hukum perkawinan 10
erdataannya kepada hukum adat
setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara tegas dilindungi
oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan citacita
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai implikasi pluralisme
hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik
yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek
hukum nasional, hukum agama, maupun hukum adat dimaksud.
Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif
dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional
(peraturan perundangundangan) yang berusaha menjadi payung bagi
pluralisme hukum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat
sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu sisi harus
menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum
adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan
pembenarannya dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal
28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk
kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.” Dalam kenyataannya, di Indonesia masih
banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum
agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya
perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa
melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian
hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini
dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan anak-
277
anak yang lahir dari perkawinan ini . Terkait dengan
perlindungan terhadap wanita dan anak anak sebagaimana telah
diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan
yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya,
yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak
yang lahir dari perkawinan dimaksud.
[6.5] Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang
tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena
norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan
transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia
dengan penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU
1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai
perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara
sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara
(Pemerintah). Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak
didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat beragam,
tetapi sebenarnya yang terpenting yaitu apakah kerugian ini
dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974
terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam
konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara
(Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama
terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan
dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu
syaratnya yaitu perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2
UU 1/1974).
Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan
tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan
mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain
yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan
adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya
perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya.
[6.6] Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga
memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari
perkawinan ini . Potensi kerugian bagi anak yang terutama
yaitu tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak
biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya
kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup
anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat
278
yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai
tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian
keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang
terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam
keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau
tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan
stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini yaitu
sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-
psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui
hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan
perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena
sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh
tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan
yang diskriminatif. Potensi kerugian ini dipertegas dengan
ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal a quo
menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan
keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal ini yaitu risiko
dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak
dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya
jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh
tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai
sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini
agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung
sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau
yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi
kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan
UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang
melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung
oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan ini . Dengan
demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari
suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan
ini menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua
orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Mardian Wibowo
279
B. Persoalan Alasan Perceraian (Analisis Putusan Nomor
38/PUU-IX/2011)
PUTUSAN
Nomor 38/PUU-IX/2011
DEMI KEADILAN berdasar KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan
terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh:
[1.2] Nama : Halimah Agustina binti Abdullah Kamil
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jalan Tanjung Nomor 23, Kelurahan
Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat
berdasar Surat Kuasa Khusus bertanggal 14 Mei 2011 memberi
kuasa kepada Chairunnisa Jafizham, S.H. dan Prof. Dr. HM. Laica
Marzuki, S.H., keduanya yaitu Advokat dan Konsultan Hukum yang
beralamat di Jalan Garut Nomor 1-A Jakarta Pusat, baik sendiri-
sendiri maupun secara bersama-sama, bertindak
sebagai kuasa hukum pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------
------------------- Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan dari Pemohon;
Mendengar keterangan dari Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan
Rakyat;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis ahli dari
Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon;
Membaca kesimpulan dari Dewan Perwakilan Rakyat;
2. DUDUK PERKARA
280
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan
dengan surat permohonan bertanggal 30 Mei 2011 yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut
Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 8 Juni 2011, berdasar
Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 233/PAN.MK/2011 dan
diregistrasi dengan Nomor 38/PUU-IX/2011 pada tanggal 20 Juni
2011 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Bahwa berdasar ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) juncto Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003), salah satu
kewenangan Mahkamah yaitu mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang- Undang Dasar. Bahwa permohonan ini diajukan kepada
Mahkamah guna menguji penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(selanjutnya disebut UU 1/1974), sepanjang frasa "Antara suami dan
isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..."
terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk
memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon.
B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Pemohon yaitu perorangan warga negara Indonesia yang dirugikan
hak konstitusionalnya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, sehubungan dengan
diberlakukannya Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974,
sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran...". Pemohon yaitu isteri dari lelaki,
bernama Bambang Trihatmojo bin HM. Soeharto, dikawini olehnya
pada hari Sabtu, tanggal 24 Oktober 1981, yang dicatatkan pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Sesuai
dengan kutipan Akte Nikah Nomor 692/182/X/1981 tanggal 24
Oktober 1981. Bahwa dari perkawinan Pemohon dengan lelaki
Bambang Trihatmojo bin HM. Soeharto ini telah dikaruniai 3
(tiga) orang anak kandung, yakni:
1. Gendis Siti Hatmanti, wanita , lahir di Jakarta, tanggal 26
September 1982;
281
2. Bambang Panji Adhikumoro, lelaki, lahir di Jakarta, tanggal 22
Juni 1986;
3. Bambang Aditya Trihatmanto, lelaki lahir di Jakarta, tanggal
23 Mei 1990.
Bahwa Pemohon dengan suaminya sebagai suami isteri telah memilih
tempat kediaman bersama yang terakhir di Jalan Tanjung Nomor 23,
Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Bahwa
awalnya kehidupan rumah tangga Pemohon dengan suaminya
dirasakan cukup baik, serasi, dan harmonis, namun sejak tahun 2002
mulai timbul perselisihan dan pertengkaran, bermula di kala
diketahui suami menjalin hubungan
gelap (backstreet) dengan wanita lain, bernama Mayangsari.
Suami Pemohon tidak lagi mengasihi Pemohon dan anak-anaknya. Di
kala Pemohon menasihatinya, ia berperilaku kasar dan kejam,
acapkali memukul Pemohon dan anak-anak. Pertengkaran dan
perselisihan memang telah merasuki rumah tangga Pemohon tetapi
penyebab pertengkaran yaitu suami yang acapkali kalap dan lupa
diri, bukan Pemohon yang sesungguhnya masih mencintai suami dan
berupaya menyelamatkan rumah tangga. Namun suami Pemohon,
Bambang Trihatmodjo tidak lagi mengasihi Pemohon, tidak lagi
memberi nafkah lahir dan batin, bahkan sejak tahun 2002 itu pula, ia
meninggalkan tempat kediaman bersama di jalan Tanjung Nomor 23,
Jakarta Pusat dan memilih hidup bersama dengan Mayangsari. Pada
tanggal 21 Mei 2007, suami Pemohon memasukkan gugatan cerai
(talak) terhadap Pemohon di Pengadilan Agama Jakarta Pusat,
dengan alasan di antara dirinya dan Pemohon "sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran", menyebabkan rumah tangga
Pemohon dan dirinya tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, justru
gugatan cerai (talak) dibuat olehnya di kala sudah tinggal bersama
dengan Mayangsari. Pemohon, selaku isteri, berupaya
menyelamatkan rumah tangganya, tidak mau bercerai namun selama
proses perceraian (talak) yang berkepanjangan, badan pengadilan
pada akhirnya memutus cerai (talak) perkawinan Bambang
Trihatmodjo dengan Pemohon, dengan alasan antara Pemohon dan
suaminya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, menyebabkan
rumah tangga bersama tidak ada harapan akan hidup rukun lagi,
sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974.
282
Terdapat hubungan sebat akibat (causal verband) antara kerugian
hak konstitusional Pemohon, berupa hak jaminan perlindungan,
kepastian hukum, dan keadilan dengan ketentuan Penjelasan Pasal
39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yang dimohonkan pengujian dalam
perkara ini.
C. Pokok Permohonan
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yang dimohonkan
pengujian Undang-Undang, berbunyi:
2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian
yaitu :
a. ... dst;
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran...;
Ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 dimaksud
dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon, sebagaimana
dijamin konstitusi dalam:
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan sama di hadapan hukum", dan Pasal 28H ayat (2)
UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan".
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yang kelak dijabarkan
pula dalam Pasal 116, huruf f Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya
disebut KHI), memuat salah satu alasan perceraian: "Antara suami
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..."
tanpa mengatur secara hukum normatif bahwa manakala terjadi
perselisihan dan pertengkaran suami-isteri, niscaya dan bukan tidak
mungkin terdapat personae penyebab timbulnya perselisihan dan
pertengkaran rumah tangga. Kebanyakan pihak isteri dikorbankan
dalam perselisihan dan pertengkaran rumah tangga, justru di kala
suami merupakan personae penyebab perselisihan dan pertengkaran
itu. Misalnya, suami menjalin hubungan gelap (backstreet) dengan
wanita lain, lalu meninggalkan tempat kediaman bersama.
Perselisihan dan pertengkaran antara keduanya niscaya tidak
terhindarkan tetapi "aturan hukum" tidak menjamin perlindungan,
kepastian hukum, dan keadilan bagi isteri yang dikorbankan, yang
kelak diputus cerai (talak) pula perkawinannya oleh badan
283
pengadilan, dengan pertimbangan hukum: tidak ada harapan akan
rukun lagi dalam rumah tangga (onheelbare tweespalt).
Dalam Burgerlijk Wetboek (= BW. Ned. India), tidak dicantumkan hal
perselisihan dan pertengkaran suami – isteri yang terus menerus
sebagai alasan perceraian. Pasal 209 BW. Ned. India (1848)
menetapkan alasan-alasan perceraian:
1. zinah;
2. meninggalkan tempat kediaman bersama secara itikad buruk;
3. dijatuhi pidana penjara 5 tahun atau lebih, sesudah
perkawinan;
4. pelukaan atau penganiayaan berat oleh yang satu terhadap
yang lain, atau sebaliknya, yang bisa membahayakan jiwa
atau mengakibatkan luka-luka yang berbahaya
Syariat Islam juga tidak memuat hal perselisihan dan pertengkaran
suami -isteri sebagai alasan cerai (talak), kecuali:
1. Isteri berzina;
2. Isteri musyuz meskipun telah dinasihati berulangkali; atau
3. Isteri pemabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang
dapat menggangu ketenteraman dan kerukunan rumah
tangga (Mandani, 2011:29).
Islam melindungi dan menjamin kedudukan isteri. "Bergaullah
dengan isterimu menurut patutnya, maka jika kamu benci
kepadanya, janganlah bersegera menjatuhkan talaknya. Barangkali
kamu membenci pada sesuatu perkara sedang Allah menjadikan
kebajikan yang banyak di dalamnya (S. An — Nisa : 19.) Isteri tidak
bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya, termasuk jika ia
tidak mau dicerai (talak) karena masih mengasihi keluarganya,
terutama karena sebagai isteri dan ibu anak-anaknya, ia tidak
bersalah. Isteri berhak atas rumah tangga yang sakinah dan
mawaddah. Setiap norma (aturan) hukum perkawinan dapat
mengatur hal onheelbare tweespalt, seperti halnya incasu dalam
batang tubuh Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 yang merumuskan
"...antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup sebagai suami isteri"
tetapi tidak boleh disertai aturan norma hukum baru terhadap pasal
Batang Tubuhnya, seperti termaktub in casu dalam Penjelasan Pasal
39 ayat (2), huruf f UU 1/1974 yang merumuskan frasa: "Antara
suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran...", menyebabkan ketidakjelasan dari norma Batang
Tubuh yang dijelaskan, sebagaimana tidak diperkenankan dalam vide
284
Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut
dengan UU 10/2004). Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974 tidak mengatur hal personae penyebab perselisihan dan
pertengkaran suami isteri yang terus menerus. Kebanyakan pihak
isteri dirugikan hak konstitusionalnya,misalnya dalam hal suami
menjalin hubungan gelap (backstreet) dengan wanita lain,
seraya meninggalkan tempat kediaman bersama dan tinggal bersama
kekasihnya. Penjelasan Undang-Undang, lazim disebut memorie van
toelichting, berada di luar kerangka Batang Tubuh, pada umumnya
terdiri atas Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal.
Undang-Undang (= batang tubuh), diundangkan (afkondiging) dalam
Lembaran Negara, sedangkan penjelasan Undang-Undang dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara. Tatkala terdapat ketidakjelasan
atau pertentangan teks Batang Tubuh dengan Penjelasan maka teks
Batang Tubuh menyampingkan penjelasan Undang-Undang.
Penduduk (burgers) hanya terikat pada Undang-Undang (wet, Gezet).
Mereka tidak harus mengetahui semua penjelasan dan semua
pembicaraan dan pembahasan tentang Undang-Undang dimaksud,
mengutip Rapport Wetgevingstechniek, 1948. Penjelasan Pasal 39
ayat (2) huruf f UU 1/1974 tidak hanya merugikan hak konstitusional
Pemohon, berkenaan dengan hal jaminan perlindungan kepastian
dan keadilan tetapi juga merugikan hak konstitusional kaum isteri di
negeri ini, sebagaimana in casu termaktub dalam Pasal 28D ayat (1)
UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945.
berdasar seluruh uraian permohonan di atas, Pemohon
memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan
memutus permohonan ini sebagai berikut:
1. Menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974,
sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran..." bertentangan
dengan UUD 1945;
3. Menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974,
sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran..." tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
4. Memerintahkan pencabutan pengundangan Penjelasan Pasal
39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, sepanjang frasa "Antara suami
285
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran..." dalam Tambahan Lembaran Negara dan
memerintahkan pemuatan putusan atas permohonan ini
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia;
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya,
Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda
Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-7 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Salinan Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat Nomor 249/Pdt.G/2007/PAJP;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Salinan Putusan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta Nomor 48/Pdt.G/2008/PTA.JK;
3. Bukti P-3 : Fotokopi Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 184 K/AG/2009;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Salinan Putusan Peninjauan Kembali
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 67
PK/AG/2010;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nikah;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu
Keluarga;
7. Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan;
Selain itu, Pemohon mengajukan 5 (lima) orang ahli yang
menyampaikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan
tanggal 10 Agustus 2011, tanggal 11 Oktober 2011, dan tanggal 25
Oktober 2011, yang
mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Bismar Siregar, S.H.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 (selanjutnya disebut UU
19/1964) telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya
disebut UU 14/1970), seharusnya lebih tegas, tidak seyogyanya
sesudah merdeka melanjuti hukum yang bercorak nasional. Karena di
dalam hukum yang demikian itu kecuali melalui Undang- Undang,
teringat adanya kepastian hukum bahwa jika telah ada Undang-
Undang yang tidak boleh dirubah, disimpangi oleh siapapun juga.
Walaupun UU 19/1964
telah diganti dengan UU 14/1970, menurut ahli tidak perlu tuntutan,
walaupun sebenarnya menurut pihak yang berpijak pada kepastian
hukum, ada ketentuan bahwa Pemerintah berhak untuk mencampuri
286
jalannya peradilan jika peradilan itu untuk kepentingan penentuan
terakhir menghambat atau mengalami hambatan. Namun, sampai
sekarang dirasa belum ada sesuatu yang boleh dicampurtangani oleh
Pemerintah, karena semua berjalan dengan baik berlandaskan
sumpah "Demi Keadian" dan jika ada yang kurang ialah masih tetap
berlanjutnya bukan demi hukum, tetapi demi keadilan berdasar
Ketuhanan Yang Maha Esa. Irah-irah demi kepastian hukum harus
digantikan dengan demi keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha
Esa. Bilamana ini memang dijadikan patokan, terasa dan terbayang di
dalam diri manusia makna Ketuhanan Yang Maha Esa itu di dalam
perhukuman. Terdapat perbedaan pendapat di antara mereka yang
masih tetap konservatif, mengikuti warisan hukum dahulu, di mana
mereka mengutamakan kepastian hukum daripada keadilan hukum.
Terkait irah-irah ini bukan semertasemerta ada, tetapi berasal dari
dasar UUD 1945 dan Pancasila, konon atas nama
keadilan berdasakan ketuhanan tercantum di dalam Pasal 29 ayat (1)
UUD 1945, lalu dikutip sebagai Pancasila. Tetapi Pancasila itu
sampai sekarang belum terwujud di dalam kenyataan. Oleh karena
itu dikatakan revolusi hukum. Seharusnya yang ada sekarang
ditiadakan dan yang tidak ada sekarang diadakan bila diperlukan.
Itulah makna revolusi-revolusi tentang hukum. lsesudah 66 tahun
Undang-Undang ada ditengah kita, masihkah kita merasakan jiwa dan
roh dari Ketuhanan Yang Maha Esa dalam putusan setiap hakim?
Patut diakui bukan tidak diakui, kalau tidak diakui berarti sudah, titik,
tamat, atau selesai, tapi jika belum maka putusan yang akan
ditetapkan mempertimbangkan pemohonan perceraian antara
seorang bernama Bambang Tri Suharto. lalu ia menjatuhkan
talak kepada Siti Halimah lsesudah sekian puluh tahun mereka
membina kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu timbul
pertanyaan lsesudah permohonan kasasi Bambang diperiksa dan
diadili oleh hakim Mahkamah Agung, menyatakan bahwa tindakan
atau hubungan antara Bambang dan Halimah yaitu tidak sesuai
dengan kerukunan, oleh karena itu Bambang berhak untuk
menjatuhkan talak untuk perceraian. Makanya berbahagialah yang
mendapat kemenangan, maka menangislah yang mendapat
kekalahan walaupun demikian bertentangan dengan keadilan
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun itupun harus
dikembalikan kepada kehendak Allah, dalam kehendak Allah itu maka
harus pegang teguh, bertanya ada apa di balik musibah ini. Terdapat
287
pedoman dalam Surat An-Nisa ayat 58, "bila engkau menegakkan
hukum, tegakkanlah dengan adil". Dan tanpa berkelebihan
dilampirkan juga kata pengantar dari Arswendo dalam buku Surat
kepada Pemimpin yang merupakan kumpulan tulisan dari Ahli seperti
dikutip sebagai berikut, "tapi juga bertanya kenapa kita hanya bisa
iba dan membisu ketika air mata telah terkuras dan seolah berada
dalam jalan buntu. Juga bertanya lebih jauh adakah rasa solidaritas
atas nasib buruk itu sendiri terlah terpuruk, karena kita telah
kehilangan semangat berjabat tangan atau kehilangan cara untuk
tersenyum?” Ada beberapa kasus klasik yang dikaitkan yang tetap
aktual relevansinnya, bahkan hingga kini.
Putusan hukuman mati bagi seorang yang memutilasi
seorang insinyur yang menolongnya, memberi pekerjaan,
dan menampung ketika orang itu diputus pekerjaannya.
Korban dipotong, dicincang, dipisahkan, dimasukkan plastik,
dan dibuang di tempat terpisah. Hukuman mati yang
dijatuhkan Ahli mengundang polemik: apakah kita tidak
mempunyai sikap Pancasila?
• Putusan hukuman berat bagi pemerkosa keluarga Acan.
Ahli mengusulkan hukuman keji bagi pelaku pemerkosa dan
bukan seperti yang tertulis dalam Undang-Undang yaitu 12
tahun. Hal itu karena pelaku merusak kehormatan, termasuk
"barang", masa depan, kebahagiaan yang seharusnya juga
diberi makna.
Putusan hukuman bagi pengedar ganja – ketika Ahli bertugas
di Medan, yang menjatuhkan hukuman 12 kali dari tuntutan
jaksa yaitu tuntutan 10 bulan dan 15 bulan, namun akhirnya
diputus dengan selama 10 tahun dan 15 tahun.
Putusan sah perkawinan antara pemeluk agama Katolik yang
tidak mencatatkan pada pemerintah atau catatan sipil.
Pernikahan ini yaitu sah, karena disahkan Pastor, dan
Pastor menikahkan dalam nama Tuhan.
Sehingga yang perlu ditata yaitu prosedurnya. Atau visi ke depan
seolah mampu melihat apa yang akan terjadi pada tiga puluh tahun
mendatang ketika kebejatan moral yang terbentuk dalam perkosaan
bukan sekedar dikutuk oleh mulut melainkan juga harus ditaklukkan
melalui hukuman. Semua itu dilakukan, tiga puluh tahun yang lalu,
barangkali masih akan dipersoalkan pada tiga puluh tahun yang akan
datang. Jalan lurus yang dilangkahi dengan tetap lurus tanpa
288
kompromi, tanpa membelok karena ada patok, yaitu sangat
sederhana. Ahli mengatakan, "Yang sederhana itu yaitu percaya
kepada Yang Di Atas. Kalau sudah percaya kepada Yang Di Atas, tidak
ada lagi ketakutan dan kegelisahan untuk hari esok. Percaya kepada
Dia, itulah yang membimbing saya". Hal ini merupakan sumber
kekuatan "demi keadilan berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa."
Demi keadilan, bukan demi hukum, bukan demi konco, bukan demi
suap, bukan demi jabatan. Warna dasar yang sama itu teraba dalam
surat-surat yang merupakan bisikan lembut sekaligus tegas. Ada
ketulusan dalam surat-suratnya, ada kerendahan hati, ada
keberanian untuk mengingatkan segala sesuatu tanpa diminta.
Bahkan kalau diabaikan pun, tidak membuat sakit hati. Juga tidak
membuat patah hati, masih akan dilakukan karena itulah yang
terbaik, itulah tanggung jawab, yang tetap dilakukan tanpa jabatan,
tanpa imbalan materi.
Ketika ada suatu acara kebudayaan, beliau memberi sambutan yang
disambut dengan tepuk tangan meriah, karena mengawali dan
mengakhiri bukan dengan salam secara Islami dan Kristiani saja,
melainkan semuanya. Dengan fasih, dengan kalimat jernih, juga
ketika mengutip ayat-ayat tanpa semangat berlebih.
Keberanian juga keteguhan dalam menemukan Dia Yang Di Atas,
sebagaimana Nabi Natan, dalam Kitab Perjanjian Lama. Natan yaitu
nabi yang sangat dekat dengan Raja Daud, berpengaruh besar, Natan
pula yang memuji, mendorong, tapi sekaligus juga menegur ketika
Daud bermain serong. Natan menganjurkan Daud membangun
kenisah, tapi sekaligus menyuruhnya berhenti, karena itu tugas yang
akan diselesaikan anaknya, Salomo. Natan pun perlu telinga raja-raja
yang mampu mendengarnya. Begitu pula dengan Ahli (Bismar
"Natan"
Siregar). Dicontohkan pula dengan mengutip riwayat khalifah Umar
bin Abdul Aziz bahwa dia tidak mau naik kereta emas namun memilih
berjalan kaki, menolak tinggal di istana agar dekat dengan rakyat,
tetap ingin mendengar penderitaan rakyat, terlibat langsung dengan
masalah keadilan yang tidak memihak mereka. Alasan dia melakukan
karena takut akan Allah, karena akan ada pertanggungjawaban yang
harus diberikan nantinya.
Bagi Ahli kisah ini bukan sekedar kisah masa lalu belaka,
melainkan juga pelita dan kekuatan dalam zaman ini atau kapan pun.
Ketika godaan kemewahan atau aji mumpung, menjauhkan
289
pemimpin dari rakyat yang mempercayainya. Saat Ahli berujar,
hendaknya yang mempunyai telinga mendengar. Sesungguhnya suara
seperti ini sudah hilang atau samar atau tercemar. Saat Ahli menulis
surat, sebaiknya teraba yang tersirat. Sesungguhnya ini sebuah
hikmat, juga nasihat sendiri. Bahwa berkah-Nya tak pernah sia-sia,
tak musnah percuma. berdasar Pancasila Tap MPR Nomor
II/MPR/1993, ”Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa, bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional
dijiwai, digerakan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi
landasan spiritual, moral dan etik dalam rangka pembangunan
nasional sebagai pengalaman Pancasila (Asas Pembangunan Nasional
Butir C). “Rohaniah dan mental, yaitu keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan tenaga penggerak yang tidak ternilai harganya
bagi pengisian aspirasi bangsa. Juga kepercayaan dan keyakinan
bangsa atas kebenaran falsafah pancasila sebagai satu-satunya asas
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, merupakan modal sikap
mental yang dapat membawa bangsa menuju cita-citanya”.
2. Marzuki Darusman, S.H.
berdasar Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974, untuk
melakukan perceraian harus dipenuhi salah satu dari 8 (delapan)
butir alasan, yaitu bila salah satu pihak melakukan/atau bila terjadi,
secara intisari, hal-hal sebagai berikut:
a. perbuatan tertentu (zina dan sebagainya),
b. meninggalkan suami/istri,
c. hukuman penjara,
d. kekejaman/penganiayaan,
e. cacat badan,
f. perselisihan terus menerus,
g. pelanggaran talak,
h. beralih agama.
Orientasi pemikiran hukum Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974
pada dasarnya mendudukkan pengertian tentang perkawinan lebih
sebagai suatu bentuk hubungan yang bersifat kontraktual/perikatan
daripada pengertian tentang perkawinan sebagai suatu
lembaga/institusi. Khusus tentang Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f
UU 1/1974, yang menyatakan, ”Antara suami dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
290
hidup rukun lagi dalam rumah tangga" terdapat segi-segi yang
bermasalah dalam kaitan dengan beberapa hak asasi manusia yang
tercakup dalam 2 (dua) pasal UUD 1945 yaitu:
1. Pasal 28D ayat (1):
a. hak jaminan perlindungan
b. hak kepastian hukum
2. Pasal 28H ayat (2):
a. hak persamaan
b. hak keadilan.
Segi-segi bermasalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Masalah dalam kaitan dengan hak jaminan perlindungan
Rumusan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 tidak menunjuk
pada sebabsebab sumber perselisihan/pertengkaran.
Rumusan ini memungkinkan berbagai atau aneka sebab yang
dapat di(salah)gunakan untuk mengakibatkan terjadinya
pertengkaran sedemikian rupa sehingga “tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”.
2. Masalah dalam kaitan dengan hak kepastian hukum
Timbulnya masalah ini bersumber langsung pada tidak
terpenuhinya jaminan perlindungan sebagaimana yang
diuraikan di atas. Tidak adanya jaminan perlindungan,
mengakibatkan tiadanya hak kepastian hukum perlindungan
bagi pihak yang menjadi korban dalam perkawinan. Hanya
jika ada kejelasan jaminan perlindungan bagi pihak-pihak
dalam perkawinan, maka hak kepastian hukum perlindungan
bagi mereka dapat ditegakkan.
3. Masalah dalam kaitan dengan persamaan Rumusan Pasal 39
ayat (2) huruf f UU 1/1974 pada dasarnya memberi
kedudukan formal yang sama antara suami dan istri, sebagai
pihsk-pihak dalam perkawinan. Akan tetapi, rumusan ini tidak
memenuhi tuntutan syarat norma universal antara laki-laki
dan wanita dalam kenyataannya. Dalam realitas
kehidupan masyarakat, pada umumnya kedudukan pihak
wanita cenderung lebih lemah dalam hubungan
perkawinan. Ini berarti rumusan itu tidak memenuhi tuntutan
hak persamaan sebagai hak asasi manusia yang
konstitusional yang diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD
1945.
291
4. Masalah dalam kaitan dengan hak keadilan Timbulnya
masalah tidak terpenuhinya pemenuhan hak asasi yang
bertalian dengan hak keadilan, bersumber pada tidak
terpenuhinya hak persamaan dalam Pasal 39 ayat (2) huruf f
UU 1/1974 yang diuraikan di atas. Hak persamaan
merupakan dasar rasional dan konstitutif bagi terwujudnya
keadilan.
Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, berpotensi untuk
disalahgunakan. Pada umumnya, perceraian yang memakai
alasan seperti tertuang dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU
1/1974 disebabkan oleh hal-hal yang secara fitri dapat memicu
keadaan ”antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan
dan pertengkaran”.
Masalah yang mungkin timbul diantaranya terutama yaitu akibat
dari adanya perbuatan salah satu pihak (pada umumnya laki-laki)
dalam hubungan dengan pihak ketiga yang tidak dapat diterima oleh
pihak lainnya (pada umumnya pihak wanita ). Dalam praktek,
keadaan inilah yang menyebabkan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf
f UU 1/1974 ini membatasi perlindungan negara terhadap/atas hak
asasi warga negara. Jika negara tidak melakukan perlindungan
terhadap warga negara sebagaimana yang diwajibkan oleh konstitusi,
maka negara dapat dikatakan melanggar hak-hak asasi manusia.
3. Dr. Makarim Wibisono
Menurut ahli, ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 yang
mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian, huruf f, yang berbunyi "Antara suami dan isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran" bertentangan
dengan konsep hak asasi manusia. Inti dari konsep hak asasi manusia
yaitu seperti mata uang logam. Di satu sisi, konsepnya bertumpu
bahwa semua orang, begitu lahir dari rahim Ibunya yaitu sama, dan
tidak ada bedanya. Di sisi lain oleh karena itu, konsepnya tidak
membenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apapun baik karena
etnik, ras, gender, pendidikan, kekayaan, warna kulit, agama,
pekerjaan, dan kondisi fisik seseorang. Konsep penjelasan Pasal 39
ayat (2) UU 1/1974 merugikan kaum wanita dan isteri karena
tidak memberikan keadilan baginya dan mencerminkan tidak adanya
persamaan hak bagi kaum wanita dan isteri dengan hak suami.
Para suami dapat dengan mudah menceraikan isterinya dengan
alasan terus menerus terjadi perselisihan (dan pertengkaran, karena
292
ketentuan itu tidak meminta atau membutuhkan kejelasan mengenai
siapa pemicunya atau apa yang menjadi cause prima nya. Ini yaitu
hal yang tidak adil. Siapapun kaum wanita atau isteri yang
membangun rumah tangga dengan dasar luhur bersumber dari rasa
cinta dan kasih sayang, tidak akan dapat menerima jikalau suaminya
selingkuh dan menjalin hubungan gelap dengan Wanita Idaman Lain
(WIL). Jadi sumber perselisihan dan pertengkaran itu yaitu karena
adanya skandal dengan pihak ketiga. Apakah kaum wanita dan
isteri itu harus menerima pihak ketiga itu agar perselisihan dan
pertengkaran tidak terjadi ? Dalam hal ini kaum wanita dan isteri
tidak dilindungi sama sekali oleh ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU
1/1974. Dengan demikian ketentuan ini tidak memberikan
kepastian hukum kepada kaum wanita dan isteri pada masa
depan hubungan suami-isteri ini . Sebaliknya, Konstitusi dengan
jelas dan gamblang menjunjung prinsipprinsip universal dan selaras
dengan konsep hak asasi manusia. Pasal 28D ayat (1) dari UUD 1945
menyebutkan bahwa (1) setiap orang herhak atas pengahuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakukan yang sama di hadapan hukum." Dalam pasal 28H ayat (2)
dari UUD 1945 bahkan menekankan raison d'etre nya yaitu "...guna
mencapai persamaan dan keadilan". Dengan demikian telah terjadi
perbenturan norma; di satu pihak Konstitusi dalam hal ini UUD 1945
menjunjung prinsip persamaan, keadilan, dan hak asasi manusia, dan
di lain pihak penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 mengadvokasi
prinsip perbedaan hak antara suami dan isteri. Hal ini sangat
bertentangan dengan kaidah hukum karena penjelasan dari suatu
pasal dari Undang-Undang harus mencerminkan norma yang sama
dengan pasal itu. Dan sifat dari penjelasan itu hanyalah explanatory
bukan merupakan introductory dari norma baru. Karena UUD 1945
yaitu merupakan sumber hukum dari semua Undang- Undang di
Indonesia maka sebaiknya hal ini diluruskan kembali. Penjelasan
Pasal 39 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c , huruf d, dan huruf e
yaitu sangat memadai, mencukupi dan sudah sesuai dengan
prinsip-prinsip persarnaan, keadilan, dan hak asasi manusia.
4. Prof. Dr. Musdah Mulia
Islam diyakini sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam
semesta, (rahmatan lil’ alamin) dan menjanjikan pembebasan bagi
mustadh ’afin (kelompokkelompok yang mengalami marginalisasi di
dalam masyarakat), termasuk di dalamnya yaitu kaum wanita .
293
Karena itu, ajaran Islam sarat dengan nilainilai persamaan yang
istilahnya al-musawah, nilai persaudaraan (al-ikho’) dan kebebasan
(al-hurriyah). Sayangnya nilai-nilai luhur dan ideal ini tatkala
berinteraksi dalam budaya manusia mengalami banyak sekali distorsi,
seperti terbaca dalam berbagai tafsir agama, termasuk tafsir terkait
dengan masalah perkawinan dan perceraian;
Islam sebagai agama menggariskan sejumlah aturan terkait relasi
antarmanusia yang disebut dengan muamalah. Di dalamnya ada
aturan-aturan khusus terkait relasi suami-istri dalam perkawinan
yang disebut dengan munakahat. Dalam konteks muamalah, Islam
menegaskan laki-laki dan wanita sama-sama ciptaan Tuhan,
keduanya berpotensi menjadi khalifatul ‘ardh, sebaliknya keduanya
pun berpotensi menjadi fasadun fil ‘ardh. Keduanya dijanjikan pahala
atas kebaikan yang mereka lakukan, tetapi juga hukuman dan dosa
atas kejahatan dan kemungkaran yang mereka lakukan. Islam
sungguhsungguh mengakui ada perbedaan biologis antara laki dan
wanita . Akan tetapi hak dan kewajiban mereka sebagai manusia
dan sebagai hamba itu yaitu sama, keduanya merupakan mitra
sejajar yang setara, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
Ajaran Islam mempunyai dua aspek penting, aspek vertikal dan aspek
horizontal. Aspek vertikal menjelaskan kewajiban manusia kepada
Tuhan yang disebut dengan habluminallah, sementara aspek
horizontal mengatur hubungan di antara sesama manusia, itulah
yang disebut dengan habluminannas. Begitu pentingnya aspek
horizontal ini, sehingga Al-Quran dan hadis Nabi sarat dengan ajaran-
ajarannya akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, misalnya
ajaran tentang pentingnya suami-istri berlaku arif dan bijaksana
dalam kehidupan keluarga. Suami sebagai orang yang dititipi amanah
oleh Allah harus dapat menjalankan amanah ini dengan sebaik-
baiknya. Suami tidak boleh menceraikan istrinya secara semena-
mena, apalagi dengan sengaja membuat ulah untuk dapat
menimbulkan rasa ketidaknyamanan istri, sehingga timbul konflik
dan percekcokan yang tak habis-habisnya. Keduanya (suami-istri)
diharapkan dapat hidup rukun, saling mencintai, dan saling
melengkapi selamanya, sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Al-Quran membahas isu perkawinan secara rinci dalam banyak ayat.
Dalam penelitian Ahli, tidak kurang dari 104 ayat Al-Quran bicara
tentang perkawinan, baik memakai kosakata an-nikah yang
294
terulang 23 kali maupun memakai kata az-zauj yang berulang 80
kali. Untuk memahami hakikat perkawinan dalam Islam, itu harus
mengurai dan mengkaji seluruh ayat terkait perkawinan dengan
memakai metode tematik atau holistik sekaligus, lalu mencari
benang merah yang menjadi inti sari dari seluruh penjelasan ayat-
ayat ini . Kajian Ahli terhadap keseluruhan ayat perkawinan
ini menyimpulkan paling tidak ada lima prinsip di dalam
perkawinan.
1. Prinsip mitsaqon gholidza, sebuah komitmen yang sangat
kuat bagi suamiistri;
2. Prinsip kedua yaitu mawaddah warahmah, ada cinta dan
kasih sayang di dalamnya;
3. Prinsip musawah, saling melengkapi dan melindungi;
4. Prinsip muasyarah bil ma’ruf, pergaulan yang sopan dan
santun baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi
kemanusiaan;
5. Prinsip monogamy.
Al-Quran dalam banyak ayat, selalu manggambarkan ikatan
perkawinan dengan ungkapan yang luar biasa baiknya yaitu mitsaqon
gholidza, sebuah komitmen yang begitu kuat merupakan perjanjian
suci di antara kedua pihak lakilaki dan wanita yang setara dan
diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, para pihak
berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian
ini . Islam pun sangat kuat mendorong suami-istri agar selalu
menjaga komitmen perkawinan dan merawat cinta kasih agar
perkawinan dapat langgeng selamanya. Akan tetapi, sering kali
realitas dalam kehidupan nyata tidak seindah aturan normatif yang
digariskan, itulah mengapa Islam membuka pintu bagi perceraian,
walaupun dengan aturan yang amat sangat ketat. Data-data historis
mengungkapkan bahwa sebelum kedatangan Rasulullah SAW,
wanita itu tidak berhak menggugat talak, kecuali suami
memberikan hak, itu pun sangat jarang. Lalu dengan kedatangan
Islam, terjadilah perubahan yang sangat-sangat radikal. Islam
membatasi hak talak suami seperti yang terjadi pada masa jahiliah.
Selanjutnya memberikan hak kepada istri untuk menggugat talak
berdasar pertimbangan logis sesuai ajaran agama. Islam
menjamin hak khuluk bagi istri yang nilainya sama dengan hak talak
suami, bahkan Islam mengubah posisi istri dari objek yang tak
berdaya menjadi subjek memiliki kekuatan;
295
Pada zaman arab jahiliah suami menjatuhkan talak dianggap hal biasa
dan sangat umum dilakukan, suami mempunyai hak talak tanpa batas
dan dilakukan secara semena-mena. Perilaku jahiliah menyebabkan
tidak ada rasa kemanusiaan dan tidak ada keadilan bagi suami dalam
memperlakukan istri karena istri hanyalah objek seks. Kondisi jahiliah
inilah yang diubah oleh Nabi secara radikal, Nabi memproklamirkan
bahwa tindakan paling menyenangkan Allah yaitu memerdekakan
budak, sebaliknya talak merupakan tindakan yang paling dibenci
Allah. Walau demikian mustahil menghapuskan kebiasaan Arab
Jahiliyah ini sekaligus. Oleh karenanya, Nabi mengizinkan
adanya talak, dengan catatan semua usaha untuk rujuk, itu tidak
mungkin lagi dilakukan;
Reformasi Islam dalam perceraian yaitu memberikan hak gugat
cerai bagi istri, meski mempertahankan hak talak di tangan suami,
tetapi dia tidak boleh memakai hak itu secara semena-mena, ini
catatan yang paling penting di dalam reformasi Islam. Islam
membolehkan talak, tetapi tetap dinyatakan sebagai perbuatan
paling dibenci Allah karena akan menciptakan ketidakbahagian,
terutama bagi anak dan keluarga. Jadi, perceraian merupakan hal
yang boleh, tetapi dibenci. Karenanya perceraian seharusnya
dilakukan hanya dalam kondisi yang benar-benar terpaksa. Di
samping itu, menjatuhkan talak bukanlah hak semena-mena dari
salah satu pihak, melainkan ada keharusan melibatkan orang ketiga
untuk mencarikan jalan keluar yang mungkin ditempuh. Dengan
ungkapan lain, Islam memperlakukan wanita jauh lebih baik,
jauh lebih manusiawi, dan jauh lebih adil, terutama dalam konteks
perceraian. Dalam banyak buku-buku klasik seperti dalam Al-Umm
As-Syafie menjelaskan, “Perceraian yaitu memutuskan hubungan
suami istri yang dilakukan suami dengan memakai kata talak atau
serupa dengan itu,” ada banyak penjelasan mengenai ini. Akan tetapi,
menarik dicatat bahwa ayat-ayat Al-Quran terkait perceraian,
demikian pula Hadis Nabi tidak menjelaskan secara rinci tentang
alasan yang boleh dipakai suami untuk menceraikan istri atau istri
menggugat cerai suami. Teks-teks Al-Quran dan Hadis lebih banyak
menjelaskan tentang kewajiban suami berbuat baik dan adil kepada
istri, baik sebelum maupun sesudah perceraian. Penjelasan tentang
ketentuan memberikan nafkah kepada anak dan istri pasca-
perceraian juga penjelasan tentang jenis-jenis talak dan implikasinya,
penjelasan tentang ketentuan idah bagi istri dan juga penjelasan
296
tentang kemungkinan rujuk bagi suami-istri lsesudah perceraian
terjadi. Ada kesan yang mendalam bahwa dalam hal perceraian
kebanyakan ayat dan Hadis itu berisi pesan-pesan moral agama untuk
menjaga sikap dan prilaku bijak dan santun, itu lebih banyak
ditujukan kepada suami. Karena konteks masyarakat Arab ketika itu,
bahkan sampai sekarang, masih didominasi oleh budaya patriarki,
suami dianggap memiliki posisi subordinat di dalam keluarga, posisi
yang superior, sebaliknya istri yaitu subordinat dan imperior;
Meski Al-Quran dan Hadis tidak menyebutkan secara rinci tentang
alasan perceraian, namun seorang Pakar Hukum Islam bernama Al-
Sarakhsi penulis kitab Al-Mabsut menjelaskan bahwa fakta penyebab
terjadinya perceraian yaitu antara lain yaitu talak, khuluk, ila’, dan
zihar. Sementara menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, ya sebab-
sebabnya itu yaitu ada khuluk, ada khiyar, ada fasakh, ada syiqaq,
ada nusyuz, ila’, dan zihar. Namun Al-Sarakhsi tetap
menggarisbawahi status hukum perceraian, yakni sebagai tindakan
yang boleh dilakukan hanya dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif
suami, maupun atas inisiatif istri. Berbeda dengan Al-Quran dan
Hadis Nabi, Perundang-Undangan Indonesia yang Ahli maksud
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam
penjelasannya menyebutkan 8 alasan bagi putusnya perkawinan, baik
dengan cerai talak atau cerai gugat. Dalam Undang-Undang di
Malaysia khususnya di negara bagian Perak dan Pahang, itu
menyebutkan perceraian terjadi kalau ada 5 alasan, yaitu suami
impoten, istilah di Malaysia itu mati pucuk. Suami gila, mengidap
penyakit kusta (vertiligo) atau mengidap penyakit kelamin yang bisa
berjangkit selama istri tidak rela dengan kondisi ini . Ketiga, ada
izin persetujuan perkawinan dari istri yang diberikan secara tidak sah,
baik karena terpaksaan, kelupaan, ketidaksempurnaan akal, atau
alasan-alasan yang lain sesuai dengan syariat. Yang keempat, pada
waktu perkawinan suami sakit saraf yang tidak pantas baginya untuk
kawin. Yang kelima, atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh
menurut syariat.
Dari 5 alasan putusnya perkawinan yang diusung oleh Undang-
Undang Malaysia itu, sangat berbeda dengan alasan yang tertera di
dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia. Artinya, meskipun
sama-sama negara berpenduduk mayoritas Islam, alasan perceraian
pada Undang-Undang kedua negara ini sangat berbeda. Hal ini
mengindikasikan bahwa alasan perceraian yang diatur dalam UU
297
1/1974, semata-mata merupakan hasil interprestasi para pembuat
Undang-Undang ini . Alasan ini tidak ditemukan secara
eksplisit di dalam teks-teks suci agama, seperti yang Ahli jelaskan
sebelumnya. Akan tetapi, membuat inteprestasi dalam hukum Islam
itu sangat-sangat dimungkinkan. Abu Hasan Al-Mawardi dan Ibnu
Taimiyah yang misalnya menyatakan bahwa Pemerintah dalam
hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai
bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan perlakuan yang merugikan
dengan menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan
ketentraman dan kedamaian. Sebagai ulil amr, Pemerintah
mempunyai 2 fungsi utama, yaitu (Ahli memakai bahasa Arab)
dan (Ahli memakai bahasa Arab) menjaga agama dan mengatur
urusan dunia. Dalam pelaksanaan kedua fungsi ini wajib ditaati
warganya sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak
pula mendatangkan kemudaratan. Dalam konteks pelaksanaan kedua
fungsi inilah Pemerintah dibenarkan membuat perudang-undangan
dalam bidang siasat syariat. Siasat syariat yaitu seperangkat aturan
yang dibuat Pemerintah dalam rangka menunjang keberlakuan ajaran
Al-Quran dan sunah, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama
sebelumnya. Sekarang ini sejumlah kasus perceraian dirasakan sangat
merugikan kaum wanita , baik sebagai istri maupun sebagai
warga negara, dan itu umumnya didasarkan pada alasan yang tertera
di dalam Undang-Undang Perkawinan. Misalnya dalam penjelasan
Pasal 39 UU 1/1974 bahwa perceraian itu terjadi karena antara suami
dan istri terus-menerus terjadi perselisihan, dan pertengkaran, dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka
sudah sepantasnya Undang-Undang Perkawinan itu ditinjau kembali,
paling tidak pasal-pasal terkait perceraian ini dihilangkan.
Alasannya, ketentuan ini mengandung unsur diskriminatif, dan
merugikan istri, serta tidak sejalan dengan prinsip konstitusi, dan
pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi landasan reformasi
hukum di Indonesia, dan yang pasti, penjelasan itu tidak memiliki
basis yang kuat dalam ajaran Islam. Sehingga perubahan terhadap
Pasal 39 UU 1/1974 perlu untuk dilakukan. Usulan perubahan ini jelas
bertujuan untuk memperdayakan wanita dan mewujudkan
perlindungan menyeluruh terhadap hak asasi wanita sebagai
manusia seutuhnya. Seperti tertuang dalam konstitusi, dan juga
perundang-undangan, serta Konferensi Sedo. Indonesia sudah
meratifikasi konferensi ini dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun
298
1985. Melalui perubahan ini juga diharapkan umat Islam Indonesia
dapat mempromosikan ajaran Islam yang ramah terhadap
wanita dan juga sekaligus rahmat bagi alam semesta.
5. Sinta Nuriya Abdurrahman Wahid
Menurut Ahli bahwa pernikahan itu mempunyai tujuan yang sangat
suci dan mulia, yaitu:
1. Pernikahan dapat menciptakan ketenangan batin, kasih
sayang, dan kesetaraan antara suami dan istri. Hal demikian
termaktub dalam Al-Quran Surat Ar-Ruum ayat 21, “Wamin
aayaatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaajan
litaskunuu ilayhaa waja'ala baynakum mawaddatan
warahmatan inna fii dzaalika laaayaatin liqawmin
yatafakkaruun”, artinya “Dan di antara tandatanda
keagungan Allah, Dia jadikan untukmu pasangan dari jenis
yang sama agar kamu merasa tenteram bersamanya dan Dia
jadikan rasa cinta dan kasih sayang di antara kamu,
sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda bagi orang
yang berpikir”.
2. Dengan perkawinan, maka kelangsungan hidup anak manusia
dapat terjaga dan anak yang dilahirkan pun mempunyai garis
nasab atau garis keturunan yang jelas. Oleh karena itu,
perkawinan dalam Islam haruslah diikat dalam suatu ikatan
yang sangat kuat atau yang disebut miitsaaqan ghaliizh
sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nisa ayat 21;
Mengingat tujuan perkawinan ini begitu luhur dan urgensi,
maka Islam sangat menjaga agar perkawinan dapat dipertahankan
oleh setiap pasangan suami-istri. Hal ini dapat dilihat dari hadis
nabi yang mengatakan “Aghdolul halala indallahi at thalaq,” Artinya
perkara halal yang paling dibenci oleh Allah yaitu menjatuhkan
talak. Ini menunjukkan bahwa seorang suami wajib berusaha
menjauhkan diri dari menjatuhkan talak. Suami hanya dibenarkan
menjatuhkan talak jika terpaksa dan tidak ada cara lain untuk
menghindarinya. Atas dasar ini mayoritas fukaha termasuk Imam
Hanafiah dan Hambali berpendapat bahwa suami diharamkan
menjatuhkan talak kecuali karena darurat atau terpaksa. Ukuran
menentukan darurat didasarkan pada syarah, bukan karena semata-
mata nafsu. Pendapat ini berdasar pada hadis yang
menyatakan“Laknatallahu kullatawaqin witslaqin,” artinya “Allah
mengutuk suami yang tukang cicip lagi suka menalak istri.”
299
Sementara, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa talak diharamkan jika
tidak ada keperluan untuk itu. Karena talak tanpa disertai dengan
alasan yang jelas akan menimbulkan kemudaratan serta
melenyapkan kemaslahatan. Pendapat yang sama disampaikan oleh
Syekh Raksi penulis Kitab Al Maqsud. Dari beberapa pendapat di atas
dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut.
1) Talak boleh dilakukan sepanjang untuk membawa
kemaslahatan bagi semua pihak yang terkait yaitu suami-istri
dan anak-anak. Karena bagaimana pun tidak hanya suami-
istri yang akan menanggung akibat dari perceraian, tetapi
anak-anak juga akan menjadi korban perceraian. Artinya
perceraian itu dilakukan sebagai upaya menjaga harkat
kemanusiaan, bukan legitimasi untuk memuaskan nafsu;
2) Meski hak melakukan talak ada pada seorang suami, namun
harus tetap memerhatikan hak-hak kepentingan dan
martabat kemanusiaan seorang istri. Karena hal ini
merupakan misi utama dari diturunkannya Islam ke dunia
yang menjelaskan hubungan egalitarian antara suami-istri. Ini
dapat dilihat dalam Al-Quran Surat Az-Zariyat, Al-Fathir, An-
Naba, An-Nisa, Yasin, Asy-Syura, Az-Zukhruf, Al-Baqarah, dan
An-Najm;
3) Karena suami memiliki hak mutlak melakukan talak, maka
perlu ada pembatasan dan persyaratan yang ketat sebagai
kontrol agar hak ini tidak digunakan secara
sembarangan oleh seorang suami;
4) Dalam melakukan talak, harus tetap memperhatikan hak-hak
kaum wanita sebagai istri. Artinya, talak tidak bisa
dilakukan secara semenamena tanpa alasan yang jelas dan
dengan mengabaikan hak-hak wanita sebagai istri.
Sebagai upaya untuk melakukan kontrol terhadap penggunaan hak
talak kaum lelaki, maka beberapa ahli fikih melakukan interpretasi
terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadis, di antaranya ialah Imam
Malik dan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa sebab
diperbolehkannya talak yaitu adanya sighat talak, khulu’, khiyar,
fasakh, syiqaq, nusyuz, ila', dan zihar. Pandangan para ulama ahli
fikih ini lalu diderivasikan lebih lanjut oleh Pemerintah
Indonesia melalui UU 1/1974, khususnya dalam Penjelasan Pasal 39
ayat (2) ada 8 (delapan) alasan putusnya perkawinan, baik dengan
cerai talak atau cerai gugat yaitu:
300
a. jika salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi, dan lainnya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak yang lain, dan tanpa alasan
yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun
atau hukuman yang lebih berat lsesudah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai
suami atau istri;
f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan,
dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga;
g. Suami melanggar hak talak;
h. Beralih agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Berkaitan dengan hal ini , perlu ada telaah secara mendalam
terhadap Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 sepanjang
frase ‘”antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran”; Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menaggapi
permasalahan ini, yaitu:
• Kelompok pertama menyatakan bahwa perselisihan dan
pertengkaran dapat menjadi alasan jatuhnya talak karena
perselisihan dan pertengkaran sudah mengingkari tujuan pernikahan
membentuk keluarga sakinah, mawadah, warohmah sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran Surat Ar-Ruum ayat 21;
• Kelompok kedua berpendapat, perselisihan dan pertengkaran sama
sekali tidak bisa me