alkitab digital. 2

Rabu, 09 Juli 2025

alkitab digital. 2


 


tuh mereka 

demi kepentingan Tuhan kita, agar supaya mereka boleh 

disembuhkan dan dapat dikembalikan lagi ke dalam himpunan 

kelompok domba-domba.26

Jadi, cukup penting kelompok kecil itu diadakan dalam rangka 

memulihkan kembali orang-orang Kristen dari persoalan mereka dan 

kemudian orang-orang Kristen ini perlu berkembang atau bertumbuh di 

dalam Tuhan. Karena Allah menginginkan setiap orang percaya 

mengembangkan karakter Kristus dalam hidupnya. Dalam hal ini 

diperlukan tekat dan komitmen dari setiap orang Kristen.

Dengan pertolongan Tuhan kita dapat menjadi apa saja sesuai 

dengan tekad kita, karena kesehatan rohani tergantung pada latihan rohani 

yaitu mendisiplinkan diri untuk melakukannya hingga hal-hal tersebut 

menjadi kebiasaan (1Kor 9:27).

Orang-orang percaya akan bertumbuh lebih cepat jika mereka 

menyediakan jalan untuk bertumbuh dan dalam kaitan ini orang Kristen 

membutuhkan hubungan dengan sesama untuk dapat bertumbuh, karena 

kita bertumbuh dalam konteks persekutuan.27

Kita tak dapat berbicara tentang karakter tanpa berbicara tentang 

kebiasaan, karakter seperti Kristus merupakan tujuan akhir dari semua 

pendidikan dan disiplin Kristen, karakter ini dibentuk dalam keadaan￾keadaan di lingkungan persekutuan, pergaulan dan kehidupan.Gereja dapat bertumbuh jika penginjilan yang dilakukan didukung 

oleh strategi dipimpin oleh Roh Kudus. Dalam kitab Kisah Para Rasul 

ditunjukkan bahwa Roh Kudus yaitu  ahli strategi Agung. Roh Kudus 

yaitu  pengawas tertinggi dari kampanye misi yang besar. Roh Kudus 

memberi kuasa dan mengambil prakarsa (Kis I:8, 13:1-4), membimbing dan 

mengarahkan (Kis 8:29, 16:6-10).

Langkah utama dalam kerangka strategi yaitu  penetapan tujuan 

scperti yang dikemukakan oleh Tuhan. Dalam Kisah Para Rasul 1:8, di 

mana Tuhan Yesus memberi tugas kepada munid-murid-Nya: Tetapi kamu 

akan menerimna kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu 

akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria 

dan sampai ke ujung bumi. Bagian bumi yang paling jauh menjadi tujuan 

dan penginjilan yang sepenuhnya dipimpin olel Roh Kudus.

Beberapa pengamatan berikut menunjukkan strategi yang telah 

mendorong penginjilan dan pertumbuhan Gereja, yakni: tempat yang dipilih 

oleh Tuhan, waktu yang ditetapkan Tuhan, pembentukan hamba-hamba 

Tuhan, dan visi universal dari Tuhan.

Tempat yang Dipilih Tuhan

Kunjungan Allah terjadi di Yerusalem, pusat ibadah dan ajaran 

Yahudi zaman itu. Roh Kudus turun pada hari Pentakosta dan melahirkan 

umat Allah yang baru, sebuah lembaga baru–Gereja–telah tercipta. Jadi, 

Yerusalem telah menjadi pusat manifestasi kuasa Allah. Allah memilih 

sebuah tempat untuk menyatakan kuasa-Nya. Prinsip rohani yang dapat 

diambil dalam peristiwa ini yaitu  Allah dalam strategi-Nya memilih 

tempat yang ditunjukkan-Nya untuk melakukan sesuatu demi kelahiran dan 

pertumbuhan Gereja-Nya.

Waktu yang Ditetapkan Tuhan

Intervensi Allah terjadi pada waktu yang tepat (waktu yang 

ditetapkan Tuhan). Saat itu ribuan orang Yahudi, orang-orang yang takut 

akan Allah, dan orang-orang yang beragama lain memenuhi kota Yerusalem untuk perayaan-perayaan keagamaan. Pada saat itu Allah 

mengirim Roh Kudus, banyak orang bertobat dan menjadi anggota Gereja 

mula-mula.

Pada peristiwa Pentakosta tersebut, muncul pemberita-pemberita 

Injil yang utama seperti: Barnabas, Stefanus, Filipus dan yang lain (Kis 

6:5). Juga ketika terjadi penganiayaan, memaksa orang-orang percaya 

meninggalkan Yerusalem, dan pergi, membawa berita Injil ke negeri-negeri 

dimana mereka tinggal (Kis 8:4, 11:19-22).

Pembentukan Hamba-Hamba Tuhan

Tuhan memberikan waktu persiapan bagi orang-orang percaya yang 

baru mengalami kelahiran baru untuk mengembangkan hubungan spiritual 

dan kemasyarakatan yang baru, serta untuk dibentuk menjadi murid-murid 

Yesus Kristus. Mereka diberi pengajaran untuk menjadi saksi demi menjaga 

kesatuan dan kesehatan iman, serta diajar untuk melaksanakan fungsi 

sebagai anggota-anggota yang bertanggung jawab dalam bersaksi, berdoa 

dan hidup dalam masyarakat (Kis 2:42-46, 4:23-41, 5:42; 6:1-7, 8:4: 11:19-

21, 12:5).

Visi Universal dari Tuhan

Paulus mempunyai visi misi universal yang jelas. Setelah didesak ke 

luar dari Yerusalem, dia mengubah perhatiannya pada Asia Kecil, bekerja 

keras pertama di Tarsus dan Antiokhia (Kis l1:25-30, 13:1-3), kemudian ke 

Asia Kecil bagian barat, di mana Efesus sebagai pusatnya (Kis 19:1-20:38). 

Dari situ Paulus melihat ke arah barat dengan Roma sebagai pusat, dan 

Spanyol sebagai bagian yang paling jauh (Kis 19:21, 23:11, 28:14-31; Rm 

1:9-15, 15:24-28). Inilah orang dengan visi yang universal.

Pentingnya dan efektifnya sebuah strategi, nampak dari hasil-hasil 

pelayanan seperti yang disebutkan dalam Kisah Para rasul.

• Kamu telah memenuhi Yerusalem dengan ajaranmu (Kis 5:28)

• Dan Firman Allah makin tersebar, dan jumlah murid makin 

bertambah banyak; juga sejumlah besar imam menyerahkan diri dan 

percaya (Kis 6:7)

• Maka sangat besar sukacita dalam kota itu (Kis 8:8)• Semua penduduk Lida dan Saron melihat Dia, lalu mereka berbalik 

kepada Tuhan (Kis 9:35)

• Maka Firman makin tersebar dan makin banyak didengar orang (Kis 

12:24)

• Lalu Firman Tuhan disiarkan di seluruh daerah itu (Kis 13:49)

• Demikianlah jemaat-jemaat diteguhkan dalam iman dan makin lama 

makin bertambah besar jumlahnya (Kis 16:5)

• Sehingga semua penduduk Asia mendengar Firman Tuhan, baik 

orang Yahudi maupun orang Yunani (Kis 19:10)

• Makin tersiarlah Firman Tuhan dan makin berkuasa (Kis 19:20)

• Demikianlah dalam perjalanan keliling dari Yerusalem sampai ke 

Ilirikum aku telah memberitakan sepenuhnva Injil Kristus (Rm 

15:19)

Inilah contoh dari pelayanan yang digerakkan oleh strategi dan visi 

yang jelas, suatu gerakan yang dipimpin dan diawasi oleh Roh Kudus, yang 

juga disertai dengan penuh ketaatan, ketekunan dan pengorbanan dari laki￾laki dan perempuan pemberani. George W. Peters mengatakan sebagai 

berikut: 

Jangan seorang pun menganggap ringan strategi. Strategi bukan 

mengatur siasat licik. Strategi yaitu  perencanaan yang bijaksana 

dan mempunyai maksud serta merupakan prosedur yang teratur 

untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Strategi sangat 

penting bagi pertumbuhan Gereja.29

PENUTUP: KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Sebagai suatu fenomena rohani dan teologis, gerakan pertumbuhan 

Gereja yang dimulai oleh beberapa hamba Tuhan, tidak dapat tidak harus 

diakui dan diterima sebagai jawaban Tuhan atas kebutuhan rohani Gereja 

Kristen dan sekaligus sebagai jawaban Tuhan terhadap kemerosotan￾kemerosotan rohani dalam kehadiran dan pelayanan Gereja Tuhan terhadap 

dunia ini. Karena itu, disarankan supaya Gereja-gereja Tuhan masa kini,

perlu masuk dan mengambil bagian yang aktif dan konkrit dalam arus 

pertumbuhan Gereja ini demi terlaksananya Amanat Agung Tuhan Yesus 

dalam Matius 28:19-20.

Pengertian atau pun konsep yang benar, proporsional dan 

konprehensif tentang pertumbuhan Gereja haruslah berdasar dan bertumbuh 

sesuai dengan pengajaran Alkitab sendiri tentang Teologi Pertumbuhan 

Gereja. Supaya orang Kristen tahu dan sadar bahwa ide, ilmu Teologi 

Pertumbuhan Gereja bukanlah ide manusia atau hasil filsafat manusia tetapi 

benar-benar yaitu  ide dan kehendak Allah sendiri bagi Gereja dan dunia 

ini. Karena itu disarankan supaya pengertian atau pun konsep orang-orang 

Kristen tentang pertumbuhan Gereja harus terus diperdalam, dipengaruhi 

dan diperkokoh melalui studi dan pengertian Alkitab.

Kita harus mengerti dan meyakini bahwa upaya Gereja untuk 

menerapkan ilmu, konsep dan prinsip-prinsip pertumbuhan Gereja yang 

Alkitabiah perlu mempertimbangkan tantangan, serangan dan hambatan￾hambatan yang datang dan berbagai segi seperti adanya hambatan karena 

dangkalnya pengertian sebagian anggota Gereja tentang pentingnya 

pertumbuhan Gereja. Juga hambatan karena kurangnya pemahaman tentang 

arti misi Kristus bagi dunia ini. Di samping itu, perlu mempertimbangkan 

hambatan-hambatan karena bangkitnya agama-agama dunia yang juga 

sangat misioner dalam gerak dan aksinya, dimana tujuannya juga yaitu  

untuk memenangkan umat manusia bagi agamanya, secara khusus perlu 

dihitung tantangan yang muncul karena faktor kesalahan sejarah yang 

dibuat oleh misi atau zending Kristen sendiri dalam beberapa kurun waktu 

yang lalu. Karena hal ini telah dan terus saja menimbulkan penolakan 

psikologi dan sosial terhadap hadirnya misi Gereja di berbagai tempat di 

dunia ini dan di Indonesia khususnya. Namun, yang sangat penting untuk 

disadari yaitu  tantangan serius yang datang dan ajaran agama tertentu 

tentang dosa Syrk. Karena penolakan, kebencian dan serangan pihak agama 

tertentu terhadap orang-orang Kristen, organisasi Kristen dan teologi 

Kristen berakar di sini. Makanya disarankan supaya orang-orang Kristen, 

organisasi dan teologi Kristen harus mampu secara bijaksana dan penuh 

kasih mensikapi perlakuan orang-orang dari agama tertentu tersebut, tanpa 

terpancing dalam emosi dan pikiran serta sikap yang merugikan kita 

sendiri. Jelasnya kita perlu tulus dan cerdik disertai doa yang tak putus￾putusnya bagi saudara-saudara dari agama tertentu tersebut, agar mereka dapat mengenal Allah yang sejati di dalam Kristus dan bertumhuh di dalam 

pengetahuan tentang kehenaran (Mat 5:44-45, 10:16; 1Tim 2:3-4).

Kendati pun demikian, bagi kita yang telah mengenal kebenaran 

tentang pertumbuhan Gereja seperti yang diajarkan Alkitab, tidak ada 

alasan untuk merasa takut, tawar hati dan menjadi lemah di dalam iman, 

kehadiran dan pelayanan misi di tengah-tengah tantangan dan hambatan￾hambatan apa pun, karena Allah sendiri menjamin bahwa Injil Kerajaan 

Allah yang mengamanatkan pelaksanaan gerak pertumbuhan Gereja akan 

menyertai, melindungi, melengkapi dan memakai kita agar semua bangsa 

mendengar Injil sebelum kedatangan-Nya yang kedua kali (Mat 14:14). 

Mengapa kita harus bersikap dan berpendirian seperti ini? Jawabannya 

yaitu  karena terdapat banyak faktor yang menunjang kemungkinan lahir, 

hadir dan berkembangnya Gereja Tuhan di tengah-tengah serigala dunia 

ini. Karena ltu, disarankan supaya Gereja tetap setia menjalankan perintah 

Kristus dalam ketergantungan yang terus-menerus kepada Allah pemilik 

dan pemelihara manusia, supaya kemuliaan akan terus bertambah bagi Dia 

dalam segala pelayanan kita.

Terdapat empat hal penting tentang prinsip-prinsip pertumbuhan 

Gereja yang harus kita pertimbangkan dalam upaya menumbuhkan Gereja 

Tuhan masa kini.

Pertama, prinsip-prinsip (faktor-faktor penunjang pertumbuhan 

Gereja seperti tertulis dalam makalah ini), tersebut berlaku secara universal, 

artinya dapat diterapkan pada Gereja-gereja di seluruh dunia, alasannya 

karena Allah kita yaitu  Allah untuk seluruh dunia dan semua manusia dan 

juga karena Gereja yang ada di dalam dunia ini yaitu  milik Tuhan sendiri 

yang diperinthkan untuk bertumbuh dalam pengenalan akan Allah (1Tim 

2:3-4; 2Ptr 3:8).

Kedua, prinsip-prinsip itu dapat ditransfer ke dalam situasi kita 

masa kini, alasannya yaitu  karena ketaatan kita kepada perintah Kristus 

untuk memuridkan semua orang dan segala bangsa menjadi murid Kristus 

(Mat 28:19-20).

Ketiga, perlu disadari bahwa masing-masing prinsip ini memiliki 

hubungan yang erat satu sama lain; baik pertumbuhan kualitas, kuantitas 

maupun organisatoris, karena itu disarankan supaya orang-orang Kristen 

tidak memandang, dan memperlakukan masing-masing prinsip itu secara 

terpisah tetapi harus memegang dan menjalankannya secara bersama-sama, saling berkaitan, saling mengisi dan saling mendukung, karena dengan cara 

demikian pertumbuhan Gereja yang kita dambakan bakal terwujud.

Keempat, tiap-tiap prinsip yang telah dikemukakan merupakan 

pesan-pesan pokok Alkitab sendiri dengan kata lain, prinsip-prinsip tersebut 

yaitu  prinsip Allah sendiri bagi pertumbuhan Gereja-Nya di dunia dalam 

dunia. Terminologi yang digunakan dalam mengungkapkan prinsip-prinsip 

tersebut dapat saja tidak sempuma seperti halnya metodologi ilmiah 

lainnya, tetapi hal itu tidak dapat meniadakan fakta bahwa prinsip tersebut 

yaitu  prinsip-prinsip Allah sendiri yang mesti dipegang dan dipatuhi oleh 

Gereja Tuhan masa kini. Akhirnya, aku (Paulus) menanam, Apolos 

menyiram, tetapi Allah memberi pertumbuhan (1Kor 3:6). Ini berarti bahwa 

para petani dapat menanam, menyiram, dan menuiai, tetapi mereka tidak 

dapat memberi pertumbuhan. Akan telapi mereka tahu bahwa penanaman

dan penyiraman yang mereka lakukan benar-benar mempengaruhi tuaian 

yang diharapkan.

Akhirnya, kemajuan pertumbuhan Gereja juga sangat ditentukan 

oleh faktor strategi Tuhan yang dapat kita pelajari dari Alkitab, khususnya 

kitab Kisah Papa Rasul. Di sana dijelaskan bahwa pertumbuhan Gereja 

mesti dimulai: (1) di tempat yang dipilih Tuhan, (2) Dilaksanakan dalam 

waktu Tuhan, (3) Didukung oleh hamba-hamba Tuhan yang dipersiapkan 

dan dibentuk Tuhan secara khusus, dan (4) Perlu diarahkan dan dibimbing 

oleh visi misi universal dari Tuhan sendiri. Karena itu, tulisan ini 

menyarankan agar Gereja-gereja masa kini sungguh-sungguh mencari dan 

menemukan strategi Tuhan yang khusus untuk tiap-tiap pelayanan misi 

yang kita kerjakan.

Paul Ricoeur yaitu  salah satu nama terkenal dalam kancah filsafat. 

Ia dikenal tajam dalam pemikiran fenomenologis yang membedah makna 

dalam narasi teks menjadi terang bagi pencari kebenaran otentik. Cakrawala 

pemikirannya melingkupi hampir semua topik filsafat kontemporer, 

sehingga ia dinobatkan sebagai pemenang hadiah Balzan Price for 

Philosophy pada tahun 1999.2 Tidak heran kemudian apabila ia termasuk 

tokoh yang masih hidup yang banyak diperbincangkan dengan panjang 

lebar. Berbagai kajian tentang Ricoeur diselenggarakan di berbagai tempat, 

baik secara personal insidentil oleh para pemikir dan penulis maupun secara 

kolektif sistematis oleh lembaga-lembaga perguruan tinggi.3

Lebih khusus lagi dalam wilayah studi hermeneutika, Ricoeur telah 

menyumbangkan, bukan hanya gagasan-gagasan (ideas) baru tetapi bahkan 

wawasan (insight) baru.4 Kekhasan kajian hermeneutika Ricoeur, bukan 

hanya karena ia yaitu  pemikir mutakhir sehingga memiliki kesempatan 

untuk meng-up-date pemikiran-pemikiran sebelumnya, melainkan ia juga meng-up-grade dengan menampilkan corak kajian hermeneutika yang 

sepenuhnya berbeda dengan kajian-kajian yang ada.

Sebagaimana yang dikatakan Joseph Bleicher dalam Contemporary 

Hermeneutics (1981)5

yang menempatkan pemikiran Ricoeur di luar tiga 

tradisi pemikiran hermeneutik: hermeneutika metodologis, hermeneutika 

filosofis dan hermeneutika kritis. Ini menunjukkan bahwa corak pemikiran 

Ricoeur tidak dapat dimasukkan dalam salah satu dari tiga tradisi itu. Dan 

dengan melihat pada para komentator Ricoeur seperti Don Ihde6

dan 

Patrick L. Bourgouis,7 Zainal Abidin8

bahkan berani melangkah lebih jauh 

dengan mengatakan bahwa untuk mengkaji hermeneutika Ricoeur, tidak 

perlu melacak akarnya pada perkembangan hermeneutika sebelumnya.9

RICOEUR DAN HERMENEUTICAL DESPUTE

Sebelum melangkah pada kajian pemikiran Ricoeur, ada baiknya 

kita melihat kontur yang lebih luas dari posisi pemikiran Ricoeur sendiri 

dalam peta pemikiran hermeneutika. Hal ini akan dapat memudahkan kita 

untuk memahami pengaruh dan tantangan dari pemikirannya. Sebab, dalam 

genealogi intelektual, setiap pemikiran selalu merupakan aksi sekaligus 

reaksi terhadap wacana yang sudah ada.

Mengikuti penjelasan Bleicher,10 pemikiran Ricoeur dapat dianggap 

menjembatani perdebatan sengit dalam peta hermeneutika antara tradisi

metodologis dan tradisi filosofis yang masing-masing diwakili oleh Emilio 

Betti dan Hans-George Gadamer.11 Di satu sisi Ricoeur berpijak pada titik 

berangkat yang sama dengan Betti bahwa hermeneutika yaitu  kajian untuk 

menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang 

dan waktu dari pembaca,12 namun di sisi lain, ia juga menganggap bahwa 

seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan 

sebagai acuan utama dalam memahami teks. Dan ini yaitu  posisi 

Gadamer.13

Lebih jauh lagi, Ricoeur juga dianggap menjadi mediator dari posisi 

tradisi hermeneutika romantic dari Schleirmacher dan Dilthey dengan 

hermeneutika filosofisnya Martin Heidegger.14 Mengikuti Dilthey, Ricoeur 

menempatkan hermeneutika sebagai kajian sebagai ekspresi-ekspresi 

kehidupan yang terbakukan dalam bahasa (linguistically fixed expression of 

life),15 namun ia tidak berhenti pada langkah psikologisme untuk 

merekonstruksi pengalaman penulis (seperti Schleirmacher),16 maupun 

usaha penemuan diri sendiri pada orang lain (seperti Dilthey)17 melainkan 

untuk menyingkapkan potensi keber-Ada-an atau Eksistensi (seperti 

Heidegger).18

Bahkan Ricoeur dapat ditempatkan sebagai perpaduan antara dua 

tradisi filsafat besar, yaitu fenomenologi Jerman19 dan Strukturalisme

Perancis.20 Dari arah fenomenologi, Ricoeur juga memadukan antara 

tendensi metafisik Cartesian Edmund Husserl dan tendensi eksistensial dari 

Heidegger,21 sedangkan dari Strukturalisme ia mengadopsi baik dari aliran 

linguistik dari Ferdinand de Saussure maupun aliran Antropologis dari 

Claude Levi-Strauss.22 Sebagai tambahan, Ricoeur juga mengakomodir 

tendensi kritik ideologi di satu sisi dan psikoanalisis di sisi lain untuk 

melakukan eksplorasi isi pada kajian hermeneutika yang ia lakukan.23

MENCANGKOK24 HERMENUTIKA DARI FENOMENOLOGI

Selanjutnya mari kita menukik lebih dalam pada penelusuran 

pemikiran hermeneutika menurut Paul Ricoeur. Sebagaimana dikatakan di 

atas, meskipun mengakomodir semua tendensi dalam sejarah hermeneutika, 

bahkan di antara berbagai cabang dan model hermeneutika yang saling 

bersaing, namun Ricoeur sekaligus membuka wawasan baru dalam kajian 

hermeneutika yang sekaligus mengatasi atau melampaui carut-marut 

hermeneutical despute yang sudah berlangsung dan bukan sekedar 

mendamaikan semata. Dalam hal ini barangkali akan cukup memadai bagi 

kita untuk memfokuskan pada dua tema sentral dalam pemikiran

hermeneutika Paul Ricoeur, yaitu apa yang ia sebut sebagai jalan panjang 

hermeneutika dan setelah itu kita akan menelaah apa yang menurutnya 

problem sentral dalam hermeneutika: yaitu hubungan antara bahasa lisan 

dan metafor di satu sisi dengan bahasa tulis dan teks di sisi lain. Dengan 

menelaah dua tema itu, barangkali kita sudah akan dapat mengikuti proyek 

utama Ricoeur, yaitu mencangkokkan Hermenutika dengan 

fenomenologi.25

Ricoeur menganggap bahwa persoalan hermeneutika yaitu  

persoalan yang sudah sangat panjang sejarahnya,26 mulai dari tradisi 

Yunani hingga pemikiran teologi abad pertengahan. Ini disebutnya sebagai 

fase pertama hermeneutika klasik. Di sini hermeneutika sudah menghadapi 

persoalan filosofis, di mana ia tidak hanya merupakan sebuah keahlian 

teknis dalam menafsirkan teks tertentu (techne hermeneutikhe) melainkan 

juga berhadapan dengan persoalan tentang pemahaman dalam arti yang 

lebih luas. Inilah yang diangkat dalam pemikiran Aristoteles dalam Peri 

Hermeneia. Pada tahap ini sudah dihasilkan dua arah kajian hermeneutika, 

yaitu sebagai interpretasi atau tafsir terhadap suatu teks tertentu serta 

sebagai pemahaman terhadap konsep pemahaman itu sendiri.27

Sedangkan fase kedua perkembangan hermeneutika klasik dibidangi 

oleh Schleirmacher28 dan terutama Dilthey.29 Pemikir yang terakhir ini 

menurut Ricoeur telah berjasa untuk membangkitkan pertanyaan 

fundamental mengenai keunikan posisi manusia vis-à-vis objek alami, 

sehingga kajian terhadap manusia qua manusia harus menggunakan 

metodologi yang berbeda dengan ilmu alam. Dilthey mengusulkan sebuah 

ilmu kemanusiaan (Geistesswissenschaften) yang secara epistemologi akan

bersaing dengan ilmu-ilmu alam yang positivistik.30 Pertanyaan kedua dari


Dilthey yang fundamental yaitu  kesadaran historis. Bahwa manusia yaitu  

wujud historis yang hanya dapat hidup, dipahami, dan memahami secara 

historis. Kehidupan selalu dalam konteks. Kebenaran bagi manusia selalu 

dalam konteks.31 Namun, Ricoeur mencatat bahwa pertanyaan yang 

diajukan Dilthey ini menyimpan residu problem yang tak mampu ia reduksi 

sendiri: sebagai mahluk historis bagaimana manusia dapat memahami 

sejarah secara historis? Bagaimana kehidupan dapat menampilkan diri 

sekaligus menyingkapkan makna dirinya yang dapat terpahami oleh wujud 

historis lain?32

Persoalan inilah yang menurut Ricoeur memicu pertanyaan tentang 

ontology of understanding.

33 Yaitu untuk menjawab pertanyaan paradox di 

atas maka kita harus lebih dulu mengetahui hakikat manusia sebagai keber￾ada-an yang historis, keberadaan yang terjebak dalam arus waktu, Das Sein, 

Being and Time.

34 Hermeneutika bukan lagi diarahkan kepada teks 

melainkan kepada realitas itu sendiri untuk menemukan eksistensi keber￾ada-an yang bersifat historis. Namun jalan ini oleh Ricoeur dianggap 

sebagai potong kompas karena melakukan lompatan dari hermeneutika 

pada level metode kepada level metafisika atau ontology.35 Dan ini yang 

dilanjutkan oleh Gadamer dengan memisahkan metode dan kebenaran 

(truth and metode). Sehingga pertanyaan yang muncul yaitu , dalam 

pemahaman jenis apakah yang ada di situ?36

Sedangkan menurut Ricoeur, pertanyaan yang tepat mestinya 

yaitu : dalam kondisi bagaimana sebuah wujud yang mengetahui dapat 

memahami teks atau sejarah?37 Pertanyaan ini lebih memadai karena lebih 

sistematis dalam usaha mengarahkan hermeneutika dari level metode menuju metafisika. Sedangkan pertanyaan terdahulu mengalami lompatan 

sehingga antara metodologi dan ontology tetap terdapat jarak yang tak 

terjembatani.38

Selanjutnnya, Ricoeur menguraikan bahwa proses okulasi antara 

metode dengan metafisika dari teori ke ontologi, dari hermeneutika ke 

fenomenologi, terdapat tiga tahapan yang harus dilalui.39 Pertama yaitu  

level semantic, yaitu bahwa bahasa merupakan wahana utama bagi ekspresi 

ontologi.40 Oleh karena itu, poros yang tidak dapat ditinggalkan yaitu  

kajian terhadap struktur bahasa dan kebahasaan mencakup keseluruhan 

sistem symbol sebagai hakikat dari berbahasa. Keberbahasaan ini dalam 

tataran normal akan tercakup dalam kajian simbolisme sebagai kajian 

terhadap sistem bahasa.41 Sedangkan dalam tataran abnormal menjadi 

kajian dari psikoanalisis, yaitu dalam usaha untuk mengungkapkan makna 

yang tak terbahasakan karena terepresi atau pengungkapan makna yang 

terdeviasi atau bahkan tereduksi, karena kendala dalam sistem 

komunikasi.42

Level semantic ini memiliki peran fundamental dalam menjaga 

hubungan antara hermeneutika dengan metode di satu sisi dan ontology di 

sisi yang lain.43 Hermeneutika sebagai metode, sebagai praktik yang 

dijalankan, akan menjaganya terhindar dari langkah untuk memisahkan 

konsep metode dan konsep kebenaran. Selanjutnya, ia juga bermanfaat 

dalam hubungan dengan fenomenologi sebagai usaha untuk menangkap realitas “keber-ada-an” manusia bukan sebagai entitas objektif dan statis 

melainkan equivocal dan intensional.

44 Dan terakhir, tataran penampang 

semantik ini akan menjaga pintu penghubung antara hermeneutika dengan 

filsafat bahasa yang lain dan bahkan filsafat secara keseluruhan.45

Tahap kedua yaitu  level refleksi, yaitu mengangkat lebih tinggi 

lagi posisi hermenutika pada level filosofis.46 Level semantic 

memungkinkan hermeneutika memijakkan kakinya pada tingkap teknik 

aplikatif kebahasaan. Sedangkan pada level ini hermeneutika harus 

melewati tahap yang lebih tinggi untuk memperoleh posisi sebagai sebuah 

filsafat. Posisi itu akan teraih dengan melalui proses ulang-balik antara 

pemahaman teks dengan pemahaman diri.47 Proses ini berlangsung mirip 

dengan lingkaran hermeneutic Schleirmacher,48 di mana yang satu 

menghasilkan yang lain dan keduanya harus dilaksanakan secara bersama. 

Tujuan hermeneutika dalam hal ini yaitu  memahami diri sendiri melalui 

pemahaman orang lain. Yaitu dengan mengatasi jarak waktu yang 

memisahkan antara kita dengan teks. Namun refleksi ini tidak terjadi dalam 

pola Cogito Cartesian49 di mana entitas diri yaitu  sesuatu yang statis dan 

objektif terkungkung dalam hubungan subjek-objek, melainkan dalam 

sebuah benturan langsung dalam realitas sebagaimana yang diistilahkan 

Dilthey dengan ekspresi kehidupan.50 Dalam hal ini yang kita gunakan bukan logika positivistic yang bisa dijungkirbalikkan, melainkan logika 

transcendental yang berpijak pada perjumpaan langsung dengan realitas.51

Tahap ketiga yaitu  level eksistensial.52 Pada tahap ini, menurut 

Ricoeur hermeneutika memasuki tahap paling kompleks yaitu ontology 

membeberkan hakikat dari pemahaman, ontology of understanding melalui 

methodology of interpretation. Pada tahap ini akan tersingkap pemahaman 

dan makna, bagi manusia, ternyata berakar pada dorongan-dorongan yang 

lebih mendasar yang bersifat instingtif: hasrat.53

 Dari hasrat inilah lahir 

kehidupan, dan selanjutnya bahasa. Untuk menyingkapkan realitas hasrat 

ini, sebagai realitas yang tidak disadari instingtif, Ricoeur mengajak kita 

melewati lorong Psikoanalisis.54 Melalui lorong ini kita diajak untuk 

menemukan the archeology of subject55

– suatu sumber data diri paling 

primitif dan mentah. Dari sini kita akan menyadari, kata Ricoeur, bahwa 

ontology pemahaman itu bisa ditarik kepada arah awal dan ke dalam.56 Di 

samping itu, ontology pemahaman manusia juga memiliki akar pada 

kesadarannya terhadap realitas yang lebih tinggi dari kesadaran dirinya 

sendiri, yaitu kekuatan semesta yang teratur, yang membatasi hasrat￾hasratnya dalam batasan-batasan yang stabil. Di sini kita akan memasuki lorong Phenomenology of the Spirit57

–suatu kesadaran akan adanya 

kesadaran yang lebih tinggi, bertujuan teologis dan menyatukan.58 Pada 

tahap ini ontology pemahaman manusia bisa ditarik pada ujung yang lebih 

akhir dan bersifat ke luar. Dan pada lapis terakhir kita akan menembus 

lorong Phenomenology of Religion,

59 yang kata Ricoeur merupakan tahapan 

paling tinggi eskatologis di mana pada lapisan ini ontology pemahaman 

manusia bisa ditarik ke atas yang melampaui masa lalu dan masa depan ke 

arah yang sacral.60 Yang sakral ini lebih unggul ketimbang arche maupun 

telos karena di luar kendali manusia. Dalam posisi ini manusia hanya dapat 

bersikap pasif dan menunggu panggilan dari sana.61

Dengan demikian, maka level ontologis dapat diraih dengan 

sempurna, tanpa kehilangan pijakan pada level methodology, yaitu melalui 

interpretasi. Sehingga ontology yang konkrit dan wajar bagi hermeneutika 

bukanlah ontology of understanding secara langsung dalam dirinya sendiri, 

melainkan sejauh yang dapat kita jangkau melalui interpretasi ontology.62

Dengan ketiga tahapan ini, hermeneutika tidak meletakkan 

posisinya di kursi metafisika dengan tenang, anggun dan aman, tanpa harus 

melakukan lompatan yang intuitif, melainkan tetap melalui prosedur 

metodologis. Setelah menyingkapkan postur hermeneutika yang berpijak di 

metode, meliuk di filsafat dengan logika transenden, serta menjulang menjangkau metafisika alias ontology: sekarang mari kita mengikuti lebih 

jauh, apa yang menjadi tema sentral dalam hermeneutika Paul Ricoeur.

TUGAS-TUGAS POKOK HERMENEUTIKA

Menurut Ricoeur, tugas utama hermeneutika yaitu  untuk 

memahami teks. Oleh karena itu, perngertian tentang teks menjadi sangat 

sentral dalam pemikiran hermeneutika Ricoeur. Untuk itu, kita perlu 

memberikan perhatian yang cermat pada poin ini.

Teks dan Teori Interpretasi

Secara mendasar, Ricoeur mengatakan bahwa teks yaitu  any 

discourse fixed by writing.

63 Berpijak pada defeinisi singkat ini, pertama 

kali kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan Ricouer dengan 

discourse, sebelum kita memahami tentang writing. 

Dengan istilah discourse, Ricouer merujuk kepada bahasa sebagai 

event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu. Pengertian ini 

diambil Ricouer dari para filsuf bahasa seperti Austin dan Beardsley64 yang 

membagi bahasa ke dalam dua sifat, yaitu “bahasa sebagai meaning65 dan 

bahasa sebagai event.” Bahasa sebagai meaning yaitu  dimensi yang hidup 

dan dinamis; atau dalam ungkapan Ricouer sendiri, “bahasa selalu 

mengatakan sesuatu, sekaligus tentang sesuatu.”66 Gampangnya, discourse

yaitu  bahasa ketika ia gunakan untuk berkomunikasi. Dan dalam hal ini

ada dua jenis artikulasi discourse yaitu bahasa lisan dan bahasa tulis.67

Yang pertama membentuk komunikasi langsung dimana metode 

hermeneutik tidak terlalu diperlukan, karena ujaran yang disampaikan 

(speech) masih terlekat langsung kepada pembicara. Maka dari ujaran 

tersebut masih bisa dirujuk langsung kepada intonasi maupun gerak isyarat 

(gestures) dari si pembicara.68

Sedangkan teks merupakan sebuah korpus yang otonom. Ricoeur 

menganggap bahwa sebuah teks memiliki kemandirian, totalitas,69 yang 

dicirikan oleh empat hal. Pertama, dalam sebuah teks makna yang terdapat 

pada apa yang dikatakan (what is said)

70 terlepas dari proses 

pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua 

proses itu tidak dapat dipisahkan.71 Dalam sebuah dialog, maksud dari 

seorang pembicara bukan hanya ditunjukkan oleh ucapannya, melainkan 

juga oleh intonasi, mimik maupun gesturesnya.72 Kedua, dengan demikian 

makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana 

bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang

awalnya dimaksudkan oleh penulisnya.73 Bukan berarti bahwa penulis tidak 

lagi diperlukan, meskipun Ricoeur sempat mengatakan tentang kematian 

penulis,74 akan tetapi maksud si penulis terhalang oleh teks yang sudah 

membaku. Yang tidak kalah menarik, Ricoeur menganggap bahwa penulis 

lebih merupakan pembaca pertama. Ketiga, karena tidak lagi terikat pada 

sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat pada konteks 

semula (ostensive reference),75 ia tidak terikat pada konteks asli dari 

pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks dengan demikian, yaitu  dunia

imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri dalam dirinya sendiri maupun 

dalam hubungan dengan teks-teks yang lain. Terakhir, dengan demikian 

juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan 

terikat kepada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca 

tertentu, melainkan kepada siapapun yang bisa membaca,76 dan tidak 

terbatas pada ruang dan waktu. Dapat dikatakan pula bahwa sebuah teks 

membangun hidupnya sendiri, karena sebuah teks yaitu  sebuah monolog.

Penjelasan lebih lanjut Ricoeur terhadap konsep teks ini juga akan 

menjadi revisi bagi konsep Dilthey tentang Explanation dan 

understanding,

77 di mana Dilthey menganggap bahwa penjelasan yaitu  

karakteristik kerja ilmu alam, yaitu untuk mengungkapkan cara kerja 

fenomena alami yang pasti dan tanpa intensi. Sementara pemahaman yaitu  

cara kerja ilmu humaniora, untuk mengungkapkan perilaku manusia yang 

sangat kompleks, tidak kausalistik dan memiliki dimensi intensionalitas. 

Dan kedua metode itu bekerja secara mutual exclusive.

78 Sedangkan 

menurut Ricoeur, kedua cara kerja metodologis tersebut tidak bisa 

dipisahkan secara dikotomis. Dengan menerapkan pada persoalan 

hubungan antara metaphor dan teks sebagai kodifikasi bahasa lisan dan 

bahasa tulis, Ricoeur menunjukkan bagaimana penjelasan dan pemahaman 

dapat diterapkan pada sisi yang berlainan. Penjelasan (explanation) yaitu  

cara kerja yang menghubungkan metaphor kepada teks,79 yaitu pembakuan 

bahasa lisan kepada bahasa tulis, sementara interpretasi (interpretation) 

yaitu  cara kerja dari teks ke metaphor, yaitu transkripsi dari bahasa tulis 

ke bahasa lisan.80

Dengan kata lain, bahasa sebagai meaning yaitu  sebuah sistem 

tanda yang memiliki konstelasi internal, yang baku dan objektif. Di sini 

Ricoeur meminjam teori para strukturalis mulai dari dikotomi langue dan 

parole dari Ferdinand de Saussure, strukturalisme filosofis-antropologis 

dari Claude Levi Strauss81 hingga analisis struktural sastrawi Rolland


Barthes dan A.J. Greimas.82 Bahasa memiliki hukum-hukum yang baku, 

yang bekerja mirip hukum alam. Ini yaitu  pengertian kata-kata dalam 

kamus atau ensiklopedi yang sudah bermakna tunggal dan baku. Dalam 

aspek inilah metodologi yang digunakan yaitu  explanation. Sedangkan 

bahasa sebagai event atau discourse, yaitu  penampang bahasa yang terikat 

kepada konteks. Di sini bahasa menjadi multi-interpretable, sehingga tidak 

mungkin ada objektivitas, apalagi pembakuan. Di sinilah, lanjut Ricoeur, 

tempatnya metode interpretation sebagai bentuk utama dari 

understanding.

83

Melangkah lebih jauh lagi, Ricoeur tidak hanya ingin sekedar 

mendamaikan dikotomi yang diciptakan namun tidak mampu diatasi 

Dilthey di atas. Sampai pada tahap itu, Ricoeur hanya menempatkan 

explanation dan interpretation pada satu domain yaitu Gei￾steswissenschaften tetapi tetap saja keduanya yaitu  dua prosedur yang 

berbeda dan bekerja secara terpisah.85 Untuk ini Ricouer mengajukan 

prosedur kerja depth semantic86 yaitu dengan menempatkan kedua prosedur 

metodologis di atas dalam sebuah garis linier. Menurut Ricoeur, analisis 

explanation bisa digunakan sebagai tahap awal untuk mengkaji dimensi 

statis dari teks, sedangkan interpretation digunakan selanjutnya untuk 

menangkap makna kontekstual dari teks tersebut.87

Bagi Ricoeur, istilah makna kontekstual bukan lagi mengacu kepada 

the single meaning dari teks yang bersangkutan, karena teks itu sudah 

memiliki makna internal yang objektif dan tidak lagi ditopang oleh 

intensional psikologis dari penulisnya melainkan the multiple meaning dari 

konteks pembaca modern. Dalam sebuah pembacaan teks, seorang pembaca 

tidak lagi masuk ke dalam teks untuk melakukan rekonstruksi psikologis 

kepada pengarang, dan tidak pula menarik teks ke dalam pre￾understanding-nya sendiri. Yang terjadi yaitu  seorang pembaca membuka

dirinya di hadapan teks yang juga telah membuka diri. Makna sebuah teks 

tidaklah ada di balik atau di belakangnya, melainkan ada di depannya.88

Sejarah Sebagai Teks

Ricoeur memperluas konsep teks ini bukan hanya pada bahasa yang

mengendap pada tulisan, melainkan juga kepada setiap tindakan manusia 

yang memiliki makna yaitu setiap tindakan yang disengaja untuk mencapai 

tujuan tertentu. Dalam hal ini dia meminjam teori Max Weber tentang 

sinhaft orientierties Verhalten.

89 Tujuan Ricoeur dalam teori ini yaitu  

membangun sebuah epistemology baru bagi ilmu-ilmu sosial maupun 

humaniora karena, berdasarkan pendalaman pada hermeneutik sebagai 

kajian terhadap teks, Ricoeur menganggap bahwa (1) objek dari ilmu-ilmu 

sosial dan humaniora memiliki karakter sebagai teks; (2) dengan demikian 

metodologi kajian untuk itu haruslah berupa kajian yang menyerupai kajian 

interpretative (Auslengung) yang ada pada hermeneutika.90

Dalam penjelasan selanjutnya, Ricoeur memaparkan bagaimana 

realitas sosial, atau dapat kita katakan sejarah,91 memiliki persamaan 

karakater dengan definisinya mengenai teks. Pertama, fixation of action,

92

yaitu bahwa realitas sosial baru akan dapat dijadikan sebagi objek kajian 

ilmiah sejauh ia terbakukan dalam mekanisme maupun struktur seperti 

terbakukannya discourse dalam tulisan. Sedangkan pemahaman pada 

realitas sosial yang belum terbakukan, yaitu peristiwa-peristiwa yang

datang dan pergi disebut dengan knowledge without observation, yaitu 

pengetahuan tentang bagaimana dari realitas sosial dan bukan apa.

93

Kedua, the automatiozation of action, berupa kenyataan bahwa 

tindakan sosial kita memiliki makna objektif94 dan bukan hanya semata 

tergantung kepada maksud kita belaka sebagaimana makna teks yang sudah 

tidak lagi tergantung kepada intensitas psikologis sang pengarang. Pada 

tindakan sederhana memang masih memungkinkan hubungan antara pelaku 

dengan perbuatannya. Namun dalam peristiwa-peristiwa sosial yang 

kompleks yang memiliki dampak luas, maka hubungan antara maksud 

dengan hasil tindakan semakin menjauh. Misalnya seorang pemimpin 

politik, tidaklah dinilai dari apa tujuan dari kebijakan yang ia ambil, 

melainkan dari hasilnya.95

Ciri ketiga dari realitas sosial yang memiliki karakter teks yaitu  

keterlepasannya dari konteks awal tindakan atau dalam ungkapan Ricoeur 

sendiri yaitu  relevance and importance.

96 Sebagaimana sebuah teks tidak 

lagi harus dipahami berdasarkan konteks awalnya, demikian pula nilai 

penting (importance) dari sebuah tindakan sosial tidak lagi terikat baku 

dengan nilai pentingnya (relevance). Maksudnya, bahwa sebuah tindakan 

bisa bermakna lain bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda, dan itu 

yaitu  pemahaman yang absah dilakukan. Dan inilah yang sering terjadi 

dalam proses hermeneutika judicial, di mana makna sebuah tindakan 

diperdebatkan dengan mengaitkannya kepada konteks-konteks yang 

berlainan.97

Yang terakhir, penampang dari meaningful action yang menyerupai 

penampang sebuah teks yaitu  keterbukaanya kepada makna-makna baru


human action sebagai “open” work yang identik dengan karakter teks yang 

juga equivocal. Maksudnya yaitu , sebagaimana sebuah teks tidak lagi 

terikat kepada audiens awal dalam suatu proses dialogis bahasa lisan, 

demikian juga sebuah perbuatan tidak hanya dapat dinilai oleh orang-orang 

yang menjadi saksi mata. Sebuah tindakan menjadi terbuka untuk 

selamanya, bagi para penanggap baru yang datang dari ruang waktu. Yang 

menjadi hakim dari sebuah tindakan atau realitas sosial bukan hanya orang￾orang dari zaman itu, melainkan sejarah itu sendiri.98

Dengan demikian, proyek hermeneutika fenomenologis Paul 

Ricoeur merupakan sebuah jalan panjang dan ambisius, bukan hanya untuk 

menjembatani hubungan antara hermeneutika metodologi di satu sisi degan 

hermeneutika filosofis di sisi lain, tetapi juga membangun sebuah 

epistemologi baru bagi ilmu-ilmu sosial-humaniora. Epistemologi ini tidak 

lagi merupakan kelanjutan epistemologi tradisional, melainkan lebih pada 

epistemologi kritis sebagaimana yang kita jumpai dalam pemikiran 

hermenutika kritis baik dai Karl-Otto Apel maupun Jürgen Habermas.

PENUTUP: IMPLIKASI HERMENUTIS

Dari analisa teori interpretasi, Paul Ricoeur membawa kita untuk 

dapat mengantisipasi beberapa implikasi, yakni yang berkisar pada 

penggunaan dan pengkaburan konsep peristiwa pembicaraan dalam tradisi 

hermenutika romantic yang telah dibangun oleh Schleirmarcher dan 

Dilthey, bahwa interpretasi harus mengindentifikasi kategori pemahaman

sebagai maksud mula-mula dari sudut pandang penulis teks atau si

pembicara. Dalam hal ini Ricoeur mengajak untuk mempertanyakan asumsi 

hermeneutika ini dari sudut pandang anatomi bahasa, bahwa tanpa adanya 

suatu penyelidikan khusus terhadap tulisan (teks), suatu teori analisa bahasa 

belum dapat menjadi suatu teori teks. Namun bila suatu teks dapat 

diakomodir oleh teori analisa bahasa, maka kondisi inskripsi bahasa berada 

dalam persyaratan yang memungkinkan terjadinya suatu wacana dalam 

pengaruh teks. Dalam artian bahwa apa yang terjadi dengan teks yaitu  

manifestasi sepenuhnya pembicaraan yang hidup, yakni pemilahan makna

dari peristiwa, yakni otonomi teks tetap muncul dalam aturan dialektika 

peristiwa dan makna teks.

Di sinilah Ricoeur menawarkan sebuah proyek yang menarik dalam 

rangkuman ilmu teologi dan filsafat sebagai suatu pendekatan bagi kajian￾kajian hermeneutika yang berguna bagi suatu analisis kritis dalam dunia 

interpretasi.

KONTRIBUSI GAGASAN JÜRGEN HABERMAS

BAGI HERMENEUTIKA POSTMODERN

ERNI M.C. EFRUAN

PENDAHULUAN

Hermeneutika dalam segala tahap perkembangannya sangat 

berpengaruh, bukan hanya dalam bidang teologi, tetapi juga dalam berbagai 

bidang pengetahuan manusia. Dalam Postmodern ini, orang yang mengaku 

ilmuwan atau filsuf, tidak bisa begitu saja mengabaikan hermeneutika.

Ironisnya, manusia Postmodern menyerang kekristenan karena 

beranggapan bahwa merekalah satu-satunya yang memiliki kebenaran. 

Berdasarkan pemikiran yang objektif dan metanaratif sekuler, manusia 

Postmodern tidak percaya adanya metanaratif-absolut.1 Sedangkan, 

kepercayaan berelasi erat dengan pemahaman, sementara semua 

interpretasi mencakup pemahaman.

2 Untuk dapat menginterpretasi hal-hal 

metanaratif, maka pastinya terlebih dahulu harus memahami. Tentunya, 

memahami dan menginterpretasi yaitu  satu momen dalam satu proses yang menciptakan lingkaran hermeneutika; hermeneutika tidak dapat 

mempersempit ketergantungannya pada hal-hal lain. Di sini hermeneut 

mengahadapi dilema antara tetap objektif dan bersifat subjektif, atau antara 

tetap subjektif dan harus menjadi objektif.

Dengan demikian, adakah kontribusi dimensi gagasan atau 

pemikiran filsuf hermeneutika atau hermeneut bagi hermeneutis-teologis 

yang memadai di era Post Modern ini?

POSTMODERN DAN HERMENEUTIKA

Mencari dan menemukan kontribusi gagasan-gagasan atau

pemikiran-pemikiran filsuf hermeneutika terkemuka saat kini Jürgen

Hubermas telah menstimulir penulis untuk terlebih dahulu mengkaji

hakekat postmodern dan hermeneutika pada bagian berikut ini.

Postmodern

Postmodern yaitu  suatu tantangan utama bagi kekristenan abad ke-

21 ini. Para pemikir Barat beranggapan bahwa manusia sudah melewati 

zaman Modern yang berlangsung mulai dari Abad Pencerahan (Aufklarung) 

sampai tahun 1960-an.3 Faktanya, terjadi perubahan budaya yang 

berlawanan dengan ciri khas zaman modern, yakni: inovasi yang lahir 

sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan Abad Pertengahan.4

Pemikir lain seperti sejarawan Arnold Toynbee berpendapat bahwa Perang 

Dunia I merupakan saat berakhirnya Modernisme dan dimulainya 

Postmodern.

5 Dengan demikian dapat dianggap bahwa pencetus istilah 

Postmodern yaitu  Arnold Toynbee dengan bukunya yang termahsyur 

berjudul Study of History.

6 Ada pula yang mengatakan bahwa karya 

Friedrich Nietzsche (1844-1900) berjudul Thus Spoke Zarathustra, terbit 

tahun 1883,7 menandai berakhirnya era Modern dan bangkitnya 

Postmodern. Tetapi Charles Jencks, arsitek Postmodern yang paling 

berpengaruh mengatakan bahwa, the end of modernism and the beginning 

of postmodernism took place at:32 P.M. on July 15, 1972.

8

Jean Francois 

Lyotard dengan semangat Nietzschean yang menyala-nyala mengemukakan 

kematian pilar-pilar metanaratif modernisme seperti dialektika roh, 

emansipasi proletar, hermeneutika dan sains.9 Dengan demikian, kehadiran 

Postmodern merupakan reaksi penolakan terhadap modernisme dan Pencerahan serta asumsi-asumsinya,10 sebagaimna ditulis oleh David 

Harvey sebagai berikut:

The Enlightenment project... took it as axiomatic that there was only 

one possible answer to any question. From this it followed taht the 

world could be controlled and rationally ordered if we could only 

picture and represent it rightly. But this presumed that there existed 

a single correct mode of representation which, if we could uncover it 

(and this was what scientific and mathematical endeavors were all 

about), would provide the means to Enlightenment ends.

11

 

Bagi Rene Descartes (1596-1650), dasar segala sesuatu yaitu  diri manusia 

yang berpikir (thinking-self), dan diri manusia yaitu  subjek otonom dan 

rasional (cogito ergo sum).12 Manusia memasuki Postmodern yang ditandai 

dengan pandangan yang pesimis terhadap kemajuan manusia, disintegrasi 

kebudayaan dan sikap relativisme terhadap kenyataan dalam dunia. Hasil 

penelitian George Barna mengindikasikan, 66% orang Amerika percaya 

bahwa there is no such thing as absolute truth.

13 Veith menegaskan, 

Postmodernism attempts to re-order thought and culture on a completely 

different basis, accepting reality as a social contruction and avoiding 

“totalizing discourse” altogether.

14 Postmodern, pada satu sisi yaitu  anti 

metanaratif, antifondasi, sebagaimana dideskripsikan oleh Patricia Waugh: 

Central to the “Postmodern coundition,” of Western history and, in 

particular, enlightened modernity have broken down.

15

 

Hermeneutika

 Kata Hermeneutika (Inggris: hermeneutics) berasal dari bahasa Ibrani 

Pathar (to interpret), Pithron (penafsiran); Yunani- e`rmhneuw -

hermēneuō- (explai, expound) yang berarti menginterpretasi, menjelaskan atau menterjemahkan. Kata benda e`rmhneia secara harfiah dapat diartikan 

sebagai penafsiran atau interpretasi.

16 Kata Yunani ini berhubungan dengan 

dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani.17 Walter C. Kaiser Jr. 

mengatakan: The term hermeneutics has become in creasingly popular in 

recent decades.18 Hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai proses 

mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti.19 J. 

Bleicher menggolongkan hermeneutika dalam tiga bagian, yaitu: teori 

hermeneutika, filsafat hermeneutika dan hermeneutika kritis. Dalam 

penggolongan ini, Jürgen Habermas ditempatkan sebagai salah satu filsuf 

hermeneutika terkemuka saat kini, yang menekankan pentingnya 

hermeneutika yang sadar secara sosiologis; “Hermeneutika Kritis.”20

Fungsi Hermeneutika

Hermeneutika merupakan upaya memberi makna (meaning) suatu teks.21

Namun perlu dicatat, rentang waktu penulisan teks dan pembaca teks sering

menciptakan berbagai hambatan. Hermeneutik paling sedikit melibatkan 

dua aspek, yaitu, eksegese dan eksposisi, walaupun di sisi yang lain, J.I. 

Packer menawarkan penafsiran biblikal Injili yang dimulai dengan tiga 

langkah, yaitu, eksegese, sintesa dan aplikasi.22

Hermeneutik berfungsi untuk mempelajari prinsip-prinsip penafsiran, baik 

penafsiran tata bahasa, historis, kebudayaan maupun penerapan praktis dari 

penafsiran tersebut di mimbar.23

 Mencari penjelasan tentang apa yang tidak 

secara jelas di dalam Alkitab, yang didahului dengan langkah observasi 

atau dapat pula disebut persiapan,24 bertanya dan menjawab pertanyaan apa 

makna teks ini.25

Urgensitas Hermeneutika 

G.W. Bromiley memberikan empat alasan urgensitas hermeneutik.26

Pertama, otoritas Alkitab dihilangkan bilamana arti yang sesungguhnya 

dilalaikan. Kedua, memahami Alkitab yaitu  tidak begitu mudah, seperti 

kelihatannya dan secara umum menyatakannya dalam istilah-istilah yang 

sederhana, namun hal itu tidaklah menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang 

mengitari semua komunikasi. Ketiga, dalam hal-hal yang dari iman dan 

tingkah laku, orang-orang Kristen berbeda dengan apa yang Alkitab 

ajarkan; komitmen kepada otoritas Alkitab bukanlah usaha perlindungan 

terhadap ketidak-setujuan. Keempat, ada bahaya yang sungguh-sungguh 

bilamana kita membingungkan otoritas-otoritas, yaitu otoritas dari Alkitab 

dan otoritas dari penafsiran perorangan akan Alkitab, bilamana pertanyaan 

hermeneutik tidak diperhatikan.

Interpretasi Alkitab meliputi 3 (tiga) aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: 

antara penulis, teks, dan pembaca. Penulis mengekspresikan pesan kepada 

pembaca melalui teks yang ditulisnya. Arah komunikasi bersifat satu arah, 

bergerak dari penulis kepada pembaca. Pembaca tidak dapat berkomunikasi 

dengan pengarang seperti lazimnya dalam setiap komunikasi, maka respons 

atau efek diharapkan muncul sebagai akibat proses komunikasi. Banyak 

kritikus berpendapat bahwa penafsiran yang objektif tidak mungkin 

dilakukan dan makna yang dimaksud penulis telah hilang selamanya. 

Dengan demikian setiap komunitas menyediakan tradisi untuk menuntun 

pembaca dalam memahami suatu teks, dan inilah yang menghasilkan 

makna. Implikasinya, makna tersebut berbeda-beda di setiap komunitas. 

Jadi, pada kenyataannya setiap teks dapat memiliki beragam makna, dan 

setiap makna itu sah bagi suatu perspektif pembaca atau komunitas 

tertentu.27

Karakteristik Hermeneutika Postmodern

Secara umum, karakteristik hermeneutika Postmodern, antara lain: 

Pertama, hal atau peristiwa tidak mempunyai arti yang intrinsik pada 

dirinya, yang ada hanyalah penafsiran yang terus-menerus terhadap realitas 

dan dunia. Kedua, penafsiran-penafsiran tersebut membutuhkan penelitian 

sesuai dengan konteksnya, sedangkan kita yaitu  bagian dari konteks itu 

sendiri. Ketiga, penafsiran tidak tergantung kepada faktor objektif dari teks 

atau pengarangnya, tetapi kepada pandangan relatif dari penafsir. Keempat, 

bahasa tidaklah netral melainkan relatif dan dipakai untuk menyampaikan 

suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu.28

Problema Hermeneutika Postmodern 

 Dalam Studi Hermeneutika saat kini, tak bisa dilepaskan dari pengaruh 

Posmodern. Pendekatan hermeneutika dibawa kepada pendekatan￾pendekatan ilmu sastra yang dikenal dengan nama-nama: Reader-response, 

deconstruction, feminist criticism, ideological criticism, autobiographical criticism, dan lain sebagainya. Dengan munculnya reader-response 

criticism maka terjadilah pergeseran paradigma aktivitas membaca teks. 

Tiap orang dapat membaca Alkitab dan berhak menafsirkan artinya 

sebagaimana ia atau golongannya mengartikannya. 

Namun percu dicatat, bahwa penafsiran tanpa hermenutika yang benar 

menimbulkan problema serius. Munculnya publikasi biblika seperti 

interpretasi feminis merupakan petunjuk semakin meluasnya pendekatan￾pendekatan Postmodern dalam dunia hermeneutika.

Hakikatnya, suatu teks merupakan dasar pemaknaan teks. Tidak salah jika 

dikatakan bahwa hermeneutika bergantung pada konsep tentang teks.29

Dengan melalaikan maksud asli teks Alkitab akan menimbulkan krisis yang 

dalam banyak cara menimbulkan krisis-krisis teologi yang lain. George M. 

Landes mengatakan bahwa krisis yang paling dasar dalam studi-studi 

biblikal haruslah ditempatkan dalam disiplin hermeneutika.30

Friedrich Schleiermacher (1768-1834), pemikir utama jalur hermeneutika 

yang berorientasi pada penulis terkenal sebagai: to reproduce the whole 

internal process of an author's way of combining thoughts... Explanation of 

words and contents are not themselves interpretation but only elements of 

it.31 William Dilthey (1833-1911) dan E.D. Hirsch32 serta pakar lainnya 

kemudian berjalan di atas landasan yang telah dibangun Schleiermacher. 

Hans-Georg Gadamer membuka jalan terhadap pendekatan yang menekankan partisipasi pembaca dalam memberi makna suatu teks. Jürgen 

Habermas sendiri menghargai dan menyetujui sikap Gadamer. 

LANDASAN PEMIKIRAN JÜRGEN HUBERMAS

Untuk memahami pemikiran-pemikiran atau gagasan-gagasan 

Jürgen Hubermas yang memiliki relasi dengan hermeneutika, maka terlebih 

dahulu perlu menganalisis riwayat hidup, latarbelakang pemikirannya, dan 

kerangka hermeneutiknya.

Riwayat Hidup

K. Bertens meringkaskan riwayat hidup Jürgen Habermas dalam 

buku Filsafat Barat Abad XX, sebagai berikut:

Jürgen Habermas dilahirkan di Gummersbach tahun 1929. Di 

Universitas kota Gottingen, ia belajar kesusastraan Jerman, sejarah 

dan filsafat (a.l. pada N. Hartmann) dan juga mengikuti kuliah di 

bidang psikologi dan ekonomi. Sesudah beberapa waktu di Zurich, ia 

meneruskan studi filsafat di Universitas Bonn. Tahun 1954 ia meraih 

gelar 'doktor filsafat,' berdasarkan sebuah disertasi tentang Das 

Absolute und die Geschichte, suatu karya yang masih secara 

mendalam dipengaruhi oleh filsafat Heidegger.33

Habermas sangat populer di kalangan mahasiswa Jerman dan oleh 

beberapa golongan dianggap sebagai ideolog mereka. Ia yaitu  salah 

seorang filsuf Jerman paling terkemuka dalam era 1970-an. Pada tahun 

tersebut ia menerbitkan buku Protesbewegung und Hochschulreform, suatu 

buku yang menjadi best-seller di Jerman. Salah satu kritik yang menarik 

atas Kebenaran dan Metode berasal dari Jürgen Habermas. 

Latarbelakang Pemikiran Habermas

Jürgen Habermas (1929- ), tidak diragukan lagi menjadi salah 

satu filsuf terbesar abad ini. Sebagai pemikir generasi baru (generasi kedua)

Mazhab Frankfurt (Frankfurt School),34 Habermas berusaha meneruskan 

pemikiran para pendahulunya (M. Horkheimer, Th. Adorno, H. Marcuse), 

sekaligus mengusulkan proyek-proyek baru yang lebih otentik. Meskipun 

gagasan-gagasan Habermas tidak berpusat pada hermeneutika, namun ide￾idenya tersebut memberi warna pada pustaka hermeneutika. 

Tidaklah mudah memahami secara tepat dan sistematis seluruh 

pemikiran atau gagasan Habermas, yang luas dan mendalam; lagi pula 

pemikirannya amat dinamis dan terus berkembang hingga kini. Untuk 

memahami gagasan-gagasannya, maka harus terlebih dahulu menempatkan 

seluruh pemikirannya dalam konteks Teori Kritis yang ditawarkan Mazhab 

Frankfurt, bahkan lebih jauh lagi dalam tradisi pemikiran Hegelianisme, 

Marxisme dan psikoanalisis Sigmund Freud. Ketiga pemikiran kritis 

tersebut memahami kata kritik secara berbeda.

Hegel memahami kritik sebagai refleksi atau refleksi diri atas 

rintangan-rintangan, tekanan-tekanan dan kontradiksi-kontradiksi 

yang menghambat proses pembentukkan-diri dari rasio dalam 

sejarah. Karl Marx sebagai seorang Hegelian, memahami kritik 

sebagai usaha-usaha emansipatoris dari penindasan dan alienasi yang 

dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. 

Sigmund Freud memahami kritik sebagai pembebasan individu dari 

irasionalitas menjadi rasionalitas, dari ketidaksadaran menjadi 

kesadaran.35

 

Habermas juga amat dipengaruhi oleh pragmatisme Dewey, filsafat 

analisis-nya Wittgenstein dan J.L. Austin, serta banyak pemikir lainnya. 

Oleh karena itu, dapatkah dimunculkan dimensi-dimensi hermeneutik-


teologis dari Teori Kritis Habermas ini?36 Selain itu, tidak mungkin 

memahami pemikiran Habermas tanpa menyadari konteks kehidupan 

bangsa Jerman pada masa mudanya. Habermas dibingungkan pertanyaan, 

mengapa bangsa Jerman, yang melahirkan gagasan-gagasan kemanusiaan 

yang unggul, mulai dari Kant sampai Marx dengan tema-tema emansipasi, 

kebebasan, sekaligus menyediakan lahan subur bagi Hitler dan Nazisme?37

Kerangka Hermeneutika Habermas

Meskipun gagasan-gagasan Jürgen Habermas tidak berpusat pada 

hermeneutik, dan karya-karyanya-pun tidak secara khusus membicarakan 

hermeneutik sebagai ide tunggalnya, namun pemikiran-pemikirannya itu 

mendukung pustaka hermeneutik. Gagasan hermeneutikanya dapat ditemui 

di dalam tulisannya berjudul Knowledge and Human Interest.38 Habermas 

mengikuti tiga bentuk penyimpulan, yaitu: deduksi, induksi dan abduksi 

atau proses abdutif.39

Dalam penyelidikan ilmu-ilmu hermeneutik, ia tertarik untuk 

menyingkapkan kerangka metodologis dan kepentingan yang menentukan 

dalam ilmu hermeneutik. Bagi Habermas, klaim-klaim pengetahuan dalam 

ilmu-ilmu hermeneutik grasp interpretations of reality with regard to 

possible intersubjectivity of action-orieting mutual understanding specific 

to a given hermeneutic sating point.40 Ia memusatkan kritik dan studinya 

pada pemikiran hermeneutik Dilthey, bahwa pemahaman hermeneutik 

harus mengintegrasikan ketiga kelas kehidupan, yakni: bahasa, tindakan


dan pengalaman. Habermas sendiri menyetujui sikap Gadamer yang 

menentang pendirian objektivisme. Ia juga menghargai usaha Gadamer 

merefleksikan kesadaran diri hermeneutis, sekaligus setuju pada pendapat 

Gadamer mengenai ketergantungan subjek yang berbicara dengan 

bahasanya.41

Menurut Habermas, hermeneut atau penafsir tak dapat memahami 

sepenuhnya makna suatu fakta, sebab ada juga fakta yang tidak dapat 

diinterpretasi. Hermeneutika membutuhkan pemahaman tentang makna 

yang mampu mengartikan hubungan-hubungan simbol sebagai hubungan 

fakta. Habermas harus melawan klaim Gadamer bahwa hermeneutik 

memiliki arah atau penekanan yang universal karena hermeneutika berpusat 

pada bahasa.42 Yang ditakutkan oleh Habermas yaitu  terjadinya pseudo￾communication yang memungkinkan terjadinya “komunikasi yang 

terdistorsi secara sistematis.” Ia berpendapat bahwa bahasa itu sendiri 

didominasi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan satu-satunya jawaban yaitu  

kritik ideologi pada inti hermeneutika. Ketimbang mengandaikan sebuah 

hermeneutika yang universal, Habermas menawarkan dipakainya Depth 

Hermeneutics yang diyakininya tidak akan mengalami distorsi yang muncul 

dari luar. Habermas menulis sebagai berikut:


Skeptisisme Postmodern menghasilkan dunia yang selalu dipenuhi 

pluralitas yang saling bertentangan dan tak pernah selesai. Komitmen 

kepada Allah dalam Kristus, mengharuskan kita berdiri teguh melawan 

skeptisisme radikal postmodern, yakni lenyapnya metanaratif - “titik pusat.” 

Namun harus selalu siuman dan patut dicatat bahwa suatu faham baru 

selalu ada sisi postif dan negatifnya.

Berkaitan dengan hal di atas, telah bermunculan pemikir-pemikir 

dari kaum injili yang menggunakan tiga metode pendekatan terhadap 

semangat postmodern, yakni: akomodasi, sintesis juga kontra-postmodern. 

Fakta menunjukan bahwa kritik postmodern dalam beberapa bagian lebih 

sesuai dengan pemahaman iman Kristen. Selama kita mengakui validitas 

keyakinan-keyakinan kristiani secara absolut, metanaratif, keyakinan￾keyakinan tersebut pasti mengendalikan penafsiran. Hanya dengan 

mengidentifikasikan mereka apa adanya, suatu perkiraan terhadap 

kebenaran secara teologis dan budaya, barulah kita dapat tetap 

menempatkan mereka di dalam perspektif postmodern yang benar.44

Postmodern menolak anggapan pencerahan bahwa pengetahuan itu 

pasti dan kriteria kepastian itu terletak pada rasio manusia. Iman Kristen 

juga menolak kalau metode ilmiah dan rasional itu dianggap sebagai satu￾satunya kriteria kebenaran. Sebagaimana dikatakan oleh Blaise Pascal, 

“Hati manusia mempunyai logikanya sendiri yang tidak dapat dipahami 

oleh rasio manusia” (bnd. Ams 3:7; Ul 29:29; Flp 4:7; 1Kor 13:12). 

Berkaitan dengan hal inilah penulis mengamati adanya dimensi-dimensi 

gagasan hermeneutik posmodern Jürgen Habermas yang dapat 

didistribusikan ke dalam hermeneutis-teologis. 

Kritik Atas Positivisme

Pada tahun 1960-an di Eropa, muncul sebuah perbantahan hebat 

mengenai positivisme, yang dikenal dengan nama Possitivismusstreit. 

Diskusi ini menempatkan metode ilmu sosial sebagai bahan pembicaraan. 

Semula Theodor W. Adorno berdebat dengan Karl Popper, yang masing￾masing mewakili pendirian kritis-dialektis dan pendirian positivistis.



Setelah itu tampil Hans Alber dan Jürgen Habermas. Perdebatan ini 

mempertajam permasalahan dan pemikiran masing-masing pihak.45

Sejak awal Habermas menempatkan pendiriannya dalam alur 

pemikiran Mazhab Frankfurt, yang berjuang menentang positivisme dan

objektivisme. Habermas mengikuti pemikiran para pendahulunya, 

menegaskan penolakannya terhadap positivisme, yang berusaha 

memisahkan ilmu dan kepentingan (interest), agar ilmu bisa hadir secara 

netral tanpa pemihakan (disinterested). Akibatnya ilmu (theoria) dipisahkan 

secara radikal dengan praksis dan menjadi a-historis secara a-sosial. 

Menurut Habermas, kepentingan atau minat yaitu  orientasi dasar 

yang berakar dalam kondisi fundamental khusus dari reproduksi yang 

mungkin dan kelangsungan hidup spesies manusia, yaitu kerja atau karya 

dan interaksi. Sebagai contoh misalnya: sesuatu yang diminati atas dasar 

penalaran yaitu  masuk akal. Jadi, dari hal yang menyenangkan bisa 

muncul kecenderungan untuk sesuatu yang baik dan masuk akal.46 Tetapi, 

mengapa kepentingan atau minat dimasukkan ke dalam hermeneutik? Bagi 

Habermas, pengetahuan dan minat itu pada dasarnya yaitu  satu dan 

keduanya berpadu atau berbaur menjadi satu dalam bahasa yang dipakai.

Akibat semua tindak-tanduk positivisme ini, Habermas melontarkan 

tuduhan bahwa ilmu–yang bebas–nilai pada akhirnya hanya ingin 

mempertahankan status-quo masyarakat. Baginya, usaha memperoleh 

pengetahuan yang objektif, yang terbebas dari kepentingan-kepentingan, 

sebenarnya usaha tersebut didorong oleh sebuah kepentingan yang lebih 

dalam, yaitu agar dicapai sebuah teori murni.47

Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang utama. Untuk 

mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan pengarahan, 

yaitu semacam mekanisme tindakan yang terkoordinasikan. Sehingga, walaupun mempergunakan konsensus tertentu, tetap dapat mengkoordinir 

diri sendiri ke arah tujuan tertentu.

Teori Kritis

Habermas mengajukan sebuah pemecahan epistemologis melalui 

apa yang kemudian disebut Teori Kritis. Bagi Habermas, proses 

memperoleh pengetahuan selalu dilandasi kepentingan tertentu. Teori Kritis 

senantiasa bersifat historis, berpijak pada realitas konkret, serta menjadi 

kritik imanen atas tatanan yang melanggengkan status-quo. Namun yang 

menjadi sasaran kritis teori ini bukan hanya realitas sosial, tetapi juga 

pendekatan-pendekatan ilmiah atas realitas sosial itu sendiri.

Bagi Habermas, Teori Kritis mengambil sikap kritis baik terhadap 

ilmu-ilmu sosial dewasa ini maupun kenyataan sosial yang dilukiskannya. 

Ia kritis terhadap pendekatan-pendekatan ilmiah yang tidak mampu 

menjelaskan paradoks-paradoks rasionalisasi kemasyarakatan karena 

pendekatan-pendekatan itu membuat sistem-sistem sosial yang kompleks 

sebagai objek mereka hanya dari salah satu sudut pandang abstrak, tanpa 

memperhitungkan asal-usul historis (dalam arti sosiologi reflektif).48

Ilmu tidak pernah bebas-nilai, termasuk pula teologi. Selain itu 

Habermas juga mencela kecenderungan positivisme yang berusaha 

melepaskan teori dari praksis, demi memperoleh sebuah teori murni. Tak 

jarang pula teologi Kristen terjebak dalam kecenderungan semacam ini. 

Dengan demikian jelaslah bahwa Teori Kritis berurusan dengan 

usaha memperoleh pengetahuan (epistemologi) dengan cara-cara yang 

kritis, serta peka terhadap kepentingan manusiawi di balik setiap upaya 

ilmiah. Dalam hal ini, Habermas sendiri membedakan pengetahuan dalam 

tiga cakupan: ilmu yang memanfaatkan keterangan teknis yang diperoleh 

secara langsung atau secara analitis; sejarah, yang menafsirkan bahasa 

sesuai dengan Gadamer; dan ilmu-ilmu sosial yang menggunakan perenungan untuk membebaskan atau meng-“emansipasi” orang-orang dari 

dominasi kekuatan dan-kekuatan-kekuatan sejarah.49

Rasio dan Praksis

Habermas juga mempersoalkan makna Rasio dalam seluruh 

percakapan yang sedang diikutinya. Bagi para pemikir Mazhab Frankfurt 

rasio telah menjadi alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah 

sistem. Rasio semacam ini oleh Horkheimer disebut rasionalitas-bertujuan. 

Yang dimaksud di sini, rasio sekedar menjadi alat (instrument) belaka di 

luar dirinya sendiri, yaitu kepentingan-kepentingan ideologis. Akhirnya, 

menurut Marcuse, “masyarakat modern yaitu  rasional secara parsial

tetapi irasional dalam keseluruhan.” Rasionalitas yang irasional!50

Mazhab Frankfurt berhasil menunjukan bahwa kesalahan ini terjadi 

karena rasio dipisahkan dari praksis, yaitu tindakan manusia untuk 

merealisasikan hidup yang baik. Rasio dimurnikan dari unsur penilaian dan 

moralitas. Secara epistemologis akhirnya mereka sendiri pun pesimis 

terhadap Teori Kritis, dengan kekuatiran bahwa rasionalitas yang kritis pun 

bisa membeku dan menjadi ideologis. Di sinilah persimpangan muncul; 

Habermas menjalani arah lain yang jauh lebih optimis terhadap rasionalitas.

Permasalahan rasio ini oleh Habermas diletakan dalam konteks yang 

lebih luas, yaitu nisbah antara teori dan praksis. Bagi Habermas, 

pengetahuan bukanlah persoalan kontemplasi, melainkan mendorong 

praksis perubahan sosial. Praksis di sini yaitu  tindakan dasar manusia 

yang didorong oleh kesadaran rasional. Dari Karl Marx, Habermas 

mewarisi konsep tentang kerja sebagai syarat keberadaan manusia dan tidak 

terikat pada bentuk-bentuk masyarakat. Kerja yaitu  proses yang terdapat 

antara manusia dengan alam, dimana manusia melalui tindakannya 

menengahi, mengatur dan mengawasi pertukaran barang-barang yang 

mereka miliki dengan alam. Jadi, kerja mempunyai fungsi sintesis, namun 

juga dapat dijauhkan dan diasingkan dari manusia.51 Dalam studinya atas 

pemikiran Hegel, Habermas menemukan bahwa praksis pada dasarnya tidak hanya berarti kerja (arbeit), namun juga komunikasi (communication). 

Namun Habermas juga mengritik Marx dengan mengatakan bahwa Marx 

telah menipu dirinya sendiri dalam hal yang berkaitan dengan hakikat 

refleksi yang ia kembalikan ke kerja karena Marx kemudian menarik proses 

refleksi ke tingkat tindakan instrumental.52

Harus mulai diusahakan sebuah rancang bangun model Gereja 

sebagai sebuah komunitas aksi komunikatif,

53 dimana diskursus iman￾komunikasi iman-menjadi praksis bersama. Konsep pokok dalam praksis 

yaitu  interpretasi. Dalam interpretasi, bahasa mendapatkan tempat yang 

utama. Untuk mencapai pemahaman dengan perantaraan bahasa diperlukan 

semacam mekanisme praksis yang terkoordinasikan. Sehingga, walaupun 

mempergunakan konsensus tertentu, kita dapat mengkoordinir diri kita 

sendiri ke arah tujuan tertentu. 

Habermas memperlihatkan bahwa praksis berdasarkan rasio 

instrumental bisa menjadi praksis dari manusia, namun tidak boleh menjadi 

praksis terhadap sesama. Kehebatan Habermas yaitu  mengajukan secara 

konsisten perlunya pemakaian praksis melalui paradigma komunikasi

daripada sekedar memakai paradigma kerja.

54

Refleksi Diri

Dalam Knowledge and Human Interest Habermas melontarkan tesis 

keempatnya yang berbunyi, “in the power self-reflection, knowledge and 

interest are one.”

55 Di sini Habermas berdiri dalam tradisi pemikir Jerman 

Fichte bahwa rasio mengandung dua segi, yaitu: kehendak dan kesadaran.

Bagi Hegel, rasio dipandang memiliki kemampuan untuk 

menemukan hambatan yang merintangi perkembangan diri untuk mencari 

otonomi kedewasaan. Oleh Habermas, kedewasaan diartikan sebagai 

konsensus-bebas-hambatan, yang dicapai melalui refleksi-diri, kita terbebas 

dari dogmatisme, “Self-reflection is at once intuition and emancipations, comprehension and liberation from dogmatic dependence.”

56 Dalam banyak 

hal, para interpreter tidak dapat bebas dari titik mula hermeneutika, yaitu 

refleksi diri. Habermas mempertahankan pendapatnya bahwa minat yang 

tertinggi dan dasar dari semua minat yang lain yaitu  minat terhadap diri 

sendiri. Lalu, apakah minat terhadap diri sendiri akan menjadi faktor 

penentu dalam pemahaman epistemologi seperti hermeneutika? Habermas 

mengatakan bahwa penalaran mempunyai minat praktis yang menjadi milik 

penalaran itu sendiri. Ini berarti bahwa bila kita berefleksi, maka refleksi itu 

sekaligus merupakan intuisi dan emansipasi, pemahaman dan kebebasan 

dari ketergantungan kepada dogma. Dengan memahami diri sendiri maka 

kita juga memahami dunia. 

Interpreter tidak dapat mengawali interpretasinya tanpa terlebih 

dahulu melibatkan dirinya dalam refleksi diri. Inilah alasan Habermas 

mengatakan bahwa “membuka rahasia interpretasi terhadap diri sendiri 

yaitu  tugas hermeneutika.”57 Sebab itu, diri sendiri menjadi titik tolak 

interpretasi, dan ini menyebabkan hermeneutika menjadi penting.

Habermas memperkaya konsep refleksi-diri ini dengan teori 

psikoanalisis-nya Freud.58 Bagi Paul Ricoeur, ide-ide Freud melengkapi 

para hermeneut dengan landasan yang kokoh untuk interpretasi.59 Bahkan,

mimpi juga memerlukan hermeneutik batin dan refleksi diri.

Praktek penafsiran mimpi merupakan sebuah bentuk hermeneutika 

yang amat mendalam. Karena, berbeda dengan hermeneutika biasa yang 

memakai bahasa sesehari sebagai teks, panafsiran mimpi mempergunakan 

bahasa yang kacau sebagai teks yang perlu dianalisis.60 Dalam hal ini 

hermeneutika mempunyai tugas ganda, yaitu menempatkan dirinya sendiri 

sebagai orang yang bermimpi untuk kemudian menyibukkan diri dalam 

penjelasan kausal dan ilmiah, serta interpretasi. Ia menjadi semacam 

analisis yang harus menyusup masuk ke bawah isi yang mewujud dari teks 

mimpi, yang menyembunyikan kejanggalannya dan analisis harus bisa 

menguraikan kejanggalan tersebutTidak ada satu batas pun dalam mimpi. Berdeda pula dengan 

hermeneutika biasa yang menghadapi teks transparan, psikoanalisis 

berhadapan dengan teks yang terselubung. Karena itu, Habermas menyebut 

psikoanalisis sebagai Hermeneutika Dalam/Batin (Tiefenhermeneutik atau 

Dept Hermeneutics). Terhadap bentuk atau objek semacam itu interpreter 

diharapkan menghubungkan dan menjalin pola-pola tindakan dalam 

upayanya untuk menguraikan misteri dan mencari penjelasannya melalui 

makna yang tersembunyi di balik bahasa atau mimpi.

PENUTUP: EVALUASI DAN REFLEKSI 

Pertama, konteks sosial postmodern terdiri dari banyak bagian dan 

berubah-ubah, yang memengaruhi hermeneutika seseorang. Hermeneut 

menjadi titik tolak hermeneutika, dan ini menyebabkan hermeneutika 

menjadi penting. Karenanya, bila hermeneut meninggalkan makna teks dan 

maksud penulis, maka ia akan tenggelam dalam lautan relativitas 

postmodern, dan tak ada dimensi metanaratif yang absolut.

Kedua, pewahyuan ilahi itu sendiri terkondisi secara budaya karena 

dikomunikasikan kepada berbagai budaya dalam berbagai bahasa yang 

tidaklah netral dan tak dapat dihapuskan oleh postmodern. 

Ketiga, teologi kritis bisa memberi kemungkinan mengerjakan refleksi-diri 

terus-menerus. Kritis atas kenyataan dunia harus dibarengi dengan kritik 

terhadap diri sendiri. Untuk itu diperlukan sebuah pola hermeneutik yang 

kritis atas teks-teks mapan yang ada.

Keempat, jika hendak menginterpretasi secara benar dan tepat, maka kita 

harus mengupayakan dialog antara bahasa dan pengalaman di satu sisi 

dengan tindakan di sisi lain. Tidak memisahkan teori dan praksis, tidak 

melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapat hasil yang 

objektif.

Kelima, bahasa mencakup seluruh makna dan oleh sebab itu hermeneutika 

memiliki implikasi yang universal. Pentingnya sosiologi pengetahuan 

sebagai suatu sarana penafsiran.

Keenam, kekuatan-kekuatan ideologis mengendalikan hermeneutika hampir 

semua orang. Calvinis atau Armenian, Reformed atau Dispensasional, 

Teolog Proses atau Pembebasan, tiap komunitas orang percaya telah 

memberikan kecenderungan-kecenderungan ideologis tertentu yang

menuntun penafsiran. Karenanya, hermeneutika harus membebaskan 

pemahaman dari ideologi.

Ketujuh, pemahaman hermeneutik sifatnya global, yaitu mengandaikan 

adanya tujuan khusus. Setiap komunikasi yang sehat yaitu  komunikasi 

dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa 

ketakutan akan koersi, intimidasi, deceit dan sebagainya. Melalui tindakan 

komunikatif, pemahaman hermeneutik mempunyai bentuk yang hidup, 

yaitu kehidupan sosial Postmodern.

KEBANGKITAN ORANG MATI MENURUT

I KORINTUS 15:12-34 DAN IMPLIKASI ETISNYA BAGI 

ORANG PERCAYA

DANIK ASTUTI LUMINTANG

PENDAHULUAN

 Doktrin kebangkitan merupakan dasar atau sentral pemberitaan dari 

iman kristen, karena itu, doktrin kebangkitan merupakan keunikan Kristen 

yang tiada tandingnya. Memang, doktrin kebangkitan orang mati bukanlah 

monopoli agama Kristen, karena agama-agama dan aliran lain, misalnya: 

agama Islam, Hindu, Budha dan aliran kebatinan, serta agama Suku 

memiliki konsep masing-masing.1 Yang jelas, bahwa doktrin Kristen


mengenai kebangkitan berbeda sama sekali dengan doktrin kebangkitan 

agama-agama lain, aliran-aliran kepercayaan bahkan pandangan filsafat. 

Kesamaan yang ada hanyalah kesamaan istilah, sedangkan sumber dan 

konsepnya berbeda. Tetapi karena tulisan ini bukanlah studi perbandingan 

agama, maka perbedaan konsep ini tidak akan dibahas lebih lanjut.

 Doktrin kebangkitan menurut ajaran kristiani yaitu  doktrin yang 

unik, karena Alkitab yang yaitu  sumber dogma menyatakan bahwa 

kebangkitan orang percaya (Gereja) yaitu  kebangkitan tubuh. Tidak 

ditemukan di dalam ajaran lain mana pun juga. Kebangkitan Kristus yang 

menjadi dasar kebangkitan orang percaya yaitu  unik. Kendatipun 

demikian di kalangan Kristen sendiri masih menjadi pokok perdebatan yang 

seru, antara dongeng dan fakta, antara spiritual dan jasmaniah, antara 

bohong dan benar. Perdebatan ini sesungguhnya sudah dimulai sejak zaman 

Tuhan Yesus.2 Hal ini disebabkan oleh karena perbedaan pandangan atau 

konsep di antara orang Kristen sendiri. Perbedaan-perbedaan yang ada ini 

disebabkan oleh perbedaan hermeneutika yang dipakai, dan perbedaan latar 

belakang yang mempengaruhi masing-masing pandangan tersebut, bahkan 

perbedaan konteks zaman dan tempat dimana doktrin itu dibicarakan atau

diajarkan. Karena itu, penulis sengaja membahas lagi topik kebangkitan 

orang mati ini dalam 1Korintus 15:12-58 untuk menggali kebenaran 

alkitabiah mengenai doktrin ini, sekaligus menemukan implikasinya etisnya 

bagi kehidupan orang percaya (Gereja).

ANALISIS SURAT IKORINTUS

Untuk memahami 1Korintus 15:12-34, sebelum penulis membahas

kebangkitan orang mati secara mendalam, penulis akan terlebih dahulu


memaparkan mengenai latarbelakang 1Korintus, baik analisis konteks 

historis secara umum dan analisis konteks historis secara khusus maupun 

analisis struktur teks dan paralelnya.

Analisis Latarbelakang Surat 1Korintus

Analisis latarbelakang surat 1Korintus, secara khusus penulis akan 

membahas dua hal penting, yaitu: analisa konteks historis secara umum dan 

analisa konteks historis secara khusus. Adapun pemahaman kedua hal 

tersebut yaitu  sebagai berikut:

Analisis Konteks Historis Secara Umum

 Korintus yaitu  kota yang berada di wilayah Akhaya, dekat selat yang 

memisahkan tanah daratan Yunani dari Peloppones, yaitu sebuah 

semenanjung bagian selatan Yunani.3 Pada tahun 146 SM., kota Korintus 

dihancurkan oleh tentara Romawi, namun kota ini dibangun kembali sekitar 

tahun 50 SM dan menjadi ibu kota propinsi Akhaya. Kota Korintus yaitu  

kota yang sangat strategis, baik di bidang ekonomi maupun militer. Selain 

kota ini yaitu  kota dagang, kota ini juga memiliki dua pelabuhan yang 

sangat ramai, karena hampir semua kapal, baik kapal perang maupun kapal 

dagang pasti melewati kota Korintus.4 

Penduduk kota Korintus yaitu  sebagian besar pendatang dari 

beberapa wilayah jajahan Romawi, yaitu orang Yunani asli dan bangsa￾bangsa Timur pada umumnya, termasuk orang Yahudi (band. Kis. 18:4). 

Sebagian besar penduduknya yaitu  para cerdik pandai (pengaruh ilmu 

pengetahuan Yunani) dan kota Korintus yaitu  kota yang kaya karena 

merupakan pusat perdagangan, namun penduduknya memiliki moral yang 

buruk. Penduduk kota ini terdiri dari pelbagai kelompok masyarakat yaitu 

orang Yunani, Romawi dan Yahudi. Hal ini membuktikan bahwa kota ini 

yaitu  majemuk dalam hal suku bangsa, budaya maupun agama. Di kota

ini, orang Yahudi dan agamanya yaitu  golongan yang cukup besar, hal ini 

terbukti dengan adanya sinagoge-sinagoge (tempat ibadah).5

 Jemaat Korintus didirikan oleh Paulus pada perjalanan misinya yang 

kedua (Kis 18). Selama kurang lebih 1