hukum perkawinan 11

Rabu, 29 Januari 2025

hukum perkawinan 11


 


njadi alasan jatuhnya talak. Pendapat kelompok 

kedua ini  yaitu  pendapat mayoritas para fukaha, termasuk ulama 

penganut Madzahibul Arba’ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan 

Hambali; Dari pandangan para ulama ini , ahli berpendapat 

bahwa frasa “antara suami dan istri terus-menerus terjadi 

perselisihan dan pertengkaran”, sebaiknya tidak digunakan sebagai 

alasan jatuhnya talak, karena: 

1. Pertama, kalau frasa ini diterima tanpa ada penjelasan 

mengenai penyebab terjadinya perselisihan dan 

301  

pertengkaran, maka akan membuka peluang jatuhnya 

talak. Seorang laki-laki yang sudah bosan kepada istrinya 

akan mencari gara-gara yang dapat menimbulkan 

perselisihan supaya dapat menjatuhkan talak kepada 

pasangannya. Jika ini terjadi, maka sakralitas perkawinan 

sebagai perjanjian yang kukuh atau mitsaqon gholidzon 

akan dikalahkan oleh ego manusia yang dapat memancing 

timbulnya perselisihan dan pertengkaran. Dengan kata 

lain, lelaki ‘tukang cicip’ dan suka menceraikan istrinya 

akan memperoleh legitimasi syar’i untuk melakukan 

kawin-cerai dengan cara membuat perselisihan dan 

pertengkaran; 

2. Kedua, kalau frasa ini diterima, maka akan menghilangkan 

hak-hak konstitusional setiap pasangan yang ingin 

mempertahankan perkawinannya. Artinya, frasa ini 

mengabaikan upaya setiap pasangan suami-istri yang ingin 

terus memperjuangkan kelangsungan perkawinannya 

sesuai perintah agama karena posisi pasangan ini  

menjadi sama dengan posisi suami-istri yang menjadi 

penyebab perkelahian dan pertengkaran. Jika ini terjadi, 

maka Islam tidak memberikan perlindungan terhadap 

orang yang berusaha menjalankan kebaikan dalam suatu 

perkawinan, karena frasa ini bertentangan dengan 

makhositul syar’i, yaitu tujuan ditetapkannya suatu 

hukum, bahkan juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 

(1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, maka harus ditolak. 

[2.3]  Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon 

ini , Pemerintah pada sidang tanggal 10 Agustus 2011 

menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang menguraikan hal-

hal sebagai berikut: 

I. Pokok Permohonan Pemohon 

Dari seluruh uraian permohonan Pemohon, pada intinya menyatakan 

sebagai berikut: 

a. bahwa Pemohon  yaitu  isteri dari lelaki bernama Bambang 

Trihatmojo bin HM. Soeharto yang tercatat dalam akte nikah Nomor 

692/182/X/1981 tanggal 24 Oktober 1981, dan telah dikaruniai 3 

(tiga) anak, yakni Gendis Siti 

Hatmanti, Bambang Panji Adhikumoro, dan Bambang Aditya 

Trihatmanto; 

302  

b. bahwa pada awalnya kehidupan rumah tangga antara Pemohon 

dan suaminya dirasakan cukup baik, serasi dan harmonis, namun 

sejak tahun 2002 mulai timbul perselisihan dan pertengkaran, 

bermula dikala diketahui suami Pemohon menjalin hubungan gelap 

(backstreet) dengan wanita  lain bernama Mayangsari dan 

sampai saat ini telah tinggal bersama; 

c. bahwa sejak saat itu suami Pemohon tidak lagi mengasihi Pemohon 

dan anakanaknya, bahkan dikala Pemohon menasihatinya maka 

suami berperilaku kasar dan kejam, bahkan acapkali memukul korban 

dan anak-anak, dan suami seringkali kalap dan lupa diri, karenanya 

pertengkaran dan perselisihan telah merasuki kehidupan rumah 

tangga antara suami Pemohon dan Pemohon; 

d. bahwa pada tanggal 21 Mei 2007, suami Pemohon memasukkan 

gugatan cerai (talak) terhadap Pemohon di pengadilan Agama Jakarta 

Pusat, dengan alasan antara suami Pemohon dan Pemohon "sering 

terjadi perselisihan dan pertengkaran" yang menyebabkan rumah 

tangganya tidak ada lagi harapan akan hidup rukun lagi; 

e. singkatnya, lembaga peradilan pada akhirnya memutus cerai 

(talak) antara suami Pemohon (Bambang Trihatmodjo) dengan 

Pemohon dengan alasan antara Pemohon dan suaminya sering 

terjadi perselisihan dan pertengkaran yang menyebabkan rumah 

tangganya tidak ada harapan akan hidup rukun lagi sebagaimana 

dimaksud dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang 

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU 

1/1974), yang dianggapnya bertentangan dengan hak jaminan 

perlindungan, kepastian hukum dan keadilan. 

II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon 

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah 

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan 

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 

Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa 

Pemohon  yaitu  pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan 

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 

a. perorangan warga negara Indonesia; 

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih 

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat 

dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang 

diatur dalam undang-undang; 

303  

c. badan hukum publik atau privat; atau 

d. lembaga negara. 

Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang 

dimaksud dengan "hak konstitusional"  yaitu  hak-hak yang diatur 

dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 

1945). Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat 

diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal 

standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap 

UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan 

membuktikan: 

a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut 

dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 

b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam 

kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh 

berlakunya Undang-Undang yang diuji; 

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon 

sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan 

pengujian. 

Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006 PUU-

III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan 

selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara 

kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional 

yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 

51 ayat (1) UU MK, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: 

a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh 

Undang-Undang Dasar Tahun 1945; 

b. bahwa hak konstitusional Pemohon ini  dianggap oleh 

Pemohon telah dirugikan oreh suatu Undang-Undang yang 

diuji; 

c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud 

bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat 

potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat 

dipastikan akan terjadi; 

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara 

kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan 

untuk diuji; 

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya 

permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan 

tidak akan atau tidak lagi terjadi. 

304  

Atas hal-hal ini  di atas, menurut Pemerintah perlu 

dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai 

pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya 

dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) 

huruf f UU 1/1974. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional 

Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau 

setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar 

dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab 

akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-

Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah, 

permasalahan Pemohon seperti ini  pada pokok permohonan di 

atas  yaitu  berkaitan dengan penerapan hukum dalam tatanan 

praktek, yaitu perceraian antara Pemohon dengan suaminya, dan 

terhadap gugatan cerai ini  telah diputus oleh lembaga 

peradilan mulai Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan 

Mahkamah Agung, dengan Amar Putusan mengabulkan gugatan cerai 

yang dimohonkan oleh Penggugat (dalam hal ini oleh suami Pemohon 

itu sendiri). 

Pemerintah dapat memberikan penegasan bahwa terhadap setiap 

proses gugatan cerai ini , Pemohon telah   memakai  seluruh 

saluran upaya hukum yang tersedia, dari mulai banding, sampai 

dengan kasasi. Sehingga menurut Pemerintah  yaitu  tidak tepat 

permasalahan rumah tangga Pemohon dengan suaminya yang 

berujung pada perceraian di anggap sebagai kerugian konstitusional. 

Lebih lanjut menurut Pemerintah, anggapan adanya kerugian 

konstititusional oleh Pemohon yang dialami oleh Pemohon tidak 

terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara ketentuan 

yang dimohonkan untuk diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945 

yang dijadikan dasar/pijakan pengujiannya, karena pasal-pasaI a quo 

dalam UUD 1945 merupakan conditio sine quanon terhadap setiap 

orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk membina 

rumah tangga dan mengembangkan keturunannya. Dengan 

perkataan lain, permasalahan Pemohon tidak terkait dengan masalah 

konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma Undang-

Undang a quo, melainkan terkait dengan implementasi penerapan 

norma oleh penegak hukum yang memang harus diambil satu 

keputusan atas setiap gugatan yang diajukan ke lembaga peradiian. 

berdasar  hal-hal ini  di atas, Pemerintah berpendapat 

Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai 

305  

pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana 

dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, maupun 

berdasar  putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu. 

Karena itu, menurut Pemerintah  yaitu  tepat jika Yang Mulia 

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana 

menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet 

ontvankelijk verklaard). Namun demikian, jika  Yang Mulia 

Ketua/Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, berikut kami 

sampaikan penjelasan Pemerintah, sebagai berikut: 

III. Penjelasan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan Oleh 

Pemohon. 

Sebelum Pemerintah memberikan penjelasan/argumentasi secara 

rinci terhadap dalil-dalil maupun anggapan Pemohon ini  di 

atas, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut: 

A. Secara umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 

Tahun 1945. 

Perkawinan  yaitu  salah satu bentuk perwujudan hak-hak 

konstitusional warga negara yang harus dihormati (to espect), 

dilindungi (to protect) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan 

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum 

dalam UUD 1945, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (1) 

UUD 1945: " Setiap orang berhak membentuk keluarga dan 

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah", sehingga 

setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan 

perkawinan sebagaimana di tentukan dalam UU 1/1974 dijamin hak-

haknya dan negara mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi 

perkawinan ini . Dengan demikian, perkawinan yang 

dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita  sejatinya 

harus bersifat harmonis, langgeng, dan abadi, sehingga telah menjadi 

kewajiban bersama bagi suami dan isteri untuk mempertahankan dan 

membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah. 

Namun demikian, negara juga berkewajiban untuk memfasilitasi 

jika  perkawinan yang diikrarkan langgeng dan abadi, tetapi 

karena suatu sebab dan alasan tertentu mengharuskan perkawinan 

ini  harus berakhir, melalui lembaga peradilan kewenangan itu 

diberikan. Dari uraian ini  di atas, UUD 1945 telah memberikan 

perlindungan dan perlakuan yang adil terhadap setiap orang untuk 

membina dan mengembangkan rumah tangganya, sekaligus juga 

306  

diberikan jalan keluar (law exit) jika  perkawinannya tidak dapat 

dipertahankan selama-Iamanya. 

B. Penjelasan Terhadap Materi Muatan Norma Yang dimohonkan 

untuk Diuji Oleh Pemohon. 

Terhadap permohonan pengujian Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf  f 

UU 1/1974 yang menyatakan: 

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974: 

Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian  yaitu : 

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, 

pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar 

disembuhkan; 

b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) 

tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan 

yang sah atau karena hal yang lain diluar kemauannya; 

c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) 

tahun atau hukuman yang lebih berat lsesudah  perkawinan 

berlangsung; 

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan 

berat yang membahayakan terhadap pihak lain; 

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang 

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya 

sebagai suami-isteri; 

f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan 

dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun 

lagi dalam rumah tangga. 

Ketentuan di atas oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan 

ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Yang 

menyatakan sebagai berikut: 

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: 

Setiap orang herhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan 

kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan 

hukum. 

Pasal 28H ayat (2) UUD 1945: 

Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus 

untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna 

mencapai persamaan dan keadilan. 

Terhadap anggapan Pemohon ini  di atas, Pemerintah dapat 

memberikan penjelasan sebagai berikut: 

307  

1. Perkawinan dalam bahasa Agama disebut mitsaqon 

gholidzon yaitu suatu perjanjian yang kuat. Perkawinan 

 yaitu  perjanjian yang suci antara kedua insan yang 

berlainan jenis kelamin menjadi satu kesatuan yang utuh. 

Perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah 

kehidupan keluarga yang kekal, utuh, harmonis, bahagia, dan 

sejahtera berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya 

bahwa perkawinan merupakan satu bentuk penghambaan 

diri kepada Allah SWT. Untuk itu dalam perkawinan 

diperlukan adanya saling pengertian, kesepahaman, 

kesadaran untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah, 

mawaddah, dan warrohmah. Hal ini sejalan pula dengan 

filosofi perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU 

1/1974 yang menyatakan:"Perkawinan ialah ikatan lahir 

bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai 

suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah 

tangga) yang bahagia dan kekal berdasar  Ketuhanan 

Yang Maha Esa". 

2. Selain itu, perkawinan juga merupakan salah satu bentuk 

perwujudan hak-hak konstitusional warga negara yang harus 

dihormati (to respect) oleh setiap orang dalam tertib 

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 

Perkawinan juga harus dilindungi (to protect) agar terdapat 

kesinambungan melanjutkan keturunan, sebagaimana 

tercantum secara tegas dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945 

yang menyatakan: "Setiap orang berhak membentuk 

keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan 

yang sah". 

3. Karena itu, dalam hal demikian Pemerintah sependapat 

dengan pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa 

sejatinya perkawinan seharusnya berjalan harmonis, 

langgeng, dan abadi. Karenanya perkawinan tidak dapat 

dipisahkan oleh siapapun termasuk oleh lembaga peradilan 

jika  salah satu pihak masih ingin tetap mempertahankan 

kelangsungan perkawinan guna membina keluarga. Hal ini 

sejalan dengan tujuan hakiki dilangsungkannya sebuah 

perkawinan, yaitu membentuk keluarga, rumah tangga yang 

bahagia dan kekal berdasar  Ketuhanan yang Maha Esa 

(vide Pasal 1 UU 1/1974). 

308  

4. Namun demikian, perkawinan bukanlah semata-mata 

kehendak salah satu pihak, suami atau isteri saja, melainkan 

merupakan perwujudan kehendak dan keinginan kedua belah 

pihak (suami-isteri). Karena itu jika  karena suatu sebab 

tertentu yang memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan 

dalam UU 1/1974, yang berakibat salah satu pihak (balk 

suami maupun isteri) tidak lagi menghendaki kelangsungan 

perkawinan ini , maka tujuan perkawinan untuk 

membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia, dan kekal 

berdasar  Ketuhanan yang Maha Esa, tidak mungkin dapat 

dipertahankan. Dengan perkataan lain, perkawinan bisa 

putus (cerai) jika tidak ada kesepahaman, tidak ada 

keharmonisan dalam membangun rumah tangganya. Jika hal 

demikian keluarga ini  tetap dipaksakan untuk 

dipertahankan, menurut Pemerintah justru dapat 

menimbulkan kerugian baik fisik maupun psikis terhadap 

suami, isteri, dan anak. 

5. UU 1/1974 telah mengatur secara komprehensif jika  

sebuah perkawinan dalam perjalanannya mengalami 

permasalahan yang mengakibatkan perkawinanya tidak 

dapat dipertahankan, sebagaimana diatur dalam ketentuan 

Pasal 38 UU 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan 

dapat putus karena kematian, perceraian, dan putusan 

pengadilan. 

6. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 39 UU 1/1974 menyatakan, 

ayat (1) "Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang 

Pengadilan lsesudah  Pengadilan yang bersangkutan berusaha 

dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak"; ayat (2) 

"Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa 

suamiisteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-

isteri". Ketentuan ini memberikan gambaran yang jelas dan 

tegas bahwa perceraian tidak dapat secara semena-mena 

dilakukan oleh salah satu pihak (baik suami maupun isteri) 

kecuali terdapat alasan yang cukup sebagaimana dimaksud 

dalam penjelasan Pasal 39 UU 1/1974. 

7. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974, menyatakan bahwa 

alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk perceraian  yaitu : 

309  

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, 

pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar 

disembuhkan; 

b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) 

tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa 

alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemauannya; 

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun 

atau hukuman yang Iebih berat lsesudah  perkawinan 

berlangsung; 

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan 

berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; 

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang 

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya 

sebagai suami/isteri; 

f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan 

dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun 

lagi dalam rumah tangga. Lebih lanjut, dalam Kompilasi 

Hukum Islam sebagaimana ditentukan dalam Pasal 116 

alasan-alasan perceraian ini  di atas dipertegas kembali 

dengan menambahkan alasan Suami melanggar taklik-talak 

dan karena salah satu pihak beralih agama atau murtad yang 

menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah 

tangga. 

8. UU 1/1974 in casu pengaturan tentang putusnya perkawinan, 

menurut Pemerintah telah memberikan rambu-rambu yang 

cukup memadai guna memberikan jalan keluar (law exit) bagi 

para pihak (suami-isteri) jika  perkawinannya tidak dapat 

dipertahankan guna membina kerukunan berumah tangga. 

9. Pasal 39 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan "Perceraian 

hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan yang 

bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak”, 

ketentuan ini bahwa perceraian merupakan jalan harus 

ditempuh jika  kedua belah pihak tidak dapat 

mempertahankan keutuhan, kerukunan, dan keharmonisan 

rumah tangganya. 

10. Sedangkan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan 

bahwa "Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan 

bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun 

sebagai suami-isteri", ketentuan ini menunjukan bahwa 

310  

perceraian harus didasarkan pada alasan-alasan yuridis yang 

sangat kuat, antara lain termasuk terjadinya perselisihan 

yang terus menerus dan tidak dapat hidup rukun sebagai 

suami-isteri (sebagaimana dimaksud oleh penjelasan Pasal 39 

ayat (2) huruf f UU 1/1974). Adapun untuk memutuskan 

apakah suatu perkawinan dapat dipertahankan atau tidak 

karena alasan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 

39 ayat (2) huruf f UU 1/1974  yaitu  merupakan 

kewenangan hakim untuk menilai dan 

mempertimbangkannya berdasar  fakta-fakta hukum di 

persidangan. 

11. berdasar  seluruh uraian permohonan Pemohon dalam 

pengujian ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974 sebagaimana termaktub dalam pokok permohonan di 

atas, menurut Pemerintah, kasus perceraian yang terjadi 

antara Pemohon (Ny. Halimah Agustina binti Abdullah Kamil) 

dengan suaminya (Bambang Trihatmojo bin H.M Soeharto) 

 yaitu  terkait derigan implementasi praktek penegakkan 

hukum yang dilakukan oleh penegak hukum (dalam hal ini 

hakim pada Pengadilan Agama), dan bukan merupakan 

persoalan konstitusionalitas ketentuan yang dimohonkan 

untuk diuji ini . Pemerintah juga dapat menyampaikan, 

bahwa seumpamanya pun benar, quod non, alasan-alasan 

Pemohon ini  benar adanya dan permohonannya 

dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka pertanyaan 

selanjutnya  yaitu  bagaimana jika dalam suatu perkawinan 

benar-benar terjadi perselisihan yang terus menerus yang 

dapat mengakibatkan terjadinya ancaman yang 

membahayakan balk fisik maupun psikis? Maka 

  memakai  dasar hukum apa seorang hakim dapat menilai 

dan mempertimbangkannya sebagai alasan dasar hukum 

untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara 

perceraian ini . 

Selain hal-hal ini  di atas, Pemerintah juga tidak sependapat 

dengan sinyalemen Pemohon rang menyatakan bahwa ketentuan 

yang dimohonkan untuk diuji ini  telah dijadikan alat oleh salah 

satu pihak (khususnya oleh suami) untuk menceraikan isterinya 

secara sepihak atau semena-mena, karena menurut Pemerintah 

ketentuan a quo justru bertujuan untuk memberikan perlindungan 

311  

yang memadai terhadap para pihak (baik suami maupun isteri) dari 

kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah 

juga tidak sependapat dengan anggapan yang menyatakan bahwa 

ketentuan yang dimohonkan untuk diuji telah memberikan perlakuan 

yang diskriminatif, karena sebagaimana ditentukan dalam ketentuan 

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak 

Asasi Manusia dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 

tantang Pengesahan Kovenan Tentang Hak-hak Sipil dan Politik 

(ICCPR) yang menyatakan bahwa "Diskriminasi ( yaitu  setiap 

pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak 

langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, 

suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, 

jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat 

pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, 

pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan 

dasar dalam kehidupan haik individual, maupun kolektif dalam 

bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan 

lainnya". 

Selanjutnya Pemerintah dapat memberikan klarifikasi,  yaitu  tidak 

tepat, tidak benar, dan tidak beralasan seolah-olah ketentuan yang 

dimohonkan untuk di uji ini  hanya ditujukan kepada pihak isteri 

(wanita  saja), karena pada kenyataannya jika seorang isteri 

meyakini perkawinannya tidak dapat dipertahankan karena alasan 

terjadinya perselisihan yang terus menerus maka seorang isteri dapat 

mengajukan gugat cerai ke pengadilan. 

IV. Kesimpulan 

berdasar  penjelasan ini  di atas, Pemerintah memohon 

kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi 

Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus 

pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat memberikan 

putusan sebagai berikut: 

1. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk 

seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan 

pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk 

verklaard).  

2. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 

3. Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

312  

tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) 

dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945. 

[2.4]  Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon 

ini , DPR menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di 

Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 November 2011 yang 

menyatakan sebagai berikut: 

Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam 

Permohonan a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih 

dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing) 

dapat dijelaskan sebagai berikut: 

I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon 

Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah 

diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU 

MK), yang menyatakan bahwa "Para Pemohon  yaitu  pihak yang 

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan 

oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: 

a. perorangan warga negara Indonesia; 

b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup 

dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip 

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam 

Undang-Undang; 

c. badan hukum publik atau privat; atau 

d. lembaga negara". 

Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan 

Pasal 51 ayat (1) UU MK ini , dipertegas dalam penjelasannya, 

bahwa "yang dimaksud dengan "hak konstitusional"  yaitu  hak-

hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945." Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU 

MK ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit 

diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 

Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) saja yang termasuk "hak 

konstitusional". Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang 

atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki 

kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian 

Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus 

menjelaskan dan membuktikan: 

a. KuaIifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; 

313  

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana 

dimaksud dalam "Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK" 

dianggap telah dirugikan oleh berakunya Undang-Undang. 

Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi 

telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian 

konstitusional yang, timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang 

harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor 

006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu 

sebagai berikut: 

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon 

yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945; 

b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon 

ini  dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu 

Undang-Undang yang diuji; 

c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional 

Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual 

atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran 

yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; 

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara 

kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan 

pengujian; 

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya 

permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan 

konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi 

terjadi. 

jika  kelima syarat ini  tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam 

perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak 

memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak 

Pemohon. 

Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR berpandangan 

bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah 

benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau 

kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan 

yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan 

adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan 

konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan 

yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum (legal 

standing) ini , DPR menyerahkan sepenuhnya kepada 

314  

Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk 

mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki 

kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang 

diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan berdasar  Putusan 

Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- 111/2005 dan 

Perkara Nomor 011/PUU-V/2007. 

II. Pengujian Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD 1945. 

Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya 

ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang 

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU 

1/1974) telah menghalang-halangi pelaksanaan hak 

konstitusionalnya untuk menyelamatkan rumah tanggganya 

sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah 

dirugikan. DPR menyampaikan penjelasan sebagai berikut: 

1. Perkawinan merupakan salah satu wujud hak asasi 

manusia yang harus dihormati, dilindungi dalam 

kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

Secara konstitusional hak ini  dijamin oleh Pasal 

28B ayat (1) UUD 1945 yaitu bahwa "Setiap orang 

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan 

keturunan melalui perkawinan yang sah". 

2. Sebagai perwujudan hak, dalam UU 1/1974 diartikan 

sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria 

dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan 

tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang 

bahagia dan kekal berdasar  Ketuhanan Yang 

Maha Esa. Pengertian ini memberikan pemahaman 

bahwa perkawinan memiliki tujuan selain 

membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan 

kekal serta memperoleh keturunan, juga membentuk 

keluarga yang harmonis. 

3. Tujuan perkawinan diwujudkan berdasar  

kehendak dan keinginan dua belah pihak (suami-

isteri). Secara sosiologis perkawinan memiliki nilai-

nilai luhur yang dituangkan didalam pengertian 

perkawinan dan perlu dipertahankan untuk menjaga 

keharmonisan dan kelanggengan perkawinan, akan 

tetapi didalam kenyataan yang tidak mustahil timbul 

perselisihan di dalam perkawinan. Pasal 39 ayat (2) 

315  

UU 1/1974 memberikan kemungkinan terjadinya 

perceraian yang sesungguhnya tidak dikehendaki 

oleh kedua belah pihak (suami-isteri) sebagaimana 

kehendak dan keinginan untuk mewujudkan 

perkawinan. Atas dasar pemikiran ini  

pengaturan mengenai kemungkinan melakukan 

perceraian harus didasarkan pertirnbangan atau 

alasan yang cukup. 

4. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 memuat 

beberapa alasan untuk melakukan perceraian yaitu: 

a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi 

pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya 

yang sukar disembuhkan; 

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 

(dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang 

lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain 

diluar kemauannya; 

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 

(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat 

lsesudah  perkawinan berlangsung. 

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau 

penganiayaan berat yang membahayakan 

terhadap pihak yang lain. 

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau, 

penyakit yang mengakibatkan tidak dapat 

menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri. 

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi 

perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada 

harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-

tangga. 

berdasar  Penjelasan Pasal 39 ayat (2) 

huruf f UU 1/1974 kemungkinan untuk perceraian 

dapat terjadi karena alasan bahwa antara suami 

dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup 

rukun lagi dalam rumah-tangga ketentuan ini 

dilandasi oleh pemikiran penghormatan terhadap 

hak asasi serta perlindungan hak di dalam 

perkawinan. Dalam hal suami atau isteri tidak ada 

316  

lagi harapan untuk hidup rukun dalam sebuah 

ikatan perkawinan karena perselisihan dan 

pertengkaran yang terus menerus maka tujuan 

perkawinan tidak mungkin diwujudkan. Penjelasan 

Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 ini memiliki 

legal ratio untuk memberikan jalan keluar hukum 

(legal exit) bagi para pihak dalam lembaga 

perkawinan untuk mengakhiri ikatan perkawinan 

dengan melakukan perceraian secara sah. 

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 berlaku 

bagi setiap orang baik suami maupun isteri oleh 

karena itu tidak cukup alasan bahwa penjelasan ini 

memiliki sifat diskriminatif. 

5. berdasar  penjelasan ini  di atas, menurut 

DPR Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 

memberikan perlindungan terhadap suami atau isteri 

dan anak-anak dalam lembaga perkawinan, manakala 

mengalami perselisihan dan pertengkaran yang terus 

menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun.  

6. alasan perceraian dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) 

huruf f UU 1/1974 bersifat pilihan dan tidak imperatif 

tergantung pada suami atau isteri apakah akan 

  memakai  Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974 sebagai dasar mengajukan perceraian atau 

tidak. Jika Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974 dibatalkan akan berimplikasi terhadap 

kepastian hukum bagi suami isteri yang mengalami 

perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus 

dan tidak ada harapan hidup rukun. Oleh karena itu 

menurut DPR Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974 memiliki legal ratio sebagai legal exit dalam 

kehidupan suami atau isteri dan penjelasan ini  

tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 

1945. 

Bahwa berdasar  pada dalil-dalil ini  di atas, DPR memohon 

kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat 

memberikan amar putusan sebagai berikut 

317  

1. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk 

seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo 

tidak dapat diterima; 

2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk 

seluruhnya; 

3. Menyatakan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 

Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

4. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang 

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap 

memiliki kekuatan hukum mengikat. 

jika  Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, 

kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). 

[2.5]  Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat 

menyampaikan kesimpulan tertulis yang pada pokoknya tetap pada 

pendiriannya; 

[2.6]  Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam 

putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara 

persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak 

terpisahkan dari putusan ini; 

 

3. PERTIMBANGAN HUKUM 

[3.1]  Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan 

Pemohon  yaitu  mengenai pengujian materiil Penjelasan Pasal 39 

ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang 

Perkawinan (selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya 

disebut UUD 1945); 

[3.2]  Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok 

permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) 

akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut: 

a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; 

b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon; 

Terhadap kedua hal ini , Mahkamah berpendapat sebagai 

berikut: 

Kewenangan Mahkamah 

[3.3] Menimbang bahwa berdasar  Pasal 24C ayat (1) UUD 

1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 

318  

2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah 

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan 

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 

Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 

70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, 

selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman 

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, 

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, 

selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan 

konstitusional Mahkamah  yaitu  mengadili pada tingkat pertama 

dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar; 

[3.4]  Menimbang bahwa permohonan Pemohon  yaitu  mengenai 

pengujian Undang-Undang in casu UU 1/1974 terhadap UUD 1945, 

sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; 

 

 

Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon 

[3.5]  Menimbang bahwa berdasar  Pasal 51 ayat (1) UU MK 

beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai pemohon 

dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945  yaitu  

mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan 

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang 

dimohonkan pengujian, yaitu: 

c. perorangan warga negara Indonesia (termasuk 

kelompok orang yang mempunyai kepentingan 

sama); 

d. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih 

hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat 

dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang 

diatur dalam Undang-Undang; 

e. badan hukum publik atau privat; atau 

f. lembaga negara; 

Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang 

terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih 

dahulu: 

a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud 

Pasal 51 ayat (1) UU MK; 

319  

b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang 

diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya 

Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; 

[3.6]  Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 

006/PUU-III/ 2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 

11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-

putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau 

kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) 

UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: 

a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon 

yang diberikan oleh UUD 1945; 

b. hak dan/atau kewenangan konstitusional ini  oleh 

Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-

Undang yang dimohonkan pengujian; 

c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional ini  

harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya 

potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat 

dipastikan akan terjadi; 

d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara 

kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang 

dimohonkan pengujian;  

e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya 

permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan 

konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak 

lagi terjadi; 

[3.7]  Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan a quo 

mengkualifikasi dirinya sebagai perorangan warga negara Indonesia 

yang dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya 

sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) 

UUD 1945 oleh berlakunya Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974, sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus 

terjadi perselisihan dan pertengkaran..."; 

Bahwa Pemohon pada tanggal 24 Oktober 1981 menikah dengan 

Bambang Trihatmojo bin H.M. Soeharto yang dicatatkan pada Kantor 

Urusan Agama Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan sesuai salinan 

Akte Nikah Nomor 692/182/X/1981 tanggal 24 Oktober 1981. 

Perkawinan Pemohon dengan Bambang Trihatmojo bin H.M. 

Soeharto ini  (suami) telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu 

320  

Gendis Siti Hatmanti, Bambang Panji Adhikumoro, dan Bambang 

Aditya Trihatmanto; 

Bahwa kehidupan rumah tangga Pemohon dengan suami Pemohon 

ini  pada awalnya berjalan cukup baik, serasi dan harmonis, 

namun sejak tahun 2002 mulai timbul perselisihan dan pertengkaran. 

Pertengkaran ini  dipicu oleh adanya hubungan gelap 

(backstreet) antara suami Pemohon dan wanita  lain bernama 

Mayangsari. Sejak pertengkaran ini , suami Pemohon tidak lagi 

mengasihi Pemohon dan anak-anaknya, berperilaku kasar dan kejam, 

tidak memberi nafkah, dan meninggalkan rumah serta hidup bersama 

dengan Mayangsari; 

Bahwa pada tanggal 21 Mei 2007, suami Pemohon mengajukan 

gugatan cerai (talak) terhadap Pemohon di Pengadilan Agama Jakarta 

Pusat, dengan alasan antara Pemohon dan suami Pemohon sering 

terjadi perselisihan dan pertengkaran, sehingga menyebabkan rumah 

tangga Pemohon dan suami Pemohon tidak ada harapan akan hidup 

rukun lagi; 

Bahwa Pemohon berupaya untuk menyelamatkan rumah tangganya 

dengan tidak mau bercerai dengan suami Pemohon, namun pada 

akhirnya pengadilan memutus cerai (talak) perkawinan Bambang 

Trihatmodjo dengan Pemohon dengan mendasarkan pertimbangan 

pada Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974; 

berdasar  alasan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon 

ini , Mahkamah berpendapat bahwa terdapat hubungan sebat 

akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional Pemohon 

dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. 

[3.8]  Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili 

permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum 

(legal standing), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok 

permohonan; 

Pokok Permohonan 

[3.9]  Menimbang bahwa Pemohon dalam pokok permohonannya 

mengajukan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 39 ayat (2) 

huruf f UU 1/1974 sepanjang frasa, “Antara suami dan isteri terus 

menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” yang dianggap 

Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat 

(2) UUD 1945 yang masing-masing menyatakan: 

321  

  Pasal 28D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, 

jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta 

perlakuan yang sama di hadapan hukum"; 

  Pasal 28H ayat (2): "Setiap orang berhak mendapat 

kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh 

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai 

persamaan dan keadilan", dengan alasan:  

   Penjelasan pasal a quo tidak mengatur siapa yang 

menyebabkan terjadinya perselisihan dan 

pertengkaran ini , sehingga merugikan hak 

konstitusional para istri – dalam hal ini termasuk 

Pemohon; 

   Penjelasan pasal a quo berada di luar Undang-

Undang (batang tubuh), dan bertentangan 

dengannya; 

   Penjelasan pasal a quo merugikan hak konstitusional 

para istri dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat 

(1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 

Pendapat Mahkamah 

[3.10]  Menimbang bahwa lsesudah  membaca dan memeriksa 

dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat atau tulisan dari 

Pemohon (bukti P-1 sampai dengan bukti P-8), keterangan ahli dari 

Pemohon, keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 

keterangan tertulis dan kesimpulan dari Pemerintah sebagaimana 

telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: 

Bahwa hakikat perkawinan  yaitu  merupakan ikatan lahir batin 

antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, yang 

bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia 

dan kekal, yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa [vide 

Pasal 1 UU 1/1974];  

Bahwa makna “ikatan lahir” suatu perkawinan merupakan perikatan 

hukum dalam lapangan hukum keluarga dari dua pihak yang semula 

bukan merupakan suami istri (orang lain). Oleh karena itu sebagai 

suatu perikatan, salah satu syarat terbentuknya perkawinan haruslah 

didasarkan atas persetujuan dari kedua belah pihak [vide Pasal 6 UU 

1/1974];  

Bahwa makna “ikatan batin” dalam perkawinan  yaitu  ikatan yang 

terbentuknya berdasar  atas cinta dan kasih (yang dalam Al 

Qur`an disebut mawaddah dan rahmah) dari kedua belah pihak, 

322  

antara seorang pria dan seorang wanita. Oleh karena itu, untuk 

memperkuat ikatan batin maka hukum mewajibkan antara suami dan 

istri (pasangan yang telah menikah) untuk saling mencintai [vide 

Pasal 33 UU 1/1974]; 

Bahwa “tujuan perkawinan  yaitu  untuk membentuk rumah tangga 

bahagia dan kekal” (yang dalam Al Qur`an disebut sakinah) sebagai 

tujuan dari masing-masing pihak dalam perkawinan, yang sejatinya 

juga merupakan turut sertanya masing-masing pihak dalam 

perkawinan untuk membangun sendi dasar dari susunan masyarakat 

yang tertib dan sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu di dalamnya 

terdapat hak dan kewajiban hukum bahwa cinta dan kasih ini  

harus dijunjung tinggi oleh masing-masing pihak suami istri dalam 

rangka pencapaian tujuan dimaksud, baik tujuan pribadi masing-

masing pihak maupun tujuan dalam turut sertanya membangun 

masyarakat yang tertib dan sejahtera [vide Pasal 30 UU 1/1974];  

Bahwa makna “berdasar  kepada Ketuhanan Yang Maha Esa” 

merupakan kekhasan perkawinan bagi bangsa Indonesia sebagai 

masyarakat yang berketuhanan (religious). Artinya, menjalankan 

perkawinan bagi bangsa Indonesia bukan semata-mata dalam rangka 

memenuhi hajat hidup, melainkan dalam rangka memenuhi ajaran 

Tuhan Yang Maha Esa yang terdapat di dalam masing-masing agama 

yang dipeluknya; 

berdasar  uraian ini  di atas, perkawinan di dalam UU 1/1974 

memiliki dimensi hukum, dimensi kehidupan batin, dimensi 

kemasyarakatan, dan dimensi keagamaan; 

Bahwa dimensi kehidupan batin orang, yang dalam perkawinan 

berupa cinta dan kasih, merupakan keadaan yang sangat dinamis. 

Dinamika dimaksud terkait dengan beberapa faktor, yang antara lain, 

berupa pergaulan dalam rumah tangga perkawinan (mu`asyarah) dari 

kedua pihak suami-istri. Sebagai salah satu faktor, pergaulan dalam 

rumah tangga perkawinan (mu`asyarah) dari kedua pihak suami-istri 

dapat menjadi “pupuk” bagi tumbuh-suburnya cinta dan kasih, dan 

sebaliknya, dapat menjadi “hama” yang senantiasa menggerogoti 

cinta dan kasih dan mengubahnya menjadi permusuhan dan 

kebencian (al-adawah wa al baghdha`). Ketika itulah terjadi 

perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di antara 

pasangan suami istri, sehingga sulit diharapkan untuk bersatu 

kembali. Dalam keadaan seperti itu maka ikatan batin dalam 

perkawinan dianggap telah pecah (syiqaq, broken marriage), 

323  

meskipun ikatan lahir, secara hukum, masih ada. Perkawinan yang 

demikian, secara rasional telah tidak bermanfaat lagi bagi kedua 

belah pihak maupun bagi keluarga. Bahkan dalam kasus tertentu 

dapat membahayakan keselamatan masing-masing pihak maupun 

keluarga. Dalam keadaan yang demikian, hukum harus memberikan 

jalan keluar untuk menghindari keadaan buruk yang tidak diinginkan 

(saddu al dzari`ah). Jalan keluar itulah pembubaran perkawinan yang 

di dalam UU 1/1974 disebut dengan putusnya perkawinan yang 

ketika kedua belah pihak masih hidup, yaitu putusnya perkawinan 

dengan perceraian atau dengan putusan pengadilan [vide Pasal 38 

UU 1/1974]. Putusnya perkawinan dengan lembaga perceraian atau 

dengan putusan pengadilan dalam perspektif hukum substansinya 

 yaitu  peninjauan kembali terhadap persetujuan kedua belah pihak 

yang membentuk ikatan hukum yang disebut dengan perkawinan 

yang dimohonkan oleh salah satu dari kedua belah pihak kepada 

pengadilan. Manakala pengadilan berdasar  bukti-bukti yang 

diajukan berpendapat telah terbukti beralasan menurut hukum maka 

pengadilan akan menjatuhkan putusan bahwa perkawinan sebagai 

ikatan hukum ini  putus. Dengan demikian maka sejatinya, 

putusan pengadilan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan 

ini  hanya menyatakan dari perspektif hukumnya karena yang 

senyatanya “persetujuan” dari kedua belah pihak yang telah 

membentuk ikatan perkawinan, yang dulu pernah terjadi, telah tidak 

ada lagi sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertengkaran 

yang terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi 

dalam rumah tangga. Jadi, putusan pengadilan hanya menyatakan 

keadaan yang sesungguhnya tentang hubungan suami istri dimaksud; 

[3.11]  Menimbang bahwa berdasar  pertimbangan ini  di 

atas, Mahkamah berpendapat Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 

1/1974 sepanjang frasa, “Antara suami dan isteri terus menerus 

terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” justru memberikan salah 

satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan 

kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan 

maksud perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU 

1/1974 serta tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum 

sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;  

[3.12]  Menimbang bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa 

penjelasan dimaksud bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 

1945, menurut Mahkamah dalil Pemohon ini  tidak tepat dan 

324  

tidak benar karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini  merupakan 

ketentuan mengenai affirmative action, sedangkan kedudukan suami 

dan istri dalam perkawinan menurut UU 1/1974  yaitu  seimbang 

[vide Pasal 31 ayat (1) UU 1/1974], sehingga tidak memerlukan 

perlakuan khusus semacam affirmative action; 

[3.13]  Menimbang, berdasar  seluruh pertimbangan ini  di 

atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak terbukti 

beralasan menurut hukum; 

4. KONKLUSI 

berdasar  penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan 

di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa: 

[4.1]  Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo; 

[4.2]  Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) 

untuk mengajukan permohonan a quo; 

[4.3]  Dalil Pemohon tidak beralasan hukum; 

berdasar  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 

1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah 

Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 

Tahun 2011 tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang 

Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 

2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 

Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang 

Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 

2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 

Nomor 5076); 

 

5. AMAR PUTUSAN 

Mengadili, 

Menyatakan menolak permohonan Pemohon; Demikian diputuskan 

dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim 

Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, 

Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Anwar Usman, 

Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, dan 

Muhammad Alim, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Senin, 

tanggal dua belas, bulan Maret, tahun dua ribu dua belas, dan 

diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk 

umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tujuh, bulan Maret, 

tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh. 

325  

Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki, 

Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida 

Indrati, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing 

sebagai Anggota, didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera 

Pengganti, dengan dihadiri Pemerintah atau yang mewakili, dan 

Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri oleh 

Pemohon/kuasanya. 

 

KETUA, 

ttd. 

Moh. Mahfud MD. 

 

ANGGOTA-ANGGOTA, 

 

ttd. 

Achmad Sodiki 

ttd. 

Ahmad Fadlil 

Sumadi 

ttd. 

Anwar Usman 

ttd. 

Hamdan Zoelva 

ttd. 

Maria Farida Indrati 

ttd. 

M. Akil Mochtar 

ttd. 

Muhammad Alim 

 

 

 

  

326  

6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION) 

Terhadap putusan ini , Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar 

mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) sebagai berikut: 

Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

(Undang- Undang Perkawinan) merupakan hukum positif yang 

berlaku secara nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. Disisi 

lain, Undang-Undang Perkawinan memiliki karakter yang khas yaitu 

sebagai unifikasi dari kemajemukan (pluralisme) hukum keluarga 

yang berlaku di Indonesia. Proses unifikasi hukum bukanlah hal yang 

mudah dilakukan, terutama dalam bidang hukum keluarga karena 

menyangkut halhal yang bersifat keagamaan, adat dan nilai-nilai yang 

dianut masyarakat.  

Bahwa salah satu bagian dari proses unifikasi yang dilakukan dalam 

Undang- Undang Perkawinan  yaitu  menetapkan alasan-alasan 

perceraian sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) 

Undang-Undang Perkawinan. Dalam perkara ini, Pemohon 

mendalilkan bahwa frasa yang diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat 

(2) huruf f Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi “antara suami 

dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran...” 

bertentangan dengan UUD 1945. Alasan perceraian yang diatur 

dalam frasa Penjelasan Pasal a quo merupakan bagian dari upaya 

unifikasi yang dilakukan dalam Undang-Undang Perkawinan. Alasan 

perceraian karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus 

menerus dalam hukum islam dikenal dengan istilah syiqaq, 

sedangkan dalam hukum perdata barat (western legal system), 

seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Rusia, Australia 

dan Swedia, disebut dengan irreconcilable differences atau 

irretrievable breakdown yang merupakan bagian dari kategori no-

fault divorce. Alasan perceraian karena adanya perselisihan dan 

pertengkaran terus menerus dalam kedua sistem hukum ini  

membawa dampak yang berbeda atas penerapannya di masyarakat. 

Menjadi penting bagi hakim untuk melihat perbandingan penerapan 

alasan perceraian dalam kedua istilah yang berlaku di masing-masing 

sistem hukum ini . Perbandingan hukum ini menjadi dasar 

pertimbangan apakah adopsi alasan perceraian karena adanya 

perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami dan isteri 

tepat diterapkan di tengah masyarakat Indonesia. Perbandingan 

penerapan ini juga menjadi bahan pembanding hukum sebagai 

327  

sarana pembaharuan nilai-nilai di masyarakat (tool of social 

engineering). 

Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus dalam Hukum Islam 

(Syiqaq) 

Bahwa kata syiqaq diatur dalam Al Qur’an surat Annisa ayat 35: 

“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan (syiqaq) antara 

keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan 

seorang hakam dari keluarga wanita . Jika kedua orang hakam itu 

bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik 

kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi 

Maha Mengenal”. 

Bahwa dalam rangka penegakan hukum Islam, Indonesia membentuk 

lembaga Peradilan Agama berdasar  Undang-Undang Nomor 7 

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sebagaimana telah diubah 

dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan 

Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan 

Agama -Undang-Undang Peradilan Agama-) yang berwenang 

mengadili perkara-perkara perdata Islam bagi umat Islam Indonesia. 

Dalam bagian yang mengatur tentang Pemeriksaan Sengketa 

Perkawinan, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama 

dengan jelas menegaskan bahwa “jika  gugatan perceraian 

didasarkan atas alasan syiqaq, maka...”. Istilah syiqaq dalam Pasal a 

quo menurut Penjelasan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Peradilan 

Agama, “syiqaq  yaitu  perselisihan yang tajam dan terus menerus 

antara suami dan istri”. 

Bahwa pengertian kata syiqaq, menurut Undang-Undang Peradilan 

Agama, masih sering dijumpai beberapa permasalahan dalam 

penerapannya terutama dalam hal menetapkan ukuran kapan 

terjadinya syiqaq. Ada pendapat yang mengatakan syiqaq bisa 

disebabkan oleh nusyuz (perbuatan durhaka) dari istri, atau karena 

perilaku zalim atau kasar dari suami (Al Maraghi, 1974: 47). Jika 

syiqaq disebabkan oleh nusyuz, maka hendaknya suami 

mengatasinya dengan cara yang paling ringan di antara cara-cara 

yang telah diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur’an (QS. Annisa: 34). 

Tetapi jika hal kedua yang terjadi dan dikhawatirkan suami akan 

terus-menerus berlaku zalim atau sulit menghilangkan nusyuz serta 

dikhawatirkan telah terjadi syiqaq, maka kedua suami istri dan kaum 

kerabat wajib mengutus dua orang hakam (juru damai) yang 

bermaksud memperbaiki hubungan antara mereka. Ada pendapat 

328  

lain yang mengatakan syiqaq terjadi bila perselisihan atau 

pertengkaran antara suami-istri mengandung unsur membahayakan 

suami-istri dan terjadi pecahnya perkawinan. Bila perselisihan tidak 

mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai 

pada tingkat darurat, maka hal ini  belum dikatakan syiqaq. 

Namun pendapat ini tidak menyertakan unsur-unsur yang 

membahayakan dan tingkat darurat yang dimaksud serta tidak ada 

aturan untuk mengukur unsur-unsur ini . 

Bahwa terlepas dari perbedaan pendapat mengenai ukuran dan 

kapan terjadi syiqaq dalam proses penegakan hukumnya, 

diterapkannya lembaga syiqaq dalam hukum Islam  yaitu  bertujuan 

untuk mendamaikan dan menemukan solusi alternatif kepada suami 

istri sehingga bisa kembali rukun dalam membina rumah tangga dan 

bukan sebagai alasan untuk perceraian. Tujuan ini didasarkan pada 

landasan yang bersifat filosofis-transendental, sebagaimana 

ditegaskan dalam Firman Allah SWT “...Jika kedua orang hakam itu 

bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik 

kepada suami-isteri itu” (QS. Annisa: 35). 

Selain itu, dasar hukum perceraian dalam Islam  yaitu  makruh 

berdasar  hadits “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah 

 yaitu  perceraian”. Oleh karenanya, prinsip hukum Islam yang 

didasarkan dari hadits Nabi  yaitu  “permudah pernikahan dan 

persulit perceraian!”. 

Bahwa dalam hal syiqaq di Indonesia, aturan-aturan hukum Islam 

telah memperinci tata cara dan mekanisme penegakannya, baik itu 

dalam Undang- Undang Peradilan Agama hingga Kompilasi Hukum 

Islam (KHI) serta prosedur penegakannya dalam Pedoman 

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama yang 

dikeluarkan oleh Mahkamah Agung. 

Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus dalam Hukum 

Perdata Barat (Irreconcilable Differences, Irretrievable Breakdown) 

Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata, 

Burgerlijk Wetboek) alasan perceraian diatur secara tegas dalam 

Pasal 209. Adanya perselisihan dan pertengkaran yang terjadi terus 

menerus antara suami-isteri tidak menjadi alasan perceraian 

menurut KUHPerdata. Oleh karena itu, proses penegakan hukum 

perdata melalui peradilan umum tidak mengatur secara rinci 

mengenai tata cara, mekanisme dan prosedur penegakan hukum 

329  

perceraian akibat alasan adanya perselisihan dan pertengkaran terus 

menerus. 

Bahwa dalam sistem hukum keluarga (family law) di negara-negara 

barat (western world) terdapat perkembangan dengan diadopsinya 

alasan perceraian atas dasar tanpa kesalahan (no-fault divorce). 

Revolusi gagasan no-fault divorce ini diawali di Amerika Serikat, 

tepatnya dimulai dari negara bagian California pada tahun 1970 (Lynn 

Wardle: 1990). Sejak saat itu, perkembangan konsep ini merambah 

hingga ke negara-negara lain, seperti Belanda mengadopsinya pada 

tahun 1971, Swedia pada tahun 1973, Perancis pada tahun 1975 

hingga ke Benua Australia pada tahun 1974. 

Bahwa diadopsinya gagasan no-fault divorce dalam sistem hukum di 

negaranegara barat  yaitu  didasarkan atas alasan adanya 

irreconcilable differences atau irretrievable breakdown, yang dapat 

diterjemahkan dengan adanya perselisihan dan pertengkaran terus 

menerus yang tanpa harapan untuk hidup rukun kembali. Oleh 

karena itu, alasan irreconcilable differences atau irretrievable 

breakdown yang diadopsi dalam sistem hukum keluarga di negara-

negara barat kurang lebih sama dengan alasan perceraian yang 

diadopsi dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang 

Perkawinan. 

Bahwa dalam konteks diterapkannya alasan perceraian karena 

adanya irreconcilable differences atau irretrievable breakdown di 

negara-negara barat terdapat hubungan dengan adanya peningkatan 

angka perceraian di negaranegara ini . Meskipun diadopsinya 

alasan perceraian ini  bukan menjadi faktor penentu 

meningkatnya angka perceraian, namun diadopsinya alasan ini  

ikut mempengaruhi tingginya angka perceraian. Penelitian akademis 

yang dilakukan dalam rangka meneliti hubungan antara diadopsinya 

dasar no-fault divorce dengan jumlah perceraian lebih banyak 

dilakukan di Amerika Serikat (contohnya, M. Glendon, 1987), akan 

tetapi ada pula beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara 

lain seperti di Belanda (Boele-Woelki, dkk: 2002), dan di Kanada 

(Douglas W. Allen, 1998). Kesimpulan penelitian ini   yaitu  

kurang lebih sama, yaitu terdapat hubungan yang mempengaruhi 

tingginya tingkat perceraian dengan diadopsinya dasar no-fault 

divorce. Adanya dasar no-fault divorce mempermudah warga negara 

di negara-negara barat untuk mengajukan gugatan cerai. 

330  

Pendapat Akhir 

Bahwa Undang-Undang Perkawinan sebagai produk unifikasi yang 

merupakan hukum positif haruslah menjadi pengayom dan pelindung 

bagi adanya kepastian hukum dan keadilan bagi setiap warga negara 

Indonesia. Terlebih lagi dalam hal perkawinan, karena UUD 1945 

memberikan jaminan perlindungan hak konstitusional bagi setiap 

warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan 

keturunan melalui perkawinan yang sah [Pasal 28B ayat (1) UUD 

1945]. 

Bahwa diadopsinya alasan perceraian karena adanya perselisihan dan 

pertengkaran terus menerus antara suami-istri dalam Penjelasan 

Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan memiliki 

dampak yang berbeda-beda bagi warga negara Indonesia. 

Bahwa atas dasar perbandingan hukum penerapan alasan perceraian 

karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara 

suami-istri dalam sistem hukum Islam dan sistem hukum perdata 

barat terdapat perbedaan imbas yang terjadi di masyarakat akibat 

adanya penerapan alasan ini . Dalam sistem hukum keluarga di 

negara-negara barat, penerapan alasan adanya perselisihan dan 

pertengkaran terus menerus (irreconcilable differences, irretrievable 

breakdown) justru mempengaruhi tingkat angka perceraian yang 

terjadi di negara-negara ini . Belajar dari pengalaman negara-

negara barat, diadopsinya alasan perceraian yang sama sebagaimana 

diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang 

Perkawinan tidak menjamin adanya upaya untuk melanggengkan 

ikatan perkawinan yang sah bagi warga negara Indonesia. 

Bahwa alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam 

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan 

tidak didukung dengan peraturan pelaksana maupun perangkat 

hukum pendukung dalam upaya penegakan hukum perdata dalam 

lingkup Peradilan Umum. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah 

Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 

Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur secara rinci ukuran 

yang menjadi pedoman dalam menentukan adanya perselisihan dan 

pertengkaran secara terus menerus dalam lingkup Peradilan Umum 

maupun tata cara atau prosedur pengajuan gugatannya. Peraturan 

Pemerintah a quo hanya menegaskan alasan perceraian sebagaimana 

diatur dalam Pasal 19 huruf f. Selain itu, aturan mengenai tata cara 

gugatan hanya dijabarkan dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan 

331  

Pemerintah a quo. Keterbatasan rincian aturan ini merugikan hak 

konstitusional warga negara Indonesia yang mengajukan gugatan 

cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus 

melalui Peradilan Umum. 

Bahwa keterbatasan rincian aturan dalam mengajukan gugatan cerai 

atas alasan terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus, baik 

dalam lingkup Peradilan Umum maupun dalam lingkup Peradilan 

Agama, telah menjadi celah hukum bagi para pihak karena tidak 

adanya ukuran dan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan 

“perselisihan” dan “pertengkaran” serta parameter apa yang 

digunakan untuk mengukur “terus menerus”. Dalam praktiknya, 

celah hukum ini  justru mempermudah proses perceraian. 

Ukuran-ukuran dalam mempertimbangkan adanya “perselisihan”, 

“pertengkaran”, dan sifat “terus menerus” diserahkan pada 

subjektifitas pertimbangan hakim semata, tanpa ada norma aturan 

yang menjadi pedomannya. Oleh karenanya, proses perceraian 

seolah menjadi sangat mudah. Selain itu, salah satu pihak, baik suami 

maupun istri, dapat memanfaatkannya untuk mengajukan gugatan 

cerai yang berdampak pada dirugikannya pihak lain. 

Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus, sebagai 

sebuah lembaga syiqaq, dalam sistem hukum Islam telah memiliki 

dasar aturan pelaksana mengenai tata cara dan prosedurnya 

sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama dan 

diperjelas dengan Kompilasi Hukum Islam. 

Bahwa adanya dampak dari penerapan alasan perceraian 

mempermudah proses perceraian bagi warga negara Indonesia. Hal 

ini bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang 

Perkawinan yaitu “prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian” 

demi mengukuhkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk 

keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana disebutkan dalam 

Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan. Oleh karenanya, 

Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan Pemohon. 

Dengan dikabulkannya permohonan maka peraturan pelaksana 

Undang-Undang Perkawinan yang terkait dengan alasan perceraian 

karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus, 

sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f dan Pasal 22 ayat (2) 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan 

Undang-Undang 

332  

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga harus dinyatakan 

inkonstitusional. 

Akan tetapi, dikabulkannya permohonan Pemohon tidak 

menghapuskan lembaga syiqaq karena didasarkan dan diatur dalam 

Undang-Undang yang berbeda yaitu Undang-Undang Peradilan 

Agama. Oleh sebab itu, Mahkamah seharusnya mengabulkan 

permohonan Pemohon dan menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) 

huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum 

mengikat.