hukum perkawinan 10

Rabu, 29 Januari 2025

hukum perkawinan 10


 


erdataannya kepada hukum adat 

setempat. Pluralisme hukum ini diatur dan secara tegas dilindungi 

oleh UUD 1945, selama tidak bertentangan dengan citacita 

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai implikasi pluralisme 

hukum, memang tidak dapat dihindari terjadinya friksi-friksi, baik 

yang sederhana maupun yang kompleks, terkait praktek-praktek 

hukum nasional, hukum agama, maupun hukum adat dimaksud. 

Dengan semangat menghindarkan adanya friksi-friksi dan efek negatif 

dari friksi-friksi dimaksud, negara menghadirkan hukum nasional 

(peraturan perundangundangan) yang berusaha menjadi payung bagi 

pluralisme hukum. Tidak dapat dihindarkan jika upaya membuat 

sebuah payung yang mengayomi pluralisme hukum, di satu sisi harus 

menyelaraskan tafsir bagi pelaksanaan hukum agama maupun hukum 

adat. Praktek pembatasan semacam ini mendapatkan 

pembenarannya dalam paham konstitusionalisme, yang bahkan Pasal 

28J ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan tegas bahwa, “Dalam 

menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk 

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang 

dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta 

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk 

memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, 

nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu 

masyarakat demokratis.” Dalam kenyataannya, di Indonesia masih 

banyak terdapat perkawinan yang hanya mendasarkan pada hukum 

agama atau kepercayaan, yaitu berpegang pada syarat-syarat sahnya 

perkawinan menurut ajaran agama atau kepercayaan tertentu tanpa 

melakukan pencatatan perkawinan sebagai bentuk jaminan kepastian 

hukum dari negara atas akibat dari suatu perkawinan. Kenyataan ini 

dalam prakteknya dapat merugikan wanita, sebagai istri, dan anak-

277  

anak yang lahir dari perkawinan ini . Terkait dengan 

perlindungan terhadap wanita dan anak anak sebagaimana telah 

diuraikan di atas, terdapat perbedaan kerugian akibat perkawinan 

yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 dari sisi subjek hukumnya, 

yaitu (i) akibat bagi wanita atau istri; dan (ii) akibat bagi anak-anak 

yang lahir dari perkawinan dimaksud. 

[6.5]  Secara teoritis, norma agama atau kepercayaan memang 

tidak dapat dipaksakan oleh negara untuk dilaksanakan, karena 

norma agama atau kepercayaan merupakan wilayah keyakinan 

transendental yang bersifat privat, yaitu hubungan antara manusia 

dengan penciptanya; sedangkan norma hukum, dalam hal ini UU 

1/1974, merupakan ketentuan yang dibuat oleh negara sebagai 

perwujudan kesepakatan warga (masyarakat) dengan negara 

sehingga dapat dipaksakan keberlakuannya oleh negara 

(Pemerintah). Potensi kerugian akibat perkawinan yang tidak 

didasarkan pada UU 1/1974, bagi wanita (istri) sangat beragam, 

tetapi sebenarnya yang terpenting  yaitu  apakah kerugian ini  

dapat dipulihkan atau tidak. Di sinilah titik krusial UU 1/1974 

terutama pengaturan mengenai pencatatan perkawinan. Dalam 

konteks sistem hukum perkawinan, perlindungan oleh negara 

(Pemerintah) terhadap pihak-pihak dalam perkawinan, terutama 

terhadap wanita sebagai istri, hanya dapat dilakukan jika perkawinan 

dilakukan secara sadar sesuai dengan UU 1/1974, yang salah satu 

syaratnya  yaitu  perkawinan dilakukan dengan dicatatkan sesuai 

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (vide Pasal 2 

UU 1/1974). 

Konsekuensi lebih jauh, terhadap perkawinan yang dilaksanakan 

tanpa dicatatkan, negara tidak dapat memberikan perlindungan 

mengenai status perkawinan, harta gono-gini, waris, dan hak-hak lain 

yang timbul dari sebuah perkawinan, karena untuk membuktikan 

adanya hak wanita (istri) harus dibuktikan terlebih dahulu adanya 

perkawinan antara wanita (istri) dengan suaminya. 

[6.6]  Perkawinan yang tidak didasarkan pada UU 1/1974 juga 

memiliki potensi untuk merugikan anak yang dilahirkan dari 

perkawinan ini . Potensi kerugian bagi anak yang terutama 

 yaitu  tidak diakuinya hubungan anak dengan bapak kandung (bapak 

biologis)-nya, yang tentunya mengakibatkan tidak dapat dituntutnya 

kewajiban bapak kandungnya untuk membiayai kebutuhan hidup 

anak dan hak-hak keperdataan lainnya. Selain itu, dalam masyarakat 

278  

yang masih berupaya mempertahankan kearifan nilai-nilai 

tradisional, pengertian keluarga selalu merujuk pada pengertian 

keluarga batih atau keluarga elementer, yaitu suatu keluarga yang 

terdiri dari ayah, ibu, dan anak (anak-anak). Keberadaan anak dalam 

keluarga yang tidak memiliki kelengkapan unsur keluarga batih atau 

tidak memiliki pengakuan dari bapak biologisnya, akan memberikan 

stigma negatif, misalnya, sebagai anak haram. Stigma ini  yaitu  

sebuah potensi kerugian bagi anak, terutama kerugian secara sosial-

psikologis, yang sebenarnya dapat dicegah dengan tetap mengakui 

hubungan anak dengan bapak biologisnya. Dari perspektif peraturan 

perundang-undangan, pembedaan perlakuan terhadap anak karena 

sebab-sebab tertentu yang sama sekali bukan diakibatkan oleh 

tindakan anak bersangkutan, dapat dikategorikan sebagai tindakan 

yang diskriminatif. Potensi kerugian ini  dipertegas dengan 

ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU 1/1974 yang menyatakan, “Anak yang 

dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata 

dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Keberadaan Pasal a quo 

menutup kemungkinan bagi anak untuk memiliki hubungan 

keperdataan dengan bapak kandungnya. Hal ini   yaitu  risiko 

dari perkawinan yang tidak dicatatkan atau perkawinan yang tidak 

dilaksanakan menurut UU 1/1974, tetapi tidaklah pada tempatnya 

jika anak harus ikut menanggung kerugian yang ditimbulkan oleh 

tindakan (perkawinan) kedua orang tuanya. Jika dianggap sebagai 

sebuah sanksi, hukum negara maupun hukum agama (dalam hal ini 

agama Islam) tidak mengenal konsep anak harus ikut menanggung 

sanksi akibat tindakan yang dilakukan oleh kedua orang tuanya, atau 

yang dikenal dengan istilah “dosa turunan”. Dengan kata lain, potensi 

kerugian akibat perkawinan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan 

UU 1/1974 merupakan risiko bagi laki-laki dan wanita yang 

melakukan perkawinan, tetapi bukan risiko yang harus ditanggung 

oleh anak yang dilahirkan dalam perkawinan ini . Dengan 

demikian, menurut saya, pemenuhan hak-hak anak yang terlahir dari 

suatu perkawinan, terlepas dari sah atau tidaknya perkawinan 

ini  menurut hukum negara, tetap menjadi kewajiban kedua 

orang tua kandung atau kedua orang tua biologisnya. 

 

PANITERA PENGGANTI, 

ttd. 

Mardian Wibowo 

279  

B. Persoalan Alasan Perceraian (Analisis Putusan Nomor 

38/PUU-IX/2011) 

 

PUTUSAN 

Nomor 38/PUU-IX/2011 

DEMI KEADILAN berdasar  KETUHANAN YANG MAHA ESA 

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA 

[1.1]  Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan 

terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan 

oleh: 

[1.2]  Nama   : Halimah Agustina binti Abdullah Kamil 

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga 

Alamat   : Jalan Tanjung Nomor 23, Kelurahan 

Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat 

berdasar  Surat Kuasa Khusus bertanggal 14 Mei 2011 memberi 

kuasa kepada Chairunnisa Jafizham, S.H. dan Prof. Dr. HM. Laica 

Marzuki, S.H., keduanya  yaitu  Advokat dan Konsultan Hukum yang 

beralamat di Jalan Garut Nomor 1-A Jakarta Pusat, baik sendiri-

sendiri maupun secara bersama-sama, bertindak 

sebagai kuasa hukum pemberi kuasa; 

Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------------

------------------- Pemohon; 

[1.3]  Membaca permohonan dari Pemohon; 

Mendengar keterangan dari Pemohon; 

Mendengar dan membaca keterangan Pemerintah; 

Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan 

Rakyat; 

Mendengar dan membaca keterangan tertulis ahli dari 

Pemohon; 

Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon; 

Membaca kesimpulan dari Dewan Perwakilan Rakyat; 

2. DUDUK PERKARA 

280  

[2.1]  Menimbang bahwa Pemohon mengajukan permohonan 

dengan surat permohonan bertanggal 30 Mei 2011 yang diterima di 

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut 

Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 8 Juni  2011, berdasar  

Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 233/PAN.MK/2011 dan 

diregistrasi dengan Nomor 38/PUU-IX/2011 pada tanggal 20 Juni 

2011 yang menguraikan hal-hal sebagai berikut: 

A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi 

Bahwa berdasar  ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang 

Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) juncto Pasal 10 

ayat (1) huruf a Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang 

Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU 24/2003), salah satu 

kewenangan Mahkamah  yaitu  mengadili pada tingkat pertama dan 

terakhir yang bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap 

Undang- Undang Dasar. Bahwa permohonan ini diajukan kepada 

Mahkamah guna menguji penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 

(selanjutnya disebut UU 1/1974), sepanjang frasa "Antara suami dan 

isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..." 

terhadap UUD 1945. Oleh karena itu, Mahkamah berwenang untuk 

memeriksa, mengadili dan memutus permohonan Pemohon. 

B. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon 

Pemohon  yaitu  perorangan warga negara Indonesia yang dirugikan 

hak konstitusionalnya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) 

UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, sehubungan dengan 

diberlakukannya Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, 

sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus terjadi 

perselisihan dan pertengkaran...". Pemohon  yaitu  isteri dari lelaki, 

bernama Bambang Trihatmojo bin HM. Soeharto, dikawini olehnya 

pada hari Sabtu, tanggal 24 Oktober 1981, yang dicatatkan pada 

Kantor Urusan Agama Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan. Sesuai 

dengan kutipan Akte Nikah Nomor 692/182/X/1981 tanggal 24 

Oktober 1981. Bahwa dari perkawinan Pemohon dengan lelaki 

Bambang Trihatmojo bin HM. Soeharto ini  telah dikaruniai 3 

(tiga) orang anak kandung, yakni: 

1. Gendis Siti Hatmanti, wanita , lahir di Jakarta, tanggal 26 

September 1982; 

281  

2. Bambang Panji Adhikumoro, lelaki, lahir di Jakarta, tanggal 22 

Juni 1986; 

3. Bambang Aditya Trihatmanto, lelaki lahir di Jakarta, tanggal 

23 Mei 1990. 

Bahwa Pemohon dengan suaminya sebagai suami isteri telah memilih 

tempat kediaman bersama yang terakhir di Jalan Tanjung Nomor 23, 

Kelurahan Gondangdia, Kecamatan Menteng, Jakarta Pusat. Bahwa 

awalnya kehidupan rumah tangga Pemohon dengan suaminya 

dirasakan cukup baik, serasi, dan harmonis, namun sejak tahun 2002 

mulai timbul perselisihan dan pertengkaran, bermula di kala 

diketahui suami menjalin hubungan 

gelap (backstreet) dengan wanita  lain, bernama Mayangsari. 

Suami Pemohon tidak lagi mengasihi Pemohon dan anak-anaknya. Di 

kala Pemohon menasihatinya, ia berperilaku kasar dan kejam, 

acapkali memukul Pemohon dan anak-anak. Pertengkaran dan 

perselisihan memang telah merasuki rumah tangga Pemohon tetapi 

penyebab pertengkaran  yaitu  suami yang acapkali kalap dan lupa 

diri, bukan Pemohon yang sesungguhnya masih mencintai suami dan 

berupaya menyelamatkan rumah tangga. Namun suami Pemohon, 

Bambang Trihatmodjo tidak lagi mengasihi Pemohon, tidak lagi 

memberi nafkah lahir dan batin, bahkan sejak tahun 2002 itu pula, ia 

meninggalkan tempat kediaman bersama di jalan Tanjung Nomor 23, 

Jakarta Pusat dan memilih hidup bersama dengan Mayangsari. Pada 

tanggal 21 Mei 2007, suami Pemohon memasukkan gugatan cerai 

(talak) terhadap Pemohon di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, 

dengan alasan di antara dirinya dan Pemohon "sering terjadi 

perselisihan dan pertengkaran", menyebabkan rumah tangga 

Pemohon dan dirinya tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, justru 

gugatan cerai (talak) dibuat olehnya di kala sudah tinggal bersama 

dengan Mayangsari. Pemohon, selaku isteri, berupaya 

menyelamatkan rumah tangganya, tidak mau bercerai namun selama 

proses perceraian (talak) yang berkepanjangan, badan pengadilan 

pada akhirnya memutus cerai (talak) perkawinan Bambang 

Trihatmodjo dengan Pemohon, dengan alasan antara Pemohon dan 

suaminya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran, menyebabkan 

rumah tangga bersama tidak ada harapan akan hidup rukun lagi, 

sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974. 

282  

Terdapat hubungan sebat akibat (causal verband) antara kerugian 

hak konstitusional Pemohon, berupa hak jaminan perlindungan, 

kepastian hukum, dan keadilan dengan ketentuan Penjelasan Pasal 

39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yang dimohonkan pengujian dalam 

perkara ini. 

C. Pokok Permohonan 

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yang dimohonkan 

pengujian Undang-Undang, berbunyi: 

2. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian 

 yaitu : 

a. ... dst; 

f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran...; 

Ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 dimaksud 

dipandang merugikan hak konstitusional Pemohon, sebagaimana 

dijamin konstitusi dalam: 

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi: "Setiap orang berhak atas 

pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil 

serta perlakuan sama di hadapan hukum", dan Pasal 28H ayat (2) 

UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak mendapat 

kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan 

dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan". 

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 yang kelak dijabarkan 

pula dalam Pasal 116, huruf f Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya 

disebut KHI), memuat salah satu alasan perceraian: "Antara suami 

dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran..." 

tanpa mengatur secara hukum normatif bahwa manakala terjadi 

perselisihan dan pertengkaran suami-isteri, niscaya dan bukan tidak 

mungkin terdapat personae penyebab timbulnya perselisihan dan 

pertengkaran rumah tangga. Kebanyakan pihak isteri dikorbankan 

dalam perselisihan dan pertengkaran rumah tangga, justru di kala 

suami merupakan personae penyebab perselisihan dan pertengkaran 

itu. Misalnya, suami menjalin hubungan gelap (backstreet) dengan 

wanita  lain, lalu meninggalkan tempat kediaman bersama. 

Perselisihan dan pertengkaran antara keduanya niscaya tidak 

terhindarkan tetapi "aturan hukum" tidak menjamin perlindungan, 

kepastian hukum, dan keadilan bagi isteri yang dikorbankan, yang 

kelak diputus cerai (talak) pula perkawinannya oleh badan 

283  

pengadilan, dengan pertimbangan hukum: tidak ada harapan akan 

rukun lagi dalam rumah tangga (onheelbare tweespalt). 

Dalam Burgerlijk Wetboek (= BW. Ned. India), tidak dicantumkan hal 

perselisihan dan pertengkaran suami – isteri yang terus menerus 

sebagai alasan perceraian. Pasal 209 BW. Ned. India (1848) 

menetapkan alasan-alasan perceraian: 

1. zinah; 

2. meninggalkan tempat kediaman bersama secara itikad buruk; 

3. dijatuhi pidana penjara 5 tahun atau lebih, sesudah 

perkawinan; 

4. pelukaan atau penganiayaan berat oleh yang satu terhadap 

yang lain, atau sebaliknya, yang bisa membahayakan jiwa 

atau mengakibatkan luka-luka yang berbahaya 

Syariat Islam juga tidak memuat hal perselisihan dan pertengkaran 

suami -isteri sebagai alasan cerai (talak), kecuali: 

1. Isteri berzina; 

2. Isteri musyuz meskipun telah dinasihati berulangkali; atau 

3. Isteri pemabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang 

dapat menggangu ketenteraman dan kerukunan rumah 

tangga (Mandani, 2011:29). 

Islam melindungi dan menjamin kedudukan isteri. "Bergaullah 

dengan isterimu menurut patutnya, maka jika kamu benci 

kepadanya, janganlah bersegera menjatuhkan talaknya. Barangkali 

kamu membenci pada sesuatu perkara sedang Allah menjadikan 

kebajikan yang banyak di dalamnya (S. An — Nisa : 19.) Isteri tidak 

bisa diperlakukan sewenang-wenang oleh suaminya, termasuk jika ia 

tidak mau dicerai (talak) karena masih mengasihi keluarganya, 

terutama karena sebagai isteri dan ibu anak-anaknya, ia tidak 

bersalah. Isteri berhak atas rumah tangga yang sakinah dan 

mawaddah. Setiap norma (aturan) hukum perkawinan dapat 

mengatur hal onheelbare tweespalt, seperti halnya incasu dalam 

batang tubuh Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 yang merumuskan 

"...antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup sebagai suami isteri" 

tetapi tidak boleh disertai aturan norma hukum baru terhadap pasal 

Batang Tubuhnya, seperti termaktub in casu dalam Penjelasan Pasal 

39 ayat (2), huruf f UU 1/1974 yang merumuskan frasa: "Antara 

suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran...", menyebabkan ketidakjelasan dari norma Batang 

Tubuh yang dijelaskan, sebagaimana tidak diperkenankan dalam vide 

284  

Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang 

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut 

dengan UU 10/2004). Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974 tidak mengatur hal personae penyebab perselisihan dan 

pertengkaran suami isteri yang terus menerus. Kebanyakan pihak 

isteri dirugikan hak konstitusionalnya,misalnya dalam hal suami 

menjalin hubungan gelap (backstreet) dengan wanita  lain, 

seraya meninggalkan tempat kediaman bersama dan tinggal bersama 

kekasihnya. Penjelasan Undang-Undang, lazim disebut memorie van 

toelichting, berada di luar kerangka Batang Tubuh, pada umumnya 

terdiri atas Penjelasan Umum dan Penjelasan pasal demi pasal. 

Undang-Undang (= batang tubuh), diundangkan (afkondiging) dalam 

Lembaran Negara, sedangkan penjelasan Undang-Undang dimuat 

dalam Tambahan Lembaran Negara. Tatkala terdapat ketidakjelasan 

atau pertentangan teks Batang Tubuh dengan Penjelasan maka teks 

Batang Tubuh menyampingkan penjelasan Undang-Undang. 

Penduduk (burgers) hanya terikat pada Undang-Undang (wet, Gezet). 

Mereka tidak harus mengetahui semua penjelasan dan semua 

pembicaraan dan pembahasan tentang Undang-Undang dimaksud, 

mengutip Rapport Wetgevingstechniek, 1948. Penjelasan Pasal 39 

ayat (2) huruf f UU 1/1974 tidak hanya merugikan hak konstitusional 

Pemohon, berkenaan dengan hal jaminan perlindungan kepastian 

dan keadilan tetapi juga merugikan hak konstitusional kaum isteri di 

negeri ini, sebagaimana in casu termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) 

UUD 1945 dan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945. 

berdasar  seluruh uraian permohonan di atas, Pemohon 

memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa dan 

memutus permohonan ini sebagai berikut: 

1. Menerima dan mengabulkan permohonan untuk seluruhnya; 

2. Menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, 

sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus 

terjadi perselisihan dan pertengkaran..." bertentangan 

dengan UUD 1945; 

3. Menyatakan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, 

sepanjang frasa "Antara suami dan isteri terus menerus 

terjadi perselisihan dan pertengkaran..." tidak mempunyai 

kekuatan hukum mengikat; 

4. Memerintahkan pencabutan pengundangan Penjelasan Pasal 

39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, sepanjang frasa "Antara suami 

285  

dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran..." dalam Tambahan Lembaran Negara dan 

memerintahkan pemuatan putusan atas permohonan ini 

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia; 

[2.2]  Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, 

Pemohon mengajukan alat bukti surat/tulisan yang telah diberi tanda 

Bukti P-1 sampai dengan Bukti P-7 sebagai berikut: 

1. Bukti P-1 : Fotokopi Salinan Putusan Pengadilan Agama 

Jakarta Pusat Nomor 249/Pdt.G/2007/PAJP; 

2. Bukti P-2 : Fotokopi Salinan Putusan Pengadilan Tinggi DKI 

Jakarta Nomor 48/Pdt.G/2008/PTA.JK; 

3. Bukti P-3 : Fotokopi Salinan Putusan Kasasi Mahkamah Agung 

Republik Indonesia Nomor 184 K/AG/2009; 

4. Bukti P-4 : Fotokopi Salinan Putusan Peninjauan Kembali 

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 67 

PK/AG/2010; 

5. Bukti P-5 : Fotokopi Surat Nikah; 

6. Bukti P-6 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk dan Kartu 

Keluarga; 

7. Bukti P-7 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 

tentang Perkawinan; 

Selain itu, Pemohon mengajukan 5 (lima) orang ahli yang 

menyampaikan keterangan di bawah sumpah dalam persidangan 

tanggal 10 Agustus 2011, tanggal 11 Oktober 2011, dan tanggal 25 

Oktober 2011, yang 

mengemukakan hal-hal sebagai berikut: 

1. Bismar Siregar, S.H. 

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 (selanjutnya disebut UU 

19/1964) telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 

1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya 

disebut UU 14/1970), seharusnya lebih tegas, tidak seyogyanya 

sesudah merdeka melanjuti hukum yang bercorak nasional. Karena di 

dalam hukum yang demikian itu kecuali melalui Undang- Undang, 

teringat adanya kepastian hukum bahwa jika telah ada Undang-

Undang yang tidak boleh dirubah, disimpangi oleh siapapun juga. 

Walaupun UU 19/1964 

telah diganti dengan UU 14/1970, menurut ahli tidak perlu tuntutan, 

walaupun sebenarnya menurut pihak yang berpijak pada kepastian 

hukum, ada ketentuan bahwa Pemerintah berhak untuk mencampuri 

286  

jalannya peradilan jika peradilan itu untuk kepentingan penentuan 

terakhir menghambat atau mengalami hambatan. Namun, sampai 

sekarang dirasa belum ada sesuatu yang boleh dicampurtangani oleh 

Pemerintah, karena semua berjalan dengan baik berlandaskan 

sumpah "Demi Keadian" dan jika ada yang kurang ialah masih tetap 

berlanjutnya bukan demi hukum, tetapi demi keadilan berdasar  

Ketuhanan Yang Maha Esa. Irah-irah demi kepastian hukum harus 

digantikan dengan demi keadilan berdasar  Ketuhanan Yang Maha 

Esa. Bilamana ini memang dijadikan patokan, terasa dan terbayang di 

dalam diri manusia makna Ketuhanan Yang Maha Esa itu di dalam 

perhukuman. Terdapat perbedaan pendapat di antara mereka yang 

masih tetap konservatif, mengikuti warisan hukum dahulu, di mana 

mereka mengutamakan kepastian hukum daripada keadilan hukum. 

Terkait irah-irah ini bukan semertasemerta ada, tetapi berasal dari 

dasar UUD 1945 dan Pancasila, konon atas nama 

keadilan berdasakan ketuhanan tercantum di dalam Pasal 29 ayat (1) 

UUD 1945, lalu  dikutip sebagai Pancasila. Tetapi Pancasila itu 

sampai sekarang belum terwujud di dalam kenyataan. Oleh karena 

itu dikatakan revolusi hukum. Seharusnya yang ada sekarang 

ditiadakan dan yang tidak ada sekarang diadakan bila diperlukan. 

Itulah makna revolusi-revolusi tentang hukum. lsesudah  66 tahun 

Undang-Undang ada ditengah kita, masihkah kita merasakan jiwa dan 

roh dari Ketuhanan Yang Maha Esa dalam putusan setiap hakim? 

Patut diakui bukan tidak diakui, kalau tidak diakui berarti sudah, titik, 

tamat, atau selesai, tapi jika belum maka putusan yang akan 

ditetapkan mempertimbangkan pemohonan perceraian antara 

seorang bernama Bambang Tri Suharto. lalu  ia menjatuhkan 

talak kepada Siti Halimah lsesudah  sekian puluh tahun mereka 

membina kehidupan rumah tangga. Oleh karena itu timbul 

pertanyaan lsesudah  permohonan kasasi Bambang diperiksa dan 

diadili oleh hakim Mahkamah Agung, menyatakan bahwa tindakan 

atau hubungan antara Bambang dan Halimah yaitu tidak sesuai 

dengan kerukunan, oleh karena itu Bambang berhak untuk 

menjatuhkan talak untuk perceraian. Makanya berbahagialah yang 

mendapat kemenangan, maka menangislah yang mendapat 

kekalahan walaupun demikian bertentangan dengan keadilan 

berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun itupun harus 

dikembalikan kepada kehendak Allah, dalam kehendak Allah itu maka 

harus pegang teguh, bertanya ada apa di balik musibah ini. Terdapat 

287  

pedoman dalam Surat An-Nisa ayat 58, "bila engkau menegakkan 

hukum, tegakkanlah dengan adil". Dan tanpa berkelebihan 

dilampirkan juga kata pengantar dari Arswendo dalam buku Surat 

kepada Pemimpin yang merupakan kumpulan tulisan dari Ahli seperti 

dikutip sebagai berikut, "tapi juga bertanya kenapa kita hanya bisa 

iba dan membisu ketika air mata telah terkuras dan seolah berada 

dalam jalan buntu. Juga bertanya lebih jauh adakah rasa solidaritas 

atas nasib buruk itu sendiri terlah terpuruk, karena kita telah 

kehilangan semangat berjabat tangan atau kehilangan cara untuk 

tersenyum?” Ada beberapa kasus klasik yang dikaitkan yang tetap 

aktual relevansinnya, bahkan hingga kini. 

  Putusan hukuman mati bagi seorang yang memutilasi 

seorang insinyur yang menolongnya, memberi pekerjaan, 

dan menampung ketika orang itu diputus pekerjaannya. 

Korban dipotong, dicincang, dipisahkan, dimasukkan plastik, 

dan dibuang di tempat terpisah. Hukuman mati yang 

dijatuhkan Ahli mengundang polemik: apakah kita tidak 

mempunyai sikap Pancasila? 

  • Putusan hukuman berat bagi pemerkosa keluarga Acan. 

Ahli mengusulkan hukuman keji bagi pelaku pemerkosa dan 

bukan seperti yang tertulis dalam Undang-Undang yaitu 12 

tahun. Hal itu karena pelaku merusak kehormatan, termasuk 

"barang", masa depan, kebahagiaan yang seharusnya juga 

diberi makna.  

  Putusan hukuman bagi pengedar ganja – ketika Ahli bertugas 

di Medan, yang menjatuhkan hukuman 12 kali dari tuntutan 

jaksa yaitu tuntutan 10 bulan dan 15 bulan, namun akhirnya 

diputus dengan selama 10 tahun dan 15 tahun.  

  Putusan sah perkawinan antara pemeluk agama Katolik yang 

tidak mencatatkan pada pemerintah  atau catatan sipil. 

Pernikahan ini   yaitu  sah, karena disahkan Pastor, dan 

Pastor menikahkan dalam nama Tuhan. 

Sehingga yang perlu ditata  yaitu  prosedurnya. Atau visi ke depan 

seolah mampu melihat apa yang akan terjadi pada tiga puluh tahun 

mendatang ketika kebejatan moral yang terbentuk dalam perkosaan 

bukan sekedar dikutuk oleh mulut melainkan juga harus ditaklukkan 

melalui hukuman. Semua itu dilakukan, tiga puluh tahun yang lalu, 

barangkali masih akan dipersoalkan pada tiga puluh tahun yang akan 

datang. Jalan lurus yang dilangkahi dengan tetap lurus tanpa 

288  

kompromi, tanpa membelok karena ada patok,  yaitu  sangat 

sederhana. Ahli mengatakan, "Yang sederhana itu  yaitu  percaya 

kepada Yang Di Atas. Kalau sudah percaya kepada Yang Di Atas, tidak 

ada lagi ketakutan dan kegelisahan untuk hari esok. Percaya kepada 

Dia, itulah yang membimbing saya". Hal ini  merupakan sumber 

kekuatan "demi keadilan berdasar  Ketuhanan Yang Maha Esa." 

Demi keadilan, bukan demi hukum, bukan demi konco, bukan demi 

suap, bukan demi jabatan. Warna dasar yang sama itu teraba dalam 

surat-surat yang merupakan bisikan lembut sekaligus tegas. Ada 

ketulusan dalam surat-suratnya, ada kerendahan hati, ada 

keberanian untuk mengingatkan segala sesuatu tanpa diminta. 

Bahkan kalau diabaikan pun, tidak membuat sakit hati. Juga tidak 

membuat patah hati, masih akan dilakukan karena itulah yang 

terbaik, itulah tanggung jawab, yang tetap dilakukan tanpa jabatan, 

tanpa imbalan materi. 

Ketika ada suatu acara kebudayaan, beliau memberi sambutan yang 

disambut dengan tepuk tangan meriah, karena mengawali dan 

mengakhiri bukan dengan salam secara Islami dan Kristiani saja, 

melainkan semuanya. Dengan fasih, dengan kalimat jernih, juga 

ketika mengutip ayat-ayat tanpa semangat berlebih. 

Keberanian juga keteguhan dalam menemukan Dia Yang Di Atas, 

sebagaimana Nabi Natan, dalam Kitab Perjanjian Lama. Natan  yaitu  

nabi yang sangat dekat dengan Raja Daud, berpengaruh besar, Natan 

pula yang memuji, mendorong, tapi sekaligus juga menegur ketika 

Daud bermain serong. Natan menganjurkan Daud membangun 

kenisah, tapi sekaligus menyuruhnya berhenti, karena itu tugas yang 

akan diselesaikan anaknya, Salomo. Natan pun perlu telinga raja-raja 

yang mampu mendengarnya. Begitu pula dengan Ahli (Bismar 

"Natan" 

Siregar). Dicontohkan pula dengan mengutip riwayat khalifah Umar 

bin Abdul Aziz bahwa dia tidak mau naik kereta emas namun memilih 

berjalan kaki, menolak tinggal di istana agar dekat dengan rakyat, 

tetap ingin mendengar penderitaan rakyat, terlibat langsung dengan 

masalah keadilan yang tidak memihak mereka. Alasan dia melakukan 

karena takut akan Allah, karena akan ada pertanggungjawaban yang 

harus diberikan nantinya. 

Bagi Ahli kisah ini  bukan sekedar kisah masa lalu belaka, 

melainkan juga pelita dan kekuatan dalam zaman ini atau kapan pun. 

Ketika godaan kemewahan atau aji mumpung, menjauhkan 

289  

pemimpin dari rakyat yang mempercayainya. Saat Ahli berujar, 

hendaknya yang mempunyai telinga mendengar. Sesungguhnya suara 

seperti ini sudah hilang atau samar atau tercemar. Saat Ahli menulis 

surat, sebaiknya teraba yang tersirat. Sesungguhnya ini sebuah 

hikmat, juga nasihat sendiri. Bahwa berkah-Nya tak pernah sia-sia, 

tak musnah percuma. berdasar  Pancasila Tap MPR Nomor 

II/MPR/1993, ”Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang 

Maha Esa, bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional 

dijiwai, digerakan, dan dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan 

terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai nilai luhur yang menjadi 

landasan spiritual, moral dan etik dalam rangka pembangunan 

nasional sebagai pengalaman Pancasila (Asas Pembangunan Nasional 

Butir C). “Rohaniah dan mental, yaitu keimanan dan ketaqwaan 

terhadap Tuhan Yang 

Maha Esa merupakan tenaga penggerak yang tidak ternilai harganya 

bagi pengisian aspirasi bangsa. Juga kepercayaan dan keyakinan 

bangsa atas kebenaran falsafah pancasila sebagai satu-satunya asas 

dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, merupakan modal sikap 

mental yang dapat membawa bangsa menuju cita-citanya”. 

2. Marzuki Darusman, S.H. 

berdasar  Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974, untuk 

melakukan perceraian harus dipenuhi salah satu dari 8 (delapan) 

butir alasan, yaitu bila salah satu pihak melakukan/atau bila terjadi, 

secara intisari, hal-hal sebagai berikut: 

a. perbuatan tertentu (zina dan sebagainya), 

b. meninggalkan suami/istri, 

c. hukuman penjara, 

d. kekejaman/penganiayaan, 

e. cacat badan, 

f. perselisihan terus menerus, 

g. pelanggaran talak, 

h. beralih agama. 

Orientasi pemikiran hukum Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 

pada dasarnya mendudukkan pengertian tentang perkawinan lebih 

sebagai suatu bentuk hubungan yang bersifat kontraktual/perikatan 

daripada pengertian tentang perkawinan sebagai suatu 

lembaga/institusi. Khusus tentang Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f 

UU 1/1974, yang menyatakan, ”Antara suami dan istri terus menerus 

terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan 

290  

hidup rukun lagi dalam rumah tangga" terdapat segi-segi yang 

bermasalah dalam kaitan dengan beberapa hak asasi manusia yang 

tercakup dalam 2 (dua) pasal UUD 1945 yaitu: 

1. Pasal 28D ayat (1): 

a. hak jaminan perlindungan 

b. hak kepastian hukum 

2. Pasal 28H ayat (2): 

a. hak persamaan 

b. hak keadilan. 

Segi-segi bermasalah ini   yaitu  sebagai berikut: 

1. Masalah dalam kaitan dengan hak jaminan perlindungan 

Rumusan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 tidak menunjuk 

pada sebabsebab sumber perselisihan/pertengkaran. 

Rumusan ini memungkinkan berbagai atau aneka sebab yang 

dapat di(salah)gunakan untuk mengakibatkan terjadinya 

pertengkaran sedemikian rupa sehingga “tidak ada harapan 

akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”. 

2. Masalah dalam kaitan dengan hak kepastian hukum 

Timbulnya masalah ini bersumber langsung pada tidak 

terpenuhinya jaminan perlindungan sebagaimana yang 

diuraikan di atas. Tidak adanya jaminan perlindungan, 

mengakibatkan tiadanya hak kepastian hukum perlindungan 

bagi pihak yang menjadi korban dalam perkawinan. Hanya 

jika ada kejelasan jaminan perlindungan bagi pihak-pihak 

dalam perkawinan, maka hak kepastian hukum perlindungan 

bagi mereka dapat ditegakkan. 

3. Masalah dalam kaitan dengan persamaan Rumusan Pasal 39 

ayat (2) huruf f UU 1/1974 pada dasarnya memberi 

kedudukan formal yang sama antara suami dan istri, sebagai 

pihsk-pihak dalam perkawinan. Akan tetapi, rumusan ini tidak 

memenuhi tuntutan syarat norma universal antara laki-laki 

dan wanita  dalam kenyataannya. Dalam realitas 

kehidupan masyarakat, pada umumnya kedudukan pihak 

wanita  cenderung lebih lemah dalam hubungan 

perkawinan. Ini berarti rumusan itu tidak memenuhi tuntutan 

hak persamaan sebagai hak asasi manusia yang 

konstitusional yang diatur dalam Pasal 28H ayat (2) UUD 

1945. 

291  

4. Masalah dalam kaitan dengan hak keadilan Timbulnya 

masalah tidak terpenuhinya pemenuhan hak asasi yang 

bertalian dengan hak keadilan, bersumber pada tidak 

terpenuhinya hak persamaan dalam Pasal 39 ayat (2) huruf f 

UU 1/1974 yang diuraikan di atas. Hak persamaan 

merupakan dasar rasional dan konstitutif bagi terwujudnya 

keadilan. 

Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974, berpotensi untuk 

disalahgunakan. Pada umumnya, perceraian yang   memakai  

alasan seperti tertuang dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 

1/1974 disebabkan oleh hal-hal yang secara fitri dapat memicu 

keadaan ”antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan 

dan pertengkaran”. 

Masalah yang mungkin timbul diantaranya terutama  yaitu  akibat 

dari adanya perbuatan salah satu pihak (pada umumnya laki-laki) 

dalam hubungan dengan pihak ketiga yang tidak dapat diterima oleh 

pihak lainnya (pada umumnya pihak wanita ). Dalam praktek, 

keadaan inilah yang menyebabkan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf 

f UU 1/1974 ini membatasi perlindungan negara terhadap/atas hak 

asasi warga negara. Jika negara tidak melakukan perlindungan 

terhadap warga negara sebagaimana yang diwajibkan oleh konstitusi, 

maka negara dapat dikatakan melanggar hak-hak asasi manusia. 

3. Dr. Makarim Wibisono 

Menurut ahli, ketentuan Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 yang 

mengemukakan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk 

perceraian, huruf f, yang berbunyi "Antara suami dan isteri terus 

menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran" bertentangan 

dengan konsep hak asasi manusia. Inti dari konsep hak asasi manusia 

 yaitu  seperti mata uang logam. Di satu sisi, konsepnya bertumpu 

bahwa semua orang, begitu lahir dari rahim Ibunya  yaitu  sama, dan 

tidak ada bedanya. Di sisi lain oleh karena itu, konsepnya tidak 

membenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apapun baik karena 

etnik, ras, gender, pendidikan, kekayaan, warna kulit, agama, 

pekerjaan, dan kondisi fisik seseorang. Konsep penjelasan Pasal 39 

ayat (2) UU 1/1974 merugikan kaum wanita  dan isteri karena 

tidak memberikan keadilan baginya dan mencerminkan tidak adanya 

persamaan hak bagi kaum wanita  dan isteri dengan hak suami. 

Para suami dapat dengan mudah menceraikan isterinya dengan 

alasan terus menerus terjadi perselisihan (dan pertengkaran, karena 

292  

ketentuan itu tidak meminta atau membutuhkan kejelasan mengenai 

siapa pemicunya atau apa yang menjadi cause prima nya. Ini  yaitu  

hal yang tidak adil. Siapapun kaum wanita  atau isteri yang 

membangun rumah tangga dengan dasar luhur bersumber dari rasa 

cinta dan kasih sayang, tidak akan dapat menerima jikalau suaminya 

selingkuh dan menjalin hubungan gelap dengan Wanita Idaman Lain 

(WIL). Jadi sumber perselisihan dan pertengkaran itu  yaitu  karena 

adanya skandal dengan pihak ketiga. Apakah kaum wanita  dan 

isteri itu harus menerima pihak ketiga itu agar perselisihan dan 

pertengkaran tidak terjadi ? Dalam hal ini kaum wanita  dan isteri 

tidak dilindungi sama sekali oleh ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU 

1/1974. Dengan demikian ketentuan ini  tidak memberikan 

kepastian hukum kepada kaum wanita  dan isteri pada masa 

depan hubungan suami-isteri ini . Sebaliknya, Konstitusi dengan 

jelas dan gamblang menjunjung prinsipprinsip universal dan selaras 

dengan konsep hak asasi manusia. Pasal 28D ayat (1) dari UUD 1945 

menyebutkan bahwa (1) setiap orang herhak atas pengahuan, 

jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta 

perlakukan yang sama di hadapan hukum." Dalam pasal 28H ayat (2) 

dari UUD 1945 bahkan menekankan raison d'etre nya yaitu "...guna 

mencapai persamaan dan keadilan". Dengan demikian telah terjadi 

perbenturan norma; di satu pihak Konstitusi dalam hal ini UUD 1945 

menjunjung prinsip persamaan, keadilan, dan hak asasi manusia, dan 

di lain pihak penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU 1/1974 mengadvokasi 

prinsip perbedaan hak antara suami dan isteri. Hal ini sangat 

bertentangan dengan kaidah hukum karena penjelasan dari suatu 

pasal dari Undang-Undang harus mencerminkan norma yang sama 

dengan pasal itu. Dan sifat dari penjelasan itu hanyalah explanatory 

bukan merupakan introductory dari norma baru. Karena UUD 1945 

 yaitu  merupakan sumber hukum dari semua Undang- Undang di 

Indonesia maka sebaiknya hal ini diluruskan kembali. Penjelasan 

Pasal 39 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c , huruf d, dan huruf e 

 yaitu  sangat memadai, mencukupi dan sudah sesuai dengan 

prinsip-prinsip persarnaan, keadilan, dan hak asasi manusia. 

4. Prof. Dr. Musdah Mulia 

Islam diyakini sebagai agama yang membawa rahmat bagi alam 

semesta, (rahmatan lil’ alamin) dan menjanjikan pembebasan bagi 

mustadh ’afin (kelompokkelompok yang mengalami marginalisasi di 

dalam masyarakat), termasuk di dalamnya  yaitu  kaum wanita . 

293  

Karena itu, ajaran Islam sarat dengan nilainilai persamaan yang 

istilahnya al-musawah, nilai persaudaraan (al-ikho’) dan kebebasan 

(al-hurriyah). Sayangnya nilai-nilai luhur dan ideal ini  tatkala 

berinteraksi dalam budaya manusia mengalami banyak sekali distorsi, 

seperti terbaca dalam berbagai tafsir agama, termasuk tafsir terkait 

dengan masalah perkawinan dan perceraian; 

Islam sebagai agama menggariskan sejumlah aturan terkait relasi 

antarmanusia yang disebut dengan muamalah. Di dalamnya ada 

aturan-aturan khusus terkait relasi suami-istri dalam perkawinan 

yang disebut dengan munakahat. Dalam konteks muamalah, Islam 

menegaskan laki-laki dan wanita  sama-sama ciptaan Tuhan, 

keduanya berpotensi menjadi khalifatul ‘ardh, sebaliknya keduanya 

pun berpotensi menjadi fasadun fil ‘ardh. Keduanya dijanjikan pahala 

atas kebaikan yang mereka lakukan, tetapi juga hukuman dan dosa 

atas kejahatan dan kemungkaran yang mereka lakukan. Islam 

sungguhsungguh mengakui ada perbedaan biologis antara laki dan 

wanita . Akan tetapi hak dan kewajiban mereka sebagai manusia 

dan sebagai hamba itu  yaitu  sama, keduanya merupakan mitra 

sejajar yang setara, baik dalam kehidupan keluarga maupun dalam 

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 

Ajaran Islam mempunyai dua aspek penting, aspek vertikal dan aspek 

horizontal. Aspek vertikal menjelaskan kewajiban manusia kepada 

Tuhan yang disebut dengan habluminallah, sementara aspek 

horizontal mengatur hubungan di antara sesama manusia, itulah 

yang disebut dengan habluminannas. Begitu pentingnya aspek 

horizontal ini, sehingga Al-Quran dan hadis Nabi sarat dengan ajaran-

ajarannya akomodatif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, misalnya 

ajaran tentang pentingnya suami-istri berlaku arif dan bijaksana 

dalam kehidupan keluarga. Suami sebagai orang yang dititipi amanah 

oleh Allah harus dapat menjalankan amanah ini  dengan sebaik-

baiknya. Suami tidak boleh menceraikan istrinya secara semena-

mena, apalagi dengan sengaja membuat ulah untuk dapat 

menimbulkan rasa ketidaknyamanan istri, sehingga timbul konflik 

dan percekcokan yang tak habis-habisnya. Keduanya (suami-istri) 

diharapkan dapat hidup rukun, saling mencintai, dan saling 

melengkapi selamanya, sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. 

Al-Quran membahas isu perkawinan secara rinci dalam banyak ayat. 

Dalam penelitian Ahli, tidak kurang dari 104 ayat Al-Quran bicara 

tentang perkawinan, baik   memakai  kosakata an-nikah yang 

294  

terulang 23 kali maupun   memakai  kata az-zauj yang berulang 80 

kali. Untuk memahami hakikat perkawinan dalam Islam, itu harus 

mengurai dan mengkaji seluruh ayat terkait perkawinan dengan 

  memakai  metode tematik atau holistik sekaligus, lalu mencari 

benang merah yang menjadi inti sari dari seluruh penjelasan ayat-

ayat ini . Kajian Ahli terhadap keseluruhan ayat perkawinan 

ini  menyimpulkan paling tidak ada lima prinsip di dalam 

perkawinan. 

1. Prinsip mitsaqon gholidza, sebuah komitmen yang sangat 

kuat bagi suamiistri; 

2. Prinsip kedua  yaitu  mawaddah warahmah, ada cinta dan 

kasih sayang di dalamnya; 

3. Prinsip musawah, saling melengkapi dan melindungi; 

4. Prinsip muasyarah bil ma’ruf, pergaulan yang sopan dan 

santun baik dalam relasi seksual maupun dalam relasi 

kemanusiaan; 

5. Prinsip monogamy. 

Al-Quran dalam banyak ayat, selalu manggambarkan ikatan 

perkawinan dengan ungkapan yang luar biasa baiknya yaitu mitsaqon 

gholidza, sebuah komitmen yang begitu kuat merupakan perjanjian 

suci di antara kedua pihak lakilaki dan wanita  yang setara dan 

diliputi cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, para pihak 

berkewajiban menjaga kesucian dan kelanggengan perjanjian 

ini . Islam pun sangat kuat mendorong suami-istri agar selalu 

menjaga komitmen perkawinan dan merawat cinta kasih agar 

perkawinan dapat langgeng selamanya. Akan tetapi, sering kali 

realitas dalam kehidupan nyata tidak seindah aturan normatif yang 

digariskan, itulah mengapa Islam membuka pintu bagi perceraian, 

walaupun dengan aturan yang amat sangat ketat. Data-data historis 

mengungkapkan bahwa sebelum kedatangan Rasulullah SAW, 

wanita  itu tidak berhak menggugat talak, kecuali suami 

memberikan hak, itu pun sangat jarang. Lalu dengan kedatangan 

Islam, terjadilah perubahan yang sangat-sangat radikal. Islam 

membatasi hak talak suami seperti yang terjadi pada masa jahiliah. 

Selanjutnya memberikan hak kepada istri untuk menggugat talak 

berdasar  pertimbangan logis sesuai ajaran agama. Islam 

menjamin hak khuluk bagi istri yang nilainya sama dengan hak talak 

suami, bahkan Islam mengubah posisi istri dari objek yang tak 

berdaya menjadi subjek memiliki kekuatan; 

295  

Pada zaman arab jahiliah suami menjatuhkan talak dianggap hal biasa 

dan sangat umum dilakukan, suami mempunyai hak talak tanpa batas 

dan dilakukan secara semena-mena. Perilaku jahiliah menyebabkan 

tidak ada rasa kemanusiaan dan tidak ada keadilan bagi suami dalam 

memperlakukan istri karena istri hanyalah objek seks. Kondisi jahiliah 

inilah yang diubah oleh Nabi secara radikal, Nabi memproklamirkan 

bahwa tindakan paling menyenangkan Allah  yaitu  memerdekakan 

budak, sebaliknya talak merupakan tindakan yang paling dibenci 

Allah. Walau demikian mustahil menghapuskan kebiasaan Arab 

Jahiliyah ini  sekaligus. Oleh karenanya, Nabi mengizinkan 

adanya talak, dengan catatan semua usaha untuk rujuk, itu tidak 

mungkin lagi dilakukan; 

Reformasi Islam dalam perceraian  yaitu  memberikan hak gugat 

cerai bagi istri, meski mempertahankan hak talak di tangan suami, 

tetapi dia tidak boleh   memakai  hak itu secara semena-mena, ini 

catatan yang paling penting di dalam reformasi Islam. Islam 

membolehkan talak, tetapi tetap dinyatakan sebagai perbuatan 

paling dibenci Allah karena akan menciptakan ketidakbahagian, 

terutama bagi anak dan keluarga. Jadi, perceraian merupakan hal 

yang boleh, tetapi dibenci. Karenanya perceraian seharusnya 

dilakukan hanya dalam kondisi yang benar-benar terpaksa. Di 

samping itu, menjatuhkan talak bukanlah hak semena-mena dari 

salah satu pihak, melainkan ada keharusan melibatkan orang ketiga 

untuk mencarikan jalan keluar yang mungkin ditempuh. Dengan 

ungkapan lain, Islam memperlakukan wanita  jauh lebih baik, 

jauh lebih manusiawi, dan jauh lebih adil, terutama dalam konteks 

perceraian. Dalam banyak buku-buku klasik seperti dalam Al-Umm 

As-Syafie menjelaskan, “Perceraian  yaitu  memutuskan hubungan 

suami istri yang dilakukan suami dengan memakai kata talak atau 

serupa dengan itu,” ada banyak penjelasan mengenai ini. Akan tetapi, 

menarik dicatat bahwa ayat-ayat Al-Quran terkait perceraian, 

demikian pula Hadis Nabi tidak menjelaskan secara rinci tentang 

alasan yang boleh dipakai suami untuk menceraikan istri atau istri 

menggugat cerai suami. Teks-teks Al-Quran dan Hadis lebih banyak 

menjelaskan tentang kewajiban suami berbuat baik dan adil kepada 

istri, baik sebelum maupun sesudah perceraian. Penjelasan tentang 

ketentuan memberikan nafkah kepada anak dan istri pasca-

perceraian juga penjelasan tentang jenis-jenis talak dan implikasinya, 

penjelasan tentang ketentuan idah bagi istri dan juga penjelasan 

296  

tentang kemungkinan rujuk bagi suami-istri lsesudah  perceraian 

terjadi. Ada kesan yang mendalam bahwa dalam hal perceraian 

kebanyakan ayat dan Hadis itu berisi pesan-pesan moral agama untuk 

menjaga sikap dan prilaku bijak dan santun, itu lebih banyak 

ditujukan kepada suami. Karena konteks masyarakat Arab ketika itu, 

bahkan sampai sekarang, masih didominasi oleh budaya patriarki, 

suami dianggap memiliki posisi subordinat di dalam keluarga, posisi 

yang superior, sebaliknya istri  yaitu  subordinat dan imperior; 

Meski Al-Quran dan Hadis tidak menyebutkan secara rinci tentang 

alasan perceraian, namun seorang Pakar Hukum Islam bernama Al-

Sarakhsi penulis kitab Al-Mabsut menjelaskan bahwa fakta penyebab 

terjadinya perceraian  yaitu  antara lain  yaitu  talak, khuluk, ila’, dan 

zihar. Sementara menurut Imam Malik dan Imam Syafi’i, ya sebab-

sebabnya itu  yaitu  ada khuluk, ada khiyar, ada fasakh, ada syiqaq, 

ada nusyuz, ila’, dan zihar. Namun Al-Sarakhsi tetap 

menggarisbawahi status hukum perceraian, yakni sebagai tindakan 

yang boleh dilakukan hanya dalam keadaan darurat, baik atas inisiatif 

suami, maupun atas inisiatif istri. Berbeda dengan Al-Quran dan 

Hadis Nabi, Perundang-Undangan Indonesia yang Ahli maksud 

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam 

penjelasannya menyebutkan 8 alasan bagi putusnya perkawinan, baik 

dengan cerai talak atau cerai gugat. Dalam Undang-Undang di 

Malaysia khususnya di negara bagian Perak dan Pahang, itu 

menyebutkan perceraian terjadi kalau ada 5 alasan, yaitu suami 

impoten, istilah di Malaysia itu mati pucuk. Suami gila, mengidap 

penyakit kusta (vertiligo) atau mengidap penyakit kelamin yang bisa 

berjangkit selama istri tidak rela dengan kondisi ini . Ketiga, ada 

izin persetujuan perkawinan dari istri yang diberikan secara tidak sah, 

baik karena terpaksaan, kelupaan, ketidaksempurnaan akal, atau 

alasan-alasan yang lain sesuai dengan syariat. Yang keempat, pada 

waktu perkawinan suami sakit saraf yang tidak pantas baginya untuk 

kawin. Yang kelima, atau alasan-alasan lain yang sah untuk fasakh 

menurut syariat. 

Dari 5 alasan putusnya perkawinan yang diusung oleh Undang-

Undang Malaysia itu, sangat berbeda dengan alasan yang tertera di 

dalam Undang-Undang Perkawinan Indonesia. Artinya, meskipun 

sama-sama negara berpenduduk mayoritas Islam, alasan perceraian 

pada Undang-Undang kedua negara ini  sangat berbeda. Hal ini 

mengindikasikan bahwa alasan perceraian yang diatur dalam UU 

297  

1/1974, semata-mata merupakan hasil interprestasi para pembuat 

Undang-Undang ini . Alasan ini  tidak ditemukan secara 

eksplisit di dalam teks-teks suci agama, seperti yang Ahli jelaskan 

sebelumnya. Akan tetapi, membuat inteprestasi dalam hukum Islam 

itu sangat-sangat dimungkinkan. Abu Hasan Al-Mawardi dan Ibnu 

Taimiyah yang misalnya menyatakan bahwa Pemerintah dalam 

hukum Islam memiliki kewajiban melindungi warganya dari berbagai 

bentuk diskriminasi, eksploitasi, dan perlakuan yang merugikan 

dengan menciptakan peraturan-peraturan yang dapat menimbulkan 

ketentraman dan kedamaian. Sebagai ulil amr, Pemerintah 

mempunyai 2 fungsi utama, yaitu (Ahli   memakai  bahasa Arab) 

dan (Ahli   memakai  bahasa Arab) menjaga agama dan mengatur 

urusan dunia. Dalam pelaksanaan kedua fungsi ini  wajib ditaati 

warganya sepanjang tidak mengajak kepada kemungkaran dan tidak 

pula mendatangkan kemudaratan. Dalam konteks pelaksanaan kedua 

fungsi inilah Pemerintah dibenarkan membuat perudang-undangan 

dalam bidang siasat syariat. Siasat syariat  yaitu  seperangkat aturan 

yang dibuat Pemerintah dalam rangka menunjang keberlakuan ajaran 

Al-Quran dan sunah, meskipun belum pernah dirumuskan oleh ulama 

sebelumnya. Sekarang ini sejumlah kasus perceraian dirasakan sangat 

merugikan kaum wanita , baik sebagai istri maupun sebagai 

warga negara, dan itu umumnya didasarkan pada alasan yang tertera 

di dalam Undang-Undang Perkawinan. Misalnya dalam penjelasan 

Pasal 39 UU 1/1974 bahwa perceraian itu terjadi karena antara suami 

dan istri terus-menerus terjadi perselisihan, dan pertengkaran, dan 

tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka 

sudah sepantasnya Undang-Undang Perkawinan itu ditinjau kembali, 

paling tidak pasal-pasal terkait perceraian ini  dihilangkan. 

Alasannya, ketentuan ini  mengandung unsur diskriminatif, dan 

merugikan istri, serta tidak sejalan dengan prinsip konstitusi, dan 

pemenuhan hak asasi manusia yang menjadi landasan reformasi 

hukum di Indonesia, dan yang pasti, penjelasan itu tidak memiliki 

basis yang kuat dalam ajaran Islam. Sehingga perubahan terhadap 

Pasal 39 UU 1/1974 perlu untuk dilakukan. Usulan perubahan ini jelas 

bertujuan untuk memperdayakan wanita  dan mewujudkan 

perlindungan menyeluruh terhadap hak asasi wanita  sebagai 

manusia seutuhnya. Seperti tertuang dalam konstitusi, dan juga 

perundang-undangan, serta Konferensi Sedo. Indonesia sudah 

meratifikasi konferensi ini dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 

298  

1985. Melalui perubahan ini juga diharapkan umat Islam Indonesia 

dapat mempromosikan ajaran Islam yang ramah terhadap 

wanita  dan juga sekaligus rahmat bagi alam semesta. 

5. Sinta Nuriya Abdurrahman Wahid 

Menurut Ahli bahwa pernikahan itu mempunyai tujuan yang sangat 

suci dan mulia, yaitu: 

1. Pernikahan dapat menciptakan ketenangan batin, kasih 

sayang, dan kesetaraan antara suami dan istri. Hal demikian 

termaktub dalam Al-Quran Surat Ar-Ruum ayat 21, “Wamin 

aayaatihi an khalaqa lakum min anfusikum azwaajan 

litaskunuu ilayhaa waja'ala baynakum mawaddatan 

warahmatan inna fii dzaalika laaayaatin liqawmin 

yatafakkaruun”, artinya “Dan di antara tandatanda 

keagungan Allah, Dia jadikan untukmu pasangan dari jenis 

yang sama agar kamu merasa tenteram bersamanya dan Dia 

jadikan rasa cinta dan kasih sayang di antara kamu, 

sesungguhnya dalam hal ini terdapat tanda-tanda bagi orang 

yang berpikir”. 

2. Dengan perkawinan, maka kelangsungan hidup anak manusia 

dapat terjaga dan anak yang dilahirkan pun mempunyai garis 

nasab atau garis keturunan yang jelas. Oleh karena itu, 

perkawinan dalam Islam haruslah diikat dalam suatu ikatan 

yang sangat kuat atau yang disebut miitsaaqan ghaliizh 

sebagaimana termaktub dalam Surat An-Nisa ayat 21; 

Mengingat tujuan perkawinan ini  begitu luhur dan urgensi, 

maka Islam sangat menjaga agar perkawinan dapat dipertahankan 

oleh setiap pasangan suami-istri. Hal ini  dapat dilihat dari hadis 

nabi yang mengatakan “Aghdolul halala indallahi at thalaq,” Artinya 

perkara halal yang paling dibenci oleh Allah  yaitu  menjatuhkan 

talak. Ini menunjukkan bahwa seorang suami wajib berusaha 

menjauhkan diri dari menjatuhkan talak. Suami hanya dibenarkan 

menjatuhkan talak jika terpaksa dan tidak ada cara lain untuk 

menghindarinya. Atas dasar ini mayoritas fukaha termasuk Imam 

Hanafiah dan Hambali berpendapat bahwa suami diharamkan 

menjatuhkan talak kecuali karena darurat atau terpaksa. Ukuran 

menentukan darurat didasarkan pada syarah, bukan karena semata-

mata nafsu. Pendapat ini berdasar  pada hadis yang 

menyatakan“Laknatallahu kullatawaqin witslaqin,” artinya “Allah 

mengutuk suami yang tukang cicip lagi suka menalak istri.” 

299  

Sementara, Sayyid Sabiq mengatakan bahwa talak diharamkan jika 

tidak ada keperluan untuk itu. Karena talak tanpa disertai dengan 

alasan yang jelas akan menimbulkan kemudaratan serta 

melenyapkan kemaslahatan. Pendapat yang sama disampaikan oleh 

Syekh Raksi penulis Kitab Al Maqsud. Dari beberapa pendapat di atas 

dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut. 

1) Talak boleh dilakukan sepanjang untuk membawa 

kemaslahatan bagi semua pihak yang terkait yaitu suami-istri 

dan anak-anak. Karena bagaimana pun tidak hanya suami-

istri yang akan menanggung akibat dari perceraian, tetapi 

anak-anak juga akan menjadi korban perceraian. Artinya 

perceraian itu dilakukan sebagai upaya menjaga harkat 

kemanusiaan, bukan legitimasi untuk memuaskan nafsu; 

2) Meski hak melakukan talak ada pada seorang suami, namun 

harus tetap memerhatikan hak-hak kepentingan dan 

martabat kemanusiaan seorang istri. Karena hal ini 

merupakan misi utama dari diturunkannya Islam ke dunia 

yang menjelaskan hubungan egalitarian antara suami-istri. Ini 

dapat dilihat dalam Al-Quran Surat Az-Zariyat, Al-Fathir, An-

Naba, An-Nisa, Yasin, Asy-Syura, Az-Zukhruf, Al-Baqarah, dan 

An-Najm; 

3) Karena suami memiliki hak mutlak melakukan talak, maka 

perlu ada pembatasan dan persyaratan yang ketat sebagai 

kontrol agar hak ini  tidak digunakan secara 

sembarangan oleh seorang suami; 

4) Dalam melakukan talak, harus tetap memperhatikan hak-hak 

kaum wanita  sebagai istri. Artinya, talak tidak bisa 

dilakukan secara semenamena tanpa alasan yang jelas dan 

dengan mengabaikan hak-hak wanita  sebagai istri. 

Sebagai upaya untuk melakukan kontrol terhadap penggunaan hak 

talak kaum lelaki, maka beberapa ahli fikih melakukan interpretasi 

terhadap ayat-ayat Al-Quran dan Hadis, di antaranya ialah Imam 

Malik dan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa sebab 

diperbolehkannya talak  yaitu  adanya sighat talak, khulu’, khiyar, 

fasakh, syiqaq, nusyuz, ila', dan zihar. Pandangan para ulama ahli 

fikih ini lalu  diderivasikan lebih lanjut oleh Pemerintah 

Indonesia melalui UU 1/1974, khususnya dalam Penjelasan Pasal 39 

ayat (2) ada 8 (delapan) alasan putusnya perkawinan, baik dengan 

cerai talak atau cerai gugat yaitu: 

300  

a. jika  salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, 

pemadat, penjudi, dan lainnya yang sukar disembuhkan; 

b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun 

berturut-turut tanpa izin pihak yang lain, dan tanpa alasan 

yang sah, atau karena hal lain di luar kemampuannya; 

c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara selama 5 tahun 

atau hukuman yang lebih berat lsesudah  perkawinan 

berlangsung; 

d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan 

berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain; 

e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang 

mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai 

suami atau istri; 

f. Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan, 

dan pertengkaran, dan tidak ada harapan akan hidup rukun 

lagi dalam rumah tangga; 

g. Suami melanggar hak talak; 

h. Beralih agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya 

ketidakrukunan dalam rumah tangga. 

Berkaitan dengan hal ini , perlu ada telaah secara mendalam 

terhadap Penjelasan Pasal 39 ayat (2) huruf f UU 1/1974 sepanjang 

frase ‘”antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan 

pertengkaran”; Para ulama fikih berbeda pendapat dalam menaggapi 

permasalahan ini, yaitu: 

• Kelompok pertama menyatakan bahwa perselisihan dan 

pertengkaran dapat menjadi alasan jatuhnya talak karena 

perselisihan dan pertengkaran sudah mengingkari tujuan pernikahan 

membentuk keluarga sakinah, mawadah, warohmah sebagaimana 

disebutkan dalam Al-Quran Surat Ar-Ruum ayat 21; 

• Kelompok kedua berpendapat, perselisihan dan pertengkaran sama 

sekali tidak bisa me