentukan secara tepat dimana kedudukan masyarakat saat ini, sebelum 

memutuskan kemana ide tersebut akan diarahkan. Berbicara tentang rekontruksi 

masyarakat tanpa menentukan secara ilmiah dimana posisinya saat ini, persis seperti 

seorang dokter yang hendak mengobati pasien tanpa melihat penyakitnya terlebih 

dahulu.32 Tanpa penyelidikan faktual, pandangan Alquran hanya akan tetap tinggal 

pada tingkatan abstraksi murni dan tidak mampu menjadi daya transformasi sosial.

Setelah diuraikan pembahasan tentang metode hermeneutika dengan 

aplikasinya terhadap surat al-Nisa>’ ayat 3 yang menjelaskan tentang poligami, 

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Ketika berbicara tentang Nasr Hamid Abu Zaid maka tergambar jelas 

tentang hermeneutikanya. Hermeneutika adalah salah satu cabang filsafat 

yang mengkaji pemahaman dan interpretasi teks. Sebagai seorang linguis 

dan kritikus sastra, Nasr Hamid Abu Zaid mengembangkan teori 

hermeneutika Alquran yang didasarkan atas teori-teori linguistic dan 

teori sastra (literer) kontemporer. Seperti dijelaskan dalam salah satu 

karya Nasr Hamid Abu Zaid yakni dalam buku Mafhu>m al-Nas}h Dira>sah 

fi> ‘Ulu>m Alqur’a>n yang menyatakan bahwa teks haruslah dilihat sebagai 

sebuah teks linguistik historis yang muncul dalam suatu lingkungan 

kultural dan historis tertentu. Nasr Hamid Abu Zaid, dalam hal ini dia 

berargumen bahwa satu-satunya cara untuk mengkaji dan 

menginterpretasikan Alquran adalah melalui metode linguistic. Nasr 

Hamid Abu Zaid mengemukakan pendapatnya tentang tekstualitas 

Alquran yakni dibagi menjadi tiga bagian, yaknia. Kata wahyu dalam Alquran secara semantik setara dengan perkara 

Allah (kalam Allah) dan Alquran adalah sebuah pesan (risalah).

b. Urutan tekstual surat dan ayat dalam teks Alquran tidaksama dengan 

urutan kronologis pewahyuan.

c. Alquran terdiri dari ayat-ayat muhkamat (ayat-ayat yang jelas) yang 

merupakan induk teks.

2. Nasr Hamid Abu Zaid mendiskusikan ayat poligami Q.S. al-Nisa>’ ayat 3 

dalam tiga langkah, sebagai berikut:

a. Pertama, dalam konteks teks ini sendiri.

b. Kedua, dengan meletakkan teks dalam konteks Alquran secara 

keseluruhan. Dengan langkah tersebut, Nasr Hamid Abu Zaid 

berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat 

digunakan.

c. ketiga, berdasarkan dua langkah tersebut diatas, Nasr Hamid Abu 

Zaid mengusulkan sebuah pembaruan hukum Islam.Ayat-ayat yang berbicara tentang poligami, hukum waris, persaksian, dan 

lain-lain jika dipahami ayat-ayat ini cenderung menguntungkan bagi laki￾laki dan merugikan bagi perempuan. Namun, perlu diingat bahwa, sebuah 

ayat itu disamping mempunyai makna (meaning) ia juga mempunyai 

signifikansi (maghza). Ketika seseorang menafsirkan hanya berhenti 

sampai meaning, maka produk tafsirnya bias gender. Namun, jika 

penafsir mampu menemukan signifikansi (maghza) maka bias gender 

relative bisa dieliminasi. Pemikiran Nasr Hamid Abu Zaid tentang poligami memang dirasa cukup 

baik dan sesuai dengan perkembangan zaman, karena pemikirannya 

mengacu pada teks itu sendiri yang tidak hanya melihat teks dari sisi 

makna melainkan dari sisi konteksnya juga. Pandangan Nasr Hamid Abu 

Zaid tentang ayat poligami diatas adalah “sia-sia”. Karena, bagi penulis, 

poligami penafsiran Nasr Hamid Abu Zaid berujung pada “sesuatu pesan 

yang tak terkatakan”. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa 

sebuah rekonstruksi sosial juga diperlukan penyelidikan faktual yang 

menyeluruh terhadap data sosial yang relevan. Perlu menentukan secara 

tepat dimana kedudukan masyarakat saat ini, sebelum memutuskan 

kemana ide tersebut akan diarahkan. Berbicara tentang rekontruksi 

masyarakat tanpa menentukan secara ilmiah dimana posisinya saat ini, 

persis seperti seorang dokter yang hendak mengobati pasien tanpa melihat 

penyakitnya terlebih dahulu. Tanpa penyelidikan faktual, pandangan 

Alquran hanya akan tetap tinggal pada tingkatan abstraksi murni dan 

tidak mampu menjadi daya transformasi sosial.

Dalam memandang sesuatu, setiap orang tidak akan terlepas dari dua hal, 

yaitu antara mendukung dan menentang. Apa yang dilakukan Nasr Hamid 

Abu Zaid adalah ijtihadnya untuk merekonstruksi penafsiran Alquran agar 

mampu menjadi solusi dalam menghadapi setiap permasalahan pada era hari 

ini.