hukum perkawinan 11
njadi alasan jatuhnya talak. Pendapat kelompok
kedua ini yaitu pendapat mayoritas para fukaha, termasuk ulama
penganut Madzahibul Arba’ah, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hambali; Dari pandangan para ulama ini , ahli berpendapat
bahwa frasa “antara suami dan istri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran”, sebaiknya tidak digunakan sebagai
alasan jatuhnya talak, karena:
1. Pertama, kalau frasa ini diterima tanpa ada penjelasan
mengenai penyebab terjadinya perselisihan dan
301
pertengkaran, maka akan membuka peluang jatuhnya
talak. Seorang laki-laki yang sudah bosan kepada istrinya
akan mencari gara-gara yang dapat menimbulkan
perselisihan supaya dapat menjatuhkan talak kepada
pasangannya. Jika ini terjadi, maka sakralitas perkawinan
sebagai perjanjian yang kukuh atau mitsaqon gholidzon
akan dikalahkan oleh ego manusia yang dapat memancing
timbulnya perselisihan dan pertengkaran. Dengan kata
lain, lelaki ‘tukang cicip’ dan suka menceraikan istrinya
akan memperoleh legitimasi syar’i untuk melakukan
kawin-cerai dengan cara membuat perselisihan dan
pertengkaran;
2. Kedua, kalau frasa ini diterima, maka akan menghilangkan
hak-hak konstitusional setiap pasangan yang ingin
mempertahankan perkawinannya. Artinya, frasa ini
mengabaikan upaya setiap pasangan suami-istri yang ingin
terus memperjuangkan kelangsungan perkawinannya
sesuai perintah agama karena posisi pasangan ini
menjadi sama dengan posisi suami-istri yang menjadi
penyebab perkelahian dan pertengkaran. Jika ini terjadi,
maka Islam tidak memberikan perlindungan terhadap
orang yang berusaha menjalankan kebaikan dalam suatu
perkawinan, karena frasa ini bertentangan dengan
makhositul syar’i, yaitu tujuan ditetapkannya suatu
hukum, bahkan juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, maka harus ditolak.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon
ini , Pemerintah pada sidang tanggal 10 Agustus 2011
menyampaikan keterangan lisan dan tertulis yang menguraikan hal-
hal sebagai berikut:
I. Pokok Permohonan Pemohon
Dari seluruh uraian permohonan Pemohon, pada intinya menyatakan
sebagai berikut:
a. bahwa Pemohon yaitu isteri dari lelaki bernama Bambang
Trihatmojo bin HM. Soeharto yang tercatat dalam akte nikah Nomor
692/182/X/1981 tanggal 24 Oktober 1981, dan telah dikaruniai 3
(tiga) anak, yakni Gendis Siti
Hatmanti, Bambang Panji Adhikumoro, dan Bambang Aditya
Trihatmanto;
302
b. bahwa pada awalnya kehidupan rumah tangga antara Pemohon
dan suaminya dirasakan cukup baik, serasi dan harmonis, namun
sejak tahun 2002 mulai timbul perselisihan dan pertengkaran,
bermula dikala diketahui suami Pemohon menjalin hubungan gelap
(backstreet) dengan wanita lain bernama Mayangsari dan
sampai saat ini telah tinggal bersama;
c. bahwa sejak saat itu suami Pemohon tidak lagi mengasihi Pemohon
dan anakanaknya, bahkan dikala Pemohon menasihatinya maka
suami berperilaku kasar dan kejam, bahkan acapkali memukul korban
dan anak-anak, dan suami seringkali kalap dan lupa diri, karenanya
pertengkaran dan perselisihan telah merasuki kehidupan rumah
tangga antara suami Pemohon dan Pemohon;
d. bahwa pada tanggal 21 Mei 2007, suami Pemohon memasukkan
gugatan cerai (talak) terhadap Pemohon di pengadilan Agama Jakarta
Pusat, dengan alasan antara suami Pemohon dan Pemohon "sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran" yang menyebabkan rumah
tangganya tidak ada lagi harapan akan hidup rukun lagi;
e. singkatnya, lembaga peradilan pada akhirnya memutus cerai
(talak) antara suami Pemohon (Bambang Trihatmodjo) dengan
Pemohon dengan alasan antara Pemohon dan suaminya sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran yang menyebabkan rumah
tangganya tidak ada harapan akan hidup rukun lagi sebagaimana
dimaksud dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
1/1974), yang dianggapnya bertentangan dengan hak jaminan
perlindungan, kepastian hukum dan keadilan.
II. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa
Pemohon yaitu pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam undang-undang;
303
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.
Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang
dimaksud dengan "hak konstitusional" yaitu hak-hak yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD
1945). Dengan demikian, agar seseorang atau suatu pihak dapat
diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan
membuktikan:
a. kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut
dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam
kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang yang diuji;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
sebagai akibat berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian.
Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi sejak Putusan Nomor 006 PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, serta putusan-putusan
selanjutnya, telah memberikan pengertian dan batasan secara
kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal
51 ayat (1) UU MK, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu:
a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
b. bahwa hak konstitusional Pemohon ini dianggap oleh
Pemohon telah dirugikan oreh suatu Undang-Undang yang
diuji;
c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan
untuk diuji;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
304
Atas hal-hal ini di atas, menurut Pemerintah perlu
dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
huruf f UU 1/1974. Juga apakah terdapat kerugian konstitusional
Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar
dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab
akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji. Menurut Pemerintah,
permasalahan Pemohon seperti ini pada pokok permohonan di
atas yaitu berkaitan dengan penerapan hukum dalam tatanan
praktek, yaitu perceraian antara Pemohon dengan suaminya, dan
terhadap gugatan cerai ini telah diputus oleh lembaga
peradilan mulai Pengadilan Agama, Pengadilan Tinggi Agama, dan
Mahkamah Agung, dengan Amar Putusan mengabulkan gugatan cerai
yang dimohonkan oleh Penggugat (dalam hal ini oleh suami Pemohon
itu sendiri).
Pemerintah dapat memberikan penegasan bahwa terhadap setiap
proses gugatan cerai ini , Pemohon telah memakai seluruh
saluran upaya hukum yang tersedia, dari mulai banding, sampai
dengan kasasi. Sehingga menurut Pemerintah yaitu tidak tepat
permasalahan rumah tangga Pemohon dengan suaminya yang
berujung pada perceraian di anggap sebagai kerugian konstitusional.
Lebih lanjut menurut Pemerintah, anggapan adanya kerugian
konstititusional oleh Pemohon yang dialami oleh Pemohon tidak
terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji dengan pasal-pasal dalam UUD 1945
yang dijadikan dasar/pijakan pengujiannya, karena pasal-pasaI a quo
dalam UUD 1945 merupakan conditio sine quanon terhadap setiap
orang yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu untuk membina
rumah tangga dan mengembangkan keturunannya. Dengan
perkataan lain, permasalahan Pemohon tidak terkait dengan masalah
konstitusionalitas keberlakuan materi muatan norma Undang-
Undang a quo, melainkan terkait dengan implementasi penerapan
norma oleh penegak hukum yang memang harus diambil satu
keputusan atas setiap gugatan yang diajukan ke lembaga peradiian.
berdasar hal-hal ini di atas, Pemerintah berpendapat
Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai
305
pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana
dimaksudkan oleh ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU MK, maupun
berdasar putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang terdahulu.
Karena itu, menurut Pemerintah yaitu tepat jika Yang Mulia
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana
menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet
ontvankelijk verklaard). Namun demikian, jika Yang Mulia
Ketua/Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, berikut kami
sampaikan penjelasan Pemerintah, sebagai berikut:
III. Penjelasan Pemerintah Terhadap Materi Yang Dimohonkan Oleh
Pemohon.
Sebelum Pemerintah memberikan penjelasan/argumentasi secara
rinci terhadap dalil-dalil maupun anggapan Pemohon ini di
atas, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:
A. Secara umum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945.
Perkawinan yaitu salah satu bentuk perwujudan hak-hak
konstitusional warga negara yang harus dihormati (to espect),
dilindungi (to protect) oleh setiap orang dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sebagaimana tercantum
dalam UUD 1945, dinyatakan secara tegas dalam Pasal 28B ayat (1)
UUD 1945: " Setiap orang berhak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah", sehingga
setiap orang yang telah memenuhi syarat-syarat untuk melakukan
perkawinan sebagaimana di tentukan dalam UU 1/1974 dijamin hak-
haknya dan negara mempunyai kewajiban untuk memfasilitasi
perkawinan ini . Dengan demikian, perkawinan yang
dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan seorang wanita sejatinya
harus bersifat harmonis, langgeng, dan abadi, sehingga telah menjadi
kewajiban bersama bagi suami dan isteri untuk mempertahankan dan
membina rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan warrohmah.
Namun demikian, negara juga berkewajiban untuk memfasilitasi
jika perkawinan yang diikrarkan langgeng dan abadi, tetapi
karena suatu sebab dan alasan tertentu mengharuskan perkawinan
ini harus berakhir, melalui lembaga peradilan kewenangan itu
diberikan. Dari uraian ini di atas, UUD 1945 telah memberikan
perlindungan dan perlakuan yang adil terhadap setiap orang untuk
membina dan mengembangkan rumah tangganya, sekaligus juga
306
diberikan jalan keluar (law exit) jika perkawinannya tidak dapat
dipertahankan selama-Iamanya.
B. Penjelasan Terhadap Materi Muatan Norma Yang dimohonkan
untuk Diuji Oleh Pemohon.
Terhadap permohonan pengujian Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
UU 1/1974 yang menyatakan:
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974:
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian yaitu :
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua)
tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain tanpa alasan
yang sah atau karena hal yang lain diluar kemauannya;
c) Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat lsesudah perkawinan
berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami-isteri;
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
Ketentuan di atas oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan
ketentuan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. Yang
menyatakan sebagai berikut:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945:
Setiap orang herhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Pasal 28H ayat (2) UUD 1945:
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
Terhadap anggapan Pemohon ini di atas, Pemerintah dapat
memberikan penjelasan sebagai berikut:
307
1. Perkawinan dalam bahasa Agama disebut mitsaqon
gholidzon yaitu suatu perjanjian yang kuat. Perkawinan
yaitu perjanjian yang suci antara kedua insan yang
berlainan jenis kelamin menjadi satu kesatuan yang utuh.
Perkawinan dimaksudkan untuk membentuk sebuah
kehidupan keluarga yang kekal, utuh, harmonis, bahagia, dan
sejahtera berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya
bahwa perkawinan merupakan satu bentuk penghambaan
diri kepada Allah SWT. Untuk itu dalam perkawinan
diperlukan adanya saling pengertian, kesepahaman,
kesadaran untuk membangun sebuah keluarga yang sakinah,
mawaddah, dan warrohmah. Hal ini sejalan pula dengan
filosofi perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU
1/1974 yang menyatakan:"Perkawinan ialah ikatan lahir
bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan
Yang Maha Esa".
2. Selain itu, perkawinan juga merupakan salah satu bentuk
perwujudan hak-hak konstitusional warga negara yang harus
dihormati (to respect) oleh setiap orang dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perkawinan juga harus dilindungi (to protect) agar terdapat
kesinambungan melanjutkan keturunan, sebagaimana
tercantum secara tegas dalam Pasal 28B ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan: "Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah".
3. Karena itu, dalam hal demikian Pemerintah sependapat
dengan pandangan Pemohon yang menyatakan bahwa
sejatinya perkawinan seharusnya berjalan harmonis,
langgeng, dan abadi. Karenanya perkawinan tidak dapat
dipisahkan oleh siapapun termasuk oleh lembaga peradilan
jika salah satu pihak masih ingin tetap mempertahankan
kelangsungan perkawinan guna membina keluarga. Hal ini
sejalan dengan tujuan hakiki dilangsungkannya sebuah
perkawinan, yaitu membentuk keluarga, rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan yang Maha Esa
(vide Pasal 1 UU 1/1974).
308
4. Namun demikian, perkawinan bukanlah semata-mata
kehendak salah satu pihak, suami atau isteri saja, melainkan
merupakan perwujudan kehendak dan keinginan kedua belah
pihak (suami-isteri). Karena itu jika karena suatu sebab
tertentu yang memenuhi kualifikasi sebagaimana ditentukan
dalam UU 1/1974, yang berakibat salah satu pihak (balk
suami maupun isteri) tidak lagi menghendaki kelangsungan
perkawinan ini , maka tujuan perkawinan untuk
membentuk keluarga, rumah tangga yang bahagia, dan kekal
berdasar Ketuhanan yang Maha Esa, tidak mungkin dapat
dipertahankan. Dengan perkataan lain, perkawinan bisa
putus (cerai) jika tidak ada kesepahaman, tidak ada
keharmonisan dalam membangun rumah tangganya. Jika hal
demikian keluarga ini tetap dipaksakan untuk
dipertahankan, menurut Pemerintah justru dapat
menimbulkan kerugian baik fisik maupun psikis terhadap
suami, isteri, dan anak.
5. UU 1/1974 telah mengatur secara komprehensif jika
sebuah perkawinan dalam perjalanannya mengalami
permasalahan yang mengakibatkan perkawinanya tidak
dapat dipertahankan, sebagaimana diatur dalam ketentuan
Pasal 38 UU 1/1974 yang menyatakan bahwa perkawinan
dapat putus karena kematian, perceraian, dan putusan
pengadilan.
6. Lebih lanjut, ketentuan Pasal 39 UU 1/1974 menyatakan,
ayat (1) "Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang
Pengadilan lsesudah Pengadilan yang bersangkutan berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak"; ayat (2)
"Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa
suamiisteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-
isteri". Ketentuan ini memberikan gambaran yang jelas dan
tegas bahwa perceraian tidak dapat secara semena-mena
dilakukan oleh salah satu pihak (baik suami maupun isteri)
kecuali terdapat alasan yang cukup sebagaimana dimaksud
dalam penjelasan Pasal 39 UU 1/1974.
7. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974, menyatakan bahwa
alasan-alasan yang dijadikan dasar untuk perceraian yaitu :
309
a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemandat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua)
tahun berturutturut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal yang lain diluar kemauannya;
c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang Iebih berat lsesudah perkawinan
berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri;
f) Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga. Lebih lanjut, dalam Kompilasi
Hukum Islam sebagaimana ditentukan dalam Pasal 116
alasan-alasan perceraian ini di atas dipertegas kembali
dengan menambahkan alasan Suami melanggar taklik-talak
dan karena salah satu pihak beralih agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah
tangga.
8. UU 1/1974 in casu pengaturan tentang putusnya perkawinan,
menurut Pemerintah telah memberikan rambu-rambu yang
cukup memadai guna memberikan jalan keluar (law exit) bagi
para pihak (suami-isteri) jika perkawinannya tidak dapat
dipertahankan guna membina kerukunan berumah tangga.
9. Pasal 39 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan "Perceraian
hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan yang
bersangkutan berusaha mendamaikan kedua belah pihak”,
ketentuan ini bahwa perceraian merupakan jalan harus
ditempuh jika kedua belah pihak tidak dapat
mempertahankan keutuhan, kerukunan, dan keharmonisan
rumah tangganya.
10. Sedangkan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 yang menyatakan
bahwa "Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan
bahwa antara suami-isteri itu tidak akan dapat hidup rukun
sebagai suami-isteri", ketentuan ini menunjukan bahwa
310
perceraian harus didasarkan pada alasan-alasan yuridis yang
sangat kuat, antara lain termasuk terjadinya perselisihan
yang terus menerus dan tidak dapat hidup rukun sebagai
suami-isteri (sebagaimana dimaksud oleh penjelasan Pasal 39
ayat (2) huruf f UU 1/1974). Adapun untuk memutuskan
apakah suatu perkawinan dapat dipertahankan atau tidak
karena alasan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal
39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yaitu merupakan
kewenangan hakim untuk menilai dan
mempertimbangkannya berdasar fakta-fakta hukum di
persidangan.
11. berdasar seluruh uraian permohonan Pemohon dalam
pengujian ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974 sebagaimana termaktub dalam pokok permohonan di
atas, menurut Pemerintah, kasus perceraian yang terjadi
antara Pemohon (Ny. Halimah Agustina binti Abdullah Kamil)
dengan suaminya (Bambang Trihatmojo bin H.M Soeharto)
yaitu terkait derigan implementasi praktek penegakkan
hukum yang dilakukan oleh penegak hukum (dalam hal ini
hakim pada Pengadilan Agama), dan bukan merupakan
persoalan konstitusionalitas ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji ini . Pemerintah juga dapat menyampaikan,
bahwa seumpamanya pun benar, quod non, alasan-alasan
Pemohon ini benar adanya dan permohonannya
dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka pertanyaan
selanjutnya yaitu bagaimana jika dalam suatu perkawinan
benar-benar terjadi perselisihan yang terus menerus yang
dapat mengakibatkan terjadinya ancaman yang
membahayakan balk fisik maupun psikis? Maka
memakai dasar hukum apa seorang hakim dapat menilai
dan mempertimbangkannya sebagai alasan dasar hukum
untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara
perceraian ini .
Selain hal-hal ini di atas, Pemerintah juga tidak sependapat
dengan sinyalemen Pemohon rang menyatakan bahwa ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji ini telah dijadikan alat oleh salah
satu pihak (khususnya oleh suami) untuk menceraikan isterinya
secara sepihak atau semena-mena, karena menurut Pemerintah
ketentuan a quo justru bertujuan untuk memberikan perlindungan
311
yang memadai terhadap para pihak (baik suami maupun isteri) dari
kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah
juga tidak sependapat dengan anggapan yang menyatakan bahwa
ketentuan yang dimohonkan untuk diuji telah memberikan perlakuan
yang diskriminatif, karena sebagaimana ditentukan dalam ketentuan
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia dan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005
tantang Pengesahan Kovenan Tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR) yang menyatakan bahwa "Diskriminasi ( yaitu setiap
pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi,
jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam kehidupan haik individual, maupun kolektif dalam
bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan
lainnya".
Selanjutnya Pemerintah dapat memberikan klarifikasi, yaitu tidak
tepat, tidak benar, dan tidak beralasan seolah-olah ketentuan yang
dimohonkan untuk di uji ini hanya ditujukan kepada pihak isteri
(wanita saja), karena pada kenyataannya jika seorang isteri
meyakini perkawinannya tidak dapat dipertahankan karena alasan
terjadinya perselisihan yang terus menerus maka seorang isteri dapat
mengajukan gugat cerai ke pengadilan.
IV. Kesimpulan
berdasar penjelasan ini di atas, Pemerintah memohon
kepada Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus
pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945, dapat memberikan
putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan pengujian Pemohon untuk
seluruhnya atau setidaktidaknya menyatakan permohonan
pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk
verklaard).
2. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan;
3. Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
312
tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1)
dan Pasal 28H ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon
ini , DPR menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 7 November 2011 yang
menyatakan sebagai berikut:
Terhadap dalil-dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam
Permohonan a quo, DPR dalam penyampaian pandangannya terlebih
dahulu menguraikan mengenai kedudukan hukum (legal standing)
dapat dijelaskan sebagai berikut:
I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU
MK), yang menyatakan bahwa "Para Pemohon yaitu pihak yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup
dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara".
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) UU MK ini , dipertegas dalam penjelasannya,
bahwa "yang dimaksud dengan "hak konstitusional" yaitu hak-
hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945." Ketentuan Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU
MK ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang secara eksplisit
diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) saja yang termasuk "hak
konstitusional". Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang
atau suatu pihak dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki
kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. KuaIifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK;
313
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud dalam "Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK"
dianggap telah dirugikan oleh berakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi
telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian
konstitusional yang, timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang
harus memenuhi 5 (lima) syarat (vide Putusan Perkara Nomor
006/PUU-111/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007) yaitu
sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
ini dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu
Undang-Undang yang diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional
Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual
atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan maka kerugian dan/atau kewenangan
konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi
terjadi.
jika kelima syarat ini tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam
perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak
memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak
Pemohon.
Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR berpandangan
bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah
benar Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau
kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan
adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan
yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum (legal
standing) ini , DPR menyerahkan sepenuhnya kepada
314
Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk
mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang
diatur oleh Pasal 51 ayat (1) UU MK dan berdasar Putusan
Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU- 111/2005 dan
Perkara Nomor 011/PUU-V/2007.
II. Pengujian Undang-Undang Perkawinan terhadap UUD 1945.
Terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa berlakunya
ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU
1/1974) telah menghalang-halangi pelaksanaan hak
konstitusionalnya untuk menyelamatkan rumah tanggganya
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 telah
dirugikan. DPR menyampaikan penjelasan sebagai berikut:
1. Perkawinan merupakan salah satu wujud hak asasi
manusia yang harus dihormati, dilindungi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Secara konstitusional hak ini dijamin oleh Pasal
28B ayat (1) UUD 1945 yaitu bahwa "Setiap orang
berhak membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah".
2. Sebagai perwujudan hak, dalam UU 1/1974 diartikan
sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia dan kekal berdasar Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pengertian ini memberikan pemahaman
bahwa perkawinan memiliki tujuan selain
membentuk keluarga yang bahagia, sejahtera dan
kekal serta memperoleh keturunan, juga membentuk
keluarga yang harmonis.
3. Tujuan perkawinan diwujudkan berdasar
kehendak dan keinginan dua belah pihak (suami-
isteri). Secara sosiologis perkawinan memiliki nilai-
nilai luhur yang dituangkan didalam pengertian
perkawinan dan perlu dipertahankan untuk menjaga
keharmonisan dan kelanggengan perkawinan, akan
tetapi didalam kenyataan yang tidak mustahil timbul
perselisihan di dalam perkawinan. Pasal 39 ayat (2)
315
UU 1/1974 memberikan kemungkinan terjadinya
perceraian yang sesungguhnya tidak dikehendaki
oleh kedua belah pihak (suami-isteri) sebagaimana
kehendak dan keinginan untuk mewujudkan
perkawinan. Atas dasar pemikiran ini
pengaturan mengenai kemungkinan melakukan
perceraian harus didasarkan pertirnbangan atau
alasan yang cukup.
4. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 memuat
beberapa alasan untuk melakukan perceraian yaitu:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi
pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2
(dua) tahun berturutturut tanpa izin pihak yang
lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain
diluar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5
(lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
lsesudah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat yang membahayakan
terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau,
penyakit yang mengakibatkan tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-
tangga.
berdasar Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
huruf f UU 1/1974 kemungkinan untuk perceraian
dapat terjadi karena alasan bahwa antara suami
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi dalam rumah-tangga ketentuan ini
dilandasi oleh pemikiran penghormatan terhadap
hak asasi serta perlindungan hak di dalam
perkawinan. Dalam hal suami atau isteri tidak ada
316
lagi harapan untuk hidup rukun dalam sebuah
ikatan perkawinan karena perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus maka tujuan
perkawinan tidak mungkin diwujudkan. Penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 ini memiliki
legal ratio untuk memberikan jalan keluar hukum
(legal exit) bagi para pihak dalam lembaga
perkawinan untuk mengakhiri ikatan perkawinan
dengan melakukan perceraian secara sah.
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 berlaku
bagi setiap orang baik suami maupun isteri oleh
karena itu tidak cukup alasan bahwa penjelasan ini
memiliki sifat diskriminatif.
5. berdasar penjelasan ini di atas, menurut
DPR Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974
memberikan perlindungan terhadap suami atau isteri
dan anak-anak dalam lembaga perkawinan, manakala
mengalami perselisihan dan pertengkaran yang terus
menerus dan tidak ada harapan untuk hidup rukun.
6. alasan perceraian dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
huruf f UU 1/1974 bersifat pilihan dan tidak imperatif
tergantung pada suami atau isteri apakah akan
memakai Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974 sebagai dasar mengajukan perceraian atau
tidak. Jika Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974 dibatalkan akan berimplikasi terhadap
kepastian hukum bagi suami isteri yang mengalami
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
dan tidak ada harapan hidup rukun. Oleh karena itu
menurut DPR Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974 memiliki legal ratio sebagai legal exit dalam
kehidupan suami atau isteri dan penjelasan ini
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
1945.
Bahwa berdasar pada dalil-dalil ini di atas, DPR memohon
kiranya Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang terhormat
memberikan amar putusan sebagai berikut
317
1. Menyatakan permohonan a quo ditolak untuk
seluruhnya atau setidak-tidaknya permohonan a quo
tidak dapat diterima;
2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk
seluruhnya;
3. Menyatakan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
tidak bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
4. Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tetap
memiliki kekuatan hukum mengikat.
jika Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain,
kami mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.5] Menimbang bahwa Dewan Perwakilan Rakyat
menyampaikan kesimpulan tertulis yang pada pokoknya tetap pada
pendiriannya;
[2.6] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam
putusan ini, maka segala sesuatu yang tertera dalam berita acara
persidangan telah termuat dan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan
Pemohon yaitu mengenai pengujian materiil Penjelasan Pasal 39
ayat (2) huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU 1/1974) terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya
disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok
permohonan, Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah)
akan mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;
Terhadap kedua hal ini , Mahkamah berpendapat sebagai
berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasar Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun
318
2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076,
selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah yaitu mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon yaitu mengenai
pengujian Undang-Undang in casu UU 1/1974 terhadap UUD 1945,
sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasar Pasal 51 ayat (1) UU MK
beserta Penjelasannya, yang dapat bertindak sebagai pemohon
dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 yaitu
mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang- Undang yang
dimohonkan pengujian, yaitu:
c. perorangan warga negara Indonesia (termasuk
kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama);
d. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih
hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat
dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
diatur dalam Undang-Undang;
e. badan hukum publik atau privat; atau
f. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih
dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud
Pasal 51 ayat (1) UU MK;
319
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang
diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya
Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
[3.6] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor
006/PUU-III/ 2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor
11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007 serta putusan-
putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1)
UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon
yang diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional ini oleh
Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional ini
harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat
dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara
kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya
permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak
lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon dalam permohonan a quo
mengkualifikasi dirinya sebagai perorangan warga negara Indonesia
yang dirugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (2)
UUD 1945 oleh berlakunya Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974, sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran...";
Bahwa Pemohon pada tanggal 24 Oktober 1981 menikah dengan
Bambang Trihatmojo bin H.M. Soeharto yang dicatatkan pada Kantor
Urusan Agama Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan sesuai salinan
Akte Nikah Nomor 692/182/X/1981 tanggal 24 Oktober 1981.
Perkawinan Pemohon dengan Bambang Trihatmojo bin H.M.
Soeharto ini (suami) telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu
320
Gendis Siti Hatmanti, Bambang Panji Adhikumoro, dan Bambang
Aditya Trihatmanto;
Bahwa kehidupan rumah tangga Pemohon dengan suami Pemohon
ini pada awalnya berjalan cukup baik, serasi dan harmonis,
namun sejak tahun 2002 mulai timbul perselisihan dan pertengkaran.
Pertengkaran ini dipicu oleh adanya hubungan gelap
(backstreet) antara suami Pemohon dan wanita lain bernama
Mayangsari. Sejak pertengkaran ini , suami Pemohon tidak lagi
mengasihi Pemohon dan anak-anaknya, berperilaku kasar dan kejam,
tidak memberi nafkah, dan meninggalkan rumah serta hidup bersama
dengan Mayangsari;
Bahwa pada tanggal 21 Mei 2007, suami Pemohon mengajukan
gugatan cerai (talak) terhadap Pemohon di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat, dengan alasan antara Pemohon dan suami Pemohon sering
terjadi perselisihan dan pertengkaran, sehingga menyebabkan rumah
tangga Pemohon dan suami Pemohon tidak ada harapan akan hidup
rukun lagi;
Bahwa Pemohon berupaya untuk menyelamatkan rumah tangganya
dengan tidak mau bercerai dengan suami Pemohon, namun pada
akhirnya pengadilan memutus cerai (talak) perkawinan Bambang
Trihatmodjo dengan Pemohon dengan mendasarkan pertimbangan
pada Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974;
berdasar alasan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
ini , Mahkamah berpendapat bahwa terdapat hubungan sebat
akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional Pemohon
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian.
[3.8] Menimbang bahwa karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo, serta Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing), maka Mahkamah akan mempertimbangkan pokok
permohonan;
Pokok Permohonan
[3.9] Menimbang bahwa Pemohon dalam pokok permohonannya
mengajukan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
huruf f UU 1/1974 sepanjang frasa, “Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” yang dianggap
Pemohon bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat
(2) UUD 1945 yang masing-masing menyatakan:
321
Pasal 28D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum";
Pasal 28H ayat (2): "Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh
kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan", dengan alasan:
Penjelasan pasal a quo tidak mengatur siapa yang
menyebabkan terjadinya perselisihan dan
pertengkaran ini , sehingga merugikan hak
konstitusional para istri – dalam hal ini termasuk
Pemohon;
Penjelasan pasal a quo berada di luar Undang-
Undang (batang tubuh), dan bertentangan
dengannya;
Penjelasan pasal a quo merugikan hak konstitusional
para istri dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
Pendapat Mahkamah
[3.10] Menimbang bahwa lsesudah membaca dan memeriksa
dengan saksama permohonan Pemohon, bukti surat atau tulisan dari
Pemohon (bukti P-1 sampai dengan bukti P-8), keterangan ahli dari
Pemohon, keterangan tertulis dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
keterangan tertulis dan kesimpulan dari Pemerintah sebagaimana
telah diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Bahwa hakikat perkawinan yaitu merupakan ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, yang
bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal, yang didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa [vide
Pasal 1 UU 1/1974];
Bahwa makna “ikatan lahir” suatu perkawinan merupakan perikatan
hukum dalam lapangan hukum keluarga dari dua pihak yang semula
bukan merupakan suami istri (orang lain). Oleh karena itu sebagai
suatu perikatan, salah satu syarat terbentuknya perkawinan haruslah
didasarkan atas persetujuan dari kedua belah pihak [vide Pasal 6 UU
1/1974];
Bahwa makna “ikatan batin” dalam perkawinan yaitu ikatan yang
terbentuknya berdasar atas cinta dan kasih (yang dalam Al
Qur`an disebut mawaddah dan rahmah) dari kedua belah pihak,
322
antara seorang pria dan seorang wanita. Oleh karena itu, untuk
memperkuat ikatan batin maka hukum mewajibkan antara suami dan
istri (pasangan yang telah menikah) untuk saling mencintai [vide
Pasal 33 UU 1/1974];
Bahwa “tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk rumah tangga
bahagia dan kekal” (yang dalam Al Qur`an disebut sakinah) sebagai
tujuan dari masing-masing pihak dalam perkawinan, yang sejatinya
juga merupakan turut sertanya masing-masing pihak dalam
perkawinan untuk membangun sendi dasar dari susunan masyarakat
yang tertib dan sejahtera lahir dan batin. Oleh karena itu di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban hukum bahwa cinta dan kasih ini
harus dijunjung tinggi oleh masing-masing pihak suami istri dalam
rangka pencapaian tujuan dimaksud, baik tujuan pribadi masing-
masing pihak maupun tujuan dalam turut sertanya membangun
masyarakat yang tertib dan sejahtera [vide Pasal 30 UU 1/1974];
Bahwa makna “berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”
merupakan kekhasan perkawinan bagi bangsa Indonesia sebagai
masyarakat yang berketuhanan (religious). Artinya, menjalankan
perkawinan bagi bangsa Indonesia bukan semata-mata dalam rangka
memenuhi hajat hidup, melainkan dalam rangka memenuhi ajaran
Tuhan Yang Maha Esa yang terdapat di dalam masing-masing agama
yang dipeluknya;
berdasar uraian ini di atas, perkawinan di dalam UU 1/1974
memiliki dimensi hukum, dimensi kehidupan batin, dimensi
kemasyarakatan, dan dimensi keagamaan;
Bahwa dimensi kehidupan batin orang, yang dalam perkawinan
berupa cinta dan kasih, merupakan keadaan yang sangat dinamis.
Dinamika dimaksud terkait dengan beberapa faktor, yang antara lain,
berupa pergaulan dalam rumah tangga perkawinan (mu`asyarah) dari
kedua pihak suami-istri. Sebagai salah satu faktor, pergaulan dalam
rumah tangga perkawinan (mu`asyarah) dari kedua pihak suami-istri
dapat menjadi “pupuk” bagi tumbuh-suburnya cinta dan kasih, dan
sebaliknya, dapat menjadi “hama” yang senantiasa menggerogoti
cinta dan kasih dan mengubahnya menjadi permusuhan dan
kebencian (al-adawah wa al baghdha`). Ketika itulah terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di antara
pasangan suami istri, sehingga sulit diharapkan untuk bersatu
kembali. Dalam keadaan seperti itu maka ikatan batin dalam
perkawinan dianggap telah pecah (syiqaq, broken marriage),
323
meskipun ikatan lahir, secara hukum, masih ada. Perkawinan yang
demikian, secara rasional telah tidak bermanfaat lagi bagi kedua
belah pihak maupun bagi keluarga. Bahkan dalam kasus tertentu
dapat membahayakan keselamatan masing-masing pihak maupun
keluarga. Dalam keadaan yang demikian, hukum harus memberikan
jalan keluar untuk menghindari keadaan buruk yang tidak diinginkan
(saddu al dzari`ah). Jalan keluar itulah pembubaran perkawinan yang
di dalam UU 1/1974 disebut dengan putusnya perkawinan yang
ketika kedua belah pihak masih hidup, yaitu putusnya perkawinan
dengan perceraian atau dengan putusan pengadilan [vide Pasal 38
UU 1/1974]. Putusnya perkawinan dengan lembaga perceraian atau
dengan putusan pengadilan dalam perspektif hukum substansinya
yaitu peninjauan kembali terhadap persetujuan kedua belah pihak
yang membentuk ikatan hukum yang disebut dengan perkawinan
yang dimohonkan oleh salah satu dari kedua belah pihak kepada
pengadilan. Manakala pengadilan berdasar bukti-bukti yang
diajukan berpendapat telah terbukti beralasan menurut hukum maka
pengadilan akan menjatuhkan putusan bahwa perkawinan sebagai
ikatan hukum ini putus. Dengan demikian maka sejatinya,
putusan pengadilan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan
ini hanya menyatakan dari perspektif hukumnya karena yang
senyatanya “persetujuan” dari kedua belah pihak yang telah
membentuk ikatan perkawinan, yang dulu pernah terjadi, telah tidak
ada lagi sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertengkaran
yang terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga. Jadi, putusan pengadilan hanya menyatakan
keadaan yang sesungguhnya tentang hubungan suami istri dimaksud;
[3.11] Menimbang bahwa berdasar pertimbangan ini di
atas, Mahkamah berpendapat Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU
1/1974 sepanjang frasa, “Antara suami dan isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran ...” justru memberikan salah
satu jalan keluar ketika suatu perkawinan tidak lagi memberikan
kemanfaatan karena perkawinan sudah tidak lagi sejalan dengan
maksud perkawinan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UU
1/1974 serta tidak memberikan kepastian dan keadilan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
[3.12] Menimbang bahwa dalil Pemohon yang menyatakan bahwa
penjelasan dimaksud bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD
1945, menurut Mahkamah dalil Pemohon ini tidak tepat dan
324
tidak benar karena Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 ini merupakan
ketentuan mengenai affirmative action, sedangkan kedudukan suami
dan istri dalam perkawinan menurut UU 1/1974 yaitu seimbang
[vide Pasal 31 ayat (1) UU 1/1974], sehingga tidak memerlukan
perlakuan khusus semacam affirmative action;
[3.13] Menimbang, berdasar seluruh pertimbangan ini di
atas, Mahkamah berpendapat permohonan Pemohon tidak terbukti
beralasan menurut hukum;
4. KONKLUSI
berdasar penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan
di atas, Mahkamah berkesimpulan bahwa:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing)
untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Dalil Pemohon tidak beralasan hukum;
berdasar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5226), dan Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan menolak permohonan Pemohon; Demikian diputuskan
dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim
Konstitusi, yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota,
Achmad Sodiki, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, Anwar Usman,
Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, M. Akil Mochtar, dan
Muhammad Alim, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Senin,
tanggal dua belas, bulan Maret, tahun dua ribu dua belas, dan
diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk
umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh tujuh, bulan Maret,
tahun dua ribu dua belas, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Moh.
325
Mahfud MD selaku Ketua merangkap Anggota, Achmad Sodiki,
Ahmad Fadlil Sumadi, Anwar Usman, Hamdan Zoelva, Maria Farida
Indrati, M. Akil Mochtar, dan Muhammad Alim, masing-masing
sebagai Anggota, didampingi oleh Sunardi sebagai Panitera
Pengganti, dengan dihadiri Pemerintah atau yang mewakili, dan
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, tanpa dihadiri oleh
Pemohon/kuasanya.
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Achmad Sodiki
ttd.
Ahmad Fadlil
Sumadi
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Hamdan Zoelva
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
M. Akil Mochtar
ttd.
Muhammad Alim
326
6. PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)
Terhadap putusan ini , Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar
mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) sebagai berikut:
Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Undang- Undang Perkawinan) merupakan hukum positif yang
berlaku secara nasional bagi seluruh warga negara Indonesia. Disisi
lain, Undang-Undang Perkawinan memiliki karakter yang khas yaitu
sebagai unifikasi dari kemajemukan (pluralisme) hukum keluarga
yang berlaku di Indonesia. Proses unifikasi hukum bukanlah hal yang
mudah dilakukan, terutama dalam bidang hukum keluarga karena
menyangkut halhal yang bersifat keagamaan, adat dan nilai-nilai yang
dianut masyarakat.
Bahwa salah satu bagian dari proses unifikasi yang dilakukan dalam
Undang- Undang Perkawinan yaitu menetapkan alasan-alasan
perceraian sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
Undang-Undang Perkawinan. Dalam perkara ini, Pemohon
mendalilkan bahwa frasa yang diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat
(2) huruf f Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi “antara suami
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran...”
bertentangan dengan UUD 1945. Alasan perceraian yang diatur
dalam frasa Penjelasan Pasal a quo merupakan bagian dari upaya
unifikasi yang dilakukan dalam Undang-Undang Perkawinan. Alasan
perceraian karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus
menerus dalam hukum islam dikenal dengan istilah syiqaq,
sedangkan dalam hukum perdata barat (western legal system),
seperti di Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Belanda, Rusia, Australia
dan Swedia, disebut dengan irreconcilable differences atau
irretrievable breakdown yang merupakan bagian dari kategori no-
fault divorce. Alasan perceraian karena adanya perselisihan dan
pertengkaran terus menerus dalam kedua sistem hukum ini
membawa dampak yang berbeda atas penerapannya di masyarakat.
Menjadi penting bagi hakim untuk melihat perbandingan penerapan
alasan perceraian dalam kedua istilah yang berlaku di masing-masing
sistem hukum ini . Perbandingan hukum ini menjadi dasar
pertimbangan apakah adopsi alasan perceraian karena adanya
perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara suami dan isteri
tepat diterapkan di tengah masyarakat Indonesia. Perbandingan
penerapan ini juga menjadi bahan pembanding hukum sebagai
327
sarana pembaharuan nilai-nilai di masyarakat (tool of social
engineering).
Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus dalam Hukum Islam
(Syiqaq)
Bahwa kata syiqaq diatur dalam Al Qur’an surat Annisa ayat 35:
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan (syiqaq) antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga wanita . Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.
Bahwa dalam rangka penegakan hukum Islam, Indonesia membentuk
lembaga Peradilan Agama berdasar Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama -Undang-Undang Peradilan Agama-) yang berwenang
mengadili perkara-perkara perdata Islam bagi umat Islam Indonesia.
Dalam bagian yang mengatur tentang Pemeriksaan Sengketa
Perkawinan, Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Peradilan Agama
dengan jelas menegaskan bahwa “jika gugatan perceraian
didasarkan atas alasan syiqaq, maka...”. Istilah syiqaq dalam Pasal a
quo menurut Penjelasan Pasal 76 ayat (1) Undang-Undang Peradilan
Agama, “syiqaq yaitu perselisihan yang tajam dan terus menerus
antara suami dan istri”.
Bahwa pengertian kata syiqaq, menurut Undang-Undang Peradilan
Agama, masih sering dijumpai beberapa permasalahan dalam
penerapannya terutama dalam hal menetapkan ukuran kapan
terjadinya syiqaq. Ada pendapat yang mengatakan syiqaq bisa
disebabkan oleh nusyuz (perbuatan durhaka) dari istri, atau karena
perilaku zalim atau kasar dari suami (Al Maraghi, 1974: 47). Jika
syiqaq disebabkan oleh nusyuz, maka hendaknya suami
mengatasinya dengan cara yang paling ringan di antara cara-cara
yang telah diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur’an (QS. Annisa: 34).
Tetapi jika hal kedua yang terjadi dan dikhawatirkan suami akan
terus-menerus berlaku zalim atau sulit menghilangkan nusyuz serta
dikhawatirkan telah terjadi syiqaq, maka kedua suami istri dan kaum
kerabat wajib mengutus dua orang hakam (juru damai) yang
bermaksud memperbaiki hubungan antara mereka. Ada pendapat
328
lain yang mengatakan syiqaq terjadi bila perselisihan atau
pertengkaran antara suami-istri mengandung unsur membahayakan
suami-istri dan terjadi pecahnya perkawinan. Bila perselisihan tidak
mengandung unsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai
pada tingkat darurat, maka hal ini belum dikatakan syiqaq.
Namun pendapat ini tidak menyertakan unsur-unsur yang
membahayakan dan tingkat darurat yang dimaksud serta tidak ada
aturan untuk mengukur unsur-unsur ini .
Bahwa terlepas dari perbedaan pendapat mengenai ukuran dan
kapan terjadi syiqaq dalam proses penegakan hukumnya,
diterapkannya lembaga syiqaq dalam hukum Islam yaitu bertujuan
untuk mendamaikan dan menemukan solusi alternatif kepada suami
istri sehingga bisa kembali rukun dalam membina rumah tangga dan
bukan sebagai alasan untuk perceraian. Tujuan ini didasarkan pada
landasan yang bersifat filosofis-transendental, sebagaimana
ditegaskan dalam Firman Allah SWT “...Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
kepada suami-isteri itu” (QS. Annisa: 35).
Selain itu, dasar hukum perceraian dalam Islam yaitu makruh
berdasar hadits “Perkara halal yang paling dibenci oleh Allah
yaitu perceraian”. Oleh karenanya, prinsip hukum Islam yang
didasarkan dari hadits Nabi yaitu “permudah pernikahan dan
persulit perceraian!”.
Bahwa dalam hal syiqaq di Indonesia, aturan-aturan hukum Islam
telah memperinci tata cara dan mekanisme penegakannya, baik itu
dalam Undang- Undang Peradilan Agama hingga Kompilasi Hukum
Islam (KHI) serta prosedur penegakannya dalam Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Agama yang
dikeluarkan oleh Mahkamah Agung.
Perselisihan dan Pertengkaran Terus Menerus dalam Hukum
Perdata Barat (Irreconcilable Differences, Irretrievable Breakdown)
Bahwa dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata,
Burgerlijk Wetboek) alasan perceraian diatur secara tegas dalam
Pasal 209. Adanya perselisihan dan pertengkaran yang terjadi terus
menerus antara suami-isteri tidak menjadi alasan perceraian
menurut KUHPerdata. Oleh karena itu, proses penegakan hukum
perdata melalui peradilan umum tidak mengatur secara rinci
mengenai tata cara, mekanisme dan prosedur penegakan hukum
329
perceraian akibat alasan adanya perselisihan dan pertengkaran terus
menerus.
Bahwa dalam sistem hukum keluarga (family law) di negara-negara
barat (western world) terdapat perkembangan dengan diadopsinya
alasan perceraian atas dasar tanpa kesalahan (no-fault divorce).
Revolusi gagasan no-fault divorce ini diawali di Amerika Serikat,
tepatnya dimulai dari negara bagian California pada tahun 1970 (Lynn
Wardle: 1990). Sejak saat itu, perkembangan konsep ini merambah
hingga ke negara-negara lain, seperti Belanda mengadopsinya pada
tahun 1971, Swedia pada tahun 1973, Perancis pada tahun 1975
hingga ke Benua Australia pada tahun 1974.
Bahwa diadopsinya gagasan no-fault divorce dalam sistem hukum di
negaranegara barat yaitu didasarkan atas alasan adanya
irreconcilable differences atau irretrievable breakdown, yang dapat
diterjemahkan dengan adanya perselisihan dan pertengkaran terus
menerus yang tanpa harapan untuk hidup rukun kembali. Oleh
karena itu, alasan irreconcilable differences atau irretrievable
breakdown yang diadopsi dalam sistem hukum keluarga di negara-
negara barat kurang lebih sama dengan alasan perceraian yang
diadopsi dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang
Perkawinan.
Bahwa dalam konteks diterapkannya alasan perceraian karena
adanya irreconcilable differences atau irretrievable breakdown di
negara-negara barat terdapat hubungan dengan adanya peningkatan
angka perceraian di negaranegara ini . Meskipun diadopsinya
alasan perceraian ini bukan menjadi faktor penentu
meningkatnya angka perceraian, namun diadopsinya alasan ini
ikut mempengaruhi tingginya angka perceraian. Penelitian akademis
yang dilakukan dalam rangka meneliti hubungan antara diadopsinya
dasar no-fault divorce dengan jumlah perceraian lebih banyak
dilakukan di Amerika Serikat (contohnya, M. Glendon, 1987), akan
tetapi ada pula beberapa penelitian yang dilakukan di negara-negara
lain seperti di Belanda (Boele-Woelki, dkk: 2002), dan di Kanada
(Douglas W. Allen, 1998). Kesimpulan penelitian ini yaitu
kurang lebih sama, yaitu terdapat hubungan yang mempengaruhi
tingginya tingkat perceraian dengan diadopsinya dasar no-fault
divorce. Adanya dasar no-fault divorce mempermudah warga negara
di negara-negara barat untuk mengajukan gugatan cerai.
330
Pendapat Akhir
Bahwa Undang-Undang Perkawinan sebagai produk unifikasi yang
merupakan hukum positif haruslah menjadi pengayom dan pelindung
bagi adanya kepastian hukum dan keadilan bagi setiap warga negara
Indonesia. Terlebih lagi dalam hal perkawinan, karena UUD 1945
memberikan jaminan perlindungan hak konstitusional bagi setiap
warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan
keturunan melalui perkawinan yang sah [Pasal 28B ayat (1) UUD
1945].
Bahwa diadopsinya alasan perceraian karena adanya perselisihan dan
pertengkaran terus menerus antara suami-istri dalam Penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan memiliki
dampak yang berbeda-beda bagi warga negara Indonesia.
Bahwa atas dasar perbandingan hukum penerapan alasan perceraian
karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus antara
suami-istri dalam sistem hukum Islam dan sistem hukum perdata
barat terdapat perbedaan imbas yang terjadi di masyarakat akibat
adanya penerapan alasan ini . Dalam sistem hukum keluarga di
negara-negara barat, penerapan alasan adanya perselisihan dan
pertengkaran terus menerus (irreconcilable differences, irretrievable
breakdown) justru mempengaruhi tingkat angka perceraian yang
terjadi di negara-negara ini . Belajar dari pengalaman negara-
negara barat, diadopsinya alasan perceraian yang sama sebagaimana
diatur dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang
Perkawinan tidak menjamin adanya upaya untuk melanggengkan
ikatan perkawinan yang sah bagi warga negara Indonesia.
Bahwa alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dalam
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f Undang-Undang Perkawinan
tidak didukung dengan peraturan pelaksana maupun perangkat
hukum pendukung dalam upaya penegakan hukum perdata dalam
lingkup Peradilan Umum. Diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak mengatur secara rinci ukuran
yang menjadi pedoman dalam menentukan adanya perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus dalam lingkup Peradilan Umum
maupun tata cara atau prosedur pengajuan gugatannya. Peraturan
Pemerintah a quo hanya menegaskan alasan perceraian sebagaimana
diatur dalam Pasal 19 huruf f. Selain itu, aturan mengenai tata cara
gugatan hanya dijabarkan dalam Pasal 22 ayat (2) Peraturan
331
Pemerintah a quo. Keterbatasan rincian aturan ini merugikan hak
konstitusional warga negara Indonesia yang mengajukan gugatan
cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus
melalui Peradilan Umum.
Bahwa keterbatasan rincian aturan dalam mengajukan gugatan cerai
atas alasan terjadi perselisihan dan pertengkaran terus menerus, baik
dalam lingkup Peradilan Umum maupun dalam lingkup Peradilan
Agama, telah menjadi celah hukum bagi para pihak karena tidak
adanya ukuran dan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan
“perselisihan” dan “pertengkaran” serta parameter apa yang
digunakan untuk mengukur “terus menerus”. Dalam praktiknya,
celah hukum ini justru mempermudah proses perceraian.
Ukuran-ukuran dalam mempertimbangkan adanya “perselisihan”,
“pertengkaran”, dan sifat “terus menerus” diserahkan pada
subjektifitas pertimbangan hakim semata, tanpa ada norma aturan
yang menjadi pedomannya. Oleh karenanya, proses perceraian
seolah menjadi sangat mudah. Selain itu, salah satu pihak, baik suami
maupun istri, dapat memanfaatkannya untuk mengajukan gugatan
cerai yang berdampak pada dirugikannya pihak lain.
Bahwa adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus, sebagai
sebuah lembaga syiqaq, dalam sistem hukum Islam telah memiliki
dasar aturan pelaksana mengenai tata cara dan prosedurnya
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama dan
diperjelas dengan Kompilasi Hukum Islam.
Bahwa adanya dampak dari penerapan alasan perceraian
mempermudah proses perceraian bagi warga negara Indonesia. Hal
ini bertentangan dengan prinsip yang dianut oleh Undang-Undang
Perkawinan yaitu “prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian”
demi mengukuhkan tujuan perkawinan yaitu untuk membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, sebagaimana disebutkan dalam
Penjelasan Umum Undang-Undang Perkawinan. Oleh karenanya,
Mahkamah seharusnya mengabulkan permohonan Pemohon.
Dengan dikabulkannya permohonan maka peraturan pelaksana
Undang-Undang Perkawinan yang terkait dengan alasan perceraian
karena adanya perselisihan dan pertengkaran terus menerus,
sebagaimana diatur dalam Pasal 19 huruf f dan Pasal 22 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang
332
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga harus dinyatakan
inkonstitusional.
Akan tetapi, dikabulkannya permohonan Pemohon tidak
menghapuskan lembaga syiqaq karena didasarkan dan diatur dalam
Undang-Undang yang berbeda yaitu Undang-Undang Peradilan
Agama. Oleh sebab itu, Mahkamah seharusnya mengabulkan
permohonan Pemohon dan menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2)
huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum
mengikat.